Upload
rani-wulandari
View
148
Download
12
Embed Size (px)
Citation preview
REAKSI WIDAL
Oleh :
Nama : Rani WulandariNIM : B1J011010Rombongan : IVKelompok : 3
LAPORAN PRAKTIKUM IMUNOLOGI
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGIPURWOKERTO
2013
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit demam tifoid (bahasa inggris: Typhoid fever) yang biasa juga
disebut typhus atau types dalam bahasa indonesianya, merupakan penyakit yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella enteric, khususnya turunannya yaitu
Salmonella typhi terutama menyerang bagian saluran pencernaan. Demam tifoid
merupakan salahsatu penyakit infeksi endemik di Asia, Afrika latin, Karibia dan
Oceania, termasuk Indonesia. Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang
selalu ada di masyarakat endemik Indonesia, mulai dari usia balita, anak-anak dan
dewasa. Penyakit ini tergolong penyakit menular yang dapat menyerang banyak
orang melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Muliawan, 1999).
Demam tifoid merupakan penyakit sistemik yang ditandai dengan demam
dan nyeri abdomen dan muncul akibat infeksi S. typhi dan S. paratyphi. Gejala
klinis demam tifoid bervariasi dari asimtomatik, ringan, berat, bahkan sampai
menyebabkan kematian. Masa inkubasi S. typhi berkisar 3-21 hari dimana
durasinya merefleksikan ukuran inokulum dan kesehatan serta status imun inang
yang terinfeksi. Gejala klinis yang umum adalah demam yang panjang (38,8˚-
40,5˚C). Demam ini dapat berkelanjutan selama empat minggu jika tidak segera
ditangani. Keluhan nyeri abdomen hanya berkisar 30-40% dari penderita yang
menderita demam tifoid (Raffatellu, 2008).
Berbagai metode diagnostik masih terus dikembangkan untuk mencari cara
yang cepat, mudah dilakukan dan murah biayanya dengan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi. Hal ini penting untuk membantu usaha penatalaksanaan
penderita secara menyeluruh yang juga meliputi penegakan diagnosis sedini
mungkin dimana pemberian terapi yang sesuai secara dini akan dapat menurunkan
ketidaknyamanan penderita, insidensi terjadinya komplikasi yang berat dan
kematian serta memungkinkan usaha kontrol penyebaran penyakit melalui
identifikasi karier (Pusponegoro, 2008).
Tes Widal merupakan serologi baku dan rutin digunakan. Hasil positif widal
akan memperkuat dugaan terinfeksi Salmonella typhi pada penderita. Saat ini
walaupun telah digunakan secara luas, namun belum ada kesepakatan akan nilai
standar aglutinasi (cut-off point). Penelitian pada anak yang dilakukan oleh Choo
dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 89% pada
titer O atau H >1/40. Tetapi pada penelitian yang dilakukan oleh Sylvia Y., Titer
antibodi H S.typhi dengan variasi <60-640 berjumlah 70 orang disertai kultur
darah positif, mempunyai sensitivitas 37%, dan spesifisitas 97%. Nilai standar
aglutinin Widal untuk beberapa wilayah endemis di Indonesia adalah di
Yogyakarta titer O > 1/160, Manado titer O> 1/80, Jakarta titer O > 1/80,
Makassar titer O 1/320. Pada beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak
dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal
sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83% (Muliawan, 1999).
B. Tujuan
Tujuan praktikum acara reaksi widal adalah untuk mendeteksi ada atau
tidaknya penyakit tipes dan mendeteksi berat ringannya infeksi Salmonella typhii
dengan melihat titer antibodi dalam serum.
C. Tinjauan pustaka
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak
tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin
dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap
antigensomatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama
sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan
aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Teknik aglutinasi ini dapat
dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test).
Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur
penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi
dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan. Tubuh yang kemasukan
Salmonella typhosa akan terangsang untuk membentuk antibody. Antibodi ini
bersifat spesifik, artinya hanya bereaksi dengan antigen suspensi kuman tipus,
maka akan terjadi aglutinasi (Cruickshank, 1965).
Salmonella merupakan bakteri batang gram-negatif. Karena habitat aslinya
yang berada di dalam usus manusia maupun binatang, bakteri ini dikelompokkan
ke dalam enterobacteriaceae. Tidak membentuk spora, serta memiliki kapsul.
Bakteri ini juga bersifat fakultatif, dan sering disebut sebagai facultative intra-
cellular parasites. Dinding selnya terdiri atas murein, lipoprotein, fosfolipid,
protein, dan lipopolisakarida (LPS) dan tersusun sebagai lapisan-lapisan. Ukuran
panjangnya bervariasi, dan sebagian besar memiliki peritrichous flagella sehingga
bersifat motil. S. typhi membentuk asam dan gas dari glukosa dan mannosa.
Organisme ini juga menghasilkan gas H2S, namun hanya sedikit. Bakteri ini tahan
hidup dalam air yang membeku untuk waktu yang lama (Anggraini, 2004).
Salmonella yang terbawa melalui makanan ataupun benda lainnya akan
memasuki saluran cerna. Di lambung, bakteri ini akan dimusnahkan oleh asam
lambung, namun yang lolos akan masuk ke usus halus. Bakteri ini akan
melakukan penetrasi pada mukosa baik usus halus maupun usus besar dan tinggal
secara intraseluler dimana mereka akan berproliferasi. Ketika bakteri ini mencapai
epitel dan IgA tidak bisa menanganinya, maka akan terjadi degenerasi brush
border. Kemudian, di dalam sel bakteri akan dikelilingi oleh inverted cytoplasmic
membrane mirip dengan vakuola fagositik . Setelah melewati epitel, bakteri akan
memasuki lamina propria. Bakteri dapat juga melakukan penetrasi melalui
intercellular junction. Dapat dimungkinkan munculnya ulserasi pada folikel
limfoid. S. typhi dapat menginvasi sel M dan sel enterosit tanpa ada predileksi
terhadap tipe sel tertentu (Pelczar, 1988).
Evolusi dari S. typhi sangat mengagumkan. Pada awalnya S. typhi
berpfoliferasi di Payer’s patch dari usus halus, kemudian sel mengalami destruksi
sehingga bakteri akan dapat menyebar ke hati, limpa, dan sistem
retikuloendotelial. Dalam satu sampai tiga minggu bakteri akan menyebar ke
organ tersebut. Bakteri ini akan menginfeksi empedu, kemudian jaringan limfoid
dari usus halus, terutamanya ileum. Invasi bakteri ke mukosa akan memicu sel
epitel untuk menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-1, IL-6, IL-8, TNF-β, INF,
GM-CSF (Jawet, 1982).
II. MATERI DAN METODE
A. Materi
Alat dan bahan yang digunakan adalah object glass, mikropipet, yellow
tips, serum penderita, gejala dan negatif demam tifoid serta antigen Salmonella
thypii H dari produk Murex.
B. Metode
1. Serum darah gejala typhus diambil sebanyak 20 µl, dipipetkan pada object
glass.
2. Ditetesi 1 tetes reagen Salmonella thypii, campur supaya larutan menjadi
homogen.
3. Object glass digoyang-goyang selama 1 menit dan diamati ada tidaknya
aglutinasi.
4. Apabila terjadi aglutinasi, dilakukan pengulangan perlakuan dengan serum
sebanyak 10 µl dan 5 µl.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Tabel 1. Pengamatan Uji Widal
KelompokSerum (µl)
20 10 5
1 + + +
2 + + +
3 + + +
4 + + +
5 + + +
6 + + +
Gambar 1. Serum 20 µl Gambar 2. Serum 10 µl
Gambar 3. Serum 5 µl
B. Pembahasan
Prinsip pemeriksaan adalah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum
penderita dicampur dengan suspense antigen Salmonella typhosa. Pemeriksaan
yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Antigen yang digunakan pada tes widal ini berasal dari suspense
salmonella yang sudah dimatikan dan diolah dalam laboratorium. Dengan jalan
mengencerkan serum, maka kadar anti dapat ditentukan. Pengenceran tertinggi
yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam
serum (Widmann, 1995).
Teknik pemeriksaan uji widal dapat dilakukan dengan dua metode yaitu uji
hapusan/peluncuran (slide test) dan uji tabung (tube test). Perbedaannya, uji
tabung membutuhkan waktu inkubasi semalam karena membutuhkan teknik yang
lebih rumit dan uji widal peluncuran hanya membutuhkan waktu inkubasi 1 menit
saja yang biasanya digunakan dalam prosedur penapisan. Umumnya sekarang
lebih banyak digunakan uji widal peluncuran. Sensitivitas dan spesifitas tes ini
amat dipengaruhi oleh jenis antigen yang digunakan. Menurut beberapa peneliti
uji widal yang menggunakan antigen yang dibuat dari jenis strain kuman asal
daerah endemis (local) memberikan sensitivitas dan spesifitas yang lebih tinggi
daripada bila dipakai antigen yang berasal dari strain kuman asal luar daerah
enddemis (import). Walaupun begitu, menurut suatu penelitian yang mengukur
kemampuan Uji Tabung Widal menggunakan antigen import dan antigen local,
terdapat korelasi yang bermakna antara antigen local dengan antigen S.typhi O
dan H import, sehingga bisa dipertimbangkan antigen import untuk dipakai di
laboratorium yang tidak dapat memproduksi antigen sendiri untuk membantu
menegakkan diagnosis demam typhoid (Muliawan, 1999).
Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1992) mendapatkan sensitivitas dan
spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai
prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%. Beberapa
penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata
hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar
76-83%.
Pada pemeriksaan uji widal dikenal beberapa antigen yang dipakai sebagai
parameter penilaian hasil uji Widal. Berikut ini penjelasan macam antigen
tersebut:
Antigen O
Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman. Struktur
kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan
100°C selama 2–5 jam, alkohol dan asam yang encer.
Antigen H
Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili S.
typhi dan berstruktur kimia protein. S. typhi mempunyai antigen H phase-1
tunggal yang juga dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada
pemanasan di atas suhu 60°C dan pada pemberian alkohol atau asam.
Antigen Vi
Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul) yang melindungi
kuman dari fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila
dipanaskan selama 1 jam pada suhu 60°C, dengan pemberian asam dan fenol.
Antigen ini digunakan untuk mengetahui adanya karier.
Outer Membrane Protein (OMP)
Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar
membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap
lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan
protein nonporin. Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas protein
OMP C, OMP D, OMP F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk
difusi solut dengan BM < 6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan
denaturasi pada suhu 85–100°C. Protein nonporin terdiri atas protein OMP A,
protein a dan lipoprotein, bersifat sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya
masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa peneliti menemukan antigen OMP
S typhi yang sangat spesifik yaitu antigen protein 50 kDa/52 kDa.
Titer widal biasanya angka kelipatan : 1/32 , 1/64 , 1/160 , 1/320 , 1/640.
Peningkatan titer uji Widal 4 x (selama 2-3 minggu) : dinyatakan (+).
Titer 1/160 : masih dilihat dulu dalam 1 minggu kedepan, apakah ada kenaikan
titer. Jika ada, maka dinyatakan (+).
Jika 1 x pemeriksaan langsung 1/320 atau 1/640, langsung dinyatakan (+) pada
pasiendengan gejala klinis khas.
Menafsirkan hasil pengujian perlu dipertimbangkan beberapa keterbatasan.
Salmonella merupakan kuman yang tersebar secara luas di sekeliling kita,
sehingga besar sekali kemungkinan seseorang terinfeksi tanpa diketahui. Oleh
karena itu ada kemungkinan bahwa dalam darah seseorang yang tidak sakit
dijumpai sejumlah antibody terhadap Salmonella.Interprestasi hasil reaksi Widal
ditandai dengan adanya aglutinasi pada titer paling rendah. Beberapa pakar
menyatakan bahwa titer agglutinin sebesar 1/40 atau 1/80 masih dianggap normal.
Vaksinasi yang diberikan belum lama berselang dapat meningkatkan titer
agglutinin, khususnya agglutinin H. di samping itu Enterobacteriaceae lain
diketahui dapat mengadakan reaksi silang dengan agglutinin O tetapi tidak dengan
agglutinin H. Adanya factor rheumatoid dalam serum juga dapat menghasilkan
positif palsu. Sebaliknya pada penderita yang telah diberikan antibiotika pada
awal penyakit uji Widal sering menunjukkan hasil negativ, demikian pula bila
specimen tidak ditampung pada saat yang tepat (Darmowandowo, 1998).
Seseorang yang tidak terinfeksi bakteri Salmonella typhii maka serumnya
tidak mengalami aglutinasi dan hasilnya negatif, sedangkan seseorang yang
terinfeksi bakteri Salmonella typhii serumnya mengalami aglutinasi dan hasilnya
positif. Pada serum 20 µl, titer Ab 1 : 80 seseorang akan mengalami infeksi
ringan, pada serum 10 µl, titer Ab 1 : 160 akan mengalami infeksi aktif,
sedangkan pada serum 5 µl, titer Ab 1 : 320 akan mengalami infeksi berat. Hasil
yang diperoleh berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa kelompok mengalami
gejalan penyakit yang disebabkan Salmonella typhii, hal tersebut ditunjukan
dengan hasil yang positif pada serum 20 µl, kelompok 2 dan kelompok 3 tidak
terlihat adanya infeksi dari Salmonella typhii yang ditunjukkan dengan hasil
negatif pada semua serum, sedangkan kelompok 4, 5 dan 6 menunjukkan adanya
infeksi berat oleh bakteri Salmonella typhii yang ditunjukkan oleh adanya tanda
positif sampai dengan serum 5 µl. Serum yang mengandung Ab terhadap
Salmonella apabila bereaksi dengan Ag Salmonella yang dilekatkan pada partikel
akan mengalami aglutinasi karena Ab dalam serum akan mengikat Ag bakteri
Salmonella (hasil positif). Apabila serum penderita tidak mengandung Ab
terhadap Salmonella maka tidak akan terjadi aglutinasi karena tidak ada ikatan
(interaksi) antara Ag Salmonella dengan Ab terhadap Salmonella (hasil negatif)
(Cruickshank, 1965).
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhii
maupun mendeteksi antigen itusendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji
serologis ini adalah 1-3 ml yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa
antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini
meliputi uji Widal, tes TUBEX, metode enzyme immunoassay (EIA), metode
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan pemeriksaan dipstik
(Darmowandowo, 1998).
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai
penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan
adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen
spesifik S. typhii oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang
diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang
digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit) (Darmowandowo,
1998).
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi
maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji
serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa
antikoagulan.4 Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini
meliputi : (1) uji Widal; (2) tes TUBEX®; (3) metode enzyme immunoassay (EIA);
(4) metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA); dan (5) pemeriksaan
dipstik (Crump, 2004).
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai
penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan
adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen
spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang
diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang
digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).
UJI WIDAL
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan
sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi
aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda
terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah
yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih
menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan
(slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat
dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan
teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji
hapusan.
Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan
spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai
prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%. Beberapa
penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata
hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar
76-83%.9
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara
lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status
imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi;
gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemik atau non-
endemik); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta
sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam
penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif
akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda
infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia,
manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada
kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar
titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di
populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan
peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat. Penelitian oleh
Darmowandowo di RSU Dr.Soetomo Surabaya (1998) mendapatkan hasil uji
Widal dengan titer >1/200 pada 89% penderita.
TES TUBEX®
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini,
beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh
Choo (1992) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.
Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar
89%.9 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk
pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara
berkembang.
METODE ENZYME IMMUNOASSAY (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik
IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM
menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi
terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi.
Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang
tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-
M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi
dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan
pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid
bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai
prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.
Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam
tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan
efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79%
dan spesifisitas sebesar 89%.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid
bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji
Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang
bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa
Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan
kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang
dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran
nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat
digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan
sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah
bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan
diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila
hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.
METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk
melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG
terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji
ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam
spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Lequin (2005)
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada
sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang
didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan
sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial
serta spesifisitas 100%. Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine
penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada
deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen
Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih
lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada
minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya
nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.
(ELISA) atau dalam bahasa indonesianya disebut sebagai uji penentuan kadar imunosorben taut-enzim,merupakan teknik pengujian serologi yang didasarkan pada prinsip interaksiantara antibodi dan antigen. Pada awalnya, teknik ELISA hanya digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi keberadaan antigen maupun antibodi dalamsuatu sampel seperti dalam pendeteksian antibodi IgM, IgG, & IgA pada saat terjadi infeksi (pada tubuh manusia khususnya). Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknik ELISA juga diaplikasikan dalam bentuk lain termasuk menganalisis kadar hormon yang terdapat dalam suatu organisme.Secara singkat dapat dikatakan bahwa teknologi ELISA yang digunakanuntuk asai hormon dalam cairan tubuh adalah system competitive enzyme immunoassay yang analog dengan teknik RIA. Antigen yang berlabel dan antigenyang tidak berlabel saling bersaing untuk berikatan dengan tapak pengikatan antibodi yang terdapat dalam jumlah terbatas. Saturasi antibodi terjadi secarasimultan bila semua reaktan diinkubasikan bersama – sama. Contoh dari reaksi ini adalah ELISA untuk mengukur progesteron, estradiol dan kortisol. Pengukuran hormon kortisol dalam saliva menggunakan teknik ELISA dapat mengetahui tingkat stres yang di alami oleh organisme (Haussmann et al., 2007).
Teknik ELISA merupakan teknik kuantitatif yang sangat sensitif, penggunaa
nnya sangat luas, memerlukan peralatan yang sedikit, reagen yangdiperlukan
sudah tersedia dan dijual secara komersial dan sangat mudah didapat.
Tes ELISA dapat digunakan untuk mendeteksi antigen maupun antibody.
Pemeriksaan ELISA dapat digunakan untuk mendeteksi antibodi dalam tubuh
manusia maupun hewan. Terdapat berbagai teknik dalam pemeriksaan ELISA.Tes
ini dapat dilakukan dengan kit yang sudah jadi atau dapat juga dilakukan dengan
menggunakan antigen yang diracik sendiri (Setiawan, 2007).
ELISA tradisional secara khusus memiliki reporter dan substrat yang
menghasilkan beberapa bentuk perubahan warna yang dapat diamati untuk
mengetahui kehadiran antigen atau analyte. Bentuk teknik ELISA terbaru seperti
teknik flurogenic, electro chemiluminescent, dan real-time PCR dibuat
untuk mengetahui sinyal kuantitatif. Metode ini dapat memberikan berbagai
keuntungan diantaranya sensitifitas yang tinggi dan bersifat multiplexing (Leng et
al , 2008).
PEMERIKSAAN DIPSTIK
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda
dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi
dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi
sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen
kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak
memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
Penelitian oleh Kawano (2007) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila
dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai
prediksi positif sebesar 94.6%. Penelitian lain oleh Olsen dkk (2004) terhadap 30
penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan
spesifisitas sebesar 96%.21 Penelitian oleh Bhutta dkk (2006) mendapatkan rerata
sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang
menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid. Uji ini terbukti
mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar
manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil
kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak
tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
IDENTIFIKASI KUMAN SECARA MOLEKULER
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah
mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan
teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase
chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
Penelitian oleh Sherwal dkk (2004) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100%
dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya
dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah. Penelitian lain oleh Massi dkk
(2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur
darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%).
Titer antibodi menunjukkan pengenceran tertnggi yang menunjukkan
presipitasi atau aglutinasi. Untuk menentukan titer antibodi, dibuat pengenceran
serial serumdan selanutnya ditambahkan sejumlah antigen yang konstan dan
campuran larutan tersebut diinkubasikan. Selanjutnya diperiksa untuk aglutinasi/
presipitasi. Serum dengan kekuatan tinggi atau tidak diencerkan hanya sedikit atau
tidak menunjukkan aglutinasi/presipitasi. Hal itu disebut fenomen prozon akibat
adanya antibodi berlebihan. Crosslinking antigen tidak terjadi oleh karena akibat
banyaknya antibodi, setiap antigen dapat diikat satu antibodi (Olopoena, 2000).
Hal yang sama terjadi bila serum sangat diencerkan, juga hanya sedikit atau
tidak menunjukkan aglutinasi/presipitasi yang disebut fenomen post zone. Di
antara fenomen prozon dan post zone, setiap molekul antibodi bereaksi dengan
antigen yang membentuk kompleks besar. Zona ini disebut zona ekuivalen. Kadar
antigen dan antibodi dalam zona ini tidak sama, tetapi merupakan kadar relatif
molekul-molekul yang dapat membentuk kompleks (William, 1995).
Kompleksitas antara antigen-antibodi terjadi saat antiserum dicampur dalam
perbandingan 1:1 dengan antigen. Ikatan antara antigen-antibodi terjadi karena
kekuatan kimia dan molekuler yang dibangkitkan antara faktor antigen dan area
pengikat antigen pada Fab end molekul antibodi. Faktor antigen berasal dari
permukaan molekul dan dalam reaksinya dengan imunoglobulin akan cocok
dengan salah satu reseptor imunoglobulin. Ikatan yang terjadi antara antigen dan
molekul imunoglobulin walaupun sangat spesifik namun ikatannya lemah dan
reversibel. Ikatan elektrostatik yang didapatkan dari interaksi antara beban positif
dan negatif dalam molekul antigen dan antibodi, ikatan hidrogen, dan kekuatan
intermolekul tipe Van der Waals adalah yang terpenting. Tes aglutinasi adalah
pendiagnosa yang berguna untuk mendeteksi dan mengukur antibodi spesifik
dalam serum pasien, untuk mengidentifikasi antigen seperti bakteri dan virus
(yang dikenal dengan antisera) serta untuk menentukan golongan darah.
Hemaglutinasi adalah aglutinasi sel darah merah oleh antibodi yang spesifik untuk
antigen membran sel. Pemeriksaan golongan darah adalah contoh dari
hemaglutinasi. Molekul antibodi dengan satu reseptor pengikat dan satu reseptor
bebas terikat pada antigen membentuk jembatan (linkage) antara 2 mokelul
antigen. Ikatan silang antigen-antibodi ini berlanjut membentuk pola geometris
komplek tiga dimensi sampai menghasilkan satu kelompok besar. Aglutinasi ini
terjadi bila ukuran antigen lebih dari 2 μm (Baratawijaja, 2002).
Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif, termasuk keluarga
Enterobacteriaceae. Bakteri ini memiliki antigen O9 dan O12 LPS, antigen protein
flagelar Hd dan antigen kapsular Vi. Di Indonesia beberapa isolate memiliki jenis
flagella yang unik yaitu Hj (2). Seseorang terinfeksi Salmonella typhi melalui
makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri tersebut. Waktu inkubasi
sangat tergantung pada kuantitas bakteri dan juga host factors. Waktu inkubasi
umumnya berkisar antara 3 hari sampai > 60 hari (Karsinah, 1994).
Organisme yang masuk ke dalam tubuh akan melewati pilorus dan
mencapai usus kecil. Organisme secara cepat berpenetrasi ke dalam epitel mukosa
melalui sel-sel microfold atau enterocytes dan mencapai lamina propria, di mana
secara cepat ditelan oleh makrofag. Beberapa bakteri masih berada di dalam
makrofag jaringan limfoid usus kecil. Beberapa mikroorganisme melewati sel-sel
retikuloendotelial hati dan limpa. Salmonella typhi dapat bertahan dan
bermultiplikasi dalam sel-sel fagosit mononuclear folikel-folikel limfoid, hati dan
limpa (Venkatachalapathy, 2012).
Pada fase bakteremia, organisme menyebar ke seluruh bagian tubuh.
Tempat yang paling banyak untuk infeksi sekunder adalah hati, limpa, sumsum
tulang, empedu dan Peyer’s Patches dari terminal ileum. Invasi empedu terjadi
secara langsung dari darah atau oleh penyebaran retrograde dari bile. Organisme
diekskresikan ke dalam empedu (melalui reinvasi dinding intestinal) atau ke
dalam feses. Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat keparahan dan outcome
klinis demam tifoid. Faktor-faktor tersebut adalah lamanya sakit sebelum
memperoleh terapi yang sesuai, pilihan antimikroba yang digunakan, paparan
sebelumnya/riwayat vaksinasi, virulensi strain bakteri,kuantitas inokulum yang
tertelan, host factors (tipe HLA, keadaan imunosupresi, dan pengobatan lain
seperti H2blockers atau antasida yang mengurangi asam lambung) (Karsinah,
2004).
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa :
1. Penderita yang tidak terinfeksi bakteri Salmonella typhii serumnya tidak terdapat
aglutinasi, dan hasilnya negatif, sedangkan penderita terinfeksi bakteri Salmonella
typhii serumnya terdapat aglutinasi dan hasilnya positif.
2. Uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid meliputi uji Widal, tes TUBEX,
metode enzyme immunoassay (EIA), metode enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA) dan pemeriksaan dipstik.
3. Uji widal digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi (didalam darah) terhadap
antigen kuman Salmonella typhii.
DAFTAR REFERENSI
Anggraini Et Al., 2004. Dot-Ela Typhoid Tes Using Omp Salmonella Typhi Local Phage Type Antigen To Support The Diagnosis Of Typhoid Fever. Folia Medica Indonesiana Vol. 40, No. 1.
Baratawidjaja, K. G., 2002. Imunologi Dasar. Edisi 5. Penerbit FKUI, Jakarta.
Bhutta Za. 2006. Current Consepts In The Diagnosis And Treatment Of Typhoid Fever. Bmj 333: 78-82.
Choo Ke, Lim Wy, Razif Ar, Ariffin Wa, Oppenheimer Sj, Abraham T. 1992. Usefulness Of The Widal Test In Childhood Typhoid Fever. Dalam : Pang T, Koh Cl, Puthucheary Sd, Eds. Typhoid Fever : Strategies For The 90’s. Singapore : World Scientific, 1992 : 200.
Cruickshank, R. 1965. The Widal Test. Medical Biology. 11 Th Ed. Murex Biotech Limited U.K.
Crump Ja, Mintz Ed. 2004. The Global Burden Of Typhoid Fever. Bulletin Of The World Health Organization. 82 (5) :346-53.
Darmowandowo, W. 1998. Demam Tifoid. Media Idi 23 : 4-7.
Fadeel Ma, 2011. Evaluation Of A Newly Developed Elisa Against Widal, Tubex-Tf And Typhidot For Typhoid Fever Surveillance. J Infect Dev Ctries 5 (3): 169-175.
Haussmann, M. F., C. M. Vleck, and E. S. Farrar. 2007. A laboratory exercise toillustrate increased salivary cortisol in response to three stressful conditionsusing competitive ELISA. Adv. Physiol. Educ. 31: 110–115.
Jawet, E., J.L.Melnik, E. A. Adelberg. 1982. Mikrobiologi Untuk Profesi Kesehatan, Egc Edisi : 14.
Kawano Rl, Leano Sa, Agdamag Dm. 2007. Comparison Of Serological Test Kits For Diagnosis Of Typhid Fever In Philippines. J Clin Microbiol, p. 1328.
Leng, S. J. McElhaney, J. Walston, D. Xie, N. Fedarko, G. Kuchel. 2008. "Elisa and Multiplex Technologies for Cytokine Measurement in Inflammation and Aging Research". J Gerontol a Biol Sci Med Sci 63 (8):879–884.
Lequin, RM. 2005. Enzyme Immunoassay (EIA) / Enzyme - Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Clinical Chemistry 51 (12): 2415–2418.
Muliawan Sy, Surjawidjaya Je. 1999. Diagnosis Dini Demam Tifoid Dengan Menggunakan Protein Membran Luar S. Typhi Sebagai Antigen Spesifik. Cdk.124 : 11-13.
Olopoena La, King Al. 2000. Widal Agglutination Test-100 Years Later: Still Plaqued By Controversi. Postgrad Med J, 76: 80-84.
Olsen Sj, Prukler J, Bibb W, Gupita A, Sivalasingam S, Minh Nt. 2004. Evaluation Of Rapid Dignostik Test For Typhoid Fever. J Clin Microbiol, 42 (5): 1885-1889.
Pelczar, M.J Dan J.C.E. Chan. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi Jilid 2. UI Press, Jakarta.
Purwaningsih S, Handojo I, Prihatini, Probohoesodo Y. 2001. Diagnostic Value Of Dot-Enzymeimmunoassay Test To Detect Outer Membrane Protein Antigen In Sera Of Patients With Typhoid Fever. Southeast Asian J Trop Med Public Health 32 (3):507-12.
Pusponegoro Hd, Wirya Ign, Pudjiaji Ah, Bisanto J, Zulkarnain Sz. Uji Diagnostik. Dalam:Ismail S, Sastroasmoro S, Penyunting. 2008. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi Ke-3. Jakarta p. 192-215.
Raffatellu M, Wilson Rp, Winter Se, Baumler Aj. 2008. Clinical Pathogenesis Of Tyfoid Fever. J Infect Developing Countries, 2 (4): 260-266.
Sherwal, Rk Dhamija, Vs Randhawa, M Jais, A Kaintura, M Kumar. 2004. A Comparative Study Of Typhidot And Widal Test In Patients Of Typhoid Fever. Department Of Medicine And Microbiology, 5 (3): 244-246.
Setiawan, I Made. 2007. Pemeriksaan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk diagnosis Leptospirosis. Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo Surabaya p. 1111 – 1120.
Widmann FK. 1995. Tinjauan klinis atas hasil pemeriksaan laboratorium. Edisi 9 EGC. p. 261
Wiliam F. Ganong, MD. 1995. Fisiologi Kedokteran. Edisi 1. Alih bahasa: dr. Petrus Andrianto. EGC Jakarta. 280 – 290.