Upload
lydia-woro-septianingrum
View
1.412
Download
16
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Manusia sebagai organisme multiseluler dikelilingi oleh lingkungan luar (milieu
exterior) dan sel-selnya pun hidup dalam milieu interior yang berupa darah dan cairan tubuh
lainnya. Cairan dalam tubuh, termasuk darah, meliputi lebih kurang 60% dari total berat
badan laki-laki dewasa. Dalam cairan tubuh terlarut zat-zat makanan dan ion-ion yang
diperlukan oleh sel untuk hidup, berkembang dan menjalankan tugasnya.
Untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik sangat dipengaruhi oleh lingkungan
di sekitarnya. Semua pengaturan fisiologis untuk mempertahankan keadaan normal disebut
homeostasis. Homeostasis ini bergantung pada kemampuan tubuh mempertahankan
keseimbangan antara subtansi-subtansi yang ada di milieu interior.
Keseimbangan cairan dan elektrolit mencakup komposisi dan perpindahan berbagai
cairan tubuh. Cairan tubuh adalah larutan yang terdiri dari air dan zat terlarut. Elektrolit
adalah zat kimia yang menghasilkan partikel-partikel bermuatan listrik yang disebut ion jika
berada dalam larutan. Cairan dan elektrolit masuk ke dalam tubuh melalui makanan,
minuman, dan cairan intravena (IV), dan didistribusikan ke seluruh bagian tubuh.
Keseimbangan cairan dan elektrolit menandakan cairan dan elektrolit tubuh total yang
normal, demikian juga dengan distribusinya dalam seluruh bagian tubuh. Keseimbangan
cairan dan elektrolit saling bergantung satu dengan yang lainnya; jika salah satu terganggu,
maka demikian pula yang lainnya. Oleh karena itu, cairan dan elektrolit harus dibicarakan
secara bersamaan.
Cairan dan elektrolit menciptaka lingkungan intraseluler dan ekstraseluler bagi semua
sel dan jaringan tubuh, sehingga ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dapat terjadi pada
semua golongan penyakit. Gangguan cairan dan elektrolit berkaitan dengan penyakit sistemik
mayor maupun dengan beberapa penyakit sistemik minor.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi
Hiponatremia adalah suatu keadaan dengan kadar natrium serum yang kurang dari
135 mEq/L1 (kadar natrium serum normal adalah 140 +/- 5 mEq/L), dan dapat disebabkan
oleh dua mekanisme utama: retensi air atau kehilangan natrium. Hiponatremia menunjukkan
bahwa kelebihan air yang relatif terhadap zat terlarut total mengencerkan cairan tubuh.
Natrium merupakan ion ECF utama, sehingga hiponatremia umumnya berkaitan dengan
hipo-osmolalitas plasma (<287 mOsm/kg). Osmolalitas plasma yang rendah menyebabkan
perpindahan air masuk kedalam sel. Pembengkakan sel otak, dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial, yang paling bertanggung jawab terhadap timbulnya gejala
susunan saraf pusat.
II.2. Kompartemen-kompartemen Cairan Tubuh
Seluruh cairan tubuh didistribusikan di antara dua kompartemen utama: cairan
ekstraselular (ECF) dan cairan intraselular (ICF) (gambar 2.1). kemudian cairan
ekstraselular dibagi menjadi cairan interstisial dan plasma darah.
(Gambar 2.1)
Ada juga kompartemen cairan yang sangat kecil yang disebut sebagai cairan
transelular. Kompartemen ini meliputi cairan dalam rongga sinovial, peritoneum, perikardial,
dan intraokular juga cairan serebrospinal; biasanya dipertimbangkan sebagai cairan
ekstraselular khusus, walaupun pada beberapa kasus, komposisinya dapat sangat berbeda
dengan yang di plasma atau cairan interstisial. Cairan transelular seluruhnya berjumlah
sekitar 1 sampai 2 liter.
Pada orang normal dengan berat 70 kilogram, total cairan tubuh rata-ratanya sekitar
60 persen berat badan, atau sekitar 42 liter. Persentase ini dapat berubah, bergantung pada
umur, jenis kelamin, dan derajat obesitas. Seiring dengan pertumbuhan seseorang, persentase
total cairan terhadap berat badan berangsur-angsur turun. Hal ini sebagian adalah akibar dari
kenyataan bahwa penuaan biasanya berhubungan dengan peningkatan persentase berat badan
yaitu lemak, yang kemudian menurunkan persentase cairan dalam tubuh. Karena wanita
memiliki lemak tubuh lebih banyak dari pria, maka wanita memiliki lebih sedikit cairan
daripada pria dalam perbandingannya dengan berat badan. Karenanya, bila kita membahas
kompartemen cairan tubuh “rata-rata”, kita harus menyadari adanya variasi-variasi,
bergantung pada umur, jenis kelamin, dan tingkat obesitas.
II.2.1.1. Kompartemen Cairan Intraselular
Sekitar 28 dari 42 liter cairan tubuh ada dalam 75 triliun sel dan keseluruhannya
disebut cairan intraselular. Jadi, cairan intraselular merupakan 40 persen dari berat badan
total pada pria “rata-rata”.
Cairan masing-masing sel mengandung campurannya tersendiri dengan berbagai
konstituen, tapi konsentrasi zat-zat ini cukup mirip antara satu sel dengan sel lainnya.
Sebenarnya, komposisi cairan sel sangat serupa bahkan pada heawan yang berbeda, mulai
dari mikroorganisme paling primitif sampai manusia. Dengan alasan ini, cairan intraselular
dari seluruh sel yang berbeda dianggap sebagai satu kompartemen cairan yang besar.
II.2.1.2. Kompartemen Cairan Ekstraselular
Seluruh cairan di luar sel semuanya disebut cairan ekstraselular. Cairan ini merupakan
20 persen dari berat badan, atau sekitar 14 liter pada pada orang dewasa normal dengan berat
badan 70 kilogram. Dua kompartemen terbesar dari cairan ekstraselular adalah cairan
interstisial, yang merupakan tiga per empat cairan ekstraselular, dan plasma, yang hampir
seperempat cairan ekstraselular, atau sekitar 3 liter. Plasma adalah bagian darah nonselular
dan terus-menerus berhubungan dengan cairan interstisial melalui celah-celah membran
kapiler. Celah ini bersifat sangat permeabel untuk hampir semua zat terlarut dalam cairan
ekstraselular, kecuali protein. Karenanya, cairan ekstraselular secara kontan terus tercampur,
sehingga plasma dan cairan interstisial mempunyai komposisi yang sama kecuali untuk
protein, yang konsentrasinya lebih tinggi pada plasma.
II.2.1.3. Volume darah
Darah mengandung cairan ekstraselular (cairan dalam plasma) dan cairan intraselular
(cairan dalam sel darah merah). Namun, darah dianggap sebagai komparteme cairan terpisah
karena kandungan ruangnya terpisah sendiri, yaitu sistem sirkulasi. Volume darah khususnya
penting untuk mengatur dinamika kardiovaskular.
Rata-rata volume darah dewasa normal ialah sekitar 8 persen dari berat tubuh, atau
sekitar 5 liter. Rata-rata, sekitar 60 persen darah adalah plasma dan 40 persen adalah sel
darah merah, tapi nilai ini dapat bervariasi pada orang yang berbeda-beda, bergantung pada
jenis kelamin, berat badan, dan faktor-faktor lain.
II.2.2 Konstituen cairan ekstraselular dan intraselular
Perbandingan komposisi cairan ekstraselular, termasuk plasma, cairan interstisial dan
intraselular. Gambar 2.2 dan Gambar 2.3
Gambar 2.2
Gambar 2.3
II.2.2.1. Komposisi ionik plasma dan cairan interstisial adalah serupa
Komposisi ionik plasma dan cairan interstisial adalah serupa =, karena keduanya
hanya dipisahkan oleh membran kapiler yang sangat permeabel. Perbedaan palin gutama
antara kedua kompartemen ini ialah konsentrasi protein dalam plasma yang lebih tinggi;
kapiler mempunyai permeabilitas rendah terhadap plasma protein dan, karenanya, hanya
sedikit sekali mengeluarkan protein ke dalam ruang interstisial di kebanyakan jaringan.
Karena efek donan, konsentrasi ion bermuatan positif (kation) sedikit lebih besar
(sekitar 2 %) dalam plasma daripada cairan interstisial; efek ini adalah sebagai berikut:
protein plasma mempunyai muatan akhir negatif dn, karenanya, cenderung mengikat kation,
seperti ion-ion natrium dan kalium, jadi mengikat banyak sekali kation ini dalam plasma
bersama dengan protein plasma. Sebaliknya, konsentrasi ion bermuatan negatif (anion) dalan
cairan interstisial cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan plasma, karena muatan negatif
protein plasma akan menolak anion yang bermuatan negatif. Namun, untuk tujuan praktis,
konsentrasi ion dalam cairan interstisial dan plasma dianggap serupa.
Merujuk lagi pada gambar 2.3, seseorang dapat melihat bahwa cairan ekstraselular,
termasuk plasma dan cairan ekstraselular, termasuk plasma dan cairan interstisial,
mengandung ion natrium dan klorida dalam jumlah besar, ion bikarbonat yang juga dalam
jumlah cukup besar, tapi hanya sedikit ion kalium, kalsium, magnesium, fosfat, dan asam
organik.
Komposisi cairan ekstraselular diatur dengan cermat oleh berbagai mekanisme, tapi
khususnya oleh ginjal.
II.2.2.2 Konstituen Penting pada Cairan Intraselular
Cairan intraselular dipisahkan dari cairan ekstraselular oleh membran sel selektif yang
sangat permeabel terhadap air, tetapi tidak permeabel terhadap sebagian besar elektrolit
dalam tubuh. Membran sel mempertahankan komposisi cairan di dalam sel agar serupa
seperti yang terdapat pada berbagai sel tubuh lainnya.
Berbeda dengan cairan ekstraselular, maka cairan intraselular hanya mengandung
sejumlah kecil ion natrium dan klorida dan hampir tidak ada ion kalsium. Malah, cairan ini
mengandung sejumlah besar kalium dan fosfat ditambah ion magnesium dan sulfat dalan
jumlah sedang, semua ion ini memiliki konsentrasi yang rendah pada cairan ekstraselular.
Juga, sel mengandung sejumlah besar protein, hampir empat kali lipat lebih banyak daripada
dalam plasma.
II.2.3. Keseimbangan osmotik dipertahankan antara cairan intraselular dan cairan
ekstraselular
Dengan perubahan konsentrasi yang relatif kecil pada zat terlarut dalam cairan
ekstraselular, maka dapat timbul tekanan osmotik yang besar yang melintasi membran sel.
Untuk setiap gradien konsentrasi miliosmol suatu zat terlarut impermeabel (zat terlarut yang
tidak dapat menembus membran sel), disunakan sekitar 19,3 mmHg tekanan osmotik untuk
melintasi membran sel. Jika membran sel terpajan air murni dan osmolaritas cairan
intraselular ialah 280 mOsm/liter, maka tekanan osmotik potensial yang dapat timbul
melintasi membran sel adalah lebih dari 5400 mmHg. Ini memperlihatkan bahwa dibutuhkan
kekuatan yang besar untuk memindahkan air agar dapat melintasi membran sel bila cairan
intraselular dan ekstraselular tidak dalam keseimbangan osmotik. Sebagai akibat kekuatan
yang besar ini, maka perubahan yang relatif kecil saja pada konsentrasi zat terlarut
impermeabel dalam cairan ekstraselular sudah dapat menyebabkan perubahan luar biasa
dalam volume sel.
II.2.3.1 Cairan Isotonik, Hipotonik, dan Hipertonik
Efek perbedaan konsentrasi zat terlarut impermeabel dalam cairan ekstraselular
terhadap volume sel terlihat pada gambar 2.4. Jika suatu sel diletakkan pada suatu larutan
dengan zat terlarut impermeabel yang mempunyai osmolaritas 280 mOsm/liter, maka sel
tidak akan mengkerut atau membengkak karena sel konsentrasi air dala cairan intraselular
dan ekstraselular adalah sama dan zat terlarut tidak dapat masuk atau keluar dari sel. Larutan
seperti ini disebut isotonik karena tidak menimbulkan pengerutan maupun pembengkakan sel.
Contoh larutan isotonik adalah larutan natrium klorida 0,9 persen atau larutan glukosa 5
persen. Larutan-larutan ini penting dalam pengobatan klinis karena dapat diinfus ke dalan
darah tanpa menimbulkan bahaya yang mengancam keseimbangan osmotik antara cairan
intraselular dan ekstraselular.
Jika sebuah sel diletakkan dalam larutan yang mempunyai konsentrasi zat terlarut
impermeabel lebih rendah (kurang dari 280 mOsm/liter), air akan berdifusi ke dalam sel dan
menyebabkan sel membengkak; air akan terus berdifusi ke dalam sel, mengencerkan cairan
intraselular sementara juga memekatkan cairan ekstraselular sampai kedua larutan
mempunyai osmolaritas yang sama. Larutan natrium klorida dengan konsentrasi kurang dari
0,9 persen bersifat hipotonik dan menyebabkan sel membengkak.
Jika sebuah sel diletakkan dalam larutan yang mempunyai konsentrasi zat terlarut
impermeabel lebih tinggi, air akan mengalir keluar dari sel ke dala cairan ekstraselular. Pada
keadaan ini, sel akan mengkerut sampai kedua konsentrasi menjadi sama. Larutan yang
menyebabkan sel mengkerut disebut hipertonik; larutan natrium klorida yang lebih besar dari
0,9 persen bersifat hipertonik.
Gambar 2.4
Gambar 2.5
II.2.4. Natrium dan Air
Keseimbangan air tubuh dan garam (NaCl) berkaitan erat, mempengaruhi osmolalitas
maupun volume ECF. Tetapi, pengaturan keseimbangan natrium dan air melibatkan
mekanisme yang berbeda namun saling tumpang tindih. Keseimbangan air tubuh terutama
diatur oleh mekanisme rasa haus dan hormon antidiuretik (ADH) untuk mempertahankan
isoosmotik plasma (hampir 287 mOsm/kg). Sebaliknya, keseimbangan natrium terutama
diatur oleh aldosteron untuk mempertahankan volume ECF dan perfusi jaringan.
II.2.4.1 Keseimbangan Air dan Pengaturan osmotik
Pengaturan osmotik diperantarai oleh hipotalamus, hipofisis, dan tubulus ginjal. ADH
adalah hormon peptida yang disntesis di hipotalamus dan disimpan di hipofisis. Hipotalamus
juga merupakan pusat rasa haus dan mempunyai osmoreseptor yang peka terhadap
osmolalitas darah. Rasa haus merangsang pemasukan air dan merangsang ADH untuk
mengubah permeabilitas duktus koligentes ginjal, meningkatkan reabsorbsi air. Akibatnya
terjadi peningkatan volume air tubuh yang akan memulihkan osmolalitas plasma kembali
normal dan terbentuknya urine yang hiperosmotik (pekat) dalam volume lebih sedikit.
Penurunan osmolalitas plasma mengakibatkan hal yang sebaliknya yaitu terjadi penekanan
rasa haus dan pelepasan ADH. Mekanisme ADH begitu sensitif sehingga variasi osmolalitas
plasma dalam keadaan normal tidak melebihi 1 sampai 2% dari nilai normal sebesar 287
mOsm/kg. Penurunan volume ECF yang cukup besar (5 sampai 10%) baru dapat
menimbulkan rasa haus dan pelepasan ADH. Dengan demikian, mekanisme ADH sangat
berkaitan dengan pengaturan osmotik melalui pengendalian keseimbangan air dan kurang
sensitif terhadap pengaturan volume. Garam natrium (terutama NaCl) merupakan 90% dari
osmol efektif, sehingga hipoosmolalitas berarti hiponatremia dan hiperosmolalitas berarti
hipernatremia. Osmolalitas plasma dapat diperkirakan dengan mengalikan natrium serum
terukur dengan dua. Hipernatremia dan hiponatremia menunjukkan kekurangan dan
kelebihan air intraselular, karena ICF dan ECF berada dalam keseimbangan osmotik.
II.2.4.2. Pengaturan Keseimbangan Natrium dan Volume
Mempertahankan volume plasma (yang penting untuk perfusi jaringan) sangat
berkaitan dengan pengaturan keseimbangan natrium. Mekanisme pengaturan keseimbangan
volume sangat bergantung pada perubahan volume sirkulasi efektif. Volume sirkulasi efektif
adalah bagian dari volume ECF pada ruang vaskular yang secara efektif memerfusi jaringan.
Volume ECF pada pada orang sehat umumnya berubah-ubah sesuai dengan volume sirkulasi
efektifnya, dan berbanding secara proporsional dengan natrium tubuh total karena natrium
adalah zat terlarut utama yang menahan air di dalam ECF. Oleh karena itu, mekanisme
pengaturan ekskresi natrium oleh ginjal sangat berperanan dalam pengaturan volume dalam
tubuh.
Sistem renin-angiotensin-aldosteron adalah mekanisme yang sangat penting dalam
pengaturan volume ECF dan ekskresi natrium oleh ginjal. Aldosteron adalah hormon yang
disekresi oleh daerah glomerulosa korteks adrenal. Produksi aldosteron terutama dirangsang
oleh refleks yang diatur oleh baroreseptor yang terdapat pada arteriol aferen ginjal.
Penurunan volume sirkulasi efektif dideteksi oleh baroreseptor, yang mengakibatkan sel-sel
jukstaglomerular ginjal memproduksi protein, yaitu renin. Renin bekerja sebagai enzim yang
melepaskan angiotensin I dari protein angitensinogen. Angiotensin I kemudian diubah
menjadi angiotensin II pada paru. Angiotensin II merangsang korteks adrenal untuk
menyekresi aldosteron. Aldosteron bekerja pada duktus koligentes ginjal yang
mengakibatkan retensi natrium (dan air). Selain itu, angiotensin II menyebabkan
vasokonstriksi pada otot polos arteriol. Kedua mekanisme ini membantu memulihkan volume
sirkulasi efektif. Penurunan konsentrasi natrium plasma [Na+] yang hanya sebanyak 4 sampai
5 mEq/L adalah rangsangan lain untuk pengeluaran aldosteron, tetapi hal ini tidak begitu
penting pada orang normal karena konsentrasi natrium dalam plasma relatif konstan akibat
efek ADH. Dalam kenyataannya, meskipun terjadi keadaan hiponatremia, efek pada
aldosteron sering dikalahkan oleh perubahan volume ECF. Oleh karena itu, sekresi aldosteron
meningkat pada pasien hiponatremia yang volumenya menurun, tetapi menurun pada pasien
dengan volume ECF yang meningkat akibat adanya retensi air.
Gambar 2.5
II.2.5 Keseimbangan Volume
II.2.5.1. Kekurangan Volume Cairan Ekstraselular (ECF)
Kekurangan cairan ECF atau hipovolemia didefinisikan sebagai kehilangan cairan
tubuh isotonik, yang disetai kehilangan natrium dan air dalam jumlah relatif sama.
Kekurangan volume cairan isotonik sering disalahartikan sebagai dehidrasi, istilah yang
seharusnya hanya dipakai untuk kehilangan air murni relatif yang menyebabkan terjadinya
hipernatremia.
II.2.5.2. Kelebihan Volume Cairan Ekstraselular (ECF)
Kelebihan volume ECF dapat terjadi jika natrium dan air kedua-duanya tertahan
dengan proporsi yang lebih kurang sama. Seiring dengan terkumpulnya cairan isotonik
berlebihan di ECF (hipervolemia), maka cairan akan berpindah ke kompartemen cairan
interstisial sehingga menyebabkan terjadinya edema. Kelebihan volume cairan selalu terjadi
sekunder akibat peningkatan kadar natrium tubuh total yang akan menyebabkan terjadinya
retensi air.
II.2.3 Etiologi dan Patogenesis Hiponatremia
Penyebab hiponatremia diperlihatkan dalam kotak 2.1. hiponatremia yang disertai
kehilangan natrium disebut sebagai depletion hyponatremia (hiponatremia deplesional) dan
dicirikan dengan berkurangnya volume ECF. Hiponatremia yang disebabkan oleh kelebihan
air disebut sebagai dilutional hyponatremia (hiponatremia dilusional) atau keracunan air dan
dicirikan dengan bertambahnya volume ECF.
Kehilangan natrium yang mengakibatkan hiponatremia deplesional dapat disebabkan
oleh mekanisme dari ginjal dan non ginjal. Penyebab tersering dari ginjal adalah pemberian
obat diuretik, dan yang lebih jarang adalah penyakit ginjal boros garam. Kehilangan garam
melalui non ginjal terjadi pada kehilangan volume cairan seperti pada muntah, diare, atau
pada defisiensi adrenal (aldosteron rendah). Mekanisme hiponatremia tipe kehilangan
natrium (sodium-loss) berlangsung dua tahap. Pertama, hilangnya natrium menurunkan rasio
Na:H2O. Kedua (terjadi secara tidak langsung), hilangnya natrium menyebabkan
berkurangnya volume ECF sehingga menyebabkan pelepasan hormon antidiuretik (ADH)
dari hipofisis posterior. ADH menghambat ekskresi urine yang encer dan dapat menyebabkan
terjadinya hiponatremia jika banyak minum air. Hiponatremia per se biasanya memiliki
sedikit kepentingan klinis dalam natrium yang berkurang (volume). Penurunan kadar natrium
serum jarang melebihi 10-15 mEq/L. Gejala utama yang terjadi adalah gambaran volume
ECF yang berkurang.
Hiponatremia dilusional (kelebihan air) seringkali dijumpai pada keadaan-keadaan
yang ditandai dengan adanya suatu defek dalam ekskresi air-bebas ginjal dengan asupan yang
terus berlangsung, terutama cairan hipotonik. Berkurangnya volume sirkulasi efektif, seperti
pada gagal jantung kongestif, sindrom nefrotik, dan sirosis memberikan rangsangan sentral
untuk pelepasan ADH, yaitu secara primer melalui reseptor tekanan (vena) yang rendah,
bahkan pada keadaan hipo-osmolalitas sekalipun, sehingga urine yang encer tidak dapat
diekskresi. ADH juga merangsang rasa haus (harus ada pemasukan air untuk terjadinya hipo-
osmolalitas). Pelepasan ADH pada keadaan ini (volume ECF yang rendah) dianggap tepat
karena pelepasan ADH membantu memelihara perfusi jaringan, meskipun ada penurunan
konsentrasi osmotik plasma dan peningkatan air tubuh total.
Pelepasan ADH tanpa adanya hiperosmolalitas, penurunan sirkulasi efektif, dan
rangsangan fisiologik lain dinyatakan “tidak tepat” (inappropriate). Dengan demikian,
penderita hiponatremia tipe ini disebut menderita sindrom sekresi ADH yang tidak tepat
(Syndrome of inappropriate ADH secretion, SIADH). SIADH lebih sering dijumpai
dibandingkan dengan tipe yang sebelumya telah dikenal dan berkaitan dengan sejumlah
kelainan neoplastik, paru-paru, dan susunan saraf pusat. (kotak 21-7). Pelepasan ADH
otonom dapat disebabkan oleh rangsangan abnormal di hipotalamus akibat penyakit, rasa
nyeri, obat-obatan, atau gangguan susunan saraf pusat. Substansi mirip-ADH juga dapat
dihasilkan secara ektopik (tidak ditempat yang normal) pada keganasan, khususnya
karsinoma paru jeniss sel oat. SIADH juga terjadi sebagai komplikasi dari pengobatan
berbagai macam obat. Beberapa obat merangsang pelepasan ADH di hipotalamus, sedangkan
yang lain meningkatkan kerja ADH pada tubulus distal dan duktus pengumpul ginjal.
Penyebab lain hiponatremia dilusional adalah gagal ginjal yang disertai gangguan
kemampuan pengenceran urine dan pemakaian diuretik yang berlebihan (kotak 21-6).
Polidipsi psikogenik adalah penyakit neurotik yang jarang terjadi, ditandai oleh minum air
yang kompulsif, kadang-kadang dapat mencapai 15 hingga 20 L/hari. Meskipun kapasitas
fungsi ginjal pada polidipsi psikogenik adalah normal, asupan air yang banyak akan
melampaui kapasitas ekskresi normal, sehingga menyebabkan hiponatremi ringan. Gangguan
serupa juga dapat terjadi pada peminum bir berlebihan dengan asupan diet makanan yang
buruk. Misalnya, jika kemampuan pengenceran urine maksimum sebesar 50 mOsm/kg pada
seseorang yang makan diet normal (partikel zat terlarut=sekitar 750 mOsm/hari), maka urine
maksimum yang diekskresikan sebanyak 15 L/hari (750 mOsm/50 mOsm = 15). Meskipun
demikian, beban zat terlarut harian seorang peminum bir berlebihan yang tidak makan
dengan baik hanya sebesar 250 mOsm, sehingga ekskresi urine maksimumnya hanya sekitar
5L (250 mOsm/50 mOsm = 5). Yang terakhir, hiponatremia dilusional terjadi jika sejumlah
besar air memasuki paru-paru dan diabsorbsi secara cepat kedalam kompartemen
intravaskular (pada kasus tenggelam di air tawar).
Hiponatremia yang disebabkan oleh penimbunan zat terlarut yang aktif secara
osmotik dalam plasma, adalah pengecualian utama bagi ketentuan yang mengatakan bahwa
hiponatremia berarti hipoosmolalitas. Penyebab hiponatremia tipe tersebut yang paling sering
adalah hiperglikemia pada penderita diabetes yang tak terkontrol dan penderita yang baru saja
mendapat manitol. Natrium plasma diencerkan dengan perpindahan air dari ICF ke ECF
mengikuti perbedaan osmotik yang dihasilkan oleh partikel zat terlarut tambahan (glukosa
atau manitol).
Menurut Current Medical Diagnosis and Treatment 2011, hiponatremia adalah
kondisi dengan konsentrasi serum sodium <135 mEq/L, hiponatremia adalah keadaan
abnormalitas elektrolit yang paling sering ditemukan pada pasien di rumah sakit. Dokter
harus selalu waspada mengenai hiponatremia, karena apabila salah penanganan dapat
mendatangkan bencana neurologis dari cerebral osmotik demyelination. Memang komplikasi
iatrogenik dari terapi agresif atau terapi yang tidak tepat dapat lebih berbahaya daripada
hiponatremia itu sendiri.
Adalah sebuah kesalahan persepsi umum bahwa konsentrasi sodium adalah refleksi
dari total body sodium atau total body water. Faktanya, total body water dan sodium dapat
rendah, normal, atau tinggi, karena ginjal dapat meregulasi sodium dan homeostasis air.
Sebagian besar kasus hiponatremia mencerminkan keseimbangan cairan dan penanganan
cairan yang abnormal, not imbalance sodium, menunjukkan peran utama ADH dalam
patofisiologi hiponatremia. Sebuah algoritma diagnostik menggunakan osmolalitas serum dan
status volume memisahkan penyebab hiponatremia ke dalam kategori terapi yang berguna
Etiology
Isotonic & Hypertonic Hyponatremia
Serum osmolality identifies isotonic and hypertonic hyponatremia, although these cases can
often be identified by careful history or previous laboratory tests.
Isotonic hyponatremia is seen with severe hyperlipidemia and hyperproteinemia. Lipids
(including chylomicrons, triglycerides, and cholesterol) and proteins (> 10 g/dL, eg,
paraproteinemias and intravenous immunoglobulin therapy) interfere with the measurement
of serum sodium, causing pseudohyponatremia. Serum osmolality is isotonic because lipids
and proteins do not affect osmolality measurement. Newer sodium assays using ion-specific
electrodes will not produce pseudohyponatremia.
Etiologi
Isotonik dan hipertonik hiponatremia
Osmolalitas serum mengidentifikasi isotonik dan hipertonik hiponatremia, meskipun kasus-
kasus ini sering dapat diidentifikasi berdasar riwayat atau laboratorium tes sebelumnya.
Isotonik hiponatremia terjadi pada hiperlipidemia dan hiperproteinemia. Lipid (termasuk
chylomicrons, triglyserid, dan kolesterol) dan protein (> 10 g/dL, paraproteinemias and intra
venous immunoglobulin therapy) mengganggu pengukuran natrium serum, menyebabkan
pseudohyponatremia. Osmolalitas serum dapat isotonik karena lipid dan protein tidak
mempengaruhi pengukuran osmolalitas
Gambaran klinis 2
Kita harus selalu waspada adanya hiponatremia karena manifestasi klinisnya tidak khas
pada periode awal saat kada natrium serum lebih dari 120 mEq/L. Hiponatremia adalah suatu
gangguan elektrolit yang sering terjadi pada pasien rawat inap. Pasien yang menunjukkan
satu atau lebih faktor risiko, perlu dipantau dengan seksama sehingga hiponatremia dapat
cepat diketahui dan ditangain sebelum berlanjut membahayakan jiwa pasien.
Gejala dan tanda hiponatremia terutama mencerminkan terjadinya disfungsi neurologis
yang disebabkan oleh hipo-osmolalitas. Seiring dengan menurunnya osmolalitas serum, air
memasuki sel-sel otak (seperti pada sel-sel lainnya); sehingga menyebabkan overhidrasi
intrasel dan peningkatan intrakranial. Keparahan gejala neurologis berkaitan dengan
kecepatan dan beratnya penurunan konsentrasi natrium serum. Pasien mungkin tidak
memperlihakan gejala hiponatremia ringan kadar Na+ serum diatas 125 mEq/L). Apabila
kadar Na+ serum berkisar antara 120-125 mEq/L dapat timbul gejala-gejala dini berupa
kelelahan, anoreksia, mual, kejang otot, dan akan berlanjut menjadi kejang serta koma jika
terus terjadi penurunan kadar natrium. Bila keadaan seperti ini (<120 mEq/L) berkembang
dalam waktu kurang dari 24 jam, maka angka mortalitas mencapai 50%. Sebaliknya, pasien
dapat tetap asimtomatik jika penurunan kadar Na+ serum tersebut terjadi secara bertahap
dalam kurun waktu berhari-hari sampai berminggu-minggu. Hiponatremia yang terjadi secara
perlahan menyebabkan gejala yang lebih ringan karena terjadi kehilangan kompensatorikzat
terlarut seperti Na+, K+, dan asam amino dari sel otak, sehingga turut mengurangi
pembengkakan intraselular.
Diagnosis hiponatremia (seperti halnya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit lainnya)
membutuhkan analisis berdasarkan pada hasil anamnesis, tanda dan gejala klinik, serta
pemeriksaan laboratorium. Tiga pemeriksaan laboratorium sederhana yang membantu
menegakkan diagnosis penyebab hiponatremia adalah: osmolalitas serum, osmolalitas urine,
dan Na+ urine. Kadar osmolaloitas serum akan normal atau meningkat jika penyebab
hiponatremia adalah gagal ginjal atau hiperglikemia diabetik. Kadar osmolalitas urine akan
rendah (<100 mOsm/kg atau berat jenis <1,004) bila disebabkan oleh polidpsi primer dengan
ekskresi air yang normal; dan akan tinggi (>100 mOsm/kg atau berat jenis >1,004) untuk
penyebab lain hiponatremia yang mengganggu eksresi air. Akhirnya Na+ urine rendah (<10
mEq/L) bial hiponatremia disebabkan oleh edema atau volume yang berkurang akibat
penyebab diluar ginjal; Na+ urine tinggi (>20 mEq/L) bila terjadi kelainan ginjal boros-
garam atau SIADH.
1. Guyton
2. Patfis
3. current