Upload
hasri-saleh
View
236
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Proposal Winda
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai
“keadaan fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata keadaaan tanpa penyakit
atau kelemahan.” Definisi ini menekankan kesehatan sebagai suatu keadaan
sejahtera yang positif, bukan sekadar keadaan tanpa penyakit. Orang yang
memiliki kesejahteraan emosional, fisik, dan sosial dapat memenuhi tanggung
jawab kehidupan, berfungsi dengan efektif dalam kehidupan sehari-hari, dan puas
dengan hubungan interpersonal dan diri mereka sendiri (Videbeck, 2012).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan jiwa
sebagai keadaan fisik, mental, dan sosial bukan semata-mata keadaan tanpa
penyakit atau kelemahan. Definisi ini menekankan bahwa kesehatan jiwa sebagai
suatu keadaan sejahtera yang positif, bukan sekedar keadaan tanpa penyakit tapi
sehat mental dan sosial (Buchanan & Carpenter, 2000).
Menurut Sekretaris Jendral Dapertemen Kesehatan (Sekjen Depkes), H.
Syafii Ahmad, kesehatan jiwa saat ini telah menjadi masalah kesehatan global
bagi setiap negara termasuk Indonesia. Proses globalisasi dan pesatnya kemajuan
teknologi informasi memberikan dampak terhadap nilai-nilai sosial dan budaya
pada masyarakat. Di sisi lain, tidak semua orang mempunyai kemampuan yang
1
sama untuk menyusuaikan dengan berbagai perubahan, serta mengelola konflik
dan stres tersebut. ( Diktorat Bina Pelayanan Keperawatan dan Pelayanan Medik
Dapertemen Kesehatan, 2007).
Diperkirakan bahwa 2-3% dari jumlah penduduk Indonesia menderita
gangguan jiwa berat. Bila separuh dari mereka memerlukan perawatan di rumah
sakit dan jika penduduk Indonesia berjumlah 120 juta orang maka ini berarti bahwa
120 ribu orang dengan gangguan jiwa berat memerlukan perawatan di rumah sakit
(Iyus Yosep, 2007).
Jumlah kasus gangguan jiwa yang ditemukan di masyarakat, khususnya
di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Nias, cukup tinggi. Saat ini telah
ditemukan 11.000 pasien pasien di 21 kabupaten/kota di NAD dan 146 pasien di
2 kabupaten di Nias. Jumlah ini belum menggambarkan angka sebenarnya karena
belum seluruh daerah dideteksi sehingga masih mungkin terjadi penambahan
angka. Dari jumlah tersebut, baru separuh pasien yang dirawat oleh perawat
Community Mental Health Nursing (CMHN) dan sekitar 31,46% pasien yang
dirawat telah mandiri (Keliat,2013).
Berdasarkan data Amerika Serikat penderita skizofrenia setiap tahun
terdapat 300.000 pasien 20-50% pasien skizofrenia melakukan percobaan bunuh
diri dan 10% di antaranya berhasil bunuh diri. Berdasarkan data dari epidemiologi
psikiatri Indonesia pada tahun 2005 yang menyebutkan bahwa di 11 kota di
Indonesia di temukan 18,5% dari penduduk dewasa menderita gangguan jiwa.
2
Dampak dari hilangnya produktifitas, biaya perawatan yang harus dikeluarkan
(Keliat,1992, dalam Marlena Agustina,2011).
Salah satu tanda dan gejala dari skizofrenia adalah terjadinya halusinasi.
Halusinasi merupakan bentuk yang paling sering terjadi dari gangguan persepsi.
Menurut Varcarolis dalam Iyus Yosep (2009), Halusinasi dapat didefinisikan
sebagai tergangguanya persepsi sensori seseorang, dimana tidak terdapat stimulus.
Tipe halusinasi yang paling sering adalah halusinasi pendengaran (Auditory-
hearing voices or sounds), penglihatan (Visual-seeing persons or things),
penciuman (Olvactory-smelling odors), pengecapan (Gustatory-experiencing
tastes). Dampak dari halusinasi adalah pasien sulit berespon terhadap emosi,
perilaku pasien menjadi tidak terkendali, dan akhirnya pasien mengalami isolasi
social karena tidak m ampu bersosialisasi dengan orang lain.
Diperkirakan lebih dari 90% klien dengan skizofrenia mengalami
halusinasi. Halusinasi dapat didefinisikan sebagai terganggunya persepsi sensori
seseorang, dimana tidak terdapat stimulus. (Iyus Yosep, 2007).
Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptive yang bebrbeda dalam
rentang respon neurobiologist, halusinansi ialah respon persepsi yang paling
maladaptive, klien dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indera
walaupun tersebut tidak ada (Stuart,2007 dalam Kiki Pebriyani 2012).
Lingkup masalah kesehatan jiwa yang dihadapi individu sangat kompleks
sehingga perlu penanganan oleh suatu program kesehatan jiwa yang kompleks
pula. Masalah-masalah kesehatan jiwa dapat meliputi : 1) perubahan fungsi jiwa
sehingga menimbulkan penderitaan pada individu (distress) dan atau hambatan
3
dalam melaksanakan fungsi sosialnya; 2) masalah psikososial yang diartikan
sebagai setiap perubahan dalam kehidupan individu baik yang bersifat psikologis
maupun yang memberi pengaruh timbal balik dan dianggap mempunyai pengaruh
cukup besar (Suliswati, 2005).
Praktik kontemporer keperawatan jiwa terjadi dalam konteks sosial dan
lingkungan. Peran perawat jiwa profesional berkembang secara kompleks dari
elemen historis aslinya. Peran tersebut kini mencakup dimensi kompetensi klinis,
advokasi pasien-keluarga, tanggung jawab fisikal, kolaborasi antardisiplin,
akuntabilitas sosial, dan parameter legal-etik (Stuart,2012).
Dalam melaksanakan perannya perawat harus mempunyai pengetahuan
yang memadai dalam upaya memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas.
Pengetahuan tentang farmakologi yang harus diketahui perawat antara lain tentang
dosis, reaksi obat, efek obat, efek samping obat, cara persepsi klien dalam
menerima terapi obat. Ada empat peran perawat dalam pemberian obat, yaitu :
1. Sebagai Pelaksanaan
2. Sebagai Pengelola
3. Sebagai Pendidik
4. Sebagai Peneliti (Sujono,2009 dalam Kiki Pebriyani, 2012).
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan Kiki Pebriyani (2012)
di Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar Palembang, jumalah penderita gangguan jiwa
di rawat inap pada tahun 2009 berjumlah 4.313 orang. Pada tahun 2010 berjumlah
4
4.858 orang, dan tahun 2011 berjumlah 4.885 orang. Sebagian besar pasien rawat
inap di Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar menderita Skizofrenia.
Sedangkan berdasarkan catatan Rekam Medik pasien Rumah Sakit Dr.
Ernaldi Bahar Palembang jumlah pasien gangguan jiwa pada tahun 2013
berjumlah......... orang. Pada tahun 2014 berjumlah............ orang.
Berdasarkan data diatas maka penulis teratrik untuk mencoba meneliti
pengaruh peran perawat dalam pelaksanaan pemberian obat pada pasien
Halusinasi di Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar Palembang.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalahnya adalah
belum diketahuinya pengaruh peran perawat dalam pelaksanaan pemberian obat
pada pasien halusinasi Di Ruang....... Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar Palembang
Tahun 2015.
1.3. Pertanyaan Penelitian
Dari permasalahn diatas, maka timbul pertanyaan penelitian yaitu :
Bagaimana pengaruh peran perawat dalam pelaksanaan pemberian obat pada
pasien halusinasi Di Ruang...... Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar Palembang Tahun
2015 ?
5
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Diketahui pengaruh peran perawat dalam pelaksanaan pemberian obat
pada pasien halusinasi Di Ruang...... Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar Palembang
Tahun 2015.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Diketahui pengaruh peran perawat sebagai pelaksana dalam pemberian
obat pada pasien halusinasi di rumah sakit Dr. Ernaldi Bahar
Palembang.
2. Diketahui pengaruh peran perawat sebagai pengelola dalam pemberian
obat pada pasien halusinasi di rumah sakit Dr. Ernaldi Bahar
Palembang.
3. Diketahui pengaruh peran perawat sebagai pendidik dalam pemberian
obat pada pasien halusinasi di rumah sakit Dr. Ernaldi Bahar
Palembang.
4. Diketahui pengaruh peran perawat sebagai peneliti dalam pemberian
obat pada pasien halusinasi di rumah sakit Dr. Ernaldi Bahar
Palembang.
5. Diketahui distribusi frekuensi pelaksanaan pemberian obat pada pasien
Halusinasi di rumah sakit Dr. Ernaldi Bahar Palembang.
6
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Bagi Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar Palembang
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan bagi
Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar Palembang yang terkait dengan pengaruh peran
perawat dalam pelaksanaan pemberian obat pada pasien halusinasi Di Ruang.......
Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar Palembang Tahun 2015.
1.5.2. Bagi STIK Siti Khadijah Palembang
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu penambah
referensi kepustakaan di bidang keperawatan jiwa dalam pelaksanaan pemberian
obat pada pasien halusinasi.
1.5.3. Bagi Peneliti Sendiri
Untuk meningkatkan pengetahuan, wawasan dan keterampilan dalam
menerapkan ilmu pengetahuan yang didapat dalam mengikuti proses pendidikan.
Khususnya materi keperawatn jiwa.
1.5.4. Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar
penelitian selanjutnya.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini termasuk pada area keperawatan jiwa yang kajian
penelitiannya adalah untuk mengetahui pengaruh peran perawat dalam
7
pelaksanaan pemberian obat pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Dr. Ernaldi
Bahar Palembang. Waktu penelitian dilaksanakan pada tanggal ...... sampai .....
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kesehatan Jiwa
2.1.1. Definisi Kesehatan Jiwa
Kesehatan jiwa menurut WHO yaitu suatu kondisi sejahtera dimana
individu menyadari kemampuan yang dimiliki nya, dapat mengatasi stress dalam
kehidupannya, dapat bekerja secara produktif dan mempunyai kontribusi dalam
kehidupan bermasyarakat (Jurnal Keperawatan PPNI Provinsi Jawa Tengah).
Definisi kesehatan jiwa menurut UU No. 3 tahun 1966 kesehatan jiwa
adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan
emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras
dengan keadaan orang lain (Suliswati,2005).
Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis, dan
sosial yang terlihat dari hubungan in terpersonal yang memuaskan, perilaku dan
koping yang efektif, konsep diri yang positif, dan kestabilan emosional.
Kesehatan jiwa memiliki banyak komponen dan dipengaruhi oleh berbagai faktor
(Johnson,1997 dalam Videbeck,2012).
Menurut Stuart (2012) kriteria kesehatan jiwa, yaitu :
1. Sikap positif terhadap diri sendiri
9
2. Pertumbuhan, perkembangan, dan aktualisasi diri
3. Integrasi dan ketanggapan emosional
4. Otonomi dan kemantapan diri
5. Persepsi realitas yang akurat
6. Penguasaan lingkungan dan kompetensi sosial.
2.1.2. Gangguan Kesehatan Jiwa
UU No. 3 tahun 1996 tentang kesehatan jiwa menyatakan, Gangguan jiwa
adalah adanya gangguan pada fungsi kejiawaan. Fungsi kejiwaan adalah proses,
emosi, kemauan dan perilaku psikomotorik termasuk bicara. (Suliswati,2005).
Gangguan jiwa adalah sindrom atau pola perilaku yang secara klinis
bermakna yang berhubungan dengan distres atau penderitaan dan menimbulkan
hendaya pada satu atau lebih fungsi kehidupan manusia (Keliat, 2013).
Menurut (Suliswati, 2005 dalam Kiki Pebriyani, 2012) Ciri-ciri gangguan
sebagai berikut :
1. Perubahan yang berulang dalam pikiran, daya ingat, persepsi
bermanifestasi sebagai kelainan berbicara dan perilaku.
2. Perubahan ini karena tekanan batin, dan penderitaan pada individu dan
orang lain dilingkungannya.
3. Perubahan perilaku, akibat penderitaan ini menyebabkan gangguan dalam
kegiatan sehari-hari, efisien kerja, dan hubungan dengan orang lain.
10
Sedangkan dalam Modul “Basic Course Community Mental Psychtary
Nursing (CPN)” (2005) menyatakan ciri-ciri gangguan jiwa adalah :
1. Marah tanpa sebab
2. Mengurung diri
3. Tidak mengenali
4. Bicara kacau
5. Bicara sendiri
6. Tidak mampu merawat diri
2.1.3. Penyebab Gangguan Jiwa
Menurut Suliawati (2005) gangguan jiwa dapat disebabkan oleh berbagai
faktor sebagai berikut :
1. Suasana rumah antara lain (sering bertengkar, salah pengertiandiantara
anggota keluarga, kurang kebahagiaan dan kepercayaan di antara anggota
keluarga) sehingga dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan pada
seorang individu. Apabila sedang menghadapi stres dan ketegangan dalam
kehidupannya, dapat menyebutkan sakit karena kurang mampu beradaptasi
dan kurang terampil dalam menghadapi situasi dan pengendalian emosi.
2. Pengalaman masa kanak-kanak. Kasi sayang yang cukup, bimbingan yang
sesuai, memberika semangatdan disiplin dari seseorang. Bila tidak
memadai dan terdapat pengalaman yang tidak menyenangkan secara
11
berulang pada massa kanak, dapat menyebabkan gangguan jiwa pada
kehidupan dewasa.
3. Faktor keturunan. Pada beberapa kasus gangguan jiwa, kemungkinan
didapatkan pula anggota keluarga lainnya, yang menderita penyakit yang
sama. Pada beberapa kasus gangguan jiwa lain, tidak ditemukan seoarang
pun dalam keluarganya dengan gangguan jiwa serupa. Kecendrungan
untuk berkembangnya suatu gangguan jiwa dapat diturunkan pada seorang
individu, tetapi apakah orang tersebut akan sakit bergantung pada faktor
lain yang dapat mempengaruhinya.
4. Perubahan dalam otak. Setiap perubahan dalam struktur/fungsi otak, dapat
menyebabkan gangguan jiwa. Perubahan biokimia pada sel-sel adalah
penyebab yang banyak dari gangguan psikotik.
2.2. Skizofrenia
2.2.1. Definisi Skizofrenia
Skizofrenia berasal dari dua kata “Skizo” yang berarti retak atau pevak dan
“frenia” yang berarti jiwa, dengan demikian seseorang yang menderita gangguan
jiwa. Skizofrenia adalah orang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan
kepribadian (Hawari, 2006 dalam Nepriana, 2011).
Skizofrenia adalah suatu gangguan jiwa berat yang ditandai dengan
penurunan atau ketidakmampuan berkomunikasi, gangguan realitas (halusinasi
atau waham), afek tidak wajar atau tumpul, gangguan kognitif (tidak mampu
12
berpikir abstrak) serta mengalami kesukaran melakukan aktivitas sehari-hari
(Keliat,2013).
Melinda Herman (2008) dalam Iyus Yosep (2007), mendefinisikan
skizofrenia sebagai penyakit neurologis yang mempengaruhi persepsi klien, cara
berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya.
2.2.2. Penyebab Skizofrenia
Gangguan skizofrenia dapat terjadi karena : (Keliat,2013)
1. Faktor genetik, belum teridentifikasi secara spesifik, namun pengaruh
lokasi kromosom 6 pada gen dengan kromosom 4,8,15,22 berhubungan
dengan terjadinya skizofrenia.
2. Faktor keturunan atau bawaan merupakan faktor penyebab yang tidak
besar pengaruhnya bagi munculnya gangguan skizofrenia.
3. Ketidakseimbangan neurotransmiter (dopamin dan glutamat).
4. Faktor lingkungan seperti kekurangan gizi selama kehamilan, masalah
dalam proses kelahiran, stres pada kondisi lingkungan, dan stigma
(penyebab kekambuhan pasien skizofrenia).
2.2.3. Gejala Skizofrenia
Gejala-gejala skizofrenia adalah sebagai berikut :
13
1. Gejala positif
a. Waham : keyakinan yang salah, tidak sesuai dengan kenyataan,
dipertahankan dan disampaikan berulang-ulang (waham kejar, waham
curiga, waham kebesaran).
b. Halusinasi : gangguan penerimaan pancaindera tanpa ada stimulus
eksternal (halusinasi pendengaran, penglihatan, pengecapan,
penciuman, dan perabaan).
c. Perubahan arus pikir
Arus pikir terputus: dalam pembicaraan tiba-tiba tidak dapat
melanjutkan isi pembicaraan.
Inkoheren: berbicara tidak selaras sengan lawan bicara (bicara
kacau).
Neologisme: menggunakan kata-kata yang hanay dimengerti
oleh diri sendiri, tetapi tidak dimengerti oleh orang lain.
d. Perubahan perilaku
Hiperaktif: perilakumotorik yang berlebihan
Agitasi: perilaku yang menunjukkan kegelisahan
Iritabilitas: mudah tersinggung
2. Gejala negatif
a. Sikap masa bodoh (apatis)
b. Pembicaraan terhenti tiba-tiba (blocking)
c. Menarik diri dari pergaulan sosial (isolasi sosial)
d. Menurunnya kinerja atau aktivitas sosial sehari-hari. (Keliat,2013)
14
2.2.4. Fase skizofrenia
Fase-fase skizofrenia (Keliat,2013) dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Fase akut: fase mulai munculnya gejala sampai dengan sebelum 6 bulan,
ditandai dengan gejala positif dan negatif
2. Fase kronik: diagnosis skizofrenia kronik ditandai dengan gejala akut,
sudah berlangsung 6 bulan atau lebih, disertai
a. Tidak memperhatikan kebersihan diri
b. Gangguan motorik atau pergerakan
Berdasarkan Iyus Yosep (2007) fase skizofrenia terdiri dari :
1. Fase Prodromal
- Berlangsung antara 6 bulan sampai 1 tahun
- Gangguan jiwa dapat berupa self care, gangguan dalam akademik,
gangguan dalam pekerjaan, gangguan fungsi bicara, gangguan pikiran
dan persepsi.
2. Fase Aktif
- Berlangsung kurang lebih 1 bulan
- Gangguan dapat berupa gejala psikotik, halusinasi, delusi,
disorganisasi proses pikir, gangguan bicara, gangguan perilaku,
disertai kelainan neurokimiawi.
3. Fase Residual
- Klien mengalami minimal 2 gejala, gangguan afek, dan gangguan
peran, serangan biasanya berulang.
15
2.3.Halusinasi
2.3.1. Definisi Halusinasi
Halusinasi menurut Depkes (2000) adalah gerakan penyerapan (persepsi)
panca indera tanpa ada rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem
panca indera terjadi pada saat kesadaran individu penuh/baik (Deden
Dermawan,2013).
Halusinasi adalah salah satu gangguan jiwa pada individu yang ditandai
dengan perubahan sensori persepsi; merasakan sensasi palsu berupa suara,
penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan. Pasien merasakan stimulus
yang sebenarnya tidak ada (Keliat,2012).
Halusinasi adalah sensasi panca indera tanpa adanya rangsangan, klien
melihat, mendengar, membau, ada rasa kecap meskipun tidak ada sesuatu
rangsangan yang tertuju pada kelima panca indera tersebut (Izzudin,2005 dalam
Kiki Pebriyani, 2012).
2.3.2. Jenis Halusinasi
Jenis halusinasi menurut Deden Dermawan (2013) ada 2, yaitu :
1. Halusinasi Non Patologis
Menurut NAMI (National Alliance For Mentally III) Halusinasi dapat
terjadi pada seseorang yang bukan penderita gangguan jiwa. Pada
16
umumnya terjadi pada klien yang mengalami stress yang berlebihan atau
kelelahan bisa juga karena pengaruh obat-obatan (Halusinogenik).
Halusinasi ini antara lain :
a. Halusinasi Hipnogonik : persepsi sensori yang palsu yang terjadi
sesaat sebelum seseorang jatuh tertidur.
b. Halusinasi Hipnopomik : persepsi sensori yang palsu yang terjadi pada
saat seseorang terbangun tidur.
2. Halusinasi Patologis
Halusinasi ada 5 macam yaitu :
a. Halusinasi Pendengar (Auditory)
Klien mendengar suara dan bunyi tidak berhubungan dengan stimulasi
nyata dan orang lain tidak mendengarnya.
Data Obyektif : bicara atau tertawa sendiri, marah-marah tanpa
sebab, menyedengkan telinga ke arah tertentu, menutup telinga.
Data Subyektif : mendengar suara-suara atau kegaduhan,
mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap, mendengar
suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.
b. Halusinasi Penglihat (Visual)
Klien melihat gambar yang jelas atau samar tanpa stimulus yang nyata
dan orang lain tidak melihat.
Data Obyektif : menunjuk-nunjuk ke arah tertentu, ketakutan
pada sesuatu yang tidak jelas.
17
Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartoon ,
melihat hantu atau monster.
c. Halusinasi Pencium (Olfactory)
Klien mencium bau yang muncul dari sumber tentang tanpa stimulus
yang nyata dan orang lain tidak mencium.
Data Obyektif : menghidu seperti sedang membau-baui bau-
bauan tertentu, menutu hidung.
Data Subyektif : Membaui bau-bauan seperti dau darah, urin
feces, kadang-kadang bau itu menyenangkan.
d. Halusinasi Pengecapan (Gusfactory)
Klien merasa makan sesuatu yang tidak nyata. Biasa merasakan
makanan yang tidak enak.
Data Obyektif : sering meludah, muntah
Data Subyektif : merasakan rasa seperti darah, urin atau feces
e. Halusinasi Perabaan (Taktil)
Klien merasakan sesuatu pada kulit tanpa stimulus yang nyata.
Data Obyektif : menggaruk-garuk permukaan kulit
Data Subyektif : mengatakan ada serangga di permukaan kulit,
merasa
seperti tersengat listrik.
Sedangkan menurut Iyus Yosep (2007), halusinasi terbagi menjadi 8,
yaitu:
18
1. Halusinasi pendengaran (auditif,akustik)
Paling sering dijumpai dapat berupa bunyi mendenging atau suara bising
yang tidak mempunyai art, tetapi lebih sering terdengar sebagai sebuah
kata atau kalimat yang bermakna. Biasanya suara tersebut ditujukan pada
penderita sehingga tidak jarang penderita bertengkar atau berdebat dengan
suara-suaratersebut
2. Halusinasi penglihatan (visual, optik)
Lebih sering terjadi pada keadaan delirium (penyakit organik). Biasanya
sering muncul bersamaan dengan penurunan kesadaran, menimbulkan rasa
takut akibat gambaran-gambaran yang mengerikan
3. Halusinasi penciuman (olfaktorik)
Halusinasi ini biasanya berupa mencium sesuatu bau tertentu dan
dirasakan tidak enak, melambangkan rasa bersalah pada benderita. Bau
dilambangkan sebagai pengalaman yang dianggap penderita sebagai suatu
kombinasi moral
4. Halusinasi pengecapan (gustatorik)
Walaupun jarang terjadi, biasanya bersamaan dengan halusinasi
penciuman, penderita merasa mengecap sesuatu.
5. Halusinasi raba (taktil)
Merasa diraba, disentuh, ditiup atau seperti ada ulat, yang bergerak di
bawah kulit.
6. Halusinasi kinestetik
19
Penderita mersa badannya bergerak-gerak dalam suatu ruang atau anggota
badannya yang bergera-gerak.
7. Halusinasi seksual
Merasa diraba dan diperkosa, sering pada skizofrenia dengan waham
kebesaran terutama mengenai organ-organ.
8. Halusinasi viseral
Timbulnya perasaan tertentu didalam tubuhnya.
Depersonalisasi adalah perasaan aneh pada dirinya bahwa pribadinya
sudah tidak seperti biasanya lagi serta tidak sesuai dengan kenyataan yang
ada.
9. Derealisasi adalah suatu perasaan aneh tentang lingkungannya yang tidak
sesuai dengan kenyataan, misalnya perasaan bahwa segala sesuatu yang
dialaminya seperti dalam impian.
2.3.3. Etiologi Halusinasi
Halusinasi dapat disebabkan oleh beberapa faktor (Nita, 2009 dala Kiki
Pebriyani, 2012), yaitu :
a. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan
sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress.
Faktor predisposisi dapat meliputi faktor perkembanga, sosio-kultural,
biokimia, psikologis.
20
1. Faktor perkembangan : jika tugas perkembangan mengalami hambatan
dan hubungan interpersonal terganggu, maka individu akan mengalami
stress dan kecemasan.
2. Faktor sosio-kultural : berbagai faktor di masyarakat dapat
menyebabkan seseorang merasa disingkirkan, sehingga orang tersebut
merasa kesepian di lingkungan yang membesarkannya.
3. Faktor gen : gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui,
tetapi hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan
hubungan yang sangat berpebgaruh pada penyakit ini.
4. Faktor psikologis : hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta
adanya peran ganda bertentangan yang sering diterima oleh seseorang
akan mengakibatkan stress dan kecemasan yang tinggi dan berakhir
pada gangguan orientasi realitas.
5. Faktor biokimia : mempunyai pengaruh trhadap terjadinya gangguan
jiwa. Jika seseorang mengalami stress yang berlebihan, maka di dalam
tubuhnya akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik
neurokimia.
b. Faktor presipitasi yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai
tantangan,, ancaman atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk
menghaapinya. Adanya rangsangan dari lingkungan, objek yang ada di
lingkungan dan juga suasana sepi atau terisolasi sering menjadi pencetus
trejadinya. Hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang
merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.
21
c. Mekanisme koping adalah cara yang dilakukan dalam upaya
menyelesaikan masalah pengendalian stress, menyesuaikan diri dengan
perubahan, respon terhadap stimulus yang mengancam. Mekanisme dalam
halusinasi yang digunakan klien halusinasi yang digunakan klien
halusinasi untuk menghindarin tekanan menggunakan :
1. Regresi , menjadi malas beraktivitas dalam sehari-hari.
2. Proyeksi, mencoba untuk menjelaskan adanya gangguan persepsi
dengan mengalihkan tanggung jawab.
3. Menarik diri, sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus
internal.
Sedangkan menurut Stuart dan Sudden (1998) dalam Deden Dermawan
(2013) halusinasi dapat terjadi disebabkan karena :
1. Teori Psikoanalisa
Halusinasi merupakan pertahanan ego untuk melawan rangsangan dari luar
yang mengancam, ditekan untuk muncul akan sabar.
2. Teori Biokimia
Halusinasi terjadi karena respon metabolisme terhadap stress yang
mengakibatkan dan melepaskan zat halusinigenik neurokimia seperti
bufotamin dan dimetyltransferase.
2.3.4. Rentang Respon
22
Respon neurologis merupakan respon perilaku yang terkait dengan fungsi
otak, gangguan respon neurologis ditandai dengan gangguan sensori persepsi :
Halusinasi (Stuart, 1998 dam Kiki Pebriyani, 2012).
Gambar 2.3.4 Rentang Respon Halusinasi
(stuart dan Laraia, 2005 dalam Ddeden Dermawan,2013)
RESPON ADAPTIF RESPON MALADAPTIF
- Pikiran Logis - Distorsi pikiran - ganggua pikir /
- Persepsi akurat - Ilusi delusi
- Emosi konsisten - Reaksi emosi >/< - sulit merespon
Dengan pengalaman - perilaku aneh / emosi
- Perilaku sesuai tidak biasa - perilaku
- Berhubungan - menarik diri disorganisasi
Sosial - isolasi sosial
2.3.5. Fase-fase Halusinasi
Berikut ini akan diuraikan empat fase halusinasi, karakteristik dan perilaku
klien menurut Depkes, RI (2000) :
A. Fase 1 : Comforting
23
- Menyenangkan atau memberi rasa nyaman
- Tingkat ansietas sedang secara umum halusinasi merupakan
suatu kesenangan.
Karakteristik :
- Mengalami ansietas kesepian, rasa bersalah, dan ketakutan.
- Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan
ansietas.
- Pikiran dan pengalamn sensori masalah ada dalam kontrol
kesadaran Non Psikotik.
Perilaku Klien :
- Tertawa / tersenyum yang tidak sesuai
- Menggerakkan bibir tanpa suara
- Pergerakan mata yang cepat
- Respon verbal yang lambat
- Diam dan dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan.
B. Fase II : Condeming
- Halusinasi menjadi menjijikkan
- Menyalahkan
- Tingkat kecemasan berat secara umum halusinasi
menyebabkan rasa antipati.
Karakteristik :
- Pengalaman sensorik menakutkan
24
- Merasa dilecehkan oleh alam sensorik tersebut
- Mulai merasa kehilangan kontrol
- MD dari orang lain Non Psikotik
Perilaku Klien :
- Ansietas : terjadi peningkatan denyut jantung RR dan TD
- Perhatian dengan lingkungan kurang
- Penyempitan kemampuan konsentrasi
- Kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dengan realita
C. Fase III : Controling
- Tingkat kecemasan berat
- Mengkontrol / mengendalikan
- Pengalaman sensori (halusinasi) tidak dapat ditolak lagi
Karakteristik :
- Klien menyerah dan menerima pengalaman sendiri (halusinasi)
- Isi halusinasi menjadi atraktif
- Kesepian bila pengalaman sensori berakhir psikotik
Perilaku Klien :
- Perintah halusinasi ditaati
- Sulit berhubungan dengan orang lain
- Perhatian terhadap linhkungan kurang / hanya beberapa detik
- Gejala fisik ansietas berat : berkeringat, tremor,
ketidakmampuan mengikuti petunjuk
25
D. Fase IV : Conquering
- Klien panik
- Menakutkan
- Klien sudah dikuasai oleh halusinasi
Karakteristik :
- Pengalaman sensorik manakutkan jika klien tidak mengikuti
perintah halusinasi
- Bisa berlangsung dalam beberapa jam atau hari apabila tidak
ada interaksi terapeutik
- Psikotik berat
Perilaku Klien :
- Perilaku panik
- Resti menciderai : bunuh diri / membunuh orang lain
- Refleksi isi halusinasi : amuk, agitasi, menarik diri atau
katatonik
- Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang kompleks
- Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang.
2.3.6. Cara Mengatasi Halusinasi
26
Tindakan perawat dalam membantu mengatasi pasien halusinasi menurut
Keliat (2006) dalam Kiki Pebriyani (2012) adalah :
1. Membantu pasien membina hubungan saling percaya
Bina Hubungan Saling Percaya (BHSP) dengan berkomunikasi secara
terbuka maka kerja sama antara perawat dengan klien dapat optimal.
2. Membentu pasien mengenal halusinasi
dengan pasien menyatakan tentang isi halusinasinya, apa yang didengar,
dilihat waktu terjadinya halusinasi, frekuensi, situasi, penyebab serta
perasaan pasien pada saat halusinasi muncul.
3. Membantu pasien mengontrol halusinasi
Untuk membantu pasien agar mampu mengontrol halusinasi, perawat
dapat melatih pasien empat cara yang sudah terbukti dapat mengendalikan
halusinasi (Deden Dermawan, 2013). Keempat cara tersebut meliputi :
a. Menghardik halusinasi
Menghardik halusinasi adlah upaya mengendalikan diri terhadap
halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang muncul. Pasien dilatih
untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi tyang muncul atau tidak
memperdulikannya. Kalau ini dapat dilakukan, pasien akan mampu
mengendalikan diri dan tidak mengikuti halusinasi yang muncul
b. Bercakap-cakap dengan orang lain
Untuk mengontrol halusinasi dapat juga dengan bercakap-cakap
dengan orang lain. Ketika pasien bercakap-cakap dengan orang lain
27
maka terjadi distraksi. Fokus perhatian pasien akan beralih dari
halusinasi ke percakapan yang dilakukan denagn orang lain tersebut.
c. Melakukan aktivitas yang terjadwal
Untuk mengurangi resiko halusinasi muncul lagi adalah dengan
menyibukkan diri dengan aktivitas yang teratur. Dengan beraktivitas
secara terjadwal, pasien tidak akan mengalami banayk waktu luang
sendiri akan sering sekali mencetuskan halusiansi .
d. Menggunakan obat secara teratur
Untuk mampu mengontrol halusinasi pasien juga harus dilatih untuk
menggunakan obat secara teratur sesuai dengn program. Pasien
gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit sering sekali mengalami
putus obat sehingga akibatnya pasien mengalami kekambuhan.
4. Melibatkan keluarga dalam tidakan mengontrol halusinasi
Keluarga merupakan support sistem terdekat dalam membantu pasien
dalam mengontrol halusinasi., keluraga akan mampu mempertahankan
pengobaatan sebagai berikut :
a. Dorong pasien memberitahu keluarga ketika timbul halusinasi
b. Lakukan kunjungan keluarga (home visit), kenalkan keluarga pada
halusinasi pasien, bantu dalam memutuskan tindakan untuk
mengontrol halusinasi pasien, ajarkan cara merawt pasien dirumah,
informasikan cara memodifikasi lingkungan agar mendukung realita,
dorong kelaurga memanfaatkan fasilitas kesehatan dalam mengontrol
halusinasi.
28
5. Melatih pasien menggunakan obat secara teratur
Agar klien mampu mengontrol halusinasi, maka perludilatih untuk
menggunakan obat secara teratur sesuai dengan program. Jelaskan
pentingnya penggunaan obat pada pasien gangguan jiwa, jelaskan akibat
bila obat tidak digunakan sesuai program, jelaskan akibat dari putus obat,
jelaskan efek samping dari obat yang dimakan, jelaskan cara mendapatkan
obat, jelaskan cara menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (benar obat,
benar pasien, benar cara, benarwaktu dan benar dosis).
2.4.Perawat
2.4.1. Definisi Perawat
Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di
dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundng-
undangan yang berlaku (Keputusan Menteri Kesehatan, 2011).
Menutrut Paula J. Christensen (2009) perawat adalah anggota tim dalam
siestem layanan kesehatan dan mengemban berbagai peran dan tanggung jawab.
Menurut Society for Education and Research in Psychiatric-Mental Health
Nusrsing (SERPN,1996), Salah satu divisi ISPN, perawat kesehatan jiwa-
psikiatrik adalah perawat terdaftar yang dipersiapkan secara keilmuan
keperawatan, mempunyai isin praktik di masing-masing negara bagian mereka,
dan memiliki kualifikasi untuk berpraktik di spesialisasi kesehatan jiwa psikiatrik
di satu dari dua tingkatan : dasar atau lanjut (O’Brien, 2014).
29
2.4.2. Peran Perawat
Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain
terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran juga diartikan
sebagai bentuk dari perilaku yang diharapkan oleh seseorang pada situasi sosial
tertentu (Ali, 2010).
Menurut konsirsium ilmu kesehatan tahun 1989 peran perawat terbagi
tujuh, yaitu :
1. Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan
Peran ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan
kebutuhan dasar manusian yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan
keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan sehingga dapat
ditentukan diagnosis keperawatan agar bisa direncanakan dan
dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar
manusia, kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya.
2. Peran perawat sebagai advokat klien
Peran ini dilakukan oleh perawat dalam membantu klien dan
keluarga dalam menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi
pelayanan atau informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan
atas tindakan keperawatn yang diberikan kepada pasien, juga dapat
berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi
hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang
30
penyakitnya, hak atas privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan
hak untuk menerima ganti rugi akibat kalalaian.
3. Peran Perawat sebagai Edukator
Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan
tingkat pengetahuna kesehatan, gajala penyakit tindakan yang diberikan,
sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah pendidikan
kesehatan.
4. Peran perawat sebagai konsultan
Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta
mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga
pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan
kebutuhan klien.
5. Peran perawat sebagai kolaborator
Peran ini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan
yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi, dan lain-lain dengan
berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan
termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan
keperawatan yang diberikan.
6. Peran perawat sebagai konsultan
Peran ini sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan
keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas
permintaan klien terhadap informasi tentang tujuan pelayanan keperawatn
yang diberikan.
31
7. Peran perawat sebagai pembaharu
Peran ini dilakukan dengan mengadakan perencanaan, kerja sama,
perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian
pelayanan keperawatan. (Hidayat,2009 dalam Kiki Pebriyani, 2012)
2.4.3. Peran Perawat Psikiatri
Peran perawat kesehatan jiwa (Suliswati,2005) mempunyai peran yang
bervariasi dan spesifik. Aspek dari peran tersebut meliputi kemandirian dan
kolaborasi. Peran tersebut antata lain :
1. Pelaksana Asuhan Keperawatan
Perawat memberi pelayanan dan asuhan keperawatan jiwa kepada
individu, keluarga dan komunitas. Dalam menjalankan perannya, perawat
menggunakan konsep perilaku manusia, perkembangan kepribadian dan
konsep kesehatan jiwa dalam melaksanakan asuhan keperawatan kepada
individu, keluarga dan komunitas.
Perawat melaksanakan asuhan keperwatan secara komprehensif
melalui pendekatan proses keperawatan jiwa, yaitu pengkajian, penetapan
diagnosis keperawatan, perencanaan tindakan keperawatan serta evaluasi
terhadap tindakan tersebut.
2. Pelaksana Pendidikan Keperawatan
Perawat memberi pendidikan kesehatan jiwa kepada individu,
keluarga dan komunitas agar mampu melakukan perawatan pada diri
sendiri, anggota keluarga dan anggota masyarakat lain. Pada akhirnya
32
diharapkan setiap anggota masyarakat bertanggung jawab terhadap
kesehatan jiwa.
3. Pengelola Keperawatan
Perawat harus menunjukkan sikap kepemimpinan dan bertanggung
jawab dalam mengelola asuhan keperawatn jiwa. Dalam melaksanakan
perannya ini perawat:
Menerapkan teori manajemen dan kepemimpinan dalam mengelola
asuhan keperawatan jiwa.
Menggunakan berbagai strategi perubahan yang diperlukan dalam
mengelola asuhan keperawatan jiwa.
Berperan serta dalam aktivitas pengelolaan kasus seperti
mengorganisasi, koordinasi, dan mengintegrasikan pelayanan serta
perbaikan bagi individu maupun keluarga.
Mengorganisasi pelaksaan berbagai terapi modalitas keperawatan.
4. Pelaksana Penelitian
Perawat mengidentifikasi masalah dalam bidang keperawatan jiwa dan
menggunakan hasil penelitian serta perkembangan ilmu dan teknologi
untuk meningkatkan mutu pelayanan dan asuhan keperawatan jiwa.
2.4.4 Peran Perawat dalam Pemberian Obat
Ada empat peran perawat dalam pemberian obat menurut Sujono (2009)
dalam Kiki Pebriyani (2012), yaitu :
33
1. Sebagai Pelaksana
Perawat berperan langsung dalam pemberian obat, menjaga
keefektifitasan obat dan mengobservasi efek samping dan alergi yang
mungkin terjadi. Dalam melaksanakan perannya harus memberi
kenyamanan dan rasa aman pada klien dan melindungi hak dan
kewajiban.
2. Sebagai Pengelola
Perawat berperan dalam menyimpan, menyiapkan dan menjamin
keamanan obat. Perawat harus tahu tata cara menyimpan obat yang benar
karena penyimpanan yang salah dapat merusak struktur kimia meupun
efek obat. Perawat juga harus memeriksa kedaluarsa dan cara pemberian
obat.
3. Sebagai Pendidik
Perawat bertanggung jawab dalam mendidik klien, keluarga dan
masyarakat. Peran ini dapat berupa penyuluhan tentang manfaat obat, efek
samping, dan cara mengatasi reaksi obat yang ditimbulkan, cara
pemberian, waktu pemberian dan prinsip 6 benar dalam pemberian obat.
4. Sebagai Peneliti
Perawat diharapkan mengidentifikasikan dan mengobservasi
terhadap masalah pengobatan yang terjadi, menerapkan rencana dan
metode penelitian serta hasil penelitian untuk meningkatan mutu
pelayanan dan asuhan keperawatan jiwa.
34
2.4.5. Fungsi Perawat
Fungsi merupakan suatu pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan
perannya. Fungsi tersebuat dapat berubah disesuaikan dengan keadaan yang ada
(2008). Menurut Hidayat (2009) dalam Kiki Pebriyani (2012), fungsi perawat
dibagi 3, yaitu:
1. Fungsi Independent
Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain, dimana
perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri dengan
keputusan sendiri dalam melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhan
dasar manusia.
2. Fungsi Dependent
Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya atas pesan
atau instruksi dari perawat lain. Sehingga berbagai tindakan pelimpahan
tugas yang diberikan. Hal ini biasanya dilakukan oleh perawat spesialis
kepada perawat umum, atau dari perawat primer ke perawat pelaksana.
3. Fungsi Interdependent
Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim bersifat saling ketergantungan
di antara tim satu dengan lainnya. Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk
pelayanan membutuhkan kerjasama tim dalam pemberian pelayanan
seperti dalam memberikan asuhan keperawatan pada penderita yang
mempunyai penyakit kompleks.
35
2.4.6. Fungsi Perawat Psikiatri
Fungsi perawat psikiatri adalah memberikan asuahn keperawatan secara
langsung dan asuhan keperawatan secara tidak langsung. Fungsi ini dapat dicapai
melalui aktivitas perawat (Suliswati,2005), yaitu :
Memberikan lingkungan terapeutik yaitu lingkungan yang didata
sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perasaan aman, nyaman baik
fisik, mental dan sosial sehingga dapat membantu penyembuhan pasien.
Bekerja untuk mengatasi masalah klien “here & now” yaitu dalam
membantu mengatasi segera dan tidak ditunda sehingga tidak terjadi
penumpukkan masalah.
Sebagai model peran yaitu perawat dalam memberikan bantuan kepada
pasien menggunakan diri sendiri sebagai alat melalui contoh perilaku yang
ditampilkan oleh perawat.
Memperhatikan aspek fisik dari masalah kesehatan klien merupakan hal
yang sangat penting. Dalam hal ini perawat perlu memasukkan
pengkajianbiologis secara menyeluruh dalam evaluasi pasien psikiatrik
untuk mendeteksi adanya penyakit fisik sedini mungkin sehingga dapat
diatasi dengan cara yang tepat.
Memberi pendidik kesehatan yang ditujukan kepada pasien, keluarga dan
komunitas yang mencakup pendidikan kesehatan jiwa, gangguan jiwa,
ciri-ciri sehat jiwa, penyebab gangguan jiwa, fungsi dan tugas keluarga,
dan upaya perawatan pasien gangguan jiwa.
36
Sebagai perantara sosial yaitu perawat dapat menjadi perantara dari pihak
pasien, keluarga dan masyarakat dalam memfasilitasi pemecahan maslah
pasien.
Kolaborasi dengan tim lain. Perawat dalam membantu pasien mengadakan
kolaborasi dengan petugas kesehatan lain yaitu dokter jiwa, perawat
kesehatan masyarakat (perawat komunitas), pekerja sosial, psikolog dan
lain-lain.
Memimpin dan membantu tenaga perawatan dalam pelaksanaan
pemberian asuhan keperawatan jiwa didasarkan pada manajemen
keperwatn kesehatan jiwa. Sebagai pimpinan diharapkan dapat mengelola
asuhan keperawatan kesehatan jiwa dan membantu tenaga perawatan yang
menjadi bawahannya.
Menggunakan sumber di masyarakat sehubungan dengan kesehatan
mental. Hal ini penting diketahui oleh perawat bahwa sumber- sumber
yang ada di masyarakat perlu diidentifikasi untuk digunakan sebagai
faktor pendukung dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa yang ada di
masyarakat.
2.5. Obat
2.5.1. Definisi Obat
Obat adalah setiap substansi yang dapat mempengaruhi fungsi normal
tubuh pada tingkat sel (Tambayong, 2014).
37
Menurut Priharjo (1994), istilah obat didefinisikan sebagai suatu
substansi/bahan yang digunakan untuk mendiagnosa, menyembuhkan, mengatasi,
membebaskan, atau mencegah penyakit.
2.5.2. Prinsip Penggunaan Obat
Berikut ini beberapa prinsip beberapa prinsip yang menjadi pedoman
penggunakan obat dalam menangani gangguan psikiatri (Hyman, Arana, &
Rosenbaum, 1995) :
1. Obat diseleksi berdasarkan efeknya pada gejala klien, misalnya pikiran
waham, serangan panik, atau halusinasi. Keefektifan pengobatan
dievaluasi sebagian besar oleh kemampuan obat untuk mengurangi atau
menghilangkan gejala target.
2. Banyak obat psikotropika harus diberikan dalam dosis yang adekuat
selama periode waktu sebelum efek seutuhnya dicapai. Misalnya,
anridepresan trisiklik dapat memerlukan empat sampai enam minggu
untuk memberikan manfaat terapeutik yang optimal.
3. Dosis obat sering kali disesuaikan sampai dosis terendah yang efektif
untuk klien. Kadang kala dosis yang lebih tinggi diperlukan untuk
menstabilkan gejala target klien dan dosis yang lebih rendah dapat
digunakan untuk mempertahankan efek obat tersebut sepanjang waktu.
4. Sesuai aturan, individu lansia memerlukan dosis obat yang lebih rendah
untuk menghasilkan efek terapeutik, dan obat dapat memerlukan waktu
yang lebih lama untuk mencapai efek terapeutik sepenuhnya.
38
5. Obat psikotropik sering dikurangi secara bertahap (berangsur-angsur),
bukan secara mendadak dihentikan. Hal ini dilakukan sehubungan dengan
masalah potensial terjadinya rebound (kembalinya gejala untuk
sementara), kambuhnya gejala semula, atau putus obat (gejala baru yang
disebabkan penghentian obat).
6. Perawatan tindak lanjut sangat penting untuk memastikan kepatuhan
pasien terhadap program pengobatan, melakukan penyesuaian dosis obat,
dan menatalaksana efek samping. (Videbeck, 2012)
2.5.3. Pemberian Obat pada Pasien
Hal-hal yang perlu disiapkan dalam memberikan obat pada pasien antara
lain :
a. Cek lembar obat, identifikasi jenis obat, cara pemberian obat dan dosis
obat.
b. Cek kemasan obat, identifikasi tujuan, cara kerja, efek samping, dan cara
pemberian.
c. Kaji riwayat pengobatan klien, apakah terjadi reaksi yang tidak
diinginkan.
d. Kaji pengetahuan klien tentang obat.
e. Kaji kondisi klien sebelum diberikan obat.
f. Cek enam benar pemberian obat (benar obat, benar disis, benar klien,
benar cara pemberian, benar waktu pemberian obat, dan benar
dokumentasi). (Kiki Pebriyani, 2012).
39
2.5.4.Pengobatan Psikofarmaka
Psikofarmakologi adalah ilmu yang mempelajari obat yang mempengaruhi
psyche (bahasa Yunani yang berarti roh atau jiwa seseorang). Dengan kata lain
ilmu yang mempelajari obat yang digunakan pada psikiatri. Obat ini sering kali
disebut sebagai psikotropik, harfiahnya obat yang “memindahkan roh” atau
“memindahkan jiwa” (Patricia G. O’Brien, 2014).
Terdapat lima kelompok besar obat pada psikiatri dan golongan kelompok
kecil lainnya (Patricia G. O’Brien, 2014), yaitu :
1. Obat Antipsikotik (Klorpromazin, Haloperidol, Rispedon, Tioridazin,dll)
Obat ini digunakan untuk mengobati gejala psikotik, seperti :
- Agitasi
- Waham
- Halusinasi
- Merasa tidak nyata
- Kurang kesenangan
- Kemarahan, dll.
2. Obat Antidepresan (Mirtazapin,Nefazodon, triheksifenidil, Sertralin,dll)
Obat ini adalah pengobatan pilihan untuk gangguan psikiatrik yang paling
sering muncul, depresi mayor. Gejala targeet antidepresan adalah :
- Rasa bersalah
- Tidak berdaya dan putus asa
- Alam perasaan sedih atau cemas
40
- Sulit berkonsentrasi, dll.
3. Penstabil Alam Perasaan (litium karbonat, gabapentin, topiramat,dll)
Gejala yang menjadi target penstabil alam perasaan adalah :
- Peningkatan keaktifan bicara
- Penurunan kebutuhan akan tidur
- Keterlibatan dalam aktivitas merusak diri
- Pikiran cepat atau bekejaran
4. Obat Anti-Cemas (benzodiazepin, diazepam, triazolam, estazolam,dll)
Ketika digunakan untuk mengatasi cemas, gejala target obat ini adalah :
- Gelisah atau perasaan seperti dipenjara atau disudutkan
- Pusing
- Berkeringat
- Ketegangan oto, dll
5. Stimulan (pemolin, metilfenidat, modafinil,dll)
Digunakan khususnya pada pengobatan gangguan kurang perhatian ADD
(Attention Deficit Disorder) dan gangguan hiperaktivitas kurang perhatian
ADHD (Attention Deficit Hiperactivity Disorder). Adapun gejala target
stimulan :
- Distrakbilitas
- Impulsivitas
- Iritabilitas
- Aktivitas berlebihan
- Gelisah
41
- Rentang perhatian pendek
Sedangkan, menurut Keliat (2013), Pengobatan gangguan ini
menggunakan obat antipsikotik untuk mengatasi gejala psikotik (mis., perubahan
perilaku, agitasi, agresif, sulit tidur, halusinasi, waham, proses pikir kacau). Obat-
obatan untuk pasien skizofrenia yang umumnya digunakan adalah klorpromazin
(sediaan : klorpromazin tablet 25 mg, 100 mg ; injeksi 25 mg/ml), haloperidol
(sediaan : haloperidol tablet 0,5 mg, 1,5 mg; injeksi 5 mg/ml), dan heksifenidil
(sediaan : tablet 2 mg).
Pengobatan pada fase akut :
1. Dalam keadaan akut yang disertai agitasi dan hiperaktif, berikan
injeksi
a. Haloperidol 3x5 mg (tiap 8 jam) intramuskular
b. Klorpromazin 25-5- mg diberikan intramuskular yang dalam,
setiap 6-8 jam sampai keadaan akut teratasi
c. Kombinasi haloperidol 5 mg IM, kemudian diazepam 10 mg IM
dengan interval 1-2 menit. Dengan kombinasi ini, jarang
dibutuhkan suntikan kedua.
2. Dalam keadaan tidak agitasi dan tidak hiperaktif, berikan tablet
a. Haloperidol 2x1,5-2,5 mg sehari
b. Klorpromazin 2x100 mg sehari
c. Triheksifenidil 2x2 mg sehari
Pengobatan pada fase kronis :
1. Berikan obat dalam bentuk tablet
42
a. Haloperidol 2x0,5-1 mg sehari
b. Klorpromazin 1x50 mg sehari (malam)
c. Triheksifenidil 1-2x2 mg sehari
2. Tingkatkan perlahan-lahan, beri kesempatan obat untuk bekerja, dan
lakukan tindakan perawatan dan pendidikan kesehatan.
3. Dosis maksimal : haloperidol 40 mg sehari (tablet) dan klorpromazin
600 mg sehari dalam bentuk tablet.
2.5.5.Pengelolaan Obat di Ruangan
Dalam mengelola obat, perawat perlu memperhatikan :
Obat disimpan dilemari terkunci
Kunci obat tidak boleh diletakkan sembarangan
Lemari obat diletakkan diruang jaga perawat
Obat disimpan dikemasannya atau ditempat yang diberi label khusus dan
masing-masing klien mempunyai tempat tersendiri
Setiap pergantian shift atau dinas melakukan serah terima tentang keluar
masuk obat. (Sujono & Purwanto, 2009 dalam Kiki Pebriyani. 2012)
2.5.6. Pendidikan Kesehatan
Pasien harus dilatih untuk minum obat secara teratur sesuai dengan
program terapi dokter. Pasien gangguan jiwa yang dirawat dirumah sering
mengalami putus obat sehingga pasien mengalami kekambuhan. Oleh karena itu,
43
pasien harus dilatih minum obat sesuai program dan berkelanjutan. Berikut ini
yang dapat dilakukan perawat agar pasien patuh minum obat menurut Keliat
(2012) :
a. Jelaskan kegunaan obat
b. Jelaskan akibat jika putus obat
c. Jaelaskan cara mendapatkan obat/berobat
d. Jelaskan car minum obat dengan 5 prinsip benar (benar obat, benar pasien,
benar waktu, dan benar dosis).
Sedangkan menurut O’Brien (2014) faktor-faktor yang dapat
meningkatkan kepatuhan antara lain :
1. Ajarkan klien dan anggota keluarga tentang obat
2. Berikan informasi tertulis yang eksplisit dan konsisten tentang obat
3. Perkuat kembali manfaat obat dalam pencegahan kambuh
4. Gali berbagai cara khusus manfaat obat
5. Pertahankan pemberi resep tetap
6. Pertahankan hubungan profesional
7. Ungkapkan optimisme tentang efikasi obat
8. Siap terhadap berbagai pertanyaan tentang obat atau efek sampingnya
9. Meneliti hubungan antara berhenti minum obat dengan kambuh di masa
lalu
10. Buat jadwal obat sesederhana mungkin
11. Berikan beberapa dosis perhari sebisa mungkin
44
12. Atasi efek samping secara agresif
13. Ajarkan klien tentang potensi adiksi
14. Berikan motivasi kepada keluarga dan teman untuk mendukung
pemakaian obat
2.6. Penelitian Terkait
Penelitian yang dilakukan yang dilakukan oleh kiki pebriyani (2012),
tentang perilaku perawat dalam strategi pelaksanaan pemberian obat pada pasien
halusinasi di ruang di ruang Merpati rumah sakit Dr. Ernaldi Bahar Palembang
tahun 2012, hasil penelitian menunjukkan bahwa perawat pelaksana memiliki
pengetahuan dan sudah mampu menjelaskan pengertian, tanda dan gejala dari
halusinasi, tetapi perawat belum mampu menerapkan teknik pemberian obat
melalui strategi pelaksanaan, dan ini dapat menjadi salah satu faktor ketidak
optimalan pengobatan pada pasien halusinasi. Sedangkan untuk sikap, perawat
pelasana memiliki sikap peduli pada pasien dalam masalah pemberian obat. Dan
dalam tindakan perawat pelaksana dalam pemberian obat pada pasien halusinasi
belum melalui strategi pelaksanaan dan perawat pelaksana juga tidak memantau
apakah obat sudah diminum.
45
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN
HIPOTESIS
3.1. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian formulasi atau simplikasi dari kerangka teori
atau teori-teori yang mendukung penelitian (Notoaatmojo, 2010 dalam Nurjanah
2013).
Kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian ini memodifikasi teori
Sujono (2009) dalam Kiki Pebriyani (2012) yang mengemukan bahwa peran
perawat dalm pemberian obat ada tiga yaitu : sebagai pelaksana, sebagai
pengelola, sebagai pendidik dan sebagai peneliti
46
Gambar 3.1
Bagan kerangka konsep modifikasi teori Sujono (2009)
Variable Independen Variable Dependen
3.2 Definisi Operasional
Untuk menjelaskan kerangka konsep diatas, diberikan definisi operasional
sebagaimana berikut ini :
Tabel 3.2
Desinisi operasional variabel penelitian
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
1 Pelaksana Yaitu Wawancara Kuesioner 1. Dilak Nominal
47
PELAKSANA
PENGELOLA
PENDIDIK
PENELITI
PELAKSANAAN PEMBERIAN OBAT
PADA PASIEN HALUSINASI
perawat
bertanggu
ng jawab
dalam
memenuhi
kebutuhan
klien,
dalam hal
ini klien
membutuh
kan obat.
sana-
kan
2. Tidak
dilak-
sana-
kan
2 Pengelola Yaitu
perawat
bertanggu
ng jawab
terhadap
kondisi
obat yang
di berikan
pada klien.
Wawancara Kuesioner 1. Dikel
olah
2. Tidak
dike-
lola
Nominal
3 Pendidik Yaitu
perawat
bertugas
Wawancara Kuesioner 1. Diberi
Pendi
dikan
Nominal
48
dalam
meningkat
kan
pengetahu
an klien
dan
keluarga
mengenai
pemberian
obat pada
klien.
2. Tidak
Diberi
Pendi
dikan
4 Peneliti Yaitu
perawat
bertugas
mengobser
vasi
masalah
yang
terjadi
pada klien.
Wawancara Kuesionar 1. Di
teliti
2. Tidak
di
teliti
Nominal
5 Pembe-
rian obat
Yaitu
suatu cara
yang
Wawancara Kuesioner 1. Diberi
obat
2. Tidak
Nominal
49
dilakukan
perawat
dalam
mengupay
akan
kesembuh
an klien.
diberi
obat
3.3. Hipotesis
Berdasarkan kerangka konsep dan definisi operasional variabel penelitian
diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut :
1. Ada pengaruh peran perawat sebagai pelaksana dalam pelaksanaan
pemberian obat pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar
Palembang tahun 2015.
2. Ada pengaruh peran perawat sebagai pengelola dalam pelaksanaan
pemberian obat pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar
Palembang tahun 2015.
3. Ada pengaruh peran perawat sebagai pendidik dalam pelaksanaan
pemberian obat pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar
Palembang tahun 2015.
50
4. Ada pengaruh peran perawat sebagai peneliti dalam pelaksanaan
pemberian obat pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar
Palembang tahun 2015.
51