Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PROSES PENYIDIKAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK
PIDANA PEMBUNUHAN YANG BERKEBUTUHAN KHUSUS
(DISABILITAS INTELEKTUAL)
(Skripsi)
Oleh
ARITA LIDYA AMELIA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
ABSTRAK
PROSES PENYIDIKAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN YANG BERKEBUTUHAN KHUSUS (DISABILITAS INTELEKTUAL)
Oleh
ARITA LIDYA AMELIA
Penyandang disabilitas adalah orang yang mempunyai keterbatasan fisik, mental, intelektual atau
sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap
masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif
berdasarkan kesamaan hak (Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang pengesahan hak-hak
penyandang disabilitas). Sesuai dengan Pasal 44 ayat (1) KUHP yaitu Barang siapa melakukan
perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam
pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. Permasalaan dalam skripsi ini adalah
Bagaimanakah bagian proses penyidikan kepolisian terhadap kasus tindak pidana pembunuhan
oleh anak yang berkebutuhan khusus? Apakah faktor penghambat proses penyidikan terhadap
kasus tindak pidana pembunuhan oleh anak yang berkebutuhan khusus? Pendekatan masalah yang
digunakan adalah pendekatan hukum yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber dan jenis data
yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Prosedur pengumpulan data melalui studi
kepustakaan dan studi lapangan. Pengolahan data dilakukan dengan tahap editing, klasifikasi data,
dan sistematis dating yang selanjutnya dianalisis secara kualitattif.
Berdasarkan Hasil penelitian dan pembahasan dari proses penyidikan terhadap anak sebagai
pelaku tindak pidana pembunuhan yang berkebutuhan khusus (disabilitas intelektual) ini
menunjukkan Proses bagian penyidikan telah terjadi kejadian pembunuhan yang menghilangkan
nyawa perempuan berinisial (E) pegawai Bank BRI. Tubuhnya bersimbah darah dengan 28
tusukan di tubuhnya. Korban saat di temukan sedang bersama anaknya yang berkategori
berkebutuhan khusus berinisial MA. Anak korban menangis dan kondisi bajunya berlumuran
darah. Anaknya memiliki penyakit disabilitas seperti autis, daun sindrom dan labill.. Kita
berangkat ke Tempat Kejadian Perkara dikumpulkannya alat bukti yang ada, lalu penyidikan di
ulang dan jelaskan bahwa kejadian ini sampai ke Tempat Kejadian Perkara (TKP) ke 3 kalinya,
fakta kedua adalah kami tidak menemukan barang yang hilang. Fakta ketiga adalah bahwa senjata
yang digunakan adalah pisau dapur dan kami tidak menemukan darah di tembok dan lantai dapur,
kelanjutan kasus tetap berjalan menuju klimaksnya sudah selesai sekarang sudah hamper ke
finisnya. Bahwa tersangka sudah kita dapatkan siapa namanya sedangkan jalani prosesnya dan
kemudian tinggal dilihat prosesnya. Faktor penghambat proses penyidikan yaitu faktor yang
mendasari proses interaksi sosial,seperti faktor imitasi, faktor sugesti, faktor identifikasi, dan
faktor simpati. Faktor hukum yaitu undang-undang dibuat tidak boleh
Arita lidya amelia
bertentangan dengan ideologi negara, dan undang-undang dibuat haruslah menurut ketentuan yang
mengatur kewenangan pembuatan undangundang sebagaimana diatur dalam Konstitusi negara
Faktor penegakan hukum, yaitu penegak hukum harus menjalankan tugasnya dengan baik sesuai
dengan peranannya masing-masing yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Faktor masyarakat, yakni masyarakat lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum dan Faktor kebudayaan..
Saran untuk pihak kepolisian agar segera menanggapi laporan masyarakat untuk datang di TKP
(Tempat Kejadian Perkara) guna mengamankan dan menjaga Tempat Kejadian Perkara agar tidak
berubah dan terjaga keasliannya. Dilakukan koordinasi antara penyidik senior dengan penyidik
yang baru agar bekerjasama dan disekolahkan lagi dalam pelatihan penyidikan khusunya bagi para
penyidik yang baru diangkat sebagai penyidik. Seharusnya pemerintah mengeluarkan suatu
perundang-undangan yang mengatur tersendiri mengenai perlindungan hukum terhadap anak
berkebutuhan khusus sehingga ada suatu ketentuan pidana tersendiri yang tidak dapat
menimbulkan efek terhadap anak berkebutuhan khusus tersebut.
Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Hilangnya Nyawa Ibu Kandung, Anak Berkebutuhan
Khusus.
PROSES PENYIDIKAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN YANG BERKEBUTUHAN KHUSUS
Oleh
ARITA LIDYA AMELIA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
Sarjana Hukum
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2019
Judul Skripsi: PROSES PENYIDIKAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK
PIDANA PEMBUNUHAN YANG BERKEBUTUHAN KHUSUS
(DISABILITAS INTELEKTUAL)
Nama Mahasiswa : ARITA LIDYA AMELIA
No. Pokok Mahasiswa : 1512011027
Bagian : Hukum Pidana
Fakultas : Hukum
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
Dr. Nikmah Rosidah, S.H.,M.Hum. Damanhuri WN, S.H.,M.H.
NIP 195501061980032001 NIP 195911021986031001
2. Ketua Bagian Hukum Pidana
Eko Raharjo, S.H., M.H.
NIP 196104061989031003
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : Dr. Nikmah Rosidah,S.H., M.Hum ...................
Sekretaris/Anggota : Damanhuri Warganegara,S.H,M.H ...................
Penguji Utama : Firganefi,S.H,M.H ...................
2. Dekan Fakultas Hukum
Prof. Dr. Maroni, S.H., M.Hum.
NIP 196003101987031002
Tanggal Lulus Ujian Skripsi :
PERNYATAAN
Nama : Arita Lidya Amelia
Nomor Induk Mahasiswa : 1512011027
Bagian : Hukum Pidana
Fakultas : Hukum
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “ Proses Penyidikan Terhadap Anak
Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Yang Berkebutuhan Khusus.“adalah hasil
karya saya sendiri. Semua hasil tulisan yang tertuang dalam skripsi ini telah mengikuti kaidah
penulisan karya ilmiah Universitas Lampung. Apabila kemudian hari terbukti bahwa skripsi ini
merupakan hasil salinan atau dibuat oleh orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai
dengan ketentuan akademik yang berlaku.
Bandar Lampung, Juli 2019
Penulis
Materai 6000
Arita Lidya Amelia
NPM. 1512011027
RIWAYAT HIDUP
Arita Lidya Amelia, di lahirkan di Rawa Terate Kec. Cakung
Pulogadung Jakarta Timur pada tanggal 07 juli 1997, anak
pertama dari dua bersaudara dari pasangan ayah bernama Hasnal
Arif dan Ibu bernama Yusna Dewi.
Pendidikan dimulai dari Sekolah Taman Kanak-kanak YPI
Pulogadung pada tahun 2002 dan selesai pada tahun 2003, kemudian melanjutkan studi di
SDN 03 Jatinegara Kaum pada 2003 dan selesai pada tahun 2009, setelah menamatkan
sekolah dasar kemudian melanjutkan studi nya di SMPN 90 Pulogadung pada tahun 2009 dan
lulus pada tahun 2012, setelah menamatkan pendidikanya di tingkat menengah kemudian
melanjutkan pendidikan di SMAN 36 Rawamangun pada tahun 2012 dan lulus pada tahun
2015. Selama menjadi siswa dan mahasiswa aktif dalam berbagai kegiatan intra maupun
ekstra. Pernah menjadi anggota Osis di SMPN 90 Pulogadung dan Osis di SMAN 36
Rawamangun. Ukm kemahasiswaan bidang persikusi Universitas Lampung. Pada pertengahan
tahun 2018 penulis mengabdikan diri guna mengaplikasikan ilmu yang telah didapat selama
perkuliahan dengan mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Surya Mataram,
Kecamatan Marga Tiga Kabupaten Lampung Timur.
MOTTO
“Hidup dapat dipahami dengan berpikir kebelakang. Tapi ia juga harus dijalani dengan berpikir ke
depan”
(Soren Kierkegeaard)
“Sukses adalah saat persiapan dan kesempatan bertemu”
(Bobby Unser)
“Terasa sulit ketika aku merasa harus melakukan sesuatu. Tetapi menjadi mudah ketika aku
menginginkannya dan balas dendam terbaik adalah dengan memperbaiki dirimu”
(Arita Lidya Amelia)
SANWACANA
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah, atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan segala keberkahan, nikmat, rahmat dan taufik serta hidayah-Nya.
Sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul
“PROSES PENYIDIKAN ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN YANG BERKEBUTUHAN KHUSUS (DISABILITAS
INTELEKTUAL)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum di
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan ilmu pengetahuan,
bimbingan, dan masukan yang bersifat membangun dari berbagai pihak, maka
pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin selaku Rektor Universitas Lampung;
2. Bapak Dr. Maroni, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung;
3. Bapak Eko Raharjo, S.H.,M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung;
4. Ibu Dr Nikmah Rosidah, S.H,. M.Hum,. selaku Dosen Pembimbing I yang
telah meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan masukan,
motivasi dan mengarahkan penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan;
5. Bapak Damanhuri WN, S.H,.M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah
berkenan meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan motivasi
dan masukan yang membangun serta mengarahkan penulis sehingga skripsi
ini dapat diselesaikan;
6. Ibu Firganefi, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembahas I yang telah memberikan
masukan-masukan yang bermanfaat, saran serta pengarahan dalam
penulisan skripsi ini;
7. Bapak Budi Rizki Husin, S.H,.M.H., selaku Dosen Pembahas II yang juga
telah memberikan masukan-masukan yang bermanfaat, saran serta
pengarahan dalam penulisan skripsi ini;
8. Ibu Hj.Wati Rahmi Ria, S.H,.M.H selaku Pembimbing Akademik atas
bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama menjalankan studi di
Fakultas Hukum Universitas Lampung;
9. Seluruh Bapak/Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, khusunya
Bapak/Ibu Dosen Bagian Hukum Pidana yang penuh ketulusan dan dedikasi
untuk memberikan ilmu yang bermanfaat dan motivasi bagi penulis, serta
segala kemudahan dan bantuannya selama penulis menyelesaikan studi;
10. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung,
khusunya pada Bagian Hukum Pidana: Bu As, Mas ijal, Bude Siti, dan
Pakde Misiyo;
11. Bapak AKBP Rusdy Pramana Suryanagara, selaku Kapolrest Cimahi Jawa
Barat, Bapak Dr. Kresno Mulyadi, selaku Ahli Psikiater serta bagian dari
Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat yang telah membantu
dalam mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini;
12. Teristimewa untuk Ayah Hasnal Arif, dan Ibu Yusna Dewi yang telah
membimbing dalam menyelesaikan skripsi ini, yang telah merawat dan
membesarkanku dengan penuh cinta dan selalu memberikan kasih sayang
serta doa restu yang selalu dihaturkan dan dipanjatkan kepada Allah SWT
demi keberhasilanku dan masa depanku.
13. Adikku Tersayang, Della Vera Yolanda yang selalu memberikan do’a,
support serta bantuannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;
14. Serta keluarga besarku yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terimakasih
telah memberikan dukungan dan motivasinya untuk kesuksesanku di masa
depan;
15. Sahabatku, Andi Setiawan S.H, Farhatin Nisa Marena S.H, Ririk Marantika
S.H yang telah menjadi teman terbaik dan selalu mendengarkan keluh kesah
dan suka-duka penulis selama ini, terimakasih banyak semoga kita bisa tetap
bersatu, saling membantu dan menyemangati satu sama lain;
16. Teman-teman seperjuangan yang telah memberikan dukungan kepada
penulis baik secara langsung maupun tidak langsung, Farhatin Nisa Marena
S.H, Andre Sambas S.H, Rahmat Hidayat S.H, Riki Anky Wijaya S.H,
Cindy Arum Sekarjati S.H, Ahmad Ridho S.H, Ilham Akbar S.H, Sabil.
S.H, Oxfian S.H. terimakasih banyak semoga kelak cita-cita kita semua
tercapai;
17. Para pendahuluku, Ririk Marantika,S.H, Farhatin Nisa Marena,S.H, Andi
Setiawan S.H, Rahmat Hidayat S.H, Ahmad Ridho S.H serta semua pihak
yang tidak dapat di sebutkan satu-persatu.
18. Teruntuk para pembenciku, terimakasih buat semuanya, karna berkat kalian
saya dapat menyelesaikan skripsi saya dengan lancar, terimakasih telah
menjadi bagian dari perjalanan semasa perkuliahan ini.
19. Seluruh teman-teman angkatan 2015 Fakultas Hukum khususnya keluarga
besar Hima Pidana, terima kasih telah menjadi bagian dari perjalanan
semasa perkuliahan ini. Semoga kita tetap bisa menjalin silahturahmi
kedepannya,;
20. Almamater tercinta.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kemuliaan dan Barokah, dunia dan
akhirat khususnya bagi sumber mata air ilmuku, serta dilipat gandakan atas segala
kebaikannya yang telah diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini
bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya bagi penulis dalam
mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan.
Bandar Lampung, Juni 2019
Penulis,
Arita Lidya Amelia
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.................................................................... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup.................................................. .. 4
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian................................................... ... 5
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual .................................................. 6
E. Sistematika Penulisan ....................................................................... 13
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tindak Pidana Pembunuhan …................................ ....................... 16
B. Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana ............................................... 19
C. Sanksi Pidana Bagi Anak................................................ ................. 28
D. Putusan Hakim................................................ ................................. 32
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah ........................................................................ 36
B. Sumber dan Jenis Data .................................................................... 37
C. Penentuan Narasumber .................................................................... 38
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ................................. 39
E. Analisis Data....................................................................................
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Proses Bagian Penyelidikan Kepolisian Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Pembunuhan Oleh Anak Yang Mempunyai Berkebutuhan Khusus..... 41
B. Faktor Penghambat Proses Penyidikan Terhadap Kasus Tindak Pidana
Pembunuhan Oleh Anak Yang Berkebutuhan Khusus……………… 79
V. PENUTUP
A. Simpulan ............................................................................................. 83
B. Saran ................................................................................................... 84
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
I.PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak sebagai salah satu subjek hukum di negara ini juga harus tunduk dan patuh
terhadap aturan hukum yang berlaku, tetapi tentu saja ada perbedaan perlakuan
antara orang dewasa dan anak dalam hal sedang berhadapan dengan hukum. Hal
ini dimaksudkan sebagai upaya perlindungan terhadap anak sebagai bagian dari
generasi muda yang merupakan tumpuan dan harapan masa depan bangsa
indonesia1Sesuai dengan Pasal 44 Ayat (1) KUHP yaitu Barang siapa melakukan
perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan jawabkan kepadanya karena
jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
Penyandang disabilitas adalah orang yang mempunyai keterbatasan fisik, mental,
intelektual atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi
dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang
menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak
(Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Hak-hak
Penyandang Disabilitas). Jenis-jenis Penyandang Disabilitas menurut Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Penyandang disabilitas
dikategorikan menjadi tiga yaitu: Cacat Mental, Cacat Fisik, Tunaganda
1 Laden Marpaung, Proses Perkara Pidana (Penydikan dan Penyelidikan), Cetakan Ketiga, Jakarta,
Sinar Grafika, hlm.22.
2
Seperti namanya, disabilitas intelektual adalah kondisi dimana perkembangan
kecerdasan anak mengalami hambatan sehingga tidak tercapai tahap yang optimal.
Disabilitas intelektual ditandai oleh ciri ciri utama lemahnya kemampuan berpikir
atau nalar. lebih spesifik lagi, disabilitas intelektual digunakan untuk menyebut
anak yang mempunyai penyimpangan kemampuan intelektual secara nyata. Yang
mana penyimpangan kemampuan intelektual ini adalah anak mempunyai
kemampuan intelektual di bawah rata-rata dan adanya ketidak cakapan dalam
berinteraksi sosial.2
Pada awalnya perkembangannya, memang sulit untuk menentukan anak
disabilitas intelektual karena hampir tidak ada perbedaan antara anak disabilitas
intelektual dengan anak yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata. Akan
tetapi, untuk memahami anak disabilitas intelektual AAMD (American
Assosiation of Mental Defiency) mendefinisikan anak disabilitas intelektual
sebagai anak yang menunjukkan fungsi intelektual di bawah rata-rata secara jelas
dengan disertai ketidak mampuan dalam penyesuaian perilaku dan terjadi pada
masa perkembangan.
Anak disabilitas intelektual memerlukan waktu lebih lama untuk menyelesaikan
reaksi pada situasi yang baru dikenalnya. Mereka menunjukkan reaksi terbaiknya
jika hal baru tersebut sudah diikutinya secara rutin dan konsisten dalam
kesehariannya. Selan itu, anak disabilitas intelektual juga tidak mampu
menghadapi suatu kegiatan atau tugas dalam jangka waktu yang lama.3
2 Topo Santoso dan Eva Achan Zulfa, Kriminologi, Cetakan Kesepuluh, Raja Grafindo Persada,
2011, hlm.3. 3 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm.181.
3
Disabilitas intelektual juga memiliki keterbatasan dalam menguasai bahasa.
Mereka bukannya mengalami kerusakan dalam artikulasi, melainkan pusat
pengelolaan kata pada otak kurang berkembang sebagaimana anak pada
umumnya. Karena alasan inilah, anak disabilitas intelektual memerlukan kata-kata
yang konkret dan yang sering didengarnya. Selain itu, perbedaan dan persamaan
harus ditunjukkan berulang-ulang. Latihan-latihan sederhana seperti mengajarkan
konsep besar dan kecil, keras dan lemah, pertama, kedua, dan terakhir perlu
pendekatan yang konkret.
Karakteristik spesifik anak berkebutuhan khusus pada umumnya berkaitan dengan
tingkat perkembangan fungsional. Karakteristik spesifik tersebut meliputi tingkat
perkembangan sensorik motor, kognitif, kemampuan berbahasa, keterampilan diri,
konsep diri, kemampuan berinteraksi social, serta kreatifitasnya. Untuk
mengetahui secara jelas tentang karakteristik pada setiap siswa, guru terlebih
dahulu melakukan skrining atau assessment agar mengetahui secara jelas
mengenai kompetensi diri peserta didik yang bersangkutan. Tujuannya agar saat
memprogramkan pembelajaran, sudah dipikirkan mengenai Intervensi
pembelajaran yang diangap cocok. Assement disini adalah kegiatan untuk
mengetahui kemampuan dan kelemahan setiap peserta didik dalam segi
perkembangan kognitif dan perkembangan social, pengamatan yang sensitive.
Kegiatan ini biasannya memerlukan penginstrumen khusus secara baku atau
dibuat sendiri oleh guru kelas. Guru yang mempuni adalah guru yang mampu
mengorganisir kegiatan mengajar dikelas melalui program pembelajaran
individual dengan latihan kemampuan dan kelemahan setiap individu siswa.
4
Pola kegiatan belajar ini di kenal dengan nama lain sebagai individualis
eduka/jarogram (IEP) selama proses kegiatan, guru kelas ditantang untuk dapat
memberikan intervensi khusus guna mengatasi bentuk kelainan-kelainan prilaku
yang muncul, agar pembelajaran berjalan dengan lancar.
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) memiliki arti yang lebih luas dibandingkan
pengertian Anak Luar Biasa. ABK adalah anak yang dalam pendidikan
memerlukan pelayanan yang spesifik, berbeda dengan anak pada umumnya. Anak
berkebutuhan khusus ini mengalami hambatan dalam belajar dan perkembangan.
Oleh karena itu memerlukan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan
belajar masing-masing anak. Penulis terdorong untuk melakukan penelitian yang
mendalam tentang “penerapan pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana
pembunuhan yang berkebutuhan khusus (disabilitas intelektual).
B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis menarik rumusan
masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah proses penyidikan kepolisian terhadap kasus tindak pidana
pembunuhan oleh anak yang berkebtuhan khusus?
2. Apakah faktor penghambat proses penyidikan terhadap kasus tindak pidana
pembunuhan oleh anak berkebutuhan khusus?
5
2.Ruang Lingkup
Berdasarkan uraian rumusan masalah diatas maka yang menjadi ruang lingkup
penulis skripsi ini adalah proses penyidikan terhadap anak sebagai pelaku tindak
pidana pembunuhan yang berkebutuhan khusus (disabilitas intelektual). Ruang
lingkup lokasi penelitian adalah dalam wilayah Lembang Bandung dan waktu
penelitian dilaksanakan Tahun 2019.
C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas, maka tujuan penelitian adalah:
1. Untuk mengetahui proses penyidikan kepolisian dalam menangani kasus
pembunuhan oleh anak yang berkebutuhan khusus.
2. Untuk mengetahui faktor penghambat proses penyidikan terhadap kasus
tindak pidana pembunuhan oleh anak berkebutuhan khusus.
2.Kegunaan Penelitian
Di dalam penelitian diharapkan adanya kegunaan yang disampaikan oleh penulis
karena nilai suatu penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil
dari penelitian. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain :
1. Kegunaan Teoritis
a. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan
ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan hukum pidana pada
khususnya.
6
b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dibidang
karya ilmiah serta bahan masukan bagi penelitian sejenis dimasa yang akan
datang.
2. Kegunaan Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan
kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk masuk dalam
instansi penegak hukum maupun untuk praktis hukum dalam
memperjuangkan penegakan hukum.
b. Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran secara lengkap mengenai
bentuk pengaturan dan sanksi tindak pidana pembunuhan di dalam KUHP.
D. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
a. Teori Penghambat Menurut Moeljatno4
Menurut Moeljatno dalam buku Nikmah Rosidah dapat diketahui unsur-
unsur tindak pidana sebagai berikut:
1) Kelakuan dan akibat
2) Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yang
dibagi menjadi :
1. Unsur subyektif atau pribadi
Yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan, misalnya unsur
pegawai negeri yang diperlukan dalam delik jabatan seperti dalam perkara
tindak pidana korupsi. Pasal 418 KUHP jo. Pasal 1 ayat (1) sub c UU No.
4 Moeljono, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada,
Jakarta:2012, hlm.58.
7
3 Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun
2001 tentang pegawai negeri yang menerima hadiah. Kalau yang
menerima hadiah bukan pegawai negeri maka tidak mungkin diterapka
pasal tersebut
2. Unsur obyektif atau non pribadi
Yaitu mengenai keadaan di luar si pembuat, misalnya pasal 160 KUHP
tentang penghasutan di muka umum (supaya melakukan perbuatan pidana
atau melakukan kekerasan terhadap penguasa umum). Apabila
penghasutan tidak dilakukan di muka umum maka tidak mungkin
diterapkan pasal ini.
Unsur keadaan ini dapat berupa keadaan yang menentukan, memperingan
atau memperberat pidana yang dijatuhkan.
(1) Unsur keadaan yang menentukan misalnya dalam pasal 164, 165, 531
KUHP
Pasal 164 KUHP : barang siapa mengetahui permufakatan jahat untuk
melakukan kejahatan tersebut pasal 104, 106, 107, 108, 113, 115, 124,
187 dan 187 bis, dan pada saat kejahatan masih bisa dicegah dengan
sengaja tidak memberitahukannya kepada pejabat kehakiman atau
kepolisian atau kepada yang terancam, diancam, apabila kejahatan jadi
dilakukan, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan
atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.5
5 Nikmah Rosidah, Asas-Asas Hukum Pidana. Pustaka Magister, Semarang, Juni 2011, hlm.11-14.
8
Kewajiban untuk melapor kepada yang berwenang, apabila mengetahui
akan terjadinya suatu kejahatan. Orang yang tidak melapor baru dapat
dikatakan melakukan perbuatan pidana, jika kejahatan tadi kemudian
betul-betul terjadi. Tentang hal kemudian terjadi kejahatan itu adalah
merupakan unsur tambahan
Pasal 531 KUHP : barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang
yang sedang menghadapi maut, tidak memberi pertolongan yang dapat
diberikan kepadanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya
atau orang lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan
pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga
ratus rupiah.
Keharusan memberi pertolongan pada orang yang sedang menghadapi
bahaya maut jika tidak memberi pertolongan, orang tadi baru melakukan
perbuatan pidana, kalau orang yang dalam keadaan bahaya tadi kemudian
lalu meninggal dunia. Syarat tambahan tersebut tidak dipandang sebagai
unsur delik (perbuatan pidana) tetapi sebagai syarat penuntutan.
(2) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
Misalnya penganiayaan biasa pasal 351 ayat (1) KUHP diancam dengan
pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan. Apabila penganiayaan
tersebut menimbulkan luka berat; ancaman pidana diperberat menjadi 5
tahun (pasal 351 ayat 2 KUHP), dan jika mengakibatkan mati ancaman
pidana menjad 7 tahun (pasal 351 ayat 3 KUHP). Luka berat dan mati
adalah merupakan keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
9
(3) Unsur melawan hukum
Dalam perumusan delik unsur ini tidak selalu dinyatakan sebagai unsur
tertulis. Adakalanya unsur ini tidak dirumuskan secara tertulis rumusan
pasal, sebab sifat melawan hukum atau sifat pantang dilakukan perbuatan
sudah jelas dari istilah atau rumusan kata yang disebut. Misalnya pasal 285
KUHP “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh di luar perkawinan”. Tanpa ditambahkan kata melawan
hukum setiap orang mengerti bahwa memaksa dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan adalah pantang dilakukan atau sudah mengandung
sifat melawan hukum. Apabila dicantumkan maka jaksa harus
mencantumkan dalam dakwaannya dan oleh karenanya harus dibuktikan.
Apabila tidak dicantumkan maka apabila perbuatan yang didakwakan
dapat dibuktikan maka secara diam-diam unsure itu dianggap ada.
Unsur melawan hukum yang dinyatakan sebagai unsur tertulis misalnya
pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai pencurian yaitu pengambilan barang
orang lain dengan maksud untuk memilikinya secara melawan hukum.
Pentingnya pemahaman terhadap pengertian unsur-unsur tindak pidana.
Sekalipun permasalahan tentang “pengertian” unsur-unsur tindak pidana
bersifat teoritis, tetapi dalam praktek hal ini sangat penting dan
menentukan bagi keberhasilan pembuktian perkara pidana. Pengertian
unsur-unsur tindak pidana dapat diketahui dari doktrin (pendapat ahli)
ataupun dari yurisprudensi yan memberikan penafsiran terhadap rumusan
undang-undang yang semula tidak jelas atau terjadi perubahan makna
karena perkembangan jaman, akan diberikan pengertian dan penjelasan
10
sehingga memudahkan aparat penegak hukum menerapkan peraturan
hukum.
Bagi Jaksa pentingnya memahami pengertian unsur-unsur tindak pidana
adalah :
1) Untuk menyusun surat dakwaan, agar dengan jelas;
2) Dapat menguraikan perbuatan terdakwa yang menggambarkan uraian
unsur tindak pidana yang didakwakan sesuai dengan pengertian /
penafsiran yang dianut oleh doktrin maupun yurisprudensi;
3). Mengarahkan pertanyaan-pertanyaan kepada saksi atau ahli atau
terdakwa untuk menjawab sesuai fakta-fakta yang memenuhi unsur-unsur
tindak pidana yang didakwakan;
4) Menentukan nilai suatu alat bukti untuk membuktikan unsur tindak
pidana. Biasa terjadi bahwa suatu alat bukti hanya berguna untuk
menentukan pembuktian satu unsur tindak pidana, tidak seluruh unsur
tindak pidana;
5). Mengarahkan jalannya penyidikan atau pemeriksaan di sidang
pengadilan berjalan secara obyektif. Dalil-dalil yang digunakan dalam
pembuktian akan dapat dipertanggungjawabkan secara obyektif karena
berlandaskan teori dan bersifat ilmiah;
6) Menyusun requisitoir yaitu pada saat uraian penerapan fakta perbuatan
kepada unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, atau biasa diulas
dalam analisa hukum, maka pengertian-pengertian unsur tindak pidana
yang dianut dalam doktrin atau yurisprudensi atau dengan cara penafsiran
11
hukum, harus diuraikan sejelas-jelasnya karena ini menjadi dasar atau dalil
untuk berargumentasi.
b. Teori Penyidikan
Penyidikan dalam Pasal 1 angka 2 kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam Undang-Undang 6ni untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Tindakan penyidikan
merupakan cara untuk mengumpulkan bukti-bukti awal untuk mencari
tersangka yang diduga melakukan tindak pidana dan saksi-saksi yang
mengetahui tentang tindak pidana tersebut. Jika dalam tindakan
Penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan “mencari dan
menemukan” sesuatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindak
pidana, maka pada tindakan Penyidikan titik beratnya diletakkan pada
tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang
ditemukan dapat menjadi terang serta agar dapat menemukan pelakunya
wewenang kepolisian dalam Penyidikan diatur dalam Pasal 7 KUHAP yaitu:
a) Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.
b) Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian.7
c) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka.
d) Melakukan penangkapan, penahanan, penggledahan, dan penyitaan.
6 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta: 2012, hlm 58. 7 P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra AdityaBakti, 1997,
hlm. 17
12
e) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
f) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
g) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
h) Mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara.
i) Mengadakan penghentian penyidikan.
j) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.8
2. Konseptual
Konseptual adalah suatu kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan
istilah yang ingin diteliti, baik dalam penelitian normatif maupun empiris. Hal ini
dilakukan, dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam melakukan
penelitian. Maka disini akan dijelaskan tentang pengertian pokok yang dijadikan
konsep dalam penelitian, sehingga akan memberikan batasan yang tetap dalam
penafsiran terhadap beberapa istilah.9 Adapun istilah-istilah yang akan digunakan
dalam penulisan penelitian ini meliputi :
1. Proses penyidikan adalah suatu tindakan dari para aparat penegak hukum
(penyidik) dalam mencari dan menemukan, mengumpulkan alat bukti serta
mencari tahu siapa pelaku tindak pidana.
2. Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita
perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat
8 Mukhlis, “Pergeseran Kedudukan dan Tugas Penyidik POLRI dengan Perkembangan Delik-Delik
di luar KUHP” Artikel pada Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Riau, Vol. 3, No. 1 Agustus 2012, hlm. 57. 9 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta PT Raja
Grafindo Persada 2008), hlm.8.
13
khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada
masa depan.
3. Pelaku adalah orang yang melakukan tindak pidana yang bersangkutan,
dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu tidak
sengajaan seperti yang diisyaratkan oleh Undang-Undang telah
menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh Undang-Undang,
baik itu merupakan unsur-unsur subjektif maupun unsur-unsur obyektif,
tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana
tersebut timbul dari dirinya sendiri atau tidak karena gerakkan oleh pihak
ketiga.
4. Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan tata atau
ketentuan yang dikehendaki oleh hukum, dimana syarat utama dari adanya
perbuatan pidana adalah kenyataan bahwa ada aturan yang melarang.10
5. Pembunuhan adalah suatu tindakan untuk menghilangkan nyawa
seseorang dengan cara yang melanggar hukum, maupun tidak melawan
hukum.
6. Berkebutuhan Khusus anak yang dalam pendidikan memerlukan
pelayanan yang spesifik, berbeda dengan anak pada umumnya
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan hukum ditujukan untuk dapat memberikan gambaran yang
lebih jelas, komperhensif dan menyeluruh mengenai bahasan dalam penulisan
hukum yang akan disusun. Agar pembaca dapat dengan mudah memahami isi
dalam penulisan skripsi ini dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan,
10
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI PRESS 1986),hlm.124.
14
makaskripsi ini disusun dalam 5 (lima) Bab dengan sistematika penulisan adalah
sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN
Pada bab ini menguraikan tentang latar belakang pemilihan judul yang akan
diangkat dalam penulisan skripsi. Kemudian permasalahan yang dianggap penting
disertai pembatasan ruang lingkup penelitian. Selanjutnya juga membuat tujuan
dan kegunaan penelitian yang dilengkapi dengan kerangka teori dan konseptual
serta sistematika penulisan.
I. TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini diuraikan tentang kerangka teori dan kerangka pemikiran.
Didalamnya termuat pengertian dan tinjauan umum tentang Pemidanaan dan
Penerapan Sanksi Pidana, Pelanggaran terhadap anak sebagai saksi kunci, Faktor
penghambat perlindungan saksi kunci terhadap anak.
III. METODE PENELITIAN
Pada bab ini menguraikan tentang metode yang akan digunakan dalam penelitian
berupa langkah-langkah yang dapat digunakan dalam melakukan pendekatan
masalah, penguraian, tentang sumber data yang di dapat dari berbagai
literatur/buku hukum,serta jenis data serta prosedur analisis data yang telah
didapat.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini berisikan tentanghasil penelitian dan pembahasan terhadap
permasalahan penelitian ini dengan mendasarkan pada rumusan masalah antara
15
lain mengenai bagaimana kronologi kasus tindak pidana pembunuhan anak yang
berkebutuhan khusus serta bagaimana proses proses penyidikan kepolisian
terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan dengan pelaku berkebutuhan khusus.
V. PENUTUP
Pada bab ini merupakan bab penutup dari penulisan skripsi yang secara singkat
berisikan kesimpulan hasil pembahasan dari penelitian yang telah dilakukan dan
serta saran-saran yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.
16
II.TINJAUAN PUSTAKA
A. Tindak Pidana Pembunuhan
1. Pembunuhan
Pembunuhan menurut KUHP adalah perbuatan menghilangkan nyawa orang lain
dengan sengaja dan melanggar hukum.
Menurut Black Law Dictionary pembunuhan adalah Tindakan yang melanggar
hukum positif oleh orang lain dengan sengaja berniat jahat baik itu dilakukan
secara langsung maupun tidak langsung.11
2. Jenis-Jenis Pembunuhan
Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja disebut atau diberi
kualifikasi sebagai pembunuhan,yang terdiri dari:
1. Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (doodslag, Pasal 338 KUHP).
Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
2. Pembunuhan yang diikuti,disertai atau didahului dengan tindak pidana
lain(Pasal 339 KUHP).
Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu tindak pidana,
yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah
pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta
11
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Pertama, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa,2001), hlm 4.
17
lainnya dari pidana bila tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan
penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu
tertentu paling lama dua puluh tahun.
3. Pembunuhan berencana (moord, Pasal 340 KUHP).
Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu
merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana,
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
4. Pembunuhan ibu terhadap bayinya pada saat atau tidak lama setelah
dilahirkan (Pasal 341,Pasal 342 dan Pasal 343 KUHP).
Pasal 341
Seorang ibu yang karena takut akan diketahui bahwa ia melahirkan anak
dengan sengaja menghilangkan nyawa anaknya pada saat anak itu
dilahirkan atau tidak lama kemudian, diancam karena membunuh anak
sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 342
Seorang ibu yang untuk melaksanakan keputusan yang diambilnya karena
takut akan diketahui bahwa ia akan melahirkan anak, menghilangkan
nyawa anaknya pada saat anak itu dilahirkan atau tidak lama kemudian,
diancam karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan berencana,
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
18
Pasal 343
Bagi orang lain yang turut serta melakukan, kejahatan yang diterangkan
dalam Pasal 341 dan Pasal 342 dipandang sebagai pembunuhan atau
pembunuhan anak dengan berencana.
Pasal 344
Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri, yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun.
3. Unsur-Unsur Pembunuhan
a.Unsur obyektif:
1) perbuatan:menghilangkan nyawa;
2) obyeknya:nyawa orang lain;
b.Unsur sebyektif:dengan sengaja. 12
Dalam perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) terdapat 3 syarat yang harus
dipenuhi,yaitu:
1) adanya wujud perbuatan;
2) adanya suatu kematian (orang lain);
3) adanya hubungan sebab dan akibat (causal verband) antara perbuatan dan
akibat kematian (orang lain).
Antara unsur subyektif sengaja dengan wujud perbuatan menghilangkan terdapat
syarat yang juga harus dibuktikan, ialah pelaksanaan perbuatan menghilangkan
12
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, , 2011), hlm 64
19
nyawa(orang lain) harus tidak lama setelah timbulnya kehendak (niat) untuk
menghilangkan nyawa orang lain itu.
B. Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Ter Haar mengemukakan bahwa: “Menurut hukum adat masyarakat kecil itu,
maka seseorang menjadi dewasa adalah saat ia sudah kawin dan meninggalkan
rumah ibu bapaknya untuk berumah lain merupakan keluarga yang telah berdiri
sendiri.” Dalam hukum adat juga tidak terdapat pemisahan secara jelas antara
batasan umur seorang yang telah cakap bertindak dan orang yang masih di bawah
umur adalah mereka yang belum mempunyai kecakapan untuk bertindak.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam hukum adat tidak dikenal adanya suatu
perbatasan umur tertentu untuk menyatakan apakah seseorang sudah dewasa atau
belum, hal ini hanya tergantung pada keadaan yang dapat dilihat apakah seorang
anak sudah dapat mengurus diri sendiri dan mengurus kepentingannya serta ikut
dalam kehidupan hukum dan sosial di dalam lingkungan di mana ia berada. Atau
dengan kata lain hanya dapat dilihat dari ciri-ciri nyata yang ada pada diri
seseorang. Dalam Hukum Islam juga demikian, orang yang telah dewasa disebut
orang yang telah akil baliq yaitu dihitung sejak seoarang laki-laki mengalami
mimpi basahnya yang pertama dan pada wanita dihitung sejak haid pertama atau
lebih menampakkan kematangan bersetubuh dengan orang lain.
Melihat apa yang telah diuraikan di atas, maka penentuan umur seseorang yang
belum akil baliq dan yang telah akil baliq menurut hukum Islam sangatlah sukar
sekali, sebab adanya tanda-tanda yang berlainan pada masing-masing individu
untuk lebih memperjelas mengenai kelompok umur ini, dapat diketahui dengan
20
mengemukakan beberapa kelompok umur ini, dapat diketahui dengan
mengemukakan beberapa segi tinjauan antara lain dari segi pandangan biologis
menunjukkan bahwa:
1. Umur 0 sampai 1 tahun disebut masa bayi
2. Umur 1 sampai 12 tahun disebut masa anak-anak.
3. Umur 12 tahun sampai 15 tahun disebut masa puber.
4. Umur 15 sampai 21 tahun disebut masa pemuda
5. Umur 21 tahun keatas sudah berada pada tingkat dewasa. 13
Segi pandangan ini, maka masa remaja dapat ditandai dengan ketentuan umur
seperti disebut di atas, disamping itu adalah dengan semakin sempurnanya organ-
organ tubuhnya, hal ini biasanya terjadi pada umur sekitar 13 sampai 20 tahun.
Jadi antara ketentuan umur dengan perkembangan organ-organ tubuh dapat ditarik
kesimpulan bahwa masa remaja yaitu antara 12 tahun sampai 20 tahun. Sudut
pandang yuridis, undang-undang menyebut batas umur sesuai dengan
permasalahan yang diatur. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ketentuan yang
dirumuskan dalam undang-undang lainnya, yakni:
1. Untuk bidang ketenagakerjaan, seseorang diperlukan sebagai anak sampai
batas umur maksimum 16 tahun.
2. Untuk proses perdata dan kepentingan kesejahteraan sosial, seseorang
diperlukan sebagai anak sampai batas umur 21 tahun
13
Ter Haar, Asas-Asas dan Dasar Aturan Hukum Pidana Indonesia, BandarLampung, Unila, 2009, hlm.8
21
3. Untuk proses pidana diperlukan sebagai anak sampai batas umur belum
mencapai 18 tahun.
Uraian tersebut di atas dapat dilihat bahwa tidak adanya istilah remaja, melainkan
istilah anak dengan batasan umur sebagaimana tersebut di atas, beberapa undang-
undang 1kesejahteraan anak, misalnya menganggap semua orang di bawah usia 21
tahun dan belum menikah sebagai anak-anak oleh karenanya berhak mendapat
perlakuan dan kemudahan-kemudahan yang diperlukan bagi anak. 14
Mengenai
penjelasan tentang pengertian anak tidak ada keseragaman, bahkan terkesan
sangat variatif tergantung dari sudut mana kita memilihnya, sehingga dalam
perumusannya masih ditemukan pengertian yang berbeda-beda.
Darwan Prints menguraikan beberapa pengertian anak, sebagai berikut:
1. Undang-Undang Pengadilan Anak
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 1 Ayat (2) merumuskan bahwa
anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur
(delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan
belum pernah kawin, jadi anak dibatasi dengan umur antara 12 (duabelas)
tahun sampai belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan syarat
kedua si anak belum pernah kawin. Maksudnya tidak sedang terkait dalam
perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak
sedang terkait dalam perkawinan atau perkawinannya karena perceraian,
maka si anak dianggap sudah dewasa, walaupun umumnya belum genap 18
(delapan belas tahun).
14
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2011, hlm. 81
22
2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak:
1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28G ayat (2), dan Pasal 28I
ayat (2), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332
3. Anak menurut KUHP
Pasal 45 KUHP, mendefinisikan anak yang belum dewasa apablia belum
berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu, apabila ia tersangkut dalam
perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu
dikembalikan kepada orang tuanya; walinya atau pemeliharaannya dengan
tidak dikenakan suatu hukuman. Atau memerintahakannya supaya
diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman.
Ketentuan Pasal 35, Pasal 46, dan Pasal 47 KUHP ini sudah dihapuskan
dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997. 15
4. Undang-undang Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak:
Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
15
Darwan Prints, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung, Alumni, 2008, hlm.25.
23
1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
2. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkatdan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
3. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas suami
istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan
anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah
sampai dengan derajat ketiga.
4. Orang Tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri,
atau ayah dan/atau ibu angkat.
5. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan
kekuasaan asuh sebagai Orang Tua terhadap Anak.
6. Anak Terlantar adalah Anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara
wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.
7. Anak Penyandang Disabilitas adalah Anak yang memiliki keterbatasan
fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang
dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat
menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan
efektif berdasarkan kesamaan hak.
8. Anak yang Memiliki Keunggulan adalah Anak yang mempunyai
kecerdasan luar biasa atau memiliki potensi dan/atau bakat istimewa tidak
terbatas pada kemampuan intelektual, tetapi juga pada bidang lain.
24
9. Anak Angkat adalah Anak yang haknya dialihkan dari lingkungan
kekuasaan Keluarga Orang Tua, Wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan Anak
tersebut ke dalam lingkungan Keluarga Orang Tua angkatnya berdasarkan
putusan atau penetapan pengadilan.
10. Anak Asuh adalah Anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga untuk
diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan
karena Orang Tuanya atau salahsatu Orang Tuanya tidak mampu menjamin
tumbuh kembang Anak secara wajar.
11. Kuasa Asuh adalah kekuasaan Orang Tua untuk mengasuh, mendidik,
memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan Anak
sesuai dengan agama yang dianutnya dan sesuai dengan kemampuan, bakat,
serta minatnya.
12. Hak Anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin,
dilindungi, dan dipenuhi oleh Orang Tua, Keluarga, masyarakat, negara,
pemerintah, dan pemerintah daerah.
13. Masyarakat adalah perseorangan, Keluarga, kelompok, dan organisasi
sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan.
14. Pendamping adalah pekerja sosial yang mempunyai kompetensi
profesional dalam bidangnya.
15. Perlindungan Khusus adalah suatu bentuk perlindungan yang diterima
oleh Anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan
rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam
tumbuh kembangnya. 15a. Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap
25
Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum.
16. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
17. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
18. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, dan walikota serta
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan.
Dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dinyatakan
bahwa “anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum
pernah kawin “. Sebagai dasar perumusan anak dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yakni yang dimaksud
dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun
termasuk anak yang masih ada dalam kandungan.
Dari beberapa penafsiran pengartian tentang anak yang dikemukakan di atas maka
sehubungan dengan penelitian ini yang dimaksud dengan anak adalah anak
sebagai pelaku tindak pidana yang merujuk ke Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997, yang dalam Pasal (1) bahwa anak sebagai pelaku tindak pidana yang dapat
dipertanggung jawabkan dalam hukum pidana adalah anak nakal yang telah
26
mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun dan belum pernah kawin.
Adapun pengertian anak nakal dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 adalah seorang yang terlibat dalam perkara anak nakal. Sedang
dimaksud dengan anak nakal dalam Pasal 1 butir 2 mempunyai dua pengertian
yaitu:
a. Anak yang melakukan tindak pidana
Walaupun Undang-Undang Peradilan Anak tidak memberikan penjelasan
lebih lanjut, akan tetapi dapat dipahami bahwa anak yang melakukan
tindak pidana perbuatannya tidak terbatas kepada perbutan yang
melanggar peraturan di luar KUHP misalnya Ketentuan pidana dalam
Undang-Undang Narkotika dan sebagainya.
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak.
Yang dimaksud perbuatan yang terlarang bagi anak adalah baik yang
tertulis maupun tidak tertulis misalnya hukum adat atau aturan kesopanan
dan kepantasan dalam masyarakat.
Mahkamah Konstitusi (MK), memutuskan batas bawah usia anak yang bisa
dimintai pertanggungjawaban hukum adalah usia 12 tahun. Usia 12 tahun secara
relatif sudah memiliki kecerdasan emosional, mental, dan intelektual yang stabil
sesuai psikologi anak dan budaya bangsa Indonesia. Mahkamah Konstitusi (MK)
memutuskan bahwa batas bawah usia anak yang bisa dimintai
pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun..
27
Dalam pertimbangannya mahkamah menyatakan perlu menetapkan batas umur
bagi anak untuk melindungi hak konstitusional anak terutama hak terhadap
perlindungan dan hak untuk tumbuh dan berkembang. Penetapan usia minimal 12
tahun sebagai ambang batas usia pertanggungjawaban hukum bagi anak telah
diterima dalam praktik di berbagai negara. Hal tersebut disampikan oleh salah
satu Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva. Batasan bahwa usia 12 tahun ini telah
sesuai ketentuan pidana anak dalam Pasal 26 Ayat (3) dan (4) UU Pengadilan
Anak, yang menjelasakan bahwa :
Usia 12 tahun secara relatif sudah memiliki kecerdasan emosional, mental, dan
intelektual yang stabil sesuai psikologi anak dan budaya bangsa Indonesia.
Karenanya, batas umur 12 tahun lebih menjamin hak anak untuk tumbuh
berkembang dan mendapatkan perlindungan sebagaimana dijamin Pasal 28B ayat
(2) UUD 1945. Menurut Hamdan Zoelva frasa sekurang-kurangnya 8 tahun dalam
Pasal 4 Ayat (1) dan frasa belum mencapai umur 8 tahun dalam Pasal 5 Ayat (1)
UU Pengadilan Anak adalah inkonstitusional bersyarat. Artinya inkonstitusional,
kecuali harus dimaknai telah mencapai usia 12 tahun sebagai batas minimum
pertanggung jawaban pidana, meski Pasal 1 Ayat (1) UU Pengadilan Anak yang
menyatakan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai 8
tahun, tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum menikah, tidak dimintakan
pengujian.
28
Namun, Pasal itu merupakan jiwa atau ruh dari UU Pengadilan Anak. Sehingga
batas usia minimum sesuai Pasal 1 Ayat (1) harus disesuaikan agar tidak
bertentangan UUD 1945 yakni 12 tahun. 16
Akil berpendapat seharusnya Pasal 1 angka 2 huruf b UU Pengadilan Anak
sepanjang frasa “maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku
dalam masyarakat” juga bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, tidak adil jika
seorang anak Indonesia yang diduga melakukan tindak pidana dan dijatuhi pidana,
sementara tindakannya itu tidak diatur secara rinci, jelas, pasti, dan cermat dalam
undang-undang.17
Hal itu merupakan bentuk kriminalisasi terhadap semua anak Indonesia yang
melanggar asas legalitas yang dijamin Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945. Sebab,
peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat, ketentuan yang
tidak jelas ukurannya. Seharusnya, definisi anak nakal hanya merujuk peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Bukankah tujuan asas legalitas untuk
melindungi setiap orang (anak) dari tindakan sewenang-wenang aparat penegak
hukum atas tindakan hukum tanpa menyebutkan peristiwa pidana yang dillanggar.
C. Sanksi Pidana Bagi Anak
Sanksi adalah ancaman hukuman, satu alat pemaksa guna ditaatinya suatu kaidah,
undang-undang, norma-norma hukum, akibat sesuatu perubahan atau suatu reaksi
dari pihak lain atas sesuatu perbuatan.
16
Hamdan Zoelva Salah Satu Hakim Konstitusi 17
M Akil Mochtar Salah Satu Hakim Konstitusi
29
Pidana dan jenis pidana penjatuhan Pidana pada Persidangan Anak diatur dalam
Pasal 22 sampai dengan 32 Undang-Undang Nomor : 3 Tahun 1997 dan dapat
berupa pidana atau tindakan. Apabila diperinci lagi, pidana tersebut bersifat
pidana Pokok dan Pidana Tambahan.
1.Pidana Pokok Terdiri dari :
a. Pidana penjara
Pasal 26 UU No. 3 Tahun 1997
Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum
ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Apabila anak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana mati atau pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada
anak tersebut paling lama 10 tahun. Apabila anak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum melakukan tindak pidana yang diancam
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka terhadap anak tersebut
hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Ayat
(1) huruf b. Apabila anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf
a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang
tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terfadap Anak tersebut
dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Secara universal, pidana penjara/gevangenisstraf merupakan pidana bersifat
perampasan kemerdekaan pribadi terpidana karena penempatannya dalam bilik
penjara. Kalau dilihat dari bentuknya maka hukuman penjara dapat berupa
30
seumur hidup untuk sementara. Hukuman penjaraa untuk sementara
mempunyai rentang waktu minimum selama 15 (lima belas) tahun.
b. Pidana kurungan
Pasal 27 UU No. 3 Tahun 1997
Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada Anak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum
ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa.
c. Pidana denda
Pasal 28 UU No. 3 Tahun 1997
Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling banyak ½ (satu per dua) dari
maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa.
Apabila pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata tidak
dapat dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja.
Wajib latihan kerja sebagai pengganti denda dilakukan paling lama 90
(Sembilan puluh) hari kerja tidak lebih dari 4 (empat) jam sehari serta tidak
dilakukan pada malam hari.
d. Pidana pengawasan
Pasal 30 UU No. 3 tahun 199718
Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada Anak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling singkat 3 (tiga) bulan dan
paling lama 2 (dua) tahun.
18
R. Abdussalam, Sistem Peradilan Pidana, Restu Agung, Jakarta, 2007, hlm.27
31
Apabila terhadap Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a,
dijatuhkan pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dalam (1), maka Anak
tersebut ditempatkan dibawah pengawasan Jaksa dan bimbingan Pembimbing
Kemasyarakatan. Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana
pengawasan diatur lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
e. Pidana Tambahan Terdiri dari :
1. Perampasan barang-barang tertentu, dan atau
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maka perampasan
barang-barang tertentu tersebut berorientasi kepada :
- Milik terdakwa Anak sendiri ;
- Barang tersebut dipergunakan terdakwa Anak untuk melakukan Tindak
Pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya, dan
- Barang-barang tersebut diperoleh Anak karena melakukan Tindak Pidana
yang didakwakan kepadanya.
2. Pembayaran Ganti Rugi
Pasal 23 Ayat (4) UU No. 3 Tahun 1997
Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah
2. Tindakan Kepada Anak
Tindakan yang dapat dijatuhkan Kepada Anak ialah;
a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
32
Pada asasnya, meskipun anak dikembalikan kepada orang tua, wali atau orang
tua asuh, anak tersebut tetap dibawah pengawasan dan bimbingan Pembimbing
Kemasyarakatan, antata lain mengikuti kegiatan kepramukaan dan lain-lain.
b. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan
latihan kerja; atau hakim dapat menetapkan anak tersebut ditempatkan di
Lembaga Pemasyarakatan Anak untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan
latihan kerja dimaksudkan untuk memberikan bekal kekal keterampilan kepada
anak, misalnya dengan memberikan keterampilan mengenai pertukangan,
pertanian, perbengkelan, tata rias, dan sebagainya sehingga setelah selesai
menjalani tindakan dapat hidup mandiri.
c. Menyerahkan kepada Depatemen Sosial, atau Organisasi sosial
Kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan, dan latihan
kerja. Pasal 32 UU 3/1997 pada prinsipnya pendidikan, pembinaan, dan latihan
kerja diselenggarakan oleh Pemerintah di Lembaga Pemasyarakatan Anak atau
Departemen Sosial, tetapi dalam hal kepentingan Anak yang bersangkutan
diserahkan kepada Organisasi Kemasyarakatan, seperti pesantren, panti sosial,
dan lembaga social lainnya dengan memperlihatkan agama anak yang
bersangkutan.
D. Putusan Hakim
Macam-macam putusan hakim dalam persidangan di pengadilan adalah sebagai
berikut :
1. Putusan awal yang dapat berupa:
a. Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili
33
Dalam hal menyatakan tidak berwenang mengadili ini dapat terjadi setelah
persidangan dimulai dan jaksa penuntut umum membacakan surat
dakwaan maka terdakwa atau penasehat hukum terdakwa diberi
kesempatan untuk mengajukan eksepsi (tangkisan).Eksepsi tersebut antara
lain dapat memuat bahwa Pengadilan Negeri tersebut tidak berkompetensi
(wewenang) baik secara relatif maupun absolut untuk mengadili perkara
tersebut.Jika majelis hakim berpendapat sama dengan penasehat hukum
maka dapat dijatuhkan putusan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang
mengadili.
b. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum
Dakwaan batal demi hukum dapat dijatuhkan dengan memenuhi syarat-
syarat yang ada.Syarat dakwaan batal demi hukum dicantum dalam Pasal
143 ayat (3)
c. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima
Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima pada
dasarnya termasuk kekurangcermatan jaksa penuntut umum, sebab
putusan tersebut dijatuhkan karena :
1. Pengaduan yang diharuskan bagi penuntut dalam delik aduan tidak ada.
2. Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa sudah pernah diadili. 19
3. Hak untuk penuntutan telah hilang karena kadaluarsa(verjaring)
19
Maidin Gultom. Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Bandung, PT Refika Aditama, 2008, hlm.2.
34
2. Putusan akhir
a. Putusan yang menyatakan bahwa tersangka lepas dari segala tuntutan
hukum
Putusan ini dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan
tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan
hukum.Terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum dapat disebabkan :
1. Materi hukum pidana yang didakwakan tidak cocok dengan tindak
pidana.
2. Terdapat keadaan-keadaan istimewa yang menyebabkan terdakwa tidak
dapat dihukum.keadaan istimewa tersebut antara lain:
a. Tidak mampu bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP)
b. Melakukan di bawah daya paksa (Pasal 48 KUHP)
c. Adanya pembelaan terdakwa (Pasal 49 KUHP)
d. Adanya ketentuan Undang-Undang (Pasal 50 KUHP
e. Adanya perintah jabatan (Pasal 51 KUHP)
b. Putusan bebas
Putusan bebas dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil
pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
maka terdakwa diputuskan bebas. (Pasal 191 Ayat 1 KUHAP) 20
c. Putusaan pemidanaan bagi terdakwa
Pemidanaan dapat dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
20
Supramono, 2000:21
35
padanya.hakim dalam hal ini membutuhkan kecermatan, ketelitian serta
kebijakan memahami setiap yang terungkap dalam persidangan. Sebagai
hakim harus berusaha untuk menetapkan suatu hukuman yang setimpal
dan adil.21
Ide diversi sebagai bentuk pengalihan atau penyampingan penanganan kenakalan
anak dari proses peradilan anak konvensional, kearah penanganan anak yang lebih
bersifat pelayanan kemasyarakatan, merupakan prinsip penting menghindarkan
anak pelaku dari dampak negative praktek penyelenggaaan peradilan anak.
Implementasi ide diversi dalam sistem hukum pidana materiel anak, yaitu
pembentukan peraturan perundang-undangan tentang diversi dalam hukum sistem
peradilan pidana anak, sehingga pada akhir dalam uraian ini adalah contoh
perumusan perundang-undangan tentang ide diversi dalam hukum sistem
peradilan pidana anak, Di Indonesia dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana
anak tidak ubahnya seperti peradilan orang dewasa hal ini di sebabkan oleh
sestem perundang-undangan yang tertuang dalam pasal 5 undang-undang
Republik Indonesia No. 3 Tahun 1997 tentang pengadila anak yaitu. Dalam hal
anak belum mencapai umur 8 tahun melakukan atau diduga melakukantindak
pidana maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik.
mplementasi ide diversi belum dapat diterapkan di Indonesia, hal ini disebabkan
karena sistem peradilan pidana anak di Indonesia masih menerapkan berdasarkan
undang-undang.22
21
Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Alumni: Bandung) hlm,56. 22
Nikmah Rosidah, 2012, Pembaharuan Ide Deversi Dalam Implementasi Sistem Peradilan AnakDi Indonesia (Masalah-Masalah Hukum), Fakultas Hukum UNDIP, hlm.179-188.
36
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya.23
Pendekatan
masalah dalam penelitian ini mengunakan yuridis normatif dan yuridis empiris
sebagai pendukung.
Pendekatan yuridis normatif merupakan pendekatan yang dilakukan berdasarkan
bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas
hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian
ini. Pendekatan ini dikenal pula dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan
mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang
berhubungan dengan penelitian ini. Konsep ini memandang hukum identik dengan
norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat
yang berwenang. Konsepsi ini memandang hukum sebagai suatu sistem normatif
yang bersifat mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang
nyata.24
Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute
aproach). Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk mengetahui
23
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm 43. 24
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1988), hlm. 13.
37
keseluruhan peraturan hukum khususnya hukum pidana di Indonesia. Pendekatan
yuridis empiris dilakukan dengan cara mempelajari hukum dan kenyataan atau
berdasarkan fakta yang di dapat secara objektif dilapangan, baik berupa pendapat,
sikap, dan perilaku hkum yang didasarkan pada identifikasi hukum dan efektifitas
hukum.
B. Sumber dan Jenis Data
Penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung
dari bahan-bahan pustaka. Yang diperoleh langsung dari masyarakat dinamakan
data primer (atau data dasar), sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka
yang umumnya dinamakan data sekunder.25
Data dalam penulisan ini
menggunakan data sekunder yang didukung dengan data primer melalui
wawancara akademisi, data sekunder merupakan data yaitu bahan pustaka yang
mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku perpustakaan peraturan
perundang-undangan, karya ilmiah, artikel-artikel, serta dokumen yang berkaitan
dengan materi penelitian. Dari bahan hukum sekunder tersebut mencakup dua
bagian, yaitu:
1. Bahan Hukum Primer,bersumber dari :
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor
73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana.
c. Undang-Undang Noor 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan.
25
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 12.
38
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan
penjelasan yang jelas terhadap hukum primer, anatara lain terdiri dari :
a. Permen PPPA PKDS Nomor 4 Tahun 2017 tentang Perlindungan
Khusus Bagi Anak Penyandang Disabilitas.
b. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Nomor 10 Tahun 2011 tentang Kebijakan
Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus.
c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan
petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan hukum
sekunder, seperti buku-buku literatur, karya-karya ilmiah, serta media
lainnya yang berkaitan dengan permasalahan.
C. Penentuan Narasumber
Informan penelitian adalah seseorang yang memiliki informasi banyak mengenai
objek yang sedang diteliti, dimintai mengenai objek penelitian tersebut. Informan
dari penelitian ini yaitu berasal dari wawancara langsung yang disebut
narasumber. Definisi narasumber adalah peranan informan dalam mengambil data
yang akan digali dari orang-orang yang dinilai menguasai persoalan yang hendak
diteliti, mempunyai keahlian dan berwawasan cukup.
39
Pada penelitian ini penentuan Narasumber hanya dibatasi pada:
1. Disdalduk KB P3A Kabupaten Bandung Barat : 1 orang
2. Dinsos Kabupaten Bandung Barat : 1 orang
3. Polsek Lembang Kabupaten Bandung Barat : 1 orang
4. Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat : 1 orang
5. Ahli Psikiater Dr. Kresno Mulyadi : 1 orang
6. Dosen UNILA Bagian Hukum Pidana : 1 orang
Jumlah : 6 orang
D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengelolahan Data
1. Prosedur Pengumpulan Data
a. Studi Kepustakaan
Prosedur pengumpulan data dilakukan dalam penelitian ini menggunakan
langkah-langkah studi kepustakaan. Studi Kepustakaan yaitu studi
kepustakaan yang dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan cara
membaca, mempelajari, dan mencatat hal-hal penting dari berbagai buku
literatur, perundang-undangan, artikel dan informasi lain yang berkaitan
dengan penelitian ini.
b. Studi Lapangan
Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari responden. Untuk
memperoleh data tersebut dilakukan dengan studi lapangan dengan cara
menggunakan metode wawancara. Proses pengumpulan data dalam
penelitian ini dilakukan dengan studi pustaka, yaitu suatu cara pengumpulan
data dengan melakukan penelusuran dan menelaah bahan pustaka (literatur,
hasil penelitian, majalah ilmiah, buletin ilmiah, jurnal ilmiah dan
sebagainya) yang berkaitan dengan penelitian ini.
40
2. Prosedur Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis yang telah diperoleh
sesuai dengan permasalahan yang di teliti. Pengolahan data dilakukan dengan
tahapan sebagai berikut:
a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan
data, selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti
dalam penelitian ini.
b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok-
kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang
benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.
c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling
berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada
subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.
E. Analisis Data
Tujuan analisis data adalah menyederhanakan data dalam bentuk yang mudah
dibaca dan diindentifikasi. Data yang telah diperoleh kemudian dianalisis secara
kualitatif yaitu menguraikan data dalam bentuk kalimat yang disusun secara
sistematik kemudian diinterpresentasikan dengan berlandaskan pada peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti sehingga
diperoleh gambaran yang jelas mengenai pokok bahasan yang akhirnya akan
menuju pada suatu kesimpulan ditarik dengan metode induktif yaitu cara
penarikan kesimpulan dari hal yang khusus ke hal yang umum.
83
V. PENUTUP
A. Simpulan
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang
memberikan jaminan bahwa setiap anak wajib untuk mendapatkan
perlindungan hukum secara umum maupun bagi anak yang berhadapan
dengan hukum. Dengan adanya batasan waktu dari tahapan penyidikan
dan penuntutan tanpa adanyasekat-sekat pemisah. Dalam proses
penyidikan haruslah mendapatkan informasi keadaan fisik maupun psikis
baik korban, pelaku, maupun saksi hal ini guna mengidentifikasi strategi
pemeriksaan. Setiap proses yang dihadapi haruslah didampingi ahli
penasehat hukum,dan penerjemah dan orang-orang yang akrab ataupun
orang yang mampu menimbulkan rasa nyaman bagi korban penyandang
disabilitas korban guna mempermudah komunikasi dan pemeriksaan.
2. Dalam pelaksanaan proses penyidikan, peluang-peluang untuk melakukan
penyimpangan atau penyalagunaan wewenang untuk tujuan tertentu bukan
mustahil sangat dimungkinkan terjadi. Karena itulah semua ahli
kriminalistik menempatkan etika penyidikan sebagai bagian dari
profesionalisme yang harus di miliki oleh seorang penyidik sebagai bagian
dari profesionalisme yang harus dimiliki oleh seorang penyidik. Bahkan,
84
apabila etika penyidikan tidak dimiliki oleh seseorang penyidik dalam
menjalankan tugas-tugas penyidikan, cenderung akan terjaditindakan
sewenang-wenang petugas yang tentu saja akan menimbulkan persoalan
baru. Karena keaslian TKP disini benar-benar sangat membantu bagi
petugas penyidik dalam melakukan mulai dari penanganan sampai proses
pengolahan maupun penentuan TKP.
B. Saran
Saran dalam penelitian ini adalah:
1. Upaya pihak kepolisian untuk segera menanggapi laporan masyarakat untuk
datang di TKP guna mengamankan dan menjaga TKP agar TKP tidak berubah
dan terjaga keasliannya. Dilakukan koordinasi antara penyidik senior dengan
penyidik yang baru agar bekerjasama dan disekolahkan lagi dalam pelatihan
penyidikan khusunya bagi para penyidik yang baru diangkat sebagai penyidik.
2. Seharusnya pemerintah mengeluarkan suatu perundang-undangan yang
mengatur tersendiri mengenai perlindungan hukum terhadap anak
berkebutuhan khusus sehingga ada suatu ketentuan pidana tersendiri yang
tidak dapat menimbulkan efek terhadap anak berkebutuhan khusus tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
A. LITERATUR
Adami Chazawi. 2011. Pelajaran Hukum Pidana 1, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Abu Ahmadi, Widodo Supriyono. 2008. Psikologi Belajar. Jakarta. PT.Rineka
Cipta.
Abdullah Marlang. 2009. Pengantar Hukum Indonesia. As Center. Makassar.
Bunadi Hidayat. 2010. Pemidanaan Anak Di Bawah Umur. PT Alumni. Bandung.
Bismo Siregar. 2010. Perlindungan Hukum Terhadap Anak. PT.Reflika Aditama,
Medan.
C.S.T.Kansil , Christine S.T.Kansil, 2004. Pokok-Pokok Hukum Pidana. Jakarta.
Erdianto Efendi. 2011. Hukum Pidana Indonesia. Refilika Aditama. Bandung.
Fuad Usfah dan Moh Njaih Tongat. 2004. Pengantar Hukum Pidana. Malang.
Universitas Negeri. Malang.
Hadi Setia Tunggal. 2004 Konvensi Hak-Hak Anak, Harvarindo. Jakarta.
Leden Marpaung. 2011. Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyidikan dan
Penyelidikan). Sinar Grafika. Jakarta.
Lamintang. 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana. PT.Cipta Aditya Bakti. Bandung.
Lham Basri. 2008. Sistem Hukum Indonesia. PT.Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Maidin Gultom, 2010. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem
Peradilan Anak Di Indonesia, P.T.Refika Aditama. Bandung.
Mahrus Ali, 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.
Muladi, 2008. Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung.
Maidin Gultom. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak. Refika Aditama.
Bandung.
Mohammad Efendi, 2009. Pengantar Anak Berkebutuhan Khusus. Sinar Grafika.
Bandung.
Nikmah, Rosidah, 2011. Asas-Asas Hukum Pidana, Pustaka Magister, Semarang.
P.A.F,Laminating, Theo Laminating 2012. Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh,
dan Kesehatan. Sinar Grafika. Jakarta.
R.Abdussalam, 2007. Sistem Peradilan Pidana, Restu Agung . Jakarta.
Ronny Hanitijo Soemitro, 1988. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,
Ghalia Indonesia, Jakarta.
R.Soesilo, 1995, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,KUHP, Bogor.
RE.Baringbing, 2001. Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum, Kajian Reformasi,
Jakarta Pusat.
Soerjono Soekanto, 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
PT.Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Sotochid Kartanegara, 2001. Hukum Pidana Bagian Pertama, Balai Lektur
Mahasiswa. Jakarta.
Sudarto, 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Sutjihati Somantri. 2007. Psikologi Anak Luar Biasa. Refika Aditama. Bandung.
Topo Santoso dan Eva Achani Zulfa, 2011. Kriminologi, Raja Grafindo Persada,
Cetakan Kesepuluh.
Titik Triwulan Tutik, 2006. Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Raya, Jakarta.
Tri Andrisman, 2009. Asas-Asas dan Dasar Aturan Hukum Pidana Indonesia,
Unila, Bandar Lampung.
B. UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN LAINNYA
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak.
Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Asas
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.