32
REAKSI WIDAL Oleh : Nama : Rani Wulandari NIM : B1J011010 Rombongan : IV Kelompok :3 LAPORAN PRAKTIKUM IMUNOLOGI

REAKSI WIDAL Rani Wulandari

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: REAKSI WIDAL Rani Wulandari

REAKSI WIDAL

Oleh :

Nama : Rani WulandariNIM : B1J011010Rombongan : IVKelompok : 3

LAPORAN PRAKTIKUM IMUNOLOGI

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS BIOLOGIPURWOKERTO

2013

Page 2: REAKSI WIDAL Rani Wulandari

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit demam tifoid (bahasa inggris: Typhoid fever) yang biasa juga

disebut typhus atau types dalam bahasa indonesianya, merupakan penyakit yang

disebabkan oleh bakteri Salmonella enteric, khususnya turunannya yaitu

Salmonella typhi terutama menyerang bagian saluran pencernaan. Demam tifoid

merupakan salahsatu penyakit infeksi endemik di Asia, Afrika latin, Karibia dan

Oceania, termasuk Indonesia. Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang

selalu ada di masyarakat endemik Indonesia, mulai dari usia balita, anak-anak dan

dewasa. Penyakit ini tergolong penyakit menular yang dapat menyerang banyak

orang melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Muliawan, 1999).

Demam tifoid merupakan penyakit sistemik yang ditandai dengan demam

dan nyeri abdomen dan muncul akibat infeksi S. typhi dan S. paratyphi. Gejala

klinis demam tifoid bervariasi dari asimtomatik, ringan, berat, bahkan sampai

menyebabkan kematian. Masa inkubasi S. typhi berkisar 3-21 hari dimana

durasinya merefleksikan ukuran inokulum dan kesehatan serta status imun inang

yang terinfeksi. Gejala klinis yang umum adalah demam yang panjang (38,8˚-

40,5˚C). Demam ini dapat berkelanjutan selama empat minggu jika tidak segera

ditangani. Keluhan nyeri abdomen hanya berkisar 30-40% dari penderita yang

menderita demam tifoid (Raffatellu, 2008).

Berbagai metode diagnostik masih terus dikembangkan untuk mencari cara

yang cepat, mudah dilakukan dan murah biayanya dengan sensitivitas dan

spesifisitas yang tinggi. Hal ini penting untuk membantu usaha penatalaksanaan

penderita secara menyeluruh yang juga meliputi penegakan diagnosis sedini

mungkin dimana pemberian terapi yang sesuai secara dini akan dapat menurunkan

ketidaknyamanan penderita, insidensi terjadinya komplikasi yang berat dan

kematian serta memungkinkan usaha kontrol penyebaran penyakit melalui

identifikasi karier (Pusponegoro, 2008).

Tes Widal merupakan serologi baku dan rutin digunakan. Hasil positif widal

akan memperkuat dugaan terinfeksi Salmonella typhi pada penderita. Saat ini

walaupun telah digunakan secara luas, namun belum ada kesepakatan akan nilai

Page 3: REAKSI WIDAL Rani Wulandari

standar aglutinasi (cut-off point). Penelitian pada anak yang dilakukan oleh Choo

dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 89% pada

titer O atau H >1/40. Tetapi pada penelitian yang dilakukan oleh Sylvia Y., Titer

antibodi H S.typhi dengan variasi <60-640 berjumlah 70 orang disertai kultur

darah positif, mempunyai sensitivitas 37%, dan spesifisitas 97%. Nilai standar

aglutinin Widal untuk beberapa wilayah endemis di Indonesia adalah di

Yogyakarta titer O > 1/160, Manado titer O> 1/80, Jakarta titer O > 1/80,

Makassar titer O 1/320. Pada beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak

dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal

sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83% (Muliawan, 1999).

B. Tujuan

Tujuan praktikum acara reaksi widal adalah untuk mendeteksi ada atau

tidaknya penyakit tipes dan mendeteksi berat ringannya infeksi Salmonella typhii

dengan melihat titer antibodi dalam serum.

C. Tinjauan pustaka

Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak

tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin

dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap

antigensomatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama

sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan

aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Teknik aglutinasi ini dapat

dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test).

Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur

penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi

dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan. Tubuh yang kemasukan

Salmonella typhosa akan terangsang untuk membentuk antibody. Antibodi ini

bersifat spesifik, artinya hanya bereaksi dengan antigen suspensi kuman tipus,

maka akan terjadi aglutinasi (Cruickshank, 1965).

Page 4: REAKSI WIDAL Rani Wulandari

Salmonella merupakan bakteri batang gram-negatif. Karena habitat aslinya

yang berada di dalam usus manusia maupun binatang, bakteri ini dikelompokkan

ke dalam enterobacteriaceae. Tidak membentuk spora, serta memiliki kapsul.

Bakteri ini juga bersifat fakultatif, dan sering disebut sebagai facultative intra-

cellular parasites. Dinding selnya terdiri atas murein, lipoprotein, fosfolipid,

protein, dan lipopolisakarida (LPS) dan tersusun sebagai lapisan-lapisan. Ukuran

panjangnya bervariasi, dan sebagian besar memiliki peritrichous flagella sehingga

bersifat motil. S. typhi membentuk asam dan gas dari glukosa dan mannosa.

Organisme ini juga menghasilkan gas H2S, namun hanya sedikit. Bakteri ini tahan

hidup dalam air yang membeku untuk waktu yang lama (Anggraini, 2004).

Salmonella yang terbawa melalui makanan ataupun benda lainnya akan

memasuki saluran cerna. Di lambung, bakteri ini akan dimusnahkan oleh asam

lambung, namun yang lolos akan masuk ke usus halus. Bakteri ini akan

melakukan penetrasi pada mukosa baik usus halus maupun usus besar dan tinggal

secara intraseluler dimana mereka akan berproliferasi. Ketika bakteri ini mencapai

epitel dan IgA tidak bisa menanganinya, maka akan terjadi degenerasi brush

border. Kemudian, di dalam sel bakteri akan dikelilingi oleh inverted cytoplasmic

membrane mirip dengan vakuola fagositik . Setelah melewati epitel, bakteri akan

memasuki lamina propria. Bakteri dapat juga melakukan penetrasi melalui

intercellular junction. Dapat dimungkinkan munculnya ulserasi pada folikel

limfoid. S. typhi dapat menginvasi sel M dan sel enterosit tanpa ada predileksi

terhadap tipe sel tertentu (Pelczar, 1988).

Evolusi dari S. typhi sangat mengagumkan. Pada awalnya S. typhi

berpfoliferasi di Payer’s patch dari usus halus, kemudian sel mengalami destruksi

sehingga bakteri akan dapat menyebar ke hati, limpa, dan sistem

retikuloendotelial. Dalam satu sampai tiga minggu bakteri akan menyebar ke

organ tersebut. Bakteri ini akan menginfeksi empedu, kemudian jaringan limfoid

dari usus halus, terutamanya ileum. Invasi bakteri ke mukosa akan memicu sel

epitel untuk menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-1, IL-6, IL-8, TNF-β, INF,

GM-CSF (Jawet, 1982).

Page 5: REAKSI WIDAL Rani Wulandari

II. MATERI DAN METODE

A. Materi

Alat dan bahan yang digunakan adalah object glass, mikropipet, yellow

tips, serum penderita, gejala dan negatif demam tifoid serta antigen Salmonella

thypii H dari produk Murex.

B. Metode

1. Serum darah gejala typhus diambil sebanyak 20 µl, dipipetkan pada object

glass.

2. Ditetesi 1 tetes reagen Salmonella thypii, campur supaya larutan menjadi

homogen.

3. Object glass digoyang-goyang selama 1 menit dan diamati ada tidaknya

aglutinasi.

4. Apabila terjadi aglutinasi, dilakukan pengulangan perlakuan dengan serum

sebanyak 10 µl dan 5 µl.

Page 6: REAKSI WIDAL Rani Wulandari

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tabel 1. Pengamatan Uji Widal

KelompokSerum (µl)

20 10 5

1 + + +

2 + + +

3 + + +

4 + + +

5 + + +

6 + + +

Gambar 1. Serum 20 µl Gambar 2. Serum 10 µl

Gambar 3. Serum 5 µl

Page 7: REAKSI WIDAL Rani Wulandari

B. Pembahasan

Prinsip pemeriksaan adalah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum

penderita dicampur dengan suspense antigen Salmonella typhosa. Pemeriksaan

yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi

(aglutinin). Antigen yang digunakan pada tes widal ini berasal dari suspense

salmonella yang sudah dimatikan dan diolah dalam laboratorium. Dengan jalan

mengencerkan serum, maka kadar anti dapat ditentukan. Pengenceran tertinggi

yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam

serum (Widmann, 1995).

Teknik pemeriksaan uji widal dapat dilakukan dengan dua metode yaitu uji

hapusan/peluncuran (slide test) dan uji tabung (tube test). Perbedaannya, uji

tabung membutuhkan waktu inkubasi semalam karena membutuhkan teknik yang

lebih rumit dan uji widal peluncuran hanya membutuhkan waktu inkubasi 1 menit

saja yang biasanya digunakan dalam prosedur penapisan. Umumnya sekarang

lebih banyak digunakan uji widal peluncuran. Sensitivitas dan spesifitas tes ini

amat dipengaruhi oleh jenis antigen yang digunakan. Menurut beberapa peneliti

uji widal yang menggunakan antigen yang dibuat dari jenis strain kuman asal

daerah endemis (local) memberikan sensitivitas dan spesifitas yang lebih tinggi

daripada bila dipakai antigen yang berasal dari strain kuman asal luar daerah

enddemis (import). Walaupun begitu, menurut suatu penelitian yang mengukur

kemampuan Uji Tabung Widal menggunakan antigen import dan antigen local,

terdapat korelasi yang bermakna antara antigen local dengan antigen S.typhi O

dan H import, sehingga bisa dipertimbangkan antigen import untuk dipakai di

laboratorium yang tidak dapat memproduksi antigen sendiri untuk membantu

menegakkan diagnosis demam typhoid (Muliawan, 1999).

Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1992) mendapatkan sensitivitas dan

spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai

prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%. Beberapa

penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata

hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar

76-83%.

Page 8: REAKSI WIDAL Rani Wulandari

Pada pemeriksaan uji widal dikenal beberapa antigen yang dipakai sebagai

parameter penilaian hasil uji Widal. Berikut ini penjelasan macam antigen

tersebut:

Antigen O

Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman. Struktur

kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan

100°C selama 2–5 jam, alkohol dan asam yang encer.

Antigen H

Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili S.

typhi dan berstruktur kimia protein. S. typhi mempunyai antigen H phase-1

tunggal yang juga dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada

pemanasan di atas suhu 60°C dan pada pemberian alkohol atau asam.

Antigen Vi

Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul) yang melindungi

kuman dari fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila

dipanaskan selama 1 jam pada suhu 60°C, dengan pemberian asam dan fenol.

Antigen ini digunakan untuk mengetahui adanya karier.

Outer Membrane Protein (OMP)

Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar

membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap

lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan

protein nonporin. Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas protein

OMP C, OMP D, OMP F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk

difusi solut dengan BM < 6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan

denaturasi pada suhu 85–100°C. Protein nonporin terdiri atas protein OMP A,

protein a dan lipoprotein, bersifat sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya

masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa peneliti menemukan antigen OMP

S typhi yang sangat spesifik yaitu antigen protein 50 kDa/52 kDa.

Titer widal biasanya angka kelipatan : 1/32 , 1/64 , 1/160 , 1/320 , 1/640.

Peningkatan titer uji Widal 4 x (selama 2-3 minggu) : dinyatakan (+).

Titer 1/160 : masih dilihat dulu dalam 1 minggu kedepan, apakah ada kenaikan

titer. Jika ada, maka dinyatakan (+).

Page 9: REAKSI WIDAL Rani Wulandari

Jika 1 x pemeriksaan langsung 1/320 atau 1/640, langsung dinyatakan (+) pada

pasiendengan gejala klinis khas.

Menafsirkan hasil pengujian perlu dipertimbangkan beberapa keterbatasan.

Salmonella merupakan kuman yang tersebar secara luas di sekeliling kita,

sehingga besar sekali kemungkinan seseorang terinfeksi tanpa diketahui. Oleh

karena itu ada kemungkinan bahwa dalam darah seseorang yang tidak sakit

dijumpai sejumlah antibody terhadap Salmonella.Interprestasi hasil reaksi Widal

ditandai dengan adanya aglutinasi pada titer paling rendah. Beberapa pakar

menyatakan bahwa titer agglutinin sebesar 1/40 atau 1/80 masih dianggap normal.

Vaksinasi yang diberikan belum lama berselang dapat meningkatkan titer

agglutinin, khususnya agglutinin H. di samping itu Enterobacteriaceae lain

diketahui dapat mengadakan reaksi silang dengan agglutinin O tetapi tidak dengan

agglutinin H. Adanya factor rheumatoid dalam serum juga dapat menghasilkan

positif palsu. Sebaliknya pada penderita yang telah diberikan antibiotika pada

awal penyakit uji Widal sering menunjukkan hasil negativ, demikian pula bila

specimen tidak ditampung pada saat yang tepat (Darmowandowo, 1998).

Seseorang yang tidak terinfeksi bakteri Salmonella typhii maka serumnya

tidak mengalami aglutinasi dan hasilnya negatif, sedangkan seseorang yang

terinfeksi bakteri Salmonella typhii serumnya mengalami aglutinasi dan hasilnya

positif. Pada serum 20 µl, titer Ab 1 : 80 seseorang akan mengalami infeksi

ringan, pada serum 10 µl, titer Ab 1 : 160 akan mengalami infeksi aktif,

sedangkan pada serum 5 µl, titer Ab 1 : 320 akan mengalami infeksi berat. Hasil

yang diperoleh berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa kelompok mengalami

gejalan penyakit yang disebabkan Salmonella typhii, hal tersebut ditunjukan

dengan hasil yang positif pada serum 20 µl, kelompok 2 dan kelompok 3 tidak

terlihat adanya infeksi dari Salmonella typhii yang ditunjukkan dengan hasil

negatif pada semua serum, sedangkan kelompok 4, 5 dan 6 menunjukkan adanya

infeksi berat oleh bakteri Salmonella typhii yang ditunjukkan oleh adanya tanda

positif sampai dengan serum 5 µl. Serum yang mengandung Ab terhadap

Salmonella apabila bereaksi dengan Ag Salmonella yang dilekatkan pada partikel

akan mengalami aglutinasi karena Ab dalam serum akan mengikat Ag bakteri

Salmonella (hasil positif). Apabila serum penderita tidak mengandung Ab

Page 10: REAKSI WIDAL Rani Wulandari

terhadap Salmonella maka tidak akan terjadi aglutinasi karena tidak ada ikatan

(interaksi) antara Ag Salmonella dengan Ab terhadap Salmonella (hasil negatif)

(Cruickshank, 1965).

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam

tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhii

maupun mendeteksi antigen itusendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji

serologis ini adalah 1-3 ml yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa

antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini

meliputi uji Widal, tes TUBEX, metode enzyme immunoassay (EIA), metode

enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan pemeriksaan dipstik

(Darmowandowo, 1998).

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai

penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan

adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen

spesifik S. typhii oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang

diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang

digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit) (Darmowandowo,

1998).

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam

tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi

maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji

serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa

antikoagulan.4 Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini

meliputi : (1) uji Widal; (2) tes TUBEX®; (3) metode enzyme immunoassay (EIA);

(4) metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA); dan (5) pemeriksaan

dipstik (Crump, 2004).

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai

penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan

adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen

spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang

diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang

Page 11: REAKSI WIDAL Rani Wulandari

digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).

UJI WIDAL

Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan

sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi

aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda

terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah

yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih

menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.

Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan

(slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat

dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan

teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji

hapusan.

Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan

spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai

prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%. Beberapa

penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata

hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar

76-83%.9

Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara

lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status

imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi;

gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemik atau non-

endemik); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.

Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta

sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam

penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif

akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda

infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia,

manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada

kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar

Page 12: REAKSI WIDAL Rani Wulandari

titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di

populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan

peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat. Penelitian oleh

Darmowandowo di RSU Dr.Soetomo Surabaya (1998) mendapatkan hasil uji

Widal dengan titer >1/200 pada 89% penderita.

TES TUBEX®

Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang

sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang

berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan

menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada

Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena

hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam

waktu beberapa menit.

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini,

beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai

sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh

Choo (1992) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.

Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar

89%.9 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk

pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara

berkembang.

METODE ENZYME IMMUNOASSAY (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik

IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM

menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi

terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi.

Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang

tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-

M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi

dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan

pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.

Page 13: REAKSI WIDAL Rani Wulandari

Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid

bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai

prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.

Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam

tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan

efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79%

dan spesifisitas sebesar 89%.

Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid

bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji

Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang

bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa

Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan

kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.

Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan

spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang

dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran

nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat

digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan

sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah

bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan

diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila

hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.

METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk

melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG

terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji

ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam

spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Lequin (2005)

mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada

sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang

didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan

sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial

Page 14: REAKSI WIDAL Rani Wulandari

serta spesifisitas 100%. Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine

penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada

deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen

Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih

lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada

minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya

nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.

 (ELISA) atau dalam bahasa indonesianya disebut sebagai uji penentuan kadar imunosorben taut-enzim,merupakan teknik pengujian serologi yang didasarkan pada prinsip interaksiantara antibodi dan antigen. Pada awalnya, teknik ELISA hanya digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi keberadaan antigen maupun antibodi dalamsuatu sampel seperti dalam pendeteksian antibodi IgM, IgG, & IgA pada saat terjadi infeksi (pada tubuh manusia khususnya). Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknik ELISA juga diaplikasikan dalam bentuk lain termasuk menganalisis kadar hormon yang terdapat dalam suatu organisme.Secara singkat dapat dikatakan bahwa teknologi ELISA yang digunakanuntuk asai hormon dalam cairan tubuh adalah system competitive enzyme immunoassay yang analog dengan teknik RIA. Antigen yang berlabel dan antigenyang tidak berlabel saling bersaing untuk berikatan dengan tapak pengikatan antibodi yang terdapat dalam jumlah terbatas. Saturasi antibodi terjadi secarasimultan bila semua reaktan diinkubasikan bersama – sama. Contoh dari reaksi ini adalah ELISA untuk mengukur progesteron, estradiol dan kortisol. Pengukuran hormon kortisol dalam saliva menggunakan teknik ELISA dapat mengetahui tingkat stres yang di alami oleh organisme (Haussmann et al., 2007).

Teknik ELISA merupakan teknik kuantitatif yang sangat sensitif, penggunaa

nnya sangat luas, memerlukan peralatan yang sedikit, reagen yangdiperlukan

sudah tersedia dan dijual secara komersial dan sangat mudah didapat.

Tes ELISA dapat digunakan untuk mendeteksi antigen maupun antibody.

Pemeriksaan ELISA dapat digunakan untuk mendeteksi antibodi dalam tubuh

manusia maupun hewan. Terdapat berbagai teknik dalam pemeriksaan ELISA.Tes

ini dapat dilakukan dengan kit yang sudah jadi atau dapat juga dilakukan dengan

menggunakan antigen yang diracik sendiri (Setiawan, 2007).

ELISA tradisional secara khusus memiliki reporter dan substrat yang

menghasilkan beberapa bentuk perubahan warna yang dapat diamati untuk

mengetahui kehadiran antigen atau analyte. Bentuk teknik ELISA terbaru seperti

Page 15: REAKSI WIDAL Rani Wulandari

teknik  flurogenic, electro chemiluminescent, dan real-time PCR dibuat

untuk mengetahui sinyal kuantitatif. Metode ini dapat memberikan berbagai

keuntungan diantaranya sensitifitas yang tinggi dan bersifat multiplexing (Leng et

al , 2008).

PEMERIKSAAN DIPSTIK

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda

dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi

dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi

sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen

kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak

memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.

Penelitian oleh Kawano (2007) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar

69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila

dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai

prediksi positif sebesar 94.6%. Penelitian lain oleh Olsen dkk (2004) terhadap 30

penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan

spesifisitas sebesar 96%.21 Penelitian oleh Bhutta dkk (2006) mendapatkan rerata

sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang

menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid. Uji ini terbukti

mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar

manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil

kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak

tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.

IDENTIFIKASI KUMAN SECARA MOLEKULER

Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah

mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan

teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase

chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.

Penelitian oleh Sherwal dkk (2004) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100%

dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya

dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah. Penelitian lain oleh Massi dkk

Page 16: REAKSI WIDAL Rani Wulandari

(2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur

darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%).

Titer antibodi menunjukkan pengenceran tertnggi yang menunjukkan

presipitasi atau aglutinasi. Untuk menentukan titer antibodi, dibuat pengenceran

serial serumdan selanutnya ditambahkan sejumlah antigen yang konstan dan

campuran larutan tersebut diinkubasikan. Selanjutnya diperiksa untuk aglutinasi/

presipitasi. Serum dengan kekuatan tinggi atau tidak diencerkan hanya sedikit atau

tidak menunjukkan aglutinasi/presipitasi. Hal itu disebut fenomen prozon akibat

adanya antibodi berlebihan. Crosslinking antigen tidak terjadi oleh karena akibat

banyaknya antibodi, setiap antigen dapat diikat satu antibodi (Olopoena, 2000).

Hal yang sama terjadi bila serum sangat diencerkan, juga hanya sedikit atau

tidak menunjukkan aglutinasi/presipitasi yang disebut fenomen post zone. Di

antara fenomen prozon dan post zone, setiap molekul antibodi bereaksi dengan

antigen yang membentuk kompleks besar. Zona ini disebut zona ekuivalen. Kadar

antigen dan antibodi dalam zona ini tidak sama, tetapi merupakan kadar relatif

molekul-molekul yang dapat membentuk kompleks (William, 1995).

Kompleksitas antara antigen-antibodi terjadi saat antiserum dicampur dalam

perbandingan 1:1 dengan antigen. Ikatan antara antigen-antibodi terjadi karena 

kekuatan kimia dan molekuler yang dibangkitkan antara faktor antigen dan area

pengikat antigen pada Fab end molekul antibodi. Faktor antigen berasal dari

permukaan molekul dan dalam reaksinya dengan imunoglobulin akan cocok

dengan salah satu reseptor imunoglobulin. Ikatan yang terjadi antara antigen dan

molekul imunoglobulin walaupun sangat spesifik namun ikatannya lemah dan

reversibel. Ikatan elektrostatik yang didapatkan dari interaksi antara beban positif

dan negatif dalam molekul antigen dan antibodi, ikatan hidrogen, dan kekuatan

intermolekul tipe Van der Waals adalah yang terpenting. Tes aglutinasi adalah

pendiagnosa yang berguna untuk mendeteksi dan mengukur antibodi spesifik

dalam serum pasien, untuk mengidentifikasi antigen seperti bakteri dan virus

(yang dikenal dengan antisera) serta untuk menentukan golongan darah.

Hemaglutinasi adalah aglutinasi sel darah merah oleh antibodi yang spesifik untuk

antigen membran sel. Pemeriksaan golongan darah adalah contoh dari

hemaglutinasi. Molekul antibodi dengan satu reseptor pengikat dan satu reseptor

Page 17: REAKSI WIDAL Rani Wulandari

bebas terikat pada antigen membentuk jembatan (linkage) antara 2 mokelul

antigen. Ikatan silang antigen-antibodi ini berlanjut membentuk pola geometris

komplek tiga dimensi sampai menghasilkan satu kelompok besar. Aglutinasi ini

terjadi bila ukuran antigen lebih dari 2 μm (Baratawijaja, 2002).

Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif, termasuk keluarga

Enterobacteriaceae. Bakteri ini memiliki antigen O9 dan O12 LPS, antigen protein

flagelar Hd dan antigen kapsular Vi. Di Indonesia beberapa isolate memiliki jenis

flagella yang unik yaitu Hj (2). Seseorang terinfeksi Salmonella typhi melalui

makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri tersebut. Waktu inkubasi

sangat tergantung pada kuantitas bakteri dan juga host factors. Waktu inkubasi

umumnya berkisar antara 3 hari sampai > 60 hari (Karsinah, 1994).

Organisme yang masuk ke dalam tubuh akan melewati pilorus dan

mencapai usus kecil. Organisme secara cepat berpenetrasi ke dalam epitel mukosa

melalui sel-sel microfold atau enterocytes dan mencapai lamina propria, di mana

secara cepat ditelan oleh makrofag. Beberapa bakteri masih berada di dalam

makrofag jaringan limfoid usus kecil. Beberapa mikroorganisme melewati sel-sel

retikuloendotelial hati dan limpa. Salmonella typhi dapat bertahan dan

bermultiplikasi dalam sel-sel fagosit mononuclear folikel-folikel limfoid, hati dan

limpa (Venkatachalapathy, 2012).

Pada fase bakteremia, organisme menyebar ke seluruh bagian tubuh.

Tempat yang paling banyak untuk infeksi sekunder adalah hati, limpa, sumsum

tulang, empedu dan Peyer’s Patches dari terminal ileum. Invasi empedu terjadi

secara langsung dari darah atau oleh penyebaran retrograde dari bile. Organisme

diekskresikan ke dalam empedu (melalui reinvasi dinding intestinal) atau ke

dalam feses. Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat keparahan dan outcome

klinis demam tifoid. Faktor-faktor tersebut adalah lamanya sakit sebelum

memperoleh terapi yang sesuai, pilihan antimikroba yang digunakan, paparan

sebelumnya/riwayat vaksinasi, virulensi strain bakteri,kuantitas inokulum yang

tertelan, host factors (tipe HLA, keadaan imunosupresi, dan pengobatan lain

seperti H2blockers atau antasida yang mengurangi asam lambung) (Karsinah,

2004).

Page 18: REAKSI WIDAL Rani Wulandari

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa :

1. Penderita yang tidak terinfeksi bakteri Salmonella typhii serumnya tidak terdapat

aglutinasi, dan hasilnya negatif, sedangkan penderita terinfeksi bakteri Salmonella

typhii serumnya terdapat aglutinasi dan hasilnya positif.

2. Uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid meliputi uji Widal, tes TUBEX,

metode enzyme immunoassay (EIA), metode enzyme-linked immunosorbent assay

(ELISA) dan pemeriksaan dipstik.

3. Uji widal digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi (didalam darah) terhadap

antigen kuman Salmonella typhii.

Page 19: REAKSI WIDAL Rani Wulandari

DAFTAR REFERENSI

Anggraini Et Al., 2004. Dot-Ela Typhoid Tes Using Omp Salmonella Typhi Local Phage Type Antigen To Support The Diagnosis Of Typhoid Fever. Folia Medica Indonesiana Vol. 40, No. 1.

Baratawidjaja, K. G., 2002. Imunologi Dasar. Edisi 5. Penerbit FKUI, Jakarta.

Bhutta Za. 2006. Current Consepts In The Diagnosis And Treatment Of Typhoid Fever. Bmj 333: 78-82.

Choo Ke, Lim Wy, Razif Ar, Ariffin Wa, Oppenheimer Sj, Abraham T. 1992. Usefulness Of The Widal Test In Childhood Typhoid Fever. Dalam : Pang T, Koh Cl, Puthucheary Sd, Eds. Typhoid Fever : Strategies For The 90’s. Singapore : World Scientific, 1992 : 200.

Cruickshank, R. 1965. The Widal Test. Medical Biology. 11 Th Ed. Murex Biotech Limited U.K.

Crump Ja, Mintz Ed. 2004. The Global Burden Of Typhoid Fever. Bulletin Of The World Health Organization. 82 (5) :346-53.

Darmowandowo, W. 1998. Demam Tifoid. Media Idi 23 : 4-7.

Fadeel Ma, 2011. Evaluation Of A Newly Developed Elisa Against Widal, Tubex-Tf And Typhidot For Typhoid Fever Surveillance. J Infect Dev Ctries 5 (3): 169-175.

Haussmann, M. F., C. M. Vleck, and E. S. Farrar. 2007.  A laboratory exercise toillustrate increased salivary cortisol in response to three stressful conditionsusing competitive ELISA. Adv. Physiol. Educ. 31: 110–115.

Jawet, E., J.L.Melnik, E. A. Adelberg. 1982. Mikrobiologi Untuk Profesi Kesehatan, Egc Edisi : 14.

Kawano Rl, Leano Sa, Agdamag Dm. 2007. Comparison Of Serological Test Kits For Diagnosis Of Typhid Fever In Philippines. J Clin Microbiol, p. 1328.

Leng, S. J. McElhaney, J. Walston, D. Xie, N. Fedarko, G. Kuchel. 2008. "Elisa and Multiplex Technologies for Cytokine Measurement in Inflammation and Aging Research". J Gerontol a Biol Sci Med Sci 63 (8):879–884.

Lequin, RM. 2005. Enzyme Immunoassay (EIA) / Enzyme - Linked Immunosorbent  Assay (ELISA). Clinical Chemistry 51 (12): 2415–2418.

Muliawan Sy, Surjawidjaya Je. 1999. Diagnosis Dini Demam Tifoid Dengan Menggunakan Protein Membran Luar S. Typhi Sebagai Antigen Spesifik. Cdk.124 : 11-13.

Page 20: REAKSI WIDAL Rani Wulandari

Olopoena La, King Al. 2000. Widal Agglutination Test-100 Years Later: Still Plaqued By Controversi. Postgrad Med J, 76: 80-84.

Olsen Sj, Prukler J, Bibb W, Gupita A, Sivalasingam S, Minh Nt. 2004. Evaluation Of Rapid Dignostik Test For Typhoid Fever. J Clin Microbiol, 42 (5): 1885-1889.

Pelczar, M.J Dan J.C.E. Chan. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi Jilid 2. UI Press, Jakarta.

Purwaningsih S, Handojo I, Prihatini, Probohoesodo Y. 2001. Diagnostic Value Of Dot-Enzymeimmunoassay Test To Detect Outer Membrane Protein Antigen In Sera Of Patients With Typhoid Fever. Southeast Asian J Trop Med Public Health 32 (3):507-12.

Pusponegoro Hd, Wirya Ign, Pudjiaji Ah, Bisanto J, Zulkarnain Sz. Uji Diagnostik. Dalam:Ismail S, Sastroasmoro S, Penyunting. 2008. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi Ke-3. Jakarta p. 192-215.

Raffatellu M, Wilson Rp, Winter Se, Baumler Aj. 2008. Clinical Pathogenesis Of Tyfoid Fever. J Infect Developing Countries, 2 (4): 260-266.

Sherwal, Rk Dhamija, Vs Randhawa, M Jais, A Kaintura, M Kumar. 2004. A Comparative Study Of Typhidot And Widal Test In Patients Of Typhoid Fever. Department Of Medicine And Microbiology, 5 (3): 244-246.

Setiawan, I Made. 2007. Pemeriksaan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk diagnosis Leptospirosis. Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo Surabaya p. 1111 – 1120.

Widmann FK. 1995. Tinjauan klinis atas hasil pemeriksaan laboratorium. Edisi 9 EGC. p. 261

Wiliam F. Ganong, MD. 1995. Fisiologi Kedokteran. Edisi 1. Alih bahasa: dr. Petrus Andrianto. EGC Jakarta. 280 – 290.