Refarat Neurologi - Non-Convulsive Status Epilepticus

Embed Size (px)

Citation preview

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN NON-CONVULSIVE STATUS EPILEPTICUS (NCSE)

Oleh : MIAKO PASINGGI 060 111 208

Pembimbing : dr. ARTHUR H.P. MAWUNTU, Sp.S

BAGIAN NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO 2012

1

LEMBAR PENGESAHAN Tugas wajib dengan judul DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN NONCONVULSIVE STATUS EPILEPTICUS (GCSE) telah dikoreksi, disetuju, dan dibacakan pada 11 Februari 2012

Mengetahui Pembimbing,

dr. ARTHUR H. P. MAWUNTU, Sp.S

2

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN NON-CONVULSIVE STATUS EPILEPTICUS (NCSE)PENDAHULUAN Status Epileptikus merupakan masalah kesehatan umum yang diakui meningkat akhir-akhir ini terutama di negara Amerika Serikat. Ini

berhubungan dengan mortalitas yang tinggi dimana pada 152.000 kasus yang terjadi tiap tahunnya di USA menghasilkan kematian. Begitu pula dalam praktek sehari-hari Status Epileptikus merupakan masalah yang tidak dapat secara cepat dan tepat tertangani untuk mencegah kematian ataupun akibat yang terjadi kemudian. Status epileptikus (SE) merupakan masalah klinis utama yang sering terjadi pada masa kanak-kanak dengan potensi morbiditas yang tinggi dan merupakan kegawatdaruratan neurologis yang membutuhkan perawatan intensif. Status epileptikus dibagi menjadi bentuk konvulsif (convulsive status epilepticus = CSE) dan non-konvulsif (non-convulsive status epilepticus = NCSE), dan kejangnya dapat umum atau parsial. 1,2

DEFINISISE awalnya didefinisikan sebagai suatu kejang yang terus berlangsung untuk waktu yang cukup panjang atau cukup sering berulang untuk menghasilkan suatu kondisi epileptik yang tetap dan bertahan lama.1 Meskipun ada beberapa kontroversi, interval waktu untuk suatu kejang agar dapat didefinisikan sebagai SE adalah 30 menit oleh kebanyakan peneliti, karena pada data penelitian terhadap hewan menunjukkan bahwa cedera saraf dapat terjadi setelah 45-60 menit aktivitas kejang yang terus menerus.2,3,4 SE secara fisiologis didefinisikan sebagai aktivitas epilepsi tanpa adanya normalisasi lengkap dari neurokima dan homeostatis fisiologis dan memiliki spektrum luas dari gejala klinis dengan berbagai patofisologi, anatomi, dan etiologi.2 Atas dasar pertimbangan ini, NCSE telah didefinisikan sebagai perubahan kognitif atau perilaku yang berlangsung selama setidaknya 30 menit, dengan bukti kejang pada EEG. Beberapa penulis percaya bahwa definisi yang lebih tepat dari NCSE harus mencakup

3

aktivitas kejang elektrografik yang jelas, pelepasan elektrografik berirama dengan kejang klinis, dan respon klinis atau elektrografik terhadap pengobatan.1,5 Definisi konsensus berikut ini diusulkan pada tahun 2004 sebagai hasil dari pertemuan internasional tentang NCSE: NCSE adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan berbagai kondisi dimana aktivitas kejang elektrografik berkepanjangan dan mengakibatkan gejala klinis non-konvulsif. Usulan ini diselesaikan dengan pengaturan durasi kejang minimal 30 menit untuk diagnosis NCSE dan deskripsi pola EEG yang jelasjelas menunjukkan NCSE.2

KLASIFIKASIKlasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena penanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya status epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan area tertentu dari korteks (Partial onset) atau dari kedua hemisfer otak (Generalized onset)- kategori utama lainnya bergantung pada pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi.6 Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus. Satu versi mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum (tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial (sederhana atau kompleks). Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus konvulsif (overt atau subtle) dan status epileptikus non-konvulsif (parsial kompleks, absens, koma, dan gangguan belajar). Versi ketiga dengan pendekatan berbeda berdasarkan tahap kehidupan (batas pada periode neonatus, infan dan anak-anak, anak-anak dan dewasa, hanya dewasa). 2,3,4 Konvulsif Status Epileptikus a. Overt generalized convulsive status epilepticus Ini merupakan bentuk dari SE yang paling sering dihadapi dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik klonik umum. Pada status tonik klonik umum, serangan berawal dengan seriang kejang tonik klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi. Setiap kejang berlangsungn dua tiga menit dengan fase tonik yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernapasan yang terputus-putus. Penderita menjadi sianosis, hyperpnea, retensi CO2, adanya takikardia dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia, hiperglikemia dan peningkatan laktat serum4

terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.2,3 b. Subtle generalized convulsive status epilepticus Merupakan lanjutan dari generalized convulsive status epileptikus dengan atau tanpa aktivitas motorik. Manifestasi klinik seperti gerakan halus, nistagmus, atau fasikulus dan merupakan hasil dari kerusakan otak.2 Non-Konvulsif Status Epileptikus a. Status epileptikus absens (SE absens) Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupaislow motion movie dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. SE absens ditandai oleh suatu keadaan bingung (konfusi) berkepanjangan yang berkaitan dengan kelainan EEG umum sangat berbeda dari keadaan interiktal. Kedua gambaran ini berespon dengan segera terhadap obat antiepilepsi. Pasien dalam SE absens biasanya bingung dan merasa mengantuk, tapi agitasi, perilaku kasar, dan halusinasi kadang-kadang dapat terjadi. Penurunan kesadaran mungkin sangat ringan sehingga masih dapat melakukan beberapa kegiatan sehari-hari. Berkaitan dengan otomatisasi, berkedip, dan sentakan kepala dan anggota gerak juga dapat diamati sehingga menghasilkan suatu tumpang tindih antara SE absens dan subtle SE. 3 Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat.Respon terhadap status epileptikus Benzodiazepin intravena didapati. Gambaran EEG iktal sangat banyak, dan mereka meliputi pelepasan lonjakan dan gelombang 3 Hz, seperti halnya perlambatan ritmik, gelombang lambat dan lonjakan, polilonjakan (polyspikes) dan perlambatan dasar yang difus (Gambar 1). SE absens memiliki kecenderungan kuat untuk kambuh kembali.3

5

Gambar 1. Gambaran EEG pada SE absens.(A) EEG normal dari anak 6 tahun. (B) Gambaran EEG pada anak 6 tahun dengan SE absens yang menunjukkan pelepasan lonjakan dan gelombang secara umum berirama (ritmik) terus menerus.

b. Status epileptikus parsial kompleks Perbedaan SE parsial kompleks dari SE absens sulit dicapai atas dasar klinis saja. Seperti pada SE absens, pasien dengan SE parsial kompleks juga dalam keadaan bingung, dan lateralisasi yang jelas mungkin hilang/tidak ditemukan. Kriteria untuk diagnosis klinis SE parsial kompleks telah diringkas sebagai berikut kejang parsial kompleks berulang tanpa pemulihan penuh kesadaran diantara kejang atau keadaan senja epilepsi terus menerus dengan siklus/perputaran antara fase tanpa respons dan fase respons sebagian. Unsur/elemen perputaran/siklus tidak selalu hadir dan definisi ini tetap menjadi kontroversi.7 Gejala SE parsial kompleks dapat mencakup amnesia, afasia, perilaku aneh dan hemiparesis. EEG penting untuk membuat suatu diagnosis yang benar. Kelainan iktal yang fokal dan meliputi gelombang dan lonjakan lambat, polyspike dan perlambatan ritmis. Suatu generalisasi sekunder mungkin terjadi, berpotensi menyebabkan kebingunan diagnostik. Kesulitan diagnostik ini dapat diatasi bila kelainan fokal interiktal ditemukan pada EEG gambaran ini juga merupakan bagian dari kriteria diagnotik SE parsial kompleks yang diusulkan oleh berbagai peneliti. Kelainan fokal seringkali terlihat pada lobus temporal, dan sering mencerminkan adanya lesi akut atau kronik yang mendasarinya. 7,86

c. NCSE pada Keadaan Koma Sebagian besar pasien koma menunjukkan gambaran NCSE. NCSE dapat mewakili penyebab koma secara langsung maupun menjadi konsekuensi dari lesi yang mendasarinya yang menimbulkan berbagai gejala neurologis. Di antara kesulitan lainnya, masalah dalam menetapkan sebab dan akibat pada pasien koma dapat menunda waktu untuk diagnosis NCSE, dengan potensi memburuknya prognosis nanti. Dalam serangkaian kasus 47 pasien dewasa yang mengalami koma, tiga kategori yang berbeda diidentifikasikan: pasien SE dengan bukti klinis dan EEG, pasien yang terutama menunjukkan tanda-tanda klinis aktivitas kejang yang hampir tidak kentara, dan pasien dengan bukti EEG saja. Dalam studi ini, tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan anatar tiga kelompok ini sehubungan dengan etiologi SE, respons terhadap terapi, ataupun hasil akhir. Meskipun demikian, penelitian terakhir menunjukkan bahwa hasil itu jauh lebih buruk pada pasien dengan NCSE setelah CSE dibandingkan dengan mereka yang dalam episode CSE yang ditangani dengan sukses. Banyak studi yang diterbitkan mengenai NCSE pada pasien dewasa yang mengalami koma menunjuk pada kebutuhan mutlak akan pemantauan EEG terus menerus setelah CSE, dengan tujuan khusus mengidentifikasi pasien NCSE dan mengelolanya secara tepat.3,6,8 d. NCSE pada Gangguan Belajar9 Kelainan EEG diduga berhubungan dengan masalah kognitif bila ada kelainan fungsional atau struktural otak dan ini menyebabkan terjadinya kesulitan belajar. Sebab itu sejak ditemukan Electroencephalography (EEG) oleh Hans Berger (1929), EEG merupakan alat bantu untuk pemeriksaan neurofisiologis aktivitas otak dan menjadi dasar untuk pemeriksaan penunjang pada anak dengan kesulitan belajar. Lepasan gelombang epileptiform selama perekaman EEG akan diikuti penurunan fungsi kognitif. Penelitian lain juga mendukung adanya perubahan gelombang EEG pada anak dengan kesulitan membaca (disleksia). Gelombang ireguler pada rekaman EEG anak disleksia yang sesuai dengan tingkat kesulitan membacanya. Karena itu abnormalitas gelombang EEG pada anak dengan kesulitan belajar dianggap sebagai bukti utama dari disfungsi serebral. Perubahan kognitif sementara yang menyertai disritmia serebral intermiten memenuhi definisi serangan epilepsi, dan cukup untuk menjadi dasar pemberian terapi obat anti epilepsi (OAE).

7

Lamotrigin merupakan OAE baru yang dipakai sebagai terapi tambahan tetapi dapat dipakai sebagai monoterapi dengan efek samping minimal. Lamotrigin dapat mengatasi kejang juga memperbaiki abnormalitas gelombang EEG interiktal serta mempunyai pengaruh positif pada kualitas hidup penderita karena dapat memperbaiki fungsi kognitif. Lamotrigin menekan aktivitas epileptiform interiktal sehingga penderita yang gelombang epileptiformnya berkurang mengalami perubahan tingkah laku. Hal ini juga didapati pada penderita epilepsi yang memakai Lamotrigin dan terbukti memberikan perbaikan performance kognitif.

EPIDEMIOLOGI Mengumpulkan data epidemiologi pada NCSE merupakan hal yang sangat sulit oleh karena definisi dan klasifikasi yang membingungkan seperti yang dijelaskan sebelumnya. Kebanyakan data muncul dari pusat penanganan epilepsi tersier dan fakta ini mungkin berkontribusi pada penghitungan berlebihan dari nilai insidensi dan prevalensi yang sebenarnya. Angka kejadian keseluruhan populasi NCSE diperkirakan 5,6-18,3 per 100.000 orang per tahun berdasarkan lima studi epidemiologis utama. Proporsi pasien NCSE di antara penderita SE dapat diperkirakan berkisar antara 4% sampai 25%.Sebuah studi prospektif terhadap 236 pasien dalam keadaan koma yang berusia antara 1 bulan sampai 87 tahun menunjukkan bahwa 8% memenuhi kriteria NCSE.10,11 ASPEK PATOFISIOLOGI Aspek patofisiologi NCSE serupa dengan yang diamati pada bentuk konfulsif SE pada level selular dan jaringan lokal (neuronal/astroglial), tetapi mereka berbeda pada level di otak dan seluruh tubuh. Neuron, sel astroglial dan jaringan lokal kecil dipengaruhi oleh aktivitas epileptik kontinyu GCSE dan hampir semua bentuk NCSE (kecuali AS) menunjukkan kejadian elektrokemikal dipicu oleh sinkron rangsangan berlebihan. Rangsangan berlebihan ini dihasilkan dari peningkatan langsung mekanisme rangsangan atau penurunan jaringan penghambat lokal (yaitu gangguan inhibisi), atau keduanya. Rangsangan berlebihan biasanya berhubungan dengan kelebihan glutamatergik neuron yang juga melampaui kapasitas reuptake-glutamat (penyannga) oleh sel astroglial. Jumlah toksik glutamat ekstraseluler merangsang secara berlebihan reseptor glutamat dan menginduksi8

gangguan homeostatis-ekstra/intraselular Ca2+ dengan akumulasi konsentrasi intraneuronal sitotoksik Ca2+. Kelebihan mesenger kedua ion Ca2+ melumpuhkan atau menambah angka arus proses vital metabolik untuk neuron dan menginduksi kematian sel akut atau apoptosis. Kebutuhan energi tinggi neuron dengan rangsangan berlebihan menggabiskan pool sumber energi otak yang hampir semata-mata tergantung pada glukosa. Kerusakan energi menyebabkan hilangnya fungsi Na+/ K+ - ATPase yang diikuti oleh kerusakan homeostatis transmembran ion dan oleh influx air ke dalam sistem saraf dan sel astroglia, pembengkakan dan kematian sel. Sebagai konsekuensi lainnya, racun metabolik, nitrit oksida yang terbentuk saat aktifasi dari sistem saraf dan bentuk NO sintase, dan racikal bebas dapat berkumpul secara intra dan ekstralseluler, dan lebih jauh lagi bertindak sebagai substansi sitotoksik, khususnya pada membran sel, atau sebagai bahan kimia penarik untuk sel-sel yang mengalami inflamasi. Akhirnya, dapat terjadi destruksi lokal dari jaringan otak yang fungsional dan gliosis dengan hilangnya fungsi yang berakibat gangguan neurologis persisten atau onset atau gangguan kelainan epilepsi.

Gambar 2: Patofisiologi NSCE

Pada level keseluruhan tubuh, GCSE memiliki konsekuensi tambahan dari aktifitas motorik yang kelelahan yang mengakibatkan perubahan motorik yang besar seperti asidosis laktat, hipertermi, fase dekompensasi kerja saraf simpatik. Saat menetap, faktor-faktor ini dapat menciptakan kondisi darurat yang mengancam nyawa. Dalam kontrasnya, NCSE tidak9

akan memasukkan penggunaan energi seluruh tubuh dalam rumusan metaboliknya karena kurangnya aktifitas motorik yang berlebihan, tetapi penting untuk dicatat bahwa aktifitas epileptik yang berlangsung terus menerus pada daerah otak yang non-motorik, seperti pada lobus temporal atau insular dan opercular kortex, dapat menstimulasi secara berlebihan pusat-pusat saraf otonom simpatik dan parasimpatik secara langsung yang dalam urutannya dapat menyebabkan aktifitas saraf otonom hiper- atau hipo- yang mengancam nyawa, dan yang terpenting asistolik akibat aritmia ventrikel dan bronkospasme. 2,3,5 DIAGNOSIS, DIAGNOSIS BANDING, DAN TEMUAN (EEG) Ada peningkatan bukti yang mengindikasikan bahwa NCSE sering tidak terdiagnosa, dan mungkin juga tidak semudah seperti yang diperkirakan sebelumnya. Kesulitan dalam mengenal NCSE, bersama dengan kurangnya kesepakatan tentang kriteria diagnostik, menjelaskan mengapa keadaan penatalaksanaan dan prognosis masih kontroversi. Diagnosis pasti NCSE tergantung pada konfirmasi electroencephalographic (EEG).2,3 Diagnosis NCSE berdasarkan pada riwayat pasien, tanda klinis, dan EEG. Kadang kala, respon klinis dan elektroensefalografi terhadap tata pelaksanaan benzodiazepin dapat membantu untuk menegakkan diagnosis. Jangkauan luas tanda dan gejala klinis telah disebutkan pada bagian tipe NCSE yang berbeda. Jenisnya, sering manifestasi yang tidak spektakuler sehingga sangat sulit untuk mendiagnosis NCSE dengan hanya alasan klinis. Meskipun demikian, kondisi yang jauh memfasilitasi timbulnya gangguan epileptik, gangguan kesadaran yang berat dan pergerakan mata spontan (yaitu nistagmus horizontal) berhubungan secara signifikan dengan adanya NCSE. Riwayat epilepsi memudahkan untuk memikirkan adanya NCSE; tidak adanya riwayat tersebut tidak akan menyingkirkan adanya NCSE pada pasien, karena NCSE sering menjadi manifestasi pertama kondisi epileptik pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Bagaimanapun, NCSE tidak semata-mata berawal di ICU atau rumah sakit, tetapi juga di rumah, di lembaga psikiatri, di panti asuhan dan rumah sakit jiwa.3,12 Menurut Jordan, kondisi berikut memerlukan evaluasi lebih lanjut mengenai kemungkinan diagnosis NCSE: 3 episode tatapan kosong, automatisme, afasia atau gerakan yang terus-menerus;

10

onset gangguan kesadaran yang tidak dapat dijelaskan, khusunya jika levelnya fluktuatif; afasia fluktuatif tanpa lesi struktural yang menjelaskan defisit afasia; gangguan kesadaran atau aktivitas mental berhubungan dengan kurangnya tanda klinis, seperti kedutan ringan kelopak mata, wajah atau trunkus, nistagmus horizontal dan posisi ekstensor spontan salah satu atau kedua jempol kaki;

keadaan post kejang atau ketidaksadaran yang berkepanjangan dengan durasi lebih panjang dari 15 sampai 30 menit. Memanjangnya keadaan yang menurunkan kesiagaan setelah operasi otak atau operasi lainnya dimana fungsi serebral dalam bahaya. Untuk menegakkan diagnosis NCSE perlu menyingkirkan diagnosis lainnya.

Diagnosis banding NCSE meliputi stroke akut, inflamasi (seperti ensefalitis limbik atau paraenselofatik), tumor otak primer dan metastase pada area non-motorik, penyakit jiwa murni menyebabkan delirium, stupor, dan delusi atau halusinasi, dan non-epileptik, status pseudo psikogenik. Beberapa obat yang disetujui dan obat terlarang seperti halnya

perubahan metabolik dan elektrolit dapat menimbulkan keadaan neurologikal dan perilaku menyerupai NCSE tanpa aktivitas iktal yang dapat dideteksi pada EEG yang direkam bersamaan. Untuk menyimpulkan, langkah yang paing penting dalam mendiagnosis NCSE adalah mempertimbangkan semuanya. Sebagai tambahan, nilai 24-jam ketersediaan EEG tidak dapat ditaksir secara berlebihan jika NCSE diduga secara klinik. Nilai diagnosis pemeriksaan paraklinik lainnya bergantung pada konteks yang

sangat spesifik. Oleh karena itu, analisis cairan serebrospinal dapat membantu diagnosa infeksi CNS yang mendasari secara tidak spesifik dan sebagai kejadian yang lebih dekat, mungkin ada pleositosis hingga sekitar 30 sel dan sedikit meningkatnya level protein di CSF pada NCSE non-infeksi. Berbagai modalitas gambaran kurang bernilai dalam diagnosis emergensi NCSE, tapi menunnjukkan informasi lokalisasi, struktur (MRI, DTI), patofisiologikal dan metabolic yang berarti mengenai keterlibatan area otak, khususnya ketika digunakan dalam kombinasi, secara saling melengkapi Ketersediaan, kemudahan

11

perolehan dan informasi penting yang ditunjukkan pada stroke akut menempatkan diffusion weighted imaging (DWI) di antara modalitas gambaran yang paling sering dilakukan, juga meningkat pada pengaturan emergensi.. Masalah utama dalam diagnosis NCSE adalah proses yang bergantung pada sebagian besar interpretasi EEG yang subjektif. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, karakter epileptik yang tegas dari aktivitas elektrografik yang direkam sering sangat sulit untuk ditegaskan. Hal ini berlaku pada kondisi neurologis tertentu yang akut seperti koma.

Sejumlah besar penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi gambaran EEG yang memiliki implikasi prognostik dan penatalaksanaan/penanganan di dalam situasi tersebut. Karakteristik umum yang dimiliki sebagian besar pola NCSE yang dikenali mencakup lonjakan (spike), gelombang tajam atau gelombang lambat, suatu tampilan ritmis, dan frekuensi minimal 1 Hz. Untuk memperjelas aspek elektrografik dari NCSE yang membingunkan, beberapa pola diusulkan oleh Walker dan rekan-rekannya sebagai perwakilan kriteria NCSE yang jelas, sedangkan yang lain dianggap lebih samar-samar.3,8,13 PENATALAKSANAAN1,2,3,11,14 Pengobatan NCSE pada dasarnya mengikuti prinsip-prinsip yang sama seperti

halnya terapi algoritma untuk GCSE (Gambar 2 dan lampiran 1), meskipun adanya kekurangan studi yang nyata khususnya ditujukan untuk pengobatan optimal NCSE yang akan memenuhi kriteria. Sekali lagi, ketiadaan data dapat diakibatkan tidak adanya definisi NCSE yang diterima, karena faktor heterogenitasnya dan pendapat yang berbeda dari para ahli tentang apakah NCSE dapat merusak otak atau tidak melibatkan strategi pengobatan yang kurang lebih agresif. Namun demikian, dalam tinjauan dan pedoman yang ada barubaru ini menekankan perlunya kedaruratan, ketegasan, dan adaptasi dari tipe pengobatan NCSE. Penting untuk dicatat bahwa kebanyakan studi menyediakan data yang didiskusikan di bawah yang sebagian besar dilakukan pada pasien dengan GCSE dan tidak pada pasien GCSE. Namun, bukti yang ada pada mereka dapat juga berlaku bagi pasien dengan NCSE, setidaknya sampai adanya data spesifik yang menunjukkan hasil yang berbeda. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, pengobatan antiepilepsi menjadi lebih penting, lebih banyak aktifitas epileptik berkontribusi pada keadaan pasien, dimana bentuk simptomatik dari NCSE seperti GCSE terapi yang sukses terhadap penyebab dan gangguan non-epileptik12

penyerta terutama akan menentukan prognosis dan hasil pasien. Setelah NCSE didiagnosa, pasien harus diperiksa dan distabilisasikan untuk penilaian tanda-tanda vital dasar. Lalu, thiamin 250 mg harus diberikan secara intravena sebelum cairan apapun yang mengandung glukosa atau cairan dengan konsentrasi glukosa yang tinggi untuk mengobati hipoglikemi diberikan; cara ini khususnya direkomendasikan dalam kasus kecanduan alkohol atau malnutrisi, namun dapat dilakukan pada semua pasien dengan NCSE sehubungan dengan adanya potensial bahaya dan resiko efek samping yang rendah.

Gambar 2: Alogaritma CSE (Guidelines for The Management of Epilepsy In India)1 Inisiasi pengobatan antiepilepsi tanpa penundaan adalah salah satu faktor yang lama NCSE berlanjut, makin sulit untuk

paling penting dalam terapi NCSE. Makin dihentikan. Pemberian langsung

benzodiazepin (BD) secara intravena adalah bukti tegas

yang mendasari langkah pertama untuk pengobatan NCSE yang efisien; pelaksana kesehatan dalam hal ini harus dipersiapkan untuk mengoksigenasi pasien jika depresi pernafasan terjadi. BD yang paling sering digunakan yaitu diazepam, lorazepam (LZP), midazolam (MDL) dan clonazepam (hanya di Eropa dimana formula intravena tersedia). Walaupun zat-

13

zat ini memiliki dasar kerja yang sama, namun mereka berbeda dalam aspek farmakokinetik dan farmakodinamik. BD yang paling sering digunakan, diazepam memiliki tingkat lipofilik yang tinggi, memasuki otak dengan cepat dan terikat pada reseptor GABAA. Namun, diazepam akan dengan cepat terurai dari reseptor ini dan kemudian menyatu dengan jaringan lemak. Hal ini mungkin dapat menjelaskan terjadinya rekurensi NCSE setelah pemberian diazepam. Jika dosis tambahan diazepam diberikan, pasien beresiko mengalami overdosis segera setelah level penyatuan dicapai dan diazepam yang terakumulasi dalam jaringan lemak didistribusikan kembali ke dalam otak dan reseptornya. Fenomena ini dan fakta bahwa diazepam memiliki metabolisme kompleks yang menghasilkan lebih dari 40 metabolit aktif membuat zat ini dituntut untuk dikontrol dan mencapai tingkat dan efek yang diinginkan.15 BD yang kurang lipofilik, LZP yang tidak di metabolisme ke komponen yang lebih jauh lagi telah menjadi BD pilhan untuk pengobatan pertama NCSE. Lorazepam akan mengurangi terjadinya resiko depresi pernafasan yang bila dibandingkan dengan BD lainnya dan- yang paling penting untuk mempertahankan status antiepilepsi dan mencegah rekurensi SE- lorazepam mengikat reseptor GABAA pada tempatnya secara semikovalen yang memperpanjang efek dari lorazepam sebesar 24 jam walaupun level darah menurun. Peran dominan dari LZP dalam pengobatan NCSE telah dilakukan secara definitif oleh hallmark prospective double-blind Veterans Affairs-Study yang diterbitkan pada New England Journal of Medicine tahun 1998, membandingkan 4 tipe obat regimen lini pertama yang berbeda (fenition (PHT), diazepam diikuti oleh PHT, fenobarbital dan LZP) dimana LZP menunjukkan hasil yang lebih superior dari PHT, tetapi tidak untuk obat lainnya; walaupun, LZP, lebih mudah digunakan. Penggunaan LZP secara pre-rumah sakit untuk pengobatan kejang serial atau SE terbukti aman dan efisien dalam studi yang besar pada orang dewasa 3 tahun kemudian. Midazolam (MDL) adalah BD yang bekerja sangat cepat dengan waktu paruh yang singkat karenanya, efek antiepilepsi yang stabil memerlukan pemakaian yang repetitif atau terus-menerus. MDL juga memiliki efek sedatif dan resiko depresi pernafasan yang lebih kuat sehingga menjadikannya kurang sesuai sebagai pengobatan lini pertama untuk SE, namun MDL digunakan secara luas sekarang sebagai pengobatan refraktoris SE (RSE, cf.14

dibawah). Meskipun, untuk alasan farmakologis dan dalam lingkungan ICU yang spefisik, aktifitas antiepilepsi yang super cepat dari MDL dapat dieksploitasi sebagai pengobatan lini pertama dengan bolus 1 sampai 5 mg untuk menginduksi efek yang sangat cepat, disaat yang sama juga diberikan lorazepam 2-8 mg yang akan mendesak efek yang mulai menurun pada penggunaan MDL. Midazolam juga dapat diberikan secara intramuskular dan dapat digunakan pada kasus SE dimana akses intravena tidak tersedia atau pada pemasangannya terdapat resiko. Clonazepam juga memiliki profil yang hampir sama seperti LZP dan juga digunakan secara luas di negara-negara yang berbahasa Perancis. Meskipun adanya kekurangan studi karena tidak tersedianya formula intravena pada sebagian negara-negara Anglo-Amerika. Sementara BD diberikan sebagai pengobatan lini pertama, pasien harus menjalani pemeriksaan laboratorium termasuk hematologi dan pemeriksaan kimiawi sekaligus memeriksa hormon tiroid, penyakit infeksi (khususnya herpes ensefalitis) dan pemeriksaan penyalahgunaan obat-obatan terlarang karena beberapa klub obat seperti amfetamin dan derivatnya (paroxymetamfetamin [PMA], paramethoxymetahmpetamin [PMMA], [benzylpiperazin dan kokain) dapat memprovokasi NCSE. Karena BD bukan merupakan pengobatan jangka menengah ataupun jangka panjang dari gangguan epilepsi dan medikasi ini dapat merusak memori dan kesadaran pasien sehingga mengganggu penilaian status neurologis pasien dalam perjalanan penyakit, pemberian AED klasik secara bersamaan seharusnya didahulukan. Sebenarnya, ada 3 zat berbeda pada formula intravena yang tersedia di pasaran PHT, asam valproat (VPA) dan levetiracetam (LEV), tapi hanya PHT yang disetujui sebagai pengobatan NCSE di Switzerland. Fenitoin adalah obat antiepilepsi pertama setelah obat BD yang sedatif dan

barbiturat untuk diberikan secara intravena. Adanya ketersediaan, keamanan dan efikasi dari PHT intravena telah dibuktikan pada awal tahun 1950an. Namun, tidak pada studi-studi yang dapat memuaskan standard penggunaan obat sekarang ini. Hanya studi bukti dari kelas-I untuk PHT intravena dalam GCSE yang telah disebutkan dalam studi VA yang menunjukkan bahwa PHT sendiri terbukti inferior secara signifikan terhadap lorazepam15

untuk menghentikan SE, tetapi efisien jika diberikan bersamaan dengan diazepam intravena. Penggunaan formula intravena dari obat mengimplikasikan beberapa kewaspadaan; cairan harus dapat distabilkan dalam pH dasar yang tinggi, yang memerlukan central line dan kadar infus yang tidak melebihi 50 mg per menit. Pengaruh zat itu sendiri dan masalah kecanduan dari formula intravena dapat membuat efek samping yang serius terhadap jantung dan kutaneus lokal (purple-glove syndrome). Sebagai tambahan, fenition sangat kuat terikat dengan protein dan dimetabolisme oleh sistem sitokrom P 450 (CYP450), terutama pada varian 2C9 dan 2C19, yang memproduksi beberapa interaksi farmakokinetik dan dinamik, khususnya saat diberikan dengan komarin, dexametason, obat-obatan sitostatika, AED lainnya atau beberapa antibiotik. Farmakokinetik PHT yang non-linear memiliki resiko tinggi terhadap tingkat keracunan; pengawasan terhadap pemberiannya penting dilakukan. Obat fosfenitoin yang distabilkan pada pH fisiologis dan bebas kardiotoksik memberikan kadar infus yang lebih cepat dan juga untuk pemberian intramuskular , tetapi tidak ada keuntungan dalam hal kecepatan mencapai tingkat terapeutik karena obat ini harus dimetabolisme oleh plasma fosfatase menjadi fenitoin. Sifat-sifat ini, dan juga harga obat yang 10 kali lebih mahal daripada PHT, menghasilkan kurangnya persetujuan pemakaian pada hampir seluruh negara Eropa, termasuk Switzerland. Asam valproat intravena telah tersedia di negara-negara Eropa tengah selama lebih dari 20 tahun and dapat digunakan sebagai alternatif PHT untuk pengobatan SE. Asam valproat memiliki spektrum terluas dari semua AED yang ada dan tidak menyebabkan gangguan kesadaran. Obat ini merupakan inhibitor ringan sampai sedang dari sistem CYP450 dan, sebagai asam lemak rantai pendek, dimetabolisme oleh beta oksidasi di hati dan dikeluarkan melalui ginjal setelah reaksi glukouronidasi. Zat ini menghasilkan produksi amonia (terkadang secara dramatis tereksaserbasi karena adanya defek enzim pada siklus urea mitokondria seperti defisiensi ornitil-carbamoil-transferase) yang seharusnya dikontrol secara tertutup setelah pengisian cepat; kadar amonia naik sampai 70 umol (normal 7-34) biasanya masih dapat ditoleransi, dimana kadar yang >90 umol dapat mengakibatkan kerusakan zat sehingga dosisnya harus dikurangi. Selama terapi intravena untuk SE, kadar VPA bebas (tidak terikat) harus diperhatikan, karena fraksi ini (nomal 10-15%) meningkat secara berlebihan pada kasus dosis tinggi dan hipoalbuminemia dan dapat mengakibatkan keracunan (sedasi, peningkatan enzim hati, hitung platelet rendah, reversible parkinsonisme,16

pankreatitis). Penggunaan VPA pada pasien dengan perdarahan intrakranial masih dipertanyakan karena berbagai macam efek dari VPA pada jumlah platelet dan fungsinya juga pada beberapa faktor pembekuan. Tetapi, secara umum, keamanan VPA intravena, walaupun pada dosis tinggi, kadar infus yang cepat dan pada pasien dengan jantung yang tidak stabil, dilakukan pada beberapa studi. Tetapi, studi kontrol acak prospektif yang baik (ie PHT) yang telah menyediakan bukti kelas-I yang diperlukan untuk memperoleh persetujuan dari dewan undang-undang (termasuk Swissmedic) masih terdapat kekurangan. Walaupun demikian, beberapa negara (Norwegia, Kanada, Singapura) setelah menyetujui obat ini pada telah terbukti; VPA intravena akhirnya disetujui sebagai pengobatan GCSE di Jerman setelah rekomendasi dari tinjauan yang ekstensif dari para ahli. Percobaan randomised double-blind, menggunakan PHT atau VPA sebagai pengobatan lini pertama sebelum pemberian benzodiazepin, menunjukkan bahwa VPA lebih superior dibandingkan PHT; walaupun, studi ini terbilang kecil dan secara statistik tidak dapat dipertanggung jawabkan; tetap saja, hasil-hasil ini harus diinterpretasikan dengan kewaspadaan dan studi yang lebih lanjut dapat dilanjutkan. Baru-baru ini, sebuah percobaan randomised prospektif yang membandingkan VPA intravena dengan PHT intravena (n= 50 dalam setiap grup) setelah kegagalan BD menunjukkan adanya efikasi VPA yang lebih superior dibandingkan PHT (p >0.05); studi ini juga menyatakan pentingnya pengobatan sesegera mungkin.16 Formula intravena levetiracetam (LEV) baru akhir-akhir ini diperkenalkan, tetapi belum memperoleh persetujuan untuk SE. obat ini memiliki profil farmakokinetik dan dinamik yang lebih disukai karena diketahui tidak memiliki interaksi dengan obat lain dan hanya memiliki beberapa efek samping (terutama somnolen ringan dan perubahan perilaku yang tidak berperan dalam penanganan akut SE. Levetiracetam memiliki efek dosis utama yang penting dan memiliki aplikasi intravena yang cepat pada pasien sukarela yang sehat termasuk aman dan menghasilkan kadar obat yang tinggi. Setelah studi eksperimental telah dilakukan dan menunjukkan adanya efek penting antikonvulsan pada SE, studi-studi kecil menggunakan LEV sebagai pengobatan line ketiga atau keempat dalam refraktoris SE, sering juga diberikan melalui selang nasogastrik. Terdapat 2 laporan mengenai beberapa kasus NCSE yang mungkin terinduksi oleh LEV, tetapi observasi yang menarik ini masih menunggu konfirmasi lebih lanjut lagi dari studi-studi lainnya.

17

Pemberian LEV paling sering digunakan pada pasien yang sakit parah, posttransplantasi dan pasien HIV dengan NCSE dengan terapi obat-obatan multipel dimana resiko efek samping yang besar dan interaksi obat yang tinggi. Ketiga zat yang didiskusikan ini memiliki keuntungan karena zat-zat ini dapat ditukar 1:1 dari dosis intravena sampai pemberian oral tanpa masalah lainnya. Tingkat kesuksesan pemberian dari 1 BD dan AED intravena (PHT/VPA/LEV) tergantung dari tipe NCSE. Hampir 100% dari semua bentuk AS dan hampir semua pasien epilepsi dengan aura continua atau diskognitif SE tinggi kadarnya. Tingkatan yang menurun pada pasien dengan aura continua atau diskognitif SE disebabkan oleh lesi struktural (tumor, perdarahan) atau pada pasien dengan CISE karena kegagalan multiorgan. Kadar ini terendah pada pasien dengan SE subtle. Status epileptik yang terjadi terus- menerus setelah pemberian 2 AED disebut sebagai refraktori SE yang terjadi sekitar (20-) 30% dari seluruh kasus SE. Kondisi ini dirawat dengan induksi anastesi setelah intubasi pasien dengan menggunakan baik midazolam, lorazepam, propofol dan midazolam, atau thiopental. Penelitian-penelitian yang mengevaluasi pengobatan ini termasuk kecil dan sering tidak dapat diperbandingkan karena perbedaan parameter yang digunakan, terutama elektroencefalografi titrasi kedalaman koma (supresi dari aktifitas epileptik banding burst supresi banding elektrocerebral silence). Sebuah metaanalisis tidak dapat menemukan adanya superioritas dari antara pengobatan ini dalam hal hasilnya. Midazolam menurunkan tekanan darah dan menciptakan takifilaksis karena alterasi dari komposisi subunit GABAA reseptor saat stimulasi jangka panjang seperti pada SE [304]. Obat ini juga memiliki resiko akumulasi yang memerlukan pemulihan yang lama dari koma pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal karena metabolit -1-OH-midazolam glukoronat yang aktif secara farmakologis. Propofol merupakan anastetik yang memiliki sifat hipofilik yang tinggi, dan bekerja sangat singkat dimana fungsinya sebagai antikonvulsan pada jaringan yang berbeda (reseptor GABAA , reseptor NMDA, voltaged-gated Ca2+ channels). Saat digunakan sebagai komponen anastetik tunggal, zat ini daapt menyebabkan mioklonik yang mirip kejang;18

tetapi, fenomena ini nonepileptik dan kemungkinan besar terkait dengan disinhibisi dari struktur subkortikal. Untuk menghindari fenomena atau kejang withdrawal yang sesungguhnya, disarankan untuk menggunakan propofol yang selalu dikombinasikan dengan (dosis kecil dari) BD. Anastesi menggunakan propofol dikaitkan dengan konsumsi 12001500 kkal lemak karena kandungannya yang terdiri dari minyak gandum. Obat ini seharusnya tidak digunakan lebih dari 5 hari karena dapat mengakibatkan propofol-infusion syndrome yang mengancam nyawa, meliputi asidosis yang berat, gagal hati dan rhabdomiolisis yang ekstensif. Penelitian menggunakan propofol dalam 31 percobaan pada pasien dengan refraktori SE menunjukkan adanya pengendalian SE dalam duapertiga pasien tanpa efek samping yang serius. Saat MDL dan propofol gagal, barbiturat koma dengan thiopental dapat digunakan. Barbiturat merupakan obat antiepilepsi yang sangat poten dan menurunkan fungsi metabolisme otak secara global yang menghasilkan status hibernasi otak dan, karenanya, menurunkan resiko terjadinya hipereksitasi dan akrual metabolik yang beracun. Tetapi, obatobatan ini dikenal kardiodepresif dan dapat mengakibatkan hipotensi berat. Barbiturat koma dalam SE mengakibatkan tingkat kematian antara 30-50%. Sayangnya, barbiturat yang paling mudah digunakan, pentobarbital, tidak lagi tersedia di pasaran Eropa. Karenanya, thiopental adalah satu-satunya obat yang tersedia untuk tujuan ini; obat ini memiliki awalnya yang sangat cepat dan bekerja jangka pendek karena tingkat lipofilik yang tinggi, dan thiopental dapat dengan cepat melewati sawar darah otak, tetapi juga berakumulasi dengan cepat dalam jaringan lemak. Dari sana, thiopental akan terpecah dan terdistribusi ke struktur-struktur otak. Hal ini menyebabkan lamanya pemulihan dari koma setelah penghentian penggunaan obat. Pilihan terapeutik lainnya dalam RSE termasuk pemberian semua AED intravena yang tersedia VPA dan LEV, saat PHT sudah digunakan pertama kali) atau pemberian AED melalui selang nasogastrik. Diantara semua AED, topiramate dosis tinggi secara sukses telah digunakan dalam beberapa kasus kecil. Lidocaine, ketamine, etomidate dan clomethiazol juga merupakan terapi penyelamatan, sementara lainnya melaporkan kesuksesan penggunaan anastesi inhalasi (fluran) walaupun terdapat laporan adanya kemungkinan efek prokonvulsan dari beberapa komponen anastesi kelas tersebut.19

Steroid intravena dapat menjadi terapi alternatif lainnya dalam RSE karena peningkatan bukti bahwa aktifitas epileptik yang terus-menerus menstimulasi produksi mediator-mediator pro inflamasi seperti sitokin (khususnya interleukin -1) dan membantu mempertahankan aktifitas epileptik. Steroid juga efektif dalam beberapa sindrom epilepsi pediatrik, seperti infantil spasm, Landau-Kleffner syndrome dan Rasmussen encephalitis. Penggunaan secara klinis yang dilaporkan pada pasien dewasa cukup kecil, tetapi pada beberapa kasus pasien dengan RSE merespon pada pengobatan steroid. Status Epileptikus Absens (SE Absens) Mengingat fakta bahwa kerusakan saraf tidak mungkin disebabkan oleh SE absens, maka pengobatan agresif tidak dianjurkan. SE absens berespons baik terhadap pemberian benzodiazepine oral maupun intravena. Ketika pengobatan melalui intravena diperkenalkan, lorazepam dengan dosis 0,05-0,1 mg/kgBB merupakan obat pilihan. Hasil yang baik juga telah diperoleh dengan asetazolamide atau asam valproat intravena. Pada sebuah studi yang dilakukan oleh Uberall dkk, empat dari lima anak dengan SE absens berespons cepat tanpa efek samping yang signifikan setelah pemberian dosis tunggal 20-40 mg/kgBB. 1,2. Status Epileptikus Parsial Kompleks (SE Parsial Kompleks) SE parsial kompleks, khususnya pada pasien epilepsi dengan gangguan kesadaran minimal, paling baik diobati dengan benzodiazepine oral. Clobazam oral selama 2-3 hari biasanya cukup untuk mengendalikan SE pada situasi seperti itu. Dalam kasus simptomatik akut pada pasien dengan SE parsial kompleks refraktori, pengobatan intravena adalah diperlukan. Seperti halnya pada CSE, lorazepam diikuti dengan fenitoin yang dianggap sebagai pilihan lini pertama. Valproat juga mungkin dapat dipertimbangkan. Obat ini mengendalikan kejang setelah satu atau dua dosis 20-40 mg/kgBB pada empat dari enam pasien anak. NCSE pada Keadaan Koma NCSE pada pasien koma dengan prognosis yang jelek mungkin satu-satunya keadaan dimana penanganan agresif diperlukan. Penanganan harus diikuti dengan skema pengobatan yang sering digunakan pada CSE, dengan benzodiazepine intravena sebagai pilihan pertama, diikuti oleh fenitoin, fenobarbital dan valproat. Anestesi umum perlu dipertimbangkan pada kasus-kasus refraktori. 17

20

NCSE pada Gangguan Belajar Penjelasan mengenai klasifikasi NCSE pada anak dengan gangguan belajar masih kntroversi dan menjadi bahan perdebatan hingga saat ini. Anak-anak dengan kesulitan belajar yang ditandai gangguan fungsi kognitif dan berhubungan dengan abnormalitas rekaman EEG, berupa paroksismal gelombang epileptiform subklinis terutama yang mempunyai gelombang paku (tajam dan runcing) atau tajam lambat, memungkinkan untuk diberi terapi OAE dengan harapan dapat menekan gelombang epileptiform subklinis sehingga dapat memperbaiki fungsi kognitif. 9. Beberapa penelitian pembedahan untuk menyingkirkan sumber pelepasan gelombang epileptiform memberikan hasil kognisi yang baik pada sebagian pasien. Ditemukan juga perbaikan pada anak-anak dengan disleksia setelah dilakukan hemisferiktomi. Hal-hal diatas ini dapat menjadi dasar bahwa gelombang epileptiform subklinis sebaiknya dikontrol atau dikurangi dengan berbagai cara supaya dapat memperbaiki fungsi kognitif sehingga kesulitan belajar dapat diatasi. Dalam penelitian ini akan dicoba untuk mengurangi gelombang epileptiform dengan salah satu OAE adjuvan seperti lamotrigin. 1

KESIMPULAN Status epileptikus non-konvulsif merupakan salah satu kegawatdaruratan

neurologikal yang paling penting yang memerlukan diagnosis cepat, dikonfirmasi dengan EEG dan ditangani tanpa ditunda dan dengan keagresifan yang sesuai. Seringnya manifestasi klinis yang tidak hebat dan tidak spesifik pada NCSE membuatnya penting untuk memikirkan semuanya pada pasien siapa saja hadir dengan onset baru perubahan perilaku yang tidak jelas, gangguan kesadaran dan/atau fokal, defisit neurologikal nonkonvulsif.

21

DAFTAR PUSTAKA1. Anonymous. Status Epilepticus. Guidelines for The Management of Epilepsy in India. 2. Brown R., Ropper AH. Adams and Victors: Principles Of Neurolgy vol 1. 2005;hal:271-301. 3. Ruegg S. Non-convulsive status epilepticus in adults an overview. Division of Clinical Neurophsysiology. University Hospital Basel. 2008;159:53-83. 4. Husain A., Horn G., Jacobson M. Non-convulsive status epilepticus: usefulness of clinical features in selecting patients for urgent EEG. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2003;74:189-191. 5. Shorvon S. Clinical Aspect of Status Epilepticu: what is nonconvulsive status epilepticus and what are its subtypes?. Institute of Neurology, UCL, National Hospital for Neurology, London, UK. Epilepsia 2007;48:35-38. 6. Smith SJM. EEG in The Diagnosis Classification, and Management of Patients with Epilepsy. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2005;76:ii2-ii7. 7. Greenberg D., et all. A lange Medical Book: Clinical Neurology fifth edition. Medical Publishing Division.2005;hal44. 8. Binnie CD., Prior PF. Electroencephalography. Journal of Neurology,

Neurosurgery, and Psychiatry 1994;57:1308-1319. 9. Rittey CD. Learning Difficulties: what the neurologist needs to know. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2003;74:i30-i36. 10. Haffey S., Mckernan A., Pang K. Non-convulsive status epilepticus: a profile of patients diagnosed within a tertiary referral centre. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2004;75:1043-1044. 11. Scholtes FB., Renier W.O., Meinardi H. Non-convulsive status epilepticus: causes, treatment, and outcome in 65 patients. Journal of Neurology, Neurosurgery, and Psychiatry 1996;61:93-95. 12. Murthy JM. Nonconvulsive Status Epilepticus: An under diagnosed and potentially treatable condition. Neurol India 2003;51:453-4.22

13. Korff CM., Nordii D.R. Diagnosis and management of nonconvulsive status epilepticus in children. Nature Clinical Practice Neurology. 2007;3:505-516. 14. Shorvon S. The Management of Status Epilepticus. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2001;70:ii22-ii27. 15. Bell DS. The Effect of Diazepam on the EEG status epilepticus. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1970;33:231-237. 16. Hodges BM, Mazur JE. Intravenous valproate in status epilepticus. Ann Pharmacother 2001;35:14651470. 17. Holtkamp M. Othman J. Buchheim K. Meirkord H. Predictors and Prognosis of refractory status epilepticus treated in a neurogical intensive care unit. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2005;76:534-539 18. Lim J. Yagnik P. Schraeder P. Wheeler S. Ictal catatonia as a manifestation of nonconvulsive status epilepticus. Journal of Neurology, Neurosurgery, and Psychiatry 1986;49:833-836. 19. Daniel H Lowensteins, Brian K Alldredge. Status Epilepticus in The New England Journal of Medicine, 1998. 338;970-976

23