Upload
mrizkidm2301
View
294
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
JIWA
Citation preview
REFERAT
PSIKOFARMAKA
Dokter Pembimbing :
dr. Tendry Septa, Sp.KJ
Disusun Oleh :
M Rizki Darmawan M, S Ked
0918011060
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA
RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI LAMPUNG
2013
BAB IPENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejarah perkembangan terapi organik dalam psikiatri dimulai sejak
pertengahan tahun 1800-an sampai sekarang, walaupun pada tahun 1960
kumpulan obat psikiatri pada dasarnya adalah yang diketahui saat ini. Dalam
separuh kedua abad ke-20, kemoterapi sebagai terapi untuk gangguan mental
menjadi bidang utama penelitian dan praktek. Hampir segera setelah
diperkenalkannya chlorpromazine pada tahun 1950-an, obat psikoterapeutik
menjadi inti terapi psikiatrik, khususnya untuk pasien dengan penyakit mental
yang serius.
Farmakoterapi untuk gangguan mental adalah salah satu bidang yang
paling cepat berkembang dalam kedokteran klinis, tiap dokter yang
meresepkan obat harus tetap mengetahui literatur terakhir. Terapi obat dan
terapi organik lainnya terhadap gangguan mental dapat diidentifikasikan
sebagai suatu usaha untuk memodifikasi atau mengkoreksi perilaku, pikiran,
atau mood yang patologis dengan zat kimia atau cara fisik lainnya. Hubungan
antara keadaan fisik dan otak pada satu sisi dan pada sisi lain, manifestasi
fungsionalnya (perilaku, pikiran, dan mood) adalah sangat kompleks, tidak
dimengerti seluruhnya dan diperbatasan pengetahuan biologi. Tetapi, berbagai
parameter perilaku normal dan abnormal seperti persepsi, afek dan kognisi
mungkin dipengaruhi oleh perubahan fisik dalam sistem saraf pusat.
Golongan obat psikofarmaka yang banyak dipergunakan adalah obat
antipsikosis, obat anti mania dan obat antidepresi. Penggunaan jenis obat ini
perlu pengawasan yang ketat karena seringkali menimbulkan efek samping
seperti ketergantungan psikologis dan fisik yang dapat mengakibatkan
keracunan obat, depresi dan kehilangan sifat menahan diri, gangguan paru-
paru, gangguan psikomotoris dan iritatif (mudah marah, gelisah dan ansietas
bila obat dihentikan). Oleh sebab itu, banyak variable yang melekat pada
praktek psikofarmakologi, termasuk pemilihan obat, peresepan, pemberian,
arti psikodinamika bagi pasien dan pengaruh keluarga serta lingkungan.
Obat psikofarmaka adalah obat yang mempunyai efek terapeutik
langsung pada proses mental pasien karena efeknya pada otak. Akan tetapi
kita harus ingat pula bahwa bila gangguan mentalitu disebabkan oleh suatu
masalah psikologi atau oun sosial, maka tidak ada obat apa pun yang dapat
menyelesaikan persoalan itu, kecuali pasien itu sendiri dan dokter serta obat
hanya sekedar membantunya ke arah penyelesaian atau ke arah penyesuaian
yang lebih baik. Kemanjuran pengobatan psikotropik, seperti juga dalam
farmakoterapi pada umumnya, tergantung pada pemberian obat yang dapat
mempengaruhi sasaran pengobatan dalam dosis yang sesuai, dalam bentuk
preparat yang cocok, melalui jalan pemberian yang efektif dan dalam jangka
waktu yang tertentu.
B. TUJUAN
Tujuan penulisan referat ini antara lain adalah untuk lebih dalam
memahami psikofarmaka melalui prinsip umum psikofarmaka, penggolongan
psikotropik baik dari mekanisme kerja, farmakokineti, indikasi, efek samping,
perhatian, overdosis dan dosis pemberian obat.
Selain itu juga Referat ini bertujuan sebagai tugas dalam kepaniteraan
klinik di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara
selektif pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap
aktivitas mental dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik
yang berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup pasien.1
B. KLASIFIKASI
Obat psikotropik dibagi menjadi beberapa golongan, diantaranya:
antipsikosis, anti-depresi, anti-mania, anti-ansietas, anti-insomnia, anti-panik,
dan anti obsesif-kompulsif,. Pembagian lainnya dari obat psikotropik antara
lain: transquilizer, neuroleptic, antidepressants dan psikomimetika.1
C. ANTI PSIKOSIS
Obat anti psikosis mempunyai beberapa sinonim antara lain;
neuroleptik dan tranquilizer mayor. Salah satunya adalah chlorpromazine
(CPZ), yang diperkenalkan pertama kali tahun 1951 sebagai premedikasi
dalam anastesi akibat efeknya yang membuat relaksasi tingkat kewaspadaan
seseorang. CPZ segera dicobakan pada penderita skizofrenia dan ternyata
berefek mengurangi delusi dan halusinasi tanpa efek sedatif yang berlebihan2.
No Golongan Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis anjuran
I. ANTIPSIKOSIS TIPIKAL
1. Phenothiazina. Rantai
AliphaticChlorpromazine ( largactil)
Chlorpromazine(indofarma)
Tab. 25-100 mg
- PO: 150 - 600 mg/h
- IM: 50-100mg setiap 4-6 jam
Promacil (combhifar) Tab. 100 mg
Meprosetil (meprofarm)
Tab. 100 mgAmp.50mg/2cc
b. Rantai Piperazine
Perfenazine Perfenazine (indofarma)
Tab. 4 mg 12 - 24 mg/hari
Trifalon (Schering) Tab 2- 4 -8 mg
Trifluoperazine Stelazine(GlaxoSmith-kline)
Tab. 1 - 5 mg 10 -15 mg/hari
Fluphenazine Anatensol (B-M Squibb)
Tab. 2,5 - 5 mg
10 - 15 mg/hari
Fluphenazine deconoate
Modecate (B-M Squibb)
Vial 25 mg/cc 25 mg (IM) setiap 2 - 4 mgg
c. Rantai Piperidine
Thioridazine Melleril (Novartis) Tab.50 -100mg
150-300mg/hari
1. Buthirophenon Haloperidol Haloperidol (indofarma)
Tab. 0,5 - 1,5 - 5mg
- PO: 5-15mg/h
- IM: 5-10mg setiap 4-6jam
- 50mg setiap 2-4 minggu
Dores (pyridam)
Cap. 5 mgTab. 1,5 mg
Serenace (pfizer-pharmacia)
Tab. 0,5 -1,5 - 5 mgLiq. 2 mg/mlAmp.50 mg/cc
Haldol (jansen)
Tab. 2 - 5 mg
Govotil (Guarian-pharmacia)
Tab. 2 - 5 mg
Lodomer (Mersifarma)
Tab. 2 - 5 mgAmp. 5 mg/cc
Haldol decanoas (Janssen)
Amp. 50mg/cc
2. Diphenil- pimozide Orap forte (janssen) Tab. 4 mg 2 – 4 mg/hari
buthilpiperidine
II. ANTIPSIKOSIS ATIPIKAL1. Benzamide Supiride Dogmatil Foerte
(Delagrange)Tab. 200mgAmp. 100mg/2cc
300 - 600mg/h3 - 6 amp/hari IM
2. Dibenzodiazapine Clozapine Clozaril (Novartis)Sizoril(Meprofarm)
Tab. 25 – 100 mg
Tab. 25-100mg
25-100mg/hari
Olanzapine Ziprexa Tab. 5-10mg 10-20mg/hari
Quetiapine Seroquel (Astra Zeneca)
Tab. 25 – 100 - 200mg
50-100mg/hari
Zotepine Lodopin (Kalbe Farma)
Tab. 25 - 50mg
75-100mg/hari
3. Benzisoxxazole Risperidone Risperidone (Dexamedica)
Tab. 1 - 2 - 3mg
- PO:2 – 6 mg/hari
- IM :Risperdal (Janssen)
Tab. 1 - 2 - 3mg
Risperdal consta Vial 25 - 50mg/cc
Neripros (Pharos)
Tab. 1 - 2 - 3mg
Persidal (Mersifarma)
Tab. 1 - 2 - 3mg
Rizodal (Guardian-pharmatama)
Tab. 1-2-3mg
Zopredal (Kalbefarma)
Tab. 1-2-3mg
Aripiprazole Abilify (Otsuka) Tab. 5 – 10 – 15 mg
10- 15 mg/hari
I. Golongan Fenotiazin
1. Farmakodinamik
CPZ mempunyai farmako dinamik yang luas. Beberapa diantanya
ada pada organ-ogan antaralain :
- Susunan saraf pusat: Menimbulkan efek sedasi yang disertai sikap
acuh-tak acuh terhadap rangsang dari lingkungan. Pada pemakaian
lama dapat timbul toleransi terhadap efek sedasi. Berbeda dengan
barbiturat, CPZ tidak dapat mencegah timbulnya kejang.
- Otot rangka : CPZ dapat menimbulkan relaksasi otot skelet yang
berada dalam keadaan spastik. Cara kerja relaksasi diduga bersifat
sentral.
- Efek endokrin : CPZ dapat menghambat ovulasi dan menstruasi.
Semua fenotiazin kecuali klozapin dapat menimbulkan
hiperprolaktinemia lewat efek sentral penghambatan dopamin.
- Kardiovaskuler : dapat menimbulkan hipotensi berdasarkan
beberapa mekanisme diantaranya timbulnya efek inotropik pada
jantung2.
2. Farmakokinetik
Pada umumnya semua fenotiazin diabsorbsi dengan baik bila
diberikan peroral maupun parenteral. Penyebaran luas ke semua
jaringan dengan kadar tertinggi di paru-paru, hati dan limfa. Sebagian
fenotiazin mengalami hidroksilasi dan konjugasi sebagian lain diubah
menjadi sulfoksid yang kemudian diekskresi dalam feses maupun urin.
Setelah pemberian CPZ dosis besar, maka masih ditemikan ekskresi
CPZ atau metabolitnya selama 6-12 bulan2.
3. Efek Samping
Beberapa efek samping obat yang dapat ditimbulkan obat anti
psikosis antara lain :
Sedasi dan inhibisi psikomotor
Ganggua otonom( hipotensi, antikolinergik berupa mulut kering,
kesulitan miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur dan
tekanan intra okular meninggi serta gangguan irama jantung)
Efeksamping lain adalah perluasan dari farmakodinamiknya.
Gejala idiosinkrasi mungkin timbul seperti, ikterus, dermatitis dan
leukopenia. Reaksi ini disertai eosinofilia dalam darah perifer.
Gangguan ekstrapiramidal (diskodia akut, akatisia dan sindrome
parkinson)
Ganggua endokrin (amenore dan ginekomastia), biasanya untuk
pemakaian jangka panjang.
Dan efek samping yang ireversibel; tardive dyskinesia (gerakan
involunter berulang pada lidah, wajah, mulut / rahang dan
anggota gerak dimana waktu tidur keluhan tersebut
menghilang)2,3.
4. Indikasi
Indikasi utama fenotiazin adalah skizofrenia gangguan psikosis
yang sering ditemukan. Gangguan yang sering diatasi oleh fenotiazin dan
golongan antipsikosis lain adalah: ketegangan, hiperaktivitas,
combativennes, hostality, halusinasi, delusi akut, anoreksia, negativisme
dan menarik diri.
Pengaruhnya terhadap insight, judgement, daya ingat dan orientasi
kurang. Pemberian antipsikotik sangat memudahkan perawatan pasien.
Domperidon secara invitro merupakan antagonis dopamin, seperti CPZ.
Obat ini diindikasikan pada pasien mual dan muntah. Jadi efek obat ini
mirip metoclopramid. Walaupun antipsikosis sangat bermanfaat untuk
mengatasi gejala psikosis akut, namun penggunaan antipsikosi saja tidak
mencukupi untuk merawat pasien psikotik3.
5. Kontra Indikasi
Kontra indikasi untuk obat ini adalah penyakit hati, penyakit darah,
epilepsi, kelainan jantung, febris yang tinggi, ketergantungan alkohol,
penyakit susunan saraf pusat dan gangguan kesadaran3.
II. Golongan Butirofenon
Haloperidol mampu menenangkan keadaan mania penderita
psikosis yang karena hal tertentu tidak dapat diberi fenotiazin. Reaksi
ekstrapiramidal timbul pada 80% penderita yang diobati haloperidol.
1. Farmakodinamik
Struktur haloperidol berbeda dengan fenotiazin pada orang
normal efek haloperidol mirip fenotiazin piperazin. Haloperidol
memperlihatkan antipsikotik yang kuat dan efektif untuk fase mania
penyakit manik depresif dan skizofrenia. Efek fenotiazin, piperazin dan
butirofenon berbeda secara kuantitatif karena butirrofenon selain
menghambat efek dopamin juga meningkatkan turnover rate nya. Pada
beberapa organ golongan ini mempunyai efek diantaranya :
- Susunan saraf pusat : haloperidol menenangkan dan menyebabkan
tidur pada orang yang eksitasi. Efek sedatif haloperidol kurang kuat
dibanding CPZ namun keduanya sama-sama memperlambat
gelombang teta jika dilihat dengan EEG. Keduanya juga sama-sama
kuat dalam menurunkan ambang konvulsi. Haloperidol
menghambat dopamin dan juga hipotalamus, juga menghambat
muntah yang ditimbulkan apomorfin2.
- Sistem kardiovaskular dan respirasi : haloperidol menyebabkan
hipotensi, tapi tidak sesering dan sehebat yang diakibatkan CPZ.
Halopaeridol menyebabkan takikardi. Haloperidol dan CPZ dapat
menimbulkan potensiasi dengan obat penghambat respirasi.
- Endokrin : seperti CPZ, haloperidol menyebabkan galaktore dan
respon endokrin lain.
2. Farmakokinetik
Haloperidol cepat diserap dari saluran cerna. Kadar puncaknya
dalam plasma tercapai dalam 2-6 jam sejak menelan obat, menetap
sampai 27 jam dan masih ditemukan dalam plasma sampai berminggu-
minggu. Obat ini ditimbun dalam hati dan 1% obat diekskresikan lewat
empedu. Ekskresinya lambat melalui ginjal. Kira-kira 40% diekskresi
dalam 5 hari setelah pemberian dosis tunggal2.
3. Indikasi
Indikasi utama adalah untuk psikosis. Butirofenon merupakan
obat pilihan untuk mengobati sindrome Gilles dela tourette, suatu
kelainan aneh yang ditandai dengan kejang otot hebat grimace dan
mengeluarkan kata-kata jorok.
4. Efek samping
Menimbulkan rekasi ekstrapiramidal dengan insidensi yang
tinggi terutama pada penderita usia muda. Pengobatan dengan
haloperidol harus dimulai dengan hati-hati. Dapat terjadi depresi akibat
reversi keadaan mania atau sebagai efek samping yang sebenarnya.
Perubahan hematologik sering dilaporkan yaitu leukopenia dan
agranulositosis. Ikterus juga merupakan efek samping namun angka
kejadiannya rendah. Sebaiknya obat ini tidak diberikan pada wanita
hamil karena sifatnya yang teratogenik.
III. Golongan Atypical
Risperidone dibandingkan dengan semua jenis antipsikotik atipikal,
risperidone merupakan yang paling banyak diteliti. Hal tersebut
disebabkan efektifitas risperidone, dapat ditoleransi pada dosis rendah
(1,5-6mg/hari) dan memberikan perbaikan yang nyata pada pasien
skizofrenia usia lanjut. Rainer et al meneliti penggunaan Risperidone
dalam rentang dosis fleksibel 0,5-2mg/hari untuk mengatasi agresi, agitasi
dan gangguan psikotik pada 34 pasien demensia rawat inap dengan rata-
rata usia 76 tahun.
Hasilnya terjadi perbaikan gejala yang dinilai dari Clinical Global
Impression (CGI) pada 82% responden penelitian. Frekuensi dan
keparahan halusinasi, waham, agresi dan iritabilitas juga menurun, yang
dilihat dari rating Neuropsychiatric Inventory (NPI). Penggunaan
risperidone pada kelompok tersebut juga tidak membuat perubahan pada
fungsi kognitif pasien yang dilihat melalui skor Mini-Mental State
Examination (MMSE), Age Concentration Test [AKT] dan Brief
Syndrome Test [SKT].
Risperidone juga secara umum dapat ditoleransi dan tidak
menimbulkan efek samping ekstra piramidial yang bermakna. Penelitian
yang melibatkan lebih banyak pasien dan tempat dilakukan oleh Arriola et
al pada 263 pasien dengan rata-rata usia 75,5 tahun. Dosis risperidone
yang digunakan pada penelitian (rata-rata(SD)) adalah 1,4 (0,7) mg/day
pada 1 bulan dan 1,5 (0,8) mg/hari pada 3 bulan. Perbaikan gejala diukur
menggunakan Neuropsychiatric Inventory (NPI) dan skala Clinical Global
Impression of Severity (CGI-S). Hasilnya terdapat penurunan skor NPI dan
CGI-S yang secara statistik bermakna. Perbaikan gejala terutama pada
gejala agitasi/ agresif dan ganguan tidur. Penelitian tersebut juga mencatat
adanya perbaikan dari gejala ekstrapiramidal.
Penelitian lain melibatkan pengumpulan data dari tiga penelitian
acak dengan menggunakan plasebo (randomized, placebo-controlled trials)
untuk melihat efikasi dan keamanan risperidone dalam mengobati agitasi,
afresi dan gejala psikosis pada pasien demensia usia lanjut pada panti
werdha. Dosis rata-rata yang digunakan adalah 1mg/hari. Ditemukan
adanya perbaikan skor CGI, Cohen-Mansfield agitation inventory (CMAI)
dan behavioral pathology in Alzheimer’s disease (BEHAVE-AD) pada
semua responden penelitian yang menggunakan risperidone dibandingkan
plasebo.
Penelitian tersebut seperti penelitian yang lain yang menggunakan
risperidone juga tidak menemukan adanya efek samping ortostatik,
antikolinergik, jatuh dan penurunan kognitif pada penggunaan sesuai
rentang dosis pada penelitian. Selain untuk mengatasi gejala agresivitas,
agitasi dan psikotik yang berkaitan dengan demensia, risperidone juga
digunakan pada pasien usia lanjut yang menderita skizofrenia.
Kepustakaan mencatat risperidone dan olanzapine adalah dua
antipsikotik atipikal yang paling sering digunakan pada populasi pasien
usia lanjut. Penelitian tersamar berganda dilakukan selama 8 minggu
terhadap 175 pasien rawat jalan, pasien rawat inap dan panti werdha yang
berusia 60 tahun ke atas menggunakan risperidone (1 mg to 3 mg/hari)
atau olanzapine (5 mg to 20 mg/hari). Hasilnya terdapat perbaikan pada
nilai skor PANSS pada kedua kelompok. Efek samping ektrapiramidal
terlihat pada 9,2% pasien kelompok risperidone dan 15,9% pasien
kelompok olanzapine. Secara umum skor total dari Extrapyramidal
Symptom Rating Scale menurun pada kedua kelompok di akhir penelitian.
Peningkatan berat badan juga didapatkan di dua kelompok namun lebih
jarang terjadi pada pasien yang menggunakan risperidone1.
D. ANTI ANSIETAS
Obat anti-ansietas mempunyai beberapa sinonim, antara lain
psikoleptik, transquilizer minor dan anksioliktik. Dalam membicarakan obat
antiansietas yang menjadi obat racun adalah diazepam atau
klordiazepoksid3.
Obat ini pada umumnya memiliki sifat yang sama yaitu sebagai
sedatif. Anti ansietas yang utama adalah golongan benzodiazepin. Generik,
golongan dan sediaan serta dosis obat anti ansietas dapat dilihat pada tabel
berikut1 :
No Generik Golongan Sediaan Dosis 1 Diazepam Benzodiazepin Tab 10 mg 2-3 x 10
mg/hr2 Klordiazepoksoid Benzodiazepin Cap 5-10mg 2-3 x 5 mg /
Hr3 Lorazepam Benzodiazepin Tab0,25-0,5-
1 mg3 x 0,25-0,5 mg/hr
4 Clobazam Benzodiazepin Tab 5 mg 2-3 x 5 mg/hr5 Brumazepin Benzodiazepin Cap 50 mg 100-200
mg/hari6 Oksazolom Benzodiazepin Tab 10 mg 2-3 x 10 mg/hr
7 Klorazepat Benzodiazepin Cap 5-10mg 2-3 x 5 mg / Hr
8 Alprazolam Benzodiazepin Tab0,25-0,5-1 mg
3 x 0,25-0,5 mg/hr
9 Prazepam Benzodiazepin Tab 5 mg 2-3 x 5 mg/hr10 Sulpirid Non
BenzodiazepinCap 50 mg 100-200
mg/hari11 Buspiron Non
BenzodiazepinTab 10 mg 15-30 mg/hari
1. Farmakodinamik
Cara kerja obat ini adalah potensiasi inhibisi neuron dengan GABA
sebagai mediatornya. Efek farmakodinamik derivat benzodiazepin
lebih luas daripada efek mepobramat dan barbiturat. Klordiazepoksid
tidak hanya bekerja sentral, tetapi juga perifer pada susunan saraf
kolinergik, adrenergik dan triptaminergik.
2. Farmakokinetik
Setelah pemberian oral, klordiazepoksid mencapai kadar tertinggi
dalam 8 jam dan menetap tinggi sampai 24 jam. Ekskresi
benzodiazepin melalui ginjal secara lambat. Setelah pemberian satu
dosis obat masih ditemukan dalam urin setelah beberapa hari.
3. Indikasi
Derivat benzodiazepin digunakan untuk meimbulkan sedasi,
menghilangkan rasa cemas dan keadaan psikosomatik yang ada
hubungannya dengan rasa cemas. Selain sebagai anti ansietas derivat
benzodiazepin juga digunakan sebagai anti konvulsi, pelemas otot,
hipnotik dan induksi anestesi general.
4. Kontra Indikasi
Derivat benzodiazepin jangan diberikan bersama alkohol,
barbiturat atau fenotiazin. Kombinasi ini akan menimbulkan efek
depresi yang berlebihan.
5. Cara Pemberian
Klobazam : untuk pasien dewasa dan lanjut usia yang ingin
tetap aktif
Lorazepam : untuk pasien dengan kelainan fungsi hati dan
ginjal.
Alprazolam efektif untuk anti ansietas antisipatorik, mula kerja
lebih cepat dan mempunyai efek antidepresan.
Sulpirid -50 efektif untuk meredakan gejala somatik dari
sindrome ansietas dan paling kecil menimbulkan risiko
ketergantungan.
6. Efek Samping
Efek samping dapat berupa :
1. Sedasi (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja
psikomotor berkurang, kemampuan kognitif melemah)
2. Relaksasi otot (rasa lemas, cepat lelah dll)
3. Potensi menimbulkan ketergantungan lebih rendah dari
narkotika oleh karena at therapeutic dose dose they have low
reinforcing propertis
4. Potensi menimbulkan ketergantungan obat dikarenakan obat
yang masih dapat dipertahankan setelah dosis terakhir
berlangsung sangat singkat.
5. Penghentian obat secara mendadak akan menimbulkan gejala
putus obat (rebound phenomen); pasien menjadi iritable,
bingung, gelisah, insomnia, tremor, palpitasi, keringat dingin,
konvulsi dan lain-lain3.
E. ANTI DEPRESI
Depresi adalah gangguan yang heterogen. Ada beberapa klasifikasi
depresi menurut DSM-IVR yang dikeluarkan oleh beberapa ahli psikiatri di
Amerika. Secara sederhana pembagian depresi adalah sebagai berikut :
1. Depresi reaktif sekunder
Paling umum dijumpai sebagai respon terhadap penyebab nyata,
misalkan; penyakit dan kesedihan. Dulu dikenal sebagai depresi
eksogen.
2. Depresi endogen
Merupakan gangguan biokimia yang ditentukan secara genetik,
bermanifestasi sebagai ketidakmampuan untuk mengatasi sters yang
biasa.
3. Depresi yang berhubungan dengan gangguan afektif bipolar, yaitu
depresi dan mania yang terjadi bergantian.
Obat antidepresan mempunyai bebrap sinonim antaralain,
timoleptik atau psychic energizer. Yang akan dibahas dalam pustaka ini
adalah obat antidepresi golongsn penghambat MAO dan antidepresi
trisiklik. Penggolongan obat, sediaan dan dosis anjuran dapat dilihat
pada tabel berikut1 :
I. Penghambat Mono Amin Oksidase
A. Farmakodinamik
Penghambat mono amin oksidase digunakan sebagai
antidepresi sejak 15 tahun yang lalu. MAO dalam tubuh terdapat
pada intraseluler tepatnya di mitokondria. MAO dalam tubuh
berfungsi dalam meningkatkan kadar ephrineprin, norephrineprin
dan 5HT dalam otak. Sedangkan hubungannya dengan proses psikis
belum diketahui.
MAOI bekerja di sistem saraf pusat, sistem saraf simpatik,
hati dan saluran gastrointestinal. Pada dosis diatas 60mg/ hari dapat
menghambat ambilan kembali atau meningkatkan pelepasan
dopamin dan norepinephrin serta serotonin hingga pada tingkat yang
lebih sedikit. Efek utama MAOI dalam psikiatri adalah pada SSP.
Disamping efeknya pada mood depresi, MAOI dikaitkan dengan
gangguan tidur dan arsitektur tidur yang bermakna secara klinis.
B. Farmakokinetik
Penhelzyn, tranylcyplomin, dan isocarboxazid mudah
diabsorbsi di saluran cerna dan mencapai konsentrasi puncak dalam
2 jam. Waktu paruh dalam plasma berkisar antara 2 sampai 3 jam;
waktu paruh dalam jaringan lebih lama. Karena obat ini
menonaktifan MAO secara reversibel, efek terapuetik dosis tunggal
MAOI ireversibel dapat berlangsung selama 2minggu. Golongan
penghambat reversibel monoamin (RIMA) meclobemide cepat
diabsorbsi dan memiliki waktu paruh selama 0,5-3,5 jam. Ini artinya
memiliki efek yang lebih singkat daripada MAOI.
C. Indikasi
Indikasi MAOI serupa dengan obat anti depresi trisiklik dan
tetrasiklik. MAOI terutama efektif pada gangguan panik dengan
agorafobia, stress pasca trauma, gangguan makan, fobia sosial dan
gangguan nyeri. Sejumlah penelitian mencatat bahwa obat MAOI
banyak digunakan sebagai pilihan untuk terapi depresi dengan gejala
hipersomnia, hiperfagia, ansietas dan tidak adanya gejala vegetatif.
D. Kontra Indikasi
MAOI harus digunaka sangat hati-hati pada orang dengan
penyakit ginjal, kardiovaskular dan hipotiroidisme. Obat ini juga
dikontra indikasikan bagi pasien dengan kehamilan walaupun sedikit
sekali dilaporkan bahwa obat ini bersifat teratogenik.
E. Efek Samping
Efek samping MAOI adalah hipotensi ortostatik, insomnia,
berat badan bertambah, edema, dan disfungsi seksual. Efek simpang
MAOI yang jarang terjadi antaralain, krisis hipertensi spontan yang
dicetuskan oleh bukan tiramin, terjadi pertama setelah pajanan dengan
obat. Parestesia, mioklonus, dan nyeri otot kadang-kadang ditemukan
pada orang yang diterapi dengan MAOI. Parestesia disebabkan oleh
adanya defisiansi piridoksin yang dicetuskan oleh MAOI yang dapat
berespon dengan penambahan piridoksin 50-150 mg per oral per hari.
Efek samping RIMA moclobemide yang paling lazim adalah
mual, pusing, dan gangguan tidur.
II. Antidepresan Trisiklik
1. Farmakodinamik
Umumnya yang digunakan sekarang adalah dalam golongan
trisiklik (misalnya imipramin, amitriptilin, dothiepin dan
lofepramin). Golongan obat ini bekerja dengan menghambat
ambilan kembali neurotransmiter di otak. Dari beragam jenis anti
depresi trisiklik terdapat perbedaan beraneka perbedaan potensi dan
selektivitas hambatan ambilan kembali berbagai neurotransmiter.
Ada yang sangat sensitiv terhadap norepinephrin dan ada yang
sensitif terhadap serotonin dan ada pula yang dopamin.
Pada orang normal obat ini memberikan efek lelah obat tidak
meningkatkan alam perasaan (elevation of mood) dan
meningkatnya rasa cemas. Pemberian jangka lama dapat
menyebabkan penurunan konsentrasi dan proses berfikir serupa
yang ditimbulkan oleh CPZ.
Sebaliknya, bila obat diberikan dalam jangka lama bagi
penderita depresi, terjadi peningkatan alam perasaan. Belum dapat
dijelaskan mengapa hilangnya gejala depresi baru terlihat setelah
pengobatan sekitar 2-3 minggu. Tidak jelas hubungan antara efek
obat dengan kadar dalam plasma. Mekanisme anti depresi imaparin
tidak jelas, tetapi terjadinya mania, euforia dan insomnia pada
penderita psikiatri menunjukkan bahwa obat ini berefek stimulasi.
Trisiklik (TCA) memblokade reuptake dari noradrenalin dan
serotonin yang menuju neuron presinaps. SSRI hanya memblokade
reuptake dari serotonin. MAOI menghambat pengrusakan serotonin
pada sinaps. Mianserin dan mirtazapin memblokade reseptor alfa 2
presinaps. Setiap mekanisme kerja dari antidepresan melibatkan
modulasi pre atau post sinaps atau disebut respon elektrofisiologis1.
2. Farmakokinetik
Efek obat setelah pemberian 75-100 mg terbagi dalam beberapa
kali pemberian dalam 2 hari dan 50 mg untuk hari selanjutnya
sampai dosis tercapai 200-250mg akan menimbulkan efek setelah
2-3 minggu pemberian.
3. Kontra Indikasi
Penyakit jantung koroner, glaukoma, retensi urin, hiperplasi
prostat dan gangguan fungsi hati3.
4. Efek Samping
Pada susunan saraf pusat, imaparin menunjukkan efek
muskarinik, sehingga dapat terjadi efek penglihatan kabur, mulut
kering, obstipasi dan retensi urin. Imiparin sering menimbulkan
ikterik ikterus kolestatik, gejala akan hilang setelah pengobatan
dihentikan. Selain itu kadang timbul eksantema dan pada keadaan
toksisk dapat terjadi hipertensi dan hiperpireksia namun juga sering
menimbulkan hipotensi ortostatik.
F. ANTI MANIA
Obat anti mania mempunyai beberapa sinonim antara lain mood
modulators, mood stabilizers dan antimanik. Dalam membicarakan obat
antimania yang menjadi acuan adalah litium karbonat. Berikut berbagai
obat anti mania dengan berbagai sediaan dan dosis anjurannya.
1. Farmakodinamik
Litium tidak bersifat sedatif, depresif atau suatu euforian.
Mekanisme kerjanya sebagai mood stabilizing agent belum
diketahui dengan pasti walaupun ada dugaan berefek terhadap
membran biologik. Yang khas dari sifat litium adalah dapat
menembus membran biologik. Disini diduga litium dapat
mengganti peran natrium dalam menimbulkan potensial aksi
neuron. Dalam suatu percobaan, litium kadar rendah dapat
membantu metabolisme monoamin biogenik yang berperan dalam
patofosiologi terjadinya gangguan mood4.
2. Farmakokinetik
Setelah dikonsumsi, litium sepenuhnya diabsorbsi lewat saluran
gastrointestinal. Puncak kadar serum dalam 1 hingga 1,5 jam untuk
sediaan standar dan 4,5 jam untuk sediaan lepas terkendali. Litium
tidak tidak terikat dalam protein plasma, tidak didistribusikan sama
pada air tubuh. Litium tidak melintasi sawar darah dengan cepat.
Waktu paruh 7 jam setelah asupan. Litium hampir selurhnya
diekskresi di ginjal. Dan menurun ekskresinya jika ada kelainan
ginjal5.
3. Indikasi dan Pemberian
Kira-kira 80% pasien manik berespon terhadap litium
meskipun respon litium sendiri membuthkan waktu 1-3 minggu
terapi konsentrasi terapuetik. Untuk mengatasi periode mania
dengan segera, sebelum efek tercapai diobati dulu dengan
golongan benzodiazepin (klonopin) dan lorazepam pada 1-3
minggu pertama. Gejala pada seperlima hingga setengah pasien
skizofrenia berkurang setelah diberikan litium bersamaan dengan
antipsiokotik5.
4. Kontra Indikasi
Litium tidak boleh diberikan pada perempuan hamil pada
trimester pertama karena risiko terjadinya defek lahir. Malformasi
adalah kejadian tersering terutama anomali Eibstein pada katub
trikuspid. Pada perempuan pasca melahirkan yang diterapi dengan
obat ini, mempunyai risiko toksisitas pada bayi dan ini dapat
dikurangi risikonya dengan hidrasi saat persalinan.
5. Efek Samping
a) Gejala efek samping dini pada pengobatan jangka panjang:
Mulut kering, haus, saluran cerna (mual, muntah dan
diare), kelemahan otot, poliuria, tremor.
Tidak ada gangguan sedasi maupun ekstrapiramidal.
b) Efek samping lain :
Hipotiroidisme, peningkatan berat badan, edem tungkai,
gangguan daya ingat, konsentrasi dan pikiran, serta
leukositosis.
c) Gejala intoksikasi :
Gejala dini seperti, muntah, diare, tremor kasar,
mengantuk dan penurunan konsentrasi.
Gejala semakin memberat ditandai dengan, kesadaran
menurun, oliguri dan kejang-kejang. Maka perlu diadakan
pengawasan yang ketat pada terapi ini. (Metta, 2005)
G. ANTI INSOMNIA
Obat anti insomnia mempunyai beberapa sinonim antaralain
hipnotik, somnifacient, atau hipnotika hipnotik, somnifacient, atau
hipnotika dan somnifasien. Obat yang menjadi acuan adalah fenobarbital.
Obat- obat yang dapat dipakai sebagai golongan anti insomnia antaralain
seperti berikut dalam tabel.
1. Farmakodinamik
Obat anti-insomnia bekerja pada reseptor BZ1 di susunan saraf
pusat yang berperan dalam memperantarai proses tidur.
2. Cara penggunaan
Dosis anjuran untuk pemberian tunggal 15-30 menit sebelum tidur.
Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan
dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off
untuk mencegah timbulnya rebound dan toleransi obat.
Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis
lebih perlahan-lahan untuk menghidari oversedation dan intoksikasi.
Lama pemberian tidak lebih dari 2 minggu agar risiko ketergantungan
kecil.
3. Kontra Indikasi
Sleep apnoe syndrome
Congestive heart failure
Chronic respiratory disease
Wanita hamil dan menyusui
4. Efek Samping
Supresi SSP pada saat tidur
Rebound Phenomen
Disinhibiting efect yang menyebabkan perilaku penyerangan dan
ganas pada penggunaan golongan benzodiazepine dalam waktu yang
lama. (Mansjoer, 2000)
H. ANTI OBSESIF-KOMPULSI
Obat yang menjadi acuan adalah klompramine. Obat ini dapat
digolongkan atas : obat anti osesi kompulsi trisiklik (klompramine) dan
obat anti obsesi kompulsi SSRI (sentrali paroksin, flovokamin dan
fluoksetin).
1. Farmakodinamik
Obat ini bekerja dengan menghambat re-uptake neurotransmitter
serotonin sehingga gejala mereda.
2. Cara Pemberian
Sampai sekarang obat pilihan untuk gangguan obsesi kompulsi
adalah klomipramin. Terhadap meraka yang peka dapat dialihkan ke
golongan SSRI dimana efek samping relatif aman. Obat dimulai
dengan dosis rendah klomopramin mulai dengan 25-50 mg /hari (dosis
tunggal malam hari), dinaikkan secara bertahap dengan penambahan
25 mg/hari sampai tercaapi dosis efektif (biasanya 200-300 mg/hari).
Dosis pemeliharan umumnya agak tinggi, meskipun bersifat
individual, klomipramin sekitar 100-200 mg/hari dan sertralin 100
mg/hari. Sebelum dihentikan lakukan pengurangan dosis secara
tappering off. Meskipun respon dapat terlihat dalam 1-2 minggu,
untuk mendapatkan hasil yang memadai setidaknya diperlukan waktu
2- 3 bulan dengan dosis antara 75-225 mg/hari
3. Efek Samping
1. Efek samping obat anti kompulsi trisiklik sama dengan seperti
obat anti depresan trisiklik, antaralain :
2. Efek antihistamin : sedasi, rasa mengantuk, kewaspadaan
berkurang, kinerja psikomotor menurun, dan kemampuan kognitif
yang menurun.
3. Efek anti kolinergik : mulut kering, keluhan lambung, retensi urin
sampai disuria, penglihatan kabur, konstipasi, gangguan fungsi
seksual dan takikardi.
4. Efek anti adrenergik alfa : perubahan EKG dan hipotensi ortostatik.
5. Efek neurotoksik : tremor halus, kejang epileptik, agitasi dan
insomnia.
I. ANTI PANIK
Dalam membicarakan antipanik yang menjadi obat acuan adalah
imipramin. Penggolongan obat anti panik dibagi atas :
Obat anti panik trisiklik (contoh : imipramin, klomipramin)
Obat anti panik benzodiazepin ( contoh : alprazolam)
Obat anti panik RIMA (contoh : mokoblemid)
Obat antipanik SSRI (contoh : sertalin, fluoksetin, paroksetin dan
fluoksamin)
1. Farmakodinamik
Sindrom panik berkaitan dengan hipersensitivitas dari serotonic
reseptor di SSP. Mekanisme kerja obat antipanik adalah menghambat
reuptake serotonin pada celah sinaptik antar neuron.
2. Cara Pemakaian
Semua jenis obat sama efektif dalam mengatasi panik pada
taraf ringan maupun sedang. Mulai dengan dosis rendah, tingkatkan
secara perlahan dalam beberapa minggu. Dosis efektif biasanya dicapai
dalam 2-3 bulan. Lamanya pemberian obat tergantung dari individual,
umunya selama 6-12 bulan, kemudian dihentikan secara bertahap
selama 3 bulan bila kondisi penderita sudah memungkinkan.
Dalam waktu 3 bulan bebas obat 75% penderita menunjukkan
gejala kambuh. Dalam keadaan ini maka pemberian obat dengan dosis
semula diulangi selama 2 tahun. Setelah itu dihentikan secara bertahap
selama 3 bulan.
3. Kontra Indikasi
Pada penggunaan fluoksatin, kontra indikasi terhadap pasien
yang telah menggunakan MAO selama 2 minggu terakhir. Tidak
dianjurkan pada anak-anak dan ibu hamil6.
4. Efek Samping
Efek samping obat anti panik golongan trisiklik antaralain
sebagai berikut :
a) Efek samping obat anti kompulsi trisiklik sama dengan seperti
obat anti depresan trisiklik, antaralain :
b) Efek antihistamin : sedasi, rasa mengantuk, kewaspadaan
berkurang, kinerja psikomotor menurun, dan kemampuan kognitif
yang menurun.
c) Efek anti kolinergik : mulut kering, keluhan lambung, retensi urin
sampai disuria, penglihatan kabur, konstipasi, gangguan fungsi
seksual dan takikardi.
d) Efek anti adrenergik alfa : perubahan EKG dan hipotensi ortostatik.
e) Efek neurotoksik : tremor halus, kejang epileptik, agitasi dan
insomnia3.
BAB III
PENUTUP
Golongan obat psikofarmaka yang banyak dipergunakan adalah obat
antipsikosis, obat anti mania dan obat antidepresi. Penggunaan jenis obat ini
perlu pengawasan yang ketat karena seringkali menimbulkan efek samping
seperti ketergantungan psikologis dan fisik yang dapat mengakibatkan
keracunan obat, depresi dan kehilangan sifat menahan diri, gangguan paru-
paru, gangguan psikomotoris dan iritatif (mudah marah, gelisah dan ansietas
bila obat dihentikan). Oleh sebab itu, banyak variable yang melekat pada
praktek psikofarmakologi, termasuk pemilihan obat, peresepan, pemberian, arti
psikodinamika bagi pasien dan pengaruh keluarga serta lingkungan.
Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara
selektif pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap
aktivitas mental dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang
berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup pasien.
Obat psikotropik dibagi menjadi beberapa golongan, diantaranya:
antipsikosis, anti-depresi, anti-mania, anti-ansietas, anti-insomnia, anti-panik,
dan anti obsesif-kompulsif,. Pembagian lainnya dari obat psikotropik antara
lain: transquilizer, neuroleptic, antidepressants dan psikomimetika.
DAFTAR PUSTAKA
1. Andri. Tatalaksana Psikofarmaka dalam Manajemen Gejala Psikosis Penderita Usia Lanjut Volume 59. Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Krida Wacana. Jakarta. 2009. Pp 444-49.
2. Metta, Sinta Sari & Santoso, Sarjono O. Psikotropik dalam Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Gaya Baru. Jakarta. 2005. Hal 148-62.
3. Mansjoer, Arif dkk. Terapi Farmakologis Psikiatri dalam Kapita Selekta Kedokteran edisi 3. Media Aesculapius. Jakarta. 2000. Hal 237-46.
4. Neal, Michael J. Penatalaksanaan Psikologik dalam At a Glance Farmakologi Medis edisi 4. Penerbit Erlangga. Jakarta. 2008. Hal 72-79.
5. Sadock, Benjamin J & Virginia A. Editor Profitasari dkk. Terapi Biologis dalam Buku Ajar Psikiatri Klinis. EGC. Jakarta. 2010. Hal 459-534.
6. Trisna, Yulia & Kosasih. Psikofarmaka dalam ISO Indinesia. ISFI. Jakarta. 2008. Hal 231-5.
7. Maslim, Rusdi. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik
(Psychotropic Medication) edisi 3. Jakarta. Bagian Ilmu Kedokteran
Jiwa FK Unika Atma Jaya. 2007