Referat Informed Consent

Embed Size (px)

Citation preview

INFORMED CONSENT

I. PENDAHULUAN

Informed consent terdiri dari dua kata yaitu informed yang berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan consent yang berarti persetujuan atau memberi izin. Consent dibagi menjadi 2 yaitu expressed yang berarti dapat secara lisan atau tulisan, implied yang berarti yang dianggap telah diberikan. Jadi informed consent mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian informed consent dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta risiko yang berkaitan dengannya.1,2

Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian.Tindakan medis yang dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351.3

Pelaksanaan informed consent wajib hukumnya bagi dokter/dokter gigi. Jika kewajiban informed consent ini diabaikan akan dapat merugikan salah satu pihak, baik dokter maupun pasien. Apabila pasien tidak puas dengan informasi yang diterima tentang barbagai aspek penyakit mereka, atau dokter menganggap informed consent merupakan suatu tugas yang dianggap sukar untuk dikerjakan, maka dapat mengakibatkan terjadinya tuntutan hukum, terhadap dokter selaku penyelenggara pelayanan kesehatan.1,2

Di Indonesia perkembangan informed consent secara yuridis formal, ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang informed consent melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent. Hal ini tidak berarti para dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan informed consent karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan.4II. TUJUAN PELAKSANAAN INFORMED CONSENTDalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien), maka pelaksanaan informed consent, bertujuan untuk melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau over utilization yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya;1Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar karena kelalaian (negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya tidak akan dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya.Perlunya memberi inform consent pada pasien adalah untuk:2a) Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien; 5b) Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap riskoftreatment yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan semaksimal mungkin dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti.5Fungsinya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut :61. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia2. Promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri3. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien4. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter5. Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional6. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan7. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.Dalam keadaan gawat darurat Informed consent tetap merupakan hal yang paling penting walaupun prioritasnya diakui paling bawah. Prioritas yang paling utama adalah tindakan menyelamatkan nyawa. Walaupun tetap penting, namun Informed consent tidak boleh menjadi penghalang atau penghambat bagi pelaksanaan emergency care sebab dalam keadaan kritis dimana dokter berpacu dengan maut, ia tidak mempunyai cukup waktu untuk menjelaskan sampai pasien benar-benar menyadari kondisi dan kebutuhannya serta memberikan keputusannya. Dokter juga tidak mempunyai banyak waktu untuk menunggu kedatangan keluarga pasien. Kalaupun keluarga pasien telah hadir dan kemudian tidak menyetujui tindakan dokter, maka berdasarkan doctrine of necessity, dokter tetap harus melakukan tindakan medik. Hal ini dijabarkan dalam PerMenKes Nomor 585/PerMenKes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, bahwa dalam keadaan emergency tidak diperlukan Informed consent. 7 Ketiadaan informed consent dapat menyebabkan tindakan malpraktek dokter, khususnya bila terjadi kerugian atau intervensi terhadap tubuh pasiennya. Hukum yang umum diberbagai Negara menyatakan bahwa akibat dari ketiadaan informed consent setara dengan kelalaian/keteledoran. Akan tetapi, dalam beberapa hal, ketiadaan informed consent tersebut setara dengan perbuatan kesengajaan, sehingga derajat kesalahan dokter pelaku tindakan tersebut lebih tinggi. Tindakan malpraktek dokter yang dianggap setara dengan kesengajaan adalah sebagai berikut :1 1. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan dokter, tetapi dokter tetap melakukan tindakan tersebut. 2. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang risiko dan akibat dari tindakan medis yang diambilnya. 3. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko dan akibat dari tindakan medis yang diambilnya. 4. Informed consent diberikan terhadap prosedur medis yang berbeda secara substansial dengan yang dilakukan oleh dokter. III. JENIS-JENIS INFORMED CONSENT

Informed Consent dalam profesi kedokteran (juga tenaga kesehatanan lainnya) adalah pernyataan setuju (consent) atau ijin dari pasien yang diberikan dengan bebas, rasional, tanpa paksaan (voluntary) tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadapnya sesudah mendapatkan informasi cukup tentang tindakan kedokteran yang dimaksud. 1,8

Ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent) yaitu tersirat atau dianggap telah diberikan (Implied Consent), yaitu bisa dalam keadaan normal (biasa) atau darurat, umumnya tindakan yang biasa dilakukan atau sudah diketahui umum misal menyuntik pasien. Bila pasien dalam keadaan gawat darurat Emergency memerlukan tindakan segera, sementara pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya pun tidak ditempat, maka dokter dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter (Permenkes No. 585 tahun 1989, pasal 11). Inform consent juga bisa dalam bentuk dinyatakan (Expressed Consent), yaitu persetujuan dinyatakan secara lisan atau tertulis. Persetujuan secara lisan diperlukan pada tindakan medis yang tidak mengandung resiko tinggi seperti pencabutan kuku, sedangkan persetujuan secara tertulis mutlak diperlukan pada tindakan medis yang mengandung resiko tinggi seperti tindakan pembedahan perlu surat pernyataan dari pasien/keluarga.Secara detail pembahagian dan contohnya adalah seperti berikut:1

1. Implied ConsentPasien menyetujui penjelasan yang diberikan oleh dokter atau suatu tindakan oleh dokter dengan isyarat. Sebagai contoh, ketika prosedur pengambilan darah rutin untuk pemeriksaan, pasien memberikan implied consent dengan hanya menghulurkan tangan untuk pengambilan darah.1

2. Explicit / Express ConsentExpress atau explicit consent adalah dimana patient dengan jelas menyatakan persetujuan untuk suatu tindakan medis. Persetujuan ini bisa dalam bentuk verbal atau tulisan.1,8

a) Verbal consentVerbal consent adalah suatu bentuk dari express consent dimana pasien menyetujui tindakan medis dokter secara verbal.1,8

b) Written consentWritten consent adalah dimana seorang pasien menyetujui tindakan medis secara bertulis pada lembar inform consent yang telah disediakan.1

Kapan Dibutuhkan Persetujuan Tertulis?Informed Consent adalah suatu persetujuan mengenai akan dilakukannya tindakan kedokteran oleh dokter terhadap pasiennya. Persetujuan ini bisa dalam bentuk lisan maupun tertulis. Pada hakikatnya Informed Consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter dan pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien (ada kegiatan penjelasan rinci oleh dokter), sehingga kesepakatan lisan pun sesungguhnya sudah cukup. Penandatanganan formulir Informed Consent secara tertulis hanya merupakan pengukuhan atas apa yang telah disepakati sebelumnya. Formulir ini juga merupakan suatu tanda bukti yang akan disimpan di dalam arsip rekam medis pasien yang bisa dijadikan sebagai alat bukti bahwa telah terjadi kontrak terapeutik antara dokter dengan pasien. Pembuktian tentang adanya kontrak terapeutik dapat dilakukan pasien dengan mengajukan arsip rekam medis atau dengan persetujuan tindakan medis (informed consent) yang diberikan oleh pasien. Bahkan dalam kontrak terapeutik adanya kartu berobat atau dengan kedatangan pasien menemui dokter untuk meminta pertolongannya, dapat dianggap telah terjadi perjanjian terapeutik.1

Persetujuan tertulis dalam suatu tindakan medis dibutuhkan saat :11. Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut resiko atau efek samping yang bermakna.2. Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi.3. Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi kedudukan kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial pasien.4. Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian.

IV. INFORMASI YANG WAJIB DIBERIKAN DALAM INFORMED CONSENTDiagnosa dan tata cara tindakan kedokteran serta penjelasan mengenai diagnosis dapat meliputi:1 a. Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut.b. Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakan, maka sekurang-kurangnya diagnosis kerja dan diagnosis banding.c. Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan kedokteran.d. Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan.

Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan dimana penjelasan tentang tindakan kedokteran yang dilakukan meliputi :1a. Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif, diagnostik, terapeutik, ataupun rehabilitative. b. Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah tindakan, serta efek samping atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi.

Serta alternatif tindakan lain dan risikonya.1a. Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya dibandingkan dengan tindakan yang direncanakan.b. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternatif tindakan.c. Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat akibat risiko dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga lainnya.

Risiko-risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi juga harus diberikan1Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua risiko dan komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang dilakukan, kecuali : a. Risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum.b. Risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya sangat ringan.c. Risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya.

Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan dan penjelasan tentang prognosis meliputi :a. Pronosis tentang hidup matinya (ad vitam)b. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam)c. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam)

V. KETENTUAN INFORMED CONSENTKetentuan persetujuan informed consent sesuai dengan PERMENKES 290 Tahun 2008 menyebutkan bahwa persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Keluarga terdekat yang dimaksud adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-sudara kandung atau pengampunya1,4

Seseorang dewasa dianggap kompeten dan oleh karena itu harus mengetahui terapi yang direncanakan. Orang dewasa yang tidak kompeten karena penyakit fisik atau kejiwaan dan tidak mampu mengerti tentu saja tidak dapat memberikan informed consent yang sah. Sebagai akibatnya, persetujuan diperoleh dari orang lain yang memiliki otoritas atas nama pasien. Ketika pengadilan telah memutuskan bahwa pasien inkompeten, wali pasien yang ditunjuk pengadilan harus mengambil otoritas terhadap pasien. Dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat.1

Pemberi informasi tentang tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien dilakukan oleh dokter atau dokter gigi, dokter spesialis atau dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.1

Informed consent tidak berlaku pada 5 keadaan :11. Keadaan darurat medis2. Ancaman terhadap kesehatan masyarakat3. Pelepasan hak memberikan consent (waiver)4. Clinical privilege (penggunaan clinical privilege hanya dapat dilakukan pada pasien yang melepaskan haknya memberikan consent.5. Pasien yang tidak kompeten dalam memberikan consent.

VI. ASPEK HUKUM INFORMED CONSENTDalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien) bertindak sebagai subyek hukum yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan jasa tindakan medis sebagai obyek hukum yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.1

Dalam masalah informed consent dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.9

Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan adalah kesalahan kecil (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi.9

Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah kesalahan berat (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.7

Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya; Aspek Hukum Pidana, informed consent mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.3

Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa informed consent benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.7

Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur dalam:7

1. Sesuai dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia, terdapat kewajiban umum yang harus dipenuhi oleh seorang dokter terutama pada pasal 5, dimana tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.12. Berdasarkan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 45 dan Pasal 25 huruf d dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi Pasal 17 bahwa :10a. Untuk menjalin komunikasi dua arah yang efektif dalam rangka memperoleh persetujuan tindakan medic, baik dokter atau dokter gigi maupun pasien mempunyai hak untuk didengar dan kewajiban untuk saling member informasi.b. Setelah menerima informasi yang cukup dari dokter atau dokter gigi dan memahami maknanya (well informed), pasien diharapkan dapat mengambil keputusan bagi dirinya sendiri (the right to self determination) untuk menyetujui (consent) atau menolah (refuse) tindakan medik yang akan dilakukan padanya.c. Setiap tindakan medic yang akan dilakukan kepadda pasien, mensyaratkan persetujuan (otorisasi) dari yang bersangkutan. Dalam kondisi dimana pasien tidak dapat memberikan persetujuan secara pribadi (dibawah umur atau keadaan fisik/mental tidak memungkinkan), maka persetujuan dapat diberikan oleh keluarga yang berwenang (suami/istri, bapak/ibu, anak atau saudara kandung) atau wali atau pengampunya.3. Sebagai suatu perbuatan hukum, persetujuan tindakan medik tentu harus dilatarbelakangi oleh sektor yuridis agar dapat berlaku dan sesuai dengan aturanhukum yang berlaku. Di Indonesia, yang menjadi dasar hukum bagi suatu transaksi persetujuan tindakan medik adalah sebagai berikut 10 :a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdatab. Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteranc. UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatand. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang penyelenggaraan praktik dokter dan dokter gigie. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medikf. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 749a/Men.Kes/Per/XII/1989 tentang Rekam Medik/ Medical Recordg. Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1951 tentang Kesehatan Kerja.h. Surat Keputusan Dirjen Yan Dik No. HK.00.06.6.5.1866 Tahun 1999 tentang Pedoman Persetujuan Tindakan Medik ditetapkan tanggal 21 April 1999 (selanjutnya disebut Pedoman Pertindik)

HAK DAN KEWAJIBAN DOKTERDalam melaksanakan praktik kedokteran, Dokter atau dokter gigi mempunyai hak serta kewajiban yang harus diperhatikan. Hak dan kewajiban ini diatur dalam Paragraf 6 Pasal 50-51 UU RI No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Adapun hak dan kewajiban tersebut ialah :10Pasal 50Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak :a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional;c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dand. Menerima imbalan jasa.

Pasal 51Dokter atau dokter gigi dlam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :a. Memberikan pelayanan medis b. sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;c. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;d. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;e. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; danf. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.

HAK DAN KEWAJIBAN PASIENDalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, pasien pun mempunyai hak serta kewajiban yang harus diperhatikan. Hak dan kewajiban ini diatur dalam Paragraf 7 Pasal 52-53 UU RI No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Adapun hak dan kewajiban tersebut ialah :10

Pasal 52Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;d. Menolak tindakan medis; dane. Mendapatkan isi rekam medis.

Pasal 53Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban;a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

VII. KESIMPULAN

Informed Consent dalam profesi kedokteran adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga pasien terhadap pelayanan kesehatan yang akan dijalani oleh seorang pasien setelah pasien tersebut mendapatkan informasi (penjelasan) yang lengkap dari dokter yang akan melakukan tindakan tersebut. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, atau perjanjian yang bersifat khusus, karena dalam pelayanan kesehatan, dokter tidak bisa menjanjikan sesuatu dalam upaya penyembuhan seseorang, akan tetapi seorang dokter akan selalu berupaya semaksimal mungkin menurut standar pelayanan dan keilmuan tertinggi yang dimiliki oleh dokter tersebut dalam upaya penyembuhan dan penyelamatan nyawa seseorang.Karena setiap tindak dalam pelayanan kesehatan mengandung resiko, maka dari itu informed concent lebih cendrung kearah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain.1

DAFTAR PUSTAKA

1. Wakenfield John, et al.. Queensland Health: Guide to Informed Decision-Making in Healthcare. Centre for Healthcare Improvement. 1st Edition. Queensland. Queensland Government. February 2012. p.1-34, 45-48, 55-59

2. Escobodo Crisol, Guerrero Javier, Lujan Gilbert, et. al. Ethical Issues with Informed Consent. University of Texas. Texas. Available from http:// www. ethicalissues-pdf.com. Accessed 7th October 2013

3. Bab XX-Penganiayaan. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Indonesia. Available: www.codigo_penal_Indonesia.com. Accessed 6th October 2013 4. Persetujuan Tindakan Kedokteran. Dalam: Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/III/2008. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Accessed 7th October 2013

5. Noor M Azis. Laporan Penelitian Hukum terntang Hubungan Tenaga Medik, Rumah Sakit dan Pasien. Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI. Jakarta. November 2010. Accessed 8th October 2013

6. Hicks Lorna. Informed Consent. Duke University. Available from http:// informconsent_pdf.com. Accessed 7th October 2013.

7. Organisasi dan Tata Kerja Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia di Tingkat Provinsi. Dalam: Peraturan Konsil Kodekteran Indonesia Nomor 15/KKI/PER/VIII/2006. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Accessed: 6th October 2013

8. The Process of Obtaining Inform Consent. Research Ethics Review Committee. World Health Organization. Available: http://www.who.int/rpc/research_ethics . Accessed: 8th October 20139. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksana Kode Etik Indonesia. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia. Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta. 1991. Accessed 7th October 2013.

10. Praktik Kedokteran. Dalam : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004. Dewan Perwakilan Republik Indonesia. 2004. Accessed 7th October 2013