32
AL-QUR’AN TENTANG KEMAJEMUKAN UMAT MANUSIA 1 Dr. Zulkarnaini Abdullah اء: ي ب ن الأ( ن مي ل عا ل ل مة ح لأ ر ا اك ي سل ر ا وما107 ) Kami tidak mengutusmu melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam (Al-Anbiya’: 107) A. Pendahuluan Kemajemukan atau pluralitas adalah istilah yang kerap terdengar namun jarang disadari keberadaannya, terutama sekali ketika kemajemukan itu terkait dengan kepentingan- kepentingan tertentu. Kemajemukan adalah sifat alam semesta, termasuk manusia, pandangan, gagasan dan keyakinannya. Dunia ini penuh dengan keragaman, dan itulah yang membuat ia terlihat indah dan kaya raya. Memaksakan keseragaman pada dunia ini akan menimbulkan kebosanan dan bahkan kecacatan. 1 Makalah (revisi) ini pernah disampaikan pada acara Dialog Publik Nurcholish Madjid Memorial Lecture di IAIN Ar-Raniry, 11 Juli 2007. 1

Qur'an Dan Kemajemukan 2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Qur'an Dan Kemajemukan 2

AL-QUR’AN TENTANG KEMAJEMUKAN UMAT MANUSIA1

Dr. Zulkarnaini Abdullah

: األنبياء ) للعالمين رحمة إال أرسلناك ( 107وماKami tidak mengutusmu

melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam)Al-Anbiya’: 107(

A. Pendahuluan

Kemajemukan atau pluralitas adalah istilah yang kerap terdengar namun jarang disadari

keberadaannya, terutama sekali ketika kemajemukan itu terkait dengan kepentingan-

kepentingan tertentu. Kemajemukan adalah sifat alam semesta, termasuk manusia,

pandangan, gagasan dan keyakinannya. Dunia ini penuh dengan keragaman, dan itulah

yang membuat ia terlihat indah dan kaya raya. Memaksakan keseragaman pada dunia

ini akan menimbulkan kebosanan dan bahkan kecacatan.

Kemajemukan secara umum mungkin tidak ada masalah, tetapi ketika ia

dikaitkan dengan pikiran, pandangan dan keyakinan, maka manusia mulai merasa

tersinggung. “Kita” menginginkan semua orang lain berpikiran, berpandangan dan

berkeyakinan seperti yang “kita” miliki. Dalam kenyataannya, hal ini tidak mungkin,

walaupun kita sangat menginginkannya.2 Kemajemukan dalam berkreativitas dan

beragama telah menjadi fakta tidak terbantahkan dalam sejarah.

Persoalannya adalah satu: manusia cenderung ingin menang dan berkuasa.

Sementara itu, kemajemukan meniscayakan kita bertenggang rasa, egaliter, bersikap

1Makalah )revisi( ini pernah disampaikan pada acara Dialog Publik Nurcholish Madjid Memorial Lecture di IAIN Ar-Raniry, 11 Juli 2007.

2Bandingkan Q. S. Yusuf: 103.

1

Page 2: Qur'an Dan Kemajemukan 2

terbuka dan bahkan mengalah. Bagi sebagian orang, hal ini mungkin menyakitkan.

Tetapi, sesungguhnya dunia tidak pernah sempurna, dan manusia akan terus menerus

dalam pertikaian jika selalu memaksakan kehendaknya sendiri. Untuk itu, negosiasi

barangkali perlu dihidupkan. Negosiasi dapat memberikan kita sedikit kelenturan dan

menghilangkan ketegangan-ketegangan. Negosiasi artinya bersikap saling terbuka dan

berbagi untuk kepentingan dan keuntungan yang lebih besar nilainya dibandingkan hasil

yang akan diperoleh dari pertikaian dan permusuhan.

Tulisan ini bukan tentang negosiasi, tetapi tentang isu-isu yang terkait dengan

pesan-pesan al-Qur’an mengenai kemajemukan umat manusia, yang mengisyaratkan

akan kebutuhan kita kepada negosiasi itu.

Fakta Sejarah

Kita hari ini dilahirkan ke dalam dunia yang kaya dengan keragaman budaya, ras,

bahasa dan agama. Kita berbeda dari nenek moyang kita di zaman dahulu kala, ketika

dunia ini amat luas bagi mereka. Dunia hari ini amat sempit dan kita semakin

berdesakan. Semakin banyak penghuni bumi ini, semakin banyak pula keragaman yang

mereka hasilkan, dan kita dituntut untuk semakin dapat bertenggang rasa. Memaksakan

keseragaman adalah hal yang sia-sia. Al-Qur’an mengingatkan bahwa Tuhan pun lebih

suka membiarkan kemajemukan itu, meskipun pada dasarnya kalau memang Tuhan

menginginkan Ia dapat saja menyeragamkan segalanya.3

Sejarah manusia dimulai dengan kehidupan yang amat sederhana. Gagasan,

pemikiran, pakaian dan peralatan yang dimiliki oleh manusia purba atau manusia

3Q. S. Al-Maidah: 48.

2

Page 3: Qur'an Dan Kemajemukan 2

generasi awal – dapat dibayangkan – pasti amat sedikit, simpel dan terbatas. Dunia ini

pun amat luas bagi mereka. Ketika manusia telah membentuk komunitas-komunitas

yang banyak, mereka mulai menghuni dunia ini pada wilayah-wilayah berbeda. Akan

tetapi mereka tetap saja jarang atau bahkan tidak memiliki kontak sama sekali antara

satu komunitas dengan yang lain. Mereka hidup dan membangun peradaban secara

terpisah-pisah. Karena itu, keyakinan-keyakinan atau konsep-konsep tentang agama

atau aturan hukum yang mereka anut dipahami sebagai kebenaran tunggal.

Pandangan-pandangan dari komunitas asing sering dianggap keliru dan jahat.

Hal ini dikarenakan suatu masyarakat biasanya hidup secara harmonis di bawah

bimbingan sebuah otoritas suci dan jarang menerima konsep-konsep dari luar. Di

samping itu tidak jarang kehadiran orang asing dalam kehidupan mereka membawa

malapetaka atau hal-hal yang tidak diinginkan. Lebih jauh, kehadiran kelompok asing

acap kali dengan tujuan perampasan dan kolonialisasi. Pada akhirnya, setiap kelompok

masyarakat membangun self image tersendiri dan memusuhi setiap orang luar dan

segala sesuatu yang asing dianggap negatif dan berbahaya.

Pandangan-pandangan keagamaan juga dipengaruhi oleh sikap masyarakat

seperti itu. Agama menjadi sebuah “kebenaran” yang berada pada pihak “kita”,

sementara apa yang dianut oleh “orang lain” yang berbeda adalah “kebatilan”. Maka

pemeluk-pemeluk agama yang berbeda sering kali terlibat dalam konflik dan bahkan

perang. Mereka saling memusuhi lebih disebabkan oleh karena mereka tidak saling

mengenal. Karena itu, untuk mengembangkan nilai-nilai persaudaraan umat manusia,

konsep ta‘ārafū sangat ditekankan al-Qur’an.4

4Q. S. Al-Hujurat: 13.

3

Page 4: Qur'an Dan Kemajemukan 2

Al-Qur’an, Sejarah dan Pesan Moral

Kita perlu bercermin pada sejarah.5 Sejarah adalah masa lalu yang telah dilintasi

manusia. Tidak seorang pun dapat kembali ke masa lalu, tetapi masa lalu itu dapat

menjadi cermin bagi umat manusia yang hidup di masa kini. Sebab itu, siapa pun tidak

dapat melupakan masa lalunya bila ia ingin membangun kehidupan masa kini yang

lebih baik dan proporsional. Dalam pandangan Islam, sejarah selalu menampilkan sisi

edukasi yang mengingatkan manusia akan kebesaran Tuhan dan kelemahan manusia di

hadapan mahkamah waktu. Dalam al-Qur’an pesan-pesan moral dari berbagai peristiwa

sejarah selalu ditekankan: Manusia-manusia zalim tidak pernah menang melawan

hukum sejarah; hanya komunitas yang tunduk pada Tuhan, berlaku adil dan jujur, yang

pada akhirnya diselamatkan.6

Menurut Islam, pertikaian di antara umat manusia tidak seharusnya terjadi atas

nama agama. Tuhan itu satu dan umat manusia juga satu. Konsekuensinya adalah

bahwa agama yang diturunkan Tuhan juga satu; tidak mungkin ada pertentangan di

antara agama Tuhan. Menurut al-Qur’an, Tuhan telah mewasiatkan pesan keagamaan

yang sama kepada setiap Nabi, dan pertikaian di antara umat penerima wasiat-wasiat

tersebut hanya disebabkan oleh kedengkian semata.7 Al-Qur’an, dan juga para Nabi,

menentang mereka yang sombong, yang menuhankan diri sendiri atau menuhankan

makhluk untuk kepentingan komersial dan kekuasaan. Karena itu para nabi selalu

berhadapan dengan para penguasa korup dan para elit yang rakus di zamannya.

5Q. S. Al-Hasyr: 18.6Lihat misalnya kisah-kisah dalam Q. S. Al-Qashash dan Q. S. Yusuf.7Q. S. Al-Baqarah: 213.

4

Page 5: Qur'an Dan Kemajemukan 2

Kenyataan Masa Kini

Kemajuan dalam bidang teknologi telah menjadikan dunia ini bagaikan sebuah

perkampungan sempit yang mudah sekali terjangkau ke segala penjuru dan menjadikan

interaksi antar umat manusia yang berasal dari latar budaya dan agama yang sangat

beragam semakin mudah. Manusia yang berbeda pandangan dan berbeda kepentingan

dapat saling berhubungan dan berkomunikasi dengan lancar di belahan dunia mana pun

mereka berada. Berbagai ideologi dan konsep-konsep kehidupan berkembang dengan

cepat dari satu kelompok manusia kepada yang lainnya.

Kenyataan ini pada satu sisi membawa dampak positif bagi mereka yang

berhasrat untuk menciptakan kehidupan harmonis antar umat manusia di dunia ini.

Keragaman atau pluralitas semakin tampak sebagai sebuah kenyataan kehidupan yang

tidak perlu dipungkiri. Manusia memiliki latar belakang pengalaman sejarah dan budaya

berbeda, dan ini telah melahirkan cara pandang terhadap berbagai masalah dengan

metode berbeda-beda pula. Keragaman pada akhirnya bukan lagi sesuatu yang harus

ditakuti, tetapi semakin terlihat sebagai sebuah kekayaan visi manusia untuk

membentuk dinamika kehidupan yang lebih indah dan dapat saling mengisi.

Namun demikian, dalam bidang teologi, agama masih menyisakan persoalan

yang sangat rumit dan memerlukan kepada telaah yang lebih dalam. Agama telah

memasuki wilayah mentalitas manusia yang cukup dalam; agama juga sampai hari ini

masih menyisakan berbagai misteri dan fenomena yang sangat kompleks dan bahkan

kadang-kadang tidak terjelaskan. Orang masih saja saling membunuh dan

menghancurkan demi agama. Beberapa tahun lalu, beberapa orang anak sekolah di

Poso, misalnya, pernah disembelih oleh orang-orang tertentu; para pelakunya

5

Page 6: Qur'an Dan Kemajemukan 2

menganggap itu termasuk di antara tugas suci dalam agama mereka. Ini amat

mengerikan dan ini adalah sisi yang sangat mengkhawatirkan dari ideologi agama. Oleh

sebab itu kajian ulang secara serius dan secara sungguh-sungguh terhadap interpretasi

ajaran-ajaran agama benar-benar sangat diperlukan.

Dunia telah menghadirkan jalan yang sangat mudah bagi umat manusia yang

hidup di zaman ini untuk saling berkomunikasi dan berdialog. Tapi amat disayangkan,

fasilitas ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Hubungan antar umat manusia yang

berbeda-beda kini sudah sangat dekat secara fisik, namun mereka masih sangat

berjauhan dari sisi spiritualitas.8 Kita belum mampu untuk sedikit merendah hati dan

belajar tentang orang lain; malah kita lebih senang bila dapat mengalahkan dan

menghancurkan orang lain. Padahal setiap agama mengajarkan untuk saling berdamai

dan bersaudara.

***

Abad ini memperlihatkan kesadaran baru umat manusia. Dengan teknologi dan ilmu

pengetahuan kontemporer yang memperkenalkan berbagai kemudahan bagi manusia

dalam beraktivitas, mata manusia menjadi semakin terbuka terhadap berbagai misteri

mengenai dirinya. Berbagai cabang ilmu pengetahuan dan hasil-hasil penelitian

memberi tahu kita berbagai aspek dari kehidupan manusia dan mempersiapkan kita

menghadapi berbagai tantangan yang mungkin tiba, meski kelihatan tidak akan pernah

berakhir. Namun, setidak-tidaknya, manusia semakin sadar betapa tidak ada batasnya

cakrawala, imajinasi dan ilmu pengetahuan; dan betapa kecil dirinya di tengah-tengah

segala eksistensi.

8Lihat “Pendahuluan” buku Reuven Firestone, Children of Abraham: An Introduction to Judaism for Muslims, )Hoboken: Ktav Publishing House, 2001(.

6

Page 7: Qur'an Dan Kemajemukan 2

Kesadaran ini meniscayakan manusia melihat dirinya sebagai makhluk yang

terbatas dan tidak pernah berhenti berproses untuk mencapai yang lebih baik.

Kebenaran tidak lagi berhenti pada sebuah titik, tetapi bergerak dan dinamis. Kebenaran

tidak dapat lagi dianggap absolut dan monopoli orang atau kelompok tertentu;

kebenaran harus selalu diuji dalam konteks, tempat dan waktu yang berbeda. Jika

kesadaran ini benar telah tumbuh dengan baik, maka manusia akan enggan menciptakan

permusuhan dan amat malu bersikap arogan; manusia akan selalu berpikir tentang

dirinya sebagai makhluk yang mungkin saja bersalah dan enggan membuat klaim-klaim

kebenaran dengan cara-cara yang merendahkan orang lain. Dengan demikian,

persaudaraan kemanusiaan menjadi sesuatu yang amat mungkin.

Kesadaran Historis

Sejarah mengingatkan manusia akan kekayaan khazanah peradaban yang luar biasa.

Sejarah juga menyadarkan manusia akan keragaman warna hidup yang mereka jalani

dari waktu ke waktu, perubahan-perubahan yang mereka alami dan diversitas

lingkungan sosial yang telah terbentuk sepanjang lintasan waktu yang pernah mereka

kenal. Sejarah adalah masa lalu yang tidak mungkin lagi diubah, tetapi ia dapat menjadi

pelajaran berharga bagi manusia yang menyadarinya. Sejarah adalah Mahaguru, dan

waktu adalah Universitasnya. Tidak ada orang yang dapat melawan waktu; dan tidak

ada orang yang mengabaikan sejarah melainkan ia juga akan diabaikan. Karena itu

sejarah amat penting untuk membangun kesadaran bahwa manusia hidup dengan cara

yang sangat beragam dan mereka tidak pernah berhenti berubah. Kesadaran historis

inilah yang mengawali konsep pluralisme.

7

Page 8: Qur'an Dan Kemajemukan 2

Kesadaran historis ditekankan karena history berperan amat penting dalam

menampilkan wajah peradaban dan agama manusia yang sangat variatif. Orang yang

mengenal sejarah akan mengenal dengan baik posisi dirinya di tengah-tengah perubahan

dan ia akan sadar bahwa ternyata waktu telah menghapus banyak hal, menimbulkan

banyak hal dan mengubah arah kehidupan. Sebagai contoh, kita dapat belajar dari

kenyataan, bahwa banyak tokoh atau pemikir )Muhammad Abduh, misalnya( yang

dibenci, dicela dan dimusuhi pada suatu zaman, kemudian namanya menjadi harum dan

pikiran-pikirannya dikagumi di zaman yang lain. Fakta ini kiranya menjadikan kita

bersikap hati-hati ketika berhadapan dengan pikiran-pikiran para pemikir yang

melampaui zamannya. Mereka seharusnya diberikan apresiasi, bukan malah dituduh

dengan tuduhan-tuduhan yang tidak layak serta dimusuhi.

Orang yang membaca sejarah Islam dengan baik, akan mampu melihat dirinya

beserta segala keyakinan, paham dan lingkungan sosial yang ikut bersamanya sebagai

bagian dari kekayaan peradaban Islam yang sangat luas, beragam dan tidak satu warna.

Sejarah adalah sebuah kesaksian betapa manusia telah menempuh jalan yang sangat

banyak untuk mencapai tujuan yang sama yaitu kebaikan dan kesejahteraan; sejarah

juga menjadi saksi betapa banyak manusia atau generasi yang menyesal karena

kebodohannya.

Konsep Pluralisme

Pluralisme adalah sebuah paham yang menegaskan satu fakta kemanusiaan, yaitu

keragaman dan kemajemukan. Pluralisme meniscayakan sikap lapang dada dan

pengakuan yang tulus akan segala perbedaan kemanusiaan sebagai fakta yang harus

8

Page 9: Qur'an Dan Kemajemukan 2

dipelihara dan tidak perlu diubah. Dalam pluralisme, keragaman dan perbedaan itu

diakui dan tidak untuk dileburkan supaya menjadi satu, mono atau tunggal.

Pluralisme menolak segala bentuk absolutisme, pembenaran terhadap diri sendiri

dan penafian terhadap orang lain. Pluralisme melampaui segala penghalang

kemajemukan, sebab pluralisme berangkat dari pengakuan akan keterbatasan segenap

pencerapan, penafsiran dan penggapaian manusia. Manusia tidak dapat sepenuhnya

melepaskan diri dari subjektivitas, emosi, kepentingan, keterbatasan nalar, keterbatasan

perspektif dan daya cakup. Karena itu pluralisme merupakan ketulusan menerima

keyakinan, paham, pandangan dan tafsiran orang lain tidak pada tingkat inferior. Semua

keyakinan keagamaan, misalnya, adalah setaraf dalam sisi kemanusiaannya, meskipun

tidak sama – setaraf dalam pengertian tidak ada yang superior dan tidak ada yang

inferior. Pluralisme tidak berarti memandang semua agama sama, seperti dipersepsikan

kebanyakan orang; pluralisme adalah kesadaran yang menghindarkan seseorang dari

sikap gegabah menjustifikasi orang lain sebagai keliru, sesat, bodoh atau apa pun yang

bersifat merendahkan. Seorang pluralis adalah orang yang selalu membuka diri kepada

kebenaran dan tidak berhenti belajar.

Karena itu, pluralisme mensyaratkan relativisme: kebenaran, sejauh menyangkut

penalaran manusia, tidak ada yang absolut. “Kebenaran” selalu terkait dengan berbagai

konteks dan kebutuhan kesejahteraan umat manusia. Relativisme soal kebenaran tidak

berarti relativisme yang tidak terkendali, sehingga segala sesuatu menjadi tidak jelas

dan tidak ada yang dapat disepakati. Relativisme di sini memberi makna bahwa

kebenaran )dalam konteks manusia( selalu dapat berkembang dan dapat dikoreksi;

kebenaran selalu terbuka dan berproses menuju tingkat yang lebih tinggi.

9

Page 10: Qur'an Dan Kemajemukan 2

Dengan pandangan seperti itu, pluralisme membuka ruang yang longgar untuk

dialog dan persaudaraan kemanusiaan. Pluralisme bukan sekedar toleransi dalam

pengertian membiarkan setiap orang bebas dengan keyakinannya “asal tidak ribut-

ribut”, tetapi lebih jauh dari itu, pluralisme menghendaki seseorang menghargai dan

bahkan tidak pernah segan belajar dari orang lain atau dari umat lain. Oleh sebab itu,

pluralisme kadang-kadang amat menyakitkan bagi sebagian orang, ketika ia bersikap

fanatik dan arogan.

Kemunculan Pluralisme Agama

Sejarah agama penuh dengan berbagai perdebatan, konflik dan permusuhan. Sering kali

sebuah agama bukan hanya memusuhi dan membenci agama lain, tetapi juga memiliki

konflik di dalam dirinya sendiri. Pertentangan dan bahkan perang di antara kelompok-

kelompok dalam satu agama bukanlah cerita yang mengejutkan. Sejarah umat Yahudi,

Kristen dan Islam penuh dengan lumuran darah saudaranya sendiri. Umat Kristen di

Eropa sebelum zaman pencerahan saling berperang di antara mazhab-mazhab yang

berbeda. Dalam Islam, tidak lama )hanya dalam hitungan tahun( setelah Nabi

Muhammad wafat, umatnya saling membunuh karena persoalan kepemimpinan.

Lebih jauh lagi, dalam agama-agama telah muncul pula apa yang disebut oleh

orang-orang Kristen dengan Inkuisisi, yaitu pengadilan agama terhadap kaum bid’ah

dan sesat. Ketika dalam sebuah agama muncul otoritas tertentu dalam memberi makna

atas teks ajaran agama, maka segala tafsiran yang berbeda akan dituduh sesat dan

bahkan kafir serta dianggap halal darahnya. Banyak ilmuwan telah dibunuh karena hal

tersebut. Mereka digantung atau dipancung, hanya karena mengeluarkan opini berbeda

10

Page 11: Qur'an Dan Kemajemukan 2

dalam memberikan tafsiran terhadap masalah tertentu yang terkait dengan agama atau

apa yang mereka yakini sebagai bagian dari agama.

“Muak” terhadap konflik dan permusuhan yang bukan hanya menyedihkan

tetapi juga mengerikan itulah yang telah melahirkan gagasan dari sejumlah para pemikir

untuk mewacanakan hidup damai tanpa permusuhan atas dasar perbedaan agama dan

mazhab. Dalam masyarakat Kristen Eropa, perkembangan ini terjadi secara sistematis,

sehingga telah melahirkan tokoh-tokoh, pemikir atau filosof yang melakukan kritik

terhadap agama. Mereka adalah para pendeta atau agamawan yang kemudian

melakukan kritik keras terhadap keyakinan mereka sendiri. Perkembangan tersebut

menjadi semakin jelas dalam wacana-wacana berikutnya di abad 19 dan 20 ketika John

Hick berbicara mengenai berbagai model pluralisme agama. Hick pernah

mempertanyakan: bukankah lebih dari 90 % penganut agama menganut agama yang

diwariskan orangtua atau masyarakatnya? Lalu bagaimana kita dapat mengklaim

kebenaran absolut dari agama tertentu yang kita anut? Berangkat dari kenyataan

tersebut Hick mencoba memformulasikan paradigma baru dalam memahami agama.

Pandangan Kristen yang percaya keselamatan hanya ada melalui Kristus atau ajaran

Gereja dikritiknya dengan tajam. Akhirnya, di abad 21, dialog antar agama terutama

antara Kristen dan Islam dalam bentuk yang lebih sehat dan terbuka menjadi semakin

mendapat penguatan.

Peran Teologi

Teologi adalah interpretasi atas keyakinan keagamaan. Teologi berarti pemaknaan

terhadap Tuhan atas dasar pemahaman dan pengetahuan manusia. Teologi merupakan

interpretasi manusia. Akan tetapi, penggagas-penggagas teologi begitu berani, dan

11

Page 12: Qur'an Dan Kemajemukan 2

bahkan dengan sikap arogan, mengklaim kebenaran dirinya dan menolak setiap

pemahaman yang berbeda sebagai bidah, sesat dan bahkan kufur. Teologi inilah yang

telah memainkan peran penting pembentukan sikap keberagamaan kebanyakan umat

manusia. Teologilah yang telah menentukan bagaimana kita bersikap terhadap orang

lain. Teologi pula yang telah “memasukkan orang ke surga dan ke neraka.”

Karena itu seharusnya teologi perlu dicermati kembali dengan baik dan

direkonstruksi untuk mewadahi kebenaran yang lebih tercerahkan. Teologi perlu dikaji

kembali dengan melihat konteks di mana ia tumbuh dan dirujuk kembali secara lebih

proporsional kepada teks ajaran agama yang asli. Dalam Islam, teologi telah menjadi

sumber perpecahan yang amat dahsyat dan bahkan perang yang mengerikan. Perdebatan

teologis bukan hanya menciptakan permusuhan dengan non Muslim, tetapi juga sesama

Muslim – tidak berbeda dengan apa yang dialami masyarakat Kristen di seluruh dunia.

Namun sekarang, dengan kesadaran baru, masyarakat agama akan melihat teologi

dengan pandangan yang berbeda. Kesadaran baru inilah yang harus terus menerus

diwacanakan dan diperkaya agar menjadi semakin solid dalam melahirkan teologi yang

lebih manusiawi dan bersaudara.

Kemajemukan dalam Beragama

Al-Qur’an diturunkan di negeri Arab melalui lisan seorang Arab dengan bahasa Arab

yang fasih, namun membawa pesan-pesan universal menyangkut moralitas dan tatanan

kehidupan spiritual dan sosial umat manusia. Pada masa awal, ketika ayat-ayat al-

Qur’an diturunkan di Mekkah, pesan-pesannya sangat menekankan aspek keimanan dan

konsekuensi moral dari iman tersebut. Manusia diajak untuk menyadari bahwa mereka

12

Page 13: Qur'an Dan Kemajemukan 2

dan alam semesta tidaklah terjadi dengan sendirinya, secara tiba-tiba dan tanpa tujuan;

Tuhanlah yang telah menciptakan mereka dan berbagai fasilitas kehidupan yang dapat

mereka nikmati, supaya mereka bertanggung jawab dan bersyukur, tidak berbuat aniaya

dan tidak berbuat kerusakan di bumi. Di Mekkah al-Qur’an berhadapan dengan

penduduk kota itu yang korup, terutama kaum elit yang arogan, materialistis dan

mementingkan diri sendiri. Mereka terpecah belah oleh fanatisme kesukuan, saling

berperang dan tidak peduli kepada kaum lemah, perempuan dan anak-anak yatim.

Mereka menyembah atau mengagung-agungkan berhala )karya mereka sendiri( dan

menjadikan agama sebagai alat mencapai keuntungan materi dan kepuasan pribadi.

Dalam konteks situasi kota Mekkah seperti itulah al-Qur’an turun melakukan berbagai

koreksi, di antaranya yaitu mengingatkan kaum Mekkah bahwa meskipun mereka

beragam dalam suku dan kabilah, di hadapan Allah adalah sama; kemuliaan itu diraih

melalui ketulusan hati dan kebaikan amal. Kepada mereka diajarkan bahwa agama yang

benar adalah agama yang datang dari Tuhan, dan dalam kehidupan sesama mereka

harus bertenggang rasa dan saling mengasihi.

Pada periode Madinah, setelah Nabi Muhammad berhijrah meninggalkan

Mekkah, al-Qur’an berhadapan bukan hanya dengan keragaman etnis dan suku bangsa,

tetapi juga dengan keragaman keyakinan atau agama. Orang-orang Yahudi telah cukup

lama berdomisili di Madinah, dan ajaran agama mereka telah membawa pengaruh

terhadap masyarakat. Mereka bahkan telah meninggalkan kesan kebanggaan yang

mendalam terhadap agama dan tradisi mereka sendiri. Orang-orang Arab penduduk

Madinah mengagumi mereka, karena berbagai kelebihan yang mereka miliki. Mereka

mendominasi pasar dan bekerja secara profesional. Mereka dikenal dengan nama Ahli

Kitab – sebuah nama yang prestisius.

13

Page 14: Qur'an Dan Kemajemukan 2

Nabi Muhammad mengambil inisiatif untuk bersahabat dengan bekerja sama

dan bahkan Nabi menaruh harapan yang besar pada mereka kiranya akan menjadi

pendukungnya,9 walaupun Nabi kemudian justru menjadi kecewa. Al-Qur’an pada

awalnya mengajak mereka mengikuti wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad,

namun karena mereka enggan, al-Qur’an memberikan otonomi kepada mereka untuk

menjalankan agama berdasarkan pedoman kitab suci mereka sendiri )karena al-Qur’an

pada prinsipnya membenarkan kitab-kitab terdahulu(.10 Ketegangan-ketegangan yang

terjadi antara Nabi dan orang-orang Yahudi telah menyebabkan turunnya ayat-ayat yang

mengingatkan kaum Bani Israil itu agar melihat masa lalunya untuk dijadikan

pelajaran.11 Akan tetapi orang-orang Yahudi itu tidak mengambil iktibar, bahkan

mereka melakukan pengkhianatan dan Nabi kemudian mengusir mereka dari Madinah;

al-Qur’an turun menegaskan permusuhan mereka yang tiada hentinya itu.12

Kemajemukan beragama menjadi ternoda oleh pengkhianatan tersebut, sebab

mereka membawa bersamanya nama agama. Al-Qur’an sangat concern mengenai hal

ini, karena itu berulang kali manusia diperingatkan agar tidak terjebak dalam fanatisme

dan eksklusivisme. Al-Qur’an melarang manusia mengikuti sebuah keyakinan tanpa

sikap kritis13 dan mencela orang yang gegabah mengklaim dirinya sebagai yang paling

bersih dan benar14 serta menyalahkan dan menghina orang lain. Orang mukmin sendiri

9Q. S. Al-Baqarah: 41.10Q. S. Al-Maidah: 46-47. 11Q. S. Al-Baqarah: 40-74.12Q. S. Al-Baqarah: 120.13Q. S. Al-Bqarah: 170.14Q. S. Al-Najm: 32.

14

Page 15: Qur'an Dan Kemajemukan 2

dilarang oleh al-Qur’an mencela orang kafir sekalipun, sebab tindakan tersebut akan

menimbulkan reaksi yang tidak sehat dan memperparah suasana.15

Kemajemukan adalah bagian dari fakta kehidupan manusia, karena itu al-Qur’an

tidak pernah memaksa siapa pun untuk mengikuti kebenaran yang ditawarkannya.16 Al-

Qur’an lebih banyak bersikap keras dan memaksa dalam hal-hal yang menyangkut

pembelaan bagi nilai-nilai kemanusiaan. Orang-orang yang dizalimi dan terus menerus

diperangi, diizinkan oleh al-Qur’an untuk melakukan bela diri dan berperang.17 Perang

atas nama agama atau untuk membela kebenaran agama tidak pernah ditawarkan oleh

al-Qur’an.

Kemajemukan Budaya

Dalam al-Qur’an Surat al-Hujurat: 10-13 disebutkan:

ترحمون لعلكم الله واتقوا أخويكم بين فأصلحوا إخوة المؤمنون * إنما

نساء وال منهم خيرا يكونوا أن عسى قوم من قوم يسخر ال آمنوا الذين أيها يا

باأللقاب تنابزوا وال أنفسكم تلمزوا وال منهن خيرا يكن أن عسى نساء من

الظالمون هم فأولئك يتب لم ومن اإليمان بعد الفسوق االسم * بئس

وال تجسسوا وال إثم الظن بعض إن الظن من كثيرا اجتنبوا آمنوا الذين أيها يا

الله واتقوا فكرهتموه ميتا أخيه لحم يأكل أن أحدكم أيحب بعضا بعضكم يغتب

رحيم تواب الله * إن

15Q. S. Al-An‘am: 108.16Q. S. Al-Baqarah: 256.17Q. S. Al-Hajj: 39-40.

15

Page 16: Qur'an Dan Kemajemukan 2

إن لتعارفوا وقبائل شعوبا وجعلناكم وأنثى ذكر من خلقناكم إنا الناس أيها يا

خبير عليم الله إن أتقاكم الله عند * أكرمكم

Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.

Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Ayat-ayat di atas dikutip untuk memperlihatkan beberapa tingkatan konflik yang

mungkin terjadi di antara sesama manusia. Sesama orang mukmin bisa saja terjadi

konflik, karena itu diperlukan kesiapan sosial untuk mendamaikan mereka. Konflik

sesama mukmin bukan saja terjadi antar perorangan tetapi mungkin juga antara

kelompok-kelompok tertentu. Semua itu bermula dari prasangka-prasangka yang tidak

benar, isu-isu yang tidak diuji kebenarannya, pembicaraan di belakang dan juga sikap

yang arogan.

Pada ayat 13 disebutkan soal pentingnya saling mengenal antara sesama umat

manusia yang berbeda latar belakang budaya. Konflik dan pertikaian biasanya terjadi

16

Page 17: Qur'an Dan Kemajemukan 2

karena saling salah pengertian, dan hal ini biasanya muncul karena tidak atau kurangnya

komunikasi. Komunikasi saja sebenarnya kurang memadai jika tidak dilanjutkan

dengan kajian-kajian yang lebih mendalam. Dalam konteks kehidupan dunia sekarang

ini, saling kenal mengenal harus dilakukan dengan serius melalui telaah atau penelitian

budaya. Kita sering mengabaikan “orang asing” dan menganggap segala yang asing itu

bukan kebutuhan kita, atau bahkan mengancam diri kita. Jika dunia ini telah menjadi a

global village, maka asumsi seperti itu hanya akan memperburuk atmosfer kehidupan.

Pada ujung ayat di atas terdapat isyarat bahwasanya tidak ada guna melihat orang lain

dengan penuh cela; yang penting adalah sama-sama memperbaiki diri dan bertanggung

jawab.

Penutup: Dialog dan Negosiasi

Al-Qur’an adalah teks kitab suci. Teks selalu tidak sempurna dan memerlukan

interpretasi untuk dapat dimaknai secara baik dan diterapkan secara praktis dalam

kehidupan nyata. Al-Qur’an telah ditafsirkan dengan metodologi yang beragam dan

telah menghasilkan karya-karya yang luar biasa banyaknya dengan tafsiran yang

beragam pula. Kita yang hidup dalam kekayaan makna al-Qur’an hari ini mungkin

merasa bingung untuk memilih tafsir mana yang terbaik untuk diikuti. Sebenarnya hal

ini tidak perlu dikhawatirkan sebab orang mukmin disuruh mengikuti al-Qur’an, bukan

tafsir.

Tafsir adalah hak semua orang sejauh ia yakin dapat melakukannya, baik dengan

bantuan atau tanpa bantuan orang lain. Untuk itu ada beberapa tawaran prinsip yang

membantu seseorang bernegosiasi dengan diversitas tafsir yang ada di sekitar dirinya, di

17

Page 18: Qur'an Dan Kemajemukan 2

antara lain: Pertama, seseorang perlu menyadari bahwa ia tidak berangkat dari awal.

We all “start in the middle.” Banyak orang mengatakan bahwa menafsirkan kitab suci

haruslah dengan sikap yang netral. Dalam tradisi Islam sudah dikenal luas bahwa di

antara syarat seorang mufassir adalah tidak fanatik kepada suatu mazhab atau aliran.

Seorang mufassir harus dapat memosisikan dirinya sebagai seorang peneliti yang

independent, tidak memihak dan jujur secara akademik. Ini sepertinya telah menjadi

mitos yang menyenangkan untuk didengar dan mungkin orang mengira amat mudah

melakukannya. Namun, sesungguhnya manusia tidak terlepas dari dunia dalam dirinya.

Pada saat membaca sebuah teks, seseorang acap kali membacanya dengan paradigma

yang telah terbentuk dalam dirinya; seseorang adakala membuat teks itu masuk akal

atau menjadikannya sebagai nonsense, sesuai dengan keyakinannya tentang kebenaran.

Pada saat memahami sebuah teks, orang lalu cenderung memahaminya sejalan dengan

warisan tradisi dan budaya yang dimilikinya: prasuposisi, pradisposisi dan

prapemahaman selalu mempengaruhi cara pikir dan kecenderungan nalar dirinya. Jadi

dengan menyadari hal ini, orang dapat lebih berhati-hati dalam memosisikan diri

berhadapan dengan teks. Sikap seperti ini tidak mesti mengubah pandangan seseorang

mengenai otoritas teks, tetapi dapat mengubah cara seseorang menemukan makna yang

diungkapkan oleh teks.

Kedua, berdialog dengan orang-orang yang tidak sepaham. Adalah awal dari

kesalahan ketika orang menganggap dirinya tidak pernah bersalah dan amat sempit

pemikiran orang yang menganggap dirinya berpikiran sangat luas. Dunia dan

pengetahuan tidak ada batas. Manusia tidak akan mampu melihat segala sesuatu

sekaligus; manusia penuh dengan keterbatasan. Ketika orang melihat ke satu arah,

pandangannya tertutup untuk arah yang lain. Orientasi menghalangi seseorang untuk

18

Page 19: Qur'an Dan Kemajemukan 2

menggapai segalanya. Inilah yang oleh Mikhail Bakhtin )w. 1975(, seorang filosof

Bahasa dan teoritikus sastra Rusia, disebut dengan law of placement.18 Ruang dan waktu

menghalangi manusia mengusai segalanya. Karena itu setiap orang membutuhkan orang

lain yang bahkan berbeda orientasi dan pandangan darinya; karena itu, juga sangat

penting bagi seseorang untuk mengakui bahwa hanya karena ia tidak dapat melihat

sesuatu yang orang lain dapat melihatnya, tidak berarti sesuatu itu tidak eksis. Dengan

berdialog dengan “orang lain,” seseorang akan mendapatkan a new “surplus of

seeing.”19 Dialog tidak mesti membawa seseorang kepada sebuah kesimpulan yang

harus diambil, tetapi dialog dapat memperkaya dunia setiap orang yang terlibat di

dalamnya.

Ketiga, melakukan pergantian pemaknaan, antara diam dan berjuang.

Perjuangan ini tentu saja tampak tidak akan berujung ketika ia terus menerus

didialogkan. Poin kedua di atas membawa seseorang pada perputaran dialog yang tidak

berkesudahan. Ini akan membingungkan. It is thus writ in heaven that any critic who

has not given up will remain to some degree confused.20 Tidak akan ada manusia yang

dapat menyelesaikan dialog ini dengan tuntas. Lalu mengapa berdialog? Karena

manusia telah memulainya; mereka sedang berada di tengah jalan. Jadi pertanyaannya

bukan mengapa berdialog, tetapi bagaimana seseorang harus menyikapinya21 Dalam hal

memahami teks kitab suci, seseorang memang harus berjuang untuk mendapatkan

pemahaman yang benar, tetapi tidak berarti bahwa ketika dialog tidak berhenti maka

18Michael Holquist, Dialogism: Bakhtin and His World, )London and New York: Routledge, 1990(, 21.

19Ibid., 36.20Wayne C. Booth, Critical Understanding: The Power and Limits of Pluralism,

)Chicago: University of Chicago Press, 1979(, 340.21Douglas Jacobsen, “Multicultural Evangelical Hermeneutics and Ecumenical

Dialogue”, Journal of Ecumenical Studies, Vol. 37, No. 2, Spring 2000, 135.

19

Page 20: Qur'an Dan Kemajemukan 2

kebenaran juga tidak pernah diterapkan dalam kehidupan. Orang perlu “beristirahat”

sejenak untuk mengamalkan “kebenaran” yang telah dicapainya, untuk kemudian

bergumul kembali dengan pemahaman dan makna-makna kehidupan yang tiada

habisnya. Inilah barangkali makna taqarrub dalam tradisi Islam: bahwa kebenaran

hanya dapat didekati, tidak dapat ditangkap hakikatnya.

Wallāhu a‘lam

20

Page 21: Qur'an Dan Kemajemukan 2

BIBLIOGRAFI

Al-Qur’an

Firestone, Reuven )2001(. Children of Abraham: An Introduction to Judaism for Muslims. Hoboken: Ktav Publishing House, 2001.

Holquist, Michael )1990(. Dialogism: Bakhtin and His World. London and New York: Routledge.

Booth, Wayne C. )1979(. Critical Understanding: The Power and Limits of Pluralism. Chicago: University of Chicago Press.

Jacobsen, Douglas. “Multicultural Evangelical Hermeneutics and Ecumenical Dialogue” dalam Journal of Ecumenical Studies, Vol. 37, No. 2, Spring 2000.

21