25
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Skleritis adalah gangguan granulomatosa kronik yang ditandai oleh destruksi kolagen, sebukan sel, dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan adanya vaskulitis. Skleritis disebabkan oleh berbagai macam penyakit baik penyakit autoimun ataupun penyakit sistemik. 1 Data di Amerika Serikat menunjukkan bahwa skleritis merupakan penyakit yang jarang dijumpai. Insiden penyakitnya sangat sulit ditemukan. Prevalensi skleritis diperkirakan mencapai 6 kasus dari 10.000 populasi, 94% diantaranya dengan skleritis anterior dan 6% adalah skleritis posterior. Dari data internasional, tidak ada distribusi geografis yang pasti mengenai insiden skleritis. Pada 15% kasus, skleritis bermanifestasi sebagai gangguan kolagen vaskular dan gejala bertambah hingga beberapa bulan. Angka morbiditas ditentukan oleh penyakit primer skleritis itu sendiri dan penyakit sistemik yang menyertai. Rasio antara perempuan dan laki- laki adalah 1,6:1. Berdasarkan umur skleritis biasanya terjadi pada usia 11-87 tahun, dan rata-rata orang yang menderita skleritis adalah usia 52 tahun. 2 Skleritis dapat menimbulkan berbagai komplikasi jika tidak ditangani dengan baik berupa keratitis, uveitis, glaukoma, granuloma subretina, ablasio retina eksudatif,

Referat scleritis

  • Upload
    chika

  • View
    232

  • Download
    1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

nbkjlb

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Skleritis adalah gangguan granulomatosa kronik yang ditandai oleh destruksi

kolagen, sebukan sel, dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan adanya vaskulitis.

Skleritis disebabkan oleh berbagai macam penyakit baik penyakit autoimun ataupun

penyakit sistemik.1

Data di Amerika Serikat menunjukkan bahwa skleritis merupakan penyakit

yang jarang dijumpai. Insiden penyakitnya sangat sulit ditemukan. Prevalensi

skleritis diperkirakan mencapai 6 kasus dari 10.000 populasi, 94% diantaranya

dengan skleritis anterior dan 6% adalah skleritis posterior. Dari data internasional,

tidak ada distribusi geografis yang pasti mengenai insiden skleritis. Pada 15% kasus,

skleritis bermanifestasi sebagai gangguan kolagen vaskular dan gejala bertambah

hingga beberapa bulan. Angka morbiditas ditentukan oleh penyakit primer skleritis

itu sendiri dan penyakit sistemik yang menyertai. Rasio antara perempuan dan laki-

laki adalah 1,6:1. Berdasarkan umur skleritis biasanya terjadi pada usia 11-87 tahun,

dan rata-rata orang yang menderita skleritis adalah usia 52 tahun.2

Skleritis dapat menimbulkan berbagai komplikasi jika tidak ditangani dengan

baik berupa keratitis, uveitis, glaukoma, granuloma subretina, ablasio retina

eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. Penatalaksanaan skleritis tergantung

pada penyakit yang mendasarinya. Oleh karena itu perlu diagnosis yang tepat sesuai

dengan etiologinya guna penatalaksanaan lebih lanjut.1

Mengingat pentingnya pengetahuan tentang skleritis ini maka inilah yang

menjadi alasan penulis dalam menyusun referat ini.

B. Tujuan

Penulisan referat ini hendaknya dapat memberikan pengetahuan kepada

pembaca tentang definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, klasifikasi, diagnosis,

penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis.

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. SKLERA

1. ANATOMI SKLERA

Sklera (Greek scleros berarti keras) yang juga dikenal sebagai bagian putih

bola mata, merupakan kelanjutan dari kornea. Sklera berwarna putih buram dan tidak

tembus cahaya, kecuali di bagian depan bersifat transparan yang disebut kornea.

Sklera merupakan dinding bola mata yang paling keras dengan jaringan pengikat

yang tebal, yang tersusun oleh serat kolagen, jaringan fibrosa dan proteoglikan

dengan berbagai ukuran. Pada anak-anak, sklera lebih tipis dan menunjukkan

sejumlah pigmen, yang tampak sebagai warna biru. Sedangkan pada dewasa karena

terdapatnya deposit lemak, sklera tampak sebagai garis kuning.3

Gambar 1. Anatomi Mata

(Dikutip dari kepustakaan Subramanian, 2008)

Sklera dimulai dari limbus, dimana berlanjut dengan kornea dan berakhir

pada kanalis optikus yang berlanjut dengan dura. Enam otot ekstraokular disisipkan

ke dalam sklera. Jaringan sklera menerima rangsangan sensoris dari nervus siliaris

posterior. Sklera merupakan organ tanpa vaskularisasi, menerima rangsangan

tersebut dari jaringan pembuluh darah yang berdekatan. Pleksus koroidalis terdapat

di bawah sklera dan pleksus episkleral di atasnya. Episklera mempunyai dua cabang,

3

yang pertama pada permukaan dimana pembuluh darah tersusun melingkar, dan yang

satunya lagi yang lebih di dalam, terdapat pembuluh darah yang melekat pada

sklera.3

Sklera membentuk 5/6 bagian dari pembungkus jaringan pengikat pada bola

mata posterior. Sklera kemudian dilanjutkan oleh duramater dan kornea, untuk

menentukan bentuk bola mata, penahan terhadap tekanan dari luar dan menyediakan

kebutuhan bagi penempatan otot-otot ekstra okular. Sklera ditembus oleh banyak

saraf dan pembuluh darah yang melewati foramen skleralis posterior. Pada cakram

optikus, 2/3 bagian sklera berlanjut menjadi sarung dural, sedangkan 1/3 lainnya

berlanjut dengan beberapa jaringan koroidalis yang membentuk suatu penampang

yakni lamina kribrosa yang melewati nervus optikus yang keluar melalui serat

optikus atau fasikulus. Kedalaman sklera bervariasi mulai dari 1 mm pada kutub

posterior hingga 0,3 mm pada penyisipan muskulus rektus atau akuator.3,4

Sklera mempunyai 2 lubang utama yaitu:6

· Foramen sklerasis anterior, yang berdekatan dengan kornea dan merupakan tempat

meletaknya kornea pada sklera.

· Foramen sklerasis posterior atau kanalis sklerasis, merupakan pintu keluar nervus

optikus. Pada foramen ini terdapat lamina kribosa yang terdiri dari sejumlah

membran seperti saringan yang tersusun transversal melintas foramen sklerasis

posterior. Serabut saraf optikus lewat lubang ini untuk menuju ke otak.

Secara histologis, sklera terdiri dari banyak pita padat yang sejajar dan

berkas-berkas jaringan fibrosa yang teranyam, yang masing-masing mempunyai tebal

10-16 μm dan lebar 100-140 μm, yakni episklera, stroma, lamina fuska dan

endotelium. Struktur histologis sklera sangat mirip dengan struktur kornea.

2. FISIOLOGI SKLERA

Sklera berfungsi untuk menyediakan perlindungan terhadap komponen intra

okular. Pembungkus okular yang bersifat viskoelastis ini memungkinkan pergerakan

bola mata tanpa menimbulkan deformitas otot-otot penggeraknya. Pendukung dasar

dari sklera adalah adanya aktifitas sklera yang rendah dan vaskularisasi yang baik

pada sklera dan koroid. Hidrasi yang terlalu tinggi pada sclera menyebabkan

kekeruhan pada jaringan sklera. Jaringan kolagen sklera dan jaringan pendukungnya

4

berperan seperti cairan sinovial yang memungkinkan perbandingan yang normal

sehingga terjadi hubungan antara bola mata dan socket. Perbandingan ini sering

terganggu sehingga menyebabkan beberapa penyakit yang mengenai struktur

artikular sampai pembungkus sklera dan episklera.3

B. SKLERITIS

1. DEFINISI

Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang ditandai

oleh destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan

adanya vaskulitis.1

2. EPIDEMIOLOGI

Skleritis adalah penyakit yang jarang dijumpai. Di Amerika Serikat insidensi

kejadian diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi. Dari pasien-pasien yang

ditemukan, didapatkan 94% adalah skleritis anterior, sedangkan 6% nya adalah

skleritis posterior. Di Indonesia belum ada penelitian mengenai penyakit ini.

Penyakit ini dapat terjadi unilateral atau bilateral, dengan onset perlahan atau

mendadak, dan dapat berlangsung sekali atau kambuh-kambuhan.2

Peningkatan insiden skleritis tidak bergantung pada geografi maupun ras.

Wanita lebih banyak terkena daripada pria dengan perbandingan 1,6 : 1. Insiden

skleritis terutama terjadi antara 11-87 tahun, dengan usia rata-rata 52 tahun.2

3. ETIOLOGI

Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skleritis murni diperantarai oleh proses

imunologi yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan tipe III

(kompleks imun) dan disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus, mungkin

terjadi invasi mikroba langsung, dan pada sejumlah kasus proses imunologisnya

tampaknya dicetuskan oleh proses-proses lokal, misalnya bedah katarak.1

5

Berikut ini adalah beberapa penyebab skleritis, yaitu:1

4. PATOFISIOLOGI

Degradasi enzim dari serat kolagen dan invasi dari sel-sel radang meliputi sel

T dan makrofag pada sklera memegang peranan penting terjadinya skleritis.

Inflamasi dari sklera bisa berkembang menjadi iskemia dan nekrosis yang akan

menyebabkan penipisan pada sklera dan perforasi dari bola mata.2

Inflamasi yang mempengaruhi sklera berhubungan erat dengan penyakit imun

sistemik dan penyakit kolagen pada vaskular. Disregulasi pada penyakit auto imun

secara umum merupakan faktor predisposisi dari skleritis. Proses inflamasi bisa

disebabkan oleh kompleks imun yang berhubungan dengan kerusakan vaskular

(reaksi hipersensitivitas tipe III) dan respon kronik granulomatous (reaksi

6

hipersensitivitas tipe IV). Interaksi tersebut adalah bagian dari sistem imun aktif

dimana dapat menyebabkan kerusakan sklera akibat deposisi kompleks imun pada

pembuluh di episklera dan sklera yang menyebabkan perforasi kapiler dan venula

post kapiler dan respon imun sel perantara.7

5. KLASIFIKASI

Skleritis diklasifikasikan menjadi:3

1. Episkleritis

a. Simple

Biasanya jinak, sering bilateral, reaksi inflamasi terjadi pada usia muda yang

berpotensi mengalami rekurensi. Gejala klinis yang muncul berupa rasa tidak

nyaman pada mata, disertai berbagai derajat inflamasi dan fotofobia. Terdapat

pelebaran pembuluh darah baik difus maupun segmental. Wanita lebih banyak

terkena daripada pria dan sering mengenai usia dekade 40-an.

b. Nodular

Baik bentuk maupun insidensinya hampir sama dengan bentuk simple

scleritis. Sekitar 30% penyebab skleritis nodular dihubungkan dengan penyakit

sistemik, 5% dihubungkan dengan penyakit kolagen vaskular seperti artritis

reumatoid, 7% dihubungkan dengan herpes zoster oftalmikus dan 3% dihubungkan

dengan gout.

7

a b

Gambar 2 a. Nodular scleritis due to herpes simplex virus in a37-year-old patient. Epithelial corneal involvement was followed 3

weeks later by limbal swelling and pain; b. Nodular scleritis in a patient with rheumatoid arthritis.

2. Skleritis Anterior

95% penyebab skleritis adalah skleritis anterior. Insidensi skleritis anterior

sebesar 40% dan skleritis anterior nodular terjadi sekitar 45% setiap tahunnya.

Skleritis nekrotik terjadi sekitar 14% yang biasanya berbahaya. Bentuk spesifik dari

skleritis biasanya tidak dihubungkan dengan penyebab penyakit khusus, walaupun

penyebab klinis dan prognosis diperkirakan berasal dari suatu inflamasi.

8

Berbagai varian skleritis anterior kebanyakan jinak dimana tipe nodular lebih

nyeri. Tipe nekrotik lebih bahaya dan sulit diobati.

a b

c

Gambar 3. Skleritis Anterior a) nodular; b) difus; c) necrotizing

(Dikutip dari kepustakaan Bolumleri, 2008)

a. Difus

Bentuk ini dihubungkan dengan artritis reumatoid, herpes zoster oftalmikus dan gout.

Pada bentuk ini pasien tampak nyeri hebat, menjalar sebagian besar ke dahi dan

rahang, ditandai adanya oedema pada jaringan sclera maupun episclera. Pada bentuk

ini akan tampak pula injeksi yang difus pada segmen terbesar dari sclera anterior.

b. Nodular

Bentuk ini dihubungkan dengan herpes zoster oftalmikus. Pada bentuk ini tampak

pembentukan nodul dengan oedema fokal pada sclera dan pembengkakan. Bentuk

nodular dapat single atau multiple. Nodul dapat menetap bahkan bila penyakit telah

terkontrol dan inflamasi telah tidak aktif. Penyakit sistemik umumnya lebih sering

dihubungkan dengan bentuk nodular dibandingkan difus.

c. Necrotizing

Bentuk ini lebih berat dan dihubungkan sebagai komplikasi sistemik atau komplikasi

okular pada sebagian pasien. 40% menunjukkan penurunan visus. 29% pasien

dengan skleritis nekrotik meninggal dalam 5 tahun. Bentuk ini ditandai dengan sclera

9

nekrosis dan area kapiler non-perfusi. Tanda awal adalah area putih avaskular dari

sclera. Bentuk skleritis nekrotik terbagi 2 yaitu:

i. Dengan inflamasi

ii. Tanpa inflamasi (scleromalacia perforans)

3. Skleritis Posterior

Sebanyak 43% kasus skleritis posterior didiagnosis bersama dengan skleritis

anterior. Biasanya skleritis posterior ditandai dengan rasa nyeri dan penurunan

kemampuan melihat. Dari pemeriksaan objektif didapatkan adanya perubahan

fundus, adanya perlengketan massa eksudat di sebagian retina, perlengketan cincin

koroid, massa di retina, oedem nervus optikus dan oedem makular. Inflamasi skleritis

posterior yang lanjut dapat menyebabkan ruang okuli anterior dangkal, proptosis,

pergerakan ekstra ocular yang terbatas dan retraksi kelopak mata bawah. Skleritis

posterior yang tidak terdiagnosa dan tidak dirawat pada berbagai bentuk dengan

cepat dapat mengawali terjadinya kebutaan. Diagnosis yang tepat bergantung pada

tampilan ulrasonografi. Bentuk difus, jika terdeteksi berdekatan pada diskus atau

macula, harus segera diterapi dengan baik, jika penglihatan tidak dipengaruhi secara

permanen. Sebaliknya pada nodul sclera sering tanpa berpengaruh pada penglihatan.

Gambar 4. Skleritis Posterior dan B scan pada skleritis nodul posterior

10

6. DIAGNOSIS

Skleritis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

didukung oleh berbagai pemeriksaan penunjang.8

ANAMNESIS

Pada saat anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama pasien, perjalanan

penyakit, riwayat penyakit dahulu termasuk riwayat infeksi, trauma ataupun riwayat

pembedahan juga perlu pemeriksaan dari semua sistem pada tubuh. Gejala-gejala

dapat meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia, spasme, dan penurunan ketajaman

penglihatan. Tanda primernya adalah mata merah. Nyeri adalah gejala yang paling

sering dan merupakan indikator terjadinya inflamasi yang aktif. Nyeri timbul dari

stimulasi langsung dan peregangan ujung saraf akibat adanya inflamasi. Karakteristik

nyeri pada skleritis yaitu nyeri terasa berat, nyeri tajam menyebar ke dahi, alis,

rahang dan sinus, pasien terbangun sepanjang malam, kambuh akibat sentuhan.8

Nyeri dapat hilang sementara dengan penggunaan obat analgetik. Mata berair atau

fotofobia pada skleritis tanpa disertai sekret mukopurulen. Penurunan ketajaman

penglihatan biasa disebabkan oleh perluasan dari skleritis ke struktur yang

berdekatan yaitu dapat berkembang menjadi keratitis, uveitis, glaucoma, katarak dan

fundus yang abnormal.2

Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pada mata menjelaskan adanya

penyakit sistemik, trauma, obat-obatan atau prosedur pembedahan dapat

menyebabkan skleritis seperti :2

· Penyakit vaskular atau penyakit jaringan ikat

· Penyakit infeksi

· Penyakit miscellanous ( atopi, gout, trauma kimia, rosasea)

· Trauma tumpul atau trauma tajam pada mata

· Obat-obatan untuk penyakit tulang seperti pamidronate, alendronate, risedronate,

zoledronic acid dan ibandronate.

· Post pembedahan pada mata

· Riwayat penyakit dahulu seperti ulserasi gaster, diabetes, penyaki hati, penyakit

ginjal, hipertensi dimana mempengaruhi pengobatan selanjutnya.

· Pengobatan yang sudah didapat dan pengobatan yang sedang berlangsung dan

responnya terhadap pengobatan.

11

PEMERIKSAAN FISIK SKLERA

1. Daylight

Sklera bisa terlihat merah kebiruan atau keunguan yang difus. Setelah

serangan yang berat dari inflamasi sklera, daerah penipisan sklera dan translusen

juga dapat muncul dan juga terlihat uvea yang gelap. Area hitam, abu-abu dan coklat

yang dikelilingi oleh inflamasi yang aktif yang mengindikasikan adanya proses

nekrotik. Jika jaringan nekrosis berlanjut, area pada sklera bisa menjadi avaskular

yang menghasilkan sekuester putih di tengah yang dikelilingi lingkaran coklat

kehitaman. Proses pengelupasan bisa diganti secara bertahap dengan jaringan

granulasi meninggalkan uvea yang kosong atau lapisan tipis dari konjungtiva.1,2,9

2. Pemeriksaan Slit Lamp

Pada skleritis, terjadi bendungan yang masif di jaringan dalam episklera

dengan beberapa bendungan pada jaringan superfisial episklera. Pada tepi anterior

dan posterior cahaya slit lamp bergeser ke depan karena episklera dan sclera edema.

Pada skleritis dengan pemakaian fenilefrin hanya terlihat jaringan superfisial

episklera yang pucat tanpa efek yang signifikan pada jaringan dalam episklera.2

3. Pemeriksaan Red-free Light

Pemeriksaan ini dapat membantu menegakkan area yang mempunyai

kongesti vaskular yang maksimum, area dengan tampilan vaskular yang baru dan

juga area yang avaskular total. Selain itu perlu pemeriksaan secara umum pada mata

meliputi otot ekstra okular, kornea, uvea, lensa, tekanan intraokular dan fundus.2

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Berdasarkan riwayat penyakit dahulu, pemeriksaan sistemik dan pemeriksaan

fisik dapat ditentukan tes yang cocok untuk memastikan atau menyingkirkan

penyakit-penyakit yang berhubungan dengan skleritis. Adapun pemeriksaan

laboratorium tersebut meliputi :1,2,7

· Hitung darah lengkap dan laju endap darah

· Kadar komplemen serum (C3)

· Kompleks imun serum

· Faktor reumatoid serum

· Antibodi antinukleus serum

12

· Antibodi antineutrofil sitoplasmik

· Imunoglobulin E

· Kadar asam urat serum

· Urinalisis

· Rata-rata Sedimen Eritrosit

· Tes serologis

· HBs Ag

PEMERIKSAAN RADIOLOGI.2,3,7

Berbagai macam pemeriksaan radiologis yang diperlukan dalam menentukan

penyebab dari skleritis adalah sebagai berikut :

· Foto thorax

· Rontgen sinus paranasal

· Foto lumbosacral

· Foto sendi tulang panjang

· Ultrasonography ( Scan A dan B)

· CT-Scan

· MRI

Pemeriksaan lain yang diperlukan antara lain :

· Skin Test

· Tes usapan dan kultur

· PCR

· Histopatologi

7. DIAGNOSIS BANDING

Berikut ini adalah beberapa diagnosis banding dari skleritis:7

· Konjunctivitis alergika

· Episkleritis

· Gout

· Herpes zoster

· Rosasea okular

· Karsinoma sel skuamosa pada konjunctiva

13

· Karsinoma sel skuamosa pada palpebra

· Uveitis anterior nongranulomatosa

8. PENATALAKSANAAN

Terapi skleritis disesuaikan dengan penyebabnya. Terapi awal skleritis adalah

obat anti inflamasi non-steroid sistemik. Obat pilihan adalah indometasin 100 mg

perhari atau ibuprofen 300 mg perhari. Pada sebagian besar kasus, nyeri cepat

mereda diikuti oleh pengurangan peradangan. Apabila tidak timbul respon dalam 1-2

minggu atau segera setelah tampak penyumbatan vaskular harus segera dimulai

terapi steroid sistemik dosis tinggi. Steroid ini biasanya diberikan peroral yaitu

prednison 80 mg perhari yang diturunkan dengan cepat dalam 2 minggu sampai dosis

pemeliharaan sekitar 10 mg perhari. Kadangkala, penyakit yang berat mengharuskan

terapi intravena berdenyut dengan metil prednisolon 1 g setiap minggu.1

Obat-obat imunosupresif lain juga dapat digunakan. Siklofosfamid sangat

bermanfaat apabila terdapat banyak kompleks imun dalam darah. Tetapi steroid

topikal saja tidak bermanfaat tetapi dapat menjadi terapi tambahan untuk terapi

sistemik. Apabila dapat diidentifikasi adanya infeksi, harus diberikan terapi spesifik.

Peran terapi steroid sistemik kemudian akan ditentukan oleh sifat proses

penyakitnya, yakni apakah penyakitnya merupakan suatu respon hipersensitif atau

efek dari invasi langsung mikroba.1,3

Tindakan bedah jarang dilakukan kecuali untuk memperbaiki perforasi sklera

atau kornea. Tindakan ini kemungkinan besar diperlukan apabila terjadi kerusakan

hebat akibat invasi langsung mikroba, atau pada granulomatosis Wegener atau

poliarteritis nodosa yang disertai penyulit perforasi kornea. Penipisan sklera pada

skleritis yang semata-mata akibat peradangan jarang menimbulkan perforasi kecuali

apabila juga terdapat glaukoma atau terjadi trauma langsung terutama pada usaha

mengambil sediaan biopsi. Tandur sklera pernah digunakan sebagai tindakan

profilaktik dalam terapi skleritis, tetapi tandur semacam itu tidak jarang mencair

kecuali apabila juga disertai pemberian kemoterapi. Skleromalasia perforans tidak

terpengaruh oleh terapi kecuali apabila terapi diberikan pada stadium paling dini

penyakit. Karena pada stadium ini jarang timbul gejala, sebagian besar kasus tidak

diobati sampai timbul penyulit.1

14

9. KOMPLIKASI

Penyulit skleritis adalah keratitis, uveitis, glaukoma, granuloma subretina,

ablasio retina eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. Keratitis

bermanifestasi sebagai pembentukan alur perifer, vaskularisasi perifer, atau

vaskularisasi dalam dengan atau tanpa pengaruh kornea. Uveitis adalah pertanda

buruk karena sering tidak berespon terhadap terapi. Kelainan ini sering disertai oleh

penurunan penglihatan akibat edema makula. Dapat terjadi glaukoma sudut terbuka

dan tertutup. Juga dapat terjadi glaukom akibat steroid. 1,8

Skleritis biasanya disertai dengan peradangan di daerah sekitarnya seperti

uveitis atau keratitis sklerotikan. Pada skleritis akibat terjadinya nekrosis sclera atau

skleromalasia maka dapat terjadi perforasi pada sklera. Penyulit pada kornea dapat

dalam bentuk keratitis sklerotikan, dimana terjadi kekeruhan kornea akibat

peradangan sklera terdekat. Bentuk keratitis sklerotikan adalah segitiga yang terletak

15

dekat skleritis yang sedang meradang. Hal ini terjadi akibat gangguan susunan serat

kolagen stroma. Pada keadaan ini tidak pernah terjadi neovaskularisasi ke dalam

stroma kornea. Proses penyembuhan kornea yaitu berupa menjadi jernihnya kornea

yang dimulai dari bagian sentral. Sering bagian sentral kornea tidak terlihat pada

keratitis sklerotikan. 3,8

10. PROGNOSIS

Prognosis skleritis tergantung pada penyakit penyebabnya. Skleritis pada

spondiloartropati atau pada SLE biasanya relatif jinak dan sembuh sendiri dimana

termasuk tipe skleritis difus atau skleritis nodular tanpa komplikasi pada mata

Skleritis pada penyakit Wagener adalah penyakit berat yang dapat menyebabkan buta

permanen dimana termasuk tipe skleritis nekrotik dengan komplikasi pada mata.

Skleritis pada reumatoid artritis atau polikondritis adalah tipe skleritis difus,

nodular atau nekrotik dengan atau tanpa komplikasi pada mata. Skleritis pada

penyakit sistemik selalu lebih jinak daripada skleritis dengan penyakit infeksi atau

autoimun. Pada kasus skleritis idiopatik dapat ringan, durasi yang pendek, dan lebih

respon terhadap tetes mata steroid. Skleritis tipe nekrotik merupakan tipe yang paling

destruktif dan skleritis dengan penipisan sklera yang luas atau yang telah mengalami

perforasi mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada tipe skleritis yang non

nekrotik.

16

BAB III

PENUTUP

Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang ditandai

oleh destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan

adanya vaskulitis. Skleritis disebabkan oleh berbagai macam penyakit baik penyakit

autoimun ataupun penyakit sistemik, infeksi, trauma dan idiopatik. Skleritis dapat

diklasifikasikan menjadi episkleritis, skleritis anterior dan skleritis posterior.

Gejala-gejala pada skleritis dapat meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia,

spasme, dan penurunan ketajaman penglihatan. Terapi skleritis meliputi terapi

medikamentosa dan pembedahan. Komplikasi berupa keratitis, uveitis, glaukoma,

granuloma subretina, ablasio retina eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia.

Prognosis skleritis tergantung pada penyakit penyebabnya.

17

DAFTAR PUSTAKA

1. Eva PR. Sklera. Dalam:Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, Suyono J, Editor. Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta: EGC, 2000.169-73

2. Gaeta, TJ. Scleritis. http://www.emedicine.com. [diakses 17 Februari 2011]

3. Foulks GN, Langston DP. Cornea and External Disease. In: Manual of Ocular Diagnosis and Therapy. Second Edition. United States of America: Library of Congress Catalog. 1988; 111-6

4. Subramanian M. Eye. http://www.medlineplus.com [diakses 17 Februari 2011]

5. Bolumleri. Sklera. http://www.eyestar.com.tr/htm/sklera.htm [diakses 17 Februari 2011]

6. Galor A, Thorne J. Scleritis and Peripheral Ulcerative Keratitis. http://www.pubmed.com [diakses 17 Februari 2011]

7. Maza, MS. Scleritis. http://www.emedicine.com [diakses 17 Februari 2011]

8. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2008. 118-20

9. Chern KC. Iridocyclitis and Traumatic Iritis. In: Emergency Ophthalmology. Boston, Massachusetts: McGraw-Hill Medical Publishing Division. 2002

10. Kanski JJ. Disorders of The Cornea and Sclera. In: Clinical Ophthalmology. Third Edition. Wallingston, Surrey: Great Britain by Butler and Tanner Ltd, Frome and London. 1994. 146-9.

11. Rootman J. Diseases of The Orbit. Second Edition. East Washington Sayare Philadelpia: Library of Congress Cataloging in Publication Data. 1988: 373.

12. Newell FW. The Sclera. In: Ophthalmology Principles and Concepts. Fifth Edition. St.Louis Toronto London: The CV Mosby Company. 1982. 220-1