Upload
dangmien
View
271
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
REFERATPOTENSI TERAPI HIPERBARIK OKSIGEN DALAM
PENGHAMBATAN PROGRESIFITAS PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIS
Pembimbing:
Letkol Laut (K) dr.Djati Widodo EP, M.Kes
Penyusun :
Okky rosari 2008.04.0.0066
Padmasari Dewi Prayitno 2010.04.0.0008
Ade Putera Angkiriwang 2010.04.0.0106
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH
RSAL dr.RAMELAN SURABAYA
2015
LEMBAR PENGESAHAN
Judul referat “Potensi Terapi Hiperbarik Oksigen dalam Penghambatan
Progresifitas Penyakit Gagal Ginjal Kronis” telah diperiksa dan disetujui
sebagai salah satu tugas baca dalam rangka menyelesaikan studi
kepaniteraan Dokter Muda di bagian LAKESLA.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkah dan rahmatNya, kami bisa menyelesaikan referat dengan topik “Potensi
Terapi Hiperbarik Oksigen dalam Penghambatan Progresifitas Penyakit Gagal Ginjal
Kronis” dengan lancar. Referat ini disusun sebagai salah satu tugas wajib untuk
menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian LAKESLA RSAL dr. RAMELAN
Surabaya, dengan harapan dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu yang bermanfaat
bagi pengetahuan penulis maupun pembaca.
Dalam penulisan dan penyusunan referat ini tidak lepas dari bantuan dan
dukungan berbagai pihak, untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada:
a. dr.Djati Widodo, M.Kes, selaku Pembimbing Referat.
b. Para dokter di bagian LAKESLA RSAL dr. RAMELAN Surabaya.
c. Para perawat dan pegawai di LAKESLA RSAL dr. RAMELAN Surabaya.
Kami menyadari bahwa referat yang kami susun ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat
diharapkan. Semoga referat ini dapat memberi manfaat.
Surabaya, Juni 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................... iBAB 1 PENDAHULUAN.........................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................................3
2.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal...........................................................................32.1.1. Aliran darah ginjal....................................................................................32.1.2. Nefron......................................................................................................42.1.3. Fenomena A-V shunt pada aliran darah ginjal........................................52.1.4. Kerentanan medula ginjal terhadap keadaan hipoxia..............................7
2.2 Gagal Ginjal...................................................................................................82.2.1. Definisi.....................................................................................................82.2.2. Macam.....................................................................................................82.2.3. Patofisiologi.............................................................................................92.2.4. Gejala Klinis..........................................................................................12
2.3 Terapi Oksigen Hiperbarik...........................................................................142.3.1. Definisi...................................................................................................142.3.2. Fisiologi.................................................................................................142.3.3. Efek terapeutik......................................................................................152.3.4. Indikasi Terapi HBO..............................................................................162.3.5. Kontraindikasi Terapi HBO....................................................................172.3.6. Komplikasi Terapi HBO.........................................................................20
BAB 3 POTENSI TERAPI HBO DALAM MENGHAMBAT PROGRESIFITAS CKD..................................................................................................................22
3.1 HBOT memiliki peran dalam stabilisasi dan aktifasi HIF..............................223.2 HBOT meningkatkan kadar NO melalui eNOS............................................233.3 HBOT memiliki peran penghambatan terhadap kerusakan ginjal................243.4 Peran HBOT dalam pengobatan calciphylaxis.............................................26
BAB 4 KESIMPULAN...........................................................................................29REFERENSI..............................................................................................................30
BAB 1
PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang
Penyakit Ginjal Kronik merupakan suatu keadaan dimana ginjal
secara bertahap dan progresif kehilangan fungsi nefronnya. CKD ditandai
dengan berkurangnya fungsi ginjal, sebagaimana ditentukan oleh laju
filtrasi glomerulus (LFG), atau kerusakan ginjal (dengan atau tanpa
proteinuria)
CKD merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia.
The Third National Health and Examination Survey (NHANES III)
menunjukkan prevalensi PGK di Amerika Serikat meningkat dari 10%
pada tahun 1988-1994 menjadi 13,1% pada tahun 1999-2004. Penelitian
di Eropa, Australia, dan Asia juga mengkonfirmasikan meningkatnya
prevalensi dari penyakit ginjal kronik.5 Berdasarkan data NHANES III
diperkirakan 19,2 juta orang dewasa di Amerika Serikat pada derajat 1, 2,
3, dan 4 serta 300.000 derajat 5 (gagal ginjal).
Penyebab CKD di Indonesia Glomerulonefritis Kronik (40,12%),
Obtruksi dan Infeksi (36,07 %), DM (6,13%), Idiopati (5,52%), Lupus
Eritomatosus (4,17%), Ginjal Polikistik (2,21%), Hipertensi Essensial
(2,09%).
Pengobatan tekanan darah tinggi merupakan salah satu dasar dari
terapi untuk memperlambat perkembangan dari CKD. 17 Bukti kuat
menunjukkan bahwa pengobatan hipertensi tidak hanya mengurangi risiko
penyakit kardiovaskular, tetapi juga menunda progesifitas CKD.
Terapi Hiperbarik Oksigen sejauh ini sudah banyak diindikasikan
sebagai terapi tambahan pada berbagai penyakit. Penggunaan terapi
hiperbarik dalam pengobatan CKD masih dapat terbilang asing, sejauh ini
HBOT dalam CKD baru berhasil digunakan dalam mengobati pasien
calciphylaxis yang merupakan salah satu komplikasi CKD.
Beberapa penelitian pada hewan coba menunjukan hasil yang
dapat diaplikasikan pada pasien dengan penyakit CKD. Disini penulis
berusaha untuk menunjukan potensi terapi HBO dalam mengobati terapi
CKD.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal(1,2)
2.1.1. Aliran darah ginjal
Aliran darah yang menuju pada kedua ginjal normal adalah
sekitar 22 persen dari cardiac output (sekitar 1100 ml/menit). Arteri
ginjal (A.Renalis) masuk ke ginjal di bagian hilum kemudian
bercabang membentuk A.Interlobaris, A. Arcuata, A. Interlobularis,
yang kemudian membentuk arteriol afferen dan kapiler dari
glomerulus, dimana dimulailah proses fltrasi dari cairan dan solut
untuk membentuk urine. Ujung akhir dari kapiler glomerulus
kemudian bergabung membentuk arteriole efferen yang kemudian
membentuk jaringan kapiler kedua yaitu peritubular cappilaries
yang mengelilingi tubulus renalis. Kapiler peritubulus kemudian
akan mengalirkan darahnya ke sistem vena ginjal yang berjalan
sejajar dengan arteriol dari ginjal dan secara perlahan membentuk
vena interlobularis vena arcuata, vena interlobaris dan vena renalis.
Kedua jaringan kapiler ginjal memiliki perbedaan tekanan hidrostatik
sesuai dengan fungsi dari kapiler tersebut. Jaringan kapiler
glomerulus memiliki tekanan hidrostatik yang besar (sebesar
60mmHg) yang memungkinkan untuk terjadinya proses filtrasi,
sedangkan jaringan kapiler peritubular memiliki tekanan hidrostatik
yang kecil (sebesar 13mmHg) yang menyebabkan terjadinya
reabsorbsi daripada cairan. Tekanan pada kedua jaringan kapiler
(terutama kapiler glomerulus) diregulasi secara ketat untuk
mempertahankan keadaan stabil daripada laju filtrasi glomerulus
(GFR).
2.1.2. Nefron
Nefron merupakan unit fungsional daripada ginjal, setiap
nefron dilewati oleh jaringan kapiler glomerulus di daerah Kapsula
bowman, cairan hasil filtrasi dari kapiler glomerulus akan menuju ke
kapsula bowman yang kemudian melewati tubulus proximal, dari
tubulus proximal kemudian cairan akan menuju lengkung henle
(yang memiliki dua bagian yaitu descending dan ascending)
dengan bagian lengkungan bawahnya yang mencapai medula
daripada ginjal, pada ujung dari lengkung henle terdapat segmen
pendek yang dinamakan dengan macula densa yang memiliki
peran dalam pengaturan fungsi nefron. Cairan kemudian menuju ke
tubulus distal dan akhirnya berkhir pada ductus collectifus.
Pada tubulus daripada ginjal terjadi transport solute dari lumen dari
tubulus menuju ke kapiler peritubulus dan sebaliknya. Transpor ini
terjadi melalui dua jalur yaitu, Paracellular transport dan Celullar
transport(membrane transport). Paracellular transport merupakan
transpor pasif dimana cairan dan solut berpindah melalui celah
sempit diantara sel (Tight junction) tergantung dari muatan dan
gradien dariada solut dan lumen dari tiap tiap daerah tubulus.
Cellular transport merupakan campuran proses transport aktif dan
pasif dimana cairan dan solut berpindah melalui protein membrane
seperti chanel, pompa dan transporter. Proses transport aktif yang
membutuhkan ATP pada tubulus ginjal terjadi secara luas di
seluruh daerah ginjal dan merupakan salah satu proses dengan
konsumsi oksigen utama pada ginjal.
2.1.3. Fenomena A-V shunt pada aliran darah ginjal(3,4,5,6,7,8,9)
Fungsi utama ginjal sebagai unit filtrasi dan pembentukan
urine mengharuskan aliran darah ginjal harus lebih besar daripada
kebutuhan metabolik daripada ginjal itu sendiri. Hal ini
mengakiatkan ginjal yang hanya menyusun 1% dari total masa
tubuh menerima 22% daripada cardiac output jantung. Jika
dibandingkan, aliran darah ginjal lebih besar lima kali lipat
dibandingkan aliran darah jantung, namun konsumsi oksigen
daripada ginjal hanya setengah dari konsumsi oksigen otot jantung.
Tanpa mekanisme pembatasan, sudah tentu akan terjadi proses
keracunan oksigen pada jaringan ginjal ( ditandai dengan produksi
yang berlebihan daripada reactive oxygen spesies dan radikal
bebas). Namun ternyata hal ini tidak terjadi, penelitian
daripadamenunjukan bahwa struktur dari arteri dan vena pada
ginjal berperan sebagai faktor pertahanan terhadap keracunan
daripada oksigen.
A-V shunt mengakibatkan tekanan parsial oksigen pada jaringan
ginjal (terutama cortex) relatif stabil pada berbagai kondisi aliran
darah ginjal. Peningkatan daripada aliran darah ginjal akan
mengakibatkan peningkatan daripada konsumsi oksigen daripada
jaringan ginjal, hal ini mengakibatkan peningkatan perbedaan
gradien daripada arteri dan vena renalis sehingga memperbesar
shunt (agar tidak terjadi Hyperoxia). Sebaliknya penurunan daripada
aliran darah akan mengakibatkan penurunan dari konsumsi oksigen
jaringan ginjal yang
kemudian menurunkan perbedaan gradien arteri dan vena renalis
yang menghambat terjadinya shunt (sehingga mencegah terjadinya
Hypoxia).
2.1.4. Kerentanan medula ginjal terhadap keadaan hipoxia(10)
Fungsi dari struktur struktur(glomerulus dan tubulus
proximal) yang terdapat pada cortex mengakibatkan cortex ginjal
kaya akan aliran darah, hal ini berbeda dengan medula ginjal
dimana struktur yang terdapat pada medula ginjal (lengkung henle)
membutuhkan aliran darah yang sedikit ( hanya 10% dari total
aliran darah ginjal) agar dapat menjalankan fungsinya (reabsorbsi).
Beberapa struktur dari medula ginjal(seperti papila ginjal) relatif
tidak terpengaruh dengan kondisi ini karena dapat menjalankan
metabolisme anaerob, namun struktur seperti thick ascending limb
walaupun dapat menjalankan metabolisme anaerob tetap
membutuhkan aktifitas mitochondria yang membutuhkan oksigen,
hal ini bertolak belakang dengan kondisi medula yang relatif
hypoxia jika dibandingkan dengan struktur lain. Keadaan ini
diperparah dengan adanya A-V shunt, pada keadaan hypoxia
berat, perbedaan gradien oksigen yang besar antara arteri dan
vena renalis justru akan mengakibatkan shunt yang akhirnya
menurunkan tekanan parsial O2 jaringan. Untuk mengatasi hal ini,
medula ginjal menggunakan mekanisme kompensasi melalui jalur
HIF-HER yang terutama menghasilkan NO yang memiliki efek
vasodilatasi ketika kadar oksigen sangat hypoxic. Gangguan
keseimbangan sistem ini dapat mengakibatkan kerusakan daerah
medula ginjal dengan cepat.
2.2 Gagal Ginjal
2.2.1. Definisi(11)
Gagal ginjal adalah suatu kondisi dimana ginjal tidak dapat
menjalankan fungsinya untuk ekskresi sisa metabolisme secara
normal sehingga terjadi penumpukan sisa metabolisme dan cairan
di dalam tubuh
2.2.2. Macam(11,12)
Gagal ginjal dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:
Gagal ginjal akut
Merupakan cedera ginjal yang terjadi secara mendadak dan
biasanya berlangsung kurang dari 48 jam. Gagal ginjal jenis ini
bersifat reversible Adapaun penyebab dari gagal ginjal dibagi
menjadi 3, yaitu:
o Prerenal (55%)
Penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal sehingga
menyebabkan penurunan fungsinya tanpa disertai
kerusakan parenkim ginjal
o Intrinsik (40%)
Penyakit yang secara langsung melibatkan parenkim ginjal.
o Postrenal / Obstruksi (5%)
Penyakit yang dikaitkan dengan obstruksi saluran kemih.
Gagal ginjal kronis(11,13)
Gagal ginjal kronis terjadi akibat kerusakan nefron secara
bertahap dan irreversibel. Proses penurunan fungsi ginjal dapat
berlangsung terus selama berbulan– bulan atau bertahun–
tahun sampai ginjal tidak dapat berfungsi sama sekali atau
disebut end stage renal disease yang menyebabkan anemia,
tingginya tekanan darah, penyakit tulang, ataupun gagal jantung
.
2.2.3. Patofisiologi
Studi studi awal banyak mengaitkan kerusakan pada gagal
ginjal kronis dengan kerusakan pada daerah glomerulus dari
nefron. Namun studi terbaru menunjukan bahwa kerusakan dapat
berawal dari daerah tubulointerstitial hal ini semakin dibuktikan
dengan kerentanan akan medula dari ginjal terhadap keadaan
hypoxia.
Pada keadaan hypoxia akan terjadi aktifasi dari jalur HIF
oleh sel sel endotel yag berfungsi sebagai mekansme kompensasi.
Aktifasi dari jalur HIF akan menimbulkan respon HRE terutama
pengeluaran dari NO yang bersifat Vasodilator untuk meningkatkan
aliran darah dan secara langsung meningkatkan pengiriman
oksigen ke bagian yang hypoxic. Pada keadaan patologis terjadi
gangguan pada sistem HIF-HRE, sehingga hypoxia tidak teratasi.
Pada hipertensi keadaan vasokonstriksi sistemik akan
menghalangi respon NO yang bersifat vasodilator, akibatnya
keadaan hypoxia jaringan tidak dapat teratasi secara sepenuhnya.
Diabetes Mellitus secara langsung akan meningkatkan produksi
radikal bebas melalui produksi AGE, radikal bebas juga secara
langsung berikatan dengan NO sehingga mekanisme vasodilator
tidak terjadi dan keadaan hypoxia tidak teratasi. Keadaan hypoxia
yang tidak teratasi akan mengaktifkan jalur redox signaling
intraselular. Jalur ini akan meningkatkan produksi dari radikal
bebas dan juga mengaktifkan endothel yang akan memproduksi
faktor faktor migrasi leukosit. Akibatnya akan terjadi perlekatan dari
leukosit pada endotel, yang malah makin mengurangi permeabilitas
kapiler dan memperparah keadaan hypoxia. Apabila regenerasi
endotel (dan tubulus) oleh sel progenitor sekitar tidak dapat
mengatasi kerusakan yang ditimbulkan akibat hypoxia maka akan
terjadi kerusakan struktural permanen daerah tubulointersitial (dan
kemudian nefron) yang ditandai dengan penggantian jaringan
tersebut dengan jaringan parut. Nefron yang tersisa kemudian akan
melakukan kompensasi berupa peningkatan aktifitas (hiperfiltrasi)
untuk mempertahankan fungsinya (stabilitas GFR) namun hal ini
akan semakin meningkatkan konsumsi oksigen dan memperparah
kondisi hypoxia, terjadilah suatu siklus yang semakin memperparah
kondisi ginjal.
Hypoxia
Redox Signaling
HIF-1
Pembentukan
superoxida dan radikal
bebas
Disfungsi Endotel
dan aktifasi
endotelium
Migrasi leucocyte
menuju ke
endothelium
Gangguan struktur
kapiler
Peritubular
capilary loss
Fibrosis Nefron
DMHipertensi
Hiperfiltrasi Nefron
lain
Hypoxia nefron
lain
Hypoxia
Teratasi
t
-
ESRD
HBO
X
2.2.4. Gejala Klinis
Gejala klinis dari gagal ginjal akut adalah (Mayo Clinic,
2012):
a. Penurunan urine output (terkadang dapat normal)
b. Retensi cairan menyebabkan bengkak pada ekstremitas
bawah
c. Mengantuk
d. Napas pendek
e. Kelahan
f. Kebingungan
g. Mual
h. Kejang atau koma (pada kasus yang parah)
i. Nyeri dada atau rasa tertekan pada dada
Gejala klinis dari gagal ginjal kronis adalah :
a. Umum: lemah, malaise, gangguan pertumbuhan dan
debilitas, edema
b. Kulit: pucat, rapuh, gatal, bruising
c. Kepala- leher: foetor uremi
d. Mata: fundus hipertensi, mata merah
e. Jantung dan vaskuler: hipertensi, sindroma overload
f. Vaskuler: payah jantung, perikarditis uremik, tamponade
g. Respirasi: efusi pleura, edema paru, nafas kussmaul,
pleuritis uremik
h. Gastrointestinal: anorexia, mual, muntah, gastritis, ulkus
i. Ginjal: nokturia, poliuria, haus, proteinuria, hematuria
j. Reproduksi: impotensi, amenorhoe
k. Saraf: letargi, tremor, kejang, penurunan kesadaran
l. Tulang- sendi: kalsifikasi jaringan lunak, gout
m. Darah: anemia, penurunan fungsi trombosit, penurunan
fungsi imunologis dan fagositosis
n. Endokrin: intoleransi glukosa, resistensi insulin,
hiperlipidemia
2.2.5. Hasil lab yang umumnya terkoreksi dengan pengobatan
Hyponatremia
Hypekalemia
Hyperphosphatemia
Hyperparathyroidism
Hyperuricemia
Hypertriglyceridemia
Hyperuremia
2.3 Terapi Oksigen Hiperbarik(14,15,16)
2.3.1. Definisi
Terapi dengan pemberian oksigen 100% dengan tekanan
tinggi (> 1ATA) didalam Ruang Udara Bertekanan Tinggi (RUBT).
Terapi ini telah digunakan untuk menanggulangi berbagai macam
penyakit, baik penyakit penyelaman maupun penyakit non-
penyelaman.
2.3.2. Fisiologi
Efek dari HBO didasarkan pada hukum gas, dan efek
fisiologis dan biokimia dari keadaan hyperoxia .
Hukum Boyle menyatakan bahwa pada suhu konstan,
tekanan dan volume gas berbanding terbalik. Ini adalah dasar untuk
banyak aspek terapi hiperbarik, termasuk sedikit peningkatan suhu
chamber selama pengobatan dan fenomena yang dikenal sebagai
'squeeze' (memeras), yang terjadi ketika tuba eustachius yang
tersumbat menghambat equalisasi tekanan gas sehingga kompresi
gas memberikan rasa nyeri di telinga tengah. Pada pasien yang
tidak bisa secara independen melakukan ekualisasi tekanan,
penempatan tabung tympanostomy harus dipertimbangkan untuk
menyediakan saluran rongga udara antara telinga luar dan dalam.
Demikian pula, gas yang terperangkap dapat membesar dan
membahayakan selama dekompresi, seperti dalam contoh langka
yaitu pneumotoraks yang terjadi selama pemberian tekanan.
Hukum Dalton menyatakan bahwa tekanan suatu campuran
gas sama dengan jumlah tekanan parsial masing-masing gas.
Hukum Henry menyatakan bahwa jumlah gas terlarut dalam
cairan berbanding lurus dengan tekanan parsial gas tersebut pada
temperatur tetap.
Hukum Charles menyatakan bahwa pada volume tetap,
temperatur suatu gas berbanding lurus dengan tekanannya.
PVT
=K
Terapi oksigen hiperbarik juga memiliki peranan dalam
transportasi dan utilisasi oksigen. 1 gram Hb dapat mengikat 1.34 ml O2,
sedangkan konsentrasi normal Hb adalah ± 15 gr/100 ml darah. Bila
saturasi Hb 100% maka 100 ml darah dapat mengangkut 20,1 ml O2 yang
terikat pada Hb (20.1%). Pada tekanan normal setinggi permukaan laut,
dimana PO2 alveolar dan arterial ± 100 mmHg, maka saturasi Hb dengan
O2 ± 97% sehingga kadar O2 dalam darah adalah 19.5 vol%. Saturasi Hb
akan mencapai 100% pada PO2 arterial antara 100-200 mmHg tetapi
tidak akan meningkatkan kemampuan Hb untuk mengikat O2.
Pada tekanan barometer normal, oksigen yang larut dalam
darah sangat sedikit. Namun, pada tekanan oksigen maksimum yang
aman, yaitu 3 ATA, dimana PO2 arterial mencapai ± 2000 mmHg, maka
oksigen yang larut secara fisik dalam plasma adalah sebesar ± 6.4 vol%
yang cukup untuk memberi hidup meskipun tidak ada hemoglobin (life
without blood).
Utilisasi O2 rata-rata tubuh manusia dapat diketahui dengan
mengukur perbedaan antara jumlah O2 dalam darah arteri waktu
meninggalkan paru dan jumlah O2 yang ada dalam vena arteri pulmonalis.
Darah arteri mengandung ± 20 vol% O2, sedangkan darah vena
mengandung ± 14 vol% O2, sehingga ± 6 vol% O2 yang dipakai oleh
jaringan. Dengan curah jantung sebesar 5 liter/menit, maka konsumsi
jaringan adalah ± 300 ml O2/menit. Setiap jaringan mempunyai konsumsi
O2 tertentu yang berbeda satu dengan yang lain, akan tetapi konsumsi
sebesar 6 vol% dapat dianggap sebagai kebutuhan rata-rata.
2.3.3. Efek terapeutik
Mekanis
Mengurangi ukuran bubble.
Peningkatan tekanan memiliki efek mekanis secara langsung
untuk mengurangi ukuran bubble, seperti pada kasus emboli
gas dan penyakit dekompresi.
Hiperoksigenasi
Stimulasi imun
HBO menstimulasi fungsi leukosit, meningkatkan
kemampuan fagosit untuk membunuh bakteri
Neovaskularisasi
HBO mempercepat neovaskularisasi pada area hipoksia
dengan meningkatkan aktivitas fibroblas yang merangsang
pertumbuhan kapiler.
Meningkatkan fibroblas
Meningkatkan osteoklas
Bakterisidal
Terapi HBO bersifat bakterisidal untuk organisme anaerob
seperti Clostridium welchii, dan juga menghambat
pertumbuhan bakteri aerob pada tekanan lebih dari 1.3
ATA.
Mengurangi edema
HBO mengakibatkan vasokontriksi jaringan normal namun
secara keseluruhan meningkatkan delivery oksigen akibat
hiperoksigenasi. Hal ini menjadi dasar penggunaan HBO
untuk mengurangi edema dan pembengkakan jaringan.
(Sahni, 2003)
2.3.4. Indikasi Terapi HBO
Indikasi terapi HBO yang diterima secara universal:
Kondisi akut (terapi HBO harus diberikan sedini mungkin
dikombinasi dengan terapi konvensional)
1. Ulkus yang tidak mengalami penyembuhan, luka
bermasalah, cangkok kulit yang mengalami reaksi
penolakan.
2. Crush injury, sindrom kompartemen dan penyakit
iskemi traumatik akut yang lain
3. Gas gangren/infeksi clostridium
4. Infeksi jaringan lunak yang necrotizing (jaringan
subkutan, otot, fascia)
5. Thermal burn
6. Anemia parah
7. Abses intrakranial
8. Post-anoxic encephalopathy
9. Luka bakar
10.Tuli mendadak
11. Iskemik okuler patologik
12. Emboli udara atau gas*
13.Penyakit dekompresi*
14.Keracunan karbon monoksida dan inhalasi asap.*
*Terapi kuratif/lini utama pengobatan
Kondisi kronis
1. Ulkus yang tidak mengalami penyembuhan / luka
bermasalah (diabetes / vena dll)
2. Kerusakan jaringan akibat radiasi
3. Cangkok kulit dan flap (yang mengalami reaksi
penolakan/rejection)
4. Osteomyelitis kronis (refrakter). (Sahni, 2003)
2.3.5. Kontraindikasi Terapi HBO
1. Kontraindikasi absolut
Pneumotoraks yang belum dirawat, kecuali bila
sebelum pemberian oksigen hiperbarik dapat dikerjakan
tindakan bedah untuk mengatasi pneumotoraks.
2. Kontraindikasi relatif
Beberapa keadaan yang memerlukan perhatian tapi
bukan merupakan kontraindikasi absolut pemakaian
oksigen hiperbarik adalah:
a Infeksi saluran napas bagian atas
Menyulitkan penderita untuk melaksanakan ekualisasi.
Dapat ditolong dengan penggunaan dekongestan atau
melakukan miringotomi bilateral
b Sinusitis kronis
Sama dengan ISPA dapat diberikan dekongestan atau
dilakukan miringotomi bilateral.
c Penyakit kejang
Menyebabkan penderita lebih mudah terserang
konvulsi oksigen. Bilamana perlu penderita dapat
diberikan anti-konvulsan sebelumnya.
d Emfisema yang disertai retensi CO2
Ada kemungkinan bahwa penambahan oksigen lebih
dari normal akan menyebabkan penderita secara
spontan berhenti bernafas akibat rangsangan hipoksik.
Pada penderita dengan penyakit paru yang disertai
retensi CO2, terapi oksigen hiperbarik dapat dikerjakan
bila penderita diintubasi atau memakai ventilator.
e Panas tinggi yang tidak terkontrol
Merupakan predisposisi terjadinya konvulsi oksigen.
Kemungkinan ini dapat diperkecil dengan pemberian
obat antipiretik juga dapat dengan pemberian anti
konvulsan.
f Riwayat pneumotoraks spontan
Penderita yang mengalami pneumothorax spontan
dalam RUBT tunggal akan menimbulkan masalah tetapi
di dalam RUBT kamar ganda dapat dilakukan
pertolongan-pertolongan yang memadai. Sebab itu bagi
penderita yang mempunyai riwayat pneumothorax
spontan harus dilakukan persiapan-persiapan untuk
mengatasi hal tersebut.
g Riwayat operasi dada
Menyebabkan terjadinya luka dengan air trapping yang
timbul saat dekompresi. Setiap operasi dada harus
diteliti kasus demi kasus untuk menentukan langkah-
langkah yang harus diambil. Tetapi jelas dekompresi
harus dilakukan secara lambat.
h Riwayat operasi telinga
Operasi pada telinga dengan penempatan kawat atau
topangan plastik di dalam telinga setelah stapedoktomi,
mungkin suatu kontraindikasi pemakaian oksigen
hiperbarik sebab perubahan tekanan dapat
mengganggu implan terseut konsultasi dengan
spesialis THT perlu dilakukan.
i Kerusakan paru asimptomatik yang ditemukan pada
penerangan atau pemotretan dengan sinar x
Memerlukan proses dekompresi yang sangat lambat.
Menurut pengalaman, waktu dekompresi antara 5-10
menit tidak menimbulkan masalah
j Infeksi virus
Pada percobaan binatang ditemukan bahwa infeksi
virus akan lebih hebat bila binatang tersebut diberi
oksigen hiperbarik. Dengan alasan ini dianjurkan agar
penderita yang terkena salesma (common cold)
menunda pengobatan dengan oksigen hiperbarik
sampai gejala akut menghilang apabila tidak
memerlukan pengobaran sehera dengan oksigen
hiperbarik
k Spherosits kongenital
Pada keadaan ini butir-butir eritrosit sangat fragil dan
pemberian oksigen hiperbarik dapat diikuti dengan
hemolisis yang berat. Bila memang pengobatan
hiperbarik mutlak diperlukan, keadaan ini tidak boleh
jadi penghalang sehingga harus dipersiapkan langkah-
langkah yang perlu untuk mengatasi komplikasi yang
mungkin timbul.
l Riwayat neuritis optik
Pada beberapa penderita dengan riwayat neuritis optik
terjadinya kebutaan dihubungkan dengan terapi
oksigen hiperbarik. Namun kasus yang terjadi sangat
sedikit. Tetapi jika ada penderita dengan riwayat
neuritis optik diperkirakan mengalami gangguan
penglihatan yang berhubungan dengan retina,
bagaimanapun kecilnya pemberian oksigen hiperbarik
harus segera dihentikan dan perlu konsultasi dengan
ahli mata. (Riyadi, 2013)
2.3.6. Komplikasi Terapi HBO
HBO merupakan terapi yang aman, namun juga
mempunyai risiko, akibat peningkatan tekanan dan
hiperoksia. Secara umum, komplikasi yang mungkin terjadi
akibat terapi HBO:
1. Barotrauma akibat kompresi atau ekspansi volume gas
Telinga tengah
Sinus nasalis
Telinga dalam
Paru
gigi
2. Toksisitas oksigen
Sistem saraf pusat
Gejala utama adalah kejang general. Faktor resiko
termasuk kondisi yang dapat mengurangi ambang kejang,
termasuk epilepsy, hipoglikemi, hipertiroidism, demam
tinggi dan obat-obatan (seperti penisilin)
Paru
Batuk kering dan sensasi terbakar substernal dapat
terjadi. Prolong hiperoksia dapat menyebabkan eksudasi
dan edema alveolar diikuti dengan proliferasi pneumosit
tipe II dan fibroblas, yang ditandai dengan perubahan
restriktif dan penurunan kapasitas vital.
3. Anxietas akibat berada di ruang tertutup
4. Efek ocular
Termasuk transient myopia dan perkembangan
katarak.
BAB 3
POTENSI TERAPI HBO DALAM MENGHAMBAT PROGRESIFITAS CKD
3.1 HBOT memiliki peran dalam stabilisasi dan aktifasi HIF(17)
Seperti yang sudah djelaskan sebelumnya, HIF memiliki peran
dalam perlindungan terhadap kondisi hypoxia dari berbagai sel dalam
tubuh termasuk sel endotel dan tubulus. Pasien CKD (terutama dengan
diabetes) umumnya memiliki respon HIF yang terganggu. Penelitian
menunjukan bahwa HBOT dapat menstabilisasi dan mengaktifkan HIF
beserta responsya pada sel fibroblas. Pada penelitian ini digunakan sel
HDF yang dipaparkan dengan tekanan 2.5 ATA selama 1 jam kemudian
dilakukan observasi berturut turut selama 0,2,4 jam. Hasilnya pada
pengamatan pertama dan kedua dideteksi kadar HIF menurun namun
setelah 4 jam didapatkan peningkatan dan aktifasi dari HIF yang ditandai
dengan peningkatan pada kadar VEGF dan sdf 1 alpha.
(Peningkatan kadar HIF pada perlakuan hiperbarik tampaknya memiliki
efek yang berbeda antar jaringan, pada peneliitan yang menggunakan
jaringan saraf didapatkan kadar HIF yang menurun seteah perlakuan
hiperbarik)
3.2 HBOT meningkatkan kadar NO melalui eNOS(18,19)
Peneliitan dari Gallagher dkk menunjukan bahwa HBOT
meningkatkan NO baik BM-NO maupun eNO, hal ini cukup menarik
karena NO merupakan mediator yang dihasilkan saat keadaan hypoxia ,
namun terbukti bahwa keadaan hyperoxia yang ditimbulkan oleh HBOT
dapat merangsang produksi NO melalui mekanisme yang mirip.
.
Peningkatan kadar NO juga kemudian memiliki efek mobilisasi dari sel-sel
progenitor endothelial menuju ke bagian endotel yang rusak yang
kemudian dapat memperbaiki keadaan endotel tersebut (dimana
mekanisme ini sering terhambat pada pasien dengan keadaan diabetes).
Pada penelitian ini digunakan tikus yang dipaparkan pada keadaan 100%
oksien dengan tekanan 2.4 ATA selama 9- menit. Kadar NO diukur secara
langsung melalui elektroda yang ditanam dan secara tidak langsung
menggunakan Western Blot analysis
3.3 HBOT memiliki peran penghambatan terhadap kerusakan ginjal(20)
Peneliitan membandingkan antara 3 kelompok tikus yaitu tikus
yang diinduksi diabetes tanpa perlakuan HBOT, dengan HBOT tekanan
1.5 ATA dan kelompok terakhir dengan tekanan 2.4 ATA. Kerusakan
ginjal secara anatomis diukur menggunakan biomarker Clusterin, NAG,
NGAL, Cystatin C, dan Caspace, sedangkan fungsi filtrasi ginjal diukur
menggunakan kadar serum Creatinine dan kebocoran albumin.
Kadar biomarker pada semua kelompok tikus pada awalnya
mengalami peningkatan kemudian mengalami penurunan setelah minggu
ke-20, namun jika dibandingkan maka tampak penurunan yang signifikan
pada kelompok HBOT terutama pada kelompok HBOT dengan tekanan
2.4 ATA. Fluktuasi dari kadar biomarker menandakan terjadinya turnover
dari sel sel ginjal yang mengalami kerusakan, hal ini mengisyaratkan
bahwa turnover dari sel ginjal pada tikus dengan perlakuan HBOT dengan
tekanan 1.5 ATA terjadi lebih cepat.
Pada pengukuran fungsi ginjal, kadar total eksresi albumin mengalami
penurunan yang bermakna pada kelompok tikus yang diterapi HBOT.
3.4 Peran HBOT dalam pengobatan calciphylaxisCalciphylaxis, disebut juga dengan calcific uraemic arteriolopathy
merupakan suatu sindrom yang muncul terutama pada stadium akhir dari
penyakit CKD (ESRD). Penyakit ini diakibatkan oleh karena terjadinya
kalsifikasi dari pembuluh darah kecil, gejala yang timbul berupa timbulnya
lesi di kulit berwarna keunguan yang kemudian membentuk ulkus yang
tidak menyembuh dan gangrene. Studi kasus dari RS Ottawa mengikuti
lima pasien dengan calciphylaxis yang diterapi dengan HBO2 selama
periode 1997-2000. Kelima pasien diterapi dengan HBO2 dengan tekanan
2.5 ata selama 90 menit selama 5x dalam seminggu selama 7 mingu
berturut turut. Kemudian tekanan parsial oksigen jaringan (PtcO2) diukur
pada jaringan luka. Dari kelima pasien, dua pasien mengalami
penyembuhan total dari luka, pasien ketiga dan keempat tidak mengikuti
hingga selesai akibat timbulnya komplikasi lain dan nyeri yang sangat
hebat, pasien kelima terpaksa harus diamputasi sebelum studi dapat
diselesaikan (pasien ini memiliki kontrol gula darah yang buruk dengan
level gula darah konsisten diatas 350 mg/dl.
Dari hasil pengukuran kadar tekanan parsial jaringan didapatkan
bahwa, pasien yang tidak mengalami penyembuhan memiliki kadar
tekanan parsial oksigen dibawah 30mmHg dimana menurut peneliitan
kadar tersebut tidak adekuat dalam penyembuhan luka. Dari hasil biopsi
didapatkan angiopathy yang parah dari ketiga pasien tersebut yang
diduga mengakibatkan tidak adekuatnya delivery oksigen ke jaringan yang
necrosis.
Laporan kasus dari rumah sakit lain, didapatkan penderita DM
dengan ESRD berusia 66 tahun dengan livedo reticularis dan ulserasi
nekrotik. Pasien telah menjalani debridemen luka dan penggunaan
antibiotik selama 1 bulan dan parathyroidectomy namun ulkus tidak
sembuh. Setelah terapi HBO dengan 2.5 ATA dalam 90 menit selama 29
minggu, luka pasien berangsur angsur membaik dan pada akhirnya
menutup sempurna.
BAB 4KESIMPULAN
Bukti bukti yang ada membuktikan potensi hiperbarik dalam menghambat
progresifitas penyakit CKD. Terapi hiperbarik pada hewan coba
menunjukan hasil hasil yang mendukung terhadap penggunaan hiperbarik
dalam pengobatan terhadap penyakit CKD. Terapi Oksigen hiperbarik
juga dapat digunakan pada pasien dengan Calciphylaxis yang merupakan
salah satu komplikasi utama dari penyakit CKD
REFERENSI
1. Harrison’s 2012, A. S. Fauci, D. L. Kasper, D. L. Longo, E.
Braunwald, S. L. Hauser, J. L. Jameson and J. Loscalzo “Harrison’s
Internal Medicine, 18th edition. McGraw-Hill Medical 2012
2. Guyton 2013, A. C Guyton, J E. Hall “Textbook of Medical
Physiology”, 13th edition. Elsevier Saunders 2013
3. Gullans SR, Hebert SC. Metabolic basis of ion transport. In:
Brenner and Rector's The Kidney (5th ed.), edited by Brenner BM.
Philadelphia, PA: WB Saunders, 1996, p. 211–246.
4. O'Connor PM, Anderson WP, Kett MM, Evans RG. “Renal
preglomerular arterial-venous O2 shunting is a structural anti-
oxidant defence mechanism of the renal cortex”. Clin Exp
Pharmacol Physiol 33: 637–641, 2006.
5. Mimura, I. & Nangaku, M. Nat. Rev. “The suffocating kidney:
tubulointerstitial hypoxia in end-stage renal disease”. Nephrol. 6,
667–678 2010.
6. Levy MN, Sauceda G. “Diffusion of oxygen from arterial to venous
segments of renal capillaires”. Am J Physiol 196: 1336–1339, 1959
7. Schurek HJ, Jost U, Baumgartl H, Bertram H, Heckmann U.
Evidence for a preglomerular oxygen diffusion shunt in rat renal
cortex. Am J Renal Fluid Electrolyte Physiol 259: F910–F915, 1990.
8. Welch WJ, Baumgartl H, Lubbers D, Wilcox CS. Nephron pO2
and renal oxygen usage in the hypertensive rat kidney. Kidney Int
59: 230–237, 2001.
9. Levy MN. “Effect of variations of blood flow on renal oxygen
extraction”. Am J Physiol 199: 13–18, 1960.
10.Rabelink, T. J., wijewickrama, D. C. & de Koning, E. J. Peritubular
endothelium: the Achilles heel of the kidney? Kidney Int. 72,926–
930 (2007).
11.Stevens LM. Kidney failure. JAMA 2009;301(6):686.
12.Liu KD, Chertow GM. Acute renal failure. Harrison’s Principles of
Internal Medicine 17th Edition. Vol.2;1752-61.
13.Tjokroprawiro A, Setiawan PB, Santoso D, Soegiarto G. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Surabaya: Airlangga University Press
2007;221-33
14.Sahni T 2003 Hyperbaric Oxygen Therapy : Current Trends and
Applications, JAPI vol 51
15.Gill, 2004. Hyperbaric oxygen: its uses, mechanisms of action and
outcome. Oxford University Press Journal, 385-95.
16.Riyadi, 2013. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Penyelaman dan
Hiperbarik, Lakesla.
17.Sunkari, V. G., Lind, F., Botusan, I. R., Kashif, A., Liu, Z.-J., Ylä-
Herttuala, S., Brismar, K., Velazquez, O. and Catrina, S.-B. (2015),
Hyperbaric oxygen therapy activates hypoxia-inducible factor 1
(HIF-1), which contributes to improved wound healing in diabetic
mice. Wound Repair and Regeneration, 23: 98–103.
doi: 10.1111/wrr.12253
18.Katherine A. Gallagher, Stephen R. Thom, Omaida C. Velazquez,
”Diabetic impairments in NO-mediated endothelial progenitor cell
mobilization and homing are reversed by hyperoxia and SDF-1α” J.
Clin. Invest.117:1249–1259 (2007). doi:10.1172/JCI29710
19. Bernadette P. Cabigas , Jidong Su , William Hutchins , Yang Shi ,
Richard B. Schaefer , René F. Recinos , Vani Nilakantan , Eric
Kindwall , Jeffrey A. Niezgoda , John E. Baker. “Hyperoxic and
hyperbaric-induced cardioprotection: Role of nitric oxide synthase
3” : http://dx.doi.org/10.1016/j.cardiores.2006.06.031 143-151
20.Rajeev Verma & Avijeet Chopra & Charles Giardina & Venkata
Sabbisetti & Joan A. Smyth & Lawrence E. Hightower & George A.
Perdrizet. “Hyperbaric oxygen therapy (HBOT) suppresses
biomarkers of cell stress and kidney injury in diabetic mice” Cell
Stress and Chaperones (2015) 20:495–505 DOI 10.1007/s12192-
015-0574-3