Upload
iffati-ifadati
View
215
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Project, lomba
Citation preview
Angka Satu dan Tiga Puluh
“Halo?” Suara kantuknya jelas kentara di telinga seseorang di seberang sana.
Tak ada jawaban.
Mira memandangi layar telepon genggam di tangannya yang tengah menampilkan dua belas deret
angka dan timer di bawahnya. Tiga detik kemudian, tepat di angka 00:01:30, sambungan terputus. Mira
tertegun. Terlihat samar jam dinding kamarnya, berdetak teratur. Jarum jam menunjukkan waktu tidur
masih tersisa lima jam lagi.
“Mira!” Yang dipanggil menoleh. Bima, kakak tingkat yang selama ini sangat getol mengejarnya
entah karena apa berlari kecil ke arah Mira.
“Ya, Mas? Ada apa?” Berusaha sopan, Mira tersenyum. Sekalipun moodnya tak karuan gara-gara
telepon aneh beberapa hari terakhir ini.
“Boleh bicara sebentar? Ada yang perlu saya bicarakan. Sekali ini saja tolong lah, ini penting.”
Mira memutar otak, mencari seribu satu alasan yang mungkin untuk menolak undangan kakak tingkatnya
itu. Akan panjang buntutnya kalau orang-orang tahu ia ada hubungan dengan sosok se-terkenal itu.
“Saya ada kuliah sejam lagi, Mas. Bicaranya disini aja bisa, kan?”
“Masih lama. Di kantin aja, sekalian makan. Ada banyak yang perlu saya katakan ke kamu.” Malas
berdebat lama-lama, Mira mengangguk saja.
“Mau ngomongin apa, Mas? Sepertinya kok penting dan mendesak.”
“Oke, jadi saya mulai jelasin sekarang aja. Sebenarnya, saya kerja di suatu koran mingguan yang
independen dan rahasia. Istilahnya, media bawah tanah. Bukan berarti kami menerbitkan berita-berita yang
sifatnya kiri, Dik. Kami hanya menulis apa yang tidak bisa kami tuliskan di media-media konvensional…
Nah, sebelum kamu berasumsi macam-macam saya katakan saja, selama ini saya berusaha
mendekati kamu karena satu alasan. Berdasarkan data yang kami punya, kamu adalah salah satu korban
tragedi sepuluh tahun yang lalu. Kamu masih ingat, kan? Tragedi yang menimpa desa tempat tinggalmu…”
Belum sempat Bima menyelesaikan kalimatnya, Mira sudah bangkit dari kursinya. Tubuhnya berkeringat
dingin.
“Maaf, Mas. Saya ada kuliah. Kapan-kapan kita ngobrol lagi.”
“Eh, sebentar Mira, saya paham kamu masih sensitif dengan masalah ini. Tapi ada kebenaran yang
orang perlu tahu, Mira. Saya mohon, kami nggak minta apa-apa dari kamu selain kesediaanmu.” Bima
menahan lengan Mira. Gadis itu memandang Bima lekat-lekat, ada yang bergejolak dalam hatinya. Ia
kemudian meraih tangan Bima dan menuliskan sesuatu di atasnya.
“Itu nomor telepon saya. Saya akan bicara tapi tidak sekarang, tidak di tempat ini. Terlalu banyak
telinga disini. Maaf kalau reaksi saya berlebihan, saya duluan, Mas.” Mira bergegas berjalan pergi menjauh
dari kantin, meninggalkan lawan bicaranya yang kebingungan.
Bima menghela napas panjang. Ia mengeluarkan kamera berisi foto-foto hasil jepretannya di lokasi
peristiwa kebakaran. Ya, peristiwa yang menewaskan anggota keluarganya sepuluh tahun lalu. Ada satu hal
aneh yang ia temui di foto-foto itu, yang membuatnya merasa ganjil. Kenapa ada kumpulan tengkorak
binatang di salah satu rumah?
Dering telepon membangunkan Mira dari tidurnya yang tak seberapa nyenyak. Diraihnya telepon
genggam yang tergeletak di lantai, mungkin tak sengaja tersepak oleh kakinya. Mata Mira menyipit begitu
melihat nomor yang tertera di layar.
“Halo?”
Masih sunyi. Bahkan suara hembusan nafas pun tak sampai ke telinga Mira. 00:01:30, sambungan
terputus. Sama persis dengan yang terjadi dua puluh empat jam yang lalu. Masih ada waktu lima jam
sebelum pukul enam pagi, masih ada waktu lima jam untuk tidur. Tapi Mira masih terjaga, berpikir.
Jantungnya berdegup sedikit lebih kencang dari biasa, entah kenapa. Ada sesuatu yang membangunkan
ketakutan dalam dirinya yang lama terlupakan.
Mira melangkah pelan memasuki ruangan yang gelap dengan Bima di depan . Di ruangan ini, ia
dipertemukan dengan kawan-kawan ‘seperjuangan’ Bima, wartawan-wartawan dari berbagai media besar
di luar.
"Jadi, Mira, kami ingin langsung to the point saja. Apa yang kamu ingat dari kejadian malam itu?
Kamu satu-satunya saksi yang tersisa dari peristiwa malam itu.” Tanya seorang wartawan dengan huruf ‘K’
di dada kiri pakaiannya.
“Malam itu, rumah saya kedatangan tamu. Seorang berpenampilan rapi, yang sangat akrab dengan
bapak dan ibuk. Dia membawa uang. Banyak sekali, saya nggak tahu pasti berapa jumlahnya. Sempat
terdengar orang bertikai, kemudian, peristiwa itu terjadi.” Mira menunduk dan memejamkan matanya,
seolah meyakinkan siapapun itu di dalam dirinya untuk mau mengatakan sesuatu.
“Katakan saja, Mira. Kami akan bantu semampu yang kami bisa. Orang tuaku, kakek-nenekku,
keluargaku, semua tewas oleh kejadian itu. Kita berbagi rasa yang sama dan kita perlu kebenaran itu,
Mira.” kata Bima menggenggam tangan kiri Mira, meyakinkan.
“Saya… saya…” berhenti sejenak. “Bapak hanyalah PNS golongan rendah, ibu juga hanya di
rumah. Menyiram tanaman, memasak, sudah itu saja. Tapi setelah mengenal orang itu, kehidupan kami
berubah seratus delapan puluh derajat. Sejak saat itu, orang tua saya jadi kaya raya. Saya nggak pernah
tahu darimana kekayaan itu sampai saya sadar bahwa orang itu lah yang membawanya kepada kami,
membawa pengaruh buruk pada kami, menyesaki rumah dengan iblis dan ruang ibadah tolol nya!” suara
Mira bergetar, tubuhnya berguncang. Air matanya jatuh kepada telapak tangan yang menutup wajahnya.
“Ruang ibadah?”
“Di ruang ibadah itu… Hal-hal tak jelas dan mengerikan dilakukan disana. Awalnya kami
menyembelih hewan-hewan untuk persembahan setiap tanggal tiga puluh setiap bulan. Satu kepala hewan
sama artinya dengan satu tas besar berisi uang. Tapi lama-lama permintaan mereka semakin aneh.
Harusnya, tepat sepuluh tahun yang lalu adalah saat persembahan…”
“Ada berapa banyak orang yang terlibat, Mira?” Bima berusaha mengendalikan diri.
“Lebih banyak dari yang saya tahu, lebih dari yang kita kira. Mereka ada dimana-mana, Mas.
Mereka selalu tahu apa yang orang tua dan saya lakukan.”
“Lalu kamu tahu identitas mereka? Seperti nama, misalnya?” kali ini si wartawan yang bertanya.
“Tidak, tak pernah. Tapi sepertinya saya pernah lihat orang itu di televisi. Pakaiannya perlente, dia
terlihat seperti orang penting, pejabat. Itu yang saya ingat.”
“Baiklah, Mas. Kurasa cukup buat hari ini. Saya akan antar Mira pulang, sudah larut malam.”
Bergegas Bima pamit pada semua orang di ruangan, membimbing Mira menuju motornya di luar.
“Halo, sayang… Sudah siapkah untuk pertunjukan malam ini?”orang keren itu berjongkok,
mengusap kepala Mira. Ia tersenyum menunjukkan deretan giginya yang kuning.
“Ah, Mira, pergilah ke kamarmu. Tunggulah disana, ya? Bapak mau bicara dulu dengan oom ini.”
Mira segera berlari ke kamar. Walau penasaran apa yang akan dibicarakan keduanya, ia mau jadi anak
yang baik, ia harus menurut.
Seketika Mira terbangun. Badannya basah oleh keringat. Kenangan yang telah lama tak kembali
dalam tidurnya, baru saja memutar lagi rekaman peristiwa yang harusnya ia lupakan. Mira menutup
matanya, menenangkan diri. Entah kenapa, malam ini terasa lebih panas dari biasanya.
Dini hari tanggal tiga puluh Januari. Tiba-tiba telepon genggamnya bergetar. Dengan tangan
gemetar, Mira menekan tombol hijau di layar. Didekatkannya besi kotak di tangannya itu ke telinga.
“H…Halo?”
“Halo, sayang… Sudah puas bernyanyinya?”
Handphone di tangan Mira terlepas dari genggamannya. Tubuh Mira lemas, jatuh terduduk di sudut
kamar. Suara itu terlalu akrab baginya, suara yang meskipun bertahun-tahun berlalu tetap tak dapat ia
lupakan. Udara semakin memanas. Asap memenuhi kamar, ruang tamu, ruang makan, membakar paru dan
kerongkongan, melahap segala diantara lantai kayu dan genting rumah. Sedangkan Mira terlanjur menutup
mata, tak sadarkan diri.
“Saya tidak mungkin mempersembahkan warga desa, Pak.”
“Itu satu-satunya jalan! Atau kau mau keluargamu yang kujadikan tumbal? Kanjeng Raden marah
besar, kau sudah telat beberapa jam! Ayolah, apa artinya satu nyawa tetanggamu dibandingkan uang
yang akan memenuhi lemari bajumu, Wiryo?”
“Tidak bisa, Pak! Saya masih waras. Saya tak mau berdosa lebih banyak dari ini!”
“Tahu apa kau tentang dosa? Kau sudah berlumuran olehnya, neraka akan dengan senang hati
menampungmu, Wir. Terlambat kau bicara dosa sekarang!”
“Tuhan selalu menerima taubat hambanya, Pak. Saya mau bertaubat. Saya ingin berubah.
Sekarang, saya minta kau pergi dari rumah ini, atau saya panggil polisi!”
“Beraninya kau berkata begitu?! Ketahuilah Kanjeng Raden sudah dengar katamu. Jangan
merengek-rengek kalau kau nanti mati!”
Udara semakin memanas, membakar. Dalam hitungan detik, seluruh rumah di lingkungan itu
dilalap Si Jago Merah. Jeritan-jeritan putus asa semakin kencang terdengar, dan melirih seiring
berjalannya malam. Api masih menyala dengan ganas, merubuhkan semua yang ada di dalamnya,
melelehkan segala yang ada di jangkauannya. Kecuali seorang gadis kecil yang tangisannya kalah oleh
suara genteng pecah dan kayu ambruk. Dua pasang tangan melingkari tubuhnya.
Sekotak Pelarian
Cinta tak pernah sesederhana cerita-cerita picisan di televisi. Tak ada sejarahnya tukang tambal ban
yang ‘ngantor’ di perempatan jalan boleh mencintai mahasiswi cantik warga kampus seberang. Kisah
bergerak itu hanya tipuan, agar rakyat kecil seperti tukang-tukang tambal ban seluruh Indonesia tergila-gila
dan lupa daratan, lupa listrik di desa tak jelas hidup-matinya. Tak pernah ada sejarahnya tukang tambal ban
bisa setampan Vino G. Bastian. Kalaupun ada, itu fatamorgana.
Usiaku sembilan belas tahun. Dulu aku sempat sekolah, percayalah. Sekolahku di sini, di jantung
kota yang sama dengan tempatku mencari duit saat ini. Pertengahan kelas dua SMK, dengan tidak terlalu
terpaksa sekolah mengeluarkanku karena memprotes kenaikan uang SPP. Ceritanya klasik, kemudian aku
memutuskan menjadi asisten Pak Yono (orang tua yang luar biasa baik menampungku) di kios tambal ban
untuk menyalurkan ilmu yang kudapat di bangku sekolah selama dua tahun. Jangan tanya bengkel, ia masih
kuusahakan dengan menabung dari hasil kios tambal ban.
Masalah cinta, aku tak pernah tertarik mencintai orang lain selain emak di rumah dan bapak yang
sudah tiada. Satu-satunya kisah cintaku hanyalah cerita masa SMP dulu, dimana badanku bonyok memar-
memar dijotos pacar kawan sekelasku, dikira aku menikung kekasihnya. Justru karena kejadian itu,
akhirnya aku jadi benar-benar suka dengan teman perempuanku itu. Perasaan yang hanya berlangsung
seminggu saja, seharusnya itu bukan cinta.
Semua itu berubah sejak aku bertemu…tidak, maksudku melihat ‘dia’ yang kuceritakan
sebelumnya. Ia memang tidak secantik yang lain, juga tak berbodi aduhai seperti artis dangdut. Tapi sosok
dengan kerudung lebar dan rok panjang itu yang selalu kutunggu setiap pagi, di balik jendela kamar kos.
Terlalu naif kalau kukatakan aku tak ingin berkenalan dengannya. Jauh dalam hati aku ingin, tapi tergesa-
gesa hanya akan membuat skenario alam berantakan. Biar mengalir, entah kapan itu terjadi.
Namanya Atmarini, begitu saja tanpa embel-embel. Setidaknya, itu yang dapat kusimpulkan dari
tanda tangan di buku yang terjatuh dari tas ranselnya. Buku itu bertuliskan “KALKULUS” besar-besar di
sampulnya. Judul mata pelajaran yang asing bagi tamatan SMP sepertiku. Dari penampilannya, menurutku
buku ini tergolong mahal. Maka ketika dia telah menyeberang jalan nanti, aku bertekad akan
menghampirinya dan bersikap kesatria dengan menyerahkan buku berharga ini.
“Kenapa, Lim? Lagakmu seperti sedang jatuh cinta saja. Jatuh cinta dengan siapa kau?” Pak Yono
menepuk pundakku sedikit terlalu keras. Aku diam, memandangi gedung kuliahnya, tempat dimana ia
menuntut ilmu; atau setidaknya begitulah perkiraanku. Sepertinya kuliah kan sama saja dengan sekolah.
“Katakan kau tak jatuh cinta dengan cewek kampus itu, Lim.” Di saat seperti ini, kurasa lebih baik
diam, bersiap menerima ‘pelatihan fisik’ dari Pak Yono. Orang ini memang selalu melampiaskan
perasaannya dengan tindakan.
“Bagaimana lagi, Pak? Yang namanya cinta, ya cinta…” kutimbang-timbang buku di tanganku ini.
Aku tersenyum membayangkan wajah bahagia Atmarini ketika nanti bukunya kembali lagi ke pelukannya.
“Jangan bercanda lah kau. Lelakinya macam kau begini, mana mungkin cewek-cewek itu tertarik?
Ingatlah kau hanya tukang tambal ban. Bukan montir yang keren dan terlihat macho mengutak-atik mobil
bertenaga surya” Aku tertawa. Mungkin betul, bukankah lelaki-lelaki di kampus itu belajar merakit mobil
sendiri? Ngomong-ngomong, aku juga tak tahu darimana Pak Yono mengerti kosakata ‘tenaga surya’.
“Justru itu, Pak. Seandainya aku dulu tamat sekolah, mungkin aku salah satu dari mereka yang
merakit mobil bertenaga surya”
“Nah, itu tanda-tanda orang jatuh cinta; mengada-ada. Kembalilah bekerja, cari duit yang banyak
biar emakmu bangga.” Aku masih tertawa. Kali ini dengan perasaan campur aduk, teringat emak di
Wonosari. Jam segini, Emak pasti tengah mengemasi dagangannya di pasar. Jajanan pasar memang selalu
laku, dari hari kerja hingga pekan berakhir.
Akhirnya sore itu tiba juga. Pukul tujuh belas, aku mulai bersiap ketika melihatnya menunggu jeda
kendaraan untuk melangkah menyeberang jalan. Suara klakson mobil dan motor memacu semangatku,
memaksa jantungku agar berdegup lebih kencang.
“Selamat sore, Mbak…” aku memulai dengan mengiringi langkah kakinya. Wanita pasti suka
disapa.
“Sore.” Balasnya singkat sambil terus berjalan.
“Perkenalkan, Mbak, nama saya Halim… lengkapnya Nurhalim. Saya jaga kios tambal ban di
depan situ, Mbak.” Kuulurkan tangan kananku, terengah-engah mengikuti jalannya yang semakin cepat. Ia
hanya tersenyum tipis, seolah ingin segera kabur.
“Eh, sebenarnya, saya hanya ingin menyerahkan buku ini, Mbak. Kemarin terjatuh di perempatan
situ ketika Mbak menyeberang. Ndak sempat diberikan saat itu karena Mbak sudah ndak terkejar.” Aku
menyodorkan buku putih tebal itu kepada Atmarini. Ia menerimanya, membisikkan satu kalimat ‘terima
kasih’ kemudian berjalan lebih cepat dari sebelumnya. Kutarik napas kuat-kuat, mencoba meredakan
apapun yang bergejolak di dalam diriku.
Untuk pertama kalinya dalam sembilan belas tahun hidupku, aku merasakan patah hati.
Setelah sore yang naas pukul tujuh belas itu, kopi selalu jadi sandaranku. Secangkir penyadaran atas
kehidupan, seteguk peringatan akan pahit yang dulu-dulu. Gara-gara dia, pagiku selalu untuk duduk di
depan jendela, menyesap secangkir kopi tanpa gula. Bukan apa-apa. Maksudku sekadar untuk melupakan
manisnya. Biar aku kebal dengan pahit, seperti aku yang harus terbiasa memandangnya hanya dari balik
jendela kamar kos.
Jalanan di depan sana mulai ramai. Kupandangi satu per-satu anak-anak sekolah itu, mahasiswa,
tukang roti keliling, kau… kau yang selalu berangkat terlalu pagi… Wajahnya masih sama, cantik, segar
dan tanpa beban. Mungkin Atmarini berhasil melalui mimpi-mimpi buruknya semalam. Oh, bodohnya aku
yang selalu lupa berdoa. Tak mungkin lah ia gelisah karena hal-hal remeh macam mimpi buruk, sedang
malaikat saja menjaga tidurnya sepanjang malam.
Sudah pukul tujuh, saatnya bangkit dan memulai hari, menghadapi tanggung jawab dan polusi lalu
lintas Yogyakarta.
Pak Yono tak lelah-lelahnya menertawakanku, setiap pagi sejak aku menceritakan kejadian
mengenaskan yang merobek-robek hatiku itu. Aku tak pernah tersinggung, malah aku ikut tertawa,
menunjukkan pada Pak Yono bahwa aku baik-baik saja. Tapi ketahuilah, kawan, tertawa dalam kondisi
sakit hatimu sungguh sangat menyulitkan tugasku menambal ban bocor.
“Apa kubilang, Lim? Kau harusnya cari cewek yang selevel dengan kau, lah. Coba kau dekati anak
Bu Sumi yang jaga warung nasi sebelah. Kulihat dia mencuri-curi pandang padamu sampai salah
menyerahkan uang kembalian kemarin.”
“Biarlah, Pak. Kalau jodoh ia tak akan kemana-mana.” kataku sok bijak. Jujur saja, sebenarnya aku
sendiri ragu dengan ke-valid-an pepatah itu.
“Oh, iya, pagi tadi aku dapat selebaran ini dari Pak RT. Ada makan gratisnya, aku mau mengajak
anak-istriku juga. Kau mau ikut tidak?” Aku meraih selebaran yang disodorkan Pak Yono. Kertasnya sudah
penuh oli, tapi masih sedikit terbaca. PENGAJIAN AKBAR REMAJA MUSLIM