Upload
diana-marini
View
19
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
n
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Stroke adalah istilah umum yang digunakan untuk satu atau sekelompok gangguan
cerebro vasculer, termasuk infark cerebral, perdarahan intracerebral dan perdarahan
subarahnoid. Menurut Caplan, stroke adalah segala bentuk kelainan otak atau susunan saraf
pusat yang disebabkan kelainan aliran darah, istilah stroke digunakan bila gejala yang timbul
akut.
Klasifikasistrokedibagikedalamstrokeiskemikdan strokehemoragik.Dimana
strokeiskemikmemlikiangka kejadian85%terhadapseluruhstrokedan terdiri
dari80%strokeaterotrombotikdan 20%strokekardioemboli.Strokehemoragik memiliki
angka kejadiansebanyak 15%dari seluruhstroke,terbagimerata antarajenis stroke
perdarahanintraserebral dan stroke perdarahan subaraknoid. Stroke adalah salah satu
penyebab kematian tertinggi, yang berdasarkanlaporan tahunan 2006 di RS dr. Saiful Anwar,
Malang, angka kematian iniberkisar antara 16,31% (462/2832) dan menyebabkan 4,41%
(1356/30096) pasiendirawatinapkan. Angka-angka tersebut tidak membedakan antara stroke
iskemikdan hemoragik.
Perdarahan subaraknoid, sebagian besar akibat aneurisma, hanya merupakan 3% dari
seluruh kejadian gangguan peredaran darah otak/stroke, tetapi merupakan penyebab 5%
kematian karena stroke dan lebih dari seperempat insidens hilangnya tahun-kehidupan potensial
akibat stroke. Gejala utama perdarahan subaraknoid berupa nyeri kepala berat tak-lazim yang
terjadi tiba-tiba. Nyeri kepala sering kali berlangsung seketika atau bersifat kataklismik.
Hilang kesadaran sesaat dan kejang umum dijumpai dan sering terjadi pada onset perdarahan.
Pada kebanyakan pasien dengan perdarahan subaraknoid, tidak ada tanda-tanda defisit
neurologis fokal. Pasien sering kali membutuhkan intervensi bedah saraf dan neuroradiologis
darurat. Sambil menunggu transfer pasien ke senter neurologis, penatalaksanaan harus dimulai.
Terapi nimodipin dapat dimulai secara dini guna mencegah vasospasme serebral. Pilihan terapi
yang tersedia di senter neurologis meliputi terapi bedah atau obliterasi endovaskuler terhadap
aneurisma atau malformasi arteriovenosa.
1
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan refreshing ini adalah untuk mengetahui secara lebih dalam
mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, pemeriksaan, managemen,
perdarahan berulangStroke HemorhagikSubaraknoid.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Stroke adalah suatu kelainan neurologis fokal ataupunh global secara tiba-tiba,
dengan gejala yang berlangsung lebih dari 24 jam (atau meninggal), dan diakibatkan oleh
gangguan vaskuler (WHO, 2005). Stroke pada prinsipnya terjadi secara tiba-tiba karena
gangguan pembuluh darah otak (perdarahan atau iskemik), bila karena trauma maka tak
dimasukkan dalam kategori stroke, tapi bila gangguan pembuluh darah otak disebabkan
karena hipertensi, maka dapat disebut stroke.
Stroke hemoragik adalah stroke yang diakibatkan oleh perdarahan arteri otak didalam
jaringan otak (intracerebral hemorrhage) dan/atau perdarahan arteri diantara lapisan
pembungkus otak, piamater dan arachnoidea (WHO, 2005).
Perdarahan subaraknoid adalah salah satu kedaruratan neurologis yang disebabkan
oleh pecahnya pembuluh darah di ruang subaraknoid.
2.2 Epidemiologi
Kejadian perdarahan subaraknoid berkisar antara 21.000 hingga 33.000 orang per
tahun di Amerika Serikat. Mortalitasnya kurang lebih 50% pada 30 hari pertama sejak saat
serangan dan pasien yang dapat bertahan hidup kebanyakn akan menderita defisit neurologis
yang bisa menetap. Perdarahan subaraknoid adalah salah satu jenis patologi stroke yang
sering dujumpai pada usia dekade kelima atau keenam, dengan puncak insidens pada usia
sekitar 55 tahun untuk laki-laki dan 60 tahun untuk perempuan; lebih sering dijumpai pada
perempuan dengan rasio 3 : 2.
2.3 Etiologi
Penyebab paling sering perdarahan subaraknoid nontraumatik adalah aneurisma
sereberal, yaitu sekitar 70% hingga 80% dan malformasi arteriovenosa (sekitar 5-10%).
Aneurisma sekuler biasanya terbentuk di titik-titik percabangan arteri, tempat terdapatnya
3
tekanan pulsasi maksimal. Resiko pecahnya aneurisma tergantung pada lokasi, ukuran dan
ketebalan dinding aneurisma. Aneurisma dengan diameter kurang dari 7 mm pada sirkulasi
sereberal anterior mempunyai resiko pecah terendah; resiko lebih tinggi terjadi pada
aneurisma di sirkulasi sereberal posterior dan akan meningkatkan sesuai besarnya ukuran
aneurisma.
Malformasi arteriovenosa (MAV) adalah anomali vaskuler yang terdiri dari jaringan
pleksiform abnormal tempat arteri dan vena terhubungkan oleh satu atau lebih fistula. Daerah
tersebut tidak mempunyai tipe kapiler spesifik yang merupakan celah antara arteriola dan
venula, mempunyai dinding lebih tipis dibandingkan kapiler normal. MAV dikelompokkan
menjadi dua, yaitu kongenital dan didapat. MAV yang didapat terjadi akibat trombosis sinus
trauma atau krainotomi.
2.4 Patofisilogi
Perdarahan subarakhnoid adalah suatu keadaan dimana terjadi perdarahan di ruang
subarakhnoid yang timbul secara
primer.Perdarahan subarakhnoid terjadi
karena pecahnya aneurisma sakuler pada
80% kasus SAH non traumatik.
Sebagai penyebab lain SAH antara
lain : aneurisma fusiform/arteriosklerosis
pembuluh arteri basilaris, aneurisma
mikotik, trauma, arteritis, neoplasma, dan
penggunaan kokain berlebihan. Keluarnya
darah ke ruang subarakhnoid akan
menyebabkan reaksi yang cukup hebat
berupa sakit kepala yang sangat hebat. Gejala ini ditemukan pada sebagian besar kasus.
Selanjutkan terjadi penurunan kesadaran (50% kasus) disertai kegelisahan. Rangsang
meningeal dengan gelisah ditemukan pada 10% kasus. Gejala ini timbul di hari-hari pertama.
Selain itu pada perdarahan subarakhnoid terjadi “rebleeding” pada 2 minggu
pertama.Rebleeding timbul pada 50-60% kasus dalam 6 bulan pertama setelah perdarahan
awal. Vasospasme yang timbul sangat mempengaruhi prognosis
4
2.5 Pemeriksaan
a. Tanda, gejala dan faktor resiko
Gambaran klasik adalah keluhan tiba-tiba nyeri kepala berat, sering
digambarkan oleh pasien sebagai nyeri kepala yang paling berat dalam kehidupannya.
Sering disertai mual, muntah, fotofobia dan gejala neurologis akut fokal maupun
global, misalnya timbulnya bangkitan, perubahan memori atau perubahan kemampuan
konsentrasi dan juga meningismus. Pasien mungkin akan mengalami penurunan
kesadaran setelah kejadian, baik sesaat karena adanya penigkatan tekanan intrakranial
atau ireversibel pada kasus-kasus parah. Memperlihatkan beberapa tanda dan gejala
klinis yang sering di jumpai pada pasien perdarahan subaraknoid. Kejadian
misdiagnosis pada perdarahan subaraknoid berkisar antara 23% hingga 53%. Karena
itu, setiap keluhan nyeri kepala akut harus selalu dievaluasi lebih cermat. Terjadinya
misdiagnosis sering berhubungan dengan status mental pasien yang masih normal.
Volume perdarahan subaraknoid kecl dan terjadinya aneurisma masih dini.
Faktor risiko perdarahan subaraknoid
Bisa dimodifikasi Tidak bisa dimodifikasi
- Hipertensi
- Perokok (asih atau riwayat)
- Konsumsi alkohol
- Tingkat pendidikan rendah
- Body mass index rendah
- Konsumsi kokain dan narkoba jenis
lainnya
- Bekerja keras terlalu ekstrim pada 2 jam
sebelum onset
- Riwayat pernah menderita perdarahan
subaraknoid
- Riwayat keluarga perdarahan
subaraknoid atau aneurisma
- Penderita atau riwayat keluarga
menderita polikistik renal atau penyakit
jaringan ikat (sindrom Ehlers-Danlos,
sindrom Marfan dan
pseudoxanthomaelasticum)
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik cermat pada kasus-kasus nyeri kepala sangat penting untuk
menyingkirkan penyebab lain nyeri kepala, termasuk glaukoma, siusitis atau arteritis
temporalis. Kaku kuduk dijumpai pada sekitar 70% kasus. Aneurisma di daerah
persimpangan antara arteri kominikans posterior dan arteri karotis interna dapat
menyebabkan paresis n.III, yaitu gerak bola mata terbatas, dilatasi pupil, dan/atau
5
deviasi inferolateral. Aneurisma di sinus kavernosus yang luas dapat menyebabkan
paresis n. VI. Pemeriksaan funduskopi retina atau edema papil karena peningkatan
tekanan intrakranial. Adanya fenomena embolik distal harus di curigai mengarah ke
unruptured intracranial giant aneurysm.
c. Pemeriksaan
Pemeriksaan computed tomography (CT) non contras adalah pilihan utama
karena sensitivitas tinggi dan mampu menentukan lokasi perdarahan lebih akurat;
sensitivitasnya mendekati 100% jika dilakukan dalam 12 jam pertama setelah
serangan, maka akan turun 50% pada 1 minggu setelah serangan. Dengan demikian,
pemeriksaan CT scan harus dilakukan sesegera mungkin. Dibandingkan dengan
magnetic resonance imaging (MRI), CT scan unggul karena biayanya lebih murah,
aksesnya lebih mudah dan interpretasinya lebih muda.
d. Pungsi Lumbal
Jika hasil pemeriksaan CT scan kepala negatif, langkah diagnostik selanjutnya
adalah pungsi lumbal. Pemeriksaan pungsi lumbal sangat penting untuk
menyingkirkan diagnosis banding. Beberapa temuan pungsi lumbal yang mendukung
diagnosis perdarahan subaraknoid adalah adanya eritrosit, peningkatan tekanan saat
pembukaan dan atau xantokromia. Jumlah eritrosit meningkat, bahkan perdarahan
kecil kurang dari 0,3 mL akan menyebabkan nilai sekitar 10.000 sel/mL.Xantoktomia
adalah warna kuning yang memperlihatkan adanya degradasi produk eritrosit,
terutama oksihemoglobin dan bilirubin di cairan serebrospinal.
e. Angiogravi
Digital-subtraction cerebral angiography merupakan baku emas untuk deteksi
aneurisma serebral, tetapi CT angiografi lebih sering digunakan karena non-nvasif
serta sensitifitas dan spesifitasnya lebih tinggi. Evaluasi teliti terhadap seluruh
pembuluh darah harus dilakukan karena sekitar 15% pasien memiliki aneurisma
multipel. Foto pasien radiologik yang negatif harus diulang 7-14 hari setelah onset
pertama. Jika evaluasi kedua tidak memperlihatkan aneurisma, MRI harus dilakukan
untuk melihat kemungkinan adanya malformasi vaskular di otak maupun batang otak.
f. Parameter klinis
6
Beberapa parameter kuantitatif untuk memprediksi luaran (outcome) dapat di
jadikan panduan intervensi maupun untuk menjelaskan prognosis, misalnya skala
Hunt dan Hess; skala ini mudah dan paling banyak digunakan dalam praktik klinis.
Nilai tinggi pada Hunt dan Hess merupakan indikasi perburukan luaran. Skala ini juga
mempunyai beberapa keterbatasan, seperti beberapa gambaran klinis teridentifikasi
samar, sehingga sulit menentukan nilai gradasi dan tidak mempertimbangkan kondisi
komorditas pasien.
Skala Hunt dan Hess
Skala Gambaran klinis
0 Unruptured
I Nyeri kepala minimal atau asimtomatik, kaku kuduk ringan
II Nyeri kepala sedang/berat, kaku kuduk, tidak ada defisit neurologis,
kecuali parese nervi kranlales
III Mengantuk, bingung, defisit neurologis fokal sedang
IV Stupor, hemiparesis sedang/berat, mugkin terjadi rigiditas deserebasi dini
V Koma dalam, rigiditas deserbrasi, munculnya tanda-tanda end store.
Skala Fisher digunakan untuk menklasifikasi perdarahan subaraknoid berdasarkan
munculnya darah di kepala pada pemeriksaan CT scan; penilaian ini hanya berdasarkan
gambaran radiologik. Pasien dengan skor Fisher 3 atau 4 mempunyai resiko laran klinis yang
lebih buruk. Skala ini sangat dipengaruhi oleh variabelitas inter-rate, serta kurang
mempertimbangkan keseluruhan kondisi klinis pasien.
Skor Fisher
Skor Diskripsi adanya darah berdasarkan pemeriksaan CT scan kepala
7
1 Tidak terdeteksi
2 Deposit darah atau lapisan vertikal terdapat darah ukuran < 1 mm, tidak
ada jendalan
3 Terdapat jendalan dan atau lapisan vertikal terdapat darah tebal dengan
ukuran 1 mm
4 Terdapat jendalan pada intrserebral atau interventrikuler secara difus atau
tidak ada darah.
Sistem Ogilvi dan Carte menggabungkan data klinis, demografi dan radiologik serta
mudah digunakan dan komperhensif untuk menentukan prognosis pasien yang mendapatkan
intervensi bedah.
Sistem Ogilvy dan Carter
Skor Keterangan
1 Nilai Hunt dan Hess > III
1 Skor skala fisher > 2
1 Ukuran Aneurisma > 10 mm
1 Usia pasien > 50 thn
1 Lesi pada sirkulasi posterior berukuran besar (≥ 25 mm)
**Catatan : Besarnya nilai ditentukan oleh jumlah skor Sistem Ogilvy dan Carter, yaitu skor
5 mempunyai prognosis buruk, sedangkan skor 0 mempunyai prognosis baik.
Sistem evaluasi terkini adalah dengan menggabungkan skala Hunt dan Hess dengan
skor skala Fisher; penggabungan ini mempunyai rentang nilai lebih luas sehingga bisa
mempengaruhi luasan klinis. Nilai 0 dan 1 mempunyai luaran yang baik atau sangat baik
pada kurang lebih 95% pasien. Sementara itu, jika nilainya lebih dari 1, secara signifikan
mempunyai luaran buruk; kematian kurang lebih 10% pada nilai 2, dan 30% pada nilai 3 serta
50% pada nilai 4. Pasien dengan nilai 5 tidak dapat dioperasi.
2.6 Managemen
8
1. Managemen Umum
Tujuan managemen umum yang pertama adalah identifikasi sumber
perdarahan dengan kemungkinan bisa diinversi dengan pembedahan atau tindakan
intravasikuler lain. Kedua adalah managemen komplikasi.
Langkah pertama, konsultasi dengan dokter spesialis bedah daraf merupakan
hal yang sangat penting untuk tindakan lebih lanjut pada aneurisma intrakranial.
Pasien perdarahan subaraknoid harus dirawat di Intensive Care Unit (ICU) untuk
pemantauan kondisi hemodinamiknya. Idealnya, pasien tersebut dikelola di Neurology
Critical Care Unit secara signifikan akan memperbaiki luaran klinis.
Jalan nafas harus dijamin aman dan pemantauan invasif terhadapt Central
Venous Pressure dan atau Pulmonary Artery Pressure seperti juga terhadap tekanan
darah arteri harus terus dilakukan. Untuk mencegah peningkatan tekana intrakranial,
manipulasi pasien harus dilakukan secara hati-hati dan pelan-pelan; dapat diberikan
analgesik dan pasien harus istirahat total.
Setelah itu, tujuan utama managemen adalah pencegahan perdarahan ulang,
pencegahan dan pengambila vasospasme, serta mangemen komplikasi medis dan
neurologisnya. Tekanan darah harus dijaga dalam batas normal dan jika perlu diberi
obat-obatan antihipertensi intravena, seperti labetalol dan nikardipin. Setelah
aneurisma dapat diamankan, sebetulnya hipertensi tidak masalah lagi, tetapi sampai
saat ini belum ada kesepakatan berapa nilai amannya. Analgesik sering kali
diperlukan; obat-obat narkotika dapat diberikan berdasarkan indikasi. Dua faktor
penting yang dihubungkan dengan luaran buruk adalah hiperglikemia dan
hipernatremia; karena itu, kedanya harus segera dikoreksi. Profilaksis terhadap
trombosis vena dalam (deep vein thrombosis) harus dilakukan segera dengan
peralatan komperhensif sekuensial; jeparin subkutan dapat diberikan setelah
dilakukan penatalaksanaan terhadap aneurisma. Calcium channel blocker dapat
mengurangi resiko komplikasi iskemik, direkomendasikan nimodipin oral.
2. Managemen khusus aneurisma
Terdapat dua pilihan terapi utama untuk mengamankan aneurisma yang ruptur,
yaitu microsurgical clipping dan endovascular coiling microsurgical clipping lebih
disukai. Bukti klinis mendukng bahwa pada pasien yang menjalani pembedahan
segera, risiko kembalinya perdarahan lebih rendah, dan cenderung jauh lebih baik dari
pada pasien yang dioperasi lebih lambat. Pengamanan aneurisma yang ruptur juga
9
memfasilitasi managemen komplikasi selama vasospasme serebral. Meskipun banyak
ahli bedah neuvakuler menggunakan hipotermia ringan elama microsurgical clipping
terhadap aneurisma, cara tersebut belum terbukti bermanfaat pada pasien perdarahan
subaraknoid derajat rendah.
International Subarachnoid Aneurysm Trial (ISAT) secara prospeksif
mengevaluasi beberapa pasien aneurisma yang dianggap cocok untuk menjalani
Clipping. Untuk beberapa kelompok pasien tertentu, hasil baik (bebas cacat selama 1
tahun) secara signifikan lebih sering pada kelompok endovasculer colling dari pada
sugical placement of clips resiko terjadiya epilepsi lebih rendah pada pasien-pasien
yang menjalani endovasculer colling, akan tetapi risiko kembalinya perdarahan lebih
tinggi. Selanjutnya pada pasien yang di-follow-up dengan pemeriksaan angiografi
serebral, tingakt terjadinya oklusi komplit aneurisma lebih tinggi dari pada surgical
clipping.
3. Managemen komplikasi vasospasme
Vasospasme dan perdarahan ulang adalah komplikasi paling sering pada
perdarahan subaraknoid. Tanda dan gejala vasospasme dapat berupa perubahan staus
mental, defisit neurologis fokal; jarang terjadi sebelum hari 3, puncaknya pada hari ke
6-8 dan jarang setelah hari ke-17. Vasospasme akan menyebabkan iskemia serebral
tertunda dengan dua pola utama, yaitu infark kortikal tunggal, biasanya terletak di
dekat aneurisma yang pecah, dan lesi multiple luas yang sering tidak berhubungan
dengan tempat aneurisma yang pecah.
Mekanisme vasospasme pada perdarahan subaraknoid belum diketahui pasti;
diduga oksihemoglobin memberikan konstribusi terhadap terjadinya vasospasme yang
dapat memperlambat perbaikan defisit neurologis. Oksihemoglobin terbentuk akibat
proses lisis bekuan darah yang terbentuk di ruang subaraknoid. Mekanisme efek
vasospasmenya belum diketahui pasti, diduga melalui kemampuannya untuk menekan
aktivitas saluran kalium, meningkatkan masuknya kalsium, meningkatkan aktivitas
protein kinase C dan Rho kinase.
Sebelum terjadi vasospasme, pasien dapat diberi profilaksis nomodipin
dalmam 12 jam setelah diagnosis ditegakkan, dengan dosis 60 mg setiap 4 jam peroral
atau melalui tabung nasogastrik selama 21 hari. Metanalisis menunjukkan penurunan
signifikan kejadian vasospasme yang di hubungkan dengan kematian pada pemberian
nomodipin profilaksis. Nimodipin adalah suatu calcium channel blocker yang harus
10
diberikan secepatnya dalam waktu 4 hari setelah diagnosis ditegakkan. Pemberian
secara intravena dengan dosis awal 5 mL/jam (ekuivalen dengan 1 mg nimodipin/jam)
selama 2 jam pertama atau kira-kira 15 mg/kg BB/jam. Bila tekanan darah tidak turun
dosis dapat dinaikkan menjadi 10 mL/jam IV, diteruskan hingga 7-10 hari.
Dianjurkan menggunakan syringe pump agar dosis lebih akurat dan sebaliknya
diberangi dengan pemberian cairan penyerta secara three way stopcock dengan
perbandingan volume 1 : 4 untuk mencegah pengkristalan karena nimodipin
merupakan produk yang sensitif terhadap cahaya, selang infus harus diganti setiap 24
jam. Pemberian secara infus dapat dilanjutkan dengan pemberian nimodipin
nimodipin tablet peroral.
Penambahan simvastasin sebelum atau setelah perdarahan subaraknoid juga
terbukti potensial mengurangi vasospasme serebral. Terapi antiplatelet dapat berperan
mengurangi iskemia serebral tertunda, meskipun perlu penelitian prospektif lebih
lanjut untuk menilai keselamatan dan efek samping.
4. Perdarahan ulang
Perdarahan ulang mempunyai mortalitas 70%, 4% dalam 24 jam pertama,
selanjutnya 1% hingga 2 % per hari dalam kurun waktu 4 minggu. Adanya perbaikan
aneurisma dan pemberian terapi primer secara signifikan mengurangi risiko
perdarahan ulang. Untuk mengurangi risiko perdarahan ulang sebelum dilakukan
perbaikan aneurisma, tekanan darah harus di kelola hati-hati.
Obat-obat yang digunakan untuk mempertahankan tekanan darah pada pasien perdarahan
subaraknoid.
Hipotensi Hipertensi
- Fenilerin
- Norepinefrin
- Dopamin
- Labetalol
- Esmolol
- Nikardipin
Tekanan darah sistolik harus dipertahankan diatas 100 mmHg untuk semua
pasien selama kurang lebih 21 hari. Sebelum ada perbaikan, tekanan darah sistolik
harus dipertahankan di bawah 160 mmHg, dan selama ada gejala vasospasme,
tekanan darah sistolik akan meningkat sampai 200 hingga 220 mmHg.
11
5. Hidrosefalus
Jika pasien perdarahan subaraknoid menderita deteriorasi mental akut, harus
dilakukan pemeriksaan ulang CT scan kepala untuk mencari penyebab dan penyebab
yang paling sering adalah hidrosefalus. Volume darah pada pemeriksaan CT scan
dapat sebagai prediktor terjadinya hidrosefalus. Kurang lebih sepertiga pasien yang
didiagnosis perdarahan subaraknoid karena aneurisma memerlukan drainase
ventrikuler eksternal sementara atau dengan ventricular shunt permanen.
Drainase cairan serebrospinal yang berlebihan dapat meningkatkan risiko
perdarahan ulang dan vasospasme serebral. Faktor –faktor yang dapat meningkatkan
risiko shunt-dependent hydrocephalus adalah usia lanjut, perempuan, skor Hunt dan
Hess rendah, volume perdarahan subaraknoid cukup banyak berdasarkan CT scan saat
pasien masuk, adanya perdarahan intraventrikuler, pemeriksa radiologik mendapatkan
hidrosefalus saat pasien masuk, lokasi pecahnya aneurisma disirkulasi posterior distal,
vasospasme klinis dan terapi endovaskuler.
6. Hiponatremia
Kejadian hiponatremia pada pasien perdarahan subaraknoid berkisar antara
30% hingga 35%. Hal ini berhubungan dengan terbuangnya garam di otak dan
tindakan pemberian cairan pengganti serta sering didapatkan pada vasospasme
serebral. Hiponatremia terutama disebabkan oleh syndrome of inappropriate
antidiuretic hormone secretion (SIADH) yang didapatkan pada 69% kasus atau
hiponatremia hipovolemik pada 21 % kasus.
7. Hiperglikemia
Hiperglikemia sering dijumpai pada pasien perdarahan subaraknoid, boleh jadi
berhubungan dengan respon stres. Insulin diberikan untuk mempertahankan kadar
glukosa darah tetap aman dalam kisaran 90-126 mg/dL. Terapi insulin intensif dapat
mengurangi morbiditas dan mortalitas. Pemantauan kadar glukosa darah intensif pada
pasien dengan terapi insulin juga harus dilakukan.
8. Epilepsi
Kejadian epilepsi ditemukan pada sekitar 7%% hingga 35% pasien perdarahan
subaraknoid. Bangkitan pada fase awal perdarahan subaraknoid dapat menyebabkan
12
perdarahan ulang, walaupun belum terbukti menyebabkan peningkatan tekana
intrakranial. The american Heart Association merekomendasikan pemberian rutin
profiaksis bangkitan untuk semua pasien perdarahan subaraknoid. Namun, ada
laporan bahwa fenitoin profilaksis berhubungan dengan perburukan luaran neurologis
dan kognitif. Dengan demikian, pemberian obat antiepilepsi harus hati-hati dan lebih
tepat diberikan pada pasien yang mendapat serangan di rumah sakit atau pada pasien
yang mengalami serangan onset lambat epilepsi setelah pulang dari rumah sakit.
9. Komplikasi lain
Komplikasi lain yang sering ditemukan adalah pneumonia, sepsis, aritmia
kardial dan peningkatan kadar enzim-enzim jantung. Kepala pasien harus
dipertahankan pada posisi 30o ditempat tidur, dan segera diberi antibiotik adekuat jika
dijumpai pneumonia bakterial. Profilaksi dengan kompresi penumatik harus
dulakukan untuk mengurangi risiko Deep Vein Thrombosis (DVT) dan emboli
pulmonum. Antikolagen merupakan kontradiksi pada fase akut perdarahan.
2.7 Perdarahan subaraknoid berulang
Setelah tindakan Clipping, risiko perdarahn berulang sebesar 2,2% pada 10 tahun
setelahnya dan 9,0% pada 20 tahun setelah tindakan. Pasien dengan ruptur aneurisma serebral
mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami perdarahan subaraknoid berulang, bahkan
setelah pembedahan. Penelitian terkini melaporkan bahwa risiko kejadian perdarahan
subaraknoid berulang setelah Clipping 22 kali lebih tinggi di banding populasi berdasarkan
umur dan jenis kelamin.
BAB III
KESIMPULAN
13
Perdarahan subaraknoid adalah kejadian akut yang mempunyai potensi signifikan
menyebabkan tingginya tingkat morbiditas dan mortalitas. Karena intervasi dini dapat
memberikan hasil lebih baik, pasien dengan keluhan nyeri kepala berat dengan onset baru
disertai penurunan kesadaran harus diduga mengalami perdarahan subaraknoid. Setalah
diagnosis ditegakkan pasien harus di rawat di ICU karena memerlukan pemantauan
hemodinamik dan evaluasi status neurologis terus-menerus. Selanjutnya, harus
dikonsultasikan ke dokter spesialis bedah saraf untuk penanganan lebih lanjut jika perlu.
DAFTAR PUSTAKA
14
Setyopramono, Ismail. 2012. Journal; Penatalaksanaan Perdarahan Subaraknoid. Yogyakrta
Kelompok studi serebrovaskuler & Neurogeriatri, PERDOSSI : Konsensus Nasional
Pengelolaan Stroke di Indonesia, Jakarta, 1999.
Kelompok studi serebrovaskuler & Neurogeriatri, PERDOSSI : Guideline Stroke 2000 Seri
Pertama, Jakarta, Mei 2000.
National Institute of Neurological Disorders and Stroke: Classification of cerebrovascular
disease III. Stroke 1990, 21: 637-76.
World Health Organizations: Stroke 1989. Recommendations on stroke prevention, diagnosis
anf therapy. Stroke 1989, 20: 1407-31.
Toole J.F.: Cerebrovascular disorder. 4th edition, Raven Press, New York, 1990.
Pusinelli W.: Pathophysiology of acute ischemic stroke. Lancet 1992, 339: 533-6.
Sandercock P, Huub W, Peter S.: Medical Treatment of acute ischemic stroke. Lancet 1992,
339: 537-9.
CP Warlow, MS Dennis, J Van Gijn, GJ Hankey, PAG Ssandercock, JH Bamford,
Wardlaw.
Stroke.A practical guide to management. Specific treatment of acute ischaemic stroke
Excell Typesetters Co Hongkong, 1996; 11; 385 – 429.,
Widjaja D. Highlight of Stroke Management. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan,
Surabaya
2002.
Gilroy J. Basic Neurology. Third Edition. Mc Graw Hill. New York, 2000 ; 225 -306
Hinton RC. Stroke, in Samuel MA Manual of Neurologic Therapeutics. Fifth Edition. Litle
Brown and Company Ney York 1995 ; 207 –24.
Feigin V. Stroke Panduan bergambar tentang pencegahan dan pemulihan stroke (terjemahan).
cetakan kedua. PT Buana Ilmu Populer. Jakarta. 2006
Adam HP, Del Zoppo GJ, Kummer RV. Management of stroke. 2nd Ed, Professional
communications inc New York, 2002
15