Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam Volume 8, Nomor 1, Februari 2015; p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579; 13-31
RELEVANSI PENDIDIKAN KRITIS PAULO FREIRE DENGAN PENDIDIKAN ISLAM
Ainul Yaqin
Sekolah Tinggi Agama Islam Miftahul Ulum Panyepen Pamekasan, Indonesia E-mail: [email protected]
Abstract: Criticisms which always come up in Islamic Education is a doctrinal, dogmatic learning model that gives no freedom to learners. It is theoretically on the basis of the epistemology of Paulo Friere on oppressed people. According to him the oppressed people who internalize themselves with those oppressing them and adapted themselves with their way of thinking will bring a feeling of severe threat. Islam prioritizes mankind, upholds democratic values and justice, appreciates what men have done, teaches people how to speak truly and behave properly, and loves the week and the oppressed. It is in this position that freedom fits those values. Keywords: relevance, Paulo Friere, Islamic education.
Pendahuluan
Pendidikan merupakan masalah yang sangat penting dan tidak bisa dipisahkan
dari seluruh rangkaian kehidupan manusia. Pendidikan selalu menjadi tumpuan
kebanyakan manusia memandang pendidikan sebagai sebuah kegiatan mulia yang
akan mengarahkan manusia pada nilai-nilai yang memanusiakan. 1 Pendidikan
memiliki tujuan mengembalikan jati diri manusia yang sesungguhnya sebagai manusia
yang merdeka, berhak untuk hidup, tidak ditindas, tidak diperlakukan secara
sewenang-wenang. 2 Dalam pendidikan Islam, pendidikan mengandung makna
memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi atau sumber daya insani
menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil). Dengan demikian pendidikan
bukanlah merupakan pengalihan atau transfer pengetahuan, melainkan membantu
peserta didik agar mampu mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki. Pendidikan
sebagai proses memerdekakan peserta didik dengan cara yang manusiawi sesuai
dengan potensi atau fitrah yang dimiliki. Jika seorang murid dipaksa untuk mengikuti
kehendak guru, dimatikan pendapatnya atau menjalankan perintah di bawah tekanan,
1 Sudarwan Danim, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 4. 2 Moh Yamin, Menggugat Pendidikan di Indonesia: Belajar dari Paolo Freire dan Ki Hajar Dewantara (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2009), 135.
Ainul Yaqin Relevansi Pendidikan Kritis Paulo Freire dengan Pendidikan Islam
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 14 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
berarti dia belum sepenuhnya merdeka sebagai manusia, model-model pendidikan
seperti ini hanya akan melahirkan manusia-manusia kaku yang berpandangan sempit.3
Dalam realitanya, praktek pendidikan yang terjadi lebih nampak sebagai
deseminasi doktrin atau alat hegemoni bagi kelas penguasa. Dimana peserta didik
senantiasa di-driill dan dilatih untuk menjadi penurut. Dalam konteks ini, pendidikan
tidak lagi menjadi proses pendewasaan manusia, melainkan alat sebuah sistem
penindasan. Bila kondisi pendidikan yang demikian sama sekali menafikan
keberadaan peserta didik sebagai seorang manusia yang memiliki potensi untuk
berfikir dan memiliki kesadaran, yang mengakibatkan peserta didik tidak mempunyai
kesadaran untuk maju. Pada dekade 70-an Paulo Freire salah seorang penggagas
pendidikan kritis melontarkan kritik yang sangat mendasar. Salah satu kritik cukup
tajam menurut Friere, kala itu pendidikan di Brazil (dan mungkin masih terjadi
sampai kini di banyak negera, termasuk Indonesia) adalah bahwa pendidikan
mengalami proses “dehumanisasi”. Dikatakan demikian karena pendidikan
mengalami proses kemunduran dengan terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan yang
dikandungnya. Masalahnya adalah pendidikan selama ini hanya menjadi ajang
penindasan dan pembodohan gaya baru yang di bungkus rapi oleh sekolah,
pendidikan telah menjadi alat penindasan dari kekuasaan untuk membiarkan rakyat
dalam keterbelakangannya dan ketidaksadaran bahwa ia telah menderita dan
tertindas, sistem ini berjalan karena adanya mazhab pendidikan yang terpengaruh
oleh pemikiran positivisme.4
Dalam mazhab positivisme, sistem pendidikan yang dikenal adalah sistem
“bank” (banking concept of educational), secara cermat Freire menganalisa konsep
pendidikan gaya bank yang memelihara, bahkan mempertajam, kontradiksi guru dan
murid. Pendidikan gaya bank adalah konsep di mana pelajar diberikan ilmu
pengetahuan agar daripadanya kelak diharapkan suatu hasil lipat ganda. Jadi anak
didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Depositor atau
3 Immawati Dwi Setyowati, Pendidikan Humanistik, STAIN Purwokerto. Diakses 01-03-2014. 4 Positivisme, adalah aliran filsafat yang berpendapat bahwa manusia tidak pernah mengetahui lebih dari fakta-fakta yang Nampak, menurut positivisme tugas ilmu pendidikan dan filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta tanpa menyelidiki sabab-sebabnya. Baca Muh. Hanif Dhakiri, Paulo Freire Islam dan Pembebasan (Salatiga: Djambatan dan Pena, 2000), 4-6. Baca juga Mansour Fakih, Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis (Yogyakarta: Insist, 2010), xvii dan 47.
Ainul Yaqin
Ainul Yaqin Relevansi Pendidikan Kritis Paulo Freire dengan Pendidikan Islam
15 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
investornya adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan mapan
dan berkuasa, sementara depositnya adalah ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada
anak didik. Anak didik pun lantas diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang akan
diisi, sebagai sarana tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang akan
dipetik hasilnya kelak. Pendidikan akhirnya bersifat negatif di mana guru memberi
informasi yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingat dan dihafalkan.5
Dari sinilah pendidikan kritis hadir untuk membangkitkan kesadaran
masyarakat untuk peduli dan kritis terhadap segala persoalan yang terjadi dalam
lingkungan mereka. Freire mengharapkan pendidikan kritis bisa membenahi carut-
marut kehidupan bangsa terutama pendidikan.6 Bagi Freire, selaku tokoh penggagas
pendidikan kritis. Pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri
manusia dan dirinya sendiri. Pengenalan akan realitas bagi Freire tidak hanya bersifat
objektif atau subjektif, tapi harus kedua-duanya secara sinergis. 7 Sehingga dapat
dikatakan bahwa pendidikan kritis pada dasarnya merupakan salah satu paham dalam
pendidikan yang mengutamakan pemberdayaan peserta didik agar dapat berfikir
kretif, mandiri, dan produktif yang dapat membangun diri dan masyarakatnya
Pendidikan kritis yang ditawarkan Freire memberikan inspirasi tentang muatan
yang seharusnya ada dalam pendidikan, alur berfikir Freire sangat relevan dengan
pandangan pendidikan Islam. Islam sebagai sebuah agama yang telah mengajarkan
adanya penghargaan terhadap terhadap eksistensi manusia yang merupakan makhluk
beradab, berfikir, dan memiliki kesadaran jauh sebelum Freire ada. Dalam konteks
inilah, Islam memandang penting kedudukan manusia dalam proses pembentukan
dan aktualisasi dimensi manusia yang berupa fitrah. Pendidikan Islam memiliki nilai
positif dan konstruktif dalam mendidik peserta didik menjadi mandiri dan mampu
mengembangkan potensinya secara optimal.
5 Ngainun Naim, Rekonstruksi Pendidikan Nasional Membangun Paradigma yang Mencerahkan (Yogyakarta: Teras, 2010), 116. Lihat juga Dhakiri, Paulo Freire, 8. 6 Yamin, Menggugat Pendidikan, 166. 7 Paulo Freire, Politik Pendidikan kebudayaan kekuasaaan dan Pembebasan. Terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), ix.
Ainul Yaqin Relevansi Pendidikan Kritis Paulo Freire dengan Pendidikan Islam
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 16 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif deskriptif dengan jenis library
research. Kajian pustaka berusaha mengungkapkan konsep-konsep baru dengan cara
membaca dan mencatat informasi-informasi yang relevan dengan kebutuhan. Bahan
bacaan mencakup buku-buku, jurnal, dan karya ilmiah yang terkait dengan judul
penelitian ini. Dalam penelitian ini peneliti berhadapan langsung dengan teks atau
data yang bukan dengan pengetahuan langsung dari lapangan atau saksi mata tempat
kejadian. Sumber data dalam proses penelitian ini adalah dokumentasi, meliputi: 1).
Sumber data primer adalah sumber data yang utama (pokok) berupa karya-karya yang
ditulis sendiri oleh Paulo Freire, seperti buku Pendidikan Masyarakat kota, Politik
Pendidikan kebudayaan kekuasaaan dan Pembebasan, Pendidikan Kaum Tertindas, Runtuhnya
Teori Pembangunan dan Globalisasi dan lain-lain; dan 2). Sumber data sekunder adalah
sumber data yang mendukung data primer yang membahas konsep pendidikan kritis
dan konsep pendidikan Islam, misalnya melalui dokumen atau karya orang lain yang
secara intelektual tidak terjadi kontak, tetapi ada kesamaan tema-tema pemikiran yang
dikembangkannya, seperti buku Pendidikan Madzhab Kritis, Paradigma Pendidikan Islam
dan lain-lain.8
Biografi Singkat Paulo Friere
Freire dilahirkan dalam keluarga kelas menengah 19 September 1921 di Recife,
sebuah kota kecil yang letaknya di dekat pelabuhan di timur laut Brazil. Refice adalah
salah satu pusat kemiskinan dan keterbelakangan. Freire dilahirkan oleh seorang ibu
bernama Edeltrus Neves Freire, dan ayahnya seorang polisi bernama Joaquim
Thomis Tocles Freire. Freire berada dalam didikan kedua orang tuanya dengan sikap
demokratis, terbuka dan dialogis. Sikap itu tercermin dalam tindakan kedua
orangtuanya yang selalu menekankan agar menghargai dialog dan menghormati
pendapat orang lain. Ketika krisis ekonomi melanda Brazil pada tahun 1929, keluarga
Freire ikut terkena dampaknya dan jatuh miskin. Masa kecil Freire adalah masa yang
memprihatinkan. Pada usia 8 tahun, Freire mengalami sendiri penderitaan yang
8 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R & D (Bandung: ALFABETA, 2009), 225. Lihat juga Marzuki, Metodologi Riset (Yogyakarta: Ekonisia, 2005), 60.
Ainul Yaqin Relevansi Pendidikan Kritis Paulo Freire dengan Pendidikan Islam
17 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
disebabkan karena kelaparan. Kondisi inilah yang menjadi embrio perjuangan Freire
nantinya, bahkan akhirnya mendorongnya untuk bertekad mempertaruhkan seluruh
hidupnya. Sejak saat itu Freire kecil telah memutuskan hidupnya untuk berjuang demi
kebebasan dan kemerdekaan dari kelaparan. Pada 1931 ayah Freire meninggal dunia
ketika ia dan keluarganya baru saja pindah ke Jabatao. Freire dan keluarganya terus
berjuang untuk menata hidupnya supaya hidup sejahtera. Tiga tahun kemudian,
ketika kondisi ekonomi membaik, Feire melanjutkan sekolahnya. Bahkan Freire dapat
melanjutkan sekolahnya hingga ke perguruan tinggi. Freire mulai belajar di
Universitas Recife pada 1943, sebagai seorang mahasiswa hukum, tetapi ia juga
belajar filsafat dan psikologi bahasa. Meskipun ia lulus sebagai ahli hukum, ia tidak
pernah benar-benar berpraktik dalam bidang tersebut. Sebaliknya, ia bekerja sebagai
seorang guru di sekolah-sekolah menengah, mengajar bahasa Portugis. Pada 1944 ia
menikah dengan Elza Maia Costa de Oliveira, seorang rekan gurunya (yang kemudian
menjadi kepala sekolah). Mereka berdua bekerja bersama selama hidupnya sementara
istrinya juga membesarkan kelima anak mereka. Setelah lulus sarjana hukum, dia
bekerja sebagai pejabat dalam bidang kesejahteraan, bahkan menjadi Direktur bagian
pendidikan dan kebudayaan SESI (pelayanan sosial) di negara Pernambuco.
Pengalaman dibidang masyarakat selama bertahun-tahun membawanya kepada
kontak langsung dengan penduduk miskin di daerah perkotaan. Dari kontak dengan
masyarakat miskin tersebut yang menjadi cikal-bakal dialogis dalam mengembangkan
metode dialogis dalam pendidikan.9
Relevansi Pendidikan Kritis Paulo Freire dengan Pendidikan Islam
Pendidikan kita masih terkesan sebagai pendidikan yang membelenggu. sistem
pendidikan dengan konsep delivery system. Di sini terjadi praktik pendidikan yang
mengalir dari atas ke bawah (top-down), pengetahuan tekstual masih berpola pada
guru-siswa, yang kurang memperhatikan faktor hak-hak anak secara demokratis dan
kreatif, serta kurangnya pemberian kesempatan kepada mereka untuk melakukan
aktifitas dalam pendidikan. Sistem pendidikan yang membelenggu ini pada gilirannya
9 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, terj. F Danuwinata (Jakarta: LP3ES, 2008), x-xi. Lihat juga Hanif Dhakiri, Paulo Freire Islam dan Pembebasan (Jakarta: Djambatan, 2000), 17.
Ainul Yaqin Relevansi Pendidikan Kritis Paulo Freire dengan Pendidikan Islam
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 18 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
akan menghasilkan manusia yang penurut, tidak kreatif bahkan memiliki
ketergantungan tinggi. Hal tersebut akan membuat mereka menjadi beban sosial,
tidak mandiri, bahkan tidak memiliki jati diri. Pendidikan demikian dapat dinyatakan
sebagai sistem pendidikan tertutup, kurang memberikan kebebasan dan pengalaman
kepada para peserta didik untuk berkreasi.10
Paradigma pendidikan kritis, sebagai paradigma pendidikan alternatif yang
digagas oleh Freire adalah sebagai sebuah kritik terhadap paradigma pendidikan
konservatif dan liberal, yang kini menguasai paradigma pendidikan dominan yang
diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan, baik lembaga formal maupun non
formal. Paradigma pendidikan kritis yang digagas oleh Freire menampilkan kritik
yang sangat mendasar terhadap paradigma pendidikan konservatif dan liberal yang
telah dianggap gagal menjalankan visi dan misi pendidikan sebagai proses humanisasi.
Implikasi yang dihasilkan oleh paradigma pendidikan yang dominan tersebut adalah
output pendidikan yang dihasilkan tidak mampu membawa ke arah perubahan yang
konstruktif bagi realitas kemanusiaan.11
Kegagalan paradigma pendidikan konservatif dan liberal dalam menjalankan
visi dan misi pendidikan tersebut, juga menarik perhatian para tokoh pendidikan
Islam kontemporer. Salah satu aspek penting yang mendasari pemikir pendidikan
Islam merumuskan konsep pendidikannya adalah fenomena realitas dunia pendidikan
Barat modern yang ditiru oleh dunia Islam, namun kenyataannnya telah gagal
mencapai tujuan sejati dari pendidikan. Kegagalan paradigma pendidikan konservatif
dan liberal dalam menjalankan visi dan misi pendidikan tersebut, juga menarik
perhatian para tokoh pendidikan Islam kontemporer. Salah satu aspek penting yang
mendasari pemikir pendidikan Islam merumuskan konsep pendidikannya adalah
fenomena realitas dunia pendidikan Barat modern yang ditiru oleh dunia Islam,
namun kenyataannnya telah gagal mencapai tujuan sejati dari pendidikan.
Pendidikan menurut Muhammad Iqbal (pemikir Islam dari anak benua India)
bertujuan membentuk manusia sejati, dalam menggagas paradigma pendidikan
10 Immawati, Pendidikan Humanistik. 11 Lihat Mansour Fakih, Mansour Fakih, Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis (Yogyakarta: Insist, 2010), 23-27. Lihat juga Ainurrofiq Dawam, Emoh Sekolah: Menolak Komersialisasi Pendidikan dan Kanibalisme Intelektual Menuju Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: Inspeal Press, 2003), 138-143.
Ainul Yaqin Relevansi Pendidikan Kritis Paulo Freire dengan Pendidikan Islam
19 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
Islamnya, terlebih dahulu memberikan kritiknya terhadap paradigma pendidikan
Barat modern yang telah menghasilkan krisis kemanusiaan yang berkepanjangan.
Menurut Iqbal, kegagalan yang terjadi dalam pendidikan Barat modern dikarenakan
dalam pendidikan Barat modern hanya menekankan aspek transformasi pengetahuan
belaka, tanpa menaruh perhatian pada hati nurani peserta didik. Sehingga sistem
pendidikan ini akhirnya akan menyebabkan perkembangan peserta didik tidak
seimbang antara aspek lahiriyah dan batiniyah.12
Umat Islam harus menyadari ”kegagalan” pendidikan karena pola lama yang
selama ini digunakan telah terbukti gagal menghantarkan terbentuknya manusia-
manusia cerdas, kritis dan kreatif.13 Sehingga mau tidak mau pendidikan Islam harus
menanggalkan paradigma lama menuju paradigma baru yang berorientasi pada masa
depan, berjiwa demokrtis, serta berorientasi pada peserta didik.14 Secara konseptual
pendidikan dalam Islam tidak hanya proses belajar mengajar untuk
mentransformasikan pengetahuan belaka. Dalam pandangan pendidikan Islam, secara
umum pendidikan mencakup aspek pembinaan diri secara integral untuk
mengantarkan manusia pada kesempurnaan kemanusiaannya. Pada akhirnya,
pendidikan dalam Islam berorientasi pada penyelesaian masalah-masalah manusia
secara umum dan mengantarkannya pada tujuan hidupnya yang mulia dengan
mengembangkan seluruh potensi manusia baik jasmani maupun rohani,
menumbuhsuburkan hubungan yang harmonis kepada Allah, manusia dan alam
semesta.15
Dari latar belakang fenomenologis, defenisi dan orientasi pendidikan yang
digagas oleh Iqbal dan paradigma pendidikan kritis terlihat memiliki relevansi yang
sangat jelas. Dimana keduanya mendasarkan paradigma pendidikan pada otokritik
terhadap kegagalan paradigma pendidikan yang telah ada, serta memiliki orientasi
yang secara umum sama, yaitu pencapaian humanisasi baik secara individu maupun
sosial. Relevansi tersebut terlihat, khususnya pada orientasi pendidikan untuk
12 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), 287-288. 13 Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), 49. 14 Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), 117. 15 Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam: untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKK (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 73.
Ainul Yaqin Relevansi Pendidikan Kritis Paulo Freire dengan Pendidikan Islam
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 20 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
membentuk pribadi manusia secara integral, dengan memperhatikan dan
mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki manusia secara menyeluruh. Di
samping itu, keduanya juga memiliki relevansi secara sosiologis, di mana orientasi
sosial dari pendidikan adalah penyelesaian terhadap masalah-masalah zaman yang
dihadapi demi tercapainya transformasi sosial. Sasaran utama pendidikan dalam
pendidikan Islam juga sangat relevan dengan sasaran pendidikan yang ingin dicapai
dalam pendidikan kritis yaitu memanusiakan mansia. Sebagaimana Freire, dengan
konsep kesadaran kritisnya, yang menyatakan bahwa pendidikan mestilah
mengantarkan manusia untuk memahami seluruh aspek kehidupan sosial masyarakat
memiliki keterkaitan yang erat antara satu bidang dengan bidang yang lain.
Pendidikan mestilah mengantarkan manusia pada kesadaran kritis dalam melihat
seluruh aspek tersebut. Hal senada juga diungkapkan oleh al-Toumy bahwa:
Pendidikan Islam harus berkaitan erat dengan realitas masayarakat, kebudayaan, dan sistem sosial, ekonomi, dan politik. Pendidikan harus juga berkaitan dengan aspirasi, harapan, kebutuhan, dan masalah-masalah manusia di dalamnya. Pendidikan Islam tidak boleh tegak di atas awang-awang, serta tidak terasing dari realitas kebudayaan dan sosial. Pendidikan Islam harus selaras dengan kebudayaan yang hidup dan berkembang di masyarakat, serta sistem-sistem sosial, ekonomi, dan politik yang berkuasa di dalam masyarakat. Pendidikan Islam, tidak hanya menyeseuaikan diri dengan apa yang ada di masyarakat, melainkan harus berposisi sebagai perintis, pembimbing, pemimpin, serta pengkritik terhadap sistem-sistem dominan tersebut.16
Dalam perspektif Islam, pendidikan sesuai fitrah manusia sangat mutlak
dibutuhkan oleh manusia guna memenuhi fungsi, peran, dan eksistensi fitrah
kemanusiaannya. Pendidikan dalam pandangan para pemikir muslim adalah
pemenuhan jati diri atau esensi kemanusiaan dihadapan Tuhan. Pada konteks ini
pendidikan dalam perspektif Islam, lebih pada pemeliharaan, pemanfaatan, dan
pengembangan fitrah kemanusiaan, sehingga pendidikan Islam identik dengan proses
pengembangan yang bertujuan membangkitkan dan mengaktifkan potensi-potensi
yang dimiliki manusia.17 Hal ini senada dengan karakterstik paradigma pendidikan
kritis yang berorientasi mewujudkan segenap potensi-potensi dasar yang dimiliki oleh
16 Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), 47. 17 Arifudin Arif, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kultura, 2008), 36.
Relevansi Pendidikan
Ainul Yaqin Relevansi Pendidikan Kritis Paulo Freire dengan Pendidikan Islam
21 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
manusia secara maksimal demi tercapainya cita-cita yang ideal.18 Dimana pendidikan
kritis bertolak belakang dengan paradigma pendidikan konservatif, yang cenderung
menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk melegitimasi sistem sosial, politik, dan
budaya (ideologi dominan) yang ada di masyarakat dan telah mengenyampingkan
peran kemampuan potensi nalar dan kreasi peserta didik.19
Abdurrachman Assegaf menjelaskan bahwa pendidikan Islam merupakan
sebuah sistem yang telah memiliki basis nilai sebagai menghendaki pendidik-peserta
didik secara bebas beragumentasi tanpa merasa dibatasi oleh kedudukan masing-
masing dan hanya nilai atau etikalah yang menjembatani proses ini, ketika pendidik
mengungkapkan suatun pendapat, tidak layak peserta didik menyelanya. Begitu pula
sebaliknya, pendidik hendaknya memberikan waktu bagi peserta didik untuk
berekspresi, berargumentasi, dan berkreasi bahkan berinovasi. Proses pembelajaran
semacam ini, akan menumbuhkan mental kemandirian daya kritis peserta didik.
Dalam konteks pendidik dan peserta didik tersebut, paradigma kritis akan menjadi
sebuah pendekatan humanistik-tauhidik dalam proses pembelajaran yang membentuk
manusia (pendidik dan peserta didik) menjadi diri yang memiliki independensi akal,
dengan mengacu pada nilai-nilai Islami, sehingga mampu mengembangkan dan
mengamalkan pengetahuannya secara praktis dengan dilandasi kesadaran dan
tanggung jawab. Pengakuan terhadap potensi peserta didik tersebut, berarti
mengupayakan kebebasan peserta didik untuk memiliki daya kretivitas yang
termanifestasikan dalam bentuk aktivitas yang memerankan dirinya sebagai subjek
dalam pencarian pengetahuan. Hal tersebut mencerminkan kebebasan manusia untuk
berfikir dan bertindak, sehingga menjadi manusia yang berkesadaran, kreatif, dan
inovatif serta mandiri.20
Keberadaan peserta didik sebagai subjek menghendaki manusia tersebut untuk
selalu aktif dan bertanggung jawab atas pemikiran dan tindakannya. Hal ini
18 Musthofa Rembangi, Pendidikan Transformatif, Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di Tengah Pusaran Arus Globalisasi (Yogyakarta: Teras, 2008), xxvii. 19 Faqih, Pendidikan Kritis, 29. 20 Abdurracman Assegaf, Pendidikan Madhab Kritis: Perbandingan Teori Pendidikan Timur dan Barat (Yogyakarta: Gama Media, 2008), 226-227.
Ainul Yaqin Relevansi Pendidikan Kritis Paulo Freire dengan Pendidikan Islam
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 22 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
diungkapan Paulo Freire, dengan mengutip kata-kata Erick Fromm, dalam The Heart
of Man, mengatakan:
...kebebasan untuk menciptakan dan membangun, untuk mempertanyakan dan mencoba-coba. Kebebasan semacam ini menghendaki manusia yang aktif dan bertanggung jawab, bukan budak atau sekrup mati dalam mesin..tidak cukup sekedar bahwa manusia bukanlah budak: jika kondisi sosial mengarah kepada kehidupan otomaton, hasilnya bukan cinta kehidupan, tetapi cinta kematian.21 Freire, memformulasikan subjektifitas peserta didik dengan terbentuknya
dialektika pemikiran kritis dan kesadaran subjektif. Dalam pengertian ini, paradigma
kritis peserta didik hanya dapat tumbuh ketika ia sendiri memiliki kesadaran atas
keadaan diri dan realitas sosial yang melingkupinya. Sehingga peserta didik mampu
merefleksikan kehendaknya sendiri, begitu pula kesadaran akan memiliki arti ketika ia
mampu secara kritis melihat realitasnya, sehingga dapat memahami keadaan dirinya
dengan baik.
Kristalisasi paradigma kritis dan kesadaran subyektif peserta didik pada
dasarnya terletak pada kemampuannya untuk mengembangkan dan memberdayakan
akal pikirannya yang diimbangi iman kepada Tuhan. Di sini akal pikiran yang
mencirikan peserta didik sebagai manusia kritis berlandaskan pada agama. Paradigma
pendidikan Islam, yang menolak mengikuti secara taklid kepada tradisi yang
diwariskan dari nenek moyang maupun terhadap konstruk ideologi dominan
meniscayakan paradigma pendidikan Islam, yang mendorong tumbuhnya sikap dan
kesadaran kritis, seperti diharapkan oleh paradigma pendidikan kritis. Konsep Islam
yang sangat menekankan pentingnya nalar kritis tersebut, Allah berfirman:
Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. (Qs. Yunus: 100).22
Senada dengan ayat di atas, Islam selalu mengajak manusia untuk berfikir dan
bernalar, pernyataan di atas menunjukkan arti penting ”akal kritis” yang
dimanifestasikan melalui pemberdayaan potensi fitrah manusia. Paradigma kritis ini
membawa kepada pemahaman bahwa kebenaran hakiki akan ditemukan melalui
21 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, terj. F Danuwinata (Jakarta: LP3ES, 2008), 48. 22 Depag RI, Al- Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Intermasa, 1986), 332.
Ainul Yaqin Relevansi Pendidikan Kritis Paulo Freire dengan Pendidikan Islam
23 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
proses berfikir (tafakkur), bukan hanya fanatik atau taklid semata.23 Sehingga salah
satu aspek yang terpenting dalam pendidikan Islam adalah agar manusia menyadari
bahwa apa yang menjadi keputusan orang banyak tidak meniscayakan harus diikuti.
Hal ini senada juga dengan karakteristik pendidikan kritis yang menolak hegemoni
ideologi dominan sebagai sumber otoritas pengetahuan, norma, dan nilai yang mesti
diyakini mutlak kebenarannya oleh masyarakat.24 Ideologi dominan sebagai mainstream
yang menghegemoni masyarakat serta kebenarannya mesti diyakini secara mutlak,
akan membawa implikasi pada tumbuhnya sikap fatalisme di masyarakat. Hal ini
tentu saja tidak sejalan dengan hakekat pendidikan kritis maupun pendidikan Islam.
Hal ini didasarkan pada firman Allah berikut:
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta kepada Allah. (Qs. Al-An’am: 116 ).25
Dalam pandangan Freire, fanatisme akan merusak pikiran manusia dan
mematikan rasio serta kreativitasnya. Fanatisme ini, mencirikan bahwa manusia
belum memiliki kesadaran, hal ini diungkapkan Freire sebagai berikut:
Dalam kenyataannya, penyadaran diri tidak akan mengarahkan seseorang kepada sikap fanatik yang merusak. Sebaliknya, dengan memungkinkan seseorang untuk memasuki proses sejarah sebagai subyek yang bertanggung jawab, penyadaran ini mengantarkan mereka ke dalam penacarian diri sendiri, dan menghindari fanatisme”.26
Paradigma pendidikan kritis juga memiliki relevansi dengan paradigma
pendidikan Islam pada cara pandang mengenai manusia dengan dunia. Sebagaimana
telah dijelaskan di bab sebelumnya, paradigma pendidikan kritis menolak pandangan
paradigma pendidikan liberal yang menganggap adanya keterpisahan antara manusia
dengan dunia. Dalam paradigma pendidikan Islam, menurut al-Taomy, alam adalah
mitra manusia dalam mengembangkan segenap potensi yang dimilki untuk mencapai
kemajuannya Dalam pandangan Islam, antara manusia dan alam bukanlah dua entitas
yang harus diperlawankan. Alam semesta adalah sumber ilham dan tanda yang
23 Assegaf, Pendidikan Madhab Kritis, 228. 24 Faqih, Pendidikan Kritis, 29. 25 Depag RI, Al- Qur’an dan Terjemahnya, 116. 26 Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, 2.
Ainul Yaqin Relevansi Pendidikan Kritis Paulo Freire dengan Pendidikan Islam
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 24 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
menolong dan mengantarkan manusia untuk menemukan cahaya kebenaran dan
kebaikan.27
Manusia adalah bagian yang tak terpisahkan dari alam semesta. Oleh karena itu,
dalam paradigma pendidikan Islam menolak dengan tegas dikotomi yang dilakukan
oleh paradigma pendidikan liberal antara manusia dan alam. Akhirnya, baik
pendidikan kritis maupun Islam, menjadikan pendidikan sebagai proses konsintisasi
atau proses penyadaran, yang membuat manusia memiliki kesadaran kritis, reflektif,
dan holistik dalam mempersepsi, menghadapi, serta menyelesaikan masalah-masalah
yang dihadapi dalam realitas kehidupannya. Dalam mengimplikasikan sikap kritis
tersebut, tidaklah bebas nilai, dalam pengertian mengabaikan nilai-nilai etika
mengenai tata cara berhubungan dan saling berdialog, baik antar murid, maupun
guru-murid. Akan tetapi, tetap mengacu pada nilai-nilai Islam sebagai cerminan dalam
melakukan hubungan tersebut, sehingga bukan pertentangan yang mmuncul, namun
kasih sayang, saling menerima pendapat orang lain; bila itu suatu kebenaran, saling
menghargai, dan lain sebaginya. Dengan menempatkan nilai-nilai religius dalam
proses pembelajaran tersebut akan menumbuhkan kesadaran terhadap diri peserta
didik untuk saling mengakui eksistensi setiap individu, yang terlahir dari sikap yang
harus dipegang oleh masing-masing. Dengan demikian, penekanan dalam pendidikan
kritis terletak pada penggalian potensi (fitrah) peserta didik untuk secara bebas
merefleksikan gagasan dan mewujudkan kreatifitasnya tanpa ada pembatasan yang
bersifat struktural pada pendidik maupun peserta didik, dengan tetap mengacu pada
tata nilai Islam, sehingga yang menjadi tujuan pendidikan kritis adalah terbentuknya
kesadaran bersama untuk memiliki perhatian terhadap pengembangan ilmu
pengetahuan dan terbentuknya sikap yang mencerminkan akhlaq al-karimah dengan
didasari nilai agama.28
Penerapan Pendidikan Kritis dalam Pendidikan Islam
Paradigma pendidikan pada ranah proses belajar mengajar, adalah sebuah syarat
utama dalam tercapainya tujuan pendidikan yang diinginkan, sebagaimana telah
27 Al-Saybany, Falsafah Pendiidkan, 76. 28 Assegaf, Pendidikan Madhab Kritis, 229.
Ainul Yaqin Relevansi Pendidikan Kritis Paulo Freire dengan Pendidikan Islam
25 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
dijelaskan sebelumnya, paradigma pendidikan kritis memiliki banyak persamaan
dengan paradigma pendidikan Islam. Pendidikan Islam bukan dengan serta merta
menolak setiap gagasan yang berasal dari luar Islam. Dalam hal ini, pendidikan Islam
bukanlah paradigma yang harus dipertentangkan dengan paradigma pendidikan
sekuler. Pendidikan kritis adalah paradigma yang digagas oleh pemikir-pemikir non
muslim, yang tidak terlalu menekankan aspek spritualitas dan keimanan sebagai
fondasi, atau dengan kata lain paradigma pendidikan kritis adalah termasuk
paradigma pendidikan sekuler. Namun, proses pembelajaran yang ada dalam
pendidikan kritis dapat dijadikan sebuah acuan metodologis bagi pendidikan Islam
dalam merumuskan proses pembelajaran yang humanis serta dapat menjadi sarana
yang dapat menunjang tercapainya tujuan pendidikan.
Paradigma pendidikan Islam, juga sangat menentang keras pola pendidikan
liberal atau konservatif, yang disebut oleh Freire dengan pola pendidikan “gaya
bank”. Dalam paradigma pendidikan Islam, peserta didik bukanlah saran investasi
yang akan dipetik hasilnya kelak. Selain pola pendidikan dalam pandangan paradigma
pendidikan Islam, juga bukan ajang indoktrinasi untuk melegitimasi dan
melanggengkan struktur sosial politik, dan ekonomi yang menindas. Namun, satu hal
yang perlu digarisbawahi, pendidikan Islam dalam pembahasan ini, mengutip dari
salah satu batasan pendidikan Islam menurut Hasan Langgulung adalah tarbiyah al-
muslimin dan tarbiyah ‘inda al- muslimin.29
Berdasakan kesamaan prinsip pembelajaran tersebut, para pendidik muslim
dapat menjadikan pola-pola pembelajaran yang ada dalam paradigma pendidikn kritis
sebagai sebuah model pembelajaran yang akan diterapkan dalam pendidikan Islam.
Menurut al-Toumy, metode pembelajaran dalam Islam, memiliki beberapa cirri-ciri
umum yang menonjol, yaitu: 1). Berpadunya metode dan cara-cara, dari segi tujuan
dan alat, dengan jiwa ajaran dan akhlak Islam yang mulia; 2). Metode pembelajaran
Islam bersifat luwes serta dapat menerima perubahan dan penyesuaian sesuai dengan
keadan dan suasana serta mengikuti sifat peserta didik. Juga menerima perbedaan
sesuai dengan pembelajarn dari ilmu dan topik pelajaran tertentu, serta perbedaan
29 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), 36.
Ainul Yaqin Relevansi Pendidikan Kritis Paulo Freire dengan Pendidikan Islam
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 26 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
pada tingkat kemampuan dan kematangan peserta didik; 3). Metode pembelajaran
dalam Islam, dengan sungguh-sungguh berusaha mengaitkan antara teori dan praktek
atau antara ilmu dan amal; 4). Membuang cara-cara dalam mengambil jalan pintas
pada proses belajar mengajar; dan 5). Menekankan kebebasan peserta didik
berdiskusi, berdebat, berdialog dalam batas-batas kesopanan dan saling hormat
menghormati. Peserta didik memiliki kebebasan mutlak untuk menyatakan pendapat
di depan pendidik dan untuk berbeda dengan pendidik dalam pendapat dan pikiran,
jika ia mempunyai bukti-bukti yang benar dan menguatkan pendiriannya. Menurut
Prof. Muhammad al-Toumy, berkaitan dengan ciri-ciri metode pembelajaran Islam
tersebut. Metode pembelajaran dalam Islam memiliki beberapa tujuan, yaitu : 1).
Membantu peserta didik dalam mengembangkan pengetahuan, pengalaman,
keterampilan, dan sikapnya; 2). Membiasakan peserta didik untuk memahami,
berpikiran sehat, memperhatikan dengan tepat, mengamati dengan tepat, sabar, rajin,
dan teliti dalam menuntut ilmu, serta mendorong untuk memiliki pendapat yang
benar serta dapat melontarkannya secara berani dan bebas; dan 3). Menciptakan
suasana yang kondusif bagi proses pembelajaran.30
Dari pemaparan ciri dan tujuan metode pengajaran Islam di atas, maka kita
dapat menarik benang merah antara proses pembelajaran dalam paradigma
pendidikan kritis dan paradigma pendidikan Islam. Sebagaimana dalam pendidikan
kritis, dalam pendidikan Islam pada proses pembelajaran peserta didik dan pendidik
sama-sama berposisi sebagai subjek yang bersama-sama menjadi pelaku aktif,
sedangkan objek dari pembelajaran adalah ilmu pengetahuan yang akan dikaji
bersama. Penerapan pendidikan kritis, dapat kita jadikan inspirasi dan acuan dalam
mengembangkan pendidikan Islam. Realitas umat Islam hari ini yang berada dalam
masa-masa kemundurannya, disebabkan adanya kesalahan sistem pendidikan Islam.
Oleh karena itu, rekonsturksi paradigma pendidikan dalam islam, khususnya pada
wilayah metode penerapan adalah suatu kemestian dalam memajukan pendidikan dan
peradaban Islam.
30 Al-Saybany, Falsafah Pendidikan Islam, 583-585.
Ainul Yaqin
Ainul Yaqin Relevansi Pendidikan Kritis Paulo Freire dengan Pendidikan Islam
27 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
Sementara itu, menurut Muhammad Iqbal, dunia pendidikan Islam telah lama
terpasung dalam spiritualisme, serta steril dari dinamika persoalan dunia, dan hal ini
telah lama membuat dunia Islam terpuruk dalam kemunduran. Menurutnya
pendidikan semacam ini hanya dapat memenjarakann otak dan jiwa peserta didik,
dimana nantinya pendidikan semacam ini tidak akan mampu mencetak manusia yang
intelek yang dapat menyelesaikan berbagai persoalan keduniaan. Semua kritik tajam
ini dilakukan karena ia berpandangan bahwa pendidikan merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari peradaban manusia, bahkan pendidikan merupakan subtansi dari
peradaban manusia. Untuk membangun peradaban baru yang jauh lebih baik,
menurut Iqbal, duia Islam dan Barat perlu dipertautkan dengan memadukan dualisme
(antara keduniaan dan keakhiratan/penalaran secara seimbang. Dengan memadukan
dua aspek ini akan melahirkan penalaran yang mengandung muatan spiritualitas atau
penalaran yang tercerahkan. Berlandaskan pada perpaduan antara “penalaran”
(intelektual) dan “cinta” (spiritualitas) merupakan hal yang penting dalam dunia
pendidikan, sebagai awal dari pembentukan dunia baru dalam Islam.31
Dalam hal ini, penerapan metode pembelajaran dalam Islam yang selama ini
dilakukan dalam pendidikan Islam, dapat diberikan muatan-muatan yang terkandung
dengan metode pembelajaran dalam paradigma pendidikan kritis. Menurut al-Toumy
ada lima metode umum yang terdapat dalam proses pembelajarn islam, yaitu: 1.
Metode pengambilan kesimpulan (deduktif); 2. Metode perbandingan (analogi); 3.
Metode kuliah; 4. Metode diskusi; dan 5. Metode kelompok kecil (halaqah).32
Kelima metode pembelajaran tersebut, dapat kita padukan dengan pola
pendidikan kritis, yang oleh Paulo Freire disebut dengan metode pembelajaran
fungsional, yang terdiri dari tiga tahapan utama: Pertama, tahap kodifikasi dan
dekodifikasi, yaitu tahap pendidikan elementer dalam “konteks teoritis” dan “konteks
kongkrit”. Tahapan ini sangat mirip dengan tahapan pengambilan kesimpulan,
perbandingan, dan kuliah dalam metode pembelajaran yang digagas oleh al-Toumy.
Metode kodifikasi dan dekodifikasi adalah tahapan dalam proses pembelajaran yang
mengarahkan kemampuan peserta didik agar mampu melakukan pengambilan
31 Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, 287-288. 32 Al-Saybany, Falsafah Pendiidkan, 561-582.
Relevansi Pendidikan
Ainul Yaqin Relevansi Pendidikan Kritis Paulo Freire dengan Pendidikan Islam
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 28 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
kesimpulan secara teoritis, serta dapat mewujudkannya dengan melakukan
perbandingan antara kesimpulan dari teori-teroi yang didapatkan, untuk selanjutnya
diperpegangi sebagai acuan dalam kerangka ilmu pengetahuan. Tahapan ini
diharapkan melatih kemandirian para peserta didik muslim untuk mandiri dalam
mengembangkan pengetahuan yang diadapat dari gurunya. Sehingga dalam
masyarakat muslim, tidak ada lagi kejumudan dan kefanatikan buta yang selama ini
berkembang dan mengakibatkan kemunduran umat Islam. Kedua, tahap diskusi
kultural yang merupakan tahapan lanjutan dalam satuan kelompok-kelompok kerja
kecil yang sifatnya problematis. Metode diskusi dan kelompok kecil yang digagas oleh
al- Toumy dapat diberikan muatan kritis yang terkandung dalam tahapan diskusi
kultural Paulo Freire tersebut. Sehingga dari tahapan ini dapat dihasilkan kemampuan
problem solving dari peserta didik muslim. Sehingga dalam konteks masyarakat
muslim yang hari ini diliputi berbagai masalah, dapat segera terselesaikan dengan
lahirnya generasi muda muslim yang telah dididik untuk menyelesaikan masalah-
masalah kehidupan yang dihadapi oleh umat Islam hari ini. Ketiga, tahap aksi kultural
yang merupakan tahapan praksis yang sesungguhnya, di mana setiap tindakan peserta
didik baik secara individu maupun kelompoknya dapat menjadi bagian langsung dari
realitas. tahapan inilah yang tidak dijelaskan oleh al-Toumy, dan tahapan ini dapat
dimasukkan dalam metode pembelajaran Islam, agar peserta didik atau generasi muda
Islam dapat melakukan upaya-upaya praksis dalam memperbaiki kondisi umat Islam
yang terjadi hari ini. Kekurangan dari pendidikan islam yang terjadi hari ini adalah
kegagalan Islam pendidikan Islam dalam melahirkan “praktisi-praktisi” muslim yang
siap melakukan peubahan konstruktif di masyarakatnya.33
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemikiran pendidikan kritis Paulo
Freire dapat direlevansikan dengan konsep pendidikan Islam, sebagaimana sajian
tabel berikut:
33 Paulo Freire, Politik Pendidikan kebudayaan kekuasaaan dan Pembebasan, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), xix.
Ainul Yaqin Relevansi Pendidikan Kritis Paulo Freire dengan Pendidikan Islam
29 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
Konsep Pendidikan Islam Konsep Pendidikan Paulo Freire
1. Paradigma pendidikan Islam
mengkritik terhadap kegagalan
paradigma pendidikan yang telah ada,
serta memiliki orientasi yang secara
umum sama, yaitu pencapaian
humanisasi baik secara individu
maupun sosial.
2. Peserta didik ditempatkan sebagai
objek sekaligus subjek (pelaku) dalam
proses pendidikan. Peserta didik
ditempatkan sebagai subjek (pelaku)
dalam proses pendidikan.
3. Omar Muhammad al-Toumy al-
Syaibany. Beliau mengatakan,
pendidikan Islam harus berkaitan erat
dengan realitas masayarakat,
kebudayaan, dan sistem sosial,
ekonomi, dan politik. Pendidikan
harus juga berkaitan dengan aspirasi,
harapan, kebutuhan, dan masalah-
masalah manusia di dalamnya.
4. Islam selalu mengajak manusia untuk
berfikir dan bernalar, pernyataan di
atas menunjukkan arti penting ”akal
kritis” yang dimanifestasikan melalui
pemberdayaan potensi fitrah manusia.
Paradigma kritis ini membawa kepada
pemahaman bahwa kebenaran hakiki
1. Paradigma pendidikan kritis yang
digagas oleh Freire menampilkan
kritik yang sangat mendasar terhadap
paradigma pendidikan konservatif
dan liberal yang telah dianggap gagal
menjalankan visi dan misi pendidikan
sebagai proses humanisasi.
2. Peserta didik ditempatkan sebagai
subjek (pelaku) dalam proses
pendidikan.
3. Dalam pengembangan kurikulum,
Freire menyatakan bahwa pendidikan
mestilah mengantarkan manusia
untuk memahami seluruh aspek
kehidupan sosial masyarakat
memiliki keterkaitan yang erat antara
satu bidang dengan bidang yang lain
dan bersifat horisontal.
4. Pendidikan kritis yang menolak
hegemoni ideologi dominan sebagai
sumber otoritas pengetahuan, norma,
dan nilai yang mesti diyakini mutlak
kebenarannya oleh masyarakat.
Ainul Yaqin Relevansi Pendidikan Kritis Paulo Freire dengan Pendidikan Islam
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 | 30 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
akan ditemukan melalui proses
berfikir (tafakkur), bukan hanya
fanatik atau taklid semata.
5. Pendidikan Islam identik dengan
proses pengembangan yang bertujuan
membangkitkan sekaligus
mengaktifkan potensi-potensi yang
dimiliki manusia.
6. Menekankan kebebasan peserta didik
berdiskusi, berdebat, berdialog dalam
batas-batas kesopanan dan saling
hormat menghormati.
5. Karakterstik paradigma pendidikan
kritis yang berorientasi mewujudkan
segenap potensi-potensi dasar yang
dimiliki oleh manusia secara
maksimal demi tercapainya cita-cita
yang ideal.
6. Konsep pendidikan kritis Freire
menggunakan metode andragogi
dialogis.
Pendidikan sebagai suatu sistim merupakan suatu kesatuan yang utuh dengan
bagian-bagiannya yang berinteraksi satu sama lain. Jadi pendidikan dapat diartikan
sebagai suatu keseluruhan aktivitas manusia yang terbentuk dari bagian-bagian yang
mempunyai hubungan fungsional dalam usaha mencapai tujuan akhir pendidikan.
Referensi
Arif, Arifudin. 2008. Pengantar Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kultura.
Asy-syaibany, Omar Muhammad At-Toumy. 1979.Falsafah Pendidikan Islam. terj. Hasan Langgulung Jakarta: Bulan Bintang.
Dawam, Ainurrofiq. Emoh Sekolah: Menolak Komersialisasi Pendidikan dan Kanibalisme Intelektual Menuju Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Inspeal Press.
Depag RI. 1986. Al- Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: PT. Intermasa.
Dhakiri, Muh. Hanif. 2000. Paulo Freire Islam dan Pembebasan. Salatiga: Djambatan dan Pena.
Fakih, Mansour. 2010. Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta: Insist.
Freire, Paulo. 2003. Pendidikan Masyarakat Kota. Yogyakarta: LKiS.
Ainul Yaqin Relevansi Pendidikan Kritis Paulo Freire dengan Pendidikan Islam
31 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 8, Nomor 1, Februari 2015 p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579
_________. 2007. Politik Pendidikan kebudayaan kekuasaaan dan Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_________. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES.
_________. 2008. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ihsan, Hamdani dan Fuad Ihsan. 2001. Filsafat Pendidikan Islam: untuk Fakultas Tarbiyah komponen MKK. Bandung: Pustaka Setia.
Marzuki, 2005. Metodologi Riset. Yogyakarta: Ekonisia.
Muhaimin. 2008. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Naim, Ngainun. 2010. Rekontruksi Pendidikan Nasional Membangun Paradigma yang Mencerahkan. Yogyakarta: Teras.
Rembangi, Musthofa. 2008. Pendidikan Transformatif: Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di Tengah Pusaran Arus Globalisasi. Yogyakarta: Teras.
Setyowati, Immawati Dwi. Pendidikan Humanistik. STAIN Purwokerto. (diakses 01-03-2014).
Sudarwan, Danim. 2006. Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R & D. Bandung: ALFABETA.
Suharto, Toto. 2006. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz.
Yamin, Moh. 2009. Menggugat Pendidikan di Indonesia: Belajar dari Paolo Freire dan Ki Hajar Dewantara. Yogyakarta: Ar-Ruz Media.