Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
POLA PEMBINAAN MANTAN NARAPIDANA KASUS TERORISME
MELALUI PROGRAM DISENGAGEMENT DI
YAYASAN PRASASTI PERDAMAIAN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Mutiah Robiah Al Adawiyah
NIM 11150520000008
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/ 2020 M
ii
POLA PEMBINAAN MANTAN NARAPIDANA KASUS TERORISME
MELALUI PROGRAM DISENGAGEMENT DI
YAYASAN PRASASTI PERDAMAIAN
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial
(S.Sos)
Oleh
Mutiah Robiah Al Adawiyah
NIM 11150520000008
Pembimbing
Dr. Siti Napsiyah, S.Ag, BSW, MSW
NIP: 19740101 200112 2 003
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/ 2020 M
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul “Pola Pembinaan Mantan Narapidana Kasus
Terorisme melalui Program Disengagement Di Yayasan Prasasti
Perdamaian (YPP)” telah diujikan dalam sidang munaqosyah Pogram
Studi Bimbingan dan Penyuluhan Islam Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta pada 13 Februari 2020. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Sosial (S.Sos) pada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.
Jakarta, 09 Maret 2020
Sidang Munaqosyah
Ketua Sekretaris
Ir. Noor Bekti Negoro, SE, M.Si Ahmad Fatoni, M.Sos
NIP. 19650301 199903 1 001
Anggota
Penguji I Penguji II
Muhtar Mochamad Solihin, M.Si Tasman, M.Si
NUPN. 9920113247 NIP. 197 30201 201411 1 003
Pembimbing
Dr. Siti Napsiyah, S.Ag, BSW, MSW
NIP: 19740101 200112 2 003
LEMBAR PERNYATAAN
Yang Bertanda Tangan di bawah ini:
Nama : Mutiah Robiah Al Adawiyah
NIM : 11150520000008
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul POLA
PEMBINAAN MANTAN NARAPIDANA KASUS
TERORISME MELALUI PROGRAM DISENGAGEMENT
DI YAYASAN PRASASTI PERDAMAIAN (YPP) adalah
benar karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat
dalam penyusunannya. Adapun kutipan yang ada dalam
penyusunan karya ini telah saya cantumkan sumber kutipannya
dalam skripsi. Saya bersedia melakukan proses yang semestinya
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku jika ternyata
skripsi ini sebagianatau keselutuhan merupakan plagiat dari orang
lain.
Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya.
Jakarta, 13 Februari 2019
Mutiah Robiah Al Adawiyah
NIM 11150520000008
5
ABSTRAK
Mutiah Robiah Al Adawiyah, NIM 11150520000008, Pola
Pembinaan Mantan Narapidana Kasus Terorisme melalui
Program Disengagement di Yayasan Prasasti Perdamaian
(YPP), Di bawah Bimbingan Dr. Siti Napsiyah, S.Ag, BSW,
MSW.
Kasus terorisme menjadi fenomena global yang tidak
terbatas oleh ruang dan waktu sehingga dibutuhkan berbagai
upaya untuk menanggulanginya. Salah satu upaya tersebut adalah
program disengagement. Penelitian ini bertujuan untuk 1)
menganalisis pola pembinaan mantan narapidana kasus terorisme
(napiter) melalui program disengagement dan 2) menganalisis
dampak program disengagement dalam pembinaan mantan napiter
di Yayasan Prasasti Perdamaian, Jakarta Selatan.
Metodologi penelitian yang digunakan adalah pendekatan
kualitatif dengan metode fenomenologi. Informan dalam
penelitian ini berjumlah 3 orang mantan narapidana kasus
terorisme dan Direktur Pendampingan Yayasan Prasasti
Perdamaian yang ditentukan melalui purposive sampling. Analisis
data menggunakan deskriptif naratif Miles and Huberman yang
terdiri dari reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) pola pembinaan
mantan napiter menggunakan pendekatan heart, hand, and head
dan pendekatan humanisasi. Dalam pelaksanaannya, tidak hanya
mantan naraidana kasus terorisme, tapi juga istri dan anaknya 2)
dampak dari program disengagement adalah melunaknya hasrat
teror seorang mantan narapidana kasus terorisme dan terciptanya
lingkungan baru sehingga mampu mengembangkan interaksi
napiter tersebut. Selain itu, mantan napiter juga aktif dalam
membantu program YPP, membantu mantan napiter lainnya, dan
juga memilih untuk bekerja.
Kata Kunci :Pola Pembinaan Mantan Napiter, Program
Disengagement, Mantan Narapidana Kasus
Terorisme, Yayasan Prasasti Perdamaian.
vi
KATA PENGANTAR
الرحيمحمن ر بسم هللا ال
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh..
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang senantiasa
memberikan kita rahmat tanpa diminta, mengasihi dengan cinta
yang tak terbatas, dan menjadikan kita memperoleh nikmat dengan
memeluk agama Islam. Shalawat serta salam tetap tercurahkan
kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW. Pribadi yang
sempurna, personal yang mempesona, yang patut dijadikan idola,
dan semoga kita menjadi ummatnya yang terbaik, sehingga pantas
mendapat syafaatnya di haqi kiamat. Amiin.
Merupakan pengalaman yang berharga bagi penulis yang
tidak mudah untuk dilupakan di kemudian hari, akhirnya penulis
dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Pola Pembinaan
Mantan Narapidana Kasus Terorisme melalui Program
Disengagement di Yayasan Prasasti Perdamaian. Perjalanan
dalam penulisan skripsi ini tidak dapat dikatakan mudah, karena
harus melalui berbagai proses yang membutuhkan banyak tenaga,
tantangan, dan kesabaran. Namun, karena kegigihan dan
kesabaran, dan dukungan dari banyak pihak, alhamdulillah,
penulisan skripsi ini bisa selesai dan menjadi penutup di jenjang
sarjana sebelum wisuda.
Dalam penyusunan skripsi, penulis menyadari terdapat
banyak kekurangan, semua itu merupakan keterbatasan penulis
dalam hal pengetahuan yang dimiliki. Dan sangat mengharapkan
vii
kritik dan saran untuk mengkoreksi dan melalukan perbaikan di
kemudian hari.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak semata-mata
hasil kerja sendiri, melainkan juga berkat adanya motivasi,
bimbingan dan dorongan, dari berbagai pihak. Dan dalam
kesempatan ini, dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan
terimakasih kepada berbagai pihak, terutama kepada orang tua,
Almh Lathifah Mahfudz, BA, Ibunda yang telah mendidik agar
menjadi insan mandiri, dan Ayahanda Alm Badawi Umar, SQ,
yang diakhir hidupnya terus mengingatkan kewajiban
menyelesaikan skripsi ini. Selanjutnya, penulis ingin
menyampaikan terimakasih pada pihak-pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini,
diantaranya:
1. Suparto, M.Ed, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr.
Siti Napsiyah, S.Ag, BSW, MSW selaku Wakil Dekan
bidang akademik, Dr. Sihabudin Noor, MA. Selaku Wakil
Dekan bidang Administrasi Umum, dan Cecep
Castrawijaya. MA. Selaku Wakil dekan Bidang
Kemahasiswaan, Alumni, dan Kerjasama.
2. Ir. Noor Bekti Negoro, SE, M.Si dan Artiarini Puspita
Arwan, M.Psi selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan
Bimbingan Penyuluhan Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
telah memotivasi agar menyelesaikan skripsi tepat waktu.
viii
3. Dr. Siti Napsiyah, S.Ag, BSW, MSW, selaku dosen
pembimbing yang senantiasa mengarahkan dan
membimbing penulis dengan rinci dan telaten dalam
penyusunan skripsi ini ditengah-tengah kesibukannya.
4. Dra Rini Laili Prihatini, M.Si selaku Ketua Jurusan
Bimbingan Penyuluhan Islam periode 2010-2019.
5. Bapak dan ibu dosen jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta atas ilmu yang diberikan selama 4
tahun ini dan civitas akademik UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
6. Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan Perpustakaan Utama,
serta Perpustakaan Paska Sarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
7. Seluruh informan penulis, Mbak Khariroh Maknunah,
perwakilan dari Yayasan Prasasti Perdamaian, Mas Riki
Rianto, Pak Echo Ibrahim, dan Pak Machmudi Hariono
yang memberikan informasi berharga dan membuka
cakrawala pemikiran penulis lebih luas lagi.
8. Seluruh keluarga penulis, Bulik Anisah Mahfudz, Paklik
Imron Rosyadi Hamid, Mas Ahmadi Fathul Wahab, Ahsani
Fathur Rahman, Mbak Amiliah Alfa Nuri, Mbak
Wahidatus Sholihah, Mbak Nafisatul Qoyyimah atas
dukungan dan motivasi-motivasinya.
9. Dr. Lutfi Zuhdi, Bapak Syauqillah, Mbak Ajeng yang telah
menghubungkan penulis dengan informan
ix
10. Seluruh teman-teman terdekat penulis, Silmi Sholihah, Nur
Aisyah Firdausy, Sa’dullah Amin, Nadia Khanza, segenap
keluarga BPI angkatan 2015 dan keluarga BPI secara
keseluruhan.
11. Angkatan Ihna Darus Sunnah atas motivasi dan masukan-
masukannya.
12. Aya, Kembang, Kartika, dan teman-teman lainnya dari
Titik Nol English Course yang memberikan pengarahan
dan motivasi.
13. Teman-teman Himabi Jakarta, JHF Jakarta yang
memberikan motivasi kepada penulis.
14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan secara
terperinci. Terimakasih telah membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Semoga segala dorongan, nasihat, motivasi yang
diberikan kepada penulis diberikan balasan oleh Allah
SWT. Jazākumullahu Ahsana al-Jazā’. Penulis menyadari
bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan terdapat
banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik untuk
skripsi ini penulis harapan. Semoga skripsi ini dapat
menjadi penelitian yang bermanfaat.
Jakarta, 18 Januari 2019
Penulis
Mutiah Robiah Al Adawiyah
x
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
ABSTRAK
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah .................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................... 9
D. Metodologi Penelitian ......................................... 9
E. Tinjauan Kajian Terdahulu ............................... 16
F. Sistematika Penulisan ....................................... 20
G. Kerangka Berpikir ............................................. 22
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Dasar Hukum .................................................... 24
B. Pola Pembinaan ................................................. 27
C. Disengagement .................................................. 30
D. Mantan Narapidana ........................................... 34
E. Terorisme .......................................................... 35
F. Teori Pendekatan Islam Humanistik dan Teori Life
Skill .................................................................... 50
BAB III GAMBARAN UMUM YAYASAN PRASASTI
PERDAMAIAN
A. Sejarah Yayasan Prasasti Perdamaian ............... 56
B. Lokasi ................................................................ 56
C. Visi dan Misi ..................................................... 57
D. Program Yayasan Prasasti Perdamaian ............. 57
xi
E. Struktur Organisasi ........................................... 68
BAB IV DATA DAN TEMUAN LAPANGAN
A. Deskripsi Informan............................................ 72
B. Kerjasama Yayasan Prasasti Perdamaian.......... 76
C. Peran Staf Yayasan Prasast Perdamaian ........... 77
D. Pola pembinaan mantan narapidana kasus
terorisme yang dilakukan Yayasan Prasasti
Perdamaian ........................................................ 78
E. Pendekatan Heart, Hand and Head (3H) dan
Pendekatan Humanis ......................................... 81
F. Dampak Program Disengagement bagi Mantan
Narapidana Kasus Terorisme ............................ 82
G. Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat ..... 78
H. Solusi Pola Pembinaan Mantan Narapidana Kasus
Terorisme .......................................................... 87
I. Harapan Penanggulangan Kasus Terorisme ..... 91
BAB V PEMBAHASAN
A. Karakteristik Subjek .......................................... 98
B. Analisis Pola Pembinaan Mantan Narapidana
Kasus Terorisme melalui di Yayasan Prasasti
Perdamaian ........................................................ 99
C. Analisis Pendekatan Heart, Hand and Head (3H)
Humanisasi ...................................................... 106
D. Analisis Dampak Program Disengagement yang
dilakukan Yayasan Prasasti Perdamaian kepada
Mantan Narapidana Kasus Terorisme. ........... 112
xii
BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan ......................................................... 122
B. Implikasi .......................................................... 123
C. Saran ................................................................ 124
DAFTAR PUSTAKA ................................................... 126
LAMPIRAN .................................................................. 131
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Informan Penelitian .................................................... 14
Tabel 1.2 Tinjauan Kajian Terdahulu ......................................... 16
Tabel 5.1 Tabel Identitas Subjek ................................................. 99
Tabel 5.1 Tabel Analisis Pendekatan Heart, Hand and Head ... 109
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Teknik Analisis Data ............................................. 15
Gambar 1.2 Kerangka Berpikir .................................................. 23
Gambar 3.1 Struktur Organisasi Yayasan Prasasti
Perdamaian ................................................................................ 68
Gambar 4.1 Program Yayasan Prasasti Perdamaian untuk Mantan
Narapidana Kasus Terorisme ..................................................... 79
Gambar 5.1 Proses pola Pembinaan mantan narapidana kasus
terorisme Yayasan Prasasti Perdamaian ................................... 100
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Terorisme menjadi peristiwa yang merisaukan seluruh
bangsa. Tidak hanya terjadi di Indonesia, kasus terorisme telah
menjadi kejahatan lintas negara yang terorganisir. Artinya,
terorisme adalah sebuah kejahatan yang berkolaborasi antara
pelaku yang ada di dalam dan di luar negeri. Menurut Ali Masyar,
terorisme adalah hostes humanis generis, yaitu musuh umat
manusia. Sehingga, diperlukan tindakan yang luar biasa untuk
menanggulangi dan mencegah perkara tersebut.1
Selain itu, Terorisme adalah kejahatan yang mendapatkan
bantahan dari seluruh bangsa di dunia karena merusak nilai-nilai
kemanusiaan dan dampak yang dihasilkannya, yaitu terganggunya
keselamatan masyarakat, militer, dan instalasi negara, rawannya
keamanan pemerintah atau kepala negara, dan rusaknya fasilitas
umum yang disebabkan oleh terorisme.2
Sebagaimana yang disampaikan oleh Hamidin, terorisme
terjadi diawali oleh kelompok terorisme Al-Qaeda di Afganistan
dan Pakistan. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa Indonesia juga
tidak luput dari kasus terorisme, hal itu dapat dibuktikan dengan
adanya kelompok Jamaah Al Islamiyah, yang melakukan tindakan
1 Ali Masyar. 2009. Gaya Indonesia Menghadapi Terorisme: Sebuah
Kritik Kebijakan Hukum Pidana Terorisme di Indonesia, Bandung: Mandar
Maju h 6.
2 Muhammad Ali Zaidan. 2017. Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme (Pendekatan Kajian Kriminal). Seminar Nasional Hukum Universitas
Negeri Semarang 3:1 h 2
2
terorisme dengan serangan bom. Jenis bomnya juga beragam, yaitu
bom bunuh diri atau bom timer.3
Mengetahui betapa merugikannya terorisme, tentu penting
pula mengetahui apa yang melatarbelakangi tindakan tersebut.
Terorisme kadang mengatasnamakan agama tertentu untuk
melancarkan aksinya. Padahal, agama yang seharusnya
mengajarkan cinta dan kasih, tidaklah pantas dinyatakan dalam
bentuk teror. Anggapan kaum radikalis hanyalah agamanya yang
benar. Sedangkan agama lain hanyalah agama buatan manusia
yang banyak dirubah dan dirombak oleh kaumnya sendiri. Mereka
mendasari pemkiran tersebut dengan ayat-ayat Al-Qur’an, salah
satunya sebagai berikut:
غ ت ب ي ن م و ر ي غ
ل ا
س
د م ل ن ي
ا ف م ل ب ق ي ن ل
ف و ه و ه ن ى ا ة ر خ ل
م ن
ال ر س اخ
ن ي Artinya: “Barang siapa mencari agama selain
agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia
diakhirat termasuk orang- orang yang rugi”.
(QS. Ali Imran:85)4
Demikian juga pernyataan dalam QS Ali Imran ayat
19:
إ ن
ع ن ي الد هللا د ن
ل ا
س
م ل م و
ت ا اخ
ل
ف
ذ ال
ن ي و أ
و ت
ك ا ال
اب ت
إ
م ه اء ا ج م د ع ب ن م ل ع ال
ب م ل
ي ن م و م ه ن ي ا ب ي غ
أيت ب ر ف ك
هللا إ ف
ر س هللا ن ع ي
اب س ح ال
3Hamidin. 2007. Wajah Baru Terorisme: Transformasi Jaringan,
Gerakan, dan Modus Kelompok Terorisme Domestik dan Global. Bogor: Pusat
Media Damai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme h 2
4 Departemen Agama. 2009. Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Bandung; Sygma Examedia hal 61
3
Artinya: “Sesungguhnya agama (yang diridhai)
disisi Allah hanyalah Islam., tiada berselisih
orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali
sesudah datang pengetahuan kepada mereka,
karena kedengkian (yang ada) di antara
mereka, barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat
Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat
hisab-Nya”. (QS. Ali Imran:19)5
Menurut pemahaman aliran Wahabi, para radikalis
beranggapan bahwa beragama tidak cukup hanya beribadah saja.
Agama juga harus diterapkan dalam wujud kenegaraan. Hal itu
yang mendorong mereka bersungguh-sungguh ingin mendirikan
negara yang menurut mereka akan memberlakukan hukum agama.
Namun, ada beberapa faktor lain yang membuat terorisme
berkembang secara pesat, yaitu faktor ekonomi dan faktor
heroisme. Keterlibatan remaja dalam terorisme juga dikarenakan
adanya ketertarikan mereka mengikuti kelompok teror dan
mengagumi betapa gagahnya para kelompok teror tersebut. Faktor
lain yang dapat memicu terorisme adalah dendam, seperti halnya
yang terjadi di Poso.
Pada perkembangannya, kelompok teroris adalah
kelompok yang berbahaya karena kemampuan mengorganisir
dengan baik. pembagian tugas dilakukan dengan jelas. Hirarki
disusun dengan jelas. Dan kelompok mereka adalah kelompok
yang solid.
Menyadari akan hal tersebut, pemerintah melakukan
berbagai upaya, antara lain dengan mengganti Undang-Undang
5 Departemen Agama. 2009. Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Bandung; Sygma Examedia hal 52
4
Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme disahkan oleh DPR RI menjadi Undang-undang Nomor
15 Tahun 2003.
Dalam upaya institusional, pemerintah Indonesia
membentuk institusi primer yang terdiri dari Polri, Departemen
Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan,
Tentara Nasional Republik Indonesia, Badan Intelijen Negara.
Departemen Kesehatan, dan instansi lainnya.
Upaya lain yang dilakukan pemerintah dalam penegakan
hukum yaitu dibentuknya Satuan Tugas Bom dan Detasemen
Khusus 88. Kedua badan ini adalah bagian dari kepolisian yang
berfokus pada kasus terorisme. Lebih jauh lagi, pemerintah
membentuk badan khusus untuk menanggulangi kasus terorisme,
yaitu Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Terorisme adalah kasus yang terjadi karena beberapa
faktor, tentunya pelibatan berbagai institusi sangat diperlukan.
Sehingga pendekatan yang tepat dalam menanggulangi terorisme
bisa dilakukan dengan baik. Dalam pelaksanaannya, Indonesia
melakukan dua pendekatan untuk menanggulangi terorisme, yaitu
hard approach dan lebih ditekankan pada soft approach. Hal ini
dikarenakan penggunaan hard approach pada teroris tidak akan
menyelesaikan masalah terorisme hingga ke akarnya.
Penanggulangan yang dilakukan oleh Polri dan Densus 88 akan
berlanjut pada proses deradikalisasi.
Proses deradikalisasi dilakukan di Lembaga
Pemasyarakatan. Di dalamnya, narapidana teroris mendapat
pembinaan agar tidak mengulangi aksi terornya kembali. Namun,
5
berdasarkan catatan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme,
pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan belum cukup efektif.
Sejumlah 15 persen dari 600 mantan narapidana terorisme kembali
melakukan aksi teror kembali.6 Hal itu berbanding lurus dengan
yang disampaikan oleh Insan Firdaus, bahwa salah satu indikator
keberhasilan deradikalisasi adalah sadarnya mantan narapidana
kasus terorisme agar tidak melakukan teror setelah bebas dari
Lembaga Pemasyarakatan.7
Namun, terdapat masalah baru akan keberadaan narapidana
kasus terorisme di Lembaga Pemasyarakatan. Narapidana kasus
terorisme cenderung menyendiri dan tidak mau berbaur dengan
narapidana lainnya. Selain itu, narapidana kasus terorisme juga
tidak kooperatif dengan petugas lembaga pemasyarakatan. Bahkan
mereka juga dapat menyebarkan paham radikalisme kepada
narapidana lainnya atau kepada petugas Lembaga
Pemasyarakatan. Oleh karena itu, pembinaan khusus kepada
narapidana terorisme tentu diperlukan.
Di sisi lain, penempatan narapidana teroris di Lembaga
Pemasyarakatan harus memperhatikan beberapa aspek, yaitu
memperhatikan individu narapidana kasus terorisme, pelaksanaan
program pembinaan, dan juga kemampuan Lembaga
Pemasyarakatan dalam membina narapidana kasus terorisme.
6 Balitbang Hukum dan HAM. 2016. Pembinaan Narapidana Teroris
dalam Upaya Deradikalisasi. Jakarta.
7Insan Firdaus. Penempatan Narapidana Teroris di Lembaga
Pemasyarakatan. Jurnal Penelitaian Hukum De Jure Vol 17 h 430.
6
Aspek-aspek tersebut akan berpengaruh terhadap pelaksanaan
deradikalisasi bagi narapidana kasus teroris di kemudian hari.8
Program deradikalisasi di Indonesia telah dijalankan
melalui tahapan-tahapan. Tahap yang pertama yaitu observasi.
Narapidana kasus terorisme akan diberi pertanyaan tentang latar
belakang dan alasan keterlibatan dengan jaringan terorisme. Tahap
kedua yaitu pemberian kebebasan untuk memilih pengurangan
durasi hukuman jika perperilaku baik dan telah menyelesaikan
sepertiga masa hukuman. Tahap ketiga yaitu pemberian kebebasan
untuk bekerja di sekitar Lembaga Pemasyarakatan dengan
pengawasan bagi narapidana yang telah menyelesaikan setengah
dari masa hukumannya. Dan tahap terakhir yaitu pemberian
kebebasan bersyarat bagi narapidana kasus terorisme yang
berperilaku baik dan telah menyelesaikan dua-pertiga masa
hukumannya.9
Dalam penanggulangan terorisme, selain deradikalisasi
yang berfokus pada ideologi seseorang, terdapat metode lain, yaitu
disengagement, yaitu upaya untuk menjauhkan seseorang dari
perilaku ekstrim tanpa harus merubah pandangan orang tersebut.
Perbedaan diantara keduanya adalah, deradikalisasi memiliki
tujuan untuk merubah pola pikir ektrimis dan radikal menuju pola
8Insan Firdaus. 2017. Penempatan Narapidana Teroris di Lembaga
pemayarakatan. Jurnal De Jure: Pusat Pengkajian dan Pengembangan
Kebijakan Hukum Badan Penelitian dan Pengembangan Hukm Hak Asasi
Manusia Vol 7 h. 431
9Insan Firdaus. 2017. Penempatan Narapidana Teroris di Lembaga
pemayarakatan. Jurnal De Jure: Pusat Pengkajian dan Pengembangan
Kebijakan Hukum Badan Penelitian dan Pengembangan Hukm Hak Asasi
Manusia Vol 7 h. 435
7
pikir yang tidak membenarkan tindak kekerasan, yaitu
memberikan nilai-nilai kemanusiaan sesuai hukum yang berlaku di
Indonesia. Sedangkan contoh disengagement adalah pengalihan
perhatian teroris terhadap hal lain sehingga mengurangi interaksi
dengan jaringan teror kembali.
Dari kedua cara penanggulangan terorisme tersebut,
menurut John Morgan, seorang peneliti dan direktur International
Center for The Study of Terrorism di Pennsylvania State
University, dalam bukunya Leaving Terrorism Behind,
menyebutkan bahwa disengagement lebih realitistis daripada
deradikalisasi. Menurutnya, strategi sebuah negara seharusnya
lebih berfokus pada disengagement, yaitu memutus hubungan
dengan jaringan terorisme. Karena, mengatasi pemikiran radikal
dan mengetahui seberapa besar kadar radikal adalah hal yang
sulit.10
Penegakan hukum yang dilakukan di Lembaga
Pemasyarakatan juga termasuk upaya disengagement. Narapidana
kasus terorisme telah terpisah secara fisik dari kelompoknya di
Lembaga Pemasyarakatan. Namun faktanya, narapidana kasus
terorisme di Indonesia masih bisa mengatur jejaring,
berkonsolidasi, dan bahkan merekrut anggota baru di Lembaga
Pemasyarakatan. Metode disengagement masih bisa menimbulkan
10 Bjorgo, Tore, dan Horgan. 2008. Leaving Terrorism Behind:
Disengagement from Political Violence. New York: Taylor & Francis.
8
celah Apalagi deradikalisasi yang menanggulangi pola pikir
radikal narapidana kasus terorisme.11
Terlebih lagi istilah deradikalisasi dinilai masih ambigu.
Orang yang memiliki ideologi yang radikal dianggap sebagai
orang yang tidak normal dan ideologinya harus diganti. Padahal,
yang seharusnya diadili bukanlah ideologi seseorang, namun lebih
tertuju kepada tindakan terornya.
Disengagement dinilai lebih efektif karena target
disengagement disibukkan dengan perkara yang membuatnya lalai
dengan ideologi radikalnya.
Saat program yang dilakukan oleh pemerintah
mendapatkan berbagai penolakan, ada beberapa organisasi non
pemerintah (Non Governmnet Organization) yang fokus
menangani isu terorisme. Antara lain Yayasan Lingkar Perdamaian
yang didirikan oleh Ali Fauzi, mantan narapidana kasus terorisme
di Lamongan. Selanjutnya, Lazuardi Birru, yang didirikan pada 5
September 2009 oleh Suryadarma, yang juga menjadi pembina.
Lazuardi Birru didirikan sebagai lembaga yang melakukan
deradikalisasi terhadap mantan narapidana kasus terorisme.
Tujuannya adalah menunjukkan wajah Islam yang damai, jauh dari
kekerasan. Yang ketiga terdapat Aliansi Damai Indonesia, adalah
lembaga yang bergerak di bidang kemanusiaan dan perdamaian.
Lembaga ini konsen dan konsisten untuk menggugah masyarakat
agar dapat membantu korban terorisme. Dan yang terakhir, yang
11 Fakhri Usmita. 2012. Disengagement; Strategi Penanggulangan
Terorisme di Indonesia. Tesis Program Studi Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
9
menjadi fokus penelitian dari peneliti adalah Yayasan Prasasti
Perdamaian, yaitu sebuah lembaga nirlaba yang bergerak dalam
isu perdamaian dan melakukan pembinaan kepada mantan
narapidana kasus terorisme.
Pendekatan Yayasan Prasasti Perdamaian kepada mantan
narapidana terorisme yang dilakukan dengan cara berbeda.
Yayasan Prasasti Perdamaian memilih term disengagement.
Program-program yang dilakukan oleh Yayasan Prasasti
Perdamaian dilakukan untuk memberdayakan potensi mantan
narapidana kasus terorisme dan menciptakan ruang interaksi sosial
yang baru. Tujuannya agar tercipta kemandirian ekonomi melalui
dukungan berupa pengelolaan bisnis skala kecil. Contoh dari
program ini adalah didirikannya unit-unit usaha yang dikelola oleh
mantan narapidana kasus terorisme. Unit-unit usaha ini tersebar di
Semarang, Solo, dan Poso. Dengan terlaksananya program
tersebut, harapannya mantan narapidana kasus terorisme dapat
memulai kehidupan dan interaksi sosial baru tanpa harus terjerat
lagi kedalam kelompok teror. Hal ini sesuai dengan apa yang
disampaikan oleh Noor Huda Ismail, pendiri Yayasan Prasasti
Perdamaian, bahwa setiap orang layak untuk mendapatkan
kesempatan kedua untuk hidup lebih baik.
Sehingga, Berdasarkan latar belakang di atas peneliti
mengkaji lebih dalam lagi mengenai pola pembinaan yang
dilakukan Yayasan Prasasti Perdamaian bagi mantan narapidana
kasus terorisme. Selain itu, peneliti juga ingin memperdalam
mengenai program disengagement yang dilakukan oleh Yayasan
Prasasti Perdamaian.
10
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan
Penelitian ini hanya dibatasi pada pola pembinaan mantan
narapidana teroris yang dilakukan oleh Yayasan Prasasti
Perdamaian dan dampak dari salah satu program Yayasan Prasasti
Perdamaian, yaitu dampak dari program disengagement.
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana pola pembinaan bagi mantan
narapidana kasus terorisme yang dilakukan oleh
Yayasan Prasasti Perdamaian?
b. Bagaimana dampak program disengangement bagi
mantan narapidana kasus terorisme di Yayasan
Prasasti Perdamaian?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan diadakannya penelitian ini sebagai berikut:
a. Mengetahui pola pembinaan mantan narapidana kasus
terorisme yang dilakukan Yayasan Prasasti Perdamaian
b. Mengetahui dampak program disengagement yang
dilakukan oleh Yayasan Prasasti Perdamaian bagi
mantan narapidana kasus terorisme.
2. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian, maka penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat, baik dalam secara
langsung maupun tidak langsung. Adapun manfaat penelitian
adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
11
Secara teoritis, manfaat penelitian ini antara lain:
i. Memberikan pemahaman tentang pola pembinaan
Yayasan Prasasti Perdamaian kepada mantan
narapidana kasus terorisme melalui program
disengagement
ii. Sebagai referensi atau pijakan untuk penelitian
selanjutnya yang berhubungan disengagement mantan
narapidana kasus terorisme serta menjadi kajian lebih
lanjut.
b. Manfaat praktis
Bertambahnya wawasan dan pengalaman tentang
pola pembinaan mantan narapidana kasus terorisme yang
mendapatkan program disengagement, khususnya di
Yayasan Prasasti Perdamaian.
D. Metodologi Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan
kualitatif, yaitu ketertarikan spesifik pada studi hubungan sosial
yang berhubungan dengan fakta pluralisasi dunia kehidupan.
Metode ini dilakukan untuk melihat dan menilai baik subjek
maupun objek penelitian yang terdiri dari orang, lembaga
berdasarkan pada fakta secara apa adanya. Dengan metode ini akan
terungkap gambaran mengenai aktualisasi, realitas sosial, dan
persepsi target penelitian. Penelitian kualitatif dilaksanakan
dengan tujuan memahami perilaku manusia, dan acuan pelaku
sendiri. Yakni bagaimana pelaku memandang, menilai, dan
menggambarkan aktivitas dari pandangannya. Peneliti dalam hal
12
ini berusaha memahami dan menafsirkan apa yang dipahami dan
digambarkan subjek peneilitian.12
Secara harfiah, Penelitian kualitatif berarti sesuai dengan
namanya, yaitu penelitian yang diperoleh bukan berasal dari
hitungan-hitungan atau statistik. Kualitatif berkaitan dengan aspek
kualitas, nilai atau makna yang ada dibalik fakta. Kualitas, nilai
atau makna hanya dapat diucapkan dengan bahasa atau kata-kata.13
Lebih lanjut, Creswell (2019) mengatakan bahwa
pendekatan kualitatif adalah pendekatan untuk membangun
pernyataan atau pengetahuan berdasarkan perspektif-konstruktif
(misalnya makna-makna yang berasal dari pengalaman seseorang,
nilai sosial dan sejarah, tujuannya adalah untuk membangun teori
atau pengetahuan tertentu) atau berdasarkan pada perspektif
partisipatori. Contohnya adalah orientasi terhadap politik, isu,
kolaborasi, atau perubahan, maupun keduanya.14
Penelitian kualitatif menggunakan lingkungan alamiah
sebagai sumber informasinya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi
dalam lingkungan tersebut menjadi kajian yang utama dalam
penelitian kualitatif. (Direktorat Tenaga Kependidikan, 2008:22).
Peneliti pergi ke lokasi tersebut memahami dan menganalisis
situasi. Studi dilakukan di tempat kejadian ketika berinteraksi.
Peneliti mengamati, bertanya, mencatat, dan menggali sumber
yang lebih jauh yang terkait dengan penelitian ini. Hasil-hasil yang
12Imam Gunawan. 2013. Metode Penelitian Kualititatif: Teori dan
Praktik. PT Jakarta.: Bumi Aksara: h 82 13Imam Gunawan. 2013. Metode Penelitian Kualititatif: Teori dan
Praktik. PT Jakarta.: Bumi Aksara: h 82 14Imam Gunawan. 2013. Metode Penelitian Kualititatif: Teori dan
Praktik. PT Jakarta.: Bumi Aksarah 83
13
diperoleh segera disusun dalam waktu singkat. Apa yang diamati
pada dasarnya tidak lepas dari konteks dimana peristiwa itu
berlangsung.15
Penelitian kualitatif ini bersifat deskriptif analitik. Data
yang diperoleh yang berupa pengamatan, hasil wawancara, hasil
pemotretan, analisis dokumen, catatan lapangan, disusun peneliti
di lokasi penelitian. Dan tidak dijabarkan dalam bentuk angka.
Peneliti melakukan analisis data dengan memperkaya informasi,
mencari hubungan, membandingkan, menemukan pola dasar data
aslinya. Hasil analisis data berupa penjelasan yang dipaparkan
dalam uraian naratif.16
Dengan demikian, format deskriptif kualitatif lebih tepat
apabila digunakan untuk meneliti masalah-masalah yang
membutuhkan studi mendalam, seperti halnya permasalahan
tingkah laku konsumen suatu produk, masalah-masalah efek media
terhadap pandangan pemirsa terhadap suatu tayangan media,
permasalahan implementasi kebijakan publik di masyarakat, dan
sebagainya.17
2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Yayasan Prasasasti Perdamaian
yang beralamat di Jalan Tebet Timur Dalam III E, RT 6/RW 3
Tebet Timur Kecamatan Tebet Jakarta Selatan 12829. Adapun
penelitian ini dimulai pada Bulan September 2019, dimulai dengan
15Imam Gunawan. 2013. Metode Penelitian Kualititatif: Teori dan
Praktik. PT Jakarta.: Bumi Aksarah h 86 16Imam Gunawan. 2013. Metode Penelitian Kualititatif: Teori dan
Praktik. PT Jakarta.: Bumi Aksarah h 87 17Burhan Bungsin. 2007. Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya. Jakarta: Prenada Media Grup h. 69
14
penelitian sebelum dilaksanakannya seminar proposal hingga
penelitian terakhir di Bulan Januari 2020.
3. Subjek, Informan, Objek
a. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah pelaku yang memberi informasi
atau data dalam suatu penelitian. Mereka yaitu individu yang atau
tempat pengumpulan informasi atau data. Adapun subjek dalam
penelitian ini adalah mantan narapidana teroris yang didampingi
oleh Yayasan Prasasti Perdamaian.
b. Informan Penelitian
Informan penelitian adalah subjek yang memahami objek
penelitian sebagai pelaku maupun orang lain yang memahami
objek penelitian.18 Adapun yang menjadi informan penelitian ini
adalah Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian dan
Direktur pendampingan Yayasan Prasasti Perdamaian, yaitu Ibu
Khariroh Maknunah dan mantan narapidana teroris yang
didampingi oleh Yayasan Prasasti Perdamaian.
c. Objek Penelitian
Objek penelitian adalah apa yang menjadi sasaran
penelitian. Sasaran penelitian adalah apa yang ada dalam rumusan
masalah.19 Objek penelitian adalah fokus, kata-kata kunci atau
topik penelitian.20
18Burhan Bungsin. 2007. Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya. Jakarta: Prenada Media Grup h. 78
19Burhan Bungsin. 2007. Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya. Jakarta: Prenada Media Grup h. 78
20 Hamidi. 2010. Penelitian Kualitatif. Malang: UMM Press h 74
15
Objek pada penelitian ini adalah pola pembinaan bagi
mantan narapidana kasus terorisme yang dilakukan oleh Yayasan
Prasasti Perdamaian.
4. Penentuan Sumber Data
Sumber data dalam sebuah penelitian adalah subjek dari
data yang dimaksud.21 Sumber data adalah unsur utama dalam
sebuah penelitian untuk memperoleh data-data yang konkret dan
dapat memberikan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini.
Dalam penelitian, penulis menggunakan dua sumber data, yaitu:
a. Data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari
informan dalam bentuk wawancara
b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari sumber-
sumber tertulis yang terdapat dari buku, jurnal,website, leaflet,
atau dokumen yang berkaitan dengan penelitian.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penelitian
ini adalah sebagai berikut:
a. Wawancara
Merupakan suatu alat pengumpulan data informasi
langsung berupa jenis data wawancara, merupakan bentuk
komunikasi antara dua orang, melibatkan orang yang ingin
mendapatkan informasi dengan seorang lainnya dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu.22
21M. Subana. 2005. Dasar-dasar Penelitian Ilmiah. Bandung:Pustaka
Setia h 115.
22Dedy Mulyana. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta:
Rosda h 180.
16
Wawancara dilakukan berdasarkan pertanyaan penelitian
yang disusun untuk mempermudah melakukan pertanyaan-
pertanyaan kepada informan. Adapun pertanyaan penelitian dalam
dijabarkan dalam lampiran. Berikut adalah informan penelitian
yang diwawancarai oleh peneliti:
Tabel 1.1 Informan Penelitian
No. Nama Jabatan Keterangan
1. Khariroh
Maknunah
Direktur
Pendampingan
2. Echo Ibrahim (Eko
Ibrahim)
Mantan
Narapidana
Kasus
Terorisme
Lapas
Nusakambangan
3. Riki Riyanto
(Ibenk)
Mantan
Narapidana
Kasus
Terorisme
Lapas Pondok
Rajek
4.
Yusuf Adirima
(Machmudi
Haryono)
Mantan
Narapidana
Kasus
Terorisme
Lapas
Nusakambangan
b. Observasi
Observasi adalah upaya mengamati dan
mendokumentasikan hal-hal yang terjadi selama tindakan
berlangsung.23 Guna memperoleh gambaran jelas tentang pola
pembinaan disengagement mantan narapidana terorisme di
Yayasan Prasasti Perdamaian. Dalam penelitian ini, peneliti
melakukan kunjungan langsung ke kantor Yayasan Prasasti
Perdamaian. Peneliti mengamati kantor Yayasan Prasasti
Perdamaian. Peneliti juga menyaksikan sarana prasarana yang
23Suryana. 2010. Metode Penelitian Model Praktis Penelitian
Kuantitatif dan Kualitatif. Universitas Padjajaran. Hal 51
17
dimiliki oleh Yayasan Prasasti Perdamaian. Peneliti ingin
mengetahui secara langsung bagaimana proses pembinaan yang
dilakukan Yayasan Prasasti Perdamaian kepada mantan
narapidana terorisme melalui program disengagement sehingga
mantan narapidana kasus terorisme terlepas dari jaringan terornya.
Dalam melakukan pencatatan lapangan terhadap pengamatan,
penulis menuangkannya dalam bentuk catatan lapangan.
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah pengambilan data yang diperoleh
melalui dokumen-dokumen.24 Dalam hal ini peneliti
mengumpulkan, membaca, memperoleh dan mempelajari berbagai
macam bentuk data melalui pengumpulan dokumen-dokumen
yang ada di Yayasan Prasasti Perdamaian. Serta data-data lain
yang dapat dijadikan bahan analisa untuk penelitian ini. Teknik ini
digunakan untuk memperoleh data yang telah didokumentasikan
dalam buku dan majalah sesuai dengan masalah yang diteliti.
Peneliti juga mendokumentasikan foto yang bisa mendukung
terkait penelitian ini.
6. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah suatu proses mengorganisasikan dan
mengurutkan ke dalam pola, kategori, dan suatu uraian
dasar kemudian dianalisa agar mendapatkan hasil yang ada. Hal ini
disesuaikan dengan metode yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu analisis deskriptif.25
24 Husaini Husman. 2000. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi
Aksara h 73.
25 Suharsimi Arikunto. 2003. Prosedur Penelitian Ilmiah: Suatu
Pendekatan Praktek. Jakarta:Bulan Bintang Cetakan ke-9 h 11
18
Strategi data kualitatif deskriptif formatnya menggunakan
analisis permukaan data, hanya memperhatikan proses-proses
kejadian suatu fenomena dan kedalaman data. Hal ini juga yang
dilakukan dalam penelitian sosial dengan berbagai format
penelitian kualitatif. Walaupun begitu, kualitatif deskriptif
mengadopsi cara berpikir induktif26
Gambar 1.1 Teknik Analisis Data
7. Teknik Penulisan
Dalam penulisan penelitian ini, penulis berpedoman dan
mengacu pada Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis,
Desertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang merupakan
Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor 507
Tahun 2017.
E. Tinjauan Kajian Terdahulu
Tabel 1.2 Tinjauan Kajian Terdahulu
No.
Nama Peneliti
dan Judul
Penelitian
Identitas Tulisan
(Skripsi/Tesis,
Jurusan,
Metode Penelitian dan
Hasil Penelitian
26Burhan Bungsin. 2011. Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik, Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
h 151
Kesimpulan
Kategorisasi
Kesimpulan
Ciri-ciri
umum
Dalil
Hukum
Teori
Klasifikasi
Data
Induktif
Analisis
Data
Data
Data
Data
19
Fakultas/Jurnal,
Vol, No. Tahun
1.
Agasti Prior,
“Peran Badan
Nasional
Penanggulangan
Terorisme dalam
Penindakan dan
Pencegahan
Tindak Pidana
Terorisme”
(Analisis
Peraturan
Presiden Nomor
46 Tahun 2010
BNPT),
Skripsi
mahasiswa
Konsentrasi
Hukum
Kelembagaan
Negara Fakultas
Syariah dan
Hukum UIN
Syarif
Hidayatullah
Jakarta tahun
2012
Penelitian ini menggunakan
jenis penelitian kualitatif
dan menggunakakan
penelitian normatif empiris
untuk menguji implementasi
ketentuan hukum normatif.
Di dalam skripsi ini
membahas tentang peran
Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme
dalam Penindakan dan
Pencegahan Ancaman
terorisme dengan
mengetahui kewenangan
BNPT dan juga dasar
hukumnya.
2.
Brian
Muhammad,
“Hirarki Pengaruh
Media dalam
Pemberitaan Aksi
Terorisme di
Sarinah pada
Harian Umum
Republika”
Skripsi
mahasiswa
jurusan
Komunikasi
Penyiaran Islam
Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu
Komunikasi UIN
Syarif
Skripsi ini menggunakan
metode kualitatif deskriptif
yang membahas pengaruh
secara langsung dari level
individu yang diwakili oleh
reporter dan pada pengaruh
rutinitas media yang
direpresentasikan melalui
20
Hidayatullah
Jakarta 2017
rapat dewan redaksi di
Harian Umum Republika. .
3.
M. Khamdan,
dengan Judul
“Deradikalisasi
Pelaku Tindak
Pidana Terorisme
di Indonesia”
Tesis Mahasiswa
Sekolah Paska
Sarjana Jurusan
Kajian Agama
dan Studi
Perdamaian UIN
Syarif
Hidayatullah
Jakarta tahun
2015
Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif dan
menyimpulkan bahwa
program deradikalisasi
pelaku tindak pidana
terorisme yang dilakukan di
dalam Lembaga
Pemasyarakatan dan di luar
lapas belum optimal
dikarenakan adanya
kekerasan senjata untuk
mengungkap aksi terorisme
sehingga memungkinkan
rasa solidaritas beserta balas
dendam.
4.
Siti Nurmalita
Sari, “Strategi
Badan Nasional
Penanggulangan
Terorisme dalam
Upaya
Deradikalisasi
Pemahaman
Agama
Skripsi
mahasiswa
Konsentrasi
Manajemen
Ziswaf Fakultas
Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi
UIN Syarif
Hidayatullah
Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif dengan
pendekatan deskriptif. Hasil
dari penelitian ini tentang
kebijakan BNPT yang
menekankan pendekatan
soft approach dalam konsep
menangani deradikalisasi
untuk menanggulangi
21
Narapidana
Terorisme di
Lembaga
Pemasyarakatan
(LP) Cipinang.”
Jakarta tahun
2016
terorisme adalah strategi
yang mengutamakan dialog
secara komprehensif,
persuasif, dan penuh kasih
sayang.
5.
Khariroh
Maknunah,
“Analisis Framing
Pemberitahuan
Deradikalisasi di
Koran Harian
Kompas”
Skripsi
Mahasiswa
Konsentrasi
Jurnalistik
Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu
Komunikasi UIN
Syarif
Hidayatullah
Jakarta. 2011.
Penelitian ini menggunakan
paradigma konstruktivis
dengan pendekatan
kualitatif. Hasil dari
penelitian ini adalah ada dua
pembingkaian yang terjadi
dalam dua pemberitaan
tersebut. Pada pemberitaan
deradikalisasi 31 Mei 2016,
bingkai pemberitaan berupa
dukungan terhadap
pentingnya pelaksanaan
deradikalisasi. Pemberitaan
kedua terbit tanggal 1 Juni
2016 berupa kritik terhadap
pelaksanaan
deradikalisasiyang dianggap
belum memasukkan unsur
kemanusiaan dan lebih pada
proyek belaka.
22
6.
Fakhri Usmita,
“Disengagement;
Strategi
Penanggulangan
Terorisme di
Indonesia”.
Tesis Mahasiswa
Program Studi
Kriminologi
Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu
Politik
Universitas
Indonesia, 2012.
Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif yang
membahas tentang peluang
dan hambatan penerapan
disengagement sebagai
strategi penanggulangan
terorisme di Indonesia.
Hasil dari penelitian ini
menjelaskan bahwa
penerapan disengagement di
Indonesia sangat mungkin
dilakukan karena sebagian
muslim di Indonesia
moderat.
7.
Rudianto,
“Manajemen
Pondok Pesantren
At-Taibin Bogor
dalam Membina
Para Mantan
Narapidana
Terorisme
Skripsi
mahasiswa
jurusan
Manajemen
Dakwah,
Fakuktas Ilmu
Dakwah dan Ilmu
Komunikasi UIN
Syarif
Hidayatullah
Jakarta tahun
2008
Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif deskriptif.
Hasil dari penelitian ini
adalah proses pembinaan
dinilai berjalan baik dalam
hal pendanaan dan sarana
prasarana, namun kendala
lain ditemukan adalah
tentang materi yang tidak
tersampaikan dengan baik
kepada mantan narapidana
teroris dan juga
23
menganggap pesantren
sebagai pelarian sesaat.
Berbeda dengan penelitian diatas, penelitian ini membahas
tentang pola pembinaan mantan narapidana kasus terorisme yang
dilakukan oleh Yayasan Prasasti Perdamaian melalui program
disengagement dan kedua tentang program-program yang
dijalankan untuk memberdayakan mantan narapidana kasus
terorisme, diantaranya adalah program disengagement, yaitu
program yang mendorong seorang mantan narapidana kasus
teorisme terlepas dari kelompok atau jaringan terorisme yang dulu
pernah terlibat di dalamnya.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini mengunakan kerangka yang
biasanya dipaparkan oleh skripsi lainnya yang dimulai dengan kata
pengantar,daftar isi, dan dibagi menjadi 6 (enam) bab dengan
sistematika sebagaimana berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini memuat Latar Belakang, Pembatasan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode
Penelitian, Kajian Pustaka, dan Sistematika
Penulisan Bab ini diakhiri dengan kerangka
berpikir. Selanjutnya dalam metodologi penelitian
dijelaskan mengenai jenis dan pendekatan
penelitian, lokasi dan waktu penelitian, subjek,
objek, dan informan penelitian, penentuan sumber
data, teknik pengumpulan data, teknik analisa data,
dan teknik penulisan.
24
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Bab ini berisi materi secara jelas tentang dasar
hukum penanggulangan terorisme dan dasar hukum
LSM, teori pola pembinaan, teori disengagement
dan jenis-jenis serta faktor yang mendorong
seseorang melakukan disengagement. Selanjutnya
dijelaskan juga tentang pengertian mantan
narapidana teori tentang mantan narapidana, serta
pengertian, jenis-jenis, tipologi dan karakter
terorisme, faktor penyebab menjadi teroris,
bagaimana penanganan terorisme sejauh ini di
Indonesia, teori pendekatan Islam humanistik, dan
Teori Life Skil
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG YAYASAN
PRASASTI PERDAMAIAN
Sejarah Yayasan Prasasti Perdamaian, Lokasi
Yayasan Prasasti Perdamian, Visi dan Misi
Yayasan Prasasti Perdamaian, Struktur organisasi.
BAB IV POLA PEMBINAAN DISENGAGEMENT
MANTAN NARAPIDANA TERORIS DI
YAYASAN PRASASTI PERDAMAIAN
Pada bab ini akan membahas data dan temuan
penelitian, yang di dalamnya membahasa tentang
deskripsi informan dan mantan narapidana
terorisme yang pernah didampingi Yayasan
Prasasti Nasional, kerjasama yang dilakukan oleh
Yayasan Prasasti Perdamaian. Peran Staf Yayasan
25
Prasast Perdamaian, Pola pembinaan mantan
narapidana kasus terorisme yang dilakukan
Yayasan Prasasti Perdamaian, Pendekatan Heart,
Hand and Head (3H) dan Pendekatan Humanis,
Dampak Program Disengagement bagi Mantan
Narapidana Kasus Terorisme, Faktor Pendukung
dan Faktor Penghambat Solusi Pola Pembinaan
Mantan Narapidana Kasus Terorisme, dan
Harapan Penanggulangan Kasus Terorisme
BAB V PEMBAHASAN
Pada bab ini membahas tentang karakteristik
subjek, hasil dari analisa data yang mengungkap
secara detail tentang pola pembinaan mantan
narapidana kasus terorisme, Analisis Pendekatan
Heart, Hand and Head (3H) dan Pendekatan
Humanis, serta analisis Dampak Program
Disengagement bagi Mantan Narapidana Kasus
Terorisme yang dilakukan Yayasan Prasasti
Perdamaian.
BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN
Pada penutup ini, berisi simpulan dari rumusan
masalah implikasi, serta saran yang berkaitan
dengan permasalahan tersebut yang didapatkan
penulis dari proses analisis pola pembinaan mantan
narapidana dan dampak program disengagement di
Yayasan Prasasti Perdamaian yang mudah-
mudahan bAermanfaat bagi penulis.
26
G. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir dibuat peneliti secara spesifik untuk
menjawab permasalahandalam rumusan masalah, yaitu bagaimana
pola pembinaan yang dilakukan oleh Yayasan Prasasti Perdamaian
melalui program-program diantaranya program disengagement
dan bagaimana dampak program disengangement bagi mantan
narapidana. Berikut adalah kerangka berpikir:
Gambar 1.2 Kerangka Berpikir
Narapidana kasus
terorisme yang masih
berhubungan erat
dengan kelompoknya
Narapidana kasus
terorisme yang masih
radikal dan menilai jika
jihad dilaksanakan
dengan jalan teror
Aksi terorisme terjadi
karena solidnya kelompok teror.
Pembinaan dan
Program YPP
dilakukan kepada narapidana kasus
terorisme
Staf YPP melakukan program
disengagement
YPP melakukan
pembinaan kepada
narapidana kasus terorisme
Mantan napiter terlepas dari jaringan terornya dan hidup dengan
normal serta memahami bahwa
agama dan negara tidak membenarkan tindakan teror.
Mantan narapidana kasus
terorisme teralihkan dengan
kegiatan positif.
Kondis
i A
wal
T
indak
an Y
PP
K
ondis
i A
khir
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Dasar Hukum
1. Dasar Hukum Penanggulangan Kasus Terorisme
Dasar hukum kasus terorisme dan penanggulangannya
antara lain:
a. Pasal 1 tentang Definisi Terorisme
Terorisme didefinisikan sebagai perbuatan yang
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang
menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas,
menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan
kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis,
lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional
dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
b. Pasal 12 A tentang Organisasi Teroris
Setiap orang yang dengan sengaja menjadi anggota atau
merekrut orang untuk menjadi anggota korporasi yang ditetapkan
pengadilan sebagai organisasi terorisme dipidana paling singkat 2
tahun dan paling lama 7 tahun.
Pendiri, pemimpin, pengurus, atau orang yang
mengendalikan kegiatan korporasi juga bisa dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun.
c. Pasal 12 B tentang Pelatihan Militer
Pasal ini mengatur setiap orang yang dengan sengaja
menyelenggarakan, memberikan, atau mengikuti pelatihan militer,
pelatihan paramiliter, atau pelatihan lain, baik di dalam negeri
28
maupun di luar negeri, dengan maksud merencanakan,
mempersiapkan, atau melakukan tindak pidana terorisme atau ikut
berperang di luar negeri untuk tindak pidana terorisme, dipidana
paling singkat 4 tahun dan paling lama 15 tahun.
a. Pasal 13 A tentang Penghasutan terorisme
Pasal ini mengatur, setiap orang yang memiliki hubungan
dengan organisasi Terorisme dan dengan sengaja menyebarkan
ucapan, sikap atau perilaku, tulisan, atau tampilan dengan tujuan
untuk menghasut orang atau kelompok orang untuk melakukan
kekerasan atau ancaman kekerasan yang dapat mengakibatkan
tindak pidana terorisme, dipidana paling lama 5 tahun.
b. Pasal 16 A tentang Pelibatan Anak
Pasal ini mengatur, setiap orang yang melakukan tindak
pidana terorisme dengan melibatkan anak, ancaman pidananya
ditambah sepertiga. Pasal ini dibuat dengan berkaca pada
banyaknya aksi teror yang melibatkan anak di luar negeri. Namun,
belakangan teror dengan melibatkan anak juga terjadi saat aksi
bom bunuh diri di tiga gereja dan Mapolrestabes Surabaya.
c. Pasal 25 tentang Waktu Penahanan Pelaku Terorisme
Pasal ini mengatur tersangka teroris bisa ditahan dalam
waktu yang lebih lama. Jika sebelumnya penahanan seorang
tersangka untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan hanya
bisa dilakukan dalam waktu 180 hari atau 6 bulan, kini menjadi
270 hari atau 9 bulan
d. Pasal 28 tentang Penangkapan kasus terorisme
Pasal ini mengatur polisi memiliki waktu yang lebih lama
untuk melakukan penangkapan terhadap terduga teroris sebelum
menetapkannya sebagai tersangka atau membebaskannya. Jika
sebelumnya polisi hanya memiliki waktu 7 hari, kini bisa
diperpanjang sampai 21 hari.
e. Pasal 31 dan 31 A tentang Penyadapan
Pasal ini mengatur, dalam keadaan mendesak penyidik
kepolisian bisa langsung melakukan penyadapan kepada terduga
teroris. Setelah penyadapan dilakukan, dalam waktu paling lama
tiga hari baru lah penyidik wajib meminta penetapan kepada ketua
pengadilan negeri setempat.
Izin penyadapan dari ketua pengadilan negeri kini dapat
diberikan untuk jangka waktu paling lama 1 tahun dan dapat
diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun.
f. Pasal 33 dan 34 tentang Perlindungan
Pasal ini mengatur penyidik, penuntut umum, hakim,
advokat, pelapor, ahli, saksi, dan petugas pemasyarakatan beserta
keluarganya dalam perkara terorisme wajib diberi perlindungan
oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri,
jiwa, dan atau hartanya. Perlindungan diberikan baik sebelum,
selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.
g. Pasal 35A-B dan 36 A-B tentang Hak Korban
Empat tambahan pasal baru ini mengatur secara lebih
komprehensif hak korban terorisme. Ada enam hak korban yang
diatur, yakni berupa bantuan medis, rehabilitasi psikologis,
30
rehabilitasi psikososial, santunan bagi korban meninggal dunia,
pemberian restitusi dan kompensasi.
h. Pasal 43 C tentang Pencegahan.
Pasal ini mengatur bahwa pemerintah wajib melakukan
pencegahan tindak pidana terorisme. Dalam upaya pencegahan ini,
pemerintah melakukan langkah antisipasi secara terus menerus
yang dilandasi dengan prinsip perlindungan hak asasi manusia dan
prinsip kehati-hatian.
i. Pasal 43 E-H tentang BNPT.
Keempat pasal mengatur mengenai Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT). Disebutkan bahwa BNPT
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
BNPT betugas merumuskan, mengoordinasikan, dan
melaksanakan kebijakan, strategi, dan program nasional
penanggulangan terorisme di bidang kesiapsiagaan nasional,
kontra radikalisasi, dan deradikalisasi.
j. Pasal 43 I tentang TNI untuk Membantu
Penanggulangan Terorisme
Tambahan satu pasal ini mengatur tugas TNI dalam
mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer
selain perang.
2. Badan Hukum LSM
LSM atau Lembaga Swadaya Masyarakat atau
yang sering disebut sebagai NGO (Non Governmnet
Organization) memiliki dasar hukum sebagai berikut,
yaitu:
31
a. UU No 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan
(UU Ormas)
b. UU No 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004
c. UU No 16 Tahun 2001 tentang Yayasan Bentuk Yayasan
ini pulalah yang dinilai cocok sebagai bentuk badan hukum
bagi LSM karena ditujukan untuk kepentingan sosial
kemasyarakatan.
B. Pola Pembinaan
1. Definisi Pola Pembinaan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pola berarti
gambar contoh, dan model.27 Pembinaan merupakan suatu proses
untuk membantu individu dalam rangka menemukan dan
mengembangkan kemampuan agar dapat memperoleh rasa
kemanfaatan sosial dan kebahagiaan pribadi. Pembinaan lebih
menekankan pengembangan manusia pada segi praktis, yaitu
mengenai pengembangan sikap, kemampuan, dan kecakapan.
Menurut Mangunhardjana, pembinaan merupakan terjemahan dari
Bahasa Inggris training yang artinya adalah latihan, pendidikan,
pembinaan. Di dalam pembinaan itu, terdapat tiga fungsi pokok,
yaitu penyampaian informasi dan pengetahuan, perubahan dan
pengembangan sikap, serta latihan dan pengembangan kecakapan
dan keterampilan.28
27Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa h 1197 28Mangunhardjana. A.M 1986. Pembinaan: Arti dan Metodenya.
Yogyakarta: Kanisisus h 11
32
Sedangkan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
pembinaan adalah:
a. Proses, cara, perbuatan membina (negara dan sebagainya)
b. Pembaharuan; Penyempurnaan
c. Usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara
efisien dan efektif untuk memperoleh hasil yang lebih
baik29
Pembinaan merupakan usaha yang dilakukan secara sadar,
terencana, teratur, terarah, dan bertanggungjawab untuk
mengembangkan kepribadian dalam segala aspeknya. Pembinaan
juga dapat berwujud sebagai bimbingan, pemberian informasi,
stimulasi, persuasi, pengawasan, dan juga pengendalian yang pada
hakikatnya adalah menciptakan suasana yang membantu
pengembangan bakat-bakat positif dan juga pengendalian naluri
yang rendah.30
Menurut Mangunhardja, untuk melakukan pembinaan ada
beberapa pendekatan yang harus diperhatikan oleh seorang
pembina, antara lain:
a. Pendekatan informatif, yaitu cara menjalankan program
dengan memberikan informasi kepada sasaran. Dalam hal
ini sasaran dianggap belum tahu dan tidak punya
pengalaman.
29Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa h 202. 30Departemen Agama. 1983. Pola Pembinaan Mahasiswa IAIN.
Jakarta: Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Direktorat Pembinaan
Perguruan Tinggi Agama Islam
33
b. Pendekatan partisipatif, yaitu sasaran sebagai sumber
utama, pengalaman dan pengetahuan sasaran dimanfaatkan
sehingga kondisi lebih seperti belajar bersama
c. Pendekatan eksperensial, dalam pendekatan ini,
menempatkan sasaran langsung terlibat pada proses
pembinaan. Dan ini disebut sebagai belajar yang sejati
karena keterlibatan langsung dalam situasi tersebut.31
Pola Pembinaan pada dasarnya diciptakan untuk menjalin
hubungan sehari-hari dengan sasaran. Pola pembinaan disertai
tindakan dari lembaga atau pembina di dalam membimbing
sasarannya adalah untuk membentuk suatu perilaku tertentu.
Menurut Ibnu Maskawaih, di dalam buku Sudarsono, berpendapat
bahwa pembinaan akhlak dititik beratkan kepada pembentukan
mental agar sasaran agar tidak melakukan perilaku menyimpang.32
C. Disengagement
1. Pengertian Disengagement
Teori tentang disengagement pertama kali dikemukakan
oleh Cumming et al tahun 1960 yang tertulis dalam artikel Elaine
Cumming dan William Henry. Teori ini menggunakan pendekatan
psikologis yang mana bertujuan untuk mengungkapkan fenomena
berubahnya seseorang menjadi penyendiri dan hidup terpisah dari
lingkungan sosialnya.
31Mangunhardjana. A.M 1986. Pembinaan: Arti dan Metodenya.
Yogyakarta: Kanisisus h 17 32Sudarsono. 1989. Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja. Jakarta:
Bina Aksara h 148.
Cumming dan Henry menyusun teori ini berdasarkan
asumsi adanya hubungan saling mempengaruhi antara individu
dengan lingkungannya, maupun sebaliknya, kemudian
menafsirkan tentang penarikan diri seseorang terhadap
lingkungannya seiring dengan bertambahnya usia.33
Teori disengagement kemudian diperbarui oleh Bandura
menjadi teori moral disengagement. Teori kognisi sosial
menawarkan sebuah perspektif dalam tingkah laku manusia
dimana individu berlatih untuk mengontrol pikiran dan perilaku
melalui proses regulasi diri yang di dalamnya mencakup
mengontrol diri dan tindakannya dan mengontrol reaksi diri untuk
melakukan sebuah aktifitas yang beradasarkan standar moral
internal. Banyak orang yang membuat standar personal dari
tingkah laku moralnya. Perilaku tersebut adalah untuk
memperlihatkan adanya bentuk dari regulasi diri. Standar ini akan
menuntun untuk bertingkah laku dan menghindari perilaku buruk
dan melakukan antisipasi, mengontrol dan menilai tindakan diri
sendiri. Regulasi ini berfungsi dan akan beroperasi jika diaktifkan.
Selanjutnya, Bandura mengemukakan bahwa regulasi moral dapat
diaktifkan dan di non-aktifkan sesuai keinginan. Moral
disengagement adalah kunci proses tidak diaktifkan, individu
membebaskan diri dari sangsi dan perasaan bersalah yang terjadi
saat tindakan melanggar standar internal.34
33Arlie Russel Hochschild. 1975. The Sociology of Feeling and
Emotion : Selected Possibilities h 555 34Bandura. 1999. Sosial Cognitive Theory of Personality. New York:
Academc Press h 65
35
Disengagement adalah keputusan individu untuk tidak lagi
terlibat dalam sebuah aksi kekerasan ataupun teror yang dilakukan
oleh sekelompok radikal teroris. Hal ini merupakan sebuah opsi
yang didapatkan oleh individu tersebut karena telah menimbang
keuntungan dan kerugian dalam keterikatannya dengan organisasi
radikal teroris. Disengagement kemudian dapat menjadi awal dari
perubahan ideologi (deradikalisasi) dari seorang narapidana
teroris. Sedangkan, menurut Risse, disengagement adalah
kemauan individu untuk mengikuti sebuah program secara
instrumental dalam suatu periode tertentu, dapat mengarah pada
perubahan identitas. Dalam konteks deradikalisasi hal itu bisa
terjadi karena, satu, individu akan taat dan patuh pada peraturan
dan norma yang berlaku karena ia sudah terbiasa dan menganggap
itu adalah rutinitas baginya. Dalam kondisi seperti ini, individu
dapat dikatakan disengaged atau terlepas dari ada atau tidak
adanya saksi di sekitarnya. Dua, dalam melakukan rutinitas
tersebut, individu akan dihadapkan pada lingkup perilaku tertentu,
sehingga mungkin akan sulit menghadapi konflik psikologis yang
ada dalam dirinya, sehingga ia akan menyesuaikan perilaku, nilai,
dan norma yang ia yakini sebagai bentuk rasionalisasi keadaan.
Tiga, sebagai pembenaran atas perilaku yang dia lakukan, bahwa
secara sadar dan perlahan dapat menerima bentuk keyakinan baru
yang berwujud perilaku, norma, dan nilai.35
35Saella Fitriana. 2016. Upaya BNPT dalam Melaksanakan Program
Deradikalisasi di Indonesia. Journal of International Relation Universitas
Diponegoro. 2:3.h 192
36
Hasil dari teori ini digunakan untuk membuat kebijakan
penanggulangan terorisme. Menurut Horgan, terorisme adalah
sebuah hasil dari proses interaksi kelompok teror dan dapat
membangun interaksi dan hubungan baru serta komitmen bagi
calon anggotanya. Oleh karena itu, aksi teror harus dicegah
dengan menarik keluar orang-orang yang melakukannya.36
Upaya disengagement dan reintegrasi sosial dilakukan oleh
Yayasan Prasasti Perdamaian melalui terapi penyembuhan trauma,
diskusi, kunjungan rutin, pelatihan soft skill, dan pelatihan dan
bantuan kewirausahaan. Melalui upaya ini Yayasan Prasasti
Perdamaian berharap mereka akan memiliki kesempatan kedua
untuk tinggal bersama keluarga dan komunitas mereka.
2. Jenis-jenis dan faktor-faktor disengagement
Fokus pendekatan disengagement adalah bagaimana
individu keluar dari kelompoknya dan tidak lagi mengulangi
kekerasan sebagai tujuannya. Selanjutnya, Horgan membagi teori
disengagement menjadi dua, yaitu disengagement secara
psikologis dan disengagement secara fisik. Horgan kemudian
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi disengagement
secara psikologis, yaitu:
a. Adanya pengaruh negatif akibat bergabungnya dengan
anggota kelompok
b. Adanya perubahan prioritas yang muncul karena penolakan
dari masyarakat
36Horgan, J. 2005. Senjakala Ilmu Pengetahuan. (Penerjemah: Dindin
Solahudin). Bandung: Penerbit Nuansa h 121
37
c. Tumbuhnya rasa ketidakpercayaan terhadap keberhasilan
apa yang dicita-citakan bila menggunakan jalan yang
selama ini ditempuh37
Melalui faktor-faktor inilah, terbuka pintu masuk bagi
strategi disengagement secara fisik untuk menarik keluar anggota
teroris dari terorisme. Adanya pengalaman yang tidak
menyenangkan adalah akibat dari keterlibatan mereka dalam
kelompok teroris dan diistilahkan sebagai benih bagi
disengagement secara psikologis.38
Disengagement secara fisik lebih mudah untuk diketahui
karena telah mengalami perubahan sikap yang ditandai dengan
tidak terlibat melakukan kekerasan tanpa memandang berkurang
atau bertambahnya dukungannya terhadap kelompok. Faktor-
faktor yang mempengaruhi antara lain:
a. Ketakutan terhadap penegak hukum dan ancaman
hukuman
b. Adanya tekanan dari kelompok akibat mengabaikan
perintah, mungkin mutasi ke tugas lainnya atau bahkan di
eksekusi
c. Dipindahtugaskan ke aktifitas lainnya di kelompok,
disesuaikan dengan keahliannya, atau dipindahkan ke jalur
politik
d. Ditolak atau dijauhkan dari segala aktifitas gerakan dan
perjuangan kelompoknya
37 Horgan, J. 2005. Senjakala Ilmu Pengetahuan. (Penerjemah: Dindin
Solahudin). Bandung: Penerbit Nuansa h 129 38Horgan, J. 2005. Senjakala Ilmu Pengetahuan. (Penerjemah: Dindin
Solahudin). Bandung: Penerbit Nuansa h 124
38
e. Perubahan prioritas sebagai bentuk dari disengagement
psikologis39
Horgan mengartikan disengagement sebagai “melepaskan”
atau “meninggalkan” norma sosial yang bersama, nilai, sikap, dan
aspirasi yang ditanamkan sejak menjadi kelompok teroris.40
Sedangkan menurut Sarlito Wirawan Sarwono, dosen
sekaligus psikolog Universitas Indonesia, dalam rangka
deradikalisasi pelaku teroris di Indonesia, dibutuhkan
disengagement yaitu mengubah kecenderungan berperilaku dalam
tataran perilaku.41
Lantas, perbedaan antara deradikalisasi dan disengagement
berdasarkan International Centre for Study of Radicalisational and
Political Violance (ICSR) adalah upaya untuk mengantisipasi
radikalisme. Istilah disengagement menggambarkan proses ketika
individu atau kelompok menghentikan keterlibatan mereka dalam
kekerasan organisasi atau terorisme. Jika tujuan dari deradikalisasi
adalah untuk perubahan substantif pada ideologi dan sikap
individu atau kelompok, maka, disengagement berkonsent rasi
pada memfasilitasi perubahan perilaku penolakan cara-cara
39Horgan, J. 2005. Senjakala Ilmu Pengetahuan. (Penerjemah: Dindin
Solahudin). Bandung: Penerbit Nuansa h 129 40Horgan, J. 2005. Senjakala Ilmu Pengetahuan. (Penerjemah: Dindin
Solahudin). Bandung: Penerbit Nuansa h 124 41Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada dan Universitas
Pattimura Ambon. 2014. Penguatan, Sinkronisasi, Harmonisasi, Integrasi
Pelembagaan dan Pembudayaan Pancasila dalam Rangka Memperkokoh
Kedaulatan Bangsa. Ambon, 31 Mei-01 Juni 2014.
39
kekerasan. Disengagement adalah proses yang tidak bisa
dipisahkan dalam pelaksanaan deradikalisasi.42
D. Mantan Narapidana
1. Pengertian Narapidana
Narapidana adalah orang hukuman (orang yang sedang
menjalani tindak pidana karena suatu perbuatan); terhukum.
Sementara itu, menurut kamus induk ilmiah menyatakan bahwa
narapidana adalah orang hukuman; orang buaian. Sedangkan
menurut kamus hukum, narapidana adalah orang yang menjalani
pidana dalam Lembaga Pemasyarakatan.43
Berdasarkan pasal 1 ayat 7 Undang-undang Nomor 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, narapidana adalah orang
yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga
Pemasyarakatan. Berdasarkan Pasal 1 ayat 6 Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan terpidana adalah
seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.44
Mantan narapidana adalah seseorang yang pernah
melakukan tindak kejahatan dan menyebabkan kerugian kepada
masyarakat. Baik itu kerugian secara ekonomi, psikologis, maupun
sosial.45
42ICSR, 2010. Prisons and Terrorism Radicalisation and De-
radicalosation in 15 Countries. King’s College London United Kingdom.
www.icsr.info. h 12. 43Joanedi Effendi, Ismu Gunadi Widodo, Fifit Fitri Lutfianingsih.
2016. Kamus Istilah Hukum Populer. Jakarta: Prenadamedia Group 44Joanedi Effendi, Ismu Gunadi Widodo, Fifit Fitri Lutfianingsih.
2016. Kamus Istilah Hukum Populer. Jakarta: Prenadamedia Group
45 Lawimatang. 1984. Hukum Penentensier Indonesia: Bandung: CV
Armico ,h 181
40
E. Terorisme
1. Pengertian Terorisme
Pengertian terorisme menurut undang-undang no. 15 tahun
2003 tentang penerapan peraturan pemerintah pengganti undang-
undang no 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme menjadi undang-undang yaitu: “Terorisme adalah
penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan
suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas
kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain
atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-
objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas
publik atau fasilitas internasional.”46
Terorisme berasal dari Bahasa Latin Terrere yang berarti
menimbulkan rasa gemetar dan rasa cemas (Mark Juergensmeyer).
Sedangkan dalam Bahasa Inggris to terrorize yang artinya
menakut-nakuti. Jika ditinjau dari segi etimologi, terorisme
berakar dari kata terror yang berarti takut, kecemasan; terrorism
berarti terorisme, penggentaran; terrorist berarti teroris, pengacau;
terrorize berarti menakut-nakuti (Wojowasito & Poewadarminta
1980). Menurut Chomsky, konsep tentang terorisme masih tidak
jelas dan masih terjadi beberapa perbedaan. Istilah terorisme lebih
mengarah kepada taktik, alat untuk mencapai tujuan tertentu.
Sebagai sebuah taktik, alat untuk mencapai tujuan tertentu.
46Benny Sumardiana. 2017. Efektivitas Penanggulangan Ancaman
Penyelabaran Paham Ekstrim Kanan yang Memicu Terorisme oleh POLRI dan
BNPT RI. Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang. 1 (3): 111-
112
41
Sebagai sebuah taktik, terorisme selalu bisa dapat digunakan kapan
saja untuk sebuah aksi untuk sebuah kelompok. Jika terorisme
adalah sebuah taktik, maka keliru orang yang mendeklarasikan
perang terhadap teroris, karena taktik bukanlah untuk
dikalahkan.47
Dilihat dari jenisnya, terorisme ada dua, yaitu pertama state
terrorism, yakni instrumen kebijakan suatu rezim penguasa dan
negara., terorisme di dalam dunia politik seringkali kehilangan
makna aslinya dan bergeser artinya sebagai politikus yang sedang
bertikai. Seseorang yang sedang bertikai biasanya menuduh lawan
politiknya dengan melakukan teror dan apabila tujuan teror ini
berhasil, besar kemungkinan ia akan melakukan berulang tindakan
teror kepada lawan. Akibatnya, sekali orang itu dituduh menjadi
teroris maka orang yang menuduh dan yang lain memiliki
kebebasan untuk menyerang dan menghukumnya dengan tindakan
keras dan menyakitkan. Penggunaan istilah terorisme, sebagai alat
teror politik, sekarang menjadi praktik yang merajalela dan sangat
tidak menyenangkan apabila dilihat dari sudut pandang moral dan
hukum. Kedua, non-state terrorism, yakni bentuk perlawanan
terhadap perlakuan politik, sosial, maupun ekonomi yang tidak adil
dan kejam yang menimpa seseorang atau kelompok orang. 48
47 enny Sumardiana. 2017. Efektivitas Penanggulangan Ancaman
Penyelabaran Paham Ekstrim Kanan yang Memicu Terorisme oleh POLRI dan
BNPT RI. Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang. 1 (3): 111-
112 48Benny Sumardiana. 2017. Efektivitas Penanggulangan Ancaman
Penyelabaran Paham Ekstrim Kanan yang Memicu Terorisme oleh POLRI dan
BNPT RI. Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang. 1 (3): 111-
112
42
Terorisme dan tragedi pengeboman memiliki sejarah yang
panjang di Indonesia. Tercatat beberapa kali pengeboman sejak
tahun 2000 hingga sekarang ini. Aksi terorisme dan tragedi
pengeboman tersebut biasanya ditujukan kepada objek-objek yang
selalu menjadi sasaran umum internasional seperti Amerika dan
sekutunya yang berkaitan dengannya. Tujuan dari terorisme
sendiri adalah untuk memunculkan rasa takut, maka pengeboman
kadang kala tidak menargetkan korban jiwa besar seperti bom Bali
dulu. Pengeboman saat ini bersifat simbol serta gertakan sehingga
kadang ditemukan dalam suatu pengeboman tidak ada satupun
korban sipil atau sasaran selain pelaku pengeboman itu sendiri.
Sasaran lokasi pengebomanpun tidak pada target utama
keberadaan warga Amerika atau sekutunya, kadang pada simbol
terkait negara tersebut. Contohnya seperti tahun 2016 di gerai
Starbucks. Namun, meski begitu, pesan terorisme kadang telah
tersampaikan dan berhasil.49
Karakter terorisme di Indonesia sendiri berbeda dengan
terorisme yang terjadi di negara yang cenderung merupakan
bentuk perlawanan terhadap kondisi politik yang terjadi. Di
Indonesia terorisme muncul karena perbedaan ideologi dan
pemahaman terhadap ajaran agama yang mempengaruhi pola
pemikiran masyarakat. Melihat perkembangan terorisme tersebut
di Indonesia, mengakibatkan berkembangnya hukum terkait
terorisme juga. Jika sebelumnya perilaku terorisme diibaratkan
49 Benny Sumardiana. 2017. Efektivitas Penanggulangan Ancaman
Penyelabaran Paham Ekstrim Kanan yang Memicu Terorisme oleh POLRI dan
BNPT RI. Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang. 1 (3): 114
43
dengan istilah crime againts humanity sehingga penanggulangan
terhadap perbuatan terorisme ini pun harus dilakukan dengan
upaya khusus pula.50
Selanjutnya adalah perkembangan terorisme yang pesat di
Indonesia, yang masyarakatnya terbiasa dengan kemajemukan dan
bertoleransi atas kemajemukan tersebut. Terorisme di Indonesia
cenderung muncul bersamaan dengan penyebaran paham ekstrem
kanan terkait agama dalam masyarakat. Pemikiran tersebut mudah
diterima di masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Penyebaran tersebut dilakukan melalui berbagai forum dan juga
media sehingga penyebarannya menjadi efektif dalam
masyarakat.51
Pemahaman ekstrim ini apabila tidak dibatasi oleh hukum
maka akan berdampak pada masyarakat sehingga diperlukan
berbagai upaya untuk mengatasi persebarannya.52
Di Indonesia, hampir setiap perbuatan terorisme dilatar
belakangi oleh agama. Fakta bahwa Indonesia adalah negara
dengan penduduk muslim terbanyak tidak diragukan lagi. Pada
50Benny Sumardiana. 2017. Efektivitas Penanggulangan Ancaman
Penyelabaran Paham Ekstrim Kanan yang Memicu Terorisme oleh POLRI dan
BNPT RI. Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang. 1 (3): 114 51 Hamidin. 2007. Wajah Baru Terorisme: Transformasi Jaringan,
Gerakan, dan Modus Kelompok Terorisme Domestik dan Global. Bogor: Pusat
Media Damai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme h 19 52 Hamidin. 2007. Wajah Baru Terorisme: Transformasi Jaringan,
Gerakan, dan Modus Kelompok Terorisme Domestik dan Global. Bogor: Pusat
Media Damai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme h 19
44
tahun 2010, dari jumlah penduduk 256 juta jiwa penduduk,
88.58%nya beragama Islam.53
Sebelum terbentuknya Undang-Undang No 15 tahun 2003
tentang tindak pidana terorisme, baik dalam Perpu No 1 tahun 2002
maupun dalam PNPS no 11 tahun 1963 tentang tindak pidana
subversif, terorisme telah dikelompokkan ke dalam 3 jenis:
kelompok separatis, kelompok ideologis, dan kelompok kriminal.
Dari ketiga jenis terorisme tersebut, kebanyakan besar adalah
kelompok ideologi. Misi mereka adalah untuk mengubah ideologi
pancasila menuju ideologi bersyariat Islam menurut versi mereka54
Mereka ingin mengganti dasar-dasar negara dengan
ideologi mereka. Dan cara yang digunakan untuk mewujudkan
cita-cita itu adalah dengan menciptakan situasi perang secara
konstan atau perang pembunuhan. Sementara dalam konsep
perang, membunuh memang diperbolehkan, bahkan memiliki fai’
atau harta rampasan perang juga diperbolehkan. Sekalipun pada
akhirnya gagal, bagi mereka telah melakukan jihad, dan yang mati
diberikan gelar syahid.55
2. Tipologi Kelompok-kelompok Teroris
Kelompok teroris terbagi menjadi empat golongan, yaitu:
golongan nasionalis-separatis, golongan fundamentalis agama,
53 Hamidin. 2007. Wajah Baru Terorisme: Transformasi Jaringan,
Gerakan, dan Modus Kelompok Terorisme Domestik dan Global. Bogor: Pusat
Media Damai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme h 19 54Hamidin. 2007. Wajah Baru Terorisme: Transformasi Jaringan,
Gerakan, dan Modus Kelompok Terorisme Domestik dan Global. Bogor: Pusat
Media Damai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme h 19 55Hamidin. 2007. Wajah Baru Terorisme: Transformasi Jaringan,
Gerakan, dan Modus Kelompok Terorisme Domestik dan Global. Bogor: Pusat
Media Damai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme h 19
45
kelompok agama baru, dan pelaku revolusi sosial. Penggolongan
ini menggambarkan bahwa kelompok teroris dapat dikategorikan
berdasarkan latar belakang politik atau ideologinya. Kategori
revolusioner juga dinilai sebagai “idealis” karena berperang
dengan alasan yang radikal demi membela keyakinan agama atau
politik.56
Meskipun beberapa kelompok tidak dapat dimasukkan ke
kelompok tertentu, tipologi umum diperlukan karena beragamnya
aksi terorisme. Cara pandang kelompok yang masuk dalam
kategori kelompok umum cenderung mempunyai banyak
persamaan dibandingkan kelompok yang benar-benar berbeda.
Sebagai contoh Irish Republican Army (IRA), Basque Fatherland
and Liberty (Euzkadi Ta Askatuna/ETA). Kelompok Teroris di
Palestina, dan LTTE semuanya memiliki motivasi yang sama,
yaitu nasionalis yang kuat. Kelompok Islam fundamentalis dan
Aunm Shinrikyo termotivasi oleh keyakinan agama.
Pemberantasan terorisme akan lebih efektif jika mengetahui
bagaimana motivasi kelompok tersebut. Kelompok kelima, adalah
kelompok teroris sayap kanan, tidak dimasukkan pembahasan.
Bukan karena kelompok mereka tidak patut diwaspadai, karena
merekalah yang melakukan aksi pengeboman di Oklahoma, AS
pada 19 April 1995.57
3. Ciri-ciri Teroris
56Sukawarsini Djelantik. 2010. Terorisme: Tinjauan Psiko-Politis,
Peran Media, Kemiskinan, dan Keamanan Nasional. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor h 24 57Sukawarsini Djelantik. 2010. Terorisme: Tinjauan Psiko-Politis,
Peran Media, Kemiskinan, dan Keamanan Nasional. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor h 24
46
Agar dapat menghindari paham terorisme dan radikalisme,
atau untuk upaya pencegahan agar tidak teribat di dalamnya, dan
agar lebih tidak menjadi bias, maka diperlukan pemahaman yang
baik untuk mengenali ciri-ciri, paham, atau sikap yang biasanya
tertanam dalam diri teroris.58
Ciri teroris sendiri dapat dilihat dari dua kategori. Pertama,
ciri radikalis atau teroris militan dan keras selalu ditemukan dalam
diri mereka. Kedua, mereka memiliki ciri-ciri potensial untuk
berkembang menjadi radikalis dan teroris. Secara garis besar, ada
sepuluh ciri yang menjadikan kaum radikalis dan teroris, pertama
tekstualis dan kaku dalam bersikap dan memahami teks-teks suci.
Pemahaman yang kaku dan tekstualis mengakibatkan kesimpulan
yang semrawut. Misalnya di dalam kitab menjelaskan tentang
pemerintahan yang dzalim dijadikan dasar bahwa pemimpin itu
tidak sesuai dengan paham yang dianutnya dan melabeli pemimpin
itu sebagai thaghut atau thughyan. Pada saat yang sama, petunjuk
kafir dalam kitab dijadikan untuk mengkafirkan orang lain.59
Ciri yang kedua yaitu ekstrem, fundamentalis, dan
eksklusif. Ekstrem yang dimaksud adalah sikap yang
berseberangan dengan orang pada umumnya, terutama pemerintah.
Sementara fundamentalis adalah orang yang berpegang teguh
secara tekstual dan kaku. Hal ini juga diberlakukan dalam
beragama sehingga sebutannya adalah fundamentalisme agama.
Ernest Gelner menyebutkan bahwa fundamentalisme sebagai
58Syahrin Harahap. 2017. Upaya Kolektif Mencegah Radikalisme dan
Terorisme. Depok: Siraja h 26. 59Syahrin Harahap. 2017. Upaya Kolektif Mencegah Radikalisme dan
Terorisme. Depok: Siraja h 26.
47
kekuatan atau integritas yang dapat menunjukkan bahwa iman
harus dipegang dengan teguh secara penuh dan harfiah, tanpa
mengenal kompromi, interpretasi, pengurangan, ataupun
keluwesan. Doktrin adalah inti agama dan harus diterapkan secara
persis dan paripurna.60
Ketiga yaitu eksklusif, kaum teroris selalu memandang
bahwa ideologi dan sudut pandangnyalah yang paling benar.
Sementara, sudut pandang lain dianggap salah atau sesat.61
Keempat, mereka selalu bersemangat untuk mengoreksi
orang lain. Keberlanjutan dari sikap eksklusif, kaum teroris
memiliki semangat yang tinggi untuk mengoreksi, menolak dan
melawan orang lain.
Ciri yang kelima yaitu pembenaran cara-cara kekerasan
dan menakutkan dalam mengoreksi orang lain dan dalam
mengembangkan serta menegakkan ideologinya.62
Keenam, kaum teroris memiliki rasa kesetiaan yang besar,
bahkan lintas negara. Suatu tindakan terorisme di suatu negara
dapat dikendalikan dan dibalas di negara lain.63
Ketujuh, ciri lain yang dimiliki kaum radikalis adalah
rekonstruksi musuh yang sering tidak jelas. Hal itu dapat terjadi
karena orang atau kelompok yang tidak sepaham dengan mereka
60Syahrin Harahap. 2017. Upaya Kolektif Mencegah Radikalisme dan
Terorisme. Depok: Siraja h 26. 61Syahrin Harahap. 2017. Upaya Kolektif Mencegah Radikalisme dan
Terorisme. Depok: Siraja h 26. 62Syahrin Harahap. 2017. Upaya Kolektif Mencegah Radikalisme dan
Terorisme. Depok: Siraja h 26. 63Syahrin Harahap. 2017. Upaya Kolektif Mencegah Radikalisme dan
Terorisme. Depok: Siraja. h 26.
48
adalah seorang musuh. Sehingga meskipun berkebangsaan sama,
sering kali dianggap sebagai musuh mereka lantaran perbedaan
keyakinan, prinsip, pendapat, atau latar belakang.64
Kedelapan, karena takaran konstruksi musuh masih tidak
jelas, maka mereka berperang dengan mati-matian terhadap yang
dianggap musuh agamanya dan yang melakukan kemunkaran.
Meskipun tidak secara langsung memusuhi, membunuh, atau
mengusir mereka.65
Ciri kesembilan yaitu konsern pada isu-isu penegakan
negara agama (dalam Islam seperti kekhalifahan) karena mereka
dianggap berhasil untuk membentuk tatanan dunia yang sejahtera
dan adil karena menjadikan agama sebagai dasar negara dan dasar
hukum.66
Kesepuluh, kaum teroris sangat menjunjung tinggi
tauhidiyyah hakimiyyah dan menghukum kafir orang yang tidak
menjadikan agama sebagai sumber hukum bernegara dan
bersosial.67
Landasan yang menjadi acuan mereka adalah ayat-ayat di
bawah ini:
ن و ر ف ك م ال ك ه ئ
ول أ ف
هل للا ز
ن ا أ م ب
م ك ح م ي
ن ل م و
Artinya: “Siapa saja yang tidak berhukum
(memutuskan hukuman) dengan apa yang
64Syahrin Harahap. 2017. Upaya Kolektif Mencegah Radikalisme dan
Terorisme. Depok: Siraja h 26. 65Syahrin Harahap. 2017. Upaya Kolektif Mencegah Radikalisme dan
Terorisme. Depok: Siraja h 26. 66Syahrin Harahap. 2017. Upaya Kolektif Mencegah Radikalisme dan
Terorisme. Depok: Siraja h 26. 67Syahrin Harahap. 2017. Upaya Kolektif Mencegah Radikalisme dan
Terorisme. Depok: Siraja h 26.
49
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-
orang yang kafir”. (QS. Al-Maidah (5): 44)68 م ن و
ن و م ل هم الظ ك ه ئ
ول أ ف
هل للا ز
ن ا أ م ب
م ك ح م ي
ل
Artinya: “Barangsiapa tidak berhukum
(memutuskan) perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-
orang yang dzalim”. (QS. Al-Maidah (5): 45)69
م ي ن ل م و
ا أ م ب
م ك ح
ن و ق فس م ال ك ه ئ
ول أ ف
هل للا ز
ن
Artinya: “Barangsiapa tidak berhukum
(memutuskan) perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-
orang yang fasiq”. (QS. Al-Maidah (5): 46)70
Bagi sebagian orang yang sangat sederhana
pemahamannya mengenai Al-Qur’an, sering kali tertarik untuk
mengedepankan maksud ayat secara tekstualis dan atomistis
(terpisah dengan ayat lain) seperti ini karena lebih menjawab emosi
keagamaannya.71
4. Karakter Terorisme
Ada beberapa karakteristik teroris menurut Hoffman dalam
buku Deradikalisasi Terorisme, antara lain:72
a. Karakter nasionalis-etnosentris, yaitu anti terhadap
pemerintah dan melakukan tindakan penyerangan di daerah
68Al-Quran yang dikompilasi Naf’an Akhun. Al-Quran Terjemahan
Departemen Agama. Semarang: CV Toha Putra h 163 69Al-Quran yang dikompilasi Naf’an Akhun. Al-Quran Terjemahan
Departemen Agama. Semarang: CV Toha Putra h 163 70Al-Quran yang dikompilasi Naf’an Akhun. Al-Quran Terjemahan
Departemen Agama. Semarang: CV Toha Putra h 163 71Syahrin Harahap. 2017. Upaya Kolektif Mencegah Radikalisme dan
Terorisme. Depok: Siraja h 26. 72Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Derakalisasi BNPT.
2016. Anak Muda Cerdas Mencegah Terorisme h 18
50
yang aman, dengan tujuan untuk memisahkan diri dari
pemerintah (separatis)
b. Religius, teroris menganggap serangan yang dilakukan
terhadap masyarakat dan bom bunuh diri adalah hal yang
harus mereka lakukan. Contoh kelompok ini adalah Jamaah
Islamiah (JI), gerakan garis keras di Hindu seperti
kelompok Sikh di India, serta Macan Tamil di Sri Lanka.
c. Ideologi yang bertujuan untuk menyebarkan propaganda
kebencian anti terhadap imigran dan melakukan
pengeboman, contohnya gerakan Nazi di Jerman dan
gerakan Fasis di Italia.
d. Ingle Issue, yaitu dengan melakukan sabotase dan
menyebarkan ancaman pengeboman terhadap objek-objek
vital, disebabkan merasa melihat ancaman terhadap
kelangsungan lingkungannya dan orang-orang di
daerahnya.
e. Faktor negara sponsor, yaitu dengan melakukan sabotase
atau penggunaan senjata yang dilakukan oleh sebuah
kelompok pemerintahan.
f. Faktor penderita sakit jiwa, yang dilakukan oleh individu
dengan melakukan pengeboman atau perampokan.73
Tidak hanya itu saja, ada pembagian lain menurut
Departemen Penelitian dan Pengembangan Kementerian
73Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Derakalisasi BNPT.
2016. Anak Muda Cerdas Mencegah Terorisme h 18
51
Pertahanan Republik Indonesia, membagi karakter terorisme
menjadi empat kelompok, yaitu:74
a. Karakteristik Organisasi yang meliputi organisasi,
rekrutmen, pendanaan, dan hubungan internasional.
b. Karakteristik terorisme yang memiliki persamaan dalam
operasi, contohnya seperti perencanaan eksekusi teror,
waktu, taktik dan kolusi.
c. Karakteristik perilaku, yang meliputi kesamaan motivasi,
dedikasi, disiplin, keinginan membunuh dan menyerah
hidup-hidup.
d. Karakteristik sumberdaya, yang meliputi kesamaan latihan,
pengalaman perorangan di bidang teknologi, persenjataan,
perlengkapan dan transportasi.75
5. Faktor Penyebab Menjadi Teroris
Penelitian oleh Fuadi Isnawan yang berjudul Program
Deradikalisasi Radikalisme dan Terorisme melalui Nilai–Nilai
Luhur Pancasila membahas mengenai faktor-faktor penyebab
gerakan radikalisme antara lain faktor internal keberagamaan,
faktor eksternal sosio-politikultural, faktor psikologis, dendam
politikultur, faktor sejarah, faktor pendidikan, faktor pemikiran,
faktor ekonomi, faktor sosial dan faktor politik. Serta peran
Pancasila dalam menghalangi masuknya paham radikalisme dan
terorisme di Indonesia, karena Pancasila mengandung nilai luhur
74Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Derakalisasi BNPT.
2016. Anak Muda Cerdas Mencegah Terorisme h 20 75Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Derakalisasi BNPT.
2016. Anak Muda Cerdas Mencegah Terorisme h 20
52
yang dapat membentengi diri individu maupun negara dalam
menghalau paham tersebut (Isnawan, 2018)76
Dalam kancah nasional, setidaknya ada beberapa faktor
yang menyebabkan terjadinya terorisme dan radikalisme, antara
lain:
a. Faktor kesenjangan sosial dan politik.
Contohnya seperti adanya sekat antara yang kaya dan yang
miskin.
b. Jaringan internasional
Jaringan internasional memberikan dukungan logistik
kepada kelompok-kelompok lokal. Contoh dari hal ini
adalah pendidikan kemiliteran yang diadakan di Filipina
dan Afganistan.
c. Faktor kultural
Pandangan yang sempit terhadap agama dapat memicu aksi
terorisme. Khususnya dalam konsep jihad dan khilafah
dalam Islam yang ditafsirkan secara sempit dan sektoral.
Paham ini dikembangkan oleh aliran strukturalisme yang
beranggapan bahwa akar dari terorisme adalah persamaan
hak (equal rights), perlindungan terhadap penduduk sipil
(civil protection), kebebasan (freedom). Menurut teori ini,
yang menjadi akar terorisme adalah tidak adanya keadilan,
rasa kecewa, dan ketidakpuasan terhadap pemerintah, dan
76Isnawan, F. 2018. Program Deradikalisasi Radikalisme dan
Terorisme Melalui Nilai–Nilai Luhur Pancasila. Jurnal Fikri, 3(1), h 1–28
53
ketidakpedulian dari elit politik, sehingga menimbulkan
kesenjangan dalam masyarakat.77
Selain itu, dalam buku Bjorgo yang berjudul Root Causes
of Terrorism: Myths, Reality, and Ways Forward, menawarkan
sebuah tipologi faktor-faktor penyebab terorisme. Bjorgo
membagi menjadi dua kategori, yaitu precondition softerrorism
dan precipitants of terrorism. Precondition softerrorism adalah
faktor-faktor yang menjelaskan kondisi-kondisi jangka panjang
yang dapat menimbulkan terorisme. Precipitants of terrorism
adalah peristiwa atau fenomena tertentu yang memicu terjadinya
tindakan terorisme. Kedua faktor ini kemudian dibagi lagi menjadi
empat tingkatan, yaitu:
a. Faktor penyebab struktural, yaitu faktor-faktor penyebab
yang mempengaruhi kehidupan masyarakat luas, yang
kemungkinan tidak disadari. Faktor struktural ini antara
lain: ketidakseimbangan demografik, globalisasi,
modernisasi yang sangat cepat, transisi masyarakat,
meningkatnya individualisme, dan keterasingan dari
masyarakat, struktur kelas, dan sebagainya.
b. Faktor penyebab fasilitator, yaitu faktor yang
menyebabkan terorisme menjadi suatu pilihan yang
menarik. Contoh dari nyata dari faktor ini adalah
perkembangan media massa, perkembangan transportasi,
77Muhammad Ali Zaidan. 2017. Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme (Pendekatan Kebijakan Kriminal) Seminar Nasional Hukum
Universitas Negeri Semarang 3:1 Hal 157
54
teknologi persenjataan, lemahnya kontrol negara atas
wilayahnya, dan lain-lain.
c. Faktor penyebab motivasional, yaitu ketidakpuasan yang
dialami oleh seseorang dan memotivasi seseorang untuk
bertindak .
d. Faktor pemicu, yaitu faktor langsung terjadinya terorisme.
Faktor ini dapat berupa peristiwa yang provokatif atau
peristiwa politik tertentu, atau tindakan musuh yang
menimbulkan suatu reaksi78
6. Penanganan narapidana teroris
a. Sumber daya Indonesia untuk menanggulangi terorisme
Menurut Juwono Sudarsono, ada empat fungsi
utama yang menjadi pilar dalam sistem keamanan nasional
komprehensif, yaitu:
i. Pertahanan negara, yaitu fungsi pemerintahan negara
dalam menghadapi ancaman baik dari luar negeri dalam
rangka menegakkan kedaulatan bangsa, keselamatan,
kehormatan, dan keutuhan NKRI
ii. Keamanan negara, yaitu fungsi pemerintahan negara
dalam menghadapi ancaman yang berasal dari dalam
negeri
iii. Keamanan publik, yaitu fungsi pemerintahan negara
dalam memelihara dan memulihkan keselamatan,
keamanan, dan ketertiban masyarakat melalui
78Muhammad Ali Zaidan. 2017. Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme (Pendekatan Kebijakan Kriminal) Seminar Nasional Hukum
Universitas Negeri Semarang 3:1 Hal 159
55
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan masyarakat.
iv. Keamanan insani, yaitu fungsi pemerintahan untuk
menegakkan hak-hak dasar warga negara.
Berdasarkan fungsi tersebut sudah menjadi kewajiban
pemerintah untuk menjaga negara dan setiap warga negara dari
segala ancaman. Ancaman adalah hal yang dapat mengganggu
kedaulatan maupun keselamatan bangsa, hingga hal yang
mengganggu hak-hak warga negara. Kewajiban pemerintah adalah
mengatasi setiap adanya gerakan radikal dan terorisme dalam
bangsa.
Adanya sumber daya yang dimiliki oleh Indonesia untuk
menanggulangi masalah terorisme sudah seharusnya ditingkatkan.
Beberapa dari sumber daya tersebut adalah finansial negara, Modal
kekuatan politik, organisasi anti terorisme Indonesia, serta
perangkat regulasi yang mengatur tentang penanganan terorisme
bahkan pencegahan terjadinya serangan teror.79
Pada tahun 2016, sumber daya anggaran pemerintah
penanganan terorisme menyiapkan anggaran hingga Rp 1,9 Triliun
untuk memperkuat pasukan anti teror, terutama Densus 88. Dana
tersebut untuk peremajaan alat persenjataan, biaya pelatihan, gaji,
dan asrama personel Densus 88. Menurut Mardigu WP, pengamat
terorisme, dana tersebut terlalu berlebihan, padahal, selain
79 Juwono Sudarsono. Materi Rapat, Cikeas Bogor 11 Februari 2007.
56
pemerintah terdapat lembaga yang berfokus pada pencegahan
terorisme seperti BNPT dan BIN.80
Program lain yang perlu ditingkatkan lagi terkait dengan
pendeteksian dini gerakan teror adalah program yang telah dibuat
oleh Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT).81
Dalam program tersebut, anggota yang tergabung dapat
mengajukan dana atas acara yang akan diselenggarakan dalam
rangka pencegahan teror. Melalui program ini, BNPT telah
menyediakan anggaran Rp 1 Milyar setiap tahun di setiap provinsi.
Namun hal tersebut belum berjalan dengan maksimal karena
BNPT hanya menerima Rp 310 Milyar yang telah termasuk
seluruh biaya operasional dan gaji personil BNPT, sehingga
kegiatan lainnya tidak bisa terlaksana.82
Selain meningkatkan penyediaan anggaran bagi
penanggulangan terorisme, pemerintah juga perlu merevisi
peraturan yang berkaitan terorisme. Undang-undang tersebut
adalah Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 yang merupakan
tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Menurut Undang-Undang tersebut Terorisme
merupakan:
80Anggaran Rp. 19 T Untuk densus 88”, http://www. indopos
.co.id/2016/02/anggaran-rp-19-t-untukdensus-88.html, diakses tanggal 14
Oktober 2019
81FKPT adalah Forum yang dibentuk oleh BNPT di setiap Provinsi di
Indonesia. Sudah 32 Provinsi yang memiliki FKPT
82“BNPT Keluhkan Kekurangan Dana Untuk Deradikalisasi”,
http://nasional.kompas.com/read/2016/02/02/20122161/BNPT.Keluhkan.Keku
rangan.Dana.untuk.Deradikalisasi, tanggal 14 Oktober 2019
57
Tindak pidana Terorisme adalah setiap orang yang dengan
sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara
meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan
cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau hilangnya
harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau
kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau
lingkungan hidup, atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional”.83
Adanya undang-undang tersebut memicu pihak yang pro
dan kontra terutama terkait dengan pandangan perlindungan HAM,
Kelompok kontra tidak setuju dengan pengingkaran terhadap
perlindungan pelaku teror. Di lain pihak, kelompok pro tidak
setuju dengan pendekatan perlindungan HAM korban. Kelompok
pro menilai bahwa teror adalah ancaman bagi setiap individu,
seperti hak ingin hidup dan hak untuk terbebas dari rasa takut.
Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan Perpres No 46
Tahun 2010 yang kemudian dirubah menjadi Perpres No 12 Tahun
2012 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Dua
strategi yang dilakukan BNPT dalam melakukan pencegahan yaitu
deradikalisasi dan kontra radikalisasi atau penangkalan ideologi
teroris.84
F. Teori Pendekatan Islam Humanistik dan Teori Life
Skills
83Lihat UU No. 15 Th 2003 ttg PP pengganti UU No. 1 Th 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bab III pasal 6.
84 Agus SB. 2014. Merintis Jalan Mencegah Terorisme (Sebuah Bunga
Rampai), Jakarta: Semarak Lautan Warna h. 161-163.
58
1. Teori Pendekatan Islam Humanistik
Sebagai pengantar atas temuan penelitian, akan dibahas
terlebih dahulu tentang Teori Pendekatan Islam humanistik. Teori
ini berpusat pada nilai-nilai kemanusiaan. Teori ini didukung oleh
pakar psikolog yang terkenal, yaitu Carl Roger, Abraham Maslow,
dan Arthur Combs. Fokus mereka adalah pemberian bantuan
kepada peserta didik agar terhumanisasikan atau teraktualisasi diri.
Selain itu, dukungan lain juga didapat dalam teori ini berasal dari
John Holt, Jonathan Kozol, dan George Dennison, yang menilai
bahwa humanistik di barat hanya mematikan secara intelektual dan
memberikan pengaruh yang destruktif. Teori pendekatan
humanistik di Barat dilakukan hanya untuk membebaskan manusia
dari ketidakadilan dari penindas.85
Mustafa Rahma menegaskan bahwa Pendekatan
humanistik di Barat hanya berujung pada tuntutan material tanpa
diimbangi dengan nilai spiritual. Hanya membebaskan manusia
dari kebodohan dan kemiskinan.86
Lain halnya dengan pendekatan humanistik dalam Islam,
yang menurut Abdurrahman Mas’ud didefinisikan sebagai proses
pendekatan yang lebih memperhatikan manusia sebagai makhluk
85Paulo Freire, 2009. Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang
Memanusiakan, dalam Omi Intan Naomi (ed), Menggugat Pendidikan
Fundamentalisme Konservatif Liberal-Anarkis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar h
435
86Musthafa Rahman. 2009. Humanisasi Sistem Pendidikan. Jurnal
Nadwah 3, h 20
59
sosial dan makhluk yang religius dan diberi kesempatan untuk
mengembangkan potensi-potensinya.87
Jadi, pendekatan Islam humanistik adalah pendekatan yang
kajiannya berdasarkan pada nilai-nilai atau ajaran Islam dengan
menjadikan humanisme Islam.88
a. Nilai-nilai Humanistik Islam
Humanisme dalam Islam memandang bahwa manusia
memiliki fitrah ketuhanan dan beberapa nilai yang mengandung
prinsip kemanusiaan (humanitas) manusia. Nilai-nilai tersebut
adalah persamaan, persaudaraan, dan kebebasan.89 Pendekatan ini
juga mengandung dua dimensi sekaligus, yaitu dimensi vertikal
dan horizontal. Sehingga proses pendekatan ini adalah proses yang
berorientasi pada aspek potensial manusia sebagai makhluk
individu dan sosial, sebagai ‘abdullah atau khalifatullah.90
Sehingga, dari uraian diatas dapat diketahui bahwa
pendekatan humanistik adalah pendekatan yang memanusiakan
manusia91 dengan cara memberikan kesempatan untuk
mengaktualisasi dan menumbuhkan potensi yang dimilikinya92
87Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan
Nondikotomik. Yogyakarta: Gama Media h 135
88Menurut Musthafa Rahman, Humanisme merupakan cara pandang
terhadap dunia yang menekankan manusia beserta sifat dasar dan peran di dunia
menurutnya humanisme Islam adalah humanisme religius yang berdasarkan
pada ajaran Islam. Musthafa Rahman. 2009. Humanisasi Sistem Pendidikan.
Jurnal Nadwah 3, 53
89Musthafa Rahman. 2009. Humanisasi Sistem Pendidikan. Jurnal
Nadwah 3, h 58
90 Abdurrahman Mas’ud. 2002. Menggagas Format Pendidikan
Nondikotomik. Yogyakarta: Gama Media h 135
91 Muhaimin. 2005. Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Madrasah,
dan Perguruan Tinggi. Depok: Raja Grafindo Persada h 142
92 Muhaimin. 2005. Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Madrasah,
dan Perguruan Tinggi. Depok: Raja Grafindo Persada h 143
60
atau dalam prakteknya adalah mengajarkan keimanan tidak hanya
merujuk kepada kitab suci, tetapi juga melalui pengalaman hidup
dan menghadirkan Tuhan dalam mengatasi persoalan hidup, baik
di ranah pribadi atau ranah sosial.93
2. Teori Life Skills
Kecakapan hidup (life skills) diartikan sebagai suatu
keterampilan agar dapat melakukan sesuatu dengan baik.
Kecakapan hidup merupakan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan
oleh individu agar dapat menunjang mutu kehidupan mereka.
Menurut Francis, bahwa Life Skills adalah skills that help an
individual be succesfull in living a productive and satisfying life.94
Makna kecakapan hidup adalah dengan kebiasaan bagi
tingkah laku positif dan adaptif yang memungkinkan individu
untuk memenuhi kebutuhannya dan tantangan sehari-hari. Hal itu
serupa dengan yang dikemukakan oleh Depdiknas bahwa
kecakapan hidup adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk
berani dan mau menghadapi masalah hidup tanpa merasa tertekan
dan kemudian secara kreatif menemukan solusi hingga mampu
mengatasinya.95
Sebuah model kecakapan hidup yang baru-baru ini
dikembangkan adalah hidup 3H, yaitu heart, hand, and head yang
pertama kali dikembangkan di Universitas Lowa, Amerika Serikat.
Model ini dikembangkan atas sebuah pemahaman bahwa manusia
93 Achmadi. 2005. Ideologi Pendidikan Islam Paradigma Humanisme
Teosentris. Yogyakarta: Pustaka pelajar h 202
94Francis. 2007. Life Skills Education. Diakses dari
www.changingminds.org pada tanggal 26 Januari 2020
95Depdiknas. 2003. Kecakapan Hidup. Pendidikan Kecakapan Hidup.
Jakarta: Depdiknas.
61
dalam mengatasi permasalahan hidup tidak akan tercapai jika
salah satu atau keseluruhan dari kemampuan berikut terpenuhi,
yaitu:
1. Heart (hati) kecakapan hidup yang tergolong dalam aspek
ini adalah segala kemampuan yang berkaitan dengan diri
sendiri dan yang berhubungan dengan lingkungan.
Kecakapan ini meliputi kemampuan membangun relasi,
berkomunikasi, kerjasama, kemitraan, kebaikan hati,
kompetensi memahami diri sendiri dan toleransi kepada
orang lain. Yang saling menguntungan; dan kemampuan
memiliki sikap yang menggambarkan kompetensi
memahami diri sendiri, memiliki kebaikan hati, dan yang
terakhir memiliki toleransi kepada orang lain.
2. Hand (tangan). Kecakapan hidup yang masuk dalam
kategori ini adalah kemampuan teknis, memiliki
keterampilan tertentu dalam sebuah pekerjaan. Seseorang
dipandang perlu memiliki kemampuan keterampilan agar
dapat memberi manfaat kepada orang lain.
3. Head (Kepala). Kecakapan ini dikaitkan dengan segala
sesuatu yang berhubungan dengan pengetahuan, penalaran,
kreativitas. Termasuk juga kemampuan berpikir, membuat
gagasan serta membuat keputusan dan berkreativitas.
Selain itu, aspek ini dikategorikan kepada dua aspek, yaitu
kemampuan berpikir yang dapat melahirkan gagasan dan
juga membuat keputusan serta mencari penjelasan dan
pemanfaatan dalam pencakupan sumber daya untuk
memenuhi sebuah tujuan.
62
Pada tataran pembelajaran, ciri pempelajaran
kecakapan hidup adalah:
1. Terjadinya proses identifikasi kebutuhan belajar,
2. terjadinya proses penyadaran untuk belajar bersama
3. Terjadinya keselarasan kegiatan belajar untuk
mengembangkan diri, belajar, usaha mandiri, usaha
bersama
4. Terjadinya proses penguasaan kecakapan personal,
sosial, vokasional, akademik, manajerial,
kewirausahaan,
5. Terjadinya proses pemberian pengalaman dalam
melakukan pekerjaan dengan benar, menghasilkan
produk bermutu,
6. Terjadinya proses interaksi saling belajar dari ahli,
7. Terjadinya proses penilaian kompetensi, dan
8. Terjadinya pendampingan teknis untuk bekerja dan
membentuk usaha bersama96
Metode ini menekankan pada pentingnya pengalaman
sebagai titik tolak dalam merubah perilaku positif kelompok
sasaran. Pengalaman positif (educative) menjadi penggerak
seseorang melalui perbaikan kehidupannya. Pengalaman akan
menentukan bagaimana individu belajar untuk menjalani
kehidupan, dan belajar akan menentukan pengalaman kehidupan
yang akan dijalaninya.97. Individu memperoleh sejumlah
96 Depdiknas. 2003. Kecakapan Hidup – Pendidikan Kecakapan Hidup.
Jakarta: Depdiknas
97 Fenwich, Tara J. 2001. Experiential Learning: A Theoretical
Cririque From Five Perspectives, Columbus: The Ohio State University
63
pengalaman, mengakumulasinya, menginternalisaikanya &
menjadikan sebagai bagian dari dirinya. Pengalaman ini akan
menjadi instrumen yang penting di dalam menjalani proses belajar
selanjutnya. Setiap menghadapi pengalaman baru, maka individu
akan menggunakan pengalamannya untuk menginterpretasikan
dan bilamana perlu mengtransformasikanya ke dalam
pengetahuan, keterampilan dan sikap baru98 (Dewey, 1968).
Bertitik tolak dari pengalaman, proses pembelajaran dapat
dilakukan guna mengembangkan kemampuan berinovasi
seseorang. Melalui penyediaan berbagai kesempatan untuk
menemukan, mengeksplor, menganalisis dan mengevaluasi
berbagai pengalaman akan dapat menumbuhkan pemikiran-
pemikiran dan pengetahuan-pengetahuan baru
98Dewey, 1968. Experience and Education. London: Collier Macmillan
Publisher.
BAB III
GAMBARAN UMUM YAYASAN PRASASTI
PERDAMAIAN
A. Sejarah Yayasan Prasasti Perdamaian
Institute for International Peace Building (IIPB) adalah
organisasi non-pemerintah yang didirikan pada Januari 2008
sebagai respon terhadap ancaman terorisme. Terorisme telah
menciptakan banyak korban secara langsung dan tidak langsung.
Banyak orang telah terbunuh, banyak anak yatim piatu, dan banyak
istri telah menjadi janda dan mereka sekarang menghadapi
kesulitan ekonomi dan mereka juga harus berurusan dengan stigma
sebagai teroris selama sisa hidup mereka. Di sisi lain, pendekatan
'keras' untuk mengatasi terorisme telah terbukti tidak efektif. Ini
bisa dilihat dengan munculnya ancaman baru. Diperlukan
pendekatan yang berbeda. Dibutuhkan kebijakan terpadu dan
strategi nasional untuk mengurangi tingkat ancaman yang datang
dari kelompok-kelompok kekerasan. Keberadaan Yayasan Prasasti
Perdamaian difokuskan untuk mengembangkan dan memperdalam
pemahaman tentang perdamaian dan konflik, kekerasan politik,
terorisme dan kejahatan transnasional lainnya. Tujuannya adalah
untuk mempromosikan perdamaian, termasuk melalui dialog.99
B. Lokasi
Lokasi Yayasan Prasasti Perdamaian yang beralamat di
Jalan Tebet Timur Dalam III E, RT 6/RW 3 Tebet Timur
Kecamatan Tebet Jakarta Selatan 12829.
C. Visi dan Misi
1. Visi
99Yayasan Prasasti Perdamaian. Who We Are.
https://prasasti.org/about/ diakses pada 7 Oktober 2019 10:47
65
Untuk menciptakan tempat yang lebih aman bagi orang
Indonesia dari kekerasan ekstremisme dengan intervensi sosial
melalui pendekatan alternatif dan berkelanjutan.100
2. Misi
1. Untuk melakukan penelitian terkait dengan isu-isu
ekstremisme kekerasan baik secara lokal maupun
internasional
2. Untuk memfasilitasi rehabilitasi dan reintegrasi sosial para
pelaku kekerasan ekstrem (terorisme) dan keluarganya
melalui pendekatan yang manusiawi.
3. Untuk mendorong partisipasi yang lebih aktif dari aktor
dan negara non-negara (LSM, organisasi berbasis agama,
sektor swasta dan akademisi), untuk menanggulangi
kekerasan ekstrem.
4. Untuk mendorong nilai-nilai dan inisiatif berbasis lokal
yang sudah ada dan hidup di masyarakat sebagai alat dalam
menyelesaikan kekerasan ekstremisme.
5. Untuk mempromosikan peran perempuan dan anak-anak
untuk melepaskan siklus ide-ide ekstrim atau radikal.101
D. Progrram Yayasan Prasasti Perdamaian
1. Program Umum
Institute for International Peace Building atau lebih dikenal
dengan nama Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP) adalah lembaga
100 Yayasan Prasasti Perdamaian. Who We Are.
https://prasasti.org/about/ diakses pada 7 Oktober 2019 10:47
101 Yayasan Prasasti Perdamaian. Who We Are.
https://prasasti.org/about/ diakses pada 7 Oktober 2019 10:47
/
66
yang bergerak dalam isu perdamaian dan aktif dalam program
disengagement untuk mantan narapidana teroris.
Saat program deradikalisasi oleh pemerintah mendapat
banyak resistensi dari kalangan radikal, Yayasan Prasasti
Perdamaian melakukan inisiatif untuk menyentuh mantan
narapidana teroris dengan cara yang lain. Yayasan Prasasti
Perdamaian tidak pernah melakukan deradikalisasi. Yayasan
Prasasti Perdamaian praktis menolak pendekatan dan metode
deradikalisasi yang dikembangkan pemerintah. Karena itu
Yayasan Prasasti Perdamaian memilih term disengagement,
berikut segala pendekatan, metode, strategi dan target, yang lebih
mengena dan menjadi pilihan strategis untuk diimplementasikan.
Post prison program yang belum dimiliki pemerintah
menjadi ruang bagi masyarakat untuk mengambil peran dalam
deradikalisasi. Bukan dalam term agama, namun dalam
pendekatan kemanusiaan. Ada kepercayaan yang bisa diberikan
oleh masyarakat madani pada mantan narapidana teroris untuk
membantu mereka memasuki ruang interakasi sosial menuju
integrasi sosial di tengah masyarakat. Pada intinya, Yayasan
Prasasti Perdamaian mencoba membuka ruang aktualisasi diri
pada mantan narapidana teroris.102 Program-program yang
dilakukan oleh Yayasan Prasasti Perdamaian selama ini berupa
upaya untuk mendorong dan memberdayakan potensi individu dan
menciptakan ruang-ruang interaksi sosial yang baru. Dukungan
102 Taufik Andrie. Deradikalisasi atau Disengagement; Kajian dan
Praktek dari Perspektif Civil Society. Dikutip dari
https://www/academia.edu/353333 /Deradikalisasi atau Disengagement pada
tanggal 8 Oktober 2019 9:39
67
menuju rehabilitasi sosial diberikan dengan mendorong
terciptanya kemandirian ekonomi, dengan cara memberikan
dukungan pada mereka berupa menciptakan small scale bussines.
Disamping itu, untuk menopang disengagement yang telah
dikembangkan, Yayasan Prasasti Perdamaian juga aktif terlibat
dalam academic researches, dimana kadang bekerjasama dengan
lembaga riset international.103
Merujuk pada apa yang telah Yayasan Prasasti Perdamaian
lakukan pada beberapa mantan narapidana teroris di Semarang,
Solo, Poso dan Jakarta maka peran masyarakat dalam
disengagement bukan lagi omong kosong. Pendekatan tersebut
meminimalisir resistensi. Melahirkan kemungkinan-kemungkinan
baru melepaskan mantan narapidana teroris dari potensi terlibat
kembali dalam aksi terorisme.
Secara umum, Program yang dilakukan oleh Yayasan
Prasasti Perdamaian ada 3 program, yaitu:
a. Program Penelitian
Program penelitian yang dilakukan oleh divisi penelitian
yang bertujuan untuk merencanakan, melaksanakan dan
menerbitkan riset yang berkualitas yang berhubungan dengan
Countering Violent Extremism (CVE) isu dan semua yang
memiliki kapasitas untuk melakukan program intervensi yang
tepat. Penelitian yang dilakukan Yayasan Prasasti Perdamaian
dilakukan atas isu-isu tertentu dan bertujuan untuk menyampaikan
103 Taufik Andrie. Deradikalisasi atau Disengagement; Kajian dan
Praktek dari Perspektif Civil Society. Yayasan Prasasti Perdamaian Dikutip dari
https://www/academia.edu/353333 /Deradikalisasi atau Disengagement pada
tanggal 8 Oktober 2019 9:39
68
pengetahuan dan bukti yang kritis dan memberitahukan kebijakan
dan tindakan. Yayasan Prasasti Perdamaian mengidentifikasi
faktor pendorong dan faktor penghambat yang menimbulkan
radikalisasi dan perekrutan kepada kekerasan yang ekstrim.104
Berikut adalah penelitian yang telah dilakukan Yayasan Prasasti
Perdamaian:
i. Penelitian tentang peran wanita dalam kelompok radikal
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran wanita di
kalangan kelompok radikal akhir-akhir ini. Yayasan Prasasti
Perdamaian menemukan bahwa wanita dulunya hanyalah
pendukung yang pasif. Namun sekarang menjadi pendukung yang
aktif di kelompok radikal. Namun, pada kasus yang lain, mereka
juga memiliki peran sebagai agen radikalisasi dengan keluarga
mereka.
ii. Penelitian tentang kefektifan program deradikalisasi
Penelitian ini bertujuan untuk memahami program deradikalisasi
dan keefektifannya melalui teroris atau mantan teroris. Hasil dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang seharusnya
dilakukan pada program deradikalisasi yang efektif yang dapat
dilakukan oleh lembaga pemerintah atau Customer Service Officer
sebagai intervensi yang tepat.
ii. Penelitian tentang jalan menuju radikalisasi
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
seseorang akhirnya percaya bahwa kekerasan
104Yayasan Prasasti Perdamaian, Programs Research Division
https://prasasti.org/programs/research/ diakses pada 06 Oktober 2019 13.00
adalah menjadi jalan yang mereka tempuh. Penelitian ini juga
mencoba memahami apa yang dapat menghambat dan
mendorong pelaku, dan orang-orang yang rentan menjadi
radikal, alasan sebenarnya, dan apa pandangan objektif
mereka ketika mendukung tindakan kekerasan dan kelompok
radikal.105
iii. Penelitian tentang peran pemerintah dalam
menyelamatkan remaja yang terpapar pada pemikiran
radikal.
Penelitian ini berfokus pada aspek psikologis dari
seorang remaja yang dalam penelitian ini dibagi menjadi dua
kategori, yaitu remaja yang orang tuanya terlibat dengan
tindakan kekerasan atau aksi radikal dan yang kedua, remaja
yang menjadi pendukung atau atau pelaku kekerasan tindakan
kekerasan atau aksi radikal di Indonesia. Objektifitas dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pendapat
mereka tentang kekerasan dan kelompok radikal. Dan bagi
remaja yang melakukan aksi radikal yaitu untuk mengetahui
apa faktor yang membuat mereka memutuskan melakukan
radikalisme.106
b. Program Capacity Building
Proram Capacity Building dilaksanakan berdasarkan hasil
dari berbagai riset. Program ini juga menguji hasil dari penelitian
105Yayasan Prasasti Perdamaian, Programs Research Division
https://prasasti .org/ programs/research/ diakses pada 06 Oktober 2019 13.00 106 Yayasan Prasasti Perdamaian, Programs Research Division
https://prasasti .org/ programs/research/diakses pada 06 Oktober 2019 13.00
70
untuk membuat program intervensi yang sesuai dalam CVE.
Penerima manfaat yang utama dari program ini adalah pejabat
pemerintah dan direktorat hukum dan pusat layanan hak asasi
manusia untuk melatih tahanan bebas bersyarat dan tahanan
narapidana teroris serta pekerja sosial dalam pelayanan sosial
untuk menangani orang yang deportan dan returnees. Program
Capacity Building dilakukan dalam berbagai kegiatan, antara lain:
i. Penayangan film Prison and Paradise.
Film Prison and Paradise diproduksi pada tahun
2010. Prison and Paradise menceritakan bagaimana dampak
dari peristiwa pengemboman yang dapat mewujudkan anak-
anak yatim pada dua sisi, keluarga dari korban dan pelaku
pengeboman. Penayangan film ini menciptakan ruang dialog
dan percakapan yang akan menghasilkan pemikiran kritis
dalam masyarakat dan memahami bagaimana dampak nyata
dari kekerasan. Film ini sudah ditayangkan di 34 provinsi di
Indonesia.
ii. Pelatihan Jurnalistik di Pondok Pesantren
Proyek ini bertujuan untuk mengembangkan
pemikiran kritis pada santri di pesantren, khususnya
santriwati. Pelatihan ini meliputi 3 tema, yaitu: Hak asasi
manusia, kebebasan berpendapat dan media sosial. Setiap
topik akan diberikan sebanyak 4 kali dan lebih
71
menitikberatkan kepada praktik penulisan berita melalui
penelitian singkat dan observasi kondisi lokal di Solo.107
iii. Pelatihan pekerja sosial dalam menangani returnees
Pelatihan ini bertujuan untuk memfasilitasi
pegawai pemerintahan khususnya pegawai kementerian
dengan kapasitas dan kualitas untuk menangani returnees dan
deportan dari Syiria. Pelatihan ini ada berdasarkan fakta
bahwa pekerja sosial memiliki pengalaman yang sangat
terbatas akan orang yang berpaham radikal. Lokasi dari
pelatihan ini berada di Solo, dan harapannya akan menyebar
di masa mendatang.
iv. Penayangan film Jihad Selfie
Film jihad selfi diproduksi pada tahun 2014.
Penayangan pertama dilaksanakan di Workshop
Penanggulangan Kekerasan yang Ekstrim di Geneva tahun
2015. Film ini dibuat berdasarkan fenomena ketika kelompok
radikal, khususnya ISIS menggunakan media sosial untuk
merekrut anggota baru. Yayasan Prasasti Perdamaian
melakukan penayangan sebagai media untuk menggelar
diskusi yang sehat dan terbuka tentang fenomena radikalisasi di
Indonesia. sejak penayangan pertama, Jihad Selfie sudah
ditonton melebihi 10000 penonton yang terdiri dari beberapa
107Yayasan Prasasti Perdamaian, Programs Capacity Building
prasasti.org/programs/capacity-building-division/ diakses pada 07 Oktober
10.30
72
rentang usia, baik remaja hingga orang dewasa, di dalam
maupun luar negeri.108
v. Pengembangan Kapasitas untuk Petugas Pemasyarakatan
(Narapidana dengan Pembebasan Bersyarat dan yang
berada di Penjara)
Petugas penjara dan narapidana pembebasan
bersyarat memainkan peran yang sangat penting dalam
melawan kekerasan ekstremisme, karena mereka terlibat
dengan teroris dan mantan narapidana teroris setiap hari. Jadi,
untuk meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan kapasitas
petugas pembebasan bersyarat dan penjara dalam menangani
teroris dan mantan narapidana teroris, Yayasan Prasasti
Perdamaian telah menciptakan program ini. Program ini juga
sebagai bagian dari pengembangan program rehabilitasi
'perusahaan sosial', sebuah konsep yang dipersiapkan para
narapidana teroris untuk memiliki perusahaan bisnis begitu
mereka selesai di penjara.109
c. Program Pendampingan
Program ini berfokus pada bantuan untuk mantan
narapidana teroris dan keluarga mereka, anak-anak dalam jaringan
terorisme, yang dideportasi dan yang kembali. Bantuan ini adalah
bagian dari proses disengagement dan reintegrasi bagi orang-orang
itu. Upaya disengagement dan reintegrasi sosial dilakukan melalui
108Yayasan Prasasti Perdamaian, Programs Capacity Building
prasasti.org/programs/capacity-building-division/diakses pada 07 Oktober
10.30
109 Yayasan Prasasti Perdamaian, Programs Capacity Building
prasasti.org/programs/capacity-building-division/diakses pada 07 Oktober
10.30
73
terapi penyembuhan trauma, diskusi, kunjungan rutin, pelatihan
soft skill, dan pelatihan dan bantuan kewirausahaan. Melalui upaya
ini kami berharap mereka akan memiliki kesempatan kedua untuk
tinggal bersama keluarga dan komunitas mereka.110 Diantara
program pendampingan yang telah dilakukan Yayasan Prasasti
Perdamaian adalah sebagai berikut:
i. Program Pemberdayaan Kreatif Ekonomi untuk Mantan
Narapidana Teroris
Tujuan dari program ini adalah untuk memberikan
kesempatan kepada mantan napi teroris untuk memiliki dan
memulai suatu badan usaha. Memiliki badan usaha juga
membantu mereka mengurangi stigmatisasi masyarakat dan
sebagai bagian dari proses reintegrasi kepada masyarakat.
Tidak hanya bagaimana memulai dan memilih bisnis, program
ini juga melengkapi keluarga teroris/mantan narapidana
teroris dengan kapasitas dalam menjalankan bisnis sehari-hari,
sehingga tujuan akhir untuk membuat mereka
mensejahterakan mereka bisa terwujud.s
ii. Program Pemberdayaan Ekonomi Kreatif untuk Keluarga
(Istri atau Anak-Anak) Teroris atau mantan Narapidana
Teroris
Tujuan dari program ini adalah memberi mereka
(istri atau anak-anak teroris/mantan narapidana teroris)
kesempatan untuk memiliki dan memulai suatu badan usaha.
Memiliki badan usaha juga membantu mereka mengurangi
110Yayasan Prasasti Perdamaian, Programs Outreach Division,
https://prasasti.org/programs/outreach-division/ diakses pada 07 Oktober 10.30
74
stigmatisasi masyarakat dan sebagai bagian dari proses
reintegrasi kepada masyarakat. Tidak hanya bagaimana
memulai dan memilih bisnis, program ini juga melatih
keluarga teroris atau mantan narapidana teroris kapasitas
dalam menjalankan bisnis sehari-hari, sehingga tujuan akhir
untuk membuat mereka mempertahankan diri bisa
terwujud.111
2. Program yang Telah Dilakukan Yayasan Prasasti
Perdamaian
Diantara program yang telah berjalan di Yayasan Prasasti
Perdamaian adalah sebagai berikut:
a. Program rehabilitasi dan reintegrasi bagi mantan
narapidana teroris
Program ini menyediakan bisnis kecil yang bertujuan untuk
membuat kehidupan sosial yang kondusif bagi narapidana teroris.
Bisnis yang telah berjalan sejauh ini adalah bisnis restoran bebek
goreng, toko roti, kolam ikan, dan susu kedelai.
b. Kunjungan konsultasi reguler
Program ini bertujuan untuk mengawasi efektivitas
program Yayasan Prasasti Perdamaian, khususnya pemberdayaan
ekonomi bagi keluarga narapidana teroris atau mantan narapidana
teroris.
111 Yayasan Prasasti Perdamaian, Programs Outreach Division,
https://prasasti.org/programs/outreach-division/ diakses pada 07 Oktober 10.30
75
c. Pembuatan film Prison and Paradise, yang disutradarai oleh
Daniel Rudi Haryanto.112
Film ini telah ditayangkan sebagai World Premiere di
Dubai International Film Festival pada November 2010.
d. Peluncuran dan penayangan film Temanku Teroris
1000 buku telah tersebar untuk banyak narapidana teroris
di penjara, mantan narapidana teroris, sekolah yang berpaham
radikal, organisasi islam radikal, dan lain-lain. Yayasan Prasasti
Perdamaian juga menggelar diskusi di dalam penjara dengan
narapidana teroris.
e. Pelatihan Jurnalistik ke beberapa pondok pesantren
Program ini dilaksanakan di tiga pondok pesantren di Solo.
Yayasan Prasasti Perdamaian bekerjasama dengan detik.com.
Program ini bertujuan untuk mamfasilitasi santri dengan
kemampuan menulis.
f. Penayangan film Prison and Paradise
Melalui film ini, Yayasan Prasasti Perdamaian mencoba
untuk membuka dialog dan diskusi publik dari hasil aksi kekerasan
teroris. Film ini telah ditayangkan di 37 kota di Indonesia
g. Program penelitian pada sistem hukuman dan sistem
deradikalisasi
Program ini adalah penelitian gabungan dengan ASPI. Ada
sekitar 33 jihadis yang telah diwawancarai.
h. Program Capacity Building pada manajemen konflik
112 Yayasan Prasasti Perdamaian, Staffs https://prasasti.org/about/
staffs/diakses pada 5 November 14.32
76
Program ini mentargetkan sipir dan tahanan yang beresiko
tinggi (jumlahnya sekitar 300) termasuk teroris (sekitar 27).
Berkolaborasi dengan penelitian yang disepakati oleh lembaga
negara di Indonesia, Yayasan Prasasti Perdamaian bekerja di 8
penjara di Indonesia.113
i. Program Pemberdayan ekonomi kreatif
Program ini dibuat untuk memberdayakan ekonomi bagi
mantan kombatan di Ambon dan Poso yang berinisiatif untuk
menggabungkan duta perdamaian yang akan menanggulangi
narasi konflik.
j. Kampanye Media
Program ini bekerjasama dengan ABC, CNN, Al Jazeera
English, NHK, BBC, dan koran lokal lainnya.
k. Program Capacity Building bagi petugas pembebasan
bersyarat dan petugas penjara dalam menangani mantan pelaku
kekerasan ekstrim dan pelaku narapidana kekerasan
Program ini adalah untuk menambah peningkatan kapasitas
dari petugas pembebasan bersyarat dalam menangani dan
mendukung mantan narapidana teroris dalam proses reintegrasi
mereka kepada masyarakat dan mempromosikan sistem
standarisasi nasional dalam manajemen narapidana teroris dan
mantan narapidana teroris.
l. Program penelitian tentang tentang peran wanita dalam
menanggulangi kekerasan ekstrim di Indonesia.
113 Leaflet Yayasan Prasasti Perdamaian: Jakarta h 3
77
Penelitian ini untuk menentukan bagaimana istri-istri
beradaptasi pada perubahan peran mereka ketika suami dipenjara
karena terlibat dengan kasus terorisme dan bagaimana dampak dari
sikap mereka pada kekerasan ekstrem.
m. Program disengagement untuk narapidana teroris dan
mantan narapidana teroris
Program ini bertujuan untuk mengeluarkan teroris dari
kelompoknya atau narapidana teroris dari jaringan kelompok
radikal mereka sebelumnya. Proses disengagement sangatlah
penting agar mereka bisa memulai kehidupan.
n. Program disengagement untuk teroris
Agar program ini sukses, program disengagement harus
fokus pada intervensi dini. Oleh karena itu, akan menunjang awal
dari program intervensi untuk teroris. Program ini akan belangsung
erat kaitannya dengan penjaga lapas dan petugas pembebasan
bersyarat.
o. Pembuatan film Jihad Selfie yang disutradarai oleh Noor
Huda Ismail.
Film ini menceritakan tentan kekecewaan pejuang asing
Indonesia dengan Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS), dan di
film ini menyajikan narasi strategi penanggulangan penolakan
ekstrimis yang disampaikan oleh ISIL.114
p. Program penelitian pada penanggulangan kekerasan
ekstrem melalui pendirian sebuah sistem pendukung di penjara
114Leaflet Yayasan Prasasti Perdamaian: Jakarta h 3
78
Ini adalah program utama yang membentuk kapasitas
pegawai dan tahanan untuk mendukung narapidana terorisme
yang telah diidentifikasi beresiko berpaham radikal untuk di
rehabilitasi
q. Program penelitian tentang peran keterlibatan wanita
dalam pergerakan jihad
Program ini dilakukan untuk memahami motif, posisi,
fungsi, dan peran serta tanggungjawab dan apa faktor pendukung
dan penghambat yang membuat wanita terlibat dengan pergerakan
jihad di Indonesia. Area dari program ini adalah Poso, Lamongan,
Solo, Serang, Jakarta, dan Bekasi
r. Penelitian tentang deportan wanita: jejak untuk hijrah
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman
menyeluruh mengapa deportan wanita (wanita deportan dari
Syiria, Turkey, dll) yang sangat tertarik dalam keterlibatan ISIS.115
E. Struktur Organisasi
Yayasan Prasasti Perdamaian memiliki 7 orang staf, yang
terdiri dari jabatan sebagai berikut:
115Leaflet Yayasan Prasasti Perdamaian: Jakarta h 3
Taufik Andrie
Direktur Eksekutif
Anita Widiastuti
Manager Keuangan dan Administrasi
Indah Maulytha
Staf Keuangan dan Administrasi
Deden Mashudi
Peneliti
Khariroh Maknunah
Direktur Pendampingan
Rifana Meika Triskaputri
Peneliti
Mohammad Rizki Maulana
Direktur Manager
79
Gambar 3.1 Struktur Organisasi Yayasan Prasasti
Perdamaian
Yayasan Prasasti Perdamaian memiliki staf sebagai berikut:
Taufik Andrie : Direktur Eksekutif
Mohammad Rizki Maulana : Direktur Managing
Anita Widiastuti : Manager Keuangan dan
Administrasi
Indah Maulytha : Staf Keuangan dan Administrasi
Khariroh Maknunah Direktur Pendampingan
Rifana Meika Triskaputri : Peneliti
Deden Mashudi : Peneliti116
Profil singkat staf Yayasan Prasasti Perdamaian antara lain:
Taufik Andrie adalah seorang ahli isu penanggulangan Terorisme.
Memiliki pengalaman akan concern ini. Pekerjaan dan
pengabdiannya pada isu ini telah diakui baik lokal atau
internasional.117
Anita Widiastuti Adalah kepala bagian keuangan dan
administrasi Yayasan Prasasti Perdamaian, dan tergabung sejak
2011. Tugasnya adalah mengawasi keuangan organisasi dengan
mengelola operasi akutansi untuk memenuhi persyaratan hukum.
116 Yayasan Prasasti Perdamaian, Staffs. https://prasasti.org/about/
staffs/diakses pada 5 November 14.32
117Yayasan Prasasti Perdamaian, Staffs. https://prasasti.org/about/
staffs/diakses pada 5 November 14.32
80
Dia memiliki kemampuan yang sangat baik dalam mengelola
kegiatan akuntansi, faktur dan persiapan anggaran.118
Mohammad Rizki Maulana adalah Direktur Managing.
Yaitu seorang mantan wartawan yang memiliki gelar master dalam
studi perdamaian dan konflik. Dia juga terlibat dalam beberapa
penelitian yang berkaitan dengan isu perdamaian dan masalah
konflik dan ektremisme kekerasan juga. Saat ini berfokus pada
penguatan kapasitas pejabat pemerintah di seluruh Indonesia yang
berkaitan dengan isu kekerasan ekstremisme.
Indah Maulytha adalah Staf Keuangan dan Administrasi,
Bagian dari staf keuangan dan administrasi di Yayasan Prasasti
Perdamaian. Tugasnya adalah mencakup berbagai tugas
administrasi kantor seperti menyimpan persediaan dan faktur serta
dukungan eksekutif yang berkaitan.
Khariroh Maknunah yaitu sebagai Direktur
Pendampingan. Sebelum bergabung dengan Yayasan Prasasti
Perdamaian, Nuna telah tergabung dalam isu penanggulangan
terorisme sejak dia menjadi mahasiswa. Pekerjaannya fokus pada
memberikan bantuan bagi perempuan dan remaja yang terlibat
dengan ekstrimisme kekerasan untuk membantu mereka kembali
ke masyarakat. Selain itu, ada dua peneliti bernama Rifana Meika
Triskaputri dan Deden Mashudi yang bekerja di Yayasan Prasasti
Perdamaian.119
118 Yayasan Prasasti Perdamaian, Staffs. https://prasasti.org/about/
staffs/diakses pada 5 November 14.32
119 Yayasan Prasasti Perdamaian, Staffs. https://prasasti.org/about/
staffs/diakses pada 5 November 14.35
81
Dalam memilih stafnya, Yayasan Prasasti Perdamaian
tidak ada spesifikasi khusus.Dimulai dari sang pendiri, Noor Huda
Ismail pendidikan awalnya adalah Sastra Arab UIN Sunan Kali
Jaga Yogyakarta. Kemudian double degree di UGM di
Komunikasi. Selanjutnya S2 di Inggris tentang Feminism, dan S3
International Security. Staf yang lain ada yang bergelar Hubungan
Internasional, dan Direktur Pendampingan berlatar pendidikan
komunikasi. Karena pekerjaan Yayasan Prasasti Perdamaian
adalah pekerjaan yang humanis,
pekerjaan sosial, yang bisa dikerjakan siapapun.120
120 Wawancara dengan Khariroh Maknunah, S.Sos pada tanggal 31
Oktober 2019 di Yayasan Prasasti Perdamaian
BAB IV
DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Deskripsi Informan
Sebelum penulis membahas tentang pola
pembinaan mantan narapidana terorisme melalui program
disengagement, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan
informan yang terbagi menjadi dua sumber. Pertama,
informan dari pihak mantan narapidana teroris yang pernah
melaksanakan program disengagement di Yayasan Prasasti
Perdamaian. Kedua, informan yang terdiri dari staf
Yayasan Prasasti Perdamaian yang bersinggungan secara
langsung sebagai pelaksana program-program Yayasan
Prasasti Perdamaian. Berikut adalah penjelasan mengenai
deskripsi informan:
1. Riki Rianto
Nama Riki Rianto akrab dipanggil Ibenk sejak
kecil, berusia 28 tahun. Merupakan anak pertama dari
empat bersaudara. Latar belakang pendidikannya SD dan
paket B ketika SMP. Awal mula tergabung dengan
kelompok teroris adalah ketidaktahuannya dan bergaul
dengan perakit bom handal. Ajakan dari teman yang sudah
dianggap dengan saudaranya tidak bisa ditolak olehnya.
Tergabunglah dia dalam forum pengajian dengan suguhan
ayat-ayat tentang jihad dan perang. Tidak hanya itu, video-
video jihad peperangan di Iraq dan Afghanistan juga
diberikan padanya. Sehingga lama-kelamaan, pemikiran
83
untuk melawan negara akhirnya tumbuh. Riki Rianto
(Ibenk), membantu proses pembuatan bom buku menemani
rekannya (Pepi dan Hendi). Dan terjerat kasus tersebut dan
menjalani masa hukuman 3 tahun 6 bulan di Lembaga
Pemasyarakatan Pondok Rajek Cibinong.
Setelah bebas, sempat dibina oleh Yayasan Prasasti
Perdamaian agar terlepas dari jaringan teroris. Pemberian
modal usaha dilakukan oleh Yayasan Prasasti Perdamaian
kepada Riki dan digunakan untuk bisnis bebek petelur.
Pendampingan pembelian perlengkapan usaha juga
dilakukan oleh pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor
Huda Ismail. Pembinaan ini berjalan dari tahun 2015
hingga 2019. Pihak Yayasan Prasasti Perdamaian juga
sering melakukan kontrol kepada penerima manfaat.
2. Echo Ibrahim
Echo Ibrahim, pria yang pernah menyelesaikan
hukuman 7,5 tahun dan mendapat remisi menjadi 5,6 tahun
dulunya adalah Saya sarjana muda ekonomi. Saya di IKPN
Yogyakarta. Sejak peristiwa World Trade sudah mulai
bergabung dengan dunia jihadis Ambon dan Poso dan
berfokus pada bagian logistik dan amunisi persenjataan
untuk jihadis yang turun lapangan dan melatih penggunaan
senjata-senjata tersebut jika diperlukan. Echo pernah
tergabung dalam kelompok Afgan dan kelompok Al-
Qaeda. Baginya, seorang mantan narapidana kasus
terorisme akan dapat terpisah dari ketika di lembaga
permasyarakatan karena kelompok yang tidak lagi solid
84
dan keinginan untuk hidup kembali di masyarakat.
Sekalipun bertemu dengan senior di dunia teror atau yang
sering kali dikatakan sebagai jihad, ketika di lapas mulai
selektif. Setelah menjalani masa hukuman, Echo
memutuskan untuk pindah dari rumahnya untuk
menghindari stigma masyarakat yang ada. Pada tahun
2016, tepatnya 6 bulan setelah bebas, Echo mengenal
Yayasan Prasasti Perdamaian melalui rekannya. Paska
bebas dari masa hukuman, Ia mengaku tidak memiliki
apapun dan memilih bergabung dengan Yayasan Prasasti
Perdamaian yang concern pada program-program untuk
mantan narapidana kasus terorisme dan bertemu dengan
Founder Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail.
Awalnya, Yayasan Prasasti Perdamaian memberikan
modal usaha kepada Echo dan dia menggunakan itu untuk
membangun kolam ikan sebagai penghasilannya. Selain
itu, dia juga pernah mengikuti pelatihan kewirausahaan
yang diadakan Yayasan Prasasti Perdamaian. Tidak
berhenti sampai disitu, Echo juga menjadi narasumber di
beberapa forum yang mengusung isu terorisme termasuk
pada even-even yang diadakan Yayasan Prasasti
Perdamaian. Echo juga terlibat dalam pembuatan film salah
kontra narasi melawan ISIS di RTV. Yang kedua, budidaya
ikan sama yang dibuat oleh Yayasan Prasasti Perdamaian.
3. Machmudi Hariono
85
Machmudi Hariono alias Yusuf Adirima yang
kerap kali dipanggil dengan nama Ucup adalah pengusaha
rental mobil serta pengelola Dapoer Bistik Solo yang
menyajikan menu utama iga bakar. Melihat masa lalu
Machmudi sendiri adalah seorang narapidana kasus
terorisme yang sempat tergabung dalam kelompok Jamaah
Islamiyah dan pernah berada di camp pelatihan militer di
Filipina. Awal mulanya, di usia 22 tahun, sudah melakukan
kaderisasi di pondok pesantren yang sama dengan Amrozi.
Machmudi tertangkap dikarenakan menyimpan 26 rakitan
bom di Semarang yang pemiliknya sudah tertangkap
terlebih dahulu di Bekasi. Setelah ‘lulus’ dari lapas,
Machmudi bekerja di sebuah warung makan di Semarang
selama dua tahun, karena alasan wajib lapor dan butuh
perjalanan Semarang-Surabaya setiap bulan, ia akhirnya
diberhentikan dari pekerjaannya. Di masa itu dia merasa
bimbang dan menceritakan perihal tersebut kepada salah
satu temannya, dan diperkenalkan dengan founder Yayasan
Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail. Bermula dengan
obrolan ringan saat makan bersama, keduanya mulai akrab.
Machmudi menceritakan bahwa ia telah mengumpulkan 4
orang yang siap bekerja namun tidak mengetahui apa yang
harus menjadi lapangan kerjanya. Noor Huda menawarkan
didirikannya rumah makan baru melihat Machmudi yang
handal dalam memasak. Yayasan Prasasti Perdamaian
merupakan menyedia modal dan peralatan rumah makan
Dapoer Bistik Semarang dan membuka cabang di Solo
86
yang hingga saat ini masih berdiri. Usaha Dapoer Bistik
yang di 6 bulan pertama cukup sepi akhirnya membuahkan
hasil. Machmudi juga berinteraksi dengan banyak orang
termasuk mantan narapidana terorisme melalui bisnis
Dapoer Bistik ini. Tidak jarang juga polisi yang dulu berada
di lapas mengunjungi warung makan tersebut. Machmudi
turut serta membantu pembuatan film yang dicanangkan
oleh Yayasan Prasasti Perdamaian, antara lain Prison and
Paradise. Dia juga pernah mengikuti konferensi
internasional Google di Irlandia. Dan mempresentasikan
film yang dibuat oleh Yayasan Prasasti Perdamaian
bersamanya, Jihad Selfi di Hongkong di depan para TKW.
Machmudi selalu berusaha menjelaskan bahwa seorang
mantan narapidana teroris bisa berubah meninggalkan
kelompok radikalnya dan hidup normal di tengah-tengah
masyarakat dan dukungan dari orang-orang di sekitar
mantan narapidana teroris sangat diperlukan.
4. Khariroh Maknunah
Nama akrabnya adalah Nuna, wanita kelahiran 3
Desember 1992 yang saat ini berusia 27 tahun dan
menjabat sebagai direktur Pendampingan Yayasan Prasasti
Perdamaian dan memulai bergabung sebagai peneliti di
Yayasan Prasasti Perdamaian. Dia mulai menggeluti isu
terorisme sejak di bangku perkuliahan. Dia merupakan
lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2011.
Sebagai direktur pendampingan, Khariroh
Maknunah kerap kali bersinggungan langsung dengan
87
mantan narapidana teroris bahkan anak atau istrinya. Mulai
dari kunjungan ke Lembaga Pemasyarakatan, hingga
berdiskusi dengan mantan narapidana terorisme adalah hal
yang biasa dia lakukan. Baginya, Pendampingan dan
pembinaan dengan mengedepankan kemanusiaan adalah
kunci baginya untuk memperlakukan semua orang dengan
baik.
B. Kerjasama Yayasan Prasasti Perdamaian
Yayasan Prasasti Perdamaian membangun kerjasama
dengan beberapa pihak, misalnya dengan Direktoral Jenderal
Kemasyarakatan, di bawah Kementerian Hukum dan HAM
Yayasan Prasasti Perdamaian memiliki perjanjian kerjasama sejak
2014. Dan kerjasama ini sudah dua kali berlangsung perpanjangan.
Diantaranya adalah kerja-kerja Yayasan Prasasti Perdamaian yang
ada di bawah lapas. Lembaga Pemasyarakatan baik Lapas maupun
Bapas. Lapas itu Lembaga Pemasyarakatan dan Bapas itu Balai
Pemasyarakatan.
Diantaranya, aktifitas pendampingan di dalam lapas ini.
Meskipun kadang di lapangan kita menjalankannya tanpa
prosedural formal, tidak melaui petugas dan pakai dinas segala
macam lewat kunjungan biasa, tapi, secara program itu terdaftar
kerjasama bersama Direktoral Jenderal Kemasyarakatan.
Kemudian kerjasama dengan Akademi Ilmu Kemasyarakatan
(AKIP) punya kerjasama untuk menjadi dosen tamu, contohnya
adalah ketika direktur eksekutif YPP, Taufik Andrie memberikan
mata kuliah khusus tentang terorisme. Ada yang dikerjakan
88
bersama. Seperti itu. Itu diantara bentuk kerjasamanya yang
dilakukan oleh Yayasan Prasasti Perdamaian.
C. Peran Staf Yayasan Prasasti Perdamaian
Peran staf Yayasan Prasasti Perdamaian kepada mantan
narapidana kasus terorisme adalah sebagai pendamping.
Pendampingan yang dilakukan tidak hanya terjadi pada ideologi
dan religi, tapi juga pendampingan ekonomi. Karena sering kali
mantan narapidana kasus terorisme tidak memiliki penghasilan
tetap selepas keluar dari lapas. Kemandirian untuk memiliki
sumber mata pencaharian perlu dilakukan. Jika sebelumnya
mantan narapidana kasus terorisme kebutuhannya tercukupi
dengan berbaur di kelompok teror, maka dia akan terus tergabung
dengan orang-orang radikal.
Founder Yayasan Prasasti Perdamaian mendampingi Riki
Rianto ketika membeli modal usaha bebek bertelurnya,
mendampingi usaha milik Echo Ibrahim dan turut mendukung
pendirian Dapoer Bistik Semarang yang dipelopori Machmudi
Hariono.
“Bentuknya bukan barang, tapi uang. Cuma didampingi
sama Pak Khoirul waktu itu. Ya biar gak disalahgunain sih.
Takutnya disalahgunain”121
D. Pola pembinaan mantan narapidana kasus terorisme
yang dilakukan Yayasan Prasasti Perdamaian
Cakupan dari program yang dilakukan oleh Yayasan
Prasasti Perdamaian cukup luas. Tidak hanya melakukan program
121Wawancara pribadi dengan Riki Rianto di Ramayana Parung, 29
Desember 2019 Pukul 10:11Pukul 10:11
89
untuk mantan narapidana teroris saja, tapi juga melakukan
program kepada keluarganya, yaitu istri dan anak. Bahkan
Yayasan Prasasti Perdamaian juga memberikan program pada
mantan teroris perempuan atau perempuan yang terjerat dengan
kasus terorisme. Di sisi lain, program yang dilakukan juga
merangkul banyak lapisan, pejabat pemerintah dan direktorat
hukum dan pusat layanan hak asasi manusia untuk melatih tahanan
bebas bersyarat dan tahanan narapidana teroris serta pekerja sosial
dalam pelayanan sosial dalam programnya Capacity Building.
Untuk memberikan hasil yang spesifik, yang menjadi fokus
peneliti adalah Pola Pembinaan mantan narapidana kasus
terorisme. Berikut adalah program-program yang dilakukan oleh
Yayasan Prasasti Perdamaian terhadap mantan narapidana kasus
terorisme, antara lain:
Gambar 4.1 Program Yayasan Prasasti Perdamaian untuk Mantan
Narapidana Kasus Terorisme
i. Program rehabilitasi dan reintegrasi mantan narapidana kasus
terorisme
Kunjungan konsultasi
reguler
Rehabilitasi dan
reintegrasi
Pemberdayaan Kreatif Ekonomi
Program YPP untuk Mantan
Narapidana Kasus
Terorisme
Capacity
Building
Pembuatan dan
Penayangan FIlm
Program disengagement
90
Memiliki masa lalu sebagai narapidana kasus terorisme dan
mendapatkan stigma negatif dari masyarakat bagi bagi mantan
teroris bukanlah perkara yang mudah. Yayasan Prasasti
Perdamaian mengadakan berbagai pelatihan untuk mantan
narapidana kasus terorisme, yaitu pelatihan wirausaha dan
bantuan modal usaha. Dari ketiga mantan narapidana kasus
terorisme yang menjadi target penelitian, ketiganya mendapatkan
modal usaha dari Yayasan Prasasti Perdamaian, pembahasan lebih
dalam akan dipaparkan dalam bab 5.
ii. Program Kunjungan konsultasi reguler
Sebelum bebas dari Lembaga Pemasyarakatan, mantan
narapidana kasus terorisme diajak untuk berkomunikasi perihal
rencananya di masa mendatang dan pendekatan yang dilakukan
agar terbangun kepercayaan kepada Yayasan Prasasti Perdamaian
secara kuat. Namun, staf Yayasan Prasassti Perdamaian tidak
pernah memaksa untuk menjalani program ataupun pembinaan
yang akan dilaksanakan. Narapidana berhak memilih menolak atau
menerima program-program Yayasan Prasasti Perdamaian.
iii. Program pemberdayaan kreatif ekonomi
Kehidupan sosial yang kondusif bagi narapidana teroris
adalah hal yang penting. Namun, tidak kalah pentingnya yaitu
memberdayakan mereka secara finansial. Yayasan Prasasti
Perdamaian menghelat Pelatihan selama dua hari, Pak Siwi dari
Bina Swadaya Konsultan. Yang diikuti oleh Echo Ibrahim dan Riki
Rianto pada 29 Maret 2018.
iv. Program Capacity Building
91
Program capacity building memiliki sasaran yang besar,
yaitu kepada petugas lapas, pelajar, dan juga keterlibatan mantan
narapidana kasus terorisme. contoh dari program ini adalah
pelatihan menulis untuk santri di pondok pesantren, workshop
kepada anak-anak muda untuk menangkal isu-isu ekstrimisme, dan
penayangan film-film yang dibuat oleh Yayasan Prasasti
Perdamaian. Keterlibatan mantan narapidana kasus terorisme
adalah dalam proses pembuatan dan ketika film-film tersebut
dipresentasikan.
v. Program disengagement
Program ini bertujuan untuk mengeluarkan teroris dari
kelompoknya atau narapidana teroris dari jaringan kelompok
radikal mereka sebelumnya. Proses disengagement sangatlah
penting agar mereka bisa memulai kehidupan. Agar program ini
sukses, program disengagement harus fokus pada intervensi dini.
Program disengagement yang dilakukan Yayasan Prasasti
Perdamaian mengajarkan eksperimen sosial dan mengadopsi nilai-
nilai keragaman dalam praktik sehari-hari, dengan tetap
menganggap mereka sebagai manusia normal.122
vi. Pembuatan dan penayangan film terkait isu-isu terorisme
Pembuatan dan penayangan film dilakukan untuk
memberikan pemahaman kepada masyarakat atau lembaga baik di
luar negeri atau di dalam negeri. Film-film yang telah diproduksi
oleh Yayasan Prasasti Perdamaian antara lain Jihad Selfie, Prison
122Ada bistik, Teror Tiada. Kompas 22 Januari 2016
92
and Paradise, Pengantin, The battle of Radicalsm, dan lain-lain.
Dalam pembuatan serta presentasi yang digelar oleh Yayasan
Prasasti Perdamaian, kerap kali melibatkan mantan narapidana
kasus terorisme dalam pelaksanaannya.
E. Pendekatan Heart, Hand and Head (3H) dan
Pendekatan Humanis
1. Pendekatan Heart, Hand, and Head
Pendekatan yang dilakukan oleh Yayasan Prasasti
Perdamaian adalah pendekatan yang mengusung prinsip heart,
hand, and head. Pertama, pendekatan heart untuk memenangkan
hatinya mendapatkan kepercayaannya. Dalam hal ini, staf Yayasan
Prasasti Perdamaian membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
mendapatkan trust building. Bahkan bisa mencapai 1-2 tahun.
Setelah mendapatkan kepercayaan, langkah selanjutnya adalah
hand, yaitu mengulurkan tangan. Apa yang dibutuhkan mereka,
dibantu oleh Yayasan Prasasti Perdamaian, termasuk pemberian
modal usaha, karena sebagai mantan narapidana kasus terorisme
mereka memulai kehidupannya kembali di masyarakat. Hand juga
bisa berbentuk pemberian keterampilan. Informan diberikan
keterampilan melalui pelatihan kewirausahaan di Yayasan Prasasti
Perdamaian. Ketika selesai dalam unsur heart dan hand,
selanjutnya adalah head, yaitu mempengaruhi ideologi langsung
dengan realitas sosial yang ada. Hal ini bisa dilakukan dalam
bentuk deradikalisasi, yaitu memberi pemahaman baru bagi
mantan narapidana kasus terorisme
2. Pendekatan Humanis
93
Pendekatan selanjutnya yang dilakukan oleh Yayasan
Prasasti Perdamaian adalah pendekatan humanis. Fokus Yayasan
Prasasti Perdamaian adalah bukan pada pendekatan agama, tapi
lebih tertuju kepada pendekatan sosial dan humanis. Jarang
dilakukan diskusi dengan tema tertentu atau menyuguhi bacaan
dengan tema tertentu, jika dilakukanpun, tidak akan dibatasi dalam
pemahaman agama saja. Hal itu dilakukan karena Yayasan Prasasti
Perdamaian lebih menekankan pada emosi mantan narapidana
kasus terorisme.
Hal itu sejalan dengan yang diungkapkan Direktur
Pendampingan Yayasan Prasasti Perdamaian:
“Yayasan Prasasti Perdamaian tidak pernah memaksakan
bahwa buku itu tentang agama atau tentang jihad. Karena
view Yayasan Prasasti Perdamaian adalah bukan
mendekatan agama. Tapi menggunakan pendekatan sosial,
pendekatan humanis, kita mencoba menawarkan alternatif
pengetahuan baru bagi mereka. Apapun pengetahuan itu
tidak hanya dibatasi oleh pengetahuan agama, wawasan
kebangsaan, misalnya. Karena orang-orang pada
umumnya beranggapan bahwa teroris itu bermasalah
dalam wawasan beragama dan wawasan kebangsaan.”123
F. Dampak Program Disengagement bagi Mantan
Narapidana Kasus Terorisme
Upaya Yayasan Prasasti Perdamaian dalam mengeluarkan
seorang mantan narapidana kasus terorisme, baik melalui
wirausaha, pelatihan skill, memunculkan dampak-dampak tertentu,
yaitu menggiring mantan narapidana kasus terorisme untuk
123Wawancara pribadi dengan Kharirotul Maknunah di Yayasan
Prasasti Perdamaian, 31 Oktober 2019 Pukul 13.15
94
melunakkan hasrat terornya. Padahal, seorang mantan narapidana
kasus terorisme cukup dilema, memilih menjadi pahlawan di dunia
lamanya atau menjadi sampah di dunia barunya.124
Dampak selanjutnya yaitu terciptanya lingkungan baru
hingga mantan narapidana kasus terorisme dapat mengembangkan
interaksinya, memiliki pergaulan yang lebih luas tanpa harus
mendengarkan ceramah Bhinneka Tunggal Ika, apalagi soal
Pancasila.
G. Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Program
Disengagement
Berikut adalah faktor pendukung dalam pelaksanaan
program disengagement baik dari faktor internal (pihak staf
Yayasan Prasasti Perdamaian ataupun dari pihak mantan
narapidana penerima manfaat) serta dukungan dari faktor
eksternal:
1. Faktor pendukung dalam pelaksanaan program
disengagement dari faktor internal
Pembinaan yang dilakukan oleh Yayasan Prasasti
Perdamaian tidak hanya dilaksanakan kepada mantan narapidana
kasus terorisme, namun juga kepada keluarga yang terdiri dari istri
dan anak. Melalui dukungan-dukungan tersebut, mantan
narapidana kasus terorisme harapannya akan memotivasi dirinya
agar hidup di tengah-masyarakat kembali. Kerjasama tim antar staf
yang sedikit namun solid dan saling mendukung akan
124Kompas, 22 Januari 2016
95
memudahkan program yang telah dicanangkan Yayasan Prasasti
Perdamaian.
2. Faktor pendukung dalam pelaksanaan program
disengagement dari faktor eksternal
Kerjasama yang dibangun oleh Yayasan Prasasti
Perdamaian tentunya menjadi faktor pendukung dalam program
disengagement, kerjasama itu adalah kerjasama di Lembaga
Pemasyarakatan untuk mengetahui bagaimana kondisi narapidana
teroris, hingga dinyatakan bebas, Direktorat Jenderal Lembaga
Pemasyarakatan untuk mengetahui bagaimana pembinaan
narapidana teroris di lapas, agar tidak mengulangi tindak kejahatan
kembali. Kerjasama dengan Densus untuk dilakukan identifikasi
dan assesment bagi narapidana teroris. Dan Kementerian Hukum
dan HAM adalah memberi hukum yang setimpal berdasarkan
kasus perkasus terhadap setiap mantan narapidana terorisme.
Hal itu sejalan dengan jawaban Direktur Pendampingan
Yayasan Prasasti Perdamaian, Kharirotul Maknunah:
“Yang mendukung adalah kerjasama dari lapas,
Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan, dibawah
Kementerian Hukum dan HAM, tim yang solid, tim yang
mendukung, rekan-rekan di Densus, rekan-rekan di
lembaga terkait, nah termasuk juga dukungan dari
keluarga mereka. Karena Yayasan Prasasti Perdamaian
tidak hanya melakukan approach atau pendampingan
mantan narapidana terorisnya tapi juga dengan keluarga
mantan narapidana teroris. Minimal istrinya, anaknya,
orang tuanya juga. Spirit dari mereka itu yang menjadikan
kekuatan Yayasan Prasasti Perdamaian untuk melakukan
program jangka panjang itu.“125
125Wawancara pribadi dengan Kharirotul Maknunah di Yayasan
Prasasti Perdamaian, 31 Oktober 2019 Pukul 13.15
96
3. Faktor Penghambat dalam pelaksanaan program
disengagement dari faktor internal
Kendala yang didapat dalam melaksanakan program
disengagement yang berasal dari mantan narapidana kasus
terorisme cukup beragam. Dimulai dari respon yang diberikan oleh
mantan narapidana teroris yang masih menutup diri, tidak
kooperatif, dan bersikap dingin, bahkan ada juga penolakan dalam
menjalankan program. Ancaman juga pernah di dapat dalam
menjalankan program tersebut. Ada juga permasalahan finansial,
dimana mantan narapidana teroris belum memiliki penghasilan
yang membuat dirinya mandiri, sementara Yayasan Prasasti
Perdamaian tidak mampu mengcover seluruh kebutuhan yang
diperlukan oleh mantan narapidana terorisme. kendala selanjutnya
adalah karena permasalahan kasus terorisme ini begitu kompleks,
kadang kala, Yayasan Prasasti Perdamaian belum menjadi
penghantar bagi mantan narapidana kasus terorisme kepada
masyarakat yang ideal. Contoh konkretnya adalah pemberian
pekerjaan kepada mantan narapidana kasus terorisme, misal
dihantarkan ke private sector, sayangnya, pekerjaan tersebut tidak
berlangsung lama karena kurang cocok pada diri mereka ataupun
pemberian solusi yang kurang cocok diaplikasikan kepada mantan
narapidana kasus terorisme oleh Yayasan Prasasti Perdamaian
meskipun telah melalui proses identifikasi, assesment dan
wawancara kepada mantan narapidana kasus terorisme tentang
pekerjaan apa yang ingin mereka lakukan disaat bebas. Contohnya
saja, wirausaha, sepertinya hal tersebut adalah pilihan yang tepat.
Yang ketika dijalankan di lapangan memang kenyataannya tidak
97
mudah. Kendala lainnya adalah bahwa program disengagement
yang digagas oleh Yayasan Prasasti Perdamaian bukanlah program
yang bisa direncanakan dengan tenggat waktu tertentu. Seperti
program baksos satu bulan selesai, misalnya. Butuh waktu cukup
lama untuk membangun trust building. Agar program diterima
biasanya membutuhkan waktu 1-2 tahun bagi staf Yayasan Prasasti
Perdamaian kepada mantan narapidana kasus terorisme. Karena
membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga terjadilah over-
lap, yaitu penanganan mantan narapidana kasus terorisme yang
satu belum selesai, sementara penangkapan narapidana terorisme
baru telah dilakukan. Kesanggupan Yayasan Prasasti Perdamaian
dalam menangani mantan narapidana kasus teroris hanya berkisar
10-20, sedangkan di Lembaga Pemasyarakatan, masih ada ratusan
orang dan yang belum disidangkan juga ratusan orang.
Sebagaimana jawaban Direktur Pendampingan Yayasan
Prasasti Perdamaian, Kharirotul Maknunah:
Spesifiknya misalnya kendala orang yang kita dampingi
berpotensi tidak kooperatif. Respon awal yang mereka
berikan kepada Yayasan Prasasti Perdamaian yang
menemui mereka itu dingin, kurang bagus. Atau bahkan
ditolak. Ada anak yang gak mau ketemu. Kemudian ada
beberapa resiko ancaman, tapi itu resiko, atau kendala
yang lain, ketika kita sudah dekat dengan mereka, dan
mereka belum bisa mandiri, terkadang Yayasan Prasasti
Perdamaian tidak bisa mengcover seluruh kebutuhan
mereka, dan kendalanya adalah Yayasan Prasasti
Perdamaian belum bisa menjadi penghubung atau
penghantar yang ideal bagi mereka untuk kembali ke
masyarakat. Hal simplenya adalah pekerjaan yang khusus
kita sediakan kepada mereka, kita hanya sebagai
penghubung atau kadang solusi yang berikan kepada
mereka tidak tepat. Meskipun itu sudah melalui proses
98
assesment atau pencarian. Identifikasi, dia maunya apa,
bekerja apa setelah dari lapas, atau juga misalnya,
program ini tidak bisa kita programkan seperti program
baksos yang satu bulan, atau misalnya capacity building
yang dilakukan dua kali tiga kali. Ini adalah program
panjang untuk kita membangun trust building. Juga
terkendala dengan waktu, kita harus melakukan pekerjaan
lain, kita dampingi belum selesai sudah ada penangkapan
baru, sudah ada narapidana-narapidana baru.”126
H. Solusi Pola Pembinaan Mantan Narapidana Kasus
Kasus terorisme bukanlah kasus yang sederhana dan
penanggulangannya menggunakan satu penanganan. Kasus ini
membutuhkan banyak elemen masyarakat untuk
penanggulangannya. Yayasan Prasasti Perdamaian sebagai
Lembaga Swadaya Masyarakat telah melakukan perannya dalam
membantu mantan narapidana kasus terorisme. Pembinaan yang
dilakukan juga cukup menyeluruh, tidak hanya ditujukan kepada
mantan narapidana kasus terorisme, namun juga kepada anak dan
istri. Negara dan pemerintah semestinya juga turut berperan dalam
mengatasi isu-isu ini. Kementerian-kementerian, Kepolisian, TNI,
Detasemen Khusus 88, atau Bahkan BNPT yang memang
memiliki concern di bidang penanggulangan terorisme.
Hasil wawancara kepada 3 mantan narapidana kasus
terorisme menjelaskan bahwa masyarakat dan keluarga juga
memiliki peran besar untuk turut serta mengatasi isu-isu terorisme
sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing.
• Peran masyarakat
126Wawancara pribadi dengan Kharirotul Maknunah di Yayasan
Prasasti Perdamaian, 31 Oktober 2019 Pukul 13.15
99
Masyarakat memiliki peran yang cukup besar dalam hal
ini. Saat mantan narapidana kasus terorisme kembali ke
masyarakat, mereka membutuhkan dukungan penuh. Pihak
keluarga juga berperan sebagai pintu pertama agar seorang mantan
narapidana kasus terorisme mau menerima paham baru. Dukungan
dan pelibatan dari masyarakat juga penting. Termasuk ketika
berada di Lembaga Pemasyarakatan, besukan dari keluarga akan
membuat mereka tergugah atas kepedulian-kepedulian yang
disampaikan. Merambah ke wilayah-wilayah dan memberdayakan
FKPT.
“Masyarakat sih. Lingkungan kita sebenarnya. Ya
sebenarnya lingkungan itulah. Nah, kalau lebih bagus lagi
kalau ingin, kalau ada narapidana teroris ditahan, lebih
bagus lagi kalau keluarganya yang mau mengunjungi
dipermudah. Kadang-kadangkan ada yang keluarga
dengan ekonomi yang kurang, kan ya. Itu dia gak bisa
berangkat ke sana. Nah. Kalau narapidana yang di dalem,
punya keluarga, dikunjungi keluarga itu senang banget.
Insyaallah itu buat meluluhkan hati dia. Yang tadinya
keras bisa jadi lunak. Ampuh banget itu. Ketika keluar, di
masyarakat ini.”127
• BNPT/ Densus
Sebagai lembaga yang berfokus menangani kasus
terorisme, harapan yang ditujukan kepada BNPT begitu besar.
Pendekatan dengan berinteraksi secara langsung dibutuhkan agar
dapat mendeteksi akar permasalahan setiap kasus. Penanganan
terhadap orang-orang yang telah terpapar paham radikal juga perlu
dilakukan. Selain itu, skala pelaksanaan program BNPT perlu
ditingkatkan kepada mantan narapidana kasus terorisme.
Pendekatan secara non-formal dan secara personal lebih
membuahkan hasil daripada seminar. Selain itu, penempatan
127 Wawancara pribadi dengan Riki Rianto di Ramayana Parung, 29
Desember 2019 Pukul 10:11Pukul 10:11
100
narapidana kasus terorisme di dalam lapas sepatutnya
memudahkan keluarga untuk membesuk.
“BNPT itu ngasih bimbingan, sudah. Biasanya kita disuruh
nginep di hotel tiga sampe lima hari. Sudah seperti itu.
Seperti mau dokumentasi dan lebih kayak publikasi. Kalau
sampai menyentuh hati itu belum. Turun ke lapangan.
Turun itu lebih ngena. Daripada seminar”.128
“Sebenarnya itu tugas BNPT. Di luar itu, semua
masyarakat, lingkungan. Kepolisian juga. Jadi, kalau di
wilayah dia yang terpapar, terkena kasus seperti itu,
setelah dia bebas harusnya dibina juga, diajak untuk ikut
kegiatan dia, semacam itulah. Diperhatikan.”.129
Saya melihat kacamatanya BNPT, ya. Orang-orang yang
dianggap dijadikan klien atau mitra. Kadang masih gak
efektif. Karena mereka mengadakan kegiatan dua kali atau
tiga kali setahun. Padahalkan kita hidup 365 hari setahun.
Dan kemudian BNPT membangun FKPT di provinsi-
provinsi, tidak ada sama sekali kegiatan. Saya sempat
dengar satu tahun satu milyar, sampai kemarin, belum ada
kegiatan yang krentek. BNPT saja datang ke sini kumpul
pertemuan sehari dua hari, kurang menyentuh versi saya.
Karena bentuk-bentuknya itu semacam di LPJ kan, tapi ya
semacam gugur kewajiban. Kunjungan keliling. Keliling
mak tul dua jam. Semacam dokumentasi, buat laporan,
Media Damai, itu kadang kurang efektif, karena mereka
belum menyentuh akar persoalan di bawah.130
• Kementerian-kementerian
128 Wawancara pribadi dengan Riki Rianto di Ramayana Parung, 29
Desember 2019 Pukul 10:11Pukul 10:11
129 Wawancara pribadi dengan Echo Ibrahim di kediamannya di
Depok pada 04 Januari 2020 130 Machmudi
101
Kementerian-kementerian yang bekerjasama dengan
BNPT semestinya lebih memaksimalkan upaya untuk membantu
narapidana kasus terorisme. Dimulai dari pemberian lapangan
kerja, pengakuan identitas, dan Kementerian Agama yang
mendukung mantan narapidana kasus terorisme untuk
mengentaskan paham radikalnya.
Kalau lembaga, Departemen Agama seharusnya
bertanggungjawab, karena pemahaman itukan membawa-
bawa agama. Kayak departemen sosial harusnya
bertanggungjawab, itu termasuk masalah sosial. Karena
sekelompok yang cukup besar jika mengalami sesuatu yang
berbeda itu masalah sosial juga kan. Ketenagakerjaan
juga ketiga kenapa? Orang-orang yang keluar inikan
adalah orang-orang yang berpendidikan atau kuliah, atau
tidak,kan. Sekolah ataupun dari pesantren. Tidak semua
punya keahlian yang sama. Dinas tenaga kerja juga
seharusnya terlibat. Karena mereka itu, kalau gak dikasih
kerjaan, gak dikasih kegiatan, bisa menjadi masalah juga
di masyarakat, gitu.. Makanya, kayak sosial, kepolisian,
tenaga kerja, atau lembaga-lembaga yang terkait
pemerintah, harus bekerjasama. Karena masalahnya itu
saling berkait. Jadi Departemen Agamapun cukup setelah
kepolisian itu harus nempel. Karena itu masalah
pemahaman. Jadi harus terlibat juga, harus
bertanggungjawab. Karena kalau pemahaman itu bisa
nyampai, harus bisa untuk meredakannya juga 131
“Kalau membuat Dapoer Bistik di setiap provinsi bisa,
daripada FKTP, yakan 1 milyar. Dapoer Bistik 100-150
juta sudah jadi, tinggal di copy saja” 132
131Wawancara pribadi dengan Echo Ibrahim di kediamannya di
Depok pada 04 Januari 2020 132 Wawancara pribadi dengan Machmudi Hariono di Donkin Donut,
Gramedia Semarang pada 08 Januari 2020
102
I. Harapan Staf Yayasan Prasasti Perdamaian dan Mantan
Narapidana Kasus Terorisme pada program
penanggulangan kasus terorisme yang dilakukan Yayasan
Prasasti Perdamaian dan yang perlu dilakukan
pemerintah
Dalam penanggulangan kasus terorisme, tentunya
dibutuhkan evaluasi dan strategi yang jitu karena terorisme adalah
kasus yang kompleks. Sehingga tidak dapat disamaratakan satu
sama lain.
Direktur pendampingan Yayasan Prasasti Perdamaian
menyampaikan harapannya bahwa Yayasan Prasasti Perdamaian
sebagai jembatan tanpa memiliki prasangka apapun. Sehingga,
dalam menjalankan programnya, tidak terbentuk persepsi-persepsi
tertentu kepada mantan narapidana kasus terorisme. Melalui
bantuan-bantuan yang telah diberikan oleh Yayasan Prasasti
Perdamaian, harapannya mantan narapidana kasus terorisme dapat
hidup kembali di masyarakat dengan baik terlepas dari stigma
negatif yang terbentuk dikarenakan pernah menjalani hukuman
sebagai mantan narapidana kasus terorisme. Menjadi keluarga
yang baik dan warga negara yang baik dan tidak tergabung dengan
kelompok radikalnya tersebut.
“Harapan akan bisa kembali ke masyarakat. Mereka
punya kesempatan kedua untuk hidup bersama
masyarakat. Mimpi Yayasan Prasasti Perdamaian
sederhana, untuk mendampingi mereka, mereka berhak
mendapatkan kesempatan kedua hidup kembali di
masyarakat bersama keluarga mereka, setelah mereka
mendapatkan atau menjalani fase yang tidak dialami orang
pada umumnya yaitu tindak pidana, terlebih tindak pidana
103
terorisme, yang penuh dengan stigma, tentu bukan hal yang
mudah, Mereka bisa lepas atau disengaged dari
kelompoknya. Mereka bisa hidup bersama keluarga yang
baik. menjadi warga negara yang baik. Makanya, Yayasan
Prasasti Perdamaian adalah jembatan tanpa
berprasangka. Kalau kita berprasangka, kita tidak akan
bisa terus membantu mereka. memberikan kesempatan
kedua mereka hidup di masyarakat.”133
Sedangkan menurut Riki Rianto, penanggulangan yang
baik adalah penanggulangan dengan terjun langsung ke lapangan.
Menyentuh secara langsung mantan narapidana kasus terorisme.
Tidak sebatas pertemuan dalam sebuah forum lantas hanya
mementingkan publikasi.
Pernyataan Riki Rianto dalam wawamncara sebagai
berikut:
“Lebih baik lagi. Jangan bikin program seperti proyek.
Kita sebenarnya tahu. Tapi setidaknya jangan hanya
publikasi, tapi realisasi. Toh kita yang merasakan.
Mending langsung turun dan ada penindaklanjutan”.134
Sementara itu, Echo Ibrahim berpendapat dengan lebih
untuk penanggulangan kasus terorisme, yaitu diperlukan adanya
klasifikasi tiap kasus terorisme karena diperlukan metode yang
berbeda untuk mengatasinya. Untuk orang-orang yang sebenarnya
hanya ikut-ikut saja, atau kebetulan berada di lokasi saat
penyergapan, atau hanya karena tidak melaporkan aksi terorisme,
tidak pantas mendapatkan hukuman yang berat. Pemisahan tingkat
radikal seorang teroris juga sangat penting. Yang memiliki
pemahaman sangat radikal, tidak patut dicampur dengan yang
133 Wawancara pribadi dengan Kharirotul Maknunah di Yayasan
Prasasti Perdamaian, 31 Oktober 2019 Pukul 13.15
104
memiliki pemahaman agak moderat. Tapi pemerintah sudah
mengupayakan hal tersebut. Untuk kategori narapidana kasus
terorisme yang radikal, ditempatkan di Nusakambangan. Ketika
telah terjadi perubahan perilaku narapidana kasus terorisme, dia
mau menerima paham NKRI dan mau bekerjasama dengan
petugas, perlu mendapat perlakuan berbeda dari sebelumnya.
Ketika dia telah berubah, perizinan untuk bertemu dengan orang
terdekat dan keluarga akan menunjang narapidana kasus terorisme
ke arah yang lebih baik lagi. Dukungan dari segala lapisan
masyarakat bagi mantan narapidana yang memiliki keinginan kuat
untuk kembali kemasyarakat juga esensial. Pemerintah perlu
meneruskan pola-pola penanggulangan kasus terorisme yang
sudah baik. Support untuk keluarga juga mestinya dibantu, bukan
diberi stigma atau difitnah. Pemerintah juga memiliki andil yang
cukup besar kepada masyarakat bahwa mantan narapidana kasus
terorisme yang telah menjalankan hukumannya telah baik,
sehingga tidak ada keraguan lagi dari keluarga atau masyarakat.
Untuk perihal administrasi kependudukan juga mestinya
dipermudah, pembuatan KTP di RT-RW, agar mereka merasa
diakui dan tidak kembali ke kelompok radikal yang dulu
dianutnya.
Sedikit berbeda dengan Riki Rianto, Echo Ibrahim
memaparkan harapan-harapannya dalam penanganan kasus
terorisme, berikut pernyataannya:
“Untuk saat ini, kalau menurut pendapat saya,
penanggulangan untuk kelompok teror ini harusnya dibuat
grade-grade atau dispesifikasi perorang perkasus. Karena
penanggulangan untuk mengatasi setiap orang kan
105
berbeda.. Kalau sudah enteng, sudah mau NKRI itu ditaruh
di Kembang Kuning, di Lapas Besi. Terus perlakuannya
juga beda. Ketika sudah mau bekerjasama dengan petugas,
diajak ngomong sudah baik, gak mengkafirkan orang, terus
sudah berbuat baik, gak masalah dipertemukan sama istri,
sama keluarganya atau orang tuanya. Biasanya kalau
sudah mau bebas, dijanji-janjiin pemerintah, BNPT
datang, atau lembaga datang, mereka butuh disupport
kenapa? Bentuk keseriusan orang ingin kembali kan
negara harus serius. Karena dana yang dikucurkan itu kan
gak sedikit untuk deradikalisasi sama radikalisme itu
besar. Makanya saya bilang, pola yang sudah cukup bagus
diteruskan, terus keseriusan pemerintah untuk menangani
orang-orang yang sudah NKRI dan kembali ke masyarakat
disupport maksimal, ketiga, keluarga, istri atau anaknya
harus dibantu. Tugas pemerintah adalah sebelum dia
bebas sebulan atau dua bulan memberi penjelasan bahwa
dia baik. nanti kalau gak begitu, masyarakat sama
keluarganya meresahkan, “dia sudah baik belum ya?”,.
KTP harus buat. Karena syarat kalau gak didukung ini,
saya didustain. Ngapain saya berbuat baik, harusnya
negara berperan maksimal, dan mensupport
keluarganya.”135
Sementara itu, penanggulangan kasus terorisme yang perlu
dilakukan menurut Machmudi Hariono, mengutamakan upaya
pencegahan daripada penanggulangan. BNPT semestinya
membuat wadah-wadah kepada mantan narapidana kasus
terorisme atau membuat kebijakan lokal. Tidak disamakan antara
satu daerah dengan daerah lain. Perlu menggunakan pendekatan
soft kepada mantan narapidana kasus terorisme. Contoh nyata
yang bisa dilakukan adalah pembuatan SIM C yang memang
diperlukan oleh mantan narapidana kasus terorisme. Adanya
135 Wawancara pribadi dengan Echo Ibrahim di kediamannya di Depok
pada 04 Januari 2020
106
pengeboman atau teror dikarenakan kurang tahunya fungsi tempat
tersebut bagi teroris. Realisasi dari sebuah janji-janji juga perlu
ditindaklanjuti hingga terlaksana. Setiap orang bisa mengambil
peran dalam menanggulangi isu-isu terorisme, dia menceritakan
bahwa dirinya pernah membuatkan SIM C kepada mantan
narapidana kasus terorisme dan juga pernah mengajak anak-anak
dari mantan narapidana kasus terorisme berkunjung ke lapas
Nusakambangan. Pendekatan secara langsung dan menyentuh akar
dinilainya lebih mengena.
“Pertama ya jelas preventif, Mbak. Lebih baik mencegah
daripada mengobati Dan menurut saya, BNPT juga
memberi porsi tentang eks dan teman-teman yang sudah
terpapar itu dibuatkan semacam wadah, ya mungkin
yayasan-yayasan itu yang tidak mesti dengan
kurikulumnya BNPT. Jadi kebijakan lokal. Kebijakan
lokalpun juga berpengaruh dalam jaringan ini. Saya tahu
itu. tapi bagaimana BNPT itu membuat wadah yang soft
ke saya dan ke orang-orang yang notabenenya terpapar,
Mbak. Saya pernah bilang Pak Huda. Pak Huda, saya mau
ngajak anak-anak liburan ke Nusakambangan. Biar ketemu
Bapaknya. Terus dikasih uang bensin 500 ribu. Itu hanya
sekali setahun sangat efektif. Itu bisa dilakukan
perorangan. Nah, gak perlu nyebut ini BNPT. Kalau
simbol-simbol saja, percuma.136
136Wawancara pribadi dengan Machmudi Hariono di Donkin Donut,
Gramedia Semarang pada 08 Januari 2020
BAB V
PEMBAHASAN
A. Karakteristik Subjek
Subjek Penelitian ini adalah mantan narapidana yang
secara khusus terpilih menjadi informan melalui snowball method
dengan beberapa kriteria, yaitu:
1. Mantan narapidana kasus terorisme yang kooperatif
Tidak ada jaminan bagi mantan narapidana kasus
teroris, keluar dari Lembaga Pemasyarakatan dapat menerima
interaksi dengan orang-orang baru. Terkadang, membutuhkan
waktu yang cukup lama. Dari ketiga informan yang pernah
menjadi mantan narapidana kasus terorisme, seluruhnya telah
kooperatif.
2. Mantan narapidana kasus terorisme yang mau
menerima pemahaman baru.
Paham radikal yang dianut oleh mantan narapidana kasus
terorisme setelah menjalankan masa hukuman memungkinkan
masih melekat atau sudah pudar dari dalam dirinya. Pada
penelitian ini, peneliti memilih narasumber yang mau menerima
pemahaman baru. Contohnya adalah, yang dulunya menolak
negara NKRI atau sistem pemerintahan, kini mau mengakui NKRI.
Sehingga, dari karakteristik tersebut, terpilihlah beberapa
informan yang persepsinya mewakili judul skripsi ini. Berikut
adalah tabel identitas Subjek, yaitu:
109
Tabel 5.1 Tabel Identitas Subjek
Staf Yayasan Prasasti Perdamaian
Kode Asal Usia Jabatan
Y1 Jepara 27 Tahun Direktur Pendampingan
Mantan Narapidana Kasus Terorisme
Kode Asal Usia Kasus Lama
Hukuman Program YPP
N1 Bogor 28
tahun Bom Buku
3 tahun 6
bulan
Pemberian modal
(Sociopreneurship)
N2 Depok 47
tahun
Bom
Masjid
Cirebon
7 tahun 5
bulan
Pemberian modal
(Sociopreneurship),
Syuting Film
N3 Semarang 43
tahun
Bom Sri
Rejeki 10 tahun
Pemberian modal
(Sociopreneurship),
Syuting Film
Keterangan:
N = Kode untuk mantan narapidana teroris
Y = Kode untuk staf Yayasan Prasasti Perdamaian
B. Analisis Pola Pembinaan Mantan Narapidana
Kasus Terorisme di Yayasan Prasasti Perdamaian
1. Proses Pembinaan
Dalam penelitian ini, pola pembinaan mantan narapidana
kasus terorisme yang dilakukan oleh Yayasan Prasasti Perdamaian
berdasarkan kondisi setiap mantan narapidana kasus terorisme
110
yang bertujuan agar mantan narapidana kasus terorisme mampu
hidup normal kembali di masyarakat. Berikut adalah proses
pembinaan mantan narapidana kasus terorisme berlangsung, yang
akan digambarkan oleh skema berikut:
Gambar 5.1 Proses pola Pembinaan mantan narapidana
kasus terorisme Yayasan Prasasti Perdamaian
Yayasan Prasasti Perdamaian memulai untuk membuka
obrolan kepada mantan narapidana kasus terorisme di Lembaga
Pemasyakatan. Perihal kunjungan sifatnya seperti kunjungan
biasa, bukan termasuk kunjungan formal. Kunjungan ke lapas
dilakukan secara terus-menerus. Di mulai dari lapas, mereka
diidentifikasi apa rencana yang akan dilakukan, atau apa yang
mereka pilih sebagai pekerjaannya dikemudian hari setelah
menyelesaikan masa hukuman. Setelah sepakat atas perencanaan
tersebut, program akhirnya dilaksanakan. Tujuan dari program
Penerimaan
Program
Pelaksanan
Program
YPP
berkomunikasi di
lapas
Komunikasi
Program Kunjungan
secara regular
Mantan
napiter
teralihkan
perhatiannya.
111
disengagement adalah mengentaskan mantan narapidana kasus
terorisme dari pola pikir radikal dan juga dari kelompok terornya
melalui kegiatan-kegiatannya yang dapat mengalihkan
perhatiannya.
“Ini terkait dengan program Yayasan Prasasti
Perdamaian. Yayasan Prasasti Perdamaian punya
program pendampingan. Pekerjaan awal ketika Yayasan
Prasasti Perdamaian mulai dibentuk karena itu berawal
dari pengalaman pribadi Mas Huda untuk mendampingi
orang yang terlibat dalam aksi terorisme. Berawal dari
Mas Huda ketemu temannya Mubarok dan seterusnya.
Setelah itu, secara kelembagaan terbentuk ada program-
program yang dikemaskan, dikonsepkan, selain itu ada
juga program Capacity Building dan research. Nah,
spesifikasi di program pendampingan, bagaimana proses
merangkulnya yaitu dimulai dengan Yayasan Prasasti
Perdamaian membuka komunikasi dengan mereka. Ketika
mereka masih di lapas, secara teknis yang kita lakukan
adalah mengunjungi mereka secara regular di lapas. Itu
biasanya kita lakukan bukan dengan secara formal.
Formal dalam artian melalui petugas atau minta izin
segala macam, tapi kita mengunjungi mereka seperti
halnya kunjungan biasa pada umumnya di lapas. Itu yang
secara umum kita lakukan sebagai pendekatan. Intinya
adalah komunikasi secara kontinu dan regular”.(Y1)
2. Pendekatan Pembinaan
Merujuk pada yang sampaikan oleh Mangunhardja,
pembinaan memiliki 3 pendekatan, antara lain pendekatan
informatif, pendekatan partisipatif, dan juga pendekatan
eksperensial. Namun, pendekatan yang dilakukan pada pembinaan
mantan narapidana kasus terorisme adalah perpaduan antara
pendekatan partisipatif dan ekperensial yaitu terlibatnya mantan
narapidana kasus terorisme dan ketika dia menjadi sasaran sebagai
112
sumber utama, pengalaman, dan pengetahuan sasaran
dimanfaatkan. Kondisinya seperti belajar bersama.137 Dan
pendekatan Pendekatan eksperensial, dalam pendekatan ini,
menempatkan sasaran langsung terlibat pada proses pembinaan.
Dan ini disebut sebagai belajar yang sejati karena keterlibatan
langsung dalam situasi tersebut.138
Contohnya adalah ketika Riki Rianto akan memulai
wirausaha atas modal yang diberikan oleh Yayasan Prasasti
Perdamaian, dia diberikan kewenangan atas pilihannya untuk
menentukan bisnis apa yang akan dia jalankan. Selanjutnya,
Founder turun langsung mendampingi untuk menyiapkan
peralatan dan berbelanja bersamaan. Pada pelaksanaan wirausaha
tersebut, mantan narapidana kasus terorisme menjalankan
usahanya secara mandiri. Kontroling juga dilakukan sebagai tindak
lanjut usaha yang telah dirintis tadi.
“Pak Huda bilang, “Nanti mau ada ini, masnya mau
nerima, gak?” “Ya mau saja, Pak.” “Nah, sekarang
dicatet, mau bisnis apa, usaha apa, dicatat mas. Nanti
datanya kasih ke saya. Nanti dananya biar dicairkan dari
atas”. Gak lama, paling dua bulan,Pak Khoirul ngabarin
lagi, “Mas, cair dananya”, “Oke pak”. Bentuknya bukan
barang, tapi uang. Cuma didampingi sama Pak Khoirul
waktu itu. Ya biar gak disalahgunain sih. Takutnya
disalahgunain.” (N1)
Begitupula dengan pembinaan yang diberikan kepada
Machmudi Hariono. Yayasan Prasasti Perdamaian kepadanya.
Pendekatan eksperensial dan partisipatif dilakukan spada pendirian
137Mangunhardjana. A.M, 1986. Pembinaan: Arti dan Metodenya,
Kanisisus: Yogyakarta h 17 138Mangunhardjana. A.M. 1986. Pembinaan: Arti dan Metodenya.
Yogyakarta Kanisisus h 17
113
Dapoer Bistik setelah mengetahui pengalamannya sebagai juru
masak dua tahun dengan cita rasa yang enak. Yayasan Prasasti
Perdamaian juga turut serta menyiapkan tempat, DP untuk alat-alat
elektronik, dan kontroling.
“Berdirilah Dapoer Bistik, berdiri 3 tahun di Semarang.
Launching hari pertama, full pengunjung. Karena saya di
rumah makan pertama sudah banyak relasi. Kurang lebih
begitu, terus berinteraksi dengan Yayasan Prasasti
Perdamaian membantu untuk sewa tempat, DP alat-alat
elektronik, dan itu menjadi center di Semarang. Kemudian
tahun kedua-ketiga melirik di Solo, buka sampai sekarang.
Memang dihandle Yayasan Prasasti Perdamaian, karena
memang berat mendirikan resto. Sewa mahal, SDM, tapi
yang termahal dalam hidup saya yang termahal dalam
Dapoer Bistik dan Yayasan Prasasti Perdamaian adalah
ilmu” (N3)
3. Pelaksanaan Pembinaan
Dalam melaksanakan pembinaan, Yayasan Prasasti
Perdamaian tidak memiliki term waktu tertentu. Karena,
membangun rasa percaya kepada mantan narapidana kasus
terorisme membutuhkan waktu yang cukup panjang. Skala rutin
atau jadwal pelaksanaan pembinaan juga tidak bisa dijadikan
paten. Sebagaimana yang disampaikan Direktur Pendampingan
Yayasan Prasasti Perdamaian:
“Program ini tidak bisa kita programkan seperti program
baksos yang satu bulan, atau misalnya capacity building
yang dilakukan dua kali tiga kali. Ini adalah program
panjang untuk kita membangun trust building. Untuk waktu
diterima saja, saya dengan dampingan saya butuh waktu
satu tahun sampai dua tahun untuk kita bisa dekat.” (Y1)
Riki Rianto mulai bergabung dengan Yayasan Prasasti
Perdamaian pada tahun 2015 awal. Dikenalkan oleh seorang
114
temannya agar bergabung di Yayasan Prasasti Perdamaian. Dia
diberikan modal usaha 10 juta dan digunakan untuk usaha bebek
petelur. Selain itu, program pelatihan yang dilakukan oleh Yayasan
Prasasti Perdamaian yaitu Pelatihan wirausaha yang diisi oleh Pak
Siwi. Hingga 2018, komunikasi yang berbentuk kontroling juga
dilakukan oleh Yayasan Prasasti Perdamaian.
“Kira-kira 2015an. Pertamanya ane dikasih bentuk
pinjaman.” (N1)
“Kalau setahun ini sudah tidak. Dulu kalau datang, sekali
datang bisa empat orang.” (N3)
Echo Ibrahim juga mengenal Yayasan Prasasti Perdamaian
dari temannya, dipertengahan tahun 2016 setelah bebas dari
Lembaga Pemasyarakatan karena belum memiliki pekerjaan tetap.
Awal mulanya dia bertemu dengan Pak Khoirul. Dia masih
tergabung dan terus berinteraksi dengan staf Yayasan Prasasti
Perdamaian dengan hingga 2019 akhir. Jika Yayasan Prasasti
Perdamaian mengundangnya untuk sebuah acara atau menjadi
narasumber, dia akan menghadirinya.
“Saya tanya teman, terus dikasih alamat Yayasan Prasasti
Perdamaian, saya kesana. Sudah lama tidak ke sana. Dulu
semacam ada pelatihan, gak ada keterusannya. Masih
ingat, tapi dua bulan gak kesana. 2019 masih kesana.
Kalau ada kegiatan dan di undang sih datang.” (N2)
“Tahun 2016 setelah bebas. Saya bebas Bulan Januari dan
baru ketemu sekitar 6 bulan setelahnya. Jadi Bulan Juni
atau Juli. Ada teman yang kenalin. Kalau mau ada
kegiatan atau support gitu, kan waktu bebas gak punya
apa-apa kan. Coba ke Yayasan Prasasti Perdamaian. Saya
ketemu Mas Khoirul. Kalau sekarang kan Pak Taufik.”
(N2)
Machmudi Hariono juga mengenal Yayasan Prasasti
Perdamaian melalui rekannya pada 2009. Temannya menelponnya
115
dan memperkenalkannya pada Noor Huda Ismail, Founder
Yayasan Prasasti Perdamaian. Kemudian temannya menghubungi
Noor Huda Ismail dan akhirnya merencanakan untuk memulai
bertemu.
“Yayasan Prasasti Perdamaian itu berdiri terlebih dahulu
daripada kena saya mungkin. 2009 itu mulai kenalan
dengan foundernya, Pak Noor Huda Ismail”
Telponlah Noor Huda Ismail. “Huda, dimana, Huda?”,
“Aku di Kalimantan, Pak”. “Oh ini ada yang mau
ngobrol”. “Halo, Assalamualaikum”, “Siapa ini?”,
“Yusuf Semarang”, “Yusuf siapa?”, “Yusuf yang barusan
lulus dari Nusakambangan”, “Yusuf Semarang? Oh iya,
kapan-kapan kita kopi darat”, (N3)
Berawal dari beberapa kali pertemuan, Noor Huda Ismail
dan Machmudi akhirnya akrab. Hingga pada saat Machmudi
diberhentikan dari pekerjaannya sebagai pelayan di rumah makan,
dan Huda sedang berada di Semarang, dia menceritakan hal
tersebut dan Huda menawarkan untuk membuka bisnis baru. Dari
obrolan yang disepakati akhirnya diputuskan menu iga bakar.
Hingga bulan ke tujuh rumah makan tersebut akhirnya berpindah
ke Simpang Lima Semarang.
“Pas Huda pulang, saya curhat sama Huda. “Iki
pengangguran wong 4”, “Lho ayo buka, makanan enak
kok, ya ayo buka sendiri”, “Ayam bakar”, “Wah, nyaingin
dong. Iga bakar saja yuk.” Kita buat diskusi tempat dan
lainnya. Bulan pertama, kedua, ketiga, keempat, sepi.
Bulan 6 sepi. Ya ada pemasukan, tapi sedikit. Masuk
hampir bulan ke tujuh, pindah tempat ke Simpang Lima.
“Ada duit berapa kamu, Da?”, dirembuklah. Berdirilah
Dapoer Bistik, berdiri 3 tahun di Semarang” (N3)
Meskipun berdomisili di Semarang, sesekali Machmudi
mengunjungi kantor Yayasan Prasasti Perdamaian di Jakarta
116
setelah diajak oleh Huda. Dia berpartisipasi dalam pembuatan film
Prison and Paradise pada tahun 2010.
“Ayo cak kita ke Jakarta, Cak. Ke Pasar Minggu”. “Apa?
Kantor ta?”, “Iya, kantorku”. Ya sudah, main ke sana
saya. Namanya orang kampung ya, naik kereta ke sana.
2010 lah saya main ke sana”. (N3)
Hingga kini, Dapoer Bistik di Solo tetap eksis yang berawal
dari kerjasama dengan Yayasan Prasasti Perdamaian. Bisnis
tersebut adalah bisnis yang dirintis oleh para napiter.
“Iya, masih di Solo. Silakan kalau mau kesana” (N3)
C. Analisis Humanistik & Pendekatan Heart, Hand and
Head (3H)
Tabel 5.2 Analisis Pendekatan Heart, Hand and Head
(3H)
KECAKAPAN
HIDUP BENTUK APLIKASI TRANSKIP
HATI
[HEART]
Intuisi,
kepercayaan.
RELASI:
membangun
komunikasi yang
menguntungkan
semua pihak. Bagi
mantan narapidana
kasus terorisme,
untuk tempat
berbagi dan bagi
Yayasan Prasasti
Konteks pendekatan
yang dilakukan oleh
Yayasan Prasasti
Perdamaian. Teroris
yang terpapar Awal
mula mantan narapidana
teroris membuka diri
dimulai dari hatinya.
Hingga pada akhirnya,
mantan narapidana
“Untuk waktu
diterima saja, saya
dengan dampingan
saya butuh waktu
satu tahun sampai
dua tahun untuk kita
bisa dekat.” (Y1)
“Aku tahu Noor
Huda kan orang
117
Perdamaian
mempejarai
perkembangan
kasus terorisme
dari aktornya dan
juga untuk
menunjang
program YPP.
PEDULI:
Pemahaman,
kebaikan hati, dan
afeksi terhadap
orang lain.
Perhatian yang
diperoleh mantan
narapidana kasus
terorisme akan
tersalurkan
menjadi
kepedulian lain
kepada orang di
sekitarnya.
kasus terorisme percaya
dan mulai terbuka
kepada staf Yayasan
Prasasti Perdamaian.
Melalui dialog yang
berlanjut yang
dilakukan sejak berada
di lapas hingga jangka
waktu tahunan antara
Yayasan Prasasti
Perdamaian dan mantan
narapidana kasus
terorisme, tujuannya
agar membangun trans-
believe.
Paska menjalani
hukuman di lapas, N3
kerapkali membantu
mantan narapidana
kasus terorisme karena
mengetahui bagaimana
stigma yang
berkembang di
masyarakat.
Amerika (Reporter
Washington Post),
saya curiga,
ngapain dia ketemu
saya, dan ngapain
saya ketemu dia.
Kurang lebh seperti
itu. Trans-
believenya masih
belum ada” (N3)
“Saya sering
membawa orang,
pernah 18 orang ke
samsat. Buat SIM
C. Sebenarnya
punya wadah kalau
itu dibuat program
tiap tahun.” (N3)
118
TANGAN
[HANDS]
Tindakan, Aksi
Memberi,
menyediakan,
Bekerja,
mengupayakan,
menghasilkan
pendapatan
Ketika kepercayaan
dari hati sudah
terbentuk, menangani
terorisme dilakukan
dengan menolong
mereka, dalam hal ini
Yayasan Prasasti
Perdamaian
memberikan pinjaman
modal usaha, bagi N1
modal usaha digunakan
untuk usaha bebek
petelur, bagi N2 modal
usaha digunakan untuk
Ikan Hias dan bagi N3
modal usaha digunakan
untuk mendirikan
rumah makan. Ada juga
pelatihan wirausaha
yang digelar oleh
Yayasan Prasasti
Perdamaian kepada N1
dan N2.
Awal pemodalan,
ane dapat 10 juta.
Sekitar tiga tahunan
yang lalu. Dulu ada
tanda tangan di atas
materai sama Pak
Khoirul. Ane buat
usaha bebek sampai
3 periode.(N1)
“Dikasih pinjaman
sekitar 10 juta. Kita
cicil berapa kali.
Tapi belum selesai.
Kita gak tahu
bentuknya itu hibah
atau apa. Tapi
sampai sekarang gak
pernah ditanya-
tanya.” (N2)
“Setelah dialog
antara Noor Huda
Ismail dan
Machmudi,
berdirilah Dapoer
Bistik hingga 3 tahun
119
dan terus
berinteraksi dengan
Yayasan Prasasti
Perdamaian
membantu untuk
sewa tempat, DP
alat-alat elektronik,
dan itu menjadi
senter di Semarang.”
(N3)
OTAK
[HEAD]
Pengetahuan,
penalaran,
kreatifitas
BERFIKIR:
Gagasan, membuat
keputusan.
Pemberian pemahaman
baru, contohnya
memberikan
pemahaman bahwa
tindakan teror dapat
membuat orang lain
menderita dengan
didatangkannya ustadz
dan pesan dalam film
yang dibuat oleh
Yayasan Prasasti
Perdamaian.
“Kita mencoba
menawarkan
alternatif
pengetahuan baru
bagi mereka.
Apapun
pengetahuan itu
tidak hanya dibatasi
oleh pengetahuan
agama, wawasan
kebangsaan,
misalnya. Karena
orang-orang pada
umumnya”
120
beranggapan bahwa
teroris itu
bermasalah dalam
wawasan beragama
dan wawasan
kebangsaan.
Yayasan Prasasti
Perdamaian tidak
pernah
menggunakan cara-
cara seperti itu.”
(Y1)
a. Pendekatan Heart, Hand, and Head
Teori Heart, Hand, Head sebenarnya adalah teori yang
berhubungan dengan kecakapan atau kepemimpinan seseorang,
namun, teori ini juga berlaku dalam konteks pendekatan yang
dilakukan oleh Yayasan Prasasti Perdamaian. Awal mula mantan
narapidana teroris membuka diri dimulai dari hatinya. Hingga pada
akhirnya mantan narapidana kasus terorisme percaya dan mulai
terbuka kepada staf Yayasan Prasasti Perdamaian. Berikut adalah
pernyataan Direktur Pendampingan Yayasan Prasasti Perdamaian
bahwasanya diperlukan waktu 1-2 tahun agar seorang mantan
narapidana kasus terorisme dapat terbuka kepadanya.
“Untuk waktu diterima saja, saya dengan dampingan saya
butuh waktu satu tahun sampai dua tahun untuk kita bisa
dekat.” (Y1)
121
Hal tersebut juga terjadi kepada Machmudi Hariono
memiliki pemikiran negatif kepada Noor Huda Ismail sebelum
didirikannya Dapoer Bistik karena bekerja di media Washington
Post.
“Aku tahu Noor Huda kan orang Amerika (Reporter
Washington Post), saya curiga, ngapain dia ketemu saya,
dan ngapain saya ketemu dia. Kurang lebih seperti itu.
Trans-believenya masih belum ada”
Aspek selanjutnya adalah hand. Ketika kepercayaan dari
hati sudah terbentuk, menangani terorisme dilakukan dengan
menolong mereka, dalam hal ini Yayasan Prasasti Perdamaian
memberikan pinjaman modal usaha, bagi N1 modal usaha
digunakan untuk usaha bebek petelur, bagi N2 modal usaha
digunakan untuk Ikan Hias dan bagi N3 modal usaha digunakan
untuk mendirikan rumah makan. Ada juga pelatihan wirausaha
yang digelar oleh Yayasan Prasasti Perdamaian kepada N1 dan N2.
Aspek yang terakhir yaitu head, yakni pemberian
pemahaman baru, contohnya memberikan pemahaman bahwa
tindakan teror dapat membuat orang lain menderita dengan
didatangkannya ustadz dan pesan dalam film yang dibuat oleh
Yayasan Prasasti Perdamaian.
b. Pendekatan Humanisasi
Salah satu pendekatan yang dilakukan oleh Yayasan
Prasasti Perdamaian adalah humanisasi, yaitu pendekatan dengan
cara kemanusiaan. Di Yayasan Prasasti Perdamaian, jarang
memberikan materi yang bertemakan agama. Staf Yayasan
Prasasti Perdamaian melakukan pembinaan dengan
mengedepankan program yang bersifat humanis. Mantan
122
narapidana kasus terorisme dapat berubah pemikirannya jika diberi
pengetahuan atau dikenalkan kepada komunitas yang plural dan
multikultur. Ini akan melahirkan refleksi baru yang dapat
mengubah ideologi mantan narapidana kasus terorisme. Yang
dulunya anti Amerika, tiba-tiba menerima orang-orang bekerja di
Amerika. Hal tersebut terjadi kepada Riki Rianto dan Machmudi
Hariono. Mereka awalnya menganggap bahwa apapun yang
berhubungan dengan Amerika harus dijauhi. Humanisasi juga
menyadarkan mantan narapidana kasus terorisme berpikir bahwa
manusia yang baik adalah manusia yang memanusiakan manusia,
tidak memerangi membunuh orang lain.
Humanisasi juga bisa menghapus stereotip manusia atau
kelompok yang kurang baik. Dan mantan narapidana kasus
terorisme adalah orang yang mendapatkan banyak stigma negatif.
Mantan narapidana kasus terorisme patut dikenalkan dengan
kelompok baru agar mengenal kelompok yang berbeda dengan
mereka. kekerasan hanya mampu ditaklukan dengan kelembutan.
Humanisasi mengajarkan mantan narapidana kasus terorisme
untuk berdialog dengan ulama dan elemen-elemen masyarakat,
pelatihan-pelatihan, pemahaman baru melalui film, dan
mempertemukan pelaku teror dengan korban. Dalam hal ini,
Yayasan Prasasti Perdamaian telah memberikan pelatihan-
pelatihan, seperti pelatihan kewirausahaan, pemutaran film dan
juga partisipasi dalam pembuatan film (Jihad Selfie, Prison and
Paradise), atau dipertemukan dengan korban. Sebagaimana
pengakuan dari N3 bahwa tidak pernah terbersit dipikirannya
ketika tergabung dalam kelompok teror akan menyakiti korban.
123
Yang ada di pikirannya adalah keinginan kuat untuk melakukan
jihad. Pendekatan humanisasi senantiasa dilakukan oleh Yayasan
Prasasti Perdamaian dan pemerintah dan masyarakat harus
membantu secara sosial-ekonomi, hingga akhirnya sesuai motto
Yayasan Prasasti Perdamaian, menjadi jembatan tanpa
berprasangka, membantu mantan narapidana kasus terorisme
dengan maksimal sehingga tersirat akan sebuah ikhtiyar Islam
Rahmatan lil ‘Alamin sebagai implementasi saling mengasihi dan
saling membantu.
D. Analisis Dampak Program Disengagement yang
dilakukan Yayasan Prasasti Perdamaian kepada
Mantan Narapidana Kasus Terorisme.
Disengagement yang dilakukan oleh Yayasan Prasasti
Perdamaian selalu melakukan pendekatan langsung kepada aktor,
baik mantan narapidana kasus terorisme atau keluarganya, jadi
tidak sekedar pada metateori, tapi lebih kepada individual. Dan
dari beberapa wawancara yang dilakukan peneliti, dapat dijelaskan
bahwa program disengagement memberikan beberapa hasil dan
dampak bagi mantan narapidana kasus terorisme.
“Berbagai macam. Dia aktif untuk melakukan program-
program Yayasan Prasasti Perdamaian, kemudian ada
yang dia sudah kembali ke masyarakat, pada umumnya
kembali ke masyarakat. Ada yang bekerja seperti pada
umumnya, ada juga yang melakukan aktifitas untuk
membantu narapidana teroris, itu dia buat semacam
lembaga, yayasan juga. Dia ingin mewadahi teman-teman
sesama mantan narapidana teroris yang ada di sekitar
Aceh dan Medan. Ada juga di Lamongan, Solo. Itu
diantaranya yang kita dampingi. Ada juga yang jadi silent
124
person. Yang penting mereka gak terlibat lagi, gak
mengulangi apa yang dilakukan lagi, kembali bekerja,
kembali bersama keluarga. Seperti itu”.(Y1)
Dampak dari Program Disengagement, ada 5 berdasarkan
hasil wawancara dengan direktur pendampingan, yaitu :
1. Aktif membantu program Yayasan Prasasti Perdamaian.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Echo Ibrahim, setelah
menjadi penerima manfaat dari Yayasan Prasasti Perdamaian,
dalam beberapa kesempatan, dia membantu melaksanakan
program Yayasan Prasasti Perdamaian selanjutnya. Beberapa kali
menjadi narasumber dan turut serta pembuatan syuting film
dokumenter budidaya kolam ikan, pernah juga syuting film The
Battle Of Radicalsm yang disiarkan di Singapura.
Di Yayasan Prasasti Perdamaian, kita itu kayak mitra.
Atau kerjasama, kalau mereka ada acara, kadang saya
diundang sebagai narasumber atau pembicara di acara
mereka. Disamping itu juga Yayasan Prasasti Perdamaian
pernah bantu saya waktu saya bangun kolam ikan. Pernah
memberi pinjaman kayak bantuan. Itu saja. Pernah
beberapa kali syuting film dokumentasi melalui Yayasan
Prasasti Perdamaian. Kalau gak salah kontra narasi
melawan ISIS di RTV. Yang kedua, budidaya ikan sama,
terus dari Singapura, kayaknya Yayasan Prasasti
Perdamaian yang mengarahkan. Namanya itu Dewi,
Singapore Channel, Singapura Asia. Judulnya itu the
beattle of radicalism. Disiarkan di channel Singapura dan
bisa diakses di semua negara pakai parabola. Nah kalau
itu saja. Jadi narasumber, atau pembicara, jadi
praktisi.”(N2)
Seperti halnya yang dilakukan oleh Echo Ibrahim,
Machmudi Hariono juga membantu pembuatan syuting film, yaitu
film Prison and Paradise. Selain itu, dia juga pernah
125
mempresentasikan film Jihad Selfi di depan TKW yang berada di
Hongkong.
“Di Jakarta aku dulu gak tahu mau apa, jadi buat film
waktu itu. Filmnya Prison and Paradise, sebenarnya saya
tertarik cara Noor Huda memaparkan film ini, alur cerita
dia di Ngruki, saya ikuti alurnya bagus, isinya netral,
menyikapinya, menjelaskan prosesnya . Terus kemarin
Jihad Selfi ke Hongkong, karena Akbar gak bisa, saya
disuruh. Ya, presentasi ke TKW-TKW. (N3)
2. Kembali ke masyarakat
Kembali ke masyarakat dengan menyandang status sebagai
mantan narapidana kasus terorisme tampaknya bukanlah perkara
yang mudah. Stigma masyarakat mampu menjalar kemana saja.
Tidak semua masyarakat dapat menerima mantan pelaku kasus
teror dengan mudah. Riki Rianto, mengalami kesulitan ketika
kembali ke kampung halamannya, tokoh agama juga kurang
senang dengan keberadaannya membutuhkan waktu yang cukup
lama agar diterima dalam masyarakat.
“Susah banget buat meyakinkan di masyarakat. Sampai
sekarang masih ada yang gak senang sama ane.
Kebanyakan itu ustadz-ustadz yang ada di kampung.
Tapi ane gak ambil pusing. Cuek saja. Toh kita kan mau
bener. Dulu kan kita ibaratnya juga korban. Saya saja
korban. Kalau saya nanggepinya gitu. Kenapa kalian
mikirin saya. Kadang-kadang aneh-aneh juga ucapannya.
Kadang-kadang ane tinggal pergi saja. Proses keluar dari
lapas juga bingung mau ngapain.” (N1)
Menurut Machmudi Hariono, stigma yang ada di
masyarakat tentang kasus terorisme terlalu menakutkan. Media
dan pemerintah memberitakan dengan berlebihan dan tidak seperti
yang terjadi secara nyata. Dari pemberitaan yang dibuat secara
126
berlebihan, akan menimbulkan asumsi-asumsi masyarakat yang
menghubung-hubungkan kasus sat u dengan kasus yang lain.
“Saya sampaikan bahwa apa yang disampaikan oleh media
Amerika, atau kepolisian yang curiga berlebihan,
perjalanan saya di Nusakambangan itu bagaimana, itu
jelas. Media menyebut “Tersangka menyimpan bom satu
bom. Hukuman maksimal hukuman mati”, misalnya seperti
itu kan menakutkan. Keluarga dan teman-teman bilang,
“Lho, mati rek”, kadang blow-upnya negara itu menakut-
nakuti teror. Ya memang berhasil, saya akui. Akhirnya
masyarakat sekitar saya ketika ada bom Aceh, “temanmu
ya?”, bom Poso, “temanmu, ya?” begitu itu stigma yang
gak hilang hingga saat ini.” (N3)
Berbaur dengan masyarakat dan membentuk organisasi
baru dilakukan oleh Riki Rianto. Dia mendirikan organisasi tani
dan mencari dana untuk kesejahteraan masyarakat. Melalui
interaksi seperti itu, Riki Rianto yang awal mulanya dibenci atau
mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Tanpa ada rasa takut.
“Sekarang alhamdulillah, diusaha ikan yang sekarang,
bikin organisasi ane. Dari kelompok tani, ane juga jadi
penggebraknya juga. Kita bikin kelompok buat bikin
proposal, nyari dana buat ke desa. Kita lagi nyari-nyari
dana. Buat kesejahteraan masyarakat. Alhamdulillah. Di
desa juga kepala desanya sudah nerima. Sudah bisa
bergabung dengan teman-teman yang dulu, gak
ketakutan.” (N1)
3. Bekerja
Melakukan suatu usaha paska bebas dari Lembaga
Pemasyarakatan tampaknya memerlukan usaha maksimal bagi
mantan narapidana kasus terorisme. Pada penelitian ini, ketiga
penerima manfaat dari Yayasan Prasasti Perdamaian diberikan
modal usaha. Riki Rianto diberikan modal 10 juta dan memilih
127
untuk ternak bebek petelur yang bertempat di Kampung Tapak.
Kelanjutan dari usaha itu adalah usaha ikan hias.
“Pertamanya ane dikasih bentuk pinjaman.Tapi ditekanin
lagi sama dia, kalau pinjaman itukan harus balikin. Nah
kalau ini, kalau ada, ya balikin. Kalau gak ada, ya jangan
dipaksa. Soalnya ini uang kesejahteraan ikhwan-ikhwan
yang lain juga. Kalau misalnya ane ganti buat ikhwan yang
ini, dipakai ikhwan yang lain. Jadi berputar uang ini. Tapi
sampai sekarang ane belum bisa ganti. Itu usaha bebek itu
yang kandas belum bisa saya ganti. Prosesnya, awal
pemodalan, ane dapat 10 juta. Sekitar tiga tahunan yang
lalu. Dulu ada tanda tangan di atas materai sama Pak
Khoirul. Ane buat usaha bebek sampai 3 periode. Tapi
usaha bebek kandas karena kandang bukan milik ane.
Sekarang ganti usaha ikan hias” (N1)
Serupa dengan Riki Rianto, Echo Ibrahim juga diberikan
modal usaha 10 juta oleh Yayasan Prasasti Perdamaian untuk
pembuatan kolam dan budidaya ikan. Kini dia bersama istrinya
berbisnis Catering makanan-makanan basah di sekitar tempat
tinggalnya di Depok.
“Dikasih pinjaman sekitar 10 juta. Kita cicil berapa kali.
Tapi belum selesai. Kita gak tahu bentuknya itu hibah atau
apa. Tapi sampai sekarang gak pernah ditanya-tanya.”
(N2)
Lain halnya dengan Machmudi Hariono, yang memiliki
bisnis rumah makan Dapoer Bistik di Solo. Setelah bebas dari
Lembaga Pemasyarakatan, Machmudi bekerja sebeagi pelayan di
rumah makan Semarang. Karena masih memiliki status bebas
bersyarat, dia wajib melapor ke Polrestabes Surabaya setiap
bulannya. Karena beberapa hari dia absen dalam pekerjaannya,
pemilik rumah makan tersebut memberhentikannya. Akhirnya
Machmudi mengumpulkan 4 orang bersama dirinya yang
128
menganggur untuk membuka usaha baru. Namun dia terkendala di
modal. Melalui salah seorangnya temannya di Lamongan, dia
dihubungkan dengan Noor Huda Ismail, pendiri Yayasan Prasasti
Perdamaian setelah berdiskusi bersama, Noor Huda Ismail
menawarkan bantuan modal mengingat keahlian Machmudi dalam
memasak tidak perlu dilakukan lagi. Tidak lama kemudian,
berdirilah Dapoer Bistik di Semarang dan membuka cabang di
Solo. Dapoer Bistik tersebut dikelola oleh beberapa mantan
narapidana kasus terorisme. Tidak hanya bisnis rumah makan,
Machmudi juga memiliki usaha rental mobil. Jika dulu dia hanya
yang dia taklukan adalah senjata, kini ia menaklukan susruk dan
setir.
“Walaupun saya tidak berdomisili di Yayasan Prasasti
Perdamaian. Terus akhirnya saya bekerja, singkat cerita,
saya dipecat kena SP1, SP2, SP3 karena sering lapor ke
Surabaya. Itu menjelang dua tahun, saya sudah senior di
situ. Karena itu anak Ngruki juga, ya saya menghormati.
Tapi saya capek kalau langsung balik, tiga hari kalau bawa
motor. Sudah saya dipecat, saya pengangguran, saya
kumpulkan anak-anak nganggurnya, bekas-bekas
karyawan. Kita gak punya uang, pengangguran, gimana
caranya?, pas Huda pulang, saya curhat sama Huda. “Iki
pengangguran wong 4”, “Lho ayo buka, makanan enak
kok, ya ayo buka sendiri”, “Ayam bakar”, “Wah, nyaingin
dong. Iga bakar saja yuk.” Kita buat diskusi tempat dan
lainnya. Bulan pertama, kedua, ketiga, keempat, sepi.
Bulan 6 sepi. Ya ada pemasukan, tapi sedikit. Masuk
hampir bulan ke tujuh, pindah tempat ke Simpang Lima.
“Ada duit berapa kamu, Da?”, dirembuklah. Berdirilah
Dapoer Bistik, berdiri 3 tahun di Semarang. Launching
hari pertama, full pengunjung. Karena saya di rumah
makan pertama sudah banyak relasi. Kurang lebih begitu,
terus berinteraksi dengan Yayasan Prasasti Perdamaian
membantu untuk sewa tempat, DP alat-alat elektronik, dan
129
itu menjadi center di Semarang. Kemudian tahun kedua-
ketiga melirik di Solo, buka sampai sekarang. Memang di
handle Yayasan Prasasti Perdamaian, karena memang
berat mendirikan resto. Sewa mahal, SDM, tapi yang
termahal dalam hidup saya yang termahal dalam Dapoer
Bistik dan Yayasan Prasasti Perdamaian adalah ilmu”
(N3)
4. Membantu mantan narapidana kasus terorisme lainnya.
Setelah melaksanakan program Yayasan Prasasti
Perdamaian, beberapa dari mantan narapidana kasus terorisme
turut membantu mantan narapidana kasus terorisme yang lainnya.
Bantuan yang mereka lakukan sesuai dengan kapasitas masing-
masing. Sebagai seseorang yang mengetahui dengan jelas tentang
kondisi mantan narapidana kasus terorisme paska bebas dari
Lembaga Pemasyarakatan, Machmudi Hariono turut membantu
pembuatan SIM C yang dibutuhkan oleh mantan narapidana kasus
terorisme sebanyak 18 orang ke samsat. Selain itu, dia juga pernah
mengantarkan anak-anak mantan narapidana kasus terorisme
untuk menemui orang tuanya di Nusakambangan menggunakan
mobil. Hal yang sederhana, namun membekas bagi narapidana
terorisme.
“Saya sering membawa orang, pernah 18 orang ke samsat.
Buat SIM C”,
“Saya pernah bilang Pak Huda. Pak Huda, saya mau
ngajak anak-anak liburan ke Nusakambangan. Biar ketemu
Bapaknya. Terus dikasih uang bensin 500 ribu. Itu hanya
sekali setahun. Efektif, gak? Sangat efektif. Itu bisa
dilakukan perorangan”
5. Menghindar dan berdiam diri (tidak ingin terlibat lagi)
130
Tidak semua mantan narapidana teroris mau membuka diri
setelah bebas dari lapas, terdapat pula mantan narapidana kasus
terorisme yang menghindar dari masyarakat lama dan tidak ingin
terlibat lagi dengan kelompok teror. Echo Ibrahim mengganti
domisilinya agar baik mental anaknya tanpa ada stigma di
masyarakat dan menghindari fitnah dan asumsi yang mungkin
beredar di masyarakat.
“Saya waktu dulu, kejadiannya di Waru Jaya kelurahan
sana, Mekar Jaya juga, saya kan pindah, jadi gak ada yang
tahu. Jadi masyarakat rumah saya gak tahu karena saya
gak ketemu sama orang lama. Jadi saya gak tahu
masyarakat menerima atau tidak. Karena saya rasa bagus
buat anak kalau pindah. Menjaga perasaan anak. Biar gak
diomongin orang. Kalau yang lain-lain sih katanya
diomong-omongin. Tetangganya lagi, dirasanin juga. Saya
pikir perlu suasana baru.” (N2)
“Kalau sudah ketangkap itu sudah nafsi-nafsi, sudah
masing-masing. Di kelompok itu kalau sudah masuk lapas,
gak solidlah, masing-masing menyelamatkan diri. Kadang-
kadang supaya hukumannya tidak besar, jangan sebut
nama saya ya bang. Pada ketakutan juga. Karena sudah ke
gap, yasudahlah masing-masing saja. Itu sifatnya kita
keluar bubar juga masing-masing. sudah gak solidlah.
Kita juga menghindari hukum, takut ini, takut itu. Di dalam
belajarnya masing-masing saja.” (N2)
Pada poin ke 5, yaitu menghindar dan berdiam diri, selaras
dengan teori disengagement adalah pendekatan psikologis yang
mana bertujuan untuk mengungkapkan fenomena berubahnya
seseorang menjadi penyendiri dan hidup terpisah dari lingkungan
sosialnya. Cumming dan Henry menyusun teori ini berdasarkan
asumsi adanya hubungan saling mempengaruhi antara individu
dengan lingkungannya, maupun sebaliknya, kemudian
menafsirkan tentang penarikan diri seseorang terhadap
131
lingkungannya seiring dengan bertambahnya usia.139 Dalam
konteks terorisme, seorang mantan teroris dapat memilih untuk
menghindar dan menjauhkan diri dari kelompok terornya setelah
melewati pertimbangan yang matang. Melihat keluarga atau
melihat korban menyadarkan mereka bahwa aksi teror yang dulu
mereka lakukan bukanlah tindakan yang benar.
139Arlie Russel Hochschild. 1975. The Sociology of Feeling and
Emotion : Selected Possibilities Sociological Inquiry: 45 h 555
132
BAB VI
SIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan analisis dari hasil penelitian skripsi yang
penulis lakukan mengenai pola Pola Pembinaaan Mantan
Narapidana Kasus Terorisme melalui Program Disengagement di
Yayasan Prasasti Perdamaian Tebet Jakarta Selatan, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Pola Pembinaan Mantan Narapidana Kasus Terorisme di
Yayasan Prasasti Perdamaian
Pola pembinaan yang dilakukan oleh Yayasan Prasasti
Perdamaian kepada mantan narapidana kasus terorisme dimulai
dengan kunjungan yang berisi obrolan saat di Lembaga
Pemasyarakatan, kunjungan tersebut bersifat rutin, sejak di lapas
dilakukan identifikasi apa yang akan dilakukan mantan narapidana
kasus terorisme dan melaksanakan rencana tersebut. Pelaksanaan
program kemudian dilakukan yang harapannya adalah disengaged
dari kelompok teror yang sebelumnya diikuti mantan narapidana
kasus terorisme dengan pengalihan kegiatan-kegiatan yang positif
seperti wirausaha. Mengenai Jangka waktu pembinaan, informan
mendatangi Yayasan Prasasti Perdamaian dan memulai
pelaksanaan pembinaan dan melakukan program Yayasan Prasasti
Perdamaian. Pembinaan dilaksanakan paska menjalani hukuman
di Lembaga Pemasyarakatan. Pelaksanaan pembinaan yang
dilakukan oleh Yayasan Prasasti Perdamaian kepada mantan
narapidana kasus terorisme tanpa ada jangkauan waktu tertentu
133
dan membutuhkan waktu yang cukup lama, bisa mencapai 1-2
tahun untuk membangun trust-believe antara staf Yayasan Prasasti
Perdamaian dengan mantan Narapidana Kasus Terorisme.
Pendekatan yang dilakukan dalam pola pembinaan ini ada 3H,
yaitu Heart, Hand and Head
2. Dampak program disengagement yang dilakukan oleh
Yayasan Prasasti Perdamaian kepada mantan narapidana kasus
terorisme. Seperti halnya penamaan program disengagement,
tujuan program ini adalah untuk melepas seorang mantan
narapidana kasus terorisme dari kelompok radikal dan
membebaskannya dari aksi teror. Adapun dampak yang diberikan
oleh program ini kepada mantan narapidana adalah melunaknya
hasrat teror seorang mantan narapidana kasus terorisme, membuat
mantan narapidana kasus terorisme mandiri melalui modal usaha
yang diberikan oleh Yayasan Prasasti Perdamaian dan kemudian
membuka lapangan bisnis baru. Selain itu, program disengagement
membuat mantan narapidana kasus terorisme aktif membantu
program Yayasan Prasasti Perdamaian. Selanjutnya, mantan
narapidana kasus terorisme telah lebih siap untuk kembali ke
masyarakat, terciptanya lingkungan baru hingga mantan
narapidana kasus terorisme dapat mengembangkan interaksinya,
namun ada yang lebih memilih untuk menutup diri agar terbebas
dari topik atau hal yang bersinggungan dengan unsur terorisme.
Dampak yang terakhir yaitu membantu mantan narapidana kasus
terorisme lainnya yang baru bebas dan membutuhkan uluran
tangan.
134
B. Implikasi
Hasil dari penelitian ini dapat menjadi gambaran nyata
bahwa disengagement adalah salah satu kegiatan yang berperan
dalam menanggulangi kasus terorisme. Masyarakat dapat memberi
kesempatan kedua kepada kepada mantan narapidana kasus
terorisme dan dapat hidup layaknya orang pada umumnya tanpa
mendapatkan stigma di dalam masyarakat. Pemerintah,
Kementerian, dan BNPT lebih menindaklanjuti pelaksanaan
penanggulangan terorisme dengan mengidentifikasi penyebabnya.
Dan hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai
rujukan baik untuk literasi bagi mahasiswa dan untuk eksekusi
bagi Yayasan Prasasti Perdamaian untuk memberikan program
kepada mantan narapidana kasus terorisme dengan lebih baik.
C. Saran
Berdasarkan hasil penelian ini, peneliti memberikan saran
kepada pihak-pihak terkait yang didapat dari wawancara, yaitu:
1. Bagi BNPT yang memiliki fokus dalam menanggulangi
kasus terorisme, diharapkan mencanangkan program yang
menyentuh mantan narapidana kasus terorisme secara langsung.
Sehingga dapat terdeteksi akar permasalahan kasus terorisme.
Kasus perkasus juga perlu diterapkan menganalisis pembinaan.
2. Bagi Yayasan Prasasti Perdamaian
Penambahan kontroling keadaan mantan narapidana kasus
terorisme juga diperlukan.
3. Bagi pemerintah dalam hal ini adalah beberapa
kementerian yang bekerjasama dengan BNPT dalam
135
menanggulangi kasus terorisme, Kementerian Hukum dan HAM
seharusnya mengklasifikasikan kasus perkasus dalam hukuman
dengan identifikasi yang matang. Untuk Kementerian
Ketenagakerjaan, agar menyediakan lapangan pekerjaan bagi
mantan narapidana kasus terorisme, mereka yang telah bebas dari
Lembaga Pemasyarakatan mestinya mendapatkan pekerjaan yang
membuat kebutuhan mereka tercukupi tanpa harus kembali ke
kelompok teror
4. Bagi masyarakat yang menemui mantan narapidana kasus
terorisme, seharusnya mendukung mantan narapidana kasus
terorisme untuk dapat kembali dimasyarakat, tanpa menyebarkan
stigma-stigma negatif. Dan mempermudah proses administrasi
mereka karena bagaimanapun mereka adalah WNI yang
membutuhkan identitas untuk mengurus kehidupannya.
136
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi. Ideologi Pendidikan Islam Paradigma Humanisme
Teosentris. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2005.
A.M, Mangunhardjana. Pembinaan: Arti dan Metodenya.
Yogyakarta: Kanisisus, 1986.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Ilmiah: Suatu
Pendekatan Praktek. Jakarta:Bulan Bintang, 2003.
Al-Quran yang dikompilasi Naf’an Akhun. Al-Quran Terjemahan
Departemen Agama. Semarang: CV Toha Putra.
Balitbang Hukum dan HAM. Pembinaan Narapidana Teroris
dalam Upaya Deradikalisasi. Jakarta, 2016.
Bandura. Sosial Cognitive Theory of Personality. New York:
Academic Press, 1999.
Bjorgo, Tore, dan Horgan. 2008. Leaving Terrorism Behind:
Disengagement from Political Violence. New York: Taylor
& Francis, 2008.
Bungsin, Burhan. Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya. Jakarta:
Prenada Media Grup, 2007.
Departemen Agama. Pola Pembinaan Mahasiswa IAIN. Jakarta:
Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Direktorat
Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1983.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Depdiknas. Kecakapan Hidup. Pendidikan Kecakapan Hidup.
Jakarta: Depdiknas, 2003
137
Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Derakalisasi BNPT.
Anak Muda Cerdas Mencegah Terorism, 2016
Djelantik, Sukawarsini. Terorisme: Tinjauan Psiko-Politis, Peran
Media, Kemiskinan, dan Keamanan Nasional.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2010.
Fitriana, Saella. Upaya BNPT dalam Melaksanakan Program
Deradikalisasi di Indonesia. Journal of International
Relation Universitas Diponegoro, 2016.
Freire, Paul. Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang
Memanusiakan, dalam Omi Intan Naomi (ed), Menggugat
Pendidikan Fundamentalisme Konservatif Liberal-
Anarkis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualititatif: Teori dan
Praktik. PT Jakarta.: Bumi Aksara, 2013
Hamidi. Penelitian Kualitatif. Malang: UMM Press, 2010.
Hamidin. Wajah Baru Terorisme: Transformasi Jaringan,
Gerakan, dan Modus Kelompok Terorisme Domestik dan
Global. Bogor: Pusat Media Damai Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme, 2007.
Harahap, Syahrin. Upaya Kolektif Mencegah Radikalisme dan
Terorisme. Depok: Siraja, 2017.
Husman, Husaini. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi
Aksara, 2000.
Hochschild, Arlie Russel. The Sociology of Feeling and Emotion:
Selected Possibilities, 1975.
J, Horgan. Senjakala Ilmu Pengetahuan. (Penerjemah: Dindin
Solahudin). Bandung: Penerbit Nuansa, 2005.
138
Lawimatang. Hukum Penentensier Indonesia: Bandung: CV
Armico. Mas’ud, Abdurrahman. Menggagas Format
Pendidikan Nondikotomik. Yogyakarta: Gama Media,
1984.
Masyar, Ali. Gaya Indonesia Menghadapi Terorisme: Sebuah
Kritik Kebijakan Hukum Pidana Terorisme di Indonesia,
Bandung: Mandar Maju, 2009.
Muhaimin. Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Madrasah, dan
Perguruan Tinggi. Depok: Raja Grafindo Persada, 2005.
Mulyana, Dedy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rosda,
2001.Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Sudarsono. Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja. Jakarta: Bina
Aksara, 1989.
Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada dan Universitas
Pattimura Ambon. Penguatan, Sinkronisasi,
Harmonisasi, Integrasi Pelembagaan dan
Pembudayaan Pancasila dalam Rangka
Memperkokoh Kedaulatan Bangsa. Ambon, 31 Mei-01
Juni 2014
SB, Agus. Merintis Jalan Mencegah Terorisme (Sebuah Bunga
Rampai), Jakarta: Semarak Lautan Warna, 2014.
Subana, M. Dasar-dasar Penelitian Ilmiah. Bandung: Pustaka
Seti, 2005.
Sumardiana, Benny. Efektivitas Penanggulangan Ancaman
Penyelabaran Paham Ekstrim Kanan yang Memicu
139
Terorisme oleh POLRI dan BNPT RI. Seminar Nasional
Hukum Universitas Negeri Semarang, 2017.
Suryana. Metode Penelitian Model Praktis Penelitian Kuantitatif
dan Kualitatif. Universitas Padjajaran. 2010.
Usmita, Fakhri. Disengagement; Strategi Penanggulangan
Terorisme di Indonesia. Tesis Program Studi
Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia, 2012.
Widodo, Joanedi, Ismu Gunadi, Fifit Fitri Lutfianingsih. Kamus
Istilah Hukum Populer. Jakarta: Prenadamedia Group,
2016.
Zaidan, Muhammad Ali. Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme (Pendekatan Kebijakan Kriminal) Seminar
Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang, 2017.
JURNAL
F, Isnawan. Program Deradikalisasi Radikalisme dan Terorisme
Melalui Nilai–Nilai Luhur Pancasila. Jurnal Fikri,
2018.
Firdaus, Insan. Penempatan Narapidana Teroris di Lembaga
Pemasyarakatan. Jurnal Penelitaian Hukum De Jure, 2017.
ICSR. Prisons and Terrorism Radicalisation and De-
radicalosation in 15 Countries. King’s College London
United Kingdom, 2010.
Rahman, Musthafa. Humanisasi Sistem Pendidikan. Jurnal
Nadwah, 2009.
140
WEB
Andrie, Taufik. Deradikalisasi atau Disengagement; Kajian dan
Praktek dari Perspektif Civil Society. Dikutip dari
https://www/academia.edu/353333 /Deradikalisasi atau
Disengagement
Yayasan Prasasti Perdamaian, Programs Capacity Building
prasasti.org/programs/capacity-building-division/
Yayasan Prasasti Perdamaian, Programs Outreach Division,
https://prasasti.org/programs/outreach-division/
Yayasan Prasasti Perdamaian, Programs Research Division
https://prasasti.org/programs/research/
Yayasan Prasasti Perdamaian, Staffs https://prasasti.org/about/
zstaffs/
Yayasan Prasasti Perdamaian. Who We Are.
https://prasasti.org/about/
142
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bernama di bawah ini menyatakan sudah diwawancarai
oleh saudari Mutiah Robiah Al Adawiyah, Mahasiswi Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, saat ini sedang
melakukan penelitian di Yayasan Prasasti Perdamaian tentang
Pola Pembinaan Mantan Narapidana Kasus Terorisme di Yayasan
Prasasti Perdamaian, untuk memenuhi tugas akhir perkuliahan
yaitu skripsi guna memenuhi pernyataan memperoleh Gelar
Sarjana Sosial (S.Sos)
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ricky Rianto
Usia : 28 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Batu Tapak, Bogor
Dengan ini saya menyatakan bahwa jawaban ini sudah saya jawab
dalam keadaan sadar dan tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
Bogor, 28 Desember 2019
Yang Bersangkutan Peneliti
(................................) Mutiah Robiah Al Adawiyah
144
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bernama di bawah ini menyatakan sudah diwawancarai
oleh saudari Mutiah Robiah Al Adawiyah, Mahasiswi Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, saat ini sedang
melakukan penelitian di Yayasan Prasasti Perdamaian tentang
Pola Pembinaan Mantan Narapidana Kasus Terorisme di Yayasan
Prasasti Perdamaian, untuk memenuhi tugas akhir perkuliahan
yaitu skripsi guna memenuhi pernyataan memperoleh Gelar
Sarjana Sosial (S.Sos)
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Echo Ibrahim
Usia : 47 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Mekar Jaya, Depok
Dengan ini saya menyatakan bahwa jawaban ini sudah saya jawab
dalam keadaan sadar dan tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
Depok, 03 Januari 2020
Yang Bersangkutan Peneliti
(................................) Mutiah Robiah Al Adawiya
145
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bernama di bawah ini menyatakan sudah diwawancarai
oleh saudari Mutiah Robiah Al Adawiyah, Mahasiswi Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, saat ini sedang
melakukan penelitian di Yayasan Prasasti Perdamaian tentang
Pola Pembinaan Mantan Narapidana Kasus Terorisme di Yayasan
Prasasti Perdamaian, untuk memenuhi tugas akhir perkuliahan
yaitu skripsi guna memenuhi pernyataan memperoleh Gelar
Sarjana Sosial (S.Sos)
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Machmudi Hariyono
Usia : 43 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Taman Sri Rejeki Selatan, Semarang
Dengan ini saya menyatakan bahwa jawaban ini sudah saya jawab
dalam keadaan sadar dan tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
Semarang, 7 Januari 2020
Yang Bersangkutan Peneliti
(................................) Mutiah Robiah Al Adawiyah
Lampiran I
146
PEDOMAN WAWANCARA
A. Identitas Informan
1. Nama Riki Rianto
2. Jenis Kelamin Laki-laki
3. Usia 28 tahun
4. Latar Belakang
Pendidikan SMP Paket C
5. Lembaga
Pemasyarakatan Pondok Rajeg Cibinong
6. Kasus/Perkara Bom Bambu
7. Tahun Bebas 2014
8. Tahun
Bergabung
dengan YPP
2015
9. Program yang
diikuti YPP
Sociopreneurship (Pemberian
modal usaha)
1. Nama Echo Ibrahim
2. Jenis Kelamin Laki-laki
3. Usia 47 tahun
4. Latar Belakang
Pendidikan IKPN Yogyakarta.
5. Lembaga
Pemasyarakatan Nusakambangan
6. Kasus/Perkara Bom Bunuh diri Masjid al-Zikra
Cirebon
147
7. Tahun Bebas 2016
8. Tahun
Bergabung
dengan YPP
2016
9. Program yang
diikuti YPP
Sociopreneurship (Pemberian
modal usaha), Menjadi
narasumber, dan Pembuatan
Film bersama YPP
1. Nama Machmudi Hariono
2. Jenis Kelamin Laki-laki
3. Usia 43 tahun
4. Latar Belakang
Pendidikan
SMA Dua Jombang, dan UIN Wali
Songo Ponorogo
5. Lembaga
Pemasyarakatan Kedung Pane
6. Kasus/Perkara Bom Sri Rejeki
7. Tahun Bebas 2009
8. Tahun
Bergabung
dengan YPP
2010
9. Program yang
diikuti YPP
Sociopreneurship (Pemberian modal
usaha), Menjadi narasumber, dan
Pembuatan Film bersama YPP
148
B. Daftar Pertanyaan
1. Bagaimana anda memandang terorisme dan jihadis di
Indonesia?
2. Apa motif seseorang tergabung dengan kelompok
terorisme?
3. Kapan mulai tergabung dengan kelompok terorisme?
4. Menurut anda, siapa yang paling berperan dalam
menanggulangi terorisme di Indonesia?
5. Sudah efektifkah penanggulangan terorisme itu?
6. Apa yang harus pemerintah lakukan untuk isu terorisme?
7. Kekuatan apa yang dimiliki untuk menarik keluar Jihadis
tersebut?
8. Bagaimana tahu Yayasan Prasasti Perdamaian?
9. Mengapa memilih dibina Yayasan Prasasti Perdamaian?
10. Sudah berapa lama dibina Yayasan Prasasti Perdamaian?
11. Sejak kapan dibina oleh Yayasan Prasasti Perdamaian?
12. Apa saja bina yang dilakukan Yayasan Prasasti
Perdamaian kepada anda?
13. Apa dampak dari pembinaan tersebut?
14. Apa faktor pendukung dan kendala dari partisipasi
program Yayasan Prasasti Perdamaian?
15. Apa kendala untuk mengeluarkan diri dari kelompok
terorisme?
16. Apakah ada keberlanjutan setelah pembinaan Yayasan
Prasasti Perdamaian?
149
17. Apa program yang efektif untuk menanggulangi terorisme
menurut anda?
18. Apa harapan anda terhadap penanggulangan terorisme di
Indonesia?
150
C. Transkip Wawancara
1. Transkip Wawancara Staf Yayasan Prasasti
Perdamaian (Khariroh Maknunah, S.Sos)
Mutiah : Apakah sebelumnya Yayasan Prasasti
Perdamaian ini sudah pernah diteliti oleh
mahasiswa atau lembaga lain?
Khariroh : Sering. Yayasan Prasasti Perdamaian sering
mendapatkan tamu, menerima teman-teman
yang ingin melakukan research, dari teman-teman
mahasiswa tapi juga ada dari peneliti lain, baik itu
yang sifatnya komersil dari kelembagaan maupun
personal. Dari UIN Jakarta beberapa kali, bahkan
dari luar kota misalnya, dari jenjang mulai S1
sampai S3, dari dalam negeri maupun luar negeri,
ketika dia fokus di issue ini, biasanya, Yayasan
Prasasti Perdamaian diantaranya menjadi rujukan
untuk mereka melakukan penelitian.
Mutiah : Jadi sudah sering, ya?
Khariroh : Sering. Sering. Barengan kamu sekarang saja ada
beberapa yang penelitian.
Mutiah : Ada yang dari UIN Jakarta juga?
Khariroh : Ada yang dari S2 UI, S2 Brawijaya, ada juga
mahasiswa luar. Sering mahasiswa luar. Peneliti
luar.
Mutiah : Yayasan ini didirikan oleh Bapak Noor Huda
Ismail, ingin mendirikan karena pengalaman
151
pribadi. Diawal pendirian itu, berapa staf yang
terlibat?
Khariroh : Sebenarnya, Yayasan Prasasti Perdamaian
berdiri memang karena inisiatif Mas Huda. Dari
pengalaman Mas Huda personal. Sejak awal, tidak
langsung terbangun staf, karena dibangun asas
pertemanan, jejaring, tidak banyak yang terlibat
orang-orangnya yang memulai pekerjaan itu. Ada
Mas Huda (Noor Huda Ismail), Mas Taufik
Andrie (Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti
Perdamaian) sejak awal itu. Dari tim kecil itu,
mungkin dibantu sekitar 3-5 orang, termasuk Mas
Huda. Tapi itu memang belum tertata secara
kelembagaan karena memang diawali dengan hal-
hal seperti bantuan ke mantan napiter, banyak
kunjungan ke lapas, memperkenalkan napiter ke
lapas dengan orang-orang baru agar agar mereka
melakukan pekerjaan, membantu dari segi
finansial dan seterusnya. Itu memang dilakukan
sejak lama bersama teman-teman ditarik untuk
melakukan pekerjaan ini termasuk Mas Taufik.
Sejak tim terbangun, Yayasan Prasasti
Perdamaian tidak pernah memiliki tim yang besar
sebenarnya. Sekitar 10 orang ini kan sebenarnya
kita hanya tim kecil. Yang di Jakarta ada Mas
Taufik, saya (Mbak Nuna), Mas Rizki. Ada 10
orang termasuk yang di Solo.
152
Mutiah : Bagaimana background pendidikan dari staf
Yayasan Prasasti Perdamaian?
Khariroh : Sebenarnya Yayasan Prasasti Perdamaian tidak
ada spesifikasi khusus atau segala macam. Mas
Huda sendiri pendidikan awalnya adalah Sastra
Arab UIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta.
Kemudian dia double degree di UGM di
Komunikasi. Terus S2 di Inggris tentang
Feminism, dan S3 International Security. Teman-
teman yang lain ada yang dari HI, saya (Mbak
Nuna)dari Komunikasi. Beragam. Karena ini
pekerjaan yang humanis, pekerjaan sosial, yang
bisa dikerjakan siapapun
Mutiah : Berbagai program telah dijalankan. Proses
mendampingi napiter itu seperti apa? Diawali
dengan hal apa?
Khariroh : Ini terkait dengan program Yayasan Prasasti
Perdamaian. Yayasan Prasasti Perdamaian punya
program pendampingan. Pekerjaan awal ketika
Yayasan Prasasti Perdamaian mulai dibentuk
karena itu berawal dari pengalaman pribadi
Mas Huda untuk mendampingi orang yang terlibat
dalam aksi terorisme. Berawal dari Mas Huda
ketemu temannya Mubarok dan seterusnya.
Setelah itu, secara kelembagaan terbentuk ada
program-program yang diskemakan, dikonsepkan,
selain itu ada juga program Capacity Building dan
153
research. Nah, spesifikasi di program
pendampingan, bagaimana proses merangkulnya
yaitu dimulai dengan Yayasan Prasasti
Perdamaian membuka komunikasi dengan
mereka. Ketika mereka masih di lapas, secara
teknis yang kita lakukan adalah mengunjungi
mereka secara regular di lapas. Itu biasanya kita
lakukan bukan dengan secara formal. Formal
dalam artian melalui petugas atau minta izin
segala macam, tapi kita mengunjungi mereka
seperti halnya kunjungan biasa pada umumnya di
lapas. Itu yang secara umum kita lakukan sebagai
pendekatan. Intinya adalah komunikasi secara
kontinu dan regular.
Mutiah : Lantas, bagaimana mereka memutuskan untuk
terlibat dengan Yayasan Prasasti Perdamaian?
Khariroh : Seperti yang saya bilang, program Yayasan
Prasasti Perdamaian tidak seperti program
santunan atau apa. Ini adalah program sosial,
program humanis. Yang berada di ranah
keamanan. Jadi memang kadang-kadang Yayasan
Prasasti Perdamaian menggunakan cara-cara semi
intelijen dalam melakukan pekerjaan ini, artinya
tidak selamanya lantas dari awal membuka kami
dari Yayasan Prasasti Perdamaian ini program
kami. Karena orang-orang ini adalah orang-orang
yang eksklusif, kemudian juga terkenal memiliki
154
pemahaman yang berbeda dengan orang pada
umumnya, dan ketika ada orang baru yang datang
ada potensi resisten atau tidak kooperatif, maka
yang dilakukan adalah bagaimana kita
memperkenalkan diri kepada mereka adalah
bukan orang mengancam. Ketika kita mempunyai
konsern tertentu di isu ini, maka potensinya besar
untuk resisten. Dan itu menggunakan cara yang
mungkin jika dibahasakan adalah silence, yaitu
tidak membuka identitas dari Yayasan Prasasti
Perdamaian. Dan biasanya tidak ada cara secara
formal untuk mengajak kepada program kita. Kita
mendampingi. Atau juga by request. Biasanya
mereka sudah mengenal Mas Huda, sudah
mengenal Mas Taufik.
Mutiah : Apa saja bentuk kerjasama Yayasan Prasasti
Perdamaian dengan pihak lain?
Khariroh : Banyak. Yayasan Prasasti Perdamaian punya
banyak kerjasama, misalnya dengan Direktoral
Jenderal Kemasyarakatan, di bawah Kementerian
Hukum dan HAM Yayasan Prasasti Perdamaian
punya perjanjian kerjasama sejak 2014. Dan
kerjasama ini sudah dua kali perpanjangan.
Diantaranya adalah kerja-kerja Yayasan Prasasti
Perdamaian yang ada di bawah lapas. Lembaga
Pemasyarakatan baik Lapas maupun Bapas. Lapas
itu Lembaga Pemasyarakatan dan Bapas itu Balai
155
Pemasyarakatan. Itu adalah kerjasamanya.
Diantaranya, aktifitas pendampingan di dalam
lapas ini. Meskipun kadang di lapangan kita
menjalankannya tanpa prosedural formal, tidak
melaui petugas dan pakai dinas segala macam
lewat kunjungan biasa, tapi, secara program itu
terdaftar kerjasama bersama Direktoral Jenderal
Kemasyarakatan. Kemudian kerjasama dengan
Akademi Pendidikan Kemasyarakatan (AKIP),
kami punya kerjasama untuk menjadi dosen tamu,
misalnya Mas Taufik memberikan mata kuliah
khusus tentang terorisme. Ada yang dikerjakan
bersama. Itu kayak gitu. Itu diantara bentuk
kerjasamanya yang dilakukan oleh Yayasan
Prasasti Perdamaian.
Mutiah : Metode yang digunakan untuk mendampingi itu
seperti apa?
Khariroh : Komunikasi diawal, melakukan kunjungan rutin,
komunikasi kontinu, pendampingan secara rutin,
ada juga trauma healing, diskusi, ada pelatihan-
pelatihan kecil, kemudian peminjaman modal
usaha, itu sebagai pintu masuk kita melakukan
upaya disengagement. Mereka dari kelompok dan
jaringan.
Mutiah : Untuk skala pelaksanaan programnya seperti
apa? Apakah menyesuaikan situasi kondisi?
156
Khariroh : Tergantung situasi dan kondisi. Memang tidak
bisa seperti pengajian seperti hari Kamis, jadi
tergantung situasi dan kondisi.
Mutiah : Apakah ada seorang napiter yang dibina bukan
berasal dari lapas?
Khariroh : Ada. Beberapa dampingan Yayasan Prasasti
Perdamaian dari awal ada beberapa yang kita
dampingi ketika mereka sudah keluar. Termasuk
bukan hanya untuk mantan narapidana terorisnya,
tapi ada juga keluarga narapidana teroris termasuk
istri dan anaknya. Di daerah Cisauk dia di
dampingi setelah bebas, wirausaha, yang
dikendalikan oleh istrinya. Tidak hanya ke mantan
teroris, tapi juga ke istri dan anaknya.
Mutiah : Ketika mendampingi teroris, apakah ada
penggolongan?
Khariroh : Sebenarnya Yayasan Prasasti Perdamaian tidak
ada spesifikasi untuk mantan narapidana teroris.
Dalam artian tidak ada penggolongan ini baru
masuk, ini tidak. Biasanya by request, dan
biasanya ada hal-hal yang menurut Yayasan
Prasasti Perdamaian itu penting untuk kita
dampingi. Misalnya mereka sudah kooperatif
untuk didampingi sejak di lapas. Tapi, itu ada
penggolongan lagi, kepada mantan narapidana
teroris dan anak yang terlibat dengan teroris, ada
perempuan yang terlibat dengan teroris. Tapi
157
untuk mantan narapidana teroris tidak ada
spesifikasi khusus.
Mutiah : Dari orang-orang yang pernah didampingi
(mantan narapidana teroris), apakah mereka turut
membantu (narapidana teroris baru) di proses
selanjutnya?
Khariroh : Ada beberapa yang seperti itu, ada yang tidak.
Karena memang pendampingan ini seperti
peminjaman modal, pelatihan wirausaha, trauma
healing, pendekatan emosional, itu hanya metode
saja supaya kita bisa masuk kepada mereka secara
dalam dan mereka bisa disengage melalui
program-program ini dari kelompoknya. Dan
sekian yang kita dampingi, sebagian besar dari
mereka tidak lagi terlibat, karena mereka sudah
beraktifitas pada umumnya, tapi memang, tidak
semua dari mereka mau melakukan hal serupa
kepada teman-temannya. Ada berbagai faktor.
Misalkan, faktor dia takut diserang balik oleh
teman-temannya. Dan mereka sudah tidak mau
berurusan dengan konteks ini. Tapi ada juga yang
turut membantu. Misalnya kami punya
dampingan, sejak awal Yayasan Prasasti
Perdamaian di Semarang, sampai sekarang masih
melakukan beberapa hal pekerjaan Yayasan
Prasasti Perdamaian. Jadi ada, tapi tidak semua.
158
Mutiah : Saat pendampingan, apa yang disampaikan?
Materi-materinya?
Khariroh : Caranya tidak formal. Tidak sengaja
mengkonsepkan secara khusus. Kita menghindari
itu banget sebenarnya. Itu nantinya tidak
membangun kedekatan emosional yang kuat atau
trust building untuk masing-masing. Sedangkan
untuk kita bisa masuk ke seseorang, dalam
konteks ingin melakukan perubahan, mereka
dalam hal perilaku maupun pegangan, harus tahu
betul, harus tahu dalam. Tapi juga untuk itu juga
kadang-kadang kita lakukan. Diskusi tematik itu
kadang-kadang kita lakukan sesuai konteks. Kita
bawakan buku ke mereka, dan mereka kita
tawarkan, “tertarik tidak untuk baca?”. Setelah itu
kita kasih selang waktu baca dan setelah itu kita
diskusi. Itu contoh pembicaraan tematik. Nah
bukunya tentang apa? Yayasan Prasasti
Perdamaian tidak pernah memaksakan bahwa
buku itu tentang agama atau tentang jihad. Karena
view Yayasan Prasasti Perdamaian adalah bukan
mendekatan agama. Tapi menggunakan
pendekatan sosial, pendekatan humanis, kita
mencoba menawarkan alternatif pengetahuan baru
bagi mereka. Apapun pengetahuan itu tidak hanya
dibatasi oleh pengetahuan agama, wawasan
kebangsaan, misalnya. Karena orang-orang pada
159
umumnya beranggapan bahwa teroris itu
bermasalah dalam wawasan beragama dan
wawasan kebangsaan. Yayasan Prasasti
Perdamaian tidak pernah menggunakan cara-cara
seperti itu.
Mutiah : Lebih ke kedekatan masing-masing?
Khariroh : Iya, itu yang kita bangun. Kita ingin menjadi
pembisik yang baik bagi mereka.
Mutiah : Untuk yang mendampingi itu, 10 staf tadi?
Khariroh : Tidak. Itu dibagi-bagi. Mas Taufik Andrie
sebagai direktur utama, Mas Reski Maulana
sebagai managing director, Mbak Anita di di
manajemen keuangan. Mbak Anita punya dua tim
di keuangan dan administrasi, kemudian di waka
pendampingan ada saya (Mbak Nuna). Dulu Mas
Taufik dan Mas Huda yang melakukan
pendampingan. Dan ada beberapa staf yang
melakukan pendampingan. Tapi saat ini saya.
Yang lain ada yang di research, capacity building.
Mutiah : Bagaimana kondisi mantan narapidana teroris
setelah mendapatkan pendampingan?
Khariroh : Berbagai macam. Dia aktif untuk melakukan
program-program Yayasan Prasasti Perdamaian,
kemudian ada yang dia sudah kembali ke
masyarakat, pada umumnya kembali ke
masyarakat. Ada yang bekerja seperti pada
umumnya, ada juga yang melakukan aktifitas
160
untukm membantu narapidana teroris, itu dia buat
semacam lembaga, yayasan juga. Dia ingin
mewadahi teman-teman sesama mantan
narapidana teroris yang ada di sekitar Aceh dan
Medan. Ada juga di Lamongan, Solo. Itu
diantaranya yang kita dampingi. Ada juga yang
jadi silence person. Yang penting mereka gak
terlibat lagi, gak mengulangi apa yang dilakukan
lagi, kembali bekerja, kembali bersama keluarga.
Seperti itu.
Mutiah : Kendala saat melakukan pendampingan kepada
mantan narapidana teroris itu seperti apa?
Khariroh : Kendala secara program, banyak sih. Dari mulai
yang kecil sampai yang besar. Resiko, tapi juga
bukan menjadi kendala dan menjadikan program
ini berhenti. Tapi itu salah satu bentuk, atau
kendala yang bisa diatasi. Spesifiknya misalnya
kendala orang yang kita dampingi berpotensi tidak
kooperatif. Respon awal yang mereka berikan
kepada Yayasan Prasasti Perdamaian yang
menemui mereka itu dingin, kurang bagus. Atau
bahkan ditolak. Ada anak yang gak mau ketemu.
Kemudian ada beberapa resiko ancaman, tapi itu
resiko, atau kendala yang lain, ketika kita sudah
dekat dengan mereka, dan mereka belum bisa
mandiri, terkadang Yayasan Prasasti Perdamaian
tidak bisa mengcover seluruh kebutuhan mereka,
161
dan kendalanya adalah Yayasan Prasasti
Perdamaian belum bisa menjadi penghubung atau
penghatar yang ideal bagi mereka untuk kembali
ke masyarakat. Hal simplenya adalah pekerjaan
yang khusus kita sediakan kepada mereka, kita
hanya sebagai penghubung, kadang kita
hubungkan dengan private sector, yang akan kita
pekerjakan, tidak bertahan lama. Atau kadang
solusi yang berikan kepada mereka tidak tepat.
Meskipun itu sudah melalui proses assesment atau
pencarian. Identifikasi, dia maunya apa, bekerja
apa setelah dari lapas, setelah bebas bekerja
sebagai apa. Kadang wirausaha memang menjadi
pilihan, yang mereka tepat. Namun ketika
dijalankan, tidak mudah. Melempem juga
mentalnya. Itu kendala juga. Atau juga misalnya,
program ini tidak bisa kita programkan seperti
program baksos yang satu bulan, atau misalnya
capacity building yang dilakukan dua kali tiga
kali. Ini adalah program panjang untuk kita
membangun trust building. Untuk waktu diterima
saja, saya dengan dampingan saya butuh waktu
satu tahun sampai dua tahun untuk kita bisa dekat.
Juga terkendala dengan waktu, kita harus
melakukan pekerjaan lain, kita dampingi belum
selesai sudah ada penangkapan baru, sudah ada
narapidana-narapidana baru, atau orang-orang
162
yang terlibat kasus terorisme. Yayasan Prasasti
Perdamaian paling bisa untuk mendampingi 10
atau 20. Tapi di didalam lapas, ratusan orang, yang
belum disidangkan juga ratusan orang.
Mutiah : Faktor pendukung Yayasan Prasasti Perdamaian
untuk melakukan program terkait pendampingan
mantan terorisme?
Khariroh : Yang mendukung adalah kerjasama dari lapas,
direktorat jenderal kemasyarakatan, dibawah
Kementerian Hukum dan HAM, tim yang solid,
tim yang mendukung, rekan-rekan di Densus,
rekan-rekan di lembaga terkait, nah termasuk juga
dukungan dari keluarga mereka. Karena Yayasan
Prasasti Perdamaian tidak hanya melakukan
approach atau pendampingan mantan narapidana
terorisnya tapi juga dengan keluarga mantan
narapidana teroris. Minimal istrinya, anaknya,
orang tuanya juga. Spirit dari mereka itu yang
menjadikan kekuatan Yayasan Prasasti
Perdamaian untuk melakukan program jangka
panjang itu.
Mutiah : Untuk mantan narapidana teroris yang
dinyatakan terlepas dari Yayasan Prasasti
Perdamaian itu seperti apa?
Khariroh : Yayasan Prasasti Perdamaian belum berani
menentukan indikator mereka sudah layak lepas
dan seterusnya. Satu sisi secara program, misalnya
163
di program kewirausahaan ada jangka waktunya,
tapi untuk komunikasi, untuk controling, tetap kita
harus jalankan, kita jalin. Dari 2008 sampai
sekarang, masih banyak yang komunikasi dan
evaluasi. Karena perubahan perilaku yang kita
sasar pertama kali dalam tujuan disengagement
mantan narapidana teroris tidak bisa diukur sekali
ukur. Misalnya kita sudah mendampingi selama
setahun, hari ini kita lihat, bagaimana perubahan
perilakunya. Betul hari ini kamu bisa berubah
perilaku kamu, tapi besok kamu bisa berubah lagi.
Artinya, melakukan evaluasinya itu masih
berjalan. Jadi tetap kita lakukan evaluasi dan
monitoring, meskipun spesifik program tidak kita
kasih seperti trauma healing sifatnya demikian.
Kalau anak-anak yang kita dampingi dari
narapidana teroris ada lima anak kita dampingi di
lapas, setelah bebas, kita dampingi reintegrasi,
Yayasan Prasasti Perdamaian melakukan kontrol
dan komunikasi, tapi secara program kita coba
integrasikan dengan orang tua, pemerintah daerah,
lembaga seperti Yayasan Prasasti Perdamaian di
daerahnya untuk meneruskan program Yayasan
Prasasti Perdamaian.
Mutiah : Berarti, tetap ada monitoring dan evaluasi?
Khariroh : Iya. Yang jelas adalah komunikasi yang harus
kita jaga.
164
Mutiah : Bentuk evaluasinya seperti apa?
Khariroh : Evaluasi bentuknya internal. Kalau monitoring
misalnya, “apa aktifitas dia saat ini?” “dengan
siapa saja mereka berkomunikasi?” “Apa mereka
masih aktif di jaringannya?” “apa masih ikut
pengajiannya atau enggak?”, “Oh atau sudah ikut
pengajian lain seperti NU, oh berarti aman”, “Atau
dia menikah, menikahnya dengan siapa? Orang
jaringan?”, “seberapa jauh pengaruh istrinya
terhadap dia? Apakah istrinya malah mendukung
atau ngomporin?”, itu yang kita pantau. Evaluasi,
tentu evaluasi untuk internal Yayasan Prasasti
Perdamaian. Oh ternyata selama ini pola
komunikasi yang kita terapkan kepada mereka
kurang tepat, untuk menghadapi satu orang
dengan orang lainnya itu berbeda. Tidak semua
kita samakan. Kadang ada orang yang suka
berkomunikasi dengan humor atau bercanda, ada
juga yang tidak suka dan mengobrol harus dengan
serius. Itu evaluasi-evaluasinya. Termasuk
program lain, pendampingan wirausaha, kita
sudah melakukan pelatihan bagi mereka, dan kita
beri mereka kesempatan untuk mengaplikasikan
pelatihan itu dalam bentuk pekerjaan atau usaha
real. Setelah itu kita dampingi mereka. setelah itu
kita evaluasi lagi, kok gak dapat modal? Seperti
itu. Itu di internal Yayasan Prasasti Perdamaian.
165
Mutiah : Harapan staf Yayasan Prasasti Perdamaian untuk
narapidana terorisme yang telah didampingi?
Khariroh : Harapan akan bisa kembali ke masyarakat.
Mereka punya kesempatan kedua untuk hidup
bersama masyrakat. Mimpi Yayasan Prasasti
Perdamaian sederhana, untuk mendampingi
mereka, mereka berhak mendapatkan kesempatan
kedua hidup kembali di masyarakat bersama
keluarga mereka, setelah mereka mendapatkan
atau menjalani fase yang tidak dialami orang pada
umumnya yaitu tindak pidana, terlebih tindak
pidana terorisme, yang penuh dengan stigma,
tentu bukan hal yang mudah. Itu mimpi Yayasan
Prasasti Perdamaian. Mereka bisa lepas atau
disengage dari kelompoknya. Mereka bisa hidup
bersama keluarga yang baik. menjadi warga
negara yang baik. Kalau laki-laki sebagai kepala
keluarga yang baik, tidak lagi terlibat dalam aksi
teror, tidak terlibat dalam jaringannya. Ya, mimpi-
mimpi standar. Tapi yang jelas mimpi Yayasan
Prasasti Perdamaian adalah kita berharap mereka
bisa hidup bersama masyarakat. Makanya,
Yayasan Prasasti Perdamaian adalah jembatan
tanpa berprasangka. Kalau kita berprasangka, kita
tidak akan bisa terus membantu mereka.
memberikan kesempatan kedua mereka hidup di
masyarakat.
166
2. TRANSKIP WAWANCARA DENGAN RIKI
RIANTO
Mutiah : Bagaimana awal tergabung dengan kelompok
teroris?
Riki : Awalnya gak tahu apapun. Awalnya sering
nongkrong sama Hendi. Ketua yayasan yang
kemarin nongkong dan kumpul di rumah dia. Dia
kuliah di UIN Jakarta. Terus datanglah Kang Pepi.
Mereka kuliah di UIN. Kalau Hendi jurusan
Filsafat. Ane dikasih lihat video-video tuh tentang
jihad di Iraq di Afghanistan. Ane kan masih muda,
dikasih video-video kayak gitu. Wih. Seru juga
nih. Nah yang kayak gini bener. Ayo kita lawan
negara. Namanya juga anak muda, jadi semangat-
semangatnya. Gak tahu apa-apa. Ngaji juga belum
bisa. Tahu sendiri kalau orang kampung. Main
kesana-kesini. Gak tahu apa-apa. Paling ngaji
waktu kecil. Nah, terus diadakan pengajian. Ane
heran tuh. Bahasa Arab ada pegonnya. Disitu ane
diisi dengan ayat-ayat tentang jihad dan perang
semua. Dulu dia ngajak buat melawan negara.
Lama-kelamaan, sudah ngaji berapa bulan,”
datanglah Kang Pepi ini.
Yang Bersangkutan,
167
Datang ke tempat Hendi itu. Dia datang sudah
bawa-bawa bahan. Kan awalnya bom buku itu.
Ada apa ini buku disobek-sobekin. Terus disuruh
belanja ini-itu. Pas ane tanya, “ini buat apa,
Kang?” dia jawab “buat hancurin negara
Mutiah : Berarti emang gak tahu apa-apa, Mas?
Riki : Iya, gak tahu apa-apa. Tapi lama-kelamaan juga
tahu. Oh jadi ini yang disebut media sebagai
teroris itu.Perasaan takut sih ada. Tapi gak enak
buat nolaknya. Soalnya Hendi sama Kang Pepi itu
sudah kayak kakak ane. Dia baik banget sama ane.
Sampai ane susah nolaknya. Kalau dia minta ini, ya
sudah,ane turutin. Ayo bantu ini, ayo siap.
Perjalanan awalnya kayak gitu dulu.
Mutiah : Berawal dari ajakan?
Riki : Iya. Sempet ikut pengajian juga. Pengajian
diadakan di tempat Hendi. Dia baru bebas
kemarin. Baru dua tahun. Sekarang nunggu Kang
Pepi. Dia masih ditahan.
Mutiah : Itu satu kasus sama mas?
Yang Bersangkutan,
168
Riki : Iya, itu satu perkara. Kan ada empat orang yang
ketahuan. Ada Adi Guntur, Hendi, Saya, sama
Fajar Sekarang Fajar sudah kerja dia. Tapi dia
gak ikut di YPP ini. Tapi Pak Khoirul kenal
sama Ade Guntur. Ane awalnya tahu YPP dari
Hendi. Malah dia yang gak ikut program ini. Oh
iya, dulu Pak Khoirul itu ngajak ke tempat temen-
temen. Dulu nyarinya kalau gak salah tujuh atau
sepuluh orang yang baru bebas. Ane kenalin deh.
Tapi Pak Khoirul pesen juga. Jangan yang terlalu
ekstrim ya. Nanti saya diapa-apain.
Mutiah : Ada yang susah untuk berubah (Terlalu ekstrim),
ya mas?
Riki : Iya. Ada juga teman perkara ane yang tinggalnya
di Subang Tapi ane sekarang lost contact sama
dia. Dulu satu kamar di Polda Metro Jaya. Satu
tahun delapan bulan. Sidang saja 1 tahun 8 bulan
baru vonis, mbak. Baru ketok palu. Setelah vonis
baru dipindah di Pondok Rajeg, Cibinong. Di
Cibinong nunggu sisa, 3 tahun 6 bulan. Oh iya, YPP
biasanya dikasih kertas. Nulis sendiri. Nulis apa
gitu. Dulu juga ketemuan disini.
Yang Bersangkutan,
169
Mutiah :Jadi, motif mas karena melihat jihad sebagai
heroisme?, apakah ada faktor lain?
Riki : Soalnya masih 19 tahun. Masih muda. Cuma
karena ketutupan aja enggak sadar. Berandallah
saya dulu. Pas ane masuk tuh, banyak juga yang
lebih berandal dari ane. Ada yang preman benerlah
dia. Kebanyakan mantan preman yang ikhwan-
ikhwan itu. Ane juga heran, preman, bertato. Tapi
kalau sudah ketemu gitu, asik-asik semua. Gak ada
perasaan lebih tua lebih muda. Campur baur.. Iya
solid. Pas mulai pecahnya itu pas mulai ada ISIS itu.
Sampai di LP itu juga pecah. Berantem. Pukul-
pukulan, bahkan bunuh-bunuhan kalau bisa. Ngeri.
Awalnya alhamdulillah, keluar juga. Lolos.
Belum lama ane keluar. Lucu emang perjalanannya.
Isi-isi pesantren gitu gak ada. Jadi banyak tahu di
dalem. Banyak belajar di dalem.,
Mutiah : Kapan didampingi oleh YPP? Dan bagaimana
prosesnya?
Yang Bersangkutan,
170
Riki : Kira-kira 2015an. Pertamanya ane dikasih bentuk
pinjaman.Tapi ditekanin lagi sama dia, kalau
pinjaman itu kan harus balikin. Nah kalau ini,
kalau ada, ya balikin. Kalau gak ada, ya jangan
dipaksa. Soalnya ini uang kesejahteraan
ikhwan-ikhwan yang lain juga. Kalau misalnya ane
ganti buat ikhwan yang ini, dipakai ikhwan yang
lain. Jadi berputar uang ini. Tapi sampai sekarang
ane belum bisa ganti. Itu usaha bebek itu yang
kandas belum bisa saya ganti. Prosesnya, awal
pemodalan, ane dapat 10 juta. Sekitar tiga tahunan
yang lalu. Dulu ada tanda tangan di atas materai
sama Pak Khoirul. Ane buat usaha bebek sampai 3
periode. Tapi bebek kandas karena kandang bukan
milik ane.
Mutiah : Itu bebek apa mas? Dimana usahanya?
Riki : Bebek petelur. Waktu itu di Kampung tapak.
Sekarang ganti usaha ikan hias. Di sana juga. Usaha
ikan hias dibantu sam wakadensus dari bangunan
sampai peralatan.
Mutiah : Apa saja pendampingan yang dilakukan YPP
selain peminjaman modal
Yang Bersangkutan,
171
Riki : Cuma peminjaman modal. Tapi gak ada
pelatihannya. Kita dikasih modal tapi gak ada
pelatihan, paling kontrol, kontrol, kontrol. Kita kan
gak tahu.
Mutiah : Berarti kurang pengarahan mungkin.
Riki : Pengarahan. Dari BNPT juga gak ada.
Mutiah : Masih ada kontroling?
Riki : Kalau setahun ini sudah tidak. Dulu kalau datang,
sekali datang bisa empat orang.
Mutiah : Apa yang perlu ditingkatkan oleh BNPT?
Riki : Lepas banget. Kurang pengarahan.
Mutiah : Apa kendala mengeluarkan diri dari kelompok
teror?
Riki : Susah banget buat meyakinkan di masyarakat.
Sampai sekarang masih ada yang gak senang sama
ane. Kebanyakan itu ustadz-ustadz yang ada di
kampung. Tapi ane gak ambil pusing. Cuek saja.
Toh kita kan mau bener. Dulu kan kita
ibaratnya juga korban. Saya saja korban. Kalau
saya nanggepinya gitu. Kenapa kalian mikirin saya.
Kadang-kadang aneh-aneh juga ucapannya.
Yang Bersangkutan,
172
Kadang-kadang ane tinggal pergi saja. Proses
keluar dari lapas juga bingung mau ngapain. Kerja
belum ada kerjaan. Teman-teman gak ada yang
ngunjungin lagi. Sekarang alhamdulillah, diusaha
ikan yang sekarang, bikin organisasi ane. Dari
kelompok tani, ane juga jadi penggebraknya juga.
Kita bikin kelompok buat bikin proposal,
nyari dana buat ke desa. Kita lagi nyari-nyari dana,
Mbak. Buat kesejahteraan masyarakat.
Alhamdulillah. Di desa juga kepala desanya sudah
nerima. Sudah bisa bergabung dengan teman-teman
yang dulu, gak ketakutan.
Mutiah : Untuk rencana bisnis? Menentukan sendiri atau
nentuin dan menyerahkan rekomendasi?
Riki : Mengajukan dulu. Pak Huda bilang, “Nanti mau
ada ini, masnya mau nerima, gak?” “Ya mau
saja, Pak.” “Nah, sekarang dicatet, mau bisnis
apa, usaha apa, dicatat mas. Nanti datanya kasih ke
saya. Nanti dananya biar dicairkan dari atas”.
Yang Bersangkutan,
173
Gak lama, paling dua bulan,Pak Khoirul ngabarin
lagi, “Mas, cair dananya”, “Oke pak”. Bentuknya
bukan barang, tapi uang. Cuma didampingi sama
Pak Khoirul waktu itu. Ya biar gak disalahgunain
sih.
Mutiah : Yang paling berperan menanggulangi teroris
siapa?
Riki : Masyarakat sih. Lingkungan kita sebenarnya. Ya
sebenarnya lingkungan itulah. Nah, kalau lebih
bagus lagi kalau ingin, kalau ada narapidana teroris
ditahan, lebih bagus lagi kalau keluarganya yang
mau mengunjungi dipermudah. Kadang-kadangkan
ada yang keluarga dengan ekonomi yang kurang,
kan ya. Nah. Kalau narapidana yang di dalem,
punya keluarga, dikunjungi keluarga itu senang
banget. Insyaallah itu buat meluluhkan hati dia.
Yang tadinya keras bisa jadi lunak. Ampuh banget
itu. Ketika keluar, di masyarakat ini. Di lingkungan
kita ini sih kadang-kadang susah juga. Sekarang
alhamdulillah dari BNPT dari Wakadensus
sudah mau datang ke desa-desa. Ke desa-desa
jelasin bisa ikut ini loh.
Yang Bersangkutan,
174
Mutiah : Apa yang perlu ditingkatkan dari peran
pemerintah (BNPT) dalam menanggulangi
terorisme?
Riki : BNPT itu ngasih bimbingan, sudah. Biasanya kita
di suruh nginep di hotel tiga sampe lima hari.
Sudah seperti itu. Seperti mau dokumentasi dan
lebih kayak publikasi. Kalau sampai menyentuh
hati itu belum. Yang ane rasakan malah
Wakadensus,Pak Martinus Hukom. Alhamdulillah
dia pembina yayasan kita sih. Dari awal sampai
sekarang, Pak Martinus yang dukung buat yayasan
kita. Orang Kristiani. Sekarang lagi di Palestine
baru berangkat. Asik orangnya. Itu orangnya
nyentuh. Turun ke lapangan. Turun itu lebih ngena.
Daripada seminar.
Mutiah : Tadi masnya bilang, motif mas tergabung dalam
kelompok teroris itu karena heroik dan terlihat
keren. Apa ada motif selain itu bagi teroris pada
umumnya?
Riki : Kalau ane awalnya ya karena keren. Tapi lama-
kelamaan tahu waktu di dalam. Oh, kayak gini. Tapi
kita gak bisa. Di Indonesia gak bisa. Mau dari kita
bagaimanapun tetap gak bisa.
Yang Bersangkutan,
175
Kalau presiden mau ngirim kita kesana, ane mau-
mau saja. Biar dikirim melampiasin kemauan kita
ini. Tapi kan nyatanya gak boleh. Disini gak boleh.
Kan bingung kitanya. Kita semua ikhwan-ikhwan
pada kebingungan disitu. Semua yang sudah
keluar dan dia baik di mata masyarakat dan di mata
BNPT. Hati itu masih ada kadang-kadang.
Mutiah : Kalau masnya di perannya apa dulu?
Riki : Kalau ane di bom buku ini perannya membantu.
Mutiah : Kalau yang punya ide, siapa mas?
Riki : Kalau yang punya ide Pepi. Kalau saya bantuin
masang, bantuin ngerakit. Itu beratnya hampir 150
kg. Itu di Summarecon Serpong. Jadi di
parkirannya ane tuh. Kalau itu disulut,
Pamulang-Serpong habis. Katanya. Kita bom buku
nyerangnya gak banyak. Nyerangnya perorangan.
Yang dituju saja yang diserang. Sekarang kalau
yang lain, kasihan lihatnya. Ada yang
sekeluarga. Buat apa kayak gitu. Gak paham
gimana pemikirannya orang ini. Anaknya, istrinya,
semuanya dihancurin. Habis populasi.
Yang Bersangkutan,
176
Mutiah : Harapan mas tentang penanggulangan terorisme di
Indonesia seperti apa?
Riki : Lebih baik lagi. Jangan bikin program seperti
proyek. Kita sebenarnya tahu. Tapi setidaknya
jangan hanya publikasi, tapi realisasi. Toh kita
yang merasakan. Mending langsung turun dan ada
penindaklanjutan.
Yang Bersangkutan,
177
3. TRANSKIP WAWANCARA DENGAN ECHO
IBRAHIM
Mutiah : Kapan awal mula bergabung dengan Yayasan
Prasasti Perdamaian? Dan bagaimana awal
mulanya?
Echo : Tahun 2016 setelah bebas. Saya bebas Bulan
Januari dan baru ketemu sekitar 6 bulan setelahnya.
Jadi Bulan Juni atau Juli. Ada teman yang kenalin.
Kalau mau ada kegiatan atau support gitu, kan waktu
bebas gak punya apa-apa kan. Coba ke Yayasan
Prasasti Perdamaian. Saya ketemu Mas Khoirul.
Kalau sekarang kan Pak Taufik.
Mutiah : Bagaimana relasi bapak dengan Yayasan Prasati
Perdamaian?
Echo : Di Yayasan Prasasti Perdamaian, kita itu kayak
mitra. Atau kerjasama, kalau mereka ada acara,
kadang saya diundang sebagai narasumber atau
pembicara di acara mereka. Disamping itu juga
Yayasan Prasasti Perdamaian pernah bantu saya.
Yang Bersangkutan,
178
waktu saya bangun kolam ikan. Pernah memberi
pinjaman kayak bantuan. Itu saja. Pernah beberapa
kali syuting film dokumentasi melalui Yayasan
Prasasti Perdamaian.
Mutiah : Syuting film apa saja, Pak?
Echo : Kalau gak salah kontra narasi melawan ISIS di
RTV. Yang kedua, budidaya ikan sama, terus dari
Singapura, kayaknya Yayasan Prasasti Perdamaian
yang mengarahkan. Namanya itu Dewi, Singapore
Channel, Singapura Asia. Judulnya itu the beattle of
radicalism. Disiarkan di channel Singapura dan bisa
diakses di semua negara pakai parabola. Nah kalau
itu saja. Jadi narasumber, atau pembicara, jadi
praktisi.
Mutiah : Budidaya ikan itu usahanya bapak?
Echo : Iya, join sama teman. Saya ada tetangga.
Mutiah : Masa hukuman Bapak berapa tahun?
Echo : Saya awalnya 7,5 tahun. Tapi menjalaninya 5
tahun 4 bulan. Saya dapat keringanan. Bebas
bersyarat.
Yang Bersangkutan,
179
Mutiah : Dulu di Lembaga Pemasyarakatan mana, Pak?
Echo : Di Nusakambangan Pasir Putih.
Mutiah : Apa bentuk pinjaman modal dari Yayasan Prasasti
Perdamaian?
Echo : Dikasih pinjaman sekitar 10 juta. Kita cicil berapa
kali. Tapi belum selesai. Kita gak tahu bentuknya
itu hibah atau apa. Tapi sampai sekarang gak pernah
ditanya-tanya.
Mutiah : Latar belakang pendidikan Bapak dimana?
Echo : Saya sarjana muda ekonomi. Saya di IKPN
Yogyakarta Di Manajemen kayak perbankan gitu.
Saya sekolah biasa, bukan pesantren.
Mutiah : Bagaimana pendapat Bapak tentang teroris di
Indonesia?
Echo : secara umum?
Mutiah : Iya, secara umum
Echo : Kalau untuk memperjuangkan kebenaran, untuk
membela, terutama bagi mereka yang belum paham
tauhid. Bahwa membela agamanya, membela Islam
itu wajib. Bagi orang yang mampu untuk memenuhi
ketentuan dalam syariat.
Yang Bersangkutan,
180
Jadi, ketika orang punya kemampuan untuk
membela agamanya, baik di Indonesia atau di luar
negeri. Islam juga tidak melarang. Kalau kita ikuti
peraturan pemerintah pasti tidak nyambung. Karena
aturan jihad Islam hukumnya fardhu ‘ain
dijalankan. Ia statusnya harus dijalankan. Karena
jihad di Indonesia terdapat banyak versi kelompok,
nah itu yang perlu kita waspadai. Kalau jihad Islam
dalam kebenaran, melawan kebatilan, agama, nah
itu gak masalah. Dan inti dari hukum pidana atau di
dunia ini yang dibuat Indonesia kan ada hukum
perdata pidana Indonesia, hukum kebenaran. Cuma
ada beberapa yang kadaluarsa seperti buatan
Belanda atau apapun itu. Disini, sebagai jihad
disini, kalau patokannya biasanya acuannya ke
kelompok, terutama kelompoknya al-Qaeda,
kelompok Jamaah Islamiyah, sekarang ada ISIS,
tapi menurut saya kelompok keragaman itu karena
masing-masing kepentingan kelompoknya. Perlu
adanya kewaspadaan. Seperti yang saya katakan
tadi. Niat jihad itu bagus. Tapi begitu dia tergabung
dengan sebuah kelompok,
Yang Bersangkutan,
181
sekarang kita kan semua membawa-bawa panji-
panji kebenaran, kalimatullah, bendera-bendera
Islam. Tapi apakah semuanya benar? Belum tentu.
Karena kepentingan politik. Perlu diwaspadai
kepentingan pribadi politik suatu bangsa luar, nanti
bisa menjadi ancaman Bangsa Indonesia, harus
dilihat dari kelompok mana nih? Atau siapa dibalik
semua itu? Kalau benar kita tahu dia bekas
politikusnya di Iraq atau di dari kelompok yang
memiliki kepentingan, bagusnya gak usah dikutin.
Karena kepentingan mereka itu gak sama dengan
kepentingan disini, di Indonesia. Kayak
kepentingan Asyad ada kepentingan, Al-Baghdadi
ada kepentingan, yang baru tewas ada kepentingan.
Aiman ada kepentingan, Zawira ada kepentingan,
Al-Qaeda wilayah Palestina ada kepentingan.
Pakistan ada kepentingan. Suku Arab ada
kepentingan. Semua itu kepentingan politik, dan
kebanyakan itu, maaf saya bilang, rakus kekuasaan.
Jadi wilayah kebenaran di bawah mereka itu perlu
diwaspada. Takutnya nanti dipakai untuk
kepentingan kelompok. Yang harusnya buat bela
negara akhirnya buat bela kelompok.
Yang Bersangkutan,
182
Dan ada dana-dana siluman yang disitu tidak
diketahui. Akibatnya memecah belah negara,
bangsa, atau wilayah menjadi hancur. Jadi di
Indonesia itu banyak kepentingan, kayak Jamaah
Anshorud Daulah itu sangat jelas.
Itu ISIS kan sekarang, tapi sama juga orang-
orangnya. Dan yang kedua, jelas mereka sudah
keluar dari ajaran Islam. Saya ngomong seperti ini
kenapa? Faktanya banyak. Hal-hal yang tidak boleh
mereka paksakan. Menikahi wanita secara syar’i,
mereka buat pasal-pasal atau ada ayat-ayat yang
mereka cari untuk mereka nikah tapi tidak
menerapan hukum Islam seperti menghargai
wanita. Ketiga, mereka mengesahkan bom bunuh
diri baik pribadi maupun sama bayi-bayinya.
Sementar hukum Islam tidak boleh membunuh bayi
atau anak tidak berdosa untuk dibunuh. Nah itu saya
sampaikan. Belum lagi masalah muamalah mereka.
Banyak yang kita tanda tanya. Mereka boleh
merampas punya orang, tapi kalau punya sendiri
tidak terima. Seperti itu larangan Daulah, boleh
membunuh orang, asal taat pada hukum.
Yang Bersangkutan,
183
Hukum qisas itu punya tandingan yaitu hukum
denda atau bayar diyat. Karena nyawa yang
terbunuh itu ada kafaratnya ada dendanya, hal-hal
seperti itu kita bandingin gak ada yang benar. Dan
mereka itu kayak memaksakan boleh-boleh, tapi
kalau ditanya siapa ulamanya gak ada yang tahu.
Mereka gak ada buku acuan yang tepat dan ulama
itu sering berganti-ganti, jihadi di Indonesia itu ada.
Ada yang baik itu ada. Ada yang berlebihan itu
banyak. Tanpa melihat takaran, di Indonesia itu
bermanfaat gak sih. Sedangkan di Indonesia tidak
bisa disamakan dengan Arab yang sedang
berperang. Dan perang disana itu banyak kelompok.
Terutama bangsa Arab itu ya suku lain-suku lain itu
berperang, ini berdebat memperebutkan kekuasaan.
Nah itu tidak bisa diterapkan di Indonesia.
manfaatnya tidak ada, malah membawa madhorot
di Indonesia kalau di Indonesia diterapkan
Yang Bersangkutan,
.
184
Mutiah : Menurut Bapak, apa motif yang paling
mendominasi untuk seseorang tergabung dalam
sebuah kelompok teror?
Echo : Kalau gambaran saya, sebenarnya seseorang
bergabung itu ada tujuan. Satu dia memang ingin
merubah sistem hukum. Hukum kita ini kan
namanya jajahan Belanda, gak sempurna juga.
Begitupun pemimpin yang memang kurang adil.
Kurang bisa memahami bagaimana karakter
mayoritas orang Indonesia nih. Dia gak bisa
mengimbanginlah. Pas lalu pluralisme terus malah
membuat perpecah antar umat beragama. Di Islam
pun, akibat pluralisme itu, Islam akhirnya terpecah-
pecah. Kadang-kadang aliran yang aneh-aneh mulai
masuk akibat kebebasan beragama dan acuannya
adalah toleransi, suku. Sehinga pluralisme itu
merusak. Yang dulunya orang belajar agama,
akhinya belajar agama yang aneh-aneh. Kejawen.
Macam-macamlah dengan benda-benda yang
memang sudah banyak hal keanehan. Kayak apa
yang tidak masuk dalam ajaran Islam.
Yang Bersangkutan,
185
Seperti tadi kayak sistem pemerintah kita yang
seperti ini, membuat orang ingin mencari
kebenaran. Dan kebenaran, seseorang akan mencari
dalam agamanya. Karena rasa tidak puas, biasanya
orang akan hijrah atau saya ingin sesuatu yang
membawa pada kebenaran. Dalam hatinya tidak ada
embel-embellah. Biasanya orang bergabung dengan
suatu kelompok itu tidak hanya karena kelompok
itu kuat atau tidak. Punya ulama atau tidak. Dia
menganggap apakah ada kepentingan yang sama
kalau saya bergabung dengan sebuah kepentingan.
Liat visi-misi dulu. Kalau dia lihat kelompok itu
hebat, tapi gak sevisi, gak akan mau. Kedua, dengan
bergabung di kelompok itu, dia merasa punya
kekuatan dan wewenang diseganilah. Karena dia
bisa punya power. Ketiga, dia bisa didengar. Dulu
waktu saya sendiri, melawan pemerintah, gak
pernah didengarkan. Tapi ketika saya dengan
kelompok, minimal saya didengar. Ya seperti itu dia
memiliki tentara, dia memiliki senjata, makanya dia
merasa punya power dan merasa lebih dihargai.
Keempat, tujuan yang biasanya ingin mereka capai
dalam
Yang Bersangkutan,
186
tatanan beribadahnya mereka punya satu visi, misi,
tujuan, satu dalil yang memang sama-sama pengen
kesana. Karena seperti saya dulu, ada yang visinya
ingin merubah Indonesia menjadi negara Islam,
syariat Islam, dan hukum-hukum Islam. Ada juga
teman yang satu, tidak, biarkan saja Indonesia
seperti ini. Tapi kita harus merubah sistem
Indonesia ataupun di Asia tapi biar orang menjadi
tertarik. Sehingga mereka ingin merubah sistem
pemerintahan dengan cara kekerasan. Kalau kita
gak setuju pendapat mereka, mereka adalah musuh
kita, ya kita hancurin. Jadi kita tunjukkan bahwa
kita punya kekuatan. Jadi karena pemahaman
masing-masing berbeda tujuan, kalau saya sama
teman-teman seperti itu. Ada juga yang ingin
bebasin Palestina. Negeri akhir zaman yang
dijanjikan kayak Yerussalem, yang harus
dibebaskan. Jadi kalau kepentingan itu banyak,
nyampur jadi satu, tetap berdiri kelompok-
kelompok itu, tetap ada. Tapi gak solid, karena
kepentingannya beda-beda. Akhirnya karena
ketidakpuasan itu ya kayak meledakkan di Thamrin,
di Marriot, di WTC,
Yang Bersangkutan,
187
ya seperti itu. Yang beda tujuan di camp militer, yang bikin stok
senjata di Bukit Dianto Aceh, melakukan persiapan
latihan atau apa. Tapi kalau dipadukan, tujuan kita
gak sama. Kemaren kan bom buku itu ya. Terus dia
ikut-ikutan saja, itu lain kondisinya. Karena saya
bilang yang solid di Indonesia itu belum ada, tapi
segala versi-versinya itu, kalau visi-misinya sama,
tentu saja ada perbedaan-perbedaan. Sehingga,
kelompok-kelompok ini tidak awet, al-Jazira, dan
wilayah-wilayah India itu solid sampai begitu kuat.
Kita gak solid.
Mutiah : Kapan mulai tergabung dengan kelompok teror?
Echo : Saya sudah cukup lama ya belajar. Saya sudah
tertarik sejak WTC 2/11 itu. Saya sudah mulai
tertarik itu sudah mulai kerja, belajar sama teman-
teman yang memang pemahamannya kuat. Ketemu
dengan jihadis Ambon, Poso. Sudah mulai
ketemulah. Sudah mulai interaksi. Terus sudah
mulai bantu-bantu. Biasanya sudah mulai bantu-
bantu. Biasanya, ada yang jihad, nih. Kita bantu-
bantu. Terus juga, biasanya saya spesifikasinya
senjata, karena saya senang senjata dan hobi
senjata,
Yang Bersangkutan,
188
biasanya mempersiapkan senjata, amunisi senjata waktu itu. Jadi
saya kalau di bilang bagian penyimpanan. Logistik
saya. Jadi kalau orang mau apa, senjata saya
usahain, senjata saya simpan di rumah. Bukan saya
simpan di gua-gua, tanam, enggak. Di rumah saya
dulu, ada kayak taman anak saya, di sampingnya
ada lemari sama dapur, yasudah saya taruh disitu.
Peluru berapa kotak peti. Kalau ada yang berangkat
kemana ya saya kasih. Saya bawain. Saya kirim.
Saya logistik sama kayak gitu. Atau kadang saya
ngelatih mereka ada yang belum paham, ngajari
nembak, tapi kalau sampai turun ke lapangannya,
belum.
Mutiah : Menurut Bapak, siapa yang paling berperan dalam
menanggapi isu-isu terorisme di Indonesia?
Echo : Sebenarnya itu tugas BNPT. Di luar itu, semua
masyarakat, lingkungan. Kepolisian juga. Jadi, kalau
di wilayah dia yang terpapar, terkena kasus seperti
itu, setelah dia bebas harusnya dibina juga, diajak
untuk ikut kegiatan dia, semacam itulah.
Diperhatikan. Kalau lembaga, Departemen Agama
Yang Bersangkutan,
189
seharusnya bertanggungjawab, karena pemahaman
itukan membawa-bawa agama. Kayak departemen
sosial harusnya bertanggungjawab, itu termasuk
masalah sosial. Karena sekelompok yang cukup
besar jika mengalami sesuatu yang berbeda itu
masalah sosial juga kan. Ketenagakerjaan juga
ketiga kenapa? Orang-orang yang keluar inikan
adalah orang-orang yang berpendidikan atau kuliah,
atau tidakkan?. Sekolah ataupun dari pesantren.
Tidak semua punya keahlian yang sama. Dinas
tenaga kerja juga seharusnya terlibat. Karena
mereka itu, kalau gak dikasih kerjaan, gak dikasih
kegiatan, bisa menjadi masalah juga di masyarakat,
gitu. Nah sekarang orang banyak kebutuhan tapi
gak punya uang. Posisi nganggur. Terus dia gak
dikasih pekerjaan, negara gak peduli. Kalau dia
punya anak-istri harus makan, bisa saja dia kembali
ke dalam dunia kejahatan. Kenapa? Saya Cuma bisa
buat bom. Saya Cuma bisa buat ini. Akibatnya, dia
dipengaruhi kelompok yang baru atau yang lain. Ini
saya kasih kamu uang 10 atau 5 juta buat rakit.
Yang Bersangkutan,
190
Ya kan kena masalah lagi. Makanya, kayak sosial,
kepolisian, tenaga kerja, atau lembaga-lembaga
yang terkait pemerintah, harus bekerjasama. Karena
masalahnya itu saling berkait. Jadi Departemen
Agamapun cukup setelah kepolisian itu harus
nempel. Karena itu masalah pemahaman. Jadi harus
terlibat juga, harus bertanggungjawab. Karena
kalau pemahaman itu bisa nyampai, harus bisa
untuk meredakannya juga.
Mutiah : Bagaimana efektivitas upaya penanggulangan
terorisme?
Echo : Kalau BNPT saya gak begitu tahu, Cuma ada
kegiatan buat ikhwan itu ada, kayak wirausaha,
bantuan modal itu ada. Gak begitu besar sih, antara
5-10 juta. Tapi kalau efektifnya, saya belum
merasakan. Tapi, kalau dia mau tingkatin, ya semua
institusi pemerintahan ini harus kolaborasi. Saya
dengar mereka sudah ada kerjasama. Di 23
kementerian untuk menangani paham radikalisme
ini. Harusnya dengan 23 kementerian ini cukup
banyak dana, cukup banyak kesempatan, asal
mereka mau jujur pemerintahannya.
Yang Bersangkutan,
191
Kedua, hal-hal yang sifatnya belum dijalanin, kita
merasakan nih, bantuan ada, tapi kayak
pengembangan usaha dibantu pemasaran
produknya, ada yang bikin makanan, kripik, kue-
kue, BNPT belum ada, mau menyalurkan produk-
produk kita.
Kan departemen-departemen itu bisa naruh di
koperasi mana, bisa kirim ke sini, membantu
mereka juga dari segi ekonomi. Yang ketiga ya
keseriusan pemerintah, karena kita bisa jadi
negarawan yang baik, penjaga NKRI yang baik, jika
negara bukan yang disini ngomong jangan begini,
tapi kenyataannya mereka juga berbuat, gitu. Ya
istilahnya jangan jadi pemimpin yang menipu.
Kalau pemimpin yang menipu, ya rakyatnya juga
bakal jadi orang bumerang buat dia. Jangan jadi
pemimpin yang pendustalah bahasa kasarnya.
Kalau pemimpinnya pendusta, kayak kita bakal
makin banyak. Karena apa? Percuma dia bilang
NKRI harga mati. Indonesia nasionalisme.
Indonesia damai. Kalau jiwa kita, petingginya, atau
orang tentaranya, kalau otak dia kolonialis-pedealis,
ya gak akan jadi. Makanya saya bilang jangan jadi
Yang Bersangkutan,
192
pemimpin yang pendusta, karena kalau dia
pemimpin pendusta, di belakangnya juga yang
kayak kita makin banyak. Mungkin 20 sudah malas.
100 main. Karena ini bukan pemimpin yang baik.
Kalau pemimpin yang baik, rasa kayak gitu bisa
hilang.
Mutiah : Meminimalisir?
Echo : Betul. Karena akibat gerakan bawah tanah itu,
undergroundship radicalist itu karena pemimpin
yang gak benar juga. Pasti itu gak akan hilang.
Dimana ada kejahatan, pasti ditimpali dengan
kejatahatan. Sudah hukum alam.
Mutiah : Bagaimana awal mengetahui Yayasan Prasasti
Perdamaian itu?
Echo : Saya tanya teman, terus dikasih alamat Yayasan
Prasasti Perdamaian, saya kesana. Dulu masih di
Tebet kantor lama. Saya yang kesana.
Mutiah : Apakah berlanjut hingga saat ini?
Echo : Sudah lama tidak ke sana. Dulu semacam ada
pelatihan, gak ada keterusannya. Masih ingat, tapi
dua bulan gak kesana. 2019 masih kesana. Kalau
ada kegiatan dan di undang sih datang. Mereka kan
lagi gak ada kegiatan. Sekarang ngurus istri sama
anak yang rentan terhadap pemahaman. Di JLI
Medan.
Yang Bersangkutan,
193
Ibunya Abu Hamzah, Istrinya kan bunuh diri di center itu sama
anaknya.
Mutiah : Apakah ada program pelatihan dari Yayasan
Prasasti Perdamaian?
Echo : Pelatihan sih ada. Kalau bimbingan gak ada.
Mereka lebih pengen tahu kegiatan kita. Terus
pernah ada ditanya di lapas itu ngapain aja.
Mutiah : Semacam kontroling?
Echo : Kalau kontroling gak ada. Semacam nanya-nanya
saja.
Mutiah : Dulu pelatihan berbentuk apa, Pak?
Echo : Pelatihan kewirausahaan.
Mutiah : Itu berjangka berapa kali pertemuan?
Echo : Satu kali doang.
Mutiah : Apakah ada keberlanjutan?
Echo : Gak ada. Dulu sempet ada Pak Kristiawan,
narasumbernya dari Jawa Tengah, itu satu hari
doang. Pagi sampai sore selesai.
Mutiah : Dulu waktu awal bebas, bagaimana masyarakat
menerima Bapak?
Echo : Saya waktu dulu, kejadiannya di Waru Jaya
kelurahan sana, Mekar Jaya juga, saya kan pindah,
jadi gak ada yang tahu. Jadi masyarakat rumah saya
Yang Bersangkutan,
194
gak tahu karena saya gak ketemu sama orang lama.
Jadi saya gak tahu masyarakat menerima atau tidak.
Karena saya rasa bagus buat anak kalau pindah.
Menjaga perasaan anak. Biar gak diomongin orang.
Kalau yang lain-lain sih katanya diomong-
omongin. Tetangganya lagi, dirasanin juga. Saya
pikir perlu suasana baru.
Mutiah : Bagaimana Bapak mengeluarkan diri dari
kelompok teror?
Echo : Kalau mengeluarkan diri dari kelompok mulai ada
gap gitu, sudah ketangkap itu sudah nafsi-nafsi,
sudah masing-masing. Di kelompok itu kalau sudah
masuk lapas, gak solidlah, masing-masing
menyelamatkan diri. Kadang-kadang supaya
hukumannya tidak besar, jangan sebut nama saya ya
bang. Pada ketakutan juga. Karena sudah ke gap,
yasudahlah masing-masing saja.
Itu sifatnya kita keluar bubar juga masing-masing.
sudah gak solidlah. Kita juga menghindari hukum,
takut ini, takut itu. Di dalam belajarnya masing-
masing saja. Kalaupun kalau ada utusan Ba’asyir
atau Aman, atau Abu Husna yang senior-senior itu,
Yang Bersangkutan,
195
yang dituakan, ya menghormati sebagai orang tua
saja. Tapi untuk pemahaman, kita sudah mulai
selektif. Kalau pengen cepat bebas, ya antum harus
menjaga. Kalau pengen cepet bebaskan syarat-
syaratnya ada. Kedua, tidak ikut-ikut lagi, karena
didalam itu ada ceramah itupun dibatasi. Abu Bakar
Ba’asyirpun, membatasi juga untuk syiar terlalu
keras, provokasi, misal kayak kelompoknya Aman
Abdurrahman itu juga. Tapi, kalau terbuka untuk
umum itu juga gak berani mereka. nanti kalau sudah
sepi,sudah mulai masuk di dalam, diam. Kalau di
umum itu, biasa saja. Tapi kalau sudah jam-jam
berapa, kita gak tahu ya. Itu sendiri-sendiri.
Melepas sendiri-sendiri saja. Acuan bacaannya juga
gak sekeras dulu bacaannya. Dulu tentang Qital
semua, tentang perang, tentang strategi, tentang
pembunuhan, tentang penghancuran. Itu diganti
yang berhubungan dengan nafs, manusia, jiwa.
Baca buku-buku yang lembut, tentang hati. Tentang
muamalah. Intinya kita menghargai nyawa orang.
Yang Bersangkutan,
196
Dulukan yang dibaca buku-buku dan videonya
serem-serem. Karena kalau saya isinya sudah dua
kontainer itu. Video sama buku-buku. Jadi kejadian
di Al-Jazira Libia itu, Al-Qaeda buat membunuh,
rampok atau serangan, saya kalau operasi dikirim
video dari luar, nanti kita copy.
Mutiah : Jadi memang ada pemasok dari luar?
Echo : Iya, ada pemasok. Ini yang terbaru nih. Entah
siapa yang melakukan itu, ada spesialisnya. Khusus
bank, ada bank. Khusus penembakan aparat, ada
penembakan khususnya. Saya logistiknya saja.
Karena mereka anggap saya bisa megang logistik
itu cukup aman. Cukup lama. Tujuh tahun megang
itu. Jadi gak ke gap. Yang lain dikasih sesuai
kemampuan. Jangan dipakai di lapangan. Jangan di
pakai ke anak-anak. Jadi kira-kira kalau pisah, gak
ada yang mengkoordinir. Mempelajari agama
sendiri. Mempelajari ilmu agama sendiri. “oh gue
mau bebas”, “oh gue gak mau bebas”, kan mereka
gak ada remisi gak ada help. 10 tahun ya 10 tahun.
Nah, disitu banyak kehilangan kesempatan,
Yang Bersangkutan,
197
hukuman gede-gede itu dijalanin sekarang ada yang
meninggal, ada yang sakit, ada yang gangguan jiwa.
Dia gak berfikir strategis. Karena di dalam itu gak
membuat tubuh kita sehat kok. Malah hancur.
Makan gak bergizi, kadang-kadang sudah basi.
Terus apa adanya. Vitamin gak ada. Badannya pada
hancur pada kurus. Itu juga ada ayatnya dilarang
mendzolimi diri. Kalau kita berlama-lama di
penjara hanya karena satu prinsip, tidak mau
berbaik-baik dengan pemerintah, untuk berbaik
dengan orang lain dan dianggap thoghut, setan, atau
tidak mau berhubungan dengan manusia, akibatnya
mendzolimi diri, nah itu juga berdosa. Jadi, anak-
anak ISIS itu pemahamannya payah. Untuk
membentuk suatu kelompok tentara itu, gak pantas
bertahan lama. Bakal mati di kandang sendiri. Nah
kita berinteraksi dengan manusia itu wajib.
Bermuamalah dengan orang muslim atau non-
muslim itu gakpapa, asal tidak dalam aqidah dan
ibadah. Nabi SAW saja bermuamalah dengan kafir.
Waktu damai, damai. Waktu perang, perang. Lha
kok kita gak mau
Yang Bersangkutan,
198
karena prinsip dan mendekam di penjara. Nah
sekarang di Nusa Kambangan itu isinya hampir
semua ISIS. Kasihan mbak. Menghancurkan diri
sendiri gak ada manfaatnya. Sekarang muslim
gentar gak dengan kurus-kurus entar mati? Tidak.
Makanya intinya pola pikir itu harus disehatkan
juga.
Mutiah : Bapak dulu tergabung dengan kelompok apa?
Echo : Kalau saya dulu Afghan. Setelah jihad Palestina
itu saya masuknya ke Al-Qaeda. Karena gak ada
kekuatan lain dan hanya al-Qaeda yang
solid.
Mutiah : apa harapan bapak terhadap penanggulangan
kelompok-kelompok teror di Indonesia?
Echo : Untuk saat ini, kalau menurut pendapat saya,
penanggulangan untuk kelompok teror ini harusnya
dibuat grade-grade atau dispesifikasi perorang
perkasus. Karena penanggulangan untuk mengatasi
setiap orang kan berbeda. Kadang juga pas lagi ada
keributan, atau pas lagi rapat, tapi dia ada di situ,
kena juga. Pasal 13 A/C. Atau dia tidak melapor,
lalu mereka dipilah-pilah. Bagi mereka yang cuma
ikut-ikutan, terpapar cuma sedikit, itu dilakukan
Yang Bersangkutan,
199
pembinaan. Dan jangan digabungkan dengan yang
pemahamannya keras dan sudah sering di lapangan.
Kedua, pemisahan pola napi. Sekarang sudah
dijalankan pemerintah, sih. Kalau pemahamannya
keras-keras, susah diatur, pasti di Pasir Putih
Nusakambangan. Kalau sudah enteng, sudah mau
NKRI itu ditaruh di Kembang Kuning, di Lapas
Besi. Terus perlakuannya juga beda. Ketika sudah
mau bekerjasama dengan petugas, diajak ngomong
sudah baik, gak mengkafirkan orang, terus sudah
berbuat baik, gak masalah dipertemukan sama istri,
sama keluarganya atau orang tuanya. Tapi di Pasir
Putih, pemahaman yang masih keras, orang-orang
kayak gitu gak bisa ketemu sama anak istri, dikasih
pembatas. Ada jeruji 5-6 meter, istrinya disana
pakai speaker. Seperti di luar. Ini ngomong sama
istri gak bisa menyentuh istrinya, itu ide bagus
pemerintah.
Tapi yang sudah mau NKRI yang sudah pas, bisa
gabung dengan napi lain. Ketemu keluarga juga
bisa makan bareng. Itu sudah bagus polanya. Nah
seperti itu. Tapi bagi mereka yang sudah mantap
dan ingin kembali ke masyarakat, disupportlah,
jangan Cuma dijanji-janjiin. Biasanya kalau sudah
mau bebas,
Yang Bersangkutan,
200
dijanji-janjiin pemerintah, BNPT datang, atau
lembaga datang, mereka butuh di support kenapa?
Bentuk keseriusan orang ingin kembali kan negara
harus serius. Karena dana yang dikucurkan itu kan
gak sedikit untuk deradikalisasi sama radikalisme
itu besar. Makanya saya bilang, pola yang sudah
cukup bagus diteruskan, terus keseriusan
pemerintah untuk menangani orang-orang yang
sudah NKRI dan kembali ke masyarakat disupport
maksimal, ketiga, keluarga, istri atau anaknya harus
dibantu. Karena dibalik sebelum mereka NKRI
sudah lepas nih. Banyak fitnah-fitnah ke
keluarganya termasuk dianya, diadu domba, nanti
dibuat cerai sama istrinya. Itu pemerintah disuruh
menjelaskan bahwa dia sudah baik, tidak ikut-
ikutan. Dia sudah bersikap baik. sekarang, mana
orang tuanya mau tahu, ada di Jawa, Makassar,
sementara yang bisa nemuin dia, gak bia ketemu
tiap hari. Yang nemuin petugas. Jadi tugas
pemerintah adalah sebelum dia bebas sebulan atau
dua bulan memberi penjelasan bahwa dia baik.
Nanti kalau gak begitu, masyarakat sama
keluarganya meresahkan, “dia sudah baik belum
Yang Bersangkutan,
201
ya?”, keluarga itu gak semua kepalanya sama, bisa
saja nanti ada yang menghasud. Oh ya, RT-RW
sebekum dia balik, harus dijelaskan juga, jangan
sampai dia terprovokasi. “jangan-jangan dia”,
kebanyakan gitu. Di masyarakat RT-RW nyuekin,
Pak lurah ikut campur gak bisa buat KTP, banyak
Mbak. Dulu zaman saya banyak orang yang gak
punya KTP, disupportlah orang yang sudah berbuat
baik, jangan buat fitnah-fitnah atau cerita yang gak
jelas. Umumnya seperti itu. Ini pada kesel sama
negara karena KTP gak boleh, sudah blacklist. Gak
ada. KTP harus buat. Karena syarat orang tinggal
disebuah negara kan harus ada identitas. Nah
gimana mau buat SIM sama buku tabungan kalau
dia gak punya KTP. Kalau menangani liar ke orang
luar, nanti dia dendam lagi. Karena mereka
pikirannya pendek. Kalau gak didukung ini, saya
didustain. Ngapain saya berbuat baik, harusnya
negara berperan maksimal, dan mensupport
keluarganya.
Yang Bersangkutan,
202
4. TRANSKIP WAWANCARA DENGAN MACHMUDI
HARYONO
Mutiah : Bagaimana awal mula bapak mengenal Yayasan
Prasasti Perdamaian?
Machmudi : Yayasan Prasasti Perdamaian itu berdiri terlebih
dahulu daripada kena saya mungkin. 2009 itu mulai
kenalan dengan foundernya, Pak Noor Huda Ismail,
jadi saya bebas, ya biasalah, Mbak. Bebas penjara
itu menganggur. Nah, ke pondoknya Mas Amrozi
dengan maksud “teman-teman yang sudah bebas itu
ngapain?” saya datang kesana ya iseng-iseng saja.
Eh begitu datang ke sana, eh kenal semua.
“Sekarang ini dimana?”, “Oh sekarang ini
dimana?”, “Sekarang ini jadi pelayan”, “Sekarang
ini jadi ini”, “Sekarang kamu tinggal dimana?”,
“Ya. Tadz, saya tinggal di Semarang”, “Kenal Noor
Huda?”, “Oh gak kenal, pernah tahu”. Telponlah
Noor Huda Ismail. “Huda, dimana, Huda?”, “Aku
di Kalimantan, Pak”. “Oh ini ada yang mau
ngobrol”. “Halo, Assalamualaikum”, “Siapa ini?”,
“Yusuf Semarang”, “Yusuf siapa?”, “Yusuf yang
barusan
Yang Bersangkutan,
203
lulus dari Nusakambangan”, “Yusuf Semarang? Oh
iya, kapan-kapan kita kopi darat”, Sudah gitu saja.
Saya dikasih nomornya, saya pulang ke Semarang.
Terus sebulan-dua bulan datang ke Semarang,
mudik, makan bakso di Simpang Lima.
Aku tahu Noor Huda kan orang Amerika (Reporter
Washington Post), saya curiga, ngapain dia ketemu
saya, dan ngapain saya ketemu dia. Kurang lebh
seperti itu. Trans-believenya masih belum ada.
Makan bakso, say hello, pulang. Ditanya rumah
saya dimana, gak perlu tahu. Terus saya bekerja di
restoran punya ikhwan di Cimahi Bandung, di
Simpang Lima, setelah kerja, sudah saya kabari
saya di rumah. “Istri saya di Undip”, “Lho, dosen?”
“Iya”. Kalau habis jemput istrinya dari kampus, dia
mampir ke warung makan saya. Saya pelayan
waktu itu. Masak-masak. “enak gak masakanku?”,
“oh enak sekali”, “Ngapain, Da kesini?”, “Jemput
istri”, akhirnya seringlah mampir. Istrinya kan
dosen ya. Dia takut. Ketika sudah melipir-melipir
tanya,
Yang Bersangkutan,
204
“Santai saja, Mbak. Jadi mulai akrab. Kalau
Hudanya sih welcome, saya diajak ke rumahnya.
“Ayo cak kita ke Jakarta, Cak. Ke Pasar Minggu”.
“Apa? Kantor ta?”, “Iya, kantorku”. Ya sudah, main
ke sana saya. Namanya orang kampung ya, naik
kereta ke sana. 2010 lah saya main ke sana. Dan 29
Januari saya bebas, saya setiap bulan ke Surabaya,
karena masih wajib lapor. Belum punya mobil
waktu itu. Dulu masih motor. Terus saya ke Jawa
Timur, Ke Jombang, Tembelang, itu. Sowan ke
bapak-ibu, kalau kakak di Tambak Rejo. Karena
yang menjamin saya kakak di Tambak Rejo. Sudah
interaksi itu. Terus ke Jakarta. Di Jakarta aku dulu
gak tahu mau apa, jadi buat film waktu itu. Filmnya
Prison and Paradise, sebenarnya saya tertarik cara
Noor Huda memaparkan film ini, alur cerita dia di
Ngruki, saya ikuti alurnya bagus, isinya netral,
menyikapinya, menjelaskan prosesnya, “Piye Cak,
main ta ke kantor, ta”, “Oh iya, kapan-kapan”,
belum sempat main, eh pindah kantore ke Tebet”,
kurang lebih perkenalannya seperti itu. Di Tebet
dulu, sebelum pindah kantornya, di Pasar PSPP,
Yang Bersangkutan,
205
makan tidur, aku melihat cara kerja dia, ke Lapas,
NK, cara-caranya itu ada yang mirip BNPT, tapi
lebih sipil. Saya lebih suka pendekatan seperti itu
daripada pendekatan yang dilakukan oleh BNPT.
Lebih soft, itu yang saya rasakan di Yayasan
Prasasti Perdamaian. Walaupun saya tidak
berdomisili di Yayasan Prasasti Perdamaian. Terus
akhirnya saya bekerja, singkat cerita, saya dipecat
kena SP1, SP2, SP3 karena sering lapor ke
Surabaya. Itu menjelang dua tahun, saya sudah
senior di situ. Karena itu anak Ngruki juga, ya saya
menghormati. Tapi saya capek kalau langsung
balik, tiga hari kalau bawa motor. Sudah saya
dipecat, saya pengangguran, saya kumpulkan anak-
anak nganggurnya, bekas-bekas karyawan. Kita gak
punya uang, pengangguran, gimana caranya? Pas
Huda pulang, saya curhat sama Huda. “Iki
pengangguran wong 4”, “Lho ayo buka, makanan
enak kok, ya ayo buka sendiri”, “Ayam bakar”,
“Wah, nyaingin dong. Iga bakar saja yuk.” Kita buat
diskusi tempat dan lainnya. Bulan pertama, kedua,
ketiga, keempat, sepi. Bulan 6 sepi. Ya ada
Yang Bersangkutan,
206
pemasukan, tapi sedikit. Masuk hampir bulan ke
tujuh, pindah tempat ke Simpang Lima. “Ada duit
berapa kamu, Da?”, dirembuklah. Berdirilah
Dapoer Bistik, berdiri 3 tahun di Semarang.
Launching hari pertama, full pengunjung. Karena
saya di rumah makan pertama sudah banyak relasi.
Kurang lebih begitu, terus berinteraksi dengan
Yayasan Prasasti Perdamaian membantu untuk
sewa tempat, DP alat-alat elektronik, dan itu
menjadi senter di Semarang. Kemudian tahun
kedua-ketiga melirik di Solo, buka sampai
sekarang. Memang di handle Yayasan Prasasti
Perdamaian, karena memang berat mendirikan
resto. Sewa mahal, SDM, tapi yang termahal dalam
hidup saya yang termahal dalam Dapoer Bistik dan
Yayasan Prasasti Perdamaian adalah ilmu.
Termasuk saya bisa manfaatin dengan teman-teman
yang bebas dari penjara, termasuk dengan teman-
teman yang masih di lapas. Jadi hanya sebatas
ikatan emosional. Kalaupun punya sejarah di
Filipina sama, kebetulan. Itu masa lalu. Tapi sacara
perjalanan panjang, kita sudah gak sejalan lagi.
Karena beberapa kali sudah ditarik untuk jaringan.
Yang Bersangkutan,
207
Mutiah : Ketika sudah bebas ditarik lagi?
Machmudi : Itu hal yang lumrah. Karena mungkin dalam track
record, dalam mengelola itu saya yang suka.
Mutiah : Jadi Dapoer Bistik itu masih buka, Pak?
Machmudi : Iya, masih di Solo. Silakan kalau mau kesana
Mutiah : Bagaimana pendapat bapak tentang jihadis di
Indonesia?
Machmudi : Jihadis orangnya atau actionnya?
Mutiah : Actionnya
Machmudi : Jadi bermula dari Bali 1, Bali 1, Marriot 1, Marriot
2, dan banyak kejadian itu, sebenarnya sejak awal
kejadian Bom Bali itu, kebetulan saya pulang dari
Filipina, merasa kaget dan heran. Kok bisa ya,
kejadian di Indonesa seperti ini. Gak tahu waktu itu
pergolajan global okelah, itu daerah konflik. Tapi
ini kok merembet sampai sini. Dan lebih kaget lagi,
pelakunya, teman-teman saya semua. Padahal dulu
saya datang itu pengen enjoy. Pulang ke Jombang,
pengen nyaman, terus adik saya dipondokkan,
kabur dari pondok di Lamongan. Ya harapannya
jadi kader saya, lah. Terus jihadisjihadis ini mereka
Yang Bersangkutan,
208
mengatasnamakan Amerika, saya termasuk setuju
anti Amerika, disusul lagi bom Filipina, waduh.
Semakin kompleks. Nah, ditengah-tengah itu
karena saya berada di tengah-tengah jaringan, jadi
sulit mengelak.
Di salah satu jaringan, saya di kontrak di Semarang
dua tahun, ya mungkin antara sadar atau tidak ya,
bawa barang-barang itu, sisa-sisa itu dibawa ke
rumah saya, kurang lebih satu ton. Itu satu ton
khusus bomnya. Kalau pelurunya ya kurang lebih
20000 peluru. Sampean bisa bayangin, 10 peluru
saja sudah ngeri ya. Karena memasng bersifat
gudang. Belum lagi dokumen jihad, literatur dari
Afghanistan, pakai Bahasa Arab. Kemudian
kelompok Ambon-Poso ada di rumah saya, jadi
sulit mengelak hal-hal itu. dan Undang-Undang
Terorisme pertama kali itu 2003. Dan pertama kali
di vonis itu adalah saya. Kalau yang punya
senjataini di Jakarta, pakai Undang-Undang darurat.
Dia tahun, tapi kami 10 tahun. Kami berempat.
Mutiah : Siapa saja berempat ini, Pak?
Machmudi : Saya Jombang, Mas Heru Magetan, Mas Luluk
Magelang, Mas Siswanto, Pati. Dan semuanya 10.
Yang Bersangkutan,
209
Jadi kalau melihat jihadis-jihadis itu, kami kontra
dengan kelompoknya Nurdin. Ngebom. Ketemu di
Semarang, kita diskusi. “Kenapa sih kok melakukan
jihad di Indonesia?”, “Gini mas, di Al-Qur’an itu
disebutkan, Wa haitsu fawajadtumuhum
faqtuluhum”, itu fatwa yang sebenarnya sudah lama
kita kaji. Cuma itu menjadi populer ketika sudah
mulai global, dan meman sudah menjadi rancangan
dari Amerika itu, memasukkan banyak organisasi-
organisasi sebagai teroris.
Nah itu secara otomatis mereka juga akan melawan
dimana-mana. Disatu sisi saya tidak menyalahkan
Amerika mengapa bersikap seperti itu, tapi di satu
sisi teman-teman versi saya itu terpancing. Kenapa
sih daerah seperti ini disini, dibuat konflik. Tapi
kalau konflik di Palestina sudah tegang. Apalagi
kaum muslimin di Indonesia, temapat ini saya
bilang bukan untuk konflik. Karena bentuk
pendzoliman yang nyata itu gak ada. Kalau
degradasi moral itu dakwah. Apa gunanya dakwah,
jadi iqomatul hujjah. Menegakkan hujjah atas
kemaksiatan mereka. gak ada bentuk penindasan
fisik yang sifatnya itu perlu perlawanan. Jadi
dengan dakwah itu kewajiban kita
Yang Bersangkutan,
210
sudah gugur di hadapan Allah. Tapi kalau dengan
pengeboman, ini juga sudah berfikir teman-teman
ini menciptakan musuh sesama muslim. Contoh,
ketika polisi diberi tugas untuk menangkapi
mereka, mereka anteknya Amerika. Kita bom, nah
akhirnya menurun. Jadi sesuatu yang awalnya kita
benci karena Amerika, kita jadi benci kaum
muslimin.itu perbedaan. Jadi kalau di penjara itu
selalu ada diskusi, tapi sebenarnya ada dua kubu.
Memang 2014 munculnya ISIS ini berubah. Jadi
lebih kenceng. Itu fenomena. Jadi jihadis-jihadis
Syuriah ini, sebenarnya bukan fenomena baru.
Karena dibuat milenial, lebih popular, bisa selfi,
bisa disebar. Kalau dulu kita bisa nyebar.
Cuma kan tapi itulah suatu aib bagi kaum muslimin
di Indonesia kalau disebar yang seperti ini. Contoh
seperti ini. Kalau digital dulu, kita kesulitan dapat
video-video Afgan, Ambon, Poso, atau Filipina,
tapi sekarang klik saja sudah dapat. Itu saja
perbedaannya. Wong saya yang melihatnya secara
tidak langsung saja sudah terpengaruh. Apalagi
dengan klik seperti ini. Pengaruhnya bisa
signifikan,
Yang Bersangkutan,
211
kita melihat, langsung kita tahu. Fakta seorang
jihadis, saya sanggup menjadi seorang simpatisan.
Siapa saja, mahasiswa, Ibu-ibu, TKW, siapa saja
bisa. Oh jihad itu fardu ‘ain, karena jihad itu wajib
dalam hukum Islam. Memang versi saya itu terlalu
gampang, terlalu dangkal. Yang penting, jihad itu
syariat yang suci, harusnya dengan cara yang suci.
Itu kan bahasa kelompok yang memberikan
penjelasannya perlu telaten.
Mutiah : Apa motif orang bergabung dengan kelompok
teror selain menonton video?
Machmudi : Ya buku-buku itu. Literasi. Dulu saya di Jombang
kan mengkonsumsi buku-buku NU. Tapi waktu
saya ke Solo, ada buku jihad Afganistan. Oh ada
bukunya, ya. Harganya Cuma 20 ribu. 10 jilid Cuma
200 ribu. Terus ada majalah. Majalah 4000. Beli
saja bulanan. Karena tetap media apapun, cetak-
online waktu itu. ada juga VCD, waktu itu kita bisa
nyetel Rusia, wah gagah sekali ya kaum muslimin
bisa mengalahkan adidaya Rusia dan Amerika. Itu
nanti muncul semangat yang sifatnya sebagai
muslim itu ada Umar ibn Khottob yang gagah yang
heroik.
Yang Bersangkutan,
212
Dan itu tidak salah, Mbak. Karena dengan orang
gagah itu bisa melindungi. Tapi kalau orang shaleh,
itu hanya untuk dirinya sendiri. Makanya itu. saya
tertarik konsep itu. saya mau ke Ambon, ke Poso
lihat konflik ini, apa sih yang terjadi disana. Cuma
kadang jaringan itu sulit dikendalikan. Cuma
ternyata saya masih berusia 22, masih berpotensi
untuk jadi aset jamaah, digemblenglah di akademi
militer harapannya jadi akademi jamaah yang kuat.
Itu sudah level-level tertentu yang sudah melalui
screening tahfidz, jamaah sendiri yang punya
programnya. Jadi kalau ke Afghanistan jauh, ke
Filipina saja. Kalau sekarang ke Syuriah. Banyak di
Syuriah, kirim saja. Kejadian-kejadian teman saya
yang ketangkep kemarin, Agustus kemarin ada,
November dan Desember ada. Jadi bentuk
keterikatan sesama jihadis itu saya melihat sejarah
panjang plus perlakuan densus mungkin. Nah
kenapa mereka itu bergejolak, ya karena ingin
membalas densuslah, macam-macam. Motivasinya
banyak sekali. Teman-teman ini kan ketika Densus
represif, Siyono, ditembak ketika sholat, nah orang-
Yang Bersangkutan,
213
orang ini, Siyono ini gak papa, keluarganya gak
papa. Tapi orang-orang yang satu jaringan ini
melawan Densus. Bukan dendam, tapi adalah
semacam qisos. Misalnya ada 10 Densus yang
melakukan, jadi ya harus 10. Kalau ISISkan engga.
Densus bersenjata, Polisi lalu lintas saja ditembaki.
Itu kan seperti itu. jadi agak sulit menjelaskan apa
efek negatif dari penyebaran ideologi ini yang tidak
terkontrol. Saya ke Jakarta mesti ke Yayasan
Prasasti Perdamaian. Sekarang di Pasar Minggu
ada. Studio filmnya Yayasan Prasasti Perdamaian.
Sebenanya sama.tai saya lebih suka film, karena
audio-visual.
Mutiah : Kapan bapak tergabung dengan kelompok teror?
Machmudi : Sebenarnya sejak 22 tahun sudah kaderisasi. Cuma
waktu saya sudah sering ke pondoknya Mas
Amrozi, sudah baiat istilahnya sebagai anggota
yang iltizam. Iltizam itu yang militan. Militan ala
rekrutmen, bukan militer secara ‘askari harus ke
Filipina, diklat.
Mutiah : Sudah efektifkah penanggulanga isu-isu terorisme
di Indonesia?
Machmudi : Saya melihat kacamatanya BNPT, ya. Orang-
orang
Yang Bersangkutan,
214
yang dianggap dijadikan klien atau mitra. Kadang
masih gak efektif. Karena mereka mengadakan
kegiatan dua kali atau tiga kali. Padahalkan kita
hidup 365 hari setahun. Dan kemudian BNPT
membangun FKPT di provinsi-provinsi, tidak ada
sama sekali kegiatan. Saya sempat dengar satu
tahun satu milyar, sampai kemarin, belum ada
kegiatan yang krentek. BNPT saja datang ke sini
kumpul pertemuan sehari dua hari, kurang
menyentuh versi saya. Karena bentuk-bentuknya itu
semacam di LPJ kan, tapi ya semacam gugur
kewajiban. Kunjungan keliling. Keliling mak tul
dua jam. Semacam dokumentasi, buat laporan,
Media Damai, itu kadang kurang efektif, karena
mereka belum menyentuh akar persoalan di bawah.
Kemudian Yayasan Prasasti Perdamaian, itu LSM
yang bagus saya melihat, kerjasama dengan Bapas,
jadi teman-teman yang bebas dari penjara itu mulai
dari surat-surat RT-RW-Polsek sampai ke dirjen
diikuti.
Yang Bersangkutan,
215
bebas dari lapas diikuti kontrol absennya
bagaimana. Itu lebih soft dan melihat telisik lebih
detail. Ya mungkin diikuti oleh LSM yang terjun.
Tapi kan mereka di Jakarta. Muncullah Pak Ali
Fauzi, Lingkar Perdamaian di Lamongan. Cukup
bagus, karena hadir di tengah-tengah mereka.
Dapoer Bistik hanya di Solo itu bagus. Tapi Dapoer
Bistik sementara itu masih simbolis, tapi belum bisa
memfungsikan bagaimana idealisnya. Jadi teman-
teman yang bebas dari penjara itu datang ya datang,
lalu buka bersama, entar sore pulang. Itu gak ngefek
juga. Karena bertindak jauh sebagai LSM yang
kadarnya jauh di bawah negara. Sementara negara
dengan anggaran sekian banyak tidak mau hadir.
Kalau membuat Dapoer Bistik di setiap provinsi
bisa, daripada FKTP, yakan 1 milyar. Dapoer Bistik
100-150 juta sudah jadi, tinggal di copy saja. Terus
saya mau jujur seperti saya tahun pertama itu. “Mau
apa, Mas?” “Laundry”, dikasih mesin cuci 5 juta.
Terus saya mikir, laundry ini masak laundry tok.
Lha airnya gimana, listriknya gimana, jemurannya
gimana, setrikanya gimana. Gak pernah terfikir,
Yang Bersangkutan,
216
mbak. Usaha laundry, foto sumbangan kasih mesin
cuci. Masih seperti itu. tinggal foto terus ke Jakarta.
Enam bulan, ditanya, “sudah jalan, belum?”, “ini
mesin cuci doang, ya ngapain” jadi kurang.
Mestinya kalau ada FKPT disini di cek. Seminggu,
sebulan, “kurang apa?”, saya berfikir BNPT itu
belum. “Apakah efektif?”, ya memang ada
efektifnya, karena mungkin teman-teman yang
balik ke terorisme lagi masih 20%. Artinya tidak
mau di BNPT dan kembali ke jaringan. Mereka
aktif atau pasif. Jadi penilaian 100% efektif tidak.
Jadi kalau dipresentasekan kalau 50%, okelah.
Itupun nilai yang paling terbaik. Karena ketika
mereka memprogramkan sebelum zamannya Pak
Tito, jadi kayak lembaga ini kurang fungsional.
Terus modul pembelajaran. Ngapain modul
pembelajaran. Ayo Solo ada, Semarang ada, kita
buat Bistik-bistik yang efektif. Kalau dikatakan
BNPT gagal kan marah juga. Itu timbal balik,
Mbak. Anda butuh berhasil, tapikan ya namanya
laporan, nyatanya kan gak berhasil. Bahkan BNPT
menjadi momok, terjadi konflik yang
berkepanjangan. Ketika kita flashback, tolong
BNPT, ada menteri Pak Wiranto teman-
Yang Bersangkutan,
217
teman itu ada 40 orang Jawa Tengah, 30 orang
BNPT, minta tolonglah, saudara kita yang sudah 13
tahun di penjara di Nusakambangan, dan itu
penjaranya di dekatkan dengan orang tua dan
keluarganya. “Iya, iya, iya”, tapi hanya janji manis,
seperti itu. Saya akan ngomong presiden langsung.
Saya akan ngomong menteri langsung. Itu kadang
kita singgung. Wong kita sudah kompak 40 orang,
apa kata BNPT, ngumpul, kegiatan-kegiatan, tapi
begitu timbal balik mereka merespon, negara hadir,
negara hadir, kadang kita malah ketawa, Mbak.
“Dimana?”, “Kapan?”, kalau nongol ke Semarang,
iya. Itulah fenomena. Banyak kejadian-kejadian
yang versi saya itu kurang berkenan, ya anak-anak
itu divonis. Asalnya Pekalongan, begitu divonis,
dibuang ke Blitar. Lho, alasannya apa. Kemarin
sejak divonis saja sudah pro-aktif, ada yang di
buang ke Bengkulu, loh ngapain. Ada yang dibuang
ke NTT. Akhirnya begitu pulang dia dendam. Cara
meredamnya susah. Aku sudah bilang ke BNPT,
mereka kalau gak punya potensi atau kesempatan ke
BNPT, tapi kalau yang ISIS, teror, silakan. Jangan
disamaratakan. Itu perlakuan khusus.
Yang Bersangkutan,
218
Kita di luar itu memberikan penilaian, usul, tolong
direspon. Nanti begitu dia keluar, tolong dekati
anak yang dari NTT, ya susah, mereka sudah
dendamnya membara. Nah itu contoh BNPT sendiri
kurang tercereminlah efek-efek kebijakannya. Jadi
semuanya dikembalikan kepada BNPT, sudah
efektif gak.
Mutiah : Dulu awal mula bebas, bagaimana stigma
masyarakat terhadap bapak?
Machmudi : Ya tentu saya waktu itu pulang, ya senenglah adik,
keluarga. Ya biasa, di tempat saya ada pengajian
fatayat ya. Di pengajian itu saya disuruh ngomong,
katanya kan tuan rumah. “Mas sampean ngomong”,
“Waduh, iyo wes”. Setelah tahlilan itu. Ya saya
ngikut. Setelah itu, ngomong 30 menit. Saya
sampaikan bahwa apa yang disampaikan oleh
media Amerika, atau kepolisian yang curiga
berlebihan, perjalanan saya di Nusakambangan itu
bagaimana, itu jelas. Media menyebut “Tersangka
menyimpan bom satu bom. Hukuman maksimal
hukuman mati”, misalnya seperti itu kan
menakutkan. Keluarga dan teman-teman bilang,
“Lho, mati rek”, kadang blow-upnya negara itu
menakut-nakuti teror.
Yang Bersangkutan,
219
Ya memang berhasil, saya akui. Akhirnya
masyarakat sekitar saya ketika ada bom Aceh,
“temanmu ya?”, bom Poso, “temanmu, ya?” begitu
itu stigma yang gak hilang hingga saat ini. Dan
kalau mau jujur,BNPT itu bisa mengambil
perannya. Kan tinggal manggil gubernur, RT-RW
dikumpulkan. Itu sangat efektif. Dan ini mungkin
ada program yang baru. Yayasan Prasasti
Perdamaian kan ada program RT-RW, karena yang
ada urusan tiap hari itu dengan RT-RW. Mulai dari
kontrakan, kartu KK,yang njlimet-njlimet itu dari
RT-RW. Yang bisa dilakukan oleh teman-teman
RT-RW, surat pindah. Sempet ditolak waktu itu.
mulai 2009, begitu kalau ada teman-teman bebas,
ya saya yang ngurusi. Lurahnya, Rtnya gak mau
tanda tangan. “Lho, alasannya ini apa, Pak?, Warga
negara ini, Pak. Mereka dipidana itu sudah
menjalani pidana diatas negara. Sudah diberikan
hak untuk kembali di masyarakat secara hukum”,
“Nah tapi dia teroris”, nah sudah. “Ya sudah, kalau
gitu saya cabut jadi warga negara sini”, “oh silakan,
cabut dari catatan sipil”. Terus saya cari tempat di
Magetan
Yang Bersangkutan,
220
tempat istrinya. Terus saya buat akte lagi, KTP, KK,
waduh. Kadang, negara juga rumit seperti itu.
kadang kasus tertentu, sekecamatan. Seng nggone
sampean, Singosari iki ono teroris. Seng jogo
Karanglo, seng kono gak ono masalah. Itu lurahnya
podo ambek kono. Kadang lurahnya suruh minta
tandatangan 60 KK warga setempat. Itu istrinya
bingung. Satu rumah satu KK. Kan menyiksa.
Padahal prota hukum sudah ada. Setelah menjalin
sekian, menjalani kriteria sekian, memiliki latar
belakang baik, tidak melanggar hukum, berhak
mereka dapat remisi, seperti itu. Nah, ini tadi balik
lagi, bahwa stigma masyrakat itu, teman-teman gak
pengen sih, jadi sorotan lagi. Karena sudah insyaf.
Tapi dari TNI dan Polri, temannya dari siapa itu
dilaporkan. Itu berlebihan. Sangat berlebihan.
Karena kalau BNPT mau jeli, anak-anak yang
terlibat itu gara-gara nginepkan Nurdin M. Top,
ngasih motor, itukan bukan teroris sebenarnya. Jadi
penyakitnya itu mungkin penyakit yang dia itu gak
sadar. Karena secara hukum gak ngerti. Teman saya
di Singosari itu berangkat ke Syuriah itu 6 bulan.
Yang Bersangkutan,
221
Nangis-nangis pulang. “Kok bisa pulang, dia?”,
“Ngomong ke khalifah, saya mau pulang ke Malang
jual motor dan tanah balik lagi ke sini”. Ternyata
gak balik lagi, sudah kapok. Pelanggarannya ketika
disana. Tapi dia langsung dinilai pelindung,
pengadu, terlalu berlebihan. Itu sejarah
singkatnya.tapi dia dipindah di Lapas Gempol sih,
alhamdulillah. Jadi itu dalam mempelajari kasus
terorisme itu harus perkasus. Dan itu kalau
disamaratakan negara, ya silakan. Tapi versi saya,
itu akan memelihara circle ini kalau gak mau
perkasus. Mestinya perkasus.
Mutiah : Di lapas juga seharusnya perkasus?
Machmudi : Iyalah perkasus. Jadi kita harus fair, ketika saya
menghadapi teman-teman juga serba bingungkan.
Ini masalahnya gimana, ini.
Mutiah : Untuk mengeluarkan diri dari kelompok, seperti
apa, Pak?
Machmudi : Ya seperti Noor Huda waktu itu. dengan
mendekati saya itu sebenarnya sudah mengeluarkan
saya dari jaringan. “Wah, dekat Noor Huda, dekat
Amerika. Dekat Yahudi” dekat saja sudah
mengeluarkan.
Yang Bersangkutan,
222
Ada penilaian sana, jaringan, seperti saya, sudah
dicap orang umum, polisi, BNPT, macam-macam.
“wah itu sudah mendekati Yusuf itu, itu sudah
keluar dari jaringan. Laisa minna” bahasa
sederhananya seperti itu.
Tapi saya ketawa saja. Maka saya berfikir bahwa
terlibatnya kaum muslimin kita harus jujur. Bahwa
Islam bukan milikmu saja. Ya saya sendiri orang
kelahiran NU juga prihatin, ketika melihat
fenomena Islam, global maupun tidak ya seperti ini,
terpengaruh. “Lho NU kok iso kepengaruh, Mas?”,
“Lho, yok opo sih, lha wong PNS ae akeh sing
terlibat, padahal wes disumpah jabatan, TNI,
Brimop, contoh seperti itu. Oh iya, Yayasan
Prasasti pertama kali menerbangkan saya ke
Irlandia itu Yayasan Prasasti Perdamaian.
Mutiah : Terbang dalam rangka apa, Pak?
Machmudi : Terbang acara submit. Konferensi Internasional
Google di Irlandia, saya waktu itu nyoba, kira-kira
Yayasan Prasasti Perdamaian itu sakti, gak? Saya
ini gak boleh ke luar negeri mbak, dicekal visanya.
Tapi
Yang Bersangkutan,
223
bisa lolos. Visanya saya itu harus terbang ke
Singapura, stempel di Singapura. Stempel di Jakarta
gak bisa, karena saya mau ke Eropa.
Mutiah : Ke Singapura ketat, kan Pak?
Machmudi : Ke Singapura saya wajib lapor, bisa lolos. Karena
yang ngurus google, Mbak. Sakti.
Mutiah : Lewat Pak Huda, Pak?
Machmudi : Heem. Terus kemarin Jihad Selfi ke Hongkong,
karena Akbar gak bisa, saya disuruh. Ya, presentasi
ke TKW-TKW. Rata-rata orang Jawa Tengah,
Orang Jombang, orang Blitar. Lha tonggo kabeh iki.
Guyonannya gitu. Jadi saya ingin membuka wacana
bahwasanya, Islam itu bahasa umumnya universal.
Tapi saya sebagai teroris yang ditakuti, apa sih yang
ditakuti?, kalau memang tidak ada sesuatu yang
menjadi sebab diberatkan. Jadi seperti itu. saya
kembali ke basic secara fitroh itu saya lahir di
Jombang. Saya lama jadi orang NU, saya kuliah di
Baitul Amin, itu dekat dengan Nur Kholis Madjid.
Memang saya termasuk orang yang tidak setuju
dengan pemikiran pak Nur Kholis Madjid ya waktu
itu. tapi karena bertetangga dan pondoknya itu
Yang Bersangkutan,
224
Muhammadiyah, saya melakukan dialog,
bagaimana saya bisa sholat Jum’at di masjid Nur
Kholis. Kalau saya bikin sholat Jum’at sendiri, kan
ada takmirnya, toh. Masyarakat terbelah menjadi
dua. Ya sudah saya sholat di masjidnya Pak Nur
Kholis. Saya waktu itu jadi humasynya. Minta
tolong, pihak masjid memahami perbedaan. Mau
sholat dua kali, adzan dua kali, macam-macam, lah.
Banyak perbedaan. Cngkranglah. Itu berjalan
selama 5 tahun. Setelah 5 tahun, generasi penerus
saya itu izin. Bagaimana kalau sudah buat Jumatan
sendiri tapi sudah kondusif, sudah gak ada gesekan.
Begitu masuk tahun ke 10, teman-teman jihad Aceh
masuk ke situ merekrut simpatisan. Wah itu sudah
buyar pondok saya. Saya geser ke Mojo Agung,
yang pro jihad Aceh pindah ke Kediri. Jadi ada
semacam fenomena sejarah Fara Madinah, saya
mengakui bahwa Abu Bakar Ba’asyir pernah
mondok di Gontor bareng satu bis. Sama-sama
alumni Gontor. Jadi seperti itu. memaklumi
jalannya adanya.
Yang Bersangkutan,
225
Mutiah : Kalau tadi, tentang program BNPT yang kurang
efektif, yang efektif seperti apa, Pak?
Machmudi : Ya sebetulnya efektif BNPT tadi ngasih mesin
cuci. Jadi semacam stimulus. Setelah itu istri
biarkan di rumah, saya yang beli air, tandon, untuk
air cuci kan gitu. Terinspirasi. Terus akhirnya saya
terangsang untuk membuat jemuran yang bagus.
Terus buat nota, nyebar ke tetangga. Itu istilahnya.
Sebagai titik api, baguslah. Tapi belum efektif. Jadi
begitu jalan, yaudah lepas.
Mutiah : Apa keberlanjutan dari program Yayasan Prasasti
Perdamaian?
Machmudi Yang saat ini?
Mutiah : Iya. 2019 masih kerjasama-kerjasama, terakhir
saya lihat dengan pemkot Solo. Ada diskusi tentang
Pemberdayaan di Solo Raya. Jadi sudah mulai
ngajak pemkot, lah. Kemarin November ada
kumpul Yayasan Prasasti Perdamaian dengan
pemkot Solo. Gak tahu sih. Teman-teman pemkot
yang diundang. Saya Cuma lihat pamfletnya. Terus
masalah RT-RW saya gak tahu tindak lanjutnya.
Yang Bersangkutan,
226
Katanya, setiap teman-teman yang ada di daerah itu,
katanya sih, akan didatangi, dia akan dipertukan
dengan RT, hubungannya seperti apa, keluh
kesahnya apa. Kan selama ini kan hanya tahu, oh
Pak RT, tanpa tahu hubungin pak RT itu berapa
kali. Tapi saya selalu memaparkan. Pak RT kasih
saya tugas jaga, kerja bakti tiap minggu ya saya
laksanakan kalau pas masih di rumah diajak
ngobrol.
Mutiah : Apa harapan Bapak tentang isu-isu teroris dan
kaum radikalis?
Machmudi : Pertama ya jelas preventif, Mbak. Lebih baik
mencegah daripada mengobati. Itu sudah versi
umum. Dan menurut saya, BNPT juga memberi
porsi tentang eks dan teman-teman yang sudah
terpapar itu dibuatkan semacam wadah, ya mungkin
yayasan-yayasan itu yang tidak mesti dengan
kurikulumnya BNPT. Jadi kebijakan lokal.
Kebijakan lokalpun juga berpengaruh dalam
jaringan ini. Kalau teman-teman di Solo Raya
disamakan dengan orang Banten, berbeda. Dengan
orang Tangsel, beda. Kemudian orang Jawa Timur,
urakan. Ya jangan disamakan dengan gayanya
orang Semarang. Tapi teman-teman tetap dijadikan
Yang Bersangkutan,
227
aspirasi bagaimana jadi seperti saya. Saya tidak
berdiri sendiri. Saya tahu misal ada 10 orang dalam
jaringan, namanya tukang kuncilah, tukang service,
lah. Saya tahu itu. Tapi bagaimana BNPT itu
membuat wadah yang soft ke saya dan ke orang-
orang yang notabenenya terpapar, Mbak. Makanya
saya sering membawa orang, pernah 18 orang ke
samsat. Buat SIM C. Sebenarnya punya wadah
kalau itu dibuat program tiap tahun. Berapa sih
harganya. Duit BNPT yang sekian trilyun gak
kelong, lah untuk buat SIM C 10 orang, 20 orang.
Tahun ini dibuatkan, tahun ini dibuatkan. Ya
mungkin pelopornya seperti saya itu salah satu
bentuk program, jadi orang-orang, “Kenapa
Polrestabes dibom”? “Karena ikhwan-ikhwan
jarang ke Polrestabes. Coba kalau diajak kayak
ngunu. Data KTP, KK, mau bayar BRI. SIMkan
bayar BRI. Karena tespun sulit., gak lolos, seorang
saya, ya kalau Yusuf. Tai kalau punya anak 7,
SIMnya kan berarti 7, jadi berfikirnya itu mbokya
yang praktis dan mengena, simple. Nuwun sewu,
Menristek Dikti yang sekarang pensiun jadi dosen
di Semarang. Catat nama anak-anak, sekolah
dimana.
Yang Bersangkutan,
228
Begitu pensiun sudah gak ada program lagi. Di catat
beneran ditindaklanjuti. “SPP berapa?. Ini kita bantu sekian
dari BNPT”, contoh seperti itu misalnya, sederhana banget.
Banyak yang efektif yang teman-teman merasa dikawal.
Nah, gak perlu nyebut ini BNPT. Ibarat garam itu ya
rasanya. Kalau simbol-simbol saja, percuma. Buku-buku
BNPT. Saya di rumah buku 1 dus.
Yang Bersangkutan,
229
Lampiran 2
Catatan Lapangan
September 2019 saya berkunjung ke kantor Yayasan
Prasasti Perdamaian di Tebet Timur Dalam. Awalnya saya
kesulitan menemukan lokasi tersebut, namun akhirnya gambar di
web menunjukkan saya menuju kantor tersebut untuk
berkonsultasi perihal penelitian yang saya lakukan sebelum
melalui tahap Seminar Proposal. Saya sampai disana pukul 11.00
dan bertemu dengan Pak Taufik Andrie dan Bu Anita. Saya
berkonsultasi atas judul awal saya yaitu Peran Penyuluh Agama
dalam menangani Eksklusivisme Mantan Narapidana Terorisme di
Yayasan Prasasti Perdamaian. Namun Pak Taufik dan Bu Anita
menyampaikan bahwa judul tersebut kurang cocok jika dipakai
untuk penelitian di Yayasan Prasasti Perdamaian karena
pendekatan mereka adalah dengan pendekatan humanisasi. Opsi
judul kedua akhirnya saya sampaikan bahwa saya ingin mengambil
tema Disengagement dan Bu Anita mengiyakan tema tersebut
karena sesuai dengan Yayasan Prasasti Perdamaian. Kondisi
kantor cukup lengang, hari itu tidak ada pembinaan syang
dilaksanakan. Setelah selesai konsultasi, saya meminta kontak Bu
Anita untuk penelitian lebih lanjut.
230
Catatan Lapangan
Pada 31 Oktober 2019, penelitian kedua saya ajukan
setelah menyelesaikan bab 1-2 dan untuk melengkapi bab 3. Saya
menghubungi Bu Anita, yaitu manajer keuangan Yayasan Prasasti
Perdamaian, selanjutnya diarahkan menuju Mbak Kharirotul
Maknunah, Direktur Pendampingan Yayasan Prasasti Perdamaian.
Perjalanan kedua ini saya lebih paham rute, ternyata hanya
dibutuhkan jalan kaki sekitar 10 menit dari Stasiun Tebet. Saya
sampai di Kantor Yayasan Prasasti Perdamaian jam 13.30 dengan
membawa daftar pertanyaan yang akan ditanyakan kepada
Direktur Pendampingan. Selanjutnya Mbak Khariroh Maknunah
meminta waktu sebentar setelah melihat daftar pertanyaan
tersebut. Dia menjelaskan bagaimana proses pembinaan mantan
narapidana kasus terorisme dengan jelas, detail, dan terstruktur.
Penjabaran dari Mbak Nuna sangat efektif dan detail, tidak ada
bagian yang harus dipangkas karena keseluruhannya
penjelasannya berisi informasi. Saya sangat berterimakasih kepada
Mak Nuna yang telah meluangkan waktu wawancara yang berjalan
sekitar 35 menit. Di tengah kehamilan tuanya yang membuat
nafasnya tersengal. Pada hari itu kantor Yayasan Prasasti
Perdamaian terlihat sepi. Saat itu tampak pula Ibu Anita dan Pak
Taufik Andrie. Setelah menyelesaikan wawancara saya segera
pulang menuju Ciputat.
231
Catatan Lapangan
18 Desember 2019 Saya mengunjungi Yayasan Prasasti
Perdamaian untuk menyampaikan permintaan surat izin penelitian
dari lembaga. Sebelumnya saya bertanya kepada Mbak Nuna,
apakah saya bisa berkonsultasi lagi untuk penelitian saya secara
lebih mendalam. Namun Mbak Nuna sedang cuti melahirkan
hingga Bulan Januari. Saya sempat bingung karena penelitian saya
sempat terhenti sebelum menemukan informan mantan narapidana
kasus terorisme yang menjadi penerima manfaat dari Yayasan
Prasasti Perdamaian. Pada hari itu saya bertemu dengan Mbak
Diana, staf bagian administrasi dan diberikan surat izin penelitian
kepada saya. Saya berada di kantor pukul 13.15 dan saya
menanyakan bagaimana kiranya penelitian saya. Dan yang
mengetahui detail mantan narapidana kasus terorisme adalah
Mbak Nuna. Sekitar 15 menit kemudian saya kembali ke Ciputat
dan mencari jalan bagaimana agar dapat wawancara dengan
mantan narapidana kasus terorisme secara langsung.
232
Catatan Lapangan
23 Desember 2019, saya mengikuti bedah buku dengan
tema Hijrah dari Radikal kepada Moderat, karya Haris Amir Falah,
mantan narapidana kasus terorisme yang terlibat dengan dunia
teror selama 27 dan menjadi Ketua Dewan Pembina Lembaga
Dakwah Thoriquna. Di pikiran saya saat itu, mungkin beliau dapat
menghubungkan saya dengan mantan narapidana kasus terorisme
yang pernah terlibat dengan Yayasan Prasasti Perdamaian,
sekalipun tidak, saya akan dapat pengetahuan baru akan
radikalisme. Setelah diskusi, peserta lain sibuk dengan kupon
makanannya, saya mengantre untuk dapat berbicara kepada beliau.
Saat itu media-media banyak yang meliput, salah satunya adalah
TV One. Di dalam forum itu, ternyata saya menemui banyak
ikhwan berseragam, dan sepertinya merupakan anggota dari
organisasi yang beliau dirikan. Saya akhirnya mengajak ngobrol
salah seorang dari mereka. “Maaf mas. Apa masnya satu organisasi
dengan Ustadz Haris?”, “Iya. Satu organisasi”, “Ini mas. Penelitian
saya berhubungan dengan dengan mantan narapidana kasus
terorisme. Saya ingin bertemu dengan 3 orang ini, barangkali
masnya tahu”, “Kalau yang pernah terlibat teroris, saya sendiri
pernah, saya dulu kuliah di sini, alumni UIN Syarif Hidayatullah
Fakultas Psikologi”, “Wah Psikologi mas. Kalau nama-nama ini,
kenal gak mas?”, “Gak hafal saya kalau nama. Coba foto. Akhirnya
saya menunjukkan foto, dan salah satunya adalah orang yang dia
kenal. Dan ternyata ikut dalam acara itu juga. Setelah itu saya
bertemu dengan Mas Ibenk dan meminta untuk kesediaan
wawancara kepadanya.
233
Catatan Lapangan
Setelah mendapatkan kontak Mas Ibenk dari dia secara
langsung, saya bersepakat untuk bertemu dan melakukan
wawancara pada 29 Desember 2019 di Ramayana Parung. Ini
adalah kali pertama saya bertemu dan berdialog dengan mantan
narapidana kasus terorisme secara langsung. Rasa takut pasti ada
namun inilah yang harus ditempuh untuk sebuah penelitian. Cuaca
hari itu cukup cerah, saya memilih menggunakan ojek online
karena takut terlambat, karena Parung cukup jauh. Sesampainya di
Ramayana, ternyata saya 30 menit lebih awal sebelum janji
bertemu jam 10.00. Tidak lama kemudian Mas Ibenk datang dan
kami berdialog di KFC. Di awal pembicaraan terasa sedikit kikuk,
namun lama-kelamaan, berdialog dengan mantan narapidana kasus
terorisme tidak semenyeramkan itu. Cerita masa lalu Mas Ibenk
dari tergabung ke kelompok teror hingga bebas dari lapas. Obrolan
itu berlangsung kurang lebih 60 menit, dan kemudian saya
melanjutkan makan sementara Mas Ibenk pulang terlebih dahulu.
234
Catatan Lapangan
Sebelum saya bertemu dengan Pak Ibrahim, saya melihat
leaflet milik Sekolah Kajian Strategik Global Universitas
Indonesia, yang salah satu narasumbernya adalah Pak Ibrahim.
Acara telah berlangsung bulan November dan saya mencoba
mengontak Narahubung, yaitu Mbak Ajeng, menyanyakan, apakah
ada kontak Pak Ibrahim untuk memperdalam penelitian saya,
selanjutnya setelah dikomunikasikan Mbak Ajeng, saya
menghubungi Pak Ibrahim dan beliau bersedia untuk
diwawancarai pada Sabtu, 4 Januari 2020.
Pada hari itu, cuaca mendung. Saya memilih menggunakan
KRL hingga stasiun Depok Baru dan bersambung menggunakan
ojek online menuju kediaman Pak Ibrahim di Mekar Jaya.
Sesampainya di rumah saya disuguhi banyak makanan basah yang
merupakan usaha istrinya, yaitu Catering. Kami berbincang
kurang lebih 50 menit tentang keahlian beliau dalam menggunakan
dan merakit senjata, tergabung dalam organisasi hingga bebas dari
lapas dan tergabung dengan Yayasan Prasasti Perdamaian. Setelah
perbincangan selesai, saya melakukan dokumentasi dan
berpamitan kepada Pak Ibrahim dan istrinya.
235
Catatan Lapangan
Untuk wawancara selanjutnya dilakukan di tempat yang
lebih jauh, yaitu di Semarang. Saya terhubung dengan Pak Yusuf
melalui Pak Lutfi Zuhdi dan Pak Syauqillah. Pak Yusuf memberi
pilihan untuk wawancara pada tanggal 8, 12, atau 13. Saya setuju
agar wawancara dilakukan pada tanggal 8. Seketika itu saya
memesan kereta api untuk perjalanan malam nanti menuju
Semarang dan tiba di Semarang pada tanggal 8 pukul 07.00. cuaca
di Semarang cukup cerah dan saya bersiap-siap di musholla
terdekat sebelum melakukan wawancara. Pukul 11.00 saya
memesan makanan di Donkin Donnut Gramedia Balai Kota
Semarang tempat saya akan bertemu Pak Yusuf. Beberapa saat
kemudian Pak Yusuf datang. Kami mengobrol dan perbincangan
kami cukup menyenangkan. Pak Yusuf adalah orang yang sangat
ramah. Perjalanan beliau di mulai di Camp Filipina, di lapas,
hingga terlibat dengan Yayasan Prasasti Perdamaian berlangsung
begitu saja. Kurang lebih 60 menit perbincangan kami. Beliau
menawarkan tumpangan menuju tempat wisata di Semarang, tapi
saya merasa merepotkan jika mengiyakan. Akhirnya beliau
melanjutkan urusannya dan saya mengunjungi tempat-tempat
wisata di Semarang.
236
Lampiran 3
Dokumentasi Foto
Foto Kantor Yayasan Prasasti Perdamaian (1)
Foto Kantor Yayasan Prasasti Perdamaian (2)
Foto Kantor Yayasan Prasasti Perdamaian (3)
237
Machmudi Hariono memaparkan isi film Jihad Selfie
Pelatihan Wirausaha YPP kepada Echo Ibrahim dan Riki Rianto
Machmudi Hariono bersama Founder YPP, Noor Huda Ismail
238
Peneliti bersama Staf YPP
Peneliti bersama Riki Rianto
239
Peneliti bersama Echo Ibrahim
Peneliti bersama Machmudi Hariono