Upload
widya-widyarini
View
41
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
referat
Citation preview
BAB 1
PENDAHULUAN
Infeksi HIV pada manusia dianggap sebagai pandemi oleh World Health Organization
(WHO). Dari penemuan pada tahun 1981 sampai 2006, AIDS telah membunuh lebih dari 25
juta orang. HIV menginfeksi sekitar 0,6% dari populasi dunia. Pada tahun 2005 saja,
penderita AIDS lebih dari 570.000 adalah anak-anak. Dengan pertumbuhannya yang semakin
pesat, perlu untuk kita mengetahui apa saja komplikasi neurologis yang dapat terjadi.
Dampak AIDS terhadap sel saraf yaitu dimana virus tampaknya tidak menyerang sel
saraf secara langsung tetapi membahayakan fungsi dan kesehatan sel saraf. Peradangan yang
diakibatkan dapat merusak otak dan saraf tulang belakang. Penelitian menunjukkan bahwa
infeksi HIV secara bermakna dapat mengubah struktur otak tertentu yang terlibat dalam
proses belajar dan pengelolaan informasi. HIV mungkin juga secara langsung menginfeksi
sel-sel saraf, menyebabkan kerusakan neurologis. 31-60% pasien AIDS memiliki kelainan
neurologis. Kelainan ini mengenai SSP dan sedikit ke sistem saraf tepi. Infeksi yang
mengenai SSP pada AIDS ada dua jenis yaitu infeksi opportunis sekunder atas imunosupresi
yang diinduksi oleh hilangnya imunitas sel-T, dan infeksi HIV langsung yang tampil sebagai
meningitis atau kompleks dementia AIDS, manifestasi ensefalitis HIV yang secara klinis dan
biologis berjangkauan luas.
Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita
HIV/AIDS, akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi
disebabkan oleh virus, bakteri, protozoa dan jamur dan juga mudah terkena penyakit
keganasan. Dalam referat ini, akan dibahas secara singkat mengenai beberapa jenis infeksi
oportunistik susunan saraf pusat pada pasien AIDS yang disebabkan oleh patogen viral :
ensefalitis sitomegalovirus dan leukoensefalopati multifokal progresif, serta yang disebabkan
oleh patogen non-viral : ensefalitis toksoplasma dan meningitis kriptokokus.
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
SISTEM SARAF PUSAT
A. Otak
a. Perkembangan Otak
Otak manusia mencapai 2% dari keseluruhan berat tubuh, mengkonsumsi 25%
oksigen dan menerima 1,5% curah jantung. Bagian cranial pada tabung saraf membentuk tiga
pembesaran (vesikel) yang berdiferensiasi untuk membentuk otak : otak depan, otak tengah
dan otak belakang. Otak depan (proensefalon) terbagi menjadi dua subdivisi : telensefalon
dan diensefalon. _ Telensefalon merupakan awal hemisfer serebral atau serebrum dan basal
ganglia serta korpus striatum (substansi abu-abu) pada serebrum. Diensefalon menjadi
thalamus, hipotalamus dan epitalamus. Otak tengah (mesensefalon) terus tumbuh dan pada
orang dewasa disebut otak tengah. Otak belakang (rombensefalon) terbagi menjadi dua
subdivisi : metensefalon dan mielensefalon. _ Metensefalon berubah menjadi batang otak
(pons) dan serebelum. Mielensefalon menjadi medulla oblongata. Rongga pada tabung saraf
tidak berubah dan berkembang menjadi ventrikel otak dan kanal sentral medulla spinalis.
b. Lapisan Pelindung
Otak terdiri dari rangka tulang bagian luar dan tiga lapisan jaringan ikat yang disebut
meninges. Lapisan meningeal terdiri dari pia meter, lapisan araknoid dan durameter.
Pia meter adalah lapisan terdalam yang halus dan tipis, serta melekat erat pada otak.
Lapisan araknoid terletak di bagian eksternal pia meter dan mengandung sedikit
pembuluh darah. Ruang araknoid memisahkan lapisan araknoid dari piameter dan
mengandung cairan cerebrospinalis, pembuluh darah serta jaringan penghubung serta
selaput yang mempertahankan posisi araknoid terhadap piameter di bawahnya.
Durameter, lapisan terluar adalah lapisan yang tebal dan terdiri dari dua lapisan.
Lapisan ini biasanya terus bersambungan tetapi terputus pada beberapa sisi spesifik.
Lapisan periosteal luar pada durameter melekat di permukaan dalam kranium dan
berperan sebagai periosteum dalam pada tulang tengkorak. Lapisan meningeal dalam
pada durameter tertanam sampai ke dalam fisura otak dan terlipat kembali di arahnya
untuk membentuk falks serebrum, falks serebelum, tentorium serebelum dan sela
2
diafragma. Ruang subdural memisahkan durameter dari araknoid pada regia cranial
dan medulla spinalis. Ruang epidural adalah ruang potensial antara perioteal luar dan
lapisan meningeal dalam pada durameter di regia medulla spinalis.
c. Cairan Cerebrospinalis
Cairan serebrospinalis mengelilingi ruang sub araknoid di sekitar otak dan medulla
spinalis. Cairan ini juga mengisi ventrikel dalam otak. Cairan cerebrospinalis menyerupai
plasma darah dan cairan interstisial, tetapi tidak mengandung protein. Cairan serebrospinalis
dihasilkan oleh plesus koroid dan sekresi oleh sel-sel ependimal yang mengitari pembuluh
darah serebral dan melapisi kanal sentral medulla spinalis. Fungsi cairan cerebrospinalis
adalah sebagai bantalan untuk pemeriksaan lunak otak dan medulla spinalis, juga berperan
sebagai media pertukaran nutrient dan zat buangan antara darah dan otak serta medulla
spinalis.
d. Serebrum
Serebrum tersusun dari dua hemisfer serebral, yang membentuk bagian terbesar otak.
Koterks serebral terdiri dari 6 lapisan sel dan serabut saraf. Ventrikel I dan II (ventrikel
lateral) terletak dalam hemisfer serebral. Korpus kolosum yang terdiri dari serabut
termielinisasi menyatukan kedua hemisfer. Fisura dan sulkus. Setiap hemisfer dibagi oleh
fisura dan sulkus menjadi 4 lobus (frontal, paritetal, oksipital dan temporal) yang dinamakan
sesuai tempat tulangnya berada. Fisura longitudinal membagi serebrum menjadi hemisfer kiri
dan kanan. Fisura transversal memisahkan hemisfer serebral dari serebelum. Sulkus pusat /
fisura Rolando memisahkan lobus frontal dari lobus parietal. Sulkus lateral / fisura Sylvius
memisahkan lobus frontal dan temporal. Sulkus parieto-oksipital memisahkan lobus parietal
dan oksipital. Girus merupakan permukaan hemisfer serebral memiliki semacam konvolusi
yang disebut girus.
e. Area Fungsional Korteks Serebri
Area motorik primer pada korteks
Area primer terdapat dalam girus presentral. Disini neuron mengendalikan kontraksi
volunteer otot rangka. Area pramotorik korteks terletak tepat di sisi anterior girus
presentral. Neuron mengendalikan aktivitas motorik yang terlatih dan berulang seperti
mengetik. Area broca terletak di sisi anterior area premotorik pada tepi bawahnya.
Area sensorik korteks
Terdiri dari area sensorik primer, area visual primer, area auditori primer. Area
olfaktori primer dan area pengecap primer (gustatory).
Area asosiasi traktus serebral
3
Terdiri area asosiasi frontal, area asosiasi somatic, area asosiasi visual, area wicara
Wernicke.
Ganglia basal
Substansi abu-abu yang terletak jauh di dalam substansi putih serebrum.
f. Diensefalon
Terletak di antara serebrum dan otak tengah serta tersembunyi di balik hemisfer
serebral, kecuali pada sisi basal. Talamus terdiri dari dua massa oval (lebar 1 ¼ cm dan
panjang 3 ¾ cm) substansi abu-abu yang sebagian tertutup substansi putih. Masing-masing
massa menonjol ke luar untuk membentuk sisi dinding ventrikel ketiga. Hipotalamus terletak
di didi inferior thalamus dan membentuk dasar serta bagian bawah sisi dinding ventrikel
ketiga. Hipotalamus berperan penting dalam pengendalian aktivitas SSO yang melakukan
fungsi vegetatif penting untuk kehidupan, seperti pengaturan frekwensi jantung, tekanan
darah, suhu tubuh, keseimbangan air, selera makan, saluran pencernaan dan aktivitas seksual.
Hipotalamus juga berperan sebagai pusat otak untuk emosi seperti kesenangan, nyeri,
kegembiraan dan kemarahan. Hipotalamus memproduksi hormon yang mengatur pelepasan
atau inhibisi hormon kelenjar hipofise sehingga mempengaruhi keseluruhan sistem endokrin.
Epitalamus membentuk langit-langit tipis ventrikel ketiga. Suatu massa berukuran kecil,
badan pineal yang mungkin memiliki fungsi endokrin, menjulur dari ujung posterior
epitalamus.
g. Sistim Limbik
Terdiri dari sekelompok struktur dalam serebrum dan diensefalon yang terlibat dalam
aktivitas emosional dan terutama aktivitas perilaku tak sadar. Girus singulum, girus
hipokampus dan lobus pitiformis merupakan bagian sistem limbic dalam korteks serebral.
h. Otak Tengah
Merupakan bagian otak pendek dan terkontriksi yang menghubungkan pons dan
serebelum dengan serebrum dan berfungsi sebagai jalur penghantar dan pusat refleks. Otak
tengah, pons dan medulla oblongata disebut sebagai batang otak.
i. Pons
Hampir semuanya terdiri dari substansi putih. Pons menghubungkan medulla yang
panjang dengan berbagai bagian otak melalui pedunkulus serebral. Pusat respirasi terletak
dalam pons dan mengatur frekwensi dan kedalaman pernapasan. Nuclei saraf cranial V, VI
dan VII terletak dalam pons, yang juga menerima informasi dari saraf cranial VIII
j. Serebelum
4
Terletak di sisi inferior pons dan merupakan bagian terbesar kedua otak. Terdiri dari
bagian sentral terkontriksi, vermis dan dua massa lateral, hemisfer serebelar. Serebelum
bertanggung jawab untuk mengkoordinasi dan mengendalikan ketepatan gerakan otot dengan
baik. Bagian ini memastikan bahwa gerakan yang dicetuskan di suatu tempat di SSP
berlangsung dengan halus bukannya mendadak dan tidak terkordinasi. Serebelum juga
berfungsi untuk mempertahankan postur.
k. Medulla Oblongata
Panjangnya sekitar 2,5 cm dan menjulur dari pons sampai medulla spinalis dan terus
memanjang. Bagian ini berakhir pada area foramen magnum tengkoral. Pusat medulla adalah
nuclei yang berperan dalam pengendalian fungsi seperti frekwensi jantung, tekanan darah,
pernapasan, batuk, menelan dan muntah. Nuclei yang merupakan asal saraf cranial IX, X, XI
dan XII terletak di dalam medulla.
l. Formasi Retikular
Formasi retukular atau sistem aktivasi reticular adalah jarring-jaring serabut saraf dan
badan sel yang tersebar di keseluruhan bagian medulla oblongata,pons dan otak tengah.
Sistem ini penting untuk memicu dan mempertahankan kewaspadaan serta kesadaran.
B. Medulla Spinalis
a. Fungsi Medulla Spinalis
Medulla spinalis mengendalikan berbagai aktivitas refleks dalam tubuh. Bagian ini
mentransmisi impuls ke dan dari otak melalui traktus asenden dan desenden.
b. Struktur Umum
Medulla spinalis berbentuk silinder berongga dan agak pipih. Walaupun diameter
medulla spinalis bervariasi, diameter struktur ini biasanya sekitar ukuran jari kelingking.
Panjang rata-rata 42 cm. Dua pembesaran, pembesaran lumbal dan serviks menandai sisi
keluar saraf spinal besar yang mensuplai lengan dan tungkai. Tiga puluh satu pasang (31)
saraf spinal keluar dari area urutan korda melalui foramina intervertebral.
c. Struktur Internal
Terdiri dari sebuah inti substansi abu-abu yang diselubungi substansi putih. Kanal
sentral berukuran kecil dikelilingi oleh substansi abu-abu bentuknya seperti huruf H. Batang
atas dan bawah huruf H disebut tanduk atau kolumna dan mengandung badan sel, dendrite
asosiasi dan neuron eferen serta akson tidak termielinisasi. Tanduk dorsal adalah batang
vertical atas substansi abu-abu. Tanduk ventral adalah batang vertical bawah. Tanduk lateral
adalah protrusi di antara tanduk posterior dan anterior pada area toraks dan lumbal sistem
5
saraf perifer. Komisura abu-abu menghubungkan substansi abu-abu di sisi kiri dan kanan
medulla spinalis. Setiap saraf spinal memiliki satu radiks dorsal dan satu radiks ventral.
d. Traktus Spinal
Substansi putih korda yang terdiri dari akson termielinisasi, dibagi menjadi funikulus
anterior,posterior dan lateral. Dalam funikulus terdapat fasiukulus atau traktus. Traktus diberi
nama sesuai dengan lokasi, asal dan tujuannya.
EPIDEMIOLOGI HIV/ AIDS
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) pertama kali diidentifikasi pada tahun
1981, dan Human Immunodeficiency Virus (HIV) telah diketahui sebagai penyebab pada
tahun 1984. Desember 2002, WHO (World Health Organization) memperkirakan sebanyak
42 juta penduduk mengidap HIV. Dari penemuan pada tahun 1981 sampai 2006, AIDS telah
membunuh lebih dari 25 juta orang. HIV menginfeksi sekitar 0,6% dari populasi dunia. Di
Indonesia, kasus pertama HIV/AIDS ditemukan pada tahun 1987. Hingga Maret 2010 tercatat
terjadi 20.564 kasus AIDS dengan 3.936 orang korban meninggal dunia. Jumlah tersebut
semakin bertambah seiring dengan banyaknya faktor dan sarana penularan HIV/AIDS yaitu
penggunaan narkotika jenis suntik (Injection Drug User/IUD).
INFEKSI VIRUS HIV
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus yang tergolong virus RNA
(Ribonucleic Acid), yaitu virus yang menggunakan RNA sebagai molekul pembawa
informasi genetik. HIV mempunyai enzim reverse transcriptase yang terdapat di dalam inti
HIV dan akan mengubah informasi genetika dari RNA virus menjadi deoxy-ribonucleid acid
(DNA). Enzim ini adalah polimerase DNA yang mampu bergabung dengan kromosom tubuh.
Sekali berintegrasi, ia digunakan sebagai pembawa pesan transkripsi untuk sintesis virus.
HIV secara signifikan berdampak pada kapasitas fungsional dan kualitas kekebalan tubuh.
HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor CD4.
Beberapa sel lain yang juga mempunyai reseptor CD4 adalah : sel monosit, sel
makrofag, sel folikular dendritik, sel retina, sel leher rahim, dan sel langerhans. Infeksi
limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh perlekatan virus ke permukaan sel reseptor CD4, yang
menyebabkan kematian sel dengan meningkatkan tingkat apoptosis pada sel yang terinfeksi
Selain menyerang sistem kekebalan tubuh, infeksi HIV juga berdampak pada sistem saraf dan
dapat mengakibatkan kelainan pada saraf. Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan
6
kekebalan tubuh pada penderita HIV/AIDS. Infeksi tersebut dapat menyerang sistem saraf
yang membahayakan fungsi dan kesehatan sel saraf.
Perjalanan alamiah infeksi HIV dapat dibagi dalam tahapan sebagai berikut:
Infeksi virus (2-3 minggu)
Sindrome retroviral akut (2-3 minggu)
Gejala menghilang + serokonversi
Infeksi kronis HIV asimptomatik (rata-rata 8 tahun, di negara berkembang lebih
pendek)
Infeksi HIV/AIDS simptomatik (rata-rata 1,3 tahun)
Kematian
Berdasarkan hasil pemeriksaan CD4, infeksi HIV dapat dibedakan menjadi beberapa
fase:
Fase I - Infeksi HIV primer ( infeksi HIV akut )
Fase II - Penurunan imunitas dini ( sel CD4 > 500/ µl )
Fase III - Penurunan imunitas sedang ( sel CD4 500-200 /µl )
Fase IV - Penurunan imunitas berat ( sel CD4 <200 /µl )
Infeksi HIV primer dapat bersifat asimptomatik, atau pada 50-70% penderita muncul
dalam bentuk akut, self-limiting mononucleosis-like illness dengan demam, nyeri kepala,
mialgia, malaise, lethargi, sakit tenggorokan, limfadenopati, dan bintik makulopapular.
Infeksi akut ditandai dengan viremia, dijumpai angka replikasi virus yang tinggi, mudahnya
isolasi virus dari limfosit darah perifer dan level serum antigen virus yang tinggi. AIDS
(Acquired Immuno Deficiency Syndrome) didefinisikan sebagai suatu sindrome atau
kumpulan gejala penyakit dengan karakteristik defisiensi imun yang berat, dan merupakan
manifestasi stadium akhir infeksi HIV.
Kriteria diagnosis presumtif untuk indikator AIDS a. Kandidiasis esophagus: nyeri
retrosternal saat menelan bercak putih di atas dasar kemerahan. b. Retinitis citomegalo virus
c. Mikobakteriosis d. Sarkoma Kaposi: bercak merah atau ungu pada kulit atau selaput
mukosa. e. Pneumonia pnemosistisis karini: sesak nafas/batuk non produktif dalam 3 bulan
terakhir. f. Ensefalitis Toksoplasmosis.
7
KELAINAN NEUROLOGI PADA INFEKSI HIV
Penyakit saraf sering terjadi pada seseorang yang terinfeksi HIV, sebanyak 31-60%.
Penelitian di Jakarta mendapatkan hasil bahwa 90% penderita HIV/AIDS mengalami
kelainan pada sistem sarafnya. Kegagalan fungsi tubuh menyebabkan kerentanan seluruh
sistem organ, termasuk sistem saraf sentral, perifer dan otot. Keterlibatan sistem saraf dapat
sebagai akibat infeksi primer oleh virus atau infeksi oportunistik, efek imunosupresif atau
keduanya.
Kelainan neurologi yang timbul pada penderita AIDS secara umum dapat
dikelompokkan menjadi:
a) Infeksi HIV Primer Komplikasi langsung terlibat pada sistem saraf yang terinfeksi
HIV dengan perubahan patologi diakibatkan langsung oleh HIV itu sendiri. Harus
diingat bahwa lesi SSP pada AIDS dapat disebabkan proses neoplastik. Limfoma SSP
primer ditemukan sekitar 3 % dari pasien AIDS, dan limfoma sistemik juga bisa
menyebar pada mening. Beberapa sarkoma Kaposi yang metastase ke otak pernah
dilaporkan. Contoh lainnya adalah AIDS Dementia dan neuropati perifer.
b) Infeksi Oportunistik SSP Sekunder/komplikasi tidak langsung sebagai akibat dari
proses immunosupresi konkomitan berupa infeksi opportunistik dan neoplasma.
Patogen viral
Ensefalitis sitomegalovirus
Leukoensefalopati multifokal progresif
Patogen non-viral
Ensefalitis toksoplasmas
Meningitis kriptokokus
HIV merupakan virus yang bersifat imunotropik dan neurotropik yang berarti organ
targetnya selain sel imun juga menyerang sistem saraf. HIV melewati sawar darah otak
melalui aksis makrofagmonosit. Mekanisme yang memungkinkan mencakup transport
intraseluler melewati blood-brain barrier dalam makrofag yang terinfeksi, penempatan virus
bebas pada leptomeningens, atau virus bebas setelah replikasi dalam pleksus khoroideus atau
epithelium vaskular.
Infeksi virus herpes sering terlihat pada pasien AIDS. Pada orang yang terpajan
dengan herpes zoster, virus dapat tidur di jaringan saraf selama bertahun-tahun hingga
8
muncul kembali sebagai ruam. Reaktivasi ini umum pada orang yang AIDS karena sistem
kekebalannya melemah. Neurosifilis, akibat infeksi sifilis yang tidak diobati secara tepat,
tampak lebih sering dan lebih cepat berkembang pada orang terinfeksi HIV. Neurosifilis
dapat menyebabkan degenerasi secara perlahan pada sel saraf dan serat saraf yang membawa
informasi sensori ke otak
Seperti halnya penyakit infeksi yang lainnya, tuberkulosis pada penyakit AIDS juga
infeksius ada individu sehat. Gejala klinisnya bervariasi tergantung pada tahap penyakit HIV-
nya. Pada stadium awal, dimana relatif ada kekebalan dalam sel (cell mediated immunity),
maka penyakit tuberkulosisnya akan menunjukkan gambaran penyakit primer klasik seperti
pada orang dewasa yakni dengan adanya infiltrat di lobus atas dan adanya kavitasi; dimana
tes tuberkulin biasanya akan positif. Bila penyakit HIV-nya melanjut maka cell mediated
immunity akan rusak disertai gejala non spesifik, yaitu demam, turunnya berat badan dan
fatigue (kelelahan), dengan atau tanpa adanya gejala batuk.
PENATALAKSANAAN HIV/AIDS
Penatalaksanaan HIV/AIDS terdiri dari pengobatan, perawatan/rehabilitasi dan
edukasi. Pengobatan pada pengidap HIV/penderita AIDS ditujukan terhadap: virus HIV (obat
antiretroviral), infeksi opportunistik, kanker sekunder, status kekebalan tubuh, simptomatis
dan suportif. Obat-obat antiretroviral dapat memperbaiki morbiditas pada HIV dan dapat
memperpanjang survival. Sesuai perkembangan pada terapi HIV terdapat tiga kelas obat
antiretroviral yang telah diakui penggunaannya yaitu: nucleoside reverse transcriptase
inhibitors (NRTIs), nonnucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs), dan protease
inhibitors (PIs). Agar tercapainya penggunaan obat secara potensial maka digunakan paling
sedikit tiga jenis obat dari paling sedikit dua kelas obat antiretroviral. Secara khusus meliputi
dua obat NRTIs dan lainnya satu NNRTIs atau PIs.
Pengobatan untuk infeksi oportunistik dan kanker sekunder bergantung pada penyakit
infeksi atau kanker apa yang ditimbulkan. Pengobatan status kekebalan tubuh dengan
menggunakan immune restoring agents, diharapkan dapat memperbaiki fungsi sel limfosit,
dan menambah jumlah limfosit.
INFEKSI OPORTUNISTIK SUSUNAN SARAF PUSAT PADA PASIEN AIDS
CD4 adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah
putih manusia, terutama sel-sel limfosit. Sel ini berfungsi dalam memerangi infeksi yang
9
masuk ke dalam tubuh. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, jumlah CD4 berkisar
antara 1400-1500 sel/ L. Pada penderita HIV/AIDS jumlah CD4 akan menurun dan dapat
menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik. Umumnya muncul jika dijumpai keadaan
immunodefisiensi berat (jumlah limfosit CD4 < 200 sel/mm3).
Hubungan infeksi oportunistik dan jumlah sel CD4 pada penderita HIV (secara umum) :
10
INFEKSI OPORTUNISTIK SSP AKIBAT PATOGEN VIRAL
ENSEFALITIS SITOMEGALOVIRUS
a) Etiologi dan Penularan
Sitomegalovirus merupakan virus DNA yang tergolong famili
herpetoviridae. CMV merupakan patogen opportunistik. Resiko CMV
tertinggi adalah pada saat jumlah CD4 di bawah 50/mcl. Manusia adalah satu-
satunya inang yang diketahui untuk cytomegalovirus. Penularan memerlukan
kontak langsung dari orang ke orang. Virus mungkin dikeluarkan dalam urin,
air liur, air susu, dan sekresi servikal dan dibawa dalam sel darah putih yang
bersirkulasi. Penyebaran secara oral dan pernapasan kemungkinan merupakan
jalur utama penularan sitomegalovirus. Virus ini dapat menyebar melalui
placenta, melalui transfusi darah, melalui transplantasi organ, dan melalui
kontak seksual.
b) Tanda dan Gejala
Demam akut dengan kerusakan jaringan parenkim sistem saraf pusat
yang menimbulkan kejang, kesadaran menurun, atau tanda-tanda neurologis
fokal. Gejala yang timbul pada sistem saraf tepi termasuk lemas pada lengan
dan kaki, masalah pendengaran dan keseimbangan, tingkat mental yang
berubah, demensia, neuropati perifer, koma dan penyakit retina yang dapat
mengakibatkan kebutaan. Infeksi CMV pada urat saraf tulang belakang dan
saraf dapat mengakibatkan lemahnya tungkai bagian bawah dan beberapa
paralisis, nyeri bagian bawah yang berat dan kehilangan fungsi kandung
kemih. Infeksi ini juga dapat menyebabkan pneumonia dan penyakit lambung-
usus.
c) Diagnosis
Pemeriksaan tambahan yang diperlukan untuk membantu menegakkan
diagnosis ensefalitis CMV : 1. Pungsi Lumbal dan pemeriksaan cairan
serebrospinal Hasil pemeriksaan cairan menunjukkan cairan yang jernih,
tekanannya tinggi, banyak mengandung sel darah putih dan protein, kadar
gulanya normal. 2. Elektroensefalografi (EEG) Hasil EEG yang abnormal,
kemungkinan adalah suatu ensefalitis, tetapi hasil EEG yang normal tidak bisa
menyingkirkan diagnosis ensefalitis. 3. CT Scan dan MRI CT Scan dan MRI
dikerjakan untuk memastikan bahwa penyebab dari timbulnya gejala bukan
11
karena abscess otak, stroke, atau kelainan struktural (tumor, hematoma,
aneurisma) Jika diduga suatu ensefalitis, CT Scan / MRI ini dikerjakan
sebelum pungsi lumbal untuk mengetahui adanya peningkatan intrakranial. 4.
Biopsi otak 5. Pemeriksaan darah : Pemeriksaan serologis untuk mengukur
kadar antibodi terhadap virus.
d) Penatalaksanaan
Pengobatan ensefalitis sitomegalovirus pada pasien dengan AIDS
membutuhkan obat khusus terhadap CMV dan pemulihan fungsi kekebalan
melalui penggunaan terapi anti retroviral (ART). Untuk virus CMV nya dapat
diberikan asiklovir (5mg/kgBB 2 kali sehari parenteral selama 14-21 hari,
selanjutnya 5mg/kgBB sekali sehari dianjurkan sampai CD4>100 sel/ml).
Sedangkan pengobatan kausatif dapat diberikan diazepam 10-20 mg iv untuk
mengatasi kejang, dan dapat pula diberikan manitol 20% untuk anti udem
serebri.
LEUKOENSEFALITIS MULTIFOKAL PROGRESIF
a) Etiologi
Disebabkan oleh papovirus JC,yang 70% populasinya ada di tubuh
manusia dalam masa laten dan menyebabkan penyakit pada hanya sistem
kekebalan sangat lemah. Sistem kekebalan tubuh yang sehat dapat
mengendalikan virus JC agar tidak menyebabkan penyakit.
b) Tanda dan Gejala
Tidak ada penampakan patognomonik, tetapi pasien sering
menunjukkan hilangnya neurologi multifokal. Pasien juga dapat
memperlihatkan perubahan status mental yang parah, termasuk delirium,
hilangnya kemampuan kognitif, sikap yang labil atau psikosis, dan perubahan
kepribadian.
c) Pemeriksaan Penunjang
Pada pencitraan CT scan terdapat lesi berwarna putih pada parenkim
otak. Terdapat demielinisasi pada MRI, dan mendeteksi virus JC melalui
polymerase chain reaction (PCR) dalam cairan serebrospinal. Pada pasien
yang PCR-negatif, biopsi otak umumnya dianjurkan bila PML dicurigai.
d) Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan yang menyembuhkan, tetapi pengobatan dengan
ART umumnya dianjurkan. Bukti mengesankan bahwa ART mungkin
12
merupakan pengobatan untuk dan juga melindungi terhadap Progresif
Multifokal Leukoensefalopati, tetapi juga ada bukti yang bertentangan; pasien
dengan Progresif Multifokal Leukoensefalopati yang mengalami perbaikan
kekebalan dengan ART tidak mengalami perbaikan secara neurologi.
Penatalaksanaan ini bersifat mengurangi gejala.
INFEKSI OPORTUNISTIK OLEH PATOGEN NON VIRAL
ENSEFALITIS TOKSOPLASMA (TOKSOPLASMOSIS OTAK)
a) Etiologi dan Penularan
Disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh kucing,
burung dan hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh
tinja kucing dan kadang pada daging mentah atau kurang matang. Begitu
parasit masuk ke dalam sistem kekebalan, ia menetap di sana; tetapi sistem
kekebalan pada orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga
tuntas, mencegah penyakit. Transmisi pada manusia terutama terjadi bila
memakan daging babi atau domba yang mentah yang mengandung oocyst
(bentuk infektif dari T.gondii). Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau
kontak langsung dengan feses kucing. Selain itu dpat terjadi transmisi lewat
transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada
individu yang immunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia
dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten.
Yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi opportunistik dengan predileksi
di otak.
b) Tanda dan Gejala
Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak
respon terhadap pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan,
kebingungan yang meningkat, masalah penglihatan, pusing, masalah berbicara
dan berjalan, muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua pasien
menunjukkan tanda infeksi. Nyeri kepala dan rasa bingung dapat
menunjukkan adanya perkembangan ensefalitis fokal dan terbentuknya abses
sebagai akibat dari terjadinya infeksi toksoplasma. Keadaan ini hampir selalu
merupakan suatu kekambuhan akibat hilangnya kekebalan pada penderita-
penderita yang semasa mudanya telah berhubungan dengan parasit ini. Gejala-
13
gejala fokalnya cepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan
mengalami kejang dan penurunan kesadaran.
c) Diagnosis
Pemeriksaan Serologi Didapatkan seropositif dari anti-T.gondii IgG
dan IgM. Deteksi juga dapat dilakukan dengan indirect fluorescent
antibody (IFA), aglutinasi, atau enzyme linked immunosorbent assay
(ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah
terinfeksi kemudian bertahan seumur hidup.
Pemeriksaan cairan serebrospinal Menunjukkan adanya pleositosis
ringan dari mononuklear predominan dan elevasi protein
Pemeriksaan Polymerase chain reaction (PCR) Mendeteksi DNA
T.gondii. PCR untuk T.gondii dapat juga positif pada cairan
bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aquos humor dari penderita
toksoplasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada
jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapat
bertahan lama berada di otak setelah infeksi akut.
CT scan Menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens
multiple disertai dan biasanya ditemukan lesi berbentuk cincin atau
penyengatan homogen dan disertai edema vasogenik pada jaringan
sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma jarang muncul dengan lesi tunggal
atau tanpa lesi.
Biopsi otak Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak
d) Penatalaksanaan
Toksoplasmosis otak diobati dengan kombinasi pirimetamin dan
sulfadiazin. Kedua obat ini dapat melalui sawar-darah otak. Toxoplasma
gondii membutuhkan vitamin B untuk hidup. Pirimetamin menghambat
pemerolehan vitamin B oleh tokso. Sulfadiazin menghambat penggunaannya.
Dosis normal obat ini adalah 50-75mg pirimetamin dan 2-4g sulfadiazin per
hari. Kedua obat ini mengganggu ketersediaan vitamin B dan dapat
mengakibatkan anemia. Orang dengan toksoplasmosis biasanya memakai
kalsium folinat (semacam vitamin B) untuk mencegah anemia.
Kombinasi obat ini sangat efektif terhadap toksoplasmosis. Lebih dari
80% orang menunjukkan kebaikan dalam 2-3 minggu. Orang yang pulih dari
toksoplasmosis seharusnya terus memakai obat antitokso dengan dosis
14
rumatan yang lebih rendah. Jelas bahwa orang yang mengalami
toksoplasmosis sebaiknya mulai terapi antiretroviral (ART) secepatnya. Bila
CD4 naik menjadi di atas 200 selama lebih dari tiga bulan, terapi rumatan
toksoplasmosis dapat dihentikan.
MENINGITIS KRIPTOKOKUS
a) Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh jamur Cryptococcus neoformans, yang
umum ditemukan pada tanah dan tinja burung. Jamur ini pertama menyerang
paru dan menyebar ke otak dan saraf tulang belakang, menyebabkan
peradangan. Risiko infeksi paling tinggi jika jumlah CD4 di bawah 50.
b) Tanda dan Gejala
Gejala meningitis termasuk demam, kelelahan, leher pegal, sakit
kepala, mual dan muntah, kebingungan, penglihatan kabur, dan kepekaan pada
cahaya terang. Gejala ini muncul secara perlahan. Tanda-tanda seperti
meningismus, termasuk kuduk kaku, timbul < 40% penderita. Kejang dan
defisit neurologik fokal sering timbul dan merupakan tanda koma
kriptokokosis dan tromboflebitis sinus venosus. Manifestasi ekstraneural,
dapat terjadi dengan/tanpa meningitis, termasuk infiltrasi pulmoner, lesi di
kulit, abses prostat dan hepatitis.
c) Pemeriksaan Penunjang
Tes laboratorium dipakai untuk menentukan diagnosis meningitis. Tes
laboratorium ini memakai darah atau cairan sumsum tulang belakang. Darah
atau cairan sumsum tulang belakang dapat dites untuk kriptokokus dengan dua
cara. Tes yang disebut CRAG mencari antigen (sebuah protein) yang dibuat
oleh kriptokokus. Tes biakan mencoba menumbuhkan jamur kriptokokus dari
sampel. Tes biakan membutuhkan satu minggu atau lebih untuk menunjukkan
hasil positif. Cairan sumsum tulang belakang juga dapat dites secara cepat bila
diwarnai dengan tinta India (70% positif) dan ditemukan antigen kriptokokus
dalam darah dan LCS (95-100% positif). LCS jumlah sel, glukosa, protein
dapat terjadi tetapi tidak selalu. Kultur darah dan urin (+).
d) Penatalaksanaan
Meningitis kriptokokus diobati dengan obat antijamur. Beberapa klinisi
memakai flukonazol namun ada juga yang memilih kombinasi amfoterisin B
dan kapsul flusitosin. Amfoterisin B adalah yang paling manjur, tetapi obat ini
15
dapat merusak ginjal. Walau jarang, meningitis kriptokokus tampaknya dapat
kambuh atau menjadi lebih berat bila terapi antiretroviral (ART) dimulai
dengan jumlah CD4 yang rendah. Hal ini disebabkan karena adanya
pengembangan sindrom pemulihan kekebalan (immune reconstruction
inflammatory syndrome/IRIS). Hal ini karena obat anti-HIV dapat
memulihkan kemampuan sistem kekebalan untuk menanggapi infeksi dan
menghasilkan pemberantasan bakteri secara cepat. ART sering ditunda hingga
terapi awal untuk mengobati infeksi sudah diselesaikan.
16
BAB 3
KESIMPULAN
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak
negara di seluruh dunia. Infeksi HIV pada manusia dianggap sebagai pandemi oleh World
Health Organization (WHO). Dengan pertumbuhannya yang semakin pesat, perlu untuk kita
mengetahui apa saja komplikasi neurologis yang dapat terjadi. 31-60% pasien AIDS memiliki
kelainan neurologis. Kelainan ini mengenai SSP dan sedikit ke sistem saraf tepi. Infeksi yang
mengenai SSP pada AIDS ada dua jenis yaitu infeksi opportunis sekunder atas imunosupresi
yang diinduksi oleh hilangnya imunitas sel-T, dan infeksi HIV langsung yang tampil sebagai
meningitis atau kompleks dementia AIDS, manifestasi ensefalitis HIV yang secara klinis dan
biologis berjangkauan luas. Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan
tubuh pada penderita HIV/AIDS, akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti
penyakit infeksi disebabkan oleh virus, bakteri, protozoa dan jamur dan juga mudah terkena
penyakit keganasan.
Pengobatan untuk infeksi oportunistik bergantung pada penyakit infeksi yang
ditimbulkan. Pengobatan status kekebalan tubuh dengan menggunakan immune restoring
agents, diharapkan dapat memperbaiki fungsi sel limfosit, dan menambah jumlah limfosit.
Penatalaksanaan HIV/AIDS bersifat menyeluruh terdiri dari pengobatan,
perawatan/rehabilitasi dan edukasi. Pengobatan pada pengidap HIV/penderita AIDS
ditujukan terhadap: virus HIV (obat ART), infeksi opportunistik, kanker sekunder, status
kekebalan tubuh, simptomatis dan suportif.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Aru W. Sudoyo, dkk. HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
III. Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006
2. Sylvia Price dan Lorraine Wilson. Human Immunodeficiency (HIV)/Acquired
Immunodeficiency Sindrome). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Volume 1. Edisi 6. Jakarta: EGC,2006
3. Patric Davey. Infeksi HIV dan AIDS. At a Glance Medicine. Jakarta: EMS. 2006
Profesor.dr.H.Jusf Misbach, dkk. HIV-AIDS Susunan Saraf Pusat. Neurologi. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia 2006.
4. Gilroy J. Basic Neurology. Mc Graw-Hill. 3rd edition. New York. 2000 : 482-90.
Belman Anita L,Maletic-Savatic Mirjana. Human Immunodeficiency Virus and
Acquired Immunodeficiency Syndrome. In Textbook Clinical Neurology. Goetz.
2003:955-89.
5. Harrington Robert. Opportunistic Infection in HIV Disease. Best Practice Medicine.
Januari 2003.
6. Howard L. Weiner, dkk. AIDS dan system saraf. Buku Saku Neurologi. Jakarta: EGC.
2001
7. HIV and Hepatitis. 2008. Di unduh dari
http://www.hivandhepatitis.com/recent/2008/09c.html
8. HIV insite. 2003. Di unduh dari http://hivinsite.ucsf.edu/InSite?page=kb-04-01-0
Yayasan Spirita.2009.
9. Neuropati Perifer. Diunduh dari http://spiritia.or.id/hatip/pdf/h01331.pdf Yayasan
Spirita. 2007. Oleh National institude of Neurological Disorders and Stroke. Diunduh
dari http://www.spirita.or.id
10. Meningitis Kriptokokus. Di unduh dari http://spiritia.or.id/li/bacali.php?.
18