Upload
lekhuong
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
UPACARA SADRANAN
DI PADUKUHAN KALIBULUS BIMOMARTANI NGEMPLAK SLEMAN
KAMIS LEGI 23 RUWAH 1940 H : DESKRIPSI PROSES RITUAL,
PANDANGAN MASYARAKAT DAN KAJIAN MAKNA, FUNGSI
Skripsi
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana S-1
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
MELYA PUSPITA SARI
NIM: 034114021
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2008
i
UPACARA SADRANAN
DI PADUKUHAN KALIBULUS BIMOMARTANI NGEMPLAK SLEMAN
KAMIS LEGI 23 RUWAH 1940 H : DESKRIPSI PROSES RITUAL,
PANDANGAN MASYARAKAT DAN KAJIAN MAKNA, FUNGSI
Skripsi
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana S-1
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
MELYA PUSPITA SARI
NIM: 034114021
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2008
ii
iii
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Doa memberikan kekuatan pada orang yang lemah, membuat orang tidak
percaya menjadi percaya dan memberikan keberanian pada orang yang
ketakutan
Kupersembahkan Kepada :
Tuhan Yesus Kristus
Atas limpahan berkat dan kasih karunia-Nya yang selalu menyertaiku
Keluargaku (Bapak, ibu dan adikku)
Atas kasih sayang, doa, dukungan yang tiada henti di sepanjang hidupku
Christian Hutagalung Atas segala ketulusan cinta,kasih sayang, perhatian, dukungan dan
semangat untuk hari-hari indah ku bersamamu
v
ABSTRAK
Sari, Melya Puspita. 2008. Upacara Sadranan di Padukuhan Kalibulus Bimomartani Ngemplak Sleman Kamis Legi 23 Ruwah 1940 H : Deskripsi Proses Ritual, Pandangan Masyarakat, dan Kajian Makna, Fungsi. Skripsi Strata 1 (S-1). Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas sastra, Universitas Sanata Dharma. Skripsi ini membahas upacara Sadranan di Padukuhan Kalibulus Bimomartani Ngemplak Sleman Kamis Legi 23 Ruwah 1940 H : deskripsi proses ritual, Kajian Pandangan Masyarakat dan kajian makna, fungsi. Studi ini memiliki tiga tujuan yakni (1) mendeskripsikan proses ritual upacara sadranan di Padukuhan Kalibulus, (2) menguraikan pandangan masyarakat Padukuhan Kalibulus tentang upacara sadranan yang dilaksanakan setiap setahun sekali, (3) menjelaskan makna dan fungsi upacara sadranan. Judul ini dipilih karena studi kasus tentang upacara sadranan masih jarang dilakukan. Upacara sadranan sekaligus mempunyai nilai penting dan menarik, yakni nilai budi pekerti. Mendidik kita agar tetap menghormati leluhur atau sanak saudara yang telah meninggal dunia, dengan mengirim doa kepada arwah leluhur dan sanak saudara yang telah meninggal dunia. Pendekatan yang digunakan dalam studi ini adalah pendekatan Folklor. Penelitian ini menggunakan empat teknik pengumpulan data yaitu teknik wawancara, observasi, kepustakaan, dan dokumentasi.
Hasil penelitian mengenai upacara sadranan yang dilaksanakan di Padukuhan Kalibulus ini menunjukkan beberapa hal sebagai berikut,
(1) Proses ritual upacara sadranan di Padukuhan Kalibulus, dilaksanakan setiap tanggal 23 Ruwah sesuai dengan penanggalan Jawa dan pelaksanaan upacara sadranan tahun ini jatuh pada hari Kamis Legi tanggal 06 september 2007. Ritual diadakan dengan membawa sesaji yang mempunyai makna simbolik dan berziarah menaburkan bunga di atas makam leluhur dan sanak saudara yang telah meninggal dunia serta mendoakan agar arwahnya diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa. Pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan upacara sadranan di Padukuhan Kalibulus antara lain juru kunci makam, modin, dihadiri oleh rombongan tamu undangan pejabat pemerintahan, pejabat dan sesepuh desa serta didukung dan dihadiri oleh seluruh warga masyarakat Padukuhan Kalibulus.
(2) Pandangan masyarakat Padukuhan Kalibulus tentang upacara sadranan adalah (a) berdasarkan makna fungsi, upacara sadranan sangat penting dilaksanakan karena merupakan waktu yang tepat untuk ziarah ke makam, melestarikan budaya leluhur, satu ritual agar arwah leluhur dan sanak saudara dapat diampuni dan diterima amal kebaikannya, sebagai bentuk peringatan bahwa nanti kita semua akan mengalami hal yang sama yaitu kematian, sarana untuk memohon maaf kepada Tuhan, ungkapan balas budi kepada orang tua, bentuk ucapan terima kasih kepada leluhur, dan mengikuti upacara sadranan membuat hati serta pikiran tenang, (b) berdasarkan agama dan kepercayaan, terdapat kebebasan dalam mengikuti pelaksanaan upacara sadranan karena upacara sadranan merupakan tradisi dari leluhur
vi
yang mengandung nilai Ketuhanan. Terdapat kepercayaan dengan mengikuti pelaksanaan upacara sadranan akan mendapatkan berkah. Bagi kaum muda upacara sadranan merupakan sebuah hiburan.
(3) Makna yang terkandung dalam upacara sadranan adalah (a) menjaga hubungan antara jiwa orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang masih hidup, (b) upacara sadranan sebagai sebuah kultur atau tradisi, (c) upacara sadranan sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan sanak saudara yang telah meninggal dunia, dan (d) upacara sadranan sebagai bentuk pembersihan diri. Fungsi yang terkandung dalam upacara sadranan adalah fungsi religius dan fungsi sosial.
vii
ABSTRACT
Sari, Melya Puspita. 2008. The Ceremony of “Sadranan” in Sub District Kalibulus Bimomartani Ngemplak Sleman, Kamis Legi 23 Ruwah 1940H: The Description of Ritual Process, Perception of the Society and Mean Review, Function. S-1 Degree Thesis. Indonesian Literature Study program, Department of Indonesian Literature, Faculty of Literature, Sanata Dharma University.
This thesis is about the Ceremony of Sadranan in Sub District Kalibulus Bimomartani Ngemplak Sleman, Kamis Legi 23 RUWAH 1940 H: The Description of Ritual Process, Perception of the society and Mean Review, Function. This study has three objectives, (1) description of Sadranan ritual in Kalibulus, (2) analysis of Kalibulus perspective concerning the ritual, (3) explanation about the meaning and function.
The writer chooses this title because there are only a few studies on that matter. Besides, Sadranan has high moral value (natural ability value) and interesting one. It educates us to have a respect on ancestor and the relatives who have passed away by visiting their graves, flowering, and sending them prays.
The approach of this study is Folklore with techniques such as interview, observation, literature, and documentation.
The results of the research about ceremony of Sadranan in Sub District Kalibulus are
(1) according to Javanese calendar, every 23 RUWAH, the society holds the ritual process. It equals to Kemis legi 6 September 2007 this year. The ritual were done by some sacrificial ceremonies which have symbolic meaning, visiting the graves of ancestors, flowering, and sending the ancestors and the relatives who have passed away prays so that their souls were side by side with The Almighty God. People related to the ceremony are the graves caretaker, modin, and some invited person from government official, the eldest, and all villagers.
(2) People perspectives are (a) based on the function, Sadranan is important because it is the moment to visit the graves of ancestors, to maintain the culture, a ritual for ancestor and passed away relatives so as getting His forgiveness and the best in hand of God. Besides, it is a reflection, as we will undergo a death, the moment to make a pardon toward God, gratefulness expression toward parents and ancestors, and the moment to peace the heart and mind. (b) based on the religion and belief; there is a freedom to conduct sadranan because it is a cultural heritage which it has religious values. There is a belief that whoever attends ceremony of Sadranan, he / she will get a blessing. For younger people, Sadranan is a kind of enjoyment.
(3) Sadranan means (a) maintaining the relation between the dead ancestor and the relatives who are still alive, (b) a culture, and tradition, (c) a respect to ancestor and the relatives who have passed away, (d) self-cleansing mechanism. Its functions are religious and social.
viii
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat , rahmat serta kemurahan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini. Skripsi yang berjudul Upacara Sadranan di Padukuhan Kalibulus bimomartani
Ngemplak Sleman Kamis Legi 23 Ruwah 1940 H: Deskripsi Proses Ritual, Kajian
Makna, Fungsi dan Pandangan Masyarakat disusun untuk memenuhi syarat
memperoleh gelar Sarjana S-1 di Universitas Sanata Dharma.
Skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan serta dukungan baik
secara material, non material ataupun lahir maupun batin dari berbagai pihak. Semua
bantuan dan dukungan tersebut senantiasa ada dalam kehidupan penulis ketika belajar
di Universitas Sanata Dharma.
Oleh karena itu, perkenankan penulis menyampaikan terima kasih kepada
berbagai pihak yang telah membantu dan memperlancar proses penyelesaian
penulisan skripsi ini:
1. Susilawati Endah Peni Adji,S.S, M.Hum, selaku dosen pembimbing I atas
bimbingan, masukan, kesabaran serta semangat yang selama ini telah
diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi di Universitas Sana ta
Dharma.
2. Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M.Hum, selaku dosen pembimbing II atas bimbingan
serta masukan yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi di Universitas Sanata Dharma.
3. Drs. B. Rahmanto, M.Hum, Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum, Drs. Yoseph
Yapi Taum, M.Hum, Drs. P. Ari Subagyo, M.Hum, Drs. Heri Antono,
ix
M.Hum, Drs. F.X. Santosa, atas ilmu yang diberikan kepada penulis selama
menempuh kuliah di Universitas Sanata Dharma.
4. Seluruh staf petugas perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah
ramah dalam melayani peminjaman buku dan memberikan dukungan.
5. Seluruh staf sekretariat Fakultas Sastra, Program Studi Sastra Indonesia, mbak
Rus dan mas Tri, yang telah ramah dalam melayani setiap keperluan penulis
semenjak awal perkuliahan sampai penyelesaian tugas akhir.
6. Kedua orang tuaku Bapak Sardjono dan Ibu Sri Hardiningsih atas doa, kasih
sayang, dukungan dan semangat yang tiada hentinya diberikan kepada penulis
dari awal perkuliahan hingga penyelesaian tugas akhir ini. Terima kasih Pak,
Bu buat semua yang telah diberikan buat penulis hingga saat ini.
7. Adikku tersayang Yanna Amalia W buat motivasi dan kasih sayangnya.
Thank you bendul.
8. Terima kasih buat semangat hidup dan penyejuk hatiku Christian Hutagalung
atas dukungan, bantuan, motivasi, kebaikan yang tiada henti semenjak kita
bersama.
9. Keluarga besar angkatan 2003, terima kasih atas kebersamaannya selama ini,
semua akan jadi kenangan yang indah dan tak terlupakan masa-masa kita
kuliah bersama di kampus tercinta universitas Sanata Dharma.
10. Sahabatku terkasih Fitria Sri Wulandari, terima kasih de’ buat semangat yang
selalu ditebarkan di hari-hariku ketika kita bersama menempuh belajar di
kampus tercinta dari awal kuliah hingga saat ini, buat nasehat, dukungan dan
kasih sayang yang selalu mengalir untukku.
x
11. Mbak Dian, Mas Beni item, pakde bude, kakek nenek, keluarga besar Paulus
Amat Turaji dan keluarga besar Soehardi, seluruh saudara-saudaraku, terima
kasih atas doa dan dukungannya yang terus mengalir untukku.
12. Seluruh keluarga besar masyarakat Padukuhan Kalibulus, mbah Yah, pakde
bude Aris, Pak prapto, mas Tono, Pak Mawardi, terima kasih atas kerjasama
dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
13. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang turut
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis telah berusaha dengan semaksimal mungkin dalam penyusunan skripsi
ini, namun penulis menyadari skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Penulis masih
banyak memiliki kekurangan. Segala kekurangan dan ketidaksempurnaan yang
masih terdapat dalam skripsi ini merupakan tanggung jawab penulis semata-mata.
Semoga karya ini dapat bermanfaat.
Yogyakarta, 01 Juni 2008
Penulis
xi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karangan ilmiah.
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING.............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... iv
ABSTRAK ....................................................................................................... v
ABSTRACT..................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .......................................................... xi
DAFTAR ISI.................................................................................................... xii
BAB I: PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................... 7
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 7
1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 8
1.5 Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 8
1.6 Teori........................................................................................................... 10
1.6.1 Kerangka Berpikir.............................................................................. 10
1.6.1.1 Folklor .................................................................................... 10
1.6.1.2 Sadranan................................................................................. 14
1.6.2 Batasan Istilah.................................................................................... 16
1.6.2.1 Upacara .................................................................................. 16
1.6.2.2 Padukuhan.............................................................................. 17
xiii
1.6.2.3 Proses Ritual.......................................................................... 18
1.6.2.4 Pandangan Masyarakat .......................................................... 18
1.6.2.5 Makna dan Fungsi................................................................. 19
1.7 Metode Penelitian ..................................................................................... 19
1.7.1 Pendekatan........................................................................................ 19
1.7.2 Metode ............................................................................................. 20
1.7.3 Teknik Pengumpulan Data................................................................ 21
1.7.3.1 Observasi............................................................................... 21
1.7.3.2 Wawancara............................................................................ 22
1.7.3.2.1 Narasumber dan Responden……………………….. 23
1.7.3.2.2 Alasan……………………………………………… 24
1.7.3.3 Kepustakaan.......................................................................... 24
1.7.3.4 Dokumentasi ......................................................................... 25
1.8 Sumber Data............................................................................................... 26
1.9 Sistematika Penyajian............................................................................... 26
BAB II: PROSES PELAKSANAAN UPACARA SADRANAN DI PADUKUHAN
KALIBULUS, BIMOMARTANI, NGEMPLAK, SLEMAN
2.1 Pengantar.................................................................................................... 27
2.2 Proses Ritual Secara Umum....................................................................... 27
2.3 Proses Ritual Pelaksanaan Upacara Sadranan di Padukuhan Kalibulus .... 28
2.3.1 Waktu serta tempat Upacara Sadranan di Padukuhan Kalibulus ..... 30
2.3.2 Sesaji dalam Upacara Sadranan di Padukuhan Kalibulus................ 33
2.3.3 Makna Simbolik yang Terkandung dari Setiap sesaji dalam Upacara
Sadranan di Padukuhan Kalibulus .................................................. 35
xiv
2.3.4 Pihak-pihak yang Terlibat dalam Upacara Sadranan di Padukuhan
Kalibulus .......................................................................................... 39
BABIII: PANDANGAN MASYARAKAT PADUKUHAN KALIBULUS
TENTANG UPACARA SADRANAN
3.1 Pengantar.................................................................................................... 41
3.2 Pengertian Pandangan Masyarakat secara Umum ..................................... 41
3.3 Pandangan Masyarakat Padukuhan Kalibulus tentang Upacara
Sadranan Berdasarkan Makna, Fungsi, serta, Agama dan Kepercayaan... 42
3.3.1 Pandangan Masyarakat Padukuhan Kalibulus tentang Pelaksanaan
Upacara Sadranan Berdasarkan Makna Fungsi ................................ 42
3.3.2 Pandangan Masyarakat Padukuhan Kalibulus tentang Pelaksanaan
Upacara Sadranan Berdasarkan Agama dan Kepercayaan............... 43
BAB IV: MAKNA DAN FUNGSI UPACARA SADRANAN DI PADUKUHAN
KALIBULUS, BIMOMARTANI, NGEMPLAK, SLEMAN
3.1 Pengantar.................................................................................................... 46
3.2 Makna Upacara Sadranan .......................................................................... 46
3.3.Fungsi Upacara sadranan .......................................................................... 48
BAB V: PENUTUP
5.1 Kesimpulan ................................................................................................ 51
5.2 Saran........................................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 59
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ide-ide dan gagasan-gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam
suatu masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan-gagasan itu
tidak berada lepas satu dari yang lain, melainkan selalu berkaitan, menjadi suatu
sistem. Para ahli antropologi dan sosiologi menyebut sistem ini sistem budaya
atau cultural system. Dalam bahasa Indonesia terdapat juga istilah lain yang
sangat tepat untuk menyebut wujud ideal dari kebudayaan ini, yaitu adat atau
adat-istiadat untuk bentuk jamaknya (Koentjaraningrat, 1986 :187).
Adat- istiadat dalam masyarakat Jawa dapat diwujudkan dalam bentuk tata
upacara. Tiap-tiap daerah memiliki adat-istiadat sendiri sesuai dengan letak
geografis. Berbagai macam upacara yang terdapat di dalam masyarakat pada
umumnya dan masyarakat Jawa khususnya merupakan pencerminan bahwa semua
perencanaan, tindakan dan perbuatan telah diatur oleh tata nilai luhur. Tata nilai
luhur tersebut diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi
berikutnya sebagai sebuah tradisi (Bratawidjaja, 1988 : 9). Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1988 : 959) tradisi adalah adat- istiadat turun-temurun (dari
nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat atau penilaian,
anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan
benar. Yang jelas adalah tata nilai yang dipancarkan melalui tata upacara adat
merupakan manifestasi tata kehidupan masyarakat Jawa yang serba hati-hati agar
2
dalam melaksanakan pekerjaan mendapatkan keselamatan baik lahir maupun batin
(Bratawidjaja, 1988 :9).
Berbagai macam tata upacara adat terdapat dalam masyarakat Jawa, sejak
sebelum manusia lahir sampai meninggal dunia. Misalnya upacara adat pada
waktu wanita hamil, upacara tedak siten, upacara ruwatan, upacara tingkeban dan
lain- lain. Setiap upacara adat tersebut mempunyai makna sendiri-sendiri dan
sampai saat ini masih dilaksanakan oleh masyarakat Jawa, terutama di desa-desa.
Upacara mempunyai banyak unsur, yaitu : bersaji, berkorban, berdoa, makan
makanan bersama yang telah disucikan dengan doa, menari tarian suci, menyanyi
nyanyian suci, berprosesi atau berpawai, memainkan seni drama suci, berpuasa,
intoksikasi atau mengaburkan pikiran dengan makan obat bius untuk mencapai
keadaan trance atau mabuk, bertapa, dan bersemadi (Koentjaraningrat, 1986 :
378).
Dalam pelaksanaan upacara sadranan di Padukuhan Kalibulus akan
disesuaikan dengan keadaan lingkungan setempat dan kemampuan masyarakat
Padukuhan Kalibulus. Di samping tata upacaranya, tersaji pendidikan budi pekerti
dan aturan-aturannya. Semua itu merupakan warisan nenek moyang yang perlu
kita lestarikan (Bratawidjaja, 1988 : 10). Hal ini mengingat salah satu fungsi
upacara adalah sebagai pengokoh norma-norma atau nilai-nilai budaya yang
berlaku dalam masyarakat (Maharkesti dkk, 1988/1989 : 2).
Upacara sadranan atau nyadran merupakan bagian dari salah satu ritual
menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Ritual sadranan menyangkut sistem
religi yang merupakan bagian unsur-unsur kebudayaan. Sistem religi mempunyai
3
wujud sebagai sistem keyakinan, dan gagasan-gagasan tentang Tuhan, dewa-
dewa, roh-roh halus, neraka, sorga dan sebagainya, tetapi juga berwujud upacara-
upacara, baik yang bersifat musiman maupun yang kadangkala (Koentjaraningrat,
1986 : 204). Upacara keagamaan secara khusus mengandung empat aspek yang
menjadi perhatian khusus dari para antropologi ialah : tempat upacara keagamaan
dilakukan, saat-saat upacara keagamaan dijalankan, benda-benda dan alat upacara,
orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara (Koentjaraningrat, 1986 :
377-378). Nyadran berarti melaksanakan upacara sadranan. Nyadran masih
populer di kalangan masyarakat Jawa. Upacara ini dilaksanakan pada bulan
Ruwah (kalender Jawa) atau Sya’ban (kalender Hijriah) sesudah tanggal 15
hingga menjelang ibadah puasa Ramadhan. Masyarakat percaya bahwa pada
bulan Ruwah para arwah leluhur mempunyai kesempatan tilik kubur (berkunjung
ke makamnya) dan tilik omah (berkunjung ke rumah) (Partokusumo via
Lokesywara).
Di zaman modern seperti sekarang, masyarakat Padukuhan Kalibulus
masih memelihara nilai tradisi warisan leluhur dengan mengadakan upacara
sadranan setiap tahunnya. Upacara sadranan yang dilaksanakan di Padukuhan
Kalibulus dihadiri oleh perwakilan Dinas Pariwisata Pemerintah Kabupaten
Sleman yaitu Kepala Bidang Peninggalan Budaya dan Nilai Tradisi Kabupaten
Sleman, Camat Ngemplak, Lurah Ngemplak, para tokoh masyarakat setempat dan
didukung sepenuhnya oleh warga masyarakat sekitar. Upacara sadranan
merupakan sebuah tradisi warisan nenek moyang untuk menghormati leluhur dan
sanak-saudara yang telah meninggal dunia dengan berziarah ke makamnya.
4
Mendoakan arwah leluhur dan sanak-saudara yang telah meninggal dunia supaya
segala kesalahannya dapat diampuni dan amal kebaikannya diterima oleh Tuhan
Yang Maha Esa. Selain itu upacara sadranan juga menjadi sarana untuk
merekatkan rasa persaudaraan di antara warga masyarakat. Diharapkan dengan
adanya upacara sadranan yang dilaksanakan di Padukuhan Kalibulus ini dapat
mengingatkan warga masyarakat yang dulunya berasal dari Padukuhan Kalibulus
dan kini sudah tinggal di daerah lain supaya tetap mengingat para leluhurnya
dengan selalu berziarah ke makam leluhur.
Makam Padukuhan Kalibulus, tempat dilaksanakannya upacara sadranan
merupakan pemakaman umum yang berada di Padukuhan Kalibulus. Dalam
komplek pemakaman tersebut, terdapat makam mbah Demang yaitu sesepuh
warga masyarakat Padukuhan Kalibulus atau tokoh pendiri Padukuhan Kalibulus,
selain itu terdapat makam tokoh-tokoh masyarakat Padukuhan Kalibulus, mantan
lurah Ngemplak dan makam warga masyarakat Padukuhan Kalibulus. Tidak
terdapat persyaratan khusus bagi seseorang yang ingin dimakamkan di
pemakaman Kalibulus, pemakaman ini terbuka bagi siapa saja akan tetapi lebih
diutamakan bagi warga masyarakat Padukuhan Kalibulus beserta keturunan dan
kerabatnya.
Upacara sadranan di Padukuhan Kalibulus dikemas dalam tata upacara
adat Jawa. Warga masyarakat mulai berkumpul di rumah joglo atau rumah utama
tempat yang sudah menjadi tradisi untuk berkumpulnya warga masyarakat. Acara
dimulai dengan adanya kirab oleh masyarakat Padukuhan Kalibulus, yang terdiri
dari dua orang di depan yang membawa sesaji yang berupa dupa dan kemenyan,
5
diikuti oleh ibu- ibu pembawa bunga (kembang setaman) untuk ziarah, bapak-
bapak pembawa pusaka, rombongan orang yang memanggul sesaji yang berisi
seperangkat minuman dalam poci yang terbuat dari tanah liat, buah-buahan, apem,
nasi tumpeng dan ayam. Di belakangnya terdapat rombongan tamu undangan
yang terdiri dari Kepala Bidang Peninggalan Budaya dan Nilai Tradisi Kabupaten
Sleman, Camat Ngemplak, Lurah Ngemplak, para pejabat dan sesepuh desa, serta
bapak-bapak rombongan pembawa peti dari kayu (jodang) dan ibu- ibu yang
membawa nampan bulat dari bahan bambu (tenong) yang berisi makanan berupa
nasi tumpeng, berbagai macam sayur, buah-buahan dan ikan.
Rombongan kirab berjalan dari rumah joglo menuju ke pemakaman
Kalibulus yang berjarak kurang lebih 800 m. Setelah rombongan kirab sampai di
pemakaman Kalibulus, kepala dusun selaku pemimpin rombongan kirab, meminta
izin kepada juru kunci makam Kalibulus untuk berziarah ke makam leluhur di
pemakaman Kalibulus. Kepala dusun beserta rombongan kirab pembawa bunga
dan sesaji, diikuti para tokoh dan sesepuh desa memasuki area pemakaman
Kalibulus. Pelaksanakan upacara sadranan berupa kegiatan ziarah ke makam
leluhur dan sanak-saudara dengan berdoa dan menaburkan bunga di atas
makamnya. Sesaji yang berupa dupa dan kemenyan serta sesaji yang berupa
makanan seperti nasi tumpeng, buah-buahan, apem, dan seperangkat minuman
diletakkan di depan makam leluhur masyarakat Padukuhan Kalibulus.
Rombongan bapak dan ibu yang membawa berbagai macam makanan langsung
menuju tenda yang telah disiapkan oleh panitia untuk meletakkan berbagai macam
makanan tersebut yang nantinya akan dimakan bersama-sama oleh semua warga
6
desa setelah didoakan oleh sesepuh desa (modin) dan setelah upacara sadranan
selesai dilaksanakan.
Selain tata upacaranya, nilai penting dan menariknya upacara sadranan ini
adalah nilai pendidikan budi pekerti yang terkandung dalam upacara sadranan
yaitu agar kita tetap menghormati leluhur atau sanak saudara yang telah
meninggal dunia, dengan mengirim doa kepada arwah leluhur dan sanak saudara
yang telah meninggal dunia agar segala dosa selama hidup dapat diampuni oleh
Tuhan Yang Maha Esa. Di zaman modern sekarang ini banyak orang sudah
berpikir lebih rasionalis, tetapi upacara sadranan masih mampu memikat anggota-
anggota keluarga besar yang kini banyak memperlihatkan aspek-aspek
individualistisnya dengan setahun sekali dalam bulan Ruwah mengunjungi
makam leluhur. Kita lebih memahami dan mengetahui hal perawatan kuburan,
misalnya membiayai perbaikan makam dan cara penghormatan terhadap roh orang
yang sudah meninggal.
Berkaitan dengan topik upacara sadranan yang dilaksanakan di Padukuhan
Kalibulus, dengan adanya ritual berkunjung ke makam leluhur dan sanak-saudara
yang telah meninggal dunia dengan mengirimkan doa. Peneliti berusaha lebih
mendalam menguraikan tata upacara sadranan sebagai tradisi yang sudah
dilaksanakan masyarakat sekitar Padukuhan Kalibulus dari dahulu hingga
sekarang dan akan mengungkapkan pentingnya upacara sadranan untuk dibahas.
Kita akan mengetahui jalannya proses ritual, sekaligus makna dan fungsi upacara
sadranan serta pandangan masyarakat Padukuhan Kalibulus tentang pelaksanaan
upacara sadranan.
7
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, terdapat masalah pokok yang
hendak dijawab. Masalah yang akan dibahas dalam penelitian hanya dibatasi dan
ditekankan pada permasalahan di bawah ini :
2.1 Bagaimanakah proses ritual upacara sadranan di Padukuhan Kalibulus
Bimomartani Ngemplak Sleman?
2.2 Bagaimanakah pandangan masyarakat Padukuhan Kalibulus Bimomartani
Ngemplak Sleman tentang upacara sadranan?
2.3 Apa makna dan fungsi ritual upacara sadranan di Padukuhan Kalibulus
Bimomartani Ngemplak Sleman?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah di atas,
penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
1.3.1 Mendeskripsikan proses ritual upacara tradisi sadranan di Padukuhan
Kalibulus Bimomartani Ngemplak Sleman.
1.3.2 Menjelaskan pandangan masyarakat Padukuhan Kalibulus Bimomartani
Ngemplak Sleman tentang upacara tradisi sadranan.
1.3.3 Menjelaskan makna dan fungsi upacara tradisi sadranan di Padukuhan
Kalibulus Bimomartani Ngemplak Sleman.
8
1.4 Manfaat Penelitian
Upacara sadranan merupakan salah satu tradisi Jawa yang masih sering
dilakukan oleh masyarakat sampai saat ini. Tetapi penelitian secara khusus
tentang upacara sadranan belum banyak dilakukan. Penelitian ini dilakukan tidak
hanya untuk kepentingan peneliti semata, tetapi diharapkan dapat menambah
wawasan dan kepustakaan mengenai penelitian tradisi lisan yang masih banyak
terdapat dalam masyarakat Indonesia. Penelitian ini berguna untuk mendapatkan
gambaran mengenai proses ritual, pandangan masyarakat sekitar tentang tradisi
Sadranan serta makna dan fungsi tradisi Sadranan.
1.5 Tinjauan Pustaka
Penelitian ini berisi pembahasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
upacara sadranan yang dilakukan di Padukuhan Kalibulus. Seperti kita ketahui
ada beberapa penelitian yang berisi pembahasan mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan upacara tradisi sadranan di pulau Jawa. Setiap upacara sadranan di
berbagai daerah di pulau Jawa biasanya mempunyai ciri-ciri khusus yang berbeda
yaitu waktu pelaksanaan dan tata upacara sadranan dalam pelaksanaan ritualnya.
Penelitian yang berisi pembahasan mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan upacara sadranan pernah pernah dibahas oleh Eviyanti (2006:
http://www.pikiran-rakyat.com). Dalam artikelnya yang berjudul “Nyadran”
Ritual Sambut Ramadhan mengupas tentang ritual nyadran atau Haul Syekh
Murochidin atau mbah Agung Rahmatullah, yang dilaksanakan di Desa
Karanggude Kulon, Kecamatan Karangwelas. Pelaksanaan upacara nyadran
9
sangat kental dengan nuansa kejawen. Warga masyarakat berkumpul dan
perlengkapan untuk upacara ritual seperti dupa, kembang setaman telah disiapkan.
Selain itu sebagian besar ibu- ibu warga kecamatan Karangwelas membawa
makanan, nasi tumpeng kecil lengkap dengan lauk pauknya lengkap, dan upacara
pun dimulai. Upacara dipimpin oleh juru kunci makam. Upacara dibuka dengan
membakar dupa, sambil menebar kembang setaman di nisan Mbah Agung
Rahmatullah. Sesepuh desa dan warga duduk di halaman makam. Setelah ritual
kejawen selesai, ritual dilanjutkan dengan doa-doa bernapaskan Islam. Setelah
semua ritual usai dilaksanakan, acara dilanjutkan dengan makan bersama.
Selain itu, Sobirin (2006: http://lafadl.wordpress.com) juga pernah
mengupas nyadran dalam artikelnya yang berjudul Nyadran di sudut Banyumas,
yang memaparkan tentang prosesi nyadran ke makam Bonokeling. Rombongan
orang-orang nyadran, yang terdiri dari ratusan lelaki yang berpakaian adat
Banyumas dan rombongan perempuan dengan berpakaian kain (jarit) adat
Banyumas, memasuki kompleks pemakaman Bonokeling dengan dipimpin oleh
juru kunci makam Bonokeling. Semua anak cucu Bonokeling harus sungkem
untuk ngalap berkah. Acara ini dilakukan setiap tahun menjelang bulan suci
Ramadhan, sebagai bentuk penghormatan anak cucu Bonokeling terhadap leluhur
mereka.
Dalam penelitian ini, penulis membahas secara khusus upacara
sadranan yang dilaksanakan di Padukuhan Kalibulus, Bimomartani, Ngemplak,
Sleman yang selama ini belum pernah ada yang melakukan penelitian di tempat
tersebut. Adapun studi yang pernah dilakukan oleh Eviyanti dalam penelitiannya
10
tentang “Nyadran” Ritual Sambut Ramadhan di Desa karanggude Kulon,
Kecamatan Karangwelas maupun Sobirin dalam penelitiannya tentang Nyadran di
Sudut Banyumas dapat dijadikan bahan referensi.
1.6 Teori
Untuk mengkaji upacara sadranan yang dilaksanakan di Padukuhan
Kalibulus, difokuskan beberapa pemikiran yang akan diteliti dalam kerangka
berpikir yang mencakup folklor dan sadranan. Selain itu untuk menjelaskan
definisi yang diteliti dalam penelitian ini, bab teori akan dilengkapi dengan
batasan istilah, yang mencakup upacara, padukuhan, proses ritual, pandangan
masyarakat dan makna fungsi.
1.6.1 Kerangka Berpikir
1.6.1.1 Folklor
Menurut Dundes via Budiaman (1979:13) Folklor adalah sebagian dari
kebudayaan yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun dan tradisional di
antara anggota-anggota kelompok apa saja, dalam versi yang berbeda-beda, baik
dalam bentuk lisan, maupun contoh yang disertai dengan perbuatan.
Menurut kajian ilmiah, folklor dapat diartikan sebagai tradisi lisan dan
adat istiadat (oral and customary tradition ) (Danandjaja, 2003 : 31).
Menurut Taylor via Danandjaja (2003 : 31) folklor adalah bahan-bahan
yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata dari mulut atau oleh adat-
istiadat dari praktik.
11
Folklor berasal dari dua kata dasar folk dan lore. Folk artinya “sekelompok
orang yang memiliki ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat
dibedakan dari kelompok lainnya. Sedangkan lore adalah ‘tradisi folk’ yaitu
sebagian dari kebudayaan yang diwariskan turun-temurun secara lisan atau
melalui contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
Jadi, folklor adalah sebagian kebudayaan yang kolektif dan diwariskan secara
turun-temurun secara lisan, baik yang disertai dengan gerak isyarat atau alat
pembantu pengingat” (Danandjaja, 2002 : 1-2).
Menurut Dundes via Budiaman (1979 : 13) kata folklor berasal dari dua
kata Inggris : folk dan lore. Folk berarti kelompok orang yang memiliki ciri-ciri
pengenal kebudayaan yang membedakannya dari kelompok lain. Ciri-ciri
pengenal tersebut dapat berupa mata pencaharian hidup yang sama, bahasa yang
sama, agama yang sama, tingkat pendidikan yang sama dan lain- lain. Tetapi yang
terpenting dalam hal ini ialah bahwa mereka telah mempunyai suatu tradisi, yaitu
kebudayaan yang telah diwariskan secara turun-temurun yang dapat mereka akui
sebagai milik kelompoknya sendiri. Di samping itu, yang penting juga ialah
bahwa mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri. Adapun yang
dimaksudkan dengan lore ialah tradisi folk yang diwariskan secara turun-temurun
melalui lisan atau tutur kata, ataupun melalui contoh yang disertai perbuatan.
Menurut Budiaman (1979 : 14) folklor sebagai bagian dari kebudayaan
mempunyai tanda-tanda pengenal yaitu (1) penyebarannya secara lisan atau
perbuatan, yaitu dengan melalui tutur kata dari mulut ke mulut atau dengan
menirukan perbuatan orang lain yang telah menjadi tradisi dalam masyarakat, dan
12
berlangsung secara turun-temurun, (2) bersifat tradisional, artinya disebarkan
dalam bentuk yang secara relatif tetap, atau dalam bentuk yang standar, dan
tersebar di antara kelompok tertentu, dalam waktu yang cukup lama, (3) Folklor
tersebar dalam versi yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena cara
penyebarannya pada dasarnya adalah dari mulut ke mulut, bukan melalui tulisan
atau rekaman, sehingga mudah mengalami perubahan. Walaupun demikian
perbedaannya hanya terletak pada yang kecil-kecil saja, sedangkan bentuk garis
besarnya masih identik, (4) Nama pencipta suatu folklor biasanya sudah tidak
diketahui lagi, (5) folklor biasanya mempunyai bentuk klise berupa ungkapan-
ungkapan tradisional yang stereotip, pemilihan kata atau kalimat yang membantu.
Menurut Brunvand via Danandjaja (2002 : 21-22) folklor dapat
digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya: (1) folklor lisan
(verbal fololore), (2) folklor sebagian lisan (partly verbal folklore), (3) folkor
bukan lisan (non verbal folklore). Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya
memang murni lisan. Bentuk-bentuk (genre) folklor yang termasuk ke dalam
kelompok besar ini antara lain (a) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat,
julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan; (b) ungkapan tradisonal,
seperti peribahasa, pepatah, dan pemeo; (c) pertanyaan tradisonal, seperti teka-
teki; (d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam dan syair; (e) cerita prosa rakyat,
seperti mite, legenda dan dongeng; (f) nyanyian rakyat. Folklor lisan juga
mempunyai fungsi sebagai penghibur atau senagai penyalur perasaan yang
terpendam
13
Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan
campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat, misalnya
takhayul dan pernyataan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang
dianggap mempunyai makna gaib. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong dalam
kelompok besar ini, selain kepercayaan rakyat adapula permainan rakyat, teater
rakyat, tari-tarian rakyat, adat- istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain- lain.
Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun
cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi
menjadi dua subkelompok, yakni yang material dan yang bukan material. Yang
tergolong material antara lain: arsitektur rakyat (bentuk asli rumah daerah, bentuk
lumbung padi, dan sebagainya), kerajinan tangan rakyat; pakaian dan perhiasan
tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional. Sedangkan
yang termasukyang bukan material antara lain: gerak isyarat tradisional (gesture),
bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan), dan musik rakyat.
Menurut Budiaman (1979: 14-15) betapa pentingnya kita mempelajari
folklor dalam rangka mengenal kebudayaan masyarakat tertentu karena fungsi
yang terkandung di dalamnya, yaitu sebagai sistem proyeksi yang dapat
mencerminkan angan-angan kelompok, sebagai alat pengesahan pranata-pranata
dan lembaga kebudayaan, sebagai alat pendidikan anak, dan sebagai alat pemaksa
dan pengawas agar norma-norma masyarakat dipatuhi.
Dari uraian di atas, folklor merupakan salah satu sarana komunikasi yang
memainkan peranan penting dalam masyarakat tradisional, dalam menjaga
kelestarian adat- istiadat yang berlaku dalam masyarakat. Skripsi ini membahas
14
tentang upacara sadranan yang dilaksanakan di Padukuhan Kalibulus. Dalam
penggolongannya upacara sadranan tergolong dalam folklor sebagian lisan. Jadi
upacara sadranan yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur
bukan lisan merupakan sebuah tradisi dan adat- istiadat karena masih dilaksanakan
oleh warga masyarakat dari dahulu sampai sekarang, turun-temurun sampai anak
cucu mereka. Adapun upacara sadranan yang dilakukan di Padukuhan Kalibulus
diperingati setiap bulan Ruwah menjelang bulan Ramadhan. Pelaksanaan
ritualnya dibuat sebuah prosesi tata upacara sadranan ke makam Kalibulus sebagai
bentuk penghormatan kepada leluhur dan sanak saudara yang telah meninggal
dunia.
1.6.1.2 Sadranan
Sadranan adalah hari berkunjung ke makam para leluhur atau kerabat yang
sudah mendahului dan hal ini merupakan salah satu peristiwa yang penting. Setiap
orang berusaha untuk bisa melaksanakan sadranan. Sadranan selalu dilakukan
dalam bulan Ruwah yaitu pada bulan menjelang puasa. Orang datang berduyun-
duyun untuk berziarah ke makam keluarga. Dalam bulan Ruwah itu kesempatan
untuk bertemu dengan keluarga-keluarga yang sudah terpencar-pencar di seluruh
penjuru tanah air (Bratawidjaja, 1988 : 135 – 136).
Pemberton (2003, 331) memaparkan selama bulan Ruwah, sadranan
diselenggarakan praktik-praktik desa ketika kuburan-kuburan leluhur dibersihkan
dan diberi sesaji. Walau sadranan biasanya mengharuskan keluarga bepergian ke
desa-desa lain untuk mengunjungi kuburan-kuburan leluhur keluarga, namun
15
praktik-praktik ini sering termasuk upacara-upacara di desa sendiri untuk
memberi sesaji roh pelindung desa dan tokoh-tokoh legendaris yang sakti, yang
secara kebetulan, mungkin dimakamkan di dekat desa.
Partokusumo via Lokesywara (http://www.depdiknas.go.id ) menjelaskan
kegiatan lain dalam hal perawatan kuburan dan penghormatan terhadap roh orang
mati atau roh leluhur adalah selamatan nyadran. Nyadran berarti melaksanakan
upacara sadran atau sadranan yang masih popular di kalangan masyarakat Jawa.
Upacara ini dilaksanakan pada bulan Ruwah (kalender Jawa) atau Sya’ban
(kalender Hijriah) sesudah tanggal 15 hingga menjelang ibadah puasa Ramadhan.
Nyadran dilangsungkan dengan selamatan di rumah dan di makam. Maksud
selamatan ini adalah mengirim doa dan minta berkah kepada para arwah leluhur.
Masyarakat percaya pada bulan Ruwah para arwah leluhur mempunyai
kesempatan tilik kubur (berkunjung ke makamnya) dan tilik omah (berkunjung ke
rumah).
Menurut Hardjowirogo (1980 : 143) sadranan adalah hari berkunjung ke
makam para moyang dan di daerah Surakarta, ini merupakan suatu kejadian
penting yang orang segan membiarkan lalu begitu saja dan yang seberapa dapat
orang akan berusaha untuk melaksanakan. Sadranan ini selalu dilakukan dalam
bulan Ruwah, pada bulan menjelang Ramadhan. Dari mana-mana orang datang
berduyun-duyun untuk berziarah ke makam keluarga.
Sadranan di Padukuhan Kalibulus merupakan peristiwa penting bagi
masyarakatnya. Sadranan bagi masyarakat Padukuhan Kalibulus adalah hari
berkunjung ke makam para leluhur dan kerabat yang telah meninggal dunia.
16
Ritual ini dilaksanakan di Padukuhan Kalibulus pada bulan Ruwah menjelang
bulan puasa (Ramadhan). Seluruh warga Padukuhan Kalibulus dan kerabat-
kerabatnya yang tinggal di luar Padukuhan Kalibulus, biasanya menyempatkan
waktu untuk datang berziarah ke makam keluarga. Dalam pelaksanaannya, ritual
sadranan di Padukuhan Kalibulus diwujudkan dalam sebuah tata upacara. Upacara
sadranan di Padukuhan Kalibulus merupakan ritual perawatan makam dan
penghormatan terhadap roh leluhur dan sanak-saudara yang telah meninggal dunia
dengan membersihkan makam leluhur dan sanak-saudara serta diberi sesaji,
taburan bunga dan mendoakan arwah leluhur dan sanak-saudara yang telah
meninggal dunia. Upacara sadranan bagi masyarakat Padukuhan Kalibulus adalah
sarana untuk mengirim doa bagi leluhur dan sanak-saudara yang telah meninggal
dunia supaya amal kebaikannya semasa hidup dapat diterima dan seluruh
kesalahannya dapat diampuni oleh Tuhan Yang Maha Esa.
1.6.2 Batasan Istilah
1.6.2.1 Upacara
Upacara adalah tanda-tanda kebesaran, peralatan (menurut adat- istiadat);
rangkaian tindakan/perbuatan yang terikat kepada aturan-aturan tertentu menurut
adat/agama, perbuatan/perayaan yang dilakukan/diadakan sehubungan dengan
peristiwa penting (seperti pelantikan pejabat, pembukaan gedung baru) KBBI
(1988 : 994 ). Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1994 : 1595) upacara
adalah aturan resmi, seremoni, rangkaian tindakan yang terikat pada aturan,
17
kebiasaan yang berlaku sebagian dari perayaan (pelantikan pegawai negeri,
peringatan-peringatan penting, peresmian gedung baru).
Upacara sadranan merupakan rangkaian tindakan/perbuatan yang terikat
kepada aturan-aturan tertentu menurut adat/agama. Upacara sadranan merupakan
perayaan peristiwa penting bagi warga masyarakat Padukuhan Kalibulus karena
sampai saat ini masih dilakukan dan dalam pelaksanaan tata upacaranya
disesuaikan dengan aturan yang berlaku di dalam masyarakat Padukuhan
Kalibulus. Upacara sadranan di Padukuhan Kalibulus dilaksanakan dengan
aturan-aturan yang telah disepakati oleh semua warga Padukuhan Kalibulus. Di
Padukuhan Kalibulus, upacara sadranan dilaksanakan dengan adat Jawa dan tata
ritual agama Islam karena mayoritas penduduk di Padukuhan Kalibulus beragama
Islam.
1.6.2.2 Padukuhan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988 : 635) padukuhan adalah
pedesaan atau perkampungan. Padukuhan yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah Padukuhan Kalibulus yang merupakan bagian dari Kelurahan atau Desa
Bimomartani. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan masyarakat Padukuhan
Kalibulus dan pelaksanaan upacara sadranan yang dilaksanakan di Padukuhan
Kalibulus sebagai objek penelitian.
18
1.6.2.3 Proses Ritual
Proses dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988 : 703) adalah
runtunan perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu atau rangkaian
tindakan, perbuatan atau pengolahan yang menghasilkan produk.
Ritual adalah berkenaan dengan ritus, hal ikhwal ritus. Sedangkan
pengertian ritus adalah tata cara dalam upacara keagamaan (KBBI,1988 : 751).
Ritual menurut Martin dkk (2003 : 481) berarti hal ihwal yang berkenaan dengan
ritus. Ritus itu sendiri adalah tata cara dalam upacara keagamaan. Ritual
nujubulan (mitoni), memperingati seribu hari meninggalnya seseorang (nyewu).
Proses ritual yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jalannya peristiwa
atau rangkaian tindakan dalam tata upacara sadranan yang dilaksanakan di
Padukuhan Kalibulus. Mulai dari persiapan, pelaksanaan sampai semua ritual
selesai dilaksanakan. Proses ritual upacara sadranan akan dibahas secara
mendalam oleh peneliti dalam bab selanjutnya.
1.6.2.4 Pandangan Masyarakat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988 : 643) pandangan berarti
pengetahuan atau pendapat, hasil perbuatan memandang (memperhatikan,
melihat).
Masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas- luasnya dan terikat
oleh suatu kebutuhan yang mereka anggap sama (KBBI,1988 : 564). Masyarakat
itu adalah kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia yang terikat oleh suatu
sistem adat-istiadat yang tertentu (Koentjaraningrat, 1969 : 98).
19
Pandangan masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
pendapat masyarakat Padukuhan Kalibulus tentang pelaksanaan upacara sadranan,
ditinjau dari kepercayaan yang dianut oleh warga masyarakat serta makna dan
fungsi dalam kehidupan sehari-hari. Pandangan masyarakat ini akan dibahas
peneliti secara mendalam dengan menggunakan metode-metode di bawah ini dan
akan diungkapkan pada bab selanjutnya.
1.6.2.5 Makna dan Fungsi
Makna adalah arti atau maksud pembicara/penulis (KBBI, 1988 : 548).
Fungsi adalah jabatan (pekerjaan) yang dilakukan atau kegunaan suatu hal
(KBBI,1988 : 245). Makna yang dimaksud dalam penelitian ini adalah maksud
atau arti dari pelaksanaan upacara sadranan bagi masyarakat Padukuhan
Kalibulus. Fungsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegunaan upacara
sadranan bagi masyarakat Padukuhan Kalibulus. Makna dan fungsi upacara
sadranan bagi masyarakat Padukuhan Kalibulus akan dibahas oleh peneliti secara
mendalam dalam penelitian ini pada bab selanjutnya.
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Pendekatan
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan folklor untuk mengkaji proses
ritual, pandangan masyarakat sekitar tentang tradisi sadranan, serta makna dan
fungsi di balik pelaksanaan upacara tradisi sadranan di Padukuhan Kalibulus,
Bimomartani, Ngemplak, Sleman. Danandjaja (2002:17-19) berpendapat bahwa
20
dalam penelitian folklor Indonesia perlu kiranya peneliti untuk mengetahui lebih
dulu sebab-sebab mengapa perlu meneliti folklor. Sebab utamanya bahwa folklore
mengungkapkan kepada kita secara sadar atau tidak sadar, bagaimana folknya
berpikir. Selain itu, folklore juga mengabadikan apa yang dirasakan penting
(dalam suatu masa) salah satunya adalah folk pendukungnya. Folk lor lisan dan
sebagian lisan masih banyak mempunyai fungsi yang menjadikan sangat menarik
dan penting untuk diselidiki.
Pendekatan folklor yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
bentuk folklor sebagian lisan yaitu upacara sadranan yang dilaksanakan di
Padukuhan Kalibulus. Melalui pendekatan ini peneliti dapat mengetahui proses
ritual, pandangan masyarakat Padukuhan Kalibulus tentang pelaksanaan upacara
sadranan dan makna, fungsi.
1.7.2 Metode
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode etnografi.
Etnografi secara harfiah, berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa
yang ditulis oleh seorang antropolog atau hasil penelitian lapangan (field work)
selama sekian bulan atau sekian tahun (Spradley, 2006 : vii). Etnografi merupakan
pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan utama aktivitas ini adalah
untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli.
Dalam penelitian ini metode ini digunakan untuk mengetahui proses ritual,
pandangan masyarakat di Padukuhan Kalibulus tentang upacara sadranan yang
21
masih dilakukan sampai saat ini, sehingga dapat mengkaji fungsi dan makna
upacara sadranan.
1.7.3 Teknik Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan empat teknik yaitu :
observasi, wawancara, kepustakaan, dan dokumentasi.
1.7.3.1 Observasi
Sutrisno Hadi via Sugiyono (1999 :139) mengemukakan bahwa observasi
merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari pelbagai
proses biologis dan psikologis. Dua di antara yang terpenting adalah proses-proses
pengamatan dan ingatan. Teknik Pengumpulan data dengan observasi digunakan
bila penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala
alam dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar.
Dari segi proses pelaksanaan pengumpulan data, observasi dapat
dibedakan menjadi (1) participant observation (observasi berperan serta) yaitu
peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang
digunakan sebagai sumber data penelitian, (2) non participant observation
(observasi nonpartisipan) yaitu peneliti tidak terlibat dan hanya sebagai pengamat
independent (Sugiyono, 1999 :139).
Dari segi instrumentasi yang digunakan, maka observasi dapat dibedakan
menjadi (1) observasi terstruktur yaitu observasi yang telah dirancang secara
sistematis, tentang apa yang akan diamati, di mana tempatnya. Jadi observasi
22
terstruktur dilakukan apabila peneliti telah tahu dengan pasti tentang variabel yang
akan diamati, (2) observasi tidak terstruktur adalah observasi yang tidak
dipersiapkan secara sistematis tentang apa yang akan diobservasi. Hal ini
dilakukan karena peneliti tidak tahu secara pasti tentang apa yang akan diamati
(Sugiyono, 1999: 140).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan observasi terstruktur,
observasi yang telah dirancang secara sistematis, karena penulis sudah
mengetahui tentang apa yang akan diamati dan di mana tempatnya yaitu
mengamati proses ritual, pandangan masyarakat tentang upacara sadranan yang
dilaksanakan di Padukuhan Kalibulus serta makna, fungsi upacara sadranan.
Dalam penelitian ini digunakan observasi non partisipan yaitu hanya dengan
mengamati masyarakat Padukuhan Kalibulus, sehingga peneliti dapat memperoleh
gambaran yang lebih objektif tentang masalah yang diselidikinya. Mendapatkan
gambaran tentang upacara tradisi sadranan, memudahkan peneliti membaca situasi
dan keadaan masyarakat Kalibulus, sehingga akan memudahkan peneliti untuk
diterima oleh masyarakat setempat.
1.7.3.2 Wawancara
Wawancara merupakan proses pencarian yang mendalam tentang diri
subjek. Wawancara dapat dilakukan dalam bentuk yang bervariasai. Yang paling
umum dilakukan adalah wawancara individual yang dilakukan berhadap-hadapan
antara pewawancara dan yang diwawancarai. Tetapi wawancara juga bisa
dilakukan dalam kelompok, dalam bentuk angket atau lewat telepon. Wawancara
23
dapat dilaksanakan secara terstruktur, semi terstruktur, dan tidak terstruktur
(Kuntjara, 2006 67).
Wawancara atau interview ini dilakukan dengan para informan yang
dianggap mampu memberikan penjelasan tentang upacara sadranan di Padukuhan
Kalibulus. Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan dengan wawancara
individual yaitu dengan mewawancarai narasumber secara langsung yang
dianggap mampu memberikan penjelasan upacara tradisi sadranan tentang proses
ritual, pandangan masyarakat Padukuhan Kalibulus tentang upacara tradisi
sadranan serta makna, fungsi upacara sadranan. Dalam penelitian ini peneliti
mewawancarai juru kunci, modin, tokoh masyarakat, kaum, remaja dan
masyarakat Padukuhan Kalibulus.
1.7.3.2.1 Narasumber dan Responden
Dalam mengkaji tentang pandangan masyarakat mengenai upacara
sadranan yang selalu dilaksanakan setiap setahun sekali, digunakan sumber data
hasil wawancara dengan Narasumber a) juru kunci makam Padukuhan Kalibulus
bapak Prapto Diharjo, b) bapak Heri Barnadi yaitu modin Padukuhan Kalibulus,
c) Ketua RT 02 Padukuhan Kalibulus bapak Supriharsana, d) Tokoh masyarakat
Padukuhan Kalibulus yaitu bapak Aris Sunarto dan bapak Mawardi, dan
Responden dari a) remaja Padukuhan Kalibulus yaitu mas Wawan serta ibu-ibu
warga masyarakat Padukuhan Kalibulus yaitu b) ibu Sri dan c) ibu Mulyani.
24
1.7.3.2.2 Alasan
Dalam penelitian ini penulis hanya mengambil beberapa pandangan
masyarakat Padukuhan Kalibulus tentang upacara sadranan karena pendapat
mereka sudah cukup mewakili pandangan masyarakat Padukuhan Kalibulus.
Sebagai juru kunci, bapak Prapto merupakan orang yang mengetahui tentang
seluk beluk makam yang selalu digunakan untuk pelaksanaan upacara sadranan di
Padukuhan Kalibulus. Bapak Heri Barnadi sebagai modin adalah orang yang
dalam setiap pelaksanaan upacara sadranan yang diadakan setiap satu tahun
sekali, selalu ikut serta untuk memimpin ritual doa. Bapak Supriharsana, sebagai
ketua RT 02 di Padukuhan Kalibulus selalu ikut berperan serta membantu
kelancaran jalannya pelaksanaan upacara sadranan dan juga merupakan bagian
dari warga masyarakat Padukuhan Kalibulus. Bapak Aris Sunarto dan bapak
Mawardi selain sebagai bagian dari warga masyarakat Padukuhan Kalibulus,
beliau juga sebagai tokoh masyarakat di Padukuhan Kalibulus, orang-orang yang
menjadi panutan bagi warga masyarakat Padukuhan Kalibulus serta yang
mengetahui perihal atau segala sesuatu tentang upacara sadranan yang
dilaksanakan di Padukuhan Kalibulus. Ibu Sri dan ibu Mulyani serta mas Wawan
sebagai wakil dari remaja merupakan bagian dari warga masyarakat dan peserta
upacara sadranan di Padukuhan Kalibulus.
1.7.3.3 Kepustakaan
Guna melengkapi data yag diperoleh dari lapangan maka perlu diadakan
penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan ini dimaksudkan untuk lebih
25
memperkaya data yang mungkin tidak sempat diperoleh dalam penelitian
lapangan. Dengan demikian data-data yang diperoleh akan lebih dapat
dipertanggungjawabkan (Maharkesti dkk, 1988/1989: 6).
Metode kepustakaan adalah mencari data mengenai hal-hal yang berupa
catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya (Arikunto,
1993:234). Pelaksanaan teknik ini yaitu menelaah pustaka yang ada kaitannya
dengan objek penelitian. Teknik kepustakaan dipergunakan untuk mendapatkan
data yang konkret. Metode kepustakaan diperoleh dengan teknik catat yaitu
mencatat data yang berasal dari buku-buku, artikel di situs-situs internet yang
membahas tentang upacara sadranan.
1.7.3.4 Dokumentasi
Dokumentasi adalah semua tulisan yang dikumpulkan dan disimpan, yang
dapat digunakan bila diperlukan, juga gambar atau foto. Mendokumentasikan
adalah mengatur dan menyimpan tulisan atau gambar dan foto sebagai dokumen
(KUBI, 1994: 354).
Peralatan video rekaman juga bisa digunakan agar apa yang terjadi selama
wawancara terekam dan dapat dilihat kembali oleh peneliti di kemudian hari
(Kuntjara, 2006 : 72). Untuk melengkapi data digunakan teknik dokumentasi yang
berfungsi sebagai alat untuk merekam informasi dalam bentuk lisan serta
mendapatkan gambar objek ke dalam bentuk foto dan rekaman video.
Dalam penelitian ini digunakan kamera untuk mengambil gambar objek ke dalam
26
bentuk foto dan alat perekam gambar (handycam) untuk merekam proses
upacara sadranan di Padukuhan Kalibulus.
1.8 Sumber Data
Dalam penelitian ini digunakan sumber data untuk memperoleh informasi.
(1) Sumber data hasil wawancara dengan juru kunci, modin, tokoh masyarakat,
dan masyarakat Padukuhan Kalibulus, (2) sumber data tempat dan peristiwa yaitu
makam keluarga Padukuhan Kalibulus serta pelaksanaan upacara sadranan di
Padukuhan Kalibulus, (3) sumber data lainnya untuk membantu penelitian ini
digunakan berbagai macam buku dan artikel dari situs-situs internet yang
berkaitan dengan pokok bahasan dalam penelitian ini.
1.9 Sistematika Penyajian
Laporan hasil penelitian ini akan disajikan ke dalam lima bab.
Bab I berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat hasil peneleitian, tinjauan pustaka, landasan
teori, metode penelitian dan sistematika penyajian. Bab II berisi hasil
pendeskripsian proses ritual upacara tradisi sadranan di Padukuhan Kalibulus
Bimomartani, Ngemplak, Sleman. Bab III berisi hasil pandangan masyarakat
Padukuhan Kalibulus tentang upacara tradisi sadranan. Bab IV berisi hasil
penjelesan makna dan fungsi upacara tradisi sadranan di Padukuhan Kalibulus
Bimomartani Ngemplak Sleman. Bab V berisi kesimpulan dan saran yang diakhiri
dengan lampiran dan daftar pustaka.
27
BAB II
PROSES PELAKSANAAN UPACARA SADRANAN
DI PADUKUHAN KALIBULUS, BIMOMARTANI, NGEMPLAK,
SLEMAN
2.1 Pengantar
Dalam bab ini akan diuraikan tentang pengertian proses ritual secara
umum serta proses ritual upacara sadranan di Padukuhan Kalibulus, Bimomartani,
Ngemplak, Sleman. Hal ini meliputi waktu dan tempat pelaksanaan, sesaji yang
digunakan dalam upacara sadranan serta makna simbolik yang terkandung dari
setiap sesaji dalam upacara sadranan tersebut, dan juga pihak-pihak yang terlibat
dalam pelaksanaan upacara sadranan.
2.2 Proses Ritual Secara Umum
Ritual adalah berkenaan dengan ritus, hal ikhwal ritus. Sedangkan
pengertian ritus adalah tata cara dalam upacara keagamaan (KBBI,1988 : 751).
Proses dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988 : 703) adalah runtunan
perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu atau rangkaian tindakan,
perbuatan atau pengolahan yang menghasilkan produk. Jadi proses ritual sadranan
adalah runtutan peristiwa, rangkaian tindakan, perbuatan yang berkenaan dengan
ritus atau tata cara dalam upacara sadranan.
28
2.3 Proses Ritual Pelaksanaan Upacara Sadranan di Padukuhan Kalibulus
Bagi masyarakat Padukuhan Kalibulus, upacara sadranan merupakan
tradisi untuk ziarah atau hari berkunjung ke makam leluhur dan sanak saudara
yang telah meninggal dunia. Dalam proses pelaksanaan upacara sadranan dari
zaman dahulu sampai saat ini, terdapat perubahan dalam proses ritualnya. Akan
tetapi dengan adanya perubahan dalam proses ritual upacara sadranan di
Padukuhan Kalibulus tidak mengubah inti dalam upacara sadranan tersebut. Dari
tahun ke tahun perubahan proses ritual upacara sadranan semakin menunjukkan
kemajuan ke arah positif. Hal ini menambah antusias warga masyarakat
Padukuhan Kalibulus untuk ikut berperan serta mensukseskan acara tersebut
sebagai sebuah kebudayaan adat Jawa warisan leleuhur. Saat ini dalam
pelaksanaan upacara sadranan dibuat sedemikian kompleks termasuk ritual-
ritualnya. Upacara sadranan di Padukuhan Kalibulus dikemas dalam tata upacara
adat Jawa dan sudah dilaksanakan sejak zaman dahulu yang merupakan warisan
nenek moyang. Warga masyarakat mulai berkumpul di rumah joglo. Rumah joglo
merupakan rumah kediaman mantan lurah yang sampai saat ini masih digunakan
untuk tempat berkumpul warga masyarakat Padukuhan Kalibulus. Saat ini
ditempati oleh anaknya yang menjadi sesepuh di Padukuhan Kalibulus.
Pertama, acara dimulai dengan adanya kirab oleh masyarakat Padukuhan
Kalibulus. Kirab terdiri dari dua orang di depan yang membawa sesaji yang
berupa dupa dan kemenyan, diikuti oleh ibu- ibu pembawa bunga (kembang
setaman) untuk ziarah, bapak-bapak pembawa pusaka, rombongan orang yang
memanggul sesaji yang berisi seperangkat minuman dalam poci yang terbuat dari
29
tanah liat, buah-buahan, apem, nasi tumpeng dan ayam. Di belakangnya terdapat
rombongan tamu undangan yang terdiri dari Kepala Bidang Peninggalan Budaya
dan Nilai Tradisi Kabupaten Sleman, Camat Ngemplak, Lurah Ngemplak, para
pejabat dan sesepuh desa, serta bapak-bapak rombongan pembawa peti dari kayu
(jodang) dan ibu-ibu yang membawa nampan bulat dari bahan bambu (tenong)
yang berisi makanan berupa nasi tumpeng, berbagai macam sayur, buah-buahan
dan ikan (Lampiran 1 : gambar 1, gambar 2, gambar 3, gambar 4, gambar 5,
gambar 6, dan gambar 7).
Kedua, rombongan kirab berjalan dari rumah joglo menuju ke pemakaman
Kalibulus yang berjarak kurang lebih 800 m. Setelah rombongan kirab sampai di
pemakaman Kalibulus, kepala dusun selaku pemimpin rombongan kirab, meminta
izin kepada juru kunci makam Kalibulus, bapak Prapto Diharjo (55 tahun) untuk
berziarah ke makam leluhur di pemakaman Kalibulus (Lampiran 1 : gambar 9).
Kepala dusun beserta rombongan kirab pembawa bunga dan sesaji diikuti para
tokoh dan sesepuh desa memasuki area pemakaman Kalibulus dan melaksanakan
upacara ritual sadranan yang berupa kegiatan ziarah ke makam leluhur, sesepuh
atau tokoh masyarakat Padukuhan Kalibulus dan sanak-saudara dengan berdoa
dan menaburkan bunga di atas makam leluhur dan sanak-saudara yang telah
meninggal dunia (Lampiran 1: gambar 8, gambar 10, gambar 11, dan gambar 12).
Sesaji yang berupa dupa dan kemenyan serta sesaji yang berupa makanan
seperti nasi tumpeng, buah-buahan, apem, dan seperangkat minuman diletakkan di
depan makam leluhur/sesepuh tokoh masyarakat Padukuhan Kalibulus (Lampiran
1: gambar 16). Sedangkan rombongan bapak dan ibu yang membawa berbagai
30
macam makanan tidak ikut masuk ke dalam area makam. Mereka menuju tenda
yang telah disiapkan oleh panitia untuk meletakkan berbagai macam makanan
tersebut yang nantinya akan dimakan bersama-sama oleh semua warga desa
setelah didoakan oleh sesepuh desa (modin) dan setelah upacara ritual sadranan
selesai dilaksanakan (Lampiran 1: gambar 18).
Ketiga, upacara sadranan juga diisi sambutan oleh bapak kepala bidang
peninggalan budaya dan nilai tradisi Kabupaten Sleman, sambutan oleh ibu camat
Ngemplak dan tokoh masyarakat Padukuhan Kalibulus (Lampiran 1: gambar 21).
Dan yang terakhir dilanjutkan dengan acara makan bersama-sama oleh warga
masyarakat Padukuhan Kalibulus (Lampiran 1: gambar 23 dan gambar 24).
Warga masyarakat yang belum ziarah ke makam leluhur dan sanak-
saudara segera memasuki area pemakaman dan berziarah ke makam leluhur dan
sanak-saudaranya dengan menaburkan bunga di atas pusaranya dan berdoa
semoga amal ibadahnya dapat diterima oleh Tuhan Yang Maha Esa dan diampuni
segala kesalahannya. Akhirnya semua ritual upacara sadranan selesai, warga
masyarakat kembali ke rumah masing-masing.
2.3.1 Waktu serta Tempat Upacara Sadranan di Padukuhan Kalibulus
Menurut Purwadi (2006:23) kalender adalah penanggalan yang memuat
nama-nama bulan, hari tanggal dan hari-hari keagamaan seperti terdapat pada
kalender Masehi. Kalender Jawa memiliki arti dan fungsi tidak hanya sebagai
petunjuk hari tanggal dan hari libur atau hari keagamaan, tetapi menjadi dasar dan
ada hubungannya dengan apa yang disebut Petangan Jawi, yaitu perhitungan
31
baik-buruk yang dilukiskan dalam lambang dan watak suatu hari, tanggal, bulan,
tahun, Pranata Mangsa, wuku, dan lain- lainnya. Semua itu warisan asli leluhur
Jawa yang dilestarikan dalam kebijaksanaan Sultan Agung dalam kalendernya.
Petangan Jawi sudah ada sejak dahulu, merupakan catatan dari leluhur
berdasarkan pengalaman baik buruk yang dicatat dan dihimpun dalam primbon.
Kata primbon berasal dari kata rimbu, berarti simpan atau simpanan, maka
primbon memuat bermacam-macam catatan oleh suatu generasi diturunkan
kepada generasi peerusnya. Pada hakikatnya primbon tidak merupakan hal yang
mutlak kebenarannnya, namun sedikitnya patut menjadi perhatian sebagai jalan
mencapai keselamatn dan kesejahteraan hidup lahir batin. Menurut petangan Jawi
berikut ini adalah nama-nama bulan kalender Jawa (Purwadi, 2006 : 23).
No Nama Bulan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Sura
Sapar
Mulud
Bakda Mulud
Jumadiawal
Jumadiakhir
Rejeb
Ruwah
Pasa
Syawal
32
11.
12.
Dulkangidah
Besar
Dalam mengadakan upacara sadranan warga masyarakat Padukuhan
Kalibulus sangat memperhatikan hari dan waktu. Menurut perhitungan warga
masyarakat Padukuhan Kalibulus, upacara sadranan biasa dilakukan oleh warga
masyarakat Padukuhan Kalibulus pada bulan Ruwah sebelum memasuki bulan
Ramadhan, biasanya dilaksanakan di atas tanggal 15 bulan Ruwah yaitu pada 23
Ruwah 1940 Hijriah atau di tahun 2007 jatuh pada hari Kamis Legi tanggal 06
September 2007. Upacara sadranan di Padukuhan Kalibulus dilaksanakan pada
tanggal 23 Ruwah karena menurut tokoh masyarakat Padukuhan Kalibulus agar
terbagi dengan daerah lain dan tidak bersamaan waktu pelaksanaannya sehingga
warga masyarakat Padukuhan Kalibulus yang mempunyai kerabat yang telah
meninggal dunia dan dimakamkan di tempat lain masih dapat mengunjungi
makamnya.
Pelaksanaan upacara sadranan yang jatuh pada penanggalan setiap 23
Ruwah ini sudah menjadi kesepakatan bersama semua warga masyarakat
Padukuhan Kalibulus dan sudah dilaksanakan dari zaman dahulu, zaman nenek
moyang atau sesepuh masyarakat Padukuhan Kalibulus sampai warga masyarakat
Padukuhan Kalibulus saat ini sebagai sebuah ketetapan. Upacara sadranan mulai
dilaksanakan pada siang hari sampai sore hari. Sudah tiga tahun ini upacara
sadranan yang di laksanakan di Padukuhan Kalibulus diliput oleh stasiun televisi
lokal (JOGJA TV) yang kemudian ditayangkan pada program PAWARTOS
33
NGAYOGYAKARTA. Dengan diliputnya proses upacara sadranan ini oleh JOGJA
TV jelas semakin menambah antusias warga masyarakat Padukuhan Kalibulus
untuk mengikuti ritual upacara sadranan dengan bersama-sama bertujuan
mensukseskan acara tersebut.
Tempat pelaksanaan upacara sadranan dilakukan di pemakaman Kalibulus.
Biasanya ritual diadakan di dalam area pemakaman, di depan pusara leluhur/
sesepuh masyarakat Padukuhan Kalibulus yang telah meninggal dunia untuk
mengenang leluhur, menyampaikan penghormatan yang tulus ikhlas dengan
menaburkan bunga di atas pusaranya dan mendoakannya. Selain itu, ritual juga
diadakan di halaman makam, di bawah tenda untuk menyantap bersama-sama
makanan yang telah disiapkan sekaligus sebagai wadah untuk bersilaturahmi
dengan sesama warga masyarakat Padukuhan Kalibulus dan sanak saudara
(Lampiran 1: gambar 20 dan gambar 22).
2.3.2 Sesaji dalam Upacara Sadranan di Padukuhan Kalibulus
Dalam upacara sadranan diperlukan adanya perlengkapan sebagai sarana
untuk mencapai tujuan dari upacara sadranan. Berbagai sarana penunjang atau
perlengkapan upacara adalah berupa sesaji. Sesaji memegang peranan penting
karena merupakan sarana pengantar doa-doa manusia kepada Tuhan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988: 768) sesaji berasal dari kata
saji yang artinya hidangan (makanan dan lauk pauk yang telah disediakan pada
suatu tempat untuk dimakan). Sedangkan bersesaji adalah mempersembahkan
sajian dalam upacara keagamaan yang dilakukan secara simbolis dengan tujuan
34
untuk berkomunikasi dengan kekuatan-kekuatan gaib, dengan jalan
mempersembahkan makanan dan benda-benda lain yang melambangkan maksud
dari komunikasi tersebut (KBBI, 1988: 768). Dalam Kamus Indonesia Jawa
(1991:272) sesajen adalah sajen, sedangkan bersaji adalah nganggo sajen; gawe
(misungsungaken) sajen. Sajen atau sesaji dipersembahkan untuk penjaga suatu
tempat yang tidak dapat dilihat dengan kasat mata, akan tetapi dipercaya orang
bahwa di tempat tersebut ada penghuninya. Tujuan dari persembahan yang
mereka lakukan biasanya sebagai bentuk ucapan syukur supaya arwah para
leluhur dan sanak saudara dapat tenang di alam baka serta amal kebaikannya
dapat diterima oleh Tuhan Yang Maha Esa sehingga diberikan tempat yang layak.
Menurut penuturan kaum di Padukuhan Kalibulus, yaitu mbah
Sasradiharjo (80 tahun). Sesaji yang dipergunakan dalam upacara sadranan yang
dilaksanakan oleh warga masyarakat Padukuhan Kalibulus terdiri dari kembang
setaman yang digunakan untuk berziarah, ditaburkan di atas makam leluhur atau
sanak saudara yang telah meninggal dunia, dupa dan kemenyan, nasi tumpeng
yang berbentuk kecil, ingkung, jajanan pasar (tukon pasar), apem (makanan yang
terbuat dari tepung beras), ketan kolak, berbagai macam buah (pisang, jeruk,
salak, apel, sawo), dan seperangkat teko yang terbuat dari tanah liat, yang berisi
air putih. Sesaji tersebut diletakkan di atas nampan berbentuk rumah-rumahan dan
berhiaskan janur agar terlihat menarik. Sesaji tersebut akan diletakkan di dekat
makam leluhur atau sesepuh desa yang telah meninggal dunia dan akan didoakan
bersama-sama sebagai sarana penghantar doa-doa manusia kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
35
Selain itu juga terdapat sesaji sego gurih, nasi putih yang berbentuk nasi
tumpeng berukuran sedang, berbagai macam sayur (sayur kentang, sayur tempe),
berbagai macam buah (apel, sawo, jeruk, pisang, salak) tahu dan tempe bacem,
ikan dan ayam, tape ketan, roti, dan lemper. Semua perlengkapan tersebut sebagai
menggambarkan kesejahteraan yang dirasakan oleh warga Padukuhan Kalibulus.
Semua sesaji tersebut ditempatkan di nampan bulat yang terbuat dari anyaman
bambu (tenong) dan peti berbentuk kotak yang terbuat dari kayu (jodang). Tenong
dan jodang merupakan simbol peralatan rumah tangga dalam kebudayaan Jawa.
Semua sesaji tersebut akan dimakan bersama-sama oleh warga masyarakat
Padukuhan Kalibulus setelah selesai didoakan dan upacara selesai dilaksanakan
(Lampiran 1: gambar 13, gambar 14 dan gambar 15).
2.3.3 Makna Simbolik yang Terkandung dari Setiap Sesaji dalam Upacara
Sadranan di Padukuhan Kalibulus
Orang Jawa percaya kepada roh-roh yang dianggap menempati seluruh
alam, roh mempunyai pengaruh yang penting di dalam kehidupan manusia karena
mampu berbuat hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh manusia. Di antara roh-
roh yang paling penting adalah roh nenek moyang/ leluhur serta sanak saudara
kita. Terutama orang sangat percaya, bahwa roh nenek moyang selalu
memberikan perlindungan. Untuk itu upacara sadranan dilaksanakan sebagai
wujud penghormatan kepada roh nenek moyang dengan ritual berupa pemberian
doa-doa dan sesaji.
36
Sesaji merupakan unsur yang pokok dalam pelaksanaan sebuah upacara
tradisi. Menurut penuturan yang disampaikan oleh kaum (tokoh agama)
Padukuhan Kalibulus yaitu mbah Sasradiharjo (80 tahun), sesaji yang digunakan
dalam upacara sadranan di Padukuhan Kalibulus mempunyai makna sebagai
berikut:
a. Sego Gurih
Sego gurih berupa nasi yang dimasak dengan menggunkan santan dan
digunakan sebagai wujud persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa
agar seluruh keluarga, sanak saudara selalu diberi keselamatan oleh
Tuhan Yang Maha Esa.
b Nasi Tumpeng
Nasi tumpeng, nasi yang berbentuk kerucut seperti bentuk gunung.
Nasi tumpeng ini mempunyai makna agar sekeluarga dan sanak
saudara yang masih hidup tetap disenangi oleh masyarakat sekitar.
c. Golong
Golong, nasi yang dimasak dengan campuran santan dan setelah
matang dibentuk bulat-bulat, berukuran kira-kira satu kepalan tangan
orang dewasa. Nasi golong rasanya gurih. Nasi golong mempunyai
makna semua yang menjadi keinginan kita diharapkan akan tercapai
apabila mempunyai tekad yang kuat dan semoga seluruh sanak
saudara yang ditinggalkan selalu hidup rukun.
37
d. Ketan Kolak
Ketan mempunyai makna mengirim tanda penghormatan kepada para
leluhur yang telah meningal dunia, agar selalu dekat dengan Tuhan
Yang Maha Esa supaya diampuni segala kesalahannya. Kolak pisang
dan ketela mempunyai makna untuk menolak segala perbuatan buruk
dan agar selalu dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa.
e. Apem
Adalah kue yang dibuat dari tepung beras lalu dicampur dengan gula
setelah itu diletakkan di atas cetakan lalu dikukus. Apem dalam sesaji
mempunyai makna sebagai sebuah payung, supaya jika hujan tidak
kehujanan dan jika panas tidak kepanasan dan supaya para nabi
menuntun langkah arwah orang yang sudah meninggal dunia serta
mengampuni dosa yang pernah dibuat selama hidup di dunia.
f. Buah-buahan
Buah-buahan yang digunakan dalam sesaji melambangkan sebagai
sarana penyegar untuk para leluhur atau sanak saudara yang telah
meninggal dunia dan dimakamkan di pemakaman Kalibulus.
g. Tukon Pasar
Adalah serangkaian jajanan yang dibeli di pasar. Kue-kue di dalam
sesaji ini antara lain roti bolu, lemper dan lain- lain. Tukon pasar
38
mempunyai makna kekayaan selama hidup dan semoga orang yang
ditinggalkan diberikan rejeki dan berkah.
h. Pisang Raja Setangkep
Sebagai sarana untuk memohon pengampunan dosa kepada para
malaikat dan mempunyai makna agar orang yang telah meninggal
dunia menjadi mulia di mata Tuhan Yang Maha Esa serta memperoleh
kemudahan dalam perjalanannya ke alam baka.
i. Ingkung
Adalah satu ekor ayam utuh yang dimasak dengan menggunakan
berbagai macam bumbu sepeti bawang merah, bawang putih,
ketumbar, merica, daun salam, laos, sere, daun jeruk, garam, lengkuas,
jahe, kunyit, bumbu masak, gula merah dan santan kental. Ingkung
merupakan salah satu syarat yang harus ada dalam sesaji untuk upacara
sadranan dan dimaksudkan sebagai sarana pelengkap nasi tumpeng.
j. Air Putih
Melambangkan kesucian yaitu agar arwah orang yang telah meninggal
dunia disucikan dan arwahnya dapat diterima oleh Tuhan Yang Maha
Esa atau kemurnian hati, yaitu melambangkan kemurnian hati warga
masyarakat Padukuhan Kalibulus yang mengikuti upacara sadranan.
39
k. Kembang Setaman
Biasanya terdiri dari tiga macam bunga yaitu cempaka, kenanga dan
mawar. Bunga-bunga ini mempunyai makna sebagai sarana
menyampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar arwah
sanak/saudara yang telah meninggal dunia mendapatkan tempat yang
baik di alam baka.
Demikian uraian berbagai macam sesaji yang disediakan beserta makna
simbolis yang terdapat dalam upacara sadranan yang dilaksanakan di Padukuhan
Kalibulus. Warga masyarakat Padukuhan Kalibulus selalu mempersiapkan secara
lengkap berbagai macam sesaji yang diperlukan dalam pelaksanaan upacara
sadranan karena apabila ada sesaji yang ditinggalkan, menurut kepercayaan warga
masyarakat sekitar akan terasa tidak lengkap dan dikhawatirkan akan
menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.
2.3.4 Pihak-pihak yang Terlibat dalam Upacara Sadranan di Padukuhan
Kalibulus
Dalam penyelenggaraan upacara sadranan pihak-pihak yang terlibat adalah
juru kunci yaitu bapak Prapto Diharjo (55 tahun). Beliau adalah keturunan juru
kunci yang terdahulu dan bertugas menjaga dan mengurus makam. Juru kunci
merupakan pemegang kunci upacara karena beliau yang mengetahui seluk beluk
pemakaman Kalibulus. Untuk itu kehadiran juru kunci pada pelaksanaan upacara
sadranan sangat penting dan sampai saat ini setiap kali dalam pelaksanaan upacara
sadranan juru kunci tidak pernah berhalangan hadir. Selain itu, pihak yang terlibat
40
dalam upacara sadranan adalah kepala Padukuhan Kalibulus, modin yang bertugas
untuk membacakan doa yaitu bapak Heri Barnadi, dan dihadiri oleh rombongan
tamu undangan yang terdiri dari Kepala Bidang Peninggalan Budaya dan Nilai
Tradisi Kabupaten Sleman, Camat Ngemplak, Lurah Ngemplak, para pejabat dan
sesepuh desa dan tentunya didukung, dihadiri oleh seluruh warga masyarakat
Padukuhan Kalibulus.
Demikian deskripsi proses ritual upacara sadranan yang dilaksanakan di
Padukuhan Kalibulus, Bimomartani, Ngemplak, Sleman beserta penjelasan waktu
serta tempat pelaksanaan, yang dilaksanakan di pemakaman Padukuhan
Kalibulus, setiap tahun pada tanggal 23 Ruwah, dan sesaji yang selalu digunakan
dalam upacara sadranan sekaligus menerangkan pihak-pihak yang terlibat dalam
pelaksanaan upacara sadranan di Padukuhan Kalibulus.
41
BAB III
PANDANGAN MASYARAKAT PADUKUHAN KALIBULUS TENTANG
UPACARA SADRANAN
3.1 Pengantar
Dalam Bab III akan diuraikan pandangan masyarakat tentang upacara
sadranan yang dilaksanakan di Padukuhan Kalibulus, Bimomartani, Ngemplak,
Sleman. Uraian mengenai pandangan masyarakat tentang upacara sadranan
didasarkan pada makna dan fungsi. Seberapa pentingnya upacara sadranan untuk
kehidupan sehari-hari sehingga masih dilakukan sampai saat ini. Serta dikaitkan
dengan agama dan kepercayaan yang diyakini masyarakat Padukuhan Kalibulus.
3.2 Pengertian Pandangan Masyarakat Secara Umum
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988 : 643) pandangan berarti
pengetahuan atau pendapat, hasil perbuatan memandang (memperhatikan,
melihat). Masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan
terikat oleh suatu kebutuhan yang mereka anggap sama (KBBI,1988 : 564).
Masyarakat adalah kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia yang terikat
oleh suatu sistem adat-istiadat yang tertentu (Koentjaraningrat, 1969 : 98).
Pandangan masyarakat mengenai upacara sadranan yang masih di lakukan sampai
saat ini oleh masyarakat Padukuhan Kalibulus, akan dibahas peneliti secara
mendalam dan akan diungkapkan pada bab ini. Sehingga kita akan mampu
melihat bagaimanakah sesungguhnya pandangan masyarakat tentang upacara
42
sadranan yang masih dilakukan sampai saat ini dari segi makna fungsi, agama dan
kepercayaan untuk kehidupan sehari-hari.
3.3 Pandangan Masyarakat Padukuhan Kalibulus tentang Upacara
Sadranan Berdasarkan Makna, Fungsi, serta Agama dan Kepercayaan
3.3.1 Pandangan Masyarakat Padukuhan Kalibulus tentang Pelaksanan
Upacara Sadranan Berdasarkan Makna Fungsi
Di Padukuhan Kalibulus terdapat berbagai macam masyarakat. Jadi untuk
menguraikan pandangan masyarakat tentang upacara sadranan penulis mengambil
beberapa pendapat atau pandangan masyarakat Padukuhan Kalibulus berdasarkan
makna fungsi atau apa arti, pentingnya dan kegunaan upacara sadranan masih
dilaksanakan sampai saat ini di Padukuhan Kalibulus oleh warga masyarakatnya.
Dari beberapa pendapat yang diperoleh dan diutarakan juru kunci makam,
modin, ketua RT, tokoh masyarakat sampai wakil dari ibu- ibu serta dari remaja
dapat ditarik kesimpulan bahwa menurut mereka upacara sadranan yang
dilaksanakan rutin setiap satu tahun sekali, yang jatuh pada setiap tanggal 23
Ruwah di Padukuhan Kalibulus mempunyai makna dan fungsi sebagai berikut:
a. upacara sadranan sangat penting dilaksanakan karena merupakan waktu
yang tepat untuk berkunjung ke makam leluhur dan sanak saudara yang
telah meninggal dunia dengan menaburkan bunga di atas pusaranya dan
mendokan arwahnya,
43
b. melestarikan budaya leluhur, karena upacara sadranan dilakukan oleh
warga masyarakat Padukuhan Kalibulus sejak dari zaman dahulu, zaman
nenek moyang atau leluhur (mbah Demang) Padukuhan Kalibulus,
c. merupakan satu ritual dalam rangka memohon kepada Tuhan Yang
Maha Esa supaya arwah-arwah leluhur dan sanak saudara yang telah
meninggal dunia dapat diampuni dan diterima amal kebaikannya,
d. sebagai bentuk peringatan bahwa nantinya kita semua sebagai manusia
akan mengalami hal yang sama yaitu kematian,
e. upacara sadranan sebagai sarana untuk memohon maaf kepada Tuhan
Yang Maha Esa atas semua kesalahan yang telah kita perbuat serta
sebagai perwujudan untuk selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa,
f. merupakan suatu ungkapan balas budi kepada orang tua yang dari kecil
telah merawat kita dan saat ini telah meninggal dunia,
g. bentuk ucapan terima kasih kepada leluhur, orang tua dan sanak saudara
yang telah meninggal dunia dengan merawat pusaranya,
h. dengan mengikuti pelaksanaan upacara sadranan membuat hati dan
pikran tenang, tentram menjalani kehidupan sehari-hari.
3.3.2 Pandangan Masyarakat Padukuhan Kalibulus tentang Upacara
Sadranan Berdasarkan Agama dan Kepercayaan
Ditinjau dari agama dan kepercayaan yang dianut oleh warga masyarakat
Padukuhan Kalibulus tentang pelaksanaan upacara sadranan yang dilaksanakan
pada hari Kamis Legi 23 Ruwah yang lalu, dari beberapa pendapat yang telah
44
diutarakan kepada penulis oleh beberapa masyarakat seperti dari juru kunci
makam, modin, ketua RT, tokoh masyarakat sampai wakil dari ibu- ibu serta dari
remaja dapat ditarik kesimpulan bahwa, sebagai berikut.
a. Menurut pendapat mereka berdasarkan agama yang dianut, ada
kebebasan dalam melaksanakan upacara sadranan. Pelaksanaan upacara
sadranan tersebut menggunakan ritual dengan tata cara agama Islam
karena sebagian besar warga masyarakat Padukuhan Kalibulus menganut
agama Islam. Jadi tidak terdapat larangan untuk mengikuti upacara
sadranan dalam ajaran agama yang dianut oleh sebagian besar warga
masyarakat Padukuhan Kalibulus ini. Pada dasarnya kegiatan upacara
sadranan merupakan suatu tradisi yang sudah turun temurun dari leluhur
dan di balik pelaksanaan upacara sadranan terdapat nilai tentang
Ketuhanan, yaitu adanya kepercayaan bahwa Tuhan adalah yang
mempunyai kuasa dan sumber kehidupan, hidup mati seseorang Tuhan
yang menentukan. Oleh karena itu upacara sadranan merupakan salah satu
sarana sebagai ungkapan syukur dan memohon maaf kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Di dalam pelaksanaan upacara sadranan terdapat ritual-ritual
doa untuk mendoakan arwah leluhur dan sanak saudara yang telah
meninggal dunia. Hal ini menggambarkan dengan jelas bahwa upacara
sadranan tidak bertentangan dengan agama yang dianut oleh warga
masyarakat Padukuhan Kalibulus.
45
b. Menurut pendapat mereka terdapat kepercayaan bahwa dengan
melaksanakan upacara sadranan warga masyarakat Padukuhan Kalibulus
akan mendapatkan berkah (ngalap berkah). Ada kepercayaan dalam warga
masyarakat terutama kalangan orang tua (bapak ibu) bahwa setelah
mengikuti upacara sadranan mereka akan mendapatkan, sesuatu mungkin
dalam bentuk abstrak (bisa dirasakan tetapi tidak bisa dilihat), seperti
perasaan yang tenang dalam menjalani kehidupan sehari-hari maupun
konkrit (bisa dilihat dan dirasakan) seperti adanya kepercayaan bahwa
rejeki dan pekerjaan akan lancar, usaha yang dijalani akan mendapatkan
hasil yang memuaskan. Sehingga secara tidak langsung akan berdampak
ke segi finansial atau ekonomi. Namun sebaliknya, terdapat fenomena
yang tercipta di kalangan muda Padukuhan Kalibulus tentang pelaksanaan
upacara sadranan. Bagi mereka mengikuti upacara sadranan hanya sekedar
untuk turut meramaikan tanpa mengerti lebih dalam akan fungsi dan
makna serta manfaatnya. Bagi mereka pelaksanaan upacara sadranan yang
dilaksanakan di Padukuhan Kalibulus lebih kepada sebagai sebuah hiburan
tersendiri.
Demikian penjelasan pandangan masyarakat secara umum dan pandangan
masyarakat Padukuhan Kalibulus tentang upacara sadranan yang didasarkan pada
makna dan fungsi yaitu seberapa pentingnya upacara sadranan masih dilakukan
sampai saat ini, dan dikaitkan dengan agama yang yakini serta ada tidaknya
kepercayaan masyarakat Padukuhan Kalibulus tentang makna dan fungs i upacara
sadranan itu sendiri untuk kehidupan sehari-hari.
46
BAB IV
MAKNA DAN FUNGSI UPACARA SADRANAN
DI PADUKUHAN KALIBULUS, BIMOMARTANI, NGEMPLAK,
SLEMAN
4.1 Pengantar
Dalam bab IV ini akan dijelaskan kajian mengenai makna dan fungsi
upacara sadranan yang dilaksanakan di Padukuhan Kalibulus, Bimomartani,
Ngemplak, Sleman. Penjelasan mengenai makna dan fungsi upacara sadranan
didasarkan pada kebiasaan yang dilakukan oleh warga masyarakat Padukuhan
Kalibulus yang menyelenggarakan upacara sadranan setiap tahun sekali, yang
jatuh pada setiap tanggal 23 Ruwah menurut penaggalan Jawa.
4.2 Makna Upacara Sadranan
Dari gambaran mengenai kebiasaan yang dilakukan oleh warga
masyarakat Padukuhan Kalibulus dalam menyelenggarakan dan memperingati
upacara sadranan, serta dari beberapa pendapat yang diperoleh dan diutarakan
oleh narasumber, yaitu juru kunci makam Padukuhan Kalibulus, modin, Ketua RT
02, tokoh masyarakat, perwakilan ibu- ibu warga Padukuhan Kalibulus dsn
perwakilan dari remaja Padukuhan Kalibulus, maka dapat ditarik kesimpulan
mengenai makna atau arti dari penyelengaraan upacara sadranan adalah sebagai
berikut.
47
4.2.1 Menjaga hubungan antara jiwa orang yang telah meninggal dunia
dengan orang yang masih hidup
Pelaksanan upacara sadranan dipercaya dapat menjaga hubungan antara
jiwa orang yang sudah meninggal dunia, terutama jiwa para leluhur atau sanak
saudara dengan orang atau kerabatnya yang masih hidup.. Upacara sadranan
menjadi sarana penghubung antara orang yang meninggal dengan orang yang
ditinggalkan yaitu dengan selalu mengunjungi, membersihkan makam leluhur
atau kerabat yang telah meninggal dunia, menaburkan bunga di atas pusaranya,
serta mendoakan arwahnya. Hal ini dilakukan sebagai perwujudan bahwa kita
tidak pernah melupakan leluhur dan sanak saudara yang telah meninggal dunia
dengan merawat dan menjaga kebersihan makamnya.
4.2.2 Upacara sadranan sebagai sebuah kultural atau tradisi
Upacara sadranan menurut warga masyarakat Padukuhan Kalibulus
merupakan sebuah kebudayaan, seperti pelaksanaan ritual bersih desa dan malam
satu sura yang selalu rutin dilaksanakan di Padukuhan Kalibulus. Sadranan sudah
merupakan sebuah tradisi bagi warga masyarakat Padukuhan Kalibulus karena
sudah dilakukan turun temurun dari zaman nenek moyang dahulu sampai anak
cucu mereka saat ini. Upacara sadranan ini dilakukan satu tahun sekali yang jatuh
pada tanggal 23 Ruwah penanggalan Jawa. Ritual ziarah ke makam leluhur dan
sanak saudara untuk mendoakan arwah leluhur dan sanak saudaranya dengan
menaburkan bunga di atas pusaranya.
48
4.2.3 Upacara sadranan sebagai bentuk penghormatan
Upacara sadranan yang dilaksanakan di Padukuhan Kalibulus setiap
tanggal 23 Ruwah ini dilakukan oleh warga masyarakat sebagai bentuk
penghormatan kepada leluhur dan sanak saudara yang telah meninggal dunia.
Proses ritual sadranan dilakukan dengan berdoa dan menaburkan bunga di atas
pusara arwah para leluhur atau sanak saudara yang telah meninggal dunia agar
arwahnya dapat diterima oleh Tuhan Yang Maha Esa. Warga masyarakat percaya
ketika nyadran roh leluhur dan sanak saudara akan datang mengunjungi rumah.
4.2.4 Upacara sadranan sebagai bentuk pembersihan diri
Pelaksanaan upacara sadranan mengandung makna membersihkan diri
secara batiniah. Dengan mengikuti upacara sadranan merupakan upaya warga
masyarakat Padukuhan Kalibulus untuk membersihkan diri dengan meminta maaf
kepada leluhur dan sanak saudara yang telah meninggal dunia atas kesalahan-
kesalahan yang pernah diperbuat. Selain itu, memohon doa restu agar dalam
melaksanakan ibadah puasa mendapatkan ketenangan dan kelancaran.
4.3 Fungsi Upacara Sadranan
Dalam pelaksanaan upacara sadranan yang dilaksanakan pada hari Kamis
Legi 23 Ruwah yang lalu, dari beberapa pendapat yang telah diutarakan kepada
penulis oleh beberapa masyarakat seperti dari juru kunci makam, modin, ketua
RT, tokoh masyarakat sampai wakil dari ibu- ibu serta dari remaja Maka dapat
49
ditarik kesimpulan fungsi upacara sadranan yang dilakukan di Padukuhan
Kalibulus, Bimomartani, Ngemplak, Sleman, sebagai berikut.
4.3.1 Fungsi Religius
Fungsi religius yang terkandung dalam pelaksanaan upacara sadranan
adalah menekankan pada hubungan antara manusia dengan Tuhan, yaitu sebagai
ungkapan perwujudan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan berdoa
memohon agar arwah leluhur dan sanak saudara dapat diterima dan diberikan
tempat yang layak karena hanya dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa semua itu
dapat terwujud.
4.3.2 Fungsi Sosial
Upacara sadranan yang dilakukan oleh warga masyarakat Padukuhan
Kalibulus mencerminkan fungsi sosial di dalamnya yaitu untuk memelihara
hubungan yang harmoni antar sesama warga masyarakat Padukuhan Kalibulus.
Hal ini terlihat dalam pelaksanaan upacara sadranan dibutuhkan kerja sama dan
komunikasi antar seluruh warga masyarakat Padukuhan Kalibulus tanpa harus
memandang status sosial dan kepercayaan. Baik dalam mempersiapkan sesaji
yang dibutuhkan, peralatan yang diperlukan, semua membutuhkan kerja sama dari
bapak, ibu maupun para remajanya. Warga masyarakat yang mengikuti upacara
tersebut memiliki kedudukan yang sama. Upacara sadranan juga meningkatkan
kerukunan antar warga masyarakat Padukuhan Kalibulus. Ketika warga
masyarakat Padukuhan Kalibulus melaksanakan upacara sadranan dengan saling
50
mendoakan arwah para leluhur dan sanak saudara yang telah meninggal dunia
yang kemudian dilanjutkan dengan menaburkan bunga di atas pusaranya
mencerminkan sikap sosial yaitu peduli terhadap sesama serta mencerminkan
sikap kerukunan antar umat manusia.
Selain itu fungsi sosial dalam pelaksanaan upacara sadranan juga
tercermin dengan adanya silaturahmi yang terjalin antar saudara karena biasanya
pelaksanaan upacara sadranan juga dijadikan sebagai sarana temu kangen antar
saudara yang sudah lama tidak bertemu karena kesibukan masing-masing dan
jarak tempat tinggal yang jauh dari kampung halaman. Biasanya ketika sadranan
banyak orang meluangkan waktu untuk pulang ke kampung halamannya untuk
berziarah ke makam leluhur atau sanak saudara yang telah meninggal dunia
sekaligus bertemu saudara sekerabat yang masih hidup. Jadi upacara sadranan
juga menciptakan silaturahmi antar sesama anggota keluarga, sehingga
mencerminkan sikap bersosialisasi antar saudara sekerabat.
Demikian penjelasan tentang makna dan fungsi secara umum serta
penjelasan makna dan fungsi upacara sadranan yang dilaksanakan di Padukuhan
Kalibulus. Makna upacara sadranan di Padukuhan Kalibulus adalah menjaga
hubungan antara jiwa orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang masih
hidup, upacara sadranan sebagai sebuah kultural atau tradisi, upacara sadranan
sebagai bentuk penghormatan dan upacara sadranan sebagai bentuk pembersihan
diri serta upacara sadranan mempunyai fungsi religius dan fungsi sosial.
51
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, penulis
dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.
Dalam penelitian ini penulis meneliti tentang upacara sadranan di Padukuhan
Kalibulus Bimomartani Ngemplak Sleman yang dilaksanakan pada Kamis Legi
tanggal 23 Ruwah 1940 H di pemakaman Padukuhan Kalibulus. Penelitian mencakup
deskripsi proses ritual, pandangan masyarakat dan kajian makna, fungsi.
Upacara sadranan merupakan tradisi untuk ziarah ke makam leluhur dan
sanak saudara yang telah meninggal dunia. Yaitu dengan mengirimkan doa dan
menaburkan bunga di atas pusaranya. Upacara sadranan di Padukuhan Kalibulus
dikemas dalam tata upacara adat dan sudah dilaksanakan sejak zaman dahulu yang
merupakan warisan nenek moyang dan dilaksanakan setiap satu tahun sekali.
Proses ritual upacara sadranan dimulai dengan adanya kirab oleh masyarakat
Padukuhan Kalibulus, yang membawa sesaji, bunga (kembang setaman) untuk ziarah,
dan membawa pusaka serta rombongan pembawa peti dari kayu (jodang) dan ibu- ibu
yang membawa nampan bulat dari bahan bambu (tenong) yang berisi makanan
berupa nasi tumpeng, berbagai macam sayur, buah-buahan dan ikan. Kepala dusun
beserta rombongan kirab pembawa bunga dan sesaji diikuti para tokoh dan sesepuh
desa memasuki area pemakaman Kalibulus dan melaksanakan upacara ritual sadranan
52
yang berupa kegiatan ziarah ke makam leluhur, sesepuh atau tokoh masyarakat
Padukuhan Kalibulus dan sanak-saudara dengan berdoa, membakar kemenyan dan
menaburkan bunga di atas makam leluhur dan sanak-saudara yang telah meninggal
dunia. Sesaji yang berupa dupa dan kemenyan serta sesaji yang berupa makanan
seperti nasi tumpeng, buah-buahan, apem, dan seperangkat minuman diletakkan di
depan makam leluhur/ sesepuh masyarakat Padukuhan Kalibulus. Rombongan bapak
dan ibu yang membawa berbagai macam makanan langsung menuju tenda yang telah
disiapkan oleh panitia untuk meletakkan berbagai macam makanan tersebut yang
nantinya akan dimakan bersama-sama oleh semua warga desa setelah didoakan oleh
modin dan setelah upacara ritual sadranan selesai dilaksanakan.
Sesaji dalam upacara sadranan terdiri dari dan memiliki makna simbolik yaitu
sebagai berikut (a) Sego Gurih adalah berupa nasi yang dimasak dengan
menggunakan santan dan digunakan sebagai wujud persembahan kepada Tuhan Yang
Maha Esa agar seluruh keluarga, sanak saudara selalu diberi keselamatan oleh Tuhan
Yang Maha Esa, (b) Nasi Tumpeng adalah nasi yang berbentuk kerucut seperti bentuk
gunung. Nasi tumpeng ini mempunyai makna agar seluruh keluarga dan sanak
saudara yang masih hidup tetap disenangi oleh masyarakat sekitar, (c) Golong adalah
nasi yang dimasak dengan menggunakan santan dan setelah matang dibentuk bulat-
bulat, berukuran kira-kira satu kepalan tangan orang dewasa. Nasi golong rasanya
gurih. Nasi golong mempunyai makna semua yang menjadi keinginan kita
diharapkan akan tercapai apabila mempunyai tekad yang kuat dan semoga seluruh
sanak saudara yang ditinggalkan selalu hidup rukun, (d) Ketan Kolak, Ketan
53
mempunyai makna mengirim tanda penghormatan kepada para leluhur yang telah
meninggal dunia agar selalu dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa supaya diampuni
segala kesalahannya, (e) kolak pisang dan ketela mempunyai makna untuk menolak
segala perbuatan buruk dan agar selalu dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa, (f)
Apem adalah kue yang dibuat dari tepung beras lalu dicampur dengan gula setelah itu
diletakkan di atas cetakan lalu dikukus. Apem dalam sesaji mempunyai makna
sebagai sebuah payung supaya jika hujan tidak kehujanan dan jika panas tidak
kepanasan dan supaya para nabi menuntun langkah arwah orang yang sudah
meninggal dunia serta mengampuni dosa yang pernah dibuat selama hidup di dunia,
(g) Buah-buahan yang digunakan dalam sesaji melambangkan sebagai sarana
penyegar untuk para leluhur atau sanak saudara yang telah meninggal dunia, (h)
Tukon Pasar adalah serangkaian jajanan yang dibeli di pasar. Kue-kue di dalam sesaji
ini antara lain roti bolu, lemper dan lain- lain. Tukon pasar mempunyai makna
kekayaan selama hidup dan semoga orang yang ditinggalkan diberikan rejeki dan
berkah, (i) Pisang Raja Setangkep sebagai sarana untuk memohon pengampunan dosa
kepada para malaikat dan mempunyai makna agar orang yang telah meninggal dunia
menjadi mulia di mata Tuhan Yang Maha Esa serta memperoleh kemudahan dalam
perjalanannya ke alam baka, (j) Ingkung adalah satu ekor ayam utuh yang dimasak
dengan menggunakan berbagai macam bumbu sepeti bawang merah, bawang putih,
ketumbar, merica, daun salam, laos, sere, daun jeruk, garam, lengkuas, jahe, kunyit,
bumbu masak, gula merah dan santan kental. Ingkung merupakan salah satu syarat
yang harus ada dalam sesaji untuk upacara sadranan dan dimaksudkan sebagai sarana
54
pelengkap nasi tumpeng, (k) Air Putih melambangkan kesucian yaitu agar arwah
orang yang telah meninggal dunia disucikan dan arwahnya dapat diterima oleh Tuhan
Yang Maha Esa atau kemurnian hati, yaitu melambangkan kemurnian hati warga
masyarakat Padukuhan Kalibulus yang mengikuti upacara sadranan, (l) Kembang
Setaman biasanya terdiri dari tiga macam bunga yaitu cempaka, kenanga dan mawar.
Bunga-bunga ini mempunyai makna sebagai sarana menyampaikan kepada Tuhan
Yang Maha Esa agar arwah sanak saudara yang telah meninggal dunia mendapatkan
tempat yang baik di alam baka.
Dalam penyelenggaraan upacara sadranan pihak-pihak yang terlibat adalah
juru kunci yaitu penjaga dan pengurus makam Padukuhan Kalibulus, kepala
Padukuhan Kalibulus, modin yang bertugas untuk membacakan doa, dan dihadiri oleh
rombongan tamu undangan yang terdiri dari Kepala Bidang Peninggalan Budaya dan
Nilai Tradisi Kabupaten Sleman, Camat Ngemplak, Lurah Ngemplak, para pejabat
atau sesepuh desa dan tentunya didukung serta dihadiri oleh seluruh warga
masyarakat Padukuhan Kalibulus.
Dalam penelitian ini penulis hanya mengambil beberapa pandangan
Masyarakat Padukuhan Kalibulus tentang upacara sadranan karena pendapat mereka
sudah cukup mewakili pandangan masyarakat Padukuhan Kalibulus. Dalam mengkaji
tentang pandangan masyarakat digunakan sumber data hasil wawancara dengan
Narasumber (a) juru kunci makam Padukuhan Kalibulus bapak Prapto Diharjo, (b)
bapak Heri Barnadi yaitu modin Padukuhan Kalibulus, (c) Ketua RT 02 Padukuhan
Kalibulus bapak Supriharsana, dan (d) tokoh masyarakat Padukuhan Kalibulus yaitu
55
bapak Aris Sunarto dan bapak Mawardi. Responden dari (a) remaja Padukuhan
Kalibulus yaitu mas Wawan serta ibu- ibu warga masyarakat Padukuhan Kalibulus
yaitu (b) ibu Sri dan (c) ibu Mulyani. Pandangan masyarakat Padukuhan Kalibulus
Tentang Pelaksanaan Upacara sadranan berdasarkan makna fungsi yaitu sebagai
berikut:
a.Upacara sadranan sangat penting dilaksanakan karena merupakan waktu
yang tepat untuk berkunjung ke makam leluhur dan sanak saudara yang telah
meninggal dunia dengan menaburkan bunga di atas pusaranya dan mendoakan
arwahnya,
b.Melestarikan budaya leluhur,
c.Merupakan satu ritual supaya arwah-arwah leluhur dan sanak saudara dapat
diampuni dan diterima amal kebaikannya,
d.Sebagai bentuk peringatan bahwa nantinya kita semua sebagai manusia akan
mengalami hal yang sama yaitu kematian,
e.Upacara sadranan sebagai sarana untuk memohon maaf kepada Tuhan Yang
Maha Esa,
f.Merupakan suatu ungkapan balas budi kepada orang tua,
g.Bentuk ucapan terima kasih kepada leluhur,
h.Dengan mengikuti pelaksanaan upacara sadranan membuat hati dan pikiran
tenang, tentram menjalani kehidupan. Sedangkan Pandangan masyarakat
Padukuhan Kalibulus Tentang Upacara Sadranan Berdasarkan Agama dan
Kepercayaan yaitu, menurut pendapat mereka ada kebebasan dalam
56
melaksanakan upacara sadranan. Dalam pelaksanaan upacara sadranan
tersebut menggunakan ritual dengan tata cara agama Islam karena sebagian
besar warga masyarakat Padukuhan Kalibulus menganut agama Islam jadi
tidak terdapat larangan untuk mengikuti upacara sadranan. Pada dasarnya
kegiatan upacara sadranan merupakan suatu tradisi yang sudah turun temurun
dari leluhur dan di balik pelaksanaan upacara sadranan terdapat nilai tentang
Ketuhanan, yaitu adanya kepercayaan bahwa Tuhan adalah yang mempunyai
kuasa dan sumber kehidupan. Upacara sadranan merupakan salah satu sarana
sebagai ungkapan syukur dan memohon maaf kepada Tuhan Yang Maha Esa
karena di dalam pelaksanaan upacara sadranan terdapat ritual- ritual doa untuk
mendoakan arwah leluhur dan sanak saudara yang telah meninggal dunia.
Selain itu menurut pendapat mereka terdapat kepercayaan bahwa dengan
melaksanakan upacara sadranan akan mendapatkan berkah (ngalap berkah),
tetapi sebaliknya terdapat fenomena yang tercipta di kalangan muda. Bagi
mereka mengikuti upacara sadranan hanya sekedar untuk turut meramaikan
tanpa mengerti lebih dalam akan fungsi dan makna serta manfaatnya, upacara
sadranan merupakan sebuah hiburan saja.
Upacara sadranan memiliki makna dan fungsi tertentu. Makna upacara
sadranan yaitu (a) menjaga hubungan antara jiwa orang yang telah meninggal dunia
dengan orang yang masih hidup, (b) upacara sadranan sebagai sebuah kultural atau
tradisi, (c) upacara sadranan sebagai bentuk penghormatan, (d) upacara sadranan
sebagai bentuk pembersihan diri. Sedangkan fungsi yang terkandung dalam upacara
57
sadranan yaitu (a) fungsi religius yang terkandung dalam pelaksanaan upacara
sadranan adalah menekankan pada hubungan antara manusia dengan Tuhan, yaitu
sebagai ungkapan perwujudan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan
berdoa memohon agar arwah leluhur dan sanak saudara dapat diterima dan diberikan
tempat yang layak. (b) fungsi sosial di dalamnya yaitu untuk memelihara hubungan
yang harmoni antar sesama warga masyarakat Padukuhan Kalibulus dan juga
menciptakan silaturahmi antar sesama anggota keluarga, sehingga mencerminkan
sikap bersosialisasi antar saudara sekerabat.
5.2 Saran
Banyak para peneliti yang tertarik meneliti tentang upacara sadranan yang
dilaksanakan di berbagai daerah. Penelitian tentang upacara sadranan yang
dilaksanakan di Padukuhan Kalibulus Bimomartani Ngemplak Sleman pada Kamis
Legi 23 Ruwah 1940 H yang mencakup proses ritual, makna dan fungsi serta
pandangan masyarakat ini merupakan pertama kali tempat atau objek ini diteliti.
Penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan lebih luas lagi oleh peneliti
selanjutnya. Dan diharapkan peneliti berikutnya dapat menggunakan sudut pandang
yang berbeda untuk menghasilkan penelitian yang bervariasi dan mengembangkan
objek yang ada.
Padukuhan Kalibulus merupakan sebuah desa yang mempunyai tradisi leluhur
yang beragam dan sampai saat ini masih dijaga kelestariannya dengan selalu
melaksanakan ritual-ritual tersebut seperti kegiatan bersih desa dan peringatan malam
58
satu Sura yang menarik untuk dikaji. Oleh karena itu, untuk mahasiswa jurusan
Sastra Indonesia yang menganalisis kajian folklor dapat menghasilkan banyak
manfaat dengan dilakukannya studi lapangan di Padukuhan Kalibulus yang banyak
menyimpan tradisi kebudayaan Jawa warisan leluhur yang saat ini masih terus
terpelihara.
59
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi.1993. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi III. JAKARA: PT Rinka Cipta. Badudu, J. S dan Sutan Mohammad Zain. 1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Bratawidjaja,Thomas Wiyasa. 1988. Upacara Tradisional masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar harapan.
Budiaman. 1979. Folklor Betawi. Jakarta: Pustaka Jaya. Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia : Ilmu gossip, dongeng, dan lain – lain.
Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti. …………………. 2003. Folklor Amerika: Cermin Multikultural yang Manunggal. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti. Eviyanti. 2006. “ Nyadran Ritual Sambut Ramadhan “. Pikiran Rakyat, Senin 18
September 2006. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/092006/18/0405.htm. down load April 2007.
Hardjowirogo, Marbangun. 1980. Adat Istiadat Jawa. Bandung: Angkasa. Kentjaraningrat. 1969. Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara. …..................... 1986. Pengantar Ilmu antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Kuntjara, Esther. 2006. Penelitian Kebudayaan : Sebuah Panduan Praktis.
Yogyakarta: Graha Ilmu. Lokesywara, Zulkarnaen Syri. “ Memahami Essential Messages Upacara Tradisional
Melalui Pembelajaran Antropologi Integratif “. http://www.depdiknas.go.id/jurnal/56/memahami.htm. download April 2007. Maharkesti, dkk. 1988/1989. Upacara Tradisional Siraman Pusaka Kraton
Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Martin, dkk. 2002. Kamus Bahasa Indonesia Milenium. Surabaya:
Apollo. Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Bumi Aksara. Panitia Kongres Bahasa Jawa. 1991. Kamus Indonesia Jawa. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.
60
Pemberton, John. 2003. “ Jawa “ On The Subject Of “ Java “. Yogyakarta: Mata
Bangsa. Purwadi. 2006. Petungan Jawa. Yogyakarta: Pinus Book Publisher. Sobirin, Mokh. 2006. “ Nyadran di Sudut Banyumas “.
http://lafadl.wordpress.co./2006/10/01/nyadran-di-sudut-banyumas/. download April 2007.
Spradley, James. P. 2006. Metode Etnografi. Yogyakarta Tiara Wacana. Sugiyono.1999. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: CV. Alfabeta. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1988. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka.
LAMPIRAN
1. Dokumentasi Gambar Upacara Sadranan di Padukuhan Kalibulus
Gambar 1. Dua orang rombongan kirab di depan yang membawa dupa dan kemenyan
Gambar 2. Rombongan ibu-ibu pembawa bunga ( kembang setaman)
Gambar 3. Rombongan bapak-bapak pembawa Pusaka
Gambar 4. Rombongan bapak-bapak yang memanggul nampan yansg berbentuk rumah- rumahan berisi sesaji berupa seperangkat minuman, buah, apem, kolak dan nasi tumpeng
Gambar 5. Rombongan tamu undangan (Camat Ngemplak, Lurah Ngemplak, Perwakilan Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman)
Gambar 6. Rombongan bapak-bapak yang memanggul peti ( jodang) yang berisi makanan
Gambar 7. Rombongan ibu-ibu pembawa tenong yang berisi makanan
Gambar 8. Seluruh rombongan pelaku upacara sadranan memasuki area pemakaman Padukuhan Kalibulus
Gambar 9. Kepala Padukuhan Kalibulus, bapak Yusuf (baju biru) memohon izin kepada juru kunci makam Padukuhan Kalibulus, bapak Prapto Diharjo (baju hijau) untuk berziarah ke makam Padukuhan Kalibulus
Gambar 10. Para sesepuh desa, modin sedang melakukan ritual berdoa di depan makam leluhur Padukuhan Kalibulus
Gambar 11. Ibu-ibu menaburkan bunga (nyekar) di atas makam leluhur dan sanak saudara di makam Padukuhan Kalibulus
Gambar 12. Warga masyarakat Padukuhan Kalibulus berziarah, berdoa, menaburkan bunga (nyekar) di atas makam leluhur dan sanak saudara di makam Padukuhan kalibulus
Gambar 13. Sesaji yang berisi minuman, buah, kolak, apem dan nasi tumpeng ditempatkan di atas nampan yang berbentuk rumah-rumahan dan berhiaskan janur
Gambar 14. Jodang yang berisi makanan, buah, lemper, roti, tempe dan tahu bacem, tape, bakmi goreng dan sayuran
Gambar 15. Jodang yang berisi nasi tumpeng, ayam, ikan, bakmi dan sayur
Gambar 16. Sesaji berupa nampan yang berbentuk rumah-rumahan dan berhiaskan janur, diletakkan di depan makam leluhur serta dupa dan kemenyan juga di letakkan di dekat makam leluhur
Gambar 17. Bapak Yus uf, Kepala Padukuhan Kalibulus (baju biru)
Gambar 18. Bapak Heri Barnadi, modin Padukuhan Kalibulus ketika memimpin doa (yang memegang microphone)
Gambar 19. Rombongan tamu undangan (ibu camat yang berkerudung merah, bapak lurah yang memakai baju kuning, bapak kepala bidang peninggalan Budaya dan nilai tradisi yang memakai baju putih)
Gambar 20. Rombongan sesepuh dan pejabat desa (bapak Yusuf yang memakai baju biru, di sebelah samping kanannya modin Padukuhan Kalibulus, bapak Heri Barnadi, yang memakai kacamata, Di samping sebelah kanan modin, bapak Aris Sunarto)
Gambar 21. Ibu Camat Ngemplak (berkerudung merah) ketika memberikan sambutan pada pelaksanaan upacara sadranan di Padukuhan Kalibulus
Gambar 22. Seluruh warga Padukuhan Kalibulus duduk berkumpul di bawah tenda, di depan makam Padukuhan Kalibulus
Gambar 23. Seluruh warga Padukuhan Kalibulus bersama- sama menyantap makanan di bawah tenda, di depan makam Padukuhan Kalibulus
Gambar 24. Seluruh rombongan tamu undangan, para pejabat dan sesepuh desa bersama-sama menyantap makanan di bawah tenda, di depan makam Padukuhan Kalibulus
Gambar 25. Tampak depan, jalan masuk Pemakaman Padukuhan Kalibulus
Gambar 26. Jalan masuk kompleks Pemakaman Padukuhan Kalibulus
2. Daftar Narasumber dan Responden
1. Nama : Prapto Diharjo Umur : 55 tahun Jabatan : Juru kunci makam Padukuhan Kalibulus Pekerjaan : Petani
2. Nama : Sasradiharjo Umur : 80 tahun Jabatan : Kaum Padukuhan kalibulus
Pekerjaan : Petani
3. Nama : Aris Sunarto Umur : 70 tahun Jabatan : Tokoh masyarakat Padukuhan Kalibulus
Pekerjaan : Petani
4. Nama : Mawardi Umur : 52 tahun Jabatan : Tokoh masyarakat Padukuan Kalibulus Pekerjaan : PNS
5. Nama : Mulyani Umur : 47 tahun Jabatan : Warga Padukuhan Kalibulus Pekerjaan : Ibu rumah tangga
6. Nama : Sri Umur : 32 tahun Jabatan : Warga masyarakat Padukuhan Kalibulus Pekerjaan : Buruh pabrik
7. Nama : Supriharsana Umur : 36 tahun Jabatan : Ketua RT 02 Padukuhan Kalibulus Pekerjaan : Staf pegawai Rumah sakit Panti Rapih Yogyakarta
8. Nama : Heri Barnadi Umur : 55 tahun Jabatan : Modin Padukuhan Kalibulus Pekerjaan : Kepala Sekolah SD
9. Nama : Wawan
Umur : 25 tahun Jabatan : Pemuda Padukuhan Kalibulus Pekerjaan : Wiraswasta
BIODATA DIRI
Nama : Melya Puspita Sari
Tempat/ Tanggal Lahir : Magelang, 01 Mei 1985
Hobby : olah raga, jalan-jalan
Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan :
1991 - 1997 SD NEGERI 5 KALINEGORO MAGELANG
1997 - 2000 SLTP NEGERI 4 MAGELANG
2000 - 2003 SMU NEGERI 4 MAGELANG (PROGRAM IPS)
2003-2008 PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA