37
Program Pemberantasan DHF oleh Puskesmas Dwi Nurani Diningsih 102009069 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat [email protected] I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit berbasis lingkungan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat sampai saat ini. Salah satu penyakit yang disebabkan oleh kondisi sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah penyakit demam berdarah dengue (DBD) atau Dangue Hemorrhagic Fever (DHF). DHF di Indonesia, pertama kali dicurigai berjangkit di Surabaya dan di Jakarta pada tahun 1968 dan kemudian secara drastis meningkat dan menyebar ke seluruh Indonesia. Penyakit ini juga dapat menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Penyakit demam berdarah dengue merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, sehingga saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang belum dapat diatasi sepenuhnya oleh karena sulitnya memutuskan matarantai penularan serta belum ditemukannya vaksin pencegahnya. Sekarang DHF telah menjadi penyakit epidemi di lebih dari 100 negara. Tindakan Pencegahan DBD lebih efektif dilakukan melalui perubahan perilaku masyarakat yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan. 1

Program Berantas Dhf

Embed Size (px)

Citation preview

Program Pemberantasan DHF oleh Puskesmas

Dwi Nurani Diningsih

102009069

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat

[email protected]

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit berbasis lingkungan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat sampai saat

ini. Salah satu penyakit yang disebabkan oleh kondisi sanitasi lingkungan yang tidak

memenuhi syarat kesehatan adalah penyakit demam berdarah dengue (DBD) atau Dangue

Hemorrhagic Fever (DHF). DHF di Indonesia, pertama kali dicurigai berjangkit di Surabaya

dan di Jakarta pada tahun 1968 dan kemudian secara drastis meningkat dan menyebar ke

seluruh Indonesia. Penyakit ini juga dapat menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Penyakit

demam berdarah dengue merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh virus

dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus,

sehingga saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang belum dapat diatasi

sepenuhnya oleh karena sulitnya memutuskan matarantai penularan serta belum

ditemukannya vaksin pencegahnya. Sekarang DHF telah menjadi penyakit epidemi di lebih

dari 100 negara. Tindakan Pencegahan DBD lebih efektif dilakukan melalui perubahan

perilaku masyarakat yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan.1

Tujuan

Berdasarkan latar belakang tersebut tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui upaya manajemen program puskesmas dalam melakukan

pemberantasan DHF melalui tindakan promotif, preventif, kuratif, rehabilitative, serta

protektif.

2. Untuk mendapatkan gambaran pengetahuan, sikap, tindakan masyarakat tentang

pemberantasan penyakit DHF.

3. Untuk melatih masyarakat melalui program pemberdayaan masyarakat.

4. Untuk mengetahui status kejadian DHF disuatu wilayah.

II. PEMBAHASAN

Istilah yang tidak diketahui:

DHF (Demam Hemorrhagic Fever/Demam Berdarah Dengue): Merupakan penyakit

yang disebabkan oleh infeksi virus DEN-1, DEN-2, DEN-3 atau, DEN-4 (baca: virus

dengan tipe 1-4) yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes

albopictus yang sebelumnya telah terinfeksi oleh virus dengue dari penderita DBD

lainnya.2

CFR (Case Fatality Rate/Angka Kematian Kasus): Jumlah kematian penyakit X di

bagi dengan jumlah penderita penyakit X.3

Endemik: penyakit yang asli atau menyebar terbatas pada populasi, masyarakat atau

wilayah tertentu.4

Sporadik: terjadi satu demi satu; tersebar secara luas; bukan merupakan epidemic atau

endemic.5

Revitalisasi: sebuah proses, cara, atau perbuatan menghidupkan dan menggiatkan

kembali.

PENGERTIAN DENGUE HEMORRHAGIC FEVER

Penyakit Demam Berdarah Dengue atau yang dalam istilah asing Dengue Hemorrhagic Fever

(DHF) adalah penyakit infeksi virus akut yang disebabkan oleh virus Dengue dan terutama

menyerang anak- anak dengan ciri- ciri demam tinggi mendadak dengan manifestasi

perdarahan dan bertendensi menimbulkan shock dan kematian. Penyakit ini ditularkan

melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan mungkin juga Albopictus. Kedua jenis nyamuk ini

terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia kecuali ketinggian lebih dari 1000 meter diatas

permukaan laut. Masa inkubasi penyakit ini diperkirakan lebih kurang 7 hari. Penyakit

Demam Berdarah Dengue dapat menyerang semua golongan umur. Sampai saat ini penyakit

Demam Berdarah Dengue lebih banyak menyerang anakanak tetapi dalam dekade terakhir ini

terlihat adanya kecenderungan kenaikan proporsi penderita Demam Berdarab Dengue pada

orang dewasa. Indonesia termasuk daerah endemik untuk penyakit Demam Berdarah Dengue.

Serangan wabah umumnya muncul sekali dalam 4 - 5 tahun. Faktor lingkungan memainkan

peranan bagi terjadinya wabah. Lingkungan dimana terdapat banyak air tergenang dan

barang-barang yang memungkinkan air tergenang merupakan tempat ideal bagi penyakit

tersebut.

EPIDEMIOLOGI

Sebagai model epidemiologi penyebaran penyakit infeksi yang dibuat oleh Jhon Gordon,

penularan penyakit DHF juga dipengaruhi interaksi tiga faktor, yaitu sebagai berikut:

1. Faktor penjamu (target penyakit, inang), dalam hal ini adalah manusia yang rentan tertular

penyakit DHF.

2. Faktor penyebar (vector) dan penyebab penyakit (agen), dalam hal ini adalah virus DEN

tipe 1-4 sebagai agen penyebab penyakit, sedangkan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes

albopictus berperan sebagai vector penyebar penyakit DHF.

3. Faktor lingkungan, yakni lingkungan yang memudahkan terjadinya kontak penularan

pennyakit DHF.

Berbagai upaya untuk memutus mata rantai penularan penyakit DHF dapat ditempuh dengan

cara memodifikasi faktor-faktor yang terlibat di dalamnya. Perbaikan kualitas kebersihan

(sanitasi) lingkungan, menekan jumlah populasi nyamuk Aedes Aegypti selaku vector

penyakit DHF, serta pencegahan penyakit dan pengobatan segera bagi penderita penyakit

DBD adalah beberapa langkah yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan ini. Namun, yang

penting sekali diperhatikan adalah peningkatan pemahaman, kesadaran, sikap, dan perubahan

prilaku masyarakat terhadap penyakit ini, akan sangan mendukung percepatan upaya

memutus mata rantai penularan penyakit DHF. Dan pada akhirnya, mampu menekan laju

penularan penyakit mematikan ini di masyarakat.

Gambar 1. TriEpidemiologi

Sumber publichealth.com

Faktor Pejamu (Target penyakit, Inang)

Meskipun penyakit DHF dapat menyerang segala usia, beberapa penelitian menunjukkan

bahwa anak-anak lebih rentan tertular penyakit yang berpotensi mematikan ini. Di daerah

endemic, mayoritas kasus penyakit DHF terjadi pada anak-anak dengan usia kurang dari 15

tahun.

Di Indonesia, penderita penyakit DHF terbanyak berusia 5-11 tahun. Secara keseluruhan,

tidak terdapat perbedaan jenis kelamin penderita, tetapi angka kematian lebih banyak pada

anak perempuan dibanding laki-laki. Anak-anak cenderung lebih rentan dibandingkan

kelompok usia lain, salah satunya adalah faktor imunitas yang relative lebih rendah

dibandingkan orang dewasa. Selain itu, pada kasus-kasus berat, yakni DHF derajat 3 dan 4,

komplikasi terberat yang kerap muncul yaitu syok, relative lebih banyak dijumpai pada anak-

anak dan sering kali tidak tertangani dan berakhir dengan kematian penderita.

Faktor Agen

Virus

Karakteristik virus dengue merupakan anggota family Flaviviridae. Keempat tipe virus

dengue menunjukkan banyak persamaam karakteristik dengan flavivirus lain. Hal ini

memungkinkan terjadinya reksi-silang pada pemeriksaan serologis antara virus dengue dan

virus lain dari family flaviviridae. Kondisi ini menjadi salah satu pertimbangan bagi dokter

dalam memilih jenis pemeriksaan uji lab, berdasarkan nilai sensitivitas maupun spesifitasnya.

Virus dengue memiliki kode genetic (genom) RNA rantai tunggal, yang dikelilingi oleh

selubung inti (nukleokapsid) ikosahedral dan terbungkus oleh selaput lipid (lemak). Genom

flavivirus mempunyai panjang kira-kira 11 kb (kilobases), dan urutan genim lengkap telah

dikenal untuk mengisolasi keempat tipe virus yang masing-masing mengode nukleokapsid

dan protein inti (C), protein yang berkaitan dengan membrane (M), protein pembungkus (E),

dan tujuh gen protein nonstructural (NS).

Gambar 2. Flavivirus

Sumber www.stanford.edu

Virus dengue bersifat labil terhadap panas (termolabil). Sifat ini mesti diperhatikan ketika

hendak melakukan isolasi ataupun mengultur virus. Ada empat tipe virus penyebab DHF,

yaitu; DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Masing-masing dari virus ini dapat dibedakan

melalui isolasi virus di lab. Infeksi oleh satu tipe virus dengue akan memberikan imunitas

yang menetap terhadap infeksi virus yang sama pada masa yang akan datang. Namun, hanya

memberikan imunitas sementara dan parsial terhadap infeksi tipe virus lainnya.

Vektor

Morfologi nyamuk Aedes aegypti betina dewasa memiliki tubuh bewarna hitam kecoklatan.

Ukuran tubuh nyamuk Aedes aegypti betina antara 3-4cm, dengan mengabaikan panjang

kakinya. Tubuh dan tungkainya ditutupi sisik dengan garis putih keperakan. Dibagian

punggung tubuhnya tampak dua garis melengkung vertical dibagian kiri dan kanan yang

menjadi cirri dari nyamuk spesies ini. Nyamuk jantan dan betina tidak memiliki perbedaan

nyata dalam hal ukuran. Biasanya, nyamuk jantan memiliki tubuh lebih kecil daripada betina,

dan terdapat rambut-rambut tebal pada antenna nyamuk jantan. Kedua cirri ini dapat diamati

dengan mata telanjang.

Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti

Nyamuk ini meletakkan telur pada permukaan air bersih secara individual. Setiap hari

nyamuk Aedes aegypti betina dapat bertelur rata-rata 100 butir. Telurnya berbentuk elips

bewarna hitam dan terpisah satu dengan yang lain. Telur menetas dalam satu sampai dua hari

menjadi larva. Terdapat empat tahapan dalam perkembangan larva yang disebut instar.

Perkembangan dari instar satu ke instar empat memerlukan waktu sekitar lima hari. Setelah

mencapai instar keempat, larva berubah menjadi pupa dimana larva memasuki masa dorman

(tidak aktif, tidur).

Gambar 3. Siklus hidup Aedes aegypti

Sumber medicastore.com

Pupa bertahan selama dua hari sebelum akhirnya nyamuk dewasa keluar dari pupa.

Perkembangan dari telur hingga nyamuk dewasa membutuhkan waktu tujuh hingga delapan

hari, tetapi dapat lebih lama jika kondisi lingkungan tidak mendukung. Telur Aedes aegypti

tahan terhadap kondisi kekeringan, bahkan bisa bertahan hingga satu bulan dalam keadaan

kering. Jika terendam air, telur kering dapat menetas menjadi larva. Sebaliknya, larva sangat

membutuhkan air yang cukup untuk perkembangannya. Kondisi larva saat berkembang dapat

memengaruhi kondisi nyamuk deawa yang dihasilkan. Sebagai contoh, populasi larva yang

melebihi ketersediaan makanan akan menghasilkan nyamuk dewasa yang cenderung lebih

rakus dalam menghisap darah.

Pola Aktivitas Nyamuk Aedes aegypti

Nyamuk Aedes aegypti bersifat diurnal, yakni aktif pada pagi hingga siang hari. Penularan

penyakit dilakukan oleh nyamuk betina karena hanya nyamuk betina yang menghisap darah.

Hal itu dilakukannya untuk memperoleh asupan protein, antara lain prostaglandin, yang

diperlukan untuk bertelur. Nyamuk jantan tidak membutuhkan darah, dan memperoleh

sumber energy dan nectar bunga ataupun tumbuhan.

Nyamuk Aedes aegypti menyukai area yang gelap dan benda-benda bewarna hitam atau

merah. Penyakit DHF/DBD kerap menyerang anak-anak. Hal ini disebabkan karena anak-

anak cenderung duduk di dalam ruang kelas selama pagi hingga siang haari dan kaki mereka

yang tersembunyi di bawah meja menjadi sasaran empuk nyamuk jenis ini.

Infeksi virus dalam tubuh nyamuk dapat mengakibatkan perubahan perilaku yang mengarah

pada peningkatan kompetensi vector, yaitu kemampuan untuk menyebarkan virus. Infeksi

virus dengue dapat mengakibatkan nyamuk kurang handal dalam menghisap darah, berkali-

kali menusukkan alat penusuk dan pengisap darahnya (prosboscis), tetapi tidak berhasil

menghisap darah, sehingga nyamuk berpindah dari satu orang ke orang lain. Akibatnya,

resiko penularan penyakit DHF menjadi semakin besar.

Seseorang yang didalam darahnya mengandung virus dengue merupakan sumber penularan

penyakit demam berdarah. Virus dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari

sebelum demam. Bila penderita tersebut digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah

akan ikut terisap masuk kedalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak

diri dan tersebar diberbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk didalam kelenjar liurnya. Kira-

kira 1 minggu setelah mengisap darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan

kepada orang lain (masa inkubasi ekstrinsik). Virus ini akan tetap berada dalam tubuhnyamuk

sepanjang hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes Aegypti yang telah mengisap virus

dengue itu menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi karena

setiapkali nyamuk menusuk/mengigit, sebelum mengisap darah akan mengeluarkan air liur

melalui alat tusuknya (proboscis) agar darah yang diisap tidak membeku. Bersama air liur

inilah virus dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain.

Di Indonesia, nyamuk Aedes aegypti umumnya memiliki habitat di lingkungan perumahan,

tempat terdapat banyak penampungan air bersih dalam bak mandi ataupun tempayan yang

menjadi sarang berkembangbiaknya.

Selain itu, di dalam rumah juga banyak terdapat baju yang tergantung atau lipatan gorden, di

tempat-tempat inilah biasanya nyamuk Aedes aegypti betina dewasa bersembunyi.

Distribusi Nyamuk Aedes aegypti

Nyamuk Aedes aegypti merupakan spesies nyamuk tropis dan subtropics yang banyak

ditemukan antara garis lintang 350U dan 350S. distribusi nyamuk ini dibatasi oleh ketinggian,

biasanya tidak dapat dijumpai pada daerah dengan ketinggian lebih dari 1.000m, meski

pernah ditemukan pada ketinggian 2.121m di India dan 2.200m di Kolombia.

Nyamuk Aedes aegypti betina merupakan vector penyakit DHF yang paling efektif dan

utama. Hal ini karena sifatnya yang sangat senang tinggal berdekatan dengan manusia dan

lebih senang menghisap darah manusia, bukan darah hewan (antropofilik). Selain Aedes

aegypti, ada pula nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis, dan Aedes scutellaris yang

dapat berperan sebagai vector DHF, tetapi kurang efektif.

Penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue di daerah perkotaan lebih intensif dari pada

di daerah pedesaan. Hal ini disebabkan kepadatan jumlah penduduk yang tinggi didaerah

perkotaan. Jarak antara rumah yang satu dengan yang lain sangat berdekatan sehingga

memudahkan nyamuk penular Demam Berdarah Dengue (Aedes Aegypti) menyebarkan

virus dengue dari satu orang keorang lain yang ada disekitarnya (jarak terbang nyamuk

Aedes aegypti biasanyatidak lebih dari 100 meter). Selain itu mobilitas penduduk dikota pada

umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan di pedesaan. Jumlah Dati II yang terjangkit

penyakit Demam Berdarah Dengue dari tahun ke tahun meningkat. Dalam tahun 1992 hanya

ada 187 Dati II terjangkit, dan pada tahun 1996 meningkat menjadi 211 Dati ll. Masih terus

meningkatnya jumlah Dati II yang terjangkit penyakit Demam Berdarah Dengue salah satu

penyebabnya karena masih kurangnya upaya penggerakkan masyarakat dalam

Pemberantasan Sarang nyamuk penular penyakit Demam Berdarah Dengue (PSN DBD), di

berbagai daerah. Hal ini dapat dilihat dari masih rendahnya rata-rata Angka Bebas Jentik

(ABJ) Hasil Pemantauan Jentik Berkala (pm) di seluruh Propinsi dalam 6 tahun terakhir

(1991-1996) berkisar 78,6-83,69. Angka ini masih jauh lebih rendah dari 95% yaitu angka

yang diharapkan untuk dapat membatasi penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue.

ABJ yang dicapai di beberapa daerah, sifatnya sangat dinamis, selalu berubah-ubah dari

waktu ke waktu tergantung dari upaya penggerakkan masyarakat dalam pemberantasan

sarang nyamuknya (PSN DBD). Hal ini tampak dari data lampiran 2, dimana ratarata ABJ

meningkat dari tahun 1991 s/d 1994, namun kemudian menurun kembali mulai tahun 1995

dan 1996.

Faktor Lingkungan

Nyamuk Aedes aegypti sangat suka tinggal dan berkembang biak di genangan air bersih yang

tidak berkontak langsung dengan tanah. Vector penyakit DHF ini diketahui banyak bertelur

di genangan air yang terdapat pada sisa-sisa kaleng bekas, tempat penampungan air, bak

mandi, ban bekas, dan sebagainya.

Jumlah penderita DHF umumnya meningkat pada awal musim hujan, yaitu antara September

hingga Februari, di mana banyak terdapat genangan air bersih di dalam sisa-sisa kaleng

bekas, ban bekas, maupun benda-benda lain yang mampu menampung sisa air hujan. Di

daerah urban penduduk padat, puncak penderita penyakit DHF adalah bulan Juni atau Juli,

bertepatan dengan awal musim kemarau.

Karena itu, kesadaran masyarakat untuk membersihkan lingkungan, mengubur sisa-sisa

barang bekas serta menutup tempat-tempat penampungan air bersih, menjadi salah satu upaya

efektif dalam menekan laju penularan penyakit DHF.

MANAJEMEN PROGRAM PENCEGAHAN PENYAKIT DBD

Setiap puskesmas dengan penuh tanggung jawab harus melaksanakan pencatatan pelaporan

sesuai dengan system yang berlaku dengan bimbingan petugas tingkat kabupaten,

melaksanakan tindakan sesuai dengan arahan yang diberikan dalam alternative tindakan

berdasarkan hasil pemantauan. (Depkes RI, 1998).

Dalam penanggulangan DBD, menurut WHO, suatu panitia

pengorganisasian atau pengkoordinasian harus dibuat dan harus terdiri

atas administrator, ahli epidemiologi, praktisi, ahli entomologi, dan

pekerja dari laboratorium virus. Tanggung jawab dari panitia yang dibuat

ini biasanya ditetapkan surat keputusan menteri kesehatan. Panitia

tersebut harus:

Menyusun dan mendistribusikan protokol untuk diagnosis klinis dan

pengobatan DBD/DSS.

Menyiapkan dan menyebarkan DBD/DSS untuk petugas perawatan

kesehatan, masyarakat, dan media massa.

Merencanakan dan menerapkan program pelatihan untuk petugas

perawatan kesehatan dan pembantunya (misalnya staf rumah sakit,

peserta didik kedokteran, perawat, teknisi laboratorium).

Mengkaji kebutuhan terhadap cairan intravena, obat-obatan, produk

darah, peralatan perawatan intensif, materi penyuluhan dan

peralatan untuk memindahkan pasien.

Mengawasi penggunaan suplai dan hasil program perawatan klinis

(setiap hari bila perlu).

Mengkoordinasikan penelitian klinis tentang DBD/DSS selama

wabah.

Hasil dari penerapan tindakan diatas, maka suatu program

pemberantasan dan penanggulangan dapat dibuat untuk selanjutnya

dilaksanakan oleh organisasi kesehatan yang berurusan langsung dengan

masyarakat, di Indonesia dikenal sebagai PUSKESMAS.

Puskesmas adalah organisasi kesehatan fungsional yang merupakan

pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran

serta masyarakat dan memberikan pelayanan secara menyeluruh dan

terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan

pokok (Depkes RI, 1991). Dengan kata lain puskesmas mempunyai

wewenang dan tanggungjawab atas pemeliharaan kesehatan masyarakat

dalam wilayah kerjanya. Menurut Kepmenkes RI No.

128/Menkes/SK/II/2004 puskesmas merupakan Unit Pelayanan Teknis

Dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab

menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.

Manajemen puskesmas dapat digambarkan sebagai suatu rangkaian

kegiatan yang bekerja secara senergik, sehingga menghasilkan keluaran

yang efisien dan efektif. Manajemen puskesmas tersebut terdiri dari

perencanaan (untuk mencapai tujuan dan sasaran), pelaksanaan,

pengendalian serta pengawasan dan pertanggungjawaban. Seluruh

kegiatan diatas merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan

berkesinambungan (Depkes RI, 2006).

Bentuk manajemen program oleh PUSKESMAS dalam menanggulangi

Demam Berdarah Dengue adalah sebagai berikut:

1. Tujuan :

a. Menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit DBD.

b. Mencegah dan menanggulangi KLB.

c. Meningkatkan peran serta masyarakat (PSM) dalam

pemberantasan sarang nyamuk (PSN).

2. Sasaran :

Sasaran nasional (2000)

a. Morbiditas di kecamatan endemik DBD < 2 per 10.000

penduduk.

b. CFR <2,5%

3. Pelaksanaan :

Menjalankan delapan pokok program yaitu :

Surveilans epidemiologi

Pemberantasan vektor dan penanggulangan Kejadian Luar

Biasa

Tatalaksana klinis

Penyuluhan

Kemitraan

Peran serta masyarakat

Pelatihan

Penelitian dan pengembangan

4. Monitoring dan evaluasi :

a. Indikator pemerataan

Penyelidikan epidemiologis (PE) =

jumlah penderitadengan PEjumlah penderita yang dilaporkan

Fogging focus =

jumlah foggingjumlah penderita

×100 %

b. Indikator efektivitas perlindungan

cakupanrumah dengan FF / AS/ PSNjumlahrumah yang seharusnya tercakupdalamFF / AS /PSN

×100 %

c. Indikator efisiensi program

Angka kepadatan jentik (HI) =

jumlahrumah yang positif terdapat jentikjumlahrumah yangdiperiksa

×100 %

Angka kesakitan DBD =

jumlah kesakitan DBDjumlah penduduk

× 100 %

Angka kematian DBD =

jumlah kematian DBDjumlah penderita

×100 %

PROMOTIF

Promosi kesehatan penyakit DBD tidak sekedar membuat leaflet atau poster saja melainkan

suatu komunikasi perubahan Perilaku dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk melalui pesan

pokok “3M PLUS”, merupakan suatu kegiatan yang terencana sejak dari tahap analisa situasi,

perencanaan kegiatan hingga ke pelaksanaan dan evaluasi. Saat ini kegiatan diintensifkan

menjadi sub program Peran Serta Masyarakat dalam PSN dan telah diterbitkan buku

panduan untuk ini. Diharapkan setiap wilayah memilih daerah uji coba untuk meningkatkan

peran serta masyarakat dalam PSN DBD. Contoh salah satu kota yang telah berhasil dalam

penggerakkan peran serta masyarakat bekerja sama dengan PKK dan LSM Rotary adalah

Purwokerto. Pelaksana kegiatan tidak hanya sektor kesehatan tapi melibatkan semua pihak

yang terkait anak sekolah, pramuka Saka Bhakti Husada, mahasiswa, kader-kader, tokoh

masyarakat, petugas sektoral, pemilik bangunan/ pertokoan dll.

Penyuluhan dan penggerakan masyarakat untuk PSN (pemberantasan sarang nyamuk).

Penyuluhan/informasi tentang demam berdarah dan pencegahannya dilakukan melalui jalur-

jalur informasi yang ada:

1. Penyuluhan kelompok: PKK, organisasi sosial masyarakat lain, kelompok agama, guru,

murid sekolah, pengelola tempat umum/instansi, dll.

2. Penyuluhan perorangan:

(1) Kepada ibu-ibu pengunjung Posyandu

(2) Kepada penderita/keluarganya di Puskesmas

(3) Kunjungan rumah oleh Kader/petugas Puskesmas

3. Penyuluhan melalui media massa: TV, radio, dll (oleh Dinas Kesehatan Tk. II, I dan pusat).

Menggerakkan masyarakat untuk PSN penting terutama sebelum musim penularan (musim

hujan) yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh kepala Wilayah setempat. Kegiatan PSN

oleh masyarakat ini seyogyanya diintegrasikan ke dalam kegiatan di wilayah dalam rangka

program Kebersihan dan Keindahan Kota. Di tingkat Puskesmas, usaha/kegiatan

pemberantasan sarang nyamuk (PSN) demam berdarah ini seyogyanya diintegrasikan dalam

program Sanitasi Lingkungan.

Cara MelakukanPenyuluhan Kelompok

a. Penyuluhan kelompok dapat dilaksanakan di kelompok Dasawisma, pertemuan arisan

atau pada pertemuan Warga RT/RW, pertemuan dalam kegiatan keagamaan atau

pengajian, dan sebagainya.

b. Langkah-langkah dalam melakukan penyuluhan kelompok:

- Usahakan agar setiap peserta pertemuan dapat duduk dalam posisi saling bertatap

muka satu sama lain. Misalnya berbentuk huruf U, O atau setengah lingkaran.

- Mulailah dengan memperkenakan diri dan perkenalan semua peserta

- Kemudian disampaikan pentingnya membicarakan demam berdarah dengue, antara

lain bahayanya, dapat menyerang sewaktu-waktu pada semua umur terutama anak-

anak.

- Jelaskan materi yang telah disiapkan sebelumnya secara singkat dengan

menggunakan gambar-gambar atau alat peraga misalnya lembar balik (flipchart)

atau leaflet/poster

- Setelah itu beri kesempatan kepada peserta untuk berbicara atau mengajukan

pertanyaan tentang materi yang dibahas

Gambar 4. Pamflet penyuluhan DBD

Sumber pedulidbd.com

Pada akhir penyuluhan, ajukan beberapa pertanyaan untuk mengetahui sejauh mana materi

yang disampaikan telah dipahami.

Pelaporan penderita dan pelaporan kegiatan

a) Sesuai dengan ketentuan/sistim pelaporan yang berlaku, pelaporan penderita

demam berdarah dengue menggunakan formulir :

(1) W1/laporan KLB (wabah)

(2) W2/laporan mingguan wabah

(3) SP2TP: LB 1/laporan bulanan data kesakitan, LB 2/laporan bulanan data kematian.

Sedangkan untuk pelaporan kegiatan menggunakan formulir LB3/laporan bulanan

kegiatan Puskesmas (SP2TP).

b) Penderita demam berdarah/suspect demam berdarah perlu diambil specimen darahnya

(akut dan konvalesens) untuk pemeriksaan serologis. Specimen dikirim bersama-sama ke

Balai Laboratorium Kesehatan (BLK) melalui Dinas Kesehatan Dati II setempat.

Informasi Penanggulangan Demam Berdarah

Mengingat demam berdarah merupakan penyakit yang tergolong baru dan berbahaya maka

menjadi salah satu masalah kesehatan yang harus ditangani di Indonesia. Apalagi hal itu

dihubungkan dengan adanya kenyataan, sampai dewasa ini belum diketemukan vaksin untuk

mengatasi virus demam berdarah. Thomas Suroso dalam Sumarno et al mengatakan bahwa

penyakit ini mengakibatkan banyak kematian terutama pada anak-anak, selain

penyebarannyapun luas.

Untuk itu, berbagai usaha dilakukan untuk menanggulangi penyakit ini. Salah satu upaya

yang dilakukan ialah dengan memberikan informasi penanggulangan demam berdarah

kepada masyarakat luas. Sebagai perbandingan misalnya, di Singapura telah dilaksanakan

suatu sistem tepadu untuk menanggulangi demam berdarah. Hal ini, dilakukan dengan

melaksanakan sistem terpadu penyuluhan, peraturan pemerintah dan pengamatan dalam

kontrol spesies aides (Sudarmo, 1980 : 60).

Penanggulangan demam berdarah ini harus dilakukan oleh semua lapisan masyarakat secara

terpadu. Karena itu secara umum informasi penanggulangan demam berdarah ialah informasi

yang berhubungan dengan gejala dan tanda penyakit, ciri nyamuk pembawa virus, cara

pemberantasan nyamuk, upaya pencegahan panyakit, pertolongan dini serta tindakan

penanggulangan terhadap penderita demam berdarah.

Selain itu, masyarakat perlu tahu bagaimana tanda-tanda dan gejala kasus demam berdarah

antara lain : demam tinggi, perdarahan (terutama perdarahan kulit), hepatomegali dan

kegagalan peredaran darah (Sudarmo, 1988 :35). Hal ini harus diketahui sejak awal, terutama

sejak anak demam tinggi, nyeri kepala dan berbagai bagian tubuh, rasa menggigil, anoreksi

dan malaise. Jika tanda-tanda tersebut ada, anak harus segera dibawa ke rumah sakit untuk

memperoleh pengobatan dan perawatan.

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN

Pemberantasan penyakit demam berdarah seperti juga pada penyakit menular lainnya

didasarkan atas pemutusan rantai penularan. Komponen penularan penyakit demam berdarah

terdiri dari virus didalam darah penderita saat viremia, vektor penyakit yaitu larva dan

nyamuk Aedes aegypti, dan manusia. Sebagaimana prinsip pemberantasan penyakit menular

menurut Suroso (1968), ada lima tempat pemutusan rantai penularan dan cara

pemberantasan/penanggulangan penyakit demam berdarah, yaitu :

1. Memberantas virus dengan cara mengobati penderita dengan obat anti virus pada saat

viremia. Cara ini tidak dapat dilaksanakan oleh karena obat virus yang efektif dan

murah belum ada, dan jika telah ada sulit dilakukan karena pada saat viremia terjadi

penderita belumn mengalami gangguan klinis yang berarti, seprti demam atau gejala

ringan lainnya.

2. Mengisolasi penderita agar tidak digigit nyamuk dan menjadi penular penyakit kepada

orang sehat. Cara ini juga sulit dan tidak mungkin dilakukan karena tidak mudah

untuk mengisolasi penderita yang tidak jelas terasa sakitnya sedangkan viremia sudah

ada sebelum penderita mengalami gangguan klinis yang berarti.

3. Mencegah gigitan nyamuk sebagai perlindungan terhadap orang sehat. Cara

pencegahan ini walaupun mudah dilakukan tetapi belum dapat dijalankan karena

dianggap kurang praktis. Dengan cara ini hanya sebagian kecil saja masalah yang

dapat dikurangi.

4. Mengadakan imujnisasi sebagai pencegahan bagi orang sehat. Cara ini masih belum

dapat diharapkan akan terlaksana dalam waktu yang dekat ini, karena penggunaan

vaksin untuk pencegahan penyakit demam berdarah masih dalam penelitian,

sedangkan kasus yang ditemui makin meningkat terus.

5. Memberantas/membasmi vektor agar penularan virus kepada orang lain dapat

dicegah.

Cara inilah yang masih mungkin dan masih mudah dijalankan mengingat tempat perindukan

yang terbatas disekitar rumah dan jarak terbangnya yang relatif pendek yaitu sekita 100

merter. Karena hal-hal tadi maka pemberantasan terhadap Aedes aegypti sebagai vektor

lebih diutamakan, baru kemudian ditujukan pada penanggulangan penderita.

Metode pemberantasan dan pencegahan penyakit demam berdarah yang telah dilakukan di

Indonesia antara lain adalah :

1. Upaya pengurangan habitat jentik dengan melakukan perbaikan sanitasi lingkungan.

2. Pemberantasan nyamuk dewasa dengan menggunakan insektisida yang antara lain

dengan menggunakan malation.

3. Pemberantasan jentik dengan menggunakan larvasida di tempat-tempat perindukan

dengan pemberian temefos 1% (Suroso, 1984).

Penyakit DBD belum dapat dicegah dengan imunisasi. Satu-satunya cara mencegah demam

berdarah hanya dengan membasmi nyamuk kebun, nyamuk  pembawa virus demam berdarah,

karena membunuh virusnya kita belum bisa.

a. Pemberantasan Nyamuk Dewasa

Pemberantasan nyamuk dewasa dilakukan dengan cara penyemprotan (pengasapan/

pengabutan = fogging) dengan insektisida. Insektisida yang dapat digunakan antara lain

insektisida golongan:

1. Organophospate, misalnya: malathion

2. Pyretroid sintetic, misalnya lamda sihalotrin, cypermetrin, alfamethrin

3. Carbamat

Alat yang digunakan untuk menyemprot adalah mesin fogging atau mesin ULV dan

penyemprotan dengan cara pengasapan tidak mempunyai efek residu. Untuk membatasi

penularan virus dengue penyemprotan dilakukan dua siklus dengan interval 1 minggu. Pada

penyemprotan siklus pertama, semua nyamuk yang mengandung virus dengue (nyamuk

infektif) dan naymuk-nyamuk lainnya akan mati. Tetapi akan segera muncul nyamuk-

nyamuk baru diantaranya akan mengisap darah penderita viremia yang masih ada yang dapat

menimbulkan terjadinya penularan kembali. Oleh karena itu perlu dilakukan penyemprotan

siklus kedua. Penyemprotan yang kedua dilakukan satu minggu sesudah penyemprotan yang

pertama agar nyamuk baru yang infektif tersebut akan terbasmi sebelum sempat menularkan

pada orang lain (Depkes RI, 2005: 13).

b. Pemberantasan Jentik

Pemberantasan jentik Aedes aegypti yang dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang

Nyamuk Demam Berdarah (PSN DBD).

1. Fisik

Menurut Erik Tapan (2004: 92), untuk mencegah dan membatasi penyebaran penyakit

Demam Berdarah, setiap keluarga perlu melakukan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue

(PSN-DBD) dengan cara “3M” yaitu:

1. Menguras dengan menyikat dinding tempat penampungan air (tempayan,drum, bak

mandi, dan lain-lain) atau menaburkan bubuk abate/altosid bila tempat-tempat

tersebut tidak bisa dikuras

2. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air agar nyamuk tidak dapatmasuk dan

berkembang biak di dalamnya

3. Mengubur/membuang barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan

misalnya ban bekas, kaleng bekas, tempat minuman mineral dan lain-lain.

Gerakan 3 M Plus adalah kegiatan yang dilakukan serentak oleh seluruh masyarakat untuk

memutuskan rantai kehidupan (daur hidup) nyamuk Aedes aegypti penular penyakit. Daur

hidup nyamuk Aedes aegypti terdiri dari telur, jentik, kepompong hidup dalam air yang tidak

beralaskan tanah dan akan mati bilaairnya dibuang. Agar telur, jentik dan kepompong

tersebut tidak menjadi naymuk,maka perlu dilakukan 3M Plus” secara teratur sekurang-

kurangnya seminggu sekali dengan gerakan “3M Plus”. Yang dimaksud Plus yaitu: 

Mengganti air vas bunga,tempat minum burung, atau tempat tempat lainnyasejenis

seminggu sekali 

Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak

Menutup lubang lubang pada potongan bambu / pohon dan lain lain (dengantana san

lain lain)

Menaburkan bubuk larvasida , misalnya ditempat tempat yang sulit dikurasatau

didaerah yang sulit air

Memelihara ikan pemakan jentik di kolam / bak bak penampungan air

Memasang kawat kasa

Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar

Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai

Menggunakan kelambu

Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk 

2. Kimia

Cara memberantas jentik Aedes aegypti dengan menggunakan insektisida pembasmi jentik

(larvasida) ini antara lain dikenal istilah larvasidasi. Larvasida yang biasa digunakan antara

lain adalah bubuk abate (temephos). Formulasi temephos yangdigunakan adalah granules

(sand granules). Dosis yang digunakan 1 ppm atau 10gram (± 1 sendok makan rata) untuk

setiap 100 liter air. Larvasida dengan temephos ini mempunyai efek residu 3 bulan. Selain itu

dapat pula digunakan golongan insect growth regulator. Teknik penggunaan temefos:

a. aplikasi I dilakukan 2 bulan sebelum musim penularan di suatu daerah atau

pada daerah yang belum pernah terjangkit DBD.

b. aplikasi II dilakukan 2-21/2 bulan berikutnya (pada masa penularan/populasi

Aedes yang tertinggi)

c. aplikasi III dapat dilakukan 2-21/2 bulan setelah aplikasi II.

Menggunakan Altosid 1,3 G (bahan aktif: Metopren 1,3%) – Takaran penggunaan Altosid

1,3 G adalah sebagai berikut: Untuk 100 liter air cukup dengan 2,5 gram bubuk Altosid 1,3 G

atau 5 gram untuk 200 liter air. Gunakan takaran khusus yang sudah tersedia dalam setiap

kantong Altosid 1,3 G. Bila tidak ada - alat penakar, gunakan sendok teh, satu sendok teh

peres (yang diratakan atasnya) berisi 5 gram Altosid 1,3 G. Selanjutnya tinggal membagikan

atau menambahkannya sesuai dengan banyaknya air. Takaran tidak perlu tepat betul.

Menggunakan Sumilarv 0,5 G (DBD) (bahan aktif:piriproksifen 0,5%) – Takaran

penggunaan Sumilarv 0,5 G (DBD) adalah sebagai berikut: Untuk 100 liter air cukup dengan

0,25 gram bubuk Sumilarv 0,5 G (DBD) atau 0.5 gram untuk 200 liter air. Gunakan takaran

khusus yang tersedia (sendok kecil ukuran kurang lebih 0,5 gram). Takaran tidak perlu tepat

betul.

3. Biologi

Misalnya memelihara ikan pemakan jentik (ikan kepala timah, ikan gupi,ikan cupang/tempalo

dan lain-lain). Dapat juga digunakan Bacillus thuringensisvar, Israeliensis (Bti) (Depkes RI,

2005: 14).

TINDAKAN KURATIF

WHO 1989 membagi DBD memjadi 4 derajat. Derajat 1, terdapat demam dan uji tourniqet

positif. Derajat 2, demam diiringi dengan perdarahan spontan. Derajat 3, kondisi pasien

seperti pada DBD derajat 2 disertai hepatomegali, syok, tekanan nadi < 20 mmHg, hipotensi,

ekstremitas dingin dan gelisah. Dan derajat 4, kondisi paling parah karena terjadi renjatan

hebat yang terlihat dari nadi yang tak teraba dan tensi yang tak terukur.

Pasien penyakit DBD pada umumnya disertai dengan tanda-tanda berikut:

1. Demam selama 2-7 hari tanpa sebab yang jelas.

2. Manifestasi perdaraham dengan tes Rumpel Leede (+), mulai dari

petekie (+) sampai perdarahan spontan seperti mimisan, muntah

darah, atau berak darah-hitam.

3. Hasil pemeriksaan trombosit menurun (normal :150.000-300.000

µL), hematokrit meningkat (normal: pria < 45, wanita < 40).

4. Akral dingin, gelisah, tidak sadar (DSS, dengue shock syndrome).

Tanda yang khas pada demam berdarah adalah adanya petekie (manifestasi perdarahan

subcutan dalam bentuk bercak merah di kulit). Namun seringkali petekie dan perdarahan

lainnya baru muncul jika trombosit pada level < 18.000. Jika belum ada tanda-tanda

perdarahan, sebaiknya segera periksa rumpel leede. Rumpel leede positif menunjukkan

adanya gangguan pada tingkat vaskular dan trombosit. Artinya kerusakan endotel pembuluh

darah karena infeksi dengue telah terjadi. Pada dasarnya jumlah trombosit pada pasien

demam berdarah normal, namun karena trombosit ditempeli dengan kompleks imun,

sehingga trombosit tersebut tidak dapat berfungsi dengan normal. Jika diperiksa PCV, ada

dua kemungkinan. Jika PCV naik diiringi dengan peningkatan kadar Hb/Hct yang terjadi

adalah perpindahan plasma saja. Namun bisa saja terjadi PCV turun yang menunjukkan

adanya perdarahan spontan yang masif. Inilah yang membedakan terapi infus yang akan

diberikan.

Pada DBD tanpa syok (grade 1dan 2), terapi cukup dengan pengobatan simtomatis dan

antipiretik parasetamol (jangan aspirin). Jika terjadi ensepalopati diberikan antibiotik dan

kortikosteroid, kecuali jika ada perdarahan saluran cerna. Cairan intravena diberikan bila

penderita muntah, tidak mau minum, demam tinggi dan dehidrasi.

Sementara, DBD dengan komplikasi DSS (derajat 3 dan 4), penggantian volume plasma yang

hilang harus segera dilakukan. Pertama, dengan memberikan cairan kristalloid (ringer laktat)

15 ml/kg BB/jam. Jika terdapat gangguan hati, sebaiknya diberikan cairan ringer asetat.

Karena dengan ringer laktat, hepar akan bekerja lebih keras untuk mengubah laktat menjadi

bikarbonat. Setelah 15 menit, kemudian dievaluasi. Jika tensi tidak meningkat, dosis

ditingkatkan menjadi 20 ml/kg BB/jam. Dalam waktu 20 menit, apabila syok belum teratasi,

ringer laktat tetap diberikan dengan ditambah koloid (albumin dan hydroethylstarch/koloid

sintetis) 20-30 ml/kg BB/jam, maksimal 1500 m/hari.

Mengapa penting untuk memberi cairan koloid? Karena setelah 24 jam, cairan koloid yang

tersisa di rongga pembuluh darah masih sekitar 40% dari seluruh jumlah pemberian.

Sedangkan cairan kristalloid hanya menyisakan 25%-nya saja. Cairan koloid bermolekul

besar sehingga lebih sedikit yang mengalami ekstravasasi karena peningkatan permeabilitas

vaskular, sehingga mampu menahan jumlah volume cairan intravaskular. Koloid dan

kristalloid berbeda dalam hal jumlah molekul. Kristalloid memiliki berat molekul sekitar 8

Kda (Kilo Dalton). Pemberian koloid pun harus tepat. Koloid dengan BM yang terlalu tinggi

(>800 KDa) tentunya akan memberikan efek hipertonis dalam cairan darah. Konsentrasi salah

satu jenis koloid, Dekstran (550 Kda) juga masih terlalu tinggi untuk infus pasien DBD. Yang

ideal adalah cairan yang isotonis dan isoosmotik dengan cairan tubuh, yakni konsentrasi

sekitar 100-300 KDa. Perlu hati-hati pula dengan pemberian koloid yang terlalu banyak.

Karena bisa menyebabkan volume vaskular overload sehingga beban jantung meningkat yang

berakibat decompensatio cordis (payah jantung).

Setelah 24 jam pasca syok cairan tetap diberikan sebanyak 10 ml/kg bb. Bila tanda vital baik,

volume cairan dapat diturunkan menjadi 7 ml/kg bb, selanjutnya 5 ml, dan 3 ml. Jumlah urine

> dari 2 ml kg bb/ jam merupakan indikasi bahwa sirkulasi telah membaik. Jika syok belum

teratasi juga, oksigen layak untuk diberikan. Analisis gas darah diperlukan untuk koreksi

kedaan asidosis metabolik dan elektrolit. Bila terdapat gangguan koagulopati (Disseminated

Intravascular Coagulation) perlu diberikan terapi plasma segar beku dan suspensi trombosit

untuk mencegah perdarahan lebih hebat lagi.

Setelah hemodinanik stabil, pasien diterapi rumatan (maintenance) dengan infus kristalloid

dosis rumatan (3 ml/kg/jam). Setelah itu lanjutkan dengan dekstrosa agar tidak terjadi ketosis.

Pemberian nutrisi anti radikal bebas yang biasa kita sebut antioksidan dirasa sangat perlu.

Bisa terdiri dari makanan yang mengandung vitamin C, vitamin E, β-Karoten dan Selenium.

Penderita penyakit DBD yang baru sembuh, memerlukan langkah rehabilitatif berupa

pemulihan kondisi fisik melalui makanan bergizi, vitamin dan istirahat cukup untuk mencapai

kembali kebugaran jasmani.

TINDAKAN PROTEKTIF

Penyakit DBD sampai saat ini belum ada obat dan vaksinnya, untuk itu yang bisa dilakukan

adalah melakukan tindakan protektif dengan mencegah dan membatasi penyebarap penyakit

DBD melalui upaya memutuskan rantai penularan. Tindakan protektif dipengaruhi oleh

prilaku dan kebiasaan masyarakat.

1. Prilaku Masyarakat

Adalah reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Atau dapat pula

diartikan suatu tindakan yang dilatarbelajangi oleh pengetahuan, sikap dan praktek.

a. Pengetahuan

Merupakan hasil daru tahu, kemudian meningkat menjadi memahami, mengaplikasi,

menganalisis, dan mensistesis serta mengevaluasi dari obyek yang diterima oleh panca

indera. Indicator untuk mengetahui tingkat pengetahuan atau kesadaran terhadap kesehatan

dapat dikelompokkan menjadi:

pengetahuan tentang sakit (penyebab, gejala, cara pengobatan, cara penularan,

cara pencegahan DBD)

pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan

pengetahuan tentang kesehatan lingkungan (cara pembuangan sampah yang

sehat)

Salah satu pengetahuan adalah tentang penanaman tanaman antinyamuk seperti cayuputih,

sereh,jahe, lengkuas, kemangi, kencur, jeruk purut, lavender. Pengetahuan mengenai

pemeliharaan ikan cupang, cere kepala timah dapat pula dilakukan untuk pemberantasan

biologic.

b. Sikap

Merupakan penilaian dari reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap

suatu stimulus atau obyek. Indicator untuk sikap kesehatan juga sejalan dengan pengetahuan

kesadaran seperti diatas:

sikap tentang sakit (penyebab, gejala, cara pengobatan, cara penularan, cara

pencegahan DBD)

sikap tentang cara pemeliharaan kesehatan

sikap tentang kesehatan lingkungan (cara pembuangan sampah yang sehat)

c. Praktik./Tindakan

Merupakan proses lanjutan yang diharapkan akan melaksanakan atau mempraktikan apa yang

diketahui atau disikapi. Indikato praktik kesehatan ini mencakup:

praktik/tindakan sehubungan dengan penyakit mencakup pencegahan dan

pengobatan penyakit DBD

praktik/tindakan sehubungan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan

mencakup mengkonsumsi makanan dan gizi seimbang

praktik/ tindakan sehubungan kesehatan lingkungan mencakup pembuangan

sampah pada tempatnya.

2. Kebiasaan Masyarakat

Berhubungan dengan penyakit DBD adalah kebiasaan tidur siang san menggantung baju. Hal

ini berhubungan dengan kebiasaan menggigit vector penyakit DBD yang aktif pada pagi dan

siang hari serta kesenangan vector untuk beristirahat dan bersarang didalam rumah pada

baju/barang yang tergantung. Untuk mengubah kebiasaan masyarakat mungkin kesulitan

tetapi yang bisa dilakukan adalah memberi pemahaman tindakan protektif seperti memakai

obat nyamuk bakar/elektrik/spray/repellen atau memakai kelambu saat tidur siang serta

melipat baju yang bergantungan.

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk memberikan daya (empowerment) atau

kekuatan (strength) kepada masyarakat, peningkatan kemampuan masyarakat untuk

berpartisipasi, bernegosiasi, mempengaruhi dan mengendalikan kelembagaan masyarakat

secara bertanggung gugat demi perbaikan kehidupannya.

Seperti kita ketahui bersama bahwa peran serta masyarakat sangat penting dalam

menanggulangi DBD. Salah satu bentuk langsung peran serta masyarakat adalah kegiatan

Pemantauan Jentik Berkala (PJB) yang dilakukan oleh masyarakat melalui Juru Pemantau

jentik (Jumantik). Kegiatan Jumantik sangat perlu dilakukan untuk mendorong masyarakat

agar dapat secara mandiri dan sadar untuk selalu peduli dan membersihkan sarang nyamuk

dan membasmi jentik nyamuk Aedes Aegypti. Tujuan Umum rekrutmen Jumantik adalah

menurunkan kepadatan (populasi) nyamuk penular demam berdarah dengue (Aedes Aegypti)

dan jentiknya dengan meningkatkan peran serta masyarakat dalam Pemberantasan Sarang

Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD), melalui penyuluhan yang dilakukan secara

terus menerus. Tugas pokok seorang Jumantik adalah melakukan pemantauan jentik,

penyuluhan kesehatan, menggerakkan pemberantasan sarang nyamuk secara serentak dan

periodik serta melaporkan hasil kegiatan tersebut kepada Supervisor dan Petugas Puskesmas

sehingga akan dapat dihasilkan sistem pemantauan jentik berkala yang berjalan dengan baik.

Untuk itu peran Jumantik akan dapat maksimal apabila masyarakat dapat membantu

kelangsungan kegiatan dengan kesadaran untuk memberikan kesempatan kepada Jumantik

memantau jentik dan sarang nyamuk di rumahnya.

Jumantik adalah petugas yang berasal dari masyarakat setempat atau petugas yang ditunjuk

oleh unit kerja (pemerintah atau swasta) yang secara sukarela mau bertanggung jawab

melakukan pemantauan jentik secara rutim, maksimal seminggu sekali di wilayah kerja serta

melaporkan hasil kegiatan secara berkesinambungan ke kelurahan setempat. Jumantik tidak

hanya terdiri dari petugas pusat kesehatan masyarakat tetapi juga dari masyarakat sekitar dan

anak-anak sekolah. Memantau jentik tidaklah terlalu sulit jika kita sudah mengenal cirri-ciri

jentik nyamuk Aedes aegypti. Jentik nyamuk ini memiliki cirri yang khas yaitu selalu

bergerak aktif di dalam air. Gerakannya berulang-ulang dari bawah ke atas permukaan air

untuk bernafas, kemudian turun kembali ke bawah untuk mencari makanan dan seterusnya.

Pada waktu istirahat, posisinya hampir tegak lurus dengan permukaan air. Biasanya berada

disekitar dinding tempat penampungan air. Setelah 6-8 hari jentik itu akan

berkembang/berubah menjadi kepompong. Bentuk kepompong adalah seperti koma,

gerakannya lamban dan sering berada di permukaan air. Setelah 1-2 hari akan menjadi

nyamuk baru.

Pemeriksaan jentik dilakukan dengan memeriksa tempat penampungan air  di sekitar rumah.

Jika tidak ditemukan jentik di permukaan, tunggu selama kurang lebih 1 menit karena untuk

bernafas jentik akan muncul ke permukaan.  ocokkan ciri jentik dengan ciri-ciri jentik aedes

aegypti. Jika sudah dipastikan jentik tersebut adalah jentik aedes aegypti, maka dilakukan

abatisasi dan pencatatan.

Abatisasi yaitu memberikan abate pada tempat penampungan air di mana jentik ditemukan

untuk membunuh jentik yang ada. Sedangkan pencatatan yang dilakukan meliputi tanggal

pemeriksaan, kelurahan tempat dilakukan pemantauan jentik, nama  dan alamat keluarga,

jumlah semua penampungan air yang diperiksa, serta jumlah container yang di temukan

jentik. Data tersebut akan digunakan untuk menghitung angka bebas jentik. Hasil pencatatan

ini dilaporkan ke Puskesmas setempat dan kemudian diserahkan ke Dinas Kesehatan.

Angka Bebas Jentik (ABJ)

Merupakan salah satu indicator keberhasilan program pemberantasan vector penularDBD.

Angka Bubas Jentik kubagai tolak ukur upaya pemberantasan vector melalui gerakanPSN-

3M menunjukan tingkat partisipaki masyarakat dalam mencegah DBD. Apabila angka bebas

jentik suatu daerah rendah, maka kemungkinan penduduk daerah tersebut untuk terkena

demam berdarah adalah lebih besar dibanding daerah lain yang angka bebas jentiknya lebih

besar. ABJ yang diharapkan adalah >95%. Cara menghitung Angka Bebas Jentik (ABJ):

ABJ= Jumlah bangunan diperiksa tidak ada jentikJumlah seluru h bangunan yangdiperiksa

×100 %

KEJADIAN LUAR BIASA DHF DI INDONESIA

Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah kondisi yang ditandai dengan meningkatnya kejadian

kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis di suatu daerah dalam kurun waktu

tertentu dan merupakan keadaan yang dapat menjurus untuk terjadinya wabah. Sementara,

Wabah adalah berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah

penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu

dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka. Menteri menetapkan dan,

mencabut daerah tertentu dalam wilayah Indonesia yang terjangkit wabah sebagai daerah

wabah.

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) telah menyebar luas ke seluruh wilayah propinsi.

Penyakit ini sering muncul sebagai KLB dengan angka kesakitan dan kematian relatif tinggi.

Angka insiden DBD secara nasional berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada awalnya pola

epidemik terjadi setiap lima tahunan, namun kurun waktu lima belas tahun terakhir

mengalami perubahan dengan periode 2-5 tahunan sedangkan angka kematian cenderung

menurun.

Pada tahun 2004 terjadi KLB DBD di Indonesia. Pemerintah melalui Departemen Kesehatan

dalam press release tanggal 16 Februari 2004, menetapkan bahwa telah terjadi KLB di

Indonesia dan ditetapkan 12 propinsi sebagai propinsi KLB, sementara itu Kalimantan

Tengah dan 8 delapan propinsi lainnya ditetapkan sebagai propinsi dengan peningkatan

kasus.

Jumlah kasus KLB DBD yang dilaporkan pada tahun 1998 – 2009 tampak berfluktuasi.

Demikian juga dengan jumlah provinsi dan kabupaten yang melaporkan KLB DBD dari

tahun 1998 – 2009 tampak berfluktuasi. Tampak pada tahun 1998 dan 2004 jumlah kab/kota

melaporkan kejadian KLB DBD paling tinggi yaitu 104 kab/kota dan 75 kab/kota. Pada tahun

tersebut juga dilaporkan jumlah kasus DBD mengalami peningkatan. Tahun 1998 kasus KLB

menyumbang 58% (41.843/72.133) dari total laporan kasus DBD, sedangkan tahun 2004

kasus KLB hanya menyumbang 9,5% (7.588/79.462) dari kasus DBD. Setelah tahun 2004 AI

dan kasus absolut DBD terus meningkat namun laporan kasus KLB dan jumlah kab/kota

yang melaporkan KLB terus menurun. Hal ini apakah karena adanya keengganan melaporkan

terjadinya KLB DBD oleh pemerintah daerah atau karena lemahnya sistem pelaporan KLB,

untuk mengetahuinya perlu diteliti lebih lanjut.

Gambar 5. Grafik kejadian KLB DBD

Sumber www.depkes.go.id

Untuk menentukan KLB, kita harus mengetahui terlebih dahulu mengenai klasifikasi daerah

(kelurahan) endemis DBD :

- Desa rawan I (endemis) yaitu desa yang dalam 3 tahun terakhir selalu ada kasus DBD

- Desa rawan II (sporadic) yaitu desa yang dalam 3 tahun terakhir ada kasus DBD

- Desa rawan III (potensial) yaitu dalam 3 tahun tidak ada kasus, tetapi berpenduduk

padat, transportasi rawan, dan ditemukan jentik >5%

- Desa bebas yaitu desa yang tidak pernah ada kasus

Untuk diingat, kriteria penetapan suatu daerah sebagai KLB (Kejadian Luar Biasa), sesuai

dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor.1501/Menkes/Per/X/2010, disebutkan bahwa

timbulnya kasus yang sebelumnya tidak ada, atau tidak dikenal pada suatu daerah. Jumlah

kasus dalam periode 1 bulan menunjukkan, kenaikan 2 kali atau lebih dibandingkan dengan

angka rata-rata kasus perbulan tahun sebelumnya.

Kriteria penetapan KLB Demam Berdarah Dengue:

1. Timbulnya penyakit demam berdarah dengue yang sebelumnya tidak ada di suatu

daerah tingkat II

2. Adanya peningkatan kejadian kesakitan DBD dua kali atau lebih dibandingkan jumlah

kesakitan yang biasa terjadi pada kurun waktu yang sama tahun sebelumnya.

Dalam keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1202/MENKES/SK/VIII/202 tentang Indikator

Indonesia Sehat 2010 dirumuskan indikator KLB DBD yaitu:

“Angka kesakitan (morbiditas) DBD adalah jumlah kasus DBD di suatu wilayah tertentu

selama satu tahun dibagi jumlah penduduk di wilayah dan kurun waktu yang sama, dikalikan

100.000” (DEPKES 2003).