Upload
ahmad-sholikin
View
6
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
sosial
Citation preview
Review Buku Partai, Kebijakan, dan Demokrasi
Hans-Dieter Klingemann, Richard I. Hofferbert, dan Ian Budge
Dalam buku yang berjudul Partai, Kebijakan, dan Demokrasi Klingemann, dkk (1999)
membahas peranan partai politik di dalam proses kebijakan di negara modern. Sepuluh
negara yang menjadi lokus penelitiannya sejak usainya Perang Dunia II hingga pertengahan
1980-an adalah Inggris, Australia, Kanada, Prancis, Amerika Serikat, Swedia, Austria, Jerman,
Belanda, dan Belgia. Penelitian ini menggunakan teori kemenonjolan atau saliency theory.
Teori yang terminologinya dipinjam dari David Robertson ini menyatakan bahwa setiap
partai akan lebih memperhatikan isu-isu yang menjadi favoritnya atau yang telah dikawal
sejak lama. Oleh sebab itu, partai yang memenangkan pemilu adalah penanggung jawab
utama pemerintahan, sehingga kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintah akan banyak
didominasi oleh partai tersebut. Arah perhatian pemerintah pun jelas, yaitu fokus pada hal-
hal yang selama ini menjadi penekanan partai.
Penelitian dilakukan dengan mengkaji program partai dan memperhatikan ideologi,
yang diistilahkan menjadi indeks kiri-kanan. Meskipun dimensi kiri-kanan ini penting dalam
membuat kebijakannya, namun tidak cukup menjelaskan secara utuh berjalannya proses
kebijakan di negara-negara demokrasi modern. Mereka berasumsi bahwa tataran ideologi
masih terlalu umum, meskipun hal itu dapat memberi tambahan informasi kepada rakyat
tentang perbedaan kebijakan yang akan dilakukan partai. Oleh karenanya, Klingeman dkk,
membuat bagan program pemilu untuk menggambarkan isu yang lebih spesifik daripada
tataran ideologi, seperti berikut:
Bagan Komposisi Skala Kiri-Kanan
Kiri Kanan
Dekolonisasi Pro-Militer
Anti-Militer Kebebasan, HAM
Perdamaian Konstitusionalisme
Internasionalisme Otoritas Efektif
Demokrasi Usaha Bebas
Regulasi Kapitalisme Insentif-Ekonomi
Perencanaan Ekonomi Anti-Proteksionisme
Pro-Proteksionisme Ortodoks Ekonomi
Ekonomi Terkendali Anti Pelayanan Sosial
Nasionalisasi Pandangan Hidup Nasional
Pro-Pelayanan Sosial Moralitas Tradisional
Pro-Pendidikan Hukum dan Keteraturan
Pro-Buruh Harmoni Sosial
Secara garis besar, Klingeman dkk. menemukan pola-pola tertentu pada gerak
ideologi partai. Partai kiri cenderung menjaga komitmen untuk tetap mengarah ke kiri
daripada partai kanan, jarang ada yang membuat janji politik ataupun kebijakan dengan isu
yang menjadi domain kubu lainnya.
Meskipun tawar-menawar antar partai terjadi di sepuluh negara tersebut, namun
orang yang duduk di parlemen tetap harus menjalankan tanggung jawabnya untuk
memprioritaskan kebijakan, kendala institusional tidak boleh dijadikan alasan untuk gagal.
Kenyataannya, sistem kepartaian di sana tetap memungkinkan untuk merealisasikan
penyusunan kebijakan sesuai prioritas. Partai menjalan sejumlah fungsi dalam proses
kebijakan seperti terlibat dalam rekruitmen politik, merumuskan beragam kepentingan,
melakukan komunikasi politik, memobilisasi dan menjadi wadah partisipasi politik rakyat.
Partai politik menjadi penting karena sistem perwakilan politik membuat negara
memerlukan lembaga yang memiliki kapabilitas untuk menyelenggarakan proses politik dari
awal hingga selesai. Sehingga perlu dilihat apakah partai memenuhi janji politiknya, yang
diterjemahkan menjadi produk kebijakan publik.
Terdapat tiga bentuk alat analisis yang bisa digunakan untuk melihat kaitan antara
janji politik dengan kebijakan publik yaitu model agenda, model mandat, dan model
ideologi. Berikut penjelasannya:
1. Model Agenda
Model agenda tidak memisahkan partai pemenang atau yang kalah dalam pemilu
namun lebih memperhatikan pada isu-isu yang dibawa selama partai mengumbar janji
politik, benar-benar mendapat prioritas alokasi anggaran atau tidak dalam pemerintahan
setelah pemilu. Memprioritaskan alokasi anggaran dapat dijadikan referensi untuk melihat
keseriusan suatu partai untuk mengubah janji politiknya menjadi kennyataan. Logika
fundamental dari model agenda, menurut Klingemann dkk. adalah menang dalam pemilu
tidak berarti harus menyingkirkan partai lain yang berbeda pandangan, partai yang
bergabung menjadi oposisi, meskipun kepentingan kolektifnya bermacam-macam, akan
memberi respon dalam proses kebijakan. Bagaimanapun, demokrasi tak dapat berlangsung
apabila pemenang memonopoli segala sesuatunya.
Dari penelitian Klingemann, negara yang memiliki 60% kesesuaian dengan model
agenda adalah Swedia, Prancis, dan Inggris. Swedia adalah negara kecil dengan homogenitas
sosial. Selama ini mereka mengandalkan instrumen kebijakan yang nonpartisan, seperti
komisi pakar. Swedia tidak memiliki kelompok minoritas, agama yang dimiliki hanya satu,
dan keadaan penduduknya makmur. Sehingga perbedaan partai yang tidak terlalu tajam dan
langgengnya tradisi menggunakan komisi pakar selama ini menyebabkan Swedia lebih
memudah mengakomodasi isu-isu kebijakan dari partai yang berbeda-beda, tanpa melihat
partai menang atau yang kalah.
Prancis memiliki kapasitas kepresidenan yang kuat, konstitusi memungkinkan untuk
memprioritaskan partainya dan mengabaikan partai lain. Tetapi selama ini, baik presiden
dari Partai Gaullis, presiden dari partai tengah, dan Partai Sosialis tidak melakukannya.
Mereka justru memanfaatkan sistem pemerintahan yang terpusat itu untuk
mengakomodasi agenda masing-masih partai. Penelitian di Inggris menyajikan hasil yang di
luar prediksi. Kabinet merupakan badan perumus kebijakan dengan kekuasaan yang besar
sehingga menjadi sarana pemenangan partai, kemudian partai pemenang akan mewujudkan
janji-janji politiknya saat pemilu dan menentang kepentingan partai yang kalah. Berdasarkan
konstitusionalnya tersebut Inggris diperkirakan menggunakan model mandat. Masuknya
Inggris di dalam model agenda menunjukkan pemerintah masih bersedia menerima gagasan
popular dari oposisi dan kubu Liberal, alih-alih konsisten pada partainya semata.
2. Model Ideologi
Pada model ideologi, jelas akan dilihat apakah janji politik suatu partai memiliki
relevansi dengan ideologi yang selama ini menjadi pijakan partai tersebut. Model ini
membantu partai menjadi lebih mampu mengimplementasikan kebijakan yang sudah
menjadi janji politik mereka. Model inipun menjadi basis penting untuk menjalan model
mandat (akan dijelaskan kemudian), ideologi memiliki pengaruh saat suatu partai membuat
janji politik dan programnya. Saat pembuatan kebijakanpun masih bisa dilihat jejak
ideologinya di dalam produk tersebut. Ideologi, yang diasumsikan berjangka panjang,
membantu rakyat mengetahui perbedaan antara satu partai dengan yang lain. Orientasi
ideologi dan sejarah partai menjadi salah satu alasan rakyat untuk menaruh kepercayaan
pada suatu partai dan berharap terwujud menjadi kebijakan. Salah satu negara dengan
model ini adalah Jerman karena sangat dipengaruhi pertimbangan ideologis saat
memprioritaskan kebijakannya, perbedaan ideologi sangat dominan di antara partai.
3. Model Mandat
Selain janji politik partai dan alokasi anggaran, model mandat juga menaruh
perhatian pada partai yang menang dan kalah dalam pemilu. Partai pemenang adalah yang
utama, sehingga menganggap isu yang diusung partai lain tidak penting dan diabaikan. Hal
ini dianggap dapat mempengaruhi nuansa atau arah produk kebijakan. Dari model ini dapat
dilihat apakah janji politik dari partai yang menang pemilu memang lebih mendominasi
kebijakan publik itu. Termasuk model ini adalah Australia, yang harus bisa duduk di
pemerintahan dahulu apabila ingin mewujudkan janji politiknya.
Namun, Klingemann menekankan bahwa ketiga model agenda, ideologi, dan mandat
merupakan bagian dari teori umum, yaitu sebagai sentral penghubung dalam demokrasi.
Partai menjadi penghubung antara beragam kepentingan rakyat dengan produksi kebijakan
yang dilakukan pemerintah, sehingga ketiga model itu tidak bisa dipisahkan secara tegas
satu sama lain. Seperti saliency theory yang menunjukkan bahwa implementasi dari model
mandat di beberapa kebijakan dalam suatu pemerintahan, tidak bisa benar-benar
mengabaikan kepentingan partai lain, selalu ada kepentingan partai lain yang menjadi
pertimbangan meskipun hanya sedikit. Partai yang dinamis mengakomodasi partai-partai
lain adalah kunci sukses negara demokrasi modern, bukannya kesetiaan penuh terhadap
program atau kebijakan suatu partai tertentu.
Sistem Konfigurasi Kekuasaan
Seperti yang telah dijelaskan di awal mengenai saliency theory, ternyata tidak
sepenuhnya sama dengan praktiknya. Partai pemenang pemilu tidak dengan mudah bisa
mengubah janji politiknya menjadi kebijakan publik. Dalam prosesnya, pentransformasian
janji politik menjadi kebijakan publik, akan berkaitan erat dengan sistem kekuasaan yang
berjalan. Terdapat dua jenis yaitu pemerintahan mayoritas satu partai dan pemerintah
multipartai atau koalisi.
1. Sistem Multipartai
Sedangkan untuk sistem multipartai, sistem yang terbangun setelah hasil pemilu
diketahui adalah koalisi. Sehingga tawar-menawar kekuatan dilakukan untuk
menegosiasikan janji politik yang harus direalisasikan menjadi kebijakan publik, mengingat
banyak kepentingan yang harus diakomodasi. Kondisinya lebih kompleks dibanding sistem
satu partai, sehingga untuk menganalisisnya lebih tepat menggunakan model agenda.
Dalam koalisi, janji politik yang dibuat setiap partai justru menjadi penghalang untuk
menentukan kebijakan yang jadi prioritas. Karena sebelumnya memang belum ada
kebijakan yang disepakati bersama.
Maka, yang dapat dilakukan adalah menggugurkan materi yang kiranya memantik
perselisihan, lebih memperhatikan hal kecil yang mudah disepakati bersama. Seperti yang
dikatakan Luebbert (1986) bahwa alih-alih menambah tekanan pada kebijakan, koalisi justru
membuat kebijakan lebih lunak agar mudah tercapai kata sepakat. Alternatif lainnya adalah,
partai yang tergabung dalam koalisi merombak elemen isu dalam janji politik mereka untuk
merakit landasan baru, terutama apabila harus merespon suatu kesempatan, krisis, atau
kondisi tertentu. Di atas semua itu, yang penting adalah partai-partai harus secara sadar
mendamaikan prioritas mereka saat bernegosiasi. Negosiasi ini penting karena di awal
pemilu partai tersebut merumuskan kebijakan dengan menonjolkan ciri khasnya untuk
bersaing, ciri khas itu pun cenderung bertentangan satu sama lain.
2. Sistem Mayoritas Satu Partai
Apabila sistem konfigurasi kekuasaan adalah sistem mayoritas satu partai atau single party
dominated, maka yang dibutuhkan untuk mewujudkan agenda kebijakan publik sesuai
dengan janji politiknya kemampuan dan kemauan. Kemampuan lebih merujuk pada
mempertanyakan apakah anggota partai yang duduk di parlemen memiliki kemampuan
tersebut dan terkaitan pendanaan nasional. Sedangkan kemauan jelas mengarah pada
personal anggota dewan apakah memang sungguh-sungguh ingin memperkenalkan
kebijakan baru, atau justru menganggap usahanya telah selesai setelah berhasil duduk di
parlemen. Model mandat cocok digunakan dalam sistem ini.
Kondisi ini biasanya terjadi di negara dengan sistem pemerintahan parlementer
karena suara bisa mengarah pada satu partai tertentu, kemudian akan membentuk
pemerintahan yang eksklusif berisikan orang-orang dari partai itu. Janji politik, misalnya
kebijakan yang dijanjikan saat pemilu, menjadi dasar pemimpin partai untuk
mengkoordinasikan pemerintahan. Rakyat memiliki harapan besar akan terealisasikannya
janji politik dalam sistem mayoritas satu partai ini karena tidak ada rumusan program atau
kebijakan lain yang menjadi alternatif. Konsekuensinya adalah media dan oposisi akan ketat
mengawasi komitmen dan konsistensi partai untuk mewujudkan kebijakan itu.
Partai politik merupakan aktor utama yang menjembatani proses pemerintahan
dengan rakyatnya. Partai politik menjaring tuntutan rakyat dengan memanfaatkan media,
kemudian mengubahnya menjadi agenda politik setelah terlebih dahulu disesuaikan dengan
ideologi partai, sehingga partai dapat menyajikan alternatif misi-misi kebijakan publik
kepada rakyat. Pemerintahan baru setelah pemilu terdiri dari rulling party dan oposisi.
Partai politik pemenang menempati jabatan eselon tinggi di dalam birokrasi dan yang kalah
sebagai oposisi di parlemen. Pada titik inilah partai politik memiliki peran yang krusial dalam
proses kebijakan publik, terutama dalam pengambilan keputusan dan implementasi. Partai
menjadi aktor utama dalam demokrasi yang harus bisa mempersempit kesenjangan politik
antara negara dan rakyat.
Penggunaan Teori untuk Paper
Penelitian yang saya pilih adalah tentang penutupan tempat prostitusi di Surabaya yaitu
Dolly. Tri Rismaharini, Walikota Surabaya yang diusung oleh PDIP, sejak lama telah
memberitahukan bahwa Dolly akan ditutup karena alasan ketertiban, kesehatan, dan
kesejahteraan warga yang terlibat di Dolly. Kebijakan ini tentu menuai pro-kontra dari
banyak kalangan, terutama pekerja seks sebagai orang yang terkena dampak langsung dari
kebijakan tersebut. Risma dan wakilnya juga beberapa kali melakukan negosiasi dengan
mereka agar tercapai kesepakatan untuk menutup Dolly tanpa konflik.
Berdasarkan kasus tersebut, saya ingin mengetahui bagaimana peran partai terkait
kebijakan penutupan Dolly tersebut. Peranan partai yang aktif atau pasif sebagai jawaban
dari pertanyaan itu perlu dilacak lebih lanjut, mulai dari lasannya dan bukti dari perannya.
Informasi mengenai kebijakan yang dikeluarkan Risma adalah kebijakan personalnya atau
dapat dikatakan representasi dari kebijakan PDIP juga perlu diketahui. Oleh karenanya,
untuk melihat kaitan antara partai dan kebijakan publik, dapat memakai model analisis yang
telah dipaparkan oleh Klingemann dkk
Asumsi saya saat ini, apabila kebijakan dikeluarkan oleh Risma ataupun oleh PDIP sebagai
partai yang menang dalam pemilihan walikota, model mandat lebih tepat. Ini dikarenakan
partai baru bisa merealisasikan kebijakan setelah benar-benar masuk dalam pemerintahan
dan mengalahkan lawan-lawannya. Dengan demikian, untuk mendukung asumsi itu
diperlukan berbagai data pendukung antara lain mengenai janji politik yang diumumkan
Risma dan partai saat pencalonan walikota serta komposisi kursi partai-partai di DPRD saat
ini.