Upload
michael
View
224
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
qwertyuiop
Citation preview
Referat
Polip Hidung
Disusun oleh: Stevanus Jonathan (07120100070)
Jessica Stephanie Soedarso (07120100019)
Pembimbing:dr. Christian Harry , SpTHT
Kepaniteraan Klinik Ilmu THTRumah Sakit Marinir Cilandak
Fakultas Kedokteran Universitas Pelita HarapanPeriode 1 Desember 2014 – 3 Januari 2015
Daftar pustakaBAB I................................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN............................................................................................................................ 3
BAB II................................................................................................................................................. 5
PEMBAHASAN................................................................................................................................5
II.1 Definisi..................................................................................................................................5
II.2 Anatomi................................................................................................................................5
II.3 Etiologi................................................................................................................................. 8
II.4 Patofisiologi........................................................................................................................8
II.5 Manifestasi klinik..........................................................................................................12
II.6 Stadium Polip nasi........................................................................................................13
II.7 Diagnosa............................................................................................................................13
II.7.1 Anamnesa................................................................................................................ 13
II.7.2 Pemeriksaan Fisik................................................................................................14
II.7.3 Naso-endoskopi....................................................................................................14
II.7.4 Pemeriksaan radiologi.......................................................................................14
II.8 Faktor-faktor yang bisa memicu munculnya polip nasi..............................14
II.8.1 Alergi dan asma.....................................................................................................14
II.8.2 Usia dan jenis kelamin.......................................................................................15
II.8.3 Genetik.......................................................................................................................15
II.8.4 Intoleransi aspirin................................................................................................15
II.9 Tatalaksana......................................................................................................................15
BAB IV............................................................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN
Hidung merupakan alat indera manusia yang menanggapi rangsang berupa bau
atau zat kimia yang berupa gas. Di dalam rongga hidung terdapat serabut saraf
pembau yang dilengkapi dengan sel-sel pembau. Setiap sel pembau mempunyai
rambut-rambut halus (silia olfaktori) di ujungnya dan diliputi oleh selaput lendir yang
berfungsi sebagai pelembab rongga hidung.
Polip nasi merupakan salah satu penyakit yang cukup sering ditemukan di
bagian THT. Keluhan pasien yang datang dapat berupa sumbatan pada hidung yang
makin lama semakin berat. Kemudian pasien juga mengeluhkan adanya gangguan
penciuman dan sakit kepala. Untuk mengetahui massa di rongga hidung merupakan
polip atau bukan selain perlu dikuasai anatomi hidung juga perlu dikuasai cara
pemeriksaan yang dapat menyingkirkan kemungkinan diagnosa lain. Di dalam referat
ini akan dijelaskan mengenai anatomi, fisiologi hidung serta patofisiologi, gejala
klinis, pemeriksaan dan penatalaksanaan pada polip nasi.
Prevalensi Polip nasi dalam suatu populasi diperkirakan sebesar 1-4% , akan
tetapi bukti-bukti pendukung mungkin masih sangat kurang untuk memperkirakan
jumlah polip nasi karena banyak sekali diagnosis yang mengarah ke polip nasi. Bukti-
bukti lama menunjukkan bahwa prevalensi berkisar antara 0.2 sampai 2.2 % dan studi
otopsi melaporkan insiden bilateral Polip nasi antara 1.5 sampai 2%.2Di Indonesia
studi epidemiologi menunjukkan bahwa perbandingan pria dan wanita 2-3 : 1 dengan
prevalensi 0,2%-4,3% (Fransina 2008). Di RSUP H. Adam Malik Medan selama
Januari 2003 sampai Desember 2003 didapatkan kasus polip nasi sebanyak 32 orang
terdiri dari 20 pria dan 12 wanita selama Maret 2004 sampai Februari 2005
didapatkan kasus polip nasal sebanyak 26 orang terdiri dari 17 pria (65%) dan 9
wanita (35%) ,dan selama September 2009 sampai Oktober 2010 didapatkan kasus
polip nasal sebanyak 21 orang terdiri dari 15 pria (71,4%) dan 6 wanita (28.6%).
Etiologi Polip nasi masih merupakan misteri dan sedang diteliti korelasinya
dengan imunitas. Berbagai faktor yang muncul bersamaan dengan polip nasi seperti
3 | P a g e
rhinitis alergi , alergi atopi , dan asthma banyak sekali diajukan untuk menjadi faktor
pemicu polip nasi. Akan tetapi data-data untuk hal ini masih merupakan investigasi.2
4 | P a g e
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Definisi
Polip nasi adalah massa lunak yang tumbuh di dalam rongga hidung yang
berasal dari kompleks ostiomeatus. Kebanyakan polip berwarna putih bening atau
keabu – abuan, mengkilat, lunak karena banyak mengandung cairan (polip
edematosa). Polip yang sudah lama dapat berubah menjadi kekuning – kuningan atau
kemerah – merahan, suram dan lebih kenyal (polip fibrosa).
Polip kebanyakan berasal dari mukosa sinus etmoid, biasanya multipel dan
dapat bilateral. Polip yang berasal dari sinus maksila sering tunggal dan tumbuh ke
arah belakang, muncul di nasofaring dan disebut polip koanal.3
II.2 Anatomi
Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian – bagiannya dari atas ke bawah :
1. Pangkal hidung (bridge)
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M. Nasalis
pars allaris. Kerja otot-otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan
menyempit. Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar),
antara radiks sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada
bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh :
- Superior : os frontal, os nasal, os maksila
- Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan
kartilago alaris minor. Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus
bagian inferior menjadi fleksibel.
5 | P a g e
Perdarahan :
1. A. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A.
Oftalmika, cabang dari a. Karotis interna).
2. A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A. Maksilaris
interna, cabang dari A. Karotis interna)
3. A. Angularis (cabang dari A. Fasialis)
Persarafan :
1. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)
2. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)
Kavum Nasi
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan yang
membentang dari nares sampai koana. Kavum nasi ini berhubungan dengan sinus
frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa kranial media. Batas – batas
kavum nasi :
Posterior : berhubungan dengan nasofaring.
Atap : os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus sfenoidale dan
sebagian os vomer .
Lantai : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal,
bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap.
Bagian ini dipisahnkan dengan kavum oris oleh palatum durum.
Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan (dekstra
dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi oleh
kulit, jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum
yang terdiri dari kartilago ini disebut sebagai septum pars membranosa
(kolumela).
Lateral : dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os etmoid,
konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.
Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang
etmoid. Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan
di atas dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang
6 | P a g e
berhubungan dengan sinus sfenoid. Kadang-kadang konka nasalis suprema dan
meatus nasi suprema terletak di bagian ini.
Perdarahan :
Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah A.sfenopalatina yang
merupakan cabang dari A.maksilaris dan A.Etmoidale anterior yang merupakan
cabang dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus yang terletak submukosa
yang berjalan bersama – sama arteri.
Persarafan :
1. Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus yaitu N.
Etmoidalis anterior
2. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion
pterigopalatinum masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi N.
Palatina mayor menjadi N. Sfenopalatinus.
Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat
pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel – sel goblet. Pada
bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang – kadang
terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa
berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous
blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel
goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke
arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan
dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam
rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret
terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat
disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat –
obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel kolumnar berlapis semu dan
7 | P a g e
tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk
oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah
mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.1
II.3 Etiologi
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi
alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum
diketahui dengan pasti tetapi ada dugaan bahwa infeksi dalam hidung atau sinus
paranasal seringkali ditemukan bersamaan dengan adanya polip. Polip berasal dari
pembengkakan lapisan permukaan mukosa hidung atau sinus, yang kemudian
menonjol dan turun ke dalam rongga hidung oleh gaya gravitasi. Polip banyak
mengandung cairan dan sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan tidak mempunyai
ujung saraf atau pembuluh darah. Polip biasanya ditemukan pada orang dewasa dan
jarang pada anak – anak. Pada anak – anak, polip mungkin merupakan gejala dari
sistik fibrosis.
II.4 Patofisiologi
Patofisiologi dari polip nasi belum banyak diketahui , belum ada penelitian
yang membuahkan hasil untuk mengetahui bagaimana cara terbentuknya polip. Akan
tetapi dipercaya bahwa faktor imunitas dan alergi merupakan beberapa pencetus
terbentuknya polip nasi. Polip nasi yang akan sering kita temui di klinik mungkin ada
3 yaitu polip yang besar yang berasal dari dinding medial sinus maksila ke dalam
hidung, koana , dan bahkan sampai ke tenggorokan , polip jenis ini kita sebut
antrokoana polip biasanya unilateral. Jenis yang kedua adalah multipel bilateral polip
nasal , bisa terbentuk dimana saja. Grup terakhir adalah nasal polyposis disease yang
biasa disertai dengan sinusitis kronis , dan biasanya disertai edema dari semua
sinonasal mukosa .4
Teori Fibroma oleh billroth. Billroth dalam studinya mendapatkan sejumlah
besar kelenjar tubular di jaringan polip nasi. Billroth menyimpulkan bahwa kelenjar
ini tidak normal ditemukan dalam jumlah yang banyak di mukosa hidung, lalu
menyimpulkan bahwa polip hidung adalah adenoma yang mulai membesar dari
mukosa hidung menekan epitel dan kelenjar di hidung. Akan tetapi teori ini dibantah
oleh Hopmann karena jaringan glandular ditemukan di jaringan polip merupakan
jaringan kelenjar mukosa yang normal ditemukan di hidung dan menyimpulkan
8 | P a g e
bahwa polip hidung sebagai fibroma yang lunak . Kedua teori ini tidak diterima saat
ini.
Teori Necrotizing ethmoiditis oleh Woakes. Teori ini mengemukakan bahwa
ethmoiditis menyebabkan periostitis dan ostitis pada tulang etmoid dan menyebabkan
nekrosis dari tulang etmoid. Teori ini mengemukakan bahwa kerusakan tulang
memicu reaksi mukosa yang menyebabkan edema dan pembentukan polip. Teori ini
sudah salah sejak awal karena tidak ada bukti-bukti mengenai nekrosis tulang pada
polip hidung selama ini.
Teori kista glandular, teori ini merupakan teori yang berdasarkan
kemungkinan adanya kehadiran kelenjar kista dan mukosa yang mengisi jaringan
polip pada hidung. Kemungkinan besar penyebab dari formasi kelenjar glandular
adalah karena edema submukosa yang menyebabkan obstruksi saluran drainase
kelenjar mukosa yang memang ada di hidung. Kista mukosa ini membesar keluar
mendorong mukosa hidung dan menyebabkan terbentuknya polip. Taylor dalam
studinya membuktikan bahwa kista kelenjar mukosa biasanya terbentuk setelah polip
terbentuk sehingga dia percaya bahwa kista kelenjar glandular mungkin menjadi
penyebab polip hidung dan bukan sebaliknya.
Teori eksudat mukosa oleh Hayek. Hayek percaya bahwa polip hidung
terbentuk karena akumulasi cairan eksudate yang terlokalisir di dalam mukosa.
Akumulasi ini menyebabkan mukosa untuk bulging atau menonjol yang
menyebabkan pembentukan polip. Mukosa hidung dan kelenjar tubualveolar juga
terdorong keluar . Kelenjar-kelenjar ini ditemukan di bagian distal dari polip. Dalam
inflamasi kronik yang melibatkan mukosa hidung memblok saluran ekskretori nasal
tubulo alveolar menyebabkan kelenjar tersebut berdilatasi untuk menampung cairan
yang tidak bisa keluar tersebut. Pembuluh darah sekitar kelenjar juga ikut tertarik ,
dan proses ini juga menyebabkan edema karena cairan transudat yang keluar. Teori
ini tidak valid karena dilatasi mukosa hanya muncul setelah formasi dari polip hidung.
Teori blokade oleh Jenkins. Teori ini diadasari dari perkembangan dari polip
hidung itu sendiri dan hampir selalu didahului dari inflamasi akut ataupun kronis dari
mukosa hidung. Inflamasi ini mungkin bisa merupakan hasil dari infeksi atau alergi.
Berdasarkan histologi dari jaringan polip hidung , jaringan ini merupakan akumulasi
dari cairan intracellular yang berkumpul di jaringan lokal. Jika blokade ini terus
menerus maka akan terbentuk polip hidung. Jika blokade terjadi pada tempat yang
9 | P a g e
luas maka akan terjadi polip yang banyak . Akan tetapi teori ini tidak bisa
menjelaskan kenapa polip hidung hanya muncul di beberapa tempat di rongga hidung.
Teori Periplebitis/ Perilimfangitis oleh Eggston dan Wolff. Teori ini
berdasarkan kemungkinan penyebab polip hidung adalah infeksi yang berulang
mukosa hidung yang memblok transport cairan interselular. Hal ini selalu berkaitan
dengan edema lamina propria . Teori ini berdasarkan demonstrasi dari perubahan
kronik vaskularisasi dari mukosa hidung dalam responnya karena inflamasi. Secara
histologi perubahan ini lebih ke arah difus oleh karena itu tidak biasa digunakan untuk
menjelaskan patogenesis dari polip hidung yang bisa terlokalisir pada daerah-daerah
tertentu di rongga hidung.
Teori hiperplasia glandular oleh Krajina. Menurut Krajina , inflamasi kronik
oleh mukosa hidung menyebabkan hiperplasia mukosa hidung terlokalisir. Jaringan
hiperplastik ini kemudian menyebabkan bulging atau penonjolan mukosa hidung dan
lagi jaringan ini akan menyebabkan perubahan pada pembuluh darah yang
menyebabkan edema di regio tengah meatus medius . Ini meningkatkan edema
mukosa hidung . Studi menunjukkan bahwa mukosa hidung adalah sama seperti
mukosa yang ada di polip dan mukosa hidung.
Teori ruptur epitel, ini merupakan teori yang sekarang sedang diterima. Pada
teori ini, stadium awal dari polip hidung adalah adanya ruptur epitel yang
kemungkinan disebabkan oleh inflamasi dan edema. Lalu diikuti dengan lamina
propria yang prolaps dari ruptur tersebut. Jaringan epitel tersebut berusaha menutupi
defek dari ruptur tersebut dengan membentuk jaringan polip . Jika defek ini terjadi
terus menerus karena epitel kurang cepat menutup maka prolaps lamina propria akan
terus tumbuh dan menyebakan terbentuknya batang polip. Setelah epitelisasi dari
polip terjadi maka karakter dari tubular yang panjang terbentuk.
Teori-teori terbaru lebih kea rah penelitian mengenai genetika dan
immunologi , seperti IL1A , Leukotriene C4 , CYSLTR1, dll.
Beberapa studi menunjukkan bahwa polip nasi mempunyai asosiasi dengan
HLA (Human Leukocyte Antigen). Diduga mutasi oleh gen yang mengkode
Interleukin 1 (IL1) alpha (IL1A) berhubungan dengan polip nasi, ditemukan fakta
mengejutkan bahwa populasi orang Korea jarang sekali ditemukan ekspresi genetik
tersebut sehingga jarang sekali terjadi polip nasi pada orang Korea. 4
Leukotriene C4 sinthesis atau gluthathione S-transferase II (dikode oleh gen
LTC4S ) adalah suatu enzim yang mengkonversi leukotriene A4 dan glutathione untuk
10 | P a g e
membuat leukotriene C4 . Enzim inilah merupakan katalisator pertama untuk sintesis
cysteinyl leukotrienes, bahan poten yang merupakan turunan dari eicosanoid
arachidonic acid. Eicosanoid diduga berhubungan dengan mekanisme inflamasi di
polip nasi. Biasanya orang-orang dengan leukotriene C4 yang tinggi terdapat pada
pasien dengan polip nasi yang juga memiliki aspirin intholerant asthma , gen LTC4S
juga sangat sering dihubungkan dengan asma. 8
Sel-sel inflamasi polip nasi mengandung CYSLTR1 yang tinggi . Cysteinyl
leukotriene reseptor 1 (dikode oleh gen CYSLTR1) adalah anggota dari G- Protein
coupled receptor. Penelitian farmasi menunjukkan bahwa cysteinyl leukotrienes
teraktivasi selama proses pengkodean oleh gen ini dan CYSLTR2 yang menghasilkan
kontraksi dan poliferasi otot polos, edema, migrasi eosinofil, dan kerusakan di
mukosa paru.7,4
Prostaglandin juga diduga berhubungan dengan Polip nasi. Prostaglandin D2
reseptor ( dikode oleh gen PTGDR ) adalah sebuah G protein –coupled receptor yang
berfungsi sebagai prostanoid DP reseptor. Aktivitas oleh reseptor ini dimediasi
terutama oleh Gs Protein yang menstimulasi adenyl cyclase , dan menyebabkan
peningkatan intraselular cyclic adenosine monophosphate dan kadar Ca2+ . Percobaan
pada tikus menunjukkan bahwa prostanoid mempunyai efek pro-inflamatori dan anti-
inflamatori. Bahkan juga menjadi mediator untuk akut inflamasi dan menjadi
regulator ekspresi gen pada jaringan mesenkim dan sel epitel di tempat yang
mengalami radang , biasanya sering dilihat pada immune dan reaksi alergi. Penurunan
ingkat prostaglandin E dan upregulation oleh prostaglandin E2 dan E4 reseptor juga
dilihat pada pasien polip nasi.6,4
Terakhir merupakan sintesis nitric oxide inducible yang merupakan enzim
yang dikode pada manusia dan diekspresikan di liver dan dapat dibentuk dengan
kombinasi liposakarida dan spesifik cytokines. Nitric oxide adalah molekul yang
disintesis oleh NOS2 dan merupakan radikal bebas yang reaktif dan berfungsi dalam
mediator biologis seperti neurotransmission dan antimikroba dan antitumor. NOS2
yang tinggi berasosiasi dengan polip nasi .9
11 | P a g e
II.5 Manifestasi klinik
Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan di
hidung. Sumbatan ini tidak hilang-timbul dan makin lama semakin berat keluhannya.
Pada sumbatan yang hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia atau anosmia. Bila
polip ini menyumbat sinus paranasal, maka sebagai komplikasinya akan terjadi
sinusitis dengan keluhan nyeri kepala dan rinore.
Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah bersin dan
iritasi di hidung. Pada rinoskopi anterior polip hidung seringkali harus dibedakan dari
konka hidung yang menyerupai polip (konka polipoid). Perbedaan antara polip dan
konka polipoid ialah :
Polip :
- Bertangkai
- Mudah digerakkan
- Konsistensi lunak
- Tidak nyeri bila ditekan
- Tidak mudah berdarah
- Pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin) tidak mengecil.
12 | P a g e
II.6 Stadium Polip nasi
Laryngologist membagi polyposis dalam 4 derajat (Johansen ,1993)10
Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund (1997):
Stadium 1 : polip terbatas di meatus medius
Stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi
belum memenuhi rongga hidung.
Stadium 3 : polip yang masif
II.7 Diagnosa
II.7.1 Anamnesa
Keluhan utama penderita polip nasi adalah hidung terasa tersumbat dari yang
ringan sampai yang berat, rinore mulai dari yang jernih sampai purulen, disertai
hiposmia atau anosmia. Mungkin juga da bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung
disertai sakit kepala didaerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder maka mungkin
didapati post nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah
bernafas melalui mulut, suara sengau, gangguan tidur, halitosis, dan penurunan
kualitas hidup.
13 | P a g e
II.7.2 Pemeriksaan Fisik
Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga
hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi
anterior terlihat sebagai masa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius
dan mudah digerakkan.
II.7.3 Naso-endoskopi
Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu diagnosis kasus
polip yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada
pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi.
Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari
ostium asesorius sinus maksila.
II.7.4 Pemeriksaan radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam sinus,
tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi komputer (CT
scan) sangat bermafaat untuk melihat jelas dengan jelas keadaan di hidung paranasal
apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks
ostiomeatal. CT scan terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati
dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada
perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi.
II.8 Faktor-faktor yang bisa memicu munculnya polip nasi
II.8.1 Alergi dan asma
Polip nasi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan proses inflamasi
akibat alergi atau infeksi . Prevalensi polip nasi di pasien dengan asthma dan alergi
sekitar 1.5 sampai 1.7 % . Penelitian menunjukkan hubungan kuat antara asthma dan
polip nasi dan dilaporkan bahwa asthma non alergi lebih sering dibandingkan dengan
insiden polip nasi dengan alergi asthma. Patophysiologi antara asthma dan polip nasi
mungkin mirip dengan proses inflamasi kronik di saluran pernafasan atas dan bawah.
Tingkat eosinofil yang tinggi ditemukan di pasien dengan pasien polip nasi.5
14 | P a g e
II.8.2 Usia dan jenis kelamin
Dilaporkan bahwa insiden polip nasi bertambah seiringnya bertambah usia.
Polip nasi biasanya ditemukan di pasien berusia 50 tahun atau lebih dibandingkan usia
40 tahun. Penemuan polip nasi di anak-anak usia 16 tahun ke bawah sangatlah jarang
sekitar 0.1 % . Jika pada anak-anak ditemukan polip nasi perlu dipikirkan adanya
kelainan congenital seperti cystic fibrosis.5
Berdasarkan jenis kelamin , ditemukan bahwa laki-laki lebih sering
mendapatkan polip nasi dibandingkan wanita pada usia yang sama . Perbandingan
angka kejadian antara laki-laki dan perempuan usia 40-50 tahun ditemukan bahwa
laki-laki 2.9 kali lebih beresiko dibandingkan wanita dan pada usia 80-89 angka
kejadiannya mencapai 6 kali.5
II.8.3 Genetik
Genetik diperkirakan menjadi salah satu alasan etiologi Polip nasi . Studi
menunjukkan bahwa 14% pasien dengan Polip nasi memiliki keluarga dengan riwayat
polip nasi. Banyak sekali gen yang sedang diteliti yang mungkin menjadi faktor
pemicu polip nasi.5
II.8.4 Intoleransi aspirin
Polip nasi seringkali terjadi di pasien dengan insensitive terhadap aspirin atau
NSAID.Akan tetapi patophysiologinya masih belum banyak diketahui.5
II.9 Tatalaksana
Tatalaksana Polip nasi terdiri dari 2 yaitu :
-Medikamentosa
-Operasi
Telah diketahui bahwa polip nasal bisa mengecil dengan pemberian obat
semprot hidung yang berisi steroid. Steroid dalam dosis tinggi bisa diberikan akan
tetapi kita harus berhati-hati dampak sistemiknya karena tetap di absorbsi tubuh. Polip
berespon baik pada 80% pasien dengan diberikan steroid hidung . Steroid tablet juga
bisa diberikan dan dapat melegakan gejala sementara akan tetapi efeknya bersifat
sementara dan biasanya digunakan sebagian karena kekhawatiran kita akan efek
samping dari obat tersebut. Pada 20% pasien jika obat steroid tidak berhasil maka
operasi diperlukan atau adanya gangguan dari fungsi .
15 | P a g e
Pengobatan Polip polip nasi biasanya dimulai dengan bethamethason jika kecil
ukurannya. Akan tetapi jika polip sudah besar bisa diberikan Prednisolone 0.5 mg/kg
tiap pagi untuk 5 – 10 hari ditambah betamethasone nasal drop 2 kali per lubang
hidung untuk 5 hari lalu dilanjutkan dengan 2 kali sehari sampai obat habis.
Pengobatan lain seperti antibiotik golongan macrolides , penelitian di jepang
menganjurkan penggunaan macrolide dapat menurunkan angka kejadaian polip nasi
jika digunakan lebih dari beberapa minggu atau bulan, kemungkinan besar dari anti-
inflamasi yang dimiliki
Pengobatan azelastine , aspirin desensitization mungkin bisa dipertimbangkan
karena bukti-bukti masih belum kuat.
Pengobatan dengan operasi mungkin bisa membuang jaringan yang
menyumbat akan tetapi tidak mengkontrol gejala seperti rhinitis . Indera penciuman
yang buruk mungkin bisa dikembalikan dengan operasi akan tetapi studi
menunjukkan bahwa pengobatan dengan obat lebih superior dibandingkan dengan
operasi jika dilihat dari efek untuk saluran nafas bagian bawah.
16 | P a g e
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi, Efiaty. Hadjat, Fachri. Iskandar, Nurbaiti. Penatalaksanaan dan
Kelainan Telinga Hidung Tenggorok edisi II. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta
2000
2. Larsen K, Tos M (2002) The estimated incidence of symp- tomatic nasal
polyps. Acta Otolaryngol 122(2):179–182
3. D Benito, M Isidoro, V Garcia, et al. Genetic association Study in Nasal
Polyposis. J Investig Allergol Clin Immunol, Vol 22(5): 331-340. Esmon
Publicidad. 2012.
4. Wang X, Dong Z, Zhu DD, Guan B. Expression profi le of immune-associated
genes in nasal polyps. Ann Oto Rhinol Laryn. 2006;115(6):450-6.
5. Aaron N. Pearlman , Rakesh K.Chandra , et al . Epidemiology of Nasal Polyps
. Springer –Verlag ,Berlin Heidelberg . 2010.
6. Baenkler HW, Schäfer D, Hosemann W. Eicosanoids from biopsy of normal
and polypous nasal mucosa. Rhinology. 1996;34(3):166-70.
7. Adamjee J, Suh YJ, Park SH, Choi JH, Penrose JF, Lam BK, Austen KF,
Cazaly AM, Wilson SJ, Sampson AP. Expression of 5-lipoxygenase and
cyclooxygenase pathway enzymes in nasal polyps of patients with aspirin-
intolerant asthma. J Pathol. 2006;209(3):392-9.
8. Tantisira KG, Drazen JM. Genetics and pharmacogenetics of the leukotriene
pathway. J Allergy Clin Immunol. 2009 Sep;124(3):422-7.
9. Isidoro-García M, Dávila I, Moreno E, Lorente F, GonzálezSarmiento R.
Analysis of the leukotriene C4 synthase A444C promoter polymorphism in a
Spanish population. J Allergy Clin Immunol. 2005;115(1):206-7.
10. Johansen LV , Illum P ,Kristensen S , Winther L ,Petersen SV ,Synnerstad B .
The effect budesonide (Rhinocort) in the treatment of small and medium size
nasal polyps . Clin Otolaryngol . 2003 ;11 3 – 9 .
17 | P a g e