Upload
nguyenlien
View
277
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 601
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
KELAYAKAN PENGUATAN EKONOMI MASYARAKAT LOKAL MELALUI
PENGEMBANGAN PRODUK DAN JASA EKOWISATA SEKOTONG
Wildan1; Sukardi2
1,2 FKIP Universitas Mataram
e-mail: [email protected].
Abstrak: Tujuan kajian tahap pertama ini adalah menentukan kelayakan produk dan jasa
ekowisata yang dikembangkan sebagai penguatan ekonomi, meliputi: permasalahan sosial ekonomi
kawasan, potensi pengembangan produk dan jasa ekowisata; kebutuhan utama; segmen pasar; dan
kebutuhan modal dan investasi. Secara metodologis, kajian ini menggunakan model design based
research (DBR). Prosedurnya: (1) penentuan produk dan jasa ekowisata yang dikembangkan; (2)
penyusunan desain dan prototipe model; (3) siklus interaktif pengujian dan penyempurnaan; dan (4)
refleksi untuk menghasilkan produk akhir. Fokus kajian ini adalah pada tahap 1 (satu) yang
dilakukan melalui survei menggunakan kuesioner, wawancara, FGD, observasi, dan kajian
dokumen yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Hasil kajian menunjukkan: (1) masyarakat
lokasi penelitian masih tertinggal dalam hal ekonomi dan pendidikan; (2) potensi dan produk utama
yang dikembangkan adalah kerajinan emas/perak berbahankan berbahan dari laut, di samping
kuliner ikan laut dan kepiting, serta transportasi ramah lingkungan; (3) potensi memiliki pangsa
pasar yang luas (kalangan dan asal ekowisatawan), karena keunikan dalam produksi, proses, dan
tidak merusak lingkungan di samping dukungan kuat dari pemerintah daerah. Implikasinya adalah
perlu tindaklanjut pemberdayaan dalam skope kebutuhan utama dimaksud.
Kata kunci: Kelayakan, Penguatan Ekonomi, Ekowisata
PENDAHULUAN
Hasil kajian sebelumnya (Wildan dkk., 2016b) menghasilkan grand design model
pengembangan ekowisata berbasis keterlibatan masyarakat lokal yang ditindaklanjuti oleh Pemda
Kabupaten Lombok Barat dengan menetapkan wilayah Sekotong sebagai kawasan Ekowisata.
Secara empiris, kajian awal tersebut sekaligus meneguhkan bahwa pelibatan masyarakat lokal
menjadi kunci pengembangan ekowisata (Trofimenko & Djafarova, 2011; Hill &Hill, 2011;
Satyanarayana dkk., 2012; Stone & Wall, 2003; Peter, 2005; Bhuiyan dkk., 2011). Oleh karenanya,
status kajian ini yang diusulkan adalah untuk menindaklanjuti grand design yang dihasilkan melalui
pelibatan secara langsung masyarakat dalam pengembangan ekowisata. Hal ini juga untuk
menjawab permasalahan pembangunan pariwisata yang selama ini belum membuahkan keadilan
secara ekonomi, yang terindikasi dari tingginya pengangguran dan kemiskinan (BPS, 2013; BPS
Lobar, 2013). BPS NTB (2012) mencatat bahwa jumlah penduduk miskin di Lobar mencapai
17.91% pada tahun 2012 dengan indeks kedalaman kemiskinan mencapai 3.08 dan indeks
keparahan kemiskinan 0.82. Disisi lain, upaya pengentasan kemiskinan pada kawasan pariwisata
dinilai kurang menekankan aspek pemberdayaan, tidak berdasarkan pada permasalahan dan
kebutuhan masyarakat (Garjita dkk. 2013). Dampak langsung dari tidak adanya penguatan ekonomi
adalah masyarakat menjadi penonton dalam pembangunan pariwisata karena keterbatasan
keterampilan masyarakat (Sukidjo, 2009), padahal Ife dan Tesoriero (2008) mengingatkan agar
program pemberdayaan masyarakat senatiasa dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip holisme,
keberlanjutan, keanekaragaman, perkembangan organik, perkembangan yang seimbang, dan
mengatasi struktur yang merugikan. Paradigma bottom-up yang berpusat pada masyarakat
mendapatkan posisi strategis dalam pemberdayaan masyarakat, upaya konservasi lingkungan,
pengelolaan sumber daya alam (Chambers, 1994). Beberapa hasil kajian juga menguatkan bahwa
keberhasilan ekowisata karena dukungan dan partisipasi masyarakat lokal (Trofimenko &
Djafarova, 2011; Hill &Hill, 2011; Satyanarayana dkk., 2012; Stone & Wall, 2003; Peter, 2005;
Bhuiyan dkk., 2011).
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 602
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Berangkat dari sikap positif, maka kajian ini dihadirkan untuk memberikan intervensi
penguatan ekonomi masyarakat lokal melalui pengembangan produk dan jasa ekowisata, khususnya
di kawasan Sekotong Kabupaten Lombok Barat. Beberapa tujuan kajian yang digambarkan pada
tulisan ini, adalah menentukan produk dan jasa ekowisata yang dikembangkan, meliputi: (a) peta
permasalahan sosial ekonomi di kawasan Sekotong; (b) potensi produk dan jasa ekowisata prioritas
di kawasan Sekotong; (c) analisis kebutuhan pengembangan produk dan jasa ekowisata prioritas di
kawasan Sekotong; (d) menentukan segmen pasar yang cocok dengan produk dan jasa ekowisata
Sekotong; dan (e) menentukan kebutuhan pemberdayaan, berupa modal dan investasi.
METODE PENELITIAN
Berdasarkan tujuan penelitian, maka metode penelitian yang digunakan adalah penelitian
dan pengembangan model Design Based Research (DBR) dari Reeves (2006) dipadukan dengan
penelitian kebijakan (Tilaar & Nugroho, 2008). Kelebihan model ini adalah interventionist,
iterarative, involvement of practitioners, process oriented, utility oriented, and theory oriented
(Plomp, 2010). Penelitian ini dirancang sebagai penelitian multiyears, yang ditempuh dalam 4
tahapan utama (Gambar 1).
Gambar 1 Alur Penelitian dan Pengembangan
TAHAP 1Menentukan produk dan jasa
ekowisata yang dikembangkan untuk penguatan ekonomi
masyarakat Sekotong secara kolaboratif antara peneliti dan
praktisi
TAHAP 2Pengembangan desain dan prototipe model penguatan
ekonomi melalui pengembangan produk dan jasa ekowisata secara
partisipatif
TAHAP 3
Siklus interaktif uji coba model (kaji tindak partisipatif)
TAHAP 4Refleksi pengujian dan
penyempurnaan model akhir
Penentuan Skala Prioritas:
Produk dan jasa Ekowisata
Segemen pasar produk dan jasa ekowisata
Kebutuhan modal dan investasi
Design: tujuan, ruang lingkup, perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pebiayaan, monev.Prototipe : panduan Demplot, Modul Pengembangan Produk & Jasa Ekowisata, Modul Pemasaran, Modul Manajemen Pengelolaan, dan Perangkat Evaluasi
Uji Analitis I
(Ahli Ekonomi, Pariwisata, Praktisi
(DU/DK)
Revisi
Demplot:
Pelatihan dan Pendampingan secara langsung & bersiklus dengan melibatkan
Uji Validasi
(StakehodersSecara Luas)
Revisi
Layak?
Revisi
Layak?
TidakYa
Layak?
Model AkhirPenguatan Ekonomi Masyarakat Lokal Melalui
Pengembangan Produk dan Jasa Ekowisata
Tidak
Ya
Tah
un I
Tah
un I
ITidak
Ya
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 603
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Berdasarkan Gambar 1, maka tahapan penelitian dan pengembangan ini adalah tahap 1
(satu) berupa menentukan produk dan jasa ekowisata yang dikembangkan untuk penguatan
ekonomi masyarakat Sekotong. Sekenario Tahap ini menjawab tujuan penelitian, dengan skenario
kajian, yaitu: (1) melalui survei yang mengkombinasikan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.
Dalam survei ini, peneliti secara kualitatif dan kuantitatif menggali, mengakaji, dan
mengorganisasikan informasi secara mendalam dan lengkap tentang permasalahan sosial ekonomi
masyarakat, potensi pengembangan produk dan jasa ekowisata, dan kebutuhan prioritas yang
diharapkan masyarakat sesuai dengan daya dukung yang dimiliki, identifikasi segmen pasar, dan
kebutuhan pemberdayaan berupa modal dan investasi; (2) lokasi penelitian ini difokuskan desa
Sekotong Barat Kecamatan Sekotong Kabupaten Lombok Barat dengan melibatkan semua Subyek
dan Informan penelitian secara purposive sampling, meliputi: Unsur Pemerintah Kabupaten
Lombok Barat (Dinas Pariwisata, Usaha Mikro Kecil Menengah dan Makro, Dinas Pendidikan,
Dinas Perikanan dan Kelautan, dan Dinas Bappeda), unsur Pemerintahan Desa, pelaku Usaha Kecil
Mikro dan Menengah (UMK), Masyarakat Kawasan Sekotong, Kelompok Sadar Wisata, LSM
lingkungan hidup, dan lainnya); (3) data penelitian dikumpulkan menggunakan kuesioner, pedoman
wawancara, panduan Focus Group Discussion (FGD), observasi, dan kajian dokumen; dan (4) data
hasil kajian dianalisis secara kualitatif melalui tiga alur, yaitu reduksi data, penyajian data,
penarikan simpulan atau verifikasi (Miles & Huberman, 1984) dipadukan dengan analisis SWOT.
HASIL PENELITIAN
Deskirpsi hasil kajian ini mencakup: profil permasalahan sosial ekonomi di kawasan
Sekotong Bara, potensi produk dan jasa ekowisata prioritas di kawasan Sekotong; hasil analisis
kebutuhan pengembangan produk dan jasa ekowisata prioritas di kawasan Sekotong; segmen pasar
yang cocok dengan produk dan jasa ekowisata Sekotong; dan deskripsi kebutuhan pemberdayaan,
berupa modal dan investasin.
Profil Permasalahan Sosial Ekonomi Masyarakat Kawasan Ekowisata
Lokasi utama kajian pengembangan ini adalah di Desa Sekotong Barat Kecamatan Sekotong
Kabupaten Lombok Barat. Terletak di kawasan ujung barat-selatan Pulau Lombok, Desa Sekotong
Barat adalah satu dari 9 (sembilan) desa di Kecamatan Sekotong Kabupaten Lombok Barat.
Luasnya sekitar 46,19 km persegi atau sekitar 13,98% dari luas Kecamatan Sekotong yang
mencapai 330,45. Sementara itu, Kecamatan Sekotong merupakan Kecamatan Terluas di
Kabupaten Lombok Barat. Secara administrasi, Desa Sekotong Barat terdiri dari 11 dusun dan 50
Rukun Tetangga.
Untuk mencapai lokasi ini, dapat ditempuh melalui perjalanan darat maupun laut. Perjalanan
darat dalam kondisi normal dari Kota Mataram (Ibu Kota Provinsi) dapat ditempuh selama kurang
lebih 1 jam 33 menit dengan jarak 58,6 km2. Sementara itu, perjalanan darat dalam kondisi normal
dari Gerung (Ibu Kota Kabupaten Lombok Barat) dapat ditempuh selama kurang lebih 1 jam 7
menit dengan jarak 42,4 km2. Inftrastruktur dari Mataram atau dari Gerung sangat baik dengan
jalan yang sudah diaspal (Hotmix). Namun demikian, infrastruktur di desa ini sendiri menunjukkan
masih kategori marginalisasi ekonomi. Dari 55 KM2 jalan, hanya sekitar 30% sudah
diperkeras/diaspal. Itu pun hanya jalan raya yang menghubungkan ibu kota kecamatan dan
kabupaten. Selain jalan, fakta lain di Desa ini adalah masih banyaknya rumah tangga yang belum
mendapatkan aliran listrik dan pelayanan air bersih. Dari semua rumah tangga, tidak satupun yang
dapat mengakses air minum bersih (PDAM), akses sanitasi layak mencapai baru mencapai 57% dari
2.820 rumah tangga, pemukiman kumuh mencapai 33,22%.
Permasalahan bidang ekonomi di Desa Sekotong Barat dapat ditelusuri dari indikator,
antara lain: jumlah penduduk miskin, garis kemiskinan, indeks kedalaman kemiskinan (P1), indeks
keparahan kemiskinan (P2), struktur pekerjaan dan kualitas pekerjaan. Tampaknya, kondisi
pendidikan berbanding lurus dengan bidang ekonomi. Secara ekonomi penduduknya jauh berbeda
dengan penduduk Provinsi NTB lainnya. Jumlah penduduk Miskin di Kabupaten Lombok Barat
mencapai 17,42% pada tahun 2014 (BPS Lobar, 2014), sementara hasil kajian ini menemukan lebih
dari 25% penduduk tergolong miskin. Ini artinya bahwa data ini menunjukkan hampir dua kali lipat
dari data Kabupaten.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 604
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Dilihat dari garis kemiskinan juga tidak mengalami peningkatan signifikan. Garis
kemiskinan di Desa Sekotong Lombok Barat pada tahun 2017 hanya naik dari Rp. 302,200
sebagaimana temuan Wildan dkk. (2015) menjadi Rp. 307,200. Angka ini masih jauh dari capaian
Lombok Barat pada Tahun 2014 yang sudah menyentuh angka 313,632 (BPS Lobar, 2014).
Kondisi ini sangat memperihatinkan jika dilihat dari target MDGs 2015 yang menetapkan garis
kemiskinan sampai 10% dengan menggunakan acuan garis kemiskinan nasional yang setara dengan
USD 1,50 (PPP). Selain itu, data tersebut diperkuat dengan capaian rata-rata pendapatan per kapita
yang hanya naik dari Rp. 313,632/bulan (Wildan dkk., 2015) menjadi Rp. 313,825/bulan. Tentu
saja dengan kondisi ini, desa Sekotong Barat menjadi desa dengan pendapatan kategori paling
rendah di Kabupaten Lombok Barat yang mencapai Rp. 330,335/bulan. Dilihat dari indikator indeks
kedalaman kemiskinan (P1), di Sekotong Barat mencapai 3,01. Data ini lebih tinggi dibandingkan
dengan rata-rata tingkat Kabupaten yang mencapai 2,91.
Selanjutnya, dilihat dari indeks keparahan kemiskinan (P2) di Desa Sekotong Barat
berdasarkan hasil kajian ini menunjukkan capaian 0,84. Dibandingkan dengan capaian Kabupaten
Lombok Barat yang sudah menyentuh 0,77 pada tahun 2016 (Pemda Lobar, 2016), maka terjadi
ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin di Desa Sekotong Barat. P2 pada dasarnya
memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Dengan
demikian, kemiskinan seolah menjadi lingkaran setan yang menghantui masyarakat di kawasan
Desa Sekotong Barat.
Bagaimana dengan struktur dan kualitas pekerjaan? Hasil kajian memperlihatkan bahwa
sekitar 57,75% penduduk bergantung pada sektor pertanian (tadah hujan), 22,86% perdagangan,
11.70% jasa, dan sisanya berada pada sektor listrik, gas, dan air. Jika dilihat dari kualitas lapangan
kerja juga belum menunjukkan tercipta kualitas pekerjaan yang lebih baik. Tenaga kerja yang
bekerja di sektor informal masih mendominasi, seperti pekerja bebas dan atau dibantu dengan
anggota keluarga, disamping rasio kesempatan kerja total secara relatif masih tinggi. Tercatat hanya
23% masih bekerja pada sektor informal, di samping masih terdapat pekerja bebas sebesar 36%.
Selain itu, dari jumlah penduduk bekerja, terdapat 5,3% kategori pengangguran terbuka,
belum termasuk setengah menganggur. Data ini lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata
Kabupaten yang kesempatan kerja mencapai 94,70% pada tahun 2014 (BPS Lobar, 2014). Ini
artinya pada tahun tersebut terdapat 5,0% pengangguran terbuka. Namun demikian, kondisi
tersebut bisa naik jika pertumbuhan ekonomi di Lombok Barat tidak naik, apalagi dengan adanya
kenaikan beberapa sektor ekonomi, seperti listrik, gas, pangan, dan lainnya.
Dengan paparan data-data di atas, menjadi pertanyaan adalah mengapa di desa yang
memiliki potensi unggul (pusat pariwisata) justru penduduknya miskin? Mengapa pembangunan
menjadi (seolah) mandul dan nampak tidak mampu menghadirkan output yang maksimal. Bicara
output (kesejahteraan masyarakat), membawa penulis untuk menengok input (kualitas SDM).
Sejauh manakah kualitas SDM selama ini sehingga kurang dapat mendongkrak output. Pertanyaan
yang muncul dari sikap positif membuahkan logika untuk memperbaiki input tersebut.
Salah satu penyebab utamanya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia. Mutu
sumber daya manusia yang rendah tercermin dari pencapaian Angka Partisipasi Kasar (APK),
Angka Partisipasi Murni (APM), Angka Partisipasi Sekolah (APS), anak putus sekolah atau tidak
melanjutkan studi, penduduk bekerja tidak tamat SD, dan penduduk buta aksara. APK untuk Desa
Sekotong Barat dapat dicermati berdasarkan capaian APK Kecamatan Sekotong. Sebagai contoh,
sampai akhir tahun 2016, APS usia 7-12 tahun telah mencapai 98.05% di Kecamatan Sekotong dan
95,52% tingkat Kabupaten (BPS Lobar, 2016). APS usia 13-15 tahun mencapai 88,48% di
Kecamatan Sekotong dan 87,35% di tingkat Kabupaten. Capaian ini menunjukkan hanya sekitar 3%
penduduk usia 7-12 tahun dan 11% penduduk usia 13-15 tahun di Kecamatan Sekotong (termasuk
Desa Sekotong Barat) yang belum bersekolah atau putus sekolah.
Jika disandingkan dengan data anak tidak atau putu sekolah usia 7-12 tahun dan 13-15
tahun, maka capaian angka partisipasi tersebut tidak akurat dan kredibel. Data BPS Lobar (2016)
mencatat 9 orang usia SD dan 2 orang usia SMP putus sekolah di Kecamatan Sekotong. Data ini
pun disinyalir data “perkiraan”, karena hasil kajian ini berdasarkan hasil pengamatan langsung,
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 605
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
secara khusus di Desa Sekotong Barat Kecamatan Sekotong ditemukan sebanyak 58 orang anak
usia SD/Sederajat dan 48 orang anak usia SMP/Sederajat yang putus sekolah dengan berbagai
faktor penyebab, seperti: ekonomi, sosial budaya, geografis, pembelajaran tidak kontekstual, minat
belajar, dan faktor lainnya Data ini belum termasuk yang tidak melanjutkan studi. Ini artinya
bahwa data faktualnya 5 (lima) kali lipat dari data yang tertulis atau terlaporkan. Kondisi ini juga ini
menunjukkan belum tercapainya target MDGs atau program wajib belajar 9 tahun.
Kondisi yang lebih memprihatinkan adalah rata-rata lama sekolah. Pada dasarnya semakin
lama rata lama sekolah, maka semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakatnya dan tentu saja hal
ini mengindikasikan kualitas penduduk yang lebih baik. Namun demikian, dari jumlah penduduk
yang bekerja musiman di Desa Sekotong Barat, 68.8% diantaranya tidak pernah mengenyam
pendidikan atau tidak tamat SD. Jauh dibandingkan dengan tingkat Kabupaten yang sudah
mencapai 36,2% pada tahun 2015 (BPS Lobar, 2015).
Dari penduduk yang tidak tamat SD tersebut, hampir 50% didominasi oleh penduduk buta
aksara. BPS Lobar (2014) mencatat bahwa penduduk melek huruf sudah mencapai 85.90% di
Kabupaten Lombok Barat. Secara khusus, di Desa Sekotong Barat tercatat bahwa dari 9.454
penduduk, 10% diantaranya kategori buta aksara (BPS Lobar, 2015). Data ini juga disinyalir data
“perkiraan”, karena kajian menemukan menemukan sebanyak 3,546 penduduk buta aksara (Wildan
dkk., 2015) dan bertambah menjadi 3,582. Dilihat dari aspek gender, pada tingkat buta aksara
terbanyak masih didominasi oleh penduduk dengan jenis kelamin perempuan. Kondisi ini
sebetulnya bukan karena permasalahan deskriminasi, melainkan lebih dari faktor lain, seperti
ekonomi, geografis, minat dan sosial budaya masyarakat.
Potensi Pengembangan Produk dan Jasa Ekowisata
Dibalik dibalik permasalahan tersebut, Desa Sekotong Barat ini merupakan pusat pariwisata
di Kecamatan Sekotong sebagaimana yang dilaporkan Wildan dkk. (2016a) dan bahkan merupakan
salah satu pusat atraksi wisata Kabupaten Lombok Barat dan Provinsi Nusa Tenggara Barat yang
sudah mendunia. Paling tidak ada beberapa pulau kecil (oleh masyarakat disebut Gili) yang menjadi
ikon di Desa ini, yaitu: Gili Nanggu, Gili Tangkong, Gili Sudak, Gili Kendis, Gili, Poh, Gili Lontar,
dan Gili Genting. Selain Gili, sepanjang pantai di Desa Sekotong merupakan pantai yang bersih dan
berpasir putih, seperti pantai Elak-Elak.
Dengan potensi di atas, maka Desa ini memiliki keunggulan potensial yang dapat
dikembangkan dengan berbagai macam atraksi lainnya. Misalnya dengan banyaknya pulau kecil
(Gili), maka dapat dikembangkan atraksi pariwisata olah raga air, seperti: Diving, Scuba Diving,
Snorkling, Fin Swimming, dan Kayaking. Kemudian dengan area laut yang luas, maka juga dapat
dikembangkan wisata kuliner melalui budidaya ikan Baronang, Krapu, Kepiting, dan lainnya. Di
samping itu, potensi pengembangan lain adalah kerajinan emas, perak, mutiara, karena di Desa ini
dapat dilakukan budidaya Mutiara. Tidak kalah potensial adalah pengembangan pariwisata edukasi
atau ekowisata. Pada area laut dan pantai terdapat padang lamun, trumbu karang, ikan hias,
Mangrove sehingga sangat potensial untuk dikembangkan sebagaimana juga Wildan dkk. (2016a)
sebelumnya
Berdasarkan hasil kajian, ditemukan beberapa potensi pengembangan produk dan jasa
ekowisata di wilayah kajian. Pertama, produk ekowisata. Hasil kajian teriidentifikasi produk
ekowisata, yaitu: (1) kerajinan perhiasan emas/perak/mutira. Sangat banyak penduduk di desa ini
yang terampil membuat produk kerajinan perhiasan emas/perak yang dikombonasikan dengan
mutiara. Mutiara ini menjadi potensi utama, karena di tempat ini dilakukan budidaya mutiara.
Mutiara budidaya merupakan mutiara yang zat peng-ganggu sengaja dimasukkan oleh manusia.
Mutiara ini dikembangbiakkan menggunakan kerang di laut atau air tawar. Selain mutiara,
pengrajin di desa ini juga mengkombinasikan dengan berbagai bahan dari laut yang sudah tidak
rusak, seperti kerang; (2) kerajinan pemanfaatan dedaunan kering atau bunga. Daun-daun dan bunga
yang ada, dipilih oleh sekelompok sadar wisata untuk dikembangkan menjadi ornament atau hiasan.
Tentu saja tidak semua jenis daunan yang dapat dimanfaatkan. Biasanya mereka menggunakan
daunan dari pohon boddhi, sirsak, mahoni, dan sejenisnya. Penuturan subyek bawa penggunaan
dedauanan tersebut disebabkan karena tekstur tulang daunnya lebih kuat. Limbah daun tidak
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 606
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
terpakai ini ternyata dapat dibuat berbagai kerajinan menarik. Mulai gantungan kunci, aneka bunga,
pembatas buku, hingga kaligrafi. Produk kreatif ini kemudian dipasarkan di lingkungan sekitar; (3)
budidaya laut. Karena area laut di kawasan Sekotong sangat luas, maka penyediaan produk
ekonomi bidiadaya laut menjadi sangat potensial. Beberapa budidaya yang menjadi ciri khas adalah
budidaya ikan baronang, krapu, dan kepiting. Untuk budidaya kepiting dilakukan pada bakau
dengan metode pen-culture. Benih kepiting ditebarkan di lumpur bakau yang dipagari dengan
bambu dan waring. Budidaya ikan juga dilakukan dengan plot percobaan. Benih baronang akan
dibesarkan di dalam keramba jaring apung; (4) makanan khas lokal.Kuliner ikan baronang,
kepiting, dan sumber dari laut lainnya menjadi andalan di kawasan ini. Keunikan dari potensi ini
adalah dimana dalam proses memasak sama sekali tidak menggunakan penyedap rasa. Kuliner yang
dihasilkan murni diproduk secara higienis.
Kedua, potensi jasa ekowisata. Beberapa potensi yang teridentifikasi, yaitu: (1) Akomodasi
yang ramah lingkungan. Di banding dengan wilayah pariwisata lainnya di Pulau Lombok, maka di
Sekitar Sekotong tidak ditemukan hotel berbintang. Sebagai wilayah ekowisata, resort atau home
stay menjadi pilihan sehingga penduduk lokal bisa menjadi pelaku utama ekowisata. Selain itu,
beberapa ciri khas yang dapat dikembangkan adalah penyediaan air panas yang memanfaatkan
tenaga surya, menggunakan air limbah dapur dan kamar mandi untuk mengairi kebun, dan tidak
menggunakan AC; (2) pertunjukan seni. Pertunjukan seni untuk masyarakat Lombok umumnya
sama, namun potensi utama yang menajdi ciri khas di kawasan Sekotong adalah pertunjukan seni
yang berbasis pada kearifan lokal. Misalnya, semua peralatan musik menggunakan alat musik
tradisional. Kebanyakan pertunjukkan seni diberbagai destinasi wisata di Pulau Lombok sudah
mengkombinasikan peralatan musik secara modern. Oleh karenanya, destinasi ekowisata Sekotong
mempertahanakan kearifan lokal sehingga menjadi keunggulan tersendiri; (3) jasa pengolahan
sampah. Pengelolaan sampah di beberapa kawasan pariwisata di Pulau Lombok menjadi
permasalahan yang kerapkali menghambat kemajuan wisata. Tidak ada upaya kearah pengolahan
sampah dengan baik dan benar. Oleh karenanya, kawasan ekowisata Sekotong menjadi pilot dalam
pengolahan sampah. Penduduk dapat menyediakan jasa pengolahan sampah melalui pemilahan
sampah organik, non organi, dan B3; (4) transportasi ramah lingkungan. Penyediaan jasa
transportasi yang ramah lingkungan menjadi potensi yang dapat dikembangkan di kawasan
Sekotong. Sekotong yang sebagian besar terdiri dari beberapa gili (pulau kecil) sebagai ciri khasnya
mentutut penyediaan jasa transportasi yang ramah lingkungan, seperti penggunaan perahu, sepeda
dan kuda di semua gili. Potensi ini belum dikembangkan secara maksimal sehingga belum
membuahkan keuntungan secara ekonomi; (5) kursus dan sajian masak khas lokal. Seperti yang
dikemukakan sebelumnya bahwa di Kawasan Sekotong memiliki area laut yang luas. Dengan area
tersebut sangat potensial dikembangkan kuliner melalui budidaya ikan Baronang, Krapu, Kepiting,
dan lainnya. Dengan potensi tersebut, maka jasa yang dapat dikembangkan adalah kursus dan sajian
masakan khas lokal yang bersumber dari budidaya laut. Kursus memasak ikan baronang, krapu,
kepiting dan lainnnya dapat diintegrasikan dengan penyediaan masakan itu sendiri; (6) jasa wisata
olah raga air. Penyediaan jasa olah raga air, seperti: Diving, Scuba Diving, Snorkling, Fin
Swimming, dan Kayaking adalah poetensi yang sangat potensila dikembangkan. Trumbu karang
yang masih sangat bagus, pulau-pulau kecil (gili) yang sangat banyak, pasir putih, dan berbagai
potensi biota laut merupakan dukungan yang sangat kuat dalam pengembangan ekowisata. Apalagi
potensi ini didukung dengan sumber daya manusia yang sangat handal dalam memandu
ekowisatwan untuk melakukan olah raga air.
Kebutuhan Pengembangan Produk dan Jasa Ekowisata Sebagai Instrumen Penguatan Ekonomi
Dari potensi-potensi produk dan jasa ekowisata tersebut, maka pada tahap pertama
dilakukan penentuan prioritas kebutuhan yang dikembangkan. Analisis kebutuhan merupakan
langkah yang diperlukan untuk menentukan produk dan jasa yang dikembangkan. Kajian awal ini
juga berupaya mengungkapkan kebutuhan pengembangan produk dan jasa ekowisata tersebut, baik
melalui angket maupun FGD dengan subjek serta wawancara langsung dengan beberapa orang
siswa. Berdasarkan wawancara yang dilakukan, teridentifikasi beberapa prioritas pengembangan.
Tabel 1 berikut menvisualisasikan prioritas kebutuhan dimaksud.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 607
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Tabel 1. Prioritas Kebutuhan Pengembangan Produk dan Jasa Ekowisata Sekotong
No Kebutuhan Keunggulan Lokal Jawaban
(%) Prioritas
1 Keterampilan/kerajinan produksi daerah, seperti perhiasan
emas/perak/mutiara/sejenisnya 80.49 1
2 Keterampilan pengemasan makanan khas daerah, seperti:
kuliner ikan dan kepiting 73.46 3
3 Kerajinan Pemanfaatan Dedaunan Kering dan Bungan 62.13 4
4 Kerajinan khas daerah, seperti: kain tenun/pakain khas
Sekotong. 53.66 6
5 Jasa transportasi ramah lingkungan 51.22 7
6 Pemandu wisata/sejenisnya 56.10 5
7 Pertunjukan seni berbasis kearifan lokal 39.02 9
8 Pemandu olah raga air 76.29 2
9 Kursus kuliner khas lokal 21.95 11
10 Akomodasi ramah lingkungan 47.32 8
11 Pengolahan sampah 32,33 10
12 Lainnya (pengemasan air minum, dll) 20,19 12
Sumber: Pengolahan Data Primer
Berdasarkan Tabel 1 tersebut, keterampilan lokal/keterampilan produksi daerah seperti
kerajinan emas/perak/mutiara menjadi kebutuhan utama yang diharapkan oleh subjek. Keterampilan
produksi ini terdapat hampir pada semua wilayah Sekotong Barat Alasannya berdasarkan hasil FGD
adalah karena keterampilan ini menjadi andalan di Pulau Lombok yang pangsa pasarnya sudah
sampai mancanegara dengan jumlah omzet yang sangat besar. Selain produk itu, juga prioritas yang
dikembangkan adalah penyediaan pakaian/ kain yang bercirikan sekotong, kuliner khas sekotong,
transportasi ramah lingkungan dan lainnya.
Berdasarkan hasil analisis terhadap kecenderungan kebutuhan pengembangan produk dan
jasa ekowisata, maka peneliti secara kolaboratif menetapkan keterampilan produksi perhiasan
emas/perak/mutiara, produk kain/pakaian berciri khas sekotong, kuliner ikan laut dan kepiting, serta
transportasi ramh lingkungan sebagai substansi pemberdayaan terhadap masyarakat. Untuk tahap
awal, khusus untuk produk kerajinan dibatasi pada keterampilan membuat perhiasan yang
memanfaatkan mutiara dan kerang atau berbahan dari laut.
Segmen Pasar Produk dan Jasa Ekowisata Sekotong
Hasil kajian menemukan bahwa hampir seluruh Ekowisatawan mancanegara, baik Eropa,
Timur Tengah, dan Ekowisatawan Mancanegara lainnya termasuk Ekowisatawan Nusantara sangat
tertarik dengan produk dan jasa ekowisata di Sekotong Barat. Beberapa motif ketertarikan terhadap
produk dan jasa ekowisata di Sekotong Barat cukup beragam. Hasil FGD terungkap bahwa
keindahan destinasi ekowisata di kawasan Sekotong Barat, keunikan produk dan jasa ekowisata,
keunikan proses produksi produk dan jasa ekowisata, dan pemanfaatan potensi sekitar sebagai
bahan produksi produk dan jasa serta tanpa merusak lingkungan menjadi faktor daya tarik
Ekowisatawan terhadap produk dan ajsa ekowisata kawasan Sekotong Barat. Menurut penuturan
salah satu informan bahwa mereka sangat senang melihat keunikan proses produksi produk
ekowisata, khususnya kerajinan. Selain karena mengandalkan keterampilan tangan, dalam proses
produksi juga disisipi dengan proses budaya atau adat istiadat dalam pengerjaannya. Hal ini
memberikan daya tarik tersendiri bagi ekowisatawan.
Untuk ekowisatawan Eropa misalnya, menikmati keaslian budaya setempat menjadi daya
tarik utama di samping tentunya untuk istirahat. Temuan ini sejalan dengan temuan Haryani (2014)
yang menempatkan atraksi alam dan budaya sebagai daya tarik utama wisatawan. Kedua atraksi
inilah yang menjadi daya tarik khas ekowisata di sekotong barat. Salah satu Wisatawan dalam FGD
menyebutkan bahwa mereka ingin melihat yang naturalistik “kami datang ingin melihat sekotong
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 608
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
yang alami….duapuluh tahun ke depan juga berharap kondisinya sama dengan sekotong saat ni”.
Cuplikan pernyataan ni menunjukkan bahwa atraksi alam dan budaya menjadi motif datang
berwisata. Respon yang muncul dari mereka adalah keunikan produk, proses produk, tidak merusak
alam, keramahan penduduk lokal sehingga menjadi yakin sebagai tempat istirahat. Dengan
demikian, pangsa pasar produk dan jasa ekowisata kawasan Sekotong Barat sangat menjajikan baik
dan diterima dari semua kalangan da nasal Ekowisatawan.
Pembenahan utama adalah dalam hal pemasaran. Hasil kajian menemukan bahwa banyak
ekowisatawan tidak mengetahui destinasi wisata termasuk produk dan jasa ekowisata di Kawasan
Sekotong Barat. Selama ini mereka hanya tahu secara parsial dari teman atau keluarga yang
kebetulan pernah berkunjung di Sekotong Barat. Hal kajian juga melalui FGD juga berhasil
mengungkapkan beberapa masukan dari perspektif subjek terkait pemasaran produk dan jasa
ekowisata. Masukan hasil kajian, antara lain: (1) penguatan pasar dan citra ekowisata, melalui:
penguatan pemasaran ekowisata secara berkelanjutan untuk kelompok ekowisatawan massal;
intensifikasi program pemasaran dan promosi ekowisata di pasar pariwisata; intensifikasi
pemasaran paket ekowisata dan event tematik tertentu; optimalisasi pemanfaatan media komunikasi
pemasaran yang meliputi media on-line dan off-line dalam 3 (tiga) aras yaitu social, mobile, dan
experiential; dan bentuk lainnya; (2) kemitraan pemasaran ekowisata, melalui: penguatan promosi
bermitra dengan pelaku usaha pariwisata dan ekowisata; peningkatan penggunaan media promosi
ekowisata yang ramah lingkungan; pengembangan konten bahan promosi ekowisata yang
menempatkan masyarakat lokal sebagai tuan rumah (host) dan penerima manfaat; dan lainnya; (3)
penguatan promosi ekowisata, melalui:intensifikasi promosi produk-produk dan jasa ekowisata
minat khusus dengan portal khusus di website; peningkatan pemasaran dan promosi berbasis tema
tertentu melalui community marketing dan kampanye pemasaran secara terencana dan terpadu
dengan pengembangan produk sesuai tema; penyelenggaraan event promosi ekowisata di sumber
pasar wisnus (mal, hotel, bandara, pusat perbelanjaan, dan lain-lain); pengembangan program
pemasaran dan promosi yang bermuara pada brand image; dan lainnya.
Daya Dukung Modal dan Investasi
Daya dukung dimaksud, dapat berupa penganggaran (incash) maupun penyediaan saran
parasarana (inkind) termasuk sebagai narasumber. Hasil kajian melalui wawancara dan kajian
dokuemn menunjukkan bahwa terdapat mata anggaran yang khusus di arah dalam pemberdayaan
masyarakat di kawasan ekowisata Sekotong. Kajian dokumen menunjukkan beberapa dukungan
penguatan ekonomi dimaksud, antara lain: (1) pengembangan kewirausahaan masyarakat.
Dukungan ini diarahkan untuk menumbuhkan jiwa kewirausahaan dikalangan masyarakat,
khususnya pemuda. Penumbuhan ini dilakukan melalui berbagai pelatihan kewirausahaan dengan
target utama tumbuhnya wirausahawan baru. Anggaran yang disediakan mencapai Rp. 654 juta
sampai pada tahun 2019; (2) pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan budidaya air laut.
Dukungan ini dihajatkan untuk meningkatkan kompetensi nelayan dan volume produksi budidaya
air laut. Di Desa Sekotong juga melakukan budidaya air laut sehingga menjadi sasaran program ini.
Jumlah anggaran mencapai rata-rata Rp. 100 juta untuk pemberdayaan dan rata-rata Rp. 886 juta
setiap tahun untuk peningkatan produktivitas sampai tahun 2019; (3) pengembangan sentra-sentra
industri potensial. Dukungan ini diarahkan untuk peningkatan usaha baru dalam menghasilkan
industri baru, seperti: kerajinan, budidaya mutiara, kuliner, serta produk dan jasa pariwisata lainnya.
Target utama adalah meningkatkan kompetensi IKM dan produktivitas produksi. Anggaran yang
disediakan dalam RPJMD cukup tinggi yang mencapai rata-rata Rp. 1,4 miliar per tahun; dan (4)
program pemasaran industri dan pariwisata. Dukungan ini diarahkan pada upaya penguatan
manajemen pemasaran dan citra produk industri dan pariwisata di pasar nasional dan internasional.
Target utama adalah sistem pemasaran berbasis teknologi informasi serta penguatan citra, sehingga
diharapkan dapat meningkatkan volume penjualan produk. Anggaran yang disediakan cukup tinggi
mencapai rata-rata Rp. 2.5 miliar setiap tahunnya.
Data di atas menunjukkan dukungan yang kuat dalam penguatan ekonomi masyarakat
melalui pengembangan produk dan jasa ekowisata. Dalam perspektif pengambil kebijakan, mereka
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 609
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
memiliki potensi dan kebijakan yang jelas yang besar dalam pemberdayaan masyarakat dimaksud.
Petikan hasil wawancara terungkap sebagai berikut.
“apa tidak bisa kami lakukan...selama itu untuk memajukan masyarakat, siap kita
gelontorkan anggaran....” (BQ: Kepala Bappeda Lobar).
PEMBAHASAN
Temuan-temuan kajian ini, baik menyangkut permasalahan faktual, potensi, dan kebutuhan
pengembangan produk dan jasa ekowisata, segemen pasar, dan dukungan modal serta investasi
telah menegaskan pentingnya penguatan ekonomi masyarakat lokal sebagai upaya mengatasi
permasalahan sosial yang dihadapi masyarakat lokal. Temuan penelitian ini dengan jelas
menggambarkan bahwa masyarakat belum menjadi pelaku utama ekowisata. Masyarakat lokasi
penelitian masih tertinggal dalam hal kesejahteraan yang tercermin dari jumlah penduduk miskin;
indeks kedalam kemiskinan/P1 dan indeks keparahan kemiskinan/P2; daya beli masyarakat rendah;
dan jumlah pengangguran yang tidak sebanding dengan lapangan kerja. Pada aspek SDM juga
mencerminkan kondisi yang memprihatinkan, terindikasi: masih banyaknya penduduk yang tidak
tamat SD, buta aksara, putus sekolah, tidak melanjutkan studi, dan lainnya. Kondisi ini ironis,
tatkala desa ini menjadi salah satu destinasi ekowisata. Temuan ini selaras dengan temuan
sebelumnya (Wildan & Sukardi, 2013; Wildan dkk., 2016a) yang menunjukkan adanya problem
kemiskinan, pengangguran, daya beli rendah yang diakibatkan lemahnya sumber daya manusia .
Kondisi ini disebabkan oleh lemahnya pelibatan masyarakat dalam mengelola ekowisata.
Penuturan mereka menguak kondisi dimana mereka hanya memperoleh manfaat dari jasa perahu
yang dimiliki. Mereka mengantar wisatawan ke beberapa Gili dengan upah yang kecil dan tingkat
intensitasnya sangat jarang sebagaiman juga diungkap juga dalam penelitian sebelumnya (Wildan
dkk., 2016a). Selain kondisi itu, mereka juga menerima wisatawan dengan tarif rendah. Usaha ini
praktis bersifat musiman. Dengan demikian belum ada keuntungan secara merata yang diperoleh
dari aktivitas pariwisata. Kondisi ini sekali lagi membuktikan temuan penelitian lain (seperti
Zulvera dkk., 2014) bahwa rata keberdayaan masyarakat masih rendah dalam setiap aspek
pembangunan.
Dampak langsung dari tidak adanya penguatan ekonomi atau pemberdayaan adalah
masyarakat menjadi penonton dalam pembangunan ekowisata sebagaiman juga pernah disinyalir
oleh Sukidjo (2009). Padahal, beberapa hasil kajian menemukan bahwa peran masyarakat lokal
menjadi penting dalam pengembangan ekowisata. Hasil kajian Hill dan Hill (2011) misalnya
menemukan bahwa keberhasilan ekowisata karena dukungan dan partisipasi masyarakat lokal.
Setidaknya ada beberapa keuntungan yang dihasilkan dari model ini, yaitu: (a) usaha ekowisata
telah diintegrasikan dengan pemberdayaan masyarakat sekaligus; (b) terjadinya sharing atau
bertukar pengetahuan antara masyarakat dengan pengembang wisata; (c) pengelola,an sumber daya
hutan secara bersama-sama antara masyarakat dan operator wisata; (d) mampu meminimalkan
kebocoran ekonomi lokal; dan meminimalkan gangguan lingkungan dan satwa liar
Selain itu, hasil kajian ini juga mengungkapkan bahwa bentuk keterlibatan masyarakat
dalam ekowisata belum sesuai dengan potensi dan kebutuhan mereka. Potensi di kawasan lokasi
kajian sangat potensial bagi pengembangan produk dan jasa ekowisata sebagaimana dipaparkan
dalam sajian data di atas. Namun demikian, dari sekian potensi tersebut hanya jasa trasnportasi
menjadi fokus kegiatan ekonomi masyarakat lokal, khususnya melalui penyewaan perahu. Tentu
saja, kegiatan ekonomi ini kurang memberikan efek yang signifikan terhadap kemajuan ekonomi
masyarakat. Padahal, potensi sumber daya pengembangan produk dan jasa ekowisata di lokasi
kajian memenuhi kriteria Siegel (2009) sebagaimana juga dikutip Murwani (2016: 47) memenuhi
ciri: valuable, rare, inimitable, dan nonsubstitutable. Berbasis pada potensi lokal menjadi asset atau
sumber daya strategis sekolah dalam mengembangkan pengetahuan (pemberdayaan) guna
menghasilkan nilai tambah ekonomi dan sosial (Bollinger & Smith, 2001). Karena jauh
sebelumnya, Barney (1991) menyebutkan ketercapaian sustained competitive advantage jika
mengoptimalkan potensi sumber daya (resource-based view) yang ada.
Selain potensi, analisis kebutuhan merupakan langkah yang diperlukan untuk menentukan
bentuk substansi dan prosedur pemberdayaan atau penguatan ekonomi masyarakat kawasan
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 610
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
ekowisata sekotong (Degeng, 2013). Maslow (Robbins, 2002) menyebutkan bahwa kebutuhan
adalah bagian penting dari kehidupan manusia. Dengan demikian, kesuksesan seseorang
dipengaruhi oleh kompetensinya dalam memenuhi kebutuhan dan biasanya akan melakukan
berbagai upaya secara berkesinambungan untuk mencapai kebutuhannya. Temuan penelitian
mengungkapkan bahwa keterampilan lokal/keterampilan produksi daerah, seperti kerajinan
emas/perak/mutiara berbahan kerang, mutiara dan potensi laut lainnya menjadi kebutuhan utama
yang diharapkan oleh subjek, di samping kuliner ikan dan kepiting, jasa transportasi ramah
lingkungan, dan kerajinan kain/pakaian khas Sekotong. Potensi inilah dapat menjadi aset sekaligus
dimanfaatkan sebagai peluang usaha bidang ekowisata. Potensi ini menyebar di daerah penelitian
sebagai keunggulan lokal seyogyanya penguatan/pemberdayaan ekonomi masyarakat. Potensi yang
dimanfaatkan sebagai substansi pemberdayaan juga selalu menjadi gaung pemikiran teori
rekonstruksi sosial sebagai upaya pemecahan permasalahan sosial masyarakat (McNeil, 2006;
White, 2012).
Segmen pasar juga sangat mendukung penguatan ekonomi melalui pengembangan produk
dan jasa ekowisata di atas. Hasil kajian mengungkapkan Ekowisatawan memberikan apresiasi
terhadap produk dimaksud. Faktor utama adalah keunikan produk, proses produksi yang
mengandalkan kerajinan tangan, di samping tidak merusak alam menjadi daya tarik produk dan jasa
yang dihasilkan. Daya tarik ini menjadi penciri ekowisata di kawasan sekotong dan sangat relevan
dengan tesis Panos (Ward, 1996) bahwa industry ekowisata berbasis lingkungan yang memberikan
dampak kecil bagi kerusakan alam dan budaya lokal sekaligus menciptakan peluang kerja dan
pendapatan serta membantu kegiatan konservasi alam. Daya tarik tersebut juga memnehi tesis
ekowisata sebagaiman dikemukakan From (2004), hawa ekowisata memiliki keunikan dalam hal:
perjalanan outdoor di kawasan alam tidak menimbulkan kerusakan lingkungan, mengutamakan
fasilitas transportasi yang diciptakan masyarakat setempat, dan menaruh perhatian besar pada
lingkungan dan budaya lokal.
KESIMPULAN
Berdasarkan kajian lapangan terlihat bahwa di lokasi penelitian masih tertinggal dalam hal
kesejahteraan yang tercermin dari jumlah penduduk miskin; indeks kedalam kemiskinanP1 dan
indeks keparahan kemiskinan/P2; daya beli masyarakat rendah; dan jumlah pengangguran yang
tidak sebanding dengan lapangan kerja. Kondisi ini sesungguhnya banyka disebabkan oleh faktor
mutu manusia yang mengelola sumber daya alam di kawasan Sekotong. Beberapa indikasi yang
terlihat, yaitu: penduduk tidak tamat SD, buta aksara, putus sekolah, tidak melanjutkan studi, dan
lainnya.
Kondisi ini ironis, tatkala desa ini menjadi salah satu destinasi ekowisata. Hasil kajian
menemukan beberapa potensi pengembangan produk dan jasa ekowisata, seperti: kerajinan
perhiasan emas/perak mutiara, kerajinan pemanfaatan dedaunan kering atau bunga, budidaya laut,
makanan khas lokal, akomodasi yang ramah lingkungan, pertunjukan seni, jasa pengolahan sampah,
transportasi, kursus dan sajian masak khas lokal, jasa wisata olah raga air dan lainnya. Untuk tahap
awal, prioritas penguatan ekonomi masyarakat diarahkan pada pengembangan produk kerajinan
perhiasan emas/perak/mutiara yang dipadukan dengan bahan dari laut, kuliner ikan dan kepiting,
jasa tranaportasi ramah lingkungan, dan kerajinan kain/pakaian yang bercirikan destinasi ekowisata
Sekotong.
Kebutuhan utama tersebut didukung dengan pangsa pasar yang cukup menjanjikan pada
semua segmen pasar (semua kalangan dan asal Ekowisatawan). Keunikan produk, proses produksi
yang mengandalkan kerajinan tangan, di samping tidak merusak alam menjadi daya tarik produk
dan jasa yang dihasilka menjadi faktor penguat pangsa pasar. Selain itu, kebutuhan modal dan
investasi juga sangat mendukung. Penguatan ekonomi tersebut tidak membutuhkan modal dan
investasi yang besar, apalagi secara inkind sudah disediakan oleh dinas-dinas terkait di Kabupaten
Lombok Barat.
Berdasarkan simpulan di atas, beberapa beberapa saran yang diajukan, yaitu: (1) untuk
mempercepat penguatan ekonomi masyarakat lokal melalui pengembangan produk dan jasa
ekowisata, maka kolaborasi bersama stakeholders untuk memperkuat ekonomi masyarakat
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 611
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
berdasarkan butir-butir design yang sudah dihasilkan di atas; (2) desiminasi hasil secara menyeluruh
khususnya kepada pengambil kebijakan juga menjadi bagian penting. Oleh karenanya, perlu
dilakukan seminar hasil kajian kelayakan dan konsep penguatan ekonomi masyarakat lokal melalui
pengembangan produk dan jasa ekowisata yang ditawarkan di Kabupaten Lombok Barat.
DAFTAR PUSTAKA
Aswin, S. & Ardash, B. 2007. Ecotourism: A Perspective from Thai Youths. Journal of Hospitality,
Leisure, Sport & Tourism Education, 6 (1): 81-85.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Barat/BPS Lobar. 2013. Lombok Barat dalam Angka
2013. Gerung: BPS Bekerjasama dengan Bappeda Lombok Barat.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Barat/BPS Lobar. 2015. Lombok Barat dalam Angka
2015. Gerung: BPS Lombok Barat.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Barat/BPS Lobar. 2016. Lombok Barat dalam Angka
2015. Gerung: BPS Lombok Barat.
Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat/BPS. NTB. 2013. Profil Kemiskinan di Nusa
Tenggara Barat September 2013. (Online) (http://ntb.bps.go.id/ fileupload/BRS Kemiskinan
September2012pdf), Diakses 5 Maret 2015.
Badan Pusat Statistik. 2013. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks
Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut Provinsi,
September 2013. (Online), (http://www.bps.go.id/tab
_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subjek=23¬ab=1), diakses 4 April 2015.
Bappeda Lombok Barat. 2014. Analisis Ketenagakerjaan Kabupaten Lombok Barat 2014. Gerung;
Kerjasama Bappeda Lombok Barat dengan BPS Lombok Barat.
Barney, J. 1991. Firm resources and sustained competitive advantage. Journal of Management, 17
(1): 99-120.
Bhuiyan, A.H., Siwar, C., Ismail, S.M., & Islam, R. 2011.The Role of Government for Ecotourism
Development: Focusing on East Coast Economic Region. Journal of Social Sciences, 7 (4):
557-564.
Bhuiyan, A.H., Siwar, C., Ismail, S.M., & Islam, R. 2011.The Role of Government for Ecotourism
Development: Focusing on East Coast Economic Region. Journal of Social Sciences, 7 (4):
557-564.
Bollinger, A.S. & Smith, R.D. 2001. Managing organizational knowledge as a strategic asset.
Journal of Knowledge Management, 5 (1): 8-18.
Chambers, R. 1994. The Origins and Practice of Participatory Rural Appraisal. Word
Development, 22 (7): 953-969.
Dinas Pariwisata Lombok Barat. 2014. Profil Pariwisata Lombok Barat 2013. Gerung: Dinas
Pariwisata Lobar.
From, A.P. 2004. Abusing Eco-Tourism: The Rhetoric of a Noble cause, Used for Commercial
Ends. Newsweek Budget Travel, Inc. 29 Oktober 2004.
Garjita, IP., Susilowati, I.dan Soeprobowati, R. 2013.Tingkat Keberdayaan Sosial Ekonomi
Kelompok Tani Desa Konservasi Sebagai Penyangga Kawasan TamanNasional Gunung
Merapi. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
2013, hal. 130-135
Haryani. (2014). Potensi Pengembangan Atraksi Wisata Kampung Nelayan Pasie Nan Tigo Padang
di Tengah Ancaman Bencana Abrasi. MIMBAR, 30 (2): 189-198.
Hill, J.L., & Hill, R.A. 2011. Ecotourism in Amazonian Peru: Uniting Tourism, Conservation and
Community Development. Geography, 96 (2): 75-85.
Hill, J.L., & Hill, R.A. 2011. Ecotourism in Amazonian Peru: Uniting Tourism, Conservation and
Community Development. Geography, 96 (2): 75-85.
Ife, J. dan Tesorie ro, F. 2008. Community Development; Community-based Alternative in an Age
of Globalisation. Terjemahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
McNeil, J.D. 2006. Contemporary Curriculum: In Thought and Action. NJ: John Wiley and Sons,
Inc.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 612
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Miles, M.S. & Hubermen, A.M. (1984). Qualitative data analysis: a sourcebook of mew method.
Beverly Hills: Sage Publications.
Murwani, F. D. 2016. Model Pendidikan Entrepreneurship di Perguruan Tinggi: Upaya
Menumbuhkan Entrepreneur Dan Intrapreneur dalam wadah Entrepreneurial University.
Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Pendidikan Ekonomi pada Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Malang, 14 April.
Peter, M. 2005. Ecotourism Along the Meso-American Caribbean Reef: The Impacts of Foreign
Investment. Human Ecology: An Interdisciplinary Journal, 33 (2): 217-244.
Reeves, T.C. 2006. Design Research from a Technology Perspectif, In J.V.D. Akker,
K.Gravemeijer, S. McKenney, & N. Nieveen (Eds). Educational Design Research (hlm.52-
66). London: Routledge.
Satyanarayana, B., Bhanderi, P., Debry, M., Maniatis, D., Fore, F., Badgie, D., Jammeh, K.,
Vanwing, T., Farcy, C., Koedam, N., & Guebas, F.D. 2012. A Socio-Ecological Assessment
Aiming at Improved Forest Resource Management and Sustainable Ecotourism
Development in the Mangroves of Tanbi Wetland National Park, The Gambia, West Africa.
AMBIO, (41): 513-526.
Siegel, D.S. 2009. Gren Management Matters Only If It Yields More Green: An
Economic/Strategic Perspective. Academy of Management Perspectives, 23 (3): 5-16.
Stone, M., & Wall, G. 2003. Ecotourism and Community Development: Case Studies from Hainan,
China. Environmental Management, 33 (1): 12-24.
Sukidjo. 2009. Strategi Pemberdayaan Pengentasan Kemiskinan pada PNPM Mandiri. Jurnal
Cakrawala Pendidikan, 28 (2): 155-164
Trofimenko, O., & Djafarova, E. 2011. Development and Opportunities for Ecotourism in Russia.
Sustainable Tourism: Socio-Cultural, Environmental and Economics Impact: 339-350.
Ward, N.K. 1996. Ecotourism: Raality or Rhetoric: Ecotourism Development in The State of
Quintana Roo, Mexico is a Critical Analysis. (Online) (http://www.planeta.com), diakes 12
januari 2014.
White, S.R. 2012. Reconstructionism and Interdisciplinary Global Education: Curricula
Construction In a Teilhardian Context. International Education Journal, 31(1):5-23.
Wildan & Sukardi. 2013. Kajian Pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Ekonomi,
Pendidikan, dan Lingkungan Hidup di Kabupaten Lombok Barat (Laporan Penelitian).
Gerung: Bappeda Lombok Barat.
Wildan, Sukardi, & Syuaib, M.Z. 2015. Kajian Kelayakan dan Pengembangan Ekowisata Berbasis
Kearifan Lokal di Lombok Barat Sebagai Tujuan Wisatawan Timur Tengah (Laporan
Penelitian Tahun Pertama). Mataram: Lemlit Unram.
Wildan, Sukardi, & Syueb, M.Z. 2016a. Kelayakan Pengembangan Ekowisata Berbasis Modal
Sosial di Lombok Barat. MIMBAR: Jurnal Sosial dan Pembangunan, 32 (1): 214-222
Wildan, Sukardi, & Syuaib, M.Z. 2016b. Kajian Kelayakan dan Pengembangan Ekowisata
Berbasis Kearifan Lokal di Lombok Barat Sebagai Tujuan Wisatawan Timur Tengah
(Laporan Penelitian Tahun Kedua). Mataram: Lemlit Unram.
Zulvera, Sumardjo, Slamet, M., Ginting, B. 2014. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Keberdayaan Petani Sayuran Organik di Kabupaten Agam dan Tanah Datar Provinsi
Sumatera Barat. MIMBAR, 30 (2): 149-158.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 613
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
KESALAHAN GURU DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA MATERI BANGUN
DATAR DI TINJUAU DARI PENGETAHUAN DEKLARATIF
Zainuddin Untu1, Ipung Yuwono2, I Negah Parta3, Sisworo4 1Universitas Mulawarman, 2, 3, 4Universitas Negeri Malang (UM)
email: [email protected]
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kesalahan guru dalam
pembelajaran matematika materi bangun datar ditinjau dari pengetahuan deklaratif. Subjek
penelitiannya adalah guru kelas VI SD Negeri 2 Samarinda. Pengambilan data dilakukan dengan
observasi selama berlangsungnya proses pembelajaran matematika materi bangun datar dan
wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan deklaratif guru dalam menjelaskan
dan menggambarkan konsep luas dan keliling bangun datar melakukan kesalahan konsep, dan tidak
memprediksi situasi kelas.
Kata Kunci: Pengetahuan deklaratif, kesalahan guru, pembelajaran matematika
PENDAHULUAN
Dalam pendidikan dan pembelajaran matematika, pengetahuan deklaratif diperlukan oleh
pendidik sebagai dasar dan substansi di dalam mengajarkan fakta dan konsep-konsep matematika
yang bermakna. Sedangkan bagi peserta didik, pengetahuan deklaratif diperlukan sebagai dasar
untuk memahami fakta dan konsep-konsep dasar matematika yang sedang dipelajari serta untuk
mempelajari fakta dan konsep-konsep matematika berikutnya.
Clark & Mayer (2007) membedakan pengetahuan atas dua jenis utama, yaitu pengetahuan
deklaratif (declarative knowledge) dan pengetahuan prosedural (procedural knowledge).
Pengetahuan deklaratif adalah pengetahuan tentang sesuatu (about something) yang dapat
dideklarasikan/dideskripsikan dengan kata-kata atau pengetahuan tentang sesuatu hal yang
sebenarnya yang dideskripsikan dengan kata-kata baik secara lisan maupun secara tertulis.
Sedangkan pengetahuan prosedural adalah pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu
(how to do something).
Anderson, dkk (2001), membagi pengetahuan deklaratif menjadi dua jenis, yaitu
pengetahuan faktual (factual knowledge) dan pengetahuan konseptual (conceptual knowledge).
Pengetahuan faktual yaitu pengetahuan tentang elemen-elemen dasar dari suatu topik. Sedangkan
pengetahuan konseptual adalah pengetahuan tentang sesuatu. Dalam hal ini, pengetahuan konseptual
mengacu pada pengetahuan yang dimiliki seorang pebelajar (guru) tentang fakta dan konsep-konsep
matematika termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran dan perhatian terhadap fakta dan konsep-
konsep tersebut.
Berkaitan dengan pengertian pengetahuan faktual di atas, Krathwohl (2002) mengemukakan
bahwa, pengetahuan faktual adalah pengetahuan yang bekaitan dengan pernyataan yang benar
karena sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya. Misalnya, antara lain pernyataan berikut : “jika
ditinjau dari ukuran sisinya, maka bangun segitiga ini adalah segitiga sama sisi” dan “anak itu
sedang berjalan”. Kedua pernyataan ini faktual jika kenyataannya memang “bangun segitiga itu
adalah sama sisi bukan sama kaki atau sebarang” dan “anak itu sedang berjalan bukan sedang
duduk”. Dengan demikian, jika seorang guru mau menguji pengetahuan faktual siswa, maka
pernyataan atau pertanyaan yang dibuat untuk diberikan pada siswa harus sesuai dengan kondisi
yang sebenarnya.
Pengetahuan konseptual merupakan pengetahuan tentang hubungan pertalian antara elemen-
elemen dasar dari sebuah topik. Pengetahuan konseptual berkaitan dengan klasifikasi, kategori,
prinsip-prinsip, generalisasi, teori, model, dan struktur. Dalam pembelajaran matematika,
pengetahuan konseptual ini dapat dilihat pada saat ketika Guru sedang berusaha memahami dan
menyelesaikan masalah kontekstual dalam pembelajaran matematika di kelas, Guru tersebut
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 614
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
menuliskan pengetahuan matematika yang sudah dimilikinya atau menuliskan rumus-rumus yang akan
digunakan dalam menyelesaikan masalah kontekstual yang diajarkannya.
Pintrich & Garcia (2009) menjelaskan bahwa, memiliki pengetahuan deklaratif, dapat
memainkan peran penting untuk kita sendiri untuk beroperasi dengan cara yang sama dalam
pengetahuan deklaratif pada daerah konten (materi yang diajarkan). Ini dapat diartikan bahwa,
seorang Guru yang memiliki pengetahuan deklaratif yang baik akan mudah mengatasi kendala atau
hambatan yang terjadi pada saat pembelajaran. Pengetahuan deklaratif yang dimaksud meliputi
pengetahuan tentang fakta, aturan, dan pengetahuan tentang informasi tugas yang direpresentasikan
seperti pengetahuan eksplisit.
Salah satu hasil kajian/studi yang mendukung penjelasan tentang pembelajaran deklaratif di
atas, yaitu Subanji (2007) menjelaskan bahwa, kebanyakan pengajar matematika, hanya
mengajarkan matematika secara prosedur, dan tanpa menjelaskan mengapa prosedur tersebut
digunakan dan mengapa prosedur tersebut yang digunakan. Ini berarti kebanyakan guru matematika
hanya mengajarkan matematika dari aspek pengetahuan prosedural tanpa memperhatikan aspek
pengetahuan deklaratifnya. Uraian ini, sesuai dengan hasil pengamatan penulis terhadap beberapa
Guru Sekolah Dasar (SD) yang sedang mengajarkan dan memecahkan masalah matematika pada
topik Pecahan di Kelas III dan topik Bangun Datar di Kelas VI SD. Selama kegiatan pembelajaran
terlihat bahwa, beberapa Guru SD yang diamati, cenderung mengajarkan matematika baik pada
topik Pecahan di Kelas III maupun topik Bangun Datar di Kelas VI, masih secara prosedural saja.
Hal ini terdeteksi dari cara dan sikap Guru tersebut didalam menyajikan dan menyelesaikan
masalah matematika yang diajarkan yaitu hanya berpatokan atau hanya berdasarkan pada langkah-
langkah yang sudah tertulis dalam buku pengangan guru. Jadi bukan secara deklaratif.
Penelitian tentang pengetahuan deklaratif telah banyak dilakukan oleh peneliti (Madalina &
Tanase, 2011; Miller & Hudson, 2007; Slava Kalyuga, 2009; dan Stürmer, Könings & Seidel,
2012). Madalina Tanase (2011) meneliti tentang pengajaran konsep nilai tempat pada siswa kelas
pertama rumania. Miller & Hudson (2007) meneliti tentang membangun pengetahuan deklaratif
(pengetahuan konseptual) merupakan pedoman pembelajaran didalam mempraktekkan kurikulum
matematika yang komprehensif pada semua materi matematika. Slava Kalyuga (2009) meneliti
tentang elaborasi pengetahuan: sebuah perspektif beban kognitif; belajar dan mengajar. Stürmer,
Könings & Seidel (2012) menjelaskan bahwa, visi profesional dan kemampuan yang harus dimiliki
guru atau calon guru di dalam menerapkan pengetahuan pedagogis umum tentang komponen belajar
mengajar yang efektif dan ciri-ciri yang signifikan dari praktik mengajar terdiri dari tiga aspek
kemampuan yaitu: (a) menggambarkan/menuliskan, (b) menjelaskan, dan (c) memprediksi situasi
kelas. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa, semua calon guru yang melakukan praktik
mengajar pada tiga tempat kursus menunjukkan hasil yang signifikan baik dalam hal pengetahuan
deklaratif maupun visi profesional. Temuan lain dari penelitian tersebut adalah pengembangan visi
profesional Guru atau calon Guru adalah suatu proses penting yang dipandu oleh pengetahuan
deklaratif. Diantara penelitian tersebut belum mengungkap kesalahan guru dalam pembelajaran
matematika ditinjau dari pengetahuan deklaratif.
METODE
Jenis penelitian yang digunakan untuk mengidentifikasi kesalahan guru dalam pembelajaran
matematika materi bangun datar ditinjau dari pengetahuan deklaratif adalah deskriptif ekploratif
dengan melakukan observasi selama berlangsungnya proses pembelajaran matematika materi
bangun datar dan wawancara setelah pembelajaran. Wawancara setelah pembelajaran bertujuan
untuk menggali dan mengklarifikasi terkait pengetahuan deklaratif guru.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Observasi yang dilakukan selama pembelajaran matematika berlangsung bertujuan untuk
mengidentifikasi kesalahan guru dalam pembelajaran matematika materi bangun datar di tinjau dari
pengetahuan deklaratif. Pengetahuan deklaratif Guru tersebut dilihat dari tiga aspek yaitu:
menggambarkan atau menuliskan, mengomunikasikan atau menjelaskan, dan memprediksi situasi
kelas dalam pembelajaran matematika materi bangun datar.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 615
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Dalam menggambarkan atau menuliskan penyelesaian dari masalah yang diberikan, guru
cenderung tidak memperhatikan hal-hal yang bersifat faktual dan konseptual. Bahkan terlihat di
dalam menuliskan/menggambarkan penyelesaian permasalahan yang dikemukakan sendiri terjadi
miskonsepsi dan siswa sama sekali tidak menyadarinya. URAIKAN MISKONSEPSI DALAM
GAMBAR.1 Hal ini ditunjukkan oleh tulisan guru seperti yang terlihat pada Gambar 1.
Dalam mengomunikasikan konsep Luas dan Keliling, guru tersebut mengatakan bahwa, kita
harus membagi daerah pada Gambar ini menjadi 3 daerah yaitu: 1 daerah persegi dan 2 daerah
segitiga siku-siku yang kongruen dengan ukuran: sisi miring masing-masing 8 cm, tinggi 6 cm dan
alas masing-masing segitiga 4 cm. Fakta ini tidak benar karena 82 ≠ 62 + 42. Hal ini merupakan
miskonsepsi dan dibuktikan oleh tulisan guru seperti yang terlihat pada Gambar 2.
Hal tersebut juga diperkuat oleh pernyataan guru saat mengomunikasikan penyelesaian
masalah sebagai berikut.
Guru: Anak-anak untuk menyelesaikan masalah tersebut, kita harus membagi daerah pada gambar
ini menjadi 3 daerah yaitu: 1 daerah persegi dan 2 daerah segitiga siku-siku yang kongruen
dengan ukuran: sisi miring masing-masing 8 cm, tinggi 6 cm dan alas masing-masing
segitiga 4 cm.
Dalam memprediksi situasi kelas pada pelaksanaan pembelajaran. Guru tidak memprediksi
apa yang akan dilakukan siswa setelah memperhatikan Gurunya melakukan proses menggambarkan
atau menuliskan dan mengomunikasikan atau menjelaskan fakta dan konsep-konsep matematika
(bangun datar) yang diajarkannya. Sebagai akibatnya siswa menggambarkan/menuliskan bangun
datar yang diajarkan gurunya tanpa memperhatikan konsep-konsep dasar yang harus dipelajari dan
dipahami serta tanpa memperhatikan fakta yang akan diperlihatkan. Salah satu contoh hasil
menggambarkan/menuliskan fakta dan konsep-konsep bangun datar dari siswa.
Kesalahan yang dilakukan oleh siswa akibat pengetahuan deklaratif guru tentang
menggambar, menjelaskan dan memprediksi situasi kelas yang kurang dipahami oleh seorang guru.
Untuk menghasilkan pembelajaran yang efektif seorang guru harus memahami dan dapat
mengimplementasikan pengetahuan deklaratifnya. Menurut Stürmer, Könings & Seidel (2012)
Gambar 1. Kesalahan guru dalam menuliskan
Gambar 2. Kesalahan guru dalam mengomunikasikan
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 616
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
menjelaskan bahwa, visi profesional dan kemampuan yang harus dimiliki guru atau calon guru
dalam menerapkan pengetahuan pedagogis umum tentang komponen belajar mengajar yang efektif
dan ciri-ciri yang signifikan dari praktik mengajar terdiri dari tiga aspek kemampuan yaitu : (a)
menggambarkan/menuliskan, (b) menjelaskan, dan (c) memprediksi situasi kelas.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan, diperoleh kesimpulan bahwa pengetahuan
deklaratif guru dalam menjelaskan dan menggambarkan konsep luas dan keliling bangun datar
melakukan kesalahan konsep dan guru tidak memprediksi situasi kelas
DAFTAR RUJUKAN
Anderson, L. W. & Krathwohl, D. R. (2001) “The Taxonomy of Educational Objectives, The
Classification of Educational Goals, Handbook I: Cognitive Domain”.
Miller & Hudson (2007). Using Evidence-Based Practices to Build Mathematics Competence
Related to Conceptual, Procedural, and Declarative Knowledge: Learning Disabilities
Research & Practice, 22(1), pp. 47–57. The Division for Learning Disabilities of the
Council for Exceptional Children.
Slava Kalyuga. (2009). Knowledge Elaboration: A cognitive load perspective; Learning and
Instruction; School of Education, University of New South Wales, Sydney, NSW 2052,
Australia.
Clark & Mayer. (2007). Declarative Learning With Artifacts, Knowledge Creation
Spiral.
Krathwohl, D. R. A Revision of Bloom's Taxonomy: An Overview. Theory into Practice; 41
(2002). pp. 212–218.
Madalina Tanase (2011). Teaching Place Value Concepts to First Grade Romanian Students:
Teacher Knowledge and its Influence on Student Learning; University of Nevada, Las
Vegas.
Subanji, (2007). Proses Berpikir Pseudo Penalaran Kovariasional dalam Mengkonstruksi Grafik
fungsi Kejadian Dinamik Berkebalikan. Disertasi tidak diterbitkan. Program Pascasarjana
Universitas Negeri Surabaya.
Stürmer, K. Karen D. Könings, & Seidel, T (2012). Declarative knowledge and professional vision
in teacher education: Effect of courses in teaching and learning, British Journal of
Educational Psychology, 3, pp. 467–483,
Madalina Tanase (2011). Teaching Place Value Concepts to First Grade Romanian Students:
Teacher Knowledge and its Influence on Student Learning; University of Nevada, Las
Vegas.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 617
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
RAGAM PERMAINAN TRADISIONAL SUKU SASAK UNTUK
PENDIDIKAN KARAKTER
Zul Anwar1, Hastuti Diah Ikawati2, Farida Fitriani3
Dosen IKIP Mataram
Abstrak; Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melestarikan budaya sasak berupa
permainan tradisional. Pelestarian tersebut dilakukan dengan mendokumentasikan ragam permainan
tradisional dalam bentuk buku deskripsi permainan dan video. Buku yang dihasilkan masih sangat
sederhana karena perlu disempurnakan dengan memberikan gambar-gambar visual pada setiap jenis
permainan sehingga lebih menarik dan mudah dipelajari. Penyempurnaan tersebut akan dilakukan
ditahap penelitian berikutnya berbarengan dengan pembuatan video (VCD) ilustrasi permainan
tradisional. Selain untuk tujuan tersebut, hasil penelitian ini juga bisa digunakan sebagai sumber
belajar yang dapat memudahkan generasi saat ini dan yang akan datang mempelajarinya. Permainan
tradisional banyak mengandung nilai-nilai edukatif dan pendidikan karakter seperti kejujuran,
kepedulian, kerjasama, bertanggungjawab, sportif, dan sikap positif lainnya. Selain manfaat-
manfaat tersebut, permainan tradisional juga sejatinya dapat memberi manfaat secara ekonomi yaitu
sebagai daya dukung bagi pariwisata mengingat Pulau Lombok merupakan salah destinasi wisata.
Untuk mendapatkan data tentang ragam permainan tradisional suku sasak, ditempuh penelitian studi
pustaka, studi lapangan, dan wawancara. Metode studi pustaka digunakan untuk menemukan
kajian-kajian yang membahas tentang tema penelitian. Sedangkan studi lapangan digunakan untuk
melihat secara langsung kecenderungan bermain anak-anak pada saat sekarang ini. Metode ini
dilakukan untuk mengetahui apakah permain tradisional masih ada dimainkan oleh anak-anak saat
sekarang ini ataukah sudah tidak ada sama sekali. Metode wawancara digunakan untuk tujuan
membandingkan data hasil temuan dari beberapa metode yang digunakan. Sasaran wawancara
adalah para pelaku permainan tradisional yang sekarang sudah berusia lanjut yaitu sekitar berumur
60-70 tahun. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan setidaknya terdapat 15 jenis permainan
tradisional yang sering dimainkan oleh anak-anak suku sasak di Pulau lombok pada zaman dahulu.
Kata Kunci: Pendidikan, Karakter, Permainan, Tradisional
PENDAHULUAN
Permainan tradisional sebagai warisan budaya pada masyarakat adat suku sasak sudah
mulai banyak dilupakan. Generasai muda dan anak-anak saat ini lebih gemar bermain dengan
permainan yang dianggap canggih dan modern seperti play station (PS), games online, video game
dan berbagai macam permainan yang membutuhkan biaya namun sedikit memiliki makna bagi
perkembangan kepribadiaan dan sosial anak.
Hasil penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Hanover Jerman menemukan
bahwagames online bisa menyebabkan seseorang mengalami kepribadianganda. Hal ini diperoleh
berdasarkanpenelitian pada seorang wanita yang bermaingames online setiap hari selama tiga bulan,
dengan memainkan beberapa tokoh yang berbeda. Ternyata, tokoh-tokoh imajinasi itu mengambil
alih kepribadiannya sehingga wanita tersebut kehilangan kendali atas kontrol identitas dan
kehidupan sosialnya (Renggani,2016).
Hal yang paling mengkhawtirkan sebagai dampak negative dari game online/ play station
ialah timbulnya rasa candu pada diri anak terhadap games. Rasa candu tersebut akan meningkat
pada keinginan untuk meniru dan mengikuti tokoh yang ada dalam permainan games (Haerani:
2013). Kasus kejadian candu games di China, Zhang Xiaoyi pada 27 Desember 2004 (Endah,2016)
tentang kasus seorang bocah laki-laki berusia 13 tahun meninggal setelah loncat dari gedung tinggi.
Zhang meninggalkan pesan bunuh diri, berisi keinginannya untuk bergabung dengan para jagoan
yang ada di game kesukaannya (http://thisisputriiep.blogspot.com, diakses tanggal 4 Mei 2016)
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 618
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Permainan game online sangat berbeda dengan permainan tradisional, hasil penelitianoleh
Iswinarti (2010) menunjukkan bahwa permainan anak tradisional mempunyai hubungan yang erat
dengan perkembangan intelektual, sosial, emosi, dan kepribadian anak. Nilai-nilai kearifan budaya
lokal dalam permainan tradisional sangat penting untuk menjadikan pembelajaran semakin
bermakna. Arti penting nilai-nilai kearifan budaya yang terkandung di dalam permainan tradisional
masyarakat suku sasak sebagai sumber pembelajaran telihat pada dua hal penting. Pertama, minat
dan gairah belajar peserta didik mengalami peningkatan. Kedua, guru dan buku tidak lagi sebagai
sumber pembelajaran utama sebab permainan tradisional juga memiliki makna nilai-nilai
pendidikan (Efendi: 2014). Lebih lanjut menurut Haerani (2013) permainan tradisional dapat
dijadikan sebagai suatu alternative untuk menciptakan generasi berkarakter unggul karena
permainan tradisional tidak hanya memberi nilai rekreasi atau bersenang-senang saja. Lebih dari itu,
permainan tradisional juga memiliki nilai pendidikan karakter seperti kejujuran, kerja keras,
berkerja dalam tim, disiplin, berjiwa sosial dan taat aturan.
Berdasarkan urain di atas perlu dikembangkan media video ilustrasi permainan tradisional
suku sasak sebagai upaya menjaga kelangsungan (pelestarian) seni budaya yang ada pada
komunitas suku sasak di Pulau Lombok. Permainan tradisional tersebut sudah mulai ditinggalkan
oleh generasi penerus sebagai salah satu akibat kemajuan teknologi dan kurangnya perhatian dari
para pemangku kepentingan untuk melestarikannya. Dengan hadirnya media video ilustrasi
permainan ini anak-anak diharapkanakan lebih mudah untuk belajar, memahami, meniru dan pada
akhirnya akan termotivasi untuk memainkan permainan tradisional
METODE PENELITIAN
Mengacu pada tujuan yang ingin dicapai, program penelitian ini dirancang dengan
pendekatan "Penelitian dan Pengembangan", artinya suatu program penelitian ditindaklanjuti
dengan program pengembangan untuk perbaikan atau penyempurnaan (Arikunto, 1996). Menurut
Basuki (2014) terdapat lima prosedur utama dalam penelitian pengembangan yaitu; melakukan
analisis produk yang akan dikembangkan, mengembangkan produk awal, validasi ahli, ujicoba
lapangan dan revisi produk. Lima langkah tersebut akan dilengkapi dalam penelitian ini dengan
melakukan desiminasi produk. Untuk menghasilkan suatu prototype media video ilustrasi
permainan tradisional suku sasak, ditempuh langkah-langkah sistematis dalam bentuk proses aksi,
refleksi, evaluasi dan inovasi dengan mengaplikasikan metode penelitian kualitatif, deskriptif,
pengembangan, eksperimen, dan evaluasi.
Menurut Borg & Gall dalam Basuki (2014) Prosedur dan langkah dalam penelitian
pengembangan terdiri darisepuluh tahap yaitu;
1) Melakukan penelitian pendahuluan dan pengumpulan informasi
Pada tahap ini penelitin difokuskan pada identifikasi masalah ketersediaan sumber belajar
tentang permainan tradisional suku sasak dan kecenderungan permainan anak sekolah dasar di
Pulau Lombok. Permasalahan tersebut dikaji secara konseptual dan faktual yaitu melakukan
studi pustaka secara lintas disiplin ilmu dan melakukan analisis kritis terhadap hasil-hasil
penelitian terdahulu yang relevan dengan tema penelitian.
2) Melakukan perencanaan
Hasil dari kegiatan pada langkah pertama adalah rancangan deskripsi tentang ragam permainan,
jenis permainan, aturan permainan, jumlah pemain, alat dan bahan permainan dan cara
memainkan permainan tradisional. Untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan yang lebih
luas dan mendalam tentang ragam dan jenis permainan tradisional pada tahapan ini akan
dilakukan seminar dan lokakarya dengan pakar yang relevan dan praktisi tentang hasil
penelitian awal dan kajian literature. Target dari seminar lokakarya ini adalah tersusunnya
“Buku Model Permainan Tradisional Suku Sasak”.
3) Berdasarkan buku model permainan tradisional suku sasak, dikembangkan format produk awal
media video ilumstrasi permainan tradisional suku sasak.
4) Tahap selanjutnya adalah dilakukan validasi terhadap produk awal oleh ahli yang memiliki
kompetensi keilmuan dibidang pengembangan media.
5) Melakukan revisi terhadap produk awal sesuai dengan saran-saran dari hasil uji ahli (expert).
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 619
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
6) Melakukan uji lapangan utama
Produk yang telah direvisi sesuai dengan saran ahli kemudian diuji cobakan pada siswa/anak
pada skala 8-10 orang.
7) Melakukan revisi terhadap produk berdasarkan hasil uji coba small group evaluation.
8) Melakukan uji coba lapangan operasional (fieldtrial)
Setelah dilakukan perbaikan berdasarkan hasil evaluasi uji coba skala kecil, produk dilanjutkan
keuji coba tahap berikut yaitu field trial dengan audien sekitar 30 orang siswa/anak.
9) Melakukan revisi terhadap produk akhir seperti yang disarankan oleh hasil uji coba lapangan
operasional.
10) Mengimplementasikan dan mendesiminasikan produk melalui laporan penelitian, pertemuan
profesional dan dalam jurnal.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa penelitian ini bertujuan untuk
melestarikan budaya sasak berupa permainan tradisional. Pelestarian tersebut dilakukan dengan
mendokumentasikan ragam permainan tradisional dalam bentuk buku deskripsi permainan. Selain
untuk tujuan tersebut, hasil penelitian ini juga bisa digunakan sebagai sumber belajar yang dapat
memudahkan generasi saat ini dan yang akan datang mempelajarinya. Permainan tradisional banyak
mengandung nilai-nilai edukatif dan pendidikan karakter seperti kejujuran, kepedulian, kerjasama,
bertanggungjawab, sportif, dan sikap positif lainnya. Selain manfaat-manfaat tersebut, permainan
tradisional juga sejatinya dapat memberi manfaat secara ekonomi yaitu sebagai daya dukung bagi
pariwisata mengingat Pulau Lombok merupakan salah destinasi wisata.
Untuk mendapatkan data tentang ragam permainan tradisional suku sasak, ditempuh
penelitian studi pustaka, studi lapangan, dan wawancara. Metode studi pustaka digunakan untuk
menemukan kajian-kajian yang membahas tentang tema penelitian. Sedangkan studi lapangan
digunakan untuk melihat secara langsung kecenderungan bermain anak-anak pada saat sekarang ini.
Metode ini dilakukan untuk mengetahui apakah permain tradisional masih ada dimainkan oleh
anak-anak saat sekarang ini ataukah sudah tidak ada sama sekali. Metode wawancara digunakan
untuk tujuan membandingkan data hasil temuan dari beberapa metode yang digunakan. Sasaran
wawancara adalah para pelaku permainan tradisional yang sekarang sudah berusia lanjut yaitu
sekitar berumur 60-70 tahun.
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan setidaknya ada 15 jenis permainan tradisional suku
sasak yang berkembang dan sering dimainkan anak-anak zaman dahulu. Kelima belas jenis
permainan tersebut terdapat beberapa perbedaan nama antara satu daerah dengan daerah lain. Meski
berbeda nama tapi cara memainkannya masih sama, sebagai contoh permainan ‘gatrik‘, di daerah
puyuh kecamatan jonggat kabupaten lombok tengah permainan ini dikenal dengan nama ‘asit’
sedangkan di kecamatan janaparia permainan ini disebut ‘maen gatrik’. Semua jenis permainan
tradisional tersebut telah didokumentasikan dalam bentuk draft Buku Deskripsi Permainan
Tradisional Suku Sasak di Pulau Lombok. Buku yang dihasilkan ini sifatnya sangat sederhana
karena masih perlu disempurnakan dengan memberikan gambar-gambar visual pada setiap jenis
permainan sehingga lebih menarik dan mudah dipelajari. Penyempurnaan tersebut akan dilakukan
pada tahap penelitian berikutnya yaitu berbarengan dengan pembuatan video (VCD) ilustrasi
permainan tradisional. Adapun kelima belas jenis permainan tradisional tersebut yaitu: (1) Maen
Batun Bagek, (2) Ceprak, (3) Kali Kadang atau Selodor, (4) Maen Godekan, (5) Maen Gatrik, (6)
Maen Jingklak, (7) Bejangkrikan, (8) Presean, (9) Belanjakan, (10) Betempelekan, (11) Sepok Siat
atau Ceplok, (12) Ngumang, (13) Betete Kantir, (14) Menciwe, (15) Maen Cungklik.
PENUTUP
Suku Sasak memiliki ragam permainan tradisional cukup banyak setidaknya ada 15 jenis
permainan tradisional . Lima belas jenis permainan tersebut sebahagiannya memiliki variasi dan
nama yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain sehingga jumlah permainan tradisional
yang dimiliki oleh suku sasak dapat lebih banyak dari jumlah tersebut.
REFERENSI
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 620
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Efendi, Agus. 2014.“ Implementasi Kearifan Budaya Lokal pada Masyarakat Adat Kampung Kuta
sebagai Sumber Pembelajaran IPS”.Jurnal Sosio Didaktika: Vol. 1 (2): 211-218.
Endah, P. 2016. “Dampak Kecanduan Bermain Games Online”.http://thisisputriiep.blogspot.com.
Diakses tanggal 4 mei 2016).
Iswinarti.2010. ”Nilai-nilai Terapiutik Permainan Tradisional Engklek untuk Anak Usia Sekolah
Dasar”. Naskah Publikasi. www.google.com. Diakses tanggal 4 Mei 2016.
Ja’far, Al Juk, dkk . 2011. “Penciptaan Buku Ilustrasi Permainan Tradisional Sebagai Upaya
Pelestarian Warisan Budaya Lokal,” Jurnal Art Nouveau, Vol.3(1): 1-9.
Nur, Haerani. 2013. “Membangun Karakter Anak Melalui Permainan Anak Tradisional”.Jurnal
Pendidikan Karakter, Vol. III (1): 87-94.
Nur, Haerani. 2013. “Membangun Karakter Anak Melalui Permainan Anak Tradisional”.Jurnal
Pendidikan Karakter, Vol. III (1): 87-94.
Renggani, P. 2016. “Menetralkan Kecanduan Games”.www.google.com. Diakses tanggal 4 mei
2016.
Sudianto, Mungit. 2006. “Optimalisasi Pembelajaran Muatan Lokal dan Relevansinya dengan
Kebutuhan Lapangan Kerja pada Pendidikan Dasar 9 Tahun,” Jurnal Pendidikan Dasar.Vol.7
(2): 109-113.
Wibawa, Basuki.dkk. 2014.Metode Penelitian Pendidikan.Jakarta: Universitas Terbuka.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 621
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
BAHASA INDONESIA SEBAGAI DINAMIKA PERGESERAN PENDIDIKAN BAHASA
IBU (DAERAH) DALAM PERUBAHAN BUDAYA
Zul Haeri
Akademi Sekretaris Manajemen (ASM) Mataram
Email: [email protected]
Abstrak; Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa ibu (daerah) sebagai bahasa
pelestarian budaya, Bahasa Indonesia dan Bahasa Ibu (daerah) tidak bisa berjalan dengan saksama,
disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor migrasi, kelas sosial dan pendidikan yang membuat
bahasa indonesia sebagai dinamika pergeseran bahasa ibu (daerah) dalam perubahan budaya. Teori
yang digunakan adalah sosiolinguistik. Pemerolehan data menggunakan metode simak dan catat.
Analisis data menggunakan sensus penduduk yang pernah dilakukan oleh Samuel dan Handono.
Hasil dari penelitian yang telah dilakukan, Bahasa Indonesia yang dipakai sehari-hari sebesar 59,5
persen dari jumlah penduduk Indonesia dan 45,43 dari ketatanegaraan di wilayah Jawa Tengah, dari
fenomena yang ada. Indonesia akan menjadi Penduduk indonesianisasi yang artinya seluruhnya
sudah menjadi penutur bahasa indonesia karena cepatnya pertumbuhan jumah penduduk yang tidak
lepas dari pemerintah melalui perencanaan bahasa yang dituangkan dalam politik bahasa nasional
yang penggalakannya melalui pengajaran pers, ekonomi, dan sosial.
Kata Kunci: Dynamics , Bahasa Indonesia , shift , Mother Language , Culture .
PENDAHULUAN
Era globalisasi yang juga disebut era modernisasi yang berarti zaman yang didalamnya
terjadi proses mendunia. Proses mendunia ini mulai sejak tahun 1980-an yang terjadi diberbagai
bidang, dengan majunya IPTEK dan sumber daya manusia yang canggih akan membawa manusia
pada perubahan, mulai dari perubahan bidang sosial, bidang ekonomi, bidang teknologi, sikap,
penampilan dan bahasa. Perubahan inilah yang akan melunturkan khasanah kebiasaan yang ada
pada sejak manusia itu lahir, dari bahasa ibu yang diturunkan melalui komunikasi setiap saat
sebagai turunan untuk dimasa dewasa.
Bahasa merupakan suatu ungkapan yang mengadung makna untuk mengungkapkan perasaan
dan pikiran kepada lawan bicaranya, bahasa sebagai alat komunikasi yang dimana fungsi umumnya
adalah sebagai alat komunikasi sosial. Sosiolinguitik memandang bahasa sebagai tingkah laku
sosial (sosial behavior) yang dipakai dalam komunikasi sosial. hal ini sejalan dengan pendapat
Jeans Aitchison ( 2008; 21) “Language is patterned system of arbitrary sound signals, characterized
by structure dependence, creativity, displacement, duality, and cultural transmission”, bahasa adalah
sistem yang terbentuk dari isyarat suara yang telah disepakati, yang ditandai dengan struktur yang
saling tergantung, kreatifitas, penempatan, dualitas dan penyebaran budaya.
Begitu juga dengan anak yang mempelajari bahasa ibunya, Anak belajar berbicara dengan
tingkat kelancaran yang luar biasa pada usia dini dan mereka telah menguasai bahasa ibunya
sebelum mereka bisa mengikat tali sepatu mereka. Kemampuan memperoleh bahasa secara historis
telah dianggap sebagai “anugrah” suatu landasan pandangan ilmiah yang dikemukakan oleh
Chomsky dengan teori tata bahasa universal (universal grammar) , yang menempatkan pengetahuan
batiniah dari prinsip-prinsip yang menata dan berlaku bagi semua bahasa.
Pemerolehan bahasa anak atau BI berlangsung secara spontanitas didalam otak anak ketika ibunya
bertutur dalam keseharian, sebagai mana pandangan Chomsky bahwa pemerolehan bahasa tidak
hanya didasarkan pada nurture, tetapi nature. Anak tidak dilahirkan sebagai piring kosong atau
tabula rasa, tetapi anak telah dibekali dengan sebuah alat yang dinamakan peranti pemerolehan
bahasa. Setiap anak terbukti memiliki kesamaan dalam pemerolehan bahasa dan melewati proses
yang sama dalam menguasai bahasa masing-masing.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 622
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Begitu juga dengan hadirnya bahasa kedua yang diperoleh pada lingkungan yang alamiah
tempat bahasa tersebut digunakan kemungkinan besar akan memiliki kemampuan untuk
menggunakan bahasa, terutama bahsa lisan akan mendekati sama dengan penuturnnya, dalam hal
ini bahasa kedua atau B2 adalah bahasa indonesia, yang dimana bahasa indonesia sebagai bahasa
nasional yang telah melekat dalam sumpah pemuda alinea ketiga.
Bahasa ibu atau BI menjadi bahasa budaya yang berbeda-beda dari etnis dan suku yang
berada dari Sabang Sampai Marauke, sehingga muncullah sebuah budaya yang kaya akan kultur
dan tradisi dalam bentuk khsanah lisan atau tulisan yang menuturukan bahasa ibu sebagai
permainan rakyat atau sebagai buku, dan kitab yang dipelajarinya. Begitu pula dengan hadirnya
bahasa B2 sebagai bahasa nasional yang menjadi bahasa persatuan Republik Indonesia telah
menjadi sebuah bahasa yang mulai dipelajari dan diminati oleh para penutur bahasa dari luar,
hingga munculkan sebuah pembelajaran BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing).
Bahasa BI dan B2 berjalan seiring waktu serta berbagai hal yang menjadikan bahasa BI dan
B2 menunjukkan jadi dirinya masing-masing dalam segala aspek kehidupan sosial, bahasa BI dan
B2 yang penuturnya adalah masyarakat sosial secara universal. Akan tetapi, masyarakat sosial saat
ini tidak mengetahui bagaimana melestarikan budaya bahasa BI yang merupakan sebuah ilmu
nature dari peranti pemorelahan bahasa yang berasal dari tuturan sang ibu, sehingga masyarakat
yang tataran pada kelas sosial tinggi akan menggunakan bahasa Indonesia atau B2 sebagai bahasa
dalam berkomunikasi setiap saat dengan anaknya dan diantara ruang lingkup etnik, suku yang
beragam telah memaksakan untuk menggunakan bahasa B2, selain itu upaya pemerintah dalam
pasal 31 Undang-undang No. 24 tahun 2009 pada ayat 1. Hal inilah yang akan memunculkan
pergeseran bahasa ibu atau bahasa BI sebagai bahasa budaya yang akan bergesar dari penutur
aslinya.
Hal ini kembali kepada pemakai bahasa tersebut, untuk mempertahanan bahasa BI dalam
ruang lingkup keluarga dan masyarakat, agar bahasa BI tidak bergeser dengan bahasa B2 yang telah
menjadi bahasa nasional negara Indonesia dan telah menjadi bahasa penutur kelas sosial tinggi dan
rendah, sehingga keutuhan bahasa BI sebagai bahasa dalam komunikasi antar keluarga dan
lingkungan kini menjadi suatu keasingan, hingga para generasi mengalami kehiliangan bahasa BI
(daerah) mereka sendiri. Fenomena inilah yang akan menjadi bahasa ibu BI bergeser dalam
kepunahan, meski sering diadakan kongres Bahasa Daerah sebagai salah satu media untuk
mempertahankan bahasa BI atau bahasa kebudayaan yang sudah ada. Rumusan Masalah yang
dihadapan saat ini. “ Bagaimana Bahasa Indonesia sebagai Dinamika Pergeseran Bahasa Ibu
(Daerah) dalam Perubahan Budaya.
Tujuan penelitian ini ingin melestarikan Bahasa Ibu (Daerah) sebagai Bahasa Warisan yang
tidak pernah pudar. Dalam menyongsong Indonesia yang berbudaya.
PEMBAHASAN
Dinamika Bahasa Indonesia Pergeseran Bahasa Ibu dalam Perubahan Budaya dan Arus
Global
Bahasa merupakan media untuk menyampaikan pesan atau informasi dari satu individu
kepada individu lain atau lebih. Baik secara lisan ataupun tulisan. Menurut (Phenix: 1964)
penguasaan bahasa bergantung pada empat kata kunci: penggunaan, simbol, makna, dan
komunikasi. Yang diamana dalam penggunaan bahasa adalah penggunaannya dalam berbicara dan
menulis serta keinginan manusia diakui dan dimengerti oleh anggota masyarakat lewat komunikasi
yang diujarkan kulit terluar dari bahasa dan bagian terdalamnya adalah makna. Makna isi bahasa itu
ditampilkan atau direfresentasikan oleh simbol ekspresi yang juga kulit luar dari bahasa.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional sekaligus bahasa resmi bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia dikukuhkan sebagai bahasa persatuan pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada sat itu
para pemuda mengikrarkan sumpah pemuda dan salah satu isinya adalah menjunjung tinggi bahasa
persatuan yakni bahasa indonesia yang teradapat dalam sumpah pemuda alinea ke tiga. Sugiyono
menjelaskan bahwa, bahasa internasional bukan sekedar bahasa yang digunakan secara meluas saja,
tetapi harus kuat sebaran penggunaannya, serta forum penggunaannnya pun harus kuat. Sebagai
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 623
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
contoh, apabila dalam forum resmi majelis antar parlemen di ASEAN sepakat mengizinkan bahasa
Indonesia digunakan pada forum itu, berarti Indonesia telah mengalami kenaikan satu tingkat
dimana bahasa indonesia bukan lagi sebagian bahasa nasional melainkan naik ke leve ASEAN.
Tadinya bahasa indonesia yang merupakan bahasa yang filosofinya dari bahasa melayu itu
telah ‘menggusur’ sejumlah bahasa lokal (etnis) yang kecil dan etnis yang besar, seperti pada
bahasa ibu. Dan kini bahasa indonesia menjadi bahasa yang moderen dan telah berkembang dengan
baik. Yang dimana bahasa Indonesia dinyatakan sebagai bahasa resmi negara dalam pasal 36
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 bersumber dari bahasa
yang diikrarkan, sebagai berikut;
Dalam Pasal 31 Undang-Undang No. 24 tahun 2009 berbunyi:
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan
lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau
perseorangan warga negara Indonesia.
(2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak
asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.
Di indonesia identik dengan bahasa daerah yang dipakai sebagai bahasa ibu terlebih dalam
pada masyarakat kota dan di desa. Hal ini telah dijamin eksistensinya dalam komunikasi suatu
bangsa dan negara. Bahasa ibu (bahasa asli, bahasa pertama; secara harfiah mother tongue adalah
bahasa pertama yang dipelajari oleh seseorang. Dan orangnya disebut penutur asli dari bahasa
tersebut karena anak belajar bahasa dasar-dasar bahasa pertama mereka dari keluarga mereka.
Kepandaian dari bahasa asli sangat penting untuk proses belajar berikutnya, karena bahasa ibu
dianggap sebagai dasar cara berfikir. Kepandaian yang kurang dari bahasa pertama seringkali
membuat proses belajar bahasa lain menjadi sulit. Oleh karena itu bahasa ibu memiliki peran pusat
dalam pendidkan.
Bahasa ibu adalah bahasa pertama kali diperoleh anak ketika sudah mampu berbicara.
Bloomfield (1995:41) menegaskan bahwa bahasa pertama yang dipelajari manusia untuk berbicara
adalah bahasa ibunya, ialah bahasa penutur asli bahasa itu (Bahasa daerah). Bahasa ibu sangat
penting karena dari bahasa itulah anak diperkenalkan nilai-nilai sopan santun. Bahasa Ibu
mempunyai nilai luhur dan estetika budaya yang tinggi dalam keterampilan berpikir. Sejalan
dengan pandangan (Vygatsky: 1990:36) bahwa bahasa merupakan dasar bagi pembentukan konsep
dan pikiran. Kegiatan berpikir anak tidak mungkin terjadi tanpa menggunakan kata-kata untuk
mengungkapkan buah pikiran. Selain itu Bruner mengidentiikasikan tiga fase perkembangan. Yang
pertama disebut periode enaktif, dari lahir sampai umur satu tahun. Fase yang kedua adalah periode
ekonik, saat berkembangnya khayalan yang pada umumnya terjadi pada satu sampai empat tahun.
Fase ketiga disebut periode simbolik, dimulai pada umur empat dan berlangsung sepanjang
kehidupan.
Pemerolehan bahasa pertama (FLA) atau bahasa ibu (MT). Pemerolehan bahasa pertama atau
bahasa ibu anak-anak diseluruh dunia itu sama. Kesamaan proses pemerolehan tidak hanya
disebabkan oleh persamaan unsur biologi ayau neurologi bahasa, tetapi juga adanya aspek
mentalitas bahasa sebagaimana yang dikemukakan oleh Chomsky melalui teori mentalitasnya.
Sejalan dengan bahasa persatuan Indonesia yakni bahasa indonesia, dimana bahasa indonesia
dijadikan bahasa nasional dan bahasa ibu dijaga dan dilestarikan, sehingga Bahasa Indonesia dan
bahasa ibu berjalan dengan sama dan tentu keduannya akan ada yang lebih menonjol dalam
pemakaian di masyarakat sosial. sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Handono
(2004) terhadap penggunaan bahasa jawa di Provinsi Jawa Tengah (Semarang), seperti terlihat pada
tabel dibawah ini.
Tabel 1 Persentase Pemilihan Bahasa
Ranah Pilhan Bahasa
Bahasa Jawa Bahasa Indonesia Bahasa Campuran
Rumah 26,16 40, 72 33, 12
Ketetanggaan 21, 13 45, 43 33, 44
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 624
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Dari tabel diatas memperlihatkan kecenderungan menguatnya pilihan bahasa pada Bahasa
Indonsia (BI) dan menurunnya pada bahasa Jawa Tengah (Semarang) jika dibandingkan dengan
pemilihan bahasa campuran, hingga bisa disimpulkan bahwa penggunaan bahasa Indonesia pada
bahasa Jawa (BJ) dan bahasa Campuran (BC) lebih tinggi dan masyarakat Jawa Tengah (Semarang)
lebih dominan mengunakan bahasa Indonesia (BI). Semakin meningkatnya jumlah penduduk
Indonesia yang menggunkan bahasa Indonesia, yang disertai oleh minat menggunakan bahasa
daerah (BD) untuk tahun-tahun mendatang, semakin didukung oleh kenyataan. (dalam Mahsun):
a. Meluasnya sarana informasi baik cetak maupun elektronik yang menggunakan sarana BI, yang
masuk ke desa-desa, telah semakin memperkuat posisi pemahaman BI sebagai supraetnik.
b. Berkembangnya BI sebagai bahasa dalam pergaulan bebas termasuk sebagai bahasa ilmu
pengetahuan, telah semakin memperkokoh posisi BI sebagai bahasa yang prestisius. Sejalan
dengan itu, semakin menempatkan BD sebagai bahasa yang menjadi lambang keterbelakangan.
c. Kebanyakan bahasa-bahasa daerah di Indonesia memiliki penutur yang relatif kecil, hanya
sebagian kecil BD yang memiliki penutur di atas satu juta.
Dari beberapa data dan fenomena diatas bahwa Bahasa daerah (BD) semakin kurang dipakai
oleh para penutur atau masyarakat dalam berinteraksi dengan anak atau dengan lingkungan sekitar,
sehingga hal inilah yang akan menggeser Bahasa Daerah sebagai Bahasa Ibu dalam dinamika
keberadaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional yang seiring dijaga dan dilestarikan sebagai
keseimbangan dengan bahasa Ibu, dan diantara keduanya tentu akan menjadi suatu penutur yang
akan memilih bahasa apa yang akan digunakan oleh masyarakat.
Pergeseran bahasa terjadi karena bahasa itu tidak mampu mempertahankan diri. Kondisi
inilah merupakan akibat dari pilihan bahasa dalam jangka panjang (dilakukan oleh seluruh warga
dalam memilih bahasa sebagai saran interaksi dan komunikasi). Pergeseran bahasa berarti, suatu
komunitas meninggalkan suatu bahasa untuk memakai bahasa lain, bila pergeseran itu terjadi, para
warga atau komunitas meninggalkan bahasa untuk memakai bahasa lain. Hampir semua kasus
pergeseran bahasa terjadi melalui alih generasi (intergeerasi), menyangkut lebih dari satu generasi.
Dengan kata lain, jarang terjadi sejumlah besar individu dalam suatu masyarakat menanggalkan
bahasa dan mengganti dengan bahasa lain dalam kurun hidunya. Dalam berbagai kasus selalu ada
satu generasi yang lebih dulu dwibahasawan, misalnya BI-nya bahasa A dan B2-nya B. Generasi ini
tidak mengalihkan bahasa A kepada generasi berikutnya (anaknya) melainkan bahasa B. Generasi
kedua ini mungkin saja masih “memahami’ (secara pasif) bahasa A karena masih sering mendengar
orang tua mereka berbicara dalam bahasa itu. Generasi kedua ini tentu tidak berminat lagi
mengalihkan bahasa A kepada anak-anak mereka kelak, lebih-lebih karena mereka sendiri tidak
menguasai bahasa itu. Jadi, dwibahasawan mempunyai resiko bahasa yang satu kadang-kadang
hilang.
Diantara faktor yang menyebabkan pergeseran bahasa ibu (daerah) adalah.
a. Migrasi
Migrasi atau perpindahan penduduk, yang bisa berwujud dua kemungkinan. Pertama,
kelompok-kelompok kecil bermigrasi ke daerah atau negara lain yang tentu saja akan menyebabkan
bahasa mereka tidak berfungsi di daerah baru. ini misalnya terjadi ada kelompok-kelompok
berbagai etnik dan gelombang penutur bahasa bermigrasi membanjiri sebuah wilayah kecil dengan
sedikit penduduk menyebabkan penduduk setempat terpecah dan bahasa tergeser.
b. Kelas Sosial
Kelas sosial mengacu kepada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu
dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta dan
sebagainya. Seorang individu mungkin memiliki status sosial yang lebih dari satu. Misalnya si A
adalah seorang bapak di keluarganya, yang juga bersetatus sosial sebagai guru. Jika dia guru di
sekolah negeri maka dia masuk kedalam elas pegawai negeri. Jika dia seorang sarjana maka dia
masuk ke kelas sosial golongan ‘terdidik’. Begitulah kita juga mengenal kelas pegawai, buruh, kelas
manajer, kelas pedagang, kelas petani. Di negara-negara industri, kelas buruh sebagai kelas
terendah biasanya masih digolongkan lagi menjadi kelas bawah, menengah, atas; dan kelas atas dan
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 625
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
menengahpun masih dibagi lagi menjadi dua golongan, menjadi kelas atas-atas dan kelas atas-
bawah, kelas menengah atas- dan menengah bawah. Seperti skema-skema pembagian kelas sosial di
Inggeris. Sama seperti skema-skema pembagian kelas sosial yang sudah ada sebelumnya, skema ini
membagi kelas sosial berdasarkan jenis pekerjaan, tapi berbeda dengan skema-skema sebelumnya,
skema baru ini memasukkan golongan baru kedalam skema, yaitu golongan pengaguran, adalah
sebagai berikut:
Kelas 1
Profesional dan manajer senior, seperti: dokter, pengecara, guru, manajer lembaga, direktur
eksekutif, profesor, editor manajer yang membawahi lebih dari 25 staf , dan pejabat tinggi
pemerintah.
Kelas 2
Asisten profesional dan manajer yunior, seperti: perawat, pekerja sosial, agen real estate, teknisi
laboraturium, supervisor, manajer yang membawahi kurang dari 25 staf, wartawan, selebriti dalam
dunia hiburan, aktor.
Kelas 3
pekerjaan-pekerjaan level menengah seperti manajer penjulan, sekretaris, perawat ditempat
penitpan anak, operator komputer, asisten panggung.
Kelas 4
Nonprofesional dan wiraswasta, seperti: instruktur kelas mengemudi, mandor bangunan.
Kelas 5
Pekerjaan supervisi lain dan kerajinan: mandor bawahan, tukang ledeng, tukang reparasi telpon.
Kelas 6
pekerjaan-pekerjaan rutin, seperti: supir truk, pekerjaan di bagian perakitan.
Kelas 7
Pekerjaan-pekerjaan sederhana: buruh, pelayan, tukang bersih-bersih.
Kelas 8
Pengangguran
(David Walker, The Independent, 15 Desember 1997)
Satu hal yang bisa diperhatikan dari daftar jenis pekerjaan di atas adalah bahwa makin rendah
kelasnya, makin rendah gajinya, maka sekilas klasifikasi ini tampaknya sepakat dengan pendapat
bahwa semakin besar gajinya, semakin tinggi kelas sosialnya. Akan tetapi kelas sosial bukan dilihat
dari sudut penghasilan akan tetapi dilihat dari tanggung jawab pekerjaan, yaitu apakah orang
“memberi perintah atau diperintah”.
c. Sekolah
Sekolah sering juga dituding sebagai faktor penyebab bergesernya bahasa ibu murid, karena
sekolah biasa mengajarkan bahasa asing kepada anak-anak, demikian ini kemudian menjadi
dwibahasawan. Padahal, kedwibahasawan, seperti kita ketahui, mengandung risiko bergesernya
salah satu bahasa. Sekolah pada zaman Belanda di Indonesia kadang-kadang tidak mengizinkan
pemakaian bahasa daerah; bahasa pengantar harus dengan bahasa belanda.
Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan
mencakup semua bagian yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, dan lainnya.
Sehingga memunculkan dampak globalisasi.
Dampak globalisasi adalah terjadinya perubahan budaya yang terjadi dalam masyarakat
tradisional, yakni perubahan dari masyarakat tertutup menjadi masyarakat yang lebih terbuka, dari
nilai-nilai yang bersifat homogen menuju pluralisme nilai dan norma sosial. ilmu pengetahuan dan
tekhnologi mengubah dunia secara mendasar. Komunikasi dan sarana transportasi internasional
telah menghilangkan batas-batas buadaya setiap bangsa. Kebudayaan setiap bangsa cenderung
mengarah pada globalisasi dan menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara
menyeluruh.
Melihat bahasa Indonesia sebagai dinamika pergeseran bahasa ibu, sejatinya bahwa penutur
bahasa indonesia bukanlah orang indonesia dalam arti sesungguhnya. Para penutur bahasa
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 626
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Indonesia adalah suku-suku bangsa Indonesia yang diersatukan oleh semangat Nation state, sebuah
gambaran imanjinasi yang senyatanya adalah orang jawa berbicara bahasa Indonesia, orang Sunda
berbicara bahasa Indonesia, orang Minangkabau berbicara bahasa Indonesia, hingga saat ini bahasa
Indonesia menjad perubahan cara kerja (misalnya dari pertanian ke industri), menimbulkan hidup
(dari buta bahasa Indonesia menjadi melek bahasa Indonesia) dan selanjutnya menimbulkan
perubahan berpikir). Kosa kata, pemilihan kata dan penggunaan kata-kata bahasa Indonesia
sekarang selain melihat entnisitas penuturnya juga perubahan-perubahan sosial yang terjadi pada
masyarakat.
Analisis data menggunakan data sensus penduduk yang pernah dilakukan oleh Samuel dan
Handono dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan dibuktikan lagi oleh sensus penduduk NTB
2000-2010 sebagai bahan perbandingan ditengah fenomena yang ada saat ini.
Pergeseran Bahasa ibu (Daerah)
a. Migrasi
Pergeseran bahasa ibu disebabkan pula dengan adanya faktor migrasi yang dimana bahasa
penutur tidak bisa dipakai sehingga penutur menggunakan bahasa indonsia sebagai bahasa dalam
keseharian atau pergaulan, hal ini bisa kita lihat pada siklus migrasi seumur hidup yang
mencerminkan keadaan perpindahan yang terjadi sejak lama. Migrasi seumur hidup (life time
migration) adalah migrasi berdasarkan tempat kelahiran. Seseorang dikatagorikan sebagai migrasi
seumur hidup adalah jika provinsi atau kabupaten tempat ia dilahirkan berbeda dengan provinsi dan
kota tempat tinggalnya sekarang. yang digunakan adalah data migrasi dari SP 2000 dan SP 2010
dimana migrasi penduduk dapat diperoleh pada tingkat kabupaten atau kota. Angka migrasi seumur
hidup provinsi NTB, tahun 2000-2010 adalah; dari tahun 2000 data migrasi sebannyak 36.30 dan
data migrasi pada tahun 2010 43.83 yang dikumpulkan dalam 2 pertanyaan pokok. Yaitu tempat
lahir dan tempat tinggal selama 5 tahun yang lalu tinggall di Provinsi NTB berjumlah 115.832 jiwa.
Berdasarkan informasi tersebut dapat dihitung angka migrasi masuk seumur hidup Provinsi NTB
yakni sebesar 25.73. artinya bahwa setiap 1000 orang penduduk provinsi NTB terdapat 25.73 orang
yang lahir bukan di provinsi NTB. Hasil sensus penduduk 2010 juga menunjukkan bahwa
penduduk yang memiliki tempat lahir di Provinsi NTB tetapi saat pencacahan berada di luar
provinsi NTB berjumlah 197. 243 jiwa. Sehingga diperoleh angka migrasi keluar seumur hidup
Provinsi NTB sebesar 43.83. artinya bahwa diantara 1000 orang penduduk Provinsi NTB terdapat
sekitar 43.83 orang yang lahirnya di provinsi NTB tetapi pada tahun 2010 berada di luar Provinsi
NTB.
Tabel Jumlah Migran dan Angka Migrasi masuk seumur Hidup Menurut Kabupaten dan Kota,
Tahun 2010.
Kab/Kota Jumlah
Penduduk
Jumlah Migran Masuk Angka Migrasi Masuk
Seumur Hidup Laki Perempuan Total
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
LB 599.986 20.443 21.520 41.963 69.94
L Tengah 860.209 6.023 9.031 15.054 17.50
L Timur 1.105.582 8.801 9.078 17.879 16.17
Sbw 415.789 29.541 30.279 59.820 143.87
Dompu 218.973 15.404 14.779 30.183 137.84
Bima 439.228 3.945 3.479 7.424 16.90
SB 114.951 12.785 13.298 26.083 226.91
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 627
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
LU 200.072 6.528 6.899 13.427 67.11
Mtrm 402.843 51.377 55.484 106.861 265.27
Bima 142.579 12.228 13.464 25.692 180.19
Prov.
NTB
4.500.212 61.722 54.110 115.832 25.73
b. Kelas Sosial
Pergeseran bahasa yang terjadi dalam kelas sosial adalah, adanya sebuah bahasa Ibu (daerah)
yang tidak digunakan kembali karena orang tua lebih mengajari anaknya pada tataran bahasa
Indonesia sebagai bahasa sehari-hari, sehingga anak tersebut tidak memperoleh bahasa ibu (daerah),
padahal orang tuanya asli penutur bahasa ibu (daerah). Fenomena ini terjadi pada kelas sosial tinggi
yang ditentukan atas pekerjaan orang tuanya.
contoh:
Ayah : bareh malem te gawek tugas nuk
Teman Ayah : aok wah, piran-piran terserah side doang
Tiba-tiba ayah memanggil anaknya.
Zi : bilang sama ibumu, suruh buatin ayah kopi dua ya, kasih tau ada tamu.
Secara tidk langsung Zi akan paham tentang bahasa orang tuanya (secara fasif) karena masih
sering mendengar orang tuanya menggunakan bahasa ibu (daerah). Dan generasi kedua Zi akan
lebih dominan akan mengajarkan anaknya bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu mereka meskipun
bahasa Indonesia itu adalah bahasa nasional.
c. Pendidikan
Pendidikan sebagai rumpun pengembangan karakter bangsa, kini harus menggunakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar di lembaga pendidikan, sebagai bahasa komunkasi
dengan siswa. Karena telah terlampir dalam pasal 36 ayat 1. Jika kita mengingat kembali saat
indonesia dijajah oleh belanda, maka dalam situasi formal seperti sekolah harus menggunakan
bahasa Belanda (daerah). Dari konsep sederhana inilah yang akan memunculkan bahasa Indonesia
sebagai dinamika pergeseran bahasa ibu (daerah) nantinya. Karena disisi lain guru terkadang
menggunakan bahasa Ibu (daerah) dalam berkomunikasi dan satu sisi Bahasa Indonesia telah
tercantum dalam UU tentang penggunaan Bahasa dalam forum resmi.
Sehingga pergeseran bahasa akan terus terjadi dalam konteks tidak kesadaran karena faktor
perubahan budaya yang semakin mengajak manusia dalam IPTEK yang tinggi, yang akan
mengakibatkan faktor migrasi, kelas sosial dan pendidikan adalah sebuah ranah pertama terjadinya
pergeseran bahasa dalam Bahasa Indonesia sebagai dinamika pergeseran Bahasa Ibu.
SIMPULAN
Pergeseran bahasa merupakan konsekuensi jangka panjang dan kolektif dari pola-pola
pilihan bahasa yang konsisten. Pergeseran berawal dari bergeraknya suatu bahasa (bahasa baru yang
dominan). Kedalam ranah yang semula memakai bahasa lain. Bahasa yang bergeser mungkin
dianggap lemah dan rendah dibandingkan bahasa baru, mungkin akan dipandang lebih rendah dari
satu atau lebih ragam bahasa dari yang sama. Sejalan dengan apa yang telah dikemukakan oleh
samuel dan handono dalam penelitiannya. Terkait dengan dinamika Bahasa Indonesia sebagai
pergeseran Bahasa Ibu (BI) dapat dilihat di kota jjakarta yang penutur Bahasa Indonesia mencapai
63 persen dan hanya 0.1 persen penduduk Jakarta yang bukan merupakan penutur Bahasa
Indonesia. Beberapa hal yang menjadi sebab kenyataan ini. Pertama faktor migrasi yang semakin
tinggi. Kedua, faktor kelas sosial dan Ketiga, Faktor pendidikan.
SARAN
Saran yang sekaligus menjadi rekomendasi dalam makalah ini adalah. Pemerintah/DPR RI
mengamandemen UUD RI Tahun 1945 Pasal36, menjadi dua ayat, yakni: Ayat (1) Bahasa Negara
ialah bahasa Indonesia; Ayat (2) Keanekaragaman bahasa daerah dibina dandikembangkan sebagai
aset pemasok kosa kata bahasa nasional Indonesia. (2) Pemerintah daerah (pemda) segera
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 628
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
menyusun peraturan daeraht entang pembinaan dan pengembangan bahasa daerah masing masing
sesuai kebutuhan daerah demi kelestarian bahasa, dan budaya.
Daftar Pustaka
Alfan, Muhammad, Nuraeni, Gustina. 2012. Studi Budaya di Indonesia. Pustaka Setia: Bandung
Arifuddin. 2013. Neuro Psikolinguistik. Raja Grafindo Persada: Jakarta
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik, Kajian Teoritik. Rineka Cipta : Jakarta
Daeng, J. Hans. Manusia Kebudayaan dan Lingkungan, 2012. Pustaka Pelajar: Jogjakarta
Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
. 2010. Psikolinguistik: Pengatar Pemahaman Bahasa Manusia. Yayasan Obor
Indonesia: Jakarta.
Hasan, Suwardi. 2011. Pengantar Culture Studies. Ar-Ruzz Media: Jogjakarta.
Ibrahim, Syukur.1995. Sosiolinguistik. Surabaya: Usaha Nasional
Kushartanti, dkk. 2005. Pesona Bahasa. Gramedia Pustaka Umum : Jakarta
Mar’at, Samsunuwiyati. 2005. Psikolinguistik. Refika Aditama: Bandung
Nababan dan Sri Utari Subyakto. 1992. Psikolinguistik: Suatu Pengatar: Gramedia Pustaka Utama:
Jakarta
Saleh, Muhammad & Mahmudah. 2006. Sosiolinguistik. Makassar: Badan Penerbit UNM
Simanjuntak, Mangantar. 1982. Pemerolehan Bahasa Melayu: Bahagian Fonologi. Jurnal Dewan
Bahasa, Ogos/September, 615-625.
Sumarsono. 2013. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA.
Summatmadja, Nursid.2012. Manusia dalam Konteks Sosial, Budaya dan Lingkungan Hidup.
Alfabeta: Bandung.
Thomas, Linda dan Shan Wareing. 2007. Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Yusoff, Abdullah dan Che Rabiah Mohamed (1995). Teori Pemelajaran Sosial dan Pemerolehan
Bahasa Pertama. Jurnal Dewan Bahasa, Mei. 456-464.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 629
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
KOMPARASI METODE NUMBER HEAD TOGETHER (NHT) DAN METODE DRIIL
DALAM MENINGKATKA PEMAHAMAN MAHASISWA PADA MATA KULIAH
SEJARAH INDONESIA ABAD XIX-XX
Zuriatin1; Roni Irawan2
1,2Dosen STKIP Taman Siswa Bima
Abstrak; Tujuan penelitian ini untuk mengetahui peningkatan pemahaman mahasiswa pada
mata kuliah Sejarah Indonesia Abad XIX-XX dengan menerapkan komparasi metode number head
together dengan metode driil. Jenis penelitian ini yaitu penelitian eksperimen. Instrumen yang
digunakan adalah instrumen tes berbentuk esay. Teknik analisis data untuk menguji hipotesis
penelitian digunakan uji-t pada taraf signifikan 5%, sebelum menggunakan uji-t terlebih dahulu
dilakukan perhitungan prasyarat yaitu menguji normalitas data. Berdasarkan hasil uji hipotesis
menggunakan bantuan SPSS 16, bahwa nilai t hitung sebesar 0,684 dan t tabel sebesar 0,68 pada (df
= 23-1). Nilai yang diperoleh t tabel ≤ t hitung (0,68≤0,84) yang berarti Ho diterima. Sedangkan
nilai Sig. (2-tailed) sebesar 0,507 atau nilai sig 0,507 > 0,05 maka Ho diterima. Dapat disimpulkan
bahwa pemahaman mahasiswa paling rendah 65, artinya pembelajaran dengan menggunakan
komparasi NHT dengan driil dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa pada mata kuliah Sejarah
Indonesia Abad XIX-XX.
Kata kunci:number head together, driil, pemahaman
COMPARATIVE METHOD OF NUMBER HEAD TOGETHER (NHT) AND DRIIL
METHOD IN IMPROVING UNDERSTANDING STUDENTS IN CULTURAL HISTORY
OF INDONESIA ABAD XIX-XX
Abstract; The purpose of this research is to know the improvement of students understanding
on the subject of History of Indonesia XIX-XX Century by applying the comparison method of
number head together with driil method. This type of research is experimental research. The
instrument used is a test instrument shaped esay. Data analysis technique to test the research
hypothesis used t-test at a significant level of 5%, before using the t-test first done the prerequisite
calculation is to test the normality of data. Based on the result of hypothesis test using SPSS 16 aid,
that t value count 0,684 and t table equal to 0,68 at (df = 23-1). Value obtained t table ≤ t arithmetic
(0.68≤0.84) which means Ho accepted. While the value of Sig. (2-tailed) of 0,507 or sig value
0,507> 0,05 then Ho accepted. It can be concluded that the students 'understanding is at least 65,
meaning that learning by using NHT comparations with driils can improve students' understanding
in the course of Indonesian History of the XIX-XX Century
Keywords: number head together, driil, understanding
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan wahana untuk mempersiapkan manusia menjadi insan yang berilmu
pengetahuan dan memiliki keterampilan. Pemerintah telah merumuskan tujuan pendidikan yang
diatur dalam undang-undang no 20 tahun 2003 tentang sistim pendidikan nasional yang bertujuan
untuk mengembangkan potensi manusia agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
tuhan yang maha esa, berahlak muliah, berilmu, sehat, cakap, kreatif, mandiri menjadi warga negara
indonesia yang demokratis serta bertanggung jawab.
Perguruan tinggi sebagai salah satu lembaga penyelenggara pendidikan, tentu memiliki
tujuan untuk menghasilkan output yang berkualitas tinggi, sehingga mampu menghadapi berbagai
tantangan zaman yang terus berkembang saat ini
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 630
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Untuk mencapai tujuan yang diamanatkan dalam UU No 20 tahun 2003 di atas, tentu
dibutuhkan berbagai terobosan-terobosan baru. Pemerintah telah melakukan berbagai terobosan dan
kemajuan yang diberlakukan di perguruan tinggi seperti peningkatan kualitas pengajar melalui
program sertifikasi dosen, tidak diberlakukan lagi tenaga S1 untuk mengajar S1, serta diberikan
kesempatan bagi dosen untuk mengikuti berbagai hibah penelitian.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa kemajuan-kemajuan tersebut belum semuanya berbanding
lurus dengan kenyataan yang terjadi, seperti masih rendahnya prestasi belajar mahasiwa 2 tahun
terahir pada mata kuliah sejarah Indonesia Abad XIX-XX. Seperti data yang diperoleh dari dosen
pengapu berikut terkait persentase ketuntasan belajar mahasiswadari hasil ujian semester (UAS)
sebagai berikut:
Tabel. 1.1 persentase ketuntasan mahasiswa
No Tahun % ketuntasan
1 2014 54 %
2 2015 56%
Selain persentase ketuntasan yang masih rendah, mahasiswa juga sebagian besar kurang
aktif berpartisipasi dalam proses perkuliahan, akibat kemampuan mahasiswa yang heterogen
mengakibatkan penyampaian materi membutuhkan waktu lebih lama.
Dari berbagai permasalahan di atas, sangat diperlukan metode pembelajaran yang mampu
meningkatkan pemahaman mahamahasiswa yang memiliki kemampuan yang heterogen. Terdapat
metode yang dirancang untuk mengatasi masalah tersebut yaitu komparasi metode NHT dan metode
driil. NumberHead Together (NHT) merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif berbasis
student centre yang dapat memfasilitasi para peserta didik untuk saling membagi ide-ide mereka
dalam proses pembelajaran. Metode NHT juga tidak hanya digunakan pada mahasiswa-mahasiswa
SD,SMP, maupun SMA, akan tetapi dapat juga digunakan pada tingkat pemahaman mahasiswa.
Menurut Lie menyebutkan bahwa metode Numbered HeadsTogether dapat digunakan dalam semua
matapelajaran dan dalam semua tingkatan usia. Adapun keunggulan dari NHT seperti anggota
kelompok harus menguasai materi karena dalam sistim pembelajaran akan dipanggil secara acak satu
dari anggota kelompok untuk maju mempresentasikan materi hasil diskusi, saling berbagi
pengetahuan, dan saling menghargai serta saling berinteraksi. Sedangkan metode driil menurut Zain
merupakan metode mengajar yang melatih mahasiswa agar memperoleh ketangkasan, ketepatan,
kesempatan dan keterampilan (Zomrotul, 2013: 47). Dari komparasi dua metode ini sangat diyakini
dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa karena akan diberikan latihan secara terus menerus
dalam kelompok untuk didiskusikan bersama.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Metode Number Head Together (NHT)
Menurut Arends (2008: 16), bahwa number head togethermerupakan pembelajaran yang
dikembangkan oleh Spencer Kagan pada tahun 1998 dengan tujuan agar lebih banyak
melibatkanpeserta didik dalam mereviu berbagai materi yang dibahas dalam pelajaran dan untuk
memeriksa pemahaman peserta didik tentang isi pelajaran tersebut. Empat langkah dari NHT yang
dapat diterapkan antara lain: 1) numbering, 2) quetioning, 3) heads together, 4) answering.
Sedangkan menurut Arends & Kilcher (2010: 315), bahwa metode NHT, dimana peserta didik
dikelompokkan beberapa kelompok (kelompok A, B, C, dll), setiap anggota kelompok diberi nomor
(1, 2, 3, dll). Semua mahamahasiswa bertanggung jawab secara individu maupun kelompok, saling
berdiskusi dan mempelajari terkait bahan yang diberikan dosen, dan dipastikan setiap anggota
kelompok memahami serta mengtahui yang dipelajari materi yang didiskusikan, kemudian dosen
memanggil salah satu mahasiswa (seperti 5B) atau semua kelompok B dimintai komentar tentang
pertanyaan yang diajukan dosen. Menurut Slavin (2005: 132). Bahwa NHT merupakan sebuah
variasi dari kelompok diskusi, tiap mahasiswa dari tiap kelompok mempunyai nomor dan para
mahasiswa tersebut tahu bahwa hanya ada satu mahasiswa yang akan dipanggil untuk mewakili
kelompoknya, tetapi tidak diimformasikan sebelumnya siapa yang akan menjadi wakil kelompok
tersebut. Hal tersebut memastikan keterlibatan total dari semua mahasiswa. NHT ini adalah cara
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 631
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
yang sangat baik untuk menambahkan tanggung jawab individual pada anggota kelompoknya
kelompok.
Dotson (2001: 4) menyatakan bahwa:Numbered Heads Together - Students within the team
number off from 1-4. The teacher poses a question and the students put their heads together to
discuss the answer. The teacher randomly calls a number and from each team the student with that
number writes the answer on the team response board. Maksudnya bahwa metode pembelajaran
NHT, mahasiswa dibagi kelompok dalam jumlah tim terdiri dari 1-4. Pengajar/dosen mengajukan
pertanyaan dan mahasiswa bekerja bersama-sama untuk mendiskusikan jawabannya.
Pengajar/dosen secara acak memanggil nomor dari setiap tim, mahasiswa dengan nomor yang
dipanggil menulis jawabannya di papan dan tim lain meresponnya.
Japar (2008: 5) menyatakan bahwa: NHT technique encompasses dividing the class into
small (4 members), heterogeneous learning groups within which students number themselves (1 to
4). The number given to students is intended to help students concentrate on doing their task since
they will be called upon by the teacher to give the answer based on the number they have,
pernyataan tersebutmenjelaskan bahwa metode NHT meliputi pembagianmahasiswa ke dalam tim
kecil (4 anggota), kelompok belajar heterogen di mana jumlah mahasiswa berjumlah (1 sampai 4).
Nomor yang diberikan kepada mahasiswa dimaksudkan untuk membantu memusatkan perhatian
mahasiswa melakukan tugas mereka karena mereka akan dipanggil oleh pengajar/dosen untuk
memberikan jawaban berdasarkan nomor yang mereka miliki.
Metode NHT dapat dilaksanakan dalam empat langkah antara lain: 1) penomoran, 2)
mengajukan pertanyaan, 3) memberikan waktu untuk mendiskusikan pertanyaan yang diajukan, 4)
pemanggilan nomor kepala secara acak (Holt, Chips, & Wallace, 1991: 10).
Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa metode NHT dapat dilaksanakan
empat tahap yaitu penomoran, pengajuan masalah, diskusi, dan presentasi dengan pemanggilan
nomor secara acak.
2. Metode driil
Menurut Roestiyah (2001;125), metode drill adalah “suatu teknik yang dapat diartikan
dengan suatu acaramengajar dimana siswa melaksanakan latihan-latihan agar memiliki ketangkasan
atau ketrampilan yang lebih tinggi dari apa yang telah dipelajari”.
Sedangkan menurut salahuddin (Muradi, 2016; 4) penggunaan istilah “Latihan”, sering
disamakan dengan istilah “Ulangan”, padahal maksudnya berbeda. Latihan yang dimaksudkan agar
pengetahuan dan kecakapan tertentu dapat menjadi milik anak didik dan dikuasai sepenuhnya.
Sedangkan ulangan adalah hanya sekedar untuk mengukur sudah sejauh mana siswa menyerap
pelajaran tersebut.
Metode drill atau disebut latihan adalah suatu metode mengajar dimana mahasiswa
langsung diajak menuju ke tempat latihan ketrampilan atau eksperimental, seperti untuk melihat
bagaimana cara membuat sesuatu, bagaimana cara menggunakannya, untuk apa dibuat, apa
manfaatnya, metode drill atau latihan dimaksud untuk memperoleh ketangkasan atau ketrampilan
latihan apa yang dipelajari, karena hanya dengan melakukan secara praktis suatu pengetahuan dapat
disempurnakan secara sendirinya.
Metode drill adalah suatu model pembelajaran dengan jalan melatih mahasiswa terhadap
bahan pelajaran yang sudah diberikan, dengan latihan yang terus menerus, maka akan tertanam dan
kemudian akan menjadi kebiasaan. Selain itu untuk menanamkan kebiasaan, model ini juga
menambahkan kecepatan, ketepatan, kesempurnaan dalam melakukan sesuatu serta dapat pula
dipakai sebagai suatu cara mengulangi bahan yang telah disajikan juga dapat menambahkan
kecepatan.
3. Pemahaman mahasiswa
Depdiknas (2006) menjelaskan salah satu tujuan diberikannya pembelajaran sejarah di
sekolah adalah memahami konsep sejarah, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan
mengaplikasikan konsep, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.Hal ini
menjadikan pemahaman sebagai aspek yang penting dalam pembelajaran sejarah.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 632
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Skemp (1971) menyatakan bahwa “To understand something means to assimilate it into an
appropriate schema”. Berarti, untuk memahami sesuatu diperlukan asimilasi ke dalam suatu skema
yang cocok.Skema diartikan oleh Skemp sebagai kumpulan konsep-konsep yang saling terhubung,
setiap konsep dibentuk dari abstraksi sifat-sifat yang invarian dari konsep lainnya.Konsep-konsep
ini dikaitkan dengan suatu relasi.
Haylock (2008) mendefinisikan pemahaman sebagai berikut.
”A simple model that enables us to talk about understanding in mathematics is to view the
growth of understanding as the building up of cognitive connections. More specifically, when we
encounter some new experiences there is a sense in which we understand it if we can connect it to
previous experiences or, better, to a network of previously connected experiences”.
Pemahaman merupakan suatu kemampuan untuk membangun koneksi kognitif. Seseorang
merasa memahami sesuatu ketika mereka dapat menghubungkan pengalaman baru dengan
pengalaman yang telah diperoleh sebelumnya.
Mousley (tt) membedakan pemahaman ke dalam tiga kategori umum, yaitu: (1)
pemahaman sebagai perkembangan struktur (as structured progress); (2) pemahaman sebagai
bentuk pengetahuan (as forms of knowing); dan (3) pemahaman sebagai proses (as process). Piaget
(dalam Mousley, tt) menggambarkan pemahaman sebagai kemampuan untuk memiliki beberapa
hubungan dalam pikiran dan memungkinkan terjadinya abstraksi.Siswa dikatakan memahami
sesuatu jika mampu menghubungkan ide-ide dalam pikiran dan memungkinkan untuk melakukan
abstraksi pada langkah selanjutnya. Lebih lanjut, Glasersfeld (dalam Mousley, tt) menggambarkan
pemahaman sebagai proses organisasi yang menekankan bahwa aktivitas kognitif bertujuan untuk
mewujudkan konsistensi.
Barmby, dkk (2007) mendefinisikan pemahaman sebagai berikut.
1. “To understand mathematics is to make connections between mental representations of
mathematical concept.”
2. “Understanding is the resulting network of representations associated with that mathematical
concept.”
Dengan kata lain, untuk memahami sejarah diperlukan suatu hubungan antara representasi
mental dari konsep-konsep sejarah. Pemahaman merupakan jaringan yang dihasilkan dari
representasi yang terkait dengan konsep sejarah tersebut.
Jadi, pemahaman adalah kemampuan untuk menghubungkan konsep-konsep pada situasi
yang baru, dimana konsep tersebut telah diperoleh pada pengalaman sebelumnya
Pada awalnya, Skemp (1976) mengakategorikan pemahaman ke dalam dua jenis, yaitu
pemahaman relasional (relational understanding) dan pemahaman instrumental (instrumental
understanding). Pemahaman relasional diartikan sebagai “knowing both what to do and why” yaitu
pengetahuan mengenai suatu hal tentang apa dan mengapa hal tersebut dapat dilakukan. Sedangkan
pemahaman instrumental diartikan sebagai “rules without reasons” yaitu pengetahuan mengenai
suatu hal tanpa mengetahui mengapa hal tersebut dapat terjadi.
Pada pelaksanaan pembelajaran sejarah di sekolah, pemahaman relasional dan pemahaman
instrumental memiliki keuntungan dalam penerapannya masing-masing. Skemp (1976) dalam
artikelnya menuliskan tiga keuntungan dari pemahaman instrumental, yaitu:
1. Pemahaman instrumental biasanya lebih mudah untuk dipahami. Pada topik-topik tertentu,
misalnya hubungan antara penurunan kas negara belanda kaitannya dengan pelaksanaan sistem
tanam paksa, akan lebih mudah diterima siswa jika diajarkan dengan aturan “tujuan
pemberlakuan tanam paksa untuk menutupi kekurangan kas negara”. Jika tujuan yang dicari
hanyalah jawaban yang benar, maka pemahaman instrumental menawarkan cara yang lebih
cepat dan mudah dibandingkan melalui pemahaman relasional.
2. Mahasiswa dapat memperoleh jawaban benar dengan cepat, karena melibatkan sedikit
pengetahuan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 633
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
3. Reward atau penghargaan yang diperoleh lebih cepat dan lebih jelas. Melalui pemahaman ini,
mahasiswa merasa puas karena mereka dapat dengan cepat menemukan jawaban benar
sehingga memunculkan rasa percaya diri.
Lebih lanjut, Skemp (1976) juga mengemukakan paling tidak ada empat keuntungan dari
pemahaman relasional, yaitu:
1. Lebih mudah disesuaikan dengan tugas yang baru. Melalui pemahaman relasional, dengan
mengetahui alasan suatu metode dapat bekerja, memungkinkan siswa untuk menghubungkan
metode tersebut dengan suatu masalah dan tidak menutup kemungkinan mahasiswa dapat
mengadopsi metode tersebut untuk menyelesaikan masalah baru.
2. Lebih mudah untuk diingat. Menjadi suatu keuntungan tersendiri ketika mengetahui keterkaitan
antara pengetahuan yang satu dan lainnya. Karena jika siswa lupa dengan salah satunya,
mereka dapat mengingatnya kembali dengan menurunkan pengetahuan tersebut dari
keterkaitannya dengan pengetahuan lain. Hal ini yang menyebabkan pengetahuan yang
diperoleh melalui pemahaman relasional lebih mudah untuk diingat.
3. Dapat menjadi tujuan yang efektif dalam pembelajaran.
4. Memiliki skema yang dapat diperluas. Salah satu kepuasan yang diperoleh ketika siswa
mencoba memahami materi baru dengan pemahaman relasional adalah mereka mengeksplorasi
pemahaman tersebut untuk dipahami lebih lanjut.
Seiring dengan berjalannya waktu, Skemp (1987) mengembangkan jenis pemahaman ke
dalam tiga kategori, yaitu:
1. Instrumental understanding is the ability to apply an appropriate remembered rule to the
solution of a problem without knowing why the rule works.
2. Relational understanding is the ability to deduce specific rules or procedures from more
general mathematical relationships.
3. Formal understanding is the ability to connect mathematical symbolism and notation with
relevant mathematical ideas and to combine these ideas into chains of logical reasoning.
Secara lebih sederhana, pemahaman instrumental dapat diartikan sebagai kemampuan untuk
menggunakan aturan/prosedur dalam pemecahan masalah, tanpa mampu mengungkapkan alasan
dapat digunakannya aturan/prosedur tersebut. Siswa dengan pemahaman jenis ini akan mendapat
kesulitan ketika dihadapkan dengan masalah yang sedikit berbeda dari masalah yang telah dipahami
sebelumnya, karena siswa hanya menghafal suatu aturan/prosedur untuk memecahkan suatu
masalah tanpa dapat menjelaskan alasannya.
Pemahaman relasional diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan suatu
aturan/prosedur dalam pemecahan masalah dan mengetahui alasan digunakannya prosedur
tersebut.Siswa dengan pemahaman relasional tidak terlalu bergantung pada suatu aturan/prosedur
dalam memecahkan suatu masalah. Karena apabila lupa dengan prosedurnya, siswa dengan
pemahaman jenis ini dapat memecahkan masalah dengan cara coba-coba. Sedangkan pemahaman
formal dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memecahkan suatu masalah dengan
menghubungkan konsepdan maknasejarah dengan peristiwa-peristiwasejarah dan
menggabungkannya ke dalam rangkaian penalaran yang logis.
Sebagai contoh, ketika mahasiswa dihadapkan pada kajian tentang waktu peristiwa
sejarah.mahasiswa dengan pemahaman instrumental hanya memanfaatkan kemampuannya dalam
menghafal satu peristiwa sejarah saja untuk menyelesaikannya. Sehingga apabila mahasiswa lupa
dengan tahun , maka mahasiswa tidak dapat menjelaskan masalah tersebut. Sedangkan mahasiswa
dengan pemahaman relasional maupun formal, dapat menghubungkan konsep sejarah dengan
peristiwa dalam menyelesaikan masalah tersebut. Sehingga apabila mahasiswa lupa dengan tahun
atau peristiwa yang akan dibahas, maka mahasiswa tersebut dapat menerapkan konsep eksponen
untuk menguraikan suatu peristiwa dengan mengaitkan peristiwa yang satu dengan yang lain saling
berhubungan . Lebih lanjut, mahasiswa dengan pemahaman formal bahkan dapat menggunakan
konsep-konsepsejarah lain yang juga relevan dan dapat digunakan untuk membantu menyelesaikan
masalah tersebut.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 634
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Berdasarkan penjelasan tersebut, terlihat bahwa pemahaman akan suatu konsep memiliki
peran yang penting dalam pemecahan suatu masalah. Karena melalui pemahaman konsep,
mahasiswa dapat merencanakan strategi yang dapat digunakan untuk memecahkan suatu masalah.
Pemahaman siswa dalam pemecahan masalah yang digunakan dalam penelitian ini
mengadopsi jenis pemahaman yang diungkapkan oleh Skemp (1987) yaitu pemahaman
instrumental, pemahaman relasional, dan pemahaman formal dan diartikan sebagai kemampuan
siswa dalam menghubungkan konsep-konsep sejarah yang telah diperoleh sebelumnya untuk
memecahkan suatu masalah berdasarkan fase yang dikemukakan Polya yaitu: memahami masalah,
menyusun rencana, melaksanakan rencana, dan memeriksa kembali.
Adapun indikator yang digunakan untuk melihat pemahaman siswa dalam pemecahan
masalah sejarah berdasarkan fase yang dikemukakan Polya dapat dilhat pada Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Indikator Pemahaman Siswa dalam Pemecahan Masalah Sejarah
No
Fase
Pemecahan
Masalah
Jenis
Pemahaman Indikator
1. Memahami
masalah
Intrumental Menuliskan apa yang diketahui dan yang ditanyakan
sama persis dengan dalam soal.
Relasional Menyatakan kembali masalah dengan kata-kata sendiri.
Formal Menyatakan kembali masalah dengan kata-kata sendiri
dan merepresentasikannya dengan gambar atau simbol
yang cocok dengan menggunakan penalaran yang logis.
2. Menyusun
rencana
Instrumental Membuat rencana berdasarkan prosedur yang telah
dihafal tanpa mengetahui apakah rencana tersebut dapat
bekerja atau tidak.
Relasional Membuat rencana dengan cara menurunkan suatu aturan
dari masalah yang pernah diselesaikan sebelumnya
disertai alasan yang rasional.
Formal Membuat rencana dengan cara menurunkan suatu aturan
dari masalah yang pernah diselesaikan sebelumnya dan
menggunakan penalaran yang logis dalam mengeliminasi
rencana yang tidak diperlukan.
3. Melaksanakan
rencana
Instrumental Melaksanakan prosedur yang telah direncanakan pada
fase-2 tanpa mengetahui mengapa prosedur tersebut dapat
diterapkan.
Relasional Melaksanakan prosedur yang telah direncanakan pada
fase-2 disertai dengan pengetahuan mengapa prosedur
tersebut dapat diterapkan.
Formal Melaksanakan prosedur yang telah direncanakan pada
fase-2 disertai dengan pengetahuan mengapa prosedur
tersebut dapat diterapkan dan mampu
menghubungkannya dengan peristiwa-peristiwasejarah
yang relevan.
4. Memeriksa
kembali
Instrumental Memeriksa jawaban yang diperoleh dengan
memperhatikan apakah langkah yang diterapkan sudah
sesuai dengan prosedur yang direncanakan pada fase-2.
Relasional Memeriksa jawaban disertai alasan yang rasional.
Formal Memeriksa jawaban dengan menggunakan konsep/ide
sejarah yang relevan.
Sumber: Diadaptasi dari Baroody (1993), Polya (1973), dan Skemp (1987).
Pada penelitian ini, pemahaman siswa ketika memahami suatu masalah dapat dilihat dari:
bagaimana siswa menyatakan kembali masalah yang diberikan. Jika siswa menyatakan masalah
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 635
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
dengan menuliskan informasi yang diketahui dan yang ditanyakan sama persis dengan kata-kata
yang digunakan di soal, maka pemahaman siswa dalam memahami masalah termasuk dalam jenis
pemahaman instrumental. Sedangkan siswa yang mampu menuliskan/menyatakan masalah yang
diberikan dengan menggunakan kata-katanya sendiri berarti siswa tersebut memiliki pemahaman
relasional ketika berada pada fase memahami masalah.Namun, jika siswa mampu menyatakan
masalah yang diberikan dengan kata-kata sendiri disertai dengan kemampuan merepresentasikan
informasi tersebut ke dalam gambar atau notasi/simbol yang cocok dengan menggunakan penalaran
yang logis, maka siswa ini tergolong ke dalam siswa dengan pemahaman formal.
Pada fase selanjutnya, yaitu fase menyusun rencana, pemahaman siswa dapat dilihat dari:
bagaimana cara siswa membuat rencana penyelesaian. Jika siswa membuat rencana berdasarkan
prosedur yang telah dihafal, tanpa mengetahui apakah prosedur tersebut dapat diterapkan atau tidak,
maka pemahaman siswa tersebut dalam fase menyusun rencana termasuk pemahaman instrumental.
Sedangkan siswa dengan pemahaman rasional akan menyusun rencana dengan cara menurunkan
suatu aturan disertai alasan yang rasional dari masalah yang mirip (dan telah berhasil dipecahkan)
dengan masalah yang diberikan. Namun, apabila siswa tersebut juga dapat menggunakan penalaran
yang logis dalam mengeliminasi rencana yang tidak diperlukan, maka siswa tersebut memiliki
pemahaman formal dalam menyusun rencana.
Ketika dalam fase melaksanakan rencana, siswa dengan pemahaman instrumental akan
melaksanakan prosedur/aturan yang telah direncanakan pada fase-2 tanpa mengetahui mengapa
prosedur/aturan tersebut dapat diterapkan. Namun, jika siswa tersebut dalam melaksanakan rencana
mampu menjelaskan alasan mengapa prosedur tersebut dapat diterapkan, maka siswa tersebut
tergolong ke dalam siswa dengan pemahaman relasional.Sedangkan siswa dikatakan memiliki
pemahaman formal pada fase melaksanakan rencana adalah ketika siswa tersebut melaksanakan
prosedur yang telah direncanakan dan mampu menjelaskan alasan dapat diterapkannya prosedur
tersebut serta mampu menghubungkannya dengan peristiwa-peristiwasejarah yang relevan.
Pada fase terakhir, yaitu fase memeriksa kembali, pemahaman siswa dapat dilihat dari cara
siswa tersebut memeriksa jawaban yang telah diperoleh. Jika siswa hanya memeriksa jawaban
dengan memperhatikan langkah-langkah yang diterapkan, apakah sudah sesuai dengan prosedur
yang direncanakan pada fase-2 atau tidak, maka jenis pemahaman siswa tersebut adalah
pemahaman instrumental.Jika siswa memeriksa jawaban dengan alasan yang rasional maka dapat
dikatakan siswa tersebut memiliki pemahaman relasional.Sedangkan jika siswa memeriksa
jawabannya dengan menggunakan konsep/ide sejarah yang relevan, maka siswa tersebut tergolong
ke dalam siswa dengan pemahaman formal.
4. Komparasi NHT dan driil
Komparasi metode NHT dan metode driil dalam penelitian ini adalah penerapkan kedua
metode sekaligus dalam proses pembelajaran. Adapun langkah-langkah yang digunakan nantinya
yaitu 1) fase penomoran, 2) fase latihan (dosen mengajukan pertanyaan melalui latihan secara
terus menerus minimal 3 kali memberikan latihan), 3) fase diskusi, 4) fase presentasi
METODE PENELITIAN
a. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian eksperimen semu (quasi eksperiment) yang melibatkan
dua kelompok, yaitu satu kelompok sebagai eksperimen I dan satu kelompok sebagai kelas
kontrol.Kelompok eksperimen diajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
Numbered Head Together (NHT) berkomparasidengan model pembelajaran Drill. Sedangkan
kelompok kontrol menggunakan pembelajaran biasa/konvensional
b. Desain Penelitian
Adapun desain penelitian yang digunakan adalah “pree test-Posttest Control Group Deign”
yang modelnya dapat digambarkan sebagai berikut:
Tabel 3.1. desai penelitian
E Pre test T1 Post test
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 636
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Ket :
E : Kelompok Eksperimen
T1 : Perlakuan (Treatment) dengan menggunakan model pembelajaran NHT berkomparasi
dengan model Drill
Populasi dan sampel
1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh mahasiswa semester IV yang terdiri dari 1 kelas
di STKIP Taman Siswa Bima dengan jumlah mahasiswa 23 orang
2. Sampel
Karena populasi di STKIP taman Siswa Bima hanya 1 kelas, maka 1 kelas ini langsung
dijadikan sampel penelitian
Instrumen penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa tes esay untuk mengukur
pemahaman mahasiswa pada matakuliah sejarah Indonesia Abad XIX-XX. Tes ini dimaksudkan
untuk mengetahui dan membandingkan pemahaman mahasiswa terhadap matakuliah sejarah
Indonesia Abad XIX-XXpada kelas eksperimen dengan kelas kontrol
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan
suatu instrumen. Validitas instrumen penelitian untuk variabel pemahaman mahasiswa dilakukan
validasi ahli melalui forum diskusi (FGD)
Teknik analisa data
Uji prasyarat analisis
Menurut sudjana uji normalitas dimaksudkan untuk mengetahui distribusi sampel yang
normal, perhitungan uji normalitas dilakukan melalui uji liliefors dengan taraf signifikan 𝛼 = 0,05.
Dalam penelitian ini untuk uji normalitas menggunakan program SPSS. Adapun hasil uji normalitas
data sebagai berikt:
Tabel. 3.2 hasil uji normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
pretes postes
N 23 23
Normal Parametersa Mean 48.9565 63.6957
Std. Deviation 1.14037E1 9.28065
Most Extreme
Differences
Absolute .106 .128
Positive .094 .104
Negative -.106 -.128
Kolmogorov-Smirnov Z .507 .613
Asymp. Sig. (2-tailed) .960 .846
a. Test distribution is Normal.
Berdasarkan hasil uji pada tabel di atas, diperoleh nilai sig. (2-tailed) untuk pretes sebesar
0,960 > 0,05 dan nilai sig. (2-tailed) untuk postes sebesar 0,846 > 0,05. Ini menandakan bahwa data
berdistribusi normal karena nilai signifikasi melebihi 0,05.
a. Uji hipotesis
Ha : pemahaman mahasiswa paling rendah 65, artinya pembelajaran dengan menggunakan
komparasi NHT dengan driil efektif ditinjau dari pemahaman mahasiswa
Ho : pemahaman mahasiswa paling tinggi 65, artinya pembelajaran dengan menggunakan
komparasi NHT dengan driil tidak efektif ditinjau dari pemahaman mahasiswa
HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
Hasil Penelitian
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 637
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Berdasarkan analisis dekskripsi dari data pretest dan postes diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel.4.2 deskripsi data hasil penelitian
Descriptive Statistics
N Mean
Std.
Deviation Minimum Maximum
pretes 23 48.9565 11.40366 25.00 70.00
postes 23 63.6957 9.28065 45.00 85.00
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa nilai rata-rata pretes dan postes berbeda. Dimana
nilai rata-rata pretes hanya 48,96 dan postes naik menjadi 63,7. Begitupun dengan nilai minimum
yang diperoleh dari data pretes hanya 25 dan nilai maksimum 70, sedangkan postes untuk nilai
minimum naik menjadi 45 dan nilai maksimum naik menjadi 85
Uji Hipotesis
Hipotesis statistik
Ho : µ 0 ≥ 65
Ha : µ 0 < 65
Dalam penelitian ini untuk menguji hipotesis menggunakan bantuan SPSS 16 dengan
kriteria Jika t tabel ≤ t hitung maka Ho diterima, dan Ha di tolak Jika t tabel > t hitung maka Ho
ditolak, dan Ha diterima atau nilai sig (2-tailed) < 0,05 maka Ha diterima.
Berdasarkan hasil uji hipotesis yang ke dua diperoleh hasil pada tabel berikut ini:
Adapun hasil uji dengan menggunakan program SPSS sebagai berikut:
Tabel. 4.2. hasil uji hipotess pertama
One-Sample Test
Test Value = 65
T df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
postes .684 22 .507 -1.30435 -5.3176 2.7089
Berdasarkan hasil uji hipotesis menggunakan bantuan SPSS 16 dengan pada tabel diatas
bahwa nilai t hitung sebesar 0,684 dan t tabel sebesar 0,68 pada (df = 23-1) berdasarkan kriteria Jika
t tabel ≤ t hitung maka Ho diterima, dan Ha di tolak Jika t tabel > t hitung maka Ho ditolak. Dilihat
nilai yang diperoleh t tabel ≤ t hitung (0,68≤0,84) yang berarti Ho diterima. Sedangkan nilai Sig. (2-
tailed) sebesar 0,507. Berdasarkan kriteria nilai sig (2-tailed) < 0,05 maka Ha diterima dan nilai sig
(2-tailed) > 0,05 maka Ho diterima. Dari tabel diatas bahwa nilai sig sebesar 0,507, ini menandakan
bahwa nilai sig 0,507 > 0,05 maka Ho diterima. Dapat disimpulkan bahwa pemahaman mahasiswa
paling rendah 65, artinya pembelajaran dengan menggunakan komparasi NHT dengan driil efektif
ditinjau dari pemahaman mahasiswa
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil uji dua hipotesis pada bab sebelumnya dapat disimpulkan pembelajaran
dengan menggunakan komparasi NHT dengan driil dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa
Pada Mata Kuliah Sejarah Indonesia Abad XIX-XX
DAFTAR PUSTAKA
Barmby, P., Harries, T., Higgins, S., Suggate, J. 2007. “How Can Asses Mathematical
Understanding?”.Proceedings of the 31st Conference of the International Group for the
Psychology of Mathematics Education. pp. 41-48. Seoul: PME.
Baroody, A. J. 1993. Problem Solving, Reasoning, and Communicating. New York: Macmillan
Publishing Company.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 638
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Depdiknas. 2006. Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP.
K, Roestiyah N.1989. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta:Rieneka Cipta
Mousley, J. tt. What Does Mathematics Understanding Look Like?. Deakin University.
Polya, G. 1973. How To Solve It. New Jersey: Princeton University Press.
Skemp, R. R. 1971. The Psychology of Learning Mathematics. Middlesex: Penguin Books.
Skemp, R. R. 1976. Relational Understanding and Instrumental Understanding. Mathematics
Teaching, 77 , 20-26.
Skemp, R. R. 1987. The Psychology of Learning Mathematics (Expanded American Edition). New
Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Rusman, Dr. 2011. Model-model Pembelajaran, Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 639
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
PENGEMBANGAN BUKU AJAR BERBASIS KEARIFAN LOKAL
PADA SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR
Zinnurain1, Ahmad Muzanni2
1Dosen Teknologi Pendidikan IKIP Mataram, 2Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar IKIP Mataram
Email: [email protected]. ; [email protected].
Abstrak; Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan buku ajar berbasis kearifan lokal untuk
siswa kelas V sekolah dasar. Pencapaian yang ingin dicapai dalam pengembangan buku ajar
berbasis kearifan lokal ini adalah pelestarian dan penanaman budaya lokal sejak dini kepada siswa
sekolah dasar. Penelitian ini menggunakan model Research and Development. Tahapan penelitian
ini mengacu pada Borg dan Gall yang terdiri dari 9 tahapan yaitu (1) penelitian dan pengumpulan
data awal; (2) perencanaan; (3) pengembangan produk awal; (4) uji coba terbatas; (5) revisi untuk
ujicoba produk utama; (6) uji coba lapangan; (7) revisi untuk ujicoba produk operasional; (8) uji
coba produk operasional; dan (9) revisi produk akhir; dan (10) penyebaran dan penyampaian
laporan penelitian. Subjek penelitian ini adalah 18 siswa kelas V SDN Midang Gunung Sari.
Instrumen yang digunakan adalah angket, tes, dan pedoman wawancara. Penelitian ini dilakukan
dengan tiga tahapan ujicoba yaitu ujicoba terbatas, uicoba lapangan, dan ujicoba produk
operasional. Kategori dari tiap instrumen adalah berkategori “Sangat Baik”. Teknik analisis data
menggunakan uji hipotesis independent sample t-test dengan SPSS 17.0. Hal ini menunjukkan
bahwa buku ajar berbasis kearifan lokal yang dikembangkan dapat dijadikan sebagai salah satu
bahan ajar dalam kegiatan pembelajaran di sekolah dasar.
Kata Kunci: pengembangan, buku ajar, kearifan lokal.
PENDAHULUAN
Sistem pembelajaran di Indonesia memberikan keanekaragaman pengetahuan dan
pemahaman tanpa adanya perisai dalam mempertahankan budaya lokal setiap daerah. Kondisi ini
memberikan dampak negatif dan bahkan menjadi ancaman terhadap keberadaan kebudayaan setiap
daerah dan kearifan lokalnya. Hal ini harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah dalam
melestarikan keberadaan budaya daerah ini. Pelestarian kearifan lokal harus dilakukan di sekolah-
sekolah terutama sekolah dasar dengan tujuan menjaga identitas sekolah dan daerah sejak dini.
Sekolah menjadi wadah formal dalam memperoleh ilmu dan pengetahuan serta
pembentukan karakter haruslah peka dalam situasi yang terjadi dalam lingkungan sekitar. Kepekaan
pihak sekolah tentunya dapat dilihat dari bahan ajar yang digunakan dalam proses pembelajaran.
Tentunya lebih difokuskan pada mata pelajaran muatan lokal yang seharusnya mengajarkan tentang
budaya lokal, kerajinan lokal, dan materi-materi yang bersifat kebudayaan. Siswadi, Taruna, &
Purnaweni (2011: 64) mengatakan bahwa kearifan lokal yang sering dikonsepsikan sebagai
pengetahuan setempat (local knowledge), kecerdasan setempat (local genius) dan kearifan setempat
(local wisdom). Namun kenyataan yang terjadi bahwa pelajaran muatan lokal hanya diisi dengan
kegiatan menggambar dan kesenian secara umum tanpa adan batasan kriteria dan acuan baku
seperti buku ajar khusus yang membahas tentang budaya khususnya di pulau Lombok.
Informasi yang diperoleh pada tanggal 14 April 2016 dari hasil wawancara prasurvei yang
dilakukan kepada guru kelas V SD Negeri 1 Midang dan SD Negeri 1 Tamansari bahwa sekolah
belum memiliki panduan (buku ajar)khusus dalam menyampaikan materi yang berkaitan tentang
pelestarian kearifan lokal yang mencerminkan budaya lokal Lombok seperti begawe, begibung,
nyongkolan, bau nyale, presean, dan bahase Sasak. Ketidaktersediaan buku aja ini menjadikan guru
mengalami kesulitan dalam menerapkan materi pelajaran bermuatan kearifan lokal seperti budaya-
budaya adat Lombok. Oleh karena itu perlu adanya dukungan dari pemerintah setempat dalam
perancangan kurikulum berkaitan tentang budaya lokal dalam upaya pelestarian budaya adat
Lombok ini.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 640
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Berdasarkan need analysis di atas maka peneliti melaksanakan penelitian dengan judul
pengembangan buku ajar berbasis kearifan lokal pada siswa sekolah dasar kelas V. Buku ajar
berbasis kearifan lokal ini diharapkan membantu guru dalam melestarikan budaya lokal dalam
pembelajaran yang dilaksanakan khususnya di sekolah dasar.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: (1). Bagaimana mengembangkan
buku ajar berbasis kearifan lokal yang layak untuk siswa kelas V sekolah dasar?; (2). Bagaimana
efektifitas buku ajar berbasis kearifan lokal untuk siswa kelas V sekolah dasar?. Selanjutnya tujuan
penelitian ini adalah: (1). Menghasilkan buku ajar berbasis kearifan lokal yang layak untuk siswa
kelas V sekolah dasar; (2). Mengetahui efektifitas buku ajar berbasis kearifan lokal untuk siswa
kelas V sekolah dasar.
Selanjutnya manfaat penelitian yang diperoleh adalah: (1). Menghasilkan buku ajar berbasis
kearifan lokal untuk siswa kelas V sekolah dasar; (2). Melestarikan budaya lokal (Lombok) sebagai
identitas dan ciri khas daerah; (3). Memberikan pemahaman kepada siswa tentang budaya-budaya
yang ada di Lombok;(4). Menjadi rujukan bagi pemerintah daerah dalam merancang kurikulum
yang berkaitan tentang budaya lokal.
Target Luaran
Target luaran yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah: (1). Buku ajar berbasis kearifan
lokal untuk siswa kelas V sekolah dasar; (1) jurnal nasional terakreditasi/tidak terakreditasi; (3).
Artikel dalam temu seminar nasional.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah research and development (penelitian dan pengembangan). Penelitian ini
mengembangkan buku ajar berbasis kearifan lokal untuk kelas V sekolah dasar.
Tahapan-Tahapan Penelitian Pengembangan
Tahapan pengembangan dalam penelitian ini terdiri 10 langkah seperti yang dikemukan oleh
Borg and Gall (1983: 775). Langkah-langkah tersebut yaitu: (1) Research and information
collecting (mengumpulkan informasi dan melakukan penelitian awal; (2) Planning (perencanaan);
(3) Developing preliminary form of product (mengembangkan produk awal); (4) Preliminary field
testing (ujicoba awal); (5) Main product revision (melakukan revisi untuk menyusun produk utama;
(6) Main field testing (melakukan ujicoba lapangan); (7) Operasional product revision (melakukan
ujicoba untuk menyusun produk operasional; (8) Operational field testing (melakukan ujicoba
penyempurnaan produk); (9) Final product revision (melakukan revisi produk akhir); dan (10)
Dissemination and implementation (penyebaran dan pelaksanaan). Penentuan jumlah subjek pada
penelitian ini mengacu pada model Borg and Gall yakni jumlah subjek uji coba dalam setiap
tahapnya akan meningkat.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian akan di lakukan pada siswa kelas V SD Negeri 1 Midang dan kecamatan
Gunungsari kabupaten Lombok Barat.
Tahapan Penelitian
Adapun desain/rancangan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Ujicoba Terbatas
Ujicoba terbatas dilakukan di SD Negeri 1 Midang kelas VA dengan menggunakan one shot
case study. Pemilihan subjek dilakukan dengan dengan membagi siswa dalam tiga kategori prestasi
yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Ujicoba ini dilakukan untuk mengetahui kelayakan buku ajar
berbasis kearifan lokal berdasarkan observasi. Desain one shot case study digambarkan sebagai
berikut.
Keterangan:
X= Pembelajaran dengan menggunakan buku ajar berbasis kearifan lokal
O=hasil observasi setelah perlakuan
2. Ujicoba Lapangan
Ujicoba lapangan dilakukan di SD N 1 Midang kelas VA dengan menggunakan one group
pretest-posttest design. Desain ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 641
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Keterangan:
X=Pembelajaran dengan menggunakan buku ajar berbasis kearifan lokal
O2=hasil pretest (sebelum memperoleh perlakuan)
O1=hasil posttest (setelah mendapat perlakuan)
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: (1).
Wawancara, dilakukan oleh peneliti kepada guru kelas V SD Negeri 1 Midang dengan
menggunakan pedoman wawancara. Jenis pedoman wawancara yang digunakan adalah
semiterstruktur yaitu jawaban dari pertanyaan dapat dikembangkan oleh guru; (2). Observasi,
bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara buku ajar yang dibuat dengan pelaksanaan
pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Observasi dilakukan terhadap kegiatan yang dilkukan oleh
guru dan siswa; (3). Angket, diberikan dengan tujuan mengetahui kebermanfaatan buku ajar yang
telah gunakan dalam proses pembelajaran. Pemberian angket dilakukan pada akhir proses
pelaksanaan pembelajaran; (4). Tes, dilakukan bertujuan untuk membandingkan hasil pretest dan
posttest siswa. Tes dilakukan dua kali setiap pertemuan yaitu di awal dan di akhir pembelajaran
pada ujicoba lapangan dan ujicoba produk operasional.
Teknik Analisis Data
1. Data kelayakan produk
Langkah-langkah analisis data kelayakan buku ajar berbasis kearifan lokal untuk siswa kelas V
sekolah dasar adalah sebagai berikut: (a) mengubah penilaian dalam bentuk kualitatif menjadi
kuantitatif dengan ketentuan skor 5 untuk kriteria sangat baik; skor 4 untuk kriteria baik; skor 3
untuk kriteria cukup baik; skor 2 untuk kriteria kurang baik; dan skor 1 untuk kriteria tidak baik, (b)
data yang terkumpul kemudian dilakukan penghitungan rata-rata, dan (c) mengubah skor rata-rata
menjadi nilai kualitatif berdasarkan kriteria penilaian (Sukardjo, 2006: 55). Adapun kriteria
kelayakan buku ajar berbasis kearifan lokal meliputi aspek kelayakan isi, kebahasaan, penyajian,
dan kegrafikan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Konversi Nilai Skala 5
Interval Skor Kategori
X > Xi + 1,8. SBi Sangat baik
Xi + 0,6. SBi < X ≤ Xi + 1,8. SBi Baik
Xi – 0,6. SBi < X ≤ Xi + 0,6. SBi Cukup baik
Xi – 1,8. SBi < X ≤ Xi – 0,6. SBi Kurang baik
X ≤ Xi – 1,8. SBI Tidak baik
Keterangan:
X = skor aktual (empiris)
Xi = mean ideal, dihitung dengan rumus: Xi = ½ (skor maksimal ideal + skor minimal ideal)
SBi = simbangan baku ideal, dihitung dengan rumus: SBi = 1/6 (skor maksimal ideal – skor
minimal ideal)
Dalam penelitian ini, kelayakan buku ajar berbasis kearifan lokal untuk siswa kelas V sekolah
dasar ditentukan dengan kategori baik. Jadi jika hasil penilaian masing-masing aspek adalah baik,
maka produk pengembangan ini layak untuk digunakan.
2. Data keefektifan produk
Proses evaluasi terhadap efektifitas produk dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan
buku ajar berbasis kearifan lokal untuk siswa kelas V sekolah dasar. Analisis keefektifan buku ajar
berbasis kearifan lokal dilakukan dengan uji hipotesis menggunakan program computer Statistical
Package for the Social Science (SPSS) 17.0 dengan uji independentsample t-test yang dilakukan
terhadap nilai gain standar siswa sebagai berikut.
Gain Standar = 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑝𝑜𝑠𝑡𝑡𝑒𝑠𝑡−𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑝𝑟𝑒𝑡𝑒𝑠𝑡
𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚−𝑛𝑖𝑙가𝑖 𝑝𝑟𝑒𝑡𝑒𝑠𝑡
(Hake, 2002: 3)
O1X O2
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 642
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Uji independent sample t-test yang digunakan adalah uji satu pihak (pihak kanan). Persamaan
yang digunakan untuk uji t adalah sebagai berikut:
Keterangan:
Mx = nilai rata-rata hasil kelompok eksperimen
My = nilai rata-rata hasil kelompok kontrol
Nx = banyaknya subjek kelompok eksperimen
Ny = banyaknya subjek kelompok kontrol
X = deviasi setiap nilai X2 dan X1
Y = deviasi setiap nilai Y2 dan Y1
Daerah pengambilan keputusan atau kriteria pengujian sebagai berikut:
H0 = tidak terdapat perbedaan antara rata-rata hasil pengamatan kelas kontrol dan kelas
eksperimen
H1 = terdapat perbedaan antara rata-rata hasil pengamatan kelas kontrol dan kelas eksperimen
Kriteria penerimaan H0 atau penolakan H1 pada taraf signifikansi 5% sebagai berikut:
H0 ditolak apabila thitung< ttabel atau thitung< ttabel dan skor signifikansi < taraf signifikansi 0.05.
H0 diterima apabila thitung> ttabel atau thitung> ttabel dan skor signifikansi > taraf signifikansi 0.05.
HASIL PENELITIAN
Hasil Pengembangan
Pengembangan buku ajar berbasis kearifan lokal pada siswa kelas V sekolah dasar
menggunakan penelitian dan pengembangan (research and development). Model pengembangan
diadaptasi dari Borg and Gall dengan prosedur sebagai berikut: (1) mengumpulkan informasi dan
melakukan penelitian awal; (2) perencanaan; (3) pengembangan produk; (4) ujicoba terbatas; (5)
revisi produk; (6) ujicoba lapangan; (7) revisi produk; (8) ujicoba produk operasional; dan (9) revisi
produk akhir.
Hasil Validasi Produk
Lembar penilaian produk dilakukan oleh ahli materi dan media. Lembar penilaian disusun
berdasarkan kriteria penyusunan buku ajar. Hal ini bertujuan untuk memperoleh kelayakan produk
buku ajar. Hasil validasi produk buku ajar berbasis kearifan lokal siswa kelas V sekolah dasar oleh
ahli materi dan ahli evaluasi kemudian dikonversikan menjadi skala 5 sebagai berikut. Berikut ini
hasil validasi ahli materi dan media terhadap kelayakan buku ajar yang dikembangkan:
Tabel 2. Hasil Penilaian Produk Buku Ajar Berbasis Kearifan Lokal Oleh Ahli Materi dan Ahli
Media.
No Aspek Skor Ahli Materi Skor Ahli Media Rentang Skor Rerata Kategori
1 10 10 2 – 10 10 Sangat Baik
2 20 23 5 – 25 21.5 Sangat Baik
3 5 5 1 - 5 5 Sangat Baik
4 4 5 1 – 5 4.5 Sangat Baik
5 13 13 3 - 15 13 Sangat Baik
6 8 8 2 – 10 8 Baik
7 12 13 2 – 10 12.5 Baik
8 8 9 2 - 10 8.5 Sangat Baik
9 5 4 1 - 5 4.5 Sangat Baik
10 15 13 3 - 15 14 Sangat Baik
Ujicoba Terbatas
Ujicoba terbatas dilakukan pada siswa kelas V SD Negeri 1 Midang dengan jumlah siswa
sebanyak 12 orang. Pemilihan subjek ujicoba dilakukan dengan membagi siswa kedalam tiga
kategori berdasarkan prestasinya yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Masing-masing kategori diwakili
oleh empat orang siswa. Adapun tujuan dari ujicoba terbatas yaitu untuk memperoleh informasi
yang dapat digunakan sebagai bahan untuk melakukan revisi terhadap produk yang dikembangkan
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 643
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
dan selanjutnya akan direvisi untuk dilaksanakan pada ujicoba lapangan dan ujicoba produk
operasional.
Hasil ujicoba terbatas dapat diketahui dengan menggunakan angket yang diberikan kepada
guru dan siswa yang bertujuan untuk mengetahui respon guru dan siswa terhadap buku ajar berbasis
kearifan lokal yang digunakan. Guru dan siswa diminta untuk mengisi angket dengan skala guttman
yaitu siswa diberikan pernyataan dan diminta memberikan respon/tanggapannya dengan memilih
salah satu pilihan yaitu “ya” atau “tidak”. Berikut tabel respon siswa pada ujicoba terbatas dan
perhitungan secara lengkap terdapat pada lampiran.
Tabel 3. Hasil Angket Respon Siswa Terhadap Ajar Berbasis Kearifan Lokal
Aspek Pilihan Jawaban Rerata
Kategori Ya Tidak Ya Tidak
Kelayakan isi 51 9 85 15 Sangat baik
Penyajian 50 10 83.33 16.4 Sangat baik
Kemanfaatan 54 6 90 10 Sangat baik
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui hasil penilaian pada masing-masing aspek
pernyataan nomor 1 sampai 5 yang termasuk pada aspek yang termasuk kelayakan isi mendapatkan
skor 85 dengan kategori sangat baik. Pernyataan nomor 6 sampai 10 yang termasuk pada aspek
penyajian materi mendapatkan skor 83.33 dengan kategori sangat baik. Pernyataan nomor 11
sampai 15 yang termasuk pada aspek kemanfaatan mendapatkan skor 90 dengan kategori sangat
baik. Secara keseluruhan pada hasil angket respon siswa terhadap buku ajar berbasis kearifan lokal
memperoleh skor rerata 86.11 dengan kategori sangat baik.
Tabel 4. Hasil angket respon guru terhadap buku ajar berbasis kearifan lokal pada ujicoba terbatas.
No Aspek Skor Rentang skor Kategori
1 Sistematika buku ajar 10 2 – 10 Sangat baik
2 Materi 31 7 – 35 Sangat baik
3 Proses pembelajaran 24 5 – 25 Sangat baik
4 Bahasa/keterbacaan 15 3 – 15 Sangat baik
5 Penilaian 14 3 – 15 Sangat baik
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa hasil angket respon guru pada masing-
masing aspek dan aspek secara keseluruhan. Skor total hasil angket respon guru terhadap buku ajar
berbasis kearifan lokal adalah 94 masuk pada kategori sangat baik.
Ujicoba Lapangan
Ujicoba lapangan dilaksanakan di kelas VB SD 1 Midang dengan jumlah sampel sebesar 18
siswa dengan kategori 6 siswa dengan prestasi tinggi, 6 siswa dengan prestasi sedang, dan 6 siswa
dengan prestasi rendah. Adapun tujuan dari ujicoba terbatas yaitu untuk memperoleh informasi
yang dapat digunakan sebagai bahan untuk melakukan revisi terhadap produk yang dikembangkan
dan selanjutnya akan direvisi untuk dilaksanakan pada ujicoba produk operasional. Hasil ujicoba
lapangan dapat diketahui dengan menggunakan angket yang diberikan kepada guru dan siswa yang
bertujuan untuk mengetahui respon guru dan siswa terhadap buku ajar berbasis kearifan lokal yang
digunakan. Guru dan siswa diminta untuk mengisi angket dengan skala guttman yaitu siswa
diberikan pernyataan dan diminta memberikan respon/tanggapannya dengan memilih salah satu
pilihan yaitu “ya” atau “tidak”. Berikut tabel respon siswa pada ujicoba terbatas dan perhitungan
secara lengkap terdapat pada lampiran.
Tabel 5. Data hasil respon siswa terhadap buku ajar berbasis kearifan lokal pada ujicoba lapangan
Aspek Pilihan Jawaban Rerata
Kategori Ya Tidak Ya Tidak
Kelayakan isi 80 10 88.89 11.11 Sangat baik
Penyajian 81 9 90 10 Sangat baik
Kemanfaatan 80 10 88.89 11.11 Sangat baik
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui hasil penilaian pada masing-masing aspek
pernyataan nomor 1 sampai 5 yang termasuk pada aspek yang termasuk kelayakan isi mendapatkan
skor 88.89 dengan kategori sangat baik. Pernyataan nomor 6 sampai 10 yang termasuk pada aspek
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 644
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
penyajian materi mendapatkan skor 90 dengan kategori sangat baik. Pernyataan nomor 11 sampai
15 yang termasuk pada aspek kemanfaatan mendapatkan skor 88.89 dengan kategori sangat baik.
Secara keseluruhan pada hasil angket respon siswa terhadap buku ajar berbasis kearifamemperoleh
skor rerata 89.25 dengan kategori sangat baik.
Tabel 6. Hasil angket respon guru terhadap buku ajar berbasis kearifan lokal pada ujicoba lapangan
No Aspek Skor Rentang skor Kategori
1 Sistematika buku ajar 10 2 – 10 Sangat baik
2 Materi 30 7 – 35 Sangat baik
3 Proses pembelajaran 23 5 – 25 Sangat baik
4 Bahasa/keterbacaan 14 3 – 15 Sangat baik
5 Penilaian 14 3 – 15 Sangat baik
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa hasil angket respon guru pada masing-
masing aspek dan aspek secara keseluruhan. Skor total hasil angket respon guru terhadap buku ajar
berbasis kearifan lokal adalah 91 masuk pada kategori sangat baik.
Luaran Yang Dicapai
Luaran yang dicapai dalam pengembangan ini adalah buku ajar berbasis kearifan lokal.
Adapun laporan kemajuan yang telah dicapai adalah berupa draft buku ajar yang selanjutnya akan
sampai pada hasil akhir yaitu buku ajar berbasis kearifan lokal untuk kelas V sekolah dasar.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data maka diperoleh kesimpulan dalam penelitian
pengembangan ini sebagai berikut: produk hasil penelitian dan pengembangan ini berupa buku ajar
berbasis kearifan lokal yang didasarkan pada hasil penilaian ahli materi dan ahli media serta hasil
ujicoba produk pada aspek sistematika, kesesuaian isi, pengembangan materi, perkembangan
kognitif, penggunaan bahasa, keserasian ilustrasi, moral, dan idiom baku kedaerahan dinyatakan
layak sebagai sebagai salah satu buku ajar yang digunakan pada proses pembelajaran di kelas V
sekolah dasar.
SARAN
Saran dalam pemanfaatan produk buku ajar berbasis kearifan lokal hasil pengembangan
sebagai berikut: (1). Produk buku ajar berbasis kearifan lokal yang telah dikembangkan diharapkan
dapat digunakan oleh guru dalam mengembangkan wawasan siswa tentang pemahaman budaya; (2).
Dapat dijadikan sebagai panduan oleh guru dalam mengajarkan mata pelajaran muatan lokal; (3).
Produk buku ajar berbasis kearifan lokal dapat dijadikan bagi guru di sekolah lain dalam
mengembangkan pemahaman siswa mengenai kearifan lokal yang ada di masing-masing daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Barus, Y.K & Djukri. (2013). Pengembangan buku teks tematik tema permainan untuk kelas III
SDN tridadi Sleman Yogyakarta. Jurnal Prima Edukasia, Volume 1, No. 2. Pg. 223
BNSP. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Jakarta: Depdiknas.
Borg, W.R., & Gall, M.D. (1983). Educational research an introduction (4th ed.) New York &
London: Longman
Hake, R.R. (2002). Relationship of individual student normalized learning gains in mechanics with
gender, high-school physics, and pretest scores on mathematics and spatial visualization.
Journal Indiana Emeritus, Vol. 2. No. 1, pg. 3
Juniarta, H.P., Susilo, E., & Primyastanto, M. (2013). Kajian profil kearifan lokal masyarakat
pesisir pulau gili kecamatan sumberasih kecamatan probolinggo jawa tengah. Jurnal
ECSOFiM, Vol. No. 1, Pg. 12.
Permendikbud. (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesi Nomor
81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum.
Presiden. (2005). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen.
Ridwan, N. (2007). Landasan keilmuan kearian lokal. Jurnal STAIN, Vol. 3, no. 2, pg. 9
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat | 645
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Siswadi, Taruna, T., & Purnaweni, H. (2011). Kearifan lokal dalam melestarikan mata air (studi
kasus di desa purwogondo, kecamatan boja, kabupaten Kendal). Junal Ilmu Lingkungan, Vol.
9, No. 2, Pg. 64
Sungharat, U. et.al. (2010). Local wisdom: the development of community culture and production
processes in Thailand. International Business & Economics Research Journal, Vol. 9, No. 11,
Pg. 117
UNESCO. (2005). A compherensive strategy for textbook and learning materials. France:
UNESCO.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 646
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
STUDI KORELASI MOTIVASI DAN MINAT SISWA TERHADAP KECERDASAN
INTELEKTUAL SISWA DI SMA NEGERI 1 MATARAM
Sawaludin1; Candra2; Edi Yanto3
1,2,3 Universitas Muhammadiyah Mataram
Abstrak: SMA Negeri 1 Mataram merupakan salah satu sekolah yang menerapkan sistem
RSBI di Nusa Tenggara Barat. Dengan sistem tersebut menjadikan sekolah SMAN 1 Mataram lebih
unggul dari sekolah lain, salah satu prestasinya yaitu kegiatan ekstra kurikuler sekolah dengan
juara lomba debad tingkat internasional English Conversasion. Disamping itu dalam setiap tahun
SMAN 1 Mataram merupakan sekolah yang memperoleh nilai tertinggi UN di Nusa Tenggara
Barat, prestasi tersebut merupakan hal yang wajar, karena lingkungan belajar serta fasilitas SMAN
1 Mataram memadai, dengan demikian keunggulan sekolah tersebut menjadi perahatian peneliti,
karena tidak terlepas dari motivasi, minat dan kecerdasan intelektual siswa, sehingga perlu
dilakukan kajian lebih konprehenship untuk melihat hubungan variabel tewrsebut. Tujuan dalam
penelitian ini adalah untuk mengetahui Hubungan antara motivasi, minat dan kecerdasan intelektual
Siswa di SMAN 1 Mataram. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Kuantitatif dengan
pendekatan expost-fakto, penlitian ini adalah menggunakan tehnik sampling sederhana untuk
menentuan obyek penelitian, dengan tehnik pengumpulan data menggunakan angket untuk data
motivasi dan minat belajar siswa sedangkan kecerdasan intelektual siswa dengan menggunakan
nilai raport bidang studi PPKn smester genap, jenis data yang dikumpulkan adalah kuantitatif dan
sumber data primer. Sementara angket dilakukan uji validitas dan reliabilitas untuk mengetahui
tingkat konsistensi instrumen tersebut serta uji normalitas untuk peryaratan analisis. Analisis data
menggunakan korelasi koefisen ganda. Hasil penelitian diperoleh hubungan motivasi dengan
kecerdasan intelektual sebesar 17,41 (Fhitung 17,41 > Ftabel 3,34) pada taraf kesalahan 5 %,
sementara minat dan kecerdasan intelektual sebesar 11,76 (Fhitung 11,76 > Ftabel 3,34) pada taraf
kesalahan 5 %, sedangkan secara simultan hubungan motivasi, minat dan kecerdasan intelektual
adalah sebesar 3,35 (Fhitung > Ftabel 3,34) pada taraf signifikan 5 %. Dari hasil penelitian tersebut
dapat dijelaskan bahwa disamping pengaruh fasilitas serta kondisi lingkungan belajar yang
memadai, SMA Negeri 1 Mataram termasuk peserta didik yang memiliki tingkat motivasi, minat
belajar yang baik, sehingga memempengaruhi kecerdasan intelektual siswa yang belajar dalam
lingkungan sekolah tersebut.
Kata Kunci: Motivasi, Minat, Kecerdasan Intelektual
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan suatu usahas adar dan terencana untuk menciptakan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU No. 20 Tahun
2003). Sementara Soekidjo Notoatmodjo (2003) menjelaskan pendidikan secara umum yaitu segala
upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau
masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. Dari
penjelasan pendidikan tersebut dapat diartikan bahwa pendidikan merupakan salah satu bentuk
usaha untuk menyadarkan peserta didik sebagai proses perubahan sikap serta perilaku yang
bermuara pada nilai dan moral yang positif.
Sementara fungsi serta tujuan pendidikan secara nasional menjadi sangat penting bagi
perkembangan bangsa Indonesia, yaitu untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 647
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri
dan menjadi warganegara yang demokrasi serta betanggungjawab (UU No. 20 Tahun 2003).
SMA Negeri 1 Mataram merupakan salah satu sekolah unggulan yang ada di daerah Nusa
Tenggara Barat, dengan menerapkan sistem belajar RSBI, sehingga hamper setiap tahun siswa
SMAN 1 Mataram memperoleh angka kelulusan sangat tinggi dibandingkan dengan sekolah yang
lain di daerah NTB, disamping itu siswa SMAN 1 Mataram bias dikatakan sekolah yang banyak
mendapatkan prestasi, hal ini dapat dilihat pada tahun 2014siswa SMAN 1 Mataram meraih juara
lomba debad English Conversasion tingkat internasional.
Keunggulan siswa SMAN 1 Mataram adalah diterapkannya sistem pembelajaran yang
didesain dengan konsep tarafinternasional, dengan kondisi belajar yang efektif, serta dilengkapi
dengan sarana dan prasaranan yang memadai dibandingkan dengan sekolah-sekolah lain yang ada
di NTB. Penulis berasumsi bahwa disamping sarana serta system pembelajaran yang efektif
tersebut, adaf aktor lain yang ikut serta mempengaruhi siswa SMAN 1 Mataram lebih unggul dari
sekolah lain yaitu pengaruh dari faktor internal siswa itu sendiri, seperti minat dan motivasi belajar
dari siswa. Oleh karena itu faktor utama dari keberhasilan belajar siswa adalah kemampuan dari
dalam yang dimiliki masing–masing peserta didik, bagaimanapun ketersediaan fasilitas serta
kondisi belajar yang baik yang diciptakan oleh sekolah.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti perlu merumuskan masalah dalam
penelitian ini, yaitu
a. Apakah terdapat korelasi positif, determinis dan signifikan antara motivasi dengan
kecerdasan intelektual siswa di SMAN 1 Mataram?
b. Apakah terdapat korelasi positif, determinis dan signifikan antara minat belajar dengan
kecerdasan intelektual siswa di SMAN 1 Mataram?
c. Apakah terdapat korelasi positif antara motivasi dengan minat belajar siswa di SMAN 1
Mataram?
d. Apakah terdapat korelasi positif determinis dan signifikan antara motivasi dan minat
belajar siswa terhadap kecerdasan intelektual siswa di SMAN 1 Mataram?
1.3.Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kecerdasan intelektual siswa di SMAN 1
Mataram merupakan atas dorongan motivasi dan minat belajar siswa yang tinggi, dan bukan atas
dorongan yang lainya, sehingga informasi dari hasil penelitian ini bias dijadikan sebagai acuan
untuk mengembangkan kebijakan bagi guru, sekolah, pemerintah maupun untuk kajian akademisi
TINJAUANPUSTAKA 2.1.Kecerdasan Intelektual(IQ)
Kecerdasan intelektual adalah ukuran kemampuan intelektual analisis logika dan rasio
seseorang. IQ merupakan kecerdasan otak mengelola menyimpan informasi menjadi fakta (Azwar,
2010). Sedangkan Dalyono (2007), mengemukakan bahwa kecerdasan intelektual adalah sebagai
kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan atau belajar dari pengalaman.
Orang yang memiliki kecerdasan intelektual adalah orang yang memiliki kemampuan
untuk menyatukan pengalaman-pengalaman, kemampuan untuk belajar dengan lebih baik,
kemampuan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang sulit dengan memperhatikan aspek psikologis
dan intelektual serta kemampuan untuk berpikir abstrak.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Intelektual (IQ) Seperti yang telah kita
ketahui bahwa setiap individu memilik itingkat IQ yang berbeda-beda. Menurut Dalyono (2007),
ada beberapa factor yang mempengruhi kecerdasan intelektual seseorang anatara lain pembawaan,
faktor lingkungan, faktor kematangan, minat dan pembawaan yang khas serta kebebasan.
2.2 Minat Belajar
Sriyanti (2009) minat merupakan kecenderungan untuk memperhatikan dan berbuat
sesuatu. Sementara Syah (2010) juga mengungkapkan bahwa minat itu kecenderungan dan
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 648
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Kemudian minat menurut
Ensiklopedi Pendidikan (Kartawidjaja:1987) adalah kesediaan jiwa yang sifatnya aktif untuk
menerima sesuatu dari luar. Dari penjelasan tersebut dapat diartikan bahwa minat merupakan
perangsang yang ikut mempengaruhi bagaimana peserta didik memperhatikan pelajaran yang
diperolehnya.
Beberapa aspek minat yang perlu di pehatikan menurut Hurlock (1978), antara lain aspek
kognitif dan aspek afekti. Disamping aspek tersebut ada beberapa indikator, yang dapat
diperhatikan atau tolak ukur guru merasakan bahwa siswa memiliki minat dalam proses belajar.
Indikator minat dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah ala tpemantau (sesuatu) yang dapat
memberikan petunjuk atau keterangan, diantaranya ada beberapa indicator minat belajar siswa
yang tinggi yang dapat diperhatikan oleh guru menurut safari (2005) antara lain,a) kesukaan, b)
ketertarikan, c) perhatian, d) keterlibatan.
2.3 MotivasiBelajar
Motivasi merupakan faktor sangat penting yang perlu diperhatikan dalam proses
terjadinya interaksi belajar di kelas, sehingga pendidik memperoleh pemahaman awal untuk
mengembangkan metode maupun strategi yang digunakan pada saat mengajar, karena pada
prinsipnya guru yang pintar mengembangkan strategi pembelajaran, belum tentu mampu
memberikan hasil maksimal kepada peserta didik, jika factor motivasi tidak diperhatikan oleh
pendidik, karena guru merupakan salah satu factor yang mengembangkan motivasi belajar siswa,
maka sudah menjadi kewajiban bagi pendidik untuk memberikan motivasi, seperti yang dijelaskan
oleh Syaiful (2012) bahwa guru harus bias membagkitkan semangat belajar siswa dengan
memanfaatkan kedua macam motivasi, yaitu motivasi intrinsic dan ekstrinsik.
Ciri motivasi tersebut menjadi acuan oleh guru sebelum melakukan proses belajar
mengajar, sehingga guru mampu memperhatikan gejala– gejala tersebut yang timbul dalam diri
peserta didik, sehingga interaksi belajar berjalan dengan sesuai tujuan pembelajaran yang telah
direncanakan oleh guru. Dalam penelitian ini peneliti mengembangkan teori Frandsen dalam
mengembangkan instrument pengukuran motivasi belajar siswa, diantaranya antara lain jenis
motivasi yang disampaikan oleh Frandsen (dalam Sardiman:2014) :1). Cognitivemotives
(pengembangan intelektual), 2).Self–expression (aktualisasidiri), 3). Self-enhancement (pencapaian
prestasi).
METODE PENELITIAN 4.1 Penelitian yang Digunakan
Jenispenelitianyang digunakandalampenelitian adalah penelitian kuantitatif dengan
pendekatan non eksperimen yaitu peneliti menggunakan pendekatan korelasi. dalam penelitian ini
termasuk model hubungan kausal yaitu adanya sebab dan akibat.
Sementara ciri dari penelitian korelasi seperti yang dijelaskan Yatim Riyanto (dalam
Musfiqon: 2012), sekaligus yang perlu diperhatikan oleh peneliti antara lain: Menghubungan dua
variabel atau lebih, Besarnya hubungan didasarkan pada koefisien korelasi, Dalam melihat
hubungan tidak dilakukan manipulasi, seperti penelitian eksperime, Datanya bersifat kuantitatif,
Dianalisis menggunakan statistic koefisien korelasi ganda.
4.2.Lokasi Penelitian
Penelitian inidi lakukan di SMAN 1 Mataram, adapun alasan peneliti memilih lokasi
tersebut, karena peneliti berasumsi bahwa minat serta motivasi belajar siswa di SMAN1 Mataram
sangat cukup baik, hal ini dapat dilihat dari tingkat kelulusan siswa disekolah tersebut sangat
cukup tinggi.
4.3.Informan dan Sampel
Dalam penelitian kuantitatif tehnik penentuan informan memiliki perbedaan dengan
penelitian kualitatif ataupun yang lainnya, sehingga penelitian kuantitatif hanya dikenal dengan
istilah sampel untuk menentukan responden yang akan diteliti. Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan random kelas untuk memilihresponden yang menjadi objek penelitian.
4.4.Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 649
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu peneliti menggunakan
angket motivasi, minat belajar siswa dan hasil nilai raport semester ganjl untuk data kecerdasan
intelektual siswa. Sementara analisis data yang digunakan yaitu rumus statistic korelasi ganda.
HASIL PENELITIAN
4.1 Deskripsi Data Hasil Penelitian
Hasil uji coba instrumen motivasi belajar dan minat belajar siswa, diperoleh validitas butir
item motivasi sebanyak 29 item dengan 16 item gugur, sementara untuk butir item pernyataan
minat belajar siswa sebesar 26 butir yang valid dan 24 yang gugur, sehingga dalam pengujian
implementasi intrumen peneliti melakukan revisi mengingat beberapa item pertanyaan yang tidak
sesuai dengan kriteria indikator yang telah ditentukan, sehingga dilakukan perbaikan. Sementara
untuk reliabilitasnya variabel motivasi belajar 0,91dan minat belajar siswa sebesar 0,81, kedua
instrumen tersebut memiliki tingkat konsitensi atau disebut juga ajeg dengan kategori sangat tinggi.
Tabel 5.1: Hasil Motivasi Belajar, Minat dan Kecerdasan Intelektual Siswa
Res Motivasi
Belajar
Siswa
Minat
Belajar
Siswa
Kecerdasan
Intelektual
Siswa
Res Motivasi
Belajar
Siswa
Minat
Belajar
siswa
Kecerdasan
Intelektual
Siswa
1 202 154 82 16 180 179 90
2 172 128 88 17 187 196 84
3 177 155 87 18 201 138 83
4 168 135 83 19 164 157 83
5 193 169 91 20 165 105 87
6 160 154 90 21 186 155 88
7 176 179 90 22 139 163 84
8 149 135 83 23 173 164 87
9 170 182 84 24 181 179 85
10 200 185 88 25 194 167 88
11 197 169 85 26 177 174 83
12 197 184 86 27 187 197 89
13 177 144 88 28 195 167 83
14 189 152 86 29 186 172 85
15 171 174 89 30 202 187 95
Berdasarkan data yang terkumpul dengan jumlah tresponden 30 orang diperoleh skor untuk
varibel motivasi belajar siswa skor terendah 105 sedangkan tertinggi 197, sehingga diperoleh skor
rata – rata 163,3 dengan median 165,3 sementara modus pada data motivasi belajar tersebut 155,9
dengan simpangan bakunya sebesar 21,08, Untuk data minat belajar siswa diperoleh skor terendah
139 dan tertinggi 202 dengan skor rata – rata sebesar 180,5, median 180,5 dengan modus 173,5 dan
simpangan bakunya sebesar 15,78, sementara skor terendah kecerdasan intelektual siswa 82 dan
tertinggi 95 dengan rata - rata 86,47 dengan median 86, sementara modus pada data tersebut 86 dan
simpangan baku sebesar 3,0708.
Variabel motivasi belajar siswa diperoleh chi-kuadrat hitung 9,636 dan chi kuadrat tabel
dengan db = 11 - 3 =8, diperoleh harga chi – kuadrat tabel pada taraf kepercayaan 95 % = 15,5 dan
99% = 20,1, (9,636 < 15,5) data berdistrubusi normal. Variabel minat belajar siswa diperoleh chi-
kuadrat hitung 5,790 dan chi-kuadrat tabel dengan db = 10 -3 =7, diperoleh harga chi– kuadrat tabel
pada taraf kepercayaan 95 % = 14,1 dan 99% = 18,5, (5,790 < 14,1) data berdistrubusi normal.
Variabel kecerdasan intelektual siswa diperoleh hasil perhitungan chi-kuadrat hitung 5,96 dan chi
kuadrat tabel dengan db = 5 - 3 =2, diperoleh harga chi – kuadrat tabel pada taraf kepercayaan 95 %
= 5,99 dan 99% = 9,21 (5,96 < 5,99) data berdistrubusi normal.
4.2 Uji Hipotesis
Berdsarkan hasil uji implementasi angka korelasi secara parsial variabel motivasi (X1)
dengan kecerdasan intelektual (Y) sebesar 0.619 dengan kategori kuat, minat belajar siswa (X2)
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 650
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
dengan kecerdasan intelektual siswa (Y) sebesar 0,542 dengan kategori cukup, motivasi belajar
siswa (X1) dengan minat belajar siswa (X2) sebesar 0,859 dengan kategori sangat kuat sedangkan
hubungan secara simultan antara motivasi belajar siswa (X1), minat belajar siswa (X2) terhadap
kecerdasan intelektual siswa (Y) sebesar 0,619 kategori kuat.
Koefisien determinasi diperoleh kontribusi yang disumbangkan secara simultan oleh
motivasi belajar (X1) dan minat belajar siswa (X2) terhadap kecerdasan intelektual siswa (Y)
adalah x 100 % = 38,3 % dan sisanya sebesar 61,7 % dipengaruhi oleh faktor lain,
kontribusi yang disumbangkan variabel motivasi belajar siswa (X1) terhadap kecerdasan intelektual
siswa (Y) adalah x 100 % = 38,3 % dan sisanya sebesar 61,7 % dipengaruhi oleh faktor
lain sedangkan kontribusi atau yang disumbangkan variabel minat belajar siswa (X2) terhadap
kecerdasan intelektual siswa (Y) sebesar x 100 % = 29,4 % dan sisanya sebesar 70,6 %
dipengaruhi oleh faktor lain
Uji signifikansi atau uji pembuktian terhadap hubungan setiap variabel tersebut dengan
menggunakan uji Fisher (F), sehingga dapat dilihat kuat atau lemahnya hubungan variabel tersebut.
Hubungan secara simultan atau parsial, untuk hubungan motivasi belajar siswa (X1), minat belajar
siswa (X2) terhadap kecerdasan intelektual siswa (Y) diperoleh hasil uji signifikansi sebesar
Fhitung = 8,348 dengan Ftabel 3,35 pada taraf kepercayaan 0,05 dengan demikian Fhitung > Ftabel
artinya terdapat hubungan yang signifikan, sedangkan antara motivasi belajar siswa (X1) dengan
kecerdasan intelektual siswa (Y) diperoleh Fhitung sebesar 17,41 dengan Ftabel 3,34 pada taraf
kepercayaan 0,05, dapat dikatakan terdapat hubungan yang signifikan dimana Fhitung > Ftabel,
sementara hubungan minat belajar siswa (X2) dengan kecerdasan intelektual siswa (Y) diperoleh
Fhitung sebesar 11,76 dan Ftabel 3,34 dengan taraf kepercayaan 0,05 dan terdapat hubungan yang
signifikan.
4.3 Pembahasan
Motivasi belajar siswa memiliki hubungan yang kuat terhadap kecerdasan intelektual siswa
dengan harga korelasi sebesar 0,619, artinya semikin tinggi motivasi belajar siswa maka kecerdasan
intelektual siswa akan semakin tinggi, hubungan kedua variabel tersebut merupakan hubungan
positif, kekuatan hubungan kedua variabel tersebut dapat dilihat hasil uji signifikansi dengan hasil
diperoleh Fhitung sebesar 17,41 dan Ftabel 3,34, artinya hubungan kedua viariabel tersebut
memang terjadi secara interaktif, dimana siswa memiliki motivasi belajar yang tinggi akan
memmpengaruhi kecerdasan intelektual siswa, sebaliknya kecerdasan intelektual membangkitkan
motivasi belajar siswa tersebut. Terjadinya hubungan yang kuat antara motivasi belajar siswa
dengan kecerdasan intelektual siswa SMAN 01 Mataram sesuai dengan yang disampaikan Dalyono
bahwa kecerdasan intelektual merupakan kemammpuan menyesuaikan diri dengan lingkungan atau
disebut juga belajar dari pengalaman, penjelasan tersebut selaras dengan definisi motivasi yang
diutarakan oleh Yamin bahwa motivasi merupakan daya pengerak psikis dari dalam diri seseorang
untuk dapat melakukan kegiatan belajar dan menambahkan keterampilan. Sementara secara
determinasi atau kontribusi yang disumbangkan oleh variabel motivasi belajar siswa terhadap
kecerdasan intelektual siswa sebesar 38,3 % dan 61,7% dipengaruhi oleh faktor lain, hal tersebut
menunjukan bahwa motivasi belajar bukan salah satu variabel yang memempengaruhi kecerdasan
intelektual siswa SMAN 1 Mataram secara mutlak, tapi terdapat variabel lain yang ikut
berkontribusi.
Sementara minat belajar siswa memiliki hubungan yang cukup terhadap kecerdasan
intelektual siswa dengan harga koefisien korelasi sebesar 0,542, artinya semikin tinggi minat belajar
siswa maka kecerdasan intelektual siswa akan tinggi, hubungan tersebut merupakan hubungan
positif terjadi secara interaktif, kuat dan lemahnya hubungan antara minat belajar siswa dengan
kecerdasan intelektua siswa SMAN 1 Mataram dapat dilihat dari hasil uji signifikansi dimana
diperoleh Fhitung sebesar 11,76 dan Ftabel 3,34, artinya hubungan kedua viariabel tersebut terbukti
dalam kategori cukup, adanya hubungan tersebut sesuai dengan pendapat Dalyono bahwa
kecerdasan intelektual dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pembawaan, faktor lingkungan,
faktor kematangan, minat dan pembawaan yang khas serta kebebasan.Sementara secara determinasi
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 651
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
atau kontribusi yang disumbangkan oleh variabel minat belajar siswa sebesar 29,4 % dan 70,6 %
dipengaruhi oleh faktor lain, faktor minat memiliki pengaruh atau kontribusi yang cukup terhadap
kecerdasan intelektual siswa SMAN 1 Mataram dan sepertinya faktor lain sangat besar ikut
mempengaruh.
Sedangkan secara simultan dan parsial variabel motivasi belajar siswa dan minat belajar
siswa memiliki hubungan yang kuat terhadap kecerdasan intelektual siswa dengan harga korelasi
sebesar 0,619, artinya sacara bersama variabel motivasi belajar siswa dan minat belajar siswa
mempengaruhi secara positif tingkat kecerdasan intelektual siswa, semakin tinggi motivasi belajar
siswa dan minat belajar siswa maka semakin tinggi kecerdasan intelektual siswa SMAN 1 Mataram,
hubungan ketiga variabel tersebut dapat dibuktikan dengan hasil uji signifikansi dimana Fhitung
sebesar 3,348 dan Ftabel 3,35, artinya hubungan kedua viariabel bebas motivasi dan minat tersebut
memang kuat terhadap variabel kecerdasan intelektual siswa, sementara secara determinasi atau
kontribusi yang disumbangkan oleh variabel motivasi belajar siswa dan minat belajar siswa sebesar
38,3 % dan 61,7% dipengaruhi oleh faktor lain, hal tersebut sesuai dengan penjelasan Dalyono
bahwa kecerdasan intelektual siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pembawaan,
lingkungan, kematangan,kebebasan serta minat dan pembawaan yang khas.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan paparan hasil dan pembahasan penelitian diatas, dimana hasil uji koefisien
korelasi ganda menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan serta kontribusi
variabel motivasi belajar siswa maupun minat belajar siswa terhadap kecerdasan intelektual siswa di
SMAN 1 Mataram, sebaliknya kedua variabel bebas motivasi belajar siswa dan minat belajar siswa
SMAN 1 Mataram memiliki hubungan sangat interaktif, dimana semakin tinggi motivasi belajar
siswa maka semakin tinggi minat belajar siswa, sebaliknya demikian.
5.2 Saran
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian dan kesimpulan, maka dalam penelitian ini dapat
diberikan saran kepada sekolah, guru, orang tua dan siswa SMAN 1 Mataram, sebagai bahan
masukan untuk ditindak lanjuti, antara lain:
1. Disarankan kepada orang tua untuk memberikan dan membina anak dirumah sehingga motivasi
atau minat belajar peserta didik untuk belajar terus meningkat, sehingga akan menjadikan anak
semakin cerdas secara intelektual.
2. Disarankan kepada guru, agar mempertahankan kondisi lingkungan belajar atau bahkan
meningkatkan kondisi yang sudah ada, sehingga peserta didik semakin termotivasi dan memiliki
minat belajar yang tinggi untuk mengasa kecerdasan inteltual siswa tersebut.
3. Disarankan kepada sekolah agar terus memperhatikan motivasi dan minat belajar siswa sebagai
langkah untuk mengambil kebijakan dalam lingkungan sekolah karena berpengaruh terhadap
kecerdasan intelektual siswa di samping faktor lain.
4. Disarankan kepada siswa, untuk selalu meningkatkan motivasi dan minat belajar untuk
memperoleh kecerdasan inteltual yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar. 2010. Psikologi Intelegence. Jakarta:Rineka Cipta.
Dalyono. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Safari, 2005: Penulisan Butir Soal Berdasarkan Penilaian Berbasis Kompetensi, Jakarta APSI Pusat
Sardiman, A.M. 2006. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Soekidjo Notoatmodjo. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
_______.Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
(http://www.pengertianahli.com/2013/12/pengertian-kecerdasan-dan-jenis.htm). Di akse hari Sabtu
14 Maret 2016
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 652
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
KAJIAN SOSIOPRAGMATIK TENTANG PENGGUNAAN KATEGORI FATIS BAHASA
SASAK DALAM KESANTUNAN TINDAK TUTUR MASYARAKAT LOMBOK
Habiburrahman1; Rudi Arahman2 1,2Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah Mataram
Abstrak: Kategori fatis yaitu tipe tuturan yang digunakan untuk menciptakan ikatan sosial
yang harmonis dengan semata-mata bertukar kata-kata. Dengan demikian, tujuan penelitian ini
adalah: 1) untuk mendeskripsikan dan menjelaskan bentuk dan fungsi kategori fatis bahasa Sasak; 2)
untuk mendeskripsikan dan menjelaskan nilai dari strategi kesantunan penggunaan bentuk dan fungsi
kategori fatis bahasa Sasak. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif. Data diperoleh melalui teknik observasi yang dibantu teknik perekaman menggunakan
handycam. Data penelitian terdiri atas dua jenis, yaitu: (1) data tuturan berupa percakapan
masyarakat; dan (2) data catatan lapangan berupa interaksi verbal dan situasi tindak tutur.
Berdasarkan hasil penelitian dapat dideskripsikan sebagai berikut: 1) bentuk kategori fatis dalam
bahasa Sasak berupa: partikel, kata dan frase. 2) Fungsi kategori fatis dalam bahasa sasak yaitu, untuk
memulai percakapan, untuk melakukan gosip, untuk mengalihkan topik, untuk menyatakan empati,
untuk mengungkapkan kesantunan, sebagai penegasan, fungsi untuk mengungkapkan ekspresi dan
fungsi untuk mengakhiri percakapan. 3) Strategi kesantunan penggunaan bentuk dan fungsi kategori
fatis bahasa Sasak, yaitu menggunakan srategi kesantunan negatif dan strategi positif. Beberapa jenis
strategi kesantunan tersebut yaitu 1) mengintensifkan perhatian penutur dengan mendramatisasikan
peristiwa dan fakta; 2) menunjukkan hal-hal yang dianggap mempunyai kesamaan melalui basa-basi
(small talk) dan praanggapan (presupposition); 3) menhindari ketidaksetujuan dengan pura-pura
setuju dalam arti persetujuan yang semu; 4) membesar-besarkan perhatian, persetujuan, dan simpati
kepada mitratutur; 5) ujaran tindak tutur itu sebagai kesantunan yang bersifat umum; dan 6)
menyatakan hubungan secara timbal balik.
Kata kunci: kesantunan, bentuk dan fungsi kategori fatis
PENDAHULUAN
Bahasa digunakan oleh masyarakat penuturnya tidak hanya untuk berkomunikasi
antarsesama, namun sebagai ciri atau identitas kebudayaan dari masing-masing daerah penutur.
Dalam hal ini, peranan bahasa daerah sangat vital. Bahasa daerah pada umumnya menjadi bahasa ibu
dan identitas dari penuturnya. Keanekaragaman bahasa daerah di Indonesia menjadi kebanggaan yang
diwariskan secara turun-temurun oleh setiap penuturnya.
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil aspek bahasa dari unsur dalam yaitu sebuah kajian
struktural kategori fatis dalam bahasa Sasak dialek Kuto-kute yang daerah sebarnya di wilayah
Kabupaten Lombok Utara. Dalam penelitian ini, kajian akan difokuskan pada aspek bentuk dan
fungsi kategori fatis dengan menggunakan kajian sintaksis. Semetara perannya yang dikaitan dengan
nilai strategi kesantunan dalam kajian sosiopragmatik. Hal ini sesuai dengan pengertian mengenai
ungkapan fatis yaitu tipe tuturan yang digunakan untuk menciptakan ikatan sosial yang harmonis
dengan semata-mata bertukar kata-kata. Di Indonesia sendiri salah satu linguis Indonesia yang
pertama kali memasukkan kategori ini menjadi salah satu kelas kata adalah Kridalaksana. Kategori
fatis adalah kategori yang bertugas memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan komunikasi antara
pembicara dengan kawan bicara (Kridalaksana, 2008: 114).
Kajian kategori fatis bahasa Sasak telah banyak dilakukan oleh para peneliti, akan tetapi hasil
yang didapatkan masih kurang dari harapan karena hanya terbatas pada kajian sintaksis yang belum
dikaji dari aspek sosiopragmatik. Di samping itu, karena luasnya kajian bahasa Sasak yang terdiri
dari dialek yang berbeda sangat memungkinkan bagi para peneliti melakukan penelitian sebagai
pengembangan khazanah ilmu pengetahuan. Penelitian bahasa di daerah Kabupaten Lombok Utara
belum pernah dilakukan, lebih-lebih dalam hal kategori fatisnya. Oleh sebab itu, peneliti dalam
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 653
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
penelitian ini mengangkat permasalahan bahasa Sasak yang sifatnya terbaru. Kategori fatis yang
peneliti angkat pada penelitian ini yaitu kategori fatis dalam aspek bentuk dan fungsi kategori fatis
bahasa Sasak dialek Kuto-kute yang ada di masyarakat Dusun Bentek Desa Pemenang Barat
Kecamatan Pemenang Kabupaten Lombok Utara. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan,
tujuan dalam penelitian ini sebagai berikut. 1) Peneliti mendeskripsikan dan menjelaskan bentuk dan
fungsi kategori fatis dalam bahasa Sasak dialek Kuto-kute di Desa Pemenang Barat Kabupaten
Lombok Utara. 2) Peneliti mendeskripsikan dan menjelaskan nilai strategi kesantunan penggunaan
bentuk dan fungsi kategori fatis dalam Bahasa Sasak dialek Kuto-kute di Desa Pemenang Barat
Kabupaten Lombok Utara.
TINJAUAN PUSTAKA
Kategori Fatis Pada tahun 1920-an Malinowsky yang pertama kali mencetuskan konsep fatis ini dengan
konsepnya ungkapan fatis. Konsep bahasa yang menjaga agar komunikasi tetap berkesinambungan
disebut fatis (Leech dalam Waridin 2008: 39). Dengan demikian, ungkapan fatis yaitu tipe tuturan
yang digunakan untuk menciptakan ikatan sosial yang harmonis dengan semata-mata bertukar kata-
kata. Jackobson (dalam Waridin 2008: 39) juga menyatakan konsep fatis dibedakan berdasakan
fungsinya: yaitu fungsi bahasa untuk memulai komunikasi, mempertahankan komunikasi dan
menarik perhatian lawan bicara agar tetap memperhatikan pembicaraan.
Menurut Kridalaksana (2008: 114) kelas kata ini biasanya terdapat konteks dialog atau
wawancara bersambutan, yaitu kalimat-kalimat yang diucapkan oleh pembicara dan kawan bicara.
Sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan, karena ragam lisan pada umumnya
merupakan ragam non-standar. Maka kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat-kalimat non-
standar yang banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional.
1) Bentuk dan Jenis Kategori Fatis
Kridalaksana (2008, 116-117) mengklasifikasikan kategori fatis dalam bentuk partikel, kata
dan frase. Bentuk fatis biasanya terdapat dalam bahasa lisan yang umumnya merupakan ragam non-
standar, maka kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat-kalimat non-standar yang banyak
mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional . Bentuk dan jenis kategori fatis sebagai berikut.
a. Partikel fatis
Ramlan (dalam Muslich, 2014: 115) menyatakan bahwa kata partikel adalah semua kata yang
tidak termasuk golongan kata nominal dan ajektival. Moeliono (1998: 247-249) juga menyatakan
partikel penegas meliputi kata yang tidak tertakluk pada perubahan bentuk dan hanya berfungsi
menampilkan unsur yang diiringinya.
b. Kata fatis
Kata fatis yaitu kata dalam sebuah kalimat yang bertugas untuk memulai, mempertahankan,
dan mengukuhkan komunikasi atau mengukuhkan komunikasi antara pembicara dan pendengar dan
biasanya terdapat dalam konteks dialog, lazimnya bentuk fatis digunakan dalam bentuk ragam lisan
(Kridalaksana 2008:116).
Bentuk fatis bisa berada di awal kalimat misalnya Kok kamu pergi juga?, ada yang di tengah
kalimat, misalnya bukan dia, kok, yang mengambil uang itu!, maupun di akhir kalimat misalnya saya
hanya lihat saja, kok!.
Kategori fatis mempunyai wujud bentuk bebas, misalnya; kok, deh, dong, ding, halo, kan, kek,
lho, mari, nah, sih, toh, ya, dan yah. Kemudian kategori fatis dalam wujud terikat atau dalam wujud
partikel, misalnya : –lah, -tah, -kah, -pun.
c. Frase fatis
Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersifat nonpredikatif. Frase fatis selamat
pagi mempunyai fungsi membuka komunikasi yang kemudian membentuk ikatan sosial yang
harmonis antara penutur dan mitra tutur. Pada bagian isi komunikasi bentuk fatis digunakan untuk
mengukuhkan komunikasi dengan menggunakan partikel pun, kan, sih, lho, dan kata halo. Sedangkan
pada bagian penutup terdapat kalimat penutup seperti frase selamat siang. Frase selamat siang
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 654
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
digunakan untuk menutup komunikasi dan memutus ikatan sosial yang terjalin antara penutur dan
mitra tutur (Moeliono, 1998: 248-249).
2) Fungsi Kategori Fatis
Konsep fatis dibedakan berdasakan fungsinya: yaitu fungsi bahasa untuk memulai
komunikasi, mempertahankan komunikasi dan menarik perhatian lawan bicara agar tetap
memperhatikan pembicaraan, Jackobson (dalam Waridin 2008: 39).
Fungsi fatis yaitu sebuah wacana berfungsi untuk membuka jalan atau kontak. Fungsi bahasa
yang digunakan sebagai basa-basi di dalam kebudayaan sosial, fungsi bahasa ini penting akan tetapi
kita harus berhati-hati terhadap sikap berbicara kita kerena berbeda kebudayaan berbeda pula
penafsiran penggunaan bahasa, penangkapan sombong, acuh, dari orang lain yang berbeda agama
dengan kita akan kita dapatkan jika kita tidak berhati-hati ketika menggunakan fungsi dari bahasa ini.
3) Teori Kesantunan Sopan santun sering diartikan secara dangkal sebagai suatu ‘tindakan yang sekadar beradab’
saja, namun makna yang lebih penting yang diperoleh dari sopan santun ialah, sopan santun
merupakan mata rantai yang hilang antara Pk dengan masalah bagaimana mengaitkan daya dengan
makna (Leech, 1982:161).
Teori ‘kesantunan’ dalam penelitian ini dibedakan dengan ‘kesopanan’ dalam kajian
sosiolinguitik. Kesopanan linguistik memang ditentukan secara kultural. Jelasnya, kaidah-kaidah
untuk berperilaku yang sopan berbeda antara satu masyarakat tutur yang satu dengan masyarakat tutur
yang lain. Masyarakat tutur yang berbeda memberikan penekanan pada fungsi-fungsi yang berbeda
dan mengekspresikan fungsi-fungsi tertentu secara berbeda pula (Holmes, tanpa tahun:271 ).
Strategi kesantunan yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan kajian Brown
dan levinson. Untuk mengurangi kekecewaan mitratutur, Brown dan Levinson (1987) menawarkan
strategi-strategi berikut untuk tindakan yang melanggar wajah positif dan negatif. Bagaimana bentuk
strategi itu, tergantung pada jenis kesantunannya, yaitu kesantunan negatif (ada yang menyebutkan
kesantunan deferensia) atau kesantunan positif (ada yang menyebutnya kesantunan afirmatif)
(Pranowo, 2012:43).
METODE
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian jenis
kualitatif bertujuan untuk memaparkan data sebagaimana adanya. Dalam hal ini, peneliti tidak
mempunyai kontrol atas manipulasi langsung terhadap variabel-variabel bebas (Sukardi, 2004:24).
Data diperoleh melalui teknik observasi yang dibantu teknik perekaman menggunakan handycam.
Data penelitian terdiri atas dua jenis, yaitu: (1) data tuturan berupa percakapan dan (2) data catatan
lapangan berupa interaksi verbal dan situasi tindak tutur.
Metode analisis data dilakukan dengan metode identifikasi dan klasifikasi. Data yang telah
diklasifikasi kemudian diinterpretasikan. Interpretasi adalah usaha untuk memperjelas arti bahasa
dengan cara menguraikan dan mengomentari (Sugiyono, 2010).
HASIL DAN PEMBAHASAN Pembahasan ini menekankan pada dimensi kesantunan yang terciptanya dari penggunaan
bentuk dan fungsi kategori fatis. Pembahasan ini diuraikan berdasarkan hasil penelitian tentang kajian
sosiopragmatik tentang penggunaan kategori fatis bahasa Sasak dalam kesantunan tindak tutur
masyarakat Lombok yang berkaitan dengan dua hal, yaitu: 1) bentuk dan fungsi kategori fatis bahasa
Sasak; 2) nilai dari strategi kesantunan penggunaan bentuk dan fungsi kategori fatis bahasa Sasak.
1) Bentuk Kategori Fatis pada Masyarakat Sasak
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada wilayah penelitian di Dusun Bentek Desa
Pemenang Barat, ditemukan bentuk kategori fatis yaitu berupa partikel fatis, kata fatis dan frase fatis
serta fungsi kategori fatis.
Pada bagian ini peneliti akan membahas satu-persatu bentuk-bentuk kategori fatis yang
tedapat dalam dialek Kuto-kute pada masyarakat Dusun Bentek Desa Pemenang Barat dengan
memperhatikan kata-kata yang digunakan oleh informan yang biasanya menggunakan kategori fatis
dalam melakukan komunikasi ataupun interaksi.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 655
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
1.1 Bentuk fatis berupa partikel
Pada wilayah penelitian Dusun Bentek Desa Pemenang Barat, terdapat bentuk fatis berupa atau
berjenis partikel yang ditemukan adalah sebagai berikut.
(1) Bentuk partikel fatis kan
Bentuk fatis kan merupakan kependekan dari kata tekan yang memiliki arti “bukannya”.
Partikel fatis ini biasanya digunakan sebagai partikel penanya terhadap lawan bicara.
(2) Bentuk partikel fatis suh/seh
Bentuk partikel suh dalam dialek Kuto-kute bersinonim dengan partikel seh yang memiliki
fungsi yang sama yaitu mempertegas pernyataan. Dalam penggunaannya partikel suh/seh hanya
digunakan untuk menekankan perintah kepada lawan bicara.
(3) Bentuk partikel fatis be
Partikel fatis be dalam dialek Kuto-kute biasanya digunakan untuk kata bantu untuk
menyangkal ujaran kawan bicara ataupun untuk memperjelas konstituen tertentu serta memaksa
dengan cara membujuk.
(4) Bentuk partikel fatis kah
Bentuk partikel fatis kah merupakan partikel yang biasa digunakan masyarakat Dusun Bentek
untuk memberi perintah kepada lawan bicara.
(5) Bentuk partikel fatis dong
Partikel fatis dong biasanya digunakan untuk memberi perintah dengan halus kepada kawan
bicara dan sedikit penegasan.
(6) Bentuk partikel fatis ah
Bentuk partikel biasanya digunakan dalam kalimat tanya untuk menanyakan kepastian kepada
lawan bicara.
(7) Bentuk partikel fatis nah
Partikel fatis nah biasanya digunakan dalam pernyataan seru untuk membenarkan kawan
bicara.
(8) Bentuk partikel fatis ne
Partikel fatis ne merupakan partikel penanda dan penunjuk yang digunakan untuk meminta
pendapat kawan bicara, dan sebagai penunjuk sesuatu.
(9) Bentuk partikel fatis jek
Partikel jek merupakan partikel seru yang biasa digunakan untuk menekankan konstituen
tertentu. Penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa partikel jek merupakan partikel seru dalam sebuah
pernyataan yang berfungsi sebagai menekankan konstituen tertentu yaitu kata bareh yang bermakna
nanti yang dalam fungsi sintaksis sebagai keterangan.
(10) Bentuk partikel fatis ca
Partikel ca merupakan partikel fatis yang digunakan sebagai penanda isyarat yang berarti itu.
(11) Bentuk partikel fatis ono
Partikel ono merupakan partikel fatis yang memiliki fungsi yang sama dengan partikel ca
yaitu sebagai isyarat untuk menunjuk sesuatu.
(12) Bentuk partikel fatis poh
Partikel poh merupakan partikel penanya yang berfungsi untuk membentuk kalimat tanya.
(13) Bentuk partikel fatis e/ we
Partikel fatis e/we merupakan partikel seru yang biasa digunakan sebagai isyarat untuk
memanggil atau memulai pembicaraan lawan bicara.
(14) Bentuk partikel fatis ndeh
Partikel fatis ndeh merupakan partikel fatis penegas yang berfungsi untuk membenarkan
pernyataan kawan bicara.
(15) Bentuk partikel fatis wah
Partikel fatis wah merupakan partikel yang digunakan sebagai kata keterangan yang berarti
sudah.
(16) Bentuk partikel Be....be
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 656
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Partikel fatis be...be merupakan partikel fatis gabungan yang terdapat dalam dialek Kuto-kute
pada masyarakat Dusun Bentek Desa Pemenang Barat.
(17) Bentuk partikel Be...jek/ kan jek
Partikel fatis merupakan partikel gabungan yang membentuk kalimat bantahan.
(18) Bentuk partikel Ngak seh
Partikel fatis ngak seh merupakan partikel fatis yang membentuk kalimat tanya digunakan
untuk menanyakan sesuatu kepada lawan bicara.
1.2 Bentuk Fatis Berjenis atau berupa kata Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, ditemukan jenis fatis yang disebut satuan gramatik
berupa kata. Berikut ini akan dipaparkan jenis fati berupa kata disertai dengan disertai fungsi
penggunaanya.
1.2.1 Kata fatis nggih/aok
Kata fatis nggih bersinonim dengan kata aok yang berfungsi untuk memberikan kawan
persetujuan kepada lawan bicara. Namun kata fatis nggih digunakan saat berbicara dengan lawan
tutur yang usianya lebih tua. Sedangkan kata fatis aok digunakan untuk berbicara dengan lawan tutur
yang sebaya atau yang lebih muda dari si penutur.
1.2.2 Kata fatis banjur
Kata fatis banjur digunakan saat bertemu atau berpapasan dengan kerabat di jalan maupun
lewat di depan rumah. Kata fatis ini memiliki arti mamapir yang biasa di ucapakan untuk mengajak
kerabat untuk mampir dirumah sebagai basa-basi saat kebetulan bertemu di jalan maupun di tempat
lain.
1.2.3 Kata fatis masihan
Kata fatis masihan memiliki arti ‘yang tersisa’, kata fatis ini digunakan saat memberitahu
lawan bicara bahwa sesuatu yang ingin digunakan itu tinggal tersisa sedikit, sehingga si pembicara
melarang lawan bicaranya untuk menegur kawan bicaranya tersebut agar tidak menggunakannya.
1.2.4 Kata fatis lasingan
Kata fatis lasingan merupakan kata fatis seru yang digunakan untuk menekankan konstituen
tertentu untuk mengekspresikan kekesalan dari pembicara terhadap lawan bicaranya.
1.2.5 Kata fatis bemok
Kata fatis bemok merupakan kata fatis yang digunakan sebagai kata penghubung dalam suatu
percakapan yang memiliki arti lagi pula. Kata fatis ini digunakan pada saat bercerita tentang suatu
kejadian yang pada dasarnya tidak dapat disesali kembali.
1.2.6 Kata fatis keno
Kata fatis keno merupakan kata fatis yang berfungsi untuk membentuk kalimat tanya. Kata
fatis ini juga berfungsi untuk menanyakan kepastian kepada lawan bicara dan juga sebagai bentuk
basa-basi kepada lawan bicara.
1.2.7 Kata fatis lega
Kata fatis lega merupakan kata fatis seru atau interjeksi yang menunjukkan ekspresi
keheranan pembicara terhadap kawan bicara.
1.2.8 Kata fatis teh/tekah
Kata fatis teh/tekah memiliki arti ayo, yaitu digunakan untuk mengajak kawan bicara
melakukan sesuatu. Kata fatis teh merupakan kependekan dari kata fatis tekah untuk mempersingkat
pengucapan.
1.2.9 Kata fatis halo
Kata fatis halo digunakan untuk mengukuhkan pembicaraan, menyapa atau memulai kontak
melalui telepon.
1.2.10 Kata fatis amin
Kata fatis amin digunakan untuk mengukuhkan ujaran kawan bicara. Biasanya saat kawan
bicara mengucapkan do’a ataupun harapan.
1.2.11 Kata fatis tabek
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 657
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Kata fatis tabek memiliki arti permisi. Kata fatis ini biasanya digunakan saat menyapa
ataupun berjalan melewati seseorang yang usianya lebih tua sebagai bentuk penghormatan serta sopan
santun terhadap lawan bicara.
1.2.12 Kata fatis jamak
Kata fatis jamak biasanya digunakan untuk menekankan makna kesangatan terhadap sesuatu
dan sebagai bentuk ungkapan gambaran kemiripan suatu hal dengan hal lain.
1.3 Bentuk fatis berupa frase
Bentuk frase fatis yang ditemukan pada daerah pentelitian di Dusun Bentek Desa Pemenang
Barat adalah sebagai berikut.
1.3.1 Frase fatis ku menjulu/ tekah ku menjulu
Frase fatis diucapkan ketika seseorang berpamitan kepada kawan bicara. Penggunaan frase
tekah ku menjulu/ku menjulu digunakan saat pembicara berpamitan dengan kawan bicaranya dan
untuk mengakhiri pembicaraan.
1.3.2 Frase fatis meliwat juluk
Frase fatis ini diucapkan atau digunakan saat seseorang memohon ijin untuk berjalan melewati
rumah kerabat. Frase ini berfungsi untuk membuka pembicaraan sebagai bentuk basa-basi terhadap
kawan bicara.
1.3.3 Frase fatis terima kasih
Frase fatis ini digunakan saat menerima sesuatu dari pembicara. Seperti dalam bahasa
Indonesia, dialek Kuto-kute pun menggunakan frase terima kasih sebagai bentuk penghormatan
terhadap lawan bicara ketika diberikan sesuatu.
1.3.4 Frase fatis sabar wah
Frase ini digunakan saat pembicara turut berduka cita atas peristiwa atau musibah yang di
alami oleh kawan bicaranya.
1.3.5 Frase fatis selamet ndeh
Frase fatis ini di ucapkan saat pembicara merasakan kebahagiaan yang tengah dirasakan oleh
lawan bicaranya sebagai bentuk rasa persahabatan.
1.3.6 Frase fatis ya Allah
Frase fatis ya Allah di gunakan saat pembicara merasa bimbang dan bertanya kepada diri
sendiri atas musibah yang menimpanya.
1.3.7 Frase fatis assalamu’alaikum
Frase fatis ini digunakan saat memulai kontak dengan lawan bicara. Baik saat mengunjungi
kerabat secara langsung kerumahnya ataupun pada saat menelpon maupuun menerima serta
mengakhiri pembicaraan lewat telepon.
1.3.8 Frase fatis wa’alaikumu salam
Frase fatis ini biasanya digunakan saat menjawab frase fatis assalamu’alaikum yang berfungsi
untuk memulai ataupun mengakhiri interaksi dengan lawan bicara.
1.3.9 Frase fatis astagfirullah
Frase fatis astagfirullah biasanya digunakan saat pembicara merasa kaget terhadap sesuatu.
1.3.10 Frase fatis subhanallah
Frase fatis subhanallah dipakai saat pembicara merasa kagum terhadap sesuatu.
1.3.11 Frase fatis insya Allah
Frase fatis insya Allah digunakan saat pembicara menerima tawaran dari kawan bicaranya.
1.3.12 Fase fatis allahu akbar
Frase fatis ini biasanya digunakan saat pembicara merasa keheranan terhadap sesuatu hal.
1.3.13 Frase fatis Alhamdulillah
Frase fatis ini biasanya digunakan saat pembicara mendapatkan pemberian terhadap kawan
bicara sebagai bentuk syukur terhadap pemberian yang diberikan.
1.3.14 Frase fatis lailahaillallah
Frase fatis ini digunakan saat pembicara merasa kesal terhadap lawan bicaranya.
2) Fungsi Kategori Fatis pada Masyarakat Sasak
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 658
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Konsep fatis dibedakan berdasakan fungsinya: yaitu fungsi bahasa untuk memulai
komunikasi, mempertahankan komunikasi dan menarik perhatian lawan bicara agar tetap
memperhatikan pembicaraan, Jackobson (dalam Waridin 2008: 39). Fungsi fatis yaitu sebuah wacana
berfungsi untuk membuka jalan atau kontak. Fungsi kategori fatis yang tedapat dalam dialek Kuto-
kute pada masyarakat Dusun Bentek Desa Pemenang Barat.
2.1 Fungsi untuk memulai percakapan
Dalam dialek Kuto-kute pada masyarakat Bentek ditemukan fungsi kategori fatis yang
digunakan untuk memulai percakapan. Penggunaan penggunaan kata fatis halo pada kalimat “halo,
mbe kon dik?” dan frase “assalamu’alaikum, arak tau ite?” dalam dialek Kuto-kute digunakan
sebagai kalimat untuk memulai percakapan. Hal ini menunjukkan fungsi kategori fatis untuk memulai
percakapan seperti yang dikemukakan oleh Jackobson terdapat juga dalam dialek Kuto-kute. Selain
dari fungsi untuk memulai percakapan bentuk peristiwa tutur di atas juga dapat dikategorikan sebagai
fungsi untuk memecah kesenyapan dan untuk melakukan basa-basi.
2.2 Fungsi untuk melakukan gosip
Berikut ini adalah bentuk tidak tutur yang terdapat dalam dialek Kuto-kute yang digunakan
untuk melakukan gosip dan fungsi fatis agar pembicaraan tetap berlangsung saat melakukan gosip.
Aini :“Eh, tekan jek Leni ya merangkat?”( hei, katanya si Leni menikah?)
Reni :“Aok, tekelem ya sik paling!” (iya, semalam dia diculik)
Aini :“Oh, sai poh kancanya? Tau mbe?” (oh, sama siapa?)
Pada peristiwa tutur di atas, frase “tekan jek” digunakan saat pembicara bertanya kepada
lawan bicaranya apakah benar atau tidak kabar yang didengarnya, sehingga ia menanyakan hal itu
kepada lawan bicaranya. Hal tersebut menunjukkan frase “tekan jek” merupakan frase yang berfungsi
untuk melakukan gosip dengan lawan bicara. Kemudian frase “taon dik kenoh” Juga merupakan frase
yang muncul atau yang digunakan ketika melakukan gosip dengan lawan bicara. Jadi fungsi kategori
fatis untuk melakukan gosip yang dikemukakan oleh Jackobson dalam teorinya terdapat juga dalam
dialek Kuto-kute.
2.3 Fungsi untuk mengalihkan topik
Fungsi fatis yang ditemukan selanjutnya yaitu untuk mengalihkan topik serta mengalihkan
perhatian lawan bicara ke hal lain. Berikut ini peistiwa tutur yang digunakan untuk mengalihkan
topik pembicaraan.
Indra :“Ngak jek lega sering dik geran? Aok wah kah melemak adeng-
adeng tan jauk motor!” (mengapa sering sekali kamu kecelakaan?
Ya sudah, besok hati-hati mengendarai motor!)
Doni :“Aok!” (iya)
Tindak tutur Indra mengandung frase aok wah kah. Frase ini berfungsi mengalihkan topik.
Sebelumnya Indra menanyakan mengapa Doni sering mengalami kecelakaan. Selanjutnya Indra
memberikan nasehat kepada Doni agar Doni lebih berhati-hati.
2.4 Fungsi untuk menyatakan empati
Dalam dialek Kuto-kute, terdapat fungsi fatis yang digunakan untuk menyatakan empati,
berikut peristiwa tutur yang digunakan untuk menyatakan empati. Berikut peristiwa tutur yang
digunakan untuk menyatakan empati.
Musa : Sabar aok polong, ihlasang wah lokak nu. Insyaallah ya ulek dalam
keadaan khusnul khatimah. Apalagi ya ngenangang pas kenjekak
sembahyang subuh lek mesjid. (sabar ya, ikhlaskan beliau. Insyaallah
beliau meninggal dalam keadaan khusnul khatimah. Apalagi beliau
meninggal ketika sholat shubuh di mesjid)
Fadoli : Aok polong, makasih wah dateng menukak bapakku. (iya saudara, teima
kasih sudah datang memamakamkan bapakku)
Pada percakapan pertama tedapat dua bentuk jenis fatis yaitu klausa “sabar wah polong” dan
“ihlasang wah” yang berarti memberikan empati kepada lawan bicara yang sedang berduka cita atas
kematian orang tua dari temannya.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 659
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
2.5 Fungsi untuk mengungkapkan kesantunan
Di dalam dialek Kuto-kute, fungsi kategori fatis yang digunakan sebagai ungkapan kesantunan
terdapat dalam peristiwa tutur berikut.
Bapak :“nak, baitang bapak gergaji lek gerobak no”. (nak tolong ambilkan bapak
gergaji di gerobak itu)
Anak :“Nggih bapak, anteh semendak tiang baitang” (iya bapak, tunggu
sebentar, saya ambilkan)
Lia :“Tabek bapuk, tiang meliwat juluk” (permisi nenek, saya lewat dulu)
Bapuk :“Mbe ke lain dik no?, banjur apa juluknya” (ghendak kemana? Ayo
mampir dulu)
Lia :“Ne tiang lalo bak balen Pak Kadus” (ini saya hendak ke rumah Pak
Kadus)
Bapak :“Oh, aok tiaknya pak kadus jek, lokah dik dapetnya (oh, iya pak kadus
ada, sudah hampii saja)
Dari peristiwa tutur di atas, terdapat penggunaan kata fatis “nggih” pada percakapan pertama
yaitu ketika sang anak menjawab seruan bapaknya, si anak menggunakan kata fatis “nggih” sebagai
bentuk kesantunannya kepada orang tua. Selain itu pada percakapan kedua, tedapat kata “tabek” yang
digunakan saat melewati orang yang lebih tua, hal ini biasa digunakan dalam masyarakat Dusun
Bentek sebagai bentuk ungkapan sopan-santun kepada lawan tutur yang usianya lebih tua. Jadi dapat
disimpulkan, dalam dialek Kuto-kute terdapat fungsi kategori fatis yaitu berupa kata “nggih” dan
“tabek” yang digunakan sebagai ungkapan kesopanan.
2.6 Fungsi sebagai penegasan
Di dalam dialek Kuto-kute, terdapat fungsi kategori fatis yang digunakan sebagai penegasan
dalam percakapan yang memiliki makna sebagai penjelas, menghaluskan perintah, menekankan
kesalahan lawan bicara, menekankan kepastian, menekankan konstituen tertentu, menekankan alasan,
menekankan maksud, menekankan bantahan, menekankan ajakan, menekankan pemberian kepada
lawan bicara, menekankan permintaan kepada lawan bicara, menekankan makna kesangatan,
menekankan kemiripan sesuatu hal dengan hal lain, menekankan pembuktian, menekankan
pemberitahuan, untuk menciptakan rasa nyaman, memberi persetujuan, membenarkan lawan bicara
serta menegaskan kalimat tanya, memaksa dengan cara membujuk, dan bentuk pengukuhan terhadap
ujaran lawan bicara.
Berikut adalah peristiwa tutur yang digunakan sebagai penegasan terhadap proses atau
kronologi suatu kejadian.
R :”Kumbek epe poh buk?” (ibu kenapa )
I :”Kan tenek tiang bak teben lalo arisan kanca bapak, laguk kami geran kon
udayana nabrak montor kijang lek mudi. Ya ampoknya keseleo ima ne”
(tadi ketika saya dalam perjalanan untuk pergi arisan, saya dan bapak jatuh
di jalan udayana menabrak mobil kijang dari belakan dan terjatuh sehingga
tangan saya keseleo)
Ujaran Ibu yang merupakan kalimat berita yang mengandung pemberitahuan kepada remaja
mengenai alasan tangannya keseleo dengan cara menceritakan proses yang menyebabkanya terjatuh.
Dalam percakapan tersebut, terdapat bentuk patikel kan yang digunakan sebagai penegas dalam
menceritakan proses atau kronologi suatu kejadian.
2.7 Fungsi untuk mengungkapkan ekspresi
Di dalam dialek Kuto-kute, fungsi kategori fatis yang digunakan untuk mengungkapkan
ekspresi, misalnya tanda keheranan, tanda pembicaraan menerima sesuatu dari lawan bicara, tanda
pembicara menerima sesuatu yang menyenangkan, tanda merasa bimbang atau ungkapan keragu-
raguan, tanda kekesalan, tanda pembicara mendapat tawaran dari lawan bicara, sebagai bentuk
kekhawatiran. Berikut peristiwa tutur yang digunakan sebagai bentuk ekspresi atau tanda keheranan.
Anak 1 :“Lega pelok bak ono!” (takut sekali gadis itu!)
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 660
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Anak 2 :“Aok eh!” (iya yah!)
Tindak tutur anak 1 pada peristiwa tutur di atas memperlihatkan keheranan anak 1 terhadap
apa yang telah dilihatnya. Jadi, kata fatis lega pada peristiwa tutur di atas dapat berfungsi sebagai
ungkapan ekspresi keheranan.
2.8 Fungsi untuk mengakhiri percakapan
Wujud fatis yang membangun fungsi mengakhiri kontak adalah kata fatis assalamumu’
alaikum, wa’alaikumu salam dan kata fatis teh/tekah, ku menjulu. Berikut ini peristiwa tutur yang
mengandung kata fatis assalamumu’ alaikum wa’alaikumu salam dan kata fatis teh/tekah, ku menjulu
dengan fungsi untuk mengakhiri kontak. Seperti pada kutipan percakapan di bawah ini.
Ida :“Melemak senen ku kete ampok, Assalamu ‘alaikum.” (besok hari senin
saya kesini lagi, Assalamu ‘alaikum)
Ririn :“Aok, Wa’alaikum salam.” (iya, wa’alaikum salam)
Pada peristiwa tutur di atas, terilhat fungsi frase fatis serapan assalamu‘alaikum untuk
mengakhiri kontak antara pembicaran dan kawan bicara. Ida mengucapkan assalamu ‘alaikum untuk
mengakhiri pertemuannya dengan Ririn.
3) Stategi Penggunaan Bentuk dan Fungsi Kategori Fatis pada Masyarakat Sasak
Hasil penelitian tentang fungsi kategori fatis dalam dialek Kuto-kute Dusun Bentek Desa
Pemenang Barat Kecamatan Pemenang Kabupaten Lombok Utara yaitu, untuk memulai percakapan,
untuk melakukan gosip, untuk mengalihkan topik, untuk menyatakan empati, untuk mengungkapkan
kesantunan, sebagai penegasan, fungsi untuk mengungkapkan ekspresi dan fungsi untuk mengakhiri
percakapan. Berdasarkan fungsi kategori fatis tersebut, maka peneliti dapat mengklasifikasikan
strategi kesantunan penggunaan kategori fatis dalam dialek Kuto-kute Dusun Bentek Desa Pemenang
Barat Kecamatan Pemenang Kabupaten Lombok Utara menjadi dua, yaitu strategi kesantunan positif
dan negative. Bentuk dari strategi kesantunan negative dan positif tersebut akan diuraikan secara
terperinci sebagai berikut.
1. Fungsi kategori fatis untuk memulai percakapan dalam strategi kesantunan lebih cenderung
menggunakan strategi kesantunan positif dengan mengintensifkan perhatian penutur dengan
mendramatisasikan peristiwa dan fakta.
2. Fungsi kategori fatis untuk melakukan gossip dinilai menggunakan strategi kesantunan positif
dengan menunjukkan hal-hal yang dianggap mempunyai kesamaan melalui basa-basi (small
talk) dan praanggapan (presupposition)
3. Fungsi kategori fatis untuk mengalihkan topik dinilai menggunakan strategi kesantunan positif
dengan menhindari ketidaksetujuan dengan pura-pura setuju dalam arti persetujuan yang semu.
4. Fungsi kategori fatis untuk menyatakan empati dinilai menggunakan strategi kesantunan
positif dengan membesar-besarkan perhatian, persetujuan, dan simpati kepada mitratutur.
5. Fungsi kategori fatis untuk mengungkapkan kesantunan dinilai menggunakan strategi
kesantunan negatif dengan ujaran tindak tutur itu sebagai kesantunan yang bersifat umum.
6. Fungsi kategori fatis sebagai penegasan dinilai menggunakan strategi kesantunan positif
dengan mengintensifkan perhatian penutur dengan mendramatisasikan peristiwa dan fakta
7. Fungsi kategori fatis untuk mengungkapkan ekspresi dinilai menggunakan strategi kesantunan
positif dengan dinilai menggunakan strategi kesantunan positif dengan mengintensifkan
perhatian penutur dengan mendramatisasikan peristiwa dan fakta
8. Fungsi kategori fatis fungsi untuk mengakhiri percakapan dinilai menggunakan strategi
kesantunan positif dengan menyatakan hubungan secara timbal balik.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan tujuan penelitian yang ingin dicapai dan hasil serta pembahasan penelitian yang
telah dipaparkan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan hal-hal berikut.
1) Bentuk kategori fatis dalam dialek Kuto-kute pada masyarakat Dusun Bentek Desa Pemenang
Barat Kecamatan Pemenang Kabupaten Lombok Utara yaitu: partikel, kata dan frase.
2) Fungsi kategori fatis dalam dialek Kuto-kute Dusun Bentek Desa Pemenang Barat Kecamatan
Pemenang Kabupaten Lombok Utara yaitu, untuk memulai percakapan, untuk melakukan
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 661
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
gosip, untuk mengalihkan topik, untuk menyatakan empati, untuk mengungkapkan
kesantunan, sebagai penegasan, fungsi untuk mengungkapkan ekspresi dan fungsi untuk
mengakhiri percakapan.
3) Nilai dari strategi kesantunan penggunaan bentuk dan fungsi kategori fatis bahasa Sasak, yaitu
menggunakan srategi kesantunan negatif dan strategi positif.
Dialek Kuto-kute merupakan salah satu khasanah budaya bahasa Indonesia di tanah air yang
perlu di teliti baik dari segi struktur bahasanya maupun dari segi lainnya. Berkaitan dengan hal
tersebut, disampaikan saran ssebagai berikut.
1) Kepada masyarakat penutur, maupun pemerintah daerah serta pusat, hendaknya lebih
mencurahkan perhatiannya terhadap bahasa, karena bahasa mencerminkan budaya.
2) Aspek kategori fatis dapat diteliti lebih terperinci, khususnya mengenai fungsi dan makna
kategori fatis pada objek lain, misalnya dalam lirik lagu ataupun yang lainnya. Tentu penulis
menaruh harapan besar kepada peneliti berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharmini. 2009. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Holmes, Janet. Tanpa Tahun. An Introduction to Sosiolinguitics (Terjemahan). Tidak Diterbitkan.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
_____. 2008. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Leech, Geoffrey. 1982. Prinsip-prinsip Pragmatik (Terjemahan). Jakarta: Universitas Indonesia.
Mahsun. 2011. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan, Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Indonesia Persada.
Moleong, J Lexy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Pranowo. 2012. Berbahasa Secara Santun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Prayitno, Harun Joko. 2010. “Perwujudan Prinsip Kerja Sama, Sopan Santun, dan Ironi Para Pejabat
dalam Peristiwa Rapat Dinas di Lingkungan Pemerintahan Kota Berbudaya Jawa” dalam jurnal
terakreditasi Kajian Linguistik dan Sastra, Volume 22, No.1, Juni 2010, Jurusan Pendididkan
Bahasa Inggris dan Indonesia FKIP UMS.
_____. 2011. Kesantunan Sosiopragmayik: Studi Pemakaian Tindak tutur direktif di Kalangan Andik
SD Berbudaya Jawa. Surakarta: Muhammadiyah University Press Universitas
Muhammadiyah Muhammadiyah Surakata.
Suandi, I Nengah. 2008. Pengantar Metodologi Penelitian Bahasa. Singaraja: Universitas Pendidikan
Ganesha.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif,Kualitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Sukardi. 2004. Metodologi Penelitian Pendidikan (Kompetensi dan Praktiknya). Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Waridin. 2008. Ungkapan Fatis dalam Acara Temu Wicara Televisi. Tesis. Jakarta: Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya UI. Tidak Diterbitkan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 662
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
PENGEMBANGAN PERANGKAT PERKULIAHAN PADA
MATA KULIAH PEMBELAJARAN IPS BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER BAGI
MAHASISWA SEMESTER V PRODI PGSD UNIVERSITAS PGRI MADIUN
Moh. Rifai
UNIVERSITAS PGRI MADIUN
Email: [email protected]
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan perangkat perkuliahan pada mata kuliah
Pembelajaran IPS berbasis pendidikan karakter bagi mahasiswa semester V Prodi PGSD Universitas
PGRI Madiun. Penelitian pengembangan ini merujuk pada metode 4-D. Subjek uji coba sebanyak 25
anak. Instrumen penelitian berupa lembar validasi, lembar pengamatan, angket, dan tes belajar.
Teknik pengumpulan data dengan teknik validasi dan observasi. Teknik analisis data secara deskriptif
kualitatif. Hasil keterlaksanaan RPP menunjukkan dapat dipercaya dengan reliabilitas instrumen
berkategori baik. Hasil pengamatan aktivitas mahasiswa telah memenuhi kriteria batas efektivitas
yang ditentukan. Berdasarkan angket respons mahasiswa, pembelajaran dengan perangkat yang
dikembangkan ini menarik. Hasil belajar mahasiswa menunjukkan perkembangan positif. Dengan
demikian, produk yang dikembangkan telah efektif.
Kata Kunci: pengembangan perangkat perkuliahan, Pendidikan IPS, pendidikan karakter
PENDAHULUAN
Sarana dan prasarana pendidikan yang sangat penting dan mendesak yaitu tentang kurangnya
perangkat pembelajaran berbasis karakter yang sesuai dengan perkembangan pendidikan. Dari data
buku di perpustakaan masih kurang bahan ajar sebagai pendamping buku paket yaitu lembar kegiatan
atau lembar kerja siswa yang bermuatan karakter. Dengan banyaknya siswa, adanya buku kegiatan
siswa akan lebih membantu guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas.
Mata pelajaran IPS diarahkan agar siswa memiliki penguasaan konsep yang dapat
mewujudkan karakter dan jiwa bangsa dalam kehidupan, dan yang paling utama dapat membantu
siswa di dalam keluarga, di sekolah, dan di lingkungan masyarakat. Perangkat pembelajaran yang
ada, belum mampu memadukan pendidikan karakter ke dalam pembelajaran, karena pendidikan
karakter akan terwujud apa bila tiga among dapat bersinergi secara utuh, yaitu orang tua, sekolah,
dan masyarakat. Dengan diberikan peluang sebesar-besarnya untuk menemukan konsep-konsep
materi pelajaran di lingkungan sekitar mereka. Melihat kondisi tersebut, maka penggunaan bahan ajar
pendukung utama bagi guru sebagai upaya untuk menciptakan suasana belajar yang aktif.
Fokus penelitian ini adalah untuk mengembangkan perangkat perkuliahan pada mata kuliah
Pembelajaran IPS berbasis pendidikan karakter bagi mahasiswa semester V Prodi PGSD Universitas
PGRI Madiun. Perangkat tersebut kemudian diujicobakan untuk melihat keefektifannya. Keefektifan
penggunaan perangkat itu dapat dilihat dari keterlaksanaan RPP, aktivitas siswa, respons siswa, dan
hasil belajar siswa setelah mendapat pembelajaran dengan menggunakan perangkat pembelajaran
yang dikembangkan.
METODE PENELITIAN
Penelitian pengembangan ini termasuk dalam penelitian deskriptif kualitatif dengan rancangan
pengembangan model 4-D. Data penelitian diperoleh dari beberapa sumber data, di antaranya: (1)
mahasiswa semester V Prodi PGSD Universitas PGRI Madiun tahun akademik 2016/2017, yang di
dalam satu kelas terdapat 25 mahasiswa; (2) validator ahli materi. Pengumpulan data dilakukan
dengan teknik validasi dan observasi. Analisis data dilakukan dengan cara deskriptif kualitatif.
HASIL PENELITIAN
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 663
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Sesuai dengan rumusan masalah, penelitian ini telah menghasilkan dua hal, yaitu kelayakan
perangkat pembelajaran hasil pengembangan dan implementasi perangkat perkuliahan pada mata
kuliah Pembelajaran IPS berbasis pendidikan karakter bagi mahasiswa semester V Prodi PGSD
Universitas PGRI Madiun.
A. Perangkat Pembelajaran yang Dikembangkan Perangkat pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian ini yaitu rencana pelaksanaan
pembelajaran, materi ajar siswa, lembar kegiatan siswa, dan tes hasil belajar.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dikembangkan merupakan salah satu
perangkat pembelajaran yang digunakan sebagai acuan untuk menggambarkan penyajian materi
pembelajaran yang akan dilakukan oleh guru dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Tahap kegiatan
dalam setiap RPP meliputi standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, tujuan pembelajaran dan
langkah-langkah kegiatan pembelajaran.
Materi ajar siswa disusun berdasarkan pendekatan pendidikan karakter. Dalam pembelajaran
sikap hasil yang diharapkan dari pambelajaran yaitu siswa dapat menerima, menjalankan,
menghargai, menghayati, dan mengamalkan. Keterampilan yang diperoleh siswa dari pendidikan
adalah siswa dapat mengamati, memahami, menerapkan, menalar, menguji dan menciptakan.
Sedangkan dari segi pengetahuan, yang diharapkan dari siswa yaitu; siswa dapat mengetahui,
memahami, mencoba, menganalisa, mengevaluasi, dan mencipta. Dalam mengembangkan bahan ajar
peneliti mencari referensi dari buku dan sumber lain yang relevan. Materi tersebut dilengkapi dengan
gambar-gambar pendukung, rangkuman, dan soal-soal latihan di akhir materi.
Lembar kegiatan siswa yang dikembangkan adalah lembar kegiatan siswa pengayaan dan
latihan. Lembar kegiatan siswa pengayaan merupakan lembar kerja yang menambah atau
memperkaya pengetahuan siswa tentang materi pembelajaran dan untuk memantapkan materi yang
dipelajari. Lembar kegiatan siswa pengayaan merupakan pertanyaan-pertanyaan untuk membimbing
siswa memperkaya pengetahuan siswa terhadap materi dalam bentuk latihan soal.
Tes hasil belajar yang dikembangkan digunakan untuk memperoleh informasi tentang
ketuntasan siswa pada matakuliah Pembelajaran IPS di SD. Tes hasil belajar siswa yang
dikembangkan peneliti berdasarkan tujuan pembelajaran khusus yang sudah disusun. Tes hasil
belajar terdiri atas tes hasil belajar kognitif, tes hasil belajar afektif, dan tes hasil belajar psikomotor.
Tes hasil belajar kognitif terdiri dari 12 soal sujektif, yang dilengkapi dengan kisi-kisi tes untuk
mengukur semua ranah kognitif siswa mulai kognitif 1 sampai kognitif 6. Tes hasil belajar afektif
merupakan penilaan perbuatan atau tingkah laku siswa selama mengikuti pembelajaran. Tes
psikomotor merupakan suatu tes yang berisi keterampilan yang berhubungan dengan kegiatan siswa
saat melakukan kerja kelompok.
B. Kelayakan Perangkat Pembalajaran
Penyusunan perangkat pembelajaran dalam penelitian ini mengacu pada pengembangan
perangkat four-D model Thiagarajan (1974), perangkat pembelajaran hasil pengembangan kemudian
divalidasi oleh pakar. Hasil validasi ini berupa penilaian, koreksi, saran, dan masukan yang digunakan
sebagai dasar untuk melakukan revisi dan penyempurnaan perangkat pembelajaran. Hasil revisi
kemudian ditelaah oleh dosen pembimbing. Hasil validasi pakar ini dapat disimpulkan bahwa
perangkat pembelajaran yang dikembangkan dapat digunakan dengan sedikit revisi.
Angket respons siswa terhadap kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan perangkat
pembelajara hasil pegembangan diisi oleh siswa setelah kegiatan pembelajaran selesai. Berdasarkan
hasil pengamatan, persentase rata-rata respons siswa selama mengikuti kegiatan pembelajaran
menggunakan perangkat pembelajaran hasil pengembangan.
Berdasarkan data, dapat diketahui bahwa sebagian besar siswa senang terhadap perangkat
pembelajaran hasil pengembangan mencapai persentase 91,25% atau perangkat pembelajaran hasil
pengembangan, dan yang merasa tidak senang hanya 8,75% saja. Dengan data tersebut maka
perangkat pembelajaran hasil pengembangan dapat diterima dengan baik oleh siswa. Selanjutnya
pendapat anak tentang tentang kebaruan perangkat pembelajaran hasil pengembangan yaitu mencapai
100%. Menurut siswa semua yang terdapat di dalam pembelajaran merupakan sesuatu yang memang
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 664
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
terdapat di dalam lingkungan siswa dan bagi siswa dia belajar tentang sesuatu yang nyata, dan tidak
lagi belajar sesuatu yang tidak ada di sekitar siswa. Tingkat kesukaran materi ajar siswa yakni dengan
rata-rata prosentase kata yang diisi dengan benar 90,8% dan jumlah rata-rata prosentase kata yang
diisi salah 9,2%. Dengan data tersebut maka dapat disimpulkan bahwa materi ajar hasil
pengembangan sangat mudah dipahami oleh siswa.
C. Implementasi Perangkat Pembelajaran
Perangkat pembelajaran diujicobakan di mahasiswa semester V Prodi PGSD Universitas
PGRI Madiun tahun akademik 2016/2017 dengan subjek penelitian sebanyak 25 anak. Sebanyak tiga
kali pertemuan pembelajaran yang telah dirancang dalam rencana pelaksanaan pembelajaran.
Berdasar hasil pengamatan keterlaksanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, pembelajaran
tersebut dapat dijelaskan dan diperinci menjadi empat bagian yaitu kegiatan pembukaan, kegiatan
inti, kegiatan penutup, dan suasana kelas dalam pembelajaran. Kegiatan pendahuluan pada tiga kali
pertemuan mendapat skor 4,0 dengan kategori sangat baik. Kegiatan inti pada tiga kali pertemuan
memperoleh skor 3,96 dengan kategori sangat baik. Selanjutnya kegiatan penutup pada tiga kali
pertemuan pembelajaran memperoleh skor 3,7 dengan kategori sangat baik. Terakhir yaitu suasana
kelas dalam tiga kali pertemuan memperoleh skor 3,66 dengan kategori sangat baik. Dengan rentang
skor pelaksanaan pembelajaran antara 3,66 sampai dengan 4,0, dapat disimpulkan bahwa
keterlaksanaan RPP dengan penerapan perangkat perkuliahan pada mata kuliah Pembelajaran IPS di
SD berbasis pendidikan karakter dikategorikan baik.
Untuk memperoleh frekwensi data tentang aktivitas siswa digunakan lembar pengamatan
aktivitas siswa. Frekuensi aktivitas siswa selama kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan
perangkat perkuliahan pada mata kuliah Pembelajaran IPS di SD berbasis pendidikan karakter
dinyatakan dengan persentase. Pengamatan aktivitas siswa selama kegiatan belajar mengajar
dilakukan oleh dua orang pengamat. Aktivitas siswa yang dimaksud adalah: (1) mengikuti
pembelajaran dengan penuh perhatian; (2) aktif menjawab pertanyaan guru; (3) aktif bertanya pada
guru; (4) menyimak penjelasan guru; (5) berpartisipasi dalam kelompok; (6) dapat bekerjasama
dengan teman; (7) mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru; (8) menunjukkan rasa senang
terhadap pembelajaran; (9) mempresentasikan hasil kerja kelompok; dan (10) aktivitas yang tidak
relevan.
Berdasarkan hasil pengamatan, terlihat bahwa frekwensi aktivitas siswa dalam kegiatan
belajar mengajar menggunakan perangkat pembelajaran hasil pengembangan yang paling dominan
adalah memperhatikan penjelasan guru dengan persentase mencapai 29,52%, sedangkan urutan
berikutnya yaitu mempresentasikan tugas kelompok dengan persentase mencapai 18,77% dan
aktivitas siswa yang paling rendah adalah aktivitas yang tidak relevan dengan mencapai persentase
0,63%. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap aktivitas siswa menunjukkan bahwa kegiatan
pembelajaran berpusat pada siswa dan siswa menikmati pembelajaran.
Hasil pengamatan aktivitas siswa selama kegiatan belajar mengajar dilakukan oleh masing-
masing pengamat. Menurut pendapat pengamat instrumen pengamatan dapat dipercaya dengan
reliabilitas instrumen berkategori baik. Kategori baik terlihat dari persentase reliabilitas instrumen
rata-rata 98,96%.
Berdasarkan data dapat diketahui bahwa rata-rata persentase reliabilitas instrumen
pengamatan aktivitas dalam kegiaan belajar mengajar adalah 98,96%. Dengan demikian instrumen
yang digunakan untuk mengamati siswa dalam proses pembelajaran dengan kategori valid dan
reliabel.
Karakter mahasiswa yang diamati terutama adalah karakter jujur dan tanggung jawab.
Pengamatan karakter siswa pada waktu perkuliahan Pembelajaran IPS di SD dari dua pengamat dapat
disimpulkan bahwa karakter jujur dan tanggung jawab telah dimiliki siswa.
Berdasarkan data, dalam satu kelas yang berjumlah dua puluh lima, siswa yang telah memiliki
karakter sangat baik atau mendapatkan predikat A berjumlah 5 atau mencapai 20%. Sedangkan siswa
yangng mendapat kategori B (baik) berjumlah 16 siswa 62%, sedangkan siswa yang mendapat
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 665
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
predikat cukup baik (C) mencapai 16% atau 4 siswa, dan di antara dua puluh lima siswa tidak satupun
siswa yang kategori karakternya tidak baik atau (D).
Berdasarkan data dapat diketahui bahwa hasil pengamatan karakter positif siswa yaitu 5 siswa
sudah mempunyai karakter yang sangat baik, 16 siswa mempunyai karakter yang baik, 4 siswa
mempunyai karakter yang cukup baik dan tidak ada satupun siswa yang mempunyai karakter yang
tidak baik.
Tes hasil belajar siswa digunakan untuk mengetahui efektif atau tidaknya perangkat
pembelajaran yang dikembangkan oleh peneliti. Hasil belajar siswa juga bertujuan untuk mengetahui
tingkat penguasaan materi pembelajaran berdasarkan skor yang diperoleh siswa dari pre-test dan post-
test. Tes hasil belajar siswa digunakan untuk mengetahui tingkat penguasaan siswa terhadap materi
pelajaran yang diukur dengan ketuntasan belajar bidang studi Pembelajaran IPS di SD. Tes hasil
belajar siswa tersebut meliputi hasil belajar kognitif, afektif, dan psikomotor.
Dari data dapat diperoleh nilai dasar atau pre-tes nilai kognitf sebesar 60,4, nilai afektif 69,12,
dan nilai psikomotor 73,68. Setelah kegiatan belajar mengajar siswa diadakan ulangan atau pos-tes.
Pada data, nilai rata-rata ranah kognitif siswa sebesar 71,12 dengan kriteria sangat baik dan telah
mengalami kenaikan sebesar 10,72 poin. Rata-rata nilai afektif pos-tes adalah 76,59 dengan predikat
baik. Nilai post-tes ranah psikomotor 81,50 dan naik sebanyak 7,82 poin dari nilai pre-tes. Dengan
demikian perangkat pembelajaran hasil pengembangan pengembangan mempunyai implikasi
terhadap hasil belajar siswa. Dari hasil pre-tes rata-rata kelas IV matapelajaran Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan adalah 67,73. Jika hasil tersebut dibandingkan dengan nilai rata-rata kelas
setelah post-tes yaitu 76,40, adalah naik sebesar 8,67 poin.
SIMPULAN
Perangkat pembelajaran yang berhasil dikembangkan dalam penelitian ini adalah rencana
pelaksanaan pembelajaran, materi ajar siswa, lembar kegiatan siswa, dan tes hasil belajar. Perangkat
perkuliahan pada mata kuliah Pembelajaran IPS berbasis pendidikan karakter bagi mahasiswa
semester V Prodi PGSD Universitas PGRI Madiun yang dikembangkan dalam penelitian ini meliputi
silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, materi ajar siswa, lembar kegiatan siswa, dan tes hasil
belajar dinyatakan valid dan layak sebagai perangkat pembelajaran. Respons siswa terhadap
komponen dan proses pembelajaran menunjukkan respons yang positif. Dengan respons positif dari
siswa di dalam penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa perangkat pembalajaran hasil
pengembangan efektif untuk digunakan. Tingkat kesukaran materi ajar siswa di dalam penelitian ini
dalam kategori rendah bagi siswa, sehingga perangkat pembelajaran hasil pengembangan relatif
mudah dipahami oleh siswa.
Keterlaksanaan pembelajaran pada implementasi perangkat pembelajaran terlaksana 100%
dengan kategori sangat baik. Sehingga pembelajaran IPS di SD berbasis pendidikan karakter bagi
siswa kelas IV sekolah dasar, secara umum dalam setiap langkah terlaksanadengan rata-rata untuk
setiap aspek pengamatan memiliki kategori sangat baik, yakni bahwa kemampuan peneliti dalam
pengelolaan dan pelaksanaan pembelajaran dilakukan dengan baik, sehingga menunjang dalam
seluruh proses pembelajaran. Aktivitas siswa pada implementasi perangkat perkuliahan pada mata
kuliah Pembelajaran IPS berbasis pendidikan karakter bagi mahasiswa semester V Prodi PGSD
Universitas PGRI Madiun, menunjukkan aktivitas pembelajaran berpusat pada siswa lebih menonjol
daripada berpusat pada guru, sehinga efektif untuk mengajar.
Berdasarkan analisis hasil belajar siswa, penerapan perangkat perkuliahan pada mata kuliah
Pembelajaran IPS berbasis pendidikan karakter bagi mahasiswa semester V Prodi PGSD Universitas
PGRI Madiun terlihat meningkat. Dari rata-rata siswa pada waktu pre-tes adalah 64,28, sedangkan
rata-rata nilai siswa pada pos-tes yaitu 76,08. Jadi poin peningkatan siswa dari pre-tes dengan pos-
tes adalah sebesar 11,72 poin. Dengan demikan perangkat pembelajaran hasil pengembangan
mempunyai implikasi terhadap hasil belajar siswa dan layak digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Membangun Generasi
Berkarakter Melalui Pembelajaran Inovatif”. Aula Handayani IKIP Mataram 14 Oktober 2017. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 666
Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala
Depdiknas. 2009. Sosialisasi KTSP. Jakarta
Kosasih, Djahiri. 2006. Pendidikan Nilai Moral dalam Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan.
Bandung: Laoratorium PKn FPIPS-UPI
Sukardi. 2006. Hubungan Persepsi Anak terhadap Keluarga, Citra Diri, dan Motif Berprestasi
dengan Prestasi Belajar pada Siswa Kelas V SD Ta’miriyah. Surabaya: Jurnal Anima Vol XI
NO .42
Trianoto. 2010. Model Pembelajaran Terpadu: Konsep, Strategi, dan Implikasinya dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Bumi Aksara
Trianto. 2008. Mendesain Pembelajaran Kontektual di Kelas. Jakarta: Cerdas Pustaka Tim Pustaka
Wiriaatmadja, Rochiati. 2007. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya