12
Jurnal AGORA Vol. 17 No. 1 Juli 2019: 25-36 DOI: http://dx.doi.org/1025105/agora.v17i1.7491 ISSN 1411-9722 (Print) ISSN 2622-500X (Online) 25 PROSES PENENTUAN MAKNA FILOSOFIS BANGUNAN PENANDA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PROCESS ON DEFINING THE PHILOSOPHICAL MEANING OF A LANDMARK BUILDING IN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA R.Aj Siti Cut Alia K. * 1 , Enny S. Sardiyarso 2 , Sri Tundono 3 , Etty R. Kridarso 4 1,2,3,4 Program Studi Sarjana, Jurusan Arsitektur, Universitas Trisakti Jl. Kyai Tapa No.1, Grogol, Jakarta Barat 11440 *e-mail: 1 [email protected] ABSTRAK DIY diharapkan memiliki penanda baru yang dapat merepresentasikan nilai-nilai filosofis serta meneguhkan entitasnya sebagai kota yang mengalami perkembangan di bidang pendidikan, budaya, dan pariwisata. Untuk itu, dalam perancangannya dibutuhkan proses menentukan makna filosofis yang relevan ke dalam wujud tanda, agar transformasi konsep dan bentuk maupun tatanan saling berkesinambungan. Penanda Yogyakarta harus dapat menampilkan citra sebagai representasi lingkungannya, melalui karakteristik dan nilai-nilai filosofis sebagai makna atau pesannya. Tujuan penulisan ini adalah untuk menggambarkan proses dalam menentukan makna filosofis penanda Yogyakarta. Digunakan metode kualitatif, pengumpulan data dengan studi literatur terkait filosofi, teori, dan penanda di Yogyakarta, serta observasi lokasi dan bangunan-bangunan terkait konteks ikut ditentukan sebagai alternatif isu penanda. Isu kemudian disandingkan dengan teori yang ada, disajikan dalam bentuk matriks tabel, untuk dicari relevansinya satu dengan yang lainnya. Hasilnya akan menunjukkan tahapan-tahapan penentuan makna mengacu pada teori yang ada sebagai perkuatan dan dasar, isu mana yang relevan dijadikan sebagai makna penanda selain metode yang menunjukkan perlunya proses rasional dan intuisi untuk mengambil suatu keputusan. Kata kunci : Proses, Makna Filosofis, Bangunan Penanda Yogyakarta ABSTRACT Yogyakarta is expected to have a new landmark which can represent the philosophical values and define its entities as a developed city in education, culture, and tourism. For this reason the designing itself requires the right process on defining the relevant philosophical meaning into a landmark form, so the transformation between concepts, forms, and orders are mutually related to each others. Yogyakarta landmark has to be able to show an image as a representation of its environment, through philosophical characteristics and values as its meaning or message. This writing aims to describe the exact process on defining the philosophical meaning of Yogyakarta landmark. With the use of qualitative methods, collecting datas through literature studies related to the philosophies, theories, and landmarks existed in Yogyakarta, observations to the project location alongside buildings typology related to context are also determined as alternative issues. Those issues then will be juxtaposed within certain theories in a table matrix to look for relevances between one and another, also to decrease the probabilities. The result will show some stages of defining the meaning refers to several theories as a reinforcement and base, which issues are relevant as a meaning of the landmark moreover methods showing the need of rational process and intuitions to make a decision. Keywords : Process, Philosophical Meaning, Yogyakarta Landmark Building

PROSES PENENTUAN MAKNA FILOSOFIS BANGUNAN PENANDA …

  • Upload
    others

  • View
    19

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PROSES PENENTUAN MAKNA FILOSOFIS BANGUNAN PENANDA …

Jurnal AGORA

Vol. 17 No. 1 Juli 2019: 25-36

DOI: http://dx.doi.org/1025105/agora.v17i1.7491

ISSN 1411-9722 (Print)

ISSN 2622-500X (Online)

25

PROSES PENENTUAN MAKNA FILOSOFIS BANGUNAN

PENANDA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PROCESS ON DEFINING THE PHILOSOPHICAL MEANING OF A

LANDMARK BUILDING IN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

R.Aj Siti Cut Alia K. *1, Enny S. Sardiyarso2, Sri Tundono3, Etty R. Kridarso4

1,2,3,4Program Studi Sarjana, Jurusan Arsitektur, Universitas Trisakti

Jl. Kyai Tapa No.1, Grogol, Jakarta Barat 11440 *e-mail: [email protected]

ABSTRAK

DIY diharapkan memiliki penanda baru yang dapat merepresentasikan nilai-nilai filosofis

serta meneguhkan entitasnya sebagai kota yang mengalami perkembangan di bidang

pendidikan, budaya, dan pariwisata. Untuk itu, dalam perancangannya dibutuhkan proses

menentukan makna filosofis yang relevan ke dalam wujud tanda, agar transformasi konsep

dan bentuk maupun tatanan saling berkesinambungan. Penanda Yogyakarta harus dapat

menampilkan citra sebagai representasi lingkungannya, melalui karakteristik dan nilai-nilai

filosofis sebagai makna atau pesannya. Tujuan penulisan ini adalah untuk menggambarkan

proses dalam menentukan makna filosofis penanda Yogyakarta. Digunakan metode

kualitatif, pengumpulan data dengan studi literatur terkait filosofi, teori, dan penanda di

Yogyakarta, serta observasi lokasi dan bangunan-bangunan terkait konteks ikut ditentukan

sebagai alternatif isu penanda. Isu kemudian disandingkan dengan teori yang ada, disajikan

dalam bentuk matriks tabel, untuk dicari relevansinya satu dengan yang lainnya. Hasilnya

akan menunjukkan tahapan-tahapan penentuan makna mengacu pada teori yang ada sebagai

perkuatan dan dasar, isu mana yang relevan dijadikan sebagai makna penanda selain metode

yang menunjukkan perlunya proses rasional dan intuisi untuk mengambil suatu keputusan.

Kata kunci : Proses, Makna Filosofis, Bangunan Penanda Yogyakarta

ABSTRACT

Yogyakarta is expected to have a new landmark which can represent the philosophical values

and define its entities as a developed city in education, culture, and tourism. For this reason

the designing itself requires the right process on defining the relevant philosophical meaning

into a landmark form, so the transformation between concepts, forms, and orders are

mutually related to each others. Yogyakarta landmark has to be able to show an image as a

representation of its environment, through philosophical characteristics and values as its

meaning or message. This writing aims to describe the exact process on defining the

philosophical meaning of Yogyakarta landmark. With the use of qualitative methods,

collecting datas through literature studies related to the philosophies, theories, and

landmarks existed in Yogyakarta, observations to the project location alongside buildings

typology related to context are also determined as alternative issues. Those issues then will

be juxtaposed within certain theories in a table matrix to look for relevances between one

and another, also to decrease the probabilities. The result will show some stages of defining

the meaning refers to several theories as a reinforcement and base, which issues are relevant

as a meaning of the landmark moreover methods showing the need of rational process and

intuitions to make a decision.

Keywords : Process, Philosophical Meaning, Yogyakarta Landmark Building

Page 2: PROSES PENENTUAN MAKNA FILOSOFIS BANGUNAN PENANDA …

AGORA, Jurnal Arsitektur, Volume 17, Nomor 1, Juli 2019

26

A. PENDAHULUAN

Perkembangan kota dapat mengarah pada

perubahan ciri yang seringkali tidak relevan

dengan tujuan semula. Namun sejak dulu,

para tokoh pendiri Yogyakarta telah

merencanakan tata kota dengan landasan

filosofis yang kuat untuk menghambat

perubahan tidak terkendali. Pola dan struktur

ruang yang mengikuti sumbu imajiner, sumbu

antara Gunung Merapi dan Samudera Hindia,

serta sumbu filosofis, sumbu yang terhubung

antara Panggung Krapyak, kraton, serta Tugu

Pal Putih. Menghasilkan sebuah tatanan yang

berbasis pada filosofi makrokosmos dan

mikrokosmos, hubungan yang harmonis

antara Tuhan, manusia, dan lingkungan

alamnya.

Namun seiring maraknya globalisasi dan

masyarakat yang multikultural

mengakibatkan kebutuhan masyarakat

meningkat dalam berbagai aspek. Hal ini

menyebabkan kegiatan pembangunan dan

pengembangan terus dilakukan guna

memenuhi kebutuhan tersebut. Timbul

kekhawatiran bangunan maupun kawasan

baru semakin bias akan nilai luhur

keistimewaan Yogyakarta. Untuk itu, urgensi

pemerintah setempat dalam menetapkan UU

No.13 Tahun 2012 ditujukan untuk

menguatkan Keistimewaan Yogyakarta

melalui berbagai aspek, salah satunya adalah

kebudayaan dan tata ruang. Pada konteks

tersebut, DIY diharapkan memiliki sebuah

penanda yang dapat merepresentasikan

budaya serta keistimewaannya.

Penanda dapat memiliki berbagai macam

bentuk maupun karakter. Bentuk menjadi

salah satu sarana penyampaian pesan dalam

bahasa arsitektur (Jencks, 1980). Karakter

dapat berupa latar belakang, nilai historis

maupun estetis dari suatu lingkungan, sesuai

dengan kriteria penanda (Lynch, 1960). Maka,

selain diperlukannya penanda, penanda juga

harus mampu menampilkan karakteristik citra

yang mempunyai nilai filosofis sebagai makna

atau pesannya.

Idealnya, untuk mewujudkan penanda,

diperlukan proses penentuan makna yang

tepat. Sehingga dapat terwujud penanda yang

merepresentasikan nilai filosofis lingkungan

sebagai citranya. Tetapi pada kenyataannya

dalam perancangan tanda, terkadang

penentuan makna menjadi kendala, karena

belum adanya tahapan mendetail dan proses

keputusan yang berdasar pada subjektifitas

perancang belaka.

Untuk menyelesaikan permasalahan

tersebut, diperlukan kajian dari acuan atau

referensi yang bersumber dari berbagai kajian

teoritis serta mendalam, guna mewujudkan

makna filosofis yang relevan ke dalam

konteks. Sehingga, tujuan penulis adalah

untuk mendapatkan langkah-langkah tepat

dalam menentukan makna filosofis khususnya

bagi Bangunan Penanda Keistimewaan

Yogyakarta.

Manfaat dari kajian ini adalah untuk

memberikan wawasan mengenai penentuan

makna filosofis yang relevan dalam konteks

perancangan bangunan penanda khususnya di

Yogyakarta, serta sebagai acuan bagi

perancangan terkait.

B. STUDI PUSTAKA

B.1 Tinjauan Proses

Proses adalah tahapan atas beberapa

tindakan atau pengolahan untuk menciptakan

suatu hasil (KBBI). Merancang juga

digambarkan sebagai proses sistematis yang

bergantung pada suatu informasi, yang dapat

diimbangi dengan proses intuitif (Wayne O.

Attoe, 1984). Dalam buku Pengantar

Page 3: PROSES PENENTUAN MAKNA FILOSOFIS BANGUNAN PENANDA …

R.Aj Siti Cut Alia: Proses Penentuan Makna Filosofis Bangunan Penanda Daerah Istimewa

Yogyakarta (25-36)

27

Arsitektur, perancang bekerja berdasarkan

informasi, secara rasional, dan mengikuti

serangkaian langkah-langkah analisis,

sintesis, dan evaluatif untuk mencari

pemecahan masalah terbaik (Snyder, 1984).

Diselingi dengan proses intuitif.

Penggunaan metode desain menjadi salah

satu upaya pemecahan masalah. Terdapat dua

metode, yaitu (a) Glass Box, metode yang

terstruktur dan dapat dibuktikan; dan (b)

Black Box, metode tradisional yang tidak

dapat digambarkan proses kreatifnya

(Christopher Jones, 1978).

Gambar 1. Gambaran Tahapan Sistematis

oleh Perancang (Sumber: Pengantar Arsitektur oleh James

Snyder, 1984 : 49)

B.2 Tinjauan Makna Filosofis

Dalam buku “Semantics”, makna

didefinisikan sebagai konotasi suatu kata,

serta sesuatu yang menjadi acuan oleh

penafsir (Leech, 1974). Makna dalam

arstiektur diungkapkan melalui image,

symbol, dan sign (Gibson, 1950).

Filosofi adalah gagasan tentang perilaku,

kepercayaan, dan nilai atau tatanan yang

menjadi paham dan ideologi suatu kelompok

(Maya Davis, 1993). Sehingga, makna

filosofis adalah nilai yang terkandung dalam

wujud atau peristiwa yang kemudian

membentuk hubungan dengan subyek, atau

dapat disebut sebagai dimensi aksiologis suatu

benda atau peristiwa (Gazalba, 1978).

Konsepsi filosofis menjadikan makna sebagai

acuan dalam desain.

B.3 Tinjauan Bangunan Tanda

Bangunan mencakup struktur yang dibuat

untuk memenuhi fungsinya sebagai tempat

bagi manusia tinggal, dan beraktifitas

(Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1997).

Mengacu pada teori semiotik oleh

Ferdinand De Saussure dan Charles Jencks,

tanda adalah wujud fisik yang dilihat melalui

karya arsitektur. Elemen-elemen tersebut

dapat ditinjau melalui tata atur (order), ruang

(space), dan bentuk (form) (Jencks, 1980).

Dalam Buku “The Image of the City”, tanda

atau landmark merupakan titik referensi

berupa suatu elemen struktural yang dapat

diakses secara visual oleh banyak orang dalam

lingkup ruang publik, dan sebagai titik

strategis untuk menunjuk keberadaan suatu

kota. Dapat berupa gunung, bangunan, signal,

dan pertokoan (Lynch, 1960).

Sebaliknya, penanda menurut SEGD

(Society of Environmental Graphic Design)

memiliki beberapa fungsi, yaitu (a) Sarana

yang memberikan petunjuk arah, mengenali

ruang, serta mengarahkan untuk melakukan

kegiatan di dalam ruang; (b) Memberi

informasi agar manusia dapat merasakan

ruang disekitarnya; (c) Memberikan visual

untuk meneguhkan identitas lingkungan; dan

(d) Memberikan ciri atau distinct character

terhadap suatu tempat agar mudah dikenali

atau diingat. Dalam definisi lain,

pembangunan penanda harus dapat

mencerminkan karakteristik lingkungannya,

sehingga dalam penggunaannya selaras

dengan sekitarnya (Shirvani, 1985).

Fungsi penanda DIY adalah sebagai Pusat

Pertunjukan dan Pameran Seni Budaya yang

diharapkan dapat meneguhkan entitas

Yogyakarta sebagai kota pariwisata,

pendidikan, dan budaya.

Page 4: PROSES PENENTUAN MAKNA FILOSOFIS BANGUNAN PENANDA …

AGORA, Jurnal Arsitektur, Volume 17, Nomor 1, Juli 2019

28

B.4 Tinjauan Penanda Yogyakarta

Dalam UU No. 13/2012 tentang

Keistimewaan Yogyakarta, penanda

keistimewaan mampu memenuhi identitas

budaya lokal, sejarah, dan nilai luhur yang

artinya mengakar dalam masyarakatnya (Lay

C, dkk, 2010). Keistimewaan, adalah sesuatu

yang khas, lain dari yang lain, tidak ada yang

menyamakan, dan memiliki sifat-sifat

istimewa (KBBI). Artinya, penanda

keistimewaan Yogyakarta perlu mengandung

nilai-nilai sejarah dan budaya serta hanya

dimiliki oleh Yogyakarta saja.

Dalam Naskah Akademis Perdais Tata

Ruang dan Kebudayaan menjelaskan tentang

modal budaya DIY yang tercermin dalam tata

ruangnya menjadi nilai keistimewaan DIY.

Konsep “Hamemayu Hayuning Bawana”,

“Manunggaling Kawulo Gusti”, “Sangkan

Paraning Dumadi”, serta “Pathok Negara”

yang merupakan simbolisasi mengarah pada

citra monumental kota (Suryanto, 2015).

Maka, dalam hal ini wujud tanda dalam ruang

kota berupa elemen-elemen “Catur Gatra

Tunggal” (masjid, kraton, pasar, dan alun-

alun), sumbu, tugu, panggung krapyak, dan

masjid kutha gara. Selebihnya, beberapa objek

juga dicantumkan dalam Keputusan Walikota

Yogyakarta No. 297/2019 tentang Daftar

Warisan Budaya Daerah Kota Yogyakarta

dengan status nilai penting bangunan

penanda.

Selain itu juga ada konsep Sumbu

Imajiner, konsep Sumbu Filosofis, Tatanan

Catur Gatra Tunggal, kraton, dan Pathok

Negara.

C. METODE

Metode yang digunakan adalah kualitatif,

dengan menggunakan teknik analisis

mendalam melalui data yang dikumpulkan,

dan peneliti sebagai instrumen utama (Siyoto,

2015). Data diperoleh melalui observasi

lokasi perancangan, bangunan penanda, serta

studi literatur terhadap teori, filosofi, dan

bangunan terkait yang menjadi acuan penanda

Yogyakarta.

Pada metode penulisan, langkah pertama

digunakan penyisiran melalui matrikulasi,

diawali dengan penjabaran isu yang diambil

sebagai dasar penentuan makna penanda. Data

dijabarkan dalam tahapan Black Box. Isu-isu

meliputi sejarah, filosofi, kraton, serta lokasi

perancangan. Langkah kedua yaitu

penentuan teori yang dilakukan dalam tahapan

Glass Box. Teori yang digunakan adalah teori

dari YB. Mangunwijaya, Kevin Lynch,

Semiotika dari Jencks dan Saussure, serta DK

Ching. Langkah ketiga, dilakukan

penyimpulan kriteria penanda untuk

didapatkan makna filosofis yang dapat

digunakan pada perancangan fisik

arsitektural.

Semua langkah Disajikan dalam bentuk

matriks untuk mempermudah menemukan

kesesuaiannya dan mempersempit

penyisirannya.

D. HASIL PEMBAHASAN

D.1 Alternatif Isu-Isu Makna dari

Penanda

Penentuan isu-isu secara Black Box

sesungguhnya perlu dilakukan oleh

stakeholder yang terkait dengan

pembangunan kota seperti pemda, tokoh

masyarakat, tokoh sejarah, dan lain-lain.

Melihat konteks perancangan, Term of

Reference, lokasi secara makro (DIY) maupun

mikro (area perancangan), serta tinjauan

mengenai penanda Yogyakarta yang didapat

dari berbagai sumber yaitu meliputi :

Page 5: PROSES PENENTUAN MAKNA FILOSOFIS BANGUNAN PENANDA …

R.Aj Siti Cut Alia: Proses Penentuan Makna Filosofis Bangunan Penanda Daerah Istimewa

Yogyakarta (25-36)

29

D.1.1 Sejarah – Sejarah DIY

Yogyakarta awalnya merupakan Kerajaan

Mataram Islam dengan pusat pemerintahan

terletak di Kota Gede. Perjanjian Giyanti pada

13 Februari 1755 untuk mengakhiri

perselisihan keluarga. Maka dengan intervensi

Belanda, Mataram Islam dibagi menjadi

Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat di

bawah pimpinan Sri Sultan HB I, dan

Kasunanan Surakarta Hadiningrat di bawah

pimpinan Susuhunan Paku Buwono III.

D.1.2 Filosofi Kota Yogyakarta

Penjabaran konsep filosofis yang menjadi

kemungkinan untuk melatar belakangi

penanda Yogyakarta mengacu pada modal

budaya DIY, yang mencerminkan

keistimewaan DIY dalam tata ruangnya.

Selain itu juga menjadi tata nilai

keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta,

yang tercantum dalam Naskah Akademik

Perdais Tata Ruang dan Kebudayaan,

meliputi:

Tabel 1. Substansi Filosofis Arahan

Desain Penanda Yogyakarta NO SUMBER FILOSOFI PENJELASAN

1

Term of

Reference

Hamemayu

Hayuning

Bawana

Hamemayu Hayuning Bawana menjadi dasar filosofi bagi

filosofi lain karena maknanya mampu melintas tema,

konteks, ruang, dan waktu. Secara konseptual, mengatur

harmoni dan tata laku antar manusia, manusia dengan

lingkungan, dan manusia dengan Tuhan. Dalam Naskah

Akademik Perdais, terkait hal ini maka pembangunan

melalui filosofi ini adalah menciptakan kehidupan yang

indah dan sejahtera tanpa harus mengorbankan sumberdaya

secara berlebihan, dengan mengembangkan kebudayaan

Yogyakarta yang berimplikasi pada kesejahteraan

masyarakat.

2 Renaisans Yogyakarta

Renaisans atau menyongsong peradaban baru

mengedepankan budaya yang menjadi dasar pembangunan

di DIY dalam upaya mengangkat derajat manusia seutuhnya dan terciptanya peradaban baru unggul

berasaskan rasa ke-Tuhan-an, kemanusiaan, dan keadilan,

dengan mengandalkan modal dasar kebudayaan serta pendidikan. Renaisans Yogyakarta menjadi lahan tumbuh

dan berkembangnya peradaban melalui harmoni dan

kebhinekaan, melalui revitalisasi yang memuat kearifan

lokal. Pada Naskah Perdais Tata Ruang, Renaisans Yogyakarta tertulis untuk dapat serta mewujudkan

pembangunan dalam waktu jangka panjang, serta

menjadikan Laut Selatan sebagai halaman muka DIY.

3 Hasta Brata

Hasta Brata merupakan delapan perilaku utama yang harus

dimiliki oleh seorang pemimpin. Merupakan cerita

pewayangan Hindu yang kemudian mendapatkan inkulturasi-modifikasi Islam Jawa. Perwujudannya berupa

dewa yang menjadi watak dan kemudian digambarkan

dengan sifat-sifat alam, yaitu Endra atau bumi dan tanah, Surya atau matahari, Bayu atau angin, Kuwera atau

samudera, Baruna atau air, Yama atau bintang, Candra atau

bulan, dan Brama atau api.

(Sumber : Term of Reference Perancangan

Kawasan Terpadu Penanda Keistimewaan

Yogyakarta, 2017)

Tabel 2. Substansi Filosofis Arahan

Desain Penanda Yogyakarta NO SUMBER FILOSOFI PENJELASAN

1

Naskah Perdais

Tata Ruang

Yogyakarta

Sangkan Paraning

Dumadi

Konsep yang berawal dari keyakinan bahwa Tuhan

adalah tempat asal dan kembalinya segala sesuatu.

Dengan kekuasannya, Tuhan menciptakan dunia

sebagai konsep makrokosmos. Konsep ini tercermin

dalam bentuk tatanan pola kota yang mengikuti sumbu

imajiner.

2 Manunggaling

Kawula Ian Gusti

Terinspirasi dari konsep “Sangkan Paraning Dumadi”

yang berdimensi horizontal-vertikal, makna dapat

dilihat dari segi kepemimpinan yang merakyat, dan

juga dari sisi ketataruangan. Dari segi kepemimpinan,

pemimpin harus mementingkan kepentingan yang

dipimpin, sedangkan pada saat dipimpin mengikuti

kepemimpinan sang pemimpin. Dalam segi tata ruang,

tersusun dalam bentuk poros inti Panggung Krapyak-

Kraton-Tugu Golog Gilig, yang menyimbolkan

perjalanan hidup manusia.

3

Sumbu Filosofis

Tugu-Kraton-

Panggung Krapyak

(Asas Ketataan

Historis)

Nilai filosofis dari Panggung Krapyak ke arah utara

merupakan perjalanan lahirnya manusia ke dunia.

Sedangkan nilai filosofis dari Tugu Pal Putih ke arah

selatan merupakan perjalanan kematian manusia

menuju penciptanya. Poros ini menciptakan pola

ruang tersendiri, yang juga mengikuti sumbu gunung-

laut, sejajar dengan dua kali yang ada, yaitu Kali Code dan Kali Winongo. Kawasan yang diapit ini disebut

sebagai “Kutha Gara”.

4 Catur Gatra Tunggal

Catur Gatra Tunggal merupakan konsep dasar

pembentukan inti kota. Perwujudannya dianggap

sebagai empat bagian yang menyatu, yang

menyediakan berbagai kebutuhan manusia. Menggambarkan hubungan dengan Tuhan (masjid),

aspek permukiman atau papan (kraton, yang juga

menjadi pusat budaya DIY), aspek ekonomi (pasar), dan aspek social (alun-alun).

5 Pathok Negara

Pathok Negara adalah konsep keistimewaan Yogyakarta yang ditandai dengan dibangunnya empat

masjid bersejarah (Mlangi, Ploso Kuning, Babadan,

Dongkelan). Membawa nilai pengembangan ekonomi

masyarakatnya, pengembangan Agama Islam, dan pengembangan pengaruh politik Kasultanan. Pesan

yang dikandung adalah bahwa pengembangan

perkotaan haruslah menghormati kawasan pedesaan agar diperoleh tata ruang yang harmonis.

(Sumber : Naskah Akademik Perdais Tata Ruang

DIY)

Melalui penjabaran di atas, maka

disimpulkan bahwa makna Hamemayu

Hayuning Bawana adalah filosofi dasar yang

mendorong lahirnya filosofi dan konsep

lainnya. Artinya merupakan cerminan konsep

makrokosmos - mikrokosmos yang terungkap

pada sumbu serta wujud dari tatanan Catur

Gatra Tunggal. Di sisi lain, hal di atas juga

mempersiapkan Yogyakarta untuk

menghadapi peradaban baru, yang

membutuhkan landasan pembangunan jangka

panjang terkait keistimewaan DIY, sehingga

menyangkut Renaisans Yogyakarta. Filosofi

terikat antara satu dengan yang lainnya.

D.1.3 Sumbu Imajiner Kota

Sumbu imajiner yang merupakan salah

satu ciri keistimewaan fisik DIY

menghubungkan Gunung Merapi – Tugu –

Siti Hinggil dan Sanggar Pamujan kraton –

dan Laut Selatan ini menjadikan pola kota

Yogyakarta terbangun dengan istimewa dan

unik. Sumbu imajiner menjadi cerminan atas

Page 6: PROSES PENENTUAN MAKNA FILOSOFIS BANGUNAN PENANDA …

AGORA, Jurnal Arsitektur, Volume 17, Nomor 1, Juli 2019

30

konsep makrokosmos pola kota yang akan

selalu mengingatkan Yogyakarta terletak di

antara dua kekuatan alam, menggambarkan

keselarasan hubungan antara manusia, Tuhan,

dan alam.

Gambar 2. Sumbu Imajiner dan Sumbu

Filosofis DIY (Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id)

D.1.4 Konsep Desain Kraton

Kraton Yogyakarta merupakan istana

Kesultanan Yogyakarta yang dibangun pada

tahun 1755, berlokasi di pusat kota DIY.

Posisinya sebagai tanda sangat penting karena

menyimbolkan penanda perjalanan sejarah

serta perkembangan budaya di DIY. Letaknya

terhubung erat dengan sumbu utama sehingga

mempengaruhi posisi geografis dan

pembentukan kota DIY.

Kawasan kraton merupakan cagar budaya

yang terdiri dari serangkaian bagian, dengan

konfigurasi ruang linier serta orientasi sumbu

utara-selatan. Terbagi menjadi beberapa

lapisan, dari lapisan terluar yang merupakan

alun-alun sampai pada lapisan pusatnya

menunjukkan hirarki semakin tinggi atau

sifatnya semakin sakral. Terdapat plataran

sebagai ruang terbuka, bangsal sebagai

bangunan yang hanya berstruktur kolom, dan

gedhong sebagai bangunan yang berstruktur

dinding. Struktur bangunan kraton menjadi

rujukan (Suhardi, 2004). Mengadaptasi dari

konsep Hindu, ada tiga komponen rumah

yaitu kepala, badan, dan kaki.

Diklasifikasikan sebagai Panggang-Pe,

Kampung, Tajug, Limasan, dan Joglo.

Meskipun perubahan sosial secara dinamis

terus terjadi, tetapi perkembangan yang

membawa perubahan tersebut tetap tidak

dapat mengubah posisi Kasultanan sebagai

sumber budaya dan simbol pengayom

kehidupan bagi masyarakat DIY. Sehingga

posisi kraton tetap dijadikan sebagai ciri

keistimewaan DIY (Naskah Akademis

Perdais Kebudayaan, hal.1).

D.1.5 Lokasi Parangtritis

Lokasi Kawasan Penanda Keistimewaan

DIY yang direncanakan ini merupakan

kawasan baru yang berlokasi di Perbukitan

Parangtritis Kabupaten Bantul, DIY, dengan

ketinggian sekitar 300 m di atas elevasi tanah

asli. Lahannya dilalui oleh sumbu imajiner

Gunung Merapi – kraton - Laut Selatan, yang

penggambarannya seperti berikut ini.

Gambar 3. Identifikasi Sumbu Imajiner

Gunung Merapi-Laut Selatan

(Sumber: Analisa Pribadi, Google Maps, 2020)

Gambar 4. Identifikasi Sumbu terhadap

Lokasi Perancangan

(Sumber: Analisa Pribadi, Term of Reference,

2020)

D.2 Teori sebagai Penentu Makna

Penanda

Penggunaan teori sebagai penentu makna

dilakukan secara Glass Box, dengan

mempelajari masing-masing dan dikaitkan

dengan isu-isu yang ada. Tahapan dimulai

GUNUNG

MERAPI

LAUT

SELATAN

Page 7: PROSES PENENTUAN MAKNA FILOSOFIS BANGUNAN PENANDA …

R.Aj Siti Cut Alia: Proses Penentuan Makna Filosofis Bangunan Penanda Daerah Istimewa

Yogyakarta (25-36)

31

dengan penjabaran teori yang relevan dengan

konteks, meliputi :

D.2.1 YB. Mangunwijaya

Teori YB. Mangunwijaya diambil karena

definisinya mengenai arsitektur relevan

dengan arsitektur Jawa sebagai budaya

cerminan masyarakatnya.

Arsitektur adalah Wastu, yang berasal dari

bahasa Jawa Kuno, yaitu Vasthuvidya yang

terkait dengan citra atau dalam hal ini adalah

tanda, yang memiliki makna transenden, serta

keselarasan dengan kosmos, spiritual, dan

bersifat transformasi. Arsitektur meliputi guna

atau fungsi dan citra atau tanda, berawal dari

eksistensi manusia jasmani dan rohani, yang

maknanya mampu memberikan materi.

D.2.2 Kevin Lynch

Teori Kevin Lynch digunakan sebagai

perkuatan terhadap identifikasi elemen

pembentuk dan penanda Kota Yogyakarta.

Menurut Lynch, salah satu pembentuk image

suatu kota adalah landmark, yang dalam hal

ini diartikan sebagai tanda yang secara

visibilitas terbagi menjadi dua, dengan

kriteria:

Tabel 3. Jenis dan Kriteria Landmark ASPEK PENJELASAN

Jenis Landmark

(Berdasarkan

Visibilitasnya)

Distant

Landmark

Landmark yang dapat dilihat dari berbagai arah, dengan titik pandang cukup

jauh

Local

Landmark

Landmark yang dilihat hanya dari arah serta posisi tertentu dengan jarak

pandang yang terbatas

Kriteria Landmark

Landmark haruslah memiliki keistimewaan dan karakter fisik tersendiri. Untuk itu, Lynch

juga menyebutkan hal-hal yang perlu diperhatikan untuk landmark, yaitu :

a. Mudah dilihat, memiliki ciri tersendiri

b. Ketunggalan dan ketegasan bentuk

c. Bentuk yang kontras

d. Kontekstual, latar belakang dari semua bangunan yang ada di

lingkungannya

e. Lokasi yang strategis

f. Penerusan (sequence) agar tercipta suatu makna

g. Memiliki detail khusus

(Sumber : Kevin Lynch, 1960)

Sesuai hal itu, Yogyakarta memiliki

beberapa konsep filosofi landmark

Yogyakarta yaitu wujud Catur Gatra Tunggal,

serta poros kuat (sumbu) sebagai bagian dari

struktur kotanya. Sumbu imajiner kemudian

juga dikuatkan dengan posisi Kali Code dan

Kali Winongo, posisinya sejajar dengan

sumbu filosofis (panggung krapyak-kraton-

tugu), yang kemudian kawasan ini disebut

“Kutha Gara”.

Gambar 5. Posisi Kota Yogyakarta terhadap

Kali Code dan Kali Winongo

(Sumber: Analisa Pribadi, Google Maps, 2020)

Menurut teori Kevin Lynch, elemen yang

membentuk citra kota adalah paths, edges,

districts, nodes, dan landmark. Dalam lingkup

Kawasan Kutha Gara, elemen-elemen dalam

tatanan Catur Gatra Tunggal dapat dianggap

sebagai local landmark, didukung dengan

konsep Kutha Gara, posisi Kali Code, Kali

Winongo, dan garis Pantai Selatan sebagai

edges. Alun-alun juga dapat dianggap sebagai

nodes.

Maka dari itu, teori kevin lynch relevan

digunakan untuk mengkaji isu filosofi kraton.

Selain itu, lokasi perancangan juga dipilih

karena memenuhi kriteria landmark menurut

Lynch.

D.2.3 Semiotika

Penentuan makna sebagai acuan dalam

desain juga dapat ditentukan oleh teori

semiotika.

Menurut Charles Jencks (1980), arsitektur

sebagai bahasa non-verbal memiliki ungkapan

penyampaian pesan. Menurut Jacques Havet,

KRATON

KALI

CODE

KALI

WINONGO

Page 8: PROSES PENENTUAN MAKNA FILOSOFIS BANGUNAN PENANDA …

AGORA, Jurnal Arsitektur, Volume 17, Nomor 1, Juli 2019

32

pembentukan suatu tanda adalah akibat yang

kuat antara signifier (pemberi tanda), dan

signified (tanda yang dimaksud). Menurut

Saussure, ketika suatu bangunan

diindikasikan sebagai tanda atau simbol, maka

signifier berperan sebagai bentuk, ruang, isi,

warna, irama, tekstur. Signified berperan

sebagai makna atau pesan yang ada di

dalamnya, berupa konsep ruang, nilai sosial

dan agama, fungsi, ide, serta aktivitas.

Prinsip semiotika dalam arsitektur

menciptakan relasi yang kuat antara

komunitas sosial dengan kondisi geografis,

budaya lokal, serta sejarahnya. Tujuannya

agar tidak asing dengan lingkungan

binaannya. Sehingga teori semiotika relevan

dengan isu filosofi yaitu tatanan Catur Gatra

Tunggal, serta sumbu imajiner eksisting

maupun sumbu pada lokasi perancangan

karena wujudnya sebagai penanda yang

memiliki makna sebagai petandanya.

D.2.4 DK Ching

Tanda terkait dengan bentuk, dan makna.

Sehingga teori DK Ching digunakan sebagai

makna penanda yang melihat dari segi bentuk

atau tanda. Menurut DK Ching, bentuk

memiliki sifat-sifat seperti : (a) ukuran; (b)

warna; (c) tesktur; (d) posisi; (e) orientasi;

dan (f) Inersia Visual.

Melihat isu-isu yang ada, teori DK Ching

paling sesuai disandingkan dengan kraton,

karena sebagai satu-satunya isu yang memiliki

wujud atau bersifat tangible atau tanda.

Gambar 6. Tipologi Bangunan Kraton

(Sumber: kratonjogja.id)

D.3 Matriks

Pada bagian matriks akan dilakukan

penyisiran terhadap isu-isu yang telah

dijabarkan sebelumnya, dengan menggunakan

teori-teori yang ada. Selain itu, juga

ditunjukkan perkuatan terhadap isu yang akan

digunakan, dengan membuktikan

relevansinya terhadap teori-teori yang ada.

Tabel 4. Matriks Relevansi antara Isu dan Teori

YB Mangunwijaya (non fisik) Kevin Lynch Semiotika DK Ching MAKNA PENANDA

Sejarah-

Sejarah

DIY

Tidak menunjukkan relevansi

Filosofi

Kota Yogya

Filosofi Hamemayu Hayuning

Bawana yang menggambarkan

hubungan manusia antar

dimensi, membawa filosofi lain

memiliki relevansi dengan teori

YB. Mangunwijaya. Pola Catur

Gatra Tunggal sebagai

perwujudan bentuk arsitektur

yang memiliki keselarasan

spiritual, karena terdapat elemen

masjid, menggambarkan

hubungan antara manusia dengan

Tuhan. Elemen kraton, pasar, dan

alun-alun menggambarkan

hubungan antara manusia satu

dengan yang lainnya.

Pola Catur Gatra Tunggal beserta

elemen-elemennya adalah local

landmark. Memenuhi kriteria

landmark karena :

a. Memiliki ciri tersendiri, dapat

diidentifikasi melalui empat elemen

penyusunnya, dimana setiap elemen

merepresentasikan sesuatu

b. Memiliki ketunggalan atau

ketegasan bentuk yang didukung

dengan adanya kesimetrisan, poros

yang kuat, dan skala yang besar secara

horizontal sehingga terlihat dominan

dibanding sekitarnya. Memenuhi sifat

kemonumentalan dalam segi pola

ruang.

Pola Catur Gatra Tunggal

(dengan konfigurasi massa

cluster) sebagai wujud tangible

berperan sebagai penanda, atas

representasi makna Hamemayu

Hayuning Bawana dan budaya

masyarakat Jawa (yang

posisinya telah diakui sebagai

ciri keistimewaan DIY) sebagai

petandanya.

Makna yang ditemukan dan relevan

adalah :

a. Hamemayu Hayuning Bawana

b. Wujud Catur Gatra Tunggal

Wujud Catur Gatra Tunggal dapat

mempengaruhi blockplan serta

siteplan. Tatanan massa diharapkan

menjadi penanda karena menandakan

ciri khas pola kraton. Hamemayu

Hayuning Bawana dapat ikut

diwujudkan ke dalam bentuk maupun

tatanan massa.

Sumbu

Imajiner

Kota

Citra arsitektur menurut YB.

Mangunwijaya memiliki

keselarasan dengan kosmos. DIY

terbentuk dari konsep

makrokosmos dan mikrokosmos,

dimana sumbu imajiner (sumbu

maya antara Gunung Merapi-

Dalam konteks wilayah DIY,

sumbu sebagai penanda. Makna

filosofis sebagai petandanya

Sumbu imajiner ditentukan sebagai

makna karena relevan dengan teori,

dan terkait dengan lokasi sehingga

mempengaruhi konfigurasi dan

tatanan massa

Page 9: PROSES PENENTUAN MAKNA FILOSOFIS BANGUNAN PENANDA …

R.Aj Siti Cut Alia: Proses Penentuan Makna Filosofis Bangunan Penanda Daerah Istimewa

Yogyakarta (25-36)

33

Laut Selatan) sebagai konsep

makrokosmos nya.

Kraton

Teori YB. Mangunwijaya

menentukan kraton sebagai

makna penanda DIY dilihat dari

definisi arsitektur sebagai wastu

citra yang berangkat dari

eksistensi manusia, serta mampu

membahasakan dan

mencerminkan jati diri

pengguna. Hal ini sesuai dengan

posisi kraton yang dianggap

sebagai sumber rujukan budaya

bagi masyarakat DIY, dan

sebagai ciri keistimewaan bagi

DIY sendiri. Sehingga makna

kraton dianggap sebagai makna

penanda DIY karena telah

mengakar dari dan diakui oleh

masyarakatnya.

Kraton selain sebagai elemen penting

dalam pola Catur Gatra Tunggal, juga

sebagai elemen penanda penting dalam

konteks makro. Kraton menandakan

perjalanan budaya DIY yang kemudian

terpetakan dalam tata ruang.

Relevansinya dengan teori Kevin

Lynch selain sebagai local landmark

juga memenuhi kriteria landmark yang

dilihat dari :

a. Memiliki ciri tersendiri. Meskipun

penggunaan gaya arsitekturnya adalah

arsitektur Jawa seperti pada bangunan

sekitarnya, tetapi skalanya lebih besar

dibanding yang lainnya. Tatanan linier

yang kuat terbagi menjadi beberapa

lapisan yang menunjukkan hirarki.

Serta penggunaan ornamen (seperti

Candrasengkala, Putri Merong, Alif

Lam Mim) dan vegetasi (seperti

Beringin, Sawo Kecik, Kepel Watu,

dsb) yang memiliki makna tersendiri

dan penempatannya hanya ada di

kraton.

b. Memiliki ketunggalan dan ketegasan

bentuk yang didukung oleh sumbu,

sirkulasi, serta alun-alun yang

membentang arah utara-selatan,

dengan hirarki memusat di kraton.

c. Bentuk yang kontras, dilihat dari

skala bangunan yang cukup besar

secara horizontal dibandingkan dengan

bangunan di sekitarnya.

d. Kontekstual, mencerminkan

karakteristik arsitektur Jawa, dan

merupakan simbol perjalanan budaya

DIY.

e. Lokasi strategis berada di inti kota

DIY, dan terhubung dengan elemen-

elemen penting pembentuk kota

lainnya.

f. Adanya penerusan (sequence) yang

terlihat dari komposisi tatanan ruang

serta sirkulasinya. Tersusun secara

linier dan menerus sehingga

menunjukkan alur yang jelas. Terbagi

menjadi beberapa lapisan. Filosofi

menunjukkan semakin ke pusat tatanan

maka semakin tinggi hirarkinya.

Kraton dipilih dan relevan sebagai

makna penanda karena wujudnya

bersifat fisik (tangible). Penanda

memiliki citra dan kriteria yang

berhubungan dengan bentuk,

lokasi, serta detail. Dalam hal

bentuk, kraton memenuhi sifat

visual bentuk DK Ching, dengan

penjabaran sebagai berikut :

a.Ukuran : Luas area sekitar

14.000 m2, dengan setiap bangunan

memiliki ukuran beragam.

Gedhong Prabayaksa (tempat

penyimpanan benda pusaka) adalah

bangunan terbesar di area kraton,

menunjukkan bangunan tersebut

paling sakral. Setiap bangunan

terdiri dari satu lantai, dengan skala

manusia atau skala wajar.

b.Warna : Pada bagian bangsal,

kolom menggunakan warna hijau

tua atau hitam. Pada bagian

gedhong, dinding menggunakan

warna putih, dengan warna kolom

sama pada bagian bangsal.

Ornamen didominasi warna emas,

kuning, merah, dan hijau muda.

Umpak (alas batu pada kolom)

dominan berwarna hitam atau hijau

tua, dengan ukiran emas atau putih.

Pada bagian atap digunakan warna

merah atau abu-abu tua.

c.Tekstur : Dinding bermaterial

batu bata yang disemen dan dicat.

Rangka kolom bermaterial kayu jati

dengan ukiran di cat glossy.

Menghasilkan permukaan yang

tidak rata.

d.Posisi : Kraton berada di inti Kota

DIY. Diapit oleh alun-alun utara

dan selatan, dan berada di sebelah

timur Masjid Gedhe. Posisinya

dipengaruhi oleh bentuk tapak yang

memanjang serta kosmologi jawa

sehingga membentuk beberapa

lapisan. Dari arah utara-selatan

semakin ke tengah semakin

menunjukkan hirarki yang tinggi.

Lapisan terluar merupakan alun-

alun, lapisan kedua sampai keempat

merupakan plataran, lapisan utama

yang paling sakral berada di

pusatnya, bersifat konsentris,

terdapat kediaman Sultan, serta

tempat penyimpanan benda pusaka.

e.Orientasi : Tatanannya yang

simetris linier mempengaruhi

orientasi bangunan ke arah utara

dan selatan (juga dipengaruhi oleh

kosmologi, menghadap gunung dan

laut). Tetapi pada bagian inti

(Kedhaton), banyak bangunan yang

menghadap ke timur, seperti

Bangsal Kencana, Bangsal Manis,

dan Gedhong Jene

(Kediaman/kantor Sultan).

f. Inersia Visual : Bentuknya

stabil, dengan bentuk geometri

dasar persegi dan persegi panjang

yang simetris. Berdiri tegak lurus di

atas bidang datarnya.

Pada bagian kraton, ditemukan :

a. Penggunaan gaya arsitektur Jawa

b. Tatanan linier dan konsentris, yang

dipertegas dengan sumbu serta diapit

alun-alun

c. Makna, menunjukkan hirarki serta

sifat ruang pada setiap lapisannya

d. Pola bentuk, terkait ukuran, skala,

dan bentuk geometri dasar

e. Posisi serta orientasi

f. Penggunaan material

g. Detail, seperti warna, ornamen,

sampai pada vegetasi yang memiliki

filosofi

Lokasi

Parangtritis

Lokasi perancangan relevan dengan

teori Kevin Lynch karena :

a. Lokasi dinilai strategis. Terletak di

ketinggian yang berbeda jauh dengan

elevasi tanah asli. Lokasi tinggi juga

mendukung posisi penanda semakin

diagungkan. Seperti di kraton, posisi

paling tinggi adalah di bagian

Sitihinggil dan Kedhaton, yang

merupakan tempat resmi kedudukan

Sultan. Lokasi juga membuat penanda

terlihat lebih dominan dibanding

sekitarnya.

b. Memiliki detail khusus karena

dilewati Sumbu Imajiner.

Terhadap lokasi perancangan

(yang juga dilewati sumbu

imajiner DIY), sumbu sebagai

penanda. Petandanya berupa

makna bahwa di sepanjang

sumbu tidak diperbolehkan

terbangun infrastruktur, agar

pandangan Sri Sultan tidak

terhalang. Hal ini akan

mempengaruhi konfigurasi,

tatanan kawasan serta bentuk

penanda.

Pada lokasi ditemukan :

a. Potensi karena berada di tempat

yang tinggi

b. Detail khusus, dilewati sumbu

sehingga pada bagian tersebut tidak

dapat dibangun

Page 10: PROSES PENENTUAN MAKNA FILOSOFIS BANGUNAN PENANDA …

AGORA, Jurnal Arsitektur, Volume 17, Nomor 1, Juli 2019

34

(Sumber : Analisa Pribadi, 2020)

D.4 Penyimpulan Kriteria Penanda

DIY dengan Tanda-Tanda

Arsitektural

Setelah proses penyisiran makna melalui

matriks, diikuti dengan proses penyimpulan

kriteria penanda, dengan meng-counter nya

konsep dari Katharina H. Anthony (1997).

Maka proses berikut adalah menentukan

kriteria yang lebih objektif serta konkrit untuk

menuju perancangan fisik arsitektural atau

yang disebut tanda.

Tabel 5. Matriks Penyimpulan Kriteria Penanda

Unsur Tanda

Desain Fisik

(Menurut

Katharina,

1997)

Pilihan Makna Tanda

Filosofi Kota Yogya Sumbu Imajiner Kota Konsep Desain Kraton Lokasi Parangtritis

Blockplan

Blockplan merupakan tanda dari pola

khas kraton. Building massing serta

tata komposisi massa pada tapak

merupakan penanda dari filosofi

“Catur Gatra Tunggal”.

Sumbu merupakan tanda dari konsep

makrokosmos dan harmonisasi alam.

Mempengaruhi tata komposisi massa pada

tapak, karena pada area tersebut tidak dapat

dibangun.

Site

Development

Bangunan-bangunan di kawasan

penanda mengikuti eksisting Catur

Gatra Tunggal : Kraton, pasar, dan

masjid masing-masing memiliki drop-

off.

Exterior Space dapat menggunakan vegetasi

khas seperti di kraton. Memperbanyak ruang

terbuka (plataran) sebagai penghubung antar

bangunan. Easy Identification of Entry dapat

menempatkan pendhapa atau gapura, yang

dekat atau terhubung dengan alun-alun.

Memperbanyak pedestrian path. Parkir

diletakkan jauh dari bangunan utama.

Functional

Planning

Secara makro (pada kawasan),

tananan massa menggunakan

organisasi cluster, seperti pola Catur

Gatra Tunggal. Fungsi utama adalah

kraton, masjid, pasar, alun-alun.

Fungsi penanda dalam kawasan

diadaptasi sebagai tempat pertunjukan

/ teater (di sayap kanan / timur),

tempat pameran / museum (di sayap

kiri / barat), semi eksibisi, restoran,

dan menara pandang (di bangunan

utama), alun-alun, dan fungsi

penunjang seperti pasar, masjid, serta

hotel.

Secara mikro (pada bangunan), flow sirkulasi

dan zoning adalah linier yang menunjukkan

makna serta hirarki. Bangunan utama sebagai

pusat.

Spatial Quality

Skala ruang menggunakan skala wajar dan

manusia. Skala bangunan menggunakan skala

monumental secara horizontal. Mengupayakan

banyak bukaan pada arah utara-selatan agar

pencahayaan dan penghawaan maksimal.

Building Form

Bentuk memiliki ciri khas dan kontras seperti

kraton. Geometri dasar bujur sangkar, dan

orientasi utara-selatan.

Adaptasi pada kontur, untuk meminimalisir cut and

fill.

Aesthetic

Design

Fasad dan warna pada kraton merupakan tanda

dan ciri dari kraton, sehingga menggunakan

penanda baru sepatutnya menggunakan fasad

serta warna yang serupa.

Structural

Design

Filosofi Hamemayu Hayuning

Bawana menggambarkan hubungan

manusia dengan alam, sehingga

penggunaan struktur agar tidak

merusak eksisting dan tidak

mengeksploitasi sumber daya

berlebihan.

Konsep struktur mengikuti arsitektur jawa

(kepala, badan, kaki). Ada yang hanya

berstruktur kolom , dan ada yang berstruktur

dinding.

Use of

Material

Filosofi Hamemayu Hayuning

Bawana menggambarkan hubungan

manusia dengan alam, sehingga dapat

menggunakan material yang ramah

lingkungan serta sustainable.

Seperti kraton, pada beberapa bagian di

penanda baru akan menggunakan material batu

bata, cat, serta kayu jenis jati sebagai muatan

lokal.

Page 11: PROSES PENENTUAN MAKNA FILOSOFIS BANGUNAN PENANDA …

R.Aj Siti Cut Alia: Proses Penentuan Makna Filosofis Bangunan Penanda Daerah Istimewa

Yogyakarta (25-36)

35

Environmental

Control

System

Filosofi Hamemayu Hayuning

Bawana dapat mempengaruhi sistem

pengolahan, pembuangan limbah,

sampai pada penggunaan energi.

Agar membuat tempat penampungan serta

pengolahan sendiri karena lokasinya jauh dari

sungai kota maupun TPA.

(Sumber : Analisa Pribadi, 2020)

D.5 Penyimpulan Proses Penentuan

Makna Filosofis

Berdasarkan uraian yang disebutkan maka

proses penentuan makna filosofis dapat di

gambarkan dalam diagram sebagai berikut.

Gambar 6. Tahapan Penentuan Makna

Filosofis Penanda DIY

(Sumber: Analisa Pribadi, 2020)

KESIMPULAN

Dari kajian serta penyisiran yang telah

dilakukan, dapat disimpulkan bahwa tahapan

pertama dalam menentukan makna filosofis

penanda Yogyakarta adalah dengan

melakukan kesimpulan bersama intuitif dan

melihat berbagai sumber. Tahapan kedua

adalah penentuan teori untuk menganalisa isu-

isu yang telah ditentukan. Kemudian

dilakukan penyisiran untuk mencari

kemungkinan-kemungkinan yang ada. Dicari

relevansi antar isu melalui teori dalam

penyajian matriks tabel. Tahapan ketiga

adalah menyimpulkan kriteria penanda yang

mengarahkan kepada perancangan fisik

arsitektural yang disebut sebagai tanda.

Hasilnya, bisa terjadi lebih dari satu makna

atau isu yang mendasari penanda. Dari proses

yang telah dilakukan, isu yang relevan

digunakan sebagai makna penanda yaitu

terkait filosofi Hamemayu Hayuning Bawana,

Hasta Brata, Renaisans Yogyakarta, Catur

Gatra Tunggal. Secara keseluruhan filosofi

tersebut menunjukkan keterkaitan antara satu

dengan yang lainnya), sebagai suatu sistem

yaitu keterkaitan termasuk sumbu, kraton,

serta lokasi perancangan. Terhadap isu

sejarah, kurang sesuai untuk dijadikan makna

penanda karena tidak menunjukkan hasil serta

relevansi yang kuat terhadap teori yang ada.

Melihat filosofi Yogyakarta yang

terhubung satu sama lain, menjadikan elemen-

elemen perwujudannya sebagai ciri

keistimewaan yang diakui. Sehingga,

sepatutnya rancangan penanda itu menjadi

acuan filosofi, baik dalam bentuk bangunan

maupun tatanan massa kawasan.

DAFTAR RUJUKAN

Ching, Francis D.K., Arsitektur Bentuk,

Ruang, dan Tatanan, Erlangga, Jakarta, 2007

Jencks, Charles. dkk., Sign, Symbol and

Architecture, Wiley, New York, 1980

Kurniawan, Andri. Sadali, Mohammad

Isnaini., Keistimewaan Lingkungan Daerah

Page 12: PROSES PENENTUAN MAKNA FILOSOFIS BANGUNAN PENANDA …

AGORA, Jurnal Arsitektur, Volume 17, Nomor 1, Juli 2019

36

Istimewa Yogyakarta, Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta, 2015

Lay, C. dkk., Keistimewaan Yogyakarta,

Naskah Akademik dan Rancangan Undang-

Undang Keistimewaan Yogyakarta,

Monograph on Politics and Government 2 (1),

Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM dan

Program S2 Politik, Yogyakarta, 2008

Leech, geoffrey N., Semantics : the Study of

Meaning, Penguin Books Ltd, England, 1974

Lynch, Kevin., The Image of the City, The

M.I.T. Press, Massachusetts, 1960

Mangunwijaya, YB., Wastu Cutra : Pengantar

ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur, Sendi-

Sendi Filsafatnya, Beserta Contoh-Contoh

Praktis, PT. Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta, 1988

Naskah Akademis Perdais Kebudayaan dan

Tata Ruang Daerah Istimewa Yogyakarta

Penjelasan atas Undang-Undang Republik

Indonesia No. 13 Tahun 2012 tentang

Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta

Pramono, Daniel Tria. dkk., “Bangunan Pusat

Konvensi sebagai Landmark Kawasan

Tenggara Kota Malang”. Vol. 4, No. 2, Jurnal

Arsitektur UB, 2016

Ridjal, Abraham Mohammad., “Membangun

Jembatan antara Buku dan Praksis

Arsitektur”. Vol. 10, No. 2, Jurnal Ruas UB,

2012

Rogi, Octavianus H.A., “Tinjauan Otoritas

Arsitek dalam Teori Proses Desain”. Vol. 11,

No. 3, Media Matrasain, 2014

Shirvani, Hamid., The Urban Design Process,

Van Nostrand Reinhold, Michigan, 1985

Snyder, James C. dkk., Pengantar Arsitektur,

Penerbit Erlangga, Jakarta, 1984

Suhardi., “Rumah Orang Jawa : Konteks

Kosmologi dalam Arsitektur Tradisional”.

Dalam Nilai Kearifan Lokal Rumah

Tradisional Jawa oleh Djono, dkk., Vol.24,

No. 3, Jurnal Humaniora, 2012

Suryanto. dkk., “Aspek Budaya dalam

Keistimewaan Tata Ruang Kota Yogyakarta”.

Vol. 26, No. 3, Jurnal Perencanaan Wilayah

dan Kota ITB, 2015

Wibowo, H.J. dkk., Arsitektur Tradisional

Daerah Istimewa Yogyakarta, Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan RI Jakarta,

Jakarta, 1998