Upload
henry-sugiharto
View
265
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
1/34
BAB I
PENDAHULUAN
Miastenia gravis (MG) dengan nama-nama lain seperti asthenic bulbar
palsy, myasthenia gravis pseudoparalytica atau Goldflam's disease1 merupakan
kelainan neuromuscular junction (NMJ) yang paling banyak, ditandai dengan
kelemahan dan kelelahan otot skletal. Sebagian besar adalah penyakit autoimun
yang dimediasi oleh antibodi. Kerusakan yang mendasarinya adalah berkurangnya
jumlah reseptor asetilkolin (AchRs) yang tersedia pada NMJ secara menyeluruh
dan merusak membran postsinaptik.2,3,4,5
Prevalensi MG sekitar 1 kasus dalam 10.000 20.000 orang. MG lebih
sering terdapat pada orang dewasa, dapat juga pada anak dan bisa timbul segera
setelah lahir atau sesudah umur 10 tahun Wanita lebih sering terkena pada usia
dekade kedua dan ketiga, dan laki-laki lebih sering pada usia dekade kelima dan
keenam.2,3
Timoma merupakan neoplasma primer yang tersering ditemukan pada
mediastinum, sekitar 15% dari semua tumor anterior mediastinum.6 Tumor ini
berasal dari sel-sel epitel timus dan etiologinya tidak diketahui pasti tapi keadaan
ini dihubungkan dengan beberapa sindroma sistemik. Sekitar 30-50% pasien
timoma memiliki gejala-gejala dari MG. Kasus timoma termasuk sangat jarang,
insidennya 1,5 /1.000.000 penduduk per tahun dan biasanya mengenai kelompok
usia antara 40 sampai 60 tahun.5,6,7
Hubungan antara MG dan timoma ditemukan kebetulan pada tahun 1939
ketika Blalock dan rekan kerja melaporkan eksisi pertama dari kista thymic pada
gadis 19 tahun dengan MG. Pasien ini mencapai remisi jangka panjang, sehingga
timektomi menjadi terapi definitif untuk pengobatan MG umum. 8
Berikut ini akan ditampilkan laporan kasus pasien MG dengan timoma.
Kasus ini diangkat karena termasuk kasus jarang dan juga penting untuk
pembelajaran dalam menegakkan diagnosis serta penatalaksanaannya dan
menambah wawasan kita semua.
1
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
2/34
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 IDENTIFIKASI
Seorang laki-laki, Tn.S,Petani, umur 46 tahun, Islam, alamat Sekarjaya,
Batu raja, dirawat di ruang RA kamar II.1 RS Mohammad Hoesin pada tanggal 30
April 2010.
2.2 RIWAYAT PERJALANAN PENYAKITPenderita dikonsulkan dari bagian Penyakit Dalam karena kedua kelopak
mata jatuh, sukar di buka , bicara pelo dan susah menelan yang terjadi secara
perlahan-lahan.
sejak 4 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS) penderita sering
mengeluh nyeri dada, seperti ditusuk-tusuk, tidak menjalar, sesak napas kadang-
kadang muncul, tidak dipengaruhi aktivitas, cuaca, atau stress. sesak napas
terutama muncul ketika berbaring terlentang dan merasa lebih nyaman jika tidur
miring ke kanan, batuk (+), berdahak, encer, darah(-).
3 bulan SMRS keluhan diikuti dengan pandangan mata kiri terlihat menjadi dua
terutama ketika menjelang sore hari.
1 bulan SMRS kelopak mata kiri jatuh, sukar dibuka dan badan terasa mudah
capek terutama setelah beraktivitas dan menjelang sore hari, namun keluhan
berkurang sesudah penderita istirahat.
2 minggu SMRS keluhan bertambah berat, diikuti dengan mata kanan, saat bicara
kadang-kadang timbul cadel, penderita juga mengeluh sulit menelan bahkan
ketika minum air hingga keluar dari hidung. Tidak ada kelemahan tungkai dan
lengan, tidak ada demam, tidak ada kesulitan bernapas. Penderita kemudian
berobat ke rumah sakit umum daerah Baturaja dan dirawat selama 5 hari, disana
penderita dikatakan menderita tumor paru dan dirujuk ke RSMH untuk perawatan
lanjutan.
Riwayat sakit darah tinggi disangkal, Riwayat sakit jantung di sangkal,
Riwayat kencing manis disangkal, , Riwayat batuk lama disertai berat badan
2
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
3/34
menurun disangkal, Riwayat benjolan di daerah leher disangkal.Riwayat penyakit
yang sama dalam keluarga disangkal.
Penyakit ini diderita untuk pertama kalinnya.
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
1. Status generalis: keadaan umum tampak sakit berat, kesadaran kompos
mentis, tekanan darah 130/90 mm/Hg, denyut nadi 98 x/menit,reguler, isi dan
tegangan cukup, RR: 22 x/m, suhu badan 37,2C, BB : 54 Kg, TB : 160 cm,
Status Gizi : Normowieght. Konjuntiva tidak pucat, sklera tidak ikterik. Toraks
simetris, kor dan pulmo dalam batas normal. Abdomen datar, lemas, hepar dan
lien tidak teraba, bising usus normal.
2. Pemeriksaan klinis neurologis:
Nervi craniales:
N III : pupil, bulat, isokor, 3 mm, reflek cahaya +/+, gerakan bola mata ke
segala arah.
Tes Wartenberg : Positif (Ptosis) dan diplopiaN.IX, X : Archus pharing simetris, uvula di tengah, disfoni, disfagia
N. XII : Deviasi (-), Disatria, fasikulasi (-), atropi papil lidah (-)
Tes Menghitung : Disatria dan disfoni.
Fungsi motorik:
Penilaian Lengan kanan Lengan kiri Tungkai
kanan
Tungkai kiri
Gerakan Cukup Cukup Cukup CukupKekuatan 5 5 5 5Tonus Normal Normal Normal NormalKlonus - -Ref. fisiologis Normal Normal Normal NormalRef. Patologis - - - -
Fungsi sensorik : tidak ada kelainan
Fungsi luhur : tidak ada kelainan
Fungsi vegetatif : tidak ada kelainan
3
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
4/34
Gejala rangsang meningeal : tidak ada
Gerakan abnormal : tidak adaGait & keseimbangan : tidak ada kelainan
2.4 HASIL PEMERIKSAAN :
Rontgen thorax PA : 27 April 2010
Kondisi foto baik, posisi simetris kanan = kiri, trakea di tengah, tulang-tulang
baik, sela iga tidak melebar, CTR > 50%, sudut costophrenicus : tajam,
diapragma tenting : (-), parenkim : perselubungan homogen, berbatas tegas pada
hilus kiri
Kesan : cenderung massa mediastinum kiri
Laboratorium ( 2- Mei-2010)
Hematologi
Hb : 15,2 g/dl Hematokrit : 46 vol % Trombosit : 17.000/mm3
Leukosit : 7.300 /mm3 LED : 7 mm/jam DC : 0/1/0/45/46/8
Kimia Klinik
GDS : 82 mg/dl As.urat : 5,0 mg/dl Ureum : 27 mg/dl
kreatinin : 1,2 mg/dl Na : 138 mmol/l K : 3,3 mmol/l
SGOT : 24 U/l SGPT : 22 U/l LDH : 352 U/l
Prot.total : 7,0 g/dl Albumin : 4,6 g/dl Globulin : 2,4
EKG : 2 Mei 2010
irama sinus, axis kiri, HR : 93 x/mnt, gelombang P normal, interval PR : 0,16 dtk,
kompleks QRS : 0,06 dtk, R/S V1 < 1, S V1 + R V5/V6 < 35, ST-T changed (-),
Kesan : LAD.
Konsul Bagian Mata : 4 Mei 2010
kesan : susp.miastenia gravis
4
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
5/34
saran :
metilcobalt 3x500 mg Konsul bag.neurologi
pro CT scans thoraks
konsul poli neurooftalmologi 1 minggu lagi
2.5 DIAGNOSA AWAL :
Diagnosis Klinis : Observasi Ptosis + diplopia ODS, disfagia dan disatria
(sindrom miastenia gravis) Diagnosis Topik :Neuromuscular junction
Diagnosis Etiologi : DD/ -Tumor Mediastinum : Timoma
-Hiperplasia timus
2.6 PENATALAKSANAAN
Piridostigmin 60 mg 2 x1 tab Vit BiB6B12 3 x 1
Cek lab lengkap
Tes Prostigmin
ENMG
Cek Lab Antibodi Reseptor Asetilkolinesterase
CT scan Thorak
Rawat bersama
2.7 PROGNOSA
Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad Fungtionam : Dubia ad Bonam
5
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
6/34
2.8 FOLLOW-UP PENDERITA
Tanggal Klinis Laboratorium Pem. Penunjang dan Konsul Terapi
7-5-2010(VIII)
Kel : Batuk, kadang-kadang ptosis, pandangan ganda,bicara cadel.susah menelan (-)
Status generalis : .Sens : CMTD : 120/90 mm/Hg,Nadi : 95 x/m, RR :20 x/m, Temp : 37 oC
Tes Prostigmin : Positif ENMG :
Pada pemeriksaan Harvey Maslandtest dengan perangsangan repetitif(RNS=Repetitive nerve stimulation)
pada N.axillaris kiri dengan frekuensi3 Hz/dtk, tampak penurunan amplitudoyang melebihi 10 % (decrement +).Kesan :Harvey Masland tes +(Positive).
PENATALAKSANAAN :
Istirahat Diet NB TKTP Mestinon 2 x 1 tab. Prednison 5 mg tab 2-2-1. Vit BiB6B12 3 x 1 As. Mefenamat 3 x 500 mg OBH sy 3 x 1 tab. Rencana :
- Ct scan thorax- Cek Antibodi Achr- Cek T3, T4,TSH.- Konsul Bedah Thorax.
9- 13Mei 2010
(X-XIV)
Kel : Ptosis, pandanganganda, bicara cadelberkurang.
Status generalis : .Sens : CM
TD : 120/90 mm/Hg,Nadi : 95 x/m, RR :20 x/m, Temp : 37 oC,,
Hasil Pemeriksaan Sputum :
BTA : Negatif
Konsul Divisi Pulmonlogi :
Saran : Ro thoraks lateral sinistra dan AP
Th/ teruskan
6
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
7/34
Tanggal Klinis Laboratorium Pem. Penunjang dan Konsul Terapi
14 - 16Mei2010
(XV-XVII)
Kel : nyeri dada kiri (+),pandangan ganda (+),bicara pelo (+).Susah menelan (-)
Status generalis : .
CM, TD: 110/80 mmHg,RR : 20 x/menitregular,nadi :88 x/mT:37o,.
St. Neurologikus : Stqa
T3 : 1.47 (1.30 3.10)
T4 : 86.95 (66.0 181.0)
TSH : 1.09 (0.270 4.20
Ro Thorak AP/Lateral:
Kesan : cenderung massa
mediastinum kiri
Usul : Ct Scan Thorax
Istirahat Diet NB TKTP Mestinon 3 x 1 tab.
Prednison 5 mg tab 2-1-1.(tap off)
Vit BiB6B12 3 x 1 As. Mefenamat 3 x 500 mg Pemeriksaan TTB (Trans
Thoracal Biopsy)
19 Mei2010(XX)
Kel :
Kel : nyeri dada kiri (+),pandangan ganda (-),bicara pelo (-).Susah menelan (-)
Status generalis : .
CM, TD: 110/80 mmHg,RR : 20 x/menitregular,nadi :88 x/mT:37o,.
Ct Scan thorak kontras
Kesan : Timoma Tak ada pembesaran kelenjar
lymphe intrathoracal Tidak ada efussi pleura
Tepi lateral massa sudahmencapai dinding thorax
th/ teruskan.
Konsul Bedah saraf
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
8/34
Tanggal Klinis Laboratorium Pem. Penunjang dan Konsul Terapi
21-5-2010(XXII)
Kel : nyeri dada kiriberkurang.pandangan ganda (-),bicara pelo (-).Susah menelan (-)
Status generalis : d.b.nStatus neurologis : Stq.
Pemeriksaan Sitologi TTB
(20-5-2010) :
Sediaan dari TTB dengan populasisel minimal, terdiri dari sel-sel
thoraks bersilia khas respiratory,sel radang limfosit, makrofag,PMN. Sel-sel ganas tidak dijumpaipada sediaan iniKesan : Sitologi TTB tanpa sel-selganas.
Konsul Bedah Thorak:
Kesan : Timoma dengan MiasteniagravisSaran :Rencana Timektomi ,
Dilakukan terlebih dahuluplasmaparesis.
USG abdomen : Normal
-th/ teruskan.
Prednison Tap Off 3 x1 tab
-Rencana
Timektomi
Plasmapharesis
31-5-2010 -
2-5-2010
(XXXII-XXIV)
Kel : -Status generalis : d.b.nStatus neurologis : Stq.
DIAGNOSA AKHIRDK : Miastenia GravisDT : NMJDE : Timoma
PROGNOSIS :Quo ad vitam : dubia adbonamQuo ad functionam : dubiaad malam
Asetilkolin Reseptor Antibodi
24.00 mmol/l Neg : 2
Konsul Bedah Thorak Ulang:
Dilakukan terlebih dahulu plasmaparesis, sebelum tindakan bedah ( Extended Thymectomi)karena dapat terjadi ventilatordepend post operasi.
-th/ teruskan.
Prednison Tap Off 2 x1 tab
-Rencana
Timektomi
Plasmapharesis
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
9/34
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
10/34
Ct scan Thorax dengan kontras (19 Mei 2010):
Massa dengan densitas H.U 71, terletak di mediastinum anterior kiri, lobulated,
tepi rata, berdampingan di arcus aorta kiri.
Kesan :
Timoma
Tak ada pembesaran kelenjar lymphe intrathoracal
Tidak ada efussi pleura
Tulang : baik
Cor : Normal
Tepi lateral massa sudah mencapai dinding thorax.
10
2.9 . Hasil Pemeriksaan Penunjang
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
11/34
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
12/34
Rontgen thorax PA : 12 Mei 2010
Kondisi foto baik, posisi simetris kanan = kiri, trakea di tengah, tulang-tulang baik, sela
iga tidak melebar, CTR > 50%, sudut costophrenicus : tajam, diapragma tenting : (-),
parenkim : perselubungan homogen, berbatas tegas pada hilus kiri
Kesan : cenderung massa mediastinum kiri
Usul : Ct Scan Thorak
ENMG : Kesan Harvey Masland Tes (+) Positiv
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 DEFINISI MIASTENIA GRAVIS
MG adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan
abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus
dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas3,4,9.Bila penderita beristirahat, maka
tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali. Penyakit ini timbul karena
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
13/34
adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular
junction3,4,9,10,11.
3.2 EPIDEMIOLOGI
MG merupakan penyakit yang jarang ditemui, insiden 2 per 1.000.000
orang pertahun dan dapat terjadi pada berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih
sering tampak pada usia 20-50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini
dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan pria yang menderita MG
adalah 6 : 4. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu
sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 42
tahun3,4,9,10,11
3.3 PATOFISIOLOGI
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi MG. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya
kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita MG misalnya
autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-
lain4.
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada
serum penderita MG secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah
yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan MG.
1 2
Gambar 1. Paut saraf otot normal. Diagram ini menggambarkan paut saraf otot, menunjukkan
ujung saraf presinaptik dan postsynaptic muscle endplate.
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
14/34
Gambar 2 . Mekanisme kerja antibodi anti-asetilkolin reseptor, ada tiga kemungkinan
(A) antibodi reseptor asetilkolin memblokade cholinergic binding site dari reseptor asetilkolin
(AChR), mencegah asetilkolon berikatan dengan reseptor.
(B) antibodi reseptor asetilkolin melakukan cross-link dengan AChR terdekat, meningkatkan laju
internalisasi ke dalam otot.
(C) antibodi reseptor asetilkolin yang mengikat komplemen menyebabkan destruksi muscle
endplate dan menekan jumlah AChR.
Sumber9:Nicolle Michael W. Myasthenia Gravis.The neurologist.vol 8,no 1 2002
Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubunganneuromuskular, maka membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi
sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi
melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran
postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap
natrium dan kalium secara tiba-tiba menyebabkan depolarisasi lempeng akhir
dikenal sebagai potensial lempeng akhir ( End-Plate Potential/EPP). Jika EPP ini
mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang tidak
berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial
aksi ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot.
Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan
dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase (Gambar 1). 9,10
Pada MG, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam
penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada membran
presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena
kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar
sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah motor endplate
dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah asetilkolin yang dapat
ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate menjadi lebih
kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung
lama. .( Gambar 2)9,10
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
15/34
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita MG belum sepenuhnya dapat dimengerti. MG dapat
dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi yang merupakan
produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada
patogenesis MG mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral
terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti
hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan
gejala miastenik4.
Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara
radiologis kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara
histologik kelenjar timus pada kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan.
Pada 75%-80% penderita MG didapati kelenjar timus yang abnormal. Kira-kira
10% memperlihatkan struktur timoma dan pada penderita-penderita lainnya
terdapat infiltrat limfositer pada pusat germinativa kelenjar timus tanpa perubahan
di jaringan limfoster lainnya2,3,4,5
3.4 GEJALA KLINIS
MG dikarakterisasikan secara klinis dengan fluktuasi, kelelahan
kelemahan pada otot. Keluhan kelemahan meningkat sepanjang hari, diperburuk
dengan aktivitas yang mendukung, dan mengalami perbaikan dengan istirahat.
Ciri-cirinya meliputi ptosis, diplopia, disartria, disfagia, serta kelemahan otot
pernapasan dan anggota gerak. Sekitar setengah pasien memiliki keluhan okular.
Yang lain dapat mengeluhkan gejala pernapasan, disarthria, disfagia, atau
kelelahan dan kelemahan otot anggota gerak. Kelemahan otot okular biasanyabilateral dan asimetris serta menimbulkan diplopia, ptosis atau keduanya. 2,3,9,10,11
Dalam tahun pertama onset penyakit, hampir 75% pasien mengalami
gejala menyeluruh. Gejala bulbar biasa muncul dan meliputi disarthria, disfagia,
kelemahan otot wajah, dan kelemahan mengunyah. Karena kelemahan palatum,
pasien sering mengalami bicara sengau dan dapat terjadi regurgitasi cairan melalui
hidung. Kelemahan alat anggota gerak dan batang tubuh biasanya distribusinya
lebih banyak di proksimal dibandingkan di distal. Sering, lengan lebih banyak
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
16/34
terkena dibandingkan tungkai. Otot quadriseps, triseps, dan ekstensor leher
tampak lebih dulu terkena..
Gejala yang paling serius adalah gangguan pernapasan karena kelemahan
otot diafragma dan interkostal. Gejala pernapasan ini, bersama dengan gejala
bulbar berat, dapat memuncak dan disebut krisis miastenik, didefinisikan sebagai
gagal napas dan membutuhkan ventilasi mekanik. Komplikasi ini terjadi pada
sekitar 15-20% pasien dengan MG dan mungkin dipercepat oleh infeksi atau
aspirasi. 2,3,9,10,11
Sekitar sepertiga wanita hamil, MG dieksaserbasi oleh kehamilan, dengan
risiko terbesar selama trimester pertama. Pada beberapa pasien, gejala dan tanda
membaik selama trimester kedua dan ketiga, bersamaan dengan immunosupresif
relatif yang terjadi selama fase kehamilan ini. Risiko tinggi kemudian kembali
lagi selama periode postpartum.
Sebagai tambahan efek pada ibu, sekitar sepertiga bayi dengan ibu
menderita MG autoimmun mengalami miastenia neonatal peralihan, yang
kelemahannya tampak dalam 4 hari pertama kehidupan dan biasanya berakhir
selama 3 minggu. Kelemahan merupakan hasil dari transfer antibodi maternal
melalui plasenta ke dalam sirkulasi darah bayi, tetapi tidak ada kaitan yang jelas
antara kelemahan neonatal dan status klinis maternal atau kadar anitbodi. Bayi
yang menderita juga malas makan dan tangisannya lemah2,3,9,10,11
3.5 KLASIFIKASI MIASTENIA GRAVIS
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), MG dapat
diklasifikasikan sebagai berikut8,9
Klas I Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dankekuatan otot-otot lain normal.
Klas II Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahanringan pada otot-otot lain selain otot okular.
Klas IIa Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat
kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
17/34
Klas IIb Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan
dibandingkan klas IIa.
Klas III Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lainselain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang
KlasIIIa Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secarapredominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan
Klas IIIb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secarapredominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial,atau keduanya dalam derajat ringan.
Klas IV Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajatyang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagaiderajat.
Klas IVa Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-ototaksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan
Klas IVb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secarapredominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh,otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan
feeding tube tanpa dilakukan intubasi
Klas V Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik
MG juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti dibawah ini3 :1. MG dengan ptosis atau diplopia ringan.
2. MG dengan ptosis, diplopia, dan kelemahan otot-otot untuk untuk mengunyah,
menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut menjadi lemah.
Pernapasan tidak terganggu.
3. MG yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot okulobulbar.
Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.
3.6 DIAGNOSIS
3.6 .1 Penegakan Diagnosis Miastenia Gravis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan
diagnosis suatu MG. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang
berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
18/34
kedua anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam
batas normal2,3,4,8,9,10
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan MG.
Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan
suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta
regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu,
penderita MG akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan
makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan penderita
batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada MG
menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita
harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan,
sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher4.
Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris.
Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak
hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini
merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu MG. Kelemahan
pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu
pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya
kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata yang
melakukan abduksi4.
Untuk memastikan diagnosis MG, dapat dilakukan beberapa tes antara
lain2,3,4,8,9,103 :
1. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidakterdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena.
Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah
seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu
benar disebabkan oleh MG, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini
kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena
efektivitas tensilon sangat singkat.
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
19/34
2. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin atau mg). Bila kelemahan
itu benar disebabkan oleh MG maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis,
strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
3. Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian
diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu
benar disebabkan oleh MG, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain
akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin,
agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.
3.6 .2 Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti
3.6.2.1 Pemeriksaan Laboratorium
Antistriated muscle (anti-SM) antibody
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita MG. Tes ini
menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma
dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih
dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.
Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita MG yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab
negatif (MG seronegatif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.
Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan MG menunjukkan adanya antibodi yang
berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung
penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan
ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien timomadengan MG
pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibodi merupakan suatu kecurigaaan
yang kuat akan adanya timoma pada pasien muda dengan MG.
Anti-asetilkolin reseptor antibodi
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
20/34
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu
MG, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita MG
generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan
hasil tes anti-AChR yang positif. Pada pasien timoma tanpa MG sering kali
terjadifalse positive anti-AChR antibody4.
Rata-rata titer antibodi pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor antibodi,
yang dilakukan oleh Tidall, di sampaikan pada tabel berikut4:
Tabel 1. Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien MG
Osserman Class Mean antibody Titer Percent Positive
R 0.79 24I 2.17 55
IIA 49.8 80IIB 57.9 100III 78.5 100IV 205.3 89
Klasifikasi : R = remission, I = ocular only, IIA = mild generalized, IIB =
moderate generalized, III = acute severe, IV = chronic severe4
Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada penderita
miastenia gravis dalam kondisi yang parah.
3.6.2. 2 Imaging4
Chest x-ray (foto rontgen thorak) : Dapat dilakukan dalam posisi
anteroposterior dan lateral. Pada rontgen thorak, timoma dapat
diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum. Hasil
rontgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya timoma
ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk
mengidentifikasi timoma pada semua kasus MG, terutama pada penderita
dengan usia tua.
MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan
rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis MG tidak dapat ditegakkan
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
21/34
dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab
defisit pada saraf otak.
3.6.2.3 Pendekatan Elektrodiagnostik
Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuromuskular melalui 2 teknik4 :
Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita MG terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga
pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.
Single-fiber Electromyography (SFEMG)
Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk
merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas
pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit
yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal
yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek
transmisi pada neuromuscular fiberberupa peningkatan jitter dan fiber density
yang normal.
3.7 Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis MG, antara lain3,4:
Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada
beberapa penyakit selain MG, antara lain :
o Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
o Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
o Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
o Paralisis pasca difteri
o Pseudoptosis pada trachoma
Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya
suatu sklerosis multipleks.
Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
22/34
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada
otot anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan kelemahan relatif
pada otot-otot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga
pada detik-detik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut
kering, dan sering kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell
carcinomapada paru.
EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis. Defek
pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi rendah (2Hz) tetapi akan
terjadi hambatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada
miastenia gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada
LEMS terjadi pada membran presinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak
berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke
membran postsinaptik tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi.
3.8 PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan MG adalah untuk mencapai tiga tujuan penting: (1)
transmisi optimal neuromuscular, (2) Mengurangi atau menetralkan konsekuensi
dari reaksi autoimun, (3) Memodifikasi the natural history dari MG dengan
menginduksi remisi, yang berarti sebagai kondisi yang permanen yaitu tidak
adanya gejala tanpa terapi. Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan
terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada MG.
Antikolinesterase biasanya digunakan pada MG yang ringan. Sedangkan pada
pasien dengn MG generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin4.
Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan denganpemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya
mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita MG. Pengobatan ini dapat
digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat
dan terapi yang memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama
sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan2.
3.8 1 Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
23/34
1 Plasma Exchange (PE)2,3,4,9,10
Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif.
Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. PE paling efektif
digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan
menjadi prioritas. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau
sedang mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang
akan menjalani thymektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode
postoperative.
Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan
yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali
terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang disuplementasikan
dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek PE akan
muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu.
Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran cairan selama
pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium, magnesium, dan natrium yang
dpat menimbulkan terjadinya hipotensi. Trombositopenia dan perubahan pada
berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal
itu bukan merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya
perdarahan, dan pemberianfresh-frozen plasma tidak diperlukan.
2. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)2,3,4,9,10
Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-
activating aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena.
Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG
diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibodi tidakdapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat
penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar
3-4 hari setelah memulai terapi.
IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena
kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa
minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
24/34
yang sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang
tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis.
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1
gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis
berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15
hari sejak dilakukan pemasangan infus.
Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah nyeri kepala
yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus
menjadi lebih lambat.Flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah,
sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama.
3 Intravenous Methylprednisolone (IVMp) 2,3,4,9,10
IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada
respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih juga
tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15
pasien menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2
pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai
dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan
krisisakan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat digunakan.
3.8.2 Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang
1 Kortikosteroid2,3,4,9,10
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah
untuk pengobatan MG. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai tampak
dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja kortikosteroid dapatberlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan.
Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan
efek terapi yang pasti terhadap MG masih belum diketahui. Kortikosteroid
diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi
dari sel B. Sel T serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan
memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
25/34
tempat kelainan imun pada MG. Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid
akan mengalami penurunan dari titer antibodinya.
Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang
sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase. Dosis
maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan
tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap
harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi
obesitas serta hipertensi.
2. Azathioprine2,3,4,9,10
Azathioprine biasanya digunakan pada pasien MG yang secara relatif
terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine
dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki
efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA.
Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3
mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis
optimafl tercapai. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat
ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang
lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya.
Respon Azathioprine sangant lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam
12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali
penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain.
3 Cyclosporine2,3,4,9,10
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari
sel T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek padaproduksi antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari
dibandingkan azathioprine. Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping
berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.
4. Cyclophosphamide (CPM)
CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B, dan
secara tidak langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin. Secara teori CPM
memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi dibandingkan obat lainnya.
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
26/34
3.8.3 Thymectomy (Surgical Care)2,4,4,9,10,11,12,13,14
Thymectomy telah digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia
gravis sejak tahun 1940 dan untukpengobatan timoma dengan atau tanpa MG
sejak awal tahun 1900. Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah
tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat
yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen
dari pasien.8
3.9 PROGNOSIS
Pada MG ocular, dalam beberapa tahun> 50% kasus berkembang menjadi
MG generalise dan akan sekitar < 10 % akan terjadi remisi spontan. Sekitar 15-
17% akan tetap mengalami gejala okular yang di follow-up dalam periode 17
tahun. Sebuah studi dari 37 pasien dengan MG menunjukkan adanya timoma
memmeberikan outcome yang lebih buruk.10,11
Kebanyakan pasien dengan MG yang general menikmati hidup normal dan
produktif ketika diobati dengan adekuat. Tetapi, kualitas hidup mungkin menurun
sebagai hasil baik dari efektifitas yang terbatas dan efek samping obat yang
tersedia.
TIMOMA
Timoma merupakan neoplasma primer yang tersering ditemukan pada
mediastinum anterior, berasal dalam sel-sel epitel timus. Timus merupakan organ
limfoid yang terletak di mediastinum anterior. Dalam kehidupan awal, timusbertanggung jawab untuk pengembangan dan pematangan fungsi sel-mediated
imunologi. Timus terdiri dari sel-sel epitel dan limfosit. Sel prekursor bermigrasi
ke timus dan berdiferensiasi menjadi limfosit. Sebagian besar limfosit
dihancurkan, dengan sisa sel-sel migrasi ke jaringan untuk menjadi T limfosit..
Kelenjar timus terletak di belakang tulang dada di depan pembuluh darah besar,
mencapai berat maksimum pada pubertas dan mengalami involusi sesudahnya.
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
27/34
Insiden
Insiden puncak timoma terjadi pada dekade ke empat dan kelima, rata-rata
umur 52 tahun. Pada tahun1970 - 1990 di RS Persahabatan Jakarta dilakukan
operasi terhadap 137 kasus, jenis tumor yang ditemukan adalah 32,2% teratoma,
24% timoma, 8% tumor syaraf, 4,3% limfoma. Dari kepustakaan luar negeri
diketahui bahwa jenis yang banyak ditemukan pada tumor mediastinum anterior
adalah limfoma, timoma dangerm cell tumor.13
Etiologi
Penyebab dari timoma belum pasti, namun diduga berhubungan dengan
sindrom sistemik. Dari 30-40% dari pasien yang memiliki gejala pengalaman
timoma sugestif dari MG. sekitar 5% pasien dengan timoma memiliki sindrom
sistemik lainnya, termasuk Aplasia sel darah merah, dermatomyositis, lupus
sistemik erythematous, sindrom Cushing, dan sindrom sekresi hormon
antidiuretik.
Gejala Klinis
Pasien dengan timoma, sering tidak memberi gejala dan terdeteksi pada
saat dilakukan foto toraks. Keluhan biasanya mulai timbul bila terjadi peningkatan
ukuran tumor yang menyebabkan terjadinya penekanan struktur mediastinum.
Gejala dan tanda yang timbul tergantung pada organ yang terlibat ; batuk, nyeri
dada, sindrom vena kava superior, disfagia dan suara serak serta batuk kering
muncul bila nervus laringel terlibat .12,13,14
Klasifikasi 12,13,14
1. Klasifikasi World Health Organization (WHO)
Type Jenis Histologic Description
A A Medullary thymomaAB AB Mixed thymomaB1 B1 Predominantly cortical thymomaB2 B2 Cortical thymomaB3 B3 Well-differentiated thymic carcinomaC C Thymic carcinoma
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
28/34
2. Staging berdasarkan sistem Masaoka
Stage
I Makroskopik berkapsul, secara Mikroskopik tidak tampak invasi
ke kapsulII Invasi secara makroskopik ke jaringan lemak sekitar pleura
mediastinal atau invasi ke kapsul secara mikroskopikIII Invasi secara makroskopik ke organ sekitarnyaIV.A Penyebaran ke pleura atau perikardIV B Metastasis limfogen atau hematogen.
Penatalaksanaan Timoma 12,13,14
Penatalaksanaan tumor mediastinum nonlimfoma secara umum adalah
multimodalitas meski sebagian besar membutuhkan tindakan bedah saja, karena
resisten terhadap radiasi dan kemoterapi tetapi banyak tumor jenis lain
membutuhkan tindakan bedah, radiasi dan kemoterapi, sebagai terapi adjuvant
atau neoadjuvan.
Penatalaksanaan timoma berdasarkan staging.
Stage Penatalaksanaan
I
II
III
IV A
IV B
Extended thymo thymecthomy (ETT)
ETT, dilanjutkan dengan radiasi, untuk radiasi harus diperhatikanbatas batas tumor seperti terlihat pada CT sebelum pembedahan
ETT dan extended resection dilanjutkan radioterapi dan kemoterapi
Debulkingdilanjutkan dengan kemoterapi dan radioterapi
kemoterapi dan radioterapi dilanjutkan dengan debulking
Penatalaksanaan karsinoid timik dan oat cell carcinoma adalah pembedahan
dan karena sering invasif maka direkomendasikan radiasi pascabedah untuk
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
29/34
kontrol lokal, tetapi karena tingginya kekerapan metastasis maka kemoterapi
diharapkan dapat meningkatkan angka ketahanan hidup.
Pada setiap kasus timoma, sebelum bedah harus terlebih dahulu dicari tanda
MG atau myastenic reaction. Apabila sebelum tindakan bedah ditemukan maka
dilakukan terlebih dahulu plasmaparesis dengan tujuan mencuci antibodi pada
plasma darah penderita, paling cepat seminggu sebelum operasi.
Pembahasan
MG merupakan suatu gangguan pada paut saraf otot (NMJ), di tandai
kelemahan subakut dan fluktuatif tanpa gangguan sensorik. Gejala MG dapat
berupa disatria, disfagia, ptosis, disfungsi okular dan kelemahan otot-otot leher
dan otot-otot proksimal. MG merupakan satu-satunya penyakit neuromuskular
yang merupakan gabungan antara cepatnya terjadi kelemahan otot-otot voluntar
dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari
normal. Diagnosis MG dapat ditegakkan melalui gambaran klinis, pemeriksaan
laboratoruim, tes tensilon atau prostigmin dan pemeriksaan elektromiografi.
Pada kasus ini , Penderita di konsulkan di bagian neurologi pada tanggal
6 Mei 2010 dengan tumor mediastinum dan suspek MG.
Dari anamnesis penderita mengalami gejala klinis yang bersifat fluktuatif
berupa ptosis, disatria, disfagia, diplopia sejak lebih kurang satu bulan
sebelum di rawat di RSMH. Pada saat di lakukan tes prostigmin di
dapatkan hasil positif. Pemeriksaan EMG pada MG ditemukan adanya
abnormalitas pada stimulasi repetitif dimana suatu respon dekremental,
terjadinya penurunan amplitudo CMAP yang melebihi 10% positif. Pada
Kasus ini didapatkan kesan Harvey Masland Tes positif, yang khas untuk
MG.
Abnormalitas dari neuromuskular pada MG dibawa oleh mediasi respon
autoimun. Sekitar 75-80% dari penderita MG didapati glandula timus
yang abnormal. Kira-kira 10-15% memperlihatkan struktur timoma dan
pada penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer lainnya. Sepertiga dari
kasus timoma ditemukan kebetulan pada pemeriksaan radiografi selama
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
30/34
hasil pemeriksaan untuk menegakkan MG. CT-Scan toraks dengan
kontras selain dapat mendeskripsi lokasi juga dapat mendeskripsi
kelainan tumor secara lebih baik dan dengan kemungkinan untuk
menentukan perkiraan jenis tumor, misalnya teratoma dan timoma. CT-
Scan juga dapat menentukan stage pada kasus timoma dengan cara
mencariapakah telah terjadi invasi atau belum. Perkembangan alat bantu
ini mempermudah pelaksanaan pengambilan bahan untuk pemeriksaan
sitologi. Untuk menentukan luas invasi beberapa jenis tumor
mediastinum sebaiknya dilakukan CT-Scan toraks dan CT Scan
abdomen.
Pada penderita ini, sebelum dirawat di RSMH, telah dilakukan
pemeriksaan foto rontgen thorak dengan hasil suspek massa di mediastinum. Dari
hasil pemeriksaan CT scan thorak dengan kontras didapatkan kesan timoma
dengan tepi lateral massa sudah mencapai dinding thorax serta tidak ada
pembesaran kelenjar lymphe intrathoracal. Dilakukan pemeriksaan USG
abdomen untuk melihat adakah invasi ke intra abdominal, hasil USG abdomen
normal.
Antibodi anti-reseptor asetilkolin spesifik untuk MG dengan demikian
sangat berguna untuk menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini meninggi pada
90% penderita miastenia gravis golongan IIA dan IIB, dan 70% penderita
golongan I. Titer antibodi ini umumnya berkolerasi dengan beratnya penyakit.
Dari hasil pemeriksaan Antibodi anti-reseptor asetilkolin didapatkan hasil yang
abnormal, dengan titer sebesar 24.00 mmol/l. Berdasarkan prevalensi dan titer
Anti-AChR Ab menurut osseman class penderita digolongkan dalam kelompok
dengan MG IIA ( mild generalized). Berdasarkan klinis dan pemeriksaan yang
telah dilakukan dapat disimpulkan penderita didiagnosis dengan MG grade IIA.
Pada kasus ini terdapat korelasi antara klinis dengan hasil pemeriksaan titer
Antibodi anti-reseptor asetilkolin.
Tatalaksana MG tergantung dari beratnya gejala. Secara garis besar
pengobatan MG terdiri dari pengobatan simptomatik dan immunosupresif.
Pengobatan simptomatik dengan memberikan antikolinesterase seperti neostigmin
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
31/34
danpyridostigmin. Obat ini mencegah destruksi Ach dan meningkatkan akumulasi
Ach pada NMJ, memperbaiki kemampuan kontraksi otot. Pengobatan
immunosupresif, seperti kortikosteroid, Azathioprine, plasmapharesis,
I Intravenous Immunoglobulin (IVIG). Kortikosteroid menekan antibodi yang
memblokir AchR pada NMJ dan dapat digunakan bersamaan dengan
antikolinesterase. Kortikosteroid memperbaiki keadaan dalam beberapa minggu
dan jika pemulihan sudah stabil, dosis sebaiknya dikurangi secara perlahan
(tappering off). Azathioprined dapat digunakan untuk menagani MG umum jika
pengobatan lain gagal mengurangi gejala.
Pada kasus ini awalnya penderita diberikan Pyridostigmin (mestinon 60 mg) 2 x
1 tab dan kortikosteroid prednison 0,5 mg kg/bb (25 mg/hari). Dari follow-up
gejala klinis yang bersifat fluktuatuf masih timbul, namun berkurang, selanjutnya
kami berikan mestinon 3 x 1 tab. Dalam perkembangan perawatan gejala klinis
penderita membaik.
Untuk pasien dengan timoma pembedahan untuk mengangkat tumor
diperlukan untuk mencegah penyebaran tumor.
Pada kasus ini gejala MG diakibatkan oleh timoma. Pada umumnya penanganan
pasien timoma adalah tindakan bedah timektomi dan pemberian kemoterapi dan
radioterapi tergantung staging timoma sendiri. Hasil Ct-scan Thorak dengan
kontras pada penderita mennjukkan kemungkinan staging Masaoka timoma
grade II dan di tatalaksana dengan Extended thymo thymecthomy (ETT) ,
dilanjutkan dengan radiasi. Setelah di konsultasikan dengan Sub bagian Bedah
Thorak penderita akan dilakukan tindakan ETT, namun dilakukan terlebih dahulu
plasmaparesis, sebelum tindakan ETT karena dapat terjadi ventilator depend post
operasi.Namun tindakan plasmaparesis belum bisa dilakukan di RSMH.
Sampai follow-up terakhir penderita menngalami perbaikan secara klinis.
Namun diperkirakan suatu saat akan berkembang menjadi MG yang general
Untuk pasien dengan penyakit yang terbatas pada otot okular, penghambat
kolinesterase, kortikosteroid dosis rendah, atau terapi yang tidak menggunakan
obat (contoh penopang kelopak mata) mungkin cukup untuk mengontrol gejala.
Banyak ahli saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa timektomi memiliki
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
32/34
peranan yang penting untuk terapi MG, Pada penderita ini diharapkan dapat
dilakukan timektomi, karena dalam literatut dikatakan secara umum, kebanyakan
pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu tahun setelah timektomi
dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang permanen (tidak ada lagi
kelemahan serta obat-obatan). Beberapa ahli percaya besarnya angka remisi
setelah pembedahan adalah antara 20-40% tergantung dari jenis timektomi yang
dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung dari semakin
banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-60% lima hingga sepuluh tahun
setelah pembedahan.
BAB IV
KESIMPULAN
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara
terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas3,4. Sebelum
memahami tentang MG, pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal dari
neuromuscular junction sangatlah penting. Mekanisme imunogenik memegang
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
33/34
peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis, dimana antibodi
yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin4.
Penatalaksanaan miastenia gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan,
thymomectomy ataupun dengan imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang
dapat memberikan prognosis yang baik pada kesembuhan miastenia gravis2,4.
Telah dilaporkan suatu kasus MG denga Timoma. Penatalaksanaan lebih
rumit dan harus dilakukan secara holistik dan komprensif agar memberikan hasil
yang baik. Semoga dapat menambah wawasan kita.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rowland LP. Disease of Muscle and Neuromuscular Junction. In: TeksbookOf Medicine 13th ed. Eds. Beeson PP and Dermot WM. Philadelphia--London--Toronto; WB Saunders Co. 1971; pp 350--354.
2. Sosinsky MS dan Kaufmann P. Myasthenia Gravis & Other Disorders of theNeuromuscular Junction. in: Brust JCM (ed.). Neurology: Current Diagnosis
and Treatment. Lange Medical Books/McGraw-Hill. USA. 2007;22;350-6.
8/3/2019 Revisi Case Mg Word
34/34
3. Daniel B. Drachman. Myastenia Gravis and other Disease of the
Neuromuscular Junction. In : Hauser SL.ed. Harrisons Neurology in Clinicalmedicine. San Fransisco: McGraw-Hill;2006 p.527-35
4. Small George A , Aloi Mara. Myastenia Gravis, In: Principles and Practise ofEmergency Neurology. Cambridge University Press; 2003.p.180-184.
5. Roberts JR, Kaiser LR. Anterior mediastinal neoplasms in FishmansPulmonary diseases and disorders, Fourth edition; volume two. McGrawnHill. 2008. p1597-1601
6. Miller,Q.Kline,A.L,Thtmoma;http://emedicine.medscape.com/article
7. Crapo, James D.; Glassroth, Jeffrey; Karlinsky, Joel B.; King, Talmadge E.Tumors of the mediastinum. In : Baum's Textbook of Pulmonary Disease, 7thEdition Copyright 2004 Lippincott Williams & Wilkins 884-90
8. Miller Quintessa, Tymomas available http://emedicine.medscape.com/article .2009.diunduh 3-6-2010
9. Nicolle Michael W. Myasthenia Gravis.The neurologist.vol 8,no 1 2002;p:2-21
10. Kothari Milind J. Myasthenia Gravis.JAOA, Vol 104 No 9 2004 p.377-384.11. Pinzon R. Myasthenia Gravis . CDK 172, vol 36 2009.p 413-416
12. Kondo K. Optimal Therapy For Tymoma. The Journal of MedicalInvestigation. 55.2008; 17-24
13. Perhimpunan Dokter Paru IndonesiaTumor Mediastinum Pedoman diagnosisdan penatalaksanaan di Indonesia.2003.;p1-12
14. Perrot M, et all. Prognostic Significance of Thymomas in Patients WithMyasthenia Gravis. Ann Thorac Surg2002;74:1658-1662
http://emedicine.medscape.com/articlehttp://emedicine.medscape.com/article.%202009.diunduhhttp://emedicine.medscape.com/article.%202009.diunduhhttp://emedicine.medscape.com/articlehttp://emedicine.medscape.com/article.%202009.diunduhhttp://emedicine.medscape.com/article.%202009.diunduh