16
117 RESPON TANAMAN TUMPANGSARI (KELAPA SAWIT+NENAS) TERHADAP AMELIORASI DAN PEMUPUKAN DI LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI THE RESPONSES OF INTERCROPPING PLANT (PALM + PINEAPPLE) TO AMELIORATION AND FERTILIZATION ON DEGRADED PEATLANDS Masganti 1 , I G.M. Subiksa 2 , Nurhayati 1 , Winda Syafitri 1 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau, Jl. Kaharudin Nasution No. 341, Padang Marpoyan, Pekanbaru 10210. 2 Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No.12, Cimanggu, Bogor 16114. Abstrak. Produktivitas kelapa sawit yang ditanam di lahan gambut masih tergolong rendah antaranya karena tingkat kesuburan tanah yang rendah, sehingga perlu dilakukan ameliorasi dan pemupukan. Penelitian dilaksanakan di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Langgam Kabupaten Pelalawan, Riau. Penelitian bertujuan untuk menentukan pengaruh jenis amelioran terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman tumpangsari kelapa sawit + nenas di lahan gambut terdegradasi. Perlakuan yang diuji meliputi (a) pemupukan menurut cara petani, (b) ameliorasi dengan pupuk gambut, (c) ameliorasi dengan tandan kosong sawit, dan (d) ameliorasi dengan pupuk kandang. Perlakuan ditata dalam rancangan acak kelompok dengan empat ulangan. Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan kelapa sawit meliputi pertambahan jumlah pelepah daun dan panjang daun, pertumbuhan nenas meliputi pertambahan daun dan panjang daun yang diukur setiap 2 (dua) minggu, dan produksi kelapa sawit dan nenas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ameliorasi berpengaruh terhadap pertambahan jumlah pelepah daun dan lebar daun kelapa sawit, pertambahan jumlah daun dan lebar daun nenas, dan produksi nenas, tetapi tidak berpengaruh terhadap produksi sawit yang dibudidayakan di lahan gambut terdegradasi. Produksi kelapa sawit tertinggi dihasilkan oleh perlakuan amelioran Tankos (20.057 kg/ha/tahun), sedang produksi nenas tertinggi dihasilkan oleh perlakuan amelioran Pugam (11 buah/ha). Kata kunci : Tumpangsari, sawit + nenas, ameliorasi, pemupukan, lahan gambut Abstract. The productivity of palm oil on peatlands are relatively low due to low soil fertility, so it needs to be done amelioration and fertilization. The experiment was conducted in Lubuk Ogong village, Langgam Subdistric, Pelalawan District, Riau Province. The treatments included (a) fertilization according to the farmers, (b) amelioration by Pugam, (c) amelioration by empty fruit bunches of oil palm, and (d) amelioration by manure. The treatments were arranged in a randomized block design with four replications. The observations were made on the growth of oil palm comprise number of leaves midrib and canopy width, and growth of 7

RESPON TANAMAN TUMPANGSARI (KELAPA …balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/dokumentasi/prosiding/prosiding gambut icctf/07... · Di Provinsi Riau, kelapa sawit merupakan komoditas

  • Upload
    vutu

  • View
    223

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

117

RESPON TANAMAN TUMPANGSARI (KELAPA SAWIT+NENAS) TERHADAP AMELIORASI DAN PEMUPUKAN DI LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI

THE RESPONSES OF INTERCROPPING PLANT (PALM + PINEAPPLE) TO AMELIORATION AND FERTILIZATION ON DEGRADED PEATLANDS

Masganti1, I G.M. Subiksa2, Nurhayati1, Winda Syafitri1

1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau, Jl. Kaharudin Nasution No. 341, Padang Marpoyan,

Pekanbaru 10210.

2 Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No.12, Cimanggu, Bogor 16114.

Abstrak. Produktivitas kelapa sawit yang ditanam di lahan gambut masih

tergolong rendah antaranya karena tingkat kesuburan tanah yang rendah,

sehingga perlu dilakukan ameliorasi dan pemupukan. Penelitian

dilaksanakan di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Langgam Kabupaten

Pelalawan, Riau. Penelitian bertujuan untuk menentukan pengaruh jenis

amelioran terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman tumpangsari kelapa

sawit + nenas di lahan gambut terdegradasi. Perlakuan yang diuji meliputi

(a) pemupukan menurut cara petani, (b) ameliorasi dengan pupuk gambut,

(c) ameliorasi dengan tandan kosong sawit, dan (d) ameliorasi dengan

pupuk kandang. Perlakuan ditata dalam rancangan acak kelompok dengan

empat ulangan. Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan kelapa sawit

meliputi pertambahan jumlah pelepah daun dan panjang daun, pertumbuhan

nenas meliputi pertambahan daun dan panjang daun yang diukur setiap 2

(dua) minggu, dan produksi kelapa sawit dan nenas. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa ameliorasi berpengaruh terhadap pertambahan jumlah

pelepah daun dan lebar daun kelapa sawit, pertambahan jumlah daun dan

lebar daun nenas, dan produksi nenas, tetapi tidak berpengaruh terhadap

produksi sawit yang dibudidayakan di lahan gambut terdegradasi. Produksi

kelapa sawit tertinggi dihasilkan oleh perlakuan amelioran Tankos (20.057

kg/ha/tahun), sedang produksi nenas tertinggi dihasilkan oleh perlakuan

amelioran Pugam (11 buah/ha).

Kata kunci : Tumpangsari, sawit + nenas, ameliorasi, pemupukan, lahan

gambut

Abstract. The productivity of palm oil on peatlands are relatively low due

to low soil fertility, so it needs to be done amelioration and fertilization.

The experiment was conducted in Lubuk Ogong village, Langgam

Subdistric, Pelalawan District, Riau Province. The treatments included (a)

fertilization according to the farmers, (b) amelioration by Pugam, (c)

amelioration by empty fruit bunches of oil palm, and (d) amelioration by

manure. The treatments were arranged in a randomized block design with

four replications. The observations were made on the growth of oil palm

comprise number of leaves midrib and canopy width, and growth of

7

Masganti et al.

118

pineapple i.e : number of leaves, and leaf length which were measured

every two weeks, and production of oil palm and pineapple. The results

showed that amelioration affect the increasing of leaves midrib and leaf

canopy width of oil palm, the increase of the leaves number and leaf length

of pineapple, and pineapple production, but there was no effect on the

production of oil palms which are cultivated on the degraded peatlands.

The highest production of oil palm were produced by amelioration

treatment with empty fruit bunches of oil palm (20.057 kg /ha/year), while

the highest pineapple production were produced by amelioration treatment

with Pugam (11 units/ha).

Keywords: Intercropping, oil palm + pineapple, amelioration, fertilization,

peatland

PENDAHULUAN

Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi dengan luas tanaman kelapa sawit

yang terluas di Indonesia. Dari sekitar 7,71 juta hektar perkebunan sawit di Indonesia,

diperkirakan 24,55% atau 1,9 juta hektar terdapat di provinsi ini. Dari total luas

perkebunan kelapa sawit, sekitar 1,54 juta hektar atau 20% dibudidayakan di lahan

gambut (Indonesian Climate Change Trust Fund, 2012 dalam Wahyunto et al., 2013).

Sedangkan di Riau, tanaman sawit yang dibudidayakan di lahan gambut mencapai

788.491 ha atau sekitar 41,5% areal pertanaman.

Di Provinsi Riau, kelapa sawit merupakan komoditas unggulan. Menurut laporan

Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Riau (2013), perkebunan kelapa sawit yang telah

menghasilkan (TM) banyak diusahakan oleh perkebunan rakyat, yakni sekitar (53,35%),

diikuti perkebunan besar swasta (PBS), sekitar 42,55% dan sisanya dari perkebunan besar

negara (PBN). Lokasi terluas terdapat di Kabupaten Kampar (165.869 ha), Siak (163.380

ha), Rokan Hilir (145.769 ha), Rokan Hulu (140.135 ha), dan Pelalawan (111.568 ha).

Meskipun luas perkebunan sawit rakyat lebih dominan, akan tetapi rata-rata

produktivitas sawit yang diusahakan oleh rakyat lebih rendah 17,1% dari produktivitas

perkebunan besar negara, dan 21,4% dari perkebunan besar swasta. Hal ini antaralain

disebabkan terbatasnya modal petani dan belum optimalnya pemanfaatan teknologi

(Disbun Provinsi Riau, 2013).

Pengembangan kelapa sawit di lahan gambut yang diusahakan rakyat tidak lagi

diarahkan pada perluasan areal, tetapi ditekankan pada usaha peningkatan produktivitas.

Peningkatan produktivitas harus mempertimbangkan kelestarian usahatani, dan kualitas

lingkungan agar tidak menambah "daftar luas" lahan-lahan suboptimal yang terlantar

(Masganti, 2013). Selain itu, peningkatan produktivitas lahan gambut yang ditanami

kelapa sawit juga dapat dilakukan melalui tumpangsari dengan tanaman lain seperti nenas.

Respon Tanaman Tumpangsari (Sawit+Nenas) Terhadap Ameliorasi

119

Kelapa sawit, khususnya pelepahnya berpotensi besar dimanfaatkan sebagai pakan

ternak sapi karena mengandung protein kasar sekitar 15% (Parulian, 2009). Kelapa sawit

dalam satu tahun dapat menghasilkan 22 pelepah, dimana satu pelepah beratnya sekitar 7

kg, sehingga jika dalam satu hektar terdapat 138 pohon kelapa sawit, maka dalam satu

tahun pelepah daun dapat menyediakan 2.152 kg pelepah atau setara dengan 2,95 ekor

sapi dengan berat badan 200 kg.

Ameliorasi atau pemberian zat pembenah tanah merupakan salah satu tindakan

yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas tanaman di lahan gambut

(Masganti, 2013). Akan tetapi pengaruh amelioran terhadap pertumbuhan kelapa sawit

berbeda menurut sumber amelioran yang digunakan (Jamil et al., 2012). Pengaruh

amelioran terhadap pertumbuhan tanaman di lahan gambut juga ditentukan oleh

komposisi amelioran (Masganti, 2004a). Oleh karena itu perlu diuji pengaruh berbagai

amelioran dan pemupukan terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa sawit +

nenas yang dibudidayakan di lahan gambut terdegradasi.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Sei. Kijang,

Kabupaten Pelalawan, Riau dari bulan Juni 2013 sampai Juni 2014 dengan posisi

geografis 00020'59,3"-00

021'05,8" Lintang Utara dan 101

041'15,6"-101

041'22,9" Bujur

Timur. Penelitian dilaksanakan di lahan petani seluas 5,0 ha. Tanaman utama sebagai

indikator adalah kelapa sawit berumur sekitar 6 (enam) tahun. Tanaman nenas ditanam

sebagai tanaman sela diantara kelapa sawit.

Perlakuan yang diuji meliputi (a) pemupukan menurut cara petani, (b) ameliorasi

dengan pupuk gambut (Pugam), (c) ameliorasi dengan tandan kosong sawit (Tankos), dan

(d) ameliorasi dengan pupuk kandang (Pukan). Perlakuan ditata dalam rancangan acak

kelompok (RAK) dengan 4 (empat) ulangan.

Pemupukan cara petani per pohon menggunakan pupuk 2,0 kg urea; 2,0 kg SP-36;

2,5 kg KCl; 1,2 kg Kiserite; 0,15 kg CuSO4; 0,15 kg ZnSO4; dan 0,3 kg Borax. Dosis

amelioran dan pupuk anorganik untuk setiap perlakuan disajikan dalam Tabel 1 dan layout

perlakuan disajikan pada Gambar 1.

Masganti et al.

120

Tabel 1. Dosis amelioran dan pupuk anorganik untuk setiap perlakuan tanaman kelapa sawit

Perlakuan Dosis pupuk dan amelioran(kg/pohon)

Pugam Pukan Tankos Urea SP-36 KCl Kiserite CuSO4 ZnSO4 Borax

Pugam 5 - - 2 - 2.5 1.2 - - -

Pukan - 10 - 2 2 2.5 1.2 0.15 0.15 0.3

Tankos - - 15 2 2 2.5 1.2 0.15 0.15 0.3

Kontrol - - - 2 2 2.5 1.2 0.15 0.15 0.3

Saluran Drainase

I Pugam Kontrol Pukan Tankos

II Kontrol Tankos Pugam Pukan

III Tankos Pukan Kontrol Pugam

IV Pukan Pugam Tankos Kontrol

*Keterangan: I, II, III, IV adalah ulangan

Gambar 1. Layout aplikasi perlakuan amelioran pada demplot ICCTF Riau

Bibit nenas ditanam pada gawangan/jalan mati tanaman kelapa sawit (bukan jalan

produksi) dengan jarak tanam 1,75 m x 1,50 m. Setiap plot tanaman nenas terdiri dari 2

(dua) baris dan setiap baris terdapat 4 (empat) tanaman, sehingga terdapat 8 (delapan)

tanaman per plot. Penanaman tanaman nenas dilakukan pada tanggal 23 September 2013.

Pemupukan tanaman nenas dilakukan satu bulan setelah tanam, hal ini dilakukan

karena akar tanaman nenas sudah berkembang di dalam tanah. Pemupukan dengan cara

tugal pada tiga lubang di sekitar lubang tanam, dengan membuat sebanyak tiga lubang

menggunakan tugal, pupuk dimasukkan ke dalam lubang dan ditutup dengan tanah.

Pemupukan dilakukan pada tanggal 26 Oktober 2013 dengan dosis seperti dalam tabel di

bawah ini :

J

A

L

A

N u

l

a

n

g

a

n

Respon Tanaman Tumpangsari (Sawit+Nenas) Terhadap Ameliorasi

121

Tabel 2. Dosis amelioran dan pupuk anorganik untuk setiap perlakuan tanaman nenas

Perlakuan Dosis pupuk dan amelioran (g/tanaman)

Pugam Pukan Tankos Urea SP-36 KCl

Pugam 30 - - 10 - 10

Pukan - 120 - 10 10 10

Tankos - - 120 10 10 10

Kontrol - - - 10 10 10

Pengamatan yang dilakukan sebelum ameliorasi dan pemupukan adalah : sifat

kimia tanah sebelum pemupukan, sifat bahan amelioran yang digunakan, parameter

pertumbuhan kelapa sawit meliputi pertambahan jumlah pelepah, lebar tajuk,

pertumbuhan nenas meliputi jumlah daun dan panjang daun. Parameter produksi kelapa

sawit meliputi jumlah tandan, dan produktivitas. Sedangkan produksi nenas dihitung

melalui penjumlahan jumlah buah nenas yang dihasilkan. Pengamatan dilakukan 1 (satu)

bulan setelah pemupukan dan ameliorasi. Setiap petak pengamatan terdiri dari 4 (empat)

tanaman kelapa sawit dan 8 (delapan) tanaman nenas (Gambar 2).

Gambar 2. Plot pengamatan tanaman kelapa sawit dan nenas

Jumlah pelepah kelapa sawit dihitung berdasarkan jumlah pelepah yang sudah

sempurna, diukur setiap satu bulan sampai pengamatan terakhir. Selisih antara jumlah

pelepah pada pengukuran terakhir dan pertama disebut pertambahan jumlah pelepah.

Lebar tajuk diukur setiap satu bulan, diwakili oleh tiga pelepah daun yakni pelepah daun

dengan panjang paling pendek, menengah dan paling panjang (Gambar 3)

Masganti et al.

122

Gambar 3. Pengukuran lebar tajuk kelapa sawit

Selama satu tahun, setiap dua minggu pada setiap plot pengamatan dilakukan

panen tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, TBS dihitung dan ditimbang untuk

selanjutnya dikonversi menjadi rata-rata produktivitas (kg/ha/bln) dan total produksi

(kg/ha/thn) yang merupakan penjumlahan produktivitas selama satu tahun.

Pengamatan pertumbuhan nenas sebagai tanaman sela meliputi jumlah daun dan

panjang daun dilakukan setiap 2 (dua) minggu. Jumlah daun dihitung berdasarkan jumlah

daun (helai) setiap tanaman nenas. Daun yang telah dihitung dicat sebagai tanda untuk

pengamatan berikutnya.

Panjang daun (cm) diukur dengan cara mengukur daun tanaman nenas mulai dari

pangkal sampai ujung daun. Daun yang diukur kemudian ditandai dengan cat untuk

pengamatan berikutnya.

Pengamatan produksi nenas dilakukan melalui penghitungan jumlah buah nenas

yang dihasilkan per petak hingga Juli 2014.

Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisis ragam menurut rancangan

acak kelompok. Jika hasil analisis memperlihatkan beda nyata, dilanjutkan dengan uji

beda nyata terkecil (LSD) menurut Gomez dan Gomez (1993).

Respon Tanaman Tumpangsari (Sawit+Nenas) Terhadap Ameliorasi

123

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Kimia Tanah

Hasil analisis sifat kimia tanah sebelum aplikasi amelioran dan pemupukan

disajikan dalam Tabel 3. Nilai pH tanah gambut menunjukkan tingkat kemasaman yang

tinggi. Media tumbuh dengan tingkat kemasaman demikian menjadi kendala dalam

pengembangan tanaman karena terbatasnya daya penyediaan hara. Angka tersebut sesuai

dengan hasil yang dilaporkan oleh Masganti (2003), Hartatik et al., (2011), dan Sabiham

dan Sukarman (2012).

Tingginya kemasaman tanah gambut antaralain disebabkan oleh kondisi drainase

yang jelek dan hidrolisis asam-asam organik. Asam-asam organik yang dihasilkan

biasanya didominasi oleh asam pulvat dan asam humat (Stevenson, 1994; Spark, 1995).

Hasil analisis kadar C-organik dalam tanah gambut berkisar antara 34,79% sampai

38,50%. Angka-angka tersebut sejalan dengan hasil yang dilaporkan Masganti (2003),

Hartatik et al. (2011), dan Sabiham dan Sukarman (2012). Berdasarkan kadar bahan

organik dan ketebalan lapisan bahan organiknya, maka tanah gambut Lubuk Ogong

tergolong ordo histosol (Soil Survey Staff, 2010).

Kadar N-total dalam tanah gambut Lubuk Ogong dengan tingkat dekomposisi

hemik lebih rendah dari nilai yang diperoleh Masganti (2003) dalam tanah gambut saprik,

tetapi lebih tinggi dari tanah gambut fibrik. Hal ini dapat dimengerti karena kadar N-total

dalam tanah gambut berkorelasi dengan tingkat dekomposisi (Sabiham, 2001). Semakin

tinggi tingkat dekomposisi tanah gambut, semakin tinggi kadar N dalam tanah gambut.

Tanah gambut dilaporkan mempunyai kemampuan yang rendah dalam menyimpan

P (Masganti, 2004a). Rendahnya daya simpan P tanah gambut diyakini sebagai penyebab

rendahnya daya penyediaan hara, khususnya P tanah gambut (Masganti, 2003; Wiratmoko

et al., 2008; Maftuah, 2012).

Terbatasnya jumlah koloid anorganik dalam tanah gambut dilaporkan sebagai salah

satu penyebab rendahnya daya simpan P (Stevenson, 1994; Tan, 1994). Keadaan ini

menyebabkan jumlah P yang dapat diikat atau disimpan oleh tanah gambut menjadi

terbatas. Hasil analisis dalam Tabel 3 memperlihatkan bahwa kadar basa dalam tanah

gambut tergolong rendah yang dicirikan oleh rendahnya kejenuhan basa (KB), sehingga

kemampuan tanah gambut menjerap P menjadi rendah.

Kadar basa-basa dalam tanah gambut juga menentukan kemampuan tanah gambut

menjerap P. Tabel 3 menunjukkan bahwa kadar unsur-unsur basa dalam tanah gambut

tergolong rendah. Hasil ini sejalan dengan hasil yang dilaporkan oleh Masganti (2003),

Masganti et al.

124

Hartatik et al., (2011), dan Sabiham dan Sukarman (2012). Gambut yang oligotrofik

biasanya miskin akan unsur-unsur hara, termasuk basa-basa.

Kapasitas tukar kation (KTK) tanah gambut umumnya lebih tinggi dari tanah

mineral. Hal ini disebabkan pada tanah gambut bahannya disusun oleh komponen yang

berukuran koloid, sehingga mempunyai kemampuan mempertukarkan kation lebih tinggi.

Hasil pengukuran KTK dalam penelitian ini tidak berbeda jauh dengan hasil yang

dilaporkan oleh Masganti (2003), Hartatik et al. (2011), dan Sabiham dan Sukarman

(2012).

Tabel 3 menunjukkan bahwa kejenuhan Al tanah gambut yang digunakan tergolong

rendah. Hasil ini sejalan dengan hasil yang dilaporkan Nuryani (2010) dan Masganti

(2012). Kejenuhan Al dalam tanah gambut umumnya relatif rendah, kecuali tanah-tanah

gambut dangkal yang pada lapisan bawahnya terdapat tanah sulfat masam.

Hasil analisis dalam Tabel 3 juga menunjukkan bahwa H+ merupakan sumber

kemasaman yang dominan dalam tanah gambut. Pada setiap perlakuan selalu

menunjukkan nilai H+ selalu lebih besar dari nilai Al3+. Hasil ini sejalan dengan hasil

yang dilaporkan oleh Nuryani (2010) dan Masganti (2012). Dalam tanah gambut, banyak

gugus fungsional seperti karboksilat dan fenolat yang berfungsi sebagai sumber H+

(Stevenson, 1994; Tan, 1994).

Tabel 3. Hasil analisis sifat kimia tanah sebelum perlakuan pada kedalaman 0-20 cm

No. Sifat kimia tanah dan satuan Hasil analisis setiap perlakuan

Pugam Tankos Pukan Kontrol

1. pH H2O 3,16 3,10 3,12 3,12

2. C-organik (%) 38,01 38,50 34,79 35,88

3. N-total (%) 1,37 1,80 1,31 1,42

4. C/N 27,7 21,4 26,6 25,3

5. P-tersedia (ppm) 174 185 133 234

6. Ca-tertukar [cmol(+).kg-1] 9,98 8,19 9,04 8,30

7. Mg-tertukar [cmol(+).kg-1] 2,52 2,86 2,52 2,64

8. K-tertukar [cmol(+).kg-1] 0,34 0,38 0,33 0,47

9. Na-tertukar [cmol(+).kg-1] 0,81 0,52 0,87 1,05

10. KTK [cmol(+).kg-1] 81,82 86,94 80,05 82,81

11. KB (%) 16,68 13,75 15,74 15,05

12. Al-tertukar [cmol(+).kg-1] 3,22 4,11 3,77 4,17

13. H-tertukar [cmol(+).kg-1] 4,70 5,10 4,76 4,91

Respon Tanaman Tumpangsari (Sawit+Nenas) Terhadap Ameliorasi

125

Sifat Bahan Amelioran yang Digunakan

Tabel 4 menyajikan hasil analisis sifat kimia amelioran yang digunakan. Hasil

analisis menunjukkan bahwa Pugam mempunyai beberapa keunggulan karena kadar

haranya paling tinggi yakni kadar P-total, Ca, Mg, S, dan unsur mikro seperti Zn, Cu, B,

Pb, dan Cd, kadar abu tinggi dan kadar airnya rendah, tetapi kadar Al paling tinggi.

Sedangkan Tankos dan Pukan mempunyai kelebihan kadar K yang tinggi dan Al yang

rendah atau bahkan tidak terdeteksi. Tingginya kadar Al dalam Pugam dapat dipahami

karena salah satu komponen penyusun amelioran ini adalah terak baja yang mengandung

alumunium. Pugam merupakan amelioran yang formulanya dikembangkan untuk

pertanian di lahan gambut dengan berbagai keunggulan (Subiksa et al., 2009).

Tabel 4. Hasil analisis karakteristik bahan amelioran yang digunakan

No. Karakteristik dan satuan Hasil analisis

Pugam Tankos Pukan

1. P-total (%) 13,15 4,75 0,56

2. K2O (%) 0,08 0,45 0,49

3. CaO (%) 26,52 1,29 0,72

4. MgO (%) 10,88 0,80 0,33

5. S (%) 0,56 0,20 0,10

6. Fe(%) 9,46 td 0,04

7. Al (%) 6,29 td td

8. Cu (ppm) 1.008 17 3

9. Zn (ppm) 1.633 47 46

10. B (ppm) 686 3 40

11. Pb (ppm) 54 td td

12. Cd (ppm) 14 td td

13. Hg (ppm) td 0,00 0,10

14. Kadar abu (%) 97,24 19,23 6,13

15. Kadar air (%) 3,07 55,89 70,08

Keterangan : td = tidak dideteksi

Dibandingkan dengan Pukan, Tankos mempunyai keunggulan diantaranya kadar

Ca, Mg, S dan kadar abu yang lebih tinggi, tetapi lebih rendah kandungan unsur B.

Perbedaan komponen penyusun amelioran akan menyebabkan perbedaan dalam

mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Subiksa, 2000; Hartatik dan Nugroho, 2001;

Masganti, 2003). Efektivitas amelioran dapat ditingkatkan melalui perbaikan formulasi

amelioran (Masganti et al., 2004a) dan mengatur waktu pemberian amelioran dan

pemupukan P (Masganti, 2004b). Perbedaan efektivitas penggunaan amelioran juga

dipengaruhi oleh daya netralisasi amelioran terhadap kemasaman (Masganti, 2003;

Maftuah, 2012).

Masganti et al.

126

Pertumbuhan dan Produksi Kelapa Sawit

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan amelioran dan pemupukan

berpengaruh nyata terhadap kemampuan kelapa sawit membentuk pelepah dan tajuk. Hal

ini dapat dimaklumi karena perbedaan kandungan dalam setiap amelioran seperti yang

diperlihatkan dalam Tabel 4 (Masganti, 2003; Subiksa et al., 2009; Jamil et al., 2012).

Perbedaan kandungan hara tersebut menyebabkan pertumbuhan yang berbeda,

diekspresikan dengan kemampuan membentuk pelepah dan lebar tajuk. Semakin baik

suplai hara terhadap perakaran tanaman, semakin tinggi kemampuan kelapa sawit

membentuk pelepah dan tajuk yang lebih lebar. Dalam penelitian ini terlihat bahwa kelapa

sawit yang diameliorasi dengan Pugam memperlihatkan kemampuan membentuk pelepah

lebih banyak dan tajuk yang lebih lebar (Tabel 5), meski secara statistik tidak berbeda

nyata dengan amelioran lainnya. Hal ini dapat dimaklumi karena Pugam mempunyai

kelebihan dalam kandungan Ca, Mg, S, unsur-unsur mikro, dan kadar abu. Hasil ini

sejalan dengan hasil yang dilaporkan Subiksa (2000), Hartatik dan Nugroho (2001), dan

Subiksa et al., (2009).

Tabel 5. Pengaruh ameliorasi dan pemupukan terhadap pertambahan jumlah pelepah, lebar tajuk,

produktivitas dan total produksi kelapa sawit yang ditumpangsari dengan nenas

No. Perlakuan

Parameter

Pertambahan Jumlah pelepah (helai)

Lebar tajuk (cm)

Produktivitas (kg/ha/bln)

Total produksi (kg/ha/thn)

1. Kontrol 22,4 a 95 a 1.543 a 18.513 a

2. Pugam 30,3 b 114 b 1.611 a 19.326 a

3. Pukan 27,7 b 110 b 1.634 a 19.613 a

4 Tankos 29,4 b 113 b 1.671 a 20.057 a

Keterangan : Angka-angka pada setiap parameter yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut

LSD taraf 5%.

Kelapa sawit yang diameliorasi dengan amelioran Tankos memperlihatkan

performa agronomi lebih baik dari yang diameliorasi dengan Pukan (Tabel 5). Perbedaan

ini disebabkan kandungan unsur Ca, Mg, dan S dalam amelioran Tankos lebih tinggi.

Amelioran yang mengandung kadar hara lebih tinggi menyebabkan pertumbuhan tanaman

lebih baik (Subiksa, 2000; Hartatik dan Nugroho, 2001; Subiksa et al., 2009). Tabel 5

memperlihatkan bahwa kecepatan pembentukan pelepah kelapa sawit yang diameliorasi

lebih cepat sekitar 7 (tujuh) helai per tahun. Kelebihan ini merupakan hal yang sangat

penting untuk mendukung integrasi sawit-sapi di lahan gambut. Tambahan pelepah

tersebut dapat memenuhi kebutuhan bahan pakan satu ekor sapi (Parulian, 2009).

Tabel 5 menginformasikan bahwa rata-rata produktivitas kelapa sawit berkisar

1,54-1,67 t/ha/bln. Angka ini lebih tinggi dari angka yang dihasilkan oleh perkebunan

Respon Tanaman Tumpangsari (Sawit+Nenas) Terhadap Ameliorasi

127

rakyat di Provinsi Riau (Disbun Provinsi Riau, 2013). Hal ini membuktikan bahwa

pemberian amelioran ampuh meningkatkan produktivitas kelapa sawit (Masganti, 2009).

Bila rata-rata produktivitas cara petani (kontrol) dibandingkan dengan rata-rata

produktivitas perkebunan sawit rakyat di Riau, angka ini lebih tinggi. Hal ini diduga

karena dalam penelitian ini juga dilakukan pengaturan air konservasi. Pengaturan air

menjadi faktor penentu dalam pertumbuhan dan produksi sawit di lahan gambut karena

menentukan efisiensi dan efektivitas pemupukan (Masganti, 2013).

Pengaruh ameliorasi tidak menyebabkan perbedaan terhadap rata-rata produktivitas

dan total produksi, meski terdapat kecenderungan ameliorasi meningkat-kan kedua

parameter tersebut dibanding kontrol (Tabel 5). Hasil ini berbeda dengan hasil yang

dilaporkan Masganti (2009). Hal ini dapat disebabkan oleh dua hal yakni (1) kontrol yang

digunakan pada kedua penelitian tersebut tidak sama, (2) pupuk dasar yang digunakan

dalam penelitian ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman kelapa sawit,

dan (3) adanya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Menurut Widyanto et

al., (2014) pada awal penelitian sekitar 30% areal pertanaman kelapa sawit mengalami

serangan hama kumbang tanduk. Hama ini dilaporkan berpotensi menurunkan

produktivitas kelapa sawit.

Diantara ketiga perlakuan amelioran, plot percobaan yang diberi Tankos

menghasilkan total produksi paling tinggi, diikuti Pukan, dan terendah Pugam, meski

secara statistik tidak berbeda nyata. Namun demikian, disarankan untuk menggunakan

amelioran Tankos dengan beberapa pertimbangan. Pertama, nilai emisi CO2 yang

dihasilkan paling rendah. Produksi emisi CO2 menjadi pertimbangan penting dalam

menentukan teknologi yang digunakan dalam budidaya kelapa sawit di lahan gambut

terdegradasi (Las et al., 2012; Agus et al., 2013; Masganti, 2013). Menurut Wahyuni et

al., (2014) Diantara ketiga jenis amelioran yang digunakan jika dibandingkan dengan cara

petani, Tankos paling ampuh menurunkan emisi CO2, diikuti Pukan. Sebaliknya Pugam

justru meningkatkan nilai emisi CO2.

Pertimbangan kedua adalah ketersediaan bahan di lapangan. Salah satu masalah

sosial yang dihadapi dalam menerapkan teknologi ameliorasi adalah kurang atau tidak

tersedianya bahan amelioran di lapangan. Pugam merupakan amelioran yang paling tidak

tersedia di lapangan, sehingga tidak disarankan untuk digunakan. Sementara Pukan meski

tersedia, tetapi secara kuantitas tidak mampu memenuhi kebutuhan dan adanya biaya

tambahan transportasi dari sentra peternakan ke lokasi perkebunan. Sedangkan Tankos,

ketersediaannya melimpah karena produksi kelapa sawit yang tinggi. Hal yang perlu

dilakukan adalah melatih petani untuk menghasilkan kompos Tankos. Tapi hal ini harus

didukung oleh kebijakan peralatan yang memadai. Pertimbangan lainnya adalah biaya

input bahan. Menurut Nurhayati et al., (2014) diantara ketiga perlakuan amelioran,

Masganti et al.

128

Tankos memerlukan biaya input bahan paling rendah, diikuti Pugam dan paling tinggi

adalah Pukan.

Pertumbuhan dan Produksi Nenas

Kemampuan tanaman nenas membentuk daun dan panjang daun dipengaruhi oleh

pemberian amelioran, tetapi tidak dipengaruhi oleh jenis amelioran yang diberikan (Tabel

6). Berbeda dengan pertumbuhan kelapa sawit, tanaman nenas tumbuh lebih baik dalam

petak kelapa sawit yang pertumbuhannya tertekan (kontrol). Hal ini dapat dimaklumi

karena pertumbuhan kelapa sawit yang tertekan memungkinkan adanya ruang yang lebih

luas bagi nenas untuk memperoleh sinar matahari, sehingga proses fotosintesisnya

berlangsung lebih intensif. Persaingan antar tanaman yang dibudidayakan di lahan

gambut mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Najiyati et al., 2008; Lestari et al., 2013).

Tabel 6. Pengaruh ameliorasi dan pemupukan terhadap pertambahan jumlah daun,panjang daun,

dan produksi nenas yang ditumpangsari dengan kelapa sawit

No. Perlakuan

Parameter

Pertambahan Jumlah daun

(helai)

Panjang daun

(cm)

Produksi

(b)

1. Kontrol 34,0 b 49,1 b 6 ab

2. Pugam 25,0 a 42,4 a 11 c

3. Pukan 26,0 a 43,2 b 3 a

4 Tankos 25,0 a 42,1 a 8 bc

Keterangan : Angka-angka pada setiap parameter yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut

LSD taraf 5%.

Umur tanaman nenas yang masih relatif muda menyebabkan produksi buah belum

maksimal. Akan tetapi dari hasil analisis ragam diketahui bahwa jumlah buah yang

dihasilkan dipengaruhi oleh perlakuan. Data dalam Tabel 6 memperlihatkan bahwa

produksi buah yang dihasilkan oleh nenas yang diberi amelioran Pugam paling banyak.

Hal ini disebabkan keunggulan komparatif amelioran ini yang dapat dimanfaatkan

tanaman secara baik. Pertumbuhan vegetatif yang lebih baik pada petak kontrol mungkin

menyebabkan energi hasil fotosintesis tidak banyak dimanfaatkan untuk pembentukan

buah. Pembentukan buah juga dipengaruhi oleh ketersediaan hara (Rankine dan Fairhust,

2000).

Hasil pengamatan lapang juga memperlihatkan bahwa kecepatan munculnya buah

nenas lebih cepat pada petak yang diameliorasi dengan Pugam. Rata-rata tanaman nenas

yang diberi Pugam, buahnya 7-10 hari muncul lebih awal. Hasil ini juga menjadi bukti

bahwa tanaman nenas mampu memanfaatkan kelebihan amelioran Pugam.

Respon Tanaman Tumpangsari (Sawit+Nenas) Terhadap Ameliorasi

129

Meskipun produksi nenas yang dihasilkan dari plot percobaan yang diameliorasi

dengan Pugam paling tinggi, tetapi tidak berbeda nyata dengan plot yang diameliorasi

dengan Tankos. Hasil ini memperkuat alasan penggunaan amelioran Tankos di lahan

gambut terdegradasi. Oleh karena itu pemilihan inovasi teknologi tumpangsari

sawit+nenas di lahan gambut harus mempertimbangkan (1) emisi CO2 yang dihasilkan

rendah, (2) bahannya mudah didapatkan atau diproduksi sendiri, (3) biaya input bahan

rendah, dan (4) produksi tanaman tumpangsari tinggi. Pertimbangan ini dapat

meningkatkan pendapatan petani dan menjaga kelestarian lingkungan hidup serta

menjamin keberlangsungan usahatani.

KESIMPULAN DAN SARAN

Pertumbuhan tumpangsari kelapa sawit + nenas dan produksi nenas di lahan

gambut terdegradasi dipengaruhi oleh perlakuan amelioran, tetapi produktivitas dan total

produksi tidak dipengaruhi. Produksi kelapa sawit tertinggi (20.057 kg/ha/thn) dihasilkan

oleh perlakuan amelioran Tankos, diikuti amelioran Pukan (19.613 kg/ha/thn), amelioran

Pugam (19.326 kg/ha/thn), dan terendah perlakuan kontrol (18.513 kg/ha/thn). Sedangkan

produksi nenas tertinggi diperoleh dari perlakuan Pugam (11 biji), diikuti Tankos (8 biji),

kontrol (6 biji), dan terendah Pukan (3 biji).

Peningkatkan pendapatan petani dan upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup

serta menjamin keberlangsungan usahatani tumpangsari sawit+nenas di lahan gambut

terdegradasi, disarankan untuk menggunakan amelioran Tankos disertai pelatihan petani

tentang cara memproduksi amelioran Tankos.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F., A. Dariah, dan A. Jamil. 2013. Kontroversi pengembangan perkebunan sawit

pada lahan gambut. Dalam Haryono et al., (Eds.). Politik Pengembangan

Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim. Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian. Kementrian Pertanian. IAARD, Jakarta. Halaman:454-473.

Disbun Provinsi Riau. 2013. Data Statistik Perkebunan Provinsi Riau. Dinas Perkebunan

Provinsi Riau. Pekanbaru. 172 halaman.

Gomez, K. A., dan A. A. Gomez. 1993. Statistical Procedures for Agricultural Research. 2 nd

Ed. John Willey & Sons, New York. 680 halaman.

Hartatik,W., dan K. Nugroho. 2001. Effect of different ameliorant sources to maize

growth in peat soil from Air Sugihan Kiri, South Sumatera. Dalam Rieley, J. O.,

dan S. E. Page (Eds.). Jakarta Symposium Halaman:103-108. Dalam Proceeding

on Peatlands for People: Natural Resources Functions and Sustainable

Management.

Masganti et al.

130

Hartatik, W, I.G.M. Subiksa, dan Ai Dariah. 2011. Sifat kimia dan fisika lahan gambut.

Dalam Neneng et al., (Eds.). Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai

Penelitian Tanah. Bogor. Halaman:45-56.

Jamil, A., Nurhayati, I.N. Istina, Yunizar, dan H. Widyanto. 2012. Penelitian dan

Pengembangan teknologi pengelolaan gambut berkelanjutan meningkatkan

sekuestrasi karbon dan mitigasi gas rumah kaca di Provinsi Riau. Balai

Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Riau, Pekanbaru. 49

halaman.

Las, I., M. Sarwani, A. Mulyani, dan M.F. Saragih. 2012. Dilema dan rasionalisasi

kebijakan pemanfaatan lahan gambut untul areal pertanian. Dalam Husen et al.,

(Eds.). Halaman:17-29 Dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan

Gambut Berkelanjutan. Badan Litbang Pertanian. Kementrian Pertanian..

Lestari, Y.,Y. Raihana, dan S. Saragih. 2013. Teknologi budidaya hortikultura di Lahan

Gambut. Dalam Noor et al., (Eds.). Lahan Gambut: Pemanfaatan dan

Pengembangannya untuk Pertanian. Kanisius, Yogyakarta. Halaman:117-148.

Maftuah, E. 2012. Ameliorasi Lahan Gambut Terdegradasi dan Pengaruhnya terhadap

Produksi Jagung Manis. Disertasi. Program Pascasarjana UGM. Yogjakarta. 251

halaman.

Masganti. 2003. Kajian Upaya Meningkatkan Daya Penyediaan Fosfat dalam Gambut

Oligotrofik. Disertasi. Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta. 355 halaman.

Masganti. 2004a. Pengaruh macam senyawa penjerap P dan sumber pupuk P terhadap

daya penyediaan hara bahan gambut. Dalam Ar-Riza et al., (Eds.). Halaman:347-

358. Dalam Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pengelolaan

Sumberdaya Lahan Rawa dan Pencemaran Lingkungan. Balai Besar Penelitian

dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.

Masganti. 2004b. Pengaruh waktu pemupukan P dan pemberian amelioran, formulasi dan

sumber pupuk P terhadap daya penyediaan P bahan gambut. J. AgriPeat 5(2):76-

85.

Masganti, T. Notohadikusumo, A. Maas, dan B. Radjagukguk. 2004. Pengaruh formulasi

amelioran terhadap daya penyimpanan dan penyediaan fosfat bahan gambut.

Dalam Kurnia et al., (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi

Sumberdaya Tanah dan Iklim. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Buku II. Halaman:179-186.

Masganti. 2009. Pemanfaatan limbah kelapa sawit dan produktivitas kelapa sawit di lahan

kering Kalimantan Tengah. Agripura 4(2):529-535.

Masganti. 2012. Sample preparation for peat material analysis. Dalam Husein et al.,

(Eds.). Halaman:179-184. Dalam Prosiding Workshop on Sustainable

Management Lowland for Rice Production.

Masganti. 2013. Teknologi inovatif pengelolaan lahan suboptimal gambut dan sulfat

masam untuk peningkatan produksi tanaman pangan. Pengembangan Inovasi

Pertanian 6(4):187-197.

Respon Tanaman Tumpangsari (Sawit+Nenas) Terhadap Ameliorasi

131

Najiyati, S., L. Muslihat, dan I. N. N. Suryadiputra. 2008. Panduan Pengelolaan Lahan

Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forest, and

Peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programe dan Wildlife

Habitat Canada. Bogor, Indonesia.

Nurhayati, S. Saputra, A. D. Putra, I. N. Istiana, dan A. Jamil. 2014. Pengelolaan

Kesuburan Tanah, Produktivitas dan Keuntungan Sistem Tumpangsari (Kelapa

Sawit+Nenas di Lahan Gambut Provinsi Riau. 14 halaman (belum diterbitkan).

Nuryani, S. H. U. 2010. Pemulihan Gambut Hidrofobik dengan Surfaktan dan

Ameliorant, serta Pengaruhnya terhadap Serapan P oleh Jagung. Disertasi.

Program Pascasarjana UGM. Yogyakarta. 277 halaman.

Parulian, T. S, 2009. Efek Pelepah Daun Kelapa Sawit dan Limbah Industrinya Sebagai

Pakan terhadap Pertumbuhan Sapi Peranakan Ongole pada Fase Pertumbuhan.

(http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/7623). 3 April 2014.

Rankine, I. R., dan T. H. Fairhurst. 2000. Seri Tanaman Kelapa Sawit Volume 3. Pusat

Penelitian Kelapa Sawit. Medan.

Sabiham, S. 2001. Stability Condition and Processes of Destabilization of the Indonesian

Tropical Peats. Directorate Generale of Higher Education, Ministry of National

Education. 63 halaman.

Sabiham, S. dan Sukarman. 2012. Pengelolaan lahan gambut untuk pengembangan kelapa

sawit. Hlm 1-17. Dalam Husen et al., (Eds.). Prosiding Seminar Nasional

Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Badan Litbang Pertanian. Kementrian

Pertanian. Bogor, 4 Mei 2012.

Spark, D. L. 1995. Enviromental Sil Chemistry. Academic Press Inc. San Diego,

Caifornia. 267 halaman.

Soil Survey Staff. 2010. Keys to Soil Taxonomy. Eleventh Edition. United States

Departement of Agriculture. Natural Resources Conservation Services. USDA.

Washington D. C. 869 halaman.

Stevenson, F. J. 1994. Humus Chemistry: Genesis, composition and reaction. Second

Edition. John Willey & Sons Inc., New York. 496 halaman.

Subiksa, I. G. M. 2000. Ameliorasi lahan gambut untuk usahatani yang berkelanjutan.

Halaman:379-390 Dakam Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan

Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Puslitbangtan, Balitbangtan. Bogor..

Subiksa, I. G. M., Husein Suganda dan Joko Purnomo. 2009. Pengembangan formula

pupuk untuk lahan gambut sebagai penyedia hara dan menekan emisi gas rumah

kaca (GRK). Laporan Penelitian Kerja Sama antara Balai Penelitian Tanah

dengan Departemen Pendidikan Nasional, 2009.

Tan, K. H. 1994. Environmental Soil Science. Marcel Dekker Inc., New York. 304

halaman.

Wahyuni, S., Nurhayati, H. Widyanto, A. Wihardjaka, dan P. Setyanto. 2014. Emisi Gas

CO2 dari Tanah Gambut yang Ditanami Kelapa Sawit (Elaeis guinensis) dan

Masganti et al.

132

nenas (Anenas cumocus) dengan beberapa Perlakuan Amelioran. 12 halaman

(belum diterbitkan).

Wahyunto, Ai Dariah, Pitono, D., dan M. Sarwani. 2013. Prospek pemanfaatan lahan

gambut untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Perspektif 12(1):11-22.

Widyanto, H., S. Saputra, dan Syuryati. 2014. Pengendalian Hama Kumbang Tanduk

pada Tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut Provinsi Riau. 12 halaman (belum

diterbitkan).

Wiratmoko, D. Winarna, S. Rahutomo dan H. Santoso. 2008. Karakteristik gambut

topogen dan ombrogen di Kabupaten Labuhan Batu Sumatera Utara untuk

budidaya tanaman kelapa sawit. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 16(3):119-126.