165

Proyeksi Ekonomi Indonesia 2013 - indef.or.idindef.or.id/source/research/BUKU PEI 2013.pdfkarena tidak segera tertransmisikan pada perbaikan tingkat ... untuk mengukur tingkat ketimpangan

Embed Size (px)

Citation preview

Proyeksi Ekonomi Indonesia 2013

PEMBANGUNAN

DI ATAS PIJAKAN RAPUH

2012

Proyeksi Ekonomi Indonesia 2013

Pembangunan Di Atas Pijakan Rapuh

Penulis: Ahmad Erani Yustika

Enny Sri Hartati

Didik J. Rachbini

Bustanul Arifin

Rina Oktaviani

Eko Listiyanto

Abdul Manap Pulungan

Ahmad Heri Firdaus

Dzulfian Syafrian

Abra Puspa Ghani Talattov

Tauhid Ahmad

Eka Puspitawati

Muhamad Habibilah

Desain Cover dan Tata Latak: Sarwo Edy

ISBN: 979-97810-23

Desember, 2012

i

Kata PengantarKata PengantarKata PengantarKata Pengantar

Di tengah melambatnya kinerja perekonomian global

akibat lambannya pemulihan krisis Amerika Serikat dan Uni

Eropa, pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga Triwulan III-

2012 mencatatkan diri sebagai nomor dua di Asia, yaitu sebesar

6,29 persen. Capaian pertumbuhan ekonomi ini diikuti oleh

tingkat inflasi yang cukup terjaga, di angka 4,32 persen yoy (year

on year) per November 2012; nilai tukar yang relatif stabil,

sebesar Rp9.613 per dollar Amerika Serikat pada 6 Desember

2012; serta cadangan devisa yang mencapai US$110.297 juta

per Oktober 2012.

Namun, jauh panggang dari api, relatif stabilnya kinerja

makro ekonomi Indonesia sepanjang 2012 tersebut terasa rapuh,

karena tidak segera tertransmisikan pada perbaikan tingkat

kesejahteraan masyarakat secara nyata. Produk Domestik

Bruto/PDB yang hingga Triwulan III-2012 mencapai Rp6.151,6

triliun (atas dasar harga berlaku) ternyata diikuti dengan jumlah

pengangguran dan kemiskinan yang masih tinggi, serta

diperparah dengan tingkat ketimpangan yang melebar. Hingga

Agustus 2012 jumlah pengangguran masih 7,24 juta orang;

jumlah penduduk miskin masih sebanyak 29,13 juta orang; serta

indeks Rasio Gini -yang merupakan salah satu indikator umum

untuk mengukur tingkat ketimpangan ekonomi- naik dari 0,33

ii

pada 2004 menjadi 0,41 pada 2011. Ini merupakan nilai

ketimpangan paling parah sejak Indonesia merdeka.

Masih tingginya angka pengangguran dan kemiskinan,

serta melebarnya ketimpangan disebabkan pertumbuhan

ekonomi Indonesia yang tidak berkualitas. Pertumbuhan

ekonomi masih bertumpu pada sektor-sektor yang kedap

terhadap penyerapan tenaga kerja, sehingga meminimkan daya

fungsinya dalam mengurangi jumlah pengangguran. Data

pertumbuhan ekonomi Triwulan III-2012 menunjukkan, sebesar

63,4 persen pertumbuhan didonasikan oleh sektor non-tradable,

sementara hanya 36,6 persen yang berasal dari sektor tradable.

Kinerja makro ekonomi yang relatif stabil namun tidak

diikuti dengan penurunan jumlah pengangguran, kemiskinan,

dan ketimpangan secara signifikan mengundang urgensi

perlunya menyusun ulang pembangunan ekonomi Indonesia.

Berbagai lencana yang disematkan oleh beberapa lembaga

internasional untuk kinerja makro ekonomi Indonesia saat ini

tidak boleh membuat pemerintah terlena, karena masih banyak

persoalan mendasar ekonomi bangsa yang harus segera

diselesaikan.

Upaya untuk menahan penurunan peranan sektor

tradable dalam perekonomian dapat ditempuh melalui: (i) pada

sektor pertanian mempercepat reformasi agraria yang telah

digadang-gadangkan pemerintah sejak 2005; (ii) sektor

pertambangan dan penggalian diupayakan meninjau kembali

kontrak-kontrak yang berdurasi panjang dan merugikan negara

serta meningkatkan peranan pemain lokal; dan (iii) sektor

industri diupaya pemenuhan ketersediaan input seperti energi

dan perbaikan iklim investasi.

iii

Di sektor fiskal, diperlukan reformulasi kebijakan

anggaran agar penggunaannya dapat meningkatkan

kesejahteraan bagi seluruh rakyat. APBN harus mampu

menstimulasi perekonomian melalui rekomposisi belanja

pemerintah yang sejauh ini lebih banyak dihabiskan untuk pos-

pos yang kurang produktif. Pengeluaran terbesar Pemerintah

Pusat sejauh ini lebih digunakan untuk belanja subsidi, belanja

pegawai, dan pembayaran bunga utang. Ketiga pos belanja ini

sudah menghabiskan anggaran Pemerintah Pusat rata-rata sekitar

63 persen dari total belanja selama 2005-2011. Akibatnya,

postur APBN yang sebagian besar sudah tersandera oleh

anggaran-anggaran rutin tersebut membuat ruang gerak fiskal

tidak maksimal. Oleh karena itu, diperlukan perubahan

fundamental pada struktur APBN agar ruang fiskal (fiscal space)

dapat diperbesar.

Pemerintah juga perlu memasukkan target penurunan

jumlah pengangguran, kemiskinan, serta tingkat ketimpangan

(Rasio Gini) secara eksplisit dalam asumsi makro APBN, agar

dampak dari pemanfaatan APBN terhadap peningkatan

kesejahteraan rakyat lebih terukur. Indikator penurunan jumlah

pengangguran dan kemiskinan digunakan untuk melihat

efektivitas penggunaan APBN dalam mengurangi kemiskinan

dan pengangguran di Indonesia. Sementara itu, indikator Indeks

Gini atau Rasio Gini digunakan untuk memastikan bahwa

pertumbuhan yang terjadi di Indonesia berjalan secara adil.

Di sektor perdagangan, belum cukup siapnya

perekonomian Indonesia berkompetisi secara terbuka di kancah

global terkonfirmasi dari tergerusnya kinerja sektor perdagangan

pada tahun ini. Hingga Oktober 2012 neraca perdagangan

sudah mengalami defisit lima kali, yaitu bulan April, Mei, Juni,

Juli dan Oktober. Bahkan defisit Oktober merupakan yang

iv

terbesar dalam lima tahun terakhir. Secara umum hal ini

diakibatkan oleh basis ekspor Indonesia yang masih bertumpu

pada komoditas primer, sehingga kinerjanya sangat rentan

terhadap risiko fluktuasi harga di pasar internasional.

Namun, jika dicermati lebih jauh, tergerusnya kinerja

sektor perdagangan sesungguhnya tidak lepas dari akumulasi

salah arah pembangunan berbagai sektor ekonomi strategis

selama ini. Kuatnya sektor konsumsi dalam perekonomian

Indonesia yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan industri

dasar yang memadai membuat porsi impor barang modal serta

bahan baku dan bahan penolong masih sangat besar. Berbagai

target swasembada produk-produk utama pertanian yang minim

capaian membuat meningkatnya impor barang konsumsi

menjadi tidak terelakkan. Lebih dari itu, kredit perbankan juga

cenderung mengucur deras untuk membiayai sektor non-

tradable, dan hanya menetes untuk sektor tradable. Hingga

Oktober 2012 proporsi kredit ke sektor non-tradable sebesar

70,17 persen, sementara sektor tradable hanya 29,83 persen.

Di sektor investasi, pertumbuhan penanaman modal

yang cenderung meningkat saat ini diharapkan dapat menjadi

kompensasi atas tergerusnya kontribusi ekspor, sehingga secara

agregat perekonomian nasional tetap dapat tumbuh sesuai target.

Namun, jika muara dari pertumbuhan ekonomi adalah

terciptanya kesejahteraan rakyat secara merata, maka kebijakan

sektor investasi juga harus didisain dengan mengedepankan

kepentingan nasional. Sehingga, potensi ekonomi yang sangat

besar di Indonesia tidak hanya menjadi surga bagi pemodal

asing. Dalam soal investasi, pemerintah harus berupaya

mendorong pembesaran investasi domestik (Penanaman Modal

Dalam Negeri/PMDN) sebagai penyangga utama ekonomi

nasional. Penanaman Modal Asing/PMA memang sebuah

v

keniscayaan, namun jangan sampai kehadirannya malah

meminggirkan investasi domestik.

Daya dukung sektor investasi terhadap kinerja ekonomi

akan semakin terakselerasi jika percepatan pembangunan

infrastruktur dapat segera terealisasi. Sebaliknya, kelambanan

pemerintah dalam merealisasikan proyek-proyek infrastruktur

pada akhirnya dapat melanggengkan ketimpangan ekonomi dan

disparitas pertumbuhan antarwilayah. Kue pembangunan yang

masih terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera perlu digeser ke

Pulau Kalimantan, Sulawesi, Papua, Bali, Nusa Tenggara dan

wilayah-wilayah lainnya yang selama ini mengalami

ketertinggalan dalam pembangunan.

Melihat perkembangan perekonomian yang terjadi

sepanjang tahun ini dan berbagai kemungkinan situasi ekonomi

ke depan, INDEF memperkirakan pertumbuhan ekonomi

Indonesia pada 2013 berada pada kisaran 6,3 — 6,5 persen.

Konfigurasi pertumbuhan ekonomi 2013 masih akan dicirikan

oleh dominasi kontribusi sektor konsumsi dari sisi penggunaan.

Sementara dari sisi lapangan usaha, pertumbuhan sektor non-

tradable tetap akan lebih menonjol dibandingkan dengan sektor

tradable.

Kontribusi investasi-Pembentukan Modal Tetap

Bruto/PMTB terhadap pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan

meningkat. Hal ini terutama didorong oleh terus mengalirnya

investasi langsung dari luar negeri seiring belum pulihnya

kawasan UE dan moderatnya kinerja ekonomi AS. Kinerja ekspor

meskipun diperkirakan akan lebih baik dari tahun ini tetapi

belum dapat pulih sepenuhnya pada 2013 setelah mengalami

defisit neraca perdagangan hingga lima kali sepanjang 2012.

Sementara perkembangan impor barang ke Indonesia pada 2013

vi

diperkirakan akan tetap tinggi. Desakan barang-barang impor

terutama dari China masih akan gencar sebagai akibat terjadinya

pengalihan pasar dari Eropa dan Amerika ke Asia Tenggara,

termasuk Indonesia.

Tingkat inflasi diperkirakan akan cenderung stabil pada

kisaran 4,5 — 5,5 persen pada 2013 (dengan asumsi tidak ada

kenaikan harga BBM). Demikian pula dengan kinerja nilai tukar

rupiah, pada 2013 INDEF memperkirakan rupiah akan berada

pada kisaran Rp9.300 — 9.500 per US$. Beberapa faktor

pendukung stabilitas rupiah, seperti masih cukup stabilnya

indikator makro ekonomi dan masih berlanjutnya aliran arus

modal ke dalam negeri. Cadangan devisa Bank Indonesia yang

lebih dari US$110 miliar juga akan berkontribusi mendorong

stabilnya rupiah tahun depan. Namun, untuk indikator tingkat

pengangguran dan kemiskinan pada 2013 diperkirakan hanya

akan sedikit mengalami penurunan, yakni masing-masing menjadi

sekitar 5,8 persen dan 11,5 persen. Hal ini diakibatkan oleh masih

berlanjutnya pertumbuhan ekonomi yang berkualitas rendah di

tahun depan.

vii

DDDDaftar Isiaftar Isiaftar Isiaftar Isi

Kata PengantarKata PengantarKata PengantarKata Pengantar iiii

Daftar Daftar Daftar Daftar IsiIsiIsiIsi viviviviiiii

Daftar TabelDaftar TabelDaftar TabelDaftar Tabel xxxx

Daftar GambarDaftar GambarDaftar GambarDaftar Gambar xixixixi

BAB IBAB IBAB IBAB I Evaluasi Makro Ekonomi Indonesia 2012Evaluasi Makro Ekonomi Indonesia 2012Evaluasi Makro Ekonomi Indonesia 2012Evaluasi Makro Ekonomi Indonesia 2012 1111

1.1. Pendahuluan 1

1.2. Pertumbuhan EKonomi 3

1.3. Sektor Moneter 5

1.3.1. Inflasi 5

1.3.2. Suku Bunga 7

1.3.3. Nilai Tukar Rupiah 8

1.4. Kinerja Perbankan 10

1.5. Sektor Fiskal 12

1.6. Kinerja Investasi 14

1.7. Sektor Luar Negeri 16

1.8. Pengangguran dan Kemiskinan 21

BAB IIBAB IIBAB IIBAB II Perkembangan Ekonomi GlobaPerkembangan Ekonomi GlobaPerkembangan Ekonomi GlobaPerkembangan Ekonomi GlobaLLLL 23232323

2.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Global 23

2.2. Perkembangan Sektor Keuangan Internasional 33

2.3. Perkembangan Komoditas Internasional 36

viii

BAB IIIBAB IIIBAB IIIBAB III Reformulasi Kebijakan Anggaran dan Desentralisasi Reformulasi Kebijakan Anggaran dan Desentralisasi Reformulasi Kebijakan Anggaran dan Desentralisasi Reformulasi Kebijakan Anggaran dan Desentralisasi

FiskalFiskalFiskalFiskal

41414141

3.1. Postur APBN 42

3.1.1. Penerimaan Negara 43

3.1.2. Belanja Tidak Produktif 47

3.1.3. Tersandera Subsidi 48

3.1.4. Kecanduan Utang 52

3.1.5. Rendahnya Ruang Fiskal 54

3.1.6. Mandulnya Dana Transfer Daerah 55

3.2. Desentralisasi Fiskal dan Ketimpangan Antar

Wilayah

58

3.2.1. Ketimpangan Antar Wilayah 59

3.2.2. Titik Kritis Desentralisasi 62

BAB IVBAB IVBAB IVBAB IV Kebijakan Investasi dan Kebijakan Investasi dan Kebijakan Investasi dan Kebijakan Investasi dan Agenda InfrastrukturAgenda InfrastrukturAgenda InfrastrukturAgenda Infrastruktur 66665555

4.1. Menata Ulang Kebijakan Investasi 67

4.2. Mengukur Daya Saing Ekonomi 70

4.3. Potret Infrastruktur Nasional 76

4.5. Agenda Mendesak Infrastruktur 84

BBBBBBBBAAAAAAAABBBBBBBB VVVVVVVV PerdaganganPerdaganganPerdaganganPerdagangan BebasBebasBebasBebas dandandandan Lemahnya Lemahnya Lemahnya Lemahnya Daya SaingDaya SaingDaya SaingDaya Saing IndustriIndustriIndustriIndustri 8888888899999999

5.1. Kelemahan Struktural Produk Industri Manufaktur 96

5.2. Urgensi Revitalisasi dan Hilirisasi Industri 101

5.3. Melawan Deindustrialisasi 104

5.4. Strategi Utama Akselerasi Industrialisasi 106

5.4. Solusi Permasalahan Behind the Border Barries 107

BBBBBBBBAAAAAAAABBBBBBBB VVVVVVVVIIIIIIII Strategi Kebijakan PanganStrategi Kebijakan PanganStrategi Kebijakan PanganStrategi Kebijakan Pangan 111111111111111111111111

6.1. Kedaulatan Pangan 112

6.2. Reorientasi Kebijakan Pangan 116

6.3. Prospek dan Tantangan Industri Agribisnis 120

6.3.1. Klasifikasi Industri Agribisnis 121

ix

6.3.2. Industri Primer 121

6.3.3. Industri Pangan Pokok 124

6.3.4. Industri Hortikultura 128

6.3.5. Industri Basis Peternakan 131

6.3.6. Antisipasi Pelaku dan Respons Kebijakan 133

6.4. Rekomendasi Kebijakan 134

BAB VIIBAB VIIBAB VIIBAB VII Proyeksi Ekonomi Indonesia 2013Proyeksi Ekonomi Indonesia 2013Proyeksi Ekonomi Indonesia 2013Proyeksi Ekonomi Indonesia 2013 111139393939

7.1. Proyeksi Ekonomi Indonesia oleh Lembaga Lain 140

7.2. Pertumbuhan Ekonomi 2013 141

7.3. Inflasi 144

7.4. Nilai tukar 145

7.5. Pengangguran dan Kemiskinan 145

Daftar PustakaDaftar PustakaDaftar PustakaDaftar Pustaka 111147474747

x

DDDDaftar Tabelaftar Tabelaftar Tabelaftar Tabel

Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (persen) 4

Tabel 1.2. Perkembangan Realisasi PMA dan PMDN Menurut Sektor Triwulan III-2012

15

Tabel 1.3. Neraca Perdagangan Indonesia (Juta US$) 17

Tabel 1.4. Nilai Ekspor Indonesia Menurut Sektor (Juta US$) 19

Tabel 1.5. Impor Indonesia Menurut Kelompok Penggunaan Barang Nilai Impor, CIF (Juta US$)

20

Tabel 2.1. Perkembangan PDB Riil, Inflasi, dan Tingkat Pengangguran Terbuka

27

Tabel 3.1. Rencana dan Realisasi Belanja Negara 1990-2011 (triliun Rp)

46

Tabel 3.2. Proporsi Belanja Pemerintah Pusat terhadap Total Belanja 2005-2011

48

Tabel 3.3. Peranan Wilayah/Pulau Dalam Pembentukan PDB Nasional (persen)

58

Tabel 4.1. Penyerapan Tenaga Kerja Indonesia Triwulan III-2012 67

Tabel 4.2. Peringkat Daya Saing Global 72

Tabel 4.3. Peringkat Melakukan Usaha di Indonesia dalam Doing Business 2012-2013

73

Tabel 4.4. Perbandingan Indikator Infrastruktur Beberapa Negara, Tahun 2009

78

Tabel 4.5. Peringkat Kualitas Infrastruktur Indonesia 79

Tabel 5.1. Skema Preferential Trade Agreement Indonesia per 2012 91

Tabel 5.2. Perkembangan Ekspor dan Impor Nonmigas Indonesia dengan Negara Mitra FTA Periode 2011-2012

94

Tabel 5.3. Rekapitulasi Indeks Keterkaitan ke Belakang Industri Manufaktur Indonesia pada Periode 1995-2008

99

Tabel 6.1. Impor Beras Indonesia 115

Tabel 7.1. Proyeksi Ekonomi Indonesia 2013 INDEF 146

xi

DDDDaftar Gambaraftar Gambaraftar Gambaraftar Gambar

Gambar 1.1. Perkembangan Inflasi Januari — September 2012

(persen) 6

Gambar 1.2. Perkembangan Suku Bunga, Januari-September

2012 (persen) 8

Gambar 1.3. Perkembangan Nilai Tukar, Januari-Oktober 2012 10

Gambar 1.4. Proporsi Kredit Menurut Lapangan Usaha (persen) 12

Gambar 2.1. Perkembangan Harga Komoditas Emas, CPO,

Beras, Kedelai, dan Baja 37

Gambar 3.1. inamika Proporsi Pendapatan Pajak, PNBP dan

Dividen BUMN terhadap Total Pendapatan Negara

2000-2011 (persen) 43

Gambar 3.2. Tax Ratio 1990-2011 (persen) 44

Gambar 3.3. Surplus/Defisit Fiskal 1990-2011 (triliun Rp) 47

Gambar 3.4. Proporsi Subsidi terhadap Total Subsidi 2005-2011

(persen) 48

Gambar 3.5. Belanja Pemerintah Pusat 2005-2011 (triliun Rp) 51

Gambar 3.6. Perkembangan Utang Pemerintah Indonesia

terhadap PDB 2007-2012 52

Gambar 3.7. Cicilan Utang Pemerintah Indonesia 2000-2011 54

Gambar 3.8. Rasio Belanja Pemerintah Pusat dan Transfer

Daerah terhadap Total Belanja Negara 1990-2011

(persen) 56

Gambar 3.9. Komposisi Belanja Transfer Daerah 2003-2011

(persen) 57

Gambar 3.10 Indeks Williamson Untuk PDRB, 2007-2011 59

Gambar 4.1. Realisasi Investasi Langsung (Rp triliun) 66

Gambar 4.2. Rasio Anggaran Infrastruktur terhadap PDB 80

xii

Gambar 4.3. Subsidi Energi Vs Anggaran Infrastruktur (Rp triliun) 81

Gambar 4.4. Perbandingan Luas Wilayah, Penduduk, dan

Infrastruktur, 2011 (persen) 83

Gambar 5.1. Perkembangan Historis Sektor Industri Manufaktur

Indonesia Periode 1984-2010 103

Gambar 6.1. Kinerja Ekonomi Beras 114

1

BAB 1

Evaluasi Makro Ekonomi Indonesia 2012Evaluasi Makro Ekonomi Indonesia 2012Evaluasi Makro Ekonomi Indonesia 2012Evaluasi Makro Ekonomi Indonesia 2012

1.1.1.1.1.1.1.1. PendahuluanPendahuluanPendahuluanPendahuluan

Kinerja makro ekonomi Indonesia sepanjang 2012 relatif

masih menggembirakan, utamanya pertumbuhan ekonomi masih

di atas 6 persen diikuti stabilitas sisi moneter. Di tengah situasi

masih lesunya perekonomian global, pertumbuhan ekonomi

selama Triwulan I sampai Triwulan III 2012 masih mencapai

6,29 persen (yoy). Sayangnya, pencapaian laju pertumbuhan

ekonomi, yang diklaim pemerintah sebagai angka pertumbuhan

tertinggi pada urutan kedua di dunia, tetap belum diikuti oleh

perbaikan kualitas pertumbuhan sektoral.

Laju pertumbuhan sektoral masih didominasi oleh sektor

non-tradable dibanding sektor tradable. Pangsa sektor tradable

terhadap PDB tersalip oleh sektor non-tradable. Sektor

pengangkutan dan komunikasi merupakan sektor dengan laju

pertumbuhan tertinggi, disusul sektor perdagangan, hotel dan

restoran, sektor konstruksi, serta sektor keuangan, real estat dan

jasa perusahaan. Sementara sektor pertanian dan industri

pengolahan relatif stagnan, dengan pertumbuhan yang relatif

rendah. Padahal sektor tradable merupakan sektor padat karya

2

karena menyerap lebih dari separuh tenaga kerja nasional (dari

110,8 juta pekerja). Selain minimnya keberpihakan pemerintah

terhadap sektor ini, juga diakibatkan oleh kecilnya peranan

sektor pembiayaan. Secara nasional maupun regional kredit

perbankan ke sektor tradable tidak lebih dari 25 persen.

Hasilnya, di tengah pertumbuhan ekonomi yang tinggi

namun perekonomian menyimpan problem fundamental yang

cukup gawat, utamanya kemiskinan, ketimpangan pendapatan,

dan pengangguran. Pertama, penurunan jumlah orang miskin

tidak menunjukkan data yang impresif, secara absolut jumlah

orang miskin justru meningkat. Pada 1990, persentase

kemiskinan sebesar 15,1 persen atau setara 27,2 juta jiwa. Pada

2010, menjadi 13,33 persen atau 31,02 juta jiwa dan 2011

hanya turun menjadi 12,49 persen. Kedua, pertumbuhan

ekonomi yang stabil dalam beberapa tahun terakhir justru

menjadi lahan yang subur bagi peningkatan ketimpangan

pendapatan (Rasio Gini). Pada 2002 Rasio Gini baru 0,32; tapi

pada 2010 telah melesat menjadi 0,38 (makin tinggi berarti kian

timpang). Bahkan, pada 2011, rasio Gini Indonesia mencetak

rekor baru menjadi 0,41 (BPS, 2012). Dalam catatan statistik,

semenjak Indonesia melakukan pembangunan secara sistematis

pada 1966 tidak pernah angka Gini Rasio menembus 0,41.

Ketiga, pengangguran terbuka secara sistematis menunjukkan

penurunan (meskipun amat pelan), namun jumlah pekerja yang

tergolong setengah menganggur (bekerja kurang dari 35 jam per

minggu) masih sangat besar, diperkirakan mencapai 30 juta jiwa.

Lebih mengecewakan lagi, jumlah pekerja yang masuk ke sektor

informal terus tumbuh sehingga saat ini mencapai hampir 65,76

persen dari total tenaga kerja (BPS, 2011). Keempat,

ketimpangan daerah. Distribusi PDB masih terpusat di Jawa (57

persen) dan Sumatera (23 persen). Artinya, kemampuan

3

pemerintah untuk mendorong pemerataan pendapatan untuk

seluruh masyarakat di seluruh negeri masih jauh. Upaya

pemerintah untuk meningkatkan peranan wilayah di luar Jawa

masih terhenti oleh berbagai kendala, terutama ketersediaan

infrastruktur dasar maupun infrastruktur energi. Rasio elektrifikasi

nasional baru 75 persen, sedangkan upaya peningkatan

infrastruktur jalan terkendala pada pembebasan lahan.

1.2.1.2.1.2.1.2. Pertumbuhan EkonomiPertumbuhan EkonomiPertumbuhan EkonomiPertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi hingga triwulan III 2012 sebesar

6,3 persen (yoy) ditopang oleh sektor non-tradable dengan

sektor pengangkutan dan komunikasi sebagai lokomotifnya. Laju

pertumbuhan sektor pengangkutan dan komunikasi sejak 2007

hinga triwulan III 2012 selalu mengalami pertumbuhan tertinggi,

yaitu sebesar 14,0 persen (2007), 16,6 persen (2008), 15,5

persen (2009), 13,5 persen (2010), 10,7 persen (2011) dan 10,4

persen (Triwulan III 2012). Sementara sektor pertanian dan

industri pengolahan selama triwulan I sampai triwulan III 2012,

masing-masing hanya tumbuh 4,27 persen dan 5,81 persen.

Dari sisi pengeluaran, kontribusi konsumsi rumah tangga

masih mendominasi dalam struktur PDB Indonesia. Di satu sisi

kondisi ini menunjukkan masih kuatnya permintaan domestik.

Namun, jika sektor konsumsi yang terus meningkat tanpa diiringi

oleh produksi yang meningkat secara proporsional, maka yang

terjadi adalah gelembung. Ekonomi tumbuh namun keropos di

dalamnya. Optimisme hadir, ketika sejak awal tahun 2012

pertumbuhan investasi cukup menggembirakan. Selama

Triwulan I sampai Triwulan III 2012, invetasi rata-rata tumbuh

10,77 persen, dan meningkatkan kontribusinya terhadap PDB

lebih dari 30 persen. Sayangnya membaiknya kinerja Investasi

4

tidak diikuti oleh kinerja ekspor yang hanya tumbuh 2,3 persen.

Di tengah lesunya ekspor, pasar dalam negeri justru dibanjiri

oleh barang-barang impor, di mana impor rata-rata meningkat

6,92 persen.

Dengan bertumpunya perekonomian pada sektor

konsumsi dan sektor non-tradable membuat harapan untuk

mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas akan

sulit direalisasikan. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai tidak

akan menjadi solusi persoalan pengangguran dan kemiskinan.

Oleh karena itu, tantangan terberat pertumbuhan ekonomi ke

depan adalah menggeser proporsi kontribusi sektor konsumsi

dengan investasi, serta mengimbangi pertumbuhan sektor non-

tradable dengan tradable.

Tabel 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (persen)Tabel 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (persen)Tabel 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (persen)Tabel 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (persen)

Menurut Lapangan UsahaMenurut Lapangan UsahaMenurut Lapangan UsahaMenurut Lapangan Usaha

2012201220122012 RataRataRataRata----

Q1Q1Q1Q1 Q2Q2Q2Q2 Q3Q3Q3Q3 RataRataRataRata

1 Pertanian, Peternakan, dll 4.32 3.68 4.8 4.27 2 Pertambangan dan penggalian 2.82 3.08 -0.09 1.94 3 Industri pengolahan 5.71 5.37 6.36 5.81 4 Listrik, gas dan air bersih 5.24 5.87 5.56 5.56 5 Konstruksi 7.21 7.26 7.98 7.48 6 Perdagangan, hotel & restoran 8.29 8.92 6.91 8.04 7 Pengangkutan dan komunikasi 10.31 10.07 10.48 10.29 8 Keuangan, real estat dan jasa

perusahaan 6.32 7.04 7.41

6.92 9 Jasa-jasa 5.47 5.72 4.44 5.21

Menurut PengeluaranMenurut PengeluaranMenurut PengeluaranMenurut Pengeluaran

1 Konsumsi Rumah Tangga 4.94 4.99 5.68 5.20 2 Konsumsi Pemerintah 5.94 6.96 -3.22 3.23 3 PMTB 9.97 12.31 10.02 10.77 4 Ekspor 7.85 1.88 -2.78 2.32 5 Impor 8.05 10.87 -0.54 6.13

Produk Domestik BrutoProduk Domestik BrutoProduk Domestik BrutoProduk Domestik Bruto 6.326.326.326.32 6.376.376.376.37 6.176.176.176.17 6.296.296.296.29

Sumber: Biro Pusat Statistik, 2012

5

1.3.1.3.1.3.1.3. Sektor Moneter Sektor Moneter Sektor Moneter Sektor Moneter

Secara umum stabilitas moneter selama 2012 masih

cukup terjaga, baik dari sisi inflasi, suku bunga, nilai tukar rupiah

serta perkembangan sektor keungan. Sampai Oktober 2012,

akumulasi inflasi bulanan masih berada di level 3,67 persen

(mtm). Nilai tukar Rupiah sepanjang Januari-September bergerak

pada level Rp 9.000 hingga Rp 9.588 per dollar AS. Level terkuat

terjadi pada Januari Rp 9.000 per dollar AS sedangkan terlemah

pada September Rp9.588 per dollar AS. Tingkat inflasi bergerak

relatif terjaga pada level 4,32 persen per November 2012. BI

Rate stabil pada 5,75 persen sejak Februari hingga November

sedangkan suku bunga Surat Perbendaharaan Negara/SPN untuk

12 November 2012 sekitar 3,725 persen (target pemerintah

APBN-P 2012 sebesar 5 persen).

1.3.1.1.3.1.1.3.1.1.3.1. InflasiInflasiInflasiInflasi

Secara umum tekanan inflasi selama 2012 relatif masih

terjaga, karena selama Januari - November 2012 tingkat inflasi

hanya sebesar 3,67 (mtm). Namun, fluktuasi kenaikan harga

selama 2012 yang cukup tajam membuat kepanikan dan

menggerogoti daya beli masyarakat, terutama yang

berpenghasilan menengah kebawah. Tekanan kenaikan harga

terjadi sejak awal 2012, sebagai dampak ekspektasi inflasi dari

masyarakat akibat kegaduhan wacana kenaikan harga BBM.

Walaupun harga BBM tidak jadi dinaikkan namun hampir

seluruh harga barang telah mengalami kenaikan, dan inflasi

pada bulan Januari mencapai 0,76 persen (mtm). Selanjutnya

selama Februari - Mei 2012 tekanan inflasi mulai mereda.

Namun sejak menjelang bulan Ramadhan Juni 2012, tekanan

inflasi kembali menggerogoti perekonomian.

6

Puncak kenaikan harga terjadi pada Juli dan Agustus,

yaitu pada saat bulan Ramadhan dan Perayaan Hari Raya Idhul

Fitri, di mana kenaikan harga mencapai 0,95 persen (mtm) atau

4,58 persen (yoy). Kelompok bahan makanan mengalami

kenaikan harga terbesar. Selama Juni - Agustus bahan makanan

naik sebesar 1,13 persen. Bahkan kenaikan harga bahan

makanan sudah terjadi jauh sebelum bulan Ramadhan datang.

Penyebabnya, di samping karena meningkatnya permintaan,

juga bersamaan dengan berlangsungnya tahun ajaran baru

sekolah. Kenaikan ini merupakan kenaikan harga tertinggi

dibandingkan dengan musim lebaran tahun-tahun sebelumnya.

Kenaikan harga musiman yang berlebihan menunjukkan

rendahnya antisipasi pemerintah menghadapi pola musiman

yang berlangsung setiap tahun.

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012

Gambar 1.1. Perkembangan Inflasi Januari Gambar 1.1. Perkembangan Inflasi Januari Gambar 1.1. Perkembangan Inflasi Januari Gambar 1.1. Perkembangan Inflasi Januari ———— September 2012 September 2012 September 2012 September 2012

((((persenpersenpersenpersen))))

7

1.3.2.1.3.2.1.3.2.1.3.2. Suku BungaSuku BungaSuku BungaSuku Bunga

Inflasi yang rendah semestinya memberikan stimulus

untuk menurunkan suku bunga. Namun di tengah ketidakpastian

global, otoritas moneter cenderung menahan diri untuk

mempertahankan tingkat suku bunga BI Rate. Pada Januari 2012

BI rate ditetapkan sebesar 6,00 persen. Pada bulan Februari BI

rate diturunkan menjadi 5,75 persen dan bertahan sampai

sekarang. Langkah ini ditempuh BI agar industri perbankan

secara keseluruhan menurunkan suku bunga simpanan maupun

kredit.

Tetapi kebijakan BI tersebut tidak diikuti oleh penurunan

suku bunga perbankan secara signifikan. Suku bunga perbankan

relatif mengalami rigiditas, baik suku bunga simpanan maupun

suku bunga pinjaman. Suku bunga pinjaman tetap berada di

level dua digid. Rigidnya penurunan suku bunga pinjaman ini

utamanya disebabkan oleh tetap tingginya suku bunga

simpanan. Suku bunga deposito 12 bulan per September sekitar

6,97 persen, hanya turun tipis dari 6,17 persen pada bulan yang

sama tahun sebelumnya. Akibatnya, perbaikan suku bunga

simpanan tidak optimal tertransmisikan ke suku bunga pinjaman.

Per September suku bunga kredit modal kerja mencapai 11,71

persen (turun 0,68 persen, yoy), suku bunga kredit investasi

11,36 persen (turun 0,7 persen, yoy) dan suku bunga kredit

konsumsi 13,67 persen (turun 0,59 persen, yoy). Sementara suku

bunga deposito 3 bulan pada September 2012 tetap berada di

level 5,72 persen.

Relatif masih lebarnya spread antara suku bunga

pinjaman dan suku bunga simpanan menunjukkan pasar

keuangan yang belum efisien, sekaligus menunjukkan tingginya

biaya operasional perbankan. Kondisi ini berdampak kurang

8

optimalnya fungsi intermediasi perbankan. Karena beban biaya

bunga masih membebani dunia usaha, akibatnya akses

masyarakat terhadap pembiayan perbankan menjadi terbatas.

Sumber: Bank Indonesia, 2012

Gambar 1.Gambar 1.Gambar 1.Gambar 1.2.2.2.2. Perkembangan Suku BungaPerkembangan Suku BungaPerkembangan Suku BungaPerkembangan Suku Bunga,,,, JanuariJanuariJanuariJanuari----September September September September

2012201220122012 ((((persenpersenpersenpersen))))

1.3.3.1.3.3.1.3.3.1.3.3. Nilai Tukar Rupiah Nilai Tukar Rupiah Nilai Tukar Rupiah Nilai Tukar Rupiah

Selama Triwulan I 2012 nilai tukar rupiah mengalami

pelemahan. Rupiah secara point-to-point melemah sebesar 0,87

persen (qtq) ke level Rp 9.139/US$, secara rata-rata melemah

1,03 persen (qtq) menjadi Rp 9.066/US$. Sedangkan pada

Triwulan II 2012 masih mengalami tekanan depresiasi, namun

dengan volatilitas yang terjaga didukung oleh kebijakan

stabilisasi yang ditempuh Bank Indonesia. Rupiah secara point-

to-point melemah sebesar 2,65 persen (qtq) ke level Rp9.393 per

dolar AS atau secara rata-rata melemah 2,27 persen (qtq)

menjadi Rp9.277 per dolar AS. Pergerakan rupiah yang

cenderung melemah tersebut secara umum masih sejalan

9

dengan pelemahan nilai tukar di kawasan Asia lainnya. Selama

bulan Oktober 2012, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar berada

pada kisaran Rp 9.630 — Rp 9680 per dolar AS.

Secara fundamental penyebab pelemahan rupiah tidak

terlepas dari melemahnya kinerja ekspor. Pada Juli - Agustus

Ekspor Indonesia sangat anjlok, bahkan neraca perdagangan

mengalami defisit. Akibatnya, nilai tukar rupiah juga mengalami

depresiasi. Dengan menggunakan sistem nilai tukar yang

fleksibel, konsekuensinya stabilitas nilai tukar tentunya sangat

tergantung pada kinerja neraca perdagangan. Karena besarnya

pasokan devisa yang masuk akan menentukan kecukupan

besarnya kebutuhan valas (valuta asing) untuk impor dan

membayar utang luar negeri.

Di samping neraca perdagangan, faktor yang signifikan

memengaruhi pergerakan nilai tukar adalah Indeks Harga

Saham. IHSG dan rupiah mempunyai hubungan yang positif.

Pada saat IHSG meningkat hal ini menunjukkan peningkatan

antusiasme masyarakat melakukan transaksi di pasar modal.

Karenanya akan mendorong peningkatan permintaan rupiah

untuk membeli saham dalam negeri. Akibatnya, akan

berdampak positif terhadap apresiasi rupiah. Kondisi sebaliknya

terjadi ketika IHSG relatif melemah, maka juga akan diikuti oleh

pelemahan rupiah (Gambar 1.3)

10

Sumber: Bank Indonesia, 2012

Gambar 1.Gambar 1.Gambar 1.Gambar 1.3333. Perkembangan . Perkembangan . Perkembangan . Perkembangan Nilai Tukar, JanuariNilai Tukar, JanuariNilai Tukar, JanuariNilai Tukar, Januari----Oktober 2012Oktober 2012Oktober 2012Oktober 2012

1.4.1.4.1.4.1.4. Kinerja PerbankanKinerja PerbankanKinerja PerbankanKinerja Perbankan

Performa sektor perbankan cukup solid dengan

penghimpunan Dana Pihak Ketiga/DPK mencapai Rp3.049

triliun atau naik 19,85 persen (yoy) dan penyaluran kredit

Rp2.573 triliun atau naik 25,87 persen (yoy). Sayangnya,

peningkatan penyaluran kredit diikuti dengan lonjakan pinjaman

yang belum ditarik debitur (undisbursed loans) mencapai

Rp778,165 triliun per September atau naik 24,48 persen (yoy).

Pertumbuhan undisbursed loans ini hampir setara dengan

kenaikan realisasi kredit.

Indikator kesehatan bank juga masih terjaga dan

cenderung membaik. Sampai September 2012, Capital

Adequacy Ratio/CAR sekitar 17,41 persen (naik dari 0,78 persen,

11

yoy); Loan to Deposit Ratio/LDR 83,33 persen (naik 1,97 persen,

yoy); Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional/

BOPO 74,26 persen atau turun 12,88 persen (yoy); Net Interest

Margin/NIM 5,45 persen atau turun 0,5 persen (yoy).

Namun demikian, meskipun dari sisi indikator kinerja

keuangan perbankan relatif membaik, masih terdapat sejumlah

tantangan ke depan yang tidak ringan. Salah satu tantangan

tersebut adalah persoalan aksesibilitas masyarakat terhadap

layanan perbankan. Hingga saat ini hanya sekitar 17 persen

penduduk Indonesia yang memeroleh pinjaman dari bank, atau

sekitar 20 persen yang menggunakan akses dari lembaga

keuangan formal. Sekitar 40 persen penduduk masih

menggunakan jasa keuangan informal. Dari sisi simpanan, baru

sekitar 47 persen penduduk menyimpan uangnya di bank (World

Bank, 2010; dalam Bank Indonesia, 2012).

Tantangan lain yang belum terselesaikan oleh sektor

perbankan pada 2012 ini adalah upaya untuk membuat harga

kredit bagi UMKM menjadi lebih kompetitif. Hingga saat ini

pelaku UMKM harus menanggung suku bunga kredit yang relatif

lebih tinggi dari pada usaha besar, yaitu sekitar 30 persen (Bank

Indonesia, 2012). Akibat kurang lenturnya suku bunga kredit ini

membuat daya dukung UMKM terhadap perekonomian menjadi

kurang optimal, padahal sekitar 99 persen kegiatan usaha

masyarakat tergolong kategori UMKM.

Dari sisi proporsionalitas penyaluran kredit perbankan ke

lapangan usaha juga masih harus ditingkatkan, di mana sektor

padat karya/sektor tradable perlu mendapat perhatian lebih dari

perbankan. Hingga Oktober 2012 porsi kredit perbankan

cenderung mengalir ke sektor non-tradable, dengan rincian:

Sektor perdagangan, hotel dan restoran sekitar 33 persen; sektor

12

industri pengolahan 19 persen; sektor keuangan, real estat dan

jasa perusahaan 12 persen; sektor pertanian 9 persen; sektor

pengangkutan, pergudangan dan komunikasi menyerap 6

persen; sektor kontruksi 6 persen; listrik, gas dan air bersih 3

persen; pertambangan 2 persen; dan sektor jasa-jasa 10 persen.

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia-BI, 2012

Gambar 1.4. Proporsi Kredit Menurut Lapangan Usaha (persen)Gambar 1.4. Proporsi Kredit Menurut Lapangan Usaha (persen)Gambar 1.4. Proporsi Kredit Menurut Lapangan Usaha (persen)Gambar 1.4. Proporsi Kredit Menurut Lapangan Usaha (persen)

1.5.1.5.1.5.1.5. Sektor FiskalSektor FiskalSektor FiskalSektor Fiskal

Sektor fiskal masih diwarnai oleh permasalahan klasik,

yaitu postur anggaran yang tidak proporsional. Bahkan pada

2012, APBN terlihat semakin rapuh. Hal ini disebabkan

meningkatnya defisit anggaran yang dibiayai utang serta

disandera membengkaknya anggaran untuk subsidi. Akibatnya,

alokasi anggaran untuk belanja modal (infrastruktur) tetap

memiliki porsi yang rendah. Kondisi ini menyebabkan peran

stimulus fiskal dalam perekonomian sangat terbatas. Hasilnya

peran pemerintah terhadap perekonomian masih sangat rendah,

tidak lebih 10 persen dari PDB. Padahal total anggaran

pemerintah hampir mencapai seperempat dari PDB.

13

Akibat tetap mempertahan kebijakan defisit, Juni 2012

jumlah utang pemerintah mencapai Rp1.950 triliun. Meski rasio

utang terhadap PDB menurun, namun utang per kapita

cenderung meningkat. Dengan jumlah penduduk sekitar 240

juta maka utang per individu mencapai Rp 8 juta. Belanja

pemerintah pusat masih tersandera pada belanja birokrasi.

Belanja pegawai mengambil porsi 21,17 persen; subsidi energi

27,75 persen; sedangkan belanja modal hanya 17,02 persen.

Subsidi nonenergi hanya mengambil porsi di bawah 5 persen

(RAPBN, 2013).

Di samping permasalahan anggaran yang tidak

proporsional, hal itu masih diperparah dengan buruknya pola

penyerapan anggaran. Sampai 31 Oktober 2012 realisasi belanja

negara baru 69,3 persen (Rp1.072,6 triliun dari target Rp1.548,3

triliun). Belanja pemerintah pusat terealisasi 63,7 persen

(Rp681,5 triliun dari target Rp1.069,3 triliun), sedangkan belanja

pegawai dan belanja barang terealisasi 79,4 persen (Rp168,6

triliun dari target Rp212,3 triliun) dan 46,2 persen (Rp86,2 triliun

dari target Rp186,6 triliun). Belanja modal, subsidi BBM dan

subsidi listrik masing-masing terealisasi 43,7 persen (Rp73,7

triliun dari target Rp168,7 triliun); 87,3 persen (Rp120 triliun dari

target Rp137,4 triliun); 98,4 persen (Rp63,9 triliun dari target

Rp65 triliun).

Dalam periode yang sama, realiasasi pendapatan dalam

negeri juga baru mencapai 73,3 persen (Rp995,4 triliun dari

target Rp1.357,4 triliun). Penerimaan perpajakan dan

penerimaan negara bukan pajak terealisasi sekitar 75,6 persen

(Rp767,8 triliun dari target Rp1.016,2 triliun) dan 66,7 persen

(Rp227,6 triliun dari target Rp341,1 triliun). Satu bagian penting

dari sektor fiskal adalah penyerapan anggaran yang rendah.

14

1.6.1.6.1.6.1.6. Kinerja Investasi Kinerja Investasi Kinerja Investasi Kinerja Investasi

Data dari Badan Koordinasi dan Penanaman Modal

(BKPM) selama Januari - September 2012 menunjukkan realisasi

Investasi mencapai Rp 229,9 triliun. Pencapaian ini diklaim

mencatat rekor tertinggi dalam sejarah perekonomian Indonesia.

Apalagi prestasi ini dicapai di saat kondisi perekonomian dunia

sedang mengalami krisis. Sayangnya pertumbuhan investasi

masih didominasi oleh investasi asing. Realisasi investasi asing

(PMA) di luar investasi Migas, Perbankan, Lembaga Keuangan

Non Bank, Asuransi, Sewa Guna Usaha dan Industri Rumah

Tangga mencapai Rp 164,2 triliun. Total PMA yang ditergetkan

sampai akhir 2012 sebesar Rp 206,8 triliun, jadi tinggal tersisa

Rp 42,6 triliun untuk mencapai target tersebut. Target tersebut

sangat mungkin bisa dicapai, mengingat sampai saat ini sudah

79 persen dana yang ditargetkan telah didapatkan. Sementara

investasi dalam negeri (PMDN) hanya mencapai Rp 65,7 triliun.

Pada Triwulan III 2012, Penanaman Modal Asing (PMA)

mencapai USD 6,3 miliar, naik 21,73 persen (yoy). Menurut

besaran proyek, sektor primer menciptakan 259 proyek (21

persen); sektor sekunder dan tersier masing-masing 419 proyek

(33,98 persen); dan 555 proyek (45 persen). Pertumbuhan nilai

PMA pada sektor sekunder selama Triwulan III 2012 mencapai

62,29 persen, sedangkan pertumbuhan proyek mengalami

kontraksi sebesar 11,04 persen (yoy). Pertumbuhan nilai PMA

pada sektor primer sebesar 14,32 persen (yoy), sedangkan untuk

sektor tersier mengalami pertumbuhan negatif sebesar 12,13

persen (yoy). Sementara itu, pertumbuhan proyek pada sektor

primer dan sektor tersier masing-masing adalah 7,92 persen

(yoy) dan 5,71 persen (yoy).

15

Kondisi yang berbeda terjadi pada PMDN. Realisasi

PMDN sebesar 69,43 persen berada pada sektor sekunder dan

17,39 persen lainnya pada sektor tersier. Sektor primer

menyerap 13,17 persen. Sebanyak 48,18 persen proyek PMDN

berada pada sektor sekunder sedangkan sektor primer dan tersier

masing-masing 32 persen dan 19,80 persen. Penyebaran proyek

PMDN pada sektor primer terutama pada subsektor tanaman

pangan dan perkebunan mengambil porsi 7,69 persen dari total

PMDN, sedangkan pada sektor sekunder adalah industri mineral

non logam sebesar 23,48 persen dan industri makanan sebesar

18,23 persen. Dua subsektor penyerap investasi PMDN pada

sektor tersier adalah konstruksi 7,56 persen dan listrik, gas dan

air 5,38 persen.

TabelTabelTabelTabel 1.21.21.21.2. . . . Perkembangan Realisasi PMA dan PMDN Menurut Perkembangan Realisasi PMA dan PMDN Menurut Perkembangan Realisasi PMA dan PMDN Menurut Perkembangan Realisasi PMA dan PMDN Menurut

Sektor Triwulan IIISektor Triwulan IIISektor Triwulan IIISektor Triwulan III----2012201220122012

2012 : Q32012 : Q32012 : Q32012 : Q3 PangsaPangsaPangsaPangsa Pertumbuhan (yoy)Pertumbuhan (yoy)Pertumbuhan (yoy)Pertumbuhan (yoy)

PPPP NNNN PPPP NNNN PPPP NNNN

PMA (USD Juta)PMA (USD Juta)PMA (USD Juta)PMA (USD Juta)

Sektor Primer 259 1.350 21,01 21,48 7,92 14,318

Sektor Sekunder 419 3.134 33,98 49,85 -11,04 62,29

Sektor Tersier 555 1.802 45,01 28,67 5,71 -12,13

Jumlah 1.233 6.286 - - -0,24 21,73

PMDN (Rp Miliar)PMDN (Rp Miliar)PMDN (Rp Miliar)PMDN (Rp Miliar)

Sektor Primer 97 3.321 32,01 13,17 5,43 -37,61

Sektor Sekunder 146 17.503 48,18 69,43 -10,43 104,52

Sektor Tersier 60 4.385 19,80 17,39 -4,76 -13,73

Jumlah 303 25.208 - - -4,72 32,93

Sumber: Diolah dari Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2012

Keterangan: P = banyak proyek ; N = nilai proyek

16

Selanjutnya berdasarkan distribusi wilayah, nilai PMA

dan proyek masih mengikuti pola yang serupa dari periode-

periode sebelumnya, dengan dominasi Jawa. Pada Triwulan III

2012 Jawa menyerap 46,96 persen dari total proyek, sedikit

menurun dibandingkan triwulan yang sama tahun sebelumnya

66,65 persen. Sumatera menyerap nilai proyek sekitar 18,66

persen; Bali dan Nusa Tenggara 6,11 persen; Kalimantan 16,97

persen; Maluku dan Papua masing-masing 0,8 persen dan 0,15

persen. Dari sisi distribusi proyek dijelaskan sebagai berikut:

Jawa menyerap 52,88 persen dari total proyek; Sumatera 13,63

persen; Bali dan Nusa Tenggara 12,17 persen; Kalimantan 11,44

persen; Sulawesi, Maluku dan Papua masing-masing 7,54

persen; 0,97 persen dan 1,38 persen.

1.7.1.7.1.7.1.7. Sektor Luar Negeri Sektor Luar Negeri Sektor Luar Negeri Sektor Luar Negeri

Neraca Perdagangan Indonesia pada 2012 mencetak

prestasi terburuk. Sejak 2007 — 2011 neraca perdagangan

Indonesia mengalami surplus. Bahkan pada saat krisis ekonomi

sedang melanda dunia 2008, neraca perdagangan Indonesia

masih surplus US$7.832 juta. Namun, Oktober 2012, kondisi

neraca perdagangan Indonesia telah mencapai titik terparah

dengan mencapai defisit sebesar US$516,1 juta (BPS, 2012).

Defisit neraca perdagangan pada periode Januari-

Oktober 2012 lebih disebabkan oleh hantaman pada sektor

migas yang mengalami defisit sebesar US$3.159,2 juta atau

turun sebesar 465.1 persen dibanding periode yang sama pada

2011. Selain itu, defisit neraca perdagangan juga disebabkan

oleh penurunan ekspor nonmigas sebesar 3,42 persen

dibanding September 2012 atau turun 5,7 persen dibanding

periode Januari-Oktober 2011. Di saat yang bersamaan nilai

17

impor justru meningkat signifikan, yaitu sebesar 12,35 persen

dibanding September 2012 atau meningkat 11,10 persen

dibanding periode yang sama pada 2011. Walaupun selama

periode Januari - Oktober 2012 neraca perdagangan sektor

nonmigas tercatat masih surplus sebesar US$2.643,1 juta,

namun tidak cukup untuk menutupi besarnya defisit pada sektor

migas, sehingga penurunan neraca perdagangan sebesar 102,2

persen (yoy) yang menyebabkan defisit sebesar US$516,1 juta

tidak dapat dihindari.

Tabel 1.Tabel 1.Tabel 1.Tabel 1.3. 3. 3. 3. Neraca Perdagangan Indonesia (Juta US$)Neraca Perdagangan Indonesia (Juta US$)Neraca Perdagangan Indonesia (Juta US$)Neraca Perdagangan Indonesia (Juta US$)

DeskrDeskrDeskrDeskripsiipsiipsiipsi 2007200720072007 2008200820082008 2009200920092009 2010201020102010 2011201120112011 JanuariJanuariJanuariJanuari----OktoberOktoberOktoberOktober Perubahan Perubahan Perubahan Perubahan

2011201120112011----2012 (%)2012 (%)2012 (%)2012 (%)

2011201120112011 2012201220122012

EksporEksporEksporEkspor 114.100,9 137.020,4 116.510,0 157.779,1 203.496,6 169.183,5 158.664,3 -6,22

Migas 22.088,6 29.126,3 19.018,3 28.039,6 41.477,0 34.469,3 31 631,3 -8,23

Nonmigas 92.012,3 107.894,2 97.491,7 129.739,5 162.019,6 134.714,2 127.033,0 -5,70

ImporImporImporImpor 74.473,4 129.197,3 96.829,2 135.663,3 177.435,6 145.566,0 159.180,4 9,35 Migas 21.932,8 30.552,9 18.980,7 27.412,7 40.701,5 33.604,0 34.790,5 3,53

Nonmigas 52.540,6 98.644,4 77.848,5 108.250,6 136.734,0 111.962,0 124.389,9 11,10

NeracaNeracaNeracaNeraca 39.627,5 7.823,1 19.680,8 22.115,8 26.061,1 23.617,5 -516.1 -102,2

Migas 155,7 -1.426,6 37,5 626,9 775,5 865,3 -3.159,2 -465,1

Nonmigas 39.471,7 9.249,7 19.643,2 21.488,9 25.285,5 22.752,2 2.643,1 -88,4

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah (2012)

Secara keseluruhan, pada 2012 tercatat Indonesia telah

mengalami lima kali defisit neraca perdagangan, yaitu pada

April (US$0,76 miliar), Mei (US$0,21 miliar), Juni (US$1,28

miliar), Juli (US$0,26 miliar) dan yang terbesar adalah Oktober

(US$1,54 miliar). Kinerja perdagangan pada 2012 ini merupakan

yang terburuk sejak krisis ekonomi 1998. Pukulan defisit neraca

perdagangan pada Oktober 2012 membuat nilai neraca

keseluruhan 2012 mengalami defisit. Ancaman defisit akan terus

berlanjut apabila Indonesia tidak segera melakukan evaluasi dan

mengambil langkah-langkah untuk meng-counter dampak dari

krisis Uni Eropa dan belum pulihnya perekonomian AS.

18

Semakin terpuruknya kinerja perdagangan Indonesia, di

samping dipengaruhi lemahnya permintaan dunia juga akibat

menurunnya daya saing Indonesia. Hal ini terlihat dari

pertumbuhan ekspor sektor industri pada periode Januari-

Oktober 2012 menurun sebesar 5,3 persen dibanding periode

yang sama tahun 2011. Padahal sektor industri selama ini

menyumbang lebih dari 60 persen terhadap total ekspor

Indonesia. Jadi apabila terjadi guncangan pada performa ekspor

sektor industri maka besar kemungkinan akan menggangu

kinerja ekspor secara keseluruhan.

Penurunan ekspor juga terjadi pada sektor pertambangan

dan migas, yaitu masing-masing sebesar 9,53 persen dan 8,23

persen dibanding periode yang sama 2011. Kontribusi kedua

sektor tersebut terhadap total ekspor mencapai 36,2 persen.

Peningkatan ekspor pada sektor pertanian sebesar 10,54 persen

(Jan-Okt 2012) seakan tidak bermakna apa-apa mengingat

kecilnya nilai kontribusi ekspor sektor ini yang tidak lebih dari 3

persen terhadap total ekspor.

Dalam perspektif sektoral, realisasi perkembangan ekspor

Indonesia selama periode 2011-2012 mengilustrasikan bahwa

ekspor produk pertanian merupakan klasifikasi produk ekspor

yang masih prospektif dikarenakan tingkat pertumbuhan yang

positif, namun perlu diingat bahwa sektor pertanian merupakan

kumpulan dari berbagai komoditas primer yang memiliki nilai

tambah (value added) rendah. Oleh sebab itu, sangat rentan

apabila terlalu mengandalkan sektor pertanian sebagai tulang

punggung ekspor.

19

Tabel Tabel Tabel Tabel 1.4. 1.4. 1.4. 1.4. Nilai Ekspor Indonesia Menurut Sektor (Juta US$)Nilai Ekspor Indonesia Menurut Sektor (Juta US$)Nilai Ekspor Indonesia Menurut Sektor (Juta US$)Nilai Ekspor Indonesia Menurut Sektor (Juta US$)

UraianUraianUraianUraian Nilai FOB (Juta US$)Nilai FOB (Juta US$)Nilai FOB (Juta US$)Nilai FOB (Juta US$) % Perubahan % Perubahan % Perubahan % Perubahan

JaJaJaJannnn----Okt 2012 Okt 2012 Okt 2012 Okt 2012

thd 2011thd 2011thd 2011thd 2011

% Peran % Peran % Peran % Peran

thd Totalthd Totalthd Totalthd Total

JanJanJanJan----Okt Okt Okt Okt

2012201220122012

JanJanJanJan----Okt Okt Okt Okt

2011201120112011

JanJanJanJan----Okt Okt Okt Okt

2012201220122012

Total EksporTotal EksporTotal EksporTotal Ekspor 169.183,5 158.664,3 -6,22 100

MigasMigasMigasMigas 34.469,3 31.631,3 -8,23 19,94

NonmigasNonmigasNonmigasNonmigas 134.714,2 127.033,0 -5,70 80,06

- Pertanian 4.219,5 4.664,3 10,54 2,94

- Industri 101.973 96.565,1 -5,30 60,86

- Pertambangan dan Lainnya 28.521,7 25.803,6 -9,53 16,26

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012

Selain karena penurunan kinerja ekspor, defisit neraca

perdagangan Indonesia juga disebabkan karena lonjakan impor.

Nilai impor Indonesia pada Oktober 2012 mencapai

US$17.214,3 juta atau naik US$1.865,7 juta (12,16 persen)

dibanding impor September 2012. Hal tersebut dipicu oleh

kenaikan impor nonmigas sebesar US$1.470,6 juta (12,35

persen) dan juga kenaikan impor migas sebesar US$395,1 juta

(11,48 persen). Lebih lanjut peningkatan impor migas

disebabkan oleh naiknya impor minyak mentah dan hasil

minyak masing-masing sebesar US$294,9 juta (37,86 persen)

dan US$79,7 juta (3,24 persen). Sementara itu, impor migas dari

golongan gas juga mengalami peningkatan 10,01 persen atau

US$20,5 juta.

Selama Januari - Oktober 2012, nilai impor Indonesia

mencapai US$159.180,4 juta. Hal ini berarti impor Indonesia

mengalami peningkatan sebesar US$13.614,4 juta atau 9,35

persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun

sebelumnya. Peningkatan terjadi pada impor migas sebesar

US$1.186,5 juta atau 3,53 persen. Sementara itu, impor non

migas juga meningkat sebesar US$12.427,9 juta atau 11,10

20

persen. Secara lebih rinci peningkatan impor migas lebih

disebabkan oleh peningkatan impor minyak mentah dan gas

masing-masing sebesar US$144,0 juta (1,62 persen) dan

US$1.278,3 juta (109,51 persen). Sebaliknya, impor hasil

minyak turun US$235,8 juta atau 1,00 persen.

Struktur impor selama 2012 tidak banyak mengalami

perubahan dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya.

Impor bahan baku dan penolong untuk industri memberikan

peranan terbesar, yaitu 73,04 persen atau dengan nilai

US$116.270,8 juta. Diikuti oleh impor barang modal sebesar

20,02 persen (US$31.862,4 Juta) dan impor barang konsumsi

sebesar 6,94 persen (US$ 11.047,2 juta).

Tabel Tabel Tabel Tabel 1111....5.5.5.5. Impor Indonesia Menurut Kelompok Penggunaan Impor Indonesia Menurut Kelompok Penggunaan Impor Indonesia Menurut Kelompok Penggunaan Impor Indonesia Menurut Kelompok Penggunaan

BarangBarangBarangBarangNilai Impor, CIF (Juta US$)Nilai Impor, CIF (Juta US$)Nilai Impor, CIF (Juta US$)Nilai Impor, CIF (Juta US$)

Penggunaan Penggunaan Penggunaan Penggunaan Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok BarangBarangBarangBarang

Nilai Impor, CIF (Juta US$)Nilai Impor, CIF (Juta US$)Nilai Impor, CIF (Juta US$)Nilai Impor, CIF (Juta US$) Perubahan (%)Perubahan (%)Perubahan (%)Perubahan (%) Peran Peran Peran Peran thd thd thd thd

Impor Impor Impor Impor JanJanJanJan————Okt Okt Okt Okt 2012201220122012 (%)(%)(%)(%)

SeptSeptSeptSept....

2012201220122012

OktOktOktOkt....

2012201220122012

JanJanJanJan----Okt Okt Okt Okt

2011201120112011

JanJanJanJan----Okt Okt Okt Okt

2012201220122012

Okt Okt Okt Okt thd thd thd thd Sep Sep Sep Sep

(2012)(2012)(2012)(2012)

JanJanJanJan----Okt Okt Okt Okt ’12 thd 12 thd 12 thd 12 thd JanJanJanJan----Okt Okt Okt Okt

’11111111

Total Impor 15.348,6 17.214,3 145.566,1 159.180,4 12,16 9,35 100,0

Barang

Konsumsi 1.082,6 1.058,0 11.195,7 11.047,2 -2,27 -1,33 6,94

Bahan baku

dan

penolong

11.466,9 12.848,1 108.225,3 116.270,8 12,05 7,43 73,04

Barang

Modal 2.799,1 3.308,2 26.145,1 31.862,4 18,19 21,87 20,02

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012

Jika dibandingkan periode sebelumnya, maka selama

Januari - Oktober nilai impor untuk kelompok bahan baku dan

penolong dan barang modal mengalami peningkatan. Impor

bahan baku dan penolong untuk industri meningkat 7,43 persen

dan impor barang modal meningkat sebesar 21,87 persen. Di

21

lain hal impor barang konsumsi mengalami penurunan sebesar

1,33 persen.

Ironisnya, walaupun terjadi peningkatan pada impor

bahan baku dan penolong untuk industri, namun tidak diikuti

dengan peningkatan ekspor sektor industri. Ekspor sektor industri

justru menurun di saat impor bahan baku dan penolong

meningkat dengan pangsa yang semakin besar, khususnya pada

September - Oktober 2012. Hal ini menunjukkan bahwa sektor

industri dalam negeri tidak mampu mengembalikan produk yang

telah diimpor -sebagai input industri- dalam bentuk ekspor

barang jadi.

1.8.1.8.1.8.1.8. Pengangguran dan KePengangguran dan KePengangguran dan KePengangguran dan Kemiskinanmiskinanmiskinanmiskinan

Tingginya pertumbuhan ekonomi ternyata tidak diikuti

oleh tingkat kesejahteraan masyarakat secara signifikan.

Terbukti, hingga Agustus 2012 jumlah pengangguran masih 7,24

juta orang; jumlah penduduk miskin masih sebanyak 29,13 juta

orang; serta indeks Rasio Gini naik dari 0,33 pada 2004

menjadi 0,41 pada 2011, yang menggambarkan pertumbuhan

ekonomi yang dicapai masih bersifat eksklusif, yang didorong

dan dinikmati golongan tertentu saja.

Tingkat Pengangguran Terbuka/TPT per Agustus 2012

menjadi 6,14 persen turun dari dari 6,32 persen per Februari

2012. Hanya saja porsi tenaga kerja informal masih sangat

dominan sekitar 62,7 persen. Perhitungan orang bekerja pun

masih memunculkan perdebatan yang mengkalkulasi

berdasarkan lama kerja satu jam dalam seminggu terakhir

(negara lain minimal 15 jam dalam seminggu). Belum lagi

masalah maraknya tenaga kerja outsourcing yang seringkali

mengesampingkan hak-hak karyawan.

22

Sampai Maret 2012, jumlah penduduk miskin turun

menjadi 29,13 juta (turun dari 30,02 juta per Maret 2011). Dari

segi persentase, tingkat kemiskinan per Maret menjadi 11,96

persen membaik dari 12,49 persen. Persentase penduduk miskin

menurut wilayah adalah sebagai berikut: Jawa (11,56 persen);

Sumatera (12,07 persen); Kalimantan (6,69 persen); Sulawesi

(11,78 persen); Bali dan Nusa Tenggara (15,11 persen); serta

Maluku dan Papua (24,77 persen).

23

BAB 2

Perkembangan Ekonomi GlobalPerkembangan Ekonomi GlobalPerkembangan Ekonomi GlobalPerkembangan Ekonomi Global

2.1. 2.1. 2.1. 2.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi GlobalPerkembangan Pertumbuhan Ekonomi GlobalPerkembangan Pertumbuhan Ekonomi GlobalPerkembangan Pertumbuhan Ekonomi Global

Perkembangan ekonomi global sepanjang 2012 masih

dihadapkan pada perlambatan pemulihan krisis negara-negara

utama dunia. Kondisi di negara maju digambarkan masih terbelit

tingginya beban utang pemerintah, proses penyesuaian neraca

perusahaan, serta lambannya pemulihan fungsi sektor keuangan.

Peranan stimulus fiskal juga semakin menipis sehingga

pemulihan ekonomi lamban dan mendorong lonjakan angka

pengangguran.

Dari sisi kebijakan moneter, sebagian besar negara-

negara maju masih melanjutkan kebijakan yang bersifat

akomodatif. Dua kebijakan yang popular sepanjang 2012 adalah

kebijakan memertahankan suku bunga kebijakan rendah serta

kebijakan penggelontoran dana ke perekonomian melalui

quantitative easing. Kebijakan suku bunga rendah dapat

dilanjutkan karena meredanya inflasi dari sektor energi. Harga

minyak mentah masih bergerak di bawah asumsi negara-negara

di dunia sehingga mengurangi potensi lonjakan inflasi. Selain itu

tekanan dari harga komoditas pangan juga cenderung kecil

meski dalam beberapa bulan mengalami tekanan berarti.

24

Fed Fund rate hingga Triwulan III-2012 stabil pada level

0,25 persen. Angka tersebut tidak bergerak sejak 2008.

Sementara Selic rate (Brazil) menurun menjadi 7,5 persen dari

posisi 8,5 persen pada Triwulan II-2012. Refinancing rate

(kawasan Eropa) pada Triwulan III-2012 menyusut sekitar 0,25

persen dari periode sebelumnya, menjadi 0,75 persen sedangkan

bank rate (Inggris) sebesar 0,5 persen. Persis dengan AS, suku

bunga acuan di Inggris tidak bergerak sejak 2009. Fenomena

yang serupa juga terjadi pada negara-negara Asia. China

mengoreksi lending rate menjadi 6 persen pada Triwulan III-

2012 dari posisi 6,31 persen. Reserve repo rate India stabil pada

angka 8 persen untuk mengakomodasi tekanan inflasi yang

masih tinggi. Jepang (O/N call target) dan Korea (call rate)

memiliki suku bunga acuan 0,1 persen dan 3 persen. Suku

bunga acuan Jepang stabil sejak 2009. BI rate (Indonesia) pada

akhir Triwulan III-2012 mencapai 5,75 persen sedangkan

Malaysia (O/N rate), Filipina (O/N rate) dan Thailand (Repo rate)

masing-masing 3 persen; 3,75 persen; dan 3 persen.

Pada bagian lain eksekusi kebijakan quantitative easing

dilakukan oleh beberapa negara di Uni Eropa/UE, Amerika

Serikat/AS, dan Jepang. Bank Indonesia (2012) mewartakan pada

6 September 2012 European Central Bank/ECB

mengimplementasikan program sejenis quantitative easing

bernama Outright Monetary Transactions/OMTs sedangkan AS

melanjutkan program sejenis untuk jilid III pada 13 September

2012. Program kali ini berupa pembelian aset pasar keuangan

berdurasi panjang. Pada 19 September 2012, bank sentral

Jepang (BOJ) meningkatkan program Asset Purchase Program

sebesar 10 Triliun Yen. Dana tersebut terutama diarahkan untuk

pembelian surat utang pemerintah.

25

Negara-negara pasar berkembang (emerging markets)

yang selama ini menjadi penopang pemulihan ekonomi global

turut tertarik dalam perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Tekanan tersebut terutama muncul dari perlambatan ekspor dan

impor serta kecenderungan penurunan aliran dana asing.

Pertumbuhan ekonomi yang rendah dan ketidakpastian negara-

negara maju berpengaruh signifikan terhadap kinerja ekonomi

negara emerging markets dan negara berkembang melalui jalur

perdagangan dan keuangan.

Data neraca transaksi berjalan beberapa negara telah

menunjukan defisit. Angka defisit yang terbentuk pada 2012

diproyeksi telah menembus ambang batas aman 3 persen. Dua

negara yang mengalami kondisi demikian adalah Australia (4,6

persen menjadi 5,1 persen pada 2013) dan India (3,9 persen

menjadi 3,5 persen pada 2013). Selain Australia dan India yang

mencetak defisit neraca transaksi berjalan pada 2012, Indonesia

dan Vietnam diperkirakan mengalami kondisi serupa dengan

angka masing-masing 0,4 persen dan 0,6 persen. Pada 2013,

defisit neraca transaksi berjalan Indonesia dan Vietnam

diprognosa menembus 1 persen dan 2,6 persen.

Penguatan peranan perekonomian internal menjadi salah

satu upaya negara-negara emerging markets untuk menahan

perlambatan pertumbuhan ekonomi. Dari empat negara dengan

jumlah penduduk terbesar, tiga di antaranya merupakan negara

emerging markets sehingga memungkinkan untuk memacu

sektor konsumsi domestik. China berpenduduk 1,354 miliar;

India 1,214 miliar; Amerika Serikat 317,6 juta; dan Indonesia

233 juta (World Economic Forum, 2012). Sayangnya, upaya

tersebut tidak sepenuhnya berhasil karena besarnya integrasi

ekspor dalam struktur PDB negara-negara emerging market.

Sejak krisis keuangan global, yang diikuti dengan krisis utang di

26

Eropa permintaan ekspor dari negara-negara emerging market

menurun signifikan. Kinerja ekspor tertekan semakin dalam

karena penurunan harga komoditas internasional.

Defisit fiskal dunia negara maju diproyeksi sekitar 5,9

persen dari Produk Domestik Bruto/PDB hingga akhir 2012,

sedangkan pada 2013 sekitar 4,9 persen. Proyeksi fiskal negara-

negara maju pada 2012 adalah sebagai berikut: Amerika Serikat

(-8,7 persen); Uni Eropa (-3,3 persen); Perancis (-4,7 persen);

Jerman (-0,4 persen); Mesir (-7,5 persen); Irlandia (-8,3 persen);

Portugal (-5,0 persen); Jepang (-10 persen); Inggris (-8,2 persen)

dan Kanada (-3 persen). Sementara kondisi fiskal emerging

market relatif lebih aman. Defisit fiskal emerging market

diperkirakan 1,9 persen; Asia 2,9 persen; China 1,3 persen; dan

India lebih buruk pada level 9,5 persen (International Monetary

Fund/IMF, 2012).

Indikator pertumbuhan PDB riil 2012 diproyeksi

cenderung memburuk pada beberapa negara utama dunia, tetapi

cenderung membaik pada 2013. IMF (2012) memerkirakan PDB

riil AS pada akhir 2012 mencapai 2,2 persen, sedangkan UE

masih berkontraksi hingga -0,4 persen. Survei keyakinan

konsumen AS sempat membaik (dari 68,4 persen Oktober

menjadi 72,2 per November) sejalan dengan pesta demokrasi

yang memenangkan incumbent. Ekonomi Jepang pada 2012

diprognosa naik 2,2 persen dengan tingkat pengangguran 4,5

persen. Perbaikan kinerja ekonomi Jepang sejalan dengan

pemulihan pascagempa pada beberapa provinsi utama di Jepang

seperti Kanto Region di sekitar Tokyo. Provinsi ini menyumbang

40 persen terhadap PDB Jepang.

27

Tabel Tabel Tabel Tabel 2.1. 2.1. 2.1. 2.1. Perkembangan PDB Riil, Inflasi, dan Tingkat Perkembangan PDB Riil, Inflasi, dan Tingkat Perkembangan PDB Riil, Inflasi, dan Tingkat Perkembangan PDB Riil, Inflasi, dan Tingkat

Pengangguran TerbukaPengangguran TerbukaPengangguran TerbukaPengangguran Terbuka

PDB Riil (%)PDB Riil (%)PDB Riil (%)PDB Riil (%) Inflasi (%) Inflasi (%) Inflasi (%) Inflasi (%) %TPT%TPT%TPT%TPT

2011201120112011 2012201220122012 2013201320132013 2011201120112011 2012201220122012 2013201320132013 2011201120112011 2012201220122012 2013201320132013

Amerika Serikat 1,8 2,2 2,1 3,1 2 1,8 9 8,2 8,1

Uni Eropa 1,4 -0,4 0,2 2,7 2,3 1,6 10,2 11,2 11,15

Jerman 3,1 0,9 0,9 2,5 2,2 1,9 6 5,2 5,3

Perancis 1,7 0,1 0,4 2,1 1,9 1 9,6 10,1 10,5

Italia 0,4 -2,3 -0,7 2,9 3 1,8 8,4 10,6 11,1

Spanyol 0,4 -1,5 -1,3 3,1 2,4 2,4 21,7 24,9 25,1

Belanda 1,1 -0,5 0,4 2,5 2,2 1,8 4,4 5,2 5,7

Portugal -1,7 -3 -1 3,6 2,8 0,7 12,7 15,5 16

Inggris 0,8 -0,4 1,1 4,5 2,7 1,9 8 8,1 8,1

Jepang -0,8 2,2 1,2 -0,3 0 -0,2 4,6 4,5 4,4

China 9,2 7,8 8,2 5,4 3 3 4,1 4,1 4,1

Singapura 4,9 2,1 2,9 5,2 4,5 4,3 2 2,1 2,1

Indonesia 6,5 6 6,3 5,4 4,4 5,1 6,6 6,2 6,1

Thailand 0,1 5,6 6 3,8 3,2 3,3 0,7 0,7 0,7

Malaysia 5,1 4,4 4,7 3,2 2 2,4 3,1 3,1 3

Filipina 3,9 4,8 4,8 4,7 3,5 4,5 7 7 7

Sumber: Diolah dari International Monetary Fund, 2012

2012 dan 2013 adalah proyeksi

Kawasan Uni Eropa/UE berkutat pada pemburukan

sovereign debt crisis (risiko yang menunjukkan persepsi pelaku

pasar terhadap perekonomian domestik), terutama di Spanyol

dan Italia. Masalah tersebut bermuara pada kinerja sektor

keuangan di UE secara menyeluruh melalui ketersediaan

likuiditas dan ketidakmampuan membayar utang (insolvency).

Upaya mengangkat UE dari kubangan krisis telah banyak

dilakukan oleh pemimpin di negara pengguna Euro tersebut.

Pada pertemuan European Council di Brussels per 29 Juni 2012

28

dirumuskan berbagai langkah untuk mengatasi krisis dan

meningkatkan tata kelola di UE.

Secara rinci beberapa persoalan yang dibahas dalam

pertemuan tersebut adalah krisis utang, kelemahan sektor

keuangan, pertumbuhan yang rendah, ketidakseimbangan

makroekonomi, memperlambat pemulihan ekonomi dan

menciptakan risiko stabilitas. Kesemua hal tersebut diarahkan

untuk menekan tingkat pengangguran di kawasan tersebut. Data

ECB Calculation Eurostat Data menunjukkan tingka

pengangguran di UE mencapai 11,6 persen pada September

2012 naik dari 11,2 persen per April 2012. IMF memroyeksi

PDB riil UE masih terkoreksi 0,4 persen dengan tingkat inflasi

2,3 persen. Tingkat Pengangguran Terbuka per 2012 masih di

atas 10 persen.

Pemulihan ekonomi EU diperkirakan masih jauh dari

kenyataan. Jerman dan Perancis sebagai dua negara penopang

ekonomi kawasan tersebut mengalami perlambatan performa.

Data publikasi Biro Statistik Jerman (2012) menunjukkan

pertumbuhan ekonomi Jerman hingga Triwulan III-2012 yang

hanya naik 0,2 persen (yoy). Pertumbuhan ekspor Jerman

semakin melambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan

impornya. Sementara kontribusi perekonomian domestik relatif

solid dengan dukungan sektor konsumsi.

Dalam publikasi Nielsen Global Survey of Consumer

Confidence and Spending Intentions (2012) per Triwulan I-2012

tingkat kepercayaan konsumen Jerman relatif membaik pada

level 90 persen masih berada di bawah level optimis. Angka

tersebut setara dengan Israel (89), Selandia Baru (91), Argentina

(91), dan Pakistan (91). Dalam publikasi Nielsen ditampikan juga

beberapa negara dengan tingkat kepercayaan konsumen terbaik

29

yaitu India (123); Saudia Arabia (119); Indonesia (118); Hong

Kong (103); United Arab Emirates (105); Malaysia (107);

Thailand (107) dan Peru (101).

Spanyol sebagai salah satu biang krisis EU semakin

tertekan sejalan dengan penurunan peringkat utang jangka

panjang oleh Moody Investor Service per 25 Juni 2012. The

Economist (2012) menjelaskan bahwa pada 20 Mei imbal hasil

obligasi Pemerintah Spanyol di atas 6,6 persen, di mana level

tersebut telah setara dengan Yunani, Irlandia dan Portugal.

Rating obligasi Pemerintah Spanyol turun dari A3 menjadi Baa3.

Bersamaan dengan itu Moody juga menurunkan peringkat

deposit 28 bank Spanyol. Kondisi tersebut semakin buruk sebab

sebagian besar perusahaan Spanyol dan semua bank di negara

tersebut telah terputus dengan dukungan dana asing. Indeks

kepercayaan konsumen Spanyol turun memburuk menjadi 53

per Triwulan I-2012. Level tersebut setara dengan Hungaria (32);

Mesir (37); Portugal (39); Kroasia (45); Italia (45); Korea Selatan

(49); Perancis (50); Jepang (58); Rumania (60); Polandia (64) dan

Irlandia (64).

Data Bureau of Economic Analysis US Department of

Commerse (2012) mewartakan Triwulan III-2012 pertumbuhan

PDB Riil AS mencapai 2 persen membaik dari 1,3 persen dari

triwulan sebelumnya. Pertumbuhan dari sisi konsumsi didukung

oleh peningkatan pada barang-barang tahan lama seperti sepeda

motor dan spare part. Pengeluaran pertahanan pemerintah juga

meningkat selama periode berjalan terutama anggaran

pertahanan. Sektor ekspor masih mengalami penurunan berarti

sehingga memperlebar defisit transaksi berjalan AS.

Program quantitative easing pada Triwulan III sebesar

US$40 miliar diarahkan stimulus penciptaan lapangan kerja.

30

Angka quantitative easing paruh ketiga ini relatif lebih rendah

dari fase pertama dan kedua. Pada bagian lain, AS berencana

mengambil kebijakan jurang fiskal (fiscal cliff) yang merupakan

kombinasi kebijakan penghematan anggaran dan peningkatan

pajak. Jika rencana tersebut dieskekusi maka secara nyata akan

terjadi pemangkasan anggaran. Implikasinya bukan hanya

mempelambat pemulihan ekonomi AS tetapi ekonomi global.

Walaupun kondisi ekonomi AS, baik sedang berjalan maupun

proyeksi, semakin menurun tetapi peranannya sebagai motor

ekonomi dunia masih sangat dominan. Pada 2011 misalnya, AS

menghimpun US$15.094 miliar PDB atau mengisi 19,13 dari

PDB dunia.

Sampai Oktober 2012 tingkat pengangguran di AS

mencapai 7,9 persen membaik dari bulan yang sama pada tahun

sebelumnya sekitar 8,9 persen. Angka pengangguran tersebut

berpotensi melonjak sejalan dengan badai Shandy yang

memukul salah satu negara bagian di AS. New York menjadi

bisnis utama AS yang menjadi pusat-pusat keuangan AS dan

bank-bank ternama dunia. IMF memprognosa pertumbuhan

ekonomi AS per 2012 mencapai 2,2 persen dan 2,1 persen pada

2013.

Tingkat inflasi AS hingga akhir Oktober cenderung

menurun mengikuti pola yang serupa dengan negara lain.

Kestabilan harga energi, terutama harga minyak, dapat menekan

inflasi AS di bawah target jangka panjang 2 persen. Sampai

Oktober inflasi AS sekitar 2,2 persen. Meski optimisme

perekonomian AS muncul sejak pemilihan umum tetapi

beberapa faktor turut mengancam akselerasi yang terjadi. Selain

bersumber dari kerentanan sektor tenaga kerja dan properti,

dampak penyebaran krisis Eropa yang menjadi salah satu mitra

31

dagang AS diperkirakan masih menekan ekonomi negara

adidaya tersebut.

Ekspektasi yang begitu besar terhadap perekonomian

China sebagai salah satu penopang pemulihan ekonomi dunia

semakin redup. Pada Triwulan III-2012 ekonomi berpenduduk

terbesar di dunia ini ‘hanya’ tumbuh 7,4 persen jauh dari

proyeksi ekonom dunia pada kisaran 8 persen. Angka tersebut

terendah dalam tiga tahun terakhir. Perlambatan ini bukan hanya

disebabkan oleh lambannya pemulihan krisis di AS dan UE,

tetapi penurunan kinerja ekonomi kelompok BIRC lainnya

(Brasil, Rusia, dan India). Sektor ekspor sebagai kekuatan utama

China belum bergerak leluasa sedangkan sektor impor tertekan

karena penurunan permintaan domestik.

Indeks manufaktur China per Oktober 2012 naik

melambat menjadi 50,2 dari posisi 49,2 pada bulan sebelumnya.

Sepanjang 2011 indeks manufaktur tertinggi pada April 53,3.

Perbaikan indeks manufaktur tersebut salah satunya didukung

oleh perbaikan indeks produksi menjadi 52,1 dari 50,9 per

September. Perbaikan juga terjadi pada new orders index (50,4

naik dari 48,7) meski dalam level moderat; main raw materials

inventory index (47,3 naik dari 45,1); employed person index

(49,2 naik dari 49,1) dan supplier delivery time index (50,1 naik

dari 50).

Indeks ekpektasi konsumen (customer expectation

index); indeks kepuasan konsumen (consumer satisfaction index)

dan indeks kepercayaan konsumen (consumer confidence index)

cenderung membaik. Pada September 2012 indeks ekspektasi

konsumen berada pada level optimis 104, naik dari 103,7 pada

bulan sebelumnya, sedangkan indeks kepercayaan konsumen

pada level 100,8. Sementara itu, indeks kepuasan konsumen 4

32

level di bawah level optimis (National Bureau of Statistics of

China, 2012).

Sektor investasi turut melambat terutama dari investasi

asing sejalan dengan pengetatan regulasi pada sektor properti.

Regulasi tersebut secara nyata berdampak pada lonjakan harga

dan penurunan supply lahan (Bank Indonesia, 2012). Penyaluran

kredit yang begitu massif sejak beberapa tahun terakhir mulai

memberikan pengaruh nyata bagi China karena besarnya tingkat

kredit macet. China Banking Regulatory Commission

menjelaskan kredit macet, terutama lembaga pemberi pinjaman,

bank perkreditan rakyat, dan bank swasta asing.

Deloitte China Financial Services Industry Center of

Excellence (2012) telah memprediksi lonjakan kredit macet

dengan memfokuskan pada penyebab dari kegagalan (default)

pembiayaan pemerintah lokal. Lembaga ini menjelaskan dua

penyebab utama kegagalan pembiayaan tersebut, yaitu (i)

macetnya pembiayaan pada pemerintah lokal dalam jumlah

besar yang disebabkan kesalahan proyeksi penerimaan dan

pengeluaran selama 2010, dan (ii) dari sekitar 10 ribu jenis

pembiayaan sekitar 70 persen terdistribusi pada pemerintah

lokal yang relatif memiliki sumber pendapatan terbatas sehingga

mengancam pengembalian pinjaman. Perbaikan inflasi China

sejalan dengan kondisi negara lain karena penurunan harga

komoditi dan meredanya inflasi makanan. Tingkat pengangguran

China masih terjaga pada level 4,1 persen. Level tersebut masih

jauh dari ambang batas 4,6 persen sebagai target pemerintah

China.

Penurunan performa perekonomian juga dialami India.

Perlambatan perekonomaian negara dengan penduduk terbesar

kedua di dunia ini turut dipengaruhi pemburukan krisis UE.

33

Secara fundamental, dua masalah utama yang memengaruhi

kinerja India adalah tingginya angka inflasi serta defisit neraca

dan transaksi berjalan. Penurunan ekspor ke UE yang diikuti

dengan lonjakan impor menyebabkan defisit perdagangan India

menembus US$16,4 miliar per Triwulan III-2012 dari level

US$13,7 miliar pada triwulan sebelumnya. Inflasi India

(tergambar dari perubahan indeks harga perdagangan besar)

menembus 7,8 persen sebagai dampak dari penyesuaian harga

bahan bakar pada September.

2.2. 2.2. 2.2. 2.2. Perkembangan Sektor Keuangan InternasionalPerkembangan Sektor Keuangan InternasionalPerkembangan Sektor Keuangan InternasionalPerkembangan Sektor Keuangan Internasional

Perkembangan pasar keuangan global masih diwarnai

ketidakpastian karena tingginya volatilitas dan risiko di negara

maju. Sistem keuangan yang belum berfungsi secara baik dan

efisien berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi secara

menyeluruh. Dalam laporan Global Financial Stability IMF per

Oktober 2012 dijelaskan bahwa masalah sektor keuangan

Spayol (bank, asuransi, hingga perusahaan) telah menghabiskan

cadangan likuiditas dari negara-negara periferal UE. Kondisi

tersebut diperburuk dengan peningkatan soverign risk di Spanyol

dan Italia. Menanggapi hal tersebut konferensi tingkat tinggi di

UE mempertimbangkan €100 miliar untuk restrukturisasi sektor

perbankan dan pembiayaan Spanyol.

Beberapa indikator perbankan negara-negara maju

belum membaik. Rasio modal (tier 1) Mesir per Triwulan I-2012

hanya 1,5 persen; Irlandia 16,2 persen; Italia 9,5 persen;

Portugal 9,1 persen; dan Spanyol 10,5 persen. Indikator tersebut

di Asia relatif lebih baik seperti Korea 10,2 persen; Singapura

13,6 persen; dan Jepang 12,3 persen. Rasio modal ini di AS

mencapai 13,4 persen per Triwulan II-2012. Sementara itu gross

34

non performing loan di Mesir mencapai 20,2 persen; Irlandia

19,1 persen; Italia 10,7 persen; Spanyol 5,6 persen; Amerika

Serikat 4,8 persen; Korea 1,7 persen; Singapura 1,4 persen; dan

Jepang 2,2 persen.

Aliran dana ke obligasi global semakin melonjak sejak

bergeraknya investor ke instrument safe haven (aman) dan

obligasi perusahaan berlevel tinggi. Hal tersebut dipengaruhi

oleh kombinasi dari rendahnya penyerapan risiko (risk appetite),

pelemahan pertumbuhan ekonomi (berjalan dan proyeksi), risiko

kredit yang tinggi, kerentanan sisi internal dan eksternal, dan

peningkatan risiko makroekonomi di negara-negara UE. Selain

obligasi global, investor juga mulai memupuk emas yang

menyebabkan lonjakan harga sejak Agustus 2012.

Sementara itu, kinerja bursa global masih digambarkan

dengan kemurungan karena publikasi data ekonomi negara-

negara maju belum menunjukkan perbaikan berarti. Dari

perspektif politis, secara umum masyarakat global belum

sepenuhnya meyakini langkah-langkah pemulihan ekonomi

yang diretas oleh pemerintah negara-negara UE, terutama

Yunani. Muncul potensi terdeportasinya negara seribu dewa

tersebut dari kelompok penggunan Euro sehingga investor

mengurangi koleksi saham negara-negara di UE.

Perlambatan kinerja pasar keuangan, terutama saham,

juga didorong oleh sentimen negatif akibat pemotongan credit

rating Jepang Fitch akhir Mei 2012. Keputusan tersebut dimotori

oleh peningkatkan profil risiko kredit Jepang sebab pemburukan

rasio utang publik negara sakura tersebut. Kondisi fiskal Jepang

juga mengalami penurunan sehingga berpengaruh besar

terhadap kepercayaan investor. Meski secara umum tertekan,

perkembangan pasar saham global sempat rebound karena dua

35

hal: (i) kosensus pemimpin Eropa dan bank sentral di dunia

untuk mendukung penyelesaian krisis di Eropa; dan (ii) stimulus

fiskal dan penurunan suku bunga acuan China untuk mendorong

pertumbuhan ekonomi yang melambat.

Sentimen negatif terhadap kondisi UE memengaruhi

saham di emerging market Asia, seperti China, Korea, India, dan

Indonesia dalam beberapa transaksi. Kontras dengan itu

performa saham beberapa negara ASEAN, seperti Filipina dan

Thailand, relatif baik selama paruh kedua 2012. Optimisme

terhadap penanganan banjir Thailand memberikan sinyal positif

bagi kinerja sahamnya. Perbaikan kinerja saham Filipina sejalan

dengan perbaikan rating kredit oleh Moody per 29 Oktober

2012 menjadi outlook stabil.

Dalam publikasinya Moody menaikkan peringkat Filipina

untuk rating foreign dan local currency long-term bond ratings

of the Government of the Philippines dari Ba2 menjadi Ba1.

Moody merinci tiga faktor yang mendorong perbaikan tersebut

yaitu: (i) perbaikan kinerja ekonomi dan penerimaan fiskal di

tengah-tengah pemburukan permintaan global; (ii) perbaikan

prospek pertumbuhan ekonomi Filipina jangka menengah; dan

(iii) relatif stabilnya sistem keuangan stabil Filipina sehigga dapat

meminimalisasi risiko dan relatif tersedianya sumber

pembiayaan pemerintah.

Kondisi pasar obligasi tidak jauh berbeda dengan pasar

saham yang dipengaruhi oleh pemburukan kinerja ekonomi

negara-negara maju. Aksi flight to quality tidak dapat dihindari

sehingga memerburuk pasar keuangan negara-negara periferal

UE, terutama Yunani, Spanyol, dan Italia. Penurunan peringkat

perbankan terutama di Spanyol berdampak negatif terhadap

pergerakan pasar keuangan negara tersebut.

36

2.32.32.32.3. . . . Perkembangan Komoditas InternasionalPerkembangan Komoditas InternasionalPerkembangan Komoditas InternasionalPerkembangan Komoditas Internasional

Penurunan permintaan global terhadap sejumlah

komoditas dunia -di tengah-tengah kelebihan penawaran dari

negara-negara produsen utama- berdampak pada penurunan

harga sejak awal bulan hingga pertengahan 2012. Pemburukan

produksi manufaktur China secara signifikan menyusutkan

permintaannya terhadap batubara sebagai salah satu input

produksi. Selain industri manufaktur, konsumen utama batubara

lainnya di China adalah perusahaan semen. Harga batubara

dunia per Januari 2012 sekitar US$124,78 per metric ton (proksi

Australian Thermal Coal) turun menjadi US$88,29. Level

tersebut setara dengan harga batubara 2009 saat titik puncak

krisis global. Pada Mei 2012 harga batubara masih berada pada

level US$102,69 per metric ton menyusut menjadi US$93,42

pada Juni dan US$94,54 pada Juni. Harga batubara per Oktober

2012 mencapai US$88,29 per metric ton turun dari US$127,92

per metric ton atau merosot hingga 30,98 persen (yoy).

Penurunan harga minyak lebih disebabkan ekses

produksi dan relatif meredanya spekulasi di pasar komoditas

yang bergerak ke pasar keuangan. Sampai akhir Oktober 2012,

harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate/WTI

US$89,52 per barrel turun dari US$106,15 per barrel sebagai

harga tertinggi selama Januari-Oktober 2012. Jika

dikomparasikan dengan harga minyak per Oktober 2011, harga

yang terbentuk pada Oktober 2012 meningkat 3,6 persen (yoy).

Perbaikan harga minyak memberikan stimulus terhadap

inflasi dunia. Dari prognosa IMF tergambar akan terjadinya

penurunan inflasi sejak 2012 hingga 2013. Inflasi AS

diperkirakan 2 persen pada 2012 sedangkan 2013 sekitar 1,8

persen. Kondisi serupa terjadi di UE di mana inflasi 2012

diperkirakan 2,3 persen menurun dari 2,7 persen pada 2011

37

sedangkan pada 2013 diproyeksi menyentuh 1,6 persen.

Perbaikan inflasi juga terjadi pada negara-negara Asia tetapi

dalam level yang masih tinggi dibandingkan dengan negara-

negara maju. Inflasi di China pada 2012 diperkirakan sekitar 3

persen pada 2012 dan 2013 sedangkan Singapura, Indonesia,

Thailand, dan Filipina bergerak pada level 3 persen hingga 5

persen. Pelemahan inflasi ini diharapkan berstimulus terhadap

penurunan suku bunga sehingga memberikan pengaruh baik

terhadap pemulihan ekonomi pada sejumlah negara.

Penurunan harga metal juga disulut oleh penurunan

konsumsi AS dan China sebagai konsumen utama metal dunia.

Indeks harga metal (copper, aluminum, iron ore, tin, nickel,

zinc, lead, dan uranium) per Januari 2012 sekitar 202,04 turun

menjadi 183,4 per Oktober. Secara tahunan harga metal turun

8,71 persen (yoy). Indeks harga metal sempat menyentuh level

207,1 per Februari dan setelahnya cenderung menurun.

Sumber: Diolah dari indexmundi, 2012

GGGGambar 2ambar 2ambar 2ambar 2....1.1.1.1. Perkembangan Harga Komoditas Emas, CPO, Perkembangan Harga Komoditas Emas, CPO, Perkembangan Harga Komoditas Emas, CPO, Perkembangan Harga Komoditas Emas, CPO,

Beras, Kedelai, dan BajaBeras, Kedelai, dan BajaBeras, Kedelai, dan BajaBeras, Kedelai, dan Baja

38

Penurunan harga emas sempat terjadi sejak Mei 2012

hingga Juli menjadi US$1.591,19 per troy ounce; US$1.598,76

dan US$1.589,90. Pada Januari 2012 harga emas mencapai

US$1.652,21 troy ounce naik menjadi US$1.742,14;

US$1.673,77; US$1.649,69 pada Februari hingga April. Namun

koreksi harga emas pada periode Mei hingga Juli bersifat

sementara dan masih dalam level yang cukup tipis. Dapat

dikatakan harga emas yang terbentu selama periode Mei hingga

Juli masih dalam level tinggi. Secara umum dapat dikatakan

penurunan harga emas bermula dari pelemahan permintaan

sebagai alat investasi untuk seluruh jenis emas.

Faktor yang sempat menurunkan harga emas adalah

depresiasi mata uang global terhadap US$. Hal itu menyebabkan

naiknya harga emas sehingga berdampak pada penurunan

permintaan. Penurunan harga emas mulai terhenti pada akhir

Agustus 2012 dan mulai melonjak pada dua bulan berikutnya.

Harga emas per Agustus menembus US$1.630,31 per troy ounce

naik dari US$1.589,90 dari bulan sebelumnya. Penyesuaian

harga emas ke atas terus berlangsung hingga September dan

Oktober 2012 masing-masing US$1.744,81 per troy ounce dan

US$1.746,58. Secara tahunan, harga emas per Oktober 2012

naik sekitar 4,89 persen dari bulan yang sama tahun

sebelumnya. Dampak dari ketidakpastian ekonomi global dan

pilihan instrumen investasi, emas masih menjadi pilihan jenis

investasi yang paling menguntungkan. Karakteristiknya sebagai

instrumen safe haven asset terus diburu investor menggantikan

instumen keuangan yang belum akan pulih hingga akhir 2012.

Harga komoditas kelompok pertanian mengalami

fluktuasi, tetapi cenderung terkoreksi sejak pertengahan tahun.

Harga kedelai hingga Oktober mencapai US$565,53 per metric

ton. Jika dibandingkan dengan harga per Oktober 2011, maka

terjadi kenaikan hingga 26,79 persen (yoy). Pada Januari 2012

39

harga kedelai baru US$441,73 metric ton, naik secara bertahap

hingga menembus di atas US$500 per metric ton pada April

2012. Kecenderungan lonjakan harga kedelai disebabkan

penurunan produksi di negara-negara produsen utama karena

faktor cuaca seperti di AS, Brazil, dan Argentina.

Perkembangan harga beras selama periode Juni-Agustus

cenderung melonjak karena peningkatan konsumsi dari negara-

negara muslim sejalan dengan pemenuhan pasokan untuk bulan

Suci Ramadhan dan Idul Fitri. Pada Januari 2012 harga beras

dunia baru US$541,06 per metric ton menjadi US$612,43 per

metric ton pada Mei. Pada akhir Oktober harga beras cenderung

menurun dan menjadi US$584,74 per metric ton. Angka tersebut

turun sekitar 2,89 persen (yoy).

Penurunan harga CPO telah melampaui harga terendah

dalam dua tahun terakhir. Penurunan harga tersebut selain

pengaruh spekulasi juga over supply CPO pada dua negara

produsen utama, yaitu Indonesia dan Malaysia. Excess supply

yang terjadi pada kedua negara tersebut berkenaan masuknya

musim panen sejak Agustus hingga Oktober. Stock CPO

Malaysia mendekati level 2,5 juta ton per Oktober, sedangkan

Indonesia sekitar 3 juta ton hingga 4 juta ton.

Potensi peningkatan harga CPO masih akan terjadi

karena munculnya faktor musiman seperti masuknya musim

dingin di AS dan Eropa, perayaan natal dan tahun baru. Secara

tahunan, harga CPO sampai Oktober menurun sekitar 16 persen

(yoy) dari posisi US$914,44 per metric ton menjadi US$768,09

per metric ton. Pada awal tahun hingga Mei 2012, harga CPO

masih berada di atas US$1.000 per metric ton. Level tersebut

merosot tajam pada Juni menjadi US$927,63 per metric ton dari

posisi US$1.031,12 per metric ton.

41

BAB 3

Reformulasi Kebijakan Anggaran dan Reformulasi Kebijakan Anggaran dan Reformulasi Kebijakan Anggaran dan Reformulasi Kebijakan Anggaran dan

Desentralisasi FiskalDesentralisasi FiskalDesentralisasi FiskalDesentralisasi Fiskal

Salah satu pertanyaan fundamental dari masyarakat luas

dalam pembahasan kebijakan anggaran atau kebijakan fiskal

akhir-akhir ini adalah hubungan peningkatan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan kesejahteraan

rakyat. Banyak kalangan, termasuk INDEF mengusulkan adanya

indikator-indikator kesejahteraan rakyat masuk dalam

penyusunan APBN. Hal ini dimaksudkan agar dampak dari

APBN atau peran dari stimulus fiskal terhadap peningkatan

kesejahteraan rakyat lebih memberikan dampak yang terukur.

INDEF mengusulkan beberapa indikator yang disarankan

untuk dimasukkan dalam penyusunan APBN ke depan seperti

tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran dan masalah

ketimpangan distribusi pendapatan yang dilihat dari indeks gini.

Pertama, tingkat kemiskinan dan pengangguran. Indikator ini

digunakan untuk melihat efektifitas penggunaan APBN dalam

mengurangi kemiskinan dan pengangguran di Indonesia.

Seharusnya, semakin meningkat dana APBN, semakin rendah

tingkat kemiskinan dan pengangguran (berbanding terbalik) atau

dengan kata lain kesejahteraan rakyat secara nasional

meningkat. Kedua, indeks gini. Indikator ini digunakan untuk

42

memastikan bahwa pertumbuhan yang terjadi di Indonesia tetap

adil. Semakin besar indeks gini, menggambarkan bahwa

semakin timpang kemakmuran antara si Kaya dan si Miskin. Jika

hal ini terjadi, berarti pertanda buruk bagi perekonomian

Indonesia karena menunjukkan bahwa yang merasakan

pertumbuhan ekonomi adalah kelompok kaya saja, sedangkan

kelompok miskin kurang merasakan manfaatnya.

3.1.3.1.3.1.3.1. Postur Postur Postur Postur APBN APBN APBN APBN

Secara umum permasalahan serius dalam APBN

Indonesia adalah tidak idealnya postur anggaran baik dari sisi

pendapatan dan belanja. Dari sisi pendapatan masih rendahnya

tax ratio adalah cerminan ketidakmampuan pemerintah dalam

menggenjot pendapatan negara dari sektor pajak. Di sisi

belanja, permasalahannya lebih fundamental yaitu postur APBN

sangat tidak proporsional. Postur APBN dari tahun ke tahun

sekitar 70 persen hanya untuk membiayai birokrasi. Ditambah

lagi pada APBN 2013 tersandera oleh besarnya subsidi BBM dan

kewajiban pembayaran bunga utang. Disamping masalah postur

anggaran, peran stimulus fiskal yang menjadi fungsi utama

APBN tidak pernah optimal. Hampir tiap tahun problem klasik

pola penyerapan anggaran selalu terus berulang. Alih-alih

berbicara masalah kualitas dan efektifitas stimulus fiskal, untuk

melakukan penyerapan anggaran sesuai schedule dan target saja

tidak mampu direalisasikan dengan baik. Belum lagi masalah

masih banyaknya pos-pos belanja yang tidak produktif dalam

penggunaannya.

43

3.1.1. 3.1.1. 3.1.1. 3.1.1. Penerimaan NegaraPenerimaan NegaraPenerimaan NegaraPenerimaan Negara

Pascakrisis 1998, sebenarnya pendapatan negara melalui

penerimaan pajak terus meningkat, sedangkan Penerimaan

Negara Bukan Pajak (PNBP) relatif menurun (Gambar 3.1). Tren

ini umum terjadi di negara-negara berkembang seperti

Indonesia. Pola ini selaras dengan penemuan Chenery dan

Syrquin (1975) yang menarik kesimpulan bahwa semakin maju

suatu negara maka proses akumulasi atau kemampuan negara

untuk membiayai pembangunan melalui pajak juga semakin

meningkat.1 Pada 2000, penerimaan negara yang berasal dari

pajak hanya menyumbang sekitar 56 persen dari total

pendapatan negara. Angka ini wajar mengingat perekonomian

Indonesia mengalami krisis yang sangat parah pada 1998/1999.

Persentase ini kemudian terus mengalami kenaikan hingga 2002,

sebelum stagnan di level 70-71 persen selama 2003-2005.

Sumber: SEKI BI, diolah

Gambar 3.1. Dinamika Proporsi Pendapatan Pajak, PNBP dan Gambar 3.1. Dinamika Proporsi Pendapatan Pajak, PNBP dan Gambar 3.1. Dinamika Proporsi Pendapatan Pajak, PNBP dan Gambar 3.1. Dinamika Proporsi Pendapatan Pajak, PNBP dan

Dividen BUMN terhadap Total PendapatDividen BUMN terhadap Total PendapatDividen BUMN terhadap Total PendapatDividen BUMN terhadap Total Pendapatan Negara 2000an Negara 2000an Negara 2000an Negara 2000----2011 2011 2011 2011

(persen)(persen)(persen)(persen)

1 Chenery dan Syrquin (1975). The Pattern of Development.

44

Secara total penerimaan perpajakan terus mengalami

kenaikan, namun persentase penerimaan pajak terhadap total

pendapatan negara pada 2006 hingga 2008 mengalami

fluktuasi. Hal ini disebabkan karena fluktuasi dari sisi PNBP.

PNBP meningkat cukup tajam pada 2008 yang disebabkan

peningkatan penerimaan dari sisi migas, khususnya minyak bumi

karena harga minyak yang naik cukup drastis. Kemudian pada

2009, penerimaan pajak kembali menurun akibat kebijakan

stimulus fiskal Pemerintah yang bertujuan untuk meredam

dampak krisis finansial global.

Demikian juga, walaupun tren penerimaan pajak terus

membaik, rasio penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) di

Indonesia masih tergolong rendah. Pada 2011, tax ratio

Indonesia hanya sebesar 11,8 persen, sedikit mengalami

peningkatan pada tahun sebelumnya yaitu 11,3 persen. Tax ratio

Indonesia sempat mencatat angka tertinggi yaitu pada 2008

sebesar 13,3 persen. Sebelum jatuh menjadi 11,1 persen pada

2009 akibat krisis finansial global.

Sumber: SEKI BI, diolah

Gambar 3.2. Tax Ratio 1990Gambar 3.2. Tax Ratio 1990Gambar 3.2. Tax Ratio 1990Gambar 3.2. Tax Ratio 1990----2011 (persen)2011 (persen)2011 (persen)2011 (persen)

45

Tidak ada perubahan tax ratio yang signifikan selama

kurang lebih dua puluh tahun terakhir. Angkanya hanya berkisar

10 hingga 11 persen saja. Jika dibandingkan dengan negara-

negara tetangga, tax ratio Indonesia masih tergolong rendah.

Pada APBN-P 2012 tax ratio Indonesia dipatok sebesar 11,8

persen, sedangkan Filipina berada di kisaran 14,4 persen,

Singapura 14,2 persen, Malaysia 15,5 persen, Thailand 17,0

persen, dan Jepang 28,3 persen (Kemenkeu, 2012).

Hampir semua negara, apalagi negara maju, menjadikan

pajak sebagai primadona pendapatannya. Pada APBN-P 2012

pajak berkontribusi sebesar 74,87 persen terhadap penerimaan

dalam negeri, terdiri dari pajak dalam negeri 95,28 persen dan

pajak perdagangan internasional 4,72 persen. Pajak dalam

negeri berasal dari Pajak Penghasilan (50,54 persen), PPN (33,07

persen), Cukai (8,19 persen), Pajak Bumi dan Bangunan, dan

pajak lainnya (0,55 persen). Sementara pajak yang berasal dari

perdagangan internasional masih sangat terbatas, yaitu pajak

dari bea masuk 2,43 persen dan bea keluar 2,28 persen

(Kemenkeu, 2012).

Untuk memacu penerimaan pajak pemerintah harus

melakukan kebijakan baik ekstensifikasi ataupun intensifikasi

pajak, terutama terhadap tiga kontributor potensial terbesar

penerimaan pajak. Untuk meningkatkan PPh, dengan cara

memperluas basis pembayar pajak utamanya terhadap golongan

pendapatan menengah keatas. Diantaranya dengan

meningkatkan sistem data pembayar pajak dan juga

mempermudah akses membayar pajak, khususnya bagi para

wajib pajak besar.

Di sisi lain, intensifikasi dapat dilakukan dengan

optimalisasi penerimaan PPN dan Cukai. Intensifikasi terhadap

PPN dapat dilakukan dengan meningkatkan sistem pemantau

46

pergerakan transaksi bisnis, diantaranya seperti penerapan e-

faktur, memperkuat profil dari basis data perusahaan, dan sistem

pengumpulan pembayaran. Sementara intensifikasi dari cukai

dengan melanjutkan dan mempercepat proses penyederhanakan

sistem cukai. Sebagai contoh cukai untuk produk hasil

tembakau, saat ini sistemnya masih cukup kompleks yaitu terdiri

dari 13 lapisan tarif cukai yang justru menambah beban

administrasi pengawasan. Kompleksitas system ini juga

berpeluang menciptakan celah untuk dimanfaatkan oleh

perusahaan besar dengan membentuk anak perusahaan agar

dapat membayar pajak lebih rendah.

Permasalahan lain APBN pascareformasi adalah masalah

penyerapan anggaran. Sebelum reformasi, hampir setiap tahun

APBN Indonesia terserap dengan cukup baik, bahkan melebihi

dari rencana belanja. Hal ini kemudian berbalik sejak 2000

dimana realisasi belanja negara mengalami masalah dalam hal

penyerapan. Tercatat hanya pada 2007 saja realisasi belanja

negara melebihi apa yang dianggarkan pada APBN, sedangkan

sisanya selalu terdapat sisa anggaran (Tabel 3.1).

Tabel 3.1. RencaTabel 3.1. RencaTabel 3.1. RencaTabel 3.1. Rencana dan Realisasi Belanja Negara na dan Realisasi Belanja Negara na dan Realisasi Belanja Negara na dan Realisasi Belanja Negara 1990199019901990----2011 2011 2011 2011

(triliun Rp)(triliun Rp)(triliun Rp)(triliun Rp)

TahunTahunTahunTahun APBNAPBNAPBNAPBN RealisasiRealisasiRealisasiRealisasi SelisihSelisihSelisihSelisih

TahunTahunTahunTahun APBN Realisasi Selisi

h

1990 36,1 39,8 -3,6 2001 354,6 341,6 13,0 1991 43,1 44,6 -1,5 2002 345,6 322,2 23,4 1992 50,3 52,0 -1,8 2003 377,2 376,5 0,7 1993 52,0 57,8 -5,8 2004 427,2 427,2 0,0 1994 59,2 62,6 -3,4 2005 565,1 509,6 55,4 1995 67,3 65,3 2,0 2006 699,1 667,1 32,0 1996 78,5 82,2 -3,7 2007 752,4 757,7 -5,3 1997 89,4 109,3 -19,9 2008 989,5 985,7 3,8 1998 230,6 172,7 58,0 2009 1.000,8 937,4 63,5 1999 43,1 44,6 -1,5 2010 1.126,1 1.042,1 84,0 2000 223,9 221,5 2,4 2011 1.320,8 1.295,0 25,8

Sumber : SEKI BI, diolah

47

Fenomena ini menjadi lebih aneh lagi ketika kebijakan

yang dilakukan oleh Pemerintah belakangan ini adalah

kebijakan defisit fiskal (fiscal deficit), yaitu belanja lebih besar

daripada pendapatannya (Gambar 3.3). Selain itu, tidak

terserapnya anggaran ini juga menimbulkan pertanyaan

mendasar untuk apa negara harus berhutang untuk anggaran

yang pada akhirnya berlebih?

Sumber: SEKI BI, diolah

Gambar 3.3 Surplus/Defisit Fiskal 1990Gambar 3.3 Surplus/Defisit Fiskal 1990Gambar 3.3 Surplus/Defisit Fiskal 1990Gambar 3.3 Surplus/Defisit Fiskal 1990----2011 (triliun Rp)2011 (triliun Rp)2011 (triliun Rp)2011 (triliun Rp)

3.1.2.3.1.2.3.1.2.3.1.2. Belanja Belanja Belanja Belanja Tidak ProduktifTidak ProduktifTidak ProduktifTidak Produktif

Ironi lainnya adalah komposisi belanja Pemerintah Pusat

sebagian besar dihabiskan untuk pos-pos yang kurang produktif.

Pengeluaran terbesar Pemerintah Pusat digunakan untuk belanja

subsidi, belanja pegawai, dan pembayaran bunga utang. Ketiga

pos belanja ini menghabiskan anggaran Pemerintah Pusat rata-

rata sekitar 63 persen dari total belanja selama 2005-2011. Tren

belanja subsidi secara umum cenderung fluktuatif (tergantung

fluktuasi harga minyak dunia), menghabiskan sekitar 22-40

persen dari total belanja Pemerintah Pusat, sedangkan belanja

pegawai trennya terus meningkat sekitar 15-21 persen, dan

pembayaran bunga utang terus menurun (Tabel 3.2).

48

Tabel 3.2. Proporsi Belanja PemerintahTabel 3.2. Proporsi Belanja PemerintahTabel 3.2. Proporsi Belanja PemerintahTabel 3.2. Proporsi Belanja Pemerintah Pusat terhadap Pusat terhadap Pusat terhadap Pusat terhadap TotalTotalTotalTotal

Belanja 2005Belanja 2005Belanja 2005Belanja 2005----2011201120112011

Tahun

Total Belanja Pemerintah Pusat (triliun Rp)

Belanja Pegawai

Belanja Barang

Belanja Modal

Pemba-yaran Bunga Utang

Subsidi Bantuan Sosial

Penge-luaran Rutin Lainnya

2005 361 15% 8% 9% 18% 33% 9% 7%

2006 440 17% 11% 12% 18% 24% 9% 9%

2007 505 18% 11% 13% 16% 30% 3% 10%

2008 693 16% 8% 10% 13% 40% 4% 8%

2009 629 20% 13% 12% 15% 22% 6% 12%

2010 697 21% 14% 12% 13% 28% 3% 10% 2011 884 20% 14% 13% 11% 33% 6% 8%

Sumber: SEKI BI, diolah

3.1.3.3.1.3.3.1.3.3.1.3. Tersandera Tersandera Tersandera Tersandera SubsidiSubsidiSubsidiSubsidi

Selama 2005-2011, subsidi menghabiskan belanja

Pemerintah Pusat sekitar 22-40 persen. Belanja subsidi ini

didominasi oleh subsidi untuk energi. Subsidi energi selama

2005-2011 menghabiskan sekitar 71-88 persen dari total subsidi,

dengan rata-rata sekitar 80 persen (Gambar 3.4).

Sumber : Nota Keuangan RI 2005-2013, diolah

Gambar 3.4. Proporsi Subsidi terhadap Total Subsidi 2005Gambar 3.4. Proporsi Subsidi terhadap Total Subsidi 2005Gambar 3.4. Proporsi Subsidi terhadap Total Subsidi 2005Gambar 3.4. Proporsi Subsidi terhadap Total Subsidi 2005----2011 2011 2011 2011

(persen)(persen)(persen)(persen)

49

Anggaran subsidi energi habis tersedot untuk subsidi

BBM, yaitu rata-rata sekitar 54 persen dari total belanja subsidi,

bahkan pada 2005 sempat mencapai 79 persen dikarenakan

harga minyak dunia meroket dari US$ 25 per barrel menjadi

sekitar US$ 60 per barrel dan beban subsidi BBM melonjak dari

Rp21 triliun menjadi Rp120 triliun (Abimanyu, 2012). Subsidi

BBM kembali mengalami peningkatan pada 2008, menembus

Rp139 triliun, naik sekitar Rp55 triliun dibanding tahun

sebelumnya. Hal ini juga dikarenakan melonjaknya harga

minyak dunia dari US$ 72 per barrel pada 2007 menjadi hampir

US$ 100 per barrel pada 2008.

Pada 2009, krisis finansial global menyebabkan harga

minyak dunia anjlok. Alhasil, subsidi BBM di Indonesia juga

mengalami penurunan sangat signifikan dari sekitar Rp139

triliun menjadi hanya sepertiganya Rp45 triliun dikarenakan

harga minyak dunia yang juga terjun bebas menjadi US$ 62 per

barrel sehingga mendorong presiden SBY melakukan kebijakan

populis dengan menurunkan harga BBM dari Rp6000 per liter

menjadi Rp4500 per liter.

Kini, tren harga minyak dunia kembali naik seiring

perekonomian dunia yang kembali membaik dari krisis finansial

global. Walaupun dunia sedang menghadapi krisis Eropa dan

turunnya pertumbuhan ekonomi Cina, tren harga minyak dunia

tetap meningkat sejak 2009. Pada 2009 subsidi BBM tercatat

hanya sebesar Rp45 triliun, kemudian pada 2010 meningkat

hampir 2 kali lipat menjadi Rp89 triliun dan pada 2011

melonjak menjadi Rp165 triliun. Ke depan bisa dipastikan

subsidi BBM akan terus membengkak seiring terus meningkatnya

harga minyak dunia. Terlebih jika tidak ada upaya yang serius

dan nyata dari pemerintah untuk mengurangi ketergantungan

terhadap konsumsi BBM.

50

Dari sisi ekonomi, kebijakan populis subsidi BBM ini

memiliki lebih banyak kerugian dibandingkan manfaatnya.

Pertama, kebijakan subsidi BBM tidak produktif. Subsidi BBM

yang diberikan membuat harga BBM di pasaran menjadi sangat

murah, bahkan terlalu murah. Hal ini mendorong masyarakat

menjadi konsumtif atau boros energi. Selain itu, BBM yang

murah juga memberikan insentif bagi masyarakat untuk memilih

menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan kendaraan

umum sehingga kemacetan di kota-kota besar, khususnya Jakarta

semakin parah.

Kedua, besarnya subsidi BBM sudah terlalu besar. Pada

APBN 2013, anggaran subsidi BBM sudah mencapai Rp193

triliun atau meningkat sekitar 40 persen dibandingkan APBN-P

2012. Jika Pemerintah tidak berani mengambil langkah untuk

mengurangi pos subdisi BBM ini, maka bisa dipastikan APBN

akan tersandera dan tidak mampu membiayai program-program

stimulus fiskal yang produktif. Belum lagi kemungkinan resiko

jika nanti terjadi kenaikan harga minyak yang cukup signifikan

seperti tahun 2005 dan 2008 yang membuat subsidi BBM akan

melonjak tajam.

Ketiga, pembiayan sektor prioritas menjadi terbengkalai.

Kebutuhan untuk memperbaiki dan meningkatkan infrastruktur

baik dari sisi kualitas maupun kuantitas saat ini di Indonesia

sangat mendesak. Peningkatan permintaan agregat yang terus-

menerus membutuhkan dukungan dari sisi penawaran. Oleh

karena itu, peningkatan kapasitas produksi atau perekonomian

menjadi salah satu agenda mendesak bagi Indonesia sehingga

momentum pertumbuhan yang ditopang dari pasar domestik

yang kuat ini dapat dimanfaatkan dengan lebih maksimal.

Memastikan ketersedian energi (khususnya listrik), infrastruktur

jalan/transportasi, pelabuhan, bandara, adalah beberapa

51

infrastruktur yang harus segera dilakukan perbaikan atau bahkan

penambahan.

Selain subsidi BBM, dua pos lain yang sangat tidak

produktif adalah belanja pegawai dan pembayaran bunga utang.

Kedua pos tidak produktif ini maing-masing menghabiskan

sekitar 18 persen (belanja pegawai) dan 15 persen (pembayaran

bunga utang) selama 2005-2011. Selain itu, anggaran untuk

kedua pos ini juga tiap tahunnya terus meningkat secara nominal

(Gambar 3.5). Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan

Pemerintah untuk dapat menekan belanja pegawai dan

pembayaran bunga utang. Pertama, optimalisasi aparatur negara.

Sumber : SEKI BI, diolah

Gambar 3.5. Belanja Pemerintah Pusat 2005Gambar 3.5. Belanja Pemerintah Pusat 2005Gambar 3.5. Belanja Pemerintah Pusat 2005Gambar 3.5. Belanja Pemerintah Pusat 2005----2011 2011 2011 2011

(triliun Rp)(triliun Rp)(triliun Rp)(triliun Rp)

Peningkatan produktivitas para aparatur negara, perampingan

struktur organisasi kepemerintahan, dan meningkatkan

efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran adalah tiga hal

yang perlu segera didorong. Kedua, mendorong penyerapan

anggaran agar lebih efektif dan efisien. Pascareformasi,

Indonesia menerapkan kebijakan defisit anggaran sehingga

52

konsekuensinya adalah utang pemerintah ikut bertambah. Hal

ini menjadi ironi ketika dana yang diperoleh dari berhutang

kemudian tidak terserap.

3.1.4.3.1.4.3.1.4.3.1.4. Kecanduan Kecanduan Kecanduan Kecanduan Utang Utang Utang Utang

Fenomena menarik lainnya pascareformasi adalah utang

dalam negeri pemerintah yang meningkat tajam. Sebelum

reformasi, Pemerintah hanya menggunakan utang luar negeri

sebagai tambahan pembiayaan pembangunan. Kemudian

pascareformasi, instrumen utang luar negeri mulai digunakan

untuk membiayai kekurangan pembiayaan pembangunan.

Sumber : DJPU Kemenkeu RI, diolah

Gambar 3.6. Perkembangan Utang Pemerintah Indonesia Gambar 3.6. Perkembangan Utang Pemerintah Indonesia Gambar 3.6. Perkembangan Utang Pemerintah Indonesia Gambar 3.6. Perkembangan Utang Pemerintah Indonesia

terhadap PDB 2007terhadap PDB 2007terhadap PDB 2007terhadap PDB 2007----2012201220122012

53

Posisi total utang pemerintah pada 2011 sudah mencapai

Rp1.803 triliun, Rp616 triliun berasal dari utang luar negeri

pemerintah (ULNP) dan Rp1.188 triliun utang dalam negeri

pemerintah (UDNP). Angka ini mengalami kenaikan sekitar 46

persen dibandingkan angka pada 2000 yaitu Rp 1.234 triliun

(Gambar 3.6). Menariknya UDNP mengalami kenaikan yang jauh

lebih tinggi dibandingkan ULNP. Pada 2011, ULNP tumbuh hanya

sekitar 6 persen dibandingkan tahun 2000, sedangkan UDNP 82

persen. UDNP meningkat tajam dari posisi Rp 652 triliun pada

2000 menjadi Rp 1.188 triliun pada 2011, sedangkan ULNP hanya

naik dari Rp 583 triliun pada 2000 menjadi Rp 616 triliun pada

2011 (Gambar 3.6).

Tren positif dari utang pemerintah adalah rasio utang

pemerintah terhadap PDB (debt ratio) terus menurun sejak 2000.

Pada 2000 debt ratio sebesar 89 persen, kemudian terus turun

hingga pada 2011 hanya sebesar 24 persen. Walaupun hampir

setiap tahunnya utang pemerintah terus bertambah, debt ratio

memiliki tren negatif karena pertumbuhan PDB yang meningkat

tajam sejak 2000. Pada 2000, PDB nominal Indonesia baru

mencapai Rp 1.390 triliun, kemudian meningkat hampir enam kali

lipat pada 2011 menjadi Rp 7.427 triliun sehingga wajar jika debt

ratio Indonesia terus menurun (Gambar 3.6). Kondisi inilah yang

selalu menjadi basis argumen pemerintah untuk kecanduan

melakukan utang. Padahal faktanya kontributor terbesar PDB

Indonesia adalah konsumsi rumah tangga dan Investasi swasta.

Sebagai akibat perilaku pemerintah yang kecanduan utang

menyebabkan beban bunga dan cicilan utang terus bertambah.

Pada 2000, cicilan bunga utang pemerintah hanya sekitar Rp50

triliun. Kemudian trennya secara umum cenderung terus meningkat

hingga pada tahun 2011 menjadi Rp. 93 triliun, walaupun

rasionya terhadap belanja negara terus menurun (Gambar 3.7).

Andai penyerapan anggaran tidak bermasalah dan dilakukan

54

dengan efektif dan efisien, sebenarnya berutang adalah suatu hal

yang wajar dalam perekonomian. Permasalahannya ketika

berutang namun digunakan untuk pembiayaan program yang tidak

produktif, lebih parah lagi komitmen utang yang tidak terserap.

Sumber : SEKI BI, diolah

Gambar 3.7. Gambar 3.7. Gambar 3.7. Gambar 3.7. Cicilan Utang Pemerintah Indonesia 2000Cicilan Utang Pemerintah Indonesia 2000Cicilan Utang Pemerintah Indonesia 2000Cicilan Utang Pemerintah Indonesia 2000----2011201120112011

3.1.5.3.1.5.3.1.5.3.1.5. Rendahnya Rendahnya Rendahnya Rendahnya Ruang Fiskal Ruang Fiskal Ruang Fiskal Ruang Fiskal

Isu krusial lainnya terkait postur APBN Indonesia adalah

rendahnya ruang fiskal (fiscal space). Postur APBN sebagian

besar tersandera oleh anggaran-anggaran rutin sehingga ruang

gerak fiskal yang notabene sebagai stimulus fiskal menjadi

kurang efektif. Beberapa penyebab minimnya ruang gerak fiskal,

Pertama, anggaran habis untuk pengeluaran rutin. Pos-pos

seperti belanja pegawai, subsidi energi (khususnya BBM dan

listrik), serta pembayaran utang adalah beberapa pos yang sulit

untuk dirubah-rubah mengingat ketiga pos tersebut adalah pos

yang “seksi” (populis) bagi pemerintah. Kedua, adanya

pengeluaran yang dimandatkan (mandatory spending). Minimal

20 persen anggaran untuk pendidikan. Selain itu,rigiditas

perhitungan alokasi DAU dan DBH, serta otsus adalah

55

mandatory spending yang harus dipenuhi terlebih dahulu karena

telah diatur oleh konstitusi.2

3.1.6.3.1.6.3.1.6.3.1.6. Mandulnya Dana Mandulnya Dana Mandulnya Dana Mandulnya Dana Transfer DaerahTransfer DaerahTransfer DaerahTransfer Daerah

Secara proporsi dana transfer ke daerah setiap tahun

mengalami peningkatan yang signifikan. Pasca diterapkannya

UU No.22 tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU

No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pembangunan

di Indonesia berubah cukup signifikan dari yang awalnya bersifat

terpusat (sentralisasi) menjadi desentralisasi (otonomi daerah).

Persoalannya, peningkatan dana transfer daerah tidak mampu

mendorong pertumbuhan ekonomi daerah secara signifikan.

Secara khusus masalah ini akan dijabarkan pada bab 3.2.

Pascareformasi, daerah-daerah diberikan wewenang

yang cukup besar untuk mengelola pemerintahannya sendiri.

Hampir semua wewenang yang tadinya terpusat di Pemerintah

Pusat, sejak 1999 menjadi wewenang Pemerintah Daerah.

Pemerintah Pusat kini hanya menjalankan enam sektor, yaitu

pertahanan, keamanan, agama, fiskal-moneter, politik luar

negeri, dan yustisi (hukum-peradilan), sedangkan sisanya adalah

kewenangan Pemerintah Daerah.

Seiring dengan terjadinya otonomi daerah tersebut,

anggaran transfer daerah tiap tahun pun memiliki tren yang terus

meningkat. Peningkatan dana transfer daerah diikuti oleh

penurunan belanja untuk Pemerintah Pusat. Pada 1990, dana

transfer daerah hanya sebesar 17 persen dan terus naik sebelum

terjadi krisis pada 1998/1999. Pascareformasi, pertumbuhan

dana yang ditransfer ke daerah cukup signifikan. Pada 2000

hanya sebesar 15 persen kemudian meningkat tajam menjadi 24

2 DBH lihat UU No.33 tahun 2004, Otsus lihat UU No. 18 tahun 2001 (untuk NAD), dan UU No. 21 tahun 2001 (untuk Papua dan Papua Barat).

56

persen pada tahun berikutnya dan kemudian stabil di atas 30

persen terhadap total belanja APBN (Gambar 3.8).

Sumber : SEKI BI, diolah

Gambar 3.8. Rasio BeGambar 3.8. Rasio BeGambar 3.8. Rasio BeGambar 3.8. Rasio Belanja Pemerintah Pusat dan Transfer lanja Pemerintah Pusat dan Transfer lanja Pemerintah Pusat dan Transfer lanja Pemerintah Pusat dan Transfer

Daerah terhadap Total Belanja Negara 1990Daerah terhadap Total Belanja Negara 1990Daerah terhadap Total Belanja Negara 1990Daerah terhadap Total Belanja Negara 1990----2011201120112011

(persen)(persen)(persen)(persen)

Dana transfer daerah sebagian besar disalurkan melalui

dana alokasi umum (DAU), dana bagi hasil (DBH), dana alokasi

khusus (DAK), dan dana otonomi khusus (otsus) dan dana

penyeimbangan (Gambar 3.9). Dari keempat dana tersebut

hanya DAK yang sifatnya fleksibel, sedangkan DAU, DBH, dan

Otsus sifatnya kaku (rigid) karena telah memiliki formula

tersendiri. Pembagian jatah anggaran ini didasarkan atas asas

keadilan yang terdiri dari kontribusinya terhadap pendapatan

nasional, karakteristik, serta kebutuhan daerah tersebut.3

3 Aturan tersebut diatur dalam UU No. 33 tahun 2004 (DBH), UU No. 18 tahun 2001 (Otsus NAD), dan UU No. 21 tahun 2001 (Otsus Papua).

57

Sumber : SEKI BI, diolah

Gambar 3.9. Komposisi Belanja Transfer Daerah 2003Gambar 3.9. Komposisi Belanja Transfer Daerah 2003Gambar 3.9. Komposisi Belanja Transfer Daerah 2003Gambar 3.9. Komposisi Belanja Transfer Daerah 2003----2011 2011 2011 2011

(persen)(persen)(persen)(persen)

Masing-masing dana perimbangan memiliki tujuan yang

berbeda. DAU bertujuan untuk meminimumkan ketimpangan

fiskal antar daerah dalam mendanai urusan pemerintahan yang

menjadi kewenangan daerah. Sementara DBH dialokasikan

kepada daerah berdasarkan pendapatan APBN guna mendanai

kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

DAK sendiri bertujuan mendanai program/kegiatan yang menjadi

kewenangan daerah dan menjadi prioritas nasional. Sedangkan

Dana Otsus dimaksudkan pendanaan dalam rangka otonomi

khusus Provinsi Papua dan Aceh. Kemudian, dana penyesuaian

dialokasikan dalam rangka mendukung pelaksanaan sistem

pendidikan nasional dan percepatan pengadaan infrastruktur

sarana dan prasarana di daerah.

58

3.2.3.2.3.2.3.2. Desentralisasi Fiskal dan Ketimpangan Antar WilayahDesentralisasi Fiskal dan Ketimpangan Antar WilayahDesentralisasi Fiskal dan Ketimpangan Antar WilayahDesentralisasi Fiskal dan Ketimpangan Antar Wilayah

Prestasi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil dan

relatif tergolong salah satu yang tertinggi di dunia tidak

selamanya mencerminkan kondisi pembangunan wilayah/daerah

di Indonesia. Tidak banyak pergeseran yang berarti antara

pembangunan ekonomi Pulau Jawa dan Sumatera dengan pulau-

pulau lainnya . Pulau Jawa dan Sumatera tetap mendominasi

lebih dari 80 persen perekonomian nasional (Tabel 3.3).

Padahal sejak era desentralisasi fiskal berjalan, upaya

pemerintah melakukan pemerataan fiskal telah dilakukan. Awal

1999 ketika desentralisasi fiskal dijalankan transfer fiskal hanya

sebesar 13,7 persen namun di 2012 telah mencapai 32,8 persen

dalam bentuk transfer daerah. Total anggaran Pemerintah Pusat

2012 yang disalurkan dalam bentuk program nasional di daerah,

subsidi, maupun melalui anggaran kementrian/lembaga yang

disalurkan ke daerah sebesar 61,88 persen. Dengan kata lain

sekitar 2/3 anggaran negara dihabiskan di daerah, namun belum

dapat memecahkan disparitas ekonomi antar daerah.

Tabel 3.3Tabel 3.3Tabel 3.3Tabel 3.3. Peranan Wilayah/Pulau Dalam Pembentukan PDB . Peranan Wilayah/Pulau Dalam Pembentukan PDB . Peranan Wilayah/Pulau Dalam Pembentukan PDB . Peranan Wilayah/Pulau Dalam Pembentukan PDB

NNNNasional (asional (asional (asional (persenpersenpersenpersen))))

Wilayah/Pulau 2010 2011 2012 Tw II Tw III

(1) (2) (3) (4) (5)

Sumatera 23,11 23,53 23,57 23,83

Jawa 58,07 57,63 57,62 57,52

Bali dan Nusa Tenggara 2,72 2,55 2,49 2,51

Kalimantan 9,16 9,55 9,49 9,26

Sulawesi 4,52 4,61 4,72 4,75

Maluku dan Papua 2,42 2,13 2,11 2,13

Total 100 100 100 100

Sumber : BPS, 2012 (diolah)

59

3.2.1.3.2.1.3.2.1.3.2.1. Ketimpangan Antar WilayahKetimpangan Antar WilayahKetimpangan Antar WilayahKetimpangan Antar Wilayah

Fenomena perkembangan antar wilayah pada dasarnya

sangat berkaitan dengan ketimpangan antar wilayah. Jika

menggunakan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

dengan penghitungan Indeks Williamsons, ketimpangan

pembangunan ekonomi secara agregat menurun dalam 5 tahun

terakhir. Meskipun menurun, ketimpangan antara Kalimantan

dengan Sulawesi maupun Jawa jauh sekali perbedaannya. Pada

2011, Indeks Williamson untuk wilayah Kalimantan mencapai

0,73 sementara Jawa 0,2. Data tersebut menunjukkan bahwa

ketimpangan antar wilayah di Pulau Kalimantan jauh lebih

buruk di bandingkan Pulau Jawa (Gambar 3.10).

Keterangan: tidak termasuk DKI

Sumber: RAPBN 2013 (diolah)

Gambar 3.10 Indeks Williamson Untuk PDRB, 2007Gambar 3.10 Indeks Williamson Untuk PDRB, 2007Gambar 3.10 Indeks Williamson Untuk PDRB, 2007Gambar 3.10 Indeks Williamson Untuk PDRB, 2007----2011201120112011

Ketimpangan ini menurut Safrizal (2008) disebabkan

oleh beberapa hal. Pertama perbedaan kandungan sumberdaya

alam dimana daerah yang memiliki sumberdaya alam akan lebih

murah mendapatkan untuk kegiatan produksi sehingga lebih

cepat pertumbuhan ekonominya. Kedua, perbedaan kondisi

demografis yang terdiri atas pertumbuhan tingkat pertumbuhan

60

dan struktur penduduk, tingkat pendidikan dan kesehatan,

kondisi ketenagakerjaan, tingkat laku dan etos kerja

masyarakatnya. Ketiga, ketersediaan sarana dan prasarana untuk

mobilitas barang dan jasa. Jika terhambat maka kelebihan

produksi tidak dapat diperdagangkan sehingga daerah yang

transportasinya tidak memadai maka pertumbuhannya lebih

lambat.

Selain itu, pemasalahan terkait perencanaan

pembangunan Indonesia juga bermasalah dan cenderung tidak

sinkron. Dalam buku III RPJMN 2010-2014 terdapat prioritas

kebijakan yang diikuti dengan pengembangan lokus masing-

masing wilayah. Misalnya saja perindustrian akan banyak

diorientasikan pada wilayah Pulau Jawa, khususnys Jawa Barat

dan Jawa Timur. Sementara wilayah pertanian akan difokuskan

pada basis wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku,

Papua, serta Nusa Tenggara. Model ini telah terbukti membawa

perekonomian akan berpusat di Pulau Jawa karena faktor-faktor

produksi, termasuk modal juga berpusat di Pulau Jawa.

Kelemahan perencanaan lain tertuang dalam dokumen

MP3EI. Jika dilihat dari produk yang ditetapkan maka akan

terlihat basis industri tetap di Jawa sementara luar Jawa tetap

wilayah basis pertanian. Andai kebijakan ini dianggap cocok,

tetap perlu diingat bahwa Indonesia adalah negara kepulauan

sehingga konektivitas yang dibangun adalah transportasi antar

pulau melalui jalur laut (air), bukan seperti yang tertuang pada

MP3EI yaitu hanya berorientasi pada daratan. Apalagi MP3EI

tidak memiliki status hukum, maupun sumber pendanaan yang

jelas.

Pendukung lainnya adalah tidak sinkronnya antara

perencanaan dan penganggaran. Misalnya saja dalam buku II

61

Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2012, disebutkan bahwa

sasaran umum pembangunan infrastruktur berfokus pada

wilayah Indonesia Bagian Timur (IBT). Kenyataannya alokasi

DAK di wilayah IBT untuk infrasruktur jalan hanya sebesar

38,78 persen dan air minum hanya sebesar 32,36 persen

sementara sisanya untuk Indonesia Bagian Barat. Oleh karena

itu, wajar jika faktanya kesenjangan fiskal tetap saja terjadi.

Temuan Bank Dunia (2007) menunjukkan bahwa Pada 1999

kabupaten/kota paling kaya memiliki pendapatan fiskal per

kapita sebesar 30 kali daripada daerah miskin. Sebelum

pelaksanaan sistem desentralisasi, provinsi paling kaya memiliki

tingkat pendapatan 13 kali lebih besar daripada provinsi paling

miskin. Data ini semakin memburuk pada 2004 ketika

koefisiennya mencapai 15 kali.

Pemerintah pada dasarnya mencoba mengatasi

kesenjangan antar wilayah melalui kebijakan pemberian Dana

Alokasi Khusus (DAK) untuk sarana dan prasarana daerah

tertinggal serta sarana dan prasarana kawasan perbatasan. DAK

masih bermasalah baik dari sisi kualitas dan kuantitasnya. Studi

yang dilakukan Nugroho, et al (2010) menekankan bahwa

pengaruh belanja pemerintah daerah (APBD) tidak signifikan

mempengaruhi PDRB. Dengan kata lain, dengan segala skema

yang ada saat ini ternyata pengeluaran daerah belum mampu

untuk mengurangi ketimpangan yang ada.

Terdapat beberapa hal penyebab kenapa belanja

pemerintah daerah kurang signifikan memengaruhi

perekonomian setempat. Pertama, dari sisi alokasi anggaran

APBD yang ada mayoritas dibelanjakan untuk belanja pegawai

ketimbang belanja modal. Pada 2011 saja rata-rata belanja

modal untuk Pemerintah Kabupaten/Kota sebesar 18,8 persen,

sementara Pemerintah Provinsi sebesar 22,4 persen. Bandingkan

62

dengan belanja pegawai yang sebesar 52 persen untuk Pemda

dan 25,9 persen untuk Pemprov.

Kedua, meskipun telah ada DAK tetapi jumlahnya

terlampau kecil untuk membuat suatu perubahan. Jika

dibandingkan dengan total pendapatan daerah, rata-rata DAK

untuk Kabupaten/Kota sebesar 6,1 persen sementara untuk

Provinsi sebesar 0,9 persen. Dengan anggaran yang terlalu kecil

tersebut tentu tidak akan efektif merubah kondisi daerah dalam

waktu relatif cepat.

Ketiga, sasaran yang ditetapkan oleh pemerintah daerah

melalui APBDnya tidak fokus pada investasi sumberdaya

manusia. Kualitas dan kuantitas di daerah-daerah adalah salah

satu faktor utama yang menghambat berkembangnya

perekonomian di daerah setempat. Oleh karena itu, investasi

pada SDM (human capital) juga harus diprioritaskan oleh

daerah.

3.2.2.3.2.2.3.2.2.3.2.2. Titik Kritis DesentralisasiTitik Kritis DesentralisasiTitik Kritis DesentralisasiTitik Kritis Desentralisasi

Gambaran diatas menegaskan bahwa terdapat masalah

yang sangat prinsip terhadap akumulasi transfer daerah yang ada

serta tentunya terkait dengan pilihan kebijakan perencanaan dan

penganggaran itu sendiri. Transfer daerah dengan formula DAU

yang saat ini ada tampaknya perlu direposisikan kembali.

Pertama, kenaikan DAU sebagai implikasi kenaikan jumlah

pegawai justru menjadi beban daerah. Hal ini dikarenakan

daerah juga perlu menyiapkan tunjangan, fasilitas kantor,

maupun lainnya sebagai konsekuensi dari tambahan jumlah

pegawai. Secara agregat hal ini mengurangi kemampuan daerah

dalam menciptakan fiscal space yang cukup untuk

pembangunan. Sebagai catatan dalam periode 2007-2012 untuk

63

kabupaten/kota, belanja pegawai tumbuh sebesar 17,5 persen

per tahun, sementara belanja modal hanya tumbuh sebesar 8,93

persen per tahun.

Kedua, ukuran pemerintah daerah cenderung dianggap

sama. Misalnya menyetarakan antara Pemerintah Kabupaten dan

Pemerintah Kota, padahal jelas bahwa pusat pertumbuhan

ekonomi umumnya berada di perkotaan sehingga terjadi

pemusatan pertumbuhan. Implikasinya pada PAD adalah

wilayah perkotaan akan lebih cepat dibanding kabupaten.

Berikut beberapa langkah yang harus ditempuh untuk

memperbaiki sistem desentralisasi fiskal. Pertama, merubah

perilaku dan struktur belanja pemerintah daerah agar kualitas

belanjanya semakin membaik. Pertumbuhan belanja modal per

tahun sebaiknya harus lebih cepat ketimbang belanja pegawai,

khususnya di tingkat pemerintah kabupaten/kota. Kedua,

reformulasi pembiayaan pemerintah pusat ke daerah agar lebih

atraktif sebagai insentif pembangunan ekonomi daerah.

Ketiga, mulai melaksanakan strategi industrialisasi di

luar Pulau Jawa. Dalam 10 tahun terakhir tidak banyak

perkembangan berarti di luar Pulau Jawa. Jumlah industri

menengah dan sedang 2001 di Pulau Jawa sebanyak 17.413

sementara luar Pulau Jawa sebanyak 3.983. Kemudian pada

2010, Industri di Pulau Jawa meningkat menjadi 19.529

sementara luar Pulau Jawa justru turun mencapai 3.816. Untuk

wilayah IBT misalnya, dapat dimulai dari di Wilayah Sulawesi

Selatan guna mendorong kebutuhan penduduk (pasar) di

wilayah tersebut, misalnya industri makanan minuman dan

bahkan tekstil. Pilihan industri juga sepatutnya yang berbasiskan

pada bahan baku utama yang berasal dari sumberdaya alam,

baik pertanian, migas dan pertambangan. Perencanaan

pembangunan Ini perlu didukung oleh konektivitas infrastruktur

64

antar pulau yang memadai serta kualitas pelabuhan yang setara

dengan Pelabuhan Tanjung Priok. Strategi ini akan jelas

memunculkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru dengan

serapan tenaga kerja yang jauh lebih besar. Oleh karena itu,

dukungan pemerintah diperlukan untuk membangun

konektivitas tersebut. Sudah sepatutnya dokumen-dokumen

perencanaan pembangunan seperti RPJMN perlu direvisi agar

selara dengan dokumen-dokumen lainnya (misal MP3EI) agar

terjadi keselarasan dalam pembangunan nasional yang lebih

tertata, baik bagi Pemerintah Pusat dan Pemda.

Keempat, reformulasi desentralisasi pembagian

kewenangan secara bertahap. Strategi ini didasari bahwa di

dalam kepulauan besar juga terjadi ketimpangan yang cukup

besar. Di Pulau Sumatera, antara Bengkulu dan Sumatera Utara

sangat timpang. Begitu pula antara Kalimantan Timur dan

Kalimantan Tengah atau antara Selatan Pulau Jawa dengan

Wilayah Utaranya yang jelas sekali perbedaan kemajuannya.

Dengan demikian, perlakukan antara daerah yang satu dengan

daerah yang lain berbeda-beda. Implikasinya adalah sebagian

urusan di wilayah tertinggal, masih ditangani oleh Pemerintah

Pusat, sementara untuk Propinsi lainnya dapat otonomi secara

penuh.

Keempat agenda desentralisasi tersebut sepatutnya

menjadi bahan perenungan kembali dalam tiga Undang-Undang

yang saat ini tengah direvisi yakni UU No. 32 tahun 2004

tentang Pemerintah Daerah, UU N0. 33 tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, serta UU

No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Melihat

ketiganya tidak berdiri sendiri maka sepatutnya UU No. 25

tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan juga

perlu direvisi.

65

BAB 4

Kebijakan Kebijakan Kebijakan Kebijakan Investasi Investasi Investasi Investasi dandandandan Agenda Agenda Agenda Agenda InfrastrukturInfrastrukturInfrastrukturInfrastruktur

Di tengah krisis ekonomi dunia, pada 2012 kinerja

investasi Indonesia justru meningkat cukup pesat. Berdasarkan

laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi

investasi sepanjang Januari-September 2012 mencapai Rp229,9

triliun atau meningkat 27 persen dibanding periode yang sama

tahun lalu. Sebagai catatan, investasi masih didominasi oleh

Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar Rp164,2 triliun atau

71,4 persen. Sementara realisasi Penanaman Modal Dalam

Negeri (PMDN) hanya mengambil porsi sebesar 28,6 persen atau

Rp65,7 triliun. Artinya, target realisasi investasi pemerintah pada

2012 sebesar Rp283,5 triliun, yang terdiri dari PMA sebesar

206,8 triliun dan PMDN sebesar Rp76,7 triliun sudah hampir

tercapai (81,1 persen).

Tak pelak pencapaian ini mengundang sanjungan

ekonom-ekonom dunia, seperti Nouriel Roubini (peraih nobel

ekonomi) dan George Soros. Bahkan pada Oktober 2012

Indonesia mendapat kado berharga berupa predikat investment

grade dari beberapa lembaga pemeringkat seperti Fitch, dari

semula BB+ menjadi BBB-, juga Moody’s, dari Ba1 menjadi

Baa3. Salah satu alasan peningkatan rating tersebut karena

66

Indonesia dianggap berhasil menjaga stabilitas makroekonomi

dan mengelola fiskal.

Peningkatan peringkat layak investasi di tengah lesunya

perekonomian dunia tentu membawa angin segar bagi ekonomi

Indonesia. Posisi investment grade akan menjadi panduan bagi

investor bahwa Indonesia mempunyai prospek bagus untuk

berinvestasi. Bahkan Roubini menyatakan bahwa mulai saat ini

bukan lagi BRIC (Brazil, Rusia, India, dan China) yang menjadi

lokomotif dunia, tapi MIST (Meksiko, Indonesia, Korsel, dan

Turki). Daya tarik lainnya bagi investor adalah komitmen

pemerintah untuk melakukan pendanaan proyek-proyek

infrastruktur yang telah didaftar dalam MP3EI.

Sumber: Diolah dari Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2012

Gambar 4.1. Realisasi Investasi Langsung (Rp triliun)Gambar 4.1. Realisasi Investasi Langsung (Rp triliun)Gambar 4.1. Realisasi Investasi Langsung (Rp triliun)Gambar 4.1. Realisasi Investasi Langsung (Rp triliun)

Sayangnya, besarnya arus investasi yang masuk ke

Indonesia belum berdampak signifikan terhadap penyerapan

tenaga kerja. Pada Triwulan III-2012 Investasi mencapai Rp81,8

triliun, namun jumlah tenaga kerja yang terserap hanya

mencapai 271.648 orang. Ironisnya, tingkat penyerapan tenaga

kerja pada Triwulan III-2012 justru mengalami penurunan dari

67

triwulan sebelumnya sebesar 22,72 persen (qoq) serta

mengalami pertumbuhan negatif dari periode yang sama tahun

sebelumnya yakni 18,46 persen (yoy).

Tabel 4.1. Penyerapan Tenaga Kerja Indonesia Triwulan IIITabel 4.1. Penyerapan Tenaga Kerja Indonesia Triwulan IIITabel 4.1. Penyerapan Tenaga Kerja Indonesia Triwulan IIITabel 4.1. Penyerapan Tenaga Kerja Indonesia Triwulan III----2012201220122012

2011201120112011 2012201220122012 PangsaPangsaPangsaPangsa PertumbuhanPertumbuhanPertumbuhanPertumbuhan

Q3Q3Q3Q3 Q2Q2Q2Q2 Q3Q3Q3Q3 2222012 : 012 : 012 : 012 :

Q3Q3Q3Q3 qoqqoqqoqqoq yoyyoyyoyyoy

PMDN 100.991 141.625 144.784 53,30 2,23 43,36

PMA 232.165 209.888 126.864 46,70 -39,56 -45,36

TotalTotalTotalTotal 333.156333.156333.156333.156 351.513351.513351.513351.513 271.648271.648271.648271.648 - -22,72 -18,46

Sumber: Diolah dari Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2012

Dari total tenaga kerja yang terserap, kontribusi paling

besar justru berasal dari Penanaman Modal Dalam Negeri

(PMDN), yakni mencapai 144.784 orang (53,30 persen) atau

meningkat 43,36 persen dibandingkan periode yang sama 2011,

yakni sebesar 100.991 tenaga kerja. Sementara untuk

penyerapan tenaga kerja dari Penanaman Modal Asing (PMA)

mencapai 126.864 tenaga kerja (46,70 persen). Sayangnya

penyerapan tenaga kerja dari PMA tersebut mengalami

penurunan 45,36 persen dibandingkan periode yang sama 2011,

yaitu sebesar 232.165 tenaga kerja.

4.14.14.14.1.... Menata Ulang Kebijakan Investasi Menata Ulang Kebijakan Investasi Menata Ulang Kebijakan Investasi Menata Ulang Kebijakan Investasi

Negara berkembang, seperti Indonesia, tidak bisa

dipungkiri sangat membutuhkan masuknya Investasi asing. Di

samping untuk mengatasi kelangkaan dana domestik juga untuk

memberikan transfer teknologi. Investasi asing juga diharapkan

dapat mendorong lahirnya pengusaha domestik kelas dunia

dengan adanya persaingan langsung yang ketat, sehingga akan

mendorong kemajuan ekonomi di dalam negeri.

68

Indonesia memfasilitasi investasi asing sejak 1967

melalui UU No. 1/ 1967, yang kemudian disempurnakan lewat

PP No. 20/1994 dan UU Penanaman Modal No. 25/2007.

Hasilnya cukup luar biasa, sejak 2000-2010 terdapat

peningkatan peran PMA (penanaman modal asing) terhadap total

investasi nasional. Pada 2000, peran PMA masih sekitar 63

persen terhadap total investasi. Tetapi, hingga Triwulan III-2012

peran PMA melonjak menjadi sekitar 71,4 persen. Dengan kata

lain, sumbangan investasi domestik (PMDN) kurang dari 30

persen. Dengan begitu, konsep PMA sebagai pelengkap

(komplementer) beralih menjadi mendominasi.

Dominasi PMA tersebut dikhawatirkan akan mengancam

perekonomian nasional. Pemerintah mesti berhati-hati dengan

dominasi PMA, karena ketergantungan terhadap PMA akan

berbahaya karena apabila jumlah PMA menurun secara drastis,

maka akan memengaruhi kinerja ekonomi secara keseluruhan.

Mestinya, pemerintah memprioritaskan mendorong peningkatan

investasi domestik sebagai penyangga ekonomi nasional. PMA

memang sebuah keniscayaan, namun jangan sampai

kehadirannya malah meminggirkan investasi domestik. Apalagi

pada umumnya PMA tidak berorientasi ekspor, hanya

memanfaatkan pasar domestik. Tak pelak, pertumbuhan PMA

yang tinggi tidak lantas meningkatkan ekspor secara linier.

Sampai kini sebagian ekspor Indonesia masih tergantung dari

komoditas primer (seperti perkebunan) yang didominasi PMDN

(meskipun asing juga masuk ke sini). Hal ini diperkuat dengan

data BKPM bahwa pada Triwulan III-2012 investasi PMA

mayoritasnya berada di sektor sekunder sebesar 49,85 persen,

tersier 28,67 persen, dan 21,48 persen di sektor primer. Ini

artinya kegiatan investasi di Indonesia hanya menyantuni kaum

pedagang dan bukannya menyokong aktivitas produsen dalam

proses produksi di sektor industri pengolahan atau jasa.

69

Di samping masalah dominasi PMA, penyebaran

investasi yang terkonsentrasi hanya di wilayah Jawa juga patut

dianggap bahwa investasi turut menjadi sumber ketimpangan

pembangunan antardaerah. BKPM mencatat sampai Triwulan III-

2012 sekitar 53,5 persen Investasi berada di Jawa, berikutnya

Sumatera (15,9 persen), Kalimantan (15,1 persen), dan pulau-

pulau lain mendapatkan porsi yang sangat kecil. Artinya, sekitar

70 persen Investasi hanya menyasar di Jawa dan Sumatera saja.

Dengan pola semacam itu menjadi tidak aneh apabila

pembangunan ekonomi di Indonesia menjadi semakin timpang.

Namun kondisi ini tidak sepenuhnya kesalahan Investor.

Pembangunan infrastruktur (jalan tol, jembatan, listrik,

pelabuhan, dan lain-lain) terkonsentrasi di Pulau Jawa sehingga

para investor memilih Jawa sebagai lokasi investasi.

Implikasinya, kegiatan ekonomi terpusat di Jawa.

Penyebaran investasi yang tidak merata tersebut, maka

menjadi salah satu sumber ketimpangan pendapatan yang makin

menganga. Data BPS menunjukkan adanya peningkatan indeks

Gini Rasio (yang mengukur ketimpangan pendapatan). Di mana

pada 2004 Gini Rasio masih berada di level 0,32-0,33, namun

pada 2011 sudah melesat menjadi 0,41 (makin timpang). Salah

satun sumber ketimpangan tersebut adalah dari PMA karena

karakteristik PMA hanya sedikit menciptakan lapangan kerja

atau relatif padat modal/teknologi. PMA hanya menyerap tenaga

kerja yang berpendidikan. Sementara sebagian besar (70 persen)

tenaga kerja di Indonesia hanya tamatan SMP ke bawah.

Dengan deskripsi permasalahan tersebut, maka

peningkatan investasi yang masuk ke Indonesia masih diikuti

oleh kondisi yang mengkhawatirkan. Untuk itu, tidak ada pilihan

lain bagi pemerintah untuk segera menata ulang kebijakan

investasi nasional. Paling tidak terdapat tiga langkah

70

penyelamatan yang perlu pemerintah lakukan segera. Pertama,

investasi sebagian besar harus diarahkan ke sektor primer

(pertanian) dan sekunder (industri pengolahan). Dua sektor

tersebut dijadikan satu paket sehingga pertumbuhan satu sektor

akan memicu perkembangan sektor lainnya. Jika ini dilakukan,

bukan hanya target penyerapan tenaga kerja, tetapi juga

peningkatan nilai tambah. Tentu saja aspek lingkungan harus

dipertimbangkan agar pembangunan tetap dapat

berkesinambungan. Kedua, investasi harus dijadikan instrumen

pemerataan pembangunan (wilayah), bukan sebaliknya.

Konsekuensinya, lokasi investasi harus disebar ke seluruh

wilayah secara proporsional. Ketiga, penguatan investor

domestik harus mulai dirintis. PMA harus ditempatkan sebagai

pelengkap dan bukan sebagai sumber investasi utama.

Pemerintah perlu mendesain program kongkret guna

meningkatkan porsi PMDN dalam konfigurasi investasi nasional.

Dengan bergesernya dominasi PMA menjadi PMDN diharapkan

akan memperbesar partisipasi pelaku ekonomi domestik dalam

melakukan investasi. Pandangan ini bukan berarti sikap

antiasing, tetapi sekadar memastikan bahwa keberadaannya

harus betul-betul berada dalam porsi yang tepat dan memberi

manfaat bagi ekonomi nasional. Jika kebijakan tersebut konsisten

dilakukan, niscaya banyak masalah ekonomi nasional dapat

diselesaikan secara serentak, di samping target pertumbuhan

tercapai sekaligus masalah kemiskinan, pengangguran, dan

ketimpangan pendapatan juga akan teratasi.

4.2.4.2.4.2.4.2. Mengukur Daya Saing EkonomiMengukur Daya Saing EkonomiMengukur Daya Saing EkonomiMengukur Daya Saing Ekonomi

Indonesia masih saja menampakkan berbagai anomali.

Arus investasi langsung sepanjang Januari-September 2012

meningkat 27 persen (yoy), namun tidak dibarengi dengan

71

pencapaian sektor perdagangan. Pada Triwulan II-2012,

Indonesia justru terseok-seok menghadapi defisit perdagangan.

Bahkan kondisi defisit perdagangan 2012 merupakan kondisi

terburuk yang pernah dialami Indonesia. Penyebab utama defisit

perdagangan adalah terpuruknya kinerja ekspor Indonesia dan

membanjirnya barang impor. Kondisi tersebut tentunya akibat

rendahnya daya saing produk buatan Indonesia. Di samping

tidak mampu bersaing di pasar global, juga tidak mampu

menjadi tuan di negeri sendiri.

Hasil survei Forum Ekonomi Dunia (WEF) mengenai

indeks daya saing global (global competitiveness index) secara

mengejutkan mewartakan bahwa Indonesia mengalami

penurunan daya saing, turun peringkat dari posisi ke-46 (2011-

2012) menjadi ke-50 (2012-2013) dari 144 negara. Penyebab

utamanya adalah memburuknya variabel pokok daya saing

seperti korupsi dan penyogokan, perilaku tidak etis dunia usaha,

serta biaya yang muncul akibat kejahatan dan kekerasan. Posisi

Indonesia jauh tertinggal dari beberapa negara di kawasan

ASEAN, seperti Singapura (peringkat 2), Malaysia (peringkat 25),

Brunei (peringkat 28), dan Thailand (peringkat 38). Indonesia

hanya unggul dari Filipina, Vietnam, dan Kamboja yang masing-

masing berada di posisi ke-65, ke-75, dan ke-85. Kondisi ini

tentu memunculkan keprihatinan betapa Indonesia yang

notabene memiliki kekayaan sumber daya yang melimpah jauh

melebihi negara kecil, seperti Singapura, harus menerima

kenyataan pahit terpuruk dalam persaingan global.

72

Tabel 4.2. Peringkat Daya Saing GlobalTabel 4.2. Peringkat Daya Saing GlobalTabel 4.2. Peringkat Daya Saing GlobalTabel 4.2. Peringkat Daya Saing Global

Negara Negara Negara Negara PeringkatPeringkatPeringkatPeringkat

KeteranganKeteranganKeteranganKeterangan 2011/20122011/20122011/20122011/2012 2012/20132012/20132012/20132012/2013

Swiss 1 1 tetap Singapura 2 2 tetap AS 5 7 turunturunturunturun Jepang 9 10 turunturunturunturun

Korsel 24 19 naiknaiknaiknaik Malaysia 21 25 turunturunturunturun Brunei 28 28 tetap China 26 29 turunturunturunturun

Thailand 39 38 naiknaiknaiknaik Indonesia 46 50 turunturunturunturun Filipina 75 65 naiknaiknaiknaik Vietnam 65 75 turunturunturunturun

Kamboja 97 85 naiknaiknaiknaik

Sumber: The Global Competitiveness Index 2012-2013, WEF, Desember 2012

Persoalan daya saing tersebut dikhawatirkan akan

membebani iklim investasi di Indonesia, terutama PMDN. Bila

kondisi ini dibiarkan berlarut-larut akan menjadi disinsentif bagi

para pengusaha domestik dalam upaya memerkuat investasi.

Studi yang dilakukan oleh IFC (International Finance

Corporation) bekerja sama dengan World Bank, misalnya,

menunjukkan prestasi yang kurang menggembirakan soal iklim

investasi ini. Terdapat beberapa variabel yang dinilai oleh IFC

masih bermasalah dan menjadi kendala investasi, seperti:

memulai bisnis, perizinan, ketenagakerjaan, pengajuan kredit,

perlindungan investor, dan pembayaran pajak.

Sekadar ilustrasi, indikator memulai usaha pada 2013

berada di peringkat 166, menurun ketimbang 2012 (peringkat

161). Pola itu juga terjadi pada indikator perizinan konstruksi,

pengurusan kredit, perlindungan terhadap investor, dan

pembayaran pajak, di mana pada 2013 peringkatnya justru lebih

73

rendah daripada 2012. Sedangkan untuk indikator pendaftaran

properti, perdagangan lintas negara, menjalankan usaha, dan

penutupan usaha sedikit mengalami perbaikan. Perbaikan itu

boleh dikatakan kurang memiliki makna karena apabila

dibandingkan negara-negara tetangga iklim usaha di Indonesia

masih jauh tertinggal. Misalnya, dalam prosedur memulai usaha

posisi Indonesia berada di belakang Singapura (peringkat 4),

Hongkong (peringkat 6), Malaysia (peringkat 54), Thailand

(peringkat 85), dan Vietnam (peringkat 108). Padahal, dalam

konteks kompetisi penanaman modal asing, negara-negara itu

merupakan pesaing Indonesia. Posisi yang sama juga terjadi

pada aspek lain, seperti biaya memulai bisnis, waktu memulai

usaha, dan kerumitan pembayaran pajak.

Tabel 4.3. Peringkat Melakukan Usaha di Indonesia dalam Tabel 4.3. Peringkat Melakukan Usaha di Indonesia dalam Tabel 4.3. Peringkat Melakukan Usaha di Indonesia dalam Tabel 4.3. Peringkat Melakukan Usaha di Indonesia dalam

Doing BusinessDoing BusinessDoing BusinessDoing Business 2012201220122012----2013201320132013

NoNoNoNo Kemudahan dalam..Kemudahan dalam..Kemudahan dalam..Kemudahan dalam.. Peringkat Peringkat Peringkat Peringkat DoingDoingDoingDoing BusinessBusinessBusinessBusiness 2012201220122012

Peringkat Peringkat Peringkat Peringkat DoingDoingDoingDoing BusinesBusinesBusinesBusinesssss 2013201320132013

PerubahanPerubahanPerubahanPerubahan peringkatperingkatperingkatperingkat

Melakukan UsahaMelakukan UsahaMelakukan UsahaMelakukan Usaha 130130130130 128128128128 2222

1 Memulai Usaha 161 166 -5

2 Mengurus Ijin Konstruksi 72 75 -3

3 Mendaftarkan Properti 99 98 1

4 Memperoleh Kredit 127 129 -2

5 Melindungi Investor 46 49 -3

6 Membayar Pajak 129 131 -2

7 Perdagangan melalui Perbatasan 40 37 3

8 Menjalankan Kontrak 145 144 1

9 Menutup Usaha 149 148 1

Sumber: Doing Business 2012, World Bank dan IFC,dalam Kompas, Oktober

2012

74

Salah satu masalah utama dalam berinvestasi di daerah

ialah ekonomi biaya tinggi yang disebabkan oleh praktik

pungutan liar (pungli). Jika pada masa Orde Baru korupsi hanya

berpusat di pusat, kini di era desentralisasi praktik korupsi

tersebut justru tersebar secara masif ke seluruh daerah. Tidak

aneh jika Presiden SBY baru-baru ini menginstruksikan langsung

kepada seluruh jajaran pemerintah pusat, pemerintah daerah,

dan TNI/Polri untuk menghentikan pungli. Di samping itu,

investor juga seringkali terganjal dengan peraturan-peraturan

daerah yang membingungkan atau mempersulit kelancaran

usaha, termasuk kerumitan dalam pengurusan izin ditataran

birokrasi.

Korupsi di daerah menjadi salah satu penyebab

Indonesia menempati ranking 100 dari 183 negara pada

Corruption Perception Index (CPI). Studi yang dilakukan LPEM

FEUI (2008) menemukan bahwa pada pertengahan 2005,

persentase pembayaran ilegal (informal payment) kepada

pegawai pemerintah mencapai 1,7 persen dari total ongkos

produksi. Persentase itu telah menurun menjadi 1,3 persen pada

pertengahan 2007. Jika data itu disandingkan dengan temuan

riset lainnya, harapan cerah itu mungkin harus ditahan terlebih

dulu. Sebagai contoh, sebuah truk harus melewati 14 pos

pungutan apabila melakukan pengiriman barang dari Makassar

ke Kendari. Dari pos sebanyak itu, 64 persen biaya yang

dikeluarkan merupakan pungutan tidak resmi dan hanya 36

persen yang berupa pungutan resmi (LPEM FEUI, 2008). Jadi,

upaya pemerintah melakukan perbaikan iklim usaha, tidak

cukup hanya pada level kebijakan, yang terpenting justru dalam

implementasinya.

Deskripsi tersebut menyimpulkan realitas bahwa

ekonomi biaya tinggi masih menjadi karakter bisnis di Indonesia.

75

Beberapa hal mesti dilakukan untuk mendobrak kebuntuan ini.

Pertama, pemerintah pusat bertanggung jawab untuk

menyederhanakan regulasi yang menjadi ruang lingkupnya,

seperti perpajakan, jaminan kepada investor, ketenagakerjaan,

dan penutupan usaha. Pada level ini, kinerja yang sudah dicapai

oleh negara-negara tetangga, seperti Thailand dan Malaysia

(tidak perlu Singapura) bisa menjadi benchmark. Biaya-biaya

siluman yang dikeluarkan untuk variabel-variabel tersebut bisa

ditekan dengan pemanfaatan teknologi sehingga setiap proses

pembayaran tidak harus ada tatap muka antara pegawai

pemerintah dan (calon) investor. Pengurangan prosedur juga

merupakan keniscayaan.

Kedua, bagi pemerintah daerah diperlukan langkah

serius untuk menekan munculnya perda-perda yang anti

investasi. Pengalaman Kemenkeu dan Kemendagri yang

mencabut ribuan perda bermasalah membuktikan bahwa

banyaknya regulasi pemerintah daerah yang tidak sesuai dengan

semangat perbaikan iklim usaha. Oleh karena itu, pemerintah

pusat sebaiknya secara tegas memberikan penalti terhadap

daerah-daerah yang tidak mendukung ke arah perbaikan iklim

usaha/investasi. Sedangkan bagi daerah yang secara nyata

memberikan kontribusi terhadap perbaikan iklim investasi (dan

secara langsung mengurangi ekonomi biaya tinggi) perlu

diberikan insentif, baik dengan skema fiskal maupun nonfiskal.

Model inilah yang harus ditempuh oleh pemerintah, baik pusat

maupun daerah, sehingga perbaikan iklim investasi benar-benar

nyata di hari depan. Tanpa langkah sistematis semacam ini,

pengurangan ekonomi biaya tinggi hanya menjadi harapan

kosong.

76

4.3 4.3 4.3 4.3 Potret Infrastruktur NasionalPotret Infrastruktur NasionalPotret Infrastruktur NasionalPotret Infrastruktur Nasional

Dalam era persaingan global, Indonesia masih saja

dihadapkan pada berbagai masalah mendasar, salah satunya

adalah permasalahan infrastruktur. Padahal, tidak ada yang

memungkiri betapa pentingnya peran infrastruktur dalam

menentukan daya saing perekonomian bangsa. Dalam laporan

Bank Dunia (Curbing Fraud, Corruption and Collusion in the

Roads Sector, Mei 2011) ditunjukkan beberapa studi yang secara

jelas memaparkan kaitan di antara keduanya. Di pedesaan India,

misalnya, pembangunan jalan telah meningkatkan pertumbuhan

dan produktivitas pertanian (Fan, Hazell, dan Thorat, 1999).

Demikian pula, pembangunan jalan di China dan Thailand

memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan

output, baik dalam kegiatan pertanian maupun non-pertanian

(Fan, et. al., 2000, 2002, 2004). Hal yang sama juga terjadi di

Meksiko, di mana pembangunan jalan memberikan donasi yang

kuat terhadap peningkatan produktivitas tenaga kerja

(Deichman, et. al., 2002). Oleh karena itu, semua negara

berkembang selama satu dekade terakhir berlomba-lomba

memperbaiki infrastruktur untuk mendongkrak pembangunan

ekonominya.

Dalam konteks Indonesia, proyek-proyek besar

pembangunan infrastruktur (jalan, jembatan, pelabuhan, listrik,

dan lain-lain) menggantungkan anggaran dari pemerintah pusat.

Namun, proyek-proyek infrastruktur dalam skala yang lebih kecil

merupakan domain pemerintah daerah sepenuhnya. Pemda

diberi kewenangan mutlak melakukan pembangunan

infrastruktur sesuai dengan kebutuhan masing-masing, baik

dikerjakan dengan anggaran sendiri maupun bekerjasama

dengan swasta. Namun, jika dilihat kondisi dan kualitas

infrastruktur daerah yang kian hancur pasca-pelaksanaan

77

otonomi daerah, maka temuan Bank Dunia itu mendapatkan

konfirmasi yang meyakinkan. Slogan pemerintah pusat dan

daerah bergemuruh melakukan pembangunan infrastruktur,

tetapi realitasnya kondisi infrastruktur malah banyak yang makin

hancur.

Setidaknya terdapat empat infrastruktur vital yang saat ini

dalam kondisi mencemaskan. Pertama, jalan raya strategis. Jalan

di Indonesia sampai 2009 memiliki panjang sekitar 476.337 km,

di mana tak jarang masih merupakan warisan Pemerintah

Kolonial Belanda. Padahal dengan luas daratan yang sangat

besar, panjang jalan yang kini tersedia belum optimal dalam

mendukung aktivitas ekonomi domestik. Hasil studi Bank Dunia

mengungkapkan bahwa untuk menempuh 100 kilometer

perjalanan darat di Indonesia dibutuhkan waktu selama 2,7 jam.

Sedangkan China dan Thailand saja masing-masing hanya

membutuhkan waktu rata-rata 1,2 jam dan 1,3 jam untuk

menempuh jarak 100 kilometer (Media Indonesia, September

2012).

Demikian pula dengan kondisi rel kereta api di Indonesia

yang pada 2009 baru sepanjang 5.042 km. Jumlah ini sangat

jauh tertinggal dibandingkan dengan China dan India yang

masing-masing memiliki panjang rel kereta api sebesar 65.491

km dan 63.273 km. Sementara itu, konsumsi listrik per kapita

juga masih relatif kecil hanya 590 kwh per kapita. Bandingkan

dengan penduduk di China yang mengkonsumsi listrik sebanyak

2.631 kwh per kapita. Rendahnya konsumsi listrik di Indonesia

ditenggarai karena terbatasnya pasokan listrik dari PLN yang

disebabkan kekurangan bahan bakar bagi pembangkit listrik

milik PLN, baik dari batubara maupun gas. Ironisny lagi, dua

jenis bahan bakar utama tersebut justru di ekspor ke China.

78

Tabel 4.4. Perbandingan Indikator Infrastruktur Beberapa Tabel 4.4. Perbandingan Indikator Infrastruktur Beberapa Tabel 4.4. Perbandingan Indikator Infrastruktur Beberapa Tabel 4.4. Perbandingan Indikator Infrastruktur Beberapa

Negara, TahuNegara, TahuNegara, TahuNegara, Tahun 2009n 2009n 2009n 2009

IndikatorIndikatorIndikatorIndikator IndonesiaIndonesiaIndonesiaIndonesia MalaysiaMalaysiaMalaysiaMalaysia ChinaChinaChinaChina IndiaIndiaIndiaIndia

Jalan Raya (km) 476.337 - 3.860.823 4.109.592 Rel Kereta Api (km) 5.042 1.849 86.000 63.273 Bandara (unit) 689 58 502 125 Telepon seluler per kapita (per 100 orang) 68,94 107,9 55,8 61,42 Konsumsi listrik per kapita (kwh per kapita)

590 3.613 2.631 570

Rasio belanja Infrastruktur terhadap GDP (%)

2,43 2 9 8

Sumber: The World Bank dan Index mundi, 2012

Persoalan lain yang juga perlu diperhatikan adalah

rendahnya rasio belanja infrastruktur terhadap PDB. Alokasi

infrastruktur di Indonesia tidak pernah melebihi 5 persen

terhadap PDB. Bandingkan dengan keseriusan pemerintah China

dan India dalam mengalokasikan anggaran infrastruktur, dengan

rasio belanja infrastruktur terhadap PDB masing-masing sebesar

9 persen dan 8 persen. Hasilnya, dari hasil survei World

Economic Forum (WEF) terhadap 144 negara, peringkat daya

saing Indonesia dalam hal infrastruktur melorot dua peringkat

dari posisi ke 76 pada 2011 menjadi peringkat ke 78. Hal ini

disebabkan dari sembilan aspek daya saing infrastruktur, lima di

antaranya menurun drastis. Kualitas infrastruktur secara

keseluruhan jatuh dari peringkat 82 menjadi 92. Sementara

kualitas jalan merosot dari peringkat 83 ke 90, lalu kualitas

infrastruktur pelabuhan melemah dari 103 ke 104. Begitupun

pada kualitas infrastruktur transportasi udara yang memburuk

dari posisi ke 80 menjadi 89 dan juga tingkat langganan ponsel

per 100 orang anjlok dari peringkat 79 ke 90.

79

Tabel 4.5. Peringkat Kualitas Infrastruktur IndonesiaTabel 4.5. Peringkat Kualitas Infrastruktur IndonesiaTabel 4.5. Peringkat Kualitas Infrastruktur IndonesiaTabel 4.5. Peringkat Kualitas Infrastruktur Indonesia

Aspek Aspek Aspek Aspek PPPPeringkateringkateringkateringkat Perubahan Perubahan Perubahan Perubahan

PeringkatPeringkatPeringkatPeringkat 2011/20122011/20122011/20122011/2012 2012/20132012/20132012/20132012/2013 Kualitas infrastruktur secara keseluruhan 82 92 ----10101010

Kualitas jalan 83 90 ----7777

Kualitas rel kereta api 52 51 1

Kualitas infrastruktur pelabuhan 103 104 ----1111 Kualitas infrastruktur tranportasi udara 80 89 ----9999

Ketersediaan kursi penerbangan 20 20 0

Kualitas pasokan listrik 98 93 5 Tingkat langganan ponsel per 100 orang 79 90 ----11111111 Saluran telepon tetap per 100 orang 82 78 4

Sumber: The Global Competitiveness Report 2012-2013, World Economic

Forum, 2012

Kondisi infrastruktur yang kian memprihatinkan tersebut

sangat berhubungan dengan rendahnya kepedulian pemerintah

dalam pembangunan dan perbaikan infrasturktur. Alokasi

anggaran belanja negara untuk infrastruktur di dalam APBN

sangat minim, tidak pernah mencapai porsi idealnya, yaitu

minimal 5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Setelah

mendapat tekanan publik yang masif, belanja infrastruktur tahun

2013 mencapai sebesar Rp188,4 triliun atau mengalami

kenaikan terbesar selama paska reformasi. Namun angka

tersebut masih berada sekitar 2,43 persen dari PDB.

Permasalahan rendahnya alokasi anggaran infrastruktur

belum berhenti di sini. Menurut Adam (2012), koefisien

infrastruktur di Indonesia sangat kecil dibandingkan beberapa

negara lain. Setiap kenaikan 1 persen belanja infrastruktur

berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi di China sebesar

80

0,33 persen, di India sebesar 0,21 persen, sedangkan di

Indonesia hanya sebesar 0,17 persen. Rendahnya koefisien

infrastruktur tersebut mencerminkan rendahnya efektivitas

belanja infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Hasil kajian INDEF juga menunjukkan hal yang sama,

peningkatan belanja modal pemerintah, hanya berdampak pada

peningkatan investasi pemerintah sebesar 30 persen. Artinya

efektivitas belanja modal yang berujung terbangunnya

infrastruktur hanya sebesar 30 persen.

Sumber: Nota Keuangan APBN 2013, Kementerian Keuangan

Keterangan: PDB 2012 berdasarkan asumsi APBN 2012, PDB 2013

diasumsikan tumbuh 6,1 persen

Gambar 4.2. Rasio AGambar 4.2. Rasio AGambar 4.2. Rasio AGambar 4.2. Rasio Anggaran Infrastruktur terhadap PDBnggaran Infrastruktur terhadap PDBnggaran Infrastruktur terhadap PDBnggaran Infrastruktur terhadap PDB

Beberapa faktor penyebab kondisi tersebut antara lain

adalah rendahnya kualitas penyerapan anggaran dan pola

penyerapan anggaran di bidang infrastruktur. Hingga akhir

November 2012 ini saja, Kementerian Pekerjaan Umum (PU)

yang menjadi ujung tombak pembangunan infrastruktur baru

bisa merealisasikan belanja sekitar 68 persen dari total anggaran

kementerian (Investor Daily, 4/12/2012). Ditambah lagi,

81

mencuatnya berbagai kasus korupsi yang terkait proyek

infrastruktur yang semakin menggeroti anggaran infrastruktur

yang notabene sudah sangat kecil.

Di sisi lain, dibandingkan dengan anggaran yang

dikucurkan untuk subsidi energi (BBM dan listrik), anggaran

infrastruktur sangat jauh sekali tertinggal. Gambar 4.3

menunjukkan dari 2009 hingga 2013, anggaran infrastruktur

selalu lebih rendah dari subsidi energi. Pada APBN 2013, subsidi

energi menyedot dana sebesar Rp274,7 triliun, selisih Rp86

triliun dari anggaran infrastruktur yang hanya diberi jatah

Rp188,4 triliun. Besaran subsidi energi tersebut masih sangat

mungkin jika pemerintah tetap mempertahankan kebijakan

populis.

Sumber: Investor Daily, Oktober 2012

Gambar 4.3. Subsidi Energi Vs Anggaran Infrastruktur (Rp triliun)Gambar 4.3. Subsidi Energi Vs Anggaran Infrastruktur (Rp triliun)Gambar 4.3. Subsidi Energi Vs Anggaran Infrastruktur (Rp triliun)Gambar 4.3. Subsidi Energi Vs Anggaran Infrastruktur (Rp triliun)

Di samping masalah minimnya pendanaan infrastruktur,

pembangunan infrastruktur juga terkendala masalah lahan atau

perizinan di daerah. Pembebasan lahan dan pendanaan menjadi

kendala utama dalam merealisasikan proyek-proyek infrastruktur

82

yang sudah dianggarkan pada tahun 2012. Sedikitnya ada lima

proyek infrastruktur transportasi yang tertunda realisasinya pada

tahun 2012i (Bappenas dan KP3EI dalam Kompas, Oktober

2012), antara lain:

i) Elektrifikasi jalur Padalarang-Bandung-Cicalengka (45km)

dan Kiaracondong-Cicalengka (22km), dengan nilai

proyek Rp304 miliar

ii) Pembangunan pengarah arus Bakauheni sisi timur dan

barat, dengan nilai proyek Rp1.000 miliar

iii) Pengembangan Pelabuhan Panjang dan pengembangan

Pelabuhan Sebalang, dengan nilai proyek Rp282 miliar

iv) Pembangunan Dermaga Kuala Tanjung di Kabupaten

Batu Bara Sumatera Barat, nilai proyek Rp567,5 miliar

v) Pengembangan Bandar Udara Mbai di Kabupaten

Nagekeo (NTT).

Kegagalan pemerintah dalam merealisasikan proyek-

proyek infrastruktur tersebut akhirnya menjadi cermin

ketidakseriusan pemerintah dan menjadi sumber ketimpangan

ekonomi antarwilayah dan ketimpangan antarsektor ekonomi.

Sampai 2011 kue pembangunan masih terkonsentrasi di Jawa

dan Sumatera. PDRB Jawa menyumbang sekitar 57,6 persen dari

total PDB dan Pulau Sumatera mengambil porsi sebesar 23,3

persen. Kedua pulau tersebut menguasai sekitar 82 persen dari

PDB Indonesia. Pulau Kalimantan, Sulawesi, Papua, Bali dan

Nusa Tenggara hanya mendapat bagian sekitar 18 persen.

Disparitas pertumbuhan ekonomi antarwilayah tersebut

semakin tak terbantahkan disebabkan oleh persoalan

infrastruktur. Lebih dari 55 persen infrastruktur terdapat di pulau

Sumatera dan Jawa yang luasnya hanya mencakup sekitar 32

persen dari seluruh wilayah Indonesia. Sisanya sekitar 45 persen

83

sebaran infrastruktur berada di Kalimantan, Sulawesi, Maluku

dan Papua yang luasnya lebih dari 68 persen dari luas wilayah.

Wilayah yang secara relatif cukup seimbang antara luas, sebaran

penduduk dan infrastruktur adalah pulau Sumatera serta Bali dan

Nusa Tenggara. Sedangkan wilayah lainnya cenderung timpang,

baik kelebihan penduduk seperti pulau Jawa maupun yang

kepadatan penduduknya relatif rendah seperti di Kalimantan,

Maluku, dan Papua.

Sumber: Statistik Indonesia, 2012

Gambar 4.4. Perbandingan Luas Wilayah, Penduduk, dan Gambar 4.4. Perbandingan Luas Wilayah, Penduduk, dan Gambar 4.4. Perbandingan Luas Wilayah, Penduduk, dan Gambar 4.4. Perbandingan Luas Wilayah, Penduduk, dan

InfrastrukturInfrastrukturInfrastrukturInfrastruktur, , , , 2011 (persen)2011 (persen)2011 (persen)2011 (persen)

Selanjutnya, ketimpangan antarsektor ekonomi ditunjuk-

kan oleh semakin tergerusnya kontribusi sektor pertanian dan

industri dalam pembangunan. Pada 2011 sektor pertanian hanya

tumbuh 3 persen, bahkan pada 2010 tumbuh 2,86 persen,

padahal pertumbuhan ekonomi nasional di atas 6 persen.

Kondisi yang sama juga terjadi di sektor industri, yang

pertumbuhannya kerap di bawah 4 persen pada 2008 dan 2009.

Menginjak 2011 sektor industri baru membaik dan tumbuh

sebesar 6,2 persen. Namun demikian, kontribusi sektor industri

84

terhadap PDB melorot menjadi 24 persen, padahal pada 2005

mencapai 28 persen. Sebaliknya, sektor nontradeable tumbuh

kencang dan menyumbang besar bagi pertumbuhan ekonomi

nasional.

Jika Indonesia tidak ingin tertinggal dari negara-negara

lain, pembangunan infrastruktur harus segera digencarkan.

Apalagi, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan segera

diberlakukan pada 2015 nanti. Jika kondisi infrastruktur masih

mengenaskan, bukan tidak mungkin Indonesia hanya akan

menjadi penonton dan pasar bagi komoditas impor negara-

negara lain karena rendahnya daya saing atau tingginya biaya

logistik.

4.5 4.5 4.5 4.5 Agenda Mendesak Infrastruktur Agenda Mendesak Infrastruktur Agenda Mendesak Infrastruktur Agenda Mendesak Infrastruktur

Pada September 2012 lalu McKinsey Global Institute

(MGI) menyatakan bahwa Indonesia berpeluang menjadi negara

dengan kekuatan ekonomi ketujuh terbesar di dunia pada 2030.

Alasannya karena pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat

dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya seperti

Brasil, Rusia, India, dan China. Selain itu, pertumbuhan

masyarakat kelas menengah juga cukup signifikan sehingga

sangat dapat diandalkan menjadi kekuatan pasar domestik.

Sungguh pun begitu, pemerintah tidak boleh terburu-

buru membusungkan dada setelah mendengar ramalan MGI

tersebut. Masih terlalu banyak pekerjaan rumah yang harus

segera dibenahi pemerintah, salah satunya yakni persoalan

infrastruktur. Apalagi, perilaku korupsi yang masih merajalela di

negeri ini dikhawatirkan akan menjadi batu sandungan terbesar

bagi upaya pembangunan infrastruktur di Indonesia. Jika

pemerintah tidak serius membenahi problem korupsi dan

85

infrastruktur, momentum untuk menjadi negara terbesar ketujuh

dunia tersebut akan lewat begitu saja dan bahkan menjadi

kebalikannya, Indonesia justru akan terpuruk menjadi bangsa

tertinggal karena seluruh sumber daya yang ada terkuras habis

digerogoti pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

Mendekati pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN

(MEA) pada 2015 nanti, semakin besar kekhawatiran akan

terperosok dan babak belurnya Indonesia dalam menghadapi

babak baru persaingan global di kawasan ASEAN. Bagaimana

tidak, pada pertemuan ASEAN Senior Transport Official 26

November 2012 lalu di Bali, telah disepakati pelaksanakan tiga

proyek vital yang akan menghubungkan Indonesia dengan

negara-negara di kawasan. Proyek tersebut antara lain jaringan

jalan tol ASEAN (ASEAN Highway Network), jalur rel Kunming

Singapura (Singapore Kunming Rail Link), dan studi kelayakan

jaringan kapal penyeberangan (ro-ro) maupun angkutan laut.

Adanya rencana ketiga proyek tersebut membawa konsekuensi

bahwa arus barang dan jasa dari luar negeri akan semakin deras.

Ini artinya pasar Indonesia akan semakin mudah diserbu oleh

produk-produk luar. Padahal, ketersediaan infrastruktur atau

konektivitas dalam negeri masih sangat minim. Jika Indonesia

belum siap dalam memperkuat daya saing produk domestik,

artinya Indonesia akan menghadapi gempuran produk-produk

dari luar negeri.

Sementara itu, proyek percepatan dan perluasan

pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) yang notabene

menitikberatkan pada infrastruktur di semua provinsi justru

terganjal oleh birokrasi sendiri. Tarik ulur kepentingan

antarkementerian maupun pusat-daerah masih sangat menonjol.

Misalnya pada kasus pemberian izin lokasi industri di areal

kehutanan oleh pemerintah daerah, ternyata areal kehutanan

86

tersebut belum dikonversi terlebih dahulu untuk dijadikan areal

industri. Contoh persoalan lain adalah masih belum jelasnya

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di sebagian provinsi.

Berbagai kendala tersebut pada akhirnya justru akan menjadi

penghambat proyek MP3EI yang telah pemerintah dengung-

dengungkan selama ini.

Menyikapi berbagai persoalan yang mendera

infrastruktur tersebut, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah

selain merealisasikan secara konsisten pembangunan

infrastruktur dengan target yang lebih terukur. Beberapa langkah

dan solusi atas permasalahan tersebut antara lain, Pertama,

persoalan keterbatasan dana untuk membiayai proyek-proyek

infrastruktur dapat dipecahkan antara lain dengan cara

membentuk lembaga pembiayaan khusus infrastruktur; melalui

pembiayaan perbankan, terutama bank BUMN; pemanfaatan

sumber pendanaan dari dana pensiun dan asuransi; serta IPO

BUMN yang terkait infrastruktur. Adapun opsi mengeluarkan

surat utang/obligasi sebagai modal pembiayaan dan instrumen

pembiayaan bilateral, multilateral, dan internasional harusnya

menjadi opsi terakhir jika sumber-sumber pembiayaan utama

sudah tidak dapat dilakukan.

Kedua, menjalin kerja sama dengan sektor privat

domestik untuk mengerjakan infrastruktur jalan tol dan

pelabuhan. Pemerintah dapat memberi aneka insentif agar

sektor swasta tertarik masuk ke bidang infrastruktur, seperti

jaminan terhadap risiko proyek yang diperjanjikan dengan

pemerintah guna meningkatkan kelayakan credit

(creditworthiness) proyek, kepastian lahan, fleksibilitas negosiasi

variasi transfer tingkat risiko dari pemerintah ke sektor swasta,

dan lain-lain. Lebih penting lagi, dibutuhkan komitmen politik

untuk memprioritaskan pembangunan infrastruktur.

87

Ketiga, terkait penyelesaian masalah ketimpangan

antarsektoral harus dimulai dengan prioritas pembangunan

infrastruktur di sektor pertanian dan masyarakat perdesaan.

Selama ini proyek infrastruktur yang dibangun pemerintah lebih

berorientasi pada pembangunan jalan (tol), listrik (di perkotaan

dan sektor industri), dan lain-lain. Padahal sektor pertanian

merupakan sektor terbesar yang menjadi tumpuan mata

pancaharian penduduk Indonesia. Untuk itu pembangunan

infrastruktur pertanian dan perdesaan seperti bendungan, irigasi,

jalan perdesaan, dan air bersih harus menjadi prioritas. Apalagi

pemerintah telah mencanangkan target ambisius di sektor

pertanian yakni swasembada pangan.

Keempat, terkait penyelesaian masalah ketimpangan

antarwilayah dapat dipecahkan dengan pembangunan di sektor

maritim/kelautan, tujuan antaranya ialah konektivitas antarpulau.

Sektor kelautan sangat perlu diperhatikan karena dua per tiga

luas wilayah Indonesia merupakan lautan. Apabila sektor

kelautan dikembangkan, maka pembangunan Indonesia bagian

timur akan lebih mudah dicapai sebab sumber daya kelautan

sebagian besar berada di wilayah tersebut.

Pembangunan infrastruktur di sektor kelautan pada 2013

sedikit terbantu dengan adanya pinjaman dari Bank

Pembangunan Asia (ADB) sebesar Rp2,88 triliun untuk

perbaikan konektivitas domestik dan internasional, khususnya

dalam hal perbaikan pelabuhan. Kabar baik juga datang dari

Agen Pembangunan Perancis (AFD) yang menawarkan pinjaman

secara langsung (direct loan) kepada perusahaan-perusahaan

BUMN tanpa melalui perantara dan jaminan pemerintah.

Pinjaman senilai US$400 juta (Rp3,85 triliun) tersebut

diperuntukkan bagi pengerjaan proyek-proyek infrastruktur.

88

Masih banyak persoalan dalam pembangunan

infrastruktur di Indonesia, misalnya kapasitas birokrasi dan

koordinasi pemerintah/kementerian. Kasus korupsi perlu benar-

benar disikapi pemerintah secara serius karena hal itu membuat

kualitas infrastruktur menjadi sangat rendah. Sementara itu,

ketimpangan pembangunan antarwilayah, pelibatan sektor

swasta, dan pemihakan terhadap sektor pertanian/pedesaan

harus diupayakan menjadi pertimbangan utama dalam

pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur tidak

hanya memiliki manfaat ekonomi, namun juga berkontribusi

dalam menciptakan tatanan sosial yang berkeadilan.

89

BAB 5

PerdaganganPerdaganganPerdaganganPerdagangan BebasBebasBebasBebas dandandandan

Lemahnya Lemahnya Lemahnya Lemahnya Daya SaingDaya SaingDaya SaingDaya Saing IndustriIndustriIndustriIndustri

Instrumen perdagangan internasional merupakan salah

satu komponen penting dalam mencapai pertumbuhan ekonomi

suatu negara. Sebagai negara berkembang, Indonesia juga

memanfaatkan komponen ini untuk mengejar pertumbuhan

ekonominya. Hingga 2011, sebesar 11,3 persen sumbangan

terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) berasal dari hasil surplus

neraca perdagangan (BPS, 2012). Namun, nampaknya tradisi

surplus neraca perdagangan Indonesia mulai terganggu

dikarenakan faktor buruknya kinerja perdagangan pada 2012.

Memburuknya kinerja perdagangan Indonesia

disebabkan salah satunya karena rendahnya daya saing dalam

percaturan liberalisasi perdagangan. Indonesia tidak cukup

mempersiapkan diri dalam menghadapi berbagai kesepakatan

kerjasama perdagangan bebas dalam berbagai skema. Padahal

perjanjian perdagangan bebas telah menjadi agenda jangka

panjang bagi setiap negara di dunia.

Perdagangan bebas yang ditandai dengan perjanjian

perdagangan preferensial (Preferential Trade Agreement)

antarnegara telah berevolusi dan berkembang secara signifikan.

Perkembangan PTA dalam rentang 1950 sampai dengan 2012

90

yang dilansir oleh WTO mencatat bahwa terdapat 511 notifikasi

skema PTA yang telah diterima oleh GATT/WTO yang mana

370 di antaranya telah memenuhi ketentuan GATT/WTO

berdasarkan Pasal XXIV. Selain itu ESCAP (2011) juga mencatat

setidaknya setengah dari jumlah PTA yang telah ditandatangani

secara resmi secara aktif melibatkan negara di wilaya Asia

dengan ruang lingkup perjanjian yang bervariasi. Terlepas dari

tingginya variasi dari PTA tersebut, dapat ditarik sebuah benang

merah bahwa tren ekspansi PTA ditandai dengan meningkatnya

partisipasi negara berkembang dalam perdagangan bebas dan

ruang lingkup perjanjian yang ekstra atau dikenal dengan istilah

“komprehensif”. Perdagangan bebas tidak hanya dalam

perdagangan barang, tetapi juga aspek perdagangan jasa,

investasi, kekayaan intelektual, hambatan teknis perdagangan

dan penyelesaian sengketa (dispute settlements).

Dalam menyikapi berbagai kesepakatan perdagangan,

Indonesia telah berkomitmen untuk melakukan strategi

kerjasama perdagangan internasional “triple track strategy”

sebagai pilar strategi diplomasi perundingan perdagangan

internasional. Ketiga pilar startegi tersebut adalah: Pertama,

melalui negosiasi multilateral di bawah naungan WTO. Kedua,

secara regional terutama sebagai anggota dari ASEAN (ASEAN

Trade in Goods Agreement (ATIGA) dan dalam rangka ASEAN

ditambah mitra dagang (ASEAN+3). Bersama ASEAN, Indonesia

telah menyelesaikan kerjasama Free Trade Agreement (FTA)

ASEAN—China Free Area Agreement (AC-FTA), ASEAN-Korea

FTA (AK-FTA), ASEAN-India FTA (AI-FTA), ASEAN-Australia-

New Zealand FTA (AANZ-FTA), dan ASEAN-Japan

Comprehensive Economic Partnership (AJ-CEP). Ketiga,

kerjasama perdagangan secara bilateral, di mana Indonesia baru

menyelesaikan satu perjanjian FTA, yaitu Indonesia-Japan

Economic Partnership Agreement (IJ-EPA).

91

Tabel 5.1. Skema Tabel 5.1. Skema Tabel 5.1. Skema Tabel 5.1. Skema Preferential Trade AgreementPreferential Trade AgreementPreferential Trade AgreementPreferential Trade Agreement Indonesia per Indonesia per Indonesia per Indonesia per

2012201220122012

Jenis PTAJenis PTAJenis PTAJenis PTA Periode Periode Periode Periode

pemberlakuanpemberlakuanpemberlakuanpemberlakuan Ruang LingkupRuang LingkupRuang LingkupRuang Lingkup Skema Liberalisasi PerdaganganSkema Liberalisasi PerdaganganSkema Liberalisasi PerdaganganSkema Liberalisasi Perdagangan

ASEAN ASEAN ASEAN ASEAN Economic Economic Economic Economic

CommunityCommunityCommunityCommunity

AEC 2015 Komprehensif ASEAN-CEPT: ± 98% dari total tariff line

ASEAN ASEAN ASEAN ASEAN ———— ChinaChinaChinaChina

1 Juli 2005 Komprehensif Early Harvest Early Harvest Early Harvest Early Harvest Chapter 01-08 pada tahun 2006

Normal TrackNormal TrackNormal TrackNormal Track: 40% menjadi 0-5% di tahun 2010

Sensitive Track Sensitive Track Sensitive Track Sensitive Track

Sensitive List (SL) : Tahun 2012 = 20%

Highly Sensitive List (HSL) tahun 2015=50%

ASEAN ASEAN ASEAN ASEAN ———— KoreaKoreaKoreaKorea

1 Juli 2007 Komprehensif KoreaKoreaKoreaKorea: Eliminasi Tariff Normal Track sampai dengan 1 Januari 2010.

ASEANASEANASEANASEAN----6666

Normal Track : penurunan tariff saampai tenggat waktu 1 januari 2011 (terdapat fleksibilitas < 5% darif tariff line dalam skema normal track dapat diturunkan pada periodel 1 Januari 2012

Sensitive TrackSensitive TrackSensitive TrackSensitive Track 10% dari total tariff line.

ASEAN ASEAN ASEAN ASEAN ———— Jepang Jepang Jepang Jepang

1 Desember 2008

Komprehensif Normal Track (NT)Normal Track (NT)Normal Track (NT)Normal Track (NT) —90% of total tariff line ASEAN dan 92% total tariff line Jepang Sensitive Track (ST) Sensitive Track (ST) Sensitive Track (ST) Sensitive Track (ST) ---- 8% dari total tariff line HS 6 digit dan nilai perdagangan

ASEAN ASEAN ASEAN ASEAN ———— Australia Australia Australia Australia ———— New Zealand New Zealand New Zealand New Zealand

1 Januari 2012 Komprehensif 90 persen dari NZ tariff line dan 91.77% tariff line Australia akan dihapuskan pada tahun 2010.

90.23% tariff line Indonesia akan dihapuskan pada tahun 2015.

ASEAN ASEAN ASEAN ASEAN ———— India India India India

Indonesia telah meratifikasi perjanjian perdagangan barang

perjanjian perdagangan jasa dan investasi sedang berlangsung

42.56% dari total tariff line Indonesia dan 79.35% tariff line India akan diturunkan sampai dengan tenggat waktu tahun 2016

Sumber: Kementerian Perdagangan, 2012

92

Konsekuensi dari berbagai skema FTA tersebut adalah

bermuara pada penghapusan hambatan (tarif) pada setiap

komoditas yang diperdagangkan. Dengan adanya penghapusan

hambatan khususnya tarif, maka setiap komoditi perdagangan

dapat semakin mudah diperdagangkan antarnegara yang terlibat

dalam perjanjian perdagangan bebas. Ketika tarif tidak dapat lagi

menjadi sebuah proteksi bagi suatu produk, maka daya saing

produk menjadi sangat menentukan dalam mempengaruhi

kinerja perdagangan setiap negara.

Potensi untuk memaksimumkan manfaat atas skema FTA

secara faktual menunjukkan ”under utilized” performance untuk

kasus Indonesia. Meskipun secara umum tren total perdagangan

dengan mitra dagang dalam periode 2011-2012 menunjukkan

besaran positif baik dari sisi ekspor maupun impor dengan

negara mitra PTA, tetapi derajat keterbukaan perdagangan

terutama dengan dengan China dan Jepang mengakibatkan

negative trade balance yang kian mengkhawatirkan. Hal ini

sebagai konsekuensi yang harus diterima Indonesia dalam

menghadapi persaingan di berbagai skema perdagangan bebas.

Dibukanya perdagangan antara ASEAN 6 dan China dan

Economic Partnership dengan Jepang mempunyai konsekuensi

yang luas terhadap perekonomian salah satunya terhadap

konsumsi (consumption effect) sehingga pendapatan riil

masyarakat, meningkat dengan adanya perdagangan. Resultan

dari dampak kenaikan atau penurunan ekspor dan impor secara

total masing-masing komoditas di Indonesia maupun negara

mitra dagang mengakibatkan neraca perdagangan surplus atau

defisit (trade balance). Secara keseluruhan, apakah anggota yang

terlibat dalam skema PTA mendapatkan keuntungan atau tidak

dari pemberlakuan kerja sama tergantung pada tingkat tarif MFN

awal dan karakteristik serta magnitude elastisitas permintaan dan

93

penawaran yang merepresentasikan sejauh mana permintaan

dan pasokan produk sensitif terhadap perubahan harga.

Meskipun terdapat kinerja neraca perdagangan Indonesia

yang prospektif di beberapa pasar tujuan (ASEAN, Korea Selatan,

dan India), namun kecenderungan yang perlu dicermati adalah

tren pertumbuhan ekspor yang relatif lebih rendah apabila

dibandingkan dengan pertumbuhan impor. Jika hal ini terus

terjadi maka dikhawatirkan neraca perdagangan Indonesia akan

mengalami defisit. Kekhawatiran tersebut akhirnya menjadi

kenyataan khususnya pada 2012. Sepanjang 2012 hingga

Oktober, tercatat sedikitnya Indonesia telah mengalami 5 kali

defisit neraca perdagangan. Puncaknya adalah Oktober 2012

yang dapat dikatakan sebagai titik terparah dari tren neraca

perdagangan Indonesia. Pada Oktober 2012 Indonesia

mengalami defisit terbesar dan membawa nilai neraca

keseluruhan tahun 2012 menjadi defisit.

Dalam sebuah sintesa yang dapat diambil berdasarkan

skenario bilateral dan regional FTA menunjukkan bahwa

walaupun sebagian peubah ekonomi makro Indonesia bernilai

positif, tetapi neraca perdagangan Indonesia menjadi negatif.

Indonesia akan dibanjiri banyak barang impor.

Pada hakikatnya, beragamnya skema PTA telah

menciptakan tantangan serius bagi banyak negara berkembang

karena permasalahan keterbatasan sumber daya dari mereka.

Situasi ini menjadi kian kompleks manakala merujuk pada fakta

bahwa mayoritas negara berkembang juga merupakan anggota

WTO. Dengan demikian, problem trade off dalam pemanfaatan

sumber daya mereka untuk negosiasi PTA maupun WTO sulit

untuk dihindarkan.

94

TabelTabelTabelTabel 5.25.25.25.2. Perkembangan Ekspor dan Impor . Perkembangan Ekspor dan Impor . Perkembangan Ekspor dan Impor . Perkembangan Ekspor dan Impor Nonmigas Indonesia Nonmigas Indonesia Nonmigas Indonesia Nonmigas Indonesia

dengan Negara Mitra FTA Periode 2011dengan Negara Mitra FTA Periode 2011dengan Negara Mitra FTA Periode 2011dengan Negara Mitra FTA Periode 2011----2012201220122012

Negara Negara Negara Negara Tujuan/ AsalTujuan/ AsalTujuan/ AsalTujuan/ Asal

Nilai FOB dan CIF(Juta US$)Nilai FOB dan CIF(Juta US$)Nilai FOB dan CIF(Juta US$)Nilai FOB dan CIF(Juta US$) % Perubahan % Perubahan % Perubahan % Perubahan

JanuariJanuariJanuariJanuari----Oktober Oktober Oktober Oktober 2012 thd 20112012 thd 20112012 thd 20112012 thd 2011

Januari Januari Januari Januari ---- Oktober 2011Oktober 2011Oktober 2011Oktober 2011 JanJanJanJanuariuariuariuari————Oktober 2012Oktober 2012Oktober 2012Oktober 2012

EksporEksporEksporEkspor ImporImporImporImpor SelisihSelisihSelisihSelisih EksporEksporEksporEkspor ImporImporImporImpor SelisihSelisihSelisihSelisih EksporEksporEksporEkspor ImporImporImporImpor

ASEANASEANASEANASEAN 27.241,727.241,727.241,727.241,7 24841,424841,424841,424841,4 2.400,32.400,32.400,32.400,3 25777,425777,425777,425777,4 26262626....555,555,555,555,9999 ----777,6777,6777,6777,6 ----5,385,385,385,38 6,906,906,906,90

UNI EROPAUNI EROPAUNI EROPAUNI EROPA 17.137.417.137.417.137.417.137.4 10012,610012,610012,610012,6 7.124,87.124,87.124,87.124,8 14954,714954,714954,714954,7 11111111....453,0453,0453,0453,0 3.501,73.501,73.501,73.501,7 ----12,7412,7412,7412,74 14,3914,3914,3914,39

NEG. NEG. NEG. NEG. UTAMA UTAMA UTAMA UTAMA LAINNYALAINNYALAINNYALAINNYA

69.127,969.127,969.127,969.127,9 61900,861900,861900,861900,8 7.227,17.227,17.227,17.227,1 65656565....582,5582,5582,5582,5 70707070....966,8966,8966,8966,8 ----5.384,35.384,35.384,35.384,3 ----5,135,135,135,13 14,6514,6514,6514,65

7 Cina 17.136,1 20708,7 -3.572.6 16.821,8 23.916,6 -7.094,8 -1,83 15,49

8 Jepang 15.168,0 15601,2 -433.2 14.399,9 19.334,2 -4.934,3 -5,06 23,93

9 Amerika Serikat

13.222,8 8784,7 4.438,1 12.232,3 9.652,3 2.580,0 -7,49 9,88

10 India 11.153,9 3355,2 7.798,7 10.232,9 3.493,3 6.739,6 -8,26 4,12

11 Australia 2.621,3 4256,9 -1.635,6 2.874,8 4.197,6 -1.322,8 9,67 -1,39

12 Korea Selatan

6.389,1 6090,3 298,8 5.583,6 6.898,1 -1.314,5 -12,61 13,26

13 Taiwan 3.436,7 3103,8 332,9 3.437,2 3.474,7 -37,5 0,01 11,95

Total 13 Total 13 Total 13 Total 13 NegaraNegaraNegaraNegara

96969696....103,1103,1103,1103,1 89 371,289 371,289 371,289 371,2 6.731,96.731,96.731,96.731,9 90909090....791,0791,0791,0791,0 100100100100....682,8682,8682,8682,8 ----9,891.89,891.89,891.89,891.8 ----5,535,535,535,53 12,6612,6612,6612,66

LainnyaLainnyaLainnyaLainnya 38383838....611,1611,1611,1611,1 22 590,822 590,822 590,822 590,8 16.020,316.020,316.020,316.020,3 36363636....242,0242,0242,0242,0 23232323....707,1707,1707,1707,1 12,534.912,534.912,534.912,534.9 ----6,146,146,146,14 4,944,944,944,94

Total Total Total Total NonmigasNonmigasNonmigasNonmigas

134134134134....714,2714,2714,2714,2 111 962,0111 962,0111 962,0111 962,0 22.752,222.752,222.752,222.752,2 127127127127....033,0033,0033,0033,0 124124124124....389,9389,9389,9389,9 2,643.12,643.12,643.12,643.1 ----5,705,705,705,70 11,1011,1011,1011,10

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012

Bagi stakeholders PTA di tatanan mikro seperti produsen,

eksportir, dan importir, fenomena ”noodle bowl” dalam

pelaksanaan skema PTA akan membuat lingkungan perdagangan

yang lebih kompleks, karena biaya transaksi akan semakin

meningkat seiring dengan bervariasinya rules of origin dari

setiap PTA. Tingginya cost of compliance kerapkali membuat

skema preferensial menjadi kurang menarik dibandingkan aturan

Most Favoured Nations, mengingat bahwa dalam banyak kasus

margin MFN dan preferential tariff tidak begitu besar.

95

Alasan lain adalah terkait dengan kemampuan pedagang

untuk memanfaatkan skema preferensi PTA. Di banyak kasus,

produsen dan pedagang tidak memiliki informasi yang cukup

dan pengetahuan tentang peluang akses pasar yang dibuka

melalui PTA. Beberapa eksportir tidak menyadari keberadaan

trade concession dan tidak tahu bagaimana menggunakannya.

Dengan demikian, pemerintah harus memfokuskan perhatian

kepada perusahaan mempersiapkan untuk memanfaatkan

konsesi perdagangan yang telah dinegosiasikan. Sebagai

ilustrasi, pemanfaatan fasilitas surat keterangan asal (SKA) oleh

eksportir tidak meningkat dengan cepat sejak implementasi

liberalisasi tarif dalam kerangka kerjasama perdagangan bebas

untuk mendapatkan penurunan bea masuk ke pasar ASEAN,

China, Jepang, Korea Selatan, dan India. Seiring berjalannya

waktu, realisasi pemanfaatan Surat Keterangan Asal (SKA)

dengan kesepakatan perdagangan bebas yang telah

ditandatangani Indonesia secara rata-rata dapat dikatakan

rendah (42,1 persen). Sebagai contoh, kerangka FTA IJ-EPA

merupakan kerangka kerja sama yang menunjukkan nilai

realisasi SKA terendah. Berdasarkan data Direktorat Fasilitasi

Ekspor dan Impor, Kementerian Perdagangan, pada 2011

pemanfaatan SKA form IJEPA hanya sekitar 34 persen terhadap

ekspor nonmigas. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan

mengapa para pelaku usaha di Indonesia tidak memanfaatkan

secara maksimal kesepakatan perdagangan bebas Indonesia

dengan skema FTA tersebut.

Alasan lebih lanjut mengapa volume perdagangan tidak

selalu tumbuh secara ekuivalen dengan intensitas dan jumlah

PTA yang dilaksanakan lebih dikarenakan aspek teknis diluar

ketentuan liberalisasi perdagangan atau dalam hal ini besaran

tarif dan total tariff line semata. Pada industri manufaktur, sangat

96

sulit untuk membuka potensi maksimum hanya dengan

menghapus hambatan perdagangan melalui PTA, karena

terdapat banyak hambatan struktural produksi terkait efisiensi

serta behind the borders barriers.

Satu pesan yang dapat dilihat berdasarkan realisasi

adalah urgensi untuk mengakselerasi industri manufaktur

Indonesia mengingat sektor ini berkontribusi dominan terhadap

total pembentukan nilai ekspor Indonesia dalam aspek nominal

value. Oleh karena itu, paparan selanjutnya akan berfokus pada

hambatan struktural industri manufaktur, melawan

deindustrialisasi dini dan strategi akselerasi produk ekspor

produk manufaktur Indonesia.

5.5.5.5.1111. . . . Kelemahan Struktural Produk Industri MaKelemahan Struktural Produk Industri MaKelemahan Struktural Produk Industri MaKelemahan Struktural Produk Industri Manufaktur nufaktur nufaktur nufaktur

Pengembangan sektor industri yang didasarkan atas

argumentasi keterkaitan industrial (industrial linkage)

mengutamakan pengembangan bidang-bidang industri yang

memiliki kaitan paling luas dengan bidang-bidang kegiatan atau

sektor-sektor ekonomi lainnya, baik kaitan ke belakang

(backward linkage) maupun kaitan ke depan (forward linkage).

Melalui strategi ini sektor industri diharapkan dapat memainkan

perannya sebagai motor yang menggerakkan sektor-sektor

lainnya sehingga dapat dijadikan sebagai basis pertumbuhan

ekonomi suatu negara atau daerah tertentu. Landasan pemikiran

di atas memperlihatkan bahwa pengembangan industri

manufaktur dapat memberikan sumbangan yang besar terhadap

aktivitas ekonomi secara keseluruhan bila dibandingkan dengan

sektor lainnya. Proses peningkatan nilai tambah yang terjadi

pada berbagai jenis industri manufaktur tidak hanya berdampak

terhadap perkembangan internal perusahaan atau industri itu

97

sendiri, tetapi juga berdampak terhadap berbagai aktivitas

ekonomi lain yang terkait seperti aktivitas ekonomi pemasok

bahan baku, barang setengah jadi, dan sektor jasa-jasa atau

aktivitas ekonomi yang memanfaatkan produk-produk yang

dihasilkannya. Semakin besar tingkat keterkaitan aktivitas suatu

industri terhadap aktivitas ekonomi lain di belakang atau di

depannya akan semakin besar dampak yang ditimbulkannya

terhadap aktivitas ekonomi secara keseluruhan. Oleh karena itu,

sektor industri manufaktur diyakini dapat berperan sebagai

sektor pemimpin (leading sector) bagi sektor-sektor lainnya

dalam proses pembangunan ekonomi suatu negara atau daerah

menuju tingkat kemajuan ekonomi yang lebih tinggi.

Keterkaitan yang kuat antara sektor industri dengan

berbagai sektor lainnya merupakan salah satu kunci keberhasilan

industrialisasi. Sebagian besar developing countries merupakan

penghasil produk primer terutama produk pertanian. Oleh

karena itu, industrialisasi di Negara Sedang Berkembang (NSB)

tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkan harus dilakukan

secara simultan melalui proses pembangunan yang sejajar

dengan sektor pendukungnya khususnya sektor pertanian.

Kelancaran program industrialisasi di developing countries

sangat tergantung pada perbaikan-perbaikan yang dilakukan

pada sektor lain dan seberapa besar perbaikan-perbaikan

tersebut mampu mengarahkan dan mendorong pertumbuhan

industri-industri baru. Oleh karena itu, kebijakan yang ditempuh

harus diarahkan pada upaya mewujudkan mekanisme saling

dukung antar sektor.

Di samping itu, trade competitiveness Indonesia masih

terletak pada komoditas primer dengan nilai tambah (value

added) yang rendah. Oktaviani et al (2009) dan Oktaviani et al

(2011) menggunakan model dan data Input Output dengan

98

beberapa indikator seperti keterkaitan ke belakang dan

keterkaitan ke depan untuk mengetahui inter industry

connectivity selama periode 1995-2008. Initial condition pola

industri pada 1995 menunjukkan bahwa indeks keterkaitan ke

belakang industri dengan fokus industri manufaktur Indonesia

berkisar antara 1,00 sampai dengan 1,17. Jika dilihat

berdasarkan perubahan nilai indeks keterkaitan ke belakangnya

pada kurun waktu 1995 sampai dengan 2008, sebagian besar

agro based industries mengalami penurunan indeks keterkaitan

ke belakang (IKKB). Penurunan keterkaitan ke belakang

menunjukkan ketidakmampuan agro based industries untuk

menarik pertumbuhan sektor pertanian on farm. Sehingga,

menguatkan justifikasi bahwa skema perdagangan bebas akan

hadir sebagai tantangan yang berat karena kondisi eksisting daya

saing internal dari agro based industries Indonesia yang lemah

dari sisi nilai tambah. FTA hanya mengandalkan komoditas

primer pertanian yang mempunyai nilai tambah yang rendah

dan komoditas bersifat homogen sehingga sangat rentan

terhadap fluktuasi harga internasional. Sementara itu, non agro

based industries berbasis komoditas pertambangan dan minyak

serta gas bumi juga memiliki tendensi untuk menurun semenjak

periode 2000-2005 meskipun dengan magnitude yang relatif

“moderat” apabila dibandingkan dengan agro based industrie.

Pada akhirnya, baik agro-based maupun non agro-based

industry Indonesia ternyata masih bertumpu pada sumber daya

alam. Keunggulan komparatif yang hanya berdasarkan sumber

daya alam sangat rentan karena daya dukung sumber daya alam

akan sulit dipertahankan. Kenggulan komparatif seharusnya

berdasarkan kemampuan teknologi untuk menciptakan produk

yang terdiferensiasi (differentiated product) sehingga bisa

menentukan harga di tengah pasar persaingan sempurna

(monopolistic competition).

99

Tabel 5.3. Rekapitulasi Indeks Keterkaitan ke BeTabel 5.3. Rekapitulasi Indeks Keterkaitan ke BeTabel 5.3. Rekapitulasi Indeks Keterkaitan ke BeTabel 5.3. Rekapitulasi Indeks Keterkaitan ke Belakanglakanglakanglakang Industri Industri Industri Industri

ManufakturManufakturManufakturManufaktur Indonesia pada Periode 1995Indonesia pada Periode 1995Indonesia pada Periode 1995Indonesia pada Periode 1995----2008200820082008

SektorSektorSektorSektor 1995199519951995

PerubahanPerubahanPerubahanPerubahan 1995199519951995----2000200020002000

2000200020002000----2003200320032003

2003200320032003----2005200520052005

2005200520052005----2008200820082008

Industri pengolahan dan pengawetan makanan

1,17 0,06 -0,03 -0,03 -0,48

Industri minyak dan lemak 1,16 0,01 -0,05 0,11 -0,58

Industri penggilingan padi 1,34 -0,19 -0,02 0,05 -0,41

Industri tepung, segala jenis 1,19 0,01 0,05 0,00 -0,55

Industri gula 1,03 0,12 0,02 0,01 -0,45

Industri makanan lainnya 1,17 0,00 -0,02 0,05 -0,53

Industri minuman 1,18 -0,09 -0,04 0,15 -0,58

Industri rokok 1,00 -0,06 0,00 0,00 -0,56

Industri pemintalan 1,27 0,02 0,03 -0,02 -0,61

Industri tekstil, pakaian dan kulit 1,41 -0,12 0,05 -0,06 -0,67

Industri bambu, kayu dan rotan 1,20 -0,03 -0,08 0,03 -0,54

Industri kertas, barang dari kertas karton

1,26 0,04 -0,07 0,05 -0,64

Industri pupuk dan pestisida 1,38 -0,30 0,25 -0,28 -0,38

Industri kimia 1,35 -0,21 0,27 -0,21 -0,49

Pengilangan minyak 0,96 -0,10 -0,01 -0,04 -0,39

Industri barang karet dan plastik 1,39 -0,12 0,11 -0,06 -0,59

Industri barang-barang dari mineral bukan logam

1,11 -0,03 -0,05 0,02 -0,54

Industri semen 1,12 -0,02 -0,20 0,17 -0,48

Industri dasar besi dan baja 1,16 0,16 -0,07 0,07 -0,58

Industri logam dasar bukan besi 1,24 -0,05 -0,12 0,17 -0,49

Industri barang dari logam 1,28 0,02 0,23 -0,28 -0,73

Industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik

1,47 -0,11 0,00 0,01 -0,66

Industri alat pengangkutan dan perbaikannya

1,30 -0,11 0,02 0,04 -0,66

Industri barang lain yang belum digolongkan di manapun

1,27 -0,01 0,00 0,05 -0,63

Sumber: Tabel Input Output 1995, 2000, 2003, 2005 dan 2008 (Diolah)

100

Struktur industri manufaktur di Indonesia tidak memiliki

linkage improvement yang berarti selama lebih dari sepuluh

tahun (1995-2008). Terdapat dua kemungkinan yang

menyebabkan kondisi yang demikian. Kemungkinan pertama

adalah lambatnya perbaikan atau pengembangan teknologi pada

industri manufaktur di Indonesia, dan kemungkinan kedua

adalah sumber data yang kurang baik. Apapun yang benar-benar

terjadi di antara kedua kemungkinan tersebut, maka

implikasinya sangatlah tidak baik bagi perkembangan daya saing

industri manufaktur Indonesia. Jika ternyata penyebab tidak

adanya perubahan pada industri manufaktur di Indonesia selama

periode 1995-2008 adalah lambatnya perbaikan atau

pengembangan teknologi, maka hal ini menjadi ”warning” bagi

pemerintah dan pelaku industri akan resistansi dan daya saing

industri. Saat ini, semua negara memperbaiki struktur industri di

negara mereka masing-masing mengingat semakin

terintegrasinya perekonomian dunia. Bagaimana Indonesia

mampu bersaing atau paling tidak mampu bertahan dari ”shock”

yang berasal dari negara-negara lain jika dalam jangka waktu

lebih dari 10 tahun tidak ada perbaikan teknologi yang cukup

berarti. Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi Solow,

perbaikan teknologi merupakan hal yang harus dilakukan jika

suatu negara ingin terus tumbuh dalam jangka panjang dan

memberikan peluang untuk meraih benefit yang positif dan

berkesinambungan dari skema perdagangan. Idealnya,

liberalisasi perdagangan akan mendorong peningkatan daya

saing yang bertumpu pada perkembangan teknologi.

Bentuk-bentuk baru perdagangan internasional

mensyaratkan peninjauan ulang dan rekonseptualisasi dari

skema perdagangan yang telah dilakukan. Dominasi ekspor

bahan baku masih terlihat jelas dari keragaan ekspor Indonesia.

101

Meskipun demikian, terdapat kemajuan yang menunjukkan

bahwa Indonesia berhasil meningkatkan derajat integritas

terhadap global supply chain karena berhasil mengekspor

barang modal meskipun dengan proporsi yang minim.

Perkembangan International Production Network

diekspektasikan untuk meningkatkan komprehensivitas PTA dari

sisi investasi. Meskipun demikian, literatur teoritis dan empiris

menyoroti FDI dan offshoring bahwa terdapat biaya tambahan

manajerial dan logistik terkait dengan pemantauan dan

koordinasi produksi internasional untuk mensinkronisasi hukum

dan peraturan yang diperlukan untuk melakukan bisnis di negara

lain yang kemungkinan bernilai cukup tinggi untuk negara-

negara berkembang. Dalam konteks ini, perluasan jaringan

produksi dan khususnya negara di belahan dan Utara-Selatan

dalam hal sharing produksi mutlak terfokus pada perjanjian

yang bertujuan untuk mengisi kesenjangan antara regulasi teknis

terkait persaingan, kerangka kelembagaan, pasar tenaga kerja,

infrastruktur sehingga daya tarik kegiatan-kegiatan production

sharing akan menjadi lebih tinggi (Yeats, 2001).

5.2.5.2.5.2.5.2. Urgensi Revitalisasi dan Hilirisasi Industri Urgensi Revitalisasi dan Hilirisasi Industri Urgensi Revitalisasi dan Hilirisasi Industri Urgensi Revitalisasi dan Hilirisasi Industri

Peningkatan nilai tambah yang dihasilkan oleh industri

manufaktur dan aktivitas ekonomi lainnya yang saling berkaitan,

secara keseluruhan akan dapat meningkatkan produksi total

dalam suatu negara atau daerah sehingga dapat mendorong

peningkatan laju pertumbuhan ekonomi. Kelangsungan proses

produksi dan aktivitas perdagangan yang ditimbulkan oleh

industri manufaktur juga akan memperluas lapangan pekerjaan

sehingga dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja di sektor

industri terutama pada kelompok industri yang bersifat padat

102

karya. Selain itu, jika proses produksi sektor industri berlangsung

secara efisien akan dapat mendorong peningkatan produktivitas

dan daya saing produk di pasar domestik dan internasional. Hal

ini pada gilirannya akan mendorong peningkatan ekspor

berbagai produk industri manufaktur.

Beberapa justifikasi perlunya pencapaian akselerasi

industri manufaktur dapat dikemukakan sebagai berikut:

Pertama, pertumbuhan sektor industri manufaktur menunjukkan

tren cenderung melambat. Setelah krisis 1997/98 sektor industri

tumbuh lebih lambat dari pada sebelumnya. Pada 2005-2010

bahkan tumbuh lebih rendah dari pertumbuhan Produk

Domestik Bruto (PDB). Oktaviani et. al. (2007) menganalisis

dampak krisis ekonomi yang membawa pengaruh negatif

terhadap indeks keterkaitan dan koefisien penyebaran industri

industri berbasis sumber daya lokal dan penurunan output

terbesar terjadi pada industri-industri manufaktur yang semula

dianggap sebagai primadona, seperti alas kaki dan tekstil.

Terlepas dari tendensi penurunan output dan ekspor sektoral.

Meskipun demikian, selama 2011 pertumbuhan sektor industri

manufaktur menunjukkan adanya akselerasi keragaan output

manufaktur dari kuartal ke kuartal, sehingga pada Kuartal III-

2011 pertumbuhan sektor industri mencapai 6,98 persen,

melampaui pertumbuhan PDB yang sebesar 6,54 persen.

Kedua, struktur ekspor masih didominasi bahan mentah

yang mengilustrasikan bahwa porsi ekspor produk manufaktur

(SITC 5—8) makin kecil, turun dari 76 persen pada 2000 menjadi

50 persen pada 2010. Impor produk manufaktur naik pesat

sehingga pada 2008 necara perdagangan produk manufaktur

mengalami defisit.

103

Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011

Gambar 5.1. Perkembangan Historis Sektor Industri Gambar 5.1. Perkembangan Historis Sektor Industri Gambar 5.1. Perkembangan Historis Sektor Industri Gambar 5.1. Perkembangan Historis Sektor Industri Manufaktur Manufaktur Manufaktur Manufaktur

Indonesia Periode 1984Indonesia Periode 1984Indonesia Periode 1984Indonesia Periode 1984----2010201020102010

Ketiga, struktur industri manufaktur perlu lebih diperkuat

di mana terjadi ketergantungan tinggi pada bahan baku impor.

Sebesar 30 persen dari dari total bahan baku industri besar dan

sedang berasal dari impor dan pada 2010 impor bahan baku

mendominasi sebesar 73 persen dari impor nasional. Keterkaitan

ke sektor hilir masih rendah, di mana produksi bahan mentah

sebagian besar di ekspor dalam bentuk barang setengah jadi.

Keempat, tuntutan hilirisasi yang semakin kuat. Lebih jauh,

semangat hilirisasi untuk mengolah bahan mentah sebelum

diekspor semakin berkembang, tuntutan memperluas rantai nilai

komoditas ekspor unggulan seperti CPO, karet alam dan kedua

biji kakao semakin mengemuka, di samping produk

pertambangan mineral dan batubara (Minerba) yang telah

diwajibkan oleh UU No. 4 tahun 2009. Kelima, kegiatan industri

masih terkonsentrasi di pulau Jawa: Semua provinsi di Jawa

mempunyai tingkat industrialisasi tinggi (rata-rata di atas 25

persen). Sementara itu, di 14 provinsi (Aceh, Kalimantan Selatan,

104

Bali, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah,

Barat dan Tenggara, Gorontalo, Maluku, Bengkulu, NTB, NTT

dan Papua) peran Industri di bawah 10 persen dari PDB.

5.3.5.3.5.3.5.3. Melawan DeindustrialisasiMelawan DeindustrialisasiMelawan DeindustrialisasiMelawan Deindustrialisasi

Istilah “deindustrialisasi” kerap kali dimaknai sebagai

penurunan kontribusi sektor industri manufaktur dalam

perekonomian secara keseluruhan. Fase deindustrialisasi

ditandai taktala perkembangan kontribusi sektor industri

manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto mengalami

penurunan dibandingkan sektor ekonomi yang lain. Di saat

industri suatu negara memasuki titik balik ini, setelah

sebelumnya sempat menjadi kontributor utama ekonomi

nasional, perekonomian negara tersebut sedang memasuki fase

deindustrialisasi.

Indonesia sudah mengandalkan sektor industri sebagai

tulang punggung ekonomi sejak 1980-an hingga saat ini. Sektor

ini menjadi aktor utama dalam akselerasi pertumbuhan

ekonomi. Sejak memasuki era 1990-an hingga kini, sektor ini

selalu menyumbang 20 hingga 29 persen ekonomi nasional.

Besarnya kontribusi sektor industri nasional mengakibat-

kan dinamika sektor ini akan secara umum bergerak sejalan

dengan pertumbuhan ekonomi. Ketika krisis Asia melanda

Indonesia tahun 1997-1998, PDB tahun 1998 tumbuh negatif

sebesar 13,3 persen yang juga diikuti oleh penurunan

pertumbuhan sektor manufaktur sebesar 15,4 persen. Apabila

sektor industri memiliki kontribusi yang besar terhadap

perekonomian, maka siklus ekonomi suatu negara tidak terlepas

dari dinamika sektor industri. Dalam hal ini, deindustrialisasi

merupakan pelanggaran dari aturan tersebut yaitu apabila siklus

105

ekonomi tidak lagi mengikuti dinamika sektor industri dalam

jangka panjang.

Pertumbuhan industri manufaktur Indonesia dalam tiga

tahun terakhir menunjukkan tren positif. Data BPS menunjukkan

bahwa rata-rata pertumbuhan industri per triwulan dari awal

2010 hingga Triwulan III-2012 sebesar 4,4 persen. Pertumbuhan

tersebut lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan PDB pada

periode yang sama, yaitu 5,8 persen. Dinamika industri

manufaktur tidak melenceng jauh dari siklus PDB. Lebih

rendahnya pertumbuhan industri dibandingkan PDB

menunjukkan industri saat ini cenderung mengalami kelesuan

dibandingkan sektor ekonomi lain. Namun, dalam beberapa

periode terakhir sektor manufaktur sedang menunjukkan sedikit

perbaikan performa.

Berkaitan dengan perbaikan performa tersebut,

pemerintah mengeluarkan sejak Kebijakan Industri Nasional

sejak 2008 melalui klasterisasi industri dan restrukturisasi

permesinan industri yang telah dimulai sejak 2006. Pada 2009

sektor industri manufaktur mengalami pertumbuhan sebesar 2,2

persen. Pertumbuhan ini mengalami peningkatan pada tahun

selanjutnya menjadi 4,7 persen dan pada 2011 sebesar 6,2

persen. Berdasarkan data publikasi BPS terkini, sektor industri

mengalami pertumbuhan tahunan 6,4 persen pada Triwulan III-

2012.

Beberapa problematika perlu segera dicarikan jalan

keluar oleh pemerintah. Hal ini kembali terkait dengan ancaman

gejala deindustrialisasi yang mengancam beberapa sektor

industri padat karya. Pentingnya sektor industri, baik industri

padat karya maupun industri padat modal membuat sektor ini

tidak serta merta dapat dibiarkan melesu begitu saja. Sektor

106

industri manufaktur masih merupakan sektor utama yang

memegang peranan penting dalam tatanan perekonomian.

Setiap sektor industri manufaktur merupakan sektor

penting karena berperan dalam transformasi sektor primer ke

dalam proses lebih lanjut dalam kerangka industri manufaktur

sehingga menghasilkan nilai tambah yang lebih besar.

Bagaimanapun, sektor industri masih perlu banyak campur

tangan pemerintah untuk benar-benar keluar dari ancaman

deindustrialisasi. Visi pembangunan industri dalam Kebijakan

Industri Nasional yaitu, “Menjadikan Indonesia sebagai negara

industri tangguh di dunia pada tahun 2025” tampaknya tidak

akan mudah dilakukan. Target pertumbuhan industri manufaktur

6,75 persen pada tahun ini memang masih mungkin terkejar

dengan capaian sementara pertumbuhan 6,4 persen di triwulan

ketiga. Namun, tantangan lebih berat akan dihadapi pada 2013

saat ancaman deindustrialisasi akan lebih terasa akibat tingginya

potensi pengangguran dan gulung tikar di sektor industri

terutama industri kecil dan menengah.

5.4.5.4.5.4.5.4. SSSStrategi Utama Akselerasi Industrialisasi trategi Utama Akselerasi Industrialisasi trategi Utama Akselerasi Industrialisasi trategi Utama Akselerasi Industrialisasi

Strategi prioritas pengembangan akselerasi industri

manufaktur secara keseluruhan akan bertumpu pada beberapa

determinan, meliputi partisipasi dunia usaha dalam membangun

infrastruktur dan upaya perbaikan daya saing logistik, percepatan

proses pengambilan keputusan pemerintah untuk menyelesaikan

hambatan birokrasi (debottlenecking) mengingat hal tersebut

merupakan aspek krusial bagi kemajuan iklim usaha dan

investasi, reorientasi kebijakan ekspor bahan mentah dan

sumber energi untuk meningkatkan nilai tambah produk industri,

mendorong peningkatan produktivitas dan daya saing, serta

107

meningkatkan integrasi pasar domestik dan meningkatkan

promosi kegiatan perdagangan dalam negeri sebagai upaya

untuk mengutilisasi potensi permintaan domestik yang besar,

sekaligus menjadi solusi atas kerentanan guncangan permintaan

ekspor dari Negara mitra dagang utama.

5.5. 5.5. 5.5. 5.5. Solusi PermasalahanSolusi PermasalahanSolusi PermasalahanSolusi Permasalahan Behind the Borders BarriersBehind the Borders BarriersBehind the Borders BarriersBehind the Borders Barriers

Di samping outcome kinerja perdagangan yang kurang

maksimal di sisi struktural, Hernandez dan Taningco (2010)

menggunakan pendekatan model gravitasi untuk perdagangan

dan menganalisis bahwa perdagangan bilateral di region Asia

Timur sangat dipengaruhi oleh penundaan waktu dalam

perdagangan, kualitas infrastruktur pelabuhan, layanan

telekomunikasi, dan informasi mengenai kredit. Secara khusus,

perdagangan bilateral dalam industri makanan dan minuman

dan alat transportasi sangat sensitif terhadap penundaan waktu

karena isu perishability, sementara industri peralatan transportasi

terpengaruh barrier tersebut karena sangat ditentukan oleh

prinsip just-in-time. Selain itu, kualitas infrastruktur fisik

pelabuhan ditemukan menjadi penentu utama perdagangan

pasokan industri migas, barang modal, dan barang-barang

konsumsi sehingga menunjukkan bahwa produk ini relatif

tergantung pada transportasi laut. Akses untuk membiayai oleh

eksportir dan importir (yang diwakili oleh informasi kredit)

secara signifikan dan positif terkait dengan perdagangan bilateral

dalam mayoritas sektor sehingga juga menyiratkan bahwa

eksportir dan importir di sektor ini lebih tergantung pada modal

keuangan dibandingkan dengan sektor lainnya. Selain itu,

layanan telekomunikasi berpengaruh cukup signifikan secara

umum dan upaya penegakan kontrak tidak berpengaruh

signifikan untuk perdagangan di semua kategori produk.

108

Lebih jauh mengenai behind the borders barriers,

permasalahan Export Quality Infrastructure (EQI) pada

agrobased product merupakan constraint spesifik yang

berpengaruh secara signfikan terhadap pemasaran produk

tersebut di pasar tujuan ekspor. Kinerja EQI agro-based product

tersebut pada intinya sangat terkait dengan prosedur pengujian,

akreditasi, jaminan kualitas, kalibrasi dan metode verifikasi yang

perlu perbaikan. Kurangnya kompetensi laboratorium pengujian

adalah permasalahan utama bagi agro-based product utama.

Laboratorium sering tidak memiliki fasilitas untuk melakukan tes

yang sesuai diperlukan untuk memenuhi persyaratan mitra

dagang. Akibatnya, laboratorium di Indonesia sering tidak

mampu untuk melakukan semua pengujian dan analisis.

Lord, Oktaviani, dan Ruehe (2010) melakukan kajian

komprehensif mengenai hambatan EQI bagi produk agroindustri

Indonesia, antara lain agro food industries, produk perikanan

dan furniture di Pasar Uni Eropa. Untuk produk makanan

Indonesia, hambatan utama yang sangat penting untuk ditangani

adalah sanitary dan phytosanitary (SPS). Keterbatasan ini telah

mengakibatkan ekspor agro food menjadi terkonsentrasi pasar

ASEAN. Di samping standar dan concern mengenai keamanan

pangan, supply chain supermarket di Uni Eropa telah

menerapkan standar yang sangat tinggi sehinga membuat

produsen Indonesia sulit untuk memasarkan produk mereka.

Pada studi kasus produk perikanan, Indonesia telah

menunjukkan perbaikan kualitas dalam hal keamanan makanan,

serta infrastruktur pelabuhan perikanan dan pendaratan (Good

Aquaculture Practices (GAP) dan Good Handling Practices

(GHP)). Sementara itu, permasalahan krusial budidaya ikan pada

level hulu adalah penggunaan antibiotik dalam produk

perikanan yang akan di ekspor ke pasar Uni Eropa. Hal lainnya

109

yang perlu diperhatikan secara serius adalah pemeriksaan kapal

nelayan yang beroperasi oleh pihak berwenang yang mana

sangat sulit dilakukan di daerah terpencil.

Isu EQI yang berkaitan dengan industri furniture meliputi

kadar air dari kayu, pengerjaan dan standarisasi produk, kualitas

produk jadi, dan uji keamanan. Dikarenakan industri ini

didominasi oleh para pengrajin skala UMKM, maka tantangan

besar yang perlu diperhatikan adalah pemberian manfaat yang

adil antara produsen skala mikro dan para pembuat furniture

dalam skala besar.

111

BAB 6

Strategi Kebijakan PanganStrategi Kebijakan PanganStrategi Kebijakan PanganStrategi Kebijakan Pangan

Sudah lebih dari dua dekade ini dapat dikatakan

eksistensi sektor pertanian di Indonesia terasa kian terpinggirkan.

Pada level makro, realitas tersebut bisa dilihat dari donasinya

terhadap pendapatan nasional (PDB) yang semakin mengecil.

Sedangkan pada level mikro, hubungan antarpelaku ekonomi di

sektor pertanian lebih banyak meninggalkan luka bagi pelaku

ekonomi di sektor hulu karena pembagian nisbah ekonomi yang

timpang. Dalam situasi seperti ini, bisa dibayangkan apabila

kantung-kantung kemiskinan di Indonesia lebih banyak berada

di wilayah perdesaan, terutama yang selama ini bergelut di

sektor pertanian. Kenyataan pahit ini tidak bisa dihindari lagi,

sehingga penyikapan terhadapnya merupakan amanat genting

yang harus dilakukan saat ini. Sampai di sini, yang diperlukan

bukan saja komitmen utuh dari pemerintah untuk

menanganinya, tetapi juga menyusuri persoalan yang terjadi

secara mendalam sehingga bisa diformulasikan konsep/

kebijakan yang tepat untuk membawa sektor pertanian ke arah

pembangunan yang mensejahterakan semua pelakunya.

112

6.1. 6.1. 6.1. 6.1. Kedaulatan Pangan Kedaulatan Pangan Kedaulatan Pangan Kedaulatan Pangan

Kedaulatan pangan merupakan konsep yang lebih luas

daripada ketahanan dan kemandirian pangan. Oleh karena itu,

kedaulatan pangan selalu menjadi isu strategis dalam setiap

konsep pembangunan pertanian. Ini tidak mengherankan karena

pangan merupakan bagian tidak terpisahkan dari sektor

pertanian. Ketersediaan (food availability) dan aksesibilitas

pangan (food accesibility) berkelanjutan akan memengaruhi

tingkat kesejahteraan suatu negara. Bahkan bagi sebuah negara

yang tidak berbasis pada sektor pertanian sekalipun, kedaulatan

pangan tetap diperlukan untuk memastikan tujuan ketahanan

dan kemandirian pangan lebih mudah diupayakan.

Sebagai negara yang berada di daerah tropis, alam

Indonesia menghasilkan berbagai jenis tanaman pangan yang

sangat diperlukan dalam mendukung kedaulatan pangan.

Hampir di setiap daerah di Indonesia mempunyai makanan khas

dengan bahan baku lokal yang beragam. Fenomena diversifikasi

alamiah ini sesungguhnya merupakan modal dalam

pembangunan kedaulatan pangan sehingga opsi membangun

kedaulatan pangan adalah sebuah keniscayaan bagi Indonesia

ke depan. Pemerintah cukup menjaga ketersediaan dan

mengembangkan berbagai jenis tanaman pangan yang akrab

dengan masyarakat lokal agar dapat tercapai kedaulatan pangan

yang berkelanjutan.

Upaya diversifikasi bahan baku pangan di Indonesia

merupakan salah satu bagian penting dari upaya mewujudkan

kedaulatan pangan. Tantangan utamanya adalah bagaimana

upaya diversifikasi tidak mengarah pada ketergantungan sumber

bahan pangan dari impor. Tentu saja peran dan kreativitas ahli

teknologi hasil pertanian agar dapat membuat bahan pangan

113

berbasis lokal yang menarik untuk dikonsumsi sebagai alternatif

dari beras dan tepung terigu sangat diharapkan untuk

mendukung kedaulatan pangan.

Satu lagi tantangan yang juga tidak kalah serius adalah

wacana biofuel sebagai sumber energi alternatif yang kembali

mencuat seiring dengan melonjaknya harga minyak dunia.

Berbagai tanaman pangan yang bisa dijadikan Bahan Bakar

Nabati (BBN) mulai ditingkatkan produksinya, dari mulai sawit,

tebu, hingga singkong. Tujuan utamanya adalah sebagai

substitusi atas kelangkaan energi minyak yang harganya kian

melambung. Ini merupakan bentuk tantangan yang tidak ringan.

Alih-alih ingin mengganti sumber energi minyak bumi yang

mulai langka dan harganya meroket di pasar internasional

dengan sumber energi terbarui, yang terjadi justru harga

kebutuhan pangan dunia ikut melambung.

Gejolak harga ini terjadi karena basis dari BBN tersebut

juga menjadi bahan konsumsi bagi masyarakat. Terdongkraknya

harga pangan dunia akibat dari meningkatnya permintaan

produk tanaman pangan sebagai biofuel pengganti BBM. Efek

lanjutannya, supply bahan pangan untuk kebutuhan konsumsi

berkurang karena terjadi perebutan fungsi tanaman pangan,

yakni sebagai konsumsi orang dan konsumsi mesin. Oleh karena

itu, aspek pemilahan pangan sebagai bahan makanan dan bahan

bakar juga penting diperhatikan dalam strategi membangun

kebijakan kedaulatan pangan ke depan.

Agar dapat terealisasikan, pembangunan kedaulatan

pangan harus menjadi fokus utama kebijakan sektor pertanian.

Urgensi ini mengingat jika diamati dalam rentang waktu yang

cukup panjang, produksi beras dalam negeri cenderung terus

menurun. Pada periode 1970-1979, laju pertumbuhan produksi

114

rata-rata 1,1 persen per tahun, kemudian periode 1980-1989

meningkat menjadi 5,32 persen per tahun. Namun, pada periode

1990-1999 produksi terus menurun hingga rata-rata 1,29 persen

per tahun, dan menjadi 0,71 persen per tahun pada 2000-2011

(Abdullah, 2012).

Sementara itu, dari sisi luas areal panen terjadi fluktuasi,

pada periode 2004 hingga 2006 luas panen beras yang awalnya

mencapai 11,92 juta hektar turun menjadi 11,79 juta hektar.

Selanjutnya hingga tahun 2010 luas panen beras meningkat

hingga mencapai 13,25 juta hektar. Pada tahun 2011 luas panen

beras kembali turun sebesar 50.000 hektar. Selanjutnya, pada

akhir 2012 diperkirakan naik lagi hingga mencapai 13,47 juta

hektar.

*angka ramalan produksi 2, tgl 1 November 2012

Sumber : BPS, berbagai tahun

Gambar 6.1. Kinerja Ekonomi BerasGambar 6.1. Kinerja Ekonomi BerasGambar 6.1. Kinerja Ekonomi BerasGambar 6.1. Kinerja Ekonomi Beras

Fluktuasi luas panen sepanjang 2004-2012 membuat

kinerja pertanian pangan beras cenderung ikut bergejolak.

Akibatnya, meskipun luas panen beras meningkat namun

115

pemerintah masih tetap mengimpor beras sebesar 720 ribu ton

pada Desember 2012. Impor beras dimaksudkan untuk

mencukupi stok beras nasional sebesar 2 juta ton hingga akhir

tahun ini. Impor juga dimaksudkan untuk menjaga stok guna

mengantisipasi kemungkinan ketidakpastian, seperti cuaca yang

tidak menentu.

Tabel 6.1. Impor Beras IndonesiaTabel 6.1. Impor Beras IndonesiaTabel 6.1. Impor Beras IndonesiaTabel 6.1. Impor Beras Indonesia

TahunTahunTahunTahun Jumlah (kg)Jumlah (kg)Jumlah (kg)Jumlah (kg) Nominal (US$)Nominal (US$)Nominal (US$)Nominal (US$)

2008 289.689.411 124 juta

2009 250.473.149 108 juta

2010 687.581.501 360 juta

2011 2.750.620.017 1,5 miliar

2012* 996.232.937 562 juta

* Juli 2012

Sumber : BPS, 2012

Dalam membangun kedaulatan pangan ke depan tentu

saja opsi impor merupakan pilihan yang harus dihindari. Jika

impor pangan masih menjadi solusi instan bagi tercukupinya

konsumsi pangan, maka pembangunan kedaulatan pangan

hanya akan berhenti pada tataran konsep perencanaan. Seluruh

komponen bangsa harus mempunyai political will yang kuat

untuk beranjak dari era importasi pangan yang sudah cukup akut

saat ini, menuju ke kedaulatan pangan yang seutuhnya. Upaya

ini dapat dimulai dengan menyusun ulang arah kebijakan

pembangunan yang lebih berorientasi pada kedaulatan pangan.

116

6.2. 6.2. 6.2. 6.2. Reorientasi Kebijakan PanganReorientasi Kebijakan PanganReorientasi Kebijakan PanganReorientasi Kebijakan Pangan

Isu kedaulatan pangan sangat serius di Indonesia karena

proporsi pendapatan rumah tangga yang dibelanjakan untuk

pangan pada dekade 1980-an mencapai 70 persen dan sekarang

sudah menurun menjadi 50 persen. Walaupun penurunan ini

berarti, tetapi secara umum masih cukup besar karena separuh

pendapatan habis digunakan untuk konsumsi pangan. Sekadar

perbandingan, kondisi ini tentu berbeda dengan, misalnya,

Amerika Serikat/AS yang warga negaranya pada tahun 2003

hanya membelanjakan sekitar 10 persen pendapatan riilnya

(disposable income) untuk konsumsi pangan (food)1. Secara

keseluruhan sejak 1933 sampai kini persentase pendapatan yang

dibelanjakan untuk konsumsi pangan di AS terus merosot. Jadi,

mestinya antara Indonesia dan AS disain kebijakan pangannya

berbeda sebab karakteristik pola pengeluaran pendapatan

penduduknya sangat berlainan.

Menariknya, Pemerintah AS tetap memberlakukan

kebijakan pangan murah (cheap food) meskipun proporsi

pendapatan warganya yang dibelanjakan untuk pangan tidak

besar.2 Kebijakan tersebut memproduksi banyak perdebatan

karena dianggap menimbulkan efek negatif, di antaranya

meningkatkan penderita obesitas. Pada 1971 jumlah penderita

obesitas mencapai 14,61 persen dan pada 2002 telah melonjak

menjadi 31,3 persen (Miller dan Coble, 2007). Hasil studi yang

sama juga menunjukkan kebijakan subsidi langsung di AS

terhadap pangan (sehingga menjadi murah) tidak lantas

memerbaiki keterjangkauan warganya terhadap pangan tersebut,

1 Angka ini merupakan yang terendah di AS sejak 1929, apalagi jika dibandingkan

dengan puncaknya pada 1933 yang mencapai 25,2 persen. 2 Di sini, yang dimaksud dengan kebijakan pangan murah adalah upaya menurunkan

harga pangan di bawah harga keseimbangan kompetitif.

117

baik pada kelompok pangan secara keseluruhan maupun

komoditas pangan yang spesifik. Walaupun begitu, hingga kini

secara umum pemerintah AS masih memberikan proteksi

terhadap pangan.

Jadi, mengacu pengalaman AS, kebijakan pangan murah

an sich, tanpa diimbangi dengan kebijakan lainnya (seperti

penguatan daya beli masyarakat dan distribusi yang bagus) tidak

menjamin setiap warga negara dapat mengakses pangan. Lebih

dari itu, kebijakan pangan murah di negara berkembang, seperti

di Indonesia, selalu bertendensi subsidi kepada kelompok kaya

yang tinggal di perkotaan (urban bias) sehingga menindih petani

(orang desa) dalam dua hentakan sekaligus. Pertama, petani

dirugikan karena insentif laba menjadi sangat kecil akibat

kebijakan pangan murah. Kedua, petani harus membayar harga

yang mahal untuk membeli komoditas nonpertanian karena

pemerintah menyerahkan mekanisme penentuan harga

berdasarkan mekanisme pasar. Sungguh tidak sulit untuk

memahami perkara sederhana ini, namun dalam sejarahnya

sukar untuk mengimplementasikan pondasi kebijakan ini karena

kuatnya aspek politik yang bermain dalam arena pengambilan

keputusan.

Pertanyaannya, bagaimana sikap yang harus diambil

Indonesia untuk menciptakan kedaulatan pangan? Apakah

Indonesia harus mengambil pola kebijakan yang sama dengan

AS (seperti diuraikan di depan), ataukah mendisain kebijakan

yang sama sekali lain? Tampaknya, kebijakan harga pangan

murah juga bukan solusi yang baik bagi Indonesia karena

menjadikan petani sebagai korban (victim of development).

Namun, meniadakan sama sekali kebijakan tersebut juga

bermasalah karena proporsi pengeluaran rumah tangga terhadap

118

pangan masih cukup besar (50 persen) dan pendapatan per

kapita penduduk rendah pula.

Di sinilah diperlukan kebijakan ganda (dual policies)

sebagai jalan kompromi untuk menyatukan dua kepentingan

tersebut. Pertama, subsidi harga produk dihilangkan (khususnya

dalam jangka menengah/panjang) untuk diganti subsidi input

(bibit, pupuk, penyuluhan, irigasi, dan lain-lain). Kedua,

stabilitas pasar harus dibangun untuk menjamin kepastian bagi

konsumen komoditas pangan.

Khusus untuk kebijakan stabilitas pasar dapat dicapai

melalui perubahan struktural sehingga mampu memerbaiki

sektor pertanian dengan cara: (i) peningkatan diversifikasi

konsumsi pangan sehingga tidak terkonsentrasi pada komoditas

tertentu (misalnya beras); (ii) penyebaran surplus komoditas

pangan ke tempat lain yang mengalami defisit; dan (iii) interaksi

strategis antara sektor publik dan swasta untuk mencegah

instabilitas pasar dan krisis pangan. Secara spesifik, soal

diversifikasi konsumsi pangan memang penting karena

mempermudah proses penguatan kedaulatan pangan.

Pengalaman di Afrika Timur dan Selatan juga menunjukkan hal

itu, di mana ketergantungan konsumsi yang sangat besar

terhadap jagung (dan beras) membuat kedaulatan pangan di

sana menjadi rapuh (Jayne, et. al, 2006). Jadi, pemerintah harus

merintis program diversifikasi pangan mulai sekarang juga.

Dengan jalan inilah kedaulatan pangan bisa terwujud dan bukan

sebatas sebagai retorika politik.

Sesungguhnya banyak jalan keluar yang bisa dilakukan

oleh pemerintah dalam membangun kedaulatan pangan, namun

salah satu yang dapat diupayakan saat ini adalah dengan

melakukan proses transformasi sektor pertanian secara utuh.

119

Proses transformasi itu sendiri bisa diletakkan dalam tiga level.

Pertama, pemerintah menyediakan dan memperbaiki

infrastruktur dasar yang diperlukan bagi pembangunan

pertanian, misalnya pengadaan jalan, jembatan, sistem irigasi,

penelitian dan pengembangan, penyuluhan, dan (tentu saja)

reformasi tanah. Kedua, memperkuat pasar sebagai media yang

akan mempertemukan transaksi antara sektor hulu dan hilir di

sektor pertanian. Pada level ini setidaknya terdapat tiga

pekerjaan yang harus dilakukan oleh pemerintah, yakni

mendisain sistem keuangan yang sesuai dengan kebutuhan

pelaku di sektor pertanian (musiman), sistem pasokan input, dan

pasar output lokal. Ketiga, menggandeng pelaku ekonomi swasta

(private sector) untuk mengeksekusi kegiatan lanjutan di sektor

pertanian, khususnya pemasaran dan pengolahan komoditas

pertanian sehingga memiliki keterkaitan dengan sektor non-

pertanian.

Terkait rekomendasi ketiga, integrasi sektor pertanian dan

industri melalui upaya menggandeng pelaku ekonomi swasta

diharapkan akan berimplikasi besar bagi terwujudnya

kemakmuran bersama. Hal ini mengingat sektor pertanian dan

industri merupakan dua pilar strategis perekonomian Indonesia

yang bersentuhan langsung dengan aspek penyerapan tenaga

kerja. Sektor pertanian merupakan sektor yang bertanggung

jawab menyediakan kebutuhan pangan masyarakat sehingga

eksistensinya mutlak diperlukan. Sektor ini menyediakan bahan

baku (raw material) bagi sektor industri (agroindustri) sehingga

aktivitas proses produksi industri dapat terus berlangsung. Sektor

pertanian juga merupakan sektor yang menyediakan kesempatan

kerja terbesar bagi tenaga kerja, saat ini sekitar 40 persen dari

seluruh angkatan kerja Indonesia bekerja di sektor pertanian.

Sementara itu, sektor industri merupakan sektor yang berperan

120

penting dalam meningkatkan nilai tambah suatu produk,

termasuk produk sektor pertanian.

Keterpaduan sektor pertanian sebagai basis dan sektor

industri sebagai pencipta nilai tambah akan meningkatkan

kesejahteraan para pelaku ekonomi di sektor ini. Salah satu

wujud nyata integrasi sektor pertanian dan sektor industri adalah

lahirnya istilah agribisnis atau usaha berbasis sektor pertanian.

Oleh karena itu, sebelum masuk pada rekomendasi kebijakan

tentang kedaulatan pangan, pada subbab selanjutnya sektor

agribisnis akan dibahas lebih mendalam, baik terkait dengan

prospek maupun tantangan industri ini ke depan terutama pada

2013.

6.3. 6.3. 6.3. 6.3. Prospek dan Tantangan Industri Agribisnis Prospek dan Tantangan Industri Agribisnis Prospek dan Tantangan Industri Agribisnis Prospek dan Tantangan Industri Agribisnis

Prospek industri agribisnis Indonesia pada 2013 relatif

lebih baik dibandingkan dengan kondisi pada 2012 yang penuh

drama karena dampak kekeringan di negara-negara besar

produsen pangan, seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Australia.

Di belahan bumi lain, Brazil sebagai salah produsen gula dan

kedelai terbesar di dunia juga sedang mengalami anomali cuaca

yang relatif basah yang sempat membuat harga-harga cukup

liar. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah, apakah dampak

keliaran dan fluktuasi harga-harga komoditas agribisnis pada

2012 masih akan berlanjut pada tahun 2013? Jika pemulihan sisi

suplai dan stabilitas harga tidak kunjung tercapai pada kuartal

pertama 2013, apa saja yang harus dilakukan industri agribisnis

di Indonesia?

121

6.3.1. 6.3.1. 6.3.1. 6.3.1. Klasifikasi Industri AgribisnisKlasifikasi Industri AgribisnisKlasifikasi Industri AgribisnisKlasifikasi Industri Agribisnis

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, pertama perlu

diuraikan kondisi industri agribisnis selama ini serta

kecenderungannya dalam beberapa tahun terakhir. Industri

agribisnis Indonesia terbagi menjadi empat kelompok besar,

yaitu:

(1) Kelompok industri primer yang sangat mengandalkan pasar

ekspor karena pasar domestik tidak terlalu berkembang dan

industri sekunder hilir di dalam negeri tumbuh masih sangat

lambat

(2) Kelompok industri pangan pokok, yang umumnya didomi-

nasi oleh pangan sumber karbohidrat dan sedikit protein

(3) Kelompok industri hortikultura, dengan andalan bunga dan

buah-buahan plus sedikit tanaman hias dan tanaman obat

(4) Kelompok industri basis peternakan, terutama unggas dan

produk unggas, dengan karakter yang sedikit berbeda.

Tanpa bermaksud mengesampingkan industri berbasis

perikanan-kelautan dan kehutanan, potret masing-masing

kelompok industri agribisnis di atas dapat diuraikan berikut ini:

6.3.2. 6.3.2. 6.3.2. 6.3.2. Industri PrimerIndustri PrimerIndustri PrimerIndustri Primer

Kelompok industri primer didominasi oleh komoditas

perkebunan, seperti kelapa sawit, karet, kopi, kakao, lada, teh,

dan lain-lain. Produk primer perkebunan selama ini lebih

banyak untuk mengisi pasar-pasar ekspor dan pengumpul

devisa. Kecuali teh dan lada, secara umum kinerja produksi

kelompok ini cukup baik dan sangat baik, dengan performa

ekspor cukup spektakuler. Ekspor minyak sawit mentah (CPO)

122

yang mencapai 18 juta ton dengan nilai devisa melebihi US$16

juta tentu menjadi salah satu andalan ekspor yang mampu

menggoyang pasar global, walau harganya amat fluktuatif,

terutama pada paruh kedua 2012. Harga CPO pada 2013

diperkirakan akan kembali stabil dan mampu dijadikan acuan

bagi keputusan investasi baru, terutama di sektor industri hilir.

Keputusan pemerintah untuk menggenjot produk hilir

sawit dengan mengenakan pungutan ekspor (PE) hingga 25

persen — tergantung harga jual — sempat membuat marah pelaku

industri sawit di Malaysia. Mereka khawatir tidak memperoleh

pasokan CPO yang memadai dari Indonesia dan mengancam

eksistensi industri atau kilang pengolahan produk turunannya.

Pada 2013, industri primer kelapa sawit tetap akan menjadi

andalan penerimaan devisa negara dengan tantangan yang juga

tidak kalah berat, karena tekanan politik, persaingan bisnis dan

spekulasi pasar pada tingkat bursa global masih akan mewarnai

dinamika CPO.

Masih segar dalam ingatan masyarakat, CPO Indonesia

tidak berhasil diterima sebagai salah satu dari 54 produk ramah

lingkungan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC di

Vladivostok September 2012. Amerika Serikat (AS) dan Eropa

selama ini terkenal sangat kritis — dan cenderung nyinyir —

terhadap CPO Indonesia. Walaupun Indonesia telah berjuang

untuk memiliki skema standarisasi dan sertifikasi sendiri atas

produk kelapa sawit yang dikenal dengan ISPO (Indonesia

Sustainable Palm Oil), AS dan Eropa masih akan mencari

kelemahan CPO Indonesia. Posisi negara-negara besar yang

sangat berpengaruh pada Forum Ekonomi Regional APEC

tersebut seharusnya telah diantisipasi dari awal. Sikap

antisipatif, tegar, dan deterministik dari para pemimpin

Indonesia tentu sangat dihargai oleh masyarakat, dibandingkan

dengan sikap membantah-menyangkal (denial) bahwa KTT

123

APEC bukan arena negosiasi dagang. Setiap pertemuan dua

negara atau lebih seharusnya diperlakukan sebagai sebagai

ajang diplomasi ekonomi dan arena negosiasi untuk

memperjuangkan kepentingan nasional di kancah global.

Komoditas perkebunan lain yang diperkirakan akan

rebound pada 2013 adalah karet, kopi, dan kakao karena

fenomena penuruan harga produk primer ini tidak berlanjut

terus menerus. Berbeda dengan CPO, peningkatan produksi

dari komoditas ekspor ini tidak terlalu cepat, karena lebih dari

85 persen pelakunya adalah petani kecil dengan skala ekonomi

tidak terlalu menguntungkan. Produksi karet 2013 dapat saja

menembus 3 juta ton, produksi kakao mampu di atas 700 ribu

ton dengan sedikit usaha dari Pemerintah dan Pemerintah

Daerah, dan kopi masih berkisar 600 ribu ton karena

keterbatasan lahan untuk ekspansi, kecuali ke daerah

penyangga hutan lindung dan Taman Nasional.

Upaya hilirisasi produk primer dari karet masih akan

lambat karena persoalan mendasar iklim investasi di Indonesia

dan kompatibilitas bisnis plus kinerja sebagian besar

Pemerintah Daerah tidak terlalu baik. Industri hilir berbasis

kakao mungkin akan berkembang, bergantung pada konsistensi

dan dukungan pemerintah untuk mewujudkan strategi

peningkatan nilai tambah kakao di dalam negeri. Pungutan

ekspor yang dikenakan pada biji kakao akan menjadi bahan

pemantauan masyarakat luas, terutama jika strategi hilirisasi

terjebak pada struktur pasar yang tidak sehat. Prospek industri

hilir berbasis kopi pada 2013, terutama industri makanan,

industri kuliner akan berkembang sangat pesat, terutama karena

perubahan hidup kaum urban yang semakin terbiasa dan

bahkan mencandu untuk menyelesaikan urusan-urusan

bisnisnya di kedai-kedai kopi.

124

Catatan penting lain untuk industri primer perkebunan

ini fluktuasi harga, yang dapat saja terjadi di luar keseimbangan

penawaran dan permintaan, karena spekulasi pemain-pemain

besar komoditas di tingkat global. Diskusi publik tentang

gagasan Bursa Regional Komoditas Asia juga akan menjadi

agenda publik pada 2013, terutama karena Indonesia menjadi

Ketua Organisasi Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC). Di

pasar spot komoditas, struktur pasar komoditas primer masih

cenderung oligopsoni dan arah pergerakan transmisi harga yang

cenderung searah pasti akan merugikan petani sebagai

pengampu kepentingan yang paling besar jumlah dan

magnitude-nya. Konsekuensinya adalah bahwa kenaikan harga

di tingkat global sangat lambat ditransmisikan kepada harga jual

produk petani, tetapi penurunan harga di tingkat global cepat

sekali sampai ke tingkat petani. Apabila Bursa Regional itu

mampu menjadi insentif besar bagi seluruh pelaku industri

untuk meningkatkan mutu komoditas primer di hulu, menjadi

referensi pada pembentukan harga di tingkat domestik, maka

diskusi publik yang berkembang akan cenderung positif.

Demikian pula sebaliknya.

6.3.3. 6.3.3. 6.3.3. 6.3.3. Industri Pangan PokokIndustri Pangan PokokIndustri Pangan PokokIndustri Pangan Pokok

Kelompok industri pangan pokok pada 2013 akan terus

berkembang, walau tidak sedahsyat perkembangan pada

kelompok industri primer. Tantangan serius dari faktor eksternal

masih akan mewarnai kinerjanya, seperti perubahan iklim,

eskalasi harga pangan strategis, semakin berdampak pada kinerja

produksi dan ketersediaan pangan di dalam negeri. Struktur

perdagangan komoditas pangan pokok, terutama beras, semakin

sulit dipercaya setelah negara-negara produsen beras lebih

125

terfokus mengatasi persoalan di dalam negerinya. Mereka tidak

jarang melakukan kejutan-kejutan perdagangan (trade shocks),

seperti restriksi ekspor dan proteksi berlebihan, sehingga

Indonesia tidak pantas menggantungkan urusan ketahanan

pangannya hanya kepada beras impor.

Produksi pangan akan menjadi cerah atau suram

sebenarnya banyak ditentukan oleh kesungguhan pemerintah

sebagai pemilik kewenangan eksekusi, beserta seluruh

pengampu kepentingan sektor pertanian dalam membangun dan

melaksanakan rencana pembangunan pertanian yang telah

dirumuskan. Kinerja produksi pangan domestik masih tertatih-

tatih, apalagi berambisi mencapai target besar mencapai

swasembada untuk lima komoditas strategis: beras, jagung,

kedelai, gula dan daging sapi nanti pada 2014. Kenaikan

produksi beras sampai 4,9 persen pada akhir 2012 mungkin

akan berlanjut pada 2013, walaupun masih tergantung pada

sistem insentif yang diberikan pada petani padi, plus upaya besar

perbaikan infrasturktur irigasi, drainase, dan strategi adaptasi

perubahan iklim. Tetapi, target swasembada beras mungkin

relatif paling aman, walaupun untuk memenuhi surplus

sebenarnya sampai 10 juta ton pada 2014 masih sulit tercapai.

Terlalu sulit untuk menghentikan laju konversi lahan sawah

subur menjadi kegunaan lain, serta untuk mengejar perbaikan

sistem infrastruktur irigasi yang telah rusak cukup parah, jika

tidak ada perubahan radikal dalam kebijakan Pemerintah dari

tingkat pusat sampai daerah.

Kenaikan produksi jagung juga akan berlanjut, walau

pun masih cukup sulit untuk mencapai target 24 juta ton yang

dicanangkan pemerintah. Target swasembada jagung mungkin

masih dapat tercapai, asalkan semua kebijakan insentif

peningkatan produksi dan produktivitas benar-benar

126

dilaksanakan secara konsisten, mulai dari ketersediaan benih

unggul (hibrida), pupuk yang tepat dan penanganan hama-

penyakit yang terpadu. Petani jagung tidak boleh dikecewakan

oleh sistem usahatani dan kelembagaan pemasaran dan

penanganan pasca panen yang umumnya berhubungan dengan

industri pakan ternak.

Target swasembada gula 4,2 juta ton hampir pasti tidak

akan tercapai pada 2014 karena persoalan kelembagaan yang

melingkupinya terlalu kusut, mulai dari tingkat usahatani di

hulu, perdagangan dan distribusi di tengah, sampai pada struktur

pasar dan pemasaran yang penuh misteri. Industri gula rafinasi

akan menjadi tantangan tersendiri bagi pengembangan industri

gula berbasis kebun tebu di dalam negeri.

Target swasembada kedelai 2,5 juta ton pada 2014 juga

sulit tercapai karena fenomena ”dekadelisasi” di Indonesia telah

demikian parah, terutama selama 20 tahun terakhir. Pada tahun

2012, areal panen kedelai menurun secara drastis sampai pada

laju 6 persen per tahun dan kini hanya tinggal 567 ribu hektar.

Sekadar perbandingan, lahan kedelai pernah mencapai 1,4 juta

hektar dan produksi kedelai pernah mencapai 1,8 juta ton pada

awal 1990-an. Sudah terlalu lama sistem insentif dan kebijakan

pada agribisnis kedelai rusak (atau sengaja dirusak?) karena

inkonsistensi para pemimpin di negeri ini. Siapa pun harus

mampu bersikap realistis karena akan sangat sulit untuk

membalikkan keadaan menjadi seperti negeri dongeng.

Uraian di atas seharusnya telah memadai untuk

menjelaskan bahwa kinerja produksi pangan dalam negeri yang

buruk akan sangat rentan terhadap gejolak produksi pangan di

luar negeri. Sebagian besar (89 persen) impor kedelai Indonesia

yang mencapai hampir 2 juta ton tersebut berasal dari Amerika

127

Serikat, sehingga fenomena kekeringan di AS langsung

melonjakkan harga kedelai di dalam negeri. Solusi kebijakan

instan Pemerintah dengan menghapus tarif impor bea masuk

kedelai sampai nol persen mungkin menjadi kosmetik sesaat.

Tetapi langkah kebijakan instan tersebut bukanlah opsi yang

tepat, jika target Pemerintah memang ingin mencapai

swasembada kedelai. Kebijakan pangan yang mampu

meningkatkan ketahanan pangan dan kedaulatan bangsa tidak

akan pernah dicapai dengan cara potong kompas. Pencapaian

tujuan mulia tersebut memerlukan keteguhan hati pemimpin,

konsistensi kebijakan, dan integritas perumus dan pelaksana

kebijakan di negeri ini.

Produksi daging sapi 2012 diperkirakan mencapai 320

ribu ton, dan masih cukup jauh dari angka konsumsi yang

mencapai 400 ribu ton setiap tahun. Akibatnya, Indonesia harus

melakukan impor sapi dari Australia sebanyak 300-500 ribu ekor

sapi hidup (30-40 persen dari total). Sesuatu yang menarik dari

statistik sapi adalah bahwa Hasil Sensus Sapi Tahun 2011

menunjukkan bahwa jumlah populasi sapi (dan kerbau) adalah

15 juta ekor. Jumlah ini sebenarnya lebih tinggi dari estimasi

selama ini 13,5 juta ekor. Jika data BPS ini benar, maka

Indonesia seharusnya sudah mencapai swasembada daging,

sehingga tidak harus menunggu sampai 2015. Fakta yang terjadi

adalah bahwa tidak semua populasi sapi ini berupa stok aktif

daging karena sebagian besar peternak hanya punya 2-3 sapi,

untuk investasi.

Indonesia sampai saat ini masih mengimpor sapi hidup

dan bahkan daging sapi, yang sering menimbulkan pertanyaan

kritis dari masyarakat. Pada 2013, ekonomi daging sapi

diperkirakan akan mengalami perubahan radikal karena

perbedaan data dan kebijakan yang demikian tajam. Ekonomi

128

daging sapi mirip dengan ekonomi beras, bahwa persoalan ada

di basis estimasi kebutuhan daging dan rente ekonomi (politik)

impor sapi (+daging sapi). Langkah awal untuk membenahinya

adalah memperjelas berbagai ketidakpastian tentang data

produksi dan konsumsi daging sapi, sehingga target-target

swasembada daging dapat diprediksi dengan akurat.

6.3.4. 6.3.4. 6.3.4. 6.3.4. Industri HortikulturaIndustri HortikulturaIndustri HortikulturaIndustri Hortikultura

Industri agribisnis hortikultura masih sporadis, walaupun

berpotensi sangat besar. Kinerja produksi tidak kunjung

membaik, jika tidak dikatakan hampir semua mengalami

penurunan. Demikian juga, kinerja perdagangan hortikultura

setali tiga uang. Alih-alih menghasilkan devisa negara yang

dapat dibanggakan, ternyata impor sektor hortikultura semakin

besar. Sebaliknya, upaya menembus pasar ekspor komoditas

hortikultura tropis nan eksotis seperti markisa, manggis, paprika,

anggrek ungu, mawar hitam dan lain-lain seakan menghadapi

tembok besar. Persyaratan karantina yang super ketat di negara

tujuan masih sangat sulit untuk ditembus oleh pelaku

hortikultura domestik, kecuali hanya beberapa eksportir saja.

Pemerintah yang seharusnya mampu menjadi fasilitator dan

dinamisator kegiatan agribisnis dan perdagangan hortikultura

masih belum menunjukkan kinerja yang dapat dibanggakan.

Salah satu kekhasan dari agribisnis hortikultura di

Indonesia adalah karakter variasi yang sangat besar, baik dalam

kapasitas pelaku, skala usaha dan akses terhadap informasi,

jaringan pasar, teknologi, pembiayaan, perbankan dan

sebagainya. Subsektor sayuran umumnya melibatkan petani

kecil dengan tingkat pendidikan tidak terlalu tinggi, dengan skala

usaha ekonomi tidak terlalu efisien dan sering terombang-

129

ambing oleh struktur pasar yang tidak bersahabat. Subsektor

buah-buahan masih sering mengandalkan musim, tanpa

sentuhan teknik budidaya yang memadai, sehingga juga cukup

sulit untuk menghadapi keganasan administrasi bisnis

supermarket dan retail modern. Kedua subsektor ini seakan

mewakili sebagian besar dari agribisnis hortikultura Indonesia,

yang sampai saat ini masih sangat rentan terhadap kejutan-

kejutan perdagangan internasional, seperti impor pada kasus

banjir impor kentang dan bawang merah selama ini.

Subsektor tanaman hias dan bunga atau florikultura

sedikit lebih unggul, setidaknya lebih elit, karena para pelakunya

memiliki omzet ratusan juta, bahkan miliaran rupiah, masih

harus bekerja keras menembus pasar-pasar luar negeri dengan

karakter persaingan yang juga ketat. Sebagaimana khasnya

sektor lain yang berisiko tinggi kesalahan perhitungan sedikit

saja pada ekonomi hortikultura, dapat mengakibatkan kerugian

yang juga tidak kecil. Tidak terlalu mengherankan apabila

inisiatif investasi di sektor hortikultura, yang sebenarnya

berpenghasilan sangat tinggi itu, juga cukup rendah. Pemerintah

seakan tidak mampu bekerja keras untuk memfasilitasi aktivitas

investasi sektor hortikultura yang amat dibutuhkan saat ini.

Seorang sahabat yang menekuni bisnis buah-buahan

sejak mahasiswa di era 1980-an ternyata harus mengalami jatuh-

bangun yang amat dahsyat, karena agribisnis buah-buahan

memang penuh tantangan dan risiko. Risiko usaha seperti

gangguan cuaca, serangan hama dan penyakit tumbuhan,

sebenarnya tidak terlalu berat dan masih dalam batas toleransi

manajemen agribisnis yang diyakini pelaku. Beban menjadi

demikian besar ketika pelaku di sektor hulu ini harus

menanggung risiko pemasaran, potongan harga, kontribusi

promosi dan lain-lain yang diterapkan oleh supermarket dan

130

hypermarket yang menjadi outlet dari pelaku agribisnis buah-

buahan. Sistem pembayaran yang umumnya tertunda 2-3 bulan

kepada petani buah, sedangkan supermarket dan hypermarket

lebih sering menerima pembayaran cash dari konsumen.

Sahabat itu akhirnya terjun pada bisnis hortikultura di hilir

dengan mengembangkan usaha retail aneka-rupa jus buah,

parsel dan paket buah-buahan, sehingga agribisnisnya

berkembang hingga kini.

Teman lain yang berprofesi sebagai eksportir bunga hias,

yang bermitra dengan petani di Kawasan Puncak, Bogor sedang

mengalami stagnasi karena negara tujuan ekspornya sedang

bermasalah secara ekonomi. Sebagai pelaku, ia sering sekali

merasa harus berjuang sendirian, berjibaku menembus kerasnya

persaingan global, bahkan dari sesama negara anggota ASEAN.

Pameran dagang dan ekspo internasional holtikultura yang

seharusnya menjadi arena promosi komoditas florikultura dan

bunga eksotis yang nyaris tidak ditemukan di belahan bumi lain,

terkadang hanya berfungsi sebagai kegiatan rutin administratif

semata, tanpa rumusan langkah-langkah konkrit yang harus

ditindaklanjuti.

Prospek industri hortikultura akan kembali menggeliat

jika Pemerintah segera mengambil langkah-langkah seperti

berikut. Pertama, izin impor produk hortikultura lebih diperketat,

terutama yang berpotensi mencederai ekonomi petani kecil yang

jumlahnya sangat besar. Kementerian Pertanian perlu lebih

selektif memberikan rekomendasi impor sambil memanfaatkan

kaidah-kaidah perlindungan teknis dan ekonomis sebagaimana

yang menjadi kewenangan Badan Karantina Pertanian.

Kemudian, pembenahan struktur pasar hortikultura

dalam negeri, termasuk peningkatan kapasitas pelaku tentang

131

peningkatan mutu, persyaratan kesehatan sesuai tuntutan

konsumen modern yang lebih beragam. Terakhir adalah

pembenahan fungsi intelijen pasar dan perbaikan diplomasi

ekonomi oleh semua kantor perwakilan Indonesia di luar negeri.

Langkah ini selain bermanfaat untuk promosi negara Indonesia,

juga akan berkontribusi pada peningkatan daya saing agribisnis

Indonesia secara umum.

6.3.5. 6.3.5. 6.3.5. 6.3.5. Industri Basis PeternakanIndustri Basis PeternakanIndustri Basis PeternakanIndustri Basis Peternakan

Berbeda dengan subsektor ruminansia yang sedang

bermasalah, subsektor perunggasan mengalami kinerja dan masa

depan yang cerah, produksi tahun 2012 diperkirakan mencapai

1,5 juta ton dan surplus lebih dari 300 ribu ton. Tahun 2013,

subsektor perunggasan juga akan mengalami surplus, walaupun

permintaan daging ayam masih akan cenderung meningkat.

Namun, produksi dan konsumsi daging ayam ini masih sangat

sensitif terhadap isu biosafety seperti kasus flu burung serta

dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkannya. Sifat konsumsi

daging ayam yang sangat elastis terhadap perubahan harga dan

perubahan selera konsumen adalah beberapa faktor yang perlu

diperhatikan dalam pencapaian kinerja stabilisasi harga daging

sapi, daging ayam dan produk peternakan ini. Pada hari-hari

besar keagamaan, seperti Idul Fitri dan Idul Adha, permintaan

daging ayam dan telur di Indonesia meningkat secara signifikan,

suatu pola rutin yang terkadang paradoksal apabila dikaitkan

dengan upaya pengendalian konsumsi.

Dalam ekonomi pertanian, karakter perubahan

permintaan tinggi seperti inilah yang menjadi ciri khas Revolusi

Peternakan, sesuatu yang sangat berkontribusi pada pencapaian

ketahanan pangan, kualitas sumber daya manusia, dan

132

pembangunan ekonomi secara umum. Sektor peternakan

memang mewarnai perubahan konsumsi masyarakat dari sumber

kalori berbasis karbohidrat menjadi berbasis kandungan protein

tinggi. Sekitar 56 persen dari konsumsi daging di Indonesia

memang berasal dari unggas; cukup jauh dibandingkan dengan

angka konsumsi daging sapi yang hanya 23 persen. Walaupun

demikian, angka konsumsi daging unggas yang hanya setara 5

kilogram per kapita per tahun itu jelas sangat rendah atau

seperlima dibandingkan dengan konsumsi daging negara-negara

maju.

Industri peternakan sangat berkait erat dengan sistem

produksi jagung di dalam negeri, sebagai kontributor utama

penyediaan pakan ternak, baik langsung maupun tidak langsung.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, produksi jagung juga naik

cukup signifikan, terutama di beberapa sentra produksi jagung di

Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Hal yang agak positif adalah

bahwa penggunaan benih unggul jagung hibrida, terutama hasil

bioteknologi pertanian. Bersamaan dengan itu, peningkatan

produksi jagung hibrida juga sekaligus mampu mendukung

sektor peternakan karena industri pakan ternak ikut tumbuh

pasca-stagnansi yang cukup serius pada puncak krisis ekonomi.

Membaiknya produksi jagung domestik agak membantu

mengurangi ketergantungan sektor peternakan kecil terhadap

pakan impor dan sempat memberikan ekspektasi pertumbuhan

yang lebih tinggi. Tetapi, karena laju konsumsi jagung yang

tumbuh lebih cepat, Indonesia masih harus mengandalkan

jagung impor dalam jumlah yang cukup besar.

Para pejuang sektor peternakan masih harus berusaha

keras meningkatkan produksi dan produktivitas daging ayam, itik

dan unggas lain (plus daging sapi, tentu saja), karena sektor ini

menjadi salah satu ciri khas indikator ketahanan pangan. Di

133

samping itu, pada sisi konsumsi, para stakeholders ini

(pemerintah, swasta dan masyarakat) perlu berjuang keras untuk

meningkatkan laju konsumsi daging ini untuk menunjukkan

peran nyata terhadap kualitas gizi dan protein masyarakat dan

tentunya kecerdasan bangsa Indonesia secara umum.

Pemerintah perlu terus membangun dan menciptakan

iklim usaha kondusif bagi sektor peternakan. Investasi asing dan

domestik tidak akan begitu saja berspekulasi untuk menanamkan

modal di Indonesia apabila peluang keuntungan usaha dalam

jangka panjang tidak begitu besar atau tidak dapat diperkirakan.

Tingkatkan keamanan dan rasa aman, kepastian usaha,

kenyamanan berusaha dan jika mampu, kepastian hukum untuk

“mengawal” langkah pembangunan ekonomi sektor peternakan.

Di sinilah hakikatnya bahwa tingkat kemajuan usaha sektor

peternakan dapat diukur atau didekati dari seberapa besar

dampak berganda dari aktivitas usaha tersebut pada ekonomi

lokal di tingkat daerah dan di tingkat provinsi.

6.3.6. 6.3.6. 6.3.6. 6.3.6. Antisipasi PeAntisipasi PeAntisipasi PeAntisipasi Pelaku dan Respons Kebijakanlaku dan Respons Kebijakanlaku dan Respons Kebijakanlaku dan Respons Kebijakan

Antisipasi pelaku agribisnis dan respons kebijakan yang

tepat akan dapat menjawab tantangan ekonomi pangan secara

umum berupa ancaman defisit suplai pada pangan, bahkan

mampu berkontribusi pada perbaikan ekonomi nasional dan

kesejahteraan rakyat nanti pada 2013. Sekian macam masalah

dan tantangan yang diuraikan sebelumnya akan dapat dicegah

dan ditanggulangi jika pemerintah, swasta, dan petani mampu

bekerja sama lebih setara dan seimbang. Tantangan agribinis

pada 2013 akan dapat dihadapi dengan baik dengan

pengembangan sistem insentif baru yang berbasis inovasi. Masa

depan agribisnis, utamanya pada sektor pangan, akan lebih

134

bertumpu pada basis penguasaan, penerapan dan efisiensi

teknologi inovasi baru untuk menjawab tantangan yang lebih

dinamis.

Pengembangan bioteknologi bidang pertanian akan

menjawab tantangan ekonomi agribisnis yang lebih beragam,

kompleks, dan strategis. Teknologi rekayasa genetika menjadi

harapan baru untuk melakukan strategi antisipasi, adaptasi dan

mitigasi perubahan iklim, pengembangan varietas pangan baru,

yang lebih tahan musim kering dan tahan gangguan hama-

penyakit tanaman, bahkan sampai pada upaya spesifik

peningkatan protein dan asam amino tertentu, pengurangan

kadar gula dan lemak yang amat dibutuhkan oleh kelompok

konsumen tertentu.

6.4. 6.4. 6.4. 6.4. Rekomendasi KebijakanRekomendasi KebijakanRekomendasi KebijakanRekomendasi Kebijakan

Upaya mewujudkan kedaulatan pangan ke depan perlu

lebih membumi dan harus fokus untuk membangun keempat

dimensi ketahanan pangan; ketersediaan, aksesibilitas, stabilitas

dan utilisasi pangan secara lebih komprehensif. Hanya dengan

langkah-langkah yang komprehensif itulah, keberdaulatan

pangan dan kemandirian suatu bangsa dapat diraih oleh

Indonesia.

Pertama, di bidang produksi, sebagai salah satu ujung

tombak ketersediaan pangan, perbaikan manajemen usahatani

padi, peningkatan produktivitas dan inovasi kelembagaan wajib

diteruskan dan diperbaiki sesuai dengan tuntutan zaman,

termasuk mengakomodasi dan memanfaatkan kearifan lokal,

yang umumnya kompatibel dengan strategi keberlanjutan

pembangunan ekonomi secara umum. Pemanfaatan anggaran

negara untuk meningkatkan kapasitas petani dan SDM pertanian,

135

bahkan jika harus memanfaatkan pinjaman luar negeri untuk

memperbaiki infrastruktur produksi pertanian (jaringan irigasi

dan drainase) dan pencetakan sawah-sawah baru di luar Jawa,

apalagi jika harus menuju food estate, sebagaimana

dicanangkan dalam Master Plan Percepatan dan Peningkatan

Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2025.

Kedua, sistem insentif baru yang berbasis inovasi wajib

dikembangkan karena masa depan ketahanan pangan akan lebih

bertumpu pada basis pengusaan, penerapan dan efisiensi

teknologi inovasi baru untuk menjawab tantangan kedaulatan

pangan yang lebih dinamis. Dalam hal ini, penguatan strategi

penelitian dan pengembangan (R and D) dan penelitian untuk

pengembangan (R for D) diharapkan mampu meningkatkan

produktivitas dan efisiensi yang dimaksud di atas. Dunia usaha

dan sektor swasta Indonesia secara umum perlu secara nyata

melaksanakan kemitraaan strategis dengan perguruan tinggi dan

pusat-pusat penelitian pangan, yang sebenarnya tersebar di

segenap pelosok Indonesia. Hanya dengan R-and-D dan R-for-D

inilah, inovasi baru akan tercipta, sehingga daya saing Indonesia

akan meningkat berlipat-lipat. Misalnya, untuk melakukan

antisipasi, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim,

pengembangan varietas pangan baru, yang lebih tahan musim

kering dan tahan gangguan hama-penyakit tanaman, dapat

memanfaatkan teknologi baru, termasuk melakukan rekayasa

genetika yang mampu menjawab tantangan baru ke depan yang

lebih dinamis.

Ketiga, ketahanan pangan dan bahkan kedaulatan

pangan dapat dirintis dan ditegakkan dari upaya-upaya aksi di

lapangan yang mengarah pada pembangunan cadangan pangan

(pokok) setiap pemerintahan daerah. Cadangan pangan ini dapat

menjadi alternatif terbaik untuk stabilisasi apabila terjadi

136

bencana alam atau musim paceklik yang berkepanjangan.

Secara legal-formal, aransemen kelembagaan dan kebijakan

pangan mengamanatkan bahwa masyarakat dan pemerintah

memelihara cadangan pangan yang bersifat pokok. Dalam

konteks otonomi daerah, klausul yang sangat jelas adalah bahwa

ketahanan pangan merupakan “urusan wajib” bagi

pemerintahan daerah sebagaimana diamanatkan dalam

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007 tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,

Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah

Kabupaten/Kota. Upaya pengelolaan cadangan pangan oleh

pemerintah daerah dapat menjadi komplemen dari cadangan

beras pemerintah (CBP) di tingka pusat (yang umumnya dikelola

Perum Bulog). Prasyarat, kriteria, dan indikator untuk

mewujudkan cadangan pangan regional ini memang perlu

secara rinci dirumuskan, agar meminimalisir upaya perburuan

rente dari para petualang.

Keempat, ketegasan stabilisasi harga pangan dan skema

perlindungan harga produk pertanian kepada petani. Ketegasan

kebijakan ini amat diperlukan mengingat ancaman eskalasi

harga pada masa paceklik dan fluktuasi harga pada masa panen

dapat terjadi sewaktu-waktu, sehingga menjadi signal

ketidakpasian perlindungan pada petani pangan di daerah

perdesaan dan konsumen miskin di perkotaan. Misalnya, untuk

membantu meningkatkan stabilisasi harga pangan di daerah,

para gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, perlu

secara aktif memberdayakan Tim Pengendali Inflasi Daerah

(TPID). Kelembagaan ini perlu lebih membumi, tidak hanya

beranggotakan para pejabat sibuk di tingkat moneter dan fiskal

di daerah, tetapi perlu melibatkan para akademisi di daerah,

yang lebih sering bergelut dengan analisis teknis ekonomis, dan

lebih sering berhubungan dengan masyarakat sebenarnya.

137

Kelima, perwujudan upaya penganekaragaman atau

diversifikasi pangan, terutama yang berbasis pemanfaatan

teknologi dan industri pangan, sebagai langkah sentral dan

strategis dalam utilisasi pangan. Diversifikasi pangan yang

berbasis kearifan dan budaya lokal akan sangat kompatibel

dengan strategi pemenuhan kebutuhan gizi yang seimbang

sesuai dengan kondisi demografi Indonesia yang plural

heterogen. Dalam hal ini, langkah pengembangan teknologi dan

industri pangan disesuaikan dengan kandungan sumber daya,

kelembagaan dan budaya lokal. Pengembangan diversifikasi

pangan akan berjalan lambat jika masih mengandalkan cara-

cara lama, yang terkadang berharap terlalu banyak pada

pemerintah yang sering terlalu birokratis. Tantangan diversifikasi

pangan perlu dijawab dengan pengindustrian pangan, yang

melipatkan sektor swasta dan basis ekonomi petani di

perdesaan, agar nilai tambah dan dampak multiplikasinya

dinikmati secara langsung oleh masyarakat.

139

BAB 7

Proyeksi Ekonomi Indonesia 2013Proyeksi Ekonomi Indonesia 2013Proyeksi Ekonomi Indonesia 2013Proyeksi Ekonomi Indonesia 2013

Sudah 67 tahun Indonesia merdeka, namun rupanya

bangsa ini belum juga dapat mencapai salah satu cita-cita

bersama, yaitu kesejahteraan ekonomi yang adil dan merata.

Hingga Agustus 2012 jumlah pengangguran masih 7,24 juta

orang, sementara jumlah penduduk miskin juga masih cukup

tinggi, sebanyak 29,13 juta orang. Kondisi ini disertai dengan

tingkat ketimpangan yang semakin melebar antara si kaya dan si

papa. Indeks Rasio Gini meningkat dari 0,33 pada 2004 menjadi

0,41 pada 2011. Ini merupakan nilai rasio paling parah sejak

bangsa ini lahir. Jika muara pembangunan adalah kesejahteraan

rakyat seluruh dan seutuhnya, maka tiga indikator ini saja sudah

cukup untuk menggambarkan adanya salah arah dalam

kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia saat ini.

Sekadar contoh, dalam ranah makro pertumbuhan

ekonomi Indonesia justru bertumpu pada sektor-sektor yang

kedap terhadap penyerapan tenaga kerja, sehingga meminimkan

daya fungsinya dalam mengurangi jumlah pengangguran.

Produk Domestik Bruto (PDB) yang hingga triwulan III-2012

mencapai Rp6.151,6 triliun (atas dasar harga berlaku) ternyata

diikuti dengan jumlah pengangguran dan penduduk miskin yang

140

masih tinggi, dan diperparah dengan tingkat ketimpangan yang

melebar.

Berbagai lencana yang disematkan oleh beberapa

lembaga internasional untuk kinerja makro ekonomi Indonesia

yang mengagumkan, nyatanya masih banyak menyisakan

persoalan fundamental ekonomi yang harus segera diselesaikan.

Dua per tiga angkatan kerja mencari nafkah di sektor informal;

sepertiga angkatan kerja menganggur; serta separoh masyarakat

Indonesia hidup di bawah US$2 per hari. Fakta-fakta ini menjadi

bukti urgensi penyusunan ulang pembangunan ekonomi

Indonesia. Agar ke depan bangsa ini dapat sejahtera, merdeka

seutuhnya!

7777.1. .1. .1. .1. Proyeksi Ekonomi Indonesia oleh Lembaga LainProyeksi Ekonomi Indonesia oleh Lembaga LainProyeksi Ekonomi Indonesia oleh Lembaga LainProyeksi Ekonomi Indonesia oleh Lembaga Lain

Penyusunan PEI 2013 oleh INDEF dilakukan untuk

memberikan alternatif pandangan tentang outlook ekonomi

tahun depan, di luar yang sudah dipublikasikan oleh beberapa

lembaga, seperti International Monetary Fund (IMF), Asian

Development Bank (ADB), Bank Indonesia, dan Pemerintah.

Indikator yang menjadi fokus beberapa lembaga ini terutama

pertumbuhan ekonomi. IMF memproyeksikan pertumbuhan

ekonomi Indonesia pada 2013 sebesar 6,3 persen. ADB dalam

Asian Development Outlook 2012 update bulan Oktober

memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2013 sebesar

6,6 persen. Bank Indonesia pada acara Pertemuan Tahunan

Perbankan 23 November lalu memproyeksikan pertumbuhan

ekonomi Indonesia 2013 antara 6,3 — 6,7 persen. Sementara

Pemerintah pada asumsi makro APBN 2013 mentargetkan

pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 persen.

141

7777.2. .2. .2. .2. Pertumbuhan Ekonomi 201Pertumbuhan Ekonomi 201Pertumbuhan Ekonomi 201Pertumbuhan Ekonomi 2013333

Indikator pertumbuhan ekonomi sering dijadikan acuan

utama dalam melihat kinerja makro ekonomi suatu negara

secara keseluruhan. Meskipun harus disadari bahwa

pertumbuhan ekonomi bukanlah satu-satunya tolok ukur

keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara. Melihat

perkembangan perekonomian yang terjadi sepanjang tahun ini

dan berbagai kemungkinan situasi ekonomi ke depan, pada

2013 INDEF memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia

berada pada kisaran 6,3 — 6,5 persen.

Diperkirakan konfigurasi pertumbuhan ekonomi 2013

masih akan dicirikan oleh dominasi kontribusi sektor konsumsi

dari sisi penggunaan. Sementara dari sisi lapangan usaha,

pertumbuhan sektor non-tradable1 tetap akan lebih menonjol

dibandingkan dengan sektor tradable.2 Dominasi sektor

konsumsi jelas bukan kondisi ideal bagi upaya mewujudkan

pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Besarnya konsumsi

yang tidak diimbangi dengan akselerasi pertumbuhan produksi

dalam negeri akan membuat permintaan harus dicukupi dari

impor. Implikasi selanjutnya sektor luar negeri (ekspor-impor)

akan mengalami pelemahan karena meningkatnya impor.

Bahkan, pada permintaan konsumsi yang masih bisa dipenuhi

dari produksi dalam negeri pun dapat turut berkontribusi

1 Sektor non-tradable adalah sektor yang tidak dapat menghasilkan devisa. Maksudnya,

sektor non-tradable ini adalah sektor yang pasar usahanya hanya domestik saja. Sektor non-tradable dibagi enam, yaitu sektor 1) Listrik, Gas, dan Air Bersih, 2) Kostruksi, 3) Perdagangan, Hotel, dan Restoran, 4) Pengangkutan dan Komunikasi, 5) Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan, serta 6) Jasa-Jasa.

2 Sektor tradable adalah sektor yang dapat menghasilkan devisa (baik dari jasa maupun barang) dan dapat meningkatkan standar hidup (living standard) masyarakat. Sektor tradable dibagi menjadi tiga, yaitu sektor 1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan, 2) Pertambangan dan Penggalian, serta 3) Industri Pengolahan.

142

mendorong impor, mengingat masih tingginya import content

(barang modal, bahan baku dan bahan penolong) pada produk-

produk industri di Indonesia.

Dilihat dari struktur lapangan usahanya, pertumbuhan

sektor non-tradable tetap akan melaju lebih kencang dibanding

sektor tradable pada 2013, dengan pertumbuhan tertinggi

kemungkinan besar tetap pada sektor pengangkutan dan

komunikasi. Sektor pengangkutan dan komunikasi dalam lima

tahun ini selalu mengalami pertumbuhan tertinggi, yaitu sebesar

16,6 persen (2008), 15,5 persen (2009), 13,5 persen (2010), dan

10,7 persen (2011), dan 10,3 pada triwulan III 2012. Seiring

dengan laju pertumbuhan sektor non-tradable yang lebih

kencang, kontribusi sektor ini terhadap pertumbuhan ekonomi

pun meningkat. Dari capaian tingkat pertumbuhan sebesar 6,17

persen (yoy) pada triwulan III 2012, sebesar 63,4 persen sumber

pertumbuhan berasal dari sektor non-tradable, sedangkan

sisanya (36,6 persen) berasal dari sektor tradable. Sayangnya,

pertumbuhan kencang sektor non-tradable tidak akan banyak

berimplikasi pada penyerapan tenaga kerja. Padahal tingkat

pengangguran saat ini masih cukup tinggi dan memerlukan

kebijakan ekonomi yang pro terhadap penyerapan tenaga kerja.

Sektor pengeluaran pemerintah pada 2013 sebenarnya

memiliki potensi untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi.

Alokasi belanja modal sebesar Rp216 triliun pada APBN 2013 jika

mampu dimanfaatkan secara tepat akan memberikan multiplier

effect yang cukup positif bagi perekonomian. Apabila penyerapan

belanja modal dapat dioptimalkan diperkirakan ekonomi Indonesia

pada 2013 dapat tumbuh sebesar 6,5 persen. Namun, peran

pengeluaran pemerintah bisa saja tidak terlalu signifikan bagi

pertumbuhan ekonomi jika persoalan distribusi realisasi anggaran

khususnya belanja modal masih terkonsentrasi di akhir tahun.

143

Di sisi investasi (Pembentukan Modal Tetap

Bruto/PMTB), diperkirakan kontribusi investasi-PMTB dalam

pertumbuhan ekonomi akan meningkat. Hal ini terutama

didorong oleh terus mengalirnya Foreign Direct Investment/FDI

atau investasi langsung dari luar negeri seiring belum pulihnya

kawasan UE dan moderatnya kinerja ekonomi AS. Kinerja

meningkatnya investasi langsung ini sudah terasa setidaknya

dalam dua tahun terakhir. Meskipun FDI meningkat tajam —yang

akhirnya bermuara pada meningkatnya peranan sektor investasi

secara agregatif dalam pertumbuhan ekonomi- harus dicermati

sektor-sektor mana yang mengalami peningkatan. Jika sektor

non-tradable maka kemungkinan besar daya dukung

pertumbuhan ekonomi bagi penyerapan tenaga kerja tidak akan

maksimal. Demikian pula jika dari sisi regional, wilayah Jawa

masih mendominasi masuknya FDI, maka tingkat ketimpangan

akan semakin sulit berkurang.

Selanjutnya kinerja ekspor diperkirakan belum dapat

pulih sepenuhnya pada 2013 setelah mengalami defisit neraca

perdagangan beberapa kali sepanjang 2012. Hingga Oktober

2012 neraca perdagangan sudah mengalami defisit lima kali,

yaitu bulan April —US$764,7 juta; Mei —US$207,2 juta; Juni —

US$1.286,1 juta; Juli —US$263,9 juta; dan Oktober —US$1.547,0

juta. Defisit Oktober merupakan yang terbesar dalam lima tahun

terakhir. Akibat dari basis ekspor yang masih bertumpu pada

komoditas primer, perkembangan ekspor pada 2013

diperkirakan masih akan menghadapi tantangan serius dari pasar

global. Hal ini terjadi karena relatif lambannya pemulihan krisis

Uni Eropa dan Amerika Serikat, serta tren penurunan harga

komoditas di pasar internasional yang belum kunjung membaik

setidaknya hingga akhir tahun ini.

144

Kontras dengan kinerja ekspor, perkembangan impor

barang ke Indonesia pada 2013 diperkirakan akan tetap tinggi

dengan kecenderungan pertumbuhan impor meningkat.

Desakan barang-barang impor terutama dari China masih akan

gencar sebagai akibat terjadinya pengalihan pasar dari Eropa dan

Amerika ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Jumlah

penduduk Indonesia yang besar merupakan pangsa pasar yang

cukup menjanjikan bagi negara-negara industri yang ingin

menjaga momentum pertumbuhan ekonominya.

Secara spasial, wilayah Pulau Jawa dan Sumatera masih

akan mendominasi kontribusi pertumbuhan ekonomi pada 2013.

Indikasinya terlihat dari konfigurasi pertumbuhan ekonomi

regional, di mana hingga triwulan III 2012 kelompok provinsi di

Pulau Jawa memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik

Bruto sebesar 57,52 persen, kemudian diikuti oleh Pulau

Sumatera sebesar 23,83 persen, Pulau Kalimantan 9,26 persen,

Pulau Sulawesi 4,75 persen, dan sisanya 4,64 persen di pulau-

pulau lainnya (BPS, 2012).

7777.3. .3. .3. .3. InflInflInflInflasi asi asi asi

Secara umum tekanan inflasi sepanjang 2012 relatif

menurun. Inflasi sempat meningkat seiring tingginya harga

kebutuhan pokok pada saat bulan puasa dan lebaran. Namun

pada akhir triwulan III 2012 harga kebutuhan pokok sudah mulai

menurun, dikarenakan cukup stabilnya pasokan dan permintaan

yang cenderung menurun dibanding saat puasa dan hari raya.

Kondisi ini diperkirakan akan terus berlanjut pada 2013,

sehingga INDEF memproyeksikan inflasi pada 2013 pada kisaran

4,5 — 5,5 persen.

145

7777....4444. . . . Nilai tukarNilai tukarNilai tukarNilai tukar

Volatilitas pergerakan nilai tukar rupiah selama 2012

mengalami peningkatan setidaknya hingga November. Namun

secara keseluruhan volatilitas rupiah masih bersifat moderat,

artinya dalam rentang kendali Bank Indonesia. Pada 2013 INDEF

memperkirakan rupiah akan berada pada kisaran Rp9.300 —

9.500 per US$. Beberapa faktor pendukung stabilitas rupiah,

seperti cukup stabilnya kondisi makro ekonomi Indonesia

membuat aliran arus modal masih terus berlanjut. Cadangan

devisa Bank Indonesia yang lebih dari US$110 miliar juga turut

berkontribusi mendorong stabilnya rupiah tahun depan.

7777....5555. . . . Pengangguran dan KemiskinanPengangguran dan KemiskinanPengangguran dan KemiskinanPengangguran dan Kemiskinan

Pada 2013 tingkat pengangguran diperkirakan akan sedikit

menurun, yakni berada di kisaran 5,8 persen. Data rata-rata tingkat

pengangguran dalam tiga tahun terakhir menunjukkan adanya tren

penurunan, dari 7,3 persen (2010), 6,7 persen (2011), 6,1 persen

(2012). Namun, penurunan ini belum cukup sepadan dengan

capaian pertumbuhan ekonomi yang berada di atas 6 persen pada

periode-periode tersebut.

Tingkat kemiskinan diperkirakan masih sebesar 11,5

persen. Kedua masalah klasik pembangunan (pengangguran dan

kemiskinan) ini meskipun diprediksi menurun namun belum

signifikan, mengingat kurang berkualitasnya pertumbuhan

ekonomi hingga saat ini. Data tingkat kemiskinan tiga tahun

terakhir menunjukkan tren penurunan, dari 13,3 persen (2010),

12,5 persen (2011), dan 12,0 persen (2012). Berikut Tabel 8.1

yang merangkum Proyeksi Ekonomi Indonesia 2013.

146

Tabel Tabel Tabel Tabel 7777.1. Proyeksi Ekonomi Indonesia 201.1. Proyeksi Ekonomi Indonesia 201.1. Proyeksi Ekonomi Indonesia 201.1. Proyeksi Ekonomi Indonesia 2013333 INDEFINDEFINDEFINDEF

Indikator EkonomiIndikator EkonomiIndikator EkonomiIndikator Ekonomi PrPrPrProyeksioyeksioyeksioyeksi 2012012012013333

Pertumbuhan Ekonomi (%) 6,3 — 6,5%

Inflasi (%) 4,5 — 5,5

Kurs (Rp/US$) 9.300 — 9.500

Pengangguran (%) 5,8%

Kemiskinan (%) 11,5%

Sumber: Proyeksi INDEF, 2012

147

Daftar PustakaDaftar PustakaDaftar PustakaDaftar Pustaka

Abdullah, Said. 2012. Pemerintah Tetap Impor Beras 720 ribu

Ton. Investor Daily. 29 November 2012

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). 2012.

Perkembangan Realisasi Investasi PMA dan PMDN

Triwulan III 2012 Menurut Lokasi, Negara, dan Sektor

Berdasarkan Laporan Kegiatan Penanaman Modal

(LKPM)

_______________. 2011, Perkembangan Realisasi Investasi PMA

dan PMDN Berdasarkan Laporan Kegiatan Penanaman

Modal (LKPM) Menurut Lokasi Lokasi, Negara, dan

Sektor Triwulan III 2011

Badan Pusat Statistik (BPS). Beberapa periode penerbitan.

Bank Dunia. 2007. Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007.

Bank Indonesia. 2012. Perkembangan Ekonomi Keuangan dan

Kerjasama Internasional Triwulan II-2012: Upaya Asia

Menjaga Momentum Pertumbuhan. Departemen

Internasional Bank Indonesia, Jakarta

148

Bank Indonesia. 2012. Menuju Pertumbuhan Berkesinambungan

& Inklusif. Pertemuan Tahunan Perbankan 23 November

2012

Bureau of Economic Analysis. 2012. National Economic

Accounts. Dalam http://www.bea.gov/national/

index.htm#gdp, diakses 17 November 2012

Delis, Arman, Rosmeli, Novita Sari. 2010. Analisis Ketimpangan

Pendapatan Antar Wilayah di Indonesia Periode 1990-

2008. Diambil dari bappeda.jambiprov.go.id, diakses 17

November 2012

Hernandez, J. and A.B. Taningco. 2010. Behind-the-Border

Determinants of Bilateral Trade Flows in East Asia. By

Joel Hernandez and Angelo B. Taningco, ARTNeT

Working Paper Series, UNESCAP, Bangkok

International Monetary Fund. 2012. Fiscal Monitory: Taking

Stock a Progress Report on Fiscal Adjustment October

2012. International Monetary Fund

International Monetary Fund. 2012. Global Financial Stability

Report: Restoring Confidence and Progressing on

Reforms. October 2012

International Monetary Fund. 2012. World Economic and

Financial Surveys: World Economic Outlook. October

2012

Kementerian Keuangan. 2012. Nota Keuangan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara 2013

___________________. 2011. Penyusunan Model Efisiensi

Belanja Negara Terhadap Pertumbuhan Ekonomi,

Tingkat Kemiskinan dan Pengangguran. Kajian Ekonomi

149

dan Keuangan. http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010/

edef-konten-view.asp?id =20111227110010163208138

___________________. 2012. Nota Keuangan dan Rencana

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2013

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011.

Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan

Ekonomi Indonesia 2011-2025

Lin, J. Y. 2000. Fiscal Decentralization and Economic Growth in

China. Economic Development and Cultural Change.

Vol. 49 (1) p. 1-21

Lord, M., R. Oktaviani, and E. Ruehe. 2010. Indonesia Trade

Access to The European Union: Opportunity and

Challenges. European Union

Miller, J. Corey and Keith H. Coble. 2007. Cheap Food Policy:

Fact or Rhetoric?. Food Policy. Vol. 32. 2007: 98-111

Moodys, 2012, Moody's upgrades Philippines to Ba1; Outlook

Stable. Dalam http://www.moodys.com/research/

Moodys-upgrades-Philippines-to-Ba1-outlook-stable--

PR_258742, diakses 17 November 2012

Oates, Wallace. 1972. Fiscal Federalism. New York : Harcoury

Brace Javanovic

Oktaviani, R, S. Hartoyo, E.I. K. Putri, Widyastutik. E.

Puspitawat., 2007. Perhitungan Penerimaan Bea Masuk

Berdasarkan Kebijakan Tarif dalam Skema Umum dan

Skema Free Area Arrangement dan Evaluasi Dampak

Kebijakan Tarif Bea Masuk dalam Skema ASEAN-China

dan ASEAN-Korea Free Area Arrangement terhadap

150

Pendapatan Negara. Badan Kebijakan Fiskal

Kementerian Keuangan. Jakarta

Oktaviani, R. 2011. FTA dan Daya Saing Industri Pertanian

Indonesia dalam Menghadapi Krisis Ekonomi Global.

Orasi Imiah Guru Besar Institut Pertanian Bogor, Grha

Widya Wisuda IPB 2011

Tambunan, Mangara. 2009. Ketahanan Pangan vs Ketahanan

Energi. IPB Press

T. Irawan, R. K. Sitepu, M.R. Taufikurahman, L. Anggraeni.

2009. Kajian Pola dan Struktur Industri, Kementerian

Perindustrian, Indonesia.

Pogue, T. F. and L. G. Sgontz. 1978. Government and

Economic Choice: An Introduction to Public Finance.

Houghton Mifflin Company. Boston

Reuters. 2012. China Q2 GDP Growth 7.6 percent, Slowest in 3

years. Dalam http://www.reuters.com/article/2012/07/13/

us-china-economy-gdp-idUSBRE86C04220120713,

diakses 17 November 2012

Rosalina. 2012. Impor Beras 2012 Dipangkas. Koran Tempo, 20

Oktober 2012

Shah, Anwar. 2011. Pilihan Pembiayaan Pemda di Indonesia.

Makalah dalam Seminar Desentralisasi Fiskal di

Indonesia Satu Dekade Setelah Ledakan Besar.

Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan Kementrian

Keuangan Republik Indonesia. September 2011

Sitepu, Rasidin. K. 2010. Dampak Investasi Sumberdaya

Manusia dan Bantuan Langsung Tunai Terhadap

Distribusi Pendapatan Indonesia. Jurnal Keuangan dan

151

Moneter, Volume 13, No. 2 Tahun 2010. Kementerian

Keuangan RI

Sjafrizal. 1997. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan

Regional Wilayah Indonesia Bagian Barat. Prisma. No 3,

p. 27-38

Stigler, George. 1957. The Tenable Range of Functions of Local

Government. In Federal Expenditure Policy for Economic

Growth and Stability. ed. Joint Economic Committee,

Subcommittee on Fiscal Policy, US Congress, 213-19.

Washington, DC: US. Goverment Printing Office

The Economist, 2012, How to Save Spain, dalam

http://www.economist.com/ node/21556238, diakses 17

November 2012

The Nielsen Company, 2012, Consumer Confidence, Concerns

and Spending Intentions around the World: 2012-I, the

Nielsen Company

Tonko, Andrea, Gabor Balazs. 2003. Intergovermental Fiscal

Relations and Local Financial Management. Distance

Learning Module. Central Europian University Summer

Program in association with World Bank Institute and

Local Government and Public Service Reform Initiative

of the Open Society Institute

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah

152

World Economic Forum. 2011. The Global Competitiveness

Report 2011-2012, Geneva, Swizerland, dalam

http://www.weforum.org/issues/global-competitiveness,

diakses 18 April 2012

World Economic Forum. 2011. The Global Competitiveness

Report 2012-2013

www.indexmundi.com/g/g.aspx?c=id&v=113(diakses Tanggal 30

November 2012)

Yeats, A. 2011. Just How Big is Global Production Sharing? In S.

Arndt and H. Kierkowski Eds. Fragmention: New

Production Pattern in the World Economy. New York:

Oxford University Press. PP.108-143.