138

repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan
Page 2: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

i

DIMENSI KEWARGAAN DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA

(Studi Deskriptif Kualitatif Terhadap Dimensi Kewargaan Dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa Di Desa Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta)

SKRIPSI

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan Program Studi Strata Satu (S1)

Jurusan Ilmu Pemerintahan Pada Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa

“APMD” Yogyakarta

Disusun Oleh:

PAULUS KRISTIANTO SYUKUR

15520045

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN

SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD”

YOGYAKARTA

2019

Page 3: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan
Page 4: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan
Page 5: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

5

HALAMAN MOTO

"Kita takut kehilangan apa yang kita miliki, entah itu hidup kita,

ataupun barang-barang dan tanah kita. Tapi ketakutan ini lenyap

saat kita memahami bahwa kisah hidup kita dan sejarah dunia ini

ditulis oleh tangan yang sama"

~ Paulo Coelho

“Hammer of the gods will drive our ships to new land.

To fight the hordes and sing, and cry.

Valhalla, I am coming”

~ Led Zeppelin

Page 6: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

6

HALAMAN PERSEMBAHAN

Puji dan syukur saya haturkan kepada semesta. Seluruh karya ini saya persembahkan

khusus untuk insan-insan mulia yang selalu setia bertaya „Bro, kau kapan wisuda?‟

Pertanyaan „horor‟ itu membayangi tiap-tiap tarikan nafas mahasiswa tingkat akhir.

Agak menjengkelkan, tapi sangat mulia.

Page 7: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

v

KATA PENGANTAR

Sebuah karya tidak lahir dari kekosongan; tetapi selalu merupakan buah dari

pergulatan dan pergumulan tanpa akhir. Karya ini juga adalah bagian yang mengisi ruang

pergulatan dan pergumulan itu. Oleh karena itu, patut kiranya bagi saya untuk pertama-tama

mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat-Nya saya

diberikan kesempatan untuk mengalami pergulatan dan pergumulan ini dan atas kebesaran-

Nya pula saya diberi kesempatan untuk tetap bertahan. Kuasa-Nya memastikan saya untuk

boleh menjalani pengalaman ini.

Seluruh pengalaman ini tentunnya tidak saya jalani sendirian. Ada sebegitu banyak

pihak-pihak yang hadir dan turut terlibat dalam tiap-tiap momen yang saya lalui.

Mereka hadir untuk menemani saya, mendukung serta menyumbangkan ide dan kritik dalam

keseluruhan pengerjaan karya ini. Mereka memastikan saya untuk bisa melangkah sampai

sejauh ini; dan saya bertahan karena mereka.

Kepada mereka-mereka ini, saya mengucapkan limpah terimakasih tak terhingga.

Terimakasih kepada Mama dan Bapa serta semua orang rumah yang dengan tekun dan

rutin

„menghantui‟ saya dengan pertanyaan horor itu. Kalian adalah insan-insan mulia yang

mengjengkelkan. Terimakasih pula kepada Pak Sumarjono selaku dosen pembimbing yang

telah bersedia membimbing saya dari awal proses penulisan karya ini. Terimkasih

karena telah membuka ruang untuk berdiskusi, dan terimaksih karena telah memberi

kesempatan juga kepercayaan kepada saya untuk menyelesaikan karya ini.

Terimakasih kepada seluruh sahabat, teman-teman dan kenalan yang dengan

caranya masing-masing telah hadir dalam menemani saya mengerjakan karya ini.

Terimakasih kepada pasukan rumah; Acik, Chanok, dan Willy yang selalu bersedia

Page 8: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

v

menemani dan membantu saya siang dan malam sejak awal pengerjaan karya ini.

Terimakasih kepada Bang Soni, Enet, kae

Page 9: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

8

Nggutik, kae Toje, kae Opang, kae Anto, kae Erik, Trinox, Fandri, Olan, Kar, Sandro, Toni,

Viky, Lino, Hery, Osdin, Ary, Lius dan seluruh pihak – yang tentunya tidak bisa

saya sebutkan satu per satu – yang telah terlibat dengan caranya sendiri dalam membantu

saya menjalani hari-hari saya selama pengerjaan karya ini. Mereka – mereka ini hadir

dengan segala macam warna dan momen, mendesain kedinamisan keseharian saya dalam

pengerjaan karya ini. Mereka adalah tujuan dan jawaban bagi saya dalam usaha mencari

ruang-ruang untuk berrefleksi, berdiskusi dan berekreasi. Mereka adalah mentor saya sehari-

hari yang membentuk cara-cara saya berpikir, berbicara dan bertindak.

Akhirnya, sebagai bagian dari content yang mengisi ruang pergulatan dan

pergumulan hidup saya yang tanpa mengenal selesai; maka selain berharap agar karya ini

dapat menyumbangkan manfaat dalam diskursus pengetahuan kita, saya juga membuka

ruang yang seluas-luasnya dan selebar-lebarnya bagi seluruh pandangan, tanggapan dan

kritik terhadap keseluruhan karya ini. Kesemuannya itu menjadi kebutuhan bagi saya yang

sedang belajar untuk mengisi segala keretakan yang tentu tidak bisa saya atasi sendiri.

Yogyakarta, 21 Oktober 2019

Penulis

Paulus Kristianto Syukur

NIM: 15520045

Page 10: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

9

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN ...........................................................................................iii

LEMBAR PERNYATAAN ..............................................................................................iv

HALAMAN MOTO..........................................................................................................v

HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................................vi

KATA PENGANTAR.......................................................................................................vii

DAFTAR ISI ...................................................................................................................ix

DAFTAR TABEL.............................................................................................................xi

INTISARI ........................................................................................................................xii

BAB I: PENDAHULUAN ...............................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah .......................................................................................1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................10

C. Tujuan Penelitian ..................................................................................................10

D. Manfaat Penelitian ................................................................................................10

E. Keranga Konseptual .............................................................................................10

a) Kewargaan dan Demokratisasi Desa .........................................................11

b) Dimensi Kewargaan .................................................................................15

1) Dimesi Keanggotaan (Membership) .....................................................17

2) Dimensi Status Legal ...........................................................................18

3) Dimensi Hak........................................................................................20

4) Dimensi Partisipasi ..............................................................................21

c) Pemberdayaan Masyarakat Desa ..............................................................24

F. Ruang Lingkup Penelitian .....................................................................................31

Page 11: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

1

G. Metode Penelitian .................................................................................................32

1. Jenis Penelitian .................................................................................................32

2. Unit Analisis ....................................................................................................33

3. Teknik Pengumpulan Data ...............................................................................35

4. Teknik Analisis Data ........................................................................................36

BAB II: PROFIL DESA BLEBERAN ..............................................................................38

A. Deskripsi Desa Bleberan .......................................................................................38

1. Sejarah Desa Bleberan ....................................................................................38

2. Kondisi Geografis Desa Bleberan ...................................................................40

3. Kondisi Demografis Desa Beberan .................................................................41

4. Keadaan Sosial dan Ekonomi Desa .................................................................48

5. Kondisi Pemerintahan Desa ...........................................................................51

BAB III: DIMENSI KEWARGAAN DALAM PEMBERDYAAN MASYARAKAT DESA

.....................................................................................................................56

A. Pemberdayaan Masyarakat Desa di Desa Bleberan ...............................................57

B. Dimensi Kewargaan Dalam Pemberdayaan di Desa Bleberan ................................72

1. Dimensi Keanggotaan Dalam Pemberdayaan Masyarakat ..............................73

2. Dimensi Status Legal Dalam Pemberdayaan Masyarakat ................................75

3. Dimensi Hak Dalam Pemberdayaan Masyarakat .............................................77

4. Dimensi Partisipasi Dalam Pemberdayaan Masyarakat....................................79

BAB IV: PENUTUP .........................................................................................................91

A. Kesimpulan ...........................................................................................................91

B. Saran .....................................................................................................................93

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................95

Page 12: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

1

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Deskripsi Informant Wawancara................................................................................. 35

Tabel 2: Batas wilayah Desa Bleberan...................................................................................... 42

Table 3: Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ............................................................ 43

Table 4: Jumlah Penduduk berdasarkan Status Perkawinan ...................................................... 43

Table 5: Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan .......................................................... 44

Tabel 6: Fasilitas Pendidikan Yang Ada di Desa Bleberan........................................................ 45

Table 7: Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan .................................................... 46

Tabel 8: Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama ....................................................................... 46

Tabel 9: Kondisi perumahan dan lingkungan ............................................................................ 47

Tabel 10: Padukuhan dengan jumlah RT dan RW di Desa Bleberan ......................................... 54

Tabel 11: Kelompok Sasaran dan Bentuk Kegiatan Program Pemberdayaan............................. 54

Tabel 12: Pemetaan Terhadap Praktik Kewargaan Dalam Konsepsi Pemberdayaan di DesaBleberan................................................................................................................... 55

Tabel 13: Pemetaan Terhadap Praktik Masing-Masing Dimensi Kewargaan DalamPemberdayaan Masyarakat .................................................................................. 93

Page 13: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

x

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan praktik kewargaan masyarakat desa dalam diskursus pemberdayaan. Persoalan yang melatarbelakangi penelitian ini adalah absennya analisis terkait dimensi kewargaan dalam usaha menanggapi adanya fenomena- fenomena elitism serta praktik yang mengeksklusi warga masyarakat kelas bawah dalam program-program pembangunan desa, khususnya bidang pemberdayaan masyarakat desa. Praktik kewargaan ini akan dijelaskan melalui pemetaan masing-masing dimensi yang terkandung di dalamnya, yaitu: keanggotaan, status legal, hak dan partisipasi. Keempat dimensi kewargaan ini haruslah dijelaskan sebagai implikasi langsung dari diskursus pemberdayaan yang turut mengkonstruksinya. Pemberdayaan dalam penelitian ini diposisikan sebagai sebuah kebijakan, ide atau praktik yang memiliki kapastitas dalam mendesain atau mengkonstruksi praktik kewargaan di tingkat desa. Karena itu, pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah “Bagaimana dimensi kewargaan (citizenship) dipraktikkan dalam kebijakan, praktik dan konsepsi tentang pemberdayaan masyarakat desa?”

Penelitian ini dilakukan di Desa Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan metode penelitian dekriptif kualitatif. Data-data dikumpulkan melalui teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Data-data yang terkumpul kemudian dianalisis secara bertahap melalui reduksi data, display data, sampai pada penarikan kesimpualan.

Hasil penelitian ini menjelaskan bahawa praktik kewargaan di desa Bleberan cenderung bias elite serta mengandung praktik-praktik yang mengeksklusi kelompok warga masyarakat miskin. Dari keempat dimensi kewargaan yang digunakan sebagai pemetaan konsep dalam usaha menjelaskan praktik kewargaan yang ada, ditemukan bahwa semuanya tampak terpenuhi secara normatif, namun tidak secara empiris. Elitism dan eksklusifism tetap membayangi praktik kewargaan di desa Bleberan dalam tiap dimensinya. Praktik kewargaan seperti ini kemudian secara tidak langsung turut melanggengkan ketimpangan kekuasaan ekonomi dan politik di desa Blebran. Hal ini dipicu terutama dikarenakan langgengnya dominasi konsep dan kebijakan tentang pemberdayaan yang sekedar diterjemahkan sebatas pada asistensi teknis. Ada sejumlah kebijakan dan program pemberdayaan yang memang berusaha keluar dari nalar „asistensi teknis‟ ini, namun karena tidak adanya keberpihakan dari pemerintah desa maka sejumlah kebijakan dan program tersebut tetap memunculkan fenomena elitism serta praktik yang mengeksklusi kelompok warga masyarakat lain. Di sisi lain, langgengnya diskursus dominan ini berimplikasi pada terabainya usaha untuk melahirkan masyarakat politik di desa Bleberan. Seluruh kebijakan, ide dan praktik pemberdayaan yang ada semuanya bermuara pada pemberdayaan pada aspek ekonomi, sehingga mengabaikan aspek lain seperti aspek politik.

Kata kunci:Dimensi Kewargaan, Pemberdayaan, Elite, Eksklusi, Kekuasaan, Ketimpangan

Page 14: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

1

BAB I

PENDAHULUAN

“Masyarakat itu asuhan dan binaan kami. Kami memberi banyak bantuan kepada masyarakat. Bagaimana mungkin ada kemitraan antara pemerintah

dengan masyarakat? Demikian ungkapan seorang pejabat dalam suatukesempatan” (Sutoro Eko, 2005: 158)

A. Latar Belakang

Ungkapan pada bagian muka di atas merupakan ungkapan yang saya kutip dari

sebuah karya Manifesto Pembaharuan Desa yang diedit oleh Eko (2005). Konteks

kutipan yang termuat di dalam karya tersebut adalah tentang kritik atas praktik

pemberdayaan masyarakat (desa) sebelum hadirnya UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang

Desa (selanjutnya akan disebut UU Desa). Karena itu, tulisan ini juga – salah satunya –

akan berusaha menguji kontekstualisasi ungkapan di atas dalam kebijakan dan praktik

pemberdayaan masyarakat desa pasca UU Desa; yakni sebuah Undang-Undang yang

dipandang sebagai komitmen politik dan konstitusional bahwa negara melindungi dan

memberdayakan desa agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat

menciptakan landasan yang kokoh dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan

menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera (lih. Eko, dkk, 2014).

Jika dibandingkan dengan pengaturan-pengaturan tentang desa pada masa

sebelumnya, UU Desa tentunya dapat ditempatkan sebagai pengaturan yang lebih

progresif dan revolusioner. Kita bisa melakukan pemetaan secara singkat tetang model

pengaturan tentang desa pada masa-masa sebelumnya, setidaknya dari masa orde baru.

Pada masa rezim orde baru, pengaturan tentang desa termuat dalam Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa yang menempatkan

desa dalam

Page 15: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

2

pengertian teritorial semata dengan pemerintahannya diterjemahkan sebagai unit

administrasi di bawah camat. Kewenangan pemerintahan desa juga dibatasi sekedar

“menyelenggarakan rumahtangga”, bukan lagi “mengurus dan mengatur rumahtangga”

sebagaimana yang dalam bahasa Belanda dijelaskan sebagai regeling en uituouring van

et aingen huishouden sebagai terjemahan baku konsep otonomi. Posisi desa yang tanpa

otonomi ini kemudian menjadikan desa pada zaman orde baru sebagai obyek eksploitasi

sumber daya, kehilangnya praktik dan pranata-pranata lokal akibat penyeragaman/

regrouping, birokratisasi desa, pengkondisian masyarakat desa yang anomie, apatis,

dispartisipatif, inferior, hilangnya praktik-praktik pengetahuan dan teknologi lokal yang

ramah lingkungan dan lain sebagainya. Sinopsis “desa orde baru” kemudian dirangkum

dalam satu metafora, yakni sebagai ranting patah yang dipaksakan tumbuh pada ladang

pembangunan yang direncanakan rezim 'orde baru' (Zakaria, 2000; 2004; Sujito, 2013).

Desa sebagai „poros tempat hidup berputar‟ juga menjadi obyek „depolitisasi‟

zaman Soeharto. Soeharto melalui para pengikut setianya (LKMD, PKK, dan

HKTI) yang tersebar di 68.000 lebih desa di Indonesia merusak tatanan sosial

desa dengan merekayasa, mengawasi, dan memaksa rakyat menjadi „pancasilais‟ (

Antlöv, 2004; Rachman, 2017).

Berlanjut ke masa pasca orde baru atau reformasi, setidaknya ada dua aturan

pokok yang memuat pengaturan desa diantaranya: UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004.

Dalam pelaksanaannya, kedua peraturan ini juga sama-sama mereduksi desa dari sudup

pandang sebagai pemerintahan semata, dan desa berada dalam sistem pemerintahan

kabupaten/ kota. Selain itu, dalam hal urusan yang menjadi kewenangan desa (pasal

206

UU No. 32/ 2004) didominasi oleh kewenangan yang bersumber dari penyerahan dan

tugas pembantuan dari pemerintah supra-desa yang kemudian membuat kedua peraturan

Page 16: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

3

ini tampak menerapkan asas „residualitas‟. Fungsi pemerintah desa yang

kebanyakan

Page 17: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

4

sebatas menjalankan tugas pembantuan dari pemerintah supra-desa ini kemudian

membuat pemerintah desa itu sendiri menjadi kaya kewajiban tetapi miskin kewenangan,

karena lebih banyak menjalankan tugas dari atas ketimbang mandat dari rakyat. Hal ini

yang kemudian membuat Eko, dkk (2014:12-22) menggambarkan pemerintahan

desa dalam konsepsi kedua peraturan di atas sebagai pemerintahan semu (pseudo

government), dan bahkan lebih buruk lagi sebagai “organisasi korporatis”.

Kehadiran UU Desa sendiri tampak sebagai upaya penebusan atau –

meminjam istilah Zakaria (2004:8) – sebagai „utang yang harus dibayar‟ bagi

segala bentuk marginalisasi dan korporatisasi terhadap desa yang dilakukan oleh

pengaturan- pengaturan dan rezim sebelumnya itu. Dua asas kunci yang dijadikan

landasan pemikiran yang dipakai dalam UU ini dalam mendudukkan desa dan mengatur

relasinya dengan negara adalah „rekognisi‟ dan „subsidiaritas‟. Melalui asas rekognisi,

negara diharuskan untuk mengakui identitas partikular tiap desa, hak asal-usul (bawaan

maupun prakarsa lokal yang berkembang) wilayah, pemerintahan, peraturan maupun

pranata lokal, lembaga-lembaga lokal, identitas budaya, kesatuan masyarakat, prakarsa

desa, maupun kekayaan desa. Selanjutnya melalui asas subsidiaritas, desa memiliki

kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri

berdasarkan pada prakarsa masyarakat dan hak asal-usulnya yang diakui dan dihormati

dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Konsepsi tentang rekognisi atau „politik pengakuan‟ yang menjadi salah

satu asas sentral dalam konstruksi hubungan negara dengan desa sangat menarik

untuk didalami lebih jauh. „Politik pengakuan‟ ini menjadi poin baru dalam

pengaturan hubungan antara pusat dan daerah, karena kita hanya mengenal sejumlah asas

semisal: dekosentrasi, desentralisasi, atau pun otonomi. Selanjutnya seperti yang

dijelaskan oleh Eko, dkk (op.cit: 26) bahwa konsep „rekognisi‟ sejatinya lebih dikenal

dalam studi-studi

Page 18: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

5

tentang multikulturalism. Dalam studi-studi multikulturalism, kompleksitas

perbedaan atau keragaman identitas kelompok atau komunitas yang ada dalam

masyarakat melahirkan sejumlah tindakan atau praktik yang mengeksklusi kelompok-

kelompok tertentu dalam kontestasi klaim hak atau legitimasi atas identitas dan

distribusi sumberdaya dalam sebuah masyarakat atau komunitas. Menghadapi tindakan-

tindakan tersebut, kelompok-kelompok minoritas atau komunitas yang merasa dirugikan

kemudian melahirkan gerakan atau perjuangan untuk merebuat klaim atas identitas,

sumberdaya, legitimasi dan hak – sebuah perjuangan untuk mendapatkan pengakuan dari

sebuah komunitas politik (baca: Negara). Tidakan negara menghadapi klaim-kalim

inilah yang menjadi topik utama dalam pembicaraan tentang rekognisi (ibid.).

Dalam penjelasan lebih lanjut, pembicaraan tentang rekognisi selalu berkaitan

dengan kontestasi kewargaan (citizenship), sebuah kontestasi atau perjuangan dari

berbagai subyek politik untuk mengklaim legitimasi dan penegasan posisinya

sebagai

„bagian yang sah‟ – claims for inclusion and belonging – dalam komunitas politik

bernama „negara‟. Dalam konsepsi kewargaan modern, klaim posisi ini menjadi klaim

yang sangat penting karena „kewargaan atau citizenship‟ tidak hanya dipandang sebagai

status legal semata; akan tetapi merupakan perjuangan kelas tertindas atau pun

perjuangan yang dilakukan oleh komunitas, baik etnik, ras, gender ataupun kelompok-

kelompok tertentu yang mengalami marginalisasi atau subordinasi dalam

masyarakat untuk mendapatkan pengakuan/ rekognisi secara sosial – politik dan juga

untuk mendapatkan distribusi ekonomi dari negara (Isin & Turner, 2002). Dengan

demikian, pengakuan negara terhadap identitas atas hak asal usul desa serta distribusi

Dana Desa dan ADD yang bersumber dari APBN dan APBD dapat dibaca sebagai

bagian dari kontestasi kewargaan ini. Keberadaan identitas lokal atau hak asal usul serta

Page 19: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

6

pengalaman akan ketertindasan atau marginalisasi dan eksploitasi masa lalu membuat

tuntutan bagi

Page 20: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

7

adanya rekognisi dan distribusi menjadi tuntuan yang urgen bagi desa (op.cit: 27-30).

Penulis sendiri melihat konsep tentang rekognisi ini sendiri sebagai jalan masuk bagi

siapapun yang ingin mengelaborasi konsep tentang citizenship dengan konsep

tentang desa kontemporer atau desa dalam konstruksi UU Desa. Bahkan dengan

mengamini logika di atas, bisa dikatakan bahwa UU Desa ini sejak awal dirancang atau

punya intensi untuk melahirkan politik kewargaan.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa konsepsi tentang kewargaan

bukanlah semata-mata berfokus pada status legalitas semata. Akan tetapi,

bersamaan dengan kerasnya tekanan „postmodernism‟ dan juga ekspansi

globalisasi yang menciptakan deteritorialisasi yang meleburkan segala batas-batas

imajiner dalam konsep - nation-state – diskursus tentang citizenship kontemporer

kemudian menjadi tantangan tersendiri terhadap pandangan yang menempatkan otoritas

nation-state sebagai sumber satu-satunya diskursus kewargaan dan demokrasi.

Tantangan-tantangan inilah yang kemudian menciptakan rekonstruksi pemahaman

terhadap citizenship dan demokrasi itu sendiri dalam ranah politik dan juga dalam ranah

perdebatan akademik, yang kemudian menciptakan pemahaman akan citizenship tidak

sebatas soal legal rights tetapi lebih dari itu – citizenship didefenisikan sebagai proses

sosial dimana individu maupun kelompok terlibat dalam kontestasi klaim yang

menginginkan adanya perluasan hak, pun juga dapat mengakibatkannya kehilagan hak.

Dengan demikian, maka keterlibatan politis seseorang dalam kontestasi kewargaan

yang berimplikasi pada pembentukan posisinya dalam sebuah komunitas politik

dipahami sebagai praktik substantif dari kewargaan itu sendiri (op.cit: 4; Stokke,

2017:24).

Kontestasi citizenship ini sendiri dalam praktiknya dapat belangsung damai,

tetapi juga dapat melahirkan konflik. Contoh kontestasi yang berlangsung damai

Page 21: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

8

misalnya tentang kontestasi dalam hal bergaining position antara desa dan negara yang

kemudian

Page 22: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

9

melahirkan UU Desa hari ini, yang melahirkan rekonstruksi pemahaman akan

relasi negara dengan desa yang mewujud dalam politik pengakuan dan juga redistribusi

sumber daya dari negara terhadap desa. Sedangkan dalam konteks kontestasi yang

melahirkan konflik dapat kita temukan dalam sejumlah konflik baik yang berupa konflik

vertikal seperti gerakan separatis, maupun juga konflik horisontal seperti konflik

etnik, ras, gender, dan sebagainya.

Salah satu kasus yang bisa kita elaborasikan di sini adalah konflik yang

terjadi pada masa awal reformasi antara etnis Dayak dan Melayu di Kalimantan Barat.

Dalam kacamata kontestasi citizenship, konflik ini dapat dilihat sebagai bentuk

kontestasi antara subyek politik dalam mengklaim legitimasinya atas posisi untuk

diakui sebagai bagian dari sebuah komunitas politik (baca: negara) yang berhak

mendapatan redistribusi sumberdaya daripadanya. Segala bentuk diskriminasi yang

dilakukan oleh kesultanan Melayu di bawah kekuasaan Belanda di zaman kolonial serta

bentuk represi militeristik dan pengaturan (depolitisasi) oleh negara selama puluhan

tahun di zaman Orde Baru yang dialami oleh etnis Dayak, mengkondisikan memori

kolektif masayarakat Dayak yang diisi oleh pengalaman-pengalaman traumatis dan

ketertindasan. Pengalaman-pengalaman ketertindasan ini menciptakan kesadaran dalam

diri tiap subyek politik akan pentingnya merebut klaim atas identitas sebagai bagian

yang legtimate dari sebuah komunitas politik. Robohnya imperium Soeharto pada

momen puncak reformasi menjadi momen di mana segala bentuk artikulasi dan

kontestasi ini mendapati ruangnya untuk diperjuangkan (Tanasaldy, 2007).

Kembali pada persoalan utama yang berusaha merangkai keterkaitan antara

konsep citizenship dengan desa dalam konstruksi UU Desa. Tulisan ini bermaksud untuk

menjelaskan: “Bagaimana dimensi citizenship dipraktikkan dalam konsepsi desa dalam

konstruksi UU Desa, lebih spesifik lagi dalam kebijakan, praktik dan konsepsi

tentang

Page 23: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

1

pemberdayaan masayarakat desa”. Dimensi citizenship yang saya maksudkan di sini

mengikuti uraian Stokke (2017) yang memetakan sejumlah dimensi pokok yang mengisi

ruang kontestasi dalam politik kewargaan, diantaranya adalah pengakuan

(kewargaan menyangkut keanggotaan), status legal, redistribusi (kewargaan menyangkut

hak) dan representasi politik (kewargaan menyangkut partisipasi).

Tema ini sangat menarik untuk didalami lebih jauh dikarenakan dua alasan.

Pertama, seperti telah dijelaskan di atas bahwa pembicaraan tentang citizenship

menyasar pada segala bentuk klaim identitas, hak serta redistribusi yang dilakukan oleh

kelompok minoritas atau komunitas-komunitas tertentu yang merasa disingkirkan atau

diperlakukan secara diskriminatif. Kedua, konsep tentang pemberdayaan sendiri

merupakan kerja politik yang berfokus pada usaha untuk menempatkan individu

(warga negara) untuk mampu mendefinisikan dirinya sebagai subyek, bukan obyek

intervensi. Pemberdayaan juga menempatkan kekuasaan (power) sebagai titik

pijaknya, juga sebagai sebagai jawaban atas ketidakberdayaan (powerless) masyarakat

(Eko, 2005:150-151). Lebih jauh, pemberdayaan tidak bisa sebatas diletakkan pada

konteks transformasi individual melainkan pada tataran struktural. Hal ini tidak

terlepas dari analisis yang melihat individu sebagai bagian dari masyarakat, dimana

struktur kekuasaan politik dan ekonomi sangat menentukan keberadaan seseorang.

Dengan kata lain, „masyarakat‟ menjadi medan dimana individu diidentifikasi

beradasarkan ras, gender, etnis, agama, dan sebagainya yang kadang melahirkan

relasi-relasi yang timpang, subordinat, dan diskriminatif (ibid.,154-155).

Melalui penjelasan di atas, dapat dilihat keterkaitan antara konsepsi tentang

citizenship dengan konsepsi tentang pembedayaan itu sendiri. Di satu sisi, citizenship

berusaha menjelaskan perjuangan dari komunitas atau kelompok kelas tertindas dalam

merebut klaim atas identitas (yang legitimate), hak, dan distribusi sumberdaya. Di

sisi

Page 24: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

1

lain, pemberdayaan berusaha untuk memastikan bagaimana pengalaman akan

ketidakadilan atau ketertindasan itu dapat disadari dan dengan demikian memungkinkan

munculnya perjuangan untuk merebut dan meruntuhkannya. Ketertarikan penulis untuk

mengulas tema ini juga dikarenakan langkanya tema-tema serupa dalam mendiskusikan

baik citizenship maupun desa sendiri. Penelitian-penelitian tentang desa misalnya,

kebanyakan didominasi oleh tema-tema manajerial semisal: kapasitas, efektifitas, fungsi,

dan sebagainya. Belum ada yang berusaha menyajikan penjelasan yang

khusus mendalami dimensi citizenship dalam melihat desa pasca UU Desa hari ini.

Sejumlah temuan penelitian memang memiliki keterkaitan yang dapat menjadi

pembanding, pelengkap atau pun menjadi rujukan bagi penelitian ini. Studi yang

dilakukan oleh Sidik (2015) misalnya, menemukan bagaimana pembangunan desa wisata

dalam usaha meningkatkan perekonomian desa justru dicaplok oleh elite desa

(masyarakat ekonomi mapan) sehingga mengeksklusi warga masyarakat miskin

yang seharusnya menjadi kelompok yang diprioritaskan dalam pembangunan ekonomi

desa. Penelitian yang dilakukan Sumarjono (2018; 2017) juga mengungkapkan temuan

yang tidak jauh berbeda, yakni kegagalan membangun konsensus serta adanya firksi

antar berbagai pemangku kepentingan mengakibatkan upaya membangun desa dalam

usaha mewujudkan kesejahteraan dan keadilan melalui BUMDesa belum berjalan cukup

baik. Dengan demikian, hal ini berimplikasi mengeksklusi dan melanggengkan struktur

kekuasaan yang timpang.

Namun demikian, penelitian-penelitian tersebut berfokus pada kebijakan dan

program (desa wisata) sebagai obyek penelitiannya sehingga kondisi ketimpangan relasi

ekonomi-politik yang mengeksklusi kelompok masyarakat tertentu tidak dianalisis lebih

jauh. Lebih dari itu, dari temuan-temuan di atas – meski merupakan temuan dari

penelitian yang berbeda secara metodologis – tetap menunjukkan fenomena yang

sangat

Page 25: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

1

membantu dalam usaha pemetaan awal terkait dengan kondisi praktik kewargaan di desa

Bleberan. Fenomena elitism jelas menunjukkan bagaimana skema pembangunan,

khususnya dalam bidang pemberdayaan tidak mampu mengkonstruksi praktik

kewargaan dimana warga masyarakat desa memiliki kekuatan politik untuk mampu

memastikan berjalannya pembangunan desa yang adil dan demokratis, sehingga tidak

menyediakan ruang bagi munculnya fenomena elitism. Di sisi lain, penelitian-penelitian

yang berfokus pada isu-isu pemberdayaan – selain parsial (dengan mengeksplorasi

pemberdayaan pada bidang-bidang dan sektor tertentu) – juga tidak menjelaskan

bagaimana pemberdayaan itu mampu menjadi katalisator bagi lahirnya praktik-praktik

kewargaan. Fenomena seperti ini dapat ditemukan dalam banyak penelitian-penelitian

yang berusaha menjelaskan praktik pemberdayaan masyarakat di tingkat desa,

diantaranya dapat kita lihat dalam penelitian yang dilakukan oleh Arsyah dan

Sumartono (2009) dan Siti Zuliyah (2010). Konsepsi pemberdayaan yang semata-

mata difokuskan pada upaya perbaikan

„kesejahteraan‟ tentu sangat bermasalah jika harus berhadapan dengan warga masyarakat

desa yang merupakan bagian dari komunitas politik yang mana keberadaannya

tidak semata-mata ditentukan oleh aspek ekonomi (tingkat kesejahteraan), tetapi

juga oleh aspek-aspek politik, sosial pun budaya.

Karena itu, penulis merasa perlu untuk mengangkat tema ini dengan harapan

mampu mengisi keretakan maupun kekurangan yang ditinggalkan oleh penelitian

penelitian di atas – yang meskipun menjadi tantangan yang tidak mudah – namun paling

tidak penulis berusaha untuk menghadirkan studi tentang desa dari sudut pandang yang

lain.

Page 26: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

1

B. Rumusan Masalah

Merujuk pada uraian pada bagian latar belakang di atas, maka pertanyaan pokok

yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana dimensi

kewargaan (citizenship) dipraktikkan dalam kebijakan, praktik dan konsepsi tentang

pemberdayaan masyarakat desa di desa Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten

Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?”

C. Tujuan Penelitian

Untuk mendeskripsikan praktik dimensi kewargaan (citizenship) dalam

kebijakan, praktik dan konsepsi pemberdayaan masyarakat desa di desa Bleberan,

Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian

1. Dalam ranah teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan

pengetahuan dan memantik perdebatan lebih lanjut tentang pemberdayaan

masyarakat desa sebagaimana yang diamanatkan UU Desa, khusus dalam

kaitannya dengan upaya memunculkan politik kewargaan.

2. Dalam ranah praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu

aspek yang perlu dipertimbangkan oleh segenap aktor yang terlibat dalam

upaya pemberdayaan masyarakat desa, khususnya pemerintah desa Bleberan

sendiri.

Page 27: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

1

E. Kerangka Konseptual

Seperti yang telah dijelaskan secara singkat pada bagian sebelumnya, bahwa

politik kewargaan (citizenship) menempati posisi yang sangat vital dalam pembicaraan

tentang desa kontemporer. Di satu sisi, upaya untuk mengkaitkan pembicaraan

tetang desa kontemporer dengan citizenship dapat berujung pada kesimpulan bahwa “UU

Desa merupakan salah satu goal dari praktik politik citizenship di Indonesia”.

Dengan demikian, untuk mendalami keterkaitan antar keduanya; maka bagian

ini akan dikhususkan untuk membahas masing-masing konsepsi yang mendasari

konsepsi tentang citizenship dan Desa – khususnya tentang pemberdayaan

masyarakat. Untuk tidak terkesan terburu-buru, bagian pertama berusaha untuk

mengelaborasi konsep citizenship dengan demokratisasi desa yang merupakan salah

satu dimensi penting dalam upaya transformasi desa yang diamanatkan UU Desa.

a) Kewargaan dan Demokratisasi Desa

Kewargaan merupakan sebuah topik yang tidak bisa kita lepaskan ketika

berbicara tentang demokrasi atau pun demokratisasi, entah yang menggema pada tingkat

nasional atau pun pada tingkat lokal seperti „demokratisasi desa‟ sebagaimana

yang diusung oleh UU Desa. Sejumlah kajian tentang kewargaan di Indonesia beberapa

tahun belakangan ini berusaha untuk melihat praktik demokrasi dari kacamata

kewargaan. Salah satu yang bisa disimpulkan adalah bahwa segala bentuk „salah

tingkah‟ proses demokrasi di Indonesia diakibatkan oleh absennya analisis kewargaan

dalam prahara demokratisasi di Indonesia pasca Orde Baru. Potret carut marutnya

praktik demokrasi di Indonesia dilihat sebagai implikasi dari penerapan secara „diam-

diam‟ konsepsi kewargaan liberal oleh para agenda setter pro demokrasi (pasca Orde

Baru) tanpa ada diskursus yang serius

Page 28: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

1

dan mendalam tentang corak kewargaan dari masyarakat Indonesia sendiri.

Santoso dalam Putri (2012) berargumen bahwa:

“ . . . ketika gerakan pro-demokrasi itu digulirkan dengan kealfaan membicarakan dan mengkontekstualisasikan dengan corak citizenship yang ada di Indonesia, maka di situlah sumber dari petaka demokrasi” (Santoso dalam Putri, 2012:v).

Argumen di atas mempertegas keterkaitan antara demokrasi atau proses

demokratisasi dengan diskursus citizenship yang „sedianya‟ harus dihadirkan bersamaan

dalam satu ruang dan waktu. Selain argumen Santoso di atas, urgensi untuk melibatkan

diskursus citizenship dalam pembicaraan tentang demokratisasi juga dijelaskan dalam

Hiariej, dkk (2016) sebagai salah satu upaya mendasar untuk melakukan transformasi

politik demokratis. Segala bentuk pelimpahan kewenangan untuk mengelola

urusan publik ke tangan lembaga-lembaga teknokratik menjadi fenomena yang turut

mewarnai proses demokratisasi Indonesia pasca Orde Baru. Namun sejumlah persoalan

kemudian muncul, seperti korupsi, ketimpangan distribusi ekonomi dan juga kekerasan

terhadap kelompok minoritas yang kemudian melahirkan krisis politik yang menandai

ketidakmampuan masyarakat untuk mengakses dan memanfaatkan lembaga-lembaga

yang ada untuk memperjuangkan dan mewujudkan kepentingannya. Transisi

politik pasca Orde Baru kemudian tampak gagal untuk melakukan dan memperbaiki

redistribusi kekuasaan ekonomi-politik yang terkonsentrasi ditangan elit dan oligarki.

Mempercayakan kewenangan untuk mengurus dan mengelola urusan publik ditangan

segelintir elit (teknokrat) yang mengatasnamakan keahlian dan efisiensi justru

memperparah ketimpangan relasi kekuasaan yang ada. Karena itu, memahami

demokratisasi sebagai upaya „transformasi politik demokratis‟ mengsyaratkan dan

menekankan pentingnya kehadiran gerakan-gerakan populis serta mobilisasi

tuntutan akar rumput.

Page 29: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

1

“memajukan proses demokratisasi yang berlangsung karenanya berkaitan dengan klaim-klaim hak, partisipasi dan pengakuan kultural yang dilakukan sektor-sektor masyarakat akar rumput dan juga kelas menengah terhadap negara dan kelompok-kelompok oligarki. Dengan lain perkataan demokratisasi di Indonesia menghendaki – sekaligus ikut membentuk – politik kewargaan” (Hiariej, dkk. 2016:3).

Argumen di atas membantu kita dalam menjelaskan keterkaitan yang sangat erat

antara diskursus tentang demokrasi dengan (politik) kewargaan. Dengan bersandar pada

penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa demokrasi dan demokratisasi

mengsyaratkan terbukanya ruang bagi kemungkinan munculnya gerakan-gerakan akar

rumput dalam memperjuangkan klaim-klaim keanggotaan, hak-hak dan partisipasi

politik di dalam komunitasnya. Hal ini menuntun kita untuk memproyeksikan praktik

citizenship dalam konteks demokratisasi desa yang diusung oleh UU Desa. Bagaimana

kita memaknai demokratisasi desa yang diamanatkan oleh UU Desa? Untuk

menjelaskan hal ini, kita patut untuk kembali menegaskan UU Desa ini sebagai model

pengaturan “baru” dan “transformatif” dalam menjelaskan relasi negara dengan desa.

Dimensi kebaruan dan tranformatif ini, dimaknai sebagai upaya untuk melampaui dan

memperbaiki segala bentuk kecacatan pengaturan desa pada rezim sebelumnya.

Kecacatan ini ini muncul dalam berbagai bentuk, salah satunya dalam hal relasi antara

warga desa dengan pemerintah desa.

Dengan memahami UU Desa ini sebagai model pengaturan yang “baru”

dan “transformatif”, maka ide demokratisasi yang diusungnya pun harus dilihat

dalam dimensi tersebut. Untuk itu, saya melihat bahwa pandangan Priyono (2017:1-14)

yang berusaha untuk menjelaskan demokratisasi desa sebagai – situs baru bagi

kemungkinan munculnya praktik politik partisipatoris – sangat cocok dalam memaknai

ide demokratisasi desa dalam dimensinya yang “baru” dan “transformatif”. Desa

dalam hal ini dipahami sebagai ruang bagi eksperimen pengaturan relasi antara

masyarakat dengan

Page 30: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

1

pemerintah (desa) yang demokratis. Dengan kerangka konsepsi seperti ini – meminjam

penjelasan Antlov – maka demokratisasi desa mengharuskan adanya penguatan

masyarakat sipil dalam bentuk “repolitisasi” masyarakat sipil sebagai upaya

counter terhadap diskursus depolitisasi masa lampau yang tertanam kuat dalam

imajinasi tiap warga masyarakat desa, keterbukaan ruang bagi artikulasi politik berbagai

kelompok masyarakat serta pegkondisian politik yang mengsyaratkan partisipasi aktif

dari masyarakat atau civic-engagement (ibid.,4-6). Kehadiran kelompok masyarakat

sipil yang kuat serta pengutamaan terhadap ide partisipasi aktif ini merupakan bagian

dari usaha untuk memastikan demokratisasi desa tidak terjebak dalam proses yang

hanya mendaur ulang siklus politik yang elitis-oligarkis, sebagaimana yang jamak

terjadi pada proses demokratisasi tingkat lokal khususnya kabupaten dan provinsi

(ibid.). Dengan penekanannya pada keterlibatan aktif warga, maka acuan ideal dalam

eksperimen demokrasi yang mendambakan munculnya praktik politik partisipatoris di

desa adalah tradisi republikanisme. Hal ini mendasari imajinasi tentang desa sebagai

„republik kecil‟.

“dari sekian elemen demokrasi republikan, dua diantaranya harus diasumsikan ada di desa. Dua elemen itu adalah active citizen (warga yang penuh prakarsa), dan cita-cita hidup untuk membangun public-virtue (kebajikan bagi publik), berbasis common-good, dan common-interest.” (ibid.., 14)

Kebutuhan akan lahirnya active citizen sendiri merupakan kondisi prasyarat bagi munculnya warga negara demokratis atau democratic citizen.

“ . . .democratic citizen must be an active citizen, somebody who act1 as citizen, who conceives of herself as a participant in a collective undertaking” (Mouffe, 1995:4)

( . . praktik kewargaan demokratis dipahami sebagai praktik dari “active citizen”, seorang yang bertindak sebagai warga negara, yang memahami atau memposisikan dirinya sebagai bagian dari – partisipan – dalam sebuah tatanan kolektif)

Page 31: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

1

1 Secara etimologis kata ini berasal dari kata bahasa Latin: āctus/agere. Dalam Merriam-WebsterDictionaries, kata ini dimaknai sebagai: menggerakkan massa (cattle – melalui pengaruh yang menjinakan), gerakan (movement), sebuah pembentuakan kesadaran yang melahirkan tindakan (performance).

Page 32: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

1

Sejalan dengan argumen di atas, Eko, dkk (2017:102) juga menjelaskan

bagaimana demokrasi yang dikemas dalam UU Desa sangatlah dipengaruhi atau

didasari oleh ide soal pentingnya keberadan organisasi-organisasi akar rumput serta

pengkondisian politik partisipatoris untuk memperkuat hak-hak warga, citizenship, dan

kedaulatan rakyat. Penekanan terhadap hadirnya diskursus citizenship ini dipahami

sebagai jantung kekuatan demokrasi yang hadir dan dihadirkan oleh organisasi-

organisasi warga atau organisasi masyarakat sipil yang ada di desa. Organisasi

ini menjadi ranah representasi dan partisipasi kelompok-kelompok marjinal seperti

kaum perempuan dan kelas miskin dalam memperjuangkan hak-hak dan kepentingan

mereka (ibid..,120-121).

Dengan melihat keterkaitan antara konsep citizenship dengan ide tentang

demokrasi dan demokratisasi (yang diusung UU Desa), maka dapat kita

simpulkan bahwa pertama, diskursus tentang demokrasi atau demokratisasi desa harus

dibarengi dengan diskursus politik kewargaan untuk menjamin komitmen politik dan

ideologisnya tercapai. Kedua, dengan mengandaikan demokratisasi desa sebagai ruang

yang memungkinkan munculnya praktik politik partisipatoris, active-citizen yang

mengisi ruang demokrasi sebagai ranah kontestasi hak dan kepentingan dari kelompok-

kelompok marjinal; maka demokratisasi desa dan UU Desa secara umum dapat

dipahami sebagai dasar yang „mengamanatkan‟ transformasi politik lokal yang mampu

melahirkan gerakan politik kewargaan itu sendiri. Dengan kata lain, politik kewargaan

merupakan imperatif dari UU Desa.

b) Dimensi Kewargaan

Pada bagian ini, saya akan memfokuskan penyajian landasan

konseptual tentang empat dimensi kewargaan yang menjadi pilar pokok yang

dikontestasikan dalam

Page 33: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

2

perjuangan klaim atau politik kewargaan. Keempat pilar pokok itu adalah: keanggotaan

(membership), status legal, hak-hak, dan partisipasi. Pada bagian ini, penulis terbantu

dengan uraian Kristian Stokke dalam Politics of Citizenship: Towards an

Analytical Framework (2017:23-53) yang menjadi sumber utama dalam uraian tentang

dimensi kewargaan pada bagian ini. Keempat dimensi kewargaan di atas merupakan

komponen kunci dari kewargaan, meski memiliki penekanan yang berbeda dalam

masing-masing pendekatan. Penekanannya terhadap hak-hak individual jelas

merefleksikan pendekatan liberal, sedangkan penekanannya pada dimensi partisipasi

politik menunjukan keterkaitannya dengan studi yang diilhami oleh pendekatan

republikanism. Selain itu penekanannya yang mengutamakan keterikatan komual dan

partisipasi menunjukkan corak komunitarianism dalam studi kewargaan. Dengan

demikian, pemilahan terhadap keempat dimensi di atas bermaksud untuk menciptakan

kerangka studi citizenship tanpa harus terkunci dalam satu perspektif semata

sehingga membuka ruang perdebatan lanjutan (Stokke, 2017:25).

Page 34: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

2

(Sumber gambar: Stokke, 2017:26)

Melalui pemetaan keempat dimensi kewargaan di atas, dapat dilihat beberapa

implikasi terhadap posisi seseorang sebagai warga dalam sebuah komunitas politik:

pertama, meskipun seorang warga negara mendapat pengakuannya dalam dimensi

keanggotaan, status legal dan hak; namun tanpa adanya kesempatan berpartisipasi ia

berpotensi diekslusi secara politik. Kedua, meskipun status legalnya diakui, hak-

hak serta kesempatan berpatisipasi dijamin; namun tanpa adanya pengakuan sebagai

anggota dalam sebuah komunitas politik, maka ia berpotensi untuk dieksklusi secara

kultural. Ketiga, keanggotaan, hak – hak dan partisipasi, namun tanpa adanya status

legal akan berpotensi dieksklusi secara yurudis. Keempat, adanya keanggotaan, status

legal dan partisipasi politk, namun tanpa adanya jaminan hak maka akan berpotensi

tereksklusi secara sosial. Kelima, yang merupakan kondisi yang mendefinisikan

kewargaan seseorang sebagai „warga negara yang utuh‟ yakni memiliki keempat

dimensi tersebut yaitu seseorang yang keanggotaannya jelas dalam sebuah komunitas

politik, memiliki status legal yang mengikat, hak-hak yang diakui serta jaminan atau

kesempatan untuk berpartisipasi dalam politik.

1) Dimensi Keanggotaan (Membership)

Dimensi keanggotaan menyoroti pemahaman kewargaan didasarkan pada

perbedaan antara “orang dalam” dan “orang luar” di dalam sebuah komunitas, namun

makna komunitas dan kriteria untuk menginklusi atau mengeksklusi orang lain berbeda

pada masing-masing ruang dan waktu (Stokke, 2017). Praktik kewargaan dalam

masyarakat Yunani kuno didasarkan pada dimensi keanggotaan dan partisipasi bagi elite

dalam sebuah komunitas politik (Negara Kota); sementara pada masa kekaisaran

Roma,

Page 35: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

2

kewargaan dikonstruksi sebagai hak legal namun tanpa membuka ruang bagi partisipasi

politik dengan maksud untuk melanggengkan penundukkan dan praktik

pencaplokan wilayah melalui imperialism (ibid..,26). Dalam beberapa kasus, proses

eksklusi ini dikondisikan oleh dominasi rasial sehingga menempati ras tertentu dalam

posisinya yang inferior, dominasi gender, tereksklusi karena tidak memiliki properti,

tidak berpendidikan, didiskualifikasi karena berstatus sebagai mantan narapidana,

pengangguran, tunawisma, dan kelainan mental (Bellamy, 2008:12). Dalam konteks

kewargaan modern, praktik kewargaan didasarkan pada keanggotaan di dalam sebuah

komuitas (nation) yang diasumsikan terbatas, homogen dan stabil yang kemudian

berimplikasi menjadikan kebangsaan sebagai basis untuk menentukan keanggotaan

seseorang dalam sebuah komunitas politik (Stooke:27). Belakangan, konsepsi

inipun mendapati tantangan dari fakta keberagaman dan juga arus migrasi global yang

membuat asumsi kewargaan yang menekankan keanggotaan berbasis nation menjadi

tidak relevan dan menuntut dekonstruksi (ibid.; Hiariej, dkk,2016).

Dari sejumlah kriteria di atas, dapat dilihat bahwa kelompok – kelompok miskin

dan minoritas sangatlah rentan untuk menjadi sasaran ekslusi sehingga status

keanggotaannya dalam sebuah komunitas selalu terancam. Jika ditarik ke dalam konteks

pembangunan desa kontemporer, pengakuan terhadap dimensi keanggotaan ini penting

untuk dipejuangkan karena menjadi basis yang menentukan bagi seorang anggota

komunitas politik (warga masyarakat desa) untuk mendapat akses terhadap manfaat

program pembangunan. Ini merupakan kondisi yang paling jamak dialami oleh

kelompok-kelompok marginal yang menandai ketidakberdayaannya dalam mengakses

lembaga-lembaga formal yang ada dalam mencapai kepentingannya. Karenanya, dalam

kondisi seperti ini kerja-kerja pemberdayaan sangatlah penting untuk dilakukan.

2) Dimensi Status Legal

Page 36: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

2

Dengan didasarkan pada keanggotaan dalam sebuah komunitas bangsa, negara

kemudian menganggap kewargaan sebagai status legal, yang mana – di sana terjadi

relasi kontraktual yang memuat hak-hak maupun tanggungjawab, antara individu dan

negara (ibid.). Ini merupakan atribut resmi yang diberikan negara kepada warganya

(op.cit:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka

seseorang akan mendapatkan status legal kewargaan yang diperoleh sebagai warisan

orang tua yang memiliki status legal sebagai warga negara (jus sanguinis) atau

didasarkan pada status kelahiran di dalam teritori sebuah negara (jus soli). Dalam

beberapa kasus lain, status legal kewargaan juga bisa diperoleh dengan cara menikahi

seorang yang sudah memiliki status legal kewargaan (jus matrimonii) atau juga saat

berdomisili untuk jangka waktu tertentu di dalam sebuah negara (jus domicili).

Masifnya arus migrasi global dalam beberapa dekade terakhir kemudian

melahirkan klaim-klaim yang berusaha untuk mendefinisikan kembali kebangsaan

dengan dasar etnisitas. Kewargaan kemudian dipahami sebagai hak lahir, dalam artian

sebagai properti yang diwariskan antargenerasi (berdasarkan hubungan darah atau

tempat kelahiran) dan kemudian menciptakan pemisahan antara mereka yang „cukup

beruntung‟ karena dilahirkan dalam sebuah komunitas politik yang menyediakan

kesejahteraan dan kesempatan untuk mengakses hak serta kesempatan untuk

berpartisipasi politik – dibandingkan dengan mereka yang „cukup sial‟ dan dieksklusi

karena hanya berstatus sebagai pengungsi. Dengan demikian, ada semacam praktik

hirarki dan stratifikasi dalam hal jaminan hak dan ruang bagi kemungkinan dalam

berpartisipasi (politik) yang berbeda antara warga negara dan pengungsi (op.cit. 28).

Dapat dipahami bahwa, kemunculan klaim-klaim ini merupakan respon terhadap

sejumlah ancaman seperti pengeksklusian warga masyarakat asli akibat arus migrasi.

Fenomena seperti ini tentu banyak kita temukan, entah pada level nasional maupun

lokal

Page 37: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

2

– dalam hal ini juga termasuk di desa. Akibat arus balik arah pembangunan nasional

sekarang ini yang memprioritaskan pembangunan desa dan daerah-daerah

tertinggal, desa kemudian menjadi lokus yang dipandang menyediakan lapangan

pekerjaan dan kesempatan mengadu nasib yang sangat menjanjikan. Selain itu, yang

tidak bisa dipungkiri juga adalah bahwa arus balik ini mengkondiskan desa hari ini

sebagai sasaran baru arus modal dan investasi dari kalangan menengah perkotaan.

Dalam konteks seperti ini, kebijakan – kebijakan pembangunan desa perlu untuk

diperiksa lebih jauh agar tidak mendatangkan mudarat bagi warga masyarakat lokal

sendiri.

3) Dimensi Hak

Kewargaan dalam dimensi hak dihubungkan dengan status keanggotaan dan

status formal/ legal (ibid.). Kategorisasi yang lazim dipakai, dipelopori oleh Marshall

yang merangkai tipologi hak secara berurutan (evolution) menjadi: hak-hak sipil, politik

dan sosial. Hak-hak sipil menyangkut perlindungan terhadap keamanan dan

privacy individu dan termasuk hak untuk mendapatkan keadilan dan keterwakilan, hak

untuk melakukan kontrak dan kepemilikan kekayaan, dan hak untuk bebas memilih

sesuai hati nurani, termasuk juga hak untuk bebas berpendapat dan press, kebebasan

beragama, dll. Sementara itu, Hak politik dipahami sebagai hak yang menyangkut

partisipasi dalam arena publik dan proses politik, termasuk hak untuk memberikan suara

(vote) dan berkontestasi merebut jabatan, hak untuk mendirikan organisasi/ partai

politik, hak untuk mengekpresikan bentuk penentangan (opposition) dan protes, dll.

Sedangkan hak sosial, menyangkut kondisi bagi kemungkinan untuk mendapatkan

pemenuhan kesejahteraan seperti akses bagi perawatan kesehatan dan dana pensiun, hak

mendapat kesempatan atau akses pendidian dan pasar kerja, serta hak redistribusi dan

Page 38: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

2

kompensasi dalam kondisi pendapatan rendah, pemecatan, dan kecelakaan kerja

(ibid; 29; Turner, 1995:35-36).

Page 39: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

2

Dalam praktiknya, hak-hak ini tidak cukup hanya dijamin dengan kepemilikan

status legal dan perlu diperjuangkan, seringkali dengan cara melawan kesewenang-

wenangan negara dan dominasi kelas-kelas sosial yang berkuasa (Hiariej, dkk. 2016:6-

8). Perjuangan inilah yang kemudian mengilhami munculnya terma politik dalam

frasa

„politik‟ kewargaan.

Perdebatan tentang dimensi hak dalam konsepsi kewargaan menjadi salah satu

perdebatan yang menempati posisi sentral. Pandangan Marshall tentang dimensi

hak dalam diskursus kewargaan yang menkankan sifat evolusioner mendapati tantangan

yang serius dalam dinamika dan perkembangan kewargaan, khususnya pada era

neoliberal yang mengebiri hak bagi jaminan kesejahteraan tiap-tiap warga negara

(Stooke:29). Selain itu, kemunculan hak-hak ini juga harus dibaca sebagai hasil

perjuangan politik, konflik dan kontestasi yang melibatkan berbagai kelas dan

kelompok yang berbeda-beda dalam tiap-tiap komunitas politik yang memiliki

kekhasan sejarahnya masing-masing sehingga tidak bisa dikonsepsikan sebagai sesuatu

yang mapan dan universal.

Dalam usaha untuk mengkontekstualisasikannya dengan diskursus pembangunan

desa hari ini, kita perlu untuk memeriksa lebih jauh sejauh mana kebijakan

pembangunan desa hari ini mampu mengadvokasi hak-hak warga masyarakat desa

dalam perjuangan mengklaim manfaat pembangunan yang ada sehingga tidak

sekedar menjadi sasaran eksploitasi, marginalisasi dan eksklusi. Hal ini penting

dilakukan, mengingat desa dalam kacamata rezim pembangunanisme hari ini selalu

dikonstruksikan sebagai situs ketertinggalan, kebodohan, dan kemiskinan. Sebuah

proyek politik yang dalam hal ini adalah „pemberdayaan‟ perlu didorong untuk meng-

counter kesemuannya itu dan mengkondisikan kesadaran masyarakat desa agar tidak

terjebak menjadi obyek pembangunan semata.

Page 40: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

2

4) Dimensi Partisipasi

Kewargaan tidak hanya menyangkut keanggotaan, status legal dan hak, namun

juga yang tak kalah penting adalah soal tanggungjawab dan kewajiban yang melekat di

dalamnya. Dalam tradisi komunitarian, seorang warga negara yang baik dan aktif

dipahami sebagai sebagai seorang yang tidak semata-mata fokus pada urusan pribadinya

namun lebih kepada partisipasi aktif dalam level komunitas. Sedangkan, tradisi

republikan berusaha untuk melampaui konsep tanggungjawab yang sebatas pada level

komunitas – lebih dari itu partisipasi warga negara diartikan sebagai keterlibatan dalam

pengelolaan urusan publik. Tanggungjawab yang demikian kemudian menjadi tema

yang menonjol dalam diskursus kewargaan dalam tradisi republikan. Di sini dapat

kita temukan keterkaitan intrinsik antara kewargaan dan demokrasi dalam usaha untuk

melahirkan kontrol warga pada kebijakan negara (ibid.:31-32).

Dalam praktiknya, konsep mengenai partisipasi ini mengalami perkembangan,

perubahan dan kadang problematis. Dalam tatanan masyarakat Athena kono, partisipasi

hanya terbatas pada kalangan elit semata, berbeda dengan model yang ditawarkan oleh

negara modern, khususnya dalam kerangka demokrasi liberal yang merupakan kerangka

hegemonik yang menekankan model perwakilan (representation) dalam menjembatani

partisipasi warga negara dalam urusan publik. Namun demikian, terdapat berbagai

bentuk model keterlibatan warga negara dalam praktik substantif mengenai kontrol

popular terhadap urusan publik. Dalam diskursus pembangunan dan demokratisasi

lokal, dapat dipetakan model partisipasi sebagai ruang yang diklaim atau direbut oleh

gerakan- gerakan popular dan partisipasi sebagai ruang dimana kelompok-kelompok

masyarakat yang diposisikan sebagai target „diundang‟ untuk berpartisipasi dalam batas-

batas mekanisme dan ketentuan yang proseduralistik dan diatur secara top-down.

Dalam konsep partisipasi sebagai ruang yang diklaim (oleh gerakan rakyat/

popular),

Page 41: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

2

mengindikasikan pengakuan warga negara sebagai „agen‟ yang menciptakan dan

membentuk – bukan sebatas objek pasif; sehingga partisipasi dimaknai sebagai upaya

transformasi dan emansipasi – sebaliknya alih-alih menempatkan kedaulatan warga

negara dalam melahirkan kontrol popular melalui demokrasi partisipatif,

model partisipasi prosedural hanya akan menghasilkan subjek kepengaturan yang

merupakan racikan negara (ibid.:31-32; lihat juga Rahmena,2010). Tuduhan yang lebih

vulgar dan sinis diajukan oleh Cooke dan Kothari (2001:1-15) yang melihat diskursus

tentang partisipasi dan pemberdayaan tidak mampu untuk melahirkan transformasi dan

emansipasi karena keengganannya dalam membaca ketimpangan relasi kekuasaan

ekonomi-politik masyarakat sebagai sumber kemiskinan dan ketidakadilan. Keengganan

ini kemudian melahirkan program-program partisipasi dan pemberdayaan dengan

pendekatan yang teknis dan dalam beberapa kasus justeru mendepolitisasi proses-proses

politik. Dalam situasi seperti itu, partisipasi dan pemberdayaan tidak lebih dari sekedar

diskursus yang memfasilitasi dan melanggengkan dominasi dan ketimpangan – sebuah

proses „subjection’ (dalam terma Foucauldian) yang mana masyarakat dikondisikan

sedemikian rupa untuk menjadi sekrup-sekrup yang dipasang untuk menguatkan

struktur ekonomi-politik yang sudah ada – sehingga diskursus tentang partisipasi dan

pemberdayaan tampak tidak lebih dari sebentuk „tirani‟ dalam wajahnya yang

baru. Dalam konteks pembangunan desa, hal yang sama dapat kita temukan dalam

kritikan dari Eko, dkk (2017:62-70) terhadap program pembentukan kelompok-

kelompok korporatis dari PNPM yang dilihat sebagai bentuk „depolitisasi gaya baru‟

yang tidak peka terhadap isu-isu kewargaan dan semata-mata dirancang canggih oleh

para teknokrat dan dijalankan oleh birokrat untuk ekspansi kekuasaan birokrasi negara.

Program pembangunan dan pemberdyaan PNPM mengabaikan power dan

politics yang seharusnya melekat pada warga (terutama kaum marginal),

sehingga PNPM tidak

Page 42: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

2

mampu mengaktifkan dimensi kewargaan yang memiliki power dan kesadaran

kritis akan hak-hak mereka, sekaligus juga mempunyai kepedulian sosial. Dengan

demikian, dapat dilihat bahwa cara kita memahami dan mengkonstruksi apa yang

disebut sebagai

„partisipasi dan pemberdayaan‟ memiliki implikasi yang kuat dalam praktik substantif

politik kewargaan.

c) Pemberdayaan Masyarakat Desa

Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu pendekatan yang muncul dalam

teori-teori pembangunan yang menandai anomali dari berbagai pendekatan dalam teori

pembangunan sebelumnya yang menempatkan „pertumbuhan‟ sebagai tujuan utama

dalam pembangunan nasional. Kebijakan dan program-program pembangunan

nasional di Indonesia sendiri, cukup akrab dengan dengan nalar pertumbuhan semacam

ini (lihat Mas‟oed, 2003:63-135). Pada masa Orde Baru, pembangunan yang

berorientasi pada pertumbuhan dan akumulasi kapital menimbulkan „keharusan

struktural‟ untuk mengabaikan demokrasi. Konsepsi pertumbuhan masa Orde Baru

mengsyaratkan adanya stabilitas politik yang mampu meminimalisasi konflik dan

memaksimalkan produktivitas ekonomi, melalui penerapan mekanisme „politik

ketertiban‟ untuk menjamin pembuatan dan pelaksanaan kebijakan secara cepat, efektif

dan efisien. Konsepsi ini menjadi biang dari seluruh kebijakan pembangunan masa Orde

Baru yang sangat sentralistis, top down, uniformity (penyeragaman), serta penerapan

sistem komando dalam implementasi program pembangunan yang menafikan

demokrasi dan menegasi kearifan lokal (Soetomo, 2015; lihat juga Eko, 2004: 249-

258; Amalik, 2013: 31-58).

Segala kritikan terhadap pendekatan-pendekatan pembangunan yang

sentralistik, top down, dan uniformity pada masa Orde Baru memungkinkan

Page 43: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

3

kemunculan sebuah antitesis yang mengusung perspektif yang berkebalikan, yakni

„people centred development‟ atau pembangunan yang berpusat pada masyarakat.

Perspektif ini

Page 44: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

3

mengusung nilai-nilai seperti desentralisasi, buttom up (belajar sosoial), serta

pengakuan terhadap kapasitas masyarakat sebagai entitas yang memiliki prakarsa dan

kearifan lokalnya tersendiri. Dengan dasar pikiran „pembangunan yang berpusat pada

rakyat‟, maka implementasi dari kebijakan pembangunan ini dijabarkan dalam

pendekatan

„pemberdayaan masyarakat‟. Ini merupakan sebuah pendekatan yang memberikan

kesempatan kepada masyarakat terutama masyarakat lokal untuk mengelola

pembangunannya. Kesempatan atau kewenangan tersebut meliputi keseluruhan proses

pembangunan sejak identifikasi masalah dan kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan,

evaluasi dan menarik manfaat hasil pembangunan. Di samping akses dan kontrol

terhadap pengambilan keputusan tersebut, masyarakat lokal juga memiliki akses

dan kontrol terhadap sumberdaya (Soetomo:67-70). Dalam pendekatan ini, masyarakat

dikonsepsikan sebagai „subyek‟ pembangunan itu sendiri.

Yang perlu ditekankan di sini, desentralisasi kewenangan dalam proses

pembangunan tidak semata-mata dimaknai sebagai proses peralihan wewenang

dari pusat ke daerah/ lokal. Lebih dari itu, desentralisasi yang dimaksud harus mampu

dimaknai dalam jangkauan yang luas dari masyarakat, termasuk lapisan masyarakat

terbawah. Dalam artian bahwa, apabila manfaat pembangunan yang dihasilkan

masih bias elit meskipun prosesnya telah terdesentralisasi (dilaksanakan pada level

lokal) maka dapat dikatakan bahwa unsur sentralisasi masih ada pada masyarakat

tingkat lokal. Hal ini perlu diantisipasi untuk memastikan agar keputusan yang

diambil di tingkat lokal tidak dilakukan oleh aktor-aktor yang tidak merepresentasikan

seluruh lapisan yang ada. Apabila hal ini terjadi, maka masyarakat lapisan terbawah

akan selalu berada dalam posisi yang marginal – yang dulu dilakukan oleh pemerintah

pusat, sekarang dilakukan oleh elit lokal (ibid.:72-73). Ironi seperti inilah yang oleh

Page 45: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

3

Chambers (1987:23) digambarkan sebagai proses pembangunan yang terjebak

pada prasangka yang

Page 46: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

3

mendahulukan golongan elit, yakni mereka yang punya kemampuan dan pengaruh,

mereka yang fasih berbicara seperti: guru, pedagang, tokoh masyarakat, pemuka agama

dan sebangsanya. Dengan demikian, pemberdayaan di sini harus

mampu

„memprovokasi‟ munculnya transformasi struktural dan perubahan institusional dalam

masyarakat, terutama dalam bentuk perubahan alokasi kewenangan dan

sumberdaya, serta kesempatan dalam mengakses pelayanan dan informasi bagi lapisan

masyarakat bawah sehingga dapat merubah pola dominasi (op.cit.:83-84). Lebih jauh,

penekanan pada perubahan struktural ini bermaksud untuk menyajikan pemaknaan

terhadap diskursus pemberdayaan yang mengandung unsur transformasi (baik yang

dilakukan oleh negara melalui kebijakan pemerintah, maupun yang diinisiasi oleh warga

negara melalui gerakan sosial dan resistensi), bukan sekedar improvisasi (ibid.,:85-88).

Artinya bahwa, kondisi ketidakberdayaan, kemiskinan, dan ketimpangan tidak bisa

semata-mata dilihat sebagai persoalan kapasitas individual (person blame approach);

lebih dari itu persoalan-persoalan tersebut harus dilihat dalam relasinya dengan struktur

sosial masyarakat yang turut menghasilkannya.

“dalam kehidupan masyarakat, apabila ada lapisan tertentu yang kondisinya tidak berdaya atau termarginalisasi, maka sebetulnya merupakan implikasi dari masalah struktural. Kesemuannya itu disebabkan karena dalam struktur dan institusi sosial terdapat unsur diskriminasi dan ketidakadilan. Oleh sebab itu, perubahan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang menggunakan pendekatan pemberdayaan, merupakan pendekatan yang mengandung unsur transformasi struktural (ibid.:86-87)”

Dengan mengamini argumen Soetomo di atas, kita patut untuk bertanya

lebih jauh – apa implikasi dari diskursus pemberdayaan yang tidak mampu menyentuh

dimensi struktural yang menjadi akar dari persoalan kemiskinan, ketimpangan dan

ketidakadilan? Untuk menjelaskan fenomena (yang mainstream) seperti ini, kritik

Abrahamsen (2000) yang berupaya membongkar kerja neoliberalism dibalik diskursus

Page 47: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

3

good governance sangatlah membantu. Diskursus pemberdayaan di dalam good

governance tidak terlepas

Page 48: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

3

dari konsepsi liberal yang memproyeksikan demokratisasi dengan

mengasosiasikannya serupa dengan liberalisasi ekonomi sembari mendelegitimasi

pembangunan oleh negara.

“...istilah pemberdayaan dalam wacana good governance lebih menyembunyikan implikasi politiknya yang lebih radikal, dan tidak lagi berarti sebagai kapasitas dari mereka yang terekskluasi untuk menentang struktur dan hierarki kekuasaan yang sedang berlaku. Istilah itu justeru mengalami pengebirian, terutama ketika menghubungkan pemberdayaan dengan liberalisme ekonomi. Jika dianalisa dlaam setting keseluruhan wacana good governance, pemberdayaan menjadi istilah yang sangat instrumental dengan menunjukkan bahwa masyarakat seharusnya „mempergunakan seluruh kemampuan mereka‟ dan menjadikan proyek pembangunan lebih irit biaya (Abrahamsen, 2000:225)”

Argumen di atas jelas menunjukkan kekecewaan terhadap diskursus

pemberdayaan dalam era neoliberalism yang berpotensi mendepolitisasi proses politik

(seperti: memperbaiki kesejahteraan dan kemiskinan yang merupakan masalah

struktural), sehingga menjauhkan warga negara dari kesadarannya sebagai bagian dari

komunitas politik – dan dengan demikian meruntuhkan seluruh bangunan dimensi

kewargaannya. Dalam kondisi seperti ini, subyek (warga negara) tidak mampu untuk

memahami segala pengalaman ketertindasan, ketidakadilan dan kemiskinan yang

dialaminya sebagai fenomena struktural – semuanya itu dipahami sebagai kekurangan

atau ketiadaan „kapabilitas‟ individual dalam mengakses pasar. Dengan kata lain,

subyek dimodifikasi dari yang sebelumnya sebagai seorang „warga negara‟ menjadi

„konsumen‟ yang tidak lain adalah subyek kewargaan pasar atau market citizenship

(Hanif, 2012). Dengan demikian, untuk menjawab pertanyaan yang telah diajukan di

atas, maka dapat dikatakan bahwa diskursus pemberdayaan yang tidak memiliki intensi

bagi transformasi struktural di dalam masyarakat berimplikasi pada modifikasi subyek

dari warga menjadi konsumen sehingga membatalkan kontestasi politik kewargaan –

dan dengan demikian, melanggengkan status quo dari kelas dominan yang berkuasa

Page 49: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

3

sehingga secara tidak langsung turut berkontribusi dalam merawat ketimpangan,

ketidakadilan dan kemiskinan.

Page 50: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

3

Beralih dari pusaran narasi kekecewaan di atas, dalam pengaturan desa

kontemporer sebagaimana yang dikonstitusikan oleh UU Desa sendiri; pemberdayaan

masyarakat desa ditempatkan sebagai salah satu wewenang desa. Dalam BAB I pasal 1

ayat 12, pemberdayaan masyarakat desa didefinisikan sebagai “upaya mengembangkan

kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap,

keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber

daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai

dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa”. Lebih jauh lagi,

Peraturan Menteri Desa Nomor 16 Tahun 2018 tentang Prioritas Penggunaan Dana

Desa Tahun

2019 dalam Pasal 4 menyebutkan:

Ayat 1: Penggunaan Dana Desa diprioritaskan untuk membiayai pelaksanaan program dan kegiatan di bidang pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat desa.Ayat 2: Pritoritas Penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dapat digunakan untuk membiayai pelaksanaan program dan kegiatan prioritas yang bersifat lintas bidang.Ayat 3: Prioritas penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dan ayat (2), diharapkan dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagimasyarakat Desa berupa peningkatan kualitas hidup, peningkatan kesejahteraan dan penanggulangan kemiskinan serta peningkatan pelayanan publik di tingkat Desa.

Bertolak dari definisi dan ketentuan di atas, dapat kita simpulkan bahwa

kebutuhan akan diskursus pemberdayaan masyarakat desa memiliki urgensi yang sama

dengan kebutuhan akan pembangunan. Intensi dari diskursus pemberdayaan ini

sebagaimana yang disebutkan pada ayat 3 diantaranya: memberikan manfaat sebesar-

besarnya bagi masyarakat Desa berupa peningkatan kualitas hidup, peningkatan

kesejahteraan dan penanggulangan kemiskinan serta peningkatan pelayanan publik di

tingkat Desa. Sejumlah tujuan di atas sejalan dengan identifikasi ranah

Page 51: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

3

ketidakberdayaan (disempowerment) yang dialami oleh warga masyarakat,

diantaranya: ketimpangan dalam hal kesejahteraan, akses terhadap sumberdaya,

kesadaran atau pemahaman akan

Page 52: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

3

adanya ketidakadilan struktural, partisipasi dalam perumusan keputusan publik

dan rendahnya kapasitas kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan (team work

Lapera,

2001:53-54).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, ada dua kebutuhan masyarakat yang

urgen untuk segera dipenuhi yakni: kebutuhan jangka dekat seperti perbaikan

kesejahteraan, akses terhadap sumber daya dan pendidikan (sebagai wahana untuk

mentransformasi kesadaran), dan kebutuhan jangka jauh seperti masalah kuasa, yakni

masalah partisipasi dan kontrol. Dengan pemetaan seperti ini, maka dapat

dikatakan bahwa masalah ketidakpunyaan atau ketidakberdayaan tersebut bukanlah

akibat dari “tindakan masyarakat” (kapabilitas) itu sendiri, melainkan konsekwensi dari

relasi kuasa yang timpang antara negara (pemerintah, birokrasi pemerintahan), kekuatan

modal dan masyarakat sendiri. Dengan demikian, pemberdayaan dalam hal ini dimaknai

sebagai sebuah upaya atau operasi yang bertujuan untuk merombak relasi asimetris

tersebut, karenanya pemberdayaan berintensi „emansipasi‟ atau membebaskan

masyarakat dari belenggu ketimpangan kekuasaan yang subordinatif (ibid.,:54-55).

Lengkapnya, pemberdayaan memiliki maksud untuk: pertama, mentransformasi

kesadaran rakyat dan sekaligus mendekatkan rakyat dengan akses untuk perbaikan

kehidupan mereka. Poin di atas dapat kita maknai sebagai ruang bagi bekerjanya politik

kewargaan dalam perjuangan mendefinisikan kembali batas-bats keanggotaan serta

klaim atas hak. Transformasi kesadaran bermakna pengembangan pendidikan

politik, guna mengembangkan wacana alternatif, sehingga dominasi atau bahkan

hegemoni negara bisa diatasi. Tindakan ini dapat pula dimaknai sebagai resistensi

terhadap hegemoni negara, dan mengembangkan ruang-ruang pembelajaran.

Selanjutnya, upaya mendekatkan masyarakat dengan akses terhadap perbaikan

Page 53: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

4

kehidupan berarti „desakan‟ untuk sebuah proses redistribusi sumber-sumber ekonomi.

Dalam artian bahwa, proses

Page 54: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

4

redistribusi hanya dimungkinkan dengan adanya desakan, maka pemberdayaan dalam

dirinya sendiri membutuhkan pengorganisasian masyarakat yang merupakan

tindakan sadar dengan maksud dasar menjadikan masyarakat sebagai kelompok sadar

dan terhimpun. Keterhimpunan ini menjadi prasyarat bagi terbentuknya sebuah tatanan

masyarakat akar rumput yang mampu mengorganisir diri secara otonom,

memungkinkan ekspresi aspirasi dan jalan perjuangannya, dan menjadi cerminan

akan kemampuan rakyat sebagai subyek pembangunan. Bagian ini menjadi ruang bagi

bekerjanya politik kewargaan dalam dimensinya sebagai perjuangan untuk melahirkan

partisipasi politik. Kedua, pemberdayaan bermakna ke luar sebagi suatu upaya untuk

menggerakan perubahan kebijakan-kebijakan yang selama ini nyata-nyata merugikan

masyarakat. Dalam hal ini, pemberdayaan bermakna policy reform yang berbasis pada

upaya memperlebar ruang pastisipasi rakyat. Suatu upaya policy reform (merubah

kebijakan), sudah tentu memiliki dua makna sekaligus yakni koreksi terhdap kebijakan

lama (makna ke belakang), dan juga mendorong suatu proses dan skema baru agar

pengambilan kebijakan tidak lagi menggunakan skema lama melainkan

menggunakan skema baru yang memungkinkan keterlibatan masyarakat (makna ke

depan) (ibid.,55-56).

Dalam mengkerangkai proses pemberdayaan sebagai upaya mengkonstruksi

subyek sebagai „warga negara‟ – pemberdayaan sebagai wahana untuk melahirkan

politik kewargaan – maka beberapa isu perlu diperhatikan: pertama, pemberdayan harus

bermuara pada pemenuhan hak-hak dasar baik sipil, politik, ekonomi dan kultural

warga negara maupun komunitas. Pemenuhan terhadap hak-hak ini

berimplikasi pada munculnya demokrasi dan negara kesejahteraan. Kedua, kewargaan

terkait dengan partisipasi aktif warga negara yang mendorong terbentuknya strong

democracy. Kewargaan sebagai sebuah partisipasi dimaknai sebagai ekspresi human

Page 55: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

4

agency dalam arena politik, yakni sebuah konstruksi yang memungkinkan rakyat

untuk bertindak

Page 56: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

4

seperti agen. Ketiga, kewargaan berkaitan dengan kesalehan sosial (social civility),

kesantunan, tanggungjawab sosial (social responsibility) warga, kepercayaan dan

kerjasama (Eko, 2004:46).

Dengan pemetaan konseptual di atas, dapat kita jumpai beberapa simpul yang

menghubungkan diskursus pemberdayaan masyarakat dengan politik kewargaan.

Pertama, pemberdayaan berusaha untuk membangun atau mengkonstruksi subyek untuk

mampu mendefinisikan dirinya sebagai bagian dari sebuah komunitas politik dan

karenanya, kondisi ketidakberdayaan yang dialami tidak bisa dipahami sebatas

pada persoalan kapabilitas individual, melainkan sebuah konsekwensi dari ketimpangan

relasi kuasa dalam sebuah struktur yang lebih luas. Perjuangan untuk mendefinisikan

keanggotaan ini penting dilakukan melalui kerja-kerja pemberdayaan, karena lepasnya

subyek dari relasinya dengan sebuah komunitas bekerja dengan dua cara yakni eksklusi

kultural dan depolitisasi yang bekerja melalui diskursus-diskursus neoliberalism

sebagaimana yang telah dijelaskan melalui poin kritik dari Abrahamsen pada bagian

sebelumnya. Kedua, dengan kemampuan untuk mendefinisikan keanggotaannya dalam

sebuah komunitas politik (baca: Negara), diskursus pemberdayaan dituntut untuk

mampu

„memprovokasi‟ munculnya massa rakyat yang punya daya resistensi yang peka

terhadap pengaruh-pengaruh hegemoni dari struktur dominan (baik negara maupun

kelas yang berkuasa); dan dengan demikian mampu mengorganisir dirinya secara

otonom dalam merespon kerja struktur kekuasaan tersebut sembari memperjuangkan

kedaulatannya sebagai warga negara dengan seperangkat hak-haknya serta menuntut

partisipasi dalam perjuangan merawat demokrasi. Singkatnya pemberdayaan

dalam penyebutannya sebagai terma politik, punya intensi bagi munculnya emansipasi

dan pembebasan rakyat tertindas dari kondisi ketidakberdayaan sehingga dengan

sendirinya mengsyaratkan kemunculan gerakan atau politik kewargaan.

Page 57: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

4

d) Ruang Lingkup Penelitian

Dengan maksud untuk memberikan batasan-batasan penelitian sembari mengacu

pada penjelasan-penjelasan pada bagian sebelumnya, maka perlu disebutkan ruang

lingkup yang menjadi pedoman dalam penelitian ini:

1. Konstruksi kewargaan dalam dimensinya sebagai keanggotaan dalam

pemberdayaan masyarakat desa. Dimensi keanggotaan yang dimaksud

menyoroti posisi warga masyarakat desa (khususnya kelompok masyarakat

miskin, perempuan, dan kelompok rentan lainnya) dalam perjuangan untuk

merebut manfaat dan redsitribusi dari program pembangunan desa.

2. Konstruksi kewargaan dalam dimensinya sebagai status legal dalam

pemberdayaan masyarakat desa. Dimensi status legal yang dimaksud,

terkait dengan klaim legalitas warga masyarakat desa sebagai pihak

penerima manfaat pembangunan dalam menghadapi ancaman terjadinya

eksklusi akibat kuatnya arus investasi dan pendatang dari luar.

3. Konstruksi kewargaan dalam dimensinya sebagai hak dalam

pemberdayaan masyarakat desa. Dalam dimensinya sebagai hak,

bagian ini hendak menyoroti sejauh mana kebijakan pembangunan desa –

khusunya pemberdayaan masyarakat desa – membentuk, menarasikan dan

mengkonstruksi hak-hak warga masyarakat sebagai subyek

pembangunan desa.

4. Konstruksi kewargaan dalam dimensinya sebagai partisipasi politik

dalam pemberdayaan masyarakat desa. Bagian ini hendak

menyoroti model partisipasi warga masyarakat desa yang dibangun atau

dibentuk melalui kebijakan, ide maupun praktik pemberdayaan dalam

perjuangan untuk menciptakan politik dan pembangunan yang demokratis.

Page 58: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

4

e) Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Menurut

Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2011) Penelitian kualitatif merupakan

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata tertulis atau lisan dari

orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Melalui cara ini, peneliti

akan berusaha untuk mencari dan menemukan data-data baik data tertulis

maupun lisan, yang dapat memberikan deskripsi tentang praktik dimensi

kewargaan dalam pemberdayaan masyarakat desa.

2. Unit Analisis

a. Obyek Penelitian

Obyek penelitian merupakan permasalahan yang diteliti,

yaitu dimensi kewargaan dalam pemberdayaan masyarakat desa. Dimensi

kewargaaan yang dimaksudkan di sini meliputi: dimensi keanggotaan,

status legal, hak dan partisipasi – yang kesemuannya itu akan dilihat dari

konstruksi yang terdapat dalam diskursus (kebijakan, ide ataupun praktik)

tentang pemberdayaan masyarakat desa.

b. Subyek Penelitian

Subyek penelitian merupakan keseluruhan entitas yang di dalamnya

mengandung atau melekat obyek penelitian, entah itu manusia, benda atau

pun institusi terkait. Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah pihak

pemerintah dan masyarakat desa Bleberan sendiri.

c. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di desa Bleberan, Kecamatan

Playen, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Page 59: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

4

d. Informan

Informan yang menjadi sasaran dari penelitian ini adalah pemerintah

desa sendiri, yang dalam penelitian ini akan difokuskan pada kepala desa

dengan kepala seksi yang membidangi program pemberdayaan

masyarakat desa dan juga Lembaga Kemasyarakatan Desa. Lembaga

Kemasyarakatan Desa disini perlu untuk dijadikan sebagai informan

karena sebagaimana ketentuan UU Desa Bab XII bagian kesatu pasal 94

ayat (1) bahwa Lembaga Kemasyarakatan Desa juga betrugas membantu

penyelenggaraan pemerintahan desa dalam sejumlah bidang yang salah

satunya adalah pemberdayaan masyarakat desa. Selain dari pihak

pemerintah desa, informan yang juga penting untuk dilibatkan dalam

penelitian ini tentunya adalah masyarakat desa sendiri yang menjadi

sasaran dari kebijakan pemberdayaan dari pemerintah desa, serta menjadi

lokus strategis untuk mengetahui praktik-praktik kewargaan yang

merupakan obyek penelitian ini. Rincian dan deskripsinya sebagai

berikut:

Page 60: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

4

Tabel 1: Deskripsi Informant Wawancara

No. Nama JK Umur Pendidikan Pekerjaan Jabatan

1 Supraptono L 56 SMA Kepala Desa Kepala Desa

2 Hartono L 53 SMA Kasi KesejahteraanKasi

Kesejahteraan

3 Nur Arifin L 30 S1 Kasi Pelayanan Kasi Pelayanan

4 Suharto L 52 S1 PNS Ketua BUMDES

5 - L 52 S1 PNS Ketua LPMD

6 Susiono L 46 SMA Petani Masyarakat

7 Choirudin L 46 SMAPengelola Gedung;

PetaniMasyarakat

8 Supriadi L 43 SMA Petani Masyarakat

9 Suwar P 48 SD Petani Masyarakat

10 Inah P 52 SMP Petani; Pedagang Masarakat

11 Ati P 50 SMPPedagang; Bisnis Home

StayMasyarakat

12 Tukiem P 54 SMP Pedagang Masyarakat

13 Zamhari L 53 SMA Petani; Pedagang

Masyarakat;

Ketua

Paguyuban

Tirta Mas

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah observasi, wawancara dan dokumentasi.

a. Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis

terhadap gejala-gejala yang diteliti. Observasi menjadi salah satu tekhnik

pengumpulan data apabila sesuai dengan tujuan penelitian, direncanakan

dan dicatat secara sistematis, dan dapat dikontrol

keandalannya

Page 61: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

4

(reliabilitasnnya) dan kesahihannya (validitasnya). Observasi merupakan

proses yang kompleks, yang tersusun dari proses biologis dan psikologis.

Dalam menggunakan tekhnik observasi yang terpenting adalah

mengandalkan pengamatan dan ingatan si peneliti (Usman dan

Akbar,

2006:54). Selain itu, pengamatan pada dasarnya merupakan kegiatan

untuk mendapatkan informasi melalui indera penglihatan

sehingga peneliti dituntut untuk terjun langsung ke lapangan (Djamal,

2015:66). Melalui teknik ini, peneliti berusaha untuk menggali data-data

penelitian melalui pengamatan terhadap segala bentuk interaksi dan

aktivitas yang ada di lokasi penelitian, yang memiliki keterkaitan atau

memberikan gambaran tentang obyek yang sedang diteliti.

b. Wawancara

Wawancara adalah tanya jawab lisan mantara dua orang atau lebih

secara langsung. Pewawancara disebut interviewer sedangkan orang yang

diwawancara disebut interviewee (op.cit.:57-58). Teknik

wawancara sangat penting dalam penelitian untuk memverfikasi dan

mengkonfirmasi pandangan/ persepsi yang ada dalam pikiran peneliti

atau pandangan etic peneliti dengan berusaha untuk mencaritahu

pandangan dari subyek yang diteliti atau pandangan emic

(Djamal,op.cit:76). Dengan teknik ini, peneliti akan berusaha untuk

menemukan data atau informasi melalui tanya jawab secara langsung

dengan informan yang ada di lokasi penelitian sehingga dapat

meminimalisir munculnya pandangan etic dalam medeskripsikan obyek

yang diteliti.

c. Dokumentasi

Page 62: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

4

Peneliti dapat menggunakan dokumen-dokumen tertulis untuk

mengumpulkan data yang diperlukan. Dengan mengutip Guba dan

Lincoln, Djamal (2015:86) mendefinisikan dokumen sebagai „setiap

bahan tertulis atau film yang tidak dipersiapkan karena ada permintaan

seorang peneliti‟. Dokumen dapat berupa catatan, buku teks, jurnal,

makalah, memo, surat, nottulen rapat dan sebagainya. Melalui teknik ini,

peneliti akan berusaha menggali informasi dari dokumen-dokumen

terkait, seperti RPJMDesa, RKPDesa, dan lain sebagainya yang

tentunya memiliki keterkaitan dengan diskursus pemberdayaan

masyarakat desa.

1. Teknik Analisis Data

Sebagai sebuah penelitian dengan metode kualitatif, maka tahapan

dalam menganalisis data lapanagan dalam penelitian ini dilakukan dengan:

a. Reduksi Data

Reduksi data merupakan bentuk analisi untuk mempertajam,

memilih, memfokuskan, membuang dan menyusun data ke arah

pengambilan kesimpulan. Melalui reduksi data, maka data yang relevan

disusun dan disistematisasikan ke dalam pola dan kategori tertentu,

sedangka data yang tidak terpakai dibuang (ibid.:147).

b. Display Data

Display data merupakan proses menyajikan data setelah dilakukan

reduksi data. Biasanya disajikan dalam bentuk ikhtisar, bagan, hubungan

antar kategori, tabel, grafik, charta dan sebagainya. Data yang disajikan

perlu disusun secara sistematis berdasarkan kriteria tertentu seperti

urutan,

Page 63: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

5

konsep, kategori, pola dan lain lain, sehingga mudah dipahami pembaca

(ibid.:148).

c. Kesimpulan

Kesimpulan hasil penelitian harus dapat meberikan jawaban terhadap

rumusan masalah yang diajukan. Selain memberikan jawaban terhadap

rumusan masalah, kesimpulan juga harus menghasilkan temuan baru

di bidang ilmu yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat

berupa deskripsi tentang suatu objek/ fenomena yang sebelumnya masih

samar, setelah diteliti menjadi lebih jelas; dapat pula berupa hipotesis

bahkan teori baru (ibid.:149).

Page 64: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

3

BAB II

PROFIL DESA BLEBERAN

A. Deskripsi Desa Bleberan

1. Sejarah Desa Bleberan

Deskripsi dalam bab ini merujuk pada uraian tentang gambaran umum

kondisi desa sebagaimana yang tercantum dalam dokumen Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Desa (RPJMDesa) Bleberan tahun 2016-2021. Catatan sejarah tentang

desa Bleberan sendiri dimulai pada tahun 1720. Pada waktu itu ada beberapa pelarian

atau pengungsi laskar Mataram yang ada di Madiun ( Jawa timur ) yang pada tahun

tersebut merupakan pergoalakan pengusiran penjanjah Belanda oleh kerajaan – kerajaan

di Jawa termasuk di dalamnya adalah Mataram, yang pada waktu itu Madiun adalah

merupakan wilayah Mataram di wilayah timur. Laskar – laskar tersebut berjalan

berpencar menyusuri pantai selatan menuju kearah barat, dan di antara Laskar tersebut di

antaranya adalah Pemuda Kromo wongso, Soreng Pati dan Putut Linggo Bowo.

Pemuda Kromowongso bersama kawan seperjuangan tersebut dalam perjalanan

tidak pernah lepas dari laku semedi untuk mendapatkan gaib ataupun wisik untuk

bagaimana kedepan dapat melepaskan cengkeraman penjajah yang dianggap telah

memporak-porandakan kehidupan bangsa. Dalam perjalanan tersebut ketiga laskar

berhenti di suatu tempat untuk beristirahat, disana telah ada beberapa penduduk

pendatang juga namun hanya beberapa orang. Tempat itu masih berupa hutan belantara

yang di kelilingi oleh rawa – rawa yang sangat angker. Dalam peristirahatannya, pemuda

Kromowongso mendapatkan gaib atau wisik bahwa dirinya dapat menetap di

tempat tersebut. Malam itu juga ketiganya berembug dan akhirnya diputuskan

bahwa

Page 65: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

4

Kromowongso akan tetap tinggal di lokasi tersebut dan keduanya akan

melanjutkan perjalanannya menuju ke arah Barat.

Disaat menetap laskar Kromowongso berbaur dengan beberapa orang pendatang.

Pemuda Kromowongso adalah merupakan pemuda yang gentur tapane ulet, tangguh

dalam kanuragan, bersahaja dan cepat berinteraksi dengan warga yang ada. Kemudian

bersama warga pendatang membangun sebuah perkampungan sebagi tempat tinggal

permanen. Kromowongso pada waktu itu sangat di kagumi oleh warga, karena memang

kromo wongso mempunyai sipat kandel atau pusaka yang sangat ampuh di antaranya :

kyi Cacing kanil, kyi Blabar , Keris Kyai setrobanyu, Keris kyai Pakubuwono II, Tumbak

Banteng. Maka pada saat itulah Kromowongso berdasarkan gaib /wisik yang di

terima dari sang khalik bahwa untuk dapat membangun wilayah ini menjadi ayem – ayem

toto titi tentrem kalis ing robedo kalis ing sambi kolo, ia harus menamakan tempat

tersebut dengan nama sesuai dengan salah satu sifat kandel atau pusaka Kyai

Kromowongso yang mempunyai keampuhan magilo – gilo sangat ampuh yaitu Kyai

Blabar. Dari sinilah cikal bakal nama Bleberan yang sekarang digunakan sebagai nama

resmi.

Pemuda Kromo wongso akhirnya menikah dengan putri seasal (juga gadis

pelarian dari madiun) yang bermukim di sebelah timur yang saat ini di sebut Desa

Grogol, Paliyan. Dari kehidupannya kemudian berkembang anak cucu Kromowongso

berjumlah enam orang , dan berkembang juga warga di sekitar. Pada saat – saat itulah

peluang untuk saling berkomunikasi antar pejuang bertambah luas hal ini terlihat dengan

terjalinya ikatan kekeluargaan dengan Demang Bogor (Playen). Ikatan keluarga tersebut

berupa besanan antara putra Kyi Kromowongso (Kromosemito) dengan putra Demang

Bogor (Wongsopawiro). Wongsopawiro adalah merupakan lascar pangeran

Diponegero yang tangguh dan sakti mondroguno akibatnya banyak demang yang merasa

Page 66: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

4

tersaingi kesaktiannya sehingga mencari cara untuk menyingkirkan Kyi

Wongsopawiro melalui

Page 67: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

4

fitnah yang paling ampuh adalah sebagai “Demang mbalelo” yang akhirnya

menjadi target pencarian oleh tentara Belanda. Pada suatu saat ketika Kyi Wongsopawiro

berada di rumahnya dan diketemukan oleh tentara Belanda yang akhirnya diberondong

hingga tewas.

Kepuasan tentara Belanda tidak berjalan lama karena saat mau dimakamkan

ternyata jenazah Wongsopawiro menjadi kedebog pisang dan Wongsopawiro meloloskan

diri, kemudian pengejaran kedua dapat di ketemukan ketika bertandang di Bleberan

yang pada waktu itu beliau dibrondong dengan senapan mesin hingga tewas. Untuk

melampiaskan kegeraman, tentara Belanda tersebut tidak segera menguburkan mayatnya,

namun digantung di teras rumah untuk memastikannya tidak lolosnya. Namun tentara

Belanda kembali marah karena pada saat menjelang subuh mayat yang tergantung

tersebut berubah menjadi pusaka yang di sebut pusaka tumbak cacing kanil. Yang saat

ini Pusaka tersebut di wariskan kepada menantunya (Mbh. Kromopawiro). Seiring

berjalanya waktu nama Kromowongso menjadi tersohor, yang kemudian dikenal oleh

abdi kerajaan Mataram sehingga diangkat menajdi Bekel atau Lurah yang pertama di

wilayah Bleberan. Maka kemudian pusat pemerintahan atau ibu kota Desa yang

pertama kali adalah di Bleberan. Sehingga sampai dengan saat ini walaupun pusat

pemerintahannya ada di sawahan ibukota Desa tetap Desa Bleberan. Setelah meninggal,

Kromowongso di makamkan di Padukuhan Bleberan dan merupakan Cikal bakal

Padukuhan Bleberan.

2. Kondisi Geografis Desa Bleberan

Desa Bleberan merupakan salah satu dari 13 Desa di wilayah Kecamatan Playen

Kabupaten Gunungkidul yang berada di sector barat, Jarak orbitasi dengan

Page 68: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

4

ibukota kecamatan playen adalah 4 km sedang untuk jarak dengan Ibukota Kabupaten

adalah 10

Km serta jarak dengan Ibukota Propinsi adalah 40 Km. Luas wilayah desa Bleberan

Page 69: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

4

secara keseluruhan 16.262.170 Ha yang terdiri dari tanah sawah tadah hujan : 493

Ha, Sawaha irigasi : 15 Ha , tegalan : 489.217 Ha.Dengan batas wilayah al :

Tabel 2: Batas wilayah Desa Bleberan

Wilayah Berbatasan DenganUtara Desa Getas dan Desa DengokBarat Desa Banyusoco dan wilayah kehuatanan

Selatan Wilayah Kehutanan RPH Karang mojoTimur Desa Dengok dan Desa Plembutan

(Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Bleberan Tahun 2016-2021)

Sedangkan letak geografis desa Bleberan berada di ketinggian188;20 m

diatas permukaan laut dengan suhu 23 – 33 derajat C dengan kelembaban nisbi berkisar

antara

80% - 85%, serta curah hujan pada tahun 2016 sebesar 1.400mm/th. Dengan jumlah hari

hujan 89 hari. Bulan basah 4-5 bulan, sedangkan bulan kering antara 7-8 bulan. Desa

Bleberan 90% adalah merupakan daerah datar dan 10% tanah berbukit yang terdapat

di tiga padukuhan (Padukuhan Menggoran I,Menggoran II, dan Ngrancang). Jenis

tanah pertaniannya beragam yang didominasi oleh tanah margalit oleh karena itu setiap

musim kemarau lapisan tanah mengalami retak – retak atau lebih dikenal “telo“ lebar dan

panjang telo tersebut besarnya berkorelasi negatif dengan tingkat kelembaban dan

kandungan bahan organic tanah ini terdapat diwilayah tengah ketimur (Padukuhan

Peron,Tanjung I, Tanjung II, Bleberan Sawahan dan Srikoyo). Sedang di sector tengah

sebelah utara tanah berkapur dan untuk wilyah barat Menggoran I,Menggoran

II,Ngrancang dengan tanah merah.

3. Kondisi Demografis Desa Bleberan

Page 70: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

4

Bagian ini mendeskripsikan kondisi demografis atau kependudukan desa

Bleberan, baik berdasarkan jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan dan

sebagainya; merujuk pada dokumen RPJMDesa Beleberan 2016-2021.

Page 71: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

4

a. Kependudukan

Table 3: Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin JumlahLaki-laki 2688

Perempuan 2653Total 5341

(Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Bleberan Tahun 2016-2021)

Dari data di atas, dapat dilihat jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin

di Bleberan memiliki proporsi yang seimbang. Secara jumlah, baik laki-laki

maupun perempuan tidak berbeda jauh. Hal ini tentu menarik untuk menjadi data

panduan bagi kajian-kajian yang berfokus menggali lebih jauh hal-hal

seputar distribusi manfaat pembangunan serta distribusi kekuasaan ekonomi

politik dari perspektif keadilan gender.

Table 4: Jumlah Penduduk berdasarkan Status Perkawinan

No Jenis Kelompok Laki-Laki Perempuan Jumlah1 Belum Kawin 1204 902 21062 Kawin 1411 1426 28373 Cerai Hidup 31 57 884 Cerai Mati 42 268 310

Total 2688 2653 5341(Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Bleberan Tahun 2016-2021)

Data di atas, tentunya dapat juga menjadi acuan bagi usaha untuk

menelusuri sejumlah kebijakan pembangunan khususnya yang menyasar

kelompok-kelompok rentan. Jika mengacu pada data di atas, maka

kelompok rentan yang dimaksudkan disini tentunya adalah para single parent

yang harus berjuang sendirian dalam usaha menafkahi keluarganya.

Page 72: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

Table 5: Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan

No Jenis Kelompok Laki-laki Perempuan Jumlah1 Belum/Tidak Bekerja 477 431 9082 Mengurus Rumah Tangga 0 263 2633 Pelajar/Mahasiswa 470 381 8514 Pensiunan 66 39 1055 Pegawai Negeri Sipil (PNS) 50 31 81

6Tentara Nasional Indonesia

(TNI) 4 0 4

7 Kepolisian RI (Polri) 1 0 18 Perdagangan 4 10 149 Petani/Perkebunan 928 1164 209210 Peternak 1 2 311 Nelayan/Perikanan 0 0 012 Industri 0 1 113 Konstruksi 0 0 014 Transportasi 0 0 015 Karyawan Swasta 173 95 26816 Karyawan BUMN 0 0 017 Karyawan BUMD 1 1 218 Karyawan Honorer 11 20 3119 Buruh Harian Lepas 90 43 13320 Buruh Tani/Perkebunan 1 4 521 Buruh Nelayan/Perikanan 0 0 022 Buruh Peternakan 1 0 123 Pembantu Rumah Tangga 0 4 424 Tukang Batu 6 0 625 Tukang Jahit 1 1 226 Tukang Gigi 0 0 027 Mekanik 2 0 228 Pendeta 0 1 129 Guru 7 12 1930 Perawat 0 1 131 Sopir 19 0 1932 Pialang 0 0 033 Paranormal 0 0 034 Pedagang 2 3 535 Perangkat Desa 21 1 2336 Kepala Desa 1 0 037 Biarawati 0 0 0

44

Page 73: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

4

38 Wiraswasta 351 145 496Total 2688 2653 5341

Sumber: Dinas DUKCAPIL Kab.Gunungkidul Th 2015

Data di atas berguna bagi pembacaan kita dalam menelusuri prospek

keadilan yang dijanjikan melalui sejumlah kebijakan pembangunan dari

pemerintah desa. Satu diantaranya, misalnya dalam usaha untuk mendalami

keterlibatan atau pun partisipasi warga masyarakat desa dari sudut pandang

sektoral yang diproyeksikan di dalam sejumlah kebijakan pembangunan

desa. Selain itu, data di atas juga tentu menjadi acuan dalam usaha untuk

melihat formasi kelas warga masyarakat Bleberan dengan membandingkan

sejumlah sektor pekerjaan yang punya kemungkinan berpendapatan rendah

serta rentan terekspliotasi dengan sektor pekerjaan yang sebaliknya.

b. Pendidikan :

Tabel 6: Fasilitas Pendidikan Yang Ada di Desa Bleberan

No Jenis sekolahJml. Unit

Kondisi sekolahBaik Sedang Rusak

1 TK 10 4 - -2 SD 2 2 - -3 MI 3 3 - -4 PKBM 1 Belum punya gedung5 PAUD 4 Menginduk pada STKM Bleberan

(Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Bleberan Tahun 2016-2021)

Dari data di atas, kita dapat melihat sejauh mana komitmen pemerintah

desa dalam upaya memberdayakan warganya melalui sektor pendidikan.

Pasalnya, desa Bleberan belum memiliki gedung atau fasilitas yang dijadikan

wadah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Hal ini penting untuk

disoroti, mengingat banyak warga desa Bleberan sendiri yang tidak atau belum

menyelesaikan pendidikan di tingkat dasar. Hal ini dapat dilihat di tabel di bawah

ini. Keberadaan

Page 74: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

No Jenis Kelompok Laki-laki Perempuan Jumlah1 Tidak / Belum Sekolah 518 667 11852 Belum Tamat SD/Sederajat 375 387 7623 Tamat SD / Sederajat 645 667 13124 SLTP/Sederajat 547 527 10745 SLTA / Sederajat 504 306 8106 Diploma I / II 33 33 667 Akademi/ Diploma

III/S.Muda

12 13 25

8 Diploma Iv/ Strata I 51 50 1019 Strata II 3 2 510 Strata III 0 1 1

Total 2688 2653 5341

4

warga masyarakat yang tidak mengenal bangku sekolah ini tentu akan

sangat berpengaruh terhadap pemahaman politik warga serta kwalitas partisipasi

warga dalam arena demokrasi dan pembangunan desa. hal ini akan saya bahas

lebih jauh pada bahasan bab selanjutnya.

Table 7: Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

(Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Bleberan Tahun 2016-2021)

c. Keagamaan

Kegiatan relegi masarakat Desa cukup baik dengan berbagai agama yang

ada masarakat tetap kondusif belum pernah adanya gesekan antar agama.

Tabel 8: Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama

No Agama Laki-laki Perempuan Jumlah1 Islam 2648 2599 52472 Kristen 35 40 753 Katholik 5 14 194 Hindu 0 0 05 Budha 0 0 06 Khonghucu 0 0 07 Lainnya 0 0 0

Belum Mengisi 0 0 0

Page 75: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

4

Total 2688 2653 5341(Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Bleberan Tahun 2016-2021)

Data di atas menunjukkan bahwa Islam merupakan agama mayoritas yang

dianut oleh warga masyarakat Bleberan. Selain itu, NU merupakan

organisasi keagamaan yang paling besar di Bleberan dan hampir seluruh

umat Islam di Bleberan merupakan pengikut NU. Hal ini seturut informasi yang

saya dapati dalam sejumlah wawancara yang saya lakukan di lokasi.

d. Kesehatan

Sampai dengan tahun 2015 kesehatan masarakat cenderung

meningkat kesadaran akan perilaku hidup bersih dan sehat ( PHBS ). Hal ini di

dukung dengan jumlah kader sehat ddesa berjumlah 121 kader. Dan untuk

kesehatan masarakat dari sisi perumahan dan lingkungan al :

Tabel 9: Kondisi perumahan dan lingkungan

No PadukuhanRumah Jamban

Fisik LantaiCls Prm Trd TpP Sp Pp Gdk Krm Tgl Tnh

1 Peron 30 4 2 48 2 44 38 25 36 20 282 Tanjung I 35 17 5 34 3 71 16 27 13 25 03 Tanjung II 16 12 19 25 2 52 18 13 11 48 04 Bleberan 31 26 18 63 7 40 42 31 24 80 05 Sawahan I 44 32 3 51 11 81 36 33 9 78 86 Sawahan II 36 6 2 32 3 49 40 15 30 38 107 Putat 27 4 21 43 7 78 12 23 1 65 68 Srikoyo 42 16 9 52 10 62 49 16 67 21 169 Menggoran I 53 15 40 58 8 117 41 34 19 82 31

10Menggoran

II 59 58 8 64 14 103 43 34 20 92 38

11 Ngrancang 64 1 36 28 7 103 19 57 0 47 25

Jumlah 437 191163 489 74 850 354

308 230 596

162

(Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Bleberan Tahun 2016-2021)

Page 76: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

4

Keterangan:

Kolom Fisik : P : Permanen Sp.Semi permanent PP.: Papan Gdg : Gedek

Kolom Lantai : krm : keramik tgl : tegel tnh : tanah

Kolom jamban : cls : closed prm : permanent trd : tradisional tp: tidak punya

Dari data potret kondisi lingkungan dan perumahan warga di atas, dapat kita lihat

bahwa julmlah warga masyarakat yang memiliki rumah permanen serta didukung oleh

kondisi lingkungan yang sehat tidak sampai 50%. Sebagian besar hanya mampu

membangun rumah degek, berlantai tegel tanah atau tanah saja. Kondisi ini selain

menjadi potret kasat mata akan tingginya ketimpangan di Bleberan, tentu juga memiliki

kaitan yang perlu untuk dikritisi dalam membaca program dan kebijakan pembangunan

desa agar menjadi prioritas yang perlu dibenahi. Salah satu program yang

memiliki keterkaitan langsung dengan data tentang kondisi lingkungan dan perumahan

ini adalah program home stay dari pemerintah desa. Hal ini akan saya bahas lebih jauh

pada bab selanjutnya.

Selanjutnya, di desa Bleberan juga terdapat PUSKESMAS II Playen dengan

Gedung yang dibangun tahun 2007 dan belum memberikan pelayanan rawat inap karena

kondisi yang belum memungkinkan. Dengan rincian tenaga medis dan karyawan:

Dokter umum : 1 orang

Dokter gigi : 1 orang

Analis kesehatan : 1 orang.

Ahli gizi : 1 orang

Perawat : 4 orang

Page 77: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

4

Bidan : 5 orang

Karyawan : 18 orang.

Selain itu, salah satu faktor yang mendukung aspek kesehatan di desa Bleberan

juga adalah ketersediaan sarana air bersih. Sara air bersih di Desa bleberan

sebagian besar masyarakat menggunakan PAM Desa dan juga sebagian kecil

menggunakan sumur, Pengelolaan PAM Desa di kelola dengan BUMDes dengan SK

pendirian Perdes No.06 /Tahun 2009 dengan nama BUMDes “ SEJAHTERA”.

4. Keadaan Sosial dan Ekonomi Desa

a. Keadaan Sosial Desa

Warga masyarakat Desa Bleberan masih memelihara nilai – nilai gotong

royong, tolong – menolong, semangat kebersamaan, serta rasa kesatuan yang kuat

masyarakat dan jika ada yang tidak melakukan atau menjaga hal tersebut akan

mendapatkan sanksi dari masyarakat sekitar yang berupa celaan, gunjingan, dan lain -

lain. Ini merupakan potensi yang luar biasa sebagai modal pembangunan di Desa

Bleberan. Pembangunan masyarakat desa dan arus modernisasi juga membawa

dampak perubahan sosial budaya di masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat kita

sering mendengar adanya lembaga – lembaga tradisional dan lembaga – lembaga

modern. Sejalan dengan itu ada pula “pola ajar tradisonal” dan “pola ajar modern”.

Pola ajar tradisional mengajarkan cara – cara atau hal – hal yang kurang lebih sama

dengan yang telah dipraktekan oleh generasi sebelumnya (ayah, kakek, nenek, orang

tua dan sebagainya). Dan pola ajar inilah yang diterapkan agar pengaruh budaya asing

yang tidak sesuai dengan budaya lokal dapat dicegah.

Karakteristik sosial masyarakat desa Bleberan adalah sebagai berikut :

Page 78: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

5

1. Masyarakat desa Bleberan cenderung memiliki sifat yang homogen

dalam hal mata pencaharian, nilai – nilai dalam kebudayaan, serta dalam

sikap dan tingkah laku.

2. Kehidupan di desa Bleberan lebih menekankan anggota keluarga sebagai

unit ekonomi. Artinya semua anggota keluarga turut bersama terlibat dalam

kegiatan mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga.

3. Faktor geografis sangat berpengaruh atas kehidupan yang ada. Misalnya

keterkaitan anggota masyarakat dengan tanah atau desa kelahirannya.

Hubungan antarwarga desa terjalin lebih mendalam dan erat bila

dibandingkan dengan hubungan mereka dengan masyarakat lainnya

diluar batas wilayah desanya.

4. Mata pencaharian utama penduduk umumnya adlah bertani.

5. Kontrol sosial ditentukan oleh nilai moral dan hukum internal (hukum adat).

b. Perekonomian Desa

Perekonomian masarakat desa Bleberan dilihat perkembangan tahun ketahun

mengalami banyak peningkatan; terlihat pada perekonomian masarakat dengan daya beli

masarakat cukup meningkat, peningkatan tersebut didominasi pada sektor

Pertanian yang dapat mendukung 50%, sector peternakan (sapi dan kambing) 30% dan

perikanan

10% dan jasa 10%. Apalagi dengan dilakukannya kerjasama masarakat dan pihak

Kehutanan dengan SK pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKM) dan juga kerja sama

yang sifatnya nonformal Pengelolaan hutan bersama masarakat hal ini dapat

mendongkrak pendapatan masarakat yang dapat mencapai 100%. Sektor pertanian yang

Page 79: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

5

menjadi unggulan adalah : Jagung, Kedelai, Padi, ketela sedang untuk sayuran : col,

cabe, kacang panjang, ketimun, terong.

Page 80: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

5

Kondisi ini menunjukan bahwa sector pertanian sampai dengan saat ini masih

menjadi andalan masarakat Desa Bleberan yang memang mayoritas petani, namun yang

menjadi kendala adalah kepemilikan lahan petani yang rata – rata masarakat petani

hanya memiliki lahan 0,25 ha /kk sehingga di masa mendatang aspek menejemen

kelembagaan harus mendapatkan perhatian yang serius serta kedepan diperlukan

pembangunan pertanian dengan mengoptimalkan berbagai sumber daya alam dan

manusia dengan didukung tehnologi anjuran terkini dan sepesifik serta

memperhatikan daya dukung lahan; juga pendampingan kelompok – kelompok tani

agar menjadi lebih mandiri .

Sektor Industri sampai dengan tahun 2016 masih sangat kecil walaupun minat

masarakat cukup tinggi dengan pengolahan hasil pertanian namun kelemahan untuk

menembus pasar masih sangat lemah, ada beberapa kelompok antara lain Industri alat

pertanian, kerajinan kulit, mebel, dan home industri lainnya namun sampai saat ini

untuk beberapa hasil industri pandai besi dan olahan makanan telah mulai menembus

pasar luar wilayah desa namun sebagian masih untuk kebutuhan pasar local. Sektor

pariwisata di Desa Bleberan sudah dikelola dengan cukup baik melalui BUMDesa

sehingga sudah mampu memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Desa,

tetapi masih bisa di kembangkan lebih maksimal sehingga akan mamapu

mendongkrak pendapatan Asli Desa, Infrastruktur jalan di sekitar obyekwisata masih

belum memadahi ( belum diaspal) sehingga masih perlu penanganan serius dari semua

pihak baik pemerintah desa maupun pemerintah daerah.

Namun demikian potensi yang cukup banyak diantaranya : Gua rancang

kencono, Airterjun Slempret, tebing indah, bumi perkemahan, Hutan

kemasarakatan, masih perlu mendapatkan dukungan yang maksimal baik dari

pemerintah Daerah, Propinsi serta Pusat karena pariwisata kedepan akan memberikan

Page 81: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

5

dampak pertumbuhan ekonomi yang sangat baik bagi masyarakat. Lokasi wisata

tersebut ada dilokasi wilayah

Page 82: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

5

sector barat wilayah Desa Bleberan tepatnya di padukuhan Menggoran, pada saat ini

setelah di laksanakan launcing sudah banyak dikunjungi wisatawan baik local

maupun luar negeri terutama pada hari Sabtu, Minggu serta hari – hari libur, dan yang

menjadi daya tarik wisata di Bleberan adalah susur sungai oyo dengan pearahu

sepanjang 450m dengan menikmati tebing indah setinggi 50m di sepanjang s.oyo yang

kemudian berakhir menikmati air terjun Srigethuk. Namun demikian Kondisi

infrastruktur jalan untuk memasuki lokasi wisata belum teraspal sepanjang 1 Km serta

jalan menuju padukuhan Menggoran sepanjang 1000m telah mengalami rusak parah

sehingga menjadi keluhan para wisatawan.

Kemudian situs purbakala ada di wilayah padukuhan Bleberan situs tersebut

adalah merupakan peninggalan zaman batu dan saat ini telah ditata dan di tempatkan

pada tanah yang telah dibebaskan dari dinas purbakala Propinsi DIY. Arah

pengembangan pariwisata Desa Bleberan kedepan pembangunan sarana dan prasaran

pendukung potensi alam yang sudah ada agar lebih mempunyai daya tarik wisatawan

antara lain: Kolam pemancingan dengangubuk – gubuk bambu sebagai tempat

menikmati hasil pancingan, Pembendungan sungai oyo sebagai sebagai wisata berprau.

Kolam renang, fasilitas olah raga, gedung pertemuan yang tradisional, pembangunan

out bond penambah atrakasi pariwisata. Serta penyusunan paket – paket wisata, home

stay serta pengembangan industry olahan serta cendera mata.

5. Kondisi Pemerintah Desa

Pemerintahan Desa Bleberan terdiri dari: Kepala Desa, Sekretaris Desa, Urusan

Umum, Urusan Keuangan, Urusan Perencanaan, dan Kabag Pemerintahan,

Pembangunan, Kesejahteraan Masarakat, serta 11 pedukuhan. Lembaga – lembaga Desa

yang ada: BPD dengan jumlah 11 orang, pengurus LPMD berjumlah 32 orang, pengurus

PKK 10 0rang , RW, RT, Klp.PKK Padukuhan Dasa wisma, Karang taruna Desa.

Page 83: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

DukuhPeron

Bowo

S

Dukuh

Tanjung Suprapdi

Dukuh

Sawahan

Sumarno

Dukuh DukuhPutat Srikoyo

Tanjung II

Wakidi

DukuhMenggoran I

Rubikin Rohmadi Purwanto

5

Struktur organisasi pemerintah Desa Bleberan adalah sebagai berikut:

BPD Kepala DESA

Supraptono

Sekertaris Desa

Indardi

Kepala Urusan

TU

Sudono

Kepala UrusanPerencanaan

Taufik AryWibowo

Kepala UrusanKeuangan

Sarti Nurhayati

Kepala Seksi

Pemerintah

Marmoyato

Kepala SeksiPelayanan

NurArifin

Kepala SeksiKesejateraan

Hartono

Dukuh DukuhBleberan

Sumiyartono

Dukuh Menggoran

II

Suhartono

DukuhSawahan I

Sudadi

DukuhNgrancang

Jamrozi

Page 84: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

5

Tabel 10: Padukuhan dengan jumlah RT dan RW di desa Bleberan:

No Nama Dusun RW RT

1. „ Bleberan 1 102. Menggoran I 1 113. Menggoran II 1 114. Ngrancang 1 85. Peron 1 56. Putat 1 77. Sawahan I 1 98. Sawahan II 1 59. Srikoyo 1 710. Tanjung I 1 611. Tanjung II 1 6

Total 11 85(Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Bleberan Tahun 2016-

2021)

Dalam konteks pembicaraan tentang pemberdayaan masyarakat desa, dusun, RT

dan RW memiliki posisi yang sangat strategis sebagai aktor paling dekat dan

paling depan dalam usaha melepaskan warga masyarakat desa dari kondisi

ketidakberdayaannya. Dalam ranah kelembagaan, kepala dusun, ketua RT dan ketua RW

merupakan bagian dari Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) yang

bertugas menjalankan amanat pemberdayaan masyarakat desa dalam usaha membantu

tugas pemerintah desa. Selain itu, di desa Bleberan ada sejumlah kelompok – kelompok

masyarakat desa yang merupakan target atau sasaran dari program pemberdayaan itu

sendiri.

Tabel 11: Kelompok Sasaran dan Bentuk Kegiatan Program Pemberdayaan

Kelompok Kegiatan Sasaran

Kelompok TaniPelatihan kelompok tani: sosialisasibenih, pembuatan green house danpelatihan pengelolaan hasil panen.

Terbentuknya karakterpetani yang mandiri

dan inovatif

Page 85: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

5

Kelompok perempuan

ekonomi produktif

Pelatihan kelompok perempuan dalam bidang ekonomi produktif dan kelompok kerajinan: pelatihan pengelolaan jamur,

pelatihan pembuatan souvenir.

Menumbuhkanproduktifitas dan peningkatan skill

berusaha bagi perempuan

Page 86: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

5

Kelompok usaha mikro dan kecil

Pelatihan kelompok usaha mikro dankecil: fasilitasi modal usaha, fasilitasi

tempat usaha, pelatihan pembuatan produk usaha.

Tersedianya ruangusaha dan peningkatan

daya saing bagi kelompok usaha kecil

Kelompok Pemberdayaan Kesejahteraan

Keluarga (PKK)

Sosialisasi dan pelatihan kelompok PKK: sosialisasi dan pencegahan KDRT, sosialisasi kebersihan lingkungan,

sosialisasi kesehatan keluarga

Tercapainya keluargayang bebas KDRT dan

terwujudnyalingkungan yang bersih

dan sehat(Sumber: Diolah Dari Data Sekunder dan Data Primer)

Dari model pemetaan terkait pemberdayaan masyarakat di atas, kita dapati bahwa

pemberdayaan masyarakat dalam konteks pembangunan desa di Bleberan secara garis

besar lebih menekankan dan mengarah pada usaha untuk menumbuhkembangkan

karakter kemandirian, inovatif serta peningkatan kapabilitas atau skill dalam usaha

menghadapi persaingan pasar.

Selanjutnya, di bawah ini akan dipaparkan secara singkat deskripsi umum

mengenai kewargaan masyarakat desa Bleberan yang dilihat dari keempat dimensi

kewargaannya.

Tabel 12: Pemetaan Terhadap Praktik Kewargaan Dalam Konsepsi

Pemberdayaan di Desa Bleberan

Dimensi Kewargaan Deskripsi

Keanggotaan

Keanggotaan di desa Bleberan merujuk pada batas-batasteritorial. Artinya bahwa, legitimasi seseorang dalam usaha mengklaim pengakuan dan distribusi sumberdaya akan dibenarkan selama ia merupakan warga yang bertempat tinggal di dalam teritori desa Bleberan sesuai dengan ketentuan yang ada.

Status Legal

Sebagai sebuah ikatan kontraktual serta aspek atributif yangmerupakan implikasi dari pengakuan terhadap keanggotaan, maka dimensi status legal di desa Bleberan merujuk pada Kartu Tanda Penduduk dan juga Kartu Tanda Anggota dari sebuah (misalnya: KTA Asosiasi Pedagang) kelompok masyarakat.

Hak

Pemenuhan terhadap hak – hak (sipil, politik dan sosial) di desaBleberan mengedepankan aspek kesetaraan. Artinya semuawarga desa diberikan kesempatan yang setara tanpa memandang perbedaan latar beakang sosialnya, baik SARA mau pun stratifikasi kelas sosialnya.

Page 87: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

5

Partisipasi

Partisipasi di sini merujuk pada keterlibatan seseoarng dalam menentukan sebuah kebijakan yang memiliki implikasi terhadap kehidupan publik. Dalam konteks partisipasi di desa Bleberan, partisipasi ini merujuk pada keterlibatan warga dalam kegiatan gotong royong serta keterlibatan di dalam forum musyawarah.

(Sumber: Diolah Dari Data Sekunder dan Data Primer)

Dengan melihat uraian tentang gambaran umum kondisi desa Bleberan di atas,

penting untuk sekiranya menempatkan bab ini sebagai aspek pembanding terhadap data-

data lapangan yang kemudian akan dianalisis lebih jauh pada bab selanjutnya. Data-data

lapangan ini bisa dalam bentuk hasil wawancara, observasi, atau apun dokumentasi;

yang mana bisa dikonfirmasi melalui (salah satunya) usaha membandingkan data-data

tersebut dengan deskripsi gambaran umum lokasi penelitian sebagaimana yang

dinarasikan dalam bab ini.

Page 88: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

98

DAFTAR PUSTAKA

Abrahamsen, Rita. (2000), “Sudut Gelap Kemajuan: Relasi Kuasa Dalam Wacana

Pembangunan” (Penerjemah: Heru Prasetia). Yogyakarta: Lafadl Pustaka

Amalik, Mulyadi J. (2013), “Pemberdayaan Masyarakat Desa Dalam Ayunan Politik”, Jurnal

MANDATORY, Vol. 10, No. 1

Antlöv, Hans (2004), “Menuju Kebangkitan Desa” (Pengantar), dalam Zakaria, R. Yando.

(2004), “Merebut Negara: Beberapa Catatan Reflektif Tentang Upaya-Upaya

Pengakuan, Pengembalian dan Pemulihan Otonomi Desa”, Yogyakarta: Lapera

Pustaka Utama dan Karsa

Arsiyah, Heru Ribawanto dan Sumartono. (2009), “Pemberdayaan Masyarakat Dalam

Pembangunan Ekonomi Desa”, Wacana Vol. 12 No. 2 April 2009

Bellamy, Richard. (2008), “Citizenship: a Very Short Introduction”. New York: Oxford

University Press

Berenschot, Ward dan Gerry Van Klinken. (2019), “Citizenship In Indonesia” (Penerjemah:

Hananto P. Sudharto dan tim). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Chambers, Robert. (1987), “Pembangunan Desa: Mulai Dari Belakang” (Penerjemah: Pepep

Sudrajat). Jakarta: LP3ES

Cooke, Bill dan Uma Kothari. (2001) “The Case for Participation as Tyranny” dalam

Cooke, Bill dan Uma Kothari (eds) (2001) “Participation: The New Tyranny?”

London: Zed Books. Hlm.1-15

Cooke, Bill dan Uma Kothari (eds). (2001) “Participation: The New Tyranny?” London: Zed

Books

Djamal, M. (2015), “Paradigma Penelitian Kualitatif” (Edisi Revisi). Yogyakarta: Pustaka

Pelajar

Page 89: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

99

Dokumen Pemerintah Desa Bleberan: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa

Bleberan tahun 2016-2021

------------- Daftar Rencana Program dan Kegiatan Pencermatan RPJM Desa

------------- Evaluasi Rencana Kerja Pemerintah Desa Bleberan Tahun Anggaran 2018

------------- Rancangan Akhir Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP-DESA) Tahun 2019

------------- Musyawarah Desa Tentang Rencana Kerja Pemerintah Desa Tahun 2020

Eko, Sutoro. (2004), “Reformasi Politik dan Pemberdayaan Masyarakat”, Yogyakarta:

APMD Press

Eko, Sutoro (ed.). (2005), “Manifesto Pembaharuan Desa”, Yogyakarta: APMD Press

Eko, Sutoro, dkk. (2014), “Desa Membangun Indonesia”, Yogyakarta: Forum Pengembangan

Pembaharuan Desa (FPPD)

Eko, Sutoro, M. Barori dan Hatowiyono. (2017), “Desa Baru , Negara Lama”, Yogyakarta:

Pascasarjana STPMD “APMD”

Fraser, Nancy. (1995), “From Redistribut ion to Recognition? Dilemmas of Justice in a „Post-

Socialist‟ Age”, New Left Review 212 (July/August) p. 68-93

Hanif, Hasrul. (2012), “Dibawah Bayang-Bayang Kewargaan Pasar (Market Citizenship)?”

Makalah Dalam Seminar Internasional Ke-13: “Dinamika Politik Lokal Di

Indonesia: Kewargaan Subnasional dan Cita-Cita Negara Bangsa Dalam

Dinamika dan Perspektif Lokal”, Salatiga, 10-13 Juli 2012

Hiariej, E., R. A. Alvian., I. Ardiani, dan A. M. Taek. (2016), “Sejarah Politik Kewargaan di

Indonesia”, MONOGRAPH on Politics and Government, Vol. 10, Edisi No.1.

2016 (1-76)

Hiariej, Eric dan Kristian Stokke. (2018), “Pendahuluan: Politik Kewargaan di Indonesia”

dalam Hiariej, Eric dan Kristian Stokke (eds). (2018), “Politik Kewargaan di

Indonesia”, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Hlm. 1-22

Page 90: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

10

Hickey, Samuel dan Giles Mohan (eds). (2004), “Participation: From Tyranny to

Transformation?”, London & New York: Zed Books

Isin, Engin F. & Bryan S. Turner. (2002), “Citizenship Studies: An Introduction”, dalam Isin,

Engin F. & Bryan S. Turner (eds). 2002, “Handbook of Citizenship Studies”, Sage

Publications: London, Thousand Oaks dan New Delhi

Juru, Ignasius Jaques. (2013), “Dislokasi Wacana Kewarganegaraan: Melampaui

Liberalisme Menuju Wacana Agonistik”, Yogyakarta: PolGov

Kelly, Ute. (2004), “Confrontations With Power” dalam Hickey, Samuel dan Giles Mohan

(eds). (2004), “Participation: From Tyranny to Transformation?”, London &

New York: Zed Books. Hlm. 205-218

Li, Tania Murray. (2012), “The Will To Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan

Pembangunan di Indonesia”, Jakarta: Marjin Kiri

Lummis, C. Duoglas. (2010), “Equality” dalam Wolfgang Sach (ed). 2010 “The Development

Dictionary”. Edisi Kedua. London & New York: Zed Books. Hlm. 38-54

Mahendra, Frengky Agitawan. (2017), “Strategi Penganggulangan Kemiskinan di Desa

Bleberan, Kecamatan Playen, Gunung Kidul”, Tesis Program Studi

Interdisciplinariy Islamic Studies, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Mas‟oed, Mohtar. (2003), “Negara, Kapital dan Demokrasi”. (Edisi Kedua). Yogyakart

a: Pustaka Pelajar

Moleong, Lexy J. (2009), Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remadja Rosdakarya

Mouffe, Chantal (ed). 1995, “Dimensions of Radical Democracy: Pluralism, Citizenship,

Community”. (Cetakan Kedua). London: Verso

Nasution, F. G. Wibisono (ed). (2017), “Desa: Situs Baru Demokrasi Lokal”, Yogyakarta:

Institute for Research and Empowerment (IRE)

Priyono, A.E. (2017) “Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?” (Prolog),

dalam Nasution, F. G. Wibisono (ed). (2017), “Desa: Situs Baru

Demokrasi Lokal”, Yogyakarta: Institute for Research and Empowerment (IRE).

Hlm.1-14

Page 91: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

10

Rachman, Noer Fauzi. (2017), “Petani dan Penguasa” (Cetakan Kedua), Yogyakarta:

INSISTPress

Rahmena, Majid. (2010) “Participation” dalam Wolfgang Sach (ed). 2010 “The Development

Dictionary”. Edisi Kedua. London & New York: Zed Books. Hlm. 127-144

Santoso, Purwo. (2012), “Watak Hibridasi Dalam Wacana Citizenship di Indonesia”

(Pengantar), dalam Putri, Vegita Ramadhani. (2012), “Denizenship: Kontestasi

dan Hibridasi Ideologi di Indonesia”, Yogyakarta: PolGov

Sidik, Fajar. (2015), “Menggali Potensi Lokal Mewujudkan Kemandirian Desa”, Jurnal

Kebijakan & Administrasi Publik Vol. 19 No. 2 - November 2015

Soetomo. (2015), “Pemberdayaan Masyarakat: Mungkinkah Muncul Antitesisnya?” Cetakan

Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Stokke, Kristian. (2017), “Politics of Citizenship: Towards an Analytical Framework”,

dalam Hiariej, Eric & Kristian Stokke (eds.). (2017), “Politics of Citizenship in

Indonesia”, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Sujito, Arie. (2013), “Konteks dan Arah Pembaharuan Desa Dalam Advokasi RUU Desa”

Jurnal MANDATORY, Volume 10. Nomor 1, 2013. Hal. 141-151

Sumarjono. (2017) “Pelembagaan Badan Usaha Milik Desa “Sejahtera” Dalam

Pengembangan Desa Wisata di Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten

Gunungkidul” Laporan Akhir Penelitian, Sekolah Tinggi Pembangunan

Masyarakat Desa, Yogyakarta

------------- (2018), “ Efektivitas Badan Usaha Milik Desa “Sejahtera” Dalam

Pengembangan Desa Wisata Bleberan Di Kecamatan Playen Kabupaten

Gunungkidul”, Jurnal Politik & Pemerintahan - Vol.2, No.2, Desember 2018

Tanasaldy, Taufiq (2007), “Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat”, dalam Nordholt,

Henk Schulte dan Gerry Van Klinken (2007), “Politik Lokal di Indonesia”,

Jakarta: KITLV dan Yayasan Obor Indonesia

Team Work Lapera. (2001), “Politik Pemberdayaan”, Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama

Page 92: repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/986/1/SKRIPSI PAULUS KRISTIANTO SYUKUR.docx · Web view:6). Dengan didasarkan pada asumsi etnik-budaya dan yuridis-politis, maka seseorang akan mendapatkan

10

Turner, Bryan. (1995), “Outline of a Theory of Citizenship”, dalam Mouffe, Chantal (ed).

1995, “Dimensions of Radical Democracy: Pluralism, Citizenship, Community”.

Cetakan Kedua. London: Verso

Usman, Husaini dan Punomo Setiady Akbar. (2006), “Metodologi Penelitian Sosial”

(Cetakan Keenam). Jakarta: PT Bumi Aksara

Waddington, Mark dan Giles Mohan. (2004), “Failing Forward: Going Beyond PRA and

Imposed Forms of Participation”, dalam Hickey, Samuel dan Giles Mohan (eds).

(2004), “Participation: From Tyranny to Transformation?”, London & New

York: Zed Books. Hlm. 219-234

Wijaya, David. (2018), “BUM DESA: Badan Usaha Milik Desa”, Yogyakarta: Gavata Media

Williams, Glyn. (2004), “Towards a Repoliticization of Participatory Development: Political

Capabilities and Spaces of Empowerment” dalam dalam Hickey, Samuel

dan Giles Mohan (eds). (2004), “Participation: From Tyranny to

Transformation?”, London & New York: Zed Books. Hlm. 92-107

Zakaria, R. Yando. (2000), “Abih Tandeh: Masyarakat Desa di Bawah Rejim Orde Baru”,

Jakarta: Elsam

------------- (2004), “Merebut Negara: Beberapa Catatan Reflektif Tentang Upaya-Upaya

Pengakuan, Pengembalian dan Pemulihan Otonomi Desa”, Yogyakarta: Lapera

Pustaka Utama dan Karsa

Zuliyah, Siti. (2010), “Strategi Pemberdayaan Masyarakat Desa Dalam Menunjang

Pembangunan Daerah”, Journal of Rural and Development Vol. No. 2 Agustus

2010