Upload
nisrin03
View
151
Download
27
Embed Size (px)
DESCRIPTION
obgyn
Citation preview
Kata Pengantar
Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan
kenikmatan kesehatan baik jasmani maupun rohani sehingga pada kesempatan ini saya
dapat menyelesaikan penyusunan tugas referat yang berjudul “Perdarahan pada
kehamilan”. Saya mengharapkan saran dan kritik yang dapat membangun dari berbagai
pihak agar dikesempatan yang akan datang saya dapat membuatnya lebih baik lagi.
Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih sebesar – besarnya kepada
dr. Zuherdi, Sp. OG serta berbagai pihak yang telah membantu saya dalam
menyelesaikan penulisan refrat ini.
Semoga refrat ini dapat bermanfaat untuk kita semua.
Bekasi, Oktober 2014
Nisrina Fariha
1
DAFTAR ISI
Judul Halaman
Kata Pengantar……………………………………………………………………. 1
Daftar isi………………………………………………………………………….. 2
BAB I Pendahuluan
Latar Belakang………………………………………………………………........ 3
BAB II Pembahasan
A. Definisi dan Klasifikasi……………………………………………………….. 4
B. Pengawasan ANC…………………………………………………………….. 5
C. Penanganan………………………………………………………………….... 5
D. Abortus……………………………………………………………………...... 7
E. Kehamilan Ektopik………………………………………………………….... 14
F. Mola Hidatidosa………………………………………………………………. 22
G. Placenta Previa………………………………………………………………… 25
H. Solusio Placenta……………………………………………………………….. 35
Daftar Pustaka…………………………………………………………………… 46
2
BAB I
PENDAHULUAN
Setiap tahun didunia terdapat kematian perinatal yang tinggi yaitu 3 juta kematian
janin sebelum lahir (still-birth) dan 3 juta kematian neonatus dini (dalam usia ≤ 7 hari).
Peristiwa tragis ini 99% terjadi di negara berkembang dan hanya 1% di negara maju. Dari
aspek prenatal care lebih 35% dari perempuan hamil tersebut tidak memperoleh asuhan
kehamilan, dan dari aspek intranatal care 50% persalinan ditangani oleh petugas yang
tidak terampil. Jika melihat latar belakang yang menyebabkan kematian maternal dan
perinatal di atas, sesungguhnya secara teknis medis kematian tersebut tidak harus terjadi.
Namun, kematian meternal dan perinatal terjadi juga. Salah satu faktor yang
mempengaruhi mortalitas dan morbiditas maternal dan perinatal adalah faktor
keterlambatan pasien menerima bantuan medis saat pertama pasien mulai sakit di rumah
(delay in decision to seek care), kemudian keterlambatan dalam pengangkutan dan
perjalanan (delay in reaching care), bahkan setelah tiba di rumah sakit pun masih terjadi
keterlambatan (delay in receiving care).1
Perdarahan obstetrik yang tidak dengan cepat diatasi dengan transfusi darah atau
cairan infus dan fasilitas penanggulangan lainnya (misal upaya pencegahan dan atau
mengatasi syok, seksio sesarea atau histerektomi dan terapi antibiotika yang sesuai),
prognosisnya akan fatal bagi penderitanya.1
Perdarahan pada kehamilan harus selalu dianggap sebagai kelainan yang
berbahaya. Pedarahan antepartum biasanya di batasi pada perdarahan jalan lahir setelah
kehamilan 28 Minggu, walaupun patfisiologi yang sama dapat pula terjadi pada
kehamilan sebelum 28 Minggu. Perdarahan setelah kehamilan 28 Minggu biasanya lebih
banyak & lebih berbahaya dari pada sebelum kehamilan 28 Minggu, oleh karena itu
memerlukan penanganan berbeda.1,2
BAB II
3
PEMBAHASAN
DEFINISI DAN KLASIFIKASI 1,3
Perdarahan selama kehamilan dapat dianggap sebagai suatu keadaan akut yang
dapat membahayakan ibu dan anak, sampai dapat menimbulkan kematian.
Perdarahan pada kehamilan muda adalah perdarahan pervaginam pada kehmilan kurang
dari 22 minggu.
Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi setelah kehamilan 28 minggu.
Biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya daripada perdarahan kehamilan sebelum 28
minggu.
Perdarahan antepartum yang berbahaya umumnya bersumber pada kelainan
plasenta, sedangkan perdarahan yang tidak bersumber pada kelainan plasenta
umpamanya kelainan serviks biasanya tidak berbahaya. Pada kasus perdarahan
antepartum, pikirkan kemungkinan yang lebih berbahaya lebih dahulu, yaitu perdarahan
dari plasenta, karena merupakan kemungkinan dengan prognosis terburuk atau terberat,
dan memerlukan penatalaksanaan gawat darurat segera.
Ada beberapa keadaan yang dapat menimbulkan perdarahan pada awal
kehamilan, antara lain:
1. Keguguran atau abortus
2. Kehamilan Ektopik Terganggu
3. Mola Hidatidosa
Perdarahan antepartum dapat berasal dari :³
Kelainan plasenta, yaitu plasenta previa, solutio plasenta (abruption
plasenta), atau perdarahan antepartum yang belum jelas sumbernya.
Bukan dari kelainan plasenta, biasanya tidak begitu berbahaya,
misalnya kelainan serviks dan vagina serta trauma.
4
PENGAWASAN ANTENATAL 1
Pengawasan antenatal dapat dipakai sebagai cara untuk mengetahui atau
menanggulangi perdarahan antepartum, yaitu :
1. Penentuan golongan darah ibu dan golongan darah calon donornya
2. Pengobatan anemia dalam kehamilan
3. Seleksi ibu untuk bersalin dirumah sakit
4. Memperhatikan kemungkinan adanya plasenta previa
5. Mencegah serta mengobati penyakit hipertensi menahun dan pre-
eklampsia.
Para ibu hamil yang patut dicurigai akan mengalami perdarahan antepartum
ialah :
1. Para ibu yang umurnya telah lebih dari 35 tahun
2. Paritasnya 5 atau lebih
3. Bagian terbawah janin selalu terapung di atas pintu atas panggul, atau
4. Menderita pre-eklampsia
PENANGANAN 1
Penderita harus segera dibawa ke rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk
transfusi darah dan operasi. Pemasangan tampon dalam vagina tidak berguna sama sekali
5
untuk menghentikan perdarahan, malahan menambah perdarahan karena sentuhan serviks
sewaktu pemasangan. Selagi penderita belum jatuh ke dalam keadaan syok, infus cairan
intravena harus segera dipasang, dan dipertahankan terus sampai tiba di rumah sakit.
Memasang jarum infus ke dalam pembuluh darah, sehingga akan jauh lebih memudahkan
transfusi darah apabila sewaktu-waktu diperlukan. segera setelah tiba di rumah sakit
pengadaan darah harus segera dilakukan.
6
ABORTUS
DEFINISI DAN KLASIFIKASI1,3,5
Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan sebelum janin mencapai berat 500
gram atau umur kehamilan kurang dari 22 minggu atau buah kehamilan belum mampu
untuk hidup di luar kandungan.
1) Abortus spontan
Abortus yang terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis untuk mengosongkan
uterus, maka abortus tersebut dinamai abortus spontan. Kata lain yang luas digunakan
adalah keguguran (Miscarriage).
Abortus spontan secara klinis dapat dibedakan antara abortus imminens, abortus
insipiens, abortus inkompletus, abortus kompletus. Selanjutnya, dikenal pula missed
abortion, abortu habitualis, abortus infeksiosus dan aborrtus septik.
a) Abortus imminens (keguguran mengancam)
Peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu,
dimana hasil konsepsi masih dalam uterus, dan tanpa adanya dilatasi serviks. Diagnosis
abortus imminens ditentukan karena pada wanita hamil terjadi perdarahan melalui ostium
uteri eksternum, disertai mules sedikit atau tidak sama sekali, uterus membesar sebesar
tuanya kehamilan, serviks belum membuka, dan tes kehamilan positif. Pada beberapa
wanita hamil dapat terjadi perdarahan sedikit pada saat haid yang semestinya datang jika
tidak terjadi pembuahan. Hal ini disebabkan oleh penembusan villi koreales ke dalam
desidua, pada saat implantasi ovum. Perdarahan implantasi biasanya sedikit, warnanya
merah, cepat berhenti, dan tidak disertai mules-mules.
Gambar 1. Ostium uteri yang masih tertutup.
b) Abortus incipiene (keguguran berlangsung)
7
Peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan adanya
dilatasi serviks uteri yang meningkat, tetapi hasil konsepsi masih dalam uterus. Dalam hal
ini rasa mules menjadi lebih sering dan kuat, perdarahan bertambah.
c) Abortus incomplet (keguguran tidak lengkap)
Pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan
masih ada sisa tertinggal dalam uterus. Pada pemeriksaan vaginal, kanalis servikalis
terbuka dan jaringan dapat diraba dalam kavum uteri atau kadangkadang sudah menonjol
dari ostium uteri eksternum.
d) Abortus complet (keguguran lengkap)
Perdarahan pada kehamilan muda di mana seluruh hasil konsepsi telah di
keluarkan dari kavum uteri. Seluruh buah kehamilan telah dilahirkan dengan lengkap.
Pada penderita ditemukan perdarahan sedikit, ostium uteri telah menutup, dan uterus
sudah banyak mengecil. Diagnosis dapat di permudah apabila hasil konsepsi dapat
diperiksa dan dapat dinyatakan bahwa semuanya sudah keluar dengan lengkap.
e) Abortus infeksiosa dan Abortus septic
Abortus infeksiosa adalah abortus yang disertai infeksi pada genitalia, sedangkan
abortus septik adalah abortus infeksiosa berat dengan penyebaran kuman atau toksinnya
ke dalam peredaran darah atau peritoneum. Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat
terjadi pada tiap abortus, tetapi biasanya ditemukan pada abortus inkompletus dan lebih
sering ditemukan pada abortus buatan yang dikerjakan tanpa memperhatikan asepsis dan
antisepsis. Umumnya pada abortus infeksiosa, infeksi terbatas pada desidua. Pada
abortus septik virulensi bakteri tinggi, dan infeksi menyebar ke miometrium, tuba,
parametrium, dan peritoneum. Apabila infeksi menyebar lebih jauh, terjadilah peritonitis
umum atau sepsis, dengan kemungkinan diikuti oleh syok.
Diagnosis abortus infeksiosa ditentukan dengan adanya abortus yang disertai
gejala dan tanda infeksi genitalia, seperti panas, takikardi, perdarahan pervaginam
berbau, uterus yang membesar, lembek, serta nyeri tekan, dan leukositosis. Apabila
terdapat sepsis, penderita tampak sakit berat, kadang kadang menggigil, demam tinggi
dan tekanan darah menurun.
f) Missed abortion (retensi janin mati)
8
Kematian janin sebelum berusia 20 minggu, tetapi janin yang mati tertahan di
dalam kavum uteri tidak dikeluarkkan selama 8 minggu atau lebih. Missed abortion
biasanya didahului oleh tanda-tanda abortus imminens yang kemudian menghilang secara
spontan atau setelah pengobatan. Gejala subyektif kehamilan menghilang, mammae agak
mengendor lagi, uterus tidak membesar lagi malah mengecil, dan tes kehamilan menjadi
negatif. Dengan ultrasonografi dapat ditentukan segera apakah janin sudah mati dan
besarnya sesuai dengan usia kehamilan.
g) Abortus habitualis
Keadaan dimana penderita mengalami keguguran berturutturut tiga kali atau
lebih. Pada umumnya penderita tidak sukar menjadi hamil, tetapi kehamilannya berakhir
sebelum 28 minggu. Bishop melaporkan frekuensi 0,41% abortus habitualis pada semua
kehamilan. Menurut Malpas dan Eastman kemungkinan terjadi abortus lagi pada seorang
wanita mengalami abortus habitualis ialah 73% dan 83,6%. Sebaliknya, Warton dan
Fraser dan Llwellyn-Jones member prognosis lebih baik, yaitu 25,9% dan 39%.
2) Abortus provokatus
Abortus terinduksi adalah terminasi kehamilan secara medis atau bedah sebelum
janin mampu hidup. Pada tahun 2000, total 857.475 abortus legal dilaporkan ke Centers
for Disease Control and Prevention. Sekitar 20% dari para wanita ini berusia 19 tahun
atau kurang, dan sebagian besa berumur kurang dari 25 tahun, berkulit putih, dan belum
menikah. Hampir 60% abortus terinduksi dilakukan sebelum usia gestasi 8 minggu, dan
88% sebelum minggu ke 12 kehamilan (Centers for Disease Control and Prevention,
2000).
Abortus ini terbagi lagi menjadi:
a) Abortus therapeutic (Abortus medisinalis)
Abortus karena tindakan kita sendiri, dengan alasan bila kehamilan dilanjutkan,
dapat membahayakan jiwa ibu (berdasarkan indikasi medis). Biasanya perlu mendapat
persetujuan 2 sampai 3 tim dokter ahli.
b) Abortus kriminalis
Abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak legal atau tidak
berdasarkan indikasi medis.
c) Unsafe Abortion
9
Upaya untuk terminasi kehamilan muda dimana pelaksana tindakan tersebut tidak
mempunyai cukup keahlian dan prosedur standar yang aman sehingga dapat
membahayakan keselamatan jiwa pasien.
ETIOLOGI1,3
Penyebab abortus ada berbagai macam yang diantaranya adalah:
1) Faktor maternal
a) Kelainan genetalia ibu, misalnya pada ibu yang menderita:
(1) Anomali kongenital (hipoplasia uteri, uterus bikornis, dan lain-lain).
(2) Kelainan letak dari uterus seperti retrofleksi uteri fiksata.
(3)Tidak sempurnanya persiapan uterus dalam menanti nidasi dari ovum yang sudah
dibuahi, seperti kurangnya progesteron atau estrogen, endometritis, dan mioma
submukosa.
(4) Uterus terlalu cepat teregang (kehamilan ganda, mola hidatidosa).
(5) Distorsia uterus, misalnya karena terdorong oleh tumo pelvis.
b) Penyakit-penyakit ibu
Penyebab abortus belum diketahui secara pasti penyebabnya meskipun sekarang berbagai
penyakit medis, kondisi lingkungan, dan kelainan perkembangan diperkirakan berperan
dalam abortus. Misalnya pada:
(1)Penyakit infeksi yang menyebabkan demam tinggi seperti pneumonia, tifoid, pielitis,
rubeola, demam malta, dan sebagainya. Kematian fetus dapat disebabkan karena toksin
dari ibu atau invasi kuman atau virus pada fetus.
(2)Keracunan Pb, nikotin, gas racun, alkohol, dan lain-lain.
(3)Ibu yang asfiksia seperti pada dekompensasi kordis, penyakit paru berat, anemi gravis.
(4)Malnutrisi, avitaminosis dan gangguan metabolisme, hipotiroid, kekurangan vitamin
A, C, atau E, diabetes melitus.
c) Antagonis rhesus
Pada antagonis rhesus, darah ibu yang melalui plasenta merusak darah fetus, sehingga
terjadi anemia pada fetus yang berakibat meninggalnya fetus.
d) Perangsangan pada ibu yang menyebabkan uterus berkontraksi Misalnya, sangat
terkejut, obat-obat uterotonika, ketakutan, laparatomi, dan lain-lain. Dapat juga karena
10
trauma langsung terhadap fetus: selaput janin rusak langsung karena instrument, benda,
dan obat-obatan.
e) Gangguan sirkulasi plasenta
Dijumpai pada ibu yang menderita penyakit nefritis, hipertensi, toksemia gravidarum,
anomaly plasenta, dan endarteritis oleh karena lues.
f) Usia ibu
Usia juga dapat mempengaruhi kejadian abortus karena pada usia kurang dari 20 tahun
belum matangnya alat reproduksi untuk hamil sehingga dapat merugikan kesehatan ibu
maupun pertumbuhan dan perkembangan janin, sedangkan abortus yang terjadi pada usia
lebih dari 35 tahun disebabkan berkurangnya fungsi alat reproduksi, kelainan pada
kromosom, dan penyakit kronis.
2) Faktor janin
Menurut Hertig dkk, pertumbuhan abnormal dari fetus sering menyebabkan abortus
spontan. Menurut penyelidikan mereka, dari 1000 abortus spontan, maka 48,9%
disebabkan karena ovum yang patologis; 3,2% disebabkan oleh kelainan letak embrio;
dan 9,6% disebabkan karena plasenta yang abnormal. Pada ovum abnormal 6%
diantaranya terdapat degeneras hidatid vili. Abortus spontan yang disebabkan oleh karena
kelainan dari ovum berkurang kemungkinannya kalau kehamilan sudah lebih dari satu
bulan, artinya makin muda kehamilan saat terjadinya abortus makin besar kemungkinan
disebabkan oleh kelainan ovum (50-80%).
3) Faktor paternal
Tidak banyak yang diketahui tentang faktor ayah dalam terjadinya abortus. Yang jelas,
translokasi kromosom pada sperma dapat menyebabkan abortus. Saat ini abnormalitas
kromosom pada sperma berhubungan dengan abortus (Carrel, 2003). Penyakit ayah:
umur lanjut, penyakit kronis seperti TBC, anemi, dekompensasi kordis, malnutrisi,
nefritis, sifilis, keracunan (alcohol, nikotin, Pb, dan lain-lain), sinar rontgen, avitaminosis.
PATOLOGI1,5,7
Pada awal abortus terjadi perdarahan dalam decidua basalis, diikuti oleh nekrosis
jaringan di sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil konsepsi terlepas sebagian atau
seluruhnya, sehingga merupakan benda asing didalam uterus. Keadaan ini menyebabkan
uterus berkontraksi untuk mengeluarkan isinya. Pada kehamilan kurang dari 8 minggu,
11
hasil konsepsi biasanya dikeluarkan seluruhnya, karena vili koreales belum menembus
desidua terlalu dalam, sedangkan pada kehamilan 8 sampai 14 minggu, telah masuk agak
tinggi, karena plasenta tidak dikeluarkan secara utuh sehingga banyak terjadi perdarahan.
Pada kehamilan 14 minggu keatas, yang umumnya bila kantong ketuban pecah
maka disusul dengan pengeluaran janin dan plasenta yang telah lengkap terbentuk.
Perdarahan tidak banyak terjadi jika plasenta terlepas dengan lengkap. Hasil konsepsi
pada abortus dikeluarkan dalam berbagai bentuk. Ada kalanya janin tidak tampak
didalam kantong ketuban yang disebut blighted ovum, mungkin pula janin telah mati
lama disebut missed abortion. Apabila mudigah yang mati tidak dikeluarkan dalam waktu
singkat, maka ovum akan dikelilingi oleh kapsul gumpalan darah, isi uterus dinamakan
mola kruenta. Bentuk ini menjadi mola karneosa apabila pigmen darah diserap sehingga
semuanya tampak seperti daging.
Pada janin yang telah meninggal dan tidak dikeluarkan dapat terjadi proses
mumifikasi: janin mengering dan menjadi agak gepeng atau fetus compressus karena
cairan amnion yang diserap. Dalam tingkat lebih lanjut janin menjadi tipis seperti kertas
perkamen atau fetus papiraseus. Kemungkinan lain yang terjadi apabila janin yang
meninggal tidak dikeluarkan dari uterus yaitu terjadinya maserasi, kulit terkupas,
tengkorak menjadi lembek, dan seluruh janin berwarna kemerahmerahan.
KOMPLIKASI1,4,5
Komplikasi yang berbahaya pada abortus adalah perdarahan, perforasi, infeksi, syok, dan
gagal ginjal akut.
1) Perdarahan
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisasisa hasil konsepsi dan jika
perlu pemberian transfusi darah. Kematian karena perdarahan dapat terjadi apabila
pertolongan tidak diberikan pada waktunya.
2) Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi
hiperretrofleksi. Jika terjadi peristiwa ini, penderita pelu diamati dengan teliti. Jika ada
tanda bahaya, perlu segera dilakukan laparotomi, dan tergantung dari luas dan bentuk
perforasi, penjahitan luka perforasi atau perlu histerektomi. Perforasi uterus pada abortus
yang dikerjakan oleh orang awam menimbulkan persolan gawat karena perlukaan uterus
12
biasanya luas, mungkin pula terjadi perlukaan pada kandung kemih atau usus. Dengan
adanya dugaan atau kepastian terjadinya perforasi, laparotomi harus segera dilakukan
untuk menentukan luasnya cedera, untuk selanjutnya mengambil tindakan-tindakan
seperlunya guna mengatasi komplikasi.
3) Infeksi
Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi pada tiap abortus, tetapi biasanya
ditemukan pada abortus inkompletus dan lebih sering pada abortus buatan yang
dikerjakan tanpa memperhatikan asepsis dan antisepsis. Apabila infeksi menyebar lebih
jauh, terjadilah peritonitis umum atau sepsis, dengan kemungkinan diikuti oleh syok.
4) Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan infeksi berat
(syok endoseptik).
5) Gagal ginjal akut
Gagal ginjal akut yang persisten pada kasus abortus biasanya berasal dari efek infeksi dan
hipovolemik yang lebih dari satu. Bentuk syok bakterial yang sangat berat sering disertai
dengan kerusakan ginjal intensif. Setiap kali terjadi infeksi klostridium yang disertai
dengan komplikasi hemoglobenimia intensif, maka gagal ginjal pasti terjadi. Pada
keadaan ini, harus sudah menyusun rencana untuk memulai dialysis yang efektif secara
dini sebelum gangguan metabolik menjadi berat.
TATALAKSANA
Jika perdarahan (pervaginam) sudah sampai menimbulkan gejala klinis syok,
tindakan pertama ditujukan untuk perbaikan keadaan umum. Tindakan selanjutnya adalah
untuk menghentikan sumber perdarahan.
Tujuan dari penanganan tahap pertama adalah, agar penderita tidak jatuh ke
tingkat syok yang lebih berat, dan keadaan umumnya ditingkatkan menuju keadaan yang
lebih balk. Dengan keadaan umum yang lebih baik (stabil), tindakan tahap ke dua
umumnya akan berjalan dengan baik pula.
Pada penanganan tahap pertama dilakukan berbagai kegiatan, berupa :
a. Memantau tanda-tanda vital (mengukur tekanan darah, frekuensi denyut nadi,
frekuensi pernafasan, dan suhu badan).
13
b. Pengawasan pernafasan (Jika ada tanda-tanda gangguan pernafasan seperti adanya
takipnu, sianosis, saluran nafas harus bebas dari hambatan. Dan diberi oksigen melalui
kateter nasal).
c. Selama beberapa menit pertama, penderita dibaringkan dengan posisi Trendelenburg.
d. Pemberian infus cairan (darah) intravena (campuran Dekstrose 5% dengan NaCl 0,9%,
Ringer laktat).
e. Pengawasan jantung (Fungsi jantung dapat dipantau dengan elektrokardiografi dan
dengan pengukuran tekanan vena sentral).
f. Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan darah lengkap, golongan darah, jenis Rhesus,
Tes kesesuaian darah penderita dengan darah donor, pemeriksaan pH darah, pO2, pCO2
darah arterial. Jika dari pemeriksaan ini dijumpai tanda-tanda anemia sedang sampai
berat, infus cairan diganti dengan transfusi darah atau infus cairan bersamaan dengan
transfusi darah. Darah yang diberikan dapat berupa eritrosit, jika sudah timbul gangguan
pembekuan darah, sebaiknya diberi darah segar. Jika sudah timbul tanda-tanda asidosis
harus segera dikoreksi.
PROGNOSIS2,6
Macam dan lamanya perdarahan menentukan prognosis kelangsungan kehamilan.
Prognosisnya menjadi kurang baik bila perdarahan berlangsung lama, mules – mules
disertai dengan perdarahan dan pembukaan serviks. Jika kehamilan terus berlanjut, maka
sering diikuti dengan persalinan preterm, plasenta previa, dan IUGR.
KEHAMILAN EKTOPIK
DEFINISI1,3,6
Kehamilan ektopik terjadi bila telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh di
luar endometrium kavum uteri. Kehamilan ekstrauterin tidak sinonim dengan kehamilan
ektopik karena kehamilan pada pars interstisialis tuba dan kanalis servikalis masih
termasuk dalam uterus, tetapi jelas bersifat ektopik. Sebagian besar kehamilan ektopik
berlokasi di tuba. Sangat jarang terjadi implantasi pada ovarium, rongga perut,
kanalis servikalis uteri, tanduk uterus yang rudimenter dan divertikel pada uterus.
Berdasarkan implantasi hasil konsepsi pada tuba, terdapat kehamilan pars interstisialis
14
tuba, kehamilan pars ismika tuba, kehamilan pars ampularis tuba dan kehamilan
infundibulum tuba.
ETIOLOGI2,4
Sebagian besar penyebabnya tidak diketahui. Faktor-faktor yang memegang
peranan dalam hal ini ialah :
1. Faktor dalam lumen tuba :
a) Endosalpingitis dapat menyebabkan perlekatan endosalping, sehingga lumen tuba
menyempit atau membentuk kantong buntu.
b) Pada hipoplasia uteri lumen tuba sempit dan berlekuk-lekeuk dan hal ini sering disertai
gangguan fungsi silia endosalping akibat infeksi dan menyebabkan implantasi di tuba.
c) Operasi plastik tuba dan sterilisasi yang tak sempurna dapat menjadi sebab lumen tuba
menyempit
2. Faktor pada dinding tuba :
a) Endometriosis tuba dapat memudahkan implantasi telur yang dibuahi dalam tuba
b) Divertikel tuba kongenital atau ostium assesorius tubae dapat menahan telur yang
dibuahi di tempat itu
3. Faktor di luar dinding tuba :
a) Perlekatan peritubal dengan distorsi atau lekukan tuba dapat menghambat perjalanan
telur
b) Tumor yang menekan dinding tuba dapat menyempitkan lumen tuba
4. Faktor lain :
a) Migrasi luar ovum, yaitu perjalanan dari ovarium kanan ke tuba kiri-atau
sebaliknya (kontralateral)– dapat memperpanjang perjalanan telur yang dibuahi ke uterus;
pertumbuhan telur yang terlalu cepat dapat menyebabkan implantasi prematur
b) Fertilisasi in vitro
c) Pemakaian kontrasepsi dan IUD. Kehamilan ektopik meningkat apabila ketika hamil,
masih menggunakan kontrasepsi spiral (3 – 4%). Pil yang mengandung hormon
progesteron juga meningkatkan kehamilan ektopik karena pil progesteron dapat
mengganggu pergerakan sel rambut silia di saluran tuba yang membawa sel telur yang
sudah dibuahi untuk berimplantasi ke dalam rahim.
15
d) Merokok. Kehamilan ektopik meningkat sebesar 1,6 – 3,5 kali dibandingkan wanita
yang tidak merokok. Hal ini disebabkan karena merokok menyebabkan penundaan masa
ovulasi (keluarnya telur dari indung telur), gangguan pergerakan sel rambut silia di
saluran tuba, dan penurunan kekebalan tubuh.
ectopic pregnancy
PATOLOGI
Pada proses awal kehamilan apabila embrio tidak bisa mencapai endometrium
untuk rposes nidasi, maka embrio dapat tumbuh di saluran tuba dan kemudian akan
mengalami beberapa proses seperti pada kehamilan pada umumnya. Karena tuba bukan
merupakan suatu media yang baik untuk pertumbuhan embrio atau mudigah, maka
pertumbuhan dapat mengalami beberapa perubahan dalam bentuk ini:
1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi.
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena
vaskularisasi kurang dan dengan mudah terjadi resorbsi total. Dalam keadaan ini
penderita tidak mengeluh apa-apa, hanya haidnya terlambat untuk beberapa hari.
2. Abortus kedalam lumen tuba.
Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah oleh vili
korialis pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan mudigah dari dinding
tersebut bersama-sama dengan robeknya pseudocapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi
sebagian atau seluruhnya, bergantung pada derajat perdarahan yang timbul. Bila
pelepasan menyeluruh, mudigah dan selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan
kemudian didorong oleh darah ke arah ostium tuba pars abdominalis. Frekuensi abortus
dalam tuba bergantung pada implantasi telur yang dibuahi. Abortus ke lumen tuba lebih
sering terjadi pada kehamilan pars ampularis, sedangkan penembusan dinding tuba oleh
16
vili korialis kearah peritoneum biasanya terjadi pada kehamilan pars isthmika. Perbedaan
ini disebabkan oleh lumen pars ampularis yang lebih luas sehingga dapat mengikuti lebih
mudah pertumbuhan hasil konsepsi jika dibandingkan dengan bagian isthmus dengan
lumen sempit.
3. Ruptur dinding tuba
Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplintasi pada isthmus dan biasanya
pada kehamilan muda. Sebaliknya, ruptur pada pars interstitialis terjadi pada kehamilan
lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan ruptur adalah penembusan vili korialis
kedalam lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum. Ruptur dapat terjadi secara spontan
atau karena trauma ringan seperti koitus dan pemeriksaan vaginal. Dalam hal ini akan
terjadi perdarahan dalam rongga perut, kadang-kadang sedikit, kadang-kadang banyak
sampai menimbulkan syok dan kematian. Bila pseudokapsularis ikut pecah, maka terjadi
pula perdarahan dalam lumen tuba. Darah dapat mengalir kedalam rongga perut melalui
ostium tuba abdominal.
Bila pada abortus dalam tuba ostium tuba tersumbat, ruptur sekunder dapat
terjadi. Dalam hal ini dinding tuba, yang telah menipis oleh invasi trofoblas, pecah karena
tekanan darah dalam tuba. Kadang-kadang ruptur terjadi diarah ligamentum itu. Jika
janin hidup terus maka terdapat kehamilan intraligamenter.
Pada ruptur ke rongga perut seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila robekan tuba
kecil, perdatahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeluarkan dari tuba. Perdarahan dapat
berlangsung terus sehingga penderita akan cepat jatuh dalam keadaan anemia dan syok
oleh karena hemorrhagia. Darah tertampung pada rongga perut akan mengalir ke kavum
Douglas yang makin lama makin banyak dan akhirnya memenuhi rongga abdomen. Bila
penderita tidak dioperasi dan tidak meninggal karena perdarahan, nasib janin bergantung
pada kerusakan yang diderita dan tuanya kehamilan. Bila janin mati dan masih kecil,
dapat diresorbsi seluruhnya; bila besar, kelak dapat diubah menjadi litopedion.
Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi kantung amnion dan
plasenta yang masih utuh, kemungkinan tumbuh terus dalam rongga perut, sehingga akan
terjadi kehamilan abdominal sekunder. Untuk mencukupi kebutuhan makanan bagi janin,
plasenta dari tuba akan meluaskan implantasinya ke jaringan sekitarnya, misalnya ke
bagian uterus, ligamentum latum, dasar panggul dan usus.
17
DIAGNOSIS DAN GAMBARAN KLINIK1,5,6
Wanita dengan kehamilan tuba mempunyai bermacam-macam manifestasi klinis
yang bergantung pada keadaan ruptur. Diagnosis Teknologi yang tepat dapat
diidentifikasi sebelum ruptur. Secara khas, perempuan tidak curiga akan kehamilan tuba
dan berpendapat bahwa ia memiliki kehamilan yang normal, atau merasa keguguran.
Gejala dan tanda pada KET seringkali hampir tidak kentara atau bahkan tidak ada.
Tanpa diagnosis yang cepat, dengan karakteristik kasus menstruasi yang
terlambat, perdarahan vagina yang sedikit atau titik-titik. Dengan ruptur, biasanya
menyebabkan sakit perut abdomen bagian bawah dan nyeri pelvis yang runcing, tajam
dan seperti menyobek. Gangguan vasomotor yang ikut terlibat yaitu vertigo sampai
pingsan, palpasi lembek pada abdomen, dan pada pemeriksaan pelvis, khususnya terdapat
“nyeri goyang (+)”. Demikian pula kavum Douglas menonjol dan nyeri pada perabaan
oleh karena terisi oleh darah. Gejala pada diafragma yang teriritasi, sesuai dengan nyeri
pada leher atau bahu, khususnya sewaktu inspirasi, mungkin pengaruh dari perdarahan
intrapreitoneum.
Gejala dan Tanda:
a. Nyeri.
Pelvis dan nyeri Abdomen dilaporkan sekitar 95% pada kehamilan tuba. Dengan masa
gestasi yang terus maju, Dorfman dkk (1984) melaporkan bahwa gejala GastroIntestin
(80%) dan kepusingan kepala (58%) biasanya. Dengan ruptur, nyeri tidak terlokalisir di
abdomen.
b. Perdarahan abnormal.
Amenorrhea dengan beberapa spot vagina atau perdarahan dilaporkan oleh 60%-80%
wanita dengan kehamilan tuba. Mendekati kebenaran seperti menstruasi yang benar.
Walaupun sedalam-dalamnya perdarahan vagina itu menunjukkan akan terjadi aborsi
inkomplete, seperti perdarahan berkala yang terlihat dengan masa gestasi tuba.
c. Abdomen dan kelembutan pelvis.
Pada kehamilan ektopik non ruptur, kelembutan tidak biasa terjadi. Pada ruptur,
kelembutan abdomen sangat mencolok dan pemeriksaan vagina, khususnya dnegna nyeri
goyang, itu mampu menunjukkan lebih dari kehamilan yang keempat.
d. Perubahan uterin.
18
Walaupun minimal didiagnosa cepat, kemudian uterus mungkin didorong ke satu sisi
oleh masa ektopik. Uterus juga akan membesar karena stimulasi hormonal. Lambat laun
endometrium akan berubah menjadi desidua yang variable. Desidua uterus tanpa
trofoblas menandakan KEHAMILAN ECTOPIC, tetapi kehadiran dari pembuluh darah
desidua bukan termasuk tanda.
e. Tanda Vital.
Umumnya normal sebelum ruptur, respon pada perdarahan yang cukup tidak mengubah
tanda vital atau hanya sedikit meningkatkan Tekanan Darah, atau vasovagal respon
dengan bradikardi dan hipotensi. Birkhahn dkk (2003) mencarar pada 25 wanita dengan
ruptur kehamilan ektopik, mayoritas memperlihatkan curah jantung yang berkurang dari
100 denyut per menit dan tekanan darah sistoliknya lebih besar 100mmHg. Tekanan
Darah akan menurun dan detak jantung akan meingkat seiring dengan lanjutan dari
perdarahan dan hipovolemia menjadi berarti.
TATALAKSANA6
Tatalaksana pada kehamilan tuba seringkali dilakukan salpingectomi untuk
menghilamgkan sampai menghancurkan, perdarahan oviduct dengan atau tanpa
ipsilateral oophorectomy. Tujuan pengobatan adalah meningkatkan kualitas hidup dari
wanita. Pengobatan konservatif dilakukan dengan diagnosis yang cepat pada ektopik
pregnansi memakai USG dan penentuan serum -HCG. Dahulu dilakukan dengan
pembedahan secara radikal, kemudian diikuti dengan teknik yang modern untuk
mengobatan konservatif fungsi tuba.
i. Laparaskopi
Adalah pengobatan yang lebih disukai pada tatalaksana kehamilan ektopik kecuali jika
pasien dengan ketidakstabilan hemodinamik. Sampai sekarang hanya sedikit belajar cara
melakukan bedah laparatomi. Hajenius dkk menunjukkan Cochrane Database dan
meringkasnya:
- Tidak ada tanda-tanda yang berarti secara keseluruhan operasi tuba dilakukan
dengan laparoskopi kemudian salpingostony.
- Hasil Laparoskopi lebih sedikit waktu dalam operasinya, lebih sedikit kehilangan
darah, sedikit analgesik yang diperlukan, dan hanya sebentar di rumah sakit.
19
- Laparoskopi bedah sangat sedikit tetapi secara significant sedikit berhasil
memecahkan kehamilan tuba
- Biayanya sangat murah, walaupun beberapa pendapat mengatakan sama dengan
laparatomy.
Melalui pengalaman yang ada, kasus sebelumnya ditangani dengan laparotomi-
sebagai contoh kehamilan tuba atau kehamilan interstitial- dapat ditangani dengan
laparoskopi.
Pembedahan tuba dianggap konsevatif karena menyelamatkan tuba. Radical
surgery ditunjukkan oleh salpingectomy. Pembedahan konsevatif dengan tetap
memelihara fungsi trofoblas.Salpingotomy
Jarang dilakukan pada saat ini, salpingotomy mempunyai kesamaan cara dengan
salpingostomy kecuali jika terdapat penundaan jahitan absorben. Menurut Tulandi dan
Saleh (1999), tak ada perbedaan prognosis dengan atau tanpa jahitan.pingectomy
Reseksi tuba dilakukan untuk kehamilan ektopik ruptur dan tak ruptur. Ketika
menghilangkan oviduk, harus dipertimbangkan untuk eksisi atau menghilangkan irisan
ketiga sebelah luar pada portio tuba. Ini disebut reseksi kornu, mampu meminimalisir
kekambuhan kehamilan di ujung tuba. Walaupun dengan reseksi kornu, bagaimanapun
juga, kekambuhan kehamilan berikutnya tak dapat dicegah.
Tatalaksana dengan Methotrexate
Methotrexate merupakan analog asam folat yang akan mempengaruhi sintesis
DNA dan multiplikasi sel dengan cara menginhibisi kerja enzim Dihydrofolate reduktase.
MTX ini akan menghentikan proliferasi trofoblas.
Pemberian MTX dapat secara oral, sistemik iv,im) atau injeksi lokal dengan
panduan USG atau laparoskopi. Efek sampingyang timbul tergantung dosis yang
diberikan. Dosis yang tinggi akan menyebabkan enteritis hemoragik dan perforasi usus,
supresi sumsum tulang, nefrotoksik, disfungsi hepar permanen, alopesia, dermatitis,
pneumonitis, dan hipersensitivitas. Pada dosis rendah akan menimbulkan dermatitis,
gastritis, pleuritis, disfungsi hepar reversibel, supresi sumsum tulang sementara.
Pemberian MTX biasanya disertai pemberian folinic acid (leucovorin calcium atau
citroforum factor) yaitu zat yang mirip asam folat namun tidak tergantung pada enzim
20
dihydrofolat reduktase. Pemberian folinic acid ini akan menyelamatkan sel-sel normal
dan mengurangi efek MTX pada sel-sel tersebut.
Regimen yang dipakai saat ini adalah dengan pemberian dosis tungal MTX 50
mg/m2 luas permukaan tubuh. Sebelumnya penderita diperikasa dulu kadar hCG, fungsi
hepar, kreatinin, golongan darah. Pada hari ke-4 dan ke-7 setelah pemberian MTX kadar
hCG diperiksa kembali. Bila kadar hCG berkurang 15% atau lebih, dari kadar yang
diperiksa pada hari ke-4 maka mTX tidak diberikan lagi dan kadar hCG diperiksa setiap
minggu sampai hasilnya negatif atau evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan
USG transvaginal setiap minggu. Bila kadar hCG tidak berkurang atau sebaliknya
meningkat dibandingkan kadar hari ke-4 atau menetap selama interval setiap minggunya,
maka diberikan MTX 50 mg/m2 kedua. Stoval dan Ling pada tahun 1993 melaporkan
keberhasilan metoda ini sebesar 94,3%. Selain dengan dosis tunggal, dapat juga diberikan
multidosis sampai empat dosis atau kombinasi dengan leucovorin 0,1 mg/kgBB.
Kontraindikasi pemberian MTX absolut adalah ruptur tuba, adanya penyakit
ginjal atau hepar yang aktif. Sedangkan kontraindikasi relatif adalah nyeri abdomen, FHB
(+).
KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin terjadi :
1. Pada pengobatan konservatif, yaitu rupture tuba telah lama berlangsung (4-6 minggu),
terjadi perdarahan berulang
2. Infeksi
3. Sub ileus karena massa pelvis
4. Sterilitas
PROGNOSIS
Kematian karena KET cenderung menurun dengan diagnosis dan fasilitas daerah
yang cukup, ada yang menyebutkan 30%. Hanya 60% dari wanita yang pernah KET
hamil lagi. Angka kehamilan ektopik berulang dilaporkan 0-14,6%. Kemungkinan
melahirkan bayi cukup bulan sekitar 50%.
MOLA HIDATIDOSA
21
DEFINISI1,6
Mola hidatidiform diartikan sebagai suatu kehamilan yang tak berkembang wajar
dimana tidak diketemukan janin dan hampir seluruh vili korialis mengalami perubahan
berupa degenerasi hidropik. Secar amakroskopik, mola hidatidosa mudah dikenal yaitu
gelembung-gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih, dengan ukuran
bervariasi dari beberapa milimeter sampai 1 atau 2 cm.
MOLA HIDATIDOSA
ETIOLOGI6
Penyebab bagi mola hidatidosa sampai sekarang masih belum diketahui.
Diperkirakan bahawa faktor-faktor seperti gangguan pada telur, kekurangan gizi pada ibu
dan kelainan rahim berhubungan dengan peningkatan angka kejadian mola. Wanita
dengan usia di bawah 20 tahun atau di atas 40 tahun juga berada dalam risiko tinggi.
Mengkonsumsi makanan rendah protein, asam folat dan karoten juga meningkatkan
risiko terjadinya mola walaupun patologinya tidak sepenuhnya difahami.
PATOGENESIS6,7
Kira-kira 1 diantara 10 kehamilan berakhir dengan abortus spontan dan pada
separuh abortus ini terdapat perkembangan ovum atau fetus yang patologis atau blighted.
Pada blighted ovum tampak jaringan plasenta mengalami berbagai tingkat
degenerasi hidropik dan pada pemeriksaan mikroskopik villus tersebut tidak diketemukan
sirkulasi fetal atau perkembangannya tidak sempurna.
Akibat gangguan sirkulasi tersebut, terjadi edema. Cairan yang tidak dapat diserap
mengakibatkan pembengkakakn.
22
Jadi vilus-vilus yang mengalami degenerasi hidropik merupakan tanda adanya
blighted ovum. Mola hydatidosa merupakan lanjutan degenerasi hidropik pada blighted
ovum. Abortus akibat blighted ovum biasanya keluar 3 bulan pertama, sedangkan
gelembung-gelembung mola baru dikeluarkan pada kehamilan 4-5 bulan. Umumnya
mola ditemukan dalam uterus, tetapi dapat juga ditemukan pada tempat ektopik. Bila
diketahui, biasanya setelah kehamilan 4-5 bulan, uterus lebih besar daripada umur
kehamilan.
Uterus berisi kelompok-kelompok jaringan seperti buah anggur, kistik, berdinding
tipis dan mudah pecah dengan keluarnya cairan jernih. Kelompok jaringan seperti ini
diikat oleh jaringan fibrotik yang halus. Gambaran mikroskopik menunjukkan:
Vilus-vilus yang membesar
Stroma menunjukkan edema
Stroma yang tidak mengandung pembuluh darah atau jumlahnya berkurang
Hiperplasi dan anaplasi epitel chorion, yaitu sitotrophoblast (sel Langhans) dan
synsitiotrophoblast.4
Karena proliferasi epitel chorion ini, maka produksi HCG bertambah 10x lipat.
Gambar 2.Fotomikrograf mola
hidatidiform yang memperlihatkan pembengkakan vilus dan sedikit hiperplasia trofoblast
permukaan. 5
DIAGNOSIS DAN GAMBARAN KLINIK1,5,6
Pada permulaannya gejala mola hidatidosa tidak seberapa berbeda dengan
kehamilan biasa, yaitu mual, muntah, pusing dan lain-lain, hanya saja derajat keluhannya
sering hebat. Selanjutnya perkembangan lebih pesat, sehingga pada umumnya besar
uterus lebih besar dari umur kehamilan. Ada pula kasus-kasus yang uterusnya lebih kecil
atau sam besar walaupun jaringannya belum dikeluarkan. Dalam hal ini perkembangan
jaringan trofoblas tidak begitu aktif sehingga perlu dipikirkan adanya jenis dying mole.
23
Perdarahan merupakan gejala utama mola. Biasanya keluhan perdarahan inilah
yang menyebabkan mereka datang ke rumah sakit. Gejala perdarahan ini biasanya terjadi
antara bulan pertama sampai ketujuh dengan rata-rata 12-14 minggu. Sifat perdarahan
bisas intermitten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak sehingga menyebabkan syok atau
kematian. Karena perdarahan ini umumnya pasien mola hidatidosa masuk dalam keadaan
anemia.
Seperti juga pada kehamilan biasa, mola hidatidosa bisa disertai dengan
preeklampsia (eklampsia), hanya perbedaannya ialah bahwa preeklampsia pada mola
terjadinya lebih muda daripada kehmilan biasan. Penyulit lain yang akhir akhir ini
banyak dipermasalahkan adalah tirotoksikosis. Maka, Martadisoebrata menganjurkan
agar stiap kasus mola hidatidosa dicari tanda-tanda tirotoksikosis secara aktif seperti kita
selalu mencari tanda tanda preeklampsia pada kehamilan biasa. Biasanya penderita
meninggal karena krisis tiroid.
TATALAKSANA2,6
Tatalaksana Mola hidatidiform terdiri dari 4 tahap berikut:
1. Perbaikan Keadaan Umum
Yang termasuk usaha ini misalnya pemberian transfusi darah untuk memperbaiki syok
atau anemia dan menghilangkan atau mengurangi penyulit seperti preeklampsia atau
tirotoksikosis.
2. Pengeluaran Jaringan Mola
Ada 2 cara, yaitu:
a) Vakum kuretase
Setelah keadaan umum diperbaiki dilakukan vakum kuretase tanpa pembiusan.
Untuk memperbaiki kontraksi diberikan pula uterotonika. Vakum kuretase dilanjutkan
dengan kuretase dengan menggunakan sendok kuret biasa yang tumpul. Tindakan kuret
cukup dilakukan 1 kali saja, asal bersih. Kuret kedua hanya dilakukan bila ada indikasi.
b) Histerektomi
Tindakan ini dilakukan pada perempuany ang telah cukup umur dan cukup
mempunyai anak. Alasan untuk melakukan histerektomi ialah karena umur tua dan
paritas tinggi merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya keganasan. Batasan yang
dipakai adalah umur 35 tahun dnegan anak hidup tiga.
24
c) Pemeriksaan tindak lanjut
Hal ini perlu dilakukan mengingat adanya kemungkinan keganasan setelah mola
hidatidosa. Tes hCG harus mencapai nilai NORMAL setelah 8 minggu evakuasi. Lama
pengawasan berkisar satu tahun. Selama periode 8 minggu dianjurkan tidak
menggunakan kondom, diafragma, dll.
KOMPLIKASI
Choriocarcinoma gestational
Merupakan neoplasma ganas epitel sel trophoblastik yang berasal dari segala
bentuk kehamilan normal atau abnormal sebelumnya. Biasa didapatkan mola komplet
yang memperlihatkan pembengkakan hidropik sebagian besar villus korion sementara
vaskularisasi vilus hampir tidak ada sama sekali atau kurang adekuat. Mola komplet yang
lanjut memperlihatkan spektrum klasik pembengkakan villus difus dan ekstravillus yang
konsentrik dan ekstensif yang dapat menyebabkan Choriocarcinoma.
PROGNOSIS
Kematian pada mola hidatidosa disebabkan oleh perdarahan, infeksi, payah
jantung atau tirotoksikosis. Dinegara maju kematian karena mola hampir tidak ada lagi.
Di negara berkembang, masih cukup tinggi, berkisar antara 2,2% dan 5,7%. Sebagian
besar pasien mola akan segera sehat setelah jaringannya dikeluarkan, tetapi ada juga yang
menderita akibat keganasan menjadi koriokarsinoma. Presentasi keganasan berkisat
antara 55,6%.
PLASENTA PREVIA
DEFINISI 1,3
Plasenta previa ialah suatu keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat
yang abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau
seluruh pembukaan jalan lahir (ostium uteri internal). Pada keadaan normal plasenta
terletak diatas uterus.
25
KLASIFIKASI 1,2,3,4
Berdasarkan terabanya jaringan plasenta melalui pembukaan jalan lahir pada waktu
tertentu.
· Plasenta previa totalis bila seluruh pembukaan tertutup oleh jaringan plasenta.
· Plasenta previa parsialis bila sebagian pembukaan tertutup oleh jaringan plasenta.
26
· Plasenta previa marginalis bila pinggir plasenta berada tepat pada pinggir pembukaan.
· Plasenta letak rendah bila plasenta yang letaknya abnormal di segmen bawah uterus,
akan tetapi belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir. Pinggir plasenta kira-kira 3
atau 4 cm diatas pinggir pembukaan, sehingga tidak akan teraba pada pembukaan jalan
lahir.
27
ETIOLOGI1
Belum diketahui dengan pasti, mungkin secara kebetulan blastokista menimpa
desidua didaerah segmen bawah Rahim. Teori lain adalah vaskularisasi desidua yang
tidak memadai, mungkin sebagai akibat dari proses radang atau atropi. Faktor resiko
terjadinya Plasenta previa yang dapat dipandang berperan dalam proses peradangan dan
kejadian atropi di endometrium seperti paritas tinggi, usia lanjut, cacat rahim, misalnya
bekas bedah sesar, kerokan, dan miomektomi. Pada perempuan perokok insidensi
plasenta previa lebih tinggi 2 kali lipat.
Hipoksemia akibat karbon monoksida hasil pembakaran rokok menyebabkan
plasenta menjadi hipertropi sebagai upaya kompensasi. Plasenta yang terlalu besar seperti
pada kehamilan ganda dan eritroblastosis fetalis bias menyebabkan pertumbuhan plasenta
melebar ke segmen bawah Rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh Ostium Uteri
Internum.
DIAGNOSIS DAN GAMBARAN KLINIK 1,2,3,4
Sifat perdarahan
Perdarahan tanpa alasan dan tanpa nyeri merupakan gejala utama dan pertama
dari plasenta previa. Perdarahan dapat terjadi selagi penderita tidur atau bekerja biasa.
Perdarahan pertama biasanya tidak banyak, akan tetapi, perdarahan berikutnya hampir
selalu lebih banyak daripada sebelumnya, apalagi kalau sebelumnya sudah dilakukan
pemeriksaan dalam. Pada kehamilan 20 minggu dapat terjadi perdarahan karena sejak itu
segmen bawah uterus telah terbentuk dan mulai melebar serta menipis. Dengan
28
bertambah tuanya kehamilan, segmen-segmen uterus akan lebih melebar lagi, dan serviks
mulai membuka. Apabila plasenta tumbuh pada segmen bawah uterus, pelebaran segmen
bawah uterus dan pembukaan serviks tidak dapat diikuti oleh plasenta yang melekat di
situ tanpa terlepasnya sebagian plasenta dari dinding uterus. Pada saat itu mulailah
terjadi perdarahan. Darahnya berwarna merah segar.
Diagnosis ditegakkan dengan adanya gejala – gejala klinis dan beberapa pemeriksaan :
Anamnesis
Perdarahan dari jalan lahir pada kehamilan setelah 20 minggu, tanpa rasa
nyeri, tanpa alasan, berulang dengan volume lebih banyak daripada
sebelumnya, terutama pada multigravida. Banyaknya perdarahan tidak dapat
dinilai dari anamnesis, melainkan dari pemeriksaan hematokrit.
Pemeriksaan luar
Inspeksi
Dapat dilihat perdarahan yang keluar pervaginam: banyak, sedikit, dan
darah beku
Bila berdarah banyak ibu tampak pucat/ anemis.
Palpasi
Bagian terbawah janin biasanya belum masuk pintu atas panggul,
apabila presentasi kepala, biasanya kepala masih terapung diatas pintu
atas panggul atau mengolak ke samping dan sukar didorong ke dalam
pintu atas panggul.
Tidak jarang terdapat kelainan letak, seperti letak lintang atau letak
sungsang.
Janin sering belum cukup bulan, jadi fundus uteri masih rendah.
Tidak terdapat nyeri tekan uterus, uterus tidak tegang, dan tidak
iritabel
Auskultasi
Denyut jantung janin biasanya normal
Pemeriksaan Inspekulo
29
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah perdarahan berasal dari
ostium uteri eksternum atau dari kelainan serviks dan vagina. Apabila
perdarahan berasall dari ostium uteri eksternum, adanya plasenta previa harus
dicurigai.
Pemeriksaan letak plasenta tidak langsung
Pemeriksaan radiografi dan radioisotope yang sudah ditinggalkan
Pemeriksaan ultrasonografi merupakan cara yang paling tepat untuk
menegakkan diagnosis definitif, tidak menimbulkan bahaya radiasi
bagi ibu dan janin. Pemeriksaan USG rutin pada kehamilan 18-20
minggu dengan plasenta letak-rendah tidak dianjurkan, kecuali terjadi
perdarahan berulang. Pemeriksaan USG rutin untuk kehamilan dengan
plasenta previa partial atau total dianjurkan setelah 32 minggu,
walaupun saat itu tidak terjadi perdarahan.
30
USG yang menunjukkan adanya plasenta previa totalisP = plasenta ; F = janin ; AF = cairan amnion ; B = Kandung kemih ; Cx = Cervix
Pemeriksaan letak plasenta secara langsung
Diagnosis plasenta previa dahulunya jarang ditegakkan melalui pemeriksaan
klinis, kecuali jari tangan pemeriksa dimasukkan lewat serviks dan jaringan
plasenta teraba. (Dewasa ini dengan adanya pemeriksaan USG, pemeriksaan
tersebut tidak lagi dilakukan). Pemeriksaan serviks semacam ini tidak
pernah diperbolehkan kecuali bila wanita tersebut sudah berada di
kamar operasi dengan segala persiapan untuk pembedahan seksio
sesarea segera, karena pemeriksaan serviks yang paling hati-hati pun
dapat menimbulkan perdarahan hebat.
Pemeriksaan dalam diatas meja operasi (PDMO) dapat dilakukan bila semua
syarat terpenuhi, yaitu :
Infus/ transfusi telah terpasang, kamar dan Tim Operasi telah siap
Kehamilan > 37 minggu ( berat badan > 2500 g) dan in partu, atau
Janin telah meninggal atau terdapat anomaly congenital mayor (misal
ansefali)
Perdarahan dengan bagian terbawah janin telah jauh melewati pintu
atas panggul (2/5 atau 3/5 pada palpasi luar)
PENANGANAN 1,3,5,6
Terapi Ekspektatif
Tujuan supaya janin tidak terlahir prematur dan upaya diagnosis dilakukan secara non
invasi.
- Syarat terapi ekspektatif :
Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti
Belum ada tanda inpartu
Keadaan umum ibu cukup baik (kadar Hb dan tanda-tanda vital dalam
batas normal)
Janin masih hidup
- Rawat inap, tirah baring, observasi tanda vital, dan berikan antibiotik profilaksis.
31
- Apabila berhubungan dengan trauma, monitoring sekurang-kurangnya 12-24 jam untuk
menyingkirkan kemungkinan solutio plasenta.
- Pemeriksaan USG untuk menentukan implantasi plasenta, usia kehamilan,letak, dan
presentasi janin.
- Perbaiki anemia dengan pemberian Sulfas ferosus atau Ferous fumarat peroral 60 mg
selama 1 bulan.
- Pastikan sarana untuk melakukan tranfusi
- Jika perdarahan berhenti dan waktu untuk mencapai 37 minggu masih lama, pasien
dapat dirawat jalan (kecuali rumah pasien di luar kota atau diperlukan waktu > 2 jam
untuk mencapai rumah sakit) dengan pesan segera kembali ke rumah sakit jika terjadi
perdarahan.
-Jika perdarahan berulang pertimbangkan manfaat dan resiko ibu dan janin untuk
mendapatkan penanganan lebih lanjut.
Terapi Aktif ( tindakan segera )
Rencanakan terminasi kehamilan jika:
Janin matur
Janin mati atau menderita anomaly atau keadaan yang mengurangi
kelangsungan hidupnya (misalnya anensefali)
Wanita hamil diatas 22 minggu dengan perdarahan pervaginam yang
aktif dan banyak, harus segera ditatalaksanakan secara aktif tanpa
memandang maturitas janin.
Untuk pasien dengan perdarahan aktif dan gangguan hemodinamik, tindakan segera yang
harus dilakukan adalah terminasi kehamilan dan penggantian cairan tubuh.
Selama persiapan proses terminasi kehamilan, dilakukan:
Resusitasi cairan dengan saline atau ringer laktat, 2 jalur, jarum besar
(16G, 18G)
Persiapkan 4 labu darah yang sesuai golongan darah pasien
Observasi keadaan janin
Berikan O2 murni untuk semua pasien dengan hipotensi (konsumsi
O2 pada kehamilan meningkat hingga 20% dan janin sangat rentan
terhadap hipoksia)
32
Cara menyelesaikan persalinan dengan plasenta previa
Faktor-faktor yang menentukan sikap atau tindakan persalinan mana yang
akan dipilih adalah :
Jenis plasenta previa
Perdarahan: banyak, atau sedikit tapi berulang-ulang
Keadaan umum ibu hamil
Keadaan janin: hidup, gawat janin, atau meninggal
Pembukaan jalan lahir
Paritas atau jumlah anak hidup
Fasilitas penolong dan rumah sakit.
Setelah memperhatikan factor-faktor diatas, ada 2 pilihan persalinan, yaitu:
Persalinan pervaginam; bertujuan agar bagian terbawah janin menekan plasenta
dan bagian plasenta yang berdarah selama persalinan berlangsung, sehingga
perdarahan berhenti.
Cara yang terpilih adalah pemecahan selaput ketuban (Amniotomi). Indikasi amniotomi
pada plasenta previa:
Plasenta previa lateralis atau marginalis atau letak rendah, bila
telah ada pembukaan
Pada primigravida dengan plasenta previa lateralis atau
marginalis dengan pembukaan 4 cm atau lebih
Plasenta previa lateralis/marginalis dengan janin yang telah
meninggal.
Apabila amniotomi tidak berhasil, maka terdapat 2 cara lain yang lebih
keras menekan plasenta dan mungkin pula lebih cepat menyelesaikan
persalinan, yaitu pemasangan cunam Willet, dan versi Braxton-Hicks.
Kedua cara tersebut telah ditinggalkan dalam dunia kebidanan
muktahir karena seksio caesaria jauh lebih aman. Kedua cara tersebut
33
cenderung dilakukan pada janin yang telah meninggal atau yang
prognosis untuk hidup di luar uterus tidak baik. Cara ini, apabila akan
dilakukan, lebih tepat dilakukan pada multipara karena persalinannya
dijamin lebih lancar; dengan demikian tekanan pada plasenta
berlangsung tidak terlampau lama.
Seksio sesaria; bertujuan untuk secepatnya mengangkat sumber perdarahan,
dengan demikian memberikan kesempatan kepada uterus untuk berkontraksi
menghentikan perdarahnnya, dan untuk menghindarkan perlukaan serviks dan
segmen bawah uterus yang rapuh apabila dilangsungkan persalinan pervaginam.
Indikasi seksio caesaria pada plasenta previa:
Semua plasenta previa totalis, janin hidup atau meninggal;
semua plasenta previa partialis, plasenta previa marginalis
posterior, karena perdarahan yang sulit dikontrol dengan cara-
cara yang ada.
Semua plasenta previa dengan perdarahan yang banyak dan
tidak berhenti dengan tindakan-tindakan yang ada
Plasenta previa dengan panggul sempit, letak lintang.
KOMPLIKASI 1,4
Pada Ibu :
Perdarahan hingga syok akibat perdarahan
Anemia karena perdarahan
Plesentitis
Endometritis pasca persalinan
Robekan-robekan jalan lahir akibat tindakan
Plasenta melekat, sehingga harus dikeluarkan manual dan kalau perlu
dibersihkan dengan kerokan.
Pada Janin :
Persalinan prematur atau lahir mati
Prolaps tali pusat
34
Asfiksia berat
PROGNOSIS ³
Karena dahulu penanganan relatif bersifat konservatif, maka mortalitas dan
morbiditas ibu dan bayi tinggi, mortalitas ibu mencapai 8-10% dan mortalitas janin 50-
80%.
Sekarang penanganan relatif bersifat operatif dini, maka angka kematian dan
kesakitan ibu dan perinatal jauh menurun. Kematian maternal menjadi 0,1-5% terutama
disebabkan perdarahan, infeksi, emboli udara, dan trauma karena tindakan. Kematian
perinatal juga turun menjadi 7-25%, terutama disebabkan oleh prematuritas, asfiksia,
prolaps funikuli, dan persalinan buatan (tindakan).
SOLUTIO PLASENTA
DEFINISI 1,3
Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya yang
normal pada uterus sebelum janin dilahirkan.
Istilah lain dari solusio plasenta adalah ablatio plasentae, abruptio plasentae,
accidental haemorrhage dan prematur separation of the normally implanted placenta.
KLASIFIKASI 1,2,3,4
Menurut derajat lepasnya plasenta :
· Solusio plasenta totalis, bila plasenta terlepas seluruhnya
· Solusio plasenta parsialis, bila plasenta sebagian terlepas
· Ruptura sinus marginalis, bila hanya sebagian kecil pinggir plasenta yang terlepas.
· Solusio plasenta dengan perdarahan yang keluar, perdarahan dapat menyelundup keluar
dibawah selaput ketuban.
· Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi, perdarahan tersembunyi dibelakang
plasenta.
35
Solusio plasenta di bagi menurut tingkat gejala klinik yaitu :
a) Kelas 0 : asimptomatik
Diagnosis ditegakkan secara retrospektif dengan menemukan hematoma atau
daerah yang mengalami pendesakan pada plasenta. Rupture sinus marginal juga
dimasukkan dalam kategori ini.
b) Kelas I : gejala klinis ringan dan terdapat hampir 48 % kasus.
Solusio plasenta ringan yaitu : rupture sinus marginalis atau terlepasnya sebagian
kecil plasenta yang tidak berdarah banyak,sama sekali tidak mempengaruhi keadaan ibu
atau janinnya.
Gejala : perdarahan pervaginam yang berwarna kehitam-hitaman dan sedikit sekali
bahkan tidak ada, perut terasa agak sakit terus-menerus agak tegang,tekanan darah dan
denyut jantung maternal normal, tidak ada koagulopati, dan tidak ditemukan tanda-tanda
fetal distress.
c) Kelas II : gejala klinik sedang dan terdapat hampir 27% kasus.
Solusio plasenta sedang dalam hal ini plasenta telah lebih dari seperempatnya
tetapi belum sampai dua pertiga luas permukaannya. Gejala : perdarahan pervaginan yang
berwarna kehitam-hitaman,perut mendadak sakit terus-menerus dan tidak lama kemudian
disusul dengan perdarahan pervaginam walaupun tampak sedikit tapi kemungkinan lebih
banyak perdarahan di dalam,didinding uterus teraba terus-menerus dan nyeri tekan
sehingga bagian bagian janin sulit diraba, apabila janin masih hidup bunyi jantung sukar
di dengar dengan stetoskop biasa harus dengan stetoskop ultrasonic, terdapat fetal
distress, dan hipofibrinogenemi (150 – 250 % mg/dl).
36
d) Kelas III : gejala berat dan terdapat hampir 24% kasus.
Solusio plasenta berat,plasenta lebih dari dua pertiga permukaannya,terjadinya
sangat tiba-tiba biasanya ibu masuk syok dan janinnya telah meninggal. Gejala : ibu telah
masuk dalam keadaan syok, dan kemungkinan janin telah meninggal,uterus sangat tegang
seperti papan dan sangat nyeri, perdarahan pervaginam tampaknya tidak sesuai dengan
keadaan syok ibu, perdarahan pervaginam mungkin belum sempat terjadi besar
kemungkinan telah terjadi kelainan pembekuan darah dan kelainan
ginjal,hipofibrinogenemi (< 150 mg/dl)
Berdasarkan ada atau tidaknya perdarahan pervaginam
a) Solusio plasenta ringan
Perdarahan pervaginam <100-200 cc.
b) Solusio plasenta sedang
Perdarahan pervaginam > 200 cc, hipersensitifitas uterus atau peningkatan tonus, syok
ringan, dapat terjadi fetal distress.
c) Solusio plasenta berat
Perdarahan pervaginam luas > 500 ml,uterus tetanik, syok maternal sampai kematian
janin dan koagulopati.
ETIOLOGI1,3,4
Penyebab utama dari solusio plasenta, masih belum diketahui dengan jelas.
Meskipun demikian , beberapa hal tersebut dibawah ini diduga merupakan faktor – faktor
yang berpengaruh pada kejadiannya, antara lain :
1. Hipertensi essensialis atau preeklamsi
2. Tali pusat yang pendek
3. Trauma
4. Tekanan oleh rahim yang membesar pada vena cava inferior
5. Uterus yang sangat mengecil ( Hidramnion pada waktu ketuban pecah, kehamilan
ganda pada waktu anak pertama lahir ).
Disamping itu , ada juga pengaruh dari :
Umur lbu yang tua
Multiparitas
Ketuban pecah sebelum waktunya
37
Defisiensi asam folat
Merokok, alkohol, kokain
DIAGNOSIS DAN GAMBARAN KLINIK1,2,3,4,5,6
Solutio Plasenta Ringan
☺ Perdarahan pervaginam sedikit dan berwarna
kehitam – hitaman
☺ Tidak mempengaruhi keadaan ibu ataupun
janinnya
☺ Perut terasa agak sakit, atau terus menerus agak
tegang
☺ Bagian janin masih mudah diraba
Solutio Plasenta Sedang
☺ Gejala dapat timbul perlahan – lahan seperti plasenta
solutio ringan
☺ Gejala dapat timbul mendadak dengan sakit perut
terus menerus
☺ Perdarahan pervaginam tampak sedikit namun
perdarahan mungkin telah mencapai 1000 ml
☺ syok
☺ Dinding uterus tegang terus menerus dan nyeri tekan
☺ Bagian – bagian janin sulit diraba
☺ Bunyi jantung janin sukar didengarkan
Solutio Plasenta Berat
☺ Ibu Syok
☺ Biasanya janin telah meninggal
☺ Uterus sangat tegang seperti papan dan sangat
nyeri
☺ Perdarahan pervaginam tampaknya tidak sesuai
dengan keadaan syok ibunya
38
☺ Kemungkinan besar telah terjadi kelainan
pembekuan darah dan kelainan ginjal
Solusio plasenta yang ringan, pada umumnya tidak menunjukkan gejala klinis
yang jelas, perdarahan antepartum hanya sedikit, dalam hal ini diagnosis baru kita
tegakkan setelah anak lahir. Pada plasenta kita dapati koagulum-koagulum darah dan
krater.
Pada keadaan yang agak berat kita dapat membuat diagnosis berdasarkan :
1. Anamnesis
· Perasaan sakit yang tiba-tiba di perut, kadang-kadang pasien bisa melokalisir tempat
mana yang paling sakit, dimana plasenta terlepas.
· Perdarahan pervaginam yang sifatnya bisa hebat dan sekonyong-konyong (non-
recurrent) terdiri dari darah segar dan bekuan-bekuan darah.
· Pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan akhirnya berhenti (anak tidak
bergerak lagi).
· Kepala terasa pusing, lemas, muntah, pucat, pandangan berkunang-kunang, ibu
kelihatan anemis tidak sesuai dengan banyaknya darah yang keluar.
· Kadang-kadang ibu dapat menceritakan trauma dan faktor kausal yang lain.
2. Inspeksi
· Pasien gelisah, sering mengerang karena kesakitan.
· Pucat, sianosis, keringat dingin.
· Kelihatan darah keluar pervaginam.
3. Palpasi
· TFU naik karena terbentuknya retroplasenter hematoma; uterus tidak sesuai dengan
tuanya kehamilan.
· Uterus teraba tegang dan keras seperti papan yang disebut uterus in bois (wooden
uterus) baik waktu his maupun diluar his.
39
· Nyeri tekan terutama di tempat plasenta tadi terlepas.
· Bagian-bagian janin susah dikenali, karena perut (uterus) tegang.
4. Auskultasi
Sulit, karena uterus tegang. Bila denyut jantung janin terdengar biasanya diatas 140,
kemudian turun dibawah 100 dan akhirnya hilang bila plasenta yang terlepas lebih dari
sepertiga.
5. Pemeriksaan dalam
· Serviks bisa telah terbuka atau masih tertutup.
· Kalau sudah terbuka maka ketuban dapat teraba menonjol dan tegang, baik sewaktu his
maupun diluar his.
· Kalau ketuban sudah pecah dan plasenta sudah terlepas seluruhnya, plasenta ini akan
turun ke bawah dan teraba pada pemeriksaan, disebut prolapsus plasenta, ini sering
dikacaukan dengan plasenta previa.
6. Pemeriksaan umum.
· Tensi semula mungkin tinggi karena pasien sebelumnya menderita penyakit vaskuler,
tetapi lambat laun turun dan pasien jatuh syok.
· Nadi cepat, kecil, dan filiformis.
7. Pemeriksaan Ultrasonography (USG).
Ultrasonography adalah suatu metode yang penting untuk mengetahui adanya pendarahan
di dalam uterus. Kualitas dan sensitifitas ultrasonografi dalam mendeteksi solusio
plasenta telah meningkat secra signifikan belakangan ini.
Tetapi bagaimanapun juga ini bukan metode yang sempurna dan sensitif untuk
mendeteksi solusio plasenta, tercatat hanya 25% kasus solusio plasenta yang ditegakkan
dengan USG.
40
Solusio plasenta tampak sebagai gambaran gumpalan darah retroplacental, tetapi tidak
semua solusio plasenta yang di USG ditemukan gambaran seperti di atas. Pada fase akut,
suatu perdarahan biasanya hyperechoic, atau bahkan isoechoic, maka kita bandingkan
dengan plasenta.
Gambaran konsisten yang mendukung diagnosa solusio plasenta antara lain adalah;
gumpalan hematom retroplasenta (hyperochoic hingga isoechoic pada fase akut, dan
berubah menjadi hypoechoic dalam satu minggu), gambaran perdarahan tersembunyi,
gambaran perdarahan yang meluas. Manfaat lainnya adalah USG dapat dipakai untuk
menyingkirkan kemungkinan penyebab lain perdarahan antepartum.
8. Pemeriksaan laboratorium
· Urin,albumin (+); pada pemeriksaan sedimen terdapat silinder dan lekosit.
· Darah
Hb menurun (anemi), periksa golongan darah, kalau bisa cross match test.
Karena pada solusio plasenta sering terjadi kelainan pembekuan darah
a/hipofibrinogenemia, maka diperiksakan pula COT (Clot Observation Test) tiap 1 jam,
41
test kualitatif fibrinogen (fiberindex), dan test kuantitatif fibrinogen (kadar normalnya
150 mg%).
9. Pemeriksaan plasenta
· Sesudah bayi dan plasenta lahir, kita periksa plasentanya. Biasanya tampak tipis dan
cekung di bagian plasenta yang terlepas (krater) dan terdapat koagulum atau darah beku
di belakang plasenta, yang disebut hematoma retroplasenter.
PENANGANAN 1,3,4
1. Solutio Plasenta Ringan
Ekspektatif (Konservatif)
Prinsipnya kita hanya menunggu sampai perdarahan berhenti dan
kemudian partus spontan.
Dilakukan apabila kehamilan kurang dari 36 minggu, dan keadaan
hemodinamik yang stabil yakni perdarahan berhenti spontan, kontraksi uterus
tidak ada, perut tidak sakit, uterus tidak tegang, janin hidup.
Pasien dirawat dengan tirah baring, atasi anemia, USG, dan CTG serial,
berikan tokolisis dengan syarat keadaan janin baik, lalu tunggu persalinan
spontan.
Pemeriksaan laboratoirum darah lengkap , golongan darah, pembekuan darah
harus dilakukan
Aktif
Prinsipnya kita mencoba melakukan tindakan dengan maksud agar anak
segera dilahirkan dan perdarahan berhenti.
Dilakukan apabila ada perdarahan berlangsung terus, uterus berkontraksi,
dapat mengancam ibu/janin, gejala solutio plasenta itu bertambah jelas, atau
dalam pemantauan USG daerah solutio plasenta bertambah luas.
Disseminating Intravaskular Coagulophaty (DIC) harus disingkirkan,
terutama pada kasus-kasus dengan kematian janin. Bedside bleeding test dapat
mengkonfirmasikan diagnosis tersebut.
42
Apabila terdapat koagulopati, koreksi dengan fresh frozen plasma atau
cryoprecipitate. Segera setelah faktor pembekuan terkoreksi dan volume
cairan tergantikan, lakukan terminasi kehamilan.
Bila janin hidup, dilakukan seksio caesaria. Apabila janin mati, ketuban
segera dipecahkan (amniotomi) disusul pemberian infus oksitosin untuk
mempercepat persalinan pervaginam (dalam 6 jam). Bila kemajuan partus
tidak memuaskan atau pembukaan serviks kurang dari 5, lakukan seksio
caesaria.
2. Solutio Plasenta Sedang dan Berat
Apabila diagnosis solutio plasenta ditegakkan, berarti perdarahan telah terjadi
minimal 1000 Cc. Dengan demikian, transfusi darah harus segera dilakukan.
Tekanan darah tidak merupakan petunjuk banyaknya perdarahan karena
vasospasmus sebagai reaksi dari perdarahan ini akan meninggikan tekanan darah.
Untuk memperbaiki hemodinamik pasien berikan lakukan juga resusitasi
cairan dengan saline atau ringer laktat dalam 2 jalur dengan jarum besar (16G,
18G). Observasi terus keadaan janin, dan berikan O2 murni untuk pasien dengan
hipotensi.
Ketuban segera dipecahkan, tidak peduli keadaan umum pasien dan tidak
peduli apakah persalinan akan dilakukan pervaginam atau per abdominam.
Amniotomi akan merangsang dimulainya persalinan dan mengurangi tekanan
intrauterin yang dapat menyebabkan komplikasi nekrosis korteks ginjal (refleks
uterorenal) dan gangguan pembekuan darah. Bila perlu, persalinan dipercepat
dengan pemberian infus oksitosin.
Apabila persalinan tidak selesai atau diperkirakan tidak akan selasai dalam
6 jam setelah terjadinya solutio plasenta, walaupun amniotomi dan pemberian
infus oksitosin telah dilakukan, satu-satunya cara untuk segera mengosongkan
uterus ialah dengan seksio caesaria. Seksio Caesaria tidak perlu menunggu sampai
darah tersedia secukupnya, atau syok teratasi, karena tindakan terbaik dalam
mengatasi perdarahan adalah dengan segera menghentikan sumbernya.
Apabila perdarahan tidak dapat diatasi dengan seksio caesaria, uterus
Couvelaire dengan kontraksi tidak baik, terjadi afibrinogenemia atau
43
hipofibrinogenemia, persediaan darah atau fibrinogen tidak ada atau tidak cukup;
maka histerektomi perlu dipertimbangkan. Dapat juga dilakukan ligasi arteri
hipogastrika bila perdarahan tidak terkontrol tetapi fungsi reproduksi masih ingin
dipertahankan.
KOMPLIKASI 1
Komplikasi pada ibu dan janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas dan
lamanya solusio plasenta berlangsung. Komplikasi yang dapat terjadi adalah :
a. Perdarahan. Perdarahan antepartum dan intrapartum pada solusio plasenta
hampir tidak dapat dicegah, kecuali dengan menyelesaikan persalinan segera.
Bila persalinan telah selesai, penderita belum bebas dari bahaya perdarahan
postpartum karena kontraksi uterus yang tidak kuat untuk menghentikan
perdarahan pada kala III, dan kelainan pembekuan darah.
Kontraksi uterus yang tidak kuat itu disebabkan oleh ekstravasasi darah di anatara
otot-otot miometrium, seperti yang terjadi pada uterus Couvelaire. Apabila
perdarahan post-partum itu tidak dapat diatasi dengan kompresi bimanual uterus,
pemberian uterotonika, maupun pengobatan kelainan pembekuan darah, maka
tindakan terakhir untuk mengatasi perdarahan postpartum itu ialah histerektomia
atau pengikatan arteria hipogastrika.
b. Kelainan pembekuan darah. Kelainan pembekuan darah pada solusio plasenta
yang biasanya disebabkan oleh hipofibrinogenemi terjadi kira-kira 10%;
sedangkan di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo menurut Wirjohadiwardojo
(1973) terjadi pada 46% dari 134 kasus yang diselidikinya. Terjadinya
hipofibrinogenemi diterangkan oleh Page (1951) dan Schneider (1955) dengan
masuknya tromboplastin ke dalam peredaran darah ibu akibat terjadinya
pembekuan darah retroplasenter, sehingga terjadi pembekuan darah intravaskular
di mana-mana, yang akan menghabiskan factor-faktor pembekuan darah lainnya,
terutama fibrinogen. Selain keterangan yang sederhana ini, masih terdapat banyak
keterangan lain yang lebih rumit.
Kadar fibrinogen plasma normal pada wanita hamil cukup-bulan ialah 450 mg%,
berkisar antara 300-700 mg%. Apabila kadar fibrinogen lebih rendah dari 100 mg
%, akan terjadi gangguan pembekuan darah.
44
c. Oligouria dan gagal ginjal. Hanya dapat diketahui dengan pengukuran teliti
pengeluaran air kencing yang harus secara rutin dilakukan pada solution plasenta
sedang, dan berat, apalagi yang disertai perdarahan tersembunyi, pre-eklamsia,
atau hipertensi menahun. Terjadinya oligouria belum dapat diterangkan dengan
jelas. Sangat mungkin berhubungan dengan hipovolemia, dan penyempitan
pembuluh darah ginjal akibat perdarahan yang banyak. Ada pula yang
menerangkan bahwa tekanan intrauterine yang meninggi karena solution plasenta
menimbulkan refleks penyempitan pembuluh darah ginjal. Kelainan pembekuan
darah berperanan pula dalam terjadinya kelainan fungsi ginjal ini.
d. Gawat janin. Jarang kasus solusio plasenta yang dating ke rumah sakit dengan
janin yang masih hidup. Kalau pun didapatkan janin masih hidup, biasanya
keadaannya sudah demikian gawat, kecuali pada kasus solution plasenta ringan.
PROGNOSIS 1,3
· Terhadap ibu
Mortalitas menurut kepustakaan 5-10%, sedangkan di RS Pringadi Medan dilaporkan
6,7%. Hal ini dikarenakan adanya perdarahan sebelum dan sesudah partus, toksemia
gravidarum, kerusakan organ terutama nekrosis korteks ginjal dan infeksi.
Prognosis ibu tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas dari dinding uterus,
banyaknya perdarahan, derajat kelainan pembekuan darah, ada tidaknya hipertensi
menahun atau preeklampsia, tersembunyi tidaknya perdarahan, jarak waktu antara
terjadinya solutio plasenta dan pengosongan uterus.
· Terhadap anak
Mortalitas anak tinggi menurut kepustakaan 70-80%, sedangkan di RS Pringadi Medan
77,7%. Hal ini tergantung pada derajat pelepasan dari plasenta, bila yang terlepas lebih
dari 1/3 maka kemungkinan kematian anak 100%. Selain itu juga tergantung pada
prematuritas dan tindakan persalinan.
Prognosis janin pada solutio plasenta berat hampir 100% mengalami kematian. Pada
solutio plasenta ringan dan sedang, kematian janin tergantung dari luasnya plasenta yang
45
terlepas dari dinding uterus dan tuanya kehamilan. Perdarahan lebih dari 2000 mL
biasanya menyebabkan kematian janin.
· Terhadap kehamilan berikutnya
Biasanya bila telah menderita penyakit vaskuler dengan solusio plasenta, maka pada
kehamilan berikutnya sering terjadio solusio plasenta yang lebih berat dengan partus
prematurus atau immaturus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wiknjosastro, H, Saifuddin A.B, Rachimhadhi T. Perdarahan Dalam Kehamilan
Lanjur. Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 2006
2. Library.usu.ac.id/download/fk/anatomi-djakobus.3.pdf
3. Mochtar, R,. Sinopsis Obstetri obstetri fisiologis obstetri patologis, edisi ketiga.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2013
4. Bagian Obstetri & Ginekologi Fak. Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung,
Obstetri Patologi, Ed. 1984, Elstar Offset: Bandung
5. Saifuddin A.B, Adriansz G, Wiknjosastro, H, Waspodo D. Perdarahan kehamilan
lanjut dan persalinan. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal, Yayasan Bina Pustaka Sarwomo Prawirohardjo, Jakarta, 2006
6. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, et al. Plasenta Previa, Antepartum hemorrhage.
In : Williams Obstetrics, 23rd ed, Prentice Hall International Inc. Appleton and Lange,
Connecticut, 2001;
46
7. Robbins & Contran. Dasar Patologis Penyakit. Ed 7. Jakarta: EGC Kedokteran. 2009.
47