KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK 2019

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    1/35

    i

    UNIVERSITAS GADJAH MADA

    FAKULTAS HUKUM

    MATA KULIAH TEORI HUKUM

    “KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 

    14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK 2019”

    DISUSUN OLEH:

    EDWITH YOGI PRATAMA

    15/387574/PHK/08680

    YOGYAKARTA

    2016

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    2/35

    ii

    PRAKATA

    Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan

     berkat dan rahmat-Nya karya tulis ini dapat diselesaikan dengan lancar dan tepat

    waktu. Karya tulis dengan judul “KAJIAN TEORITIS PUTUSAN

    MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG

    PEMILIHAN UMUM SERENTAK 2019” disusun pada mata kuliah Teori

    Hukum pada Program Magister Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah

    Mada.

    Berbagai kendala penulis hadapi selama proses penyelesaian karya tulis ini.

    Penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepada pihak-pihak yang turut

    membantu hingga selesainya penyusunan karya tulis ini. Terutama kepada Dosen

    Teori Hukum, Ibu Linda Yanti Sulistiawati, S.H., M.Sc.,Ph.D. dan Bapak Dr.

    Heribertus Jaka Triyana, S.H., LL.M., M.A. atas ilmu yang bermanfaat selama

     proses pembelajaran di kelas. Terimakasih saya sampaikan kepada kawan-

    kawan di kelas Magister Hukum Angkatan 35 untuk diskusi dan ilmunya sehingga

    menambah pengetahuan penulis.

    Penulis menyadari bahwa karya tulis ini tidak terlepas dari kekurangan.

    Penulis sangat mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun guna

     perbaikan dan lebih memberi manfaat dalam bidang ilmu pengetahuan khususnya

    ilmu hukum.

    Yogyakarta, 11 Januari

    2016

    Edwith Yogi Pratama

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    3/35

    iii

    DAFTAR ISI

    Halaman Judul .................................................................................................... i

    Prakata ................................................................................................................ ii

    Daftar Isi .........................................................................................................iii

    Abstrak ............................................................................................................ ... iv

    BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................. 1

    A. Identifikasi Masalah .................................................................................. 1

    B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 4

    C. Metode Penelitian...................................................................................... 45

    1. Jenis Penelitian..................................................................................... 4

    2. Pendekatan Penelitian .......................................................................... 5

    3. Bahan Hukum ...................................................................................... 6

    4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum ................................................ 7

    5. Pengolahan Bahan Hukum................................................................... 7

    6. Analisis Bahan Hukum ........................................................................ 7

    BAB II. PEMBAHASAN.................................................................................... 8

    A. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Ditinjau dari

    Tujuan Hukum Keadilan ........................................................................... 85

    B. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Ditinjau dari

    Tujuan Hukum Kepastian Hukum ............................................................18

    C. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Ditinjau dari

    Tujuan Hukum Kemanfaatan ....................................................................23

    BAB III. PENUTUP ............................................................................................26

    A. Kesimpulan ................................................................................................26

    DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 27

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    4/35

    iv

    KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 

    14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK 2019

    Edwith Yogi Pratama

    ABSTRAK 

    Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 14/PUU-XI/2013 mengabulkan

    uji materi terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 2008

    tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang menyangkut

     pemilihan umum tidak serentak. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memilikikeganjilan, putusan ditunda keberlakuanya hingga Pemilihan Umum 2019. Dalam

    hal ini, Mahkamah Konstitusi diindikasikan melanggar 47 Undang-Undang 24

    Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dalam pengambilan putusannya,

    sehingga memunculkan permasalahan apakah putusan a quo sudah sesuai dengan

    teori hukum, tujuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan

    Mahkamah Konstitusi. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan

    menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus. Hasil penelitian

    menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam hal Pasal 47 Undang-Undang

     Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, amar putusan Mahkamah

    Konstitusi tersebut harus dipahami utuh yang merupakan bentuk   positive

    legislature Mahkamah Konstitusi dalam putusannya. Akibat hukum terhadap

     pemiliham umum di Indonesia ketika putusan tersebut berlaku pada tahun 2019

    adalah pelaksanaan pemilihan umum serentak dan mewajibkan pembentuk undang-

    undang membuat sistematika   presidential threshold  seperti yang diamanatkan

    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    Kata Kunci: Pemilihan Umum Serentak, Mahkamah Konstitusi

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    5/35

    1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Identifikasi Masalah

    Indonesia merupakan negara hukum yang demokratis.1 Dalam

    konteks negara demokrasi berdasarkan hukum, Pemilu sebagai salah satu

    mekanisme demokrasi dilaksanakan berdasarkan aturan hukum yang

     berpuncak kepada konstitusi sebagai the supreme of the land. Dalam

    masyarakat demokratis, pemilu merupakan suatu unsur pergantian

    kekuasaan secara damai yang dilakukan secara berkala sesuai dengan

     prinsip-prinsip yang digariskan konstitusi.2 Pemilihan umum adalah sarana

    demokrasi yang daripadanya dapat ditentukan siapa yang berhak 

    menduduki kursi di lembaga politik negara, legislatif dan/atau eksekutif.

    Melalui pemilu rakyat yang telah memenuhi persyaratan untuk memilih

    dapat menjatuhkan pilihan kepada figur yang dipercaya yang akan mengisi

     jabatan di atas.3

    Sistem demokrasi memerlukan konstitusi untuk menegakkan

    kerangka pemerintahan demokratis yang adicita-citakan. Konstitusi dalam

    konteks demokrasi cara dan waktu penyelnggaraan pemilihan umum untuk 

    menentukan pejabat dan wakil rakyat.4 Legislasi melekat dalam aturan

     perundangan yang diberi interpretasi hukum positif dengan menjadikannya

    mengalir dari kehendak rakyat. Posisi kedaulatan diambil alih oleh

    1 Lihat Pasal 1 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

    19452 Dahlan Thaib, 2009, Ketatanegaraan Indonesia: Perspektif Konstitusional , Yogyakarta,

    Total Media, Hal. 98.3 Hendarmin Ranadireksa, 2007,  Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung, Fokus

    Media, hlm: 173.4

    Gene Sharp, 1997,  Menuju Demokrasi Tanpa Kekerasan; Kerangka Konseptual Untuk  Pembebasan, Sugeng Bahagijo, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, hlm. 91

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    6/35

    2

    kekuasaan konstitusi sebagai kekuatan penabsah yang melandasi aturan

    konstitusional.5

    Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan menguji undang-

    undang terhadap UUD berperan memastikan, berdasarkan permohonan

    yang diterima, bahwa ketentuan terkait dengan pelaksanaan Pemilu tidak 

     bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

    Tahun 1945.6 Pengujian undang-undang atau Judicial review secara umum

    adalah pengujian oleh lembaga yudisial atas perundang-undangan terhadap

     peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (di sini mencakupkompetensi Mahkamah Agung atau MA dan Mahkamah Konstitusi atau

    Mahkamah Konstitusi), sedangkan constitutional review adalah pengujian

    oleh lembaga yudisial khusus untuk konstitusi undang-undang terhadap

    UUD (di sini yang dimaksud adalah khusus kompetensi Mahkamah

    Konstitusi yang merupakan bagian khusus dari  judicial review dalam arti

    umum).7

    Pemilihan umum merupakan hak dari warga negara yang diberikan

    oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

    diatur lagi dalam Undang-Undang terkait. Definisi hak hukum sebagai

    kepentingan yang dilindungi oleh hukum, atau keinginan yang diakui

    hukum, diragukan dengan adanya kenyataan bahwa tidak akan ada hak 

    hukum sebelum adanya hukum. Sepanjang suatu hak belum dijamin oleh

    aturan hukum maka belum menjadi hak hukum. Maka hal ini berarti bahwa

    hukum mendahului, atau bersamaan dengan hak.8

    5 Carl Joachim Friedrich, 2014,  Filsafat Hukum; Perspektif Historis, Raisul Mutaqqien

    (Penerjemah), Bandung, Pustaka Sinar Harapan, hlm. 1286 Janedjri M. Gaffar, 2013, Hukum Pemilu Dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi,

    Jakarta, Konstitusi Press, hlm: 707 Moh. Mahfud MD, 2011,  Membagun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Jakarta,

    Rajagrafindo Persada, hlm: 122.8

    Jimly Asshiddiqie, dan Ali Safa’at, 2012, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta,Konstitusi Press, hlm: 64-65.

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    7/35

    3

    Dalam kaitannya dengan pemilu dan peraturan perundang-undangan

    yang mengaturnya, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa

    sebagian pasal yang berkaitan dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

    dan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang dilaksanakan secara

    terpisah adalah inkonstitusional. Hal ini tidak lain adalah dengan

    Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi ( judicial review) Undang-

    Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil

    Presiden yang diajukan pemohon Effendi Gazali.

    Putusan itu mulai berlaku pada Pemilu 2019, tetapi PutusanMahkamah Konstitusi No. 14/PUU-XI/2013 tersebut diucapkan Kamis

    tanggal 23 Januari 2014. Mahkamah berpendapat, putusan ini tidak dapat

    diterapkan untuk 2014 karena pemilu yang sudah terjadwal.9 Dengan

    dikabulkannya gugatan ini, pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilihan

    Presiden 2019 dan seterusnya akan digelar serentak.

    Permasalahannya adalah penundaan putusan Mahkamah Konstitusi

    yang baru diberlakukan pada Pemilu 2019 bertentangan dengan Pasal Pasal

    47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

    Konstitusi, jika ditafsirkan ialah bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi

    memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkracht van gewijsde, dalam arti

    mengikat dan final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C Ayat (1)

    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sejak 

    selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.

    Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak 

     pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam

    kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah, serta sikap tindakan

    sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan,

    memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.10 Kemudian,

    9 Lihat diakses 25 Juni 2014, Pkl 21.55 WIB10

    Soerjono Soekanto, 2012,  Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm. 5

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    8/35

    4

    dalam putusan pengadilan seharusnya mencerminkan tujuan hukum yaitu

    keadilan, kepastian dan kemanfaatan.

    Dalam negara demokrasi, pemerintahan berlangsung atas

     persetujuan dari yang diperintah. Penyelenggaraaan negara, khususnya

     pimpinan anggota eksekutif dan anggota legesilatif dipilih langsung oleh

    rakyat melalui pemilihan umum.11 Pancasila dan Undang-Undang Dasar 

     Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada dasarnya adalah tatanan sosial

     berbangsa yang didasarkan atas prinsip demokrasi, yaitu kedaulatan berada

    di tangan rakyat, dengan hukum yang dihasilkan melalui melaluimekanisme dan proses demokrasi menjadi acuan utama dalam

    melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara,12 sehingga putusan

    Mahkamah Konstitusi ini sangat berpengaruh dalam sistem ketatanegaraan

    Indonesia.

    B. Rumusan Masalah

    Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka penulis tertarik 

    untuk mengangkat masalah tersebut dalam rumusan masalah

    “Bagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013

    ditinjau dari tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian hukum dan

    kemanfaatan?”

    C. Metode Penelitian

    1. Jenis Penelitian

    Jenis Penelitian yang digunakan penulis merupakan penelitian

    hukum normatif atau penelitian penelitian hukum doktriner yaitu

    sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Disebut penelitian

    hukum doktriner, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya

    11 Merphin Panjaitan, 2013,  Logika Demokrasi: Manyongsong Pemilihan Umum 2014,

    Jakarta, Permata Aksara, hlm: 134.12

    Mahmud Kusuma, 2009, Menyelami Semangat Hukum Progresif: Terapi Paradigmatik  Bagi Lemahnya Hukum Indonesia, Yogyakarta, antonyLib-Indonesia & LHSP-Indonesia, hlm: 1.

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    9/35

    5

     peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain.13

    Pada penelitian hukum normatif, maka penelitian terhadap asas-asas

    hukum dilakukan terhadap kaidah-kaidah hukum, yang merupakan

     patokan-patokan berperilaku atau bersikap tidak pantas. Penelitian

    tersebut dapat dilakukan (terutama) terhadap bahan hukum primer dan

    sekunder, sepanjang bahan-bahan tadi mengandung kaidah hukum.14

    Serta dimungkinkan untuk menggunakan bahan hukum tertier 15, yakni

     bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan

    hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus, ensiklopedia,

    dan lain sebagainya guna menjawab isu permasalahan yang menjadi

    fokus penelitian.16

    2. Pendekatan Penelitian

    Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

    undang-undang ( statute approach), pendekatan kasus (case approach)

    dan pendekatan konseptual konseptual (conceptual approach).17

    Pendekatan yang penulis gunakan, dilakukan dengan menelaah

     peraturan perundang-undangan yang terkait, terkhusus pada Konstitusi

    (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945) dan

    Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,

    serta regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum tentang Putusan

    Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013. Selain itu pendekatan

    kasus (case approach) yang penulis gunakan dalam permasalahan ini

    adalah guna mengetahui apa yang menjadi alasan-alasan hukum hakimuntuk sampai kepada putusannya, yang mana penulis angkat sebagai

     permasalahan ini, dan pendekatan konseptual yang beranjak dari

    13 Suratman dan Philips Dillah, 2014, Metode Penelitian Hukum, Bandung, Alfabeta, hlm.

    51.14 Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, 2010 Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan

    Singkat, Jakarta, RajaGrafindo Persada, hlm: 62.15 Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi, 2014,  Penelitian Hukum (Legal Research),

    Jakarta, Sinar Grafika, hlm: 89.16

     Ibid hlm: 1317 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, hlm: 93.

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    10/35

    6

     pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam

    ilmu hukum guna mengetahui bagaimana akibat dari putusan

    Mahkamah Konstitusi dalam rangka pemilihan umum serentak.

    3. Bahan Hukum

    a. Sumber bahan hukum primer

    Bahan hukum primer adalah semua aturan hukum yang dibentuk 

    dan/atau dibuat secara resmi oleh suatu lembaga negara, dan/atau

     badan-badan pemerintahan yang dilakukan secara resmi oleh aparat

    negara.18

    Sumber bahan hukum primer adalah sumber data yangmempunyai kekuatan hukum mengikat, terdiri dari :

    1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

    2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

    Konstitusi

    3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas

    Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

    Konstitusi

    4) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan

    Umum Presiden dan Wakil Presiden

    5) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang

    Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang

    Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

    b. Sumber bahan hukum sekunder

    Sumber bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan

     penjelasan mengenai bahan hukum primer, adalah sebagai berikut:

    1) Hasil karya pakar hukum, seperti beberapa Jurnal Mimbar 

    Hukum dan Jurnal Konstitusi

    2) Teori-teori hukum .

    18

    Soetandyo Wignjosoebroto, 2013, Hukum: Konsep dan Metode, Malang, Sentra Press,hlm: 81.

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    11/35

    7

    3) Situs Resmi dari Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemilihan

    Umum, dan beberapa Blog Sarjana Hukum.

    4) Buku-buku bacaan sebegaimana yang terdapat pada daftar 

     pustaka.

    5) Skripsi atau Karya Tulis Ilmiah yang terkait membahas tentang

     permasalahan.

    c. Sumber bahan hukum tertier

    Sumber bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan

     penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum

    sekunder, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia.

    4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

    Prosedur yang digunakan penulis berupa studi dokumentasi

    yaitu pedoman yang digunakan berupa catatan catatan untuk memuat

    kutipan. Prosedur pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan

    melakukan pengumpulan bahan literatur hukum baik itu bersifat offline

    maupun online.

    5. Pengolahan Bahan Hukum

    Bahan hukum yang diperoleh baik bahan hukum primer,

    sekunder maupun tertier disusun secara sistematis. Selanjutnya bahan

    hukum dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya

    dengan masalah yang diteliti.

    6. Analisis Bahan Hukum

    Bahan hukum primer, sekunder dan tertier disusun secara

    sistematis kemudian dianalisis secara yuridis kualitatif. Hasil analisis

    dipaparkan secara naratif (uraian) untuk menjawab permasalahan yang

    dikaji.19

    19

    M. Abdi, (et al ), 2013,  Panduan Penulisan Tugas Akhir Untuk Sarjana Hukum (S1),Bengkulu Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, hlm: 65.

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    12/35

    8

    BAB II

    PEMBAHASAN

    Tujuan hukum biasanya dipelajari pada Filsafat Hukum, dengan adanya

    tujuan maka hukum yang ditegakkan haruslah sesuai dengan apa yang dituju.

    Tujuan hukum digunakan untuk mengetahui apakah putusan Mahkamah Konstitusi

     No. 14/PUU-XI/2013 apakah sudah sesuai dengan tujuan hukum secara teoritis.

    Idealnya, hukum harus mengakomodasi tiga tujuan, yaitu keadilan, kepastian

    hukum dan kemanfaatan. Putusan hakim sedapat mungkin merupakan resultante

    dari ketiganya.20 Muhamad Erwin mengutip pendapat G. Radbruch yang

    menyatakan bahwa sesuatu yang dibuat pasti memiliki cita atau tujuan. Tujuan ini

    merupakan nilai yang ingin diwujudkan manusia. Tujuan hukum yang utama ada

    tiga, yaitu:21

    1. Keadilan untuk keseimbangan;

    2. Kepastian untuk ketepatan;

    3. Kemanfaatan untuk kebahagiaan.

    Untuk dapat mengetahui tujuan hukum yang ideal, penulis menelaah satu persatu

    apa yang menjadi tujuan dari hukum tersebut.

    A. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Ditinjau dari

    Tujuan Hukum Keadilan

    1. Keadilan

    Keadilan adalah sebuah kata yang sangat sulit didefinisikan.

    Banyak pendapat dan aliran dari filsafat hukum yang membahas

    masalah ini, tetapi di sini penulis hanya akan merangkum intisarinya

    untuk mengupas makna dari keadilan.

    20 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2008,  Pokok-pokok Filsafat Hukum: Apa dan

     Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, hlm: 155.21

    Muhamad Erwin, 2012,  Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum, Jakarta,RajaGrafindo Persada, hlm:123.

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    13/35

    9

    Keadilan adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya,

    dalam artian memberikan seseorang hak yang semestinya memang

    miliknya atau memberikan secara tepat apa yang menjadi hak dan

    kewajiban yang ditetapkan kepada orang pada bagiannya masing-

    masing. Tetapi apabila keadilan dipandang dari segi hak tersebut,

    meskipun pada dasarnya hak manusia adalah sama, tetapi dalam

     penafsiran akan hak itu sendiri tentu akan berbeda-beda pada setiap

    orang. Tentu saja harus ada tolak ukur untuk menjadi sebuah standar 

    dari definisi keadilan itu sendiri, maka untuk menjawab dari persoalan

    di atas, diperlukan pendalaman yang lebih dengan mengkaji beberapa

    aliran filsafat hukum.

    a. Aliran Hukum Alam

    Begitu banyak teori yang membahas aliran hukum alam, Lili

    Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi berpendapat bahwa yang dimaksud

    dengan hukum alam ialah hukum yang berlaku universal dan abadi.

    Menilik sumbernya, hukum alam ada yang bersumber dari Tuhan

    (irasional) dan yang bersumber dari akal (rasio) manusia.22

    Jika menilik hukum alam yang bersumber pada Tuhan, M.

    Shodiq Dahlan berpendapat bahwa hukum alam adalah hukum yang

    digambarkan berlaku abadi sebagai hukum yang norma-normanya

     berasal dari Tuhan Yang Mahaadil, dari alam semesta dan dari akal

     budi manusia, sebagai hukum yang kekal dan abadi sebegitu jauh

    tidak terikat oleh waktu dan tempat, sebagai hukum yang sanggup

    menyalurkan kebenaran dan keadilan dalam tingkatan yang

    semutlak-mutlaknya kepada segenap manusia. Oleh karenanya

    hukum alam memiliki sifat yang lebih sempurna dan mempunyai

    22

    Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2010, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung, Mandar Maju, hlm: 53

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    14/35

    10

    derajat yang lebih tinggi daripada  jus contitutum ataupun  jus

    constituendum.23

    Lebih lanjut, M. Shodiq Dahlan mengutip pendapat Cicero

    yang disunting oleh S. Tasrif yang mengatakan bahwa tidak ada satu

    hal yang lebih penting untuk dipahami selain bahwa manusia itu

    dilahirkan bagi keadilan dan bahwa hukum dan keadilan tidak 

    ditentukan oleh pendapat manusia tetapi oleh alam.24 Muhamad

    Erwin berpendapat bahwa tolak ukur aliran hukum terhadap esensi

    hukum terletak pada di mana apa yang dipandang sesuai dengankepentingan alam adalah kebaikan.25 Oleh karena esensi hukum

    menurut hukum alam adalah kepentingan alam yang berupa

    kebaikan maka jelas tolak ukurnya terletak pada moral. Tujuan

    hukum menurut aliran hukum alam harus mengandung nilai-nilai

    moralitas yakni menuntun masyarakat menuju kebaikan dan menaati

    hukum karena merasa wajib secara moral sehingga dapat membuat

    masyarakat yang baik secara moral.26

     b. Aliran Positivisme Hukum

    Istilah positif dalam aliran hukum positif/aliran positivisme

    hukum dipakai untuk memberikan maksud bahwa hukum itu

    ditetapkan dengan pasti tegas, dan nyata. Penggunaan istilah ini juga

     bermaksud untuk membedakannya dengan nilai-nilai yang berasal

    dari Tuhan dan moral yang bersifat abstrak dan tidaknya.27

    Aliran ini sangat membedakan sesuatu yang nyata dan tidak 

    nyata, maka aliran positivisme hukum ini memandang perlu untuk 

    memisahkan secara tegas antara hukum dan moral atau antara

    23 Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta (ed), 1989, Filsafat Hukum Mazham dan Refleksinya,

    Bandung, Remadja Karya, hlm: 1724 Ibid, hlm: 26-2725 Muhamad Erwin, Op.Cit., hlm:14126

    Muhamad Erwin, Op.Cit., hlm:14127 Muhamad Erwin, Op.Cit., hlm:153

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    15/35

    11

    hukum yang berlaku (das sein) dengan hukum yang seharusnya (das

     sollen).28

    Aliran hukum positif yang analitis mengartikan hukum itu

    sebagai a command of Lawgiver (perintah dari pembentuk undang-

    undang atau penguasa), yaitu suatu perintah dari mereka yang

    memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan.

    Hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat

    tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari

    moral, jadi dari hal yang berkaitan dengan keadilan, dan tidak didasarkan atas pertimbangan atau penilaian baik-buruk.

    Selanjutnya John Austin membagi hukum atas29:

    1) Hukum ciptaan Tuhan, dan Hukum yang dibuat oleh manusia,

    yang terdiri dari:

    a) Hukum yang dalam artian sebenarnya, yaitu hukum yang

    disebutkan juga hukum positif, dirinci menjadi hukum yang

    dibuat oleh penguasa, seperti undang-undang, peraturan

     pemerintah, dan lain-lain; dan hukum yang disusun atau

    dibuat oleh rakyat secara individual, yang dipergunakan

    untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya.

     b) Hukum dalam artian yang tidak sebenarnya, yaitu hukum

    yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Jenis

    hukum ini tidak dibuat atau ditetapkan oleh penguasa/badan

     berdaulat yang berwenang.

    Terdapat empat unsur penting menurut Austin untuk 

    dinamakan sebagai hukum, yaitu perintah, sanksi, kewajiban dan

    kedaulatan. Ketentuan-ketentuan yang tidak mengandung keempat

    28

    Muhamad Erwin, Loc.Cit.29 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Op.Cit., hlm: 56-57

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    16/35

    12

    unsur tersebut bukaqnlah merupakan hukum positif, melainkan

    hanya sebagai moral positif.

    Aliran positivisme hukum ini mementahkan pendapat dari

    aliran hukum alam. Dalam aliran ini yang menjadi patokan dalam

    hukum adalah segala peraturan yang dibuat oleh penguasa atau

     pejabat berwenang. Maka moral atau apa yang dianggap baik oleh

    manusia dengan berpatokan pada kepentingan alam bukanlah

    merupakan keadilan. Keadilan di sini merupakan taat kepada hukum

    yang dibuat, jadi apapun hukum yang dibuat oleh penguasamerupakan bentuk dari keadilan. Penilaian baik-buruknya penilaian

    manusia dalam ajaran ini hanyalah moral, bukan tolak ukur keadilan

    dari hukum, sehingga dalam perkembangannya memunculkan

     pendapat yang menyempurnakan aliran positivisme hukum ini.

    Thomas Aquinas dalam pendapatnya yang dikutip oleh Muhamad

    Erwin dari H.L.A Hart, mengemukakan bahwa hukum positif yang

    adil memiliki daya ikat melalui hati nurani subyek hukum. Hukum

     positif akan disebut adil jika memenuhi persyaratan sebagai

     berikut:30

    1) Diperintah atau diundangkan demi kebaikan umum;

    2) Ditetapkan oleh legislator yang tidak menyalahgunakan

    kewenangan legislatifnya;

    3) Hukum positif memberikan beban yang setimpal demi

    kepentingan kebaikan umum.

    Penjelasan S. Tasrif dalam menjelaskan keadilan adalah

    keadilan harus meninjau tentang tindakan-tindakan macam apakah

    yang termasuk dalam lingkungannya. Beliau berpendapat bahwa

    hukum adalah hal yang berada di tengah-tengah dari tindakan-

    30 Muhamad Erwin, Op.Cit., hlm: 162

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    17/35

    13

    tindakan tersebut. Selanjutnya, dijelaskan bahwa keadilan adalah

    adil menurut hukum dan apa yang sebanding dan semestinya. Orang

    menaati hukum dapat dianggap sebagai adil, di mana adil yang

    menurut hukum disini diartikan sebagai apa yang secara tegas

    diharuskan oleh pembentuk undang-undang. Undang-undang yang

     berbeda-beda, apa pun isinya jika dibuat dengan tujuan kebaikan

     bagi masyarakat secara keseluruhan atau subyek hukum tertentu,

    maka dapat dikatakan adil. Disamping itu, peraturan yang dibuat

    haruslah menentukan bagaimana caranya subyek hukum harus

     bertingkah laku.31

    Berdasarkan penjabaran di atas, penulis menyimpulkan

     bahwa keadilan adalah sesuatu hal yang berada di tengah-tengah di

    antara hak dan kewajiban subyek hukum. Hak dan kewajiban ini

     berpatokan pada apa yang telah ditetapkan hukum atau peraturan-

     peraturan yang berlaku, tanpa mengesampingkan bahwa hukum

    yang dibuat oleh penguasa yang berwenang atau dari apa yang telah

    ditetapkan baik-buruknya sesuatu oleh Tuhan, dan akal budi

    manusia (moral) serta melihat pula rasa adil yang telah diakui oleh

    masyarakat pada umumnya .

    2. Substansi

    Substansi adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia

    yang berada dalam suatu sistem.32 Substansi hukum merupakan susunan

     peraturan-peraturan dan ketentuan tentang bagaimana institusi- institusi

    (penegak hukum) bertingkah laku.33 Hukum tersebut disebut

    31 S. Tasrif, 1987, Bunga Rampai Filsafat Hukum, Jakarta, Abardin, hlm: 96-9832 Lawrence M. Friedman, 2001, Hukum Amerika: Sebuah Pengantar (American

    Law: An Introduction), Penerjemah oleh Wishnu Basuki, Jakarta, PT. Tatanusa, hlm. 733

    Lawrence M. Friedman, 2009, Sistem Hukum; Prespektif Ilmu Sosial , M Khozim(Penerjemah), Cetakan III, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm. 16

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    18/35

    14

    dikatakan memaksa jika memiliki daya paksa yang tinggi (coercive)34

    dan dianggap kedudukan lebih tinggi dari norma sosial lainnya.35

    Hukum bergerak di antara dua (2) dunia yang berbeda, baik 

    dunia nilai maupun dunia sehari-hari (realitas sosial). Akibatnya

    sering terjadi ketegangan di saat hukum itu diterapkan. Ketika hukum

    yang sarat dengan nilai-nilai itu di hendak diwujudkan, maka ia

    harus berhadapan dengan berbagai macam faktor yang mempengaruhi

    dari lingkungan sosialnya.36

    Substansi hukum juga terdapat pada dogmatik hukum yang

    merupakan cabang ilmu hukum yang mempelajari hubungan antara

     peraturan-peraturan hukum positif yang tujuannya adalah pemecahan

    masalah-masalah hukum konkret.37 Obyek dogmatik hukum pada

    hakikatnya meliputi asas hukum, peraturan hukum konkret, sistem

    hukum dan penemuan hukum.38

    Hukum-hukum dari poin di atas merupakan hukum positif yang

    mengutamakan kebenaran, keharusan39 dan sanksi (punitif).40

    keberadaan Mahkamah Konstitusi dilandasi oleh pemikiran Hans

    Kelsen. Kelsen menyatakan bahwa konstitusi merupakan hukum

    tertinggi dalam suatu sistem hukum nasional sekaligus sebagai sumber 

    validitas dari norma hukum yang di bawahnya. Untuk menegakkan

    konstitusi diperlukan adanya jaminan bahwa peraturan yang berada di

     bawah konstitusi tidak bertentangan dengan konstitusi itu sendiri. Untuk 

    34 Hans Kelsen, 2008, Pure Theory of Law, Fifth Printing, University of California Press,

     New Jersey, hlm. 5435 Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya, hlm. 8536 Esmi Warassih, 2011,  Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang, Badan

    Penerbit Universitas Dipenogoro, hlm. 7037 Sudikno Metrokusumo, 2012, Teori Hukum Edisi Revisi, Yogyakarta, Cahaya Atma

    Pustaka, hlm. 3838 Ibid , hlm. 4439 Hans Kelsen, 2009, Pengantar Teori Hukum, Siwi Purwandari (Penerjemah), Bandung,

     Nusa Media, hlm. 6940

    Phillippe Nonet & Phillip Selznick, 2003,  Hukum Responsif; Pilihan di Masa Transisi,Rafael Edi Bosco (penerjemah), Jakarta, The Ford Foundation Huma, hlm. 40

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    19/35

    15

    menjamin hal tersebut, diperlukan adanya lembaga peradilan yang

    diberi tugas menguji konstitusionalitas produk hukum serta memiliki

    kewenangan untuk membatalkan jika produk hukum dimaksud

     bertentangan dengan konstitusi. Kewenangan ini sebenarnya dapat saja

    diberikan kepada pengadilan biasa, namun putusannya terbatas pada

     penolakan untuk menerapkan norma hukum yang dinilai tidak 

    konstitusional, sedangkan jika diberikan kepada lembaga peradilan

    konstitusi itu sendiri, kewenangannya juga meliputi pembatalan atau

     penghapusan norma sehingga tidak lagi dapat dilaksanakan oleh organ

    negara yang lain.41

    Dalam kaitannya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 

    14/PUU-XI/2013 Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun

    2003 tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa “ Mahkamah

     Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan

    kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk melaksanakan peradilan

     guna menegakkan hukum dan keadilan”.42 Pada prinsipnya, dalam

    menjalankan kewenangannya, terutama menguji undang-undang,

    Mahkamah Konstitusi tidak boleh hanya bersandarkan pada semangat

    legalitas formal peraturan-peraturan tertulis, melainkan harus mampu

    menggali dan menghadirkan nilai keadilan substantif bagi masyarakat.

    Semangat menegakkan nilai-nilai keadilan substansial tersebut dijawab

    Mahkamah Konstitusi dengan putusan-putusan yang tidak terpasung

    oleh keterbatasan normatif undang-undang, misalnya dengan putusan

    konstitusional bersyarat, tidak konstitusional bersyarat, putusan sela,

     putusan yang berlaku surut dan lain sebagainya.43

    41 Janedjri M. Gaffar, 2013,  Hukum Pemilu Dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi,

    Jakarta, Konstitusi Press, hlm: 10-1142 Ahmad Fadlil Sumandi, 2013,  Politik Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi:

     Aktualisasi Konstitusi dalam Praktis Kenegaraan, Malang, Setara Press, hlm: 41-42.43

    Martitah,  Mahkamah Konstitusi: Dari Negative Legsilature ke Postivie Legislature,Jakarta, Konstitusi Press, hlm: 183

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    20/35

    16

    3. Struktur Hukum

    Sistem hukum nasional adalah sebuah sistem hukum (meliputi

    materiil dan formil; pokok dan sektoral) yang dibangun berdasarkan

    ideologi negara Pancasila, UUD 1945 dan dapat juga bersumber pada

    hukum lain asal tidak bertentangan dengan jiwa Pancasila dan UUD

    1945, serta berlaku di seluruh Indonesia. Ketika berbicara mengenai

    sistem hukum, maka ada tiga komponen penting yang juga perlu dilihat,

    yaitu legal structure, legal substance, dan legal culture. 44

    Dalam hal ini struktur dalam sistem hukum merupakan

    institusi-institusi penunjang yang menjadikan hukum dapat berjalan

    memenuhi tugasnya.45 Struktur tersebut dalam aktivitas hukum adalah

    hakim, pengacara, polisi dan lain sebagainya yang diberikan

    kewenangan untuk menjadi penegak hukum. Dalam kajian ini,

    Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penegak hukum, yakni sebagai

     penegak dan penafsir terakhir konstitusi (The Guardian and Final 

     Interpreter of Constitution).

    Mahkamah Konstitusi dalam hal melaksanakan kewenangannya

    terhadap pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 

     Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berlandaskan Pasal 24C Ayat

    (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

    Pasal 10 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

    tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan

    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-

    Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, serta

    Pasal 29 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

    tentang Kekuasaan Kehakiman, yang salah satu kewenangan

    44 Lihat diakses pada 27 Desember 2015, Pkl 22.50 WIB45 Lawrence M. Friedman dalam bukunya The Legal System: A Sociology Science

    Perspective, dalam Soerjono Soekanto, et. all., 1986, Kriminologi Suatu Pengantar, Jakarta, GhaliaIndonesia, hlm. 129

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    21/35

    17

    konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan

    terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang

    terhadap Undang-Undang Dasar.46

    Ketentuan hukum mengenai acara Mahkamah Konstitusi

    sebagian termuat dalam Pasal 7B Undang-Undang Dasar Negara

    Republik Indonesia Tahun 1945, sebagian lainnya di dalam Undang-

    Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 28

    sampai dengan Pasal 85. Selebihnya diatur di dalam Peraturan

    Mahkamah Konstitusi (Peraturan Mahkamah Konstitusi) di dalam praktek. Hal ini dimungkinkan berdasarkan Pasal 86 Undang-Undang

     Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang memberikan

    kewenangan Mahkamah Konstitusi lebih lanjut hal-hal yang diperlukan

     bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Pasal 28 sampai

    dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

    Mahkamah Konstitusi memuat ketentuan hukum acara yang bersifat

    umum untuk seluruh kewenangan Mahkamah Konstitusi. Selebihnya

    merupakan ketentuan hukum tentang acara yang berlaku untuk setiap

    kewenangan Mahkamah Konstitusi. Pasal 50 sampai dengan Pasal 60

    Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

    untuk Pengujian Undang-Undang.47

    4. Budaya Hukum

    Penegakan hukum hendaknya tidak dilihat sebagai suatu yang

     berdiri sendiri, melainkan selalu berada di antara berbagai faktor 

    (interchange) dalam konteks yang demikian itu, titik tolak pemahaman

    terhadap hukum tidak sekedar sebagai sesuatu rumusan ‘hitam putih’

    (blue print ) yang ditetapkan dalam berbagai peraturan perundang-

    undangan . Hukum hendaknya dilihat sebagai suatu gejala yang dapat

    diamati di dalam masyarakat antara lain melalui tingkah laku warga

    46

    Lihat Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman47 Lihat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    22/35

    18

    masyarakatnya.48 Dalam hal ini Lawrence M. Friedman menyatakan

     bahwa yang dimaksud dengan budaya hukum adalah berupa kategori

    nilai-nilai, pandangan-pandangan serta sikap-sikap yang mempengaruhi

     bekerjanya hukum,49 sehingga terpenuhinya rasa keadilan dan

    kemakmuran masyarakat sebagai diamanatkan dalam Undang-Undang

    Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    B. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Ditinjau dari

    Tujuan Hukum Kepastian Hukum

    1. Kepastian Hukum

    Kepastian hukum menurut M. Solly Lubis ialah kepastian

    mengenai batas-batas hak dan kewajiban para pihak  (rechtenplicht,

    right and duty) dalam hubungan hukum yang mereka lakukan

    (bentrokkene rechtspersonen).50 Pendapat ini bila ditelaah, maka semua

    kebijakan dalam bidang hukum harus dibuat agar dapat mengakomodir 

    tentang hak dan kewajiban subyek hukum dalam suatu hal tertentu

    dengan pasti. Utrecht berpendapat bahwa tugas hukum itu menjamin

    kepastian hukum dalam hubungan-hubungan yang dalam pergaulan

    kemasyarakatan. Terjadi kepastian dicapai oleh karena hukum.51

    Kepastian hukum yang pertama berarti kepastian dalam

     pelaksanaannya, yang dimaksud adalah bahwa hukum yang resmi

    diperundangkan dilaksanakan dengan pasti oleh negara. Kepastian

    hukum bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum

    dilaksanakan dan tuntutan itu pasti dipenuhi, bahwa setiap

     pelanggaran hukum akan ditindak dan dikenakan sanksi menurut

    48 Esmi Warassih, Op.Cit., Hlm. 6149 Esmi Warassih, Op.Cit., Hlm. 72

    50 M. Solly Lubis, 2014, Politik Hukum dan Kebijakan Publik (Legal Policy and Public

     Policy), Bandung, Mandar Maju, hlm: 2451

     Ibid, hlm: 23

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    23/35

    19

    hukum juga. Keputusan pengadilan harus bebas dari pengaruh

    kekuasaan. Kepastian hukum menuntut agar dalam perkara hukum,

    kekuasaan eksekutif, pemerintah, di bawah kekuasaan yudikatif dan

    dapat dipaksa untuk bertindak sesuai dengan hukum.52

    Kepastian pelaksanaan hukum mengandaikan kepastian

    orientasi. Hukum harus jelas, sehingga masyarakat dan hakim dapat

     berpedoman padanya. Ini berarti bahwa setiap istilah dalam hukum

    harus dirumuskan dengan jelas dan berarti bahwa setiap istilah dalam

    hukum harus dirumuskan dengan jelas dan tegas, sehingga tidak ada

    keragu-raguan dalam tindakan yang dimaksud. Kepastian orientasi

    menuntut agar ada prosedur pembentukan dan peresmian hukum yang

     jelas dapat diketahui umum.

    2. Substansi

    Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

    Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa “Putusan Mahkamah

     Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan

    dalam sidang pleno terbuka untuk umum”. Amar putusan tersebut

    apabila dibaca satu persatu secara terpisah, maka terdapat rentetan

    masalah dari dilanggarnya Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun

    2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Akibat hukum yang timbul dari

    satu putusan hakim jika menyangkut terhadap undang-undang yang

    diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

    Mahkamah Konstitusi. Pasal tersebut berbunyi “Undang-undang yang 

    diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku sebelum ada putusan

     yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan

    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Ini

     berarti, putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu

    undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara

    Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum

    52 Muhamad Erwin, Op.Cit., hlm: 63

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    24/35

    20

    mengikat. Akibat hukum yang timbul dari putusan itu dihitung sejak 

     putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 47

    Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi).

    Selain itu, akibat hukum timbul dari berlakunya satu undang-undang

    sejak yaitu diundangkan sampai diucapkannya putusan yang

    menyatakan undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum

    yang mengikat, tetap sah dan mengikat.53 Pengkajian putusan

    Mahkamah Konstitusi a quo apabila hanya melihat dari segi undang-

    undang, maka Mahkamah Konstitusi tidak dapat dibenarkan menunda

     berlaku putusan yang pasal-pasalnya sudah tidak mempunyai kekuatan

    hukum yang mengikat. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum

    terhadap Pemilu 2014 tetap dilaksanakan dengan menggunakan

    Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum

    Presiden dan Wakil Presiden yang sebagian pasalnya sudah dianggap

    tidak mempunyai kekuatan hukum.

    Untuk mencegah terjadinya ketidakpastian hukum akibat dari

    tafsir tersebut, Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa amar putusan

    tersebut harus dibaca sebagai satu kesatuan dalam pemafhumannya,

    dengan mempertimbangkan aspek-aspek hukum dan non hukum dari

     berlakunya putusan tersebut.54 Mahkamah Konstitusi menyatakan

     bahwa pasal-pasal Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 Ayat (1) dan (2), Pasal 14

    ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang

    Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan

    Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum

    yang mengikat dan berlaku pada Pemilu 2019 dan seterusnya adalah

    semata-mata untuk mengatasi adanya kevakuman hukum. Kevakuman

    hukum itu akan terjadi apabila putusan tersebut berlaku seketika sejak 

    diucapkan, dikarenakan Pemilu 2014 yang telah terjadwal tidak 

    53 Mauruar Siahaan, 2011,  Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,

    Jakarta, Sinar Grafika , hlm: 218-21954

    Dokumentasi  Indonesia Lawyer Club,  , diakses 21 Juli 2014, Pkl 13.00 WIB

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    25/35

    21

    mungkin dapat diatasi dengan menunggu pembentuk undang-undang

    (DPR dan Presiden) untuk merubah Undang-Undang Nomor 42 Tahun

    2008 yang sebagian Pasal telah dikabulkan pengujiannya, termasuk 

    untuk menunggu Presiden yang mempunyai hak untuk menerbitkan

    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang guna mengisi

    kevakuman hukum tersebut, maka Mahkamah Konstitusi dalam hal ini

    mempunyai pandangan sendiri dengan menunda berlakunya putusan

    tersebut sebagai pertimbangan permasalahan yang akan timbul dari

     putusan tersebut apabila tetap harus berlaku saat diucapkan (Pasal 47

    Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi)

    yang memungkinkan ketidakpastian hukum terhadap Pemilu 2014

    karena kehilangan dasar hukum dalam pelaksanaannya.

    3. Struktur Hukum

    Putusan tersebut harus dibaca dan dipahami sebagai satu

    kesatuan, dan melihat pertimbangan Mahkamah Konstitusi secara lebih

    dalam dalam putusan tersebut. Mahkamah Konstitusi menimbang

     bahwa pelaksanaan putusan segera pada Pemilu 2014 tidak dapat

    dilakukan karena seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan

    mengenai tata cara pelaksanaan pemilihan umum, baik Pilpres maupun

    Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan, telah dibuat dan

    diimplementasikan sedemikian rupa. Demikian juga persiapan-

     persiapan teknis yang dilakukan oleh penyelenggara termasuk persiapan

     peserta pemilihan umum dan seluruh masyarakat Indonesia telah sampai

     pada tahap akhir, sehingga apabila Pasal 3 Ayat (5) Undang-Undang

     Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

    Presiden dan ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan tata cara

    dan persyaratan pelaksanaan Pilpres yang akan diputuskan dalam

     perkara ini harus diberlakukan segera setelah diucapkan dalam sidang

    terbuka untuk umum maka tahapan pemilihan umum tahun 2014 yang

    saat ini telah dan sedang berjalan menjadi terganggu atau terhambat,

    terutama karena kehilangan dasar hukum. Hal demikian dapat

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    26/35

    22

    menyebabkan pelaksanaan pemilihan umum pada tahun 2014

    mengalami kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang

     justru tidak dikehendaki karena bertentangan dengan Undang-Undang

    Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.55 Dasar pertimbangan

    yang telah Mahkamah Konstitusi jelaskan membuat Mahkamah

    Konstitusi harus keluar dari konteks undang-undang yang dalam hal ini

    adalah Pasal 47 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang

    Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden demi mendapatkan

     putusan yang adil, mempunyai kepastian hukum dan berguna bagi

    Pemilu 2014.

    4. Budaya Hukum

    Selanjutnya, Penulis berpendapat bahwa amar putusan

    mengadili pada angka 2 yang menyatakan bahwa "Amar putusan dalam

    angka 1 tersebut di atas berlaku untuk pelaksanaan pemilihan umum

    tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya”, merupakan satu kesatuan

    dari putusan Mahkamah Konstitusi, yang mana bagian tersebut juga

    merupakan keputusan Mahkamah Konstitusi. Hal ini erat kaitannya

    dengan teori bahwa putusan Mahkamah Konstitusi dapat bersifat

     positive legislature dalam artian merupakan pembentukan sebuah

    norma atau ketentuan baru yang dilakukan demi mencari kebenaran

    substantif yang dalam hal ini berdasarkan pertimbangan hukum yakni

    demi menjamin kepastian hukum pelaksanaan Pemilu 2014 dan dengan

    mempertimbangkan beberapa aspek hukum maupun non hukum

    mengenai kesiapan teknis KPU dalam melaksanakan Pemilu Serentak.56

    55

    Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 14/PUU-XI/201356 Martitah, 2013, Op.Cit., hlm. 174-175.

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    27/35

    23

    C. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Ditinjau dari

    Tujuan Kemanfaatan

    1. Kemanfaatan

    Kemanfaatan hukum ini sendiri banyak dibahas pada aliran

    filsafat hukum utilitirianisme. Aliran ini meletakkan kemanfaatan

    sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan di sini diartikan sebagai

    kebahagiaan (happiness). Jadi baik buruknya atau adil tidaknya suatu

    hukum, bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kepada

    manusia atau tidak.57

    Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap

    individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai (dan pasti tidak 

    mungkin), diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh

    sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut

    (the greatest happiness for the greatest number of people).58

    Pendapat Jeremy Bentham dikutip oleh Lili Rajidi dan Ira

    Thania Rasjidi yang menyatakan bahwa pembentuk undang-undang

    hendaknya dapat melahirkan undang-undang yang dapatmencerminkan keadilan bagi semua individu. Dengan berpegang

     pada prinsip tersebut, maka peraturan perundang-undangan

    hendaknya dapat memberikan kebahagiaan yang terbesar bagi

    sebagian besar masyarakat.59

    2. Substansi

    Dalam kaitanya dengan substansi dari aspek kemanfaatan,

    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 tersebut

    menimbang aspek kemanfaatan dengan diberlakukannya tidak saat

    diucapkan. Hal ini mempertimbangkan bahwa untuk memperoleh

    kemanfaatan maka diperlukan waktu bagi pembentuk undang-undang

    untuk membuat undang-undang pemilu yang baru.

    57 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op.Cit., hlm: 117.58

    Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Loc.Cit.59 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Op.Cit., hlm: 61

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    28/35

    24

    Peraturan perundang-undangan sebagai komponen penting

    dalam kesatuan sistem hukum nasional, dengan demikian harus dengan

    harus dibangun secara terintegrasi untuk memberikan jaminan bahwa

     pembangunan nasional dapat berjalan teratur, ada kepastian hukum dan

    memberikan kemanfaatan bagi terpenuhinya rasa keadilan dan

    kemakmuran masyarakat sebagai dimanatkan dalam Undang-Undang

    Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.60

    3. Struktur Hukum

    Mahkamah Konstitusi menimbang bahwa pelaksanaan putusan

    segera pada Pemilu 2014 tidak dapat dilakukan karena seluruh ketentuan

     peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pelaksanaan

     pemilihan umum, baik Pilpres maupun Pemilu Anggota Lembaga

    Perwakilan, telah dibuat dan diimplementasikan sedemikian rupa.

    Demikian juga persiapan-persiapan teknis yang dilakukan oleh

     penyelenggara termasuk persiapan peserta pemilihan umum dan seluruh

    masyarakat Indonesia telah sampai pada tahap akhir, sehingga apabila

    Pasal 3 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang

    Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dan ketentuan-ketentuan

    lain yang berkaitan dengan tata cara dan persyaratan pelaksanaan Pilpres

    yang akan diputuskan dalam perkara ini harus diberlakukan segera

    setelah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum maka tahapan

     pemilihan umum tahun 2014 yang saat ini telah dan sedang berjalan

    menjadi terganggu atau terhambat, terutama karena kehilangan dasar hukum. Hal demikian dapat menyebabkan pelaksanaan pemilihan

    umum pada tahun 2014 mengalami kekacauan dan menimbulkan

    ketidakpastian hukum yang justru tidak dikehendaki karena

    60

    Ahmad Yani, 2013,  Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Responsif,Jakarta, Konstitusi Press, hlm: 2

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    29/35

    25

     bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik 

    Indonesia Tahun 1945.61

    4. Budaya Hukum

    Dasar pertimbangan yang telah Mahkamah Konstitusi jelaskan

    membuat Mahkamah Konstitusi harus keluar dari konteks undang-

    undang yang dalam hal ini adalah Pasal 47 Undang-Undang Nomor 42

    Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden

    demi mendapatkan putusan yang adil, mempunyai kepastian hukum dan

     bermanfaat bagi Pemilu 2014.

    Mahkamah Konstitusi keluar dari konteks undang-undang

    formal dengan menimbang berbagai aspek yang mempengaruhi

     penyelenggaraan pemilu yang akan segera dilaksanakan. Menurut

     pendapat penulis, pertimbangan dengan menimbang aspek kemanfaatan

    seperti yang telah dijelaskan sudah tepat, karena apabila hanya terpaku

    dalam hukum positif yang membelenggu sehingga tidak dapat

    menjawab apa yang menjadi kebutuhan masyarakat serta kemanfaatan

    hukum yang ada, maka putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak 

    dapat mencapai tujuan hukum.

    Di samping hal tersebut, mengingat budaya hukum pemilu di

    Indonesia yang telah mempersiapkan pemilu yang sudah menjadi

    agenda lima tahun sekali sudah memasuki tahap akhir dalam Pemilu

    2014 lalu, maka secara teori hukum, putusan ini sangat

    mempertimbangkan kemanfaatan dan budaya hukum yang ada baik 

    dalam ketatanegaraan maupun masyarakat Indonesia.

    61 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 14/PUU-XI/2013

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    30/35

    26

    BAB IV

    KESIMPULAN

    A. Kesimpulan

    Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/13 tidak 

    hanya bersandarkan pada semangat legalitas formal peraturan-peraturan

    tertulis, melainkan juga telah menggali dan menghadirkan nilai keadilan,

    kepastian dan kemanfaat substantif bagi masyarakat. Semangat

    menegakkan nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan

    substansial tersebut dijawab Mahkamah Konstitusi dengan putusan yang

    tidak terpasung oleh keterbatasan normatif undang-undang, Mahkamah

    Konstitusi mampu menghadirkan putusan yang bersifat positive legislature

    dengan mempertimbangkan aspek-aspek hukum maupun non-hukum yang

     berakibat kepada pemilihan umum di Indonesia dapat berjalan dengan baik.

    Menurut kajian penulis, berdasarkan substansi dari putusan tersebut

    untuk pemilu, struktur hukum yang ada di Indonesia dan Budaya hukum

    yang ada di dalam masyarakat, pertimbangan aspek hukum yakni dengan

    menunda putusan tersebut berlaku dan memasukkan penundaan tersebut

    sebagai salah satu putusannya merupakan penemuan hukum yang hal

    tersebut belum pernah dilakukan sebelumnya. Kemudian bahwa

     pertimbangan akan terjadinya kekosongan hukum apabila segera

    diberlakukan pada saat Pemilu 2014 yang saat itu persiapan sudah

    mendekati tahap akhir sehingga tidak memungkinkan bagi pembentuk 

    undang-undang pemilu yang baik sesuai dengan tujuan hukum maupun apa

    yang dikehendaki oleh konstitusi merupakan bukti bahwa Mahkamah

    Konstitusi telah menimbang tujuan hukum yakni keadilan, kepastian hukum

    dan kemanfaatan.

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    31/35

    DAFTAR PUSTAKA

    A. Buku dan Artikel

    Ahmad Fadlil Sumandi, 2013,  Politik Hukum Konstitusi dan Mahkamah

     Konstitusi: Aktualisasi Konstitusi dalam Praktis Kenegaraan,

    Malang, Setara Press

    Ahmad Yani, 2013,  Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang 

     Responsif, Jakarta, Konstitusi Press

    Carl Joachim Friedrich, 2014,  Filsafat Hukum; Perspektif Historis, Raisul

    Mutaqqien (Penerjemah), Bandung, Pustaka Sinar Harapan

    Dahlan Thaib, 2009, Ketatanegaraan Indonesia: Perspektif Konstitusional ,

    Yogyakarta, Total Media

    Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2008, Pokok-pokok Filsafat Hukum: Apa

    dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta, Gramedia

    Pustaka Utama

    Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi, 2014,  Penelitian Hukum (Legal 

     Research), Jakarta, Sinar Grafika

    Esmi Warassih, 2011,  Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis,

    Semarang, Badan Penerbit Universitas Dipenogoro

    Gene Sharp, 1997,  Menuju Demokrasi Tanpa Kekerasan; Kerangka

     Konseptual Untuk Pembebasan, Sugeng Bahagijo, Jakarta, Pustaka

    Sinar Harapan

    Hans Kelsen, 2008,  Pure Theory of Law, Fifth Printing, University of 

    California Press, New Jersey

    ----------------, 2009,  Pengantar Teori Hukum, Siwi Purwandari

    (Penerjemah), Bandung, Nusa Media

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    32/35

    Hendarmin Ranadireksa, 2007, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung,

    Fokus Media

    Janedjri M. Gaffar, 2013, Hukum Pemilu Dalam Yurisprudensi Mahkamah

     Konstitusi, Jakarta, Konstitusi Press

    Jimly Asshiddiqie, dan Ali Safa’at, 2012, Teori Hans Kelsen Tentang 

     Hukum, Jakarta, Konstitusi Press

    Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta (ed), 1989, Filsafat Hukum Mazham dan

     Refleksinya, Bandung, Remadja Karya

    ------------- dan Ira Thania Rasjidi, 2010,  Pengantar Filsafat Hukum,

    Bandung, Mandar Maju

    Lawrence M. Friedman, 2001, Hukum Amerika: Sebuah Pengantar 

    (American Law: An Introduction), Penerjemah oleh Wishnu

    Basuki, Jakarta, PT. Tatanusa Lawrence M. Friedman, 2009, Sistem

     Hukum; Prespektif Ilmu Sosial , M Khozim (Penerjemah), Cetakan

    III, Yogyakarta, Pustaka Pelajar 

    M. Abdi, (et al ), 2013,  Panduan Penulisan Tugas Akhir Untuk Sarjana

     Hukum (S1), Bengkulu Fakultas Hukum Universitas Bengkulu

    M. Solly Lubis, 2014,  Politik Hukum dan Kebijakan Publik (Legal Policy

    and Public Policy), Bandung, Mandar Maju

    Martitah,  Mahkamah Konstitusi: Dari Negative Legsilature ke Postivie

     Legislature, Jakarta, Konstitusi Press

    Mahmud Kusuma, 2009,  Menyelami Semangat Hukum Progresif: Terapi

     Paradigmatik Bagi Lemahnya Hukum Indonesia, Yogyakarta,

    antonyLib-Indonesia & LHSP-Indonesia

    Mauruar Siahaan, 2011,  Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik 

     Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    33/35

    Moh. Mahfud MD, 2011,  Membagun Politik Hukum Menegakkan

     Konstitusi, Jakarta, Rajagrafindo PersadaMerphin Panjaitan, 2013,

     Logika Demokrasi: Manyongsong Pemilihan Umum 2014, Jakarta,

    Permata Aksara

    Muhamad Erwin, 2012,  Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum,

    Jakarta, RajaGrafindo Persada

    Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana

    Phillippe Nonet & Phillip Selznick, 2003,  Hukum Responsif; Pilihan di

     Masa Transisi, Rafael Edi Bosco (penerjemah), Jakarta, The Ford

    Foundation Huma Janedjri M. Gaffar, 2013, Hukum Pemilu Dalam

    Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Konstitusi Press

    S. Tasrif, 1987, Bunga Rampai Filsafat Hukum, Jakarta, Abardin

    Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya

    Soerjono Soekanto, 2012,  Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan

     Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada

    ---------------------, et. all., 1986, Kriminologi Suatu Pengantar, Jakarta,

    Ghalia Indonesia

    Soetandyo Wignjosoebroto, 2013,  Hukum: Konsep dan Metode, Malang,

    Sentra Press

    Sudikno Metrokusumo, 2012, Teori Hukum Edisi Revisi, Yogyakarta,

    Cahaya Atma Pustaka

    Suratman dan Philips Dillah, 2014,  Metode Penelitian Hukum, Bandung,

    Alfabeta,1 Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, 2010  Penelitian

     Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, RajaGrafindo

    Persada

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    34/35

    B. Peraturan Perundang-undangan

    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-

    Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

    Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden

    dan Wakil Presiden.

    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota

    Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan

    Perwakilan Rakyat Daerah.

    Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/Peraturan Mahkamah

    Konstitusi/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara

    Pengujian Undang-Undang.

    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang Pengujian

    Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum

    Presiden dan Wakil Presiden.

    C. Website

    Dokumentasi Indonesia Lawyer Club,  , diakses 25 Desember 2015, Pkl 13.00 WIB

    Kompas Nasional. MPR Kritik Putusan Mahkamah Konstitusi Soal Pemilu

    Serentak 2019 dalam http://www.nasional.kompas.com/ read/ 2014/

    01/ 23/ 1916301/ MPR. Kritik. Putusan. Mahkamah Konstitusi. soal.

    Pemilu. Serentak. 2019 diakses 25 Desember 2015, Pkl 21.55 WIB.

     Ngobrolin Hukum. Sekilas Mengenai Sistem Hukum di Indonesia dalam

  • 8/18/2019 KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK…

    35/35

    mengenai-sistem-hukum-di-indonesia/> diakses pada 27 Desember 

    2015, Pkl 22.50 WIB