Author
24jan
View
234
Download
0
Embed Size (px)
7/29/2019 Referat THT Vicaa
1/27
BAB I
PENDAHULUAN
Di Indonesia infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan
penyebab tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Pada tahun 1996/1997
temuan penderita ISPA pada anak berkisar antara 30% - 40%, sedangkan temuan
penderita ISPA pada tahun tersebut adalah 78% - 82%. Sebagai salah satu
penyebab adalah rendahnya pengetahuan masyarakat. Di Amerika Serikat absensi
sekolah sekitar 66% diduga disebabkan ISPA. 1
Tonsilitis kronik pada anak mungkin disebabkan karena anak sering
menderita ISPA atau karena tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat atau
dibiarkan.2 Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia)
pada tahun 1994-1996, prevalensi tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis
akut (4,6%) yaitu sebesar 3,8%.1
Insiden tonsilitis kronik di RS Dr. Kariadi Semarang 23,36% dan 47% di
antaranya pada usia 6-15 Tahun.3 Sedangkan di RSUP Dr. Hasan Sadikin pada
periode April 1997 sampai dengan Maret 1998 ditemukan 1024 pasien tonsilitis
kronik atau 6,75% dari seluruh jumlah kunjungan.1
Secara klinis pada tonsilitis kronik didapatkan gejala berupa nyeri
tenggorok atau nyeri telan ringan, mulut berbau, badan lesu, sering mengantuk,
nafsu makan menurun, nyeri kepala dan badan terasa meriang.1
Pada tonsilitis kronik hipertrofi dapat menyebabkan apnea obstruksi saat
tidur; gejala yang umum pada anak adalah mendengkur, sering mengantuk,
gelisah, perhatian berkurang dan prestasi belajar yang kurang baik.1
Kualitas hidup anak dengan apnea obstruksi saat tidur dapat dinilai dari
hasil/prestasi belajarnya.1 Indikasi tonsilektomi pada tonsilitis kronik adalah jika
1
7/29/2019 Referat THT Vicaa
2/27
sebagai fokus infeksi, kualitas hidup menurun dan menimbulkan rasa tidak
nyaman.8
2
7/29/2019 Referat THT Vicaa
3/27
BAB II
EMBRIOLOGI DAN ANATOMI TONSIL
2. 1 EMBRIOLOGITONSIL
Tonsila Palatina berasal dari proliferasi sel-sel epitel yang melapisi
kantong faringeal kedua. Perluasan ke lateral dari kantong faringeal kedua diserap
dan bagian dorsalnya tetap ada dan menjadi epitel tonsilla palatina. Pilar tonsil
berasal dari arcus branchial kedua dan ketiga. Kripta tonsillar pertama terbentuk
pada usia kehamilan 12 minggu dan kapsul terbentuk pada usia kehamilan 20
minggu. Pada sekitar bulan ketiga, tonsil secara gradual akan diinfiltrasi oleh sel-
sel limfatik.
Secara histologis tonsil mengandung 3 unsur utama yaitu jaringan ikat atau
trabekula (sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf dan limfa), folikel
germinativum (sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda) serta jaringan
interfolikel (jaringan limfoid dari berbagai stadium).9
Gambar 1. Gambaran Histologi Tonsil
2.2 ANATOMI TONSIL
Tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla tubaria
membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran
3
7/29/2019 Referat THT Vicaa
4/27
pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan
ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe
pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak,
adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi
atrofi pada masa pubertas.
Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian
terpenting dari cincin waldeyer.
Gambar2 : Cincin Waldeyer
Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan
kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah
mukosa dinding faring posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil
Gerlachs). 9,10
Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang
terletak pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla
ditutupi membran mukosa dan permukaan medialnya yang bebas menonjol
kedalam faring. Permukaannya tampak berlubang-lubang kecil yang berjalan ke
dalam Cryptae Tonsillares yang berjumlah 6-20 kripta. Pada bagian atas
permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam. Permukaan
lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut Capsula tonsilla
palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla lingualis.
4
7/29/2019 Referat THT Vicaa
5/27
Gambar 3. Tonsil Palatina
Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah :
1. Anterior : arcus palatoglossus
2. Posterior : arcus palatopharyngeus
3. Superior : palatum mole
4. Inferior : 1/3 posterior lidah
5. Medial : ruang orofaring
6. Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior.
A. carotis interna terletak 2,5 cm dibelakang dan lateral tonsilla.
5
7/29/2019 Referat THT Vicaa
6/27
Gambar 4. Anatomi normal Tonsil Palatina
Adenoid atau tonsila faringea adalah jaringan limfoepitelial berbentuk
triangular yang terletak pada aspek posterior. Adenoid berbatasan dengan kavum
nasi dan sinus paranasalis pada bagian anterior, kompleks tuba eustachius- telingatengah- kavum mastoid pada bagian lateral.
Terbentuk sejak bulan ketiga hingga ketujuh embriogenesis. Adenoid akan
terus bertumbuh hingga usia kurang lebih 6 tahun, setelah itu akan mengalami
regresi. Adenoid telah menjadi tempat kolonisasi kuman sejak lahir. Ukuran
adenoid beragam antara anak yang satu dengan yang lain. Umumnya ukuran
maximum adenoid tercapai pada usia antara 3-7 tahun. Pembesaran yang terjadi
selama usia kanak-kanak muncul sebagai respon multi antigen seperti virus,
bakteri, alergen, makanan dan iritasi lingkungan.
6
7/29/2019 Referat THT Vicaa
7/27
Gambar 5. Adenoid
Fossa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas
anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot
konstriktor faring superior. Pada bagian atas fossa tonsil terdapat ruangan yang
disebut fossa supratonsil. Ruangan ini terjadi karena tonsil tidak mengisi penuh
fossa tonsil.9
Pada bagian permukaan lateral dari tonsil tertutup oleh suatu membran
jaringan ikat, yang disebut kapsul. Kapsul tonsil terbentuk dari fasia faringobasilar
yang kemudian membentuk septa. 9
Plika anterior dan plika posterior bersatu di atas pada palatum mole. Ke
arah bawah berpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateralfaring. Plika triangularis atau plika retrotonsilaris atau plika transversalis terletak
diantara pangkal lidah dengan bagian anterior kutub bawah tonsil dan merupakan
serabut yang berasal dari otot palatofaringeus. Serabut ini dapat menjadi penyebab
kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi
adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah.9
Vaskularisasi tonsil berasal dari cabang-cabang A. karotis eksterna yaitu
A. maksilaris eksterna (A. fasialis) yang mempunyai cabang yaitu A. tonsilaris
7
7/29/2019 Referat THT Vicaa
8/27
dan A. palatina asenden, A. maksilaris interna dengan cabang A. palatina
desenden, serta A. lingualis dengan cabang A. lingualis dorsal, dan A. faringeal
asenden.
Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar m. konstriktor superior
dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden,
mengirimkan cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posterior menuju tonsil.
Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar
m. konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan
mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika posterior. Arteri palatina
desenden atau a. palatina posterior atau "lesser palatine artery" memberi
vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk anastomosis
dengan a. palatina asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang
bergabung dengan pleksus dari faring. 9,10
Gambar 6. Pendarahan Tonsil
8
7/29/2019 Referat THT Vicaa
9/27
Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran
getah bening. Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke rangkaian getah
bening servikal profunda atau disebut juga deep jugular node. Aliran getah bening
selanjutnya menuju ke kelenjar toraks dan pada akhirnya ke duktus torasikus.
Innervasi tonsil bagian atas mendapat persarafan dari serabut saraf V
melalui ganglion sphenopalatina dan bagian bawah tonsil berasal dari saraf
glossofaringeus (N. IX). 9,10
Gambar 7. Sistem Limfatik kepala dan leher
Lokasi tonsil sangat memungkinkan mendapat paparan benda asing dan
patogen, selanjutnya membawa mentranspor ke sel limfoid. Aktivitas imunologiterbesar dari tonsil ditemukan pada usia 3 10 tahun. Pada usia lebih dari 60
tahun Ig-positif sel B dan sel T berkurang banyak sekali pada semua
kompartemen tonsil.
Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi menjadi 3 kejadian
yaitu respon imun tahap I, respon imun tahap II, dan migrasi limfosit. Pada
respon imun tahap I terjadi ketika antigen memasuki orofaring mengenai epitel
kripte yang merupakan kompartemen tonsil pertama sebagai barier imunologis.
9
7/29/2019 Referat THT Vicaa
10/27
Sel M tidak hanya berperan mentranspor antigen melalui barier epitel tapi juga
membentuk komparten mikro intraepitel spesifik yang membawa bersamaan
dalam konsentrasi tinggi material asing, limfosit dan APC seperti makrofag dan
sel dendritik
Respon imun tonsila palatina tahap kedua terjadi setelah antigen melalui
epitel kripte dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid. Adapun
respon imun berikutnya berupa migrasi limfosit. Perjalanan limfosit dari
penelitian didapat bahwa migrasi limfosit berlangsung terus menerus dari darah ke
tonsil melalui HEV( high endothelial venules) dan kembali ke sirkulasi melalui
limfe.
Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-
0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan
T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil
terdapat sistim imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag,
sel dendrit dan APCs (antigen presenting cells) yang berperan dalam proses
transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobulin
spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi
dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi
utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2)
sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan
antigen spesifik.
10
7/29/2019 Referat THT Vicaa
11/27
Ukuran Tonsil
T0 : Post Tonsilektomi
T1 : Tonsil masih terbatas dalam Fossa Tonsilaris
T2 : Sudah melewati pillar anterior belum melewati garis paramedian
pillar post)
T3 : Sudah melewati garis paramedian, belum melewati garis median
T4 : Sudah melewati garis median
Gambar 3. Pengukuran Tonsil
11
Garis medianGaris paramedian
T2T3
T4T1
7/29/2019 Referat THT Vicaa
12/27
BAB III
TONSILITIS KRONIS
3.1 Definisi
Tonsilitis Kronis adalah peradangan kronis Tonsil setelah serangan akut
yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Tonsilitis berulang terutama
terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat.
Tetapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai
dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan
keluar detritus. 10
Gambar 8. Tonsilitis
3.2 Etiologi
Etiologi berdasarkan Morrison yang mengutip hasil penyelidikan dari
Commission on Acute Respiration Disease bekerja sama dengan Surgeon General
of the Army America dimana dari 169 kasus didapatkan data sebagai berikut :
25% disebabkan oleh Streptokokus hemolitikus yang pada
masa penyembuhan tampak adanya kenaikan titer Streptokokus
antibodi dalam serum penderita.
12
7/29/2019 Referat THT Vicaa
13/27
25% disebabkan oleh Streptokokus golongan lain yang tidak
menunjukkan kenaikan titer Streptokokus antibodi dalam serum
penderita. Sisanya adalah Pneumokokus, Stafilokokus, Hemofilus
influenza.
3.3 Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian Tonsilitis Kronis, yaitu : 10
Rangsangan kronis (rokok, makanan)
Higiene mulut yang buruk
Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah- ubah)
Alergi (iritasi kronis dari allergen)
Keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik)
Pengobatan Tonsilitis Akut yang tidak adekuat.
3.4 Patologi
Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripta tonsil. Karena
proses radang berulang, maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis,
sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan
parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripta akan melebar.
Secara klinis kripta ini akan tampak diisi oleh Detritus (akumulasi epitel
yang mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripta berupa eksudat
berwarna kekuning kuningan). Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan
akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Pada anak-
anak, proses ini akan disertai dengan pembesaran kelenjar submandibula. 10
3.5 Manifestasi Klinis
13
7/29/2019 Referat THT Vicaa
14/27
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis
akut yang berulang ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada
tenggorokan (odinofagi), nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal
di kerongkongan bila menelan, terasa kering dan pernafasan berbau.
Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis
yang mungkin tampak, yakni :
1. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke
jaringan sekitar, kripta yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yangpurulen atau seperti keju.
2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang
seperti terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripta
yang melebar dan ditutupi eksudat yang purulen.
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur
jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial
kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi : 10
T0 : Tonsil masuk di dalam fossa
T1 : 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
3.6 Diagnosis
Adapun tahapan menuju diagnosis tonsilitis kronis adalah sebagai berikut
1. Anamnesa
14
7/29/2019 Referat THT Vicaa
15/27
Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting karena hampir 50%
diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang dengan
keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan,
nafas bau busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada demam dan
nyeri pada leher.
2. Pemeriksaan Fisik
Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut.
Sebagian kripta mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapatdiperlihatkan dari kripta-kripta tersebut. Pada beberapa kasus, kripta
membesar, dan suatu bahan seperti keju atau dempul amat banyak terlihat
pada kripta. Gambaran klinis yang lain yang sering adalah dari tonsil yang
kecil, biasanya membuat lekukan, tepinya hiperemis dan sejumlah kecil sekret
purulen yang tipis terlihat pada kripta.
3. Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan
apus tonsil. Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan
derajat keganasan yang rendah, seperti Streptokokus hemolitikus,
Streptokokus viridans, Stafilokokus, atau Pneumokokus. 10
3.7 Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari tonsillitis kronik adalah :
1. Penyakit-penyakit yang disertai dengan pembentukan pseudomembran
yang menutupi tonsil (tonsillitis membranosa)
a. Tonsillitis difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua
orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung
pada titer antitoksin dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah
15
7/29/2019 Referat THT Vicaa
16/27
dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Gejalanya terbagi
menjadi 3 golongan besar, umum, local dan gejala akibat eksotoksin.
Gejala umum sama seperti gejala infeksi lain, yaitu demam subfebris,
nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat dan keluhan
nyeri menelan. Gejala local yang tampak berupa tonsi membengkak
ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan
membentuk pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya sehingga
bila diangkat akan mudah berdarah. Gejala akibat eksotoksin dapat
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, misalnya pada jantung dapat
terjadi miokarditis sampai dekompensasi kordis, pada saraf cranial dapat
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot pernafasan serta pada
ginjal dapat menimbulkan albuminuria.
b. Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa)
Gejala yang timbul adalah demam tinggi (39C), nyeri di mulut, gigi
dan kepala, sakit tenggorok, badan lemah, gusi mudah berdarah dan
hipersalivasi. Pada pemeriksaan tampak membrane putih keabuan di tonsil,
uvula, dinding faring, gusi dan prosesus alveolaris. Mukosa mulut dan
faring hiperemis. Mulut berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibula
membesar.
c. Mononucleosis infeksiosa
Terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral. Membrane
semu yang menutup ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan,
terdapat pembesaran kelenjar limfe leher, ketiak dan region inguinal.
Gambaran darah khas yaitu terdapat leukosit mononucleosis dalam jumlah
besar. Tanda khas yang lain adalah kesanggupan serum pasien untuk
beraglutinasi terhadap sel darah merah domba (Reaksi Paul Bunnel).
2. Penyakit Kronik Faring Granulomatus
16
7/29/2019 Referat THT Vicaa
17/27
a. Faringitis Tuberkulosa
Merupakan proses sekunder dari TBC paru. Keadaan umum pasien
buruk karena anoreksi dan odinofagi. Pasien mengeluh nyeri hebat di
tenggorok, nyeri di telinga (Otalgia) dan pembesaran kelenjar limfa
leher.
b. Faringitis Luetika
Gambaran klinis tergantung dari stadium penyakit primer, sekunder
atau tersier. Pada penyakit ini dapat terjadi ulserasi superficial yang
sembuh disertai pembentukan jaringan ikat. Sekuele dari gumma
bisa mengakibatkan perforasi palatum mole dan pilar tonsil.
c. Aktinomikosis Faring
Terjadi akibat pembengkakan mukosa yang tidak luas, tidak nyeri,
bisa mengalami ulserasi dan proses supuratif. Blastomikosis dapat
mengakibatkan ulserasi faring yang ireguler, superficial, dengandasar jaringan granulasi yang lunak.
Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan dengan nyeri
tenggorok dan kesulitan menelan. Diagnosa pasti berdasarkan pada pemeriksaan
serologi, hapusan jaringan atau kultur, X-ray dan biopsy.
3.8 Penatalaksanaan
Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan pengangkatan
tonsil (Adenotonsilektomi). Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana
penatalaksanaan medis atau terapi konservatif yang gagal untuk meringankan
gejala-gejala.
Penatalaksanaan medis termasuk pemberian antibiotika penisilin yang
lama, irigasi tenggorokan sehari-hari dan usaha untuk membersihkan kripta
17
7/29/2019 Referat THT Vicaa
18/27
tonsilaris dengan alat irigasi gigi (oral). Ukuran jaringan tonsil tidak mempunyai
hubungan dengan infeksi kronis atau berulang-ulang.
Tonsilektomi merupakan suatu prosedur pembedahan yang diusulkan oleh
Celsus dalam buku De Medicina (tahun 10 Masehi). Jenis tindakan ini juga
merupakan tindakan pembedahan yang pertama kali didokumentasikan secara
ilmiah oleh Lague dari Rheims (1757).
Penatalaksanaan tonsilitis kronik
Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur / hisap. Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa atau terapi
konservatif tidak berhasil.
Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat
perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini.
Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat
ini indikasi utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil.
Berdasarkan the American Academy of Otolaryngology- Head and Neck Surgery
( AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi :
Indikasi Absolut :
- Tonsil yang besar hingga mengakibatkan gangguan pernafasan, nyeri telanyang berat, gangguan tidur atau komplikasi penyakit-penyakit
kardiopulmonal.
- Abses peritonsiler (Peritonsillar abscess) yang tidak menunjukkan perbaikan
dengan pengobatan
- Tonsillitis yang mengakibatkan kejang demam.
- Tonsil yang diperkirakan memerlukan biopsi jaringan untuk menentukan
gambaran patologis jaringan.
18
7/29/2019 Referat THT Vicaa
19/27
Indikasi Relatif :
- Jika mengalami tonsilitis 3 kali atau lebih dalam satu tahun dan tidak
menunjukkan respon sesuai harapan dengan pengobatan medikamentosa yang
memadai.
- Bau mulut atau bau nafas tak sedap yang menetap pada tonsillitis kronis yang
tidak menunjukkan perbaikan dengan pengobatan.
- Tonsillitis kronis atau tonsilitis berulang yang diduga sebagai carrier kuman
Streptokokus yang tidak menunjukkan repon positif terhadap pengobatan
dengan antibiotika.
- Pembesaran tonsil di salah satu sisi (unilateral) yang dicurigai berhubungan
dengan keganasan (neoplastik)
Kontraindikasi Tonsilektomi :
1. Radang akut tonsil.
2. Demam, albuminuria.
3. Penyakit paru-paru
4. Penyakit darah.
5. Hipertensi.
6. Poliomielitis epidemic
TEKNIK
1) Cara Guillotine
Diperkenalkan pertama kali oleh Philip Physick (1828) dari Philadelphia,
sedangkan cara yang masih digunakan sampai sekarang adalah modifikasi Sluder.
Di negara-negara maju cara ini sudah jarang digunakan dan di bagian THT
FKUI/RSCM cara ini hanya digunakan pada anak-anak dalam anestesi umum.
Teknik
Posisi pasien telentang dalam anestesi umum. Operator di sisi kanan berhadapan
dengan pasien.
Setelah relaksasi sempurna otot faring dan mulut, mulut difiksasi dengan
pembuka mulut. Lidah ditekan dengan spatula. Untuk tonsil kanan, alat guillotine
dimasukkan ke dalam mulut melalui sudut kiri. Ujung alat diletakkan diantara
tonsil dan pilar posterior, kemudian kutub bawah tonsil dimasukkan ke dalam
19
7/29/2019 Referat THT Vicaa
20/27
Iubang guillotine. Dengan jari telunjuk tangan kiri pilar anterior ditekan sehingga
seluruh jaringan tonsil masuk ke dalam Iubang guillotine. Picu alat ditekan, pisau
akan menutup lubang hingga tonsil terjepit. Setelah diyakini seluruh tonsil masuk
dan terjepit dalam lubang guillotine, dengan bantuan jari, tonsil dilepaskan dari
jaringan sekitarnya dan diangkat keluar. Perdarahan dirawat.
2) Cara diseksi
Cara ini diperkenalkan pertama kali oleh Waugh (1909). Di Bagian THT
FKU1/RSCM cara ini digunakan pada pembedahan tonsil orang dewasa, baik
dalam anestesi umum maupun lokal.
Teknik :
Bila menggunakan anestesi umum, posisi pasien terlentang dengan kepala sedikit
ekstensi. Posisi operator di proksimal pasien. Dipasang alat pembuka mulut
Boyle-Davis gag. Tonsil dijepit dengan cunam tonsil dan ditarik ke medial.
Dengan menggunakan respatorium/enukleator tonsil, tonsil dilepaskan dari
fosanya secara tumpul sampai kutub bawah dan selanjutnya dengan menggunakan
jerat tonsil, tonsil diangkat. Perdarahan dirawat.
3)Cryogenic tonsilectomy
Tindakan pembedahan tonsil dapat menggunakan cara cryosurgery yaitu proses
pendinginan jaringan tubuh sehingga terjadi nekrosis. Bahan pendingin yang
dipakai adalah freon
dan cairan nitrogen.
4)Electrosterilization of tonsil
Merupakan suatu pembedahan tonsil dengan cara koagulasi listrik pada jaringan
tonsil.
Koblasi merupakan metode yang digunakan oleh ahli THT untuk
melakukan tonsilektomi, adenoidektomi dan prosedur bedah lainnya seperti
reduksi spiral dan pengobatan mendengkur. Tidak seperti metode elektro cauter
tradisional, metode koblasi menggunakan ablasi radio frekuensi untuk membuang
jaringan. Radiofrekuensi merupakan salah satu bentuk energy seperti gelombang
radio, tetapi dengan frekuensi tinggi. Prosedur pembedahan berdasar koblasi yang
20
7/29/2019 Referat THT Vicaa
21/27
menggunakan raduofrekuensi tepat dan mengontrol pada membuang jaringan
yang diinginkan sehingga hanya sedikit merusak jaringan yang sehat,
Tonsilektomi koblasi meliputi membuang seluruh tonsil (subcapsuler)
melaui deseksi atau membuang sebagian tonsil (intracapsuler) melalui
penghancuran jaringan tonsil.
Studi klinik yang telah dipublikasikan menunjukkan bahwa tonsilektomi
koblasi memberikan keuntungan pada pasien jika dibandingkan dengan
tonsilektomi elektrocauter konvensional.
- lebih sedikit merasakan nyeri dan lebih sedikit frekuensi penggunaan
narkotik Secara signifikan
- lebih cepat kembali ke diet normal secara signifikan
- insidensi mual pasca operasi lebih sedikit
- lebih cepat menyembuhkan fossa
- lebih sedikit terjadi dehidrasi post operasi
Sebuah penelitian di Belanda tentang keefektifan adenotonsilektomi pada
anak dengan infeksi tenggorokan ringan atau hipertrofi adenoid menunjukkan
bahwa adenotonsilektomi tidak mempunyai manfaat klinik lebih besar dari pada
terapi konservatif pada anak dengan infeksi tenggorokan ringan atau hipertrofi
adenoid.
3.9 Komplikasi
Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke
daerah sekitar atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil.
Adapun berbagai komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai berikut : 10
1. Komplikasi sekitar tonsila
Peritonsilitis
21
7/29/2019 Referat THT Vicaa
22/27
Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya
trismus dan abses.
Abses Peritonsilar (Quinsy)
Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Sumber
infeksi berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi,
menembus kapsul tonsil dan penjalaran dari infeksi gigi.
Abses Parafaringeal
Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah
bening atau pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring,
sinus paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, os mastoid dan os
petrosus.
Abses Retrofaring
Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya
terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring
masih berisi kelenjar limfe.
Kista Tonsil
Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan
fibrosa dan ini menimbulkan kista berupa tonjolan pada tonsilberwarna putih dan berupa cekungan, biasanya kecil dan multipel.
Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil)
Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringan
tonsil yang membentuk bahan keras seperti kapur.
2. Komplikasi Organ jauh
22
7/29/2019 Referat THT Vicaa
23/27
Demam rematik dan penyakit jantung rematik
Glomerulonefritis
Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis
Psoriasiseritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura
Artritis dan fibrositis.
23
7/29/2019 Referat THT Vicaa
24/27
KESIMPULAN
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyebab tersering
morbiditas dan mortalitas pada anak. Tonsilitis kronik pada anak mungkin
disebabkan karena anak sering menderita ISPA atau karena tonsilitis akut yang
tidak diterapi adekuat atau dibiarkan.
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam
fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Bagian tonsil antara lain:
fosa tonsil, kapsul tonsil, plika triangularis.
Tonsil berfungsi sebagai filter/penyaring menyelimuti organisme yang
berbahaya. Bila tonsil sudah tidak dapat menahan infeksi dari bakteri atau virus
tersebut maka akan timbul tonsilitis.Tonsilitis adalah suatu proses inflamasi atau
peradangan pada tonsil yang disebabkan oleh virus ataupun bakteri.
Tonsilitis Kronis adalah peradangan kronis Tonsil setelah serangan akut
yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Tonsilitis berulang terutama
terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat.
Tetapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai
dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan
keluar detritus.
Secara klinis pada tonsilitis kronik didapatkan gejala berupa nyeri
tenggorok atau nyeri telan ringan, mulut berbau, badan lesu, sering mengantuk,
nafsu makan menurun, nyeri kepala dan badan terasa meriang.
24
7/29/2019 Referat THT Vicaa
25/27
Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan pengangkatan
tonsil (Adenotonsilektomi). Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana
penatalaksanaan medis atau terapi konservatif yang gagal untuk meringankan
gejala-gejala. Indikasi tonsilektomi pada tonsilitis kronik adalah jika sebagai
fokus infeksi, kualitas hidup menurun dan menimbulkan rasa tidak nyaman
25
7/29/2019 Referat THT Vicaa
26/27
DAFTAR PUSTAKA
1. Farokah, Suprihati, Slamet Suyitno. Hubungan Tonsilitis Kronik dengan
Prestasi Belajar pada Siswa Kelas II Sekolah Dasar di Kota Semarang. Cermin
Dunia Kedokteran No. 155, 2007 87. diunduh dari
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/155_10TonsilitasKronikPrestasiBelajarK
elas.pdf/155_10TonsilitasKronikPrestasiBelajarKelas.pdf diakses pada tanggal
6 Desember 2011.
2. Notosiswoyo M, Martomijoyo R, Supardi S, Riyadina W. Pengetahuan dan
Perilaku Ibu / Anak Balita serta persepsi masyarakat dalam kaitannya dengan
penyakit ISPA dan pnemonia. Bul. Penelit. Kes.
2003; 31:60-71.
3. Vetri RW, Sprinkle PM., Ballenger JJ. Etiologi Peradangan aluran Nafas
Bagian Atas Dalam : Ballenger JJ. Ed. Penyakit telinga, hidung, tenggorok,
kepala dan leher. Edisi 13. Bahasa Indonesia, jilid I. Jakarta: Binarupa Aksara;
1994 : 194-224.
4. Suwento R. Epidemiologi Penyakit THT di 7 Propinsi. Kumpulan makalah
dan pedoman kesehatan telinga. Lokakarya THT Komunitas. PIT PERHATI-
KL, Palembang, 2001: 8-12.
5. Aritomoyo D. Insiden tonsilitis akuta dan kronika pada klinik THT RSUP Dr.
Kariadi Semarang, Kumpulan naskah ilmiah KONAS VI PERHATI, Medan,
1980: 249-55.
6. Udaya R, Sabini TB. Pola kuman aerob dan uji kepekaannya pada apus tonsil
dan jaringan tonsil pada tonsilitis kronis yang mengalami tonsilektomi.
Kumpulan naskah ilmiah KONAS XII PERHATI, Semarang:BP Undip;1999:
193-205.
26
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/155_10TonsilitasKronikPrestasiBelajarKelas.pdf/155_10TonsilitasKronikPrestasiBelajarKelas.pdfhttp://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/155_10TonsilitasKronikPrestasiBelajarKelas.pdf/155_10TonsilitasKronikPrestasiBelajarKelas.pdfhttp://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/155_10TonsilitasKronikPrestasiBelajarKelas.pdf/155_10TonsilitasKronikPrestasiBelajarKelas.pdfhttp://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/155_10TonsilitasKronikPrestasiBelajarKelas.pdf/155_10TonsilitasKronikPrestasiBelajarKelas.pdf7/29/2019 Referat THT Vicaa
27/27
7. Jackson C, Jackson CL. Disease of the Nose, Throat and Ear, 2 Nd ed..
Philadelphia: WB Saunders Co; 1959: 239-57.
8.Lipton AJ. Obstructive sleep apnea syndrome
:http://www.emedicine.com/ped/topic 1630.htm.2002.
9. Franco RA, Rosenfeld RM. Quality of life for children with obstructive sleep
apnea. Otolaryngol. Head and Neck Surgery. 2000; 123:9-16
10. Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Fundamentals of Otolaryngology.
6th Ed. Edisi Bahasa Indonesia, EGC, Jakarta, 2001; 263-368
11. Soepardi AE.dr, Iskandar N.Dr.Prof, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher, FKUI, Jakarta, 2001; 180-183