77
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai “keadaan fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata keadaaan tanpa penyakit atau kelemahan.” Definisi ini menekankan kesehatan sebagai suatu keadaan sejahtera yang positif, bukan sekadar keadaan tanpa penyakit. Orang yang memiliki kesejahteraan emosional, fisik, dan sosial dapat memenuhi tanggung jawab kehidupan, berfungsi dengan efektif dalam kehidupan sehari-hari, dan puas dengan hubungan interpersonal dan diri mereka sendiri (Videbeck, 2012). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan jiwa sebagai keadaan fisik, mental, dan sosial bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau 1

Proposal Winda

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Proposal Winda

Citation preview

Page 1: Proposal Winda

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai

“keadaan fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata keadaaan tanpa penyakit

atau kelemahan.” Definisi ini menekankan kesehatan sebagai suatu keadaan

sejahtera yang positif, bukan sekadar keadaan tanpa penyakit. Orang yang

memiliki kesejahteraan emosional, fisik, dan sosial dapat memenuhi tanggung

jawab kehidupan, berfungsi dengan efektif dalam kehidupan sehari-hari, dan puas

dengan hubungan interpersonal dan diri mereka sendiri (Videbeck, 2012).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan jiwa

sebagai keadaan fisik, mental, dan sosial bukan semata-mata keadaan tanpa

penyakit atau kelemahan. Definisi ini menekankan bahwa kesehatan jiwa sebagai

suatu keadaan sejahtera yang positif, bukan sekedar keadaan tanpa penyakit tapi

sehat mental dan sosial (Buchanan & Carpenter, 2000).

Menurut Sekretaris Jendral Dapertemen Kesehatan (Sekjen Depkes), H.

Syafii Ahmad, kesehatan jiwa saat ini telah menjadi masalah kesehatan global

bagi setiap negara termasuk Indonesia. Proses globalisasi dan pesatnya kemajuan

teknologi informasi memberikan dampak terhadap nilai-nilai sosial dan budaya

pada masyarakat. Di sisi lain, tidak semua orang mempunyai kemampuan yang

1

Page 2: Proposal Winda

sama untuk menyusuaikan dengan berbagai perubahan, serta mengelola konflik

dan stres tersebut. ( Diktorat Bina Pelayanan Keperawatan dan Pelayanan Medik

Dapertemen Kesehatan, 2007).

Diperkirakan bahwa 2-3% dari jumlah penduduk Indonesia menderita

gangguan jiwa berat. Bila separuh dari mereka memerlukan perawatan di rumah

sakit dan jika penduduk Indonesia berjumlah 120 juta orang maka ini berarti bahwa

120 ribu orang dengan gangguan jiwa berat memerlukan perawatan di rumah sakit

(Iyus Yosep, 2007).

Jumlah kasus gangguan jiwa yang ditemukan di masyarakat, khususnya

di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Nias, cukup tinggi. Saat ini telah

ditemukan 11.000 pasien pasien di 21 kabupaten/kota di NAD dan 146 pasien di

2 kabupaten di Nias. Jumlah ini belum menggambarkan angka sebenarnya karena

belum seluruh daerah dideteksi sehingga masih mungkin terjadi penambahan

angka. Dari jumlah tersebut, baru separuh pasien yang dirawat oleh perawat

Community Mental Health Nursing (CMHN) dan sekitar 31,46% pasien yang

dirawat telah mandiri (Keliat,2013).

Berdasarkan data Amerika Serikat penderita skizofrenia setiap tahun

terdapat 300.000 pasien 20-50% pasien skizofrenia melakukan percobaan bunuh

diri dan 10% di antaranya berhasil bunuh diri. Berdasarkan data dari epidemiologi

psikiatri Indonesia pada tahun 2005 yang menyebutkan bahwa di 11 kota di

Indonesia di temukan 18,5% dari penduduk dewasa menderita gangguan jiwa.

2

Page 3: Proposal Winda

Dampak dari hilangnya produktifitas, biaya perawatan yang harus dikeluarkan

(Keliat,1992, dalam Marlena Agustina,2011).

Salah satu tanda dan gejala dari skizofrenia adalah terjadinya halusinasi.

Halusinasi merupakan bentuk yang paling sering terjadi dari gangguan persepsi.

Menurut Varcarolis dalam Iyus Yosep (2009), Halusinasi dapat didefinisikan

sebagai tergangguanya persepsi sensori seseorang, dimana tidak terdapat stimulus.

Tipe halusinasi yang paling sering adalah halusinasi pendengaran (Auditory-

hearing voices or sounds), penglihatan (Visual-seeing persons or things),

penciuman (Olvactory-smelling odors), pengecapan (Gustatory-experiencing

tastes). Dampak dari halusinasi adalah pasien sulit berespon terhadap emosi,

perilaku pasien menjadi tidak terkendali, dan akhirnya pasien mengalami isolasi

social karena tidak m ampu bersosialisasi dengan orang lain.

Diperkirakan lebih dari 90% klien dengan skizofrenia mengalami

halusinasi. Halusinasi dapat didefinisikan sebagai terganggunya persepsi sensori

seseorang, dimana tidak terdapat stimulus. (Iyus Yosep, 2007).

Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptive yang bebrbeda dalam

rentang respon neurobiologist, halusinansi ialah respon persepsi yang paling

maladaptive, klien dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indera

walaupun tersebut tidak ada (Stuart,2007 dalam Kiki Pebriyani 2012).

Lingkup masalah kesehatan jiwa yang dihadapi individu sangat kompleks

sehingga perlu penanganan oleh suatu program kesehatan jiwa yang kompleks

pula. Masalah-masalah kesehatan jiwa dapat meliputi : 1) perubahan fungsi jiwa

sehingga menimbulkan penderitaan pada individu (distress) dan atau hambatan

3

Page 4: Proposal Winda

dalam melaksanakan fungsi sosialnya; 2) masalah psikososial yang diartikan

sebagai setiap perubahan dalam kehidupan individu baik yang bersifat psikologis

maupun yang memberi pengaruh timbal balik dan dianggap mempunyai pengaruh

cukup besar (Suliswati, 2005).

Praktik kontemporer keperawatan jiwa terjadi dalam konteks sosial dan

lingkungan. Peran perawat jiwa profesional berkembang secara kompleks dari

elemen historis aslinya. Peran tersebut kini mencakup dimensi kompetensi klinis,

advokasi pasien-keluarga, tanggung jawab fisikal, kolaborasi antardisiplin,

akuntabilitas sosial, dan parameter legal-etik (Stuart,2012).

Dalam melaksanakan perannya perawat harus mempunyai pengetahuan

yang memadai dalam upaya memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas.

Pengetahuan tentang farmakologi yang harus diketahui perawat antara lain tentang

dosis, reaksi obat, efek obat, efek samping obat, cara persepsi klien dalam

menerima terapi obat. Ada empat peran perawat dalam pemberian obat, yaitu :

1. Sebagai Pelaksanaan

2. Sebagai Pengelola

3. Sebagai Pendidik

4. Sebagai Peneliti (Sujono,2009 dalam Kiki Pebriyani, 2012).

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan Kiki Pebriyani (2012)

di Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar Palembang, jumalah penderita gangguan jiwa

di rawat inap pada tahun 2009 berjumlah 4.313 orang. Pada tahun 2010 berjumlah

4

Page 5: Proposal Winda

4.858 orang, dan tahun 2011 berjumlah 4.885 orang. Sebagian besar pasien rawat

inap di Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar menderita Skizofrenia.

Sedangkan berdasarkan catatan Rekam Medik pasien Rumah Sakit Dr.

Ernaldi Bahar Palembang jumlah pasien gangguan jiwa pada tahun 2013

berjumlah......... orang. Pada tahun 2014 berjumlah............ orang.

Berdasarkan data diatas maka penulis teratrik untuk mencoba meneliti

pengaruh peran perawat dalam pelaksanaan pemberian obat pada pasien

Halusinasi di Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar Palembang.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalahnya adalah

belum diketahuinya pengaruh peran perawat dalam pelaksanaan pemberian obat

pada pasien halusinasi Di Ruang....... Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar Palembang

Tahun 2015.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Dari permasalahn diatas, maka timbul pertanyaan penelitian yaitu :

Bagaimana pengaruh peran perawat dalam pelaksanaan pemberian obat pada

pasien halusinasi Di Ruang...... Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar Palembang Tahun

2015 ?

5

Page 6: Proposal Winda

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Diketahui pengaruh peran perawat dalam pelaksanaan pemberian obat

pada pasien halusinasi Di Ruang...... Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar Palembang

Tahun 2015.

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Diketahui pengaruh peran perawat sebagai pelaksana dalam pemberian

obat pada pasien halusinasi di rumah sakit Dr. Ernaldi Bahar

Palembang.

2. Diketahui pengaruh peran perawat sebagai pengelola dalam pemberian

obat pada pasien halusinasi di rumah sakit Dr. Ernaldi Bahar

Palembang.

3. Diketahui pengaruh peran perawat sebagai pendidik dalam pemberian

obat pada pasien halusinasi di rumah sakit Dr. Ernaldi Bahar

Palembang.

4. Diketahui pengaruh peran perawat sebagai peneliti dalam pemberian

obat pada pasien halusinasi di rumah sakit Dr. Ernaldi Bahar

Palembang.

5. Diketahui distribusi frekuensi pelaksanaan pemberian obat pada pasien

Halusinasi di rumah sakit Dr. Ernaldi Bahar Palembang.

6

Page 7: Proposal Winda

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Bagi Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar Palembang

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan bagi

Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar Palembang yang terkait dengan pengaruh peran

perawat dalam pelaksanaan pemberian obat pada pasien halusinasi Di Ruang.......

Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar Palembang Tahun 2015.

1.5.2. Bagi STIK Siti Khadijah Palembang

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu penambah

referensi kepustakaan di bidang keperawatan jiwa dalam pelaksanaan pemberian

obat pada pasien halusinasi.

1.5.3. Bagi Peneliti Sendiri

Untuk meningkatkan pengetahuan, wawasan dan keterampilan dalam

menerapkan ilmu pengetahuan yang didapat dalam mengikuti proses pendidikan.

Khususnya materi keperawatn jiwa.

1.5.4. Bagi Peneliti Lain

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar

penelitian selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini termasuk pada area keperawatan jiwa yang kajian

penelitiannya adalah untuk mengetahui pengaruh peran perawat dalam

7

Page 8: Proposal Winda

pelaksanaan pemberian obat pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Dr. Ernaldi

Bahar Palembang. Waktu penelitian dilaksanakan pada tanggal ...... sampai .....

8

Page 9: Proposal Winda

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kesehatan Jiwa

2.1.1. Definisi Kesehatan Jiwa

Kesehatan jiwa menurut WHO yaitu suatu kondisi sejahtera dimana

individu menyadari kemampuan yang dimiliki nya, dapat mengatasi stress dalam

kehidupannya, dapat bekerja secara produktif dan mempunyai kontribusi dalam

kehidupan bermasyarakat (Jurnal Keperawatan PPNI Provinsi Jawa Tengah).

Definisi kesehatan jiwa menurut UU No. 3 tahun 1966 kesehatan jiwa

adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan

emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras

dengan keadaan orang lain (Suliswati,2005).

Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis, dan

sosial yang terlihat dari hubungan in terpersonal yang memuaskan, perilaku dan

koping yang efektif, konsep diri yang positif, dan kestabilan emosional.

Kesehatan jiwa memiliki banyak komponen dan dipengaruhi oleh berbagai faktor

(Johnson,1997 dalam Videbeck,2012).

Menurut Stuart (2012) kriteria kesehatan jiwa, yaitu :

1. Sikap positif terhadap diri sendiri

9

Page 10: Proposal Winda

2. Pertumbuhan, perkembangan, dan aktualisasi diri

3. Integrasi dan ketanggapan emosional

4. Otonomi dan kemantapan diri

5. Persepsi realitas yang akurat

6. Penguasaan lingkungan dan kompetensi sosial.

2.1.2. Gangguan Kesehatan Jiwa

UU No. 3 tahun 1996 tentang kesehatan jiwa menyatakan, Gangguan jiwa

adalah adanya gangguan pada fungsi kejiawaan. Fungsi kejiwaan adalah proses,

emosi, kemauan dan perilaku psikomotorik termasuk bicara. (Suliswati,2005).

Gangguan jiwa adalah sindrom atau pola perilaku yang secara klinis

bermakna yang berhubungan dengan distres atau penderitaan dan menimbulkan

hendaya pada satu atau lebih fungsi kehidupan manusia (Keliat, 2013).

Menurut (Suliswati, 2005 dalam Kiki Pebriyani, 2012) Ciri-ciri gangguan

sebagai berikut :

1. Perubahan yang berulang dalam pikiran, daya ingat, persepsi

bermanifestasi sebagai kelainan berbicara dan perilaku.

2. Perubahan ini karena tekanan batin, dan penderitaan pada individu dan

orang lain dilingkungannya.

3. Perubahan perilaku, akibat penderitaan ini menyebabkan gangguan dalam

kegiatan sehari-hari, efisien kerja, dan hubungan dengan orang lain.

10

Page 11: Proposal Winda

Sedangkan dalam Modul “Basic Course Community Mental Psychtary

Nursing (CPN)” (2005) menyatakan ciri-ciri gangguan jiwa adalah :

1. Marah tanpa sebab

2. Mengurung diri

3. Tidak mengenali

4. Bicara kacau

5. Bicara sendiri

6. Tidak mampu merawat diri

2.1.3. Penyebab Gangguan Jiwa

Menurut Suliawati (2005) gangguan jiwa dapat disebabkan oleh berbagai

faktor sebagai berikut :

1. Suasana rumah antara lain (sering bertengkar, salah pengertiandiantara

anggota keluarga, kurang kebahagiaan dan kepercayaan di antara anggota

keluarga) sehingga dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan pada

seorang individu. Apabila sedang menghadapi stres dan ketegangan dalam

kehidupannya, dapat menyebutkan sakit karena kurang mampu beradaptasi

dan kurang terampil dalam menghadapi situasi dan pengendalian emosi.

2. Pengalaman masa kanak-kanak. Kasi sayang yang cukup, bimbingan yang

sesuai, memberika semangatdan disiplin dari seseorang. Bila tidak

memadai dan terdapat pengalaman yang tidak menyenangkan secara

11

Page 12: Proposal Winda

berulang pada massa kanak, dapat menyebabkan gangguan jiwa pada

kehidupan dewasa.

3. Faktor keturunan. Pada beberapa kasus gangguan jiwa, kemungkinan

didapatkan pula anggota keluarga lainnya, yang menderita penyakit yang

sama. Pada beberapa kasus gangguan jiwa lain, tidak ditemukan seoarang

pun dalam keluarganya dengan gangguan jiwa serupa. Kecendrungan

untuk berkembangnya suatu gangguan jiwa dapat diturunkan pada seorang

individu, tetapi apakah orang tersebut akan sakit bergantung pada faktor

lain yang dapat mempengaruhinya.

4. Perubahan dalam otak. Setiap perubahan dalam struktur/fungsi otak, dapat

menyebabkan gangguan jiwa. Perubahan biokimia pada sel-sel adalah

penyebab yang banyak dari gangguan psikotik.

2.2. Skizofrenia

2.2.1. Definisi Skizofrenia

Skizofrenia berasal dari dua kata “Skizo” yang berarti retak atau pevak dan

“frenia” yang berarti jiwa, dengan demikian seseorang yang menderita gangguan

jiwa. Skizofrenia adalah orang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan

kepribadian (Hawari, 2006 dalam Nepriana, 2011).

Skizofrenia adalah suatu gangguan jiwa berat yang ditandai dengan

penurunan atau ketidakmampuan berkomunikasi, gangguan realitas (halusinasi

atau waham), afek tidak wajar atau tumpul, gangguan kognitif (tidak mampu

12

Page 13: Proposal Winda

berpikir abstrak) serta mengalami kesukaran melakukan aktivitas sehari-hari

(Keliat,2013).

Melinda Herman (2008) dalam Iyus Yosep (2007), mendefinisikan

skizofrenia sebagai penyakit neurologis yang mempengaruhi persepsi klien, cara

berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya.

2.2.2. Penyebab Skizofrenia

Gangguan skizofrenia dapat terjadi karena : (Keliat,2013)

1. Faktor genetik, belum teridentifikasi secara spesifik, namun pengaruh

lokasi kromosom 6 pada gen dengan kromosom 4,8,15,22 berhubungan

dengan terjadinya skizofrenia.

2. Faktor keturunan atau bawaan merupakan faktor penyebab yang tidak

besar pengaruhnya bagi munculnya gangguan skizofrenia.

3. Ketidakseimbangan neurotransmiter (dopamin dan glutamat).

4. Faktor lingkungan seperti kekurangan gizi selama kehamilan, masalah

dalam proses kelahiran, stres pada kondisi lingkungan, dan stigma

(penyebab kekambuhan pasien skizofrenia).

2.2.3. Gejala Skizofrenia

Gejala-gejala skizofrenia adalah sebagai berikut :

13

Page 14: Proposal Winda

1. Gejala positif

a. Waham : keyakinan yang salah, tidak sesuai dengan kenyataan,

dipertahankan dan disampaikan berulang-ulang (waham kejar, waham

curiga, waham kebesaran).

b. Halusinasi : gangguan penerimaan pancaindera tanpa ada stimulus

eksternal (halusinasi pendengaran, penglihatan, pengecapan,

penciuman, dan perabaan).

c. Perubahan arus pikir

Arus pikir terputus: dalam pembicaraan tiba-tiba tidak dapat

melanjutkan isi pembicaraan.

Inkoheren: berbicara tidak selaras sengan lawan bicara (bicara

kacau).

Neologisme: menggunakan kata-kata yang hanay dimengerti

oleh diri sendiri, tetapi tidak dimengerti oleh orang lain.

d. Perubahan perilaku

Hiperaktif: perilakumotorik yang berlebihan

Agitasi: perilaku yang menunjukkan kegelisahan

Iritabilitas: mudah tersinggung

2. Gejala negatif

a. Sikap masa bodoh (apatis)

b. Pembicaraan terhenti tiba-tiba (blocking)

c. Menarik diri dari pergaulan sosial (isolasi sosial)

d. Menurunnya kinerja atau aktivitas sosial sehari-hari. (Keliat,2013)

14

Page 15: Proposal Winda

2.2.4. Fase skizofrenia

Fase-fase skizofrenia (Keliat,2013) dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Fase akut: fase mulai munculnya gejala sampai dengan sebelum 6 bulan,

ditandai dengan gejala positif dan negatif

2. Fase kronik: diagnosis skizofrenia kronik ditandai dengan gejala akut,

sudah berlangsung 6 bulan atau lebih, disertai

a. Tidak memperhatikan kebersihan diri

b. Gangguan motorik atau pergerakan

Berdasarkan Iyus Yosep (2007) fase skizofrenia terdiri dari :

1. Fase Prodromal

- Berlangsung antara 6 bulan sampai 1 tahun

- Gangguan jiwa dapat berupa self care, gangguan dalam akademik,

gangguan dalam pekerjaan, gangguan fungsi bicara, gangguan pikiran

dan persepsi.

2. Fase Aktif

- Berlangsung kurang lebih 1 bulan

- Gangguan dapat berupa gejala psikotik, halusinasi, delusi,

disorganisasi proses pikir, gangguan bicara, gangguan perilaku,

disertai kelainan neurokimiawi.

3. Fase Residual

- Klien mengalami minimal 2 gejala, gangguan afek, dan gangguan

peran, serangan biasanya berulang.

15

Page 16: Proposal Winda

2.3.Halusinasi

2.3.1. Definisi Halusinasi

Halusinasi menurut Depkes (2000) adalah gerakan penyerapan (persepsi)

panca indera tanpa ada rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem

panca indera terjadi pada saat kesadaran individu penuh/baik (Deden

Dermawan,2013).

Halusinasi adalah salah satu gangguan jiwa pada individu yang ditandai

dengan perubahan sensori persepsi; merasakan sensasi palsu berupa suara,

penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan. Pasien merasakan stimulus

yang sebenarnya tidak ada (Keliat,2012).

Halusinasi adalah sensasi panca indera tanpa adanya rangsangan, klien

melihat, mendengar, membau, ada rasa kecap meskipun tidak ada sesuatu

rangsangan yang tertuju pada kelima panca indera tersebut (Izzudin,2005 dalam

Kiki Pebriyani, 2012).

2.3.2. Jenis Halusinasi

Jenis halusinasi menurut Deden Dermawan (2013) ada 2, yaitu :

1. Halusinasi Non Patologis

Menurut NAMI (National Alliance For Mentally III) Halusinasi dapat

terjadi pada seseorang yang bukan penderita gangguan jiwa. Pada

16

Page 17: Proposal Winda

umumnya terjadi pada klien yang mengalami stress yang berlebihan atau

kelelahan bisa juga karena pengaruh obat-obatan (Halusinogenik).

Halusinasi ini antara lain :

a. Halusinasi Hipnogonik : persepsi sensori yang palsu yang terjadi

sesaat sebelum seseorang jatuh tertidur.

b. Halusinasi Hipnopomik : persepsi sensori yang palsu yang terjadi pada

saat seseorang terbangun tidur.

2. Halusinasi Patologis

Halusinasi ada 5 macam yaitu :

a. Halusinasi Pendengar (Auditory)

Klien mendengar suara dan bunyi tidak berhubungan dengan stimulasi

nyata dan orang lain tidak mendengarnya.

Data Obyektif : bicara atau tertawa sendiri, marah-marah tanpa

sebab, menyedengkan telinga ke arah tertentu, menutup telinga.

Data Subyektif : mendengar suara-suara atau kegaduhan,

mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap, mendengar

suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.

b. Halusinasi Penglihat (Visual)

Klien melihat gambar yang jelas atau samar tanpa stimulus yang nyata

dan orang lain tidak melihat.

Data Obyektif : menunjuk-nunjuk ke arah tertentu, ketakutan

pada sesuatu yang tidak jelas.

17

Page 18: Proposal Winda

Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartoon ,

melihat hantu atau monster.

c. Halusinasi Pencium (Olfactory)

Klien mencium bau yang muncul dari sumber tentang tanpa stimulus

yang nyata dan orang lain tidak mencium.

Data Obyektif : menghidu seperti sedang membau-baui bau-

bauan tertentu, menutu hidung.

Data Subyektif : Membaui bau-bauan seperti dau darah, urin

feces, kadang-kadang bau itu menyenangkan.

d. Halusinasi Pengecapan (Gusfactory)

Klien merasa makan sesuatu yang tidak nyata. Biasa merasakan

makanan yang tidak enak.

Data Obyektif : sering meludah, muntah

Data Subyektif : merasakan rasa seperti darah, urin atau feces

e. Halusinasi Perabaan (Taktil)

Klien merasakan sesuatu pada kulit tanpa stimulus yang nyata.

Data Obyektif : menggaruk-garuk permukaan kulit

Data Subyektif : mengatakan ada serangga di permukaan kulit,

merasa

seperti tersengat listrik.

Sedangkan menurut Iyus Yosep (2007), halusinasi terbagi menjadi 8,

yaitu:

18

Page 19: Proposal Winda

1. Halusinasi pendengaran (auditif,akustik)

Paling sering dijumpai dapat berupa bunyi mendenging atau suara bising

yang tidak mempunyai art, tetapi lebih sering terdengar sebagai sebuah

kata atau kalimat yang bermakna. Biasanya suara tersebut ditujukan pada

penderita sehingga tidak jarang penderita bertengkar atau berdebat dengan

suara-suaratersebut

2. Halusinasi penglihatan (visual, optik)

Lebih sering terjadi pada keadaan delirium (penyakit organik). Biasanya

sering muncul bersamaan dengan penurunan kesadaran, menimbulkan rasa

takut akibat gambaran-gambaran yang mengerikan

3. Halusinasi penciuman (olfaktorik)

Halusinasi ini biasanya berupa mencium sesuatu bau tertentu dan

dirasakan tidak enak, melambangkan rasa bersalah pada benderita. Bau

dilambangkan sebagai pengalaman yang dianggap penderita sebagai suatu

kombinasi moral

4. Halusinasi pengecapan (gustatorik)

Walaupun jarang terjadi, biasanya bersamaan dengan halusinasi

penciuman, penderita merasa mengecap sesuatu.

5. Halusinasi raba (taktil)

Merasa diraba, disentuh, ditiup atau seperti ada ulat, yang bergerak di

bawah kulit.

6. Halusinasi kinestetik

19

Page 20: Proposal Winda

Penderita mersa badannya bergerak-gerak dalam suatu ruang atau anggota

badannya yang bergera-gerak.

7. Halusinasi seksual

Merasa diraba dan diperkosa, sering pada skizofrenia dengan waham

kebesaran terutama mengenai organ-organ.

8. Halusinasi viseral

Timbulnya perasaan tertentu didalam tubuhnya.

Depersonalisasi adalah perasaan aneh pada dirinya bahwa pribadinya

sudah tidak seperti biasanya lagi serta tidak sesuai dengan kenyataan yang

ada.

9. Derealisasi adalah suatu perasaan aneh tentang lingkungannya yang tidak

sesuai dengan kenyataan, misalnya perasaan bahwa segala sesuatu yang

dialaminya seperti dalam impian.

2.3.3. Etiologi Halusinasi

Halusinasi dapat disebabkan oleh beberapa faktor (Nita, 2009 dala Kiki

Pebriyani, 2012), yaitu :

a. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan

sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress.

Faktor predisposisi dapat meliputi faktor perkembanga, sosio-kultural,

biokimia, psikologis.

20

Page 21: Proposal Winda

1. Faktor perkembangan : jika tugas perkembangan mengalami hambatan

dan hubungan interpersonal terganggu, maka individu akan mengalami

stress dan kecemasan.

2. Faktor sosio-kultural : berbagai faktor di masyarakat dapat

menyebabkan seseorang merasa disingkirkan, sehingga orang tersebut

merasa kesepian di lingkungan yang membesarkannya.

3. Faktor gen : gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui,

tetapi hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan

hubungan yang sangat berpebgaruh pada penyakit ini.

4. Faktor psikologis : hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta

adanya peran ganda bertentangan yang sering diterima oleh seseorang

akan mengakibatkan stress dan kecemasan yang tinggi dan berakhir

pada gangguan orientasi realitas.

5. Faktor biokimia : mempunyai pengaruh trhadap terjadinya gangguan

jiwa. Jika seseorang mengalami stress yang berlebihan, maka di dalam

tubuhnya akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik

neurokimia.

b. Faktor presipitasi yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai

tantangan,, ancaman atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk

menghaapinya. Adanya rangsangan dari lingkungan, objek yang ada di

lingkungan dan juga suasana sepi atau terisolasi sering menjadi pencetus

trejadinya. Hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang

merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.

21

Page 22: Proposal Winda

c. Mekanisme koping adalah cara yang dilakukan dalam upaya

menyelesaikan masalah pengendalian stress, menyesuaikan diri dengan

perubahan, respon terhadap stimulus yang mengancam. Mekanisme dalam

halusinasi yang digunakan klien halusinasi yang digunakan klien

halusinasi untuk menghindarin tekanan menggunakan :

1. Regresi , menjadi malas beraktivitas dalam sehari-hari.

2. Proyeksi, mencoba untuk menjelaskan adanya gangguan persepsi

dengan mengalihkan tanggung jawab.

3. Menarik diri, sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus

internal.

Sedangkan menurut Stuart dan Sudden (1998) dalam Deden Dermawan

(2013) halusinasi dapat terjadi disebabkan karena :

1. Teori Psikoanalisa

Halusinasi merupakan pertahanan ego untuk melawan rangsangan dari luar

yang mengancam, ditekan untuk muncul akan sabar.

2. Teori Biokimia

Halusinasi terjadi karena respon metabolisme terhadap stress yang

mengakibatkan dan melepaskan zat halusinigenik neurokimia seperti

bufotamin dan dimetyltransferase.

2.3.4. Rentang Respon

22

Page 23: Proposal Winda

Respon neurologis merupakan respon perilaku yang terkait dengan fungsi

otak, gangguan respon neurologis ditandai dengan gangguan sensori persepsi :

Halusinasi (Stuart, 1998 dam Kiki Pebriyani, 2012).

Gambar 2.3.4 Rentang Respon Halusinasi

(stuart dan Laraia, 2005 dalam Ddeden Dermawan,2013)

RESPON ADAPTIF RESPON MALADAPTIF

- Pikiran Logis - Distorsi pikiran - ganggua pikir /

- Persepsi akurat - Ilusi delusi

- Emosi konsisten - Reaksi emosi >/< - sulit merespon

Dengan pengalaman - perilaku aneh / emosi

- Perilaku sesuai tidak biasa - perilaku

- Berhubungan - menarik diri disorganisasi

Sosial - isolasi sosial

2.3.5. Fase-fase Halusinasi

Berikut ini akan diuraikan empat fase halusinasi, karakteristik dan perilaku

klien menurut Depkes, RI (2000) :

A. Fase 1 : Comforting

23

Page 24: Proposal Winda

- Menyenangkan atau memberi rasa nyaman

- Tingkat ansietas sedang secara umum halusinasi merupakan

suatu kesenangan.

Karakteristik :

- Mengalami ansietas kesepian, rasa bersalah, dan ketakutan.

- Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan

ansietas.

- Pikiran dan pengalamn sensori masalah ada dalam kontrol

kesadaran Non Psikotik.

Perilaku Klien :

- Tertawa / tersenyum yang tidak sesuai

- Menggerakkan bibir tanpa suara

- Pergerakan mata yang cepat

- Respon verbal yang lambat

- Diam dan dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan.

B. Fase II : Condeming

- Halusinasi menjadi menjijikkan

- Menyalahkan

- Tingkat kecemasan berat secara umum halusinasi

menyebabkan rasa antipati.

Karakteristik :

- Pengalaman sensorik menakutkan

24

Page 25: Proposal Winda

- Merasa dilecehkan oleh alam sensorik tersebut

- Mulai merasa kehilangan kontrol

- MD dari orang lain Non Psikotik

Perilaku Klien :

- Ansietas : terjadi peningkatan denyut jantung RR dan TD

- Perhatian dengan lingkungan kurang

- Penyempitan kemampuan konsentrasi

- Kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dengan realita

C. Fase III : Controling

- Tingkat kecemasan berat

- Mengkontrol / mengendalikan

- Pengalaman sensori (halusinasi) tidak dapat ditolak lagi

Karakteristik :

- Klien menyerah dan menerima pengalaman sendiri (halusinasi)

- Isi halusinasi menjadi atraktif

- Kesepian bila pengalaman sensori berakhir psikotik

Perilaku Klien :

- Perintah halusinasi ditaati

- Sulit berhubungan dengan orang lain

- Perhatian terhadap linhkungan kurang / hanya beberapa detik

- Gejala fisik ansietas berat : berkeringat, tremor,

ketidakmampuan mengikuti petunjuk

25

Page 26: Proposal Winda

D. Fase IV : Conquering

- Klien panik

- Menakutkan

- Klien sudah dikuasai oleh halusinasi

Karakteristik :

- Pengalaman sensorik manakutkan jika klien tidak mengikuti

perintah halusinasi

- Bisa berlangsung dalam beberapa jam atau hari apabila tidak

ada interaksi terapeutik

- Psikotik berat

Perilaku Klien :

- Perilaku panik

- Resti menciderai : bunuh diri / membunuh orang lain

- Refleksi isi halusinasi : amuk, agitasi, menarik diri atau

katatonik

- Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang kompleks

- Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang.

2.3.6. Cara Mengatasi Halusinasi

26

Page 27: Proposal Winda

Tindakan perawat dalam membantu mengatasi pasien halusinasi menurut

Keliat (2006) dalam Kiki Pebriyani (2012) adalah :

1. Membantu pasien membina hubungan saling percaya

Bina Hubungan Saling Percaya (BHSP) dengan berkomunikasi secara

terbuka maka kerja sama antara perawat dengan klien dapat optimal.

2. Membentu pasien mengenal halusinasi

dengan pasien menyatakan tentang isi halusinasinya, apa yang didengar,

dilihat waktu terjadinya halusinasi, frekuensi, situasi, penyebab serta

perasaan pasien pada saat halusinasi muncul.

3. Membantu pasien mengontrol halusinasi

Untuk membantu pasien agar mampu mengontrol halusinasi, perawat

dapat melatih pasien empat cara yang sudah terbukti dapat mengendalikan

halusinasi (Deden Dermawan, 2013). Keempat cara tersebut meliputi :

a. Menghardik halusinasi

Menghardik halusinasi adlah upaya mengendalikan diri terhadap

halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang muncul. Pasien dilatih

untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi tyang muncul atau tidak

memperdulikannya. Kalau ini dapat dilakukan, pasien akan mampu

mengendalikan diri dan tidak mengikuti halusinasi yang muncul

b. Bercakap-cakap dengan orang lain

Untuk mengontrol halusinasi dapat juga dengan bercakap-cakap

dengan orang lain. Ketika pasien bercakap-cakap dengan orang lain

27

Page 28: Proposal Winda

maka terjadi distraksi. Fokus perhatian pasien akan beralih dari

halusinasi ke percakapan yang dilakukan denagn orang lain tersebut.

c. Melakukan aktivitas yang terjadwal

Untuk mengurangi resiko halusinasi muncul lagi adalah dengan

menyibukkan diri dengan aktivitas yang teratur. Dengan beraktivitas

secara terjadwal, pasien tidak akan mengalami banayk waktu luang

sendiri akan sering sekali mencetuskan halusiansi .

d. Menggunakan obat secara teratur

Untuk mampu mengontrol halusinasi pasien juga harus dilatih untuk

menggunakan obat secara teratur sesuai dengn program. Pasien

gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit sering sekali mengalami

putus obat sehingga akibatnya pasien mengalami kekambuhan.

4. Melibatkan keluarga dalam tidakan mengontrol halusinasi

Keluarga merupakan support sistem terdekat dalam membantu pasien

dalam mengontrol halusinasi., keluraga akan mampu mempertahankan

pengobaatan sebagai berikut :

a. Dorong pasien memberitahu keluarga ketika timbul halusinasi

b. Lakukan kunjungan keluarga (home visit), kenalkan keluarga pada

halusinasi pasien, bantu dalam memutuskan tindakan untuk

mengontrol halusinasi pasien, ajarkan cara merawt pasien dirumah,

informasikan cara memodifikasi lingkungan agar mendukung realita,

dorong kelaurga memanfaatkan fasilitas kesehatan dalam mengontrol

halusinasi.

28

Page 29: Proposal Winda

5. Melatih pasien menggunakan obat secara teratur

Agar klien mampu mengontrol halusinasi, maka perludilatih untuk

menggunakan obat secara teratur sesuai dengan program. Jelaskan

pentingnya penggunaan obat pada pasien gangguan jiwa, jelaskan akibat

bila obat tidak digunakan sesuai program, jelaskan akibat dari putus obat,

jelaskan efek samping dari obat yang dimakan, jelaskan cara mendapatkan

obat, jelaskan cara menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (benar obat,

benar pasien, benar cara, benarwaktu dan benar dosis).

2.4.Perawat

2.4.1. Definisi Perawat

Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di

dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundng-

undangan yang berlaku (Keputusan Menteri Kesehatan, 2011).

Menutrut Paula J. Christensen (2009) perawat adalah anggota tim dalam

siestem layanan kesehatan dan mengemban berbagai peran dan tanggung jawab.

Menurut Society for Education and Research in Psychiatric-Mental Health

Nusrsing (SERPN,1996), Salah satu divisi ISPN, perawat kesehatan jiwa-

psikiatrik adalah perawat terdaftar yang dipersiapkan secara keilmuan

keperawatan, mempunyai isin praktik di masing-masing negara bagian mereka,

dan memiliki kualifikasi untuk berpraktik di spesialisasi kesehatan jiwa psikiatrik

di satu dari dua tingkatan : dasar atau lanjut (O’Brien, 2014).

29

Page 30: Proposal Winda

2.4.2. Peran Perawat

Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain

terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran juga diartikan

sebagai bentuk dari perilaku yang diharapkan oleh seseorang pada situasi sosial

tertentu (Ali, 2010).

Menurut konsirsium ilmu kesehatan tahun 1989 peran perawat terbagi

tujuh, yaitu :

1. Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan

Peran ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan

kebutuhan dasar manusian yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan

keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan sehingga dapat

ditentukan diagnosis keperawatan agar bisa direncanakan dan

dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar

manusia, kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya.

2. Peran perawat sebagai advokat klien

Peran ini dilakukan oleh perawat dalam membantu klien dan

keluarga dalam menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi

pelayanan atau informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan

atas tindakan keperawatn yang diberikan kepada pasien, juga dapat

berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi

hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang

30

Page 31: Proposal Winda

penyakitnya, hak atas privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan

hak untuk menerima ganti rugi akibat kalalaian.

3. Peran Perawat sebagai Edukator

Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan

tingkat pengetahuna kesehatan, gajala penyakit tindakan yang diberikan,

sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah pendidikan

kesehatan.

4. Peran perawat sebagai konsultan

Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta

mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga

pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan

kebutuhan klien.

5. Peran perawat sebagai kolaborator

Peran ini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan

yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi, dan lain-lain dengan

berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan

termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan

keperawatan yang diberikan.

6. Peran perawat sebagai konsultan

Peran ini sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan

keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas

permintaan klien terhadap informasi tentang tujuan pelayanan keperawatn

yang diberikan.

31

Page 32: Proposal Winda

7. Peran perawat sebagai pembaharu

Peran ini dilakukan dengan mengadakan perencanaan, kerja sama,

perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian

pelayanan keperawatan. (Hidayat,2009 dalam Kiki Pebriyani, 2012)

2.4.3. Peran Perawat Psikiatri

Peran perawat kesehatan jiwa (Suliswati,2005) mempunyai peran yang

bervariasi dan spesifik. Aspek dari peran tersebut meliputi kemandirian dan

kolaborasi. Peran tersebut antata lain :

1. Pelaksana Asuhan Keperawatan

Perawat memberi pelayanan dan asuhan keperawatan jiwa kepada

individu, keluarga dan komunitas. Dalam menjalankan perannya, perawat

menggunakan konsep perilaku manusia, perkembangan kepribadian dan

konsep kesehatan jiwa dalam melaksanakan asuhan keperawatan kepada

individu, keluarga dan komunitas.

Perawat melaksanakan asuhan keperwatan secara komprehensif

melalui pendekatan proses keperawatan jiwa, yaitu pengkajian, penetapan

diagnosis keperawatan, perencanaan tindakan keperawatan serta evaluasi

terhadap tindakan tersebut.

2. Pelaksana Pendidikan Keperawatan

Perawat memberi pendidikan kesehatan jiwa kepada individu,

keluarga dan komunitas agar mampu melakukan perawatan pada diri

sendiri, anggota keluarga dan anggota masyarakat lain. Pada akhirnya

32

Page 33: Proposal Winda

diharapkan setiap anggota masyarakat bertanggung jawab terhadap

kesehatan jiwa.

3. Pengelola Keperawatan

Perawat harus menunjukkan sikap kepemimpinan dan bertanggung

jawab dalam mengelola asuhan keperawatn jiwa. Dalam melaksanakan

perannya ini perawat:

Menerapkan teori manajemen dan kepemimpinan dalam mengelola

asuhan keperawatan jiwa.

Menggunakan berbagai strategi perubahan yang diperlukan dalam

mengelola asuhan keperawatan jiwa.

Berperan serta dalam aktivitas pengelolaan kasus seperti

mengorganisasi, koordinasi, dan mengintegrasikan pelayanan serta

perbaikan bagi individu maupun keluarga.

Mengorganisasi pelaksaan berbagai terapi modalitas keperawatan.

4. Pelaksana Penelitian

Perawat mengidentifikasi masalah dalam bidang keperawatan jiwa dan

menggunakan hasil penelitian serta perkembangan ilmu dan teknologi

untuk meningkatkan mutu pelayanan dan asuhan keperawatan jiwa.

2.4.4 Peran Perawat dalam Pemberian Obat

Ada empat peran perawat dalam pemberian obat menurut Sujono (2009)

dalam Kiki Pebriyani (2012), yaitu :

33

Page 34: Proposal Winda

1. Sebagai Pelaksana

Perawat berperan langsung dalam pemberian obat, menjaga

keefektifitasan obat dan mengobservasi efek samping dan alergi yang

mungkin terjadi. Dalam melaksanakan perannya harus memberi

kenyamanan dan rasa aman pada klien dan melindungi hak dan

kewajiban.

2. Sebagai Pengelola

Perawat berperan dalam menyimpan, menyiapkan dan menjamin

keamanan obat. Perawat harus tahu tata cara menyimpan obat yang benar

karena penyimpanan yang salah dapat merusak struktur kimia meupun

efek obat. Perawat juga harus memeriksa kedaluarsa dan cara pemberian

obat.

3. Sebagai Pendidik

Perawat bertanggung jawab dalam mendidik klien, keluarga dan

masyarakat. Peran ini dapat berupa penyuluhan tentang manfaat obat, efek

samping, dan cara mengatasi reaksi obat yang ditimbulkan, cara

pemberian, waktu pemberian dan prinsip 6 benar dalam pemberian obat.

4. Sebagai Peneliti

Perawat diharapkan mengidentifikasikan dan mengobservasi

terhadap masalah pengobatan yang terjadi, menerapkan rencana dan

metode penelitian serta hasil penelitian untuk meningkatan mutu

pelayanan dan asuhan keperawatan jiwa.

34

Page 35: Proposal Winda

2.4.5. Fungsi Perawat

Fungsi merupakan suatu pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan

perannya. Fungsi tersebuat dapat berubah disesuaikan dengan keadaan yang ada

(2008). Menurut Hidayat (2009) dalam Kiki Pebriyani (2012), fungsi perawat

dibagi 3, yaitu:

1. Fungsi Independent

Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain, dimana

perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri dengan

keputusan sendiri dalam melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhan

dasar manusia.

2. Fungsi Dependent

Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya atas pesan

atau instruksi dari perawat lain. Sehingga berbagai tindakan pelimpahan

tugas yang diberikan. Hal ini biasanya dilakukan oleh perawat spesialis

kepada perawat umum, atau dari perawat primer ke perawat pelaksana.

3. Fungsi Interdependent

Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim bersifat saling ketergantungan

di antara tim satu dengan lainnya. Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk

pelayanan membutuhkan kerjasama tim dalam pemberian pelayanan

seperti dalam memberikan asuhan keperawatan pada penderita yang

mempunyai penyakit kompleks.

35

Page 36: Proposal Winda

2.4.6. Fungsi Perawat Psikiatri

Fungsi perawat psikiatri adalah memberikan asuahn keperawatan secara

langsung dan asuhan keperawatan secara tidak langsung. Fungsi ini dapat dicapai

melalui aktivitas perawat (Suliswati,2005), yaitu :

Memberikan lingkungan terapeutik yaitu lingkungan yang didata

sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perasaan aman, nyaman baik

fisik, mental dan sosial sehingga dapat membantu penyembuhan pasien.

Bekerja untuk mengatasi masalah klien “here & now” yaitu dalam

membantu mengatasi segera dan tidak ditunda sehingga tidak terjadi

penumpukkan masalah.

Sebagai model peran yaitu perawat dalam memberikan bantuan kepada

pasien menggunakan diri sendiri sebagai alat melalui contoh perilaku yang

ditampilkan oleh perawat.

Memperhatikan aspek fisik dari masalah kesehatan klien merupakan hal

yang sangat penting. Dalam hal ini perawat perlu memasukkan

pengkajianbiologis secara menyeluruh dalam evaluasi pasien psikiatrik

untuk mendeteksi adanya penyakit fisik sedini mungkin sehingga dapat

diatasi dengan cara yang tepat.

Memberi pendidik kesehatan yang ditujukan kepada pasien, keluarga dan

komunitas yang mencakup pendidikan kesehatan jiwa, gangguan jiwa,

ciri-ciri sehat jiwa, penyebab gangguan jiwa, fungsi dan tugas keluarga,

dan upaya perawatan pasien gangguan jiwa.

36

Page 37: Proposal Winda

Sebagai perantara sosial yaitu perawat dapat menjadi perantara dari pihak

pasien, keluarga dan masyarakat dalam memfasilitasi pemecahan maslah

pasien.

Kolaborasi dengan tim lain. Perawat dalam membantu pasien mengadakan

kolaborasi dengan petugas kesehatan lain yaitu dokter jiwa, perawat

kesehatan masyarakat (perawat komunitas), pekerja sosial, psikolog dan

lain-lain.

Memimpin dan membantu tenaga perawatan dalam pelaksanaan

pemberian asuhan keperawatan jiwa didasarkan pada manajemen

keperwatn kesehatan jiwa. Sebagai pimpinan diharapkan dapat mengelola

asuhan keperawatan kesehatan jiwa dan membantu tenaga perawatan yang

menjadi bawahannya.

Menggunakan sumber di masyarakat sehubungan dengan kesehatan

mental. Hal ini penting diketahui oleh perawat bahwa sumber- sumber

yang ada di masyarakat perlu diidentifikasi untuk digunakan sebagai

faktor pendukung dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa yang ada di

masyarakat.

2.5. Obat

2.5.1. Definisi Obat

Obat adalah setiap substansi yang dapat mempengaruhi fungsi normal

tubuh pada tingkat sel (Tambayong, 2014).

37

Page 38: Proposal Winda

Menurut Priharjo (1994), istilah obat didefinisikan sebagai suatu

substansi/bahan yang digunakan untuk mendiagnosa, menyembuhkan, mengatasi,

membebaskan, atau mencegah penyakit.

2.5.2. Prinsip Penggunaan Obat

Berikut ini beberapa prinsip beberapa prinsip yang menjadi pedoman

penggunakan obat dalam menangani gangguan psikiatri (Hyman, Arana, &

Rosenbaum, 1995) :

1. Obat diseleksi berdasarkan efeknya pada gejala klien, misalnya pikiran

waham, serangan panik, atau halusinasi. Keefektifan pengobatan

dievaluasi sebagian besar oleh kemampuan obat untuk mengurangi atau

menghilangkan gejala target.

2. Banyak obat psikotropika harus diberikan dalam dosis yang adekuat

selama periode waktu sebelum efek seutuhnya dicapai. Misalnya,

anridepresan trisiklik dapat memerlukan empat sampai enam minggu

untuk memberikan manfaat terapeutik yang optimal.

3. Dosis obat sering kali disesuaikan sampai dosis terendah yang efektif

untuk klien. Kadang kala dosis yang lebih tinggi diperlukan untuk

menstabilkan gejala target klien dan dosis yang lebih rendah dapat

digunakan untuk mempertahankan efek obat tersebut sepanjang waktu.

4. Sesuai aturan, individu lansia memerlukan dosis obat yang lebih rendah

untuk menghasilkan efek terapeutik, dan obat dapat memerlukan waktu

yang lebih lama untuk mencapai efek terapeutik sepenuhnya.

38

Page 39: Proposal Winda

5. Obat psikotropik sering dikurangi secara bertahap (berangsur-angsur),

bukan secara mendadak dihentikan. Hal ini dilakukan sehubungan dengan

masalah potensial terjadinya rebound (kembalinya gejala untuk

sementara), kambuhnya gejala semula, atau putus obat (gejala baru yang

disebabkan penghentian obat).

6. Perawatan tindak lanjut sangat penting untuk memastikan kepatuhan

pasien terhadap program pengobatan, melakukan penyesuaian dosis obat,

dan menatalaksana efek samping. (Videbeck, 2012)

2.5.3. Pemberian Obat pada Pasien

Hal-hal yang perlu disiapkan dalam memberikan obat pada pasien antara

lain :

a. Cek lembar obat, identifikasi jenis obat, cara pemberian obat dan dosis

obat.

b. Cek kemasan obat, identifikasi tujuan, cara kerja, efek samping, dan cara

pemberian.

c. Kaji riwayat pengobatan klien, apakah terjadi reaksi yang tidak

diinginkan.

d. Kaji pengetahuan klien tentang obat.

e. Kaji kondisi klien sebelum diberikan obat.

f. Cek enam benar pemberian obat (benar obat, benar disis, benar klien,

benar cara pemberian, benar waktu pemberian obat, dan benar

dokumentasi). (Kiki Pebriyani, 2012).

39

Page 40: Proposal Winda

2.5.4.Pengobatan Psikofarmaka

Psikofarmakologi adalah ilmu yang mempelajari obat yang mempengaruhi

psyche (bahasa Yunani yang berarti roh atau jiwa seseorang). Dengan kata lain

ilmu yang mempelajari obat yang digunakan pada psikiatri. Obat ini sering kali

disebut sebagai psikotropik, harfiahnya obat yang “memindahkan roh” atau

“memindahkan jiwa” (Patricia G. O’Brien, 2014).

Terdapat lima kelompok besar obat pada psikiatri dan golongan kelompok

kecil lainnya (Patricia G. O’Brien, 2014), yaitu :

1. Obat Antipsikotik (Klorpromazin, Haloperidol, Rispedon, Tioridazin,dll)

Obat ini digunakan untuk mengobati gejala psikotik, seperti :

- Agitasi

- Waham

- Halusinasi

- Merasa tidak nyata

- Kurang kesenangan

- Kemarahan, dll.

2. Obat Antidepresan (Mirtazapin,Nefazodon, triheksifenidil, Sertralin,dll)

Obat ini adalah pengobatan pilihan untuk gangguan psikiatrik yang paling

sering muncul, depresi mayor. Gejala targeet antidepresan adalah :

- Rasa bersalah

- Tidak berdaya dan putus asa

- Alam perasaan sedih atau cemas

40

Page 41: Proposal Winda

- Sulit berkonsentrasi, dll.

3. Penstabil Alam Perasaan (litium karbonat, gabapentin, topiramat,dll)

Gejala yang menjadi target penstabil alam perasaan adalah :

- Peningkatan keaktifan bicara

- Penurunan kebutuhan akan tidur

- Keterlibatan dalam aktivitas merusak diri

- Pikiran cepat atau bekejaran

4. Obat Anti-Cemas (benzodiazepin, diazepam, triazolam, estazolam,dll)

Ketika digunakan untuk mengatasi cemas, gejala target obat ini adalah :

- Gelisah atau perasaan seperti dipenjara atau disudutkan

- Pusing

- Berkeringat

- Ketegangan oto, dll

5. Stimulan (pemolin, metilfenidat, modafinil,dll)

Digunakan khususnya pada pengobatan gangguan kurang perhatian ADD

(Attention Deficit Disorder) dan gangguan hiperaktivitas kurang perhatian

ADHD (Attention Deficit Hiperactivity Disorder). Adapun gejala target

stimulan :

- Distrakbilitas

- Impulsivitas

- Iritabilitas

- Aktivitas berlebihan

- Gelisah

41

Page 42: Proposal Winda

- Rentang perhatian pendek

Sedangkan, menurut Keliat (2013), Pengobatan gangguan ini

menggunakan obat antipsikotik untuk mengatasi gejala psikotik (mis., perubahan

perilaku, agitasi, agresif, sulit tidur, halusinasi, waham, proses pikir kacau). Obat-

obatan untuk pasien skizofrenia yang umumnya digunakan adalah klorpromazin

(sediaan : klorpromazin tablet 25 mg, 100 mg ; injeksi 25 mg/ml), haloperidol

(sediaan : haloperidol tablet 0,5 mg, 1,5 mg; injeksi 5 mg/ml), dan heksifenidil

(sediaan : tablet 2 mg).

Pengobatan pada fase akut :

1. Dalam keadaan akut yang disertai agitasi dan hiperaktif, berikan

injeksi

a. Haloperidol 3x5 mg (tiap 8 jam) intramuskular

b. Klorpromazin 25-5- mg diberikan intramuskular yang dalam,

setiap 6-8 jam sampai keadaan akut teratasi

c. Kombinasi haloperidol 5 mg IM, kemudian diazepam 10 mg IM

dengan interval 1-2 menit. Dengan kombinasi ini, jarang

dibutuhkan suntikan kedua.

2. Dalam keadaan tidak agitasi dan tidak hiperaktif, berikan tablet

a. Haloperidol 2x1,5-2,5 mg sehari

b. Klorpromazin 2x100 mg sehari

c. Triheksifenidil 2x2 mg sehari

Pengobatan pada fase kronis :

1. Berikan obat dalam bentuk tablet

42

Page 43: Proposal Winda

a. Haloperidol 2x0,5-1 mg sehari

b. Klorpromazin 1x50 mg sehari (malam)

c. Triheksifenidil 1-2x2 mg sehari

2. Tingkatkan perlahan-lahan, beri kesempatan obat untuk bekerja, dan

lakukan tindakan perawatan dan pendidikan kesehatan.

3. Dosis maksimal : haloperidol 40 mg sehari (tablet) dan klorpromazin

600 mg sehari dalam bentuk tablet.

2.5.5.Pengelolaan Obat di Ruangan

Dalam mengelola obat, perawat perlu memperhatikan :

Obat disimpan dilemari terkunci

Kunci obat tidak boleh diletakkan sembarangan

Lemari obat diletakkan diruang jaga perawat

Obat disimpan dikemasannya atau ditempat yang diberi label khusus dan

masing-masing klien mempunyai tempat tersendiri

Setiap pergantian shift atau dinas melakukan serah terima tentang keluar

masuk obat. (Sujono & Purwanto, 2009 dalam Kiki Pebriyani. 2012)

2.5.6. Pendidikan Kesehatan

Pasien harus dilatih untuk minum obat secara teratur sesuai dengan

program terapi dokter. Pasien gangguan jiwa yang dirawat dirumah sering

mengalami putus obat sehingga pasien mengalami kekambuhan. Oleh karena itu,

43

Page 44: Proposal Winda

pasien harus dilatih minum obat sesuai program dan berkelanjutan. Berikut ini

yang dapat dilakukan perawat agar pasien patuh minum obat menurut Keliat

(2012) :

a. Jelaskan kegunaan obat

b. Jelaskan akibat jika putus obat

c. Jaelaskan cara mendapatkan obat/berobat

d. Jelaskan car minum obat dengan 5 prinsip benar (benar obat, benar pasien,

benar waktu, dan benar dosis).

Sedangkan menurut O’Brien (2014) faktor-faktor yang dapat

meningkatkan kepatuhan antara lain :

1. Ajarkan klien dan anggota keluarga tentang obat

2. Berikan informasi tertulis yang eksplisit dan konsisten tentang obat

3. Perkuat kembali manfaat obat dalam pencegahan kambuh

4. Gali berbagai cara khusus manfaat obat

5. Pertahankan pemberi resep tetap

6. Pertahankan hubungan profesional

7. Ungkapkan optimisme tentang efikasi obat

8. Siap terhadap berbagai pertanyaan tentang obat atau efek sampingnya

9. Meneliti hubungan antara berhenti minum obat dengan kambuh di masa

lalu

10. Buat jadwal obat sesederhana mungkin

11. Berikan beberapa dosis perhari sebisa mungkin

44

Page 45: Proposal Winda

12. Atasi efek samping secara agresif

13. Ajarkan klien tentang potensi adiksi

14. Berikan motivasi kepada keluarga dan teman untuk mendukung

pemakaian obat

2.6. Penelitian Terkait

Penelitian yang dilakukan yang dilakukan oleh kiki pebriyani (2012),

tentang perilaku perawat dalam strategi pelaksanaan pemberian obat pada pasien

halusinasi di ruang di ruang Merpati rumah sakit Dr. Ernaldi Bahar Palembang

tahun 2012, hasil penelitian menunjukkan bahwa perawat pelaksana memiliki

pengetahuan dan sudah mampu menjelaskan pengertian, tanda dan gejala dari

halusinasi, tetapi perawat belum mampu menerapkan teknik pemberian obat

melalui strategi pelaksanaan, dan ini dapat menjadi salah satu faktor ketidak

optimalan pengobatan pada pasien halusinasi. Sedangkan untuk sikap, perawat

pelasana memiliki sikap peduli pada pasien dalam masalah pemberian obat. Dan

dalam tindakan perawat pelaksana dalam pemberian obat pada pasien halusinasi

belum melalui strategi pelaksanaan dan perawat pelaksana juga tidak memantau

apakah obat sudah diminum.

45

Page 46: Proposal Winda

BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN

HIPOTESIS

3.1. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian formulasi atau simplikasi dari kerangka teori

atau teori-teori yang mendukung penelitian (Notoaatmojo, 2010 dalam Nurjanah

2013).

Kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian ini memodifikasi teori

Sujono (2009) dalam Kiki Pebriyani (2012) yang mengemukan bahwa peran

perawat dalm pemberian obat ada tiga yaitu : sebagai pelaksana, sebagai

pengelola, sebagai pendidik dan sebagai peneliti

46

Page 47: Proposal Winda

Gambar 3.1

Bagan kerangka konsep modifikasi teori Sujono (2009)

Variable Independen Variable Dependen

3.2 Definisi Operasional

Untuk menjelaskan kerangka konsep diatas, diberikan definisi operasional

sebagaimana berikut ini :

Tabel 3.2

Desinisi operasional variabel penelitian

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat ukur Hasil Ukur Skala

Ukur

1 Pelaksana Yaitu Wawancara Kuesioner 1. Dilak Nominal

47

PELAKSANA

PENGELOLA

PENDIDIK

PENELITI

PELAKSANAAN PEMBERIAN OBAT

PADA PASIEN HALUSINASI

Page 48: Proposal Winda

perawat

bertanggu

ng jawab

dalam

memenuhi

kebutuhan

klien,

dalam hal

ini klien

membutuh

kan obat.

sana-

kan

2. Tidak

dilak-

sana-

kan

2 Pengelola Yaitu

perawat

bertanggu

ng jawab

terhadap

kondisi

obat yang

di berikan

pada klien.

Wawancara Kuesioner 1. Dikel

olah

2. Tidak

dike-

lola

Nominal

3 Pendidik Yaitu

perawat

bertugas

Wawancara Kuesioner 1. Diberi

Pendi

dikan

Nominal

48

Page 49: Proposal Winda

dalam

meningkat

kan

pengetahu

an klien

dan

keluarga

mengenai

pemberian

obat pada

klien.

2. Tidak

Diberi

Pendi

dikan

4 Peneliti Yaitu

perawat

bertugas

mengobser

vasi

masalah

yang

terjadi

pada klien.

Wawancara Kuesionar 1. Di

teliti

2. Tidak

di

teliti

Nominal

5 Pembe-

rian obat

Yaitu

suatu cara

yang

Wawancara Kuesioner 1. Diberi

obat

2. Tidak

Nominal

49

Page 50: Proposal Winda

dilakukan

perawat

dalam

mengupay

akan

kesembuh

an klien.

diberi

obat

3.3. Hipotesis

Berdasarkan kerangka konsep dan definisi operasional variabel penelitian

diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut :

1. Ada pengaruh peran perawat sebagai pelaksana dalam pelaksanaan

pemberian obat pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar

Palembang tahun 2015.

2. Ada pengaruh peran perawat sebagai pengelola dalam pelaksanaan

pemberian obat pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar

Palembang tahun 2015.

3. Ada pengaruh peran perawat sebagai pendidik dalam pelaksanaan

pemberian obat pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar

Palembang tahun 2015.

50

Page 51: Proposal Winda

4. Ada pengaruh peran perawat sebagai peneliti dalam pelaksanaan

pemberian obat pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar

Palembang tahun 2015.

51