Raqan RTRWA Koreksi DPRA 22Sep10

  • Upload
    axgani

  • View
    224

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Dokumen

Citation preview

  • DRAFT REVISI PANSUS XI DPRA (22/9/2010)

    RANCANGAN QANUN ACEH

    NOMOR TAHUN 2010

    TENTANG

    RENCANA TATA RUANG WILAYAH ACEH 2010 - 2030

    BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

    DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

    GUBERNUR ACEH,

    Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945 dan dalam rangka pelaksanaan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki 15 Agustus 2005 antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), serta implementasi poin 1.1.2 dan 1.4.2 MoU Helsinki, menegaskan komitmen untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua, dan para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga Pemerintahan Rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia;

    b. bahwa untuk mengarahkan pemanfaatan ruang di Aceh secara serasi, seimbang, terpadu, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan serta berazaskan falsafah hidup dan kearifan budaya masyarakat Aceh dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan;

    c. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 171 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan bahwa Pemerintah Aceh mempunyai kewenangan dalam perencanaan, pengaturan, penetapan dan pemanfaatan ruang di Aceh, serta penetapan peruntukan lahan dan pemanfaatan lahan untuk kepentingan pembangunan bagi masyarakat Aceh;

    d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan Qanun Aceh tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh;

    Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara RI Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4633);

    2. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725);

    3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara RI Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4833);

    4. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun;

    1

  • Dengan Persetujuan Bersama

    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEHdan

    GUBERNUR ACEH

    MEMUTUSKAN :Menetapkan : QANUN ACEH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH ACEH 2010 -

    2030

    BAB I KETENTUAN UMUM

    Pasal 1

    Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan:

    1. Aceh adalah Kesatuan wilayah (teritorial) dan masyarakat hukum dengan batas-batas merujuk kepada 1 Juli 1956 sesuai dengan poin 1.1.4 MoU Helsinki dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia yang memiliki kewenangan semua sektor publik, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan dalam negeri, moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama.

    2. Pemerintah Aceh adalah unsur penyelenggara pemerintahan Aceh yang terdiri atas Gubernur dan Perangkat Aceh.

    3. Pemerintahan Aceh adalah sistem paduan dua kekuasaan eksekutif dan legislatif yang dipimpin oleh penguasa adat dan independen yaitu Wali Nanggroe.

    4. Lembaga Wali Nanggroe adalah lembaga kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya.

    5. Gubernur adalah kepala Pemerintah Aceh dan wakil Pemerintah dalam hal menjalankan koordinasi 6 (enam) sektor kewenangan di Aceh.

    6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh adalah Dewan Perwakilan Rakyat Aceh yang selanjutnya disingkat DPRA.

    7. Lembaga Adat Aceh adalah wahana partisipasi masyarakat Aceh dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang keamanan, ketentraman, kerukunan, ketertiban masyarakat, dan kelestarian lingkungan.

    8. Peran serta masyarakat adalah berbagai kegiatan masyarakat, yang timbul atas kehendak dan prakarsa masyarakat, untuk berminat dan bergerak dalam penyelenggaraan penataan ruang.

    9. Qanun Aceh adalah peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh yang mempunyai kekuatan hukum dan hanya bisa diawasi dengan Peraturan Presiden.

    10. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.

    11. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.

    12. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat pemukiman dan sistem jaringan sarana dan prasarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hirarkis memiliki hubungan fungsional.

    13. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.

    14. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

    15. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas sistem nya ditentukan bedasarkan aspek administrasi dan atau aspek fungsional.

    16. Strategi Pengembangan adalah langkah-langkah penataan ruang dan pengelolaan

    2

  • wilayah yang perlu dilakukan untuk mencapai visi dan misi pembangunan.

    17. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.

    18. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang.

    19. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya.

    20. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.

    21. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

    22. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.

    23. Kawasan Permukiman adalah bagian dari kawasan budidaya, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal/hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

    24. Kawasan strategis Aceh adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup wilayah Aceh terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.

    25. Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

    26. Kawasan resapan air adalah kawasan yang mempunyai pengaruh secara alamiah atau binaan terhadap fungsi penampungan dan peresapan air hujan ke dalam tanah, sehingga dapat membantu mengendalikan aliran air permukaan dan mencegah banjir.

    27. Kawasan tangkapan air adalah kawasan yang mempunyai pengaruh secara alamiah atau binaan terhadap keberlangsungan badan air seperti waduk, sungai, kanal, pengolahan air limbah dan lain-lain.

    28. Kawasan cagar budaya adalah adalah kawasan atau kelompok bangunan yang memiliki nilai sejarah, budaya, dan nilai lainnya yang dilindungi dan dilestarikan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, dokumentasi, dan pariwisata.

    29. Kawasan rawan bencana adalah kawasan dimana terdapat kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu.

    30. Kawasan Pusat Perkantoran Perdagangan dan Jasa adalah kawasan terpusat yang diperuntukkan bagi kegiatan perkantoran, perdagangan dan jasa, termasuk pergudangan, yang diharapkan mampu mendatangkan keuntungan dan nilai tambah pada suatu kawasan perkotaan.

    31. Kawasan perikanan adalah kawasan dengan kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.

    32. Kawasan pertambangan adalah kawasan yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan.

    33. Kawasan green industry adalah kawasan yang diarahkan dan diperuntukkan bagi pengembangan industri beserta fasilitas penunjangnya dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) maksimal 50% dengan prosentase luas kawasan di tiap wilayah mengacu pada ketentuan yang berlaku dan kecenderungan pengembangan yang terjadi dilapangan.

    34. Kawasan wisata adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, dan daya dukung lingkungan hidup.

    35. Kawasan Khusus adalah kawasan yang ditetapkan oleh Pemerintah Aceh untuk

    3

  • menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat khusus bagi kepentingan Aceh.

    36. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

    37. Pulau adalah daratan yang dikelilingi oleh perairan, tidak tenggelam pada saat pasang naik, ditumbuhi oleh tumbuhan dan dihuni oleh satwa.

    38. Pantai adalah areal yang dibatasi oleh batas pasang air laut tertinggi dan batas surut air laut terendah.

    39. Transit Oriented Development (TOD) atau Pembangunan Berorientasi Transit adalah kawasan terpadu dari berbagai kegiatan fungsional kota dengan fungsi penghubung lokal dan antar lokal.

    40. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana melalui fisik, penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

    41. Peraturan zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang.

    42. Jalan arteri adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna.

    43. Jalan kolektor adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.

    44. Jalan lokal adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.

    45. Arahan pemanfaatan ruang wilayah Aceh adalah arahan untuk mewujudkan rencana tata ruang Aceh melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya dalam suatu indikasi program utama jangka menengah lima tahunan yang berisi usulan program utama, perkiraan pendanaan beserta sumbernya, instansi pelaksana, dan waktu pelaksanaan.

    46. Arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Aceh adalah arahan yang dibuat/disusun dalam upaya mengendalikan pemanfaatan ruang wilayah Aceh agar sesuai dengan RTRW Aceh yang dirupakan dalam bentuk arahan peraturan zonasi sistem Aceh, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi yang diterapkan pada pelanggaran/penyimpangan terhadap RTRW Aceh yang telah ditetapkan.

    47. Arahan perizinan adalah arahan yang disusun oleh pemerintahan Aceh, sebagai dasar dalam menyusun ketentuan perizinan oleh pemerintah kabupaten/kota, yang harus dipenuhi oleh setiap pihak sebelum pemanfaatan ruang, yang ditetapkan oleh pemerintah Aceh sesuai dengan kewenangannya, yang digunakan sebagai alat dalam melaksanakan pembangunan keruangan yang tertib sesuai dengan rencana tata ruang yang telah disusun dan ditetapkan.

    48. Arahan sanksi adalah arahan untuk memberi sanksi bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran dalam pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku.

    49. Arahan insentif dan disinsentif adalah arahan yang diterapkan untuk dapat mendorong perkembangan wilayah Aceh ke arah yang dituju serta dapat menimbulkan dampak positif yang menunjang pembangunan wilayah Aceh atau upaya pembatasan perkembangan yang berdampak negatif.

    50. Jalur evakuasi, yaitu jalur perjalanan yang menerus (termasuk jalan ke luar, koridor/selasar umum dan sejenis) dari setiap bagian bangunan gedung termasuk di dalam unit hunian tinggal ke tempat aman, yang disediakan bagi suatu lingkungan/kawasan sebagai tempat penyelamatan atau evakuasi.

    4

  • BAB IIVISI DAN MISI

    RTRW ACEH

    Bagian KesatuVISI

    Pasal 2

    Pembangunan wilayah Aceh yang lebih maju dan bermartabat menuju visi mewujudkan Aceh yang sejahtera, nyaman, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan.

    Bagian KeduaMISI

    Pasal 3Misi RTRW Aceh:a. Membangun prasarana dan sarana wilayah Aceh yang maju dan manusiawi dengan

    menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia;b. Menciptakan kehidupan wilayah Aceh yang sejahtera, dinamis dan merata;c. Mengembangkan kultur, budaya dan adat istiadat Aceh;d. Menyelaraskan kehidupan masyarakat Aceh baik antara perkotaan dan perdesaan

    maupun antara pesisir dan pedalaman;e. Mengutamakan pembangunan berbasis mitigasi bencana.

    BAB III

    WILAYAH, MUATAN, PEDOMAN DAN JANGKA WAKTU RENCANA

    Bagian Kesatu

    Wilayah Rencana

    Pasal 4

    1) Lingkup pengaturan RTRW Aceh ditentukan berdasarkan aspek administratif mencakup wilayah daratan seluas kurang lebih 56.758,8482 km2, wilayah laut kewenangan sejauh 12 mil laut diukur dari pasang surut terendah pulau terluar, wilayah udara di atas daratan dan laut kewenangan, serta termasuk ruang di dalam bumi di bawah wilayah daratan dan laut kewenangan.

    2) Batas-batas wilayah adalah sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Laut Andaman, sebelah timur berbatasan dengan Selat Malaka dan Provinsi Sumatera Utara, sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara dan Samudera Hindia, dan sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia.

    3) Wilayah Aceh terdiri atas: Kawasan Sabang (Kota Sabang dan Pulau Aceh), Kawasan Aceh Rayeuk (Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar), Kawasan Pidie (Kabupaten Pidie dan Kabupaten Pidie Jaya), Kawasan Peusangan Batee Iliek (Kabupaten Bireuen), Kawasan Samudra Pase (Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe), Kawasan Peureulak (Kabupaten Aceh Timur dan Kota Langsa), Kawasan Tamieng (Kabupaten Aceh Tamiang), Kawasan Meureuhom Daya (Kabupaten Aceh Jaya), Kawasan Meulaboh (Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Nagan Raya), Kawasan Blangpidie (Kabupaten Aceh Barat Daya), Kawasan Lhok Tapaktuan (Kabupaten Aceh Selatan), Kawasan Singkil (Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam), Kawasan Pulau Lhe (Pulau Banyak), Kawasan Simeulue (Kabupaten Simeulue), Kawasan Alas (Kabupaten Aceh Tenggara), Kawasan Gayo Lues (Kabupaten Gayo Lues), dan Kawasan Linge (Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah).

    Bagian Kedua

    Muatan dan Pedoman Rencana

    Pasal 5

    Muatan dalam RTRW Aceh meliputi:

    a. Tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah Aceh;

    5

  • b. Rencana struktur ruang wilayah Aceh yang meliputi sistem perkotaan dalam wilayahnya yang berkaitan dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan prasarana wilayah Aceh;

    c. Rencana pola ruang wilayah Aceh yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya;

    d. Penetapan kawasan strategis Aceh;

    e. Arahan pemanfaatan ruang wilayah Aceh yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan;

    f. Arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Aceh yang berisi arahan peraturan zonasi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.

    Pasal 6

    RTRW Aceh menjadi pedoman untuk:

    a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang Aceh;

    b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah Aceh;

    c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah Aceh;

    d. perwujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah kabupaten dan kota dan keserasian antar sektor di wilayah Aceh;

    e. penetapan lokasi dan fungsi ruang dalam wilayah Aceh untuk investasi dan disesuaikan dengan kondisi ekologi Aceh yang berpotensi rawan bencana;

    f. penataan ruang wilayah kabupaten dan kota di Aceh.

    Bagian Ketiga

    Jangka Waktu Rencana

    Pasal 7

    1) Jangka waktu RTRW Aceh adalah 20 (dua puluh) tahun sejak diundangkannya qanun ini, atau sampai tersusunnya Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh yang baru sebagai hasil evaluasi dan/atau revisi.

    2) Hasil evaluasi dan/atau revisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam waktu lima (5) tahun sekali.

    3) Dalam keadaan tertentu RTRW Aceh dapat direvisi lebih 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun dengan persetujuan Pemerintah Aceh dan DPR Aceh.

    BAB IV

    MAKSUD, TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGIPENATAAN RUANG WILAYAH ACEH

    Bagian KesatuMaksud dan Tujuan Penataan Ruang Wilayah Aceh

    Pasal 8

    1) Maksud RTRW Aceh adalah untuk menciptakan pembangunan Aceh yang berkelanjutan dengan menghindari prinsip ekploitasi Sumber Daya Alam (SDA) yang melebihi daya dukung lingkungan dan mengarahkannya kepada pemanfaatan jasa lingkungan serta SDA yang dapat diperbaharui.

    2) RTRW Aceh disusun bertujuan untuk:

    a. memberikan perlindungan dan menjamin pembangunan di Aceh yang berbasiskan kepada sumber daya alam yang berkelanjutan dan mensejahterakan rakyat Aceh secara adil dan merata, secara produktif dan inovatif, berazaskan falsafah hidup dan kearifan budaya masyarakat Aceh;

    6

  • b. menciptakan fungsi-fungsi kawasan strategis yang mendukung posisi Aceh sebagai pintu gerbang utama Wilayah Barat Pulau Sumatera (Indonesia);

    c. mewujudkan keterpaduan pemanfaatan ruang darat, ruang laut, dan ruang udara di wilayah Aceh, termasuk ruang di dalam bumi;

    d. mewujudkan keseimbangan dan keserasian perkembangan antar wilayah dan kegiatan antar sektor dalam wilayah Aceh;

    e. mewujudkan penataan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan;

    f. mewujudkan penurunan risiko bencana.

    Bagian Kedua

    Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Wilayah Aceh

    Pasal 9

    Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah Aceh meliputi kebijakan dan strategi pengembangan struktur ruang dan pola ruang wilayah Aceh.

    Pasal 10

    1) Kebijakan pengembangan struktur ruang meliputi:

    a. peningkatan fungsi dan akses pelayanan pada pusat-pusat kegiatan dalam wilayah Aceh;

    b. peningkatan akses dari dan ke luar wilayah Aceh, baik dalam lingkup nasional maupun lingkup internasional;

    c. peningkatan kualitas pelayanan dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana transportasi, energi listrik, telekomunikasi, sumber daya air mitigasi bencana di seluruh wilayah Aceh.

    2) Strategi pengembangan struktur ruang untuk peningkatan fungsi dan akses pelayanan pada pusat-pusat kegiatan dalam wilayah Aceh meliputi:

    a. mengembangkan dan meningkatkan fasilitas / sarana pelayanan pusat-pusat kegiatan;

    b. mengembangkan fungsi atau kegiatan baru pada pusat-pusat kegiatan yang dapat meningkatkan kualitas pelayanannya dalam rangka mendorong pertumbuhan wilayah yang dilayaninya;

    c. menjaga dan meningkatkan keterkaitan antar pusat-pusat kegiatan;

    d. mendorong kawasan perkotaan dan pusat pertumbuhan agar lebih kompetitif dan lebih efektif dalam pengembangan wilayah di sekitarnya.

    3) Strategi pengembangan struktur ruang untuk peningkatan akses dari dan ke luar wilayah Aceh, baik dalam lingkup nasional maupun lingkup internasional meliputi:

    a. mengembangkan Banda Aceh, Aceh Besar, Sabang, Lhokseumawe, Langsa, Meulaboh dan Singkil sebagai pintu gerbang Utama Wilayah Barat Pulau Sumatera (Indonesia), dalam hubungan ekonomi, kebudayaan, pendidikan, pariwisata, transportasi, ITC (Information Technology Center) dan Aceh digital secara internasional;

    b. melengkapi pengembangan Banda Aceh, Aceh Besar, Sabang, Lhokseumawe, Kuala Langsa, Meulaboh dan Singkil sebagaimana dimaksud pada huruf a dengan sarana dan prasarana pendukung sebagai pintu gerbang Utama Wilayah Barat Pulau Sumatera (Indonesia), termasuk penyediaan prasarana dan sarana untuk kelancaran pelayanan kegiatan perwakilan asing dan lembaga-lembaga internasional;

    c. meningkatkan kapasitas dan intensitas pusat-pusat kegiatan yang mewadahi aktivitas perdagangan, jasa, industri dan pariwisata berskala regional, nasional dan internasional.

    7

  • 4) Strategi pengembangan struktur ruang untuk peningkatan kualitas pelayanan dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana transportasi, energi listrik, telekomunikasi, sumber daya air, mitigasi bencana di seluruh wilayah Aceh meliputi:

    a. meningkatkan jaringan prasarana transportasi terpadu (darat, laut, udara dan penyebrangan) yang berskala regional, nasional dan Internasional;

    b. meningkatkan jaringan energi listrik secara optimal dan menjamin pasokan energi untuk sektor-sektor strategis serta mewujudkan keterpaduan sistem penyediaan tenaga listrik;

    c. memperluas jaringan prasarana telekomunikasi agar dapat menjangkau seluruh wilayah Aceh dan mendorong peningkatan sistim jaringan telekomunikasi yang lebih efektif untuk peningkatan daya saing Aceh;

    d. meningkatkan dan mewujudkan keterpaduan sistem jaringan prasarana sumber daya air dalam rangka peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan sesuai standar pelayanan minimal;

    e. mengembangkan jaringan prasarana untuk mendukung upaya mitigasi bencana.

    Pasal 11

    Kebijakan dan strategi pengembangan pola ruang wilayah Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 meliputi:

    a. kebijakan dan strategi pengembangan kawasan lindung;

    b. kebijakan dan strategi pengembangan kawasan budidaya.

    Pasal 12

    (1) Kebijakan pengembangan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a meliputi:

    a. Penjagaan kualitas dan kuantitas kawasan lindung yang ada dan peningkatan kualitas dan kuantitas kawasan lindung yang telah menurun fungsi perlindungannya;

    b. pemeliharaan kelestarian lingkungan hidup secara keberlanjutan dalam rangka meningkatkan kualitas jasa lingkungan;

    c. pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup.

    (2) Strategi pengembangan kawasan lindung untuk penjagaan kualitas dan kuantitas kawasan lindung yang ada dan peningkatan kualitas dan kuantitas kawasan lindung yang telah menurun fungsi perlindungannya meliputi:

    a. mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun fungsi perlindungannya dalam rangka memelihara keseimbangan ekosistem wilayah;

    b. meningkatkan kualitas kawasan hutan yang berfungsi sebagai kawasan lindung, yaitu kawasan hutan lindung dan kawasan hutan konservasi;

    c. memperkuat status kawasan lindung yang dianggap penting dan strategis oleh masyarakat;

    d. mengendalikan kegiatan-kegiatan yang berada dalam kawasan lindung yang tidak sesuai dengan fungsi perlindungannya.

    (3) Strategi pengembangan kawasan lindung untuk pemeliharaan kelestarian lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan kualitas jasa lingkungan meliputi:

    a. menetapkan proporsi luas kawasan lindung di daratan wilayah Aceh paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari luas darat wilayah;

    b. meningkatkan efisiensi pengelolaan kawasan-kawasan lindung tertentu, baik di

    8

  • darat, laut, udara, termasuk ruang di dalam bumi dengan mekanisme imbal jasa lingkungan yang melibatkan industri pemanfaat jasa lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat penyedia jasa lingkungan.

    (4) Strategi pengembangan kawasan lindung untuk pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup meliputi:

    a. mengelola sumber daya alam tidak terbarukan untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana, dan sumber daya alam yang terbarukan untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya;

    b. mencegah terjadinya tindakan yang dapat secara langsung atau tidak langsung menimbulkan perubahan sifat fisik lingkungan yang mengakibatkan penurunan fungsi lingkungan dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan;

    c. membatasi pengembangan kegiatan budidaya di kawasan rawan bencana;

    d. Meningkatkan peranan masyarakat termasuk kearifan lokal dan hukum adat dalam konservasi hutan;

    e. meningkatkan perekonomian masyarakat pinggiran hutan.

    Pasal 13

    (1) Kebijakan pengembangan kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b meliputi:

    a. pemanfaatan kawasan budidaya secara efektif dan efisien;

    b. peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antar kegiatan budidaya;

    c. pengendalian perkembangan kegiatan budidaya agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan.

    (2) Strategi pengembangan kawasan budidaya dengan pemanfaatan kawasan budidaya secara efektif dan efisien meliputi:

    a. meningkatkan produktivitas kawasan budidaya pertanian dengan intensifikasi dan diversifikasi pertanian yang sesuai dengan kondisi lahan;

    b. membatasi alih fungsi lahan pertanian kepada peruntukan fungsi lainnya;

    c. Memanfaatkan kawasan budidaya non pertanian sesuai dengan karakteristik kawasan;

    (3) Strategi pengembangan kawasan budidaya untuk peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antar kegiatan budidaya meliputi:

    a. mengembangkan kawasan budidaya beserta sarana dan prasarana pendukungnya sesuai dengan standar yang berlaku untuk mendorong pengembangan ekonomi;

    b. mewujudkan pengembangan kawasan pembangunan dan pelayanan terpadu yang multi fungsi (mixed use) dalam satu kawasan;

    c. mengembangkan kawasan budidaya pertanian pangan terpadu untuk mendukung ketahanan pangan;

    d. mengembangkan pulau-pulau kecil potensial dengan pendekatan gugus pulau untuk meningkatkan daya saing.

    (4) Strategi pengembangan kawasan budidaya untuk pengendalian perkembangan kegiatan budidaya agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan meliputi:

    a. membatasi perkembangan kegiatan budidaya sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan;

    b. menerapkan pengembangan berbasis mitigasi bencana pada kawasan budidaya rawan bencana;

    c. mengembangkan kawasan perkotaan dengan bangunan bertingkat terutama untuk fungsi komersial / bernilai ekonomi tinggi guna penghematan ruang dan penyediaan ruang terbuka;

    9

  • d. mengembangkan ruang terbuka hijau dengan luas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas kawasan perkotaan;

    BAB VRENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH

    ACEH

    Bagian KesatuUmum

    Pasal 14

    1) Rencana Sruktur Ruang Wilayah Aceh meliputi:

    a. sistem pusat kegiatan;

    b. sistem jaringan transportasi;

    c. sistem jaringan energi;

    d. sistem jaringan telekomunikasi dan informatika;

    e. sistem jaringan sumber daya air;

    f. sistem jaringan air bersih;

    g. sistem prasarana persampahan;

    h. sistem prasarana drainase;

    i. sistem prasarana air limbah.

    2) Rencana Struktur Ruang Wilayah Aceh digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1 : 250.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Qanun ini.

    Bagian Kedua

    Sistem Pusat Kegiatan

    Pasal 15

    1) Sistem pusat kegiatan terdiri atas pusat kegiatan primer dan pusat kegiatan sekunder.

    2) Pusat kegiatan primer dan pusat kegiatan sekunder meliputi kawasan yang memiliki fungsi pelayanan pemerintahan, perkantoran, perdagangan dan jasa, industri dan pergudangan, sosial dan kebudayaan, dan fungsi simpul pergerakan umum massal.

    Bagian Ketiga

    Sistem Jaringan Transportasi

    Pasal 16

    1) Sistem jaringan transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b terdiri atas:

    a. sistem jaringan transportasi darat;

    b. sistem jaringan transportasi perairan; dan

    c. sistem jaringan transportasi udara.

    (2) Sistem jaringan transportasi darat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:

    a. sistem prasarana jalan;

    b. sistem prasarana jalur kereta api;

    c. sistem prasarana transit oriented development;

    d. sistem prasarana angkutan barang;

    10

  • e. sistem prasarana pedestrian dan sepeda.

    (3) Sistem jaringan transportasi perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas tatanan kepelabuhanan dan alur pelayaran.

    (4) Sistem jaringan transportasi udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas tatanan kebandarudaraan dan ruang udara untuk penerbangan.

    Pasal 17

    (1) Sistem prasarana jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a terdiri atas jalan bebas hambatan (highway), jalan arteri primer, jalan kolektor primer, dan jalan lokal primer;

    (2) Sistem prasarana jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan rencana pengembangannya tercantum dalam Lampiran IV (Disesuaikan/direvisi oleh konsultan) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Qanun ini.

    Pasal 18

    1) Sistem prasarana jalur kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf b adalah jaringan jalur kereta api umum.

    2) Sistem prasarana jalur kereta api terdiri atas:

    a. revitalisasi jaringan jalur kereta api di pesisir timur, yang menghubungkan Banda Aceh ke Provinsi Sumatera Utara, sebagai bagian dari jaringan jalur kereta api lintas timur Pulau Sumatera;

    b. pengembangan jaringan jalur kereta api di pesisir barat, yang menghubungkan Banda Aceh ke Provinsi Sumatera Utara, sebagai bagian dari jaringan jalur kereta api lintas barat Pulau Sumatera.

    Pasal 19

    (1) Sistem prasarana transit oriented development (TOD) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf c dikembangkan pada terminal / stasiun antar moda pada pusat-pusat kegiatan, stasiun angkutan jalan rel, shelter angkutan massal jalan raya dan terminal angkutan umum jalan raya yang terintegrasi dengan pengembangan lahan di sekitarnya;

    (2) Lokasi terminal/ stasiun/shelter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan ditetapkan lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.

    Pasal 20

    1) Sistem prasarana angkutan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf d diarahkan untuk mendukung kegiatan industri dan kegiatan ekspor impor;

    2) Terminal angkutan barang dikembangkan pada pelabuhan dan industri / pergudangan serta lokasi tertentu pada jaringan jalan arteri;

    3) Lokasi terminal angkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) akan ditetapkan lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.

    Pasal 21

    1) Sistem prasarana pedestrian dan sepeda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf e dikembangkan pada pusat-pusat kegiatan bisnis, wisata, perkantoran, pendidikan, dan kawasan TOD;

    2) Jalur pedestrian dan jalur sepeda diintegrasikan dengan jalur angkutan umum berikut fasilitas pendukungnya yang memadai dengan memperhitungkan penggunaannya bagi penyandang cacat;

    3) Lokasi Jalur pedestrian dan jalur sepeda yang akan dikembangkan dan aturan lain yang lebih rinci ditetapkan dalam RTRW Kabupaten/Kota.

    Pasal 22

    1) Jenis kepelabuhanan di Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) terdiri atas:

    11

  • a. pelabuhan laut; dan

    b. pelabuhan sungai dan danau.

    2) Pelayanan pelabuhan laut di Aceh meliputi:

    a. angkutan laut luar negeri;

    b. angkutan laut dalam negeri antar provinsi dan dalam provinsi;

    c. angkutan laut pelayaran rakyat;

    d. angkutan laut khusus;

    e. angkutan penyeberangan luar negeri;

    f. angkutan penyeberangan dalam negeri antar provinsi dan dalam provinsi.

    3) Pelabuhan laut dan dermaga penyeberangan dikembangkan sesuai dengan fungsinya terdiri atas:

    a. Pelabuhan bebas Sabang (Free port)

    b. Pelabuhan laut untuk kegiatan ekspor/impor (Container) di Krueng Raya, Lhokseumawe, Kuala Langsa, dan Meulaboh;

    c. Pelabuhan angkutan penumpang dan barang (passangers and cargo) di Ulee Lheu, Pidie, Idi, Calang, Blangpidie, Tapaktuan, Labuhan Haji, Singkil, Sinabang, Pulau Banyak,;

    d. Pelabuhan khusus perikanan tipe samudera di Lampulo Banda Aceh;

    e. Pelabuhan khusus perikanan tipe nusantara di Idi Aceh Timur dan Blangpidie Aceh Barat Daya;

    f. Pelabuhan khusus perikanan tipe pantai tersebar di seluruh wilayah kabupaten/kota yang mempunyai potensi perikanan tangkap.

    4) Pelabuhan laut dan dermaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diintegrasikan dengan jaringan rel dan jaringan jalan arteri.

    5) Lokasi pelabuhan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) akan ditetapkan lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.

    6) Pelabuhan, pelayanan angkutan termasuk lintasan/rute penyeberangan dan rencana pengembangannya tercantum dalam Lampiran V (Disesuaikan/direvisi oleh konsultan) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Qanun ini.

    Pasal 23

    Pelabuhan sungai dan danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf b ditetapkan dalam RTRW Kabupaten/Kota.

    Pasal 24

    1) Alur pelayaran terdiri atas alur pelayaran nasional dan internasional;

    2) Alur pelayaran ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Pasal 25

    1) Tatanan kebandarudaraan dan ruang udara untuk penerbangan ditetapkan berdasarkan ketentuan yang berlaku secara internasional dan peraturan perundang-undangan, yang terdiri atas:

    a. bandar udara internasional;

    b. Bandar udara domestic.

    2) Pengembangan bandar udara tercantum dalam Lampiran VI (Disesuaikan oleh konsultan) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Qanun ini.

    Bagian Keempat

    Sistem Jaringan Energi

    12

  • Pasal 26

    (1) Sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf c terdiri atas:

    a. pembangkit tenaga listrik;

    b. jaringan transmisi tenaga listrik.

    (2) Sistem pembangkit tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:

    a. PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap), yang potensial dikembangkan di pesisir barat;

    b. PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Gas), yang potensial dikembangkan di pesisir timur dan Banda Aceh;

    c. PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi), yang potensial dikembangkan di Jaboi Sabang, Seulawah Agam Aceh Besar dan Lesten Gayo Lues;

    d. PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air), yang potensial dikembangkan pada DAS Peusangan, DAS Jambo Aye, DAS Tiro, DAS Alas, DAS Tamiang, DAS Teunom dan beberapa DAS lainnya;

    e. PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel), yang dikembangkan untuk kebutuhan setempat pada wilayah yang belum terjangkau jaringan listrik;

    f. PLTM (Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro), yang dikembangkan untuk kebutuhan setempat pada wilayah yang belum terjangkau jaringan listrik.

    g. Pembangkit Listrik Tenaga Angin dan Pembangkit Listrik Gelombang Laut.

    (3) Jaringan transmisi tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi :

    a. media penyaluran tenaga listrik melalui kabel saluran udara, kabel bawah laut, dan kabel bawah tanah;

    b. pengintegrasian dengan sistem interkoneksi Sumatera bagian utara, jaringan utilitas lain dan berada pada lokasi yang aman;

    c. Jaringan transmisi tenaga listrik dan rencana pengembangannya tercantum dalam Lampiran VII (Disesuaikan/direvisi oleh konsultan) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Qanun ini.

    Bagian Kelima

    Sistem Jaringan Telekomunikasi dan Informatika

    Pasal 27

    1) Sistem jaringan telekomunikasi dan informatika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf d adalah jaringan terestrial yang terdiri atas:

    a. sistem jaringan telekomunikasi dengan kabel;

    b. sistem jaringan telekomunikasi seluler atau tanpa kabel, dengan didukung pengembangan menara BTS (Base Transciever Station).

    2) Jaringan telekomunikasi tanpa kabel (wireless) dikembangkan untuk mewujudkan Aceh Digital Infrastructure yang saling menghubungkan dengan 23 kabupaten/kota melalui:

    a. pengembangan menara melalui SID-SITAC;

    b. pengembangan Technology fiber to x (FTT x) basis technology adalah IP Infrastructure dengan IP Backbone, metro IP dan four play Broadband;

    c. pengembangan sistem komunikasi dengan dasar BWA (Broaadband Wireless Access);

    d. pengembangan VSAT (Very Small Aperture Terminal) di 23 kabupaten/kota;

    e. pengembangan Integrated Multimedia dan Information Aceh Digital City Infrastructure;

    f. pengembangan Aceh Resource Code (ARC) untuk pendataan sumber daya Aceh.

    Bagian Keenam

    Sistem Jaringan Sumber Daya Air

    Pasal 28

    13

  • (1) Sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf e terdiri atas:

    a. pengembangan wilayah sungai (WS);

    b. pengembangan daerah irigasi (DI); dan

    c. pengembangan waduk/danau

    (2) Pengembangan wilayah sungai (WS) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:

    a. konservasi sumber daya air;

    b. pendayagunaan sumber daya air; dan

    c. pengendalian daya rusak air.

    (3) Pengembangan wilayah sungai (WS) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran VIII (Disesuaikan/direvisi oleh konsultan) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Qanun ini.

    (4) Pengembangan daerah irigasi (DI) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:

    a. daerah irigasi kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Aceh yang tercantum dalam Lampiran IX (Disesuaikan/direvisi oleh konsultan) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Qanun ini;

    b. daerah irigasi (DI) kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota yang ditetapkan dalam RTRW Kabupaten/Kota.

    (5) Pengembangan waduk/danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditujukan untuk pemanfaatan irigasi, air bersih, pembangkit tenaga listrik, dan pengembangan objek wisata air serta budidaya perikanan.

    (6) Rencana pengembangan waduk/danau di Aceh tercantum dalam Lampiran X (Disesuaikan/direvisi oleh konsultan) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Qanun ini.

    Bagian Ketujuh

    Sistem Jaringan air bersih

    Pasal 29

    1) Sistem jaringan air bersih dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, industri dan pusat-pusat kegiatan bisnis lainnya terhadap air bersih;

    2) Pengembangan sistem jaringan air bersih dilakukan melalui:

    a. peningkatan kapasitas produksi air bersih;

    b. pemasangan jaringan distribusi baru;

    c. pembangunan instalasi pengolahan air bersih baru;

    d. pembangunan waduk sebagai pemasok air baku;

    e. pemanfaatan sumber air bersih lainnya;

    f. pengembangan Aceh Resource Code (ARC) merupakan nomor unik yang mencatat sumber daya Aceh.

    Bagian Kedelapan

    Sistem Prasarana Persampahan

    Pasal 30

    1) Sistem prasarana persampahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g terdiri atas:

    a. Sarana dan prasarana sampah lingkungan dan kawasan;

    b. Sarana dan prasarana tempat penampungan sementara (TPS);

    14

  • c. Sarana dan prasarana tempat pengolahan sampah terpadu (TPST);

    d. Sarana dan prasarana tempat pemrosesan akhir (TPA).

    2) Sistem prasarana persampahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas dan menjaga kualitas lingkungan, melalui peran serta masyarakat dan pengembangan prasarana sarana pengolahan sampah dengan teknologi ramah lingkungan;

    3) Sarana dan prasarana lingkungan dan kawasan dikembangkan untuk menampung dan memilih sampah kegiatan masyarakat pada kawasan permukiman, kawasan pusat perkantoran, perdagangan dan jasa, pada fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya;

    4) Tempat penampungan sementara (TPS) dan tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) dikembangkan sebagai suatu sistem multi simpul (multi nodal) terbagi dalam beberapa daerah pelayanan sehingga dapat meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan pengelolaan sampah serta mengurangi volume sampah yang harus dikirim ke TPA;

    5) Tempat pemrosesan akhir (TPA) dikembangkan sebagai tempat untuk memproses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan;

    6) Sarana dan prasarana persampahan ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Bagian Kesembilan

    Sistem Prasarana Drainase

    Pasal 31

    Sistem prasarana drainase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf h diutamakan pengembangannya pada daerah-daerah yang rawan banjir, air tergenang, curah hujan tinggi dan pemukiman padat penduduk.

    Bagian Kesepuluh

    Sistem Prasarana Air Limbah

    Pasal 32

    1) Sistem prasarana air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf i terdiri atas:

    a. Limbah industri; dan

    b. Limbah domestik.

    2) Pengolahan air limbah industri dibagi kedalam sistem komunal atau sistem individual sebelum dibuang ke lingkungan;

    3) Prasarana pengelolaan air limbah domestik dibagi kedalam sistem komunal, sistem semi komunal /modular dan sistem individual;

    4) Alokasi lahan yang diperuntukkan untuk pengolahan air limbah sebesar 0,1 persen dari daerah layanan.

    BAB VI

    RENCANA POLA RUANG WILAYAH ACEH

    Bagian Kesatu

    Umum

    Pasal 33

    1) Rencana pola ruang wilayah Aceh terdiri atas:

    15

  • a. kawasan lindung;

    b. kawasan budidaya.

    2) Rencana pola ruang wilayah Aceh digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1 : 250.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI (harus dihitung ulang) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Qanun ini.

    Bagian Kedua

    Kawasan Lindung

    Paragraf 1

    Kriteria Kawasan Lindung

    Pasal 34

    Kriteria kawasan lindung mengacu kepada Qanun ini.

    Paragraf 2

    Jenis dan Sebaran Kawasan Lindung

    Pasal 35

    1) Jenis kawasan lindung yang ditetapkan sebarannya terdiri atas:

    a. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan di bawahnya;

    b. kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan kawasan cagar budaya;

    c. kawasan lindung lainnya.

    2) Jenis kawasan lindung yang diindikasikan sebarannya.

    3) Jenis dan sebaran kawasan lindung tercantum dalam Lampiran XIII (Disesuaikan/direvisi oleh konsultan) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Qanun ini.

    Pasal 36

    1) Jenis dan sebaran kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan di bawahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf a adalah kawasan hutan lindung (HL) yang tersebar di kabupaten/kota: Aceh Besar, Sabang, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur, Langsa, Aceh Tamiang, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Subulussalam, dan Simeulue;

    2) Dalam kawasan hutan lindung (HL) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk hutan lindung pantai (HLP) yang merupakan kawasan berhutan bakau, yang terletak di Banda Aceh, Aceh Besar, Sabang, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur, Langsa, Aceh Tamiang, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, dan Simeulue;

    Pasal 37

    Jenis dan sebaran kawasan konservasi yang meliputi kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan kawasan cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b terdiri atas:

    a. Cagar Alam Serbajadi dengan luas 300 Ha, terletak di Kabupaten Aceh Timur;

    b. Suaka Margasatwa Rawa Singkil dengan luas 102.500 Ha, terletak di Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Singkil, dan Kota Subulussalam;

    c. Taman Gunung Leuser Aceh (TGLA) dengan luas sekitar 623.987 Ha, terletak di Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Barat Daya, Kota Subulussalam, dan Kabupaten Aceh Tamiang;

    d. Taman Wisata Alam (TWA) dan Taman Wisata Laut (TWL) dengan luas sekitar 249.972 Ha, yaitu:

    1. TWA dan TWL Pulau Weh Sabang, dengan luas TWA 1.300 Ha dan TWL 2.600 Ha,

    16

  • terletak di Kota Sabang;

    2. TWA Pinus Jantho dengan luas 16.640 Ha, terletak di Kabupaten Aceh Besar;

    3. TWA Kepulauan Banyak, dengan luas sekitar 227.500 Ha, terletak di Kabupaten Aceh Singkil;

    4. TWA Kuta Malaka, dengan luas 1.427 Ha, terletak di Kabupaten Aceh Besar;

    5. TWA Makam Teuku Umar, dengan luas 505 Ha, terletak di Kabupaten Aceh Barat;

    6. TWA Pulau Aceh, Lhoknga (Pulau Rusa), Krueng Raya (Lhok Mee/pasir putih) terletak di Aceh Besar, dan Ulhee-lheu/pante cermin Banda Aceh, dengan luas belum diidentifikasi;

    7. TWL Pinang-Siumat-Simanaha, dengan luas belum diidentifikasi, yang juga mencakup kawasan terumbu karang, terletak di Kabupaten Simeulue;

    e. Taman Hutan Raya (Tahura), dengan luas 7.041 Ha, yaitu :

    1. Tahura Pocut Meurah Intan, dengan luas 6.220 Ha, terletak di Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Pidie;

    2. Tahura Teupah Selatan, dengan luas 821 Ha, terletak di Kabupaten Simeulu;

    f. kawasan pantai berhutan bakau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2);

    g. kawasan cagar budaya, terdiri atas:

    1. Peninggalan Kesultanan Aceh, berupa bangunan dan/atau situs, yang terletak di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar;

    2. Peninggalan Kerajaan Islam Samudera Pasai berupa bangunan dan/atau situs dan Monumen Samudera Pasai, yang terletak di Kabupaten Aceh Utara;

    3. Peninggalan Kerajaan-Kerajaan Aceh lainnya, yang tersebar di seluruh Wilayah Aceh.

    Pasal 38

    Jenis dan sebaran kawasan lindung lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf c terdiri atas:

    a. taman buru Lingga Isaq dengan luas sekitar 80.000 Ha, terletak di Kabupaten Aceh Tengah;

    b. Kawasan Perlindungan Plasma Nutfah (KPPN) dengan luas sekitar 3.233 Ha, yaitu:

    1. Kebun Plasma Nutfah (KPN) Leupung, dengan luas sekitar 1.300 Ha, terletak dalam Kawasan Hutan Produksi di Kabupaten Aceh Besar;

    2. Kebun Plasma Nutfah (KPN) Kapur, dengan luas sekitar 1.821 Ha, terletak dalam Areal Penggunaan Lain (APL) atau kawasan budidaya di Kota Subulussalam;

    3. Pusat Latihan Gajah Lhok Asan, dengan luas sekitar 112 Ha, terletak di Kabupaten Aceh Utara;

    4. Pusat Latihan Gajah Aceh Saree, terletak di Kabupaten Aceh Besar.

    c. koridor satwa Singkil-Bengkung dengan luas belum diidentifikasi, terletak di Kabupaten Aceh Selatan;

    d. kawasan hutan dengan tujuan khusus, yaitu hutan pendidikan STIK dengan luas sekitar 80 Ha, yang terletak dalam Kawasan Hutan Produksi di Kabupaten Aceh Besar.

    Pasal 39

    Jenis kawasan lindung yang diindikasikan sebarannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) terdiri atas:

    a. kawasan rawan bencana alam, terdiri atas:

    1. kawasan rawan longsor, yaitu kawasan dengan kemiringan lebih besar dari 40% atau kawasan yang dilalui oleh sesar aktif di wilayah Aceh, dan kawasan pertambangan;

    2. kawasan rawan kebakaran hutan, yaitu hutan di sepanjang pinggir jalan, hutan dekat permukiman dan perkebunan, perbukitan alang-alang, hutan pinus dan lahan gambut;

    3. kawasan rawan letusan gunung berapi, yaitu kawasan sekitar gunung api Seulawah

    17

  • Agam (Tipe A, 1762 mdpl) di Kabupaten Aceh Besar, kawasan sekitar gunung Peuet Sagoe (Tipe A, 2780 mdpl) di Kabupaten Pidie, kawasan sekitar gunung Burni Telong (Tipe A, 2590 mdpl) di Kabupaten Bener Meriah dan kawasan sekitar gunung Jaboi (Tipe C) di Kota Sabang;

    b. kawasan perlindungan setempat, terdiri atas:

    1. kawasan sekitar Danau/Waduk yaitu sekitar Danau Laut Tawar di Kabupaten Aceh Tengah, sekitar Danau Aneuk Laot di Kota Sabang, sekitar waduk keliling di Kabupaten Aceh Besar, dan sekitar waduk buatan lainnya yang tersebar di wilayah Aceh;

    2. kawasan sekitar sumber air masyarakat yaitu; di Kabupaten Aceh Besar (KSAM/Kawasan Sumber Air Alur Mancang di Saree, KAPESAK/Kawasan Perlindungan Sayeung Krueng Kalok dan DATAM/Daerah Tangkapan Air Krueng Montala di Jantho, KAPMATA/Kawasan Mata Air Eumpiara dan Taleuk di Teladan dan KAPSAS/Kawasan Perlindungan Sumber Air Seulawah di Lamteuba), di Kabupaten Aceh Jaya (KALIMAT/Kawasan Perlindungan Mata Air Krueng Terbang di Pantee Kuyun), serta kawasan sekitar sumber air lainnya yang tersebar di wilayah Aceh;

    3. kawasan sekitar air terjun, yang tersebar di wilayah Aceh;

    4. kawasan sempadan pantai yaitu kawasan yang ditetapkan dengan ketentuan daratan sepanjang tepian laut dengan jarak proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai dari titik pasang tertinggi ke arah darat;

    5. kawasan sempadan sungai yaitu kawasan yang ditetapkan dengan ketentuan daratan sepanjang tepian sungai dengan lebar proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik serta keberadaan tanggul pada sungai;

    Bagian Ketiga

    Kawasan Budidaya Aceh

    Paragraf 1

    Kriteria Kawasan BudidayaPasal 40

    Kriteria kawasan budidaya mengacu kepada qanun ini.

    Paragraf 2

    Kawasan Budidaya Aceh

    Pasal 41

    Kawasan budidaya Aceh terdiri atas:

    a. Kawasan permukiman;

    b. Kawasan perkantoran, perdagangan dan jasa;

    c. Kawasan green industry dan pergudangan;

    d. Kawasan hutan produksi;

    e. Kawasan pertanian;

    f. Kawasan pertambangan;

    g. Kawasan wisata.

    Pasal 42

    18

  • 1) Kawasan permukiman terdiri atas kawasan perumahan horizontal dan fasilitasnya serta kawasan perumahan vertikal dan fasilitasnya;

    2) Kawasan Permukiman dilengkapi dengan jalan akses menuju pusat kegiatan masyarakat di luar kawasan permukiman serta prasarana, sarana dan utilitas pendukung lainnya.

    Pasal 43

    Kawasan perkantoran, perdagangan dan jasa dilalui oleh jalur angkutan umum massal dan/atau jaringan jalan arteri, dan dilengkapi dengan prasarana, sarana dan utilitas pendukung lainnya termasuk sistem pengelolaan air limbah.

    Pasal 44

    Pengembangan kawasan green industry dan pergudangan dilakukan dengan:

    a. Pemilihan lokasi yang kondusif untuk berinvestasi bagi pemodal dalam negeri maupun pemodal asing, yang didukung prasarana dan sarana yang memadai;

    b. Penataan kawasan pelabuhan dilakukan sebagai bagian integral dari penataan kawasan green industry dan pergudangan, serta kawasan perniagaan;

    c. mengutamakan jenis industri yang hemat energi, berteknologi tinggi dan ramah lingkungan.

    Pasal 45

    (1) Kawasan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf d terdiri atas:

    a. Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT);

    b. Kawasan Hutan Produksi tetap (HP);

    c. Kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK).

    2) Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) dengan luas sekitar 88.017 Ha, tersebar di Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tengah, dan Kabupaten Simeulue.

    3) Kawasan Hutan Produksi Tetap (HP) dengan luas sekitar 580.178 Ha, tersebar di Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Timur, Kota Langsa, Kabupaten Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Singkil, Kota Subulussalam, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah, dan Kabupaten Simeulue.

    4) Kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) dengan luas sekitar 112.834 Ha, tersebar di Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Timur, Kota Langsa, Kabupaten Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Singkil, Kota Subulussalam, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tengah, dan Kabupaten Bener Meriah.

    5) Pemberian atau perpanjangan izin atas pemanfaatan kawasan hutan produksi dalam kawasan hutan Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) diberikan oleh Gubernur Aceh setelah mendapat rekomendasi dari Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Lembaga Wali Nanggroe;

    6) Kawasan hutan produksi tercantum dalam Lampiran XV (lampiran direvisi / disesuaikan) sebagai bagian tidak terpisahkan dari Qanun ini

    Pasal 46

    19

  • 1) Kawasan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf e terdiri atas :

    a. Kawasan pertanian pangan lahan basah;

    b. Kawasan pertanian pangan lahan kering;

    c. Kawasan perkebunan;

    d. Kawasan peternakan; dan

    e. Kawasan perikanan.

    2) Kawasan pertanian pangan lahan basah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    a. Kawasan pertanian pangan lahan basah dengan luas sekitar 180.568 Ha yang didukung oleh jaringan irigasi teknis kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Aceh tercantum dalam Lampiran XV (Disesuaikan/direvisi oleh konsultan) sebagai bagian tidak terpisahkan dari Qanun ini yang tersebar diseluruh kabupaten;

    b. Kawasan pertanian pangan lahan basah yang didukung oleh jaringan irigasi teknis kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota yang ditetapkan dalam RTRW Kabupaten/Kota.

    3) Kawasan pertanian pangan lahan kering tersebar di seluruh kabupaten dan tercantum dalam Lampiran.. (tugas konsultan tataruang) sebagai bagian tidak terpisahkan dari Qanun ini.

    4) Kawasan perkebunan terdiri atas perkebunan besar dan perkebunan rakyat yang tersebar diseluruh kabupaten dan tercantum Lampiran.. (tugas konsultan tataruang) sebagai bagian tidak terpisahkan dari Qanun ini.

    5) Kawasan peternakan tersebar diseluruh kabupaten dan tercantum Lampiran.. (tugas konsultan tataruang) sebagai bagian tidak terpisahkan dari Qanun ini..

    6) Kawasan perikanan tersebar di wilayah pesisir Aceh yang meliputi: kawasan barat selatan di perairan laut sekitar Singkil, Pulau Banyak dan Simeulue, kawasan pesisir timur di perairan laut sekitar Idi dan Langsa, dan kawasan pesisir utara di perairan laut sekitar Selat Malaka;

    Pasal 47

    Pengembangan kawasan pertambangan dilakukan dengan:

    a. Tidak merusak lingkungan;

    b. Tidak mengganggu prasarana umum; dan

    c. Memperhatikan dampak sosial, ekonomi dan budaya terhadap masyarakat sekitar.

    Pasal 48

    Pengembangan kawasan wisata dilakukan dengan:

    a. Merujuk pada norma agama dan nilai budaya dalam setiap segi kehidupan;

    b. Memadukan unsur situs sejarah, adat dan budaya, pesona alam dan manajemen kepariwisataan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi;

    c. Meningkatkan pengelolaan kawasan wisata perkotaan, wisata budaya, agrowisata, wisata bahari, wisata alam dan wisata tsunami yang didukung oleh sarana dan prasarana yang lengkap;

    Paragraf 3

    Kawasan Budidaya Rawan Bencana

    20

  • Pasal 49

    Kawasan budidaya rawan bencana alam, terdiri atas:

    a. kawasan gelombang pasang, terutama kawasan di sepanjang pesisir barat Aceh;

    b. kawasan rawan banjir, ditetapkan dengan ketentuan kawasan yang diidentifikasikan sering dan/atau berpotensi tinggi mengalami bencana banjir;

    c. Kawasan rawan kekeringan, ditetapkan dengan ketentuan kawasan yang diidentifikasikan sering dan/atau berpotensi tinggi mengalami bencana kekeringan;

    d. Kawasan rawan angin badai, ditetapkan dengan ketentuan kawasan yang diidentifikasikan sering dan/atau berpotensi tinggi mengalami bencana angin badai;

    e. kawasan rawan gempa bumi, ditetapkan dengan ketentuan kawasan yang memiliki resiko tinggi jika terjadi gempa bumi dengan skala VII XII MMI (Modified Mercally Intensity);

    f. kawasan yang terletak di zona patahan aktif, yaitu Pulau Seumeulu dan kawasan yang dilalui oleh sesar aktif di wilayah bagian tengah/pegunungan wilayah Aceh;

    g. kawasan rawan tsunami, ditetapkan dengan ketentuan kawasan pesisir yang memiliki resiko tinggi jika terjadi gempa bumi kuat yang disusul oleh tsunami;

    h. kawasan rawan abrasi, yaitu kawasan di sepanjang pesisir wilayah Aceh;

    i. Kawasan rawan bahaya gas beracun kimia dan logam berat yaitu kawasan sekitar industri pupuk, kimia, dan pertambangan;

    j. Kawasan rawan polusi udara yaitu kawasan pusat kota, dan sekitar kawasan industri/pabrik.

    BAB VII

    PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS ACEH

    Bagian Kesatu

    Umum

    Pasal 50

    1) Penetapan kawasan strategis Aceh didasarkan pada pengaruh yang sangat penting terhadap pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, dan lingkungan;

    2) Tujuan penetapan kawasan strategis Aceh adalah sebagai berikut:

    a. Menata kawasan strategis di seluruh wilayah Aceh menjadi lokasi yang kondusif untuk berinvestasi bagi penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing yang didukung oleh kemampuan pelayanan, manajemen, kearifan adat dan budaya, serta sarana dan prasarana yang lengkap;

    b. memanfaatkan peluang globalisasi ekonomi dan kerjasama ekonomi kawasan asia dan internasional secara optimal;

    c. Meningkatkan kapasitas tampung kawasan strategis terhadap kegiatan perdagangan dan jasa sesuai dengan daya dukung lingkungan;

    d. Mengalokasikan ruang dan kesempatan bagi pengembangan sektor informal dan golongan usaha skala kecil menengah secara terintegrasi;

    Bagian Kedua

    Rencana Pengembangan Kawasan Strategis Aceh

    Pasal 51

    1) Rencana pengembangan kawasan strategis Aceh meliputi:

    a. Kawasan pusat perdagangan dan distribusi Aceh atau ATDC (Aceh Trade and Distribution Center) tersebar di 6 (enam) zona, meliputi; 1. Zona Pusat : Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar,

    Kabupaten Pidie2. Zona Utara : Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Bireuen, Kota Lhokseumawe,

    Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah 3. Zona Timur : Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Timur, Kota Langsa,

    Kabupaten Aceh Tamiang

    21

  • 4. Zona Tenggara : Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tenggara, Kota Subulussalam, Kabupaten Singkil , Pulau Banyak

    5. Zona Selatan : Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Simeulue

    6. Zona Barat : Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Jaya

    b. Kawasan agrowisata;

    c. Kawasan cagar budaya peninggalan Kesultanan Aceh, peninggalan Kerajaan Islam Samudera Pasai dan peninggalan kerajaan-kerajaan Aceh lainnya;

    d. Kawasan situs sejarah terkait lahirnya MoU Helsinki antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka;

    e. Kawasan khusus.

    2) Karakter pengembangan kawasan pusat perdagangan dan distribusi Aceh atau ATDC (Aceh Trade and Distribution Center) meliputi:

    a. Memiliki posisi geografi yang strategis dalam mengakomodasi dampak globalisasi ekonomi dan mendorong Aceh sebagai pusat perdagangan yang mengutamakan sistem pelayanan, jaringan komunikasi dan kemitraan skala nasional dan internasional dengan melibatkan stakeholder (investor dan pihak terkait) pada proses pengembangan kawasan tersebut;

    b. Adanya keterkaitan antara kawasan agro industry dengan pasar induk sebagai sentra kawasan agrobisnis yang terintegrasi dengan perumahan dan perkantoran;

    3) Karakter pengembangan kawasan agrowisata meliputi:

    a. Kawasan yang memiliki sumber daya air yang bisa dimanfaatkan untuk sumber air bersih, air irigasi dan pengembangan mini hidro power;

    b. Kawasan yang memiliki panorama alam yang indah;

    c. Ketersediaan sarana dan prasarana pendukung.

    4) Karakter pengembangan kawasan cagar budaya peninggalan Kesultanan Aceh, peninggalan Kerajaan Islam Samudera Pasai dan peninggalan kerajaan-kerajaan Aceh lainnya adalah pelestarian peninggalan budaya Aceh;

    5) Karakter pengembangan kawasan situs sejarah terkait lahirnya MoU Helsinki antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka adalah memiliki nilai sejarah perdamaian di Aceh;

    6) Karakter kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g adalah kawasan dalam wilayah Aceh yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi yang bersifat khusus bagi kepentingan Aceh, meliputi:

    a. Kawasan Daruddunia (Pendopo, Keraton, Taman Sari, Mesjid Raya Baiturrahman, Taman Budaya, Kerkhof, Lapangan Blang Padang, Gunongan, Blower, Neusu, Peuniti) sebagai kawasan wisata situs sejarah di Banda Aceh;

    b. Kawasan Istana Wali Nanggroe sebagai pusat kegiatan peradaban Aceh;

    c. Kawasan Blang Bintang dan sekitarnya sebagai kawasan bandara internasional;

    d. Kawasan Krueng Raya dan sekitarnya sebagai kawasan industri dan pelabuhan laut Aceh (KIPA);

    e. Kawasan Mata Ie Japakeeh dan sekitarnya sebagai kawasan sumber mata air;

    f. Kawasan Pulau Bengkaru dan sekitarnya sebagai kawasan wisata khusus dan konservasi Penyu;

    g. Kawasan Pulau Haloban dan sekitarnya sebagai kawasan sentra perikanan;

    h. Kawasan Darussalam dan sekitarnya sebagai pusat pendidikan tinggi dan penelitian;

    i. Kawasan Banda Raya dan sekitarnya sebagai pusat olahraga (Banda Raya Sport Centre Area);

    j. Kawasan RSUDZA dan sekitarnya sebagai Pusat Kesehatan (pengobatan, penelitian dan pendidikan).

    BAB VIII

    22

  • ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH ACEH

    Pasal 52

    1) Pemanfaatan ruang wilayah Aceh berpedoman pada rencana struktur ruang dan rencana pola ruang wilayah Aceh.

    2) Pemanfaatan ruang wilayah Aceh dilaksanakan melalui penyusunan dan pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta perkiraan pendanaannya yang selaras dengan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) Aceh serta rencana turunannya yaitu rencana kerja pemerintah (RKP) Aceh.

    Pasal 53

    1) Program utama lima tahunan Pemerintah Aceh sebagaimana tercantum dalam lampiran XXI (Disesuaikan/direvisi oleh konsultan) disesuaikan dengan program pemanfaatan ruang yang diatur dalam qanun ini.

    2) Pendanaan program pemanfaatan ruang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA), Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota, investasi swasta, masyarakat, dan/atau kerjasama pendanaan. Kerjasama pendanaan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

    BAB IX

    ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG

    WILAYAH ACEH

    Bagian Kesatu

    Umum

    Pasal 54

    1) Arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Aceh digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Aceh.

    2) Arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Aceh terdiri atas:a. arahan peraturan zonasi;b. arahan perizinan;c. arahan pemberian insentif dan disinsentif;d. arahan sanksi.

    Bagian Kedua

    Arahan Peraturan Zonasi

    Paragraf 1

    Lingkup Arahan Peraturan Zonasi

    Pasal 55

    1) Arahan peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) huruf a digunakan sebagai pedoman bagi pemerintah daerah kabupaten/kota dalam menyusun peraturan zonasi.

    2) Arahan peraturan zonasi meliputi arahan peraturan zonasi untuk:a. pola ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya; b. ruang di sekitar jaringan prasarana wilayah Aceh.

    Paragraf 2

    Arahan Peraturan Zonasi Kawasan Lindung

    Pasal 56

    23

  • (1) Arahan peraturan zonasi kawasan hutan lindung meliputi:

    a. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam;

    b. pemanfaatan ruang secara terbatas hanya diizinkan bagi penduduk asli dengan luasan tetap, tidak mengurangi fungsi lindung kawasan, dan di bawah pengawasan ketat;

    c. pelarangan terhadap kegiatan yang berpotensi mengurangi luas kawasan hutan dan tutupan vegetasi;

    (2) Arahan peraturan zonasi kawasan bergambut dengan ketebalan 3 (tiga) meter atau lebih meliputi:

    a. pemanfatan ruang untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam;

    b. pengendalian material sedimen yang masuk ke kawasan bergambut melalui badan air;

    c. pelarangan terhadap kegiatan yang berpotensi mengubah tata air dan ekosistem unik.

    (3) Arahan peraturan zonasi kawasan resapan air meliputi:

    a. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budidaya tidak terbangun yang memiliki kemampuan tinggi menahan limpasan air hujan;

    b. penghijauan dan penyediaan sumur resapan, waduk/kolam pada lahan terbangun yang sudah ada;

    c. penerapan prinsip zero delta Q policy terhadap setiap kegiatan budidaya terbangun yang diajukan izinnya;

    d. pelarangan kegiatan yang dapat mengurangi daya resap tanah terhadap air.

    Pasal 57

    1) Arahan peraturan kawasan Hutan Aceh meliputi :

    a. Kawasan Hutan Aceh dikelola oleh Dewan Hutan Aceh (DHA);

    b. Dewan Hutan Aceh berkedudukan di bawah Lembaga Wali Nanggroe ;

    c. Keanggotaan Dewan Hutan Aceh terdiri atas unsur-unsur: Lembaga Adat, Pemerintah Aceh, Profesional, Akademisi dan Tokoh Masyarakat;

    d. Dewan Hutan Aceh mempunyai fungsi melakukan pengkajian, perencanaan, pengelolaan dan pengawasan terhadap kawasan hutan Aceh dalam rangka pemberian manfaat kawasan hutan yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat Aceh secara berkelanjutan;

    e. Pemberian atau perpanjangan izin atas pemanfaatan kawasan lindung dan kawasan konservasi termasuk pemanfaatan jasa lingkungan dalam kawasan hutan Aceh diberikan oleh Gubernur Aceh setelah mendapat rekomendasi dari Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Lembaga Wali Nanggroe.

    2) Arahan peraturan zonasi kawasan cagar alam meliputi:

    a. pemanfaatan ruang cagar alam untuk penelitian, pendidikan dan wisata alam;

    b. pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf a;

    c. pembatasan pendirian bangunan hanya untuk menunjang kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a.

    3) Arahan peraturan zonasi kawasan suaka margasatwa meliputi:

    a. pemanfaatan ruang suaka margasatwa untuk penelitian, pendidikan, dan wisata alam;

    b. pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf a;

    c. pembatasan pendirian bangunan hanya untuk menunjang kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a.

    4) Arahan peraturan zonasi Taman Gunung Leuser Aceh (TGLA) meliputi:

    a. pemanfaatan ruang taman gunung leuser Aceh sebagai kawasan hutan untuk penelitian, pendidikan dan wisata alam;

    b. pemanfatan ruang untuk kegiatan budidaya hanya diizinkan di zona penyangga di bawah izin dan pengawasan yang ketat;

    c. pelarangan kegiatan budidaya di zona inti.

    24

  • (5) Arahan peraturan zonasi taman wisata alam (TWA) dan taman wisata alam laut (TWL) meliputi:

    a. pemanfaatan ruang taman wisata alam dan taman wisata alam laut untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam;

    b. pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf a;

    c. pembatasan pendirian bangunan hanya untuk menunjang kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a.

    (6) Arahan peraturan zonasi terumbu karang meliputi:

    a. pemanfaatan ruang untuk pelestarian terumbu karang dengan keunikan ekosistemnya;

    b. pemanfaatan untuk kegiatan wisata bahari, penelitian, dan ilmu pengetahuan;

    c. pelarangan kegiatan penangkapan ikan dan pengambilan terumbu karang;

    d. pelarangan kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran air dan yang mempunyai potensi merusak terumbu karang.

    (7) Arahan peraturan zonasi taman hutan raya (Tahura) meliputi:

    a. pemanfaatan ruang taman hutan raya untuk penelitian, pendidikan, dan wisata alam;

    b. pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf a;

    c. pembatasan pendirian bangunan hanya untuk menunjang kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a.

    (8) Arahan peraturan zonasi kawasan pantai berhutan bakau meliputi:

    a. pemanfatan ruang kawasan pantai berhutan bakau untuk pendidikan, penelitian, dan wisata alam;

    b. pelarangan pemanfaatan kayu bakau;

    c. pelarangan kegiatan yang dapat mengubah, merusak, mengurangi luas, dan/atau mencemari ekosistem bakau;

    d. pelarangan kegiatan yang dapat mengganggu fungsi ekosistem bakau (mangrove), vegetasi pantai lainnya, dan/atau tempat perkembangbiakan biota laut.

    (9) Arahan peraturan zonasi cagar budaya peninggalan Kesultanan Aceh, peninggalan kerajaan Islam Samudra Pasai dan peninggalan kerajaan-kerajaan Aceh lainnya meliputi:

    a. pelestarian kawasan cagar budaya;

    b. penggalian dan penelusuran kembali situs kerajaan-kerajaan Aceh;

    c. penggalian dan penelusuran kembali situs benteng-benteng peninggalan sejarah Aceh;

    d. pemanfaatan ruang cagar budaya untuk penelitian, pendidikan, dan wisata budaya;

    e. pelarangan kegiatan dan pendirian bangunan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan;

    f. pelarangan kegiatan yang dapat merusak cagar budaya.

    Pasal 58

    (1) Arahan peraturan zonasi taman buru meliputi:

    a. pemanfaatan untuk kegiatan perburuan secara terkendali;

    b. penangkaran dan pengembangbiakan satwa untuk perburuan;

    c. pembatasan pendirian bangunan hanya untuk bangunan yang menunjang kegiatan seperti tersebut pada huruf b;

    d. penerapan standar keselamatan bagi pemburu dan masyarakat di sekitarnya.

    (2) Arahan peraturan zonasi kawasan perlindungan plasma nutfah (KPPN) meliputi:

    a. pemanfaatan untuk wisata alam, penelitian, pendidikan, dan ilmu pengetahuan;

    b. pelestarian flora, fauna, dan ekosistem unik kawasan;

    c. pembatasan pemanfaatan sumber daya alam;

    d. pembatasan bangunan hanya untuk yang menunjang kegiatan dalam pemanfaatan sebagaimana pada huruf a dan b.

    (3) Arahan peraturan zonasi kawasan pengungsian satwa meliputi:

    25

  • a. pemanfaatan untuk wisata alam, penelitian, pendidikan, dan ilmu pengetahuan;

    b. pelestarian dan pelatihan satwa;

    c. pembatasan bangunan hanya untuk yang menunjang kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b dengan teknologi yang disesuaikan.

    (4) Arahan peraturan zonasi koridor satwa yang dilindungi meliputi:

    a. pemanfaatan ruang untuk jalur migrasi satwa secara musiman;

    b. pelarangan kegiatan yang dapat mengganggu migrasi satwa;

    c. pelarangan penangkapan satwa yang dilindungi.

    (5) Arahan peraturan kawasan hutan pendidikan STIK meliputi :

    a. pemanfaatan untuk penelitian, pendidikan, dan ilmu pengetahuan;

    b. pembatasan bangunan hanya untuk yang menunjang kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a.

    Pasal 59

    1) Arahan peraturan zonasi kawasan rawan longsor meliputi:

    a. pemanfaatan ruang kawasan rawan longsor mempertimbangkan karakteristik, jenis, ancaman bencana dan teknologi;

    b. pemanfaatan ruang kawasan rawan longsor secara terbatas dan/atau bersyarat untuk kegiatan pertanian, perkebunan, perikanan, dan hutan, dengan jenis vegetasi yang sesuai, teknologi pengolahan tanah yang sesuai, dan drainase yang lancar;

    c. pembatasan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana dan kepentingan umum;

    d. pelarangan pendirian bangunan penting seperti industri atau pabrik, fasilitas umum dan fasilitas sosial.

    (2) Arahan peraturan zonasi kawasan rawan kebakaran hutan meliputi:

    a. pemanfaatan ruang kawasan rawan kebakaran hutan mempertimbangkan karakteristik, jenis, dan ancaman bencana kebakaran hutan;

    b. pemanfaatan ruang untuk bangunan dan permukiman dengan jarak aman terhadap hutan yang rawan terbakar;

    c. pemanfaatan ruang untuk tanaman sekat api;

    d. pelarangan membuang bahan yang dapat menyebabkan kebakaran ke dalam kawasan hutan dan/atau sekitarnya;

    e. pelarangan kegiatan di sekitar hutan yang dapat menimbulkan kebakaran hutan.

    (3) Arahan peraturan zonasi kawasan rawan letusan gunung berapi meliputi:

    a. pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik, jenis, dan ancaman bencana letusan gunung api;

    b. pemanfaatan ruang kawasan rawan letusan gunung api secara terbatas dan/atau bersyarat untuk kegiatan pertanian, perkebunan, hutan rakyat dan hutan produksi;

    c. pembatasan bangunan dalam jarak 3 (tiga) Kilometer dari potensi pusat letusan hanya untuk pemantauan ancaman bencana serta disesuaikan dengan teknologi.

    Pasal 60

    1) Arahan peraturan zonasi kawasan sekitar danau/waduk dan mata air meliputi:

    a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau (RTH);

    b. penetapan lebar kawasan sekitar danau/waduk dan mata air berjarak 500 meter dari pinggir danau;

    c. pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah abrasi dan/atau mempertahankan bentuk badan air danau/waduk dan mata air;

    d. pelarangan pendirian bangunan selain untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air danau/waduk dan mata air;

    26

  • e. bila kawasan sekitar danau/waduk juga berfungsi sebagai taman rekreasi, dapat didirikan bangunan yang terbatas untuk menunjang fungsi rekreasi.

    (2) Arahan peraturan zonasi kawasan sumber air masyarakat meliputi:

    a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau (RTH);

    b. penetapan luasan kawasan sumber air masyarakat sesuai kesepakatan masyarakat dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    c. pelarangan terhadap kegiatan yang dapat mengancam kelestarian hutan sekitar sumber air, menimbulkan pencemaran sumber air dan pendirian bangunan selain untuk pengelolaan dan/atau pemanfaatan air untuk masyarakat;

    d. bila kawasan sumber air masyarakat juga berfungsi sebagai taman rekreasi, dapat didirikan bangunan yang terbatas untuk menunjang fungsi rekreasi.

    (3) Arahan peraturan zonasi kawasan sekitar air terjun meliputi:

    a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau (RTH);

    b. penetapan luasan kawasan sekitar air terjun sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

    c. pelarangan terhadap kegiatan yang dapat mengancam kelestarian hutan sekitar air terjun, menimbulkan pencemaran air terjun dan pendirian bangunan selain untuk pengelolaan dan/atau pemanfaatan air terjun;

    d. bila kawasan sekitar air terjun juga berfungsi sebagai taman rekreasi, dapat didirikan bangunan yang terbatas untuk menunjang fungsi rekreasi.

    (4) Arahan peraturan zonasi sempadan pantai meliputi:

    a. pemanfaatan ruang untuk rekreasi pantai (termasuk jalan) serta untuk ruang terbuka hijau (RTH) dengan jenis tanaman kelapa, cemara, ketapang, dan tanaman pantai lainnya;

    b. penetapan lebar sempadan pantai 500 meter dari pasang tertinggi;

    c. pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah abrasi dan intrusi air laut;

    d. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan rekreasi pantai;

    e. pelarangan semua jenis kegiatan yang dapat menurunkan luas, nilai ekologis, dan estetika kawasan.

    5) Arahan peraturan zonasi sempadan sungai meliputi:

    a. pemanfaatan ruang untuk jalan inspeksi serta untuk ruang terbuka hijau (RTH);

    b. penetapan lebar sempadan sungai 100 meter untuk sungai besar, 50 meter untuk sungai sedang, dan 20 meter untuk sungai di pemukiman;

    c. penetapan zona bebas untuk sungai besar berjarak 400 meter dari sempadan sungai;

    c. pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah abrasi dan/atau mempertahankan bentuk badan sungai dan aliran sungai;

    d. pelarangan pendirian bangunan selain untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air sungai.

    Paragraf 3

    27

  • Arahan Peraturan Zonasi Kawasan Budidaya

    Pasal 61

    (1) Arahan peraturan zonasi kawasan permukiman perkotaan meliputi:

    a. kawasan permukiman perkotaan adalah kawasan permukiman dengan kegiatan utama bukan pertanian, dengan kegiatan yang melayani wilayah, dan didukung oleh kelengkapan prasarana dan sarana atau fasilitas pelayanan pada tingkat perkotaan;

    b. pengembangan kawasan ruang terbuka hijau (RTH) minimal 30 % dari luas kawasan perkotaan;

    c. pengembangan lingkungan permukiman dengan mempertimbangkan upaya mitigasi bencana yang meliputi: tata letak bangunan dan fasilitas, jaringan prasarana, konstruksi bangunan, serta antisipasi jalur ungsi (escape route) dan lokasi ungsi (escape building/ hill/area);

    d. penataan bangunan kawasan perkotaan dengan penetapan amplop bangunan yang mencakup: KDB (koefisien dasar bangunan), KLB (Koefisien Lantai Bangunan), ketinggian bangunan, KDH (Koefisien Dasar Hijau), sempadan bangunan (depan, samping, belakang);

    e. pembatasan melalui pengendalian terhadap kegiatan yang dapat mengganggu atau menurunkan kualitas lingkungan kawasan perkotaan.

    (2) Arahan peraturan zonasi kawasan permukiman perdesaan meliputi:

    a. kawasan permukiman perdesaan adalah kawasan permukiman dengan kegiatan utama pertanian, yang didukung oleh kelengkapan prasarana dan sarana atau fasilitas pelayanan pada tingkat perdesaan;

    b. pengembangan lingkungan permukiman dengan mempertimbangkan upaya mitigasi bencana yang meliputi: tata letak bangunan dan fasilitas, jaringan prasarana, konstruksi bangunan, serta antisipasi jalur ungsi (escape route) dan lokasi ungsi (escape building/ hill/area).

    Pasal 62

    Arahan peraturan zonasi kawasan perkantoran, perdagangan dan jasa meliputi:

    a. Berada diluar kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana;

    b. Tidak berada pada wilayah cekungan air dan tangkapan air;

    c. Tidak mengganggu fungsi lindung yang ada;

    d. Tidak mengganggu upaya pelestarian kemampuan sumber daya alam;

    e. Sesuai dengan daya dukung lahan setempat.

    Pasal 63

    Arahan peraturan zonasi kawasan green industry dan pergudangan meliputi:

    a. pelarangan terhadap bentuk kegiatan yang dapat merusak kualitas lingkungan;

    b. kawasan zona industri dan pergudangan dilengkapi dengan sarana dan prasarana pengelolaan limbah indutri (cair, padat dan gas) dan pengelolaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    c. lokasi kawasan jauh dari permukiman penduduk dan perkotaan;

    d. penyediaan ruang terbuka hijau serta ruang untuk permukiman pekerja yang didukung prasarana dan fasilitas penunjang lainnya.

    Pasal 64

    (1) Arahan peraturan zonasi kawasan hutan produksi meliputi:

    a. pembatasan pemanfaatan hasil hutan melalui pengendalian pemanfaatan hasil hutan untuk menjaga kestabilan neraca sumber daya kehutanan;

    b. pemanfaatan ruang kawasan hutan produksi untuk pengambilan hasil hutan bukan kayu secara selektif, dan pemanfaatan jasa lingkungan (penelitian, pendidikan dan ilmu pengetahuan, dan wisata);

    28

  • c. pembatasan pendirian bangunan hanya untuk menunjang kegiatan pemanfaatan hasil hutan sebagaimana pada huruf a dan b.

    (2) Arahan peraturan zonasi hutan rakyat meliputi:

    a. pemanfaatan sebagai hutan oleh orang pada tanah yang dibebani hak milik;

    b. pemanfaatan untuk kegiatan budidaya lainnya yang dapat bersinergi dengan hutan rakyat;

    c. pembatasan terhadap kegiatan yang dapat mengganggu kegiatan hutan rakyat.

    Pasal 65

    (1) Arahan peraturan zonasi kawasan pertanian pangan lahan basah meliputi:

    a. pemanfaatan ruang sebagai kawasan pertanian pangan lahan basah yang didukung oleh prasarana irigasi dan/atau tadah hujan;

    b. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk permukiman petani dengan kepadatan rendah;

    c. pelarangan konversi atau alih fungsi lahan pertanian pangan lahan basah beririgasi teknis, sebagai bagian dari lahan pertanian pangan berkelanjutan;

    d. pengendalian secara ketat konversi atau alih fungsi lahan pertanian pangan lahan basah tidak beririgasi untuk keperluan fungsi lahan lainnya.

    (2) Arahan peraturan zonasi kawasan pertanian pangan lahan kering meliputi:

    a. pemanfaatan ruang sebagai kawasan pertanian pangan lahan kering;

    b. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk permukiman petani dengan kepadatan rendah;

    c. pengendalian konversi atau alih fungsi lahan pertanian pangan lahan kering untuk keperluan fungsi lahan lainnya.

    (3) Arahan peraturan zonasi kawasan perkebunan besar meliputi:

    a. pengelolaan oleh badan usaha sesuai peraturan perundang-undangan;

    b. kelengkapan sarana dan prasarana termasuk permukiman pekerja perkebunan;

    c. pembatasan terhadap alih fungsi lahan hanya untuk kegiatan penunjang usaha perkebunan dan permukiman pekerja perkebunan beserta prasarana dan fasilitas penunjangnya;

    d. pelarangan terhadap kegiatan yang dapat merusak kualitas lingkungan.

    (4) Arahan peraturan zonasi kawasan perkebunan rakyat meliputi:

    a. pemanfaatan ruang dengan tanaman sejenis atau campuran pada lahan yang dibebani hak milik dengan skala usaha rakyat;

    b. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk permukiman petani pekebun dengan kepadatan rendah, yang didukung oleh kelengkapan prasarana dan fasilitas penunjangnya;

    c. pemanfaatan secara terbatas untuk sistem pertanian campuran (mix farming) sesuai dengan potensi yang ada, misalnya campuran dengan peternakan dan budidaya pertanian lainnya;

    d. pelarangan terhadap kegiatan yang dapat merusak kualitas lingkungan.

    (5) Arahan peraturan zonasi kawasan peternakan meliputi:

    a. Tidak berdekatan dengan kawasan permukiman;

    b. Tidak mencemari sumber air;

    c. Berada pada perbukitan ilalang;

    d. Sesuai dengan daya dukung lahan setempat.

    (6) Arahan peraturan zonasi kawasan perikanan meliputi:

    a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan perikanan tangkap dan budidaya perikanan (tambak, kolam, kerambah, jaring apung, dan sebagainya);

    29

  • b. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk permukiman nelayan/petambak dengan kepadatan rendah yang didukung oleh prasarana dan fasilitas penunjangnya;

    c. pengendalian pemanfaatan sumber daya perikanan agar tidak melebihi potensi lestari;

    d. pelarangan kegiatan yang berpotensi mengganggu dan/atau merusak kegiatan budidaya perikanan;

    e. pemanfaatan ruang perairan untuk kawasan pemijahan dan/atau kawasan sabuk hijau.

    Pasal 66

    Arahan peraturan zonasi kawasan pertambangan meliputi:

    a. kegiatan pertambangan berupa kegiatan eksplorasi dan eksploitasi bahan tambang: secara terbuka di permukaan bumi (open pit), di bawah permukaan atau dalam perut bumi (underground), dan di perairan lepas pantai (off-shore), didukung oleh sarana, prasarana dan teknologi yang sesuai;

    b. kegiatan pertambangan harus menerapkan standar keselamatan pekerja dan penduduk sekitar lokasi pertambangan;

    c. kawasan pertambangan dapat diaudit kegiatannya oleh publik melalui instansi terkait dan/atau pihak yang berwenang;

    d. kegiatan pertambangan berlangsung dalam jangka waktu tertentu;

    e. setelah kegiatan tambang berakhir (pasca tambang) pemanfaatan ruang/lahan di permukaan bumi/daratan yang dipakai semasa eksploitasi harus dilakukan reklamasi dan dikembalikan ke pemanfaatan ruang/lahan semula (sebelum eksploitasi tambang);

    f. pengendalian dan/atau pembatasan terhadap kegiatan yang dapat mengganggu kawasan sekitarnya.

    Pasal 67

    Arahan peraturan zonasi kawasan wisata meliputi:

    a. dapat merangsang pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya;

    b. kegiatan wisata yang memanfaatkan potensi alam disesuaikan dengan daya dukung lingkungan, daya tampung lingkungan dan norma-norma agama serta nilai-nilai budaya masyarakat setempat;

    c. pemugaran, pemeliharaan dan perlindungan terhadap bangunan atau situs peninggalan kebudayaan masa lampau diintegrasikan dengan konsep perencanaan dan pengembangan pariwisata;

    d. kegiatan wisata harus menerapkan standar keselamatan pekerja, pengunjung dan penduduk sekitar lokasi kepariwisataan;

    e. kegiatan wisata pantai harus menyediakan rambu-rambu arahan/peringatan, jalur evakuasi, menara pemantau dan pengawas pantai;

    f. pelarangan pendirian bangunan selain untuk pengelolaan kegiatan pariwisata.

    Pasal 68

    (1) Arahan peraturan zonasi kawasan rawan gelombang pasang meliputi:

    a. pemanfaatan ruang kawasan rawan gelombang pasang mempertimbangkan karakteristik, jenis, dan ancaman bencana dan teknologi serta zonasi sempadan pantai;

    b. pembatasan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana dan kepentingan umum.

    (2) Arahan peraturan zonasi kawasan rawan banjir meliputi:

    a. penetapan batas dataran banjir;

    b. pemanfaatan dataran banjir untuk ruang terbuka hijau dan pembangunan fasilitas

    30

  • umum kepadatan rendah dengan kontruksi khusus dan sistem drainase yang sesuai;

    c. pengalokasian ruang untuk kolam-kolam penampungan air dalam mengantisipasi luapan air pada musim penghujan.

    (3) Arahan peraturan zonasi kawasan rawan kekeringan meliputi:

    a. pemanfaatan ruang kawasan rawan kekeringan mempertimbangkan karakteristik, jenis, dan ancaman bencana kekeringan;

    b. pengembangan kolam penampungan air atau bentuk lainnya sebagai cadangan air pada saat kekeringan disesuaikan dengan teknologi;

    c. penanaman vegetasi tegakan tinggi sebagai upaya mengurangi dampak kekeringan dan membantu iklim mikro.

    (4) Arahan peraturan zonasi kawasan rawan angin badai meliputi:

    a. pemanfaatan ruang kawasan rawan badai mempertimbangkan karakteristik, jenis, dan ancaman bencana angin badai;

    b. pendirian bangunan dengan konstruksi tahan angin badai;

    c. memaksimalkan jaringan prasarana yang dibangun di bawah permukaan tanah;

    d. penanaman vegetasi yang dapat mengurangi kekuatan angin badai di kawasan pesisir pantai.

    (5) Arahan peraturan zonasi kawasan rawan gempa bumi meliputi:a. pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik, jenis, dan ancaman

    bencana gempa bumi;b. pendirian bangunan dengan konstruksi tahan gempa.

    6) Arahan peraturan zonasi kawasan yang terletak pada zona patahan aktif meliputi:

    a. pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik, jenis, dan ancaman bencana serta disesuaikan dengan teknologi;

    b. pemanfaatan ruang terbatas untuk kegiatan pertanian, perkebunan, perikanan, hutan rakyat, dan hutan produksi;

    c. pembatasan bangunan hanya untuk pemantauan ancaman bencana dan kepentingan umum.

    7) Arahan peraturan zonasi kawasan rawan tsunami meliputi:

    a. pemanfaatan ruang kawasan rawan tsunami mempertimbangkan karakteristik, jenis, dan ancaman bencana tsunami serta disesuaikan dengan teknologi;

    b. pemanfaatan ruang kawasan rawan tsunami secara terbatas untuk kegiatan pertanian, perkebunan, perikanan, hutan rakyat, dan hutan produksi;

    c. pembatasan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana dan kepentingan um