Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
REGULASI PEMERINTAH TERHADAP ALIRAN KEPERCAYAAN
DI INDONESIA
(Respon Penghayat Kepercayaan Sapta Darma)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Ikhwatun Muamalah
NIM: 11150321000046
PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/ 2020 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ikhwatun Muamalah
NIM : 11150321000046
Fakultas : Ushuluddin
Jurusan/Prodi : Studi Agama-Agama
Judul Skripsi : Regulasi Pemerintah terhadap Aliran Kepercayaan di
Indonesia (Respon Penghayat Kepercayaan Sapta Darma)
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi ini merupakan hasil karya sendiri dan
tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunannya. Adapun semua sumber yang
saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, jika di kemudian hari jika terbukti
bahwa karya ini bukan hasil asli atau merupakan hasil plagiat dari orang lain.
Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya.
Jakarta, 21 Januari 2020
Ikhwatun Muamalah
iii
LEMBAR PERSETUJUAN
REGULASI PEMERINTAH TERHADAP ALIRAN KEPERCAYAAN DI
INDONESIA (RESPON PENGHAYAT KEPERCAYAAN SAPTA DARMA)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Ikhwatun Muamalah
NIM: 11150321000046
Di Bawah Bimbingan:
Dr. Hamid Nasuhi, MA
NIP: 19630908 199001 1 001
JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/ 2020 M
iv
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi berjudul, “Regulasi Pemerintah Terhadap Aliran Kepercayaan Di
Indonesia (Respon Penghayat Kepercayaan Sapta Darma)”, telah diujikan dalam
sidang munaqosyah Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidatullah Jakarta pada tanggal
17 Maret 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada program Studi Agama-Agama.
Jakarta, 17 Maret 2020
Ketua Merangkap Anggota,
Syaiful Azmi, MA
NIP : 19710310199703 1 005
Sekretaris Merangkap Anggota,
Lisfa Sentosa Aisyah, MA
NIP : 19750506200501 2 003
Anggota
Penguji I
Dra. Hj. Hermawati, MA
NIP: 19541226198603 2 002
Penguji II
Dra. Siti Nadroh, MA
NIP: 9920112687
Pembimbing,
Dr. Hamid Nasuhi, MA
NIP: 19630908199001 1 001
v
ABSTRAK
Ikhwatun Muamalah. 2020. Regulasi Pemerintah terhadap Aliran Kepercayaan
di Indonesia (Respon Penghayat Kepercayaan Sapta Darma). Jurusan Studi
Agama-Agama Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini membahas tentang Regulasi Pemerintah terhadap Aliran
Kepercayaan di Indonesia (Respon Penghayat Kepercayaan Sapta Darma). Penelitian
ini dilakukan karena Sapta Darma merupakan salah satu aliran kepercayaan yang
eksistensinya masih ada hingga sekarang ini.
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian lapangan dengan didukung oleh
studi kepustakaan dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan pendekatan sosiologis yang bermaksud untuk mencari relevansi dan
pengaruh aliran kepercayaan terhadap fenomena sosial. Teknik pengumpulan data
yang dilakukan adalah observasi (pengamatan), wawancara (interview), dan
dokumentasi. Kemudian melakukan analisis data dengan jenis deskriptif analitis
Penelitian ini ingin menunjukkan bahwa regulasi pemerintah terhadap
penghayat aliran kepercayaan masih bersifat diskriminasi. Hal ini dibuktikan oleh
adanya ketidakpuasan para penghayat kepercayaan khususnya Sapta Darma atas
perlakuan pemerintah terhadap kelompoknya, yang ditandai oleh adanya pembedaan
antara penghayat kepercayaan dengan agama sebelum putusan Mahkamah Konstitusi,
dan ditandai dengan masih adanya pelayanan yang belum maksimal di lapangan, beda
halnya dengan pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang sudah menyetarakan aliran
kepercayaan dengan agama.
Kata Kunci : Aliran Kepercayaan, Sapta Darma, Regulasi, Diskriminasi.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil ‘alamin puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah
SWT yang telah memberikan nikmat dan rahmatnya kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Regulasi Pemerintah terhadap Aliran
Kepercayaan di Indonesia (Respon Penghayat Kepercayaan Sapta Darma)”, dengan
baik dan tepat waktu. Shalawat salam tercurahkan kepada Baginda Rasul Muhammad
SAW beserta keluarganya, para sahabat dan para pengikutnya yang telah
mengajarkan tauladan bagi kita semua dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis menyadari bahwa banyak kendala yang penulis alami dalam
menyelesaikan skripsi ini. Doa dan juga dukungan dari berbagai pihak baik moril
maupun materil tidak menyurutkan semangat penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyelesaian skripsi ini, penulis persembahkan ucapan terima kasih kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., MA., selaku Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya.
3. Bapak Syaiful Azmi, MA., selaku Ketua Prodi Studi Agama-Agama, Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
memberikan arahan dan motivasi yang sangat bermakna untuk penulis.
4. Ibu Lisfa Sentosa Aisyah, MA., selaku Sekretaris Jurusan Prodi Studi Agama-
Agama yang telah memberikan pelayanan terbaik dan meluangkan waktunya
untuk mendengarkan keluh kesah penulis.
vii
5. Dr. Hamid Nasuhi, MA., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan bimbingan kepada
penulis dengan kesabaran dan ketelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
6. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, dosen Jurusan Studi Agama-Agama khususnya, yang telah memberikan
ilmunya kepada penulis. Para staff Akademik Fakultas Ushuluddin, dan segenap
staff perpustakaan, baik Perpustakaan Fakultas Ushuluddin maupun Perpustakaan
Umum.
7. Seluruh penghayat kepercayaan Sapta Darma di Sanggar Candi Busono Ganefo,
Bapak Warjo, Bapak Maryanto, Bapak Kurdiyanto, dan mas Galih, yang
memberikan tempat, meluangkan waktu, dan berbagi pikiran, ilmu dan juga
informasi yang sangat bermanfaat dalam menunjang penelitian penulis.
8. Kedua orang tua tercinta, Bapak Torikhi dan Ibu Rohmah yang telah memberikan
seluruh kasih sayangnya dalam bentuk apapun, untuk kakak dan juga adik yang
membuat penulis semangat sehingga bisa menyelesaikan skripsi ini.
9. Teman terbaik dan tersayang, yang selalu memberikan support dan dukungan,
yang selalu sabar dan direpotkan dalam segala hal yang dilakukan penulis baik
dari awal mula perkuliahan sampai menyelesaikan skripsi yaitu Ahmad Nasichin
Hudlori.
10. Sahabat-sahabat yang menjadi warna dalam hidup penulis, Syifaul Khusna,
Rozatul Husna S, Nadya Q. A, Prameswri Kyrana Allysa, Ade Ulfatun Najah,
viii
tempat berbagi keluh dan kesah, yang memberikan semangat, dan menemani
penulis dalam menyelesaikan skripsi.
11. Teman-teman seperjuangan Studi Agama-Agama, khususnya untuk teman SAA B
(Aris, Syarif, Hadi, Firman, Aziz, Mamat soleh, dan yang lain), yang selalu
memberikan semangat, dukungan, memberikan keceriaan dan banyak sekali
warna dalam 4 tahun bersama, teman yang mengajarkan banyak hal yang semoga
diberikan kelancaran dan kemudahan dalam menyelesaikan tugas akhir.
12. Teman-teman KKN Lentera 126 atas kerjasamanya dalam menyelesaikan tugas
KKN dengan baik.
13. Untuk abang Muhammad Sairi, dan panutan lain yang tidak bisa disebutkan satu
persatu, yang selalu memberikan motivasi, arahan, dukungan dan berbagi ilmu
dan mau menjadi tempat keluh kesah untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
14. Banyak pihak yang berpengaruh bagi penulis, teman se perantauan, untuk semua
orang yang saya kenal dan juga mengenal saya, atas dorongan, semangat, doa dan
masukan untuk penulis.
Kepada semua pihak yang telah berperan yang mendukung penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini, semoga mendapatkan balasan dan dilimpahi rahmat oleh
Allah SWT. Penulis berharap di kemudian hari, skripsi ini dapat bermanfaat untuk
semua pihak.
Jakarta, 17 Januari 2020
Penulis
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ..................................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................................. vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN…..…………………………………………………………1
A. Latar Belakang Masalah…..………………………….…………………………1
B. Batasan dan Rumusan Masalah…..……………………...………………...……7
C. Tujuan Penelitian…..……………………………………………………....……7
D. Manfaat Penelitian…..……………………………………………………...…...8
E. Tinjauan Pustaka…..……………………………………………………...…..…8
F. Kerangka Konseptual…..……………………………………………………....10
G. Metodologi Penelitian…..……………………………………………………...12
H. Sistematika Penulisan…..……………………………………………………...16
BAB II REGULASI PEMERINTAH TERHADAP ALIRAN KEPERCAYAAN DI
INDONESIA…..……………………………………………………...……....……..18
A. Sejarah dan Legalitas Aliran Kepercayaan di Indonesia…..…………………..18
B. Ketetapan MPR RI Tahun 1973 dan 1978 tentang GBHN…..………………..25
C. UU No. 23 Tahun 2006 dan Perubahannya dalam UU No. 24 Tahun 2013
tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) …..…………………………...32
D. Keputusan Mahkamah Konstitusi No 97/PUU-XIV/2016 …..………...……...35
E. Permendikbud No. 27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Pada Satuan Pendidikan…..…………………...38
x
BAB III ALIRAN KEPERCAYAAN SAPTA DARMA DI INDONESIA………...42
A. Sejarah dan Perkembangan Aliran Kepercayaan Sapta Darma di Indonesia….42
B. Ajaran Kepercayaan Sapta Darma…..……………………………....................56
C. Praktik Keagamaan Sapta Darma…..…………………………….....................64
BAB IV RESPON PENGHAYAT SAPTA DARMA TERHADAP REGULASI
PEMERINTAH TERHADAP ALIRAN KEPERCAYAAN…..……………………74
A. Biografi Singkat Tentang Narasumber Penghayat Aliran Sapta Darma…..…..74
B. Problem Pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan Sapta Darma…..………..78
C. Respon Aliran Sapta Darma Terhadap Regulasi Pemerintah Terhadap Aliran
Kepercayaan…..……………………………...........................................................92
BAB V PENUTUP…..……………………………....................................................99
A. Kesimpulan…..…………………………….......................................................99
B. Saran…..…………………………….................................................................99
DAFTAR PUSTAKA…..……………………………..............................................100
LAMPIRAN-LAMPIRAN
LAMPIRAN I : SURAT IZIN PENELITIAN…..………………………………...108
LAMPIRAN II : KOMPILASI UNDANG-UNDANG.……….……………..…...109
LAMPIRAN III : SURAT KETERANGAN WAWANCARA….…………………114
LAMPIRAN IV: PERTANYAAN WAWANCARA…..……………………..……118
LAMPIRAN V: HASIL WAWANCARA…..……………………..…….…….......119
LAMPIRAN VI : DOKUMENTASI PENELITIAN…..……………………..……130
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1 Jumlah organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME tingkat
pusat di Indonesia berdasarkan provinsi (Juli 2017) …..…………………………....18
Tabel 3. 1 Data Penyebaran Sapta Darma dan Perjalanan Sri Gutama Tahun 1956...51
Tabel 3. 2 Data Penyebaran Sapta Darma dan Perjalanan Sri Gutama Tahun 1957...51
Tabel 3. 3 Data Penyebaran Sapta Darma dan Perjalanan Sri Gutama Tahun 1958...52
Tabel 3. 4 Data Penyebaran Sapta Darma dan Perjalanan Sri Gutama Tahun 1959...53
Tabel 3. 5 Data Penyebaran Sapta Darma dan Perjalanan Sri Gutama Tahun 1960...54
Tabel 3. 6 Persebaran dan Jumlah Penghayat Sapta Darma per Provinsi di Indonesia
Tahun 2017…………………………………………………………………………..54
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3. 1 Sosok Panuntun Agung Sri Gutama......................................................42
Gambar 3. 2 Simbol Pribadi Manusia……………....................................................59
Gambar 3. 3 Tata Cara Sujud Sapta Darma Satu.......................................................65
Gambar 3. 4 Tata Cara Sujud Sapta Darma Dua........................................................67
Gambar 3. 5 Tata Cara Racut Sapta Darma................................................................69
Gambar 3. 6 Tata Cara Pernikahan Sapta Darma.......................................................69
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak keanekaragaman suku
bangsa. Keanekaragaman tersebut tidak lepas dari bagaimana penduduk Indonesia
menyikapi persoalan yang ada di sekitar masyarakat, baik tentang sosial, ekonomi
maupun budaya yang sedang berkembang. Toleransi terhadap sesama penganut
agama menjadikan suatu landasan bekal hidup dalam bernegara. Hal tersebut
mampu menjadikan Aliran Kepercayaan melalui tahap eksistensinya dan dapat
diterima di Indonesia.
Komunitas aliran kepercayaan perkembangannya masih ada hingga saat ini,
dan selalu mengalami berbagai tantangan untuk mempertahankan identitas dan
ajaran, serta tantangan untuk tetap bertahan di tengah keadaan sosial yang terus
mengalami perubahan. Eksistensi kepercayaan lokal juga dijamin oleh Undang-
undang Negara Republik Indonesia tahun 1945 Bab XI Pasal 29 Ayat 1 dan 2. Pada
ayat (1) dinyatakan bahwa, “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Ayat (2), “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.1
1Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bab XI Pasal 29 Ayat (1)
Dan (2).
2
Pada mulanya sebelum Indonesia berdaulat aliran kepercayaan populer
dengan penamaan Kepercayaan dan Kebatinan, penggunaannya silih berganti. Istilah
“Kebatinan” menurut Prof. M.M. Djojodigoeno, dikatakan bahwa kebatinan itu
mempunyai empat unsur yang penting, yaitu: ilmu gaib, union mistik, sangkan
paraning dumadi dan budi luhur. Kamil Kartapradja dalam bukunya juga mengartikan
“Kebatinan” sebagai gerak badan jasmani disebut olahraga dan geraknya badan
rohani dinamai olah batin atau kebatinan. Jadi Kebatinan itu adalah olah batin yang
bermacam-macam.2
Mr. Wongsonegoro mengatakan kebatinan ialah semua pikiran atau tindakan
yang berdasarkan kekuatan gaib (super natural) yang mencari dan ingin mengetahui
kenyataan di belakang fenomena alam. Mr. Wongsonegoro menerangkan pada tahun
1962 bahwa: Agama dan Kebatinan, kedua-duanya mempunyai unsur yang sama,
ialah satu Panembah (kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa) dan budi luhur.
Perbedaan hanya terdapat pada pemberian stress dan tekanan. Bagi agama stress-nya
diberikan pada Panembah sedangkan kebatinan memberikan tekanan kepada
tercapainya budi luhur dan kesempurnaan hidup.3
Pada kurun 1950 hingga akhir 1960-an dalam catatan Departemen Agama
1953, seperti termaktub dalam Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai
Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi, terdapat 360 aliran kebatinan di seluruh pulau
2Kamil Kartapradja, Aliran-Aliran Kepercayaan/Kebatinan Di Indonesia, (Jakarta: CV. Ridho
Taringan, 1981), h. 69-70.
3K. Permadi, Pandangan Aliran Kepercayaan Terhadap Islam, (Jakarta: Direktorat
Pembinaan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 1992), h. 5.
3
Jawa. Payung hukum kemunculan aliran kepercayaan adalah pasal 29 UUD 1945,
yang menyurat kata “kepercayaan”.4
Aliran kebatinan atau yang sekarang menjadi aliran kepercayaan pada awal
kemerdekaan Indonesia telah membuat suatu badan federasi yang namanya BKKI
artinya Badan Kongres Kebatinan Indonesia, didirikan pada tanggal 1 Syura 1887
tahun Saka (Dal) berkebetulan tanggal 19 Agustus 1955 atas pimpinan Mr.
Wongsonegoro. Pada waktu lahirnya Orde Baru (pimpinan Presiden Soeharto) tidak
lama kemudian Aliran Kebatinan ini berubah menjadi Aliran Kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa disesuaikan dengan UUD 1945 BAB XI pasal 29.5
Eksistensi kepercayaan di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan
perundang-undangan. Mengenai agama dan kepercayaan mengacu pada UU No.
1/PNPS/1965 yang utamanya melarang menceritakan, menganjurkan untuk
melakukan penafsiran atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai
kegiatan keagamaan “agama resmi” Negara.6 Dan terdapat enam agama resmi yang
ada di Indonesia, antara lain: Islam, Hindu, Budha, Konghucu, Katolik dan Protestan
yang dikukuhkan dengan UU No. 5 Tahun 1969. Kelemahan regulasi ini adalah
hanya menyebutkan agama yang berasal dari luar, tidak menyebutkan agama
pribumi.7
Dalam sejarahnya, aliran kepercayaan pernah mengalami kehidupan yang
aman dan nyaman dalam menjalankan kepercayaan yang diyakini dan dianut di
4Aryono, Pergulatan Aliran Kepercayaan dalam Panggung Politik, (Jurnal: Sejarah Citra
Lekha, Vol. 3, No.1, 2018), h. 60.
5Kamil Kartapradja, Aliran-Aliran Kepercayaan, h. 79 6Lebih lengkap mengenai muatan materinya dapat dilihat dalam UU No. 1/PNPS Tahun 1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. 7Aryono, Pergulatan Aliran Kepercayaan, h. 59.
4
Indonesia. Namun, setelah peristiwa G30S 1965 mengalami berbagai diskriminasi.
Pada Sidang Umum 1973, pencantuman istilah “Kepercayaan” dimuat dan
dimasukkan dalam rumusan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dengan
modifikasi dari aliran kebatinan menjadi aliran kepercayaan.8
Pada era Orde Baru juga berdasarkan Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) pembinaan terhadap aliran kepercayaan diarahkan agar kembali kepada
salah satu dari enam agama resmi di Indonesia. Maka pada masa pemerintahan Orde
Baru, dikeluarkan kebijakan yang mengarahkan aliran kepercayaan bergabung
dengan agama yang ajarannya mendekati salah satu dari agama resmi (agama
mayoritas).9
Pada Sidang Umum 1978, pemerintah kembali memasukan pembinaan aliran
kepercayaan ke dalam GBHN. Kemudian, Pasca-Sidang Umum 1978 yang
melahirkan Ketetapan MPR N0. IV/MPR/1978 tentang GBHN, di sini tertulis bahwa
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukanlah termasuk agama.10 Pemerintah
segera mengeluarkan Keputusan Presiden No. 40 Tahun 1978 mengenai pengawasan
aliran kepercayaan beralih dari Departemen Agama ke Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan dengan membentuk Direktorat pembinaan Penghayat Kepercayaan.11
Selanjutnya aliran kepercayaan mendapat sebuah kebijakan baru dari
pemerintah Indonesia yakni UU No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan. Bab VI Pasal 64 ayat (2) No. 23/2006 ini menyatakan bahwa,
8Aryono, Pergulatan Aliran Kepercayaan, h. 61. 9Ahmad Syafi’I Mufid, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal Di Indonesia,
(Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012), h. 3. 10Ketetapan MPR No. IV/MPR Tahun 1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. 11Aryono, Pergulatan Aliran Kepercayaan, h. 63.
5
keterangan tentang agama bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai
agama, berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat
kepercayaan, tidak diisi atau dikosongkan, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam
database kependudukan dan perubahannya diatur dalam UU No. 24 Tahun 2013. 12
Aliran Sapta Darma merupakan aliran terbesar di pulau Jawa dan masih ada
hingga saat ini. Sapta Darma didirikan oleh Hardjosapuro di Pare, Kediri. Sapta
Darma memiliki arti “Tujuh Kewajiban”. Ajaran Sapta Darma tersebut diwahyukan
kepada pendirinya pada malam tanggal 27 Desember 1952 pada pukul satu tengah
malam.13
Dahulu nama Sapta Darma pernah didahului dengan nama Agama, namun
setelah adanya sidang umum MPR tahun 1978 yang menyatakan bahwa aliran
kepercayaan bukan merupakan suatu agama, maka sejak itu diganti dengan nama
Kerohanian Sapta Darma. Pada tahun 1980, kerohanian Sapta Darma resmi terdaftar
sebagai organisasi penghayat dari Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI dengan nomor inventaris I.135/F.3/N.1.1/1980. Aliran ini memiliki
struktur lembaga yang lengkap mulai tingkat pusat hingga kecamatan, dan masih
merasakan dampak diskriminasi baik yang dilakukan oleh Negara, maupun pihak
tertentu di masyarakat.14
12Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. 13Harun Hadiwijono, Kebatinan Dan Injil, ( Jakarta: Gunung Mulia, Cet. 11, 2009), h. 22. 14Naili Ni’matun Illiyun, Dinamika Kehidupan Kelompok Minoritas Di Indonesia, (Studi
Kasus Pengalaman Bermasyarakat dan Bernegara Warga Kerokhanian Sapta Darma), (Tesis:
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2015), h. 8.
6
Aliran Kepercayaan di Indonesia memang sudah mendapat pengakuan, namun
praktik di lapangan menunjukkan sebaliknya. Sapta Darma termasuk aliran
kepercayaan yang bisa dikatakan banyak mengalami masalah diskriminasi. Praktik-
praktik diskriminatif yang dialami oleh penghayat berakar dalam “pembedaan” yang
punya sejarah panjang. Pembedaan ini, yang lahir terutama dari pengakuan negara
atas agama dan perlakuan berbeda kepada “agama” dan “kepercayaan”, selama ini
menjadi landasan kebijakan pemerintah dan melahirkan stigma buruk, praktik
pengucilan, dan bahkan tindak kekerasan terhadap kelompok-kelompok penghayat
dalam masyarakat.15
Beberapa praktik diskriminasi ini dapat terlihat dari beberapa kasus kekerasan
yang dialami penghayat Sapta Darma. Salah satunya adalah, telah terjadi kekerasan
yang dialami oleh penghayat Sapta Darma yang dilakukan oleh Front Pembela Islam
(FPI) yang terjadi di Sanggar Candi Busana Parenkembang, yang terletak di desa
Balecatur Gamping Sleman Yogyakarta pada 11 Oktober 2008. Pihak FPI
menganggap Sapta Darma adalah aliran sesat. Kasus ini telah dilaporkan oleh
pengurus pusat Sapta Darma ke Komnas HAM. Kemudian, Sapta Darma juga
menjadi sasaran penyerangan massa. Sanggar Sapta Darma di dukuh Kalipandan,
desa Pamulian, Larangan, Brebes disegel massa dengan dipasang palang kayu di
15Hafiz Muhammad, Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (Jakarta: HRWG, 2011), h. 6.
7
pintu utama sanggar pada 9 November 2008. Massa sempat akan membakar tempat
ibadah ini, namun belasan polisi mencegahnya.16
Dengan adanya beberapa contoh kasus tersebut dapat dilihat bahwa
sekelompok aliran kepercayaan khususnya aliran Sapta Darma masih belum
mendapat pengakuan secara menyeluruh di kalangan masyarakat. Aliran-Aliran
Kepercayaan di Indonesia sangatlah banyak. Oleh karena itu, penulis akan fokus pada
pembahasan tentang respon dari salah satu aliran yaitu Sapta Darma tentang regulasi
pemerintah yang terkait dengan perlindungan dan jaminan hukum atas pengakuan
aliran kepercayaan di Indonesia. Dengan demikian, penulis melakukan penelitian
skripsi yang berjudul “Regulasi Pemerintah terhadap Aliran Kepercayaan di
Indonesia (Respon Penghayat Kepercayaan Sapta Darma)”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Dari permasalahan yang telah uraikan di atas, penulis membatasi penelitian ini
dan fokus pada rumusan masalah sebagai berikut:
“Bagaimana respon aliran Sapta Darma mengenai regulasi pemerintah
terhadap aliran kepercayaan di Indonesia pada era Reformasi sampai Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi”.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari
penelitian ini adalah untuk menyelidiki bagaimana respon aliran Sapta Darma
terhadap regulasi pemerintah terhadap aliran kepercayaan di Indonesia.
16Didit Aditia Permana, Strategi Perlawanan Kaum Minoritas (Studi Tentang Strategi
Perlawanan Aliran Kepercayaan Sapta Darma Terhadap Dominasi Negara dan Agama Mayoritas di
Yogyakarta), (Tesis: Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2014), h. 16.
8
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan uraian diatas, maka manfaat yang akan diperoleh dari penelitian
ini, antara lain sebagai berikut:
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman lebih lanjut
khususnya bagi calon sarjana Studi Agama-Agama tentang regulasi serta
kebijakan-kebijakan yang diberikan pemerintah terhadap aliran-aliran
kepercayaan di Indonesia.
2. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumbangan data ilmiah dan
memperkaya khasanah keilmuan dan menambah khasanah kepustakaan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi persyaratan tugas akhir guna
memperoleh gelar sarjana Strata 1 (S1) Agama pada Jurusan Studi Agama-
Agama Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh penulis, sejauh ini terdapat
beberapa karya buku atau riset yang berkaitan dengan tema penulis.
Yang pertama adalah karya berbentuk Buku tulisan Samsul Maarif yang
berjudul “Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur Dalam Politik Agama di
Indonesia”. Buku ini fokus menjelaskan tentang sejarah pembedaan dan diskriminasi
negara terhadap beberapa kelompok negara khususnya penganut agama leluhur yang
dilakukan oleh negara atas nama “agama”. Definisi agama yang diskriminatif
menyebabkan sebagian kelompok warga negara itu ter diskriminasi di sepanjang
9
hidupnya, mulai dari upaya mendapatkan akta kelahiran, KTP, surat nikah, hingga
akses pada pekerjaan, pendidikan, atau kesehatan.17
Kedua adalah karya berbentuk Jurnal yang di tulis oleh Aryono dengan judul
“Pergulatan Aliran Kepercayaan Dalam Panggung Politik Indonesia, 1950AN-
2010AN: Romo Semono Sastrodiharjo dan Aliran Kapribaden”. Dalam jurnal ini
menjelaskan tentang bagaimana upaya aliran kepercayaan yang tumbuh di Indonesia
dalam mempertahankan eksistensinya dan diskriminasi terhadap para aliran
kepercayaan yang dialami dalam sejarah yang cukup panjang dan menjadi aliran yang
selalu diawasi. Namun, dalam tulisannya difokuskan pada permasalahan yang
melingkupi Aliran Kapribaden yang didirikan oleh Romo Semono Sastrodijarjo di
Purworejo, Jawa Tengah.18
Ketiga karya yang ditulis oleh Abdul Latif Bustami, yang berjudul “Sejarah
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Di Indonesia”. Buku ini menjelaskan
tentang Sejarah Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Indonesia,
bagaimana identitas kepercayaan yang harus diperjuangkan, dan menjelaskan
eksistensi kepercayaan yang mendapat pelindungan dan Layanan Negara dalam
pemenuhan hak sipil melalui program, pembinaan dan lain-lain dan menerapkan
prinsip demokratis dan non diskriminatif.19
17Samsul Maarif, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur Dalam Politik Agama di Indonesia,
(Yogyakarta: CRCS( Center for Religious and Cross-cultural Studies) Program Studi Agama dan
Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana Lintas Disiplin, Universitas Gadjah Mada, 2017).
18Aryono, Pergulatan Aliran Kepercayaan Dalam Panggung Politik Indonesia, 1950an-
2010an, (Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3, No. 1, 2018).
19Abdul Latif Bustami, Modul III - Sejarah Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Di
Indonesia, (Jakarta: Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, 2017).
10
Keempat karya berbentuk Ensiklopedia Kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa yang ditulis oleh Tim Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa dan Tradisi Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Buku
ini berisi tentang berbagai ulasan terkait dengan kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa yang ada di Indonesia, yang meliputi organisasi, paguyuban, perguruan,
tokoh-tokoh, istilah dan mendeskripsikan tentang ajaran dan wadah aliran
kepercayaan.20
Kelima karya berbentuk Jurnal yang ditulis oleh Sulaiman dengan judul
“Problem Pelayanan Terhadap Kelompok Penghayat Kepercayaan Di Pati, Jawa
Tengah”. Jurnal ini berisi penjelasan tentang diskriminasi pelayanan yang masih
terjadi di masyarakat, dan menjelaskan tentang gambaran pelayanan negara terhadap
kelompok Penghayat Kepercayaan dalam memperoleh hak-hak sipilnya. Menjelaskan
bagaimana pelayanan terhadap kelompok Penghayat Kepercayaan secara umum
masih belum maksimal, khususnya pelayanan seperti pemakaman, kependudukan,
dan juga pelayanan pendidikan agama.21
F. Kerangka Konseptual
Di bawah ini adalah beberapa kerangka konsep yang terdapat dalam penelitian
yang dilakukan oleh penulis, yaitu sebagai berikut:
20Ensiklopedia Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Dirjen Kebudayaan, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan
Tradisi, 2017).
21Sulaiman, Problem Pelayanan Terhadap Kelompok Penghayat Kepercayaan Di Pati, Jawa
Tengah, (Jurnal SMaRT Studi Masyarakat, Religi dan Tradisi Volume 04 No. 02 Desember 2018).
11
1. Regulasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti pengaturan.22
Regulasi adalah suatu peraturan yang dibuat untuk melayani suatu kelompok,
lembaga atau organisasi, dan masyarakat demi mencapai tujuan tertentu dalam
kehidupan bersama, bermasyarakat, dan bersosialisasi. Secara umum regulasi
digunakan untuk menggambarkan suatu peraturan yang berlaku di dalam
kehidupan bermasyarakat. Regulasi banyak diterapkan pada peraturan hukum
negara, perusahaan, dan bidang yang lainnya.23
2. Pemerintah
Pemerintah adalah suatu sistem menjalankan wewenang dan
kekuasaan mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu negara atau
bagian-bagiannya dan sekelompok orang yang secara bersama-sama memikul
tanggung jawab terbatas untuk menggunakan kekuasaan. Kemudian,
Pemerintahan adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan negara.24
3. Aliran Kepercayaan
Aliran kepercayaan terdiri dari dua kata yaitu aliran dan kepercayaan.
Aliran dalam KBBI memiliki arti haluan, pendapat, (politik, pandangan hidup,
dan sebagainya) dari suatu paham. Kepercayaan berasal dari kata percaya
yang berarti bahwa anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yang dipercayai
22KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
23Diakses dari https://www.maxmanroe.com/vid/bisnis/pengertian-regulasi.html Pada Tanggal
31 Desember 2019.
24KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
12
itu benar atau nyata. Kepercayaan merupakan suatu paham yang mengakui
adanya Tuhan Yang Maha Esa, tetapi tidak termasuk atau tidak berdasarkan
ajaran salah satu dari keenam agama yang resmi (Islam, Katolik, Kristen
Protestan, Hindu, Buddha dan Konghucu).25
4. Sapta Darma
Sapta artinya tujuh, Darma artinya kewajiban atau amal suci.26 Dalam
KBBI Darma artinya kewajiban, tugas hidup, kebajikan.27 Sapta Darma
adalah tujuh kewajiban atau tujuh wewarah suci yang diwahyukan oleh Tuhan
Yang Maha Esa kepada Hardjosapuro dan disebarkan kepada pengikutnya
guna dihayati sebagai tuntunan hidup manusia dalam mencapai ketentraman,
keselamatan, kebahagiaan dan kesempurnaan hidup (memayu hayuning
bawana).28
G. Metodologi Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field
research). Penulis melakukan survey langsung ke lapangan yang
bersangkutan langsung dengan para penghayat Sapta Darma.
25KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
26Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, h. 22.
27KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
28Ensiklopedia Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Dirjen Kebudayaan, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan
Tradisi, 2017), h. 290.
13
Penulis melakukan penelitian lapangan di Sanggar Candi Busono
Ganefo Sekretariat Persatuan Warga Sapta Darma (PERSADA DKI
JAKARTA) tepatnya di Tanjung Priok Jakarta Utara yang dilaksanakan pada:
- Penelitian pertama pada tanggal 5 Oktober 2019,
- Penelitian kedua pada tanggal 16 November 2019,
- Penelitian ketiga pada tanggal 30 November 2019,
- Penelitian ketiga pada tanggal 8 Desember 2019.
Penulis juga melakukan studi kepustakaan (library research) guna
mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari sumber-sumber seperti
buku, jurnal, karya ilmiah dan sumber-sumber lain yang sesuai dengan
penelitian yang dilakukan.
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian skripsi ini adalah tentang bagaimana respon para penghayat
kepercayaan Sapta Darma terhadap regulasi pemerintah, dengan memahami
pengalaman para penghayat dalam kehidupan bermasyarakat dan bagaimana
gejala-gejala sosial yang dihadapi, maka dalam penelitian ini penulis
menggunakan pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis terhadap Aliran
Kepercayaan bermaksud mencari relevansi dan pengaruh Aliran Kepercayaan
terhadap fenomena sosial. Fokus perhatian pendekatan sosiologis adalah pada
struktur sosial, konstruksi pengalaman manusia dan kebudayaan termasuk
agama.29
29Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940)
Hingga Masa Reformasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 43.
14
3. Sumber Data
Data adalah sekumpulan informasi yang berupa angka (kuantitatif)
atau sekumpulan fakta dan kata-kata (kualitatif). Dalam penelitian ini sumber
data yang didapatkan penulis adalah sumber primer yaitu berupa pengetahuan
dan pendapat yang didapatkan langsung dari para penghayat kepercayaan
Sapta Darma di Sanggar Candi Busono Ganefo Tanjung Priok. Sumber data
lain yang didapat adalah sumber sekunder, yang berupa data-data yang telah
disusun dalam bentuk buku, jurnal, majalah, studi kasus penelitian lain yang
sudah tercatat dan juga sumber sekunder lain seperti sumber yang
dipublikasikan yang diambil dari internet.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini ada beberapa teknik yang akan digunakan untuk
mengumpulkan data, diantaranya:
a. Pengamatan (Observasi)
Observasi adalah metode pengumpulan data dimana peneliti
mencatat informasi sebagaimana yang mereka saksikan selama penelitian.
Penyaksian terhadap peristiwa-peristiwa itu bisa dengan melihat,
mendengarkan, merasakan, yang kemudian dicatat seobjektif mungkin.30
b. Teknik Wawancara (Interview)
Wawancara merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan
untuk mengumpulkan data penelitian. Wawancara adalah suatu kejadian
30W. Gulo, Metodologi Penelitian, (Grasindo, 2000), h. 116.
15
atau suatu proses interaksi antara pewawancara (Interviewer) dan sumber
informasi atau orang yang diwawancarai (Interviewee) melalui
komunikasi langsung.31 Wawancara di sini adalah percakapan yang
dilakukan dengan tatap muka langsung antara penulis dengan para
penghayat kepercayaan Sapta Darma di Sanggar Candi Busono Ganefo
Tanjung Priok.
c. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan teknik yang digunakan untuk
mengumpulkan data dari dokumen-dokumen yang berkaitan dengan tema
penelitian. Baik berupa dokumen-dokumen atau catatan seperti dokumen
yang ditulis oleh orang yang langsung mengalami peristiwa seperti
autobiografi, atau dokumen lain seperti dokumen pemerintahan, juga
dokumen yang berupa laporan, gambar, maupun video recorder.
5. Analisis Data
Jenis analisis data dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Ada
dua tahap analisis data dalam penelitian kualitatif yaitu: pertama, pada tahap
pengumpulan data, oleh karena itu analisis data dilakukan di lapangan; kedua,
dilakukan ketika penulisan laporan dilakukan.32 Dalam penelitian ini data
yang sudah terkumpul dan diperoleh dari observasi, wawancara, dan juga
dokumen-dokumen diolah kembali kemudian data kemudian data tersebut
31A. Muri Yusuf, Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, Dan Penelitian Gabungan
(Jakarta: Kencana, 2014), h. 372.
32Afrizal, Metode Penelitian Kulitatif: Sebuah Upaya Mendukung Penggunaan Penelitian
Kualitatif dalam Berbagai Disiplin Ilmu, (Jakarta: PT Rajawali Pers, 2015), h. 19
16
dianalisis dan ditulis menjadi uraian, tujuannya menyederhanakan data dan
mempermudah data agar dapat dimengerti, sehingga penemuan yang
dihasilkan dalam penelitian dapat dipahami oleh orang lain.
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan yang di gunakan dalam skripsi ini adalah
menggunakan Surat Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Nomor: 507 Tahun 2017 Tentang Pedoman Karya Tulis Ilmiah (Skripsi,
Tesis, Dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
H. Sistematika Penulisan
Penulisan dalam skripsi ini disusun secara sistematis yang dibagi menjadi
lima bab, yaitu sebagai berikut:
Bab I: Pendahuluan. Bab ini membahas tentang latar belakang suatu masalah
dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis yang kemudian diikuti dengan
menuliskan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II: Pada Bab ini menjelaskan tentang sejarah aliran kepercayaan di
Indonesia dan legalitas para aliran kepercayaan, dan membahas tentang regulasi
kebijakan pemerintah yang ditujukan terhadap aliran-aliran kepercayaan di Indonesia.
Bab III: Bab ini menjelaskan tentang aliran kepercayaan Sapta Darma di
Indonesia, baik membahas tentang sejarah dan perkembangannya, dan juga
membahas tentang ajaran aliran kepercayaan Sapta Darma.
Bab IV: Pada Bab ini menjelaskan tentang bagaimana respon yang diberikan
para penganut aliran kepercayaan Sapta Darma terhadap regulasi yang diberikan
17
pemerintah terhadap aliran-aliran kepercayaan di Indonesia, dan berisi tentang
biografi singkat para narasumber dan problem-problem permasalahan yang dialami
oleh para penghayat kepercayaan Sapta Darma.
Bab V: Merupakan bab penutup yang berisi tentang kesimpulan dari pokok
permasalahan dalam penulisan skripsi ini.
18
BAB II
REGULASI PEMERINTAH TERHADAP ALIRAN KEPERCAYAAN
DI INDONESIA
A. Sejarah dan Legalitas Aliran Kepercayaan di Indonesia
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai sejarah aliran kepercayaan, perlu
diketahui bahwa penganut aliran kepercayaan hingga saat ini tersebar di berbagai
daerah di nusantara. Melalui Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan
Masyarakat (Bakorpakem), mengidentifikasi bahwa jumlah mereka berubah dari
waktu ke waktu, dari 200 hingga lebih 300 kelompok atau organisasi.1
Jumlah penghayat kepercayaan belum diketahui secara pasti. Namun, jumlah
organisasi penghayat kepercayaan telah teridentifikasi, sehubungan dengan adanya
kegiatan inventarisasi oleh Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Tradisi
(DKT), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tabel 2. 1 Jumlah organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME tingkat pusat di Indonesia berdasarkan provinsi (Juli 2017)2
No. Provinsi Jumlah Organisasi Penghayat
1. Sumatera Utara 12
2. Lampung 5
3. DKI Jakarta 14
4. Banten 1
5. Jawa Barat 7
6. Jawa Tengah 53
1Samsul Maarif, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur Dalam Politik Agama di Indonesia,
(Yogyakarta: CRCS( Center for Religious and Cross-cultural Studies) Program Studi Agama dan
Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana Lintas Disiplin, Universitas Gadjah Mada, 2017), h. 4
2Sumber: Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Tradisi (DKT) 2017.
19
7. DI Yogyakarta 25
8. Jawa Timur 50
9. Bali 8
10. Nusa Tenggara Barat 2
11. Nusa Tenggara Timur 5
12. Sulawesi Utara 4
13. Riau 1
Total 187
Per Juli 2017, DKT telah mencatat sebanyak 187 organisasi penghayat tingkat
pusat dan 1.047 organisasi penghayat tingkat cabang yang ada di seluruh Indonesia.
Tumbuh dan berkembangannya aliran kepercayaan di Indonesia tidak dapat
dilepaskan dari tokoh Wongsonegoro. Seorang tokoh politikus yang pada waktu kecil
bernama R.M Soenardi. Ia lahir di Solo, tanggal 20 April 1897 dari pasangan R.Ng.
Gitodiprojo dan R.A. Soenartinah. Ayahnya adalah abdi dalem panewu3 dari Sri
Susuhunan Pakubuwono X di Surakarta. Dilihat dari latar belakang spiritual atau
agamanya, Mr. Wongsonegoro sudah sejak lama memiliki perhatian terhadap aliran
kebatinan atau yang sekarang dikenal dengan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa. Sebagai darah biru atau keturunan bangsawan Kasunanan Surakarta,
kehidupan Mr Wongsonegoro sudah akrab dengan olah batin, tirakat, dan perilaku
spiritual lainnya. Perhatian dan pemikirannya terhadap Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa itu diwujudkan dalam usulannya pada pasal 29 ayat (2) UUD 1945.4
Dasar hukum kemunculan aliran kepercayaan adalah pasal 29 UUD 1945,
yang di situ terdapat kata “kepercayaan”. Kata “kepercayaan” adalah buah dari
pemikiran Wongsonegoro, yang juga termasuk salah satu anggota perancang UUD
3abdi dalem panewu. abdi dalem adalah seorang yang mengabdikan diri pada seorang raja
atau pada seseorang guru besar yang dihormati. Sedangkan panewu adalah kedudukan atau pangkat
abdi dalem.
4Ensiklopedia Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, h. 706
20
1945. Ia mengusulkan kebebasan secara luas termasuk bagi kebatinan dalam segala
bentuk dan isinya. Menurut Abdul Gafar Pringgodigdo pada Simposium Nasional
Kepercayaan di Yogyakarta pada November 1970, usulan Wongsonegoro untuk
mencantumkan juga kata kebatinan dalam pasal 29 UUD 1945 diterima. Akan tetapi,
dalam prosesnya dicarikan kata lain yang lebih netral, yang akhirnya digunakanlah
kata kepercayaan seperti yang ada pada ayat (2) pasal 29 UUD 1945 hingga
sekarang.5
Pada 19-21 Agustus 1955 bertempat di Semarang, kelompok aliran-aliran
kepercayaan mengadakan pertemuan yang menjadi Kongres Kebatinan pertama. Pada
kesempatan ini didirikanlah Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI) dan
Wongsonegoro dipercaya menjadi ketuanya. Wongsonegoro menegaskan bahwa
pendirian BKKI ini dilandasi oleh suatu hal yang di dalam Kongres nya itu
dinamakan sebagai “Sepi ing Pamrih Rame ing Gawe” dan “Memayu Hayuning
Bawana”, yang artinya bekerja giat untuk kepentingan umum, bangsa dan umat
manusia dengan tidak berhasrat yang melebihi batas bagi diri dan golongannya
sendiri. Sejak kongres pertama itu, setiap dua tahun sekali BKKI rutin
mengadakannya. Seperti Kongres Kebatinan Indonesia II di Surakarta tahun 1956,
Kongres Kebatinan Indonesia III pada Juli 1958 di Jakarta, Kongres Kebatinan
Indonesia IV Juli 1960 di Malang Jawa Timur, dan Kongres Kebatinan Indonesia V
pada Juni 1963 di Ponorogo Jawa Timur.6
5Aryono, Pergulatan Aliran Kepercayaan Dalam Panggung Politik Indonesia, (Jurnal:
Sejarah Citra Lekha, Vol. 3, No.1, 2018), h. 60
6Aryono, Pergulatan Aliran Kepercayaan Dalam Panggung Politik Indonesia, h. 60-61.
21
Pada 30 September 1965, terdapat dua kekuatan dalam sistem demokrasi di
bawah pemerintahan Soekarno. Pada masa ini PKI berkembang pesat, organisasi-
organisasi pendukungnya pun bertambah dan memiliki pengaruh yang sangat
signifikan. Sehingga PKI berhasil menginfiltrasi rakyat melalui kesenian dan
kebudayaan lainnya. Banyak dari kesenian dan kebudayaan tersebut di klaim
berafiliasi dengan Lekra, underbow PKI.
Pertumbuhan kekuatan dan pengaruh PKI tersebut, menimbulkan rasa
kekhawatiran pada kekuatan-kekuatan lain, khususnya kelompok Islam. Kelompok
militer lah yang memiliki kekuatan dalam menghadapi PKI. Kedua kekuatan tersebut
berubah setelah peristiwa penculikan enam (6) Jenderal TNI pada 30 September
1965. Peristiwa tersebut diikuti dengan “serangan balasan” anti-komunis, dan PKI
pun sebagai kekuatan politik dibubarkan. Kelompok militer menjadi satu-satunya
kekuatan yang besar dan tak tertandingi dengan panglima militer itu adalah Jenderal
Soeharto.7
Pada tahun 1966, dengan dukungan kelompok Islam penguasa atau kelompok
militer mulai melakukan pembersihan terhadap kelompok-kelompok yang
sebelumnya diinfiltrasi oleh PKI. Kelompok Kebatinan ikut dicurigai dan dituduh
terkait dengan PKI. Banyak dari pelaku kesenian dan kebudayaan menjadi target
utama dalam aksi penculikan dan penangkapan atas nama pembubaran dan
penumpasan PKI serta antek-anteknya. Karena kecurigaan tersebut, banyak kelompok
kebatinan yang tidak berani melaksanakan ritual-ritual nya secara terbuka. Pada saat
7Samsul Maarif, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur.., h. 37-38.
22
suasana yang penuh ketegangan di awal Orde Baru itu, sebagian besar kelompok
kebatinan berafiliasi ke salah satu dari enam agama yang ada di negara Indonesia
sebagai strategi untuk menghindarkan diri dari tuduhan “belum beragama” yang
diklaim sama dengan komunis.
Pada tahun 1968, kekuasaan beralih ke Soeharto. Ia mulai menegakkan
fondasi rezim Orde Baru. Partai politik Sukarnois, Partai Nasional Indonesia (PNI),
Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan partai-partai politik lainnya, termasuk partai-
partai Islam dipaksa untuk bergabung ke salah satu dari dua partai, yaitu: Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Selain itu,
penguasa membentuk Golongan Karya (Golkar) sebagai instrument politik rezim
Orde Baru-nya. Sejak awal pembentukannya, Golkar menghidupkan kembali
organisasi-organisasi kebatinan dan pada akhir tahun 1960-an, kelompok kebatinan
mendapat dukungan dari elit-elit politik dan militer yang memiliki latar belakang
kejawen.8
Sekitar tanggal 7-9 November 1970, sebagai mantan anggota BPUPKI,
Wongsonegoro mengetuai simposium nasional Kepercayaan, Kebatinan, Kejiwaan,
Kerohanian di Yogyakarta. Dari simposium tersebut hasilnya adalah kedudukan dan
fungsi kebatinan, kejiwaan serta kerohanian sejajar dengan agama. sebulan kemudian,
Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar membentuk Badan Koordinasi Karyawan
Kerohanian, Kebatinan, Kejiwaan Indonesia (BK5I), yang dianggap kedudukannya
setara dengan Persatuan Ulama Seluruh Indonesia (untuk umat Islam). Cikal bakal
8Samsul Maarif, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur.., h. 40
23
dari BK5I adalah Badan Musyawarah Kebatinan , Kejiwaan dan Kerohanian
(BMK3I) yang pada tahun 1966 menjadi komponen Sekber Golkar.9
Di bawah Golkar, kelompok kebatinan terus berusaha menghimpun seluruh
penganut kepercayaan dalam satu wadah organisasi yang berjuang untuk
mendapatkan pengakuan secara legal dari negara. Pada masa ini, kelompok
masyarakat adat yang tersebar di luar Jawa pun diikutsertakan. Tradisi-tradisi adat
yang pada masa penjajahan Belanda dicap sebagai animis dan pada masa penjajahan
Jepang dipinggirkan karena dianggap antek penjajah Belanda dan bertentangan
dengan Islam, kemudian setelahnya kajian adat lebih diidentikkan dengan hukum
(hukum adat), yang dikategorikan sebagai kepercayaan, kerohanian dan kebatinan.
Pada bulan berikutnya, tepatnya pada tanggal 27-30 Desember 1970,
kelompok kebatinan melaksanakan Musyawarah Nasional (Munas) Kepercayaan di
Yogyakarta. Hasil dari musyawarah tersebut adalah membedakan kebatinan menjadi
tiga unsur diantaranya: Kerohanian, Kebatinan, dan Kejiwaan (Kebatinan). Oleh
karena itu, Aliran Sapta Darma merubah nama menjadi Kerohanian Sapta Darma, dan
ditengarai sebagai satu-satunya aliran yang memakai istilah Kerohanian.10
Melalui Golkar, pemerintah memberikan keputusan dengan menerima
organisasi kepercayaan sebagai lembaga formal. Hal tersebut merupakan sebuah
langkah penting karena dengan demikian pemerintah memiliki tanggung jawab untuk
mendukung dan melayani kelompok tersebut secara finansial, sebagaimana yang
diberikan kepada kelima kelompok agama. Pada 20 Januari 1971, delegasi Munas
9Aryono, Pergulatan Aliran Kepercayaan Dalam Panggung Politik Indonesia, h. 61
10Samsul Maarif, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur.., h. 41-42.
24
Kepercayaan yang diketuai Mr. Wongsonegoro menghadap Presiden Soeharto.
Mereka mengajukan empat hal: 1) terkait dengan legalitas kehidupan kepercayaan
(kebatinan, kerohanian, kejiwaan), 2) pendidikan moral Pancasila, 3) kedudukan
Sekretariat Kerjasama Kepercayaan, dan 4) perayaan Satu Syura sebagai hari besar
Kepercayaan. Dan ditindak lanjuti pada 27 Januari 1971 “ Satu Syura Syaka 1901”
dirayakan di berbagai tempat, dengan doa, sesaji, pewayangan, serta sambutan-
sambutan, termasuk sambutan yang dibawakan langsung oleh Presiden Soeharto.
Upaya pemerintah untuk menyetarakan kepercayaan dengan agama tentu saja
mendapat protes, seperti sebelumnya. Pada tanggal 11 April 1972, Lembaga PAKEM
yang telah di reorganisasi dan juga didirikan di berbagai daerah melaporkan bahwa
terdapat 644 Cabang Kebatinan dan aliran kepercayaan serta sebanyak 188 dari
aliran-aliran tersebut berada di Jawa Tengah. Keseluruhan aliran tersebut terdaftar di
Sekretariat Kerjasama Kepercayaan pada tingkat pusat dan cabang.11
Usaha dalam mencari landasan hukum selanjutnya dimantapkan lagi dalam
sidang MPR-RI tahun 1973 dan seterusnya dalam sidang tahun 1978 yang
memasukkan kepercayaan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sebagai
realisasi Tap MPR Nomor IV/MPR/1978 yang berkenaan dengan bidang agama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan ditunjang dengan pidato Presiden
Soeharto di hadapan DPR tanggal 16 Agustus 1978, ditegaskan bahwa kepercayaan
merupakan bagian dari kebudayaan Nasional kita dan merupakan budaya yang hidup
dan dihayati oleh bangsa kita, sehingga sejak 1978 kepercayaan yang semula berada
dalam wewenang DEPAG dialihkan menjadi wewenang Direktorat Pembinaan
11Samsul Maarif, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur.., h. 42- 44
25
Penghayat Kepercayaan dibawah naungan Direktorat Jenderal Kebudayaan,
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.12
B. Ketetapan MPR RI Tahun 1973 dan 1978 tentang GBHN
Setelah Pemilu 1971, regulasi pemerintah Soeharto berpihak kepada
Kepercayaan melalui lumintu13 Soedjono Humardani dan Zahid Husein sebagai orang
kepercayaan Soeharto “Orang Cendana”. Para penghayat kepercayaan pada periode
awal pemerintahan Soeharto sudah diberi stigma sosial dengan abangan dan PKI
sehingga menjadi objek kekerasan negara. Soeharto meningkatkan status PNPS
Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan
Agama sebagai UU melalui UU No. 5 tahun 1969 tentang pernyataan berbagai
penetapan Presiden sebagai Undang-Undang. Kemudian pada Sidang Umum MPR
hasil Pemilu 1971, menghasilkan TAP MPR No. IV/MPR/1973.14
Sehubungan dengan ide memasukkan aliran kepercayaan dalam GBHN 1973
diidentifikasi berawal dari hasil konferensi pekerja Golkar I, Maret 1972. Hasil dari
konferensi tersebut adalah keputusan bahwa Golkar ingin menyamakan kebatinan
Jawa dengan kelima agama resmi di Indonesia. Keputusan tersebut kemudian dibawa
ke rapat khusus DPP Golkar pada April 1972. Keputusan itu menjadi bahan masukan
bagi Tim Penyiapan Bahan-bahan Sidang Umum MPR 1973. Aliran kebatinan pun
12Hartik Agustina, Paguyuban Darma Bakti Tambuh, Batu, Jawa Timur, ( Skripsi: Jurusan
Perbandingan Agama IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2013), h. 36.
13Lumintu dalam Kamus Bahasa Jawa Berasal dari Kata Lumintir, yang artinya
Berkesinambungan. Sedangkan dalam kalimat tersebut dimaksudkan untuk gelar seseorang.
14Abdul Latif Bustami, Modul III - Sejarah Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Di
Indonesia, (Jakarta: Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, 2017), h. 38-39.
26
kemudian masuk dalam naskah kerja GBHN yang disusun oleh tim kerja yang
dipimpin oleh Darjatmo, kepala staf kekaryaan Hankam sekaligus karib Ali Murtopo.
Pada saat paripurna ketiga, Chalid Mawardi yang menjadi juru bicara dari
Fraksi Persatuan Pembangunan mengemukakan pendapat fraksinya. Menurutnya,
dalam rangka pembinaan terhadap aliran-aliran kepercayaan atau faham-faham
keagamaan hendaknya di tempatkan pada proporsi nya, sehingga dapat dilakukan
pembimbingan, pembinaan dan pengawasan supaya aliran-aliran itu kembali kepada
induk agamanya masing-masing serta berusaha mencegah perkembangan aliran
kepercayaan yang bertentangan dengan Pancasila dan keyakinan beragama.15
Terlepas dari kritikan tersebut, posisi kepercayaan sebagaimana tercantum
dalam GBHN yang telah disusun dan diputuskan melalui TAP MPR 1973, dan
menegaskan bahwa kepercayaan dan agama adalah ekspresi kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa yang sama-sama sah.16 Secara rinci dapat dilihat dalam TAP
MPR RI No. IV/MPR/1973 tentang GBHN, bahwa agama dan kepercayaan adalah
dua kategori kelompok warga yang eksistensinya sama-sama diakui sebagai satu
kesatuan bangsa yang perlu dikembangkan. Kemudian pada Bab IV “Pola Umum
Pelita Kedua” bagian (D); Arah Kebijaksanaan Pembangunan, secara spesifik
keduanya dituliskan “Agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa”.
Poin-poin tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
1. Atas dasar Kepercayaan Bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa maka
peri kehidupan beragama dan peri kehidupan berkepercayaan terhadap Tuhan
15Aryono, Pergulatan Aliran Kepercayaan Dalam Panggung Politik Indonesia, h. 61-62.
16Samsul Maarif, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur Dalam Politik.., h. 45
27
Yang Maha Esa didasarkan atas kebebasan menghayati dan mengamalkan
Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan falsafah Pancasila.
2. Pembangunan Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
ditujukan untuk pembinaan suasana hidup rukun diantara sesama ummat
beragama sesama penganut Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan
antara semua ummat beragama dan semua penganut Kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa serta meningkatkan amal dalam bersama-sama
membangun masyarakat.
3. Diusahakan bertambahnya sarana-sarana yang diperlukan bagi pengembangan
kehidupan keagamaan dan kehidupan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, termasuk pendidikan Agama yang dimasukkan kedalam kurikulum di
sekolah-sekolah mulai dari sekolah dasar sampai dengan universitas-universitas
negeri.17
Terkait dengan hal tersebut, pada tanggal 2 Januari 1974 Undang-Undang
Republik Indonesia juga mengesahkan UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
diundangkan. Sesuai dengan TAP MPR RI Nomor: IV/MPR/1973 di atas, UU
tentang Perkawinan ini berlaku untuk seluruh penduduk secara nasional, sebagaimana
dituangkan dalam bagian “menimbang”:
“bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum
nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi
semua warga negara”.18
Menarik untuk dibandingkan antara UU perkawinan ini dengan yang
sebelumnya. Jika UU No. 32 Tahun 1954 berlaku hanya untuk umat Islam, UU No. 1
Tahun 1974 adalah untuk seluruh warga negara, baik umat Islam maupun lainnya,
sekalipun keduanya dibedakan: perkawinan umat Islam dicatatkan di kantor
17Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1973 tentang GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara).
18Samsul Maarif, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur.., h. 46.
28
pengadilan agama, sedangkan warga negara lainnya dicatatkan di kantor pengadilan
umum.
Unsur “kepercayaan” dalam Arah dan Kebijaksanaan Pembangunan
diselaraskan dengan amanat GBHN, yaitu pembinaan kerukunan umat beragama dan
kepercayaan. Setelah digariskan dalam GBHN, pemerintah melalui Departemen
Agama berupaya mengatur dan mengawasi keberadaan para penghayat kepercayaan
yang tumbuh di Indonesia.19
Pada Sidang Umum 1978, pemerintah kembali memasukan pembinaan aliran
kepercayaan ke dalam GBHN. Salah satu agenda SU MPR 1978 adalah menetapkan
rancangan GBHN. Rancangan tersebut disusun oleh pemerintah untuk diolah dalam
rapat fraksi sebelum rapat disahkan dalam rapat paripurna.
Bahan-bahan yang disiapkan untuk sidang MPR tersebut disusun oleh sebuah
tim dengan susunan Sudharmono (ketua), JB Sumarlin (wakil), Ismail Saleh
(sekretaris), dan delapan anggota lainnya seperti Kartakusumah, A.
Wiranatakusumah, Subarkah, Ali Murtopo, Daryatmo, Madjid Ibrahim, Kartidjo serta
Murdiono. Dalam rancangan itu, pemerintah memuat pembahasan tentang aliran
kepercayaan kepada Tuhan. Akan tetapi F-PPP menolak hal tersebut.20 Mereka
mempersoalkan aliran kepercayaan yang diakui secara resmi dan diperlakukan sama
seperti Islam dan agama-agama lainnya. Mereka juga menolak jika kepercayaan
berada dalam satu wadah bersama dengan agama-agama di bawah naungan
Kementerian Agama. Mereka juga mendesak agar mereka yang Muslim
19Aryono, Pergulatan Aliran Kepercayaan Dalam Panggung Politik Indonesia, h. 62.
20Aryono, Pergulatan Aliran Kepercayaan Dalam Panggung Politik Indonesia, h. 62.
29
meninggalkan kepercayaan, atau tinggalkan Islam jika tetap memilih kepercayaan.
Bagi mereka, pengakuan kepercayaan secara resmi oleh negara berarti dengan
menginstitusionalisasi budaya abangan, yang bertentangan secara langsung dengan
budaya santri.21
Pada rapat Komisi A, fraksi dari PPP menolak rancangan GBHN dari
pemerintah yang mencantumkan aliran kepercayaan dalam dokumen konstitusional
seperti GBHN. Yusuf Syakir sebagai juru bicara dari Fraksi Persatuan di Komisi A,
pada akhir pembacaan akhir keputusannya menyatakan bahwa fraksinya akan walk-
out (keluar). Ia mengatakan bahwa kepercayaan yang berdiri di luar agama dan
mendapat perlakuan yang sama adalah bertentangan dengan Pancasila dan UUD
1945. Meskipun F-PPP memutuskan untuk walk-out, rapat Komisi A tetap
memutuskan bahwa kepercayaan bukan termasuk agama dan perlunya pembinaan
terhadap para penghayat kepercayaan untuk mencegah supaya tidak mengarah pada
pembentukan agama baru. Kemudian pada rapat paripurna, ketika sidang akan
mengesahkan aliran kepercayaan terhadap Tuhan dalam GBHN 1978, F-PPP kembali
melakukan walk-out. Pengakuan atas aliran kepercayaan dalam naskah GBHN 1978
dimuat pada bagian Modal Dasar Pembangunan Nasional, Wawasan Nusantara, Arah
Pembangunan Jangka Panjang, dan Sasaran Pembangunan Jangka Panjang.22
Untuk lebih detail nya dapat dilihat dalam TAP MPRRI IV/MPR/1978 tentang
GBHN. Terdapat dalam Bab (IV) Pola umum Pelita Ketiga, bagian (D) Arah
21Samsul Maarif, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur.., h. 51.
22Aryono, Pergulatan Aliran Kepercayaan Dalam Panggung Politik Indonesia, h. 62.
30
Kebijakan Pembangunan, dalam bidang “Agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, Sosial Budaya” dengan menetapkan:
(f) Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama.
Pembinaan terhadap kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dilakukan:
- Agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru.
- Untuk mengefektifkan pengambilan langkah yang perlu agar pelaksanaan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa benar-benar sesuai dengan dasar
Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.23
Pasca sidang penetapan MPR No. IV/MPR/1978, yang ditindaklanjuti dengan
Instruksi Menteri Agama No. 4 Tahun 1978 Tentang Kebijaksanaan Mengenai
Aliran-Aliran Kepercayaan semakin mendiskriminasi para Penghayat Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. MPR mempertanyakan keberadaan aliran
kepercayaan dan dinyatakan sebagai kebudayaan. Politik keberpihakan pasca P4
(Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) adalah dengan dibentuknya
Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan (PPK) terhadap Tuhan Yang Maha
Esa berdasarkan Keputusan Presiden No. 27 dan No. 40 Tahun 1978. Direktorat
tersebut dipimpin oleh Arymurthy (Paguyuban Sumarah) dan berada dibawah
naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.24
Setahun kemudian selesai tugas pokok yang digarap oleh PPK, setelah Daoed
Joesoef selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menandatangani surat keputusan
nomor 0145/O/79 yang berisi empat (4) tugas pokok Direktorat PPK yaitu:
(1) Mempersiapkan perumusan kebijakan teknis pembinaan penghayat
kepercayaan sesuai kebijakan teknis Dirjen,
23Ketetapan MPR RI No: IV/MPR/1978 tentang GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara).
24Abdul Latif Bustami, Sejarah Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Di Indonesia,
h. 41.
31
(2) Menyusun materi dan program pembinaan penghayat kepercayaan,
(3) Menyelenggarakan bimbingan dan penyuluhan serta melaksanakan publikasi
dan dokumentasi pelaksanaan pembinaan penghayat kepercayaan,
(4) Melakukan penelitian atas pelaksanaan kegiatan pembinaan penghayat
kepercayaan.
Pada sidang kabinet terbatas bidang politik dan keamanan 27 September
1978, permasalahan agama dalam perkawinan menjadi pembahasan tersendiri.
Menteri Agama sekaligus mantan jenderal, Alamsjah Ratu Prawiranegara
menekankan kepada stabilitas nasional. Ia mengeluarkan SK Menteri Agama No. 70
dan 77 Tahun 1978 (tentang Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri untuk
Lembaga Agama). Langkah ini mendapat dukungan dari Soeharto. Mengenai
dukungan tersebut ditegaskan, bahwa perkawinan di Indonesia cuma ada dua:
menurut tata cara agama dan catatan sipil. Tidak lama kemudian Menteri Dalam
Negeri Amir Machmud mengeluarkan surat edaran bernomor 477/74054 tanggal 18
November 1978 kepada semua gubernur dan bupati/walikota se-Indonesia mengenai
petunjuk pengisian kolom “agama” dan pengakuan lima agama saja dari pemerintah.
Setelah keluar Surat Edaran Mendagri mengenai keharusan mengisi kolom
agama, Surat Menteri Agama tanggal 17 Juli 1980 yang menerangkan bahwa jika ada
penghayat kepercayaan yang membubuhi tanda garis mendatar pada kolom agama,
maka akan dicap sebagai tidak beragama. Penyebutan agama dalam KTP yang ditulis
tanda (-) bagi para penghayat kepercayaan, yang berarti mereka yang bersangkutan
adalah tidak beragama. Bukan hanya itu, masih dalam surat yang sama, jika ada
penghayat kepercayaan yang mengajak orang beragama lain untuk mengikutinya
32
maka dihadang dengan pasal 156 a KUHP, juga dalam UU Nomor 1 PNPS 1965
pasal 4, dengan ancaman 5 tahun penjara.25
C. UU No. 23 Tahun 2006 dan Perubahannya dalam UU No. 24 Tahun 2013
tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk)
Dalam Administrasi Kependudukan (Adminduk), hanya enam agama yang
diakui di Indonesia yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Dan
Setiap warga negara diwajibkan memilih salah satu agama resmi untuk mengisi
kolom agama di setiap formulir pencatatan sipil. Para penghayat kepercayaan tidak
memiliki pilihan lain kecuali mereka pindah agama atau berafiliasi ke agama resmi
jika ingin mencatatkan kewarganegaraan nya atau mendapatkan pelayanan. Mereka
yang tidak memilih maka tidak mendapatkan pencatatan sipil dan mendapatkan
pelayanan. Seorang penghayat yang ingin mendapatkan layanan listrik misalnya
dapat dilayani jika dia memiliki KTP yang kolom agamanya diisi dengan salah satu
agama resmi. Mereka yang memiliki KTP yang kolom agamanya tercantum agama
resmi bisa mengakses segala macam pekerjaan di lembaga negara. Begitulah bentuk
implementasi kebijakan agama resmi.26
Terkait dengan kolom agama, pemerintah mengesahkan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Undang-Undang
Administrasi Kependudukan Tahun 2006 mewajibkan warga negara menuliskan
agama mereka di Kartu Tanda Penduduk (KTP). RUU tersebut melarang warga
negara mengidentifikasikan agama mereka selain dari enam agama yang diakui resmi.
25Aryono, Pergulatan Aliran Kepercayaan Dalam Panggung Politik Indonesia, h. 63.
26Samsul Maarif, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur.., h. 55.
33
Warga negara secara hukum diperbolehkan mengosongkan kolom agama, akan tetapi
beberapa pejabat pemerintah daerah tidak mengetahui soal pilihan ini. Hal itu
menyebabkan penganut kelompok agama yang tidak diakui sering mengalami
kesulitan untuk memperoleh KTP.27
UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk),
pada Bagian Kedua Dokumen Kependudukan Pasal 61 ayat (2) tentang Kartu
Keluarga dinyatakan bahwa “Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana
dimaksud ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama
berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat
kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam data base
Kependudukan”. Bab IV Pasal 64 tentang KTP ayat (2) dinyatakan bahwa
“Keterangan tentang agama bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai
agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat
kepercayaan, tidak diisi atau dikosongkan, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam
data base Kependudukan”. UU No. 23 Tahun 2006 itu disempurnakan dalam UU No.
24 Tahun 2013 tentang Perubahan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan, yang dinyatakan pada Pasal 8 ayat (4), Pasal 64 ayat (5) hanya
masalah e-KTP.28
Adanya pembedaan antara agama yang diakui dan tidak diakui, peneliti
Wahid Foundation, Alamsyah M Djafar mengatakan, diskriminasi yang dialami para
27M. Ridwan Lubis, Agama Dan Perdamaian Landasan, Tujuan, dan Realitas Kehidupan
Beragama di Indonesia, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2017), h. 376.
28Abdul Latif Bustami, Sejarah Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Di Indonesia,
h. 45.
34
penganut aliran kepercayaan tidak lepas dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk). Diksi “tidak diisi” menurut
Alamsyah sering diartikan dengan tanda (-). Itulah yang akhirnya menimbulkan
beragam masalah diskriminasi. Berdasarkan hasil penelitian Wahid Foundation,
mereka biasanya mendapat perlakuan diskriminatif dalam pekerjaan dan pencatatan
pernikahan. “Misalkan ada anggota komunitas aliran kepercayaan yang gagal menjadi
tentara karena kosong di kolom agamanya. Sedangkan atasannya menyatakan harus
diisi”, kata Alamsyah.29
Kasus yang lainnya dialami oleh Carlim, seorang Ketua Yayasan Sapta Darma
di Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Ia masih mengingat bagaimana peristiwa pada
awal Desember 2014. Saat itu, salah satu anggota keluarga besarnya, Daodah,
meninggal dunia. Perangkat desa setempat tidak memberikan izin penguburan
Daodah di makam milik kampung. Pangkal masalahnya adalah status Daodah, Carlim
dan juga keluarga besarnya adalah sebagai penghayat kepercayaan Sapta Darma.
Daodah akhirnya dimakamkan di halaman rumah, dan tidak jauh dari tempat
ibadah penghayat kepercayaan Sapta Darma di Desa Siandong, Brebes. Carlim
mengatakan, memang sebenarnya sejak awal hubungan dengan masyarakat lain
sangat baik. Saling menghargai, tidak ada masalah apa-apa. Masalah ada setelah ada
kematian, kemudian ada penolakan pemakaman, dikarenakan awalnya dari
kekosongan kolom agama di KTP warga yang meninggal.30
29Diakses dari https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/uu-adminduk-diskriminatif-bagi-
penganut-aliran-kepercayaan-cvlq Pada Tanggal 1 November 2019.
30Diakses dari https://www.google.com/amp/s/www.voaindonesia.com/amp/4340417.html
Pada Tanggal 1 November 2019.
35
D. Keputusan Mahkamah Konstitusi No 97/PUU-XIV/2016
Dengan adanya peristiwa yang dialami oleh Carlim, sehingga membuat
dirinya terlibat dalam upaya judicial review terhadap Pasal 61 ayat 1 dan pasal 64
ayat 1 Undang-Undang (UU) Administrasi Kependudukan karena bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar (UUD).31 Terdapat sejumlah pemohon lain dalam
pengajuan judicial review, antara lain : Nggay Mehang Tana (Pemohon I) dari
kepercayaan Marapu (Sumba Timur), Pagar Demanra Sirait (Pemohon II) Parmalim
(Sumatera Utara), Arnol Purba (Pemohon III) Ugamo Bangsa Batak (Sumatera
Utara), dan yang terakhir adalah Carlim (Pemohon IV) dari kepercayaan Sapta Darma
(Jawa).32
Pada tanggal 7 November 2017, Mahkamah Konstitusi akhirnya mengabulkan
permohonan judicial review tentang aturan pengosongan kolom agama bagi penganut
kepercayaan pada KK dan e-KTP yang diatur dalam Pasal 61 ayat (1) dan (2) dan
Pasal 64 ayat (1) dan (5) Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 24
Tahun 2013 tentang UU Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan (UU Adminduk).33
Terkait dengan pasal-pasal a quo, dalam gugatan nya para pemohon
berargumentasi bahwa pasal-pasal tersebut telah menyebabkan kerugian atas hak-hak
konstitusional para pemohon. Permasalahan negara yang enggan mengakui
31Diakses dari https://www.google.com/amp/s/www.voaindonesia.com/amp/4340417.html
Pada Tanggal 1 November 2019.
32Surat Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 97/PUU-XIV/2016, h. 1.
33Prianter Jaya Hairi, Majalah Info Singkat Hukum Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan
Strategis, Vol.IX, No. 23/I/Puslit/Desember/2017, (Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, 2009), h.
1-4.
36
keberadaan para penganut kepercayaan dikatakan sebagai tindak diskriminasi secara
langsung terhadap para pemohon yang merupakan para penganut kepercayaan.
Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat mengabulkan
seluruhnya permohonan judicial review yang diajukan oleh Nggay Mehang Tana,
Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, Carlim sebagai pemohon dengan Nomor Perkara
97/PUU-XIV/2016.
Dalam putusan nya, Majelis Hakim berpendapat bahwa kata “agama” dalam
Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran
kepercayaan. Selain itu, Majelis Hakim MK juga menyatakan bahwa Pasal 61 ayat
(2) dan Pasal 64 ayat (5) bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, sejak putusan dibacakan oleh hakim
MK, penganut kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk
enam agama yang telah diakui pemerintah dalam memperoleh hak-hak nya.
Namun, tidak semua pihak setuju dengan putusan MK tersebut. Muncul protes
dari berbagai kalangan, termasuk dari lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI
sangat menyesalkan putusan MK tersebut dan menilai putusan tersebut kurang cermat
dan memberi luka pada perasaan umat beragama, seharusnya dalam mengambil
keputusan perlu komunikasi yang dibangun oleh MK dan menyerap aspirasi yang
37
seluas-luasnya dari masyarakat dan pemangku kepentingan sehingga dapat
mengambil keputusan secara objektif, arif, bijak dan aspiratif.34
Berikut merupakan keputusan yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi:
1. Mengabulkan permohonan dan Pemohon untuk seluruhnya.
2. Menyatakan kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 232 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang
tidak termasuk “kepercayaan”;
3. Menyatakan Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah
dengan Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.35
Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh
sembilan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap anggota,
Anwar Usman, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna,
Aswanto, Maria Farida Indrati, dan Manahan M.P Sitompul, masing-masing sebagai
34Prianter Jaya Hairi, Majalah Info Singkat Hukum .., h. 1- 4.
35Keputusan Mahkamah Konstitusi No 97/PUU-XIV/2016
38
anggota, pada hari Rabu, tanggal delapan belas, bulan Oktober, tahun dua ribu
tujuh belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka
untuk umum pada hari Selasa, tanggal tujuh, bulan November, tahun dua ribu
tujuh belas, selesai diucapkan pukul 10:27 WIB, oleh tujuh Hakim Konstitusi yaitu
Arief Hidayat selaku Ketua merangkap anggota, Anwar Usman, Saldi Isra, I Dewa
Gede Palguna, Aswanto, Maria Farida Indrati, dan Manahan M.P Sitompul, masing-
masing sebagai anggota, dengan didampingi oleh Syukri Asy’ari sebagai Panitera
Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili,
Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili dan Pihak Terkait/kuasanya.
E. Permendikbud No. 27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Pada Satuan Pendidikan
Setiap individu perlu sebuah pendidikan karena sangat penting untuk
pertumbuhan dan perkembangannya. Pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang
harus dipenuhi oleh manusia. Prof. Dr. H.A.R. Tilaar berpandangan bahwa
pendidikan tidak dapat dipisahkan dari perubahan sosial dan kehidupan manusia di
dalam berbagai kaitannya dengan masalah kebudayaan.36
Dalam perjalanan pendidikan di Indonesia masih ada diskriminasi pendidikan
terhadap kelompok-kelompok minoritas seperti yang pernah terjadi terhadap para
penghayat kepercayaan. Sebagai contoh kasusnya adalah pernah dialami oleh siswa
SMK 07 Semarang Zulfa Nur Rahman, yang merupakan salah satu siswa penganut
36Tilaar, Pendidikan Multikultural dan Revitallisasi Hukum Adat dalam Perspektif Sejarah,
(Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2005), h. 13.
39
penghayat kepercayaan dalam ranah pendidikan umum, ia tidak bisa naik kelas
dikarenakan menolak mengikuti pelajaran agama yang disediakan oleh sekolah.37
Kejadian tersebut bermula pada tanggal 18 Desember 2015, saat pengambilan
LHBS (Laporan Hasil Belajar Siswa), guru BK (Bimbingan Konseling)
berkomunikasi dengan orang tua murid terkait dengan nilai kosong pada mapel
Pendidikan Agama dan Budi Pekerti Islam. Kemudian, pada tanggal 3 Maret 2016
orang tua dipanggil oleh pihak sekolah untuk melakukan pendekatan dan mencari
solusi agar siswa mengikuti pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti.38
Selanjutnya dijelaskan bahwa “pihak sekolah tidak menaikkan Zulfa karena tidak
adanya regulasi yang mengatur tentang penghayat kepercayaan”, tutur kepala
ombudsman RI Kantor Perwakilan Jawa Tengah Achmad Zaid.39
Adanya diskriminasi terhadap warga penghayat kepercayaan dalam bidang
pendidikan, maka pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa dan Tradisi menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 27
Tahun 2016 tentang Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Pada
Satuan Pendidikan. Dengan terbitnya PERMENDIKBUD No. 27 Tahun 2016,
diharapkan diskriminasi yang selama ini dialami penghayat kepercayaan dalam
bidang pendidikan, dapat segera berakhir. Sehingga eksistensi dan peran masyarakat
37Dino Nur Wahyu, Pendidikan Anak Penghayat Kepercayaan Di SMA 9 dan SMP 59
Surabaya, (Skripsi: Jurusan Studi Agama Agama Universitas Negeri Sunan Ampel, 2019), h. 2.
38Bunyamin, Presentasi tentang Layanan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, (Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang ), Studi Kasus Permasalahan Peserta Didik Di
SMK N 7 Semarang.
39Dino Nur Wahyu, Pendidikan Anak Penghayat Kepercayaan.., h. 2.
40
penghayat kepercayaan akan lebih Nampak di dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.40
Dalam PERMENDIKBUD No. 27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Pada Satuan Pendidikan, dijelaskan
bahwa peserta didik Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa berhak
mendapatkan Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
sesuai dengan hak-hak peserta didik dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Lebih rinci dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan dalam Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa:
(1) Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah
Layanan Pendidikan yang diberikan kepada Peserta Didik Penghayat
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan Pembelajaran tentang
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha.
Kemudian mengenai pendidik penghayat kepercayaan dijelaskan pada Pasal 1 ayat
(6) bahwa:
(6) Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, pamong
belajar, dan sebutan lain sesuai dengan kekhususan nya serta berpartisipasi dalam
menyelenggarakan pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Mengenai muatan Pendidikan pada Pasal 2 ayat (2) adalah:
(2) Muatan Pendidikan Kepercayaan wajib memiliki Kompetensi Inti dan
Kompetensi Dasar, silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, buku teks
pelajaran, dan Pendidik.
Dan pada Pasal 3 dijelaskan:
40JUKNIS – Sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 27 Tahun 2016
tentang Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada Satuan Pendidikan,
(Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, 2016).
41
- Dalam penyediaan Pendidikan Kepercayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2, Pemerintah , Pemerintah Daerah, dan satuan pendidikan dapat bekerja sama
dengan Organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Yang telah terdaftar sesuai peraturan perundang-undangan.
PERMENDIKBUD No. 27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Pada Satuan Pendidikan ditetapkan
dan ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Anies Baswedan, pada tanggal 22 Juli 2016 di Jakarta. Dan diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 2016 oleh Widodo Ekatjahjana Direktur Jenderal Peraturan
Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia dengan ditempatkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 1121. 41
41Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas, Kumpulan Peraturan Menteri Pendidikan
Dan Kebudayaan Tahun 2016-2017, (Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2017), h. 172-175.
42
BAB III
ALIRAN KEPERCAYAAN SAPTA DARMA DI INDONESIA
A. Sejarah dan Perkembangan Aliran Kepercayaan Sapta Darma di Indonesia
1. Sejarah Aliran Sapta Darma
Gambar 3. 1 Sosok Panuntun Agung Sri Gutama1
Ajaran Sapta Darma (tujuh wewarah suci) diterima oleh seorang putra bangsa
Indonesia bernama Hardjosapuro yang kemudian bergelar Sri Gutama dan Panutan
Agung Sapta Darma. Terkait dengan istilah/kalimat wewarah suci dan luhur
dijelaskan bahwa: “Kita yakin Sapta Darma sebagai wewarah suci karena wewarah
Sapta Darma itu sebagai wahyu dan dhawuh2 dari Tuhan Yang Maha Esa. Kita yakin
Sapta Darma sebagai wewarah luhur karena wewarah Sapta Darma itu mengandung
nilai-nilai luhur”.3 Ajaran ini diterima secara berurutan di Kampung Pandean, Desa
Pare, Kecamatan Pare, Kediri Jawa Timur, sejarahnya diceritakan sebagai berikut:
Yang pertama adalah penerimaan Wahyu Sujud pada tanggal 27 Desember
1952. Di Kampung Pandean, Gang Koplakan, Pare, tinggal lah sosok Hardjosapuro
yang memiliki pekerjaan sebagai seorang wiraswasta.
1Sumber: Dokumen Pribadi
2Dhawuh dalam bahasa Indonesia artinya adalah perintah. Maksud dari kalimat di atas berarti
perintah untuk melakukan sesuatu dari Tuhan Yang Maha Esa.
3Ensiklopedia Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, h. 290.
43
Pada tanggal 26 Desember 1952, Hardjosapuro tidak melakukan pekerjaan
seperti biasanya, Ia seharian penuh berada di rumah dengan keadaan hati yang
gelisah, walaupun tidak ada beban batin atau pikiran yang sedang dimilikinya.4 Tepat
pada pukul 01.00 WIB, pada saat itu Hardjosapuro dibangunkan dan digerakkan oleh
suatu daya berupa getaran yang sangat kuat di luar kemauannya, dan menempatkan
dirinya dalam keadaan duduk bersila menghadap ke timur dan kedua tangan
bersedekap dengan alam pikiran Hardjosapuro masih dalam keadaan sadar. Dalam
keadaan yang seperti itu Hardjosapuro di luar kemampuannya justru mengucapkan
kalimat-kalimat yang sekarang ini diucapkan dalam gerakan persujudan Sapta
Darma.5
Kejadian aneh yang dialami tersebut diceritakan oleh Hardjosapuro kepada
kerabat-kerabatnya, seperti Djojodjaimoen, Kemi Handini, Somogiman, Darmo dan
Rekso Kasirin. Pada awalnya mereka tidak percaya dengan cerita pengalaman yang
dialami Hardjosapuro, akan tetapi mereka pun mengalami hal yang sama dan tergerak
melakukan sujud.6 Semenjak hari itu berita tersebut menyebar dari mulut ke mulut
tentang peristiwa gaib di kota Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Yang kedua adalah penerimaan wahyu Racut pada tanggal 13 Februari 1953.
Pada pagi hari pukul 10.00 WIB ketika keenam teman nya berkumpul di rumah
Hardjosapuro berdasar atas perintah wahyu dari Hyang Maha Kuasa, saat mereka
4Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri
Gutama, (Yogyakarta: Sekretariat Tuntunan Agung Kerokhanian Sapta Sapta Darma, 2010), h. 12.
5Liat di Sub bagian Praktik Keagamaan Sapta Darma Halaman 70
6Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri
Gutama, h. 14.
44
sedang asyiknya bercakap-cakap tiba-tiba Hardjosapuro dengan suara keras berkata
dalam Bahasa Jawa :
“Kanca-Kanca Delengen Aku Arep Mati, Amat-Amatana Aku”.
Yang jika diterjemahkan secara bebas artinya:
“Kawan-Kawan Lihatlah Aku Akan Mati, Amat-Amatilah Aku”.7
Sambil berkata demikian Hardjosapuro kemudian melakukan racut, yaitu mati
dalam hidup. Dalam melakukan tugas itu, Hardjosapuro merasa rohaninya keluar dari
wadagnya (badan jasmani) dan naik ke atas melalui Alam Langgeng. Ia memasuki
sebuah rumah besar yang indah, di dalam rumah itu terlihat orang yang bersinar
laksana Maha Raja, di situ Hardjosapuro melakukan sujud menyembah kepada Allah
Hyang Maha Kuasa, dan setelah itu ia di bopong oleh orang yang bersinar tadi,
kemudian di ayun-ayunkan. Selanjutnya, ia digandeng menuju ke taman yang penuh
dengan bunga indah dan dibawa ke sebuah sumur yang tersebut namanya adalah
Sumur Gumuling dan Sumur Jalatunda.Setelah itu ia diberi dua bilah keris pusaka
yang namanya keris Nogososro, wujudnya besar dengan rangka polokan Mataram
dan satunya adalah keris Bendo Segodo, yang pada pamornya terdapat bentuk benda
bulat berjajar. Sesudah itu, Hardjosapuro disuruh kembali. Dalam kembalinya, ia
merasa diikuti oleh sebuah bintang yang besar dan bersinar terang seakan-akan
mengantar perjalanan pulangnya.
Yang ketiga adalah penerimaan wahyu Simbol Pribadi Manusia, Wewarah
Tujuh dan Sesanti. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 12 Juli 1954 pukul 11.00 WIB.
7Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri
Gutama, h. 14.
45
Waktu itu Harjosapuro sedang berkumpul dengan empat orang tamu, yaitu Sersan
Diman, Djojosadji, Danoemohardjo (seorang mantra guru Taman Siswa, Pare,
Kediri) dan Marto.8
Sewaktu sedang asyik berbincang-bincang, mereka dikejutkan oleh suatu
sorot cahaya yang terlihat mula-mula di atas permukaan meja tamu di hadapan
mereka. Sinar atau sorot berbentuk segi empat bujur sangkar atau belah ketupat dan
di dalamnya terlukis gambar-gambar berwarna dan tulisan huruf Jawa serta warna-
warna yang sekarang dinamakan Simbol Pribadi Manusia, dijelaskan munculnya
sinar atau sorot yang berbentuk gambar (simbol) terlihat di atas permukaan meja yang
dihadapinya sekejap hilang, sekejap timbul lagi, dan kemudian gambar tersebut
terlihat juga beberapa jumlahnya di dinding rumah itu, pada waktu itu di antara
mereka ada yang mendengar bisikan dalam telinga (gaib) agar gambar itu di gambar
dan dikutip.9
Pada hari itu, setelah diterimanya Wahyu Simbol Pribadi Manusia, diterima
juga Wahyu Wewarah Tujuh. Wahyu Wewarah Tujuh berupa tulisan yang kalimat
demi kalimat terlihat, ada yang di dinding rumah bagian dalam, ada yang di lantai,
ada yang jatuh ke dada Hardjosapuro dan ada pula yang jatuh di atas meja.
Merupakan tulisan tanpa papan atau Sastra Jendra Hayuningrat. Tulisan itu
menggunakan huruf latin, tetapi dengan bahasa Jawa. Pembagian tugas penulisan
sewaktu tulisan timbul dan hilang adalah Sersan Diman menulis angka 1s.d 4,
sedangkan Danoemihardjo menulis angka 5 s.d 7. Setelah selesai ditulis kemudian
8Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri
Gutama, h. 16-17
9Ensiklopedia Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, h. 299.
46
diserahkan kepada Hardjosapuro, Djojosadiji, dan Marto untuk dicocokkan dengan
tulisan aslinya.10 Adapun Wahyu Wewarah Tujuh tersebut adalah sebagai berikut:
WEWARAH PITU
Wadjibing Warga Sapta Darma, Saben Warga kudu netepi Wadjib
1) Setija tuhu marang anane Pantjasila
2) Kanthi djudjur lan sutjining ati kudu setija anindakake angger-angger ing Negarane
3) Melu tjawe-tjawe atjantjut wali wanda andjaga adeging Nusa lan Bangsane
4) Tetulung marang sapa bae jen perlu, kanthi ora nduweni pamrih apa bae kadjaba
mung rasa welas lan asih
5) Wani urip kanthi kapitajan saka kekuwatane dewe
6) Tanduke marang warga bebrajan kudu susila kanthi alusing budi pakarti tansah
agawe pepadang lan mareming lijan
7) Jakin jen kahanan donja iku ora langgeng tansah owah gingsir (hanjakra
manggilingan).11
Setelah Wahyu Wewarah Tujuh, kemudian berlanjut dengan penerimaan
wahyu Sesanti, dan bunyi selengkapnya adalah sebagi berikut:
SESANTI : Ing ngendi bae, marang sapa bae, Warga Sapta Darma kudu seminar
pindha baskara.12
Menurut Sri Pawenang S.H., pemimpin yang berasal dari aliran Sapta Darma
ini, segala istilah yang dipergunakan Sapta Darma adalah asli (orisinal) karena
didapatkan dari wahyu, jadi bukan diambil dari sumber lain.
10Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri
Gutama, h. 18-19. 11Artinya: Wewarah Tujuh, Wajib bagi warga Sapta Darma, Setiap warga harus menjalankan
kewajiban. 1) Setia dan taat terhadap keberadaan Pancasila sebagai dasar Negara. 2) Dengan jujur dan
sucinya hati setia menjalankan Undang-Undang di Negaranya. 3) Ikut berperan serta menyingsingkan
lengan baju menjaga tegak berdirinya negara dan bangsanya. 4) Memberi pertolongan kepada siapa
saja, bila perlu dengan tidak mempunyai pamrih apa saja, melainkan hanya atas dasar belas kasihan/
cinta kasih. 5) Berani hidup dengan percaya dari kekuatannya sendiri. 6) Di dalam hidup
bermasyarakat harus dengan susila halusnya budi pakarti, senantiasa membuat penerangan dan
senangnya orang lain. 7) Percaya bahwa keadaan dunia itu tidak tetap, selalu berubah bagaikan roda
berputar.
12Artinya; Sesanti: Dimana Saja, terhadap siapa saja, Warga Sapta Darma harus bersinar
bagaikan sang surya.
47
Kemudian, menurut Sri Pawenang, bukan merupakan hal yang kebetulan saja
bahwa ajaran Sapta Darma diwahyukan pada tahun 1952, yaitu pada tingkatan
survival Revolusi Indonesia (1950-1955), di mana negara Indonesia mengalami suatu
krisis moral dan sedang mencari jalan keluar, dalam bentuk konsepsi hidup baru,
untuk mendekatkan manusia kembali kepada Tuhan dalam rangka pembentukan
manusia baru Indonesia. Dalam hal ini berarti bahwa Tuhan melalui perantara Sapta
Darma itu akan memimpin manusia Indonesia pada kebahagiaan hidup, jasmani dan
rohani. Dengan turunnya wahyu yang pertama dan segera disusul oleh banyaknya
wahyu yang lain, maka berdirilah aliran Sapta Darma.13
Pada malam tanggal 27 Desember 1955 Hardjosapuro dijejerkan (ditahbiskan)
menjadi Panuntun Agung Sri Gutama. Ia dengan segenap warga kemudian
mengadakan sujud bersama yang dilanjutkan dengan Bapa Panuntun Agung Sri
Gutama melakukan racut untuk mendapatkan petunjuk langsung dari Allah Hyang
Maha Kuasa. Dalam melakukan racut, Bapa Panuntun Agung Sri Gutama menerima
suara tentang petunjuk rasa mengenai sebutan Agama bagi Ajaran Sapta Darma,
sehingga nama Sapta Darma secara lengkap menjadi “ Agama Sapta Darma”.
Panuntun Agung Sri Gutama menjelaskan tentang istilah agama bagi Sapta
Darma dan mempunyai pengertian khusus sebagai berikut:
A : Artinya adalah Asal Mula
G : Artinya adalah Gama atau Kama (air suci)
MA : Adalah Maya atau Sinar Cahaya Allah
13Harun Hadiwijono, Kebatinan Dan Injil, (Jakarta: Gunung Mulia, 2009), h. 23.
48
Dengan istilah tersebut, Agama menurut Sapta Darma adalah asal mula
manusia dari Kama dan Maya. Agama Sapta Darma dengan keseluruhan ajarannya
merupakan ajaran Ketuhanan yang berisikan nilai-nilai spiritual, untuk memperbaiki
mental dan moral manusia umumnya dan khususnya Bangsa Indonesia yang telah
mengalami menurunnya mental dan merosotnya akhlak, akibat dari lamanya menjadi
bangsa yang terjajah dan tertindas. Selama periode 1952-1955 lengkap sudah wahyu
yang diterima ajaran tersebut, dari wahyu sujud hingga diterimanya wahyu Nama Sri
Gutama sebagai Panuntun Agung. Selama tahun 1956, Panuntun Agung Sri Gutama
pada setiap waktu melakukan sujud dilanjut dengan racut, berulang-ulang mendapat
perintah dari Allah untuk menyebarluaskan agama Sapta Darma kepada umat
manusia yang memerlukan.14
Pada tanggal 16 Desember 1964, Panuntun Agung Sri Gutama wafat. Pada
waktu jenazahnya akan dimandikan, ada sebuah mukjizat yaitu matahari dilingkari
oleh pelangi di atas jenazah tersebut. Selain itu juga ada tanda-tanda alam yang
banyak sekali, dan juga pada waktu jenazah dibakar dan dilarung (diceburkan) di laut.
Kemudian dia digantikan oleh Panuntun Agung Sri Pawenang S.H., seorang ahli
hukum wanita dari Universitas Gajah Mada, dan seorang wanita pertama yang
menjabat pemimpin besar suatu aliran kebatinan.15
2. Perkembangan Aliran Sapta Darma di Indonesia
Penyebaran artinya adalah penyampaian Ajaran Sapta Darma, sebagai ajaran
budi luhur yang diterima oleh Panuntun Agung Sri Gutama dari Allah Hyang Maha
14Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri
Gutama, h. 23-24.
15Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, h. 23.
49
Kuasa kepada umat manusia di dunia yang memerlukan pepadang/ sinar Nya.
Panuntun Agung Sri Gutama sebagai pengemban tugas dari Hyang Maha Kuasa telah
bersedia menyebarluaskan Ajaran Sapta Darma, yang bertujuan untuk menuntun
umat manusia, agar mereka berkemampuan untuk bangkit dan keluar dari penderitaan
serta kegelapan yang membelenggu kehidupan lahir batinnya. 16
Oleh karena itu, Hyang Maha Kuasa menurunkan wahyu alam pepadang
jagad17 agar mereka yang sedang dalam kegelapan, dapat segera menerima cahaya
pepadang, sebagai sarana untuk mengenal diri pribadinya, yang sekaligus sebagai
tahap untuk mengenal Allah Hyang Maha Kuasa, serta sadar dan setia untuk
melaksanakan hukum-hukum Nya. Hal ini demi terwujudnya keseimbangan dan
kelestarian pertumbuhan dan perkembangan peradaban umat manusia demi menjamin
kemuliaan dan keluhuran pribadi manusia.
Dalam menunaikan tugas menyebarluaskan Ajaran Sapta Darma, Panuntun
Agung Sri Gutama menggunakan beberapa cara menurut situasi, kondisi setempat
dengan cara selaras dan serasi sesuai budaya pribadi bangsa Indonesia, dengan
semboyan “Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung” antara lain:
a. Melaksanakan tugas peruwatan di tempat-tempat keramat secara terbuka,
warga masyarakat secara langsung dapat mengetahui.
b. Melalui sarasehan-sarasehan, ceramah-ceramah yang terus menerus
dilakukan di seluruh pelosok Tanah Air Indonesia.
16Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri
Gutama, h. 27.
17Artinya: Pepadang (Penerang, berasal dari Sinar Cahaya Allah) Jagad (Bumi, Alam
Seisinya/ Dunia). Jadi, pepadang jagad berarti cahaya penerang dunia.
50
c. Dengan jalan Sabda Usada, yaitu penyembuhan di jalan Tuhan,
memberikan pertolongan kepada orang-orang yang menderita atau dalam
kegelapan setelah mereka sembuh dari penderitaan atau kegelapan, lalu
sebagian mengikuti jejak dan perjalanan Panuntun Agung Sri Gutama,
menghayati dan melaksanakan Ajaran Sapta Darma.18
Pada awal penyebarannya, Ajaran Sapta Darma disampaikan langsung oleh
Panuntun Agung Sri Gutama. Ajaran Sapta Darma pada masa ini mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Pada peringatan Dasa Warsa tahun 1962,
diperkirakan warga Sapta Darma memiliki jutaan pengikut dari seluruh wilayah di
Indonesia.19 Warjo menambahkan bahwa isi ceramah Sri Gutama dalam Buku Dasa
Warsa juga dijelaskan pada Sepuluh Tahun pertama ajaran Sapta Darma warganya
sudah berjuta-juta.20 Manifestasi ajaran budi luhur dalam pribadi setiap pimpinan dan
warga Sapta Darma telah menjadi kekuatan yang luar biasa sehingga ajaran ini
mendapatkan tempat di hati masyarakat.
Akan tetapi, periode gemilang ini harus menghadapi tantangan politik yang
luar biasa bersamaan dengan gejolak politik yang terjadi di Indonesia pada tahun
1960-an. Pada tahun 1965, pemerintah di bawah rezim presidensial menerbitkan UU
No. 1/PNPS/1965 yang pada akhirnya kebijakan itu memberangus seluruh daya juga
bagi penyebaran ajaran Kerohanian Sapta Darma juga ajaran-ajaran kepercayaan
lainnya. Dahulu nama Sapta Darma pernah didahului dengan nama Agama, akan
18Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri
Gutama, h. 28.
19Wahyu Nugroho, dan kees de jong. , Memperluas Horizon Agama Dalam Konteks
Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Kristen Indonesia, 2019), h. 102.
20Wawancara langsung dengan Bapak Warjo Pada Tanggal 16 November 2019.
51
tetapi setelah adanya sidang umum MPR Tahun 1978 yang menyatakan bahwa aliran
kepercayaan bukan merupakan agama, maka sejak saat itu nama Agama Sapta Darma
diganti menjadi Kerohanian Sapta Darma.21
Penyebaran Ajaran Sapta Darma diikuti dengan sebagian data perjalanan
Panuntun Agung Sri Gutama bersama dengan rombongan, data penyebaran ajaran
Sapta Darma berjalan bersamaan dengan data peruwatan, karena dalam menyebarkan
ajaran Sapta Darma selalu didahului dengan peruwatan-peruwatan.22 Berikut adalah
data-data penyebaran ajaran Sapta Darma:
Tabel 3. 1 Data Penyebaran Sapta Darma dan Perjalanan Sri Gutama Tahun 1956
NO. NAMA KOTA TANGGAL PERJALANAN
TAHUN 1956
1. Kutoarjo 10-12-1956
2. Yogyakarta 15-12-1956
3. Blitar 21-12-1956
4. Kediri 27-12-1956
Tabel 3. 2 Data Penyebaran Sapta Darma dan Perjalanan Sri Gutama Tahun 1957
NO. NAMA KOTA TANGGAL PERJALANAN
TAHUN 1957
1. Malang 08-01-1957
2. Magetan 04-02-1957
3. Randublatung 15-02-1957
4. Surabaya 16-02-1957
5. Sidoarjo 16-02-1957
6. Gresik 17-02-1957
7. Lumajang 23-02-1957
8. Denpasar 01-03-1957
9. Banyuwangi 13-03-1957
10. Probolinggo 17-03-1957
11. Jember 20-03-1957
12. Kertosono/ Nganjuk 28-03-1957
13. Cirebon 30-03-1957
14. Jakarta 01-04-1957
15. Cilacap 12-04-1957
21Naili Nimatul Illiyy, Dinamika Kehidupan Kelompok Minoritas Di Indonesia, 2015.
22Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri
Gutama, h. 29-31.
52
16. Madiun 22-04-1957
17. Tulungagung 28-04-1957
18. Trenggalek 29-04-1957
19. Jember 01-05-1957
20. Surabaya 01-05-1957
21. Surabaya 09-05-1957
22. Banyuwangi 11-05-1957
23. Kebumen 13-05-1957
24. Kutoarjo 14-05-1957
25. Cepu 24-05-1957
26. Purwokerto 06-06-1957
27. Bojonegoro 16-06-1957
28. Sleman 18-06-1957
29. Bantul 22-06-1957
30. Semarang 23-06-1957
31. Klaten 08-07-1957
32. Kroya 08-09-1957
33. Banyuwangi 13-09-1957
34. Jember 15-09-1957
35. Malang 20-09-1957
36. Probolinggo 25-09-1957
37. Banyuwangi 26-09-1957
38. Wonosobo 01-11-1957
39. Kediri 27-12-1957
Tabel 3. 3 Data Penyebaran Sapta Darma dan Perjalanan Sri Gutama Tahun 1958
NO. NAMA KOTA TANGGAL PERJALANAN
TAHUN 1958
1. Surabaya 22-01-1958
2. Mojokerto 23-01-1958
3. Magetan 04-02-1958
4. Jakarta 28-02-1958
5. Ciamis 12-03-1958
6. Purworejo 12-04-1958
7. Makasar 29-04-1958
8. Kebumen 13-05-1958
9. Cepu 24-05-1958
10. Surabaya 11-06-1958
11. Bojonegoro 15-06-1958
12. Blitar 23-06-1958
13. Cirebon 30-06-1958
14. Malang 27-07-1958
15. Ungaran 24-08-1958
16. Jakarta 03-12-1958
17. Serang 04-12-1958
18. Rangkasbitung 05-12-1958
53
19. Banjarnegara 12-12-1958
20. Sumedang 13-12-1958
21. Bogor 14-12-1958
Tabel 3. 4 Data Penyebaran Sapta Darma dan Perjalanan Sri Gutama Tahun 1959
NO. NAMA KOTA TANGGAL PERJALANAN
TAHUN 1959
1. Cirebon 29-01-1959
2. Kuningan 30-01-1959
3. Semarang 31-01-1959
4. Tulungagung 12-02-1959
5. Magelang 21-02-1959
6. Banyumas 01-03-1959
7. Malang 10-03-1959
8. Kediri 29-03-1959
9. Jember 04-04-1959
10. Surabaya 11-04-1959
11. Mataram (Lombok) 21-04-1959
12. Ende (Flores) 22-04-1959
13. Surabaya 04-05-1959
14. Batu (Malang) 21-05-1959
15. Jember 10-06-1959
16. Bojonegoro 13-06-1959
17. Lamongan 14-06-1959
18. Kutoarjo 15-06-1959
19. Purworejo 17-06-1959
20. Cepu 19-06-1959
21. Madiun 21-06-1959
22. Pati 22-06-1959
23. Blora 23-06-1959
24. Kudus 24-06-1959
25. Mojokerto 25-06-1959
26. Madiun 09-07-1959
27. Wonosobo 27-08-1959
28. Purwokerto 05-09-1959
29. Karanganyar 06-09-1959
30. Malang 20-09-1959
31. Karangasem (Bali) 10-10-1959
32. Klungkung 11-10-1959
33. Sidoarjo 17-11-1959
34. Kutoarjo 19-11-1959
35. Kediri 15-07-1959
36. Tuban 16-07-1959
54
Tabel 3. 5 Data Penyebaran Sapta Darma dan Perjalanan Sri Gutama Tahun 1960
NO. NAMA KOTA TANGGAL PERJALANAN
TAHUN 1960
1. Demak 17-06-1960
2. Mojokerto 25-06-1960
Menurut Sukmono, dalam tesisnya menjelaskan bahwa Kerohanian Sapta
Darma mengklaim warganya mencapai 5 juta orang, penganutnya tersebar di 16
Provinsi di Indonesia, bahkan hingga sampai Jepang, Cina dan Belanda. Data tersebut
diperoleh dari penjelasan pengurus PERSADA (Persatuan Warga Sapta Darma)
Pusat, di Tahun 2017.23 Lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 3. 6 Persebaran dan Jumlah Penghayat Sapta Darma per Provinsi di Indonesia Tahun 2017
No. Provinsi Jumlah
1. Sumatera Selatan Dalam hitungan kasar pengurus
PERSADA Pusat, jumlah warga Sapta
Darma di Indonesia mencapai 5 juta
penghayat. Sebanyak dua pertiga dari
jumlah keseluruhan tersebut berada di
Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, DI
Yogyakarta dan Bali. Sementara di
Provinsi lain, dinamika jumlah warga
penghayat Sapta Darma, pada kisaran
ratusan hingga ribuan orang.
2. Lampung
3. Jawa Barat
4. DKI Jakarta
5. Jawa Tengah
6. DI Yogyakarta
7. Jawa Timur
8. Bali
9. Nusa Tenggara Barat
10. Kalimantan Barat
11. Kalimantan Tengah
12. Kalimantan Timur
13. Sulawesi Utara
14. Sulawesi Tengah
15. Sulawesi Barat
16. Sulawesi Selatan
Namun, belum bisa didapatkan data pasti mengenai jumlah warga dan
persebaran wilayah penghayat Sapta Darma. Baik yang dilakukan oleh pengurus
PERSADA sendiri maupun oleh lembaga penanggung jawab.
23Sukmono Fajar T, Regenerasi Kejawen: Penghayatan Sapta Darma pada Generasi Muda
Sapta Darma di Yogyakarta, (TESIS: Program Pasca Sarjana Antropologi, Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, 2018), h. 50.
55
Dalam buku Memperluas Horizon Agama Dalam Konteks Indonesia,
diperkirakan masih terdapat 3 juta pengikut Kerohanian Sapta Darma yang tersebar di
13 Provinsi di seluruh Indonesia. Akan tetapi, angka tersebut masih estimasi kasar
dikarenakan keberadaan warga Sapta Darma tidak mudah diketahui akibat dari
kebijakan kolom agama di KTP. Meskipun demikian, persebaran ajaran Kerohanian
Sapta Darma dapat juga diketahui dari keberadaan sanggar di 13 Provinsi di
Indonesia. Saat ini, setidaknya terdapat 1.200 sanggar yang secara resmi dimiliki oleh
Kerohanian Sapta Darma di seluruh Indonesia.
Sanggar Candi Agung Sapta Rengga, merupakan nama tempat untuk pusat
kegiatan yang berfungsi sebagai sekretariat organisasi dan tempat untuk bersujud
kepada Hyang Maha Kuasa dan berpusat di Yogyakarta. Untuk nama sanggar tempat
diterimanya ajaran Sapta Darma, di Pare disebut dengan Sanggar Agung Candi
Busana. Dan untuk nama sanggar di luar Yogyakarta dan Kecamatan Pare,
dinamakan Sanggar Candi Busana.24
Berdasarkan wawancara penulis dengan Bapak Warjo, mengatakan bahwa
Sekretariat Persada tersebar di 23 Provinsi dengan jumlah total warga Penghayat
Sapta Darma berkisar 1,5 juta orang dan terdapat 850 Sanggar. Namun, terdapat
Provinsi yang belum memiliki Sekretariat, seperti; Aceh, Papua, Banten, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Tengah, NTB, NTT, dan Sumatera Utara. Jumlah sanggar
merupakan data valid dikarenakan kemudahan dalam mendata. Tetapi, untuk jumlah
warga saat ini, masih mendekati valid dikarenakan penghayat Sapta Darma masih
24Wahyu Nugroho, kees de jong, Memperluas Horizon Agama Dalam Konteks Indonesia, h.
104.
56
banyak yang ber-KTP agama, oleh karenanya terkait dengan jumlah warga memiliki
data yang berubah-ubah.25
B. Ajaran Kepercayaan Sapta Darma
Istilah dan konsep-konsep dalam ajaran Sapta Darma diturunkan dalam
Bahasa Jawa. Diyakini oleh warga Sapta Darma bahwa istilah-istilah dalam ajarannya
adalah istilah asli. Dalam perkembangan selanjutnya, bahasa dan istilah-istilah
tersebut diterjemahkan dalam bahasa Indonesia atas perintah Sri Gutama, dengan
tujuan agar ajarannya mudah dimengerti sehingga Sapta Darma mudah
disebarluaskan.26
Kepercayaan Sapta Darma berarti mempercayai tujuh wewarah/ajaran suci
dan luhur yang diwahyukan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk dihayati sebagai
tuntunan hidup manusia dalam mencapai ketentraman, kedamaian, kebahagiaan, dan
kesempurnaan hidup di dunia untuk Mamayu Hayuning Bawana.27 Inti pokok dari
ajaran itu dijelaskan sebagai berikut:
1) Menanam tebalnya kepercayaan dengan menunjukkan bukti-bukti serta
kesaksian-kesaksian bahwa Allah itu ada dan esa, serta menguasai alam
semesta dan isinya. Selain itu bahwa Allah memiliki lima sifat utama
yaitu: Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Adil, Maha Wasesa dan Maha
Langgeng (kekal).
2) Melatih kesempurnaan penyembahan (sujud), yaitu penyembahan rohani
kepada Yang Maha Kuasa.
25Wawancara langsung dengan Bapak Warjo Pada Tanggal 16 November 2019.
26Sukmono Fajar T, Regenerasi Kejawen: Penghayatan Sapta Darma.., h. 59.
27Ensiklopedia Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, h. 304.
57
3) Mendidik manusia untuk bertindak suci dan jujur, berusaha mencapai
nafsu, budi dan pekerti yang ditujukan pada keluhuran dan keutamaan
bagi bekal hidup kemasyarakatan di dunia dan akhirat.
4) Mengajarkan kepada anggota agar hidup dengan teratur, secara jasmani
dan rohani.
5) Melatih kesempurnaan sujud menurut aturannya agar mendapatkan
kewaskitan (titik yang terang) di bidang penglihatan, pembauan,
pendengaran dan percakapan.28
1. Ajaran tentang Tuhan
Sapta Darma termasuk aliran kebatinan yang sederhana. Oleh karena
itu, ajarannya tentang Allah juga singkat sekali. Dalam pembicaraan tentang
Allah Sri Pawenang berkata:
“Tuhan yang juga kami sebut Yang Maha Kuasa atau Allah atau Sang Hyang
Widi (bhs. Bali) ialah: Zat mutlak yang Tunggal, pangkal segala sesuatu,
serta pencipta segala yang terjadi serta mempunyai 5 sifat keagungan mutlak,
ialah: Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Adil, Maha Wasesa (Maha Kuasa)
dan Maha Langgeng (Maha Kekal)”.
Tentang Ketuhanan Yang Maha Esa menurut ajaran Kepercayaan
Sapta Darma tercermin dalam proses sejarah penerimaan wahyu pertama,
yaitu penerimaan ajaran tentang bagaimana manusia harus bersujud kepada
yang Maha Esa yang bersifat Mutlak yang harus diucapkan dengan cara batin
saat mengawali sujud maupun saat berdoa memohon pertolongan kepada
Tuhan, atau akan melakukan sesuatu yang bersifat rohani. Dengan demikian,
28Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, h. 24.
58
Kepercayaan Sapta Darma mengajarkan bahwa Tuhan yang Maha Esa itu ada,
istilah/ kata sujud dalam Sapta Darma adalah sujud/bersembah kepada Tuhan
Yang Maha Esa, Tuhan Yang Maha Esa menurut Sapta Darma adalah
Pencipta dan Penguasa Agung terhadap alam semesta dan bersifat gaib.29
Beda halnya dengan yang disampaikan oleh Suwarno tentang Tuhan
digambarkan dengan sangat sederhana. Tuhan di dalam Sapta Darma yang
dijelaskan oleh Sri Pawenang disebut “Allah”. Allah memiliki lima sila yang
Mutlak yaitu: Maha Agung, Maha Rakhim, Maha Adil, Maha Wasesa, dan
Maha Langgeng. Maksud dari Allah Maha Agung ialah tiada yang menyamai
akan keagungannya, kemudian Maha Rakhim maksudnya adalah tiada yang
menyamai akan welas kasihnya dan maksud dari Maha Adil adalah tiada yang
menyamai keadilan-Nya, kemudian Maha Wasesa diartikan dengan tiada yang
menyamai wasesa-Nya dan yang terakhir Maha Langgeng yang artinya tiada
yang menyamai keabadian-Nya.
Dilihat dari perspektif paradigma atau dari perspektif sinkretisme,
ajaran ketuhanan ini serupa dengan ajaran ketuhanan dalam perspektif agama
Islam. Oleh karena itu, ajaran tentang ketuhanan atau tentang Tuhan dalam
aliran Sapta Darma ada yang menyebutnya dengan sebutan “Monisme
Panteistik”. 30
29Ensiklopedia Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, h. 307.
30Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam Berbagai Kebatinan Jawa,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 238-239.
59
2. Ajaran tentang Manusia
Konsepsi tentang manusia menurut ajaran Kepercayaan Sapta Darma
dijelaskan dalam Simbol Pribadi Manusia. Gambar di bawah ini bukan
lambang atau logo Organisasi Sapta Darma di Indonesia, gambar ini
merupakan wahyu ajaran Sapta Darma yang disebut dengan Simbol Pribadi
Manusia.
Gambar 3. 2 Simbol Pribadi Manusia.31
Terdapat suatu belah ketupat, yang memiliki 4 (empat) sudut yang
menunjukkan dan menggambarkan asal mula manusia, yaitu: Sudut atas
adalah gambaran dari Sinar Cahaya Allah. Sudut bawah gambaran dari sari-
sari bumi. Sedangkan Sudut kanan dan kiri gambaran dari perantara ayah dan
ibu.32
Suatu bentuk persegi empat bujur sangkar atau belah ketupat bingkai
warna hijau tua dan di dalamnya warna hijau muda (maya) melambangkan
terjadinya wadak atau bleger (jasmani/badan) manusia, terjadi dari lima unsur,
31https://www.google.com/search
32Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri
Gutama, h. 171.
60
yaitu: Unsur Tanah, Unsur Air, Unsur Api, Unsur Udara (angin) dan Unsur
Atmosfer (suasana keadaan alam).33
Sebuah segitiga sama sisi yang berwarna putih dengan tepi kuning
emas menunjukkan asal terjadinya manusia (tes dumadi manungsa) dari Tri
Tunggal tiga tetapi satu, yaitu:
- Sudut atas : Sinar Cahaya Allah (Nur Cahya)
- Sudut kanan : Air sarinya Bapak (Nur Rasa)
- Sudut kiri : Air sarinya Ibu (Nur Buat).
Kemudian segitiga sama sisi yang berwarna putih dengan tepi kuning
emas yang tertutup oleh lingkaran dan membentuk 3 (tiga) segitiga sama dan
sebangun dan masing-masing memiliki 3 (tiga) sudut sehingga jumlah
sudutnya ada 9 (Sembilan) menunjukkan manusia memiliki babahan hawa
sanga34, yaitu: 2 lubang mata, 2 lubang hidung, 2 lubang telinga, 1 mulut, 1
kelamin dan 1 pelepasan. Warna putih serta bentuk sama dan sebangun,
menunjukkan bahwa asal manusia dari barang/ bahan suci bersih baik luar
maupun dalam. Oleh karena itu, supaya manusia berkata jujur dan bertindak
adil atau menyatu nya kata dengan perbuatan (padha / jumbuh njaba lan
jerone : Jawa). Garis tepi kuning emas pada segitiga, mempunyai arti bahwa
ketiga asal terjadinya manusia tersebut mengandung Sinar Cahaya Allah. Ini
bertujuan agar setiap manusia menyadari bahwa ia berasal dan terjadi dari
33Ensiklopedia Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, h. 308.
34Artinya adalah manusia mempunyai Sembilan lubang hawa.
61
barang atau zat yang suci dan bersih. Sehingga, selama hidup di dunia supaya
berusaha dapat kembali kepada kesucian asalnya.35
Lingkaran berwarna, hitam, merah, kuning dan putih melambangkan
adanya empat nafsu yang terdapat di dalam diri manusia. Warna hitam
melambangkan nafsu tamak atau serakah (angkara ngongsa-angsa), Merah
melambangkan nafsu amarah (brangasan), Kuning melambangkan adanya
nafsu keinginan, dan Putih melambangkan nafsu kesucian/ kebaikan/
keluhuran. Warna hitam, merah, kuning, putih tersebut berbentuk lingkaran
yang melambangkan bahwa nafsu dan batin manusia itu senantiasa tidak tetap
atau selalu berubah-ubah (nyakra manggilingan).
Di dalam lingkaran terdapat gambar manusia berbentuk Semar yang
melambangkan di dalam diri manusia percaya ada sukma sejati (Hyang Maha
Suci) yang dapat berhubungan langsung kepada Hyang Maha Kuasa. Dalam
cerita per wayangan, Semar adalah Dewa yang ngejawantah (yang berwujud
sebagai manusia), dan Semar selalu menjadi pamong/ penasihat para Kesatria.
Maka memiliki makna dan harapan agar warga Sapta Darma Senantiasa
bersikap dan berjiwa kesatria, Semar adalah lambang budi luhur, maka
memiliki makna dan harapan agar setiap warga Sapta Darma berbudi pekerti
luhur.36
Gambar Semar dengan jari telunjuk tangan kanan menunjuk,
mempunyai petunjuk kepada manusia bahwa hanya ada satu yang wajib
35Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri
Gutama, h. 172.
36Ensiklopedia Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, h. 309.
62
disembah, yaitu Allah Hyang Maha Kuasa (Tuhan Yang Maha Esa). Semar
dengan tangan kirinya menggenggam menunjukkan arti bahwa telah memiliki
keluhuran. Gambar Semar memakai klinting (kalung gentha), bahwa suara
klinting itu digunakan sebagai suatu tanda, agar orang-orang sekitar
mendengar apabila klinting telah dibunyikan. Hal ini dimaksudkan bahwa
sebagai warga Sapta Darma harus selalu membunyikan klinting, dalam arti
memberikan penerangan tentang budi pekerti luhur kepada siapa saja yang
memerlukan, supaya mereka mengerti akan kewajiban dan tujuan hidup yang
luhur itu.
Gambar Semar memakai pusaka, menujukkan bahwa tutur kata/
sabdanya selalu suci (benar). Lipatan kain lima (wiru lima : Jawa),
menujukkan bahwa Semar telah memiliki dan menjalankan lima sifat Allah
(Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Asil, Maha Wasesa, Maha Langgeng).
Oleh karena itu, warga Sapta Darma agar dapat meniru jejak Semar dan
memiliki pribadi seperti Semar.37
Tulisan dengan huruf Jawa yang berbunyi: Nafsu – Budi – Pakarti,
mempunyai makna makhluk Tuhan yang sempurna, yaitu manusia. Di dalam
diri manusia memiliki nafsu, budi dan pakarti yang baik/ luhur. Manusia
adalah makhluk yang sempurna daripada tumbuh-tumbuhan dan binatang.
Tulisan huruf Jawa yang berbunyi: SAPTA DARMA mempunyai arti sebagai
berikut:
37Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri
Gutama, h. 174.
63
- SAPTA : Artinya 7 (tujuh)
- DARMA :Artinya kewajiban suci/luhur atau wajib melaksanakan
suatu perbuatan, baik ucapan maupun tindakan yang berbudi
pekerti luhur.38
Manusia dalam ajaran Sapta Darma harus memiliki Panca Sifat, sifat
itu adalah sebagai berikut:
1) Sifat berbudi luhur terhadap sesama umat,
2) Sifat belas kasih terhadap sesame umat,
3) Berperasaan serta bertindak adil, berarti tidak membeda-bedakan
sesama umat,
4) Kesadaran bahwa manusia dalam purba wasesa Allah,
5) Kesadaran bahwa (hanya) ruhani manusia berasal dari cahaya yang
Maha Kuasa yang bersifat abadi.39
3. Ajaran tentang Alam Semesta (Kosmologis)
Dalam ajaran Kepercayaan Sapta Darma semesta memiliki 3 (tiga)
jenis alam, yaitu terdiri dari:
1) Alam Wajar
Adalah kehidupan saat ini, di mana manusia memiliki kesempatan
melakukan darma, memohon ampun dan bertobat atas kesalahan.
38Ensiklopedia Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, h. 310.
39Rahnip M.BA., Aliran Kepercayaan dan Kebatinan dalam Sorotan, (Surabaya: Penerbit
Pustaka Progresif, 1997), h. 62.
64
2) Alam Abadi
Adalah alam kelanggengan/ keswargan, alam di mana roh suci
manusia kembali kepada Tuhan. Roh suci manusia itu bisa
memasuki alam ini jika memiliki darma yang baik serta tidak
meninggalkan karma di alam wajar.
3) Alam Halus
Adalah alam di mana roh-roh manusia yang meninggal
bergentayangan, tidak langsung menuju alam kaswargan. Hal ini
terjadi karena semasa hidup ia sedikit melakukan darma, banyak
meninggalkan karma yang tidak baik, atau meninggal secara tidak
wajar.40
C. Praktik Keagamaan Sapta Darma
1. Sujud
Warga Sapta Darma diwajibkan melakukan sujud dalam sehari semalam (24
jam) sedikitnya sekali. Lebih dari itu lebih baik, dengan pengertian bahwa yang
penting bukan banyak kalinya ia melakukan sujud, tetapi kesungguhan sujudnya
(Jawa: emating sujud). Bila sujud dilakukan di sanggar dapat dilakukan bersama-
sama dengan Tuntunan Sanggar sewaktu-waktu. Namun akan lebih baik apabila
waktu untuk sujud bersama-sama tersebut ditentukan.41
40Sukmono Fajar T, Regenerasi Kejawen: Penghayatan Sapta Darma.., h. 61.
41Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri
Gutama, h. 165.
65
Tata Cara Sujud
Duduk tegak menghadap ke Timur (Jawa: Wetan, yang mengandung arti
Kawitan = asal mula). Bagi laki-laki duduk bersila, dapat dilakukan dengan sila
tumpang (kaki kiri di bawah kaki kanan di atas), dan sila jajar (kaki kiri di dalam/ di
belakang kaki kanan di depan / di luar). Bagi perempuan duduk bertimpuh, ibu jari
kaki kiri ditindih ibu jari kaki kanan. Namun jika kondisi fisik tidak memungkinkan,
diperkenankan melakukan sikap duduk sesuai dengan kemampuannya asal tidak
meninggalkan kesusilaan dan tidak mengganggu jalannya getaran/rasa. Tangan
bersidakep, tangan kiri memegang lengan kanan di atas siku, kemudian diikuti tangan
kanan memegang lengan kiri di atas siku (tangan kiri di dalam, tangan kiri di luar).42
Sebagai contoh dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 3. 3 Tata Cara Sujud Sapta Darma Satu43
Kemudian, selanjutnya menenangkan badan dan pikiran, mata melihat ke
depan ke suatu titik yang terletak kurang lebih 1 meter di tanah/tikar, yang tepat di
42Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri
Gutama, h. 166.
43https://www.google.com/search?q=tata+cara+sujud+sapta+darma+laki+laki+dan+perempua
n =
66
depannya. Kepala dan punggung (tulang punggung) segaris lurus sehingga tampak
duduk tegak lurus. Apabila sudah merasa tenang dan tenteram, serta merasakan
getaran (getaran pertama) di dalam tubuh yang merambat naik dari bawah ke atas,
dengan tanda kepala terasa berat dan kemudian menurun sehingga mata tertutup
dengan sendirinya. Setelahnya getaran tersebut turun sampai ke mulut dengan lidah
terasa dingin seperti kena angin (Jawa: Pating Trecep) dan keluar air liur dan
kemudian air liur ditelan, lalu mengucap di dalam hati: “ Allah Hyang Maha Agung,
Allah Hyang Maha Rohim, Allah Hyang Maha Adil”.
Selanjutnya merasakan getaran kedua, yaitu getaran air putih/suci yang
berasal dari tulang ekor (Jawa: cethik/ silit kodok) naik perlahan melalui ruas-ruas
tulang punggung (Jawa : ula-ula). Dengan naiknya getaran tersebut mendorong tubuh
membungkuk dengan sendirinya, mengikuti geraran air putih sampai masuk ke otak
kecil dan otak besar, sehingga dahi menyentuk tanah/tikar, kemudian menghela napas
panjang dan halus (Jawa: unjal ambegan). Setelah lidah terasa bergetar dan keluar air
liur, air liur tersebut ditelan lalu dalam hati mengucap “Hyang Maha Suci Sujud
Hyang Maha Kuwasa” tiga kali (Bahasa Jawa) atau “ Hyang Maha Suci Sujud Hyang
Maha Kuasa” tiga kali ( Bahasa Indonesia). Tata cara sujud dapat dilihat pada gambar
di bawah ini.
67
Gambar 3. 4 Tata Cara Sujud Sapta Darma Dua44
Selesai mengucap sujud, kepala diangkat perlahan-lahan sehingga badan
dalam sikap duduk tegak lurus lagi seperti semula. Semua getaran di kepala yang
telah kontak dengan Sinar Cahaya Hyang Maha Kuasa akan turun merata ke seluruh
tubuh. Kemudian getaran tersebut mendorong badan membungkuk untuk kedua
kalinya, dan melakukan sebagaimana yang dilakukan pada sikap membungkuk
pertama dan dalam batin mengucap “Kesalahane Hyang Maha Suci Nyuwun Ngapura
Hyang Maha Kuwasa” sampai 3 kali jika menggunakan Bahasa Jawa.
Kemudian perlahan duduk tegak lurus kembali dan merasakan turunnya
getaran yang mendorong badan membungkuk ketiga kalinya, dalam batin mengucap “
Hyang Maha Suci Mertobat Hyang Maha Kuwasa” sampai 3 kali jika menggunakan
Bahasa Jawa. Dan yang terakhir kalinya duduk tegak lurus kembali perlahan-lahan ,
dan merasakan turunnya getaran yang ketiga kalinya melalui bagian depan, dari
kepala (muka), dada, perut sampai ke seluruh tubuh, sehingga tenang dan tenteram
rasanya, baru kemudian sujud diakhiri dengan membuka mata, tangan, dan
sebagainya.45
44https://www.google.com/search?q=tata+cara+sujud+sapta+darma+laki+laki...
45Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri
Gutama, h. 167.
68
2. Racut
Racut berarti memisahkan rasa dengan perasaan (Jawa: pangrasa), dengan
tujuan menyatukan diri dengan Sinar Sentral atau Roh Suci bersatu dengan Sinar
Sentral. Pada waktu Racut, Roh Suci manusia menghadap Hyang Maha Kuasa.
Tujuan dari Racut sendiri adalah supaya selama manusia masih hidup di dunia untuk
selalu berusaha menyaksikan dimana dan bagaimana kelak tempatnya manusia
kembali ke alam langgeng (abadi). Seperti dikatakan “Wania Mati Sajroning Urip
Kareben Weruh Rupa Lan Rasane”46. Maksudnya, yang dimatikan adalah alam
pikiran/ angan-angan atau gagasannya, sedang rasanya tetap hidup. Selama Racut,
dapat mengetahui Roh si pemilih tubuh naik ke alam abadi menghadap Hyang Maha
Kuasa. Dan mengetahui jasmani yang ditinggal sementara terbaring di bawah.
Tata Cara Racut
Setelah melakukan sujud wajib, maka sujudnya ditambah lagi satu
bungkukan, dalam hati mengucap “Hyang Maha Suci Sowan Hyang Maha Kuasa”
atau dalam Bahasa Indonesia “Hyang Maha Suci Mneghadap Hyang Maha Kuasa”.
Kemudian berbaring terlentang membujur ke Timur, kedua tangan bersidakep,
telapak tangan tersusun kiri di bawah, kanan di atas menghadap kebawah/ ke dada
(jari tengah kanan terletak di atas jari tengah kiri) dan diletakkan di atas “CA”
(tonjolan pertemuan kedua tulang rusuk nomor dua dari atas di bawah pertemuan
kedua tulang selangka). Segala kegiatan pikiran, angan-angan, gagasan-gagasan dan
sebagainya dihentikan. Satria Utama (mata satu yang tidak dapat rusak) digunakan
46Artinya: Manusia Harus Dapat Dan Berani Mati Di Dalam Hidup, Supaya Dapat
Mengetahui/ Mengenal Rupa Dan Rasanya.
69
untuk menyaksikan berangkatnya Hyang Maha Suci (Nur Putih) keluar dari ubun-
ubun menghadap Hyang Maha Kuasa. Dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 3. 5 Tata Cara Racut Sapta Darma47
Mengingat Racut bukanlah hal yang mudah dilakukan, maka diperlukan
latihan secara terus menerus dengan ketelitian dan kesungguhan serta ketekunan.
Latihan Racut dilakukan di sanggar dalam sujud penggalian, selanjutnya dapat
dilakukan di sanggar atau di rumah sendiri. Racut memungkinkan seseorang memiliki
kewaskitaan (kewaspadaan) yang tinggi. Praktik Racut tidak membahayakan,
diyakini karena Hyang Maha Suci Menghadap Hyang Maha Kuasa, sedangkan
tubuh/badan dihawa oleh saudara sebelas yang lain, oleh karenanya masih bernapas
dan menerima rangsangan dari luar melalui indera, tetapi tidak dirasakan/tanggapi.48
3. Upacara Pernikahan
Gambar 3. 6 Tata Cara Pernikahan Sapta Darma49
Bagi calon yang akan melangsungkan pernikahan, terdapat beberapa
persyaratan yang dipenuhi salah satunya syarat-syarat yang sudah ditentukan dalam
47https://www.google.com/search?q=tata+cara+racut+sapta+darma&safe=
48Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri
Gutama, h. 170. 49https://www.google.com/url?sa=
70
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Selain itu juga mereka harus menyiapkan
beberapa persyaratan yang sudah ditentukan oleh Kerohanian Sapta Darma, syarat-
syaratnya adalah sebagai berikut:
- Warga Kerohanian Sapta Darma.
- Kain putih yang masih baru sepanjang 2 meter.
- Umur bagi pria sekurang-kurangnya 21 tahun, bagi wanita sekurang-
kurangnya 19 tahun.
- Sehat jasmani dan rohani.
- Izin dari orang tua.
- Pas foto berukuran 3 x 4 masing-masing sebanyak 2 lembar.
Tata Cara Pelaksanaan
Perkawinan Kerohanian Sapta Darma dapat dilaksanakan dengan urutan
sebagai berikut:
- Petugas Khusus (Tuntunan) melaksanakan sujud terlebih dahulu.
- Calon pengantin dan orang tua/wali harus datang tepat pada waktunya.
- Anggota keluarga dan Warga Sapta Darma yang menyertai upacara
perkawinan (munggah daup) sudah siap di tempat upacara.
- Seharusnya petugas Kantor Catatan Sipil yang telah dihubungi dapat
hadir.
- Perkawinan dilaksanakan satu malam sebelum perkawinan dilaksanakan
menurut adat, dan dapat di laksanakan sebagai berikut; Sebelum pembantu
pejabat khusus menjalankan tugasnya, maka ia diwajibkan menjalankan
71
sujud dahulu, yaitu 1 (satu) jam sebelum tata cara perkawinan
dilaksanakan.
- Arah Duduk; Arah duduk kedua mempelai dan para warga yang akan
mengikuti sujud menghadap ke Timur. Calon mempelai putri duduk di
atas kain putih disebelah kiri calon mempelai pria sebelah kanan.
- Tempat Duduk; Tempat duduk kedua mempelai adalah paling depan
didampingi: sebelah kanan petugas, orang tua/wali. Adapun di sebelah kiri
saksi dan orang tua calon mempelai pria kemudian menyusul di
belakangnya para warga yang akan menyertai sujud.
- Pengecualian; Kalau melakukan perkawinan secara massal, maka
duduknya calon mempelai dapat berdampingan (berdua) atau berderet ke
belakang berpasangan disesuaikan dengan keadaan tempatnya.
- Tempat Duduk Pembantu P.L.B.S (Pejabat Khusus Pencatat Sipil);
Tempat duduk pejabat khusus adalah didepan sebelah kanan kedua calon
mempelai, dengan arah menghadap kedua calon mempelai pada saat
melaksanakan tugasnya.
- Tempat Duduk Tamu; Tempat duduk para tamu yang menghadiri
perkawinan disesuaikan menurut keadaan setelah selesai pengaturan
tempat tersebut, maka protokol mempersilakan orang tua/wali
menyampaikan niatnya untuk mengawinkan putranya kepada
petugas/tuntunan.
- Petugas selanjutnya melaksanakan tugasnya dilanjutkan untuk sujud
bersama yang diikuti oleh para warga.
72
- Persujudan ditambah 1(satu) bungkukan dengan ucapan-ucapan sebagai
berikut:
a. Untuk kedua calon mempelai dengan ucapan:
“Semoga Hyang Maha Kuasa melimpahkan karunia, pengayoman, dan
kebahagiaan bagi kami berdua”.
Bahasa daerah :
”Mugi Hyang Maha Kuasa maringaken kanugrahan, pengayoman lan
kebahagiaan dumateng kulo kekalih”.
b. Untuk para warga dengan ucapan :
“Semoga Hyang Maha Kuasa melimpahkan karunia, pengayoman dan
keebahagiaan bagi mempelai berdua”.
Bahasa daerah :
“Mugi Hyang Maha kuasa maringaken kanugrahan, pengayoman lan
kebahagiaan kagem temanten kekalih.
Bentuk pelaksanaan perkawinan menurut Sapta Darma adalah diatur oleh
Pengacara. Tempat untuk melaksanakan tata cara perkawinan secara Sapta Darma
dilakukan di Sanggar yang terdekat atau yang ditunjuk oleh tuntunan dan sebaiknya
diusahakan yang khusus untuk Sanggar. Untuk pejabat yang membantu pelaksanaan
adalah tuntunan atau seseorang yang ditunjuk oleh tuntunan yang berwenang, yang
nantinya mendapat surat kuasa/pengangkatan dari Gubernur. Saksi dalam perkawinan
ini sebaiknya adalah orang lain yang bukan keluarga dari kedua calon mempelai dan
ditentukan sebanyak dua orang sesuai dengan ketentuan undang-undang. Pengacara
atau pembawa acara dalam pelaksanaan pernikahan adalah seseorang yang bertugas
mengatur segala sesuatu yang ditunjuk oleh tuntunan. Sebelum petugas perkawinan
mendapatkan surat Keputusan/Surat Penunjukan dari Gubernur, untuk menjadi
Pembantu Pejabat Khusus, maka perkawinan dapat dilaksanakan dengan cara sebagai
berikut :
73
- Setelah upacara Perkawinan dilakukan di Sanggar, maka keesokan harinya
Petugas Perkawinan yang telah membawa surat keterangan dari
Kerohanian Sapta Darma yang menyatakan bahwa telah terjadi
Perkawinan antara A dengan B pada hari, tanggal, jam, dan tempat,
dengan tatacara Kerohanian Sapta Darma, mengantarkan kedua mempelai
ke kantor Catatan Sipil untuk ditanya oleh Pegawai Luar Biasa Pencatat
Sipil (Pejabat Khusus) tentang terjadinya perkawinan tersebut.50
50http://remaja7darma.blogspot.com/2012/01/pedoman-perkawinan.html
74
BAB IV
RESPON PENGHAYAT SAPTA DARMA TERHADAP REGULASI
PEMERINTAH TERHADAP ALIRAN KEPERCAYAAN
A. Biografi Singkat Tentang Narasumber Penghayat Aliran Sapta Darma
Penulis akan menguraikan terlebih dahulu beberapa profil terkait dengan
narasumber yang menjadi bagian dari objek penelitian. Penulis akan menjelaskan
gambaran singkat tentang kapan dan alasan narasumber menjadi penghayat aliran
Sapta Darma. Narasumber tersebut diantaranya adalah:
1. Narasumber I (Bapak Warjo)
Narasumber yang pertama bernama Warjo, ia lahir di Brebes pada tanggal 30
Juni 1985. Nama ayahnya adalah Sawad. Masa kecil keluarga Warjo dibebaskan
untuk melakukan ibadah agama apapun yang diyakini. Sejak kecil Warjo melakukan
kegiatan-kegiatan ibadah sebagai muslim, seperti mengaji, sholat lima waktu dan
kegiatan lain yang dilakukan di Langgar1 yang sekarang menjadi Masjid di dekat
rumahnya. Seiring waktu, sewaktu ia menjadi anak-anak yang belum menempuh
pendidikan, ia selalu memperhatikan ibadah ayahnya yang melakukan sujud
menghadap ke Timur. Padahal, ia selalu melakukan ibadah sholat ke Masjid. Saat ia
sudah tumbuh besar, Warjo memberanikan diri bertanya kepada ayahnya tentang rasa
penasaran atas perbedaan sholat yang dilakukannya itu. “ Pak, kok bapak
1Dalam masyarakat langgar atau yang sekarang lebih dikenal sebagai Mushola, yaitu tempat
ibadah untuk umat muslim yang berukuran relatif kecil dari Masjid. Selain untuk beribadah, langgar
juga bisa difungsikan sebagai tempat untuk mengajar mengaji.
75
sujud ngadep ngetan? Tapi anak-anake sholat kok olih?”. Tanya Warjo. “ ya ora
papa, kan pada-pada nyembahe Allah”. 2 Jawab ayahnya. Sehingga pada akhirnya
Warjo mengungkapkan kepada ayahnya bahwa ia ingin belajar Sapta Darma.
Ayahnya juga memberikan pernyataan bahwa siapa saja boleh mempelajari Sapta
Darma dan tidak ada paksaan, dengan begitu Warjo sendiri yang mempertimbangkan
keputusan tersebut.3
Setelah itu Warjo masuk dan mulai melakukan sujud Sapta Darma sejak ia
duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) kelas 5. Pada awalnya ia masih melakukan
sholat dan setelahnya dia melakukan sujud Sapta Darma. Hingga akhirnya ia
memutuskan untuk tetap meneruskan sujud dikarenakan ia menemukan ketentraman,
ia mengaku lebih tenteram dan lebih bisa mengontrol emosinya. Sejak saat itu, ia
mulai aktif melakukan sujud di Sanggar Sapta Darma di desanya. Cerita tentang
keluarga Warjo yang menjadi bagian Sapta Darma, Warjo mengatakan bahwa
ceritanya bermula dari ayahnya yang Jatuh Sakit. Ayahnya yang bernama Sawad
mengungkapkan nazar4 bahwa siapa pun yang bisa menyembuhkan penyakitnya dia
akan mengikuti pegangan atau pedoman yang dianut, dan pada saat itu yang
menyembuhkan penyakit ayah Warjo adalah penghayat Sapta Darma.
2. Narasumber II (Bapak Maryanto)
Maryanto lahir di Jakarta pada tanggal 28 Juli 1959. Merupakan Tuntunan
Sapta Darma Provinsi Jakarta. Maryanto lahir dan dibesarkan di Jakarta, tetapi ia
2Artinya: Bapak, kenapa bapak melakukan sujud menghadap ke timur? tetapi anak-anaknya
melakukan sholat kenapa boleh?.
3Wawancara langsung dengan Bapak Warjo di Sanggar Candi Busono Ganefo Pada Tanggal
8 Desember 2019.
4Nazar adalah sebuah janji seseorang untuk melaksanakan sesuatu jika tujuan yang diinginkan
tercapai.
76
tetap memiliki keturunan Jawa dari orang tuanya yang berasal dari Cilacap Jawa
Tengah. Maryanto lahir dari orang tua seorang penghayat Sapta Darma. Maryanto
juga menjadi bagian Sapta Darma mengikuti keyakinan orang tuanya, tetapi orang
tuanya tidak memaksa apapun keyakinan yang dipilih. Dari keempat saudara
maryanto, ada juga yang memeluk Islam. Sejak kecil ia selalu mengikuti ibadah yang
dilakukan orang tuanya, seperti jika orang tuanya sujud ia pun ikut melakukan sujud,
namun ia mengaku saat kecil belum mendalami, hanya sekadar mengikuti orang
tuanya saja. Setelah ia tumbuh besar, orang tuanya memberi pengertian tentang apa
itu Sapta Darma, apa maksud dan tujuannya serta apa keuntungan dan faedahnya.
Maryanto mulai aktif mendalami Sapta Darma sejak ia duduk di bangku SMP
(Sekolah Menengah Pertama) dan semakin memahami saat di bangku SMA (Sekolah
Menengah Atas). Ia hanya meneruskan keyakinan yang ia dapat dari orang tuanya
dan mendalaminya sampai sekarang.5
3. Narasumber III ( Kurdiyanto)
Kurdiyanto dilahirkan di Ciamis Jawa Barat pada tanggal 6 Februari 1965. Ia
merupakan ketua Persada Provinsi Jakarta. Sosok yang lahir dari orang tua yang
beragama Islam. Kurdiyanto sendiri mengaku bahwa sebelumnya ia beragama Islam,
tetapi katanya dibilang Islam ia mengaku tidak melaksanakan sholat, ia memiliki
kepercayaan Kejawen. Ia masuk atau menjadi penghayat Sapta Darma sejak Tahun
2010. Dahulu ia pernah mengikuti Syekh Siti Jenar dan mengikuti perjalanan.
Menurutnya mana yang memiliki ajaran benar dia ikuti. Kurdiyanto menjelaskan ia
5Wawancara langsung dengan Bapak Maryanto Tuntunan Sapta Darma Provinsi DKI di
Sanggar Candi Busono Ganefo Pada Tanggal 30 November 2019.
77
menjajahi semua itu adalah dalam rangka mencari Tuhan. Dahulu, ia memiliki
pemahaman bahwa orang yang berilmu adalah orang yang dekat dengan Tuhan Nya,
ia mengungkapkan bahwa pemikiran yang demikian itu sebenarnya dalam Sapta
Darma adalah salah, justru yang demikian itu menurutnya adalah yang jauh dengan
Tuhan Nya. Seluruh ilmu itu terdapat dalam pribadi kita masing-masing. Semakin
banyak pengetahuan, maka semakin merasa bodoh. Jadi, dalam Sapta Darma,
sepanjang manusia menjalani kehidupan, maka akan selalu belajar terus.6
Kurdiyanto masuk Sapta Darma bahwa ada ketentraman yang ia rasakan dan
temukan di Sapta Darma yang selama ini dia cari. Kurdiyanto mengatakan bahwa jika
ia meminta permohonan maka akan langsung kepada Yang Maha Kuasa, dan ketika
berdoa tidak akan keliru, maksudnya Tuhan Yang Maha Kuasa akan memahami apa
yang dia minta. Dia merasa apa yang dia ucapkan sampai kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa karena jika dia berdoa menggunakan bahasa yang ia pahami (contoh: Jawa),
tanpa harus menggunakan Bahasa Arab (Doa yang ia lakukan saat menjadi Muslim)
atau bahasa lain yang tidak dia pahami. Sebelumnya Kurdiyanto selalu merasa tidak
yakin dengan doa yang dilakukan. Ada masalah apapun ia mengadu langsung kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa. Hal yang demikian merupakan ketentraman yang ia
rasakan sehingga dia memutuskan untuk menjadi penghayat Sapta Darma. Walaupun
pada dasarnya berdoa dalam Sapta Darma tidak hanya menggunakan bahasa Jawa,
karena Sapta Darma bukan kepercayaan yang hanya dimiliki orang Jawa.
6Wawancara langsung dengan Bapak Kurdiyanto Ketua Persada Provinsi DKI di Sanggar
Candi Busono Ganefo Pada Tanggal 30 November 2019.
78
4. Narasumber IV (Galih Sekti Adjie)
Galih Sekti Adjie ia lahir pada tanggal 11 Mei 1998 di Kesumadadi Provinsi
Lampung. Ia lahir dan dibesarkan dari orang tua yang menjadi penghayat Sapta
Darma. Oleh karena itu, ia juga mengikuti keyakinan orang tua nya dan meneruskan
menjadi penghayat Sapta Darma. Sebenarnya tidak ada paksaan harus menjadi
penghayat Sapta Darma, orang tua nya membebaskan keyakinan apapun yang akan
dipilih anak-anaknya. Saat ini ia merantau dan tinggal di Sanggar Candi Busono
Ganefo Sekretariat Persatuan Warga Sapta Darma ( PERSADA DKI JAKARTA)
tepatnya di Tanjung Priok Jakarta Utara.7
B. Problem Pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan Sapta Darma
Sebagai kelompok minoritas, penghayat Sapta Darma, sering kali menghadapi
masalah dalam layanan publik. Seperti permasalahan penolakan pembangunan
sanggar, masalah pelayanan pemakaman, dan lain-lain. Penulis mengategorikan
beberapa permasalahan yang dihadapi Penghayat Sapta Darma sebagai berikut:
1. Pelayanan Administrasi Kependudukan
Masalah administrasi yang paling khas dan dihadapi Penghayat Kepercayaan
adalah identitas agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Permasalahan layanan
administrasi kependudukan kelompok Penghayat Kepercayaan dalam hal ini fokus
kepada Penghayat Sapta Darma dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, 1). yakni
Penghayat yang kolom agama nya dikosongi atau diisi tanda strip (-), dan 2).
7Wawancara langsung dengan Galih Sekti Adjie di Sanggar Candi Busono Ganefo Pada
Tanggal 30 November 2019.
79
Penghayat yang kolom agama nya diisi dengan agama yang diakui di Indonesia
seperti: Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu.
Dalam survey tentang identitas agama yang dilakukan oleh Lembaga Studi
Sosial dan Agama (eLSA) di wilayah Brebes Jawa Tengah Tahun 2015, terdapat
beberapa penghayat Sapta Darma yang menuliskan identitas Islam di kolom agama
dan ada juga yang diisi dengan tanda strip (-). Beberapa alasan yang diungkapkan
oleh Penghayat Sapta Darma adalah adanya kesalahan pada pemerintahan desa yang
dengan sepihak menuliskan identitas Islam di kolom KTP. Mereka berulang kali
sudah melakukan perbaikan, akan tetapi tidak membuahkan hasil. Sehingga akhirnya
mereka memutuskan untuk dibiarkan diisi dengan Islam. Ada juga penghayat yang
memang tidak mempermasalahkan identitas agamanya di KTP, namun mereka tetap
menjalankan keyakinannya sebagai Penghayat Sapta Darma. Kemudian, ada juga
penghayat Sapta Darma yang baru melakukan proses konversi dari Islam dan belum
mengurus KTP.8
Penghayat Sapta Darma yang penulis wawancarai juga ada yang dengan
terbuka memperlihatkan KTP dan ada juga yang tidak memperlihatkan dengan alasan
tidak dibawa dan sedang untuk mengurus sesuatu. Kurdiyanto yang masuk Sapta
Darma Tahun 2010 lalu, kolom agama di KTP masih diisi dengan “ Agama: Islam”.
Dia belum mengurus kembali dan mengganti KTP yang terbaru. Menurutnya hal
demikian pada dasarnya bukan suatu masalah baik terkait layanan pemerintah
maupun keyakinannya. Ia yang mengaku satu-satunya penghayat Sapta Darma di
8Dikutip dari: https://elsaonline.com/identitas-agama-akta-kelahiran-dan-surat-nikah-
problem-penghayat-dalam-soal-administrasi-kependudukan/ Pada Tanggal 16 Desember 2019.
80
lingkungannya, tidak mendapati masalah-masalah yang merugikan dirinya. Walaupun
kolom agama di KTP masih diisi “Islam”, masyarakat paham bahwa Kurdiyanto
adalah penghayat Sapta Darma.9
Sementara itu, Galih Sekti Adjie yang merupakan remaja asal lampung
mengatakan bahwa di daerah yang ia tinggali pencatatan kolom agama di KTP tidak
dikosongkan, ia sendiri untuk kolom agama di KTP diisi dengan “Islam”. Ia
mengungkapkan dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) tidak
memperbolehkan jikalau kolom agama di KTP dikosongkan. Oleh karena itu,
mayoritas penghayat Sapta Darma di daerah tersebut masih banyak yang kolom
agama di KTP diisi dengan Islam. Galih juga mengatakan tidak hanya di KTP yang
agama diisi dengan Islam, semua catatan yang menyangkut dengan kolom agama
maka diisi dengan Islam (Contoh: KK (Kartu Keluarga)).10
Sedangkan menurut Warjo, sebenarnya dari dulu KTP dikosongkan itu sudah
bisa. Hanya saja, kurangnya sosialisasi dari pemerintah yang membuat masyarakat
tidak paham tentang kebijakan yang undang-undang yang sudah diberikan. Warjo
mengatakan “kadang-kadang ada masalah dulu, baru nanti undang-undang
diterapkan”. Ketika ada masalah dia baru paham sebenarnya undang-undang No 23
Tahun 2006 itu sudah bisa melayani penghayat. Akan tetapi, karena setiap daerah itu
berbeda-beda, dan dikarenakan kurangnya sosialisasi dari pihak pemerintah sendiri,
9Wawancara langsung dengan Bapak Kurdiyanto Ketua Persada Provinsi DKI di Sanggar
Candi Busono Ganefo Pada Tanggal 30 November 2019.
10Wawancara langsung dengan Galih Sekti Adjie di Sanggar Candi Busono Ganefo Pada
Tanggal 30 November 2019.
81
banyak penghayat yang memilih mengosongkan kolom agama dan tidak sedikit juga
yang diisi dengan Islam.
Warjo sendiri setelah paham adanya undang-undang yang membolehkan
kolom agama di KTP dikosongi, ia mengajukan KTP yang kedua, KTP pertama yang
dia miliki masih diisi dengan Islam itu pun dari pihak kecamatan yang mengisi agama
Islam. Pengajuan KTP yang kedua Warjo sudah meminta untuk kolom agama
dikosongi, namun pada praktiknya ternyata tetap diisi dengan Islam. Menurutnya
tidak masalah jika harus diisi dengan Islam, yang terpenting masyarakat sudah
memahami bahwa dia adalah Penghayat Sapta Darma. Warjo sendiri menambahkan
semua kembali kepada daerah masing-masing, peraturannya sudah ada tinggal
mereka akan mengubah atau tidak. Karena di Bali sendiri ia mengatakan mayoritas
Penghayat Sapta Darma masih memiliki KTP dengan kolom agama diisi dengan
Hindu. Namun untuk di daerah Brebes sendiri karena banyak bermasalah lebih baik
jika secepatnya bisa dirubah.11
Rahayu salah seorang penghayat kepercayaan Sapta Darma, asal Desa
Petunjungan Kecamatan Bulakamba mengaku kesulitan saat akan mengurus
administrasi agar pada kolom agama penghayat dicantumkan di E-KTP.
“Sudah berkali-kali datang ke kantor Dinas Kependudukan Catatan Sipil
(Disdukcapil) di sini, tetapi tetap saja belum bisa. Padahal, keputusan MK sudah jelas
memperbolehkan pengisian kolom agama penghayat kepercayaan di E-KTP,” ucap Rahayu.12
11Wawancara langsung dengan Bapak Warjo di Sanggar Candi Busono Ganefo Pada Tanggal
8 Desember 2019.
12Dikutip dari: https://kumparan.com/panturapost/urus-pemakaman-dan-e-ktp-masih-jadi-
kendala-bagi-penghayat-kepercayaan-1qwXRjqwAWt Pada Tanggal 17 Desember 2019.
82
Sehubungan dengan hal tersebut, permasalahan tentang kolom agama yang
dikosongi pada dasarnya menimbulkan stigma. Menurut Warjo, pengosongan kolom
agama di KTP menimbulkan polemik untuk para penghayat kepercayaan khususnya
Sapta Darma. Fenomena kosongnya kolom agama di KTP menurut Warjo
menjadikan para penghayat mendapat sikap negatif dari masyarakat seperti dicap
sebagai Ateis, dan tidak jarang yang menganggap sesat. Padahal jika merujuk pada
Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Pasal 61 dan 64, sudah dijelaskan bahwa bagi
penghayat kepercayaan kolom agama tidak diisi atau dikosongi tetapi tetap dicatat
dan dilayani hak-hak sipilnya. Walaupun demikian para penghayat tetap mendapat
masalah-masalah dari masyarakat yang membuat mereka merasa tidak nyaman.13
Maryanto juga mengungkapkan dengan kosongnya kolom agama di KTP
merupakan salah satu kendala, hal itu menjadikan mereka dianggap seperti tidak
memiliki keyakinan, dan tidak memiliki Tuhan. Mereka merasa disisihkan sebagai
warga negara, padahal pada dasarnya di mata hukum mereka semua memiliki hak-
hak yang sama. Tuntutan yang diajukan oleh aliran Sapta Darma, adalah mereka
ingin diakui bahwa mereka itu ber - Ketuhanan dan mereka tidak ingin dibedakan
dengan semua agama yang sama-sama memiliki Tuhan.14
2. Pelayanan Perkawinan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Bab I, Pasal
2 Ayat (1) menyebutkan bahwa: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
13Wawancara langsung dengan Bapak Warjo di Sanggar Candi Busono Ganefo Pada Tanggal
8 Desember 2019.
14Wawancara langsung dengan Bapak Maryanto Tuntunan Sapta Darma Provinsi DKI di
Sanggar Candi Busono Ganefo Pada Tanggal 30 November 2019.
83
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Sedangkan pada Ayat (2)
menyebutkan: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku”.
Kalimat “hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”
merupakan ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya
dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan dalam undang-undang ini.
Dalam hal ini jelas bahwa kata “kepercayaan” yang dimaksud dalam Pasal 2 Ayat 1
UU Perkawinan tersebut merujuk pada kata “kepercayaan” yang ada pada Pasal 29
Undang-Undang Dasar 1945, yang berarti Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha
Esa. Dengan demikian, maka sesungguhnya Kelompok Penghayat Kepercayaan
berhak melakukan perkawinan dengan tata cara nya sendiri.15
Setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan. Para Penghayat Kepercayaan khususnya Sapta Darma
bisa melakukan perkawinan dengan tatacara nya sendiri. Kemudian dilayani oleh
pemerintah dan mendapatkan akta dari Kantor Administrasi Kependudukan dan
Pencatatan Sipil. Perkawinan penghayat dilakukan di hadapan pemuka Penghayat
Kepercayaan. Dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan tersebut, warga
masyarakat Penghayat Kepercayaan khususnya Sapta Darma dapat melaksanakan
perkawinan dengan baik dan lancar. Meskipun demikian, pelaksanaan perkawinan
masih mengalami kendala di masyarakat. Hal ini sebagaimana yang dialami oleh
Damin Penghayat Sapta Darma.
15Sulaiman, Problem Pelayanan Terhadap Kelompok Penghayat Kepercayaan Di Pati, Jawa
Tengah, (Jurnal SMaRT Studi Masyarakat, Religi dan Tradisi Volume 04 No. 02 Desember 2018), h.
214.
84
Damin adalah warga masyarakat Desa Swaduh, Kecamatan Trangkil,
Kabupaten Pati yang melaksanakan perkawinan menurut tatacara Kepercayaan Sapta
Darma. Pada saat itu, petugas Kantor Pencatatan Sipil Kabupaten Pati tidak mau
mencatat atau menolaknya karena merasa tidak ada aturannya. Akhirnya, ia tidak
melaksanakan pencatatan melalui Kantor Catatan Sipil, melainkan perkawinan dan
pencatatan nikah melalui KUA setempat.16
Dalam hal pelayanan perkawinan, masih banyak petugas di lapangan yang
belum mengetahui peraturan yang mengatur tentang perkawinan penghayat
kepercayaan. Seperti kasus lain yang terjadi di Indramayu, pada Tahun 2011,
pernikahan penghayat Sapta Darma tidak bisa dilaksanakan secara ketentuan Sapta
Darma. Akhirnya, pernikahan tersebut terpaksa dilakukan dengan tata cara salah satu
agama resmi.17
“Dulu, sekitar tahun 1984 juga sudah ada, kalau tidak salah namanya pak sukamto,
itu sudah nikah secara Sapta Darma, dan di catat di Disdukcapil, dan bisa dikatakan
relatif mudah. Tapi setelah reformasi muncul isu-isu aliran sesat baru kesininya
nemuin beberapa masalah. Karena banyaknya organisasi yang belum terkontrol oleh
pemerintah, makanya terjadi gesekan-gesekan sosial. Yang lebih menyakitkan itu,
ketika warga Sapta Darma yang mau mengawinkan anaknya, padahal anaknya itu
sudah diserahkan sepenuhnya mau nikah secara Islam ngikut suaminya ya silahkan,
tapi orang tuanya tidak boleh jadi wali. Padahal orang tua nya masih hidup, tapi
malah memakai wali hakim. Bagi saya, itu sudah termasuk pelecehan,” ucap Warjo.18
Warjo sendiri merupakan penghayat Sapta Darma yang sudah dua kali
menikahkan seseorang secara Sapta Darma. Ketika kakak dari Warjo akan
16Sulaiman, Problem Pelayanan Terhadap Kelompok Penghayat Kepercayaan .., h. 215.
17Herman Hendrik, Permasalahan Dalam Pelayanan Kepada Penghayat
KepercayaanTerhadap Tuhan Yang Maha Esa, (Jurnal Inovasi Vol. 16 No. 1, Mei 2019), h. 42
18Wawancara langsung dengan Bapak Warjo di Sanggar Candi Busono Ganefo Pada Tanggal
8 Desember 2019.
85
menikahkan anaknya dia juga ditanya apakah anak kakaknya tersebut akan
dinikahkan secara Islam atau Sapta Darma. Warjo mengatakan ada beberapa
kelebihan dan kekurangan, di sisi lain jika menikahkan secara Sapta Darma mungkin
keluarga nya kurang berkenan, hal tersebut harus didiskusikan dengan kedua belah
pihak. Karena pada dasarnya perkawinan itu menyatukan dua keluarga. Kelebihan
nya di dalam Sapta Darma tidak ada istilah tidak boleh mewakilkan pernikahan,
apapun agama orang tuanya boleh mewakilkan dan tanda tangan di surat pernikahan
Sapta Darma. Akan tetapi, jika menikah secara Islam dia mengatakan “kang,
sampean masih hidup tapi ora bisa dadi wali nikah. Anak sampean kan perempuan,
wes akeh kejadian sing kaya gitu, ya nek sampean ikhlas ya silahkan”.19
3. Pelayanan Pendidikan
Layanan pendidikan juga merupakan salah satu permasalahan yang harus
dihadapi penghayat Sapta Darma. Sebelum adanya peraturan terkait dengan
pendidikan aliran kepercayaan, peserta didik penghayat kepercayaan khususnya Sapta
Darma harus mengikuti salah satu jenis pendidikan agama di sekolah, seperti Islam.
Kasus masalah pendidikan pernah dialami oleh Yudi, seorang penghayat
Sapta Darma dan sebagai bapak yang sudah memiliki anak. Sewaktu ia sekolah, ia
harus merasakan perilaku diskriminasi yang memaksa dirinya harus berbohong
dengan mengikuti pelajaran-pelajaran agama lain. Perilaku diskriminasi tersebut
semakin dirasakan saat Yudi memiliki anak. Sebelum adanya aturan Kemendikbud
soal pelajaran agama bagi penghayat kepercayaan turun, dia merasa bingung anaknya
19Artinya: kak, kamu masih hidup tapi tidak bisa menjadi wali nikah. Anak kamu kan
perempuan, sudah banyak kejadian yang kaya gitu, kalau kamu ikhlas ya silahkan.
86
akan belajar agama apa di sekolah. Dia tidak ingin jika harus menuntut anaknya
berbohong dengan mengikuti pelajaran agama lain. Kasus tersebut juga dirasakan
oleh Naen Soeryono, ketua presidium Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) Pusat. Sebagai keluarga yang menganut
kepercayaan Sapta Darma, dia merasakan diskriminasi tersebut dan juga ketika
anaknya mengenyam pendidikan sekolah. Putri Naen harus bersembunyi selama dua
jam agar tidak perlu mengikuti pelajaran agama yang tidak dianut nya.20
Dalam praktik di lapangan, setelah turunnya keputusan Permendikbud No 27
Tahun 2016, tidak langsung menunjuk guru sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang
membidangi penghayat Kepercayaan. Namun, Warjo mengungkapkan hal tersebut
dapat dimaklumi, karena kebutuhan setiap daerah itu berbeda-beda dan penghayat
kepercayaan di setiap daerah tidak hanya satu. Akan tetapi, Warjo mengatakan bahwa
guru yang mengajar untuk penghayat kepercayaan khususnya Sapta Darma yang di
daerah tidak mendapatkan bayaran, ia merasa kasihan karena mereka memiliki
tanggungan keluarga tetapi mereka tetap mengajar dengan sukarela walaupun jarak
yang ditempuh cukup jauh. “si penyuluh nya itu mobile, karena memang beda-beda
kecamatan, kadang di kumpulin juga di satu titik tengah, atau misal bisa dilakukan di
sekolah ya dilakukan disitu” urai nya.21
Untuk di daerah Jakarta menurut Kurdiyanto khususnya di lingkungan yang ia
tinggali, ada tenaga pendidiknya akan tetapi belum ada peserta yang akan di didik.
20Dikutip dari https://pressreader.com/indonesia/jawa-pos/20171109/282531543679308
PadaTanggal 17 Desember 2019.
21Wawancara langsung dengan Bapak Warjo di Sanggar Candi Busono Ganefo Pada Tanggal
8 Desember 2019.
87
Satu-satunya peserta didik Sapta Darma hanya anak dia sendiri, “ ya kalau anak saya
doang kan nanggung yah, soalnya cuman satu, gurunya sih ada anak didiknya aja
yang belum ada, entah memang belum siap menerima pelajaran Sapta Darma”
ungkapnya. Yang merepotkan menurut Kurdiyanto adalah ketika anaknya tidak tau
agama yang dipelajari, dari SD (Sekolah Dasar) sampai SMK (Sekolah Menengah
Kejuruan) anaknya harus sekuat tenaga dan berpikir lebih untuk menerima pelajaran
agama Islam.22 Maryanto menambahkan, dulu sewaktu ia sekolah juga masih
mengikuti pelajaran agama lain seperti Islam. Menurutnya sepintar-pintar si anak
didiknya saja untuk menerima pelajaran selain pelajaran khususnya Sapta Darma.23
Galih salah seorang remaja Sapta Darma yang baru lulus sekolah tingkat
SMA (Sekolah Menengah Atas) mengaku bahwa ia juga sebelumnya harus mengikuti
pelajaran Islam. Akan tetapi setelah adanya Permendikbud, di kampungnya yang di
Lampung Tengah, sudah ada pelajaran untuk Sapta Darma. Kebetulan ibunya juga
merupakan pendidik yang mengajarkan Sapta Darma ke peserta didiknya. “Kalau di
kampung saya sih per materi khusus Sapta Darma untuk SD sampai SMP digabung
jadi satu kelas, misalnya 3 sekolahan muridnya dikumpulin dan dijadikan di satu
kelas atau kadang juga bisa dikumpulin di rumah siapa. Kalau SMA itu ada sendiri
kelasnya. Untuk jadwalnya tidak ditentukan pas jam pelajaran, misalnya hari minggu
22Wawancara langsung dengan Bapak Kurdiyanto Ketua Persada Provinsi DKI di Sanggar
Candi Busono Ganefo Pada Tanggal 30 November 2019.
23Wawancara langsung dengan Bapak Maryanto Tuntunan Sapta Darma Provinsi DKI di
Sanggar Candi Busono Ganefo Pada Tanggal 30 November 2019.
88
ya berarti belajar di hari itu, baru nanti hasilnya di serahkan ke masing-masing
sekolah untuk nilai pelajaran kepercayaan,” ungkapnya.24
4. Pembangunan Sanggar
Masalah lain yang dihadapi penghayat Sapta Darma adalah terkait dengan
pembangunan Sanggar. Kasus pertama, pada tanggal 10 November 2015, Sanggar
Sapta Darma di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, dibakar sekelompok massa.
Tempat ibadah penganut Penghayat Sapta Darma di Dukuh Blando, Desa Plawangan,
Kecamatan Kragan, dibakar saat sedang dalam proses pembangunan candi yang
diberi nama Candi Busono. Sebelum dibakar, pengelola Sanggar Sapta Darma
mengaku diintimidasi pelaku. Mereka ditekan oleh sekelompok orang yang
mengatasnamakan Forum Umat Islam (FUI) Desa Plawangan supaya menghentikan
renovasi pembangunan sanggar. Aparat pemerintah tidak mampu memberikan
perlindungan, bahkan kepala desa dan camat meminta agar renovasi sanggar
dihentikan. Padahal, pembangunan telah mendapat izin Kepala Kesbangpol
Kabupaten Rembang.25
“Saya ditekan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Forum Umat Islam
(FUI) Desa Plawangan, supaya menghentikan renovasi pembangunan sanggar.
Mereka menyodorkan surat pernyataan, tapi saya menolak karena saya sudah sesuai
dengan undang-undang,” kata Sutrisno Ketua Persatuan Sapta Darma (Persada)
Kabupaten Rembang.26
24Wawancara langsung dengan Galih Sekti Adjie di Sanggar Candi Busono Ganefo Pada
Tanggal 30 November 2019.
25Choirul Anam, Muhammad Felani, dkk,. Upaya Negara Menjamin Hak-Hak Kelompok
Minoritas di Indonesia (Sebuah Laporan Awal), (Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, 2016), h. 66.
26Dikutip dari: https://elsaonline.com/sanggar-sapta-darma-rembang-dihentikan-paksa/ Pada
Tanggal 17 Desember 2019.
89
Kasus kedua, aksi pengrusakan terhadap salah satu sanggar milik penghayat
Sapta Darma di Dukuh Pereng Kembang Balecatur, Gamping, Sleman, Yogyakarta.
Aksi tersebut lagi-lagi dilakukan oleh massa Front Pembela Islam (FPI) Yogyakarta
pada hari Sabtu 11 Oktober 2008. Dampak dari aksi yang dilakukan oleh massa FPI
itu mengakibatkan warga Sapta Darma sempat mengalami trauma. Menyikapi aksi
tersebut Persada Pusat sudah melayangkan surat ke pemerintah melalui Direktorat
Penghayat Kepercayaan. Isi surat tersebut ialah meminta perlindungan hukum.27
Kasus ketiga juga dialami oleh Galih Sekti, “Dulu sih waktu saya di kampung,
ketika mau melakukan pembangunan sanggar kurang diterima masyarakat sekitar
dengan alasan takut membawa dampak negatif, sampai warga di kampung manggil
polisi dikira Sapta Darma ini musyrik,” urai nya. Namun, ia mengatakan jikalau
sekarang sudah tidak dipermasalahkan kembali. Karena masyarakat sudah memahami
bahwa keyakinan yang ia anut sama dengan agama yang lainnya bukan ajaran yang
menduakan Tuhan.28
5. Pelayanan Pemakaman
Permasalahan lain yang sering dialami oleh Penghayat Sapta Darma adalah
dalam hal pelayanan pemakaman. Persoalan penolakan pemakaman penghayat Sapta
Darma masih sering terjadi di berbagai wilayah. Penolakan pemakaman terjadi karena
jasadnya ditolak dimakamkan oleh warga di tempat pemakaman umum. Banyak
warga yang beragama islam, dan terkadang ada juga pemerintah desa setempat
27Artikel ini diakses dari Kompas.com dengan judul "Sapta Darma Bukan Aliran Sesat",
https://nasional.kompas.com/read/2008/10/14/20390080/sapta.darma.bukan.aliran.sesat?page=all Pada
Tanggal 17 Desember 2019.
28Wawancara langsung dengan Galih Sekti Adjie di Sanggar Candi Busono Ganefo Pada
Tanggal 30 November 2019.
90
menganggap makam desa adalah milik makam muslim, sehingga orang yang tidak
beragama dinilai tidak berhak untuk dimakamkan.
Pada wilayah Kabupaten Pati, pernah terjadi kasus pemakaman warga
Penghayat Kepercayaan yang ditolak oleh masyarakat. Hal ini terjadi pada keluarga
Muri di Dukuh Tlogowiru, Desa Tegalharjo, Kecamatan Trangkil, Pati. Ayah Muri
yang bernama Marto Mardin meninggal dan ditolak pemakamannya. Dia meninggal
dunia pada tanggal 3 November 2012, sementara ibunya yang bernama Dasilah
meninggal satu tahun sebelumnya.29
Kasus tersebut menimbulkan ketegangan antara pihak keluarga penghayat dan
masyarakat desa, sehingga melibatkan banyak pihak, antara lain pejabat desa (lurah),
modin30, tokoh-tokoh agama Islam, tokoh-tokoh Penghayat Kepercayaan, bahkan
pejabat Koramil dan Polsek Kecamatan Trangkil. Pada satu sisi, masyarakat
berpandangan bahwa orang yang bukan Islam tidak boleh dimakamkan di tempat
pemakaman itu. Tetapi di sisi lain, kelompok Penghayat Kepercayaan merasa dijamin
oleh peraturan perundang-undangan, yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 43 dan Nomor 41 Tahun 2009, Pasal 8
Ayat (1) dan (2), yang berbunyi: “Penghayat Kepercayaan yang meninggal dunia
dimakamkan di tempat pemakaman umum”.31
Atas dasar kejadian tersebut, mereka mengadakan musyawarah yang dipimpin
oleh Kepala Desa Tegalharjo, Kecamatan Trangkil. Dengan musyawarah tersebut
29Nazar Nurdin, Potret “Suram” Kematian Penghayat Sapta Darma, (Diakses dari :
https://www.academia.edu/ ) Pada Tanggal 17 Desember 2019.
30Secara administratif seorang modin disebut dengan istilah Kaur Kesra (Kepala Urusan
Kesejahteraan Rakyat).
31Sulaiman, Problem Pelayanan Terhadap Kelompok Penghayat Kepercayaan .., h. 213.
91
disepakati bahwa jenazah almarhum dapat dimakamkan di tempat pemakaman
tersebut manakala keluarga almarhum membuat “surat pernyataan” di depan pejabat
desa dan tokoh-tokoh agama serta tokoh-tokoh masyarakat bahwa almarhum
beragama Islam. Hal ini disebabkan bahwa tempat pemakaman tersebut merupakan
tanah wakaf. Dengan pernyataan tersebut, jenazah almarhum dapat dimakamkan di
tempat pemakaman itu sesuai dengan tatacara ajaran Islam.
Kasus-kasus penolakan jenazah penghayat Sapta Darma juga banyak di
temukan di daerah Brebes Jawa Tengah. Catatan Pemerintah Kabupaten (PEMKAB)
Brebes, pada tahun 2017 ada sekitar 200 orang yang menganut aliran kepercayaan
Sapta Darma di Brebes. Mereka tersebar di beberapa kecamatan yakni di Larangan,
Tanjung, Losari, dan Kecamatan Brebes. Kasus-kasus tersebut diwarnai dengan kasus
penolakan jenazah sampai kasus pembongkaran makam. Warga melarang penghayat
Sapta Darma memakamkan keluarganya di tempat pemakaman umum (TPU) desa
setempat. Dikarenakan kasus penolakan terus terjadi, sehingga tidak sedikit
penghayat kepercayaan ini yang akhirnya memakamkan keluarga mereka di tanah
pekarangan.32
“Kejadian yang pernah dialami penghayat Sapta Darma saya ingatnya sih sekitar
Tahun 2007 itu di Dukuh Kalenpandan, Desa Pamulihan, Kec Larangan. Terus di
Desa Cikandang Kec Kersana Tahun 2010, kemudian di Desa Siandong Kec
Larangan bulan Desember 2014, terus juga ada lagi yang terbaru di Jepara itu sekitar
Tahun 2016 atau 2017, cuman saya tidak terlalu hafal nama dan alamat lengkapnya,”
ucap Warjo.
32Dikutip dari: https://www.murianews.com/2017/12/04/132626/penganut-sapta-darma-
ditolak-dimakamkan-di-tpu-pemkab-brebes-ambil-sikap.html Pada Tanggal 17 Desember 2019.
92
Sementara itu, di Desa Sikancil, Kecamatan Larangan, Brebes pada Tahun
2011 kasus penolakan jenazah tersebut diwarnai dengan kasus pembongkaran
makam. Makam penghayat Sapta Darma yang dibongkar di tempat pemakaman
umum dilakukan oleh masyarakat setempat yang tidak ingin ada jasad penghayat
dimakamkan di tempat pemakaman yang mayoritas berisi makam umat Islam. Para
penghayat akhirnya diminta untuk membuat pemakaman sendiri. 33
Kasus semacam ini membawa akibat buruk tetapi juga ada dampak baik
kepada Penghayat Kepercayaan, khususnya Penghayat Kepercayaan Sapta Darma.
Warjo mengatakan banyak penghayat yang menyatakan keluar dan aktif menjalankan
agama Islam, tetapi ada juga warga yang berfikir dan akhirnya masuk Sapta Darma.
Namun, bagi keluarga Warjo sendiri hal tersebut dianggap biasa saja, karena
perjalanan Wahyu ajaran memang ada ujian untuk maju ke depan.
C. Respon Aliran Sapta Darma Terhadap Regulasi Pemerintah Terhadap
Aliran Kepercayaan
Aliran kepercayaan dalam sejarahnya seringkali mengalami diskriminasi dari
kaum mayoritas karena dianggap sesat. Diskriminasi ini mengakibatkan timbulnya
perlawanan untuk mendapatkan kesetaraan. Diskriminasi dalam buku “Menjadi
Indonesia Tanpa Diskriminasi” diartikan sebagai berikut: Diskriminasi adalah
prasangka atau perilaku yang membedakan seseorang hanya karena ia berasal dari
sebuah identitas sosial (agama, etnis, ras, gender, orientasi seksual). Hanya karena
identitas sosialnya berbeda, ia dipandang atau diperlakukan lebih buruk. Misalnya, ia
33Wawancara langsung dengan Bapak Warjo di Sanggar Candi Busono Ganefo Pada Tanggal
8 Desember 2019.
93
dilarang atau tidak diberikan perlindungan hukum atau hak hukum yang sama
dibandingkan warga negara lain yang berasal dari identitas sosial berbeda.34
Pengertian diskriminasi dalam ruang lingkup hukum hak asasi manusia
Indonesia dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 1 Ayat
(3) tentang Hak Asasi Manusia yang isinya: “ Diskriminasi adalah setiap pembatasan,
pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada
pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnis, kelompok, golongan, status
sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat
pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau
penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual
maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek
kehidupan lainnya”.35
Sapta Darma merupakan salah satu aliran kepercayaan yang sering
mendapatkan permasalahan. Salah satu permasalahan yang dihadapi adalah tentang
Administrasi Kependudukan (Adminduk). Dengan adanya putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) yang mengabulkan seluruh gugatan para penganut kepercayaan.
Para Penghayat Kepercayaan akhirnya dapat mencantumkan nama kepercayaan
mereka dalam kolom agama di Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga, dan
memperoleh hak-hak kewarganegaraan mereka. Selama ini, para Penghayat
Kepercayaan tidak dapat mengisi kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk dan
Kartu Keluarga mereka dikarenakan tidak terdapat pilihan agama lain selain enam
34Denny J.A., Menjadi Indonesia Tanpa Diskriminasi, Data, Teori, Dan Solusi,(Jakarta:
Inspirasi.co, 2014), h. 6.
35Lihat pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
94
agama mayoritas di Indonesia. Putusan tersebut pastinya disambut dengan suka cita
oleh para penghayat kepercayaan, termasuk respon dari penghayat Sapta Darma.
Warjo yang mengaku sebagai saksi dari pemohon IV tersebut, mengatakan
bahwa dari Mahkamah Konstitusi (MK) memang sudah menyetarakan antara
kepercayaan dengan agama. Artinya status para penghayat sudah setara secara hukum
dengan agama yang diakui di Indonesia. Namun, pada saat gugatan mereka
dikabulkan terdapat beberapa hal yang masih membuat tidak nyaman terkait
pencantuman nama di kolom agama.36
Menurut Warjo, seharusnya jika merujuk pada gugatan yang dikabulkan MK
hal tersebut diperbolehkan minimal “Agama: Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa” jika memang itu sudah mewakili penghayat kepercayaan. Warjo menilai
bahwa lagi-lagi negara kalah dengan salah satu organisasi (sebut MUI), dan
pertimbangan dasar hukum masih kalah dengan perorangan. Menurutnya akhirnya
diperbolehkan kolom “Kepercayaan: Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa”.
Jadi, bagi kepercayaan maka kolomnya diisi “Kepercayaan” dan tidak ada kolom
“Agama”, sebaliknya bagi agama maka hanya ada kolom “Agama” dan tidak ada
kolom “Kepercayaan”. Warjo menyimpulkan penghayat kepercayaan tetap kembali
dibedakan.37
Sedangkan menurut Maryanto dan Kurdiyanto mengatakan bahwa yang
mereka dapatkan selama ini yaitu pemerintah melayani dengan baik terkait
36Wawancara langsung dengan Bapak Warjo di Sanggar Candi Busono Ganefo Pada Tanggal
8 Desember 2019.
37Wawancara langsung dengan Bapak Warjo di Sanggar Candi Busono Ganefo Pada Tanggal
8 Desember 2019.
95
Administrasi Kependudukan, pemakaman, perkawinan sudah sesuai dengan Undang-
Undang yang berlaku. Menurut mereka tidak adanya kendala yang mereka hadapi
jika berkaitan dengan hak-hak sipil mereka, dengan lingkungan sekitar juga mereka
tidak mendapati masalah jika menyangkut keyakinannya.38 Terkait pernikahan
Maryanto mengatakan bahwa tidak mendapati masalah. Setelah mereka melakukan
pernikahan secara Sapta Darma data mereka dicatat dalam pencatatan sipil. Ditambah
lagi setelah putusan MK, maryanto mengatakan bahwa artinya pemerintah semakin
memberikan layanan yang baik untuk para penghayat kepercayaan khususnya Sapta
Darma. Dengan demikian, mereka diakui dan dilayani dan disetarakan dengan agama
lain.39
Maryanto dan Kurdiyanto mengungkapkan untuk di daerah tempat tinggal
mereka jika terkait dengan layanan pemerintah selama kolom agama mereka
dikosongi tidak menemukan adanya masalah, mereka tetap dilayani sebagai mana
warga negara yang lain. Apalagi, di daerah Jakarta sendiri termasuk lingkungan yang
“cuek, bodoamat, lo lo gue gue”. Kalaupun ada masalah itu karena unsur politik, tapi
jika di kehidupan sehari-hari mereka tidak memiliki masalah. Mereka menambahkan,
mungkin di luar Jakarta seperti di daerah-daerah kampung bisa jadi masih memiliki
kendala, karena jika dibandingkan, Jakarta termasuk daerah yang dekat dengan pusat-
pusat pemerintahan. 40
38Wawancara langsung dengan Bapak Maryanto dan Bapak Kurdiyanto di Sanggar Candi
Busono Ganefo Pada Tanggal 30 November 2019.
39Wawancara langsung dengan Bapak Maryanto Tuntunan Sapta Darma Provinsi DKI di
Sanggar Candi Busono Ganefo Pada Tanggal 30 November 2019.
40Wawancara langsung dengan Bapak Maryanto dan Bapak Kurdiyanto di Sanggar Candi
Busono Ganefo Pada Tanggal 30 November 2019.
96
Dalam hal kasus-kasus seperti kasus pemakaman untuk Sapta Darma, pada
dasarnya kasus-kasus tersebut bisa diselesaikan. Menurut Maryanto sebenarnya hal
tersebut dikarenakan ketidaktahuan dari aparat pemerintah khususnya aparat desa
sehingga menimbulkan asumsi-asumsi bahwa aliran tersebut adalah sesat. Tetapi
setelah diberikan pemahaman maka masyarakat akan paham, bahkan orang tua
Maryanto sendiri ketika meninggal tidak ada masalah menyangkut pemakaman,
orang tua nya dikuburkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU), dan yang mengurusi
pemakaman tersebut adalah orang Islam. Menurutnya jika mereka baik terhadap
lingkungan, maka masyarakat juga akan menghormati mereka.
Galih yang merupakan remaja asal Lampung mengatakan, bahwa sejauh ini
layanan yang diberikan oleh pemerintah sudah sangat baik terkait administrasi
kependudukan, permasalahan seperti KTP, KK, catatan pernikahan, dan yang lainnya
sudah disediakan dan dilayani dengan baik, jika dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya galih mengaku bahwa pencatatan atas hak-hak penghayat masih sulit.
Berbicara tentang kolom agama yang diisi dengan agama (sebut: Islam), Galih
mengatakan bahwa hal tersebut tidak menjadikan masalah di lingkungan sekitarnya.
Walaupun kolom agama diisi dengan Islam, akan tetapi masyarakat paham bahwa
Galih adalah penghayat Kepercayaan Sapta Darma.41
Setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi ia merasa senang, karena
akhirnya ia bisa mengubah pada kolom agama diisi dengan “Kepercayaan”.
Walaupun pada praktik di lapangan, masih ada yang diisi dengan Islam termasuk
41Wawancara langsung dengan Galih Sekti Adjie di Sanggar Candi Busono Ganefo Pada
Tanggal 30 November 2019.
97
KTP Galih sendiri. Perubahan kolom agama dari Islam menjadi Kepercayaan masih
dalam proses dan menurutnya hal tersebut tetap tidak menjadi masalah. Galih
mengatakan bahwa perubahan yang masih dalam proses tersebut bukan berarti
layanan yang diberikan pemerintah itu buruk. Galih juga mengungkapkan, jika
sebelumnya layanan yang diberikan sudah baik menjadi semakin baik ketika adanya
putusan Mahkamah Konstitusi. Dia menganggap bahwa dengan putusan tersebut
pemerintah semakin peduli dan mengakui keberadaan para penghayat kepercayaan
khususnya Sapta Darma di seluruh Indonesia tanpa membedakan dengan agama
mayoritas lainnya. Sejauh ini juga setelah putusan tersebut galih merasa tidak ada lagi
kendala dan masyarakat pun sudah tidak membeda-bedakan, dan sudah bisa
bersosialisasi dengan baik seperti pada umumnya. Galih berharap pemerintah akan
terus memberikan layanan yang baik dan tidak ada yang dibedakan antara agama
yang satu dengan yang lainnya, supaya Bhineka Tunggal Ika itu benar-benar nyata
keberadaannya.
Warjo juga mengatakan secara keseluruhan layanan yang sudah diberikan
pemerintah sudah sangat baik dan tidak ada kendala. Namun, masih perlunya
sosialisasi di masyarakat agar praktiknya di lapangan lebih baik lagi. Akan tetapi,
untuk peraturan terbaru terkait putusan MK masih belum maksimal mengaplikasikan
di lapangannya dengan alasan masih dalam perubahan sistem. Jadi, keseragaman
perubahannya masih kurang, misal seperti perubahan kolom agama ada yang sudah
bisa berubah, ada juga yang masih kosong, bahkan masih ada juga yang berisi agama
lain. “baru-baru ini mas eko sama ratih juga selang satu tahun setelah putusan MK
pas bikin di Jakarta jadinya kosong juga di KTP,” ucap Warjo. Menurut Warjo, ia
98
sepenuhnya menyerahkan kembali kepada pemerintah, karena semua kembali kepada
aturan-aturan pemerintah.
Terlepas dari hal-hal diatas menurutnya hal tersebut tidak menjadi masalah,
semuanya dikembalikan dan bagian dari proses. Setidaknya setelah adanya putusan
MK, memiliki dampak yang positif, salah satunya yaitu Kejaksaan Tinggi DKI
Jakarta mengaktifkan kembali tim PAKEM yang selama ini tidak aktif. Tetapi
terlepas dari putusan tersebut di Tegal Jawa Tengah juga tim PAKEM memiliki
kinerja yang bagus untuk para penghayat kepercayaan khususnya Sapta Darma.
Selain itu juga, Warjo sangat berterimakasih tentang aturan Permendikbud. Walaupun
praktik di lapangan masih memprihatinkan, tetapi itu sifatnya pendapat individu dan
relatif. Dia juga menambahkan bahwa regulasi dari pemerintah untuk aliran
kepercayaan sangatlah penting, yang berarti bahwa aliran kepercayaan dilindungi
oleh undang-undang dan aliran kepercayaan bukan aliran sesat. Kemudian, hak-hak
para penghayat kepercayaan khususnya Sapta Darma itu bisa dilayani, kalaupun ada
permasalahan itu bisa diselesaikan. Sejauh ini pemerintah sudah sangat cukup dan
baik jika menyangkut peraturan yang sudah diberikan, walaupun pelaksana dari
pemerintahan terkadang masih ada yang mengabaikan. Harapannya ke depannya,
semua peraturan yang sudah diberikan bisa terlaksana dengan lebih baik lagi dalam
melayani penghayat kepercayaan khususnya Sapta Darma. Karena sebenarnya
pemerintah sudah sangat baik, hanya saja pelaksana dari pemerintah tersebut yang
terkadang masih lalai dan mengabaikan. 42
42Wawancara langsung dengan Bapak Warjo di Sanggar Candi Busono Ganefo Pada Tanggal
8 Desember 2019.
99
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara keseluruhan, respon dari para penghayat kepercayaan khususnya
penghayat Sapta Darma masih belum puas. Hal ini dikarenakan masih adanya
pembedaan antara Kepercayaan dan Agama. Pelayanan yang diberikan terhadap para
penghayat kepercayaan pun mereka mengatakan belum maksimal. Seperti contohnya
permasalahan kolom agama di KTP, masih ditemukan aparat birokrasi yang belum
menjalankan sesuai undang-undang yang ada.
Akan tetapi setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi mereka sangat
mengapresiasi akan keputusan bijaksana tersebut dan tentunya mereka merasa
senang. Mereka berharap ke depannya putusan MK ini bisa diimplementasikan di
lapangan dengan baik dan tidak ada lagi pembedaan yang mendiskriminasi penghayat
kepercayaan khususnya Sapta Darma.
B. Saran
Ke depannya untuk pemerintah, khususnya bagi aparat birokrasi bisa
memberikan pelayanan terhadap aliran kepercayaan khususnya Sapta Darma sesuai
dengan Undang-Undang yang ada dan tidak ada lagi pembedaan antara kepercayaan
dan agama. Dengan demikian kasus-kasus diskriminasi yang dialami para penghayat
kepercayaan bisa segera berakhir.
100
DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku:
Afrizal. Metode Penelitian Kulitatif: Sebuah Upaya Mendukung Penggunaan
Penelitian Kualitatif dalam Berbagai Disiplin Ilmu, Jakarta: PT Rajawali
Pers, 2015.
Anam, Choirul dan Muhammad Felani, dkk,. Upaya Negara Menjamin Hak-Hak
Kelompok Minoritas di Indonesia (Sebuah Laporan Awal), Jakarta: Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2016.
Bahri, Media Zainul. Wajah Studi Agama-Agama Dari Era Teosofi Indonesia (1901-
1940) Hingga Masa Reformasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Bustami, Abdul Latif. Modul III - Sejarah Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha
Esa Di Indonesia, Jakarta: Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017.
Denny. Menjadi Indonesia Tanpa Diskriminasi, Data, Teori, Dan Solusi, Jakarta:
Inspirasi.co, 2014.
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas, Kumpulan Peraturan Menteri
Pendidikan Dan Kebudayaan Tahun 2016-2017, Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Tahun 2017.
Ensiklopedia Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Kebudayaan, Direktorat Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, 2017.
Gulo, W. Metodologi Penelitian, Grasindo, 2000.
101
Hadiwijono, Harun. Kebatinan Dan Injil, Jakarta: Gunung Mulia, 2009.
Imam S, Suwarno. Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam Berbagai Kebatinan Jawa,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Kartapradja, Kamil. Aliran-Aliran Kepercayaan/Kebatinan Di Indonesia, Jakarta:
C.V. Ridho Taringan, 1981.
Lubis, M. Ridwan. Agama Dan Perdamaian Landasan, Tujuan, dan Realitas
Kehidupan Beragama di Indonesia, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama, 2017.
Maarif, Samsul. Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur Dalam Politik Agama di
Indonesia, Yogyakarta: CRCS( Center for Religious and Cross-cultural
Studies) Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana
Lintas Disiplin, Universitas Gadjah Mada, 2017.
Mufid, Ahmad Syafi’I. Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal Di
Indonesia, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012.
Muhammad, Hafiz. Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Jakarta: HRWG, 2011.
Nugroho, Wahyu dan kees de jong. Memperluas Horizon Agama Dalam Konteks
Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Kristen Indonesia, 2019.
Permadi, K. Pandangan Aliran Kepercayaan Terhadap Islam, Jakarta: Direktorat
Pembinaan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 1992.
Rahnip. Aliran Kepercayaan dan Kebatinan dalam Sorotan, Surabaya: Penerbit
Pustaka Progresif, 1997.
102
Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun
Agung Sri Gutama, Yogyakarta: Sekretariat Tuntunan Agung Kerokhanian
Sapta Sapta Darma, 2010.
Tilaar. Pendidikan Multikultural dan Revitallisasi Hukum Adat dalam Perspektif
Sejarah, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2005.
Yusuf, A. Muri. Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, Dan Penelitian Gabungan
Jakarta: Kencana, 2014.
Sumber Jurnal dan Skripsi:
Agustina, Hartik. Paguyuban Darma Bakti Tambuh, Batu, Jawa Timur, Skripsi:
Jurusan Perbandingan Agama IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2013.
Aryono. Pergulatan Aliran Kepercayaan dalam Panggung Politik, Jurnal: Sejarah
Citra Lekha, Vol. 3, No.1, 2018.
Bunyamin. Presentasi tentang Layanan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, (Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang ), Studi Kasus
Permasalahan Peserta Didik Di SMK N 7 Semarang.
Fajar T, Sukmono. Regenerasi Kejawen: Penghayatan Sapta Darma pada Generasi
Muda Sapta Darma di Yogyakarta, TESIS: Program Pasca Sarjana
Antropologi, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2018.
Hairi, Prianter Jaya. Majalah Info Singkat Hukum Kajian Singkat terhadap Isu Aktual
dan Strategis, Vol.IX, No. 23/I/Puslit/Desember/2017, Pusat Penelitian Badan
Keahlian DPR RI, 2009.
103
Hendrik, Herman. Permasalahan Dalam Pelayanan Kepada Penghayat
KepercayaanTerhadap Tuhan Yang Maha Esa, Jurnal Inovasi Vol. 16 No. 1,
Mei 2019.
Illiyun, Naili Ni’matun. Dinamika Kehidupan Kelompok Minoritas Di Indonesia,
(Studi Kasus Pengalaman Bermasyarakat dan Bernegara Warga
Kerokhanian Sapta Darma), Tesis: Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,
2015.
JUKNIS – Sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 27 Tahun
2016 tentang Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada
Satuan Pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat
Jenderal Kebudayaan, Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa dan Tradisi, 2016.
Permana, Didit Aditia. Strategi Perlawanan Kaum Minoritas (Studi Tentang Strategi
Perlawanan Aliran Kepercayaan Sapta Darma Terhadap Dominasi Negara
dan Agama Mayoritas di Yogyakarta), Tesis: Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, 2014.
Sulaiman. Problem Pelayanan Terhadap Kelompok Penghayat Kepercayaan Di Pati,
Jawa Tengah, Jurnal SMaRT Studi Masyarakat, Religi dan Tradisi Volume 04
No. 02 Desember 2018.
Wahyu, Dino Nur. Pendidikan Anak Penghayat Kepercayaan Di SMA 9 dan SMP 59
Surabaya, Skripsi: Jurusan Studi Agama Agama Universitas Negeri Sunan
Ampel, 2019.
104
Undang-Undang:
Ketetapan MPR No. IV/MPR Tahun 1973 dan 1978 tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara.
Surat Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 97/PUU-
XIV/2016
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bab XI Pasal 29
Ayat (1) Dan (2).
Undang-Undang No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Sumber Internet/ Website:
Artikel ini diakses dari Kompas.com dengan judul "Sapta Darma Bukan Aliran
Sesat",https://nasional.kompas.com/read/2008/10/14/20390080/sapta.darma.b
ukan.aliran.sesat?page=all Pada Tanggal 17 Desember 2019.
Diakses dari https://katadata.co.id/infografik/2017/11/10/jalan-panjang-pengakuan-
bagi-penganut-aliran-kepercayaan Pada Tanggal 1 November 2019.
Diakses dari https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/uu-adminduk-diskriminatif-
bagi-penganut-aliran-kepercayaan-cvlq Pada Tanggal 1 November 2019.
Diaksesdari:https://www.google.com/amp/s/www.voaindonesia.com/amp/4340417.ht
ml Pada Tanggal 1 November 2019.
Diakses dari https://www.maxmanroe.com/vid/bisnis/pengertian-regulasi.html Pada
Tanggal 31 Desember 2019.
105
Dikutipdari:https://pressreader.com/indonesia/jawa-pos/20171109/282531543679308
PadaTanggal 17 Desember 2019.
Dikutip dari: https://elsaonline.com/identitas-agama-akta-kelahiran-dan-surat-nikah-
problem-penghayat-dalam-soal-administrasi-kependudukan/ Pada Tanggal 16
Desember 2019.
Dikutip dari: https://elsaonline.com/sanggar-sapta-darma-rembang-dihentikan-paksa/
Pada Tanggal 17 Desember 2019.
Dikutip dari: https://kumparan.com/panturapost/urus-pemakaman-dan-e-ktp-masih-
jadi-kendala-bagi-penghayat-kepercayaan-1qwXRjqwAWt Pada Tanggal 17
Desember 2019.
Dikutip dari: https://www.murianews.com/2017/12/04/132626/penganut-sapta-
darma-ditolak-dimakamkan-di-tpu-pemkab-brebes-ambil-sikap.html Pada
Tanggal 17 Desember 2019.
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Nazar Nurdin, Potret “Suram” Kematian Penghayat Sapta Darma, (Diakses dari :
https://www.academia.edu/ ) Pada Tanggal 17 Desember 2019.
Wawancara:
Wawancara langsung dengan Bapak Kurdiyanto Ketua Persada Provinsi DKI di
Sanggar Candi Busono Ganefo Pada Tanggal 30 November 2019.
Wawancara langsung dengan Bapak Maryanto Tuntunan Sapta Darma Provinsi DKI
di Sanggar Candi Busono Ganefo Pada Tanggal 30 November 2019.
Wawancara langsung dengan Bapak Warjo di Sanggar Candi Busono Ganefo Pada
Tanggal 16 November dan 8 Desember 2019.
106
Wawancara langsung dengan Galih Sekti Adjie di Sanggar Candi Busono Ganefo
Pada Tanggal 30 November 2019.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
108
LAMPIRAN I: SURAT IZIN PENELITIAN
109
LAMPIRAN II: KOMPILASI UNDANG-UNDANG
TAP MPR TENTANG GBHN 1973
110
TAP MPR TENTANG GBHN 1978
111
UNDANG-UNDANG NO 61 DAN 64 TAHUN 2006
112
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TAHUN 2016
113
114
LAMPIRAN III: SURAT KETERANGAN WAWANCARA
115
116
117
118
LAMPIRAN IV: PERTANYAAN WAWANCARA
A. Biografi Singkat Narasumber
1. Kapan bapak/ibu masuk dan menjadi Penghayat Kepercayaan Sapta Darma?
2. Apa alasan bapak/ibu masuk dan menjadi Penghayat Kepercayaan Sapta
Darma?
B. Respon Penghayat Sapta Darma
1. Apa saja permasalahan yang dihadapi oleh penghayat Sapta Darma?
2. Bagaimana respon bapak/ibu terhadap regulasi administrasi kependudukan
dan undang-undang perkawinan untuk aliran kepercayaan?
3. Bagaimana peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan (permendikbud)
terhadap pendidikan peserta didik aliran kepercayaan?
4. Bagaimana tanggapan bapak/ibu pasca putusan Mahkamah Konstitusi tentang
pengisian kolom agama di KTP, KK?
5. Apa harapan penghayat Sapta Darma untuk regulasi pemerintah terhadap
aliran kepercayaan di Indonesia?
119
LAMPIRAN V: HASIL WAWANCARA
Wawancara dengan Bapak Warjo (34 TH)
1. Kapan bapak masuk dan menjadi Penghayat Kepercayaan Sapta Darma, dan apa
alasannya?
Bisa dikatakan saya masuk Sapta Darma dari kecil, tapi sebelumnya saya masih
melakukan sholat seperti anak muslim lainnya, karena orang tua saya nggak nuntut
supaya anak-anaknya ngikutin kepercayaan orang tua nya. Saya mulai belajar sujud
secara Sapta Darma sejak kelas 5 SD, mulai saat itu semakin tumbuh saya terus
menekuni ajaran dan ritual dalam Sapta Darma. Alasannya dalam Sapta Darma saya
merasa menemukan ketentraman, nyaman dan juga lebih bisa mengontrol emosi
dalam diri saya.
2. Apa saja permasalahan yang dihadapi oleh penghayat Sapta Darma?
Dulu dikampung, sanggar Sapta Darma itu ada isu ajaran sesat dan kafir, kami
di demo dan akhirnya dipaksa untuk buat pernyataan, padahal seharusnya pernyataan
itu tidak ada paksaan, tapi kami mau ngga mau dipaksa untuk membuat pernyataan
bahwa sebelum adanya izin yang lengkap tidak boleh melakukan aktifitas di sanggar
tersebut. Selain itu juga saya pernah diancam oleh orang “awas kalau keluarganya
menikah secara Islam akan kami buat rame lagi dan dipermasalahkan”.
Masalah perkawinan juga sebenernya dulu udah ada yang menikah secara
Sapta Darma seperti pak kamto menikah tahun 1984, tetapi semakin kesini banyak
dipermasalahkan, yang paling menyakitkan ketika warga Sapta Darma mau
mengawinkan anaknya dan sudah diserahkan kalau menikah secara Islam kalau calon
120
suaminya Islam, tapi orang tuanya ngga boleh jadi wali, dan malah memakai wali
hakim padahal orang tuanya itu masih hidup.
Permasalahan lain juga yang saya tahu seperti di Brebes kasus pembongkaran
makam penghayat Sapta Darma, penolakan jenazah, penolakan sanggar, di daerah
Jogja juga bukan pusat tapi ada penghayat Sapta Darma yang di pukul oleh oknum
yang tidak bertanggung jawab, terus kasus pembakaran sanggar di rembang, dan
permasalahan lain menurut saya paling minim setiap daerah yang ada penghayat
Sapta Darma yang dipermasalahin.
3. Bagaimana respon bapak terhadap regulasi administrasi kependudukan dan
undang-undang perkawinan untuk aliran kepercayaan?
Sebenarnya dari dulu KTP dikosongkan itu sudah bisa. Hanya saja, kurangnya
sosialisasi dari pemerintah yang membuat masyarakat tidak paham tentang kebijakan
yang undang-undang yang sudah diberikan. Kadang-kadang ada masalah dulu, baru
nanti undang-undang diterapkan. Ketika ada masalah saya juga baru paham
sebenarnya undang-undang No 23 Tahun 2006 itu sudah bisa melayani penghayat.
Akan tetapi, karena setiap daerah itu berbeda-beda, dan dikarenakan kurangnya
sosialisasi dari pihak pemerintah sendiri, banyak penghayat yang memilih
mengosongkan kolom agama dan dan ada juga yang diisi dengan Islam.
Saya juga pernah mengajukan KTP yang kedua, KTP pertama memang masih
diisi dengan Islam itu pun dari pihak kecamatan yang mengisi agama Islam.
Pengajuan KTP yang kedua saya sudah meminta untuk kolom agama dikosongi,
namun pada praktiknya ternyata tetap diisi dengan Islam. Ya saya sih nggak masalah
jika harus diisi dengan Islam, yang terpenting masyarakat sudah memahami bahwa
121
saya itu penghayat Sapta Darma. Dan semua juga kembali kepada daerah masing-
masing, peraturannya sudah ada tinggal mereka akan mengubah atau tidak. Karena di
Bali sendiri mayoritas Penghayat Sapta Darma masih memiliki KTP dengan kolom
agama diisi dengan Hindu. Namun untuk di daerah Brebes sendiri karena banyak
bermasalah lebih baik jika secepatnya bisa dirubah.
Sebelumnya masalah pengosongan kolom agama di KTP menimbulkan
polemik untuk para penghayat kepercayaan khususnya Sapta Darma. Yang seperti itu
menjadikan para penghayat mendapat sikap negatif dari masyarakat seperti dicap
sebagai Ateis, dan ada juga yang menganggap sesat. Padahal udah jelas ada undang-
undang kalau kolom agama di KTP kosong kita tetap mendapat pelayanan yang sama.
Untuk peraturan terbaru setelah putusan MK sih masih belum maksimal yah
di lapangannya dengan alasan masih dalam perubahan sistem. Jadi, keseragaman
perubahannya masih kurang, misal seperti perubahan kolom agama ada yang sudah
bisa berubah, ada juga yang masih kosong, bahkan masih ada juga yang berisi agama
lain. Baru-baru ini mas eko sama ratih juga selang satu tahun setelah putusan MK pas
bikin di Jakarta jadinya kosong juga di KTP. Ya saya mah intinya sepenuhnya
menyerahkan kembali kepada pemerintah, karena semua kembali kepada aturan-
aturan pemerintah.
4. Bagaimana peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan (permendikbud)
terhadap pendidikan peserta didik aliran kepercayaan?
Kalau di lapangan, setelah turunnya keputusan Permendikbud No 27 Tahun
2016, tidak langsung menunjuk guru sebagai PNS yang membidangi penghayat
Kepercayaan. Saya sih bisa maklum, karena kebutuhan setiap daerah itu berbeda-
122
beda dan penghayat kepercayaan di setiap daerah juga tidak hanya satu. Hanya saja
guru yang mengajar untuk penghayat kepercayaan khususnya Sapta Darma yang di
daerah yang memang saya tau itu tidak mendapatkan bayaran, ya kasihan aja kan
mereka juga punya tanggungan keluarga tetapi mereka tetap mengajar dengan
sukarela walaupun jarak yang ditempuh cukup jauh. Jadi si penyuluh nya itu mobile,
karena memang beda-beda kecamatan, kadang di kumpulin juga di satu titik tengah,
atau misal bisa dilakukan di sekolah ya dilakukan disitu.
5. Bagaimana tanggapan bapak pasca putusan Mahkamah Konstitusi tentang
pengisian kolom agama di KTP, KK?
Saya kan waktu itu jadi saksi dari pemohon IV Carlim, memang MK sudah
menyetarakan antara kepercayaan dengan agama. Yang artinya status para penghayat
sudah setara secara hukum dengan agama yang diakui di Indonesia. Tetapi yang
membuat tidak nyaman terkait pencantuman nama di kolom agama. Waktu itu, ada
diskusi dengan ketua MUI yaitu Kyai Ma’ruf Amin, tidak memperbolehkan
pencantuman nama kepercayaan di kolom agama kaya contohnya itu, Agama: Sapta
Darma, tetapi yang diperbolehkan itu Kepercayaan: Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa. Harusnya kalau memang merujuk pada gugatan yang dikabulkan
MK hal tersebut diperbolehkan minimal Agama: Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, jika memang itu sudah mewakili penghayat kepercayaan. Menurut saya
lagi-lagi negara kalah dengan salah satu organisasi yaitu MUI, dan pertimbangan
dasar hukum masih kalah dengan perorangan. Ya saya sih intinya hanya bisa nerima
ya, terlepas dari itu setidaknya setelah adanya putusan MK, ada dampak yang positif
juga, salah satunya yaitu Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta mengaktifkan kembali tim
123
PAKEM yang selama ini tidak aktif, dan terlepas dari putusan tersebut di Tegal Jawa
Tengah juga tim PAKEM memiliki kinerja yang bagus untuk para penghayat
kepercayaan khususnya Sapta Darma.
6. Apa harapan penghayat Sapta Darma untuk regulasi pemerintah terhadap aliran
kepercayaan di Indonesia?
Harapan saya, ke depannya semua peraturan yang sudah diberikan bisa
terlaksana dengan lebih baik lagi dalam melayani penghayat kepercayaan khususnya
Sapta Darma. Karena sebenarnya pemerintah sudah sangat baik, hanya saja pelaksana
dari pemerintah tersebut yang terkadang masih lalai dan mengabaikan.
Wawancara dengan Bapak Maryanto (60 TH)
1. Kapan bapak masuk dan menjadi Penghayat Kepercayaan Sapta Darma, dan apa
alasannya?
Saya memang dilahirkan dari orang tua yang memiliki kepercayaan Sapta
Darma, saya hanya mengikuti dan meneruskan keyakinan yang saya dapat dari orang
tua sejak kecil. Tetapi bukan berarti anak-anak dari orang tua saya disuruh ngikutin
kepercayaan mereka, orang tua saya membebaskan keyakinan anak-anaknya, soalnya
saudara saya juga ada yang memeluk Islam. Saat masih kecil saya hanya ngikutin
orang tua ibadah ini ya saya ikutin, pas saya mulai besar baru saya pelajari dan
dalami kepercayaan Sapta Darma sampai sekarang, kalau ditanya alasan ya ngga ada.
2. Apa saja permasalahan yang dihadapi oleh penghayat Sapta Darma?
Untuk kita sendiri, problem yang dihadapi itu kita hanya dilayani kosong di
KTP, sesuai dengan sistem komputer, pokoknya kita mengikuti sesuai sistem yang
ada. Untuk bepergian, pekerjaan dengan kolom agama kosong sebenarnya ngga ada
124
masalah. Seperti di lingkungan juga saya sendiri ngga ada masalah, misal ngurus apa
juga tetap dilayani. Tapi saya bicara sesuai yang ada di lingkungan saya, karena di
Jakarta sendiri orangnya kan emang cuek, bodoamat, lo lo gue gue, jadi ya menurut
saya sih ga nemu banyak masalah lah. Yang jadi masalah itu, kenapa aliran
kepercayaan itu di KTP harus kosong, seolah-olah kita itu tidak beragama walaupun
memang Sapta Darma bukan agama, akan tetapi seakan kita tidak memiliki Tuhan.
Kita seakan disisihkan sebagai warga negara, sementara hak kita sebagai warga
negara dengan yang lain sama.
3. Bagaimana respon bapak terhadap regulasi administrasi kependudukan dan
undang-undang perkawinan untuk aliran kepercayaan?
Menurut saya sendiri pemerintah sudah melayani dengan baik terkait
Adminduk, pernikahan, dan yang lain. Saya tidak mendapati masalah jika hal-hal
yang berkaitan dengan hak saya sebagai warga negara, masalah pernikahan juga bisa
melakukan pernikahan secara Sapta Darma dan setelah itu data dicatat dalam
pencatatan sipil.
4. Bagaimana peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan (permendikbud)
terhadap pendidikan peserta didik aliran kepercayaan?
Kita kalau di sini karena warganya sedikit yah, kalau di daerah sudah ada
mbak dan sudah disediakan pengajar-pengajar dari kita. Kalau untuk aliran
kepercayaan memang sudah diberikan wadah, jadi kita bergabung dengan
kepercayaan lain dan ada wadahnya adalah MLKI dan di wadah itu kita ada
kurikulum pelajaran untuk aliran kepercayaan. Untuk pengajar Sapta Darma sendiri
di daerah Jabodetabek belum ada, kalau di daerah sudah menerapkan kurikulum
125
tersebut. Kalaupun di Jakarta ada gurunya, akan tetapi muridnya yang sangat sedikit.
Tetapi ya gitu, mungkin masih ada anak didik yang ngikutin pelajaran agama lain,
karena emang masih sedikit, dulu waktu saya sekolah juga masih mengikuti pelajaran
agama lain seperti Islam. Yang penting sepintar-pintar si anak didiknya saja untuk
menerima pelajaran selain pelajaran khususnya Sapta Darma. Kendalanya masih
belum ada peserta didik yang siap untuk menerima pelajaran Sapta Darma. Tetapi
kalau dari pemerintah itu sudah bagus pelayanannya, tinggal dari masing-masing
penghayat Kepercayaan siap dan tidaknya menjalankan layanan yang sudah
diberikan.
5. Bagaimana tanggapan bapak pasca putusan Mahkamah Konstitusi tentang
pengisian kolom agama di KTP, KK?
Setelah adanya putusan MK menurut saya sendiri berarti pemerintah semakin
memberikan layanan yang baik untuk para penghayat kepercayaan khususnya Sapta
Darma. Dengan demikian, kita diakui dan dilayani dan disetarakan dengan agama
lain. Intinya kalau masalah pelayanan mah emang nggak pernah ngerasa ada masalah.
Wawancara dengan Bapak Kurdiyanto (55 TH)
1. Kapan bapak masuk dan menjadi Penghayat Kepercayaan Sapta Darma, dan apa
alasannya?
Kalau dibilang masuk kapan, saya masuk Sapta Darma tahun 2010.
Sebelumnya saya menganut agama Islam karena orang tua saya sendiri orang Islam.
Dulu juga saya ngikutin kepercayaan perjalanan, Syekh Siti Jenar, kalau dibilang saya
tuh Kejawen gitu mba. Saya ngikutin mana yang menurut saya itu benar, saya juga
ngikutin kepercayaan yang saya anggap benar dalam rangka saya mencari Tuhan.
126
Saya akuin sebelumnya bisa dikatakan saya itu bandel, sewaktu Islam pun ya,
ibadahnya jarang-jarang dilakuin, saya juga kalau doa ngga paham soalnya pake
bahasa arab. Alasan kenapa masuk Sapta Darma karena merasa kepercayaan ini yang
selama ini saya cari, saya merasa menemukan ketentraman disini, kalau doa meminta
permohonan ke Tuhan juga saya cuku menggunakan bahasa yang saya pahami, dan
kapanpun itu saya bisa memohon langsung pada Tuhan.
2. Apa saja permasalahan yang dihadapi oleh penghayat Sapta Darma?
Kalau saya sendiri ga ada masalah yah, ngurus apa-apa juga ga dipersulit.
Kalau di daerah mungkin karena orangnya agak ngeyel atau gimana saya sih ngga
tau. Kalau kaya masalah hak-hak saya sih intinya saya ngga merasa ada masalah dan
kendala, di lingkungan sekitar juga saya diterima aja gitu terutama masalah
keyakinan saya.
3. Bagaimana respon bapak terhadap regulasi administrasi kependudukan dan
undang-undang perkawinan untuk aliran kepercayaan?
Selama ini yang saya rasakan pemerintah melayani dengan baik terkait
Administrasi Kependudukan, pemakaman, perkawinan sudah sesuai dengan Undang-
Undang yang berlaku. Dan tidak adanya kendala yang berkaitan dengan pencatatan
hak-hak saya, gitu aja sih mbak intinya ya udah diberikan dengan baik gitu ya di
kehidupan saya sehari-hari juga nggak yang dipersulit gimana-gimana, baik-baik aja
saya ngerasanya, nggak tau kalau yang lain.
4. Bagaimana peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan (permendikbud)
terhadap pendidikan peserta didik aliran kepercayaan?
127
Ya untuk pendidikan Sapta Darma sendiri sudah ada, misal di SD juga peserta
didik nya pada belajar sujud di sekolah gitu mbak. Untuk di daerah Jakarta di
lingkungan saya, ada tenaga pendidiknya tapi belum ada peserta yang akan di didik.
Satu-satunya peserta didik Sapta Darma hanya anak saya, kan kalau anak saya doang
nanggung yah, soalnya cuman satu, gurunya sih ada anak didiknya aja yang belum
ada, entah memang belum siap menerima pelajaran Sapta Darma. Yang repot ketika
anak saya tidak tau agama yang dipelajari, dari SD (Sekolah Dasar) sampai SMK
(Sekolah Menengah Kejuruan) anak saya harus sekuat tenaga dan berpikir lebih untuk
nerima pelajaran agama Islam.
Wawancara dengan Ananda Galih Sekti Adjie (21 TH)
1. Kapan ananda masuk dan menjadi Penghayat Kepercayaan Sapta Darma, dan apa
alasannya?
Kalau saya sih emang dari orang tua udah Sapta Darma, jadi saya ngikutin
dan meneruskan keyakinan itu. Keluarga juga sebenernya ngga maksa, tapi sampai
sekarang saya tetap yakin dengan kepercayaan yang saya yakini ini.
2. Apa saja permasalahan yang dihadapi oleh penghayat Sapta Darma?
Saya KTP masih Islam, jadi apa-apa yang ngikutnya Islam, di Ijazah juga
ditulisnya Islam. Untuk di masyarakat saya kan di lampung yah mbak, mereka sendiri
udah paham dengan kondisi yang seperti itu, walaupun KTP nya Islam mereka tau
kalau saya itu penghayat Sapta Darma. Dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil (Disdukcapil) nya emang nggak bolehin kalau kolom agama di KTP kosong.
Makanya mayoritas penghayat Sapta Darma di daerah saya masih banyak yang kolom
agama di KTP diisi dengan Islam. Masalah lain juga dulu waktu saya di kampung,
128
ketika mau melakukan pembangunan sanggar kurang diterima masyarakat sekitar
dengan alasan takut membawa dampak negatif, sampai warga di kampung manggil
polisi dikira Sapta Darma ini musyrik, tapi sekarang sudah tidak dipermasalahkan.
Soalnya masyarakat sudah paham kalau keyakinan yang saya anut sama dengan
agama yang lainnya bukan ajaran yang menduakan Tuhan.
3. Bagaimana respon ananda terhadap regulasi administrasi kependudukan dan
undang-undang perkawinan untuk aliran kepercayaan?
Sejauh ini layanan yang diberikan oleh pemerintah sudah sangat baik terkait
administrasi kependudukan, permasalahan seperti KTP, KK, catatan pernikahan, dan
yang lainnya sudah disediakan dan dilayani dengan baik, jika dibandingkan tahun-
tahun sebelumnya, sebelumnya memang untuk pencatatan atas hak-hak penghayat
masih lumayan sulit.
4. Bagaimana peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan (permendikbud)
terhadap pendidikan peserta didik aliran kepercayaan?
Saya juga pas sekolah sampai SMA ikutnya pelajaran Islam. tapi setelah
adanya Permendikbud, di kampung saya di Lampung Tengah, sudah ada pelajaran
untuk Sapta Darma. Kebetulan ibu saya juga merupakan pendidik untuk Sapta
Darma. sistemnya kalau di kampung saya sih per materi khusus Sapta Darma untuk
SD sampai SMP digabung jadi satu kelas, misalnya 3 sekolahan muridnya
dikumpulin dan dijadikan di satu kelas atau kadang juga bisa dikumpulin di rumah
siapa. Kalau SMA itu ada sendiri kelasnya. Untuk jadwalnya tidak ditentukan pas jam
pelajaran, misalnya hari minggu ya berarti belajar di hari itu, baru nanti hasilnya di
serahkan ke masing-masing sekolah untuk nilai pelajaran kepercayaan.
129
5. Bagaimana tanggapan ananda pasca putusan Mahkamah Konstitusi tentang
pengisian kolom agama di KTP, KK?
Setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi jelas saya sangat senang, selain
saya bisa mengubah kolom agama pada KTP, juga kita tau bahwa artinya pemerintah
semakin peduli dan mengakui keberadaan para penghayat kepercayaan khususnya
Sapta Darma di seluruh Indonesia tanpa membedakan dengan agama mayoritas
lainnya. Masalah perubahan kolom agama yang masih dalam proses itu udah bukan
jadi masalah lagi, adanya proses tersebut bukan berarti layanan yang diberikan
pemerintah itu buruk. Kalau sebelumnya layanan yang diberikan sudah baik menjadi
semakin baik ketika adanya putusan Mahkamah Konstitusi. Sejauh ini juga setelah
putusan tersebut saya merasa tidak ada lagi kendala dan masyarakat pun sudah tidak
membeda-bedakan, intinya sudah bisa bersosialisasi dengan baik seperti pada
umumnya.
6. Apa harapan penghayat Sapta Darma untuk regulasi pemerintah terhadap aliran
kepercayaan di Indonesia?
Harapan saya pemerintah harus terus memberikan pelayanan yang baik dan
tidak ada yang dibeda-bedakan lagi antara agama yang satu dengan yang lainnya
mbak, supaya Bhineka Tunggal Ika itu benar-benar nyata keberadaannya.
130
LAMPIRAN VI: DOKUMENTASI PENELITIAN
Sanggar Candi Busono Tampak Depan
Halaman Depan PERSADA Jabodetabek
Aula tempat ibadah
131
Bersama Bapak Warjo
Bapak Kurdiyanto
Galih Sektie Adjie
132
Bersama Bapak Maryanto
Bersama Bapak Kurdiyanto
Bersama Ananda Galih
133
Gambar Kolom Agama di KTP Terbaru untuk Aliran Kepercayaan
Sumber: Google