20
Peta lokasi Kabupaten Rembang ꦑꦧꦸꦥꦤꦩ Koordinat : 111000' - 111030' Bujur Timur dan 6030' - 706' Lintang Selatan Peta lokasi Kabupaten Rembang

Rem Bang

Embed Size (px)

DESCRIPTION

aa

Citation preview

Peta lokasi Kabupaten Rembang

Koordinat

Peta lokasi Kabupaten Rembang: 111000' - 111030' Bujur Timur dan 6030' - 706' Lintang Selatan Koordinat

Peta lokasi Kabupaten Rembanga: 111000' - 111030' Bujur Timur dan 6030' - 706' Lintang Selatan Koordinat

Peta lokasi Kabupaten Rembang: 111000' - 111030' Bujur Timur dan 6030' - 706' Lintang Selatan Geografi[sunting|sunting sumber]Kabupaten Rembang terletak di ujung timur lautProvinsi Jawa Tengahdan dilaluiJalan Pantai Utara Jawa (Jalur Pantura), terletak pada garis koordinat 111000' - 111030' Bujur Timur dan 6030' - 706' Lintang Selatan. Laut Jawa terletak disebelah utaranya, secara umum kondisi tanahnya berdataran rendah dengan ketinggian wilayah maksimum kurang lebih 70 meter di atas permukaan air laut. Adapun batas- batasnya antara lain:UtaraLaut Jawa

SelatanKabupaten Blora

BaratKabupaten Pati

TimurKabupaten Tuban

Kabupaten Rembang berbatasan langsung dengan provinsi Jawa Timur, sehingga menjadi gerbang sebelah timur Provinsi Jawa Tengah. Daerah perbatasan dengan Jawa Timur (seperti di KecamatanSarang, memiliki kode telepon yang sama denganTuban (Jawa Timur).Bagian selatan wilayah Kabupaten Rembang merupakan daerah perbukitan, bagian dariPegunungan Kapur Utara, dengan puncaknya Gunung Butak (679 meter). Sebagian wilayah utara, terdapat perbukitan dengan puncaknyaGunung Lasem(ketinggian 806 meter). Kawasan tersebut kini dilindungi dalam Cagar Alam Gunung Celering.BAB III. MORFOTEKTONIKEvolusi Morfotektonik zona rembang berdasarkan data stratigrafi dan struktur geologinya dapat dibagi menjadi 4 fase:Fase Tektonik pertama yang terjadi selama tersier sampai awal Oligocene yang mengendapkan formasi Ngimbang dan Kujung yang diendapkan diatas basement yang berupa mlange dan ofiolit. Formasi Ngimbang yang tersusun oleh batupasir dan batulanau yang terdapat sisipan batugamping mengindikasikan bahwa pengendapannya merupakansyn-rift post riftsehingga terbentuk cekungan laut dangkal. Cekungan ini mulai stabil pada saat terendapkannya formasi Kujung yang berupa batugamping. Pada fase ini gaya yang bekerja dominannya adalah gaya ekstensional. Cekungan ini berupafore arc basinFase yang kedua terjadi pada oligocen tengah sampai miosen akhir. Pada waktu ini penunjaman lempeng hidia ke pulau Jawa yang oblique. Penunjaman yang oblique ini membentuk struktur lipatan dan sesar yang berarah timur laut barat daya (pola meratus). Pada fase ini rembang masih berupa fore arc basin dan telah memasuki fasesagging inverse. Pada waktu inilah terendapkan formasi Prupuh, Tawun, Ngrayong, Bulu, Wonocolo, dan Ledok. Kedudukan muka air laut pada kala ini relative regresi sehingga menyebabkan pola progadasional yang menyebabkan perebahan facies secara lateral kearah darat ke arah utara. Hal ini dibuktikan dengan adanya perubahan facies dari batugamping (formasi Prupuh) ke batupasir, batulempung yang kaya mineral Glaukonit (formasi Ngrayong dan ledok). Batupasir ini kemungkinan diendapkan di lingkungan delta.Fase yang ketiga terjadi pada Miosen akhir sampai pleistocen awal. Pada fase ini terjadi transgresi air laut yang menyebabkan kenaikan muka air laut secara relative yang mengendapkan formasi Mundu, Paciran, Selorejo, dan Lidah. Pada fase ini rembang masih berupa fore arc basin. Memasuki pengendapan formasi Pacerain dan selorejo terjadi regresi muka air laut sehingga terjadi perubahan lingkungan pengendapan lagi dari laut dalam (bathial) ke laut dangkal (neritik tengah).Fase yang keempat terjadi pada Pleistocene akhir Holosen. Pada fase ini penunjaman lempeng Hindia sudah tegak lurus dengan pulau jawa sehingga terbentuklah lipatan, sesar, dan struktur-struktur geologinya lainnya yang berarah timur-barat. Penunjaman ini juga menyebabkan terjadinya partial melting, sehingga terjadi vulkanisme di sebelah selatan zona rembang. Sehingga zona rembang berubah menjadi back arc basin. Vulkanis me ini juga menyebabkan terendapkan batuan batuan gunung api seperti tuff, breksi andesit, aglomerat. Dan juga terjadi intrusi-intrusi andesit. Peristiwa ini menyebabkan zona rembang menjadi daerah yang prospek dalam eksplorasi hidrokarbon. Dimana formasi Ngimbang merupakan source rock yang poetensial. Pematangan source rock ini disebabkan karena naiknya astenosfer yang diakibatkan penunjaman ini. Daerah back arc basin lebih potensial terjadi pematangan source rock daripada fore arc basin. Sedangkan batuan penutup dan reservoir banyak ditemui di formasi Tawun dan Tuban dimana banyak mengandung batulanau-batulempung sedangkan reservoarnya bayak ditemui pada formasi Ngrayong, dan Ledok yang mengendapkan batupasir. Reservoir lainnya yang berupa batugamping juga ditemukan.BAB I. STRATIGRAFIMandala Rembang termasuk dalam cekungan Jawa Timur utara. Secara historis penggunaan nama-nama satuan stratigrafis pada zona ini semula hanya digunakan secara terbatas, tak terpublikasikan, pada dilingkungan perusahaan minyak Belanda BPM (Batafsche Petroleum Maatschapij), yaitu pendahulu perusahaan Shell, yang dulu memegang konsesi daerah Cepu. Nama-nama formasi secara resmi baru mulai digunakan oleh Van Bemmelen (1949) danStratigraphic Lexicon of Indonesiaoleh Marks (1957). Harsono (1983) melakukan perubahan dari nama-nama tak resmi sepertiglobigerina marlatauOrbitoiden-Kalkdengan memberikan nama yang baru, menetapkan lokasi tipe, sesuai dengan Sandi Stratigrafi Indonesia. Penentuan umur secara teliti dari setiap formasi dengan menggunakan pertolongan fosil foraminifera plangtonik telah dilakukan oleh Harsono (1983).Zona rembang dimulai dari ujung barat perbukitan di selatan Demak, memanjang ke arah timur dan timur laut memasuki wilayah Jawa Timur, memanjang melewati Pulau Madura, terus ke arah timur hingga ke Pulau Kangean. Arah memanjang perbukitan tersebut mengikuti sumbu-sumbu lipatan, yang pada umumnya berarah barat-timur. Di beberapa tempat sumbu-sumbu ini mengikuti polaen echelonyang menandakan adanya sesar geser lateral kiri (left lateral wrenching faulting).Bagian utara dari antiklinorium rembang yang mengandung formasi batuan berumur miosen awal, telah mengalami pengangkatan dan erosi. Suatu kelompok antiklin yang terdapat di bagian selatan dikenal sebagai zona rembang tengah dan selatan, juga sering disebut sebagaiCepu Trend. Batuan tertua yang tersingkap di bagian ini berumur miosen akhir, yang kebanyakan mengandung minyak. Batuan yang berfungsi sebagai reservoar hidrokarbon yang utama di daerah rembang adalah batupasir ngrayong (miosen tengah) sedangkan penyumbat atau (seal)nya adalah batulempung wonocolo yang berumur miosen akhir.Pada zona rembang bagian utara terdapat 2 gunung api pleistosen, yaitu Gunung Muria dan Lasem. Gunung api yang telah padam ini mempunyai komposisi batuan yang lain apabila dibandingkan dengan gunung api yang lain. Komposisinya bukan andesit tetapi berupa batuan beku yang kaya akan leucite (feldspatoid), mirip dengan batuan yang tergolong pada kelompok gunung apimediteranian suite, seperti yang dijumpai di Atlantika.Zona Rembang terbentang sejajar dengan zona Kendeng dan dipisahkan oleh depresi Randublatung, suatu dataran tinggi terdiri dari antiklinorium yang berarah barat-timur sebagai hasil gejala tektonik Tersier Akhir membentuk perbukitan dengan elevasi yang tidak begitu tinggi, rata-rata kurang dari 500 m. Beberapa antiklin tersebut merupakan pegunungan antiklin yang muda dan belum mengalami erosi lanjut dan nampak sebagai punggungan bukit. Zona Rembang merupakan zona patahan antara paparan karbonat di utara (Laut Jawa) dengan cekungan yang lebih dalam di selatan (cekungan Kendeng). Litologi penyusunnya campuran antara karbonat laut dangkal dengan klastika, serta lempung dan napal laut dalam.Stratigrafi Zona Rembang tersusun atas Formasi Ngimbang, F. Kujung, F. Prupuh, F. Tuban, F. Tawun, F. Ngrayong, F. Bulu, F. Wonocolo, F. Ledok, F. Mundu, F. Selorejo, dan F. Lidah.Formasi KujungTersusun oleh serpih dengan sisipan lempung dan secara setempat berupa batugamping baik klastik maupun terumbu. Diendapkan pada lingkungan laut dalam sampai dangkal pada kala Oligosen Akhir sampai Miosen Awal.Formasi TubanTersusun oleh lapisan batulempung dengan sisipan batugamping. Semakin ke selatan berubah menjadi fasies serpih dan batulempung (Soejono, 1981, dalam PanduanFieldtripGMB 2006). Diendapkan pada lingkungan neritik sedang-neritik dalam.Formasi TawunTersusun oleh serpih lanauan dengan sisipan batugamping. Pada bagian atas formasi ini didominasi oleh batupasir yang terkadang lempungan dan secara setempat terdapat batugamping. Satuan di bagian atas ini sering disebut sebagai Anggota Ngrayong. Diendapkan pada laut terbuka agak dalam sampai laut dangkal di bagian atas pada Miosen Tengah (N9-N13) (Rahardjo & Wiyono, 1993, dalam PanduanFieldtripGMB 2006).Formasi Tawun dimasa lalu disebut sebagaiLower Orbitoiden-Kalk(Lower OK) dan dimasukkan dalam apa yang disebutRembang beds(Van Bemmelen, 1949). Selanjutnya Koesoemadinata (1978) menamakannya sebagai Anggota Tawun dari Formasi Tuban. Pada tahun 1983, Harsono menaikkan status anggota ini menjadi Formasi (tabel III.1). Menurut Harsono Formasi Tawun ini tersusun oleh perselingan antaragypsiferous carbonaceous shaledengan struktur gelembur arus, serta batugamping yang kaya akan foraminifera besar golonganOrbitoidaeseperiLepidocyclina. Singkapan yang dijumpai merupakan bagian teratas dari Formasi ini, tersusun oleh batulempung abu-abu kehijauan dengan sisipan batugamping dan batupasir. Didaerah sekitar desa Ngampel terdapat singkapan dari Formasi ini setebal 30 m. Perlapisannya mengandung fosil foraminifera plangtonik yang menunjukkan umur N 8 (Akhir Miosen Awal) berupa kumpulan spesies :Globigerinoides diminutus, Pareorbulina transtoria dan Globigerinoides sicanus. Sedangkan kandungan foraminifera bentoniknya menunjukkan bahwa Formasi ini diendapkan pada kondisi laut sangat dangkal pada kondisi penguapan yang sangat tinggi. Ke arah atas litologi ini ditumpuki oleh batupasir merah hingga merah jambu, dengan gejala struktur silang siur yang menjadi ciri dari batupasir Ngrayong.Formasi NgrayongAnggota ini juga disebut Upper Orbitoiden-Kalak oleh Trooster (1937), Van Bemmelen (1949) menamakan Upper Rembang beds. Nama batupasir anggota Ngrayong telah diperkenalkan Brouwer (1957), yang mengajukan tipe local pada desa Ngrayong, Jatirogo, dimana susunan utamanya batupasir denganintercalationbatubara dansandy clay.Harsono (1983), mendeskripsi Ngrayong sebagai anggota formasi Tawun, terdiri dariorbitoid limestonedanshaledalam bagian bawah dan batupasir dengan intercalation batugamping dan lignit di bagian atas. Umur dari unit ini Miosen Tengah, pada area N9-N12. Lingkungan pengendapan dari anggota ini fluvial atau submarine dalam singkapan di sebelah utara (Jatirogo, Tawun) dan menjadi lingkungan laut pada bagian selatan. Di dekat Ngampel sekuen pasir endapan laut yang mendangkal ke atas darishore faceke pantai akan terlihat anggota ini mungkin berhubungan dengan haitus di atas area mulut laut jawa. Anggota ini merupakan reservoar utama dari lapangan minyak Cepu, tetapi terlihat adanyashaleyang hadir di bagian selatan dan timur dari lapangan ini. Ketebalan dari unit ini bervarian (lebih dari 300 m).Formasi BuluSemula formasi ini disebut sebagaiPlatenComplexoleh Trooster (1937). Tersusun oleh batugamping pasiran yang keras, berlapis baik, berwarna putih abu-abu, dengan sisipan napal pasiran. Pada batugampingnya dijumpai banyak foraminifera yang berukuran sangat besar dari spesiesCycloclypeus(Katacycloclypeus)annulatusberasosiasi dengan fragmen koral dan alga serta foramnifera kecil. Harsono (1983) menggunakan nama Formasi Bulu sebagai nama Resmi, dengan memasang lokasi tipe di Sungai Besek, dekat desa Bulu, Kabupaten Rembang. Posisi stratigrafi, umur dan litologinya dapat dilihat pada tabel III.1.Pada peta geologi lembar Rembang (1 : 100.000), formasi ini melampar luas terutama di wilayah antiklonorium Rembang Utara. Satuan ini menebal ke arah barat, mencapai ketebalan hingga 360 m di sungai Larangan. Dibagian timur di sungai Besek dekat desa Bulu ketebalannya hanya 80 meter. Kondisi litologi dan kandungan fosilnya menunjukkan bahwa Formasi ini diendapkan pada laut dangkal, terbuka pada Kala Miosen Tengah Awal Miosen Akhir (N 13 N 15).Formasi WonocoloTersusun dari napal kuning-coklat, mengandung glaukonit, terdapat sisipan kalkarenit dan batulempung. Menurut Purwati (1987, dalam PanduanFieldtripGMB 2006) lingkungan pengendapan formasi ini adalah neritik dalam hingga bathyal tengah pada Miosen Tengah-Miosen Atas (N14-N16).Formasi Wonocolo semula disebut sebagai anggota bawah dari FormasiGlobigerinaoleh Trooster (1937). Formasi ini menumpang secara selaras di atas formasi bulu dan ditumpangi oleh Formasi Ledok. Pada umumnya tersusun oleh napal dan napal lempungan yang tidak berlapis, kaya akan kandungan foraminifera plangtonik. Pada bagian bawahnya dijumpai sisipan batugamping pasiran dan batupasir gampingan dengan ketebalan bervariasi antara 520 cm. Urutan ini menunjukkan bahwa selama pengendapannya terjadi kondisi transgresif. Marks (1957) dan Harsono (1983) menyimpulkan bahwa umur dari formasi ini adalah Miosen Tengah Miosen Akhir kisaran umur N 14 N 16. (lihat tabel III.1).Singkapan dari Formasi Wonocolo dijumpai mulai dari daerah Sukolilo, barat daya Pati. Ketebalan dari Formasi ini sangat bervariasi. Ke arah utara formasi ini berubah fasies menjadi batugamping dari Formasi Paciran. Melimpahnya fauna plangtonik pada batuan penyusun formasi ini menunjukkan bahwa pengendapannya berlangsung pada laut yang relatif dalam, wilayah ambang luar hingga batial atas.Formasi LedokSecara selaras di atas Formasi Wonocolo terdapat Formasi Ledok. Trooster (1937) menganggap satuan ini sebagai anggota dari FormasiGlobigerina, namun para peneliti sesudahnya menganggap berstatus formasi (Marks, 1957; Harsono, 1983). Formasi Ledok secara umum tersusun oleh batupasir glaukonitan dengan sisipan kalkarenit yang berlapis bagus serta batulempung yang berumur Miosen Akhir (N 16N 17). Posisi stratigrafi, umur dan litologinya dapat dilihat pada tabel III.1.Ketebalan dari Formasi Ledok ini sangat bervariasi. Pada lokasi tipenya, yaitu daerah antiklin Ledok, ketebalannya mencapai 230 m. Di daerah sungai Panowan mencapai 160 m, sedangkan di sungai Cegrok tinggal 50 m. Batupasirnya kaya akan kandungan glaukonit dengan kenampakan struktur silang siur. Di beberapa tempat batupasir tersebut terutama tersusun oleh hanya oleh test foraminifera plangtonik dengan sedikit mineral kuarsa. Secara keseluruhan bagian bawah dari formasi ini cenderung tersusun oleh batuan yang berbutir lebih halus dari bagian atas, menunjukkan kecendrungan kondisi pengendapan laut yang semakin mendangkal (shallowing-upward sequence). Ke arah utara, seperti halnya Formasi Wonocolo, Formasi Ledok ini juga mengalami perubahan fasies menjadi batugamping dari formasi Paciran.Formasi MunduSatuan stratigrafi ini semula disebut sebagaiMundu stageoleh Trosster (1937). Selanjutnya oleh Van Bemmelen (1949) disebut sebagaiGlobigerina Marls. Oleh Marks (1957) satuan ini diresmikan sebagai Formasi. Formasi ini tersusun oleh napal masif berwarna putih abu-abu, kaya akan fosil foraminifera plangtonik. Secara stratigrafis Formasi Mundu terletak tidak selaras di atas formasi ledok, penyebarannya luas, dengan ketebalan 200 m300 m di daerah antiklinCepu area, ke arah selatan menebal menjadi sekitar 700 m. Formasi ini terbentuk antara Miosen Akhir hingga Pliosen (N 17N 21), pada lingkungan laut dalam (bathyial).Formasi SelorejoUnit ini pembentukannya disebutSelorejo Bedsoleh Trooster, 1937, yang telah diklasifikasikan sebagai anggota dair Formasi Lidah oleh Udin Adinegoro (1972) dan Koesoemadinata (1978). Sejak Harsono (1983) tidak melakukan pengamatan ketidakselarasan antara Formasi Lidah dan Mundu. Dia memasukkan anggota Selorejo dalam Formasi Mundu. Tipe lokalnya dari Desa Selorejo dekat Cepu dan terdiri lebih keras dan lebih lunak antar lapisan, menyisakan kebanyakan glaukonit. Dari foraminifera dianggap lingkungan laut dalam.Satuan batuan ini semula oleh Trooster (1937) disebut sebagaiSelorejo beds. Selanjutnya Udin Adinegoro (1972) dan Koesoemadinata (1978) menyebutnya sebagai anggota dari Formasi Lidah. Harsono (1983) menyimpulkan bahwa Selorejo ini merupakan anggota dari Formasi Mundu. Lokasi tipenya terletak di desa Selorejo dekat kota Cepu. Anggota Selorejo ini tersusun oleh perselingan antara batugamping keras dan lunak, kaya akan foraminifera palngtonik serta mineral glaukonit.Penyebaran dari Anggota Selorejo ini tidak terlalu luas, terutama meliputi daerah sekitar Blora, sebelah utara Cepu (desa Gadu) dan di selatan Pati. Ketebalannya berkisar antara 0 hingga 100 meter. Berdasarkan kandungan foraminifera palngtonik, umur dari Anggota Selorejo adalah Pliosen ( N 21).Formasi LidahFormasi ini terdiri atas batulempung kebiruan, napal berlapis dengan sisipan batupasir dengan lensa-lensa coquina. Dahulu Trooster (1937) menyebutnya sebagai Mergetton, yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu Tambakromo dan TuriDomas. Harsono (1983) kemudian meresmikan satuan ini menjadi berstatus formasi, yaitu Formasi Lidah (tabel III.1).Bagian terbawah dari formasi ini diduga merupakan endapan neritik tengah hingga neritik luar, yang tercirikan oleh banyaknya fauna plangtonik tetapi masih mengandung foraminifera bentonik yang mencirikan air relatif dangkal sepertipseudorotalia sp.danAsterorotalia sp. Ke arah atas, terjadi urutan yang mendangkal ke atas (shallowing upward sequence), yang dicirikan oleh lapisan-lapisan yang kaya akan moluska.I.1.7Formasi PaciranSatuan ini semula oleh Van Bemmelen (1949) disebut sebagaiKarren Limestone. Secara umum penyusunnya terdiri atas batugamping pejal, dengan permukaan singkapan-singkapannya mengalami erosi membentuk apa yang disebut sebagaikarren surface. Harsono (1983) secara resmi menggunakan nama Paciran dan menempatkannya pada status formasi, dengan lokasi tipenya berada di daerah bukit piramid di sekitar Paciran, kabupaten Tuban. Formasi ini dijumpai hanya dibagian utara dari Zona Rembang. Posisi stratigrafi, umur dan litologinya dapat dilihat pada tabel III.1. Umur dari Formasi ini masih memicu terjadinya perbedaan. Harsono (1983) menempatkannya pada Kala PliosenAwal Pleistosen, yang secara lateral setara dengan Formasi Mundu dan Lidah. Namun di beberapa tempat terdapat bukti umur yang menunjukkan bahwa Formasi Paciran telah berkembang pada saat pembentukan Formasi Ledok dan Wonocolo.BAB II STRUKTUR GEOLOGIPulau jawa mempunyai dua macam konfigurasi struktur (structural grains) yang berbeda. Di bagian utara tercirikan oleh kecendrungan mengikuti arah timur-barat. Pola timurlautbaratdaya diduga mengikuti konfigurasibasement.Basement-nya sendiri diduga merupakan bagian dari kerak benua yang berumur Pre Tersier, tersusun oleh mlange, ofiolit dan bagian dari jenis kerak benua lain. Pola struktur yang berarah timurbarat ini sesuai dengan busur volkanik Tersier yang juga berarah timurbarat (Hamilton, 1978). Cekungan Jawa Timur, dimana Kendeng dan Rembang terletak, kemungkinan terletak pada kerak perantara (intermediate crust) dari kelompok mlange yang berangsur berubah menjadi kerak samudra, yang mungkin terdapat pada penghujung timur dari cekungan ini.Pada bagian barat cekungan Jawa Timur nampak adanya kecendrungan arah morfologi dan struktur timurbarat (gambar IV.1). Hal ini dapat dibandingkan dengan cekungan selatan (Southern Basin). Daratan tersebut mencakup zona Rembang dan Zona Kendeng serta kelanjutannya, yang dibagian utara dibatasi oleh tinggian Kujung-KangeanMaduraSepanjang yang terbentuk sebagai akibat sesar geser (wrench related). Ke arah selatan zona ini dibatasi oleh jalur gunung api kuarter. Cekungan ini kemungkinan terbentuk sejak Eosen hingga akhir Oligosen oleh suatu tektonik ekstensional, yang kemudian diikuti oleh fase tektonikinversesejak awal Miosen hingga Holosen. Pada fase inversi ini dibagian utara dari cekungan ini mengalami pengangkatan (zona Rembang) sedangkan pada bagian selatannya masih berupa cekungan laut dalam (zona Kendeng).Dalam kerangka tektonik regional maka proses pembentukan struktur Tersier di Pulau Jawa dapat dibagi menjadi 3 periode :1.Paleogen Extension Rifting2.Neogen Compressional Wrenching3.Plio Pleistocene Compressing Thrust FoldingFase ekstensional Paleogene menghasilkangraben / half grabendan sesar-sesar yang mempunyai arah pemanjangan timurbarat. Selanjutnya pada fase kompresi pada Awal Miosen terjadi reaktivasi dari sesar ekstensional yang sebelumnya telah ada, yang menunjukkan adanya kontrol tektonik terhadap pembentukan awal cekungan.PeriodeNeogen Compressional Wrenchingditandai oleh pembentukan sesar-sesar geser, yang terutama terjadi akibat gaya kompresif dari tumbukan lempeng Hindia. Sesar geser yang terjadi membentuk orientasi tertentu, yang berhubungan dengan kompresi utama. Sebagian besar pergeseran sesar merupakan reaktivasi dari sesar-sesar normal yang terbentuk pada periode Paleogen.PeriodePlio Pleistocene Compressional Thrust Foldingditandai oleh pembentukan lipatan yang berlanjut pada pembentukan sesar-sesar naik.Antiklinoriumdanthrust beltyang terjadi memiliki orientasi tertentu yang berhubungan dengan arah kompresi dan kinematika pembentukannya. Pada zaman Neogen cekungan Jawa Timur bagian utara mengalami rezim kompresi yang menyebabkan reaktivasi sesar-sesar normal tersebut dan menghasilkan sesar-sesar naik.Pada jaman Pre-Tersier lempeng Jawa Timur mengalami penunjaman dibawah lempeng Sunda, mengkuti arah memanjang zona penunjaman kurang lebih N 600E, penunjaman ini berakibat pemendekan lempeng pada arah tegaklurus arah penunjaman. Pada saat itu cekungan Jawa Timur barangkali masih berupa cekungan muka busur (fore arc basin). Pada Awal Miosen atau lebih tua, tektonik ekstensi bekerja di zona Rembang. Ekstensi ini kemudian diikuti oleh serangkaian tegasan kompresif yang menjadi aktif sejak Akhir Miosen hingga Holosen dengan arah yang bergeser dari arah timur laut. Kompresi ini juga bekerja pada zona Kendeng sejak Akhir Miosen dan seterusnya. Namun rekaman stratigrafis dari peristiwa ini hanya dapat diamati pada bagian bawah dari Formasi Kerek. Kompresi ini juga menjadi semakin lemah selama pembentukan sedimen yang lebih muda.Evolusi Morfotektonik Zona RembangBAB I. STRATIGRAFIMandala Rembang termasuk dalam cekungan Jawa Timur utara. Secara historis penggunaan nama-nama satuan stratigrafis pada zona ini semula hanya digunakan secara terbatas, tak terpublikasikan, pada dilingkungan perusahaan minyak Belanda BPM (Batafsche Petroleum Maatschapij), yaitu pendahulu perusahaan Shell, yang dulu memegang konsesi daerah Cepu. Nama-nama formasi secara resmi baru mulai digunakan oleh Van Bemmelen (1949) danStratigraphic Lexicon of Indonesiaoleh Marks (1957). Harsono (1983) melakukan perubahan dari nama-nama tak resmi sepertiglobigerina marlatauOrbitoiden-Kalkdengan memberikan nama yang baru, menetapkan lokasi tipe, sesuai dengan Sandi Stratigrafi Indonesia. Penentuan umur secara teliti dari setiap formasi dengan menggunakan pertolongan fosil foraminifera plangtonik telah dilakukan oleh Harsono (1983).Zona rembang dimulai dari ujung barat perbukitan di selatan Demak, memanjang ke arah timur dan timur laut memasuki wilayah Jawa Timur, memanjang melewati Pulau Madura, terus ke arah timur hingga ke Pulau Kangean. Arah memanjang perbukitan tersebut mengikuti sumbu-sumbu lipatan, yang pada umumnya berarah barat-timur. Di beberapa tempat sumbu-sumbu ini mengikuti polaen echelonyang menandakan adanya sesar geser lateral kiri (left lateral wrenching faulting).Bagian utara dari antiklinorium rembang yang mengandung formasi batuan berumur miosen awal, telah mengalami pengangkatan dan erosi. Suatu kelompok antiklin yang terdapat di bagian selatan dikenal sebagai zona rembang tengah dan selatan, juga sering disebut sebagaiCepu Trend. Batuan tertua yang tersingkap di bagian ini berumur miosen akhir, yang kebanyakan mengandung minyak. Batuan yang berfungsi sebagai reservoar hidrokarbon yang utama di daerah rembang adalah batupasir ngrayong (miosen tengah) sedangkan penyumbat atau (seal)nya adalah batulempung wonocolo yang berumur miosen akhir.Pada zona rembang bagian utara terdapat 2 gunung api pleistosen, yaitu Gunung Muria dan Lasem. Gunung api yang telah padam ini mempunyai komposisi batuan yang lain apabila dibandingkan dengan gunung api yang lain. Komposisinya bukan andesit tetapi berupa batuan beku yang kaya akan leucite (feldspatoid), mirip dengan batuan yang tergolong pada kelompok gunung apimediteranian suite, seperti yang dijumpai di Atlantika.Zona Rembang terbentang sejajar dengan zona Kendeng dan dipisahkan oleh depresi Randublatung, suatu dataran tinggi terdiri dari antiklinorium yang berarah barat-timur sebagai hasil gejala tektonik Tersier Akhir membentuk perbukitan dengan elevasi yang tidak begitu tinggi, rata-rata kurang dari 500 m. Beberapa antiklin tersebut merupakan pegunungan antiklin yang muda dan belum mengalami erosi lanjut dan nampak sebagai punggungan bukit. Zona Rembang merupakan zona patahan antara paparan karbonat di utara (Laut Jawa) dengan cekungan yang lebih dalam di selatan (cekungan Kendeng). Litologi penyusunnya campuran antara karbonat laut dangkal dengan klastika, serta lempung dan napal laut dalam.Stratigrafi Zona Rembang tersusun atas Formasi Ngimbang, F. Kujung, F. Prupuh, F. Tuban, F. Tawun, F. Ngrayong, F. Bulu, F. Wonocolo, F. Ledok, F. Mundu, F. Selorejo, dan F. Lidah.Formasi KujungTersusun oleh serpih dengan sisipan lempung dan secara setempat berupa batugamping baik klastik maupun terumbu. Diendapkan pada lingkungan laut dalam sampai dangkal pada kala Oligosen Akhir sampai Miosen Awal.Formasi TubanTersusun oleh lapisan batulempung dengan sisipan batugamping. Semakin ke selatan berubah menjadi fasies serpih dan batulempung (Soejono, 1981, dalam PanduanFieldtripGMB 2006). Diendapkan pada lingkungan neritik sedang-neritik dalam.Formasi TawunTersusun oleh serpih lanauan dengan sisipan batugamping. Pada bagian atas formasi ini didominasi oleh batupasir yang terkadang lempungan dan secara setempat terdapat batugamping. Satuan di bagian atas ini sering disebut sebagai Anggota Ngrayong. Diendapkan pada laut terbuka agak dalam sampai laut dangkal di bagian atas pada Miosen Tengah (N9-N13) (Rahardjo & Wiyono, 1993, dalam PanduanFieldtripGMB 2006).Formasi Tawun dimasa lalu disebut sebagaiLower Orbitoiden-Kalk(Lower OK) dan dimasukkan dalam apa yang disebutRembang beds(Van Bemmelen, 1949). Selanjutnya Koesoemadinata (1978) menamakannya sebagai Anggota Tawun dari Formasi Tuban. Pada tahun 1983, Harsono menaikkan status anggota ini menjadi Formasi (tabel III.1). Menurut Harsono Formasi Tawun ini tersusun oleh perselingan antaragypsiferous carbonaceous shaledengan struktur gelembur arus, serta batugamping yang kaya akan foraminifera besar golonganOrbitoidaeseperiLepidocyclina. Singkapan yang dijumpai merupakan bagian teratas dari Formasi ini, tersusun oleh batulempung abu-abu kehijauan dengan sisipan batugamping dan batupasir. Didaerah sekitar desa Ngampel terdapat singkapan dari Formasi ini setebal 30 m. Perlapisannya mengandung fosil foraminifera plangtonik yang menunjukkan umur N 8 (Akhir Miosen Awal) berupa kumpulan spesies :Globigerinoides diminutus, Pareorbulina transtoria dan Globigerinoides sicanus. Sedangkan kandungan foraminifera bentoniknya menunjukkan bahwa Formasi ini diendapkan pada kondisi laut sangat dangkal pada kondisi penguapan yang sangat tinggi. Ke arah atas litologi ini ditumpuki oleh batupasir merah hingga merah jambu, dengan gejala struktur silang siur yang menjadi ciri dari batupasir Ngrayong.Formasi NgrayongAnggota ini juga disebut Upper Orbitoiden-Kalak oleh Trooster (1937), Van Bemmelen (1949) menamakan Upper Rembang beds. Nama batupasir anggota Ngrayong telah diperkenalkan Brouwer (1957), yang mengajukan tipe local pada desa Ngrayong, Jatirogo, dimana susunan utamanya batupasir denganintercalationbatubara dansandy clay.Harsono (1983), mendeskripsi Ngrayong sebagai anggota formasi Tawun, terdiri dariorbitoid limestonedanshaledalam bagian bawah dan batupasir dengan intercalation batugamping dan lignit di bagian atas. Umur dari unit ini Miosen Tengah, pada area N9-N12. Lingkungan pengendapan dari anggota ini fluvial atau submarine dalam singkapan di sebelah utara (Jatirogo, Tawun) dan menjadi lingkungan laut pada bagian selatan. Di dekat Ngampel sekuen pasir endapan laut yang mendangkal ke atas darishore faceke pantai akan terlihat anggota ini mungkin berhubungan dengan haitus di atas area mulut laut jawa. Anggota ini merupakan reservoar utama dari lapangan minyak Cepu, tetapi terlihat adanyashaleyang hadir di bagian selatan dan timur dari lapangan ini. Ketebalan dari unit ini bervarian (lebih dari 300 m).Formasi BuluSemula formasi ini disebut sebagaiPlatenComplexoleh Trooster (1937). Tersusun oleh batugamping pasiran yang keras, berlapis baik, berwarna putih abu-abu, dengan sisipan napal pasiran. Pada batugampingnya dijumpai banyak foraminifera yang berukuran sangat besar dari spesiesCycloclypeus(Katacycloclypeus)annulatusberasosiasi dengan fragmen koral dan alga serta foramnifera kecil. Harsono (1983) menggunakan nama Formasi Bulu sebagai nama Resmi, dengan memasang lokasi tipe di Sungai Besek, dekat desa Bulu, Kabupaten Rembang. Posisi stratigrafi, umur dan litologinya dapat dilihat pada tabel III.1.Pada peta geologi lembar Rembang (1 : 100.000), formasi ini melampar luas terutama di wilayah antiklonorium Rembang Utara. Satuan ini menebal ke arah barat, mencapai ketebalan hingga 360 m di sungai Larangan. Dibagian timur di sungai Besek dekat desa Bulu ketebalannya hanya 80 meter. Kondisi litologi dan kandungan fosilnya menunjukkan bahwa Formasi ini diendapkan pada laut dangkal, terbuka pada Kala Miosen Tengah Awal Miosen Akhir (N 13 N 15).Formasi WonocoloTersusun dari napal kuning-coklat, mengandung glaukonit, terdapat sisipan kalkarenit dan batulempung. Menurut Purwati (1987, dalam PanduanFieldtripGMB 2006) lingkungan pengendapan formasi ini adalah neritik dalam hingga bathyal tengah pada Miosen Tengah-Miosen Atas (N14-N16).Formasi Wonocolo semula disebut sebagai anggota bawah dari FormasiGlobigerinaoleh Trooster (1937). Formasi ini menumpang secara selaras di atas formasi bulu dan ditumpangi oleh Formasi Ledok. Pada umumnya tersusun oleh napal dan napal lempungan yang tidak berlapis, kaya akan kandungan foraminifera plangtonik. Pada bagian bawahnya dijumpai sisipan batugamping pasiran dan batupasir gampingan dengan ketebalan bervariasi antara 520 cm. Urutan ini menunjukkan bahwa selama pengendapannya terjadi kondisi transgresif. Marks (1957) dan Harsono (1983) menyimpulkan bahwa umur dari formasi ini adalah Miosen Tengah Miosen Akhir kisaran umur N 14 N 16. (lihat tabel III.1).Singkapan dari Formasi Wonocolo dijumpai mulai dari daerah Sukolilo, barat daya Pati. Ketebalan dari Formasi ini sangat bervariasi. Ke arah utara formasi ini berubah fasies menjadi batugamping dari Formasi Paciran. Melimpahnya fauna plangtonik pada batuan penyusun formasi ini menunjukkan bahwa pengendapannya berlangsung pada laut yang relatif dalam, wilayah ambang luar hingga batial atas.Formasi LedokSecara selaras di atas Formasi Wonocolo terdapat Formasi Ledok. Trooster (1937) menganggap satuan ini sebagai anggota dari FormasiGlobigerina, namun para peneliti sesudahnya menganggap berstatus formasi (Marks, 1957; Harsono, 1983). Formasi Ledok secara umum tersusun oleh batupasir glaukonitan dengan sisipan kalkarenit yang berlapis bagus serta batulempung yang berumur Miosen Akhir (N 16N 17). Posisi stratigrafi, umur dan litologinya dapat dilihat pada tabel III.1.Ketebalan dari Formasi Ledok ini sangat bervariasi. Pada lokasi tipenya, yaitu daerah antiklin Ledok, ketebalannya mencapai 230 m. Di daerah sungai Panowan mencapai 160 m, sedangkan di sungai Cegrok tinggal 50 m. Batupasirnya kaya akan kandungan glaukonit dengan kenampakan struktur silang siur. Di beberapa tempat batupasir tersebut terutama tersusun oleh hanya oleh test foraminifera plangtonik dengan sedikit mineral kuarsa. Secara keseluruhan bagian bawah dari formasi ini cenderung tersusun oleh batuan yang berbutir lebih halus dari bagian atas, menunjukkan kecendrungan kondisi pengendapan laut yang semakin mendangkal (shallowing-upward sequence). Ke arah utara, seperti halnya Formasi Wonocolo, Formasi Ledok ini juga mengalami perubahan fasies menjadi batugamping dari formasi Paciran.Formasi MunduSatuan stratigrafi ini semula disebut sebagaiMundu stageoleh Trosster (1937). Selanjutnya oleh Van Bemmelen (1949) disebut sebagaiGlobigerina Marls. Oleh Marks (1957) satuan ini diresmikan sebagai Formasi. Formasi ini tersusun oleh napal masif berwarna putih abu-abu, kaya akan fosil foraminifera plangtonik. Secara stratigrafis Formasi Mundu terletak tidak selaras di atas formasi ledok, penyebarannya luas, dengan ketebalan 200 m300 m di daerah antiklinCepu area, ke arah selatan menebal menjadi sekitar 700 m. Formasi ini terbentuk antara Miosen Akhir hingga Pliosen (N 17N 21), pada lingkungan laut dalam (bathyial).Formasi SelorejoUnit ini pembentukannya disebutSelorejo Bedsoleh Trooster, 1937, yang telah diklasifikasikan sebagai anggota dair Formasi Lidah oleh Udin Adinegoro (1972) dan Koesoemadinata (1978). Sejak Harsono (1983) tidak melakukan pengamatan ketidakselarasan antara Formasi Lidah dan Mundu. Dia memasukkan anggota Selorejo dalam Formasi Mundu. Tipe lokalnya dari Desa Selorejo dekat Cepu dan terdiri lebih keras dan lebih lunak antar lapisan, menyisakan kebanyakan glaukonit. Dari foraminifera dianggap lingkungan laut dalam.Satuan batuan ini semula oleh Trooster (1937) disebut sebagaiSelorejo beds. Selanjutnya Udin Adinegoro (1972) dan Koesoemadinata (1978) menyebutnya sebagai anggota dari Formasi Lidah. Harsono (1983) menyimpulkan bahwa Selorejo ini merupakan anggota dari Formasi Mundu. Lokasi tipenya terletak di desa Selorejo dekat kota Cepu. Anggota Selorejo ini tersusun oleh perselingan antara batugamping keras dan lunak, kaya akan foraminifera palngtonik serta mineral glaukonit.Penyebaran dari Anggota Selorejo ini tidak terlalu luas, terutama meliputi daerah sekitar Blora, sebelah utara Cepu (desa Gadu) dan di selatan Pati. Ketebalannya berkisar antara 0 hingga 100 meter. Berdasarkan kandungan foraminifera palngtonik, umur dari Anggota Selorejo adalah Pliosen ( N 21).Formasi LidahFormasi ini terdiri atas batulempung kebiruan, napal berlapis dengan sisipan batupasir dengan lensa-lensa coquina. Dahulu Trooster (1937) menyebutnya sebagai Mergetton, yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu Tambakromo dan TuriDomas. Harsono (1983) kemudian meresmikan satuan ini menjadi berstatus formasi, yaitu Formasi Lidah (tabel III.1).Bagian terbawah dari formasi ini diduga merupakan endapan neritik tengah hingga neritik luar, yang tercirikan oleh banyaknya fauna plangtonik tetapi masih mengandung foraminifera bentonik yang mencirikan air relatif dangkal sepertipseudorotalia sp.danAsterorotalia sp. Ke arah atas, terjadi urutan yang mendangkal ke atas (shallowing upward sequence), yang dicirikan oleh lapisan-lapisan yang kaya akan moluska.I.1.7Formasi PaciranSatuan ini semula oleh Van Bemmelen (1949) disebut sebagaiKarren Limestone. Secara umum penyusunnya terdiri atas batugamping pejal, dengan permukaan singkapan-singkapannya mengalami erosi membentuk apa yang disebut sebagaikarren surface. Harsono (1983) secara resmi menggunakan nama Paciran dan menempatkannya pada status formasi, dengan lokasi tipenya berada di daerah bukit piramid di sekitar Paciran, kabupaten Tuban. Formasi ini dijumpai hanya dibagian utara dari Zona Rembang. Posisi stratigrafi, umur dan litologinya dapat dilihat pada tabel III.1. Umur dari Formasi ini masih memicu terjadinya perbedaan. Harsono (1983) menempatkannya pada Kala PliosenAwal Pleistosen, yang secara lateral setara dengan Formasi Mundu dan Lidah. Namun di beberapa tempat terdapat bukti umur yang menunjukkan bahwa Formasi Paciran telah berkembang pada saat pembentukan Formasi Ledok dan Wonocolo.BAB II STRUKTUR GEOLOGIPulau jawa mempunyai dua macam konfigurasi struktur (structural grains) yang berbeda. Di bagian utara tercirikan oleh kecendrungan mengikuti arah timur-barat. Pola timurlautbaratdaya diduga mengikuti konfigurasibasement.Basement-nya sendiri diduga merupakan bagian dari kerak benua yang berumur Pre Tersier, tersusun oleh mlange, ofiolit dan bagian dari jenis kerak benua lain. Pola struktur yang berarah timurbarat ini sesuai dengan busur volkanik Tersier yang juga berarah timurbarat (Hamilton, 1978). Cekungan Jawa Timur, dimana Kendeng dan Rembang terletak, kemungkinan terletak pada kerak perantara (intermediate crust) dari kelompok mlange yang berangsur berubah menjadi kerak samudra, yang mungkin terdapat pada penghujung timur dari cekungan ini.Pada bagian barat cekungan Jawa Timur nampak adanya kecendrungan arah morfologi dan struktur timurbarat (gambar IV.1). Hal ini dapat dibandingkan dengan cekungan selatan (Southern Basin). Daratan tersebut mencakup zona Rembang dan Zona Kendeng serta kelanjutannya, yang dibagian utara dibatasi oleh tinggian Kujung-KangeanMaduraSepanjang yang terbentuk sebagai akibat sesar geser (wrench related). Ke arah selatan zona ini dibatasi oleh jalur gunung api kuarter. Cekungan ini kemungkinan terbentuk sejak Eosen hingga akhir Oligosen oleh suatu tektonik ekstensional, yang kemudian diikuti oleh fase tektonikinversesejak awal Miosen hingga Holosen. Pada fase inversi ini dibagian utara dari cekungan ini mengalami pengangkatan (zona Rembang) sedangkan pada bagian selatannya masih berupa cekungan laut dalam (zona Kendeng).Dalam kerangka tektonik regional maka proses pembentukan struktur Tersier di Pulau Jawa dapat dibagi menjadi 3 periode :1.Paleogen Extension Rifting2.Neogen Compressional Wrenching3.Plio Pleistocene Compressing Thrust FoldingFase ekstensional Paleogene menghasilkangraben / half grabendan sesar-sesar yang mempunyai arah pemanjangan timurbarat. Selanjutnya pada fase kompresi pada Awal Miosen terjadi reaktivasi dari sesar ekstensional yang sebelumnya telah ada, yang menunjukkan adanya kontrol tektonik terhadap pembentukan awal cekungan.PeriodeNeogen Compressional Wrenchingditandai oleh pembentukan sesar-sesar geser, yang terutama terjadi akibat gaya kompresif dari tumbukan lempeng Hindia. Sesar geser yang terjadi membentuk orientasi tertentu, yang berhubungan dengan kompresi utama. Sebagian besar pergeseran sesar merupakan reaktivasi dari sesar-sesar normal yang terbentuk pada periode Paleogen.PeriodePlio Pleistocene Compressional Thrust Foldingditandai oleh pembentukan lipatan yang berlanjut pada pembentukan sesar-sesar naik.Antiklinoriumdanthrust beltyang terjadi memiliki orientasi tertentu yang berhubungan dengan arah kompresi dan kinematika pembentukannya. Pada zaman Neogen cekungan Jawa Timur bagian utara mengalami rezim kompresi yang menyebabkan reaktivasi sesar-sesar normal tersebut dan menghasilkan sesar-sesar naik.Pada jaman Pre-Tersier lempeng Jawa Timur mengalami penunjaman dibawah lempeng Sunda, mengkuti arah memanjang zona penunjaman kurang lebih N 600E, penunjaman ini berakibat pemendekan lempeng pada arah tegaklurus arah penunjaman. Pada saat itu cekungan Jawa Timur barangkali masih berupa cekungan muka busur (fore arc basin). Pada Awal Miosen atau lebih tua, tektonik ekstensi bekerja di zona Rembang. Ekstensi ini kemudian diikuti oleh serangkaian tegasan kompresif yang menjadi aktif sejak Akhir Miosen hingga Holosen dengan arah yang bergeser dari arah timur laut. Kompresi ini juga bekerja pada zona Kendeng sejak Akhir Miosen dan seterusnya. Namun rekaman stratigrafis dari peristiwa ini hanya dapat diamati pada bagian bawah dari Formasi Kerek. Kompresi ini juga menjadi semakin lemah selama pembentukan sedimen yang lebih muda.Struktur GeologiPada masa sekarang (Neogen Resen), pola tektonik yang berkembang di Pulau Jawa dan sekitarnya, khususnya Cekungan Jawa Timur bagian Utara merupakan zona penunjaman (convergent zone), antara lempeng Eurasia dengan lempeng Hindia Australia (Hamilton, 1979, Katili dan Reinemund, 1984, Pulonggono, 1994).Evolusi tektonik di Jawa Timur bisa diikuti mulai dari Jaman Akhir Kapur (85 65 juta tahun yang lalu) sampai sekarang (Pulonggono, 1990). Secara ringkasnya, pada cekungan Jawa Timur mengalami dua periode waktu yang menyebabkan arah relatif jalur magmatik atau pola tektoniknya berubah, yaitu pada jaman Paleogen (Eosen Oligosen), yang berorientasi Timur Laut Barat Daya (searah dengan pola Meratus). Pola ini menyebabkan Cekungan Jawa Timur bagian Utara, yang merupakan cekungan belakang busur, mengalami rejim tektonik regangan yang diindikasikan oleh litologi batuan dasar berumur Pra Tersier menunjukkan pola akresi berarah Timur Laut Barat Daya, yang ditunjukkan oleh orientasi sesar sesar di batuan dasar,horstatau sesar sesar anjak dangrabenatau sesar tangga. Dan pada jaman Neogen (Miosen Pliosen) berubah menjadi relatif Timur Barat (searah dengan memanjangnya Pulau Jawa), yang merupakan rejim tektonik kompresi, sehingga menghasilkan struktur geologi lipatan, sesar sesar anjak dan menyebabkan cekungan Jawa Timur Utara terangkat (Orogonesa Plio Pleistosen) (Pulonggono, 1994). Khusus di Cekungan Jawa Timur bagian Utara, data yang mendukung kedua pola tektonik bisa dilihat dari data seismik dan dari data struktur yang tersingkap.Menurut Van Bemmelen (1949), Cekungan Jawa Timur bagian Utara (North East Java Basin) yaitu Zona Kendeng, Zona Rembang Madura, Zona Paparan Laut Jawa (Stable Platform) dan Zona Depresi Randublatung.Keadaan struktur perlipatan pada Cekungan Jawa Timur bagian Utara pada umumnya berarah Barat Timur, sedangkan struktur patahannya umumnya berarah Timur Laut Barat Daya dan ada beberapa sesar naik berarah Timur Barat.Zona pegunungan Rembang Madura (Northern Java Hinge Belt) dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu bagian Utara (Northern Rembang Anticlinorium) dan bagian Selatan (Middle Rembang Anticlinorium).Bagian Utara pernah mengalami pengangkatan yang lebih kuat dibandingkan dengan di bagian selatan sehingga terjadi erosi sampai Formasi Tawun, bahkan kadang kadang sampai Kujung Bawah. Di bagian selatan dari daerah ini terletak antara lain struktur struktur Banyubang, Mojokerep dan Ngrayong.Bagian Selatan (Middle Rembang Anticlinorium) ditandai oleh dua jalur positif yang jelas berdekatan dengan Cepu. Di jalur positif sebelah Utara terdapat lapangan lapangan minyak yang penting di Jawa Timur, yaitu lapangan : Kawengan, Ledok, Nglobo Semanggi, dan termasuk juga antiklin antiklin Ngronggah, Banyuasin, Metes, Kedewaan dan Tambakromo. Di dalam jalur positif sebelah selatan terdapat antiklinal-antiklinal / struktur-struktur Gabus, Trembes, Kluweh, Kedinding Mundu, Balun, Tobo, Ngasem Dander, danNgimbang High.Sepanjang jalur Zona Rembang membentuk struktur perlipatan yang dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu :Bagian Timur, dimana arah umum poros antiklin membujur dari Barat Laut Timur Tenggara.Bagian Barat, yang masing masing porosnya mempunyai arah Barat timur dan secara umum antiklin-antiklin tersebut menunjam baik ke arah barat ataupun ke arah timur.

Gambar Kerangka tektonik Cekungan Jawa Timur bagian Utara (Katili dan Reinemund, 1984).REMBANG - Potensi tambang yang begitu besar di Kabupaten Rembang belum seluruhnya bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat, karena keterbatasan anggaran. ''Untuk menggali potensi ini harus melibatkan pihak investor,'' kata Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rembang, Drs H Agus Supriyanto kepada Suara Merdeka, kemarin.Menurutnya, di daerahnya banyak terdapat tambang golongan C, seperti piropilit, batu gamping, bentonit, kaolin, toseki, andesit, kalsit, pasir kursa, tras, dan zeolit. Bahan tambang tersebut tersebar di seluruh wilayah kecamatan yang ada di Rembang, tetapi terbesar ada di wilayah Kecamatan Sedan, Pancur, Pamotan, Kragan, Sale, Gunem, dan Sumber.''Jika melihat izin penambangan yang masuk ke dinas kami, bisa diketahui bahwa baru sebagian kecil potensi yang bisa digali,'' jelasnya.Pejabat itu memperkirakan, selain tambang golongan C, masih ada jenis tambang lainnya yang tersimpan di Bumi Rembang. Tetapi untuk melakukan identifikasi bahan galian yang terkandung di tanah Rembang masih terbentur soal anggaran.Sejauh ini, ESDM baru melakukan penggolongan bahan tambang yang ada di daerahnya. Misalnya, menyangkut soal pendataan bahan galian golongan A (strategis), B (vital), dan C (tambang yang tidak termasuk A dan B).Dari penggolongan jenis bahan galian tersebut banyak dijumpai bahan galian dengan golongan C. Bahan galian golongan C ini paling mudah diidentifikasi karena berada di antara gunung dan bukit.AnggaranSoal penggalian potensi tambang selain golongan C, ia mengaku, masih ada potensi lain yang belum bisa digali. Namun dinasnya belum bisa mengungkap karena terbentur anggaran penelitian.Hingga kini, tambang yang sudah digali sebagian besar berada di kawasan pegunungan dan perbukitan. Di antaranya di kawasan Kecamatan Sale, Sedan, dan Pancur.Selain itu, di wilayah Kecamatan Sumber juga teridentifikasi adanya kandungan minyak dan gas. Hal ini bisa diketahui karena di wilayah tersebut pernah dilakukan kegiatan surve seismik dua dimensi oleh PT Pertamina yang bekerja sama dengan pemkab Rembang.Disinggung tentang besarnya pendapatan daerah dari sektor pertambangan, Agus Supriyanto mengatakan, sudah dua tahun lalu penarikan pajak/retribusi sektor pertambangan menjadi tanggung jawab Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah (DPPKAD). ''Sekarang kami tak ikut mengurusi pajaknya,'' jelasnya.Ditanya masih adanya penambangan bahan golongan C secara liar, Agus Supriyanto mengakui masih ada, namun jumlahnya tak banyak. ''Kami terus berupaya membina mereka agar mau mengurus izin. Kalau tidak ya terpaksa kami tertibkan,'' katanya.(jl-42,47)REMBANG - Potensi tambang yang begitu besar di Kabupaten Rembang belum seluruhnya bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat, karena keterbatasan anggaran. ''Untuk menggali potensi ini harus melibatkan pihak investor,'' kata Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rembang, Drs H Agus Supriyanto kepada Suara Merdeka, kemarin.Menurutnya, di daerahnya banyak terdapat tambang golongan C, seperti piropilit, batu gamping, bentonit, kaolin, toseki, andesit, kalsit, pasir kursa, tras, dan zeolit. Bahan tambang tersebut tersebar di seluruh wilayah kecamatan yang ada di Rembang, tetapi terbesar ada di wilayah Kecamatan Sedan, Pancur, Pamotan, Kragan, Sale, Gunem, dan Sumber.''Jika melihat izin penambangan yang masuk ke dinas kami, bisa diketahui bahwa baru sebagian kecil potensi yang bisa digali,'' jelasnya.Pejabat itu memperkirakan, selain tambang golongan C, masih ada jenis tambang lainnya yang tersimpan di Bumi Rembang. Tetapi untuk melakukan identifikasi bahan galian yang terkandung di tanah Rembang masih terbentur soal anggaran.Sejauh ini, ESDM baru melakukan penggolongan bahan tambang yang ada di daerahnya. Misalnya, menyangkut soal pendataan bahan galian golongan A (strategis), B (vital), dan C (tambang yang tidak termasuk A dan B).Dari penggolongan jenis bahan galian tersebut banyak dijumpai bahan galian dengan golongan C. Bahan galian golongan C ini paling mudah diidentifikasi karena berada di antara gunung dan bukit.AnggaranSoal penggalian potensi tambang selain golongan C, ia mengaku, masih ada potensi lain yang belum bisa digali. Namun dinasnya belum bisa mengungkap karena terbentur anggaran penelitian.Hingga kini, tambang yang sudah digali sebagian besar berada di kawasan pegunungan dan perbukitan. Di antaranya di kawasan Kecamatan Sale, Sedan, dan Pancur.Selain itu, di wilayah Kecamatan Sumber juga teridentifikasi adanya kandungan minyak dan gas. Hal ini bisa diketahui karena di wilayah tersebut pernah dilakukan kegiatan surve seismik dua dimensi oleh PT Pertamina yang bekerja sama dengan pemkab Rembang.Disinggung tentang besarnya pendapatan daerah dari sektor pertambangan, Agus Supriyanto mengatakan, sudah dua tahun lalu penarikan pajak/retribusi sektor pertambangan menjadi tanggung jawab Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah (DPPKAD). ''Sekarang kami tak ikut mengurusi pajaknya,'' jelasnya.Ditanya masih adanya penambangan bahan golongan C secara liar, Agus Supriyanto mengakui masih ada, namun jumlahnya tak banyak. ''Kami terus berupaya membina mereka agar mau mengurus izin. Kalau tidak ya terpaksa kami tertibkan,'' katanya.(jl-42,47)Potensi dan Masalah Kota Rembang

Kabupaten Rembang

Kota Rembang adalah sebuah kota kecil yang berbatasan dengan Provinsi Jawa Timur di sebelah Timur, Kabupaten Pati di sebelah barat, Laut Jawa di sebelah utara dan kabupaten Blora di sebelah selatan. Mungkin banyak yang belum mengetahui apa saja yang ada di kota Rembang, bahkan mungkin juga tidak banyak yang tahu di mana Rembang. Tapi sebenarnya banyak potensi-potensi kota Rembang.

Salah satu potensi kota Rembang adalah keadaan alamnya yang masih asri dan sejuk, selain itu juga objek wisatanya, antara lain : Pantai Kartini, di TRP Kartini terdapat jangkar kapal raksasa, yang sekarang dimuseumkan, ditempatkan di areal tersendiri di bangunan gardu di atas laut Jawa. Keberadaan jangkar raksasa ini pun tak lepas dari kisah rakyat turun temurun. Konon, ketika Sam Phoo Kong (lebih dikenal dengan nama Dampo Awang), utusan dari Kerajaan Cina berlayar melintas di Perairan Rembang dalam rangka ekspedisi ke selatan, kapalnya diterjang badai gelombang sehingga rusak berat dan terhempas ke daratan. Rantai jangkar lepas dan terdampar di Pantai Rembang, sedang layarnya tertiup angin dan jatuh di Pantai Binangun, Sluke (20 km sebelah timur Pantai Rembang), dan dikenal dengan sebutan watu layar. Sedang badan kapal yang karam dan tertimbun lumpur dan tanah bebatuan di daerah Lasem, membentuk sebuah bukit yang sekilas mirip kapal terbalik, yang oleh masyarakat sekitar dinamai Bukit Bugel dan juga Makam RA Kartini, Mantingan, Pantai Binangun, Pesanggrahan Sunan Bonang, Pantai Gedong, Embung Lodan, Sumber Semen dll.Karena berbatasan dengan Laut Jawa, yang membentang dari kecamatan Kaliori sampai kecamatan Sarang sepanjang 65 kilometer, perikanan laut Rembang nomor dua terbesar se-Jateng setelah Kota Pekalongan. Tiga belas Tempat Pelelangan Ikan (TPI) berada di kabupaten ini. Tahun 2001, 13 TPI tersebut mampu menghasilkan 51.365 ton ikan senilai Rp. 115,71 milyar. Hasil itu dipasarkan sampai ke luar Jawa, seperti Lampung, Jambi, dan sekitar Sumatera bagian tengah, bahkan sampai ke luar negeri. Namun, eksport masih dilakukan lewat Semarang dan Surabaya, karena Rembang belum memiliki perwakilan ekspor. Untuk pemasaran di Jawa, selain ke kabupaten tetangga, juga ke Yogyakarta dan Semarang. Lewat retribusi pungutan hasil perikanan, sumbangan sektor perikanan bagi pendapatan asli daerah mencapai hampir Rp. 1 miliar tiap tahunnya.Juga dengan makanan dan oleh-oleh khas Rembang, yaitu : Sirup Kawis, Lontong Tuyuhan, Batik Lasem yang memiliki perpaduan corak Jawa dan Tionghoa, Legen dsb.Menurut saya, Rembang mempunyai banyak potensi yang dapat digali lebih dalam lagi terutama jika dikelola secara profesional dan serius.Masalah utama yang dialami kota Rembang adalah lambatnya pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan yang tinggi, Kabupaten ini masuk dalam daftar daerah tertinggal. Tingkat kemiskinan tergolong tinggi. Hampir 38 % dari sekitar 650 ribu penduduk Rembang, menurut data BPS, dikategorikan miskin. Kemiskinan meningkat drastis menjadi sekitar 60% pada saat program Bantuan Langsung Tunai (BLT) diluncurkan pemerintah pusat.Sedikitnya industri-industri yang mampu menyerap lapangan pekerjaan, terutama industri yang berskala Nasional menimbulkan banyaknya pengangguran.Banyaknya potensi-potensi Rembang tidak diiringi dengan pengelolaan dan pubikasi yang baik, sehingga banyak orang yang tidak mengenal kota Rembang, serta kurangnya fasilitas dan pelayanan yang baik.

Koordinat

Peta lokasi Kabupaten Rembang: 111000' - 111030' Bujur Timur dan 6030' - 706' Lintang Selatan