32
PROSIDING DISKUSI Demokrasi Lingkungan: Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum Hotel Ambhara, Jakarta | Kamis, 13 Februari 2014 | 09.00 13.00 Didukung oleh:

Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Hukum Lingkungan

Citation preview

Page 1: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

PROSIDING DISKUSI

Demokrasi

Lingkungan:

Struktur, Substansi

Dan Budaya Hukum

Hotel Ambhara, Jakarta | Kamis, 13 Februari 2014 | 09.00 – 13.00

Didukung oleh:

Page 2: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

2

Diskusi ini dilakukan dalam rangka Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

(JHLI) yang akan merupakan publikasi ilmiah berkala yang akan diterbitkan oleh ICEL

setiap 6 bulan. Untuk informasi lebih lanjut mengenai JHLI dapat dilihat di

http://www.icel.or.id/jurnal

Kami mengucapkan terima kasih kepada para Narasumber:

Mas Achmad Santosa, S.H., LL.M.

Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H., LL.M.

Ir. Ilyas Asaad, M.P., M.H.

Dr. Al. Andang L. Binawan, S.J.

Henri Subagiyo, S.H., M.H.

Page 3: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

3

D A F T A R I S I Sambutan Direktur Eksekutif ICEL ........................................................................................... 4 Sambutan Redaksi Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia .................................................... 6 Keynote Speech: Mas Achmad Santosa .................................................................................... 7 Diskusi Interaktif ........................................................................................................................ 12 Dialog (Tanya Jawab) Termin I ................................................................................................ 23 Dialog (Tanya Jawab) Termin II .............................................................................................. 28

Page 4: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

4

S A M B U T A N

DIREKTUR EKSEKUTIF ICEL

Henri Subagiyo, S.H., M.H.

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Selamat Pagi dan Salam Sejahtera

bagi kita semua

Yang saya hormati:

1. Prof Takdir Rahmadi dan Bapak Agung Sumanantha (Mahkamah Agung RI)

2. Ir. Ilyas Asaad, M.P (Kementerian Lingkungan Hidup RI)

3. Dr. Al. Andang L. Binawan (Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara)

4. Rekan-rekan akademisi hukum lingkungan

5. Hadirin sekalian

Selamat datang dalam acara peluncuran Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia serta

Diskusi mengenai Demokrasi Lingkungan.

Puji syukur ke hadirat Tuhan YME, ICEL Menghidupkan kembali Jurnal Hukum

lingkungan yang menjadi trademark ICEL, yang telah dirintis oleh senior–senior ICEL.

Jurnal ini sempat mati suri selama beberapa tahun, dan dihidupkan kembali pada

tahun ini. Untuk itu saya mengucapkan terimakasih kepada para Penulis yang telah

mau berkontribusi dalam jurnal ini serta teman-teman redaksi ICEL yang telah

berusaha keras dari mulai perencanaan hingga penerbitan jurnal ini.

Kami menghidupkan kembali jurnal hukum lingkungan ini mengingat ada banyak

sekali ide tentang hukum lingkungan yang terus berkembang terutama pasca UU 32

Tahun 2009 sehingga diperlukan wadah dan sarana dokumentasi terhadap ide-ide ini.

Kebutuhan wadah dan dokumentasi. Jurnal ini akan menjadi wadah bersama utk

merajut ide-ide yang bisa disumbangkan dalam tataran implementasi sehingga hukum

lingkungan kita bisa lebih maju. Rencananya jurnal ini akan terbit setiab enam bulan

sekali, kami mengharapkan Bapak/Ibu sekalian juga berpartisipasi untuk menuliskan

gagasannya dalam jurnal hukum lingkungan ini.

Page 5: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

5

Harapannya jurnal ini data membawa manfaat lebih baik bagi perkembangan hukum

di Indonesia.

Terimakasih untuk kehadirannya dan partisipasinya nanti.

Jakarta, 13 Februari 2014

Henri Subagiyo, S.H, M.H

Page 6: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

6

P E N G A N T A R R E D A K S I

Yustisia Rahman, S.H.

Selamat datang para undangan sekalian,

Jurnal hukum lingkungan kali ini adalah edisi revival dari jurnal hukum lingkungan

ICEL yang dulu pernah terbit tapi sempat mati suri, dengan segala keterbatasan kami

sebagai penerus ICEL untuk menghidupkan kembali jurnal ini. Pemilihan tema pada

jurnal kali ini memperhatikan pula momentum tahun 2014 sebagai tahun politik,

akhirnya kami melilih tema kaitan demokrasi dengan perlindungan lingkungan. Kami

mengundang narasumber dan pakar-pakar yang memiliki kompetensi dalam bidang

demokrasi lingkungan untuk berdiskusi dan membuat Term of Reference tentang itu.

Kami mengundang beberapa Penulis yang hadir dalam forum ini dan harapannya ini

bisa menjadi pemantik diskursu dalam diskusi mengenai demokrasi yang

memperhatikan aspek lingkungan secara lebih luas.

Di setiap edisinya kami berencana akan mengangkat tema spesifik dengan konteks

permasalahan lingkungan yang dihadapi. Rencananya jurnal ini akan terbit dua kali

setahun setiap enam bulan. Meskipun jurnal ini adalah lanjutan dari jurnal ICEL yang

pernah terbit sebelumnya, penerbitan jurnal ini kami urus lagi dari awal mulai dari

proses perizinan, ISSN, dan sebagainya. Proses akreditasi masih dalam proses,

harapannya jurnal ini bisa jadi acuan akademis nantinya.

Jakarta, 13 Februari 2014

Yustisia Rahman, SH

Page 7: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

7

K E Y N O T E S P E E C H

Mas Achmad Santosa, S.H., LL.M.

Sapaan pembuka,

Saya menyambut baik diluncurkannya Jurnal Hukum Lingkungan oleh ICEL;

Jurnal ini sempat terbit pada tahun 1994 sampai 1999, dan sepengatahuan saya

merupakan salah satu rujukan penting bagi akademisi maupun pengambil kebijakan

serta masyarakat sipil atas perkembangan hukum lingkungan nasional maupun

internasional.

Namun jurnal ini sempat mati suri, mudah-mudahan kali ini akan lebih panjang

umurnya (minimal satu dekade dg sekuensi quarterly);

Keberadaan sebuah jurnal memiliki arti sangat penting. Saya mencatat setidaknya 3

arti penting dari sebuah jurnal:

Pertama, jurnal memiliki peran penting dalam pengembangan kebijakan yang

didasarkan pada kajian akademis (research based policy). Terdapat beberapa pengalaman

yang menunjukan praktik pengembangan kebijakan yang tidak didasarkan pada

kebutuhan riil dan melalui diskusi yang mendalam. Kerap pula ditemui pembentukan

peraturan yang didasarkan pada “pesanan” pihak-pihak tertentu. Hal ini menyebabkan

proses pembuatan kebijakan tidak benar-benar didasarkan pada pertimbangan atas

seluruh aspek secara mendalam serta rentan terhadap korupsi. Keberadaan sebuah

jurnal yang secara konsisten menguliti sebuah isu tertentu, misalnya dalam hal ini

kebijakan hukum lingkungan, dapat menjadi sebuah platform komunikasi berbagai

pihak (pemerintah dan masyarakat sipil) secara konstruktif. Absennya platform ini

telah menjadikan diskusi-diskusi kebijakan tereduksi menjadi diskusi isu-isu populis

dan dangkal yang pembahasannya bersifat pseudo melalui media massa seperti koran

dan majalah saja, yang formatnya memang tidak ditujukan untuk diskusi akademis,

yang menjadi pilihan bagi wadah penyampaian pendapat publik. Keberadaan jurnal

yang berintegritas dan berkualitas dapat membantu menjawab kedua isu tersebut;

Page 8: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

8

Kedua, jurnal memiliki arti penting dalam mengevaluasi kebijakan yang tengah

berjalan berdasarkan praktek implementasi kebijakan di lapangan. Hal ini akan menjadi

“bahan utama” dalam perbaikan kebijakan tertentu di masa yang akan datang;

Ketiga, jurnal berperan dalam mensosialisasikan sebuah kebijakan baru kepada publik.

Terutama publik “khusus” yang memang memegang peran penting di dalam proses

pembuatan dan implementasi sebuah kebijakan, seperti pejabat pemerintah, akademisi

dan aktivis gerakan;

Topik yang dipilih dalam terbitan perdana ini adalah topik demokrasi lingkungan. Saya

pribadi merasa bahwa pemilihan topik ini sangat relevan dengan pentingnya

keberadaan jurnal seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya. Karena demokrasi

lingkungan yang sehat membutuhkan sebuah forum komunikasi yang konstruktif.

Jurnal akan memenuhi kebutuhan tersebut. Selain itu dengan adanya sebuah jurnal,

akan mereduksi kebiasaan “pakar” dan pengamat mengomentari sebuah isu secara

sambil lalu saja. Pakar ke depannya akan dituntut untuk secara sistematis

menyampaikan pendapatnya dengan obyektif, independen dan cara-cara yang

bertanggung jawab.

Topik peluncuran, Jurnal perdana (setelah "mati suri"), dan diskusi hari ini akan

menggunakan tema "demokrasi lingkungan" atau environmental democracy. Konsep

Demokrasi modern sendiri dalam perkembangan dan pertumbuhannya telah melalui

berbagai fase perkembangan dari mulai demokrasi perwakilan (representative democracy)

yang seringkali disebut "thin democracy"; participatory democracy (dimana partisipasi

masyarakat menjadi hal yg fundamentala/fundamental feature dalam praktek

pengambilan keputusan yang menyangkut kemaslahatan orang banyak)-

perkembangannya dimaksudkan untuk memperkuat "thin democracy" menjadi

demokrasi yg lebih kuat. Isunya adalah penguatan legitimasi dari sebuah pengambilan

keputusan publik. Justifikasi Participatory democracy adalah: (A) kualitas democracy

menjadi meningkat apabila citizenship diberdayakan ; (B) partisipasi rakyat yang

melampaui representative democracy ini akan mengurangi ketidak-adilan ekonomi

dan sosial; dan (C) partisipasi meningkatkan kapasitas sosial dan politik individu

warga negara.

Perkembangan model demokrasi berikutnya adalah deliberative democracy. Elemen yang

membedakan Demokrasi deliberatif dibandingkan dari tipe-tipe demokrasi lainnya

adalah adanya diskusi terbuka dimana setiap peserta diberlakukan sama (equal

Page 9: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

9

treatment), saling menghargai (mutual respect), dan memiliki peluang yang juga sama

(equal opportunity) dalam mempengaruhi kebijakan public. Deliberatibe democracy ini

sepertinya mensyaratkan adanya posisi tawar yang relatif seimbang dari semua pihak

untuk bisa terjadi social cooperation dan kemampuan saling mempengaruhi lewat

pertukaran argumen. Warga negara disini posisinya sebagai "deliberator". Mengacu

kepada 8 (delapan) tangga partisipasi Sherry Arnstein, deliberative democracy ini ada di

puncak tangga yaitu tangga "citizen power". Para pakar ilmu politik (terutama)

berpendapat, kondisi pemungkin deliberatif democracy (deliberative environmental

democracy) ini sepertinya sangat ideal/demanding terutama untuk kondisi masyarakat

yang sarat dengan ketidakadilan/kesenjangan politik dan ekonomi, rendahnya

peluang mendapatkan pendidikan, dan kemiskinan yang masih meluas.

Dari ketiga model ini tentu saja masing-masing memiliki kekuatan dan tantangannya

sendiri, sehingga banyak pakar melakukan pengintegrasian ketiga model tersebut

(direct/participatory dan deliberative dengan representative democracy menjadi "compatible n

complementary system").

Bicara tentang demokrasi lingkungan, banyak literatur mengaitkannya dengan ikhtiar

pengembangan dan penguatan Access Initiative (AI) atau 3 akses yaitu Akses informasi,

akses partisipasi dan akses terhadap keadilan. 3 akses ini merupakan penterjemahan

dari Principle 10 Deklarasi Rio (1992). Mengidentikkan ED/DL dengan 3 Akses ini

tentu saja tidak terlalu keliru karena definisi ED yang ditawarkan oleh WRI dalam

laporannya "Voice and Choice; Opening the Door to Environmental Democracy", adalah:...

"opening up decision making processes. affecting the environment by widening the range of

voices heard and improving the quantity and quality of policy choices available to society...."

Komunitas CSOs sebagai penggagas 3 Akses ini (termasuk ICEL) yakin bahwa 3 akses

ini akan memperkuat fondasi demokrasi dan tata kelola lingkungan hidup

(environmental governance).

Sejak 3 akses ini digulirkan bersama-sama oleh ICEL dan Kementerian LH dan mitra-

mitra lainnya, sejalan dengan perjuangan masyarakat sipil untuk melaksanakan secara

konsisten UU KIP ini, telah banyak kebijakan yg dilahirkan terutama di level kebijakan

teknis pada K/L dan sebagian Pemda. Namun masih banyak pula ditemukan

kendala/hambatan serta resistensi di lapangan dalam mengaktualisasikan KIP dan 3

akses ini. Penolakan hak atas informasi dan eksklusifitas deliberasi kebijakan publik

semakin sering kita temukan. Kondisi ini menunjukan pada kita bahwa perjuangan kita

Page 10: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

10

untuk meningkatkan kualitas demokrasi (demokrasi prosedural ke demokrasi

substantif dan pengakuan normatif ke pengakuan substantive) masih jauh dari

harapan. Apalagi kita berbicara mengenai participatory democracy dan deliberative

democracy. Ada masalah besar pada sisi supply (negara) dan demand (warga negara).

Negara sptnya belum siap dengan pelaksanaan KIP secara penuh sekalipun Indonesia

kini adalah salah satu dari global leaders dari Open Government Partnership. Negara dg

keberagaman kemampuan dan kapasitas dalam mempersepsikan dan

mengaktualisaikan KIP dan 3 akses (terutama di daerah) melahirkan terlalu banyak

rencana-rencana pembangunan yang mengabaikan daya dukung ekosistem n

memperdaya masyarakat. Kondisi ini juga melahirkan banyak. Izin-izin konsesi sumber

daya alam di pusat dan daerah yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat,

mengabaikan daya dukung dan kerentanan ekosistem, bahkan dengan sengaja izin-izin

konsesi SDA dijadikan komoditas untuk memperkaya diri sendiri, golongan dan

kelompok politik tertentu. Produk dari kondisi ini adalah yang kita saksikan saat ini

yaitu meluasnya kemiskinan, merebaknya konflik sosial, smakin sering dan meluasnya

bencana ekosistem, serta meluasnya/maraknya korupsi. Secara keseluruhan prakarsa

keterbukaan dan 3 akses menjadi tenggelam dan hampir tidak berdaya menghadapi

kondisi-kondisi tersebut. Apakah kita harus menyerah dan terus berkeluh kesah? Tentu

saja tidak. Saya menawarkan gagasan dan penguatan gagasan yang telah ada sbb:

(1) Pintu masuk perjuangan pengaktualisasian environmental democracy adalah UU

KIP dan UU 32/2009 sehingga semakin efektif tuntutan untuk melaksanakan kedua UU

itu secara konsisten akan semakin besar peluang perwujudan demokrasi lingkungan.

Tuntutan-tuntutan dan advokasi masyarakat sipil secara gigih yang diiringi dengan

kesiapan untuk menjadi mitra kerja negara menjadi sangat krusial. Peta jalan

perjuangan untuk mengaktualisasikan kedua UU ini merupakan sebuah keniscayaan (a

must) untuk jangka pendek (1-3 tahun kedepan) yang merupakan ikhtiar kolaboratif

antara negara dan masyarakat sipil;

(2) Environmental democracy dengan karakter ecologically sustainable development dan

penguatan tata kelola pemerintahan yang baik dg 3 aksesnya akan lebih mudah

terwujud apabila dikemas sebagai pengakuan konstitusional. "Democratizing democracy"

dan "greening the constitution" (konstitusionalisasi hukum lingkungan) dalam konstitusi

mendatang, saya meyakini akan mendorong pengaktualisasian environmental

democracy. Sejalan dengan penguatan MK kedepannya, maka semakin relevan kita

memodernisir konstitusi kita dengan memberi nuansa hijau dan memperkuat

Page 11: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

11

representative demokrasi menjadi ke arah "compatible dan complementary democratic

system" sebagaimana dijelaskan diatas;

(3) Perjuangan mewujudkan environmental democracy di Indonesia tidak terlepas dari

perjuangan dalam meneguhkan rule of law. Berbagai saluran hukum, constituional review

di MK, judicial review di MA, mempersoalkan putusan TUN di PTUN, penegakan

hukum pidana bagi kejahatan lingkungan dan pengabaian kewajiban pejabat negara

(delik omisi), serta gugatan perdata harus dijadikan opsi-opsi perjuangan mewujudkan

dan meneguhkan environmental democracy. Demokratisasi pembentukan kebijakan

hukum perlu terus diupayakan untuk menjamin dan memastikan environmental

democracy dan keberadaan praktek-praktek yang secara ekologis dan sosial dapat

dipertanggung jawabkan (ecologically sustainable development practices). Oleh sebab itu,

pegiat environmental democracy dalam negara, sektor swasta maupun masyarakat sipil

harus menjadikan rule of law sebagai target-target perjuangannya juga. Tidak zamnnya

lagi, perjuangan/advokasi dilakukan secara kompartementalisme.

(4) Membangun success story environmental democracy dan environmental governance

dengan menggandeng champions di dalam pemerintahan (pusat dan daerah) perlu

terus dilakukan. Saya ingin memberi catatan terhadap beberapa kegiatan pemerintah

dan pemerintah daerah dalam penataan perizinan di 3 provinsi (Kalteng, Kaltim,

Jambi) dan 11 kabupaten merupakan misi perbaikan tata kelola perzinan berbasis lahan

(tambang dan kebun). Ada 5 (lima) manfaat yang ingin dicapai dari penataan perizinan

ini: (a) reduksi emisi; (b) reduksi konflik sosial; (c) reduksi birokratisasi perizinan; (d)

induksi penerimaan negara pajak; (e) akses informasi atas perizinan. Gagasan ini

merupakan kolaborasi gagasan/curah pikir ala out of the box dari champions dalam

pemerintahan (Kuntoro Mangkusubroto) dan pemerintahan daerah (Gubernur Teras

Narang, Gubernur Awang Farouk, dan. Gubernur Hasan Basri Agus). Penataan

perizinan ini diharapkan akan direplikasi di 8 provinsi lainnya sebagai pilot provinsi

REDD+. Ruang partisipasi masyarakat terbuka luas dalam proses 2 ini. Dengan 5

manfaat diatas, environmental democracy dan praktek-praktek tata kelola yang baik

dalam pengelolaan sumber daya alam diharapkan akan semakin menguat dan

berkembang. Sekian dan terima kasih

Page 12: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

12

PEMAPARAN MATERI DISKUSI INTERAKTIF

“Demokrasi Lingkungan Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum”

Moderator

Margaretha Quina, S.H.

Pembicara

1. Dr. Al. Andang L. Binawan, Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara

2. Prof. Dr. Takdir Rahmadi, SH., LLM., Mahkamah Agung RI

3. Ir. Ilyas Asaad, M.P., Kementerian Lingkungan Hidup

4. Henri Subagiyo, S.H., M.H., Indonesian Center for Environmental Law

Pemaparan Materi

Dr. Al. Andang L. Binawan, Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara

Secara filsafat, apa konsekuensi dari penggunaan terminologi demokrasi lingkungan,

apakah itu terminologi yang tepat?

Kata adalah kemasan, mungkin sebagian orang menganggapnya tidak penting, tapi

penting juga. Contohnya penggalan kata Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, judul

yang benar adalah ”Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia” bukan “Jurnal Hukum,

Lingkungan Indonesia”, kalimat kedua akan membawa konsekuensi bahwa Jurnal ini

adalah jurnal hukum yang beredar di lingkungan/wilayah Indonesia saja.

Kata demokrasi yang menjadi titik pusat tetap demos atau manusia, dalam hal

demokrasi lingkungan adalah manusia yang berspektif lingkungan. Namun

penggunaan terminologi ini masih berarti bermain aman, kalau boleh dibilang yang

lebih radikal atau keras itu menggunakan ekokrasi.

Ekokrasi itu konsep yang bagaimana?

Page 13: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

13

Konsep dari demokrasi itu sendiri bertitik pada demos dan kratos, yaitu kekuasaan pada

rakyat atau masyarakat.Dalam memahami masyarakat, ada dua penafsiran, yang

pertama menyatakan bahwa masyarakat adalah suatu kesatuan, pendapat kedua

menyatakan bahwa masyarakat bukan suatu kesatuan. Margareth Tatcher pernah

menyatakan „what is society?‟ apakah itu yang dimaksud dengan masyarakat, ia

berpendapat tidak ada yg namanya masyarakat, kita hanya individu yang hidup

bersama tanpa kebersamaan.

Kita mengacu pada tafsir pertama, bahwa masyarakat adalah suatu kesatuan yang

hidup bersama-sama. Dalam kebersaaman itu apakah ada kesetaraan. Demokrasi ingin

ada kesetaraan, walaupun kenyataannya ada hierarki. Kembali ke ekokrasi, apakah

oikos juga merupakan suatu kesatuan, ini yg perlu dielaborasi lebih jauh mengenai

kaitan manusia dengan aspek lingkungan lain. Kebersamaan manusia dengan alam

penting dalam Ekokrasi. Bagaimana mendengarkan alam, bagaimana mendengarkan

air, pohon dan jangkrik. Dalam konteks demokrasi ada unsur partisipasi, hendaknya

juga dipikirkan bagaimana alam juga ikut berpartisipasi, disini peran manusia penting

dalam mendengarkan “suara” yang tidak terdengar dari alam. Ini kemampuan moral

bukan sekedar kemampuan teknis. Kita dibekali akal budi untuk mempelajari hukum

alam tapi jarang mengasahnya.

Kalau kita sunguh meyakini bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dan

kebersamaan, demikian juga alam sebagai rumah Tangga yang satu, dalam dunia

biologi dikenal dengan istilah ekosistem, hukum alam dipelajari tidak hanya berbicara

keseimbangan tapi supaya dapat bergerak lebih jauh.

Bagaimana konsekuensi filosofis perbedaan demokrasi dan ekokrasi? Bagaimana

pengaruh konsekuensi perbedaan ini terhadap “bukit-bukit” yang harus didaki jika

kita hendak bergerak dari demokrasi ke arah ekokrasi?

Demokrasi itu utopia, cita-cita yang tidak mungkin tercapai tapi ia penting untuk

dijadikan panduan, mendengar seluruh rakyat adalah hal yang mustahil, apalagi

mendengarkan alam secara sempurna juga tidak akan mungkin. Semua yang ada di

alam adalah tanda, dan tanda itu sangat bergantung pada siapa yang menafsirkan.

Keadilan ekologis adalah ketika semua yang ada di bumi ini diberi hak hidup, tapi

hidup saja sangat statik, hidup yang diberikan haruslah berkualitas. Sekarang yang

Page 14: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

14

diberikan hanya sekedar aspek statik, asal hidup, asal ada tapi belum diperhatikan

bahwa apakah makhluk hidup ini ada dengan kualitas kehidupan yang layak.

Contohnya lihat saja Jakarta, kondisi Jakarta adalah cerminan bagaimana masyarakat

memperlakukan alam, memperlakukan air dan udara, sungguh sangat rendah

kepeduliannya

Hukum yang ada tidak boleh hanya bersifat mengatur, tapi juga membangun

kesadaran manusia terhadap lingkungannya dan mengarahkan pada pola hidup yang

lebih baik.

Apakah sepakat bahwa manusia bisa mewakili alam?

Ya dan tidak. Ekokrasi pasti diwakili manusia, tidak mungkin jangkrik ikut berperan

masuk ke Senayan. Namun nasib makhluk alam yang tidak dapat masuk ke Senayan

itu tidak dinafikan begitu saja. Manusia ikut melihat kepentingan mereka berdasarkan

studi hukum alam, baik biologi, kimia, dll. Manusia harus dapat mengakomodasi

kepentingan alam dalam kebijakan yang dibuatnya dengan perspektif yang jelas

bahwa seluruh bumi adalah seluruh oikos, rumah tangga, sebuah ekosistem yang

berkembang bersama.

Sudah sesiap apa kita mengadopsi konsep demokrasi lingkungan atau ekokrasi?

Mulai dari hal yang telah ada, Kita memiliki Kementerian Lingkungan Hidup, juga

NGO seperti ICEL,ditambah ada buku-buku literature tentang hukum lingkungan. Itu

adalah saluran bagaimana kita bisa menyumbang dan memberikan perspektif bahwa

lingkungan bukan hanya dijaga tapi dipelihara sebaik mungkin. Sekarang di DPR ada

namanya Kaukus Hijau/Lingkungan. Saya mendengar MA juga ada sertifikasi hakim

lingkungan. Salah satu tugas ICEL adalah untuk mendorong hal ini. Setidaknya

partisipasi dari seluruh alam ini diakomodasi dalam banyak forum. Saya tidak terlalu

pesimis, masih ada harapan. Buktinya saya masih mau menulis dan diskusi ini bagian

dari optimismenya kita. Pekerjaan Rumah kita bersama untuk bisa menyediakan sarana

akomodasi partisipasi “alam”, masalah apakah partisipasinya bisa penuh atau tidak itu

adalah target lain.

Page 15: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

15

Prof. Dr. Takdir Rahmadi, SH., LLM., Mahkamah Agung RI

Bagaimana struktur dan substansi hukum yang ada sekarang jika dibandingkan

dengan paparan demokrasi lingkungan dan ekokrasi tadi?

Antara demokrasi dengan rule of law saling melengkapi. Dalam demokrasi suara

mayoritas menentukan, tapi rule of law menyeimbangkan. Jangan sampai kehendak

mayoritas melanggar hak asasi.

Sebelum kenal lingkungan hidup (1972), human rights melekat pada rule of law, setelah

sadar lingkungan tidak hanya hak manusia tapi hak lingkungan juga diperhatikan, kita

juga mengenal animal right yang tidak bisa berbicara namun memiliki rasa sakit jika

disiksa. Akhirnya diusulkan legal right for the natural object. Mungkin ide memberi hak

pada benda alam ini dianggap aneh, bagaimana yang tidak dianggap sebagai subjek

hukum diberikan hak. Dulu di Eropa, kaum perempuan yang bisa bicara pun tidak ada

hak. Kalau menikah ia kehilangan haknya. Pemilu pun tidak ada hak wanita. Ketika

orang menyuarakan hak perempuan, kaum laki-laki merasa aneh, demikian juga

dengan perjuangan penghapusan diskriminasi kulit hitam. Mungkin ide saya tentang

perlindungan hak makhluk-makhluk yang tidak bisa berbicara juga akan dianggap

aneh.

Dalam demokrasi ada partisipasi, partisipasi ini dilindungi hukum.

Selama beberapa tahun terakhir Mahkamah Agung giat melakukan reformasi seperti

keterbukaan informasi di pengadilan, pengakuan right for natural object dan

sertifikasi hukum lingkungan, itu semua dilakukan juga dalam sudut pandang

mendorong tata kelola lingkungan hidup yang baik, apakah hal ini dapat menjadi

indikator untuk mengatakan bahwa Indonesia sedang menuju demokrasi lingkungan?

Reformasi dalam bidang peradilan terkait upaya perlindungan lingkungan didukung

oleh UNEP. Dalam The World Congress on Justice, Governance and Law for Environmental

Sustainability ditegaskan pentingnya mengintegrasikan rule of law dalam perlindungan

Page 16: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

16

dan pengelolaan lingkungan. Rule of law bukan hanya konsep tapi suatu perangkat

yang bisa menghantarkan norma-norma dalam masyarakat ini dalam perilaku.

Environmental rule of law, negara hukum yang berwawasan lingkungan menuntut

peran legislatif untuk membuat undang-undang yang real, objektif, implementable serta

peranan dari pengadilan yang imparsial dan berintegritas.

Guna menjaga integritas dan imparsialitas, Mahkamah Agung sudah membangun

sistem pengawasan. Ada pengawasan Internal yang dilakukan oleh Bawas dan

Eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Selain itu, dibutuhkan juga hakim yang

mempunyai kemampuan menginterpretasikan undang-undang yang terkadang tidak

jelas. Dalam environmental rule of law, hakim dalam menafsirkan undang-undang yang

ambigu harus menggunakan asas in dubio pro natura.

Sebagai contoh penerapan asas in dubio pro natura ada dalam kasus SUTET. Manfaat

SUTET dirasakan seluruh bangsa, tapi dampak negatifnya hanya dirasakan segelintir

orang yang tinggal di bawah SUTET, hukum juga harus memberi keadilan pada orang

yang segelintir ini. Meskipun masih ada perdebatan di kalangan ahli apakah radiasi

SUTET berbahaya bagi orang atau makhluk hidup sekitarnya, dalam hal terjadi

keraguan seperti ini, alasan ekonomi tidak boleh dijadikan alasan untuk tidak

memberikan perlindungan (in dubio pro natura). Walaupun tidak pasti, tapi

dampaknya radiasinya irreversible, tetap harus ada perlindungan. Ada dana dari

Pelaksana kegiatan untuk menghindari dampak negative.

Asas lain yang harus diperhatikan adalah asas Precautionary Principle atau asas kehati-

hatian, dalam situasi tidak pasti, maka upaya perlindungan tetap harus diutamakan.

Penerapan asas ini yang terkenal di Indonesia adalah kasus Mandalawangi. Walaupun

hukum positif belum mengakui asas kehati-hatian saat itu, tapi hakim sudah secara

progressif menerapkan asas ini dengan alasan ada yang disebut dengan ius cogen,yaitu

norma yang diakui bangsa beradab.

Apakah wawasan lingkungan, in dubio pro natura misalnya, sudah diterima, dipahami

dan diterapkan oleh hakim-hakim?

Hakim independen dalam menginterpretasikan hukum , tapi diharapkan intrepretasi

ini berwawasan lingkungan. Guna menjawab pertanyaan ini butuh penelitian, mungkin

ICEL bisa bantu riset untuk menjawab pertanyaan ini. Memang ada beberapa putusan

Page 17: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

17

yang sudah bagus ada juga yang masih perlu dikoreksi di tingkat kasasi. Mahkamah

Agung sudah merencanakan melakukan monitoring-evaluasi terhadap hakim-hakim

yang telah disertifikasi ini. Program sertifikasi lingkungan ini baru berhasil kalau

banyak perkara yang masuk, hakim itu in the end of process jadi dia hanya bisa

mempraktekan ilmu hukum lingkungannya jika ada yang membawa perkara ke

pengadilan. Sekarang LSM sudah kurang menggugat, sekarang LSM lebih

mengedepankan cooperative engagement sebagai konsultan di pemerintahan.

Ir. Ilyas Asaad, M.P., Kementerian Lingkungan Hidup

Menambahkan soal sertifikasi hakim lingkungan, dulu saya menjabat sebagai Deputi

Penaatan Lingkungan bersama ICEL mendesak peningkatan penegakan hukum

terhadap kasus lingkungan. Namun ketua Mahkamah Agung saat itu mengatakan

bahwa yang harus diperbaiki terlebih dahulu adalah undang-undangnya, maka kita

perbaikilah undang-undang lingkungan hidup. Setelah berganti ketua, Mahkamah

Agung menerima proposal hakim lingkungan, awalnya yang kita sasar adalah adanya

pengadilan lingkungan, tapi hal ini tidak dimungkinkan karena membuat lingkup

peradilan baru di luar yang sudah ditetapkan undang-undang kehakiman akan

membutuhkan tenaga dan waktu yang lama, akhirnya pilihan yang memungkinkan

adalah sertifikasi hakim lingkungan. Namun adanya hakim lingkungan memang perlu

didukung dengan jumlah perkara yang masuk, lini ini yang perlu kita perkuat juga

bersama.

Adakah roadmap di Kementerian Lingkungan Hidup untuk mencapai demokrasi

lingkungan? Kalau tidak ada bagaimana hubungan demokrasi, lingkungan dan rule of

law dalam perencanaan di KLH?

Sebelum masuk ke jawaban. Saya ingin bercerita sedikit mengenai pengalaman saya.

Dulu pernah ada rekan-rekan NGO ke kantor saya membawa foto dan peta kerusakan,

mereka berkata bahwa data ini akan diserahkan secara resmi menunggu momen yang

tepat. Beberapa waktu kemudian ada demonstrasi, memakai atribut dan memanjat

pagar, mereka meminta bertemu dengan saya, setelah saya temui ternyata mereka

Page 18: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

18

adalah rekan-rekan yang sebelumnya menemui saya memperlihatkan data kerusakan

lingkungan. Pelajaran yang dapat diambil dari sini adalah bagaimana cara kita

berkomunikasi. Bahan baik tapi cara penyampaiannya tidak tepat akan mempengaruhi

proses advokasi. Oleh karena itu komunikasi ini hal pertama yang harus diperbaiki.

Demokrasi dan Ekokrasi, demokrasi itu orientasinya manusia sedangkan ekokrasi

alam, alam mempengaruhi sekitarnya. Jika kita melihat Undang-undang Dasar 1945

meskipun ada pasal 28 H ayat (1) dan pasal 33 arahnya memang pada demokrasi belum

ekokrasi. Negara yang memang sudah menganut ekokrasi dalam konstitusinya adalah

Equador, kita belum sampai kesitu tapi nuansanya sudah kuat. Segala pembangunan di

republik ini tidak boleh bertentangan dengan lingkungan. Sebenarnya jika kita

menggunakan sudut pandang manusia oriented, manusia bagian dari alam, kelakuan

manusia yang merusak bumi akibatnya juga akan dirasakan manusia.

Kementerian Lingkungan Hidup sudah punya cukup kajian mengenai struktur hukum

yang berorientasi perlindungan lingkungan, baik di pusat maupun daerah. Namun

harus siap-siap terhadap pergantian kebijakan. Dalam hal substansi hukum, kita

berbicara tentang peraturan perundang-undangan yang dimiliki. Undnag-Undang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara substansi sudah cukup

bagus, di dalamnya juga sudah mengakomodasi peran serta masyarakat. Permasalahan

ada di budayanya. Budaya hukum kembali kepada masyarakatnya. Kita lihat di

demokrasi, demokrasi kan pada dasarnya transparansi, akuntabilitas, dan peran serta

masyarakat.

Pemerintah perlu melaksanakan secara transparan semua kebijakannya. Apakah

informasi pemanfaatan sumber daya alam sudah terbuka lebar? Dalam strategi

lingkungan hidup ada pelaksanaan inventarisasi sumber daya alam dan lingkungan

hidup. Isinya adalah berapa banyak potensi alam kita, berapa banyak yang bisa

dimanfaatkan, dan berapa banyak yang bisa dikembangkan. Kalau inventarisasi ini

ada, maka hasil inventarisasi itu dibuat kajiannya yang disebut dengan KLHS. KLHS

ini menjadi dasar ditetapkan daerah mana yang tidak bisa lagi dimanfaatkan dan

daerah mana yang masih bisa dimanfaatkan, setelah itu baru muncul amdal, kemudian

diteruskan sampai ke izin lingkungan. Di setiap tahapan yang direncanakan semuanya

melibatkan manusia.

Hal pertama pemerintah dalam hal kementerian lingkungan hidup berusaha

menyediakan informasi yang cukup untuk masyarakat yang nanti juga akan diunggah

Page 19: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

19

di website. Hal kedua, Setelah ada informasi, dibuat aturan agar masyarakat bisa

mengakses informasi tersebut dengan mekanisme yang mudah dan sesuai kondisi

masyarakat, bagaimana masyarakat bisa terlibat (peran serta). Perlu diberikan

penguatan kepada masyarakat untuk mengakses informasi ini dan menggunakan

informasi untuk keperluan mereka. Hal Ketiga, bagaimana bentuk keadilan yang

dibangun, bagaimana seluruh masyarakat bisa memanfaatkan SDA itu.

Kalau pertanyaannya apa yang disiapkan oleh pemerintah? Jawabannya, toolsnya

sudah disiapkan. Kementerian Lingkungan Hidup sejak beberapa tahun lalu sudah

mengembangkan pengaduan lingkungan. Gagasannya, bagaimana masyarakat secara

mudah dapat mengirimkan pengaduan melalui sms dan kami follow up, tanpa perlu

surat resmi. Kami mengembangkan bagaimana mekanisme ini terbuka di seluruh

Indonesia, sehingga kalau ada pengaduan sms dari Papua, masyarakat di Aceh bisa

mengetahui bahwa ada kondisi tersebut di Papua. Kebijakan Pro lingkungan yang

dibuat pemerintah perlu dipertajam dan diperbaiki terus dengan disertai kesempatan

masyarakat untuk member masukan.

Selain pemerintah, diperlukan juga partisipasi dari masyarakat dan pihak swasta.

Masyarakat diharapkan dapat mengembangkan program-program pro lingkungan.

Perusahaan juga jangan hanya mencari untung semata tapi juga mempertimbangkan

aspek-aspek lain seperti aspek kelestarian lingkungan.

Dulu ada program kaukus lingkungan dan parlemen hijau yang membantu rekan-

rekan parlemen untuk menghayati demokrasi lingkungan ini dan mengejawantahkan

dalam produk legislasi yang pro lingkungan?

Di kantor kami, DPR dan DPRD seringkali datang. Ada yang membawa draft untuk

dibahas dan ada yang datang hanya untuk perjalanan dinas. Kaukus ini meski sudah

lama digagas, hasilnya tidak terlalu baik, memang sifat kaukus ini masih voluntary.

Kaukus bukan alat kelengkapan sehingga tidak bisa ada anggarannya. Jadi kalau

mereka hendak membuat Perda, mereka mencari dana sendiri untuk kaukus ini. Perlu

dipertimbangkan lagi untuk strategi di 2014. Hal yang paling penting adalah sudah

mulai ada minat yang muncul dari parlemen untuk membuat produk legislasi yang pro

lingkungan. Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup juga ada kekurangan yaitu

terlalu lambat merespon harapan yang besar dari teman-teman daerah tersebut.

Page 20: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

20

Sekarang bagaimana kita memfasilitasi agar konten peraturannya baik, tidak masalah

jika pemerintah harus membayar ahli agar kontennya baik. Kami ingin mengajak ICEL

untuk siapkan ahli-ahli untuk menjawab kebutuhan kaukus itu.

Kualitas UU 32 Tahun 2009 cukup banyak melibatkan parlemen, tidak ditunggangi

sama sekali. Salah satu di antaranya kaukus di Sulawesi Selatan akan paripurna-kan

Perda. Memang belum semua daerah ada kaukusnya, tapi ada kesempatan kita

semuanya me-mainstraiming-kan isu lingkungan hidup, menggaungkan Pemilih

untukk memilih yang wakil rakyat serta pemimpin yang mempunyai wawasan tentang

lingkungan hidup.

Pendidikan sangat penting untuk memberikan pemahaman mengenai wawasan

lingkungan ini, pendekatannya sangat beragam, antaranya pendidikan sejak dini

kepada masyarakat,seperti tahun lalu saya mengembangkann Saka Kalpataru di

Pramuka. Penggunaan hukum sebagai sarana social engineering juga dapat menjadi

saluran memberikan wawasan lingkungan bagi masyarakat.

Henri Subagiyo, S.H., M.H., Indonesian Center for Environmental Law

Bagaimana partisipasi masyarakat sipil saat ini? Serta bagaimana tanggapan bapak

atas pernyataan bahwa demand side dalam mendorong penegakan hukum lingkungan?

Berbicara mengenai partisipasi dalam demokrasi lingkungan adalah berbicara juga

mengenai bagaimana masyarakat sipil dapat mempengaruhi kebijakan yang diambil

Pemerintah sehingga lebih berwawasan lingkungan. Entah disadari atau tidak, saat ini

ruang masyarakat sipil untuk mempengaruhi kebijakan sudah jauh lebih luas daripada

sebelumnya. Kondisi dimana CSO bisa masuk sebagai konsultan di pemerintahan dan

bisa mengasistensi langsung pembuatan kebijakan serta implementasinya adalah salah

satu cara partisipasi dalam demokrasi lingkungan. Dulu hal ini sulit dilakukan karena

porsi masyarakat sipil hanya bisa menggugat dan kemudian kalah. Bagi masyarakat

sipil kalau gugatan kalah dianggap pengadilan ada yang salah, padahal belum tentu.

Sehingga ada CSO juga menggunakan pendekatan lain seperti masuk ke dalam institusi

untuk mempengaruhi kebijakan.

Page 21: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

21

Gugatan masyarakat masih ada, contohnya gerakan Samarinda menggugat dan Riau

yang salah satu pihaknya adalah Kementerian Lingkungan Hidup juga, gugatan ini

menggunakan mekanisme CLS.

Dari sudut pandang masyarakat sipil, apa makna demokrasi lingkungan? Sesiap

apakah kita menjalankan demokrasi lingkungan?

Kalau berbicara makna filosofis itu Romo Andang saja yang menafsirkan. Satu hal yang

penting dalam demokrasi lingkungan adalah bagaimana semua pihak bisa

mempengaruhi kebijakan. Ekokrasi diwakilkan kepada manusia, tapi siapa yang

berhak mengklaim? Sangat kuat di ahli tapi minim di partisipasi. Kapasitas menjadi

suatu yang sangat menentukan, kapasitas masyarakat sipil mewakili lingkungan perlu

ditingkatkan. Contohnya undang-undang sudah menyediakan sarana gugatan

organisasi lingkungan, sekarang yang perlu diperhatikan adalah bagaimana CSO bisa

punya kapasitas bagus menggunakan sarana ini

Apakah Pemerintah sudah cukup memberi ruang untuk partisipasi masyarakat sipil?

Ada tapi tidak ajeg, tiap lembaga pemerintah punya kultur sendiri, ada yang terbuka

ada yang tidak, contohnya ICEL akan lebih mudah berbicara kepada Pak Ilyaas atau

KLH disbanding kementerian ESDM atau Kementerian Kehutanan. Pemerintah sudah

menuju kearah mendukung partisipasi masyarakat tapi tidak sistematis, tidak ada

mekanisme yang jelas untuk partispasi, bahkan general administrative law saja kita belum

punya sebagai panduan semua institusi. Budaya dan sistem partisipasi di institusi

pemerintah masih dipengaruhi banyak faktor, contohnya faktor individu yang

menduduki jabatan di institusi.

Permasalahan utamanya ada dimana? Dan apa yang dapat dilakukan dalam

memperbaiki permasalahan ini?

Sistem dan mekanisme. Menurut saya permasalahan ada pada bagaimana

mengembangkan sistem dan mekanisme yang komprehensif. Ditata dulu “tangga-

tangga” apa saja yang harus ada untuk mencapai demokrasi lingkungan, seperti ada

Page 22: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

22

hakim lingkungan, aturan yang sistematis untuk partisipasi serta jaminan keadilan

ketika partisipasi tidak dapat dilakukan. Partisipasi tidak boleh bergantung pada siapa

pejabatnya, tapi harus dibuat sistem yang jelas, sehingga siapapun pejabatnya sistem

partisipasi ini tetap dijalankan dengan ajeg.

Sekarang sudah ada sertifikasi hakim lingkungan, tapi apakah masyarakat korban

sudah bisa meniti “tangga” penyelesaian sengketa lingkungan di pengadilan dengan

hakim lingkungan itu? Kualitas partisipasi juga masih tergantung masyarakat mana yg

berpartisipasi, apakah itu CSO atau orang awam, biasnya CSO lebih berpengalaman

dan punya keterampilan dalam berpartisipasi. Ini yang harus dikembangkan

kapasitasnya. Perlu dibenahi kesadaran dan kapasitasnya. Masyarakat sipil sadar

berpartisipasi itu penting, persoalannya soal pendidikan, bagaimana dia bisa

menerjemahkan bahwa dia mewakili kepentingan lingkungan dalam tindakan

advokasi, dan bagaimana mereka bisa meniti tangga-tangga itu tadi. Proses

pendampingan masyarakat dalam hal ini penting dilakukan oleh NGO.

Bagi masyarakat sipil sendiri perbaikan apa yang perlu dilakukan?

Perbaikan dalam hal kesadaran dan kapasitas. Masyarakat sadar partisipasi itu penting,

tapi kemudian masalahnya adalah sebaik apa kapasitas masyarakat dalam menjalankan

partisipasi tersebut, bagaimana dia bisa mendaki “tangga” yang telah disediakan untuk

berpartisipasi, bagaimana dia memahami bahwa dia juga mewakili lingkungan. Oleh

karena itu pendampingan masyarakat itu penting

Page 23: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

23

SESI TANYA JAWAB DAN TANGGAPAN

TERMIN I

Penanya dan Penanggap dari Peserta

Ibu Ning

Hukum dan Lingkungan sama nasibnya, tidak dilihat orang. Sekarang banyak

professor yang berbicara tata kelola lingkungan dengan berbelit-belit, njelimet dan

rumit. Namun sebenarnya kita punya banyak kearifan local yang sudah berbicara

mengenai hal itu, cobalah belajar pada masyarakat adat. Contohnya Orang baduy tahu

masa tanam dari serangga, orang wamena masih punya hukum lingkungan yang

dijungjung tinggi, mereka tidak boleh mencemari sungai wambrono jika ada anggota

suku yang mencemari maka akan diberi hukuman berat hingga hukuman potong leher.

Kebijakan lingkungan oleh professor tinggi tidak menyimak lagi kearifan lokal ini,

sehingga jadinya kebijakan yang tidak bijak, contohnya izin sawit dan tambang yang

dikeluarkan tidak memperhatikan kapasitas lingkungan. Bukannya mau mundur

hukum kita harus seperti zaman dulu, tapi kearifan local ini bisa jadi leeson learnt,

bukannya tidak boleh memanfaatkan lingkungan dan SDA, tapi semua pemanfaatan

itu bisa diatur sehingga tidak kebablasan.

Bapak Prabowo

Saya setuju dengan Romo Andang, selama ini lawyers pakai kacamata kuda, tidak

berpikir ada sciencetific evidence yang akan membantu legal evidence. Bergerak di bidang

lingkungan tidak dibekali imu lingkungan akan susah. Demokrasi dan ekokrasi

berbicara mengenai dua hal yang berbeda. Demokrasi berbicara homo ethic –harmoni-,

sedangkan ekokrasi berbicara ecological consept, kita bagian dari nature itu. Demokrasi

bersifat transedent-antroposentris, sedangkan ekokrasi bersifat imadent- eksentrism.

Ecological concept berbicara homeostatic, earth balance sedangkan konsep harmoni itu

berbicara kondisi sosial ekonomi budaya. Sebenarnya yang harus dipikirkan adalah

bagaimana menggabungkan harmony dan earth balance ini. Oleh karena itu politik

Page 24: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

24

lingkungan kita harus jelas, jadi kita tidak boleh hanya berbicara mengenai politik

hukum tapi politik lingkungannya tidak pernah jelas arahnya. Politik lingkungan ini

yang mendasari bagaimana akhirnya kita bisa menggarap norma hukumnya. Apapun

sistem penegakan hukumnya, kalau politik hukumnya tidak jelas, akan susah. Dalam

jurnal hukum lingkungan politik hukum ini harusdibahas.

Berbicara Jakarta, harus kita ingat Indonesia bukan hanya Jakarta, bahkan Jakarta itu

bisa hidup dari daerah. Namun kesejahteraan di daerah jarang dipedulikan,

penyebaran lapangan kerja tidak merata dan hak-hak pengelolaan tidak langsung jatuh

pada petani atau masyarakat, kebanyakn diberikan pada pengusaha besar.

Bapak Kris

Seberapa jauh hukum lingkungan bisa mengawal demokrasi lingkungan dalam

mendukung pembangunan berkelanjutan. Sementara dalam instansi pemerintah dan

masyarakat sendiri tidak jarang berbeda konsep tentang apa itu lingkungan, bagian

mana yang harus dilindungi juga tidak jarang berbeda.

Tanggapan Nara Sumber

Andang Binawan:

Menanggapi pertanyaan Bapak Kris, saya mulai dari suatu hal yang abstrak. Konsep

hukum itu apa sebenarnya? Hukum berasal dari bahasa arab, haqamah artinya

kebijaksanaan-hikmat; hukum, hakim dan kebijaksanaan ini satu akar. Pertanyaan yang

lebih jauh lagi nanti, hikmat macam apa yang kita kehendaki? Kalau dari tanggapan Bu

Ning tadi kearifan lokal masyarakat adalah bagian dari hikmat itu.

Kita sekarang sangat terjebak tidak hanya pada antroposentrisme tapi juga

economisme. Padahal ekonomi bagian dari ekologi, ekonomi harusnya berbicara

bagaimana bumi dikelola agar lebih hidup. Pembangunan berkelanjutan saat ini masih

banyak menuai kritik, dalam Pembangunan Berkelanjutan lebih kental nuansa

ekonominya, developmentnya seolah lebih penting dibanding sustainability.

Page 25: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

25

Dalam politik pun kita bisa kaitkan dengan ekokrasi. Politik bagian dimana kita

berbicara tentang polis yang artinya kota, kota juga terkait masyarakat dan

lingkungannya. Politik itu dunia kompromis, dunia tarik menarik. Kita menarik

sekuat mungkin ke arah ideal, walaupun de facto komprominya berbeda. Hukum

harusnya bersifat kondisi minimal yang harus dipenuhi, bukan maksimal, sehingga

wawasan kita dapat dikembangkan ke kondisi se-ideal mungkin. Permasalahan nanti

dalam praktek hukum ada kompromi dan tidak sesuai kondisi idel itu masalah lain.

Takdir Rahmadi:

Kearifan lokal memang perlu jadi rujukan, tapi masalahnya orang yang memanfaatkan

SDA secara massal itu tidak tunduk pada nilai-nilai tradisional, itulah tantangan

terbesar bagaimana kita mengerem materialistis ekonomi. Kita maju tapi lingkungan

tidak rusak.di instrument lingkungan internasional indigenous people dan nilai-nilai

mereka juga diakui.

Secara substansi, politik hukum lingkungan di dalam perumusan norma sudah banyak

kemajuan di Indonesia, hukum sudah banyak mengakomodasi pro lingkungan,

partisipasi, access to justice, hak gugat NGO, hak gugat perwakilan.. Kita sudah punya

modal dasar. Segi norma sudah bagus, sekarang masalah penegakan. Bagaimana KLH

sebagai Pengawas juga harus kuat dan Pengadilan juga sudah diperkuat dengan

adanya hakim lingkungan. Penting tumbuh LSM dan masyarakat untuk menguji

penegakan hukum. Hukum lingkungan sudah menyediakan sarana untuk mengawal

demokrasi berwawasan lingkungan.

(interupsi dari Penanya – Bpk. Prabowo) Menggabungkan politik hukum dengan politik

lingkungan? Bagaimana ini bisa bagus benar tanpa ada yang tidak jelas. Saya berbicara

tentangg politik lingkungan, berarti kita harus tahu bagaimana lingkungan kita, yang

kedua akan diapakan lingkungan ini? Ketiga, bagaimana mendistribusikan hak-hak

(lanjutan tanggapan) Isi dari UU sebenarnya public policy,politik lingkungan itu sendiri.

Jadi sebenarnya UU 32 tahun 2009 ini sudah mengakomodasi juga politik lingkungan

kitatermasuk di dalamnya pembangunan berkelanjutan. Law in the book sudah bagus

tapi law in actionnya yang harus diperbaiki. Sudah mulai sekarang juga ada yang

namanya green budget dan green legislation .

Page 26: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

26

Ir. Illyas Asaad:

Masyarakat hukum adat memang penting keberadaannya. Banyak kearifan mereka

yang sudah dikaji, tapi permasalahannya bagaimana menangkap itu sebagai sebuah

kebijakan. Kementerian Lingkungan Hidup saat ini bekerjasama dengan masyarakat

hukum adat untuk implementasi Protokol Nagoya. bagaimana mengatur accessnya

kalau tidak tahu siapa yang punya, bagaimana mengatur Benefitnya ke siapa. Ini terkait

dengan masyarakat adat. Sehingga sekarang sedang dikaji beberapa poin penting

mengenai Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat adat , yaitu:

1. Siapa Masyarakat adat

2. Apa yang dimilikinya

3. Hak-haknya apa

Politik lingkungan sudah dimasukan dalam undang-undang, masalah berikutnya

adalah bagaimana menerjemahkan undang-undang ke peraturan implementatif dan

mengawalnya. Undang-undangnya sudah kuat, jangan sampai dilemahkan di

Peraturan Pelaksananya. Permasalahan perlindungan dan pengelolaan SDA dan

lingkungan tidak hanya bicara di KLH saja. Oleh karena itu pemerintah dan MA butuh

masyarakat sipil untuk menagih implementasi itu.

Menanggapi bapak Kris, yang kita lakukan adalah bagaimana usaha mainstreaming

isu. Dalam setiap kementerian ada bahasan mengenai lingkungan. Ini ada keinginan

pemerintah untuk mengawal lingkungan. Ajak kawan-kawan yang di luar juga untuk

berpartisipasi, jangan yang semahzab saja. Kawan-kawan di luar selalu memberikan

masukan, masukan ini menyemangati kami. Pertemuan seperti ini sangat berharga bagi

kami. Capaian sudah banyak tapi harapan lebih banyak lagi

(Tanggapan Bu Ning) Harusnya ada menko ekologi, sekarang adanya menko ekonomi,

tidak ada lawannya jadi menang terus

Henri Subagiyo:

Menanggapi Pak Bowo dan Pak Kris, mengenai lingkungan itu yang mana, kemudian

diarahkan kemana belum jelas, sebenarnya sudah ada amanatnya di undang-undang

Page 27: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

27

tapi implementasinya belum maksimal. Contohnya di kehutanan tentang penetapan

kawasan hutan. Inventarisasi lingkungan kita belum punya, wilayah ekoregion belum

ada, RPPLH belum ada, KLHS juga belum ada, tapi izin terus keluar. Padahal masalah

inventarisasi yang depan ini harus selesai dulu baru bisa pengelolaan terintegrasi. Jika

ini belum selesai harusnya kita moratorium izin dulu. Memang ada banyak factor yang

mempengaruhi, ada faktor Pemda dan wewenang yang berserakan. Itulah kita sering

mengingatkan KLH, sebagaimana yang dibilang Pak Ilyas, jangan sampai aturan

pelaksananya melemahkan UU. Saya mengkhawatirkan lebih dari itu, saya khawatir

UU 32 tahun 2009 ini dirumahkacakan, hanya jadi pajangan tapi mandul implementasi.

Page 28: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

28

SESI TANYA JAWAB DAN TANGGAPAN

TERMIN II

Penanya dan Penanggap dari Peserta

Ibu Vivien Rossa (KLH):

Ketika saya bekerja di Pemerintahan pada era 90-an, banyak keputusan politik yang

diambil tidak sesuai dengan hati nurani, karena saya dulu juga dari masyarakat sipil

kemudian masuk eksekutif sehingga pemikiran-pemikiran selama berkecimpung di

dunia masyarakat sipil cukup mempengaruhi saya. Setelah demokrasi situasi itu

membaik, konsep good governance mulai dijalankan, khususnya di instansi saya. Namun

ketika saya ke daerah, jauh berbeda dari harapan ideal yang kita bicarakan sekarang.

Banjir, longsor terjadi bukan hanya karena industri tapi juga karena kebijakan atau izin

yang dikeluarkan.

Ketika saya bicara dengan pemerintahan daerah khususnya Badan Lingkungan Hidup

selalu menekankan kita hidup untuk menjaga lingkungan hidup, mendengar itu

mereka tepuk tangan. Namun ketika bicara tentang pengawasan industri, izin, sebagai

aparat tidak boleh disuap, mereka malah mencibir. Jauh sekali apa yang kita bicarakan

sekarang dengan kondisi di lapangan. Pusat dan daerah jauh sekali berbeda. Anggota

DPRD misalnya yang datang untuk asistensi Perda bahkan tidak membawa catatan

ketika konsultasi.

Kedua, untuk aparat penegak hukum untuk orang-orang tertentu memang

menyenangkan mudah diajak bicara, tapi ketika urus perkara, susah sekali. Pidana P-

19 terus, setelah di pengadilan juga hakim tidak pro lingkungan.

Sebenarnya situasi yang mendukung ekokrasi lingkungan minimal demokrasi

lingkungan, khususnya di aparat pemerintah dan aparat penegak hukum itu seperti

apa?

Sisilia Nurmala Dewi (HuMA)

Page 29: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

29

Di beberapa tempat ada masyarakat yang marginal yang lingkungannya rusak

sehingga kualitas hidup mereka juga terdegradasi ke tahap yang sangat buruk.

Masyarakat ini kadang berkonflik dengan binatang. Ada kasus dimana ada masyarakat

yang kelaparan menemukan harimau dan orang utan kemudian dimakan, kemudian

mereka dikriminalisasi, bagaimana menyikapi hal ini? Bagaimana ekokrasi menjawab

permasalahan yang “antroposentris” ini?

Bapak Paulus

Demokrasi kita sudah masuk dalam pragmatism, bagaimana keluar dari pragmatism

ini?

Kultur birokrasi tidak mau jalan kalau tidak ada Permen, tapi Permennya dibuat

bertentangan dengan undang-undang atau dibuat agar enak dilaksanakan oleh mereka

saja. Reformasi birokrasi menjadi kunci

Politik hukum letaknya dimana? Dalam undang-undang harus dilihat sinkron tidak

tidak dari pasal awal sampai akhir. Usulan mengenai kaukus lingkungan menarik

dicermati, apakah caleg-caleg pro lingkugan atau tidak, anatominya di parlemen itu

banyak pengusaha. Jika 2014 ini masih dengan anatomi ini saya pesimis.

Bapak Steni (HuMA)

Pertama, pembicaraan isu lingkungan perlu didukung dengan pembicaraan

pendidikan hukum dalam konteks membangun bangsa. Lihat fakultas hukum kita

sekarang ini, yang diperdebatkan sekarang bukan politik hukum tapi titik koma, jadi

esensi nya tidak keluar. Pendidikan harus kembali mengedepankan essence of justice.

Kita punya modal, kearifan suku dan etnis local yang dapat menyediakan pemikiran

keadilan sendiri, marilah kita gali ini.

Kedua, Mekanisme dan sistem tidak melulu compatible dengan perilaku di lapangan,

orang hukum harus tahu tentang sosiologi dan kebudayaan masyarakat, harus dikaji

apa yang mempengaruhi perilaku

Page 30: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

30

Kemudian sejauh mana pembicaraan mengenai hak dalam ekokrasi, apakah manusia

dan binatang sama haknya? Kalau sama maka apakah kalau saya ingin menyembelih

kambing saya harus izin apa bagaimana?

Bapak Mas Achmad Santosa

Menyambung pertanyaan dan kekhawatiran Steni mengenai kedudukan manusia

dengan binatang atau alam tadi, kita harus mendudukkan kembali apakah ecocentrims

yang mengakui the nature right sama dengan ekokrasi yang kita bahas tadi?

Tanggapan Narasumber

Ilyas Asaad:

Ekokrasi dan demokrasi lingkungan butuh diskusi mendalam sendiri.

Kita lihat UU 32 tahun 2009, identifikasi hal –hal apa yang harus diperkuat di

dalamnya. Peraturan Pemerintah UU 32 tahun 2009 ini baru satu yang dikeluarkan,

karena dbawahnya banyak tarik-menarik kepentingan. Isi Peraturan Pemerintah tentu

tidak boleh dikurangi atau bertentangan dengan undang-undangnya.

Mengenai pengaturan hukum, sebenarnya tidak semua hal butuh diatur oleh hukum.

Contohnya pengalaman saya berdiskusi tentang UU Sampah dengan hakim di negara

lain. Di Negara ini membuang sampah sembarangan itu tidak diatur hukum larangan

dan sanksinya, karena itu sudah jadi kesadaran masyarakat. Membuat peraturan juga

harus lihat sasaran tembaknya, contoh pengaturan sampah di salah satu negara ada

yang mengatur bahwa jika yang membuang sampah sembarangan adalah orang tua

maka hukumannya denda, jika itu anak-anak hukumannya bukan denda karena anak-

anak tidak punya uang.

Andang Binawan:

Page 31: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

31

Saya ingin bercerita tentang sampah lagi, ketika saya membina orang-orang katolik di

Jakarta untuk memilah sampah, ada pertanyaan menggelitik yang muncul, buat apa

dipilah kalau nanti dicampur lagi? Beberapa lama saya berpikir, akhirnya saya

menemukan jawaban jitu dengan analogi di negeri ini orang banyak korupsi, tapi

apakah kita harus berhenti mengajarkan anak kita tentang kejujuran?

Di Indonesia banyak undang-undang tapi tidak ada hukum, hanya ada law in the book

saja. Hukum mengandaikan ada penegakan, tapi disini kita lihat penegakan itu minim.

Kemudian perlu kita tekankan pandangan komprehensif tentangan hukum. Kalau

bicara filsafat hukum, ada tujuan lain selain kepastian yaitu kemanfaatan dan keadilan.

Keadilan itu dasar semuanya, demokrasi dan ekokrasi adalah sarana untuk mencapai

keadilan itu. Justice adalah bagaimana yang satu menghargai yang lain, manusia dan

alam saling menghargai. Dalam hukum juga ada prinsip kalau orang dalam keadaan

darurat dan terdesak ya tidak bisa disalahkan. Dalam kasus konflik manusia dengan

binatang tadi perspektifnya yang diubah, yang disalahkan bukan individu yang

membunuh bintanag tapi masyarakat yang membiarkan ada orang kelaparan

Pada dasarnya manusia punya 3 kekurangan : Pelupa, tidak mau repot dan egosentris.

Kekurangan ini menciptakan kebudayaan dan perekonomian berjalan. Egosentrisme

manusia ini harus dikelola dan diatur, disinilah peran hukum menjadi sarana rekayasa

sosial dan ekologis.

Wakil rakyat dan pemimpin tidak hanya harus memenuhi syarat intelektual tapi juga

syarat integritas. Jangan sampai biasanya semakin dekat pilkada kerusakan lingkungan

makin parah , izin-izin malah semakin banyak keluar. Ekokrasi adalah eutopia yang

mustahil tapi perlu. Sebagai sebuah sistem, setapak demi setapak kita berusaha

mencapai hal tersebut.

Takdir Rahmadi:

Isu lingkungan saat ini belum bersifat nasional, tapi elitis, sebagian orang saja yang

peduli. Harus perlahan-lahan kita mainstreaming-kan isu lingkungan, pusat studi

kembangkan sebagai watchdog. Kementerian Lingkungan hidup harus punya partner

di daerah.

Page 32: Prosiding Diskusi Demokrasi Lingkungan - Struktur, Substansi Dan Budaya Hukum

Launching Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Indonesian Center for Environmental Law

32

Kita difrustasikan dengan adanya kesenjangan normatif. Harapan normatifnya ada di

undang-undang, tapi kenyataannya berbeda. Perilaku birokrat harus diperbaiki dan

kesadaran lingkungan dibangun di masyarakat. Jangan sampai kita mau enak sendiri,

SDA dikeruk sebanyak mungkin, akhirnya kena getah sendiri. Konflik dalam diri

manusia, untuk bertahan hidup kita harus menjaga lingkungan tapi kalau ingin senang-

senang banyak harta yang dilakukan mengeksploitasi lingkungan.

Henri Subagiyo:

Mungkin kita sekarang belum bisa memilih apakah demokrasi lingkungan atau

ekokrasi, yang penting di dalam kedua hal ini ada prinsip-prinsip yang harus

dicermati, hak hidup, keadilan dan kesetaraan. Mungkin hewan punya hak hidup tapi

sejauh mana hak hidup ini? karena kalau semua dianggap sama, jangan-jangan kita

malah ga bisa jalan.