Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
1 |
PROFIL EKOSISTEM MANGROVE LOKASI REHABILITASI MANGROVE CPP SENORO DESA PAISUBULOLI, KABUPATEN BANGGAI PROVINSI SULAWESI TENGAH
Disusun dengan kerjasama:
PUSAT PENELITIAN KELAUTAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR
PPKPMP - UNIVERSITAS TADULAKO FEBRUARI, 2019
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
2 |
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon vegetasi yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang‐
surut pantai berlumpur (Bengen, 2004). Lebih lanjut Hoghart (1999) menyatakan definisi mangrove sebagai tumbuhan berkayu maupun semak‐belukar yang menempati habitat antara darat dan laut yang secara periodik tergenangi air pasang. Hutan mangrove merupakan komunitas tumbuhan pantai yang didominasi oleh beberapa jenis pohon
mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut sesuai dengan toleransinya terhadap salinitas, lama penggenangan, substrat dan morfologi pantainya. Hutan mangrove sebagian besar tersebar di daerah tropis dimana Indonesia memiliki luas
mangrove sekitar 23 % dari total mangrove dunia (Spalding dkk., 1997).
Hutan mangrove mempunyai fungsi ekologis yang sangat penting dimana terpeliharanya
fungsi ekologis berkaitan erat dengan kondisi karakteristik fisika, kimia dan biologi. Mangrove sebagai tumbuhan tropik dan subtropis yang tumbuh di sepanjang garis pantai (seperti tepi pantai, muara, laguna, dan tepi sungai) sangat dipengaruhi oleh kondisi pasang surut. Dalam kaitannya dengan perikanan pantai, mangrove memegang peranan dalam dua hal. Pertama, mangrove berperan penting dalam siklus hidup berbagai jenis ikan, udang dan moluska karena lingkungan mangrove menyediakan perlindungan dan makanan berupa
bahan‐bahan organik yang masuk ke dalam rantai makanan (Davies dan Claridge,1993 dalam Noor, dkk., 1999). Kedua, mangrove merupakan pemasok bahan organik sehingga dapat menyediakan makanan untuk organisme yang hidup pada perairan sekitarnya (Mann, 1982 dalam Noor, dkk., 1999). Fauna hutan mangrove dapat dikelompokkan berdasarkan habitatnya, yaitu: (1) Fauna yang hidup di atas permukaan tanah (surface fauna/epifauna), (2) Fauna yang hidup meliang dalam tanah (infauna), (3) Fauna yang hidup di pohon mangrove (tree fauna) (Sasekumar, 1974).
Pemanfaatan hutan mangrove sangat tinggi, dimana hutan mangrove dimanfaatkan terutama sebagai penghasil kayu bakar, bahan baku untuk membuat arang dan juga untuk
bahan produksi bubur kertas (pulp). Berbagai bentuk pemanfaatan oleh aktivitas manusia melalui konversi hutan mengrove menjadi berbagai peruntukan lahan dan pemanfaatan lainnya telah menurunkan kemampuan fungsi ekologis mangrove, termasuk dalam
menunjang kehidupan biota yang memanfaatkan eksistensi mangrove. Berkaitan dengan hal itu berbagai upaya untuk mengembalikan fungsi‐fungsi ekologis kawasan mangrove dapat ditemui melalui upaya rehabilitasi kawasan mangrove. Rehabilitasi kawasan mangrove ini
merupakan alasan mendasar untuk tetap mempertahankan keberadaan ekosistem tersebut.
Mangrove merupakan salah satu vegetasi yang cukup dominan di lokasi sekitar Central Processing Plant (CPP) Lapangan Gas Senoro. Lokasi ini berada di wilayah administratif Desa Paisubuloli, Kecamatan Batui Selatan, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Sebaran vegetasi mangrove terdapat pada lahan‐lahan basah yang masih dipengaruhi oleh siklus pasang surut. Lahan basah di sekitar CPP Senoro terbentuk oleh adanya 3 aliran sungai
(Sungai Masing, Sungai Paisubuloli dan Sungai Sinorang) yang bermuara ke laut (Selat Peleng/Teluk Tolo) di sisi Timur‐Tenggara. Lahan basah di sekitar CPP Senoro memiliki siklus genangan air harian, dimana sebagian besar lahan akan tergenang oleh air laut pada
berlangsungnya air pasang, sedangkan saat air laut surut maka sebagian besar lahan akan kering dan terekspose ke permukaan. Karakteristik lahan dan siklus harian pasang surut pada aliran sungai turut mempengaruhi kualitas air di sekitar CPP Senoro.
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
3 |
Siklus pasang surut air laut sangat mempengaruhi kondisi lahan basah di sekitarnya, sehingga membentuk ekosistem estuarin yang ditumbuhi vegetasi mangrove. Vegetasi mangrove di
sekitar CPP Senoro dapat ditemui dalam bentuk vegetasi alami dan vegetasi hasil rehabilitasi. Bukaan lahan basah yang dikonversi pada tahap kontruksi CPP Senoro dan fasilitas pendukungnya secara umum telah ditumbuhi oleh vegetasi yang merupakan hasil upaya
rehabilitasi mangrove pada tahun 2014. Pola komunitas mangrove hasil rehabilitasi secara umum tidak sama seperti pola zonasi mangrove yang terbentuk secara alami. Walaupun demikian secara umum dapat ditemukan berbagai macam fauna invertebrata dan vertebrata
pada ekosistem ini termasuk berbagai organisme yang ditemukan pada substrat, akar, batang dan daun mangrove.
Seiring dengan semakin berkembangnya kegiatan produksi Migas dan pengembangan fasilitas‐fasilitas penunjang operasional di CPP Senoro, maka perlu dilakukan penyusunan profil ekosistem mangrove yang bersinggungan langsung maupun tidak langsung dengan
berbagai kegiatan tersebut. Hasil kegiatan ini diharapkan dapat menjadi baseline data dalam kebijakan pengembangan produksi CPP Senoro yang berorientasi pada kelestarian lingkungan hidup.
1.2. Tujuan Kegiatan
Menyusun profil ekosistem mangrove, di lokasi sekitar areal rehabilitasi mangrove CPP Senoro. .
1.3. Ruang Lingkup Kegiatan
1. Komposisi dan struktur komunitas vegetasi; 2. Komposisi dan struktur komunitas makrozoobentos;
3. Komposisi jenis fauna mangrove (akuatik dan teresterial) yang berasosiasi dengan vegetasi mangrove;
4. Kondisi lingkungan (fisika kimia air dan subtrat) mangrove;
1.4. Waktu Pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan pada bulan Oktober ‐ Desember 2018.
1.5. Lokasi Kegiatan
Kegiatan dilaksanakan di kawasan sekitar areal rehabilitasi mangrove Central Processing
Plant (CPP) Senoro, Ds. Paisubuloli, Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah. Lokasi penelitian seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
4 |
Gambar 2.1. Lokasi Kegiatan
II. METODOLOGI
2.1. Alat Yang Digunakan
Alat yang digunakan, yaitu Global Positioning System (GPS) untuk merekam titik posisi/koordinat stasiun pengamatan, transek kuadran untuk batas daerah pengambilan data, rol meter untuk mengukur luasan ekosistem mangrove dan jarak stasiun, dan pensil
untuk mencatat hasil pengamatan, pH meter untuk mengukur pH perairan, hand refraktrometer untuk mengukur salinitas perairan, DO meter untuk mengukur DO dan suhu air, hand‐auger untuk sampling sedimen, serta peralatan dokumentasi lapangan.
2.2. Stasiun Pengamatan
Pengamatan ekosistem mangrove dilakukan pada 3 buah stasiun, dimana setiap stasiun memiliki masing‐masing 3 (tiga) buah sub‐stasiun pengamatan (plot). Penentuan stasiun
pengamatan dilakukan dengan metode acak terstratifikasi, pengamatan vegetasi mangrove menggunakan transek kuadrat berukuran 10 x 10 m untuk pohon, 5 m x 5 m untuk pancang, dan 1m x 1m untuk semai. dimana penentuan stasiun untuk pengambilan data dibagi menjadi 3 plot.
Stasiun pengamatan juga mempertimbangkan perbedaan karakteristik mangrove di lokasi kegiatan, yaitu adanya perbedaan interaksi dengan air laut dan air tawar, kerapatan
mangrove baik secara vertikal maupun secara horizontal serta perbedaan area yang
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
5 |
merupakan area hasil rehabilitasi, areal peralihan dan area mangrove alami. Lokasi stasiun pengamatan seperti ditunjukkan pada Tabel 2.1 dan Gambar 2.1.
Gambar 2.1a. Lokasi Stasiun Pengamatan Mangrove
Tabel 2.1. Lokasi Stasiun Pemantauan Mangrove
Stasiun Plot Koordinat
Longitude Latitude 1 1A 122° 29' 02.0" E 1° 22' 32.7" S
Representatif Area Rehablitasi Mangrove 1B 122° 29' 00.1" E 1° 22' 36.6" S 1C 122° 28' 58.3" E 1° 22' 41.9" S
2 2A 122° 28' 57.7" E 1° 22' 31.6" S Representatif Lokasi Peralaihan antara Area
Rehabilitasi dengan Mangrove Alami 2B 122° 28' 56.9" E 1° 22' 34.9" S 2C 122° 28' 55.1" E 1° 22' 39.4" S
3 3A 122° 28' 54.3" E 1° 22' 30.1" S Representatif Area Mangrove Alami 3B 122° 28' 53.1" E 1° 22' 34.4" S
3C 122° 28' 51.0" E 1° 22' 37.8" S
Sampel vegetasi mangrove dibagi atas tiga kategori, yakni Semai (seedling), yaitu memiliki
tinggi <1 m , Anakan (sapling), yaitu memiliki diameter <4 cm dan tinggi >1 m dan Pohon (tree), yaitu memiliki diameter >4 cm (Bengen, 2004). Jumlah petak contoh untuk tiap‐tiap transek garis adalah 3 petak contoh. Pada setiap petak contoh yang telah ditentukan, dilakukan pengukuran jumlah individu setiap jenis dan lingkar diameter batang pohon.
Pengukuran lingkar diameter batang dilakukan setinggi dada (DBH = Diameter Breast High) atau + 1.3 m dari permukaan tanah (English et al., 1994).
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
6 |
Gambar 2.1b. Ilustrasi Petak Contoh (Plot) Pengambilan Sampel Vegetasi Mangrove Untuk Tingkat Pohon, Anakan/Tiang, Semai
2.3. Prosedur Kerja
2.3.1. Vegetasi Mangrove
a) Indeks Nilai Penting (INP).
Penilaian terhadap kontribusi mangrove terhadap kondisi ekologi atau untuk menganalisis
dominansi (penguasaan) suatu jenis magrove dalam komunitas tertentu, dilakukan dengan menghitung nilai Indeks Nilai Penting (INP) tiap jenis mangrove. Indeks nilai penting (INP) merupakan hasil penjumlahan nilai kerapatan relatif jenis (RDi), nilai
frekuensi relatif jenis (RFi) dan nilai penutupan relatif jenis (RCi). Nilai penting suatu jenis berkisar antara 0% ‐ 300%. Nilai penting ini memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan dalam komunitas mangrove. Analisis data
menggunakan persamaan sebagai berikut (Bengen ,2004):
INP pohon = RDi + FRi + RCi INP anakan dan semai = RDi + FRi
Kerapatan Jenis (Di) adalah jumlah tegakan jenis ke‐i dalam suatu unit area. Kerapatan
jenis mangrove menggunakan rumus (English et al., 1994):
A
ND i
i
Keterangan: Di = Kerapatan jenis ke‐ i (ind/m2) Ni = Jumlah total individu dari jenis ke‐i (ind) A = Luas area total pengambilan contoh (m2)
Plot 1
Plot 2
Plot 3
10
105m
1m
1m5m
A
B
C
Keterangan: (A) Plot sampling pohon (10 x 10 m ) (B) Plot sampling anakan (5 x 5 m) (C) Plot sampling semai (1 x 1 m )
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
7 |
Kerapatan Relatif Jenis i (Rdi), adalah perbandingan antara jumlah tegakan jenis ke‐i (Ni)
dan jumlah total tegakan seluruh jenis (n) (English et al., 1994):
%100xn
NRD i
i
Keterangan: RDi = Kerapatan Relatif (%) Ni = Jumlah individu jenis ke i (ind) ∑n = Jumlah seluruh individu (ind)
Frekuensi jenis (Fi), adalah peluang ditemukannya suatu jenis ke‐i dalam semua petak contoh/plot yang dibuat/diamati (English et al., 1994):
p
pF i
i
Keterangan:
Fi = Frekuensi jenis ke‐i pi = Jumlah petak contoh yang dibuat ∑p = Jumlah total petak contoh yang dibuat
Frekuansi Relatif Jenis (FRi), merupakan perbandingan antara frekuensi jenis (Fi) dengan
total frekuensi seluruh jenis (F) (English et al., 1994):
%100xF
FFR i
i
Keterangan: FRi = Frekuensi Relatif (%) Fi = Frekuensi jenis ke‐i (ind) ∑F = Jumlah frekuensi seluruh jenis (ind)
Penutupan/Dominansi jenis (Ci), merupakan luas bidang/penutupan jenis ke‐i dalam suatu unit area (English et al., 1994):
A
BACi
Keterangan: Ci = Luas penutupan/domonansi jenis ke‐i (%)
BA = , π = 3,11416 DBH = Diameter pohon jenis ke‐i ∑F = Luas total area pengambilan contoh (plot)
Penutupan/Dominansi relatif jenis (RCi), adalah perbandingan antara luas área penutupan/dominansi jenis ke‐i (Ci) dan total luas penutupan/dominansi untuk seluruh jenis (∑C) (English et al., 1994):.
%100xC
CRC i
i
Keterangan: RCi = Penutupan Relatif (%) Ci = Luas area penutupan jenis ke‐i ∑C = Luas total area penutupan seluruh jenis
b) Struktur Komunitas Mangrove
Indeks Keanekaragaman Jenis (H’).
Indeks keanekaragaman Shannon (Shannon’s index) (Ludwig & Reynold, 1988) digunakan untuk mengetahui keanekaragaman jenis di setiap tingkat pertumbuhan. Analisis
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
8 |
keaneakaragaman jenis menggunakan formula keanekaragaman jenis ShannoN (Hilwan et al., 2013):
piipH ln'
Keterangan: H = Indeks keanekaragaman jenis pi = ni/N ni = Kerapatan individu jenis ke‐i N = Total kerapatan individu
Kisaran indeks keanekaragaman Shannon‐Wiener adalah sebagai berikut:
H’’ < 2,0 = tingkat keanekaragaman rendah, tekanan ekologi tinggi 2,0 < H’< 3,0 = tingkat keanekaragaman sedang, tekanan ekologi sedang H’’ > 3,0 = tingkat keanekaragaman tinggi, tekanan ekologi rendah
Indeks Keseragaman (E).
Indek keseragaman digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesamaan penyebaran
jumlah individu setiap jenis, yaitu dengan cara membandingkan indeks keanekaragaman dengan nilai maksimumnya. Semakin seragam penyebaran individu antar spesies maka keseimbangan ekosistem akan semakin meningkat. Indeks keseragaman ditentukan berdasarkan persamaan berikut (Ludwig and Reynolds, 1988):
max"
'
H
HE , dimana H’max = lnS
Keterangan: E = Indeks keseragaman Hi = Indeks keanekaragaman Hmax” = Indeks keanekaragaman maksimum S = Jumlah jenis
Kisaran indeks keseragaman adalah sebagai berikut:
0 < E < 0,5 = ekosistem berada dalam kondisi tertekan dan keseragaman rendah 0,5 < E’< 0,75 = ekosistem berada dalam kondisi kurang stabil dan keseragaman sedang 0,75 < E < 1,0 = ekosistem berada dalam kondisi stabil dan keseragaman tinggi
Indeks Dominansi Simpson (C).
Indeks dominansi difunakan untuk menggambarkan jenis yang paling banyak ditemukan. Dominansi dapat dinyatakan dalam indeks dominansi Simpson (Ludwig and Reynolds, 1988):
s
i
niN
C1
22
1
Keterangan: R = Indeks dominansi Simpson s = Jumlah individu jenis ke‐i N = Jumlah total individu seluruh jenis
Kisaran indeks dominansi adalah sebagai berikut:
0 < C < 0,5 = Dominansi rendah (tidak terdapat spesies yang secara ekstrim mendominasi spesies lainnya), kondisi lingkungan stabil, dan tidak terjadi tekanan ekologis terhadap biota di lokasi tersebut
0,5 < C < 0,75 = Dominansi sedang dan lingkungan cukup stabil 0,75 < C < 1,0 = Dominansi tinggi (terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya), kondisi
lingkungan tidak stabil dan terdapat suatu tekanan ekologi
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
9 |
c) Evaluasi Kondisi Mangrove.
Evaluasi kondisi ekosistem mangrove mengacu pada Kriteria Baku Kerusakan Mangrove (KepMen LH No. 201 Tahun 2004, Lampiran I), tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove:
Tabel 3.2. Kriteria Baku Kerusakan Mangrove
Kriteria Penutupan (%) Kerapatan (Pohon/Ha)
Baik Sangat Padat >75 > 1500 Sedang > 50 - <75 > 1000 - <1500
Rusak Jarang <50 <1000 Sumber: KepMen LH No. 201 Tahun 2004 (lampiran I)
2.3.2. Struktur Komunitas Makrozoobentos
Pengambilan sampel makrozoobenthos dilakukan di dalam transek pengamatan vegetasi mangrove. Data makrozoobenthos diambil pada setiap petak contoh terpilih sebanyak satu
kali pada saat surut. Data kepadatan populasi makrozoobentos diperoleh pada petak pengamatan yang berukuran 0,5 m x 0,5 m sebanyak 10 kali ulangan, yang ditempatkan di setiap plot pengamatan mangrove.
Pengambilan sampel makrozoobenthos yang terlihat pada substrat dan menempel di batang, pohon, dan daun mangrove diamati pada setiap transek dan plot kuadran dan untuk pengambilan sampel makrozoobenthos yang tidak terlihat pada permukaan substrat diambil
pada kedalaman 15 cm. Pemisahan antara makrozoobenthos dengan substrat dilakukan di laboratorium lapangan menggunakan air serta saringan berukuran 1 mm. Makrozoobenthos yang telah terpisah dari substratnya dimasukkan ke dalam larutan formalin 4% agar tidak
membusuk dan rusak sebelum diidentifikasi. Contoh organisme makrozoobenthos diidentifikasi di Laboratorium. Data tersebut dianalisis untuk mendapat besaran Komposisi/kelimpahan, Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi.
a) Kelimpahan
Komposisi jenis menggambarkan kekayaan jenis yang terdapat di lingkungannya. Kelimpahan didefinisikan sebagai jumlah individu persatuan luas (Brower et al. 1990). dengan menggunakan persamaan :
A
DX i
Keterangan:
X = Kelimpahan (individu/m2) Di = Jumlah individu ke‐i A = Luas kotak pengambilan contoh Kelimpahan setiap (m2) didapat dengan mengkonversi kelimahan setiak kotak pengambilan contoh makrozoobentos
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
10 |
b) Indeks Keanekaragaman (H’)
Keanekaragaman dihitung dengan menggunakan persamaan Shannon‐Winner (Odum, 1996).
H’ = ‐∑pi ln pi, dimana pi = (ni/N)
Keterangan: H' = indeks keanekaragaman Shannon ni = jumlah total individu ke‐i N = jumlah total individu
Berdasarkan nilai konversi basis logaritma oleh Brower et al. (1990) kisaran nilai Indeks Keanekaragaman dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
H' < 1 = keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap spesies rendah dan kestabilan komunitas rendah.
1< H' < 3 = keanekaragaman sedang, penyebaran individu tiap spesiesnya sedang dan kestabilan komunitas sedang.
H' > 3 = keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap spesies tinggi dan kestabilan komunitas tinggi.
c) Indeks Keseragaman/Evenness (E)
Keseragaman (equitabilitas) yaitu penyebaran individu antar spesies yang berbeda digunakan indeks equitabilitas (Krebs, 1989).
E = H’ / H max
Keterangan: E = indeks keseragaman jenis H' = indeks keanekaragaman H' max = log2 S S = jumlah spesies
d) Indeks Dominansi (C)
Untuk menghitung adanya dominansi suatu spesies dalam suatu komunitas dihitung
dengan indeks dominansi (Odum, 1993)
𝐶 ∑ 2
Keterangan: C = nilai dominansi Ni = jumlah individu spesies ke‐i N = jumlah total individu
Untuk nilai Keseragaman (E) dan Dominansi (C) nilainya berkisar antara 0 hingga 1. Semakin kecil nilai E, nilai C akan mendekati 1, artinya semakin kecil keseragaman suatu populasi dan ada kecenderungan bahwa suatu jenis mendominasi populasi tersebut
(Yulianda dan Damar, 1994).
e) Indeks Kepadatan (Density)
Indeks kepadatan untuk menghitung kepadatan individu suatu species dalam satuan luas total petak pengamatan
Density = Jumlah Individu suatu species / Luas total petak pengamatan
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
11 |
2.3.3. Komunitas Fauna Mangrove (Akuatik dan Teresterial)
Pengamatan fauna mangrove meliputi fauna akuatik (nekton) dan fauna teresterial (burung, mamalia dan reptile). Metoda line transect digunakan untuk sensus berbagai jenis satwa liar, seperi burung (Bibby, 1992), primata dan herbivora besar (Alikodra, 1993). Pengamatan transek dilakukan secara acak (random). Semua jenis fauna yang dijumpai secara langsung
maupun indikasi keberadaannya dicatat. Data yang dicatat dalam pengamatan transek ini antara lain waktu perjumpaan, lokasi perjumpaan, nama jenis, jarak pengamat dengan satwa (D), sudut, jumlah satwa yang ditemui (Z), jarak perpendikular (Y), sebaran kelompok dan
aktivitas dari satwa. Disamping itu, dicatat pula indikasi keberadaan satwa berupa kotoran (faeces), jejak, cakaran, sarang dan suara, yang merupakan metode pengamatan tidak langsung. Interwiew masyarakat di sekitar kawasan juga dilakukan untuk melengkapi data dan informasi fauna. Identifikasi jenis burung dilakukan dengan Seri Buku Panduan Lapangan “Burung‐burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan” (MacKinnon et al., 2010).
2.3.4. Kualitas Lingkungan
Pemantauan data lingkungan perairan dilakukan secara insitu pada contoh air (ssample)
menggunakan beberapa alat sesuai peruntukannya. Parameter lingkungan yang diukur adalah Suhu, Salinitas, Oksigen Terlarut dan Derajat Keasaman. Adapun karakteristik sedimen/tekstur sedimen ditentukan berdasarkan hasil análisis dilaboratorium. Sample
sedimen diambil menggunakan sekop semen dan dimasukkan kedalam plastik sampel. Sample kemudian dibawa untuk dianalisis ke Laboratorium. Di Laboratorium sampel di jemur, kemudian diayak menggunakan ayakan bertingkat untuk mengetahui jenis tanah pada
lokasi penelitian (De Leenheer and Boodt, 1959). Analisis fraksi sedimen untuk mengetahui perbandingan antara fraksi pasir, liat, dan debu pada sample sedimen.
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
12 |
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Gambaran Umum Ekosistem Mangrove di Sekitar CPP Senoro
Kegiatan operasional Lapangan Gas Senoro terpusat di Central Processing Plant (CPP) dimana lokasinya berada di wilayah administratif Desa Paisubuloli, Kecamatan Batui Selatan,
Kabupaten Banggai. Lahan basah di sekitar CPP Senoro terbentuk oleh adanya 3 aliran sungai (Sungai Masing, Sungai Paisubuloli dan Sungai Sinorang) yang bermuara ke laut di sisi Timur – Tenggara lokasi CPP Senoro. Pasang surut air laut sangat mempengaruhi lahan basah disekitar aliran dan muara sungai sehingga membentuk ekosistem estuaria yang ditumbuhi
vegetasi mangrove. Lahan basah di zona pasang surut sekitar CPP Senoro dan jalur jalan by pass memiliki tutupan vegetasi mangrove yang cukup lebat. Demikian halnya bukaan lahan basah yang telah dikonversi pada tahap kontruksi CPP Senoro dan fasilitas pendukungnya
yang secara umum telah ditumbuhi oleh vegetasi dan sebagian besar telah berhasil direhabilitasi melalui program revegetasi mangrove (Gambar 3.1).
Sumber: Dokumentasi Oktober 2018
Gambar 3.1. (a) Vegetasi Mangrove di Lahan Basah Sekitar CPP Senoro, (b) Vegetasi Mangrove Hasil Rehabilitasi di Sekitar CPP Senoro
Lahan basah berlumpur yang dipengaruhi siklus pasang surut air laut harian terpantau di sekitar bantaran sungai, saluran air dan lahan bertopografi landai di sekitar lokasi CPP
Senoro, jalur Flowline dan jalur Pipeline (KP.00 sampai KP.04). Substrat basah berlumpur yang dipengaruhi pasang surut air laut serta kaya bahan organik merupakan tempat ideal bagi vegetasi mangrove (Gambar 3.2a).
Bersadarkan kriteria zonasi mangrove, mangrove di sekitar CPP Senoro termasuk dalam (1) mangrove tengah, (2) mangrove payau dan (3) mangrove daratan. Mangrove zona tengah terletak dibelakang mangrove zona terbuka yang didominasi oleh jenis Rhizophora,
Bruguiera cylindrica. Mangrove zona payau, yaitu berada di sepanjang sungai berair payau hingga hampir tawar yang umumnya didominasi oleh komunitas Nypa atau Sonneratia. Adapun mangrove zona daratan, yaitu berada pada perairan payau atau hampir tawar di
belakang jalur hijau mangrove, sangat umum ditemukan Nypa fruticans, Ficus microcarpus, Lumnitzera racemosa dan Xylocarpus moluccensis. Zona mangrove daratan umumnya memiliki kekayaan jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona lainnya.
Sejak selesainya pekerjaan tahap konstruksi pada tahun 2014, tidak terpantau adanya aktivitas konversi lahan dan bentuk eksploitasi lahan dan hutan mangrove yang dapat
mempengaruhi kondisi vegetasinya. Genangan air berlumpur pada bukaan lahan basah dan saluran air sepanjang tanggul terpantau masih cukup luas sehingga menjadi habitat bagi jenis biota air, seperti: Crustacea (Uca spp.); Molusca (Gastropoda dan Bivalvia); dan beberapa
jenis ikan Gobi (Periopthalmus dan Boleophthamus). Luasnya vegetasi mangrove dan bukaan
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
13 |
lahan basah di lokasi pemantauan juga mampu mengundang kedatangan berbagai jenis burung air dan perancah (wader birds).
Sumber: Dokumentasi Oktober 2018
Gambar 3.2a. Vegetasi Mangrove yang Mendominasi Daerah Pasang Surut dan Bantaran Sungai di Sekitar Lapangan Gas Senoro
Selain vegetasi mangrove alami, di beberapa areal dan lokasi terdapat juga vegetasi‐vegetasi mangrove yang merupakan hasil rehabilitasi, khususnya di sekitar bantaran sungai
Paisubuloli dan sekitar CPP Senoro (Gambar 3.2b). Program revegetasi mangrove telah dilakukan sejak tahun 2014. Program rehabilitas mangrove telah berhasil menanam jenis Rhizophora stylosa dan Bruguera spp, dengan cakupan luas areal mencapai + 11 Ha. Vegetasi
mangrove di Kawasan ini setidaknya terdiri dari 29 jenis species yang dikelompokkan kedalam jenis mangrove sejati (15 jenis) dan mangrove ikutan (14 jenis), seperti disajikan pada Tabel 3.1.
Sumber: Dokumentasi Oktober 2018
Gambar 3.2b. Kondisi Vegetasi Mangrove Hasil Revegetrasi di Sekitar Areal CPP Senoro
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
14 |
Table 3.1. Jenis Vegerasi Mangrove di Lokasi Pengamatan Sekitar Lapangan Gas Senoro
No Nama latin Family Nama Lokal
Mangrove Sejati 1 Acanthus ilicifolius Acanthaceae Jeruju Hitam 2 Avicennia alba Avicenniaceae Api-api 3 Avicennia lanata Avicenniaceae Api-api 4 Avicennia marina Avicenniaceae Api-api Putih 5 Bruguiera spp Rhysoporaceae Tanjang 6 Bruguiera cylindrical Rhysoporaceae Tanjang Putih 7 Bruguiera gymnorrhiza Rhysoporaceae Tanjang Merah 8 Bruguiera parviflora Rhysoporaceae Tanjang 9 Bruguiera sexangula Rhysoporaceae Tanjang
10 Ceriops decandra Rhyosporaceae Tegal 11 Nypa fruticans Palamae Nipah 12 Rhysophora apiculata Rhyosporaceae Bakau Merah 13 Rhysophora mucronata Rhysoporaceae Bakau Hitam 14 Rhysophora stylosa Rhyosporaceae Bakau 15 Soneratia alba Soneratiaceae Pedada/Perpat 16 Xylocarpus granatum Meliaceae Bopa/Buli Mangrove Ikutan/Asosiasi 17 Acrostichum speciosum Pteridaciae Piai Lasa 18 Calotropis gigantea Apocynaceae Biduri 19 Finlaysonia maritima Asclepiadaceae - 20 Hibiscus tiliaceus L. Malvaceae Waru Laut 21 Ipomoea pes-caprae Convolvulaceae Katang-katang 22 Pandanus odoratissima Pandanaceae Pandan 23 Pandanus tectorius Pandanaceae Pandan 24 Passiflora foetida Passifloraceae Buah Pitri 25 Ricinus communis Euphorbiaceae Jarak 26 Scaevola taccada Goodeniaceae Beruas Laut 27 Sesuvium portulacastrum Molliginaceae Dampalit 28 Terminalia catappa Combretacea Ketapang 29 Thespesia populnea Malvaceae - Sumber: PPKPMP UNTAD, Oktober 2018
3.2. Karakteristik Lingkungan
Kondisi parameter lingkungan menunjukkan kondisi ideal bagi pertumbuhan ekosistem mangrove, dimana secara biologi kehidupan hutan mangrove lainnya dipengaruhi parameter lingkungan perairan seperti salinitas, suhu, pH, DO dan kondisi substrat. Hasil pengamatan parameter lingkungan di setiap stasiun ditunjukkan pada Tabel 3.2.
Table 3.2. Parameter Lingkungan Ekosistem Mangrove
No Parameter Stasiun Rata-rata
(ST 1) Lahan Mangrove Rehabilitasi
(ST 2) Lahan Mangrove Peralihan
(ST 3) Lahan Mangrove Alami
A Air 1 Suhu (oC) 31,0 29,7 29,0 29,90 2 pH air 7,2 7,1 7,1 7,13 4 Salinitas (o/oo) 15 14 14 14,33 5 DO (mg/L) 5,1 4,6 4,7 4,80
B Subtrat 1 Fraksi Tanah Pasir (%) 35,9 35.7 32,3 34,10 Debu (%) 30,8 24.8 28,6 29,70 Liat (%) 33,3 39.5 38,1 35,70
2 pH Tanah 5,8 5,4 5,6 5,60 Sumber: PPKPMP UNTAD, Oktober 2018
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
15 |
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup vegetasi mangrove adalah suplai air tawar, salinitas, pasokan nutrient dan stabilitas substrat (Dahuri et al., 2001).
Lokasi pengamatan merupakan lahan yang mendapat pengaruh/suplai air tawar dari sungai dan air laut yang bersumber dari muara, atau dengan kata lain lokasi pemantauan memiliki perairan perairan payau. Hal ini ditunjukkan oleh nilai salinitas perairan pada saat
pengamatan memiliki kisaran antara 14 ‐ 15 0/00. Nilai salinitas perairan tersebut sangat ideal bagi pertumbuhan berbagai vegetasi mangrove, s esuai pernyataan Effendi (2003) bahwa salinitas perairan payau yang ideal bagi pertumbuhan mangrove, yaitu pada kisaran 0,5 –
30,0 0/00.
Suhu perairan di lokasi pengamatan menunjukkan nilai pada kisaran 29,0 – 31,0 oC. Hal ini
menunjukkan kisaran suhu yang optimum bagi pertumbuhan ekosistem mangrove, utamanya untuk proses fotosintesis. Menurut Lobban et al. (1993) suhu optimum bagi pertumbuhan hutan mangrove berada pada kisaran antara 25‐35 OC. Hyman (1955) juga
menjelaskan bahwa biota perairan dewasa mampu mentolerir suhu perairan antara 28 ‐ 31 OC, sedangkan ekosistem mangrove mampu mentolerir suhu perairan antara 27‐29 OC.
Derajat keasaman (pH) perairan di lokasi pengamatan menunjukkan nilai pada kisaran 7,1 –
7,2. Menurut Effendi (2003), umumnya biota akuatik menyukai kisaran pH 7,0 ‐ 8.5. Hal ini menunjukkan kesesuaian ideal bagi pertumbuhan mangrove dan biota perairan yang hidup berasosiasi. Adapun kadar Oksigen terlarut (DO) pada perairan berada pada kisaran 4,6 – 5,1
mg/L yang juga menunjukkan kondisi ideal bagi pertumbuhan mangrove. Effendi (2000) mengemukakan bahwa kadar oksigen terlarut perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan tidak kurang dari 5 mg/L. Kadar oksigen terlarut kurang dari 4 mg/L
mengakibatkan efek yang kurang menguntungkan bagi hampir semua organisme akuatik. Martoyo et al. (2006) juga menjelaskan bahwa kadar oksigen terlarut yang sesuai untuk pertumbuhan ekosistem mangrove berkisar antara 4 ‐ 8 mg/L.
Kondisi subtrat dasar pada ekosistem mangrove di lokasi pengamatan didominasi oleh fraksi liat dan pasir, yaitu masing‐masing 35,70% dan 34,10%. Nybakken (1992) menjelaskan
bahwa ada korelasi antara substrat dan pertumbuhan ekosistem mangrove, sehingga kondisi substrat suatu perairan juga akan mempengaruhi penyebaran ekosistem mangrove. Hasil pengamatan menunjukkan kondisi subtrat sangat sesuai bagi pertumbuhan jenis mangrove yang ditemukan di ketiga stasiun pengamatan. Adapun nilai pH tanah di lokasi pemangamatan mangrove berada pada kisaran antara 5,4 – 5,8, yang menunjukkan sifat asam tanah. Nilai pH merupakan ciri kimia tanah, menjadi faktor sangat penting dalam menentukan kesuburan tanah karena ketersedian unsur hara bagi tanaman sangat berkaitan
dengan nilai pH.
3.3. Vegetasi Mangrove
3.3.1. Kondisi Ekologi Mangrove
Analisis kuantitatif dilakukan untuk menunjukkan beberapa indikator struktur komunitas vegetasi mangrove di sekitar area rehabilitasi CPP Senoro. Analisis variabel struktur komunitas ditunjukkan oleh nilai Kerapatan relatif, Frekuensi relatif dan Penutupan relatif,
yang selanjutnya akan menunjukkan Indeks Nilai Penting.
Variabel struktur komunitas mangrove (kerapatan jenis, kerapatan relatif, frekuensi jenis, frekuensi relatif, penutupan jenis, penutupan relatif serta Indeks Nilai Penting) pada berbagai
tingkatan vegetasi, seperti ditunjukkan pada Tabel 3.4 dan Gambar 3.3.
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
16 |
Tabel 3.4a. Kerapatan Relatif, Frekuensi Relatif, Penutupan Relatif dan Indeks Nilai Penting (INP)
Vegetasi Mangrove (Tingkat Pohon)
Gambar 3.3a. Variabel Struktur Komunitas Mangrove Tingkat Pohon di Ketiga Stasiun Pengamatan: (Stasiun 1) Lokasi Rehabilitasi, (Stasiun 2) Lokasi Peralihan antara Areal Rehabilitasi dengan Areal Mangrove Alami, (Stasiun 3) Lokasi Mangrove Alami
Jenis Rhisopora apiculata pada vegetasi tingkat pohon menunjukkan nilai kerapatan relatif, frekuensi relatif dan penutupan relatif tertinggi, yang terdapat di lokasi pengamatan yang merupakan areal rehabilitasi mangrove (stasiun 1). Kerapatan relative memiliki nilai (69,23 %), frekuensi relative memiliki nilai (50,00 %) dan penutupan relative memiliki nilai (67,31 %).
Stasiun Jenis Tingkat Pohon Di RDi (%) Fi RFi(%) Ci RCi(%) INP
ST -1 Avicennia marina 0,013 15,385 0,333 16,667 0,255 10,149 42,201 Areal
Rehabilitasi Mangrove
Bruguiera gymnorrhiza 0,010 11,538 0,333 16,667 0,522 20,755 48,960 Rhizophora apiculata 0,060 69,231 1,000 50,000 1,692 67,312 186,543 Sonneratia alba 0,003 3,846 0,333 16,667 0,045 1,784 22,297
Jumlah 0,087 100,00 2,00 100,00 2,514 100,00 300,00 ST -2 Avicennia marina 0,110 45,833 1,000 30,000 5,496 28,973 104,807 Areal
Peralihan Bruguiera parviflora 0,003 1,389 0,333 10,000 0,091 0,479 11,868 Nypa fruticans 0,050 20,833 0,667 20,000 8,774 46,250 87,083 Rhizophora apiculata 0,060 25,000 0,667 20,000 3,539 18,653 63,653 Sonneratia alba 0,013 5,556 0,333 10,000 0,942 4,967 20,523 Xylocarpus sp 0,003 1,389 0,333 10,000 0,128 0,677 12,066
Jumlah 0,240 100,00 3,333 100,00 18,970 100,000 300,00 ST- 3 Avicennia marina 0,073 25,287 1,000 15,789 4,861 18,312 59,389 Areal
Mangrove Alami
Bruguiera gymnorrhiza 0,010 3,448 0,667 10,526 1,155 4,352 18,326 Bruguiera parviflora 0,033 11,494 1,000 15,789 2,929 11,034 38,317 Ceriops decandra 0,007 2,299 0,333 5,263 0,157 0,592 8,154 Nypa fruticans 0,050 17,241 1,000 15,789 9,340 35,184 68,215 Rhizophora apiculata 0,087 29,885 1,000 15,789 6,281 23,661 69,336 Rhizophora musculata 0,013 4,598 0,667 10,526 0,763 2,874 17,998 Sonneratia alba 0,013 4,598 0,333 5,263 0,942 3,550 13,411 Xylocarpus sp. 0,003 1,149 0,333 5,263 0,117 0,441 6,853
Jumlah 0,290 100,00 6,333 100,000 26,545 100,000 300,00
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
17 |
Tabel 3.4b. Kerapatan Relatif, Frekuensi Relatif dan Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi
Mangrove (Tingkat Anakan/Tiang)
Gambar 3.3b. Variabel Struktur Komunitas Mangrove Tingkat Anakan/Tiang di Ketiga Stasiun Pengamatan: (Stasiun 1) Lokasi Rehabilitasi, (Stasiun 2) Lokasi Peralihan antara
Areal Rehabilitasi dengan Areal Mangrove Alami, (Stasiun 3) Lokasi Mangrove Alami
Jenis Avicennia marina pada vegetasi tingkat anakan/tiang menunjukkan nilai kerapatan relative dan frekuensi relatif tertinggi, yang terdapat di lokasi pengamatan yang merupakan
lokasi peralihan antara areal rehabilitasi mangrove dengan areal mangrove alami (stasiun 2). Kerapatan relative memiliki nilai (48,57 %) dan frekuensi relatif memiliki nilai (30,00 %).
Adapun vegetasi mangrove tingkat semai, kerapatan relative dan frekuensi relative tertinggi terdapat di lokasi pengamatan yang merupakan areal rehabilitasi mangrove (stasiun 1). Nilai kerapatan relatif tertinggi ditunjukkan oleh jenis Rhisopora apiculata (43,75 %), sedangkan
nilai frekuensi relatif tertinggi ditunjukkan oleh jenis Rhisopora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza yang masing‐masing memiliki nilai 27,27 %.
Stasiun Jenis Kategori Anakan
Di RDi (%) Fi RF i(%) INP ST -I Avicennia marina 0,107 16,000 0,667 15,385 31,385 Areal
Rehabilitasi Mangrove
Bruguiera gymnorrhiza 0,147 22,000 1,000 23,077 45,077 Bruguiera parviflora 0,027 4,000 0,333 7,692 11,692 Ceriops decandra 0,053 8,000 0,667 15,385 23,385 Rhizophora apiculata 0,307 46,000 1,000 23,077 69,077 Sonneratia alba 0,027 4,000 0,667 15,385 19,385
Jumlah 0,667 100,00 4,333 100,00 300,00 ST -II Avicennia marina 0,227 48,571 1,000 30,000 78,571
Areal Peralihan Bruguiera gymnorrhiza 0,013 2,857 0,333 10,000 12,857 Bruguiera parviflora 0,053 11,429 0,667 20,000 31,429 Ceriops decandra 0,080 17,143 0,667 20,000 37,143 Rhizophora apiculata 0,080 17,143 0,333 10,000 27,143 Sonneratia alba 0,013 2,857 0,333 10,000 12,857
Jumlah 0,47 100,00 3,333 100,00 300,00 ST- III Avicennia marina 0,160 37,500 1,000 23,077 60,577 Areal
Mangrove Alami
Bruguiera gymnorrhiza 0,013 3,125 0,333 7,692 10,817 Bruguiera parviflora 0,040 9,375 0,667 15,385 24,760 Ceriops decandra 0,053 12,500 0,333 7,692 20,192 Nypa fruticans 0,040 9,375 0,667 15,385 24,760 Rhizophora apiculata 0,093 21,875 0,667 15,385 37,260 Rhizophora musculata 0,013 3,125 0,333 7,692 10,817 Sonneratia alba 0,013 3,125 0,333 7,692 10,817
Jumlah 0,427 100,00 4,333 100,00 300,00
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
18 |
Tabel 3.4c. Kerapatan Relatif, Frekuensi Relatif dan Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi
Mangrove (Tingkat Semai)
Gambar 3.4c. Variabel Struktur Komunitas Mangrove Tingkat Semai di Ketiga Stasiun
Pengamatan: (Stasiun 1) Lokasi Rehabilitasi, (Stasiun 2) Lokasi Peralihan antara Areal Rehabilitasi dengan Areal Mangrove Alami, (Stasiun 3) Lokasi Mangrove
Alami
Frekuensi Jenis
Frekuensi jenis merupakan salah satu parameter vegetasi yang dapat menunjukan pola distribusi atau sebaran jenis tumbuhan dalam ekosistem atau memperlihatkan pola distribusi tumbuhan. Nilai frekuensi dipengaruhi oleh nilai petak dimana ditemukannya spesies mangrove. Semakin banyak jumlah kuadrat ditemukannya jenis mangrove, maka nilai frekuensi kehadiran jenis mangrove semakin tinggi (Fachrul, 2007). Frekuensi relatif
mangrove pada tingkat pohon yang paling tinggi adalah Rhizophora apiculata pada stasiun 1, yaitu 50 %, sementara Frekuensi relatif yang terendah pada tingkat pohon adalah Ceriops decandra, Sonneratia alba dan Xylocarpus sp, yaitu masing‐masing 5,263 % pada stasiun 3.
Tingginya frekuensi jenis R. apiculata didukung oleh kondisi salinitas perairan payau dan substrat yang sangat sesuai untuk pertumbuhannya, yakni berupa subtract berlumpur dengan fraksi dominan liat pasir. Hutan mangrove dapat tumbuh dengan baik di daerah
Stasiun Jenis Kategori Semai
Di RDi (%) Fi RF i(%) INP ST -I Avicennia marina 0,667 12,500 0,667 18,182 30,682 Areal
Rehabilitasi Mangrove
Bruguiera gymnorrhiza 1,333 25,000 1,000 27,273 52,273 Bruguiera parviflora 0,333 6,250 0,333 9,091 15,341 Ceriops decandra 0,667 12,500 0,667 18,182 30,682 Rhizophora apiculata 2,333 43,750 1,000 27,273 71,023
Jumlah 5,333 100,00 3,667 100,00 200,00 ST -II Acantus sp. 0,333 4,762 0,333 7,143 11,905
Areal Peralihan Avicennia marina 1,667 23,810 1,000 21,429 45,238 Bruguiera gymnorrhiza 1,333 19,048 1,000 21,429 40,476 Ceriops decandra 0,667 9,524 0,667 14,286 23,810 Nypa fruticans 1,667 23,810 1,000 21,429 45,238 Rhizophora apiculata 1,000 14,286 0,333 7,143 21,429 Rhizophora musculata 0,333 4,762 0,333 7,143 11,905
Jumlah 7,000 100,00 4,677 100,00 200,00 ST- III Avicennia marina 3,000 28,125 1,000 23,077 51,202 Areal
Mangrove Alami
Bruguiera gymnorrhiza 0,667 6,250 0,667 15,385 21,635 Ceriops decandra 0,667 6,250 0,000 15,385 21,635 Nypa fruticans 3,000 28,125 0,667 23,077 51,202 Rhizophora apiculata 3,333 31,250 1,000 23,077 54,327
Jumlah 10,667 100,00 4,333 100,00 200,00
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
19 |
dengan kadar garam payau hingga asin. Tumbuhan di hutan mangrove memiliki toleransi yang tinggi terhadap kadar garam salinitasnya sekitar 0‐30‰ (Kusmana, 2010). Berdasarkan
hasil pengamatan, zonasi vegetasi mangrove di stasiun 2 dan stasiun 3 cenderung tidak teratur, hal ini ditunjukkan dengan adanya komunitas jenis Nypa fruticans diantara jenis mangrove sejati lainnya. Hal yang berbeda ditunjukkan pada stasiun 1 yang merupakan areal
hasil rehabilitasi dimana zonasinya lebih teratur dan semua jenis vegetasi merupakan jenis mangrove sejati.
Penutupan Jenis
Penutupan jenis dan Penutupan relatif digunakan untuk mengetahui pemusatan dan
penyebaran jenis‐jenis dominan vegetasi mangrove. Jika dominasi lebih terkonsentrasi pada satu jenis, nilai indeks dominasi akan meningkat dan sebaliknya jika beberapa jenis mendominasi secara bersama‐sama maka nilai indeks dominasi akan rendah (Indriyanto,
2006).
Penutupan relatif vegetasi mangrove tingkat pohon menunjukkan bahwa ada perbedaan luas
penutupan mangrove di ketiga stasiun pengamatan. Nilai penutupan relatif mangrove tertinggi pada stasiun 1 oleh jenis Rhizohora apiculate. Adapun penutupan relatif paling rendah adalah dari jenis Xylocarpus sp pada stasiun 3. Tingginya Penutupan relatif jenis R. apiculata menunjukkan dominasi jenis ini di sekitar areal rehabilitasi mangrove CPP Senoro. Tingginya Penutupan relatif R. apiculata ini dikarenakan kondisi subtrat lumpur (liat‐pasir) di lokasi pengamatan. Kualitas jenis tanah seperti ini merupakan jenis tanah yang sesuai untuk
mangrove jenis R. apiculata karena memiliki tingkat kesuburan tinggi (Supriharyono, 2007).
Indeks Nilai Penting (INP)
Indeks Nilai Penting (INP) merupakan salah suatu indeks yang dihitung berdasarkan jumlah yang didapatkan untuk menentukan tingkat dominasi jenis dalam suatu komunitas tumbuhan. Untuk mengetahui Indeks Nilai Penting pada pohon dan anakan vegetasi mangrove dapat diperoleh dari penjumlahan Frekuensi relatif, Kerapatan relatif, dan Penutupan relatif suatu vegetasi yang dinyatakan dalam persen (%) (Indriyanto, 2006).
Pada ketiga stasiun pengamatan menunjukkan adanya perbedaan nilai Indeks Nilai Penting (INP). Jenis Rhizopora apiculata memiliki INP tertinggi di lokasi pemantauan Stasiun 1 (areal rehabilitasi mangrove) dan stasiun 2 (areal mangrove alami), yaitu masing‐masing sebesar
186,543 % dan 104,807 %. Adapun jenis Avicennia marina memiliki INP tertinggi di lokasi pemantauan Stasiun 2 yang merupakan lokasi peralihan antara areal rehabilitasi dengan areal mangrove alami, yaitu sebesar 104,807 %. INP terendah ditunjukkan oleh jenis
Xylocarpus sp yang terdapat di Stasiun 3.
Indeks Nilai Penting (lNP) atau Impontant Value Index merupakan indeks yang
menggambarkan pentingnya peranan suatu jenis vegetasi dalam ekosistemnya. INP akan menggambarkan struktur komunitas dan pola penyebaran mangrove di lokasi pengamatan (Supriharyono, 2007). Perbedaan indeks nilai penting vegetasi mangrove disebabkan oleh kompetisi pada setiap jenis untuk mendapatkan unsur hara dan sinar cahaya matahari. Selain dari unsur hara dan matahari, faktor lain yang menyebabkan perbedaan kerapatan vegetasi mangrove ini adalah jenis substrat dan jangkauan pasang surut air laut. Tingginya
Indeks Nilai Penting (INP) yang ditunjukkan oleh jenis Rhizophora apiculate, khususnya di stasiun 1 yang merupakan areal rehabilitasi merupakan konstribusi dari pemilihan jenis ini yang banyak ditanam pada pelaksanaan rehabilitasi. Hal ini juga didukung oleh kesesuaian lahan yang memiliki salinitas, suhu dan substrat yang sesuai (ideal).
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
20 |
3.3.2. Struktur Komunitas Mangrove
Struktur komunitas mangrove di lokasi pengamatan dapat dijelaskan berdasarkan penilaian indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E) dan indeks dominansi (D). Indeks ekologi vegetasi mangrove di ketiga stasiun pengamatan mangrove di CPP Senoro seperti
ditunjukkan pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5. Indeks Ekologi Vegetasi Mangrove di Sekitar Areal Rehabilitasi CPP Senoro
Stasiun Indeks Ekologi
Jenis Dominan H E D
Stasiun I 1,42 0,790 0,291 Rhizophora apiculata Stasiun II 1,83 0,794 0,183 Avicennia marina Stasiun III 1,48 0,675 0,257 Rhizophora apiculata
Keterangan: H : Indeks Keanekaragaman Shannon Stasiun I : Areal Rehabilitasi Mangrove E : Indeks Kemerataan Stasiun II : Areal Peralihan antara Areal Reh,abilitasi dengan Areal Mangrove Alami D : Indeks Dominansi Stasiun I : Areal Mangrove Alami
Gambar 3.5a. Indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E) dan indeks dominansi (D) vegetasi mangrove di ketiga stasiun pengamatan CPP
Senoro
Stasiun 1 merupakan areal mangrove yang telah direhabilitasi, dimana vegetasi yang mendominasi adalah jenis Rhizopara apiculata. Dominansi jenis R. apiculata karena telah dilakukaannya upaya penanaman kembali (revegerasi) bibit R. apiculata pada sebagian besar
luasan areal lahan di lokasi ini. Pada stasiun 1, menunjukkan indeks keanekaragaman jenis (H’) vegetasi mangrove bernilai 1,42. Indeks keseragaman jenis (E) bernilai 0,790 dan Indeks Dominansi (D) bernilai 0,291. Stasiun 2 yang merupakan lokasi peralihan antara areal
rehabilitasi mangrove dengan areal mangrove alami, didominasi oleh jenis Avicennia marina. Indeks keanekaragaman jenis (H’) vegetasi mangrove dilokasi ini bernilai 1,83. Indeks keseragaman (E) bernilai 0,794 dan indeks dominansi (D) bernilai 0,291. Adapun di Stasiun 3 yang merupakan areal mangrove alami, juga didominasi oleh jenis Rhizopara apiculata.
Indeks keanekaragaman jenis (H’) vegetasi mangrove dilokasi ini bernilai 1,48. Indeks keseragaman (E) bernilai 0,675 dan Indeks dominansi (E) bernilai 0,257.
Indeks keanekaragaman sangat dipengaruhi oleh jumlah individu dan jumlah spesies. Indeks keanekaragaman mangrove secara umum menunjukkan nilai dibawah 2,0 (H’ < 2,0) yang menunjukkan tingkat keanekaragaman yang tergolong rendah. Keanekaragaman jenis
vegetasi mangrove yang ada dilokasi pengamatan termasuk ke dalam kategori rendah dibandingkan jumlah total individu jenis mangrove yang terdapat di Indonesia yang mencapai
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
21 |
48 Jenis dari 22 suku (Giesen 2006 dalam Purnomo dan Usmadi 2011). Secara umum keanekaragaman jenis yang rendah ini terjadi karena adanya kegiatan rehabilitasi yang
dominan menggunakan jenis Rhizopora apiculate. Menurut Purnomo dan Usmadi (2011), ekosistem yang kerap mengalami perubahan kondisi lingkungan akan menjadikan lingkungan tersebut mengarah pada kondisi lingkungan homogen. Keanekaragaman jenis yang rendah
dapat juga terjadi karena adanya perubahan lingkungan yang menuju homogen.
Indeks keseragaman mangrove di stasiun 1 dan stasiun 2 menunjukkan nilai antara >0,75
yang menunjukkan ekosistem berada dalam kondisi stabil dan memiliki keseragaman yang tinggi. Sedangkan indeks keseragaman di stasiun 3 menunjukkan nilai antara 0,5 – 0,75 yang menunjukkan keseragaman yang sedang. Keragaman jenis mangrove di ketoga stasiun
pengamatan berada dalam kriteria rendah. Kondisi ini terlihat pada pembentukan zonasi vegetasi yang didominasi oleh jenis Rhizopara apiculate dan Avicennia marina.
Indeks dominansi di ketiga stasiun pengamatan menunjukkan kisaran nilai <0,5, yang
menunjukkan tingkat dominansi vegetasi mangrove yang tergolong rendah atau tidak terdapat species mangrove yang secara ekstrim mendominasi species lainnya. Hal ini menunjukkan kondisi lingkungan yang stabil dimana tidak terdapat tekanan ekologis
terhadap biota di ketiga stasiun pengamatan tersebut.
3.3.3. Komposisi Mangrove
Vegetasi mangrove pada ketiga stasiun pengamatan terdiri dari 10 jenis spesies yang termasuk dalam 5 family mangrove dan merupakan jenis mangrove sejati. Mangrove sejati adalah kelompok tumbuhan yang hanya dapat hidup di lingkungan yang masih dipengaruhi
pasang surut air laut (pantai dan muara sungai) yang substrat dasarnya berupa lumpur endapan (aluvial). Vegetasi mangrove dari family Rhizophoraceae dan Acanthaceae merupakan jenis mangrove yang paling dominan ditemukan di lokasi pengamatan. Dominannya kedua jenis tumbuhan mangrove tersebut disebabkan oleh besarnya peluang ditemukannya pada setiap transek pengamatan, disamping itu kondisi substrat lahan sangat mendukung pertumbuhannya. Jenis mangrove di lokasi sekitar lokasi rehabilitasi mangrove
CPP Senoro seperti ditunjukkan pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3. Jenis Mangrove di Sekitar Lokasi Rehabilitasi Mangrove CPP Senoro
No. Jenis Mangrove. Terpantau
Keterangan Family Genus Species Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
1 Acanthaceae Acanthus Acantus ilicifolius - + - M angrove Sejati 2 Acanthaceae Avicennia Avicennia marina ++ ++++ +++ M angrove Sejati
3 Rhizophoraceae Bruguiera Bruguiera gymnorrhiza ++ + + M angrove Sejati 4 Rhizophoraceae Bruguiera Bruguiera parviflora + + + M angrove Sejati 5 Rhizophoraceae Ceriops Ceriops decandra + + + M angrove Sejati
6 Arecaceae Nypa Nypa fruticans - ++ ++ M angrove Sejati 7 Rhizophoraceae Rhizophora Rhizophora apiculata ++++ +++ ++++ M angrove Sejati 8 Rhizophoraceae Rhizophora Rhizophora musculata - + + M angrove Sejati
9 Lythraceae Sonneratia Sonneratia alba + + + M angrove Sejati 10 Meliaceae Xylocarpus Xylocarpus granatum - + + M angrove Sejati
Sumber: PPKPMP UNTAD, Oktober 2018
Berdasarkan lokasi pengamatan, lokasi mangrove dibagi menjadi 3 areal, yaitu: (Stasiun 1)
merupakan areal rehabilitasi mangrove yang telah dilaksanakan pada tahun 2014, (Stasiun 2) merupakan lokasi peralihan antara areal rehabilitasi mangrove dengan areal mangrove alami, dan (Stasiun 3) lokasi mangrove alami. Pada ketiga lokasi pengamatan mangrove,
tidak ditemukan adanya peralihan zonasi vegetasi mangrove, yang umumnya diindikasikan dengan kehadiran jenis‐jenis spesifik yang tumbuh pada zona tertentu (Purnomo dan Usmadi, 2011). Pada umumnya formasi mangrove akan membentuk sistem zonasi mangrove
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
22 |
yang normal, dimana tidak terjadi gangguan berarti terhadap tempat tumbuh (Giesen et al. 2002), namun dilokasi pengamatan secara umum mangrove membentuk formasi mangrove
tengah dan mangrove payau.
Pada beberapa areal di lokasi pengamatan terpantau pernah mengalami konversi lahan pada saat berlangsungnya tahap konstruksi pengembangan Lapangan Gas Senoro dan fasilitas‐
fasilitas pendukungnya, khususnya di sekitar CPP Senoro. Mangrove yang terdapat di sekitar CPP Senoro lebih cenderung masuk ke kategori mangrove tengah dan mangrove payai yang didominasi oleh jenis Rhizopara apiculata dan Avicennia marina. Kondisi ini didukung oleh
karakteristik subtrat/tanah di kawasan mangrove sekitar CPP Senoro yang merupakan tanah berlumpur yang terdiri dari fraksi liat dan pasir.
3.3.4. Kerapatan Vegetasi Mangrove
Kerapatan suatu jenis dalam komunitas adalah jumlah individu atau jenis per luas contoh. Kerapatan jenis mangrove pada berbagai tingkatan seperti ditunjukkan pada Tabel 3.6a dan
Gambar 5a. Sedangkan kerapatan jenis mangrove pada berbagai tingkatan di setiap stasiun pengamatan, seperti ditunjukkan pada Tabel 3.6b dan Gambar 5b.
Tabel 3.6a. Kerapatan Jenis Vegetasi Mangrove (Tingkat Pohon, Tingkat Tiang/Anakan, Tingkat Semai) di lokasi pengamatan
No Jenis Kerapatan (Individu/Hektar)
T ingkat Pohon Tingkat Anakan Tingkat Semai 1 Acantus sp. - - 3333 2 Avicennia marina 1967 4933 53333 3 Bruguiera gymnorrhiza 200 1733 33333 4 Bruguiera parviflora 367 1200 3333 5 Ceriops decandra 67 1867 20000 6 Nypa fruticans 1000 400 46667 7 Rhizophora apiculata 2067 4800 66667 8 Rhizophora musculata 133 133 3333 9 Sonneratia alba 300 533 -
10 Xylocarpus sp. 67 - -
Gambar 3.5a. Kerapatan Vegetasi Mangrove di Ketiga Stasiun Pengamatan: (Stasiun 1) Lokasi
Rehabilitasi, (Stasiun 2) Lokasi Peralihan antara Areal Rehabilitasi dengan Areal Mangrove Alami, (Stasiun 3) Lokasi Mangrove Alami
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
23 |
Kerapatan tertinggi jenis vegetasi mangrove untuk tingkat pohon ditunjukkan oleh jenis Rhizophora apiculate, yaitu 2.067 pohon/ha, kemudian disusul oleh jenis Avicennia marina
sebanyak 1.967 pohon/ha. Kerapatan terendah ditunjukkan oleh jenis Ceriops decandra dan Xylocarpus sp., yaitu masing‐masing sebanyak 67 pohon/ha. Adapun kerapatan untuk tingkat anakan/tiang yang terbanyak adalah jenis Avicennia marina sebanyak 4.933
anakan/ha, dan disusul oleh jenis Rhizophora apiculata sebanyak 4.800 anakan/ha. Kerapatan terendah untuk tingkat anakan/tiang ditunjukkan oleh jenis Rhizophora musculata yaitu sebanyak 133 anakan/ha. Tingginya kerapatan relatif R. apiculate didukung oleh jenis substrat berlumbur (liat‐pasir), dimana jenis substrat sangat ideal dan disukai oleh vegetasi
mangrove dari genus Rizhophora sp., dimana pada umumnya mangrove genus Rizhophora sp akan dapat tumbuh dengan baik pada tanah/subtat berlumpur (Bengen, 2001). Tingginya kerapatan vegetasi mangrove tingkat semai yang didominasi oleh jenis Rhizophora apiculata
merupakan konstribusi melimpahnya suplai bibit jenis ini yang bersumber dari vegetasi mangrove alami di sekitar Kawasan.
Tabel 3.6. Kerapatan Vegetasi Mangrove (Tingkat Pohon, Tingkat Tiang/Anakan, Tingkat Semai) berdasarkan letak stasiun pengamatan di di Sekitar Areal Rehabilitasi CPP Senoro
Stasiun Kerapatan (Individu/Hektar) Pohon Anakan Semai
Stasiun I 867 6667 53333 Stasiun II 2400 4667 70000 Stasiun III 2900 4267 106667
Keterangan: Stasiun I : Areal Rehabilitasi Mangrove Stasiun II : Areal Peralihan antara Areal Rehabilitasi dengan Areal Mangrove Alami Stasiun I : Areal Mangrove Alami
Gambar 3.5b. Kerapatan Vegetasi Mangrove di Ketiga Stasiun Pengamatan: (Stasiun 1) Lokasi
Rehabilitasi, (Stasiun 2) Lokasi Peralihan antara Areal Rehabilitasi dengan Areal Mangrove Alami, (Stasiun 3) Lokasi Mangrove Alami
Berdasarkan lokasi pengamatan, kerapatan tertinggi vegetasi mangrove pada tingkat pohon terdapat di stasiun 3 yang merupakan areal vegetasi mangrove alami, yaitu sebanyak 2900
pohon/ha, sedangkan yang terendah terdapat di stasiun 1 yang merupakan areal rehabilitasi, yaitu sebanyak 867 pohon/ha. Namun untuk vegetasi mangorove tingkat anakan/tiang, kerapatan tertinggi terlihat di areal rehabilitas (stasiun 1), yaitu sebanyak 6.667 anakan/ha.
Hal ini disebabkan karena vegetasi mangrove di areal ini dominan berupa anakan hasil rehabilitasi pada tahun 2014.
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
24 |
3.3.5. Evaluasi Kondisi Mangrove
Kelimpahan vegetasi mangrove dapat digambarkan dalam nilai kerapatan jumlah individu pohon per satuan luas. Kerapatan mangrove merupakan salah satu indikator tingkat
kerusakan suatu kawasan mangrove yang dikategorikan dalam dua kriteria, mengacu pada KepMen LH No. 201 Tahun 2004, Lampiran I, tentang kriteria baku dan pedoman penentuan kerusakan mangrove. Kriteria baik diindikasikan dengan tingkat kerapatan yang sangat
padat, yaitu kerapatan >1.500 individu/ha. Kerapatan vegetasi mangrove di sekitar areal rehabilitasi CPP Senoro tergolong dalam penilauan jarang dan sangat padat. Kepadatan vegetasi mangrove tingkat pohon di stasiun 2 dan stasiun 3 menunjukkan kriteria penilaian baik, dimana kerapatannya sangat padat yaitu pada kisaran antara 2.400 ind/ha – 2.900
ind/ha. Kerapatan vegetasi mangrove ini turut menunjukkan adanya kemampuan tumbuh dan berkembang biak dari beberapa jenis vegetasi di lokasi tersebut.
Kepadatan mangrove tingkat pohon di stasiun 1 yang merupakan areal rehabilitasi mangrove dalam penilaian rendah, yaitu sebanyak 867 ind/ha. Namun mangrove tingkat anakan/tiang, kerapatannya tertinggi ditujukkan pada lokasi ini, dimana kerapatannya dalam kriteria
penilaian yang sangat padat, yaitu sebanyak 6.667 anakan/ha. Hal ini disebabkan karena vegetasi mangrove di areal ini merupakan vegetasi muda berupa anakan yang dalam proses perkembangan. Dominannya vegetasi mangrove tingkat anakan/tiang di stasiun ini
merupakan konstribusi dari upaya rehabilitasi yang dilaksanakan pada tahun 2014 lalu. Seiring berjalannya waktu, diproyeksikan bahwa areal rehabilitasi mangrove akan segera dapat berkembang dan pulih sebagaimana areal mangrove alami yang ada disekitarnya.
Secara umum vegetasi mangrove di sekitar CPP Senoro didominasi oleh jenis Rhizophora apiculate dan Avicennia marina yang menunjukkan bahwa kedua jenis ini mampu beradaptasi dengan baik dengan kondisi lingkungan disekitarnya.
3.4. Makrozoobentos
3.4.1. Komposisi Jenis Makrozoobentos
Makrozoobentos pada ekosistem mangrove dikelompokkan berdasarkan habitatnya, yaitu ; (1) bentos yang hidup diatas permukaan tanah (surface fauna/epifauna) dan (2) bentos yang hidup meliang dalam tanah (infauna). Ekosistem estuari yang menjadi karakteristik
ekosistem mangrove, memiliki biodiversitas yang cukup tinggi termasuk makrozoobenthos yang hidup didalam maupun diatas sedimen perairan dan hidup dengan cara menggali lubang, merayap dan menempel (Afkar, 2014). Hasan et al (2012) lebih lanjut
menjelaskan bahwa makrozoobentos dari kelas Gastropoda merupakan organisme yang mempunyai kisaran penyebaran yang luas di substrat berbatu, berpasir, maupun berlumpur, namun organisme ini cenderung menyukai substrat dasar berlumpur seperti kondisi di lokasi
pengambil sampel yang memiliki substrat yang bertekstur lumpur (liat‐pasir).
Komposisi makrozoobenthos terdiri dari 21 species, 17 familiy, 4 kelas dan 3 phylum.
Kelompok fauna avertebrata yang umum ditemukan hidup di ekosistem mangrove adalah Moluska, yang didominasi oleh kelas Gastropoda dan Bivalvia. Gastropoda merupakan salah satu sumberdaya hayati non‐ikan yang mempunyai keanekaragaman tinggi dan dapat hidup
di darat, perairan tawar, sampai perairan bahari. Gastropoda berasosiasi dengan ekosistem mangrove sebagai habitat tempat hidup, berlindung, memijah dan juga sebagai daerah suplai makanan yang menunjang pertumbuhannya. Jenis makrozoobentos yang ditemukan di
ketiga stasiun pengamatan, seperti ditunjukkan pada Tabel 3.7.
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
25 |
Tabel 3.7. Jenis Makrozoobentos berdasarkan letak stasiun pengamatan di di Sekitar Areal
Rehabilitasi CPP Senoro
No Phylum Class Famili Species
1 Annelida Palpata Nereis Nereis sp 2 Arthropoda Crustacea Balanidae Balanus sp 3 Coenonitidae Coenobita perlatus 4 Gecarcinucidae Parathelphusa sp 5 Macrophthalminae Macrophthalmus definitus 6 Menippidae Menippe sp. 7 Ocypodidae Uca vocans 8 Paguridae Pagurus sp 9 Molusca Bivalvia Corbiculidae Polymesoda sp 10 Crassostrea Crassostrea tulipa 11 Tellinidae Tellina sp 12 Unionoidea Pseudodon sp. 13 Gastropoda Camaenidae Amphidromus sp 14 Muricidae Chicoreus capicinus 15 Neritinae Nerita sp 16 Clithon sp 17 Pachychilidae Faunus ater 18 Potamididae Terebralia sulcata 19 Telescopium telescopium 20 Pirenella sp. 21 Thiaridae Melanoides sp
Sumber: PPKPMP UNTAD, Oktober 2018
Crustacea dan Gastropoda merupakan kelas makrozoobentos yang mendominasi komunitas fauna benthik pada kebanyakan ekosistem mangrove dengan penyebarannya yang luas,
sesuai dengan pernyataan Kennish (1990) dan Pearson (1985). Penyebarannya yang luas menyebabkan komposisi makrozoobentos kelas Gastopoda dan Crustaceae lebih besar dibandingkan kelas‐kelas lain. Crustaceae didominasi oleh jenis Uca vocans dari famili Ocypodiae yang berdiam di habitat yang cenderung berlumpur atau berlumpur berpasir. Jenis Molusca yang ditemukan di lokasi pengamatan terdiri dari jenis‐jenis Molusca sejati hutan mangrove (Telescopium sp.) dan jenis Molusca fakultatif (Littorina sp). Jenis Molusca asli mangrove umumnya merupakan pemakan serasah dengan berbagai tingkat kesegaran,
hanya beberapa jenis yang memakan alga dan predator. Sedangkan jenis fakultatif, umumnya memakan alga atau mikroflora dan fitoplankton. Adapun jenis Bivalvia merupakan jenis yang bersifat menetap pada suatu tempat dan tidak dapat bergerak aktif,
sehingga kelas ini mempunyai toleransi yang lebih terbatas dibandingkan Gastropoda. Bivalvia termasuk filter feeder, pemakan plankton, dan butiran‐butiran kecil lainnya (Awaluddin, 1999). Sedangkan Gastropoda memakan deposit materi di permukaan lumpur
dan akar mangrove yang distribusinya sangat bergantung pada tipe sedimen (Kennish, 1990).
Distribusi dan kelimpahan makrobentos mangrove dapat bersifat homogen dan heterogen,
namun pada perairan estuarin umumnya populasi akan meningkat kearah muara atau laut. Sebagian besar makrofauna di mangrove memakan berbagai tipe detritus organik. Komponen detritus organik tersebut terdapat dalam berbagai tipe, yaitu material tanaman atau hewan yang terdekomposisi, produk ekskresi dan senyawa organic terlarut dalam bentuk bebas atau terikat dengan partikel pasir atau lumpur. Makrofauna mangrove umumnya didominasi oleh pemakan detritus, olehnya keragaman dan jumlah individu setiap
species di setiap biotroph zona mangrove berhubungan dengan kandungan bahan organik dan persentase lempung berpasir dalam subtrat dasar mangrove. Dengan demikian keragaman dan kepadatan individu berkurang sejalan dengan menurunnya variasi bahan organik dan persentase lempung berpasir pada subtratnya (Gunarto, 2004).
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
26 |
3.4.2. Struktur Komunitas Makrozoobentos
Struktur komunitas makrozoobentos yang merupakan biota asosiasi mangrove ditunjukkan dengan beberapa indeks ekologi, yaitu Indeks Keanekaragaman Shannon‐Weiner (H’)
untuk melihat tingkat keanekaragaman pada masing‐masing plot atau titik pengambilan sampel, Indeks Dominansi Simpson (C) untuk melihat apakah ada spesies yang dominan pada masing‐masing titik atau plot pengambilan sample, Indeks Keseragaman/Evennes (E) untuk
melihat tingkat kemerataan spesies. Kepadatan (density) untuk melihat apakah suatu individu memadati ruang dalam titik pengambilan sample. Indeks ekologi makrozoobentos di ketiga stasiun pengamatan, seperti ditunjukkan pada Tabel 3.8. dan Gambar 3.6.
Tabel 3.8. Indeks Ekologi Makrozoobentos di Sekitar Areal Rehabilitasi Mangrove CPP Senoro
No Jenis Benthos Stasiun Pengamatan
St 1 St 2 St 3 1 Amphidromus sp 1,60 2,93 2,53 2 Balanus sp 0,00 3,87 0,40 3 Chicoreus capicinus 0,00 0,40 0,00 4 Clithon sp 6,27 3,73 6,93 5 Coenobita perlatu 1,20 0,00 0,53 6 Crassostrea tulipa 10,67 4,13 9,47 7 Faunus ater 4,80 6,80 3,33 8 Macrophthalmus definitus 45,73 30,40 8,80 9 Melanoides sp 5,87 1,07 1,73
10 Menippe sp. 0,13 0,00 0,13 11 Nereis sp 1,73 1,20 0,40 12 Nerita sp 4,53 1,87 2,00 13 Pagurus sp 4,80 3,87 6,40 14 Parathelphusa sp 0,00 0,00 0,67 15 Pirenella sp. 3,47 1,33 1,20 16 Polymesoda sp 0,93 2,80 2,13 17 Pseudodon sp 10,13 0,40 0,40 18 Telescopium telescopium 0,00 9,20 13,20 19 Tellina sp 0,00 0,00 0,40 20 Terebralia sulcata 9,60 14,40 11,20 21 Uca vocans 7,20 7,87 5,33
Jumlah Taksa (s) 16 17 20 Kelimpahan/Density (Individu/m2) 119 96 77 Indeks Keanekaragaman (H’) 2,171 2,279 2,482 Indeks Keseragaman (E) 0,783 0,804 0,828 Indeks Dominasi (C) 0,186 0,152 0,103
Keterangan: Stasiun I : Areal Rehabilitasi Mangrove Stasiun II : Areal Peralihan antara Areal Reh,abilitasi dengan Areal Mangrove Alami Stasiun I : Areal Mangrove Alami
Kelimpahan jenis makrozoobenthos yang ditemukan di ketiga stasiun pengamatan memiliki kisaran nilai antara 16 – 20 species, dimana jumlah jenis pada ketiga stasiun tidak memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata. Kelimpahan (densitas) makrozoobenthos di
ketiga stasiun yaitu antara 77 – 119 individu/m2.
Salah satu fauna penghuni asli kawasan mangrove adalah Gastropoda. Keberadaan
gastropoda ini sangat dipengaruhi oleh kondisi fisika kimia substrat serta komunitas mangrove. Secara ekologis, Gastropoda sebagai grazer berperan penting dalam rantai makanan karena mendukung dan mempertahankan kehidupan pada rantai makanan selanjutnya. Jenis Gastropoda yang dominan diterumkan, yaitu Terebralia sulcata. Populasi Terebralia sulcata memiliki keterkaitan erat dengan kondisi mangrove yang merupakan habitat hidupnya, sehingga ketika ekosistem mangrove mengalami tekanan maka akan berdampak pada keberadaan atau kepadatan populasinya. Dalam ekosistem mangrove kelas
Gastropoda merupakan kelompok yang dominan dibandingkan kelas moluska. Hal ini sejalan degan Frith (1977), yang menyatakan bahwa jenis Gastropoda yang dominan pada hutan
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
27 |
mangrove adalah dari famili Potamididae, Neritidae, dan Muricidae. Selanjutnya Budiman dan Darnaedi (1982) menambahkan bahwa jenis‐jenis moluska dari famili Potamididae
mempunyai frekuensi kehadiran yang cukup tinggi di hutan mangrove karena luasnya daerah yang disukai oleh family Potamididae (lumpur, berair, terbuka).
Gambar 3.6. Indeks Ikologi makrozoobentos di Ketiga Stasiun Pengamatan: (Stasiun 1) Lokasi Rehabilitasi, (Stasiun 2) Lokasi Peralihan antara Areal Rehabilitasi dengan Areal Mangrove Alami, (Stasiun 3) Lokasi Mangrove Alami
Indeks keanekaragaman Shannon‐Winner makrozoobentos di areal mangrove hasil rehabilitasi (stasiun 1) menunjukkan nilai 2,171. Indeks keseragaman jenis (E) bernilai 0,783 dan Indeks Dominansi (E) bernilai 0,186. Lokasi pengamatan yang merupakan lokasi
peralihan antara areal rehabilitasi mangrove dengan areal mangrove alami (Stasiun 2) memiliki Indeks keanekaragaman jenis (H’) makrozoobentos bernilai 2,279. Indeks keseragaman (E) bernilai 0,804 dan indeks dominansi (C) bernilai 0,152. Adapun di lokasi
yang merupakan areal mangrove alami (Stasiun 3) menunjukkan Indeks keanekaragaman jenis (H’) makrozoobentos bernilai 2,482. Indeks keseragaman (E) bernilai 0,828 dan Indeks dominansi (C) bernilai 0,103.
Indeks keanekaragaman Shannon‐Winner (H’) makrozoobenthos di ketiga lokasi pengamatan tergolong memiliki nilai sedang (1<H’<3,32) yang menunjukkan bahwa produktivitas
makrozoobentos cukup tinggi serta menunjukkan kondisi ekosistem dalam kondisi seimbang dimana tekanan ekologi dalam karegori penilaian sedang. Indeks keseragaman/Evenness (E) makrozoobenthos di ketiga lokasi pengamatan tergolong tinggi (0,75 < E < 1,0) yang
menunjukkan bahwa ekosistem berada dalam kondisi yang stabil. Adapun indeks dominansi (C) makrozoobenthos di ketiga lokasi pengamatan tergolong rendah (<0,5), hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat species makrozoobenthos yang secara ekstrim mendominasi species lainnya. Dengan demikian penilaian kondisi lingkungan dalam kondisi
yang stabil dimana tidak terdapat tekanan ekologis terhadap biota di ketiga stasiun pengamatan.
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
28 |
Sumber: Dokumentasi Oktober 2018.
Gambar 3.7. Kelimpahan beberapa jenis Makrozoobentos yang didominasi kelas Gastropoda, pada ekosistem mangrove di CPP Senoro
3.5. Makrofauna
3.5.1. Fauna Akuatik
Mangrove secara ekologis menjadi tempat berkembang biak, tempat mencari makan dan tempat berlindung bagi beberapa jenis fauna akuatik, sehingga jarang ditemukan fauna akuatik yang berukuran besar dimana fauna dewa umumnya lebih mencari lokasi di perairan
lepas (Sungai/laut). Kordi (2012) menjelaskan bahwa fauna akuatik menjadikan ekosistem mangrove sebagai tempat untuk reproduksi, seperti : memijah, bertelur dan beranak.
Daerah dataran lumpur (intertidal mud‐flat) yang terdapat di ketiga stasiun pengamatan
mangrove merupakan habitat berbagai komunitas nekton. Areal tersebut kaya akan sumber pakan sebagai hasil dari produksi primer dan sekunder yang tinggi serta adanya impor bahan organik dari sungai dan mangrove. Spesies ikan yang dominan ditemukan area pengamatan
mangrove adalah ikan yang mampu hidup di luar air dalam waktu relatif lama, yaitu jenis ikan belodok “mudskippers”. Setidaknya terdapat 2 species ikan gelodok/gobidae (family Oxudeercidae) di lokasi pengamatan, yaitu Periopthalmus vulgaris dan Boleophthalmus sp.
Kelimpahan jenis ikan ikan belodok (family Oxudeercidae) di ketiga stasiun pemantauan pada kisaran 4 – 9 individu/m2. Tinggi rendahnya keanekaragaman jenis nekton dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah kualitas lingkungan. Keberadaan mangrove mampu
menopang fauna akuatik yang hidup dan berasosiasi di dalamnya. Ikan Gobiidae memiliki kemampuan adaptasi yang baik pada kawasan ekosistem mangrove. Jenis ikan dari famili Gobiidae memiliki ciri khusus yaitu sirip perutnya bersatu dan berbentuk seperti piringan pencengkram, yang berfungsi untuk melekatkan dirinya pada substrat. Beberapa jenis ikan gobi juga diketahui merupakan penghuni tetap kawasan mangrove, diantaranya adalah jenis ikan belodok Periopthalmus vulgaris dan P. Argentilineatus (Wahyudewantoro, 2009).
Morfologi dan bentuk muka ikan gelodok (Periopthalmus sp) sangat khas, kedua matanya menonjol di atas kepala, wajah yang dempak, dan sirip‐sirip punggung yang terkembang. Badannya bulat panjang seperti torpedo, sementara sirip ekornya membulat. Panjang tubuh
bervariasi mulai dari beberapa sentimeter hingga mendekati 15 cm. Ikan ini selain dapat bertahan hidup lama di daratan, ikan gelodok dapat memanjat akar‐akar pohon bakau, melompat jauh, dan berjalan di atas lumpur. Hidup di wilayah pasang surut, ikan gelodok
biasa menggali lubang dilumpur yang lunak untuk sarangnya. Ikan gelodok bersifat herbivora, makanan ikan ini adalah alga benthik,terutama marga diatom. Lubang ini bisa sangat dalam
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
29 |
dan bercabang‐cabang, berisi air dan sedikit udara di ruang‐ruang tertentu. Ketika air pasang naik, ikan gelodok umumnya bersembunyi dilubang‐lubang ini untuk menghindari ikan‐ikan
pemangsa yang berdatangan. Ikan gelodok ditemukan di muara‐muara sungai yang banyak pohon bakaunya. Toleransinya sangat besar terhadap perubahan salintas, suhu, pH, dan DO (Wilis, 2012).
Area di sekitar lokasi pengamatan terdapat ceruk‐ceruk air, aliran parit kecil yang bermuara ke aliran sungai utama. Pada perairan tersebut sangat umum ditemukan beberapa jenis ikan
lainnya yang termasuk dalam spesies ikan estuarin, yaitu ikan julung‐julung (Hemiramphus sp), ikan sumpit (Toxotes jaculatrix), ikan belanak (Moolgarda seheli dan Mugil dossumieri). Eksistensi jenis ikan estuarin tersebut dapat dikemukakan berdasarkan pengangatan visual
secara langsung selama pelaksanaan kegiatan lapangan, namun belum dapat diananlisis kelimpahannya pada kegiatan kali ini.
Sumber: Dokumentasi Oktober 2018.
Gambar 3.8. Jenis Fauna Akuatik yang Didominasi Ikan Gelodok (Periopthalmus vulgaris)
dan kepiting uca (Uca vocans) pada ekosistem mangrove di CPP Senoro
3.5.2. Fauna Daratan/Teresterial
Komunitas fauna hutan mangrove daratan/terestrial yang menempati bagian atas pohon mangrove umumnya terdiri dari: burung, insekta, reptile dan primata. Kelompok ini tidak mempunyai sifat adaptasi khusus untuk hidup di dalam hutan mangrove karena mereka melewatkan sebagian besar hidupnya diluar jangkauan air laut pada bagian pohon yang tinggi, meskipun mereka dapat mengumpulkan makanannya berupa hewan akuatik pada saat air surut (Bengen, 1999).
Pengamatan fauna disekitar lokasi mangrove CPP Senoro, secara langsung dapat menemukan beberapa jenis fauna hutan mangrove dengan frekuensi dan jumlah yang relative sangat terbatas. Keanekaragaman jenis komunitas fauna hutan mangrove lainnya
didapatkan dari berbagai informasi masyarakat disekitar kawasan. Adapun beberapa jenis fauna yang umum ditemukan di sekitar kawasan mangrove CPP Senoro, seperti ditunjukkan pada Tabel 3.9.
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
30 |
Tabel 3.9. Fauna daratan/terestrial di Sekitar Kawasan Rehabilitasi Mangrove CPP Senoro
No Nama latin Family Nama Lokal Kelimpahan Sumber Data A. Mamalia
1 Macaca tonkeana Cercopithecidae Monyet Tonkean + Masyarakat/Karyawan 2 Pteropus sp. Pteropodidae Kalong + Masyarakat/Karyawan 3 Sus celebensis Suidae Babi Bintil Sulawesi + Masyarakat
B Reptilia 1 Bungarus candidus Elapidae Ular Weling + Masyarakat 2 Bungarus fasciatus Elapidae Ular Welang + Masyarakat/Karyawan 3 Crocodylus porosus Crocodylia Buaya Muara + Masyarakat/Karyawan 4 Elaphe spp Colubridae Ular T ikus + Masyarakat 5 Emoia atrocostata Scincidae Kadal Mangrove ++ Pengamatan Langsung 6 Emoia cearuleocauda Scincidae Kadal Emo Ekor Biru + Pengamatan Langsung 9 Fordonia sp. Homolepsidae Ular Air Bakau + Masyarakat/Karyawan
10 Pyhon reticulates Pythonidae Ular Sawah + Masyarakat/Karyawan 11 Varanus salvator Varanidae Biawak + Pengamatan Langsung C Aves
1 Alcedo atthis Alcedinidae Raja Udang Erasia + Masyarakat/Karyawan 2 Amaurornis phoenicurus Rallidae Kareo padi +++ Pengamatan Langsung 3 Anthreptes malacensis Nectariniidae Burung Madu Kelapa + Masyarakat 4 Ardea cinerea Ardeidae Cangak Abu + Pengamatan Langsung 5 Ardea purpurea Ardeidae Cangak Merah + Pengamatan Langsung 6 Ardeola speciosa Ardeidae Blekok Sawah ++ Pengamatan Langsung 7 Bubulcus ibis Ardeidae Kuntul kerbau ++ Pengamatan Langsung 8 Chalcophaps indica Columbidae Pergam/Punai Tanah + Pengamatan Langsung 9 Collocalia vanikorensis Apodidae Walet polos ++ Pengamatan Langsung
10 Coracias temminckii Coraciidae T iong Lampu Sulawesi + Pengamatan Langsung 11 Corvus enca Corvidae Gagak hutan + Masyarakat 12 Dendrocygna arc Anatidae Belibis kembang ++ Masyarakat 13 Dendrocygna javanica Anatidae Belibis Polos/Batu +++ Pengamatan Langsung 14 Egretta garzetta Ardeidae Kuntul kecil + Masyarakat 15 Gallirallus torquatus Rallidae Kareo Padi-Zebra ++ Pengamatan Langsung 16 Haliastur indus Accipitridae Elang Bondol + Pengamatan Langsung 17 Hypotaenidia torquata Rallidae Padi Zebra/ Mandar + Masyarakat 18 Locustela certhiola Locustellidae Kecici Belalang + Masyarakat 19 Lonchura atricapilla Estr ildidae Bondol Coklat + Masyarakat 20 Nectarinia jugularis Nectariniidae Burung Madu ++ Masyarakat 21 Nectarinia jugularis Nectariniidae Burung Madu Sriganti ++ Masyarakat 22 Todiramphus cloris Alcedinidae Cekakak Sungai ++ Masyarakat 23 Tringa glareola Scolopacidae Trinil semak ++ Masyarakat 24 Tringa hypoleucos Scolopacidae Trinil pantai +++ Pengamatan Langsung 25 Zosterops chloris Zosteropidae Kacamata laut + Masyarakat
Sumber: PPKPMP UNTAD, Oktober 2018
Sumber: Dokumentasi Oktober 2018.
Gambar 3.9. Jenis Fauna Daratan/Teresterial Yang Umum Dijumpai Di Ekosistem Mangrove Sekitar CPP Senoro
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
31 |
IV. KESIMPULAN
1. Mangrove di sekitar areal rehabilitasi CPP Senoro memiliki kriteria (1) mangrove tengah, (2)
mangrove payau dan (3) mangrove daratan, yang didominasi oleh jenis Rhizophora apiculate dan Avicennia marina. Zonasi mangrove termasuk dalam kriteria mangrove tengah, mangrove payau dan mangrove daratan dan memiliki 10 jenis mangrove sejati yang didominasi oleh jenis Rhizophora apiculate dan Avicennia marina. Kerapatan tertinggi oleh jenis Rhizophora apiculate (2.067 pohon/ha) dan disusul jenis Avicennia marina (1.967 pohon/ha). Kerapatan vegetasi mangrove tingkat pohon, tertinggi di areal vegetasi mangrove alami (stasiun 3), yaitu 2.900 pohon/ha, sedangkan yang terendah terdapat areal
rehabilitasi (stasiun 1), yaitu 867 pohon/ha. Namun untuk vegetasi tingkat anakan/tiang, kerapatan tertinggi terdapat di areal rehabilitas (stasiun 1), yaitu 6.667 anakan/ha. Hal ini disebabkan karena vegetasi mangrove di areal ini dominan berupa anakan hasil rehabilitasi
pada tahun 2014. Kerapatan vegetasi mangrove di kawasan sekitar areal rehabilitasi CPP Senoro dalam rentang penilaian kategori penilaian jarang dan sangat padat (KepMen LH No. 201 Tahun 2004). Kepadatan vegetasi mangrove tingkat pohon (stasiun 2 dan 3),
menunjukkan kriteria penilaian baik, sedangkan pada stasiun 1 kepadatan mangrove tingkat pohon dalam kategori penilaian rendah. Namun mangrove tingkat anakan/tiang memiliki kerapatan tinggi (6.667 anakan/ha). Hal ini disebabkan karena vegetasi mangrove di areal ini
merupakan vegetasi muda berupa anakan yang dalam proses perkembangan lebih lanjut;
2. Jenis Rhizopora apiculate memiliki Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi, yaitu 186,543 di areal rehabilitasi mangrove (stasiun 1) dan 104,807 % di areal mangrove alami (stasiun 3). Adapun jenis Avicennia marina memiliki INP tertinggi di lokasi pemantauan stasiun 2 yang merupakan lokasi peralihan antara areal rehabilitasi dengan areal mangrove alami (104,807 %.). Tingginya INP Rhizophora apiculate di lokasi areal rehabilitasi merupakan konstribusi dari
pemilihan jenis tumbuhan ini pada pelaksanaan rehabilitasi mangrove tahun 2014;
3. Struktur komunitas mangrove di ketiga lokasi pengamatan memiliki Indeks keanekaragaman
(H’) pada kisaran 1,42 – 1,83; Indeks keseragaman jenis (E) pada kisaran 0,675 ‐ 0,790 dan Indeks Dominansi (D) pada kisaran 0,183 ‐ 0,291. Secara umum tingkat keanekaragaman mangrove tergolong rendah karena merupakan hasil rehabilitasi yang dominan
menggunakan jenis Rhizopora apiculate. Keseragaman mangrove menunjukkan ekosistem berada dalam kondisi stabil dan memiliki keseragaman yang sedang – tinggi dan lebih lanjut tingkat dominansi vegetasi mangrove tergolong rendah atau tidak terdapat species
mangrove yang secara ekstrim mendominasi species lainnya. Hal ini menunjukkan kondisi lingkungan yang stabil dimana tidak terdapat tekanan ekologis terhadap biota di ketiga stasiun pengamatan tersebut;
4. Komposisi makrozoobenthos di kawasan sekitar areal rehabilitasi mangrove CPP Senoro terdiri dari 21 species, 17 familiy, 4 kelas dan 3 phylum. Kelimpahan antara 77 – 119 individu/m2 dan didominasi kelas Gastropoda dan Bivalvia . Kelimpahan makrozoobenthos
pada ketiga stasiun tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata. Struktur komunitas makrozoobentos menunjukkan indeks keanekaragaman Shannon‐Winner pada areal mangrove hasil rehabilitasi (stasiun 1) bernilai 2,171. Indeks keseragaman jenis (E) bernilai 0,783 dan Indeks Dominansi (E) bernilai 0,186. Lokasi peralihan antara areal rehabilitasi mangrove dengan areal mangrove alami (Stasiun 2) memiliki Indeks keanekaragaman jenis (H’) makrozoobentos bernilai 2,279. Indeks keseragaman (E) bernilai 0,804 dan indeks
dominansi (C) bernilai 0,152. Lokasi yang merupakan areal mangrove alami (Stasiun 3) menunjukkan Indeks keanekaragaman jenis (H’) makrozoobentos bernilai 2,482. Indeks keseragaman (E) bernilai 0,828 dan Indeks dominansi (C) bernilai 0,103. Indeks
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
32 |
keanekaragaman Shannon‐Winner (H’) makrozoobenthos di ketiga lokasi pengamatan tergolong sedang yang menunjukkan produktivitas yang cukup tinggi, kondisi ekosistem
seimbang dan tekanan ekologi sedang. Indeks keseragaman/Evenness (E) makrozoobenthos di ketiga lokasi pengamatan tergolong tinggi yang menunjukkan ekosistem berada dalam kondisi stabil. Adapun indeks dominansi (C) tergolong rendah yang menunjukkan tidak
terdapatnya species makrozoobenthos yang secara ekstrim mendominasi species lainnya. Hal ini menunjukkan kondisi lingkungan yang stabil dimana tidak terdapat tekanan ekologis terhadap biota di ketiga stasiun pengamatan tersebut;
5. Faktor pembatas lingkungan (fisika kimia perairan dan tanah/subtrat) menunjukkan kondisi lingkungan yang ideal serta tingkat kesesuaian yang bagus untuk pertumbuhan dan perkembangan vegetasi mangrove serta komunitas makrozoobentos di sekitar kawasan
areal rehabilitasi mangrove.
V. UCAPAN TERIMA KASIH
Tim penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak Joint Operating Body (JOB) Pertamina‐
Medco E&P Tomori Sulawesi dan Pusat Penelitan Kelautan dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (PPKPMP) Universitas Tadulako, yang telah menfasilitasi penelitian dan penulisan paper ini. Demikian halnya kepada para reviewer atas masukan dan arahannya sehingga
paper ini dapat tersusun menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Aksornkoae, S. 1993. Ecology and management of mangrove. IUCN. Bangkok.
Bengen, D.G. 2001. Sinopsis ekosistem dan sumber daya alam pesisir dan laut. Pusat Kajian Sumber daya pesisir dan laut, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Bibby, C.J., N.D. Burgess, & D.A. Hill. 1992. Bird census techniques. Academic Press. London.
Brugger, C. 2000. Valid Analytical Methods and Procedures. The Royal Society of Chemistry. ISBN 0‐
85404‐482‐5, 20‐39.pp.
Dahuri, H. R. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.
Darmadi. M. W. Lewaru. A. M. Khan. 2012. Struktur Komunitas Vegetasi Mangrove Berdasarkan Karakteristik Substrat Di Muara Harmin Desa Cangkring Kecamatan Cantigi Kabupaten Indramayu. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 3(3): 347‐ 358.
Dewi, K.T., Suhardjono., Sumosusastro, P.A.. 1996. Panduan Pengamatan Ekosistem Mangrove
Dalam Penyelidikan Geologi Wilayah Pantai. Pusat Pengembangan Kelautan, Bandung.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius, Yogyakarta.
English, S., Wilkinson, C. dan Baker, V. 1994. Survey Manual For Tropical Marine Resource. Townsville, Autralian Institute of Marin Science.
Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta.
Fahran, A. 2001. Biologi Perairan Laut. [Bahan Kuliah]. Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.
FAO. 1982. Management and utilization of mangrove in Asia and the Pacific. FAO Environmental Paper No. 4. Rome.
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
33 |
Kusmana, C. 1997. Metoda survey vegetasi. IPB Press. Bogor.
Ludwig, J.A., and J.F. Reynold. 1988. Statistical Ecology: a Primer on Methods and Computing. New York: John Wiley & Sons.
Macnae, W. 1968. A general account of fauna of the mangrove swamps of Inhaca Island,
Mocambique. J. Ecol. 50 : 93 – 128.
Onrizal & C. Kusmana. 2005. Ekologi dan manajemen mangrove Indonesia. Buku Ajar. Departemen Kehutanan FP USU. Medan.
Pribadi, R., Retno, H., Chrisna, A., dan Suryono. Komposisi Jenis dan Distribusi Gastropoda di Kawasan Hutan Mangrove Segara Anakan Cilacap. Jurnal Ilmu Kelautan. Volume XIV, Nomor 2 : 102‐111. Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Universitas Diponegoro, Semarang.
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK. Universitas Haluoleo, Kendari. Latupapua, M., J., J. 2011. Keanekaragaman Jenis Nekton Di Mangrove Kawasan Segoro Anak Taman Nasional Alas Purwo. Jurnal Agroforestri. ISSN :1907‐7556. Volume VI, Nomor 2 : 15‐21.
Politeknik Perdamaian Halmahera, Tobelo. Mann, K. H. 1968. Ecology of Coastal Waters. Blackwell Scientific Publications. London.
Romimohtarto, K., S. Juwana. 2001. Biologi laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Bilogi Laut. jambatan. Jakarta.
Saenger, P. E.J. Hegerl, & J.D.S. Davie. 1983. Global status of mangrove ecosystems IUCN.
Commision on Ecology Number 3.
Sirante, R. 2006. Studi Struktur Komunitas Gastropoda di Lingkungan Perairan Kawasan Mangrove Kelurahan Lappa Dan Desa Tongke‐Tongke, Kabupaten Sinjai. [Penelitian]. Universitas Negeri Lampung, Lampung.
Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Wibisono, M. S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Grasindo. Jakarta.
Widodo, J., dan Suadi. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta. Wilis, S. 2012. Analisa Kebiasaan Makanan Ikan Gelodok (Mudskipper ) Jenis Baleophthalmus Boddarti di Daerah Pertambakan Desa Cepokorejo Kecamatan Palang Kabupaten Tuban. Aquasains (jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan).
Volume XIII, Nomor 12 : 12‐31. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Universitas Ronggolawe, Tuban.
Profil Ekosistem Mangrove di Areal Rehabilitasi CPP Senoro. Tahun 2018
34 |
Lampiran Gambar