Upload
lamkhuong
View
239
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
RITUAL PERAYAAN REBO KASAN DESA GIRIJAYA, KECAMATAN
SAKETI, PANDEGLANG, BANTEN
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Dede Nur Afiyah
NIM. 11140321000068
JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439H/2018M
iv
ABSTRAK
Ritual adalah suatu bentuk kegiatan keagamaan yang terdapat dalam
masyarakat tertentu dan dilaksanakan secara turun temurun. Ritual telah menjadi
suatu tradisi yang sakral dan dilakukan secara rutin oleh masyarakat tertentu.
Masyarakat yang telah melakukan suatu tradisi berupa upacara ritual selama
beberapa generasi, akan memegang teguh tradisi tersebut dan menganggap bahwa
jika upacara itu tidak dilakukan, maka akan terjadi bencana, musibah atau
keburukan yang menimpa seluruh warga desa.
Di Desa Girijaya terdapat suatu upacara ritual yang telah menjadi
tradisi secara turun temurun dan dilaksanakan secara rutin setiap tahun. Salah
satunya adalah ritual Rebo Kasan. Rebo Kasan adalah salah satu tradisi
masyarakat Desa Girijaya yang telah dilaksanakan sejak dahulu dan secara rutin
diselenggarakan setiap tahun oleh warga desa.
Makna pokok dari tujuan Rebo Kasan adalah menghindari dari
berbagai macam marabahaya yang datang pada hari Rebo terakhir pada bulan
Safar. Adapun yang dilakukan oleh masyarakat yaitu dengan cara ritual tolak bala,
ritual mandi Safar, dan ritual mendaki Gunung Pulosari. Oleh karena itu,
penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengangkat dan menulis tentang “Ritual
Perayaan Rebo Kasan Desa Girijaya Kecamatan Saketi Pandeglang Banten”.
Adapun metode yang dilakukan penulis adalah penelitian lapangan,
dengan pengumpulan data observasi maupun wawancara. Sumber data yang
digunakan adalah para informan baik yang terlibat maupun yang dianggap
mengerti tentang ritual tersebut, yaitu para tokoh masyarakat serta buku-buku
yang menunjang dalam penelitan tersebut.
Kata Kunci : Rebo Kasan, Masyarakat, dan Ritual.
v
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Ahamdulilah segala puji dan puji syukur penulis panjatkan kepada
Allah SWT, Dia lah yang telah melimpahkan nikmat iman, nikmat Islam dan
nikmat sehat. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu
syarat memperoleh gelar sarjana Agama (S.Ag). Dalam bidang Studi Agama-
agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Rangkaian shalawat dan salam terhatur kepada Rasullah SAW putra
padang pasir, reformis Islam sedunia, insan pilihan Allah SWT, pembebas umat
manusia dan alam semesta dari segala bentuk penindasan dan kezaliman. Beliau
juga insan teladan sejati bagi umatnya.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penyelesaian skripsi ini,
banyak pihak yang senantiasa membimbing dan membantu serta tulus dengan
sepenuh hati meluangkan waktunya dalam memberikan kritik, saran dan inspirasi
hingga selesai dalam menulis skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada pihak-pihak tersebut
khususnya kepada:
1. Kedua orang tuaku mamah Yayu Khotimah dan bapak Itong yang tercinta
yang tiada henti memberikan motivasi yang begitu kuat serta doa yang tidak
pernah putus sepanjang masa untuk keberhasilian penulis, semoga Allah
menyayangi kalian berdua di dunia maupun akhirat.
2. Ibu Dra. Halimah M.Ag, sebagai pembimbing dalam penulisan skripsi ini
yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaganya serta kesabaran
vi
memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis sehingga membuka
cakrawala berpikir dan nuasa keilmuan yang baru.
3. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A Selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Dr. Media Zainul Bahri, M.A. selaku Ketua Jurusan Studi Agama-Agama UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyetujui permohanan skripsi ini dan
memberikan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.
6. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, terkhusus Bapak Syaiful Azmi, M.A, Dra. Siti Nadroh
M.A, yang telah membantu penulis dalam menemukan pokok permasalahan
penelitian.
7. Teruntuk Maydumi yang telah membantu medampingi penulis wawancara
baik moril maupun materi dalam penulisan skripsi ini.
8. Sepupu dan anggota keluarga besar yang senantiasa memberikan doa dan
dukungan semangat kepada penulis.
9. Bapak Tedi Setiadi sebagai Ketua Desa Girijaya, Asep Saepudin sebagai Kaur
Perencana, staf Desa Girijaya dan seluruh masyarakat desa Girijaya yang telah
memberikan banyak sumber utama skripsi ini serta meluangkan waktunya
kepada penulis untuk dapat berdiskusi secara langsung, sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan dengan tepat waktu.
10. Sahabat-sahabat terbaikku Meli, Babin, Elva, Fida, Windi, Tika,
(BERTUJUH) penulis mengucapkan terima kasih. Hal yang terpenting kalian
vii
adalah keluarga kedua sebagai perlengkapan hidup. Kalian adalah yang
terbaik dan terindah yang aku punya.
11. Aldi yang telah memberikan motivasi dan arahan dalam proses menyelesaikan
skripsi ini sehingga selesai.
12. Ka Jamil yang telah banyak membantu penulis dalam penulisan skripsi ini
13. Sahabat dan rekan seperjuangan tercinta yang tiada henti memberi motivasi
kepada penulis.
14. Seluruh pihak yang tidak disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam
proses penulisan skripsi ini hingga selesai, saya sayang kalian semua.
Akhirnya penulis hanya bisa berdoa semoga skripsi ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis dan pada umumnya untuk perkembangan ilmu
pengetahuan di tanah air. Atas semua sumbangsih dan informasi yang telah
diberikan, semoga Allah memberikan balasan yang berlipat ganda. Amiin
Penulis, 07 Juni 2018
Penulis
ix
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ i
SURAT PERNYATAAN ...................................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQASYAH ...................................... iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .......................................................................... 6
D. Tinjauan Pustaka .................................................................................................. 8
E. Metodologi Penelitian ......................................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan ......................................................................................... 15
BAB II .................................................................................................................. 17
SEJARAH PERAYAAN REBO KASAN DESA GIRIJAYA ......................... 17
A. Asal-usul Ritual Rebo Kasan ............................................................................. 17
B. Mitos Rebo Kasan ............................................................................................... 20
BAB III ................................................................................................................. 25
GAMBARAN UMUM DESA GIRIJAYA KECAMATAN SAKETI
PANDEGLANG BANTEN ................................................................................. 25
A. Sejarah Desa Girijaya ......................................................................................... 25
B. Kondisi Keagamaan Desa Girijaya ................................................................... 30
C. Kondisi Sosial Ekonomi Desa Girijaya ............................................................. 35
BAB IV ................................................................................................................. 38
RITUAL PERAYAAN REBO KASAN DESA GIRIJAYA ............................ 38
A. Persiapan dan Perlengkapan Rebo Kasan Desa Girijaya ............................... 38
1. Tahap Persiapan ............................................................................................. 38
2. Tahap Pelaksanaan ......................................................................................... 40
B. Proses Ritual Perayaan Rebo Kasan Desa Girijaya ........................................ 41
1. Pelaksanaan Ritual Tolak Bala ...................................................................... 41
2. Pelaksanaan Ritual Mandi Safar ................................................................... 43
3. Pelaksanaan Ritual Mendaki Gunung Pulosari ........................................... 46
C. Makna Simbolik Ritual dalam Tradisi Perayaan Rebo Kasan....................... 49
x
BAB V ................................................................................................................... 53
PENUTUP ............................................................................................................ 53
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 53
B. Saran .................................................................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 55
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 59
Lampiran 1 .................................................................................................................. 59
Lampiran 2 .................................................................................................................... 62
Lampiran 3 .................................................................................................................... 64
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia Indonesia, dengan berbagai suku, agama dan ras, tentu saja
memiliki berbagi keunikan maupun kekhasan tersendiri dalam beberapa hal, di
antaranya bersangkutan dengan tradisi maupun budaya. Masyarakat muslim
Indonesia yang relijius, penyebutan tradisi masyarakat di sini hanya untuk
membedakan dengan dogma ataupun ajaran Islam. Islam memiliki ajaran yang
tentunya berasal dari Allah SWT dan Rasul-Nya (al-Quran dan Hadist) yang
harus dijalankan dan diikuti oleh setiap pemeluknya sedangkan tradisi
merupakan kebiasaan dalam suatu kelompok masyarakat yang tidak harus
untuk diikuti ataupun dijalankan oleh sebagian kelompok yang lainnya,
meskipun sesama muslim tetapi tidak menutup kemungkinan tradisi tersebut
mengandung unsur-unsur Islam yang diinternalisasikan oleh pihak-pihak
tertentu yang berkepentingan1.
Setelah agama-agama besar seperti Hindu dan Buddha muncullah
agama Islam di Nusantara yang menjadi pandangan hidup selama berabad-
abad lamanya. Ajaran animisme yaitu kepercayaan mengenai roh-roh pada
zaman nenek moyang dengan bentuk keyakinan telah menyatu dalam
kehidupan masyarakat ketika ulama-ulama datang untuk menyiarkan dakwah
tentang agama Islam, tradisi meyakinkan kehidupan masyarakat dan dibiarkan
1Bakhtiar, Ritual Mandi Safar Praktik dan Fungsi dalam Masyarakat (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2015), h. 1.
2
berjalan apa adanya tetapi ada juga yang disesuaikan dengan ajaran
masyarakat itu sendiri. 2
Tradisi merupakan suatu kebiasaan yang diwariskan atau disalurkan
dari masa lalu hingga saat ini sebagai suatu sistem nilai maupun ajaran ketika
membahas mengenai tradisi masyarakat muslim berarti membahas juga yang
berkaitan dalam beberapa praktik ritual dan terus menerus akan tetap
berfungsi dalam kehidupan masyarakat Muslim yang berhubungan langsung
antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa.
Tradisi yang bermakna keagamaan berkembang dalam masyarakat
muslim Indonesia, memiliki keanekaragaman dari segi waktu peristiwa dan
keduanya saling berhubungan dari segi waktu, berkaitan dengan kelahiran
seorang anak, misalnya, tradisi pemberian nama (tasmiyah) dan cukuran
(aqiqah dan puputan). Sedangkan yang berkaitan dengan kematian seseorang,
terdapat tradisi slametan atau kenduri secara berkala dari tiga hari (Jawa: niga
hari) sampai satu tahun (mendak atau haul) pasca wafat. Selain itu, berkaitan
dengan datangnya bulan-bulan tertentu dalam perhitungan kalender Hijriyah,
ada tradisi Suroan pada bulan Muharam, Saparan pada bulan Safar, Grebeg
Mulud atau Sakatenan pada bulan Rabiul Awal, Grabeg Syawal pada bulan
Syawal, dan lainnya. Berkaitan dengan musim tertentu, adanya tradisi sedekah
bumi, sedekah laut, dan sebagainya. Semua tradisi itu adalah tradisi
masyarakat muslim Indonesia yang menjadi ritual keagamaan dan bahkan
2Abdul Chalik, Agama dan Politik dalam Tradisi Perayaan Rebo Wekasan, Jurnal
Kebudayaan Islam, (Januari- Juni 2016), vol. 14, no. 1, h. 14.
3
menjadi kewajiban untuk melakukannya dalam kesempatan tertentu yang
disesuaikan dengan kebudayaan masyarakat setempat.3
Sejarah menentukan bahwa manusia adalah bagian dari kejadian
maupun masalah yang ada secara mendasar berarti mendekati segala sumber
sesuatunya melihat dengan teropong kebudayaan. Manusia adalah pokok dari
kebudayaan. Kebudayaan adalah keseluruhan ide-ide, tindakan dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang berhubungan antara
manusia dan manusia, hubungan manusia dan alam, dan hubungan manusia
dan Tuhan Yang Maha Esa.4 Kebudayaan dianggap sebagai sesuatu yang
standar untuk menentukan sesuatu, menentukan apa yang bisa dibuat, apa
pendapat tentang itu, apa yang diperbuat terhadapnya.
Adapun faktor dari beberapa yang menjadikan tradisi menggabungkan
dalam syariat Islam, maka timbullah praktik keagamaan yang bermacam-
macam namun tidak sedikitpun mengurangi substansi ajaran Islam
sebagaimana yang telah diajarkan dalam kitab suci yaitu Al-Quran.
Praktik Islam lokal pada satu sisi mengantarkan Islam Nusantara yang
dinamis dan beragam, tetapi disisi lain juga mengantarkan betapa sulitnya
untuk membedakan antara syariat Islam dan tradisi Islam.5 Hal ini pun terjadi
pada suku Sunda yang memiliki beraneka ragam budaya yang khas dan
menarik. Suku Sunda adalah orang-orang yang secara turun-menurun
menggunakan bahasa Sunda serta dialeknya dalam kehidupan Sunda.6 Suku
3Bakhtiar, Ritual Mandi Safar Praktik dan Fungsi dalam Masyarakat, h. 1-3.
4Ali Moertopo, Strategi Kebudayaan (Jakarta: CSIS, 1978), h.3-4.
5Abdul Chalik, “Agama dan Politik dalam Tradisi Perayaan Rebo Wekasan”, Jurnal
Kebudayaan Islam, vol. 14, no. 1, (Januari- Juni 2016), h. 14. 6Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1993), h.
3.
4
Sunda sebagai salah satu daerah yang sangat istemewa dan terkenal dengan
masyarakat yang relijius dan agamis. Orang Sunda kebanyakan patuh dan taat
dalam menjalankan kewajiban beragama seperti shalat lima waktu,
menjalankan ibadah puasa dan hasrat untuk menunaikan ibadah haji di
samping itu, orang Sunda terutama daerah pedasaan banyak yang pergi ke
makam-makam suci untuk meminta permohonan dalam meminta usaha,
maupun pesta. Kepercayaan ini sering melibatkan kekuatan ghaib dan
menyebabkan adanya beberapa ritual keagamaan yang sering dilakukan oleh
budaya Sunda salah satu tradisi yang saat ini masih dilakukan oleh sebagian
kecil orang Sunda khususnya pada masyarakat Pandeglang adalah tradisi Rebo
Kasan.
Tradisi Rebo Kasan sesungguhnya merupakan tradisi yang dianut
pertama kali oleh sebagian orang Jawa, seperti contohnya, Yogyakarta,
Gresik, dan daerah lainnya. Suku Sunda merupakan salah satu daerah yang
mempercayai dan melakukan tradisi Rebo Kasan tersebut terutama daerah
yang terpencil dan pedesaan pada hakikatnya tidak semua orang melakukan
tradisi tersebut karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini yang
menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat karena menganggap
sebagai tindakan bid‟ah yang tidak boleh dilakukan. Meskipun tujuan mereka
melakukan tradisi ini semata hanya ingin berdoa kepada Tuhan Yang Maha
Esa tetapi disimbolkan dengan sesuatu yang berbeda karena berhubungan
dengan budaya yang selama ini berkembang berdasarkan tradisinya.
Tradisi Rebo Kasan adalah salah satu tradisi di mana suatu kelompok
masyarakat berkumpul dan berdoa kepada Tuhan dengan tujuan untuk
5
menolak adanya beribu-ribu bala maupun marabahaya ke muka bumi ini.
Konon turunnya pada bulan Safar. Rebo Kasan ini berasal dari bahasa Jawa
yaitu hari Rabu terakhir atau pengahabisan pada bulan Safar, yang menurut
mereka diturunkannya 320.000 bala atau marabahaya ke muka bumi ini.
Secara umum Rebo Kasan dilakukan oleh umat Islam, yaitu Rebo Wekasan
(Jawa), Rabu Pungkasan (Yogyakarta), atau Rebo Kasan (Banten).7
Tradisi-tradisi lokal menggambarkan adanya proses akulturasi yang
akhirnya membentuk tradisi yang bernuasa “sinkretis” antara tradisi lokal dan
doktrin Islam dari sekian banyaknya tradisi ritual yang bernuansa keagamaan
dan cukup marak oleh sebagian masyarakat muslim di beberapa wilayah di
Indonesia di antaranya yaitu ritual tolak bala, ritual mandi Safar dan mendaki
gunung Pulosari. Ritual merupakan tata cara dalam upacara atau suatu
perbuatan keramat yang dilakukan oleh sekelompok umat beragama dan
ditandai dengan adanya berbagai macam unsur dan komponen, yaitu adanya
waktu, tempat-tempat di mana upacara dilakukan, alat-alat dalam upacara,
serta orang-orang yang menjalankan upacara.8
Ritual tolak bala, ritual mandi Safar dan ritual mendaki gunung
Pulosari adalah suatu upaya spritual pendekatan diri kepada Allah dengan
tujuan mencegah datangnya marabahaya, menghilangkan penyakit, kesialan,
serta penyucian diri dari dosa.9 Ritual ini sangat penting dan mengandung
kepercayaan terhadap adanya kekuatan alam yang harus didukung dan
dipertahankan karena ritual ini masih diselenggarakan oleh masyarakat Desa
7Rian Rahmawati, Zikri Fachrul Nurhadi, Novie, “Makna Simbolik Tradisi Rebo
Wekasan”, Jurnal Penelitian Komunikasi, Vol. 20, No. 1, (Juli 2017), h.62-63. 8Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: Dian Rakyat, 1985), h.
56. 9Bakhtiar, Ritual Mandi Safar Praktik dan Fungsi dalam Masyarakat, h. 3.
6
Girijaya Kecamatan Saketi Pandeglang Banten. Terkait penelitian ini, penulis
berusaha untuk meneliti mengenai rangkaian tradisi Rebo Kasan yang
merupakan ritual sangat unik dan jarang sekali orang-orang mengetahui
dengan maksud dari ritual ini, sehingga penulis ingin mengupas dan meneliti
lebih dalam lagi mengenai ritual dalam tradisi Rebo Kasan. Berdasarkan latar
belakang di atas, maka judul skiripsi yang diangkat oleh. penulis yaitu
“RITUAL PERAYAAN REBO KASAN DESA GIRIJAYA,
KECAMATAN SAKETI, PANDEGLANG, BANTEN”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Untuk mendalami permasalahan mengenai pengaruh agama terhadap
tradisi yang berkembang di masyarakat dan juga bagaimanakah pengaruh dari
suatu tradisi tersebut mempengaruhi nilai dan sudut pandang masyarakat.
Maka penelitian yang penulis lakukan yaitu studi lapangan, secara khusus
telah menjadi gambaran umum pada penulis untuk mendeskripsikan persoalan
tersebut. Agar pembahasan dalam penelitian penulis tidak melebar dan terlalu
umum penulis secara khusus melakukan studi lapangan di Desa Girijaya
Kecamatan Saketi Pandeglang Banten dan meneliti ritual perayaan Rebo
Kasan. Dalam menyusun skripsi ini, penulis merumuskan beberapa masalah
yang menjadi landasan dari penelitian dan pembahasan skripsi yang penulis
ajukan yaitu:
1. Bagaimana ritual perayaan Rebo Kasan di Desa Girijaya Kecamatan
Saketi Pandeglang Banten?
7
C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian ini adalah tercapainya sasaran yang sesuai dengan
harapan yang diinginkan yaitu:.
a. Untuk mengetahui ritual dan makna simbol ritual dalam perayaan
Rebo Kasan di Desa Girijaya, Kecamatan Saketi, Pandeglang,
Banten.
b. Dengan adanya penelitian ini diharapkan bisa menambahkan
wawasan para pembaca dalam memahami rtiual perayaan Rebo
Kasan Desa Girijaya, Kecamatan Saketi, Pandeglang, Banten.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini terbagi menjadi tiga bagian, yakni teoritis,
praktis, dan akademis.
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
bahan tambahan untuk penelitian secara lebih jauh atau spesifik, untuk
memperkaya khazanah keilmuan tentang tradisi leluhur yang mulai
dilupakan karena tergurus oleh zaman, menambah wawasan
kesundaaan serta melestarikan tradisi nenek moyang, dan menambah
sumber bacaan tentang Rebo Kasan.
b. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan koreksi bagi para
Theologi zaman sekarang tentang ritual perayaan Rebo Kasan Desa
Girijaya, Kecamatan Saketi, Pandeglang, Banten. Kemudian hasil
8
penelitian ini dapat bermanfaat menjadi rujukan penelitian-penelitian
serupa di kemudian hari.
c. Kegunaan Akademis
Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi
persyaratan akhir perkuliahan guna mendapatkan gelar Sarjana Agama
(S.Ag) jurusan Studi-Studi Agama Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Tinjauan Pustaka
Penulis telah berusaha melakukan penelitian terhadap pustaka yang
ada, berupa karya-karya penelitian terdahulu yang mempunyai relavansi
dengan topik yang diteliti, di antaranya:
1. Fathul Khakim mahasiswa Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam
Negeri Walisongo Semarang tahun 2014 dengan judul: “Makna Tradisi
Rebo Wekasan di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal”. Fokus
penelitian Fathul Khakim ini yaitu pandangan atau persepsi masyarakat
terhadap tradisi Rebo Wekasan di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal.10
Perbedaan penulis dengan Fathul Khakim adalah penulis mengupas
mengenai ritual perayaan Rebo Kasan yang diselenggarakan di Desa
Girijaya, Kecamatan Saketi, Pandeglang, Banten.
2. Romlah mahasiswi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
tahun 2016 dengan judul “Tradisi Rebo Pungkasan di Wonokromo Plaret
Bantul”. Fokus penelitian Romlah yaitu tentang nilai-nilai Max Scheer
10
Fathul Khakim, “Makna Tradisi Rebo Wekasan di Kecamatan Suradadi Kabupaten
Tegal”, Skripsi, (Fakutas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2016).
9
filosofis Tradisi Rebo Pungkasan.11
Perbedaan Romlah dengan penulis
yaitu penulis akan mengupas mengenai ritual perayaan Rebo Kasan yang
diselenggarakan di Desa Girijaya Kecamatan Saketi Pandeglang Banten.
3. Zia Ulhaq Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2010
dengan judul “Tradisi Rebo Kasan (Studi Kasus di Desa Air Anyir)”,
Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka Induk, Propinsi Kepulauan
Bangka Belitung”. Fokus penelitian Zia Ulhaq yaitu menitikberatkan
simbol, makna, dan nilai-nilai yang terkandung dalam Tradisi Rebo
Kasan.12
Perbedaan Zia Ulhaq dengan penulis yaitu penulis akan
mengupas mengenai ritual perayaan Rebo Kasan di Desa Girijaya,
Kecamatan Saketi, Pandeglang, Banten.
Dari beberapa penelitian tersebut, bahwa belum ada yang menuliskan
skripsi yang berjudul Ritual Perayaan Rebo Kasan Desa Girijaya, Kecamatan
Saketi, Pandeglang, Banten. Skripsi di atas yang penulis temukan selama
melakukan tinjauan pustaka. Adapun tema yang menyerupai dengan judul
penulis tersebut lebih membahas nilai-nilai filosofis menurut Max Scheler,
simbol, makna, pandangan masyarakat, dan nilai yang terkandung dalam
tradisi Rebo Wekasan. Maka yang penulis buat tentunya akan berbeda dengan
tema-tema di atas yaitu dengan menitikberatkan bagaiamana proses ritual
perayaan Rebo Kasan di Desa Girijaya, Kecamatan Saketi, Pandeglang,
Banten.
11
Romlah, “Tradisi Rebo Pungkasan di Wonokromo Paret Bantu”, Skripsi, (Fakultas
Ushuuddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016). 12
Zia Ulhaq, “Tradisi Rebo Kasan Studi Kasus di Desa Air Anyir, Kecamatan Merawang,
Kabupaten Bangka Induk, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung” Skripsi, (Fakultas Adap UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010).
10
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan yang bersifat kualitatif
dan diskriptif. Adapun penelitian lapangan dilakukan penulis pada:
Hari : Jumat-Minggu
Tanggal : 6 April 2018 – 23 April 2018
Tempat : Desa Girijaya Pandeglang Banten
Narasumber : a. Ketua Desa Giri Jaya Pandeglang Banten
b. Tokoh Pemimpin Ritual Adat
c. Sesepuh Desa Girijaya
d. Masyarakat sekitar Desa Girijaya
Dalam proses penelitian lapangan ini penulis melakukan wawancara
kepada beberapa narasumber untuk menelaah informasi yang akurat terkait
dengan judul skripsi. Penulis juga akan observasi langsung ke Desa
Girijaya guna untuk pengamatan terhadap Ritual Rebo Kasan yang jarang
sekali orang memahami terhadap ritual ini. Penulis juga tidak lupa untuk
mendokumentasikan hasil dari data yang diperoleh melalui penelitian
lapangan.
2. Pendekatan Penelitian
Dalam pembahasan suatu masalah, metode penelitian yang digunakan
oleh penulis yaitu pendekatan historis, pendekatan antropologis dan
pendekatan sosiologis. Pendekatan historis menurut Shiddiq adalah
tentang signifikasi waktu dan prinsip-prinsip kesejarahan tentang individu
dan perkembangan. Menurut Khaldun tujuan dari analisis sejarah agar
11
mendapatkan kebenaran bagaimana peristiwa-peristiwa tersebut dapat
terjadi. Oleh sebab itu analisis sejarah berkaitan dengan analisis subjektif
dan objektif yang menjadi sebab dan akibat dalam pendekatan historis ini
digunakan untuk mendiskripsikan sejarah, pola pemikiran, budaya,
keadaan lingkungan sekitar Desa Girijaya Kecamatan Saketi Pandeglang
Banten. Pendekatan antropologis ini lebih berkaitan dengan soal-soal
kepercayaan, peribadatan, tindakan dan kebiasaan masyarakat yang tetap
dan sebelum mengenal jauh mengenai tulisan, oleh sebab itu mengacu
kepada apa yang dianggapnya itu suci dan supernatural dalam hal ini
pendekatan antropologis tidak hanya mengarah kepada masyarakat primitif
saja, melainkan juga masyarakat yang kompleks dan maju dalam
menganalisis mitos.13
Pendekatan antropologis ini salah satu upaya dalam
memahami keagamaan dengan cara melihat wujud praktik keagamaan,
kepercayaan, mitos yang berkembang melalui tradisi Rebo Kasan pada
masyarakat Desa Girijaya Kecamatan Saketi Pandeglang Banten.
3. Sumber Penelitian
a. Sumber data primer adalah data lapangan yang diperoleh dari sumber
pertama, berupa karya yang ditulis langsung oleh para ahli dalam
bidangnya. Sumber data primer ini dapat berupa wawancara, dan
peneliti harus melakukan observasi lapangan secara individu.14
13
Imam Suprayogo, Metode Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2001), h. 62-67. 14
Suharsini Ari Kunto, Prosedur Penelitian Suatu Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002),
h. 117.
12
b. Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh melalui hasil dari
pihak lain yaitu dokumentasi, angket, catatan-catatan, rekaman vidio
atau suara dan lain sebagiannya15
.
Adapun sumber data primer yang digunakan peneliti yaitu:
1. Sumber wawancara langsung dengan Bapak Tedi Setiadi selaku
Kepala Desa Girijaya, Kyai H. Lukman selaku Kyai daerah
Girijaya, Ustadz Andi dan Abah Simin selaku sesepuh Desa
Girijaya, dan masyarakat sekitar Desa Girijaya Kecamatan
Pandeglang Banten.
2. H. Bakhtiar, Ritual Mandi Safar Praktik dan Fungsinya dalam
Masyarakat, Yogyakarata: Pustaka Pelajar, 2015.
Adapun sumber data sekunder, maka peneliti juga mempelajari
buku-buku yang membahas tentang dalam perayaan Rebo Kasan
sebagai sumber sekunder. Buku-buku yang digunakan penulis
yaitu:
1. Aristo Farela, A. Short History of Java Sejarah Singkat tentang
Pulau Jawa, Kultur, Manusia dan Budayanya, Surabaya:
Ecosystem Publishing, 2017.
2. Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Jaringan Asia 2,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum, 2000.
3. Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta:
Djambatan, 1993.
4. Moertopo Ali, Strategi Kebudayaan, Jakarta: CSIS, 1978.
15
Ipah Farihah, Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2006), h. 45.
13
5. Rian Rahmawati, Zikri Fachrul Nurhadi, Novie Susanti Suseno,
“Makna Simbollik Tradisi Rebo Wekasan”, Jurnal Penelitian
Komunikasi, vol. 20, no. 1, (Juli 2017).
6. Chalik Abdul, “Agama dan Politik Dalam Tradisi Perayaan Rebo
Wekasan”, Jurnal Kebudayaan Islam, vol. 14, no. 1, (Januari- Juni
2016).
7. Ahmad Nurozi, “Rebo Wekasan dalam Ranah Sosial Keagamaan
Kabupaten Tegal Jawa Tengah” Jurnal An-Nika vol. 3, no. 1, (Juli
2016).
b. Teknik Pengumpulan Data
Langkah pertama yang dilakukan dalam tahap ini adalah memilih
lokasi situasi, setiap situasi mengandung beberapa unsur yaitu tempat,
pelaku, dan kegiatan. Dalam hal ini penulis harus memperhatikan
empat hal dalam memasuki lapangan adalah hubungan formal dan
informal, mendapatkan ijin, menanamkan rasa saling menghormati dan
mempercayai, dan mengidentifikasikan responden sebagai informasi.
1) Observasi adalah pengamatan yang sistematis terhadap gejala-
gejala yang diteliti. Observasi ini menjadi salah satu teknik
pengumpulan data apabila sesuai dengan tujuan penelitian. dalam
penggunaan observasi ini yang terpenting adalah ingatan penulis.
Kemudian penulis akan terjun langsung mengamati proses acara
Rebo Kasan berlangsung di Desa Girijaya Kecamatan Saketi
Pandeglang Banten.
14
2) Wawancara adalah tanya jawab lisan antara dua orang ataupun
lebih secara langsung untuk mengetahui seluk buluk mengenai
ritual dalam tradisi perayaan Rebo Kasan berlangsung. Wawancara
berguna untuk mendapatkan data dari tangan pertama (primer).16
Jenis-jenis wawancara terbagi menjadi dua yaitu wawancara
berstuktur dan wawancara tidak berstuktur. Wawancara berstuktur
adalah komunikasi langsung antara responden dengan penulis, dan
tidak lupa juga penulis membawa kuisioner yang kemudian
diajukan kepada responden untuk dijawab. Wawancara tidak
berstuktur pedoman wawancara yang berisi pokok-pokok
pemikiran secara spotanitas dan tidak terarah ketika wawancara itu
berlangsung.17
3) Studi Dokumentasi Teknik pengumpulan data dokumentasi ini
dengan cara memperoleh dari vidio, foto-foto, rekaman, dan
dokumen-dokumen yang tertulis maupun tidak tertulis yang
berkaitan dengan penyusunan penelitian. Data-data yang
dikumpulkan cendrung merupakan data sekunder.18
4. Cara pengumpulan Data
Cara pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan melalui:
a. Usaha yang bersifat kompilatif, yaitu mengumpulkan data secara
keseluruhan baik yang bersumber dari literature maupun dari hasil
penelitian lapangan.
16
Husaini Usman, Metode Penelitian Sosial, h. 52-83. 17
Ipah Farihah, Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, h. 47. 18
Husaini Usman, Metode Penelitian Sosial, h. 69.
15
b. Usaha selektif komparatif, yaitu menyeleksi sumber yang
dikumpulkan, dipilih yang paling relavan dengan pokok pembahasan
dengan dibanding-bandingkan dengan data yang lain untuk mencapai
penyajian yang mengarah.
5. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini, penulis merujuk pada buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Desertasi) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Biro Akademik dan
Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013/2014.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam pembahasan, skripsi tersebut dibagi
menjadi beberapa bab dan sub bab, yaitu:
Bab pertama: Pendahuluan. Bab ini membahas tentang alasan
pemilihan judul, dengan menunjukkan faktor yang mendorong pemilihan judul
skripsi. Kemudian diikuti dengan menuliskan rumusan masalah, tujuan
penelitian dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian,
dan sistematika penulisan. Secara garis besar bagian ini bertujuan sebagai
landasan teoritis metodologis dalam penelitian.
Bab kedua: Bab ini membahas sejarah singkat mengenai Rebo Kasan,
asal-usul dan mitos tradisi Rebo Kasan.
Bab ketiga: Bab ini membahas gambaran umum Desa Girijaya
Kecamatan Saketi Pandeglang Banten dari segi letak geografis, kondisi
keagamaan, kondisi pendidikan dan kondisi sosial ekonomi desa Girijaya. Bab
ini sangat berfaedah agar lebih mudah dalam membahas bab selanjutnya.
16
Bab keempat: Bab ini membahas mengenai fokus permasalahan dalam
penelitian yaitu persiapan dan perlengkapan Rebo Kasan desa Girijaya
Kecamatan Saketi Pandeglang Banten yang meliputi persiapan dan
perlengkapan Rebo Kasan, Tahap Persiapan dan tahap pelaksanaan. proses
ritual dalam perayaan Rebo Kasan Desa Girijaya yang meliputi pelaksanaan
ritual tolak bala, pelaksanaan ritual mandi safar, dan pelaksanaan ritual
mendaki Gunong Pulosari. Setelah itu membahas mitos tolak bala, mitos ritual
mandi safar, mitos mendaki Gunung Pulosari dan yang terakhir bab ini akan
membahas makna simbolik ritual dalam tradisi perayaan Rebo Kasan.
Bab kelima: Bab ini adalah penutup yang merupakan bagian akhir dari
skripsi yang berisi kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan yang merupakan
jawaban atas rumusan masalah dari hasil analisis keseluruhan permasalahan
dalam bab-bab terdahulu.
17
BAB II
SEJARAH PERAYAAN REBO KASAN DESA GIRIJAYA
A. Asal-usul Ritual Rebo Kasan
Ritual merupakan suatu bentuk atau perayaan yang berhubungan
dengan beberapa kepercayaan atau agama dengan ditandai oleh sifat khusus,
yang menimbulkan rasa hormat yang luhur dalam arti merupakan suatu
pengalaman yang suci. Pengalaman itu mencangkup segala sesuatu yang
digunakan oleh manusia untuk menyatakan hubungannya dengan Tuhan Yang
Maha Esa. Ritual agama dipandang dari bentuknya dari bentuknya secara
lahiriah merupakan hiasan atau semacam alat saja, tetapi intinya yang lebih
hakiki adalah “pengungkapan iman”. Oleh karena itu, upacara atau ritual
agama diselenggarakan di beberapa tempat dan waktu yang khusus, perbuatan
yang luar biasa, dan berbagai peralatan ritual lain bersifat sakral.19
Ritual keagamaan dalam rangka pertemuan atau hubungan seorang
individu dengan Yang Maha Tinggi, baik untuk memohan maupun memuja
terkadang dilakukan dengan berbagai macam cara yang dikaitkan dengan
momen-momen tertentu. Misalnya, dalam ajaran Islam, seperti salat Istisqa
(salat untuk meminta hujan) dan salat gerhana matahari atau bulan (salat
khusuf) yang pertama adalah ritual yag tujuannya minta diturunkan hujan saat
musim kemarau sedangkan yang kedua adalah salat yang dilakukan ketika
terjadi gerhana matahari atau bulan tujuannya adalah untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT dalam rangka mengungkapkan rasa ketakziman atau
kekuasaan Allah yang tiada duanya.
19
Bakhtiar, Ritual Mandi Safar Praktik dan Fungsi dalam Masyarakat, h. 43-44
18
Beberapa ritual tersebut merupakan ritual yang memang benar-benar
ada aturannya di dalam sunah Rasulullah aturan itu tentu mendapatkan
perintah atau persetujuan dari Allah SWT namun, di kalangan umat Islam
sendiri pada masyarakat umumnya, terutama di Indonesia, masih banyak ritual
yang merupakan hasil karya dan cipta manusia yang tujuannya tidak lain
untuk mendekatkan diri kepada Zat Yang Kuasa maupun untuk memohon
sesuatu atau sekedar wujud dari bentuk ungkapan syukur atas apa yang telah
diberikan-Nya kepada umat manusia. Di Desa Girijaya sendiri banyak
ditemukan berbagai macam ritual diantaranya ritual pemandian tombok
turunan, selamatan, Muharram dan ritual Rebo Kasan.20
Ritual Rebo Kasan ini dilaksanakan oleh masyarakat Desa Girijaya
tidak terlepas dari kepercayaan masyarakat yang diwarisi dari generasi ke
generasi kepercayaan tersebut menimbulkan sugesti kepada masyarakat untuk
melakukan ritual tersebut, dan jika tidak dilaksanakan, maka akan timbul
malapetaka yang akan menimpa seluruh masyarakat.21
Menurut H. Anwar sebagai sosok tokoh masyarakat menyatakan
bahwa pada bulan Safar merupakan “nahas” yang berdasarkan pada Q.S al-
Qomar ayat 18-20 yaitu:
صزا في يىم حض هظتوش ( اا ار طلا عليهن ريحا صز 81كذبت عاد فكيف كاى عذا بي وذر )
(02( تشع الاص كاهن اعجا س خل هقعز)81)
Artinya:“ Kaum „Ad pun telah mendustakan, maka betapa dahsyatnya
azab-Ku dan pringatanKu. Sesungguhnya Kami telah menghembuskan angin
yang sangat kencang kepada mereka pada hari nahas yang terus-menerus.
20
Bakhtiar, Ritual Mandi Safar Praktik dan Fungsi dalam Masyarakat, h. 44-46. 21
Wawancara Pribadi dengan Ustad Andi sesepuh Desa Girijaya. Banten, 10 April 2018.
19
Yang membuat manusia bergelimpangan, mereka bagaikan pohon-pohon
kurma yang tumbang dengan akar-akarnya.”22
Beberapa Ulama dan Kyai berpandapat bahwa kejadian itu terjadi
pada hari terakhir bulan Safar atau penanggalan Jawa pada bulan Safar.23
Ritual Rebo Kasan bagi masyarakat Girijaya memiliki sejarah yang
tinggi, ritual Rebo Kasan yang rutin diadakan pada hari Rabu Akhir pada
bulan Safar di desa Girijaya Kecamatan Saketi Pandeglang Banten ini
berlangsung sejak tahun 1794 M. Latar belakang dari ritual ini adalah Syekh
Maulana Masyuruddin mampu menyembuhkan penyakit dan sihir yang
menyerang masyarakat Girijaya kejadian itu berlangsung ketika bulan Safar.
Kemudian Syekh Masyur Masyuruddin menyuruh masyarakat untuk
berwudhu di Sumur Cimajeb dan melakukan shalat tolak bala. Keesokan
harinya Syekh Masyur Masyuruddin berjalan kaki menuju Gunung Pulosari
untuk berziarah ke makam Wali dengan kejadian tersebut masyarakat Girijaya
melakukan ritual Rebo Kasan setiap tahunnya agar di jauhkan dari segala
marabahaya dan sebagai wujud ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT.24
Mayoritas masyarakat menyakini peristiwa Rebo Kasan adalah
sebagai hukum adat yang akan terus menerus berkembang karena masyarakat
mempercayai bulan Safar ini adalah bulan nahas (sial). Rebo Kasan dapat
diartikan hari Rabu dalam bahasa Jawa yang diartikan kedalam bahasa
Indonesia sedangkan Kasan dalam bahasa Sunda dapat diartikan “terakhir”.
22
Al-Quran Anul Karim, Departemen Agama RI (Bandung: PT Syaamil Cipta Media
2009), h.529. 23
Wawancara Pribadi dengan H. Anwar. Tokoh Agama Desa Girijaya. Banten, 8 April
2018. 24
Wawancara Pribadi dengan Kyai H. Lukman Tokoh Agama Desa Girijaya. Banten 22 September 2018.
20
Jadi Rebo Kasan adalah Rebo terakhir, tapi menurut istilah adalah Rabu
terakhir pada bulan Safar. Bulan Safar yaitu bulan kedua dari dua belas bulan
penanggalan hijriyah jadi Rebo Kasan ini artinya memperingati hari terakhir
di bulan Safar dengan tujuan untuk menolak bahla dari langit.25
B. Mitos Rebo Kasan
Mitos ialah cerita tentang asal mula terjadinya dunia seperti sekarang
ini, cerita tentang alam peristiwa-peristiwa yang tidak biasa sebelum atau di
belakang alam duniawi yang kita hadapi. Cerita-cerita itu menurut
kepercayaan sungguh-sungguh terjadi dan dalam arti tertentu kramat.26
Mitos merupakan bentuk pengungkapan intelektual yang primordial
dari berbagai sikap dan kepercayaan keagamaan mitos telah dianggap sebagai
filsafat primitif, bentuk pengungkapan yang sederhana serangkaian usaha
untuk memahami dunia, untuk menjelaskan kehidupan dan kematian, takdir
dan hakikat, dewa-dewa dan ibadah tetapi mitos juga merupakan jenis
pernyataan manusia yang kompleks melalui mitos manusia tidak hanya
menjelaskan dunia mereka tetapi, secara simbolis juga menampilkannya
kembali. Mitos mempunyai cara lain dalam melihat dunia, suatu cara yang
mengungkapkan kesatuannya bersama dengan keterlibatan emosional manusia
dan partisipasi di dalamnya. Mitos adalah ungkapan serius tentang pertalian
dengan dunia.27
Safar berasal dari bahasa Arab shafara yang menurut bahasa
(linguistic) berarti kosong. Sebagian orang juga mengartikannya kuning sebab
25
Wawancara Pribadi dengan Abah Simin Sesepuh Desa Girijaya. Banten, 7 April 2018. 26
Roger M. Keesing, Antropologi Agama Suatu Perspektif Kontemporer (Jakarta: PT
Gelora Aksara Pratama,1981), h. 106-110. 27
Thomas f. O‟Dea, Sosisologi Agama Suatu Pengenalan Awal (Yogyakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1995), h. 79-81.
21
pada bulan Safar kebiasaan orang-orang Arab zaman dulu sering
meninggalkan rumah mereka sehingga kosong kepergian mereka tidak lain
karena berperang menuntut pembalasan musuh-musuh mereka.28
Nama Safar
diambil nama suatu jenis penyakit sebagaimana yang diyakini oleh orang-
orang Arab Jahiliyah, karena pada zaman dahulu, yakni penyakit Safar yang
bersarang di dalam perut akibat dari adanya sejenis ulat besar yang sangat
berbahaya.
Menurut kepercayaan masyarakat Girijaya, bulan Safar adalah bulan
yang dianggap pamali, untuk mengadakan pesta perayaan seperti hajatan
pernikahan atau sunatan anak selain itu juga dipercayai akan turunnya
berbagai penyakit pada Rabu Kasan.29
Adapun terdapat beberapa versi yang
dimitoskan mengenai Rebo Kasan di kalangan masyarakat Girijaya adalah
sebagai berikut:
Versi pertama, bulan Safar diyakini sebagi bulan penuh bencana atau
bulan sial karena pada bulan ini akan diturunkan 320000 penyakit dari langit
untuk setahun kedepan dan keyakinan ini sudah terpatri dalam benak
masyarakat Girijaya hingga jaman sekarang yang sudang modern.30
Versi kedua, menurut masyarakat Girijaya pandangan bulan Safar
karena wilayah mereka dekat dengan hutan dan masih terdapat beberapa
anjing liar pada bulan ini sering terdengar gonggongan dan lolongan anjing.
Anjing-anjing tersebut naik birahi dan melakukan perkawinan oleh sebab itu
28
Bakhtiar, Ritual Mandi Safar Praktik dan Fungsinya dalam Masyarakat, h. 46. 29
Wawancara Pribadi dengan Usun Tokoh Mayarakat yang mengikuti Ritual Rebo Kasan.
Banten, 8 April 2018.
30Wawancara Pribadi dengan Abah Simin Sesepuh Desa Girijaya. Banten, 7 April 2018.
22
masyarakat enggan untuk melakukan pernikahan di bulan ini, karena tidak
mau disamakan dengan anjing yang dianggap najis oleh umat Islam.
Versi ketiga apabila seorang bayi lahir pada bulan Safar maka ketika
bayi tersebut akan menjadi pribadi yang nakal dan suka marah-marah atau
dalam istilah bahasa Sunda “sasafaeun”.31
Versi keempat bulan Safar dipercayai tidak akan ada yang
melangsungkan hajatan pernikahan maupun sunatan karena apabila mereka
melangsungkan acara pernikahan mereka meyakini pernikahan mereka tidak
akan kekal dan mereka juga akan sulit mendapatkan keturunan.32
Versi kelima bulan Safar ini adalah bulan ”tepayu” di mana di bulan
ini janur kuning tidak dapat terlihat lagi menghiasi gang-gang maupun
gedung-gedung serbaguna dalam hal ini bagi mereka yang mempunyai bisnis
hajatan akan mengalami tepayu karena tidak akan ada yang mengundang atau
dalam kondisi ini diesbut dengan “tieseun” (sepi order). Tetapi ketika bulan
Mulud itu datang kembali kebanjiran order selain itu pada bulan ini
masyarakat Girijaya akan mengalami kemarau khususnya kepada para petani
akan mengalami “paceklik” di mana sawah dan ladang mereka akan sulit
mendapatkan air dan berimbas kepada padi mereka.33
Versi keenam konon pada bulan Safar ilmu-ilmu magik masih
berkembang dan sangat ditakuti oleh masyarkat Girijaya karena pada bulan ini
orang-orang yang menguasai ilmu sihir semacem guna-guna, santet dan teluh
31
Wawancara Pribadi dengan Marjuki Tokoh Agama Desa Girijaya. Banten, 10 April
2018. 32
Wawancara Pribadi dengan Dicky Herliman Tokoh Mayarakat yang mengikuti Ritual
Rebo Kasan. Banten, 8 April 2018. 33
Wawancara Pribadi dengan H. Anwar Tokoh Agama Desa Girijaya. Banten, 8 April
2018.
23
akan melakukan ritual khusus untuk mengirimkan ilmunya kepada orang lain
dengan tujuan ilmu magik yang mereka punya lebih ampuh ketika bulan safar.
Ilmu yang mereka lepas tersebut lebih ampuh dibandingkan dengan bulan-
bulan yang lain dan orang terkena ilmu itupun akan sulit disembuhkan. Jika
ilmu tersebut digunakan untuk membuat orang terikat maka keampuhan ilmu
tersebut membuat orang tergila-gila. Pada bulan ini juga bagi para dukun yang
mempunyai racun-racun yang mematikan akan melepaskan racun tersebut
guna untuk mencari mangsa agar racun tersebut tetap mempunyai
keampuhannya.
Versi ketujuh pada bulan Safar ini masyarakat Girijaya mengganggap
bahwa orang buang sial, di mana pada bulan ini orang-orang akan gampang
marah, dan apa-apa dibawa emosi hingga pada akhirnya bulan Safar ini
dianggap bulan panas.34
Versi kedelapan pada bulan Safar ini masyarakat Girijaya tidak akan
berpergian terlalu jauh karena apabila pergi telalu jauh akan menimbulkan
malapetaka, dan pada bulan ini juga jarang sekali masyarakat desa Girijaya
yang membangun rumah karena apabila masyarakat membangun rumah pada
bulan Safar rumah tersebut akan dihuni oleh makhluk ghaib.
Dalam hal ini masyarakat Sunda khususnya Desa Girijaya keyakinan
tersebut dipandang memiliki benang merah dengan kearifan lokal (lokal
wisdom). Larangan tersebut untuk melakukan aktivitas hajatan di bulan safar
memang tepat karena di bulan ini kondisi cuaca sering kali tidak bersahabat
dengan adanya larangan ini dapat diartikan sebagai penumbuh kesadaran
34
Wawancara Pribadi dengan Usun Tokoh Mayarakat yang mengikuti Ritual Rebo Kasan.
Banten, 10 April 2018.
24
masyarakat tentang keseimbangan hidup masyarakat diajarkan ada waktunya
untuk bersuka cita, bergembira dan berpesta serta adakalanya pula harus
bersiap-siap menghadapi cobaan dengan begitu akan tumbulah kesadaran yang
lebih hakiki dan mensyukuri nikmat Tuhan Yang Maha Esa.35
35
Wawancara Pribadi dengan Ustad Andi Sesepuh Desa Girijaya. Banten, 10 April 2018.
25
BAB III
GAMBARAN UMUM DESA GIRIJAYA KECAMATAN SAKETI
PANDEGLANG BANTEN
A. Sejarah Desa Girijaya
Dalam bab ini, penulis akan menjelaskan mengenai desa tempat di
mana akan diselenggarakannya ritual dalam tradisi Rebo Kasan. Hal ini
dipandang untuk mendapatkan gambaran yang akurat mengenai tempat
terjadinya peristiwa ritual dalam tradisi tersebut. Secara administrasi Desa
Girijaya terletak di wilayah Kecamatan Saketi, Kabupaten Pandeglang,
Provinsi Banten. Wilayah desa Girijaya dibatasi oleh wilayah-wilayah desa
tetangga dapat dilihat dari posisi arah mata angin, desa Girijaya mempunyai
batasan-batasan wilayah sebagai berikut:
a. Pada bagian sebelah selatan berbatasan dengan Desa Ciandur
b. Disebelah barat berbatasan dengan Desa Talagasari.
c. Disebalah sisi timur berbatasan dengan Desa Kadudampit dan
d. Disebelah utara berbatasan dengan Desa Wanagiri.36
Desa Girijaya merupakan desa pemekaran dari Desa Wanagiri pada
tahun 1982 sebagaimana keterangan dari tokoh agama dan sesepuh
masyarakat bahwa pada tahun 1982 pada saat itu desa Wanagiri sudah padat
penduduk serta kondisi wilayah yang sangat repot bagi sebagian besar
masyarakat untuk menempuh jarak ke kantor desa atas pertimbangan dan
persetujuan pihak yang terkait maka dimekarkanlah menjadi desa Girijaya
36
Observasi, Lihat dari Arsip Desa Girijaya Kecamatan Saketi Pandeglang Banten, 6
April 2018.
26
dengan silsilah kata “Giri” berarti Gunung yakni sebagaimana bahwa Desa
Girijaya berada dibagian selatan Gunung Pulosari, serta “Jaya” yakni
merupakan kata yang mencermikan kekuatan ataupun kokoh sebuah Gunung,
maka disepakati tokoh-tokoh dan kesepuhan masyarakat dinamakan Desa
Girijaya37
. Adapun dari sisi pemerintahan, kepala desa yang pernah
memerintah desa Girijaya antara lain:
1. Tahun 1981 sampai 1995 dipimpin oleh bapak Akmad
2. Tahun 1995 sampai 2000 dipimpin oleh bapak Umar
3. Tahun 2001 sampai 2003 dipimpin oleh bapak Umar
4. Tahun 2003 sampai 2006 dipimpin oleh bapak Sawari
5. Tahun 2007 sampai 2013 dipimpin oleh bapak Madroji
6. Tahun 2013 sampai 2015 dipimpin oleh bapak Sapyudina
7. Tahun 2015 sampai saat ini dipimpin oleh bapak Tedi
Setiadi.38
Secara keseluruhan luas wilayah desa Girijaya adalah sebesar 666,0
Ha. Luas wilayah tersebut yang ada tersebut dibagi menjadi dalam beberapa
perentuhan, dapat dikelompokkan seperti untuk fasilitas umum, permukiman,
pertanian, kegiatan ekonomi dan lain-lain. Luas lahan yang diperuntukkan
untuk fasilitas umum seperti jalan, permukiman, tempat pemakaman umum
(TPU), sekolah, sarana ibadah dan lain-lain adalah 357 Ha. Sedangkan untuk
37
Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Girijaya,_Saketi,_Pandeglang Pada Tanggal 6
April 2018 Pukul 10.00. 38
Observasi, Lihat dari Arsip Desa Girijaya Kecamatan Saketi Pandeglang Banten, 6
April 2018.
27
aktifitas pertanian, terdiri dari lahan sawah, ladang, pertenakan dan hutan 309
Ha.39
Gambar 2.1: Peta Desa Girijaya yang ada di Kantor Desa. Foto ini diambil oleh: Asep
Saepudin
Secara keseluruhan Desa Girijaya terdiri dari 3 dusun, 6 RW dan 16
RT. Di antaranya adalah: Cimao I, Cimao II, Cimerak I, Cimerak II, Cimerak
III, Timbang I, Timbang II, Timbang III, Timbang IV, Timbang V, Timbang
VI, Bandrong I, Bandrong II, Kadupagut, Tajur, Sindangreret.
Menurut data administrasi pemerintahan desa tahun 2018, jumlah
penduduk secara keseluruhan pada 2018 adalah 2.853 jiwa, dengan jumlah
laki-laki terdiri dari 1.398 orang dan perempuan 1.455 orang. Jumlah usia
yang ada di desa Girijaya lebih banyak kaum dewasa dibandingkan dengan
remaja. Kondisi tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
39
Observasi, Lihat dari Arsip Desa Girijaya Kecamatan Saketi Pandeglang Banten, 6
April 2018.
28
Tabel 2.1: Jumlah Penduduk Desa Girijaya Menurut Jenis Kelamin
No. Usia Penduduk Laki-Laki Perempuan
1. 0 Tahun 41 35
2. 1-5 Tahun 99 97
3. 6-10 Tahun 121 86
4. 11-20 Tahun 226 289
5. 21-25 Tahun 102 213
6. 26-35 Tahun 318 239
7. 36-50 Tahun 260 215
8. 51-60 Tahun 119 126
9. 61-70 Tahun 72 102
10 71-75 Tahun 40 43
Jumlah 1.398 1.455
Sumber : Profil Desa Girijaya, Tahun 2018.40
Jumlah kartu keluarga (KK) di desa Girijaya adalah 688 kartu
keluarga (KK).41
Data yang diperoleh bahwa kedudukan penduduk menurut
jenis kelamin menunjukkan jumlah penduduk perempuan lebih banyak,
karena hal ini penduduk desa Girijaya mengalami kesulitan dalam masalah
ekonomi dan juga disebabkan banyaknya pernikahan yang dilakukan para
lelaki dengan perempuan yang berasal dari desa lain atau dari luar banten,
maka pihak laki-laki tersebut harus ikut dengan keluarga perempuan dan
menetap dengan demikian hal ini mengurangi jumlah populasi laki-laki di
desa Girijaya.
40
Tabel I didapatkan dari Kantor Desa Girijaya pada tanggal 6 April 2018. 41
Observasi, Lihat dari Arsip Desa Girijaya Kecamatan Saketi Pandeglang Banten, 6
April 2018.
29
Desa Girijaya memiiki jarak tempuh yang cukup dekat menuju
Kecamatan Saketi 2 km, menuju Kabupaten Pandeglang 26 km, dan menuju
Provinsi Banten 47 km. Berdasarkan topografinya Desa Girijaya memiliki
ketinggian tempat 100-200 mdl di atas permukaan laut.42
Desa Girijaya mempunyai visi dan misi yaitu menjadikan desa
mandiri, maju, berkembang dan berkarya sebagai wadah menuju masyarakat
desa yang sejahtera. Misi Desa Girijaya yaitu:
1. Mewujudkan pelayanan ramah cepat dan prima terhadap
kebutuhan masyarakat.
2. Menciptakan sinergisitas antara aparatur pemerintahan desa
dan masyarakat dalam membangun desa disegala bidang.
3. Mewujudkan asas keterbukaan serta berpegang teguh pada nilai
kejujuran dan kearifan lokal desa.
4. Menciptakan aparatur desa yang harmonis, tanggap, teliti,
tegas, dan tanggung jawab.
5. Menunjang tinggi nilai-nilai demokrasi dengan melibatkan
peran peserta masyarakat dalam membangun desa.
Desa Girijaya dalam sepintas sama dengan desa-desa yang lain yang
ada di kecamatan Saketi, namun yang membedakan daerah di Desa Girijaya
dengan desa lain yaitu infrastruktur jalan belum baik, sehingga dapat
menghambat kelancaran transprotasi yang berdambak pada lambatnya
pertumbuhan ekonomi dan rendahnya kesadaran masyarakat untuk memiliki
42
Wawancara Pribadi dengan Tedi Setiadi Ketua Desa Girijaya. Banten, 6 April 20018.
30
data diri seperti: kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluarga (KK), dan akte
kelahiran.43
B. Kondisi Keagamaan Desa Girijaya
Agama telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang
paling sublim sebagai sejumlah besar moralitas sumber tatanan masyarakat
dan perdamaian batin individu sebagai sesuatu yang memuliakan dan yang
membuat manusia beradab tetapi agama telah dituduh sebagai penghambat
kemajuan manusia, dan mempertinggi fanatisme dan sikap tidak toleran,
pengacuhan, dan pengabaian.44
Agama dan kepercayaan merupakan suatu yang asas dalam kehidupan
manusia sistem agama dan kepercayaan merupakan aspek kehidupan yang
terjalin luas dalam masyarakat melalui agama dan kepercayaan inilah
manusia melakukan hubungan dengan Tuhan yang di pandang mempunyai
pengaruh dalam kehidupan manusia.45
Agama juga mengikat manusia sebagai
pedoman dalam hidupnya agama yang dianut oleh masyarakat untuk
mengatur kehidupannya di dunia ini agar menjadi teratur dan selaras, sesuai
dengan ajaran-ajaran yang ada dalam agama sehingga tidak terjadi
kekacauan.
Secara keseluruhan masyarakat desa Girijaya 100% beragama Islam.
Masyarakat Desa Girijaya merupakan penganut keagamaan yang taat dengan
nilai-nilai agama diyakini memiliki kebenaran mutlak oleh masyarakat
43
Observasi, Lihat dari Arsip Desa Girijaya Kecamatan Saketi Pandeglang Banten, 6
April 2018. 44
Thomas F. O‟ dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengantar Awal (Jakarta: Raja Grafindo
Persada), Cet. Ke- 6, h. 3. 45
Hasbullah, Toyo, dan Awang Azman Awang Pawl, “Ritual Tolak Bala pada Masyarakat
Melayu Kajian pada Masyarakat Petalangan Kecamatan Pangkalan Kuras Kabupaten Palalawan”,
Jurnal Ushuluddiin, (Januari-Juni 2017), Vol. 25. No. 1. H. 89.
31
Girijaya. Ritual-ritual keagamaan harus dilaksanakan dengan rutin dan penuh
keikhlasan keharusan melakukan perintah atau larangan dalam agama adalah
hukum sosial yang tidak dapat dibantah sanksi bagi pelanggar ajaran agama
telah disebutkan secara tekstual pasal-pasalnya jelas, berupa ayat-ayat ilahi
yang dikuatkan oleh sabda Rasul-Nya.46
Dengan corak penduduk yang
homogen, yaitu masyarakat desa ini bergotong royong dan saling membantu
dalam hal apapun penduduk desa ini juga rajin beribadah, seperti sholat, dan
puasa pantang bagi mereka untuk meninggalkan ajaran agama.
Masyarakat Desa Girijaya membedakan antara agama dan
kepercayaan. Dalam pandangan mereka agama hanyalah yang diakui
pemerintah yaitu: agama Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Buddha dan
Konghucu, Sedangkan kepercayaan adalah keyakinan masyarakat kepada
kekuatan yang dimiliki oleh kekuatan-kekuatan lain. Kepercayaan juga
meliputi upacara seperti menghormati benda pusaka yaitu golok turunan dan
tombak turunan.47
Secara keberagamaan ataupun sosial, manusia tidak dilepaskan dari
religi ataupun sistem kepercayaan masyarakat memiliki kecendrungan untuk
mempercayai kekuatan supernatural, dan sesuatu yang dijadikan objek
persembahan. Agama dan sistem kepercayaan terintegrasi dengan
kebudayaan. Dalam artian agama menjadi salah satu sumber moral dan
mempengaruhi nilai dan budaya manusia.48
46
Wawancara Pribadi dengan H. Anwar Tokoh Agama Desa Girijaya. Banten, 6 April
2018. 47
Wawancara Pribadi dengan Tedi Setiadi Ketua Desa Girijaya. Banten, 6 April 2018. 48
Beni Ahmad Saebani, Pengantar Antropologi (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h. 283.
32
Pada masyarakat ini agama merupakan salah satu aspek kehidupan
semua kelompok sosial akan tetapi, dalam perkembangan masyarakat, para
spesialis agama dan magis tampil lebih awal.
Masyarakat desa Girijaya banyak yang paham agama, itu berpengaruh
terhadap prilaku masyarakat dengan ukhuwah islamiyah masyarakat setempat
cukup kuat selain itu tradisi yang mengakar di Desa Girijaya adalah adanya
acara tujuh bulanan, selamatan, Muharram, rajaban, tahililan dan termasuk
Rebo Kasan.49
Dengan jumlah penduduk yang berdasarkan 100% beragama
Islam pembangunan fasilitas tempat ibadah bagi masyarakat desa Girijaya
sesuai dengan agama yang dianut yaitu Islam hanya ada masjid dan musollah
saja.
C. Kondisi Pendidikan Desa Girijaya
Pendidikan adalah hak setiap warga negara Indonesia berbagai
program yang dirancangkan pemerintah, setiap warga negara wajib belajar 9
tahun, BOS (Bantuan Oprasinal Siswa), BKG (Bantuan kesejahteraan Guru),
dan program-program lainnya ditunjukan untuk memajukan pendidikan
warga negara Indonesia.
Desa Girijaya dilihat dari taraf pendidikan secara umum sangatlah
rendah karena kurangnya kesadaraan orang tua untuk menyekolahkan
anaknya ke jenjang yang lebih tinggi adapun faktor yaitu jauhnya jarak
sekolah dan faktor ekonomi yang masih kurang memadai. Hal ini dibuktikan
dengan memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menuntut ilmu,
49
Wawancara Pribadi dengan Tedi Setiadi Ketua Desa Girijaya. Banten, 6 April 2018.
33
maka sebab itu didirikannya berbagai macam-macam sarana dan prasarana
baik formal maupun non-formal50
.
Tabel 2.2: Kependudukan Jenjang Pendidikan Desa Girijaya
No. Tingkatan Pendidikan Laki-laki Perempuan Jumlah
1. Tamat S-1/Sederajat 28 10 38
2. Tamat D-3/ Sederajat 15 7 22
3. Tamat D-2/ Sederajat 2 4 6
4. Tamat D-1/ Sederajat 0 0 0
5. SLTA 273 282 555
6 SLTP 309 317 624
7 SD 167 221 338
8 7-18 Tahun Sedang SD 205 219 424
9 3-6 Tahun Sedang TK 174 32 206
10 Tidak Sekolah 24 8 32
11 Usia 18-56 Tahun Tidak Tamat
SLTA
8 4 13
12 Usia 12-56 Tidak Tamat SLTP 4 96 100
13 Usia 18-56 Tahun Tidak sekolah 102 162 264
14 3-6 Tahun Tidak Masuk TK 87 83 170
Jumlah 1.398 1.455 2.853
Sumber: Profil Desa Girijaya 2018.51
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
masyarakat Girijaya dikatakan cukup berkembang dan beberapa pengajar di
50
Observasi, Lihat dari Arsip Desa Girijaya Kecamatan Saketi Pandeglang Banten, 6
April 2018. 51
Tabel V didapatkan dari Kantor Desa Girijaya pada tanggal 6 April 2018.
34
sekolah desa Girijaya sebagaian sudah bergelar Sarjana karena pada
umumnya masyarakat desa Girijaya telah melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi baik di dalam maupun di luar desa dan sebagian pengajar
terdapat dari desa yang lainnya.52
Kondisi tersebut tentunya kesadaran
masyarakat akan pentingnya pendidikan karena pendidikan adalah pondasi
bagi kemajuan anak bangsa dan menciptakan manusia yang berkualitas,
berintelektual dan jauh dari kebodohan sesuai arti pendidikan menurut
Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003, dijelaskan bahwa “Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak setra
peradaban bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.53
Pada zaman dahulu sebagian besar masyarakat desa Girijaya hanya
sampai pada tingkat Sekolah Dasar (SD) dengan alasan yaitu masyarakat
mengutamakan bekerja karena bagi mereka menempuh pendidikan formal
hanyalah menghabiskan uang apalagi keadaan ekonomi mereka yang cukup
sulit sehingga pentingnya pendidikan belum ada dalam pemikiran masyarakat
Desa Girijaya. Masyarakat Girijaya juga mempercayai untuk menitipkan
anaknya kepada lembaga pendidikan yang dipimpin oleh Kiyai atau yang
berlatar belakang agama, karena anak-anaknya harus dibekali ilmu
keagamaan sebagai bekal pedoman hidupnya kelak. Menurut mereka didalam
52
Wawancara Pribadi dengan Tedi Setiadi Ketua Desa Girijaya. Banten, 6 April 2018. 53
Maemunah, Pendidikan Berbasis Multipe Intelligences (Bandung: Pustaka Aura
Semesta, 2013), h. 1.
35
kubur nanti, malaikat tidak akan menanyakan matematika atau bahasa
Inggris, tapi akan bertanya dengan bahasa Al-Quran.54
C. Kondisi Sosial Ekonomi Desa Girijaya
Sebagai makhuk sosial yang membutuhkan sarana sosialisasi dan juga
mempertahankan diri, manusia memiliki pekerjaan yang mempertahankan
untuk memenuhi kehidupannya dengan manusia bekerja, seseorang dapat
mencukupi kebutuhannya seperti rumah, pakaian, makanan.55
Masyarakat di
Desa Girijaya ini telah mengalami perkembangan gaya pola hidup yang
cukup maju, baik dari segi pergaulan, pakaian, dan gaya bahasa yang
mengikuti perkembangan zaman modern ini.56
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data tentang kondisi sosial
ekonomi masyarakat Desa Girijaya diperoleh melalui wawancara dengan
Kepala Desa Bapak Tedi Setiadi sebagaimana umumnya masyarakat
pedesaan, sumber utama pemenuhan kebutuhan ekonominya adalah sektor
pertanian. Hal ini di dukung oleh faktor wilayah desa Girijaya yang terletak di
daerah pegunungan, tepatnya di lereng gunung Polosari hasil pertanian yang
berupa padi, cengkeh, kelapa, melinjo, kopi.57
Desa Girijaya termasuk
kategori desa tertinggal, yang masyarakatnya 65% termasuk kepada rumah
tangga miskin akibat dari sumber daya manusia yang tidak konsumtif dan
54
Wawancara dengan Tedi Setiadi Ketua Desa Girijaya. Banten, 6 April 2018. 55
Yusron Razak, Ervan Nartawaban, Antropologi Agama (Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Jakarta 2007), h. 26. 56
Wawancara Pribadi dengan Tedi Setiadi Ketua Desa Girijaya. Banten, 6 April 2018. 57
Wawancara Pribadi dengan Tedi Setiadi Ketua Desa Girijaya. Banten, 6 April 2018.
36
mempengaruhi ekonomi masyarakat desa Girijaya yang tertinggal
dibandingkan desa-desa yang lain.58
Pembangunan ekonomi tidak hanya berfokus pada salah satu bidang
usaha pertanian tetapi di bidang lain yaitu: peternak, pegawai negeri, pegawai
swasta, pedagang dan lain-lain. Mengenai data penduduk dapat dilihat dalam
tabel sebagai berikut:
Tabel 2.3: Jumlah Mata Pencaharian Desa Girijaya Tahun 2018
NO. Jenis Pekerjaan Laki-laki Perempuan Jumlah
1. Karyawan Swasta 92 122 214
2. Pegawai Negeri Swasta 5 6 11
3. Buruh Tani 82 42 124
4. Petani 321 127 448
5. Pedagang Keliling 7 16 23
6. Peternak 9 0 9
7. Montir 4 0 4
8. Bidan swasta 0 1 1
9. Perawat Swasta 0 1 1
10. Pembantu Rumah Tangga 12 76 88
11. Polri 1 0 1
12. Pengusaha Kecil, Menengah dan
Besar
42 32 74
13. Ahli Pengobatan Alternatif 4 1 5
58
Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki,_Saketi,_Pandeglang Pada Tanggal 6 April 2018, Pukul 10.00.
37
14. Dukun Tradisional 0 2 2
15. Buruh Migran 6 0 6
16. Pengrajin 14 22 36
Jumlah 559 448 1.047
Sumber : Profil Desa Girijaya 2018.59
59
Tabel VI didapatkan dari Kantor Desa Girijaya pada tanggal 6 April 2018.
38
BAB IV
RITUAL PERAYAAN REBO KASAN DESA GIRIJAYA
A. Persiapan dan Perlengkapan Rebo Kasan Desa Girijaya
1. Tahap Persiapan
Seperti yang telah dijelaskan, masyarakat Desa Girijaya seluruhnya
menganut Agama Islam karena kegiatannya masyarakat sehari-hari mengacu
pada nilai ajaran Islam yaitu al-Quran dan Hadist. Masyarakat Desa Girijaya
juga masih kental akan tradisi-tradisi warisan dari nenek moyang, yang
dianggap sakral dan harus dilestarikan oleh budaya-budaya yang ada tersebut.
Adapun beberapa macam ritual yang dilakukan mayarakat Girijaya yaitu:
Maulud, Isra‟ miraj, Rajaban, Muharram, dan termasuk ritual Rebo Kasan.60
Ritual dalam tradisi Rebo Kasan adalah suatu perayaan, perjamuan,
yang benar-benar dianggap sebagai hukum adat daerah Girijaya.61
Bagi
masyarakat Desa Girijaya dalam pelaksanaan ritual Rebo Kasan ini pada
setiap tahunnya perlu persiapan yang matang karena memungkinkan
munculnya saran ataupun pendapat peningkatan atau pengembangan baik
sarana dan prasarana maupun muatan acara yang akan dilakukan.
Hal ini melibatkan masyarakat Girijaya karena ini bukan hanya
kepentingan para tokoh agama melainkan seluruh masyarakat Girijaya, oleh
sebab itu ritual ini harus dilaksanakan secara gotong royong baik dalam
tenaga maupun materi, dalam hal ini warga membawa ketupat, leupeut, dan
hasil bumi semampunya kaum ibu juga terlibat aktif dalam pelaksanaan ini
60
Wawancara Pribadi dengan Ustad Abdurahman Nugrah anak dari Kyai H. Lukman.
Banten, 10 April 2018. 61
Bakhtiar, Ritual Mandi Safar Praktik dan Fungsinya dalam Masyarakat, h. 6.
39
karena sebelum menjelang ritual mereka secara bergotong royong memasak
dan membawa makanan ke masjid.62
Adapun tahap persiapan untuk
melakukan ritual ini kurang lebihnya dua minggu sebelum pelaksanaan
perayaan. Perayaan tradisi Rebo Kasan biasanya persiapan yang
dikoordinasikan oleh tokoh agama, sesepuh yaitu Kyai H. Lukman dan H.
Anwar, Kepala Desa Girijaya, serta aparat desa guna untuk membentuk
kepanitian. Kepanitian disusun sesuai dengan keperluan, terdiri atas
penasihat, ketua, dan lain-lain.
Ritual Rebo Kasan di Desa Girijaya sebelum memulai mengadakan
musyawarah terlebih dahulu agar pelaksanaan ritual ini berjalan dengan
lancar dan penuh khidmat selain itu musyawarah ini bertujuan untuk
menyepakati dan menetapkan beberapa hal antara lain berkaitan dengan
waktu dan tempat pelaksanaan. Pelaksanaan ritual Rebo Kasan biasanya
dilaksanakan pada hari Rabu terakhir bulan Safar waktu pelaksanaan biasanya
pada pagi hari hingga menjelang maghrib.
Dalam melaksanakan ritual Rebo Kasan terbagi menjadi tiga yaitu:
pertama, masjid untuk melakukan shalat tolak bala. Kedua, pinggir jalan
biasanya di perbatasan kampung bertujuan untuk makan-makan pada saat itu
diadakan di pinggir jalan supaya masyarakat yang melintas dapat mencicipi
makanan tersebut. Ketiga, Sumur Cimajeb untuk melaksanakan ritual mandi
safar. Keempat, Gunung Pulosari dalam ritual ini biasanya hanya anak muda
yang melakukan ritual ini.63
62
Wawancara Pribadi dengan Tedi Setiadi Kepala Desa Girijaya. Banten, 10 April 2018. 63
Wawancara Pribadi dengan Ustad Abdurrahman Nugrah Anak dari Kyai H. Lukman.
Banten, 10 April 2018.
40
2. Tahap Pelaksanaan
Ritual Rebo Kasan dipimpin oleh Kyai H. Lukman, sesepuh, dan
tokoh agama lainnya. Mereka memimpin secara bersama-sama, tidak ada
yang mendominasi, tiada yang berkuasa mutlak tiap keputusan merupakan
hasil kesepakatan musyawarah dengan tokoh yang lainnya.
Adapun tahap pelaksanaan ritual Rebo Kasan adalah pertama, menulis
beberapa tulisan Arab yang berwujud rajah dengan tulisan Bismillah
hirohman Nirohim sebanyak 130 baris, tujuh ayat al-Quran yang berawalan
lafal Salamun.
ب (Yasin: 81) رحين طالم قىال هي ر
(Siaaifit –fsh : 91) طالم على ىح في العالويي
(Siaaifit –fsh: 821 ) طالم على إبزاهين
(Siaaifit –fsh: 802 ) طالم على هىطى وهاروى
(Siaaifit –fsh: 832 ) طالم على الياطيي
(Zimar-Ah: 93) طبتن فادخلىها خالذيي طالم عليكن
(Zidar-Ah: 8) طالم هى حتى هطلع الفجز
Ayat-ayat tersebut ditulis di kertas yang ditulis langsung oleh Kyai H.
Lukman tulisan tersebut ditulis pada malam hari sebelum pelaksanaan Rebo
Kasan. Kedua, mempersiapkan bunga tujuh rupa untuk mempersiapkan ritual
mandi Safar. Ketiga, sambutan-sambutan dari ketua panitia yang menjelaskan
kepada masyarakat bagaimana teknis dan urgensi ritual Rebo Kasan.
Keempat, bagi kaum ibu-ibu mempersiapkan makanan ke tempat yang telah
disediakan yaitu di pinggir jalan perbatasan kampung. Kelima, proses mandi
41
bersama di Sumur Cimajeb yang diawali dengan niat. Keenam, setelah selesai
mandi, para pemuda melanjutkan naik Gunung Pulosari.
Setelah prosesi ritual Rebo Kasan selesai, dilanjutkan dengan kegiatan
salam-salaman antar warga dan meminta maaf atas semua kesalahan yang
pernah diperbuat.64
B. Proses Ritual Perayaan Rebo Kasan Desa Girijaya
1. Pelaksanaan Ritual Tolak Bala
Pelaksanaan ritual tolak bala merupakan suatu ritual yang sangat
penting ritual ini memiliki simbol dan makna tertentu. Ritual menanamkan
sikap ke dalam kesadaraan diri yang tinggi yang sangat memperkuat mereka,
dan hal itu akan memperkuat komunitas moral.65
Adapun pelaksanaan ritual tolak bala melalui beberapa tahapan, yaitu:
petama, persiapan artinya sebelum tradisi dimulai biasanya sudah
mempersiapkan air ke dalam teko, botol kecil, gelas dan kompan. Serta
berbagai macam makanan tetapi dalam ritual ini masyarakat Girijaya hanya
membawa leupet dan lauk pauk yang lainnya dan dibawa kemasjid untuk
didoakan kemudian tepatnya ba‟da subuh marbot masjid mengumumkan
kepada masyarakat Girijaya untuk segera ke masjid karena Rebo Kasan akan
segera dimulai dan masyarakat Girijaya berbondong bondong menuju masjid
sambil membawa makanan.
64
Wawancara Pribadi dengan Ustad Marjuki Tokoh Agama Desa Girijaya. Banten, 10
April 2018. 65
Hasbullah, Toyo, dan Awang Azman Pawi, Ritual Tolak Bala pada Mayarakat Melayu
(kajian Pada Masyarakat Petalangan Kecamatan Pangkalan Kuras Kabupaten Pelalawan), Jurnal
Ushuluddin, (Januari-Juni 2017) Vol. 25, No. 1, h. 90-91.
42
Kedua pembukaan, tepatnya pada pukul 06.00 WIB para bapak-bapak
dan ibu-ibu berkumpul di masjid untuk mengikuti perayaan Rebo Kasan yang
dipimpin oleh Kyai H. Lukman pembukaan perayaan dimulai dengan
memberikan pengarahan dakwah singkat sekitar tujuh menit mengenai tradisi
Rebo Kasan sampai pada bagaimana pelaksanaan salat tolak bala hal ini
penting untuk dijelaskan sebelumnya karena trradisi ini adalah tradisi tahunan
dan dikhawatirkan masyarakat Girijaya lupa dalam perayaan tersebut.66
Ketiga, solat tolak bala setelah berlangsungnya pembukaan, barulah
masyarakat melaksanakan shalat tolak bala secara berjamaah dan dipimpin
oleh kyai H. Lukman dalam melaksanakan salat tolak bala setiap rakaatnya
membaca surat al-Fatihah sekali, surat al-Kausar 15 kali, surat al-Ikhlas
sekali, surat al-Falaq sekali, surat an-Nass sekali. Setelah itu pembacaan doa
dan solawat, selanjutnya dalam ritual solat tolak bala melaksanakan beberapa
runtutan doa yang terditi dari pembacaan Yassin dan kemudian surat al-
Fatihah, surat al-Falaq, surat al- Ikhlas, surat an-Nass, doa untuk yang telah
meninggal dunia tasawuf atau disebut juga pemberian hadiah dan shalawat
nabi.
Keenam, penutup, setelah berbagai ritual mereka lakukan pemimpin
perayaan Rebo Kasan menutup perayaan dengan doa tolak bala dan
pengharapan yang baik pada saat itu.
Ketujuh, masyarakat desa Girijaya berbondong-bondong menuju
tempat yaitu jalan dekat perbatasan kampung antar kampung Bandrong
dengan kampung Timbang dan disitu masyarakat ngeriung atau disebut juga
66
Wawancara Pribadi dengan Dicky Herliman tokoh masyarakat yang mengikuti dalam
Ritual Rebo Kasan. Banten, 10 April 2018.
43
makan-makan dan saling membagikan makanan antar warga dengan warga
yang lainnya.
Masyarakat Girijaya telah mengenal ritual tolak bala ini sejak dahulu
kala dan akan terus menurus dilaksanakan sebagai upaya pelestarian budaya
nenek moyang mereka ritual ini dilaksanakan dengan tujuan menolak bala
atau bencana, baik secara pribadi atau untuk keamanan kampung. Ritual tolak
bala juga disebut sebagai kegiatan memelihara dan mengobati kampung
masyarakat Girijaya mengadakan ritual tolak bala sebagai antisipasi dari
beberapa penyakit yang mengakibatkan oleh gangguan makhluk gaib, musim
panas berkepanjangan, hujan berkepanjangan. Adapun dengan mengadakan
ritual tolak bala membuat alam seimbang sesuai dengan keinginan
masyarakat.67
2. Pelaksanaan Ritual Mandi Safar
Ritual mandi Safar yang dilaksanakan rabu terakhir pada bulan Safar
setelah mengadakan ritual tolak bala, ritual ini masih tetap dilaksanakan
dengan berkumpulnya masyarakat Girijaya yang telah ditentukan tempatnya
dengan menyiapkan segala peralatan dan bersiap menuju tempat baik secara
rombongan maupun individu yaitu di Sumur Cimajeb dalam pelaksanaan
ritual ini tidak jauh dari kampung di mana masyarakat tinggal umumnya
tempat ini adalah airnya mengalir dari pegunungan Pulosari. Sumur Cimajeb
ini airnya sangat bersih, jernih dan terdapat banyak ikan kecil masyarakat
Girijaya menyakini air dalam sumur Cimajeb ini memiliki beberapa khasiat
67
Wawancara Pribadi dengan Ustad Marjuki Tokoh Agama Desa Girijaya. Banten 10
April 2018.
44
sebagai obat beberapa masyarakat juga sering melakukan beberapa ritual
seperti ritual memandikan Kris, batu cincin dan lain-lain.
Ritual ini menjadi suatu kewajiban yang diwariskan oleh nenek
moyang dan dilakukan secara turun menurun tidak berani dilanggar oleh
keturunan karena bagi masyarakat desa Girijaya apabila dilanggar akan
mendapatkan kutukan dari para leluhur bagi sejumlah masyarakat Girijaya,
mandi safar ini merupakan ritual untuk meminta kepada Allah agar terhindar
dari bahaya, penyakit dan mensucikan diri dari dosa tetapi pada proses ritual
ini tidak ada sanksi bagi yang tidak ikut.68
Adapun proses ritual ini adalah:
Proses pertama dari ritual mandi Safar adalah masyarakat yang
mengikuti proses ritual ini sebelumnya membekali diri dengan
mempersiapkan kertas yang sudah di tulis oleh Kyai H. Lukman dan bunga
tujuh rupa.
Proses kedua sebelum memulai mandi Safar sesepuh Desa Girijaya
yaitu Abah Simin selaku tetua adat memimpin doa memohon keselamatan
dirangkum ke dalam satu istilah yang disebut dengan doa Salamun Tujuh doa.
Doa salamun tujuh mengandung makna permohonan untuk kesejahteraan
bagi seluruh alam, ucap syukur kepada Allah yang telah memberikan nikmat
sehat. Ritual Rebo Kasan ini upaya agar terhindar dari penyakit atau bala
yang terjadi pada hari-hari yang dianggap nahas, yaitu Bulan Safar ritual
Rebo Kasan bentuk nyareat kepada Allah agar terhindar dari segala macam
68
Wawancara Pribadi dengan H. Lukman Tokoh Agama Desa Girijaya. Banten, 10 April
2018
45
bahaya dan mensucikan diri karena jika badan dan jiwa kotor akan mudah
datangnya penyakit.69
Tahap ketiga yaitu merendam kertas tersebut bersamaan dengan
kembang tujuh rupa yaitu bunga kantil, bunga melati, bunga kenanga, bunga
mawar merah, bunga mawar putih, bunga telon, bunga melati gambir ke
dalam Sumur Cimajeb.
Tahap keempat setelah merendam kertas dan bunga tujuh rupa yaitu
masyarakat mandi tidak diatur dengan syarat khusus mandi Safar dilakukan
seperti halnya mandi besar pada umumnya yang terpenting adalah ujung
rambut kepala hingga kaki dibasahi dengan air tujuannya adalah
menghayutkan bala seiring dengan guyuran air bersih yang dilakukan saat
mandi.
Dalam ritual mandi Safar ini adalah upaya doa untuk keselamatan
yang diwujudkan dalam praktik tradisonal, seperti minum dan mandi dengan
air yang mengandung doa. Doa mandi Safar yang berisikan ayat Qur‟an
Bismillahirohmannirohim sebanyak 130 dan ayat quran yang berawal dari
salamun, bertujuan untuk memohon dengan penuh keselamatan, penuh
harapan, dan optimis, tetapi mandi dan minum hanyalah prantara, yang
menyembuhkan adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Ritual mandi Safar ini bertujuan agar terhindar dari berbagai bala atau
bencana bentuk-bentuk ritual ini merupakan transformasi simbolis dari
beberapa pengalaman kebutuhan primer manusia. Ini merupakan kegiatan
yang mengandung kekuatan yang menghubungkan kehendak manusia dengan
69
Wawancara Pribadi dengan Abah Simin Sesepuh Desa Girijaya. Banten, 10 April 2018.
46
penguasanya oleh karena itu, masyarakat Girijaya benar-benar mendatangkan
keselamatan atau menghindarkan mereka dari bahaya atau musibah.70
3. Pelaksanaan Ritual Mendaki Gunung Pulosari
Gunung oleh banyak masyarakat disekitarnya dianggapnya sebagai
tempat yang sakral kepercayaan tersebut membuat masyarakat lokal kerap
melakukan ritual adat untuk keselamatan kepada calon pendaki gunung.71
Gunung Pulosari yang dipercayai sebagai salah satu gunung kramat
diperkirakan telah muncul jauh sebelum berdirinya kerajaan Banten Girang
yaitu kerajaan yang bercorak Hindu atau Buddha sebelum berdirinya
Kesultanan Banten Islam.
Berita-berita dari beberapa pakar kepurbakalaan seperti Pleyte
mengisahkan Sanghyangdengdek. Berdasarkan sumber cerita Ahmad
Djayadiningrat pada tahun 1913 dan NJ Krom dalam Rapporten van der
Oudheikundingen Diens in Nederlandsch Indie tahun 1914 menyatakan pula
bahwa di seputar Kabupaten Pandeglang ada peninggalan arkeologi berupa
arca nenek moyang. Salah satu arca yang dimaksud adalah patung tipe
polinesia di Tenjo (Sanghyangdengdek). Gambaran Gunung Pulosari sebagai
gunung keramat diperoleh pula dari keterangan Claude Guillot bahwa di Desa
Sanghyangdengdek, Kecamatan Saketi, Kabupaten Pandeglang terdapat
pemujaan lama yang menyandang nama dewa.
Tempat pemujaan tersebut sudah lama dikenal berupa batu berdiri
yang tingginya kira-kira satu meter dan puncaknya dipahat sederhana dan
70
Wawancara Pribadi dengan Ustad Abdurahman Nugraha Cucu dari Kyai H. Ahmad
Baehaqi. Banten, 10 April 2018. 71Diakses dari https://www.goegle.co.id/amp/s/lifestyle.okezone.com/amp//ritual-adat-
yang-harus-dilakukan-sebelum-mendaki-dua-gunung-ini Pada Tanggal 7 Mei 2018 Pukul 14.30.
47
kasar berbentuk kepala, mata bulat, mulutnya hanya berupa goresan,
telinganya dibuat hanya tipis sederhana dan hidung tidak nyata, lengan-
lengan dan kelamin lelaki kelihatan pula, tetapi hampir tidak menonjol. Tidak
hanya itu keberadaan Gunung Pulosari yang dikenal sebagai gunung keramat
dapat dikatakan sebagai salah satu pusat peradaban masa lalu di daerah
Banten. Pernyataan ini tentunya didukung bukti-bukti peninggalannya. Kira-
kira empat kilometer dari Sanghyangdengdek di atas bukit Kaduguling
tepatnya di perbatasan Desa Sukasari dan Desa Bongkaslandeuh, Kecamatan
Menes, Kabupaten Pandeglang terdapat kompleks megalitik berlanjut yang
disebut Batu Goong-Citaman. Hasil penggambaran di rektorat Purbakala
tahun 1999, tampak situs Batu Goong adalah punden berundak yang
merekayasa bentukan alam. Bukit Kaduguling sebagai bukit tertinggi di
seputar situs, posisinya tepat berada pada garis lurus ke Sanghyangdengdek
berorientasi ke puncak Gunung Pulosari dibentuk pelataran-pelataran bertrap-
trap makin ke timur makin tinggi menjadikan bentuk memusat ke belakang di
tempat tertinggi itulah ditempatkan Batu Goong bersama menhir. Menhir ini
berdiri di tengah-tengah sebagai pusat dikelilingi oleh batu-batu yang
berbentuk gamelan seperti gong dan batu pelinggih. Formasi semacam ini
lazim disebut formasi “temu gelang” di tempat lain dapat diperbandingkan
dengan peninggalan megalitik di Matesih, Jawa Tengah, dan di situs
Pugungraharjo di Lampung Timur.72
Dalam melaksanakan ritual mendaki Gunung Pulosari sudah menjadi
kebiasaan masyarakat Girijaya dalam melaksanakan ritual Rebo Kasan hanya
72
Diakses dari http://telagacempakapermaie3isunjeh.blogspot.co.id/2016/06/gunung-
pulosari-pusat-peradaban-masa.html?m=1 Pada Tanggal 19 Mei Pukul 01.18.
48
saja ritual ini biasanya hanya pemuda dan pemudi desa Girijaya yang akan
kuat secara fisik mendaki gunung Pulosari ini adalah sebagai bentuk hablum
minal alam berkaca dari musibah selama bulan safar berlangsung, ritual ini
juga sebagai bentuk paragdigma pembelajaran orang tua terhadap putra-
putrinya atau generasi agar selalu bersabar dalam perjalanan dan tafakur
mengenal alam yang begitu besar akan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa
selain itu masyarakat tidak lupa membawa makanan selama perjalanan
berlangsung.73
Adapun beberapa tahap dalam melakukan ritual ini yaitu: tahap
pertama, adalah berkumpul sebelum mendaki berlangsung setelah itu
membaca doa bersama yang dipimpin oleh Kyai H. Lukman dengan tujuan
selamat sampai tujuan kemudian tidak lupa juga membawa makanan dan
minuman yaitu ketupat sebagai bekal di perjalanan.
Kedua, sebelum mencapai gunung Pulosari biasanya masyarakat
Girijaya apabila melihat lubang mereka akan memasukkan tangan mereka
kedalam lubang tersebut untuk mengetahui kecocokan mereka dalam
keahlianya jika di dalam lubang tersebut mereka mendapatkan beras
kemungkinan mereka mendapatkan keahlian sebagai petani dan apabila
mereka mendapatkan uang logam dari lubang tersebut maka kemungkinan
mereka mendapatkan keahlian sebagai wiraswasta.74
Ketiga, sesampainya mereka di puncak Gunung Pulosari mereka akan
berziarah ke makam wali konon zaman dahulu terdapat makam wali disekitar
puncak Pulosari setelah itu mereka melihat pemandangan kawah dengan
73
Wawancara dengan Tedi Setiadi Kepala Desa Girijaya. Banten, 10 April 2018. 74
Wawancara dengan Ustad Andi Sesepuh Desa Girijaya. Banten, 10 April 2018.
49
tujuan tafakur akan ciptaan dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa tetapi bagi
kaum wanita yang sedang berhalangan haid mereka tidak akan jelas melihat
keindahan alam yang sesungguhnya.75
C. Makna Simbolik Ritual dalam Tradisi Perayaan Rebo Kasan
Terkait dengan cara-cara yang dilakukan pada ritual Rebo Kasan ini,
penulis melihat terdapat beberapa unsur-unsur yang memiliki hubungan di
antara bagaimana masyarakat Girijaya memiliki hubungan melakukan
komunikasi ritual melalui berbagai pertanda yang digolongkan sebagai
petanda denotasi meliputi Rebo Kasan di antaranya adalah leupeut, ketupat,
air putih, pisang, dan bunga tujuh rupa.
Adapun kelengkapan sarana dalam ritual Rebo Kasan, yakni:
Pertama leupet, makanan yang terbuat dari beras ketan yang
dibungkus dengan daun pisang di bentuk persegi panjang dan diikat dengan
simbol memperkuat atau mempererat setiap berkumpulnya orang-orang
didalam suatu pertemuan yang baik dapat mempererat persaudaraan dengan
tali silaturahni karena silaturahmi dapat memberikan umur panjang.
Kedua ketupat, makanan yang terbuat dari beras yang dibungkus
dengan daun kelapa yang diikat melambangkan perginya bencana yang
datang kepada keluarga.
Ketiga air putih, benda cair yang tidak memiliki rasa tawar, tidak
berbau, dan tidak berwarna dengan simbol kesucian untuk menghilangkan
berbagai kesialan dan menyembuhkan berbagai penyakit.
75
Wawancara Pribadi dengan Ustad Marjuki tokoh Agama Desa Girijaya. Banten, 10
April 2018.
50
Keempat buah pisang, dengan simbol keberkahan dan untuk
menanamkan saling berbagi terhadap sesama makhluk hidup.76
Kelima, bunga tujuh rupa yang terdiri dari:
Bunga kantil, dengan makna harapan agar seseorang memiliki jiwa
spritual yang kuat, sehingga seseorang dapat meraih sukses lahir dan batin.
Bunga kantil ini berarti pula adanya ikatan tali rasa yang bermakna kasih
sayang yang mendalam tidak terputus dan sebuah curahan kasih sayang
kepada makhluk hidup.
Bunga melati, bermakna ketika melakukan tindakan selalu melibatkan
hati, tidak semata tindakan fisik saja. Bunga melati melambangkan agar
seseorang selalu meninggikan ketulusan hati nurani terdalam lahir dan batin
haruslah selaras, tidak munafik, bicara pun tidak asal bunyi.
Bunga kenangan, bermakna filosofis hendaknya setiap anak selalu
mengenang semua pusaka atau warisan leluhur berupa benda-benda seni,
tradisi, kebudayaan, nilai kearifan lokal.
Bunga mewar merah, yang bermakna lahirnya manusia ke dunia.
Mawar merah melambangkan ibu, tempat di mana jiwa dan raga manusia
diukir dan bunga mawar dapat digantikan dengan bubur merah.
Bunga mawar putih, berlambang dari bapa yang meretas ruh manusia
menjadi ada bapa di sini adalah Bapa langit, sedangkan ibunya adalah ibu
Bumi. Bapaknya jiwa bangsa Indonesia, ibunya adalah nusantara Ibu Pertiwi.
Bunga telon dari kata tilu tiga dengan haparan agar meraih tiga
kesempurnaan dan kemuliaan hidup. Bunga telon terdiri atas bunga mawar,
76
Wawancara Pribadi dengan Abdurrahman Nugraha Cucu dari Kyai H. Ahmad Baehaqi.
Banten, 10 April 2018.
51
melati, kantil, yang dijadikan satu kesatuan. Bunga melati gambir memiliki
arti kesederhanaan bahwa dalam menjalani kehidupan seseorang berlaku
sederhana dalam banyak hal, tidak kekurangan dan tidak pula berlebihan
setiap kebutuhan dipenuhi secukupnya saja, sementara keinginan atau nafsu
selalu dikendalikan.77
Rebo Kasan yang mempunyai makna filosofis keterkaitan dengan
unsur-unsur yang ada pada makna tradisi Rebo Kasan yaitu adanya simbol-
simbol yang memiliki ciri ataupun kekhasan dalam proses persiapannya Rebo
Kasan dalam sebuah ritual yang khas di Desa Girijaya. Makanan yang
digunakan tersebut ada yang telah ditentukan dan adapula yang tidak
ditentukan sejak awal dan yang telah ditentukan tidak bisa digantikan dengan
makanan yang lain dan dalam hal ini adalah cara masyarakat bersedakah
untuk mensyukuri nikmat Tuhan Yang Maha Esa. Berbagai simbol tradisi
Rebo Kasan yang digunakan sesuai dengan ajaran nenek moyang daerah di
mana tempat tradisi tersebut lahir dan berkembang seperti halnya simbol pada
sebagian masyarakat Banten belom tentu dapat dijumpai pada perayaan
tradisi Rebo Kasan di daerah lain sehingga hal ini erat kaitannya dengan
bagaimana suatu budaya menggunakan dan memaknai simbol tersebut sesuai
dengan nilai dan ideologi yang mereka anut dalam ritual Rebo Kasan adanya
tindakan religius bersifat simbolis, sehingga dalam tindakan ini digunakan
simbol khas yang mewakilinya di mana simbol-simbol tersebut mempunyai
fungsi, peranan, dan makna ritual semua makna budaya diciptakan dengan
77
Aristo Farela, A short History of Java (Surabaya: Ecosystem Publishing, 2017), h.115-
116.
52
menggunakan simbol-simbol makna dan dapat disimpan di dalam simbol.
Simbol itu meliputi apa yang dapat dirasakan atau dialami.78
78
Rian Rahmawati, Zikri Fachrul Nurhadi, Novie, „Makna Simbolik Tradisi Rebo
Wekasan”, Jurnal Penelitian Komunikasi, Vol. 20, No. 1, (Juli 2017), H.63-65.
53
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ritual Rebo Kasan ini dilaksanakan oleh masyarakat desa Girijaya
tidak terlepas dari kepercayaan masyarakat yang di warisi dari generasi ke
generasi kepercayaan tersebut menimbulkan sugesti kepada masyarakat untuk
melakukan ritual tersebut sesuai dengan rumusan masalah mengenai ritual
dalam tradisi perayaan Rebo Kasan, maka ada beberapa hal yang dapat
diambil untuk dijadikan sebagai kesimpulan yaitu:
Proses ritual dalam tradisi Rebo Kasan terbentuk dari konstruksi sosial
yang diciptakan oleh masyarakat, yaitu meliputi proses eksternalisasi,
objektifikasi dan internalisasi. Dalam proses eksternalisasi bahwa sejarah
Rebo Kasan sudah ada sejak jamannya nenek moyang. Dalam proses
objektifikasi, para ulama dan masyarakat berusaha melambangakan proses
tersebut dalam sebuah ritual tradisi Rebo Kasan sebagai wujud menolak bala
yang turun pada bulan safar. Sementara dalam Internalisasi dalam benak
mereka seolah-olah ritual tersebut menjadi kebutuhan batin yang harus
dipertahankan dalam hal ini masyarakat Girijaya menempelkan unsur Islam
dalam ritual tradisi Rebo Kasan sehingga fenomena ini menjelaskan bahwa
ritual Rebo Kasan merupakan hasil akulturasi antara Islam dengan
kepercayaan lama yang terdapat pada masyarakat Girijaya meskipun pada
hakikatnya masyarakat Girijaya sepenuhnya beragama Islam.
54
Proses ritual Rebo Kasan dijalankan penuh khidmat memohon
keselamatan hidup adalah tujuan utama yang dilaukan secara ritual Rebo
Kasan serangkaian ritual dalam tradisi ini dengan berbagai tatacaranya
merupakan manifestasi dari tuntunan untuk memperoleh keselamatan hidup.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dari uraian-uraian atau pembahasan dan
kesimpulan yang sudah dijelaskan dari hasil penelitian maka ada beberapa
saran dari penulis dianataranya sebagai berikut:
Bagi masyarakat Desa Girijaya hendaklah dapat memelihara dan
melestarikan ritual tradisi Rebo Kasan yang sudah berkembang sejak dahulu
dengan baik.
Untuk menjaga kearifan lokal di era modern, sebaiknya masyarakat
dan perangkat Desa Girijaya dengan aktif menginformasikan dan melibatkan
langsung generaasi muda dalam kegiatan ritual Rebo Kasan di Desa Girijaya.
Bagi masyarakat Girjaya agar tetap menjalin tali silaturahmi dan
pesatuan umat islam khususnya desa Girijaya.
Menghimbau ada peneliti lain yang bisa melanjutkan penelitian yang
terkait dengan ritual dalam tradisi Rebo Kasan tentunya pada sisi lain sebagai
bentuk pengembangan khazanah keilmuan.
55
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟an Anul Karim. Departemen Agama RI. Bandung: PT Syaamil Cipta
Media 2009.
Ari Kunto, Suharsini. Prosedur Penelitian Suatu Praktek. Jakarta: Rineka Cipta,
2002.
Bakhtiar, Ritual Mandi Safar Praktik dan Fungsi dalam Masyarakat Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2015.
Chalik, Abdul. “Agama dan Politik Dalam Tradisi Perayaan Rebo Wekasan”.
Jurnal Kebudayaan Islam. vol. 14, No. 1, (Januari- Juni 2016).
Farela, Aristo. A short History of Java. Surabaya: Ecosystem Publishing, 2017.
Farihah Ipah, Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta:
UIN Jakarta Press, 2006.
Harahap, Nusapia. “Penelitian Kepustakaan”. Jurnal Iqro. vol. 08, No. 1, Mei
2014.
Hasbullah, Toyo, dan Awang Azman Awang Pawl, “Ritual Tolak Bala pada
Masyarakat Melayu Kajian pada Masyarakat Petalangan Kecamatan
Pangkalan Kuras Kabupaten Palalawan”, Jurnal Ushuluddiin, Januari-
Juni 2017, Vol. 25. No. 1.
Keesing, Roger M. Antropologi Agama Suatu Perspektif Kontemporer, Jakarta:
PT Gelora Aksara Pratama, 1981.
Khakim, Fathul. “Makna Tradisi Rebo Wekasan di Kecamatan Suradadi
Kabupaten Tegal”. Skripsi, Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam
Negeri, 2016.
56
Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat,
1985.
Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia Jakarta: Djambatan,
1993.
Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya Jaringan Asia 2. Jakarta, PT
Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Maemunah. Pendidikan Berbasis Multipe Intelligences. Bandung, Pustaka Aura
Semesta, 2013.
Moertopo, Ali. Strategi Kebudayaan Jakarta: CSIS, 1978.
O‟ dea, Thomas F. Sosiologi Agama: Suatu Pengantar Awal. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1995.
Rahmawati, Rian, Zikri Fachrul Nurhadie dan Novie Susanti Suseno. “Makna
Simbollik Tradisi Rebo Wekasan”. Jurnal Penelitian Komunikasi, vol.
20, No. 1, Juli 2017.
Razak, Yusron dan Ervan Nartawaban. Antropologi Agama Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Jakarta, 2007
Romlah. “Tradisi Rebo Pungkasan di Wonokromo Paret Bantu”. Skripsi, Fakultas
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016.
Saebani, Beni Ahmad. Pengantar Antropologi. Bandung: Pustaka Setia, 2012.
Suprayogo, Imam. Metode Penelitian Sosial-Agama Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2001.
Ulhaq, Zia. “Tradisi Rebo Kasan Studi Kasus di Desa Air Anyir, Kecamatan
Merawang, Kabupaten Bangka Induk, Propinsi Kepulauan Bangka
57
Belitung” Skripsi, Fakultas Adap UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2010.
Usman, Husaini. Metode Penelitian Sosial Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009.
Wawancara Pribadi dengan Abdurrahman Nugraha. Banten 10 April 2018.
Wawancara Pribadi dengan Andi. Banten 10 April 2018.
Wawancara Pribadi dengan Dicky Herliman. Banten 10 April 2018.
Wawancara Pribadi dengan H. Anwar. Banten 10 April 2018.
Wawancara Pribadi dengan H. Lukman. Banten 10 April 2018.
Wawancara Pribadi dengan Marjuki. Banten 10 April 2018.
Wawancara Pribadi dengan Simin. Banten 10 April 2018.
Wawancara Pribadi dengan Tedi Setiadi. Banten 6 April 2018.
Wawancara Pribadi dengan Usun. Banten 10 April 2018.
Diakses dari:
https://id.wikipedia.org/wiki/Girijaya,_Saketi,_Pandeglang#E._KEAD
AAN_EKONOMI Pada Tanggal 6 April 2018, Pukul 10.00.
Diakses dari:
https://www.geooge.co.id/amp/s/ishahuddin.wordpress.com/2010/01/0
4/bulan-safar-antara-mitos-dan-realitas-2/amp/ Pada Tanggal 7 April
2018, Pukul 10.00.
Diakses dari:
https://www.goegle.co.id/amp/s/lifestyle.okezone.com/amp/2016/11/2
3/406/154950//ritual-adat-yang-harus-dilakukan-sebelum-mendaki-
dua-gunung-ini diaksses pada tanggal 7 Mei 2018 Pada Pukul 14.30.
58
Diakses dari:
http://telagacempakapermaie3isunjeh.blogspot.co.id/2016/06/gunung-
pulosari-pusat-peradaban-masa.html?m=1 Pada Tanggal 19 Mei
Pukul 01.18.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1
Foto bersama dengan bapak Tedi Setiadi Selaku Ketua desa Girijaya
Foto bersama dengan Ustad Andi Selaku sesepuh Desa Girijaya
Foto bersama dengan Ustad Marjuki selaku Tokoh Agama Desa Girijaya
Foto bersama Abah Simin selaku sesepuh Desa Girijaya
Foto bersama dengan H. Anwar selaku Tokoh Agama Desa Girijaya
Musyawarah sebelum melakukan ritual dalam tradisi Rebo Kasan
Makan-makan ritual dalam tradisi Rebo Kasan.
Penulisan Rajah yang ditulis langsung oleh Kyai H. Lukman untuk melakukan ritual mandi Safar.
Lampiran 2
Pedoman Wawancara untuk Mayarakat Desa Girijaya Kecamatan Saketi
Pandeglang Banten
Data Singkat Informan:
Nama :
Umur :
Jabatan :
Tanggal Wawancara :
Tepat Wawancara :
Daftar Peryataan:
A. Sejarah dan Tradisi Rebo Kasan Desa Girijaya
1. Bagaimana asal-usul ritual perayaan Rebo Kasan Desa Girijaya?
2. Apa makna dari Rebo Kasan?
3. Ritual apa saja yang dilakukan pada bulan Safar? Dan apa tujuannya dari
ritual tersebut?
4. Bagaimana upaya Desa Girijaya melestarikan ritual tersebut?
5. Apa saja mitos yang terjadi pada saat bulan Safar?
6. Bagaimana tahap persiapan dan perlengkapan terjadinya ritual Rebo
Kasan?
7. Bagaimana proses terjadinya ritual tolak bala dan apa manfaat dari ritual
tersebut?
8. Bagaimana proses terjadinya ritual mandi Safar dan apa manfaat dari ritual
tersebut?
9. Bagaimana proses terjadinya ritual mendaki Gunung Pulosari dan apa
manfaatnya ritual tersebut?
10. Apa makna simbol yang terkait dalam ritual Rebo Kasan?
Lampiran 3
1. Wawancara dengan Abdurrahman Nugraha.
P: Bagaimana asal-usul ritual perayaaan Rebo Kasan Desa Girijaya ?
J: Asal-usul ritual perayaan Rebo Kasan sudah ada pada jamannya nenek
moyang terdahulu, saya hanya mengikuti tetapi ritual ini tentunya mengacu
kepada nilai ajaran agama Islam yaitu al- Quran dan Hadis.
P: Ritual apa saja yang dilakukan pada bulan Safar? Dan apa tujuannya dari
ritual tersebut?
J: Ritual yang digunakan adalah ritual tolak bala, ritual mandi Safar, dan ritual
mendaki Gunung Pulosari tujuannya adalah untuk mencegah bahla yang
datang khususnya pada bulan Safar maupun untuk mencegah keamanan
kampung.
P: Apa saja mitos yang terjadi pada saat bulan Safar?
J: Untuk mitos pada bulan Safar menurut orang terdahulu adalah dimana hari
Rebo Kasan itu hari sial dan terdapat beberapa penyakit yang allah turunkan
pada bulan Safar ini dan jarang sekali masyarakat yang berpergian pada hari
Rabu terakhir bulan safar karena dianggap pamali.
P: Bagaimana tahap persiapan dan perlengkapan terjadinya ritual Rebo Kasan?
J: Tahap persiapan untuk melakukan ritual ini kurang lebihnya dua minggu
sebelum pelaksanaan perayaan. Perayaan tradisi Rebo Kasan biasanya
persiapan yang dikoordinasikan oleh tokoh agama, sesepuh yaitu Kyai H.
Lukman, H. Anwar dan Kepala Desa Girijaya, serta aparat desa guna untuk
membentuk kepanitian hal ini disusun sesuai dengan keperluan, terdiri atas
penasihat, ketua, dan lain-lain.
Ritual Rebo Kasan di Desa Girijaya sebelum memulai mengadakan
musyawarah terlebih dahulu agar pelaksanaan ritual ini berjalan dengan
lancar dan penuh khidmat. Selain itu musyawarah ini bertujuan untuk
menyepakati dan menetapkan beberapa hal antara lain berkaitan dengan
waktu dan tempat pelaksanaan dalam melaksanakan ritual Rebo Kasan
terbagi menjadi tiga yaitu: pertama, masjid untuk melakukan shalat tolak
bala. Kedua, pinggir jalan biasanya di perbatasan kampung bertujuan untuk
makan-makan pada saat itu diadakan di pinggir jalan supaya masyarakat yang
melintas dapat mencicipi makanan tersebut. Ketiga, Sumur Cimajeb untuk
melaksanakan ritual mandi Safar. Keempat, Gunung Pulosari dalam ritual ini
biasanya hanya anak muda yang melakukan ritual ini.
P: Bagaimana proses terjadinya ritual tolak bala dan apa manfaat dari ritual
tersebut?
J: Pelaksanaan ritual tolak bala melalui beberapa tahapan, yaitu: petama,
persiapan artinya sebelum tradisi dimulai biasanya sudah mempersiapkan air
ke dalam teko, botol kecil, gelas dan kompan serta berbagai macam makanan
tetapi dalam ritual ini masyarakat Girijaya hanya membawa ketupat, leupet
dan lauk pauk yang lainnya dan dibawa kemasjid untuk didoakan kemudian
tepatnya ba‟da subuh marbot masjid mengumumkan kepada masyarakat
Girijaya untuk segera ke masjid karena Rebo Kasan akan segera dimulai dan
masyarakat Girijaya berbondong-bondong menuju masjid sambil membawa
makanan.
Kedua pembukaan, tepatnya pada pukul 06.00 WIB para bapak-bapak
dan ibu-ibu berkumpul di masjid untuk mengikuti perayaan Rebo Kasan yang
dipimpin oleh Kyai H. Lukman pembukaan perayaan dimulai dengan
memberikan pengarahan dakwah singkat sekitar tujuh menit mengenai tradisi
Rebo Kasan sampai pada bagaimana pelaksanaan salat tolak bala. Hal ini
penting untuk dijelaskan sebelumnya karena tradisi ini adalah tradisi tahunan
dan dikhawatirkan masyarakat Girijaya lupa dalam perayaan tersebut.
Ketiga, solat tolak bala setelah berlangsungnya pembukaan, barulah
masyarakat melaksanakan shalat tolak bala secara berjamaah dan dipimpin
oleh Kyai H. Lukman dalam melaksanakan salat Tolak Bala setiap rakaatnya
membaca surat al-Fatihah sekali, surat al-Kausar 15 kali, surat al-Ikhlas
sekali, surat al-Falaq sekali, surat an-Nass sekali dan penutup. Keempat,
masyarakat desa Girijaya makan-makan di perbatasan kampung.
P: Bagaimana proses terjadinya ritual mandi safar dan apa manfaat dari ritual
tersebut?
J: Proses pertama dari ritual mandi Safar adalah masyarakat yang mengikuti
proses ritual ini sebelumnya membekali diri dengan mempersiapkan kertas
yang sudah di tulis oleh Kyai H. Lukman dan bunga tujuh rupa.
Proses kedua sebelum memulai mandi Safar sesepuh Desa Girijaya
yaitu Abah Simin selaku tetua adat memimpin doa memohon keselamatan
dirangkum kedalam satu istilah yang disebut dengan doa Salamun Tujuh doa.
Doa salamun tujuh mengandung makna permohonan untuk kesejahteraan
bagi seluruh alam ucap syukur kepada Allah yang terhindar dari penyakit dan
bahaya dan untuk terhindar dari bala yang terjadi pada hari-hari yang
dianggap nahas, yaitu mulai terbitnya matahari pada hari Rabu sampai
keesokan harinya hari Kamis dan menceritakan bahwa ritual ini dilakukan
untuk menolak bala nyareat kepada Allah agar terhindar dari segala macam
bahaya dan mensucikan diri karena jika badan dan jiwa kotor akan mudah
datangnya bencana.
Proses ketiga yaitu merendam kertas tersebut bersamaan dengan
kembang tujuh rupa yaitu bunga kantil, bunga melati, bunga kenanga, bunga
mawar merah, bunga mawar putih, bunga telon, bunga melati gambir ke
dalam Sumur Cimajeb.
Proses keempat setelah merendam kertas dan bunga tujuh rupa yaitu
masyarakat mandi tidak diatur dengan syarat khusus mandi Safar dilakukan
seperti halnya mandi besar pada umumnya yang terpenting adalah ujung
rambut kepala hingga kaki dibasahi dengan air. Tujuannya adalah
menghayutkan bala seiring dengan guyuran air bersih yang dilakukan saat
mandi.
Dalam ritual mandi Safar ini adalah upaya doa untuk keselamatan
yang diwujudkan dalam praktik tradisonal, seperti minum dan mandi dengan
air yang mengandung doa. Doa mandi safar yang berisikan ayat Qur‟an
Bismillahirohmannirohim sebanyak 130 dan ayat quran yang berawal dari
salamun, bertujuan untuk memohon dengan penuh keselamatan, penuh
harapan, dan optimis, tetapi mandi dan minum hanyalah prantara, yang
menyembuhkan adalah Tuhan Yang Maha Esa.
P: Bagaimana proses terjadinya ritual mendaki Gunung Pulosari dan apa
manfaatnya ritual tersebut?
J: Saya belum pernah mengikuti ritual tersebut karena saya tidak mampu
melakukannya tetapi yang saya dengar disana mereka berziarah.
P: Apa makna simbol yang terkait dalam ritual Rebo Kasan?
J: Makna simbol dari ritual ini kan terdiri dari leupeut, ketupat, air putih,
pisang, dan bunga tujuh rupa.
Leupet, makanan yang terbuat dari beras ketan yang dibungkus
dengan daun pisang di bentuk persegi panjang dan diikat dengan simbol
memperkuat atau mempererat. Setiap berkumpulnya orang-orang di dalam
suatu pertemuan yang baik dapat mempererat persaudaraan karena
silaturahmi dapat memberikan umur panjang.
Ketupat, makanan yang terbuat dari beras yang dibungkus dengan
daun kelapa yang diikat melambangkan perginya bencana yang datang
kepada keluarga.
Air putih, benda cair yang tidak memiliki rasa tawar, tidak berbau, dan
tidak berwarna dengan simbol kesucian untuk menghilangkan berbagai
kesialan dan menyembuhkan berbagai penyakit. Pisang, dengan simbol
keberkahan dan untuk menanamkan saling berbagi terhadap sesama makhluk
hidup.
2. Wawancara dengan Tedi Setiadi.
P: Bagaimana asal-usul ritual dalam tradsi Rebo Kasan Desa Girijaya?
J: Sejarah Rebo Kasan ini tidak ada yang tau pasti dan jelas mengenai sejarah
Rebo Kasan di Desa Girijaya hanya saja sudah turun menurun dari nenek
moyang terdahulu.
P: Apa saja mitos yang terjadi pada saat bulan Safar?
J: Menurut zaman dahulu sampai sekarang ini tidak akan ada yang melakukan
hajatan, sunatan maupun pesta-pesta yang lainnya karena bulan ini dianggap
bulan yang pamali untuk melakukan hal tersebut
P: Bagaimana tahap persiapan dan perlengkapan terjadinya ritual Rebo Kasan?
J: Masyarakat Desa Girijaya dalam pelaksanaan ritual Rebo Kasan ini pada
setiap tahunnya perlu persiapan yang matang karena memungkinkan
munculnya saran ataupun pendapat peningkatan atau pengembangan baik
sarana dan prasarana maupun muatan acara yang akan dilakukan. Hal ini
melibatkan masyarakat Girijaya karena ini bukan hanya kepentingan para
tokoh agama melainkan seluruh masyarakat Girijaya, oleh sebab itu ritual ini
harus dilaksanakan secara gotong royong baik dalam tenaga maupun materi,
dalam hal ini warga membawa “leupeut´, ketupat dan hasil bumi semampunya
kaum ibu juga terlibat aktif dalam pelaksanaan ini karena sebelum menjelang
ritual mereka secara bergotong royong memasak dan membawa makanan ke
masjid setelah itu masyarakat pergi ke masjid untuk melaksanakan solat tolak
bala, berlanjut dengan makan-makan diperbatasan kampung kemudian ke
Sumur Cimajeb melakukan ritual mandi safar, setelah itu barulah mendaki
Gunung Pulosari.
P: Bagaimana proses terjadinya ritual tolak bala dan apa manfaat dari ritual
tersebut?
J: Persiapan artinya sebelum tradisi dimulai biasanya sudah mempersiapkan
air botol kecil dan berbagai macam makanan tetapi dalam ritual ini masyarakat
Girijaya hanya membawa leupet, ketupat dan lauk pauk yang lainnya dan
dibawa kemasjid untuk didoakan kemudian para bapak-bapak dan ibu-ibu
berkumpul di masjid untuk mengikuti perayaan Rebo Kasan yang dipimpin
oleh Kyai H. Lukman memberikan pengarahan dakwah singkat mengenai
tradisi Rebo Kasan sampai pada bagaimana pelaksanaan salat Tolak Bala.
Solat tolak bala setelah berlangsungnya pembukaan, barulah masyarakat
melaksanakan shalat tolak bala secara berjamaah dan dipimpin oleh Kyai H.
Lukman dalam melaksanakan salat tolak bala setelah itu pembacaan doa,
solawat, dan beberapa runtutan doa yang terditi dari pembacaan Yassin dan
kemudian surat al-Fatihah, surat al-Falaq, surat al- Ikhlas, surat an-Nass, doa
untuk yang telah meninggal dunia dan shalawat nabi.
Masyarakat desa Girijaya berbondong-bondong menuju tempat yaitu
jalan dekat perbatasan kampung antar kampung Bandrong dengan kampung
Timbang disitu masyarakat ngeriung atau disebut juga makan-makan dan
saling membagikan makanan antar warga dengan warga yang lainnya.
Manfaatnya menolak bala yang akan terjadi pada hari Rebo terakhir pada
bulan Safar.
P: Bagaimana proses terjadinya ritual mandi Safar dan apa manfaat dari ritual
tersebut?
J: Masyarakat yang mengikuti proses ritual ini sebelumnya membekali diri
dengan mempersiapkan kertas yang sudah di tulis oleh Kyai H. Lukman dan
bunga tujuh rupa sebelum memulai mandi Safar sesepuh Desa Girijaya yaitu
Abah Simin selaku tetua adat memimpin doa Kemudian masyarakat mandi
tidak diatur dengan syarat khusus mandi safar dilakukan seperti halnya mandi
besar pada umumnya manfaat melakukan mandi safar untuk mensucikan
badan dari dosa dosa yang kita perbuat.
P: Bagaimana proses terjadinya ritual mendaki Gunung Pulosari dan apa
manfaatnya ritual tersebut?
J: Proses tahap dalam melakukan ritual ini yaitu: tahap pertama, adalah
berkumpul sebelum mendaki berlangsung setelah itu membaca doa bersama
yang dipimpin oleh kyai H. Lukman dengan tujuan selamat sampai tujuan
kemudian tidak lupa juga membawa makanan dan minuman yaitu ketupat
sebagai bekal di perjalanan sebelum mencapai Gunung Pulosari biasanya
masyarakat Girijaya apabila melihat lubang mereka akan memasukkan tangan
mereka kedalam lubang tersebut untuk mengetahui kecocokan mereka dalam
keahlianya, jika di dalam lubang tersebut mereka mendapatkan beras
kemungkinan mereka mendapatkan keahlian sebagai petani dan apabila
mereka mendapatkan uang logam dari lubang tersebut maka kemungkinan
mereka mendapatkan keahlian sebagai wiraswasta manfaatnya untuk
bertafakur kepada alam.
P: Apa makna simbol yang terkait dalam ritual Rebo Kasan?
J: Makna Simbol Rebo Kasan adalah bersedekah dan saling menjaga antar
sesama.
3. Wawancara dengan Ustad Andi
P: Bagaimana asal-usul ritual dalam tradsi Rebo Kasan Desa Girijaya?
J: Ritual Rebo Kasan ini dilaksanakan oleh masyarakat Desa Girijaya tidak
terlepas dari kepercayaan masyarakat yang diwarisi dari generasi ke generasi.
Kepercayaan tersebut menimbulkan sugesti kepada masyarakat untuk
melakukan ritual tersebut, dan jika tidak dilaksanakan, maka akan timbul
malapetaka yang akan menimpa seluruh masyarakat.
P: Ritual apa saja yang dilakukan pada bulan Safar? Dan apa tujuannya dari
ritual tersebut?
J: Seperti solat tolak bala, mandi Safar di Sumur Cimajeb, dan mendaki
Gunung Pulosari dengan tujuannya untuk menolak bala ataupun penyakit yang
akan diturunkan sebanyak 320000.
P: Apa saja mitos yang terjadi pada saat bulan Safar?
J: Ketika bulan Safar mengganggap bahwa orang buang sial, di mana pada
bulan ini orang-orang akan gampang marah, dan apa-apa dibawa emosi hingga
pada akhirnya bulan Safar ini dianggap bulan panas dan pada bulan Safar
masyarakat Girijaya tidak akan berpergian terlalu jauh karena apabila pergi
telalu jauh akan menimbulkan malapetaka, dan pada bulan ini juga jarang
sekali masyarakat desa Girijaya yang membangun rumah karena apabila
masyarakat membangun rumah pada bulan Safar rumah tersebut akan dihuni
oleh makhluk ghaib kemudian anak yag lahir pada bulan safar cendrung keras
kepala dan susah diatur.
P: Bagaimana tahap persiapan dan perlengkapan terjadinya ritual Rebo Kasan?
J: Tahap persiapannya biasanya membawa makanan, teko yang berisi air
untuk di doakan kemudian solat tolak bala, baca doa bersama, mandi Safar,
dan mendaaki Gunung Pulosari.
P: Bagaimana proses terjadinya ritual tolak bala dan apa manfaat dari ritual
tersebut?
J: Pada pukul 06.00 WIB para bapak-bapak dan ibu-ibu berkumpul di masjid
dipimpin oleh Kyai H. Lukman berceramah dan memberi arahan terlebih
dahulu kemudian solat tolak bala secara berjamaah dan dipimpin oleh kyia H.
Lukman dalam melaksanakan salat tolak bala setiap rakaatnya membaca surat
al-Fatiha sekali, surat al-Kausar 15 kali, surat al-Ikhlas sekali, surat al-Falaq
sekali, surat an-Nass sekali. Setelah itu pembacaan doa dan solawat,
selanjutnya dalam ritual solat tolak bala melaksanakan beberapa runtutan doa
yang terditi dari pembacaan Yassin dan kemudian surat al-Fatihah, surat al-
Falaq, surat al-Ikhlas, surat an-Nass dan doa untuk yang telah meninggal dunia
tawasuf atau disebut juga pemberian hadiah dan shalawat nabi. Setelah iru ke
perbatasan kampung makan-makan. Adapun manfaat ritual tolak bala untuk
menghindar tolak bala yang akan datang pada bulan Safar.
4. Wawancara Pribadi dengan H. Anwar
P: Bagaimana kondisi keagamaan desa Girijaya?
J: Secara keseluruhan masyarakat desa Girijaya 100% beragama Islam.
Masyarakat Desa Girijaya merupakan penganut keagamaan yang taat. Ritual-
ritual keagamaan harus dilaksanakan dengan rutin dan penuh keikhlasan
keharusan melakukan perintah atau larangan dalam agama adalah hukum
sosial yang tidak dapat di bantah sanksi bagi pelanggar ajaran agama telah
disebutkan secara tekstual pasal-pasalnya jelas, berupa ayat-ayat ilahi yang
dikuatkan oleh sabda Rasul-Nya. Masyarakat Girijaya selain melaksanakan
ritual Rebo Kasan ada pula ritual upacara menghormati benda pusaka yaitu
golok turunan dan tombak turunan.
P: Bagaimana asal-usul ritual dalam tradsi Rebo Kasan Desa Girijaya?
J: Asal usul ritual Rebo Kasan di tetapkan pada ayat al-Quran Q.S. al-Qomar
ayat 18-20. Pada ayat tersebut beberapa Ulama dan Kyai berpandapat bahwa
kejadian itu terjadi pada hari terakhir bulan Safar atau istilah penanggalan
jawa pada bulan Safar.
P: Apa saja mitos yang terjadi pada saat bulan Safar?
J: Bulan Safar ini adalah bulan ”tepayu” di mana di bulan ini janur kuning
tidak dapat terlihat lagi menghiasi gang-gang maupun gedung-gedung
sebaguna dalam hal ini bagi mereka yang mempunyai bisnis hajatan akan
mengalami tepayu karena tidak akan ada yang mengundang atau dalam
kondisi ini diesbut dengan “tieseun” (sepi order) tetapi ketika bulan mulud itu
datang kembali kebanjiran order selain itu pada bulan ini masyarakat Girijaya
akan mengalami kemarau khususnya kepada para petani akan mengalami
“paceklik” di mana sawah dan ladang mereka akan sulit mendapatkan air dan
berimbas kepada padi mereka bulan Safar juga dipercayai tidak akan ada yang
melangsungkan pernikahan karena akibatnya akan fatal.
P: Bagaimana tahap persiapan dan perlengkapan terjadinya ritual Rebo Kasan?
J:Sebelum menjelang Rebo Kasan mengadakan musyawarah untuk
membentuk kepanitian setelah itu Kyai H. Lukman mebuat tulisan rajah untuk
melakukan mandi safar. Tahap persiapanya biasanya ibu-ibu masyarakat
Girijaya membuat ketupat, leupeut dan lauk pauk kemudian membawanya
kemasjid untuk didoakan terlebih dahulu setelah itu masyarakat berkumpul di
masjid dan melaksanakan tolak bala yang dipumpin oleh Kyai H. Lukman.
P: Bagaimana proses terjadinya ritual tolak bala dan apa manfaat dari ritual
tersebut?
J: Pada pukul 06.00 WIB para bapak-bapak dan ibu-ibu berkumpul di masjid.
solat tolak bala setelah berlangsungnya pembukaan, barulah masyarakat
melaksanakan shalat tolak bala secara berjamaah dan dipimpin oleh Kyai H.
Lukman dalam melaksanakan salat tolak bala setiap rakaatnya membaca surat
al-Fatiha sekali, surat al-Kausar 15 kali, surat al-Ikhlas sekali, surat al-Falaq
sekali, surat an-Nass sekali setelah itu pembacaan doa dan solawat,
selanjutnya dalam ritual solat tolak bala melaksanakan beberapa runtutan doa
yang terdiri dari pembacaan Yassin dan kemudian surat al-Fatihah, surat al-
Falaq, surat al- Ikhlas, surat an-Nass, doa untuk yang telah meninggal dunia
dan shalawat nabi. Setelah menutup perayaan dengan doa tolak bala dan
pengharapan yang baik pada saat itu. Barulah makan-makan di perbatasan
kampung ritual ini dilaksanakan dengan tujuan menolak bencana, baik secara
pribadi atau untuk keamanan kampung.
P: Apa makna simbol yang terkait dalam ritual Rebo Kasan?
J: Menolak marabahaya yang datang pada bulan safar, melesatarikan tradisi
nenek moyang dan bersedekah.
5. Wawancara Pribadi dengan Dicky
P: Bagaimana asal-usul ritual dalam tradsi Rebo Kasan Desa Girijaya?
J: Saya kurang tau tapi konon sudah ada sejak nenek mayong terdahulu
P: Ritual apa saja yang dilakukan pada bulan Safar? Dan apa tujuannya dari
ritual tersebut?
J: Ritual yang dilakukan dan pernah saya ikuti itu terdiri dari tolak bala, mandi
Safar, dan mendaki Gunung Pulosari.
P: Bagaimana upaya Desa Girijaya melestarikan ritual tersebut?
J: Biasanya di umumkan di masjid sehari sebelumnya.
P: Apa saja mitos yang terjadi pada saat bulan safar?
J: Biasaya kalau anak yang lahir pada bulan Safar anak itu nakal karena sudah
ada buktinya adik saya keras kepala dan susah diatur karena dia lahir pada
bulan Safar kemudian tidak ada yang hajatan ataupun yang bikin rumah.
P: Bagaimana tahap persiapan dan perlengkapan terjadinya ritual Rebo Kasan?
J: Persiapannya saya sebagai masyarakat membawa air minum dam makanan
untuk didoakan di masjid.
P: Bagaimana proses terjadinya ritual mandi Safar dan apa manfaat dari ritual
tersebut?
J: Membawa kertas rajah yang sudah dtulis oleh Kyai H. Lukman kemudian
doa bersama dan mencelupkan kertas tersebut ke Sumur Cimajeb setelah itu
mandi seperti biasanya dengan tujuan untuk mensucikan badan dari penyakit.
P: Apa makna simbol yang teRkait dalam ritual Rebo Kasan?
J: Menjauhkan kita dari marabahaya ataupun musibah dan juga bersedekah.
6. Wawancara Pribadi dengan Usun
P: Bagaimana asal-usul ritual dalam tradsi Rebo Kasan Desa Girijaya?
J: untuk asal-usul memang ritual ini sudah ada sejak dahulu kala.
P: Apa makna dari Rebo Kasan?
J: Nama Safar diambil nama suatu jenis penyakit sebagaimana yang diyakini
oleh orang-orang Arab Jahiliyah, karena pada zaman dahulu, yakni penyakit
Safar yang bersarang di dalam perut akibat dari adanya sejenis ulat besar yang
sangat berbahaya. Bulan Safar adalah bulan yang dianggap pamali, untuk
mengadakan pesta perayaan seperti hajatan pernikahan atau sunatan anak.
selain itu juga dipercayai akan turunnya berbagai penyakit pada Rabu Kasan.
P: Apakah desa Girijaya sendiri menyuruh masyarakat untuk melakukan
tradisi tersebut?
J: Tidak hanya saja ini sudah menjadi hukum adat Desa Girijaya.
P: Apa saja mitos yang terjadi pada saat bulan Safar?
J: Konon pada bulan Safar ilmu-ilmu magik masih berkembang dan sangat
ditakuti oleh masyarakat Girijaya karena pada bulan ini orang-orang yang
menguasai ilmu sihir semacem guna-guna, santet, teluh, atau (perang maya)
melakukan ritual khusus untuk mengirimkan ilmunya kepada orang lain
dengan tujuan ilmu magik yang mereka punya lebih ampuh ketika bulan Safar.
Ilmu yang mereka lepas tersebut lebih ampuh dibandingkan dengan bulan-
bulan yang lain dan orang terkena ilmu itupun akan sulit disembuhkan jika
ilmu tersebut digunakan untuk membuat orang terikat maka keampuhan ilmu
tersebut membuat orang tergila-gila pada bulan ini juga bagi para dukun yang
mempunyai racun-racun yang mematikan akan melepaskan racun tersebut
guna untuk mencari mangsa agar racun tersebut tetap mempunyai
keampuhannya.
Kemudian pada bulan Safar ini masyarakat Girijaya mengganggap
bahwa orang buang sial, di mana pada bulan ini orang-orang akan gampang
marah, dan apa-apa dibawa emosi hingga pada akhirnya bulan Safar ini
dianggap bulan panas.
P: Bagaimana proses terjadinya ritual tolak bala dan apa manfaat dari ritual
tersebut?
J: Solat tolak bala secara berjamaah dan dipimpin oleh Kyai H. Lukman dalam
melaksanakan salat tolak bala kemudian menuju perbatasan kampung untuk
mengadakan makan-makan dengan tujuan untuk mecegah bala yang datang
dan bersedekah.
P: Bagaimana proses terjadinya ritual mandi safar dan apa manfaat dari ritual
tersebut?
J: Mandi Safar ini merupakan ritual untuk meminta kepada Allah agar
terhindar dari penyakit dan mensucikan diri dari dosa prosesnya seperti mandi
biasa hanya berbeda dengan niat dan tempatnya di Sumur Cimajeb.
P: Apa makna simbol yang terkait dalam ritual Rebo Kasan?
J: Mempererat tali persaudaraan dan bersedekah.
7. Wawancara Pribadi dengan Ustad Marjuki
P: Bagaimana asal-usul ritual dalam tradsi Rebo Kasan Desa Girijaya?
J: Rebo Kasan sudah dari orang tua kita (nenek moyang)
P: Apa saja mitos yang terjadi pada saat bulan Safar?
J: Bulan Safar diyakini sebagi bulan penuh bencana atau bulan sial karena
pada bulan ini akan diturunkan 320000 penyakit kemudian menurut
masyarakat Girijaya pandangan bulan safar karena wilayah mereka dekat
dengan hutan dan masih terdapat beberapa anjing liar. Pada bulan ini sering
terdengar gonggongan dan lolongan anjing. Anjing-anjing tersebut naik birahi
dan melakukan perkawinan oleh sebab itu masyarakat enggan untuk
melakukan pernikahan di bulan ini, karena tidak mau disamakan dengan
anjing yang dianggap najis oleh umat Islam.
Apabila seorang bayi lahir pada bulan safar maka ketika bayi tersebut
akan menjadi pribadi yang nakal dan suka marah-marah atau dalam istilah
bahasa Sunda “sasafaeun”.
P: Bagaimana tahap persiapan dan perlengkapan terjadinya ritual Rebo Kasan?
J: Ritual Rebo Kasan dipimpin oleh Kyai H. Lukman, sesepuh, dan tokoh
agama lainnya. Mereka memimpin secara bersama-sama, tidak ada yang
mendominasi, tiada yang berkuasa mutlak tiap keputusan merupakan hasil
kesepakatan musyawarah dengan tokoh yang lainnya. Adapun tahap
pelaksanaan ritual Rebo Kasan adalah pertama, menulis beberapa tulisan Arab
yang berwujud rajah dengan tulisan Bismillah hirohman Nirohim sebanyak
130 baris, tujuh ayat al-Quran yang berawalan lafal Salamun.
ب رحين طالم قىال هي ر
طالم على ىح في العالويي
طالم على إبزاهين
طالم على هىطى وهاروى
طالم على الياطيي
طالم عليكن طبتن فادخلىها خالذيي
حتى هطلع الفجز طالم هى
Ayat-ayat tersebut ditulis di kertas yang ditulis langsung oleh Kyai H.
Lukman tulisan tersebut ditulis pada malam hari sebelum pelaksanaan Rebo
Kasan. Kedua, mempersiapkan bunga tujuh rupa untuk mempersiapkan ritual
mandi safar. Ketiga, sambutan-sambutan dari ketua panitia yang menjelaskan
kepada masyarakat bagaimana teknis dan urgensi ritual Rebo Kasan.
Keempat, bagi kaum ibu-ibu mempersiapkan makanan ke tempat yang telah
disediakan yaitu di pinggir jalan perbatasan kampung. Kelima, proses mandi
bersama di Sumur Cimajeb yang diawali dengan niat. Keenam, setelah selesai
mandi, para pemuda melanjutkan naik Gunung Pulosari.
Setelah prosesi ritual Rebo Kasan selesai, dilanjutkan dengan kegiatan
salam-salaman antar warga dan meminta maaf atas semua kesalahan yang
pernah diperbuat.
P: Bagaimana proses terjadinya ritual tolak bala dan apa manfaat dari ritual
tersebut?
J: Solat tolak bala setelah berlangsungnya pembukaan, barulah masyarakat
melaksanakan shalat tolak bala secara berjamaah dan dipimpin oleh kyia H.
Lukman dalam melaksanakan salat Tolak Bala setiap rakaatnya membaca
surat al-Fatihah sekali, surat al-Kausar 15 kali, surat al-Ikhlas sekali, surat al-
Falaq sekali, surat an-Nass sekali setelah itu pembacaan doa dan solawat,
selanjutnya dalam ritual solat tolak bala melaksanakan beberapa runtutan doa
yang terditi dari pembacaan Yassin dan kemudian surat al-Fatihah, surat al-
Falaq, surat al- Ikhlas, surat an-Nass, doa untuk yang telah meninggal dunia
tawasuf atau disebut juga pemberian hadiah dan shalawat nabi dan penutup,
setelah berbagai ritual mereka lakukan pemimpin perayaan Rebo Kasan
menutup perayaan dengan doa tolak bala dan pengharapan yang baik pada saat
itu kemudian masyarakat desa Girijaya makan makan di perbatasan Kampung.
Masyarakat Girijaya telah mengenal ritual tolak bala ini sejak dahulu
kala dan akan terus menurus dilaksanakan sebagai upaya pelestarian budaya
nenek moyang mereka ritual ini dilaksanakan dengan tujuan menolak bala
atau bencana, baik secara pribadi atau untuk keamanan kampung ritual tolak
bala juga disebut sebagai kegiatan memelihara dan mengobati kampung.
Masyarakat Girijaya mengadakan ritual tolak bala sebagai antisipasi dari
beberapa penyakit yang mengakibatkan oleh gangguan makhluk gaib, musim
panas berkepanjangan, hujan berkepanjangan. Adapun dengan mengadakan
ritual tolak bala membuat alam seimbang sesuai dengan keinginan
masyarakat.
P: Bagaimana proses terjadinya ritual mandi safar dan apa manfaat dari ritual
tersebut?
J: S ebenarnya ritual mandi Safar sama halnya kita mandi biasa hanya saja kita
berniat dan melakukannya di Sumur Cimajeb yang sudah dituliskan oleh
tulisan rajah dan bunga tujuh rupa dengan tujuan untuk mensucikan diri kita.
P: Bagaimana proses terjadinya ritual mendaki Gunung Pulosari dan apa
manfaatnya ritual tersebut?
J: Sebelum mendaki berlangsung setelah itu membaca doa bersama yang
dipimpin oleh kyai H. Lukman dengan tujuan selamat sampai tujuan
kemudian tidak lupa juga memmbawa makanan dan minuman yaitu ketupat
sebagai bekal di perjalanan.
Kemudian sebelum mencapai Gunung Pulosari biasanya masyarakat
Girijaya apabila melihat lubang mereka akan memasukkan tangan mereka
kedalam lubang tersebut untuk mengetahui kecocokan mereka dalam
keahlianya jika di dalam lubang tersebut mereka mendapatkan beras
kemungkinan mereka mendapatkan keahlian sebagai petani dan apabila
mereka mendapatkan uang logam dari lubang tersebut maka kemungkinan
mereka mendapatkan keahlian sebagai wiraswasta.
Setelah di puncak Gunung Pulosari mereka akan berziarah ke makam wali
konon zaman dahulu terdapat makam wali disekitar puncak Pulosari. Setelah
itu mereka melihat pemandangan kawah dengan tujuan tafakur akan ciptaan
dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi bagi kaum wanita yang sedang
berhalangan haid mereka tidak akan jelas melihat keindahan alam yang
sesungguhnya.
8. Wawancara Pribadi dengan Abah Simin.
P: Bagaimana asal-usul ritual dalam tradsi Rebo Kasan Desa Girijaya?
J: Sudah ada pada jaman dahulu kala.
P: Apa makna dari Rebo Kasan?
J: Rebo Kasan dapat diartikan hari Rabu dalam bahasa Jawa yang diartikan
kedalam bahasa Indonesia. Sedangkan kasan dalam bahasa Sunda dapat
diartikan “terakhir”. Jadi Rebo Kasan adalah Rebo terakhir, tapi menurut
istilah adalah rabu terakhir pada bulan Safar. Bulan Safar yaitu bulan kedua
dari dua belas bulan penanggalan hijriyah. Jadi Rebo Kasan ini artinya
memperingati hari terakhir di bulan Safar dengan tujuan untuk menolak bahla
dari langit.
P: Ritual apa saja yang dilakukan pada bulan Safar? Dan apa tujuannya dari
ritual tersebut?
J: Biasanya ritual tolak bala, mandi safar, dan mendaki Gunung Pulosari.
Mecegah bahaya yang datang.
P: Apa saja mitos yang terjadi pada saat bulan safar?
J: Menurut masyarakat Girijaya pandangan bulan safar karena wilayah mereka
dekat dengan hutan dan masih terdapat beberapa anjing liar pada bulan ini
sering terdengar gonggongan dan lolongan anjing. Anjing-anjing tersebut naik
birahi dan melakukan perkawinan oleh sebab itu masyarakat enggan untuk
melakukan pernikahan di bulan ini, karena tidak mau disamakan dengan
anjing yang dianggap najis oleh umat Islam.
Apabila seorang bayi lahir pada bulan Safar maka ketika bayi tersebut
akan menjadi pribadi yang nakal dan suka marah-marah atau dalam istilah
bahasa Sunda “sasafaeun”. Bulan Safar dipercayai tidak akan ada yang
melangsungkan hajatan pernikahan maupun sunatan Karena apabila mereka
melangsungkan acara pernikahan mereka meyakini pernikahan mereka tidak
akan kekal dan mereka juga akan sulit mendapatkan keturunan.
Ritual tolak bala sebagai kegiatan memelihara, mengobati kampung
dan sebagai antisipasi dari beberapa penyakit yang mengakibatkan oleh
gangguan makhluk gaib.
P: Bagaimana proses terjadinya ritual mandi safar dan apa manfaat dari ritual
tersebut?
J: Mandi Safar sebenarnya hanya mandi biasa tetapi menggunakan tulisan
rajah dan bunga tujuh rupa dan memulai mandi safar di Sumur Cimajeb sudah
ada tulisan rajah yang terdiri dari ayat-ayat al-Quran. Kita sebagai umat Islam
hanya bisa nyareat agar tidak terjadi hal-hal yang tidak dinginkan dan
mensucikan diri dari jiwa yang kotor.
P: Bagaimana proses terjadinya ritual mendaki Gunung Pulosari dan apa
manfaatnya ritual tersebut?
J: Terjadinya tradisi mendaki Gunung Pulosari sebenernya tafakur kepada
Alam prosesnya sebelum berangkat kita berdoa terlebih dahulu agar di beri
keselamatan kemudian membawa bekal selama di perjalanan. Sesampainya
disana kita berziarah pada makan wali.
P: Apa makna simbol yang terkait dalam ritual Rebo Kasan?
J: Bersedekah dari apa yang kita punya dan mempererat tali persaudaraan.
9. Wawancara Pribadi dengan Kyai H. Lukman.
P: Bagaimana asal-usul ritual dalam tradisi Rebo Kasan Desa Girijaya?
J: Ritual Rebo Kasan bagi masyarakat Girijaya memiliki sejarah yang tinggi, ritual
Rebo Kasan yang rutin diadakan pada hari Rabu Akhir pada bulan Safar di desa
Girijaya Kecamatan Saketi Pandeglang Banten ini berlangsung sejak tahun 1794
M. Latar belakang dari ritual ini adalah Syekh Maulana Masyuruddin mampu
menyembuhkan penyakit dan sihir yang menyerang masyarakat Girijaya kejadian
itu berlangsung ketika bulan Safar. Kemudian Syekh Masyur Masyuruddin
menyuruh masyarakat untuk berwudhu di Sumur Cimajeb dan melakukan shalat
tolak bala. Keesokan harinya Syekh Masyur Masyuruddin berjalan kaki menuju
Gunung Pulosari untuk berziarah ke makam Wali dengan kejadian tersebut
masyarakat Girijaya melakukan ritual Rebo Kasan setiap tahunnya agar di jauhkan
dari segala marabahaya dan sebagai wujud ungkapan rasa syukur kepada Allah
SWT.
P: Bagaimana tahap persiapan dan perlengkapan terjadinya ritual Rebo Kasan?
J: Sebelum melaksanakan saya sendiri menyiapkan tulisan rajah. Tulisan rajah ini
berisi kandungan ayat-ayat Al-Quran dengan harapan menolak berbagai macam
penyakit yang datang pada bulan safar ini. Kemudian para kaum ibu-ibu memasak
ketupat, leupeut, dan lauk-pauk yang lainnya dengan tujuan bersedekah.
P: Bagaimana proses terjadinya ritual tolak bala dan apa manfaat dari ritual
tersebut?
J: Masyarakat mempersiapkan air kedalam botol dan makanan untuk dibawa
kemasjid untuk didoakan terlebih dahulu kemudian pembukaan ritual tersebut
dimulai dengan memberi arahan karena tradisi ini setahun sekali dikhawatirkan
masyarakat lupa dalam ritual tersebut setelah itu solat tolak bala secara berjamaah
setiap rakaatnya membaca surat al-Fatiha sekali, surat al-Kausar 15 kali, surat al-
Ikhlas sekali, surat al-Falaq sekali, surat an-Nass sekali. Setelah itu pembacaan
surat Yassin dan kemudian berdoa untuk orang yang sudah mendahulukan kita,
sholawat nabi. Ritual tolak bala ini tujuannya untuk menolak bala agar tidak
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
P: Bagaimana proses terjadinya ritual mandi Safar dan apa manfaat dari ritual
tersebut?
J: Melakukan ritual mandi Safar ini bertujuan untuk mensucikan diri dari jiwa
yang kotor masyarakat desa Girijaya melakukan ritual ini di Sumur Cimajeb
dimana sumur ini airnya sangat bersih, jernih dan banyak pula ikannya. Sumur ini
juga sebagai mata air Desa Girjaya airnyya yang mengalir dari pegunungan
Pulosari. Sumur Cimajeb ini bukan hanya untuk melakukan ritual Rebo Kasan
saja melainkan digunakan juga sebagai ritual memandikan Kris, batu cincin dan
lain-lain. Dalam melakukan ritual Rebo Kasan sebelumnya tetua adat memimpin
doa agar terhindar dari penyakit dan ucap sukur kepada Allah atas nikmat yang
telah diberikan kemudian tulisan rajah dicelupkan kedalam Sumur Cimajeb
bersamaan dengan bunga tujuh rupa setelah itu masyarakat mandi tidak diatur
dengan syarat khusus yang terpenting adalah ujung rambut kepala hingga kaki
dibasahi dengan air dengan tujannya menghayutkan bala seiring dengan guyuran
air bersih yang dilakukan pada saat mandi.
P: Bagaimana proses terjadinya ritual mendaki Gunung Pulosari dan apa
manfaatnya ritual tersebut?
J: Proses mendaki Gunung Pulosari biasanya dilakukan oleh kaum pemuda
pemudi medaki gunung Pulosari sebenarnya sebagai bentuk hablum minal alam
dalam proses ini sebelum berjalan menuju Gunung Pulosari kita berdoa terlebih
dahulu agar selamat sampai tujuan dan tidak lupa membawa bekal makanan dan
minuman sesampainya disana apabila mereka Girijaya apabila melihat lubang
mereka akan memasukkan tangan mereka kedalam lubang tersebut untuk
mengetahui kecocokan mereka dalam keahlianya. Jika di dalam lubang tersebut
mereka mendapatkan beras kemungkinan mereka mendapatkan keahlian sebagai
petani dan apabila mereka mendapatkan uang logam dari lubang tersebut maka
kemungkinan mereka mendapatkan keahlian sebagai wiraswasta setelah itu
sesampainya mereka di puncak Gunung Pulosari mereka akan berziarah ke
makam wali konon zaman dahulu terdapat makam wali disekitar puncak Pulosari.
Setelah itu mereka melihat pemandangan kawah dengan tujuan tafakur akan
ciptaan dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi bagi kaum wanita yang
sedang berhalangan haid mereka tidak akan jelas melihat keindahan alam.
P: Apa makna simbol yang terkait dalam ritual Rebo Kasan?
J: Makna yang terkait dalam ritual ini mempererat tali silaturahmi karena
silaturahmi dapat memberikan umur panjang, dan menolak bala yang datang dan
bersedekah.