Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN EMOSIONAL KELUARGA
DENGAN PENERIMAAN DIRI PADA PENYANDANG CACAT
TETAP AKIBAT GEMPA BUMI DI KABUPATEN BANTUL
SKRIPSI
Dalam rangka penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat
guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi
Oleh:
Imaduddien Sobri
G0106008
Pembimbing:
1. Dra. Salmah Lilik, M. Si
2. Tri Rejeki Andayani, S. Psi, M. Si
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan judul : Hubungan Antara Dukungan Emosional Keluarga dengan
Penerimaan Diri Pada Penyandang Cacat Tetap Akibat
Gempa Bumi Di Kabupaten Bantul
Nama Peneliti : Imaduddien Sobri
NIM : G0106008
Tahun : 2006
Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Pembimbing dan Penguji Skripsi
Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada
Hari: Kamis, tanggal 08 Desember 2010
Pembimbing Utama
Dra. Salmah Lili, M. Si.
NIP. 194904151981032001
Pembimbing Pendamping,
Tri Rejeki Andayani, S. Psi., M. Si.
NIP. 197401091998022001
Koordinator Skripsi,
Rin Widya Agustin, M. Psi.
NIP. 197608172005012002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi dengan judul:Hubungan antara Dukungan Emosional Keluarga dengan Penerimaan Diri pada
Penyandang Cacat Tetap Akibat Gempa Bumi di Kabupaten Bantul
Imaduddien Sobri, G0106008, Tahun 2006
Telah diuji dan disahkan oleh Pembimbing dan Penguji SkripsiProdi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada Hari :Tanggal :
1. Pembimbing I (________________)Dra. Salmah Lilik, M. Si.NIP. 194904151981032001
2. Pembimbing II (________________)Tri Rejeki Andayani, S. Psi., M. Si.NIP. 197401091998022001
3. Penguji I (________________)Dra. Machmuroch, M. S.NIP. 195306181980032002
4. Penguji II (________________)Nugraha Arif Karyanta, S. Psi.NIP. 197603232005011002
Surakarta, ________________
Koordinator Skripsi,
Rin Widya Agustin, M. Psi.NIP. 197608172005012002
Ketua Pengelola,
Drs. Hardjono, M. Si.NIP. 195901191989031002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
MOTTO
Tidak ada seorangpun yang mampu merubah dunia dengan kekuatannya,
yang dapat dilakukan adalah berdamai dengan kenyataan yang kita dapati.
(Penulis)
“Tuhan, karuniakanlah diriku ketentraman batin
untuk dapat menerima hal-hal yang takkan mungkin kuubah,
keberanian untuk mengubah hal-hal yang dapat kuubah,
dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaannya”
(Barry Spilchuk)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERSEMBAHAN
Dengan segala kerendahan hati, penulis
persembahkan karya sederhana ini kepada :
Ibu dan Bapak tercinta atas keikhlasan dan
kesabarannya.
Adik-adik penulis, atas motivasinya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dengan
segala rahmat, hidayah dan kemurahan-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan
menyelesaikan karya sederhana ini. Satu hal yang penulis sadari, bahwa
terselesaikannya penulisan skripsi ini, tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai
pihak, untuk itu dengan segala kerendahan hati dan penghargaan yang tulus,
penulis mengucapkan terimakasih yang tiada terhingga kepada :
1. Drs. Hardjono, M. Si. selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Dra. Suci Murti Karini, M. Si. selaku dosen pembimbing akademik atas
bimbingan selama penulis belajar
3. Dra. Salmah Lilik, M. Si. selaku pembimbing utama yang telah berkenan
memberikan pengarahan, saran serta petunjuk dalam penyusunan skripsi ini.
4. Tri Rejeki Andayani, S. Psi., M. Si. selaku pembimbing pendamping yang
telah berkenan memberikan pengarahan, petunjuk dan masukan dalam
penyusunan skripsi ini.
5. Dra. Machmuroch, M. S. yang telah bersedia meluangkan waktu memberikan
pengarahan, petunjuk dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.
6. Nugraha Arif Karyanta, S. Psi. yang telah bersedia meluangkan waktu
memberikan pengarahan, petunjuk dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.
7. Seluruh staf pengajar dan tata usaha Program Studi Psikologi yang telah
memberikan ilmu dan kemudahan dalam proses penyusunan skripsi ini.
8. Drs. Sulistiyo, S.H., CN., M. Si. selaku Kepala Dinas Sosial Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta yang telah memberikan ijin kepada peneliti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9. Deabby S. Psi. selaku Kepala Pendampingan Pusat Rehabilitasi Terpadu
Penyandang Cacat Pundong, Bantul, Yogyakarta, atas segala pelayanan dan
bimbingannya.
10. Seluruh klien PRTPC yang telah bersedia menjadi responden penelitian dan
atas keceriaan yang telah kita ukir bersama.
11. Seluruh pihak Pusat Rehabilitasi Terpadu Penyandang Cacat yang telah
membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.
12. Ibunda Dra. Wahyuningsih dan Ayahanda Drs. Umar Sobri yang kusayang
dan hormati atas segala cinta kasih, dukungan, pengorbanan dan doa untuk
penulis sehingga dapat menyelesaikan kuliah hingga selesai.
13. Adik-adikku Izuddien dan Inase yang senantiasa memberi motivasi dalam
penyelesaian skripsi ini.
14. Sahabat-sahabatku Dika, Eli, Candra, Redy, Akbar, Wildan, Burhan, Prehaten,
Gendig dan kawan-kawan Psikologi 2006 yang selalu memberikan keceriaan
di tiap langkah.
15. Kawan-kawan BEM FK UNS 2007, BEM FK UNS 2008 dan Dewan
Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS 2009 yang telah berjuang bersama
dalam segala langkah.
16. Kawan-kawan Yayasan Psikologi Bina Asih Yogyakarta yang telah
memberikan dorongan, semangat, dan kelonggaran sehingga peneliti dapat
menyelesaikan penelitian ini.
Harapan penulis, semoga karya sederhana ini dapat memberikan
sumbangan dan manfaat khususnya bagi perkembangan dunia psikologi serta
tidak terhenti pada penelitian ini saja. Amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surakarta, Januari 2011
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRAKSI
HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN EMOSIONAL KELUARGADENGAN PENERIMAAN DIRI PADA PENYANDANG CACAT
TETAP AKIBAT GEMPA BUMI DI KABUPATEN BANTUL
Imaduddien Sobri
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
Gempa Bumi tanggal 27 Mei 2006 mengguncang Daerah IstimewaYogyakarta dan sebagian Jawa Tengah dengan pusat di Kabupaten Bantul, DaerahIstimewa Yogyakarta menyisakan duka yang mendalam bagi para korban,sebagian di antaranya mengalami kecacatan tetap. Banyak di antara korban yangkini menyandang kecacatan tetap belum dapat menerima diri. Salah satu faktoryang membantu penyandang cacat tetap menerima diri adalah dukungan sosial,terutama dari keluarga. Aspek yang paling mendasar dari dukungan sosial adalahdukungan emosional. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Apakah adahubungan antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri padakorban gempa bumi di Kabupaten Bantul yang mengalami kecacatan permanen”.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan emosionalkeluarga dengan penerimaan diri penyandang cacat tetap akibat gempa bumi diKabupaten Bantul. Hipotesis yang diajukan ada hubungan positif antara dukunganemosional keluarga dengan penerimaan diri penyandang cacat tetap akibat gempa.
Populasi penelitian ini adalah seluruh penyandang cacat tetap akibatgempa di Kabupaten Bantul yang jumlahnya tidak dicatat secara pasti, namunmenurut data Departemen Sosial Kabupaten Bantul, diperkirakan berjumlah 300orang. Sampel yang digunakan adalah penyandang cacat tetap yang menjalanirehabilitasi di Pusat Rehabilitasi Terpadu Penyandang Cacat, Pundong, Bantul,Daerah Istimewa Yogyakarta berjumlah 30 orang. Sampling yang digunakanpurposive insidental sampling. Metode pengumpulan data dilakukan denganmenggunakan Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat dan Skala DukunganEmosional Keluarga. Analisa data menggunakan analisis regresi sederhana.
Berdasarkan hasil analisis regresi sederhana diperoleh nilai koefisienkorelasi (r) sebesar 0,527; p = 0,003 (p < 0,05) artinya ada hubungan positif yangsignifikan antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diripenyandang cacat tetap. Sumbangan efektif dukungan emosional keluargaterhadap penerimaan diri penyandang cacat tetap sebesar 27,8%. Kesimpulanyang diperoleh dari penelitian ini adalah ada hubungan positif yang signifikanantara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri penyandang cacattetap. Artinya, semakin tinggi atau banyak dukungan emosional keluarga yangdiperoleh, maka akan semakin tinggi penerimaan diri penyandang cacat tetapakibat gempa bumi di Kabupaten Bantul.
Kata kuci: dukungan emosional keluarga, penerimaan diri penyandang cacat tetap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRACT
CORRELATION BETWEEN FAMILY EMOTIONAL SUPPORT ANDSELF ACCEPTANCE OF PERMANENT DISABLED DUE TO
EARTHQUAKE IN BANTUL
Imaduddien Sobri
PSYCHOLOGY DEPARTEMENT, MEDICAL FACULTYSEBELAS MARET UNIVERSITY, SURAKARTA, INDONESIA
May 27, 2006 an earthquake with epicentrum at Bantul, Yogyakarta hasdevastated Yogyakarta Central Java region. The earthquake leaves great sorrowsfor the victims, much of them become permanent disabled, and until now, any ofthem can’t accept their disabilities. A factor which increase self acceptance wassocial support, especially from their family as their significant other, and the basicaspect of social support is emotional support. Fomulation of the problem in thisresearch is: “Is there any correlation between family emotional support and selfacceptance of permanent disabled?” Our objectives was to examine correlationbetween family emotional support and permanent disabled’s self acceptance of theearthquake victims. Our hypothesis was there are a positive correlation betweenfamily emotional support and permanent disabled’s self acceptance.
This research use every victims of May 27 2006 who was permanentlydisabled and live in Bantul, Yogyakarta (approximately 300 people). Thisresearch use purposive incidental sampling, with 30 attendant of “PusatRehabilitasi Terpadu Penyandang Cacat” (Integrated Rehabilitation Centrum forDisabled), Pundong, Bantul, Yogyakarta, as sample. Data taken by Disabled’sSelf Acceptance Scale and Family Emotional Support Scale. Data analyzed withsimple regression analysis.
This research result correlation coefficient (r) = 0,527; p = 0,003 (p<0,05),means there are a significant positive correlation between family emotionalsupport and permanent disabled’s self acceptance. Family emotional supportcontribute 27,8% factor of permanent disabled’s self acceptance. The conclusionsis there are a positive correlation between family emotional support and selfacceptance of permanent disabled. That means more family emotional supportaccepted, increase the self acceptance of permanent disabled.
Keyword: family emotional support, self acceptance of permanent disabled
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL DEPAN i
HALAMAN JUDUL ii
HALAMAN PERSETUJUAN iii
HALAMAN PENGESAHAN iv
HALAMAN MOTTO v
HALAMAN PERSEMBAHAN vi
KATA PENGANTAR vii
ABSTRAK ix
DAFTAR ISI xi
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xv
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 10
C. Tujuan Penelitian 10
D. Manfaat Penelitian 11
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Penerimaan Diri Penyandang Cacat 12
1. Pengertian Penerimaan Diri Penyandang Cacat 12
2. Pentingnya Penerimaan Diri pada Penyandang Cacat 18
3. Tahap-Tahap Penerimaan Diri pada Penyandang Cacat 20
4. Ciri-Ciri Individu yang Menerima Diri 27
5. Aspek-Aspek Penerimaan Diri 30
6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri 36
B. Dukungan Emosional Keluarga 43
1. Pengertian Dukungan Emosional Keluarga 43
2. Aspek-Aspek dalam Dukungan Emosional 44
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
C. Hubungan Antara Dukungan Emosional Keluarga dengan Penerimaan Diri
Penyandang Cacat 47
D. Kerangka Pemikiran 50
E. Hipotesis 52
BAB III METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel Penelitian 53
B. Definisi Operasional Variabel 53
C. Populasi, Sampel dan Sampling 55
D. Teknik Pengumpulan Data 57
E. Metode Analisis Data 60
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Penelitian 63
1. Orientasi Kancah Penelitian 63
2. Persiapan Penelitian 65
3. Uji Validitas dan Reliabilitas 69
B. Pelaksanaan Penelitian 76
C. Hasil Analisis Data Penelitian 77
1. Deskripsi Responden Penelitian 77
2. Deskripsi Statistik 77
3. Uji Asumsi 80
4. Uji Hipotesis 81
D. Pembahasan 83
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 88
B. Saran 88
DAFTAR PUSTAKA 90
LAMPIRAN 94
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1: Blue Print Skala Penerimaan Diri 58
Tabel 2: Blue Print Skala Dukungan Emosional 60
Tabel 3: Distribusi Aitem Valid dan Gugur Skala Penerimaan Diri
Penyandang Cacat 70
Tabel 4: Distribusi Aitem Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat
Setelah Uji Coba 72
Tabel 5: Distribusi Aitem Valid dan Gugur Skala Dukungan Emosional
Keluarga 74
Tabel 6: Distribusi Aitem Skala Dukungan Emosional Keluarga Setelah
Uji Coba 75
Tabel 7: Deskripsi Responden Penelitian Berdasarkan Usia 77
Tabel 8: Deskripsi Statistik Data Penelitian 78
Tabel 9: Kriteria Kategorisasi Penerimaan Diri Penyandang Cacat Tetap 79
Tabel 10: Kriteria Kategorisasi Dukungan Emosional Keluarga 79
Tabel 11: Hasil Uji Normalitas 80
Tabel 12: Rangkuman Hasil Uji Linearitas 81
Tabel 13: Hasil Regresi Linear Sederhana Dukungan Emosional Keluarga
dan Penerimaan Diri Penyandang Cacat Tetap 82
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar I: Skema Penerimaan Diri Menurut Glaser (1966) 20
Gambar II: Kerangka Konseptual Pemikiran 52
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
A. Alat Ukur Penelitian
Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat dan Skala Dukungan
Emosional Keluarga 96
B. Data Uji Coba dan Penelitian Alat Ukur Penelitian
1. Data Hasil Uji Coba Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat 104
2. Data Penelitian Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat 105
3. Data Hasil Uji Coba Skala Dukungan Emosional Keluarga 106
4. Data Penelitian Skala Dukungan Emosional Keluarga 107
C. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Penelitian
1. Hasil Uji Validitas Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat 109
2. Hasil Uji Validitas Skala Dukungan Emosional Keluarga 115
3. Hasil Uji Reliabilitas Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat 120
4. Hasil Uji Reliabilitas Skala Dukungan Emosional Keluarga 122
D. Analisis Data Penelitian
1. Hasil Uji Normalitas 125
2. Hasil Uji Linearitas 126
3. Hasil Deskriptif dan Distribusi Frekuensi 128
4. Hasil Analisis Uji Regresi Linear Sederhana 129
E. Surat Ijin dan Surat Keterangan Penelitian
1. Surat Permohonan Ijin Penelitian ProdiPsikologi FK UNS 132
2. Surat Pemberitahuan Penelitian Bakesbangpol Linmas Jateng 133
3. Surat Rekomendasi Ijin Penelitian dari Bakesbang Linmas DIY 135
4. Surat Keterangan Ijin Penelitian dari Sekretariat Daerah DIY 136
5. Nota Dinas dari Dinas Sosial Propinsi DIY 137
6. Surat Tanda Bukti Penelitian dari Dinas Sosial DIY 138
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gempa bumi yang mengguncang Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
dan Jawa Tengah pada hari Kamis 27 Mei 2006 telah lama berlalu menyisakan
kenangan pahit bagi para korbannya. Gempa bumi berkekuatan 5.9 skala Richter
yang berpusat di Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul ini telah memporak-
porandakan beberapa kabupaten dan kota di Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Jawa Tengah. Gempa bumi ini juga memakan banyak korban, terhitung sebanyak
6.234 warga meninggal dunia dan lebih dari 50.000 warga lainnya mengalami
luka-luka, baik luka ringan, sedang, hingga berat (http://www.wikipedia.org).
Banyak di antara korban luka pada gempa bumi Yogyakarta mengalami kecacatan
permanen. Tingkat kecacatan tersebut bermacam-macam, mulai dari kehilangan
anggota gerak, kehilangan anggota badan, infeksi menetap pada anggota badan,
hingga kelumpuhan total. Para korban gempa bumi tersebut sebagian besar juga
kehilangan tempat tinggal, terhitung lebih dari 1,3 juta jiwa kehilangan tempat
tinggal mereka (IOM Indonesia Newsletter, Agustus 2006).
Kabupaten Bantul sebagai kabupaten yang mengalami kerusakan paling
parah dalam bencana gempa bumi tanggal 27 Mei 2006 juga menjadi kabupaten
dengan jumlah korban paling banyak. Data dari Kabupaten Bantul tercatat
sebanyak 3.098 korban meninggal dunia dan 6.437 korban mengalami luka berat
yang diperkirakan akan mengalami kecacatan seumur hidupnya dan lebih banyak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
lagi korban yang mengalami luka sedang yang diperkirakan akan mengalami
kecacatan sementara (http://www.atmajaya.ac.id).
Bagi banyak korban yang selamat dari maut pada kejadian tersebut,
menerima kenyataan bahwa dirinya telah kehilangan banyak hal akibat Gempa
bumi sangatlah menyakitkan dan sulit diterima. Kehilangan rumah, harta benda,
sanak saudara, dan bahkan bagi sebagian orang harus menerima kenyataan bahwa
dirinya harus mengalami kecacatan untuk selamanya merupakan suatu cobaan
yang sangat berat (Akbar dan Afiatin, 2009). Terlebih bagi korban yang
mengalami cacat fisik, selain telah kehilangan sanak saudara dan harta benda,
kecacatan yang dialami juga mengubah keadaan hidup mereka, baik secara fisik
maupun psikologis.
Jumlah penyandang cacat tetap akibat gempa bumi Yogyakarta cukup
banyak. Menurut Harian Suara Merdeka, terdapat 1.500 orang korban gempa
bumi yang harus mengalami kecacatan seumur hidup, dengan jumlah terbesar
adalah korban yang berasal dari Kabupaten Bantul. Data dari Dinas Sosial
Kabupaten Bantul menunjukkan, hingga bulan November 2009 di Kabupaten
Bantul tercatat sekitar 300 warga di Kabupaten Bantul yang masih menjalani
perawatan karena mengalami kecacatan (www.sosial.bantulkab.go.id). Versi lain
menurut data dari Palang Merah Indonesia (PMI) cabang Bantul menyebutkan,
hingga bulan Februari 2010, tercatat 900 warga Kabupaten Bantul yang masih
menjalani fisioterapi di PMI cabang Bantul. Sebagian besar dari jumlah tersebut
mengalami kecacatan permanen, mulai dari tidak sempurnanya keseluruhan atau
sebagian bentuk tubuh, kehilangan sebagian atau keseluruhan organ tubuh,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kehilangan anggota gerak, paraplegia atau kelumpuhan tubuh bagian bawah akibat
terjadi penekanan terhadap sistem saraf pusat akibat fraktur pada tulang belakang,
hingga tetraplegia atau kelumpuhan yang disebabkan cedera pada tulang belakang
yang menyebabkan hilangnya seluruh penggunaan dari semua anggota badan dan
dada yang terutama diakibatkan oleh penekanan terhadap sistem saraf pusat akibat
fraktur pada tulang belakang bagian atas (bagian leher). Sebanyak 20 orang dari
900 orang yang masih menjalani fisioterapi di PMI cabang Bantul rawan depresi.
Hal ini dilihat dari fakta bahwa 20 orang tersebut pernah melakukan percobaan
bunuh diri (http://www.indosiar.com).
Berbagai kecacatan yang dialami oleh korban gempa bumi di Kabupaten
Bantul tersebut mengakibatkan berbagai reaksi. Salah satu kasus yang terjadi
adalah kasus bunuh diri atau percobaan bunuh diri. Kasus bunuh diri atau
percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh penyandang cacat akibat gempa bumi
di Kabupaten Bantul pernah beberapa kali terjadi. Selain kasus bunuh diri atau
percobaan bunuh diri, ada pula penyandang cacat tetap yang berkeinginan kuat
untuk sembuh. Terlalu besarnya keinginan untuk sembuh membuat penyandang
cacat tersebut berusaha mencari jalan untuk sembuh dari kecacatannya dengan
cara-cara tidak ilmiah yang membahayakan bagi dirinya sendiri. Berikut ini
adalah contoh kasus yang pernah terjadi di Kabupaten Bantul:
Contoh kasus pertama dialami oleh seorang gadis belia berusia 23 tahun
berinisial ”Sum” yang beralamat di Dusun Pandean, Desa Gilangharjo,
Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul. ”Sum” yang terpaksa menjalani amputasi
kaki kanan hingga sebatas lutut akibat infeksi patah tulang terbuka yang dia alami
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pada saat terjadi gempa bumi tanggal 27 Mei 2006. Akibat tidak tahan lagi dengan
kecacatan yang dia derita, pada tanggal 04 Oktober 2006, ”Sum” melakukan
tindakan nekad dengan membakar dirinya sendiri dengan menggunakan bensin.
”Sum” yang ditemukan dalam kondisi luka bakar serius kemudian dilarikan ke
Rumah Sakit Prof. Dr. Sardjito, Yogyakarta (http://www.indosiar.com).
Contoh kasus kedua dialami oleh ”ES”, seorang gadis berusia 26 tahun
yang tinggal di Desa Kranggotan, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul. Sebelum
terjadi gempa bumi Yogyakarta tanggal 27 Mei 2006, “ES” dikenal sebagai
seorang sarjana MIPA yang banyak beraktivitas dan supel dalam pergaulan. “ES”
bahkan bersama dengan kekasihnya telah merencanakan pernikahan yang
sedianya akan segera dilaksanakan. Namun Tuhan berkehendak lain, pada saat
gempa bumi terjadi, “ES” terjatuh dan tertimpa tembok rumahnya sehingga
mengalami patah tulang belakang yang mengakibatkan paraplegia, sehingga “ES”
mengalami kelumpuhan anggota gerak bagian bawah. Kelumpuhan yang dialami
membuat “ES” kehilangan banyak hal yang dahulu dapat dinikmatinya.
Keterbatasan fisik membuat “ES” tidak dapat beraktivitas seperti dahulu,
menganggap dirinya tidak berguna, hingga puncaknya adalah pada saat keluarga
kekasihnya tidak mau menerima keadaan fisiknya sekarang. Merasa kecewa, “ES”
kemudian nekad mencoba untuk bunuh diri dengan cara memotong urat nadi
tangan. Usaha bunuh diri pertama kali gagal karena perawat menemukan “ES”
dalam kondisi bersimbah darah. Tidak puas dengan usaha pertama, “ES” mencoba
melakukan usaha kedua dengan cara yang sama, namun sekali lagi usaha tersebut
gagal karena perawat menemukannya dalam kondisi kritis. Usaha ketiga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dilakukan “ES” dengan jalan yang sama, namun mengalami kegagalan karena
diketahui oleh salah seorang kerabatnya.
Contoh kasus yang ketiga dijumpai di Rumah Sakit Ortopedi Prof. Dr.
Soeharso, Surakarta, yaitu seorang laki-laki bernama ”S” yang ditinggalkan oleh
istrinya karena ”S” mengalami paraplegia akibat fraktur pada tulang belakangnya.
Istri ”S” menyatakan bahwa akan pergi hingga ”S” bisa berjalan lagi. Keinginan
untuk dapat berkumpul dengan istrinya membuat ”S” melakukan segala cara agar
dapat berjalan kembali. Berbekal informasi dari seorang rekan, ”S” melakukan
terapi bagi dirinya sendiri, yaitu dengan merendam kaki hingga sebatas paha
dengan air hangat. Namun, karena saraf di daerah kaki ”S” sudah tidak dapat
berfungsi lagi, maka ”S” tidak dapat merasakan panas dari air yang digunakannya.
”S” kemudian menambah air panas pada air yang digunakannya. Alhasil, kaki ”S”
mengalami luka bakar grade II dan harus menjalani perawatan di rumah sakit,
sedangkan kelumpuhan yang dialami tidak juga sembuh.
Ketiga kasus yang telah dipaparkan di atas mencerminkan bahwa banyak
di antara penyandang cacat akibat gempa bumi Yogyakarta yang belum dapat
menerima diri. Beberapa penyandang cacat tetap yang belum dapat menerima
kecacatannya ada yang memiliki keinginan yang sangat besar untuk kembali
normal, sehingga melakukan cara-cara yang kurang rasional untuk mencapainya.
Hal ini dapat dilihat dari paparan kasus ketiga. Selain itu, ada pula beberapa
penyandang cacat tetap yang kehilangan harapan hidup, sehingga melakukan
tindakan nekad dengan berusaha mengakhiri hidupnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat betapa pentingnya penerimaan
diri seseorang. Anderson (1959) menyatakan bahwa self acceptance (penerimaan
diri) penting untuk mengintegrasikan tubuh, pikiran, dan jiwa kita. Menurut
Calhoun dan Acocella (dalam Badaria dan Astuti, 2004), penerimaan diri
merupakan aset pribadi yang berharga karena mempunyai pengaruh terhadap
penyesuaian diri yang dilakukan oleh individu, sehingga sifat-sifat dalam dirinya
seimbang dan terintegrasi. Orang-orang yang penerimaan dirinya positif, berarti
orang itu mampu memahami dirinya dan menerima kenyataan bahwa dirinya
berbeda dengan orang lain, dalam menerima dirinya sendiri, seseorang harus
dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat dan kehidupannya. Hal ini sangat
sesuai dengan Hurlock (1974) yang menyatakan bahwa penerimaan diri adalah
faktor utama yang membentuk kepribadian yang sehat.
Penerimaan individu terhadap cacat yang mereka alami berbeda-beda,
dan sering kali tidak sebanding lurus dengan tingkat kecacatannya. Hal ini
dikarenakan sikap-sikap mereka dipengaruhi oleh situasi sosial yang lebih luas.
Setiap individu yang cacat fisik memiliki kebutuhan emosional khusus,
kemampuan bawaan, dan latar belakang pengalamannya sendiri. Jika penyandang
cacat dengan cacat fisiknya diterima oleh orang-orang yang berarti dalam
lingkungannya, maka ini merupakan kesempatan yang baik untuk bisa menerima
cacatnya dan mengatur cara menyesuaikan diri dengan cacatnya. Sebaliknya,
apabila individu tersebut ditolak atau dilindungi secara berlebihan, maka persepsi
terhadap dirinya sendiri berupa kebencian atau perasaan kasihan terhadap diri
sendiri karena kecacatan tersebut (Semiun, 2006). Kepercayaan masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
terhadap kecacatan juga mempengaruhi sikap terhadap penyandang cacat,
misalnya, kecacatan masih dianggap sebagai suatu aib dan memalukan, sehingga
anggota penyandang cacat harus disembunyikan dari penglihatan warga lainnya.
Hal ini menyebabkan penyandang cacat tidak dapat menerima kecacatannya
(Kasim, 2002).
Menurut Semiun (2006), dampak cacat fisik tidak jelas dan langsung,
namun sampai batas tertentu, cacat itu ditentukan oleh hubungan-hubungan
antarpribadi yang dialami oleh orang-orang yang cacat. Dengan kata lain, respon,
sikap, serta perlakuan keluarga dan orang-orang yang penting dalam lingkungan
sangat mempengaruhi reaksi-reaksi tingkah laku individu terhadap cacat fisik
yang dialami.
Reaksi orang-orang di lingkungan penyandang cacat menurut Schuster
dan Ashburn (1992) dapat berupa penolakan (rejection), idealisasi (idealization),
merasa kasihan, dan dapat pula berupa penerimaan secara realistis (realistic
acceptance). Reaksi penolakan terhadap penyandang cacat dapat berupa upaya
menyingkirkan individu penyandang cacat. Cara yang ditempuh seperti
memasukkan penyandang cacat ke yayasan yang mengurusi penyandang cacat,
menitipkan di tempat saudara lain, hingga menelantarkan begitu saja. Reaksi
idealisasi berupa penolakan terhadap kecacatan yang disandang oleh individu
penyandang cacat, dan senantiasa berusaha membuat penyandang cacat tersebut
dapat menjadi normal kembali sesuai dengan keinginan mereka. Reaksi merasa
kasihan termanifestasi dalam memberikan perhatian yang sangat berlebihan
kepada penyandang cacat, hingga mengurangi kewajiban namun menambah hak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
yang harus diperoleh penyandang cacat. Adapun reaksi penerimaan realistis
termanifestasi dalam sikap memberikan pengarahan menuju kehidupan mandiri
penyandang cacat.
Reaksi penerimaan realistis oleh lingkungan akan berupa sikap-sikap
penerimaan terhadap penyandang cacat. Adapun sikap penerimaan terhadap
penyandang cacat dapat berupa pemberian dukungan sosial yang menurut House
(dalam Smet, 1994) memiliki aspek atau bentuk tertentu. Bentuk atau aspek
tersebut meliputi (1) Dukungan Emosional, mencakup ungkapan empati,
kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan; (2) Dukungan
Penghargaan, meliputi ungkapan formal, dorongan untuk maju, serta membantu
seseorang untuk melihat segi-segi positif yang ada dalam dirinya dibandingkan
dengan keadaan orang lain yang berfungsi untuk menambah penghargaan diri; (3)
Dukungan Instrumental, mencakup bantuan langsung, sesuai dengan yang
dibutuhkan orang lain; (4) Dukungan Informatif, meliputi pemberian nasihat-
nasihat, petunjuk, saran-saran dan umpan balik. House (dalam Corneil, 1998) juga
menilai bahwa dukungan emosional sebagai bentuk yang paling penting dari
dukungan sosial karena merupakan dasar dari ketiga bentuk dukungan yang lain.
Hal ini didapatkan dari kenyataan bahwa aspek-aspek dukungan emosional seperti
perasaan empati, kepedulian, dan kemampuan untuk mendengarkan merupakan
dasar yang nantinya akan menggerakkan orang-orang di lingkungan seorang
individu untuk memberikan aspek-aspek lain dalam dukungan sosial kepada
individu yang bersangkutan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Reaksi lain yang mungkin ditampilkan oleh orang-orang di lingkungan
penyandang cacat adalah penolakan. Penolakan terhadap penyandang cacat dapat
berupa menyembunyikan penyandang cacat tersebut dari lingkungan,
membedakan hak dan kewajiban penyandang cacat tersebut dengan individu lain
di lingkungannya, hingga membuang penyandang cacat tersebut baik dengan cara
yang halus (menitipkan ke yayasan pembinaan orang cacat) ataupun dengan cara
yang kasar (membiarkan menggelandang, dan lain-lain). Perlakuan orang-orang
tersebut sangat berpengaruh terhadap penerimaan diri sang penyandang
kecacatan, mengingat tidak mungkin seorang penyandang cacat dapat menerima
dirinya dengan kecacatannya jika orang-orang di lingkungannya tidak menerima
kehadirannya.
Berdasarkan pada uraian di atas, dapat dilihat betapa pentingnya
dukungan emosional keluarga bagi penyandang cacat tetap. Dukungan emosional
sangat diperlukan untuk mempersiapkan penyandang cacat untuk menghadapi
realita kecacatan yang akan disandang seumur hidupnya. Dukungan emosional
membuat penyadang cacat tetap menjadi lebih mampu menerima diri sehingga
tidak lagi mencari jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya atau mencoba cara-cara
yang irasional yang berbahaya karena keinginan untuk sembuh dari kecacatannya.
Mencermati fenomena yang telah dipaparkan, serta melihat pentingnya dukungan
emosional untuk meningkatkan penerimaan diri penyandang cacat tetap, peneliti
berinisiatif untuk melakukan penelitian mengenai hubungan antara dukungan
emosional keluarga dengan penerimaan diri pada penyandang cacat tetap akibat
gempa bumi di Kabupaten Bantul.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diambil rumusan masalah
penelitian sebagai berikut :
1. Apakah terdapat hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan
penerimaan diri pada korban gempa bumi di Kabupaten Bantul yang
mengalami kecacatan tetap?
2. Berapakah sumbangan efektif peran dukungan emosional keluarga terhadap
penerimaan diri penyandang cacat tetap akibat gempa bumi di Kabupaten
Bantul?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan atas rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, tujuan
dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui adanya hubungan antara dukungan emosional keluarga
dengan penerimaan diri penyandang cacat pada korban gempa bumi di
Kabupaten Bantul yang mengalami kecacatan tetap.
2. Untuk mengetahui berapa besar sumbangan efektif dukungan emosional
keluarga terhadap penerimaan diri penyandang cacat tetap akibat gempa bumi
di Kabupaten Bantul.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu
manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis. Manfaat teoritis yang
didapatkan dari peneilitian ini adalah:
1. Manfaat bagi keilmuan Psikologi untuk membuktikan adanya hubungan antara
dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri korban gempa bumi di
Kabupaten Bantul yang mengalami kecacatan permanen.
2. Manfaat bagi dunia penelitian, diharapkan penelitian ini dapat memberikan
sumbangsih pemikiran baru untuk dapat dikembangkan lebih jauh lagi dalam
mengungkap hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan
penerimaan diri individu penyandang cacat tetap.
Adapun manfaat praktis yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
1. Bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga seorang penyandang cacat
tetap, agar dapat memberikan perhatian dan perlakuan terutama dari segi
emosional untuk mendukung anggota keluarga yang menyandang kecacatan
tetap dalam mencapai penerimaan diri yang positif.
2. Bagi institusi yang melaksanakan rehabilitasi kepada penyandang cacat agar
dapat merancang berbagai pendekatan khususnya yang berbasis pemberian
dukungan emosional dengan pemberdayaan masyarakat agar dapat membantu
penyandang cacat tetap mencapai penerimaan diri yang positif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Penerimaan Diri Penyandang Cacat
1. Pengertian Penerimaan Diri Penyandang Cacat
Penerimaan diri menurut Corsini (1999) adalah pengakuan atas
kemampuan dan prestasi pribadi, bersama dengan pengakuan dan penerimaan
keterbatasan pribadi. Kurangnya penerimaan diri secara umum dianggap sebagai
ciri utama gangguan emosional. Menurut Rubin (1982), penerimaan diri
merupakan sikap merefleksikan perasaan senang sehubungan dengan kenyataan
pada dirinya. Hal ini sejalan dengan Pannes (dalam Hurlock, 1973), yang
menyatakan bahwa penerimaan diri adalah ungkapan rasa penghargaan yang
ditujukan pada kenyataan diri sendiri. Burns (1985) dan Johnson (1993)
menyatakan bahwa penerimaan diri adalah tidak adanya sikap sinis mengenai diri
sendiri. Chaplin (1999) mengatakan penerimaan diri adalah sikap yang pada
dasarnya merasa puas dengan diri sendiri, kualitas-kualitas dan bakat-bakat
sendiri, serta pengetahuan-pengetahuan akan keterbatasan-keterbatasan nya
sendiri.
Sartain (1973) menyatakan bahwa penerimaan diri merupakan kemauan
individu untuk menerima dirinya sebagaimana adanya dan untuk mengakui
keadaan dirinya. Hal ini tidak berarti individu tersebut sudah tidak memiliki
ambisi lagi, melainkan mereka masih memiliki keinginan untuk memperbaiki
keadaan dirinya. Maslow (dalam Hjelle dan Ziegler, 1992) menyatakan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
penerimaan diri merupakan sikap positif terhadap dirinya sendiri, orang yang
menerima diri dapat menerima keadaan dirinya secara tenang, dengan segala
kelebihan dan kekurangannya. Orang yang menerima diri bebas dari rasa bersalah,
rasa malu, dan rendah diri karena keterbatasan diri serta kebebasan dari
kecemasan akan adanya penilaian dari orang lain terhadap keadaan dirinya. Perls
(dalam Schultz, 1991) mendefinisikan penerimaan diri berkaitan dengan orang
yang sehat secara psikologis yang memiliki kesadaran dan penerimaan penuh
terhadap siapa dan apa diri mereka.
Menurut Jersild (dalam Hurlock, 1974), individu yang menerima dirinya
sendiri memiliki keyakinan akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinya
tanpa terpaku pada pendapat orang lain. Orang yang menerima dirinya memiliki
perhitungan akan keterbatasan dirinya serta tidak melihat dirinya sendiri secara
irasional. Individu yang menerima dirinya menyadari potensi diri yang dimiliki,
merasa bebas untuk menarik atau melakukan keinginan, serta menyadari
kekurangan yang dimiliki tanpa menyalahkan diri sendiri.
Sheerer (dalam Cronbach, 1963) menyatakan bahwa orang yang menerima
diri adalah orang yang memiliki konsep diri positif, sehingga dapat menerima
keadaan-keadaan yang ada pada dirinya. Konsep diri sendiri menurut Burns
(1985) adalah kesan yang ditangkap oleh seseorang mengenai diri sendiri secara
menyeluruh, yang di dalamnya mencakup persepsi tentang diri sendiri, pendapat
tentang gambaran diri di mata orang lain, dan pendapat tentang hal-hal yang telah
dicapai. Sehingga dapat disimpulkan bahwa orang yang dapat menerima diri
adalah orang yang memiliki kesan positif secara menyeluruh dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mempersepsikan diri, serta dalam menangkap dan mencerna pendapat orang lain
mengenai dirinya sendiri. Menurut Sheerer, orang yang menerima diri percaya
terhadap kemampuan diri, merasa sederajat dengan orang lain, memiliki orientasi
ke luar diri, bertanggungjawab, berpendirian, menyadari keterbatasan, serta
menerima sifat kemanusiaan.
Allport (dalam Hjelle dan Ziegler, 1992) menjelaskan bahwa penerimaan
diri merupakan sikap yang positif, yang ketika individu menerima diri sebagai
seorang manusia, maka dapat menerima keadaan emosionalnya (depresi, marah,
takut, cemas, dan lain-lain) tanpa mengganggu orang lain. Ryff (dalam Kail dan
Cavanaugh, 2000) mendefinisikan penerimaan diri sebagai pandangan positif
tentang diri sendiri, mengakui dan menerima segi yang berbeda dari dirinya
sendiri.
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1980 tentang Usaha Kesejahteraan
Sosial Penderita Cacat menyebutkan bahwa penyandang cacat adalah seseorang
yang menurut ilmu kedokteran dinyatakan mempunyai kelainan fisik atau mental
yang oleh karenanya merupakan suatu rintangan atau hambatan baginya untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan secara layak. Kecacatan terdiri atas cacat tubuh,
cacat netra, cacat mental, cacat rungu-wicara, dan cacat bekas penyandang
penyakit kronis. Definisi penyandang cacat kemudian dipersingkat dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa Penyandang
Cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental yang
dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk
melakukan kegiatan secara selayaknya. Penyandang cacat terdiri atas penyandang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
cacat fisik, penyandang cacat mental, dan penyandang cacat ganda. Adapun
penyadang cacat yang akan dibahas di sini adalah penyandang cacat fisik.
Coleridge (1997) mengemukakan definisi kecacatan dengan sudut
pandang sosial. Definisi kecacatan yang diungkapkan oleh Coleridge terutama
merujuk pada kecacatan fisik yang dilihat dari sudut pandang sosial. Menurut
Coleridge, kecacatan terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Impairment (kerusakan/kelemahan)
Impairment merujuk pada ketidaklengkapan atau ketidaknormalan yang
disertai akibat-akibatnya terhadap fungsi tertentu. Sebagai contoh adalah
kelumpuhan di bagian bawah tubuh yang disertai ketidakmampuan untuk berjalan
dengan kedua kaki.
b. Disability/Handicap (kecacatan/ketidakmampuan)
Disability merujuk pada kerugian atau keterbatasan dalam aktivitas
tertentu sebagai akibat faktor-faktor sosial yang hanya sedikit atau sama sekali
tidak memperhitungkan orang yang menyandang kerusakan atau kelemahan
tertentu dan karenanya mengeluarkan orang-orang tersebut dari arus aktivitas
sosial.
Supratiknya (1995) membagi sebab-sebab cacat fisik menjadi dua, yaitu
cacat bawaan atau cacat sejak lahir dan cacat non bawaan. Cacat bawaan atau
cacat sejak lahir merupakan kecacatan yang terjadi sejak individu lahir karena
sebelum proses kelahiran individu sudah mengalami kecacatan atau mungkin juga
kecacatan disebabkan oleh proses yang salah pada saat kelahiran. Cacat non
bawaan adalah cacat yang dialami oleh individu bukan sejak lahir tetapi terjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pada masa pertumbuhan yang disebabkan oleh penyakit atau trauma (kecelakaan
atau peperangan).
Soenaryo (1995) mengklasifikasikan tingkat kecacatan fisik yang
disandang seorang individu menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a. Cacat fisik ringan
Seorang individu diklasifikasikan sebagai penyandang cacat fisik ringan
apabila menyandang kecacatan, namun masih dapat mengurus dirinya sendiri dan
belum memerlukan alat bantu untuk melakukan aktivitasnya. Contoh penyandang
cacat ringan adalah individu yang satu tangan atau satu kakinya mengalami
kelayuan, tidak dapat digunakan, atau putus. Contoh lain adalah individu yang
cacat pada salah satu kakinya karena terpotong sampai dengan batas lutut.
b. Cacat fisik sedang
Seorang individu diklasifikasikan sebagai penyandang cacat fisik sedang
apabila menyandang kecacatan yang mengharuskan penggunaan alat bantu seperti
kruk, walker, atau kursi roda untuk dapat menjalani aktivitas sehari-harinya.
Contoh individu yang menyandang cacat fisik sedang adalah individu yang
mengalami kelayuhan pada dua kaki dan satu tangan, kedua kaki putus, dan
sebagainya.
c. Cacat fisik berat
Seorang individu diklasifikasikan sebagai penyandang cacat fisik berat
apabila menyandang kecacatan yang menyebabkan ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri. Individu yang menyandang cacat
fisik berat memerlukan bantuan orang lain dalam menjalani kehidupannya serta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
membutuhkan alat bantu untuk aktivitasnya. Contoh individu yang dikategorikan
sebagai penyandang cacat fisik berat adalah penyandang cacat yang mengalami
paraplegia, tetraplegia, dan kehilangan seluruh anggota geraknya.
Meskipun kami membahas mengenai klasifikasi tingkat kecacatan fisik,
namun dalam penelitian ini, kami hanya akan melakukan penelitian mengenai
hubungan antara dukungan emosional dengan penerimaan diri secara umum saja
tanpa memandang mengenai tingkat kecacatan yang disandang oleh para
responden.
Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh diatas, dapat dinyatakan bahwa
penerimaan diri adalah kesan positif secara menyeluruh dalam mempersepsikan
diri, serta dalam menangkap dan menerima pendapat orang lain mengenai dirinya.
Orang yang menerima diri memiliki sifat percaya terhadap kemampuan diri,
merasa sederajat dengan orang lain, memiliki orientasi ke luar diri,
bertanggungjawab, berpendirian, menyadari akan keterbatasan diri, serta
menerima sifat kemanusiaan yang dimiliki. Adapun penyandang cacat adalah
orang yang mengalami ketidaklengkapan atau ketidaknormalan yang disertai
akibat-akibatnya terhadap fungsi tertentu yang diakibatkan karena faktor bawaan
atau faktor non bawaan. Kecacatan tetap diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu cacat
ringan, cacat sedang dan cacat berat.
Berdasarkan pada paparan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
penerimaan diri pada penyandang cacat adalah kesan positif secara menyeluruh
dalam mempersepsikan diri, serta dalam menangkap dan menerima pendapat
orang lain mengenai keadaan diri sendiri yang dilakukan oleh orang dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ketidaklengkapan atau ketidaknormalan beserta akibat-akibatnya terhadap
beberapa fungsi tertentu.
2. Pentingnya Penerimaan Diri Pada Penyandang Cacat
Penerimaan diri sangat mempengaruhi tingkat penyesuaian diri seseorang.
Hurlock (1973) menyatakan bahwa semakin seseorang menyukai dirinya, maka
orang tersebut akan semakin menerima dirinya. Semakin tinggi penerimaan diri
seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat penyesuaian dirinya. Hurlock juga
menambahkan bahwa orang yang menerima dirinya akan merasa digunakan,
disukai, dibutuhkan dan secara fundamental merasa berharga. Dalam hal ini
terlihat sekali bahwa penerimaan diri adalah salah satu kunci untuk mencapai
hidup yang bahagia. Hurlock kemudian membagi dampak dari penerimaan diri ke
dalam dua kategori menurut lingkupnya yaitu:
a. Penyesuaian diri
Orang yang memiliki penyesuaian diri, mampu mengenali kelebihan dan
kekurangannya. Salah satu karakteristik dari orang yang memiliki penyesuaian
diri yang baik adalah lebih mengenali kelebihan dan kekurangannya, biasanya
memiliki keyakinan diri (self confidence). Selain itu juga lebih dapat menerima
kritik, dibandingkan dengan orang yang kurang dapat menerima dirinya. Dengan
demikian orang yang memiliki penerimaan diri dapat mengevaluasi dirinya secara
realistis, sehingga dapat menggunakan semua potensinya secara efektif. Hal
tersebut karena individu yang menerima dirinya memiliki anggapan yang realistis
terhadap dirinya, sehingga akan bersikap jujur dan tidak berpura-pura.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
b. Penyesuaian sosial
Penerimaan diri biasanya disertai dengan adanya penerimaan dari orang
lain. Orang yang memiliki penerimaan diri akan merasa aman untuk memberikan
perhatiannya pada orang lain, seperti menunjukkan rasa empati. Dengan demikian
orang yang memmiliki penerimaan diri dapat mengadakan penyesuaian sosial
yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang merasa rendah diri atau merasa
tidak adekuat sehingga mereka itu cenderung untuk bersikap berorientasi pada
dirinya sendiri (self oriented).
Penerimaan diri sangat berhubungan erat dengan konsep diri karena
penerimaan diri memiliki peranan yang penting dalam pembentukan konsep diri
dan kepribadian yang positif. Orang yang memiliki penerimaan diri yang baik
maka dapat dikatakan memiliki konsep diri yang baik pula, karena selalu mengacu
pada gambaran diri ideal, sehingga bisa menerima gambaran dirinya yang sesuai
dengan realitas.
Berdasarkan pada paparan di atas, dapat dilihat bahwa penerimaan diri
sangat penting bagi penyandang cacat untuk dapat menyesuaikan diri baik di
dalam dirinya sendiri, maupun di dalam pergaulan di lingkungan sosial. Orang
yang dapat menerima diri niscaya akan berusaha untuk melakukan hal-hal yang
realistis agar dapat menyesuaikan diri di dalam pribadi maupun di lingkungan
sosial.
3. Tahap-Tahap Penerimaan Diri Pada Penyandang Cacat
Tahapan penerimaan diri yang dilalui oleh penyandang cacat bervariasi,
ada yang mengalami seluruh tahapan secara berurutan, ada yang mengalami
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
seluruh tahapan secara tidak berurutan, bahkan ada pula yang tidak mengalami
sebagian tahapan. Secara garis besar diungkapkan oleh Glaser (1966), tahapan
penyesuaian diri penyandang cacat sesuai dengan skema penerimaan diri sebagai
berikut:
Disclosure (Membuka Diri)
Depression (Depresi)
Acceptance (Menerima) Denial (Menolak)
Active Preparation (Persiapan Aktif) Passive Preparation (Persiapan Pasif)
Gambar I: Skema Penerimaan Diri menurut Glaser (1966)
Menurut Glaser, tahapan penerimaan diri seorang penyandang cacat tetap
adalah sebagai berikut:
a. Tahap Pertama: Disclosure (Membuka Diri)
Tahap pertama dalam penerimaan diri penyandang cacat tetap adalah sang
penyandang cacat mengetahui kondisi fisiknya, yaitu bahwa sekarang sang
penyandang cacat tetap tersebut akan mengalami kecacatan permanen.
Penyandang cacat tetap yang mengetahui keadaan fisiknya, kemudian mencari
informasi-informasi mengenai bagaimana kondisi fisik yang dialami, cara
menyembuhkan dirinya (dari kecacatan yang disandangnya), dan informasi-
informasi lainnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Setelah membuka diri, seorang penyandang cacat akan mengetahui kondisi
riil mengenai keadaan yang dialami, salah satunya adalah bahwa kecacatan yang
dialami akan disandang seumur hidup. Kondisi ini tentunya sangat mengejutkan
karena tidak ada lagi harapan untuk memiliki tubuh yang sempurna kembali
seperti sedia kala. Hal ini membuat sebagian besar penyandang cacat tetap akan
menjalani suatu tahap atau fase yang disebut sebagai depresi.
b. Tahap Kedua: Depression (Depresi)
Adanya kesenjangan antara harapan dengan kenyataan yang ditemui oleh
penyandang cacat tetap yang mayoritas diakibatkan oleh suatu kecelakaan atau
bencana membuat mereka masih berharap bahwa kondisi fisiknya akan kembali
seperti sedia kala. Harapan para penyandang cacat tetap agar dapat kembali
seperti sedia kala merupakan sesuatu yang wajar. Namun, karena kecacatan yang
disandangnya bersifat permanen, maka harapan untuk dapat kembali seperti
semula adalah hal yang mustahil.
Tidak terpenuhinya harapan untuk kembali seperti sedia kala membuat
penyandang cacat tetap mengalami depresi dan tidak mau menerima kondisi fisik
yang dialami. Masing-masing penyandang cacat memiliki karakteristik yang
berbeda, sehingga antara penyandang cacat yang satu dengan yang lain berbeda-
beda dalam melalui tahap depresi ini. Ada penyandang cacat yang melalui tahap
depresi dalam jangka waktu yang singkat, ada yang melalui tahap ini dalam
jangka waktu yang lama, dan bahkan ada penyandang cacat yang tidak melalui
tahap depresi, namun bisa langsung menerima diri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
c. Tahap Ketiga: Acceptance or Denial (Menerima atau Menolak)
Tahap ketiga penerimaan diri penyandang cacat adalah menerima atau
menolak kecacatan permanen yang disandangnya. Jika seorang penyandang cacat
menolak kondisi kecacatan fisik yang dialami, maka ada beberapa kemungkinan
hal yang akan dialami. Penyandang cacat mungkin akan mengalami depresi yang
berkepanjangan, atau mungkin akan berusaha dengan cara apapun untuk dapat
kembali seperti semula, bahkan dengan cara-cara yang irrasional, bahkan ada pula
yang karena tidak mampu menerima kondisi fisik yang dialami, seorang
penyandang cacat tetap nekad untuk berusaha mengakhiri hidupnya. Hal ini sesuai
dengan contoh kasus yang telah disajikan di bagian pendahuluan.
Apabila seorang penyandang cacat menerima kondisi fisik yang dialami
sekarang, maka ada dua kemungkinan hal yang akan dilakukan oleh penyandang
cacat tersebut. Dua hal tersebut adalah:
1) Active Preparation (Persiapan Aktif), yaitu bersiap-siap menghadapi
kecacatan yang disandangnya dengan cara aktif dalam melakukan latihan
kemandirian, lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, aktif dalam bersosialisasi,
dan lain-lain. Hal yang membedakan antara active preparation dengan passive
preparation penyandang cacat yang melakukan active preparation berusaha
untuk melakukan persiapan (seperti belajar menggunakan kursi roda,
mengikuti fisioterapi, mengikuti terapi okupasi) secara aktif, tidak tergantung
pada orang-orang di lingkungannya.
2) Passive Preparation (Persiapan Pasif), yaitu juga melakukan persiapan untuk
menghadapi kecacatan yang harus disandang seumur hidup namun secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pasif. Perbedaan yang ada jika dibandingkan dengan penyandang cacat yang
melakukan active preparation adalah penyandang cacat yang melakukan
passive preparation masih sangat tergantung oleh orang-orang yang ada di
lingkungannya untuk mau melakukan persiapan, seperti dalam mengikuti
fisioterapi harus diingatkan oleh keluarganya, kurang inisiatif untuk belajar
menggunakan kursi roda, dan sebagainya.
Ahli lain yang menjabarkan mengenai tahapan emosional penyandang
cacat sejak dari tahap krisis hingga tahap penerimaan diri adalah LeMaistre
(1999). LeMaistre menyatakan ada enam tahap yang harus dilalui oleh seorang
penyandang cacat hingga mampu menerima diri. Tahap-tahap tersebut dijabarkan
sebagai berikut:
a. Tahap Krisis
Pada tahap krisis, penyandang cacat merasa menderita dan sangat
ketakutan. Secara fisik maupun psikologis, penyandang cacat akan mengalami
penurunan kemampuan dalam merespons orang lain, disorientasi, dan mengalami
peningkatan kecemasan. Selama masa krisis, dukungan emosional sangat
dibutuhkan oleh penyandang cacat. Tahap krisis dilalui oleh hampir semua pasien
penyandang cacat dengan energi dan perhatian yang difokuskan pada persiapan
fisik dalam menanggapi sakit yang dideritanya, sehingga bertahan adalah
perhatian utama. Selain itu, pasien penyandang cacat dan keluarganya harus
mengatasi rasa takut yang diakibatkan oleh ketidakjelasan nasib atau masa
depannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
b. Tahap Isolasi
Ketika sifat akut penyakit telah berkurang, namun pemulihan total tidak
terjadi dan kecacatan menetap, penyandang cacat menyadari bahwa ada begitu
banyak ketidakpastian mengenai masa depan. Penyandang cacat mengalami
kegelisahan, sehingga pada malam hari mengalami kesulitan tidur. Ketidakpastian
masa depan menjadi salah satu serangan besar dalam diri penyandang cacat.
Kecemasan penyandang cacat sering mengakibatkan kekakuan dalam
berhubungan dengan orang lain dan diri sendiri, sehingga penyandang cacat
cenderung mengisolasi diri. Hal ini diakibatkan oleh kepercayaan pasien bahwa
tidak ada orang yang dapat mengerti mengenai kesedihan dan kehilangan yang
dialaminya.
Keluarga sang penyandang cacat mungkin akan merasa marah, takut,
bahkan jijik dengan situasi yang dialami oleh penyandang cacat tersebut. Pada
saat itu, baik penyandang cacat maupun keluarganya kembali ke dalam pikirannya
masing-masing dan kini dihantui oleh pengetahuan bahwa hidup mereka tidak
akan sama seperti sebelumnya lagi. Pada tahap isolasi komunikasi terbuka sangat
penting. Kedua belah pihak tidak boleh saling menyalahkan. Komunikasi harus
dilakukan dengan intensif untuk memecahkan isolasi.
c. Tahap Anger/Kemarahan
Setelah mengetahui keadaan fisik yang sebenarnya, penyandang cacat
merasa marah, cemas, tidak berdaya, merasa bahwa apa yang terjadi pada dirinya
sangat tidak adil, sehingga secara emosional penyandang cacat akan marah, sering
kali target kemarahan adalah pada dirinya sendiri. Kemungkinan yang paling
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
berbahaya ketika hal ini terjadi adalah penyandang cacat tersebut akan melakukan
percobaan bunuh diri.
Ada dua alasan yang membuat penyandang cacat menjadikan dirinya
sendiri sebagai target kemarahannya. Pertama, tidak mungkin untuk marah kepada
nasib, karena tidak ada lawan eksternal. Kedua, kecacatan yang disandangnya
melahirkan rasa tidak berdaya. Anggapan bahwa kecacatan yang sekarang
disandangya tidak dapat disembuhkan dan itu semua adalah kesalahan
penyandangnya sendiri.
d. Tahap Rekonstruksi
Tahap ini dialami oleh penyandang cacat yang telah merasa jauh lebih
kuat secara fisik dan telah memiliki cukup waktu untuk memulai suatu
keterampilan hidup baru. Pada tahap ini biasanya rasa aman mulai tumbuh, serta
suasana hati lebih bahagia karena penyandang cacat sudah mulai berusaha untuk
menguasai kemampuan-kemampuan baru untuk kehidupannya.
Hal-hal yang direkonstruksi bukanlah hidup seperti yang sebelumnya,
namun perasaan bahwa diri penyandang cacat tersebut adalah seseorang yang utuh
entitas dan kohesif. Rekonstruksi ini memiliki beberapa aspek, seperti
keterampilan baru, dan yang paling penting adalah kekuatan emosional.
e. Tahap Intermitten Depression / Depresi Berulang
Setelah semua tampak lebih cerah bagi penyandang cacat, maka akan ada
keinginan untuk melakukan jeda dalam melakukan aktivitas-aktivitas baru yang
kini dilakukan. Ketika masa jeda atau masa istirahat dilakukan oleh penyandang
cacat, maka akan muncul bayangan mengenai hal-hal yang dahulu sebelum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
menyandang kecacatan dilakukannya dengan lebih mudah. Bayangan-bayangan
tersebut dapat menghasilkan kesedihan dan keputusasaan, apalagi jika kecacatan
yang disandangya sekarang telah mengakibatkan banyak hal yang kurang
menyenangkan terjadi dalam kehidupan sang penyandang cacat tersebut.
Depresi berulang menggabungkan dua perasaan, yaitu kesadaran akan
hilangnya fungsi yang biasa dilakukan sebelum menyandang kecacatan, dan hal
yang disebut sebagai phantom psyche, yaitu bayangan-bayangan atau khayalan-
khayalan yang muncul seperti bagaimana kehidupan yang seharusnya dilalui
sekarang jika tidak menyandang cacat, atau bagaimana jika sekarang masih
menjalani hidup sebagai manusia normal. Keinginan-keinginan untuk kembali
normal membuat penyandang cacat mengalami depresi yang berulang-ulang. Hal
ini terjadi karena sering kali pada saat senggang, bayangan-bayangan dan
keinginan-keinginan tersebut muncul kembali dan berulang-ulang.
f. Tahap Renewal/Pembaharuan
Ketika masa kesedihan, kehampaan, penyesalan, dan keinginan yang
sangat kuat untuk sembuh kembali telah hilang, telah menguasa teknik
menggunakan kursi roda, dan telah bangga dengan prestasi yang didapatkan, yaitu
dapat menjalani kehidupan mandiri meski menyandang kecacatan, seorang
penyandang cacat mulai memasuki tahap renewal. Hal yang paling terlihat dalam
tahap ini adalah adanya perubahan gaya hidup dan harus adanya keterampilan-
keterampilan baru.
Penyandang cacat yang telah masuk tahap renewal, mampu menerima
keadaan yang dihadapinya sekarang. Penyandang cacat telah menguasai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
keterampilan-keterampilan untuk dapat mandiri dengan kondisinya sekarang,
sehingga tidak lagi merasa cemas dengan masa depannya. Secara emosional,
penyandang cacat juga lebih stabil.
Berdasarkan pada teori-teori yang diungkapakan oleh para ahli mengenai
tahapan-tahapan emosional yang dilalui oleh penyandang cacat sebagaimana
dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tahapan emosional seorang
penyandang cacat untuk menuju kepada penerimaan diri sangat berbeda-beda
pada masing-masing orang. Ada orang yang melalui seluruh tahapan emosional
secara berurutan, ada orang yang melalui seluruh tahapan emosional secara tidak
berurutan, dan ada pula orang yang melalui sebagian saja tahapan emosional
tersebut. Tahapan-tahapan emosional yang secara teoretis dilalui oleh seorang
penyandang cacat terdiri atas enam tahapan, yaitu tahap krisis, tahap isolasi, tahap
kemarahan, tahap rekonstruksi, tahap depresi berulang, dan tahap pembaharuan
(yang di dalamnya, penyandang cacat yang bersangkutan telah mampu menerima
dirinya).
4. Ciri-Ciri Individu yang Menerima Dirinya
Penerimaan diri yang dibentuk oleh seorang individu, menurut Schultz
(1991) merupakan suatu hasil dari tinjauan pada seluruh kemampuan diri pribadi
individu tersebut. Hal ini diperjelas oleh Jersild (1963) yang menyatakan bahwa
terbentuknya pengertian tentang arti positif dari kenyataan mengenai kemampuan-
kemampuan diri sendiri diperoleh dengan cara meninjau kemampuan tersebut
berdasarkan pada nilai-nilai sosial yang sudah ada.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Sheerer (dalam Thompson, Gardiner, dan Di Vesta, 1959) menyebutkan
bahwa orang yang menerima dirinya memiliki sejumlah nilai dan patokan dalam
berperilaku. Nilai-nilai tersebut akan membentuk keutuhan pribadi orang
termasuk dalam menerima keadaan dirinya. Sheerer (dalam Cronbach, 1963)
mengungkapkan delapan ciri orang yang menerima dirinya, yaitu:
a. Memiliki keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi kehidupan.
Yakin akan kemampuannya untuk menghadapi kehidupan di sini dapat
berupa percaya terhadap dirinya sendiri, lebih melihat kelebihan daripada
kekurangan yang ada dalam dirinya, serta puas menjadi diri sendiri. Orang yang
menerima dirinya akan berpandangan optimis terhadap masa depan, sehingga apa
yang ada di depannya akan nampak cerah.
b. Menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia yang sederajat dengan
orang lain.
Orang yang menerima dirinya akan memandang bahwa harga dirinya sama
dengan harga diri orang lain di sekitarnya. Hal ini membuat orang yang menerima
dirinya merasa memiliki kedudukan yang sama dalam hak dan kewajiban dengan
orang lain di sekitarnya.
c. Tidak menganggap dirinya abnormal atau aneh dan tidak mengharapkan orang
lain menolak dirinya.
Menerima diri berarti menganggap dirinya sama dengan orang lain, bukan
merupakan suatu anomali yang harus dijauhkan dari komunitas normal. Orang
dengan penerimaan diri yang baik berarti mampu menempatkan diri sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
manusia seutuhnya tanpa memandang dirinya sebagai suatu hal yang ditolak oleh
orang lain.
d. Tidak malu atau hanya senantiasa memperhatikan dirinya sendiri.
Orang dengan penerimaan diri yang baik akan memiliki orientasi diri lebih
ke luar daripada ke dalam dirinya sendiri. Sikap menolong, ramah kepada orang
lain, dan lain-lain dilakukan oleh orang dengan penerimaan diri yang baik. Hal ini
akan membantu orang tersebut untuk lebih diterima secara sosial oleh orang lain.
e. Berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya.
Orang dengan penerimaan diri yang baik berani memikul tanggung jawab
atas akibat dari apa yang telah dia lakukan. Orang dengan penerimaan diri yang
baik cenderung berani mengakui kesalahan yang diperbuat dan berani mengakui
suatu hal yang memang menjadi haknya.
f. Menggunakan norma dirinya sendiri dalam berperilaku.
Orang dengan penerimaan diri yang baik cenderung untuk lebih mengikuti
standar dirinya sendiri daripada bersikap conform terhadap tekanan sosial. Orang
dengan penerimaan diri yang baik cenderung menganggap dirinya memiliki hak
untuk memiliki ide, aspirasi dan pengharapan sendiri.
g. Menerima pujian dan celaan secara objektif.
Orang dengan penerimaan diri yang baik cenderung mampu melakukan
penilaian yang realistik terhadap kelebihan dan kekurangannya. Hal ini juga
terjadi dalam menerima pujian dan celaan. Orang dengan penerimaan diri yang
baik cenderung akan bersikap asertif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
h. Tidak menyalahkan dirinya akan keterbatasan yang dimilikinya atau
mengingkari kelebihannya.
Orang dengan penerimaan diri yang baik cenderung untuk menerima
dirinya dan tidak menyangkal impuls emosinya. Orang dengan penerimaan diri
yang baik cenderung untuk menganggap wajar kekurangan atau keterbatasan
dirinya daripada orang lain, seperti ketika orang lain juga memiliki keterbatasan.
Berdasarkan pada teori mengenai ciri-ciri individu yang menerima dirinya
seperti yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa orang yang dapat
menerima dirinya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a). Yakin atas
kemampuannya dalam menghadapi kehidupan; (b). Menganggap dirinya sederajat
dengan orang lain; (c). Menganggap dirinya normal dan tidak mengharapkan
orang lain menolak dirinya; (d). Berorientasi ke luar; (e). Bertanggungjawab
terhadap perbuatan yang telah dilakukan; (f). Menggunakan norma-norma diri
sendiri dalam berperilaku; (g). Menerima celaan dan pujian secara objektif; (h).
Tidak menyalahkan diri sendiri atas keterbatasan dan ketidakberdayaan yang
dimiliki.
5. Aspek-Aspek Penerimaan Diri
Menurut Jersild (dalam Hurlock, 1974), individu yang menerima dirinya
sendiri memiliki keyakinan akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinya
tanpa terpaku pada pendapat orang lain. Orang yang menerima dirinya memiliki
perhitungan akan keterbatasan dirinya serta tidak melihat dirinya sendiri secara
irasional. Individu yang menerima dirinya menyadari potensi diri yang dimiliki,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
merasa bebas untuk menarik atau melakukan keinginan, serta menyadari
kekurangan yang dimiliki tanpa menyalahkan diri sendiri.
Secara rinci, Jersild (1963) mengemukakan beberapa poin mengenai aspek
penerimaan diri sebagai berikut :
a. Persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan realistis.
Individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang baik akan berpikir
lebih realistik tentang penampilan dan bagaimana ia terlihat dalam pandangan
orang lain. Ini bukan berarti individu tersebut mempunyai gambaran sempurna
tentang dirinya, melainkan individu tersebut dapat melakukan sesuatu dan
berbicara secara objektif mengenai dirinya yang sebenarnya.
b. Sikap terhadap kelemahan dan kekutan diri sendiri dan orang lain realistis.
Individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang baik akan
memandang kelemahan dan kekuatan dalam dirinya dengan lebih baik daripada
individu yang tidak memiliki penerimaan diri. Individu tersebut kurang menyukai
jika harus menyia-nyiakan energinya untuk menjadi hal yang tidak mungkin, atau
berusaha menyembunyikan kelemahan dari dirinya sendiri maupun orang lain. Ia
pun tidak berdiam diri dengan tidak memanfaatkan kemampuan yang dimilikinya.
Sebaliknya, akan menggunakan bakat yang dimilikinya dengan lebih leluasa.
Individu yang bersikap baik dalam menilai kelemahan dan kekuatan dirinya akan
bersikap baik pula dalam menilai kelemahan dan kekuatan orang lain.
c. Merasa sejajar dengan orang lain.
Seseorang individu yang terkadang merasakan infeoritas atau disebut
dengan infeority complex adalah seseorang individu yang tidak memiliki sikap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
penerimaan diri dan hal tersebut akan mengganggu penilaian yang realistik atas
dirinya. Adapun orang yang menerima diri akan cenderung untuk merasa sejajar
dengan orang lain dan memandang diri secara realistis.
d. Respon realistis atas penolakan dan kritikan
Individu yang memiliki penerimaan diri tidak menyukai kritikan, namun
demikian ia mempunyai kemampuan untuk menerima kritikan bahkan dapat
mengambil hikmah dari kritikan tersebut. Ia berusaha untuk melakukan koreksi
atas dirinya sendiri, ini merupakan hal yang penting dalam perkembangannya
menjadi seorang individu dewasa dan dalam mempersiapkan diri untuk
menghadapi masa depan individu yang tidak memiliki penerimaan diri justru
menganggap kritikan sebagai wujud penolakan terhadapnya. Yang penting dalam
penerimaan diri yang baik adalah mampu belajar dari pengalaman dan meninjau
kembali sikapnya yang terdahulu untuk memperbaiki diri.
e. Memiliki keseimbangan antara “real self” dan “ideal self”
Individu yang memiliki penerimaan diri akan mempertahankan harapan
dan tuntutan dari dalam dirinya dengan baik dalam batas-batas kemungkinan.
Individu ini mungkin memiliki ambisi yang besar, namun tidak mungkin untuk
mencapainya walaupun dalam jangka waktu yang lama dan menghabiskan
energinya. Oleh karena itu, untuk memastikan ia tidak akan kecewa saat nantinya,
ia menyeimbangkan antara ideal self dengan real self.
f. Menerima orang lain.
Apabila seorang individu menyanyangi dirinya, maka akan lebih
memungkinan baginya untuk menyayangi orang lain. Sebaliknya, apabila seorang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
individu merasa benci pada dirinya, maka akan lebih memungkinkan untuk
merasa benci pada orang lain. Terciptanya hubungan timbal balik antara
penerimaan diri dan penerimaan orang lain akan berakibat individu yang memiliki
penerimaan diri merasa percaya diri dalam memasuki lingkungan sosial.
g. Berusaha untuk menuruti kehendak, dan menonjolkan diri.
Menerima diri dan menuruti diri merupakan dua hal yang berbeda.
Apabila seorang individu menerima dirinya, hal tersebut bukan berarti ia
memanjakan dirinya, akan tetapi, ia akan menerima bahkan menuntut kelayakan
dalam kehidupannya dan tidak akan mengambil yang bukan haknya dalam
mendapatkan posisi yang menjadi incaran dalam kelompoknya. Individu yang
menerima dirinya tidak akan membiarkan orang lain selangkah lebih maju darinya
dan menggagu langkahnya. Individu dengan penerimaan diri menghargai harapan
orang lain dan meresponnya dengan bijak, memiliki pendirian yang terbaik dalam
berfikir, merasakan dan membuat pilihan, serta tidak hanya menjadi pengikut setia
inisiatif orang lain.
h. Spontanitas dan menikmati hidup
Individu dengan penerimaan diri yang baik mempunyai lebih banyak
keleluasaan untuk menikmati hal-hal dalam hidupnya, namun terkadang ia kurang
termotivasi untuk melakukan sesuatu yang rumit. Individu tersebut tidak hanya
leluasa menikmati sesuatu yang dilakukannya, akan tetapi juga leluasa untuk
menolak atau menghindari sesuatu yang tidak ingin dilakukannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i. Aspek moral penerimaan diri: Jujur dalam menerima diri
Individu dengan penerimaan diri yang baik bukanlah individu yang
berbudi baik dan bukan pula fleksibelitas dalam pengaturan hidupnya. Ia memiliki
kejujuran untuk menerima dirinya sebagai apa dan untuk apa ia nantinya, dan ia
tidak menyukai kepura-puraan. Individu ini dapat secara terbuka mengakui
dirinya sebagai individu yang pada suatu waktu dalam masalah, merasa cemas,
ragu, dan bimbang tanpa harus menipu diri dan orang lain.
j. Sikap terhadap penerimaan diri positif
Menerima diri merupakan hal peting dalam kehidupan seseorang. Individu
yang dapat menerima beberapa aspek hidupnya, mungkin mengalami keraguan
dan kesulitan dalam menghormati orang lain. Hal tersebut merupakan arahan agar
dapat menerima dirinya. Individu dengan penerimaan diri membangun
kekuatannya untuk menghadapi kelemahan dan keterbatasaannya. Banyak hal
dalam perkembangan seorang individu yang belum sempurna, bagi seseorang
individu akan lebih baik jika ia dapat menggunakan kemampuannya dalam
perkembangan hidupnya.
Ahli lain, yaitu Sheerer (dalam Cronbach, 1963) mengungkapkan adanya
tujuh aspek penerimaan diri, antara lain:
a. Percaya terhadap kemampuan diri
Individu yang menerima diri cenderung mempunyai kemampuan untuk
menghadapi kehidupan sekarang dan yang akan datang, sehingga individu
tersebut percaya bahwa kemampuan yang dimilikinya dapat membantu dirinya
menghadapi kehidupannya, baik sekarang maupun yang akan datang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
b. Perasaan sederajat
Individu yang menerima diri menganggap diri sendiri berharga sebagai
manusia yang sama derajatnya dengan orang lain. Perasaan ini akan mengarahkan
individu tersebut untuk merasa sama seperti orang lain, tidak merasa dirinya
menyimpang ataupun istimewa.
c. Orientasi ke luar diri
Individu yang menerima diri akan merasa tidak malu atau self conscious
dalam berperilaku di lingkungannya. Hal ini akan membuat individu yang
bersangkutan lebih memperhatikan dan toleran terhadap orang lain.
d. Bertanggungjawab
Individu yang menerima diri cenderung berani memikul tanggung jawab
atas perilaku yang dilakukannya.
e. Berpendirian
Individu yang menerima diri akan cenderung lebih suka mengikuti
standarnya sendiri daripada bersikap conform terhadap standard-standard yang
diberlakukan oleh orang lain.
f. Menyadari keterbatasan
Individu yang menerima diri tidak menyalahkan diri atas keterbatasan-
keterbatasan yang dimiliki atau mengingkari kelebihan-kelebihan yang dimiliki.
g. Menerima sifat kemanusiaan
Individu yang menerima diri tidak menyangkal impuls atau emosinya, atau
merasa bersalah karenanya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Setelah membandingkan antara dua teori mengenai aspek-aspek
penerimaan diri di atas, penulis lebih cenderung menggunakan aspek-aspek
penerimaan diri menurut Sheerer yang berisi: (a) Percaya terhadap kemampuan
diri; (b) Perasaan sederajat; (c) Orientasi ke luar diri; (d) Bertanggungjawab; (e)
Berpendirian; (f) Menyadari keterbatasan; (g) Menerima sifat kemanusiaan.
Aspek-aspek dari Sheerer ini dipilih karena telah mewakili aspek-aspek yang ada
pada teori yang lain, serta lebih mudah dioperasionalkan.
6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri
Menurut Hurlock (1974), faktor-faktor yang mempengaruhi dalam
penerimaan diri adalah :
a. Adanya pemahaman tentang diri sendiri.
Pemahaman tentang diri timbul karena adanya kesempatan seseorang
untuk mengenali kemampuan dan ketidakmampuannya. Individu yang dapat
memahami dirinya sendiri tidak akan hanya tergantung dari kemampuan
intelektualnya saja, tetapi juga pada kesempatannya untuk penemuan diri sendiri,
maksudnya semakin orang dapat memahami dirinya, maka semakin ia dapat
menerima dirinya.
b. Adanya hal yang realistik
Hal yang realistik dalam hal ini timbul jika individu menentukan sendiri
harapannya dengan disesuaikan dengan pemahaman dengan kemampuannya, dan
bukan diarahkan oleh orang lain dalam mencapai tujuannya dengan memiliki
harapan yang realistik, maka akan semakin besar kesempatan tercapainya harapan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
itu, dan hal ini akan menimbulkan kepuasan diri yang merupakan hal penting
dalam penerimaan diri.
c. Tidak adanya hambatan di dalam lingkungan
Ketika seseorang sudah memiliki harapan yang realistik, namun jika
lingkungan disekitarnya tidak memberikan kesempatan atau bahkan menghalangi,
maka harapan individu tersebut akan sulit tercapai. Sehingga, agar seseorang
dapat menerima dirinya, maka hambatan-hambatan di dalam lingkungannya harus
dihilangkan.
d. Sikap-sikap anggota masyarakat di lingkungan individu yang bersangkutan
menyenangkan
Sikap-sikap anggota masyarakat di lingkungan individu yang
bersangkutan sangat mempengaruhi penerimaan diri individu yang bersangkutan.
Hal yang harus menjadi perhatian adalah tidak mungkin seorang individu mampu
menerima dirinya apabila sikap-sikap anggota masyarakat di lingkungannya
sangat buruk terhadap individu yang bersangkutan.
Sikap anggota masyarakat di lingkungan individu yang bersangkutan
(dalam hal ini adalah penyandang cacat) yang memberikan dukungan-dukungan
terhadap individu yang bersangkutan memiliki peranan penting dalam
pembentukan sikap penerimaan diri.
e. Tidak adanya gangguan emosional yang berat
Karakteristik orang yang sehat mental salah satunya adalah tidak
mengalami gangguan emosional berat. Tidak adanya gangguan emosional yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
berat akan menciptakan kondisi individu dapat bekerja sebaik mungkin dan
merasa bahagia.
f. Pengaruh keberhasilan yang dialami, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Keberhasilan yang dialami seorang individu akan dapat menimbulkan
penerimaan diri. Sebaliknya, jika yang dialami individu adalah kegagalan, maka
individu yang bersangkutan akan menolak dirinya sendiri.
g. Identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik
Individu yang mengidentifikasikan dengan individu yang memiliki
penyesuaian diri yang baik akan dapat membangun sikap-sikap yang positif
terhadap diri sendiri, dan bertingkah laku dengan baik sehingga menimbulkan
penilaian diri yang baik dan penerimaan diri yang baik. Identifikasi dengan orang
yang memiliki penyesuaian diri yang baik akan menambah penerimaan sosial
pula.
h. Adanya perspektif diri yang luas
Memiliki perspektif diri yang luas yaitu memperhatikan pandangan orang
lain tentang diri. Perspektif yang luas ini diperoleh melalui pengalaman dan
belajar. Usia dan tingkat pendidikan memegang peranan penting bagi seseorang
untuk mengembangkan perspektif dirinya.
i. Pola asuh dimasa kecil yang baik
Pola asuh yang dialami oleh seorang individu pada masa kecilnya akan
sangat berpengaruh terhadap tingkat penerimaan diri yang dimiliki. Seorang anak
yang diasuh secara demokratis akan cenderung berkembang sebagai individu yang
dapat menghargai dirinya sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
j. Konsep diri yang stabil
Individu yang memiliki konsep diri yang stabil akan dapat
mengaktualisasikan diri di hadapan orang lain karena memiliki kepercaan diri
yang tinggi. Sedangkan, individu yang tidak memiliki konsep diri yang stabil,
akan sulit menunjukkan pada orang lain, siapa ia yang sebenarnya, sebab ia
sendiri ambivalen terhadap dirinya.
Ahli lain, Jersild (1963), menyebutkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi penerimaan diri seseorang antara lain:
a. Usia
Menurut Jersild (1963), penerimaan diri individu cenderung sejalan
dengan usia individu tersebut. Semakin matang dan dewasa seorang individu,
semakin tinggi pula tingkat penerimaan dirinya.
b. Pendidikan
Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin besar pula
kesempatan individu tersebut dalam mengembangkan potensi yang dimiliki, dan
kemampuan diri yang dimiliki, sehingga semakin tinggi kepuasan diri yang dapat
diraih. Dengan semakin tingginya kepuasan diri yang didapatkan, otomatis tingkat
penerimaan diri akan semakin tinggi.
c. Keadaan Fisik
Menurut Fuhrmann (1990), keadaan fisik seseorang akan mempengaruhi
tingkat penerimaan diri. Remaja cenderung lebih mempertimbangkan keadaan
fisik mereka daripada orang yang lebih tua dalam menerima diri, dan wanita lebih
mempertimbangkan keadaan fisik mereka dalam menerima diri daripada laki-laki.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Penelitian yang dilakukan oleh Institute of Child Welfare, University of California
mendapatkan data dari 93 anak laki-laki dan 83 anak perempuan. Hasil penelitian
itu menyebutkan bahwa 29 orang anak laki-laki dari total 93 responden anak laki-
laki merasa terganggu oleh keadaan fisiknya, dan lima orang anak laki-laki
mengalami masalah berkaitan dengan penyesuaian diri yang dikarenakan oleh
kondisi fisiknya. Hasil penelitian dari 83 responden anak perempuan
menyebutkan bahwa 38 orang anak perempuan merasa terganggu oleh keadaan
fisiknya, dan 12 orang responden mengaku mengalami masalah penyesuaian diri
yang dikarenakan oleh keadaan fisik.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Okoro dkk. (2009), prevalensi
serious psychological distress/SPD (tekanan psikologis serius) yang dialami oleh
orang dewasa yang menyandang kecacatan hampir tujuh kali lebih banyak
dibandingkan dengan orang dewasa yang tidak mengalami kecacatan (14,1% pada
orang dewasa penyandang cacat dan 1,8% pada orang dewasa normal).
d. Inteligensi
Faktor inteligensi juga mempengaruhi tingkat penerimaan diri yang
dilakukan oleh seseorang. Orang dengan inteligensi yang lebih tinggi akan
cenderung memiliki lebih banyak kemampuan dibandingkan dengan orang dengan
inteligensi yang lebih rendah. Hal ini akan berimbas pada kepuasan individu yang
lebih tinggi, sehingga akan lebih mudah dalam menerima diri.
e. Pola Asuh Orang Tua
Hurlock (1974) menyebutkan bahwa pola asuh demokratik membuat anak
merasa dihargai sebagai manusia dalam keluarga. Anak yang merasa dihargai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
sebagai manusia cenderung akan menghargai dirinya sendiri dan memperkirakan
sendiri tanggung jawab yang harus dipikulnya, sehingga ia akan mengendalikan
perilakunya sendiri dengan kerangka aturan yang ia buat dengan berpedoman
pada norma-norma yang ada di masyarakat.
f. Dukungan Sosial
Salah satu faktor faktor yang paling penting dalam membuat seseorang
meneriman dirinya, menurut Hurlock (1973) adalah dukungan sosial, terutama
dari orang-orang yang berpengaruh bagi individu tersebut. Penerimaan diri juga
lebih mudah dilakukan oleh orang-orang yang mendapat perlakuan yang lebih
baik dan menyenangkan. Penelitian Okoro dkk, (2009) menemukan bahwa
kurangnya dukungan sosial membuat orang dewasa penyandang cacat lebih rentan
mengalami serious psychological distress (tekanan psikologis serius) jika
dibandingkan dengan orang dewasa penyandang cacat yang mendapatkan
dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya.
Dukungan sosial memiliki beberapa aspek. House (dalam Smet, 1994)
memaparkan aspek-aspek dukungan sosial sebagai berikut:
1) Dukungan emosional
Dukungan emosional mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan
perhatian terhadap orang yang bersangkutan. Dukungan emosional akan nampak
dari kualitas dan kuantitas interaksi yang dilakukan oleh orang-orang di
lingkungan dengan penyandang cacat yang bersangkutan. Semakin baik kualitas
dan semakin banyak kuantitas interaksi antara penyandang cacat yang
bersangkutan dengan orang-orang di lingkungannya, maka semakin besar pula
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dukungan emosional yang didapatkan oleh penyandang cacat tersebut. Dukungan
emosional memiliki empat aspek, yaitu empati, simpati, kepedulian, dan
perhatian.
2) Dukungan penghargaan
Dukungan penghargaan meliputi ungkapan formal, dorongan untuk maju,
serta membantu penyandang cacat yang bersangkutan untuk melihat segi-segi
positif yang ada dalam dirinya dibandingkan dengan keadaan orang lain. Hal ini
berfungsi untuk menambah penghargaan diri penyandang cacat tersebut.
3) Dukungan instrumental
dukungan instrumental mencakup bantuan langsung, sesuai dengan yang
dibutuhkan penyandang cacat yang bersangkutan. orang-orang di lingkungan
penyandang cacat mungkin memberikan dukungan instrumental yang berupa alat-
alat yang dapat meningkatkan kemandirian penyandang cacat yang bersangkutan.
4) Dukungan informatif
Dukungan informatif meliputi pemberian nasihat-nasihat, petunjuk,
saransaran dan umpan balik kepada penyandang cacat yang bersangkutan.
Berdasarkan pada paparan teori mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi penerimaan diri seorang individu yang telah dijelaskan di atas,
dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan
diri seseorang adalah faktor usia, faktor pendidikan, faktor keadaan fisik, faktor
inteligensi, faktor pola asuh orang tua, dan faktor dukungan sosial.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
B. Dukungan Emosional Keluarga
1. Pengertian Dukungan Emosional Keluarga
Telah diungkapkan sebelumnya, bahwa dukungan emosional merupakan
salah satu aspek dari dukungan sosial. Dukungan sosial sendiri didefinisikan
sebagai bantuan yang dapat diberikan kepada keluarga lain berupa barang, jasa,
informasi dan nasehat, yang mana membuat penerima dukungan akan merasa
disayang, dihargai, dan tentram (Taylor, 1995).
Cohen dan Syme (1985) menentukan bahwa dukungan sosial mengacu
pada sejumlah aspek yang berbeda dari hubungan sosial. Dukungan sosial
kadang-kadang didefinisikan secara konseptual atau operasional dalam hal
keberadaan atau kualitas hubungan sosial secara umum, atau jenis tertentu.
Dukungan sosial biasanya juga didefinisikan sebagai isi fungsional dari relasi
sosial. seperti tingkat yang melibatkan arus hubungan mempengaruhi atau
keprihatinan emosional, instrumental atau bantuan nyata, informasi dan
sejenisnya.
Dukungan sosial menurut House (dalam Smet, 1994) memiliki empat
aspek, yaitu dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan material, dan
dukungan informasional. Aspek yang memiliki peran terpenting di antara keempat
aspek dukungan sosial tersebut adalah dukungan emosional. Hal ini dikarenakan
dukungan emosional adalah dasar bagi ketiga aspek yang lain (Corneil, 2007).
Thoits (1986) mengungkapkan bahwa dukungan emosional dapat berupa
ungkapan rasa simpati, yaitu ikut merasakan apa yang dirasakan oleh seseorang;
pemberian perhatian yang dapat pula berupa pengalokasian waktu oleh seseorang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
untuk mendengarkan dan didengarkan; kasih sayang yang merupakan kelanjutan
dari rasa simpatik, penghargaan yang dapat berupa penghargaan verbal maupun
non verbal; dan kebersamaan atau keberadaan seseorang yang diberikan kepada
seseorang yang membutuhkan untuk mempertahankan semangatnya.
Corsini (1999) menyatakan bahwa dukungan emosional adalah
penentraman hati, dorongan dan persetujuan yang diterima dari seorang individu
atau kelompok. Dukungan emosional menjadi faktor utama dalam
mempertahankan semangat, dukungan emosional biasa ditemukan dalam
kelompok inspirasional dan juga dalam kegiatan yang dilakukan sendiri, seperti
meditasi, membaca buku, dan berdoa. Ahli lain, yaitu Basavanna (2000)
mendefinisikan dukungan emosional sebagai peneguhan, dorongan, dan
persetujuan yang diterima dari seorang individu atau kelompok.
Dapat disimpulkan bahwa dukungan emosional keluarga merupakan
ungkapan rasa simpati, pemberian perhatian, kasih sayang, penghargaan dan
kebersamaan yang diterima dari seorang atau beberapa orang dalam keluarga
orang yang bersangkutan, dan ungkapan rasa simpati, pemberian perhatian, kasih
sayang, penghargaan dan kebersamaan tersebut menjadi faktor utama dalam
mempertahankan semangat.
2. Aspek-Aspek dalam Dukungan Emosional
Corsini (1999) menyatakan bahwa dukungan emosional memiliki bentuk
seperti penentraman hati, dorongan dan persetujuan. Sedangkan Thoits (1986)
dalam penelitiannya mengungkapkan ada lima aspek dalam dukungan emosional.
Kelima aspek dalam dukungan emosional tersebut adalah:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1) Ungkapan Rasa Simpati
Simpati berupa kemampuan untuk ikut merasakan perasaan yang dialami
oleh seseorang (Statt, 1998). Ungkapan rasa simpati dapat berupa ungkapan
verbal dan non verbal.
2) Pemberian Perhatian
Pemberian perhatian yang dilakukan oleh seseorang yang memberikan
dukungan emosional dapat berupa pencurahan waktu untuk mendengarkan
(listening) dan didengarkan (listened). Kemampuan seseorang dalam memberikan
perhatian berbeda-beda antara satu orang dengan orang yang lain. Demikian pula
dengan model-model atau cara-cara seseorang dalam mengungkapkan
perhatiannya kepada orang lain juga berbeda-beda. Kemampuan orang dalam
melihat dan mengukur perhatian yang diberikan oleh orang lain pun juga berbeda-
beda.
3) Kasih Sayang
Kasih sayang atau dikenal juga sebagai afeksi secara harfiah adalah
semacam status kejiwaan yang disebabkan oleh pengaruh eksternal. Afeksi atau
kasih sayang menjelaskan hubungan dari sekedar rasa simpati atau persahabatan
antara dua orang yang lebih. Pemberian kasih sayang pada masing-masing orang
berbeda dalam cara pemberian dan intensitasnya.
4) Penghargaan
Dukungan emosional yang berupa penghargaan dapat berupa penghargaan
yang diberikan secara verbal, non verbal, maupun dengan penghargaan material.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Meskipun terdapat tiga macam penghargaan (verbal, non verbal dan material),
namun ketiga macam penghargaan tersebut saling berkaitan.
5) Kebersamaan
Dukungan emosional yang berupa kebersamaan diartikan sebagai
keberadaan seseorang ketika orang lain membutuhkannya. Selain keberadaan
ketika dibutuhkan oleh orang lain, kebersamaan yang dimaksud di sini adalah
kebersamaan secara emosional, yaitu mau bersama dalam suka dan duka.
House (1981, dalam Cohen dan Syme, 1985) mengidentifikasikan bahwa
dukungan emosional mencakup hal-hal sebagai berikut:
1) Ungkapan empati
Orang yang mampu memberikan dukungan emosional kepada orang lain
adalah orang yang mengerti apa yang dirasakan dan apa yang kira-kira sedang
dipikirkan oleh orang lain tersebut. Tanpa mengetahui perasaan dan pikirannya,
seseorang tidak akan mampu untuk memberikan dukungan emosional terhadap
orang yang bersangkutan.
2) Kasih Sayang
Pemberian dukungan emosional berarti juga mencurahkan kasih sayang
bagi individu yang bersangkutan.
3) Penghargaan
Pemberian penghargaan yang dilakukan dapat berupa penghargaan secara
verbal maupun secara non verbal. Penghargaan terhadap seseorang merupakan
suatu dukungan yang penting dalam dukungan emosional, karena dengan adanya
penghargaan, eksistensi individu yang mendapatkannya merasa dihargai.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4) Kebersamaan
Meluangkan waktu untuk bersama-sama, menjadi pendengar yang baik,
dan memberikan feedback terhadap apa yang didengarkan adalah salah satu
komponen dalam dukungan emosional.
5) Perhatian
Perhatian atau attention dapat berupa kemauan untuk mendengarkan
(listening) dan kesediaan untuk didengarkan (listened). Mendengarkan di sini
diartikan sebagai mendengarkan secara empatik, sehingga kita mendengarkan
perkataan orang yang kita berikan dukungan emosional, dan juga memahami apa
yang dirasakan dan juga dipikirkan oleh orang yang bersangkutan.
Berdasarkan pada teori-teori mengenai aspek-aspek dukungan emosional
yang telah diungkapkan di atas, dapat dilihat bahwa aspek-aspek dukungan
emosional antara lain (a). ungkapan rasa simpati; (b). kasih sayang;
(c) penghargaan; (d) kebersamaan; dan (e). pemberian perhatian. Aspek-aspek ini
dipilih oleh penulis karena merupakan aspek-aspek dukungan emosional yang
lebih mudah dioperasionalkan.
C. Hubungan Antara Dukungan Emosional Keluarga
dengan Penerimaan Diri Penyandang Cacat
Seseorang yang tumbuh dan berkembang dengan kondisi fisik yang
sempurna, kemudian karena suatu kecelakaan atau suatu musibah, mengalami
gangguan medis pada suatu anggota gerak yang mengharuskan kehilangan
sebagian anggota gerak tersebut, atau mengalami gangguan medis pada susunan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
sistem saraf, yang mengakibatkan tidak dapat menggunakan sebagian atau seluruh
anggota gerak yang dimiliki pasti akan membuat perubahan yang sangat besar
pada kondisi fisik, psikologis dan sosial. Menghadapi kenyataan harus
menyandang kecacatan seumur hidup karena suatu kecelakaan atau musibah
merupakan suatu hal yang sulit.
Rasa frustrasi karena tidak mampu melakukan hal-hal yang dahulu pada
saat masih normal dapat dilakukan, dan kecemasan akan masa depan membuat
individu penyandang cacat tetap sulit untuk menerima keadaan dirinya sekarang.
Rasa frustrasi dan kecemasan yang berlebihan pada akhirnya nanti akan berakibat
pada penolakan terhadap diri sendiri dan kondisi kecacatannya. Namun apabila
individu penyandang cacat dapat mengatasi rasa frustrasi dan kecemasan-
kecemasan yang muncul, maka akan dapat menerima diri dan kondisi
kecacatannya. Kondisi ini dinamakan sebagai penerimaan diri.
Jersild (1963) membahasakan penerimaan diri sebagai kondisi individu
yang menyadari kekurangan yang dimiliki tanpa menyalahkan diri sendiri.
Individu yang menerima diri menyadari bahwa dirinya memiliki potensi, sehingga
merasa bebas untuk melakukan keinginan dengan tetap memiliki perhitungan
akan keterbatasan yang dimiliki, sehingga tetap memandang diri secara rasional.
Penerimaan diri sangat penting dimiliki oleh penyandang cacat untuk dapat
melanjutkan kehidupannya dengan baik, karena tanpa penerimaan diri, seorang
individu akan mengalami penurunan kualitas hidup.
Seseorang individu dalam melakukan proses penerimaan diri didukung
oleh banyak faktor yang saling berkaitan satu sama lain. Salah satu faktor yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
paling penting dalam membuat seseorang dapat menerima diri, menurut Hurlock
(1973) adalah dukungan sosial, terutama dari orang-orang yang berpengaruh
(significant others), yaitu adalah keluarga. Aspek yang paling penting dalam
dukungan sosial, menurut House (dalam Corneil, 1998) adalah dukungan
emosional, karena mendasari aspek-aspek yang lain dalam dukungan sosial.
Dukungan emosional memiliki bentuk-bentuk seperti ungkapan rasa
simpati, pemberian perhatian, kasih sayang, penghargaan, dan kebersamaan.
Semakin besar ungkapan rasa simpati yang didapatkan oleh seorang individu,
maka akan merasa lebih dihargai oleh orang lain, sehingga dapat lebih
menghargai dirinya sendiri. Hal ini secara tidak langsung akan meningkatkan
penerimaan diri individu yang bersangkutan. Sebaliknya, jika seorang individu
hanya mendapatkan sedikit atau bahkan tidak mendapatkan simpati sama sekali
terutama dari keluarganya, maka akan merasa tidak dihargai, sehingga lebih
kesulitan dalam menghargai dirinya sendiri. Hal ini secara tidak langsung akan
mengakibatkan individu yang bersangkutan menolak dirinya sendiri, sehingga
akan mengalami kesulitan dalam menerima diri.
Perhatian, kebersamaan dan kasih sayang yang diterima ikut
mempengaruhi penerimaan diri seorang individu. Semakin besar perhatian, kasih
sayang dan kebersamaan yang didapatkan oleh seorang individu menandakan
bahwa orang-orang di lingkungan sekitarnya menerima keberadaan individu yang
bersangkutan. Hal ini akan berimbas pada meningkatnya keinginan individu yang
bersangkutan untuk menghargai diri dan menerima diri. Demikian pula
sebaliknya, jika seorang individu tidak diperhatikan, diasingkan (tidak diberi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
waktu dan tempat untuk menjalin kebersamaan) dan tidak diberi kasih sayang
oleh orang-orang yang ada di lingkungannya, maka individu yang bersangkutan
akan merasa tidak diterima oleh lingkungannya. Hal ini akan berakibat pada
penolakan terhadap dirinya.
Penghargaan yang diterima oleh seorang individu akan berpengaruh
terhadap penerimaan diri. Semakin besar penghargaan yang diberikan oleh
lingkungan terhadap seorang individu, maka akan semakin mudah pula bagi
individu yang bersangkutan untuk menerima diri. Sebaliknya, jika seorang
individu kurang diberikan penghargaan oleh orang-orang di lingkungannya, maka
individu yang bersangkutan akan lebih sulit dalam menerima dirinya.
Berdasarkan pada paparan di atas, dapat dilihat bahwa dukungan
emosional yang diberikan keluarga terhadap seorang individu pada akhirnya akan
berimbas pada tingkat penerimaan diri individu tersebut. Semakin besar dukungan
emosional yang didapatkan oleh seorang individu, maka akan semakin tinggi pula
tingkat penerimaan diri yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan. demikian
pula sebaliknya, semakin kecil dukungan emosional yang didapatkan oleh seorang
individu, maka akan semakin rendah pula tingkat penerimaan diri yang dimiliki
oleh individu yang bersangkutan.
D. Kerangka Pemikiran
Keluarga merupakan lingkungan sosial yang paling berpengaruh terhadap
seorang individu. Dukungan terbesar yang paling mempengaruhi seorang individu
kebanyakan berasal dari keluarganya sendiri. Hal tersebut juga berlaku pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kebanyakan penyandang cacat. Para penyandang cacat yang mengalami
pengurangan atau bahkan kehilangan fungsi tertentu pastinya akan membutuhkan
dukungan-dukungan tertentu dari orang lain, dan pada saat itu, dukungan yang
paling besar adalah dari keluarganya.
Penyandang cacat yang sedang merasakan kehilangan atas fungsi-
fungsinya yang dulu dapat dilakukan pasti membutuhkan dukungan agar dapat
menerima kenyataan bahwa dirinya kini tidak dapat lagi melakukan hal-hal yang
biasa dilakukannya sebelum menyandang kecacatan. Menerima kenyataan bahwa
dirinya tidak mampu melakukan fungsinya adalah hal yang sangat sulit bagi
sebagian besar penyadang cacat. Proses penerimaan diri tersebut harus dimulai
dari diri sendiri dan didukung oleh orang-orang di lingkungan penyandang cacat
yang bersangkutan, yaitu dengan pemberian dukungan. Dukungan yang paling
penting untuk mencapai penerimaan diri menurut Hurlock (1973) adalah
dukungan sosial, dan aspek yang paling penting dari dukungan sosial tersebut,
menurut Corneil, (2007) adalah dukungan emosional.
Berdasarkan paparan di atas, dapat dinyatakan bahwa semakin besar
dukungan emosional keluarga yang didapatkan oleh seorang penyandang cacat,
maka akan semakin tinggi pula tingkat penerimaan diri yang dimilikinya.
Demikian pula sebaliknya, semakin kecil dukungan emosional keluarga yang
didapatkan oleh seorang penyandang cacat, maka akan semakin rendah pula
tingkat penerimaan diri yang dimilikinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Gambar II: Kerangka Konseptual Pemikiran
E. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah :
Ada hubungan positif antara dukungan emosional keluarga dengan
penerimaan diri penyandang cacat tetap. Semakin besar dukungan emosional dari
keluarga, maka semakin besar pula tingkat penerimaan diri yang dimiliki oleh
penyandang cacat tetap tersebut.
Dukungan Emosional Keluarga Penerimaan Diri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB III
METODE PENELITIAN
Penentuan metode dalam suatu penelitian adalah suatu langkah yang
sangat penting dalam sebuah penelitian. Metode pengumpulan data merupakan
cara yang dipakai peneliti untuk memperoleh data yang diselidiki. Benar atau
salahnya suatu kesimpulan hasil penelitian sangat ditentukan oleh tepat atau
tidaknya metode penelitian yang digunakan. Hadi (1987) menyatakan bahwa
kesalahan menentukan metode akan mengakibatkan kesalahan dalam
pengambilan keputusan, sebaliknya semakin tepat metode yang digunakan
semakin baik pula hasil penelitian yang diperoleh.
A. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam peneilitan ini adalah:
Variabel tergantung : Penerimaan Diri Penyandang Cacat Tetap
Variabel bebas : Dukungan Emosional Keluarga
B. Definisi Operasional Variabel
Penelitian ini menggunakan definisi operasional variabel-variabel
penelitian sebagai berikut:
1. Penerimaan Diri Penyandang Cacat Tetap
Penerimaan diri penyandang cacat tetap adalah penilaian positif secara
keseluruhan dan realistis terhadap diri sendiri, serta mampu mencerna pendapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
orang lain mengenai dirinya secara objektif yang dilakukan oleh seseorang setelah
mengalami kehilangan sebagian fungsinya yang terjadi bukan karena faktor
bawaan. Orang yang menerima diri menyadari akan kekurangan dan kelebihannya
secara realistis. Kesadaran atas kekurangan dan kelebihan yang dimiliki membuat
orang yang menerima diri memiliki sifat percaya pada kemampuan diri sendiri,
merasa sederajat dengan orang lain, memiliki orientasi ke luar diri,
bertanggungjawab atas perbuatannya, berpendirian, serta menerima sifat-sifat
kemanusiaan yang dimiliki.
Pengukuran penerimaan diri yang dimiliki oleh seorang penyandang cacat
dilakukan dengan Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat yang dibuat
berdasarkan aspek-aspek penerimaan diri dari Sheerer (dalam Cronbach, 1963)
yaitu: percaya terhadap kemampuan diri; perasaan sederajat; orientasi ke luar diri;
bertanggungjawab; berpendirian; menyadari keterbatasan; dan menerima sifat
kemanusiaan.. Semakin tinggi skor yang didapatkan oleh seorang responden,
maka semakin tinggi pula penerimaan dirinya, begitu pula sebaliknya, semakin
rendah skor yang didapatkan, maka semakin rendah pula penerimaan diri
responden yang bersangkutan.
2. Dukungan Emosional Keluarga
Dukungan emosional merupakan pandangan atau penilaian individu
terhadap sikap-sikap yang dilakukan oleh lingkungan keluarga seorang individu
yang dapat membuat individu yang bersangkutan mendapatkan semangat baru.
Sikap-sikap tersebut berupa pemberian ungkapan rasa simpati, pemberian
perhatian dan kasih sayang seperti pencurahan waktu, kemauan untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mendengarkan individu yang bersangkutan, kemauan untuk mengerti harapan dan
keinginan individu yang bersangkutan, serta penghargaan dan kebersamaan yang
diberikan oleh lingkungan individu yang bersangkutan.
Pengukuran dukungan emosional yang diberikan oleh keluarga individu
yang bersangkutan dilakukan dengan menggunakan Skala Dukungan Emosional
Keluarga yang disusun berdasarkan aspek-aspek dukungan emosional menurut
Thoits (1986) yaitu: ungkapan rasa simpati; pemberian perhatian; kasih sayang;
penghargaan; dan kebersamaan. Semakin tinggi skor yang didapat oleh seorang
individu, maka semakin besar dukungan emosional keluarga yang didapatkannya,
demikian pula sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh, maka semakin
kecil pula dukungan emosional yang diperoleh oleh individu yang bersangkutan.
C. Populasi, Sampel dan Sampling.
Populasi yang yang diteliti dalam penelitian ini adalah para penyandang
cacat tetap yang diakibatkan oleh gempa bumi yang terjadi pada tanggal 27 Mei
2006 dan berdomisili di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Populasi penyandang cacat tetap akibat gempa di Kabupaten Bantul jumlahnya
tidak dapat dipastikan, namun menurut data yang tercatat oleh Departemen Sosial
Kabupaten Bantul, diperkirakan ada sebanyak 300 orang warga Kabupaten Bantul
yang menyandang cacat tetap akibat gempa bumi tanggal 27 Mei 2006. Usia
penyandang cacat tetap akibat gempa di Kabupaten Bantul sangat bervariasi,
mulai dari anak-anak, remaja, orang dewasa, hingga lansia. Dilihat dari segi sosial
ekonomi, penyandang cacat akibat gempa di Kabupaten Bantul juga bervariasi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
namun kebanyakan berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah.
Sebagian besar penyandang cacat tetap yang disebabkan gempa tanggal 27 Mei
2006 tersebut diberikan fasilitas pengembangan diri di Pusat Rehabilitasi
Penyandang Cacat Terpadu yang berlokasi di Kecamatan Pundong, Kabupaten
Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Menurut Arikunto (2002), jika populasi subjek lebih dari 100 orang, maka
dapat diambil sampel antara 10-11% atau 20-21% dari total populasi. Sampel
yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 30 orang penyandang
cacat yang mengikuti kegiatan pemberdayaan di Pusat Rehabilitasi Penyandang
Cacat Terpadu yang berlokasi di Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul, Daerah
Istimewa Yogyakarta. Hal ini disesuaikan dengan perhitungan bahwa 30 orang
adalah 10% dari total populasi, yaitu diperkirakan sebanyak 300 orang.
Adapun teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan teknik purposive incidental sampling, yaitu siapa saja yang secara
kebetulan bertemu dengan peneliti pada suatu waktu tertentu dapat digunakan
sebagai sampel bila dipandang orang yang ditemui tersebut sesuai dengan kriteria
yang ditentukan oleh peneliti (Sugiyono, 2004). Adapun pengambilan sampel
akan dilaksanakan menyesuaikan dengan jadwal pelatihan kerja yang
dilaksanakan di Pusat Rehabilitasi Penyandang Cacat Terpadu yang berada di
Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul. Pengambilan data dilaksanakan setelah
pelaksanaan kegiatan pelatihan kerja, sehingga diharapkan semakin banyak subjek
penelitian yang dapat ditemui pada saat tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
D. Teknik Pengumpulan Data.
Suatu penelitian sangat memerlukan perhatian pada segi pengumpulan
data, terutama dalam pengukuran. Metode pengumpulan data adalah suatu cara
yang dipakai oleh peneliti untuk memperoleh data yang akan diselidiki. Baik
buruknya hasil penelitian sebagian tergantung pada teknik pengumpulan data atau
sifat pengukurannya (Suryabrata, 1991). Pengumpulan data dalam penelitian ini
dilakukan dengan menggunkan skala psikologis. Adapun skala yang digunakan
dalam penelitian ini ada dua, yaitu skala penerimaan diri dan skala dukungan
emosional.
1. Skala Penerimaan Diri
Tujuan penggunaan skala ini adalah untuk mengukur tingkat penerimaan
diri responden penelitian. Aspek-aspek yang diukur dalam skala ini adalah tujuh
aspek penerimaan diri berdasarkan Sheerer (dalam Cronbach, 1963). Skala
penerimaan diri ini menggunakan bentuk skala modifikasi dari tipe Likert
Summated Rating (LSR) dengan menghilangkan jawaban ragu-ragu (R). sehingga,
masing-masing aitem memiliki empat pilihan jawaban, yaitu SS (sangat sesuai), S
(sesuai), TS (tidak sesuai), dan STS (sangat tidak sesuai). Penilaian skala bergerak
dari empat sampai satu untuk butir-butir favorable dan satu sampai dengan empat
untuk butir-butir yang unfavorable. Penentuan taraf penerimaan diri yang dimiliki
subjek dapat dilihat dari jumlah skor skala tersebut. Semakin tinggi jumlah skor
yang diperoleh berarti semakin tinggi taraf penerimaan dirinya.
Selanjutnya, blue-print skala penerimaan diri dapat dilihat pada tabel 1
sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 1
Blue Print Skala Penerimaan Diri
No Aspek Indikator Favourable
Unfavourable
Jumlah
1 Percayakemampuandiri
1. Percaya dapat hidup mandiri dengankondisi yang dialami
2. Memiliki rencana ke depan dengankondisi yang dihadapi.
3. Optimis dalam menghadapi masa depan4. Mengetahui kemampuan yang dimiliki
13, 22,35, 45
18, 21,23, 56,
8
2 PerasaanSederajat
1. Menganggap diri sederajat dengan oranglain
2. Tidak menganggap diri menyimpang3. Tidak menganggap diri istimewa4. Tidak mengalami hambatan emosional
ketika berkomunikasi
14, 20,36, 44
12, 17,19, 34
8
3 Orientasikeluar diri
1. Tidak malu dalam mengutarakanpendapat
2. Tidak banyak berpikir mengenaikekurangan diri sendiri ketika berada ditengah orang banyak.
3. Tidak menjadi orang yang paranoid ditengah-tengah orang banyak.
4. Lebih memperhatikan orang lain5. Lebih toleransi terhadap orang lain
15, 24,46, 55
7, 33,43, 47
8
4 Bertanggung-jawab
1. Berani bertanggung jawab atasperbuatan yang dilakukan
2. Berpikir mengenai kemungkinan yangterjadi sebelum melakukan perbuatan.
3. Tidak melakukan mekanisme pertahananego ketika harus menghadapi tanggungjawab.
11, 16,25, 54
8, 32,42, 48
8
5 Berpendirian 1. Lebih suka menggunakan norma-normayang dianut daripada harusmenyesuaikan dengan lingkungan
2. Memiliki prinsip yang selalu dipegangteguh
3. Merasa nyaman dengan standard-standardyang dimiliki.
4, 31,49, 51
10, 26,41, 50
8
6 Menyadariketerbatasan
1. Mengakui keterbatasan yang dimiliki2. Puas terhadap keadaan diri3. Rela atas kondisi yang dihadapi4. Tidak menyalahkan siapapun atas
keterbatasan yang dimiliki5. Menyadari kelebihan yang dimiliki
6, 29,38, 52
9, 27,37, 40
8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
No Aspek Indikator Favourable
Unfavourable
Jumlah
7 Menerimasifatkemanusiaan
1. Menyalurkan impuls emosi2. Tidak menyangkal atau merasa bersalah
karena penyaluran emosi3. Memaklumi sifat lupa
1, 5,30, 53
1, 2,28, 39
8
Jumlah Total Aitem 56
2. Skala Dukungan Emosional
Tujuan penggunaan skala ini adalah untuk mengukur frekuensi dukungan
emosional yang diterima oleh individu dari keluarganya. Aspek-aspek yang
diukur dalam skala ini adalah aspek-aspek dukungan emosional menurut Thoits
(1986). Skala Dukungan Emosional menggunakan skala modifikasi dari tipe
Likert Summated Rating (LSR) yang mengukur intensitas skala dukungan
emosional yang diterima individu dengan menghilangkan jawaban kadang-kadang
(K). sehingga, masing-masing aitem memiliki empat pilihan jawaban, yaitu SS
(sangat sering), S (sering), J (jarang), dan TP (tidak pernah).
Klasifikasi respons TP (tidak pernah) berarti individu yang bersangkutan
tidak pernah mengalami. Respons J (jarang) berarti individu yang bersangkutan
mengalami dengan frekuensi maksimal satu kali dalam satu minggu. Respons S
(sering) berarti individu yang bersangkutan mengalami dengan fekuensi antara
dua kali dalam satu minggu hingga satu kali dalam satu hari. Respons SS (sangat
sering) berarti individu yang bersangkutan mengalami dengan frekuensi lebih dari
satu kali dalam satu hari.
Penilaian skala bergerak dari empat sampai satu untuk butir-butir
favorable dan satu sampai dengan empat untuk butir-butir yang unfavorable.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Penentuan taraf penerimaan diri yang dimiliki subjek dapat dilihat dari jumlah
skor skala tersebut. Semakin tinggi jumlah skor yang diperoleh berarti semakin
tinggi taraf penerimaan dirinya.
Selanjutnya, blue print skala dukungan emosional dapat dilihat dalam
tabel berikut:
Tabel 2
Blue Print Skala Dukungan Emosional
No Aspek Indikator Favourable
Unfavourable
Jumlah
1 Ungkapan RasaSimpati
1. Ikut merasakan perasaan yang dialami2. Memaklumi kondisi yang dialami3. Peneguhan hati
1, 14,38, 40,
46
5, 26,30, 43,
50
10
2 PemberianPerhatian
1. menjadi pendengar yang baik2. menjadi pencerita yang baik3. memperhatikan kegiatan yang dilakukan4. membantu ketika mengalami kesulitan5. memantau kondisi yang dialami
2, 24,34, 39,
47
11, 13,15, 37,
45
10
3 Kasih Sayang 1. menghibur ketika sedih2. kehangatan dan keakraban3. melayani dengan tulus
3, 10,20, 33,
49
9, 16,23, 36,
44
10
4 Penghargaan 4. verbal: memberikan pujian5. non verbal: bangga terhadap prestasi6. material: memberikan reward
6, 12,17, 19,
28
4, 8,22, 32,
42
10
5 Kebersamaan 3. ada ketika dibutuhkan4. mau berbagi dalam suka dan duka5. tetap berkomunikasi meski terpisah
jarak
21, 25,29, 31,
41
7, 18,27, 35,
48
10
Jumlah Total Aitem 50
E. Metode Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
1. Validitas
Sebelum digunakan dalam sebuah penelitian, skala harus diuji
validitasnya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah skala psikologi tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mampu menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan ukurnya. Validitas
menurut Azwar (1999) adalah ketepatan dan kecermatan skala dalam menjalankan
fungsi ukurnya. Adapun dalam penelitian ini, validitas alat ukur dipenuhi dengan
content validity (validitas isi).
Cara mencari validitas suatu alat pengukur disebut sebagai validasi
(validation), yang pada prinsipnya adalah membandingkan hasil dari pengukuran
faktor dengan suatu kriterium, yaitu suatu ukuran yang telah dipandang valid
untuk menunjukkan faktor yang dimaksudkan (Hadi, 1986). Pengukuran validitas
menggunakan teknik korelasi Product moment dari Pearson. Guna mempermudah
perhitungan, maka digunakan program Statistical Product and Service Solution
(SPSS) versi 17.0.
2. Reliabilitas
Reliabilitas mengacu pada tingkat kestabilan suatu alat ukur dalam
mengukur suatu angka atau untuk menentukan sejauh mana suatu hasil
pengukuran relatif konsisten atau tidak berubah bila dilakukan pengukuran
kembali terhadap subjek yang sama. Pengujian reliabilitas juga perlu dilakukan
untuk mengetahui apakah skala yang diuji konsisten, dalam artian sejauh mana
hasil pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 1999). Pengujian reliabilitas
menggunakan teknik Alpha untuk mengukur reliabilitas antar aitem yang paling
populer dan menunjukkan indeks konsistensi yang cukup sempurna.
Uji reliabilitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menghitung
koefisien Alpha dari tiap-tiap instrumen suatu variabel. Kuesioner dapat
dinyatakan andal apabila dalam pengujian reliabilitas diperoleh nilai Alpha di atas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
0,60 (Azwar, 2004). Guna mempermudah perhitungan, maka digunakan program
Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 17.0.
3. Uji Hipotesis
Penelitian ini dilaksanakan untuk mencari hubungan antara satu variabel
bebas dan satu variabel tergantung. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah
dukungan emosional keluarga, dan variabel tergantung dalam penelitian ini adalah
penerimaan diri penyandang cacat tetap. Pelaksanaan analisis data untuk menguji
hipotesis dilaksanakan dengan menggunakan analisis Regresi Linear Sederhana.
Guna mempermudah perhitungan, maka digunakan program Statistical Product
and Service Solution (SPSS) versi 17.0.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Penelitian
1. Orientasi Kancah Penelitian
Penelitian mengenai hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan
penerimaan diri penyandang cacat tetap akibat gempa di Kabupaten Bantul
dilaksanakan di Pusat Rehabilitasi Terpadu Penyandang Cacat (selanjutnya
disebut PRTPC) yang berlokasi di Dusun Piring, Kelurahan Srihardono,
Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. PRTPC
berdiri pada tahun 2009 dan bernaung di bawah Dinas Sosial Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Sejarah berdirinya PRTPC dikarenakan gempa bumi berkekuatan 5,9 skala
righter pada tanggal 27 Mei 2006 di Yogyakarta dan menelan korban 6.234 jiwa,
dan lebih dari 50.000 warga mengalami luka-luka, mulai dari luka ringan hingga
kecacatan permanen. Banyaknya korban gempa yang mengalami kecacatan
permanen menggugah Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
membentuk Satuan Tugas Penanganan Penyandang Cacat Pasca Gempa di bawah
koordinasi Departemen Sosial Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta hingga
terbentuknya lembaga PRTPC di Pundong, Bantul. PRTPC merupakan pusat
pelayanan dan rehabilitasi terpadu yang meliputi rehabilitasi medis, sosial,
psikologis dan vokasional.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tujuan berdirinya PRTPC adalah meningkatkan kemampuan penyandang
cacat tetap (terutama korban gempa bumi 27 Mei 2006) di bidang sosial,
vokasional, serta mobilitas, sehingga menumbuhkan kemauan dan kemampuan
dalam melaksanakan fungsi sosial secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat.
Adapun pelayanan yang tersedia di PRTPC antara lain:
a. pelayanan akomodasi (asrama) bagi penyandang cacat yang mau tinggal di
asrama PRTPC,
b. layanan konsultasi dan pemeriksaan medis,
c. layanan konsultasi sosial,
d. layanan konsultasi psikologis,
e. layanan fisioterapi,
f. layanan vokasional atau pelatihan kerja, dengan materi pokok keterampilan
menjahit, keterampilan komputer, keterampilan desain grafis, keterampilan
kerajinan kulit, keterampilan elektro, dan keterampilan kerajinan perak.
Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu dilakukan survey awal untuk
mengetahui informasi yang berkaitan dengan subjek. Berdasarkan hasil survey
awal tersebut, peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian di Pusat
Rehabilitasi Terpadu Penyandang Cacat. Pemilihan institusi tersebut sebagai
lokasi penelitian dengan pertimbangan sebagai berikut :
a. Jumlah klien yang dapat ditemui di PRTPC cukup untuk dijadikan subjek
penelitian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
b. Penelitian mengenai hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan
penerimaan diri penyandang cacat tetap belum pernah dilakukan kepada para
klien PRTPC.
c. Ijin untuk melakukan penelitian di institusi yang bersangkutan dapat
diusahakan.
d. Adanya data baik dari PRTPC maupun dari media massa mengenai beberapa
klien PRTPC yang memiliki variasi tingkatan penerimaan diri serta mengenai
kasus yang terjadi karena klien PRTPC yang belum dapat menerima diri
2. Persiapan Penelitian
Persiapan penelitian perlu dilakukan agar penelitian berjalan lancar dan
terarah. Hal-hal yang dipersiapkan adalah persiapan yang berkaitan dengan
perijinan serta penyusunan alat ukur yang digunakan dalam penelitian.
a. Persiapan Administrasi
Persiapan administrasi penelitian meliputi segala urusan perijinan yang
diajukan pada pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan penelitian.
Permohonan ijin tersebut meliputi tahap-tahap sebagai berikut:
1) Peneliti meminta surat pengantar dari Program Studi Psikologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang ditujukan kepada
Gubernur Jawa Tengah dengan nomor 786/H 27.1.17.3/TU/2010 dengan
tembusan kepada Kepala Badan Kesbangpol Linmas Provinsi Jawa Tengah
untuk kemudian dimintakan surat pengantar permohonan ijin penelitian
kepada Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2) Peneliti mendapatkan surat pengantar permohonan ijin dari Badan
Kesbangpol Linmas Provinsi Jawa Tengah dengan nomor 070/1348
Kesbangpol/2010 yang ditujukan kepada Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta dengan tembusan kepada Kepala Badan Kesbang Linmas
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
3) Peneliti mengurus ijin penelitian di Badan Kesbang Linmas Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta dengan surat pengantar dari Badan Kesbangpol
Linmas Provinsi Jawa Tengah dan mendapatkan surat pengantar dari Badan
Kesbang Linmas Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan nomor
074/0586 Kesbang/2010 yang ditujukan kepada Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta dengan tembusan kepada Kepala Biro Administrasi
Pembangunan
4) Peneliti mengurus ijin penelitian di Biro Administrasi Pembangunan,
Sekretariat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan mendapatkan
surat keterangan ijin penelitian dengan nomor 070/5294/V/2010 dengan
tujuan kepada Kepala Dinas Sosial Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
5) Peneliti mengurus ijin penelitian di Dinas Sosial Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta dan mendapatkan nota dinas dari Kepala Dinas Sosial Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta yang ditujukan kepada Kepala Bidang
Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial.
6) Peneliti menyerahkan nota dinas dari Dinas Sosial Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta dan proposal penelitian kepada Kepala PRTPC Pundong, Bantul
dan menentukan jadwal pelaksanaan penelitian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7) Setelah mendapatkan jadwal pelaksanaan penelitian di PRTPC, peneliti baru
dapat melaksanakan penelitian.
b. Penyusunan dan uji coba instrumen
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala penerimaan
diri penyandang cacat dan skala dukungan emosional keluarga. Skala
penerimaan diri penyandang cacat dibuat berdasarkan aspek-aspek penerimaan
diri menurut Sheerer (dalam Cronbach 1963). Sedangkan skala dukungan
emosional keluarga dibuat berdasarkan aspek-aspek dukungan emosional
keluarga menurut Thoits (1986).
Penyusunan skala diawali dengan pembuatan blue print masing-masing
skala. Skala penerimaan diri penyandang cacat terdiri atas 56 aitem yang
mewakili 7 aspek penerimaan diri. Masing-masing aspek diwakili oleh 8 aitem
dalam skala penerimaan diri penyandang cacat. Skala dukungan emosional
keluarga terdiri atas 50 aitem yang mewakili 5 aspek dukungan emosional
keluarga. Masing-masing aspek diwakili oleh 10 aitem dalam skala dukungan
emosional keluarga.
Uji coba dilaksanakan hari Jumat tanggal 01 Oktober 2010 pada pukul
16.00 WIB. Peneliti melaksanakan penelitian dengan cara memberikan skala
kepada responden, yaitu para klien PRTPC setelah menjalani sesi bimbingan
dan konseling mental oleh tim psikologi PRTPC. Hal yang pertama kali
dilakukan, peneliti meminta para responden untuk berkumpul di ruang makan
PRTPC, kemudian peneliti memperkenalkan diri serta memohon bantuan
kepada para responden untuk bersedia mengisi skala yang digunakan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
penelitian ini. Setelah seluruh responden bersedia, sementara tim pendamping
dari PRTPC membagikan lembar skala, snack dan ballpoint, peneliti
menjelaskan mengenai petunjuk pengisian skala. Setelah seluruh responden
mendapatkan lembar skala penelitian, peneliti mempersilakan para responden
untuk mengerjakan.
Hambatan yang dialami oleh peneliti pada saat pengambilan data antara
lain:
a. Ada beberapa responden yang buta huruf, sehingga untuk dapat menjawab
skala harus dibacakan masing-masing aitemnya.
b. Terdapat beberapa responden yang menyandang mental deficit sehingga
untuk menjawab skala harus dibacakan dan dijelaskan lebih lanjut.
Hal yang dilakukan peneliti untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut
adalah:
a. Bagi responden yang buta huruf, peneliti bersama-sama dengan tim
pendamping PRTPC membantu dengan cara membacakan masing-masing
aitem kepada responden yang bersangkutan.
b. Bagi responden yang mengalami mental deficit, peneliti bersama-sama
dengan tim pendamping PRTPC membantu dengan cara membacakan dan
menjelaskan kepada responden yang bersangkutan. Namun dalam analisis
data, angket responden yang mengalami mental deficit tidak diikutsertakan
dalam perhitungan karena banyaknya aitem yang tidak direspons oleh
responden yang bersangkutan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Meskipun ada beberapa hambatan seperti yang telah dikemukakan di atas,
namun secara keseluruhan proses uji coba alat ukur ini lancar. Sambil
memberikan respons kepada skala, para responden dipersilakan untuk
menikmati snack yang diberikan oleh peneliti sebagai ucapan terima kasih.
Setelah seluruh lembar skala dikembalikan kepada peneliti, didapatkan ada 35
lembar skala. Dari 35 lembar skala yang kembali kepada peneliti, hanya
terdapat 30 lembar skala yang dapat dianalisis lebih lanjut.
3. Uji Validitas dan Reliabilitas
Pengujian validitas alat ukur dilaksanakan dengan menggunakan validitas isi
yaitu dengan melihat apakah aitem-aitem dalam skala telah di uji sesuai dengan
blue print-nya (Azwar, 1999). Kemudian aitem-aitem yang dianggap kurang
mengungkap apa yang seharusnya diungkap akan dibuang untuk memperbesar
validitas dan reliabilitas alat ukur.
a. Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat
Berdasarkan hasil analisis, dari 56 aitem yang digunakan dalam uji coba,
didapatkan 40 aitem valid dan 16 aitem gugur. Aitem yang valid mempunyai nilai
corrected item-total correlation bergerak dari 0,460 sampai 0,883 dan koefisien
reliabilitas alpha () = 0,972. Distribusi aitem Skala Penerimaan Diri Penyandang
Cacat yang valid dan gugur adalah sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 3
Distribusi Aitem Valid dan Gugur Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat
No Aspek Indikator Favourable Unfavourable Jumlah
Valid Gugur Valid Gugur1 Percaya
kemampuandiri
Percaya dapat hidupmandiri dengan kondisiyang dialamiMemiliki rencana kedepan dengan kondisiyang dihadapi.Optimis menghadapi masadepanMengetahui kemampuanyang dimiliki
35, 13,22,45
21,23,56
18 4
2 PerasaanSederajat
Menganggap diri sederajatdengan orang lainTidak menganggap dirimenyimpangTidak menganggap diriistimewaTak mengalami hambatanemosional ketika sedangkomunikasi
14,20,44
36 12,17,19,34
- 7
3 Orientasikeluar diri
Tidak malu dalammengutarakan pendapatTidak banyak berpikirmengenai kekurangan dirisendiri ketika berada ditengah orang banyak.Tidak menjadi orang yangparanoid di tengah-tengahorang banyak.Lebih memperhatikanorang lainLebih toleransi terhadaporang lain
24,46
15,55
43,47
7,33
4
4 Bertanggung-jawab
Berani bertanggung jawabatas perbuatan yangdilakukanBerpikir kemungkinanyang terjadi sebelummelakukan perbuatan.Menghindari mekanismepertahanan ego ketikaharus bertanggungjawab
11,16,54
25 8,32,42,48
- 7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
No Aspek Indikator Favourable Unfavourable Jumlah
Valid Gugur Valid Gugur
5 Berpendirian Lebih suka menggunakannorma-norma yang dianutdaripada harusmenyesuaikan denganlingkunganMemiliki prinsip yangselalu dipegang teguhMerasa nyaman denganstandard-standard yangdimiliki.
4,31,51
49 26,50
10,41
5
6 Menyadariketerbatasan
Mengakui keterbatasanyang dimilikiPuas terhadap keadaan diriRela atas kondisi yangdihadapiTidak menyalahkansiapapun atas keterbatasanyang dimilikiMenyadari kelebihan yangdimiliki
6,29,38,52
- 9, 27,37,40
- 8
7 Menerimasifatkemanusiaan
Menyalurkan impulsemosiTidak menyangkal ataumerasa bersalah karenapenyaluran emosiMemaklumi sifat lupa
1, 5 30,53
2, 28,39
1 5
Jumlah Total Aitem 40
Selanjutnya peneliti menggunakan 40 aitem yang valid untuk penelitian.
Berikut ini adalah tabel sebaran aitem dengan penomoran baru yang digunakan
dalam penelitian :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 4
Distribusi Aitem Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat Setelah Uji Coba
No Aspek Indikator Favourble Unfavourable Jumlah
1 Percayakemampuandiri
Percaya dapat hidupmandiri dengan kondisiyang dialamiMemiliki rencana kedepan dengan kondisiyang dihadapi.Optimis menghadapi masadepanMengetahui kemampuanyang dimiliki
35(25), 21(15),23(16),56(40)
4
2 PerasaanSederajat
Menganggap diri sederajatdengan orang lainTidak menganggap dirimenyimpangTidak menganggap diriistimewaTak mengalami hambatanemosional ketika sedangkomunikasi
14(10),20(14),44(32)
12(9),17(12),19(13),34(24)
7
3 Orientasikeluar diri
Tidak malu dalammengutarakan pendapatTidak banyak berpikirmengenai kekurangan dirisendiri ketika berada ditengah orang banyak.Tidak menjadi orang yangparanoid di tengah-tengahorang banyak.Lebih memperhatikanorang lainLebih toleransi terhadaporang lain
24(17),46(33)
43(31),47(34)
4
4 Bertanggung-jawab
Berani bertanggung jawabatas perbuatan yangdilakukanBerpikir kemungkinanyang terjadi sebelummelakukan perbuatan.Menghindari mekanismepertahanan ego ketikaharus menghadapi
11(8),16(11),54(39)
8(6), 32(23),42(30),48(35)
7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
tanggung jawab.No Aspek Indikator Favourble Unfavourable Jumlah5 Berpendirian Lebih suka menggunakan
norma-norma yang dianutdaripada harusmenyesuaikan denganlingkunganMemiliki prinsip yangselalu dipegang teguhMerasa nyaman denganstandard-standard yangdimiliki.
4(3) ,31(22),51(37)
26(18),50(36)
5
6 Menyadariketerbatasan
Mengakui keterbatasanyang dimilikiPuas terhadap keadaan diriRela atas kondisi yangdihadapiTidak menyalahkansiapapun atas keterbatasanyang dimilikiMenyadari kelebihan yangdimiliki
6(5), 29(21),38(27),52(38)
9(7), 27(19),37(26),40(29)
8
7 Menerimasifatkemanusiaan
Menyalurkan impulsemosiTidak menyangkal ataumerasa bersalah karenapenyaluran emosiMemaklumi sifat lupa
1(1) , 5(4) 2(2) ,28(20),39(28)
5
Jumlah total aitem 40keterangan :
angka dalam tanda kurung (...) adalah distribusi sebaran nomor aitem yang baru
dalam skala.
b. Skala Dukungan Emosional
Berdasarkan hasil analisis, dari 50 aitem yang digunakan dalam uji coba,
didapatkan 38 aitem valid dan 12 aitem gugur. Aitem yang valid mempunyai
nilai corrected item-total correlation bergerak dari 0,467 sampai 0,889 dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
koefisien reliabilitas alpha () = 0,965. Distribusi aitem Skala Dukungan
Emosional Keluarga yang valid dan gugur adalah sebagai berikut:
Tabel 5
Distribusi Aitem Valid dan Gugur Skala Dukungan Emosional Keluarga
No Aspek Indikator Favourable Unfavourable JumlahValid Gugur Valid Gugur
1 UngkapanRasa Simpati
Ikut merasakan perasaanyang dialamiMemaklumi kondisi yangdialamiPeneguhan hati
1,14,38,40,46,
- 5, 43,50
26,30
8
2 PemberianPerhatian
Menjadi pendengar yangbaikMenjadi pencerita yangbaikMemperhatikan kegiatanyang dilakukanMembantu ketikamengalami kesulitanMemantau kondisi yangdialami
2,24,34,39,47
- 11,13,37,45
15 9
3 Kasih Sayang Menghibur ketika sedihKehangatan dankeakrabanMelayani dengan tulus
20,33,49
3, 10 9, 16,23,44
36 7
4 Penghargaan Verbal: memberikanpujianNon verbal: banggaterhadap prestasiMaterial: memberikanreward
6,12,17,28,
19 4 8, 22,32,42
5
5 Kebersamaan Ada ketika dibutuhkanMau berbagi dalam sukadan dukaTetap berkomunikasimeski terpisah jarak
21,25,29,3141,
- 7, 18,27,35,
48 9
Jumlah Total Aitem 38
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Selanjutnya peneliti menggunakan 38 aitem yang valid untuk penelitian.
Berikut ini adalah tabel sebaran aitem dengan penomoran baru yang digunakan
dalam penelitian :
Tabel 6
Distribusi Aitem Skala Dukungan Emosional Keluarga Setelah Uji Coba
No Aspek Indikator Favourable Unfavourable Jumlah
1 UngkapanRasa Simpati
Ikut merasakan perasaanyang dialamiMemaklumi kondisi yangdialamiPeneguhan hati
1(1),14(11),38(28),40(30),46(35),
5(4), 43(32),50(38)
8
2 PemberianPerhatian
Menjadi pendengar yangbaikMenjadi pencerita yangbaikMemperhatikan kegiatanyang dilakukanMembantu ketikamengalami kesulitanMemantau kondisi yangdialami
2(2),24(18),34(25),39(29),47(36)
11(8), 13(10),37(27), 45(34)
9
3 Kasih Sayang Menghibur ketika sedihKehangatan dankeakrabanMelayani dengan tulus
20(15),33(24),49(37)
9(7), 16(12),23(17), 44(33)
7
4 Penghargaan Verbal: memberikanpujianNon verbal: banggaterhadap prestasiMaterial: memberikanreward
6(5), 12(9),17(13),28(21),
4(3) 5
5 Kebersamaan Ada ketika dibutuhkanMau berbagi dalam sukadan dukaTetap berkomunikasimeski terpisah jarak
21(16),25(19),29(22),31(23)41(31),
7(6), 18(14),27(20),35(26),
9
Jumlah total aitem 38keterangan :
angka dalam tanda kurung (...) adalah distribusi sebaran nomor aitem yang baru
dalam skala.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
B. Pelaksanaan Penelitian
Banyaknya kendala dalam penelitian, seperti faktor terbatasnya jumlah
subjek penelitian, subjek penelitian yang tidak dapat dijumpai setiap saat,
sulitnya perijinan untuk penelitian di instansi PRTPC, serta penjadwalan
penelitian yang ketat oleh pengurus instansi PRTPC memaksa peneliti untuk
menggunakan uji coba penggunaan skala langsung digunakan untuk penelitian
tanpa meninggalkan perhitungan validitas dan reliabilitas alat ukur tersebut.
Perhitungan validitas dan reliabilitas alat ukur serta program yang dipergunakan
dalam pengukuran alat ukur tersebut digunakan program komputer SPSS 17.0 for
windows.
Seperti telah diuraikan di atas bahwa pelaksanaan uji coba juga
merupakan pelaksanaan penelitian mengenai permasalahan yang diajukan oleh
penulis yaitu tentang “Hubungan antara Dukungan Emosional Keluarga dengan
Penerimaan Diri Penyandang Cacat Tetap di Kabupaten Bantul” dilakukan pada
tanggal 1 Oktober 2010. Penelitian dilakukan pada responden penyandang cacat
tetap yang mengikuti rehabilitasi terpadu di Pusat Rehabilitasi Terpadu
Penyandang Cacat yang berlokasi di Dusun Piring, Kelurahan Srihardono,
Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul. Penelitian dilaksanakan secara klasikal
bagi responden yang dapat membaca-tulis, dan secara individual dengan jalan
membacakan masing-masing aitem bagi responden yang buta huruf.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
C. Hasil Analisis Data Penelitian
1. Deskripsi Responden Penelitian
Berikut ini akan disajikan deskripsi subjek penelitian yang kemudian diikuti
oleh rangkuman data penelitian. Deskripsi subjek penelitian dan deskripsi data
penelitian ini memberikan gambaran pertama dan penting mengenai keadaan
subjek penelitian yang akan memperkuat dan memperkaya hasil analisis interfisial
guna pengujian hipotesis (Azwar, 2004).
Responden penelitian ini total berjumlah 30 orang responden. Rentang usia
responden berkisar antara 17-43 tahun. Adapun berdasarkan jenis kelamin,
responden penelitian ini terdiri dari laki-laki 18 orang dan perempuan 12 orang.
Untuk gambaran mengenai usia responden penelitian tersaji dalam tabel berikut
ini.
Tabel 7Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
No Usia Responden FasePerkembangan
RespondenJumlah %
1 13 - 17 tahun Remaja 3 10,00%2 18 - 40 tahun Dewasa Muda 26 86,67%3 40 - 60 tahun Dewasa Madya 1 3,33%
Jumlah 30 100%
2. Deskripsi Statistik
Gambaran umum data penelitian dapat dilihat pada tabel deskripsi data
penelitian yang meliputi variabel Dukungan Emosional Keluarga dan Penerimaan
Diri Penyandang Cacat Tetap berikut ini :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 8Deskripsi Statistik Data Penelitian
Alat Ukur Jumlah
Subjek
Data
Hipotetik
M SD Data
Empiris
M SD
Skor
min
Skor
maks
Skor
min
Skor
maks
Penerimaan Diri
Penyandang Cacat
30 40 160 100 20 87 121 103,20 8,95
Dukungan
Emosional Keluarga
30 38 152 95 19 79 119 101,73 10,28
Deskripsi data penelitian di atas menggambarkan kategorisasi dari masing-
masing variabel yaitu Penerimaan Diri Penyandang Cacat Tetap dan Dukungan
Emosional Keluarga. Kategorisasi dibagi menjadi tiga golongan yaitu tinggi,
sedang dan rendah.
Penentuan kategori tersebut didasarkan pada tingkat diferensiasi yang
dikehendaki. Namun untuk memperoleh kategori perlu ditentukan terlebih dahulu
ditentukan batasan yang akan digunakan berdasarkan nilai deviasi standar dengan
memperhitungkan rentangan nilai maksimal dan minimum teoritisnya. Kategori
ini ditentukan berdasarkan sebaran empirik.
Berdasarkan pendapat Azwar (1999), maka peneliti menetapkan tiga kategori,
yaitu tinggi, sedang dan rendah. Adapun rumus yang digunakan adalah :
a. Tinggi : X > µ + 1σ
b. Sedang: µ + 1σ ≤ X ≤ µ + 1σ
c. Rendah: X < µ + 1σ
Keterangan :
µ = mean empirik
σ = standar deviasi
1) Penerimaan diri penyandang cacat tetap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Berdasarkan sebaran empirik dari skor skala penerimaan diri penyandang
cacat, maka responden penelitian dapat dikelompokkan menjadi tiga, seperti
pada tabel berikut :
Tabel 9Kriteria Kategorisasi Penerimaan Diri Penyandang Cacat Tetap
Kategorisasi Norma Jumlah Subjek PersentaseTinggi x > 112,15 3 10%Sedang 94,25 ≤ x ≤ 112,15 21 70%Rendah 94,25 < x 6 20%Jumlah 30 100%
Berdasarkan kategori skala penerimaan diri dari tabel di atas, dapat dilihat
bahwa responden yang memiliki penerimaan diri tinggi sebanyak 3 orang,
sedang sebanyak 21 orang, dan rendah sebanyak 6 orang.
2) Dukungan emosional keluarga
Berdasarkan sebaran empirik dari skor skala dukungan emosional keluarga,
maka responden penelitian dapat dikelompokkan menjadi tiga sebagai berikut:
Tabel 10Kriteria Kategorisasi Dukungan Emosional Keluarga
Kategorisasi Norma Jumlah Subjek PersentaseTinggi x > 112,01 5 16,7%Sedang 91,45 ≤ x ≤ 112,01 19 63,3%Rendah 91,45 < x 6 20%Jumlah 30 100%
Berdasarkan kategori skala penerimaan diri dari tabel di atas, dapat dilihat
bahwa responden yang mendapatkan dukungan emosional tinggi sebanyak 5
orang, sedang sebanyak 19 orang dan rendah sebanyak 6 orang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3. Uji Asumsi
Perhitungan analisis data dilakukan setelah uji asumsi yang meliputi uji
normalitas sebaran, dan uji linearitas hubungan, mengingat bahwa syarat untuk
mencari koefisien hubungan antar dua variabel (r) adalah data yang digunakan
memiliki distribusi normal dan hubungannya linear. Perhitungan dalam analisis
ini dilakukan dengan bantuan komputer program statistik SPSS 17.0 for Windows
a. Uji Normalitas
Uji Normalitas bertujuan untuk menguji apakah sebaran data normal atau
tidak. Dalam penelitian ini digunakan Kolmogorov-Smirnov Test untuk menguji
normalitas. Kriteria yang digunakan yaitu dengan membandingkan nilai p yang
diperoleh dengan taraf signifikan yang telah ditentukan yaitu 0,05. Apabila nilai
p > 0,05, maka data yang diuji normal.
Tabel 11
Hasil Uji Normalitas
Variabel KS p KesimpulanDukungan emosional keluarga 0,422 0,994 NormalPenerimaan diri penyandang cacat 0,489 0,970 Normal
Berdasarkan uji normalitas diketahui nilai probalilitas untuk variabel
dukungan emosional (0,994) dan penerimaan diri (0,970) > 0,05 sehingga data
berdistribusi normal.
b. Uji Linearitas Hubungan.
Pengujian linieritas dengan menggunakan analisis compare means.
Perhitungannya dilakukan dengan menggunakan program SPSS 17.0 for Windows.
Pedoman yang digunakan untuk menguji linieritas dilakukan dengan jalan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
menguji signifikansi nilai F. Adapun rangkuman hasil uji linieritas hubungan
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 12
Rangkuman Hasil Uji Linieritas
Hubungan F p keterangan
Dukungan emosional dan
penerimaan diri23,546 0,001 linear
Berdasarkan hasil analisis uji linieritas pada tabel diatas, menunjukan
bahwa nilai probailitas (0,001) atau kurang dari 0,05 sehingga dapat dikatakan
bahwa hubungan antara dukungan emosisonal terhadap penerimaan diri adalah
linear.
4. Uji Hipotesis
Setelah dilakukan uji asumsi diketahui sebaran data dukungan emosional
keluarga dan penerimaan diri penyandang cacat berdistribusi normal dan linear.
Karena syarat untuk melakukan uji hipotesis, yaitu uji asumsi telah terpenuhi,
maka langkah selanjutnya adalah melakukan perhitungan untuk menguji hipotesis
yang diajukan dengan analisis Regresi Linear Sederhana untuk mengetahui
koefisien korelasi (R) antara dua variabel teresebut, serta untuk mengetahui
R Square (R2) yang merupakan besaran sumbangan efektif peran variabel
dukungan emosional keluarga terhadap penerimaan diri penyandang cacat tetap.
Berdasarkan hasil perhitungan dengan SPSS, didapatkan p value sebesar
0,003. Karena p value < 0,05 () maka hipotesis diterima, sehingga dapat
dinyatakan ada hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
penerimaan diri penyandang cacat tetap. Besarnya koefisien korelasi antara
dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri penyandang cacat tetap
sebesar 0,527. Koefisien korelasi bertanda positif (+) artinya semakin tinggi
dukungan emosional keluarga maka semakin tinggi pula penerimaan diri
penyandang cacat tetap yang bersangkutan, begitu pula sebaliknya. Tabel
menunjukkan hasil Regresi Linear Sederhana dukungan emosional keluarga
dengan penerimaan diri penyandang cacat tetap.
Tabel 13
Rangkuman Hasil Regresi Linear Sederhana Dukungan Emosional
Keluarga dengan Penerimaan Diri Penyandang Cacat Tetap
Variabel Bebas => Variabel Tergantung r p R2
Dukungan Emosional Keluarga => Penerimaan DiriPenyandang Cacat Tetap
0,527 0,003 0,278
Adapun untuk mengetahui besarnya sumbangan efektif peran dukungan
emosional keluarga terhadap penerimaan diri penyandang cacat tetap, adalah
menggunakan koefisien determinan, yaitu R2 (R Square), atau kwadrat dari
koefisien korelasi dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri.
Berdasarkan hasil perhitungan dengan SPSS, dapat dilihat bahwa R2 adalah 0,278,
sehingga dikatakan bahwa sumbangan efektif peran dukungan emosional keluarga
terhadap penerimaan diri penyandang cacat tetap adalah 27,8%.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
D. Pembahasan
Hasil analisis data menunjukkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa
ada hubungan positif antara dukungan emoisonal keluarga dengan penerimaan diri
penyandang cacat tetap di Kabupaten Bantul telah terbukti. Hubungan positif
antara kedua variabel ini menunjukkan bahwa hubungannya searah, artinya
semakin tinggi dukungan emosional keluarga yang didapatkan oleh seorang
penyandang cacat tetap, maka semakin tinggi pula penerimaan dirinya. Kekuatan
hubungan antara kedua variabel ini ditunjukkan oleh koefisien korelasi sebesar
R=0,527; p:0,003 (p<0,05), sedangkan koefisien determinan sebesar R2 = 0,278,
artinya sumbangan efektif yang diberikan oleh dukungan emosional keluarga
terhadap penerimaan diri penyandang cacat tetap adalah sebesar 27,8%,
sedangkan 72,2% lainnya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.
Realitas ini sejalan dengan pernyataan Hurlock (1974) bahwa dukungan
sosial, terutama dari significant others (orang-orang yang berpengaruh bagi
individu yang bersangkutan) adalah faktor yang paling penting dalam membentuk
penerimaan diri seorang individu. Menurut House (dalam Corneil, 1998),
dukungan emosional merupakan aspek yang mendasari dukungan sosial. Sehingga
dapat dikatakan, jika seseorang telah mendapatkan dukungan emosional dari
keluarganya, maka dapat dipastikan bahwa orang tersebut juga akan mendapatkan
dukungan sosial dari keluarganya.
Penyandang cacat tetap yang lebih banyak mendapatkan dukungan dari
keluarganya, yaitu dukungan sosial secara umum dan dukungan emosional secara
khusus, akan menilai bahwa dirinya tetap dihargai oleh keluarga dan lingkungan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
sekitarnya selayaknya seorang individu pada umumnya. Bentuk-bentuk dukungan
emosional yang paling signifikan terhadap penerimaan diri penyandang cacat
tetap menurut hasil penelitian ini antara lain keluarga memahami kondisi yang
dialami, keluarga ikut merasakan apa yang dialami, keluarga ada dan menemani
selama responden menjalani pengobatan, keluarga memperhatikan kegiatan yang
dilakukan, serta saudara-saudara memberikan inspirasi seperti menginformasikan
peluang-peluang yang dapat digunakan untuk meraih impiannya, dan memberi
nasehat bahwa banyak orang yang memiliki keterbatasan yang lebih berat
daripada yang dialaminya namun memiliki ketabahan yang luar biasa.
Penyandang cacat tetap yang banyak mendapatkan dukungan emosional dari
keluarganya akan menilai bahwa dirinya memiliki harga diri yang sama dengan
orang lain, serta merasakan bahwa dirinya tetap dianggap sama seperti orang lain
dan tidak dibeda-bedakan. Hal ini membuat penyandang cacat tetap yang
bersangkutan memiliki pandangan positif yang menyeluruh terhadap dirinya,
bahwa dirinya memiliki kekurangan, namun juga masih memiliki kelebihan.
Pandangan positif inilah yang menandakan bahwa individu untuk menerima
dirinya. Hal ini tercermin dalam hasil penelitian ini, yaitu bahwa semakin tinggi
dukungan emosional keluarga yang didapatkan oleh seorang penyandang cacat,
diikuti dengan semakin tinggi pula penerimaan diri penyandang cacat yang
bersangkutan.
Adapun bentuk-bentuk penerimaan diri yang dilakukan oleh para responden
menurut penelitian ini antara lain telah dapat menemukan potensi diri yang dapat
dikembangkan, tidak lagi menangis ketika merasakan kesedihan, lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
memperhatikan dan peka terhadap orang lain daripada sibuk memperhatikan
dirinya sendiri, tidak menimpakan kesalahan yang diperbuat kepada orang lain,
serta memiliki keyakinan yang teguh ketika berbeda dengan orang lain.
Sebaliknya, individu yang kurang mendapatkan dukungan emosional akan
cenderung sulit menerima realita yang dialami, sehingga akan berimbas pada
kesulitan dalam menerima diri. Sebagaimana diungkap oleh penelitian Okoro dkk,
(2009), yang menemukan bahwa individu penyandang cacat yang kurang
mendapatkan dukungan sosial secara umum dan dukungan emosional secara
khusus, akan lebih rentan mengalami serious psychological distress (tekanan
psikologis serius) jika dibandingkan dengan individu penyandang cacat yang lebih
banyak mendapatkan dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Berikutnya,
individu yang mengalami serious psychological distress akan sulit menerima
realita yang dialami, sehingga akan lebih sulit dalam menerima diri.
Penyandang cacat tetap yang kurang mendapatkan dukungan emosional,
terutama dari keluarganya akan cenderung merasa dirinya berbeda dengan orang
lain, menilai dirinya kurang berharga jika dibandingkan dengan orang lain, dan
juga sering menolak keadaan yang dialami saat ini. Jika hal ini terjadi
berkelanjutan, maka penyandang cacat tetap tersebut akan mengalami serious
psychological distress. Tekanan psikologis yang terus menerus dialami oleh
penyandang cacat tetap tersebut akan mengakibatkan penolakan terhadap dirinya
sendiri.
Meskipun dalam penelitian ini didapatkan bahwa dukungan emosional
keluarga memiliki hubungan yang signifikan dengan penerimaan diri penyandang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
cacat tetap, namun ternyata sumbangan efektif dukungan emosional keluarga
terhadap penerimaan diri penyandang cacat tetap tergolong kecil, yaitu 27,8%.
Hal ini dikarenakan penerimaan diri penyandang cacat tetap dipengaruhi oleh
banyak faktor-faktor lain, seperti pendapat Jersild (1963) bahwa aspek-aspek lain
dari dukungan sosial yang berupa dukungan penghargaan, dukungan instrumental,
dan dukungan informatif juga mempengaruhi tingkatan penerimaan diri
seseorang. Selain itu, ada beberapa faktor lain seperti pola asuh orang tua,
tingkatan inteligensi, keadaan fisik, inteligensi dan usia yang juga berpengaruh
terhadap tingkatan penerimaan diri seseorang.
Hal lain yang mempengaruhi tingkatan penerimaan diri penyandang cacat
tetap yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah faktor budaya, mengingat
sampel penelitian yang hidup dalam lingkungan budaya Jawa yang menekankan
sifat “nrimo” yang menurut Koentjaraningrat (1994) merupakan suatu bentuk
menyerah kepada takdir karena merasa tidak berdaya. Hal ini membuat orang-
orang yang memiliki latar belakang lingkungan budaya Jawa memiliki toleransi
yang lebih tinggi terhadap stress. Sifat “nrimo” ini juga membuat orang-orang dari
lingkungan budaya Jawa lebih mudah dalam melakukan penyesuaian diri dan
penyesuaian sosial (Sya’roni, 2008).
Koentjaraningrat (1994) mengatakan bahwa sifat “nrimo” yang dimiliki oleh
orang yang memiliki latar belakang lingkungan budaya Jawa lebih mampu
menerima perubahan, meskipun penerimaanya sering kali berupa penerimaan
secara pasif. Sifat “nrimo” ini pula yang membuat orang dengan latar belakang
budaya Jawa berpikir bahwa apapun yang terjadi pada dirinya dan lingkungannya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
adalah kehendak Tuhan, sehingga harus dijalani dengan sabar. Hal ini membuat
para penyandang cacat tetap akibat gempa bumi di Kabupaten Bantul merasa
bahwa kelanjutan hidupnya setelah menyandang kecacatan tetap sudah diatur oleh
Tuhan, sehingga mereka tidak terlalu cemas dalam memikirkan hidup mereka
selanjutnya.
Sifat lain yang dimiliki oleh orang dengan latar kebudayaan Jawa adalah
“syukur” atau menurut Koentjaraningrat (1994) adalah selalu bersyukur atas apa
yang telah didapatkan. Sifat syukur ini membuat orang dengan latar kebudayaan
Jawa lebih mudah menerima kenyataan yang terjadi, karena mereka berpikir
bahwa seburuk apapun kondisi yang dialami, masih harus disyukuri, karena masih
banyak orang lain yang mengalami kondisi yang lebih buruk lagi.
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah bahwa penelitian ini hanya
mengungkap hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan
diri penyandang cacat tetap secara umum, tanpa memandang tingkat kecacatan,
jenis kelamin, serta faktor-faktor lain yang mungkin dapat mempengaruhi
penerimaan diri penyandang cacat tetap. Selain itu, jumlah responden yang
digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini juga tergolong sedikit, hal ini
dikarenakan sulitnya menemukan sampel yang sesuai dengan kriteria yang
ditetapkan. Keterbatasan lain dalam penelitian ini adalah rentang usia sampel
yang mayoritas berada pada usia dewasa muda, sehingga kurang mewakili
penyandang cacat tetap akibat gempa bumi di Kabupaten Bantul yang memiliki
rentang usia yang sangat bervariasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Ada hubungan positif yang signifikan antara dukungan emosional keluarga
dengan penerimaan diri pada penyandang cacat tetap akibat gempa bumi di
Kabupaten Bantul, dengan koefisien korelasi sebesar 0.527 dengan p value: 0,003
(p<0,05).
2. Sumbangan efektif peran dukungan emosional keluarga terhadap penerimaan
diri penyandang cacat tetap akibat gempa bumi di Kabupaten Bantul adalah
27,8%.
B. Saran
1. Bagi Keluarga yang Mempunyai Anggota Penyandang Cacat Tetap
Kepada keluarga yang mempunyai anggota yang menyandang kecacatan tetap
disarankan untuk memberikan dukungan emosional yang dapat berupa
memfasilitasi kondisi dan kebutuhan anggota keluarganya yang menyandang
kecacatan tetap, meluangkan waktu untuk menemani anggota keluarganya yang
menyandang kecacatan tetap ketika harus melakukan terapi atau pengobatan,
memberikan perhatian terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan anggota
keluarganya yang menyandang kecacatan tetap, serta memberikan informasi serta
peluang-peluang yang dapat dilakukan oleh anggota keluraganya yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
menyandang kecacatan tetap agar dapat berprestasi sesuai dengan kondisinya saat
ini.
2. Bagi Institusi yang Melaksanakan Rehabilitasi Penyandang Cacat Tetap
Kepada institusi yang melakukan rehabiitasi terhadap penyandang cacat tetap,
disarankan agar selain memberikan rehabilitasi medik dan vokasional, juga
memperhatikan kebutuhan para penyandang cacat tetap akan dukungan emosional
keluarga, sehingga dapat dibuat program-program yang menunjang pemberian
dukungan emosional dari keluarga para penyandang cacat tetap yang menjadi
klien institusi yang bersangkutan. Adapun program-program tersebut antara lain
dengan mengadakan rekreasi yang diikuti oleh klien beserta keluarganya,
memberikan terapi keluarga bagi para klien beserta keluarganya, memberikan
logoterapi kepada para klien, serta memberikan training-training psikologis bagi
para kliennya.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti yang berminat untuk mengangkat tema yang sama, disarankan
agar mengembangkan penelitian ini dengan menggunakan variabel lain yang
mungkin juga mempengaruhi penerimaan diri. Peneliti juga menyarankan kepada
peneliti selanjutnya untuk memperbanyak jumlah responden, serta memperhatikan
tingkatan kecacatan yang dialami oleh responden.