33
Proposal Penelitian Menganalisis Faktor yang Diduga Berhubungan dengan Keteraturan Berobat Penderita TB di Puskesmas K. Ayu Anas Silvya 102010072 F1 Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana Jl. Terusan Arjuna Utara No. 6, Kebon Jeruk, Jakarta Barat 2015 1

Proposal Penelitian Menganalisis Faktor yang Diduga Berhubungan dengan Keteraturan Berobat Penderita TB di Puskesmas K

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Proposal Penelitian Menganalisis Faktor yang Diduga Berhubungan dengan Keteraturan Berobat Penderita TB di Puskesmas K.

Citation preview

Page 1: Proposal Penelitian  Menganalisis Faktor yang Diduga Berhubungan dengan  Keteraturan Berobat Penderita TB di Puskesmas K

Proposal Penelitian

Menganalisis Faktor yang Diduga Berhubungan dengan

Keteraturan Berobat Penderita TB di Puskesmas K.

Ayu Anas Silvya

102010072

F1

Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

Jl. Terusan Arjuna Utara No. 6, Kebon Jeruk, Jakarta Barat

2015

1

Page 2: Proposal Penelitian  Menganalisis Faktor yang Diduga Berhubungan dengan  Keteraturan Berobat Penderita TB di Puskesmas K

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang dapat menyerang berbagai

organ atau jaringan tubuh. Tuberkulosis paru merupakan bentuk yang paling banyak dan

paling penting.1

Penyakit tuberculosis merupakan penyakit masyarakat yang dapat menyerang siapa

saja (tua, muda, laki-laki, perempuan, miskin, atau kaya ) dan dimana saja. Indonesia

sendiri termasuk dalam negara peringkat ke tiga yang menyumbang penyakit Tb terbesar

di dunia setelah India dan Cina2. Terdapat empat juta kasus baru tbc setiap tahunnya.

Penyakit tuberculosis ialah penyakit kronis. Proses gejalanya berjalan perlahan sehingga

banyak masyarakat yang tidak mengenal tentang penyakit tuberculosis. Gejala

tuberculosis yang lama tidak ditangani bisa menyebabkan kematian. Di Indonesia sekitar

140.000 kematian yang terjadi setiap tahun disebabkan oleh tbc. Tahun 2004, menurut

hasil survei prevalensi tbc di Indonesia ditemukan hasil BTA positif 110 per 100.000

penduduk. Pada frekuensi umur, terlihat angka insidensi tbc secara perlahan bergerak ke

arah kelompok umur tua (dengan puncak pada 55-64 tahun). Dalam usaha menumpas

penyakit Tuberculosis, WHO sebenarnya telah memperkenalkan strategi dots (Directly

Observed Treatment Short-couers = pengobatan jangka pendek dengan pengawasan).

Strategi ini terdiri atas lima komponen utama yakni adanya komitmen politik, tepat

waktu, adanya sistem monitoring yang baik dan adanya program pengawasan keteraturan

minum obat di sertai jaminan agar setiap pasien pasti minum obat sampai tuntas. Strategi

ini cukup efektif untuk menurunkan frekuensi penyakit tuberculosis di Indonesia. Pada

tahun 2005 keberhasilan strategi ini mencapai angka pengobatan (success rate = sr)

sebesar 89,7% melebihi target who sebesar 85%.2 Terkait prevalensi penderita

tuberculosis di Indonesia menunjukan bahwa angka keberhasilan pengobatan masih

rendah. Untuk mencapai kesembuhan dibutuhkan keteraturan berobat, dan pengobatan

yang tidak benar akan berakibat timbulnya resistensi kuman TB terhadap obat yang

diberi.

Oleh itu Pukesmas K tertarik untuk melakukan penelitian untuk mengetahui faktor apa

yang diduga menyebabkan keteraturan pasien berobat berdasarkan data yang didapatkan

bahwa banyak pasien yang didiagnosis dengan TB paru dan diobati dengan system DOTs

tidak kembali follow up pengobatan. Sementara angka kejadian Multi Drug Resistance

(MDR) semakin meningkat.

2

Page 3: Proposal Penelitian  Menganalisis Faktor yang Diduga Berhubungan dengan  Keteraturan Berobat Penderita TB di Puskesmas K

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan dari latar belakang diatas, Pukesmas K merumuskan:-

- Apakah faktor yang menyebabkan pasien yang diterapi dengan sistem DOTS tidak

kembali lagi untuk mengambil obat ?

- Bagaimana menanggulangi angka Multi Drugs Resistance (MDR) yang semakin

meningkat?

1.3 Tujuan Umum

Untuk menganalisis beberapa faktor yang diduga berhubungan dengan keteraturan

berobat penderita TB.

1.4 Tujuan Khusus

- Menganalisis apakah usia penderita TB mempengaruhi keteraturan berobat pasien TB.

- Menganalisis apakah tingkat pendidikan penderita TB mempengaruhi keteraturan

berobat pasien TB.

- Menganalisis apakah tingkat sosial ekonomi penderita TB mempengaruhi keteraturan

berobat pasien TB.

- Menganalisis apakah jenis pekerjaan penderita TB mempengaruhi keteraturan berobat

pasien TB.

- Menganalisis apakah jarak rumah dengan Puskesmas mempengaruhi keteraturan

berobat pasien TB.

- Menganalisis apakah efek samping obat mempengaruhi keteraturan berobat pasien TB.

- Menganalisis apakah lamanya minum obat mempengaruhi keteraturan berobat pasien

TB.

1.5 Hipotesis

-Untuk melihat jika terdapat perbedaan diantara pasien yang patuh melakukan terapi

pengobatan dengan pasien yang tidak patuh melakukan terapi pengobatan terhadap

tingkat kesembuhan.

- Untuk melihat jika terdapat hubungan diantara ketidak teraturan berobat penderita TB

dengan kejadian meningkatnya kasus MDR.

3

Page 4: Proposal Penelitian  Menganalisis Faktor yang Diduga Berhubungan dengan  Keteraturan Berobat Penderita TB di Puskesmas K

1.6 Manfaat Penelitian

1. Bagi Institusi Kesehatan

Diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi dalam rangka meningkatkan

upaya pelayanan mesyarakat khususnya pada penderita TB melalui penyuluhan

tentang bahaya penyakit TB, upaya mengatasi dan menanggulanginya sehingga akan

mempengaruhi kepatuhan penderita TB paru.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan dapat menanbah bahan bacaan dan menambah wawasan diri bagi

mahasiswa khuususnya yang berada dalam lungkup keperawatan untuk memberikan

ilmu baru dalam penyusunan asuhan keperawatan dengan penderita TB.

3. Diharapkan dapat menambah pengetahuan dan kemampuan mengenali tentang

masalah dan perawatan pasien TB.

4. Bagi Keluarga

Diharapkan dapar memberikan masukan oleh pihak keluarga tentang penanganan TB

paru sehingga penderita dapat melakukan pengobatan secara teratur sehingga

sembuh.

5. Bagi Penderita Sendiri

Diharapkan dapat menemukan solusi terhadap faktor yang menjadi penghalang

supaya penderita dapat melakukan pengobatan TB secara teratur sekali gus merubah

pandangan-pandangan salah terhadap pengobatan TB.

4

Page 5: Proposal Penelitian  Menganalisis Faktor yang Diduga Berhubungan dengan  Keteraturan Berobat Penderita TB di Puskesmas K

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Tuberkulosis

Tuberkulosis dikenal sebagai penyakit infeksi yang bersifat menular yang disebabkan

oleh Mycobacterium Tuberculosis, sebagian besar menyerang paru tetapi dapat juga

menyerang organ tubuh lainnya. Tuberkulosis dapat memasuki tubuh barsama butir-butir

debu atau percikan dahak (Droplet) yang menyebar ke udara sewaktu penderita

tuberkulosis batuk atau bersin.

Mycobacterium Tuberculosis berbentuk batang ramping, lurus atau sedikit bengkok

dengan kedua ujungnya membulat. Basil ini sulit sekali diwarnai, tetapi sekali terwarnai

maka ia akan menahan zat warna itu dengan baik sekali dan tidak dapat lagi dilunturkan

walaupun dengan asam alkohol. Oleh karena itu disebut juga sebagai Basil Tahan Asam

( BTA). Zat lilin yang ada di dinding selnya yang menyebabkan sulit diwarnai dan

kesulitan ini dapat diatasi bila digunakan zat warna yang melunturkan lilin sambil

dilakukan pemanasan. Untuk mewarnai kuman ini lazimnya digunakan zat warna Zeihl-

Neelsen (ZN). Basil ini cepat mati dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan

hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh,

Mycobacterium Tuberculisis dapat dormant (tertidur/ tidak aktif) selama beberapa tahun.

2.2 Penularan dan Patofisiologi Penyakit Tuberkulosis.

Yang mempengaruhi penyebaran TB sebagai salah satu penyakit menular adalah

adanya faktor lingkungan, host dan agen penyakit. Ditinjau dari sudut ekologis,

terdapat tiga faktor yang dapat menimbulkan suatu kesakitan, kecacatan,

ketidakmampuan dan kematian pada manusia yang disebut trias ekologi atau trias

epidemiologi yaitu agen penyakit, manusia (pejamu) dan lingkungan. Dalam keadaan

normal terjadi suatu keseimbangan yang dinamis antara ketiga komponen ini atau dengan

kata lain disebut sehat. Pada suatu keadaan terjadinya gangguan pada keseimbangan

dinamin ini, misalnya akibat menurunnya kualitas lingkungan hidup sampai pada tingkat

tertentu tertentu maka akan memudahkan agen penyakit masuk ke dalam tubuh manusia.2-

4

Interaksi agent, lingkungan, dan host:

a) Faktor Agent (Mycobacterium tuberculosis)

5

Page 6: Proposal Penelitian  Menganalisis Faktor yang Diduga Berhubungan dengan  Keteraturan Berobat Penderita TB di Puskesmas K

Agen yang dimaksud adalah agen biologis yaitu bakteri Mycobacterium

tuberculosis. Karakteristik alami dari agen TBC hampir bersifat resisten terhadap

disifektan kimia atau antibiotika dan mampu bertahan hidup pada dahak yang

kering untuk jangka waktu yang lama. Pada Host, daya infeksi dan kemampuan

tinggal sementara Mycobacterium Tuberculosis sangat tinggi. Patogenesis hampir

rendah dan daya virulensinya tergantung dosis infeksi dan kondisi Host.

Umumnya sumber infeksinya berasal dari manusia dan ternak (susu) yang

terinfeksi. Untuk transmisinya bisa melalui kontak langsung dan tidak langsung,

serta transmisi kongenital yang jarang terjadi.2-4

Gambar 1. Bakteri Mycobacterium tuberculosis penyebab TBC

b) Faktor Perilaku dan Lingkungan

Perilaku manusia sehari-hari bisa menjadi faktor pencetus terjadinya TBC.

Perilaku yang terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan yang kurang mengerti

akan menjadi . Pengetahuan penderita TB Paru yang kurang tentang cara

penularan, bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan

prilaku sebagai orang sakit dan akhinya berakibat menjadi sumber penular bagi

orang disekelilingnya. Kurangnya kesigapan masyarakat akan setiap orang yang

mangalami sakit cukup lama.

Perilaku Kebiasaan Merokok

Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko untuk

mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik

dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk

terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di

Indonesia per orang per tahun adalah 230 batang, relatif lebih rendah dengan

430 batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480 batang/orang/tahun di Ghana dan

760 batang/orang/tahun di Pakistan (Achmadi, 2005). Prevalensi merokok

pada hampir semua Negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki

6

Page 7: Proposal Penelitian  Menganalisis Faktor yang Diduga Berhubungan dengan  Keteraturan Berobat Penderita TB di Puskesmas K

dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasaan

merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru.1,3

Lingkungan : Kepadatan Hunian

Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya,

artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah

penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab

disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu

anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada

anggota keluarga yang lain. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah

biasanya dinyatakan dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif

tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah

sederhana luasnya minimum 10 m2/orang. Untuk kamar tidur diperlukan luas

lantai minimum 3 m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan,

jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm.

Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami

istri dan anak di bawah 2 tahun. Untuk menjamin volume udara yang cukup,

di syaratkan juga langit-langit minimum tingginya 2,75 m.1,4

Lingkungan : Pencahayaan

Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela

kaca minimum 20% luas lantai. Jika peletakan jendela kurang baik atau

kurang leluasa maka dapat dipasang genteng kaca. Cahaya ini sangat penting

karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya

basil TB, karena itu rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya

yang cukup. Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali lilin

atau kurang lebih 60 lux., kecuali untuk kamar tidur diperlukan cahaya yang

lebih redup. Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari

segi lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya. Cahaya yang

sama apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh

kuman dalam waktu yang lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwama

Penularan kuman TB Paru relatif tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar

matahari dapat masuk dalam rumah serta sirkulasi udara diatur maka resiko

penularan antar penghuni akan sangat berkurang.1,2

Lingkungan : Ventilasi

7

Page 8: Proposal Penelitian  Menganalisis Faktor yang Diduga Berhubungan dengan  Keteraturan Berobat Penderita TB di Puskesmas K

Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga

agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti

keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap

terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam

rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban

udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari

kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk

pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit, misalnya

kuman TB. Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara

ruangan daribakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu

terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan

selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan kamar

tidur selalu tetap di dalam kelembaban (humiditiy) yang optimum. Untuk

sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi sebesar 10%

dari luas lantai. Untuk luas ventilasi permanen minimal 5% dari luas lantai dan

luas ventilasi insidentil (dapat dibuka tutup) 5% dari luas lantai. Udara segar

juga diperlukan untuk menjaga temperatur dan kelembaban udara dalam

ruangan. Umumnya temperatur kamar 22° – 30°C dari kelembaban udara

optimum kurang lebih 60%.1,2,5,6

Lingkungan : Kelembaban udara

Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana

kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22° –

30°C. Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung,

tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan

lembab.2

c) Faktor Host

Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada TBC. Terdapat 3 puncak

kejadian dan kematian :

Paling rendah pada awal anak (bayi) dengan orang tua penderita

8

Page 9: Proposal Penelitian  Menganalisis Faktor yang Diduga Berhubungan dengan  Keteraturan Berobat Penderita TB di Puskesmas K

Paling luas pada masa remaja dan dewasa muda sesuai dengan

pertumbuhan, perkembangan fisik-mental dan momen kehamilan pada

wanita

Puncak sedang pada usia lanjut

Dalam perkembangannya, infeksi pertama semakin tertunda, walau tetap tidak

berlaku pada golongan dewasa, terutama pria dikarenakan penumpukan grup

sampel usia ini atau tidak terlindung dari resiko infeksi. Pria lebih umum

terkena, kecuali pada wanita dewasa muda yang diakibatkan tekanan psikologis

dan kehamilan yang menurunkan resistensi. Penduduk dengan sosialekonomi

rendah memiliki laju lebih tinggi. Aspek keturunan dan distribusi secara familial

sulit terinterprestasikan dalam TBC, tetapi mungkin mengacu pada kondisi

keluarga secara umum dan sugesti tentang pewarisan sifat resesif dalam

keluarga. Kebiasaan sosial dan pribadi turut memainkan peranan dalam infeksi

TBC, sejak timbulnya ketidakpedulian dan kelalaian. Status gizi, kondisi

kesehatan secara umum, tekanan fisik-mental dan tingkah laku sebagai

mekanisme pertahanan umum juga berkepentingan besar. Imunitas spesifik

dengan pengobatan infeksi primer memberikan beberapa resistensi, namun sulit

untuk dievaluasi.2-4

2.2.1 Penularan :

o Cara Penularan

- Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.

- Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam

bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan

sekitar 3000 percikan dahak.

- Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada

dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,

sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat

bertahan selama beberapa jam dalam keadaan gelap dan lembab.

- Daya penularan seorang pasein dapat ditentukan oleh banyaknya kuman yang

dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan

dahak, makin menular pasien tersebut.

- Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB adalah ditentukan

konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

9

Page 10: Proposal Penelitian  Menganalisis Faktor yang Diduga Berhubungan dengan  Keteraturan Berobat Penderita TB di Puskesmas K

o Resiko Penularan

- Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien

TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih

besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.

- Risiko penularan setiap tahunnya juga ditunjukan dengan Annual Risk of

Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko

terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1% berarti 10 diantara 1000

penduduk terinfeksi setiap tahunnya.

- ARTI di Indonesia bervariasi 1-3%.

- Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberculin negatif menjadi

positif.

o Resiko Menjadi sakit TB:

- Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.

- Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi

1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB

setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.

- Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi TB adalah day

tahan tubuh rendah, diantaranya karena HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi

buruk).

- HIV merupakan faktor resiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB

menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya

tahan tubuh seluler (celluer immunity), sehingga terjadi infeksi penyerta

(oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi

sakit parah bahkan mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV

meningkat, maka jumlah pasein TB akan meningkat, dengan demikian

penularan TB di masyarakat meningkat pula.4

2.3 Diagnosis Tuberkulosis

Mengacu pada program nasional penanggulangan TB, diagnosis dilakukan

dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Adapun diagnosis

pastinya adalah melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak. Namun, pemeriksaan

10

Page 11: Proposal Penelitian  Menganalisis Faktor yang Diduga Berhubungan dengan  Keteraturan Berobat Penderita TB di Puskesmas K

kultur memerlukan waktu yang lama, hanya akan dilakukan bila diperlukan atas

indikasi tertentu, dan tidak semua unit pelayanan kesehatan memilikinya.

Pemerintah melalui gerakan terpadu nasional, memiliki upaya untuk meningkatkan

kemampuan Puskesmas untuk melakukan diagnosis TB berdasarkan pemeriksaan

BTA. Pemeriksaan dahak dilakukan sedikitnya 3 kali, yaitu pengambilan dahak

sewaktu penderita datang berobat dan dicurigai menderita TB, kemudian

pemeriksaan kedua dilakukan keesokan harinya, yang diambil adalah dahak pagi.

Sedangkan pemeriksaan ketiga adalah dahak ketika penderita memeriksakan dirinya

sambil membawa dahak pagi. Oleh sebab itu, disebut pemeriksaan SPS (Sewaktu-

Pagi-Sewaktu).

Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya

BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan

positif apabila sedikit 2 dari 3 pemeriksaan spesimen SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu)

BTA hasilnya positif.

Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut,

yaitu rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. Kalau dalam pemeriksaan

radiologi, dada menunjukkan adanya tanda-tanda yang mengarah kepada TB maka

yang bersangkutan dianggap positif menderita TB. Kalau hasil radiologi tidak

menunjukkan adanya tanda-tanda TB, maka pemeriksaan dahak SPS harus diulang.

Sedangkan pemeriksaan biakan basil atau kuman TB, hanya dilakukan apabila

sarana mendukung untuk itu.

Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, maka diberikan antibiotik

berspektrum luas selama 1 hingga 2 minggu, amoksilin atau kotrimoksasol. Bila

tidak berhasil, dan penderita yang bersangkutan masih menunjukkan adanya tanda-

tanda TB, maka ulangi pemeriksaan dahak SPS. Selanjutnya prosedur terdahulu

dilakukan, yakni kalau dalam pemeriksaan ulang ternyata dahak SPS positif, maka

yang bersangkutan adakah positif menderita TB. Namun, apabila dahak negatif,

maka ulangi pemeriksaan radiologi. Apabila hasil radiologi mendukung TB

dianggap sebagai penderita TB dengan BTA negatif, radiologi positif. Apabila baik

radiologi tidak mendukung TB, spesimen dahak negatif, maka yang bersangkutan

bukan TB.

Karena tingginya prevalensi TB di Indonesia, maka tes tuberkulin pada orang

dewasa, tidak memiliki makna lagi. Pada anak, sulit untuk mendapatkan BTA,

11

Page 12: Proposal Penelitian  Menganalisis Faktor yang Diduga Berhubungan dengan  Keteraturan Berobat Penderita TB di Puskesmas K

sehingga diagnosis TB pada anak didapat dari gambaran klinik, radiologi dan uji

tuberkulin.

Untuk itu, seorang anak dapat dicurigai menderita TB, kalau terdapat gejala

seperti:

1. Mempunyai riwayat kontak serumah dengan penderita TB dengan BTA

positif.

2. Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikkan BCG dalam waktu 3-7

hari.

3. Terdapat gejala umum TB. Gejala umum TB pada anak sebagai berikut:

Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut, tanpa sebab yang jelas

dan tidak naik dalam 1 bulan meski sudah mendapat penanganan gizi

yang baik.

Nafsu makan tidak ada, dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik

dengan memadai.

Demam lama dan atau berulang tanpa sebab yang jelas, disertai keringat

malam, tanpa sebab-sebab lain yang jelas. Misalnya infeksi saluran napas

bagian atas yang akut, malaria, tipus, dan lain-lain.

Pembesaran kelenjar limpa superfisialis yang tidak sakit. Pembesaran ini

biasanya multiple, paling sering di daerah leher, ketiak dan lipatan paha.

Batuk lama lebih dari 30 hari, disertai tanda adanya cairan di dada.

Gejala dari saluran pencernaan, misalnya adanya diare berulang yang

tidak sembuh dengan pengobatan diare, adanya benjolan massa di daerah

dan adanya tanda-tanda cairan abdomen.

Uji tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan secara intrakutan, dengan

tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU ( Tuberculin Unit ). Pembacaan dilakukan

48-72 jam setelah penyuntikan, dan diukur diameter dari peradangan atau indurasi

yang dinyatakan dalam milimeter. Dinyatakan positif bila indurasi sebesa r > 10

mm.

Kontrol pasien dengan deteksi dini penting untuk kesuksesan aplikasi modern

kemoterapi spesifik, walau terasa berat baik dari finansial, materi maupun tenaga.

Metode tidak langsung dapat dilakukan dengan indikator anak yang terinfeksi TBC

sebagai pusat, sehingga pengobatan dini dapat diberikan. Selain itu, pengetahuan

tentang resistensi obat dan gejala infeksi juga penting untuk seleksi dari petunjuk

yang paling efektif.

12

Page 13: Proposal Penelitian  Menganalisis Faktor yang Diduga Berhubungan dengan  Keteraturan Berobat Penderita TB di Puskesmas K

2.4 Penatalaksanaan Tuberkulosis

Pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan yang tepat.

Obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter diminum dengan tekun

dan teratur, waktu yang lama ( 6 atau 12 bulan). Diwaspadai adanya resistensi

terhadap obat-obat, dengan pemeriksaan penyelidikan oleh dokter.

Pemberian INH sebagai pengobatan preventif memberikan hasil yang cukup

efektif untuk mencegah progresivitas infeksi TB laten menjadi TB klinis.

Berbagai penelitian yang telah dilakukan terhadap orang dewasa yang menderita

infeksi HIV terbukti bahwa pemberian rejimen alternatif seperti pemberian

rifampin dan pyrazinamide jangka pendek ternyata cukup efektif. Pemberian

terapi preventif merupakan prosedur rutin yang harus dilakukan terhadap

penderita HIV/AIDS usia dibawah 35 tahun. Apabila mau melakukan terapi

preventif, pertama kali harus diketahui terlebih dahulu bahwa yang bersangkutan

tidak menderita TB aktif, terutama pada orang-orang dengan imunokompromais

seperti pada penderita HIV/AIDS. Oleh karena ada risiko terjadinya hepatitis

dengan bertambahnya usia pada pemberian isoniazid, maka isoniazid tidak

diberikan secara rutin pada penderita TB usia diatas 35 tahun kecuali ada hal-hal

sebagai berikut: infeksi baru terjadi (dibuktikan dengan baru terjadinya konversi

tes tuberkulin); adanya penularan dalam lingkungan rumah tangga atau dalam satu

institusi; abnormalitas foto thorax konsisten dengan proses penyembuhan TB

lama, diabetes, silikosis, pengobatan jangka panjang dengan kortikosteroid atau

pengobatan lain yang menekan kekebalan tubuh, menderita penyakit yang

menekan sistem kekebalan tubuh seperti HIV/AIDS. Mereka yang akan diberi

pengobatan preventif harus diberitahu kemungkinan terjadi reaksi samping yang

berat seperti terjadinya hepatitis, demam dan ruam yang luas, jika hal ini terjadi

dianjurkan untuk menghentikan pengobatan dan hubungi dokter yang merawat.

Sebagian besar fasilitas kesehatan yang akan memberikan pengobatan TB akan

melakukan tes fungsi hati terlebih dahulu terhadap semua penderita, terutama

terhadap yang berusia 35 tahun atau lebih dan terhadap pecandu alkohol sebelum

memulai pengobatan.

Terapi spesifik: Pengawasan Minum obat secara langsung terbukti sangat efektif dalam

pengobatan TBC di AS dan telah direkomendasikan untuk diberlakukan di AS. Pengawasan

minum obat ini di AS disebut dengan sistem DOPT, sedangkan Indonesia sebagai negara anggota

13

Page 14: Proposal Penelitian  Menganalisis Faktor yang Diduga Berhubungan dengan  Keteraturan Berobat Penderita TB di Puskesmas K

WHO telah mengadopsi dan mengadaptasi sistem yang sama yang disebut DOTS (Directly

Observed Treatment Shortcourse). Penderita TBC hendaknya diberikan OAT kombinasi yang

tepat dengan pemeriksaan sputum yang teratur. Untuk penderita yang belum resisten terhadap

OAT diberikan regimen selama 6 bulan yang terdiri dari isoniazid (INH), Rifampin (RIF) dan

pyrazinamide (PZA) selama 2 bulan kemudia diikuti dengan INH dan PZA selama 4 bulan.

Pengobatan inisial dengan 4 macam obat termasuk etambutol (EMB) dan streptomisin diberikan

jika infeksi TB terjadi didaerah dengan peningkatan prevalensi resistensi terhadap INH. Namun

bila telah dilakukan tes sensititvitas maka harus diberikan obat yang sesuai. Jika tidak ada konversi

sputum setelah 2-3 bulan pengobatan atau menjadi positif setelah beberapa kali negatif atau

respons klinis terhadap pengobatan tidak baik, maka perlu dilakukan pemeriksaan terhadap

kepatuhan minum obat dan tes resistensi. Kegagalan pengobatan umumnya karena tidak teraturnya

minum obat dan tidak perlu merubah regimen pengobatan. Perubahan Supervisi dilakukan bila

tidak ada perubahan respons klinis penderita. Minimal 2 macam obat dimana bekteri tidak resisten

harus ada dalam regiemen pengobatan. Jangan sampai menambahkan satu jenis obat baru pada

kasus yang gagal. Jika INH atau rifampisin tidak dapat dimasukkan kedalam regimen maka

lamanya pengobatan minimal selama 18 bulan setelah biakan menjadi negatif. 551 Untuk

penderita baru TBC paru dengan BTA (+) di negara berkembang, WHO merekomendasikan

pemberian 4 macam obat setiap harinya selama 2 bulan yang teridiri atas RIF, INH, EMB, PZA

diikuti dengan pemberian INH dan RIF 3 kali seminggu selama 4 bulan. Semua pengobatan harus

diawasi secara langsung, jika pada pengobatan fase kedua tidak dapat dilakukan pengawasan

langsung maka diberikan pengobatan substitusi dengan INH dan EMB selama 6 bulan. Walaupun

pengobatan jangka pendek dengan 4 macam obat lebih mahal daripada pengobatan dengan jumlah

obat yang lebih sedikit dengan jangka waktu pengobatan 12- 18 bulan namun pengobatan jangka

pendek lebih efektif dengan komplians yang lebih baik. Penderita TBC pada anak-anak diobati

dengan regimen yang sama dengan dewasa dengan sedikit modifikasi. Kasus resistensi pada anak

umumnya karena tertular dari penderita dewasa yang sudah resisten terlebih dahulu.Anak dengan

limfadenopati hilus hanya diberikan INH dan RIF selama 6 bulan. Pengobatan anak-anak dengan

TBC milier, meningitis, TBC tulang/sendi minimal selama 9-12 bulan, beberapa ahli

menganjurkan pengobatan cukup selama 9 bulan. Etambutol tidak direkomendasikan untuk

diberikan pada anak sampai anak cukup besar sehingga dapat dilakukan pemeriksaan buta warna

(biasanya usia > 5 tahun). Penderita TBC pada anak dengan keadaan yang mengancam jiwa harus

diberikan pengobatan inisial dengan regimen dengan 4 macam obat. Streptomisin tidak boleh

diberikan selama hamil. Semua obat kadang-kadang dapat menimbulkan reaksi efek samping yang

berat. Operasi toraks kadang diperlukan biasanya pada kasus MDR.

Sediakan fasilitas perawatan penderita dan fasilitas pelayanan diluar institusi untuk penderita yang

mendapatkan pengobatan dengan sistem (DOPT/DOTS) dan sediakan juga fasilitas pemeriksaan

dan pengobatan preventif untuk kontak.

Isolasi: Untuk penderita TB paru untuk mencegah penularan dapat dilakukan dengan pemberian

pengobatan spesifik sesegera mungkin. Konversi sputum biasanya terjadi dalam 4 – 8 minggu.

Pengobatan dan perawatan di Rumah Sakit hanya dilakukan terhadap penderita berat dan bagi

14

Page 15: Proposal Penelitian  Menganalisis Faktor yang Diduga Berhubungan dengan  Keteraturan Berobat Penderita TB di Puskesmas K

penderita yang secara medis dan secara sosial tidak bisa dirawat di rumah. Penderita TB paru

dewasa dengan BTA positif pada sputumnya harus ditempatkan dalam ruangan khusus dengan

ventilasi bertekanan negatif. Penderita diberitahu agar menutup mulut dan hidung setiap saat batuk

dan bersin. Orang yang memasuki ruang perawatan penderita hendaknya mengenakan pelindung

pernafasan yang dapat menyaring partikel yang berukuran submikron. Isolasi tidak perlu dilakukan

bagi penderita yang hasil pemeriksaan sputumnya negatif, bagi penderita yang tidak batuk dan

bagi penderita yang mendapatkan pengobatan yang adekuat (didasarkan juga pada pemeriksaan

sensitivitas/resistensi obat dan adanya respons yang baik terhadap pengobatan).Penderita remaja

harus diperlakukan seperti penderita dewasa. Penilaian terus menerus harus dilakukan terhadap

rejimen pengobatan yang diberikan kepada penderita.

Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok, yaitu:

a. Obat primer/Lini pertama: Isoniazid (INH), Rifampisin, Etambutol,

Streptomisin, Pirazinamid. Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan

toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar dapat dipisahkan dengan

obat-obatan ini.

b. Obat sekunder / Lini kedua: Etionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin,

Amikasin, Kapreomisin, Kanamisin

2.5 Program Penanggulangan Tuberkulosis.

Direct Observe Treatment Shorcut (DOTS)

Pada tahun 1994, pemerintah Indonesia bekerja sama dengan badan kesehatan

dunia (WHO), melaksanakan suatu evaluasi bersama yang menghasilkan rekomendasi

perlunya segera dilakukan perubahan mendasar pada strategi penanggulangan TB di

Indonesia, yang kemudian disebut sebagai strategi DOTS.10,11

Istilah DOTS dapat diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka

pendek setiap hari oleh pengawas menelan obat. Tujuannya mencapai angka

kesembuhan yang tinggi, mencegah putus berobat, mengatasi efek samping obat jika

timbul dan mencegah resistensi. Sebelum pengobatan pertama kali dimulai DOTS harus

menjelaskan kepada pasien tentang cara dan manfaatnya. PMO haruslah seseorang yang

mampu membantu pasien sampai sembuh selama enam bulan dan sebaiknya merupakan

anggota keluarga pasien yang diseganinya. Siapapun dapat menjadi PMO, dengan syarat

sebagai berikut:

a. PMO bersedia dengan sukarela membantu pasien TB sampai sembuh selama

pengobatan dengan OAT dan menjaga kerahasiaan penderita dengan HIV/AIDS.

15

Page 16: Proposal Penelitian  Menganalisis Faktor yang Diduga Berhubungan dengan  Keteraturan Berobat Penderita TB di Puskesmas K

b. PMO diutamakan petugas kesehatan, tetapi dapat juga kader kesehatan, kader

PKK, atau anggota keluarga yang disegani pasien.

Adapun tugas PMO antara lain:

1. Bersedia mendapat penjelasan di klinik

2. Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat

3. Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang

ditentukan

4. Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga

sembuh

5. Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar tetap

minum obat.

6. Merujuk pasien bila efek semakin berat

7. Melakukan kunjungan rumah

8. Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila ditemui

gejala TB.

Hasil evaluasi pada tahun 1998 menggambarkan bahwa cakupan penemuan penderita

baru mencapai 9.8% dengan angka keberhasilan mencapai 89%, sehingga WHO

menggolongkan Negara kita sebagai Negara dengan penyelenggaraan program yang baik

tetapi ekspansi sangat lambat. Kajian data ini didapatkan dari puskesmas pelaksana

program DOTS yang baru mencapai lebih kurang 40% dari 7000 puskesmas dan rumah

sakit yang ada.7-10

BAB III METODELOGI PENELITIAN

3.1 Alur Penelitian

16

Page 17: Proposal Penelitian  Menganalisis Faktor yang Diduga Berhubungan dengan  Keteraturan Berobat Penderita TB di Puskesmas K

3.2 Teknik Pengambilan Sampel

Beberapa teknik pengambilan sampel yang dapat berguna dalam penelitian tipe

pengkajian, antara lain random( dipilih secara acak), representatif (mewakili populasi)

dan equal probability.

a. Probability Sampling, yaitu penarikan sampel berdasarkan peluang (setiap

subjek memiliki peluang yang sama).

Simple Random Sampling, subjek dalam populasi terjangkau akan dipilih

sampelnya lalu setiap subjek diberi nomor dan dipilih sebagian dari mereka

dapat melalui undian atau dengan table angka random.

Sistematik sampling, ditentukan dari seluruh subjek yang dapat dipilih, setiap

subjek nomor kesekian dipilih sebagai sampel.

Stratified Random Sampling, populasi masih heterogen. Sampel dipilih acak

untuk setiap strata, kemudian hasil digabung menjadi satu sampel.

Cluster Sampling, proses penarikan sampel secara acak pada kelompok

individu dalam populasi yang terjadi secara alami misalkan berdasarkan

wilayah.

b. Non Probability Sampling, yaitu cara pemilihan sampel tidak berdasarkan

peluang.

17

Page 18: Proposal Penelitian  Menganalisis Faktor yang Diduga Berhubungan dengan  Keteraturan Berobat Penderita TB di Puskesmas K

Consecutive Sampling, semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria

pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah ubjek yang diperlukan

terpenuhi.

Convenient Sampling, sampel diambil tanpa sistematika (sesuka peneliti),

sehingga jarang mewakili populasi.

3.3 Identifikaasi Variabel

Dalam penelitian ini digunakan variable dependen (terikat) dan variable

independen (bebas). Variable terikat berupa pasien TB yang tidak kembali untuk

mengambil obat. Variabel bebas berupa, pendidikan, social ekonomi,

pekerjaan, ,jarak rumah pasien ke Puskesmas, efeksamping obat, lamanya minum

obat.

3.4 Rancangan Penelitian.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan

kualitatif, dimana tujuan riset kualitatif adalah pengembangan konsep yang dapat

membantu memahami fenomena sosial dalam setting atau lingkungan yang alami

(bukan percobaan/eksperimen), yang dengan demikian memberi penekanan pada

makna-makna pengalaman dan pandangan semua peserta risetnya.

Dengan metode ini, akan didapat jawaban mendalam dibanding metode kuantitatif.

Metode kualitatif digunakan karena beberapa pertimbangan lain, yakni : Pertama,

luwes karena rancangan studi ini bisa dimodifikasi, meskipun sedang dilaksanakan.

Kedua, berhubungan langsung dengan khalayak sasaran. Teknik kualitatif memberi

kesempatan pada peneliti untuk mengamati dan berhubungan langsung dengan

khalayak sasaran. Ketiga, analisis induktif karena peneliti tidak memaksa diri untuk

hanya membatasi penelitian pada upaya menerima atau menolak dugaan-dugaannya,

melainkan mencoba memahami situasi (make sense of the situation) sesuai dengan

bagaimana situasi tersebut menampilkan diri. Keempat, perspektif, holistik, yakni

berusaha memahami secara menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti.

Penelitian analitik terdiri dari : cross-sectional analytic, cohort, case-control.

Penelitian cross-sectional adalah penelitian yang melakukan determinasi terhadap

paparan (exposure) dan hasil (disease outcome) secara stimultan pada setiap subjek

18

Page 19: Proposal Penelitian  Menganalisis Faktor yang Diduga Berhubungan dengan  Keteraturan Berobat Penderita TB di Puskesmas K

penelitian. Ini berarti exposure dan outcome dan effect dilihat pada waktu yang sama

atau dikenal dengan snapshot of the population.

Penelitian cohort yaitu dimana peneliti menentukan satu kelompok yang

terpapar factor resiko dan satu kelompok tidak terpapat, kemudian dilakukan follow

up terhadap kedua kelompok tersebut untuk membandingkan insiden penyakitnya.

Penelitian cohort termasuk penelitian dengan pendekatan yang diukur dari waktu ke

waktu atau bersifat longitudinal.

Penelitian case control adalah penelitian yang banyak digunakan pada bidang

epidemiologi untuk mengetahui penyebab penyakit dengan meninvestigasi hubungan

antara factor risiko dengan kejadian penyakit. Pada penelitian ini menggunakan

pendekatan backward looking (retrospective.)

3.1 Sumber data dan metode pengumpulan data

Berbagai jenis sumber data dan metode pengumpulan data, yaitu :

1. Data primer

Data penelitian yang diperoleh sendiri melalui :

Wawancara, observasi, tes.

Kuesioner (daftar pertanyaan)

Pengukuran fisik

Percobaan laboratorium

2. Data sekunder

Data yang diperoleh dari sumber kedua, dokumentasi lembaga, yaitu :

Biro Pusat Statistik (BPS)

Rumah sakit

Lembaga atau institusi

3.2 Metode Pengumpulan Data

1. Kuesioner

Kuesioner adalah daftar pertanyaan tertulis yang ditujukan kepada responden

kemudian jawaban responden dicatat/direkam.

2. Observasi

Metode pengumpulan data dimana peneliti mencatat informasi sebagaimana yang

disaksikan selama penelitian lalu dicatat seobyektif mungkin.

19

Page 20: Proposal Penelitian  Menganalisis Faktor yang Diduga Berhubungan dengan  Keteraturan Berobat Penderita TB di Puskesmas K

3. Wawancara

Pengambilan data melalui wawancara /secara lisan langsung dengan

sumberdatanya, baik melalui tatap muka atau lewat telephone, teleconference.

Jawaban responden direkam dan dirangkum sendiri oleh peneliti.

4. Dokumen

Pengambilan data melalui dokumen tertulis mamupun elektronik dari

lembaga/institusi. Dokumen diperlukan untuk mendukung kelengkapan data yang

lain.7

3.3 Analisis data

Terhadap data yang telah diolah kemudian dilakukan analisis sesuai dengan cara uji

statistic menggunakan chi square.

Uji parametric atau non-parametrik

- Uji Parametrik

Metode statistik parametrik terdiri dari Uji-Z (1 atau 2 sampel, Uji-T (1 atau 2

sampel), Korelasi Pearson. Ciri-ciri statistik parametrik dimana data dengan

skala interval dan rasio.

Keunggulan pada uji parametrik dimana suatu populasi yang dianggap sampel

biasanya tidak diuji dan dianggap memenuhi syarat namun kelemahan

pupolasi harus memiliki varian yang sama dan variabel yang diteliti harus

dapat diukur setidaknya dalam skala interval.

- Uji Non-Parametrik

Metode statistik uji non-parametrik terdiri dari Uji Fisher, Chi-square test dan

umunya data yang digunakan data berskala nominal dan ordinal lalu jumlah

sampel biasanya kecil.

Keunggulan pada uji non parametrik lebih mudah dikerjakan dan lebih mudah

dimengerti dibanding uji parametrik karena statistik non-parametrik tidak

membutuhkan perhitungan matematik yang rumit namun kelemahannya hasil

pengujian hipotesis dengan statistik non-parametrik tidak setajam statistik

parametrik.7

20

Page 21: Proposal Penelitian  Menganalisis Faktor yang Diduga Berhubungan dengan  Keteraturan Berobat Penderita TB di Puskesmas K

3.4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat diambil

beberapa simpulan antara lain kepatuhan pasien untuk berobat dipengaruhi beberapa

faktor yaitu, faktor pendidikan, sosial ekonomi, jarak rumah pasien dengan

Puskesmas, lamanya berobat dan efek samping obat yang dikonsumsi

3.5 Saran

1. Melakukan penyuluhan

2. Penyediaan sarana dan prasaran untuk pengobatan TB

3. Melakukan monitoring

4. Melakukan evaluasi dari program yang sedang dijalankan

21

Page 22: Proposal Penelitian  Menganalisis Faktor yang Diduga Berhubungan dengan  Keteraturan Berobat Penderita TB di Puskesmas K

Daftar Pustaka

1. Nasry N. Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta;2008.hal.5-23.

2. Widoyono A. Tuberkulosis Paru. In: Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan,

Pencegahan, dan Pemberantasannya. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008.hal.13-21.

3. Azwar A. Pengantar Administrasi Kesehatan. Edisi ke-3. Jakarta: Binarupa Aksara;

2006.hal.104-19.

4. Aditama Tjandra et all. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi ke-2.

Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008.hal.3-37.

5. Pohan I. Tuberkulosis Paru. In: Jaminan Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Penerbit

Buku Kedokteran EGC; 2006.hal.438-50.

6. Amin Z, Asril r. Tuberkulosis Paru. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata

M, Setiati S. Ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu

Penyakit Dalam FKUI; 2009.hal.2230-9.

7. Crofton J, Horne N, Miler F. Tuberkulosisi klinis. Edisi ke-2. Jakarta: Widya

Medika;2002.h.1-56.

8. Chandra B. Ilmu kedokteran pencegahan dan komunitas. Jakarta: Penerbit buku

kedokteran EGC; 2009.h.5-19.

9. Dinas Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.

Edisi ke-2. Jakarta: Bakti Husada; 2006.hal.3-7,13-33,83-5.

10. Idris F. Manajemen Public Private Mix Penanggulangan Tuberkulosis Strategi DOTS

Dokter Praktik Swasta. Jakarta: Penerbit Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia;

2004.h.87-95, 112-3.

22