Upload
pauwabega
View
6.357
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
1
ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN
NOMOR 1051/Pid.B/2008/PN.MKS TENTANG TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
Skripsi Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Serjana Hukum
Oleh :
IRFAN PAUWAH 45 05 060 043
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 45 MAKASSAR
2009
2
ii
3
iii
4
iv
5
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat ALLAH S.W.T
yang telah memberikan berkah, rahmat, dan hidayah-Nya kepada Penulis
hingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “Analisis
Terhadap Putusan Pengadilan Nomor 1051/Pid.B/2008/PN-Mks Tentang
Tindak Pidana Psikotropika Yang Dilakukan Oleh Anak”.
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini masih jauh dari
sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan karena segala
keterbatasan yang dimiliki Penulis. Oleh karena itu, dengan segala
kerendahan hati, saran dan kritik yang membangun sangat Penulis harapkan
demi kesempurnaan penulisan hukum ini.
Penulisan hukum ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dari berbagai
pihak, baik bantuan yang diberikan secara langsung maupun tidak langsung.
Yang sepantasnya pada lembaran pengantar ini penulis menghaturkan
terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada Bapak DR.
Marwan Mas, SH, MH dan Bapak Ruslan Renggong, SH., MH selaku
Pembimbing I dan Pembimbing II, yang telah meluangkan waktu dan
v
6
bersedia untuk membimbing dan memberikan petunjuk serta saran-saran
kepada penulis dalam menyusun karya ilmiah ini.
Atas segala bantuan yang telah diberikan, Penulis menghaturkan
penghargaan dan terima kasih kepada para pihak yang telah banyak
membantu dan menolong Penulis selama pembuatan skripsi ini:
1. Bapak Prof. DR. Abu Hamid, selaku Rektor Universitas “45”
Makassar.
2. Bapak Abd. Haris Hamid, SH., MH, selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas “45” Makassar.
3. Ibu Andi Tira, SH, MH, Ibu Yulia A. Hasan, SH., MH dan Bapak
Baso Madiong, SH., MH, masing-masing selaku Pembantu
Dekan I, Pembantu Dekan II, dan Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas “45” Makassar.
4. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas “45”
Makassar yang telah mendidik dan membekali penulis dengan
pengetahuan, terima kasih atas didikan dan ilmu yang diberikan
kepada saya selama ini. Semoga ilmu yang saya peroleh dapat
bermanfaat untuk kedepannya.
vi
7
5. Kepada Ibunda Yulia A. Hasan, SH., MH, selaku penasehat
akademik Penulis yang senantiasa memberi arahan dalam
memilih mata kuliah yang akan diprogramkan.
6. Buat Pak Patta, Pak Jamal, Ibu Marni, Ibu Biah terima kasih
banyak atas segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis
baik yang bersifat administratif ataupun sosialisasi.
7. Seluruh Staff Akademik baik fakultas maupun universitas yang
telah sabar dan banyak membantu dalam keperluan administrasi
akademik selama kuliah sampai penyusunan tugas akhir ini.
vii
8
My sPeCial tHankS GoEs to …….. :
Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat buat kita semua dan dapat
membantu untuk memperluas cakrawala berpikir para pembaca, dan penulis
mengingat kata-kata dari orang bijak “Ora et Labora” oleh karena itu jangan
pernah menyerah dalam menjalani hidup ini. Semoga Allah SWT selalu dan
senantiasa melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya tanpa mengenal batas
waktu kepada kita. Amin, ya Rabbal Alamin.
Wassalamualaiku, Wr. Wb..
Makassar, 02 Desember 2009
Penulis
viii
9
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................ i
PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................................ ii
PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI ......................................................... iii
HALAMAN PENERIMAAN DAN PENGESAHAN ................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................. v
DAFTAR ISI .......................................................................................... ix
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................... 11
1.2 Rumusan Masalah ............................................................. 15
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian....................................... 15
1.4 Metode Penelitian .............................................................. 16
1.4.1 Lokasi Penelitian .................................................. 16
1.4.2 Jenis dan Sumber Data........................................ 16
1.4.3 Teknik Pengumpulan Data ................................... 16
1.4.4 Analisis Data......................................................... 17
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Anak ................................................................ 18
2.2 Pengertian dan Golongan Psikotropika ............................. 20
2.3 Unsur-unsur Tindak Pidana Psikotropika........................... 26
ix
10
2.4 Ancaman Pidana Dalam Undang-undang Psikotropika..... 28
2.5 Dasar Hukum Pengadilan Anak......................................... 33
2.6 Syarat dan Jenis Surat Dakwaan....................................... 39
2.7 Jenis-jenis Putusan Hakim................................................. 47
BAB 3 PEMBAHASAN
3.1 Proses Pemeriksaan Perkara yang melibatkan anak-anak 51
3.1.1 Analisis Perkara.................................................... 51
3.1.2 Proses Pemeriksaan dalam Persidangan ............ 54
3.1.3 Surat Dakwaan.................................................... 63
3.1.4 Petikan Putusan ................................................... 68
3.1.5 Analisis Putusan................................................... 70
3.2 Pertimbangan Hukum Hakim dalam Perkara
Nomor 1051/Pid.B/2008/PN-MKS........................................ 73
BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan ........................................................................ 79
4.2 Saran ................................................................................. 80
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
x
11
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakag Masalah
Pembangunan nasional Indonesia bertujuan untuk mewujudkan
manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia yang adil,
makmur, sejahtera, tertib dan damai berdasarkan Pancasila dan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945). Untuk
mewujudkan masyarakat yang tertib dan sejahtera tersebut perlu
peningkatan usaha di berbagai bidang, termasuk bidang kesehatan dan
bidang hukum.
Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia tidak
terlepas dari berbagai masalah pelanggaran dan berbagai kejahatan
yang mengancam stabilitas bangsa baik secara lansung maupun tidak
lansung. Salah satunya adalah masalah peredaran dan penyalahgunaan
narkotika dan psikotropika serta oba-obat terlarang.
Penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainya
(NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai
NARKOBA (Narkotika dan Bahan/ Obat berbahanya) merupakan
masalah yang sangat kompleks, yang memerlukan upaya
penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama
multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang
12
dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten.
Meskipun dalam Kedokteran, sebagian besar golongan narkotika,
psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) masih bermanfaat bagi
pengobatan, namun bila disalahgunakan atau digunakan tidak menurut
indikasi medis atau standar pengobatan terlebih lagi bila disertai
peredaran dijalur ilegal, akan berakibat sangat merugikan bagi individu
maupun masyarakat luas khususnya generasi muda. Maraknya
penyalahgunaan NAPZA tidak hanya di kota-kota besar saja, tapi sudah
sampai ke kota-kota kecil di seluruh wilayah Republik Indonesia, mulai
dari tingkat sosial ekonomi menengah bawah sampai tingkat sosial
ekonomi atas. Tampaknya generasi muda adalah sasaran strategis
perdagangan gelap NAPZA. Oleh karena itu semua pihak perlu
mewaspadai bahaya dan pengaruhnya terhadap ancaman kelangsungan
pembinaan generasi muda. Sektor kesehatan memegang peranan
penting dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan NAPZA.
Penyalahgunaan psikotropika dan obat-obatan terlarang di
kalangan generasi muda dewasa ini kian meningkat Maraknya
penyimpangan perilaku generasi muda tersebut, dapat membahayakan
keberlangsungan hidup bangsa ini di kemudian hari. Pemuda sebagai
generasi yang diharapkan menjadi penerus bangsa, semakin hari
semakin rapuh digerogoti zat-zat adiktif penghancur syaraf, sehingga
13
remaja tersebut tidak dapat berpikir jernih. Akibatnya, generasi harapan
bangsa yang tangguh dan cerdas hanya akan tinggal kenangan. Sasaran
dari penyebaran narkoba ini adalah kaum muda atau remaja. Kalau
dirata-ratakan, usia sasaran psikotropika ini adalah usia pelajar, yaitu
berkisar umur 11 sampai 24 tahun. Hal tersebut mengindikasikan bahwa
bahaya psikotropika sewaktu-waktu dapat mengincar anak didik kita
kapan saja.
Masalah kenakalan anak (Juvenile delinquency) merupakan salah
satu bentuk permasalah sosial yang terdapat dalam masyarakat yang
hampir setiap tahun mengalami peningkatan, terutama di kota-kota besar
seperti yang terjadi di kota Makassar. Peredaran NAPZA terutama
psikotropika di kalangan anak-anak di kota Makassar makin marak. Ini
disebabkan karena kurangnya pengawasan dari orang tua ataupun dari
pihak yang berwajib dan minimnya pengetahuan mereka tentang bahaya
narkoba yang dampaknya bisa menyebabkan ketergantungan yang
merugikan dan dapat merangsang susunan syaraf pusat sehingga
menimbulkan kelainan prilaku. Sehingga tidak salah jika banyak dari
mereka yang terjerumus.
Bagi kalangan anak-anak mereka tidak tahu menahu apakah itu
NAPZA atau bukan. Mereka pada awalnya ingin mencoba dan sampai
akhirnya jadi kecanduan dan ketergantungan dari NAPZA tersebut.
14
NAPZA yang sering digunakan pada awalnya dari golongan psikotropika.
Karena penggunaan menganggap bahwa psikotropika lebih mudah dari
golongan-golongan NAPZA yang lain. Peristiwa tersebut dapat diketahui
dari berbagai media massa dan media cetak, seperti yang terjadi pada
anak yang bernama Arlan (14) yaitu anak yang kedapatan menyimpan
atau membawa psikotropika. Pada awalnya Ia di panggil oleh seorang
lelaki paroh baya bernama Rudi alias Lupus di pasar kerung-kerung lalu
menyuruhnya untuk membawa satu paket psikotropika jenis shabu-shabu
kepada orang yang memesan atau membelinya dengan menyebutkan
ciri-ciri orang tersebut. Ia mau membawa shabu-shabu tersebut karena
sebelumnya juga sudah pernah mengantarkan shabu-shabu pada
seseorang yang membeli shabu-shabu pada lelaki bernama Rudi alias
Lupus karena mendapat imbalan uang sebesar dua puluh ribu rupiah. Ia
terlebih dahulu ditangkap oleh petugas kepolisian dari Polda Sul-sel
sebelum menyerahkan shabu-shabu tersebut kepada orang yang
memesannya.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Nomor
1051/Pid.B/2008/PN.Mks Tentang Tindak Pidana di Bidang Psikotropika
yang Dilakukan Oleh Anak”.
15
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan
tersebut di atas, maka yang menjadi masalah pokok adalah sebagai
berikut :
a. Bagaimanakah proses pemeriksaan perkara Psikotropika yang
melibatkan anak-anak?
b. Bagaimanakah pertimbangan hukum majelis hakim dalam perkara
nomor 1051/Pid.B/2008/PN-MKS?
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
a. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana proses pemeriksaan perkara
Psikotropika yang melibatkan anak-anak.
2. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hukum majelis hakim
dalam perkara nomor 1051/Pid.B/2008/PN-MKS.
b. Kegunaan Penelitian
1. Diharapkan mampu memberikan masukan terhadap pembentukan
Undang-undang atau peraturan baru yang mengatur masalah anak
di kemudian hari.
2. Dapat memberikan masukan terhadap pemerintah, penegak
hukum, lembaga sosial, dan masyarakat untuk mencegah anak
16
menggunakan NAPZA terutama golongan psikotropika di Kota
Makassar.
3. Sebagai bahan pertimbangan bagi penulis dan penelitian lainnya
yang menulis dan meneliti kasus yang sama.
1.4 Metode Penelitian
Dalam rangka pengumpulan data guna menyusun karya ilmiah
hukum seperti halnya skripsi ditentukan hal-hal sebagai berikut:
1.4.1 Lokasi penelitian
Adapun lokasi penelitian yang dipilih adalah Pengadilan Negeri
Makassar, dengan pertimbangan bahwa kasus psikotropika yang
diteliti telah memiliki putusan dan mempunyai kekuatan hukum
tetap.
1.4.2. Jenis dan sumber data
1. Data Primer yaitu data yang di peroleh dari penelitian
lapangan melalui observasi dan wawancara.
2. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari hasil telaah
dokumen-dokumen, hasil-hasil laporan penelitian dan surat
kabar maupun berbagai media elektronik lainnya.
1.4.3. Teknik pengumpulan data
1. Penelitian kepustakaan (Library Research) dilakukan dengan
cara mempelajari literature hukum pidana dan sumber tertulis
17
lainnya yang ada kaitannya dengan pertanggungjawaban
pidana terhadap anak di bawah umur yang menggunakan
Psikotropika. Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan
landasan teoritis.
2. Penelitian lapangan (Field Research) dilakuakn dengan
teknik:
1) Observasi yaitu melakuakn pencatatan setiap gejala
perlakuakn masyarakat di lokasi penelitian dan
mengunjungi kantor Pengadilan Negeri Makassar dan
kantor Kepolisian di kota Makassar untuk memperoleh
data anak yang menggunakan psikotropika.
2) Wawancara yaitu mewawancarai tiga orang Pegawai
dari kantor Pengadilan Negeri Makassar.
1.4.4. Analisis Data
Data yang dikumpulkan dari penelitian lapangan melalui
wawancara akan digeneralisasikan sesuai dengan kualifikasi data.
Data sekunder yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif.
18
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Anak
Anak adalah pewaris dan pelanjut masa depan bangsa.
Tetapi dalam kenyataannya situasi anak Indonesia masih dan terus
memburuk. Dunia anak yang seharusnya diwarnai opleh kegiatan
bermain, belajar, dan mengembangkan minat serta bakatnya untuk
masa depan, realitasnya di warnai data kelam dan menyedihkan. Anak
Indonesia masih terus mengalami kekerasan. Hal ini dapat dipahami
karena anak adalah manusia yang belum memiliki kematangan sosial,
pribadi dan mental seperti orang yang telah dewasa. Adapun
perbedaan anak dengan orang dewasa terlihat dengan adanya
perbedaan umur dan tingkah laku.
Menurut Undang-undang Nomor 4 tahun 1979, tentang
Kesejahteraan Anak, bahwa:
“Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Akan tetapi walaupun seseorang belum genap 21 tahun, namun apabila ia sudah kawin, maka ia tidak lagi berstatus anak, melainkan orang yang sudah dewasa.” Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 3
tahun 1997 tentang Pengadilan Anak:
19
“Anak adalah orang yang dalam perkara anak telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Jadi anak dibatasi dengan umur antara 8 (delapan) tahun sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan sayarat kedua si anak belum pernah kawin, maksudnya anak tersebut tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat dalam perkawinan atau perkawinannya putus karena peceraian, maka si anak dianggap sudah dewasa; walaupun umurnya belum genap 18 (delapan belas) tahun.” Pasal 45 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP),
mendefenisikan:
“Anak yang belum dewasa yaitu apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu, apabila ia tersangkut dalam perkara pidana, hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah dikembalikan kepada orang tuanya; walinya atau pemeliharanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman. Atau memerintahkan supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatua hukuman. Ketentuan Pasal 35. 46, dan 47 KUHP ini sudah di hapus dengan lahirnya Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.”
Dengan demikian, yang dimaksud dengan anak yang belum
dewasa atau anak dibawah umur adalah anak yang belum dapat
bekerja sendiri, belum cakap dan belum mampu bertanggung jawab
dalam kehidupan masyarakat, belum dapat mengurus harta
kekayaannya sendiri, belum menikah dan belum berusia 21 tahun.
Lebih lanjut Maulana Hasan, (2000:12) mengatakan bahwa:
“Pengertian anak dari segi sosial adalah kedudukan anak sebagai makhluk sosial ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa berinteraksi dengan lingkungan, masyarakat, bangsa dan negara.”
20
Jika ditinjau dari aspek yuridis dan juga menurut para ahli
hukum maka menurut penulis, pengertian anak dimata hukum positif
Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa. Orang
yang dibawah umur atau kerap juga disebut sebagai anak yang
dibawah pengawasan wali, maka bertitik tolak dari aspek tersebut
diatas ternyata hukum positif Indonesia tidak mengatur adanya
univikasi Hukum yang berlaku universal untuk menentukan kriteria
batasan umur anak.
2.2 Pengertian dan Golongan Psikotropika
1. Pengertian Psikotropika
Convention on Psychotropic Substances, 1971, telah
diretifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Undang-
unang Nomor 8 tahun 1996. Dengan ratifikasi terhadap konvensi
tentang substansi psikotropika tersebut telah memberikan
konsekuensi hukum. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia
berkewajiban untuk menanggulangi pemberantasan kejahatan
penyalahgunaan psikotropika tersebut. Sejalan dengan
penerapan hukum terhadap ratifikasi konfensi substansi
psikotropika, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Undang-
undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Undang-
undang ini dalam kenyataannya tidak mampu menangkal tindak
21
kejahatan penyalahgunaan Psikotropika, disebabkan Undang-
undang tersebut lebih banyak mengatur tentang masalah
kesehatan secara umum.
Psikotropika di satu sisi, merupakan obat atau bahan
yang bermanfaat atau pelayanan kesehatan dan
pengembangan ilmu pengetahuan, dan disisi lain, dapat
menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila
dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat
dan seksama. Perkembangan penyalahgunaan psikotropika
dalam kenyataan semakin meningkat, sehingga mendorong
Pemerintah Indonesia untuk menerbitkan Undang-undang
Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.
Psikotropika merupakan suatu zat/obat yang dapat
menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan syaraf
pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, kadang-kadang
disertai dengan timbulnya halusinasi (gangguan persepsi
visual dan pendengaran), ilusi, gangguan cara berpikir,
perubahan alam perasaan. Jenis-jenis yang termasuk
psikotropika Ecstasy/Ineks Ecstasy (methylen dioxy
methamphetamine)/ MDMA adalah salah satu jenis narkoba
yang di buat secara ilegal di sebuah laboratorium dalam
22
bentuk tablet. Ekstasi akan mendorong tubuh untuk melakukan
aktivitas yang melampaui batas maksimum dari kekuatan
tubuh itu sendiri. Kekurangan cairan tubuh dapat terjadi
sebagai akibat dari pengerahan tenaga yang tinggi dan lama,
yang sering menyebabkan kematian. Zat-zat kimia yang
berbahaya sering dicampur dalam tablet atau kapsul ekstasi.
Zat-zat ini justru seringkali lebih berbahaya dibandingkan
kandungan ecstasy yang ada. Ekstasi ini mempengaruhi
reseptor dopamin di otak sehingga bila efek zat ini habis dapat
menimbulkan depresi dan paranoid.
Shabu-shabu Nama kimianya adalah
methamphetamine. Berbentuk kristal seperti gula atau bumbu
penyedap masakan. Obat ini berbentuk kristal maupun tablet,
tidak mempunyai warna maupun bau obat ini mempunyai
pengaruh yang kuat terhadap syaraf diantaranya :Merasa
nikmat, eforia, waspada, enerjik, sosial dan percaya diri (bila
digunakan lebih dari biasanya). Agitasi (mengamuk), agresi
(menyerang), cemas, panik. Mual, berkeringat, geraham
lengket, gigi terus mengunyah. Meningkatkan perilaku berisiko,
kehilangan nafsu makan, susah tidur, gangguan jiwa berat,
paranoid dan depresi.
23
Sebenarnya psikotropika baru diperkenalkan sejak
lahirnya suatu cabang ilmu farmakologi yakni psikofarmakologi
yang khusus mempelajari psikofarma atau psikotropik. Istilah
psikotropik sendiri mulai banyak dipergunakan pada tahun
1971 sejak dikeluarkannya convention on psycotropic
substance oleh General Assembly yang menempatkan zat-zat
tersebut di bawah kontrol Internasional.
Sebagaia mana yang dikemukakan oleh Hari Sasangka,
(2003: 63) bahwa: Psikotropika adalah obat yang bekerja pada
atau mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau pengalaman.
Menurut Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang
Psikotropika, dalam Pasal 1 butir 1 disebutkan bahwa:
Psikotropika adalah zat atau obat. baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika. yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan prilaku.
2. Golongan-golongan Psikotropika
Baik narkotika maupun psikotropika hanya boleh
beredar dalam bentuk obat yang hanya dipergunakan untuk
kepentingan pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan
saja. Pembatasan tersebut dilakukan mengingat bahaya yang
ditimbulkan dan pemakai dimaksud sangat besar.
24
Menurut Undang-undang nomor 5 tahun 1997,
psikotropika dapat dibagi menjadi (4) empat golongan yaitu
sebagai berikut:
a. Psikotropika Golongan I
Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya
dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak
digunakan dalam terapi, serta mempunya potensi sangat
kuat yang dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Antaralin: Ekstasi, Shabu-shabu, LSD (Lysergic Acid
Diethylamide/Elsid).
b. Psikotropika Golongan II
Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang
berkhasiat untuk pengobatandan dapat digunakan dalam
terapi, dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunya potensi kuat yang mengakibatkan sindroma
ketergantungan. Adapun yang termasuk dalam psikotropika
golongan II ada sebanyak 14 (empat belas) jenis antara
lain: Amfetainina, deksamfetainina, fenetilina dan lain lain.
c. Psikotropika Golongan III
Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang
berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam
25
terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi sedang yang mengakibatkan sindroma
ketergantungan. Adapun yang termasuk dalam psikotropika
golongan III yang mengakibatkan sindroma ketergantungan
ini terdapat 19 jenis, antara lain: amobarbital, buprenorfina,
butabital, dan lain-lain.
d. Psikotropika Golongan IV
Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang
berkhasiat untuk pengobatan dan sangat luas digunakan
dalam terapi dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi ringan yang mengakibatkan sindrima
ketergantungan. Adapun yang termasuk psikotropika
golongan IV ini terdiri dari 59 jenis, antara lain: alobarbital,
alprazolam, amfepramona, dan lain-lain.
Penggolongan psikotropika di atas tidak menutup
kemungkinan masih terdapat psikotropika lainnya yang tidak
mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan
tetapi digolongkan dalam kategori obat keras. Oleh karena itu,
pengaturan, pembinaan, dan penawasannya, tunduk pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang obat
keras.
26
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis
psikotropika yang terlampir dalam undang-undang psikotropika
telah disesuaikan dengan perkembangan terakhir dari
kesepakatan internasional yang tertuang dalam daftar
penggolongan psikotropika yang dikeluarkan oleh badan
internasional di bidang psikotropika. Khusus untuk Tetrahydro
Cannabinnol dan derivatnya, berdasarkan ketentuan dalam
Convention in Phychotropic Substance, 1971, beserta
daftarnya, dimasukkan kedalam psikotropika golongan I dan
psikotropika golongan II. Namun Undang-undang Nomor 5
tahun 1997 tentang Psikotropika telah dikeluarkan dari
golongan psikotropika, karena sesuai dengan tatanan
hukuman yang ada, zat tersebut merupakan salah satu jenis
narkotika.
2.3 Unsur-unsur Tindak Pidana Psikotropika
Konvensi Wina tahun 1988 telah mengharuskan pemerintah RI
untuk menindak lanjuti dalam suatu hukum nasional. Berdasarkan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, mengatur
tentang alur peredaran psikotropika. Alur peredaran psikotropika
sudah dikemas dalam suatu sistem pengawasan yang ketat melalui
27
instrumen perizinan. Setiap perbuatan yang bertentangan dengan izin
tersebut dianggap melakukan tindak pidana di bidang psikotropika.
Tindak pidana psikotropika ini, bila ditelaah lebih rinci akan
ditemukan beberapa unsur sebagai suatu kejahatan (Siswanto
Sunarso 2004:63-64), yakni:
a. Subjek kejahatan tindak pidana psikotropika dapat digolongkan
dalam dua bagian. Bagian pertama, bersifat individual, misalnya
para pengguna psikotropika tanpa izin, para pengedar yang illegal,
kemungkinan para dokter yang melakukan malpraktik. Bagian
kedua, badan-badan hukum yang secara ilegal melakukan
peredaran psikotropika tidak sesuai dengan izin yang telah
diberikan oleh pejabat yang berwenang.
b. Objek kejahatan adalah bahan-bahan psikotropika baik dalam
bentuk obat maupun dalam bentuk lainnya.
c. Cara melakukan kejahatan oleh para pengguna psikotropika
secara individual dan bersifat ilegal pada umumnya adalah
meliputi tindakan berupa menggunakan, memiliki, menyimpan dan
membawa psikotropika selain yang ditentukan sesuai
kepentingannya.
d. Terhadap badan hukum dengan cara melakukan kejahatan
bersifat illegal, dapat digolongkan dalam tiga hal yakni :
28
1. Memproduksi, melakukan pengangkutan psikotropika tanpa label,
2. Mengeluarkan, mengedarkan, menyalurkan psikotropika tidak sesuai ketentuan,
3. Mengimpor, mengekspor psikotropika selain yang ditentukan.
Tindak pidana psikotropika dalam Siswanto Sunarso yang juga
merupakan perluasan dari Pasal 53 ayat (1), adalah digolongkan
sebagai tindak pidana percobaan atau perbantuan untuk melakukan
tindak pidana psikotropika dan dapat dipidana jika tindak pidana
tersebut dilakukan. Hal ini sesuai dengan Pasal 53 ayat (1) KUHP
yang menghendaki 3 (tiga) syarat yaitu:
1) Harus ada maksud untuk melakukan kejahatan;
2) Harus ada permulaan pelaksanaan;
3) Pelaksanaan kejahatan itu tidak mencapai maksudnya hanya
karena ada sebab-sebab yang diluar kehendaknya.
2.4 Ancaman Pidana dalam Undang-undang Psikotropika
Semua orang Indonesia tentu seudah mengetahui, bahwa
Negara Indonesia adalah Negara hukum. Negara yang di dasarkan
atas hukum yang berlaku, baik hukum yang tertulis maupun hukum
yang tidak tertulis, oleh karena itu semua warga negara Indonesia
tanpa ada pengecualian wajib taat dan patuh terhadap hukum. Tidak
peduli rakyat kecil, pengusaha, maupun pejabat tinggi wajib untuk
mentaati hukum. Seluruh tidak tanduk atau perbuatan yang dilakukan
29
didalam negara kita, wajib didasarkan atas hukum yang berlaku.
Demikian pula apabila terjadi pelanggaran dan sengketa hukum
dselesaikan pula secara hukum.
Mengenai psikotropika, kita sudah mempunyai Undang-
undang Nomor 5 tahun 1997. Dalam undang-undang tersebut telah
mengatur psikotropika yang hanya digunakan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan.
Pelanggaran terhadap peraturan ini diancam dengan hukuman pidana
yang tinggi dan berat bahkan samapi hukuman mati.
Dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 telah di atur
ketentuan pidana yang dapat diterapkan bagi pelaku kejahatan
penyalahgunaan psikotropika, yaitu:
a. Pada Pasal 59 ayat 1 huruf c:
“Barangsiapa mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) yaitu psikotropika golongan I hanya dapat di produksi oleh pabrik dan pedagang besar farmasi kepada lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan guna pengembangan Ilmu Pengetahuan, di pidana dengan penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).”
Ancaman pidana tersebut akan diperberat apabila tindak
pidananya dilakukan secara terorganisasi sebagaimana diatur dalam
Pasal 59 ayat (2) dan ayat (3), yaitu:
30
Pasal 59 ayat (2); “Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara terorganisir dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”.
Pasal 59 ayat (3);
“Jika tindak pidana dalam Pasal ini dilakukan oleh korporasi, maka di samping dipidananya pelaku tindak pidana, kepada koperasi dikenakan pidana denda sebesar Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)”.
b. Pada Pasal 60, yaitu:
(1) Barang siapa: a. Memprodksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam
ketentuan Pasal 5, atau b. Memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam
bentuk obat yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, atau
c. Memproduksi atau pengedarkan psikotropika yang berupa obat yang tidak terdaftar dalam yang bertanggung jawab dibidang kesehatan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Barangsiapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Barangsiapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(4) Barangsiapa menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 (2), Pasal 14 (3) dan Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
31
(5) Barangsiapa menerima penyerahan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Apabila yang menerima penyerahan itu adalah pengguna, maka dipidana dengan pidana penjara (3) bulan.
c. Pada Pasal 61
(1) Barang siapa:
a. Mengekspor atau mengimpor psikotropika selain yang ditentukan dalam Pasal 16, atau
b. Mengeskpor atau mengimpor psikotropika tanpa surat petsetujuan ekspor atau surat persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, atau
c. Melaksanakan pengangkutan ekspor atau impor psikotropika tanpa dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) atau Pasal 22 ayat (4).
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dipidana denda paling banyak Rp.300.000.000 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Barang siapa tidak menyerahkan surat persetujuan ekspor kepada orang yang bertanggung jawab atas pengangkutan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) atau Pasal 22 ayat (2) dipidana dengan penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.60.000.000 (enam puluh juta rupiah).
d. Pada Pasal 62
Barang siapa secara tanpa hak, memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah).
e. Pada Pasal 69:
“Percobaan atau perbentukan untuk melakukan tindak pidana psikotropika sebagaimana diatur dalam undang-undang dipidana sama dengan jika tindak pidana tersebut dilakukan”.
32
Apa yang telah diuraikan diatas adalah pembahasan perbuatan
dan percobaan melakukan kejahatan berdasarkan Undang-undang
Nomor 5 tahu 1997 tentang Psikotropika yang menghendaki supaya
pelaku utamanya dapat dihukum sama beratnya dengan orang yang
melakukan perbuatan percobaan terhadap tindak pidana
psiokotropika. Demikian juga dengan percobaan yang dilakukan oleh
seseorang sampai selesainya melakukan kejahatan tersebut.
f. Pada Pasal 70:
“Jika tindak pidana psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63 dan Pasal 64 dilakukan oleh korporasi dikenakan pidana denda sebesar 2 (dua) kali pidana denda yang berlaku untuk tindak kejahatan tersebut dan dapat dilakukan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.”
g. Pada Pasal 71:
(1) Barangsiapa bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, menyuruh turut melakukan, menganjurkan atau mengorganisasikan suatu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasl 60, Pasal 61, Pasal 62 atau Pasal 63 maka dipidana sebagai suatu permufakatan jahat.
(2) Pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan ditambah sepertiga pidana yang berlaku untuk tindak pidana tersebut.
h. Pada Pasal 72:
“Jika tindak pidana psikotropika dilakukan dengan menggunakan anak yang berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah atau orang yang dibawa pengampuan atau ketika dalam melakukan tindak pidana belum lewat 2 (dua) tahun sejak selesai menjalani seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang
33
dijatuhkan kepadanya, ancaman pidana ditambah sepertiga pidana yang berlaku untuk tindak pidana tersebut.
Berdasarkan Pasal-Pasal yang mengatur tentang tindak pidana
psikotropika tersebut dapat disimpulkan bahwa kejahatan dibidang
psikotropika tidak seluruhnya dilakukan oleh orang dewasa, akan
tetapi adakalanya kejahatan dilakukan bersama-sama dengan anak
dibawah umur (belum genap 18 tahun usianya). Oleh Karen anak-anak
yang belum dewasa cenderung mudah dipengaruhi untuk melakukan
tindak pidana psikotropika . oleh karena itu perbuatan memanfaatkan
anak dibawah umur untuk melakukan tindal pidana psikotropika diatur
dalam Pasal ini. Diantaranya Pasal 62, Pasal 72 dan Pasal-Pasal lain
yang dapat dikenakan terhadap anak sesuai dengan Undang-undang
Nomor 5 tahun 1997 apabila permufakatan jahat melibatkan anak-
anak yang belum dewasa hukumannya tetap diperberat seperti orang
dewasa, yaitu pidana tambahan sepertiga dari pidana yang berlaku
pada Pasal 60 sampai dengan Pasal 63.
2.5 Dasar Hukum Pengadilan Anak
Perbedaan perilaku dan ancaman pidana yang diatur dalam
Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ini
dimaksudkan untuk lebih memberikan perlindungan dan pengayoman
terhadap anak dalam menyongsong masa depannya yang masih
panjang. Selain itu pembedaan tersebut dimaksudkan untuk
34
memberikan kesempatan kepada anak agar setelah melalui
pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang
lebih baik, yang berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara.
Namun karena dalam UU No. 3 tahun 1997 sendiri mengatur
tentang ketentuan-ketentuan pidana, baik ketentuan pidana formil
maupun pidana materil bagi anak, maka sesungguhnya maksud dan
tujuan undng-undang membentuk pengadilan ini unutuk mengadili
pidana anak.
Dalam undang-undang ini juga telah diatur mengenai batas
umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke sidang anak seperti yang
tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 tahun
1997, yaitu sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
Apabila anak yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun, maka
menurut Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tetap
diajukan ke sidang anak.
Kasus mengenai sanksi terhadap anak dalam undang-undang
ini ditentukan berasarkan perbedaan umur anak, yaitu bagi anak yang
masih berumur 8 sampai 12 hanya dikenakan tindakan, sedangkan
terhadap anak yang telah mencapai umur 12 sampai 18 tahun
35
dijatuhkan pidana. Pembedaan perlakuan tersebut didasarkan atas
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial anak.
Dalam Pasal 24 ayat (1) – (2) Undang-undang Nomor 3 tahun 1997
ditentukan bahwa:
(1): Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal adalah: a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua
asuh; b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidkan
pendidikan, pembinaan dan latihan kerja; atau
c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
(2): Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim.
Dari uraian di atas terlihat bahwa anak nakal (juvenile delinquency) itu tidak dijatuhi pidana. Kemudian ada dua hal yang sifatnya menentukan yang perlu diperhatikan oleh hakim yaitu:
a. Pada waktu anak melakukan tindak pidana,anak haruslah telah mencapai umur diatas 12 samapi 18 tahun.
b. Pada saat Jaksa melakukan penuntutan terhadap anak, anak harus masih belum dewasa (belum mencapai usia 18 tahun) atau belum kawin. (Wagiati Soetodjo, 2008:30)
Pidana yang dijatuhkan terhadap Anak Nakal menurut Pasal 23
Undang-undang Nomor 3 tahun1997, meliputi pidana pokok dan
pidana tambahan. Pidana pokok meliputi pidana penjara, pidana
kurungan, pidana denda atau pidana pengawasan; sedangkan pidana
36
tambahan dapat berupa perampasan barang-barang tertentu dan/atau
pembayaran ganti rugi.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Undang-
undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, telah
memberikan perlakuan khusus terhadap anak-anak yang melakukan
suatu tindak pidana, baik dalam hukum acaranya maupun
peradilannya. Hal ini terjadi mengingat karena sifat anak dan keadaan
psikologinya dalam beberapa hal tertentu memerlukan perlakuan
khusus serta perlindungan yang khusus pula, terutama terhadap
tindakan-tindakan yang pada hakekatnya dapat merugikan
perkembangan mental maupun jasmani anak. Hal ini direalisasikan
dengan dimulai pada perlakuan khusus saat penahanan, yaitu dengan
menahan anak secara terpisah dengan orang dewasa. Pemeriksaan
dilakukan oleh bagian tersendiri yang terpisah dari orang dewasa. Hal
ini dimaksudkan untuk menghindarkan anak terhadap pengaruh-
pengaruh buruk yang dapat diserap yang disebabkan oleh konteks
kultural dengan tahanan yang lain. Kemudian dalam penyidikan
polisi/jaksa yang bertugas dalam memeriksa dan mengkoreksi
keterangan tersangka dibawah umur ini tidak diperkenankan memakai
seragam dan pendekatan secara efektif, afektif dan simpatik.
37
Pasal 6 Hakim, Penuntut Umum, Penyidik dan Penasehat Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaia dinas.
Perlakuan ini dimaksud agar anak tidak merasa takut dan seram
menghadapi Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, Penasehat Hukum
serta petugas lainnya. Sehingga dapat mengeluarkan perasannya
pada hakim mengapa ia melakukan suatu tindak pidana. Disamping
itu, guna mewujudkan suasana kekeluargaan agar tidak menjadi
peristiwa yang mengerikan bagi anak.
Pasal 8 (1) Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup. (2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu pemeriksaan perkara anak
sebagaimana dimasud dalam ayat (1) dapat dilakukan dalam sedang terbuka.
(3) Dalam sidang yang dilakukan secara tertutup hanya dapat dihadiri oleh anak yang bersangkutan beserta orang tua, wali, atau orang tua asuh, penasehat hukum dan pembimbing kemasyarakatan.
(4) Selai mereka yang disebut dalam ayat (3), orang-orang tertentu atas izin hakim atau majelis hakim dapat menghadiri persidangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(5) Pemberitaan mengenai perkara anak muali sejak penyidikan sampai saat sebelum pengucapan putusan pengadilan menggunakan singkatan dari nama anak, orang tua, wali atau orang tua asuhnya.
(6) Putusan Pengadilan dalam pemeriksaan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di ucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Menurut Wagiati Soetodjo, (2008:35)
Pemerikasaan perkara pidana anak yang dilakukan secara tertutup agar terciptanya sauna tenang, dan penuh dengan kekeluargaan sehingga anakk dapat mengutarakan segala peristiwa dan segala perasaannya secara terbuka dan jujur
38
selama sidang berjalan. Kemudian digunakan singkatan dari nama anak, orang tua, wai atau orang tua asuhnya dimaksud agar identitas anak dan keluarganya tidak menjadi berita umum yang akan lebih menekan perasaan serta mengganggu kesehatan mental anak.
Pasal 11 (1) Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat
pertama sebgai hakim tunggal. (2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu ketua pengadilan
negeri dapat menetapkan pemeriksaan perkara anak akan dilakukan dengan hakim majelis.
Selanjutnya Wagiati Soetodjo (2008:36) mengatakan bahwa:
Perlu diadakannya hakim tunggal dalam sidang tingkat pertama karena:
a. Perkara dapat diselesaikan dengan lancar; b. Hakim tunggal akan leibih dituntut untuk lebih
bertanggung jawab secara pribadi; c. Dengan hakim tunggal anak tidak menjadi bingun; d. Kerjasama hakim tunggal dengan pejabat-pejabat
pengawasn dan sosial juga lebih mudah diadakan; e. Hakim anak dapat mengikuti perkembangan anak yang
sedang menjalani pidana.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan hakim
tunggal adalah pilihan yang paling tepat digunakan untuk sidang anak.
Pasal 55 Dalam perkara anak sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 1 angka 2, Penuntut Umum, Penasihat Hukum, Pembimbing Kemasyarakatan, orang tua, wali atau orag tua asuh dan saksi wajib hadir dalam sidang anak. Kehadiran orang tua, wali atau orang tua asuhnya dapat
membuat perasaan tenang, aman dan terlindungi bagi anak yang
sedang dalam pemeriksaan sehingga kegundahan yang terjadi pada
diri anak akibat tuntutan jaksa dapat dihilangkan.
39
Sehingga papat disimpulkan bahwa dalam ketentuan hukum
mengenai anak-anak, khususnya bagi anak yang melakukan tindak
pidana, di atur dalam Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, baik dalam pembedaan perilaku di dalam hukum
acara maupun ancaman pidananya. Undang-undang pengadilan anak
merupakan Lex Spesialis dari ketentuan KUHP dan KUHAP, maka
undang-undang ini sudah mengatur tersendiri hukum acara pidananya,
dan juga mengatur tentang sejumlah sanksi pidana terhadap anak
yang terlibat dalam tindak kejahatan.
2.6 Syarat dan Jenis Surat Dakwaan
a. Syarat-syarat Dakwaan
Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2)
KUHAP terdapat syarat bagaimana sahnya surat dakwaan dan
Pasal 143 ayat (3) KUHAP bagaimana batalnya surat dakwaan.
Syarat-syarat surat dakwaan berdasarkan Pasal 143 ayat (2) huruf
a dan b KUHAP adalah syarat dakwaan yang diberi tanggal dan
ditanda tangani serta berisi :
a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal agama dan pekerjaan tersangka.
b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
40
Didalam KUHAP Pasal 143 disebut syarat-syarat seperti
tersebut di atas. Syarat yang mutlak ialah dicantumkannya waktu
dan tempat terjadinya delik dan delik yang didakwakan. Apabila
dalam membuat surat dakwaan tidak memenuhi syarat-syarat
yang terdapat dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP dapat batal atau
dibatalkan oleh hakim. Surat dakwaan dapat dibatalkan apabila
sudah dibacakan di muka sidang pengadilan dan di mana
terdakwa atau penasihat hukumnya mengajukan perlawanan atau
eksepsi. Jadi surat dakwaan batal hanya dapat terjadi dalam
proses peradilan dan hakimlah yang dapat menentukan batalnya
surat dakwaan.
Yahya Harahap (2008:391) mengemukakan tentang surat
dakwaan bahwa: Surat dakwaan mengandung dua syarat yakni
syarat formal dan syarat materiil. Kedua syarat ini harus dipenuhi
dalam surat dakwaan.
b. Jenis-jenis Surat Dakwaan
Agar kajian berikutnya lebih terarah, maka sebelum
dikemukanan bentuk-bentuk surat dakwaan, terlebih dahulu
dikemukakan arti surat dakwaan. Dalam Undang-undang Nomor 8
tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun
41
peraturan perundang-undangan lainnya, tidak dijumpai batasan
tentang apa yang dimaksud dengan surat dakwaan.
Akan tetapi, sebagai gambaran dapat disimak pendapat
Gatot Supramono (1992:5) menguraikan tentang surat dakwaan
sebagai berikut:
Surat dakwaan, dapat pula disebut surat tuduhan adalah suatu surat atau akte yang memuat suatu rumusan dari tindak pidana yang dituduhkan, yang sementara dapat disimpulkan dari surat-surat pemeriksaan pendahuluan yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa surat
dakwaan dibuat oleh penuntut umum berdasarkan berita acara
pemeriksaan pendahuluan yang dibuat oleh penyidik. Surat
dakwaan harus secara tegas dan jelas memuat rumusan delik
yang didakwakan kepada terdakwa.
Prapto Supardi (1991:23) mengatakan bahwa:
Apabila dalam surat dakwaan tuduhan tidak disebutkan tindak pidana yang dituduhkan serta kira-kira waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan, maka surat tuduhan akan menjadi batal, tetapi sebaliknya seandainya didalam surat tuduhan tidak disebutkan keadaan dalam mana tindak pidana itu dilakukan, khususnya yang dapat meringankan dan memberatkan kesalahan tersangka, maka tidak menyebabkan kebatalan surat tuduhan tersebut, didalam surat tuduhan tidak perlu disebutkan ketentuan-ketentuan hukum yang bersangkutan.
42
Yahya Harahap (2008:386-387) mengemukakan
pengertian surat dakwaan sebagai berikut:
Pada umumnya surat dakwaan di artikan oleh para ahli hukum, berupa pangertian: -‐ Surat akte; -‐ Yang memuat perumusan tindak pidana yang
didakwakan kepada terdakwa; -‐ Perumusan mana ditarik dan disimpulkan dari hali
pemeriksaan penyidikan dihubungkan dengan unsur delik Pasal tindak pidana yang dilanggar dan didakwakan kepada terdakwa; dan
-‐ Surat dakwaan tersebut menjadi dasar pemeriksaan bagi hakim dalam sidang pengadila.
Jika diperhatikan pengertian surat dakwaan yang
dikemuka Yahya Harahap diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
surat dakwaan adalah surat atau akte yang memuat rumusan
delik yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan
ditarik dari hasil pemeriksaa penyidikan. Surat dakwaan
merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan
dimua sidang pengadilan.
a. Surat Dakwaan Tunggal
Dakwaan tunggal bisa juga disebut dakwaan biasa,
yang menurut Yahya Harahap (2008:398) adalah surat
dakwaan yang disusun dalam rumusan tunggal. Surat
dakwaan hanya berisi satu dakwaan saja.
43
Umumnya perumusan dakwaan tunggal dijumpai
dalam tindak pidana yang jelas serta tidak mengandung faktor
penyertaan atau concursus mapupun faktor alternatif atau
faktor subsidair. Baik pelakunya maupun tindak pidana yang
dilanggar sedemikian rupa jelas dan sederhana, sehingga
surat dakwaan cukup dirumuskan dalam bentk tunggal.
Bentuk dakwaan tunggal atau biasa, digunakan oleh
penuntut umum setelah mempelajari berkas perkara yang
diajukan oleh penyidik. Apabila penuntut umum beranggapan
cukup satu delik didakwakan, maka dalam surat dakwaan
hanya diuraikan satu delik. Penyusunan dakwaan tunggal
merupakan surat dakwaan teringan dibandingkan bentuk
surat dakwaan lainnya, karena penuntut umum hanya
memfokuskan pasa satu permasalahan saja.
b. Surat Dakwaan Alternatif
Dalam bentuk surat dakwaan alternatif ada dua atau
lebih dakwaan, sebagai alternatif apabila ada dua atau lebih
delik yang dilanggar oleh terdakwa. Dakwaan alternatif
diterapkan jika delik yang dilakukan oleh terdakwa berdekatan
corak dan cirri kejahatannya. Dengan demikian, hakim dapat
memilih sekaligus menentukan dakwaan mana yang tepat
44
dipertanggungjawabkan kepada terdakwa sehubungan
dengan delik yang dilakukan. Antara dakwaan yang satu
dengan yang lainnya saling mengecualikan.
Adapun isi surat dakwaan alternatif menurut Yahya
harahap (2008:399-400) adalah:
Antara dakwaan satu dengan yang lain saling mengecualikan dan member pilihan kepada hakim atau pengadilan untuk menentukan dakwaan maa yang tepat dipertanggungjawabkan kepada terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang dilakukannya.
Menyimak pengertian diatas, dapat dikatakan bahwa
surat surat dakwaan aternativ disusun secara berlapis-lapis
atau dua atau lebih Pasal yang didakwakan kepada terdakwa,
sebagai pilihan untuk dibuktikan didepan pengadilan. Antara
dakwaan yang satu dengan dakwaan yang lain saling
mengecualikan, sehingga hakim dapat memilih salah satu
dakwaan. Penggunaan dakwaan alternatif dimaksudkan untuk
mencegah jangan sampai terdakwa terlepas dari
pertanggungjawaban hukum.
Dalam praktik, dakwaan alternatif digunakan pada
delik-delik yang dilanggar terdakwa ada kemiripan satu
dengan yang lain, seperti pencurian (Pasal 362 KUHP)
dengan penadahan (Pasal 480 KUHP), dan sebagainya.
45
Antara dakwaan yang satu dengan dakwaan yang lain yang
diantarai oleh kata atau setidak-tidaknya, tersirat perkataan
yang memberikan pilihan kepada hakim.
c. Surat Dakwaan Subsidair
Dakwaan subsidair pada hakikatnya dibuat supaya
terdakwa tidak lepas dari dakwaan, sebagaimana dijelska
oleh Yahya Harahap (2008:402):
Dakwaan subsidair dakwaan yang terdiri dari dua atau beberapa dakwaan yang disusun dan dijejerkan secara berurutan, mulai dari dakwaan tindak pidana yang berat sampai pada dakwaan tindak pidana yang ringan.
Dapat dikatakan bahwa dakwaan subsidari terdiri atas
dua atau lebih dakwaan yang disusun secara berurutan,
mulai dari dakwaan yang terberat pidananya sampai dengan
delik yang terendah ancaman pidananya. Dakwaan subsidair
bisa juga disebut sebagai dakwaan pengganti (with the
alternative of). Maksud dari surat dakwaan yang berbentuk
subsidair, adalah sebagai usaha penuntut umum agar
terdakwa tidak terlepas dari pidana.
Dakwaan pertama disebut Primair (dakwaanurutan
pertama), subsidair, lebih subsidair, lebih subsidair lagi, dan
lebih subsidair lagi. Jika dakwaan primair (dakwaan urutan
46
pertama) terbukti maka dakwaan subsidair (dakwaan urutan
kedua) tidak perlu dibuktikan lagi, dan seterusnya.
d. Surat Dakwaan Kumulatif
Dakwaan kumulatif bisa pula disebut dengan dakwaan
beberapa delik, seperti yang dikemukan oleh Gatot
Supramono (1992:31) mengatakan bahwa:
Apabila dalamberkas perkara yang diterima penuntut umum diketahui terdapat beberapa tindak pidana, misalnya tersangka diduga melakukan serangkaian perbuatan yang berupa mengambil televise, menyetubuhi korban dan membunuh peronda malam.
Berdasaarkan pengertian diatas, dapat dikatakan
bahwa dakwaan kumulatif disusun dalam rangkaian
beberapa dakwaan, atau gabungan beberapa dakwaan
sekaligus. Dakwaan ini berdasarkan Pasal 141 KUHAP, yaitu
dakwaan berbentuk penggabungan perkara dalam duatu
surat dakwaan. Dakwaan kumulatif diterapkan pada
seseorang seseorang terdakwa yang melakukan beberapa
delik concursus seperti Pasal 63, 64, 65, 66 dan Pasal 70
KUHP.
Menurut Yahya Harahap (2008:404-405), dakwaan
kumulatif ini, dalam praktiknya dijumpai surat dakwaan
sebagai berikut:
47
1. Dakwaan kumulasi dalam penyertaan tindak pidana. Yaitu dakwaan atau karena terdakwa ambil bagian dalam melakukan tindak pidana (Pasal 55 KUHP).
2. Dakwaan kumulasi dalam concursus, dibuat karena adanya masalah “perbarengan” suatu tindak pidana yang diatur dalam Pasal 63, 64,65, 66 dan Pasal 70 KUHP.
2.7 Jenis-jenis Putusan Hakim
Dalam praktik, dikenal dengan 2 (dua) bentuk putusan yang
dapat ditemukan sebagai berikut:
a. Putusan akhir
Apabila perkara diperiksa sampai selesai pokok
perkaranya, maka putusan yang dijatuhkan majelis hakim yang
mengadili dan memeriksa perkara tersebut disebut putusan akhir.
Putusan ini dasar hukumnya adalah Pasal 182 ayat (3) dan (8)
KUHAP. Putusan akhir baru dapat dijatuhkan oleh majelis hakim
setelah dilakukan pembuktian, tuntutan pidana, pembelaan, replik
dan duplik. Putusan dapat dijatuhkan pada atau bila mana hakim
belum siap dengan putusannya, persidangan dapat ditunda dalam
waktu mendatang.
b. Bukan putusan akhir.
Apabila pemeriksaan belum memasuki pokok perkara
maka putusan yang dijatuhkan disebut putusan yang bukan
48
putusan akhir. Dasar hukumnya diatur dalam Pasal Pasal 156 (1)
KUHAP, yaitu:
Untuk memutus diterima atau ditolaknya keberatan terdakwa atau penasehat hukumnya atas surat dakwaan penuntut umum yang dapat berisi:
1. Pengadilan tidak berwewenang mengadili perkaranya; 2. Surat dakwaan tidak dapat diterima; 3. Surat dakwaan harus dibatalkan.
Putusan hakim dilihat dari sifatnya, terdapat dua macam
putusan sebagaimana diatur dalam Pasal 191 dan Pasal 193 (1)
KUHAP sebagai berikut:
(1). Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatannya yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.
(2). Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetpi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
Selanjutnya Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang berbunyi
sebagai berikut:
Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pisana yang didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sifat putusan
ada dua macam yaitu:
1. Putusan pemidanaan.
49
2. Putusan yang bukan pemidanaan.
Putusan pemidanaan yang bersidat menghukum terdakwa,
karena yang bersangkutan terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan delik sebagaimana yang didakwakan kepadanya oleh
penuntut umum.
Kemudian putusan yang bukan pemidanaan sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) dan (1) KUHAP, di atas
terdapat pula (dua) putusan yakni:
1. Putusan bebas
2. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
Putusan bebas, dijatuhkan apabila dakwaan yang
dimaksud tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut
penilaian hakim berdasarkan pembuktian yang ada dipersidangan.
Dakwaan tidak terbukti, karena salah satu unsur atau semua unsur
dari delik tidak terpenuhi. Untuk putusan lepas dari segala tuntutan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 192 ayat (1) KUHAP,
karena dalam pesidangan memang terungkap bahwa terdakwa
benar-benar melakukan delik, tetapi oleh hukum yang
bersangkutan tidak dapat dipidana. Dalam teori hukum pidana
dikenal 2 (dua) alasan tidak dipidananya terdakwa, Andi Zainal
Abidin Farid, (1995:67), mengemukakan alasan tidak dipidananya
50
seorang terdakwa yaitu karena, dasar pembenar dan dasar
pemaaf.
Dasar pemaaf, terdapat jika delik yang dilakukan oleh
seseorang tanpa sengaja atau kelalaian ataupun tidak mampu
bertanggung jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 44
KUHPidana:
(1). Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna jiwanya atau karena sakit berubah jiwa tidak boleh dihukum.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna jiwanya atau karena sakit berubah jiwa maka hakim boleh memerintahkan menempatkan dia dirumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa.
(3). Yang tercantum dalam ayat diatas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.
51
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Proses Pemeriksaan Perkara yang Melibatkan Anak-anak
3.1.1 Analisis Perkara
Berdasarkan hasil pemeriksaan para saksi-saki yang
didukung dengan hasil pemriksaan para tersangka diperoleh
gambaran bahwa telah terjadi tindak pidana psikotropika yang
bertempat di Jalan Macini Gusung tepatnya di pasar Kerung-
kerung yang dilakukan oleh ARLAN BIN MANSUR TORRE
yang bertempat tinggal di jalan Maccini Gusung setapak 17
Makassar.
Tindak pidana yang dilakukan sesuai Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) oleh pihak penyidik maka ARLAN BIN
MANSUR TORRE secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan
membawa psikotropika.
Secara singkat uraian perkara tersebut dapat di sarikan
sebagai berikut:
a. Pada hari selasa tanggal 9 Juli tahun 2008 sekitar jam 19.30
WITA atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan Juli
2008 bertempat di Jalan Macini Gusung Makassar di depan
pasar Kerung-kerung atau stidak-tidaknya pada tempat lain
52
dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Makassar. Awalnya
Arlan Bin Mansur Torre dipanggil oleh lelaki Rudi alias Lupus
didalam Pasar Kerung-kerung lalu lelaki Rudi alias Lupus
menyuruh Arlan untuk membawakan 1 (satu) paket
psikotropika jenis shabu-shabu kepada seseorang yang
memesan/membeli yang ada didepan pasar kerung-kerung.
b. Seseorang yang memesan/membeli 1 (satu) paket
psikotropika jenis shabu-shabu tersebut, oleh Arlan Bin
Mansur Torre dengan menyebutkan ciri-cirinya orang
tersebut berkulit hitam.
c. Alasan Arlan Bin Mansur Torre mau membawa shabu-shabu
tersebut karena sebelumnya juga sudah pernah
mengantarkan shabu-shabu kepada seseorang yang
memesannya atas perintah atau arahan laki-laki yang
bernama Rudi alias Lupus.
d. Selajutnya Arlan Bin Mansur Torre membawa shabu-shabu
tersebut sebanyak 1 (satu) paket dalam plastic bening dan
mengantarkannya pada yang memesan didepan pasar
kerung-kerung dengan imbalan uang yang didapat oleh
Arlan senilai Rp.20.000 (dua puluh ribu rupiah).
53
e. Pada saat Arlan Bin Mansur Torre membawa 1 (satu) paket
psikotropia jenis shabu-shabu tersebut dalam plastik dan
hendak mengantarkannya pada yang memesan/membeli,
namun belum sempat diserahkan shabu-shabu tersebut
kepada orang yang memesan/membeli, Arlan Bin Mansur
Torre LAlu ditangkap oleh Petugas Kepolisian dari Polda
Sul-Sel Bar.
f. Petugas Kepolisian dari Polda Sul-Sel Bar melakuakn
Penangkapan karena sebelumnya telah mendapat informasi
dari seseorang bahwa di Jalan Macini Gusung tepatnya di
pasar Kerung-kerung sering terjadi transaksi narkoba. Untuk
itu petugas lansung menuju tempat yang untuk melakukan
penyelidikan.
g. Berdasarkan berita acara pemeriksaan laboratories
kriminalistik No. LAB:521/KNF/VII/2008 tanggal 17 Juli 2008
dari Pusan Laboratorium Forensik Polri Cabang Makassar
dimana dalam kesimpulan pemeriksaannya bahwa barang
bukti Kristal bening tersebut adalah benar menandung
Methamfemina (MA) dan termasuk psikotropika golongan II.
Berdasarkan uraian analisis perkara tersebut maka
Arlan Bin Mansur Torre oleh pihak Penyidik ditetapkan sebagai
54
tersangka dan diancam pidana dalam Pasal 62 UU RI No. 5
tahun 1997 tetang Psikotropika
3.1.2 Proses Pemeriksaan dalam Persidangan
Terdakwa dalam perkara Pidana No.
1051/Pid.B/2008/PN.MKS adalah seorang anak yang berumur
14 (empat belas) tahun yang masih tergolong anak sehingga
menurut Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, Terdakwa tersebut dalam proses penangkapan,
penahanan, penyidikan, penuntutan sampai pada pemeriksaan
dipersidangan harus berpedoman pada Undang-undang
Pengadilan Anak.
Secara garis besar proses pemeriksaan dipersidangan
dalam perkara Pidana No. 1051/Pid.B/2008/PN.MKS yakni
sebagai berikut:
-‐ Berdasarkan Hakim Tunggal sidang dibuka dan dinyatakan
tertutup untuk umum. Setelah itu Hakim Tunggal
memerintahkan kepada pengunjung yang tidak
berkepentingan dengan persidangan untuk meninggalkan
ruangan persidangan dan kepada petugas Pengadilan
diperintahkan untuk menutup pintu ruangan. Setelah itu
55
Hakim Ketua memerintahkan kepada Penuntut Umum agar
menghadapkan Terdakwa ke dalam ruangan persidangan
dalam keadaan bebas akan tetapi dengan penjaggaan yang
baik dengan didampingi oleh Orang Tua Terdakwa, lalu
terdakwa duduk dikursi pemeriksaan dan atas pertanyaan
Hakim Terdakwa menjawab beberapa hal mengenai
identitasnya.
-‐ Selanjutnya Hakim Tunggal memberitahukan kepada
Terdakwa akan hanya untuk didampingi oleh Penasehat
Hukum, namun terdakwa menerangkan bahwa Ia tidak di
dampingin oleh penasehat hukum karena akan menghadapi
sendiri persidangannya.
-‐ Selanjutnya atas permintaan Hakim Tunggal, Penuntut
Umum membacakan dakwaannya.
-‐ Selanjutnya persidangan dilanjutkan dengan mendengar
keterangan saksi.
-‐ Setelah mendengarkan semua keterangan saksi, atas
permintaan Hakim Tunggal, Penuntut Umum diperintahkan
untuk menyusun surat Tuntutan Pidana dalam perkara
Pidana No. 1051/Pid.B/2008/PN-MKS.
-‐ Penuntut umum lalu mengajukan Tuntutan Pidananya.
56
-‐ Kemudian hakim memberikan kesempatan kepada
terdakwa untuk melakukan oembelaan dan atas
kesempatan itu terdakwa Terdakwa menyatakan akan
menyampaikan pembelaannya secara tertulis.
-‐ Sidang selanjutnya untuk mendengarkan pembelaan
(Pledoi) Terdakwa.
-‐ Kemudian Hakim membreikan kesempatan kepada
Penuntut Umum untuk mengajukan Replik dan Penuntut
Umum menyatakan untuk menyampaikan Replik secara
tertulis.
-‐ Penuntut umum kemudian mengajukan repliknya.
-‐ Kemudian Hakim Tunalg memberikan kesempatan kepada
Terdakwa untuk mengajukan Duplik, Terdakwa menyatakan
tidak akan mengajukan Duplik secara tertulis, namun
Terdakwa akan menyatakan secara lisan bahwa Ia tetapp
pada pembelaannya semula.
-‐ Sidang terakhir untuk pembacaan Putusan. Sidang dibuka
dan dinyatakan terbuka untuk umum. Kemudian Hakim
membacakan putusannya.
Dalam pemeriksaan di persidangan anak, ada beberapa
hal mendasar yang membedakan dengan pemeriksaan
57
persidangan terhadap terdakwa dewasa. Hal mendasar tersebut
diatur dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak yakni pada Pasal 55 sampai dengan Pasal 59.
Semuanya senantiasa di atur guna menjaga mental, moral dan
masa depan anak.
Perbedaan yang dimaksud misalnya: Hakim, Penuntu
Umum, tidak memakai toga. Hal ini agar tidak menciptakan
suasana yang menakutkan. Persidangan dilakukan secara
tertutup dimaksudkan agar tidak mengganggu mental anak jika
harus berhadapan dengan orang banyak namun putusan harus
tetap dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum. Adanya
laporan pembimbing masyarakat sebaagai bahan pertimbangan
bagi Hakim sebelum mejatuhkan putusan, serta masih ada hal
mendasar lain.
1. Persidangan dengan hakim tunggal
Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 11 ayat (1), Pasal
14 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) UU No 3 tentang
Pengadilan Anak. Perkara yang disidangkan dengan Hakim
Tunggal adalah perkara yang ancaman pidananya dibawah
lima tahun dan pembuktiannya tidak sulit. Sebaliknya apabila
ancaman pidananya diatas lima tahun dan pembuktiannya
58
sulit maka Ketua Pengadilan dapat menetapkan
pemeriksaan dengan Hakim Majelis.
Wagiati Soetedjo (2008:36) menguraikan beberapa
keungtungan dengan menggunakan Hakim Tunggal yaitu:
a. Perkara dapat diselesaikan dengan lancar, jika oleh Msjelis Hakim kemungkinan akan berlarut-larut.
b. Hakim Tunggal akan lebih dituntut untuk lebih bertanggung jawab secara pribadi, sedangkan Hakim Majelis tidak.
c. Dengan hakim tunggala anak tidak menjadi bingung sedangkan dengan Majelis Hakim kemungkinan terdakwa akan menjadi bingung berhadapan dengan 3 (tiga) orang sehingga jiwanya cenderung tertekan.
d. Kerjasama Hakim Tunggal dengan pejabat-pejabat pengawasan dan sosial juga lebih mudah diadakan sehingga putusan yang diberi akan lebih baik dan tepat.
2. Persidangan di buka dan dinyatakan tertutup untuk umum
Ketentuan ini trdapat dalam Pasal 8 ayat (1), Pasal
57 ayat (1) dan sejalan dengan Pasal 153 ayat (2) KUHP.
Menurut Parlas Nababan selaku Hakim Pengganti
yang bersedia diwawancarai mengenai perkara Pidana
Nomor 1051/Pid.B/2008/PN.MKS (Wawancara 9 November
2009), menguraikan maksud tersebut adalah:
“Tujuan dilakukannya sidang tertutup untuk umum pada dasarnya untuk menjaga mental anak. Jangan sampai anak merasa malu jika terlalu banyak yang menyaksikan jalannya persidangan, sehingga tidak dapat mengungkapkan kejadian yang sebeanrya.”
59
Pernyataan sidang dibuka dan dinyatakan tertutup
untuk umum dilakukan Hakim Keta dengan mengetokkan
palu sidang sebanyak 3 (tiga) kali. Setelah itu Hakim
Tunggal memerintahkan kepada pengunjung yang tidak
berkepentingan dengan persidangan untuk meninggalkan
ruang persidangan dan kepada petugas Pengadilan
diperintahkan untuk menutup pintu ruangan.
Setelah itu Hakim Tunggal memerintahkan kepada
Penuntut Umum agar menghadapkan Terdakwa di dalam
ruang persidangan dalam keadaan bebas akan tetapi
dengan menjaga yang baik dengan di dampngi oleh Orang
Tua anak tersebut. Terdakwa lalu duduk dikursi
pemeriksaan dan atas pertanyaan Hakim Tunggal,
Terdakwa menjawab beberapa hal mengenai identitasnya.
3. Hakim, Penuntut Umum dan Penasehat Hukum toga
Hal ini diatur dalam Pasal 6 UU Pengadilan Anak
yang menetukan:
“Hakim, Penuntut Umum, Penyidik dan Penasehat Hukum, serta petugas lainnya tidak memakai toga atau pakaian dinas”
Menurut Parlas Nababan selaku Hakim yang bsedia
diwawancarai mengemukakan bahwa:
60
Alasan mengpa mereka tidak memakai toga yakni agar tercipta suasana kekeluargaan atau dengan kata lain agar tidak tercipta suasana yang menyeramkan yang dapat menciptakan rasa takut bagi anak yang sedang diperiksa. Sehingga pemeriksaan akan nyaman. Pihak yang tidak memakai toga yakni Hakim dan Penuntut Umum, sedangkan Panitera dan Penasehat Hukum tidak memakai jas. Berdasarkan tindakan Hakim tersebut maka pihak
terdakwa dalam hal ini anak yang sedang diadili tidak
merasa takut sehingga dengan jujur dan sopan terdakwa
mengakui kesalahannya.
4. Penahanan paling lama 15 (lima belas) hari
Dalam hal penanganan, ketentuan ini terdapat dalam
Pasal 47 ayat (2) UU Pengadilan Anak. Berdasarkan BAP
dari Perkara Pidana Nomor 1051/Pid.B/2008/PN-MKS ini,
terhadap terdakwa telah ditahan dalam RUTAN berdasarkan
Surat Perintah/Penetapan Penahanan:
-‐ Penyidik sejak tangga 09 Juli 2008 s/d tanggal 28 Juli
2008;
-‐ Perpanjangan kepala Kejaksaan Tinggi sejak tanggal 29
Juli 2008 s/d 07 Agustus 2008;
-‐ Penuntut Umum sejak tanggal 07 Agustus 2008 s/d 16
Agustus 2008;
61
Berdasarkan BAP tersebut dapat diketahuiabahwa
penahanan tahap pemeriksaan di persidangan berlansung
selama 12 Hari. Hal ini berarti penahanan terhadap
terdakwa tidak lebih dari 15 Hari.
Menurut Parlas Nababan selaku Hakim yang
bersedia diwawancarai (Wawancara, 09 November 2009)
mengatakan bahwa:
“Jika dalam 15 (lima belas) hari itu pemeriksaan siding belum selesai maka Penahanan dapat di perpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri paling lama 30 (tiga puluh) hari. Jadi total seluruhnya selama 45 (empat puluh lima) hari. Jika pemeriksaan belum juga selesai maka terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.”
5. Terdakwa didampingi oleh orang tua, Penasehat Hukum dan
Pembimbing kemasyarakatan
UU Pengadilan Anak dalam Pasal 57 ayat (12)
menghendaki terdakwa selain didampingi oleh orang tua
juga didampingi oleh penasehat hukum dan pembimbing
kemasyarakatan.
Dalam perkara ini, pada siding pertama setelah
siding dibuka dan dinyatakan tertutup untuk umum terdakwa
dipanggil masuk dengan didampingi oleh orang tuanya.
Setelah terdakwa ditanya mengenai identitasnya selanjutnya
62
Hakim Ketua memberitahukan kepada terdakwa akan
haknya untuk didampingi oleh penasehat hukum. Terdakwa
menerangkan bahwa Ia tidak didampingi oleh Penasehat
Hukum Karena akan menghadapi sendiri persidangan
perkara Nomor 1051/Pid.B/2008/PN-MKS tersebut.
Menurut Parlas Nababan selaku Hakim di Pengadilan
Negeri Makassar (Wawancara, 09 November 2009)
mengatakan bahwa:
“Seorang terdakwa bisa saja tidak didampingi oleh penasehat hukum sehingga jika nantinya akan melakukan pembelaan terhadap kepentingan diriya sendiri, misalnya untuk melakukan pledoi, baik secara lisan maupun tulisan, anak bisa melakukan atau membuatnya sendiri.”
6. Saksi dapat didengar tanpa kehadiran terdakwa
Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 58 UU
Pengadilan Anak, namun apabila terdakwa anak dibawah
keluar, orang tua, wali, atau orang tua asuh, penasehat
hukum dan pembimbing kemasyarakatan harus tetap berada
dalam ruangan.
Menurut Parlas Nababan selaku Hakim Pengadilan
Negeri Makassar (wawancara, 09 November 2009) bahwa:
“Seorang terdakwa anak dapat dibawa keluar apabila dari ruang apabila merasa takut atau merasa
63
tertanggu jika harus mendengarkan keterangan tentang perbuatannya dari orang lain. Persidangan diharapkan tidak menciptakan trauma terhadap anak, sehingga sebisa mungkin hal yang membuat mental anak tertanggu harus dihindari. Namun dalam perkara ini terdakwa tidak dibawa keluar karena terdakwa bersedia mendengar semua keterangan saksi.”
7. Putusan diucapkan dalam siding terbuka untuk umum
Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 59 ayat (3) UU
Pengadilan Anak yang menentukan:
Putusan pengadilan wajib dibacakan dalam siding terbuka untuk umum. Walaupun siding anak dilakukan secara tertutup tetap putusan tetap harus dibacakan dalam siding terbuka untuk umum sehingga siapa saja dapat menghadirii dan mengetahui isi putusan.
Menurut Parlas Nababan selaku Hakim Pengadilan
Negeri Makassar (wawancara, 09 November 2009), bahwa:
Putusan dalam perkara Pidana Anak dibacakan dalam
siding terbuka untuk umum. Apabila tidak dibacakan dalam
siding terbuka maka putusan akan batal demi hukum.
3.1.3 Surat Dakwaan
Adapun dakwaan Penuntut Umum terhadap kasus
tindak pidana psikotropika yang dilakukan oleh anak yang
dibacakan Hakim Pengadilan Negeri Makassar yang pada
pokoknya sebagai berikut:
64
1. Primair
------- Bahwa Ia Terdakwa ARLAN BIN MANSUR TORRE
pada hari selasa tanggal 9 Juli 2008 sekitar jam 19.30 Wita
atau setidaknya pada waktu lain dalam bulan juli 2008
bertempat di Jalan Macini Gusung Makassar di depan pasar
Kerung-kerung Makassar atau setidak-tidaknya pada tempat
lain dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Makassar,
secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa
psikotropika yang dilakukan dengan cara-cara antara lain
yaitu: Awalnya Terdakwa dipanggil oleh lelaki Rudi alias
Lupus (melarikan diri/belum ditangkap) di dalam pasar
Kerung-kerung lalu lelaki Rudi alias Lupus menyuruh
terdakwa untuk membawa 1 (satu) paket psikotropika jenis
shabu-shabu kepada orang yang memesan atau membeli
yang ada di pasar Kerung-kerung dengan menyebutkan cirri-
cirinya orang hitam. Terdakwa mau membawa shabu-shabu
tersebut karena sebelumnya juga sudah pernah
mengantarkan shabu-shabu kepada orang yang membeli
shabu-shabu pada Lelaki Rudi alias Lupus karena
mendapatkan imbalan uang Rp.20.000 (dua puluh ribu
rupiah). Selanjutnya terdakwa membawa shabu-shabu
65
tersebut sebanyak 1 (paket) dalam plastik bening dan
mengantarkannya pada yang memesan di depan pasar
Kerung-kerung namun belum sempat diserahkan shabu-
shabu tersebut Terdakwa lalu di tangkap oleh petugas
Kepolisian dari Polda Sul-sel Bar. Berdasarkan berita acara
pemeriksaan laboratories kriminalistik No LAB :521 / KNF /
VII / 2008 tanggak 17 Juli 2008 dari Pusan laboratorium
Forensik Polri Cabang Makassar yang dibuat oleh Dra.
SUGIHARTI, FAISAL RACHMAT, ST dan HASURA
MULIANI, Amd dimana dalam kesimpulan pemeriksaannya
disebutkan bahwa:
1. Barang bukti Kristal bening tersebut diatas adalah benar
menggandung Methamfemina (MA) dan termasuk
dalam golongan 2 nomor urut 9 lampiran Undang-
undang RI No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.
2. Barang bukti Urine tersebut di atas benar tidak
mengandung bahan Psikotropika.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 62 UU RI No. 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika.
66
2. Subsidair
------- Bahwa Ia Terdakwa ARLAN BIN MANSUR TORRE
pada waktu dan tempat sebagai mana tersebut pada
dakwaan Primair diatas, menerima penyerahan Psikotropika
selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (3) dana ayat (4)
yang dilakukan dengan cara antara lain yaitu: Awalnya
Terdakwa dipanggil oleh lelaki Rudi alias Lupus (melarikan
diri / belum tertangkap) di dalam pasar Kerung-kerung lalu
lelaki Rudi alias Lupus menyuruh terdakwa untuk membawa
1 (satu) paket psikotropika jenis shabu-shabu kepada orang
yang memesan atau membeli yang ada di pasar Kerung-
kerung dengan menyebutkan cirri-cirinya orang hitam.
Terdakwa mau membawa shabu-shabu tersebut karena
sebelumnya juga sudah pernah mengantarkan shabu-shabu
kepada orang yang membeli shabu-shabu pada Lelaki Rudi
alias Lupus karena mendapatkan imbalan uang Rp.20.000
(dua puluh ribu rupiah). Terdakwa membawa shabu-shabu
tersebut sebanyak 1 (paket) dalam plastik bening dan
mengantarkannya pada yang memesan di depan pasar
Kerung-kerung namun belum sempat diserahkan shabu-
67
shabu tersebut Terdakwa lalu di tangkap oleh petugas
Kepolisian dari Polda Sul-sel Bar.
Berdasrkan berita acara pemeriksaan laboratories
kriminalistik No LAB :521 / KNF / VII / 2008 tanggal 17 Juli
2008 dari Pusat laboratorimu Forensik Polri Cabang
Makassar yang dbuat oleh Dra. SUGIHARTI, FAISAL
RACHMAT, ST dan HARSURA MULIANI, Amd dimana
dalam kesimpulan pemeriksaan disebutkan bahwa:
1. Barang bukti Kristal bening tersebut siatas adalah benar
mengandung Methamfemina (MA) dan termasuk dalam
golongan 2 nomor 9 lampiran Undang-undang RI No.5
tahun 1997 tentang Psikotropika.
2. Barang bukti Urine yang tersebut diatas benar tidak
mengandung psikotropika.
Terdakwa dalam menerima shabu-shabu dari lelaki
Rudi alias Lupus (DPO) tidak dalam kapasitas atau mewakili
Rumah Sakit, Balai Pengobatan, Apotek atau Pasien yang
sedang salam perawatan.
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan di
ancam Pidana dalam Pasal 60 aya 5 UU RI No 5 tahun
1997 tentang Psikotropika.
68
Isi surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut
diatas, cukup jelas menggambarkan seluruh perbuatan
terdakwa yang telah melakukan tindak pidana psikotropiks
ysitu menyimpan dan membawa psikotropika golongan II
jenis shabu-shabu. Hal tersebut tentuanya bertentangan
dengan prinsip Undang-undang atau hukum positifyang
berlaku di Indonesia sehingga perbuatan anak tersebut
dapat digolongkan sebagai suatu delik.
3.1.4 Petikan Putusan
Setelah melalui bebrapa tahapan persidangan dalam
perkara tindak pidana psikotropika oleh terdakwa ARLAN BIN
MANSUR TORRE yaitu diantaranya adalah telah
mendengarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa
dan meliaht barang bukti serta pembacaan dakwaan dari
penuntut umum maka dengan ini menimbang, bahwa terdakwa
didakwa dengan dakwaan yang dirumuskan dalam Pasal 62 UU
RI No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, maka hakim yang
mengadili perkara ini memutuskan dalam putusannya sebagai
berikut:
69
MENGADILI:
-‐ Menyatakan terdakwa ARLAN BIN MANSUR TORRE
tersebut diatas telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak memiliki
menyimpan, dan/atau membawa psikotropika”;
-‐ Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut diatas oleh
karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan
dan denda sebesar Rp. 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu
rupiah) dengan ketentuan bahwa apabila denda terebut tidak
diabayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 1
(satu) bulan;
-‐ Menetapkan lamanya terdakwa dalam tahanan di kurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
-‐ Memerintahkan terdakwa tetap berada dalam tahanan;
-‐ Menyatakan barang bukti berupa 2 (sachet) plastik bening
berisikan Kristal bening dengan berat 0,1860 gram, dirampas
untuk dimusnahkan;
-‐ Membebankan perkara kepada terdakwa sebesar Rp.1.000,-
70
3.1.5 Analisis Putusan
Berdasarkan analisis dakwaan dan putusan yang
penulis paparkan bada bab ini, maka penulis melihat bahwa
Hakim telah menjatuhkan putusan yang sesuai dengan undang-
undang yang berlaku yakni dalam hal ini terdakwa ARLAN BIN
MANSUR TORRE telah benar-benar terbukti melakukan tindak
pidana menyimpan dan membawa Psikotropika berupa 2 (dua)
sachet plastik bening berisikan Kristal bening dengan berat
0,1860 gram pada genggaman tangan kanan terdakwa dan
terdakwa tidak ada surat izin dari pihak yang berwewenang
untuk memiliki, menyimpan, dan/atau membahwa shabu-shabu
tersebut.
Memperhatikan sistemaitika Putusan Pengadilan Negeri
Makassar dengan Nomor Registrasi 1051/Pid.B/2008/PN-MKS,
putusan tersebut telah memenuhi syarat formal suatu keputusan
pengadilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 197 KUHAP.
Dalam hal tidak terpenuhinya syarat formal suatu
putusan yang terdapat dalam Pasal 197 KUHAP akan
membawa akses hukum yakni putusan batal demi hukum
khususnya huruf H tentang kesalahan terdakwa apabila dalam
hasil pemeriksaan disidang dinyatakan tidak terbukti secara dan
71
meyakinkan maka terdakwa tiputus bebas. Sebaliknya jika
kesalahannya terbukti tetapi kesalahan itu bukan sesuatu
kejahatan, maka terdakwa duputus lepas dari segala tuntutan
hakim.
Adapun dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam Perkara
ini penulis berkesimpulan bahwa dakwaan tersebut telah
memenuhi syarat formal sebagaimana yang telah disyaratkan
dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP.
Dakwaan yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 143 (2) terutama pada bagian b maka akan membawa
konsekuensi hukum atau akibat huku mdimana dakwaan
tersebut dinyatakan batal demi hukum hal ini dapat dilihat pada
ayat (3) Pasal 143 KUHAP.
Dalam dakwaan primair, penuntut umum berkeyakinan
bahwa dakwaan tersebut telah terbukti secara sah dan
meyakinkan sehingga dakwaan berikut yakni subsidiar tidak
perlu lagi dibuktikan. Menurut penulis, penerapan Pasal 62 UU
No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dalam dakwaan primair
yang mendasari putusan ini sangatlah tepat karena telah
memenuhi unsur-unsur delik tersebut.
72
Hakim Tunggal yang mengadili perkara ini amar
pautusannya terdapat satu kekurangan yakni tidak
menyebutkan Pasal tentang perlindungan anak yang melakukan
delik, sehingga dasar pemidanaan terdakwa. Menurut penulis,
seperti ini akan menimbulkan ketidak pastian tentang
penjatuhan pidana tentang anak yang melakukan delik yang
masih dibawah umur.
Oleh karena itu dalam kasus ini pihak Pengadilan
Negeri Makassar telah menerapkan aturan yang ada dengan
melihat beberapa pertimbangan sesuai dengan yang
seharusnya dilakukan. Dalam memutuskan perkara ini hakim
betul-betul memperhatikan dan menimbang duduk perkara ini
dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhir putusan hakim
memutuskan untuk menetapkan bahwa terdakwa ARLAN BIN
MANSUR TORRE terbukti bersalah namun dengan beberapa
pertimbangan sesuai dengan isi putusan yang memerintahkan
pidana tersebut tidak perlu dijalani kecuali dikemudian hairi,
dengan putusan hakim karena terpidana sebelum berakhir
masa percobaannya yang ditentukan selama 10 bulan telah
bersalah melakukan suatu tindak pidana.
73
3.2 Pertimbangan Hukum Hakim dalam Perkara Nomor
1051/Pid.B/2008/PN-MKS
Setelah memalalu proses pemeriksaan perkara yang melibatkan
anak-anak maka hakim akhirnya menjahtuhkan vonis atau ptususan
yang sisinya menghukum Terdakwa ARLAN BIS MANSUR TORRE
dengan pidana penjara selama 10 (bulan) dan denda sebesar
Rp.1.500.000 (satu juta lima ratus ribu rupiah).
Perkara ini dalam putusannya memberikan beberapa
pertimbangan hukum berdasarkan dengan memperhatikan surat
dakwaan dari jaksa penuntut umum, memperhatikan alat bukti,
memperhatikan barang bukti maka perbuatan anak tersebut layak
untuk dijatuhkan hukuman, bersarkan pertimbangan yang telah ada
yaitu mempertimbangkan apakah perbuatan Terdakwa telah
memenuhi unsure-unsur dari Pasal yang didakwakan kepadanya atau
tidak maka pertimbangan-pertimbangan hakim tersebut dapat di
sajikan sebagai berikut.
Menimbang bahwa terdakwa oleh Jaksa Penuntut Umum telah
didakwa dengan dakwaan kumulatif. Yaitu Primair: telah melakukan
tindak pidana sebagaimana yang diatur dan diancam berdasarkan
Pasal 62 UU RI No 5 tahun 1995 tentang Psikotropika, dan Subsidair:
telah melakuakn tindak pidana sebagaimana yang diatur dan diancam
74
berdasarkan Pasal 60 ayat (4) UU RI No. 5 tahun 1997 tentang
Psikotropika.
Menimbang bahwa oleh karena dakwaan Jaksa Penuntut
Umum bersifat kumulatif, maka hakim terlebih dahulu akan
mempertimbangkan dakwaan Primair yaitu Pasal 62 UU RI No 5 tahun
1997 tentang Psikotropika.
Unsur-unsur _____________________________________________
1. Unsur barang siapa;
2. Secara tanpa hak;
3. Diunsur memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan II.
ad.1: Unsur Barangsiapa
Yang dimaksud unsur barang siapa disini adalah orang atau
manusia selaku subjek hukum sebagai pendukung hak dan
kewajiban dan dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Fakta yang terungkap didepan persidangan berdasarkan
keterangan saksi Erwansyah dan saksi Nazar bahwa benar pada
saat saksi melakukan penangkapan dan pemeriksaan pada
terdakwa ditemukan 2 (dua) sachet plastik bening beirisikan Kristal
bening dengan berat 0.1860 gram pada genggaman tangan kanan
terdakwa.
75
Dengan demikian unsur ini telah terbukti/terpenuhi.
ad.2: Secara Tanpa hak
Tanpa hak dimaksudkan bahwa Psikotropika yang berada dalam
penguasaan haruslah dalam bentuk badan hukum yang ditunjuk
oleh UU RI No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika seperti Importer,
eksportir, pedagang besar farmasi, balai pengobatan dengan kata
lain bahwa penguasaan Psikotropika tidak dibenarkan atau
disimpan oleh seseorang yang bukan merupakan badan hukum
atau tanpa izin dari pihak yang berwewenang. Fakta yang
terungkap didepan persidangan berdasarkan keterangan saksi
Erwansyah dan saksi Nazar bahwa benar pada saat saksi
melakukan penangkapan dan pemeriksaan pada terdakwa
ditemukan 2 (dua) sachet plastik bening berisikan Kristal bening
dengan berat 0,1860 gram pada genggaman tangan kanan
terdakwa dan terdakwa tidak ada surat izin dari pihak yang
berwewenang untuk memiliki, menyimpan, dan/atau membahwa
shabu-shabu tersebut.
Dengan demikian unsur ini telah terbukti.
76
Ad.3: Unsur Memiliki, menyimpan, dan/atau membawa
psikotropika golongan II.
Unsur ini bersifat alternative, jadi bisa terbukti salah satunya juga
bisa terbukti keseluruhannya.
Bahwa berdasarkan fakta yang terungkap didepan persidangan
berdasarkan keterangan saksi Erwansyah dan saksi Nazar
bahwa benar pada saat saksi melakukan penangkapan dan
pemeriksaan pada terdakwa ditemukan 2 (dua) sachet palstik
bening berisikan Kristal bening dengan berat 0,1860 gram pada
genggaman tangan kanan terdakwa.
Hal tersebut dikuatkan dengan alat bukti surat yang diajukan
didepan persidangan beruapa berita acara pemeriksaan
laboratorium forensik Polri Cabang Makassar No.
521/KNF/VII/2009 tanggal 17 Juli 2008 menerangkan bahwa
barang bukti berupa 2 (dua) sachet palstik bening berisikan
Kristal bening dengan berat 0,1860 gram mengandung bahan
aktif Methamfetamina (MA) yang termasuk dalam daftar
psikotropika golongan II No. urut 9 U RI No. 5 tahun 1997 tentang
Psikotropika.
Dengan demikian unsur ini telah terbukti/terpenuhi.
77
Berdasarkan uraian tersebut diatas, menurut hemat dari
penuntut umum dakwaan primair telah terbukti secara sah dan
meyakikan. Terbukti pula bahwa Terdakwa dapat dipersalahkan dan
mempertanggungjawabkan perbuatannya karena sepanjang
pemeriksaan perkara ini, tidak ditemukan alas an pembenar ataupun
alasan pemaaf. Bahwa dengan terbuktinya dakwaan primair, maka
dakwaan subsidair tidak dipertimbangkan lagi.
Dalam menjatuhkan hukuman pidana, terhadap Terdakwa yang
melakukan tindak pidana psikotropika dalam hal ini ada hal-hal yang
menjadi dasar pertimbangan oleh hakim dengan dasar Pasal 28
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
hal ini dapat diperkuat melalui hasil wawancara pada tanggal 10
November 2009 dengan hakim tunggal yang mumutuskan perkara ini
yaitu:
Hal-hal yang memberatkan:
Terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam hal
pemberantasan narkoba.
Hal-hal yang meringankan:
-‐ Terdakwa menyesal dan mengakui perbuatannya.
-‐ Terdakwa bersikat sopan di Persidangan.
-‐ Terdakwa masih tergolong anak-anak
78
Berdasarkan pertimbangan hakim tersebut di atas maka yang
dapat penulis kemukakan mengenai dasar dari pertimbangan tersebut
adalah perbuatan pidana (straafbaarfeit) yang dituduhkan kepada
terdakwa memang telah terbukti dengan sah dan meyakinkan hakim
bahwa anak tersebut telah menyimpan dan membawa Psikotropika
golongan II jenis shabu-shabu dengan berat 0.1860 gram yang sangat
jelas perbuatan tersebut melanggar Pasal 62 dalam UU RI No 5 tahun
1997. Tetapi dengan adanya hal-hal yang meringankan dimana
terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya, terdakwa bersifat
sopan didalam persidangan dan yang paling utama bahwa terdakwa
masih tergolong anak-anak. Maka untuk itu, ancaman pidana yang
ada dalam Pasal yang didakwaakan kepada terdakwa ½ dari orang
dewasa. Untuk itu hakim tunggal yang memeriksa dan mengadili
perkara ini, menurut penulis sudah sangat tepat dan benar-benar
melaksanakannya sesuai dengan undang-undang yang mengatur
tentang peradilan anak.
79
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari uraian-uraian dalam pembahasan diatas, maka penulis
dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Tindak pidana yang dilakukan oleh terpidana Arlan Bin Mansur
Torre merupakan perbuatan yang sangat bertentangan dengan
udang-undang khususnya undang-undang tentang psikotropika.
Oleh karena Arlan Bin Mansur Torre masih dalam golongan
yang dikatakan seorang anak maka penyidikan, proses
pemeriksaan dalam persidangan dilakukan dengan adanya
Hakim Tunggal, Persidangan dibuka dan dinyatakan tertutp
untuk umum., Hakim, Penuntut Umum tidak menggunakan toga
ataupun atribut lainnya, terdakwa didampingi oleh orang tua,
saksi dapat didenagr tanpa hadirnya terdakwa dan putusannya
dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.
2. Terpidana Arlan Bin Mansur Torre difonis dengan hukuman
penjara selama 10 (sepuluh) bulan dimana pertimbangan hakim
dengan memperhatikan surat dakwaan dari Jaksa Penuntut
Umum (JPU), memperhatikan alat bukti, serta barang bukti
bahwa Arlan Bin Masnur Torre terbukti secara sah dan
80
meyakinkan Hakim, menyimpan dan membahwa 1 (satu) paket
psikotropika jenis sabu-shabu dan tidak dalam kapasitas
mewakili Rumah Sakit, Balai Pengobatan, Apotek, atau pasien
yang sedang dalam perawatan. Dari hal tersebut maka Hakim
memiliki keyakinan bahwa terdakwa secara tanpa hak
menyimpan dan membawa psikotropika golongan II.
4.2 Saran
1. Kepada pihak Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan harus
memberikan perhatian khusus terhadap pelaku ataupun korban
tindak pidana yang pelibatkan anak-anak serta melindungi hak-
haknya, karena mereka senantiasa menunggu keadilan.
2. Hakim diharapkan lebih konsisten dalam menerapkan hukum yang
berlaku sehingga dapat menghasilkan putusan yang berkualitas
serta menciptakan rasa keadilan bagi masyarakat. Terutama
hakim yang sering menangani kasus tindak pidana anak.
81
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Andi Zainal Abidin Farid, 2007. Hukum Pidana I. Sinar Grafika, Jakarta.
Gatot Supramono, 1992. Surat Dakwaan Dan Putusan Yang Batal Demi Hukum. Djambatan, Jakarta.
-------------------------, 2006. Hukum Narkoba Indonesia. Djambatan, Jakarta
--------------------------, 2007. Hukum Acara Pengadilan Anak. Penerbit Djambatan, Jakarta.
Haris Sasangka. 2003. Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana. CV. Mandar Maju, Bandung.
Krisnawati Amelia, 2005. Aspek Hukum Perlindungan Anak. CV. Utomo, Bandung.
Lilik Mulyadi, 2007. Hukum Acara Pidana. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Maidin Gultom. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilam Pidana Anak di Indonesia. Refika Aditama, Bandung.
Prapto Supardi, 1991. Surat Dakwaan. Usaha nasional. Surabaya
Siswanto Sunarso. 2004. Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum. PT. Rajawali Pers, Jakarta.
Wagiati Sotedjo, 2008. Hukum Pidana Anak. Refika Aditama, Bandung.
Wirjono Prodjodikoro., 2008. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia. PT. Refika Aditama, Bandung.
Maulana Hasan Wadong, 2000 Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Gramedia Sarana, Jakarta.
Yahya Harahap, 2008. Penbahasan Permasalah dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan). Sinar Grafika. Jakarta.
82
B. Sumber Lain
Kita Undang-undang Hukum Pidana. 2006. Citra Umabara. Bandung
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. 2006. Citra Umabara. Bandung
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. 2008. Sinar Grafika. Jakarta.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. 2008. Sinar Grafika. Jakarta.
Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. 2007. Asa Mandiri. Jakarta.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 2008. Sinar Grafika. Jakarta
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. www.balitbangham.go.id/.../04-04%20Kekuasaan%20Kehakiman.pdf (akses, 17 November 2009 Pkl 01.30 Wita)
83