Upload
ardian-kusumah
View
73
Download
21
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bencana banjir yang akhir-akhir ini terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia dan khususnya di
Jabodetabek merupakan indikator yang sangat nyata telah terjadinya kerusakan lingkungan.
Kegiatan dan aktivitas manusia yang bersifat mengubah pola tata guna lahan atau pola penutupan
lahan dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) telah mempengaruhi pola aliran banjir di suatu DAS.
Pengelolaan DAS merupakan konsep jawaban terhadap permasalahan yang ada karena
menyangkut pola pengelolaan sumberdaya air dan pola pengelolaan sumberdaya alam dalam
batas dan fungsi yang saling terkait. Pengelolaan DAS dapat dengan jelas mempunyai batas
ekologis dan dapat dengan jelas dibatasi di lapangan sebagai unit ekologis terkecil dalam satuan
yang merupakan perpaduan antara manajemen sistem alam, sistem biologi dan manusia sebagai
bagian dari sosial ekonomi sehingga memerlukan keterpaduan, koordinasi dan partisipasi
masyarakat yang sangat luas.
Pendekatan struktural yang dominan di bagian hilir selama ini mengindikasikan telah mengalami
“kegagalan”, sehingga perlu dilakukan dengan pendekatan non struktural secara bersamaan yang
melibatkan seluruh stakeholder dalam suatu DAS yang meliputi kegiatan rehabilitasi hutan dan
lahan.
Mengingat kompleksnya permasalahan pengelolaan DAS maka diperlukan pendekatan yang
terpadu melibatkan semua stakeholder dan dilakukan secara komprehensif sehingga diperlukan
metode rehabiliatsi hutan yang tepat dengan pelibatan masyarakat secara massal karena
besarnya masalah yang sudah ada. Metode pengambilan dengan cara simulasi dapat digunakan
sebagai alat yang efektif untuk melihat permasalahan dan penanggulangan banjir khususnya
dalam memprediksi aliran permukaan (run off) dari suatu hamparan tipe penggunaan lahan.
Dalam mengatasi masalah banjir di DKI Jakarta dan Jabodetabek umumnya, banyak program sudah
dilakukan dengan curahan dana dan usaha yang besar, tetapi kejadian banjir tetap berulang.
Pendekatan teknis yang telah dan akan dilakukan belum sepenuhnya menggunakan DAS sebagai
unit analisis, tetapi cenderung bersifat parsial, sektoral atau terkait dengan kewenangan
pendekatan yang ada bersifat reaktif terhadap isu dan permasalahan sesaat.
Bencana banjir di Jakarta dan sekitarnya telah memasuki kondisi yang sangat parah, banyak
akitivitas kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat yang terganggu, bahkan telah menimbulkan
kerugian harta dan jiwa yang sangat besar. Kejadian banjir besar th 1996, dan th 2002 telah
menimbulkan kerugian 9,8 trilyun rupiah, demikian juga kejadian besar pada tahun 2007 telah
merendam hampir 70% wilayah DKI Jakarta, dan sebagian wilayah Kabupaten Bogor, Kota Depok,
Kabupaten dan Kota Tanggerang serta Kota Bekasi.
Setidaknya pada kejadian banjir 2007 telah menyebabkan 55 orang menjadi korban meninggal
dunia, warga yang mengungsi mencapai 320.000 orang, dengan nilai kerugian sebesar 8,8 trilyun
rupiah, terdiri dari 5,2 trilyun rupiah kerusakan dan kerugian langsung dan 3,6 trilyun rupiah
merupakan kerugian tidak langsung.
Faktor yang berpengaruh terhadap kajadian banjir tersebut karena faktor alam dan faktor manusia.
Faktor alam terutama disebabkan karena curah hujan yang sangat tinggi, kondisi geomorfologi
DAS, dan pasang surut air laut. Sedangkan faktor manusia disebabkan karena kelembagaan
pemerintah dan masyarakat yang belum mantap, perubahan penggunaan lahan, pola penataan
yang tidak sesuai, serta sarana prasarana drainase yang belum baik. Faktor-faktor ini yang
menjadi indikator kerusakan lingkungan DAS sehingga bencana banjir terjadi.
Sehubungan dengan hal itu, harus diambil langkah-langkah untuk mengatasi masalah guna
mengendalikan banjir dengan berbagai upaya jangka pendek dan upaya yang mampu menjamin
keberhasilan jangka panjang, antara lain dengan meningkatkan kapasitas alamiah DAS.
Keberhasilan untuk meningkatkan kapasitas alamiah DAS akan tercapai jika pengelolaan DAS
dilakukan melalui perencanaan secara terpadu, rinci, terarah dan dapat menyelesiakan akar
permasalahan yang ada, dan solusi yang disampikan benar-benar berdasarkan akar masalah di
setiap DAS.
Permasalahan yang ada dapat dikelompokkan menjadi permasalahan teknis, koordinasi antar
lembaga, serta kesinambungan program dan kegiatan. Untuk menyelesaikan permasalahan yang
ada, perlu adanya koordinasi yang efektif dan efisien baik antar pemerintah provinsi, kabupaten
dan kota, maupun antar sektor, dengan dukungan dan partisipasi aktif masyarakat.
Wakil Presiden telah memberikan petunjuk-petunjuk, koordinasi dan kesepakatan yang harus
ditindaklanjuti dalam mengendalikan banjir. Departemen Kehutanan sesuai fungsi dan tugasnya
akan mengambil peran melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan pada DAS-DAS yang
memberikan kontribusi banjir, yaitu DAS Ciliwung, Cisadane, Angke-Pasanggrahan, Krukut-Grogol,
Sunter, Cakung dan Kali Bekasi. Adanya kemauan politik, kelembagaan, program dan pendanaan
yang berkesinambungan diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam penyelesaian banjir yang
dihadapi di wilayah Jabodetabek. Sehingga pengelolaan DAS yang multistakeholder harus dapat
terlaksana dengan baik agar dapat dengan jelas memberikan arahan dalam pengelolaan hutan dan
lahan pada DAS di wilayah Jabodetabek.
1.2. Tujuan
Tujuan dilakukannya penyusunan rencana detil penanganan banjir ini adalah :
1. Memeriksa akar permasalahan banjir serta solusi yang tepat dan konkrit.
2. Menganalisis tindakan-tindakan terhadap penanganan banjir pada masing- masing wilayah
DAS dan wilayah administrasi.
3. Melakukan kajian dan fokus kegiatan yang terkait dengan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
pada wilayah DAS yang terkait.
4. Melakukan kajian simulasi dan analisis untuk menentukan jumlah dan sebaran kegiatan
yang dapat atau mesti dilakukan terkait dengan penanganan banjir.
5. Melakukan evaluasi terhadap program dan kegiatan yang paling optimal untuk
dilaksanakan.
6. Melakukan pemetaan kegiatan operasional yang mungkin dilakukan.
1.3. Manfaat Kegiatan
Manfaat kegiatan penyusunan rencana detil penanganan banjir ini antara lain:
1. Merupakan pedoman untuk melaksankan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan secara
operasional di wilayah Jabodetabek.
2. Melakukan kajian komprehensif sehingga dapat dijadikan acuan dasar oleh seluruh
pemangku kepentingan di wilayah Jabodetabek.
3. Sebagai arahan dan pola pengelolaan DAS yang terkait dengan rencana Rehabilitasi Hutan
dan Lahan.
4. Merumuskan alternatif solusi untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
DAS.
BAB II METODOLOGI
2.1. Tahap Kegiatan Kajian
Kegiatan penyusunan rencana detil untuk penanganan banjir di wilayah Jabodetabekjur melalui
tahapan kegiatan seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Bagan alur kegiatan penyusunan rencana detil RHL untuk pengendalian banjir di wilayah
Jabodetabekjur.
1. Tahap pertama, melakukan review terhadap dokumen Rencana Tindak Rehabilitasi Hutan
dan Lahan Pada DAS Ciliwung, Cisadane, Angke, Pesanggrahan, Krukut-Grogol, Sunter,
Cakung dan Kali Bekasi Untuk Pengendalian Banjir di Wilayah Jabodetabek. Dokumen ini
memuat situasi/kondisi umum, permasalahan umum, arahan dan/atau rekomendasi
program, serta kelembagaan.
2. Tahap kedua, melakukan verifikasi lapangan untuk mengetahui kesesuaian atau kelayakan
lapangan atas Rencana Tindak tersebut di atas. Pada tahap ini dilakukan pembaharuan
dan pelengkapan data serta dilakukan konsultasi dengan para pihak terkait dan pihak lain
yang relevan di lapangan. Verifikasi lapangan ini dilakukan untuk seluruh DAS yang ada di
wilayah Jabodetabek.
3. Tahap ketiga, yaitu pengolahan data, baik yang bersifat spasial maupun non spasial.
4. Tahap keempat, melakukan analisis dan simulasi untuk menemukan atau memperkuat
rasionalitas atas fokus program-program yang direkomendasikan dari Rencana Tindak.
5. Tahap kelima, merinci dan menyajikan masing-masing program ke dalam format
perencanaan yang siap dioperasionalisasikan atau diimplementasikan.
2.2. Metode / Pendekatan
2.2.1 Landasan Pendekatan Analisis Kegiatan
Kajian Rehabilitasi Hutan dan Reboisasi Lahan untuk pengendalian banjir di wilayah Jabodetabek
mengacu atau berfokus pada program-program yang telah direkomendasikan/ direncanakan dalam
dokumen Rencana Tindak RHL untuk Pengendalian Banjir di Jabodetabek tahun 2007.
Program-program tersebut dapat dikategorisasikan ke dalam dua kategori atau aspek. Pertama,
program yang termasuk dalam kategori Teknis Sipil, dan kedua, program yang termasuk dalam
kategori Vegetatif. Rincian program setiap kategori disajikan pada Tabel 1.
Terhadap kedua kategori program tersebut di atas, dilakukan kajian untuk mendapatkan atau
mempekuat rasionalitasnya (rationale) serta untuk menentukan besaran dan sebaran. Selanjutnya
kajian kelembagaan dilakukan terhadap setiap kategori program.
Metode kajian Program Teknis Sipil dan Program Vegetatif serta pendekatan untuk kajian
kelembagaan diuraikan berikut di bawah ini.
Kajian kegiatan untuk menyusun rincian rencana tindak antisipasi banjir ini mempunyai landasan
analisis yang mengadopsi pendekatan sistem proses. Pendekatan ini digunakan karena kejadian
banjir yang terjadi di kawasan Jabodetabek dapat dianggap sebagai suatu hasil dari sistem
kawasan yang bekerja mulai dari hulu sampai dengan hilir dengan berbagai peubah dan parameter
yang ada dalam sistem tersebut. Sebagai suatu sistem proses yang menghasilkan kejadian banjir
maka sistem tersebut mempunyai sub-sub sistem yang saling terkait dan saling mempengaruhi
baik langsung maupun tidak langsung.
Masing-masing sub-sistem yang mempengaruhi setiap kejadian banjir tersebut analog dengan
aspek penutupan dan penggunaan lahan, hidrologi dan morfometri jaringan, iklim, geomorfologi
dan tanah, geohidrologi, topografi, infrastruktur pengendali banjir, rencana tata ruang sosial
ekonomi dan kelembagaan. Sebagai suatu sub-sistem, setiap aspek tersebut bekerja sesuai
dengan fungsinya terhadap kejadian banjir dan menghasilkan peubah dan parameter yang
berpengaruh terhadap sub-sistem yang lain. Oleh karena itu, dalam kegiatan ini perlu dilakukan
suatu analis untuk setiap sub-sistem tersebut sehingga dapat mengidentifikasi peran dan fungsi
masing-masing aspek tersebut terhadap kejadian banjir. Analisis-analisis yang dilakukan terhadap
masing-masing sub-sistem/aspek tersebut merupakan proses identifikasi masalah untuk
mendapatkan akar permasalahan kejadian banjir di kawasan Jabodetabek.
Proses identifikasi permasalahan akan menghasilkan akar permasalahan yang dapat dibagi
menjadi dua bagian yaitu akar permasalahan yang bersifat biofisik dan non-biofisik. Berdasarkan
akar permasalahan tersebut maka dilakukan suatu bentuk analisis guna mendapatkan rancangan
antisipasi dan penyelesaian akar permasalahan terhadap kejadian banjir. Analisis dan rancangan
antisipasi untuk aspek biofisik terdiri dari kegiatan-kegiatan inventori teknologi antisipasi, analisis
konservasi lahan, iklim dan cuaca, penutupan lahan, hidrologi, jaringan aliran dan infrastruktur
pengendali banjir. Dalam analis tersebut diperlukan data yang berbentuk numerik, tekstual dan
spasial yang dihimpun dari data sekunder maupun kegiatan survey di lapangan. Sedangkan untuk
aspek non-biofisik analisis dilakukan terhadap aspek sosial, kelembagaan dan pembiayaan yang
juga didukung data-data dari kegiatan pengumpulan data maupun survey dan wawancara.
Hasil analisis dan rancangan antisipasi banjir akan menghasilkan jenis, peubah, parameter dan unit
yang dapat digunakan sebagai indikator yang terukur untuk rancangan RHL. Berdasarkan pada
rancangan tersebut maka proses selanjutnya adalah menentukan jenis dan tujuan kegiatan. Dalam
kegiatan ini, secara umum akan didapatkan tiga bentuk kegiatan yang terdiri dari kegiatan
vegetatif, sipil teknis berbasis lahan dan sipil teknis berbasis alur sungai. Penjelasan terhadap
ketiga jenis kegiatan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kegiatan vegetatif; merupakan suatu bentuk kegiatan untuk meresapkan air hujan ke
dalam tanah melalui media tanaman (vegetasi) sehingga jumlah air yang menjadi limpasan
permukaan akan berkurang sampai dengan jumlah yang diinginkan. Kegiatan ini dapat
dilakukan jika tersedia lahan yang masih sesuai untuk dilakukan penanaman. Termasuk
dalam jenis kegiatan ini adalah penanaman vegetasi tetap, penghijauan, agroforestry dan
strip rumput, dan penghijauan di kanan-kiri sungai.
2. Kegiatan sipil teknis berbasis lahan; merupakan kegiatan untuk meresapkan air hujan
ke dalam tanah dan menampung air hujan di atas permukaan tanah sebelum menjadi
limpasan permukaan yang masuk ke dalam aliran/sungai melalui bangunan-bangunan sipil
teknis. Kegiatan ini dilakukan ditujukan untuk meresapkan air hujan sampai dengan jumlah
yang telah ditentukan. Termasuk dalam kegiatan ini adalah pembuatan sumur resapan di
kawasan pemukiman, pembuatan teras gulud, parit buntu/rorak, biopori dan embung.
3. Kegiatan sipil teknis berbasis alur sungai di ordo sungai di bagian hulu;
merupakan kegiatan untuk menahan/ menampung air di badan air untuk waktu tertentu
sehingga sedimen dan air mempunyai waktu untuk meresap, dan mengatur kebutuhan air
sesuai dengan kebutuhan air untuk kebutuhan masyarakat dengan cara membuat
bendung, gully plug, dam penahan, dan dam pengendali. Selain menahan/ menampung air,
kegiatan ini juga dapat memperpanjang waktu tempuh aliran sehingga dapat menurunkan
debit puncak dari suatu sungai sehingga air tidak sampai dalam waktu yang bersamaan ke
tempat di bagian hilir.
Ketiga kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan tersebut merupakan suatu bentuk kegiatan yang
saling berurutan dengan logika sebagai berikut: jika kegiatan vegetasi sudah tidak mampu lagi
menurunkan debit limpasan sampai dengan tingkat yang diinginkan, maka akan diterapkan
kegiatan sipil teknis berbasis lahan sehingga priorotas di lahan-lahan kritis harus ada upaya
kegiatan sipil teknis. Selanjutnya jika debit limpasan tidak dapat diresapkan atau ditahan di lahan
maka kegiatan sipil teknis berbasis alur sungai di ordo sungai pertama, diterapkan untuk
mengurangi debit puncak dari aliran. Ketiga jenis kegiatan tersebut harus disertai dengan kegiatan
yang bersifat non-fisik yang mencakup aspek kelembagaan, penyuluhan, pemberdayaan dan
pelibatan masyarakat dalam pelaksanaan dan pembiyaannya.
Setelah ditentukan jenis dan tujuan kegiatan, maka masing-masing kegiatan tersebut
diintegrasikan dalam suatu model hidrologi dan spasial untuk mengetahui respon kegiatan
terhadap kejadian banjir yang terjadi. Selain respon terhadap kejadian banjir, pemodelan hidrologi
dan spasial ini akan menghasilkan sasaran kegiatan berupa lokasi, luas dan jumlah/unit dari
masing-masing kegiatan. Setelah ditetapkan sasaran kegiatan, maka masing-masing kegiatan
dilakukan optimasi untuk mengatahui nilai optimal yang dapat memberikan dampak sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan. Pada kajian ini, optimasi ditekankan kepada kegiatan vegetasi dan
sumur resapan karena kedua jenis kegiatan tersebut mempunyai respon langsung terhadap
kondisi hidrologi. Kegiatan optimasi tersebut akan menghasilkan target dan indikator yang terukur
dari masing-masing kegiatan. Berdasarkan pada tujuan, sasaran, target dan indikator dari masing-
masing kegiatan, maka dapat ditetapkan rincian rencana tindak kegiatan. Gambaran menyeluruh
dari penjelasan tersebut di atas dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2. Skema Kerangka Landasan Pendekatan Kegiatan RHL untuk Pengendalian Banjir.
2.2.2 Metode Kajian Sipil Teknis dan Vegetatif
a. Pendugaan Limpasan
Metode vegetatif maupun sipil teknis pada dasarnya ditujukan untuk menurunkan jumlah aliran
permukaan, mengendalikan daya rusak aliran permukaan dan memperbaiki kualitas aliran
permukaan. Untuk mendapatkan jumlah dan arahan lokasi yang “ideal” untuk lokasi tindakan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan dilakukan dengan melakukan pemodelan secara spasial antara
parameter penutupan lahan, kondisi hidrologi setiap DAS di Jabodetabek.
Pedugaan limpasan ditujukan untuk mengetahui akar masalah, dan strategi penanggulangannya
secara efektif, sehingga jumlah aliran permukaan yang terjadi dapat diketahui dengan rinci.
Pendugaan limpasan permukaan menggunakan faktor topografi, jaringan sungai, tanah,
penggunaan lahan dan penyebaran pola curah hujan di setiap DAS.
Gambar 2.3. Skema Metode Pendugaan Limpasan.
Metode yang digunakan untuk menduga aliran permukaan adalah Metode Pendugaan Limpasan
yang skemanya disajikan pada Gambar 2.3 di atas. Analisis data menggunakan citra SPOT (5 x 5
m), kemudian dilakukan penafsiran tipe penggunaan lahan, kapasitas infiltrasi dan dugaan
limpasan permukaan di setiap tipe penggunaan lahan di masing-masing DAS, yang kemudian di-
overlay-kan dengan batas administrasi di wilayah Jabodetabek.
Bahan yang dipakai adalah Peta Rupa Bumi skala 1:25.000, peta liputan TM SPOT th 2004 dan peta
hasil penafsiran dari kegiatan pemetaan detail yang telah dilakukan. Analisis peta dilakukan untuk
mendapatkan peta tipe penggunaan lahan untuk menentukan koeifisien aliran permukaan di setiap
tipe penggunaan lahan. Hasil penafsiran penutupan lahan tersebut kemudian di-overlay dengan
batas DAS dan batas administrasi di masing-masing DAS yang dikaji.
b. Bilangan Kurva Aliran Permukaan
Metode Bilangan Kurva Aliran Permukaan (Curve Number) menggambarkan tentang hujan lebih
(rainfall excess) ditentukan oleh lima parameter, yaitu : penggunaan lahan, perlakuan (teknik
pertanian), kondisi hidrologi, kandungan air tanah sebelumnya dan grup hidrologi tanah yang
mengacu pada SCS National Engineering Handbook, Section 4, Hydrology (1972) dan Ward and
Elliot (1995).
Data penggunaan lahan didapatkan dari peta penggunaan lahan, sedangkan data teknik-teknik
pertanian dan kondisi hidrologi didapatkan dari pengamatan di lapangan. Untuk menentukan grup
hidrologi tanah digunakan pendekatan dengan sifat-sifat tanah berdasarkan peta tanah pada
setiap DAS.
c. Waktu Konsentrasi (tc)
Waktu konsentrasi adalah waktu yang diperlukan aliran permukaan dari titik terjauh sampai luaran
DAS. Untuk menentukan waktu konsentrasi digunakan metode Kirpich (1940) yang dikombinasikan
secara spatial digital menggunakan model kecepatan aliran permukaan. Setelah diketahui debit
limpasan di setiap sel, maka tahap berikutnya adalah melakukan perhitungan kecepatan aliran.
Pemodelan kecepatan aliran akan menghasilkan dua keluaran yaitu nilai kecepatan aliran tiap sel
dan waktu konsentrasi setiap sel.
Pendekatan yang digunakan dalam pemodelan kecepatan aliran ini adalah menggunakan sistem
mekanik dengan memanfaatkan hukum kekekalan energi mekanik, Hukum Newton II, persamaan
momentum dan persamaan Bernoulli. Hukum kekekalan energi mekanik digunakan untuk
menentukan kecepatan awal (vo) yang dimiliki setiap sel sebelum air dalam sel tersebut tergabung
dengan air dari sel lain. Sebagai ilustrasi bagaimana kecepatan aliran dihitung dapat dilihat pada
Gambar 2.4.
Untuk setiap sel akan mendapatkan kecepatan awal yang diperoleh dari energi kinetik dan
momentum pada saat air hujan bertumbukan dengan suatu permukaan. Kemudian, dalam model
ini diasumsikan bahwa jumlah air yang akan dialirkan akan terlebih dulu dikurangi dengan nilai
yang terinfiltasi sesuai dengan keluaran sub-model limpasan permukaan. Setelah didapatkan
jumlah air limpasan, maka dengan menggunakan aplikasi Hukum Newton II pada bidang miring
akan didapatkan suatu nilai percepatan yang akan digunakan peubah untuk menghitung
kecepatan awal suatu aliran dengan arah (Fdir) yang tertentu seperti yang diperoleh pada sub-
model hidrologi permukaan. Kemudian, karena aliran ini telah mempunyai nilai v0 <> 0 maka nilai
kecepatan aliran pada waktu t adalah (vt) dengan persamaan seperti yang disajikan dalam
Gambar 2.4 Pendekatan ini menjadi masalah, jika ternyata terdapat dua titik dengan kemiringan
0% atau tidak terdapat perbedaan tinggi. Oleh karena itu, untuk bidang-bidang yang datar seperti
situ, danau atau waduk maka digunakan persamaan kekelan momentum dan persamaan Bernauli
untuk menghitung kecepatan aliran pada waktu t. Persamaan ini juga dapat dilihat pada Gambar
dibawah ini.
Gambar 2.4. Skema pemodelan kecepatan aliran limpasan permukaan.
d. Pemetaan DEM (Digital Elevation Model)
Peta DEM pada pekerjaan ini diturunkan dari peta kontur melalui proses digitasi Peta Rupa Bumi
Indonesia skala 1:10.000. Proses pemetaan lereng dan elevasi dilakukan dengan interval lereng
dan elevasi yang sesuai dengan kebutuhan pemetaan lereng untuk kesesuaian lahan pemukiman
(standar).
Digital Elevation Model (DEM) akan digunakan untuk memetakan topografi dan morfologi wilayah,
berupa pembuatan model colordraping image menggunakan efek cahaya untuk menampilkan
topografi dan kondisi geomorfologi medan. Pekerjaan ini juga akan dilengkapi dengan pembuatan
model 3 dimensi (3D View) untuk menyajikan tampilan topografi wilayah yang lebih interpretatif.
Contoh peta hasil pemetaan 3D-DEM, disajikan pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5. Contoh Peta 3D-DEM Kawasan Hulu Cisadane dan Ciliwung.
e. Pemetaan Sifat Hidrologi Permukaan
Pada tahapan ini akan dilakukan analisis permukaan yang akan mempengaruhi sifat-sifat hidrologi
suatu permukaan. Sifat permukaan yang dianalisis adalah arah aliran, akumulasi aliran dan
pembagian Sub-DAS. Sebagai masukan data untuk menurunkan parameter permukaan yang akan
digunakan dalam analisis hidrologi permukaan adalah data topografi yang telah dikonversi sebagai
data DEM (Digital elevation model). Selanjutnya berdasarkan masukan data ini, disusun suatu
model guna menurunkan parameter-parameter permukaan seperti :
Derajat dan arah kemiringan permukaan,
arah aliran,
akumulasi aliran,
jaringan aliran (stream network),
batas-batas sub DAS.
Gambar 2.6 menyajikan tahapan model penurunan parameter hidrologi permukaan dengan
masukan data DEM. Keterangan rincinya disajikan pada halaman berikutnya.
Gambar 2.6. Tahapan Pemetaan Sifat Hidrologi Permukaan.
Derajat dan arah kemiringan lahan (slope); Kemiringan suatu permukaan ditentukan oleh
perbedaan tinggi pada dua tempat yang berbeda. Penggambaran perbedaan ketinggian antar
tempat dapat dinyatakan sebagai ketinggian setiap sel di mana setiap nilai ketinggian diberikan
dua indeks yang menyatakan koordinat lokasi (h(i,j)) (Gambar 2.7). Untuk menyatakan besarnya
kemiringan suatu lahan dapat digunakan satuan derajat kemiringan yang didapatkan dari tangen
sudut yang dibentuk oleh dua tempat dengan ketinggian yang berbeda, atau dinyatakan sebagai
persen yang didapatkan dari rasio antara nilai ketinggian dengan jarak proyeksi horizontal antara
dua tempat tersebut terhadap sumbu x dan y.
Gambar 2.7. Penggambaran Ketinggian di dalam Setiap Sel.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka persamaan matematis yang digunakan untuk
mendapatkan kemiringan lahan (S) adalah sebagai berikut:
………………………… (1)
Arah aliran; Arah aliran dimodelkan sebagai satu bentuk hasil turunan yang didapatkan dari arah
kemiringan lahan suatu sel. Seperti telah diketahui, bahwa setiap sel mempunyai data ketinggian
yang unik, sehingga untuk menentukan arah suatu aliran akan ditentukan dari nilai arah
kemiringan lahan yang paling curam yang didapatkan dari persamaan 1. Hal ini berarti bahwa
untuk menentukan arah aliran satu sel, maka harus dilakukan perhitungan nilai rasio ketinggian
dan jarak sel tersebut terhadap 8 sel di sekitarnya yang dibatasi oleh dua titik diagonal koordinat
(i-1, j-1) dan (i+1, j+1). Algoritma dari pemodelan penentuan arah aliran setiap sel tersebut dapat
dituliskan sebagai berikut, di mana Smax merupakan arah aliran :
Smax =0
FOR m = i-1 TO j+1
FOR n = j-1 TO j+1
……………………(2)
IF S > Smax THEN Smax = S
NEXT n
NEXT m
Setelah didapatkan nilai S yang paling curam (Smax), maka arah aliran suatu sel akan dinyatakan
sebagai bilangan 2n. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah penggunaan informasi arah aliran
tersebut bagi penurunan peubah dan parameter lain yang akan digunakan dalam penelitian ini.
Arah aliran tersebut akan menunjuk pada 6 sel di sekitar sel yang ditentukan arah alirannya (sel
target). Gambar 2.8 menunjukkan nilai arah-arah aliran dan contoh hasil perhitungan yang telah
dilakukan untuk menentukan arah aliran (Fdir).
Gambar 2.8. Nilai Arah Aliran dan Contoh Hasil Perhitungan Arah Aliran.
Akumulasi Aliran; Akumulasi aliran adalah jumlah sel yang terakumulasi di suatu sel tertentu yang
disebabkan oleh arah aliran sel-sel dalam suatu data DEM mengarah pada sel tersebut. Pemodelan
akumulasi aliran ini berguna untuk menentukan jumlah air limpasan permukaan yang diterima oleh
suatu tempat atau titik dalam suatu DAS. Jika kemudian titik tersebut dianggap sebagai keluaran
(outlet) bagi suatu jaring-jaring aliran, maka sel tersebut akan mendapatkan jumlah sel yang paling
besar jika dibanding dengan sel lain dalam suatu DAS yang sama. Secara matematis, akumulasi
aliran (Facc) ini dimodelkan sebagai fungsi dari arah aliran (Fdir) dengan persamaan sebagai
berikut :
……………………..(3)
Berdasarkan pada persamaan 3, maka dengan menggunakan contoh pada Gambar 2.7 akan
didapatkan jumlah sel yang terakumulasi pada suatu sel tertentu seperti yang disajikan pada
Gambar 2.9. Dalam batasan suatu DAS, nilai akumulasi aliran sama dengan nol menunjukkan
bahwa pada tempat-tempat tersebut merupakan batas DAS atau Sub DAS berupa punggung-
punggung bukit.
Gambar 2.9. Hasil perhitungan akumulasi aliran
Jaringan aliran (segment); Setelah parameter permukaan seperti kemiringan, arah aliran dan
akumulasi ditentukan, maka model berikutnya adalah penentuan jaringan aliran. Jaringan aliran
dapat disebut juga sebagai sungai atau badan air terbuka. Pada parameter ini penentuannya
ditentukan oleh parameter akumulasi aliran dengan nilai atau jumlah tertentu. Pada kajian ini,
jaringan aliran dimodelkan dengan sebuah asumsi bahwa jumlah sel akumulasi aliran dan jumlah
tersebut berfungsi sebagai peubah aliran permukaan. Berikut ini adalah model matematis
penentuan jaringan aliran.
………………………………(4)
dimana :
Stream : Badan aliran/sungai
nSel(n-order) : Jumlah sel minimum yang disyaratkan pada order yang sama sehingga suatu sel
dapat dikatakan sebagai sungai/ badan air.
Pada kajian ini yang dianggap sebagai badan aliran air atau sungai jika suatu sel mengakumulasi
jumlah sel tertentu yang ditentukan secara bebas atau dengan kata lain nilai nSel (n-order)
menjadi peubah bebas tergantung dengan tingkat ketelitian hasil model yang diiginkan. Sehingga
semakin kecil luas daerah kajian (misal, salah satu Sub-DAS Ciliwung) maka dimasukkan nilai yang
kecil, begitu pula sebaliknya.
Batas-batas sub DAS; Suatu DAS terdiri dari beberapa Sub-DAS. Seperti halnya penentuan jaringan
aliran, maka batas-batas Sub-DAS dimodelkan dengan menggunakan nilai akumulasi sel sebagai
parameter masukkannya. Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa nilai akumulasi aliran
sama dengan nol menunjukkan bahwa suatu tempat adalah punggung bukit yang secara fisik
merupakan suatu titik yang digunakan untuk membatasi satu Sub-DAS dengan Sub-DAS yang lain.
Secara matematik, penentuan batas-batas Sub-DAS dimodelkan sebagai berikut:
………………………………(5)
nSel adalah nilai yang digunakan untuk menentukan jumlah minimum sel yang disyaratkan dalam
menentukan Sub-DAS. Nilai nSel ini berasosiasi dengan luas minimum suatu area yang dapat
dianggap sebagai suatu sub-DAS.
f. Model Optimasi Sumur Resapan
Optimasi jumlah sumur resapan dan luas vegetasi dilakukan dengan menggunakan batasan
bilangan kurva yang merupakan parameter dalam perhitungan limpasan permukaan dan
merupakan fungsi dari kelompok hidrologi tanah dan jenis penutupan lahan. Optimasi dilakukan
dengan mencari nilai error terkecil terhadap bilangan kurva yang diminimumkan untuk
mendapatkan nilai debit rencana yang dikehendaki. Skema optimasi sumur resapan dan luas
vegetasi dapat dilihat pada Gambar 2.10.
Gambar 2.10. Skema Optimasi Jumlah Sumur Resapan dalam Suatu DAS.
g. Perhitungan Tinggi Muka Air Tanah (Water Table)
Pengukuran tinggi muka air tanah dilakukan dengan menggunakan Pizometer, di mana tinggi
muka air tanah di suatu tempat merupakan selisih dari tinggi kontur tanah setempat dengan
kedalaman sama dari permukaan tanah setempat, secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :
H = E –d …………………………..(6)
Keterangan : h = Tinggi muka air tanah (m)
E = Elevasi permukaan tanah setempat (m)
d = Kedalaman muka air tanah dari permukaan tanah setempat (m)
Perhitungan debit maksimum yang dihasilkan dari setiap tipe penggunaan lahan dihitung
menggunakan persamaan:
Q = CIA / 360 …………………………………(7)
di mana: Q = Debit limpasan maksimum (m3/det)
C = Koefisien aliran permukaan sesuai penutupan lahan
I = Intensitas hujan sesuai dangan waktu pemusatan aliran (mm/jam)
A = Luas DAS (Ha)
h. Pendekatan untuk Vegetatif
Penetapan lokasi areal berbagai bentuk rehabilitasi lahan seperti penanaman vegetasi tetap,
penghijauan, agroforestry, teras gulud, strip rumput, rorak, dam penahan, dam pengendali, gully
plug, embung, dan sumur resapan dilakukan melalui identifikasi lokasi yang nemungkinkan dengan
mengacu pada Pedoman Teknis Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL/Gerhan)
yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan tahun 2007.
Areal calon masing-masing bentuk rehabilitasi lahan dilakukan dengan cara meng-overlay peta-
peta yang sesuai dengan kriteria yang digunakan. Peta yang digunakan berupa peta kawasan
hutan, peta kekritisan lahan, peta penggunaan lahan, peta kemiringan lahan, dan peta tanah. Dari
hasil overlay dilakukan query poligon-poligon yang memenuhi kondisi seperti disebutkan di atas
yang merupakan areal yang perlu direhabilitasi.
Berdasarkan hasil identifikasi kemudian ditentukan areal prioritas yang perlu direhabilitasi dengan
mempertimbangkan juga tingkat bahaya erosi, tekanan penduduk dan aksesibilitas. Areal yang
semakin besar tingkat bahaya erosinya serta semakin tinggi tekanan penduduk dan
aksesibilitasnya menjadi semakin prioritas untuk direhabilitasi.
Untuk memberikan arahan lokasi berbagai bentuk rehabilitasi lahan, areal prioritas kemudian
dikombinasikan dengan hasil wawancara dengan petugas penyuluh kehutanan dan konfirmasi
dengan pejabat terkait di setiap kabupaten.
2.2.3. Pendekatan Kajian Kelembagaan
Dalam konteks pelaksanaan suatu program, kajian kelembagaan diperlukan untuk memastikan
bagaimana agar program tersebut dapat memenuhi tujuannya dan memberikan dampak yang
diharapkan. Lebih dari itu kajian kelembagaan dalam konteks program diperlukan untuk
memperbesar/meningkatkan dampak positifnya melampaui sasaran atau target yang ditetapkan
sebelumnya, dan juga untuk memelihara dan mengembangkan kesinambungannya.
Kelembagaan memiliki dua makna atau pengertian. Pertama, kelembagaan sebagai pranata/norma
atau ketentuan/prosedur yang mengatur hubungan masyarakat baik antar individu, antar individu
dengan kelompok, atau antar kelompok dengan kelompok (Schmid, 1987). Kedua, kelembagaan
sebagai organisasi. Dalam pengertian ini organisasi yang dimaksud baik yang berbentuk formal
(institusi/lembaga) atau non formal (kelompok masyarakat, rumah tangga).
Kajian kelembagaan Program Rehabilitasi Lahan dan Hutan untuk Pengendalian Banjir di wilayah
Jabotabek dilakukan untuk keperluan seperti yang dimaksud di atas, serta dikaji menurut kerangka
dua makna/pengertian di atas.
Pertama, kajian kelembagaan dalam kerangka makna/pengertian lembaga sebagai organisasi,
diidentifikasi siapa organisasi pelaksana program. Dalam kajian kerangka ini, fokus perhatian
ditujukan terhadap organisasi pelaksana yang berada di garis depan (frontliner) yang berperan
sebagai “ujung tombak” pelaksanaan program. Kemudian diidentifikasi isu-isu, harapan dan
kekhawatiran dari para frontliner berdasarkan pengalaman mereka selama ini di lapangan.
Kedua, kajian kelembagaan dalam kerangka makna/pengertian lembaga sebagai pranata, juga
sama diidentikasi isu-isu, harapan dan kehawatiran dari para pihak yang terkait dan
berkepentingan dengan pengendalian banjir di wilayah Jabodetabek. Identifikasi digali berdasarkan
pengalaman mereka selama ini.
Terhadap hasil-hasil identifikasi isu, harapan dan kehawatiran, kemudian dianalisis dan diturunkan
program-program kelembagaan yang diperlukan. Kerangka analisis yang digunakan adalah dengan
menggunakan pendekatan Analisis Peran serta Analisis Dampak Kegiatan yang dikembangkan oleh
Gunawan dan Sujatnika (2007).
Termasuk dalam kajian kelembagaan adalah berkenaan dengan infrastruktur sosial, yakni suatu
prasyarat sosial yang perlu dipenuhi agar pelaksanaan program dapat berjalan dengan baik. Pada
tataran ini diidentifikasi kebutuhan-kebutuhan untuk memenuhi atau menguatkan prasyarat-
prasyarat sosial yang dimaksud.
Keseluruhan pendekatan kajian kelembagaan ini disajikan dalam framework, seperti disajikan pada
Gambar 2.11.
Gambar 2.11. Bagan Alur Kegiatan Kajian Rinci Rencana Tindak RHL untuk Pengendalian Banjir di
Jabodetabek.
BAB III ANALISIS KAWASAN
3.1. Kerangka Dasar Analisis Kawasan
Seluruh upaya pengendalian banjir di wilayah Jabodetabek yang dilakukan melalui pelaksanaan
program-program hendaknya mengacu pada peta permasalahan banjir. Jika kita gagal memahami
peta permasalahan tersebut, kita akan ragu atau kesulitan mendesain program. Selain itu hasil dan
dampaknya juga tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal itu dapat terjadi karena desain
program tidak mengacu pada akar permasalahan.
Gambar 3.1. Peta aliran permukaan sebagai kerangka dasar untuk memetakan permasalahan dan
pengendalian banjir.
Upaya pengendalian banjir pada dasarnya ditujukan untuk menurunkan jumlah aliran permukaan,
mengendalikan daya rusak aliran permukaan dan memperbaiki kualitas aliran permukaan. Fokus
program-program pengendalian banjir yang dilakukan mesti mengacu pada sifat alamiah aliran
permukaan, yakni upaya-upaya yang befokus untuk menahan dan meresapkan aliran permukaan.
Skema alir permukaan seperti ditunjukan pada Gambar 3.1 merupakan kerangka dasar untuk
memetakan permasalahan sekaligus pengendalian banjir.
Kenyataannya ada banyak gagasan atau inisiatif program yang telah dikembangkan kurang
berpijak pada peta permasalahan banjir. Program-program didesain secara mikro, sektoral/parsial,
atau reaktif. Beberapa isu permasalahan dan pengendalian banjir seperti itu acap kali muncul ke
publik, antara lain:
Banjir Jakarta dari tahun ke tahun cenderung semakin besar atau parah yang disebabkan
oleh sesuatu yang berada diluar kontrol, yakni perubahan iklim. Pandangan seperti itu
dapat memberikan dampak psikologis yang luar biasa bagi publik dan juga para praktisi
konservasi tanah dan air. Hal itu dapat diidentifikasi dari adanya sikap skeptis yang
kemudian beranggapan bahwa banjir adalah sesuatu yang tidak bisa dikontrol dan
dianggap sebagai kejadian bencana rutin yang harus diterima sebagai takdir.
Gagasan pembangunan bendungan dan kanal-kanal sebagai sesuatu yang fundamental
dan mendesak untuk segera direalisasikan. Sesungguhnya ada banyak pilihan upaya lain
untuk pengendalian banjir selain dari bendungan dan kanal-kanal dengan resiko dan biaya
yang lebih rendah serta memberikan efek yang cepat tetapi memerlukan pelibatan
masyarakat yang berkesimabungan.
Dua contoh isu di atas adalah salah satu alasan mengapa kita perlu memeriksa dan mengkaji
ulang Rencana Tindak. Hal ini diperlukan tiada lain untuk meneguhkan atau menegaskan kembali
bahwa program-program yang diturunkan benar-benar mengacu pada akar permasalahannya.
Setelah itu kemudian merincikan program-program tersebut ke dalam uraian-uraian yang lebih
bersifat operasional. Paparan tinjauan atau temuan dari banyak aspek berikut ini merupakan
pertimbangan dan/atau masukan untuk melakukan analisis dan simulasi rincian program rencana
tindak yang objektif dan rasional sehingga dapat menjadi jawaban dari akar permasalahan yang
ada.
Berdasarkan pada kerangka analisis yang telah dijelaskan pada Bab II dan penjelasan tersebut di
atas, maka pada bagian ini akan dijelaskan hasil-hasil analisis kawasan dari berbagai aspek yang
didahului dengan penjelasan tentang status kawasan, kondisi geohidrologi, deskripsi mengenai
jenis tanah, kondisi penutupan lahan, kelompok hidrologi tanah yang berpengaruh terhadap jumlah
limpasan permukaan, keadaan topografi dan kelerengan yang berpengaruh terhadap waktu
konsentrasi dan waktu tempuh aliran, deskripsi dan analisis kondisi curah hujan, hidrologi DAS dan
demografi sosial ekonomi serta kelembagaannya. Masing-masing dari aspek kajian tersebut akan
dijelaskan secara terpisah serta kaitannya dengan kondisi banjir yang terjadi.
3.2. Status Kawasan
Berdasarkan status kawasan hutan, luas total wilayah DAS di Jabodetabek yang merupakan
kawasan hutan seluas 11,7 %, sedangkan sisanya di luar kawasan hutan. Pembagian batas DAS
berdasarkan status kawasan disajikan pada Tabel 3.1 dan Gambar 3.2 di bawah ini.
Berdasarkan status kawasan wilayah Jabodetabek, yang merupakan area dalam kawasan hutan
terdiri dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasinal Halimun Salak di bagian
selatan. Keberadaan taman nasional ini merupakan daerah resapan air dan penyangga untuk DAS
Ciliwung, Cisadane dan Kali bekasi di bagian hulu. Sedangkan hulu Sungai Angke dan Pesanggahan
berada di luar kawasan, tetapi di bagian muara terdapat Cagar Alam Muara Angke. Pada hulu DAS
Ciliwung terdapat Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Telaga Warna. Sedangkan di bagian hulu
DAS Cisadane terdapat Taman Nasional Gunung Halimun. Diantara hulu Ciliwung dan Cisadane
terdapat Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Di DAS Kali Bekasi terdapat Taman Wisata
Alam/Hutan wisata Gunung Pancar. Di DAS Krukut dan Grogol terdapat Suaka Margasatwa Muara
Angke. Dari Tabel 3.1 terlihat bahwa luas total kawasan hutan 7 DAS tersebut hanya 11,7 % dari
total areal.
Gambar 3.2. Wilayah DAS Jabodetabek Menurut Status Kawasan (Baplan,
KepmenNo.SK.195/Kpts-II/2003 tgl 4 Juli 2003 dan Kepmen No.SK.220/Kpts-II/2000 tgl 2 Agustus 2000).
3.3. Geologi dan hidrogeologi
3.3.1. Geologi
Berdasarkan tatanan geologi daerah Jabodetabek termasuk ke dalam 2 zona fisiografi, yakni zona
Bogor, menempati wilayah Bogor yang dicirikan oleh adanya antiklinorium dengan arah barat-
timur dan wilayah Sukabumi merupakan kelanjutan dari zona Bandung yang dicirikan oleh adanya
tinggian yang terdiri dari sedimen tua menyembul di antara endapan vulkanik. Batas kedua zona
tesebut di lapangan tidak terlalu jelas karena tertutup oleh endapan gunung api Kuarter.
Batuan tertua menempati initi antiklin yang secara berurutan ditutupi oleh batuan yang lebih muda
yang tersingkap pada bagian sayap antiklin di bagian utara dan selatan. Berdasarkan peta geologi
lembar Bogor oleh A.C. Effendi, (1986) yang dikorelasikan dengan peta geologi lembar Jakarta oleh
T. Turkandi, (1992) dapat dikelompokan secara sederhana menjadi 3 satuan batuan, yaitu :
a) Batuan sedimen tersier
b) Batuan vulkanik dan terobosan
c) Batuan endapan permukaan
Tabel 3.2
Gambar 3.3. Distribusi Geologi di wilayah Jabodetabek
Geologi daerah Jakarta seluruhnya terbentuk oleh batuan sedimen yang berumur Miosen Awal-
Plistosen, batuan vulkanik dan endapan permukaan yang berumur sekarang. Secara singkat,
litostratigrafi daerah penyelidikan dari yang berumur tua hingga muda dapat dikemukakan sebagai
berikut di bawah ini.
Endapan Permukaan
a. Satuan Batu Pasir Tufan dan Konglomerat/Kipas Aluvium (Qav)
Tuf halus berlapis, tuf konglomerat berselang-seling dengan tuf pasiran dan batu apung. Tuf halus,
kelabu muda, berlapis tipis, pejal, merupakan bagian bawah dari satuan ini. Tebal yang tersingkap
sekitar 2 m. Sebagian lapisannya memperlihatkan perairan sejajar.
Tuf Konglomeratan, putih kekuningan, kemas terbuka, pemilihan buruk, membundar tanggung-
membundar sempurna, berbutir 1-3 cm, tersusun oleh andesit dan kuarsa, matrik tuf halus, tebal
kira-kira 1,5 m.
Tuf pasiran, kelabu muda, pemilihan buruk, berbutir halus-kasar, membundar tanggung-
membundar, bersusunan andesitan, bersisipan selang-seling dengan tuf konglomeratan.
Tuf batu apung, kuning kecoklatan, kemerahan, mengandung konkresi besi (2-3 cm) dan fragmen
batu apung, membundar tanggung sampai membundar, garis tengah 3-5 cm dan kerikil kuarsa
yang bundar, menindih langsung tuf konglomeratan. Tebal sekitar 3 m.
Satuan ini membentuk morfologi kipas dengan pola aliran ”dischotomic”. Pengendapanya diduga
pada lingkungan darat, bahan pembentuknya berasal dari batuan gunung api muda di Dataran
Tinggi Bogor. Umur satuan ini diduga Pleistosen Akhir atau lebih muda. Tebal satuan ini diduga
sekitar 300 m. Satuan ini terlempar sangat luas, dari selatan ke utara. Di selatan pada lembar
Bogor membentuk kipas aluvium (Qa), sedangkan pada lembar Karawang merupakan satuan
Konglomerat dan Batu Pasir Tufan (Qav).
b. Endapan Pematang Pantai (Qbr)
Terdiri dari pasir halus-kasar, warna kelabu tua dan terpilah bagus. Sebarannya berarah timur-
barat searah dengan bentuk pasir sekarang. Kenampakan di lapangan sangat sulit dikenal karena
sudah tertutup oleh pemukiman. Namun masih tampak pada foto udara, yaitu berupa tanggul
dengan morfologi menggelombang.
Berdasarkan kenampakan morfologi dan batuan penyusunnya, diduga satuan ini terbentuk karena
endapan angin yang membentuk onggokan pasir (sand dune).
c. Aluvium (Qa)
Terdiri dari lempung pasir, kerikil , kerakal dan bongkahan. Endapan ini meliputi endapan pantai
sekarang, endapan sungai dan rawa. Sebaran satuan ini terlampar di sepanjang pantai utara dan di
sepanjang lembah sungai besar. Endapan ini menyebar luas ke arah timur pada lembar Karawang
yang terdiri dari endapan sungai muda (Qa), endapan dataran banjir (Qaf) dan endapan batu
dangkal (Qac).
Batuan Sedimen
a. Formasi Klapanunggal
Terdiri dari batu gamping koral dengan sisipan batu gamping pasiran, napal, batu pasir kuarsa
glokonitan dan batu pasir hijau.
Batu gamping koral, tersusun dari cangkang moluska dan koral, makin ke atas berubah menjadi
batu gamping pasiran, pejal, berlapis, kelabu muda, tebal 20-50 cm, kemiringan 200 dengan arah
jurus timur laut-barat daya. Setempat mempunyai retakan dengan kemiringan 50-600 ke arah
timur laut.
Batu gamping pasiran, kelabu kekuningan, glokonitan, mengandung moluska, foraminifora dan
koral, berlapis baik dengan tebal 5-20 cm, kemiringan 20-500, setempat sampai 700 dengan arah
jurus timur laut-barat daya. Batu gamping ini berselingan dengan napal dan batu pasir hijau.
Beberapa sayatan sisipnya menunjukkan bahwa batu ini mengandung glokonit, moluska,
foraminifera, echinodermata dan bahan rombakan berupa kuarsa berhablur tunggal atau banyak,
felspar, fragmen batuan andesitan dan granitan, hornblenda, biotit, piroksen, epidot, turnalin dan
magnetit yang tersemen oleh sparit dan matrik mikrit.
Napal, kelabu, tidak berlapis dan lunak mengandung foraminifera, moluska, berhablur priti,
berselingan dengan batu gamping pasiran, tebal 40-200 m. Batu pasir kuarsa glakoinitan, kelabu
kehijauan, banyak mengandung kuarsa, berbutir halus hingga sedang, membundar tanggung-
bundar, terpilih baik, tebal 40-80 cm, menyisip dengan batu lempung.
Batu pasir, kehijauan, lunak, sebagian mengandung 80% glokonit, berbutir halus-sedang,
kandungan moluska, foraminifera, koral melimpah, juga terdapat bekas galian binatang (burrow).
Hasil analsis palaentologi menunjukkan bahwa batu pasirnya mengandung fosil foraminifera kecil,
plankton dan bentos, di antanya Globigerina venezuelana HERDBERG, kumpulan fosil tersebut
menunjukkan umur Miosen Tengah atau zona N9-N12 (Purnamaningsih, 1986, hubungan tertulis).
Pada batuan yang sama dijumpai fosil bentos, antara lain Uvigerina sp., brazilina sp., planulina sp,
dan gyoridina sp. Fosil tersebut menunjukkan bahwa formasi ini berlingkungan pengendapan
sublitoral luar-batial. Formasi ini tebalnya ratusan meter dan menyebar di bagian tenggara lembar,
meliputi daerah Rawaragos, Sungai Cibeber, yang membentuk morfologi ”hogbag”. Berdasarkan
bentuk sebaran dan umurnya, formasi ini menjemari dengan kelapanunggal.
Nama Formasi Jatiluhur pertamakali diusulkan oleh Effendi (1974) dan menerus ke lembar
Karawang dan lembar Bogor.
b. Formasi Bojongmanik (Tmb)
Terdiri dari perselingan batu pasir dan batu lempung dengan sisipan batu gamping.
Batu pasir, kelabu kehijauan, berbutir halus-sedang, membundar tanggung-membundar, terpilih
baik, tersusun oleh kuarsa dan banyak glokonit tebal 40-80 cm.
Batu lempung, kelabu kebiruan, berlapis baik, berstruktur perairan, agak padat, tebal berkisar
antara 10-30 cm.
Batu gamping, kelabu kekuningan, padat berlapis dengan tebal 50-100 cm, mengandung fosil
moluska dan koral. Pada beberapa tempat terdapat sisipan tipis tuf batu apung, breksi tufan, batu
pasir tufan dan sedikit sisa tumbuhan, berstruktur simpang siur. Di beberapa tempat dijumpai
sisipan batubara muda dan kuning kecoklatan bila sudah lapuk.
Analisis Palaentologi pada batu lempung dijumpai jejak fosil dan foraminifera plankton, diantaranya
Globigerinoides trilobus REUSS. Kumpulan fosil-fosil tersebut di atas menunjukkan umur Miosen
Tengah (N9-N13, Purnamaningsih, 1986, hubungan tertulis). Dengan dijumpainya fosil bentos
antara lain Robulus sp., maka formasi Bojongmanik diperkirakan diendapkan dalam lingkungan
laut dangkal terbuka, sublitoral dalam. Secara umum formasi ini menunjukkan perlapisan bagus
dengan struktur sedimen lapis bersusun, simpang siur dan struktur perairan, yang menunjukkan
sedimen ini diendapkan dalam lingkungan air yang berarus.
Tebal formasi ini diperkirakan mencapai 1.000 m. Berdasarkan kesamaan batuan dan umur
nisbinya, formasi ini dapat dikorelasikan dengan formasi Bojongmanik bagian bawah (Sudjatmiko,
dkk. 1989). Sebarannya meliputi daerah Pr. Rahang, Bojongsengket, Cikaau, Banakan dan lain-
lainnya.
Pada lembar Bogor, Formasi Bojongmanik (Tmb) ini tertindih oleh tuf dan breksi (Tmtb), sedangkan
pada lembar Jakarta tuf dan Breksi merupakan bagian dari Formasi Bojongmanik (Tmb).
c. Formasi Genteng (Tpg)
Terdiri dari tuf batu apung, batu pasir tufan, breksi, andesit, konglomerat dan sisipan lempung
tufan.
Tuf batu apung warna putih sampai kelabu, berbutir halus hingga kasar, bersifat asam hingga
menengah, berlapis baik, mengandung batu apung, kaca gunung api, kuarsa, mika, hornblenda,
dan pecahan batuan, tebal batuan sekitar 90 cm, setempat bersisipan tipis tuf debu dan kayu
terkesikkan.
Batu pasir tufan, kelabu hingga kebiruan, berbutir sedang hingga kasar, mengandung glokonit,
kuarsa dan kayu terkesikkan yang melimpah, berstruktur silang siur, tebal lapisan sampai puluhan
meter.
Breksi andesit, berstruktur perlapisan bersusun, berbutir pasir kasar hingga kerakal, menyudut
tanggung hingga membundar tanggung, berkomponen andesit basal, batu apung, kuarsa dan
gunung api, tebal lapisan dari beberapa sentimeter hingga puluhan meter. Di beberapa tempat
terdapat lensa-lensa tuf dan batu pasir terutama di bagian alasnya.
Konglomerat, kelabu tua, agak mampat, berbutir pasir kasar hingga kerakal, membundar hingga
membundar tanggung, berlapis baik, berkomponen andesit, kuarsa, batu apung, felspar, batu pasir
dengan masa dasar tuf pasiran, berstruktur lapis bersusun, tebal lapisan antara 15-60 cm,
terutama pada bagian bawah formasi.
Lempung tufan, berwarna kelabu kehijauan, lunak, tebal sekitar 5-10 cm, sebagai sisipan dalam
batu pasir. Di dalam formasi ini tidak ditemukan adanya fosil. Berdasarkan stratigrafinya yang
menindih tak selaras Formasi Bojongmanik dan ditindih secara selaras Formasi Serpong, maka
formasi ini diduga berumur Pliosen awal-pliosen tengah. Marks (1956) menyatakan Pliosen awal
berumur pliosen awal-pliosen tengah, sedangkan Van Bammelen (1949) menyatakan berumur
Miosen-Pliosen Awal. Berdasarkan struktur sedimen dan batuan penyusunnya, diduga formasi ini
diendapkan dalam lingkungan litoral hingga darat.
Tebal lapisan ini diperkirakan puluhan hingga ratusan meter, sebarannya meliputi daerah-daerah
Dago hilir, Pasirawi, Celong, Pagedangan dan Curugwetan.
Nama satuan ini didasarkan persamaan litologi dan penyebarannya di lembar Serang, dengan
lokasi tipe di Desa Genteng, sebelah selatan Rangkasbitung, Banten.
Nama lain adalah ”Genteng Lagen” (Anonimous, 1938) atau ”Genteng Bed” (Van Bemmelen,
1949).
d. Formasi Serpong (Tpss)
Tersusun oleh perselingan konglomerat, batu pasir,batu lanau, batu lempung dengan sisa
tanaman, konglomerat batu apung dan tuf batu apung.
Konglomerat, hitam kebiruan, terdiri dari beraneka ragam komponen, yaitu andesit, basal, batu
gamping dan rijang, setempat terdapat fosil kayu, matriks pasir hitam, kemas terbuka, pemilahan
sedang, komponen berumur 7-12 cm, setempat sampai 30 cm, membundar-tanggung membundar,
berstruktur imbrikasi (”imbrication”). Pada umumnya mengisi bagian yang tererosi pada batuan
yang lebih tua (Formasi Bojongmanik). Di bagian atas, konglomerat ini mengandung batu apung
yang berukuran lebih kecil dari (3-5 cm) dengan matrik pasir tufan.
Batu pasir, kelabu kehijauan, halus-sedang, membundar tanggung-membundar baik, pemilihan
sedang, sebagian berstruktur silang siur, tebal lapisan 60-200 cm, berselang seling dengan
konglomerat.
Batu lanau, kelabu kehitaman, berstruktur perairan, mengandung banyak sisa tanaman seperti
daun, batang dan tunggul pohon, berselang seling dengan konglomerat, tebal lapisan 50-300 cm.
Batu lempung, kelabu kehitaman, pejal dan berstruktur perairan, mengandung sisa tanaman dan
bekas galian binatang, berselang seling dengan konglomerat, tebal lapisan 30-100 cm.
Konglomerat batu apung, putih kekuningan, komponen terdiri dari batu apung andesitan,
pemilihan baik, berukuran 3-5 cm, matrik tufan kelabu cerah, berselang seling dengan tuf batu
apung.
Tuf batu apung, putih, berbutir kasar, pemilihan jelek, membundar tanggung hingga membundar,
tersusun dari pasir kasar (lapili) bersusunan andesitan, berstruktur silang siur, semakin ke atas
semakin halus dan menjadi tuf halus yang berstruktur perairan, setempat bersisipan pasir hitam.
Kemiringan batuan 5-100 dengan arah jurus timur laut-barat daya.
Dalam formasi ini tidak ditemukan adanya fosil. Berdasarkan kedudukan stratigrafinya yang
menindih secara tidak selaras Formasi Bojongmanik dan Formasi Genteng, dan ditindih secara
selaras oleh batuan vulkanik muda. Diduga Formasi Serpong berumur Pliosen Akhir.
Berdasarkan kenampakan batuan, struktur sedimen dan bentuk sebarannya yang di sepanjang
sungai, maka formasi ini diduga diendapkan pada sungai tua yang berpola menganyam dan
bertanggul (levee), dan sebagian di endapkan pada lingkungan rawa.
Tebal lapisan ini sekitar 100 m, sebaran Formasi ini di sepanjang Sungai Cisadane, Sungai Cikeas,
Sungai Cileungsi, di Kampung Bodonglio dan Depok.
Batuan Gunung Api
a. Tuf Banten (QTvb)
Terdiri dari tuf, batu apung, breksi dan batu pasir tufan.
Tuf kaca, berwarna kelabu, terdiri dari masa dasar kaca, berkomponen felspar, mineral mafik dan
sedikit kuarsa, bersusunan andesit dan umumnya mengandung batu apung.
Tuf tua, berwarna kelabu gelap, terutama terdiri dari kepingan andesit dan batu apung serta
dengan sedikit felspar dengan tuf halus sebagai masa dasar.
Tuf hablur, berwarna kelabu putih, tersusun dari felspar, mika, minera, mafik, kaca dan sedikit
kepingan andesit serta batu apung.
Breksi batu apung, kelabu kecoklatan, komponennya menyudut-membundar tanggung, terpilah
buruk, kemas agak terbuka dan padu, berukuran 10 cm terdiri dari batu apung, andesit, obsidian
dan kaca gunung api.
Batu pasir tufan, berwarna putih kelabu, berbutir menengah sampai kasar, agak padat,
mengandung batu
apung, setempat terdapat sisa tumbuhan, umumnya menmunjukkan perlapisan silang siur.
Dijumpai beberapa sisipan tuf batu apung dengan tebal 10-15 cm dan andesit dengan massa dasar
tuf berbutir halus.
Di dalam satuan ini tidak dijumpai fosil. Berdasarkan kedudukan stratigrafinya yang menindih
secara tidak selaras Formasi Genteng dan Formasi Serpong, dan ditindih secara selaras oleh
batuan gunung api muda, satuan ini diduga berumur Plistosen Awal-Tengah, dan diendapkan
dalam lingkungan darat sampai daerah pasang surut.
Sebaran satuan ini terutama di bagian barat-laut Lembar, meliputi daerah Tanerang, Bojonglopang,
Cipondoh dan Pasir Gadeng. Tebalnya diduga sekitar puluhan meter.
Satuan ini merupakan lanjutan dari Tuf Banten dan Lembar Serang.
Penyelidik terdahulu menyebutnya sebagai Banten Tuff (Schreibner, 1925).
b. Endapan Gunung Api Muda (Qv)
Breksi, lahar, lava bantal, dan tuf breksi berselingan dengan tuf pasir atau tuf halus.
Breksi, kelabu kehitaman padat berkomponen andesit berukuran 1-15 cm, menyudut-membundar
tanggung, terpilah buruk dengan masa dasar batu pasir kasar bersusunan andesitan.
Lahar, kelabu kehitaman, padat, struktur kasar, aliran, permukaan kasar, komponen menyudut-
membundar tanggung, terpilah buruk.
Lava, berstruktur bantal, kelabu kehitaman, berhablur halus-sedang, porfiritik dengan piroksen dan
olivin sebagai fenokris, dan masa dasar dari plagioklas, di beberapa tempat berstruktur berongga
(Amigdaloidal) yang diisi oleh kalsit.
Tuf Breksi, kelabu-coklat, sebaran komponen 0,5-20 cm, tidak merata, terpilah buruk, kemas agak
terbuka, komponen dari andesit, batu apung, gelas atau pasir gunung api dan mineral terang,
tebalnya beberapa meter.
Tuf pasir berlapis, putih kekuningan, pemilahan jejak, berbutir halus-kasar, menyudut-membundar
tanggung, masa dasar pasair halus, tebal lapisan 2-15 cm, berselingan dengan tuf halus, dan di
bagian atas dengan tuf breksi.
Tuf halus, putih kekuningan, berstruktur perairan, mengandung fosil kayu yang terkesikkan,
moluska danbekas galian binatang ”burrow”. Di dalam tuf halus ini dijumpai adanya foraminifera
bentos jenis Bolivia sp., Non-ion sp. Dan tulang ikan. Batuan gunung api ini diduga plistosen dan
diendapkan dalam lingkungan darat, diperkirakan dari sumber Gunung Sudamanik. Di lembar
Bogor (Effendi, 1986), satuan ini disebut sebagai vulkanik tua tak terurai (Qvu). Tebal lapisan
beberapa puluh sampai ratusan meter. Sebarannya di sekitar Sungai Cipangaur dan Sungai
Cimanceuri. Adanya lava berstruktur bantal menunjukkan bahwa lava ini tidak jauh dari sumbernya
dan diendapkan dalam lingkungan air. Endapan gunung api muda ini menyebar ke Lembar Bogor
sebagai aliran lava (Qv) dan batuan Gunung Api tua tak dipisahkan (Qvu).
c. Andesit Sudamanik (Qvas)
Terdiri dari andesit. Andesit kelabu kehitaman, padat, porfiritik dengan piroksen, hornblenda dan
plagioklas sebagai fenokris dan bermassa dasar felsfar. Di beberapa tempat berstruktur meniang
atau ”sheeting”. Batuan ini membentuk kerucut tumpul di Gunung Sudamanik dan kerucut kecil-
kecil di sekitarnya. Diduga bahwa kerucut ini merupakan sumbat gunung api (”volcanic neck”) atau
“parasiticone” dari Gunung Sudamanik. Umur batuan ini diduga sama dengan atau lebih muda dari
endapan gunung api (Qv), yaitu Plistosen.
3.3.2. Hidrogeologi
Wilayah cekungan air tanah Jakarta terbagi ke dalam 4 bagian, yaitu :
1. wilayah dataran pantai yang meliputi utara Tangerang – Jakarta – Bekasi, wilayah
undak/terrace menempati bagian tengah cekungan, wilayah batuan dasar Tersier kedap
air/produktif kecil dan wilayah lereng gunung api salak dan Pangrango.
2. Wilayah dataran pantai dan undak/terrace, merupakan daerah dengan sistem akuifer
dengan aliran air tanah melalui ruang antar butir, debut sumur umumnya kurang dari 5
l/dtk terutama terdapat di wilayah Jakarta.
3. Wilayah lereng gunung api Salak dan Pangrango, merupakan daerah akuifer dengan aliran
melalui celahan dan ruang antar butir, debit sumur umumnya kurang dari 5 l/dtk, setempat
lebih dari 5 l/dtk.
4. Wilayah batuan dasar tersier kedap air atau akuifer produktif kecil (pegunungan sebelah
timur dan barat).
Berdasarkan kesebandingan lempung laut dari berbagai sumur bor endapan kuarter di cekungan
air tanah Jakarta, Soekardi (1992) menyusun penampang hidrogeologi utara – selatan dengan hasil
sebagai berikut :
1. Kelompok Akuifer I, merupakan akuifer tak tertekan berkedalaman kurang daru 40 meter bmt.
2. Kelompok Akuifer II, merupakan akuifer tertekan atas dengan kedalaman 40-140 meter bmt.
3. Kelompok Akuifer III, merupakan akuifer tertekan tengah dengan kedalaman 140-250 m bmt.
4. Kelompok Akuifer IV, merupakan akuifer tertekakn bawah dengan kedalaman > 250 meter bmt.
Selanjutnya CRBDFS, menyusun diagram pagar di wilayah Jabotabek berdasarkan data sumur bor.
Tataan akuifer di wilayah Jabotabek terutama dijumpai pada akuifer endapan kuarter dan terbagi
ke dalam 3 zona akuifer, yaitu zona akuifer tak tertekan, zona akuifer tertekan tengah dan zona
akuifer tertekan bawah yang masing-masing zona ini dipisahkan oleh lapisan akuitar. Masing-
masing zona akuifer tersebut bervariasi dari kedalaman sekitar 20-60 m, 60-150 m, dan 150-250 m
bmt. Pada kedalaman yang lebih lanjut dijumpai batuan sedimen Polisen dan Miosen yang
umumnya berfungsi sebagai nir akuifer terutama pada endapan Plisen.
Keterdapatan air tanah di suatu daerah dipengaruhi oleh keterkaitan dari berbgai faktor
pendukung, seperti keadaan iklim, curah hujan, jenis litologi, struktur geologi, morfologi dan tata
guna lahan.
Mandala Air Tanah
Terutama didasarkan pada ciri morfologi, di Jakarta dapat dibagi menjadi 3 mandala air tanah,
yaitu mandala air tanah dataran, mandala air tanah perbukitan, dan mandala air tanah karst.
Mandala air tanah dataran; menempati dataran aluvium pantai dan dataran aluvium
sungai. Dataran patai berarah barat-timur meliputi utara Tangerang – Jakarta dan Bekasi
dengan lebar antara 6-16 km, selebihnya sebagian besar mandala air tanah dataran
terletak di bagian selatan hingga sampai di sekitar daerah Serpong dan Depok. Umumnya
mandala ini mempunyai sudut kelerengan antara 0-1,5%, ketinggian antara 0-100 m dpl.
Luas mandala ini sekitar 75% dari daerah penyelidikan. Litologi penyusun dari mandala ini
terutama terdiri dari endapan bersifat lepas dari endapan kuarter berupa kerakal, kerikil,
pasir, lempung dan terdiri dari endapan batuan padu tersier berupa batu pasir, breksi, tufa,
konglomereat dan batu lempung. Batu-batu lepas terutama diendapkan oleh sungai
Cisadane, Ciliwung dan Bekasi serta cabang-cabangnya berupa endapan aluvium pantai,
pematang pantai dan sungai purba di bagian utara meliputi utara Tangerang-Jakarta-
Bekasi. Ke arah lebih selatan dari daerah ini litologi penyusunnya berupa endapan kipas
aluvium berupa pasir, lempung dan kerikil yang semuanya bersifat tufaan. Tata guna lahan
di daerah ini berupa pemukiman, ladang, kebun buah-buahan, sawah dan industri.
Mandala air tanah perbukitan; menempati sekitar 20% dari daerah penyelidikan,
menempati bagian selatan dengan ketinggian sekitar 60-512 m dpl, umumnya bersudut
lereng 3-10% (kemiringan sedang) dan sebagaian di barat daya bersudut lereng 10-30%
(kemiringan curam). Litologi penyusun dari mandala air tanah perbukitan terdiri dari
endapan tersier dan kuarter. Endapan tersier berupa batu lempung, batu pasir,
konglomerat, tufa dan sisipan batu gamping. Endapan kuarter terdiri dari batuan vulkanik
muda dan kipas aluvium. Batuan vulkanik muda terdiri dari breksi, lahar, tufa batu apung
di daerah lereng curam. Endapan kipas aluvium umumnya bersifart tufaan terdiri dari pasir
dan lempung. Penyebaran mata air mandala ini sedikit dijumpai, diantaranya adalah mata
air gabageang di daerah lereng utara Gunung Sudamanik bagian barat daya daerah
penyelidikan mempunyai debit 0,4 l/dtk. Tata guna lahan mandala ini berupa ladang,
belukar, sawah, pemukiman, kebun karet, kebun teh dan hutan.
Mandala air tanah karst; dicirikan oleh daerah batu gamping dengan gejala pelarutannya
oleh air. Proses pelarutan ini ditunjukkan oleh rongga-rongga dan permukaan-permukaan
runcing pada batu gamping tersebut. Luas mandala ini sekitar 5% dari daerah
penyelidikan, menempati bagian tenggara daerah penyelidikan. Litologi penyusun mandala
ini terdiri daribatu gamping koral dan bati gamping berlapis. Pemunculan mata air di
mandala ini mempunyai debit cukup besar dengan kiksaran 100-500 l/dtk (M.A. Cilalai).
Tata guna lahan di mandala ini berupa ladang dan belukar.
Daerah resapan air tanah utama di Jabodetabek antara lain daerah Parung, Sawangan,
Cileungsi, Gunung Putri, Citeureup, Cibinong, Pancoran Mas, Cisarua. Tingkat kelulusan
batuan sangat tinggi, yaitu diatas 10³ m/hari dengan jenis batuan endapan kipas aluvium,
aluvium sungai dan endapan gunung api muda. Dibagian selatan tingkat kelulusan relatif
rendah yaitu sebesar 10-1 sampai 10-2 m/hari. Daerah ini jenis tanahnya regosol, latosol
dengan curah hujan 2.500-5.000 mm ke arah selatan.
Daerah resapan sedang terdapat di daerah Megamendung dengan luasan relatif kecil dibanding
lainnya. Daerah resapan kecil tersebar di wilayah Parungpanjang, Cigudeg, G. Awi Bengkok, G.
Salak, G. Mandalawangi di selatan, G. Megamendung, G. Telaga, tersusun atas material gunung api
muda, endapan gunung api tak teruraikan, endapan gunung api tua, lava Formasi Cantayan dan
kompleks sedimen berselang seling dengan kelulusan air antara 10-1 sampai 10-2 m/hari. Curah
hujan antara 3.500-5.000 mm ke arah tenggara dengan jenis tanah grumusol dan andosol.
Menurut perhitungan imbangan air berdasar penggunaan lahan dan hujan th 1998 maka di
Kabupaten Dati II Bogor masih mampu meresapkan air sebanyak 7.837,09 x 106 m³/th. Nilai ini
sudah terjadi penurunan dibanding data th 1996 dengan resapan sebesar 7.980 x 106 m³/th.
3.4 Topografi, Kelerengan dan Kecepatan Aliran
Rata-rata bentuk DAS yang mengalir ke Jakarta adalah memanjang dari hulu ke hilir. Hanya DAS-
DAS besar seperti Cisadane, Ciliwung dan Bekasi yang mempunyai bentuk DAS membesar di
bagian hulu. Terkait dengan kondisi topografi dan kelerengannya, maka variasi lereng yang curam
terdapat di tiga DAS tersebut terutama di daerah hulu. Sedangkan bagian tengah dari DAS
tersebut berbatasan dengan bagian hulu dari DAS lain seperti Angke, Pasanggrahan, Grogol-
Krukut, Sunter dan Cakung yang mempunyai kelerengan relatif landai dari 0-15%. Dengan melihat
kondisi ini, maka pada saat aliran air permukaan di tiap DAS tersebut masuk ke dalam wilayah
Jakarta akan mengalami kecenderungan waktu konsentrasi yang lebih lama atau dengan kata lain
mempunyai potensi genangan yang lebih tinggi. Berdasarkan pembagian kelas lereng di wilayah
DAS di Jabodetabek disajikan pada Tabel 3.3 dan Gambar 3.4 di bawah ini.
Keterangan: 1.Cisadane, 2.Angke, 3.Pesanggrahan, 4.Krukut & Grogol, 5.Ciliwung, 6.Sunter, 7.Cakung,
8.Kali Bekasi
Dengan menggunakan batasan kelerengan dan metode perhitungan kecepatan aliran seperti yang
dijelaskan pada Bab II, maka untuk setiap DAS di dapatkan waktu konsentrasi mulai dari bagian
paling hulu sampai dengan hilir seperti yang disajikan pada Tabel 3.4.
Dengan melihat waktu konsentrasi aliran terlihat bahwa DAS Cisadane mempunyai waktu yang
lama (18 jam) sehingga dari segi bahaya banjir lebih rendah bila dibandingkan dengan DAS
lainnya. DAS Angke, Pesangrahan, Krukut-Grogol dan Sunter mempunyai waktu pemusatan aliran
berkisar antara 4-7 jam sehingga perlu diwaspadai, sementara DAS Ciliwung memerlukan waktu
10,4 jam untuk berkumpulnya seluruh aliran apabila di wilayah Jabodetabek ada hujan yang
seragam dari hulu sampai hilir, sehingga masih ada waktu yang cukup untuk melakukan antisipasi
terhadap banjir yang mungkin terjadi di Jabodetabek.
Gambar 3.4. Pembagian kelas lereng di wilayah DAS di Jabodetabek.
3.5 Jenis Tanah dan Potensi Infiltrasi
Berdasarkan peta tanah klasifikasi USDA skala 1 : 250.000 dari Pusat Penelitian Tanah, daerah
kajian meliputi 8 tipe jenis tanah. Jenis tanah yang ada meliputi distrandept, distropept, eutropept,
hidraquent, paleudult, rendole, tropaquept, tropudalf dan vitrandept. Penjelasan masing-masing
jenis tanah ditunjukan pada Tabel 3.5.
Berdasarkan tebal solum, distrandept; distropept; eutropept; hidraquent; tropaquept dan
vitrandept memiliki tebal solum yang dalam. Paleudult memiliki tebal solum yang sangat dalam
sedangkan rendole tebal solumnya dangkal. Jenis tanah tropudalf memiliki tebal solum dalam –
sangat dalam.
Berdasarkan muka air tanah distrandept, distropept, eutropept, paleudult, rendole, tropudalf dan
vitrandept memiliki muka air tanah yang dalam sedangkan hidraquent dan tropaquept memiliki
muka air tanah yang dangkal–sangat dangkal.
Berdasarkan laju infiltrasi, distrandept dan vitrandept memiliki laju infiltrasi yang lebih tinggi
dibandingkan jenis tanah yang lainnya. Distropept dan eutropept memiliki tingkat laju infiltrasi
yang sedang. Laju infiltrasi tanah hidraquent berkisar antara rendah–sangat rendah. Sedangkan
paleudult, rendole, tropaquept dan tropudalf laju infiltrasinya rendah.
Peta sebaran jenis tanah menunjukkan di bagian hulu DAS Cisadane, Ciliwung dan Kali Bekasi
relatif lebih beragam jenis tanahnya dibandingkan DAS-DAS yang lainya. Distropept lebih
mendominasi jenis tanah di bagian hulu DAS Ciliwung dan Cisadane. Sedangkan di DAS Kali Bekasi
lebih didominasi oleh jenis tanah tropudalf. Jenis tanah Paleudult lebih mendominasi di bagian
tengah DAS Ciliwung, Cisadane dan Kali bekasi atau di bagian hulu DAS Krukut dan Grogol,
Cakung, Sunter, Angke dan Pesanggrahan. Hampir seragam di bagian hilir daerah kajian lebih
didominasi oleh jenis tanah Tropaquept. Luas masing-masing jenis tanah setiap DAS ditunjukan
oleh Tabel 3.6 dan sebarannya ditunjukkan pada Gambar 3.5.
Gambar 3.5. Peta sebaran tanah dalam lingkup wilayah Jabodetabek (sumber: Pusat Penelitian
Tanah, Repprot)
3.6 Kelompok Hidrologi Tanah (Soil Hidrology Group)
Untuk menghitung karakteristik infiltrasi tanah U.S. Soil Conservation Service membagi tanah ke
dalam empat Soil Hidrological Group, yang didefinisikan sebagai berikut :
Grup A : potensi run-off rendah, tanah mempunyai laju transmisi air tinggi (laju infiltrasi final lebih
besar 0,72 cm/jam), tektur berpasir
Grup B : tanah mempunyai laju transmisi air tergolong sedang (laju infiltrasi final antara 0,72 –
0.36 cm/jam), tektur lempung berpasir
Grup C : tanah mempunyai laju transmisi air tergolong lambat (laju infiltrasi final antara 0,36-0,12
cm/jam), lempung berliat, lempung berpasir dangkal, tanah berkadar bahan organik rendah, dan
tanah –tanah berkadar liat tinggi
Grup D : potensi run-off tinggi, tanah mempunyai laju transmisi air tergolong sangat rendah (laju
infiltrasi final lebih kecil 0,12 cm/jam), tanah-tanah yang mengembang secara nyata jika basah, liat
berat, dan plastis.
Soil Hidrological Group di daerah kajian didominasi oleh grup C, yang paling banyak ditemukan di
bagian tengah daerah kajian. Hanya sebagian kecil ditemukan pada bagian hulu DAS Cisadane dan
Kali Bekasi. Group B lebih banyak di temukan pada bagian Hulu DAS Cisadane dan Kali Bekasi.
Bagian Hilir semua DAS kajian termasuk dalam Group D, di mana daerah ini memiliki potensi
limpasan permukaan yang tinggi atau potensi transmisi air ke dalam tanah sangat rendah. Tabel
3.7 menunjukkan luas kawasan menurut SHG dan Gambar 3.6 menunjukkan sebarannya.
Gambar 3.6. Peta sebaran SHG dalam lingkup wilayah Jabodetabek (sumber: Pusat Penelitian Tanah,
Hasil Studi)
3.7. Kondisi Tutupan Lahan
3.7.1 DAS Cisadane
DAS Cisadane mengalir dari G. Salak di bagian selatan Kab. Bogor. Dibagian hulu bterdapat S.
Cikaniki, Cianten, Ciampea, Cinangneng, Cihideung, Ciomas, yang bersal dari bagian Bogor bagian
barat. Sementara di bagian hulu dibagian selatan terdapat S. Cinagara, Cimande, Cisadaen Hulu,
dan S. Ciapus. Kawasan hijau lebih banyak tersebar dari bagian hulu sampai bagian hilir (± 33 %).
Banyak wilayah dalam DAS ini termasuk dalam kawasan hutan. DAS Cisadane paling selatan
terdapat Taman nasional Gung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.
Gambar 3.7. Batas dan Bentuk DAS Cisadane
Penutupan lahan di bagian hulu didominasi oleh lahan pertanian semusim dan daerah ladang,
sawah dan tegalan. Khusus untuk daerah Cisadane hulu tertama di daerah Kec. Caringin dan
Ciawai yang meliputi Desa Pasir Buncir, Cinagara, Tangkil, Lemah Duwur dan Pancawati
merupakan daerah “lahan gontai” yang dikuasasi oleh para pengembang yang merupakan tanah
eks PTP XI perkebunan karet sehingga banyak masalah yang berkaitan dengan masalah sosial
terkait dengan status kepemilikan dan masalah sosial terkait dengan kesempatan kerja yang ada
sehingga memerlukan penanganan yang seksama.
Di bagian tengah yang meliputi Kota Bogor, Rumpin dan Serpong terdapat lahan terbangun
tersebar merata
di bagian tengah. Kurang lebih 17,7% dari total luas DAS ini adalah lahan terbangun. Daerah yang
termasuk pemukiman ± 15,45%.. Proporsi luasan tipe penutupan lahan yang lainnya di tunjukan
oleh gambar di bawah ini.
Gambar 3.8. Persentase Penutupan Lahan di DAS Cisadane
3.7. 2 DAS Angke
DAS Kali Angke memiliki bentuk hulu yang runcing dan memanjang. Bagian tengah yang lebih
tambun kemudian menyempit sampai hilir. Luas DAS ini ± 23.971 Ha. Hulu DAS ini berada di
perumahan Yasmin Bogor dan melewati wilayah Parung, Bojong Gede, Ciputat, Serpong dan
bermuara di saluran Mookevart. Konsentrasi daerah pemukiman berada di bagian hulu, dan
tersebar sampai bagian hilir. Bagian hulu paling ujung lebih padat. Kurang lebih 45 % dari luas
total DAS adalah daerah pemukiman padat. Kawasan hijau lebih banyak tersebar di bagian hilir
dan hulu bagian tengah walaupun tersebar tidak merata. Proporsi setiap tipe penutupan lainnya
yang ada di DAS ini di tunjukan Gambar 3.9. di bawah ini.
Gambar 3.9. Batas dan Bentuk DAS Angke
Gambar 3.10. Persentase penutupan lahan di DAS Angke
Kawasan pemukiman yang ada di DAS Angke adalah Perumahan Taman Yasmin, Taman Persada,
Bukit Cimanggu Vila dan Bukit Mekar Wangi di Kota Bogor, serta perumahan Bilabong dan Telaga
Kahurupan di wilayah Kabupaten Bogor. Sementara di bagian hilir perumahan di sekitar Serpong,
Ciputat, Kebayoran lama dan perumahan di sekitar Kota Tanggerang, dan Jakarta Barat.
3.7.3 DAS Pesanggrahan
DAS Pesanggrahan bentuknya memanjang dan ramping. Bagian hulu lebih runcing dan melebar
menuju bagian tengah kemudian menyempit dan melebar kembali menuju hilir. Bagian hilir
bentuknya lebih oval dan lebih luas dibandingkan bagian hulu dan tengah. Hulu DAS Pesangrahan
terletak di perumahan Budi Agung, Tanah Sareal Kota Bogor dan bagian hilirnya bertemu dengan
saluran Cengkareng Drain. Luas kawasan DAS ini ±17.737 Ha.
Tipe penutupan lahan di DAS Pesanggrahan lebih di dominasi oleh lahan terbangun (± 60%).
Daerah pemukiman lebih banyak di temukan di bagian tengah sampai hilir. Diantara lahan
terbangun yang ada daerah Bogor, yaitu Bojong Gede, Cilebut, Depok, Sawangan, Pondok Cabe,
Kebayoran Lama, Cileduk, Kebon Jerung dan Srengseng di Jakarta Barat. Pemukiman padat paling
banyak ditemukan kurang lebih 38,43% dari luasan DAS adalah daerah pemukiman padat yang
tersebar paling banyak di daerah hilir, khusunya disekitar Kebayoran lama, Kedoya dan kebon
jeruk di jakarta Barat.
Berdasarkan hasil analisis hanya terdapat Kurang lebih 7% Kawasan hijau hanya sebagian kecil
berada di bagian hilir dan sebarannya tidak merata termasuk hutan kota di Srengseng Jakarta
Barat.
Gambar 3.11. Batas dan bentuk DAS Pesanggrahan
Gambar 3.12. Persentase penutupan lahan di DAS Pesanggrahan
3.7.4 DAS Ciliwung
Das Ciliwung lebih unik lagi dibandingkan dengan bentuk DAS-DAS yang lainnya. Sepintas terlihat
seperti corong. Bagian hulu yang melebar kemudian meyempit di bagian tengah dan memanjang
sampai ke hilir. Bagian hulu berada di daerah puncak Kab. Bogor sampai ke daerah Katulampa.
Bagian tengah berada di daerah Ratujaya, Depok dan bagian hilir DAS ini sampai ke Banjir Kanal
Barat daerah Manggarai. Luas DAS ini ± 37.472 Ha.
Di bagain hulu DAS Ciliwung terdapat dua perkebunan teh masing-masing PTP VIII Gunung Mas dan
perkebunan teh Ciliwung, yang berbatasan dengan Cagar Alam Talaga Warna dan Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango. Seluruh wilayah Daerah hulu DAS Ciliwung terdapat di Kabupaten Bogor.
Masalah yang terdapat di hulu DAS Ciliwung adalah adanya pelanggaran terhadap tata ruang
khsususnya adanya pembangunan vila-vila yang tidak sesuai dengan fungsi resapan.
Daerah lahan terbangun DAS ini tersebar merata dari bagian tengah sampai hilir. Kurang lebih
45,8% dari total luas DAS ini adalah lahan terbangun yang meliputi daerah Megamendung,
Cisarua, Ciawi, Kota Bogor, Cibinong, Depok, Pasar Minggu dan Manggarai. Daerah yang termasuk
pemukiman ± 33,7%. Daerah pemukiman yang paling padat berada di bagian hilir DAS, sekitar
daerah Depok sampai Manggarai.
Gambar 3.13. Batas dan bentuk DAS Ciliwung
Gambar 3.14. Persentase Penutupan Lahan di DAS Ciliwung
3.7.5 DAS Sunter
Bentuk DAS Sunter unik, memanjang dengan sedikit berlekuk. Bagian hulu lebih runcing
dibandingkan bagian hilirnya dan sedikit membesar di bagian tengahnya, dengan luas area
±15.349 Ha. Dalam DAS ini dilalui oleh 2 sungai besar yaitu Kali Cipinang dan Kali Sunter.
Penutupan lahan lebih didominasi oleh lahan terbangun, baik pemukiman ataupun jalan yang
diperkeras seperti yang ditunjukan oleh Gambar 3.14. (± 63,6% dari luas wilayah DAS Sunter).
Kategori pemukiman yang sangat padat (pemukiman 80-100 %) lebih mendominasi di antara lahan
yang terbangun lainnya. Dibandingkan dengan tipe penutupan lahan lainnya yang ada,
pemukiman 80-100 % paling banyak menutupi wilayah DAS (36% atau ± 5.470,338 Ha), terutama
di bagian hilir DAS. Tipe penutupan lahan ini memiliki koefesien run off yang tinggi, artinya
Sebagian besar air hujan yang turun di kawasan DAS ini sebagian besar akan menjadi limpasan
permukaan. Sebaran kawasan hijau hanya sedikit sekali tersebar di wilayah DAS ini. Kawasan hijau
paling banyak tersebar terutama bagian tengah DAS, ± 22,9% berupa tanah kosong/rumput dan
tegalan/ladang. Hal ini memungkinkan sedikitnya daerah yang dapat meresapkan air. Jika kondisi
tersebut lebih didukung dengan saluran drainase yang buruk maka kemungkinan terbesar adalah
terjadinya banjir.
Karena padatnya pemukiman di sepanjang DAS sunter menyebabkan sungai ini mudah sekali
meluap sehingga sepanjang Rawamangun dan Cempaka Putih sering meluap yang hanya
diakibatkan oleh hujan lokal. Oleh karena itu, penanganan masalah resapan menjadai sangat
penting. Di bagian hilir Kali sunter dan Cipinang akan disodet ke arah Bajir Kanal Timur (BKT) yang
sekarang masih dalam tahap pembangunan.
Gambar 3.15 Batas dan bentuk DAS Sunter
Gambar 3.16. Persentase Penutupan Lahan di DAS Sunter
3.7.6 DAS Cakung
Bentuk DAS Cakung hampir mirip dengan DAS Sunter namun bagian hulunya lebih ramping dan
runcing. Bagian tengah yang melebar dan menyempit ke bagian hilir. Luas DAS Cakung ± 13.403
Ha. Sungai yang melalui DAS ini adalah Kali Buaran dan Kali Cakung. Bagian Hilirnya terdapat
saluran Cakung Drainage.
Penutupan lahan di DAS Cakung lebih didominasi oleh lahan terbangun, baik pemukiman ataupun
jalan yang diperkeras. Kurang lebih 67% dari luas DAS ini tertutupi oleh lahan terbangun. Di antara
lahan terbangun yang ada, kurang lebih 84% adalah daerah pemukiman padat (pemukiman 80-
100 %). Jika dibandingkan luasan total DAS, daerah pemukiman padat kurang lebih 56,5 % (±
7.572 Ha). Lahan terbangun lebih banyak tersebar dari bagian tengah sampai hilir DAS. Kurang
lebih 12,64% dari luas total DAS adalah sawah irigasi. Tipe penutupan lahan ini lebih banyak
ditemukan di bagian hilir DAS. Hanya 13,43% dari luasan total DAS yang merupakan kawasan hijau
(perkebunan, semak belukar/ladang). Sebagian kawasan hijau di DAS Cakung banyak ditemukan di
bagian hulu dan sebagian lagi tersebar di bagian hilir.
Gambar 3.17. Batas dan bentuk DAS Cakung
Gambar 3.18. Persentase penutupan lahan DAS Cakung
3.7.7 DAS Kali Bekasi
DAS Kali Bekasi memiliki 5 Sub DAS besar, yaitu Kali Bekasi, Cikeas, Cileungsi, Citeurep dan
Cijanggel. Bagian hilir DAS ini bermuara di CBL (Cakung Bekasi Laut) Kab. Bekasi bagian Utara.
Bagian Hulu berada di Kab. Bogor. Luas DAS ini ± 51.785 Ha. Daerah lahan terbangun DAS ini
tersebar merata dari bagian tengah sampai hilir. Kurang kebih 31,20% dari total luas DAS ini
adalah lahan terbangun. Daerah yang termasuk pemukiman ± 27,5%. Daerah pemukiman yang
paling padat berada di bagian tengah sampai hilir DAS. Kawasan hijau lebih banyak tersebar di
bagian hulu karena merupakan dalam kawasan hutan. Proporsi luasan tipe penutupan lahan yang
lainnya di tunjukan oleh Gambar 3.19 di bawah ini.
Di bagian hulu Kali bekasi terdapat pemukiman Bukit sentul, serta lahan “bermasalah” di sekitar
Babakan Madang dan Cileungsi, sehingga berkurangnya atau hilangnya perkebunan karet di
bagian hulu yang berubah menjadi daerah pemukiman menyebabkan berubahnya aliran S. Cikeas
dan Cilengsi.
Di bagian selatan terdapat perumahan Sentul, Lapang Golf Sentul dan Gunung Geulis yang
merupakan hulu dari S. Cikeas, demikian juga perumahan dan lapang Golf di kanan kiri Jl Tol
Jagorawi, di sekitar Cibinong, Cileungsi dan Cimanggis memberikan konstribusi positif terhadap
naiknya debit S. Cikeas di sekiar perumahan Villa Indah Bekasi. Di bagian Sub DAS Cileungsi
terdapat kawasan industri yang padat di sekitar Pabrik semen Cibinong, Pabrik semen Holcim dan
kawasan industri Branta-Mulia. Selain itu, di daerah ini juga terdapat perumahan-perumahan
seperti Kota Legenda, Kota Wisata di Cibubur sehingga Sub DAS Cileungsi merupakan daerah yang
menyebabkan naiknya debit di DAS Kali Bekasi.
Gambar 3.19. Batas dan bentuk DAS Bekasi
Gambar 3.20. Persentase Penutupan Lahan di DAS Bekasi
3.8. Iklim dan Curah Hujan
3.8.1. Curah hujan
Unsur iklim dan curah hujan adalah faktor utama yang mengendalikan proses daur hidrologi di
suatu DAS. Kejadian banjir dan kekeringan merupakan salah satu kondisi yang disebabkan oleh
kejadian dan intensitas hujan di suatu kawasan. Bencana banjir di wilayah Jabodetabek adalah
salah satu kejadian yang disebabkan oleh jumlah aliran permukaan yang berasal dari hujan yang
tidak mampu lagi diresapkan ataupun diteruskan ke laut oleh berbagai jenis penutupan lahan yang
ada di kawasan tersebut. Iklim dan curah hujan kemudian sering dianggap sebagai sumber utama
penyebab terjadinya banjir yang di wilayah Jabodetabek.
Untuk mengetahui kebenaran dari anggapan tersebut di atas perlu disajikan data klimatologi unsur
curah hujan dari beberapa stasiun untuk periode waktu tertentu. Sebagai kawasan yang bertipe
iklim A di bagian hulu dan B di bagian tengah dan hilir menurut Schmit-Ferguson, kawasan ini
mendapat kejadian hari hujan yang banyak sepanjang tahunnya. Penggambaran kondisi iklim
wilayah dengan tipe iklim tersebut tidak dapat memberikan gambaran kondisi hujan pada saat
kejadian banjir.
Perubahan iklim yang ditandai dengan perubahan pola hujan dan jumlah intensitas hujan sering
dianggap sebagai faktor yang menyebabkan kejadian banjir di kawasan Jabodetabek. Namun
demikian, berdasarkan data curah hujan bulanan dan harian yang ada di kawasan ini tidak dapat
menjelaskan bahwa terdapat perubahan pola dan intensitas hujan. Data curah hujan bulanan di
stasiun Jakarta Obs (1866-2003) yang disajikan pada Gambar 3.21 menunjukkan bahwa tidak
terjadi perubahan pola hujan di kawasan ini. Dengan kata lain, anggapan bahwa penyebab utama
banjir wilayah Jabodetabek akibat perubahan iklim dan curah hujan adalah sama sekali tidak
berdasar data dan fakta.
Gambar 3.21. Curah Hujan Bulanan Jakarta tahun 1866-2003 (sumber: BMG)
Untuk menunjukkan bahwa pada tahun-tahun sebelum kejadian banjir tahun 1996, 2002, 2007
maka akan disajikan kondisi hujan harian di kawasan ini untuk rentang waktu 20-30 tahun terakhir
seperti yang disajikan pada Gambar 3.22 sampai dengan Gambar 3.25 yang meliputi stasiun hujan
(BMG) Citeko, Halim PK, Soekarno-Hatta dan Tanjung Priok.
Penyajian curah hujan harian dalam bentuk grafik dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa
sebelum tahun-tahun tersebut diatas telah terjadi curah hujan maksimum. Sedangkan untuk
penggambaran yang lebih jelas bahwa hujan bukan sebagai penyebab utama kejadian banjir di
kawasan ini maka data hujan harian dibuat menjadi jumlah hujan selama 3 hari berturut-turut.
Penggambaran jumlah curah hujan selama 3 hari berturut-turut dimaksudkan bahwa proses
kejadian banjir selalu diawali dengan nilai tanah (peresapan) dan kapasitas drainase yang telah
jenuh.
Gambar 3.22. (a) Fluktuasi Curah Hujan Harian dan (b) Jumlah Curah Hujan 3 Harian di Stasiun Citeko
(Jan 1985-Feb 2008).
Gambar 3.23. (a) Fluktuasi Curah Hujan Harian dan (b) Jumlah Curah Hujan 3 Harian di Stasiun Halim
Perdana Kusuma (Jan 1977-2006).
Gambar 3.24. (a) Fluktuasi Curah Hujan Harian dan (b) Jumlah Curah Hujan 3 Harian di Stasiun Soekarno-
Hatta (Jan 1985-Feb 2008).
Gambar 3.25. Fluktuasi Curah Hujan Harian dan (5b) Jumlah Curah Hujan 3 Harian di Stasiun Tanjung
Priok (1977-1983 dan 1989-2007).
Berdasarkan pada data curah hujan harian, maka untuk setiap DAS dalam kajian ini dibuat curah
hujan rencana harian untuk periode ulang 5, 10, 25, 50 dan 100 tahun. Selain dibuat periode ulang
curah hujan harian juga disusun periode ulang curah hujan tiga harian. Data curah hujan periode
ulang ini selanjutnya akan menjadi dasar perhitungan dan optimasi tindakan konservasi.
Dengan data-data yang disajikan tersebut di atas, dapat disimpulkan tidak ada kaitan yang
signifikan antara kenaikan pola curah hujan di wilayah Jabodetabek dengan kejadian banjir. Pola
hujan selalu sama dalam periode 1 abad tetapi pola hujan yang sama dampak masalahnya sangat
terasa dalam beberapa tahun terakhir terutama setelah th 1990. Demikianlah fenomena banjir
wilayah Jabodetabek terjadi murni karena masalah resapan yang berkurang akibat perubahan
penutupan lahan.
3.8.2. Curah hujan wilayah dan kejadian Banjir 1996, 2002 dan 2007
Analisis terhadap curah hujan wilayah pada saat kejadian banjir perlu dilakukan untuk mengetahui
sebaran jumlah hujan wilayah yang diterima oleh kawasan Jabodetabek. Dengan mengetahui
sebaran hujan wilayah di kawasan ini maka akan dapat diketahui debit curah hujan yang diterima
oleh kawasan ini. Pada analisis ini digunakan data curah hujan harian pada saat kejadian banjir
tahun 1996, 2002 dan 2007. Pada masing masing kejadian banjir tersebut disajikan hasil analisis
spasial selama hari terjadi banjir.
Curah hujan dan Banjir tahun 1996
Banjir pada tahun 1996 terjadi pada tanggal 3-6 Januari. Jumlah debit curah hujan yang diterima
pada saat mulai banjir untuk kawasan ini adalah 106,67 juta m3/hari pada tanggal 3 Januari.
Kondisi curah hujan dengan nilai yang relatif sama terjadi sampai dengan tanggal 5 Januari dan
mengalami peningkatan lebih dari dua kalinya pada tanggal 6 Januari yaitu 242,35 juta m3/hari
(Gambar 3.26). DAS-DAS besar seperti Ciliwung, Cisadane dan Bekasi mempunyai sumbangan
yang paling besar dalam kejadian banjir tahun 1996. Dalam Tabel 3.8 dapat dilihat bahwa DAS
dengan wilayah hulu yang luas menerima jumlah hujan yang lebih besar pada saat kejadian banjir.
Secara spasial dapat dilihat bahwa kejadian banjir tahun 1996 dimulai dengan curah hujan yang
tinggi di wilayah hulu Ciliwung dan Bekasi serta sebagian wilayah hilir Cakung dan Bekasi yang
terjadi pada tanggal 3-4 Januari. Kondisi ini menyebabkan banjir di daerah hilir sungai tersebut dan
kemudian diperparah dengan curah hujan yang terjadi pada tanggal 6 Januari yang meluas untuk
seluruh wilayah Jabodetabek terutama bagian tengah dan timur. Gambar 3.26 menyajikan sebaran
hujan wilayah harian pada saat kejadian banjir tahun 1996.
Gambar 3.26. Jumlah debit curah hujan wilayah harian pada saat kejadian banjir tahun 1996.
Gambar 3.27. Sebaran hujan wilayah harian pada saat kejadian banjir tahun 1996.
Curah hujan Banjir tahun 2002
Banjir pada tahun 2002 terjadi pada tanggal 28 Januari-2 Februari. Pada saat tersebut, jumlah total
debit curah hujan harian yang diterima kawasan ini per hari berkisar antara 39,51-205,21 juta
m3/hari. Kejadian hujan tanggal 28 Januari mempunyai debit yang paling tinggi dan banjir mulai
surut tanggal 2 Februari pada saat debit hujan adalah 39,51 juta m3/hari. Tabel 3.9 dan Gambar
3.27 menunjukkan jumlah dan pola debit hujan harian di setiap DAS yang mengalir di kawasan
Jabodetabek.
Secara spasial dapat dilihat bahwa kejadian banjir tahun 2002 diawali dengan kejadian hujan yang
terjadi di bagian hilir (Jakarta). Pada saat tersebut kawasan yang banyak menerima hujan tersebut
adalah kawasan bagian Tengah dan Timur. Kemudian kondisi banjir tersebut ditambah dengan
hujan pada hari berikutnya di daerah hulu, terutama pada tanggal 30 Januari. Gambar 3.28
menunjukkan sebaran hujan wilayah pada tanggal 28 Januari- 2 Februari 2002.
Gambar 3.28. Jumlah debit curah hujan wilayah harian pada saat kejadian banjir tahun 2002
Gambar 3.29. Sebaran hujan wilayah harian pada saat kejadian banjir tahun 2002.
Curah hujan dan Banjir tahun 2007
Banjir pada tahun 2007 terjadi pada tanggal 2-5 Februari. Jumlah debit curah hujan yang diterima
oleh seluruh DAS di kawasan ini pada saat mulai terjadi banjir adalah 262,16 juta m3/hari. Kondisi
ini diperparah pada kejadian banjir pada hari berikutnya (3 Februari) yang berjumlah 528,45 juta
m3/hari. Banjir mulai surut pada tanggal 5 Februari dengan debit curah hujan harian yang diterima
adalah 144,53 juta m3/hari, dan setelah tanggal tersebut jumlah curah hujan yang diterima mulai
menurun. Berbeda dengan kondisi tahun 2002, kejadian banjir tahun 2007 dapat disebutkan
bahwa hampir setiap daerah hilir menerima hujan.
Gambar 3.30 dan Tabel 3.10 menunjukkan jumlah debit curah hujan yang diterima kawasan
Jabodetabek.
Secara spasial dapat dilihat bahwa kejadian banjir tahun 2007 diawali oleh kondisi hujan lokal yang
terjadi di daerah hilir (2 Februari). Daerah hulu pada tanggal 3-4 Februari menerima jumlah curah
hujan tinggi hanya terdapat di hulu bagian Barat (Cisadane, Angke dan Pesanggrahan) dan hulu
bagian Timur (Bekasi dan Cakung) serta sebagian dari hulu Ciliwung. Oleh karena itu, kejadian
banjir 2007 dapat dikatakan bahwa pengaruh hujan lokal lebih dominan sebagai sumber air yang
menyebabkan banjir. Gambar 3.31 menyajikan sebaran curah hujan wilayah harian untuk kawasan
Jabodetabek.
Gambar 3.30. Jumlah debit curah hujan wilayah harian pada saat kejadian banjir tahun 2007
Gambar 3.31. Sebaran hujan wilayah harian pada saat kejadian banjir tahun 2002.
3.9 Hidrologi DAS
Berdasarkan perbandingan antara luas (A), panjang sungai (L), dan keliling DAS (P) diketahui
bahwa DAS-DAS di Jabodetabek mempunyai karaktersitik DAS selengkapnya disajikan pada Tabel
3.10 di bawah ini.
Gambar 3.32. Drainage faktor DAS
Berdasarkan faktor drainase DAS Pesanggrahan mempunyai faktor drainase yang terbaik, dalam
setiap ha terdapat 4 m sungai, disusul Ciliwung dan Kali sunter. Sedangkan berdasarkan
kekompakan bentuk DAS Pesanggrahan dan Cakung termasuk yang kompak sebagaimana
disajikan pada Gambar 3.33 di bawah ini.
Gambar 3.33. Faktor Kekompakan DAS-DAS di Jabodetabek.
Gambar 3.34. Faktor Bentuk DAS-DAS di Jabodetabek.
Berdasarkan faktor bentuk dan kekompakan maka pola aliran di DAS Cakung dan Krukut-Grogol
merupakan DAS dengan pola pemusatan aliran yang paling cepat, sehingga mudah sekali meluap.
3.9.1. DAS Cisadane
Luasan areal DAS Cisadane adalah 151.808 ha yang meliputi Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota
Tangerang dan Kabupaten Tengerang. Sumbernya (bagian hulu) berada di Gunung Salak –
Pangrango (Kabupaten Bogor) dan mengalir ke Laut Jawa. Panjang sungai ini sekitar 80 km.
Berdasarkan topografinya, bagian hulu DAS Cisadane merupakan daerah berbukit dengan
ketinggian mencapai 3.000 m dpl dan kemiringan lereng mencapai 40%. Sedangkan bagian hilir
sampai bagian tengah merupakan daerah datar hingga bergelombang.
DAS Cisadane bagian hulu yang meliputi Kabupaten Bogor dan sebagian Kota Bogor didominasi
oleh penggunaan lahan sebagai berikut: hutan, ladang, perkebunan, pemukiman dan lahan
kosong. Sedangkan di bagian tengah dan hilir, penggunaan lahan didominasi oleh pemukiman,
ladang dan lahan kosong.
Dengan daerah tangkapan seluas 1.500 km2, Sungai Cisadane merupakan salah satu sungai
utama di Propinsi Banten dan Jawa Barat. Fluktuasi aliran Sungai Cisadane sangat bergantung
pada curah hujan di daerah tangkapannya (catchment area). Aliran yang tinggi terjadi saat musim
hujan dan menurun saat musim kemarau. Debit normal Sungai Cisadane adalah 70 m3/detik.
Antara tahun 1971 dan 1997, berdasarkan pemantauan di stasiun Pengamat Serpong, aliran
sungai terendah yang pernah terjadi tercatat sebesar 2,93 m³/detik di tahun 1991 dan tertinggi
973,35 m3/detik pada tahun 1997. Berdasarkan catatan bulanan antara tahun 1981 dan 1997,
aliran minimum terjadi antara bulan Juli dan September dengan rata-rata aliran di bawah 25
m³/detik.
3.9.2 DAS Kali Angke dan Pesanggrahan
Total luasan areal Kali Angke-Pesanggrahan adalah 65.256 ha yang meliputi tiga provinsi dan 8
kabupaten/kota, yaitu Provinsi Banten, Jawa Barat dan DKI Jakarta (Kota Tangerang, Kabupaten
Tengerang, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Jakarta Selatan, Kota Jakarta Barat
dan Kota Jakarta Utara). Kondisi topografi Kali Angke-Pesanggrahan yaitu datar hingga
bergelombang dengan ketinggian 0-300 m dpl dan variasi kemiringan lereng 0-25%. Panjang
kedua sungai ini adalah 82 km dan 66 km hingga bermuara di Cengkareng Drain.
Kali Pesanggrahan mengalir di antara Kali Ciliwung dan Cisadane. Di bagian hulu, Kali
Pesanggrahan mendapat suplesi dari Kali Pekancilan di Kota Depok dan saluran Kali Baru di daerah
Bojongsari. Pada bagian tengah, Kali Pesanggrahan mendapat pasokan dari Kali Grogol melalui
sudetan Grogol-Pesanggrahan. Sedangkan bagian hulu Kali Angke yaitu di Kecamatan Semplak
(Kabupaten Bogor). Kali Angke mengalir melalui Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kota
Tangerang dan Kota Jakarta Barat kemudian bertemu dengan Banjir Kanal Barat di daerah Pluit
(Kota Jakarta Utara).
Kali Pesanggrahan melalui daerah pemukiman yang kepemilikannya sudah sedemikian rupa
hingga menyebabkan sulitnya membuat tampang basah sungai yang memadai untuk mengalirkan
air maupun untuk memelihara kualitas badan air agar masih memenuhi persyaratan. Sejalan
dengan perkembangan pemukiman di wilayah Jabodetabek, terjadi perubahan daerah tangkapan
yang semula dapat menyerap air hujan (infiltrasi) menjadi aliran permukaan (excess run-off) yang
membebani daya tampung sungai. Akibatnya, debit aliran sungai yang tadinya kecil semakin lama
semakin besar dan pada lokasi tertentu terjadi luapan dan genangan sebagai akibat tidak
tertampungnya excess run-off yang semakin besar. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya banjir
pada lokasi tertentu yang pada umumnya terjadi di daerah pemukiman.
Lebar sungai yaitu sekitar 12 m (menyempit di kawasan perkotaan). Debit normal Kali Angke yaitu
18 m3/dtk. Pada musim kemarau debit air relatif sedikit dan kualitas air buruk. Sedangkan pada
musim hujan, debit air akan sangat melonjak karena besarnya air limpasan dari daerah hulu
maupun dari kawasan-kawasan pemukiman di sepanjang Kali Angke.
3.9.3 DAS Ciliwung
Berdasarkan letak geografisnya, Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung terletak antara 60 12` 55,14“
– 60 46` 2,16“ LS dan 1060 57` 53,64“ – 1070 00` 21,91“ BT. Menurut toposekuensnya, DAS
Ciliwung dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: hulu, tengah dan hilir, masing-masing dengan stasiun
pengamatan arus sungai di Bendung Katulampa Bogor, Ratujaya Depok dan Pintu Air Manggarai
Jakarta Selatan (Pawitan, 2002). Masing-masing bagian tersebut mempunyai karakteristik iklim,
fisik, penggunaan lahan, dan sosial ekonomi masyarakat yang berbeda.
Secara administratif pemerintahan, bagian hulu DAS Ciliwung sebagian besar termasuk wilayah
Kabupaten Bogor (Kecamatan Megamendung, Cisarua dan Ciawi) dan sebagian kecil Kota Madya
Bogor (Kecamatan Kota Bogor Timur dan Kota Bogor Selatan). Bagian tengah DAS Ciliwung
termasuk wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan Sukaraja, Cibinong, Bojonggede dan Cimanggis),
Kotamadya Bogor (Kecamatan Kota Bogor Timur, Kota Bogor Tengah, Kota Bogor Utara, dan Tanah
Sereal) dan Kota Administratif Depok (Kecamatan Pancoran Mas, Sukmajaya dan Beji). Bagian hilir
sampai dengan Pintu Air Manggarai termasuk wilayah administrasi pemerintahan Kota Jakarta
Selatan dan Jakarta Pusat, lebih ke hilir dari Pintu Air Manggarai termasuk saluran buatan Kanal
Barat. Sungai Ciliwung ini melintasi wilayah Kota Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Utara.
Penggunaan lahan di bagian hulu dapat dikelompokkan menjadi lahan negara, hak milik dan hak
guna usaha. Lahan negara dalam bentuk kawasan hutan dikelola oleh pemerintah c.q Balai Taman
Nasional Gede-Pangrango (Kawasan Taman Nasional), Balai Konservasi Sumberdaya Alam
(Kawasan Hutan Cagar Alam Telaga Warna) Departemen Kehutanan, dan PT Perhutani (Kawasan
Lindung dan Produksi). Lahan dalam bentuk setu dan badan sungai dikelola oleh Pemda dan
pemerintah c.q Balai Pengelolaan Sumberdaya Air, Departemen Pemukiman dan Prasarana
Wilayah. Lahan milik pada umumnya digunakan untuk kebun, sawah tadah hujan dan teknis,
tegalan/ladang, pemukiman dan tempat rekreasi. Sedangkan lahan dalam bentuk hak guna usaha
digunakan sebagai kebun (PTP VIII Gunung Mas dan PT Ciliwung). Lahan milik umumnya dimilki
oleh orang yang bertempat tinggal di luar lahan milik tersebut.
Seperti halnya di bagian hulu, penggunaan lahan di bagian tengah dapat dikelompokkan menjadi
lahan negara, hak milik dan hak guna usaha. Lahan negara dalam bentuk kawasan hutan dikelola
oleh pemerintah c.q. PT Perhutani (Kawasan Lindung dan Produksi). Lahan dalam bentuk setu dan
badan sungai dikelola oleh Pemda dan Pemerintah c.q Balai Pengelolaan Sumberdaya Air,
Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Lahan milik umumnya digunakan untuk kebun,
sawah tadah hujan dan teknis, tegalan/ladang, pemukiman dan tempat rekreasi. Sedangkan lahan
dalam bentuk hak guna usaha digunakan sebagai kebun. Sementara itu, penggunaan lahan di
bagian hilir didominasi oleh lahan hunian (build up areas), jaringan jalan, badan sungai dan saluran
drainase lainnya, sedikit lahan hijau dalam bentuk taman.
Penggunaan lahan di DAS Ciliwung pada tahun 1990 menunjukkan bahwa tegalan merupakan jenis
penggunaan lahan terbesar yaitu 103,47 km2, kemudian kebun 69,56 km2, hutan 53,93 km2,
sawah 51,37 km2 dan pemukiman 41,10 km2. Pada tahun 1996 luasan masing-masing jenis
penggunaan lahan tersebut berubah, yang semula pemukiman merupakan jenis penggunaan lahan
terkecil berubah menjadi yang terbesar (115,90 km2) kemudian tegalan 77,77 km2, kebun 57,30
km2, hutan 50,94 km2, dan sawah 16,65 km2 .
DAS Ciliwung terletak pada dataran landai (bagian hilir), bergelombang hingga pegunungan
(bagian tengah dan hulu). Daerah berbukit atau bergelombang yaitu mulai dari Kedungbadak ke
arah selatan sampai daerah Tugu Selatan (1.057m dpl). Semakin ke arah selatan dan timur
termasuk daerah pegunungan yang merupakan batas DAS, seperti Gunung Halimun (1.665 m dpl),
Gunung Kencana (1.796 m dpl), Gunung Megamendung (1.672 m dpl) dan Gunung Pangrango
(3.019 m dpl).
Bagian hulu DAS Ciliwung mencakup areal seluas 146 km2 yang merupakan daerah pegunungan
dengan elevasi antara 300 m sampai 3.000 m dpl. Di bagian hulu sedikitnya terdapat 7 Sub DAS,
yaitu: Tugu, Cisarua, Cibogo, Cisukabirus, Ciesek, Ciseuseupan, dan Katulampa. Bagian hulu
dicirikan oleh sungai pegunungan yang berarus deras dan variasi kemiringan lereng yang tinggi (2-
15% , 15-45% dan lebih dari 45%). Kondisi kemiringan sungai ini menyebabkan aliran air yang dari
hulu sungai berkecepatan tinggi tetapi pada daerah yang landai kecepatan aliran air berkurang
drastis, sehingga aliran air berpotensi meluap ke luar sungai (Gambar 3.35).
Gambar 3.35. Hubungan elevasi dengan jarak dari hulu S. Ciliwung
Bagian tengah mencakup areal seluas 94 km2 merupakan daerah bergelombang dan berbukit-
bukit dengan variasi elevasi antara 100 m sampai 300 m dpl. Di bagian Tengah terdapat dua anak
sungai, yaitu: Cikumpay dan Ciluar yang keduanya bermuara di S. Ciliwung. Bagian tengah S.
Ciliwung didominasi daerah dengan kemiringan lereng 2-15%.
Sementara itu, bagian hilir sampai stasiun pengamatan Kebon Baru/Manggarai pada elevasi P+8 m
mencakup areal seluas 82 km2 merupakan dataran rendah bertopografi landai dengan elevasi
antara 0 m sampai 100 m dpl. Bagian hilir didominasi daerah dengan kemiringan lereng 0-2 %
dengan arus sungai yang tenang. Bagian lebih hilir dari Manggarai dicirikan oleh jaringan drainase
yang sudah dilengkapi dengan Kanal Barat sebagai penangkal banjir berupa saluran kolektor.
Bentuk DAS Ciliwung mulai dari hulu sampai daerah Katulampa mempunyai bentuk dendritik.
Bentuk ini mencirikan bahwa antara kenaikan aliran dengan penurunan aliran ketika terjadi banjir
mempunyai durasi yang seimbang. Sedangkan ke arah hilir berbentuk paralel (memanjang) dan
makin sempit. Dengan bentuk seperti ini peranan daerah hulu semakin penting, kontribusi aliran
permukaan dari daerah ini cukup besar. Jika kondisi fisik khususnya perubahan penggunaan lahan
berubah maka akan mengakibatkan perubahan yang nyata terhadap karakteristik aliran sungai.
Berdasarkan rata-rata tebal limpasan bulanan di tiga stasiun (AWLR) yaitu stasiun Katulampa-
Bogor (luas 151,1 km2), stasiun Ratujaya-Depok (luas 246,4 km2), dan stasiun Kebon Baru-
Manggarai (luas 325,8 km2), selama 11 tahun (1977 – 1987) terjadi fluktuasi bulanan yang cukup
besar (Pawitan, 1989). Di stasiun Katulampa tebal limpasan selama 11 bulan selalu lebih besar dari
tebal limpasan di stasiun Ratujaya dan bila dibandingkan dengan stasiun Kebon Baru
perbedaannya semakin besar (Gambar 3.36). Hal ini menunjukkan bahwa daerah hulu Sungai
Ciliwung mempunyai kontribusi yang nyata terhadap banjir yang terjadi di daerah Jakarta. Banjir ini
diperparah lagi oleh kemiringan Sungai Ciliwung, mulai dari hulu di daerah Megamendung sampai
daerah Ciawi mempunyai kemiringan curam, antara Ciawi sampai Depok kemiringannya lebih
landai dan sampai Manggarai kemiringannya semakin kecil. Kondisi kemiringan sungai ini
menyebabkan aliran air yang dari hulu sungai berkecepatan tinggi tetapi pada daerah yang landai
kecepatan aliran air berkurang sehingga aliran air meluap ke luar sungai.
Berdasarkan data pencatatan tinggi muka air Sungai Ciliwung tahun 1974-2002 di stasiun Depok
menunjukkan bahwa perbedaan antara debit sesaat terbesar dan terkecil cukup tinggi (Gambar
3.37). Hal ini memberikan gambaran bahwa kondisi DAS Ciliwung terjadi gangguan keseimbangan
hidrologi. Pada waktu hujan hanya sebagian kecil air yang dapat diresapkan ke dalam tanah,
sisanya dalam jumlah besar yang menjadi aliran permukaan dan selanjutnya meningkatkan debit
air sungai. Tetapi sebaliknya air hujan yang menjadi aliran dasar (base flow) di sungai kecil
sehingga pada musim kemarau debit sungai sangat berkurang.
Gambar 3.36. Debit dan limpasan bulanan rata-rata Sungai Ciliwung (1977-1987).
Gambar 3.37. Fluktuasi Tinggi muka air Sungai Ciliwung Stasiun Depok.
Berdasarkan analsisis hidrograf pada kejadian banjir 2002 pola aliran di DAS Ciliwung Hulu di
dearah Katulampa, dalam tempo 1 jam air dapat naik dari 18,72 m3/det menajdi 343 m3/det dan
selanjutnya mencapai puncak aliran pada 525 m3/det. Dengan volume run off 5.628.852 m3 atau
setara dengan 3,78 cm atau 37,8 mm padahal curah hujan yang turun 51 mm sehingga koefisien
limpasannya mencapai 74,1% DAS Ciliwung hulu mengubah curah hujan menjadi aliran
permukaan. Data l selengkapnya disajikan pada Tabel di bawah ini.
Gambar 3.38. Hidrograf aliran Sungai Ciliwung di Katulampa tahun 2000
3.9.4 DAS Bekasi
Secara topografis, DAS Kali Bekasi terletak pada dataran landai dan perbukitan bergelombang.
Daerah dataran terletak pada kota bekasi yang merupakan bagian hilir DAS dengan elevasi titik
tengahnya pada 27 m sedangkan pada bagian hulu masih terdiri dari daerah bergelombang seperti
DAS Cikeruh, Cibadak, dan Cijanggel yang masing-masing terletak pada elevasi titik tengah pada
400 m, 509 m dan 417 m. DAS Cikeruh dan Cibadak memiliki lereng yang relatif terjal yaitu 25-
40%. Kelerengan ini dibentuk oleh pegunungan yang terletak disebelah selatan DAS Bekasi
sementara dibagian hilir didominasi oleh kelerangan yang relatif rendah, yaitu antara 0-8%.
DAS Kali Bekasi hampir seluruhnya mempunyai bentuk wilayah datar dengan cekungan-cekungan
berupa rawa namun beberapa di antaranya telah berubah menjadi pemukiman dan industri.
Perbedaan tinggi tempat berkisar antara 0-15 meter dengan lereng kurang dari 3%. Secara garis
besar fisiografi DAS Kali Bekasi bagian Bekasi Utara dikategorikan sebagai dataran pantai (coastal
plain) dengan sub unit fisiografinya dibedakan menjadi beting pantai, dataran aluvial, tanggul
sungai atau levee dan cekungan/ perlembahan. Sedangkan wilayah lainnya yang mengarah ke
hulu Sungai Bekasi (Bekasi Selatan dan Bogor) sub unit fisiografinya dibedakan menjadi daerah
jalur sungai/pelembahan, daerah kipas vulkan, daerah perbukitan lipatan, daerah vulkan.
3.10. Tinjauan Sosial dan Kelembagaan
Karakteristik sosial yang paling menonjol dari DAS di wilayah Jabodetabek adalah pertumbuhan
penduduk yang sangat tinggi. Berdasarkan data BPS DKI Jakarta diketahui bahwa laju
perkembangan penduduk Jabotabek mulai tahun 1961 s/d tahun 2000 mengalami pertumbuhan
penduduk yang sangat pesat. Pada tahun 1961, jumlah penduduk Jabotabek baru mencapai 5,65
juta jiwa, Kemudian pada tahun 1971 menjadi 7,97 juta jiwa, tahun 1980 menjadi 11,65 juta jiwa,
tahun 1990 bertambah lagi menjadi 16,83 juta jiwa dan akhir tahun 2000 diperkirakan mencapai
23,31 juta jiwa, Selain Kota Tangerang sebagai bagian hilir DAS Cisadane yang mengalami
pertumbuhan penduduk yang tinggi, Kota Bogor dan Kabupaten Bogor yang merupakan bagian
hulu dan tengah DAS Cisadane juga mengalami pertumbuhan yang sangat tinggi. Laju
pertambahan penduduk yang cepat ini adalah konsekuensi logis dari terpusatnya kegiatan
ekonomi dan pembangunan selama ini di wilayah Jabodetabek sehingga menyebabkan terjadi
migrasi dan pertumbuhan penduduk yang cepat.
Berdasarkan data Tabel 3.14. di atas terlihat wilayah Krukut & Grogol dengan jumlah penduduk
109/ha merupakan DAS yang terpadat penduduknya, disusul sunter 98 jiwa/ha, Cakung dengan 88
jiwa/ha dan Ciliwung 51 jiwa/ha, sehingga permasalahan sampah dan sanitasi lingkungan sangat
tergantung pada distribusi penduduk di suatu DAS.
Gambar 3.39 Pola sebaran penduduk Daerah Jabodetabek tahun 2005
Isu-isu kelembagaan pengelolaan DAS telah cukup lama teridentifikasi. IPB (2001) misalnya
menyelenggarakan suatu lokakarya yang menghasilkan beberapa permasalahan terkait dengan
aspek kelembagaan dalam pengelolaan DAS secara umum, dan dalam beberapa hal situasi
tersebut masih dirasakan hingga saat ini, sebagai berikut:
Lemahnya Kelembagaan pengelolaan DAS
Kelembagaan pengelolaan DAS dirasakan kurang mantap. Hal ini dicirikan oleh masih
lemahnya tingkat koordinasi antar pihak yang terkait dalam pengelolaan DAS, kebijakan
pemerintah yang tidak konsisten dan pengawasan yang lemah. Koordinasi tampaknya
menjadi titik sentral kelemahan dalam pengelolaan DAS yang berakibat pada perencanaan
dan pelaksanaan pengelolaan DAS secara terpadu tidak pernah berjalan. Koordinasi yang
lemah ini disebabkan oleh permasalahan yang cukup mendasar antara lain karena masih
kentalnya “ego sektoral” yang menyebabkan persepsi, visi, dan misi tentang pengelolaan
DAS yang tidak sama. Pada tingkatan operasional, para pelaksana program rehabilitasi
lahan dan penghijauan tidak cukup punya komitmen dan masih berorientasi keproyekan.
Tata Ruang Yang Tidak Mantap
Permasalahan tidak mantapnya tata ruang wilayah menyebabkan penggunaan lahan
seringkali tidak sesuai atau tidak mengikuti tata ruang yang ada. Sebagai implikasinya dari
persoalan tersebut menyebabkan sering terjadinya konflik dalam penggunaan lahan. Tata
ruang yang tidak mantap juga menyebabkan perencanaan dalam program rehabilitasi
lahan dan penghijauan yang dihasilkan tidak mantap pula.
Kurangnya Penegakan Hukum
Penegakan hukum adalah dalam rangka untuk mendapatkan kepastian hukum atas segala
aturan yang telah dibuat dan disepakati bersama. Penegakan hukum yang masih rendah
ini dibuktikan masih besarnya kegiatan illegal logging dan bentuk-bentuk pelanggaran di
bidang lingkungan. Kondisi ini tentunya dapat menyebabkan berbagai pihak dalam
masyarakat tidak/kurang mempunyai dorongan/insentif untuk turut serta menjaga dan
memperbaiki lingkungan DAS yang rusak. Pada sisi lain, adanya illegal logging
menyebabkan rendahnya harga kayu, di mana ini dapat berdampak pada tidak lakunya
kayu-kayu hasil penghijauan, yang pada akhirnya tidak memberikan insentif bagi
masyarakat untuk melakukan kegiatan penghijauan (hutan rakyat) karena produknya tidak
dapat dipasarkan.
Kurangnya Pendekatan Sosial Budaya
Kurangnya pendekatan sosial budaya cukup dirasakan oleh masyarakat dalam
perencanaan program rehabilitasi lahan dan penghijauan. Pendekatan program rehabilitasi
lahan dan penghijauan bersifat top-down, di mana aspirasi dari bawah kurang
diperhatikan. Kurangnya masyarakat dilibatkan dalam proses perencanaan menyebabkan
“sense of belonging” masyarakat terhadap kegiatan rehabilitasi lahan dan penghijauan
rendah.
Kurangnya Sosialisasi Program
Kurangnya sosialisasi program juga dirasakan oleh berbagai pihak, khususnya pada level
tengah dan level bawah (masyarakat). Kurangnya sosialisasi ini menyebabkan tidak
adanya kesamaan persepsi, visi, dan misi program di antara para pihak yang terkait,
perencanaan yang tidak padu/selaras dan kurangnya bahkan tidak adanya pemahaman
manfaat pada tingkat masyarakat tentang kegiatan rehabilitasi lahan dan penghijauan.
Sumberdaya Manusia yang Rendah
Kualitas sumberdaya manusia baik aparat maupun masyarakat sangat memegang peranan
yang sangat penting dalam setiap kegiatan pembangunan, karena faktor ini sangat
menentukan kualitas setiap kegiatan seperti perencanaan, koordinasi, dan pengawasan
serta rendahnya kesadaran akan manfaat hutan di DAS yang rendah. Rendahnya kualitas
sumberdaya manusia ini pun dapat menyebabkan permasalahan yang lainnya muncul.
Kurangnya Pertimbangan Ekonomi
Dalam setiap perencanaan program rehabilitasi lahan dan penghijauan sangat
mempertimbangkan masalah-masalah teknis biologis tetapi kurang mempertimbangkan
masalah-masalah ekonomi. Pertimbangan ekonomi dalam kegiatan rehabilitasi lahan dan
penghijauan ini sangat menentukan dan menjadi pendorong/motivator bagi masyarakat
untuk melakukan kegiatan rehabilitasi lahan dan penghijauan dengan baik. Beberapa
pertimbangan ekonomi yang perlu diperhatikan antara lain pemilihan komersial dan
disukai masyarakat, diversifikasi usaha, dukungan pasar untuk produk/hasil kegiatan
penghijauan melalui penyediaan/perbaikan infrastruktur pasar dan stabilisasi harga.