46
TUGAS THT-KL RSUD PANDANARANG BOYOLALI Nama : Erma Malindha NIM : G99141043 INFENTARISASI KELUHAN THT-KL Keluhan Diagnosis Telinga - Benda/hewan masuk ke telinga - Keluar cairan dari liang telinga - Berkurangnya kemampuan mendengar - Nyeri telinga - Telinga berdenging - Pusing berputar - Corpal - OMA - OME - OMSK Hidung - Hidung tersumbat - Gangguan penghidu - Bersin-bersin - Mimisan - Benda asing di hidung - Nyeri di daerah wajah - Rhinitis alergika - Septum deviasi - Polip - Corpal - Sinusitis Tenggorok an - Nyeri tenggorok - Nyeri menelan - Sulit menelan - Dahak di tenggorokan - Suara serak - Pharyngitis - Tonsilpharyngit is - Laryngitis - Edema laryng 1

Refluks esofagal

Embed Size (px)

DESCRIPTION

THT

Citation preview

Page 1: Refluks esofagal

TUGAS THT-KL

RSUD PANDANARANG BOYOLALI

Nama : Erma Malindha

NIM : G99141043

INFENTARISASI KELUHAN THT-KL

Keluhan Diagnosis

Telinga - Benda/hewan masuk ke telinga- Keluar cairan dari liang telinga- Berkurangnya kemampuan

mendengar- Nyeri telinga- Telinga berdenging- Pusing berputar

- Corpal- OMA- OME- OMSK

Hidung - Hidung tersumbat- Gangguan penghidu- Bersin-bersin- Mimisan- Benda asing di hidung- Nyeri di daerah wajah

- Rhinitis alergika- Septum deviasi- Polip- Corpal- Sinusitis

Tenggorokan - Nyeri tenggorok- Nyeri menelan- Sulit menelan- Dahak di tenggorokan- Suara serak- Batuk

- Pharyngitis- Tonsilpharyngitis- Laryngitis- Edema laryng- Faringitis- Corpal- Masa mediastinum- Laryngopharyngeal

Reflux (LPR)- GERD

Kepala Leher - Benjolan di leher - Cancer

1

Page 2: Refluks esofagal

- Sesak napas- Leher seperti tercekik

- Sumbatan jalan napas- LPR

ANATOMI LARYNGOPHARYNX

Gambar 1. Anatomi Pharynx

Laryngopharynx membentang dari setinggi tepi atas cartilago epiglottica

sampai ke tepi bawah dari cartilago cricoidea, kemudian akan melanjutkan diri ke

dalam oesophagus. Laryngopharynx disebut juga sebagai hypopharynx. Di sebelah

anterior dari laryngopharynx dijumpai aditus laryngis, bagian dorsal dari cartilago

arytaenoidea dan cartilago cricoidea. Sedang di sebelah posterior laryngopharynx

berbatasan dengan corpus vertebrae cervicalis ke - 4 sampai ke - 6.

2

Page 3: Refluks esofagal

Recessus piriformis atau fossa piriformis adalah bagian dari laryngopharynx

yang terletak di kanan dan kin dari aditus laryngis. Fossa piriformis ini terletak di

antara membrana hyothyreoidea dan cartilago thyreoidea di sebelah lateral sedangkan

di sebelah medial terletak di antara cartilago cricoidea dan plica aryepiglottica serta

cartilago arytaenoidea. Cabang-cabang dari n. laryngeus internus dan a/v. laryngea

superior berada di bawah membrana mucosa dari fossa piriformis ini.Oleh karena

fossa piriformis ini berbentuk kantong, maka corpus alienum dapat tertahan di sini.

Gambar 2. Laryngopharynx

3

Page 4: Refluks esofagal

INNERVASI

Serabut-serabut motoris dan sensoris yang menuju ke pharynx berasal

dari plexus pharyngeus. Plexus pharyngeus ini terutama terletak di

m.constrictor pharyngis medius yang dibentuk oleh rami pharyngei nervi vagi

dan nervi glossopharyngei, bersama-sama dengan serabut-serabut saraf simpatis

cabang dari ganglion cervicale superius.

Serabut-serabut motoris di dalam plexus pharyngeus ini mendapat

cabang-cabang dari n. accessorius tetapi serabut-serabut ini kemudian akan

bergabung dengan n. vagus untuk akhirnya akan terdistribusi ke seluruh otot-

otot pharynx dan palatum molle, kecuali m. stylopharyngeus diinnervasi oleh n.

IX dan m. tensor veil palatini diinnervasi oleh n. V.

Serabut-serabut sensoris di dalam plexus pharyngeus ini berasal dari

cabang-cabang n. glossopharyngeus dan mereka akan terdistribusi ke sebagian

besar dari ketiga bagian pharynx.

Serabut-serabut sensoris lainnya yang mencapai pharynx berasal dari

ramus pharyngeus cabang dari ganglion pterygopalatinum untuk nasopharynx,

ramus tonsillaris cabang dari n. glossopharyngeus untuk orophaynx dan ramus

laryngeus internus dari n. vagus untuk laryngopharynx.

VASCULARISASI

Pharynx mendapat darah cabang dari:

A. pharyngea ascendens cabang dari a. carotis externa

A. thyreoidea superior cabang dari a. carotis externa.

Plexus venosus yang terdapat di pharynx berada di bawah membrana

mucosa dan di bagian belakang dari facies externa pharynx. Vasa lymphatica

yang berasal dari pharynx akan bermuara ke dalam nodus lymphaticus

cervicalis profundus.

4

Page 5: Refluks esofagal

LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX (LPR)

A. Definisi Laryngopharyngeal Reflux (LPR)

Laryngopharyngeal Reflux (LPR) / refluks laringofaring adalah aliran

balik cairan lambung ke laring, faring, trakea dan bronkus (O’Rourke and

Postma, 2002). Istilah refluks laringofaring pertama kali dipublikasikan oleh

majalah Otolaryngology pada tahun 1968 oleh Cherry dan Marguilles yang

dikutip oleh Alberto (2008), mereka menemukan adanya ulserasi dan jaringan

granulasi pada laring akibat adanya paparan cairan asam lambung. Refluks

laringofaring disebut juga extraesophageal reflux, supraesophageal reflux,

gastroesophagopharyngeal reflux, reflux laryngitis, silent reflux, atypical reflux

disease (Koufman et al., 2002; Domer et al., 2013).

Refluks laringofaring terjadi ketika perbedaan tekanan antara tekanan positif

intraabdominal dan tekanan negatif pada thoraks maupun laringofaring. Refluks

fisiologis gastroesofageal terjadi secara predominan karena adanya Transient

Lower Esophageal Sphincter Relaxation (TLESR). TLESR dirangsang oleh

distensi lambung, terutama pada masa postprandial dan diaktivasi oleh stretch

reseptor pada dinding lambung. Lengkung refleks terdiri dari impuls yang

dimediasi oleh nervus vagus ke nukleus traktus solitarius pada batang otak,

eferen vagal ke sfingter bawah esofagus dan non cholinergic, non nitergic

inhibitory interneuron yang merelaksasi sfingter. Relaksasi ini untuk

membebaskan udara yang tertelan dengan sendawa. Hal ini terjadi secara

independen dari proses menelan, sekitar 5-30 detik, dan sering setelah

kontraksi dari sfingter bawah esofagus. Refluks ke daerah laringofaring terjadi

pada postprandial dan posisi upright (Roman et al., 2012; Sharma and Anderson,

2013).

5

Page 6: Refluks esofagal

B. Komponen refluks

Komponen refluks yang berperan menyebabkan kelainan patologi di

daerah laring adalah asam, pepsin, asam empedu dan tripsin. Pepsin dengan

asam telah diketahui menjadi komponen yang paling berbahaya yang

berhubungan erat dengan kejadian lesi di daerah laring. Pada percobaan pada

hewan secara in vitro menunjukkan pepsin menjadi aktif dan menyebabkan

trauma pada sel-sel laring sampai pH 6. (Sharma and Anderson, 2013).

Refluks dapat berbentuk gas, cair, atau campuran gas dan cairan. Mayoritas

dari refluks faringeal berbentuk gas, tanpa penurunan pH dan sama pada orang

normal dan pasien laringitis. Refluks yang berbentuk campuran gas dan

cairan serta refluks yang berbentuk gas dengan penurunan pH yang signifikan

lebih sering pada penderita penyakit refluks laringofaring (Sharma and Anderson,

2013).

C. Mekanisme Proteksi

Terdapat 4 barrier fisiologis sebagai proteksi dari refluks yaitu sfingter

bawah esofagus, acid clearance melalui fungsi motorik esofagus dan gaya

gravitasi, resistensi mukosa esofagus serta sfingter atas esofagus (Ford,

2005). Sfingter bawah esofagus merupakan daerah yang terlokalisasi dengan baik

antara esophageal body dan lambung, mempunyai 2 fungsi yaitu

memasukkan bolus makanan ke dalam lambung dengan cara relaksasi serta

mencegah kembalinya isi lambung ke esofagus. Pada saat menelan, sfingter bawah

esofagus mengalami relaksasi sebagai respon cepat dari sistem saraf pusat.

Tekanan sfingter bawah esofagus diatur oleh otot polos, saraf dan hormon.

Kemampuan sfingter bawah esofagus untuk menutup secara primer

disebabkan karena adanya aktifitas otot polos intrinsik (Ford, 2005).

6

Page 7: Refluks esofagal

Persyarafan otonomik esofagus dalam mempertahankan tekanan

sfingter bawah esofagus masih menjadi kontroversi, walaupun peneliti lain dapat

membuktikan adanya neurotransmiter alfa adrenergik dan beta bloker dalam

meningkatkan tekanan sfingter bawah esofagus, sedangkan blokade alfa

adrenergik dan stimulasi beta adrenergik akan menurunkan tekanan sfingter

bawah esofagus. Hingga saat ini nervus vagus dipercaya berperan dalam

menyebabkan relaksasi sfingter bawah esofagus. Peranan hormon dalam

mempertahankan tekanan sfingter bawah esofagus masih menjadi

perdebatan yang menarik. Gastrin diduga berperan dalam menyebabkan

kontraksi sfingter bawah esofagus, sedangkan antiserum gastrin

menyebabkan penurunan sebesar 80% pada tekanan sfingter basal. Tekanan

sfingter basal dapat dipengaruhi oleh bahan makanan yang masuk.

Pengasaman lambung dan makanan yang mengandung protein akan

meningkatkan tekanan sfingter bawah esofagus, sedangkan makanan

berlemak akan menurunkan tekanan sfingter bawah esofagus (Ford, 2005).

Transient Lower Esophageal Sphincter Relaxation disingkat TLESR

merupakan mekanisme primer yang menyebabkan terjadinya refluks. TLESR

terjadi akibat adanya penurunan mendadak tekanan sfingter esofagus

bagian bawah yang tidak berhubungan dengan proses menelan atau peristaltik.

Pada saat terjadi penambahan tekanan intra abdomen yang normal, frekuensi

episode refluks meningkat karena insufisiensi tonus sfingter bawah esofagus

oleh mekanisme frekuensi relaksasi yang abnormal. Refleks vasovagal disusun

oleh mekanoreseptor aferen dibagian proksimal lambung dengan pusat

pengaturan dibatang otak dan eferen di sfingter bawah esofagus yang

mengatur TLESR. Distensi abdomen (post prandial atau karena

pengosongan lambung yang abnormal atau pada saat menelan udara)

merupakan stimulus TLESR. Posisi yang menyebabkan letak

gastrooesophageal junction di bawah permukaan batas air dan udara di

7

Page 8: Refluks esofagal

lambung juga diduga menyebabkan terjadinya refluks. Faktor lain yang

mempengaruhi dinamika tekanan dan volume lambung adalah gerakan,

ketegangan, obesitas, volume yang berlebihan atau makanan yang

hiperosmolar dan peningkatan usaha pernafasan saat batuk maupun wheezing

( Lipan, Reidenberg & Laitmann 2006; Sharma and Andersson 2013).

Episode refluks berhubungan dengan 3 kelompok kelainan sfingter

bawah esofagus, yaitu : (1) tekanan sfingter bawah esofagus yang rendah,

(2) relaksasi sfingter yang tidak adekuat saat menelan maupun tidak menelan

dan (3) peningkatan sementara tekanan intraabdomen di lambung atau

kombinasi antara (1) dan (2) (Lipan et al, 2006; Reesand Belafsky, 2008).

Mukosa esofagus merupakan epitel squamous stratified keratinized yang

terdiri dari 3 lapisan yaitu stratum corneum, spinosum dan

germinativum. Mekanisme pertahanan utama esofagus terhadap refluks asam

adalah pembersihan zat asam intraluminal dan resistensi jaringan. Resistensi

jaringan esofagus sebagai fungsi pertahanan mempunyai 3 bagian yang terdiri

dari pre epitel, epitel dan post epitel. Pre epitel berfungsi sebagai pertahanan

di permukaan berupa mukus dan lapisan cairan yang terdiri dari ion

bikarbonat yang berfungsi membuat suasana menjadi basa. Lapisan pertahanan

pre epitel esofagus relatif lebih lemah dibandingkan pada lambung maupun

duodenum. Lapisan epitel berada di apical dari membran dan kompleks

junction. Berfungsi untuk mendistribusikan ion hidrogen dari lumen ke

intercelluler space. Pada keadaan esofagitis, kompleks junction akan

mengalami kerusakan, saat itulah terjadi peningkatan ion H+ sehingga

menyebabkan dilatasi dari intercelluler space. Pertahanan pada post epitel

berupa asam yang berfungsi sebagai buffer terhadap efek HCO3-

didalam sel dan intercelluler space. Suplai darah berfungsi mengangkut ion

HCO3- . Ion Na+ yang berikatan dengan Cl- atau ion HCO3- akan bertukar

tempat di basolateral dari sel membran skuamous melalui pembuluh darah keluar

8

Page 9: Refluks esofagal

ke sel cytosol. Stratum germinativum yang mengalami kerusakan akan

diperbaiki melalui 2 macam proses yaitu restitution dan replication dibantu oleh

hormon epidermal growth factor, yang akan aktif dalam jangka waktu 30 menit

setelah terjadi kerusakan akibat paparan refluks asam (Samuels et al., 2008).

Didalam esofagus, katalisasi dari hidrasi karbondioksida berupa

carbonic anhidrase akan menghasilkan ion bikarbonat yang berada di intra dan

ekstrasel esofagus sebagai bentuk mekanisme pertahanan, kemudian esofagus

akan mengaktifkan pompa ion bikarbonat ke ruang ekstra sel untuk

menetralisir asam lambung. Akibat adanya peningkatan pH, maka karbonik

anhidrase akan menurunkan aktifitas kerja pepsin. Terdapat 11 jenis katalisator

isoenzym yang berbeda cara kerja, kerentanan dan letak maupun lokasi di jarigan

serta 4 jenis karbonik anhidrase yang terekspresi didalam epitel esofagus. Ekspresi

dari karbonik anhidrase secara fisiologis sangat penting, sebab akan merangsang

sekresi dari ion bikarbonat untuk meningkatkan pH refluks dari asam lambung

sebesar 2,5 poin mendekati nilai normal. Sekresi ion bikarbonat pada keadaan

normal tidak ditemukan pada epitel laring, oleh karena ekspresi karbonik

anhidrase III dengan kadar tinggi tidak didapat pada epitel laring, namun pada

keadaan refluks laringofaring terjadi penghapusan karbonik anhidrase yang

signifikan di epitel korda vokalis akibat peningkatan karbonik anhidrase

di epitel komisura posterior. Hal ini disebabkan oleh karena epitel korda

vokalis dan komisura posterior berbeda sehingga saat terjadi refluks

asam lambung ke laring, mekanisme pertahanan karbonik anhidrase pada

komisura posterior yang akan meningkat untuk menghindari kerusakan epitel

(Koufman et al. 2002; Ford 2005).

Sfingter atas esofagus berasal dari muskulus krikofaring dan sebagian kecil

serabut muskulus sirkular esofagus bagian distal merupakan pertahanan

utama terhadap terjadinya refluks laringofaring (Lipan et al., 2006).

Tekanan sfingter atas esofagus ini meningkat bila terjadi stimulasi faring,

9

Page 10: Refluks esofagal

distensi esofagus dan intraesophageal infusion melalui jalur vagal eferen.

Keadaan lain yang dapat meningkatkan tekanan sfingter atas esofagus yaitu

saat melakukan inspirasi, glossopharyngeal breathing dan saat melakukan valsava

( Lipan et al., 2006).

Relaksasi dan pembukaan sfingter atas esofagus dapat terjadi saat

deglutisi, ruminasi, regurgitasi dan cegukan, hal ini disebabkan akibat

terjadinya hambatan pada lower motor neuron di batang otak yang

mempersarafi sfingter atas esofagus yang dibantu oleh posisi elevasi laring

kearah anterosuperior (Lipan etal., 2006).

C. Epidemiologi

Dari population based study tentang GERD yang dikutip oleh Qadeer et al.

ditemukan prevalensi dari gejala yang berhubungan dengan refluks laringofaring

antar 15% sampai 20%. Dan diperkirakan hampir 15% dari pasien yang

mengunjungi dokter spesialis THT karena manifestasi dari refluks

laringofaring ( Qadeer et al, 2005).

Dari penelitian Rees dan Belafsky (2008) didapatkan rata-rata umur dari

pasien dengan refluks laringofaring 50 tahun, dimana 73% adalah wanita, nilai

rata-rata RFS 11,5±5,2 dan nilai rata-rata RSI 19,3±8,9. Carrau et al. (2004)

mendapatkan rata-rata umur pasien dengan refluks laringofaring 48 tahun

dimana 66,7% adalah wanita. Belafsky et al. (2002) mendapatkan

rata-rata umur penderita refluks laringofaring 57 tahun, dimana 56% adalah

pria, rata-rata nilai RSI 20,9 ± 9,6.

D. Patofisiologi

10

Page 11: Refluks esofagal

Patofisiologi refluks gastro-esofago-laringofaring terjadi karena

rusaknya sistem pertahanan fisiologis yang dapat mencegah masuknya cairan

asam lambung ke dalam saluran pernafasan atas yaitu sfingter bawah

esofagus, fungsi motorik dari mukosa esofagus, resistensi mukosa esofagus dan

sfingter atas esofagus (Ford 2005).

Terdapat dua teori yang mendominasi bagaimana asam lambung dapat

memprovokasi gejala dan tanda klinis kelainan ekstraesofageal. Yang

pertama karena trauma langsung asam-pepsin ke laring dan jaringan

sekitarnya. Yang kedua adalah asam di distal esofagus

menstimulasi refleks yang dimediasi nervus vagus sehingga terjadi

bronkokonstriksi yang mengakibatkan berdehem (chronic throat clearing) dan

batuk, yang memprovokasi lesi mukosa. Pada kenyataannya, dua hal ini mungkin

saling berhubungan. Gejala timbul karena trauma mukosa langsung atau

kerusakan dari silia, mengakibatkan stasis mukus dan berdehem (chronic

throat clearing) dan batuk ( Sharma and Anderson, 2013).

Tingkat keasaman juga mempengaruhi dimana pH 0-4 yang paling

berbahaya. Episode refluks asam yang lemah (pH 4-7) tidak dideteksi pada

cut off limit pH 4 pada monitoring pH 24 jam, mungkin melewati esofagus

tanpa gejala dan tanda klinis tapi dapat mengiritasi mukosa laring yang

sensitif. Epitel respiratori bersilia yang terdapat di laring lebih sensitif terhadap

asam, pepsin yang teraktivasi dan garam empedu dari pada mukosa esofagus

(Sharma and Anderson, 2013).

Waktu dan frekuensi dari paparan asam yang menyebabkan penyakit refluks

laringofaring masih diperdebatkan. Koufman et al (2002) menyatakan satu

kali refluks sudah cukup menyebabkan gangguan. Hal ini berdasarkan

penelitian pada hewan dimana 3 kali refluks asam dan pepsin selama 1

minggu sudah dapat menyebabkan kerusakan mukosa laring.

11

Page 12: Refluks esofagal

E. Diagnosis

1. Anamnesis

Menurut survey American Bronchoesophageal Association yang dikutip

oleh Ford (2005) keluhan yang tersering yang didapat dari

hasil anamnesis penderita refluks laringofaring adalah throat clearing

(98%), batuk yang terus mengganggu (97%), perasaan mengganjal di tenggorok

(95%) dan suara parau (95%).

2. Gejala Klinis

Untuk penilaian atas gejala pasien dengan penyakit

refluks laringofaring, Belafsky, seperti yang dikutip oleh Tamin (2008)

membuat sembilan komponen indeks gejala yang dikenal dengan indeks

gejala refluks ( Reflux Symptom Index = RSI). RSI mudah dilaksanakan,

mempunyai reabilitas dan validitas yang baik, serta dapat diselesaikan

dalam waktu kurang dari satu menit. Skala untuk setiap komponen

bervariasi dari nilai 0 (tidak mempunyai keluhan) sampai dengan nilai 5

(keluhan berat) dengan skor total maksimum 45 dan RSI dengan nilai > 13

dicurigai penyakit refluks laringofaring (Belafsky et al.2002; Tamin 2008).

12

Page 13: Refluks esofagal

Tabel 1. Indeks Gejala Refluks (RSI)

Sumber : Belafsky et al. ( 2002)

Tanda klinis yang sering ditemukan pada penyakit refluks laringofaring

adalah laringitis posterior dengan eritema, edema dan penebalan dinding

posterior dari glottis. Tanda-tanda lain adalah granuloma pita suara,

contact ulcer, stenosis subglottis (Sharma and Anderson, 2013). Untuk

memeriksa keadaan patologis laring setelah terjadinya refluks laringofaring.

Belafsky juga memperkenalkan skor refluks, yaitu Reflux Finding Score

(RFS) yang merupakan delapan skala penilaian dalam menentukan beratnya

gambaran kelainan laring yang dilihat dari pemeriksaan

nasofaringolaringoskopi serat optik lentur. Skala ini bervariasi dari nilai 0

(tidak ada kelainan) sampai dengan nilai maksimum 26 ( nilai yang

terburuk) dan RFS > 7 yang dianggap tidak normal. RFS merupakan

penilaian kelainan yang mudah dilakukan dan mempunyai inter and

intraobserver reproducibility yang baik. Walaupun setiap komponen

bersifat subyektif tetapi skor secara keseluruhan merupakan penilaian yang

13

Page 14: Refluks esofagal

dapat dipercaya dalam melihat perbaikan dengan terapi anti refluks (Belafsky et

al. 2002).

Tabel 2. Skor Refluks (RFS)

Sumber : Belafsky et al. ( 2001)

Keadaan patologis laring tersering yang dijumpai adalah hipertrofi

laring posterior sebesar 85%. Koufman yang dikutip oleh Belafsky et al

(2001) pertama kali menyebutkan edema subglotis dengan sebutan

pseudosulkus vokalis dimana edema subglotis tersebut menyebar hingga ke

daerah komisura posterior laring seperti tampak pada gambar 3.

14

Page 15: Refluks esofagal

Gambar 3. Pseudosulcus vocalis (Demyttenaere, 2010).

Keadaan ini harus dibedakan dengan epitel sekunder pita suara yang

terjadi akibat tidak terbentuknya lapisan superficial pada lamina propria.

Keadaan lain seperti ventricular obliterasi ditemukan sebanyak 80% akibat

terjadinya edema dan hiperemis dipita suara dan plika ventrikularis seperti

tampak pada gambar.

Gambar 4. Ventrikular obliterasi dan edema pita suara (Demyttenaere, 2010).

15

Page 16: Refluks esofagal

Gambar 5. Eritemia/ hiperemia (Demyttenaere, 2010).

Gambar 6. Edema pita suara (Demyttenaere, 2010).

Obliterasi parsial mempunyai nilai skor 2, sedangkan obliterasi komplit

nilai skor 4, demikian pula pada eritema atau hiperemia laring, bila hanya

mengenai aritenoid mempunyai skor 2, sedangkan merata hingga laring

16

Page 17: Refluks esofagal

skor 4. Edema ringan atau slight swelling pita suara skor 1, bila edema

tampak jelas skor 2, berat skor 3, dan bentuk pita suara sudah tidak halus atau

polypoid degeneration maka skor penilaian menjadi 4.

Gambar 7. Hipertrofi komisura posterior (Demyttenaere, 2010).

Gambar 8. Granuloma (Demyttenaere, 2010).

17

Page 18: Refluks esofagal

Penilaian laring secara keseluruhan terbagi atas hipertrofi komisura

posterior yang ringan skor 1, bila hipertrofi telah mempunyai batas yang jelas

dengan sekelilingnya skor 2, bila hipertrofi telah meluas hingga akan

menyebabkan obstruksi jalan nafas skor 3 dan bila hipertrofi telah

menyebabkan obstruksi jalan nafas skor 4. Penilaian terakhir berupa ada

tidaknya granulasi ataupun mukus kental endolaring, bila ditemukan maka skor

2 (Belafsky et al. 2002).

3. Pemeriksaan pH

Pemeriksaan pH 24 jam dipertimbangkan sebagai tes yang paling

dapat dipercaya sebagai tes untuk refluks laringofaring. Dua buah

elektroda dimasukkan secara intranasal dan diletakkan 5 cm diatas

sfingter bawah esofagus dan 0,5-2 cm diatas sfingter atas esophagus

(Merati et al. 2005; Andersson 2009). Walaupun dianggap sebagai standar

baku emas untuk diagnosis refluks laringofaring tetapi pemeriksaan ini masih

jauh dari tes yang ideal dan menimbulkan banyak kontroversi. Yang pertama,

sensitivitas dari tes ini hanya 50-60%. Yang kedua, kira-kira 12% dari pasien

THT tidak dapat bertoleransi dengan prosedur pemeriksaan pH. Yang ke

tiga, modifikasi diet dapat menimbulkan hasil negatif palsu pada

pemeriksaan pH. Pemeriksaan pH ini sangat mahal dan terbatas (Knight

2005).

4. Tes PPI

Terapi empirik dengan proton pump inhibitor (PPI) disarankan sebagai

tes yang ideal untuk penyakit refluks laringofaring dan merupakan cara

diagnostik yang tidak invasif, simpel dan juga dapat memberikan efek

terapi. Tes PPI dengan pemberian omeprazole 40 mg perhari selama 14 hari

18

Page 19: Refluks esofagal

mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang sama dengan

pemeriksaan pH metri 24 jam (Park et al., 2005; Waxman et al., 2014).

F. Penatalaksanaan

Penatalaksanan penyakit refluks laringofaring dapat berupa:

1. Perubahan Pola Hidup

Ketika anamnesis dan pemeriksaan klinis ditegakkan untuk

mendiagnosis keadaan refluks laringofaring, maka penderita segera

disarankan untuk mengubah pola hidup dan pola makan,

diantaranya adalah menghentikan kebiasaan merokok dan minum-

minuman beralkohol, mengurangi berat badan yang berlebih,

membatasi konsumsi makanan yang mengandung coklat, lemak,

citrus, minum minuman bersoda, anggur merah, kafein, atau waktu

makan malam yang berdekatan dengan waktu tidur (Ford, 2005).

2. Medikamentosa

Terapi farmakologi yang dianjurkan berupa PPI

seperti omeprazole, esomeprazole, lansoprazole, pantoprazole dan

rabeprazole. Obat lain yang sering digunakan dalam pengobatan

refluks laringofaring adalah antagonis H2 receptor

seperti cimetidine, ranitidine, nizatidine, famotidine yang

berfungsi mengurangi sekresi asam lambung. Prokinetik

agen seperti cisapride, metoclopramide yang berfungsi

mempercepat pembersihan esofagus serta meningkatkan tekanan

sfingter bawah esofagus. Mucosal cytoprotectan seperti sucralfate

yang berfungsi melindungi mukosa dari asam dan pepsin. Antasida

juga dapat diberikan seperti alumunium hidroksida, magnesium

19

Page 20: Refluks esofagal

hidroksida atau sodium bikarbonat yang dapat berfungsi

mengurangi gejala refluks (Ford, 2005; Waxman et al., 2014).

Proton pump inhibitor merupakan obat anti refluks paling

efektif yang berfungsi menekan produksi asam lambung

dibandingkan dengan antagonis reseptor H2 , dengan cara

menghalangi kerja H+/ K+ ATP ase dijalur akhir produksi asam dari

sel parietal. Rangsangan pada sel parietal akan mengeluarkan

enzim dari tubule vesicles cytoplasmatic ke membran kanalis

sekretorius. Proses ini sangat erat hubungannya dengan transport

K+/ Cl- terhadap pergerakan ion potassium ke permukaan luminal

dari enzim. Perpindahan asam dari kanalikulus ke dalam lumen

kelenjar dimulai pada mukosa lambung. Proses pengasaman ini

dibentuk diantara sel sitoplasma parietal dan kanalikulus.

Tingginya kadar pH terjadi pada proses diantara sel parietal

dan kanalikulus, sehingga kerja PPI pada daerah ini dapat

mengurangi tingginya kadar pH lambung (Ford, 2005; Park et al.,

2005; Waxman et al., 2014).

Omeprazole bersifat lipofilik dan basa lemah yang berarti dapat

dengan mudah penetrasi ke membran sel serta terkonsentrasi

dalam keadaan asam, mempunyai waktu paruh yang relatif

pendek(kira-kira 1- 2 jam) dan mempunyai masa durasi yang

panjang (Hunchaisri et al., 2012).

20

Page 21: Refluks esofagal

Tabel 3. Profil farmakokinetik proton pump inhibitor

(Vanderhoff &Tahboub 2002)

3. Pembedahan

Intervensi pembedahan perlu segera dipertimbangkan bila

dalam pemberian terapi tidak memberikan respon yang

signifikan. Pendekatan yang biasa digunakan seperti partial

atau complete fundoplication (Ford, 2005; Weber et al., 2014).

Menurut survey American Bronchoesophageal Association ,

penderita dengan sangkaan refluks laringofaring di tegakkan dengan

menggunakan instrumen RSI lebih dari 13 dan RFS lebih dari 7,

segera penderita diberi tes terapi empiris dengan proton pump

inhibitor (PPI) disertai perubahan pola hidup dan diit, kemudian

dilakukan observasi selama kurang lebih 3 bulan. Bila keadaan

21

Page 22: Refluks esofagal

umum penderita membaik, maka pemberian PPI dapat dikurangi

secara perlahan-lahan atau bila keadaan umum penderita mengalami

perubahan sedikit lebih baik, maka dosis pemberian terapi dapat

ditingkatkan dan penderita dievaluasi selama kurang lebih 6 bulan,

namun pada keadaan penderita bertambah buruk maka

pemeriksaan multichannel impedance dan pH monitoring,

pemeriksaan transnasal esophagoscopy, manometri dan pemeriksaan

foto dengan menggunakan kontras barium dapat segera dilakukan

(Ford, 2005).

22

Page 23: Refluks esofagal

Gambar 9. Algoritma penilaian dan penatalaksanaan penyakit

LPR berdasarkan American Medical Association(Ford, 2005).

23

Page 24: Refluks esofagal

G. Prognosis

Evaluasi prognosis dan kualitas hidup sangat penting pada penilaian

keberhasilan terapi medis. Kualitas hidup digunakan untuk

mendeskripsikan kemampuan menjalani kehidupan yang produktif secara

ekonomi dan sosial, tidak semata-mata menyangkut masalah kesehatan saja.

Kualitas hidup yang terkait dengan kesehatan (Health related quality of life)

mengacu kepada berbagai aspek yang dapat mempengaruhi kualitas hidup,

bersifat individual dan dipengaruhi oleh pengalaman, keyakinan, harapan

serta persepsi seseorang (Pendleton et al., 2013).

Penilaian mengenai prognosis dan kualitas hidup banyak

dilakukan dengan menggunakan penilaian yang sudah menjadi standar

Health Related Quality of Life (HRQL) seperti kuesioner kualitas hidup

secara umum berupa The Short Form Nottingham Health Profile (SF 36).

SF 36 berisikan 8 domain, antara lain fungsi fisik (physical

function), keterbatasan fisik (role limitation, physical), rasa nyeri (bodily

pain), persepsi kesehatan secara umum (general health perception), vitalitas

(vitality), fungsi sosial (social function), keterbatasan mental (mental

health) yang dapat menggambarkan kesehatan penderita secara

keseluruhan (Pendleton et al., 2013). Pengukuran kualitas hidup dengan SF 36

pada penderita penyakit refluks laringofaring hanya menggambarkan

kesehatan penderita secara keseluruhan, yang merupakan kelemahan SF 36

(Pendleton et al., 2013).

Keluhan utama yang mempengaruhi pasien dengan penyakit refluks

laringofaring adalah problem suara, batuk kronik berulang, dan sering

mengeluarkan lendir tenggorok serta sensasi globus yang sering

menimbulkan masalah di lingkungan sosial dan pekerjaan berupa problem

psikologi, emosi dan sosial (Pendleton et al., 2013). Amouretti membuat suatu

instrument penilaian kualitas hidup spesifik terhadap GERD yang disebut

24

Page 25: Refluks esofagal

RQS (Reflux Qual Short Form) dan merupakan cara penilaian kualitas hidup

yang singkat, dipercaya, mempunyai nilai validitas dan reabilitas yang baik

serta sensitif terhadap perbedaan intra dan ,inter subyek (Boller et al., 2014).

Reflux Qual Short Form menilai kualitas hidup di 5 domain yaitu kehidupan

sehari hari (daily life), kenyamanan (well being) , gangguan psikologis

(psychological impact), tidur (sleep) dan makan (eating). Skor RQS di hitung

dengan rata-rata jumlah skor dari 8 item dikalikan dengan 25. Hasilnya dari 0 yang

berarti kualitas hidup yang paling rendah sampai 100 yang merupakan kualitas

hidup yang paling tinggi (Boller et al., 2014).

25

Page 26: Refluks esofagal

Gambar 10. Kerangka Teori

26

Page 27: Refluks esofagal

LEMBAR PENILAIAN KUALITAS HIDUP REFLUX QUAL SHORT

(RQS) FORM

1. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda terganggu dengan keluhan anda

ketika sedang bekerja atau mengerjakan tugas sehari-hari?

O 4 Tidak sama sekali

O 3 sedikit

O 2 kadang

O 1 cukup terganggu

O 0 sangat terganggu

2. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda mengurangi atau membatasi

pekerjaan karena keluhan anda?

O 4 Tidak pernah

O 3 jarang

O 2 kadang

O 1 sering

O 0 setiap waktu

3. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda merasa nyaman dengan kehidupan

anda walaupun anda mengalami keluhan ini?

O 4 Tidak sama sekali

O 3 sedikit

O 2 kadang

O 1 cukup nyaman

O 0 sangat nyaman

4. Dalam 1 bulan terakhir, dengan keluhan anda ini apakah anda dapat

menikmati makanan anda?

O 4 Tidak pernah

O 3 jarang

27

Page 28: Refluks esofagal

O 2 kadang

O 1 sering

O 0 setiap waktu

5. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda merasa cemas karena keluhan anda?

O 4 Tidak pernah

O 3 jarang

O 2 kadang

O 1 sering

O 0 setiap waktu

6. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda menjadi mudah marah karena

keluhan anda?

O 4 Tidak pernah

O 3 jarang

O 2 kadang

O 1 sering

O 0 setiap waktu

7. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda terbangun pada malam hari karena

keluhan anda?

O 4 Tidak pernah

O 3 jarang

O 2 kadang

O 1 sering

O 0 setiap waktu

8. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda menghindari makanantertentu

karena keluhan anda?

O 4 Tidak pernah

O 3 jarang

O 2 kadang

28

Page 29: Refluks esofagal

O 1 sering

O 0 setiap waktu

29

Page 30: Refluks esofagal

DAFTAR PUSTAKA

Belafsky, P. C., Postma, G. N., & Koufman, J. A. (2001). The validity and reliability

of the reflux finding score (RFS). The laryngoscope, 111(8), 1313-1317.

Belafsky, P. C., Postma, G. N., & Koufman, J. A. (2002). Validity and reliability of

the reflux symptom index (RSI). Journal of voice, 16(2), 274-277.

Bolier, E. A., Kessing, B. F., Smout, A. J., & Bredenoord, A. J. (2014). Systematic

review: questionnaires for assessment of gastroesophageal reflux

disease. Diseases of the Esophagus.

Carrau, R. L., Khidr, A., Crawley, J. A., Hillson, E. M., Davis, J. K., & Pashos, C. L.

(2004). The Impact of Laryngopharyngeal Reflux on Patient‐Reported

Quality of Life. The Laryngoscope, 114(4), 670-674.

Demyttenaere, S. V., Bergman, S., Pham, T., Anderson, J., Dettorre, R., Melvin, W.

S., & Mikami, D. J. (2010). Transoral incisionless fundoplication for

gastroesophageal reflux disease in an unselected patient population. Surgical

endoscopy, 24(4), 854-858.

Domer, A. S., Kuhn, M. A., & Belafsky, P. C. (2013). Neurophysiology and Clinical

Implications of the Laryngeal Adductor Reflex. Current

otorhinolaryngology reports, 1(3), 178-182.

Ford, C. N. (2005). Evaluation and management of laryngopharyngeal

reflux.Jama, 294(12), 1534-1540.

Hunchaisri, N. (2012). Treatment of laryngopharyngeal reflux: a comparison between

domperidone plus omeprazole and omeprazole alone. Journal of the Medical

Association of Thailand= Chotmaihet thangphaet, 95(1), 73-80.

30

Page 31: Refluks esofagal

Koufman, J. A., Aviv, J. E., Casiano, R. R., & Shaw, G. Y. (2002).

Laryngopharyngeal reflux: position statement of the committee on speech,

voice, and swallowing disorders of the American Academy of

Otolaryngology-Head and Neck Surgery. Otolaryngology--Head and Neck

Surgery, 127(1), 32-35.

Lipan, M. J., Reidenberg, J. S., & Laitman, J. T. (2006). Anatomy of reflux: a

growing health problem affecting structures of the head and neck. The

Anatomical Record Part B: The New Anatomist, 289(6), 261-270.

O’Rourke, A., & Postma, G. N. (2014). 6 Laryngopharyngeal Reflux. Clinical

Laryngology.

Park, W., Hicks, D. M., Khandwala, F., Richter, J. E., Abelson, T. I., Milstein, C., &

Vaezi, M. F. (2005). Laryngopharyngeal Reflux: Prospective Cohort Study

Evaluating Optimal Dose of Proton‐Pump Inhibitor Therapy and Pretherapy

Predictors of Response. The Laryngoscope, 115(7), 1230-1238.

Pendleton, H., Ahlner-Elmqvist, M., Jannert, M., & Ohlsson, B. (2013). Posterior

laryngitis: a study of persisting symptoms and health-related quality of

life. European Archives of Oto-Rhino-Laryngology, 270(1), 187-195.

Qadeer, M. A., Swoger, J., Milstein, C., Hicks, D. M., Ponsky, J., Richter, J. E., &

Vaezi, M. F. (2005). Correlation between symptoms and laryngeal signs in

laryngopharyngeal reflux. The Laryngoscope, 115(11), 1947-1952.

Rees, C. J., & Belafsky, P. C. (2008). Laryngopharyngeal reflux: current concepts in

pathophysiology, diagnosis, and treatment. International journal of speech-

language pathology, 10(4), 245-253.

31

Page 32: Refluks esofagal

Roman, S., Zerbib, F., Bruley des Varannes, S., & Mion, F. (2012). Esophageal high

resolution manometry: a new gold standard for the detection of transient

lower esophageal sphincter relaxations?. Neurogastroenterology &

Motility,24(5), 498-499.

Samuels, T. L., Handler, E., Syring, M. L., Pajewski, N. M., Blumin, J. H.,

Kerschner, J. E., & Johnston, N. (2008). Mucin gene expression in human

laryngeal epithelia: effect of laryngopharyngeal reflux. Annals of Otology,

Rhinology & Laryngology, 117(9), 688-695.

Sharma, N., & Anderson, S. H. (2013). The relevance of transient lower oesophageal

sphincter relaxations in the pathophysiology and treatment of

GORD. Frontline Gastroenterology, flgastro-2012.

Waxman, J., Yalamanchali, S., Valle, E. S., Pott, T., & Friedman, M. (2014). Effects

of Proton Pump Inhibitor Therapy for Laryngopharyngeal Reflux on

Posttreatment Symptoms and Hypopharyngeal pH. Otolaryngology--Head

and Neck Surgery, 0194599814525577.

Weber, B., Portnoy, J. E., Castellanos, A., Hawkshaw, M. J., Lurie, D., Katz, P. O., &

Sataloff, R. T. (2014). Efficacy of Anti-Reflux Surgery on Refractory

Laryngopharyngeal Reflux Disease in Professional Voice Users: A Pilot

Study.Journal of Voice, 28(4), 492-500.

32