Upload
others
View
12
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
35
RIBA DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN
(Studi Kritis Terhadap Penafsiran Ayat-Ayat Tentang Riba
oleh Mufassir Kontemporer)
Syofrianisda, S.ThI, M.A
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Yaptip Pasaman Barat
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini dilatar belakangi oleh realitas fenomena yang terjadi
dimasyarakat bahwa sistem riba sangat marak terjadi, yaitu ketika seseorang
meminjam sejumlah uang untuk keperluan menyambung kehidupan kepada
organisasi atau instansi-instansi terkait dengan hal ini, atau bahkan dalam
lingkungan keluarganyapun ketika harus mengembalikan, harus diiringi
oleh tambahan uang. Riba merupakan suatu tambahan lebih dari modal
asal, biasanya transaksi riba sering dijumpai dalam transaksi hutang
piutang dimana kreditor meminta tambahan dari modal asal kepada debitur.
tidak dapat dinafikkan bahwa dalam jual beli juga sering terjadi praktek
riba, seperti menukar barang yang tidak sejenis, melebihkan atau
mengurangkan timbangan atau dalam takaran.
Kata Kunci : Riba, Ayat-ayat Riba, Mufassir Kontemporer
PENDAHULUAN
Riba dikenal sebagai tambahan yang tidak disertai dengan adanya
pertukaran kompensasi2 dilarang oleh al-Qur’an. al-Qur’an telah menjelaskan
secara rinci tahapan pelarangan riba tersebut. Tahap pertama sekedar
menggambarkan adanya unsur negatif dalam riba (QS. al-Rum /30: 39).
Kemudian disusul dengan isyarat keharaman riba dengan disampaikannya
kecaman terhadap orang-orang Yahudi yang melakukan praktik riba (QS.
al-Nisa‟/4:161). Berikutnya, secara eksplisit al-Qur‟an mengharamkan riba
dengan batasan adh„āfan mudhā„afan (QS. Ali Imran/3: 130) yang diikuti
dengan pengharaman riba secara total dalam berbagai bentuknya.
Dalam bingkai ajaran Islam, aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh
manusia untuk dikembangkan memiliki beberapa kaidah dan etika atau
moralitas dalam syariat Islam. Allah telah menurunkan rizki ke dunia ini untuk
dimanfaatkan oleh manusia dengan cara yang telah dihalalkan oleh Allah dan
bersih dari segala perbuatan yang mengandung riba.
36
Diskursus mengenai riba dapat dikatakan telah "klasik" baik dalam
perkembangan pemikiran Islam maupun dalam peradaban Islam karena riba
merupakan permasalahan yang pelik dan sering terjadi pada masyarakat, hal
ini disebabkan perbuatan riba sangat erat kaitannya dengan transaksi-
transaksi di bidang perekonomian (dalam Islam disebut kegiatan
muamalah) yang sering dilakukan oleh manusia dalam aktivitasnya sehari-
hari. Pada dasarnya, transaksi riba dapat terjadi dari transaksi hutang piutang,
namun bentuk dari sumber tersebut bisa berupa qardh1, buyu'
2 dan lain
sebagainya. Para ulama menetapkan dengan tegas dan jelas tentang pelarangan
riba, disebabkan riba mengandung unsur eksploitasi yang dampaknya
merugikan orang lain, hal ini mengacu pada Kitabullah dan Sunnah Rasul
serta ijma' para ulama. Bahkan dapat dikatakan tentang pelarangannya sudah
menjadi aksioma dalam ajaran Islam.3 Beberapa pemikir Islam berpendapat
bahwa riba tidak hanya dianggap sebagai sesuatu yang tidak bermoral
melainkan sesuatu yang menghambat aktifitas perekonomian masyarakat.
Sehingga orang kaya akan semakin kaya sedangkan orang miskin akan
semakin miskin dan tertindas.4
1 Qardh berasal dari kata Qaradha-Yaqrudhu-Qardhan yang berarti pinjaman. Lihat
kamus al- Munawir, kamus Arab-Indonesia, cet. 14. (Yogyakarta: PP. al-Munawwir, 1997),
hlm1108. menurut Abdurrahman al-Jaziri qardh adalah harta yang diambil oleh orang yang
meminjam karena orang yang meminjam tersebut memotong dari harta miliknya, dalam kitab
al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Arba'ah, (Beirut: dar al-Fikr, 1972), II: 338. 2 Menurut Abdullah al-Mushlih dan Shalah ash-Shawi jual beli adalah dua kata yang
saling berlawanan artinya, namun masing-masing sering digunakan untuk arti kata yang lain
secara bergantian. Oleh sebab itu, masing-masing dalam akad transaksi disebut sebagai pembeli
dan penjual. Rasulullah SAW. Bersabda, "dua orang yang berjual beli memiliki hak untuk
menentukan pilihan, sebelum mereka berpindah dari lokasi jual beli." Akan tetapi bila disebutkan
secara umum, yang terbetik dalam hak adalah bahwa kata penjual diperuntukan kepada orang
yang mengeluarkan barang dagangan. Sementara pembeli adalah orang yang mengeluarkan
bayaran. Penjual adalah yang mengeluarkan barang miliknya. Sementara pembeli adalah orang
yang menjadikan Barang itu miliknya dengan kondisi kompensasi pembayaran. Lihat dalam
karyanya, Fikih Ekonomi Keuangan Islam. cet. I, (Jakarta: Darul Haq, 2004), hlm. 89-90. menurut
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis: Kata Jual beli terdiri dari dua suku kata yaitu jual
dan beli. Sebenarnya kata "jual" dan "beli" mempunyai arti satu sama lainnya bertolak belakang.
Lihat. Hukum Perjanjian Dalam Islam, hlm. 33. 3 Abdullah al-Mushlih dan Shalah ash-Shawi, op. cit, hlm. 345.
4 Tim Pengembangan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan
Implementasi Operasional Bank Syariah, (Jakarta: Djambatan, 2002), hlm. 35. menurut
Suhrawardi K. Lubis, Riba merupakan pemerasan yang dilakukan oleh orang kaya terhadap orang
miskin yang pada dasarnya membutuhkan pertolongan agar dapat melepaskan diri dari
kesulitan hidupnya, terutama dalam kebutuhan pokok. Lihat: Hukum Ekonomi Islam, hlm. 28
37
Manusia merupakan makhluk yang "rakus", mempunyai hawa nafsu
yang bergejolak dan selalu merasa kekurangan sesuai dengan watak dan
karakteristiknya, tidak pernah merasa puas, sehingga transaksi-transaksi yang
halal susah didapatkan karena disebabkan keuntungannya yang sangat minim,
maka haram pun jadi (riba). Ironis memang, justru yang banyak melakukan
transaksi yang berbau riba adalah kalangan umat Muslim yang notabene
mengetahui aturan-aturan (the rules of syariah) syari'at Islam. Sarjana barat
pernah berkomentar, bahwa sarjana Barat tersebut menemukan banyak orang
Islam di Indonesia, tetapi perbuatan orang Islam di Indonesia sedikit yang
Islami, sebaliknya sarjana Barat sedikit menemukan orang Islam di negara
barat tetapi perbuatan atau pekerjaannya mencerminkan kebudayaan Muslim
(Islamic values).5 Kalau demikian kondisi umat Islam, maka celakalah
"mereka". Karena seorang muslim sejati hanya akan "melongok" dunia
perekonomian melalui kaca mata Islam yang selalu mengumandangkan "ini
halal dan ini haram, ini yang diridhoi Allah dan yang ini dimurkai oleh-Nya"
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bercorak kepustakaan (library research) yaitu serangkaian
kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca,
dan mencatat serta mengolah bahan penelitian. (Mestika Zed, 2004: 3) Sumber
primer dalam pembahasan ini yaitu berupa kitab suci al-Qur’an. Sumber
sekunder berupa kitab-kitab tafsir seperti: tafsir karangan M. Quraish Shihab
yaitu Tafsir al-Misbah dan kitab-kitab tafsir serta buku-buku yang relevan
dengan topik penelitian.
PEMBAHASAN
KAJIAN TEORI
1. Pengertian Riba
Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti
tambahan (azziyadah),5 berkembang (an-numuw), membesar (al-'uluw)
6
5 Abu Sura'i Abdul Hadi, Bunga Bank Dalam Islam, alih bahasa M. Thalib, (Surabaya:
al- Ikhlas, 1993), hlm. 125. menurutnya riba adalah tambahan yang berasal dari usaha haram yang
merugikan salah satu pihak dalam suatu transaksi.
38
dan meningkat (al-irtifa'). Sehubungan dengan arti riba dari segi bahasa
tersebut, ada ungkapan orang Arab kuno menyatakan sebagai berikut;
arba fulan 'ala fulan idza azada 'alaihi (seorang melakukan riba terhadap
orang lain jika di dalamnya terdapat unsur tambahan atau disebut
liyarbu ma a'thaythum min syai'in lita'khuzu aktsara minhu (mengambil
dari sesuatu yang kamu berikan dengan cara berlebih dari apa yang
diberikan).7
Menurut terminologi ilmu fiqh, riba merupakan tambahan
khusus yang dimiliki salah satu pihak yang terlibat tanpa adanya
imbalan tertentu. Riba sering juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris
sebagai "Usury" dengan arti tambahan uang atas modal yang diperoleh
dengan cara yang dilarang oleh syara', baik dengan jumlah
tambahan yang sedikit atau pun dengan jumlah tambahan banyak.
Berbicara riba identik dengan bunga bank atau rente, sering kita
dengar di tengah-tengah masyarakat bahwa rente disamakan dengan
riba. Pendapat itu disebabkan rente dan riba merupakan "bunga" uang,
karena mempunyai arti yang sama yaitu sama-sama bunga, maka
hukumnya sama yaitu haram.
Dalam prakteknya, rente merupakan keuntungan yang diperoleh
pihak bank atas jasanya yang telah meminjamkan uang kepada debitur
dengan dalih untuk usaha produktif, sehingga dengan uang pinjaman
tersebut usahanya menjadi maju dan lancar, dan keuntungan yang
diperoleh semakin besar. Tetapi dalam akad kedua belah pihak baik
kreditur (bank) maupun debitur (nasabah) sama-sama sepakat atas
keuntungan yang akan diperoleh pihak bank. Timbullah pertanyaan, di
mana letak perbedaan antara riba dengan bunga? Untuk menjawab
pertanyaan ini, diperlukan definisi dari bunga. Secara leksikal, bunga
6 Menurut Syaikh Abul A'la al-Maududi An-Numuw adalah pertumbuhan dan Al-'Ulu
adalah tinggi, lihat, Bicara Tentang Bunga Bank dan Riba, h. 110 7 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, Sebuah Studi atas Pemikiran
Muhammad Abduh, cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Academia, 1996), h.
37.
39
sebagai terjemahan dari kata interest yang berarti tanggungan pinjaman
uang, yang biasanya dinyatakan dengan persentase dari uang yang
dipinjamkan.8 Jadi, uraian di atas dapat disimpulkan bahwa riba
"usury" dan bunga "interest" pada hakikatnya sama, keduanya sama-
sama memiliki arti tambahan uang. Abu Zahrah dalam kitab Buhūsu fi al-
Ribā menjelaskan mengenai haramnya riba bahwa riba adalah tiap
tambahan sebagai imbalan dari masa tertentu, baik pinjaman itu untuk
konsumsi atau eksploitasi, artinya baik pinjaman itu untuk mendapatkan
sejumlah uang guna keperluan pribadinya, tanpa tujuan untuk
mempertimbangkannya dengan mengeksploitasinya atau pinjaman itu
untuk dikembangkan dengan mengeksploitasikan, karena nash itu bersifat
umum.9
Abd al-Rahman al-Jaziri mengatakan para ulama' sependapat bahwa
tambahan atas sejumlah pinjaman ketika pinjaman itu dibayar dalam
tenggang waktu tertentu 'iwadh (imbalan) adalaha riba.10 Yang dimaksud
dengan tambahan adalah tambahan kuantitas dalam penjualan asset
yang tidak boleh dilakukan dengan perbedaan kuantitas (tafadhul), yaitu
penjualan barang-barang riba fadhal: emas, perak, gandum, serta segala
macam komoditi yang disetarakan dengan komoditi tersebut.
Riba (usury) erat kaitannya dengan dunia perbankan konvensional, di
mana dalam perbankan konvensional banyak ditemui transaksi-transaksi
yang memakai konsep bunga, berbeda dengan perbankan yang
berbasis syariah yang memakai prinsip bagi hasil (mudharabah) yang
8 Muhammad, Manajemen Bank Syariah, edisi revisi, (Yogyakarta: Unit Penerbit dan
Peretakan (UPP) AMP YKPN, 2002), h. 35. menurut Tim Pengembangan Syariah Institut Bankir
Indonesia, bahwa pengertian dari interest atau bunga adalah uang yang dikenakan atar dibayar
atas penggunaan uang, sedangkan konsep usury adalah pekerjaan meminjamkan uang dengan
mengenakan bunga yang tinggi. Lihat. Tim Pengembangan Syariah Institut Bankir Indonesia,
Konsep Produk dan Implementasi Operasional bank Syariah, h. 36. 9 Muhammad Abū Zahrah, Buhūsu fi al-Ribā, cet.1, (Bairut: Dār al-Buhus al-Ilmīyah, 1399
H/ 1980 M), h. 38-39. 10
Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-arba'ah, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1972), juz. II, h. 245.
40
belakangan ini lagi marak dengan diterbitkannya undang-undang
perbankan syariah di Indonesia nomor 7 tahun 1992.11
Mengenai hal ini, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengingatkan dalam
firman-Nya:
عن تجارة
ون
ك
ت
ن
أ
باطل إل
م بال
ك
م بين
ك
موال
وا أ
لكأ ت
وا ل
ذين ءامن
ها ال ي
ياأ
مك
راض من
ت
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (Q.S. An-Nisa
[4]: 29).
Dalam kaitannya dengan pengertian Al-bathil dalam ayat tersebut,
Ibnu Al- Arabi al-Maliki dalam kitabnya Ahkam Al Qur’an menjelaskan:
والربا في اللغة هو الزيادة , والمراد به في الآية كل زيادة لم يقابلها عوضArtinya: “Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang
dimaksud riba dalam ayat ini quran ini yaitu setiap penambahan
yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau
penyeimbang yang dibenarkan syariah”.
Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu
transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan
tersebut secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil
proyek.
Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena
adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis
suatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, sesudah
dipakai maka nilai ekonomisnya pasti menurun jika dibandingkan
sebelumnya.
Dalam hal jual beli, si pembeli membayar harga atas imbalan barang
yang diterimanya. Demikian pula dalam proyek bagi hasil, para peserta
perkongsian berhak mendapat keuntungan karena di samping menyertakan
11
Lihat Undang-undang Perbankan, Undang-undang No. 10 Th. 1998 tentang perubahan
Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan,(Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 44-45.
pada pasal 13 huruf C disebutkan bahwa Bank Perkreditan Rakyat yang melaksanakan kegiatan
usahanya berdasarkan prinsip syariah tidak diperkenankan melaksanakan kegiatan secara
konvensional. Sebaliknya Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha secara
konvensional tidak diperkenankan melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah.
41
modal juga turut serta menanggung kemungkinan resiko kerugian yang bisa
saja muncul setiap saat.
Dalam transaksi simpan pinjam dana, secara konvensional, si pemberi
pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu
penyeimbang yang diterima si peminjam, kecuali kesempatan dan faktor
waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil di
sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus,
mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut.
Demikian pula dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya
hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan
dan mengusahakannya. Bahkan, ketika orang tersebut mengusahakan bisa
saja untung dan juga rugi.
Pengertian senada disampaikan oleh jumhur ulama sepanjang sejarah
Islam dari berbagai madzhab fiqhiyyah. Di antaranya sebagai berikut:
1. Badr ad-Din al Ayni, pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih al Bukhari :
على أصل مال من غير عقد تبايع وهو في الشرع الزيادة–الأصل فيه )الربا( الزيادة ” Artinya: “Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut
Syariah, riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya
transaksi bisnis riil.
2. Imam Syarakhsi dari Madzhab Hanafi:
في البيع الربا هو الفضل الخالي عن العوض المشروط Artinya: “Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis
tanpa adanya ‘iwadh (atau padanan) yang dibenarkan syariah
atas penambahan tersebut”.
3. Raghib al-Ashfahani:
)هو الزيادة على رأس المال )المفردات في غريب القرآنArtinya: “Riba adalah penambahan atas harta pokok”.
4. Qatadah:
ان الربا الجاهلية أن يبيع الرجل البيع الى أجل مسمى فإذا حل “
الآجل ولم يكن عند صاحبه قضاء زاد وأخر عنه
Artinya: “Riba Jahiliyah adalah seseorangh yang menjual barangnya
secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat
pembayaran dan si pembeli tidak mampu membayar, ia
memberikan bayaran tambahan atas penangguhan”.
5. Zaid Bin Aslam
42
في التضعيف وفي السن يكون للرجل فضل دين إنما كان ربا الجاهلية
فيأتيه إذا حل الأجل فيقول تقضينى أو تزيدنيArtinya: “Yang dimaksud dengan riba Jahiliyah yang berimplikasi
pelipatgandaan sejalan dengan waktu adalah seorang yang
memiliki piutang atas mitranya, pada saat jatuh tempo, ia
berkata, “Bayar sekarang atau tambah”.
2. Jenis-Jenis Riba
Secara garis besar, riba dikelompokan menjadi dua. Masing-masing
adalah riba utang piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi
menjadi riba qardh dan riba Jahiliyah. Adapun kelompok kedua, riba jual beli,
terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.
a) Riba Qardh. Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang
disyaratkan terhadap yang berutang (Muqtaridh)
b) Riba Jahiliyyah. Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam
tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
c) Riba Fadhl. Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran
yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk
dalam jenis barang ribawi.
d) Riba Nasi’ah. Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang
ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba
dalam Nasiah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau
tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan
kemudian.
Mengenai pembagian dasn jenis-jenis riba, berkata Ibnu Hajar al
Haitsami, “Riba itu terdiri atas tiga jenis: riba fadhl, riba al-yaad, dan riba
an-nasi’ah. Al –Mutawally menambahkan jenis keempat, yaitu riba al-qardh.
Beliau juga menyatakan bahwa semuaa jenis ini diharamkan secara ijma
berdasarkan nash Al Qur’an dan hadits Nabi”.
3. Jenis-Jenis Barang Ribawi
Para ahli fiqih Islam telah membahas masalah riba dan jenis barang
ribawi dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan
43
ini akan disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya
bahwa barang ribawi meliputi:
a) Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk
lainnya;
b) bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung, serta bahan
makanan tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
Dalam kaitannya dengan perbankan syariah, implikasi ketentuan tukar-
menukar antara barang ribawi dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Jual beli antara barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan
kadar yang sama. Barang tersebut harus diserahkan saat transaksi jual
beli. Misalnya, rupiah dengan rupiah hendaklah Rp. 5.000,00 dengan
Rp. 5.000,00 dan diserahkan ketika tukar menukar.
2) Jual beli antara barang-barang ribawi yang berlainan jenis
diperbolehkan dengan jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat
barang yang diserahkan pada saat akad jual beli, misalnya Rp. 5.000,00
dengan 1 dollar Amerika.
3) Jual beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak disyaratkan
untuk sama dalam jumlah maupun untuk diserahkan pada saat akad.
Misalnya, mata uang (emas, perak, atau kertas) dengan pakaian.
4) Jual beli antara barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa
persamaan dan diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian dengan
barang elektronik.
4. Larangan Riba dalam Al-Qur’an dan Hadits
Larangan riba muncul dalam Al-Qur’an dalam empat tahap:
Tahap Pertama
44
ير
لاس ف موال الن
يتم من ربا ليربو في أ
يتموما آت
ه وما آت
اة بو عند الل
من زك
ضعفون ئك هم ال
ول
أه ف
ريدون وجه الل
(39)ت
Artinya :“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta masnusia, maka riba itu tidak menambah
pada sisi Allah SWT. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat
yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka
(yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat
gandakan (pahalanya). (QS. Ar-Rum : 39)
Ayat ini turun: Mekkah dan menjadi tamhid di haramkannya riba dan
urgensi untuk menjauhi riba.
Tahap Kedua
هم هم وبصدت ل
حل
بات أ ي
يهم ط
منا عل ذين هادوا حر
م من ال
لبظ
ه ف
سبيل الل
ثيرا ب (160)ك
اس بال موال الن
لهم أ
كد نهوا عنه وأ
با وق ذهم الر
خ
اس وأ اطل الن
ليماابا أ
افرين منهم عذ
ك
ا لل
عتدن
باطل وأ
(161) بال
Artinya: “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami
haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik
(yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka
banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah SWT. (QS. An-
Nisa: 160-161)
Ayat ini turun di Madinah dan meceritakan tentang perilaku Yahudi yang
memakan riba dan di hukum Allah SWT. Ayat ini merupakan peringatan bagi
pelaku riba.
Tahap Ketiga
نتم مؤمنبا إن ك روا ما بقي من الر
ه وذ
قوا الل ذين آمنوا ات
ها ال ي
إن (278) ينيا أ
ف
م لموالك
م رءوس أ
ك
لبتم ف
ه ورسوله وإن ت
وا بحرب من الل
نذ
أوا ف
فعل
م ت
ل
مونلظ
ت
لمون ول
ظ
(279) ت
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-
orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba) maka ketauhilah bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak dan tidak (pula) dianiaya (Al-Baqarah:
278-279).
45
Pada tahap ini Al-Qur’an telah mengharamkan seluruh jenis riba dan
segala macamnya. Alif lam kata (ال) mempunya fungsi lil jins, maksudnya
diharamkan semua jenis dan macam riba dan bukan hanya pada riba jahiliyah saja
atau riba Nasi’ah. Hal yang sama pada alif lam kata (البيع) yang berarti semua jenis
jual beli.
Adapun larangan dalam hadits :
a) بااجتن نها أكل الر بع الموب يقات وم بوا الس
Artinya: “Jauhilah tujuh perkara yang menghancurkan diantaranya
memakan riba”. (HR. Bukhori)
b) ديه وقال هم سواء له وكات به وشاه با ومؤك ل الر صلى الل عليه وسلم آك
عن جاب ر قال لعن رسول الل
Artinya: “Jabir berkata bahwa Rasulullah SAW mengutuk orang
yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan
orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian
beliau bersabda, “Mereka itusemuanya sama.” (H.R. Muslim)
5. Hukum Riba
Islam memperbolehkan mengembangkan harta dengan jalan berdagang.
Allah berfirman:
عن تجارة
ون
ك
ت
ن
أ
باطل إل
م بال
ك
م بين
ك
موال
وا أ
لكأ ت
وا ل
ذين ءامن
ها ال ي
ياأ
مك
راض من
ت
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. (Q.S. An-Nisa [4]: 29).
Akan tetapi Islam membendung jalan bagi semua orang untuk
mengembangkan hartanya dengan jalan riba. Islam mengharamkan riba yang
sedikit dan yang banyak, Islam mencela orang-orang yahudi yang memungut riba
padahal mereka dilarang.
Di antara ayat–ayat Al Quran yang diturunkan belakangan ialah firman
Allah dalam surat Al Baqarah:
46
م تن
ك
با إن
روا ما بقي من الر ه وذ
وا الل
ق
وا ات
ذين ءامن
ها ال ي
ياأ
(منين
م 872مؤ
ك
لم ف
بت
ت
ه ورسوله وإن
وا بحرب من الل
نذ
أوا ف
عل
ف
م ت
ل
إن
(ف
مو)رءوس أ
مون
لظ
ت
ول
لمون
ظ
ت
م ل
)872الك
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka
jika kamu tidak mengerjakan, maka ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat, maka
bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak
dianiaya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 278-279).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyatakan perang kepada riba
dan orang-orang yang memungut riba, di samping menjelaskan bahaya riba bagi
masyarakat. Sabdanya, “Apabila riba dan zina sudah merajalela di suatu negri,
maka mereka telah menghalalkan dirinya untuk menerima adzab Allah.” (H.R.
Al-Hakim).
Larangan riba ini bukan hal baru di antara agama-agama samawi, dalam
agam Yahudi, tepatnya dalam perjanjian lama terdapat ayat: ”Jikalau kamu
memberi pinjaman uang kepada umat-Ku, yaitu kepada orang-orang miskin yang
di antara kamu, maka jangan kamu menjadi baginya seperti penagih utang yang
keras, dan jangan ambil bunga darinya”. (Kitab keluaran,Pasal 22, ayat 25).
Di kalangan agama kristen juga demikian, misalnya dalam kitab Injil
Lukas disebutkan: “Tetapi hendaklah kamu mengasihi seterumu, dan berbuat
baik, dan memberi pinjam dengan tiada berharap akan menerima balik, maka
berpahala besarlah kamu kelak.” (Lukas 6: 35)
Tetapi sayang tangan-tangan usil telah sampai kepada perjanjian lama,
sehingga mereka menjadikan kata “Saudaramu” di atas dikhususkan buat orang-
orang Yahudi, sebagaimana disebutkan dalam Kitab Ulangan: “Maka daripada
orang lain bangsa boleh kamu mengambil bunga, tetapi daripada saudaramu tak
boleh kamu mengambil dia.” (Pasal 23, ayat 20).
6. Pandangan para pakar tentang riba
Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram dan termasuk dosa besar.
Keadaan seperti yang di gambarkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullahu sebagai
47
berikut: “Tidak ada suatu ancaman hukuman atas dosa besar selain syirik yang
disebut dalam Al Qur’an yang lebih dasyat selain riba”. Kesepakatan ini dinukil
oleh Al-Muwardi rahimahullahu. Mohammad Ali Al-Saayis di dalam Tafsiir Ayat
Ahkaam menyatakan, telah terjadi kesepakatan atas keharaman riba.
Secara garis besar pandangan tentang hukum riba ada dua kelompok,
yaitu:
1. Kelompok pertama mengharamkan riba yang berlipat
ganda/ ad’âfanmudhâ’afa, karena yang di haramkan Al-Qur’an adalah riba
yang berlipat ganda saja, yaitu riba nas’ah, terbukti juga dengan hadist
tidak ada riba kecuali nasi’ah. Karenanya selain riba nasi’ah maka
diperbolehkan.
2. Kelompok kedua mengharamkan riba, baik yang besar maupun kecil. Riba
dilarang dalam Islam baik besar maupun kecil berlipat ganda ataupun
tidak. Riba yang berlipat ganda haram hukumnya karena zatnya, sedang
riba kecil tetap haram karena untuk menutup pintu ke riba yang lebih besar
(harâmunlisyadudzari’ah).
7. Hikmah Diharamkannya Riba
Jika Islam memperketat urusan riba dan memperkeras keharamannya,
sesungguhnya ia bermaksud memelihara kemashlahatan manusia baik
mengenai akhlak, hubungan sosial, maupun ekonominya. Para ulama
Islam menyebutkan beberapa alasan rasional mengenai hikmah
diharamkannya riba. Penjelasan ini kemudian diperkuat oleh kajian-
kajian kontemporer. Tetapi kami rasa cukup apa yang dikemukakan oleh
Imam ar Razi dalam tafsirnya, sebagai berikut:
Pertama: bahwa riba adalah mengambil harta orang lain tanpa imbalan,
karena orang yang menjual satu dirham dengan dua dirham berarti dia
mendapatkan tambahan satu dirham tanpa imbalan apa-apa. Sedang harta
seseorang merupakan standar hidupnya yang memiliki kehormatan besar,
sebagaimana disebutkan dalam hadits:
48
“Kehormatan harta seseorang seperti kehormatan darahnya.” (HR. Abu
Nua’im). Oleh karena itu mengambil harta orang lain tanpa imbalan sudah
pasti haram.
Kedua: bahwa bergantung kepada riba akan menghalangi orang dari
melakukan usaha, karena apabila pemilik uang sudah dapat menambah
hartanya dengan melakukan transaksi riba, baik tambahan itu diperoleh
secara kontan atau berjangka, maka dia akan meremehkan persoalan
mencari penghidupan, sehingga nyaris dia tidak mau menanggung resika
berusaha, berdagang, dan pekerjaan-pekerjaan yang berat.
Hal ini akan mengakibatkan terputusnya kemanfaatan bagi masyarakat.
Dan sudah dimaklumi bahwa kemaslahatan dunia tidaka akan dapat
diwujudkan kecuali dengan adanya perdagangan , ketrampilan,
perusahaan, dan pembangunan. (Tidak diragukan lagi bahwa hikmah ini
pasti dapat diterima dari pandangan pereokonomian).
Ketiga: bahwa riba akan menyebabkan terputusnya kebaikan antar
masyakat dalam bidang pinjam-meminjam. Karena apabila riba
diharamkan maka hati akan merasa rela meminjamkan uang satu dirham
dan kembalinya juga satu dirham. Sedangkan jika riba dihalalkan, maka
kebutuhan orang yang terdesak akan mendorongnya untuk mendapatkan
uang satu dirham dengan pengembalian dua dirham. Hal demikian ini
sudah barang tentu akan menyebabkan terputusnya perasaan belas
kasihan, kebaikan dan kebajikan. (alasan ini tentu dapat diterima dari
segi akhlak).
Keempat: pada umumnya orang yang memberikan pinjaman adalah
orang kaya, sedang yang meminjam adalah orang miskin. Pendapat yang
memperbolehkan riba berarti memberikan jalan bagi orang kaya untuk
memungut tambahan harta dari orang miskin yang lemah. Padahal
tindakan demikian itu tidak diperbolehkan menurut asas kasih saying
yang Maha penyayang. (Ini ditinjau dari segi social).
Ini semua dapat diartikan bahwa di dalam riba terdapat unsur
pemerasan terhadap orang yang lemah untuk kepentingan orang yang
49
kuat. Akibatnya yang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertambah
miskin. Hal ini akan mengarah kepada tindakan membesarkan satu kelas
masyarakat atas pembiayaan kelas lain yang pada gilirannya akan
menciptakan kedengkian dan sakit hati, akan menyulut api permusuhan
antara sebagian masyarakat terhadap sebagian yang lain, bahkan dapat
menimbulkan pembrontakan dari kelompok ekstrem dan fundamentalis.
Sejarah juga telah mencatat bagaimana bahaya riba dan pemakan
riba terhadap politik, hukum, keamanan nasional dan internasional.
8. Pemberi Riba dan Penulisnya
Pemberi riba adalah pemilik harta yang memberikan pinjaman
kepada orang yang meminjamnya, dengan meminta pengembalian lebih
dari pinjaman pokoknya. Orang yang demikian ini tidak diragukan lagi
dikutuk Allah dan semua manusia. Akan tetapi Islam sesuai sunnahnya
dalam mengharamkan sesuatu-tidak hanya membatasi dosa itu pada
orang yang memakan riba saja, melainkan sama pula dosanya bagi orang
yang memberi makan riba, yakni peminjam yang memberikan bunga,
penulis dan dua orang saksinya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda dalam haditsnya:
ه كل
با ومؤ
م آكل الر يه وسل
ه عل
ى الل
ه صل
عن رسول الل
ال ل
عن ابن مسعود ق
اتبهاهديه وك
وش
Artinya: “Allah melaknat pemakan riba, yang memberi makan riba, dua
orang saksinya dan penulisnya”. (H.R. At-Tirmidzi).
Dari uraian makalah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa riba
merupakan kegiatan eksploitasi dan tidak memakai konsep etika atau
moralitas. Allah mengharamkan transaksi yang mengandung unsur
ribawi, hal ini disebabkan mendhalimi orang lain dan adanya unsur
ketidakadilan (unjustice). Para ulama sepakat dan menyatakan dengan
tegas tentang pelarangan riba, dalam hal ini mengacu pada Kitabullah
dan Sunnah Rasul serta ijma' para ulama'.
50
Transaksi riba biasanya sering terjadi dan ditemui dalam transaksi
hutang piutang dan jual beli. Hutang piutang merupakan transaksi yang
rentan akan riba, di mana kreditor meminta tambahan kepada debitur atas
modal awal yang telah dipinjamkan sebelumnya.
Riba disamaartikan dengan rente yaitu pengambilan tambahan dari
harta pokok atau modal secara batil, karena sama-sama mengandung
bunga (interest) uang, maka hukumnya sama pula.
Secara garis besar riba riba ada dua yaitu: riba akibat hutang
piutang dan riba akibat jual beli. Kaum modernis memandang riba lebih
menekankan kepada aspek moralitas, bukan pada aspek legal formalnya,
tetapi mereka (kaum modernis) tidak membolehkan kegiatan
pengambilan riba.
Islam mengharamkan riba selain telah tercantum secara tegas dalam
al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 278-279 yang merupakan ayat terakhir
tentang pengharaman riba, juga mengandung unsur eksploitasi. Dalam
surat al-baqarah disebutkan tidak boleh menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya, maksudnya adalah tidak boleh melipatgandakan (ad'afan
mudhaafan) uang yang telah dihutangkan, juga karena dalam kegiatannya
cenderung merugikan orang lain.
A. Daftar Rujukan
Abū Zahrah, Muhammad. Buhūsu fi al-Ribā, cet.1, (Bairut: Dār al-Buhus al-
Ilmīyah, 1399 H/ 1980 M
Abdul Hadi, Abu Sura'i. Bunga Bank Dalam Islam, alih bahasa M. Thalib,
Surabaya: al- Ikhlas, 1993
Al-Munawwir, kamus al- Munawir, kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta:
PP. al-Munawwir, 1997
al-Jaziri, Abdurrahman. kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Arba'ah, Beirut: dar
al-Fikr, 1972
al-Mushlih, Abdullah. dan Shalah ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan
Islam. Jakarta: Darul Haq, 2004
51
al-Maududi, Syaikh Abul A'la. Bicara Tentang Bunga Bank dan Riba,
TTp:Tp, Tth
K. Lubis, Suhrawardi. Hukum Ekonomi Islam, TTp:Tp, Tth
Muhammad, Manajemen Bank Syariah, edisi revisi, Yogyakarta: Unit
Penerbit dan Peretakan (UPP) AMP YKPN, 2002
Nasution, Khoiruddin . Riba dan Poligami, Sebuah Studi atas
Pemikiran Muhammad Abduh, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
bekerjasama dengan Academia, 1996
Pasaribu, Chairuman. dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam
Islam,TTp:Tp, Tth
Tim Pengembangan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan
Implementasi Operasional Bank Syariah, Jakarta: Djambatan, 2002
Undang-undang Perbankan, Undang-undang No. 10 Th. 1998 tentang
perubahan Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan,
Jakarta: Sinar Grafika, 2005