172

PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

  • Upload
    others

  • View
    15

  • Download
    5

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan
Page 2: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IV

EKONOMI TERAPAN

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Page 3: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

ii

Page 4: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IV

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

EKONOMI TERAPAN

Editor: Dr. Guspika, M.B.A., dkk.

Page 5: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

iv

Sanksi Pelanggaran Pasal 72Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002Tentang Hak Cipta

Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau denda pidana paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Direktori Mini Tesis-DisertasiEkonomi Terapan©2019 oleh Bappenas

Jangan menggunakan dan/atau menggandakan semua dan/atau bagian dari buku ini tanpa izin dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.

Penanggung Jawab : Kapusbindiklatren

Editor : Dr. Guspika, MBA, Wignyo Adiyoso, S.Sos., MA, Ph.D., Ali Muharram, S.IP., M.SE, MA., Rita Miranda, S.Sos., M.PA., Wiky Witarni, S.Sos., M.A., Epik Finilih, Sofa Nurdiyanti, Endang Sugriati

Kontributor : Risqon Khasani, Rizki Hidayati, Prastowo Adi Nugroho, Srinidiyanti Misrun, Arjuno Putra, In In Indah Zakiah Nurhotimah, Sulistianingsih, Aris Rismanto, Rizki Budi Prasetio, Elitha Ria Panggabean, Rizqi Agti Sunaryo, Fahmi Adicipta, Adi Ajeng Krissou, Widodo Budi Prayitno

Exterior & Interior Design : Den Binikna dan Rafika Nabila

Cetakan pertama, September 2019

ISBN: 978-623-91602-7-2

Diterbitkan olehBadan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Republik Indonesia

Jalan Proklamasi Nomor 70, Jakarta Pusat 10320

Page 6: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

v

Daftar IsiKATA PENGANTAR — vii

01 MIGRASI TENAGA KERJA TERDIDIK, AGLOMERASI MODAL MANUSIA, DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH DI PROVINSI JAWA BARAT RISQON KHASANI — 001

02 ANALISIS PEMBANGUNAN MANUSIA DI INDONESIA RIZKI HIDAYATI— 015

03 KONTRIBUSI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PENURUNAN KEMISKINAN DI KABUPATEN KEBUMEN PRASTOWO ADI NUGROHO — 027

04 DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP KEMISKINAN DI SUMATERA UTARA TAHUN 2009-2015 SRINIDIYANTI MISRUN — 039

05 EKONOMI POLITIK DALAM PERAMALAN ANGGARAN PEMERINTAH PROVINSI DI INDONESIA ARJUNO PUTRA — 053

06 POLA KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA MISKIN DI PROVINSI JAWA BARAT: PENDEKATAN LINEAR APPROXIMATION ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (LA-AIDS) IN IN INDAH ZAKIAH NURHOTIMAH — 065

07 ANALISIS PENINGKATAN KUALITAS MODAL MANUSIA DI INDONESIA SULISTIANINGSIH — 077

08 EFISIENSI TEKNIS INDUSTRI MIKRO DAN KECIL (IMK) INDONESIA PERIODE 2013-2015 DENGAN PENDEKATAN STOCHASTIC FRONTIER ANALYSIS (SFA) ARIS RISMANTO — 89

09 ANALISIS DEINDUSTRIALISASI DI PULAU JAWA: DENGAN PENDEKATAN HUKUM KALDOR PERTAMA RIZKI BUDI PRASETIO — 101

Page 7: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

vi

10 ANALYSIS OF INCOME DISPARITYIN KALIMANTAN PROVINCES WITH SPATIAL AUTOCORRELATION AND PANEL DATA: AN EMPIRICAL STUDY OF 56 DISTRICTS (2010-2016) ELITHA RIA PANGGABEAN — 111

11 INDONESIA’S BEEF CATTLE IMPORT QUOTA POLICY, IN-BETWEEN DOMESTIC FARMER WELFARE AND SOCIAL WELFARE RIZQI AGTI SUNARYO — 121

12 ANALYSIS OF INTERGOVERNMENTAL TRANSFER EFFECTS ON ECONOMIC GROWTH AND REGIONAL INCOME DISPARITY IN WEST JAVA PROVINCE FROM 2011 TO 2016 FAHMI ADICIPTA — 131

13 THE IMPACT OF INFRASTRUCTURE ON ECONOMIC GROWTH IN WEST JAVA PROVINCE, INDONESIA ADI AJENG KRISSOU — 139

14 ECONOMIC GROWTH, URBANIZATION & HUMAN DEVELOPMENT: REGIONAL PERSPECTIVE OF INDONESIA WIDODO BUDI PRAYITNO — 149

Page 8: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

vii

Kata Pengantar

pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) Kementerian PPN/Bappenas secara berkala membuka kesempatan bagi

para ASN yang bekerja di Kementerian PPN/Bappenas, unit perencanaan di kementerian/lembaga, Bappeda atau instansi setingkat yang menangani perencanaan, unit perencanaan di organisasi pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota dan/atau unit kerja lainnya untuk mengikuti Program Beasiswa yang meliputi pendidikan gelar jenjang S2, baik program dalam negeri, linkage, maupun luar negeri, serta jenjang S3 dalam negeri. Tujuan pemberian beasiswa Pusbindiklatren Bappenas adalah meningkatkan kompetensi sumber daya manusia aparatur pemerintah yang bertugas pada bidang perencanaan pembangunan baik di pemerintah pusat maupun di pemerintah provinsi, kota dan kabupaten.

Selama tugas belajar para penerima beasiswa dituntut untuk melakukan pendalaman pengetahuan terkait pembangunan melalui penelitian yang bersifat konkret dan dapat diterapkan di daerah asalnya masing-masing yang kemudian diwujudkan dalam bentuk tesis atau desertasi. Agar hasil-hasil penelitian tersebut dapat tersebar luas maka sangat relevan jika tesis/disertasi tersebut diterbitkan ulang dalam bentuk ringkasan (anotasi) yang termuat pada sebuah buku Direktori Mini Tesis-Disertasi.

Penerbitan buku Direktori Mini Tesis-Disertasi bertujuan agar hasil-hasil penelitian tersebut dapat dibaca, dimanfaatkan, dan diterapkan secara nyata sesuai dengan ruang lingkup kerja penerima beasiswa di lingkungan instansinya dan juga oleh pihak lain secara umum. Selain itu, hal ini juga merupakan upaya untuk mendokumentasikan hasil karya dan hasil kajian penerima beasiswa pendidikan gelar dari Pusbindiklatren, Kementerian PPN/Bappenas.

Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa Pendidikan Gelar Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan pada tahun 2019, sebagai salah satu upaya mendiseminasikan karya tulis ilmiah yang telah diselesaikan oleh karya siswa penerima beasiswa pendidikan gelar dari Pusbindiklatren, Kementerian PPN/Bappenas.

Page 9: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

viii

Serial buku ini diharapkan dapat menggambarkan manfaat dan kontribusi positif dari program beasiswa pendidikan gelar terhadap peningkatan kompetensi sumber daya manusia aparatur pemerintah yang bertugas pada bidang perencanaan pembangunan baik di pemerintah pusat maupun di pemerintah provinsi, kota, dan kabupaten, baik dari sisi keterampilan teknis, manajerial, dan kepemimpinan aparat pemerintah, maupun dalam melaksanakan reformasi birokrasi di instansi masing-masing.

Jakarta, September 2019

Kapusbindiklatren

Page 10: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

► Nama : Risqon Khasani

► Unit Organisasi : Badan Pusat Statistik Provinsi Riau

► Program Studi : Magister Ekonomi Terapan

► Negara Studi : Indonesia

► Universitas : Universitas Padjajaran Bandung

01MIGRASI TENAGA KERJA TERDIDIK, AGLOMERASI MODAL MANUSIA, DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH DI PROVINSI JAWA BARAT

Page 11: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

002 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor-faktor (push factor, aglommeration factor, dan pull factor) yang memengaruhi kecenderungan untuk bermigrasi dari tenaga kerja terdidik (skilled labor) yang berpendidikan setingkat universitas (diploma, sarjana, pascasarjana, dan doktor). Variabel yang digunakan adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan ekonomi di daerah asal dan tujuan migrasi. Variabel-variabel tersebut adalah jumlah pengangguran, perbedaan upah/UMR, perbedaan jumlah angkatan kerja, perbedaan share penanaman modal asing (PMA), perbedaan jumlah pengangguran, dan pendapatan per kapita serta faktor individu umur responden. Selain itu, penelitian ini juga untuk melihat apakah ada pengaruh migrasi tersebut terhadap pembangunan ekonomi di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat yang menjadi tujuan migrasi tersebut.

Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model regresi logistik. Model ini digunakan untuk melihat faktor-faktor yang memengaruhi kecenderungan tenaga kerja terdidik (skilled labor) untuk bermigrasi. Selain itu, digunakan juga model regresi linier berganda untuk melihat pengaruh migrasi tersebut terhadap pembangunan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat yang menjadi tujuan migrasi.

Hasil estimasi model regresi logistik menunjukkan bahwa perbedaan upah/UMR, perbedaan jumlah angkatan kerja, perbedaan share penanaman modal asing (PMA), dan perbedaan jumlah pengangguran, serta umur responden berpengaruh signifikan terhadap kecenderungan untuk bermigrasi dari tenaga kerja terdidik. Adapun jumlah pengangguran di daerah asal dan pendapatan per kapita di daerah tujuan tidak berpengaruh signifikan terhadap kecenderungan untuk bermigrasi. Sementara itu, hasil estimasi model regresi linier berganda menunjukkan pengaruh positif migrasi tenaga kerja terdidik (skilled labor) terhadap pendapatan per kapita (PDRB per kapita), tetapi tidak signifikan, sehingga dapat disimpulkan bahwa migrasi tenaga kerja terdidik (skilled labor) tidak cukup berpengaruh terhadap pembangunan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat yang menjadi tujuan migrasi.

► Kata Kunci: Migrasi, Tenaga Kerja Terdidik, Pembangunan Ekonomi, Regresi Logistik, Regresi Linier Berganda

Page 12: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

003 EKONOMI TERAPAN

ABSTRACT

This study aims to look at factors (push factor, agglomeration factor, and pull factor) that influence the tendency to migrate from skilled labor who are university-level (diploma, undergraduate, graduate, and doctorate). The variables used are factors related to the economic situation in the area of origin and destination of migration. These variables are the number of unemployed, the difference in wages/UMR, the difference of labor force, the difference of the share of foreign investment (PMA), the difference in unemployment number, and the income per capita and the age of respondent. In addition, this study also to see whether there is an influence of migration to economic development in the district/city of West Java Province which is the destination of migration.

The model used in this research is logistic regression model. This model is used to look at the factors that influence the tendency of skilled labor to migrate. In addition, multiple linear regression models are used to see the effect of the migration on the economic development of districts/municipalities in West Java Province which is the destination of migration.

The estimation result of logistic regression model shows that the difference of wages/ UMR, the difference of the labor force, the difference of the share of foreign investment (PMA), and the difference of unemployment number and the age of the respondent have a significant effect on the tendency to migrate from the skilled labor. Meanwhile, the number of unemployed in the area of origin and the income per capita in the destination area no significant effect on the tendency to migrate. Meanwhile, the result of multiple linear regression model estimation shows the positive influence of skilled labor migration to income per capita (GRDP per capita) but not significant, so it can be concluded that skilled labor migration is not enough to influence the economic development of regency/city in West Java Province which is the destination of migration.

► Keywords: Migration, Skilled Labor, Economic Development, Logistic Regression, Multiple Linear Regression

Page 13: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

004 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

MIGRASI TENAGA KERJA TERDIDIK, AGLOMERASI MODAL MANUSIA, DAN

PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH DI PROVINSI JAWA BARAT

A. Latar BelakangPada tahun 2015 provinsi tujuan migrasi terbesar ada di provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Dengan jumlah migrasi ke Jawa Barat sebanyak 4.961.541 orang, migrasi ke DKI Jakarta sebanyak 3.647.328 orang, dan migrasi ke Banten sebanyak 2.491.589 orang. Besarnya tingkat migrasi ketiga provinsi ini menandakan tersedianya kesempatan kerja pada tiga provinsi tersebut yang lebih besar daripada daerah lain.

Migrasi dan mobilitas tenaga kerja adalah fenomena yang memainkan peran penting dalam redistribusi spasial dari modal manusia (Nas et al., 2001). 16,20 persen atau 662.404 tenaga kerja melakukan migrasi ke kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa Barat, 9,03 persen atau 369.013 tenaga kerja melakukan migrasi ke kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta, 5,86 persen atau 239.453 tenaga kerja melakukan migrasi ke kabupaten/kota di Provinsi Banten, dan 68.92 atau 2.817.882 tenaga kerja melakukan migrasi ke kabupaten/kota di 30 provinsi lainnya.

Data migrasi tenaga kerja tersebut menunjukkan bahwa kabupaten-kota di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi DKI Jakarta masih menjadi tujuan favorit bagi tenaga kerja yang melakukan migrasi. Hal ini tidak terlepas dari daya tarik kabupaten-kota di kedua wilayah provinsi tersebut. Pada tahun 2015 migrasi yang dilakukan oleh tenaga kerja masih terpusat ke kota-kota metropolitan. Dari 4.088.752 tenaga kerja yang melakukan migrasi di Indonesia, sebesar 145.732 tenaga kerja atau 3,56 persen menuju ke kabupaten Bekasi, diikuti kota administrasi Jakarta Timur sebesar 97.605 tenaga kerja atau 2.39 persen, dan sebesar 92.101 tenaga kerja atau 2,25 persen melakukan migrasi menuju Kota Tangerang.

Penelitian menunjukkan bahwa 18,35 persen atau 750.338 tenaga kerja yang melakukan migrasi di Indonesia adalah tenaga kerja dengan tingkat pendidikan setingkat pendidikan tinggi (universitas), atau yang dikategorikan sebagai skilled labor. Adapun 81,65 persen atau 3.338.409 tenaga kerja yang melakukan migrasi di Indonesia adalah tenaga kerja dengan tingkat pendidikan setingkat sekolah dasar sampai dengan setingkat sekolah menengah atas, atau yang dikategorikan dengan unskilled labor.

Dari 750.338 tenaga kerja dengan pendidikan setingkat pendidikan tinggi (skilled labor) yang melakukan migrasi di Indonesia, 12,69 persen atau 95.239 tenaga kerja dengan kategori skilled labor melakukan migrasi ke kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa Barat, 12,60 persen atau 94.578 tenaga kerja dengan kategori skilled labor melakukan migrasi ke kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta, dan 4,80 persen atau 36.044 tenaga kerja dengan

Page 14: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

005 EKONOMI TERAPAN

kategori skilled labor melakukan migrasi ke kabupaten/kota di Provinsi Banten serta 69.90 persen atau 524.477 tenaga kerja dengan kategori skilled labor melakukan migrasi ke kabupaten/kota di 30 provinsi lainnya.

Dari 95.239 tenaga kerja dengan kategori skilled labor yang melakukan migrasi ke kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa Barat, sepertiganya (32,97 persen) adalah migrasi antarkabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa Barat, atau sebanyak 31.400 tenaga kerja (skilled labor), lebih detailnya pada Grafik 1.5. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga kerja dengan kategori skilled labor yang beraglomerasi di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat cukup tinggi, karena letak kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat yang strategis berdekatan dengan ibu kota negara mempunyai peran sebagai kota pendukung bagi kota-kota administratif di Provinsi DKI Jakarta.

Migrasi tenaga kerja akan membentuk aglomerasi modal manusia (pooling labor) yang akan meningkatkan pembangunan ekonomi daerah tujuan. Migrasi tenaga kerja juga dipandang sebagai pusat alokasi tenaga kerja yang efisien (Fu dan Gabriel, 2012). Produktivitas tenaga kerja agregat meningkat saat pekerja berpindah dari tempat yang kurang produktif ke tempat yang lebih produktif (Gabriel et. al., 1993). Penelitian Borjas (2000) menunjukkan bahwa tenaga kerja melakukan relokasi untuk menanggapi perbedaan pada sumber daya manusia dan langkah tersebut menyebabkan disparitas regional, baik dalam produktivitas maupun keterampilan.

Kota Bandung selama periode 2011–2015 menjadi kota di Provinsi Jawa Barat, yang rata-rata laju pertumbuhan PDRB diatas 6 persen, yang diikuti kota Depok. Sedangkan kabupaten Purwakarta, kota Bogor, kota Bekasi, dan seterusnya sampai dengan kabupaten Cirebon rata-rata laju pertumbuhan PDRB di atas 5 persen. Sedangkan kabupaten Pangandaran, kabupaten Garut, kabupaten Tasikmalaya, kabupaten Subang, dan kabupaten Indramayu rata-rata laju pertumbuhan PDRB di bawah 5 persen. Hal ini menunjukkan terdapatnya perbedaan pembangunan ekonomi kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa barat.

Pergerakan yang dilakukan tenaga kerja terdidik merupakan gambaran terdapatnya perbedaan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah, kesempatan kerja, kurang meratanya fasilitas pembangunan antara satu daerah dengan daerah lain, kesenjangan penghasilan, dan perbedaan struktur pekerjaan yang ada. Ketimpangan yang terjadi antara satu daerah dan daerah lainnya menyebabkan penduduk terdorong untuk melakukan pergerakan dari satu daerah ke daerah lainnya (Fu dan Gabriel, 2012).

Fenomena yang berkaitan dengan transfer sumber daya, khususnya sumber daya manusia dari satu daerah ke daerah lain disebut juga dengan istilah brain drain. Fenomena semacam ini terdiri dari migrasi tenaga kerja terdidik (skilled labor) karena terlibat dengan arus modal manusia yang dapat dilihat sebagai alternatif untuk pertumbuhan regional (Freguglia et. al., 2014).

Pada sisi lain, meningkatnya jumlah migrasi tenaga kerja terdidik (skilled labor) ke daerah lain menyebabkan kerugian produktivitas perekonomian daerah asal. Hal ini menjadi permasalahan pada migrasi di Korea Selatan. Woo, et. al. (2017) dalam

Page 15: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

006 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

penelitiannya mengatakan bahwa orang yang berpendidikan tinggi melakukan migrasi dengan meninggalkan daerahnya untuk mencari pekerjaan atau pendidikan lanjutan ke Seoul Metropolitan Area yang menyebabkan daerah asal tertinggal dalam pembangunan ekonomi.

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisKetidakseimbangan antara peluang kerja dan jumlah tenaga kerja terdidik merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi di Indonesia. Ketidakseimbangan ini terjadi karena jumlah angkatan kerja di Indonesia jauh lebih besar dibandingkan kemampuan penyerapan tenaga kerja, sehingga jumlah penggangguran tenaga kerja terdidik masih cukup tinggi.

Migrasi dianggap sebagai suatu proses alamiah yang menyalurkan surplus tenaga kerja pada suatu daerah ke daerah yang tingkat daya serap tenaga kerjanya lebih tinggi, khususnya daerah-daerah yang mempunyai sektor formal dengan lapangan usaha, seperti industri dan jasa. Provinsi Jawa Barat, DKI-Jakarta, dan Banten yang merupakan salah satu daerah yang paling berkembang sektor industri dan jasanya, menjadi daerah tujuan migran yang paling diminati oleh tenaga kerja terdidik (skilled labor). Aglomerasinya dari ketiga provinsi tersebut, yang terbesar terdapat di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.

Berdasarkan kenyataan tersebut, peneliti berkeinginan untuk mengkaji lebih dalam tentang:

1. Faktor-faktor apa yang memengaruhi migrasi tenaga kerja terdidik (skilled labor) antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat?

2. Bagaimana pengaruh migrasi tenaga kerja terdidik (skilled labor) yang membentuk aglomerasi modal manusia terhadap pembangunan ekonomi daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat?

3. Kebijakan apa yang perlu diambil pemerintah pusat maupun daerah mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan migrasi tenaga kerja terdidik (skilled labor)?

Objek dalam penelitian ini adalah tenaga kerja terdidik dengan pendidikan setara lulusan perguruan tinggi/universitas yang bertempat tinggal di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat. Tahun 2015, Provinsi Jawa Barat terdiri atas 27 kabupaten/kota. Penelitian ini menggunakan metode analisis kuantitatif. Metode analisis kuantitatif memaparkan seluruh data dan informasi hasil pengolahan dari olahan yang berhubungan dengan objek penelitian secara ekonometrika.

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder, yakni data yang bersumber dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2015. Survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) ini, datanya cukup representatif untuk disajikan sampai dengan tingkat kabupaten/kota, tetapi tidak dapat dibedakan menurut daerah tempat tinggal (perkotaan/perdesaan). Penelitian ini mengambil data respoden individu dari SUSENAS 2015, terutama variabel pertanyaan yang berhubungan dengan migrasi,

Page 16: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

007 EKONOMI TERAPAN

ketenagakerjaan, dan pendidikan. Alasan pengambilan data ini karena data SUSENAS 2015 merupakan data yang cukup terbaru, dan dapat mengestimasi angka pada tingkat kabupaten/kota. Dalam penelitian ini, keterangan-keterangan yang akan dimanfaatkan adalah mengenai keterangan umur, keterangan pendidikan, keterangan ketenagakerjaan, dan keterangan migrasi. Selain data SUSENAS, penelitian ini juga menggunakan data sekunder yang dikumpulkan melalui kegiatan penelitian kepustakaan, dari berbagai sumber publikasi terbitan dari kementerian dan lembaga pemerintah, yang berhubungan dengan variabel-variabel pembangunan ekonomi daerah.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Gambaran Umum dan Migrasi Tenaga Kerja di Provinsi Jawa Barat

Akhir tahun 2015, wilayah Provinsi Jawa Barat terdiri atas 18 kabupaten dan 9 kota. Karena data makro dalam penelitian ini adalah tahun 2010, sedangkan kabupaten Pangandaran yang merupakan wilayah kabupaten yang baru terbentuk pada tahun 2012, wilayah Provinsi Jawa Barat yang diambil untuk penelitian ini terdiri atas 17 kabupaten dan 9 kota.

Provinsi Jawa Barat dengan ibu kotanya adalah kota Bandung mempunyai luas sebesar 167,6762 km2 atau 0,47 persen dari luas wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak pada jalur penghubung antara Jawa Barat bagian selatan dan utara. Wilayah yang memiliki luas wilayah terbesar, yaitu kabupaten Sukabumi dengan luas 4.145,70 km2 atau 11,72 persen dari luas wilayah Provinsi Jawa Barat, sedangkan wilayah terkecil, yaitu kota Cirebon dan Cimahi sebesar 0,11 persen dari luas wilayah Provinsi Jawa Barat.

Pada tahun 2015 penduduk Jawa Barat diperkirakan sebanyak 46,71 juta jiwa sehingga Provinsi Jawa Barat menjadi provinsi terbesar dalam hal jumlah penduduk di Indonesia. Jumlah penduduk yang bekerja pada tahun 2015 sebanyak 18,79 juta orang dari jumlah angkatan kerja sebesar 20,58 juta orang. Pada Tahun 2015, tingkat pengangguran terbuka di Jawa Barat sebesar 8,72 persen. Penduduk yang mencari pekerjaan pada tahun 2015 yang berpendidikan sarjana D1 sampai S2, sebesar 33,84 persen. Kemudian diikuti yang berpendidikan SLTA ke atas sebesar 31,95 persen dan yang berpendidikan SLTP dan SD ke bawah masing-masing sebesar 16,22 persen dan 17,99 persen.

Kabupaten/kota tujuan favorit adalah kota Depok, kabupaten Bekasi, kabupaten Cirebon, kota Bandung, dan kota Bekasi. Jumlah tenaga kerja terdidik (skilled labor) yang masuk (migrasi risen masuk) direntang 2.500-5.000 tenaga kerja terdidik (skilled labor). Hal ini tidak terlepas dari posisi kabupaten/kota tersebut di wilayah metropolitan yang memberikan kemudahan akses ke lapangan pekerjaan, upah regional kabupaten kota yang tinggi, dan fasilitas-fasilitas yang memenuhi harapan dari tenaga kerja terdidik tersebut serta akses ke kabupaten/kota lainnya yang mudah.

Page 17: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

008 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Kabupaten/kota asal dari migrasi tenaga kerja terdidik terbanyak adalah kota Bandung, kota Bekasi, kabupaten Kuningan, kota Bogor, dan kota Cimahi. Jumlah tenaga kerja terdidik (skilled labor) yang keluar (migrasi risen keluar) direntang 1.500-7.500 tenaga kerja terdidik (skilled labor). Hal ini tidak terlepas dari keadaan jumlah lapangan pekerjaan, tingkat pengangguran dan persaingan untuk mendapatkan pekerjaan sehingga melebihi daya tampung lapangan pekerjaan yang tersedia.

Dengan menggunakan peta tematik pada Lampiran 1 dan Lampiran 2, jumlah migrasi risen masuk dari tenaga kerja terdidik yang berpendidikan setingkat universitas/pendidikan tinggi, beraglomerasi di kabupaten/kota yang berada di metropolitan Bodebekarpur, metropolitan Bandung Raya, metropolitan Cirebon Raya dan kabupaten Garut. Begitu juga dengan migrasi risen keluarnya juga berasal dari kabupaten/kota yang barada di metropolitan-metropolitan tersebut dan kabupaten/kota dari pusat pertumbuhan lainnya seperti kabupaten Sukabumi dan kabupaten Ciamis.

2. Hasil Estimasi Model Determinan Migrasi Tenaga Kerja Terdidik (Skilled Labor) antar- Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat

Hasil estimasi dengan model regresi logistik menunjukkan bahwa faktor individu yang merupakan faktor demografi, yaitu variabel umur (variabel age) berpengaruh negatif dan signifikan. Meningkatnya umur seseorang satu tahun akan menurunkan kecenderungan bermigrasi dari tenaga kerja terdidik sebesar 0,956 kali dibandingkan tenaga kerja terdidik dengan umur satu tahun lebih muda. Hal ini sesuai dengan penelitian Gabriel et. al. (1993), begitu juga hasil penelitian Fu dan Gabriel (2012) yang menyimpulkan bahwa semakin muda tenaga kerja akan lebih semakin mobil dibanding tenaga kerja yang berumur lebih tua atau dengan kata lain seiring bertambahnya umur seseorang maka kecenderungan untuk bermigrasi akan semakin menurun.

Faktor pendorong (push factor) migrasi di daerah asal, yaitu variabel jumlah pengangguran di daerah asal (variabel LUEi) berpengaruh positif, tetapi tidak signifikan dalam memengaruhi kecenderungan untuk migrasi tenaga kerja terdidik (skilled labor) dari daerah asalnya. Hal ini sesuai dengan temuan penelitian Levy dan Wadycki (1974), dan Gabriel et. al. (1993) yang menunjukkan bahwa pengangguran di daerah asal mempunyai hubungan positif dengan migrasi.

Selain itu, variabel perbedaan upah/UMR di daerah tujuan dengan asal (DLWageij) berpengaruh positif dan sangat signifikan. Meningkatnya perbedaan upah satu rupiah akan mendorong kecenderungan bermigrasi dari tenaga kerja terdidik sebesar 2.15e+09 kali. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Levy dan Wadycki (1974), begitu juga hasil penelitian Fu dan Gabriel (2012), yang menunjukkan bahwa perbedaan upah di daerah tujuan dengan asal akan meningkatkan kecenderungan migrasi. Hal ini juga diperkuat dengan teori Harris-Todaro yang menyatakan keputusan bermigrasi bergantung pada perbedaan atau selisih dari tingkat pendapatan yang diharapkan.

Page 18: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

009 EKONOMI TERAPAN

Faktor berikutnya adalah faktor yang berhubungan dengan aglomerasi modal manusia (pooling labor aglommeration), yaitu variabel perbedaan jumlah angkatan kerja di daerah tujuan dengan asal (variabel DLLij) yang berpengaruh positif dan sangat signifikan. Meningkatnya perbedaan jumlah angkatan kerja sebesar satu orang tenaga kerja akan mendorong kecenderungan bermigrasi dari tenaga kerja terdidik sebesar 1.010.929 kali. Hal ini sesuai dengan penelitian Levy dan Wadycki (1974), Davies et. al. (2001), Fu dan Gabriel (2012), serta penelitian Wajdi et. al. (2017) yang menyimpulkan bahwa migran berkepentingan dan sangat memperhatikan konsentrasi sumber daya manusia.

Adapun variabel perbedaan share PMA (variabel DSPMAij) yang merupakan efek tambahan dari pooling labor yang berhubungan dengan alih teknologi juga berpengaruh positif dan sangat signifikan dalam memengaruhi kecenderungan migrasi tenaga kerja terdidik (skilled labor). Meningkatnya perbedaan share PMA sebesar satu persen akan mendorong kecenderungan bermigrasi dari tenaga kerja terdidik sebesar 1.421 kali. Hal ini sesuai dengan temuan penelitian Fu dan Gabriel (2012) yang menunjukkan bahwa variabel tersebut memengaruhi kecenderungan untuk bermigrasi dari tenaga kerja yang lebih terampil dan berpendidikan.

Faktor penarik (pull factor) migrasi di daerah tujuan, yaitu variabel perbedaan jumlah pengangguran di daerah tujuan (variabel DLUEij) yang menggambarkan kesempatan kerja sangat signifikan dan berpengaruh negatif atau menahan kecenderungan migrasi dari tenaga kerja terdidik (skilled labor) ke daerah tujuan. Meningkatnya perbedaan jumlah pengangguran sebesar satu orang akan menurunkan kecenderungan bermigrasi dari tenaga kerja terdidik sebesar 0,001 kali. Hal ini sesuai dengan temuan penelitian Levy dan Wadycki (1974), dan Gabriel et. al. (1993) yang menunjukkan bahwa pengangguran di daerah tujuan yang cukup tinggi, akan menahan kecenderungan migrasi dari migran.

Adapun faktor penarik (pull factor) lainnya, yaitu variabel pendapatan per kapita di daerah tujuan (LGDPCapj) berpengaruh positif, tetapi tidak signifikan untuk menarik kecenderungan migrasi tenaga kerja terdidik (skilled labor). Hal ini juga sesuai dengan temuan penelitian Davies, et. al. (2001), dan Wajdi et. al. (2017) yang menunjukkan bahwa migran cenderung berpindah ke daerah tujuan yang pendapatan perkapitanya lebih tinggi.

3. Hasil Estimasi Model Pengaruh Migrasi Tenaga Kerja Terdidik (Skilled Labor) Terhadap PDRB Perkapita di Provinsi Jawa Barat

Hasil estimasi regresi OLS seperti pada Tabel 4.13 menunjukkan bahwa variabel migrasi tenaga kerja terdidik (skilled labor) atau variabel Mj berpengaruh positif, tetapi tidak signifikan terhadap variabel pembangunan ekonomi di wilayah Provinsi Jawa Barat. Hal ini searah dengan penelitian Felbermayr et. al. (2010) yang menunjukkan bahwa migrasi berhubungan positif dengan peningkatan pendapatan per kapita di daerah tujuan. Jika dilihat dari arah dan signifikansinya dapat disimpulkan bahwa migrasi tenaga kerja terdidik (skilled labor) ke kabupaten/kota tujuan di Provinsi Jawa Barat belum cukup untuk menyebabkan kenaikan PDRB per kapita di kota tujuan.

Page 19: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

010 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Hal ini sesuai dengan penelitian OECD yang salah studinya menyatakan bahwa dampak migrasi pada pertumbuhan ekonomi untuk 22 negara OECD antara 1986 dan 2006 menunjukkan dampak positif, tetapi cukup kecil dari modal manusia yang dibawa oleh para migran pada pertumbuhan ekonomi. Kontribusi migran terhadap akumulasi modal manusia cenderung untuk melawan efek mekanis (yaitu dampak peningkatan populasi pada modal per pekerja), tetapi efek bersihnya cukup kecil, termasuk di negara-negara yang memiliki kebijakan migrasi sangat selektif. Peningkatan 50 persen dalam migrasi menghasilkan kurang dari sepersepuluh titik persentase variasi dalam pertumbuhan produktivitas (Boubtane dan Dumont, 2013).

Adapun hasil estimasi dari ketiga variabel kontrol yang digunakan, yaitu variabel share angkatan kerja yang berpendidikan setingkat lulusan universitas/perguruan tinggi (variabel Spopj) berpengaruh positif, tetapi tidak signifikan. Variabel ini untuk melihat sejauh mana aglomerasi tenaga kerja terdidik akan meningkatkan pendapatan per kapita suatu daerah. Menurut Todaro, pertumbuhan penduduk akibat dari migrasi atau kelahiran yang akan meningkatkan angkatan kerja, kemudian menjadi salah satu komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, komponen utama lainnya adalah akumulasi modal dan kemajuan teknologi, untuk komponen ini digunakan variabel penanaman modal asing (PMA) atau variabel (lnPMAj). Hasil estimasi variabel ini berpengaruh positif dan cukup signifikan dalam meningkatkan pendapatan perkapita di daerah tujuan migrasi tenaga kerja terdidik, koefisien regresi pada model sebesar 0,076 yang diartikan bahwa setiap kenaikan sebesar satu satuan pada variabel penanaman modal asing (PMA) meningkatkan nilai PDRB per kapita sebesar 0,076 poin.

Variabel kontrol lainnya yang berhubungan dengan produktivitas tenaga kerja adalah variabel upah/UMR (variabel lnWagej). Hasil estimasi variabel ini berpengaruh positif, tetapi tidak signifikan. Adapun penelitian Sanchez (2000) di Spanyol menemukan bahwa produktivitas tenaga kerja dipengaruhi oleh upah yang diterima oleh tenaga kerja.

4. Implikasi KebijakanHasil penelitian menunjukkan migrasi tenaga kerja terdidik selektif terhadap umur bahwa mereka yang berumur muda mempunyai proporsi bermigrasi cukup besar. Hal ini perlu menjadi perhatian kabupaten/kota daerah asal migrasi bahwa untuk menahan laju migrasi perlu adanya penyediaan lapangan pekerjaan.

Perbedaan upah/UMR di kabupaten/kota daerah tujuan dengan asal signifikan dalam memengaruhi kecenderungan bermigrasi dari tenaga kerja terdidik (skilled labor). Hal ini juga sejalan dengan perbedaan jumlah pengangguran di kabupaten/kota daerah tujuan dengan asal. Variabel-variabel tersebut menunjukkan selain pentingnya angka kesempatan kerja, perbedaan upah yang lebih baik mempengaruhi kecenderungan bermigrasi dari tenaga kerja terdidik (skilled labor). Bisa dikatakan bahwa ketika kesenjangan kesempatan kerja antara kabupaten/kota cukup lebar arus migrasi tetap akan ada. Beberapa penelitian menunjukkan migrasi merupakan solusi bagi individu untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Todaro (2000) menyatakan bahwa proses migrasi yang

Page 20: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

011 EKONOMI TERAPAN

berlangsung dalam suatu negara dianggap sebagai proses alamiah untuk menyalurkan surplus tenaga kerja di daerah perdesaan ke sektor industri modern di daerah perkotaan dengan daya serap yang lebih tinggi.

Untuk itu, pemerintah provinsi Jawa Barat perlu melakukan pemerataan pembangunan agar kesenjangan perekonomian antara kabupaten/kota semakin kecil. Selain itu, untuk mengurangi arus migrasi tenaga kerja terdidik (skilled labor) antarkabupaten/kota juga perlu disediakan lapangan pekerjaan yang cukup di daerah asal.

Sementara itu, hasil penelitian juga menunjukkan nilai yang positif dan signifikan pada variabel penanaman modal asing (PMA) yang memengaruhi kecenderungan migrasi tenaga kerja terdidik (skilled labor). Untuk itu, pemerintah kabupaten/kota hendaknya meningkatkan investasi PMA, yang akan membuka lapangan pekerjaan, dan menjadi sarana transfer teknologi bagi tenaga kerja terdidik (skilled labor).

Penelitian tentang pengaruh migrasi tenaga kerja terdidik (skilled labor) terhadap pembangunan ekonomi di daerah tujuan yang dilakukan oleh Felbermayr et. al. (2010) menunjukkan bahwa migrasi berhubungan dengan peningkatan pendapatan per kapita di daerah tujuan. Hal ini juga menjadi fokus dalam penelitian ini, meskipun migrasi tenaga kerja terdidik (skilled labor) tidak signifikan meningkatkan pembangunan ekonomi di daerah tujuan, pengaruhnya positif. Dengan demikian, diharapkan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat juga mempermudah perizinan investasi PMA dan mengontrol kebijakannya di daerah masing-masing, sehingga membuka lapangan pekerjaan yang layak, dan sesuai dengan harapan para tenaga kerja terdidik (skilled labor) dalam memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang layak.

D. KesimpulanPenelitian ini mengkaji determinan yang memengaruhi migrasi tenaga kerja terdidik (skilled labor) antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat dan pengaruh migrasi tenaga kerja terdidik (skilled labor) terhadap pembangunan ekonomi di kabupaten/kota yang menjadi tujuan migrasi di Provinsi Jawa Barat. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa:

1. Dari sisi push factor/faktor pendorong, yaitu variabel perbedaan upah/UMR berpengaruh positif dan sangat signifikan dalam memengaruhi kecenderungan untuk migrasi tenaga kerja terdidik (skilled labor). Perbedaan upah/UMR yang cukup tinggi akan mendorong kecenderungan bermigrasi dari tenaga kerja terdidik (skilled labor).

2. Dari sisi aglommeration factor/faktor aglomerasi sumber daya, yaitu variabel perbedaan jumlah angkatan kerja dan perbedaan investasi PMA di daerah tujuan dengan asal berpengaruh positif dan sangat signifikan dalam memengaruhi kecenderungan untuk migrasi dari tenaga kerja terdidik (skilled labor). Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan aglomerasi sumber daya manusia, yaitu tenaga kerja dan perbedaan aglomerasi sumber daya modal, yaitu investasi penanaman modal asing (PMA) di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat menentukan kecenderungan untuk bermigrasi dari tenaga kerja terdidik (skilled labor).

Page 21: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

012 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

3. Dari sisi pull factor/faktor penarik migrasi di daerah tujuan, variabel perbedaan jumlah pengangguran berpengaruh positif dan signifikan dalam memengaruhi kecenderungan untuk migrasi tenaga kerja terdidik (skilled labor). Pengangguran yang cukup tinggi di daerah tujuan akan menahan kecenderungan untuk bermigrasi, dan sebaliknya pengangguran yang cukup tinggi di daerah asal akan mendorong kecenderungan untuk bermigrasi tenaga kerja terdidik (skilled labor).

4. Hasil estimasi regresi OLS dari model kedua dalam penelitian ini menunjukkan pengaruh migrasi tenaga kerja terdidik (skilled labor) terhadap pembangunan ekonomi adalah positif dan tidak signifikan. Dengan demikian, dapat disimpulkan migrasi tenaga kerja terdidik (skilled labor) tidak cukup berpengaruh terhadap pendapatan per kapita (PDRB perkapita) di daerah tujuan. Adapun dari ketiga variabel kontrol yang digunakan, yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan per kapita (PDRB per kapita) adalah variabel penanaman modal asing (PMA) di daerah tujuan migrasi.

E. Saran KebijakanBerdasarkan hasil panelitian dan kesimpulan di atas dapat disampaikan beberapa rekomendasi kebijakan sebagai berikut:

1. Pemerintah provinsi Jawa Barat harus bisa berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota di provinsi Jawa Barat untuk mengurangi kesenjangan pembangunan ekonomi dengan melakukan pemerataan pembangunan ekonomi daerah, saling mendukung, baik dari ketersediaan lapangan pekerjaan maupun dalam mendorong iklim investasi, khususnya penanaman modal asing (PMA) di kabupaten/kota di provinsi Jawa Barat.

2. Pemerintah provinsi Jawa Barat dan pemerintah kabupaten/kota di Jawa Barat harus berkoordinasi, untuk membuat pusat pertumbuhan baru atau mengoptimalkan pusat pertumbuhan yang ada sehingga ketersediaan lapangan pekerjaan dan kemudahan investasi, khususnya penanaman modal asing (PMA), di pusat pertumbuhan tersebut dapat menyerap tenaga kerja terdidik, sehingga tidak terkonsentrasi atau bermigrasi ke kawasan metropolitan.

3. Pemerintah provinsi Jawa Barat dan pemerintah kabupaten/kota di Jawa Barat harus berkoordinasi untuk mengurangi perbedaan sumber daya manusia, dan membuat kebijakan upah/UMR yang tepat sehingga menguntungkan pihak tenaga kerja dan juga menguntungkan pihak investor penanaman modal. Penciptaan lapangan kerja baru ini dapat menjadi solusi tenaga kerja terdidik yang sedang mencari pekerjaan yang layak dan sesuai harapan.

4. Pemerintah provinsi Jawa Barat dan pemerintah kabupaten/kota di Jawa Barat harus membangun iklim berwirausaha sehingga tenaga kerja terdidik dapat mengembangkan dan membangun daerah asalnya.

Page 22: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

013 EKONOMI TERAPAN

5. Perlu adanya integrasi survei ketenagakerjaan, mobilitas dan migrasi dari tenaga kerja dengan responden berpendidikan tinggi yang memperhatikan kecukupan sampel dan ketersediaan responden yang longitudinal untuk menghasilkan data penelitian yang lebih akurat.

6. Keterbatasan variabel analisis karena keterbatasan cakupan data yang terdapat pada SUSENAS 2015, terutama data mengenai mobilitas/migrasi penduduk yang mencakup data historis migran, seperti pekerjaan sebelum bermigrasi dan sesudah bermigrasi, serta persepsi migran terhadap kehidupan migran sebelum dan sesudah bermigrasi akan sangat bermanfaat.

Page 23: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

014 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Page 24: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

02► Nama : Rizki Hidayati

► Unit Organisasi : BPK Kabupaten Lampung Selatan

► Program Studi : Magister Ekonomi Terapan

► Negara Studi : Indonesia

► Universitas : Universitas Padjajaran Bandung

ANALISIS PEMBANGUNAN MANUSIA DI INDONESIA

Page 25: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

016 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Dalam pembangunan, diperlukan manajemen yang tepat dalam pengelolaan sumber daya manusia yang berkualitas. Hasil uji beda rata-rata menunjukkan bahwa perhitungan IPM Indonesia dengan menggunakan metode lama dan baru memberikan perbedaan yang signifikan. Dalam penelitian ini, diketahui bahwa terdapat perbedaan antara metode perhitungan IPM lama dan baru. Selain itu, analisis pengaruh pertumbuhan ekonomi yang diukur melalui nilai PDRB perkapita, kebijakan pengeluaran sosial pemerintah untuk fungsi pendidikan dan kesehatan, pengeluaran perkapita rumah tangga untuk pendidikan dan kesehatan serta kemiskinan terhadap pembangunan manusia tahun 2011—2014. Hasil estimasi secara kuantitatif diperolah hasil bahwa pertumbuhan ekonomi yang diproksi melalui PDRB per kapita, pengeluaran per kapita rumah tangga (pendidikan dan kesehatan) dan persentase rumah tangga dengan akses sanitasi layak memengaruhi secara langsung pada pembangunan manusia dengan arah positif signifikan. Demi meningkatkan nilai IPM maka ketiga dimensi penyusun IPM yaitu pendidikan, kesehatan, dan daya beli harus didorong secara bersama-sama sehingga dapat memberikan kontribusi yang seimbang dalam membentuk nilai IPM.

► Kata Kunci: Pembangunan, Sumber Daya Manusia, IPM, Ekonomi, PDRB, Pendidikan, Kesehatan, Daya Beli

Page 26: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

017 EKONOMI TERAPAN

ABSTRACT

In development, proper management is needed in the management of quality human resources. The average difference test results show that the calculation of Indonesian HDI using the old and new methods gives a significant difference. In this study, it is known that there are differences between the old and new HDI calculation methods. In addition, an analysis of the effect of economic growth as measured by the value of GRDP per capita, government social expenditure policies for education and health functions, per capita household expenditure for education and health and poverty on human development in 2011-2014. Quantitative estimation results obtained results that economic growth proxy through GRDP per capita, household expenditure per capita (education and health) and the percentage of households with access to proper sanitation directly affect human development with a significant positive direction. In order to increase the HDI value, the three dimensions of the HDI constituent namely education, health, and purchasing power must be encouraged together so that they can make a balanced contribution in shaping the value of the HDI.

► Keywords: Development, Human Resources, HDI, Economy, GRDP, Education, Health, Purchasing Power

Page 27: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

018 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ANALISIS PEMBANGUNAN MANUSIA DI INDONESIA

A. Latar BelakangPembangunan suatu bangsa merupakan upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup rakyatnya agar makmur dan sejahtera, yang ditandai oleh kemampuan rakyat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pembangunan memerlukan aspek pokok yang disebut sumber daya (resources), yaitu sumber daya alam (natural resources) dan sumber daya manusia (human resources), yang keduanya berperan penting dalam pembangunan. Sumber daya alam dapat bersifat terbarukan dan tidak terbarukan, dan pemanfaatannya harus dilakukan secara bijaksana agar memberikan sebanyak mungkin manfaat bagi pembangunan, terutama bagi sumber daya yang tidak terbarukan yang suatu saat nanti akan habis. Sumber daya alam yang berlimpah jika tidak dikelola dengan baik, tidak akan memberikan kontribusi yang besar terhadap pembangunan karena akan terbuang percuma tanpa kontribusi yang berarti bagi pembangunan bangsa dan negara. Oleh karena itu, diperlukan manajemen yang tepat dalam pengelolaannya. Di sinilah diperlukan peran sumber daya manusia yang berkualitas untuk mengelolanya.

Sumber daya manusia merupakan orang-orang yang memiliki kemampuan dalam memberikan sumbangan pemikiran dan melakukan berbagai jenis pekerjaan dalam mencapai suatu tujuan. Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan satu langkah awal yang sangat penting yang dapat digunakan untuk membangun dan memajukan suatu negara. Menurut UNDP (1990), manusia adalah kekayaan bangsa dan sekaligus modal dasar pembangunan. Adapun tujuan utama pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmati hidup sehat, berumur panjang, dan mampu menjalankan kehidupan yang produktif, sehingga pembangunan manusia memiliki kesetaraan dengan pembangunan ekonomi.

Dalam upaya menciptakan lingkungan tersebut, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu pendidikan dan kesehatan. Hal tersebut merupakan tujuan pembangunan yang mendasar, terlepas dari hal-hal yang lain. Kesehatan merupakan inti dari kesejahteraan dan pendidikan adalah hal pokok untuk menggapai kehidupan yang memuaskan dan berharga. Keduanya merupakan hal yang fundamental untuk membentuk kemampuan manusia yang lebih luas dan berada pada inti makna pembangunan (Todaro, 2000).

UNDP (1996) menyebutkan bahwa IPM mengukur aspek-aspek yang relevan dengan pembangunan manusia melalui indeks komposit yang terdiri atas tiga komponen utama, yaitu kesehatan, pendidikan, dan pendapatan (daya beli). Untuk mengukur ketiga komponen tersebut, UNDP menyusun suatu indeks komposit berdasarkan empat indikator, yaitu angka harapan hidup waktu lahir (life expectancy at birth), angka melek huruf penduduk (adult literacy rate), rata-rata lama sekolah (mean years of schooling), dan kemampuan daya beli (purchasing power policy). Indikator angka harapan hidup waktu lahir mengukur kesehatan, angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah mengukur pendidikan, sedangkan kemampuan daya beli mengukur standar hidup.

Page 28: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

019 EKONOMI TERAPAN

Perhitungan IPM mengalami beberapa perubahan sejak pertama kali konsepnya dikemukakan. Perubahan terbaru yang dilakukan oleh UNPD adalah mengganti komponen perhitungan IPM, yaitu indikator angka melek huruf diganti dengan harapan lama sekolah dan indikator Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita diganti menjadi Produk Nasional Bruto (PNB) per kapita. Penggantian indikator dalam perhitungan IPM ini dilakukan dengan alasan beberapa indikator sudah tidak tepat untuk digunakan dalam penghitungan IPM. Angka melek huruf sudah tidak relevan dalam mengukur pendidikan secara utuh karena tidak dapat menggambarkan kualitas pendidikan. Selain itu, karena angka melek huruf di sebagian besar daerah sudah tinggi, sehingga tidak dapat membedakan tingkat pendidikan antardaerah dengan baik. Adapun untuk PDB per kapita dianggap tidak dapat lagi menggambarkan pendapatan masyarakat pada suatu wilayah.

Selain penggantian pada indikator perhitungan IPM, metode perhitungan IPM juga mengalami perubahan yang semula merupakan rata-rata aritmatik diganti menjadi rata-rata geometrik. Penggunaan rumus rata-rata aritmatik dalam penghitungan IPM menggambarkan bahwa capaian yang rendah di suatu dimensi dapat ditutupi oleh capaian tinggi dari dimensi lain. Dengan menggunakan rata-rata geometrik dalam menyusun IPM dapat diartikan bahwa capaian satu dimensi tidak dapat ditutupi oleh capaian di dimensi lain. Artinya, untuk mewujudkan pembangunan manusia yang baik, ketiga dimensi harus memperoleh perhatian yang sama besar karena sama pentingnya.

Lanjouw dalam Ginting, et. al. (2008) menyatakan pembangunan manusia di Indonesia identik dengan pengurangan kemiskinan. Investasi dalam bidang pendidikan dan kesehatan akan lebih berarti bagi penduduk miskin dibandingkan penduduk tidak miskin karena aset utama penduduk miskin adalah tenaga kasar mereka. Tersedianya fasilitas pendidikan dan kesehatan murah sangat membantu untuk meningkatkan produktivitas, dan pada gilirannya meningkatkan pendapatan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pembangunan manusia belum secara optimal dilakukan karena hanya terfokus pada pengurangan kemiskinan.

Kemiskinan di Indonesia selama tahun 2011—2014 secara umum mengalami penurunan, tetapi sekalipun kemiskinan secara umum menurun, ketimpangan distribusi pendapatan semakin tinggi. Hal tersebut ditandai oleh koefisien Gini yang terus mengalami peningkatan, pada tahun 2011 sebesar 0,378 dan meningkat menjadi 0,414 pada tahun 2014.

Pendidikan dan kesehatan merupakan tujuan pembangunan yang mendasar di suatu wilayah. Menurut Meier dan Rauch dalam Sanggeloranget, et.al. (2015) pendidikan, atau lebih luas lagi adalah modal manusia, dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan. Hal ini karena pendidikan pada dasarnya adalah bentuk dari tabungan, menyebabkan akumulasi modal manusia dan pertumbuhan output agregat jika modal manusia merupakan input dalam fungsi produksi agregat. Kesehatan merupakan inti dari kesejahteraan, dan pendidikan adalah hal yang pokok untuk mencapai kehidupan yang layak.

Pembangunan pendidikan merupakan salah satu investasi sumber daya manusia (SDM) yang dapat memacu daya saing bangsa pada era global. Sebagai investasi produktif, pendidikan dinilai dapat meningkatkan kualitas SDM sebagai faktor pendukung

Page 29: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

020 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

utama untuk meningkatkan produktivitas nasional dalam berbagai bidang dan sektor pembangunan.Dari sisi ukuran, kemampuan, dan kepentingan sistem pendidikan, keadaan pembangunan pendidikan dapat diikuti perkembangannya melalui penjabaran kebijakan pembangunan pendidikan yang terdiri atas tiga pilar kebijakan, dan dijabarkan dalam misi pendidikan 5K, yaitu (1) meningkatkan ketersediaan layanan pendidikan; (2) memperluas keterjangkauan layanan pendidikan; (3) meningkatkan kualitas layanan pendidikan; (4) mewujudkan kesetaraan layanan pendidikan, dan (5) menjamin kepastian memperoleh layanan pendidikan (Kemendikbud, 2013).

Menurut Badan Pusat Statistik, Indikator Pendidikan tahun 1994—2016 meliputi angka partisipasi pendidikan, baik formal maupun informal dan angka buta huruf. Angka partisipasi pendidikan di dalamnya terdapat angka partisipasi sekolah, angka partisipasi kasar dan angka partisipasi murni, serta pendidikan yang ditamatkan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas. Sementara untuk angka buta huruf meliputi jenjang golongan usia yang dibagi menjadi 4 kategori, yaitu usia 10 tahun, 15 tahun, 15—44 tahun, dan 45 tahun.

Derajat kesehatan masyarakat suatu negara salah satunya dipengaruhi oleh keberadaan sarana kesehatan. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Sarana kesehatan dapat berupa fasilitas kesehatan, alat, serta institusi penghasil tenaga kesehatan (Kemenkes, 2016).

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisSeiring berjalannya waktu, berbagai pendekatan alternatif telah dikembangkan sebagai penanda pembangunan. Sementara beralih dari satu pendekatan ke pendekatan lainnya, fokus telah beralih dari perluasan produk nasional bruto (GNP) negara untuk menyediakan barang dan jasa material kepada orang yang kekurangan (UNDP 1995). Akhir-akhir ini, pendekatan pembangunan manusia menempati tahap tengah. Sejak dikemukakan pada tahun 1990 (UNDP 1990), pembangunan manusia telah muncul sebagai paradigma pembangunan baru (Hirway dan Mahadevia 2004). Ini mengasumsikan pentingnya pada premis bahwa pendapatan saja belum tentu merupakan ukuran kesejahteraan yang memuaskan karena mungkin tidak ada hubungan otomatis antara pertumbuhan pendapatan dan kualitas hidup (Morris dan McAlpin 1982). Perkembangan manusia menempatkan dorongan pada pembesaran pilihan orang dan meningkatkan taraf hidup mereka. Dorongan dasarnya adalah menciptakan lingkungan yang kondusif bagi masyarakat untuk menikmati kehidupan yang panjang, sehat, dan kreatif (UNDP 1995).

Pencapaian pembangunan ekonomi suatu wilayah dipengaruhi oleh proses pembangunan manusia. Pencapaian tersebut tidak terlepas dari seberapa besar kualitas manusia pada suatu wilayah. Indikator yang bisa mengukur kualitas manusia pada suatu daerah, yaitu dengan cara Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM merupakan indikator

Page 30: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

021 EKONOMI TERAPAN

yang digunakan untuk mengukur salah satu aspek penting yang berkaitan dengan kualitas dari hasil pembangunan ekonomi, yaitu derajat perkembangan manusia.

IPM mempunyai tiga dimensi dasar, yaitu kesehatan, pengetahuan, dan standar hidup layak. Ketiga dimensi ini sangat penting dalam menentukan tingkat kemampuan suatu daerah untuk meningkatkan IPM-nya. Ketiga dimensi tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi saling memengaruhi satu sama yang lainnya. Dimensi kesehatan diproksi dari Angka Harapan Hidup saat lahir (AHH) yang akan membentuk indeks kesehatan, dimensi pengetahuan diproksi dari Harapan Lama Sekolah (HLS), dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) yang akan membentuk indeks pendidikan, sementara dimensi standar hidup layak diproksi dari pengeluaran per kapita disesuaikan. Ketiga dimensi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat positif maupun negatif yang akan berpengaruh pada nilai IPM itu sendiri.

Objek dalam penelitian ini adalah pertumbuhan ekonomi yang diukur melalui PDRB per kapita, pembangunan manusia yang diukur melalui IPM, pengeluaran pemerintah untuk fungsi sosial, yaitu kombinasi pendidikan dan kesehatan, pengeluaran per kapita rumah tangga unruk pendidikan dan kesehatan dan kemiskinan pada kabupaten/kota di Indonesia selama kurun waktu 2011—2014, sedangkan unit analisisnya adalah sebanyak 491 kabupatan/kota di Indonesia.

Ruang lingkup kajian penelitian, yaitu aspek-aspek pengaruh dari pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah untuk fungsi sosial, yaitu pendidikan dan kesehatan, pengeluaran per kapita rumah tangga untuk pendidikan dan kesehatan dan kemiskinan di kabupaten/kota di Indonesia. Selain itu, juga dimasukkan ke dalam model berupa variabel kontrol berupa rasio guru-murid SMP/sederajat, persentase rumah tangga dengan akses sanitasi layak dan dummy tahun 2012—2014.

Penelitian ini didesain dengan menggunakan metode pendekatan deskriptif dan kuntitatif dengan tujuan untuk memberikan gambaran, mengkaji dan menguji keberadaan teori secara empirik dari variabel-variabel yang telah diformulasikan dalam hipotesis, yang selanjutnya akan dianalisis pengaruh dan hubungan antara variabel-variabel tersebut dengan metode explanatory research. Teknik analisis data yang akan digunakan adalah regresi data panel. Penelitian ini menggunakan gabungan data time series dan cross section atau yang dikenal dengan data panel. Data time series berupa tahun 2011—2014, sedangkan untuk data cross section adalah jumlah kabupaten/kota di Indonesia sebanyak 491 kabupaten/kota.

Pengumpulan data penelitian dilakukan menggunakan beberapa cara, yaitu dengan studi kepustakaan (library reseacrh) dari berbagai sumber tulisan dan penelitian ilmiah serta mengambil data-data sekunder, baik berupa data-data yang dipublikasikan oleh sumber-sumber terkait maupun laporan-laporan yang ada untuk mencukupi kelengkapan data.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari data dari Badan Pusat Statistik berupa nilai IPM dan komponen pembentuknya, PDRB per kapita, pengeluaran per kapita rumah tangga untuk pendidikan dan kesehatan,

Page 31: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

022 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

kemiskinan dan persentase rumah tangga dengan akses sanitasi layak, dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia berupa data realisasi pengeluaran pemerintah bidang pendidikan dan kesehatan. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan data yang diambil dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berupa data rasio jumlah guru-murid dengan tahun data yang digunakan adalah tahun 2011—2014.

C. Pembahasan Hasil AnalisisAnalisis ekonomi mencakup analisis yang menjelaskan arah hubungan dari variabel-variabel bebas (independen) memengaruhi variabel terikat (dependen), dan besarnya pengaruh tersebut yang didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi. Analisis ini dilakukan dengan melihat hasil estimasi yang didapatkan dari penelitian.

1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Perkapita terhadap Indeks Pembangunan Manusia

Regresi menggunankan Model Panel EGLS (Cross-section random effects) pada Model IPM Lama dan Baru dengan pengujian t-Stat menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang diwakili melalui PDRB per kapita secara parsial memberikan pengaruh dengan arah yang positif pada perubahan nilai IPM pada kabupaten/kota di Indonesia periode 2011—2014. Koefisien regresi pada Model IPM Lama sebesar 1,548 yang diartikan bahwa setiap kenaikan sebesar satu persen pada PDRB per kapita akan meningkatkan nilai IPM Metode Lama sebesar 1,548 poin. Sementara pada Model IPM Baru, koefisien regresi sebesar 1,425 yang diartikan bahwa setiap kenaikan sebesar satu persen pada PDRB per kapita akan meningkatkan nilai IPM Metode Baru sebesar 1,425 poin.

Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Profesor Kuznet, salah satu ciri pertumbuhan ekonomi adalah tingginya pertumbuhan output per kapita (Todaro, 2000) bahwa ketika PDRB per kapita mengalami kenaikan, pola konsumsi dan daya beli masyarakat akan meningkat. Kenaikan daya beli ini akan meningkatkan nilai IPM karena salah satu indeks komposit pembentuk IPM adalah daya beli.

2. Pengeluaran Pemerintah terhadap Indeks Pembangunan Manusia

Realisasi pengeluaran pemerintah per kapita yang merupakan pengeluaran sosial pemerintah yang dikombinasikan dari pengeluaran per kapita pemerintah untuk fungsi pendidikan dan kesehatan secara parsial tidak memengaruhi IPM pada Model IPM Lama maupun Model IPM Baru.

Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Chakraborty (2003) yang menyebutkan bahwa pengeluaran sosial pemerintah (kombinasi pendidikan dan kesehatan)

Page 32: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

023 EKONOMI TERAPAN

berpengaruh positif terhadap pembangunan manusia yang diukur melalui indeks pembangunan manusia. Selain itu, penelitian dari Gupta et. al. (2002) juga menunjukkan hasil bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan dari pengeluaran pemerintah untuk bidang pendidikan terhadap pencapaian pendidikan dasar dan menengah, serta pengeluaran pemerintah bidang kesehatan terhadap angka kematian bayi. Pencapaian pendidikan merupakan komponen dari rata-rata lama sekolah dan angka kematian bayi adalah komponen angka harapan hidup yang merupakan bagian dari perhitungan indeks komposit IPM, yaitu indeks pendidikan dan indeks kesehatan.

Hasil regresi yang tidak sesuai dengan hipotesis ini kemungkinan disebabkan oleh pengeluaran sosial pemerintah per kapita (kombinasi pendidikan dan kesehatan) tidak langsung berpengaruh dalam peningkatan nilai IPM. Hal ini karena tidak dimungkiri bahwa sebagian besar beban pengeluaran pemerintah masih dalam bentuk belanja pegawai, bukan belanja yang secara langsung dikhususkan untuk peningkatan IPM. Sesuai dengan amanat Undang-undang, proporsi belanja pemerintah untuk kesehatan adalah minimal 10% dari APBD (Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan), sedangkan untuk pendidikan minimal sebesar 20% dari APBD (Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional) di luar belanja pegawai. Kondisi ini belum seluruhnya merata di seluruh kabupaten/kota di Indonesia yang menyebabkan keterjangkauan masyarakat terhadap pendidikan dan kesehatan juga masih kurang. Oleh karena itu, perlu adanya peningkatan, baik dari jumlah dan efektivitas belanja pemerintah, khususnya pada daerah-daerah yang memiliki nilai IPM rendah agar mampu memberikan dampak langsung terhadap peningkatan IPM.

3. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga terhadap Indeks Pembangunan Manusia

Realisasi pengeluaran rumah tangga per kapita sebulan (kombinasi pendidikan dan kesehatan) secara parsial memengaruhi IPM pada Model IPM Lama dan Baru. Koefisien regresi pada Model IPM Lama sebesar 0,763 diartikan bahwa setiap kenaikan sebesar satu persen pada realisasi pengeluaran rumah tangga per kapita sebulan untuk pendidikan akan meningkatkan nilai IPM Metode Lama sebesar 0,763 poin. Koefisien regresi pada Model IPM Baru sebesar 0,155 diartikan bahwa setiap kenaikan sebesar satu persen pada realisasi pengeluaran rumah tangga per kapita sebulan untuk pendidikan akan meningkatkan nilai IPM Metode Baru sebesar 0,155 poin.

Hubungan yang positif antara pengeluaran rumah tangga terhadap IPM sesuai dengan hasil penelitian Ranis (2004) yang mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi memberikan manfaat langsung terhadap peningkatan pembangunan manusia melalui tingkat pendapatan, yaitu kenaikan tingkat pendapatan akan meningkatkan alokasi pengeluaran rumah tangga untuk makanan yang bergizi dan pendidikan. Selain itu Chakraborty (2003) juga mengatakan bahwa pengeluaran sosial perkapita (kombinasi pendidikan dan kesehatan) memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pembangunan manusia yang diwakili melalui indeks pembangunan manusia. Hal ini

Page 33: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

024 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

menunjukkan bahwa pengaruh individu dalam peningkatan IPM memegang peranan penting yang secara langsung memengaruhi IPM melalui pengeluaran yang dilakukan untuk pendidikan dan kesehatan.

4. Kemiskinan terhadap Indeks Pembangunan ManusiaPersentase penduduk miskin secara parsial memengaruhi IPM pada Model IPM Lama dan Model IPM Baru. Koefisien regresipada Model IPM Lama sebesar -0,265 diartikan bahwa setiap kenaikan sebesar satu persen pada persentase penduduk miskin akan menurunkan nilai IPM Metode Lama sebesar 0,265 poin. Sementara pada Model IPM Baru, koefisien regresi pada Model IPM Baru sebsear -0,119 diartikan bahwa setiap kenaikan sebesar satu persen pada persentase penduduk miskin akan menurunkan nilai IPM Metode Baru sebesar 0,119 poin. Hasil penelitian mengenai pengaruh negatif kemiskinan terhadap pembangunan manusia sesuai dengan hasil penelitian Ginting et. al. (2008), Mirza (2012) dan Sofilda et. al. (2013) yang pada intinya mengatakan bahwa kemiskinan akan memengaruhi masyarakat dalam hal pengeluaran konsumsinya. Kondisi miskin akan memaksa seseorang untuk mengurangi konsumsinya sehingga menurunkan daya beli sehingga berdampak pada penurunan nilai IPM karena daya beli merupakan salah satu komponen perhitungan IPM.

5. Variabel Kontrol terhadap Indeks Pembangunan Manusia

Rasio guru-murid SMP/sederajat secara parsial tidak memengaruhi IPM, baik pada Model IPM Lama maupun Model IPM Baru. Hal ini disebabkan kurangnya data yang mewakili untuk rasio guru-murid karena yang diambil hanya data rasio guru-murid pada tingkatan SMP.

Persentase rumah tangga dengan akses sanitasi layak secara parsial memengaruhi IPM secara signifikan, baik pada Model IPM Lama maupun Model IPM Baru. Koefisen regresi pada Model IPM Lama sebesar 0,023 diartikan bahwa setiap kenaikan satu persen pada akses rumah tangga untuk mendapatkan sanitasi layak akan meningkatkan nilai IPM metode lama sebesar 0,023 poin. Sementara pada Model IPM Lama, koefisien regresi sebesar 0,007 diartikan bahwa setiap kenaikan satu persen pada akses rumah tangga untuk mendapatkan sanitasi layak akan meningkatan nilai IPM metode baru sebesar 0,007 poin.

Variabel dummy adalah variabel yang digunakan untuk menguantitatifkan variabel yang bersifat kualitatif. Variabel dummy yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel dummy tahun. Variabel dummy tahun yang dimasukkan dalam persamaan regresi memberikan hasil yang positif dan signifikan, kecuali pada dummy tahun 2012 untuk Model IPM Lama. Koefisien dummy selalu mengalami peningkatan dari tahun 2012 hingga 2014 menunjukkan bahwa peningkatan IPM pada tahun yang bersangkutan lebih besar daripada tahun sebelumnya, kecuali pada dummy tahun 2012 pada model IPM Lama.

Page 34: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

025 EKONOMI TERAPAN

Sekalipun memiliki koefisien positif, peningkatan IPM tersebut tidak signifikan yang berarti peningkatan IPM pada tahun 2012 tidak berbeda dari tahun 2011 pada Model IPM Lama. Sekalipun perhitungan IPM dengan menggunakan metode baru menghasilkan nilai IPM yang lebih kecil, besar kenaikan setiap tahunnya lebih signifikan dan lebih menggambarkan kondisi pembangunan manusia sebenarnya.

6. Implikasi Kebijakan dan Solusi terhadap PermasalahanBerdasarkan hasil analisis, peneliti dapat memberikan saran kebijakan dalam upaya peningkatan pembangunan manusia melalui peningkatan nilai IPM, yaitu sebagai berikut.

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2011—2014, pengeluaran sosial pemerintah yang merupakan kombinasi dari realisasi pengeluaran pemerintah untuk fungsi pendidikan dan kesehatan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan IPM di Indonesia. Perlunya peningkatan pengeluaran pemerintah, khususnya untuk fungsi pendidikan dan kesehatan sesuai dengan proporsi yang diamanatkan Undang-undang, yaitu untuk pendidikan sebesar minimal 20% dan kesehatan minmal sebesar 10% dari APBD di luar belanja pegawai untuk meningkatkan keterjangkauan masyarakat terhadap pendidikan dan kesehatan dan memberikan dampak untuk peningkatan IPM. Peningkatan belanja sosial pemerintah ini dapat dikhususkan pada daerah-daerah yang memiliki IPM rendah. Selain itu, sebisa mungkin pengeluaran sosial pemerintah ini lebih efektif untuk peningkatan IPM dengan pengeluaran yang langsung meningkatkan komponen pembentuk IPM karena tidak dapat dimungkiri bahwa belanja pemerintah untuk fungsi pendidikan dan kesehatan sebagian besar masih besar proporsinya pada belanja pegawai yang tidak secara langsung memengaruhi IPM.

2. Peran individu atau rumah tangga dalam peningkatan IPM masih mendominasi. Berdasarkan hasil penelitian ditunjukkan bahwa peran individu melalui konsumsi rumah tangga yang dikeluarkannya memberikan dampak yang signifikan untuk peningkatan IPM. Pemerintah dapat melakukan upaya untuk memperluas pengeluaran konsumsi rumah tangga, contohnya yaitu kebijakan penurunan pajak dan peningkatan upah.

3. Perubahan perhitungan IPM, baik dari komponen pembentuk maupun metode dari rata-rata aritmatik menjadi rata-rata geometrik berakibat pada nilai IPM yang dihasilkan. Pada metode lama, ketika salah satu dimensi pembentuk IPM mempunyai nilai tinggi, dimensi tersebut dapat menutupi dimensi lain yang rendah sehingga tetap menghasilkan IPM yang tinggi. Sementara untuk metode baru, hal tersebut tidak dapat dilakukan. Nilai salah satu dimensi yang rendah akan langsung berakibat pada penurunan IPM. Sekalipun demikian, metode baru lebih baik karena mampu menggambarkan kondisi sesungguhnya dari ketiga dimensi pembentuk IPM.

4. Berdasarkan hasil ini, dalam rangka peningkatan IPM, pemerintah harus melakukan dorongan pada ketiga dimensi pembentuk IPM, yaitu pendidikan, kesehatan, dan daya beli secara bersama-sama agar mampu memberikan kontribusi yang seimbang untuk meningkatkan IPM.

Page 35: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

026 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

D. KesimpulanHasil Uji Beda Rata-rata menunjukkan bahwa perhitungan IPM Indonesia dengan menggunakan metode lama dan baru memberikan perbedaan yang signifikan. Selain nilai IPM yang menurun dengan kategori yang awalnya masuk dalam kategori IPM tinggi menjadi IPM sedang, perbedaan juga terdapat pada variasi nilai IPM, yaitu metode baru menghasilkan nilai IPM yang lebih bervariasi dibandingkan metode lama. Selain itu, perubahan metode perhitungan IPM memberikan konsekuensi bahwa untuk meningkatkan nilai IPM, ketiga dimensi penyusun IPM, yaitu pendidikan, kesehatan, dan daya beli harus didorong secara bersama-sama sehingga dapat memberikan kontribusi yang seimbang dalam membentuk nilai IPM.

Sementara hasil estimasi secara kuantitatif diperolah hasil bahwa pertumbuhan ekonomi yang diproksi melalui PDRB per kapita, pengeluaran per kapita rumah tangga (pendidikan dan kesehatan) dan persentase rumah tangga dengan akses sanitasi layak memengaruhi secara langsung pada pembangunan manusia dengan arah positif signifikan. Kemiskinan yang diwakili persentase penduduk miskin berpengaruh negatif dan signifikan terhadap IPM. Pengeluaran sosial pemerintah per kapita (kombinasi pendidikan dan kesehatan) dan rasio guru-murid tidak berpengaruh signifikan terhadap IPM.

Peningkatan nilai IPM pada tahun 2012—2013 lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2011 untuk perhitungan IPM dengan metode baru. Sementara untuk metode lama, peningkatan nilai IPM mengalami kenaikan lebih tinggi pada tahun 2013—2014, pada tahun 2012 peningkatannya tidak menunjukkan perbedaan dibandingkan tahun 2011.

E. Saran KebijakanBerdasarkan kesimpulan yang ada dari hasil kajian penelitian yang telah dilakukan, beberapa usulan dapat diajukan kepada pemerintah selaku pemangku kebijakan untuk:

1. Mmendorong secara bersama-sama komponen-komponen indeks komposit yang membentuk IPM dalam upaya peningkatan IPM di Indonesia;

2. Menggunakan IPM dengan metode perhitungan yang baru sebagai dasar pengambilan kebijakan, karena berdasarkan hasil uji beda dan regresi yang dilakukan dalam penelitian ini, sekalipun memiliki nilai yang lebih rendah, IPM metode baru lebih realistis dan mampu menjelaskan lebih baik mengenai kondisi pembangunan.

Page 36: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

► Nama : Prastowo Adi Nugroho

► Unit Organisasi : Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Kebumen

► Program Studi : Magister Ekonomi Terapan

► Negara Studi : Indonesia

► Universitas : Universitas Padjajaran Bandung

03KONTRIBUSI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PENURUNAN KEMISKINAN DI KABUPATEN KEBUMEN

Page 37: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

028 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh kontribusi sektor pertanian terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Kebumen dan faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan di Kabupaten Kebumen. Dalam penelitian ini, variabel yang digunakan dalam memengaruhi tingkat kemiskinan di Kabupaten Kebumen adalah share PRDB sektor pertanian, tenaga kerja sektor pertanian, produktivitas lahan pertanian, PDRB per kapita, dan tingkat pendidikan masyarakat.

Model regresi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis regresi linier berganda (ordinary least squares regression analysis) dengan menggunakan panel data dan pendekatan efek tetap (fixed effect model) untuk mengetahui pengaruh variabel share PRDB sektor pertanian, tenaga kerja sektor pertanian, produktivitas lahan pertanian, PDRB per kapita, dan tingkat pendidikan masyarakat terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Kebumen.

Hasil penelitian ini berdasarkan uji secara simultan (Uji F) yang menunjukkan bahwa secara keseluruhan, variabel independen (share PRDB sektor pertanian, tenaga kerja sektor pertanian, produktivitas lahan pertanian, PDRB per kapita, dan tingkat pendidikan masyarakat) secara bersama-sama menunjukkan pengaruhnya terhadap tingkat kemiskinan. Adapun hasil penelitian berdasarkan uji secara parsial (Uji t) menunjukkan bahwa variabel share PRDB sektor pertanian, tenaga kerja sektor pertanian, produktivitas lahan pertanian berpengaruh negatif, dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Kebumen, sedangkan variabel PRDB per kapita dan tingkat pendidikan masyarakat berpengaruh negatif, tetapi tidak signifikan. Nilai R-squared sebesar 0,978995 yang berarti sebesar 97,8995 persen variabel tingkat kemiskinan dapat dijelaskan oleh variabel independen, sedangkan sisanya, yaitu sebesar 2,1005 persen dijelaskan oleh sebab-sebab lain di luar model penelitian.

► Kata kunci: Share PRDB Sektor Pertanian, Tenaga Kerja Sektor Pertanian, Produktivitas Lahan Pertanian, dan Tingkat Kemiskinan

Page 38: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

029 EKONOMI TERAPAN

ABSTRACT

The purpose of this research are to analyze the influence of agriculture sector contribution toward poverty rate in Kebumen Regency and what factors influencing poverty rate in Kebumen Regency. In this study the variables used influencing poverty rate in Kebumen Regency are agricultural share, agricultural employment, agricultural land productivity, GDP per capita, and level of community education.

Regression model used in this research is ordinary least square regression analysis using data panel and fixed effect model to know influence of variable agricultural share, agricultural employment, agricultural land productivity, GDP per capita, and level of community education toward poverty rate in Kebumen Regency.

The results of this study based on the simultaneous test (F test) show that overall independent variables (agricultural share, agricultural employment, agricultural land productivity, GDP per capita, and level of community education) simultaneously show significant effect toward poverty rate. The result of the research is partial test (t test) shows that variables of agricultural share sector, agricultural employment, and agricultural land productivity have negative and significant effect toward poverty rate in Kebumen Regency, while GDP per capita and level of community education have negative effect, but not significant. R-squared value of 0.978995 which means 97.8995 percent of Poverty Rate can be explained by independent variables, while the rest that is equal to 2,1005 percent explained by other causes outside the research model.

► Keywords: Agricultural Share, Agricultural Employment, Agricultural Land Productivity, Level of Community Education, and Poverty Rate

Page 39: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

030 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

KONTRIBUSI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PENURUNAN KEMISKINAN DI

KABUPATEN KEBUMENA. Latar BelakangKemiskinan muncul ketika seseorang atau sekelompok orang tidak mampu mencukupi tingkat kemakmuran ekonomi yang dianggap sebagai kebutuhan minimal dari standar hidup tertentu. Kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Menurut World Bank (2004), salah satu sebab kemiskinan adalah kurangnya pendapatan dan aset untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, pakaian, perumahan, dan tingkat kesehatan dan pendidikan. Di samping itu, kemiskinan juga berkaitan dengan keterbatasan lapangan pekerjaan. Biasanya mereka yang dikategorikan miskin adalah mereka yang tidak memiliki pekerjaan dan tingkat pendidikan dan kesehatannya pada umumnya tidak memadai.

Pemerintah Kabupaten Kebumen terus berupaya mengurangi angka kemiskinan penduduk melalui berbagai program. Bupati Kebumen merespons dengan menjalankan program yang berkaitan dengan pertanian/pangan sebagai sektor pertanian untuk dijadikan unggulan utama karena mayoritas masyarakat Kabupaten Kebumen adalah petani dan buruh tani. (Ambijo, 2015). Hal ini sesuai dengan Arah Kebijakan Pengelolaan Belanja Daerah tahun 2016—2021, antara lain: (1) mengedepankan program-program yang menunjang pertumbuhan ekonomi (khususnya pertanian), peningkatan penyediaan lapangan kerja, dan upaya penanggulangan kemiskinan; (2) mengembangkan kemandirian perekonomian daerah yang bertumpu pada pengembangan potensi lokal unggulan melalui sinergi fungsi-fungsi pertanian dan sektor lainnya, dengan penekanan pada peningkatan pendapatan masyarakat dan penciptaan lapangan kerja serta berwawasan lingkungan; serta (3) meningkatkan perekonomian daerah yang memiliki daya saing tinggi berbasis pertanian dan sektor melalui proses pembangunan ekonomi yang berkesinambungan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan.

Tren jumlah tenaga kerja pada sektor pertanian yang semakin menurun selaras dengan kontribusi sektor pertanian pada PDRB Kabupaten Kebumen yang juga mengalami tren menurun. Tingkat produktivitas pertanian per hektar juga relatif stagnan. Produktivitas tanaman bahan pangan seperti padi sawah dan padi ladang sebagai komponen utama bahan pangan, dari tahun 2009 sampai dengan 2015, tidak mengalami peningkatan yang signifikan.

Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator untuk melihat keberhasilan pembangunan dan merupakan syarat keharusan (necessary condition), terutama bagi pengurangan tingkat kemiskinan. Adapun syarat kecukupannya ialah bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut efektif dalam mengurangi tingkat kemiskinan. Akan tetapi, meskipun

Page 40: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

031 EKONOMI TERAPAN

telah digunakan sebagai indikator pembangunan, pertumbuhan ekonomi masih bersifat umum dan belum mencerminkan kemampuan masyarakat secara individual. Oleh karena itu, pembangunan daerah diharapkan akan membawa dampak positif pula terhadap pertumbuhan ekonomi (Kuncoro, 2006).

Gambaran tentang kemiskinan dan kondisi sektor pertanian di Kabupaten Kebumen, serta indikator lain yang berhubungan dengannya menjadikan penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Kontribusi Sektor Pertanian dan Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Kebumen”.

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisBerdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah, “Bagaimana pengaruh kontribusi sektor pertanian terhadap tingkat kemiskinan dan faktor apa saja yang berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Kebumen?”

Objek penelitian ini adalah tingkat kemiskinan, share PDRB sektor pertanian, tenaga kerja sektor pertanian, produktivitas lahan pertanian, PDRB per kapita, dan tingkat pendidikan masyarakat di Kabupaten Kebumen. Unit analisisnya adalah 26 Kecamatan di Kabupaten Kebumen dalam periode 2009—2015.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif dan kuantitatif. Pendekatan deskriptif dimaksud dalam penelitian ini adalah memberi gambaran tentang objek penelitian berdasarkan data yang bersumber pada data sekunder, jurnal, artikel studi literatur, dan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan permasalahan.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Pengaruh Share PDRB Sektor Pertanian terhadap Tingkat Kemiskinan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa share PDRB sektor pertanian berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Kebumen. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan share PDRB sektor pertanian di Kabupaten Kebumen berdampak pada tingkat kemiskinan yang semakin menurun. Hasil penelian ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Siregar dan Wahyuniarti (2008), yang meneliti pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan bahwa share PDRB sektor pertanian berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Selain itu, hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Christiaensen dan Demery (2007) bahwa pertumbuhan pada sektor pertanian secara rata-rata signifikan dalam mengurangi kemiskinan.

Page 41: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

032 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Hasil studi Asep Suryahadi, Daniel Suryadarma, dan Sudarma Sumarto (2006) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa pertumbuhan pertanian di perdesaan memberikan dampak yang besar terhadap penurunan kemiskinan pada sektor pertanian pedesaan, yang merupakan kontributor terbesar kemiskinan di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa cara yang paling efektif untuk mempercepat pengurangan kemiskinan adalah dengan menekankan pada pertanian, khususnya di perdesaan. Namun, dalam jangka panjang, fokus penekanan harus diarahkan pada pencapaian pertumbuhan menyeluruh yang kuat dalam semua sektor.

Meskipun cenderung mengalami penurunan dalam share PRDB, sektor pertanian di Kabupaten Kebumen dapat menjadi tumpuan dalam menanggulangi kemiskinan. Hal ini karena sektor pertanian sering dihubungkan dengan kemiskinan, khususnya di negara-negara berkembang. Salah satu generalisasi yang dapat dikatakan paling valid mengenai penduduk miskin adalah pada umumnya bertempat tinggal di daerah-daerah perdesaan, dengan mata pencaharian pokok dalam bidang pertanian.

Struktur perekonomian Kabupaten Kebumen masih sangat mengandalkan sektor pertanian yang relatif lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada daerah yang telah berbasis sektor industri pengolahan. Jika melihat konfigurasi distribusi sektoral di Kabupaten Kebumen dari tahun 2009 hingga tahun 2015, belum terlihat jelas adanya pergeseran struktur ekonomi, yaitu sektor real masih menjadi tumpuan pendapatan daerah.

Dalam teori perubahan struktural dalam model teori pembangunan Lewis dijelaskan bahwa akan terjadi perubahan struktur ekonomi dari tradisional menuju struktur ekonomi modern. Hal ini karena tingkat upah yang lebih tinggi dalam struktur ekonomi modern yang umumnya terdiri atas industri dan jasa daripada struktur ekonomi tradisional pada sektor pertanian. Perbedaan tingkat upah menyebabkan tenaga kerja pada sektor pertanian beralih ke sektor modern untuk mendapatkan penghasilan yang lebih layak (Todaro dan Smith, 2006).

2. Pengaruh Tenaga Kerja Sektor Pertanian terhadap Tingkat Kemiskinan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tenaga kerja sektor pertanian berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Kebumen. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya tenaga kerja pada sektor pertanian akan berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan di Kabupaten Kebumen. Hasil penelitian ini mendukung penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Irz, dkk. (2001) yang menyatakan bahwa tenaga kerja perdesaan yang bekerja pada sektor pertanian berpengaruh terhadap pengurangan kemiskinan. Di Asia Selatan, sepertiga sampai setengah dari rumah tangga desa tanpa akses ke lahan sangat bergantung pada sektor pertanian untuk pendapatan mereka. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Lipton dan Longhurst (1989) menunjukkan bahwa pada tahap awal, teknologi revolusi hijau mendorong permintaan tenaga kerja per unit lahan sebesar 20%, tetapi hal ini perlahan-lahan terkikis karena adopsi beberapa penemuan baru menggusur tenaga kerja seperti herbisida, perontok mekanik, dan traktor.

Page 42: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

033 EKONOMI TERAPAN

Dalam krisis ekonomi 1997—1999 pertumbuhan sektor pertanian masih positif, yaitu ekonomi nasional terjadi kontraksi yang cukup besar. Sektor pertanian dan perdesaan menjadi penyelamat kesempatan kerja dampak krisis ekonomi. Krisis ekonomi juga menumbuhkan kembali keyakinan bahwa sektor pertanian dapat berperan sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, paradigma pembangunan pertanian harus diubah menjadi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan petani dan masyarakat perdesaan (Sajogyo, 2002).

Dari sisi penyerapan tenaga kerja, sektor pertanian merupakan sektor yang dapat diandalkan dalam menyerap tenaga kerja di Kabupaten Kebumen. Sebagai salah satu faktor produksi, tenaga kerja yang berlimpah merupakan keunggulan yang dapat digunakan untuk memacu sektor perekonomian khususnya pertanian. Hal ini karena lebih dari setengah penduduk Kabupaten Kebumen berada di perdesaan dan sebagian besar masyarakat perdesaan, terutama yang paling miskin dari mereka, masih bergantung pada pertanian sebagai mata pencaharian.

Banyaknya tenaga kerja yang bergantung pada sektor pertanian juga tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan sehingga bekerja pada sektor pertanian merupakan salah satu cara untuk mendapatkan penghasilan. Jika melihat konfigurasi distribusi sektoral di Kabupaten Kebumen dari tahun 2010 hingga Tahun 2015, belum terlihat adanya pergeseran struktur ekonomi, yaitu sektor real masih menjadi tumpuan pendapatan daerah. Pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada perubahan struktural belum terjadi. Hal ini didukung oleh produktivitas tenaga kerja sektor pertanian yang diukur dengan pendapatan per kapita sektor pertanian yang lebih tinggi dibandingkan pendapatan per kapita sektor industri pengolahan di Kabupaten Kebumen.

Sekalipun demikian, meningkatnya persentase distribusi pada sektor industri membuktikan bahwa telah terjadi dasar peralihan dari masyarakat pertanian tradisional menjadi ekonomi industri modern. Terjadinya transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor ekonomi lainnya juga merupakan masalah yang terjadi dari sisi tenaga kerja sektor pertanian, merupakan akibat yang tidak dapat dipisahkan dari rendahnya pendapatan yang diterima tenaga kerja pada sektor pertanian secara umum.

3. Pengaruh Produktivitas Lahan Pertanian terhadap Tingkat Kemiskinan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas lahan pertanian berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Kebumen. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Irz, dkk. (2001) bahwa produktivitas lahan pertanian berpengaruh signifikan terhadap pengurangan kemiskinan pada 40 negara yang menjadi objek penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh Alene dan Coulibaly (2008) tentang pengaruh penelitian pada sektor pertanian terhadap kemiskinan di negara-negara Sub Sahara Afrika juga menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas pertanian merupakan faktor penting atau signifikan dalam mengurangi kemiskinan di negara-negara Sub Sahara Afrika. Hayami dan Ruttan (1985) yang meneliti efek penggunaan varietas

Page 43: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

034 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

beras dan gandum modern di negara-negara Asia menyimpulkan bahwa pengenalan tersebut berdampak peningkatan intensitas tanam yang lebih tinggi sehingga kebutuhan tenaga kerja per unit lahan menjadi meningkat.

Kabupaten Kebumen memiliki potensi sumber daya yang melimpah. Dari sumber daya yang dimiliki, baik sumber daya alam dan sumber daya manusia. Sumber daya lahan pertanian yang melimpah, antara lain untuk pengembangan padi sawah. Secara bertahap, pembangunan pada sektor pertanian menunjukkan kemajuan yang ditunjukkan oleh data produktivitas padi pada tahun 2011 hingga 2015. Produksi yang dihasilkan berturut meningkat 408.070,27 ton, 459.145,58 ton, 397.437,6 ton, 407.940,26 ton, dan 486,969 ton padi kering. Produksi Kabupaten Kebumen mengalami surplus sehingga mampu menyediakan produksi padi bagi wilayah-wilayah yang lain. Akan tetapi, pertumbuhan output sektor pertanian, baik pada tingkat nasional maupun tingkat Kabupaten Kebumen setiap tahunnya cenderung mengalami penurunan. Hal ini antara lain disebabkan semakin banyaknya lahan pertanian yang beralih fungsi untuk daerah permukiman dan pengembangan industri, yang menyebabkan menurunnya produksi hasil pertanian.

4. Pengaruh PDRB per kapita terhadap Tingkat Kemiskinan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa PDRB per kapita berpengaruh negatif, tetapi tidak signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Kebumen. Hal ini menunjukkan bahwa ketika PDRB per kapita sebagai indikator pertumbuhan ekonomi semakin meningkat, PDRB per kapita tersebut kurang berpengaruh pada penurunan tingkat kemiskinan di Kabupaten Kebumen. Hasil penelitian ini kurang mendukung penelitian yang dilakukan oleh Medali dan Gunter (2013) serta Alene dan Coulibaly (2008). Mendali dan Gunter (2013) yang meneliti perubahan produktivitas sektor pertanian terhadap kemiskinan di negara berkembang menyebutkan bahwa GDP per kapita di 113 negara yang menjadi objek penelitian berpengaruh terhadap penurunan kemiskinan. Alene dan Coulibaly dalam penelitiannya tentang pengaruh penelitian sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di negara-negara Sub Sahara Afrika juga menghasilkan temuan bahwa GDP per kapita berpengaruh terhadap penurunan kemiskinan. Namun, hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Devito Frans dkk (2017) yang meneliti pengaruh PAD, PDRB per kapita, dan tingkat pendidikan terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Barat yang menghasilkan temuan bahwa PDRB per kapita berpengaruh negative, tetapi tidak signifikan terhadap tingkat kemiskinan.

Hasil penelitian dari Ravallion dan Chen (1997) yang menggunakan data dari survei-survei pendapatan/pengeluaran konsumsi rumah tangga (RT) di 67 negara berkembang dan negara-negara transisi untuk periode 1981—1994 juga menunjukkan bahwa penurunan kemiskinan hampir selalu bersamaan dengan peningkatan pendapatan rata-rata per kapita atau standar kehidupan, dan sebaliknya kemiskinan bertambah dengan kontraksi ekonomi.

Page 44: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

035 EKONOMI TERAPAN

Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa PRDB per kapita kurang berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Kebumen tidak terlepas dari masih rendahnya PDRB per kapita Kabupaten Kebumen dibandingkan kabupaten lain di Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2015 Kabupaten Kebumen menempati urutan ketiga dari bawah pada pencapaian PDRB per kapita di atas Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Wonosobo. Selain itu, kurangnya pengaruh PDRB per kapita dalam menurunkan tingkat kemiskinan di Kabupaten Kebumen dapat disebabkan peningkatan pendapatan per kapita tidak diikuti dengan kualitas pertumbuhan ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama yang miskin.

5. Pengaruh Tingkat Pendidikan Masyarakat terhadap Tingkat Kemiskinan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat yang diukur dengan jumlah penduduk usia 5 tahun yang menamatkan pendidikan setara SMP ke atas berpengaruh negatif, tetapi tidak signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Kebumen. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyaknya penduduk Kabupaten Kebumen yang pendidikan setara SMP ke atas tidak terlalu berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan di Kabupaten Kebumen. Hasil penelitian ini kurang mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Pervez (2014); Awan, dkk. (2011); serta Siregar dan Wahyuniarti (2008).

Penelitian Pervez (2014) tentang pengaruh pendidikan terhadap kemiskinan menghasilkan temuan bahwa pendidikan akan meningkatkan keterampilan dan produktivitas yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap penurunan kemiskinan. Penelitian yang dilakukan oleh Awan, dkk. (2011), yang meneliti pengaruh pendidikan terhadap kemiskinan di Pakistan menghasilkan temuan bahwa tingkat pendidikan yang berbeda akan berpengaruh terhadap kemiskinan di Pakistan. Penelitian Siregar dan Wahyuniarti (2008) menunjukkan bahwa peningkatan tingkat pendidikan masyarakat di tingkat SMP sampai dengan sarjana berpengaruh signifikan dalam menurunkan kemiskinan di Indonesia. Namun, penelitian Setiawan, dkk. (2013) tentang pengaruh sektor pertanian dan sektor industri terhadap kemiskinan di Jawa Tengah mendukung hasil penelitian ini, bahwa tingkat pendidikan masyarakat berpengaruh negatif, tetapi tidak signifikan terhadap kemiskinan di Jawa Tengah.

Hasil penelitian ini juga berkaitan dengan masih rendahnya pencapaian rata-rata lama sekolah di Kabupaten kebumen. Pencapaian rata-rata lama sekolah, yaitu sebesar 6,75 tahun, yang secara makro menunjukkan bahwa rata-rata penduduk dewasa Kabupaten Kebumen baru berpendidikan selevel dengan kelas satu SMP dan berbanding lurus dengan persentase terbesar penduduk berdasarkan tingkat pendidikan terakhir mayoritas menamatkan pendidikan sekolah dasar sederajat. Kondisi ini menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan, terutama pendidikan menengah yang masih relatif rendah.

Page 45: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

036 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Peningkatan jumlah lulusan SMP sampai dengan sarjana di Kabupaten Kebumen tidak diikuti oleh lapangan kerja yang dapat mengakomodasi mereka. Data dari Disnakertrans Kabupaten Kebumen menunjukkan selama tahun 2011—2015 terjadi peningkatan pencari kerja dengan pendidikan SMP sampai dengan sarjana. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan pendidikan yang telah dicapai belum dapat menurunkan tingkat kemiskinan secara signifikan di Kabupaten Kebumen.

Secara umum, semakin tinggi tingkat pendidikan yang diperoleh seseorang, semakin besar kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang memberikan upah lebih besar. Semakin meningkat pendapatan, semakin meningkatkan kesejahteraan. Menurut Simmons (dalam Todaro dan Smith, 2006), apabila suatu wilayah atau negara ingin menyelamatkan diri dari wabah kemiskinan, solusinya adalah meningkatkan tingkat pendidikannya.

D. KesimpulanBerdasarkan hasil penelitian mengenai kontribusi sektor pertanian terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Kebumen tahun 2006—2015, penulis memperoleh kesimpulan sebagai berikut.

1. Share sektor pertanian terhadap PDRB memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Kebumen tahun 2009—2015.

2. Tenaga kerja sektor pertanian yang diukur dengan share tenaga kerja sektor pertanian terhadap total tenaga kerja memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Kebumen tahun 2009—2015.

3. Produktivitas lahan pertanian memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Kebumen tahun 2009—2015.

4. PDRB per kapita memiliki pengaruh negative, tetapi tidak signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Kebumen tahun 2009—2015.

5. Tingkat pendidikan masyarakat yang diukur dengan persentase penduduk usia 5 tahun ke atas yang menamatkan pendidikan setingkat SMP sampai dengan sarjana menunjukkan pengaruh yang negatif, tetapi tidak signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Kebumen tahun 2009—2015.

E. Saran Kebijakan1. Pemerintah Kabupaten Kebumen diharapkan mampu lebih mengembangkan sektor

pertanian melalui pemanfaatan hasil penelitian sektor pertanian yang menghasilkan produk-produk unggul untuk dikembangkan di wilayah Kabupaten Kebumen. Pembangunan daerah mulai fokus pada pembangunan sektor pertanian secara luas sebagai fondasi perekonomian daerah. Pemerintah Kabupaten Kebumen juga diharapkan membuat kebijakan yang tepat untuk meningkatkan kesempatan kerja, khususnya pada sektor pertanian.

Page 46: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

037 EKONOMI TERAPAN

Kebijakan ini dapat dilakukan dengan memperkenalkan sistem pertanian modern dengan teknologi baru yang memberikan kemudahan bagi masyarakat dan memfasilitasi perkembangan agroindustri padat tenaga kerja di perdesaan untuk menggali sumber-sumber pendapatan yang memadai sehingga dapat menurunkan kemiskinan. Selain itu, pemerintah Kabupaten Kebumen diharapkan mampu mengoptimalkan bantuan bagi petani, terutama subsidi pupuk dan bibit untuk merangsang hasil pertanian yang lebih baik. Pemerintah Kabupaten Kebumen juga perlu meningkatan sarana prasarana di sektor pertanian agar penduduk yang bekerja pada sektor pertanian lebih maksimal dalam mengelola lahan dengan hasil yang memuaskan. Membentuk hubungan yang sinergis antar subsistem pertanian dengan sektor lain sehingga pengembangan agroindustri dan juga pemasaran hasil pertanian dapat berjalan optimal.

2. Pemerintah Kabupaten Kebumen diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan masyarakat secara merata sehingga dapat meningkatkan kinerja ekonomi dan pendapatan per kapita masyarakat melalui peningkatkan produktivitas sektor pertanian, sektor industri, dan sektor lain. Selain itu, pengembangan kawasan perdesaan dan kawasan industri, dan sektor lain, memperluas akses permodalan dan pemasaran produk, sehingga peningkatan pertumbuhan ekonomi dapat menjadi stimulus bagi masyarakat untuk meningkatkan kegiatan perekonomian yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan.

3. Pemerintah Kabupaten Kebumen diharapkan mampu menjalankan dengan baik misi mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga dapat meningkatkan derajat pendidikan masyarakat Kabupaten Kebumen dan meningkatkan kualitas pendidikan secara umum di Kabupaten Kebumen. Meningkatnya kualitas dan manajemen pelayanan pendidikan diharapkan akan meningkatkan angka harapan lama sekolah, rata-rata lama sekolah, serta persentase akses dan kualitas pelayanan pendidikan. Hal ini juga perlu dukungan sarana dan prasarana pendidikan yang berkualitas, seperti kemudahan akses dan pelayanan pendidikan, dan gedung sekolah dalam kondisi yang baik. Dukungan lain yang dibutuhkan dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas adalah meningkatkan akses dana bantuan pendidikan bagi masyarakat dan kemudahan dalam memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas.

Page 47: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

038 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Page 48: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

04► Nama : Srinidiyanti Misrun

► Unit Organisasi : Seksi Produksi Pertanian

► Program Studi : Magister Ekonomi Terapan

► Negara Studi : Indonesia

► Universitas : Universitas Padjajaran Bandung

DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP KEMISKINAN DI SUMATRA UTARA TAHUN 2009—2015

Page 49: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

040 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi alih fungsi lahan pertanian dan dampak alih fungsi lahan pertanian terhadap kemiskinan di 25 Kabupaten Sumatra Utara.

Penelitian ini menggunakan data panel dari 25 kabupaten di Sumatra Utara pada periode 2009—2015. Penelitian menggunakan model simultan (recursive) dengan metode analisis regresi Two Stage Least Square (TSLS) dan Ordinary Least Square (OLS). Adapun untuk menjelaskan hubungan antarvariabel penelitian digunakan analisis deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan penduduk dan luas lahan pertanian tahun sebelumnya berpengaruh dalam meningkatkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian, sedangkan persentase PDRB sektor industri, persentase PDRB sektor pertanian, curah hujan, dan produktivitas lahan berpengaruh dalam menurunkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Hasil regresi data panel menunjukkan bahwa alih fungsi lahan pertanian berpengaruh meningkatkan kemiskinan, sedangkan PDRB per kapita, tingkat pengangguran terbuka, dan rata-rata lama sekolah berpengaruh dalam menurunkan tingkat kemiskinan.

Kebijakan dalam pengendalian alih fungsi lahan dalam tujuan mengurangi proses tersebut adalah melalui regulation, acquisition and management, incentive and charges, serta value added dengan keterlibatan masyarakat di dalam pengambilan kebijakan.

► Kata Kunci: Alih Fungsi Lahan, PDRB per Kapita, Tingkat Pengangguran Terbuka, Rata-Rata Lama Sekolah, Persentase PDRB Sektor Industri, Persentase PDRB Sektor Pertanian, Kepadatan Penduduk, Luas Lahan Pertanian Tahun Sebelumnya, Curah Hujan, Produktivitas Lahan Pertanian dan Kemiskinan

Page 50: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

041 EKONOMI TERAPAN

ABSTRACT

The purpose of the study is to examine and analyze the factors that affect the conversion of agricultural land in 25 districts of North Sumatra as well as analyze the impact of agricultural land conversion on poverty in 25 districts of North Sumatra.

This study uses panel data from 25 districts in North Sumatra in the period 2009—2015. The study used simultaneous model (Recursive) with regression analysis method Two Stage Least Square (TSLS) and Ordinary Least Square (OLS). As for explain the relationship among research variables used descriptive analysis.

The results showed that the population density and the area of agricultural land in the previous year had an effect on increasing the conversion of agricultural land while the percentage of GDP of the industrial sector, the percentage of agricultural sector GRDP, rainfall, and land productivity had an effect on decreasing the conversion of agricultural land. The result of panel data regression shows that conversion of agricultural land has an effect on increasing poverty, while GRDP per capita, open unemployment rate, and mean of school length have an effect on decreasing poverty level.

The policy in controlling land use change in order to reduce the process is through Regulation, Acquisition and Management, Incentive and Charges and Value Added with community involvement in policy making.

► Keywords: Land Conversion, GRDP Per Capita, Open Unemployment Rate, Average School Length, Percentage of GDP of Industrial Sector, Percentage of Agricultural Sector GRDP, Population Density, Previous Farm Area

Page 51: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

042 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP KEMISKINAN DI SUMATRA

UTARA TAHUN 2009—2015A. Latar BelakangSumatra Utara merupakan Provinsi keempat dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia setelah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Kepadatan penduduk pada tahun 1990 adalah 143 per km2, pada tahun 2000 meningkat menjadi 161 jiwa per km2, dan selanjutnya pada tahun 2010 menjadi 188 per km2. Laju pertumbuhan penduduk selama kurun waktu tahun 1990—2000 adalah 1,2 % per tahun dan pada tahun 2000—2010 menjadi 1,22 % per tahun. Pada tahun 2015, penduduk Sumatra Utara berjumlah 13.937.797 jiwa yang terdiri atas 6.954.552 jiwa penduduk laki-laki dan 6.983.245 jiwa perempuan atau dengan ratio jenis kelamin (sex ratio) sebesar 99,59 (BPS, 2015).

Provinsi Sumatra Utara masih menjadikan sektor pertanian sebagai sektor andalan pembangunan ekonomi. Sebagai sektor andalan, kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian regional paling besar dibandingkan sektor lain. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat di Sumatra Utara menuntut adanya pembangunan berbagai infrastruktur sehingga permintaan lahan pertanian yang ada menjadi cukup besar.

Perkembangan luas lahan sawah di Sumatra Utara dari tahun 2009—2015 mengalami penurunan yang cukup tinggi. Pada tahun 2010, jumlah alih fungsi lahan sebesar 12.659 ha., kemudian pada tahun 2011 mengalami penurunan alih fungsi lahan sebesar 813 ha., dan dari tahun 2009—2015 telah mengalami alih fungsi lahan sebesar 61.636 ha.

Walaupun pada rentang waktu 2010 sampai 2011 jumlah alih fungsi lahan tersebut mengalami sedikit penurunan, alih fungsi lahan di Sumatra Utara tergolong tinggi. Alih fungsi lahan yang terjadi di Provinsi Sumatra Utara juga disebabkan adanya celah pada peraturan pemerintah. Pemerintah kurang memberikan sanksi yang tegas terhadap alih fungsi lahan tersebut walaupun sudah diterbitkan peraturan mengenai alih fungsi lahan. Selain itu, kurangnya pengawasan dan kontrol dari pemerintah juga menyebabkan semakin besarnya alih fungsi lahan ke non-pertanian.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk di Provinsi Sumatra Utara kurun waktu tahun 2009—2015 bervariasi dan penyebarannya pun tidak merata. Jumlah penduduk terbanyak adalah Kota Medan sebesar 1.788.351 jiwa pada tahun 2009 dan meningkat menjadi 2.191.140 jiwa pada tahun 2014. Jumlah penduduk terbanyak kedua setelah Kota Medan adalah Kabupaten Deli Serdang dengan jumlah penduduk sebanyak 1.738.431 jiwa pada tahun 2008 dan meningkat menjadi 2.029.308 jiwa pada tahun 2015. Hal ini dimungkinkan karena daerah itu merupakan pusat perdagangan, pendidikan, dan

Page 52: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

043 EKONOMI TERAPAN

industri. Di samping itu Kabupaten, Deli Serdang juga sebagai daerah “penyangga” untuk Kota Medan yang cakupan wilayahnya cukup luas mengelilingi kota Medan.

Kabupaten yang paling sedikit penduduknya pada tahun 2015 adalah Kabupaten Phakpak Barat, Kabupaten Nias Barat, masing-masing sebesar 445.516 jiwa dan 84.917 jiwa. Sejalan dengan perubahan struktur perekonomian yang merupakan ciri perkembangan suatu negara atau daerah, kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kecenderungan tersebut menyebabkan konversi lahan pertanian sulit dihindari. Dengan kata lain, setiap tahunnya pasti terjadi alih fungsi lahan (Irawan, 2003).

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisPerubahan yang terjadi akibat alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian berhubungan dengan potensi tenaga kerja pertanian yang dianggap belum mampu memberikan perubahan yang berarti. Hal tersebut terkait dengan tingkat kesejahteraan para petani bahwa perbaikan kesejahteraan buruh tani menjadi sangat penting dalam kondisi adanya indikasi penurunan jumlah permintaan tenaga kerja dan adanya penurunan pendapatan (tingkat upah) real buruh tani di perdesaan. Salah satu faktornya adalah kecenderungan untuk beralih profesi dari petani menjadi buruh industri dan sektor lain yang lebih menjanjikan.

Meningkatnya kemiskinan dan semakin terbatasnya lapangan kerja, antara lain disebabkan alih fungsi lahan, terutama lahan pertanian untuk non-pertanian. Atas dasar tersebut, perubahan alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian mempunyai pengaruh terhadap kemiskinan yang terjadi. Hal yang sering muncul adalah penurunan luas lahan pertanian dan berkurangnya jumlah tenaga kerja pertanian. Dengan demikian, terjadinya alih fungsi lahan pertanian memengaruhi kemiskinan yang terjadi di tingkat perdesaan.

Dari uraian tersebut terdapat 2 (dua) masalah yang dapat diidentifikasikan dalam penelitian, yakni faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian di 25 Kabupaten di Provinsi Sumatra Utara dan dampak dari alih fungsi lahan pertanian terhadap Kemiskinan pada 25 Kabupaten Sumatra Utara selama kurun waktu tahun 2009—2015.

Objek penelitian ini adalah alih fungsi lahan pertanian (Model 1) sebagai variabel dependen, sedangkan sektor pertanian, sektor industri pengolahan, kepadatan penduduk, curah hujan, luas lahan tahun sebelumnya, dan produktivitas sebagai variabel independen . Adapun kemiskinan (Model 2) sebagai variabel dependen, sedangkan alih fungsi lahan pertanian , PDRB per kapita, tingkat pengangguran terbuka, rata-rata Lama sekolah, dummy tahun 2010, 2011, 2012, 2013, 2014, dan dummy 2015 sebagai variabel independen. Unit analisisnya adalah 25 kabupaten di Sumatra Utara dalam periode 2009—2015.

Penelitian ini menggunakan data sekunder dan berbentuk data panel. Jumlah observasi penelitian adalah (7 x 25 = 175). Data tersebut terdiri atas data deret waktu (time series) dengan periode tahun 2009 sampai dengan tahun 2015 dan data cross section

Page 53: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

044 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

dari 25 kabupaten di Sumatra Utara. Data panel digunakan karena memberikan lebih banyak infomasi, lebih bervariabilitas, lebih sedikit terjadinya collinearity antara variabel lebih banyak degree of freedom, dan lebih efisien. Data panel lebih cocok digunakan untuk penelitian yang bersifat mempunyai sifat perubahan-perubahan dinamis seperti pengangguran. Data panel juga lebih baik dalam mendeteksi maupun mengukur efek-efek yang tidak dapat dilihat dengan data cross section dan time series semata, seperti efek upah minimum terhadap pekerja dan pendapatannya (Gujarati, 2003).

Data-data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui metode riset kepustakaan yang meliputi literatur, jurnal, tulisan ilmiah, artikel, dan dokumentasi berupa data yang bersumber dari Badan Perencanaan Daerah (Bappeda), Dinas Pertanian, Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Pertanahan Nasional (BPN), serta laporan -laporan lain yang menunjang penelitian ini.

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu analisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis informasi kuantitatif berupa data yang dapat diukur, diuji, dan diinformasikan dalam bentuk persamaan, tabel, dan sebagainya (Marzuki, 2005).

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Pengaruh PDRB Sektor Industri terhadap Alih Fungsi Lahan Pertanian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa PDRB sektor industri berkorelasi negatif, tetapi tidak signifikan terhadap alih fungsi lahan pertanian di 25 Kabupaten Provinsi Sumatra Utara. Nilai koefisien SI, yaitu sebesar -0,0147, artinya bahwa setiap penambahan persentase PDRB Sektor Industri sebesar 1% akan menurunkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian sebesar 0.014 persen ceteris paribus. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan share PDRB sektor industri akan berdampak pada penurun alih fungsi lahan pertanian. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nyak Ilham, Yusman Syaukat, Supenan Friyatno (2004) yang menyatakan bahwa alih fungsi lahan sawah berkorelasi positif dengan pertumbuhan PDB dan alih fungsi lahan sawah berkorelasi negatif dengan nilai tukar petani. Alih fungsi lahan pertanian yang terjadi mendorong pemerintah melakukan percetakan lokasi sawah baru dalam upaya mengimbangi proses alih fungsi lahan, terutama di luar Pulau Jawa.

Page 54: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

045 EKONOMI TERAPAN

2. Pengaruh PDRB Sektor Pertanian terhadap Alih Fungsi Lahan Pertanian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa PDRB sektor pertanian berpengaruh negatif, tetapi tidak signifikan terhadap alih fungsi lahan pertanian di 25 Kabupaten Provinsi Sumatra Utara. Artinya kenaikan sebesar 1 persen dari PDRB Sektor pertanian terhadap PDRB total akan menurunkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian sebesar 0.0004 persen ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Eko S. Christian (2009) yang melakukan penelitian mengenai konversi lahan pertanian dan dampaknya pada kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2000—2005. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa PDRB Sektor pertanian berpengaruh negatif terhadap alih fungsi lahan pertanian yang terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan. Penelitian yang dilakukan Eko Suharanto (2007) di Provinsi Kalimantan Selatan timbul dari fenomena semakin tinggi dan bertambahnya tekanan kebutuhan dan permintaan terhadap lahan akibat pertambahan penduduk dan kegiatan pembangunan. Oleh sebab itu, dibuat suatu strategi kebijakan pemerintah daerah dalam pengendalian alih fungsi lahan pertanian. Hal yang sama juga dilakukan oleh Provinsi Sumatra Utara yang tertuang dalam Peraturan Daerah No. 09 tahun 2005 tentang RTRW Provinsi Sumatra Utara yang mengatur prioritas kawasan pertanian dan beberapa kebijakan melalui Dinas Pertanian mengacu pada RPJMD Provinsi Sumatra Utara Tahun 2009—2013. Kebijakan-kebijakan tersebut dilakukan dalam upaya mempertahankan kawasan pertanian dan peningkatan sumber daya manusia (petani) yang bertujuan meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan para petani.

3. Pengaruh Kepadatan Penduduk terhadap Alih Fungsi Lahan Pertanian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan penduduk berpengaruh positif, tetapi tidak signifikan terhadap alih fungsi lahan pertanian di 25 Kabupaten Provinsi Sumatra Utara. Nilai koefisien LnKP, yaitu sebesar 0.973, artinya bahwa setiap penambahan kepadatan penduduk sebesar 1% akan menaikkan alih fungsi lahan sebesar 0,973 persen. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zaenil M; Purbayu B. (2010) yang menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Demak. Hasil penelitiannyamenyebutkan bahwa penambahan jumlah penduduk berpengaruh signifikan dan positif terhadap besarnya alih fungsi lahan di Kabupaten tersebut. Besarnya nilai koefisien parameter jumlah penduduk sebesar 0,000086, ini berarti bahwa setiap ada peningkatan 100 orang penduduk terjadi kenaikan relatif jumlah alih fungsi lahan sebesar 0,085 persen dengan asumsi variabel lainnya tetap.

Dalam bukunya, Deliarnov (2005) menyebutkan, Malthus dalam bukunya yang berjudul Principles of Population menyebutkan bahwa perkembangan manusia lebih cepat dibandingkan produksi hasil-hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Page 55: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

046 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Malthus merupakan salah satu orang yang pesimis terhadap masa depan manusia. Hal itu didasari pada kenyataan bahwa lahan pertanian sebagai salah satu faktor produksi utama jumlahnya tetap. Kendati pemakaiannya untuk produksi pertanian bisa ditingkatkan, peningkatannya tidak akan seberapa, tetapi pada pihak lain justru lahan pertanian semakin berkurang keberadaannya karena digunakan untuk membangun perumahan, pabrik-pabrik, dan infrastruktur lainnya. Salah satu saran Malthus agar manusia terhindar dari malapetaka karena kekurangan bahan makanan adalah kontrol atau pengawasan atas pertumbuhan penduduk. Pengawasan tersebut bisa dilakukan oleh pemerintah yang berwenang dengan berbagai kebijakan, misalnya dengan program keluarga berencana. Pengawasan tersebut diharapkan dapat menekan laju pertumbuhan penduduk, sehingga bahaya kerawanan pangan dapat diatasi.

Menurut Pearce and Turner (1990), konsumsi terhadap lahan merupakan manifestasi dari kekuatan kekuatan demografis dan ekonomi. Selain kedua kekuatan ini memberikan dorongan terhadap konversi lahan, sejumlah faktor lain juga memberikan pengaruhnya. Dari banyak faktor yang mungkin, terdapat tujuh variabel yang secara konseptual berpengaruh, yaitu perubahan penduduk, fungsi ekonomi yang dominan, ukuran kota, rata-rata nilai lahan residensial, kepadatan penduduk, wilayah geografis, dan kemampuan lahan untuk pertanian.

4. Pengaruh Luas Lahan Pertanian Tahun Sebelumnya terhadap Alih Fungsi Lahan Pertanian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas lahan pertanian tahun sebelumnya berpengaruh positif dan signifikan terhadap alih fungsi lahan pertanian di 25 Kabupaten Provinsi Sumatra Utara. Nilai koefisien LnLLTS, yaitu sebesar 4,215, artinya bahwa setiap penambahan luas lahan pertanian 1 persen meningkatkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian sebesar 4,215 persen. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ahya Kamilah (2013) tentang Analisis ekonomi alih fungsi lahan pertanian di Kota Bekasi (Kasus Kec. Bekasi Utara dan Bantar Gebang) bahwa ada lima faktor yang berpengaruh nyata terhadap alih fungsi lahan, yaitu umur petani, luas lahan yang dimiliki sebelum alih fungsi, pendapatan bersih sebelum alih fungsi, produktivitas lahan, dan pengalaman bertani. Ruswandi (2005) menyatakan bahwa perubahan penggunaan lahan merupakan gambaran perubahan tata ruang suatu wilayah. Oleh karena itu, penataan penggunaan lahan merupakan bagian dari penataan ruang yang sekaligus sebagai bagian dari perencanaan pembangunan wilayah. Perubahan penggunaan lahan berpengaruh terhadap perubahan kondisi sosial ekonomi. Demikian pula, sebaliknya, perubahan struktur ekonomi penduduk berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan. Dinamika supply barang dan jasa merupakan derived demand terhadap dinamika perubahan lahan, dengan kata lain terjadinya perubahan pada supply barang dan jasa menyebabkan perubahan pada penggunaan lahan dan produktivitas lahan secara proporsional.

Page 56: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

047 EKONOMI TERAPAN

5. Pengaruh Jumlah Curah Hujan terhadap Alih Fungsi Lahan Pertanian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah curah hujan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap alih fungsi lahan pertanian di 25 Kabupaten Provinsi Sumatra Utara. Nilai koefisien LnCH, yaitu sebesar -0,344 artinya bahwa setiap penambahan jumlah curah hujan sebesar 1% akan menurunkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian sebesar 0,344 persen. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Erstayudha Hayyu Nurrizqi dan Suyono (2007) mengenai Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan terhadap perubahan Debit Puncak Banjir di SUB DAS Brantas yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan atau korelasi yang signifikan antara curah hujan dan debit puncak banjir. Hal ini dikarenakan penggunaan lahan hutan dan sawah di Sub DAS Brantas Hulu mengalami penurunan luas sebesar 6 persen. Perubahan penggunaan lahan pada tahun 2003—2007 mempunyai dampak, yaitu berubahnya respons DAS terhadap hujan. Hal ini ditunjukkan pada perubahan debit puncak banjir tahun 2003 dengan rata-rata debit puncak banjir sebesar 96,79 m3/dtk menjadi 189,19 m3 /dtk pada tahun 2007.

6. Pengaruh Produktivitas Lahan terhadap Alih Fungsi Lahan Pertanian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas lahan berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap alih fungsi lahan pertanian di 25 Kabupaten Provinsi Sumatra Utara. LnProd mempunyai nilai koefisien -0.301, yang berarti bahwa setiap kenaikan produktivitas lahan sebesar 1 persen akan menurunkan terjadinya alih fungsi lahan sebesar 0.301 persen. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal yang mengatakan bahwa produktivitas lahan berpengaruh negatif terhadap alih fungsi lahan pertanian. Penelitian yang dilakukan oleh Sumaryanto, Supena Friyatno, dan Bambang Irawan ( 2010) mengenai konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian dan dampak negatifnya menunjukkan bahwa produktivitas persawahan di sekitar lahan sawah yang terkonversi cenderung menurun. Penyebabnya adalah: (a) rusaknya jaringan irigasi, (b) pencemaran, (c) rusaknya keseimbangan ekologi sawah. Berbeda dengan penurunan produksi yang disebabkan oleh serangan hama, penyakit, kekeringan, atau banjir, berkurangnya produksi padi akibat konversi lahan sawah bersifat permanen. Sekali lahan sawah berubah fungsi, lahan tersebut tak lagi dapat menjadi sawah kembali. Hampir tidak pernah dijumpai bahwa lahan sawah yang telah beralih fungsi menjadi non sawah (apalagi untuk peruntukan non-pertanian) kemudian berubah kembali menjadi sawah. Fenomena ini mempunyai implikasi yang serius terhadap perhitungan mengenai dampak negatif konversi lahan sawah terhadap produksi pangan.

Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ahya Kamilah (2013) bahwa terdapat lima faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap alih fungsi lahan yaitu, umur petani, luas lahan yang dimiliki sebelum alih fungsi, pendapatan bersih sebelum alih fungsi, produktivitas lahan, dan pengalaman bertani.

Page 57: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

048 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Model klasik dari alokasi lahan adalah model Ricardo. Menurut model ini, alokasi lahan akan mengarah pada penggunaan yang menghasilkan surplus ekonomi (land rent) yang lebih tinggi, dan bergantung pada derajat kualitas lahan yang ditentukan oleh kesuburannya. Ricardo dalam Suparmoko (2008) mengemukakan bahwa land rent didefinisikan sebagai surplus ekonomi atas lahan, artinya keuntungan yang didapat atas dasar produksi dari lahan tersebut dikurangi biaya. Adanya perbedaan surplus ekonomi lahan dikarenakan perbedaan tingkat kesuburan. Menurut teori ini, perbedaan kesuburan lahan dapat menyebabkan perbedaan harga pada tingkat output dan input yang sama dan akan diperoleh surplus yang berbeda.

7. Pengaruh Alih fungsi Lahan Pertanian terhadap Kemiskinan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa alih fungsi lahan pertanian berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemiskinan di 25 Kabupaten Provinsi Sumatra Utara. Nilai koefisien dari LnAF, yaitu sebesar 0,0015 berarti bahwa setiap penambahan alih fungsi lahan sebesar 1% akan menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 0.0494%. Artinya, kenaikan sebesar 1 ha. alih fungsi lahan pertanian akan menaikkan kemiskinan sebesar 0,0015 persen ceteris paribus.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Agus Ruswandi, dkk. (2004) bahwa secara umum, alih fungsi lahan pertanian dalam jangka panjang akan menurunkan kesejahteraan petani yang diidentifikasikasi dari penurunan luas lahan milik dan luas lahan garapan, penurunan pendapatan pertanian, serta tidak signifikannya pendapatan non-pertanian (Ruswandi, et. al, 2007). Kekhawatiran akibat alih fungsi lahan pertanian juga disampaikan oleh Oslon dan Oslon (1999), Koontz (2001), Rosenberg. et. al. (2002) dalam Nzaku dan Bukenya (2005).

Bertambahnya penduduk serta pergerakan roda perekonomian yang menggunakan lahan menuntut adanya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian karena hasil-hasil produk pertanian kurang menjanjikan, sedangkan masyarakat yang hidup di perdesaan bergantung pada hasil garapan lahannya. Provinsi Sumatra Utara telah melakukan beragai upaya dalam usaha pengendalian alih fungsi lahan pertanian. Hal tersebut ditunjukkan agar petani tidak menjual lahannya demi kepentingan sesaat karena dampak yang akan mereka terima dalam jangka panjang akan memengaruhi kehidupan mereka.

8. Pengaruh PDRB per Kapita terhadap KemiskinanHasil penelitian menunjukkan bahwa PDRB per kapita berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kemiskinan di 25 Kabupaten Provinsi Sumatra Utara. Nilai koefisien dari LnPDRB yaitu sebesar -0.6877 yang berarti bahwa setiap penambahan PDRB per kapita sebesar 1% maka akan menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 0.6877 %. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yaitu penelitian I Putu Arya F dan Made Heny Urmila Dewi (2014)

Page 58: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

049 EKONOMI TERAPAN

yang mengungkapkan bahwa dari hasil penelitiannya ada pengaruh negatif dan signifikan pertumbuhan ekonomi terhadap jumlah penduduk miskin di Provinsi Bali. Semakin besar pertumbuhan yang tercipta semakin mampu menekan jumlah penduduk miskin yang ada secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mengurangi jumlah penduduk miskin, pemerintah harus meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan landasan ekonomi daerah yang memperluas kesempatan kerja dan mempercepat peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Hal ini didukung oleh Wongdesmiwati (dalam jurnal Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Tingkat Kemiskinan, 2010:46) mengatakan ada hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan. Hal yang sama juga ditunjukkan dalam penelitian Okta Ryan Pranat, (Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Upah Minimum, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Inflasi terhadap Kemiskinan di Indonesia Tahun 2009—2011), yang mengatakan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh negatif dan signifikan pada kemiskinan. Ini artinya bila pertumbuhan ekonomi menigkat, kemiskinan akan menurun.

Pertumbuhan ekonomi tidak hanya dapat dilihat dari peningkatan pembangunan suatu daerah, tetapi juga dapat melalui proses pembangunan manusia. Untuk itu, diperlukan pembangunan ekonomi yang terfokus pada pembangunan manusia secara kerakyatan dan berkesinambungan. Indunil and Sudarno (2014) menemukan bahwa tahun 2002—2012 pertumbuhan ekonomi menguntungkan bagi kenaikan daya beli (belanja) rumah tangga, tetapi keuntungan yang diperoleh penduduk miskin lebih rendah dibanding dengan kaum elite (kalangan mampu). Pembangunan ekonomi yang berbasis kerakyatan dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sekaligus berkualitas. Ini artinya peningkatan pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan mampu menyerap tenaga kerja sehingga pertumbuhan ekonomi lebih merata dan dapat dirasakan oleh penduduk, dan pada akhirnya berpengaruh secara langsung pada peningkatan kualitas hidup penduduk secara keseluruhan.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Garbis Irabian (2005) yang menyatakan bahwa semakin tinggi pertumbuhan per kapita, semakin menurun tingkat kemiskinan. Pada penelitian tersebut, belanja pemerintah, khususnya dalam sektor sosial dan infrastruktur sangat berperan dalam usaha penurunan kemiskinan. Upaya yang dilakukan oleh Provinsi Sumatra Utara dalam memperbaiki kualitas hidup ditunjukkan dengan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Kenaikan PDRB Per kapita di Sumatra Utara, jika dilihat dari sisi atas dasar harga constant 2000 menunjukkan keenderungan pola yang naik meskipun besaran kenaikannya tidak sebesar PDRB per kapita atas dasar harga berlaku.

9. Pengaruh Tingkat Pengangguran Terbuka terhadap Kemiskinan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap kemiskinan di 25 Kabupaten Provinsi Sumatra Utara. Nilai koefisien dari TPT, yaitu sebesar -0.023 yang berarti bahwa setiap penambahan tingkat pengangguran sebesar 1 persen maka akan menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 0.023

Page 59: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

050 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

persen. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Evi H; Ida Ayu; Charley,M (2015) mengenai analisis pengaruh pertumbuhan ekonomi dan pengangguran terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Jayapuradan. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa tingkat pengangguran memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Jayapura. Semakin tinggi tingkat pengangguran, semakin tingkat kemiskinan.

Hasil ini sesuai dengan pendapat Sadono Sukirno (2004) yang menyatakan bahwa dampak buruk dari pengangguran adalah mengurangi pendapatan masyarakat dan ini mengurangi tingkat kemakmuran yang mereka capai. Ditinjau dari sudut individu, pengangguran menimbulkan berbagai masalah ekonomi dan sosial kepada yang mengalaminya. Keadaan pendapatan menyebabkan para penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya. Apabila pengangguran di suatu negara sangat buruk, kekacauan politik dan sosial selalu berlaku dan menimbulkan efek yang buruk bagi kesejahteraan masyarakat dan prospek pembangunan ekonomi dalam jangka panjang. Semakin turunnya kesejahteraan masyarakat karena menganggur, semakin membuat peluang mereka terjebak dalam kemiskinan karena tidak memiliki pendapatan.

10. Pengaruh Rata-Rata Lama Sekolah terhadap Kemiskinan

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata lama sekolah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kemiskinan di 25 Kabupaten Provinsi Sumatra Utara. Nilai koefisien dari RLS, yaitu sebesar -1,691 yang berarti bahwa setiap penambahan rata-rata lama sekolah sebesar 1 akan menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 1,691 persen. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya, yaitu penelitian I Putu Arya F dan Made Heny Urmila Dewi (2014) yang mengungkapkan bahwa hasil penelitiannya menunjukan adanya pengaruh negatif dan signifikan rata- rata lama sekolah pada jumlah penduduk miskin di Provinsi Bali. Semakin besar rata-rata lama sekolah , semakin memberikan dampak pada pengurangan jumlah penduduk miskin dan sebaliknya semakin kecil angka rata-rata lama sekolah akan meningkatkan jumlah penduduk miskin yang ada.

Hasil ini sesuai dengan teori yang dinyatakan Todaro (2000) bahwa jangka waktu untuk menempuh pendidikan menjadi faktor krusial yang memengaruhi jumlah penerimaan. Salah satu alat ukur latar belakang pendidikan dalam suatu kawasan (daerah) adalah rata-rata dari lamanya waktu tempuh pendidikan, yang salah satunya dapat ditunjukan dalam bentuk modal manusia (human capital).

D. KesimpulanBerdasarkan hasil penelitian mengenai dampak alih fungsi lahan pertanian terhadap kemiskinan di Sumatra Utara tahun 2009—2015, penulis dapat memberi kesimpulan berikut.

Page 60: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

051 EKONOMI TERAPAN

1. Sektor Industri yang diukur dengan persentase PDRB, sektor industri terhadap PDRB total, sektor pertanian yang diukur dengan persentase PDRB sektor pertanian terhadap PDRB, dan produktivitas lahan berpengaruh dalam menurunkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian negatif, tetapi tidak signifikan terhadap penurunan terjadinya alih fungsi lahan pertanian yang terjadi pada 25 kabupaten Sumatra Utara. Adapun curah hujan dan luas lahan pertanian tahun sebelumnya berpengaruh secara signifikan dalam menurunkan terjadinya alih fungsi lahan.

2. PDRB per kapita dan rata-rata lama sekolah berpengaruh dalam menurunkan tingkat kemiskinan dan signifikan terhadap penurunan tingkat kemiskinan. Adapun alih fungsi lahan berpengaruh meningkatkan kemiskinan, tetapi tidak signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Sumatra Utara tahun 2009—2015.

E. Saran Kebijakan1. Pemerintah Provinsi Sumatra Utara diharapkan mampu mencegah alih fungsi lahan

pertanian produktif yang dapat mengancam investasi dan kelembagaan pertanian yang telah lama dibangun yang dapat berdampak buruk terhadap ketersediaan dan ketahanan pangan nasional.

2. Pemerintah Provinsi Sumatra Utara diharapkan mampu untuk lebih mengembangkan sektor pertanian melalui peningkatan investasi pemerintah dalam pengembangan infrastruktur utama, seperti irigasi, penelitian dan pengembangan, serta penyuluhan.

3. Pemerintah Provinsi Sumatra Utara diharapkan mampu untuk mendorong dan memfasilitasi keterlibatan swasta dalam pembangunan pertanian dan memfasilitasi perkembangan agroindustri padat tenaga kerja di perdesaan.

4. Pemerintah Provinsi Sumatra Utara diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan masyarakat secara merata sehingga dapat meningkatkan kinerja ekonomi dan pendapatan masyarakat melalui peningkatkan produktivitas sektor pertanian, sektor industri, dan sektor lain. Selain itu, dengan mengembangkan kawasan perdesaan dan kawasan industri, serta sektor lain, akses permodalan dan pemasaran produksi menjadi semakin luas. Dengan demikian, peningkatan pertumbuhan ekonomi dapat menjadi stimulus bagi masyarakat untuk meningkatkan kegiatan perekonomian sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan.

5. Pemerintah Provinsi Sumatra Utara diharapkan mampu menjalankan dengan baik misi mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga dapat meningkatkan derajat pendidikan masyarakat Provinsi Sumatra Utara dan meningkatkan kualitas pendidikan secara umum di Provinsi Sumatra Utara. Hal ini juga memerlukan dukungan sarana dan prasarana pendidikan yang berkualitas.

6. Bersama pemerintah, masyarakat juga hendaknya menyadari pentingnya lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk.

Page 61: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

052 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Page 62: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

05► Nama : Arjuno Putra

► Unit Organisasi : Kecamatan Walenrang Utara Pemerintah Kabupaten Luwu

► Program Studi : Magister Ekonomi Terapan

► Negara Studi : Indonesia

► Universitas : Universitas Padjajaran Bandung

EKONOMI POLITIK DALAM PERAMALAN ANGGARAN PEMERINTAH PROVINSI DI INDONESIA

Page 63: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

054 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Pascakrisis yang melanda perekonomian tahun 1998, pemerintah Indonesia berupaya melakukan reformasi dalam pengelolaan keuangan negara. Hal ini akan mendapat tantangan dalam pelaksanaan demokrasi langsung, yaitu kepala daerah dipilih oleh rakyatnya. Pengelolaan keuangan yang baik membutuhkan informasi mengenai jumlah dan sumber penerimaan yang akurat. Data Kementerian Keuangan RI menunjukkan bahwa masih terdapat kesalahan dalam peramalan target anggaran penerimaan pemerintah provinsi di Indonesia sebesar rata-rata 5,3%. Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh politik terhadap bias yang terjadi dalam penerimaan pemerintah provinsi di Indonesia. Meningkatnya bias dalam anggaran pemerintah menunjukkan pengelolaan keuangan yang belum optimal. Metode yang digunakan untuk mengestimasi model dalam penelitian ini adalah feasible generalized least square.

Hipotesis dalam penelitian ini diuji terhadap 33 pemerintah provinsi di Indonesia sepanjang periode 2010—2017. Hasilnya menunjukkan bahwa kesalahan dalam peramalan anggaran penerimaan pemerintah dipengaruhi oleh variabel siklus pemilihan kepala daerah, tingkat desentralisasi, GDP per kapita, dan tingkat pengangguran. Hasil tersebut mendukung berbagai penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa politisi cenderung menciptakan kesalahan dalam target penerimaan untuk meningkatkan peluang terpilih kembali pada pemilihan umum.

► Kata Kunci: Ekonomi Politik, Peramalan Anggaran, Desentralisasi Fiskal, FGLS, Indonesia

Page 64: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

055 EKONOMI TERAPAN

ABSTRACT

After the crisis that hit the economy in 1998, Indonesian government sought to carry out reforms in the management of state finances. This will be challenged in the implementation of direct democracy where the regional head is elected by his people. Good financial management requires information about the number and source of revenue. Data from the Ministry of Finance shows that there is still error in forecasting government revenue at an average of 5.3%. This study aims to see the political influence on the bias that occurs in the revenue forecasting in Indonesia Province. Increasing bias in the government budget shows that financial management is not optimal.

The hypothesis in this study was tested on 33 provincial governments in Indonesia throughout the period 2010—2017. This study used feasible generalized least square to estimate parameter in model. Results show that errors in forecasting government revenue are influenced by the electoral cycle, the level of decentralization, per capita GDP, and the unemployment rate. These finding support a variety of previous studies which say that politicians tend to create budget forecast error to increase the chances of being re-elected in elections.

► Keywords: Political Economy, Budget Forecast, Fiscal Decentralization, FGLS, Indonesia

Page 65: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

056 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

EKONOMI POLITIK DALAM PERAMALAN ANGGARAN PEMERINTAH PROVINSI DI

INDONESIAA. Latar BelakangPengelolaan keuangan negara sangat dipengaruhi oleh pengelolaan keuangan pemerintah pada tingkat daerah. Sejak tahun 2001, pemerintahan Republik Indonesia mulai menerapkan sistem pemerintahan yang bersifat desentralisasi dengan asas otonomi daerah. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah pusat memberikan kewenangan yang sangat besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah1. Namun, masih tingginya ketimpangan fiskal antara daerah dan daerah maupun antara pusat dan daerah memaksa pemerintah pusat untuk melakukan campur tangan melalui mekanisme transfer (dana perimbangan) bagi pemerintah daerah.

Pengelolaan keuangan yang baik membutuhkan informasi mengenai sumber dan jumlah penerimaan/pengeluaran yang akurat. Pada dasarnya, kemampuan pemerintah untuk memperkirakan penerimaan dan pengeluarannya memengaruhi keseimbangan anggaran yang dikelola. Semakin baik perkiraan anggaran pemerintah, semakin baik pula kebijakan yang ditempuh pemerintah untuk menjaga keseimbangan anggaran.

Adapun perkiraan anggaran yang tidak akurat dalam rencana keuangan pemerintah dapat menyebabkan kebijakan yang ditempuh untuk menjaga keseimbangan anggaran menjadi tidak efektif. Ketika anggaran penerimaan diestimasi lebih rendah dan/atau pengeluaran diestimasi terlalu tinggi, ada sejumlah besar dana sisa yang belum dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, ketika penerimaan pemerintah diestimasi terlalu tinggi dan/atau pengeluaran terlalu rendah, ada kekurangan dana yang belum dipenuhi pemerintah untuk mencapai target pembangunan nasional.

Berdasarkan data dari kementerian keuangan RI, besarnya transfer pemerintah pusat ke daerah pada kenyataannya belum diikuti pengelolaan anggaran yang baik oleh pemerintah daerah. Hal ini terlihat dari simpanan diperbankan dan SiLPA yang setiap tahunnya masih relatif tinggi. Gejala ini menjadi penting mengingat setiap tahunnya anggaran pemerintah pusat terus-menerus mengalami defisit, dan defisit anggaran yang terjadi terus-menerus pada pemerintah pusat berpotensi meningkatkan utang pemerintah pusat.

Menurut kajian Kementerian Keuangan RI (2016), munculnya SILPA tidak terlepas dari berbagai faktor yang terjadi mulai dari proses penganggaran hingga pelaksanaan anggaran. Pada proses penganggaran, SILPA terjadi karena estimasi penerimaan yang terlalu rendah dan target belanja yang terlalu tinggi.

Meningkatnya ekspektasi politisi untuk membelanjakan lebih banyak menjelang pemilihan umum membuat estimasi penerimaan menjadi sangat sensitif secara politik. Estimasi penerimaan memberikan informasi ketersediaan dana untuk membiayai

Page 66: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

057 EKONOMI TERAPAN

pengeluaran atau informasi apakah pemerintah akan menempuh kebijakan defisit dalam anggaran. Politisi mungkin akan berusaha memengaruhi estimasi penerimaan untuk meningkatkan kepastian bahwa tersedia cukup dana untuk membiayai belanja diharapkan.

Proyeksi anggaran adalah proses yang sangat kompleks dan membutuhkan berbagai informasi serta metode yang tepat untuk memberikan hasil yang akurat. Selain itu, politik dalam anggaran yang meliputi kemampuan stakeholders eksternal juga mampu memberikan tekanan kepada pemerintah dapat mengubah estimasi anggaran pemerintah (Sun, 2005), kecuali pemerintah dapat mengoptimalkan faktor yang memengaruhi penyusunan anggaran pada tingkat daerah. Hal ini karena akan selalu terdapat kesalahan dalam estimasi anggaran yang menuntun kebijakan pemerintah untuk menjaga keseimbangan anggaran menjadi tidak efisien.

Berbagai penelitian dalam bidang proyeksi anggaran lebih banyak melibatkan teknik serta metode untuk melakukan proyeksi dibandingkan penelitian yang dilakukan mengenai proyeksi anggaran dari sudut pandang organisasi dan ekonomi (Sun, 2005). Rencana keuangan pemerintah tidak hanya meliputi area teknis dan statistik, tetapi juga merupakan domain dari psikologi, sosiologi, politik, managemen, ekonomi, dan berbagai disiplin ilmu lain (Makridakis & Wheelwright, 1987). Oleh karena itu, penelitian terhadap penyusunan anggaran pemerintah harus dilakukan di luar area yang hanya sifatnya teknis.

Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor yang memengaruhi terjadinya bias antara target dan realisasi anggaran penerimaan pemerintah. Fokus penelitian adalah melihat pengaruh faktor pada pemerintah tingkat provinsi di Indonesia. Dengan mengetahui faktor yang memengaruhi proses penyusunan anggaran pemerintah daerah, penulis dapat memberikan usulan kebijakan yang bisa ditempuh untuk meningkatkan pengelolaan keuangan pemerintah pada tingkat daerah secara khusus dan tingkat pusat secara umum, serta dapat memberikan kesejahteraan setinggi-tingginya kepada masyarakat.

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisBerdasarkan latar belakang penelitian, penulis dapat menyimpulkan bahwa pengelolaan keuangan pemerintah tingkat daerah memegang peranan penting dalam pengelolaan keuangan negara. Sekalipun demikian, data menunjukkan bahwa pengelolaan keuangan pemerintah tingkat daerah belum optimal karena ada sejumlah dana yang belum digunakan sepenuhnya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Peningkatan kualitas pengelolaan keuangan pada tingkat daerah membutuhkan proyeksi anggaran penerimaan maupun pengeluaran yang akurat. Penelitian ini mencoba menganalisis faktor yang memengaruhi kecenderungan pemerintah daerah provinsi dalam menciptakan bias pada anggaran penerimaannya.

Untuk memberikan batasan dalam penelitian ini, ada dua pertanyaan penelitian yang akan dijawab, yaitu

1. Bagaimana pengaruh faktor politik terhadap bias yang terjadi dalam anggaran penerimaan pemerintah daerah?

Page 67: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

058 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

2. Apa rekomendasi kebijakan yang dapat diajukan kepada pemerintah untuk meningkatkan kualitas estimasi anggarannya?

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kuantitatif. Pendekatan deskriptif dimaksud dalam penelitian ini adalah memberi gambaran tentang objek penelitian berdasarkan data yang bersumber pada data sekunder dan studi literatur yang berhubungan dengan permasalahan. Teknik analisis kuantitatif yang digunakan untuk mengetahui hubungan variabel independen dan variabel dependen menggunakan alat bantu ekonometrika panel data regression model.

Penelitian ini fokus terhadap analisis perilaku bias dalam proyeksi anggaran pemerintah tingkat provinsi. Faktor politik, desentralisai fiskal, dan kondisi ekonomi daerah digunakan untuk menjelaskan perilaku tersebut. Variabel pemilihan kepala daerah dan dominasi kelompok tertentu dalam pemerintahan menggambarkan faktor politik, sedangkan tingkat ketergantungan daerah terhadap pusat, pendapatan per kapita, dan tingkat penganguran menggambarkan faktor desentralisasi fiskal dan kondisi ekonomi daerah. Untuk melihat pola perilaku dalam menciptakan bias pada anggaran, penelitian ini menggunakan variabel tingkat akurasi.

Penelitian ini menggunakan data sekunder tahunan dan berbentuk data panel, data tersebut terdiri atas deret waktu (time series) dengan periode tahun 2010 sampai dengan tahun 2017 dan data cross section dari 33 provinsi se-Indonesia. Data tersebut dikumpulkan dari beberapa sumber, seperti KPU, Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Keuangan RI, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, dan 33 Pemerintah Provinsi se-Indonesia.

Jumlah observasi dalam penelitian ini adalah (8 x 33 = 264). Data tersebut terdiri atas data deret waktu (time series) dengan periode tahun 2010 sampai dengan tahun 2017 dan data cross section dari 33 provinsi se-Indonesia.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Pengaruh Siklus Pemilihan Kepala Daerah Terhadap Bias yang Terjadi pada Target Penerimaan Pemerintah Daerah

Pandangan bahwa siklus pemilihan memengaruhi prilaku pemerintah dalam penyusunan anggaran berangkat dari teori electoral cycle dan political budget cycle. Teori ini mengatakan bahwa politisi yang berkuasa di pemerintahan akan memberikan signal kepada pemilih tentang kompetensi mereka untuk meningkatkan peluang terpilih kembali dalam pemilihan. Penelitian ini mengasumsikan bahwa politisi akan memberikan signal kepada pemilih melalui 2 jalur, yaitu efisiensi penyediaan barang publik (belanja yang tinggi dan pajak yang tetap/berkurang) (Rogoff, 1990), dan kondisi perekonomian yang baik (Larkey & Smith, 1989).

Page 68: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

059 EKONOMI TERAPAN

Pertama, politisi akan berusaha memberikan signal dengan meningkatkan belanja pemerintah dan mempertahankan/mengurangi pajak menjelang pemilihan. Hal ini akan meningkatkan kekhawatiran terhadap realisasi penerimaan pemerintah. Sebagaimana individu rasional yang berusaha menghindari situasi yang tidak pasti, politisi juga akan menghindari situasi saat target penerimaan tidak tercapai dan belanja pemerintah harus dikurangi.

Pembiayaan muncul sebagai bentuk jaminan kepada petahana (incumbent) bahwa tersedia cukup dana untuk membiayai pengeluaran menjelang pemilihan. Politisi yang berkuasa akan melihat target penerimaan lebih pesimis (underforecasting) dan berusaha meningkatkan kemampuan pendanaan melalui pembiayaan menjelang pemilihan. Kecenderungan tersebut muncul karena incumbent berusaha menghindari situasi yang tidak pasti pada realisasi penerimaan, yang meningkat menjelang pemilihan umum (Kahenman & Tversky, 1992; Krause, 2008; Rogers & Joyce, 1996; Brogan, 2012).

Hasil temuan emperis dalam penelitian ini menunjukkan bahwa petahana akan melakukan proyeksi yang terlalu rendah terhadap penerimanaan sebesar rata-rata 0,033 menjelang tahun pemilihan umum (pre_elect). Hasil tersebut signifikan pada level 5% dengan nilai R2 sebesar 0,53. Penelitian ini sejalan dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian sebelumnya oleh Michael Brogan (2012) yang meneliti fenomena underforecasting pada 25 negara bagian di Amerika Serikat selama tahun 1992—2008.

Kedua, pada tahun pemilihan (elect_year), petahana cenderung melakukan overestimasi terhadap target penerimaan. Kondisi ini dijelaskan oleh Larkey & Smith (1989) yang mengatakan bahwa petahana akan berusaha menunjukkan perekonomian berada dalam kondisi yang baik pada tahun pemilihan melalui target penerimaan yang optimis. Pada tahun tersebut, strategi untuk meningkatkan belanja pemerintah tidak akan efektif. Hal ini terjadi karena belanja pemerintah tidak akan diserap sepenuhnya oleh publik jika pemilihan dilaksanakan pada awal tahun atau pertengahan tahun anggaran.

Hasil temuan empiris dalam penelitian ini menunjukkan bahwa petahana cenderung melakukan proyeksi yang terlalu tinggi terhadap anggaran penerimaan sebesar rata-rata 0,03 pada tahun pemilihan. Hasil ini signifikan pada level 10% dengan nilai R2 sebesar 0,51. Temuan ini mengonfirmasi hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Larkey & Smith (1989), Couture & Imbeau (2009), Biscoff & Gohout (2010), Benito, dkk. (2015).

Model ketiga penelitian ini menggunakan variabel tahun setelah pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Temuan empiris dalam model ini menunjukkan bahwa tidak ada perilaku strategis yang memengaruhi bias yang terjadi pada proyeksi penerimaan pemerintah provinsi setelah pelaksanaan pemilihan. Koefisien variabel post_elec sebesar -0,011 tidak signifikan pada level 10% dengan nilai R2 sebesar 0,50. Hasil ini menunjukkan bahwa pemilihan kepala daerah memberikan insentif kepada petahana untuk mengubah hasil estimasi anggaran. Sepanjang tidak terdapat insentif, petahana tidak akan mengubah hasil estimasi anggaran yang telah dihasilkan.

Page 69: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

060 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

2. Pengaruh Fragmentasi dalam Politik terhadap Penyusunan Anggaran Pemerintah

Fragmentasi dalam politik dapat ditunjukkan melalui share kekuatan yang seimbang antar kelompok dalam legislatif. Kekuatan kelompok politik dicerminkan sebagai jumlah anggota kelompok dalam legislatif. Pada kondisi pemerintahan yang lebih terfragmentasi, setiap kelompok mempunyai kekuatan yang kecil untuk memengaruhi pengambilan keputusan sehingga membutuhkan koalisi dengan jumlah partai yang lebih banyak untuk memengaruhi pengambilan keputusan.

Dalam teori weak government hypothesis, pemerintah yang sangat terfragmentasi secara politik cenderung kurang membatasi kebijakan fiskalnya sehingga memiliki pengeluaran dan defisit anggaran yang lebih tinggi. Hal ini karena setiap anggota dalam koalisi akan berusaha memaksimalkan anggaran yang dialokasikan kepada pemilih yang mereka representasikan. Untuk menghindari konflik dalam penyusunan anggaran, pemerintah berusaha mengakomodasi kepentingan setiap anggota dalam koalisi.

Pemerintah yang lebih terfragmentasi secara politik membutuhkan lebih banyak dana untuk mengakomodasi kepentingan anggota koalisi. Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan kemampuan pendanaannya. Ada dua alternatif yang mungkin ditempuh pemerintah untuk meningkatkan kemampuan pendanaannya, yaitu meningkatkan pajak yang dipungut atau mengubah hasil estimasi anggarannya.

Hasil temuan empiris dalam penelitian ini menunjukkan bahwa variabel fragmentasi politik dalam model tidak berpengaruh signifikan terhadap bias yang terjadi pada proyeksi penerimaan pemerintah provinsi. Variabel fragmentasi politik yang diregresi pada tiap-tiap model 1, 2, dan 3, menggunakan metode feasible GLS menunjukkan nilai koefisien sebesar -0,48, -0,56, dan -0,45. Nilai marginal effect variabel fragmentasi politik tidak signifikan pada tingkat kepercayaan 90%. Hasil ini menolak hipotesis awal yang diajukan dalam penelitian ini.

3. Pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap Penyusunan Anggaran Pemerintah

Desentralisasi fiskal adalah pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah, termasuk mengelola sumber-sumber penerimaan daerah. Sumber penerimaan pemerintah daerah secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu pendapatan asli daerah dan transfer pusat. Tingkat desentralisasi diukur menggunakan derajat desentralisasi, yaitu rasio pendapatan asli daerah terhadap total penerimaan daerah. Derajat desentralisasi mengambarkan kemampuan daerah untuk memenuhi kebutuhan anggarannya melalui kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah pusat.

Tingkat desentralisasi fiskal mengambarkan ketergantungan terhadap transfer pusat. Menurut White (1983), pemerintah yang lebih bergantung pada satu sumber penerimaan cenderung menghadapi ketidakpastian yang tinggi, sehingga lebih pesimis dalam

Page 70: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

061 EKONOMI TERAPAN

menetapkan target penerimaannya. Untuk membuktikan apakah tingkat desentralisasi fiskal memengaruhi penyusunan anggaran penerimaan pemerintah daerah, variabel tingkat desentralisasi (desc) dan kuadrat tingkat desentralisasi (descx) diestimasi terhadap bias dalam anggaran pemerintah daerah.

Hasil estimasi parameter pada model 1, 2, 3 menunjukkan bahwa variabel tingkat desentralisasi dan kuadrat tingkat desentralisasi memiliki pengaruh yang signifikan pada tingkat kepercayaan 99%. Kenaikan tingkat desentralisasi mendorong pemerintah daerah lebih optimis dalam menetapkan target anggaran penerimaan di daerah. Sekalipun demikian, variabel kuadrat tingkat desentralisasi menunjukkan bahwa terdapat titik jenuh ketika kenaikan tingkat desentralisasi akan menyebabkan target anggaran pemerintah daerah lebih pesimis.

Hasil temuan empiris dalam penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan Boukari & Veiga (2017) yang menemukan bahwa tingkat desentralisasi fiskal berpengaruh negatif terhadap perilaku pesimis pemerintah sehingga cenderung melakukan overforecasting. Sekalipun demikian, dalam penelitian ini disimpulkan juga bahwa tingkat desentralisasi yang terlalu tinggi justru membuat pemerintah menjadi pesimis dan cenderung underforecasting.

Hasil temuan dalam penelitian ini membuktikan teori yang dikemukakan White (1983) bahwa ketergantungan pemerintah daerah terhadap satu sumber penerimaan dapat meningkatkan ketidakpastian yang dicerminkan melalui variasi penerimaan. Semakin tinggi ketidakpastian, semakin pesimis pemerintah daerah terhadap target penerimaannya.

4. Tingkat Pengangguran dan Pendapatan Per KapitaProyeksi anggaran pemerintah sangat bergantung pada proyeksi perekonomian daerah, seperti pendapatan masyarakat, PDRB, tingkat pengangguran, dan tingkat inflasi. Sebagian besar pemerintah sangat memperhitungkan pendapatan masyarakat ketika menyusun target penerimaan. Jika pendapatan masyarakat mengalami penurunan, penerimaan pemerintah dari pajak daerah juga akan mengalami penurunan. Demikian pula, sebaliknya. Penelitian ini menggunakan variabel pendapatan per kapita dan tingkat pengangguran yang dapat menggambarkan pendapatan masyarakat.

Pemerintah dengan tingkat pendapatan per kapita yang rendah dan tingkat pengangguran tinggi cenderung memiliki variasi penerimaan yang tinggi. Hal ini karena pengeluaran masyarakat cenderung lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok. Ketika terjadi penurunan pendapatan, masyarakat cenderung mengurangi lebih banyak konsumsi untuk barang publik dibandingkan konsumsi barang kebutuhan pokok yang bersifat inelastis.

Meningkatnya variasi penerimaan pada daerah dengan pendapatan per kapita rendah dan/atau tingkat pengangguran tinggi membuat pemerintah cenderung lebih pesimis terhadap target penerimaannya sehingga lebih memilih untuk melakukan

Page 71: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

062 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

proyeksi penerimaan yang lebih rendah. Hal ini mungkin tidak terjadi pada daerah dengan pendapatan per kapita yang tinggi dan tingkat pengangguran yang rendah yang sebagian besar masyarakatnya memiliki porsi pengeluaran untuk konsumsi kebutuhan pokok lebih kecil. Oleh karena itu, daerah dengan tingkat pendapatan yang tinggi mungkin akan memiliki variasi penerimaan pemerintah yang lebih kecil.

Hasil temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pemerintah dengan tingkat pendapatan per kapita yang lebih tinggi cenderung lebih optimis dalam menetapkan target anggarannya. Pengujian yang dilakukan terhadap variabel logaritma natural pendapatan per kapita dan tingkat pengangguran pada model 1, 2, dan 3 menunjukkan pengaruh yang signifikan pada tingkat kepercayaan 99%.

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Benito, dkk. (2015) pada pemerintah tingkat daerah di Spanyol selama periode 2002—2010. Penelitian yang dilakukan Benito, dkk. menyatakan bahwa tingkat pendapatan tidak berpengaruh terhadap bias dalam target anggaran pemerintah. Sekalipun demikian, variabel tingkat pengangguran menunjukkan hasil yang sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan Benito, dkk. (2015).

D. KesimpulanPenelitian ini dilakukan untuk menganalisis pengaruh proses politik terhadap perilaku bias yang terjadi pada proyeksi penerimaan pemerintah daerah. Proses politik digambarkan melalui siklus pemilihan kepala daerah dan fragmentasi dalam politik. Sampel yang digunakan berasal dari 33 provinsi di Indonesia selama periode 2010—2017. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses politik tingkat desentralisasi, tingkat pengangguran, dan pendapatan per kapita berpengaruh terhadap bias yang terjadi dalam anggaran pemerintah daerah.

Variabel tahun sebelum pemilihan kepala daerah memiliki pengaruh positif signifikan terhadap variabel dependen. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun sebelum pemilihan, petahana cenderung melakukan underestimasi terhadap target penerimaan daerah. Politisi berusaha untuk menghindari risiko yang tidak pasti dalam anggaransehingga membuat perkiraan penerimaan yang lebih rendah untuk membenarkan pembiayaan daerah. Meningkatnya pembiayaan daerah dapat membantu petahana untuk mengelola dengan baik belanja pemerintah yang meningkat menjelang pemilihan.

Pada tahun pemilihan, petahana cenderung menghasilkan perkiraan anggaran yang lebih tinggi (overestimasi). Pada periode ini belanja pemerintah tidak diserap sepenuhnya publik. Oleh karena itu, tidak terdapat keuntungan yang diperoleh petahana dengan melakukan underestimasi penerimaan. Pada sisi lain, petahana mungkin akan berusaha memberikan signal kepada pemilih tentang kompetensi yang dimiliki dengan melakukan overestimasi anggaran. Overestimasi dapat menunjukkan bahwa perekonomian sedang berada dalam kondisi yang baik, yaitu ketika kemampuan masyarakat untuk membayar pajak meningkat.

Page 72: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

063 EKONOMI TERAPAN

Bias dalam proyeksi penerimaan pemerintah daerah tidak dipengaruhi oleh fragmentasi dalam politik. Hal ini kemungkinan karena peran legislatif dalam penyusunan anggaran pemerintah daerah masih rendah. Selain itu, eksekutif bertindak sebagai pihak yang memonopoli penyusunan anggaran sehingga dapat menerapkan strategi take it or leave it (Musgrave & Musgrave, 1989).

Selain itu, bias dalam proyeksi anggaran pemerintah juga dipengaruhi tingkat desentralisasi fiskal. Meningkatnya ketergantungan pemerintah daerah terhadap satu sumber penerimaan akan meningkatkan ketidakpastian yang dihadapi pemerintah. Pemerintah yang cenderung menghadapi ketidakpastian yang tinggi akan cenderung melakukan perkiraan yang lebih rendah dalam anggaran penerimaannya.

Terakhir, bias dalam proyeksi anggaran penerimaan pemerintah dipengaruhi oleh tingkat pengangguran dan pendapatan per kapita. Pemerintah daerah yang memiliki tingkat pengangguran tinggi atau pendapatan per kapita yang rendah akan menghadapi ketidakpastian yang tinggi terhadap sumber penerimaannya. Hal ini mendorong pemerintah daerah cenderung lebih pesimis (underestimasi) terhadap target penerimaannya. Sebaliknya, ketika tingkat pengangguran rendah dan pendapatan per kapita tinggi, pemerintah cenderung lebih optimis (overestimasi) terhadap penerimaannya.

E. Saran KebijakanHasil penelitian ini menunjukkan bahwa siklus pemilihan umum, tingkat desentralisasi, pendapatan per kapita, dan tingkat pengangguran berpengaruh terhadap bias yang terjadi pada proyeksi penerimaan pemerintah provinsi di Indonesia. Oleh karena itu, beberapa implikasi kebijakan yang muncul berkaitan dengan penelitian yang telah dilakukan ini, antara lain sebagai berikut.

1. Kecenderungan untuk menciptakan bias pada proyeksi penerimaan salah satunya disebabkan perilaku politisi yang berusaha memaksimalkan peluang untuk terpilih dalam pemilihan umum. Semakin singkat masa pemerintahan kepala daerah, semakin intensif pelaksanaan pemilihan umum, yang berarti semakin tinggi rata-rata bias dalam proyeksi penerimaan pemerintah daerah. Oleh karena itu, dengan memperpanjang masa pemerintahan seorang kepala daerah, rata-rata bias yang terjadi pada proyeksi anggaran pemerintah daerah dapat dikurangi.

2. Kecenderungan untuk menciptakan bias juga terjadi ketika pemilihan umum diikuti oleh petahana. Oleh karena itu, membatasi peluang seorang politisi untuk terpilih hanya 1 kali dapat mengurangi kecenderungan terciptanya bias dalam anggaran pemerintah daerah.

3. Memperbaiki aturan mengenai tata cara penyusunan anggaran pemerintah daerah, terutama yang berkaitan dengan keterlibatan politisi petahana dalam penyusunan anggaran menjelang dan pada saat pelaksanaan pemilihan umum.

Page 73: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

064 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

4. Perlunya lembaga yang bersifat independen untuk melakukan proyeksi penerimaan daerah sebagai pembanding atas proyeksi yang dihasilkan oleh pemerintah daerah. Sistem ini telah diterapkan di beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa dan terbukti dapat mengurangi perilaku opportunistic politisi dalam menciptakan bias pada proyeksi anggaran.

5. Memberikan insentif berupa reward and punishment yang berorientasi pada kualitas proyeksi anggaran pemerintah daerah. Reward dapat berarti keuntungan yang diperoleh ketika memiliki proyeksi anggaran yang akurat, sedangkan punishment merupakan beban yang muncul ketika proyeksi anggaran tidak akurat. Hal ini karena baik birokrat maupun politisi merupakan individu rasional yang berusaha memaksimalkan keuntungannya dan mengurangi beban yang ditanggung. Dengan sistem pemberian insentif ini, baik birokrat maupun politisi, akan berusaha menghasilkan proyeksi anggaran yang lebih akurat dan mengembangkan teknik dan metode yang lebih baik untuk menghasilkan proyeksi anggarannya.

Page 74: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

06► Nama : In In Indah Zakiah Nurhotimah

► Unit Organisasi : Bappeda Pemerintah Kabupaten Garut

► Program Studi : Magister Ekonomi Terapan

► Negara Studi : Indonesia

► Universitas : Universitas Padjajaran Bandung

POLA KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA MISKIN DI PROVINSI JAWA BARAT: PENDEKATAN LINEAR APPROXIMATION ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (LA-AIDS)

Page 75: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

066 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat yang cukup besar disertai dengan meningkatnya jumlah penduduk miskin mengindikasikan bertambahnya penduduk yang rawan pangan karena menurunnya daya beli, terutama konsumsi makanan, sehingga penduduk Jawa Barat cenderung berpotensi menjadi rentan pangan (BPS, 2018). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh harga dan pendapatan serta faktor-faktor sosial demografi terhadap konsumsi pangan pada keluarga miskin di Provinsi Jawa Barat, baik keluarga miskin di perkotaan maupun perdesaan serta mengetahui pengaruh perubahan harga dan pendapatan terhadap konsumsi pangan pada keluarga miskin di Provinsi Jawa Barat. Metode analisis yang dilakukan menggunakan model Linear Approximation Almost Ideal Demand System (LA-AIDS).

Hasil penelitian menunjukkan secara umum konsumsi pangan rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat dipengaruhi oleh harga komoditas pangan, harga kelompok komoditas lain, pendapatan, jumlah anggota rumah tangga, tipe wilayah (perdesaan/perkotaan), pendidikan kepala rumah tangga (rata-rata lama sekolah kepala rumah tangga), dan jenis pekerjaan kepala rumah tangga (pertanian/non-pertanian).

Berdasarkan hasil perhitungan nilai elastisitas harga, diketahui bahwa hampir semua kelompok komoditas pangan memiliki nilai elastisitas harga bernilai negatif dan kurang dari 1. Hal tersebut menggambarkan bahwa kenaikan harga pada tiap-tiap kelompok komoditas tidak banyak memengaruhi konsumsi kelompok komoditas pangan. Elastisitas harga silang kelompok komoditas pangan menunjukkan lebih banyak hubungan komplementer dengan kelompok komoditas pangan lain daripada hubungan substitusi. Hal tersebut menunjukkan bahwa kelompok komoditas padi-padian merupakan makanan pokok bagi rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat sehingga sangat sulit untuk mencari barang substitusinya. Elastisitas pengeluaran rumah tangga miskin secara keseluruhan menunjukkan hasil elastisitas pengeluaran yang bernilai positif. Artinya, semua kelompok komoditas pangan bersifat barang normal dan beberapa di antaranya termasuk ke dalam kategori barang mewah (luxury goods). Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah membuat kebijakan untuk mengendalikan permintaan pangan melalui pengendalian harga pangan, yaitu menurunkan harga pangan agar terjadi peningkatan permintaan pangan rumah tangga.

► Kata Kunci: LA-AIDS; Pangsa Pengeluaran Pangan; Variabel Sosial Demografi; Elastisitas Harga dan Pendapatan; Rumah Tangga Miskin; Jawa Barat

Page 76: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

067 EKONOMI TERAPAN

ABSTRACT

A large number of people accompanied by an increase in the number of poor people indicates an increase in West Java Province population that is prone to food insecurity due to declining purchasing power, especially food consumption, so that the population of West Java potentially being vulnerable to food (BPS, 2018). The aims of this study was to determine the effect of price and income as well as social demographic factors on food consumption in poor households in West Java Province, both poor households in urban and rural areas and to determine the effect of changes in prices and income on food consumption in poor households in West Java Province. The analysis method was carried out using the Linear Approximation Almost Ideal Demand System (LA-AIDS) model.

The results of the study show that the food consumption of poor households in West Java is generally influenced by the own price of the commodity, the price of other commodity, income, number of household members, type of region (rural/urban), education of the household head (average years of schooling of the head of household), and the type of work of the head of the household (agriculture/non-agriculture).

Based on the calculation of the own price elasticity, it is known that almost all groups of food commodities have their own price elasticity value of negative value and less than 1. This illustrates that the price increase in each commodity group does not significantly affect the consumption of food commodity groups. Cross price elasticity of food commodity groups shows more complementary relationships with other food commodity groups than substitution relations. This shows that the commodity group of grains is a staple food for poor households in West Java Province, so it is very difficult to find substitute goods. The overall expenditure elasticity of poor households shows the results of positive expenditure elasticity. This means that all groups of food commodities are normal goods and some of them fall into the category of luxury goods. The government should make a policy to control food demand through controlling food prices, through decreasing food prices so that household food demand increases

► Keywords: LA-AIDS; Food expenditure share; social demographic variables; Price and income Elasticity; Poor Households; West Java

Page 77: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

068 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

POLA KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA MISKIN DI PROVINSI JAWA BARAT:

PENDEKATAN LINEAR APPROXIMATION ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (LA-AIDS)A. Latar BelakangPemerintah Provinsi Jawa Barat sebagai bagian dari Pemerintah Pusat, berkomitmen dan berperan aktif untuk mengatasi masalah kekurangan pangan dan kelaparan, kekurangan gizi serta kemiskinan. Kebijakan pembangunan bidang ketahanan pangan di Provinsi Jawa Barat berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategis (RENSTRA) Badan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Barat Tahun 2013-2018 adalah peningkatan ketersediaan, akses dan keamanan pangan (BKP, 2013).

Kualitas konsumsi pangan masyarakat Provinsi Jawa Barat ditunjukkan oleh skor Pola Pangan Harapan (PPH) sudah cukup baik meskipun belum mencapai kondisi ideal. Tahun 2017 Skor PPH Jawa Barat mencapai 85,2 masih di bawah skor PPH Nasional sebesar 96,4. Dominasi pengeluaran pangan yang bertumpu pada kelompok pangan padi-padian menunjukkan kualitas konsumsi pangan suatu daerah. Tingginya kontribusi padi-padian ini disebabkan oleh pola konsumsi masyarakat yang masih didominasi oleh beras (Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan, 2017). Ini sejalan dengan Miranti et. al. (2017) yang dalam penelitiannya mengemukakan bahwa pangsa pengeluaran pangan rumah tangga di perkotaan dan perdesaan Provinsi Jawa Barat didominasi oleh pangan kelompok padi-padian. Rumah tangga perkotaan memiliki tingkat diversifikasi pangan yang lebih tinggi daripada perdesaan disebabkan harga beras rata-rata di perkotaan lebih rendah daripada di perdesaan.

Pangsa pengeluaran per kapita sebulan di Provinsi Jawa Barat ditentukan menurut tipe wilayah rumah tangga. Persentase pengeluaran konsumsi makanan pada rumah tangga di perkotaan, baik tahun 2016 maupun tahun 2017 lebih kecil daripada bukan makanan, meskipun pada tahun 2017, persentase pengeluaran konsumsi makanan di daerah perkotaan sedikit meningkat dibandingkan 2016 dari 46,20 persen menjadi 48,68 persen. Sementara itu, pengeluaran makanan di perdesaan masih mendominasi pengeluaran rumah tangga. Persentase pengeluaran makanan rumah tangga di perdesaan tahun 2016 dan 2017 naik dari 57,02 persen menjadi 60,02 persen dari total pengeluaran. Besarnya persentase pengeluaran untuk konsumsi bukan makanan di perkotaan bila dibandingkan dengan perdesaan menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk di perkotaan lebih tinggi daripada perdesaan (BPS, 2017).

Page 78: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

069 EKONOMI TERAPAN

Studi empiris mengenai pola konsumsi pangan rumah tangga miskin menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Fujii (2013) juga mengemukakan bahwa pola konsumsi pangan antarumah tangga miskin berbeda karena dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi dan karakteristik wilayah tempat tinggal, yaitu inflasi pada komoditas pangan membuat rumah tangga perkotaan lebih rentan ketahanan pangannya dibandingkan rumah tangga miskin perdesaan. Rodriguez-Takeuchi dan Imai (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kondisi geografis (perdesaan dan perkotaan) dan karakteristik sosial ekonomi memiliki respons yang berbeda dalam menyikapi kenaikan harga pangan dan berdampak pada perubahan pola konsumsi pangan dan tingkat kesejahteraannya.

Penelitian ini memberikan kontribusi empiris penting, yaitu sebagai berikut. Pertama, menganalisis konsumsi rumah tangga miskin yang dikategorikan berdasarkan jenis pekerjaan kepala rumah tangga (pertanian/non- pertanian). Penelitian yang melibatkan jenis pekerjaan kepala rumah tangga miskin ini masih sangat jarang atau sedikit. Jenis pekerjaan kepala rumah tangga miskin memengaruhi tingkat pendapatan rumah tangga miskin. Pendapatan kepala rumah tangga miskin yang bekerja di sektor pertanian lebih rendah dibandingkan yang bekerja di sektor non-pertanian (Tulangow et. al, 2017). Kedua, penelitian ini menggunakan data cross section Susenas, sehingga rentan terhadap permasalahan mendasar dalam data hasil pengamatan, yaitu masalah endogenitas (Sande & Ghosh, 2018). Endogenitas merupakan suatu kondisi yang di dalamnya variabel penjelas berkorelasi dengan error (Baum CF, 2007).

Pada penelitian ini, endogenitas diduga terjadi pada variabel total pengeluaran makanan. Total pengeluaran makanan dari rumah tangga kemungkinan berkorelasi dengan error karena besarnya total pengeluaran dipengaruhi oleh beberapa faktor, dan faktor tersebut tertangkap di error. Apabila masalah endogenitas ini tidak diperhitungkan, kemungkinan akan menghasilkan estimasi parameter yang bias (simultaneity bias) dan merusak validitas temuan yang diperoleh dari analisis regresi (Sande & Ghosh, 2018).

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisKetidakmampuan rumah tangga dalam pemenuhan pangan tidak hanya dilihat dari pemenuhan secara kuantitas, tetapi juga dalam masalah kualitas pangan. Salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan program ketahanan pangan adalah melalui pola konsumsi pangan rumah tangga yang menggambarkan akses masyarakat terhadap pangan, status gizi, dan kesejahteraannya (DKPP, 2017).

Jumlah penduduk yang cukup besar disertai dengan meningkatnya jumlah penduduk miskin mengindikasikan bertambahnya penduduk yang rawan pangan, sehingga penduduk Jawa Barat cenderung berpotensi menjadi rentan pangan karena penduduk dengan berpendapatan rendah akan mengalokasikan sebagian besar pendapatannya untuk konsumsi makanan sehingga pangsa pengeluarannya tinggi yang berdampak pada kondisi rentan pangan (BPS, 2018).

Page 79: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

070 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Dengan mempelajari konsumsi pangan rumah tangga miskin, informasi tentang jenis pangan apa saja yang dikonsumsi serta besarnya pangsa (share) pengeluaran pangan rumah tangga miskin dapat diperoleh. Informasi tersebut berguna untuk merumuskan kebijakan pangan yang tepat terkait pengentasan kemiskinan dan kelaparan. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian untuk mengetahui konsumsi pangan rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat.

Berdasarkan uraian di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi alokasi pengeluaran konsumsi pangan rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat, baik rumah tangga miskin di perkotaan maupun di perdesaan?

2. Bagaimana respons perubahan permintaan konsumsi pangan pada rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat ketika terjadi perubahan harga pangan dan pendapatan?

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data cross section yang diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) bulan Maret tahun 2017. Susenas adalah survei berbasis rumah tangga yang dilaksanakan BPS secara rutin pada bulan Maret dan September untuk mengumpulkan data sosial ekonomi rumah tangga termasuk konsumsi dan pengeluaran.

Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif dan ekonometri, untuk memberikan gambaran umum atas kondisi dan hubungan antarfenomena yang diteliti serta melakukan analisis kuantitatif untuk menguji hipotesis penelitian dan menginterpretasikan bentuk hubungan yang terjadi. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara kuantitatif. Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan software Stata 14.

Metode analisis deskriptif memberikan gambaran umum atas total pengeluaran, khususnya konsumsi pangan rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat. Kemudian, dilakukan analisis ekonometrika berupa analisis model persamaan LA-AIDS. Kedua analisis yang telah dilakukan tersebut menjadi dasar bagi pengambilan kesimpulan dan saran penelitian ini.

Metode analisis model LA-AIDS digunakan untuk mempelajari fungsi konsumsi dengan variabel sosial demografi. Model ini digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor ekonomi dan sosial demografi yang memengaruhi konsumsi pangan rumah tangga miskin di Jawa Barat serta untuk mengetahui pengaruh perubahan pendapatan dan harga terhadap konsumsi pangan rumah tangga miskin di Jawa Barat. Faktor-faktor sosial demografi yang memengaruhi konsumsi pangan rumah tangga miskin didasarkan pada koefisien hasil estimasi sistem persamaan LA-AIDS, sedangkan pengaruh perubahan pendapatan dan harga didasarkan pada nilai elastisitas yang dihitung dari koefisien penduga model.

Page 80: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

071 EKONOMI TERAPAN

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Gambaran Umum Pola Pengeluaran Rumah Tangga di Provinsi Jawa Barat

Pangsa pengeluaran makanan dan bukan makanan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat berdasarkan tingkat kesejahteraan (kuintil pengeluaran). Hasil pengolahan data memperlihatkan bahwa pangsa pengeluaran pangan untuk penduduk pada kuintil pertama (terendah) sebesar 68,15 persen, sedangkan pangsa pengeluaran untuk bukan makanan sebesar 31,85 persen. Hal serupa terjadi pada kuintil kedua sampai dengan kuintil keempat, ketika pangsa pengeluaran pangan masih berada di atas 50 persen, yaitu masing-masing sebesar 64,00 persen, 59,94 persen, dan 54,92 persen. Kondisi sebaliknya terjadi pada rumah tangga yang berada pada kuintil kelima (tertinggi) yang pangsa pengeluaran pangannya di bawah 50 persen, yaitu sebesar 37,81 persen. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan pola pengeluaran makanan dan bukan makanan berdasarkan tingkat pendapatan rumah tangga (kuintil pengeluaran).

Berdasarkan kuintil pengeluaran rumah tangga, terlihat bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan rumah tangga, semakin kecil proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga. Rumah tangga dikatakan semakin sejahtera apabila persentase pengeluaran untuk makanan lebih kecil dibandingkan persentase pengeluaran untuk bukan makanan. Dengan kata lain, semakin tinggi kesejahteraan masyarakat suatu negara, semakin kecil pangsa pengeluaran pangannya (BPS, 2017; Deaton dan Muellbauer, 1980).

Golongan pendapatan terendah (kuintil pertama) memiliki pangsa pengeluaran pangan tertinggi di antara golongan pendapatan lainnya. Pada kuintil pertama, konsumsi pangan masih didominasi oleh kelompok komoditas padi-padian dengan budget share mencapai 23,32 persen. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa rumah tangga dengan pendapatan terendah lebih banyak mengalokasikan konsumsi pangannya untuk kelompok komoditas yang mengandung karbohidrat dan kalori tinggi, yaitu padi-padian.

Kondisi sebaliknya terjadi pada kuintil kelima yang merupakan golongan dengan tingkat pendapatan tertinggi, konsumsi pangannya lebih didominasi oleh makanan jadi dan pangan hewani. Konsumsi kedua kelompok pangan tersebut pada kuintil kelima mencapai 60,72 persen dari total pengeluaran pangan, sedangkan sisanya dialokasikan untuk kelompok padi-padian, umbi-umbian, sayur-sayuran, buah-buahan, rokok, dan pangan lainnya. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan pola pengeluaran makanan antara rumah tangga dengan pendapatan terendah dan rumah tangga dengan pendapatan tertinggi. Rumah tangga dengan pendapatan tinggi dalam konsumsi pangannya lebih memilih kelompok komoditas makanan yang memiliki kandungan gizi tinggi, seperti kelompok pangan hewani.

Page 81: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

072 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Penurunan konsumsi kelompok padi-padian terjadi seiring dengan peningkatan pendapatan rumah tangga. Rumah tangga pada kuintil pertama menghabiskan pengeluaran pangannya untuk kelompok padi-padian sebesar 23,32 persen, sedangkan rumah tangga pada kuintil kelima hanya sebesar 6,81 persen pengeluaran pangannya untuk kelompok padi-padian. Berbeda dengan kelompok padi-padian, konsumsi kelompok makanan jadi dan pangan hewani semakin meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan. Hal ini menggambarkan bahwa pola konsumsi rumah tangga di Provinsi Jawa Barat sesuai dengan hukum Bennet, yang menyatakan bahwa semakin kaya suatu masyarakat, semakin berubah pola konsumsinya. Pola konsumsi awalnya didominasi oleh tanaman berpati sederhana, yaitu kelompok padi-padian berubah menjadi lebih bervariasi, yaitu mengonsumsi sayuran, buah, produk pangan hewani, terutama makanan jadi (Miranti et. al., 2016).

Peningkatan pendapatan rumah tangga terjadi seiring dengan meningkatnya konsumsi kelompok pangan selain padi-padian, seperti kelompok makanan jadi, buah-buahan, dan pangan hewani. Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian Miranti et. al. (2016) yang menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan per kapita rumah tangga di Provinsi Jawa Barat, baik di perkotaan maupun perdesaan, semakin menurun pangsa pengeluaran produk padi-padian (terutama beras). Penurunan konsumsi produk padi-padian tersebut disertai peningkatan pangsa pengeluaran pangan untuk mengonsumsi produk buah-buahan dan pangan hewani (daging).

2. Gambaran Umum Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Miskin di Provinsi Jawa Barat

Pembagian rumah tangga berdasarkan tipe wilayah rumah tangga dan jenis pekerjaan kepala rumah tangga memiliki tingkat pengeluaran yang berbeda-beda. Berdasarkan tipe wilayah rumah tangga, rata-rata pengeluaran makanan di perdesaan sebesar Rp784.024 lebih rendah dibandingkan rata-rata pengeluaran makanan di perkotaan sebesar Rp904.438. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesejahteraan rumah tangga miskin di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Kondisi tersebut terjadi karena perbedaan harga yang dterima rumah tangga miskin di perkotaan dan perdesaan. Rata-rata harga yang diterima rumah tangga miskin di perdesaan lebih rendah dibandingkan dengan rumah tangga miskin di perkotaan, kecuali untuk komoditas padi-padian. Ini sejalan dengan penelitian Miranti et. al. (2016) yang menyatakan bahwa rata-rata pengeluaran makanan rumah tangga di perdesaan lebih rendah dibandingkan perkotaan.

Hal serupa terjadi juga pada pembagian rumah tangga berdasarkan jenis pekerjaan kepala rumah tangga. Rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang bekerja pada sektor pertanian memiliki rata-rata pengeluaran makanan sebesar Rp819.262, lebih rendah dibandingkan rumah tangga miskin dengan kepala rumah tangga yang bekerja pada sektor non-pertanian sebesar Rp862.445. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa pendapatan rumah tangga miskin dengan kepala rumah tangga yang bekerja pada sektor pertanian lebih rendah dibandingkan pendapatan kepala rumah tangga yang bekerja pada sektor non-pertanian.

Page 82: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

073 EKONOMI TERAPAN

Hal yang sama juga terlihat pada rumah tangga secara keseluruhan memiliki pangsa pengeluaran (budget share) pangan lebih besar daripada pangsa pengeluaran (budget share) nonpangan. Budget share pangan mencapai nilai sebesar 69,83 persen, sedangkan pangsa pengeluaran nonpangan mencapai 30,17 persen. Kondisi tersebut menunjukkan ketahanan pangan rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat tergolong rentan pangan.

Kondisi serupa terjadi pada pembagian rumah tangga berdasarkan tipe wilyah rumah tangga dan jenis pekerjaan kepala rumah tangga, yaitu budget share pangan lebih besar dibandingkan budget share nonpangan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pangsa pengeluaran pangan (budget share) rumah tangga miskin, baik berdasarkan tipe wilayah rumah tangga maupun jenis pekerjaan kepala rumah tangga, termasuk tingkat ketahanan pangan yang rentan pangan karena nilainya >60 (Heryanah, 2016).

Rata-rata pengeluaran pangan per komoditas per bulan rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat secara umum masih didominasi oleh kelompok komoditas padi-padian sebesar Rp224.703. Namun, jika dibedakan berdasarkan tipe daerah rumah tangganya, diketahui bahwa rata-rata pengeluaran per kelompok komoditas per bulan rumah tangga miskin perdesaan lebih kecil daripada rumah tangga miskin di perkotaan, kecuali untuk kelompok pangan jenis karbohidrat, yaitu kelompok padi-padian dan umbi-umbian. Rumah tangga di perdesaan mengonsumsi lebih banyak kelompok komoditas padi-padian sehingga menghabiskan rata-rata pengeluaran sebesar Rp231.340.

Tingginya konsumsi kelompok padi-padian di perdesaan karena penduduknya lebih banyak membutuhkan kalori dan energi untuk beraktivitas daripada penduduk di perkotaan karena sebagian besar aktivitas di daerah perdesaan merupakan kegiatan fisik yang memerlukan kalori lebih banyak. Kecukupan kalori ini disumbang oleh kelompok komoditas padi-padian, yang pada kelompok komoditas ini merupakan komoditi makanan pokok rata-rata penduduk Jawa Barat, yaitu beras (BPS, 2017, Ariani dan Purwantini, 2006).

3. Gambaran Umum Pangsa Pengeluaran (Budget Share) per Kelompok Komoditas Pangan Rumah Tangga Miskin di Provinsi Jawa Barat

Perbedaan pola pangan rumah tangga miskin perkotaan dan perdesaan di Provinsi Jawa Barat. terletak pada kelompok komoditas padi-padian, pangan hewani, dan makanan jadi. Jika dibedakan berdasarkan tipe wilayah perdesaan dan perkotaan, pangsa pengeluaran pangan rumah tangga miskin perdesaan lebih besar daripada pangsa pengeluaran rumah tangga miskin di perdesaan, kecuali untuk kelompok komoditas pangan hewani, makanan jadi, pangan lainnya, dan rokok. Rumah tangga miskin di perdesaan mengonsumsi lebih banyak kelompok komoditas padi-padian dibandingkan rumah tangga miskin di perkotaan, yang menghabiskan rata-rata 31,11 persen dari pengeluaran pangannya, sedangkan di perkotaan hanya menghabiskan 25,65 persen dari total pengeluaran pangannya. Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian Saliem et. al. (2002) yang menyatakan bahwa konsumsi pangan sumber karbohidrat lebih tinggi di daerah perdesaaan dibandingkan daerah perkotaan.

Page 83: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

074 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Sementara itu, pada rumah tangga miskin di perkotaan, budget share untuk kelompok komoditas pangan hewani lebih besar daripada di perdesaan karena rumah tangga di perkotaan memiliki tingkat pemahaman komposisi gizi yang tinggi sehingga lebih memprioritaskan budget share konsumsinya untuk kelompok pangan hewani. Hasil temuan ini sejalan dengan penelitian Susanti et. al. (2014) yang menyatakan bahwa proporsi pengeluaran rumah tangga untuk komoditi bahan pangan hewani tersebut lebih tinggi pada rumah tangga yang tinggal di perkotaan dibandingkan perdesaan.

Kondisi serupa terjadi pada kelompok makanan jadi, pangan lainnya, serta rokok yang menunjukkan bahwa budget share untuk ketiga kelompok komoditas tersebut lebih besar di perkotaan daripada di perdesaan. Dominansi kelompok makanan jadi di perkotaan terjadi karena dipengaruhi oleh perbedaan gaya hidup dan kesibukan masyarakat perkotaan dan perdesaan. Masyarakat perkotaan umumnya memiliki kesibukan di luar rumah dan hampir sepanjang hari mengharuskan mereka untuk mengonsumsi makanan dan minuman jadi. Selain itu, gaya hidup di perkotaan yang senang berkumpul dan makan di luar rumah turut meningkatkan proporsi pengeluaran makanan dan minuman jadi dan meningkatkan industri makanan dan minuman jadi (Purwaningsih et. al., 2010).

Berdasarkan jenis pekerjaan kepala rumah tangga, hasil analisis menunjukkan bahwa rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang bekerja pada sektor pertanian memiliki pangsa pengeluaran pangan yang lebih besar dibandingkan rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang bekerja di sektor non-pertanian, kecuali untuk kelompok komoditas pangan hewani, kacang-kacangan, makanan jadi, dan pangan lainnya. Hal tersebut terjadi karena pendapatan pada sektor pertanian lebih rendah daripada sektor non-pertanian sehingga rumah tangga akan mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk komoditas pangan dibandingkan komoditas nonpangan (Tulangow et al, 2017).

Kelompok rokok memiliki budget share lebih besar pada rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian dibandingkan rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang bekerja di sektor non-pertanian. Hal tersebut karena kepala keluarga yang bekerja di sektor pertanian memiliki pendidikan dan pendapatan yang relatif lebih rendah dibandingkan kepala keluarga yang bekerja di sektor non-pertanian. Dengan demikian, pemahaman tentang bahaya konsumsi rokok masih rendah. Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian Miranti et. al. (2016) dan Purwaningsih, et.al. (2010) yang menyatakan bahwa masyarakat miskin cenderung menggunakan rokok lebih banyak dibandingkan masyarakat kaya.

D. Kesimpulan Ada beberapa temuan dari hasil penelitian dan pengolahan data yang dapat disimpulkan. Pertama, secara simultan variabel bebas yang meliputi harga kelompok komoditas pangan, pengeluaran pangan rumah tangga sebagai proksi dari pendapatan, dan variabel sosial demografi dalam model LA-AIDS mampu digunakan dalam mengestimasi pangsa pengeluaran pangan (budget share) kelompok komoditas pangan. Variabel harga dan harga komoditas lain, sebagian besar memiliki pengaruh yang signifikan (positif dan negatif) dalam menentukan budget share semua kelompok komoditas pangan rumah tangga

Page 84: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

075 EKONOMI TERAPAN

miskin, kecuali kelompok komoditas buah-buahan. Variabel pendapatan rumah tangga menunjukkan pengaruh yang signifikan dalam memengaruhi budget share kelompok komoditas pangan rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat, kecuali kelompok komoditas pangan lainnya yang tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan.

Berdasarkan nilai koefisien hasil estimasi sistem permintaan LA-AIDS, tidak semua variabel sosial demografi memiliki pengaruh dalam menentukan budget share kelompok komoditas pangan rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat. Jumlah anggota rumah tangga berpengaruh secara signifikan terhadap budget share semua kelompok komoditas pangan rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat, kecuali untuk kelompok komoditas makanan jadi. Variabel jenis pekerjaan kepala rumah tangga memiliki pengaruh dua arah, yaitu pengaruh positif dan negatif. Tipe wilayah rumah tangga berpengaruh secara signifikan pada kelompok komoditas padi-padian, pangan hewani, dan sayur-sayuran.

Kedua, berdasarkan hasil perhitungan nilai elastisitas harga sendiri, diketahui bahwa hampir semua kelompok komoditas pangan memiliki nilai elastisitas harga sendiri bernilai negatif dan kurang dari 1. Di antara ketujuh kelompok tersebut ,yang paling inelastis adalah kelompok padi-padian dan kacangan-kacangan karena memiliki nilai elastisitas harga paling rendah.

Elastisitas harga silang kelompok komoditas pangan pada rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat yang mempunyai nilai yang positif dan negatif, menunjukkan bahwa kelompok komoditas pangan yang berkaitan bersifat komplementer (nilai elastisitas negatif) dan substitusi (nilai elastisitas positif).

Secara umum, pada rumah tangga miskin secara keseluruhan, kelompok komoditas padi-padian merupakan kebutuhan pokok bagi keseluruhan rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat, sehingga sangat sulit untuk mencari barang substitusinya. Elastisitas pengeluaran rumah tangga miskin secara keseluruhan menunjukkan hasil elastisitas pengeluaran yang bernilai positif. Artinya, kelompok komoditas pangan yang ada semuanya bersifat barang normal dan beberapa di antaranya termasuk dalam kategori barang mewah (luxury goods).

Berdasarkan tipe wilayahnya, elastisitas pengeluaran sebagian besar kelompok komoditas rumah tangga miskin perkotaan lebih rendah dan bernilai positif (kecuali kelompok pangan hewani) dibandingkan rumah tangga miskin di perdesaan. Hal ini mengindikasikan bahwa harga kelompok komoditas tersebut lebih terjangkau oleh rumah tangga miskin di perkotaan karena rata-rata pendapatan di perkotaan lebih tinggi dibandingkan pendapatan rumah tangga miskin di perdesaan. Pada tipe rumah tangga perkotaan dan pertanian, kelompok komoditas pangan hewani memiliki nilai elastistas pengeluaran negatif, artinya kelompok komoditas pangan hewani merupakan barang inferior bagi rumah tangga miskin di perkotaan dan rumah tangga miskin dengan kepala keluarga yang bekerja di sektor pertanian.

Page 85: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

076 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

E. Saran KebijakanBerdasarkan hasil penelitian, ada beberapa implikasi kebijakan terkait dengan konsumsi pangan rumah tangga miskin di Provinsi Jawa barat, di antaranya sebagai berikut.

1. Kelompok komoditas padi-padian merupakan kelompok komoditas dengan budget share tertinggi dan sumber kalori utama bagi rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat, sehingga pemerintah daerah dapat berperan dalam peningkatan tingkat diversifikasi pangan melalui program dan kebijakan untuk menurunkan harga beras (salah satu komponen komoditas dalam kelompok komoditas padi-padian) di tingkat konsumen. Penurunan harga beras mendorong rumah tangga untuk mengonsumsi lebih banyak jenis pangan, yang akan berdampak baik pada kesehatan dan produktivitas manusia. Salah satunya cara yang dapat dilakukan dengan memperpendek rantai distribusi beras. Biaya pemasaran beras yang lebih rendah akan berdampak pada harga di tingkat konsumen akan lebih murah, tanpa mengurangi kesejahteraan petani.

2. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa budget share kelompok komoditas makanan jadi cukup tinggi dan dimungkinkan akan terus meningkat, sehingga perlu peningkatan pengawasan terhadap produk-produk olahan dan makanan jadi agar kenyamanan dan keamanannya terjamin.

3. Hasil perhitungan elastisitas dengan menggunakan model LA-AIDS dan menunjukkan bahwa nilai elastisitas harga lebih besar daripada nilai elastisitas pengeluaran. Oleh sebab itu, sebaiknya pemerintah membuat kebijakan untuk mengendalikan permintaan pangan melalui pengendalian harga pangan, yaitu menurunkan harga pangan agar terjadi peningkatan permintaan pangan rumah tangga.

4. Untuk mencapai kondisi pangan rumah tangga miskin yang berkualitas, pemerintah dapat terus menggalakkan program-program yang dapat menyosialisasikan pola konsumsi yang berkualitas kepada rumah tangga miskin.

5. Besarnya elastisitas pendapatan untuk konsumsi kelompok rokok harus diwaspadai karena akan menjadi kondisi yang dilema dengan hasil program pengentasan kemiskinan yang selalu bertujuan meningkatkan pendapatan rumah tangga miskin.

6. Peningkatan fungsi kelembagaan pemasaran hasil-hasil pangan agar bisa berperan secara optimal sebagai penyangga kestabilan distribusi dan harga pangan, khususnya di daerah-daerah terpencil.

Page 86: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

07► Nama : Sulistianingsih

► Unit Organisasi : PKP2A I LAN Bandung

► Program Studi : Magister Ekonomi Terapan

► Negara Studi : Indonesia

► Universitas : Universitas Padjajaran Bandung

ANALISIS PENINGKATAN KUALITAS MODAL MANUSIA DI INDONESIA

Page 87: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

078 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAKPada tahun 2017, Indonesia memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang berada pada peringkat ke-116 dari 189 negara di dunia dan menempati peringkat keenam di Association of South East Asian Nations (ASEAN). Indonesia memiliki fokus pada pengembangan dan peningkatan kualitas modal manusia dengan memanfaatkan pengeluaran pemerintah yang telah dianggarkan setiap tahunnya.

Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap peningkatan kualitas modal manusia danfaktor-faktor yang memengaruhi peningkatan kualitas modal manusia di Indonesia. Model regresi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis regresi linier berganda (ordinary least squares regression analysis) dengan menggunakan data panel 33 provinsi di Indonesia selama kurun waktu 2010—2017. Variabel dependen yang digunakan, yaitu variabel rata-rata lama sekolah, harapan lama sekolah, angka kematian bayi, dan pengeluaran per kapita. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengeluaran pemerintah sektor pendidikan, pengeluaran pemerintah sektor kesehatan, dan total pengeluaran pemerintah. Variabel kontrol yang digunakan adalah rasio guru-murid, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita, rumah tangga akses air bersih, konsumsi kalori, tingkat kemiskinan, tingkat partisipasi angkatan kerja wanita, dan rasio ketergantungan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel pengeluaran pemerintah pada sektor pendidikan, rasio guru-murid, PDRB per kapita, dan rumah tangga akses air bersih berpengaruh positif dan signifikan terhadap rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah. Variabel pengeluaran pemerintah pada sektor kesehatan dan konsumsi kalori berpengaruh negatif dan signifikan terhadap angka kematian bayi. Variabel tingkat kemiskinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap angka kematian bayi, dan tingkat partisipasi angkatan kerja wanita berpengaruh positif, tetapi pengaruhnya tidak signifikan terhadap angka kematian bayi. Variabel pengeluaran pemerintah dan PDRB per kapita berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengeluaran per kapita. Terakhir, variabel tingkat kemiskinan dan rasio ketergantungan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pengeluaran per kapita.

► Kata Kunci: Modal Manusia, Rata-Rata Lama Sekolah, Harapan Lama Sekolah, Angka Kematian Bayi, Pengeluaran Per Kapita, Pengeluaran Pemerintah

Page 88: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

079 EKONOMI TERAPAN

ABSTRACTIn 2017, Indonesia’s Human Development Index (HDI) is ranked 116 out of 189 countries in the world and take the sixth place in Association of South East Asian Nations (ASEAN). Indonesia has a focus on developing and improving the quality of human capital by utilizing government spending budgeted every year.

The purposes of this research are to analyze the influence of government spending on improving the quality of human capital, as well as to find out the factors influencing the improvement of the quality of human capital in Indonesia. The regression model used in this study is the method of multiple linear regression analysis (ordinary least squares regression analysis) using panel data of 33 provinces in Indonesia during the period 2010—2017. The dependent variable used is the variable mean years of schooling, expected years of schooling, infant mortality rates, and per capita expenditure. The independent variables used in this study are education sector government expenditure, health sector government expenditure, and total government expenditure. The control variables used were teacher-student ratio, Gross Domestic Regional Product (GDRP) per capita, household access to clean water, calorie consumption, poverty level, female labor force participation rate, and dependency ratio.

The results showed that the variable education sector government expenditure, teacher-student ratio, GDRP per capita, and household access to clean water had a positive and significant effect on the mean years of schooling and expected years of schooling. Variables of health sector government expenditure and calorie consumption have a negative and significant effect on infant mortality rates. The variable poverty level has a positive and significant effect on infant mortality rates, and the female labor force participation rate has a positive effect but the effect is insignificant on infant mortality rates. Variables of government expenditure and GDRP per capita have a positive and significant effect on per capita expenditure. The last, the poverty level and dependency ratio variables have a negative and significant effect on per capita expenditure.

► Keywords: Human Capital, Mean Years of Schooling, Expected Years of Schooling, Infant Mortality Rates, Per Capita Expenditure, Government Expenditure

Page 89: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

080 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ANALISIS PENINGKATAN KUALITAS MODAL MANUSIA DI INDONESIA

A. Latar BelakangCapaian pembangunan manusia yang diukur melalui IPM merupakan agregasi dari 3 dimensi, yaitu dimensi rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah (dimensi pengetahuan), dimensi umur panjang dan hidup sehat menggunakan indikator angka harapan hidup, dan dimensi standar hidup layak diwakili oleh indikator pengeluaran per kapita (BPS, 2017).

Indikator pendidikan, yaitu rata-rata lama sekolah nasional tahun 2017 adalah 8,1, artinya penduduk Indonesia yang berumur 25 tahun ke atas sudah menempuh 8,1 tahun masa sekolah. Rata-rata lama sekolah untuk 14 provinsi masih di bawah rata-rata lama sekolah nasional. Selain itu terdapat 26 provinsi yang belum mencapai target wajib belajar 9 tahun. Adapun untuk angka harapan lama sekolah nasional tahun 2017 adalah 12,85, artinya rata-rata penduduk usia 7 tahun yang mulai bersekolah, diharapkan dapat mengenyam pendidikan hingga 12,85 tahun atau setara SMA.

Indikator kesehatan yang diukur dengan angka harapan hidup (AHH), mencerminkan derajat kesehatan suatu wilayah, baik dari sarana prasarana, akses, hingga kualitas kesehatan. Angka harapan hidup terus menunjukkan peningkatan dari tahun 2010 hingga 2017 (BPS). Hal ini menunjukkan harapan bayi yang baru lahir untuk hidup semakin besar karena membaiknya derajat kesehatan masyarakat.

Sebagian besar capaian pembangunan manusia, terutama pada komponen pembentuk IPM yang ada di setiap provinsi berada di bawah nilai Nasional. Padahal perlu diketahui bahwa pendidikan dan kesehatan adalah hal yang fundamental untuk membentuk kemampuan manusia yang lebih luas dan berada pada inti makna pembangunan (Todaro, 2006).

Dalam setiap tahun, besarnya pengeluaran pemerintah pada setiap provinsi di Indonesia untuk bidang pendidikan dan kesehatan terus mengalami peningkatan. Namun, pada beberapa daerah di Indonesia besarnya pengeluaran tersebut tidak disertai tingginya indeks pembangunan manusia beserta komponen-komponennya.

Berikut disajikan gambaran realisasi anggaran pendidikan dan kesehatan berdasarkan rasio terhadap APBD tahun 2017 serta perbandingan rasio anggaran pendidikan dan kesehatan nasional.

Sebagian besar rasio pengeluaran pemerintah daerah masih di bawah 20 persen untuk sektor pendidikan dan di atas 5 persen untuk sektor kesehatan. Pemerintah Provinsi di Indonesia memiliki tingkat rasio pengeluaran pendidikan secara rata-rata 6,2 persen berada di bawah alokasi anggaran pemerintah pusat, yaitu 20 persen DKI Jakarta memiliki rasio anggaran pendidikan tertinggi dengan rasio 22,3 persen, selaras dengan peringkat

Page 90: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

081 EKONOMI TERAPAN

IPM yang berada di peringkat 1 (satu) secara nasional. Adapun pendidikan Jawa Timur memiliki persentase terendah dengan rasio 1,5 persen, tetapi berada di peringkat 15 untuk nilai IPM secara nasional.

Rasio anggaran kesehatan pada provinsi di Indonesia menunjukkan persentase yang cukup besar dengan rata-rata rasio anggaran kesehatan 10,9 persen dari APBD. Kalimantan Selatan berada pada posisi tertinggi untuk rasio anggaran kesehatan dengan rasio 19,7 persen, dan Papua Barat memiliki rasio paling kecil dengan nilai 4,3 persen dari APBD. Tingginya pengeluaran pemerintah untuk kesehatan di Kalimantan Selatan tidak sejalan dengan peringkat IPM provinsi tersebut, sedangkan anggaran pemerintah sektor kesehatan di Papua Barat yang rendah sesuai dengan peringkat IPM ke-32.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa realisasi pengeluaran pemerintah masih belum sesuai dengan amanat Undang-Undang, terutama untuk sektor pendidikan yang sebagian besar pengeluaran pemerintahnya masih di bawah 20 persen. Untuk itu, perlu diteliti mengenai kurang optimalnya pengeluaran pemerintah, terutama pada sektor pendidikan dan kesehatan. Selain itu, perlu diteliti faktor-faktor lain yang memengaruhi peningkatan kualitas modal manusia di Indonesia. Ukuran keberhasilan pemerintah pada kesejahteraan masyarakat, salah satunya dapat dilihat melalui keberhasilan pendidikan dan kesehatan (UNDP, 1996).

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisIndonesia memiliki fokus dalam pembangunan modal manusia bahwa pengeluaran untuk sektor pendidikan dan kesehatan menempati posisi terbesar dalam pengeluaran pembangunan modal manusia. Namun, besarnya pengeluaran pemerintah untuk kedua sektor ini tidak diimbangi peningkatan kualitas sumber daya manusia. Masih ada daerah-daerah dengan pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan dan kesehatan yang cukup tinggi, tetapi nilai IPM menunjukkan hasil yang masih rendah.

Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu mengenai faktor-faktor yang memengaruhi peningkatan kualitas modal manusia, beberapa pertanyaan penelitian yang dapat diajukan, yaitu:

1. Faktor apa saja yang memengaruhi modal manusia ditinjau dari indikator pendidikan (rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah) pada provinsi di Indonesia tahun 2010—2017?

2. Faktor apa saja yang memengaruhi modal manusia ditinjau dari indikator kesehatan (angka kematian bayi) pada provinsi di Indonesia tahun 2010—2017?

3. Faktor apa saja yang memengaruhi modal manusia ditinjau dari indikator ekonomi (pengeluaran per kapita) pada provinsi di Indonesia tahun 2010—2017?

4. Faktor apakah yang paling memengaruhi modal manusia, ditinjau dari indikator pendidikan, kesehatan dan ekonomi pada provinsi di Indonesia tahun 2010—2017?

Page 91: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

082 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Objek dalam penelitian ini adalah modal manusia (human capital) yang diukur melalui rata-rata lama sekolah, harapan lama sekolah, angka kematian bayi, dan pengeluaran per kapita. Variabel independennya, yaitu pengeluaran pemerintah sektor pendidikan, rasio guru-murid, PDRB per kapita, rumah tangga akses air bersih, pengeluaran pemerintah sektor kesehatan, konsumsi kalori, tingkat kemiskinan, tingkat partisipasi angkatan kerja wanita, pengeluaran pemerintah, dan rasio ketergantungan pada provinsi di Indonesia.

Penelitian ini menggunakan data sekunder dan berbentuk data panel. Unit analisisnya adalah data yang terdiri atas data deret waktu (time series) dengan periode tahun 2010 sampai dengan tahun 2017 dan data cross section dari 33 provinsi di Indonesia. Data panel digunakan karena memberikan lebih banyak infomasi, lebih banyak variasi, sedikit kolinearitas antarvariabel, lebih banyak degree of freedom, dan lebih efisien. Data panel juga paling baik untuk mendeteksi dan mengukur efek-efek yang tidak dapat dilihat dengan data cross section dan time series semata, seperti efek upah minimum terhadap pekerja, dan pendapatannya (Gujarati, 2011).

Data-data tersebut dikumpulkan dari beberapa sumber, antara lain Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, BPS Provinsi, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, dan referensi kepustakaan seperti jurnal, makalah, artikel, laporan.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Indikator Pendidikan (Rata-rata Lama Sekolah)Pengeluaran pemerintah sektor pendidikan (PP) berpengaruh positif dan signifikan terhadap rata-rata lama sekolah dengan derajat kepercayaan 99 persen. Pengeluaran pemerintah sektor pendidikan memiliki koefisien 0,562, artinya apabila pengeluaran pemerintah sektor pendidikan provinsi meningkat sebesar 1 juta rupiah, rata-rata lama sekolah meningkat sebesar 0,562 tahun (ceteris paribus). Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Bado et.al. (2017), Rajkumar et.al. (2008), Iqbal et.al. (2015), Obi et.al. (2016), dan Sofilda et.al.(2013). Menurut Bado et.al. (2017), perkembangan belanja pemerintah sektor pendidikan selalu mengalami peningkatan. Hal tersebut menggambarkan bahwa kebijakan pemerintah tentang peningkatan sektor pendidikan mendapat perhatian yang cukup serius dari pemerintah, terutama terhadap peningkatan capaian kinerja pendidikan yang diproksi dengan rata-rata lama sekolah.

Variabel kontrol Rasio Guru Murid (RGM) memiliki pengaruh yang positif dan signifikan dengan koefisien 0,056. Jika rasio guru murid meningkat 1 persen, nampaknya rata-rata lama sekolah akan meningkat sebesar 0,056 tahun (ceteris paribus). Hasil penelitian ini sependapat dengan Destilunna et.al. (2015) dan Melliana et.al. (2013) bahwa untuk meningkatkan rasio guru-murid diperlukan peningkatan PDRB per kapita, sehingga akhirnya mampu meningkatkan rata-rata lama sekolah, yang berdampak pula pada peningkatan nilai IPM.

Page 92: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

083 EKONOMI TERAPAN

Variabel kontrol PDRB per kapita memiliki pengaruh positif dan signifikan dengan koefisien 0,022 terhadap rata-rata lama sekolah, artinya jika PDRB per kapita meningkat sebesar 1 juta rupiah, rata-rata lama sekolah meningkat sebesar 0,022 tahun (ceteris paribus). Hasil penelitian Khairunnisa et.al. (2014) menyebutkan bahwa tingkat PDRB per kapita mencerminkan kemampuan ekonomi masyarakat yang salah satunya untuk membiayai pendidikan. Semakin tinggi PDRB per kapita, semakin tinggi angka partisipasi sekolah. Semakin tinggi pendapatan per kapita masyarakat, semakin mampu mereka untuk menyekolahkan anaknya minimal sampai tingkat SMP. Ini artinya kenaikan PDRB per kapita berbanding lurus dengan partisipasi sekolah usia 13–5 tahun sehingga kenaikan pendapatan per kapita akan meningkatkan partisipasi sekolah, dan mampu meningkatkan angka rata-rata lama sekolah.

Variabel rumah tangga dengan akses air bersih (RTAIR) juga memiliki pengaruh positif dan signifikan dengan koefisien 0,008. Apabila terjadi peningkatan persentase rumah tangga dengan akses air bersih sebesar 1 persen, rata-rata lama sekolah sebesar 0,008 tahun (ceteris paribus) akan meningkat. Hasil penelitian sesuai dengan penelitian Melliana et.al. (2013) bahwa rumah tangga dengan akses air bersih berpengaruh terhadap rata-rata lama sekolah.

2. Indikator Pendidikan (Harapan Lama Sekolah)Hasil estimasi dari persamaan model kedua, yaitu regresi dengan variabel harapan lama sekolah sebagai variabel dependen dan pengeluaran pemerintah sektor pendidikan sebagai variabel inti, sedangkan variabel kontrolnya adakah rasio guru-murid, PDRB per kapita, dan persentase rumah tangga dengan akses air bersih.

Berdasarkan hasil estimasi yang ditunjukan pada Tabel 4.8. pengeluaran pemerintah sektor pendidikan (PP) berpengaruh positif dan signifikan terhadap harapan lama sekolah dengan derajat kepercayaan 99 persen. Pengeluaran pemerintah sektor pendidikan memiliki koefisien 0,525, artinya apabila pengeluaran pemerintah sektor pendidikan provinsi meningkat sebesar 1 juta rupiah, harapan lama sekolah akan meningkat sebesar 0,525 tahun (ceteris paribus). Menurut Rajkumar et.al. (2008), pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dasar akan lebih efektif dalam meningkatkan pencapaian pendidikan dasar pada negara yang memiliki sistem pemerintahan yang baik. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan SDGs, bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut berkomitmen dalam tujuan keempat SDGs tersebut, yaitu meningkatkan kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua, dan hal tersebut dapat dicapai melalui peningkatan pengeluaran pemerintah sektor pendidikan.

Variabel kontrol Rasio Guru Murid (RGM) memiliki pengaruh yang positif dan signifikan dengan koefisien 0,111. Jika rasio guru murid meningkat 1 persen, harapan lama sekolah akan meningkat sebesar 0,111 tahun (ceteris paribus). Rasio guru-murid yang belum mencapai target dikarenakan guru yang mengajar tidak sesuai dengan bidangnya, kurangnya pengembangan kualitas guru, banyak lulusan sarjana tidak kompeten dengan bidang keilmuannya, serta adanya penerimaan guru (pegawai negeri sipil) yang tidak sesuai dengan kualifikasinya dan adanya guru yang tidak berijazah sarjana atau diploma IV (Rusmawati, 2014).

Page 93: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

084 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Variabel kontrol PDRB per kapita memiliki pengaruh yang positif dan signifikan dengan koefisien 0,096 terhadap harapan lama sekolah, artinya jika PDRB per kapita meningkat sebesar 1 juta rupiah, harapan lama sekolah akan meningkat sebesar 0,096 tahun (ceteris paribus). Dalam penelitian Khairunnisa (2014), pendapatan per kapita dapat mencerminkan kemampuan masyarakat untuk membiayai pendidikan sehingga pendidikan masyarakat akan terus meningkat saat pendapatan mereka meningkat. Menurut Todaro dan Smith (2006) dalam Kairunnisa (2014), biaya pendidikan langsung individual inilah yang berkenaan langsung dengan pendapatan per kapita masyarakat. Biaya pendidikan langsung individual adalah biaya yang ditanggung siswa dan keluarganya untuk membiayai pendidikan. Tingkat permintaan terhadap pendidikan ini berbanding lurus dengan besarnya biaya pendidikan langsung individual. Artinya, semakin tinggi jenjang pendidikan yang dijalani seorang siswa, semakin besar biaya pendidikan langsung individual yang ditanggung (orang tua) siswa.

Variabel rumah tangga dengan akses air bersih (RTAIR) juga memiliki pengaruh positif dan signifikan dengan koefisien 0,018. Apabila terjadinya peningkatan persentase rumah tangga dengan akses air bersih sebesar 1 persen, harapan lama sekolah akan meningkat sebesar 0,018 tahun (ceteris paribus). Hasil penelitian sesuai dengan penelitian Melliana et.al. (2013) yang menyebutkan bahwa rumah tangga dengan akses air bersih berpengaruh terhadap rata-rata lama sekolah.

3. Indikator Kesehatan (Angka Kematian Bayi)Model penelitian ketiga, yaitu menjelaskan pengaruh pengeluaran pemerintah sektor kesehatan terhadap indikator kesehatan berupa angka kematian bayi (AKB) disertai faktor-faktor yang dapat memengaruhinya, seperti konsumsi kalori, tingkat kemiskinan, dan tingkat partisipasi angkatan kerja wanita. Ketiga variabel ini dijadikan sebagai variabel kontrol dalam penelitian ini.

Pengeluaran pemerintah sektor kesehatan mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap angka kematian bayi. Pengeluaran pemerintah sektor kesehatan ini mempunyai nilai koefisien sebesar -24,314 yang artinya jika pengeluaran pemerintah sektor kesehatan provinsi meningkat sebesar 1 juta, angka kematian bayi akan menurun sebesar 24,314 atau setara dengan 24 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup (ceteris paribus). Pengeluaran pemerintah untuk layanan kesehatan yang berkaitan dengan kesehatan bayi dan ibu menjadi penentu penting tingkat kematian bayi (Osawe, 2014).

Variabel konsumsi kalori (KK) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap angka kematian bayi dengan koefisien -0,024 yang artinya jika konsumsi kalori meningkat sebesar 1 kkal, angka kematian bayi akan menurun sebesar 0,024 (ceteris paribus). Penelitian Ismanti (2017), terkait pengaruh konsumsi kalori ini, menyatakan bahwa ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pangan dalam rumah tangga, terutama pada ibu hamil dan anak balita berakibat pada kekurangan gizi. Oleh karena itu, kecukupan kebutuhan dasar pangan, seperti kecukupan akan konsumsi kebutuhan kalori sangat penting dalam rangka perbaikan gizi, sehingga dapat menurunkan angka kematian bayi.

Page 94: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

085 EKONOMI TERAPAN

Tingkat kemiskinan (MIS) memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap angka kematian bayi. Nilai koefisien MIS sebesar 0,431, artinya setiap penurunan 1 persen kemiskinan akan menurunkan angka kematian bayi sebesar 0,431 (ceteris paribus). Dalam penelitian Aisyan et.al. (2011), tingkat kemiskinan berpengaruh signifikan terhadap angka kematian bayi. Hal ini terlihat dari banyaknya kasus bayi meninggal karena ibunya kurang gizi, sedangkan status gizi individu dipengaruhi oleh faktor ekonomi.

Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) wanita memiliki pengaruh positif dan tidak signifikan terhadap angka kematian bayi. Nilai koefisien TPAK wanita sebesar 0,025, artinya setiap penurunan 1 persen TPAK wanita akan menurunkan angka kematian bayi sebesar 0,025 (ceteris paribus). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Osawe et.al. (2014) bahwa TPAK wanita berpengaruh positif, dan sejalan dengan Rezaei et.al. (2015) bahwa TPAK wanita berpengaruh tidak signifikan terhadap angka kematian bayi. Pada awalnya, partisipasi wanita untuk bekerja meningkatkan angka kematian bayi karena kurangnya jasa pengasuhan anak. Namun, seiring dengan pembangunan ekonomi, angka kematian bayi mengalami penurunan walaupun adanya partisipasi wanita untuk bekerja.

4. Indikator Ekonomi (Pengeluaran per Kapita)Model penelitian keempat, yaitu menjelaskan pengaruh total pengeluaran pemerintah terhadap indikator ekonomi berupa pengeluaran per kapita (PKAP) disertai faktor-faktor yang dapat memengaruhinya, seperti PDRB per kapita, tingkat kemiskinan, dan rasio ketergantungan. Ketiga variabel ini dijadikan sebagai variabel kontrol dalam penelitian ini.

Pengeluaran pemerintah mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap pengeluaran per kapita. Pengeluaran pemerintah mempunyai nilai koefisien sebesar 0,108 yang artinya jika pengeluaran pemerintah provinsi meningkat sebesar 1 juta rupiah, pengeluaran per kapita akan meningkat sebesar 0,108 juta rupiah (ceteris paribus). Hasil penelitian sejalan dengan penelitian Yusuf et.al. (2016) bahwa belanja pemerintah sangat erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah untuk mengatur perekonomian negara. Semakin besar belanja pemerintah untuk masyarakat, semakin meningkatkan perekonomian masyarakat.

Variabel PDRB per kapita berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengeluaran per kapita dengan koefisien 0,071 yang artinya jika PDRB per kapita meningkat sebesar 1 juta rupiah, pengeluaran per kapita akan meningkat sebesar 0,071 juta rupiah (ceteris paribus). Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Profesor Kuznet bahwa salah satu ciri pertumbuhan ekonomi adalah tingginya pertumbuhan output per kapita (Todaro, 2006) yaitu kenaikan PDRB per kapita akan meningkatkan pola konsumsi dan daya beli masyarakat. Kenaikan daya beli ini akan meningkatkan nilai IPM karena salah satu indeks komposit pembentuk IPM adalah daya beli.

Tingkat kemiskinan (MIS) memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap pengeluaran per kapita. Nilai koefisien tingkat kemiskinan sebesar -0,019, artinya setiap penurunan 1 persen kemiskinan akan meningkatkan pengeluaran per kapita sebesar 0,019 juta rupiah (ceteris paribus). Menurut Todaro (2006), faktor kemiskinan dapat berpengaruh

Page 95: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

086 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

terhadap pencapaian laju perekonomian. Salah satunya adalah kemiskinan yang meluas menciptakan kondisi yang membuat kaum miskin tidak mempunyai akses terhadap pinjaman kredit, tidak mampu membiayai pendidikan anaknya, tidak mempunyai peluang investasi fisik dan moneter, yang menyebabkan pertumbuhan per kapita lebih kecil.

Rasio ketergantungan (RK) memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap pengeluaran per kapita. Nilai koefisien RK sebesar 0,095, artinya setiap penurunan 1 persen RK akan meningkatkan pengeluaran per kapita sebesar 0,095 juta rupiah (ceteris paribus). Tingkat ketergantungan penduduk digunakan untuk melihat gambaran besarnya beban yang harus ditanggung oleh setiap penduduk berusia produktif terhadap penduduk yang tidak produktif. Hal tersebut sejalan dengan model daur hidup (Life-Cycle Model) untuk kebiasaan konsumsi serta tabungan yang dikemukakan oleh Modigliani dan Brumberg (1954), dan Ando dan Modigliani (1963) dalam Bhakti et.al. (2014) mengasumsikan bahwa umur atau usia masyarakat memengaruhi pola perilaku konsumsinya.

D. KesimpulanBerdasarkan hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang memengaruhi peningkatan kualitas modal manusia pada provinsi di Indonesia tahun 2010—2017, diperoleh kesimpulan sebagai berikut.

1. Untuk indikator pendidikan, faktor-faktor yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah adalah pengeluaran pemerintah sektor pendidikan, rasio guru-murid, PDRB per kapita, dan rumah tangga akses air bersih. Dampak implementasi kebijakan otonomi pada pemerintah provinsi mengakibatkan alokasi anggaran pendidikan meningkat. Meskipun pelaksanaan anggaran sektor pendidikan cukup efektif, namun masih ada beberapa tantangan untuk mencapai program wajib belajar sembilan tahun.

2. Untuk indikator kesehatan, faktor-faktor yang berpengaruh negatif dan signifikan terhadap angka kematian bayi ialah pengeluaran pemerintah sektor kesehatan dan konsumsi kalori. Untuk tingkat kemiskinan, berpengaruh positif dan signifikan terhadap angka kematian bayi, sedangkan tingkat partisipasi angkatan kerja wanita berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap angka kematian bayi.

3. Untuk indikator ekonomi, faktor-faktor yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengeluaran per kapita adalah pengeluaran pemerintah dan PDRB per kapita, sedangkan tingkat kemiskinan dan rasio ketergantungan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pengeluaran per kapita.

4. Faktor yang mempunyai pengaruh terbesar terhadap peningkatan kualitas modal manusia, baik dari indikator pendidikan, indikator kesehatan maupun indikator ekonomi, secara berturut-turut adalah pengeluaran pemerintah sektor pendidikan, pengeluaran pemerintah sektor kesehatan, dan total pengeluaran pemerintah.

5. Kelemahan penelitian ini adalah bahwa kerangka pemikiran yang disusun oleh penulis merupakan modifikasi dari berbagai artikel. Dari setiap artikel yang dijadikan sumber rujukan, penulis hanya mengambil satu atau beberapa variabel saja untuk digunakan dalam model penelitian.

Page 96: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

087 EKONOMI TERAPAN

E. Saran Kebijakan1. Indikator Pendidikan

Beberapa rekomendasi untuk peningkatan kualitas modal manusia melalui peningkatan rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah, yaitu:

a. meningkatkan alokasi pengeluaran pemerintah sektor pendidikan, minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), karena sebagian besar pemerintah daerah provinsi masih mengalokasikan pengeluaran pendidikan kurang dari 20 persen;

b. memperhatikan dan mengontrol jalannya alokasi pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan tersebut agar lebih tepat sasaran;

c. menggalakkan program-program untuk meningkatkan lama sekolah, seperti bantuan transportasi siswa, bantuan tunai untuk biaya sekolah, bantuan khusus murid miskin, maupun program lainnya, termasuk membuka dan memperbaiki akses terhadap fasilitas pendidikan;

d. mendistribusikan guru dan peralatan pendidikan secara merata, terutama untuk daerah Papua yang rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolahnya paling rendah, bahkan tidak memenuhi anjuran pemerintah wajib belajar 9 tahun;

e. memperkuat sinergi program kebijakan pendidikan dengan program lainnya. Contohnya kebijakan pendidikan dengan kesehatan karena sinerginya kedua sektor tersebut dapat saling mendukung tercapainya tujuan pendidikan maupun tujuan kesehatan.

2. Indikator Kesehatan

Beberapa rekomendasi untuk peningkatan kualitas modal manusia melalui penurunan angka kematian bayi:

a. meningkatkan penyuluhan, pembagian pamflet dan brosur makanan bergizi dan pemberian informasi tentang antenatal care (pemeriksaan kehamilan yang dilakukan oleh dokter/bidan) kepada masyarakat khususnya ibu hamil;

b. menurunkan jumlah atau angka kemiskinan yang ada dan meningkatkan PDRB per kapita dari masyarakatnya;

c. meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan, dengan cara lebih meningkatkan fasilitas dan peralatan kesehatan, meningkatkan anggaran kesehatan dan menurunkan biaya kesehatan yang dikeluarkan masyarakat dan lebih peduli terhadap kesehatan masyarakat secara keseluruhan;

d. memaksimalkan pelaksanaan keamanan persalinan bagi masyarakat miskin;

e. meningkatkan dana pemerintah, terutama untuk program penurunan angka kematian bayi;

Page 97: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

088 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

f. memperkuat sinergi program kebijakan kesehatan dengan program lainnya. Misalnya dengan program pendidikan agar tujuan kesehatan dan tujuan pendidikan dapat tercapai.

3. Indikator Ekonomi

Beberapa rekomendasi untuk peningkatan kualitas modal manusia melalui peningkatan pengeluaran per kapita:

a. meningkatkan pembelian produk-produk yang dihasilkan oleh masyarakat agar pertumbuhan ekonomi meningkat;

b. menurunkan tingkat kemiskinan yang ada di setiap provinsi;

c. meningkatkan partisipasi kerja untuk usia 15–64 tahun.

Page 98: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

08► Nama : Aris Rismanto

► Unit Organisasi : Badan Kepegawaian dan Diklat Pemerintah Kota Cirebon

► Program Studi : Magister Ekonomi Terapan

► Negara Studi : Indonesia

► Universitas : Universitas Padjajaran Bandung

EFISIENSI TEKNIS INDUSTRI MIKRO DAN KECIL (IMK) INDONESIA PERIODE 2013—2015 DENGAN PENDEKATAN STOCHASTIC FRONTIER ANALYSIS (SFA)

Page 99: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

090 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat efisiensi teknis Industri Mikro dan Kecil (IMK) di Indonesia dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Data yang digunakan adalah data survei Industri Mikro dan Kecil (IMK) Tahunan Periode 2013—2015 pada tingkat perusahaan yang dikelompokkan berdasarkan klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia (KBLI) 2 digit yang bersumber dari Badan Pusat Statistik Indonesia.

Efisiensi teknis dianalisis dengan pendekatan parametrik menggunakan metode Stochastic Frontier Analysis (SFA) pada fungsi produksi Cobb-Douglas dengan parameter Maximum Likelihood Estimated (MLE). Faktor yang memengaruhi efisiensi teknis diestimasi dengan menggunakan metode Ordinary Least Squares (OLS).

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa Industri Mikro dan Kecil yang diteliti secara teknis belum efisien. Rata-rata nilai efisiensi teknis selama periode 2013—2015 adalah sebesar 0,536 (tahun 2013), 0,559 (tahun 2014) dan 0,569 (tahun 2015). Hal ini mengindikasikan bahwa IMK masih dapat meningkatkan output produksinya sebesar 46,4%, 44,1%, dan 43,1% dengan input dan teknologi yang sama (tanpa adanya penambahan input). Variabel ukuran usaha, keanggotaan koperasi, kemitraan, dan pendidikan pemilik usaha ditemukan berpengaruh positif terhadap efisiensi teknis industri mikro dan kecil, sedangkan variabel usia perusahaan berpengaruh negatif terhadap efisiensi teknis.

► Kata Kunci: Efisiensi Teknis, Industri Mikro dan Kecil, KBLI 2 Digit, Fungsi Produksi Cobb-Douglas, MLE, Stochastic Frontier Analysis (SFA)

Page 100: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

091 EKONOMI TERAPAN

ABSTRACT

This study aims to determine the level of technical efficiency of the Micro and Small Industries (MSI) in Indonesia and the factors that influence them. The data used are the annual 2013—2015 Micro and Small Industries (MSI) survey data at the company level which are grouped based on the 2-digit ISIC sourced from the Indonesian Central Bureau of Statistics.

Technical efficiency was analyzed by a parametric approach using the Stochastic Frontier Analysis (SFA) method on the Cobb-Douglas production function with the Maximum Likelihood Estimated (MLE) parameter. Factors that influence technical efficiency are estimated using the Ordinary Least Squares (OLS) method.

The results obtained in this study indicate that the Micro and Small Industries studied were technically not efficient. The average value of technical efficiency during the period 2013-2015 was 0.536 (in 2013), 0.559 (in 2014) and 0.569 (in 2015), indicating that MSI could still increasing production output by 46.4%, 44.1% and 43.1% with the same input and technology (without additional inputs). Business size variables, cooperative membership, partnership, and business owner education were found to have a positive effect on the technical efficiency of micro and small industries, while company age variables negatively affected technical efficiency.

► Keywords: Technical Efficiency, Micro and Small Industries, 2-digit ISIC, Cobb-Douglas Production Function, MLE, Stochastic Frontier Analysis (SFA)

Page 101: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

092 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

EFISIENSI TEKNIS INDUSTRI MIKRO DAN KECIL (IMK) INDONESIA PERIODE 2013—2015 DENGAN PENDEKATAN STOCHASTIC

FRONTIER ANALYSIS (SFA)A. Latar BelakangIndustri Mikro dan Kecil (IMK) merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan ekonomi suatu wilayah karena merupakan salah satu penggerak utama pertumbuhan ekonomi masyarakat yang dapat memperkuat perekonomian nasional. Potensinya yang cukup besar dan tersebar di seluruh pelosok tanah air, bahkan hingga ke daerah pedesaan menjadikannya layak mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Dengan tingkat intensitas tenaga kerja yang relatif lebih tinggi dan jumlah investasi yang relatif kecil, IMK dapat lebih fleksibel dan beradaptasi terhadap perubahan pasar. IMK tidak terlalu terpengaruh oleh tekanan eksternal karena dapat tanggap menangkap peluang untuk subsitusi impor dan meningkatkan supply (persediaan) domestik. Pengembangan IMK dapat memberikan kontribusi pada diversifikasi industri dan percepatan perubahan struktur sebagai pra kondisi pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang stabil dan berkesinambungan (Profil Industri Mikro dan Kecil, 2014).

Perusahaan mikro dan kecil juga memainkan peran penting dalam mendorong stabilitas pendapatan, pertumbuhan ekonomi dan pekerjaan, serta berkontribusi pada pembangunan daerah, pengentasan kemiskinan, dan pemberdayaan ekonomi bagi minoritas dan perempuan. Dengan demikian, perusahaan mikro dan kecil diharapkan dapat berpartisipasi dalam memacu pertumbuhan ekonomi nasional (Harvie, 2008). Hal ini terbukti saat terjadi krisis moneter pada tahun 1997 di Indonesia dan kawasan ASEAN lainya, perusahaaan mikro dan kecil dinilai mampu bertahan saat krisis ekonomi dibandingkan perusahaan besar karena mampu merespons lebih cepat dan fleksibel terhadap krisis ekonomi (Berry et.al., 2001).

Meskipun bukan penghasil output dan nilai tambah (value added) terbesar, dalam hal penyerapan tenaga kerja dan penciptaan lapangan usaha, IMK terbukti memiliki peran yang lebih besar dibanding Industri Besar dan Sedang (IBS) sehingga dapat mengurangi salah satu masalah yang dihadapi oleh setiap negara berkembang, yaitu banyaknya jumlah pengangguran. Dari tabel 1.2 terlihat bahwa pada tahun 2014 dan 2015, jumlah tenaga kerja yang bekerja pada subsektor IMK mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Sekalipun demikian, tingkat penyerapannya rata-rata masih di atas 60%. selama periode 2012—2015 rata-rata tingkat penyerapan tenaga kerja sub sektor IMK adalah sebesar 63,8% dari seluruh tenaga kerja yang bekerja di sektor industri pengolahan, jumlah ini lebih besar dari subsektor IBS yang hanya menyerap rata-rata sekitar 36,2% tenaga kerja.

Page 102: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

093 EKONOMI TERAPAN

Dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi, jelas bahwa IMK merupakan sektor padat karya yang mampu menyerap tenaga kerja lokal dan mengurangi arus urbanisasi tenaga kerja produktif ke kota-kota besar sehingga berkontribusi menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan.

Selama periode 2012—2015, pertumbuhan produksi IMK mengalami penurunan pada tahun 2014, yaitu sebesar 4,91% dari tahun sebelumnya yang mencapai 7,51%. Walaupun pada tahun 2015 meningkat kembali menjadi 5,71%, secara umum produktivitasnya selama tahun 2014—2015 masih rendah jika dibandingkan tahun 2012—2013.

Pertumbuhan produksi yang rendah menunjukkan kinerja antara input dan output yang belum optimal karena secara umum produksi adalah proses mengombinasikan, mentransformasikan, dan mengubah input menjadi output (Case & Fair, 2007). Dengan demikian, tingkat efisiensi dalam penggunaan input akan menentukan seberapa besar output yang dihasilkan. Perusahaan yang secara teknis lebih efisien menghasilkan nilai output yang lebih besar dibandingkan perusahaan yang tidak menggunakan inputnya dengan efisien.

Salah satu komponen dari efisiensi ekonomi adalah efisiensi teknis. Menurut Farrel (1957), efisiensi teknis adalah kemampuan perusahaan untuk mencapai output semaksimal mungkin dari sejumlah input yang digunakan. Menurut Sianturi (2015), efisiensi teknis dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Sebagian besar penelitian memasukkan faktor sosio-ekonomi untuk melihat pengaruhnya terhadap efisiensi teknis suatu usaha. Faktor-faktor tersebut bisa berpengaruh positif atau negatif terhadap efisiensi teknis suatu usaha. Adanya pengaruh yang berbeda dari faktor-faktor ini tentu saja berpengaruh secara langsung pada produksi dan produktivitas suatu usaha. Faktor-faktor yang berpengaruh positif akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas yang akan memberikan keuntungan kepada para pelaku usaha. Sebaliknya, faktor-faktor yang berpengaruh negatif menyebabkan efisiensi yang rendah dan mengindikasikan adanya pemborosan atau penggunaan faktor-faktor yang kurang tepat sehingga bisa merugikan pelaku usaha.

Beberapa peneliti memasukkan faktor usia perusahaan, ukuran perusahaan, kepemilikan, sebagai faktor sosio-ekonomi yang memengaruhi efisiensi teknis (Charoenrat dan Harvie, 2013), ada juga yang memasukan faktor pendidikan pemilik usaha, usia pemilik usaha, dan faktor lokasi sebagai faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis (Njiku dan Nyamsogoro, 2018).

Sejumlah penelitian mengenai efisiensi teknis dan faktor yang memengaruhinya sudah banyak dilakukan, baik oleh peneliti dari luar maupun dalam negeri khususnya pada sektor pertanian, perbankan, dan industri. Akan tetapi, di Indonesia, penelitian mengenai efisiensi teknis industri mikro dan kecil masih sangat sedikit. Kebanyakan peneliti memfokuskan pada sektor industri besar dan sedang sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh Ayu Manik Pratiwi, dkk. (2014) yang meneliti mengenai efisiensi dan produktivitas industri besar dan sedang di provinsi Bali, ataupun peneliti yang secara langsung meneliti tingkat efisiensi dan kinerja dari perusahaan tertentu (khususnya usaha kecil dan menengah) seperti penelitian yang dilakukan oleh Purwanto, dkk. (2013) yang menganalisis tingkat efisiensi teknis, efisiensi alokatif, efisiensi pendapatan, dan efisiensi ekonomi UKM Tahu di Salatiga.

Page 103: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

094 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Berdasarkan fenomena di atas dan mengingat peran dan potensi industri mikro dan kecil yang cukup besar dalam perekonomian nasional, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai efisiensi teknis industri mikro dan kecil di Indonesia beserta faktor-faktor yang memengaruhinya.

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisBerdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana tingkat efisiensi teknis industri mikro dan kecil di Indonesia?

2. Faktor apa yang memengaruhi efisiensi teknis industri mikro dan kecil di Indonesia?

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif dan kuantitatif. Metode pendekatan deskriptif mengandung pengertian bahwa penelitian disusun berdasarkan data yang bersumber dari data sekunder, jurnal, studi literature, dan hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan permasalahan, sedangkan metode pendekatan kuantitatif mengandung arti bahwa penelitian ini berdasarkan pada data-data empirik dan dilakukan melalui pemodelan ekonometrika yang diinterpretasikan melalui aspek statistik dan ekonomi mengenai hubungan antara variabel-variabel dalam penelitian.

Objek penelitian adalah negara Indonesia, dengan unit analisisnya, yaitu Industri Mikro dan Kecil (IMK) yang dikelompokkan berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). Pemilihan objek dan unit analisis dikarenakan IMK memiliki peran dan potensi yang cukup besar dalam menopang perekonomian nasional Indonesia.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Analisis Ekonomi Koefisien modal bernilai positif dan berpengaruh nyata terhadap nilai tambah pada tingkat kepercayaan sebesar 99%. Nilai koefisien (elastisitas) modal terhadap nilai tambah sebesar 0,091 menunjukkan bahwa penambahan modal sebesar 1% akan meningkatkan nilai tambah sebesar 0,091% dengan asumsi variabel lain tetap (ceteris paribus). Nilai elastisitas modal yang dihasilkan mengindikasikan kurangnya produktivitas dari modal yang digunakan dalam proses produksi. Banyaknya input modal yang digunakan ternyata kurang mampu meningkatkan nilai output IMK secara optimal. Penambahan barang modal ataupun penggantian barang modal yang sudah tua/rusak, seperti mesin dan peralatan dapat dilakukan oleh perusahaan IMK untuk meningkatkan output produksinya.

Tenaga kerja berpengaruh positif dan nyata terhadap nilai tambah IMK dengan tingkat kepercayaan 99%. Nilai koefisien (elastisitas) tenaga kerja sebesar 0,587 yang menunjukkan bahwa penambahan tenaga kerja sebesar 1% akan meningkatkan nilai tambah IMK sebesar 0,587%. Secara teoretis, dengan jumlah tenaga kerja yang semakin banyak, kemampuan berproduksi suatu unit usaha akan semakin besar dengan asumsi variabel lainnya adalah tetap (ceteris paribus). Nilai elastisitas tenaga kerja yang tinggi

Page 104: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

095 EKONOMI TERAPAN

dibandingkan variabel lain mengindikasikan bahwa industri mikro dan kecil (IMK) adalah sektor padat karya (labour intensive) dan menunjukkan bahwa tenaga kerja adalah faktor yang paling penting dalam meningkatkan output produksi.

Bahan baku berpengaruh positif dan nyata pada tingkat kepercayaan 99%. Nilai koefisien (elastisitas) bahan baku sebesar 0,413 yang menunjukkan bahwa penambahan bahan baku sebesar 1% akan meningkatkan nilai tambah IMK sebesar 0,413 dengan asumsi variabel lain tetap (ceteris paribus). Nilai elastisitas bahan baku berada pada urutan ke-2 terbesar setelah tenaga kerja. Hal ini juga menunjukkan bahwa potensi peningkatan output produksi terbesar selain tenaga kerja adalah penggunaan bahan baku. Hal ini dimungkinkan karena mayoritas IMK didominasi oleh industri makanan, yaitu kurang lebih jumlahnya sebesar 37,7% (lampiran 3) dalam proses produksinya sangat bergantung pada penggunaan bahan baku. Hal ini sesuai dengan penelitian Margono (2004) dalam Pratiwi, A.M., dkk. (2014) yang menyatakan bahwa salah satu sumber output terbesar dari sektor industri makanan dan minuman adalah bahan baku.

Bahan bakar dan pelumas berpengaruh positif dan nyata pada tingkat kepercayaan 99%. Nilai koefisien (elastisitas) bahan bakar dan pelumas sebesar 0,100 menunjukkan bahwa peningkatan jumlah bahan bakar dan pelumas sebesar 1% akan meningkatkan nilai tambah IMK sebesar 0,100% dengan asumsi variabel lain tetap (ceteris paribus).

2. Analisis Ekonomi

a. Faktor ukuran usahaUkuran usaha merupakan salah satu faktor spesifik perusahaan yang signifikan memengaruhi kinerja perusahaan. Dalam penelitian ini, variabel ukuran usaha yang digunakan berupa dummy variabel (1=industri kecil, 0=industri mikro), sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa perbedaan industri mikro dan kecil hanya didasarkan pada banyaknya jumlah tenaga kerja (BPS). Hasil regresi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara ukuran usaha dan tingkat efisiensi teknis perusahaan, yaitu sebesar 0,003 pada tingkat kepercayaan (α=5%). Hal ini menyiratkan bahwa perusahaan dengan skala kecil secara teknis lebih efisien daripada perusahaan dengan skala mikro dengan rata-rata perbedaan efisiensi teknis sebesar 0,003. Menurut Chapelle dan Plane (2005), perusahaan besar dengan pengetahuan manajerialnya akan menawarkan kerangka organisasi yang lebih baik untuk mengurangi biaya transaksi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Setiawan, et.al., (2016) yang menganalisis mengenai efisiensi teknis perusahaan mikro, kecil, dan menengah di Kota Bandung dan faktor yang memengaruhinya, hasilnya menunjukkan bahwa semakin besar ukuran suatu perusahaan, tingkat efisiensinya juga semakin besar. Setiawan, et.al. (2019) juga menyimpulkan hasil yang sama terkait penelitiannya mengenai efisiensi teknis perusahaan mikro dan kecil di Indonesia bahwa perusahaan kecil memiliki skala ekonomi yang lebih baik daripada perusahaan mikro. Hal ini karena perusahaan kecil memiliki kapasitas dan

Page 105: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

096 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

output yang lebih besar dibandingkan perusahaan mikro sehingga lebih efisien secara teknis dibandingkan perusahaan mikro.

Hill dan Kalirajan (1993) juga mendapatkan hal yang serupa dari hasil penelitiannya terhadap industri garmen di Indonesia bahwa perusahaan besar lebih efisien karena memperoleh manfaat yang lebih besar dari sisi manajemen. Dengan demikian, semakin besar ukuran perusahaan, semakin banyak tenaga kerja tersedia sehingga mampu meningkatkan efisiensi perusahaan. Hal ini sejalan juga dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Pitt dan Lee (1981), Lundvall & Battese (2000); Admassie & Matambalya (2002); Yang (2006); Tran, et.al. (2008); Amornkitvikai & Harvie (2011); dan Tingum dan Ofeh (2017) yang menemukan bahwa ukuran perusahaan memiliki hubungan yang signifikan dan positif dengan efisiensi teknisnya.

b. Faktor Usia PerusahaanUsia perusahaan memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap efisiensi teknis industri mikro dan kecil (IMK), yaitu sebesar -2,796*10-4 dengan tingkat kepercayaan (α=1%). Hasil ini menunjukkan bahwa efisiensi teknis menurun seiring dengan meningkatnya usia perusahaan. Artinya setiap penambahan usia perusahaan sebanyak 1 (satu) tahun efisiensi teknis menurun sebesar 2,796*10-4.

Secara umum, perusahaan dengan usia yang masih baru cenderung memiliki tingkat efisiensi teknis yang lebih baik dibandingkan perusahaan yang telah lama beroperasi. Perusahaan yang sudah lama beroperasi memang memiliki keunggulan dari sisi pengalaman, tetapi perusahaan tersebut umumnya tidak mau menerima atau mengadopsi teknologi baru sehingga tidak mampu bersaing dengan perusahaan baru yang cenderung lebih proaktif, fleksibel, dan inovatif dalam menjalankan usahanya, yang dengan teknologi yang baru, perusahaan juga dapat menghemat lebih banyak biaya dengan kualitas yang lebih baik dan akhirnya mampu meningkatkan nilai efisiensi teknisnya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hill dan Kalirajan (1993), Le dan Harvie (2010), Charoenrat dan Harvie (2013), dan Tingum dan Ofeh (2017), dan Setiawan, et al (2018) yang melihat adanya hubungan yang negatif antara efisiensi teknis dan usia perusahaan.

c. Keanggotaan koperasi (cooporative)Keikutsertaan suatu perusahaan dalam kelompok usaha tertentu atau dalam hal ini koperasi, memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap efisiensi teknis sebesar 0,016 dengan tingkat kepercayaan (α=1%). Keanggotaan koperasi dianalisis dengan menggunakan dummy variable di mana angka 1 menunjukkan perusahaan tersebut menjadi anggota koperasi dan 0 tidak menjadi anggota koperasi. Tanda positif menyiratkan bahwa perusahaan IMK yang ikut serta menjadi anggota koperasi secara teknis lebih efisien dibandingkan perusahaan IMK yang tidak menjadi anggota koperasi dengan rata-rata perbedaan efisiensi teknis sebesar 0,016. Terlibatnya perusahaan di dalam kelompok memberikan kesempatan bagi perusahaan tersebut untuk berbagi informasi dengan perusahaan lainnya, terutama

Page 106: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

097 EKONOMI TERAPAN

informasi yang menyangkut harga input, pemasaran, akses kredit, praktik produksi secara modern, dan sebagainya. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Galawat dan Yabe, (2012) dan Charoenrat dan Harvie (2012) yang mengungkapkan hal yang sama bahwa variabel cooporative memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap efisiensi teknis usaha manufaktur (skala kecil dan menengah).

d. Faktor KemitraanAnalisis keterkaitan antara faktor kemitraan dan efisiensi teknis menunjukkan hasil bahwa kemitraan berpengaruh positif dan signifikan terhadap efisiensi teknis sebesar 0,006 dengan tingkat kepercayaan (α=1%). Variabel ini dianalisis dengan menggunakan dummy variabel di mana angka 1 adalah untuk perusahaan yang menjalin kemitraan dan 0 adalah untuk perusahaan yang tidak menjalin kemitraan. Tanda positif menyiratkan bahwa perusahaan yang menjalin kemitraan secara teknis lebih efisien dibanding dengan perusahaan yang tidak menjalankan kemitraan dengan rata-rata perbedaan efisiensi teknis sebesar 0,006. Menjalin kemitraan/kerja sama perusahaan dan pelaku usaha dapat mendapatkan beragam manfaat yang dapat mendorong peningkatan usaha, di antaranya yaitu tersalurnya informasi yang beragam, adanya kemudahan memperoleh input usaha, maupun memasarkan output usaha, memiliki jaringan (network) yang banyak dan baik, memungkinkan menarik/menggunakan sumber daya atau keahlian dan sebagainya dari mitra kerja-nya sehingga lebih efisien. Di antara bentuk kemitraan yang bisa dilakukan adalah dalam bentuk uang, bahan baku, pemasaran, mesin, barang modal/peralatan dan lainnya hasilnya sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Charoenrat dan Harvie (2013), Fay (1998); Cooper & Dunkelberg (2006); Fernández & Nieto (2006) yang menangkap adanya pengaruh yang positif dari variabel kemitraan terhadap efisiensi teknis suatu usaha.

e. Faktor Pendidikan Pemilik UsahaHasil analisis terhadap variabel pendidikan pemilik usaha, dalam kaitannya dengan efisiensi teknis suatu usaha, menunjukkan hasil bahwa pendidikan pemilik usaha berpengaruh positif dan signifikan terhadap efisiensi teknis sebesar 0,004 dengan tingkat kepercayaan (α=1%). Efisiensi teknis bertambah seiring dengan bertambahnya pendidikan pemilik usaha sebesar 0,004, yang berarti bahwa lama pendidikan pemilik usaha naik 1 (satu) tahun akan meningkatkan efisiensi teknis perusahaan sebesar 0,004. Dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, seorang pelaku usaha memiliki pengetahuan dan wawasan yang lebih banyak. Seseorang yang berpendidikan tinggi lebih terbuka dengan adanya beragam informasi dan perkembangan teknologi sehingga memungkinkan mereka lebih mampu menyerap informasi dan mengadopsi teknologi yang ada. Di samping itu, dengan pendidikan yang tinggi, para pelaku usaha mengelola organisasi bisnisnya dengan lebih baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Setiawan, et.al. (2019) yang menemukan hubungan yang positif antara pendidikan pemilik usaha dan efisiensi teknis perusahaan mikro dan kecil di Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan

Page 107: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

098 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

bahwa perusahaan yang pemiliknya merupakan lulusan perguruan tinggi memiliki nilai efisiensi teknis lebih tinggi dibanding perusahaan dengan pemilik bukan lulusan dari perguruan tinggi. Pemilik usaha dengan lulusan perguruan tinggi dimungkinkan memiliki lebih banyak pengetahuan tentang cara menghemat lebih banyak sumber daya dan memasarkan produk mereka, memiliki lebih banyak jaringan, sehingga mampu meningkatkan kinerja bisnisnya. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Jude (2007), Abu dan Kirsten (2009), Susilowati dan Tinaprilla (2012), serta Njiku dan Nyamsogoro (2018) yang menemukan korelasi positif antara pendidikan dengan efisiensi teknis suatu usaha.

D. KesimpulanBBerdasarkan hasil penelitian analisis efisiensi teknis INDUSTRI MIKRO DAN KECIL (IMK) periode 2013—2015 dengan pendekatan Stochastic Frontier Analysis (SFA) diperoleh hasil sebagai berikut.

1. Rata-rata nilai efisiensi teknis IMK selama periode 2013—2015 adalah sebesar 0,536 (tahun 2013), 0,559 (tahun 2014), dan 0,569 (tahun 2015). Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan IMK yang diteliti secara teknis belum efisien.

2. Variabel ukuran usaha yang dianalisis dengan menggunakan dummy variabel (1=usaha kecil, dan 0=usaha mikro) menunjukkan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap efisiensi teknis. Ini artinya perusahaan dengan skala usaha kecil secara teknis lebih efisien dibandingkan perusahaan dengan skala usaha mikro. Variabel usia perusahaan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap efisiensi teknis. Hal ini menyiratkan bahwa semakin tua usia perusahaan, semakin menurun tingkat efisiensinya. Variabel keanggotaan koperasi menunjukkan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap efisiensi teknis. Ini artinya secara teknis, perusahaan IMK yang tergabung dengan koperasi lebih efisien dibandingkan perusahaan IMK yang tidak bergabung dengan koperasi. Demikian pula, dengan variabel kemitraan, perusahaan IMK yang terlibat dalam kemitraan menunjukkan pengaruh yang positif terhadap efisiensi teknisnya. Kemudian, variabel pendidikan pemilik usaha menunjukkan hasil yang signifikan dan positif terhadap efisiensi teknis. Pemilik usaha dengan tingkat pendidikan lebih tinggi secara teknis lebih efisien dibandingkan dengan pemilik usaha dengan tingkat pendidikan yang rendah.

E. Saran Kebijakan1. Mendorong pengembangan skala usaha melalui pemberian bantuan barang modal

dari pemerintah dan memberikan kemudahan akses kredit/pemodalan.

2. Peningkatan usia perusahaan menyebabkan penurunan tingkat efisiensi pada industri mikro dan kecil (IMK), penekanan harus dilakukan pada penggantian modal yang ada berupa mesin-mesin dan peralatan yang dipakai sebagai cara dalam meningkatkan kemampuan produksi.

Page 108: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

099 EKONOMI TERAPAN

3. Peningkatan kemampuan pemilik usaha melalui pendidikan, seminar, dan pelatihan agar informasi dan pengetahuan pemilik usaha menjadi berkembang sehingga mendorong inovasi dan kreativitas.

4. Mendorong peran aktif koperasi dalam membantu pengembangan usaha IMK dan memberikan arahan pentingnya koperasi dalam meningkatkan kinerja IMK melalui kemudahan dalam memperoleh informasi terkait bahan baku, pemasaran, dan sebagainya.

5. Mendorong IMK yang belum menjalin kemitraan baik vertikal ataupun horizontal, agar bisa ikut ke dalam program kemitraan.

6. Meningkatkan belanja pemerintah, khususnya terkait perluasan dan pengembangan Industri Mikro dan Kecil (IMK) di Indonesia.

Page 109: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

100 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Page 110: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

09► Nama : Rizki Budi Prasetio

► Unit Organisasi : BPS Kabupaten Serang

► Program Studi : Magister Ekonomi Terapan

► Negara Studi : Indonesia

► Universitas : Universitas Padjajaran Bandung

ANALISIS DEINDUSTRIALISASI DI PULAU JAWA: DENGAN PENDEKATAN HUKUM KALDOR PERTAMA

Page 111: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

102 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran mengenai deindustrialisasi di Pulau Jawa selama kurun waktu 2003–2017. Fenomena deindustrialisasi yang sedang terjadi dianalisis melalui pendekatan hukum Kaldor pertama, kemudian dianalisis faktor-faktor yang memengaruhi deindustrialisasi.

Penelitian ini menggunakan lima model ekonometrika, di mana pada model I, II, dan III merupakan persamaan model pendekatan hukum Kaldor pertama, sedangkan model IV dan V adalah model determinan deindustrialisasi dari sisi proporsi nilai tambah manufaktur dan proporsi pekerja manufaktur dengan menggunakan data panel 6 provinsi selama 15 tahun, yakni tahun 2003–2017. Secara spesisifik, penelitian ini menggunakan metode Generalized Least Square (GLS), sedangkan hubungan antara variabel dijelaskan dengan analisis deskriptif.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah melalui pendekatan hukum Kaldor pertama, disimpulkan bahwa sektor manufaktur bukanlah mesin pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa, walaupun pertumbuhan output manufaktur berpengaruh positif dan signifikan tehadap pertumbuhan ekonomi. Pada model determinan deindustrialisasi diperoleh bahwa pendapatan per kapita, pertumbuhan produktivitas pekerja, investasi modal tetap, dan trade balance berpengaruh signifikan terhadap deindustrialisasi, baik dari sisi proporsi nilai tambah manufaktur maupun proporsi pekerja manufaktur.

► Kata Kunci: Deindustrialisasi, Hukum Kaldor Pertama, Pendapatan Per Kapita, Pertumbuhan Produktivitas Pekerja, Investasi Modal Tetap dan Trade Balance

Page 112: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

103 EKONOMI TERAPAN

ABSTRACT

This study aims to obtain a description of deindustrialization on Java Island during the period of 2003—2017. The ongoing phenomenon of deindustrialization is analyzed through the Kaldor’s fisrt law approach, then analyzed the factors that influence deindustrialization.

This study uses five econometric models, in which models I, II and III are the equation of the Kaldor’s fisrt law approach model, while models IV and V are deindustrialization determinants in terms of the proportion of manufacturing value added and the proportion of manufacturing workers. Using panel data of 6 provinces for 15 years, since 2003 to 2017. Specifically, this study uses the Generalized Least Square (GLS) method. While variables correlation are explained by descriptive analysis.

The results obtained from this study are that through Kaldor’s fisrt law approach, it was concluded that the manufacturing sector is not the engine of economy growth in Java, although manufacturing output growth has a positive and significant effect on economic growth. In the deindustrialization determinant model, it is found that per capita income, worker productivity growth, fixed capital investment and trade balance have a significant effect on deindustrialization both in terms of the proportion of manufacturing value added and the proportion of manufacturing workers.

► Keywords: Deindustrialization, Kaldor’s First Law, Per Capita Income, Worker Productivity Growth, Fixed Capital Investment and Trade Balance

Page 113: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

104 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ANALISIS DEINDUSTRIALISASI DI PULAU JAWA: DENGAN PENDEKATAN HUKUM

KALDOR PERTAMAA. Latar BelakangIndonesia merupakan sebuah negara industri. Laporan United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) menunjukkan, Indonesia menempati peringkat ke-9 dunia sebagai negara penghasil nilai tambah terbesar dari sektor industri. Oleh karena itu, adanya deindustrialisasi yang terjadi menjadi sebuah ancaman bagi negara industri untuk menggunakan sektor industri manufaktur sebagai mesin pertumbuhan ekonominya.

Fenomena deindustrialisasi dapat dinilai sebagai sesuatu yang positif atau negatif bergantung pada berbagai sudut pandang. Dikatakan positif jika deindustrialisasi tersebut menciptakan kesejahteraan yang lebih tinggi, seperti di negara-negara maju. Pendapatan per kapita yang sangat tinggi di negara maju menciptakan permintaan terhadap produk manufaktur yang relatif lebih rendah daripada produk jasa. Tingkat produktivitas pekerja manufaktur dan teknologi yang sangat tinggi menyebabkan manufakturnya menjadi sangat efisien sehingga hanya membutuhkan lebih sedikit pekerja manufaktur. Selain itu, negara maju lebih memperhatikan isu lingkungan sehingga deindustrialisasi merupakan langkah yang perlu dalam pengurangan polusi dan efisiensi sumber daya.

Berbeda dengan negara maju, menurut Priyarsono (2010) deindustrialisasi di Indonesia bersifat negatif karena diikuti oleh penurunan seluruh perekonomian Indonesia. Deindustrialisasi di Indonesia disebabkan oleh guncangan (shock) terhadap perekonomian. Menurut Kitson dan Michie (1997), deindustrialisasi negatif merupakan bentuk industrialisasi yang belum mencapai tingkat kematangan, dicirikan dengan rendahnya trade balance, produktivitas, pendapatan nasional dan kesejahteraan sosial. Fenomena deindustrialisasi negatif yang terjadi di Indonesia kemungkinan terjadi juga di Pulau Jawa, mengingat Pulau Jawa adalah basis sektor industri manufaktur di Indonesia.

Secara teoretis konsep dasar periode pembangunan jangka panjang memiliki jangka waktu minimal 35 tahun. Oleh karena itu, selama kurun waktu tersebut, keberhasilan pembangunan sektor industri manufaktur seharusnya terus berlangsung dan akan menurun ketika sudah melewati kurun waktu tersebut. Namun, pada kenyataannya, konsep pembangunan sektor industri manufaktur menurun lebih cepat sebelum masa kurun waktu tersebut tercapai (Prasetyo, 2011). Oleh karena itu, deindustrialisasi yang terjadi bersifat prematur. Menurut Sachs dan Warner (1997) yang diacu dalam Palma (2014), jika deindustrialisasi prematur terjadi di negara yang kaya sumber daya akibat kebijakan pemerintah yang mendorong perubahan struktur pekerja dari sektor manufaktur ke sektor jasa, hal tersebut akan buruk untuk pertumbuhan ekonomi.

Page 114: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

105 EKONOMI TERAPAN

Perlu disadari juga bahwa industri manufaktur adalah sektor penyerap tenaga kerja terbesar di Pulau Jawa dan sebagian besar pekerja sektor industri manufaktur merupakan pekerja formal. Pada tingkat nasional atau sebagian besar provinsi di Pulau Jawa mengalami kecenderungan kenaikan proporsi lapangan kerja informal sektor non-pertanian dari tahun 2015–2017. Penurunan sektor industri manufaktur akan menyebabkan pekerja sektor formal semakin terdesak. Kondisi tersebut akan menurunkan pekerja formal sektor industri manufaktur dan dapat meningkatkan jumlah pekerja informal. Hal tersebut akan menjadi kenyataan pahit bagi upaya pemerintah dalam pengentasan kemiskinan dan pengangguran.

Revolusi industri 4.0 yang sekarang digaungkan, memacu banyak negara untuk berlomba menjadi pemain atas peluang tersebut. Akan tetapi, selain menjadi peluang ,revolusi industri 4.0 juga menjadi sebuah ancaman. Berdasarkan analisa Mckinsey Global Institute (2015), revolusi industri 4.0 memberikan dampak yang sangat besar dan luas pada sektor lapangan kerja karena robot dan mesin akan menghilangkan banyak lapangan kerja di dunia, terutama pada sektor industri manufaktu. Oleh karena itu, revolusi industri 4.0 dapat mempercepat deindustrialisasi melalui penurunan penyerapan tenaga kerja manufaktur.

Berdasarkan fenomena permasalahan di atas, deindustrialisasi yang terjadi di Pulau Jawa dapat berakibat buruk bagi pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja sehingga memunculkan pertanyaan, “Apakah manufaktur adalah “mesin” pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa sesuai dengan Hukum Kaldor Pertama? Hal ini karena ketika manufaktur ternyata menjadi “mesin” pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa, sedangkan jika terjadi deindustrialisasi, pertumbuhan ekonomi tidak bisa dioptimalkan. Setelah itu, perlu diketahui apakah penyebab deindustrialisasi di Pulau Jawa. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Deindustrialisasi di Pulau Jawa: Dengan Pendekatan Hukum Kaldor Pertama”.

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisPermasalahan yang dapat dirumuskan dari uraian di atas adalah :

1. Bagaimana gambaran deindustrialisasi di Pulau Jawa ?

2. Bagaimana peranan industri manufaktur dalam pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa selama masa deindustrialisasi jika dianalisis dengan pendekatan Hukum Kaldor Pertama?

3. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi deindustrialisasi di Pulau Jawa?

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif dan kuantitatif. Pendekatan deskriptif dimaksud dalam penelitian ini adalah memberi gambaran tentang objek penelitian berdasarkan data yang bersumber pada data sekunder, jurnal, artikel studi literatur, dan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan permasalahan.

Page 115: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

106 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Teknik analisis kuantitatif yang digunakan untuk mengetahui hubungan variabel independent dengan variabel dependent menggunakan alat bantu ekonometrika panel data Regression Models.

Objek penelitian adalah di Pulau Jawa, dengan unit analisisnya adalah enam provinsi di Pulau Jawa, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, dan Banten. Pulau Jawa dipilih sebagai objek penelitian karena Pulau Jawa merupakan basis manufaktur di Indonesia. Periode yang diteliti adalah dari tahun 2003 sampai dengan 2017. Periode tersebut dipilih karena fenomena deindustrialisasi terjadi pada kurun waktu tersebut dan Provinsi Banten baru berdiri di tahun 2000.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Deindustrialisasi di Pulau Jawa

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa deindustrialisasi dapat dilihat dari dua sisi, yaitu penurunan proporsi nilai tambah manufaktur atas PDRB dan penurunan proporsi pekerja manufaktur atas total pekerja. Deindustrialisasi dari sisi penurunan proporsi nilai tambah manufaktur atas PDRB dianalisis berdasarkan model 4* dan deindustrialisasi dari sisi penurunan proporsi pekerja manufaktur atas total pekerja dianalisis berdasarkan model 5*. Deindustrialisasi dari kedua sisi tersebut dipengaruhi oleh variabel independen yang sama, yaitu pendapatan per kapita, pertumbuhan produktivitas pekerja, investasi modal tetap, dan trade balance. Berikut ini adalah analisis tiap-tiap variabel independen terhadap deindustrialisasi.

a. Pengaruh Pendapatan Per Kapita terhadap DeindustrialisasiHasil koefisien regresi untuk variabel pendapatan per kapita terhadap proporsi nilai tambah manufaktur atas PDRB adalah -4,961 dan hasil koefisien regresi untuk variabel pendapatan per kapita terhadap proporsi pekerja manufaktur atas total pekerja adalah -1,792. Artinya setiap peningkatan persentase pendapatan per kapita sebesar 1%, berpengaruh secara signifikan terhadap penurunan proporsi nilai tambah manufaktur atas PDRB sebesar 4,961% dan penurunan proporsi pekerja manufaktur atas total pekerja sebesar 1,792%. Oleh karena itu, peningkatan pendapatan per kapita menyebabkan deindustrialisasi di Pulau Jawa.

Pengaruh negatif antara pendapatan per kapita dan proporsi pekerja manufaktur atas total pekerja sejalan dengan penelitian dari Beg (2017). Deindustrialisasi akibat kenaikan pendapatan per kapita tersebut sesuai dengan teori ‘Bell’s Law’ tentang perubahan pola permintaan konsumen yang beralih dari manufaktur ke jasa setelah masa industrialisasi. Pendapatan masyarakat yang tinggi akan membuat bagian dari pendapatan yang dihabiskan untuk barang-barang manufaktur akan menurun setelah masa deindustrialisasi.

Page 116: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

107 EKONOMI TERAPAN

b. Pengaruh Pertumbuhan Produktivitas Pekerja Terhadap DeindustrialisasiHasil koefisien regresi untuk variabel pertumbuhan produktivitas pekerja terhadap proporsi nilai tambah manufaktur atas PDRB adalah 0,014, sedangkan hasil koefisien regresi untuk variabel pertumbuhan produktivitas pekerja terhadap proporsi pekerja manufaktur atas total pekerja adalah - 0,139. Ada hubungan yang berbeda arah antara deindustrialisasi dari sisi proporsi nilai tambah dan proporsi pekerja. Arti dari kedua hasil koefisien regresi adalah setiap peningkatan persentase pertumbuhan produktivitas pekerja sebesar 1%, berpengaruh secara signifikan terhadap kenaikan proporsi nilai tambah manufaktur atas PDRB sebesar 0,014% dan penurunan proporsi pekerja manufaktur atas total pekerja sebesar 0,139%. Oleh karena itu, peningkatan pertumbuhan produktivitas pekerja dapat mencegah deindustrialisasi dari sisi proporsi nilai tambah manufaktur, tetapi sebaliknya menyebabkan deindustrialisasi dari sisi proporsi pekerja manufaktur.

Terjadinya pengaruh positif antara pertumbuhan produktivitas pekerja dengan proporsi nilai tambah manufaktur atas total PDRB menyiratkan bahwa produktivitas pekerja manufaktur merupakan salah satu ukuran efisiensi penggunaan pekerja manufaktur dalam menghasilkan output manufaktur. Peningkatan produktivitas pekerja manufaktur memberikan indikasi positif terhadap terjadinya kenaikan nilai tambah sektor manufaktur.

Adapun pengaruh negatif antara pertumbuhan produktivitas pekerja dan proporsi pekerja manufaktur atas total pekerja sejalan dengan penelitian dari Kollmeyer (2009) dan Beg (2017). Penurunan proporsi pekerja manufaktur akibat kenaikan pertumbuhan produktivitas pekerja tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Rowthorn dan Coutts (2004), yaitu pertumbuhan produktivitas pekerja yang diproksi melalui perbedaan pertumbuhan produktivitas pekerja sektor manufaktur dengan sektor jasa. Ketika output dalam dua sektor meningkat pada tingkat yang sama, sektor yang mempunyai pertumbuhan produktivitas pekerja yang lebih cepat akan memiliki pertumbuhan jumlah pekerja yang lebih lambat. Produktivitas pekerja sektor manufaktur lebih cepat daripada sektor jasa di Pulau Jawa, sehingga menyebabkan pertumbuhan jumlah pekerja manufaktur lebih lambat daripada sektor jasa.

c. Pengaruh Investasi Modal Tetap terhadap DeindustrialisasiHasil koefisien regresi untuk variabel investasi modal tetap terhadap proporsi nilai tambah manufaktur atas PDRB adalah 0,376 dan hasil koefisien regresi untuk variabel investasi modal tetap terhadap proporsi pekerja manufaktur atas total pekerja adalah 0,344. Ini artinya setiap peningkatan persentase investasi modal tetap sebesar 1%, berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan proporsi nilai tambah manufaktur atas PDRB sebesar 0,376% dan peningkatan proporsi pekerja manufaktur atas total pekerja sebesar 0,344%. Oleh karena itu, penurunan investasi modal tetap menyebabkan deindustrialisasi di Pulau Jawa.

Page 117: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

108 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Pengaruh positif antara investasi modal tetap dan proporsi pekerja manufaktur atas total pekerja sejalan dengan penelitian dari Rowthorn (2004), Dasgupta (2006), Priyarsono (2010) dan Beg (2017). Investasi modal tetap merupakan faktor yang sangat penting dalam pengembangan sektor manufaktur karena pada umumnya investasi modal tetap yang ditanamkan digunakan untuk membeli barang modal, seperti bangunan dan mesin-mesin pabrik. Penurunan investasi modal tetap dapat menurunkan kapasitas produksi manufaktur akibat berkurangnya pabrik-pabrik, performa manufaktur suatu wilayah akan menurun pula.

d. Pengaruh Trade Balance terhadap DeindustrialisasiHasil koefisien regresi untuk variabel trade balance terhadap proporsi nilai tambah manufaktur atas PDRB adalah 0,059 dan hasil koefisien regresi untuk variabel trade balance terhadap proporsi pekerja manufaktur atas total pekerja adalah 0,094. Ini artinya setiap peningkatan surplus ataupun penurunan defisit perdagangan luar negeri sebesar 1%, berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan proporsi nilai tambah manufaktur atas PDRB sebesar 0,059%, dan peningkatan proporsi pekerja manufaktur terhadap total pekerja sebesar 0,094%. Oleh karena itu, penurunan trade balance menyebabkan deindustrialisasi di Pulau Jawa.

Pengaruh positif antara trade balance dengan proporsi pekerja manufaktur atas total pekerja sejalan dan penelitian dari Rowthorn (2004), Priyarsono (2010), dan Beg (2017). Dengan turunnya trade balance, permintaan dari luar negeri terhadap produk manufaktur di Pulau Jawa berkurang. Hal tersebut dikarenakan daya saing produk manufaktur di Pulau Jawa rendah sehingga ekspor produk manufaktur dari Pulau Jawa juga rendah. Produk manufaktur dari Pulau Jawa pun kurang diminati oleh konsumen luar negeri karena harus bersaing dengan negara-negara lain yang mempunyai daya saing lebih tinggi, misalnya produk dari Tiongkok yang memiliki produk manufaktur dengan harga yang relatif lebih murah.

Selain itu, penyebab utama rendahnya trade balance di Pulau Jawa adalah dari kenaikan impor dari luar negeri, dengan permintaan domestik produk luar negeri meningkat. Berdasarkan data dari Kemendag, nilai impor di Pulau Jawa meningkat tajam setelah tahun 2008. Pada tahun 2008 tersebut terjadi krisis keuangan di Amerika Serikat, jumlah impor meningkat akibat melemahnya dollar Amerika sehingga harga produk dari luar negeri lebih murah daripada harga produk domestik. Membanjirnya produk dari luar negeri inilah yang menjadi ancaman bagi manufaktur domestik. Ketika permintaan produk manufaktur domestik menurun akibat produk manufaktur luar negeri, performa manufaktur domestik Pulau Jawa pun menurun dan terjadilah deindustrialisasi.

Dapat disimpulkan bahwa deindustrialisasi di Pulau Jawa bersifat positif dan negatif. Deindustrialisasi positif yang disebabkan oleh kenaikan pendapatan per kapita dan kenaikan pertumbuhan produktivitas pekerja terbukti memengaruhi deindustrialisasi, terutama dari sisi kontribusi pekerja manufaktur yang menurun terhadap total pekerja. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari kedewasaan

Page 118: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

109 EKONOMI TERAPAN

perekonomian di Pulau Jawa mengingat Pulau Jawa merupakan basis manufaktur di Indonesia dan pernah mencapai puncak industrialisasi pada akhir 1990-an.

Sementara itu, shock dalam perekonomian juga ikut mempercepat proses deindustrialisasi di Pulau Jawa sehingga indikasi deindustrialisasi negatif juga tampak di Pulau Jawa. Shock dalam perekonomian berupa krisis yang terjadi pada tahun 1998 maupun 2008 menciptakan performa perekonomian yang buruk, terutama sektor manufaktur. Defisit neraca perdagangan menjadi cenderung relatif lebih besar pada masa-masa deindustrialisasi ini.

D. KesimpulanBerdasarkan hasil penelitian analisis deindustrialisasi di Pulau Jawa: dengan pendekatan Hukum Kaldor I selama periode 2003 – 2017, diperoleh beberapa hasil sebagai berikut:

1. Melalui tiga model persamaan pendekatan Hukum Kaldor I, dapat disimpulkan bahwa sektor manufaktur bukan mesin pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa pada masa deindustrialisasi di tahun 2003—2017.

2. Deindustrialisasi di Pulau Jawa dari tahun 2003–2017 bersifat positif dan negatif. Deindustrialisasi positif ditandai dengan peningkatan pendapatan perkapita dan pertumbuhan produktivitas pekerja, sementara deindustrialisasi negatif ditandai oleh penurunan investasi modal tetap dan kinerja perdagangan luar negeri.

E. Saran KebijakanBerdasarkan analisis dari hasil penelitian dan implikasi kebijakan dari bab sebelumnya, penulis memberikan saran-saran yang relevan sebagai usaha untuk memecahkan permasalahan yang ditentukan dalam analisis dan diharapkan dapat berguna sebagai masukan bagi pihak-pihak yang terkait. Adapun saran-saran tersebut, yaitu sebagai berikut.

1. Sektor jasa telah mendominasi perekonomian di Pulau Jawa, terutama di DKI Jakarta dan D.I. Yogyakarta maka diperlukan peningkatan dan percepatan peranan sektor jasa dengan cara mendorong lapangan usaha perdagangan di DKI Jakarta melalui pengendalian inflasi dan revitalisasi pasar rakyat, serta mendorong lapangan usaha akomodasi makan dan minum di D.I. Yogyakarta melalui peningkatan kuantitas dan kualitas obyek wisata.

2. Sektor manufaktur bukan mesin pertumbuhan, melainkan masih disarankan untuk tumbuh dipercepat, terutama di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat melalui pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

3. Indikasi deindustrialisasi negatif di Pulau Jawa dapat dihilangkan melalui upaya berikut:

Page 119: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

110 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

4. mendorong peningkatan investasi melalui penurunan suku bunga kredit, penyiapan infrastruktur penunjang sektor manufaktur, dan penyederhanaan prosedur perizinan investasi;

5. meningkatkan daya saing produk manufaktur domestik melalui standardisasi produk seperti ISO agar mampu bersaing di tingkat global;

6. impor yang selektif guna membatasi banjirnya barang impor produk manufaktur yang dapat mengancam keberlangsungan produk manufaktur domestic;

7. bahan baku domestik diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan manufaktur domestik daripada untuk pemenuhan ekspor.

Page 120: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

10► Nama : Elitha Ria Panggabean

► Unit Organisasi : Dinas Perhubungan Pemerintah Daerah Kota Pontianak

► Program Studi : Magister Ekonomi Terapan

► Negara Studi : Indonesia - Jepang

► Universitas : Universitas Padjajaran Bandung

ANALYSIS OF INCOME DISPARITYIN KALIMANTAN PROVINCES WITH SPATIAL AUTOCORRELATION AND PANEL DATA: AN EMPIRICAL STUDY OF 56 DISTRICTS (2010—2016)

Page 121: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

112 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Studi ini menganalisis ketergantungan ekonomi spasial pada 56 kabupaten di wilayah Kalimantan dari 2010 hingga 2016 dengan menggunakan indeks autokorelasi spasial yang (global dan lokal Moran I dalam PDRB per kapita, jarak sebaran Moran dan jarak Euclidean antara kabupaten) dan data panel.

Temuan utama dari penelitian ini dengan menggunakan autokorelasi spasial adalah sebagai berikut: Pertama, autokorelasi spasial global ada di 56 kabupaten di wilayah Kalimantan; Kedua, autokorelasi spasial ada di antara sembilan kabupaten berikut, Kotawaringin Barat, Paser, Kutai Kertanegara, Kutai Timur, Kutai Barat, Berau, Bontang, Balikpapan dan Malinau karena mereka memiliki nilai Moran lokal yang signifikan secara statistik dan positif; dan Ketiga, scatterplot Moran menunjukkan bahwa kabupaten di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan berada di kelompok rendah-rendah sementara kabupaten di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara berada di kelompok tinggi-tinggi. Ini menyiratkan bahwa ada perbedaan besar antara kedua kelompok tersebut. Akhirnya, kabupaten-kabupaten yang kaya sumber daya alam di Kalimantan Timur memengaruhi PDRB per kapita tahunan lebih besar daripada lag spasial yang sesuai, diukur dengan jarak Euclidean sepanjang tahun. Ini dimungkinkan karena ekonomi Kalimantan Timur sangat bergantung pada perubahan harga sumber daya internasional. Harganya berfluktuasi banyak untuk masa studi.

Sebagai perbandingan, analisis data panel empiris menunjukkan bahwa, secara keseluruhan, jarak, pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan PDRB pertambangan mempengaruhi ketimpangan pendapatan. Namun, secara parsial, peningkatan jarak dan pertumbuhan ekonomi positif secara signifikan mempengaruhi ketimpangan pendapatan dengan angka 0,005 (pada tingkat signifikansi 1%) dan 0,113 (pada tingkat signifikansi 5%), masing-masing sementara pertumbuhan PDRB pertambangan secara signifikan mempengaruhi ketimpangan pendapatan. Implikasi kebijakan adalah membangun sistem transportasi berkualitas tinggi untuk memperkuat konektivitas antar kabupaten di wilayah Kalimantan dan untuk mempromosikan diversifikasi kegiatan ekonomi untuk mengurangi risiko ekonomi.

► Kata Kunci: Autokorelasi Spasial; Matriks Berat Biner Spasial terstandarisasi; Global Moran’s I; Saya Moran Lokal; Moran Scatterplot; Jarak Euclidean; Data panel; Jarak; Pertumbuhan ekonomi; Pertumbuhan PDRB Penambangan

Page 122: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

113 EKONOMI TERAPAN

ABSTRACT

This study analyses spatial economic dependencies on 56 districts of the Kalimantan region from 2010 to 2016 by using spatial autocorrelation indices which (global and local Moran’s I in per capita GRDP, the Moran’s scatterplot and Euclidean distances between districts) and panel data.

The major findings of this study by using spatial autocorrelation are as follows: First, global spatial autocorrelation exists in the 56 districts of the Kalimantan region; Second, spatial autocorrelation exists among the following nine districts, Kotawaringin Barat, Paser, Kutai Kertanegara, Kutai Timur, Kutai Barat, Berau, Bontang, Balikpapanand Malinau as they have statistically significant and positive local Moran’s I values; and Third, the Moran’s scatterplot indicates that districts in West Kalimantan, Central Kalimantan, and South Kalimantan were in the low-low cluster while districts in East Kalimantan and North Kalimantan were in the high-high cluster. This implies that large disparity exists between those two clusters. Finally, the rich-natural resource districts in East Kalimantan influenced the annual GRDP per capita larger than the corresponding spatial lag, measured by Euclidean distance throughout the year. It is possible because East Kalimantan’s economy heavily rely on the change in the international resource price. The price is fluctuated a lot for the study period.

Comparatively, the empirical panel data analysis shows that, overall, the distance, the economic growth and the mining’s GRDP growth affect income inequality. However, partially, an increase in distance and economic growth positive significantly affect the income inequality with the number 0.005 (at a significance level 1%) and 0.113 (at a significance level 5%), respectively while the growth of mining’s GRDP insignificantly affect the income inequality. The policy implication is to construct a high-quality transportation system in order to strengthen connectivity among districts in the Kalimantan regions and to promote the diversification of economic activities to reduce economic risks.

► Keywords: Spatial Autocorrelation; Standardized Spatial Binary Weight Matrix; Global Moran’s I; Local Moran’s I; Moran Scatterplot; Euclidean Distance; Panel Data; Distance; Economic Growth; Mining’s GRDP Growth

Page 123: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

114 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ANALYSIS OF INCOME DISPARITYIN KALIMANTAN PROVINCES WITH SPATIAL AUTOCORRELATION AND PANEL DATA:

AN EMPIRICAL STUDY OF 56 DISTRICTS (2010—2016)

A. BackgroundThe studies of income disparity across regions have risen in Indonesia a populated and geographically insular developing country. They are necessary because the change of income inequality across subnational units is considered to be an important policy issue. Inequality in the distribution of incomes (i.e., income inequality) occurs as the consequence of variations due to education, gender and regions (Uslu, 2017). Uslu (2017) argued that studies of income inequality across a country’s region are very important because economic activities are concentrated in some particular regions of the country. Thus, this study analyses regional disparities in economic activities in Indonesia.

This study focuses on the Kalimantan region which comprises five provinces, that is West Kalimantan, North Kalimantan, South Kalimantan, Central Kalimantan, and East Kalimantan. Because of the implementation of the Decentralization law on Local Government (Law 22/1999) in 2001, the hierarchical system linking district governments to the central government is replaced by the systems in which districts government grants more autonomy than before. Because the central government has devolved most of the government functions and obligations to district governments through decentralization system, the decentralization might have further increased the disparity among subnational units (Tamesue, et.al., 2013). Thus, this study analyses the economic disparity among districts in the Kalimantan region. As shown in Figure 1, the Kalimantan region consists of 56 districts, including 47 regencies and 9 cities.

Regency and city are at the same administrative level in Indonesia, but they are different in terms of size, economic activities, and demography. Regencies are mostly rural, agricultural, less populated, and larger than cities, while cities are included a variety of non-agricultural activities and more populated. It should be noted that prior to the Local Government Law in 2014, Indonesia consists of 34 provinces and 514 districts.

The reason of this study focuses on examining the income inequality in Kalimantan region is based on the result of the previous research conducted by Akita (2002). The study reveals that in Kalimantan, large differences in per capita GRDP between the richest province (East Kalimantan) and the other provinces happened. These differences seemed

Page 124: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

115 EKONOMI TERAPAN

increase in relative terms over the 1993—1997 as Akita (2002) explained. In addition, he recorded that Kalimantan experienced an increase in between-province inequality in 1998.

This thesis attempts to update the study by Akita (2002) and analyse the change in income inequality among districts of the Kalimantan region after 13 years decentralization elapsed, starting from 2010 until 2016 but by using spatial autocorrelation approach.

The variation of average per capita GRDP across provinces in the Kalimantan region. East and North Kalimantan have higher per capita GRDP than the national average, while West, Central and South Kalimantan have smaller per capita GRDP than the national average. Among the others, East Kalimantan had the highest GRDP per capita at IDR 130.84 million, followed by North Kalimantan at IDR 88.55 million in 2010. Moreover, East Kalimantan increased its GRDP per capita to IDR 137.89 million in 2012. After 2013, there was a decreasing trend. In sum, at the provincial level, there is a large variation in GRDP per capita and this seems to be persistence from 2010 to 2016.

A question arises as to whether there is spatial economic dependences among sub-regions in the Kalimantan region, that is, whether specifically larger (smaller) per capita GRDP sub regions are spatially concentrated or not? According to the Tobler’s first law of geography (Tobler, 1970), everything is related to everything else and close things are more related than distant things.

Empirically, the similarity in between regions that are close each other at or in distant regions can be examined by using the concept of spatial autocorrelation. This study uses GRDP district level data to analyse regional disparity in GRDP per capita from 2010 to 2016. But the main objective is to investigate spatial economic dependencies among districts in the Kalimantan region by using the spatial econometric method.

Table 2, a prelude of spatial econometric analyses (which will be conducted in Chapter 4), presents regional disparity in GRDP per capita across districts from 2010 to 2016 as measured by the Gini coefficient and the Theil indices L and T3. The disparity among districts in GRDP per capita appears to be declined over the study period, from 2010 to 2016, regardless of which inequality indices are used. By using the Gini Coefficient, the disparity decreased from 0.540 to 0.447. One of the main factors that might have reduced the disparity among districts is the fall of commodity prices, particularly coal price. For example, Bontang, one of East Kalimantan districts and the main coal producer in Indonesia, has suffered a lot from the fall of coal price at that time.Some of the previous studies on regional inequality in Indonesia, such as Akita and Alisjahbana (2002), also used GRDP district level data. Unfortunately, most of them analysed regional disparities in GRDP per capita among districts without considering spatial economic dependence among districts.

This study focuses on the Kalimantan region since the region has been affected prominently by the fall of coal prices since the end of the commodity boom. Thus, it is very interesting to analyse not only the effects of the decrease of commodity prices on

Page 125: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

116 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

regional disparity among districts, but also spatial economic dependencies across districts in the region. In other words, this study tries to analyse similarities and dissimilarities among close districts in the Kalimantan region, particularly after the end of commodity boom, by using global and local spatial autocorrelation indices and by conducting a spatial scatterplot analysis based on these indices. This study hopefully can identify spatial economic clusters and formulate a policy to further reduce the disparity among districts in the Kalimantan region.

B. Research Problem and MethodologyBased on the background presented above, some of the specific research questions addressed in this study are:

1. Are there global and local spatial dependenciesof GRDP per capita among districts in the Kalimantan region from 2010 until 2016?

2. What are the types of spatial clusters in Kalimantan region?

3. What is the fluctuate pattern of spatial economic clusters in the Kalimantan region at district level from 2010 until 2016?

4. Do the distance, mining’s GRDP and economic growth significant and positively effect on the income inequality in Kalimantan at district level from 2010 until 2016 not only entirely but also partially?

This study employs annual data of GRDP per capita at the district level for 2010—2016 from the database compiled by five official branches of the Central Bureau of Statistics in Kalimantan region. The all GRDP values are at the 2010 constant price4. The districts’level data are a finer scale than the provincial level for spatial autocorrelation analysis. This study covers 56 districts in total, which consists of 47 regencies and 9 cities. To simplify, it uses the code area (see Appendix 1). This research requires the data of districts’neighborhoods in Kalimantan as the input for calculating the standardized spatial weight matrix.

C. Data Analysis and Results

1. Global Spatial Autocorrelation AnalysisThe global Moran’s shows the statistically significant positive values, ranging between 0.571 in 2010 and 0.680 in 2014. The relatively high positive values indicates the positive spatial autocorrelation and the spatial income cluster in Kalimantan region. It confirms that the distribution forms a cluster in the space, so the nearby districts in Kalimantan provinces tend to exhibit a similar value of income per capita. In other words, the high (low) income districts located nearby each other.

Page 126: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

117 EKONOMI TERAPAN

2. Local Spatial Autocorrelation AnalysisThe global spatial autocorrelation yields the spatial dependence in the whole study area but it does not described on local scale. Thus, it requires identifying the spatial cluster and dispersion (outlier) for each district by using the local Moran’sIstatistic. This is the decomposition of global indicators into the contribution of each spatial observation (Anselin, 1995). The statistical significant values of the local spatial autocorrelation for each district indicates how far a district is related with its neighbouring districts.

The nine districts with the statistically significant positive local Moran’sIvalues and the corresponding years. Those districts are located in Central, East and North Kalimantan provinces. The districts with the substantially high maximum values are Bontang (13.548), Kutai Timur (7.623), Berau (5.379), and Kutai Kertanegara (3.096). They are adjacently located in East Kalimantan (see Appendix 1). Particularly, Kutai Timur is the centre of Trans-Kalimantan Special Economic Zones named Maloy Batuta, which stimulates economic growth not only in its district but also nearby districts.

According to the 2014 Government Ordinance Number 855 Article 4, it has three zones: industry, logistic, and export processing zones. These three zones are created to attract investment from multinational corporations, for instance Blackspace,6which operates a coal mining business activities. These districts have a good economic distribution due to the high infrastructure development. It is well constructed because they are adequately financed to enrich infrastructure which coming from their high local revenue of abundant natural resources. Therefore, there is no limiting obstacles to distribute the factors of distribution.

3. Moran Scatterplot Analysis The changes of the clusters categorized by the Moran’s scatterplots between 2010 and 2016. Balangan is the only district located in the high–low clusterin both years and showed the relatively higher income value than its surrounding districts. As being known, Balangan is one of the rich-resource districts in South Kalimantan with the mining of marble, phosphate, kaolin, peat, clay, gold, limestone and coal. This mining sector contributes to 70% for economic growth. However, this district is located in the midst of the series of the mountains and is isolated from other districts economic activities. Because of the immature transportation networks connecting to other districts, the economy seems to be on enclave phenomenon. According to Rietvield (1989), infrastructure plays the main key role to decrease transportation cost, increase the connection and redistribution among subnational regions. Thus, the large-scale infrastructure developments e.g. an inter-district transportation network is needed to improve the interregional forward and backward linkages and to increase income levels in those districts. Accordingly, the national and provincial governments are required to play significant roles on the development of Trans-Kalimantan highway which can connect to the major industrial centres each other at Balikpapan and Samarinda.

Page 127: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

118 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Further, throughout the year 2010 and 2016, mostly districts in West Kalimantan, South Kalimantan, and Central Kalimantan were in the low–low cluster, which means that the poor districts are located nearby each other. To improve this unchanged worst cluster, the government should provide the financial support by special allocation fund (Indonesian: Dana Alokasi Khusus, DAK) and general allocation fund (Indonesian: Dana Alokasi Umum, DAU) and promote the industrialization.

In addition, the high–high cluster is concentrated in East Kalimantan districts and North Kalimantan districts, such as Bontang, Kutai Timur, Kutai Kertanegara, Berau, Tana Tidung, Balikpapan, Paser, Malinau, Tarakan, Bulungan, and Kutai Barat. This indicates that those high income per capita districts are surrounded by high income per capita districts, known as high agglomeration area of per capita income. Moreover, two observations should be observed carefully, namely Kutai Timur and Bontang. It is not a surprise that both districts in East Kalimantan have higher income per capita than other districts as Jauchar (2012) said that districts in East Kalimantan presents the best transport network, due to the fact that they are rich in natural resources such as coal, gold, oil, and petroleum liquid gas.

4. Cluster Transition Analysis by Euclidean DistanceThrough the result of Euclidean Distance, it identifies the peculiar movement and the change cluster transition of GRDP per capita in Kalimantan at district level from 2010 until 2016. The value of Euclidean distance indicates the stabilities of annual changes in the Moran’s scatterplot. The higher value shows that particular district change cluster position dramatically.

The Euclidean distance values ranges between −0.750 and 4.196. The five most instable districts are the rich-natural resource districts in East Kalimantan and are the spatial income cluster districts. They also change GRDP per capita larger than spatial GRDP lag per capita for the study period. One of the possible reasons is that the large fluctuations in the international prices of the natural resources during the study period. Meanwhile, the five most stable districts are located in Central and West Kalimantan provinces that are in Low-Low cluster in both 2010 and 2016.

Moreover, it is no surprise that Bontang and Kutai Timur have the greater distance values than the other districtsbecause of the massive exploitation process of the mining activities for the study period. For instance, in Bontang, there are three large mining companies. First, PT Badak LNG which produces 22 million tons of liquefied natural gas per year and exports the products to Japan. Second, the East Kalimantan Fertilizer Industry Incorporated, which is the largest urea-producing factory in the world. Third, PT Indominco that produces 11 million tons of coal per year.

In addition, the distribution of those resources is supported with good infrastructure. For instance, Kutai Timur is the gateway to the north of Indonesia with an international harbour and Maloy Batuta Trans—Kalimantan Economic Zone, which is a part of the Special Economic Zone (see Appendix 13). In addition, Bontang is the economic hub in

Page 128: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

119 EKONOMI TERAPAN

Trans-Kalimantan for BONSA SEMAWA (Bontang–Samarinda–Sebulu–Muara Wahau), and TANRE MAWA (Tanjung Redep–Muar Wahau) and PANDARONG (Balikpapan–Samarinda Tenggarong).

D. ConclusionBy using several tools of the spatial autocorrelation analysis, this study has analyses the spatial economic dependencies between the 56 districts in five Kalimantan provinces and examines the pattern of the annual changes from 2010 until 2016. This study find several interesting observations as follows:

1. By using the global Moran’sIstatistics, this study find the existence of positive spatial autocorrelation in Kalimantan. This indicates that the high (low) income districts tend to locate nearby each other.

2. The local Moran’s I identifies the districts of the spatial income cluster and dispersion. In the analysis, the nine districts (Kotawaringin Barat, Paser, Kutai Kertanegara, Kutai Timur, Kutai Barat, Berau, Bontang, Balikpapan, and Malinau) show the statistically significant positive local Moran’sIvalues and these districts have strong economic dependencies with neighbouring districts.

3. The Moran’s scatterplot shows that the majority of districts in West Kalimantan, Central Kalimantan and South Kalimantan arein the low–low cluster, while the districts in East Kalimantan and North Kalimantan are the high–high cluster. This result implies that large disparity exists between the provinces of West, South, and Central Kalimantan and the provinces of East and North Kalimantan.

4. By measuring the Euclidean distance throughout the year, the research find that rich-natural resource districts in East Kalimantan changed the annual GRDP per capita larger than the corresponding spatial lag. It is possible because the economy of East Kalimantan heavily relies on the change of international resource prices and the price is fluctuated a lot for the study period.

5. From panel data, the estimation model shows that 1 miles from Bontang increase in distance leads to 0.005 point in measure of income inequality (gini ratio). That result implies that the nearer the district the highest and the biggest the economic transactions and vice versa.In addition, 1 percent increase in economic growth it leads to 0.113 income inequality in Kalimantan at district level at the period. It is possible because it happens in the short term based on Kuznet’s theory.

E. RecommendationsFrom the findings described above, two major policy implications can be drawn as follows:

1. In order to further strengthen connectivity among districts in the Kalimantan region and to reduce the transportation cost because of the distance among districts, it is imperative to construct high-quality transportation systems. Since some districts, such as Balangan that is only one high-low district, show the enclave phenomenon

Page 129: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

120 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

and the distance has the significant positive effect, it is necessary to construct inter-district railways and roads. These transportation systems will not only facilitate the movement of final goods and factors of production but also promote information and communication networks.

2. In order to reduce economic risks, it is necessary to promote the diversification of economic activities. According to the Moran’s scatterplot, the districts in the low-low cluster tend to depend mainly on primary sector, while the districts in the high-high cluster tend to depend mainly on the mining sector and resource-based manufacturing activities. Therefore, they are vulnerable to economic shocks. Economic diversifications are expected to make districts in the Kalimantan region more stable.

Page 130: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

11► Nama : Rizqi Agti Sunaryo

► Unit Organisasi : Dinas Peternakan dan Perikanan Pemerintah Kabupaten Bandung Barat

► Program Studi : Magister Ekonomi Terapan

► Negara Studi : Indonesia - Jepang

► Universitas : Universitas Padjajaran Bandung

INDONESIA’S BEEF CATTLE IMPORT QUOTA POLICY, IN-BETWEEN DOMESTIC FARMER WELFARE AND SOCIAL WELFARE

Page 131: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

122 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Studi ini berupaya menganalisis kemungkinan dampak dari perubahan kebijakan impor sapi potong terhadap perekonomian Indonesia dengan berfokus pada peternak domestik dan kesejahteraan sosial. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah model statis General Computable General Equilibrium (CGE). Basis data untuk model ini adalah matriks akuntansi sosial Indonesia, yang dibangun berdasarkan tabel Input-Output Indonesia 2010 dari Statistics Indonesia. Simulasi dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan dua skenario: ekonomi Indonesia dengan kuota impor sapi potong (skenario A) dan ekonomi Indonesia tanpa kuota impor sapi potong (skenario B).

Berdasarkan hasil simulasi, peternak domestik Indonesia dan masyarakat akan lebih baik di bawah kuota impor sapi potong. Di satu sisi, hasil simulasi menunjukkan kesesuaian dengan teori kuota impor, dengan menunjukkan efek positif bagi petani domestik. Di sisi lain, hasil simulasi tidak sejalan dengan teori kuota impor. Dengan menunjukkan dampak positif pada kesejahteraan sosial.

► Kata Kunci: Petani Domestik, Kuota Impor, Keseimbangan Umum Komputasi, Kesejahteraan Sosial

Page 132: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

123 EKONOMI TERAPAN

ABSTRACT

This study attempts to analyze the possible impact of the change in beef cattle import policy on Indonesia’s economy by focusing in domestic farmers and social welfare. The method that employed in this study is a static Computable General equilibrium (CGE) model. The database for the model is Indonesia’s social accounting matrix, which was constructed based on Indonesia’s Input-Output table 2010 from Statistics Indonesia. The simulation in this study was conducted based on two scenarios: Indonesian economy with beef cattle import quota (scenario A) and Indonesia economy without beef cattle import quota (scenario B).

Based on the simulation results, Indonesia domestic farmers and the society would be better off under beef cattle import quota. On one hand, the simulation result is showing the congeniality with the import quota theory, by showing the positive effect for domestic farmers. On the other hand, the simulation result is not in-line with the import quota theory. By showing the positive impact on the social welfare.

► Keywords: Domestic Farmers, Import Quota, Computable General Equilibrium, Social Welfare

Page 133: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

124 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

INDONESIA’S BEEF CATTLE IMPORT QUOTA POLICY, IN-BETWEEN DOMESTIC FARMER WELFARE AND SOCIAL WELFARE

A. BackgroundIn developing countries as like Indonesia, economic growth is normally accompanied by improvements in a country’s living standard, including food supply availability, and the gradual decline of dietary deficiencies, thus improving the overall nutritional status of the countries. Beef is one commodity that has contributed to the improvement of nutrition. The beef supply in Indonesia is not only for household consumption, but it also demanded by the food processing industry and the culinary industry.

The consumption of beef in Indonesia tends to increase over time, along with population growth and rising incomes. Unfortunately, the growth of domestic beef production is lower than the growth of consumption. According to domestic beef production data, the growth of Indonesian beef production between 1990—2017 is 3.13% per year on average, while Indonesian beef consumption growth between 1990—2017 is 3.48% per year on average. This imbalance between the supply and demand of beef has led to the increase of beef retail price. During the period 1990—2010, the beef retail price increased 15,57% per years in average. While beef price in the last seven years period (2011—2017) tended to increase from IDR 69,733 to 117,064, which is a rise of 7,80% in seven years.

The most significant price increase was in 1998 during the Asia financial crisis and the transition of Indonesia’s government from the new order era to the reformation, in 1998 the retail beef price jumped up by 45,91%. The second drastic increase of beef retail price was happened in 2008 during financial global crisis, when the price increase rose by 30.38%. The peak moment of beef price increase occurred in 2014, when the beef price was up to IDR 105,345 per kilogram. While the average salary in 2014 was IDR 1,925,600/month or IDR 77,024 per day. Consequently, in order to keep the beef’s retail price affordable, the Indonesian government decided to increase the import of beef.

Previously, Indonesian government through the ministry of agriculture has attempted to encourage domestic beef production and reduce imports. The government has set the Self-Sufficiency Program on Beef and Buffalo in 2014 (BBSS 2014). The BBSS 2014 is an extension of Beef Self-Sufficiency Program in 2010, which is the extension of Beef Self-Sufficiency Program in 2005, in which all of the BBSS programs failed to achieve the targets. One strategic step in the BBSS is regulating the stock on feeder cattle and beef, through import quotas regulation. This policy purposes to reduce the import of feeder cattle or frozen beef, which expected would encourage the growth of beef

Page 134: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

125 EKONOMI TERAPAN

production and saving foreign exchange. The target of Beef self-sufficiency is to achieved 90 percent of the total national consumption of beef. However, in 2017 there was no pre-determined import quota restriction on beef cattle imports, based on Regulation of the Ministry of Agriculture 02/PERMENTAN/PK.440/2/2017, which states that the importer company should follow the required proportion of the cattle. The required proportion is one breeding cattle in every five beefs cattle import. On one hand, the beef supply in the market could be supported by the beef import, thus decreasing the retail beef price would be decrease. On the other hand, the domestic farmer could face a more competitive market.

In addition, there are several studies that has been conducted to analyze the impact of a non-tariff barrier policy. Previously, Gupta, Marjit, & Gupta (1995) conducted a study of trade protectionism of agriculture product and welfare in a small open economy. Based on the results of their study, they concluded that the trade liberalization may not be beneficial to a country with a small open economy. Moreover, Gautam and Marjit state that there is enough scope for applying general equilibrium models in understanding the impacts of trade liberalization. While in the case of beef cattle import in Indonesia, several studies have been conducted by employing various methods: Permani (2013) conducted a study which focused on the factor that determinant the relative demand for imported beef by employing a Vector Error Correction Model (VECM); Kusriatmi, Oktaviani, Syaukat, & Said (2014) analyzed the impacts of beef import restriction policy on beef self-sufficiency in Indonesia by using a simultaneous equation model; Vanzetti, Setyoko, Trewin, & Permani (2010) studied the restoration of interest in self-sufficiency in Indonesia and its possible consequences which used a Computable General Equilibrium (CGE) model. However, there has not yet been examination of how the recent changes of beef cattle import restriction in 2017 might impact the domestic farmers and social welfare. Furthermore, this study will examine the impact of the change of beef cattle import restriction policy to the social welfare, beef domestic production and the domestic farmers income through Computable General Equilibrium (CGE) model.

The Computable General Equilibrium (CGE) model has been widely used in various studies and various countries. Oktaviani (cited in Winardi, 2013) states that the CGE model is more suitable for the case in developing countries in analyzing economic policy than other econometric models in the existence of macroeconomic shock because the availability of data in developing country for research is limited, while CGE model could analyze by using Social Accounting Matrix (SAM) that generated from I-O table, which is generally available in several international organization database or developing countries.

Overall, as this study is expected to provide a representation of how the domestic farmers and consumers would react to the beef cattle import policy. The result of this study could provide information for the Indonesian government to produce a suitable policy for fulfilling the national demand for beef and increasing the domestic farmer’s productivity.

Page 135: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

126 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

B. Research Problem and MethodologyThis study was conducted using secondary data. The data used were obtained from national institutions such as Statistics Indonesia, Ministry of Agriculture, and Ministry of Trade. The main data processed in this study uses Social Accounting Matrix (SAM) that construct based on the input-output table (IO) of Indonesia 2010 from Statistics Indonesia and the data of Indonesian domestic tax revenue from the central bank of Indonesia. The IO table of Indonesia 2010 consist of 185 sectors which represent the macroeconomics circumstance of Indonesia.

C. Data Analysis and ResultsThe CGE’s simulation result of the change of beef cattle import quota policy has shown the predicted responds of the producer and consumer. Regarding to the domestic farmers welfare, this study focusing on the labor factor and the production of the composite goods. While in the social welfare side, this study focusing on consumption behavior, compensating variation, and equivalent variations.

According to the simulation results, the domestic farmers are better off under the scenario A; the condition under beef cattle import quota policy, marked by the positive respond for every simulation A, the livestock sector’s labors gain more revenue along the decrease of beef cattle import. However, the other sectors; except poultry sector, respond the beef cattle import quota in the opposite ways.

In respect to domestic farmers welfare, the Indonesia statistics bureau measured it by farmers term of trade (FTT). The FTT is the ratio of price received by farmers indices (It) and prices paid by farmers indices (Ib) in percentage. It is an indicator of farmers in terms of income, while Ib is in term of farmers expenditure on consumption and production cost (BPS-Statistics Indonesia, 2016).

In the real condition, the price received by farmers indices (It) in 2012, 2015, 2017 were increasing along with the decrease of beef cattle import, then the It values were decreasing in 2011 and 2014 along with the increase of beef cattle import.

Those changes in It show the real condition of domestic farmers respond in the same ways as it predicted on the CGE simulations and follow the import quota theory. However, in 2013, the It value increased, while the beef cattle import value also increased. The domestic farmers respond was not in accordance with both of CGE simulation and import quota theory. Regarding to the unpredicted domestic farmers respond, there are several reasons: First, Indonesia conditions in 2013 had high demand on beef, at least 649 tones of beef were consumed in 2013; second, the domestic beef production also reached up to 504 tones; third, the beef price in 2013 increased up to IDR 99,328. Considering those reasons, it is reasonable if domestic farmers gained more income in 2013.

In comparison with the previous study, Berg and Reinert (1995) found that removing import quota will reducing the employment in the upstream industry. However, it would

Page 136: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

127 EKONOMI TERAPAN

increase the employment in the downstream industry. This study found that the labors factor on livestock sector would be better off on simulation A, but the LSP sector and MPP sector labor’s factor would be worse off, which are relatively the same result pattern with Berg and Reinert finding in their study. In addition, Gaasland & Vardal, (1998) found more detail on the effect of quota protection. They found that even if the domestic retail price increase, the wholesalers would gain more benefit than farmers. However, this study couldn’t clearly describe whether is farmers or wholesalers who gain more benefit in the livestock sector’s laborers.

The livestock sector composite goods production is predicted to increase along the decline of beef cattle import, and vice versa. While the other sector; except poultry sector, respond the change on beef cattle import in the opposite ways. Furthermore, the real condition shows that the changes on import did not really affect the quantity of composite goods production, since the percentage of the imported goods to composite goods production is relatively small, which constitute 12,16% on average during 1990—2013. However, the simulation result predicts that the change in composite goods production value is caused by the change in composite goods price, while the quantity remains constant.

In comparison to the reality condition, when the Ministry of Agriculture and Ministry of Trade reduce the import quota in 2011, the beef retail price was rising up to IDR 90,402 in 2012. It was 17,54% more expensive than the previous year. In regard to the change of beef retail price, during 1990—2013, a decline in import was not always followed by an increased beef retail price. Considering there also other factor which affected the beef retail price such as: feed’s price and transportation cost.

In comparison with the previous study, Kusriatmi, et.al. (2014) on their study using simultaneous equation model found that the decline in beef cattle import will lead domestic production increase. The simulation result in this study share the same vision with Kusriatmi’s study by predicting an increase on livestock’s composite good production in simulation A. While, Lee, et.al. (2013) on their CGE simulations found that by reducing import barrier will lead to negative effect for domestic production, which is inline with simulation B results, the increase in beef cattle import tend to reduce the composite goods production.

Furthermore, the production of the final consumption goods is the important link between domestic farmer and social welfare. On this stage, the producer used the supply from imported goods and domestic goods. According to the simulation result, the production of final goods consumption is better off in simulation B. Considering that the production of the final consumption goods is using both import goods and domestic goods, the following graph show the price comparison between import goods and domestic goods that used for final consumption goods production in livestock sector.

The price changes on domestic goods is larger than imported goods. Therefore, the final consumption goods producer tends to choose using imported goods for their production, since the imported goods is cheaper than domestic goods. In the Indonesian case, the livestock sector facing a problem in the domestic beef cattle supply chain. The

Page 137: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

128 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

chain of beef commerce in Indonesia quite long and complex (Elan Masbulan, I Gedeputu, K. Diwyanto, Dwi Priyanto Z, 1999). The chain of beef commerce started from the farmers to the cattle market, then local trader, regional trader, province trader, slaughter houses, beef trader, and beef market. And there is also other path of the beef chain commerce. The problem on the beef cattle supply chain could be the main reason for the expensive domestic goods price in livestock sector.

In regard to the social welfare, Indonesian society beef consumption is predicted to be positively affected by the decrease on beef cattle import under the beef cattle import quota policy, which means that a decrease on beef cattle import will cause an increase on beef consumption. While, other sectors, except poultry sector, are predicted to be negatively affected by the decrease on beef cattle import under the beef cattle import quota policy, which means that a decrease on beef cattle import will cause an derease on other sector consumption, except poultry sector. In comparison, as the import quota implementation in 2011, the beef consumption was increase. However, in 2013 even though the beef cattle import quota was increased, the consumption was keep increased.

In addition, the CGE’s simulation results on social welfare measurement by using EV predict that imposing beef cattle import quota will lead the society to be better off, since the EV show positive value in simulation A. This result is the opposite with Vanzetti et al ( 2010) conclusion in their previous study. They conclude that import quota will brought a drawback for Indonesia’s society. Vanzetti et al predicted that the annual welfare will be decreased significantly in Indonesia apply beef cattle import quota.

On the other hand, this result share the same opinion with several previous study. Palivos & Yip (1997) conclude that import quota policy could enhance the social welfare, with consideration that the import quota is applied in cash-in-advance economy. In addition, Chen, Chang, & Chiou (2011) conclude that import quota could possibly increase the importer country’s welfare, even though the importer government did not receive any quota rent. Meanwhile, Todorova & Kalchev (2015) argue that imposing quota would lead to gain more social welfare. They believe that import quota will just lead a beneficial for domestic monopolists with rent seeking and lobbying practice. Indonesia beef import quota policy has proved Todorova & Kalchev statement, with the bribery case in the 2013 for negotiating beef cattle import quota.

D. ConclusionBeef is strategic commodity, according to the agriculture census in 2013 there are 5,114,821 farmer’s households that depend on the beef cattle market, 142 livestock company, and 1,422 traders. In 2017, beef cattle import value reach up to USD 442,664,428. This study attempts to analyze the possible impact of the change in beef cattle import policy on Indonesia’s economy by focusing in domestic farmers and social welfare. The method that employed in this study is a static Computable General equilibrium (CGE) model. In addition, the social accounting matrix that used in the CGE model, was constructed based on Indonesia’s Input-Output table 2010 from Statistics Indonesia.

Page 138: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

129 EKONOMI TERAPAN

Based on the simulation results, Indonesia domestic farmers and the society would be better off under beef cattle import quota. On one hand, the simulation result is showing the congeniality with the import quota theory, by showing the positive effect for domestic farmers. On the other hand, the simulation result is not in-line with the import quota theory. By showing the positive impact on the social welfare which is measured by the equivalent Variation (EV) value. The consumption also increased under beef cattle import quota policy. Meanwhile, according to the import quota theory, the social welfare will be worse off by the import quota implementation. However, the final consumption goods producer shows the congruity with the import quota theory. The production of final consumption goods is decreased on beef cattle import quota implementation. Since the final consumption goods producer has a limited import goods supply for their production, they have to use the domestic goods with a higher price than imported goods.

Regarding to the previous implementation of beef cattle import quota in Indonesia, the rent seeking practice and the complicated domestic beef cattle supply chain, are the major problem. While the import policy that implemented nowadays still could not pull down the retail beef price. Even though there is no quota limitation anymore. Due the reality condition that not follow the CGE simulation result, there is a possibility that Indonesia condition did not follow the CGE assumption such as competitive market, since business competition supervisory commission (KPPU) determine that some of beef cattle suppliers company has made a cartel practice conducted to the beef price in DKI Jakarta. Overall, according to the CGE simulation results in this study, Indonesia will be better off with import quota, with note that Indonesia should solve the rent seeking problem, beef supply chain problem, cartel practice problem, and develop the domestic farmers productivity.

Page 139: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

130 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Page 140: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

12► Nama : Fahmi Adicipta

► Unit Organisasi : Bidang Fisik dan Penataan Wilayah

► Program Studi : Magister Ekonomi Terapan

► Negara Studi : Indonesia - Jepang

► Universitas : Universitas Padjajaran Bandung-Takushoku

University

ANALYSIS OF INTERGOVERNMENTAL TRANSFER EFFECTS ON ECONOMIC GROWTH AND REGIONAL INCOME DISPARITY IN WEST JAVA PROVINCE FROM 2011 TO 2016

Page 141: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

132 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Implementasi desentralisasi fiskal di Jawa Barat yang telah berjalan sejak tahun 2001 cukup signifikan untuk menumbuhkan perekonomian daerah di setiap kabupaten/kota, tetapi kesenjangan yang terjadi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat juga meningkat. Makalah ini meneliti sejauh mana pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, dan disparitas atau ketidaksetaraan pendapatan di provinsi Jawa Barat. Variabel desentralisasi fiskal seperti Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) memengaruhi pertumbuhan ekonomi dan disparitas pendapatan antar daerah di provinsi Jawa Barat diperiksa. Ditemui bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) yang paling berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan meminimalkan kesenjangan pendapatan antar daerah serta pemerataan fiskal di Indonesia.

► Kata Kunci: Desentralisasi, Fiskal, Perekonomian, Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK)

Page 142: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

133 EKONOMI TERAPAN

ABSTRACT

The implementation of fiscal decentralization in West Java that has been running since 2001 is significant to grow the regional economy of each regency/city, but the disparities that occur between districts/cities in West Java Province also increased. This paper examined the extent of the influence of fiscal decentralization on economic growth, and the disparity or inequality of income in the West Java province. The variables of fiscal decentralization such as are revenue sharing funds (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) and specific allocation funds (DAK) affect economic growth and income disparity among regions in West Java province are examined. It is found that the General Allocation Funds (DAU) the most role in encouraging regional economic growth and minimizing income disparity between regions as well as fiscal equalization in Indonesia.

► Keywords: Decentralization, Fiscal, Economy, Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK)

Page 143: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

134 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ANALYSIS OF INTERGOVERNMENTAL TRANSFER EFFECTS ON ECONOMIC GROWTH AND REGIONAL INCOME

DISPARITY IN WEST JAVA PROVINCE FROM 2011 TO 2016

A. BackgroundRegional development—as an integral part of national development—is essentially an effort to increase the capacity of local government in order to create a reliable and professional ability to run the government and provide excellent service to the community. Regional development also means enabling local governments to manage economic resources efficiently and effectively for regional progress and prosperity.

Regional development can be done through two approaches. The first is a centralized approach and the second is decentralized approach. The centralized approach means that the development is entirely determined by a central authority and implemented by bureaucrats at the center. The decentralized approach implies that regional development provides opportunities and possibilities for the realization of clean and good governance in the area. This means that the implementation of the tasks of local government must be based on the principle of effective, efficient, participatory, transparent, and accountable governance.

The government’s general policies and tasks and the implementation of development in the regions in the past were the full authority and responsibility of the central government in Jakarta. The authority of the central government authority has not only had a positive impact on development, but we realize it also has a negative effect on some regions’ economic growth. Gross regional domestic product was relatively constrained due to remote management by centralized public service and bureaucracy.

The policy of development which is concentrated especially on the island of Java creates economic disparities with other regions. Inequality in development between Java and other islands is one of the negative implications of government policy centralization. Therefore, it is natural that the movement of the economy and capital turnover is relatively larger and faster in Java compared to outside Java.

Regional autonomy is a solution to overcome the above problems. Indonesia entered the era of regional autonomy in January 1, 2001. The implementation of regional autonomy refers to Law number 22 of 1999 regarding the distribution of powers and functions (power sharing) between central and local government and law number 25 of

Page 144: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

135 EKONOMI TERAPAN

1999 regarding the financial balance between the center and regions, namely sharing arrangements for financial resources (financial sharing) between the center and regions as a consequence of the division of the authority.

Fiscal decentralization is one of the main components of regional autonomy. If local governments are given the freedom to make decisions in the public sector effectively in accordance with their functions, they should be supported by adequate financial resources from both the local source revenue (PAD), loans and equity from the central government.

The implementation of fiscal decentralization in West Java that has been running for more than sixteen years, from 2001 to 2017, still has a classic case, although the implementation of fiscal decentralization is significant to grow the regional economy of each regency/city, on the other hand, the disparities that occur between districts/cities in West Java Province also increased.

Based on these widely held beliefs, it is necessary to examine more deeply the extent of the influence of fiscal decentralization on economic growth, and the disparity or inequality of income especially the province of West Java.

B. Research Problem and MethodologyBased on the above description, the discussion of this paper will be limited to some basic issues as follows:

1. How did the indicators of decentralization, that is intergovernmental transfers (tax revenue sharing/ non tax revenue sharing (DBH), general allocation fund (DAU) and specific allocation fund (DAK) impact regional economic growth in West Java in the period 2011—2016?

2. How did the same indicators of decentralization impact income disparity in West Java in the period 2011—2016?

This study was conducted using secondary data. The data used were obtained from national institutions such as West Java Statistics Agency, The Directorate General of Financial Balance between Central and Regional Government, The Ministry of Finance of the Republic of Indonesia and other data sources.

C. Data Analysis and ResultsThe statistical tests and regression result analysis of both equation are analyzed in terms of existing economic theory in this section. The first model shows how much influence fiscal decentralization has on economic growth in West Java province. The second model shows how much influence fiscal decentralization has on income disparity between regions.

Page 145: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

136 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

The three components of intergovernmental transfer funds, revenue sharing funds (DBH), general allocation funds (DAU) and specific allocation funds(DAK), cannot be separated from each other, since the objectives of each source of intergovernmental transfer funds are complementary in the implementation process of fiscal decentralization.

However, each component is different in both policy and function. The revenue sharing fund works more as a fiscal balance between the center and the region than the taxes and natural resources that are distributed, whereas the DAU function is fiscal equalization in Indonesia. The function of special allocation funds is as an emergency policy. Intergovernmental transfer funds are expected to become an incentive for regions to increase regional economic growth. The portion for the development budget should be greater than the portion for routine regional spending13.

From all the estimation results, it can be seen that general allocation funds (DAU) have a very big role in encouraging regional economic growth and minimizing income disparity between regions. General allocation funds given by the central government are aimed at each region that is poor in natural resources and taxes. These conditions indicate a very large dependence on the central government. In the framework of autonomy, regional independence has yet to be seen and there is a tendency for a centralized system to continue.

The above estimation results show that the fiscal decentralization policy in West Java province is able to encourage regional economic growth, but the resulting growth value is relatively small.

D. ConclusionBased on the results of the calculations and discussions in the previous chapters, regarding the variables of fiscal decentralization such as are revenue sharing funds (DBH), general allocation funds (DAU) and specific allocation funds (DAK)affect economic growth and income disparity among regions in West Java province, it can be concluded as follows :

1. General allocation funds (DAU) have a very big role in encouraging regional economic growth and minimizing income disparity between regions as well as fiscal equalization in Indonesia. Areas that are poor in natural resources and taxes depend on general allocation funds provided by the central government. These conditions indicate a very large dependence on the central government.

2. In the first model at the regency and city level there are seven variables affecting economic growth but only five significant variables. The five significant variables are general allocation funds (DAU), specific allocation funds (DAK), economic growth of previous year, and local source revenue (PAD), while the other two variables that are not significant are revenue sharing funds (DBH) and education level (EDU).

3. In the first model, the influence of independent variables on regional economic growth is not too large. This may be because these variables are only the contribution of the government sector to economic growth and there is no private sector

Page 146: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

137 EKONOMI TERAPAN

contribution, which has an enormous influence on the economic growth of areas in West Java. From the estimation result, it is seen that the policy revenue sharing funds (DBH), on average in West Java, does not have a positive correlation with economic growth, while the overall DAU and DAK transfers in West Java resulted in a positive correlation with economic growth.

4. In the second model, there are two variables that do not have positive correlations to minimize income disparity between regions. The two variables are revenue sharing funds (DBH) and specific allocation funds (DAK). This is consistent with the profit-sharing hypothesis (in this estimate only tax-sharing), which predict increased disparity between regions. While general allocation funds function as fiscal equalization as well as fiscal capacity gap between regions, because not all regions have the same fiscal structure and ability (horizontal fiscal imbalance), general allocation funds (DAU) can contribute positively in decreasing income disparity.

E. RecommendationBased on the estimation, there are some recommendations to be considered by decision makers such as:

1. Governments, especially 26 districts and municipalities in West Java province, should maximize the role of fiscal decentralization in order to increase the economic growth and minimize income disparity of their respective regions.

2. The central government should increase the allocation of general allocation funds (DAU) and specific allocation funds (DAK) that are adjusted to the needs of the region because they have been proven to increase the economic growth.

3. The central government is expected to re-evaluate the revenue sharing funds (DBH)to districts and municipalities by reviewing the basic allocations, fiscal needs, and regional fiscal capacity because the revenue sharing funds (DBH) are not effective to reduce income disparity between regions.

4. The central government is expected to obtain the best mechanism with various alternative programs of fiscal decentralization in order to reduce the level of regional inequality and increase economic growth in West Java Province.

Page 147: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

138 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Page 148: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

13► Nama : Adi Ajeng Krissou

► Unit Organisasi : Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandung

► Program Studi : Magister Ekonomi Terapan

► Negara Studi : Indonesia - Jepang

► Universitas : Universitas Padjajaran Bandung

THE IMPACT OF INFRASTRUCTURE ON ECONOMIC GROWTH IN WEST JAVA PROVINCE, INDONESIA

Page 149: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

140 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Pembangunan infrastruktur terus didorong oleh pemerintah Indonesia sejak negara kita merdeka pada tahun 1945. Selain itu, pembangunan infrastruktur juga merupakan komponen utama pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Variabel infrastruktur yang digunakan adalah jalan, listrik, air, pendidikan, dan kesehatan. Analisis dilakukan dengan menggunakan data dari 26 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat dari 2010—2016. Dengan menggunakan metode efek tetap untuk model estimasi, hasilnya menunjukkan bahwa infrastruktur memiliki dampak positif dan signifikan secara statistik terhadap pertumbuhan ekonomi, kecuali untuk infrastruktur pendidikan yang secara negatif mempengaruhi pertumbuhan ekonomi tetapi tidak signifikan. Namun, hasilnya bervariasi ketika membagi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat menjadi daerah Selatan dan non-Selatan. Di wilayah Selatan, listrik, air, dan infrastruktur kesehatan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, jalan tidak signifikan walaupun memiliki koefisien positif, sementara infrastruktur pendidikan tidak signifikan dan memiliki koefisien negatif. Di wilayah non-Selatan, infrastruktur jalan, listrik, kesehatan, dan air memiliki dampak positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, infrastruktur pendidikan berdampak negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

► Kata Kunci: Infrastruktur, Pertumbuhan Ekonomi, Efek Tetap, Provinsi Jawa Barat

Page 150: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

141 EKONOMI TERAPAN

ABSTRACT

Infrastructure development has been continuously encouraged by the Indonesian government since our country became independent in 1945. Moreover, infrastructure development is also a main component of economic growth. Therefore, this study aims to analyze the effect of infrastructure on the economic growth in West Java Province, Indonesia. The infrastructure variables used are roads, electricity, water, education, and health. The analysis was conducted using data from 26 regencies/municipalities in West Java Province from 2010–2016. Using fixed effect method for the estimation model, the results show that infrastructure has a positive and statistically significant impact on the economic growth, except for education infrastructure which is negatively influenced the economic growth but not significant. However, the result varies when splitting the regencies and municipalities in West Java Province into South and non-South regions. In the South region, electricity, water, and health infrastructure have positive and significant influence on economic growth. Reversely, road is not significant although it has a positive coefficient, while education infrastructure are not significant and has a negative coefficient In the non-South region, road, electricity, health, and water infrastructure have positive and significant impact on economic growth. Meanwhile, education infrastructure has negative and significant impact on economic growth.

► Keywords: Infrastructure, Economic Growth, Fixed Effect, West Java Province

Page 151: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

142 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

THE IMPACT OF INFRASTRUCTURE ON ECONOMIC GROWTH IN WEST JAVA

PROVINCE, INDONESIAA. BackgroundInfrastructure development is the foundation for the further development of economy (Haimin, 2010; Jimenez, 1995). Hirschman (1958) argued that infrastructure is social over capital (SOC), which means that it is very important to improve the social and economic development. More details (Sahoo & Dash, 2012) explain that infrastructural development can contribute to economic growth in several ways. First, a direct investment in infrastructure will enhance facilities that support economic activity and increase productivity. Second, infrastructure development can diminish the costs of production and trade, thus making the economy more competitive. Last, it provides job opportunities that can improve people’s welfare.

Meanwhile, three provinces in Indonesia that have the largest contribution to the formation of the National Gross Domestic Products (GDP) are DKI Jakarta, East Java, and West Java (Badan Pusat Statistik-Statistic Indonesia (BPS) [Jawa Barat], 2017). So, it can be concluded that the West Java Province has a considerable role in improving the economy of Indonesia. During 2012–2016, its economic contribution reached an average of 22.32%. Meanwhile, during the same time span, its economic growth rate averaged at 5.73%.

The increase in economic growth rate shows that the West Java Province has a good economic potential. This condition requires it to have an infrastructure that can support the sustainability of economic activities. Some of the things critical to support its economic activity and increase its economic growth are an enhanced quality and quantity in road infrastructure, electricity, clean water, and schools.

Considering the importance of West Java’s role in the national economy, efforts to improve the quality of its infrastructure development should be intensively promoted by the government. It is expected that improvements in infrastructure will increase productivity and support long-term economic growth (Maryaningsih, Hermansyah, & Savitri, 2014). A research by IMF (2015) suggests that infrastructure development should be a priority for a country like Indonesia to increase its economic growth. World Bank (1994) also emphasized the significance of adequate supply of infrastructure and good infrastructure development. Therefore, this study aims to investigate the impact of infrastructure on the economic growth in West Java Province.

Page 152: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

143 EKONOMI TERAPAN

B. Research Problem and MethodologyBased on the empirical evidence of the importance of infrastructure to economic growth and West Java Province’s current infrastructure development, this research aims to provide an update on the state of infrastructure development in West Java Province and to serve as an empirical review on the effect of infrastructure on economic growth in West Java Province. As West Java Province has now enhancing infrastructure provision for development in every aspect, this research will focus on West Java Province’s economic and social infrastructure data. Therefore, the research questions of this study are:

1. How does infrastructure provision affect West Java Province’s economic growth?

2. How does each type of infrastructure contribute to economic growth?

3. Does the impact vary across regions in West Java Province?

This study uses secondary data taken from the Statistic of West Java Province (BPS) and World Bank. The data used is the panel data from 17 regencies and nine municipalities of West Java Province from 2010–2016.

This study is using descriptive and quantitative method to analyze the impact of infrastructure to economic growth. The descriptive analysis is used to describe the infrastructure and economic growth development using tables and figures. The quantitative analysis is used to analyze the relationship between infrastructure variables and economic growth variable. This analysis is conducted using the STATA program.

Moreover, this study uses a balanced panel data from 26 regencies/cities in West Java Province from 2010—2016. The panel data is a combination of cross section data and time series data (Wooldridge, 2012). Panel data linear regression presents a better estimate of parameters because they have more variability, reduced linearity among variables, and greater degrees of freedom (Gujarati, 2009). Furthermore, there are three common methods of regression to estimate panel data model, which are pooled ordinary least square (Pooled-OLS), fixed effect method (FE), and random effect method (RE).

C. Data Analysis and ResultsAs mention on the previous section, from all the regression results, we can see that most of variables have positive coefficient and significant at several level of significance. This result is in line with the previous studies already explained in the literature review section. However, thing to be highlighted is that education infrastructure has a negative coefficient in three regression analysis. Even in the non-South region regression result, this variable is significant at the level of 1%. Next, we will discuss each infrastructure variables that used in this study.

Firstly, the road infrastructure, in the provincial data as one pool regression, has a positive and significant impact on the West Java’s economic growth. Roads have a significant role in improving productivity (Fan & Chan-Kang, 2004). The distribution of good and services and other factors of production are still dependent on the availability of

Page 153: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

144 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

road infrastructure. The quality of roads is also an important aspect in economic activity. For instance, productivity will be disrupted if road conditions are poor and damaged. Therefore, the allocation of resources and the distribution of goods and services will be restricted. In West Java Province, approximately 75% of the road is in good and moderate conditions, thus roads have a positive impact on economic growth.

Meanwhile, in the South and non-South regions, the coefficients for road variable are 0.016 and 0.018 respectively. However, in South region this variable failed to demonstrate significance in the result, while in the non-South it is significant at 5%. This result also indicating that economic growth in the non-South region is more affected by road infrastructure.

The insignificance of the impact of road infrastructure on South region’s economic growth was allegedly due to the length of road in South region may already meet the community’s basic needs but not sufficient to increase economic growth significantly. Therefore, for this region the government of West Java Province may consider to enhance quality of road rather than quantity of road.

Electricity variable have high level of significance (1% level) and positive correlation in all three regression analysis. In other words, electricity significantly affects West Java Province’s economic growth. Electricity supports almost all human activities. In West Java Province, one of the largest customers of electricity is the industry sector. The industry sector relies heavily on electricity supply. The production of economic goods and services will be more effective and efficient with the presence of modern tools that certainly use electricity. Effective and efficient productivity of economic goods and services will certainly increase economic output. So, the consumption of electricity for industries in West Java Province will significantly increase its economic output and growth.

The next discussion is about health infrastructure. In all three regression analysis, health infrastructure is significant (5% in provincial level, 1% in South region and 10% in non-South region) and has highest coefficient among other infrastructure. Moreover, South region has highest coefficient (7.14) compared to non-South region (0.758). This indicates that economic growth in the South region is more affected by health infrastructure.

As mentioned before, that health infrastructure is found to have a positive and significant impact on economic growth, this shows that development in the health sector greatly affects the output produced. Health is a vital part of human capital in the economy. A healthy generation will be more accomplished and can produce more efficient output, able to use the education that they obtain productively at all times in their lives. Moreover, high life expectancy will increase returns investment in costs incurred in the health and improvement sectors human capital. Furthermore, Todaro & Smith (2000) also state that health is one of the prerequisites for increasing productivity. Thus, the role of health in economic development is very important.

Page 154: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

145 EKONOMI TERAPAN

Water infrastructure also found to have a significant impact on economic growth in West Java Province. With 10% degree of significance in Provincial and non-South region and 5% degree of significance in South region, water coefficients are 0.0001 (Provincial), 0.001 (South region), and 0.0001 (non-South region). From those values, if we compare South and non-South region, we might say that water infrastructure have more effect on economic growth in the South region rather than non-South region.

Water is important to support economic productivity in all sectors. Since water infrastructure used in this study is for the household level, the increase in access to safe water will enhance the quality of human capital by promoting the health of an individual. Therefore, this indirectly boosts the economic productivity. Moreover, the consumption of water infrastructure in households create environmental amenities, provide jobs, and consumption other opportunities in the long run (Kessides, 1996).

A different case occurs in education infrastructure, education infrastructure has negative coefficient but not significant. However, the effect is significant only for non-South region level. This indicates that the growth of economic not necessarily followed by the increasing number of school, even the number of school is tend to be stagnant in some region.

Last, labor variable also found to have a significant impact on economic growth in West Java Province at provincial and non-South regression. However, in the south region the labor negatively effected but not significant. This means that labor has an important influence on economic growth on non-South region but less affected the economic growth in the South region of West Java Province. This might be due to the larger presence of the manufacturing industry sector in non-South region than in the South region which that sector absorbs a lot of labor which results in high productivity.

D. ConclusionUsing the panel data estimation from 2010 until 2016, this study analyzes the impact of infrastructure on economic growth in West Java Province. This study uses GRDP at constant price as the dependent variable and economic and social infrastructure as the dependent variable. The results of this study show that road, electricity, water, and health infrastructure variables have positive and significant impact on economic growth, while education infrastructure is negatively affected and not significant. Moreover, health infrastructure is variable that has the greatest influence on economic growth compared to other variables.

However, the result varies when splitting the regencies and municipalities in West Java Province into South and non-South regions. In the South region, electricity, water and health infrastructure have positive and significant influence on economic growth. Reversely, road is not significant although it has a positive coefficient, while education infrastructure are not significant and has a negative coefficient. In the non-South region, road, electricity, health and water infrastructure have positive and significant impact on economic growth. Meanwhile, education infrastructure has negative and significant

Page 155: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

146 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

impact on economic growth. Another important point to be highlight is that education in all three regressions analysis has negative coefficient. Although for provincial and South region regression this variable is not significant.

E. RecommendationIn general, policies regarding infrastructure in West Java Province are already in the right path. The West Java Province already has seven priorities for its infrastructure project between 2019 and 2020. This project has already assessed the enhancement of infrastructure development, such as the construction of cross city toll roads, dams, and new power plants, and so on. Therefore, to promote economic growth, those projects must be prioritized and accelerated rapidly among other projects.

Furthermore, collaborations with the private sector providers (public-private partnership) that are already accomplished in some projects of infrastructure development should be further enhanced to improve the quality and quantity of the infrastructure. Private sector providers area usually willing to conduct innovative experiments to make the infrastructure facilities more qualified and sophisticated. Besides, it is also an effective way to overcome the problem of bottleneck projects that commonly happens in infrastructure projects. This is because when working with the private parties the project management tends to be better (Mccawley, 2010).

In addition, regarding the government planning about the development of South region West Java Province, the government may considered the policy that enhancing electricity, water and health infrastructure development, because according to regression analysis those variables are found to be more affecting the economic growth.

Regarding policy implication for specific infrastructure variable, there are some policies that can be implemented by government. For road infrastructure, the maintenance of road should be considered as a way to promote economic growth. This seems promising, especially for the South region of West Java Province, where, according to regression analysis, the quantity of roads did not significantly affect the economic growth. In addition, according to Prasetyo and Firdaus (2009), improving the quality of roads is a more meaningful way to increase the economic growth. Moreover, increasing the condition of roads that lead to manufacturing, trading, agricultural, and tourism centers is also necessary to enhance economic growth because those sectors have the biggest contribution to the GRDP of West Java Province.

The availability of stable electricity also becomes a main aspect in supporting economic activity. West Java Province has several mega infrastructure projects that require a lot of electrical energy, for example the Kertajati Airport in Majalengka Regency. However, it has only three hydropower plants. Therefore, to fulfill its electricity needs, the capacity of the existing power plants need to be increased. Additionally, the development of renewable energy such as geothermal, solar, wind, and bioenergy should also be considered as new sources of energy to increase the supply and quality of electricity.

Page 156: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

147 EKONOMI TERAPAN

Regarding water infrastructure, to increase public access to safe water, the government can increase PDAM’s clean water capacity in all regency/municipality so that people can easily get clean water at affordable prices. Health infrastructure is a variable that contributes greatly to West Java Province’s economic growth. Therefore the health infrastructure provision must be prioritized by the government, so that the level of accessibility of the community increases and the entire community can reach it and the development of the infrastructure will be efficient and effective. So far, the West Java Province government has been trying to improve public access to health infrastructure, namely by providing mobile public health facility (—Puskesmas Keliling—). This method is effective in reaching areas that have a difficult topography, so the government can add to the fleet of mobile public health facility to increase the accessibility of this infrastructure.

Page 157: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan
Page 158: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

14► Nama : Widodo Budi Prayitno

► Unit Organisasi : BSP Kota Bandung

► Program Studi : Magister Ekonomi Terapan

► Negara Studi : Indonesia - Jepang

► Universitas : Universitas Padjajaran Bandung - Ritsumeikan

University

ECONOMIC GROWTH, URBANIZATION & HUMAN DEVELOPMENT: REGIONAL PERSPECTIVE OF INDONESIA

Page 159: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

150 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengklarifikasi efek yang berbeda dari pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi terhadap prestasi pembangunan manusia di berbagai daerah di Indonesia, dengan menggunakan Indeks Pembangunan Manusia yang diusulkan oleh UNDP, diadaptasi ke tingkat regional oleh Statistik Indonesia. Studi ini juga akan menguji seberapa berbeda dampak penggunaan Indeks Pembangunan Manusia yang disesuaikan dengan Ketimpangan sebagai pengukuran perbandingan. Analisis ini didasarkan pada data panel untuk 33 provinsi di Indonesia selama periode 2001—2015, menggunakan model regresi efek tetap dan acak, dengan dimensi kesehatan dan pendidikan bersama dengan keseluruhan HDI dan IHDI sebagai variabel dependen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada ketidakseimbangan antar daerah, dibuktikan dengan dampak yang berbeda di wilayah Timur karena pertumbuhan ekonomi di wilayah Timur memberikan efek negatif terhadap pembangunan kesehatan. Terlebih lagi, urbanisasi akan menghambat pencapaian pembangunan manusia di wilayah Timur. Temuan lain adalah bahwa hasil yang berbeda untuk model HDI dan IHDI mengkonfirmasi bahwa ada ketimpangan pencapaian pembangunan manusia, dan itu menentukan hasil pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi. Penyebab perbedaan di wilayah Timur adalah kesenjangan dalam pembangunan infrastruktur dan kurangnya konektivitas regional yang dirangsang oleh kondisi geografis. Pemerintah harus meningkatkan upaya mereka untuk menghubungkan daerah-daerah terpencil sambil secara bersamaan menyamakan kuantitas dan kualitas layanan pendidikan dan kesehatan di wilayah Indonesia Timur. Selanjutnya, upaya untuk terus mengembangkan daerah perkotaan dan melengkapi kota-kota di wilayah timur dengan fasilitas yang memadai akan memiliki efek yang baik pada urbanisasi.

► Kata Kunci: IPM, IPM yang disesuaikan dengan ketimpangan, Pertumbuhan Ekonomi, Urbanisasi, Pembangunan Daerah

Page 160: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

151 EKONOMI TERAPAN

ABSTRACT

The purpose of this paper is to clarify the different effects of economic growth and urbanization on human development achievement in different regions in Indonesia, by using the Human Development Index proposed by UNDP, adapted to the regional level by Statistics Indonesia. This study will also examine how different is the impact of using Inequality-adjusted Human Development Index as a comparison measurement. The analysis is based on the panel data for 33 provinces in Indonesia over the period 2001—2015, using fixed effects and random effects regression model, with health and education dimension alongside the overall HDI and IHDI as dependent variables. The results show that there is an imbalance between regions, proved by a different impact in the East region, as economic growth in the East region gives negative effects to health development. Moreover, urbanization will hamper human development achievement in the East region. Another finding is that the different results for HDI and IHDI models confirm that inequality of human development achievements exists, and it determines the outcome of economic growth and urbanization. Causes of the difference in the East region are gaps in infrastructure development and lack of regional connectivity stimulated by geographical conditions. The government must improve their efforts to connect remote areas while simultaneously equalizing the quantity and quality of education and health services in the East regions of Indonesia. Furthermore, the efforts to continue developing the urban areas and equip cities in the east region with adequate facilities will have a good effect on urbanization.

► Keywords: HDI, Inequality-adjusted HDI, Economic Growth, Urbanization, Regional Development

Page 161: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

152 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ECONOMIC GROWTH, URBANIZATION & HUMAN DEVELOPMENT: REGIONAL

PERSPECTIVE OF INDONESIAA. BackgroundHThe results of national economic development during the past government, especially until the financial crisis of 1998 shows that although nation wide the national economic growth rate averages per year are higher, at the regional level the process of development during that time has marked a development imbalance between Java and outside Java and also western and eastern Indonesia (Charras, 2005). In many aspects of economic and social development, eastern Indonesia is far behind compared to western Indonesia. After the implementation of regional autonomy simultaneously throughout Indonesia since 2001, the economic development process in all parts of Indonesia including the middle and eastern regions is expected to be much better than in the past.

Several previous studies discuss regional development in Indonesia. Vujanovic (2017) analyzes the challenge of regional development within the condition of Indonesia’s geographical, historical, and political context. The study highlighted that although advancement has been made at the national level on many dimensions, output in infrastructure, health, education, and the provision of other social services have not improved as rapidly as desired, and the resulting discrepancy over the regions has been tremendous. Hill, Resosudarmo, & Vidyattama (2008) study the economic growth, inequality, convergence, structural change, demographic dynamics and social indicators over the period of 30 years from the 1970s of Indonesian regional development and conclude that there has been no substantial transformation in the concentration of economic activity over the groups of the major islands. Prior to that, Akita (1988) provides an overview of regional economic development and income disparities in Indonesia. He concludes that the regional disparities in per capita non-mining Gross Domestic Regional Product (GDRP) have the potential to comparatively stay high in the short and medium term and might take some time to reach decreasing regional disparities in income in relation to the inverted U-shaped curve.

Although economic growth in terms of real income or outcome is essential, necessary well-being achievement such as health and education are also important. Mahbub ul Haq in his book Reflections on Human Development (Haq, 1995) explains on the human development paradigm and emphasizes that growth is not the final destination of economic development. Economic growth is crucial for human development, yet to benefit the opportunities for advancing prosperity and wellbeing that are provided by growth, the growth itself needs to be handled the right way.

Page 162: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

153 EKONOMI TERAPAN

According to Todaro & Smith (2014), development can be defined as the mechanism of elaborating all aspects of people`s life quality and competence by establishing people’s living standards, pride, and liberty. Moreover, Angus Deaton (Deaton, 2013) illustrates in his book The Great Escape: Health, Wealth, and the Origins of Inequality that the growth of income is good because it expands the opportunities for people to live a good life, but that Gross Domestic Product (GDP) as an indicator of wellbeing is problematic. The role of health and education to broaden the human capacity and understand the richness of life accompanied by broad opportunities and access to basic education, and advancements that would bestow nutritional benefits and greater personal energy without any illness is also very important. (Todaro & Smith, 2014). The long-term economic growth of a country is not only supported by the increment in physical capital stock and the amount of labor, but also the improvement of the quality of human capital, which has a strong influence on the betterment of the quality of labor and the utilization of technological advancement.

For this reason, another measurement unit that is the Human Development Index or HDI1 developed by the United Nations Development Program (UNDP). A concise benchmark of accomplishments in a long and healthy life, being knowledgeable, and having a decent standard of living are main dimensions of human development (UNDP, 2010). Statistics Indonesia adopted this method to calculate the HDI for Indonesia. However, because of the unavailability of data on Gross National Income (GNI) per capita, Statistics Indonesia uses the adjusted per capita expenditure from the National Socioeconomic Survey or Susenas 2. HDI in Indonesia is very important because it is one of the bases for determining the central government’s transfer of funds, namely the General Allocation Fund (GAF). The variables used for determining GAF are Population; Area, covering the land area and water area; Construction Cost Index; Human Development Index (HDI); and Gross Regional Domestic Product (GRDP) per capita. Basically, each region has to present their achievement of a high level of HDI as well as GDRP per capita to the central government to receive a higher portion of transfer funds.

Even though HDI is becoming more important, it has several limitations. One of them is that the HDI uses averages in its calculations, resulting in the effect of concealing disparities in human development across the population. Because of this, UNDP, to continue to focus on keeping people at the core of the development process, also developed another index called the Inequality-adjustment Human Development Index or IHDI3. The IHDI considers the achievements in health, education, and income, not only by the average value of a country, but also the distribution among its population by reducing each dimension’s average value by its level of inequality. (UNDP, 2016).

Studies have shown that the relationship between economic growth and human development involve some two-way linkages relationship. Ranis (2004) study obtains that increased incomes will enhance the scope of choices and potentialities experienced by households and governments, thus economic growth will increase human development. Ranis & Stewart (2005) conclude that economic growth is an important stimulus into improvement of human development and economic growth will not be sustainable

Page 163: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

154 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

without improvement in human development. Suri, Boozer, Ranis, & Stewart (2011) investigate the dynamic interactions between economic growth and human development by combining the two linkages between the two variables.

This paper wants to investigate some factors that contribute to human development in different region in Indonesia, and how different are those contributions, considering the inequality of human development distribution among the population. The factors examined are economic growth and urbanization. The objectives of this study are to see whether there is any different on the effect of economic growth of different regions in Indonesia on human development measurements. Another objective is to see whether the regional difference resulting a different influence of the urbanization to human development accomplishments. Moreover, this study wants to check the interplay effect of economic growth and urbanization on human development and to see whether inequality on the distribution of human development achievement have influence on the relationship.

Furthermore, this paper aims to understand how the economic achievement and urbanization can affect human development in provinces in different regions of Indonesia. By recognizing the relationship between these variables, the government can take into consideration strategies to achieve better human development for all citizens. It is important to carry out a study to observe how economic growth and urbanization can impact human development, and what is the difference between its impact on inequality adjusted development, especially at the province level. In response to such a problem, this study formulates models that describe the relationship between the economic growth, measured by the GDRP per capita and urbanization measured by the percentage of urban population, with the human development achievement represented by Human Development Index and Inequality-adjusted HDI.

B. Research Problem and MethodologyThis research would contribute in comprehending how the economic achievements and several exogenous variables affect the regional development of humans. Additionally, this study can identify the pattern of human development determinant within the region and would be helpful in deciding equitable development-oriented policy, considering that the success key of an economic development goal is also the focused development on equality issues in addition to growth rates. This research will be one foundation for the support provided to the Government of Indonesia in designing and implementing policies to sustain development while considering the urbanization. In addition, the IHDI has never been published by Statistics Indonesia. Hopefully, this research can enrich the measures that can be used as a gauge of socio-economic achievement in Indonesia. Future publication using IHDI can give comparison and options for the researcher to better understand the issues of development at provincial level in Indonesia.

The main result of this analysis shows that there is an imbalance between regions, proved by a different impact especially in the East region. Economic growth in the East region gives negative effects to health development. Moreover, urbanization will hamper

Page 164: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

155 EKONOMI TERAPAN

human development achievement in the East region. Another finding to highlight is that the results of the impact are different for HDI and IHDI models. This result confirm that inequality of human development achievements exists, and it determines the outcome of economic growth and urbanization.

The analysis will include data of 33 provinces during a 15-year period, so that a panel data approach will be employed. Because some of the provinces are newly formed, an approach similar to Suryanarayana, Agrawal, & Prabhu (2010) to estimate the variables for unavailable provinces using the one corresponding to the parent province, so that we will have balanced panel data. This is because the conditions in these provinces are assumed to be similar to the parent province and also the indicators that the parent province have during an earlier time before the separation was included data from the newly formed provinces. However, North Kalimantan is omitted because the data in this province is still very limited.

C. Data Analysis and Results

1. Economic Growth and Human DevelopmentThe East region in this study includes four provinces, which are Maluku, North Maluku, West Papua, and Papua province. The geographic condition of Provinces in East region with the characteristic of the archipelago for Maluku and North Maluku, and areas that still dominated by forest for Papua and West Papua, becomes the main obstacle of health development. The low inter-island accessibility, the high disparity between regions, and the uneven distribution of the population, make the health services, become not optimal and uneven to the community. Much part of eastern region is still natural, the development stages in east region will cause health problems due to land clearing and pollution caused. People who are accustomed to living by relying on nature will get acquainted with chemicals and changes in their lifestyle, thus in early stages, it can cause negative impact on health development. Other possible reason is the number of doctors and health staff available. The challenge to attract qualified and competent doctors and health care staff to small health care centers in remote and isolated regions is very high.

The economic achievement in east area is hampering wellbeing achievement in health dimension. This can also be explained using environmental theory in environmental Kuznets Curve hypothesis. Compared to western and central region of Indonesia, east region can be categorized as having early stage of development. In the early stage of economic development, the benefit from income growth could be repealed by environmental degradation through population’s health (Drabo, 2011).

2. Urbanization and Human DevelopmentHigh Urbanization is bad for education in the East region, because by taking into account the inequality of education facilities and quality in cities in the Eastern region, students in

Page 165: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

156 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

the East region have many more difficulties to get access to a good education compared to those in the West and Central region. For example, using data from Statistics Indonesia (Statistics Indonesia, 2017), in 2014 the number of universities in western Indonesia was 34 universities per 10,000 km2, while in central Indonesia, there were around 13 universities per 10,000 km2 and in eastern Indonesia the number was only around 2 universities per 10,000 km2.

The unequal facilities for education will lower the output of education attainment in the central and especially in the East region of Indonesia, in other words the more people who live in a city in the East region will increase the burden on fewer educational facilities. Other possible causes for the difference in the East region is the deployment of human resources in education, both in quantity and quality (Ministry of Education and Culture, 2015a). Figure 4-1 shows the result of a teacher competency test in the year 2015 and the four provinces in East region are the bottom five provinces. The finding of education dimension from East region is contrary with Arouri, Youssef, Nguyen-viet, & Soucat (2014) study shows that there is a positive relationship between urbanization and education, and a strong cross-sectional positive correlation between the literacy rate and the urban population share.

The impact of urbanization to health dimension is positive in West and Central region and negative to the Eastern region which opposite with Arouri et. al. (2014) who found that there is a positive relationship between urbanization and health dimension. They learned that there will be longer life expectancy in areas where urbanization is higher, in addition, they found that the infant mortality rate changes with the urban population share, it is lower in areas with a higher urban population share.

The Central region is not significantly different from the Western region. In the East region, urbanization will halter health development. This is because there are not enough facilities, or they are not yet feasible in the East region, people cannot enjoy many of the benefits of citizens of other cities in different regions in Indonesia, such as better housing, transportation, or entertainment. The increase in the urban population will be problematic because of the insufficient job vacancies, or existing jobs cannot guarantee the health improvement of the population because of low wages or lack of health insurance.

Moreover, the large inflow of people into the cities of early developing areas will enormously overburden those municipal facilities that are functioning to maintain and improve social and health standards. The small and medium-sized cities tend to have comparatively high population density, while have inadequate facilities required for well-being in the urban environment (Johnson, 1964). The negative impact also can be caused by environmental damage as a result of physical development and the density of the population. Drabo (2011) mentions that urbanization is one of the factors that imparts to improve health status, even so environment degradation exacerbates it.

The illustration of the East region can be seen in North Maluku province. The capital of North Maluku Province was in Ternate City from 1999 until 2010. The capital city of North Maluku Province was transferred to Sofifi City located on Halmahera Island

Page 166: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

157 EKONOMI TERAPAN

after 11 years of transition and preparation of infrastructure. However, the government hospital in the new provincial capital, has only just newly built in 2017 and there is still no University in this city, the main city is still Ternate city. During the time between 2010 until 2017, basic health services could be given in community health centers, however for more serious action, people had to be referred to the hospital located on a different island. More people living in this city will eventually have a negative effect on human development since their health conditions cannot be handled properly and to study the higher level of education they need to travel long distances, across the ocean.

3. Interplay Impact between Economic Growth and Urbanization

Now, the study will proceed to investigate whether this impact of economic growth and urbanization may act interactively and have interplay among them that produces an effect on the achievement of human development. The regression shows positive and significant interaction coefficients between economic growth and urbanization for HDI, IHDI, Education dimension of HDI, Education dimension of IHDI and Health dimension of IHDI models. A positive value for the effect of the interaction term would imply that the higher the Urbanization, the greater -more positive- the effect of GDRP per capita on the HDI. Similarly, the higher the proportion of the urban population, the greater the effect of GDRP per capita on Human Development. This is also similar to the findings of Huang & Jiang (2017) who proposed that urbanization has crucial impacts on the process of translating economic growth into social development.

However, the coefficient of interaction coefficients between economic growth and urbanization is not significant in the Health dimension HDI model. Using the average value of achievement, without considering disparities in health across the population, the effect of economic growth and urbanization together not giving substantial impact to the health dimension, while using the achievement adjusted with inequality, the effect of economic growth in different proportions of the urban population is more pertinent.

4. Inequality Influence on The Impact of Economic Growth and Urbanization to Human Development

a. Overall HDI and IHDIThe impact of economic growth on overall human development significantly differs between different regions in Indonesia, as can be seen in Figure 4-2. The West and Central regions are not too different for the economic growth effect on HDI, while for IHDI the gap is bigger. How economic growth affects human development in East region is still positive, however the impact is very small for HDI.

The gap between West and East region is larger in the HDI model (-0.0909), which means that after taking into account the distribution of human achievement in the population, the impact of economic growth to human development in the

Page 167: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

158 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

East region is actually larger than the traditional measurement. The East region is still lagging behind in infrastructure, every additional facility for health and education will boost the output of human development, every additional income will be used to fulfill basic needs such as education and health, thus improving human development. Since underprivileged households spend a higher ratio of their financial gain on goods which directly promote better health and education, economic growth that benefits people living in disadvantaged areas will have a greater impact on human development, through additional basic food expenditure as well as on basic education. GDRP has a bold effect on literacy and health results, both through private consumptions and government policy.

The impact of urbanization is positive for the West and Central region and negatively in the East region. The slope is lowered for IHDI (Figure 4-3), which makes the impact of urbanization of human development in East part of Indonesia even more negative. As discussed earlier, the infrastructure and facilities in the East region still limited. A lack of job opportunities to absorb the labor force in urban areas and difficulties in accessing health and education facilities makes increasing the urban population a burden to development. Even if the employment is available, there is a lack of skilled and educated personnel to fulfill the positions.

b. Education dimension of HDI and IHDIThe interaction between economic growth and urbanization on education achievement shows similar patterns with HDI model. Nevertheless, for the Education model the main and the interaction coefficient is higher, which means that the same increase in GDRP per capita and urbanization will increase the Education index higher than the overall index, and it has a steeper slope. The joint effect of economic growth and urbanization to the Education dimension of IHDI is somewhat higher, which means that the effect of growth and urbanization will diminish the effect of inequality in the Education dimension. This is because more GDRP per capita will give people an incentive to participate in education and more people living in the city will make them closer and have easier access to educational support facilities.

On the other hand, the effect on the education dimension of IHDI is significantly different in these three regions, which means that inequality causes the difference in transformation economic achievement into wellbeing achievement become more contrast. Inequality in the East region is detaining the Education

The impact of urbanization on the Education dimension of HDI is not significantly different in three regions, however it is significant on the Education dimension of IHDI in the East region, and the effect is negative. This means that taking into account the inequality, urbanization in the East region will hamper education achievement. The expansion of the urban area in the East region, making the youth generation in order to help their family economy, would come to urban areas to look for a job, whereas if they remain in the rural areas, their chances of finishing education are higher.

Page 168: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

159 EKONOMI TERAPAN

c. Health dimension of HDI and IHDIUsing HDI, the achievement of health dimension for each province in assumed equal for all populations, means that health index for a province for certain year is assumed to be enjoyed by all the population at that time. On the other hand, IHDI shows the actual achievement that is enjoyed by the population after taking into consideration the inequality in its distribution, shows the actual health index that is enjoyed equally by the population. Using HDI, the interaction between GDRP per capita and urbanization is considered not giving simultaneous effect on health dimension achievement. GDRP per capita is giving positive impact to health dimension without induced by the proportion of urban population, because any urban proportion appears to have the same level of health, there is no difference between those who live in a rural or urban area. Meanwhile, using IHDI, the inequality is very influential in determining how GDRP per capita is together with urbanization can affect health dimension achievement, this unequal condition between rural and urban makes, the more people live in an urban area, the more effect of GDRP per capita on human development. Increase in person’s income, will be multiplied by the number of people live in the city, means more money that can be used to get clean water and food, and have better access to health services and housing. This money will be used by the administrator to improve the quality of the services provided, means better water quality, better health service, better infrastructure and better housing, eventually bring better health achievement.

D. ConclusionThis study focuses on economic development from a regional point of view. The aim is to investigate factors that contribute to human development in different regions in Indonesia. The factors examined are economic growth and urbanization. Key indicators that are used are human development, represented by Human Development Index and Inequality-adjusted Human Development Index; economic growth presented by Gross Domestic Regional Product; and urbanization measured by the percentage of the urban population in a province. The regional division is based on time zone division in Indonesia, which divides Indonesia into three time zones. The three regions analyzed are the west region of Indonesia, the central region of Indonesia and the East region of Indonesia.

The models used for this study are mainly focused on investigating how economic growth represented by the natural logarithm of GDRP per capita and urbanization represented by the percentage of urban population will affect the achievement of human development in different regions in Indonesia. The dependent variable is the Human Development measurement. There are six dependent variables used, which are the Human Development Index, the education dimensions index of the HDI, the health dimension index of the HDI, the Inequality-adjusted Human Development Index, the education dimensions index of IHDI and the health dimension index of IHDI. All dependent variable value scales are between 0 and 1. The main independent variables are the annual per capita GDRP and the percentage of the urban population. Control

Page 169: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

160 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

variables used are the proportion of the population that live below the poverty line in a province, the proportion of agricultural labor of the total labor force, the proportion of government expenditure in GDRP, the Gini coefficient and the population density in the province.

The data of HDI and GDRP is taken from the Statistics Indonesia website. The Gross Regional Domestic Product Per capita is based on 2010 constant prices by provinces. For the data before 2010, the GDRP per capita is adjusted to get a consistent benchmark. The data on percentage of the urban population of provinces is available from Statistics Indonesia only for the years of 2010 and 2015, though Statistics Indonesia has made projections of the urban population proportion of the Indonesian province for 2020, 2025, 2030, and 2035. From those projections, the estimations for the urban population percentage for the year 2001—2015 has been made. The data for IHDI and its dimensions are estimated using raw data from Indonesian National Socio-economic Survey. All control variable data is also taken from Statistics Indonesia.

The analysis includes data of 34 provinces for 15-year period, however, because North Kalimantan data are very limited, mostly only available in the year of 2015, North Kalimantan will particularly be omitted in the calculation, and thus the analysis will include only 33 provinces. The estimation method used in the analysis is fixed effects and random effects, to choose which model is the best in explaining the relationship of HDI and other variables, Breusch-Pagan LM test and the Hausman test is applied.

The conclusion of this study is that there is a difference between East and West region in Indonesia for the effect on health dimension, where the economic growth in East region is giving negative impact to health dimension of human development. This result is contrary with the result of other regression that show positive impact.

The next conclusion of this study is that there is a difference between East and West region in Indonesia on the urbanization impact, where the urbanization contributes negative impact on human development only in East region. This is not in accordance with the result for West region and also contradicts findings from previous study.

The possible cause for this is the geographical condition in the east region that initiates a lack of regional connectivity. Another reason is the infrastructure gap in the east region, such as the facilities that are not yet feasible in housing, education, health, transportation and entertainment. The gap in infrastructure also can be seen in the percentage of villages that have been powered by electricity, in the east region while Maluku and North Maluku province only have 0.99% and 0.07% left of their village that need to get electricity, there are 16.18% of villages in West Papua and 42.01% in Papua province that still have not been powered. Other possible factors caused the different impact are the limited human resources, such as of number of doctors, health staff and quality of teachers. The negative effect on the health dimension can also be caused by environmental damage as a result of physical development and density of the population.

Page 170: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

161 EKONOMI TERAPAN

Another conclusion is that the higher the Urbanization, the greater the effect of economic growth on human development. Likewise, the higher the economic growth, the greater the effect of urbanization on Human Development.

The different result for the HDI and IHDI model shows that inequality of human development achievements exists and determines the outcome of economic growth and urbanization. This result agrees with Ranis (2004), who mentions that the influence of economic growth on human development also depends on the distribution of achievement, both within a household as well as across households.

E. RecommendationsUsing regional income to improve levels of education and health should be a priority or at least move together with efforts to directly enhance growth. Government policy and public funding should aim to increase human development achievements. The public planning and providing of essential goods and services such as clean drinking water, sanitation, health care, and elementary education leads to an enhancement of human quality. Growth is only considered achieved if it is used to fund convenient public services (Anand & Ravallion, 1993). Based on the findings, some recommendations proposed are:

1. Providing essential goods and services such as clean drinking water, sanitation, and health care for remote areas in the east region. Attract teachers and health care staff to remote areas by increasing the allowance and hire and educate teachers and health care staff from indigenous populations of remote areas.

2. School building and health facility development programs in remote areas in the east region.

3. Attract industry and service sector activities in the east region, by building infrastructure.

4. Since the impact of economic growth and urbanization are negative in East region, persisted investment in rural development will be crucial for lowering the incentive to migrate to the cities.

5. Continue to develop urban area and equip cities in the east region with adequate facilities.

Page 171: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan

162 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Page 172: PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE …pusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/BUKU 09...Tema: Ekonomi Terapan ini merupakan buku kesembilan dari sepuluh buku yang akan diterbitkan