Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PUTUSANNomor 36/PUU-XI/2013
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang diajukan oleh:
[1.2] Nama : I Made Sudana, S.H.
Umur : 74 Tahun
Pekerjaan : Pensiunan PNS
Alamat : Jalan Gandapura Gg. IB/Nomor 1 Denpasar Timur-
Bali
Selanjutnya disebut---------------------------------------------------------------------Pemohon;
[1.3] Membaca permohonan Pemohon;
Mendengar keterangan Pemohon;
Mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Pemerintah;
Mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Dewan Perwakilan
Rakyat;
Memeriksa bukti-bukti Pemohon;
2. DUDUK PERKARA
[2.1] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal
1 Maret 2013 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya
disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 13 Maret 2013, berdasarkan
Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 117/PAN.MK/2013 dan dicatat
2
dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 20 Maret 2013 dengan
Nomor 36/PUU-XI/2013, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan
Mahkamah pada tanggal 23 April 2013 dan tanggal 24 April 2013, yang
menguraikan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa permohonan Pemohon dalam hubungannya dengan menguji Undang-
undang terhadap Undang-undang Dasar 1945, dalam hubungannya dengan
putusan Mahkamah Agung dalam tingkat peninjauan kembali berkenaan dengan
putusan Pengadilan Negeri Nomor 132/Pid/B/1995/PN.Dps. sampai putusan
Mahkamah Agung dalam tingkat peninjauan kembali. Pemohon menyadari
kekurang mampuan Pemohon dalam mengemukakan dalam membahas menguji
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang dalam hal
hubungannya dengan penerapan perundang-undangan dalam memutus perkara
peninjauan kembali dalam perkara atas nama terpidana I Made Sudana tersebut
sehingga menurut Majelis Mahkamah Konstitusi menilai apa yang Pemohon
ajukan adalah kasus konkrit, padahal yang Pemohon maksudkan adalah
permasalahan perundangan-undangan yang tidak diterapkan dalam penanganan
perkara terpidana I Made Sudana dari tingkat putusan Pengadilan Negeri sampai
putusan Mahkamah Agung dalam tingkat peninjauan kembali. Oleh karena yang
dibahas menyangkut perkara pidana, Pemohon dalam mengemukakan apa yang
menjadi tujuan Pemohon banyak menyangkut uraian perkara pidana dalam
perkara terpidana I Made Sudana tersebut dalam penanganannya sampai tingkat
peninjauan kembali.
Bahwa Pemohon sebagai perorangan warga Negara Indonesia dalam mengajukan
pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana
diuraikan di atas, dimana hak dan kewenangan konstitusi Pemohon dengan
sendirinya juga terpidana I Made Sudana yang juga sebagai perorangan warga
Negara terutama dalam hubungannya dengan Pasal 268 ayat (3) Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) yang mengatur permintaan peninjauan kembali
atas suatu putusan hanya dapat dilakukan hanya sekali saja termasuk Undang-
Undang lainnya yang mengatur tentang peninjauan kembali hanya dapat dilakukan
hanya sekali saja, Pemohon merasa sangat dirugikan.
Bahwa Pemohon pernah menjadi kuasa khusus dari terpidana I Made Sudana
dalam tingkat peninjauan kembali terakhir atas putusan Mahkamah Agung tanggal
3
15 Agustus 1996 Nomor 728 K/Pid/1996 fotokopi permohonan peninjauan kembali
tanggal 24 Desember 1999 dilampirkan dalam permohonan menguji Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 1 Maret 2013 bertanda D.
Di dalam permohonan peninjauan kembali tersebut dilampirkan Akta Pemberian
Kuasa Khusus fotokopi bertanda PI A. Tetapi saat ini tidak lagi. Tetapi sebagai
perorangan warga negara Indonesia karena merasa kebenaran dan keadilan
dalam perkara atas nama terpidana I Made Sudana terinjak-injak banyak terdapat
kejanggalan merasa perlu mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dalam perkara pidana terpidana I Made
Sudana tersebut yang juga menganggap hak dan atau wewenang konstitusi
Pemohon telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 66 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 yo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Mahkamah Agung dan Pasal 268 ayat (3), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang KUHAP yang tersebut diterapkan dalam perkara atas nama I Made
Sudana. Untuk hal tersebut telah pula Pemohon uraikan dalam permohonan
menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 20
April 2013 yang telah dikirim ke Mahkamah Konstitusi, karena takut sesudah 14
hari setelah tanggal 11 April 2013 sidang pendahuluan permohonan menguji
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dimana dalam putusan
Mahkamah Agung dalam tingkat peninjauan kembali dalam pembuktian yang
diterapkan menyalahi ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP tentang alat bukti
demikian pula dalam permohonan peninjauan kembali dalam penilaian alat bukti
tersebut dalam Pasal 263 ayat (2a) KUHAP yang diajukan dalam persidangan
disamping hal/keadaan baru yang diperoleh dalam persidangan Mahkamah Agung
dalam tingkat peninjauan kembali telah tidak tepat penilaian dan pembahasannya
sehingga menyalahi dalam perumusan pertimbangan dan amar putusan
pemidanaan sesuai dengan ketentuan Pasal 197 ayat (1) salah satu dari huruf a
s/d huruf e KUHAP dihubungkan dengan ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP
sehingga dalam hubungannya perkara peninjauan kembali atas nama terpidana I
Made Sudana juga bertentangan dengan pasal 1 ayat (3) pasal 28 D ayat (1)
Undang-undang Dasar 1945 yang menguraikan Indonesia sebagai Negara hukum.
Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
4
Bahwa Mahkamah Agung dalam tingkat peninjauan kembali dengan putusannya
Nomor 21 PK/Pid/2001 tanggal 30 Januari 2002 dalam memutus perkara atas
nama terpidana I Made Sudana dalam : "Mengadili"
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon peninjauan kembali
terpidana I Made Sudana tersebut.
Menetapkan bahwa putusan Mahkamah Agung tanggal 5 Agustus 1995 Nomor
728K/Pid/1996 yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut tetap berlaku.
Menghukum Pemohon peninjauan kembali membayar biaya perkara
Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah). Bahwa dalam pertimbangan
Mahkamah Agung dalam hubungannya dengan akta otentik Nomor 20 dan
Nomor 21 tersebut yang disita menjadi alat bukti dalam Berita Acara
Pemeriksaan sebagaimana diuraikan dalam halaman 10 angka 1 dari Putusan
Mahkamah Agung Nomor 21 PK/Pid/2001 tanggal 30 Januari 2002, Mahkamah
Agung dalam tingkat peninjauan kembali tidak dapat membenarkan oleh
karena bukti akta yang diajukan tersebut bukan merupakan hal/keadaan baru
sebagaimana diatur dalam pasal 263 ayat (2) a Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 (KUHAP). Bahwa pihak Pemohon dalam mengajukan alat bukti
akta otentik Nomor 20 dan Nomor 21 Tahun 1987 tersebut, adalah isi dari alat
bukti akta-akta otentik tersebut, tetapi yang dimaksud yang tidak
dipertimbangkan Mahkamah Agung adalah hal/keadaan baru dari akta otentik
tersebut yaitu dari kedua alat bukti Akta Nomor 20 dan Nomor 21 tersebut yaitu
saksi Ida Ayu Oka Parwati dan Nyonya Ni Wayan Dani pegawai notaris yang
menjadi saksi dan ikut menandatangani akta otentik Nomor 20 dan Nomor 21
tersebut tidak dipertimbangkan oleh Mahkamah Agung dalam tingkat
peninjauan kembali, demikian pula dalam sidang di Pengadilan Negeri tidak
diperiksa dan dipertimbangkan dalam persidangan.
Dimana hal baru/keadaan baru dari isi akta otentik Nomor 20 dan Nomor 21 Tahun
1987 tersebut yang jelas diuraikan - Demikianlah Akta, antara lain : Akta ini
dengan segera setelah dibacakan oleh saya notaris, kepada penghadap I Made
Sudana, kemudian saksi-saksi, ditandatangani oleh penghadap I Made Sudana
kemudian saksi-saksi dan saya notaris, sedang penghadap I Ketut Lantur menurut
keterangannya tidak pernah belajar menulis tidak turut menandatangani akta ini
hanya membubuhkan cap jempolnya di atas surat ini. Jadi hal baru/keadaan baru
5
seperti apa yang diuraikan dalam isi akta-akta tersebut di atas tidak pernah
diungkapkan dalam persidangan Pengadilan Negeri sampai persidangan
Mahkamah Agung dalam tingkat peninjauan kembali tentang kebenaran isi akta
otentik Nomor 20 dan Nomor 21 tahun 1987 tersebut.
Bahwa dalam hubungannya notaris I Ketut Rames Iswara, SH. ikut dijadikan
terdakwa sebab sebagai orang yang dimintai bantuan membuat akta otentik
Nomor 20 dan Nomor 21 tahun 1987 yang dianggap palsu tersebut menurut
Pemohon patut dijadikan terdakwa.
Bahwa uang yang diterima I Ketut Lantur dari pihak Pemohon yaitu Terpidana I
Made Sudana sebesar Rp. 16.000.000,- (enam belas juta rupiah) adalah sebagai
pembelian tanah, bukan sebagai upah mengurus sertifikat sebagaimana laporan
dari I Ketut Lantur. Tetapi fakta sebagaimana diuraikan dalam Surat Keputusan
Bupati Kepala Daerah Tk.II Badung Nomor 593.1-1462/Pem.Tgl. 5 November
1985 (alat bukti dilampirkan dalam memori peninjauan kembali fotokopi bertanda
P3) yaitu dalam hubungannya dengan harga tanah sekitar tanah tersebut dalam
akta otentik Nomor 20 dan Nomor 21 Tahun 1987 tersebut harga dalam tahun
1985 sampai ada perubahan adalah bersesuaian dengan uang Rp. 16.000.000,-
(enam belas juta rupiah) yang diterima I Ketut Lantur dari terpidana I Made Sudana
adalah sangat ganjil upah mengurus sertifikat bersesuaian dengan harga tanah
sekitar tanah tersebut dalam sertifikat tersebut.
Bahwa kuitansi-kuitansi tanggal 16 April 1986 dalam pertimbangan judex factie
dilampirkan dalam berkas perkara, tetapi tanpa tuntutan dari Jaksa Penuntut
Umum sehingga tidak diputus oleh Pengadilan Negeri dalam hubungannya dengan
dakwaan Jaksa Penuntut Umum Pasal 263 ayat (1) KUHP (dakwaan kedua atau
subsidair) hanya dalam amar putusan dan dalam angka 6 dinyatakan dilampirkan
dalam berkas perkara.
Bahwa apa yang Pemohon uraikan tersebut di atas yang merupakan keberatan-
keberatan Pemohon sebagaimana diuraikan dalam halaman 11 dari putusan
Mahkamah Agung dalam tingkat peninjauan kembali mengenai alasan-alasan ad.
2, 3 dan ad. 4 keberatan-keberatan inipun oleh Mahkamah Agung tidak dapat
dibenarkan. oleh karena keberatan-keberatan tersebut bukan merupakan alasan
yang dapat menjadi dasar untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali
sebagaimana di atur dalam pasal 263 ayat (2) a Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 (KUHAP).
6
Bahwa dalam hubungannya dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum Pasal 263
ayat (1) KUHP (dakwaan kedua atau subsidair) terdakwa I Made Sudana didakwa
memalsu kuitansi-kuitansi tanggal 16 April 1986. Atas putusan Pengadilan Negeri
Nomor l32/Pid/B/l995/PN.Dps. kuitansi-kuitansi tersebut dinyatakan dilampirkan
dalam berkas perkara tanpa ada tuntutan jelas dan tanpa pertimbangan dan amar
putusan atas Pasal 263 ayat (1) KUHP, dalam amar putusan Pengadilan Negeri
alat bukti kuitansi-kuitansi tanggal 16 April 1986 tersebut dilampirkan dalam berkas
perkara. Dihubungkan dengan Pasal 197 ayat (1) d KUHAP yang menguraikan
pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta
alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar
penentuan kesalahan terdakwa. Dengan tidak dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum
dan diputus oleh Pengadilan Negeri mengenai dakwaan Pasal 263 ayat (1) KUHP
dalam persidangan berarti status bukti kuitansi-kuitansi tanggal 16 April 1986 tidak
dipertimbangkan dan ditentukan statusnya, kecuali hanya dilampirkan dalam
berkas perkara. Hal serupa juga terjadi dalam putusan Mahkamah Agung dalam
tingkat Kasasi dan putusan Mahkamah Agung dalam tingkat peninjauan kembali
tidak dipertimbangkan dan diputus alat bukti kuitansi tanggal 16 April 1986 dalam
hubungannya dengan dakwaan, Pasal 263 ayat (1) KUHP, hanya memutuskan
menolak permohonan Kasasi dari terdakwa dan dalam putusan Mahkamah Agung
dalam peninjauan kembali memutuskan menolak permohonan peninjauan kembali
dari terpidana dan menetapkan putusan Mahkamah Agung dalam tingkat Kasasi
yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut tetap berlaku. Sehingga
dihubungkan dengan Pasal 197 ayat (2) d KUHAP yang menguraikan tidak
dipenuhinya ketentuan Pasal 197 ayat (1) d KUHAP mengakibatkan putusan batal
demi hukum.
Bahwa dalam hubungannya alat bukti berupa akta otentik Nomor 20 dan Nomor
21 tahun 1987 tersebut yang dijadikan dasar pertimbangan dalam putusan
Pengadilan Negeri Nomor 132/Pid/B/1995/PN.Dps. dalam amar putusannya
dinyatakan terdakwa melakukan tindak pidana penipuan dan menyuruh
menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik (dalam
hubungannya dengan pembuatan dan penempatan keterangan palsu ke dalam
akta otentik Nomor 20 dan Nomor 21 tahun 1987 tersebut) tetapi dalam amar
putusannya mengenai akta otentik Nomor 20 dan Nomor 21 tahun 1987 tersebut
tidak diuraikan statusnya diapakan, apakah dirampas untuk dirusak atau
7
dilampirkan dalam berkas perkaranya atau diserahkan kepada Jaksa Penuntut
Umum untuk dijadikan alat bukti dalam perkara lain. Alat bukti akta otentik Nomor
20 dan Nomor 21 tersebut dalam putusan Mahkamah Agung dalam tingkat Kasasi
dan putusan Mahkamah Agung dalam tingkat peninjauan kembali juga tidak
dijadikan pertimbangan dan diputus dan sesuai dengan ketentuan Pasal 263 ayat
(2) a KUHAP yang menguraikan permintaan peninjauan kembali dilakukan atas
dasar apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika
keadaan baru itu sudah diketahui pada waktu sidang sedang berlangsung hasilnya
akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau
tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan
ketentuan pidana yang lebih ringan. Dalam hal ini sepatutnya Mahkamah Agung
dalam Kasasi dan Mahkamah Agung dalam tingkat peninjauan kembali
mempertimbangkan dan menuturkan tentang alat bukti akta otentik Nomor 20 dan
Nomor 21 tersebut bagaimana statusnya sebagaimana diuraikan di atas namun
hal tersebut tidak dilakukan Mahkamah Agung dan dihubungkan dengan Pasal
197 ayat (1) j KUHAP yaitu surat putusan pemidanaan menurut keterangan bahwa
surat ternyata palsu atau dimana letak kepalsuannya itu jika terdapat akta otentik
palsu sebagaimana diuraikan dalam putusan Pengadilan Negeri Nomor
132/Pid/B/1995/PN.Dps. tetapi dalam amar putusan Pengadilan Negeri tersebut
tidak dijelaskan dimana letak kepalsuan dari akta otentik Nomor 20 dan Nomor 21
tersebut sehingga sesuai dengan ketentuan pasal 197 ayat (2) j KUHAP tidak
dipenuhinya ketentuan Pasal 197 ayat (1) j KUHAP mengakibatkan putusan batal
demi hukum.
Bahwa dalam hubungannya putusan Pengadilan Negeri Nomor 132/Pid/B/1995/
PN.Dps. dalam menguraikan unsur-unsur Pasal 378 KUHP dan unsur-unsur Pasal
266 ayat (I) KUHAP unsur barang siapa sama sekali tidak diuraikan. Demikian
pula Mahkamah Agung dalam tingkat Kasasi dalam putusannya Nomor 728
K/Pid/1996 dalam pertimbangannya mengambil oper pertimbangan putusan
Pengadilan Negeri tersebut di atas tidak juga menambah uraian unsur barang
siapa atas Pasal 378 KUHP dan Pasal 266 ayat (1) KUHP sehingga dengan
demikian tidak diuraikannya unsur-unsur barang siapa dalam putusannya tersebut
sesuai dengan ketentuan Pasal 197 ayat (1) h KUHAP yang menguraikan
pemyataan kesaiahan terdakwa, pemyataan telah dipenuhinya semua, unsur-
unsur dalam rumusan tindak pidana disertainya dengan kualifikasinya dan
8
pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. Dalam hal ini unsur-unsur barang
siapa dari Pasal 378 KUHP dan Pasal 266 ayat (1) KUHP tidak diuraikan dalam
pertimbangan putusannya sehingga tidak dipenuhinya ketentuan Pasal 197 ayat (I)
h KUHAP mengakibatkan putusan batal demi hukum sesuai dengan ketentuan
Pasal 197 ayat (2) h KUHAP.
Bahwa majelis Mahkamah Agung dalam tingkat Kasasi tersebut di atas dalam
putusan Nomor 728 K/Pid/1996 tanggal 5 Agustus 1996 dalam membuktikan
dakwaan kesatu Pasal 378 KUHP dalam pertimbangannya sebagaimana diuraikan
dalam halaman 13 dalam putusannya dimulai dari kalimat : Dan ternyata saksi
korban menyerahkan surat (pipil) kepada terdakwa adalah bukan karena bujukan
sehingga terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan Pasal 378 KUHP.
Sepatutnya Mahkamah Agung dalam tingkat Kasasi setelah membebaskan
terdakwa dari dakwaan kesatu Pasal 378 KUHP seharusnya membuktikan
dakwaan kesatu atau (subsidair) Pasal 372 KUHP, tetapi dalam hal ini Pasal 372
KUHP tidak pernah dibuktikan tetapi Mahkamah Agung dalam tingkat Kasasi
langsung membuktikan dakwaan kedua Pasal 266 ayat (1) KUHP dan tidak pernah
membuktikan Pasal 372 KUHP sebagaimana diuraikan di atas dihubungkan
dengan Pasal 197 ayat (1) f KUHAP yang menguraikan pertimbangan yang
disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang
diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan
terdakwa.
Dalam hal ini Pasal 372 KUHP tidak diputus dalam persidangan sehingga dasar
pemidanaan dan dasar hukum putusan dalam hubungannya dengan Pasal 372
KUHP tidak diuraikan dalam putusannya, demikian pula keadaan yang
membcratkan dan meringankan tidak diuraikan dalam putusan Mahkamah Agung
dalam tingkat Kasasi sehingga tidak dipenuhinya ketentuan Pasal 197 ayat (1) f
KUHAP sesuai dengan ketentuan Pasal 197 ayat (2) f KUHAP mengakibatkan
putusan batal demi hukum. Termasuk atas tidak dimuatnya dalam putusan
Mahkamah Agung dalam tingkat Kasasi dan Keputusan Mahkamah Agung dalam
tingkat permohonan kembali tidak memuat hal-hal yang memberatkan dan
meringankan.
Bahwa dalam hubungannya dengan putusan Mahkamah Agung dalam tingkat
Kasasi tersebut di atas oleh Mahkamah Agung dalam peninjauan kembali dalam
putusan Nomor 21 PK/Pid/2001 tanggal 30 Januari 2002 dalam : "Mengadili" :
9
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon peninjauan kembali
terpidana I Made Sudana tersebut.
Menyatakan bahwa putusan Mahkamah Agung tanggal 5 Agustus 1996 Nomor
728 K/Pid/1996 yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut tetap berlaku dan
seterusnya
Jelas-jelas putusan Mahkamah Agung dalam tingkat peninjauan kembali cacat
hukum sebab dakwaan pertama atau (subsidair) dari Pasal 372 KUHP tidak
pernah dibuktikan dalam persidangan dalam putusan Mahkamah Agung dalam
tingkat kasasi setelah membebaskan terdakwa I Made Sudana dari dakwaan
kesatu Pasal 378 KUHP sebagaimana diuraikan di atas, sehingga putusan
Mahkamah Agung dalam tingkat peninjauan kembali pun tidak mempertimbangkan
dalam memutus tidak dibuktikannya Pasal 372 KUHP tersebut sesuai dengan
ketentuan Pasal 197 ayat (1) f KUHAP sebagaimana diuraikan di atas
dihubungkan dengan Pasal 197 ayat (2) f KUHAP putusan menjadi batal demi
hukum.
Bahwa dengan batalnya putusan Mahkamah Agung dalam tingkat peninjauan
kembali dalam perkara ini mengakibatkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP (Undang-
undang Nomor 8 tahun 1981) sepatutnya tidak dapat diterapkan dalam perkara
atas nama terpidana I Made Sudana tersebut dalam putusan perkara Nomor 21
PK/Pid/2001 tanggal 30 Januari 1996 dengan sendirinya batal demi hukum. Tetapi
dengan bunyi putusan Mahkamah Agung dalam tingkat peninjauan kembali yang
menguatkan putusan Mahkamah Agung dalam tingkat Kasasi. Sehingga tidak ada
lagi upaya hukum yang dapat ditempuh, kecuali dengan usaha mengajukan
permohonan menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Demikianlah dalam putusan Mahkamah Agung dalam tingkat peninjauan kembali
yang dalam putusannya tidak membahas dan mempertimbangkan dakwaan Jaksa
Penuntut Umum, putusan Pengadilan Negeri, putusan Pengadilan Tinggi dan
putusan tingkat Kasasi sebagaimana diuraikan dalam permohonan menguji
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 tertanggal 1 Maret 2013.
Juga diuraikan dalam perbaikan permohonan menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 tertanggal 20 April 2013 dan sebagaimana diuraikan
di atas juga telah menyebabkan cacat hukum menurut Pemohon, sebab dalam
membahas permohonan peninjauan kembali tidak bisa terlepas dari dakwaan
Jaksa Penuntut Umum dan putusan-putusan tersebut di atas sepatutnya juga
10
dipertimbangkan oleh Mahkamah Agung dalam tingkat peninjauan kembali dalam
mengambil putusan.
Bahwa berdasarkan uraian permohonan tersebut di atas dengan ini memohon
kiranya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berkenan memeriksa, mengadili dan
memutus permohonan Pemohon dengan putusan sebagai berikut:
1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon.
2. Menyatakan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 yo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah
Agung serta Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
KUHAP batal demi hukum dalam hubungannya dengan perkara terpidana I
Made Sudana inkonstitusional yang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3),
Pasal 28D ayat (1), Undang-Undang Dasar 1945 dalam hubungannya dengan
terpidana I Made Sudana tersebut.
3. Bahwa putusan dalam peninjauan kembali atas pasal-pasal tersebut di atas
tidak mempunyai kekuatan mengikat.
4. Bahwa apabila dalam putusan tingkat peninjauan kembali dibatasi hanya sekali
diberikan akan berakibat batal atas putusan dalam peninjauan kembali yang
cacat hukum, batal demi hukum, tidak bisa diperbaiki, sehingga oleh karenanya
Pemohon memohon putusan dalam permohonan peninjauan kembali bisa
diberikan lebih dari sekali tetapi dibatasi hanya 2 (dua) kali peninjauan kembali
sehingga penyelesaian perkara menjadi tidak berlarut-larut.
5. Bahwa atas perkara permohonan peninjauan kembali terlebih dahulu sebelum
disidangkan supaya dieksaminasi atau adakan bedah perkara oleh Majelis
Pengawas Mahkamah Agung dengan anggotanya 3 (tiga) orang, atau syukur
bila anggota majelisnya seorang dari Pengawas Mahkamah Agung, seorang
dari anggota Mahkamah Konstitusi dan 2 orang lagi dari anggota Komisi
Yudisial dan setelah dieksaminasi berkas permohonan peninjauan kembali
dengan dilampiri hasil eksaminasi sebagai petunjuk dalam penyidangan
perkara, baru dibagikan kepada Majelis yang akan menyidangkan yang
anggotanya disesuaikan dengan anggota Majelis eksaminasi tetapi orang yang
berbeda. Hal mana kiranya dapat dibenarkan berdasarkan Pasal 86 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi beserta
11
penjelasannya dan penjelasan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tersebut.
dan atau Pemohon memohon putusan yang seadil-adilnya.
[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon telah
mengajukan bukti-bukti tertulis yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti
P-5, sebagai berikut:
1. Bukti P-1 : Fotokopi Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor
132/Pid/B/1995/PN.Dps;
2. Bukti P-2 : Fotokopi Putusan Mahkamah Agung Nomor 728K/Pid/1996;
3. Bukti P-3 : Fotokopi Putusan Mahkamah Agung Nomor 21 PK/Pid/2001;
4. Bukti P-4 : Fotokopi permohonan peninjauan kembali tanggal 24
Desember 1999;
5. Bukti P-5 : Fotokopi Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor
20/Pid/B/1991/PN.Dps;
[2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut,
Pemerintah pada sidang tanggal 15 Mei 2013 menyampaikan keterangan lisan dan
keterangan tertulis tanpa tanggal bulan Mei 2013 yang diterima di Kepaniteraan
Mahkamah tanggal 12 Juni 2013, yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal
sebagai berikut:
I. TENTANG POKOK PERMOHONAN PEMOHONBahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan
Kehakiman, Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah Agung dan Pasal 268 ayat (3)
KUHAP yang membatasi Permintaan Peninjauan kembali atas suatu putusan
hanya dapat dilakukan satu kali saja telah mengabaikan prinsip dan nilai
keadilan khususnya terhadap putusan yang bertentangan dengan kebenaran
dan keadilan dan Pemohon memohon agar ketentuan mengenai Peninjauan
Kembali dapat diajukan hanya 2 (dua) kali.
II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHONSesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, menyatakan bahwa Pemohon adalah
12
pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu :
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud
dengan "hak konstitusional" adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka terlebih dahulu
harus menjelaskan dan membuktikan:
a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal
51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud
yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji;
c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.
Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan
kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang
timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (vide
Putusan Nomor 006/PUU-111/2005 dan putusan-putusan berikutnya), harus
memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah
dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
13
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Atas hal-hal tersebut di atas, kiranya perlu dipertanyakan kepentingan
Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan Pasal 268
ayat (3) KUHAP.
Terhadap kedudukan hukum Pemohon, Pemerintah dapat memberikan
penjelasan sebagai berikut:
1. Bahwa, setelah membaca dengan cermat permohonan Pemohon maupun
keterangan Pemohon dalam persidangan, Menurut Pemerintah
sesungguhnya yang dipermasalahkan Pemohon lebih merupakan
constitutional complaint daripada judicial review atau constitutional review.
Namun, oleh Pemohon permasalahan tersebut diajukan sebagai
permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 dengan dalil
bahwa ketentuan-ketentuan dalam KUHP dan KUHAP yang dimohonkan
pengujian itu bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945,
2. Bahwa harus dibedakan antara pengujian konstitusionalitas norma
Undang-Undang (constitutional review) dan persoalan yang timbul sebagai
akibat dari penerapan suatu norma Undang-Undang yang di sejumlah
negara dimasukkan ke dalam ruang lingkup persoalan gugatan atau
pengaduan konstitusional (constitutional complaint) yang kewenangan
mengadilinya juga diberikan kepada mahkamah konstitusi. Dalam hal yang
pertama (constitutional review), yang dipersoalkan adalah apakah suatu
norma Undang-Undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi,
sedangkan dalam hal yang kedua (constitutional complaint) yang
dipersoalkan apakah suatu perbuatan pejabat publik (atau tidak berbuat
sesuatunya pejabat publik) telah melanggar suatu hak dasar (basic rights)seseorang, yang antara lain dapat terjadi karena pejabat publik yang
bersangkutan keliru dalam menafsirkan norma Undang-Undang dalam
penerapannya.
3. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah secara tegas
hanya dinyatakan mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili,
14
dan memutus terhadap apakah suatu norma Undang-Undang bertentangan
atau tidak dengan konstitusi (constitutional review), sementara terhadap
permasalahan yang disebutkan belakangan (constitutional complaint),
hingga saat ini UUD 1945 tidak mengaturnya;
4. Bahwa kelemahan atau kekurangan yang terjadi dalam proses penerapan
norma tidaklah benar jika diatasi dengan jalan mencabut norma itu. Sebab,
jika itu dilakukan maka setiap kali kita dikecewakan oleh praktik penerapan
suatu norma Undang-Undang, in casu norma Undang-Undang hukum
pidana, dan hal itu diatasi dengan cara mencabut norma Undang-Undang
hukum pidana tersebut, maka hukum pidana kiranya tidak akan pernah
mempunyai alasan dan tempat untuk hidup dalam masyarakat. Lagipula,
menurut Pemerintah, perkara yang di alami Pemohon telah melalui proses
hukum (due process of law) yang menjadi kewenangan lembaga peradilan
dibawah Mahkamah Agung.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemerintah berpendapat Pemohon dalam
permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki
kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana dimaksudkan oleh ketentuan
dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah
Konstitusi terdahulu. Karena itu, menurut Pemerintah adalah tepat jika Yang
Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan
permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Namun demikian pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia
Ketua/Majelis hakim konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya
apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak.
III. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN PENGUJIANUNDANG-UNDANG YANG DIMOHONKAN OLEH PEMOHONBahwa sebelum Pemerintah menguraikan lebih lanjut mengenai materi yang
dimohonkan oleh Pemohon, Pemerintah dapat menyampaikan bahwa
terhadap ketentuan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman, Pasal 66
ayat (1) UU Mahkamah Agung dan Pasal 268 ayat (3) UU KUHAP telah
pernah di ajukan pengujiannya kepada Mahkamah Konstitusi dengan register
perkara Nomor 16/PUU/VIII/2010 tanggal 15 Desember 2010 yang amar
15
putusannya menyatakan "permohonan Pemohon tidak dapat di terima"
putusan tersebut dikutip kembali dalam pertimbangan Mahkamah dalam
pengujian kembali ketentuan Pasal 268 ayat (3) UU 8/1981 dalam register
perkara Nomor 64/PUU-VIII/2010 tanggal 23 Februari 2011 yang juga
menyatakan "permohonan Pemohon tidak dapat di terima"
Bahwa terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-
undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali, kecuali
dengan alasan lain atau berbeda (vide Pasal 60 UU MK, Pasal 42 Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam
Perkara Pengujian Undang-Undang);
Bahwa, walaupun Pemohon dalam permohonannya mendalilkan bahwa
pengujian a quo berbeda dengan putusan-putusan sebelumnya. Pemerintah
tidak melihat adanya alasan lain atau berbeda antara Permohonan dalam
Perkara Nomor 16/PUU-VIII/2010 dan Nomor 64/PUU-VIII/2010 dengan
alasan yang diajukan oleh Pemohon dalam permohonan a quo yang pada
pokoknya memohon agar Peninjauan Kembali dapat diajukan lebih dari sekali.
Namun demikian Pemerintah sangat menghargai upaya (hukum) yang
dilakukan oleh Pemohon, termasuk mengajukan permohonan pengujian
Undang-Undang a quo, agar proses penegakan hukum dapat berjalan secara
egaliter, profesional, transparan, akuntabel dan menjunjung tinggi prinsip-
prinsip negara hukum yang berkeadilan.
Terhadap ketentuan yang dimohonkan Pemohon. Pemerintah dapat
memberikan penjelasan sebagai berikut:
1. Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah
negara hukum. Prinsip negara hukum adalah prinsip umum yang dianut
dalam penyelenggaraan negara antara lain, prinsip-prinsip supremacy of
law, equality before the law, dan due process of law yang dijamin secara
konstitusional. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip
negara hukum adalah adanya pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
2. Bahwa asas due process of law sebagai manifestasi pengakuan hak-hak
asasi manusia dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang harus
dijunjung tinggi oleh semua pihak terutama bagi lembaga-lembaga penegak
hukum. Perwujudan penghargaan hak asasi tersebut terlaksana dengan
16
memberikan posisi yang seimbang, termasuk dalam proses peradilan
pidana, termasuk dalam hal ini adalah bagi tersangka, terdakwa maupun
terpidana dalam mempertahankan hak-haknya secara seimbang.
3. KUHAP sebagai hukum formil dalam proses peradilan pidana di Indonesia
telah merumuskan sejumlah hak-hak terdakwa sebagai pelindung terhadap
kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Dalam hal pengajuan upaya
hukum terhadap suatu putusan pengadilan, terdakwa atau terpidana oleh
KUHAP masih diberi ruang untuk mempertahankan hak-haknya melakukan
tinjauan ulang melalui upaya banding, kasasi dan bahkan pengajuan
peninjauan kembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
4. Bahwa Upaya Hukum "Peninjauan Kembali" adalah merupakan bentuk
upaya hukum yang bersifat Iuar biasa, Disebut sebagai upaya hukum yang
luar biasa, karena suatu putusan yang telah memiliki kekuatan hukum yang
tetap (eksekutorial) bahwa mungkin sudah (selesai) dieksekusi, masih bisa
diajukan upaya hukum, yang penggunaannya pun dilakukan secara selektif
dan hanya digunakan dalam situasi khusus, karena sudah tidak akan ada
upaya hukum lain. Oleh karena itu, penggunaannya pun dibatasi dengan
syarat khusus yaitu "(jika) ditemukannya bukti baru (novum) dan/atau
adanya kekhilafan atau kekeliruan hakim dalam menerapkan hukumnya"
[vide penjelasan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman].
5. Bahwa pengajuan peninjauan kembali harus didasarkan pada alasan yang
cukup. Secara doktriner terdapat dua alasan penting dalam pengajuan
peninjauan kembali yaitu adanya "conflict van rechtspraak'' dan adanya
"novum". Yang dimaksud dengan conflict van rechtspraak adalah
terdapatnya putusan-putusan yang berlainan dengan keadaan-keadaan
yang dinyatakan terbukti, tetapi ternyata satu dengan lainnya bertentangan.
Sedangkan novum adalah adanya suatu keadaan baru yang menimbulkan
dugaan kuat, jika diketahui dugaan itu pada waktu sidang masih
berlangsung hasilnya akan berupa putusan bebas atau lepas dari tuntutan
hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima dan juga terhadap
perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
6. Bahwa keadaan baru (novum) yang dapat dijadikan landasan permintaan
17
peninjauan kembali adalah keadaan yang mempunyai sifat dan kualitas
menimbulkan dugaan kuat, yaitu :
a. Jika keadaan baru itu diketahui atau ditemukan dan dikemukakan pada
waktu sidang berlangsung, dapat menjadi faktor dan alasan untuk
menjatuhkan putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan
hukum; atau
b. Keadaan baru itu jika ditemukan dan diketahui pada waktu sidang
berlangsung, dapat menjadi alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan
yang menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima; atau
c. Dapat dijadikan alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan dengan
menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
7. Bahwa meter yang dapat dijadikan dasar bahwa pengaruh keadaan baru
tersebut sangat kuat adalah :
a. Didukung oleh sekurang-kurangnya minimal dua alat bukti yang sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 KUHAP.
b. Berdasarkan hukum pembuktian "keadaan baru" tersebut mempunyai
hubungan dan pengaruh langsung, karenanya dapat digunakan sebagai
dasar pertimbangan untuk membatalkan putusan pemidanaan, dengan
adanya upaya hukum peninjauan kembali.
c. Berupa syarat-syarat yang diperlukan untuk dapat dijatuhkannya amar
pembebasan, lepas dari segala tuntutan hukum, tuntutan penuntut umum
tidak dapat diterima, atau diterapkannya peraturan pidana yang lebih
ringan.
8. Menurut Pemerintah, ketentuan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan
Kehakiman, Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah Agung dan Pasal 268 ayat (3)
UU Hukum Acara Pidana telah secara konsisten mengatur ketentuan
mengenai peninjauan kembali. Dengan demikian ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam beberapa Undang-Undang tersebut di atas, khususnya yang
mengatur tentang peninjauan kembali (PK) telah memberikan jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Jikalaupun terdapat pembatasan-
pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-Undang adalah semata-mata
dalam rangka penghormatan terhadap pelaksanaan hak asasi manusia
orang lain (vide Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945).
18
Lebih lanjut menurut Pemerintah, apabila tidak diatur mengenai pembatasan
berapa kali upaya hukum (dalam hal ini Peninjauan Kembali) dapat
dilakukan maka akan terjadi ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum
sampai berapa kali peninjauan kembali dapat dilakukan yang
mengakibatkan penanganan perkara tidak pernah selesai, selain itu juga
dapat membuat menunda tegaknya keadilan bagi pencari keadilan itu
sendiri hingga jangka waktu yang tidak dapat ditentukan mengingat potensi
akan timbulnya fakta-fakta hukum baru (novum) yang bisa merubah putusan
Peninjauan Kembali yang telah ada sebelumnya. Selain itu sistem peradilan
pidana (criminal justice system) yang fair akan menjadi sistem peradilan
pidana yang berkepanjangan, melelahkan serta kepastian hukum dan
keadilan hukum juga tidak akan kunjung diperoleh.
9. Menurut Pemerintah, pembatasan ini dimaksudkan untuk memberikan
kepastian hukum atas penyelesaian suatu perkara, sehingga seseorang
tidak dengan mudahnya melakukan upaya hukum peninjauan kembali
secara berulang-ulang. Lagi pula pembatasan ini sejalan dengan proses
peradilan yang menghendaki diterapkannya asas sederhana, cepat, dan
biaya ringan. Dengan pembatasan itu pula akan terhindarkan adanya
proses peradilan berkepanjangan dan mengakibatkan berlarut Iarutnya pula
upaya memperoleh keadilan yang pada akhirnya justru dapat menimbulkan
pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri sebagaimana dilukiskan dalam
adagium "justice delayed justice denied”
IV. KESIMPULANBerdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon
kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang
memeriksa dan memutus permohonan pengujian (constitutional review) ketentuan
Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman, Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah
Agung dan Pasal 268 ayat (3) UU KUHAP terhadap UUD 1945, dapat
memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono).
[2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Dewan
Perwakilan Rakyat pada sidang tanggal 15 Mei 2013 menyampaikan keterangan
lisan dan keterangan tertulis tanpa tanggal bulan Juni 2013 yang diterima di
19
Kepaniteraan Mahkamah tanggal 5 Juli 2013, yang pada pokoknya
mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
A. KETENTUAN KUHAP, UU MAHKAMAH AGUNG, DAN UU KEKUASAANKEHAKIMAN YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian atas Pasal
268 ayat (3) KUHAP, Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman, dan
Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah Agung, yang pada pokoknya semua
ketentuan a quo mengatur bahwa permohonan peninjauan kembali hanya
dapat diajukan satu kali saja.
B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAPPARA PEMOHON TELAH DIRUGIKAN
Pemohon dalam permohonan Perkara Nomor 36/PUU-XI/2013
menyatakan bahwa dengan berlakunya pasal-pasal yang mengatur
peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja
telah merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, yang pada
pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa rasa keadilan telah tereliminir oleh ketentuan yang membatasi
pengajuan peninjauan kembali untuk kedua kalinya sebagaimana diatur
dalam ketentuan Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji sehingga
Pemohon tidak dapat memperjuangkan hak keadilan didepan hukum
sebagai warga negara Indoneisa [vide Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun
1945].
2. Bahwa larangan terhadap peninjauan kembali untuk kedua kalinya setidak-
tidaknya mengabaikan prinsip dan nilai keadilan materil/subtansial, prinsip
negara hukum yang menjamin hak asasi warga negara untuk
memperjuangkan keadilan, dan bertolak belakang dengan hukum responsip
dan progresif, sehingga untuk pencari keadilan tidak boleh ada
pembatasan.
3. Bahwa dengan tidak adanya upaya hukum lagi untuk kedua kalinya,
menurut Pemohon adalah bertentangan dengan prinsip keadilan, sehingga
sesungguhnya telah mencederai rasa keadilan bagi para pencari keadilan.
4. Berdasarkan hal-hal tersebut Pemohon berpendapat ketentuan Pasal 268
ayat (3) KUHAP, Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal
20
66 ayat (1) UU Mahkamah Agung bertetangan dengan Pasal 1 ayat (3),
Pasal 24 ayat (1), Pasal 28A ayat (1), Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945 .
C. KETERANGAN DPR RII. Kedudukan Hukum (Legal Standing)
Terhadap kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, DPR
menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi yang mulya untuk mempertimbangkan dan menilai apakah
Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak
sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang
Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007.
II. Pengujian KUHAP, UU Mahkamah Agung dan UU KekuasaanKehakimanA. Bahwa isu pokok atau permasalahan pokok dalam perkara Nomor
36/PUU–XI/2013 adalah pembatasan permohonan pengajuan
peninjauan kembali yang hanya dapat dilakukan satu kali saja
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan
Kehakiman, Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah Agung dan juncto Pasal
268 ayat (3) KUHAP. Menurut Para Pemohon ketentuan tersebut harus
diubah dengan memperbolehkan pengajuan permohonan peninjauan
kembali lebih dari sekali demi keadilan dan kebenaran materiil atau
substansif. Terhadap hal tersebut DPR memberi keterangan sebagai
berikut :
1. Bahwa sesuai prinsip negara hukum sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka Negara Indonesia menganut
antara lain, prinsip-prinsip supremacy of law, equality before the law,
dan due process of law yang dijamin secara konstitusional. Prinsip
negara hukum adalah prinsip umum yang dianut dalam
penyelenggaraan negara Republik Indonesia sedangkan dalam
implementasinya harus dikaitkan dengan ketentuan-ketetuan lain
dalam UUD 1945.
21
2. Bahwa sebagai negara hukum yang bertujuan untuk mewujudkan
tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram dan tertib
maka diperlukan upaya untuk menegakkan ketertiban, keadilan,
kebenaran dan kepastian hukum menuju pada pengayoman
masyarakat. Salah satu upaya untuk menegakkan ketertiban,
keadilan, kebenaran dan kepastian hukum dapat melalui pengajuan
peninjauan kembali yang merupakan suatu upaya hukum luar biasa.
Pengajuan peninjauan kembali diajukan kepada Mahkamah Agung
sebagai pengadilan negara tertinggi berdasarkan pada Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Permintaan peninjauan kembali tersebut harus didukung dengan
bukti yang menentukan, dengan demikian penyertaan bukti itu tidak
hanya sebagai syarat tetapi lebih sebagai suatu hal atau keadaan
tertentu yang antara lain adalah ditemukannya bukti baru (novum);
3. Bahwa dalam sistem peradilan, guna mewujudkan pemberian
perlindungan atas jaminan kepastian hukum antara lain sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1) UUD
1945, terdapat suatu prinsip yang sangat mendasar yakni
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (4) juncto Pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yakni bahwa, “Peradilan
dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan”. Selanjutnya
dalam penjelasan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang a quo dikatakan
bahwa “sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara
dilakukan dengan cara efisien dan efektif. Sedangkan yang dimaksud
dengan “biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat dijangkau
oleh masyarakat. Namun demikian asas sederhana, cepat, dan biaya
ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara di pengadilan
tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari
kebenaran dan keadilan;
4. Bahwa dengan mendasarkan pada prinsip pelaksanaan peradilan
tersebut, penentuan bahwa pengajuan peninjauan kembali dibatasi
hanya 1 (satu) kali merupakan suatu bukti terdapatnya niat
pembentuk Undang-Undang untuk memberikan motifasi bagi Hakim
Agung yang memutus perkara peninjauan kembali untuk bertindak
22
dengan penuh kehati-hatian dan kecermatan dalam pengambilan
keputusan karena putusannya akan menentukan nasib seseorang.
Sesuai juga dengan ketentuan Pasal 6A Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang menentukan bahwa,
Hakim Agung memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, adil,
profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Dengan
persyaratan bagi Hakim Agung yang demikian ketat tersebut
diharapkan dalam setiap pengambilan keputusan telah dilakukan
secara teliti, cermat, dan profesional sehingga dapat dihindari
kekeliruan yang tidak seharusnya terjadi;
5. Bahwa ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHAP menyatakan :
“Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar :
a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat,
bahwa jika keadaaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih
berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan
lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum
tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan
ketentuan pidana lebih ringan;
b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa
sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar
dan alasan putusan yang telah terbukti itu, ternyata telah
bertentangan satu dengan yang lain;
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan
hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Ketentuan pengaturan dasar untuk mengajukan peninjauan kembali
tersebut, telah memberikan pedoman bagi pencari keadilan untuk
mendapat hak-haknya. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 266
ayat (2) huruf b KUHAP yang menyebutkan :
“Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan
peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku
ketentuan sebagai berikut :
b. apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon,
Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan
23
peninjauan kembali itu dan menjatuhkan putusan yang dapat
berupa:
1. putusan bebas;
2. putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
3. putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;
4. putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih
ringan”.
6. Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Penekanan tentang kepastian hukum yang adil kepada setiap orang
dihadapan hukum inilah yang menjadi dasar filosofis Undang-Undang
dalam mengatur pengajuan peninjauan kembali.
7. Bahwa Ketiga Undang-Undang yang membidangi peradilan a quo
telah konsisten mengatur pengajuan peninjauan kembali yaitu pada
Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman, Pasal 66 ayat (1) UU
Mahkamah Agung, dan Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Dengan demikian
usaha pencari keadilan untuk memperoleh kepastian hukum yang
adil telah diatur dalam Undang-Undang a quo dan tidak terdapat
pertentangan antara ketiga Undang-Undang a quo
8. Bahwa dengan pengajuan peninjauan kembali yang tidak dibatasi,
justru dapat menimbulkan kerugian bagi pencari keadilan dalam
proses pencarian keadilan, karena apabila dibuka peluang untuk
pengajuan peninjauan kembali lebih dari satu kali selain hal ini
melanggar Undang-Undang juga mengakibatkan penyelesaian
perkara menjadi panjang yang tidak berakhir tanpa berujung, yang
justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pencari
keadilan;
9. Bahwa pembatasan hak-hak pencari keadilan dalam pengajuan
permohonan peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam pasal-
pasal Undang-Undang a quo yang dimohonkan pengujian, secara
konstitusional dapat dibenarkan berdasarkan ketentuan Pasal 28J
ayat (2) UUD 1945, pembatasan ini adalah justru untuk memberikan
kesamaan kedudukan dalam hukum dan kesamaan dalam
24
memperoleh keadilan bagi semua warga negara untuk menjamin
kepastian hukum yang adil dan perlindungan hukum berdasarkan
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, karenanya sudah
sesuai dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28D ayat
(1), dan UUD 1945;
10.Bahwa terkait dengan pembatasan pengajuan permohonan
peninjauan kembali sebagaimana yang telah diuraikan oleh DPR
diatas, sejalan dengan pendapat hukum Mahkamah Konstitusidalam Putusan Nomor 16/PUU-VIII/2010 pada halaman 66 – 68 yang
antara lain menyebutkan sebagai berikut :
”Bahwa menurut Mahkamah, negara hukum adalah negara yang
menganut, antara lain, prinsip-prinsip supremacy of law, equality
before the law, dan due process of law yang dijamin secara
konstitusional. Prinsip negara hukum adalah prinsip umum yang
dianut dalam penyelenggaraan negara Republik Indonesia
sedangkan dalam implementasinya harus dikaitkan dengan
ketentuan-ketetuan lain dalam UUD 1945”
”Pembatasan permohonan peninjuan kembali sebagaimana
dimohonkan Pemohon adalah dalam rangka due process of law yang
merupakan hal yang wajar dalam perumusan Undang-Undang
asalkan pembatasan itu diperlakukan secara sama kepada semua
orang untuk menegakkan hukum materiil, seperti halnya pembatasan
atas kebebasan seseorang karena tindakan penahanan oleh
penegak hukum yang berwenang yang berlaku untuk semua orang
yang melakukan tindakan kejahatan”
“”Menurut Mahkamah jika ketentuan permohonan peninjauan kembali
sebagai upaya hukum luar biasa tidak dibatasi maka akan terjadi
ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum sampai berapa kali
peninjauan kembali dapat dilakukan. Keadaan demikian akan
menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil kapan suatu perkara
akan berakhir yang justru bertentangan dengan ketentuan UUD 1945
yang harus memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil terhadap setiap orang””
25
“”Benar bahwa hak setiap orang untuk mencari dan mendapat
keadilan dijamin oleh konstitusi. Hak tersebut tidaklah bersifat mutlak
melainkan dapat dibatasi menurut ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD
1945 yang menentukan bahwa dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam masyarakat demokratis”
11.Bahwa berdasarkan pada uraian-uraian tersebut, maka ketentuan
Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 66
ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung, dan Pasal 268 ayat (3)
KUHAP sama sekali tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1
ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28A ayat (1), Pasal 28C ayat (1),
dan 28D ayat (1) UUD 1945
Dengan demikian DPR memohon kiranya Ketua/Majelis Hakim Konstitusi
yang mulia memberikan amar putusan sebagai berikut :
1. Menolak permohonan Pemohon atau setidaknya menyatakan Permohonan
Pemohon tidak dapat diterima.
2. Menyatakan Keterangan DPR diterima untuk seluruhnya;
3. Menyatakan ketentuan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman, Pasal 66
ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung, dan Pasal 268 ayat (1) dan ayat
(3) KUHAP sama sekali tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3),
Pasal 24 ayat (1), Pasal 28A ayat (1), Pasal 28C ayat (1), dan 28D ayat (1)
UUD 1945 .
Menyatakan ketentuan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman, Pasal 66
ayat (1) UU Mahkamah Agung, dan Pasal 268 ayat (1) dan ayat (3) KUHAP tetap
memiliki kekuatan hukum mengikat.
[2.5] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,
segala sesuatu yang terjadi di persidangan ditunjuk dalam berita acara
26
persidangan, dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan
Putusan ini;
3. PERTIMBANGAN HUKUM
[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah
memohon pengujian konstitusionalitas Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3209), selanjutnya disebut UU 8/1981; Pasal 24 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), selanjutnya disebut UU
48/2009; Pasal 40 ayat (1) dan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958),
selanjutnya disebut UU 3/2009, terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, selanjutnya disebut UUD 1945;
[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan
mempertimbangkan:
a. kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo;
b. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk mengajukan permohonan
a quo;
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya
27
disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4358), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;
[3.4] Menimbang bahwa karena permohonan a quo adalah mengenai
pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, in casu Pasal 268
ayat (3) UU 8/1981, Pasal 24 ayat (2) UU 48/2009, Pasal 40 ayat (1) dan Pasal 66
ayat (1) UU 3/2009 terhadap UUD 1945 maka Mahkamah berwenang untuk
mengadili permohonan a quo;
[3.5] Menimbang sebelum Mahkamah mempertimbangkan kedudukan hukum
dan pokok permohonan, Mahkamah akan mempertimbangkan terlebih dahulu
permohonan Pemohon sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, posita Pemohon sama sekali
tidak memberikan argumentasi tentang inkonstitusionalitas pasal-pasal yang
dimohonkan pengujian serta tidak menunjukkan bagaimana pertentangan antara
pasal-pasal a quo dengan pasal-pasal yang dijadikan batu uji dalam UUD 1945.
Selain itu, dasar pengujian pasal-pasal sebagaimana tersebut di atas, tidak ada
hubungannya sama sekali dengan alasan yang dikemukakan oleh Pemohon, atau
setidaknya hubungan antara posita dan petitum permohonan tidak jelas. Di
samping itu permohonan Pemohon lebih banyak menguraikan kasus konkret
daripada masalah inkonstitusionalitas Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian. Mahkamah dalam sidang pendahuluan sudah memberikan nasihat
untuk memperbaiki permohonannya dan Pemohon telah memperbaiki
permohonannya yang diterima oleh Mahkamah melalui Kepaniteraan Mahkamah
pada tanggal 23 April 2013 dan 24 April 2013, akan tetapi perbaikan permohonan
Pemohon tetap tidak jelas dan kabur;
[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut
Mahkamah, permohonan Pemohon tidak jelas maksud dan tujuannya, apakah
akan menguji konstitusionalitas norma ataukah menguji kasus konkret;
28
[3.8] Menimbang bahwa menurut Mahkamah permohonan Pemohon tidak
jelas, sehingga kedudukan hukum serta pokok permohonan tidak dipertimbangkan;
4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di
atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
[4.2] Pemohonan Pemohon kabur;
[4.3] Kedudukan hukum dan Pokok permohonan tidak dipertimbangkan;
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
5. AMAR PUTUSAN,
Mengadili,
Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh
sembilan Hakim Konstitusi, yaitu M. Akil Mochtar, selaku Ketua merangkap
Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Harjono, Hamdan Zoelva, Arief
Hidayat, Muhammad Alim, Anwar Usman, dan Ahmad Fadlil Sumadi, masing-
masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal dua puluh dua, bulan Juli,tahun dua ribu tiga belas, dan diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah
Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal enam, bulan Maret,tahun dua ribu empat belas, selesai diucapkan pukul 15.05 WIB, oleh delapan
29
Hakim Konstitusi, yaitu Hamdan Zoelva, selaku Ketua merangkap Anggota, Arief
Hidayat, Maria Farida Indrati, Harjono, Muhammad Alim, Anwar Usman, Ahmad
Fadlil Sumadi, dan Patrialis Akbar, masing-masing sebagai Anggota, dengan
didampingi oleh Cholidin Nasir sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh
Pemerintah atau yang mewakili dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang
mewakili, tanpa dihadiri Pemohon.
KETUA,
ttd.
Hamdan Zoelva
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd.
Arief Hidayat
ttd.
Maria farida Indrati
ttd.
Harjono
ttd.
Muhammad Alim
ttd.
Anwar Usman
ttd.
Ahmad Fadlil Sumadi
ttd.
Patrialis Akbar
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Cholidin Nasir