267

pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang
Page 2: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IV

DIREKTORIMINI TESIS-DISERTASI

2

Page 3: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang
Page 4: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE

DEVELOPMENT IV

DIREKTORI

MINI TESIS-DISERTASI

Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

Editor: Dr. Guspika, MBA., dkk.

2

Page 5: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

iv

Sanksi Pelanggaran Pasal 72Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002Tentang Hak Cipta

Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau denda pidana paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Direktori MINI TESIS-DISERTASI PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IV JILID 2

©2020 oleh Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

Jangan menggandakan dan/atau menggandakan semua dan/atau bagian dari buku ini tanpa izin dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.

Penanggung Jawab : Kapusbindiklatren

Editor : Dr. Guspika, MBA, Wignyo Adiyoso, S.Sos., MA, Ph.D., Ali Muharram, S.IP., M.SE, MA., Rita Miranda, S.Sos., M.PA., Wiky Witarni, S.Sos., M.A., Epik Finilih

Kontributor : Anggi Putri, Abdullah Ariefin SK, Sely Yuniarti, Ratih Listyo Rini, Indra Degree Karimah, Billy Thandy Tulungen, Robby Maulana, Nandra Juliana, Bandoro Budi Nugroho, Imsak Sukmawati, Juwita Puteri Nuraisyah, Windi Puspa Dewi, Teti Deliany Putri, Yandri Candra, Doni Wahyudi, Ani Meidiani, Yustinus Ari Wijaya, Ayu Citra Feftiria, Dadang Jainal Mutaqin, Bagus Pambudi

Desain Eksterior& Interior : Den Binikna & Rafika Nabila

Cetakan pertama, September 2020

ISBN Jilid Lengkap: 978-623-92028-5-9

ISBN Jilid 2: 978-623-92028-7-3

Diterbitkan oleh

Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Republik Indonesia

Jalan Proklamasi Nomor 70, Jakarta Pusat 10320

Page 6: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

v

Daftar Isi

Kata Pengantar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ix

01 PROBABILITAS BEKERJA DI ANTARA PENYANDANG DISABILITAS DI INDONESIAAnggi Putri . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 001

02 PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH URUSAN PENDIDIKAN DAN KESEHATAN TERHADAP PEMBANGUNAN MANUSIA DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTAAbdullah Ariefin Sk . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 013

03 PENYERAPAN TENAGA KERJA SEKTORAL MENURUT PENCAPAIAN PENDIDIKAN DI PROVINSI JAWA BARATSely Yuniarti . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 025

04 ENVIRONMENTAL QUALITY AND FISCAL DECENTRALIZATION: A CASE OF INDONESIARatih Listyo Rini . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 041

05 APAKAH INVESTASI PELABUHAN SKALA KECIL MEMPENGARUHI AKTIVITAS PEREKONOMIAN LOKAL? BUKTI DARI PENGEMBANGAN PELABUHAN KECIL DI INDONESIAIndra Degree Karimah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 051

06 COMPETITIVE BIDDING PADA PENGADAAN BARANG JASA PEMERINTAH: BUKTI EMPIRIS PADA SISTEM E-PROCUREMENT DI INDONESIABilly Thandy Tulungen . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 063

07 INKLUSI KEUANGAN: PENGARUH KEPEMILIKAN REKENING DAN KETERSEDIAAN AKSES LEMBAGA KEUANGAN TERHADAP PINJAMAN RUMAH TANGGARobby Maulana . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 075

Page 7: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

vi

08 PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA MUDA DI PROVINSI ACEHNandra Juliana . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 089

09 ANALISIS INTERAKSI MODERASI ANTARA BELANJA DAERAH DENGAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT PENDUDUK BEKERJA DALAM MENURUNKAN KEMISKINAN (STUDI KASUS DI 29 PROVINSI SE-INDONESIA PERIODE 2004-2015) Bandoro Budi Nugroho . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 101

10 PENGARUH VOLATILITAS NILAI TUKAR TERHADAP EKSPOR INDONESIAImsak Sukmawati . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 115

11 INDONESIA – THE TRANS-PACIFIC PARTNERSHIP TRADE POTENTIAL: AN APPLICATION OF THE GRAVITY MODELJuwita Puteri Nuraisyah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 129

12 MODEL ESTIMASI VOLUME KANTONG LAHAR UNTUK MITIGASI BENCANA SEDIMEN DI KALI GENDOL MERAPIWindi Puspa Dewi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 143

13 ANALISIS KERENTANAN SOSIAL, PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN KAMPUNG HIJAU DI KAMPUNG GEMBLAKAN ATAS KOTA YOGYAKARTATeti Deliany Putri. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 155

14 KAJIAN PROSES PRODUKSI RUMAH POTONG HEWAN RUMINANSIA (RPH-R) RAMAH LINGKUNGAN BERBASIS GOOD HOUSEKEEPING (STUDI KASUS RPH Z-BEEF KOTA BANDAR LAMPUNG) Yandri Candra . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 169

15 ANALISIS ESTIMASI EMISI KARBON DIOKSIDA (CO2) DARI

KENDARAAN BERMOTOR PADA RUAS JALAN UTAMA KOTA PAYAKUMBUHDoni Wahyudi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 181

16 PENANGANAN PERMASALAHAN TRANSPORTASI PERKOTAAN DI PERBATASAN KOTA YOGYAKARTA – KABUPATEN SLEMAN – KABUPATEN BANTUL: SEKRETARIAT BERSAMA KARTAMANTULAni Meidiani . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 193

Page 8: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

vii

17 A STUDY OF VILLAGE DECENTRALIZATION POLICY AND ITS IMPLICATIONS FOR REGIONAL DEVELOPMENT AT THE SUB-DISTRICT LEVEL IN RURAL RIAU, INDONESIAYustinus Ari Wijaya . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 207

18 FOCUSED APPROACH ON PLANNING AND BUDGETING IN PUBLIC MANAGEMENT FOR DEVELOPMENT IN THE REPUBLIC OF INDONESIA. CASE STUDY THE HEALTH SECTOR OF KABUPATEN BATANG, CENTRAL JAVA PROVINCE, IN ITS REGIONAL DEVELOPMENT Ayu Citra Feftiria. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 221

19 AGRICULTURAL PRODUCTION COST INSURANCE IN WEST JAVA, INDONESIA: A CASE OF GARUT DISTRICTDadang Jainal Mutaqin . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 233

20 A STUDY ON THE IMPLEMENTATION OF COMMUNITY DRIVEN DEVELOPMENT PROGRAM IN THREE VILLAGES OF INDONESIABagus Pambudi. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 243

Page 9: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

viii

Page 10: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

ix

Kata Pengantar

Dalam rangka menjamin pencapaian tujuan pembangunan nasional diperlukan adanya rencana pembangunan yang berkualitas, baik di pemerintah pusat

maupun pemerintah daerah. Perencanaan yang berkualitas tersebut dibangun oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) yang kompeten di instansi perencana pusat dan daerah.

Sesuai dengan Permen PPN/Bappenas No. 4 Tahun 2016, Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) pun melaksanakan salah satu tugas dan fungsinya dari Kementerian PPN/Bappenas, yaitu memfasilitasi para pegawai Kementerian PPN/Bappenas serta perencana di instansi pusat dan daerah melalui program beasiswa pendidikan dan pelatihan. Program beasiswa pendidikan dan pelatihan tersebut ditujukan sebagai upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) perencana di pusat dan daerah melalui penyediaan beasiswa pendidikan gelar jenjang S2 dan S3 serta pelatihan nongelar di bidang perencanaan pembangunan.

Program beasiswa pendidikan dan pelatihan ini secara rutin diselenggarakan setiap tahun, sehingga tentunya telah menghasilkan banyak hasil penelitian, baik berupa tesis maupun disertasi. Mengingat manfaat yang dapat diperoleh dengan tersebarluasnya tesis maupun disertasi tersebut, maka Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) memandang perlu untuk menerbitkannya dalam bentuk sebuah buku Direktori Mini Tesis-Disertasi.

Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi ini terdiri atas dua seri buku yang memuat berbagai tema tesis dan disertasi. Adapun tema-tema tesis dan disertasi yang dibukukan kali ini meliputi Administrasi Publik, Studi Pembangunan, Perencanaan dan Pembangunan, Perencanaan Wilayah dan Kota, Ekonomi Kependudukan dan Ketenagakerjaan, Ekonomi Pembangunan, Ilmu Ekonomi, Ilmu Lingkungan, Sistem dan Teknik Transportasi, serta Doctor of Philosophy in International Development.

Semoga kehadiran buku ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi positif terhadap peningkatan kompetensi sumber daya manusia aparatur pemerintah yang bertugas pada bidang perencanaan pembangunan, baik di pemerintah pusat maupun di daerah dalam melaksanakan reformasi birokrasi di instansi masing-masing.

Jakarta, September 2020

Kapusbindiklatren

Page 11: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang
Page 12: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

01Probabilitas Bekerja di Antara Penyandang

Disabilitas di Indonesia

Nama : Anggi Putri

Unit Organisasi : Kementerian Ketenagakerjaan

Program Studi : Magister Ekonomi Kependudukan dan

Ketenagakerjaan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Indonesia

Page 13: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

002 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Penyandang disabilitas (PD) akan cenderung memutuskan bekerja untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan menjadi mandiri. Untuk melihat probabilitas bekerja di antara PD di Indonesia, penelitian ini akan mengestimasi probabilitas bekerja di antara PD dengan menggunakan metode Probit. Penelitian ini menggunakan unit analisis sebanyak 34.200 sampel penduduk usia kerja PD dengan single impairment dan bersumber dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2018. Hasil analisis menunjukkan bahwa PD yang mengalami gangguan penglihatan, pendengaran, jari/tangan, komunikasi, dan mental berpengaruh signifikan meningkatkan probabilitas bekerja di antara PD dibandingkan PD yang mengalami gangguan berjalan. Minimnya aksesibilitas menyebabkan PD dengan gangguan berjalan mengalami kesulitan dalam bermobilitas dalam kehidupan sehari-hari, seperti bekerja.

• Kata Kunci: penyandang disabilitas, probabilitas bekerja, probit

Page 14: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

003 PROBABILITAS BEKERJA DI ANTARA PENYANDANG DISABILITAS DI INDONESIA

ABSTRACT

Persons with disabilities (PWD) will tend to decide to work to be able to meet their needs and become independent. To see the probability of working among PWDs in Indonesia, this study will estimate the probability of working among PWDs using the Probit method. This study used an analysis unit of 34,200 samples of working age population with PWD with single impairment and sourced from the National Labor Force Survey (Sakernas) in August 2018. The results of the analysis showed that PWD with visual, hearing, finger / hand, communication, and mental disorders had a significant effect increase the probability of working among PWDs compared to PDs who experience walking disorders. The lack of accessibility causes PWD with impaired walking have difficulty in mobility in daily life such as work.

• Keywords: persons with disabilities, probability of work, probit

Page 15: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

004 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. Latar BelakangLebih dari satu milyar jiwa atau sebanyak 15 persen dari populasi penduduk dunia adalah populasi dari penyandang disabilitas (PD). Sekitar 80 persen dari jumlah PD tersebut merupakan penduduk usia kerja (WHO, 2011). Dengan jumlah tersebut, partisipasi PD dalam angkatan kerja dapat mencegah terjadinya penurunan tingkat partisipasi dalam angkatan kerja secara keseluruhan di masa depan (OECD, 2010).

Keputusan bekerja bagi setiap individu akan berbeda. Bagi mereka yang bukan penyandang disabilitas (Non-PD), bekerja merupakan kesempatan untuk self-actualization, sedangkan bagi PD, dengan bekerja, PD dapat menjadi mandiri dan menghasilkan uang. Biaya hidup yang lebih tinggi sebagai PD mungkin menjadi alasan dari fakta ini (Zaidi & Burchardt, 2003). Namun, pekerjaan merupakan hal yang sulit diperoleh PD. Sejumlah penelitian di seluruh dunia menemukan adanya hubungan yang negatif antara disabilitas dan bekerja (WHO, 2011). Ditemukan bahwa rasio bekerja PD secara signifikan lebih rendah dibandingkan Non-PD (Jones, 2008). Gap rasio bekerja ini terjadi lebih banyak di negara middle-income dibandingkan negara lower-income. Di negara-negara middle-income, gap rasio bekerja ini disebabkan karena adanya permasalahan gender dan status disabilitas yang dimiliki (Mitra, Posarac, & Vick, 2013). Selain itu, ketika bekerja, PD cenderung berada pada jenis pekerjaan dengan upah yang rendah dengan atau tanpa tunjangan dan minimnya kesempatan untuk meningkatkan karir (Yin & Shaewitz, 2015).

Konsep disabilitas di Indonesia yang dijelaskan dalam Sakernas merupakan kondisi gangguan/keterbatasan fungsi yang berlangsung lama dan menyebabkan terbatasnya partisipasi di masyarakat. Berdasarkan Gambar 1.1, PD menjadi kelompok minoritas terbesar di Indonesia dengan prevalensi penduduk usia kerja yang menjadi PD di Indonesia berjumlah 64.642 jiwa atau 12,32 persen dari total seluruh penduduk usia kerja di Indonesia yang berjumlah 508.460 jiwa (International Labour Organization, 2017). Sebagai kelompok minoritas terbesar di Indonesia, permasalahan ketenagakerjaan terkait disabilitas menjadi isu yang menarik terutama mengenai peluang PD untuk dapat berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja di Indonesia.

Pentingnya partisipasi dalam angkatan kerja secara menyeluruh, terutama yang melibatkan PD, menjadi salah satu tujuan dari pembangunan yang inklusif di Indonesia (Tambunan, 2012). Untuk memenuhi tujuan pembangunan inklusif tersebut, Indonesia telah berupaya memberikan perlindungan kepada PD melalui UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Indonesia juga aktif mengikuti mendukung PD dalam skala internasional dan mendukung pengesahan konvesi mengenai hak-hak PD bersama PBB. Untuk menyesuaikan perkembangan zaman

Page 16: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

005 PROBABILITAS BEKERJA DI ANTARA PENYANDANG DISABILITAS DI INDONESIA

dan teknologi, Indonesia memperbarui perlindungan terhadap kesempatan kerja PD dengan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam pasal 53, pemerintah Indonesia memperluas partisipasi PD dalam pasar tenaga kerja dengan mewajibkan perusahaan untuk dapat mengakomodasi PD sebanyak satu persen dari jumlah karyawan perusahaan yang berada di sektor swasta dan dua persen dari jumlah karyawan perusahaan yang berada di sektor publik. Namun, regulasi-regulasi tersebut belum dapat mengubah kondisi PD di pasar tenaga kerja Indonesia menjadi lebih baik.

PD dalam pasar tenaga kerja cenderung bekerja di sektor pertanian dan perdesaan, bekerja sendiri atau menjadi pekerja tidak tetap, bahkan tidak dibayar. Dengan kondisi tersebut, PD cenderung tidak memiliki upah tetap melainkan upah harian, mingguan, atau upah yang dibayarkan berdasarkan output yang dihasilkan, PD banyak yang tidak mendapatkan asuransi maupun fasilitas dalam bekerja, dan pada umumnya memiliki jam kerja yang cenderung lebih sedikit sehingga memiliki upah rata-rata yang lebih rendah per jamnya daripada Non-PD (Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat, 2016).

Tren partisipasi bekerja di antara PD di Indonesia yang mengalami penurunan dari tahun 2016-2018 sebesar 25,8 persen. Dilihat dari sisi supply, tren tersebut menunjukkan bahwa terdapat peningkatan tren PD di Indonesia yang merasa putus asa untuk bekerja. Sedangkan dari sisi demand, banyak perusahaan yang memutuskan untuk tidak membuat rekruitment untuk PD. Perusahaan menganggap bahwa faktor kondisi kesehatan yang baik adalah salah satu faktor terpenting dalam bekerja selain dari kemauan belajar, perilaku dan keterampilan (Halimatussadiah, Agriva, & Nuryakin, 2013).

Beberapa penelitian terdahulu memperlihatkan perbedaan probabilitas bekerja di antara PD di Indonesia. Adioetomo et al. (2014) memperlihatkan probabilitas bekerja di antara PD menurut tingkat disabilitas yaitu PD yang berkategori ringan dan PD yang berkategori berat dengan menggunakan data Sensus Penduduk 2010. Hasilnya memperlihatkan bahwa probabilitas bekerja PD dengan kategori ringan lebih tinggi daripada PD dengan kategori berat. Menurut Halimatussadiah (2017), probabilitas bekerja di antara PD yang terbesar adalah PD dengan gangguan jari/tangan, sedangkan yang terendah adalah PD dengan gangguan komunikasi. Namun, penelitian tersebut masih menggunakan sampel PD yang mengalami gangguan lebih dari satu jenis yang berakibat terjadinya multikolinear dalam mengestimasi partisipasi bekerja PD. Misalnya, pada jenis disabilitas dengan gangguan pendengaran cenderung akan mengalami ganggguan berbicara dan gangguan menggunakan jari/ tangannya dalam bekerja, terutama pada PD yang mengalami gangguan semenjak kecil, PD tersebut akan cenderung tidak dapat berbicara dengan baik dan menggunakan tangannya sebagai media komunikasi (Halimatussadiah, Nuryakin, Muchtar, Bella, & Rizal, 2017).

Page 17: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

006 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Penelitian lain di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa PD dengan gangguan berjalan yang memiliki keterbatasan dalam pekerjaan sehari-hari maupun ketika bekerja di kantor seperti kesulitan dalam aktivitas tertentu, kesulitan dalam melakukan kegiatan sehari-hari, kesulitan menggunakan peralatan dalam kegiatan sehari-hari, membutuhkan alat bantu, keterbatasan dalam kemampuan bekerja di sekitar rumah, keterbatasan dalam kemampuan untuk bekerja di kantor (Theis et al., 2019). Gangguan berjalan menjadi penghambat yang signifikan bagi PD untuk mendapatkan dan mempertahankan pekerjaan dibandingkan gangguan lainnya (Stancliffe, Nye-Lengerman, & Kramme, 2019).

Penelitian tersebut menunjukkan adanya pengaruh jenis disabilitas dengan gangguan berjalan terhadap partisipasi bekerja di antara PD dibandingkan jenis disabilitas dengan gangguan lainnya. Dengan demikian, penelitian ini akan mengestimasi pengaruh jenis disabilitas dengan gangguan berjalan terhadap probabilitas bekerja di antara PD di Indonesia dibandingkan jenis disabilitas dengan gangguan penglihatan, pendengaran, jari/tangan, komunikasi dan mental menggunakan sumber data Sakernas 2018. Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini akan difokuskan pada sampel PD yang mengalami satu jenis gangguan (single impairment) untuk dapat menghindari terjadinya multikolinear seperti pada penelitian sebelumnya.

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisPartisipasi PD dalam pasar tenaga kerja sangat penting untuk dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan partisipasi angkatan kerja secara keseluruhan (WHO, 2011). Kenyataannya, PD akan cenderung dipisahkan dari pasar tenaga kerja. Banyak dari PD akan menjadi setengah pengangguran yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam) atau menjadi putus asa untuk memasuki pasar tenaga kerja (Halimatussadiah et al., 2013). Menurut Theis et al. (2019), PD di Amerika Serikat dengan gangguan berjalan memiliki hambatan yang paling banyak dalam melakukan kegiatan sehari-hari maupun bekerja dibandingkan PD dengan gangguan lainnya. Akibat hambatan yang dimilikinya, PD seringkali harus menghadapi biaya keuangan yang tinggi (Yeo & Moore, 2003).

Rumusan permasalahan tersebut memperlihatkan adanya pengaruh jenis disabilitas terhadap probabilitas bekerja di antara PD di Indonesia. Dengan demikian, penelitian dalam tesis ini akan mengestimasi pengaruh jenis disabilitas terhadap probabilitas bekerja di antara PD di Indonesia. Terutama, pengaruh jenis disabilitas dengan gangguan penglihatan, pendengaran, jari/tangan, mental, dan komunikasi dibandingkan jenis disabilitas dengan gangguan berjalan terhadap probabilitas bekerja di antara PD di Indonesia.

Page 18: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

007 PROBABILITAS BEKERJA DI ANTARA PENYANDANG DISABILITAS DI INDONESIA

Sumber data yang digunakan untuk mengestimasi probabilitas bekerja di antara PD di Indonesia adalah data sekunder dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Agustus 2018 yang dilakukan Badan Pusat Statistik. Unit analisis dalam mengestimasi probabilitas bekerja di antara PD adalah penduduk usia kerja berumur 15 tahun ke atas yang merupakan PD. Sedangkan, batasan unit analisis dalam penelitian ini adalah penduduk usia kerja PD dengan single impairment sebanyak 34.200 jiwa.

Metode analisis yang digunakan dalam mengetimasi probabilitas bekerja di antara PD di Indonesia adalah analisis deskriptif dan inferensial. Pada analisis deskriptif akan diberikan gambaran mengenai karakteristik disabilitas dan karakteristik sosial demografi dari individu yang menjadi unit analisis dalam mengestimasi setiap metode analisis. Pada analisis inferensial akan dilakukan satu metode analisis. Metode analisis dalam penelitian ini adalah metode probit bekerja di antara PD dari penduduk usia kerja PD yang bekerja atau menjadi tidak bekerja.

C. Pembahasan Hasil AnalisisTemuan WHO (2011) menunjukkan bahwa lapangan usaha di sektor agrikultur menjadi pilihan kedua bagi PD. Meskipun tidak memerlukan keterampilan yang tinggi, namun bekerja di sektor agrikultur memerlukan intensitas fisik yang relatif tinggi sedangkan bekerja di sektor jasa tidak memerlukan kondisi fisik dan keterampilan yang tinggi. Selain itu, lingkungan tempat kerja di sektor jasa juga cenderung lebih akomodatif dan fleksibel bagi PD. Namun, penelitian ini memberikan hasil yang berbeda.

Hasil analisis dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa partisipasi bekerja di antara PD paling banyak berada di sektor agrikultur. Mayoritas PD berada di perdesaan yang banyak menyediakan pekerjaan di sektor agrikultur. Lapangan usaha di perdesaan, seperti sektor pertanian dan pekerja keluarga memberikan kesempatan kerja lebih banyak kepada PD dibandingkan lapangan usaha di perkotaan (Saefulah, 2017). Perdesaan juga memberikan kemudahan bagi pekerja PD yang berpendidikan rendah untuk dapat dipekerjakan (Halimatussadiah et al., 2017). Hasil ini berbeda dengan temuan WHO (2011) yang menunjukkan bahwa lapangan usaha di sektor jasa yang menjadi pilihan utama bagi PD untuk bekerja.

Penelitian dalam tesis ini menemukan bahwa PD dengan gangguan berjalan cenderung tidak bekerja sedangkan PD dengan gangguan lainnya cenderung bekerja. Hasil probabilitas bekerja di antara PD, secara keseluruhan, menunjukkan bahwa variabel jenis disabilitas penglihatan, pendengaran, jari/ tangan, komunikasi, dan mental memiliki koefisien positif dan berpengaruh signifikan terhadap probabilitas bekerja di antara PD dibandingkan PD dengan gangguan

Page 19: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

008 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

berjalan. Menurut Stancliffe, Nye- Lengerman, & Kramme (2019), PD dengan gangguan berjalan menjadi penghalang yang signifikan dalam bekerja karena keterbatasannya dalam bermobilitas di kehidupan sehari-hari. Fasilitas yang kurang aksesibel dalam suatu lingkungan sehingga PD dengan gangguan berjalan mengalami kesulitan untuk dapat bergerak di lingkungan mereka (Gray, Gould, & Bickenbach, 2017).

Probabilitas bekerja di antara PD yang terbesar menurut tingkat disabilitas adalah PD berkategori ringan. Menurut DeLeire (2001), Malo dan Pagan (2012), produktivitas PD berkategori berat lebih rendah daripada produktivitas PD berkategori ringan. Kondisi ini yang menyebabkan PD berkategori berat memiliki peluang lebih rendah untuk bekerja dibandingkan PD berkategori ringan.

Hasil variabel interaksi antara jenis disabilitas dan tingkat disabilitas memperlihatkan bahwa di antara PD berkategori berat, PD dengan gangguan jari/ tangan memiliki probabilitas bekerja yang paling besar dibandingkan PD dengan gangguan lainnya. Hasil ini didukung dengan penelitian Halimatussadiah et al. (2017) yang menemukan bahwa PD berkategori berat dengan gangguan jari/tangan memiliki probabilitas bekerja lebih tinggi 4,72 persen dibandingkan PD berkategori berat dengan gangguan penglihatan, pendengaran, berjalan, komunikasi, dan mental.

Variabel umur dalam penelitian ini menunjukkan puncak umur dari probabilitas bekerja di antara PD yaitu berada pada umur 39,67 tahun. Hal ini berarti, terjadinya penambahan umur berdampak pada peningkatan probabilitas bekerja di antara PD sampai umur 39,67 tahun. Setelahnya, penambahan umur akan memperkecil probabilitas bekerja di antara PD. Nilai puncak umur PD untuk berpeluang memperoleh pekerjaan sama seperti nilai puncak umur individu pada umumnya untuk berpeluang memperoleh pekerjaan, yaitu umur 38—42 tahun (Handayani, 2006; Nugroho, 2014; Sulistiyono, 2015).

Penelitian ini menemukan bahwa PD berumur 15 tahun didominasi oleh lulusan SD ke bawah. Berdasarkan jumlah ini, wajar bahwa probabilitas bekerja di antara PD adalah PD dengan pendidikan SD ke bawah. Hal yang menarik ternyata probabilitas bekerja di antara PD dengan lulusan SMA ke atas lebih tinggi dibandingkan probabilitas bekerja di antara PD dengan lulusan SMP. Temuan ini sejalan dengan Schmidt-Davis, Hayward, & Kay (1999), pendidikan bagi PD memberikan pengaruh negatif terhadap probabilitas bekerja. Menurut Mincer (1974), hasil ini merupakan cerminan efek negatif dari pengalaman dalam pasar tenaga kerja.

Probabilitas bekerja laki-laki PD lebih besar dibandingkan probabilitas bekerja perempuan PD. Bila dibandingkan laki-laki, perempuan akan cenderung tidak bekerja karena faktor keluarga dan mengurus anak (Schaner & Das, 2016).

Page 20: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

009 PROBABILITAS BEKERJA DI ANTARA PENYANDANG DISABILITAS DI INDONESIA

Bila dilihat menurut status perkawinannya, PD yang berstatus kawin memiliki probabilitas bekerja lebih besar dibandingkan yang PD yang berstatus belum/pernah kawin. Laki-laki PD yang berstatus kawin memiliki probabilitas bekerja lebih tinggi dibandingkan laki-laki PD yang berstatus belum/pernah kawin, sedangkan perempuan PD yang berstatus kawin memiliki probabilitas bekerja lebih rendah dibandingkan perempuan PD yang berstatus belum/pernah kawin (Baldwin & Johnson, 1995; Jones et al., 2006; Kidd et al., 2000).

D. KesimpulanTujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh jenis-jenis disabilitas terhadap probabilitas bekerja di antara PD. Hasil analisis deskriptif menunjukan bahwa jenis disabilitas dengan gangguan penglihatan, pendengaran, jari/tangan, komunikasi dan mental lebih banyak yang bekerja daripada jenis disabilitas dengan gangguan berjalan. PD berkategori berat akan cenderung memutuskan untuk tidak bekerja dibandingkan PD berkategori ringan. Sementara menurut karakteristik sosial demografi, partisipasi bekerja di antara PD rata-rata berada pada kelompok umur 40 tahun ke atas, berpendidikan SD ke bawah, berjenis kelamin laki-laki, berstatus kawin, berstatus kepala rumah tangga, dan bertempat tinggal di perdesaan.

Hasil analisis deskriptif tersebut sesuai dengan hasil analisis secara inferensia yang dilakukan dalam penelitian ini. Menurut hasil analisis inferensia, probabilitas bekerja di antara PD dengan gangguan penglihatan, pendengaran, jari/tangan, komunikasi dan mental lebih tinggi dibandingkan PD dengan gangguan berjalan setelah dikontrol oleh karakteristik disabilitas lainnya dan karakteristik sosial demografi. Selain itu, hasil analisis inferensia menemukan bahwa faktor jenis kelamin laki-laki, status kawin, status kepala rumah tangga, PD berkategori berat dengan gangguan pendengaran, dan PD berkategori berat dengan gangguan komunikasi, meningkatkan probabilitas bekerja di antara PD. Sementara itu, faktor PD berkategori berat, PD berkategori berat dengan gangguan jari/tangan, pendidikan menengah ke atas, dan tinggal di perkotaan menurunkan probabilitas bekerja di antara PD. Nilai puncak umur PD untuk dapat berpeluang bekerja adalah pada usia 39,67 tahun, setelahnya peluang bekerja di antara PD akan menurun.

Kesimpulan dari hasil analisis deskriptif dan inferensi dalam model probabilitas bekerja di antara PD adalah jenis disabilitas dengan gangguan penglihatan, pendengaran, jari/tangan, komunikasi, dan mental secara signifikan berpengaruh positif terhadap probabilitas bekerja di antara PD di Indonesia dibandingkan jenis disabilitas gangguan berjalan. Hasil analisis ini sesuai dengan hipotesis dalam penelitian ini.

Page 21: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

010 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

E. RekomendasiPenelitian ini menemukan bahwa PD yang memiliki gangguan berjalan cenderung untuk tidak bekerja dibandingkan PD dengan gangguan penglihatan, pendengaran, jari/tangan, komunikasi, dan mental. Ditemukan bahwa kesulitan dalam hal mobilitas menjadi hambatan PD dengan gangguan berjalan. Hambatan ini menyebabkan PD dengan gangguan berjalan mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan sehari-hari seperti melakukan suatu pekerjaan dan mencapai lokasi bekerja. Oleh karena itu, disarankan kepada pemerintah dan pemberi kerja dapat menyediakan dukungan berupa fasilitas-fasilitas yang aksesibel dalam suatu lingkungan sehingga hambatan PD dengan gangguan berjalan untuk dapat bekerja dapat diminimalisir.

Page 22: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

011 PROBABILITAS BEKERJA DI ANTARA PENYANDANG DISABILITAS DI INDONESIA

Page 23: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang
Page 24: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

02Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Urusan

Pendidikan dan Kesehatan Terhadap Pembangunan

Manusia di Kabupate/Kota Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta

Nama : Abdullah Ariefin Sk,

Unit Organisasi : Kantor Pertanahan Kabupaten

Gorontalo

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 25: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

014 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh pengeluaran pemerintah urusan pendidikan terhadap pembangunan manusia di kabupaten/kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, mengetahui bagaimana pengaruh pengeluaran pemerintah urusan kesehatan terhadap pembangunan manusia di kabupaten/kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Data yang digunakan adalah data panel dari kabupaten/kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta periode 2010 sampai dengan 2017. Teknik analisis data menggunakan pendekatan common effect model, fixed effect model dan random effect model untuk mengetahui hubungan antara pengeluaran pemerintah urusan pendidikan dan kesehatan dengan variabel kontrol PDRB per kapita. Dalam pemilihan model terbaik dihasilkan oleh fixed effect model dengan metode robust. Hasil estimasi menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah urusan pendidikan secara rata-rata memberikan pengaruh secara positif dan signifikan memengaruhi pembangunan manusia di kabupaten/kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 0,0158% selama periode penelitian. Adapun pengeluaran pemerintah urusan kesehatan secara rata-rata memberikan pengaruh positif dan signifikan memengaruhi pembangunan manusia di kabupaten/kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 0,0202% selama periode penelitian.

• Kata Kunci: pembangunan manusia, pengeluaran pemerintah urusan pendidikan, pengeluaran pemerintah urusan kesehatan

Page 26: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

015 PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH URUSAN PENDIDIKAN DAN KESEHATAN TERHADAP

PEMBANGUNAN MANUSIA DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

ABSTRACT

This research aims to find out how the influence of government spending on education affairs on human development in districts / cities in the Special Province of Yogyakarta, also knowing how the influence of government spending on health matters on human development in districts / cities in the Special Province of Yogyakarta. The data used are panel data from regencies / cities in Yogyakarta Special Region for the period 2010 to 2017. Data analysis techniques use common effect model approach, fixed effect model and random effect model to determine the relationship between government expenditure on education and health affairs with control variables PDRB per capita. In the selection of the best models produced by fixed effect model with the robust method. The estimation results show that government spending on education affairs on average gives a positive and significant influence on human development in the regency / city of the Special Province of Yogyakarta at 0.0158% during the research period. Whereas government spending on health matters on average gives a positive and significant influence on human development in the district / city of the Special Province of Yogyakarta by 0.0202% during the research period.

• Keywords: human development, government expenditure on education affairs, government spending on health matters

Page 27: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

016 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. Latar BelakangIndeks Pembangunan Manusia (IPM) atau yang dikenal dengan sebutan Human Development Index (HDI) adalah indikator yang digunakan untuk mengukur salah satu aspek penting yang berkaitan dengan kualitas dari hasil-hasil pembangunan ekonomi, yakni derajat perkembangan manusia. Indeks ini dikembangkan pada tahun 1990 oleh pemenang Nobel India Amartya Sen dan Mahbub Ul Haq seorang ekonom dari negara Pakistan yang dibantu oleh Gustav Ranis. IPM lebih fokus pada hal-hal yang lebih sensitif dan berguna daripada hanya sekadar pendapatan per kapita untuk melihat kemajuan pembangunan yang selama ini digunakan.

IPM di Indonesia adalah indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat. IPM merupakan data strategis karena selain sebagai ukuran kinerja pemerintah, IPM juga digunakan sebagai salah satu alokator dalam penentuan Dana Alokasi Umum (BPS, 2014).

Selanjutnya adalah indikator PDB perkapita. Indikator ini pada dasarnya merupakan proksi terhadap pendapatan masyarakat. Namun, disadari bahwa PDB diciptakan dari seluruh faktor produksi dan apabila ada investasi dari asing turut diperhitungkan. Padahal tidak seluruh pendapatan faktor produksi dinikmati penduduk lokal. Oleh karena itu, PDB perkapita dianggap kurang dapat menggambarkan pendapatan masyarakat atau bahkan kesejahteraan masyarakat pada suatu wilayah. Kedua, penggunaan rumus rata-rata aritmatik dalam perhitungan IPM menggambarkan bahwa capaian yang rendah di suatu dimensi dapat ditutupi oleh capaian tinggi dari dimensi lain, sehingga kelemahan rata-rata aritmatik ini menjadi salah satu alasan mendasar untuk memperbaharui metode perhitungan IPM di Tahun 2010. Terdapat empat indikator perhitungan IPM metode baru, antara lain angka harapan hidup saat lahir, angka harapan lama sekolah, rata-rata lama sekolah, dan PNB perkapita. Khusus untuk indikator PNB per kapita tidak tersedia pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota sehingga diproksi dengan pengeluaran perkapita.

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang sudah menerapkan perhitungan IPM dengan metode baru. Level IPM Provinsi DIY selama periode 2010—2017 menunjukkan perkembangan yang semakin membaik. Bahkan, capaian IPM Provinsi DIY di tahun 2017 berada pada level 78,89 (Kategori Tinggi menurut BPS). Capaian tersebut berada di atas rata- rata IPM Nasional.

Secara umum level IPM DIY masih berada di atas rata-rata IPM Nasional. Hal ini mengisyaratkan bahwa pencapaian kualitas pembangunan manusia di DIY relatif lebih baik dibandingkan dengan rata-rata pencapaian pembangunan manusia secara nasional. Hal ini juga menggambarkan peran aktif pembangunan manusia

Page 28: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

017 PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH URUSAN PENDIDIKAN DAN KESEHATAN TERHADAP

PEMBANGUNAN MANUSIA DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

yang dilakukan, baik oleh Pemerintah Daerah Provinsi DIY maupun pemerintah daerah kabupaten/kota di Provinsi DIY.

Peran pemerintah daerah yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yaitu diberlakukannya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk dapat mengoptimalkan penggalian potensi sumber pendapatan dan menentukan alokasi secara mandiri prioritas pembangunan sesuai aspirasi lokal dan potensi yang dimiliki masing-masing daerah untuk mencapai pemerataan pembangunan. Pemerintah daerah saat ini dituntut agar optimal dalam hal pemerataan pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga hasilnya tercermin dari pembangunan manusia yang terjadi di daerah.

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dikenal sebagai daerah tujuan untuk melanjutkan studi atau belajar bagi penduduk yang berusia sekolah dari luar daerah, terutama pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi. Sesuai dengan julukan Kota Yogyakarta sebagai kota pelajar, di wilayah DIY terutama Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta banyak terdapat sekolah menengah dan perguruan tinggi ternama yang sudah dikenal pada level nasional. Secara tidak langsung, hal ini menjadi penjelas tingginya angka harapan lama sekolah penduduk DIY yang kemudian memengaruhi nilai IPM, baik di Provinsi DIY maupun Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta.

Indeks harapan hidup juga menjadi salah satu komponen yang memberi andil besar tehadap tingginya nilai IPM baik di tingkat di Provinsi Yogyakarta maupun kabupaten/kota se-DIY. Secara nasional angka harapan hidup penduduk DIY sampai dengan tahun 2017 masih menempati peringkat tertinggi diikuti Provinsi Jawa Tengah, Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Jawa Barat (BPS 2018).

Dari penjabaran di atas, maka dimensi pendidikan dan dimensi kesehatan sangat erat kaitannya dengan pembangunan manusia. Peran pemerintah sebagai penyedia/fasilitator dituntut agar mampu mengoptimalkan anggaran pendidikan dan kesehatan yang proporsional dan adil bagi masyarakat. Pengeluaran pemerintah daerah dalam urusan pendidikan dan kesehatan adalah dua hal penting dan merupakan tujuan dasar pembangunan manusia. Kesehatan adalah inti dari kesejahteraan dan pendidikan adalah hal yang pokok untuk menggapai kehidupan yang memuaskan dan berharga. Keduanya merupakan hal yang fundamental untuk membentuk kapabilitas manusia yang lebih luas dalam pembangunan manusia.

Salah satu yang berperan dalam peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan adalah pengeluaran pemerintah (government expenditure). Pengeluaran pemerintah dianggap sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi dan pembangunan

Page 29: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

018 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

yang bersandar pada doktrin Keynesian. Pengeluaran pemerintah juga praktis dapat memengaruhi aktivitas ekonomi. Selain itu, pengeluaran pemerintah tersebut dapat menciptakan berbagai prasarana yang dibutuhkan dalam proses pembangunan, juga merupakan salah satu komponen dari permintaan agregat (aggregate demand) yang kenaikannya akan mendorong produksi atau Produk Domestik Bruto (PDB), sepanjang perekonomian belum mencapai tingkat kesempatan kerja penuh (full employment) (Todaro dan Smith 2011, 56).

Dari kedua indikator tersebut di atas (IPM dan pengeluaran pemerintah) di kabupaten/kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terlihat bahwa IPM semakin meningkat dari tahun 2010 sampai dengan 2017 menunjukkan tingkat kemakmuran masyarakat yang meningkat namun pada saat yang bersamaan pengeluaran pemerintah daerah untuk urusan pendidikan dan kesehatan berfluktuasi. Tren kedua indikator tersebut tidak searah, menjadi pertanyaan apakah ada keterkaitan pengaruh di antara keduanya.

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisBerdasarkan perkembangan selama 7 (tujuh) tahun terakhir terlihat bahwa perkembangan pengeluaran pemerintah urusan pendidikan dan kesehatan di kabupaten/kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tidak berkembang searah dengan indeks pembangunan manusia. Pengeluaran pemerintah yang berfluktuasi diikuti dengan indeks pembangunan manusia yang semakin meningkat. Perkembangan tersebut tidak sejalan dengan literatur sebelumnya bahwa pengeluaran pemerintah urusan pendidikan dan kesehatan signifikan terhadap pembangunan manusia. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana sebenarnya hubungan antara pengeluaran pemerintah urusan pendidikan dan kesehatan yang berfluktuasi dengan peningkatan pembangunan manusia di kabupaten/kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini juga diharapkan dapat menjawab perbedaan literatur sebelumnya yang membahas hubungan antara IPM dengan pengeluaran pemerintah urusan pendidikan dan kesehatan. Apakah pengeluaran pemerintah urusan pendidikan berpengaruh positif atau negatif dan signifikan terhadap indeks pembangunan manusia serta apakah pengeluaran pemerintah urusan kesehatan berpengaruh positif atau negatif dan signifikan terhadap pembangunan manusia. Pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah pengeluaran pemerintah urusan pendidikan berpengaruh terhadap pembangunan manusia di kabupaten/kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?

Page 30: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

019 PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH URUSAN PENDIDIKAN DAN KESEHATAN TERHADAP

PEMBANGUNAN MANUSIA DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

2. Apakah pengeluaran pemerintah urusan kesehatan berpengaruh terhadap pembangunan manusia di kabupaten/kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang dilakukan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan menggunakan unit analisis tingkat kabupaten dan kota. Penelitian menggunakan data panel yang merupakan gabungan data cross section berjumlah 5 (lima) kabupaten/kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan data time series tahun 2010—2017. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data capaian IPM, data pengeluaran pemerintah urusan pendidikan dan kesehatan, karakteristik wilayah, jumlah penduduk, PDRB atas dasar harga konstan tahun 2010 dan PDRB per kapita.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Pengaruh Pengeluaran Pendidikan terhadap IPM

Pendidikan merupakan suatu bentuk investasi sumber daya manusia. Pendidikan bukan hanya melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas, memiliki pengetahuan dan keterampilan, serta menguasai teknologi, tetapi juga dapat menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, investasi di bidang pendidikan tidak saja bermanfaat bagi manusia secara individu, tetapi juga masyarakat pada umumnya. Besarnya anggaran atau realisasi pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan akan menentukan besarnya jumlah penduduk miskin yang dibantu melalui akses pendidikan melalui program beasiswa atau sekolah gratis, ketersediaan ruang sekolah yang memadai, ketersediaan tenaga pendidik serta kualitas tenaga pendidik.

Pengeluaran pemerintah urusan pendidikan di dalam penelitian ini menggunakan realisasi belanja pemerintah kabupaten/kota urusan pendidikan yang bernilai riil. Berdasarkan uji t yang dilakukan diperoleh hasil bahwa pengeluaran pemerintah urusan pendidikan di kabupaten/kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berpengaruh positif dan signifikan terhadap IPM. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar realisasi pengeluaran pemerintah urusan pendidikan, maka semakin besar IPM. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hakim (2007) di kabupaten/kota Provinsi Kalimantan Timur dan Suescun (2007) yang menemukan bahwa belanja pemerintah berpengaruh positif dan signifikan terhadap IPM di negara-negara kawasan Amerika Latin dan Karibia. Penelitian oleh Gupta (1998) menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran pendidikan dapat memastikan percepatan pembangunan manusia. Selanjutnya Astri (2012)

Page 31: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

020 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

mengemukakan bahwa pengeluaran pemerintah daerah di sektor pendidikan memiliki pengaruh secara signifikan terhadap IPM, di mana setiap terjadi perubahan pada pengeluaran pendidikan maka akan diikuti oleh perubahan IPM.

Hasil ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chemingui (2007), dimana belanja pemerintah urusan pendidikan di Negara Yaman tidak berpengaruh terhadap IPM dan kemiskinan. Hal tersebut terjadi dikarenakan di Negara Yaman PDRB yang dihasilkan lebih banyak di sektor minyak bumi dan gas di mana masyarakat di negara tersebut lebih membutuhkan ketersediaan pangan dan layanan kesehatan yang memadai. Selain itu di Indonesia hasil penelitian yang didapat bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mulyaningsih (2008) yang menemukan bahwa belanja pemerintah urusan pendidikan tidak berpengaruh terhadap IPM di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah. Hal ini dapat dijelaskan bahwa proporsi belanja sektor pendidikan kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2007 terlalu kecil terhadap nilai PDRB, sehingga belum dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap IPM.

2. Pengaruh Pengeluaran Kesehatan terhadap IPM

Umur panjang dan hidup sehat adalah salah satu dimensi dalam pembangunan manusia. Kesehatan adalah syarat mutlak bagi masyarakat untuk mencapai dimensi lainnya seperti pengetahuan maupun standar hidup layak. Peran pemerintah adalah menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai baik sarana maupun prasarana kesehatan. Semakin besar alokasi pengeluaran kesehatan yang disediakan pemerintah, maka semakin tinggi pula kualitas dan kuantitas fasilitas kesehatan yang akan dimanfaatkan oleh masyarakat. Dengan demikian, semakin besar pengeluaran pemerintah di bidang kesehatan akan meningkatkan kesehatan masyarakat yang pada akhirnya akan meningkatkan indeks harapan hidup dalam IPM.

Pengeluaran pemerintah urusan kesehatan dalam penelitian ini menggunakan realisasi belanja pemerintah urusan kesehatan di kabupaten/kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang bernilai riil. Berdasarkan hasil uji t yang dilakukan diperoleh hasil bahwa pengeluaran pemerintah urusan kesehatan berpengaruh positif dan signifikan terhadap IPM di kabupaten/kota Provinsi DIY. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar realisasi belanja pemerintah urusan kesehatan, maka semakin besar nilai IPM. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Umihani (2004) yang menemukan bahwa pengeluaran pemerintah urusan kesehatan berpengaruh positif dan signifikan terhadap IPM di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chemingui (2007) di mana belanja pemerintah sektor kesehatan dan pertanian berpengaruh positif dan signifikan terhadap

Page 32: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

021 PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH URUSAN PENDIDIKAN DAN KESEHATAN TERHADAP

PEMBANGUNAN MANUSIA DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

IPM. Razmi (2012) mengemukakan kesehatan tidak hanya dianggap sebagai komponen modal manusia, tetapi juga secara simultan dan independen kesehatan telah masuk ke dalam model pertumbuhan begitu juga dampaknya. Adanya pengaruh positif dan signifikan pengeluaran pemerintah di bidang kesehatan terhadap IPM dikarenakan pengeluaran kesehatan merupakan layanan yang digunakan untuk pencegahan penyakit dan harapan umur panjang masyarakat. Porsi anggaran digunakan untuk peningkatan srana dan prasarana kesehatan masyarakat, kesadaran masyarakat akan hidup sehat dan pengembangan di bidang kesehatan. Martins dan Veiga (2013) mengemukakan pengeluaran bidang kesehatan memiliki hubungan kurva-U terbalik dengan pembangunan manusia, yang artinya semakin tinggi pengeluaran kesehatan maka semakin naik pencapaian pembangunan manusianya. Menurut Brata (2002) dukungan sumber dana dari pemerintah terutama di bidang pendidikan dan kesehatan sangat menentukan dalam peningkatan kualitas pembangunan manusia.

Hal ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Widodo et al. (2011) yang menemukan bahwa belanja pemerintah sektor kesehatan tidak berpengaruh langsung terhadap IPM. Penelitian yang dilakukan oleh Mulyaningsih (2008) menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah tidak berpengaruh pada peningkatan pembangunan manusia. Salah satu penyebabnya adalah karena masih rendahnya realisasi pengeluaran pemerintah untuk sektor publik terutama untuk sektor pendidikan dan kesehatan.

D. KesimpulanBerdasarkan hasil penelitian pengaruh pengeluaran pemerintah urusan pendidikan dan kesehatan terhadap pembangunan manusia di kabupaten/kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, ditambah variabel kontrol PDRB per kapita menggunakan data periode 2010—2017 dengan analisis model regresi data panel menggunakan pendekatan terbaik, yaitu fixed effect model metode robust, kesimpulan yang dapat diperoleh adalah sebagai berikut.

1. Pengeluaran pemerintah urusan pendidikan berpengaruh positif rata-rata sebesar 0,0158 persen dan signifikan terhadap pembangunan manusia di kabupaten/kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Pengeluaran pemerintah urusan kesehatan berpengaruh positif rata-rata sebesar 0,0202 persen dan signifikan terhadap pembangunan manusia di kabupaten/kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Page 33: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

022 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

E. Rekomendasi1. Berdasarkan hasil penelitian, untuk pengeluaran pemerintah urusan

pendidikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pembangunan manusia di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta, sedangkan realisasi pengeluaran pemerintah urusan pendidikan di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta rata-rata lebih besar dibandingkan pengeluaran pemerintah urusan kesehatan. Hal ini menunjukkan pemerintah daerah sudah tepat di dalam menjalankan kebijakan fungsi pengeluaran daerah untuk meningkatkan pembangunan manusia di daerahnya.

2. Adapun untuk pengeluaran pemerintah urusan kesehatan berdasarkan hasil penelitian, mempunyai nilai koefisiensi lebih besar dibandingkan pengeluaran pemerintah urusan pendidikan. Hal ini bisa menjadi dasar untuk pemerintah daerah khususnya di Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Kulon Progo agar lebih meningkatkan realisasi pengeluaran pemerintah urusan kesehatan agar dapat meningkatkan pembangunan manusia di daerahnya.

Page 34: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

023 PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH URUSAN PENDIDIKAN DAN KESEHATAN TERHADAP

PEMBANGUNAN MANUSIA DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Page 35: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang
Page 36: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

03Nama : Sely Yuniarti

Unit Organisasi : Badan Pusat Statistik Kabupaten

Bandung Barat

Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Padjajaran Bandung

Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral

Menurut Pencapaian Pendidikan di

Provinsi Jawa Barat

Page 37: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

026 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Provinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduknya yang besar memiliki permasalahan ketenagakerjaan yang cukup kompleks, diantaranya adalah jumlah angkatan kerja yang paling tinggi di antara provinsi-provinsi lain di Indonesia, dengan tingkat kesempatan kerja yang masih rendah bila dibandingkan dengan tingkat kesempatan kerja pada provinsi yang jumlah angkatan kerjanya lebih rendah, sehingga menempatkan Provinsi Jawa Barat sebagai provinsi dengan tingkat pengangguran terbuka tertinggi kedua setelah Banten. Di sisi lain pencapaian pendidikan angkatan kerja di Provinsi Jawa Barat kian membaik, yang diindikasikan dengan peningkatan pencapaian pendidikan dari angkatan kerjanya. Dan pada saat yang sama output sektoral serta perubahan yang cepat di dunia kerja sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat telah berdampak pada perubahan-perubahan mendasar dalam hal kualifikasi dan kompetensi tenaga kerja yang dibutuhkan.

Untuk itu penelitian ini bermaksud untuk menganalisis bagaimana penyerapan tenaga kerja sektoral di Provinsi Jawa Barat menurut pencapaian pendidikannya. Data yang digunakan berbentuk panel, terdiri dari 26 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat dalam kurun waktu 2011-2017. Model analisis pada penelitian ini diestimasi dengan menggunakan seemingly unrelated regression (SUR) Panel dengan metode generalized least squares (GLS).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa output sektoral berpengaruh positif terhadap proporsi penyerapan tenaga kerja sektoral, namun tiap sektor signifikan pada tingkat pendidikan yang berbeda. Adapun dinamika antarsektor menyebabkan output sektoral memiliki pengaruh negatif terhadap beberapa proporsi penyerapan tenaga kerja sektoral tergantung pada sektor dan tingkat pendidikannya.

• Kata Kunci: penyerapan tenaga kerja sektoral menurut pencapaian pendidikan, seemingly unrelated regression (SUR) panel dengan metode generalized least squares (GLS)

Page 38: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

027 PENYERAPAN TENAGA KERJA SEKTORAL MENURUT PENCAPAIAN PENDIDIKAN DI PROVINSI

JAWA BARAT

ABSTRACT

West Java Province with a large population has quite complex employment problems, including the highest number of labor force among other provinces in Indonesia, with a level of employment opportunities that is still low when compared to the level of employment opportunities in provinces with a lower number of labor force, thus placing West Java Province as the province with the second highest open unemployment rate after Banten Province. On the other hand the educational attainment of the labor force in West Java Province is getting better, which is indicated by the increase in educational attainment of the labor force. And at the same time sectoral output and rapid changes in the world of work as a result of the rapid development of science have had an impact on fundamental changes in the qualifications and competencies of the workforce needed.

For this reason, this study intends to analyze how the sectoral employment by educational attainment in West Java Province. The data used in the form of panels, consisting of 26 districts / cities in West Java Province in the period 2011-2017. The analysis model in this study was estimated using the seemingly unrelated regression (SUR) Panel with the generalized least squares (GLS) method.

The results showed that sectoral output had a positive effect on the proportion of sectoral employment, but each sector was significant at a different level of education. The dynamics between sectors cause sectoral output to have a negative effect on the proportion of sectoral employment depending on the sector and level of education.

• Keywords: sectoral employment by educational attainment, seemingly unrelated regression (SUR) panel with the generalized least squares (GLS) method

Page 39: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

028 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. Latar BelakangProvinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduknya yang besar memiliki permasalahan ketenagakerjaan yang cukup kompleks, diantaranya adalah jumlah angkatan kerja yang paling tinggi di antara provinsi-provinsi lain di Indonesia, dengan tingkat kesempatan kerja yang masih rendah bila dibandingkan dengan tingkat kesempatan kerja pada provinsi yang jumlah angkatan kerjanya lebih rendah. Hal ini menjadikan Pemerintah Provinsi Jawa Barat memiliki beban yang cukup berat dalam rangka mendukung program nasional untuk melakukan akselerasi penyerapan tenaga kerja dan menciptakan kesempatan kerja, sehingga dapat menurunkan tingkat pengangguran terbuka nasional menjadi 4-5 persen pada akhir tahun 2019.

Di sisi lain pencapaian pendidikan angkatan kerja di Provinsi Jawa Barat kian membaik, yang mengindikasikan kualitas dari angkatan kerja yang tersedia telah mampu bersaing di dalam kompetisi kerja. Dan pada saat yang sama output sektoral di Provinsi Jawa Barat serta perubahan yang cepat di dunia kerja sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat telah berdampak pada perubahan-perubahan mendasar dalam hal kualifikasi dan kompetensi tenaga kerja yang dibutuhkan.

Dengan kondisi tersebut diharapkan pemerintah dapat menetapkan kebijakan yang tepat dan akurat terkait permasalahan ketenagakerjaan. Untuk itu diperlukan informasi terkait ketenagakerjaan yang tepat dan akurat, informasi ini dapat diperoleh dari profil ketenagakerjaan yang komprehensif. Profil ketenagakerjaan yang disusun dengan baik diperlukan untuk menjadi basis pembuatan kebijakan terkait permasalahan ketenagakerjaan.

Salah satu yang jadi prioritas dalam hal ketenagakerjaan ini adalah masalah penyerapan tenaga kerja, untuk dapat lebih banyak wawasan mengenai sifat penyerapan tenaga kerja, maka penulis akan menganalisis bagaimana penyerapan tenaga kerja sektoral menurut pencapaian pendidikan di Provinsi Jawa Barat.

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisBeberapa rumusan permasalahan penelitian (research question) berdasarkan pada pembahasan di atas adalah:

1. Apakah output sektor pertanian berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja sektoral menurut pencapaian pendidikan di Provinsi Jawa Barat?

2. Apakah output sektor industri berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja sektoral menurut pencapaian pendidikan di Provinsi Jawa Barat?

Page 40: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

029 PENYERAPAN TENAGA KERJA SEKTORAL MENURUT PENCAPAIAN PENDIDIKAN DI PROVINSI

JAWA BARAT

3. Apakah output sektor jasa berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja sektoral menurut pencapaian pendidikan di Provinsi Jawa Barat?

4. Apakah jumlah penduduk usia kerja menurut pencapaian pendidikan berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja menurut pencapaian pendidikan di Provinsi Jawa Barat?

Objek dari penelitian ini adalah kabupaten/kota yang berada di wilayah Provinsi Jawa Barat dan untuk menjaga ketersediaan data seriesnya maka data kabupaten/kota pemekaran digabungkan dengan kabupaten/kota induknya, jadi cakupan wilayah penelitian meliputi 17 kabupaten dan 9 kota, yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis (termasuk Kabupaten Pangandaran), Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Subang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bandung Barat, Kota Bogor, Kota Sukabumi, Kota Bandung, Kota Cirebon, Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Cimahi, Kota Tasikmalaya, dan Kota Banjar.

Data yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk panel, yaitu gabungan dari data cross section 26 kabupaten/kota dengan data time series tahun 2011 sampai dengan tahun 2017. Data time series meliputi satu objek dalam beberapa periode, sedangkan data cross section terdiri dari beberapa objek dalam satu periode tertentu. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) yaitu meliputi:

1. Data jumlah penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) dan yang bekerja berdasarkan sektor ekonomi dan pencapaian pendidikan dari hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat, bulan Agustus dari tahun 2011-2017.

2. Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan tahun dasar 2010 menurut lapangan usaha, bersumber dari Publikasi PDRB 26 kabupaten/kota di Jawa Barat tahun 2011-2017.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Penyerapan Tenaga Kerja di Sektor Pertanian

a. Output Sektoral

Berdasarkan hasil estimasi SUR panel dengan metode GLS variabel output sektor pertanian pada persamaan dengan variabel dependen proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan di bawah SMA, SMA dan SMK

Page 41: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

030 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

di sektor pertanian, masing-masing memiliki koefisien 5,756; 1,381 dan 1,837 dengan tanda positif, yang berarti apabila output sektor pertanian meningkat sebesar 1 persen maka dapat meningkatkan proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan di bawah SMA, SMA dan SMK di sektor pertanian masing-masing sebesar 5,756 persen; 1,381 persen, dan 1,837 persen (ceteris paribus). Hal ini sejalan dengan penelitian Chowdury, dkk (2009), Suryadarma, dkk (2010), Tadjoeddin, dkk (2012), yang menyatakan bahwa output sektoral signifikan berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja sektoral.

Sementara untuk variabel output sektor industri pada persamaan dengan variabel dependen proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan di bawah SMA, SMK, dan DI/II/III di sektor pertanian, masing-masing memiliki koefisien 2,523; 1,804; dan 2,066 dengan tanda negatif, yang berarti peningkatan output sektor industri sebesar 1 persen dapat menurunkan proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan di bawah SMA, SMK, dan DI/II/III di sektor pertanian masing-masing sebesar 2,523 persen; 1,804 persen dan 2,066 persen (ceteris paribus). Penelitian Damaliana dan Setiawan (2016) menyatakan bahwa peningkatan output akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja sektor industri, hal ini berarti meningkatnya permintaan tenaga kerja pada sektor industri, hal ini dapat mendorong peralihan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri.

Berdasarkan data Sakernas Provinsi Jawa Barat bulan Agustus tahun 2017 diperoleh bahwa jurusan-jurusan SMK yang mendominasi pada penyerapan tenaga kerja berpendidikan SMK di sektor pertanian adalah jurusan teknik mesin, teknik otomotif, teknik komputer dan informatika, administrasi serta teknik ketenagalistrikan, yaitu masing-masing proporsinya sebesar 29,16 persen; 20,53 persen; 7,00 persen; 5,05 persen; dan 4,39 persen. Dari kelima jurusan tersebut 4 (empat) merupakan jurusan-jurusan SMK yang juga memiliki pangsa terbesar pada sektor industri, masing-masing sebesar 25,94 persen; 21,56 persen; 9,61 persen dan 6,37 persen. Apabila terjadi peningkatan permintaan tenaga kerja dengan jurusan-jurusan tersebut pada sektor industri akan sangat memungkinkan dapat mendorong peralihan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri yang dianggap dapat memberikan penghasilan lebih baik.

Begitu pula untuk yang berpendidikan DI/II/III, beberapa jurusan yang cukup mendominasi pada penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian memiliki pangsa yang relatif besar pada sektor industri, yaitu seperti jurusan ilmu ekonomi, ilmu akuntansi, keuangan dan perbankan.

Page 42: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

031 PENYERAPAN TENAGA KERJA SEKTORAL MENURUT PENCAPAIAN PENDIDIKAN DI PROVINSI

JAWA BARAT

Selanjutnya untuk variabel output sektor jasa pada persamaan dengan variabel dependen proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan di bawah SMA di sektor pertanian, memiliki koefisien 4,977 dengan tanda negatif, berarti apabila output sektor jasa meningkat sebesar 1 persen maka dapat menurunkan proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan di bawah SMA di sektor pertanian sebesar 5,977 persen (ceteris paribus). Jumlah penduduk yang terus bertambah mengakibatkan luas lahan pertanian per kapita semakin bertambah sempit, sehingga sebagian petani tidak lagi mampu mengandalkan kehidupannya pada sektor pertanian. Salah satu sektor jasa, yaitu perdagangan adalah alternatif pekerjaan diluar sektor pertanian yang mudah dimasuki bagi tenaga kerja berpendidikan di bawah SMA, karena tidak memerlukan pendidikan dan keterampilan yang tinggi serta permodalan yang besar (Marzuki, 2010).

Kemudian variabel output sektor jasa pada persamaan dengan variabel dependen proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan SMK dan DI/II/III, masing-masing memiliki koefisien 1,384 dan 2,570 dengan tanda positif yang berarti bahwa peningkatan pada output sektor jasa sebesar 1 persen akan meningkatkan proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan SMK dan DI/II/III di sektor pertanian masing-masing sebesar 1,384 persen dan 2,570 persen (ceteris paribus). Tenaga kerja berpendidikan SMK dan DI/II/III ini mengisi pekerjaan terkait dengan jasa pertanian yang lebih capital intensive, seperti ahli teknik mesin pertanian, konsultan pertanian, teknisi teknologi pertanian, operator mesin pertanian dan montir mesin pertanian.

Sama halnya seperti yang diungkapkan dalam salah satu hasil studi empiris Ishak (2013) yang menyatakan bahwa produktivitas tenaga kerja sektor pertanian menunjukkan penurunan secara relatif dibandingkan sektor industri dan jasa, peningkatan output sektor pertanian yang terjadi lebih disebabkan oleh diarahkannya sektor pertanian menjadi lebih capital intensive (Adriani dan Wildayana, 2015). Sejalan dengan hal tersebut penelitian Marzuki (2010) menyatakan bahwa sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sedang mengalami peralihan dari sektor yang berciri labor intensive menuju capital intensive. Penggunaan teknologi pada sektor pertanian dengan tujuan meningkatkan produktivitas yang lebih baik berdampak pada perubahan kualifikasi tenaga kerja yang diperlukan. Tenaga kerja lebih terdidik dan terampil diperlukan supaya dapat memanfaatkan teknologi yang berkembang, sehingga peningkatan produktivitas yang dimaksud bisa tercapai.

Page 43: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

032 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

b. Penduduk Usia Kerja

Berdasarkan hasil estimasi SUR panel dengan metode GLS pada tabel 4.6, variabel penduduk usia kerja berpendidikan di bawah SMA pada persamaan dengan variabel dependen proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan di bawah SMA pada sektor pertanian memiliki koefisien 4,738 dengan tanda positif, berarti apabila penduduk usia kerja berpendidikan di bawah SMA meningkat sebesar 1 persen maka dapat meningkatkan proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan di bawah SMA sebesar 4,738 persen (ceteris paribus).

Sementara untuk persamaan dengan variabel dependen proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan SMK dan DI/II/III masing-masing memiliki koefisien 1,327 dan 1,022 dengan tanda negatif, artinya apabila penduduk usia kerja berpendidikan SMK dan DI/II/III meningkat sebesar 1 persen maka dapat menurunkan proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan SMK dan DI/II/III pada sektor pertanian masing-masing sebesar 1,327 persen dan 1,022 persen (ceteris paribus).

Sejalan dengan hal tersebut, penelitian ini menunjukkan tren hubungan positif antara penduduk usia kerja berpendidikan di bawah SMA dan penyerapan tenaga kerja berpendidikan di bawah SMA pada sektor pertanian di Provinsi Jawa Barat tahun 2011 sampi 2017. Sedangkan antara penduduk usia kerja berpendidikan SMK dan DI/II/III dengan penyerapan tenaga kerja berpendidikan SMK dan DI/II/III pada sektor pertanian di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2011 sampai 2017 menunjukkan tren hubungan yang negatif.

2. Penyerapan Tenaga Kerja di Sektor Industri

a. Output Sektoral

Berdasarkan hasil estimasi SUR panel dengan metode GLS, variabel output sektor industri pada persamaan dengan variabel dependen proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan SMA, SMK, DI/II/III dan Sarjana di sektor industri, masing-masing memiliki koefisien 9,022; 11,424; 7,185 dan 4,288 dengan tanda positif, yang berarti apabila output sektor industri meningkat sebesar 1 persen maka dapat meningkatkan proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan SMA, SMK, DI/II/III dan sarjana di sektor industri masing-masing sebesar 9,022 persen; 11,424 persen; 7,185 persen dan 4,288 persen (ceteris paribus).

Hal ini sejalan dengan penelitian Chowdury dkk (2009), Suryadarma dkk (2010), Tadjoeddin dkk (2012), Damaliana dan Setiawan (2016), yang menyatakan

Page 44: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

033 PENYERAPAN TENAGA KERJA SEKTORAL MENURUT PENCAPAIAN PENDIDIKAN DI PROVINSI

JAWA BARAT

bahwa output signifikan berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja. Peningkatan output pada sektor industri menunjukkan peningkatan produksi terhadap barang-barang industri, peningkatan produksi akan memberikan dampak pada peningkatan permintaan terhadap tenaga kerja pada sektor ini sehingga terciptalah kesempatan kerja baru yang akan berpengaruh positif pada penyerapan tenaga kerja.

Sementara untuk variabel output sektor pertanian pada persamaan dengan variabel dependen proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan DI/II/III dan Sarjana di sektor industri, masing-masing memiliki koefisien 1,301 dan 2,315 dengan tanda negatif, yang berarti peningkatan output sektor pertanian sebesar 1 persen dapat menurunkan proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan DI/II/III dan sarjana di sektor industri masing-masing sebesar 1,301 persen dan 2,315 persen (ceteris paribus). Begitupun dengan variabel output sektor jasa pada persamaan dengan variabel dependen proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan SMA, SMK, DI/II/III dan Sarjana masing-masing memiliki koefisien 7,286; 8,897; 4,906 dan 2,989 dengan tanda negatif, yang berarti bahwa peningkatan pada output sektor jasa sebesar 1 persen akan menurunkan proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan SMA, SMK, DI/II/III dan sarjana di sektor industri masing-masing sebesar 7,286 persen; 8,897 persen; 4,906 persen dan 2,989 persen (ceteris paribus).

Penjelasan yang mungkin untuk hal ini adalah dengan adanya persaingan yang ketat akibat dari terbatasnya peluang kerja pada sektor industri (sektor formal) memberikan inspirasi bagi para pencari kerja dan pekerja yang tidak dapat bersaing baik yang berpendidikan rendah maupun tinggi untuk beralih pada kegiatan informal. Lapangan usaha informal pada sektor jasa di perkotaan dan sektor pertanian di pedesaan cukup besar, selain itu sektor informal memiliki karakter teknologi sederhana, berbahan baku lokal, modal relatif kecil dan kemudahan dalam beroperasi (Pitoyo, 2007).

Sektor informal merupakan bagian penting dari kehidupan ekonomi pada sebagian negara berkembang. Wilayah dengan tingkat pertumbuhan penduduk atau urbanisasi yang tinggi seperti halnya Provinsi Jawa Barat, ekonomi informal cenderung tumbuh untuk menyerap sebagian besar tenaga kerja. Data hasil Sakernas Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa proporsi tenaga kerja berpendidikan SMA, SMK, DI/II/III dan Sarjana yang bekerja pada sektor informal mengalami peningkatan dari tahun 2011 sampai 2017. Peningkatan terbesar terjadi pada tenaga kerja berpendidikan SMA, yaitu sebesar 4,18 persen, sedangkan untuk tenaga kerja berpendidikan DI/II/III peningkatannya paling kecil yaitu

Page 45: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

034 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Berlawanan dengan itu, variabel output sektor jasa pada persamaan dengan variabel dependen proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan di bawah SMA di sektor industri, memiliki koefisien 4,179 dengan tanda positif, yang berarti apabila output sektor jasa meningkat sebesar 1 persen maka dapat meningkatkan proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan di bawah SMA di sektor industri sebesar 4,179 persen (ceteris paribus).

Berdasarkan data Sakernas Provinsi Jawa Barat, tenaga kerja berpendidikan di bawah SMA masih digunakan pada sektor industri sebagan besar terkait dengan jenis pekerjaan sebagai tenaga pengolahan dan pekerja kasar. Pada tahun 2017, 3 (tiga) besar jenis pekerjaan pada sektor industri yang proporsinya terbesar adalah tenaga pengolahan, pekerja kasar dan operator mesin, masing-masing sebesar 36,07 persen, 24,94 persen dan 23,32 persen. Ketiga jenis pekerjaan tersebut diisi dengan dominasi tenaga kerja berpendidikan di bawah SMA, tepatnya untuk tenaga pengolahan sebesar 78,15 persen, pekerja kasar sebesar 77,42 persen dan operator mesin sebesar 39,28 persen (gambar 4.10).

b. Penduduk Usia Kerja

Berdasarkan hasil estimasi SUR panel dengan metode GLS, variabel penduduk usia kerja berpendidikan di bawah SMA pada persamaan dengan variabel dependen proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan di bawah SMA pada sektor industri memiliki koefisien 4,313 dengan tanda negatif, berarti apabila penduduk usia kerja berpendidikan di bawah SMA meningkat sebesar 1 persen maka dapat menurunkan proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan di bawah SMA sebesar 4,313 persen (ceteris paribus).

Sementara untuk persamaan dengan variabel dependen proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan Sarjana, memiliki koefisien 2,117 dengan tanda positif, artinya apabila penduduk usia kerja berpendidikan Sarjana meningkat sebesar 1 persen maka dapat meningkatkan proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan Sarjana pada sektor industri sebesar 2,117 persen (ceteris paribus).

Penelitian ini menunjukkan hal yang sejalan, tren hubungan yang cenderung negatif antara penduduk usia kerja berpendidikan di bawah SMA dan penyerapan tenaga kerja berpendidikan di bawah SMA pada sektor industri di Provinsi Jawa Barat tahun 2011 sampi 2017, sedangkan antara penduduk usia kerja berpendidikan sarjana dengan penyerapan tenaga kerja berpendidikan sarjana pada sektor industri di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2011 sampai 2017 menunjukkan tren hubungan yang cenderung positif.

Page 46: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

035 PENYERAPAN TENAGA KERJA SEKTORAL MENURUT PENCAPAIAN PENDIDIKAN DI PROVINSI

JAWA BARAT

3. Penyerapan Tenaga Kerja di Sektor Jasa

a. Output Sektoral

Berdasarkan hasil estimasi SUR panel dengan metode GLS, variabel output sektor jasa pada persamaan dengan variabel dependen proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan di bawah SMA, SMA, SMK, DI/II/III dan Sarjana di sektor jasa, masing-masing memiliki koefisien 7,350; 13,704; 14,312; 9,921 dan 9,331 dengan tanda positif, yang berarti apabila output sektor jasa meningkat sebesar 1 persen maka dapat meningkatkan proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan di bawah SMA, SMA, SMK, DI/II/III dan Sarjana di sektor jasa masing-masing sebesar 7,350 persen; 13,704 persen; 14,312 persen; 9,921 persen dan 9,331 persen (ceteris paribus). Hal ini sejalan dengan penelitian Chowdury, dkk (2009), Suryadarma, dkk (2010), Tadjoeddin, dkk (2012), yang menyatakan bahwa output sektoral signifikan berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja sektoral.

Sedangkan untuk variabel output sektor pertanian pada persamaan dengan variabel dependen proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan di bawah SMA di sektor jasa, memiliki koefisien 6,119 dengan tanda negatif, yang berarti peningkatan output sektor pertanian sebesar 1 persen dapat menurunkan proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan di bawah SMA pada sektor jasa sebesar 6,119 persen (ceteris paribus).

Sifat musiman dari sektor pertanian dan sektor jasa yang kegiatannya informal mungkin dapat menjelaskan hal tersebut. Bagi para pekerja sektor pertanian yang sementara waktu tidak melakukan kegiatan karena misalnya sedang musim kemarau atau lahannya terkena banjir, secara sukarela ataupun terpaksa mencari mata pencaharian lain diluar sektor pertanian yang mudah dimasuki, yakni yang tidak memerlukan persayaratan pendidikan dan keterampilan tertentu serta tidak memerlukan permodalan yang besar. Alternatif pekerjaan tersebut adalah sektor perdagangan yakni salah satu sektor jasa yang sebagian besar kegiatannya informal. Namun ketika kondisi di sektor pertanian sudah memungkinkan untuk melakukan kegiatan lagi maka akan kembali lagi bekerja pada sektor pertanian tersebut.

Berlainan dengan itu, variabel output sektor pertanian pada persamaan dengan variabel dependen proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan DI/II/III dan Sarjana di sektor jasa, masing-masing memiliki koefisien 1,829 dan 3,129 dengan tanda positif, yang berarti apabila output sektor pertanian meningkat sebesar 1 persen maka dapat meningkatkan proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan DI/II/III dan Sarjana di sektor jasa masing-masing sebesar 1,829 persen dan 3,129 persen (ceteris paribus). Pekerjaan yang

Page 47: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

036 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

mungkin untuk hal ini adalah pekerjaan sektor jasa pertanian yang lebih membutuhkan tenaga kerja dengan kualifikasi dan keahlian tertentu seperti ahli teknik mesin pertanian, konsultan pertanian dan teknisi teknologi pertanian.

Kemudian variabel output sektor industri pada persamaan dengan variabel dependen proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan SMA, SMK, DI/II/III, dan sarjana masing-masing memiliki koefisien 9,302; 10,638; 6,758 dan 5,355 dengan tanda negatif, yang berarti bahwa peningkatan pada output sektor industri sebesar 1 persen akan menurunkan proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan SMA, SMK, DI/II/III, dan sarjana di sektor jasa masing-masing sebesar 9,302 persen; 10,638 persen; 6,758 persen dan 5,355 persen (ceteris paribus).

Hal tersebut kemungkinan menggambarkan adanya trade off antarsektor, di mana apabila dalam sektor industri yang merupakan sektor formal meningkat peluang kerjanya maka akan menarik banyak minat pekerja yang berasal dari sektor jasa yang informal dengan dorongan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik. Berdasarkan data Sakernas Provinsi Jawa Barat tahun 2017, salah satu sektor jasa yakni perdagangan menyerap tenaga kerja berpendidikan SMA dan SMK dengan proporsi paling tinggi, masing-masing sebesar 50,23 persen dan 55,72 persen. Sedangkan salah satu sektor jasa yang menyerap tenaga kerja berpendidikan DI/II/III dan sarjana paling banyak adalah jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan, masing-masing sebesar 44,48 persen dan 64,84 persen (gambar 4.12). Kegiata usaha pada kedua sektor tersebut sebagian besar termasuk informal, yang biasanya digunakan oleh para pencari kerja terdidik sebagai batu loncatan sebelum mendapatkan pekerjaan pada sektor formal (sektor industri) dengan penghasilan yang lebih baik.

b. Penduduk Usia Kerja

Berdasarkan hasil estimasi SUR panel dengan metode GLS, variabel penduduk usia kerja berpendidikan Sarjana pada persamaan dengan variabel dependen proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan sarjana pada sektor jasa memiliki koefisien 2,088 dengan tanda negatif, berarti apabila penduduk usia kerja berpendidikan sarjana meningkat sebesar 1 persen maka dapat menurunkan proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan sarjana di sektor jasa sebesar 2,088 persen (ceteris paribus). Sejalan dengan hal tersebut, gambar 4.13 menunjukkan tren hubungan negatif antara penduduk usia kerja berpendidikan Sarjana dan penyerapan tenaga kerja berpendidikan Sarjana pada sektor jasa di Provinsi Jawa Barat tahun 2011 sampai 2017.

Page 48: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

037 PENYERAPAN TENAGA KERJA SEKTORAL MENURUT PENCAPAIAN PENDIDIKAN DI PROVINSI

JAWA BARAT

D. KesimpulanBerdasarkan pembahasan serta analisa mengenai penyerapan tenaga kerja sektoral menurut pencapaian pendidikan di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2017 yang diuraikan pada bab sebelumnya dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Output sektor pertanian signifikan berpengaruh positif terhadap proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan di bawah SMA, SMA dan SMK pada sektor pertanian di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2017. Sedangkan output sektor industri signifikan berpengaruh negatif terhadap proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan di bawah SMA, SMK dan DI/II/III pada sektor pertanian di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2017. Kemudian output sektor jasa signifikan berpengaruh negatif terhadap proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan di bawah SMA pada sektor pertanian di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2017, namun signifikan berpengaruh positif terhadap proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan SMK dan DI/II/III pada sektor pertanian di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2017.

2. Output sektor pertanian signifikan berpengaruh negatif terhadap proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan DI/II/III dan Sarjana pada sektor industri di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2017. Sedangkan output sektor industri signifikan berpengaruh positif terhadap proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan SMA, SMK, DI/II/III dan Sarjana pada sektor industri di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2017. Kemudian output sektor jasa signifikan berpengaruh positif terhadap proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan di bawah SMA pada sektor industri di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2017, namun signifikan berpengaruh negatif terhadap proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan SMA, SMK, DI/II/III dan Sarjana pada sektor industri di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2017.

3. Output sektor pertanian signifikan berpengaruh negatif terhadap proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan di bawah SMA pada sektor jasa di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2017, namun signifikan berpengaruh positif terhadap proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan DI/II/III dan Sarjana pada sektor jasa di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2017. Begitupun output sektor industri signifikan berpengaruh negatif terhadap proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan SMA, SMK, DI/II/III dan sarjana pada sektor jasa di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2017. Sementara output sektor jasa signifikan berpengaruh positif terhadap proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan di bawah SMA, SMA, SMK, DI/II/III dan Sarjana pada sektor jasa di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2017.

4. Penduduk usia kerja berpendidikan di bawah SMA signifikan berpengaruh positif terhadap proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan di

Page 49: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

038 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

bawah SMA di sektor pertanian, namun signifikan berpengaruh negatif terhadap proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan di bawah SMA di sektor industri. Kemudian Penduduk usia kerja berpendidikan SMK signifikan berpengaruh negatif terhadap proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan SMK di sektor pertanian. Selanjutnya Penduduk usia kerja berpendidikan DI/II/III signifikan berpengaruh negatif terhadap proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan DI/II/III di sektor pertanian. Dan Penduduk usia kerja berpendidikan Sarjana signifikan berpengaruh positif terhadap proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan Sarjana di sektor industri, namun signifikan berpengaruh negatif terhadap proporsi penyerapan tenaga kerja berpendidikan sarjana di sektor jasa.

E. RekomendasiBeberapa rekomendasi dalam rangka meningkatkan penyerapan tenaga kerja menurut pencapaian pendidikan adalah sebagai berikut:

1. Menjadikan Provinsi Jawa Barat sebagai wilayah yang mampu menciptakan kesempatan kerja melalui kebijakan-kebijakan yang mendukung peningkatan output (produksi) baik pada sektor pertanian, industri maupun jasa.

2. Penyediaan sistem pendidikan dan pelatihan yang melibatkan sinergitas berbagai pemangku kepentingan (lembaga pendidikan, dunia usaha dan pemerintah) untuk mengantisipasi kebutuhan akan keterampilan di masa mendatang serta meningkatkan aksesibilitas dan relevansi lembaga-lembaga pendidikan. Khususnya lebih berfokus pada peningkatan kualitas SDM yang lebih berdaya saing melalui pembekalan lulusan pendidikan dan tenaga kerja dengan keterampilan teknis yang tepat dan perilaku profesional yang dikehendaki oleh dunia kerja.

3. Selain meningkatkan jumlah lulusan pendidikan SMA ke atas seyogyanya diiringi dengan pengembangan keterampilan dan keahlian yang akan membantu Provinsi Jawa Barat dalam memanfaatkan beberapa kesempatan yang muncul dari meningkatnya output (produksi) pada sektor pertanian, industri dan jasa sebagai dampak dari penggunaan teknologi yang berkembang.

Page 50: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

039 PENYERAPAN TENAGA KERJA SEKTORAL MENURUT PENCAPAIAN PENDIDIKAN DI PROVINSI

JAWA BARAT

Page 51: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang
Page 52: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

04Enviromental Quality and Fiscal

Decentralization: A Case of Indonesia

Nama : Ratih Listyo Rini

Unit Organisasi : Direktorat Konservasi

Keanekaragaman Hayati Kementerian

LHK

Program Studi : Master Ekonomi Terapan

Negara Studi : Indonesia - Jepang

Universitas : Universitas Padjajaran Bandung

Page 53: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

042 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Telah banyak penelitian yang menganalisis hubungan antara kualitas lingkungan dan desentralisasi fiskal dengan temuan yang berbeda. Sejak diimplementasikannya sistem desentralisasi di Indonesia, permasalahan lingkungan semakin meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi apakah desentralisasi fiskal mempengaruhi kualitas lingkungan di 33 provinsi di Indonesia menggunakan studi empiris. CO2 emissions dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2014 and Environmental Quality Index (EQI) selama tahun 2010—2014 digunakan sebagai indikator lingkungan, dan ratio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total pendapatan daerah digunakan sebagai indikator desentralisasi fiskal. Berdasarkan hasil regresi diperoleh hasil bahwa Pendapatan Asli Daerah memiliki hubungan signifikan positif terhadap emisi CO2. Sementara itu hasil regresi menunjukkan bahwa PAD memiliki hubungan tidak signifikan terhadap Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (EQI).

• Kata Kunci: emisi CO2, EQI, desentralisasi fiskal

Page 54: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

043 ENVIRONMENTAL QUALITY AND FISCAL DECENTRALIZATION: A CASE OF INDONESIA

ABSTRACT

Studies on the relationship between environmental quality and fiscal decentralization result in conflicting findings. In Indonesia, decentralization system embarked since 2001, while a serious environmental problem emerged. This study investigates whether fiscal decentralization has an effect on environmental quality for 33 provinces in Indonesia by using empirical analysis. CO2 emissions from 2003 to 2014 and Environmental Quality Index (EQI) from 2010 to 2014 were used as an environmental indicator and a local own revenue at provincial as a proxy for fiscal decentralization. The results confirm that fiscal decentralization has a significant correlation with CO2 emissions, the increasing of the local own revenue will increase the CO2 emissions. Furthermore, for The Environmental Quality Index (EQI) as the local pollutant, the results suggest no significant correlation between local own revenue and economic growth with the pollutant.

• Keywords: CO2 emissions, EQI, fiscal decentralization

Page 55: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

044 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. BackgroundThe linkages between the economy and the environment are a controversial issue and complex. The change of the economy may affect the environmental quality through the three fundamental channels: scale, composition and technology effects (Copeland & Taylor, 1994). Fiscal decentralization as an economic activity increase the economy’s scale, and therefore change the environmental quality.

Transferring authority to local governments (fiscal decentralization) might reduce environmental quality. They might be more concerned about their revenue rather than improving environmental quality. Gibson & Lehoucq (2003) suggested that decentralization carries a risk for local governments to underinvest in environmental protection to which cannot provide a direct impact on the revenue. However, decentralization may actually increase environmental quality because the local governments have more knowledge about an environmental issue.

Studies on decentralization and environmental quality, have resulted in mixed findings. He, Q (2015) found that no evidence of a significant effect of fiscal decentralization on environmental pollution in China. Other studies found different results using CO2 emissions as an environmental indicator. Liu & Zhang (2013) examined a similar issue using Chinese panel data which showed that fiscal decentralization has a negative relationship with the environmental quality. Sigman (2009) examined the direct effect of fiscal decentralization on environmental pollution using 30 and 24 measurements in federal countries and non-federal countries respectively. Sigman found a positive relationship suggesting a higher degree of decentralization induces higher pollution levels.

Indonesia is an interesting case for studying the effect of fiscal decentralization on environmental quality for three reasons. First, Indonesia embarked on a major of decentralization reform in 2001, as part of a series of major changes in government following the 1998 economic crisis, which is one of the political and economic changes that occurred in Indonesia, while facing a more complex and serious environmental problem.

Second, after the implementation of decentralization, Indonesia facing the rapid economic growth. It is followed by the changes in its composition, and also may change the environmental quality. Some sector such as a manufacturing sector grew faster than the others, and therefore an increase in manufacturing output led an increase of its demand for energy, labor, and capital. The change in energy intensity should be followed by the change of emissions of pollutants.

Third, in 2018, Indonesia is one of the five largest CO2 emitting countries in the world; about 1,7 % of the world’s emissions come from Indonesia (World

Page 56: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

045 ENVIRONMENTAL QUALITY AND FISCAL DECENTRALIZATION: A CASE OF INDONESIA

Resources Institute, 2018). Figure 1 below shows the shares of the top 5 countries emitters in the worlds. It has drawn international attention to see the Indonesian government’s commitment to environmental problems.

Fourth, environmental management in Indonesia has persisted and become more complicated after decentralization, because the actual implementation of procedures has been poor and slow due to weak commitment by sector agencies, low awareness in local departments and capacity challenges at all levels and also little integration of environmental protection at the planning and programs of the government, especially in local governments (World Bank, 2014). EQI1 increased slightly during 2010-2014.

It is less clear, however to what extent the fiscal decentralization system affects CO2 emissions and EQI. A literature review on this issue found one study that describes the effects in Indonesia but without an empirical approach. Widianarko (2009) evaluated the extent of environmental degradation from 2001 (the decentralization reform) to 2008. He concluded that the implementation of decentralization in Indonesia exacerbated exploitation of natural resources, caused pollution, and environmental degradation.

Not to mention that no empirical analysis on this issue in Indonesia, it is interesting to analyze whether fiscal decentralization affects CO2 emissions and the quality of the environment in Indonesia using empirical analysis with the focus on local own revenue at the provincial level. The main objective of this paper is to find out how the fiscal decentralization policy affects the environmental quality in Indonesia.

B. Research Problem and MethodologyStudies of the effects of decentralization on environmental quality indicate mixed results in the US, globally and on China. Therefore, this study researches how fiscal decentralization affects the environmental quality in Indonesia by adding up a scale and composition effect after fourteen years of fiscal decentralization implementation by asking the following question:

1. How the size of local own revenue affects CO2 emissions in Indonesia?

2. How the size of local own revenue affects EQI in Indonesia?

3. How the change of GRDP2 and Manufacture’s GRDP3 affects CO2 emissions in Indonesia?

4. How the change of GRDP and Manufacture’s GRDP affects EQI in Indonesia?

The data that had been used in this study are expected to support empirical analysis which covers of panel data set incorporating from 33 provinces in

Page 57: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

046 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Indonesia. The model used panel data for 33 provinces, where model 1 tests for CO2 emissions as the dependent variable for 12 years (from 2003 to 2014), and model 2 separately tested for EQI as the dependent variable for 5 years (from 2010 to 2014). The panel data is a combination of cross section data and time series data (Wooldridge, 2012).

C. Data Analysis and ResultsThe regression analysis has mixed results for interpreting the relationship between fiscal decentralization and environmental quality in Indonesia depending on environmental (pollution) indicator, fiscal decentralization indicator, and time period that used in the regression. From all the regression results, it can be seen that the results in line with the previous studies already explained in the previous chapter.

Fiscal decentralization, underscoring Indonesia’s economic success, has a positively significant relationship with the level of CO2 emissions (during 2003-2014) and also has the negative and no significant relationship with EQI (from 2010 to 2014). It means that the fiscal decentralization decreases the environmental condition (increase the quantity of CO2 emissions and decrease the EQI). The role of the local own revenue for each province plays significantly in the environmental quality. These results are similar to those of previous studies, such as Farzanegan & Mennel (2012), C. He et al., (2012) and Sigman (2009) who conclude that fiscal decentralization increases pollution. In all results, it found a positive and significant relationship between Ln_GRDP and CO2 emissions, and a negative and significant relationship for the second relationship (Ln_GRDP and EQI).

Consider first the variables representing scale effects, the local own revenue ratio, and GRDP has the significant relationship with the environmental quality indicators. The increase of those variables will decrease the quality of the environment. The change of the environmental quality is affected by the change of the scale effects (Copeland & Taylor, 1994). The results imply that the provincial governments push up the growth rate and revenue collection, rather than in protecting the environment. It would be rational choice for the provincial’s government. The results in line with the previous study and the theory already explained above.

Next, consider the estimates for population density. The results show the strongly significant effect on the environmental indicators. It means that an increase in population density will decrease the environmental quality. The findings confirm the results by Islam et al. (2017) that the change of population density will change the environmental quality. The province with the higher population density has the lower environment. It can be approved by the result of the regression analysis in table 3 above.

Page 58: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

047 ENVIRONMENTAL QUALITY AND FISCAL DECENTRALIZATION: A CASE OF INDONESIA

The estimated impact of composition factor shown in the results of the regression. The manufacture’s GRDP has positive and no significant relationship with the CO2 emissions. It may be caused by the reason that several years after decentralization, during the period of the study, Indonesia experienced forest fire. It caused the largest contributor to the CO2 emissions rather than other contributors. Meanwhile, the second model shows the significantly positive relationship between composition effect as presented by the manufacture’s GRDP and EQI. The finding shows that the Manufacture’s GRDP has negative significantly impact on the local pollutant. It implies that the highest manufacture’s GRDP the highest EQI. It is clear that the change of the composition effects has an impact to the environmental quality (Copeland & Taylor, 1994).

D. ConclusionsThe distribution of authority between central government and local government has been determined under a decentralization era. In order to evaluate whether fiscal decentralization has an effect on environmental quality, this study conducted an empirical analysis using data from local own revenues for 33 provinces of Indonesia, and environmental degradation measurements, which are CO2 emissions during the year of 2003 until 2014 and Environmental Quality Index (EQI) during the period 2010-2014.

The difference between this study and previous studies is the fiscal decentralization indicator that was used. To test the effect of decentralization, we used the share of local own revenue ratio to the total revenue at the provincial level as the fiscal decentralization indicator. This study also used the method by adding up scale and composition effects to elaborate the relationship.

Based on our examination, the results show that fiscal decentralization has the significant impacts on environmental quality. The local own revenue ratio as fiscal decentralization indicator has negative effect on the environmental quality. It has the positive and significant relationship with CO2 emissions in Indonesia. The higher the local own revenue, the higher the CO2 emissions. While it also has the negative significant relationship with EQI.

By adding up the scale and composition effects. The empirical results demonstrate that the scale effect of growth tends to increase CO2 emissions and decrease EQI. Another effect is the composition effects that represent by the Manufacture’s GRDP, it also tends to decrease environmental quality. Moreover, the findings in this study also show that environmental quality is strongly affected by the population density.

Page 59: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

048 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

E. RecommendationsAfter considering the macroeconomic and non-economic fundamentals, the investigated determining forces provide us with an opportunity to conclude and formulate some specific policy implications as elaborated in the following points:

1. First, the regression results confirmed that an increase size of local own revenue tends to increase the quantity of CO2 emissions and decrease EQI in provincial level. Hence, in the decentralization era, the authorities should positively concentrate on utilizing maximum authority. For instance: Using their authority, they have greater autonomy in order to consider the utility of their revenue to protect the environment.

2. Second, a highly significant coefficient of GRDP and manufacture’s GRDP emphasize that the economic activity occupies a particularly important place among the environmental quality. As a consequence, it is critically important for the provincial governments to increase per capita GRDP without ignoring the environmental quality. With the rapid development of manufacturing sector, the provincial government should force the firm to implement a high environmental standard with high technology in order to decrease the pollutant.

Page 60: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

049 ENVIRONMENTAL QUALITY AND FISCAL DECENTRALIZATION: A CASE OF INDONESIA

Page 61: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang
Page 62: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

05Does Small-Scale Port Investment Affect

Local Economic Activity? Evidence

from Small-Port Development in

Indonesia

Nama : Indra Degree Karimah

Instansi : Direktorat Jenderal Perhubungan Laut

Kementerian Perhubungan

Program Studi : Magister Perencanaan Ekonomi Dan

Kebijakan Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Indonesia

Page 63: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

052 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Studi ini bertujuan untuk menemukan bukti empiris terkait apakah pelabuhan pengumpan lokal sebagai investasi skala kecil infrastruktur publik berdampak pada aktivitas ekonomi di desa. Motivasi dari studi ini berasal dari fakta bahwa pemerintah telah berinvestasi cukup besar dalam proyek-proyek pembangunan skala kecil saat kegagalan pasar terjadi. Namun, studi empiris dalam membuktikan manfaat pelabuhan tersebut sangat terbatas. Hal tersebut terjadi kemungkinan akibat adanya keterbatasan data dan kontribusi marginal yang cukup rendah di tingkat agregat yang tinggi. Menggunakan Difference-in-Differences yang mengukur implementasi operasional pelabuhan kecil secara berangsur-angsur, saya menemukan bahwa dengan dibukanya pelabuhan kecil dapat menaikkan intensitas cahaya malam hari, pengukuran yang dapat menangkap aktivitas perekonomian lokal, sebesar 1,8 persen. Walaupun dampaknya relatif rendah dan membutuhkan dua tahun untuk terjadi, manfaat dari pelabuhan kecil juga terjadi di luar desa dimana pelabuhan tersebut dibangun dan investasinya hemat biaya.

• Kata Kunci: pelabuhan kecil, investasi skala kecil, intensitas cahaya malam hari, aktivitas ekonomi, Indonesia, data panel

Page 64: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

053 DOES SMALL-SCALE PORT INVESTMENT AFFECT LOCAL ECONOMIC ACTIVITY? EVIDENCE FROM

SMALL-PORT DEVELOPMENT IN INDONESIA

ABSTRACT

This study aims to find empirical evidence whether local feeder ports as small-scale investments in public infrastructure affect economic activity at the sub-district level. The motivation for the study originated from the fact that the public invests heavily in small-scale projects when market failures occur. However, there is a lack of empirical studies on the impact of these investments because of constraints on data availability and their small marginal contribution at a more aggregated level. Using Difference-in-Differences that exploit staggered implementation of small-port operations, I find that the opening of small ports increased the night light intensity, a measure that captures local economic activity, by 1,8 percent. Although the impact is relatively small and takes two years after the operation, the benefits reach beyond the sub-district where the port is situated and outweigh the costs.

• Keywords: small port, small-scale investment, night light intensity, economic activity, Indonesia, panel data

Page 65: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

054 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. BackgroundThe seaport system plays an important role in fostering regional economic development. The presence of seaports enables firms to access wider markets or inputs, promotes inter-island trade and inter-regional integration (Lakshmanan, 2011), and improves the opportunity for human capital investment (Banerjee, Duflo, & Qian, 2012). These mechanisms, together, contribute to shaping regional development. Nevertheless, focusing on large-scale port infrastructure improvement only, without taking into account the importance of small-scale ports does not seem reasonable; small-scale ports work to complement nation’s port system trade (Monios, Wilmsmeier, & Ng, 2019; Notteboom & Rodrigue, 2005) that mostly serves small-scale trade (such as domestic inter-island trade in Indonesia). The presence of small ports is likely to become more important for countries that are endowed with vast sea areas.

This study investigates whether small-scale transport infrastructure investment such as local feeder ports has an impact on local economic activities as measured by night light intensity. I use Indonesia, one of the most archipelagic countries in the world, whose government has launched multi-year small feeder-port projects to improve sea connectivity among small islands in Indonesia as a part of a larger project of improving inter-island connectivity over the last decade. This study argues that in an archipelagic country like Indonesia, small ports may increase local economic development, beyond serving as a supporting system of larger international ports. I expected to obtain a positive relationship since the importance of ports is likely to be higher in the archipelagic region than in a landlocked region since more goods and people enter and exit through ports (Tovar et al., 2015) than through land or air infrastructure.

The relationships between ports and regions can be considered important, varied and dynamic. The location and economies of scale of port determine the relationships (Hoyle & Charlier, 1995). Empirical evidence suggests a strong consensus on the positive relationship between port infrastructure and regional economic development. Ports are considered important not only for promoting growth of their immediate location (Fujita & Mori, 1996) but also having positive spillover effects in surrounding regions (Bottasso, Conti, Costacurta, Porto, & Ferrari, 2018; Merk & Hesse, 2012; Yudhistira & Sofiyandi, 2018) due to the reduction of cost transportation. Besides the positive impact of port infrastructure in local economic activity, improved transportation may cause negative impact on less developed regions. If the less developed regions do not possess any comparative advantage, then the new port infrastructure will increase the competition in the less developed regions; consequently it might wiping-out of existing industries in the less developed regions (Fujita & Mori, 1996).

Page 66: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

055 DOES SMALL-SCALE PORT INVESTMENT AFFECT LOCAL ECONOMIC ACTIVITY? EVIDENCE FROM

SMALL-PORT DEVELOPMENT IN INDONESIA

While there are a handful of studies on the welfare effects of large ports, literature on the effect of small-port investments on local economic development remains scant. The impact of large and small port might differ due to their economies of scale (de Langen, 1998). With these differences, most literature stated that small ports do not significantly affect the total economic outcome (e.g. Bottasso et al., 2013, 2014; Monios, 2017; Yudhistira & Sofiyandi, 2018). Although, Feng & Notteboom (2013) argue that small ports considered important only for local interests do not seem sensible. With low economies of scale, the small port can be more agile and flexible facing new market challenges. This might due to small port have more land availability, less congestion, and smaller port-related activity compared to large port (Hoyle & Charlier, 1995).

Small ports mostly serve local economies (Monios, 2017) or as feeders for larger ports in a nation’s port system. Therefore, recent literature on small ports is mainly focused on small ports’ relative advantages, their dependency on larger ports and the challenges they face (de Langen, 1998; Feng & Notteboom, 2013; McCalla, Slack & Comtois, 2005; Monios, 2017; Monios et al., 2019; Tovar, Hernández & Rodríguez- Déniz, 2015). Park & Seo (2016) is an exception: they show that small ports provide only a limited effect on regional economic growth in South Korea. Limited economic development data for smaller administrative levels also proves that providing the causal inference of the small-port effect remains challenging.

There are new ports in the nation’s port system. The flow of Indonesian domestic containers increased from 2009 to 2014. The thinner lines indicate that there are smaller container movements situated that generally served by new small ports (Figure 1. 1 b). These thinner lines are a lot denser in island regions of the Eastern part of Indonesia. Those regions are typically referred as lagging regions of the country (Deichmann, Kaiser, Lall, & Shalizi, 2005). This new pattern is quite similar to the principal pattern of investment policies where the dynamic of economic growth has not yet taken hold: scattered yet aiming to reduce economic gap between regions (Hirschman, 1957).

The gradual introduction of new small ports in Indonesia makes it possible to identify the impact of small ports on night light intensity using the Difference-in- Differences (DiD) model with a staggered implementation. The identification then relied on the assumption that exposed sub-districts with a new small port opening are comparable to the other sub-districts that received new small ports in the subsequent periods. This approach is suitable for obtaining a causal effect in transportation policies that are implemented in various timings (e.g. Conti, Ferrara, & Ferraresi, 2019; Nehiba, 2018). The panel dataset structure also makes it possible to control for time-invariant unobserved heterogeneity that determines the decision of small-port development to minimize potential bias.

Page 67: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

056 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

I found that in an archipelagic country like Indonesia, the presence of small ports was positively associated with higher night light intensity by 1.8 per cent. The result was robust across a series of robustness checks and passed the parallel-trend assumptions and placebo tests. While the benefits of a small port also occur beyond its sub-district, it may take more than two years to deliver its impact. Albeit it’s relatively small impact, I found a positive net benefit of the investment; every US dollar spent generates 1.4 US dollar benefit.

B. Research Problem and MethodologyBased on the research background as mention above, there is limited literature that mainly focused on the subject of small port investment impact on local economic activities. This limitation may due to the difficulty of economic indicators capturing economic activities at the sub-district level. The problem that this research is trying to offer is to what extent local feeder ports, as one of small port investments, have an impact on local economic activities at the sub-district level.

The present study used multiple sources of data to construct a geo-referenced panel for the Indonesia dataset of sub-districts in the quarterly period from June 2012 to December 2018. I combined satellite data, The Ministry of Transportation documents on small-port planning and development, and regional statistics data from Statistics of Indonesia.

C. Data Analysis and Results

1. Comparing The Cost and Benefit of the Small Port Investment

An imperative assumption in the previous estimates is that the night light intensity is a good proxy for economic activity. Henderson et al. (2012) were the first who empirically tested that assumption using 1992–2008 data in selected countries. Since there are other economic aspects that vary over time and country, Henderson et al. (2012) could only measure the changes in night light intensity as the economic growth, not the economic level. Their results indicate that the elasticity between night light and gross domestic product (GDP) is roughly 0.3. However, to make more accurate predictions, I measured the elasticity between night light intensity and GDP in Indonesia. As the minimum GDP data are available at the municipality level, I investigated the elasticity using municipality level data and night light data from 2005–2012.

Page 68: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

057 DOES SMALL-SCALE PORT INVESTMENT AFFECT LOCAL ECONOMIC ACTIVITY? EVIDENCE FROM

SMALL-PORT DEVELOPMENT IN INDONESIA

The elasticity between night lights and GDP at the municipality level. I run all estimates using a panel fixed effects model with clustered standard error on the municipality. First, I start with the basic specification using only municipality fixed effects and year fixed effects in column (1). In column (2), I further introduce an island- specific trend, and population. The elasticity increases and is significant at 5% level. This estimate is much lower than Henderson et al.’s (2012) findings, however.

I replicated my previous estimations and introducing lagged night light. The idea was to see whether the current GDP is also associated with the past night light intensity. The results, as shown in column (3) and (4), indicate that past night light intensity is associated with GDP. Although the elasticity between current night light intensity and GDP is insignificant in each column, the night light variables are jointly significant at a 5% level in column (4). Thus, by combining the coefficients of night light intensity and its lag in column (4), I find that the cumulative elasticity between night light and GDP is 0.11.

For the economic interpretation of the results of night light intensity, I offer an approximation by assuming that the elasticity in municipality level also holds at the sub- district level. Since the association from operated small port on night light intensity in my previous estimates was between 1.8% and 7.0%, I might conclude that the small-port investments could have associated between 0.2% and 0.7% increase in the sub-district GDP in Indonesia.

The estimates of small-port impact on local economic activities can be utilized to compare the costs of building and operating the new small ports to the increase of local economic activities they generated. I provide a rough estimate to collate the undiscounted net benefit from investing in small ports. The net benefit results from the increase in local economic activities and the cost of small-port investments. It should be emphasized that the increase in local economic activities might underestimate the total benefit that arises from the investments. However, it is helpful to estimate the magnitude of the investment policy, since I believe that the government has a constrained budget and must prioritize investment policy.

Tabel 1. Elasticity Between Night Light and GDP

Dependent varibale: In (GDP)

(1) (2) (3) (4)

log night light 0.026 0.063** -0.032 0.002

(0.036) (0.030) (0.032) (0.029)

log night light (t-1) 0.080** 0.108***

(0.035) (0.033)

Page 69: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

058 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Dependent variable: In (GDP)

(1) (2) (3) (4)

Observation 3861 3861 3403 3403

R-Squared Within 0.572 0.600 0.547 0.576

Municipalities 497 497 497 497

Controls:

Municipality FE

YES YES YES YES

Year FE

Municipality FE

YES

NO

YES

NO

YES

NO

YES

NO

Population NO YES NO YES

Cumulative elasticity - - 0.048 0.110**

Notes:. ***, **, *, represent significance effects at 1, 5, and 10%, respectively. Clustered standard error at the municipality level provided in parentheses.

I calculated the costs based on the total costs incurred by the Ministry of Transportation to build 211 small ports up to 2018. Besides, I also assumed operational costs and maintenance costs are 5% of the total investment cost. Thus, as presented in Table 4. 6, the cost of small-port investments is around 764.2 million U.S. dollars. This calculation, however, needs to be taken with great caution, since it requires some daring assumptions.

Table 2. Cost-Benefit Comparison of Small-Scale Port Investment

Panel A: Assumptions and Parameters

U.S. dollar to Indonesia Rupiah (IDR) 14021.3

Estimated elasticity between night light and GDP 0.1

Estimated parameter benefit of local feeder port operation (%)

0.8

Operating cost (% building cost) 5.0

Cumulative GDP corresponding municipalities in 2012-2018 (million U.S dollars)

548047.4

Panel B: Benefit

Benefit from GDP (million U.S. dollars) 1091.2

Panel C: Cost

Building cost (million U.S. dollars) 727.8

Operating cost (million U.S. dollars) 36.4

Total Cost (million U.S. dollars) 764.2

Panel D: Benefit-Cost Ratio

Benefit-Cost Ratio 1.4

Sources: Ministry of Transportation, 2018; Statistics of Indonesia, 2019.

Page 70: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

059 DOES SMALL-SCALE PORT INVESTMENT AFFECT LOCAL ECONOMIC ACTIVITY? EVIDENCE FROM

SMALL-PORT DEVELOPMENT IN INDONESIA

I depend on the estimated parameters that have been made to calculate the total benefits obtained, and several assumptions needed to be made. First, increased local economic activity was the only source of benefits from the small-scale port investment. This benefit calculation might be an underestimate, since the new transportation infrastructure might generate other benefits such as increased maritime security (Bichou, 2004). Second, the benefits from increasing local economic activity were similar to the increased economic activities at the municipality level, where the port built. Therefore, the benefits could be calculated through a 1,8% increase in night light intensity based on port operations (column 4 of Table 1) multiplied by 0,11, which is the elasticity between night light intensity and GDP. Given these assumptions, the benefit generated was around 1,091.2 million U.S dollars.

Table 2 recapitulates my calculation on the benefit of small-port investments. Panel D shows the benefit and cost comparison from the investments. Taken literally, the result shows that every dollar spent yielded up to 1.4 dollars of benefit. This back of the envelope estimate shows that the small-port investment policies are cost-effective.

D. ConclusionsMany studies provide empirical evidence that ports have a positive relationship with regional economic development. However, these studies only focus on large ports without taking into account the presence of small ports, even though small ports have the potential to generate local economic benefits beyond their role supporting large ports in the seaport system. The potential is even higher, particularly in regions with a vast sea area. I used Indonesia, as the largest country in the world composed only of islands, to analyse the impact of small ports. In the last decade, Indonesia’s government has been gradually trying to improve the connections between islands by investing in small ports across the country, providing me with an opportunity to evaluate these investment policies.

Using the Difference-in-Differences (DiD) model with staggered implementation, I exploited the various timings of small-port operations to estimate the effect of small-port investment at the sub-district level. I found that sub-districts with a new small-port operation experienced 1.8 per cent higher local economic activity as captured by night light intensity. Although the effect is relatively small, yet my result contrasts with Park & Seo (2016), who showed a negligible effect of small ports on local economic development. I also found that the economic benefits of small ports reached well beyond the sub-districts where the ports were directly located. By comparing the benefits generated and the cost of the investments, I

Page 71: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

060 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

found positive net benefits of the investments; every US dollar spent generated 1.4 US dollars benefit. However, the effects took approximately two years to take place.

E. RecommendationsGiven the positive impacts of small ports and the net benefits generated, policymakers may still wish to invest in small-scale port development even if the positive impacts are relatively small and take some time to deliver. Nonetheless, it may be possible to accelerate and increase the benefits of small ports in the long run by implementing complementary policies. These policies may include increasing cooperative relationships with other ports in the same region to attract trade flow. Shan, Yu, & Lee (2014) highlight that aside being competitive with adjecent port, ports can jointly operate and be mutually beneficial with each other. Not only cooperation between or among ports, this cooperation realtionship also includes cooperation with the shipping company and among stakeholders (Asgari, Farahani, & Goh, 2013). These cooperative relationships are expected to increase efficiency and in supply chain integration.

More active involvement of the port authority and port stakeholders in the development of information systems, inland transportation systems and economic status can play important part in increasing port’s comparative advantage (Li, Luo, & Yang, 2012; Notteboom & Rodrigue, 2005). With better involvement of the port authority and port stakeholders, it is expected that the benefit of port will increase through a wider networking nodes.

Nevertheless, further research is needed to determine the effectiveness of these policies, particularly for small ports, so that its application can be run effectively.

Page 72: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

061 DOES SMALL-SCALE PORT INVESTMENT AFFECT LOCAL ECONOMIC ACTIVITY? EVIDENCE FROM

SMALL-PORT DEVELOPMENT IN INDONESIA

Page 73: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang
Page 74: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

06Competitive Bidding Pada Pengadaan

Barang Jasa Pemerintah: Bukti

Empiris Pada Sistem E-Procurement di

Indonesia

Nama : Billy Thandy Tulungen

Instansi : Badan Kepegawaian Daerah Provinsi

Sulawesi Utara

Program Studi : Magister Perencanaan Ekonomi dan

Kebijakan Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Indonesia

Page 75: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

064 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Pada penelitian ini, kami menginvestigasi pengaruh jumlah peserta pemilihan pada tahap evaluasi terakhir sebelum penetapan pemenang terhadap rasio harga penawaran pemenang dan HPS pada paket tender dan seleksi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan 526,453 data cross-section paket tender dan seleksi yang diperoleh dengan menggunakan teknik website scraping pada 402 website LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik) seluruh Indonesia pada tahun 2010 sampai dengan September 2019. Untuk mengetahui pengaruh tersebut kami menggunakan metode OLS dan metode IV-2SLS untuk mengurangi potensi bias akibat endogeneity. Penelitian ini menemukan adanya pengaruh dari jumlah peserta pemilihan tahap evaluasi terakhir terhadap rasio harga penawaran pemenang dan HPS, yang mana akan mengurangi rasio sebesar 0.02412 satuan atau menghemat belanja pengadaan melalui tender atau seleksi sebesar 2.41% terhadap nilai HPS. Selain itu, kami juga menemukan adanya pengaruh tidak langsung dari nilai paket pengadaan, metode prakualifikasi dan pola evaluasi terhadap jumlah peserta pemilihan pada tahap evaluasi terakhir sebelum penetapan pemenang.

• Kata Kunci: pengadaan pemerintah, tender, seleksi, competitive bidding

Page 76: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

065 COMPETITIVE BIDDING PADA PENGADAAN BARANG JASA PEMERINTAH: BUKTI EMPIRIS PADA

SISTEM E-PROCUREMENT DI INDONESIA

ABSTRACT

In this study, we investigated the number of bidder in the final evaluation before determining the winner on the ratio of winner’s bid price and HPS in the tender and selection package in Indonesia. This study used 526,453 tender and selection cross-section data packages obtained using website scraping techniques on 402 LPSE (Electronic Procurement Services) websites throughout Indonesia in 2010 to September 2019. To find the effect number of bidder in final evaluation stage on the ratio of winning bid and estimate price, we used OLS and IV-2SLS methods. to reduce the potential bias due to endogeneity. Increasing number of bidder in final evaluation stage which will reduce the ratio by 0.02412 units or save procurement expenditure by 2.41% of the estimate price. In addition, we also find indirect effect in the size of the procurement package, the method of pre-qualification and the pattern of assessment of the number of participants in the final evaluation before the determination of the winner.

• Keywords: public procurement, auction, competitive bidding

Page 77: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

066 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. Latar BelakangDi beberapa negara, sebagian besar proporsi belanja pemerintah diimplementasikan melalui pengadaan barang/jasa pemerintah (PBJ). Sebagai contoh, rata-rata belanja pengadaan publik di negara-negara anggota OECD diperkirakan sebesar 13% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan 29% dari belanja pemerintah (OECD, 2016). Di Indonesia, belanja pengadaan barang/jasa menyumbang proporsi yang signifikan sebesar 54% dari belanja kementerian, lembaga dan pemerintah daerah, atau senilai Rp1.039 Triliun (LKPP, 2018).

Besarnya belanja yang terserap pada belanja pengadaan barang jasa tidak hanya menggambarkan pentingnya pengadaan pemerintah bagi perekonomian, tetapi juga pentingnya dalam mengamankan efisiensi biaya dan lingkungan usaha yang kompetitif dalam pengadaan pemerintah, khususnya pada proses tender/seleksi. Tender dan seleksi menjadi salah dua cara yang dilakukan pemerintah agar dapat memperoleh barang jasa yang berkualitas dan pelaku usaha yang mampu menyediakan barang jasa namun dengan harga yang terendah sehingga belanja pengadaan barang jasa lebih efisien.

Namun terdapat kondisi dimana harga penawaran meningkat saat proses tender/seleksi pengadaan pemerintah. Ketika tender/seleksi yang kolusif dapat menyebabkan harga penawaran pemenang lebih tinggi dibandingkan dengan tender yang kompetitif (Porter dan Zona, 1993; Bajari dan Ye, 2003). Hal ini karena peserta yang melakukan kolusif dapat mengatur harga penawaran diatas harga penawaran pada kondisi kompetitif. Selain itu, harga penawaran pemenang juga akan meningkat ketika terjadi perilaku koruptif. Perilaku koruptif itu seperti HPS dan spesifikasi teknis yang disusun oleh “calon pemenang”, atau pokja membuat syarat kualifikasi dan teknis yang diskriminatif serta pokja telah memiliki “calon pemenang” sebelum proses tender/seleksi (KPK, 2014).

Pengadaan pemerintah di Indonesia diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 yang mengganti Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 dan perubahannya. Regulasi pengadaan mengatur bahwa pemerintah melalui pokja pemilihan akan mengevaluasi pelaku usaha yang mengikuti tender dan seleksi baik dalam hal kemampuan pelaku usaha menyediakan barang jasa dan barang jasa yang ditawarkan sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan sebelumnya. Sehingga sebelum penetapan pemenang, beberapa tahapan evaluasi yang dilalui baik evaluasi kualifikasi untuk mengevaluasi kualifikasi penyedia, dan evaluasi administrasi, teknis, dan harga untuk mengevaluasi barang jasa yang ditawarkan. Pelaku usaha menawar dibawah Harga Perkiraan Sendiri (HPS) sebagai batas atas harga penawaran, sehingga yang memperoleh harga terendah ataupun bobot tertinggi (dalam skor kombinasi bobot teknis dan harga) dibawah nilai HPS yang ditetapkan sebagai pemenang.

Page 78: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

067 COMPETITIVE BIDDING PADA PENGADAAN BARANG JASA PEMERINTAH: BUKTI EMPIRIS PADA

SISTEM E-PROCUREMENT DI INDONESIA

Oleh karena itu, dalam penelitian ini kami menguji secara empiris efek dari lingkungan kompetitif (jumlah peserta pada tahap evaluasi terakhir sebelum penetapan pemenang) terhadap rasio nilai penawaran pemenang dan HPS (Harga Perkiraan Sendiri) sering didefinisikan sebagai relative bid dalam beberapa literatur (De Silva et al., 2009; Ishii, 2009; Padhi & Mohapatra, 2011) dengan menggunakan set data unik yang dipublikasikan pada website LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik) di Indonesia.

Studi empiris tentang competitive bidding pada tender/seleksi pengadaan pemerintah, terutama bagi negara berkembang terbatas, yang dikarenakan tidak ada atau terbatasnya akses ke data tender/seleksi pengadaan pemerintah secara komperehensif serta belum diterapkannya sistem e-procurement. Untuk negara maju sebagian besar memiliki data yang komprehensif dan tersedia bagi publik serta telah menerapkan sistem e-procurement (Jääskeläinen & Tukiainen, 2019; i. Onur, Özcan, & Tas, 2012 Gupta, 2002). Di Indonesia sejak berlakunya Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 yang kemudian diganti dengan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang Jasa Pemerintah, negara mewajibkan bagi instansi pemerintah yang termasuk dalam ruang lingkup aturan tersebut untuk melaksanakan tender dan seleksi secara elektronik. Artinya, setiap instansi pemerintah di Indonesia wajib meng-upload semua informasi tentang pengadaan pemerintah pada sistem SPSE, walaupun tidak semua data dapat diakses publik.

Meskipun tender/seleksi telah diselidiki secara luas dalam literatur, belum ada studi yang meneliti tentang efek peningkatan jumlah peserta pemilihan pada tahap evaluasi akhir sebelum penetapan pemenang pada tender/seleksi terhadap rasio nilai penawaran pemenang dan HPS.4 Penelitian sebelumnya terkait rasio harga penawaran pemenang dan estimated price (Porter & Zona, 1993; Bajari & Ye, 2003; Estache & Iimi, 2008; Iimi, 2006; Ishii, 2009; Onur, Özcan, & Tas, 2012; Onur & Tas, 2019) menguji bagaimana efek kompetisi terhadap harga penawaran dengan melihat dari sisi jumlah partisipasi peserta pemilihan pada tahap pertama atau yang mendaftar pada proses tender/seleksi. Namun, literatur tersebut tidak menangkap efek dari kompetisi atau jumlah peserta pemilihan pada tahap sebelum penetapan pemenang terhadap rasio tersebut. Pada tahap evaluasi sebelum penetapan pemenang, jumlah peserta pemilihan dapat berbeda dengan peserta pada tahap pertama, karena telah melalui beberapa tahapan evaluasi.5

Oleh karena itu, kemungkinan akan terjadi perbedaan hasil ketika menguji jumlah peserta pemilihan pada tahap eval uasi sebelum penetapan pemenang.

Kami menganalisis set data unik paket tender dan seleksi pengadaan barang jasa pemerintah di Indonesia pada periode antara tahun 2010 sampai dengan September 2019. Data ini dipublikasikan pada website Layanan Pengadaan Secara

Page 79: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

068 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Elektronik (LPSE) di seluruh Indonesia. Data ini berisi semua jenis pengadaan pemerintah pada semua otoritas publik (seperti kementerian, lembaga, pemerintah daerah dan otoritas publik lainnya yang melakukan pengadaan pemerintah). Sepengetahuan kami, penelitian ini adalah peneli tian pertama yang menggunakan set data unik yang komprehensif dalam menganalisis competitive bidding pada tender/seleksi dan meneliti dari sisi jumlah peserta pemilihan pada tahap evaluasi sebelum penetapan pemenang.

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisBerdasarkan latar belakang dan permasalahan umum di atas, maka pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh lingkungan kompetitif yang diproksi dengan jumlah peserta pemilihan pada tahap evaluasi sebelum penetapan pemenang terhadap efisiensi belanja pengadaan pemerintah yang diproksi dengan rasio harga penawaran pemenang dan HPS di Indonesia.

Penelitian ini menggunakan dataset unik berupa data paket pengadaan barang/jasa pemerintah yang terdapat pada Website LPSE di seluruh Indonesia baik pada Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, universitas, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan yang menggunakan APBN atau APBD dan diatur dalam regulasi pemerintah. Data yang digunakan merupakan data yang dipublikasi dan dapat diakses dengan bebas oleh masyarakat umum pada website LPSE.

Web scraping merupakan salah satu teknik pemrograman yang digunakan untuk mengumpulkan data pada suatu website dengan lebih cepat. Kami menggunakan teknik pemrograman web dalam mengektraksi data pada 691 website. Kami membuat program yang diupload pada satu webserver yang bisa kami akses melalui domain web. Program tersebut ditulis menggunakan bahasa script PHP (Hypertext Preprocessor) yang ditujukan untuk mengunjungi Website LPSE yang terdaftar di LKPP yang dapat dilihat dari inaproc.id/lpse. Kami membuat script yang akan mengekstrak data dari suatu web dengan cara melakukan blokade tag html yang menjadi bahasa standar pada suatu web. Tag html yang unik tersebut, kami petakan dalam program dan mengambil value yang diperlukan kemudian mengexportnya dalam satu format *.csv untuk diimport pada spreadsheet sehingga bisa mudah untuk dianalisa karena sudah berbentuk tabel.

Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini terbagi ada analisis, yaitu analisis deskriptif dan analaisis inferensial.

Page 80: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

069 COMPETITIVE BIDDING PADA PENGADAAN BARANG JASA PEMERINTAH: BUKTI EMPIRIS PADA

SISTEM E-PROCUREMENT DI INDONESIA

C. Pembahasan Hasil AnalisisHasil regresi tahap kedua dari IV-2SLS menunjukkan pengaruh jumlah peserta pemilihan tahap evaluasi terakhir sebelum penetapan pemenang terhadap rasio harga penawaran pemenang dan HPS. Hasil estimasi menunjukan bahwa jumlah peserta pemilihan pada tahap evaluasi sebelum penetapan pemenang berpengaruh signifikan dan negatif terhadap rasio harga penawaran pemenang dan HPS, dimana setiap bertambahnya 1 peserta pemilihan cenderung mengurangi rasio harga penawaran pemenang dan HPS sebesar 0.0241. Artinya setiap bertambahnya satu peserta pemilihan dapat menurunkan harga penawaran pemenang sebesar 2.41% atas nilai HPS atau menghemat belanja pengadaan pemerintah melalui tender dan seleksi sebesar 2.41%.

Hal ini menunjukan bahwa semakin kompetitif suatu paket tender dan seleksi maka secara biaya dapat mengurangi belanja barang jasa pemerintah. Dengan semakin banyaknya jumlah peserta pemilihan dan adanya informasi asimetris terhadap pesaingnya, serta adanya kompetisi, maka koordinasi akan lebih sulit dilakukan dan coordination cost menjadi mahal. Hal tersebut menjadi insentif bagi peserta pemilihan untuk menawarkan harga yang terendah agar dapat menjadi pemenang pada paket tender/seleksi tersebut. Ini juga menunjukan bahwa lingkungan yang kompetitif tidak hanya diperlukan dan terjadi pada saat tahap awal sebagaimana penelitian sebelumnya (Estache & Iimi, 2008; Iimi, 2006; Ishii, 2009; Onur, Özcan, & Tas, 2012; Onur & Tas, 2019), tetapi juga pada tahap evaluasi sebelum penetapan pemenang. Hal ini terkonfirmasi pada bukti deskriptif yang menunjukan terjadinya penurunan rata-rata rasio antara harga penawaran pemenang dan HPS ketika jumlah peserta pemilihan bertambah.

Kami juga melakukan estimasi terhadap empat jenis pengadaan pemerintah dan menemukan bahwa jenis pengadaan pekerjaan konstruksi, pengadaan barang, jasa lainnya berpengaruh negatif dan signifikan terhadap rasio harga penawaran pemenang dan HPS, sedangkan untuk jenis pengadaan jasa konsultansi badan usaha tidak berpengaruh signifikan. Jenis pengadaan pekerjaan konstruksi memiliki koefisien yang terkecil dalam menurunkan rasio harga penawaran dan HPS. Hal ini diduga karena kompleksitas pekerjaan dibandingkan jenis pengadaan lainnya, dimana peserta pemilihan harus menghitung penawaran teknis dan harga yang disampaikan baik kualifikasi tenaga kerja, material dan bahan yang akan digunakan pada pekerjaan tersebut. Dengan kalkulasi tersebut, maka menyebabkan bid preparation cost yang dibutuhkan penyedia menjadi besar dan hal ini yang kemudian menyebabkan pekerjaan konstruksi memiliki koefisien terkecil dibandingkan jenis pengadaan yang lain dalam menurunkan rasio harga penawaran pemenang dan HPS.

Page 81: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

070 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Sesuai dengan tujuan penelitian, pengaruh jumlah peserta pemilihan pada tahap evaluasi terakhir sebelum penetapan pemenang adalah negatif. Artinya, semakin banyak jumlah peserta pemilihan, maka harga penawaran pemenang atau rasio harga penawaran pemenang dan HPS akan menurun. Hasil estimasi menggunakan metode OLS menunjukan hal yang sama, yaitu adanya pengaruh negatif dari jumlah peserta pemilihan pada tahap evaluasi terakhir terhadap rasio harga penawaran pemenang dan HPS. Dengan mempertimbangkan adanya kemungkinan bias yang dihasilkan oleh estimasi OLS akibat endogeneity, maka estimasi menggunakan IV-2SLS yang menghasilkan nilai koefisien yang relatif yang sama dengan metode OLS namun dengan bias yang telah direduksi.

Temuan lainnya adalah adanya hubungan negatif antara metode kombinasi bobot teknis dan harga terhadap rasio penawaran pemenang dan HPS. Di Indonesia, mengatur bahwa pada metode ini peserta pemilihan harus memenuhi ambang batas (persyaratan minimum) pada bobot teknis terlebih dahulu, sehingga jika tidak memenuhi ambang bobot teknis dan persyaratan minimum yang telah ditetapkan oleh pokja pemilihan, maka peserta tersebut tidak memenuhi syarat untuk melanjutkan ke tahap evaluasi selanjutnya.

Selain itu, walaupun peserta pemilihan telah mengetahui aturan dan proporsi pembobotan tersebut, namun karena peserta pemilihan memiliki informasi tidak sempurna terhadap penawaran pesaingnya baik dalam penawaran teknis maupun harga, maka peserta pemilihan akan menawarkan teknis yang terbaik untuk memenuhi ambang batas skor teknis, dan harga yang rendah untuk memenangkan paket tender/seleksi tersebut. Hal ini didukung dengan beberapa literatur dimana pada sistem skor (kombinasi bobot teknis dan harga) memiliki expected profit yang lebih tinggi dibandingkan hanya dengan evaluasi harga bagi juru lelang, namun bagi peserta pemilihan expected utility pada evaluasi harga lebih tinggi dibandingkan sistem skor teknis dan harga (Asker & Cantillon, 2008; Bichler, 2000; Che, 1993; Chen-Ritzo et al., 2005; Ondestal & Van de Meerendonk, 2008).

Penelitian ini juga menemukan tidak adanya efek perubahan proporsi bobot teknis dan harga pada metode evaluasi kombinasi bobot teknis dan harga pasca berlakunya Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018. Hal ini kemungkinan karena jumlah paket pengadaan yang menggunakan metode evaluasi tersebut pasca Perpres Nomor 16 Tahun 2018 yang sedikit dibandingkan dengan jumlah observasi pada penelitian ini, sehingga kurang mumpuni untuk menjelaskan efek perubahan regulasi terhadap proporsi bobot teknis dan harga tersebut terhadap rasio harga penawarn pemenang dan HPS.

Page 82: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

071 COMPETITIVE BIDDING PADA PENGADAAN BARANG JASA PEMERINTAH: BUKTI EMPIRIS PADA

SISTEM E-PROCUREMENT DI INDONESIA

D. KesimpulanPada penelitian ini, kami menginvestigasi pengaruh jumlah peserta pemilihan pada tahap evaluasi terakhir sebelum penetapan pemenang terhadap rasio harga penawaran pemenang dan HPS pada paket tender dan seleksi di Indonesia pada tahun 2010—2019. Kami menggunakan data unik paket pengadaan yang dipublikasikan pada 402 website LPSE seluruh Indonesia. Kami menemukan bahwa jumlah peserta pemilihan pada tahap evaluasi sebelum penetapan pemenang berpengaruh signifikan dan negatif terhadap rasio antara harga penawaran pemenang dan HPS, yang mengindikasikan bahwa competitive bidding pada tahap evaluasi sebelum penetapan pemenang meningkatkan efektivitas tender dan seleksi pengadaan pemerintah dan mengurangi belanja pemerintah untuk pengadaan barang jasa pemerintah di Indonesia.

Hasil estimasi OLS memberikan bukti adanya pengaruh jumlah peserta pemilihan pada tahap evaluasi terakhir sebelum penetapan pemenang terhadap rasio harga penawaran pemenang dan HPS. Jumlah peserta pemilihan pada tahap evaluasi terakhir memberikan pengaruh negatif terhadap rasio harga penawaran pemenang dan HPS. Kami juga menemukan bahwa pekerjaan konstruksi merupakan jenis pengadaan yang paling kecil dalam menurunkan rasio. Hal ini dikarenakan kompleksitas pekerjaan dibandingkan dengan jenis pengadaan yang lain, baik dalam hal kualifikasi tenaga kerja, material dan bahan yang dibutuhkan. Dengan kompleksitas pekerjaan tersebut, maka bid preparation cost pekerjaan konstruksi lebih tinggi dibandingkan dari pekerjaan lainnya.

Kami juga menemukan bahwa metode evaluasi kombinasi skor teknis dan harga dapat menurunkan rasio antara harga penawaran pemenang dan HPS. Namun disatu sisi, pemberlakuan aturan perubahan proporsi bobot teknis dan harga pasca berlakunya Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tidak memiliki efek terhadap rasio harga penawaran pemenang dan HPS. Hal ini diduga karena sedikitnya jumlah paket pengadaan yang menggunakan metode evaluasi kombinasi bobot teknis dan harga pasca berlakunya Perpres Nomor 16 Tahun 2018.

Setelah menggunakan metode IV-2SLS untuk mengurangi potensi bias akibat endogeneity, penelitian ini menemukan adanya pengaruh dari jumlah peserta pemilihan tahap evaluasi terakhir terhadap rasio harga penawaran pemenang dan HPS, yang mana setiap bertambahnya jumlah peserta pemilihan sebanyak satu peserta akan mengurangi rasio sebesar 0.02412 satuan atau menghemat belanja pengadaan melalui tender atau seleksi sebesar 2.41% terhadap nilai HPS. Selain itu, kami juga menemukan adanya pengaruh tidak langsung dari nilai paket pengadaan, metode prakualifikasi dan pola evaluasi terhadap jumlah peserta pemilihan pada tahap evaluasi terakhir sebelum penetapan pemenang. Kami juga menemukan bahwa efek kompetisi lebih kuat terjadi pada nilai paket

Page 83: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

072 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

di bawah 2,5 milyar rupiah atau paket yang diprioritaskan pada usaha kecil, dan pengadaan barang dan jasa lainnya lebih sensitif terhadap perubahan jumlah peserta pemilihan dibandingkan pada pekerjaan konstruksi.

E. RekomendasiBerdasarkan hasil dan kesimpulan, berikut ini adalah saran yang dapat dilaksanakan pemerintah terkait regulasi pengadaan.

1. Pemerintah dapat mendorong kompetisi dengan menyusun pedoman dasar penyusunan persyaratan kualifikasi dan teknis yang tidak diskriminatif sehingga tidak membatasi jumlah peserta yang akan menawar atau jumlah peserta yang lulus evaluasi kualifikasi dan teknis.

2. Pemerintah diharapkan dapat memberdayakan APIP (Aparatur Pengawas Internal Pemerintah) sebagai quality assurance, tidak hanya pada post audit tetapi juga pada proses pengadaan barang/jasa.

3. Pemerintah juga diharapkan dapat lebih memperhatikan paket pekerjaan konstruksi dengan mengatur aturan pengadaan terkait pekerjaan konstruksi secara tersendiri yang dapat mendorong adanya kompetisi pada sektor pekerjaan konstruksi.

Page 84: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

073 COMPETITIVE BIDDING PADA PENGADAAN BARANG JASA PEMERINTAH: BUKTI EMPIRIS PADA

SISTEM E-PROCUREMENT DI INDONESIA

Page 85: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang
Page 86: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

07Inklusi Keuangan: Pengaruh Kepemilikan

Rekening dan Ketersediaan Akses Lembaga Keuangan terhadap Pinjaman

Rumah Tangga

Nama : Robby Maulana

Instansi : Dinas Pemberdayaan Perempuan

dan Perlindungan Anak Pemprov

Kalimantan Barat

Program Studi : Magister Perencanaan Ekonomi dan

Kebijakan Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Indonesia

Page 87: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

076 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Inklusi keuangan yang rendah membuat masyarakat sulit untuk mendapatkan akses pinjaman baik untuk pendanaan modal usaha maupun investasi lainnya seperti pendidikan ataupun perumahan. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kepemilikan rekening dan keberadaan lembaga keuangan tidak serta merta meningkatkan minat rumah tangga untuk mendapatkan kredit. Dengan metode estimasi multinomial logit regression menggunakan 294.426 sampel rumah tangga dari Susenas dan Podes tahun 2018, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kepemilikan rekening dan keberadaan lembaga keuangan berpengaruh dalam meningkatkan kredit rumah tangga. Hasil estimasi menunjukkan bahwa kepemilikan rekening mampu meningkatkan kredit formal dan juga menurunkan kredit informal. Ini membuktikan bahwa kepemilikan rekening penting di dalam mendorong kredit formal serta menurunkan kredit informal. Keberadaan Bank umum, BPR, dan koperasi mampu meningkatkan kredit formal namun tidak signifikan dalam mengurangi kredit informal. Untuk itu pemerintah perlu mendorong kepemilikan rekening dan memperluas jangkauan lembaga keuangan di dalam mendorong kredit formal maupun mengurangi kredit informal.

• Kata Kunci: inklusi keuangan, akses kredit, kepemilikan rekening, lembaga keuangan

Page 88: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

077 INKLUSI KEUANGAN: PENGARUH KEPEMILIKAN REKENING DAN KETERSEDIAAN AKSES LEMBAGA

KEUANGAN TERHADAP PINJAMAN RUMAH TANGGA

ABSTRACT

Low financial inclusion makes it difficult for people to get access to loans both for funding venture capital and other investments such as education or housing. However, several studies have shown that the increase of account ownership and the availability of financial institutions do not necessarily increase credit for households. With the multinomial logit regression estimation method using 294,426 household samples from Susenas and Podes in 2018, this study aims to determine whether account ownership and the availability of financial institutions have an effect on increasing household credit. The estimation results show that account ownership can increase formal credit and also reduce informal credit. This shows that account ownership is important in encouraging formal credit and reducing informal credit. The existence of commercial banks, BPR and cooperatives are able to increase formal credit but not significantly in reducing informal credit. For this reason, the government needs to encourage account ownership and expand the reach of financial institutions in promoting formal credit and reducing informal credit.

• Keywords: Financial Inclusion, Credit Access, Account Ownership, Financial Institutions

Page 89: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

078 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. Latar BelakangRendahnya kepemilikan rekening di lembaga keuangan formal membuat membuat masyarakat sulit untuk mendapatkan akses pinjaman baik untuk pendanaan modal usaha maupun investasi lainnya seperti pendidikan ataupun perumahan. Padahal kepemilikan rekening dan keberadaan lembaga keuangan memberikan akses yang lebih besar kepada masyarakat baik untuk melakukan transaksi pembayaran, menabung, asuransi maupun memperoleh pinjaman (Allen et al., 2016; Demirgüç-Kunt & Klapper, 2013; Fitzpatrick, 2013). Menurut data global findex database yang dirilis oleh Worldbank, sebanyak 32 persen sampel individu dewasa di Indonesia meminjam melalui teman atau keluarga, 16,1 persen meminjam melalui informal saving club, sedangkan pinjaman melalui institusi formal hanya sebesar 18,7 persen.

Kepemilikan rekening tidak sepenuhnya dapat mendorong penggunaan kredit yang disediakan oleh bank maupun lembaga keuangan formal lainnya. Fungácová & Weill (2015) membandingkan inklusi finansial pada lima negara emerging market terbesar yang dikenal dengan BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina dan South Africa) dan mendapatkan hasil bahwa inklusi keuangan di Cina merupakan yang tertinggi di antara negara emerging market lainnya, namun kepemilikan kredit formal masih tergolong rendah. Di beberapa negara berkembang, sumber utama pinjaman sebagian besar berasal dari teman, keluarga, maupun sumber informal lainnya (Demirguc-Kunt et al., 2018; Fungácová & Weill, 2015). Sementara masyarakat yang tidak mendapatkan pinjaman terpaksa harus menerima situasi tersebut dan tetap berada di dalam lingkaran kemiskinan.

Masalah lain muncul ketika masyarakat melakukan pinjaman melalui sumber informal yang membebankan mereka dengan bunga pinjaman yang jauh lebih besar dari kredit formal. Orang-orang yang gagal mengakses kredit formal, terpaksa menggunakan pinjaman informal dengan tingkat bunga yang lebih tinggi namun lebih mudah diakses. Pada akhirnya, pinjaman informal tersebut meningkatkan utang dan membuat sebagian besar rumah tangga terjebak di dalam kemiskinan (X. Li, Gan, & Hu, 2011). Bahkan orang-orang yang mungkin untuk memperoleh kredit formal dan memiliki akses ke kredit formal yang lebih mudah, memilih untuk meminjam dari pemberi pinjaman informal karena kemudahan dan fleksibilitas pinjaman informal (X. Li et al., 2011; Sanjaya & Nursechafia, 2016). Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran kredit informal tidak hanya diakibatkan dari kurangnya ketersediaan lembaga atau kredit formal. Secara garis besar kredit formal dan kredit informal merupakan substitusi tidak sempurna. Kehadiran kredit formal dapat mengurangi namun tidak sepenuhnya menghilangkan kredit informal (Diagne, 1999).

Page 90: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

079 INKLUSI KEUANGAN: PENGARUH KEPEMILIKAN REKENING DAN KETERSEDIAAN AKSES LEMBAGA

KEUANGAN TERHADAP PINJAMAN RUMAH TANGGA

Selain bank, kehadiran lembaga keuangan lainnya juga berpengaruh di dalam mendorong inklusi keuangan khususnya pinjaman. Semakin dekat dan semakin rata penyebaran lembaga keuangan, maka cenderung akan meningkatkan inklusi keuangan khususnya terhadap masyarakat miskin atau berpenghasilan rendah sehingga mempermudah mereka untuk mendapatkan pinjaman (Brown, Guin, & Kirschenmann, 2016; Carletti et al., 2018). Penelitian di India, menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang besar dalam hal perubahan pendapatan masyarakat miskin terutama perempuan karena adanya microfinance3 dan hal tersebut telah berhasil mendorong inklusi keuangan di India (Swamy, 2014). Meskipun dalam beberapa kasus kehadiran microfinance juga dapat merugikan, seperti meningkatkan kemiskinan, mengurangi tingkat pendidikan anak-anak dan melemahkan pemberdayaan perempuan (Van Rooyen, Stewart, & de Wet, 2012). Untuk itu, lembaga kredit mikro yang baik seharusnya dapat meningkatkan skema pinjaman dan produk pinjaman agar lebih sesuai dengan beragam kebutuhan penduduk khususnya penduduk di daerah pedesaan (X. Li et al., 2011).

Selain lembaga keuangan mikro, perkembangan layanan keuangan digital juga tidak kalah penting dalam mendorong pemerataan dan penyediaan akses keuangan yang lebih baik. Layanan keuangan digital menjadi salah satu sarana untuk mempermudah akses keuangan di suatu negara. Honohan (2008) menyebutkan bahwa negara dengan penggunaan telepon seluler yang lebih tinggi dan lembaga pemerintahan yang lebih baik dapat meningkatkan pembukaan rekening baru. Selain itu, keuangan digital juga menguntungkan pemerintah dengan menyediakan platform untuk memfasilitasi peningkatan pengeluaran agregat yang kemudian menghasilkan pendapatan pajak yang lebih tinggi yang timbul dari peningkatan volume transaksi keuangan (Manyika, et al., 2016). Saat ini, telepon seluler menjadi barang yang hampir dimiliki oleh semua orang. Di Indonesia, lebih dari 50 persen masyarakat yang berusia 15 tahun ke atas memiliki telepon seluler. Telepon seluler tentunya terhubung ke operator jaringan seluler yang sebagian besar telah menjangkau area yang sulit dijangkau, di mana area tersebut merupakan area tempat tinggal orang-orang yang masih tergolong unbanked (Nuryakin, 2019). Luasnya jaringan operator tersebut diharapkan dapat menjadi jalur akses menuju penyediaan layanan keuangan yang lebih baik.

Untuk dapat mendorong inklusi keuangan, diperlukan perluasan akses jaringan agar dapat mengakomodir permintaan atau kebutuhan akan layanan keuangan khususnya pada daerah pedesaan. Hal ini disebabkan oleh partisipasi masyarakat di daerah pedesaan masih relatif lebih rendah dibandingkan masyarakat perkotaan (Kumar et. al., 2019). Kunci dari keberhasilan program inklusi keuangan dalam menjangkau rumah tangga miskin adalah dengan menyediakan infrastruktur komunikasi dan transportasi yang baik, memperluas jaringan cabang lembaga keuangan di pedesaan dan mengarahkan pinjaman kepada masyarakat miskin

Page 91: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

080 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

(Beck, Demirguc-kunt, Soledad, & Peria, 2007; Burgess, Wong, & Pande, 2005). Semakin dipermudahnya akses rumah tangga ke layanan jasa keuangan, peningkatan inklusi keuangan pada dimensi penggunaan juga seharusnya menjadi lebih baik.

Dari penjelasan di atas, kepemilikan rekening disebut sebagai kunci untuk dapat mengakses layanan keuangan yang lebih luas. Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebagian besar mengukur inklusi keuangan hanya dari kepemilikan rekening serta penggunaannya baik dari simpanan atau pinjaman berdasarkan karakteristik rumah tangga dan lingkungannya. Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa mengurangi hambatan ke lembaga keuangan formal memiliki peran yang penting di dalam peningkatan layanan keuangan. Meskipun begitu, belum banyak penelitian yang melihat bagaimana kepemilikan rekening dan keberadaan lembaga keuangan formal tersebut dapat mempengaruhi kredit rumah tangga. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian untuk melihat dampak dari kepemilikan rekening dan keberadaan lembaga keuangan formal terhadap kredit rumah tangga.

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisMeskipun telah dilakukan berbagai inovasi baik dari lembaga, teknologi maupun pemerintah, namun inklusi keuangan di Indonesia khususnya pada tahapan penggunaannya masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain. Inklusi keuangan yang rendah menyebabkan masyarakat sulit mendapatkan pinjaman untuk melakukan investasi. Beberapa kasus juga menunjukkan bahwa kepemilikan rekening tidak serta merta mendorong masyarakat dalam menggunakan layanan keuangan formal berupa kredit (Allen et. al., 2016; Carletti et. al., 2018; Fungácová & Weill, 2015; Kumar et. al., 2019). Program perbankan pemerintah belum mampu menjawab persoalan apakah program tersebut berhasil meningkatkan pinjaman bank kepada orang miskin (Burgess et. al., 2005).

Berdasarkan uraian di atas, maka fokus dari penelitian ini adalah untuk melihat inklusi keuangan pada tingkat usage, yang ditunjukkan oleh korelasi antara kepemilikan rekening tabungan serta ketersediaan akses ke lembaga keuangan formal terhadap probabilitas kredit rumah tangga. Dengan menggunakan data survei sosial ekonomi nasional (Susenas) dan data potensi desa (Podes) tahun 2018, rumusan masalah yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah rumah tangga yang memiliki rekening memiliki kecenderungan untuk memperoleh pinjaman baik formal maupun informal?

Page 92: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

081 INKLUSI KEUANGAN: PENGARUH KEPEMILIKAN REKENING DAN KETERSEDIAAN AKSES LEMBAGA

KEUANGAN TERHADAP PINJAMAN RUMAH TANGGA

2. Apakah keberadaan lembaga keuangan formal dalam suatu wilayah dapat memengaruhi pinjaman formal maupun informal rumah tangga?

Data yang akan digunakan dalam penelitian ini berasal dari data mentah (raw data) Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2018 dan Pendataan Potensi Desa (Podes) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dengan unit analisisnya adalah rumah tangga. Susenas merupakan survei rumah tangga di seluruh Indonesia yang diambil untuk melihat gambaran dari kondisi sosial ekonomi rumah tangga. Susenas 2018 dilaksanakan di seluruh provinsi di Indonesia yang terdiri dari 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota. Sampel data yang disediakan Susenas rumah tangga yang berada di blok sensus biasa, tidak termasuk rumah tangga yang tinggal dalam blok sensus khusus dan rumah tangga khusus seperti asrama, penjara, dan sejenisnya (Badan Pusat Statistik, 2018b).

Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Susenas KOR (Keterangan Pokok Rumah Tangga). Data ini akan digunakan untuk mengetahui apakah salah satu anggota di dalam rumah tangga tersebut memiliki pinjaman atau kredit, baik itu pinjaman dari lembaga keuangan formal maupun pinjaman yang bersifat nonformal. Dari data ini juga akan dilihat kepemilikan rekening tabungan rumah tangga baik berupa rekening bank maupun rekening di koperasi. Kemudian kondisi sosiodemografi dari rumah tangga tersebut untuk mengetahui faktor-faktor lain yang mempengaruhi kepemilikan pinjaman di dalam rumah tangga tersebut.

Selain Susenas, data lain yang juga akan digunakan adalah hasil pendataan Potensi Desa/Kelurahan (Podes) pada tahun 2018 yang juga dirilis oleh BPS. Data Podes merupakan satu-satunya sumber data tematik berbasis wilayah yang mampu menggambarkan potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah setingkat desa di seluruh Indonesia. Podes 2018 dilaksanakan mencakup seluruh wilayah administrasi pemerintah setingkat desa meliputi desa, kelurahan, nigari, Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT), dan Satuan Pemukiman Transmigrasi (SPT) yang masih dibina oleh kementerian terkait seluruh Indonesia. Podes 2018 dirancang berdasarkan kondisi pada bulan Desember 2017, yang terdiri dari 94.573 wilayah setingkat desa di 7.480 kecamatan, 514 kabupaten/kota, dan 34 provinsi. Namun angka tersebut sangat mungkin mengalami perubahan sebagai akibat dari pemekaran maupun penggabungan dalam kurun waktu Januari 2018 hingga waktu pencacahan (Badan Pusat Statistik, 2018a).

C. Pembahasan Hasil AnalisisBerdasarkan hasil estimasi, diketahui bahwa kepemilikan rekening secara signifikan memengaruhi probabilitas rumah tangga untuk menerima kredit dari

Page 93: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

082 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

lembaga keuangan formal. Hal tersebut dapat dilihat dari variabel kepemilikan rekening rumah tangga berkorelasi positif terhadap variabel kredit bahkan setelah dikontrol dengan variabel lainnya. Penelitian ini menunjukkan bahwa ketika rumah tangga memiliki rekening bank atau koperasi, maka peluang rumah tangga tersebut untuk mendapatkan kredit melalui lembaga formal meningkat sebesar 12,56 persen. Sementara peluang rumah tangga untuk tidak mendapatkan kredit turun sebesar 12,16 persen dan peluang kredit informal turun sebesar 0,40 persen. Artinya rumah tangga yang memiliki rekening akan cenderung untuk mengajukan kredit di lembaga keuangan formal serta meninggalkan kredit informal, dengan asumsi variabel lain konstan (ceteris paribus). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa kepemilikan rekening memberikan akses ke layanan keuangan yang lebih luas sehingga mengurangi kecenderungan pinjaman dari sumber informal yang merugikan (Demirguc-Kunt et al., 2018; Fitzpatrick, 2013). Ini juga membuktikan bahwa kepemilikan rekening dibutuhkan dalam meningkatkan penggunaan layanan keuangan khususnya kredit.

Keberadaan bank umum atau agen bank secara signifikan memmengaruhi probabilitas rumah tangga untuk menerima kredit dari lembaga keuangan formal, namun tidak terlalu signifikan memmengaruhi rumah tangga untuk menerima kredit informal. Hal tersebut dapat terlihat pada hasil marginal effect yang tidak signifikan. Terdapat hubungan positif namun tidak terlalu kuat antara keberadaan bank umum dan kredit informal yang dapat menjadi indikasi adanya kompetisi antara kredit informal dan kredit formal, serta indikasi bahwa kredit formal dan informal bukanlah substitusi yang sempurna (Giné, 2011). Ketika bank atau agen bank berada pada suatu desa/kelurahan, maka peluang rumah tangga yang tinggal pada desa/kelurahan tersebut untuk mendapatkan kredit formal meningkat sebesar 0,60 persen, sedangkan peluang rumah tangga tersebut untuk tidak mendapatkan kredit akan turun sebesar 0,67 persen. Maka dapat disimpulkan bahwa rumah tangga yang di desa/kelurahannya terdapat bank atau agen bank akan cenderung untuk mendapatkan kredit formal.

Keberadaan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) secara signifikan memengaruhi probabilitas rumah tangga untuk menerima kredit dari lembaga keuangan formal namun tidak signifikan memengaruhi pinjaman informal. Keberadaan BPR berkorelasi positif dengan kredit formal. Keberadaan BPR meningkatkan peluang rumah tangga untuk menerima kredit di lembaga keuangan formal sebesar 0,91 persen dan menurunkan peluang rumah tangga untuk tidak mendapatkan kredit sebesar 0,86 persen. Artinya rumah tangga yang di desa/kelurahannya terdapat BPR cenderung untuk menerima kredit baik formal. Keberadaan BPR meningkatkan kredit formal namun tidak serta merta dapat menurunkan kredit informal.

Page 94: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

083 INKLUSI KEUANGAN: PENGARUH KEPEMILIKAN REKENING DAN KETERSEDIAAN AKSES LEMBAGA

KEUANGAN TERHADAP PINJAMAN RUMAH TANGGA

Seperti halnya BPR, keberadaan koperasi baik itu berbentuk koperasi unit desa (KUD) yang menyediakan kredit usaha, koperasi simpan pinjam (KSP) atau Baitul Maal wa Tamwil (BMT) secara signifikan memengaruhi probabilitas rumah tangga untuk menerima kredit formal namun tidak signifikan mempengaruhi kredit informal. Keberadaan koperasi berkorelasi positif dengan kredit formal. Ketika koperasi berada pada suatu desa/kelurahan, maka peluang rumah tangga di desa/kelurahan tersebut untuk mendapatkan kredit formal meningkat sebesar 2,89 persen, sedangkan peluang rumah tangga untuk tidak kredit turun sebesar 2,84 persen. Artinya rumah tangga yang di desa/kelurahannya terdapat koperasi cenderung untuk menerima kredit formal. Hasil tersebut menunjukkan bahwa BPR dan koperasi mampu menjadi sumber pinjaman yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat selain bank, walaupun keduanya tidak secara signifikan mengurangi kredit informal.

Pengaruh antara keberadaan lembaga keuangan formal terhadap kredit rumah tangga berdasarkan hasil di atas, sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa keberadaan bank dapat meningkatkan kredit formal (Allen et al., 2016; Demirguc-Kunt et al., 2018; Fitzpatrick, 2013). Ini dikarenakan akses menuju ke bank menjadi lebih mudah, sehingga hambatan seperti jarak menjadi berkurang. Ini juga menunjukkan bahwa lembaga keuangan formal mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan pinjaman yang lebih baik. Lembaga keuangan formal di Indonesia telah mampu masuk ke desa/kelurahan tempat tinggal rumah tangga yang membutuhkan pinjaman, selain itu lembaga keuangan formal tersebut memiliki jaringan yang besar dengan cakupan yang cukup luas sehingga dapat mendorong kredit formal (Brown et al., 2016). Meskipun begitu, keberadaan lembaga keuangan formal tersebut ternyata tidak sepenuhnya menurunkan kredit informal. Ini menjadi indikasi bahwa masih ada keraguan dari masyarakat untuk meminjam di lembaga keuangan formal, sehingga masih bergantung pada kredit informal. Hambatan-hambatan lain seperti prosedur yang rumit, fleksibilitas serta persyaratan administrasi dan agunan dapat menjadi penyebabnya (Gitaharie et al., 2014; X. Li et al., 2011).

Temuan tersebut juga sesuai dengan penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa lembaga keuangan formal dan pemberi pinjaman informal saling berkompetisi, namun keduanya juga bukan merupakan substitusi yang sempurna (Diagne, 1999; Giné, 2011; Mohieldin & Wright, 2000). Oleh sebab itu, keberadaan lembaga keuangan yang menyediakan layanan kredit formal tidak sepenuhnya dapat menggantikan kredit informal. Meskipun keberadaan lembaga keuangan yang menyediakan kredit formal tidak serta merta dapat menurunkan kredit informal, namun keberadaan lembaga keuangan formal masih sangat dibutuhkan karena dapat secara signifikan meningkatkan kredit formal.

Page 95: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

084 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Di dalam meningkatkan kredit formal dan menurunkan kredit informal, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan baik dari sisi demand, maupun dari sisi supply. Dari sisi demand, selain digunakan untuk pinjaman, rekening tabungan (bank/koperasi) secara umum juga digunakan sebagai saving instrument (instrumen simpanan) di mana tabungan tersebut dapat menjadi pengganti pinjaman sehingga dapat mengurangi pinjaman baik formal maupun informal. Faktor lain dari sisi demand yang juga tidak kalah penting adalah tingkat pendidikan dan kepemilikan aset. Sama halnya seperti tabungan, aset juga merupakan instrumen simpanan. Selain dapat digunakan sebagai jaminan untuk pinjaman, aset juga bersifat lebih fleksibel dan dapat digunakan sebagai sumber pendanaan yang lebih mudah diuangkan (liquid asset). Sementara pendidikan erat kaitannya dengan literasi keuangan, di mana nantinya literasi keuangan tersebut dapat meningkatkan inklusi keuangan dengan lebih baik. Dari sisi supply, beberapa lembaga keuangan seperti bank diketahui hanya bersifat kantor kas, di mana kantor kas tersebut tidak melayani pinjaman. Untuk itu perlu adanya strategi dari pemerintah untuk meningkatkan kepemilikan rekening agar dapat menurunkan kredit informal serta meningkatkan kredit formal.

Mendorong kepemilikan rekening merupakan cara terbaik yang dapat dilakukan untuk dapat menurunkan kredit informal dan meningkatkan kredit formal. Kepemilikan rekening memberikan akses ke kredit formal yang lebih terjangkau sehingga masyarakat akan lebih cenderung memilih kredit formal dan meninggalkan kredit informal. Ini membuat kepemilikan rekening menjadi kebutuhan dasar di dalam memanfaatkan layanan keuangan karena dapat menyediakan secara efektif dan efisien jasa-jasa layanan keuangan. Peran pemerintah dalam penyaluran bantuan non tunai melalui rekening bank juga merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan inklusi keuangan, yang kemudian rekening tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai sarana untuk menabung atau mendapatkan pinjaman. Selain faktor diatas, beberapa faktor lain juga berpengaruh baik di dalam kredit informal maupun kredit formal. Rumah tangga yang cenderung menerima kredit informal adalah rumah tangga yang memiliki KRT wanita, KRT yang menikah, KRT pada usia produktif, KRT berpendidikan rendah, KRT yang bekerja, rumah tangga yang tidak menerima pensiun, jumlah anggota rumah tangga yang lebih banyak, ada anggota rumah tangga yang sedang bersekolah, rumah tangga yang memiliki telpon seluler dan tidak memiliki aset yang cukup untuk dijadikan agunan.

Sementara itu rumah tangga yang cenderung menerima pinjaman melalui lembaga formal adalah rumah tangga yang tinggal di kawasan perdesaan, bukan rumah tangga miskin, KRT wanita, KRT yang sudah menikah, KRT pada usia produktif, KRT dengan pendidikan SD hingga SMA, KRT yang bekerja, KRT yang berwirausaha, rumah tangga penerima pensiun, jumlah anggota rumah tangga

Page 96: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

085 INKLUSI KEUANGAN: PENGARUH KEPEMILIKAN REKENING DAN KETERSEDIAAN AKSES LEMBAGA

KEUANGAN TERHADAP PINJAMAN RUMAH TANGGA

yang lebih banyak, ada anggota rumah tangga yang sedang bersekolah, rumah tangga yang memiliki telpon seluler, dapat menggunakan internet, memiliki aset berupa rumah, tanah, mobil, dan motor.

D. KesimpulanInklusi keuangan dimulai semenjak terjadinya krisis yang berdampak pada masyarakat ekonomi rendah. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki populasi unbanked terbesar di dunia. Berdasarkan data Worldbank tahun 2011, hanya sekitar 18,7 persen masyarakat di Indonesia yang menerima pinjaman melalui institusi formal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ketika seseorang sudah memiliki akses, maka orang tersebut akan menggunakan layanan keuangan lainnya yang dalam hal ini adalah kredit. Namun penelitian lain juga menunjukkan bahwa ketersediaan akses keuangan ternyata tidak serta merta meningkatkan pinjaman di masyarakat.

Berdasarkan penjelasan tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kepemilikan rekening dan ketersediaan akses lembaga keuangan mempengaruhi kepemilikan kredit di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Survei Sosial dan Ekonomi Nasional 2018 dan Pendataan Potensi Desa tahun 2018 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan analisis empiris menggunakan multinomial logit regression.

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kepemilikan rekening terhadap kredit baik formal maupun informal. Rumah tangga yang memiliki rekening cenderung untuk menerima pinjaman pada lembaga keuangan formal serta cenderung untuk meninggalkan kredit informal. Hasil ini menegaskan bahwa kepemilikan rekening erat kaitannya dengan kredit formal. Sehingga kepemilikan rekening menjadi penting bagi rumah tangga untuk mendapatkan akses keuangan lain seperti kredit formal. Oleh sebab itu, tahapan di dalam inklusi keuangan sangat diperlukan dalam meningkatkan probabilitas seseorang mendapatkan pinjaman formal.

Kemudian dari sisi supply, keberadaan bank umum baik pemerintah, swasta atau agen bank mampu meningkatkan kredit formal, namun memiliki dampak yang tidak terlalu besar pada kredit informal. Selain bank umum, keberadaan lembaga keuangan lain seperti BPR dan koperasi juga mampu meningkatkan peluang rumah tangga untuk mendapatkan pinjaman pada lembaga formal. Sementara kredit informal tidak turun secara signifikan akibat keberadaan lembaga keuangan tersebut. Ini menjadi indikasi bahwa terdapat kompetisi antara lembaga keuangan formal dan pemberi pinjaman informal, dan juga

Page 97: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

086 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

mengindikasikan bahwa keberadaan lembaga keuangan yang menyediakan kredit formal tidak dapat sepenuhnya menggantikan kredit informal. Meskipun begitu keberadaan lembaga keuangan formal masih sangat dibutuhkan untuk dapat menyediakan kredit formal.

Selain faktor diatas, beberapa faktor lain juga berpengaruh di dalam kredit formal dan informal. Faktor tersebut antara lain kawasan tempat tinggal, status kemiskinan, gender KRT, status pernikahan KRT, usia KRT, pendidikan KRT, KRT bekerja, KRT berwirausaha, penerima pensiun, jumlah anggota rumah tangga, partisipasi sekolah, akses digital, dan kepemilikan aset.

E. RekomendasiBerdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:

1. Untuk meningkatkan akses kredit formal serta mengurangi kredit informal, maka pemerintah perlu meningkatkan kepemilikan rekening khususnya bagi masyarakat yang masih tergolong unbanked. Progam pemerintah untuk mempromosikan kepemilikan rekening perlu untuk lebih ditingkatkan. Karena berdasarkan hasil penelitian, kepemilikan rekening tersebut dapat memberikan akses kredit formal lebih baik kepada masyarakat sehingga dapat menurunkan kredit informal.

2. Memperluas area cakupan layanan keuangan khususnya pada kawasan yang belum terjangkau untuk mendorong kredit formal. Oleh sebab itu, keberadaan lembaga keuangan harus lebih diperbanyak dan diperluas agar dapat menjangkau masyarakat yang membutuhkan. Selain bank umum atau agen bank, BPR dan koperasi juga harus lebih didorong sebagai alternatif pinjaman selain bank.

Page 98: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

087 INKLUSI KEUANGAN: PENGARUH KEPEMILIKAN REKENING DAN KETERSEDIAAN AKSES LEMBAGA

KEUANGAN TERHADAP PINJAMAN RUMAH TANGGA

Page 99: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang
Page 100: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

08Pengaruh Pertumbuhan

Ekonomi dan Tingkat Pendidikan Terhadap Penyerapan Tenaga

Kerja Muda di Provinsi Aceh

Nama : Nadra Juliana

Instansi : Dinas Pendidikan Kota Langsa

Program Studi : Magister Ilmu Ekonomi

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Indonesia

Page 101: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

090 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Studi ini mengkaji pengaruh pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendidikan terhadap penyerapan tenaga kerja muda 15—24 tahun di 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi data panel dengan estimasi model menggunakan fixed effect model (FEM). Data yang digunakan adalah data dari 23 kabupaten/kota dari tahun 2012—2016. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendidikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja muda. Rekomendasi penelitian ini ialah pemerintah perlu mendorong penciptaan dan perluasan kesempatan kerja yang menunjang perekonomian Aceh dan juga pemerataan fasilitas pendidikan serta bantuan beasiswa bagi yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

• Kata Kunci: tenaga kerja muda, pertumbuhan ekonomi, pendidikan, FEM

Page 102: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

091 PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP PENYERAPAN

TENAGA KERJA MUDA DI PROVINSI ACEH

ABSTRACT

This study examines the effect of economic growth and education on young workers 15-24 years in 23 districts / cities in Aceh Province. Analysis model used in this research is panel data with fixed effect estimation. Data used by 2012-2016. The results show that economic growth and educatioan have a positive and significant impact on the absorption of young workers. The recommendation of this research is that the government needs to encourage the creation and expansion of employment opportunities that support Aceh’s economy and also equal education facilities and scholarship assistance for those who wish to continue their education to a higher level.

• Keywords: youth employment, economic growth, education, FEM

Page 103: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

092 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. Latar BelakangIndonesia merupakan negara yang memilliki populasi penduduk muda yang besar. Tahun 2020—2030 Indonesia diprediksi akan mendapatkan bonus demografi di mana proporsi penduduk usia produktif (15—64 tahun) lebih besar dibandingkan penduduk usia di bawah 15 tahun yang akan mengakibatkan turunnya angka ketergantungan (dependency ratio). Jumlah usia produktif yang besar ini akan berpengaruh terhadap jumlah tenaga kerja. Dampak positif atau negatifnya pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja bagi pembangunan ekonomi sangat tergantung kepada kemampuan sistem perekonomian untuk menyerap dan memanfaatkan secara produktif tambahan tenaga kerja tersebut, yang sebaliknya apabila tidak dimanfaatkan maka akan meningkatkan tingkat pengangguran (BPS, 2012). Angka pengangguran cukup tinggi yang dihadapi oleh tenaga kerja muda usia 15 sampai 24 tahun merupakan salah satu karakteristik yang dimiliki Indonesia. Semakin tinggi pendidikannya semakin rendah partisipasinya dalam kekuatan tenaga kerja Indonesia. Meskipun demikian dalam beberapa tahun terakhir terlihat adanya perubahan tren, pangsa pemegang ijazah pendidikan tinggi semakin besar dan pangsa pemegang ijazah pendidikan dasar semakin berkurang (ILO, 2003).

Meskipun para pemuda ini merupakan aset nasional, pemuda juga merupakan kelompok yang sangat rentan dalam menghadapi tingkat kebutuhan ekonomi dan lingkungan sosial. Terkadang potensi yang mereka miliki tidak disadari dan tidak dapat dikembangkan secara optimal karena mereka tidak memiliki pekerjaan yang layak. Kurangnya pekerjaan yang layak ini akan menambah tingkat kemiskinan karena mereka hanya mengandalkan penghasilan dari keluarga. Di Indonesia tenaga kerja muda sekitar 20 persen dari total angkatan kerja dengan lebih dari 60 persen dari mereka tinggal di daerah pedesaan, pengangguran tenaga kerja muda lebih banyak terdapat di daerah perkotaan daripada di pedesaan. Ada pembuktian bahwa pemuda pengangguran yang relatif berpendidikan dan dari keluarga kelas menengah menghabiskan lebih banyak waktu dengan menganggur untuk mencari pekerjaan yang diinginkan (Manning & Purnagunawan, 2011).

Untuk kasus Eropa, European Council menunjukkan bahwa persentase pengangguran pada kelompok umur 15—24 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja di kelompok usia tersebut. Hal ini dikarenakan kelompok tersebut paling rentan dan merupakan pendatang baru dalam pasar tenaga kerja dan belum terkonsolidasi (Gontkovicova, Mihalcova, & Pruzinsky, 2015).

Page 104: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

093 PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP PENYERAPAN

TENAGA KERJA MUDA DI PROVINSI ACEH

Faktor utama yang berpengaruh terhadap kesempatan kerja adalah pertumbuhan ekonomi. Ioan (2014) menunjukkan bahwa peningkatan pertumbuhan lapangan kerja melibatkan kinerja perekonomian tinggi. Hal ini dapat kita lihat dari pertumbuhan ekonomi yang dapat memengaruhi pasar tenaga kerja. Selanjutnya Chen, Hsu, & Lai (2016) melakukan penelitian tentang hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran di negara yang termasuk dalam OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) menemukan adanya hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan tingkat pengangguran. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan kesempatan kerja.

Pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak selalu diikuti dengan penurunan tingkat pengangguran dari tahun ke seperti yang pernah diteliti oleh Darman (2013) yang melihat bagaimana penerapan Hukum Okun di Indonesia, menunjukkan hasil bahwa hukum Okun berlaku di Indonesia. Tingkat pengangguran yang cenderung meningkat seiring dengan dicapainya pertumbuhan GDP. Seharusnya dampak dari pertumbuhan ekonomi akan menciptakan lapangan kerja yang dapat menyerap tenaga kerja dan menurunkan tingkat pengangguran.

Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap peningkatan kesempatan kerja adalah tingkat pendidikan. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan Diaconu (2014) memperlihatkan bahwa di Rumania pendidikan memainkan peran sentral dalam mempersiapkan individu memasuki pasar tenaga kerja, dengan menawarkan mereka kesempatan untuk memperbaiki dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan mereka. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tingkat pendidikan terkait secara positif tidak hanya dengan tingkat lapangan kerja tetapi juga dengan tingkat pendapatan. Berkaitan dengan itu, Boccanfuso, Larouche, & Trandafir (2015) melakukan penelitian di Senegal menunjukkan bahwa pekerja muda yang memiliki keterampilan tinggi memiliki pekerjaan relatif lebih tinggi daripada pekerja yang lebih tua. Mereka juga lebih cenderung memiliki pekerjaan “lebih baik” (di industri jasa atau pemerintah). Mereka juga menunjukkan adanya ketimpangan antara kualitas dari tenaga kerja terampil tinggi, baik dari segi permintaan maupun penawaran tenaga kerja.

Tenaga kerja muda ini menjadi masalah yang cukup pelik di Indonesia dikarenakan hampir di seluruh wilayah di Indonesia mengalami permasalahan di bidang ketenagakerjaan khususnya tenaga kerja muda. Hal ini dapat dikaitkan dengan indikator-indikator ekonomi yang memengaruhinya seperti pertumbuhan ekonomi, tingkat pendidikan, dan lainnya. Pendidikan diharapkan dapat menghasilkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas sehingga dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan jenjang pendidikan yang telah ditempuhnya. Pertumbuhan ekonomi juga diharapkan dapat memberikan dampak

Page 105: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

094 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

positif terhadap meningkatnya lapangan kerja sehingga dapat menyerap tenaga kerja khususnya tenaga kerja muda. Bila angka pengangguran semakin tinggi maka tingkat kemiskinan juga akan meningkat, begitu juga dengan kriminalitas dan masalah-masalah sosial ekonomi lainnya di masyarakat (Hurriah, 2013).

Studi-studi yang telah diuraikan di atas menyimpulkan adanya hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendidikan khususnya terhadap tenaga kerja muda. Untuk kasus Aceh, masih sedikit penelitian difokuskan pada hubungan antara kedua variabel tersebut dengan pengangguran tenaga kerja muda secara khusus. Penduduk Provinsi Aceh yang berusia 15—24 tahun pada tahun 2016 memiliki porsi 18,13 persen dari populasi penduduk seluruhnya. Kelompok paling besar populasinya adalah penduduk yang berusia 0—9 tahun namun kelompok ini juga akan menjadi kelompok tenaga kerja muda di masa depan, sehingga hal ini menunjukkan Provinsi Aceh memiliki modal manusia yang cukup besar apabila dikembangkan dengan baik. Peningkatan ini menunjukkan jumlah penawaran tenaga kerja muda di dalam pasar tenaga kerja akan terus bertambah, namun kenaikan penawaran ini tidak selalu diiringi dengan kenaikan yang memadai dari sisi permintaan tenaga kerja sehingga mampu menyerap penambahan angkatan kerja muda.

Persentase rasio ketergantungan yang semakin tinggi menunjukkan beban yang ditanggung penduduk usia produktif untuk membiayai hidup penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi juga semakin tinggi. Penduduk muda Provinsi Aceh tahun 2012—2016 dikelompokkan menjadi kelompok angkatan kerja dan kelompok bukan angkatan kerja, kelompok umur tenaga kerja muda, yaitu 15.

Kondisi pasar tenaga kerja muda di Aceh juga mengalami perubahan. Di tahun 2016, dengan jumlah angkatan kerja mencapai 384.958 ribu jiwa, meningkat 5,16 persen dari tahun 2015. Dari tabel di atas juga kita dapat melihat peningkatan jumlah angkatan kerja setiap tahunnya, namun tingkat penyerapan mengalami penurunan meskipun tidak terlalu besar. Namun turunnya tingkat penyerapan ini juga dapat dipengaruhi dengan jumlah penduduk muda yang melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Walaupun dilihat sisi jumlah jiwa mengalami peningkatan namun apabila dilihat dari sisi persentase maka akan terlihat naik turunnya tingkat penyerapan tenaga kerja muda di Provinsi Aceh.

Hal-hal yang menjadi perhatian pemerintah sebagai usaha untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan yaitu melihat dari segi pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendidikan. Apabila pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan, maka jumlah nilai tambah output atau penjualan dalam seluruh unit ekonomi di suatu wilayah akan meningkat. Semakin besar output atau penjualan yang dilakukan perusahaan akan mendorong unit usaha untuk menambah permintaan

Page 106: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

095 PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP PENYERAPAN

TENAGA KERJA MUDA DI PROVINSI ACEH

tenaga kerja agar dapat meningkatkan produksinya sehingga penjualan juga akan meningkat (Feriyanto, 2014). Perkembangan lapangan usaha di Aceh pada tahun 2012 – 2016 mengalami pasang surut sehingga tidak dapat menyerap tenaga kerja secara maksimal.

Pendidikan dilihat dari rata-rata lama sekolah yang menggambarkan tingkat intelektual atau pencapaian pendidikan formal yang ditempuh dari penduduk karena semakin lama rata-rata tahun pendidikan seseorang maka semakin tinggi jenjang sekolah yang telah ditempuhnya. Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui tamatan pendidikan diharapkan dapat mengurangi jumlah pengangguran, dengan asumsi tersedianya lapangan pekerjaan formal. Pada umumnya untuk bekerja di perkotaan atau pekerjaan yang bergengsi membutuhkan orang-orang atau tenaga kerja berkualitas dan profesional agar mampu melaksanakan tugas-tugas secara efektif dan efisien.

Dengan adanya tingkat pendidikan yang tinggi akan menjadikan sumber daya manusia yang lebih berkualitas dan memberikan efektivitas produksi. Ini merupakan masalah baru yang timbul ketika terjadi peningkatan jumlah lapangan kerja yang tidak sebanding dengan jumlah lulusan. Masalah ini memang selalu menjadi suatu persoalan yang perlu dipecahkan dalam perekonomian suatu wilayah. Tingginya angka pengangguran tidak hanya menimbulkan masalah di bidang ekonomi, melainkan masalah di bidang sosial seperti kemiskinan dan kerawanan sosial.

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisTingkat pendidikan memperlihatkan kecenderungan yang meningkat, tapi penyerapan tenaga kerja muda tidak meningkat secara berarti. Padahal tenaga kerja muda merupakan potensi modal manusia yang besar, yang di satu sisi sangat menentukan pertumbuhan ekonomi, tapi di sisi lain jika tidak terserap dalam perekonomian, maka ini merupakan sumber daya yang tidak termanfaatkan secara optimal. Mengetahui apakah pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendidikan berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja muda di Provinsi Aceh sangat penting karena kebijakan pendidikan dan penyerapan tenaga kerja dapat disesuaikan. Apakah terdapat hubungan yang positif antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendidikan dengan penyerapan tenaga kerja muda sebagaimana diharapkan?

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendidikan terhadap penyerapan tenaga kerja muda di Provinsi Aceh. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan analisis data panel, data yang digunakan adalah data dari 18 Kabupaten dan 5 kota di Provinsi Aceh tahun

Page 107: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

096 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

2012—2016. Pengambilan data secara panel ini bermanfaat dalam menganalisis dinamika perubahan penyerapan tenaga kerja muda dan difokuskan pada pengaruh variabel pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendidikan terhadap penyerapan tenaga kerja muda di Provinsi Aceh.

Data yang digunakan dalam penelitian merupakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber, yaitu dari publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) dan Website Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan Kementerian Tenaga Kerja.

C. Pembahasan Hasil AnalisisBerdasarkan hasil uji Chow dan Haussman menunjukkan bahwa model estimasi yang tepat digunakan adalah fixed effect model (FEM), maka dari itu hasil estimasi FEM menunjukkan pertumbuhan ekonomi mempunyai tanda positif dan signifikan dilihat dari probabilitynya 0,0123<0,01 (1%) sehingga dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja muda. Artinya, ketika ekonomi tumbuh sebesar 1 persen maka jumlah penyerapan tenaga muda sebanyak 141 orang. Hasil penelitian ini adalah konsisten dengan hasil penelitian oleh Feriyanto (2014) bahwa output tumbuh maka permintaan terhadap barang meningkat dan perusahaan melakukan ekspansi sehingga membutuhkan tenaga kerja lebih banyak, terutama pekerja muda. Ini juga sesuai dengan hasil penelitian Hamid (2008), namun berbeda dari hasil penelitian Sari (2011).

Selanjutnya, rata-rata lama sekolah menunjukkan tanda positif dan signifikan dilihat dari probabilitinya 0,0000<0,01 (1%) sehingga berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja muda. Rata-rata lama sekolah yang dicerminkan sebagai pendidikan memberikan dampak penyerapan tenaga kerja muda sebanyak 3117 orang apabila terjadi kenaikan rata-rata lama sekolah sebesar 1 tahun. Hasil penelitian ini sesuai dengan temuan penelitian oleh Yanuarta & Idris (2007), Mariolo et al (2013), Khan, et al (2013), Vasile & Anghel (2015), dan Buchari (2016).

Kaum pekerja muda adalah pekerja yang paling penting dalam peningkatan produktifitas yang tinggi dibandingkan kaum pekerja tua. Pengaruh dari perbedaan umur juga ikut mempengaruhi kesempatan kerja. Umumnya, sebuah lapangan pekerjaan membutuhkan pekerja yang siap dari segi fisik dan keterampilan. Namun bertolak belakang dengan teori upah, semakin muda (24 tahun ke bawah) mereka bekerja maka upah yang diterima (pay) lebih rendah sebab pekerjaan pada saat ini lebih cenderung berdasarkan skill atau keterampilan yang dibutuhkan sehingga secara tidak langsung telah terjadi seleksi tenaga kerja. Dari hasil estimasi nilai koefisien rata-rata lama sekolah adalah 3117 orang dan koefisien pertumbuhan ekonomi adalah 141 orang.

Page 108: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

097 PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP PENYERAPAN

TENAGA KERJA MUDA DI PROVINSI ACEH

Tabel 1. Cross Section Fixed Effect Penyerapan Tenaga Kerja Muda Kabupaten/Kota Provinsi Aceh

No. Kabupaten/Kota Effect No. Wilayah Effect

1 Simeulue -7.942,84 13 Gayo Lues 1.390,09

2 Aceh Singkil -1.058,94 14 Aceh Tamiang 3.286,49

3 Aceh Selatan 2.473,02 15 Nagan Raya -2.196,04

4 Aceh Tenggara -1.667,08 16 Aceh Jaya -4.138,08

5 Aceh Timur 17.461,89 17 Bener Meriah -1.682,85

6 Aceh Tengah -1.233,73 18 Pidie Jaya -2.715,26

7 Aceh Barat -3,63 19 Kota Banda Aceh -6.891,92

8 Aceh Besar 5.436,55 20 Kota Sabang -15.040,4

9 Pidie 9.026,75 21 Kota Langsa -7.949,39

10 Bireuen 12.417,51 22 Kota Lhokseumawe -7.314,95

11 Aceh Utara 12.670,51 23 Kota Subulussalam -885,22

12 Aceh Barat Daya -2.442,47

Sumber: Hasil Estimasi, 2018

Table 1 menjelaskan efek nilai individual kondisi tenaga kerja muda dari masing-masing wilayah per kabupaten/kota di Provinsi Aceh dimana koefisien variabel pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendidikan kabupaten/kota dianggap sama. Tanda positif menunjukkan nilai bertambahnya penyerapan tenaga kerja muda dan sebaliknya tanda negatif ialah berkurangnya penyerapan tenaga kerja muda di wilayah itu sendiri. Dari 23 kabupaten/kota hanya 8 wilayah yang memiliki tanda positif, sedangkan selebihnya memiliki tanda negatif. Wilayah yang terjadi penyerapan tenaga kerja terbanyak adalah Kabupaten Aceh Timur sebanyak 17.461 orang. Kondisi yang serupa juga pada Kabupaten Aceh Utara, Bireuen, Pidie, Aceh Besar, Aceh Tamiang, Aceh Selatan dan Gayo Lues. Dan yang terendah adalah Kota Sabang yang bernilai negatif sebesar -15.040. Seiring adanya perubahan ekonomi, penyerapan tenaga kerja muda semakin berkurang dikarenakan pekerja muda per tahun melanjutkan pendidikan sekolah untuk mendapat peluang besar (opportunity) nantinya untuk masuk ke pasar tenaga kerja yang lebih baik.

D. KesimpulanDari hasil penelitian yang dilakukan untuk menganalisis penyerapan tenaga kerja muda di 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh, maka dapat diambil kesimpulan antara lain sebagai berikut.

1. Pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan rata-rata lama sekolah yang meningkat diikuti pula dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja muda

Page 109: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

098 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

di Provinsi Aceh menunjukkan permintaan dan penawaran dalam pasar tenaga kerja berjalan.

2. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan dan positif terhadap penyerapan tenaga kerja muda, kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen menyerap tenaga kerja muda sebanyak 141 pekerja.Tumbuhnya ekonomi akan meningkatkan permintaan terhadap barang sehingga kegiatan usaha membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak, hal ini akan menjadi peluang bagi tenaga kerja muda untuk masuk kedalam pasar tenaga kerja.

3. Rata-rata lama sekolah sebagai cerminan pendidikan berpengaruh signifikan dan positif terhadap penyerapan tenaga kerja muda. Dampak kenaikan lama sekolah sebanyak 1 tahun akan menyerap tenaga kerja sebanyak 3117 pekerja, Maknanya apabila seorang tenaga kerja muda meningkatkan jenjang sekolahnya maka akan lebih tinggi kemungkinannya untuk terserap dalam pasar tenaga kerja.

E. RekomendasiBerdasarkan hasil kesimpulan dan analisa sebelumnya, maka saran yang diambil sebagai berikut.

1. Pertumbuhan ekonomi hendaknya diarahkan untuk dapat menyerap tenaga kerja yang lebih besar. Dengan diketahuinya sektor-sektor yang berpotensi dalam menyerap tenaga kerja, maka pemerintah diharapkan lebih memprioritaskan sektor-sektor yang dominan tanpa mengacuhkan sektor-sektor di luar dominan misalnya melalui program-program pelatihan kerja sesuai dengan minat bakat. Sehingga dapat mendorong penciptaan dan perluasan kesempatan kerja pada sektor lainnya serta menunjang perekonomian Provinsi Aceh. Dan juga dengan memberikan kesempatan UMKM kepada kaum muda agar dapat berkreativitas menciptakan lapangan kerja sendiri (entrepreneur) dengan memanfaatkan kelebihan era digital saat ini.

2. Faktor pendidikan hendaknya menjadi suatu prioritas dalam perencanaan pembangunan ekonomi di Provinsi Aceh karena tingkat pendidikan menentukan kualitas pencari kerja dalam memasuki pasar kerja. Untuk itu diperlukan fasilitas pendidikan yang lebih merata di setiap wilayah di Provinsi Aceh dan bantuan beasiswa bagi siswa yang tidak mampu dan yatim piatu untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dan juga perlunya komitmen dan kesadaran semua pihak akan pentingnya pendidikan agar dalam jangka panjang terwujud sumber daya manusia yang berkualitas.

Page 110: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

099 PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP PENYERAPAN

TENAGA KERJA MUDA DI PROVINSI ACEH

3. Dalam penelitian ini masih terdapat kelemahan dan keterbatasan data dengan jumlah tahun pengamatan yang hanya 5 tahun, untuk perbaikan dan memberikan hasil yang lebih baik, penulis menyarankan untuk penulis selanjutnya untuk dapat menambah variabel lain dan untuk pertumbuhan ekonomi dapat meneliti dengan memasukkan variabel data dari berbagai sektor.

Page 111: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang
Page 112: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

09Analisis Interaksi Moderasi Antara Belanja Daerah dengan

Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Penduduk

Bekerja Dalam Menurunkan Kemiskinan (Studi Kasus di 29 Provinsi se-Indonesia Periode

2004-2015)

Nama : Bandoro Budi Nugroho

Instansi : Dinas Sosial Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Pemkot Yogyakarta

Program Studi : Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan

Bisnis

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Brawijaya

Page 113: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

102 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Pascakrisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1998; kemiskinan meningkat, kesenjangan melebar sementara pertumbuhan ekonomi merosot tajam. Setelah masa recovery multisektor selama kurang lebih 3 tahun, pemerintah merespon kondisi tersebut dengan strategi pembangunan Triple Track Strategy; Pro Poor, Pro Growth, Pro Job yang mulai diimplementasikan pada dua periode Rencana Pembangunan Menengah Nasional (RPJMN 2004-2009 dan 2010-2015). Ditopang dengan anggaran pemerintah yang berpihak pada rakyat miskin (pro poor budget), pertumbuhan ekonomi mulai meningkat, perluasan lapangan kerja bertambah dan tingkat kemiskinan menurun. Namun benarkah perkembangan pembangunan yang baik tersebut adalah buah dari sinergi strategi pembangunan yang berhasil atau hanya proses natural rebound kondisi makro ekonomi semata?

Dengan regresi data panel dari 29 provinsi pada kurun waktu 2004—2015 menunjukkan hasil bahwa diperlukan pertumbuhan ekonomi tinggi untuk secara signifikan menurunkan kemiskinan, sedangkan tingkat penduduk bekerja berpengaruh signifikan menurunkan kemiskinan justru di daerah-daerah dengan tingkat penduduk bekerja rendah, karena di daerah dengan tingkat penduduk bekerja tinggi banyak tenaga kerja yang tidak mampu bersaing dan terjatuh dalam kemiskinan.

Belanja daerah memperkuat pengaruh pertumbuhan ekonomi dalam menurunkan kemiskinan dengan prasyarat kondisi kesenjangan pendapatan rendah. Selain itu, belanja daerah memperkuat pengaruh tingkat penduduk bekerja dalam menurunkan kemiskinan apabila outcome belanja tersebut secara efisien dinikmati oleh penduduk setempat, yang berarti tidak mengalami kebocoran sehingga dinikmati penduduk dan atau pekerja migran yang bertempat tinggal tidak di daerah tersebut.

Pemerintah telah berusaha menerapkan strategi pro poor, pro growth dan pro job, dengan didukung pro poor budget. Namun masih diperlukan kondisi-kondisi tertentu agar strategi tersebut berhasil. Kewajiban pemerintah untuk memastikan kondisi yang dibutuhkan tersebut tercipta secara merata di Indonesia, agar outcome-benefit-impact strategi tersebut dapat dinikmati seluruh penduduk Indonesia.

• Kata Kunci: kemiskinan, belanja daerah, pro poor, pro growth, pro job

Page 114: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

103

ANALISIS INTERAKSI MODERASI ANTARA BELANJA DAERAH DENGAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT PENDUDUK BEKERJA DALAM MENURUNKAN KEMISKINAN (STUDI KASUS DI 29

PROVINSI SE-INDONESIA PERIODE 2004—2015)

ABSTRACT

Post 1998 crisis in Indonesia, poverty has increased, inequality widened while economic growth had sunk sharply. After approximately 3 years multisector recovery period, the government responds to these situations by the development strategy known as “triple track strategy; pro poor, pro growth, pro job”, which implemented during two periods of National Medium Term Development Plan (RPJMN 2004-2009 and 2010-2015). Supported by government pro poor budget, gradualy; economic growth began to increase, expansion of employment increased and poverty declined. But is it a result of succesfuly development strategy or just a natural–post crisis-rebound of macroeconomic conditions?

Using panel data regression of 29 provinces in the period from 2004 to 2015, shows that the government has tried to implement the “pro-poor, pro-growth and pro-jobs strategy”, also creating pro-poor budget as support. But there are still certain conditions are necessary required for the strategy to be successful. High economic growth needed to significantly reduce poverty, otherwise the working population rate significantly alleviating poverty in regions with low working population level, as in high level regions much labor cannot find proper job or good salary thus falling in misery. Government spending strengthens the influence of economic growth in reducing poverty with low income gap as prerequisite conditions. In addition, government spending strengthens the influence of working population rate to reduce poverty if the outcome of spending efficiently given only to local population, which means, there are no leak taken by temporary residents or migrant workers who do not live inside the region.

The government’s obligations to ensure the necessary conditions are created equally in Indonesia, so “benefit-outcome-impact” of these strategies can be perceived by the entire population of Indonesia.

• Keywords: poverty, pro poor, government spending

Page 115: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

104 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. Latar BelakangIndonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang dan secara konsisten telah melakukan pembangunan nasional mulai zaman Orde Baru (tahun 1966 sampai dengan 1998) dan dilanjutkan dengan Orde Reformasi (1998 sampai sekarang) tidak lepas dari permasalahan kemiskinan. Jumlah penduduk miskin di tahun 1970 berjumlah 70 juta jiwa (60%) turun menjadi 22 juta jiwa (11%) pada tahun 1997, tetapi meningkat pesat menjadi 80 juta jiwa (naik sekitar 400%) pada tahun 1998 ketika krisis ekonomi melanda Indonesia (Suryawati, 2005).

Persentase dan jumlah penduduk miskin menunjukkan pola fluktuasi yang hampir sama, pada periode orde baru 1976—1993 terjadi penurunan yang signifikan sebagai dampak dari pertumbuhan ekonomi tinggi pasca oil booming. Namun kemudian, karena krisis ekonomi berangsur naik dan memuncak pada tahun 1998 diikuti dengan mundurnya Presiden Soeharto dan dimulainya orde reformasi jumlah penduduk miskin pun kembali meningkat.

Pemerintah Indonesia pasca-pemilu langsung tahun 2004 yang sukses diselenggarakan untuk pertama kali merespon permasalahan kemiskinan ini dengan triple track strategy yang dimuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Ketiga pilar dalam strategi tersebut adalah; pro growth, pro job dan pro poor. Pro poor, menjadi kata kunci yang mengemuka pada akhir tahun 1980-an pasca booming minyak bumi internasional (tahun 1970-an) yang memicu pertumbuhan ekonomi luar biasa dari beberapa negara miskin yang memiliki cadangan minyak bumi besar.

Namun memasuki era 90-an, kemajuan ekonomi luar biasa tersebut ternyata justru memberi dampak yang buruk bagi penduduk di negara-negara yang menikmatinya. Sampai tahun 1982, pertumbuhan ekonomi tahunan yang cepat di atas minimum 5% dijaga.

Kasus di beberapa negara cukup membuktikan kontribusi pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan tingkat kemiskinan. Kesuksesan negara-negara Asia Timur di tahun 1970-an dan 1980-an menunjukkan bahwa tingginya pertumbuhan ekonomi yang dikombinasi dengan rendahnya ketimpangan pendapatan dapat secara signifikan mengurangi kemiskinan (World Bank, 1993 dalam Cord, 2007). Analisis yang dilakukan oleh Kakwani dan Son (2006) terhadap beberapa negara Asia menunjukkan bahwa selama tahun 1990-an pertumbuhan ekonomi Korea dan Vietnam tergolong pro-poor. Analisa yang menggunakan data panel negara-negara berkembang di tahun 1980-an dan 1990-an juga menunjukkan pentingnya pertumbuhan ekonomi bagi penurunan kemiskinan (Soleh, 2013).

Page 116: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

105

ANALISIS INTERAKSI MODERASI ANTARA BELANJA DAERAH DENGAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT PENDUDUK BEKERJA DALAM MENURUNKAN KEMISKINAN (STUDI KASUS DI 29

PROVINSI SE-INDONESIA PERIODE 2004—2015)

Namun keseriusan pemerintah dalam merencanakan program-program pro poor masih lemah mengingat pencantuman term pro poor dalam RPJMN bahkan hanya pada sub-bab: Pembangunan Air Minum dan Air Limbah/Program-program pembangunan air minum dan air limbah/Program pemberdayaan masyarakat, sebagaimana tercantum berikut ini:

Peningkatan kapasitas masyarakat dengan berdasar kepada pendekatan tanggap kebutuhan (demand responsive approach/demand driven), partisipatif, pilihan yang diinformasikan (informed choice), keberpihakan pada masyarakat miskin (pro-poor), gender, pendidikan, dan swadaya (self-financing) (RPJMN, 2005). Pada RPJMN 2010-2014, term pro poor mendapatkan perhatian lebih banyak, di antaranya menjadi arah kebijakan.

Strategi pembangunan kawasan strategis melalui percepatan pengembangan iklim investasi yang kondusif bagi pengembangan KAPET, KPBPB dan KEK serta kawasan strategis dan cepat tumbuh lainnya dilaksanakan melalui penetapan kebijakan dalam rangka mendukung penciptaan iklim investasi yang kondusif melalui penyusunan kebijakan dan regulasi yang sinergis, di antaranya melalui: (a) penyusunan peraturan pelaksanaan pengembangan KEK sebagai penjabaran UU No. 39 Tahun 2009; (b) peningkatan ekspor dan penanaman modal; (c) peningkatan aplikasi perizinan dan nonperizinan; serta (d) penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP), fasilitas kepabeanan, cukai dan kerjasama perpajakan. Upaya tersebut merupakan koridor operasionalisasi kebijakan dan strategi pembangunan Bidang Ekonomi pada Bab III, untuk mendukung pembangunan kawasan strategis. Selain itu, masih dalam upaya mendorong kebijakan pro-growth dan pro-poor, dikembangkan pula strategi untuk membuka lapangan pekerjaan dan perlindungan terhadap tenaga kerja dalam upaya peningkatan kesejahteraan pekerja, serta hubungan industri yang memperhatikan struktur dan skala upah, aturan main pesangon, aturan main tenaga kontrak dan outsourcing (RPJMN, 2010).

Indonesia menyadari pentingnya intervensi pemerintah dalam menjembatani hal ini. Salah satu instrumen yang dimiliki pemerintah dan merupakan wewenang serta kekuasaan pemerintah untuk mengatur adalah menggunakan anggaran pemerintah. Upaya mereformasi proses penganggaran kemudian ditandai dengan perubahan orientasi kebijakan dalam penyusunan APBN. Perubahan ini disesuaikan dengan tiga strategi dasar (pilar pembangunan) dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, yaitu pro-growth (peningkatan pertumbuhan ekonomi), pro- poor (pengentasan kemiskinan), dan pro-job (perluasan lapangan kerja). Untuk itu, sejak tahun 2005 kebijakan alokasi belanja pemerintah diarahkan terutama untuk mendukung kegiatan ekonomi nasional dalam memacu pertumbuhan (pro growth), menciptakan dan memperluas lapangan pekerjaan (pro job), serta

Page 117: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

106 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

mengurangi kemiskinan (pro poor). Ketiga prioritas pembangunan nasional tersebut kemudian dicerminkan di dalam arah dan postur APBN (Rohman, H., 2016).

Maka, perlu dikaji secara ilmiah apakah anggaran pemerintah sudah berpihak pada rakyat miskin serta berpengaruh pada pengurangan kemiskinan, sesuai paradigma RPJMN (triple track strategy; pro growth, pro job, pro poor), dan apakah perencanaan hingga implementasi anggaran pemerintah telah memenuhi konsep pro poor budgeting?

Konsep anggaran pemerintah masih sangat luas, Suprihanto et al., (2014) menyatakan pelayanan publik, dana subsidi, bantuan sosial dan hibah dibiayai dengan belanja pemerintah yang di antaranya ditujukan untuk mengurangi disparitas (fungsi distributif anggaran) merupakan unsur anggaran pemerintah yang memberikan dampak langsung pada masyarakat. Terutama pemerintah daerah sebagai unit pemerintahan yang mempunyai urusan wajib pelayanan pada masyarakat.

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisMencermati latar belakang di atas, dapat dikerucutkan permasalahan bahwa:

1. Bagaimanakah hubungan interaktif antara belanja daerah dengan pertumbuhan ekonomi dan tingkat penduduk bekerja dalam pengaruhnya menurunkan kemiskinan?

2. Selanjutnya, tulisan ini juga akan mencoba mengetahui apakah pemerintah telah menerapkan strategi Pro growth, Pro Jobs dan Pro Poor Budgeting?

Sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu untuk menganalisis hubungan interaktif antara belanja daerah dengan pertumbuhan ekonomi dan tingkat penduduk bekerja dalam memengaruhi penurunan kemiskinan, digunakan pendekatan positifistik deskriptif dengan model analisa jalur (path analysis). Case & Fair (2007) menjelaskan bahwa ilmu ekonomi positif sering dibagi dua bagian, yaitu ilmu ekonomi deskriptif meliputi kompilasi data yang secara akurat mendeskripsikan fakta dan peristiwa ekonomi. Teori ekonomi berusaha menggeneralisasi dan menerangkan apa yang ditinjau. Teori Ekonomi meliputi pernyataan tentang sebab dan akibat—dari aksi dan reaksi.

Penelitian ini menggunakan sudut pandang perencanaan pembangunan nasional yang dipaparkan dalam RPJMN, sehingga objek penelitiannya adalah Indonesia secara keseluruhan dengan unit analisis provinsi-provinsi yang berada di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Memperhatikan pelaksanaan

Page 118: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

107

ANALISIS INTERAKSI MODERASI ANTARA BELANJA DAERAH DENGAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT PENDUDUK BEKERJA DALAM MENURUNKAN KEMISKINAN (STUDI KASUS DI 29

PROVINSI SE-INDONESIA PERIODE 2004—2015)

2 periode RPJMN, yaitu RPJMN 2004—2009 dan RPJMN 2010—2014, dengan mempertimbangkan keaktualan data, maka kurun waktu (time series) data penelitian adalah tahun 2004-2015

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Kemiskinan

Berdasarkan estimasi pada 29 provinsi didapatkan hasil pertumbuhan ekonomi secara umum tanpa pengelompokan nilai, berpengaruh negatif secara tidak signifikan pada kemiskinan. Melihat tingkat indeks gini per provinsi yang rata-rata masih tinggi dengan kecenderungan secara nasional meningkat tersebut menjadi wajar apabila pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh signifikan dalam menurunkan kemiskinan.

Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Wan dan Sebastian (2011) dalam Hartati, (2012), yang meneliti tentang kemiskinan di Asia Pasifik dengan menggunakan garis kemiskinan US$1.25 per hari dan US$2 per hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara lain (Tabel V.3). Dengan garis kemiskinan US$1.25 per hari nilai elastisitas kemiskinan Indonesia sebesar -0,88, artinya jika pertumbuhan ekonomi naik sebesar 1 persen maka tingkat kemiskinan akan berkurang sebesar 0,88 persen, ceteris paribus. Jika garis kemiskinan dinaikkan menjadi US$2 per hari maka setiap kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen hanya akan menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia sebesar 0,34 persen. Setelah dikelompokkan pada tingkat pertumbuhan ekonomi rendah-sedang-tinggi didapatkan pola pengaruh sebagai berikut.

a. Kelompok daerah dengan pertumbuhan ekonomi rendah berpengaruh positif secara tidak signifikan. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Cervantes-Godoy and Dewbre (2010) yang dikutip oleh Farwati (2013) yang menyatakan penurunan kemiskinan di Indonesia sulit dicapai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 4—5 persen pada periode tahun 2000-an, dibandingkan sebelum krisis kemiskinan dapat dikurangi secara signifikan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 7—9 persen. Siregar & Wahyuni (2007) menyampaikan temuan pertumbuhan ekonomi di kawasan kantong kemiskinan relatif lambat. Adalah fakta bahwa pertumbuhan ekonomi di kawasan perdesaan, di mana sekitar 2/3 penduduk miskin berada, relatif lambat. Ini kemungkinan berkaitan dengan kinerja sektor pertanian yang masih kurang menggembirakan. Pertumbuhan output sektor pertanian tahun

Page 119: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

108 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

2005 hanya 2,5 persen, padahal tahun sebelumnya sektor ini telah bertumbuh sebesar 4,1 persen. Pertumbuhan output pertanian tahun 2005 sebesar 2,5 persen itu merupakan yang terendah dalam lima tahun terakhir. Pertumbuhan output yang hanya 2,5 persen pada sektor pertanian, yang menjadi tumpuan penghidupan sekitar 44 persen tenaga kerja Indonesia (yang dari masa ke masa relatif sangat kecil penurunannya), tentu saja berakibat pada lambannya peningkatan kesejahteraan petani dibandingkan dengan kesejahteraan pekerja di luar sektor pertanian.

b. Kelompok daerah dengan pertumbuhan ekonomi sedang: berpengaruh negatif secara signifikan (tingkat signifikansi α = 5%), dengan koefisien sebesar -0,186886. Meskipun bukan koefisien pengaruh terbesar, namun kenaikan nilai pertumbuhan ekonomi mulai terlihat memberikan dampak pada penurunan kemiskinan.

c. Kelompok daerah dengan pertumbuhan ekonomi tinggi: berpengaruh negatif secara signifikan (tingkat signifikansi α = 1%), dengan koefisien sebesar - 0,304146. Pada kelompok ini hasil regresi data memunculkan koefisien terbesar yang berarti pengaruh terkuat pada kemiskinan. Sesuai dengan penelitian Farwati (2013) yang menyatakan pertumbuhan ekonomi memberikan dampak baik pada penurunan tingkat kemiskinan. Hal tersebut dapat tercapai karena pertumbuhan ekonomi disinergikan dengan program-program pengentasan kemiskinan dan strategi perluasan lapangan kerja bagi penduduk miskin.

2. Pengaruh Tingkat Penduduk Bekerja Terhadap Kemiskinan

Berdasarkan estimasi didapatkan hasil tingkat penduduk bekerja secara umum berpengaruh negatif secara signifikan pada kemiskinan. Artinya, peningkatan jumlah penduduk bekerja memberikan dampak menurunkan kemiskinan.

Hal yang menarik ditemukan ketika data tingkat penduduk bekerja dikelompokkan sesuai nilainya menjadi rendah-sedang-tinggi. Hasilnya adalah sebagai berikut:

a. Kelompok daerah dengan tingkat penduduk bekerja rendah berpengaruh negatif secara signifikan (tingkat signifikansi α = 1%), dengan koefisien sebesar -0,0000163.

b. Kelompok daerah dengan tingkat penduduk bekerja sedang berpengaruh negatif secara signifikan (tingkat signifikansi α = 1%), dengan koefisien sebesar -0,00000378.

Page 120: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

109

ANALISIS INTERAKSI MODERASI ANTARA BELANJA DAERAH DENGAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT PENDUDUK BEKERJA DALAM MENURUNKAN KEMISKINAN (STUDI KASUS DI 29

PROVINSI SE-INDONESIA PERIODE 2004—2015)

c. Kelompok daerah dengan tingkat penduduk bekerja tinggi: berpengaruh positif secara signifikan (tingkat signifikansi α = 1%), dengan koefisien sebesar 0,00000111.

Dari hasil tersebut di atas dapat dilihat bahwa kelompok daerah dengan tingkat penduduk bekerja terendah mempunyai nilai koefisien negatif terbesar yang berarti pada kelompok daerah tersebut didapatkan pengaruh terkuat tingkat penduduk bekerja terhadap penurunan kemiskinan.Kemudian pengaruh tersebut berangsur melemah pada kelompok penduduk bekerja sedang dan paling lemah justru pada kelompok penduduk bekerja tinggi.

Hasil tersebut dapat dipahami sebagai berikut:

a. Hartati (2012) menjelaskan bahwa kenaikan pendapatan nasional juga menyebabkan kenaikan tingkat harga umum (P). Kenaikan tingkat harga umum ini menyebabkan upah riil (W/P) di pasar tenaga kerja menjadi turun. Sehingga meskipun pada daerah tersebut tingkat penduduk bekerja tinggi namun kecenderungan upah riil menurun.

b. Daerah-daerah dengan produktivitas tinggi membutuhkan banyak input faktor produksi sehingga menarik banyak tenaga kerja untuk migrasi baik sementara maupun permanen ke daerah tersebut (Armstrong & Taylor, 2000). Namun banyak tenaga kerja yang tidak mampu bersaing sehingga terjebak pada sektor informal dengan pendapatan yang tidak pasti dan atau pekerjaan dengan upah sangat rendah. Hal tersebut mengakibatkan meningkatnya kemiskinan di daerah-daerah yang termasuk dalam kelompok penduduk bekerja tinggi.

Jawa Timur adalah daerah dengan tingkat penduduk bekerja tertinggi dari 29 provinsi dan Maluku Utara adalah daerah dengan tingkat penduduk bekerja. Namun tren kemiskinannya sangat berbeda, Maluku Utara stabil menurun sementara Jawa Timur cenderung justru meningkat pada tahun-tahun terakhir.

3. Pengaruh Belanja Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Penduduk Bekerja Dalam Menurunkan Kemiskinan

Hasil estimasi model menunjukkan interaksi belanja daerah dengan pertumbuhan ekonomi dan tingkat penduduk bekerja secara bersama-sama berpengaruh positif secara signifikan pada kemiskinan. Hal ini berarti pertambahan pada kedua variabel interaksi tersebut akan meningkatkan variabel kemiskinan.

Untuk melihat indikasi tidak meratanya distribusi pendapatan dapat menggunakan pendekatan pangsa kelompok pengeluaran di Indonesia. Melalui pendekatan ini

Page 121: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

110 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

dapat dilihat pangsa 20% kelompok berpengeluaran tinggi atau kelompok kaya yang selalu lebih tinggi dibanding 40% kelompok berpengeluaran rendah atau kelompok miskin, dan cenderung mengalami peningkatan. Dalam kurun waktu 2007—2013 pangsa 20% kelompok berpengeluaran tinggi mengalami kenaikan sebesar 9,59% atau rata-rata mengalami kenaikan sebesar 1,60% per tahun. Hal sebaliknya pangsa 40% kelompok berpengeluaran rendah di Indonesia mengalami penurunan sebesar 9,98% atau mengalami penurunan rata-rata sebesar 1,66% per tahun. Kelompok berpengeluaran tinggi menguasai pangsa sebesar 49,04% dari total pengeluaran. Sedangkan 40% kelompok pengeluaran rendah hanya menguasai 16,87% dari total pengeluaran.

Ada beberapa sebab mengapa ketimpangan distribusi pendapatan yang semakin meningkat di Indonesia. Pertama, masih besarnya pekerja yang bekerja di sektor informal dengan tingkat pendapatan yang rendah dan tidak jaminan keberlanjutan usaha di masa depan. Dari data BPS tahun 2013, sebanyak 60,34 persen pekerja bekerja di sektor informal dari total pekerja di Indonesia. Tingginya jumlah pekerja di sektor informal dikarenakan teknologi yang digunakan di sektor formal semakin padat modal dan membutuhkan tenaga kerja terampil. Akibatnya pertumbuhan ekonomi yang positif tidak diikuti kenaikan kesempatan kerja dan peningkatan penyerapan tenaga kerja baru. Penyebab kedua, pertumbuhan sektor-sektor non-tradeable seperti sektor perdagangan dan jasa keuangan (perbankan dan lembaga keuangan lainnya) yang melebihi pertumbuhan sektor produksi seperti pertanian dan industri manufaktur. Padahal sektor-sektor non-tradeble tersebut menyerap tenaga kerja lebih kecil di banding sektor-sektor produksi.

DKI Jakarta adalah daerah dengan rata-rata belanja daerah per kapita terbesar untuk kelompok tinggi, sementara Riau terbesar untuk kelompok sedang dan Kalimantan Barat terbesar untuk kelompok rendah.

Hasil regresi menunjukkan interaksi belanja daerah memperkuat pengaruh pertumbuhan ekonomi mengurangi kemiskinan pada kelompok daerah dengan belanja per kapita sedang. Riau sebagai representasi kelompok daerah dengan belanja daerah per kapita sedang menunjukkan kecenderungan fluktuasi indeks gini lebih rendah dari daerah lain yang merepresentasikan kelompok daerah dengan belanja per kapita tinggi dan rendah. Dari data tersebut terbukti bahwa belanja daerah memperkuat pertumbuhan ekonomi dalam mengurangi kemiskinan pada daerah-daerah dengan ketimpangan rendah.

Variabel interaksi belanja daerah dengan tingkat penduduk bekerja berpengaruh negatif secara signifikan pada kelompok daerah dengan realisasi belanja per kapita rendah. Sementara pada kelompok daerah belanja per kapita sedang dan tinggi justru berpengaruh positif secara signifikan. Hal ini bisa dipahami melalui

Page 122: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

111

ANALISIS INTERAKSI MODERASI ANTARA BELANJA DAERAH DENGAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT PENDUDUK BEKERJA DALAM MENURUNKAN KEMISKINAN (STUDI KASUS DI 29

PROVINSI SE-INDONESIA PERIODE 2004—2015)

teori ekonomi regional, bahwa terjadi proses backwash antardaerah di mana daerah dengan kapasitas ekonomi tinggi menyerap tenaga kerja dari daerah sekitarnya yang kapasitas ekonominya lebih rendah. Adanya pekerja migran (baik sementara maupun permanen) tersebut menyebabkan anggaran pemerintah untuk pelayanan publik menjadi tidak signifikan karena pekerja-pekerja migran tersebut membawa pendapatannya dan melakukan konsumsi di daerah asalnya, sehingga kemiskinan lebih menurun di daerah asal.

Daerah yang termasuk dalam kelompok realisasi belanja per kapita tinggi adalah Papua, DKI Jakarta, dan Kalimantan Timur. Ketiga provinsi tersebut mempunyai angka migrasi masuk tertinggi di region masing-masing. Papua di regional paling timur Indonesia (Maluku dan Papua). Kalimantan Timur di regional Pulau Kalimantan dan DKI Jakarta di regional Pulau Jawa.

D. KesimpulanPada kurun waktu 2004—2015 di 29 provinsi se-Indonesia diperoleh kesimpulan, antara lain:

1. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif secara signifikan pada kemiskinan di daerah-daerah dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi tinggi. Karena pertumbuhan ekonomi tinggi memang menjadi salah satu variabel yang dibutuhkan dalam usaha mengurangi kemiskinan.

2. Tingkat penduduk bekerja berpengaruh negatif secara signifikan pada kemiskinan di daerah-daerah dengan rata-rata tingkat penduduk bekerja rendah. Karena pada umumnya daerah-daerah dengan tingkat penduduk bekerja tinggi adalah daerah tujuan pekerja migran, namun tidak semua pekerja migran tersebut mendapatkan pekerjaan dan atau upah yang layak di daerah tersebut sehingga mereka terpaksa hidup dalam kemiskinan meskipun berada di daerah dengan tingkat penduduk bekerja tinggi.

3. Belanja daerah memperkuat pengaruh pertumbuhan ekonomi dalam menurunkan kemiskinan di daerah-daerah dengan rata-rata belanja daerah perkapita sedang. Karena di daerah-daerah dengan rata-rata belanja daerah perkapita rendah dan tinggi ditemukan fakta bahwa angka indeks gininya tinggi yang berarti terjadi kesenjangan pendapatan antar penduduk yang besar. Sehingga belanja daerah dapat memperkuat pengaruh pertumbuhan ekonomi dalam menurunkan kemiskinan pada daerah-daerah dengan kesenjangan pendapatan yang rendah.

4. Belanja daerah memperkuat pengaruh tingkat penduduk bekerja dalam menurunkan kemiskinan di daerah-daerah dengan rata-rata belanja daerah perkapita rendah. Karena pada daerah-daerah dengan rata-rata belanja

Page 123: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

112 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

daerah perkapita tinggi terjadi kebocoran, dimana pelayanan publik yang disediakan pemerintah daerah dan dibiayai dengan belanja daerah dinikmati oleh pekerja migran yang datang (untuk bekerja) karena besarnya kesempatan bekerja di daerah tersebut, namun kemudian pekerja migran ini bertempat tinggal dan melakukan konsumsi di tempat asalnya, sehingga menurunkan kemiskinan di daerah asalnya, sehingga kemiskinan di daerah tempatnya bekerja tetap tinggi.

5. Pemerintah telah berusaha menerapkan strategi pro growth, namun pertumbuhan ekonomi tersebut mampu mengurangi kemiskinan pada kondisi pertumbuhan tinggi, belanja pemerintah memperkuat pengaruh tersebut (pro poor budget) pada kondisi kesenjangan rendah.

6. Pemerintah telah berusaha menerapkan strategi pro job, namun kondisi kesetaraan ekonomi regional antar daerah yang berimbang dibutuhkan agar tidak terjadi backwash effect sehingga penduduk miskin justru terakumulasi di daerah-daerah dengan tingkat penduduk bekerja tinggi. Belanja pemerintah memperkuat pengaruh tingkat penduduk bekerja dalam menurunkan kemiskinan ketika belanja tersebut efisien, dalam artian outcome dari belanja tersebut dinikmati oleh penduduk daerah setempat.

E. Rekomendasi1. Daerah-daerah dengan pertumbuhan ekonomi sedang dan rendah terus

meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga mencapai tingkatan signifikan untuk menurunkan kemiskinan, karena seperti diungkap dalam penelitian terdahulu bahwa pertumbuhan ekonomi 4-5 persen per tahun tidak akan memberikan dampak signifikan pada penurunan kemiskinan. Dibutuhkan rata-rata pertumbuhan 7-9 persen per tahun untuk dapat menurunkan kemiskinan secara signifikan. Berdasarkan persamaan identitas, maka intervensi secara langsung bisa dengan memperbesar pengeluaran pemerintah.

2. Memperhatikan postur PDRB sebagai parameter pertumbuhan ekonomi, dari postur PDRB dapat diamati indikator kontribusi sektoral. Perlu dipacu sektor-sektor yang terkait penguatan dan pemberdayaan rakyat miskin. Baik melalui penyediaan lapangan kerja maupun kewirausahaan. Misal, kebijakan subsidi dan akses modal untuk sektor pertanian serta insentif dan kemudahan perijinan untuk manufaktur.

3. Meminimalkan ketimpangan pendapatan antar penduduk, misalnya dengan menerapkan pajak pendapatan progresif.

4. Menanggulangi ketimpangan antar daerah yang cukup tinggi, dengan menyusun kebijakan pemerintah pusat untuk lebih memeratakan kapasitas ekonomi daerah-daerah yang masih tertinggal. Misalnya dengan menentukan

Page 124: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

113

ANALISIS INTERAKSI MODERASI ANTARA BELANJA DAERAH DENGAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT PENDUDUK BEKERJA DALAM MENURUNKAN KEMISKINAN (STUDI KASUS DI 29

PROVINSI SE-INDONESIA PERIODE 2004—2015)

pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru diikuti dengan memberikan insentif bagi pihak swasta yang bersedia berinvestasi. Di sisi lain memberikan disinsentif di daerah-daerah yang kapasitas ekonominya sudah besar.

5. Lebih mengefektifkan evaluasi realisasi APBD provinsi hingga pada level outcome, karena selama ini baru dilakukan pemeriksaan mulai dari perencanaan sampai dengan outputnya.

Page 125: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang
Page 126: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

10Nama : Imsak Sukmawati

Instansi : Kementerian Kehutanan dan

Lingkungan Hidup

Program Studi : Pascasarjana Ilmu Ekonomi

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Indonesia

Pengaruh Volatilitas Nilai Tukar Terhadap

Ekspor Indonesia

Page 127: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

116 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Semenjak runtuhnya sistem Bretton wood, banyak ekonom meneliti bagaimana volatilitas nilai tukar berdampak terhadap perdagangan dunia. Dengan menggunakan data ekspor Indonesia Tahun 2005-2014, kami meneliti faktor-faktor yang berkorelasi terhadap volume ekspor dari sisi permintaan, dimana volatilitas diukur dengan Standar Deviasi dan Moving Average Standard Deviation. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar produsen di Indonesia merespon peningkatan volatilitas nilai tukar dengan mengurangi aktivitas ekspor. Hanya produsen pertanian dan peternakan; penambangan batu bara dan lignit; industri kertas dan barang yang berasal dari kertas; industri karet, bahan dari karet dan plastik dan industri pengolahan logam dasar yang merespon dengan cara sebaliknya.

• Kata Kunci: nilai tukar, volatilitas, ekspor

Page 128: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

117 PENGARUH VOLATILITAS NILAI TUKAR TERHADAP EKSPOR INDONESIA

ABSTRACT

Since the collapse of Breton Wood system, many economists have scrutinized how exchange rate volatility affects on the world trade. Using Indonesian data from 2005-2014, we examine factors that correlate with export volumes on the demand side, especially the volatility determined by Standard Deviation and Moving Average Standard Deviation. The results showed that most producers in Indonesia respond the increased of exchange rate volatility by reducing risky activity. Producer of crop and animal production; mining of coal and lignite; manufacture of paper and paper product; manufacture of rubber and plastic products; and manufacture of basic metals that respond in reverse.

• Keywords: exchange rate, volatility, export

Page 129: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

118 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. Latar BelakangIndonesia menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas sejak 14 Agustus 1997. Sebelumnya, Indonesia menerapkan sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating) sejak akhir tahun 1978. Guna menahan spekulasi valuta asing sekaligus mengamankan cadangan devisa negara akibat krisis keuangan Asia tahun 1997, Pemerintah Indonesia menerapkan nilai tukar mengambang bebas (flexible/floating exchange rate) yang menggantikan sistem mengambang terkendali (managed floating). Pada awal diimplementasikan kebijakan tersebut, nilai tukar rupiah terdepresiasi cukup tinggi terhadap dollar Amerika Serikat dan perilaku nilai tukar menjadi lebih berfluktuatif, dan hal yang sama terjadi juga pada mata uang lainnya. Fluktuasi nilai tukar yang terus menerus melatar belakangi berbagai penelitian empiris di Indonesia yang mencoba melihat bagaimana pengaruh volatilitas nilai tukar terhadap ekspor Indonesia.

Beberapa penelitian di Indonesia, pada umumnya melihat pengaruh volatilitas nilai tukar terhadap ekspor melalui beberapa saluran, antara lain melalui saluran imported input. Ekananda (2004) mengelompokkan komoditas ekspor Indonesia berdasar kandungan impor bahan baku, yaitu komoditas dengan kandungan impor tinggi dan komoditas dengan kandungan impor rendah. Ekananda menyatakan bahwa proporsi komoditas yang high imported input yang menurun akibat peningkatan ketidakpastian nilai tukar lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi komoditas dengan kandungan impor rendah yang menurun dengan adanya peningkatan ketidakpastian nilai tukar. Masih sedikit penelitian yang melihat pengaruh volatilitas nilai tukar dari sisi producer behavior. Sejauh pengetahuan penulis, hanya Elizabeth (2016) yang melihat pengaruh peningkatan volatilitas nilai tukar terhadap keputusan produsen dalam melakukan ekspor.

Elizabeth (2016) menyampaikan bahwa volatilitas nilai tukar berpengaruh menurunkan ekspor nonmigas Indonesia. Dalam analisisnya, pengaruh volatilitas nilai tukar terhadap ekspor nonmigas Indonesia menggunakan data ekspor nonmigas berdasarkan klasifikasi SITC (1 digit), yaitu makanan dan binatang hidup, minuman dan tembakau, bahan mentah, minyak/lemak nabati dan hewani, bahan kimia, hasil industri menurut bahan, mesin dan alat pengangkutan, serta bahan nonmigas lainnya. Elizabeth (2016) menyampaikan bahwa produsen nonmigas Indonesia diindikasikan sebagai agen ekonomi yang risk averse, dimana akan memilih untuk menjual ke pasar domestik dibandingkan mengekspor komoditas tersebut jika volatilitas meningkat. Hal yang perlu dikritisi dari penelitian tersebut adalah dari segi penggunaan data. Oleh karena itu, Elizabeth (2016) menyarankan penggunaan data yang lebih rinci. Penggunaan data pada tingkat 1 Digit SITC tidak cukup menunjukkan bagaimana keputusan produsen

Page 130: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

119 PENGARUH VOLATILITAS NILAI TUKAR TERHADAP EKSPOR INDONESIA

terhadap peningkatan volatilitas nilai tukar secara sektoral. Karena sektor yang berbeda menghadapi tingkat risiko yang berbeda, penggunaan data disagregat tingkat sektor/komoditas membantu mengisolasi efek spesifik pada komoditas/sektor tertentu (Bahmani-Oskooee & Hegerty, 2007). Dengan demikian, diduga peningkatan volatilitas nilai tukar akan memberikan dampak yang berbeda-beda antarsektor. Beberapa produsen mungkin akan menurunkan aktivitas ekspornya, namun beberapa lainnya justru akan meningkatkan aktivitas ekspornya jika terjadi peningkatan volatilitas nilai tukar.

Meskipun produsen di negara yang sama menghadapi masalah ketidakpastian nilai tukar yang sama, namun produsen merespon ketidakpastian nilai tukar tersebut dengan cara yang berbeda-beda. Ketidakpastian nilai tukar menimbulkan rIsiko yang memengaruhi perdagangan internasional melalui beberapa saluran antara lain harga, saluran pendapatan, dan saluran struktur pasar.

Produsen yang dalam proses produksi menggunakan bahan baku yang berasal dari impor dapat berbeda responnya terhadap ketidakpastian nilai tukar dibandingkan produsen yang dalam proses produksinya hanya menggunakan bahan baku yang berasal dari dalam negeri. Hal ini berpengaruh pada penetapan harga pokok produksi dan keuntungan yang diperoleh produsen.

Perbedaan harga komoditas antara pasar internasional dengan pasar domestik dapat menjadi peluang meningkatkan keuntungan bagi produsen. Namun penurunan harga komoditas di pasar internasional tidak selalu menurunkan aktivitas ekspor produsen, bisa jadi produsen tersebut tetap akan bertahan di pasar internasional karena kemungkinan kebutuhan pasar domestik atas komoditas tersebut sudah terpenuhi dan kemungkinan produsen tersebut sedang berupaya untuk meningkatkan pangsa pasar di pasar internasional. Selain itu, harga barang substitusi dari komoditas tersebut juga dapat memengaruhi keputusan produsen.

Produsen yang memiliki struktur pasar yang berbeda dapat merespon ketidakpastian nilai tukar dengan cara yang berbeda. Produsen yang memiliki market share yang besar di pasar internasional lebih dapat meredam ketidakpastian nilai tukar dibandingkan produsen yang memiliki market share lebih kecil. Dengan demikian, masing-masing produsen memiliki karakter yang berbeda-beda sehingga respon terhadap nilai tukar dapat berbeda-beda pula.

Dalam penelitian ini volume ekspor Indonesia diklasifikasikan berdasar aktivitas ekonomi produsen, mengacu pada klasifikasi 2 digit ISIC, yaitu terdiri dari sektor pertanian dan peternakan (01); hutan dan aktivitas penebangan (02); perikanan dan budi daya kelautan (03); penambangan batu bara dan lignit (05); industri makanan (10); industri minuman (11); industri pengolahan tembakau (12); industri tekstil (13); industri pakaian jadi (14); industri kulit, barang dari kulit

Page 131: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

120 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

dan alas kaki (15); industri kayu, bambu, rotan (16); industri kertas dan barang dari kertas (17); industri percetakan dan reproduksi media rekaman (18); industri produk batu-bara dan pengilangan minyak bumi (19); industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia (20); industri karet, barang dari karet dan plastik (22); industri barang galian bukan logam (23); industri logam dasar (24); industri mesin dan perlengkapan lainnya (28); dan industri kendaraan bermotor, trailer dan semi trailer (29).

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisPenelitian ini ingin melengkapi studi yang dilakukan Elizabeth (2016) dengan menggunakan data disagregat yang lebih rinci. Data disagregat diperoleh dari disagregasi data ekspor Indonesia kesepuluh negara mitra dagang yang dikelompokkan menurut kelompok yang lebih homogen yaitu berdasarkan 2 Digit ISIC Rev.4. Dengan menggunakan data disagregat, diharapkan melalui penelitian ini dapat terpetakan dengan lebih tepat respon produsen terhadap peningkatan volatilitas nilai tukar dalam aktivitas perdagangan internasional. Guna mendapatkan hasil estimasi yang robust, volatilitas nilai tukar pada penelitian ini akan diestimasi menggunakan metode Standar Deviasi (SD) dan Moving Average Standar Deviasi (MASD).

Untuk mencapai tujuan penelitian ini, data yang digunakan merupakan kumpulan data sekunder dengan rentang waktu penelitian Triwulan I Tahun 2005 hingga Triwulan IV Tahun 2014 yang berasal dari beberapa sumber. Data volume ekspor Indonesia bersumber dari Biro Pusat Statistik. Data terkait nilai tukar riil efektif (REER) berasal dari International Bank of Settlement (IBS), serta data GDP nominal dan GDP deflator negara pengimpor bersumber dari database IFS.

C. Pembahasan Hasil AnalisisSemakin tinggi volatilitas nilai tukar menunjukkan semakin tinggi pula ketidakpastian fluktuasi nilai tukar. Hasil estimasi menunjukkan bahwa volatilitas nilai tukar memengaruhi penurunanan ekspor pada beberapa komoditas dan peningkatan ekspor pada beberapa komoditas yang lain, namun pada beberapa komoditas justru tidak terpengaruh dengan adanya volatilitas nilai tukar. Berdasarkan hasil analisis pada 20 persamaan yang diuji terdapat 14 persamaan yang menunjukkan bahwa peningkatan volatilitas nilai tukar berpengaruh pada ekspor Indonesia. Proporsi komoditi ekspor yang menurun akibat peningkatan volatilitas nilai tukar sebanyak 64%, sedangkan proporsi komoditi ekspor meningkat akibat peningkatan volatilitas nilai tukar sebanyak 36%. Artinya bahwa peningkatan volatilitas nilai tukar berdampak menurunkan ekspor Indonesia

Page 132: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

121 PENGARUH VOLATILITAS NILAI TUKAR TERHADAP EKSPOR INDONESIA

lebih tinggi dibandingkan meningkatkan ekspor selama periode penelitian. Tabel 1 menyajikan secara ringkas besaran dan arah parameter volatilitas nilai tukar terhadap volume ekspor Indonesia baik menggunakan metode pengukuran violatilitas nilai tukar dengan Moving Average Standard Deviation (MASD) dan Standar Deviasi (SD).

Tabel 1. Besaran Koefisien volatilitas nilai tukar

No. Kelompok KomoditasKoefisien α

volreer_masd volreer_sd

1 Penambangan Batu Bara & Lignit (05) 0.118* 0.118*

2 Hasil Industri Logam Dasar (24) 0.0839** 0.0864**

3 Pertanian dan Peternakan (01) 0.0753* 0.0760*

4 Industri Kertas & Barang dari Kertas (17) 0.0413** 0.0327**

5 Hasil Industri Karet, Barang dari Karet dan Plastik (22)

0.0277** 0.0277*

6 Industri Kayu, Bambu, Rotan (selain Furnitur) (16) -0.0294** -0.0282**

7 Industri Tekstil (13) -0.0353* -0.0378*

8 Perikanan & Budi Daya Kelautan (03) -0.0370* -0.0368*

9 Industri Pakaian Jadi (14) -0.0397* -0.0396*

10 industri Makanan (10) -0.041** -0.037**

11 Industri Kulit, Barang dari Kulit & Alas Kaki (15) -0.0483* -0.0481*

12 Industri Minuman (11) -0.052** -0.053**

13 Hasil Industri Mesin & Perlengkapan lainnya (28) -0.052** -0.052**

14 Hasil Industri Bahan Kimia & Barang dari Bahan Kimia (20)

-0.0527* -0.0492*

Dari Tabel 1 terlihat bahwa semakin tinggi volatilitas nilai tukar direspon secara berbeda oleh masing-masing produsen. Berdasarkan Tabel 1 peningkatan volatilitas nilai tukar berpengaruh menurunkan ekspor pada 9 persamaan yang diestimasi. Kesembilan kelompok komoditas tersebut adalah komoditas hasil perikanan dan budi daya kelautan (03); industri pengolahan makanan (10); industri pengolahan minuman (11); industri pengolahan tekstil (13); industri pengolahan pakaian jadi (14); industri pengolahan kulit, barang dari kulit dan alas kaki (15); industri pengolahan kayu, bambu, dan rotan (16); hasil industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia (20) serta industri mesin dan perlengakapan lainnya (28), ceteris paribus. Peningkatan volatilitas nilai tukar direspon oleh produsen hasil perikanan dan budi daya kelautan; pengolahan makanan; pengolahan minuman; pengolahan tekstil; pengolahan pakaian jadi; pengolahan kulit, barang dari kulit dan alas kaki; pengolahan kayu, bambu dan rotan; pengolahan bahan kimia dan barang dari bahan kimia serta industri mesin dan perlengkapan lainnya dengan cara memproduksi lebih sedikit untuk pasar ekspor atau dengan kata lain produsen

Page 133: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

122 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

akan beralih dari aktivitas ekspor yang berisiko ke aktivitas perdagangan yang kurang berisiko.

Produsen bidang perikanan dan budi daya kelautan menghasilkan komoditas yang berasal dari ekstraksi sumber daya laut. Lebih dari 90% hasil tangkap Indonesia merupakan ikan tangkap laut. Karena ketersediaannya yang melimpah, Indonesia menjadi negara produsen terbesar kedua perikanan laut dunia. Komoditas perikanan dan budi daya kelautan memiliki daya simpan yang relatif pendek (nondurable). Adanya volatilitas nilai tukar menjadi risiko bagi produsen perikanan dan budi daya kelautan dalam menentukan ekspektasi keuntungan yang diperolehnya dari aktivitas ekspor. Sehingga semakin tinggi volatilitas nilai tukar, marginal utilitas produsen bidang perikanan dan budi daya kelautan di pasar domestik lebih tinggi dibandingkan marginal utility di pasar internasional, sehingga produsen akan mengalihkan aktivitas perdagangannya dari pasar internasional ke pasar domestik. Di pasar domestik, komoditas ini digunakan untuk pemenuhan kebutuhan baik untuk konsumsi rumah tangga maupun sebagai bahan baku produksi pada industri pengolahan makanan, seperti pengolahan ikan menjadi minyak ikan omega 3 dan berbagai produk olahan ikan lainnya.

Diduga karena pemakaian imported input yang cukup tinggi, menyebabkan produsen memilih untuk mengurangi aktivitas ekspornya jika volatilitas nilai tukar meningkat. Produsen akan mengurangi ekspor karena peningkatan volatilitas nilai tukar dapat meningkatkan biaya tak terduga. Jika pembayaran tidak dilakukan sampai pengiriman maka perubahan nilai tukar yang tidak terduga antar waktu kontrak dengan pengiriman dapat meningkatkan ketidakpastian ekspektasi profit dari ekspor. Dengan demikian, peningkatan volatilitas nilai tukar dapat mengurangi ekspor. Hal ini dimungkinkan terjadi, peningkatan volatilitas nilai tukar akan mengurangi ekspor apabila hedging tidak mungkin dilakukakn atau dirasa mahal.

Semakin tinggi volatilitas nilai tukar akan mengurangi volume ekspor terbesar pada komoditas bahan kimia dan barang yang berasal dari bahan kimia. Industri kimia di Indonesia masih dihadapkan pada persoalan ketergantungan impor bahan baku nafta, kondensat dan etinela yang mencapai nilai 5,1 milyar US$ pada tahun 2011 dan terus meningkat pada tahun selanjutnya. Diduga ketergantungan bahan baku yang berasal dari impor inilah yang mendorong produsen bahan kimia dan barang yang berasal dari bahan kimia mengalihkan perdagangan internasional ke pasar domestik, seperti melalui upaya substitusi impor bahan baku. Industri nasional dituntut untuk terus meningkatkan daya saing melalui berbagai upaya efisiensi, sehingga kebijakan pembangunan industri kimia difokuskan pada penguatan struktur industri kimia mulai dari sektor hulu melalui pembangunan nafta cracker maupun refinery yang diintegrasikan dengan

Page 134: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

123 PENGARUH VOLATILITAS NILAI TUKAR TERHADAP EKSPOR INDONESIA

hilirnya. Pengembangan industri kimia nasional yang mampu memberikan nilai tambah yang optimal di samping memenuhi kebutuhan domestik yang terus meningkat yang selama ini dipenuhi melalui impor.

Produsen yang bergerak pada pengolahan makanan dan minuman menggunakan bahan baku produksi yang berasal dari impor cukup tinggi, seperti pengolahan makanan dari susu mempunyai rasio impor bahan baku sebesar 0,74 (Kementerian Perindustrian,

2013). Adanya ketidakpastian nilai tukar, memengaruhi seberapa besar biaya yang digunakan untuk mengimpor bahan baku. Dengan demikian, ketidakpastian biaya yang harus dibayarkan untuk memperoleh bahan baku impor berpengaruhi pada penentuan harga pokok produksi dan ekspektasi keuntungan yang diperoleh dari penjualan produknya. Dari hasil estimasi diperoleh bahwa peningkatan volatilitas nilai tukar, memengaruhi penurunan ekspor komoditas hasil industri pengolahan makanan. Diduga adanya peningkatan volatilitas nilai tukar mendorong produsen untuk melakukan substitusi impor bahan baku dengan bahan baku lokal. Selain itu, diduga peningkatan volatilitas nilai tukar dirasa tidak menguntungkan produsen saat itu, sehingga mereka memilih untuk menjual produksinya ke pasar domestik yang kurang berisiko dibandingkan menjualnya ke pasar internasional yang memiliki risiko lebih besar. Semakin tinggi volatilitas nilai tukar akan menurunkan permintaan atas ekspor komoditas minuman olahan lebih tinggi dibandingkan dengan permintaan atas ekspor komoditas makanan olahan.

Industri tekstil dan pakaian jadi memperoleh bahan baku produksinya dari pasar domestik maupun melalui impor. Diduga hal ini berkaitan dengan ketergantungan bahan baku kapas yang 99,5% berasal dari impor dan bahan penolong seperti zat warna azzo belum tersedia cukup di dalam negeri. Risiko ketidakpastian nilai tukar akan menyebabkan ketidakpastian biaya yang harus dibayarkan oleh produsen untuk membeli bahan baku, yang memengaruhi penentuan harga pokok produksi. Hal tersebutlah yang diduga melatarbelakangi produsen tekstil dan pakaian jadi merespon risiko nilai tukar dengan menurunkan volume ekspor.

Menurut De Grauwe (1988), volatilitas memengaruhi penurunan ekspor sebagai akibat dari dominasi efek substitusi dibandingkan efek pendapatan dalam interaksi antarnegara. Efek substitusi merupakan perubahan kuantitas yang disebabkan adanya substitusi satu barang dengan barang lainnya. Produsen akan mengalihkan aktivitas perdagangannya yang berisiko ke aktivitas yang kurang berisiko. Dengan demikian, nilai tukar yang stabil memotivasi agen ekonomi untuk mengambil peluang pada aktivitas ekspor yang dapat memaksimalkan keuntungannya. Melihat tren volatilitas nilai tukar yang cenderung menurun selama periode penelitian ternyata telah diikuti dengan peningkatan volume ekspor yang berasal dari hasil perikanan dan budi daya kelautan, pengolahan

Page 135: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

124 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

makanan, pengolahan minuman, pengolahan tekstil, pengolahan pakaian jadi, pengolahan kulit, barang dari kulit dan alas kaki; pengolahan kayu, bambu dan rotan, bahan kimia dan barang dari bahan kimia serta industri mesin dan perlengakapan lainnya. Hal ini dapat diartikan bahwa produsen tersebut mampu untuk menyesuaikan diri dengan keadaan perekonomian yang membaik.

Hasil empiris juga menemukan bahwa peningkatan volatilitas nilai tukar justru berpengaruh meningkatkan ekspor pada komoditas pertanian dan peternakan (01); penambangan batu bara dan lignit (05); kertas dan barang yang berasal dari kertas (17), karet, bahan dari karet dan plastik (22) dan industri pengolahan logam dasar (24), ceteris paribus. Diduga produsen yang bergerak pada bidang pertanian dan peternakan, penambangan batu bara dan lignit; kertas dan barang yang berasal dari kertas; karet, bahan dari karet dan plastik; serta industri pengolahan logam dasar mengkhawatirkan kemungkinan hal terburuk ketika terjadi peningkatan risiko. Sehingga ketika terjadi peningkatan risiko, mereka akan mengekspor lebih banyak untuk menghindari kemungkinan penurunan keuntungan secara dramatis. Peningkatan risiko akan menurunkan ekspektasi utititas dari pendapatan ekspor yang diharapkan. Hal ini dapat diimbangi dengan meningkatkan alokasi untuk pasar ekspor, sehingga penurunan keuntungan secara dramatis dapat diantisipasi. Menurut De Grauwe (1988), peningkatan volatilitas nilai tukar dapat meningkatkan ekspor suatu komoditas, terjadi sebagai akibat dominasi efek pendapatan dibanding efek substitusi. Efek pendapatan terjadi pada perubahan kuantitas sebagai akibat dari perubahan pendapatan riil.

Peningkatan volatilitas nilai tukar direspon dengan meningkatkan ekspor untuk komoditas yang berasal dari penambangan batu bara dan lignit. Produsen ini menghasilkan komoditas yang dihasilkan dari ekstraksi sumber daya tambang. Batu bara dan lignit tersedia cukup melimpah di Indonesia. Adanya peningkatan volatilitas nilai tukar direspon dengan melakukan peningkatan ekstraksi sumber daya alam sehingga produsen ini memiliki batu bara dan lignit yang cukup untuk menutup biaya yang harus dikeluarkan karena faktor risiko nilai tukar, dan sebagai upaya mencegah turunnya keuntungan yang diperoleh produsen secara dramatis.

Peningkatan volatilitas nilai tukar akan menciptakan peluang meningkatkan keuntungan jika produsen tersebut dapat meminimalkan dampak negatif seperti melakukan lindung nilai (hedge). Menurut Eiteman (2004), hedging didefinisikan sebagai pembelian suatu kontrak (termasuk nilai tukar forward) yang bertujuan untuk mengurangi risiko yang ditanggung oleh agen ekonomi. Ekspor Indonesia sebagian besar ditujukan ke negara maju, yang umumnya memiliki instrumen keuangan yang lebih berkembang. Dengan melakukan tindakan-tindakan antisipasi terhadap risiko nilai tukar, untuk mempertahankan bahkan

Page 136: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

125 PENGARUH VOLATILITAS NILAI TUKAR TERHADAP EKSPOR INDONESIA

meningkatkan ekspektasi keuntungan yang diperoleh maka para produsen terdorong untuk meningkatkan aktivitas ekspor. Sejauh biaya yang ditimbulkan untuk melakukan hedging lebih rendah dibandingkan ekspektasi keuntungan yang akan diperoleh, maka produsen akan cenderung memilih tetap melakukan perdagangan pada pasar internasional. Salah satu bentuk lindung nilai melalui Letter of Credit, di mana akan diperoleh jaminan bahwa pembayaran pembeli kepada penjual akan diterima tepat waktu dan untuk jumlah yang benar. Jika pembeli tidak dapat melakukan pembayaran, bank penerbit akan diminta untuk menutupi keseluruhan atau sejumlah pembelian yang tersisa.

Barang yang cenderung tahan lama (durable goods) dan memiliki orientasi pasar ekspor cenderung memiliki respon terhadap ketidakspastian nilai tukar yang positif, artinya komoditas tersebut akan meningkatkan ekspor ketika nilai tukar dan begitupula sebaliknya. Sementara komoditas yang memiliki kandungan impor input yang cukup tinggi dan barang yang tidak tahan lama cenderung merespon peningkatan ketidakpastian nilai tukar dengan cara mengurangi volume ekspornya.

Dengan demikian, volatilitas nilai tukar memengaruhi ekspor Indonesia melalui 2 skenario. Skenario pertama, peningkatan volatilitas nilai tukar akan menurunkan marginal utilitas dari pendapatan ekspor yang diharapkan bagi produsen. Produsen akan merespon dengan cara memproduksi lebih sedikit untuk pasar internasional atau dengan kata lain produsenakan beralih pada aktivitas perdagangan yang kurang berisiko. Skenario kedua, peningkatan volatilitas nilai tukar direspon dengan meningkatkan ekspor sebagai upaya untuk menghindari kemungkinan penurunan keuntungan yang dramatis. Hal ini mungkin terjadi jika efek pendapatan lebih dominan dibandingkan efek substitusi, maka menyebabkan hubungan positif antara volatilitas nilai tukar dengan volume ekspor.

D. KesimpulanDari hasil analisis penelitian pengaruh volatilitas nilai tukar terhadap ekspor Indonesia memperlihatkan bahwa pengaruh volatilitas nilai tukar terhadap ekspor Indonesia beragam berdasarkan pengelompokan komoditas ekspor ke dalam lapangan usaha yang menghasilkannya. Volatilitas nilai tukar menyebabkan penurunan atas permintaan volume ekspor pada beberapa komoditas, terutama komoditas yang memiliki kandungan bahan baku yang berasal dari impor yang cukup tinggi dan meningkatkan permintaan volume ekspor pada beberapa komoditas lainnya terutama pada komoditas yang memiliki orientasi ke pasar internasional cukup tinggi. Pengaruh negatif peningkatan volatilitas nilai tukar terhadap ekspor Indonesia lebih besar dibandingkan pengaruh positif, baik melalui pengukuran volatilitas nilai tukar menggunakan Standar Deviasi

Page 137: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

126 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

maupun MASD. Sebagian besar produsen di Indonesia merespon peningkatan volatilitas nilai tukar dengan cara mengalihkan aktivitas perdagangan berisiko ke aktivitas yang kurang berisiko. Hanya produsen pertanian dan peternakan (01); penambangan batu bara dan lignit (05); industri kertas dan barang yang berasal dari kertas (17), karet, bahan dari karet dan plastik (22); dan industri pengolahan logam dasar (24) yang merespon dengan cara sebaliknya.

Secara umum, pendapatan negara pengimpor, nilai tukar efektif riil negara pengimpor dan volatilitas nilai tukar negara pengimpor berpengaruh terhadap permintaan ekspor Indonesia. Pendapatan negara pengimpor memiliki dampak positif, di mana jika pendapatan negara pengimpor meningkat maka permintaan ekspor Indonesia akan meningkat. Nilai tukar memiliki dampak positif terhadap permintaan ekspor Indonesia, dimana apresiasi nilai tukar negara pengimpor akan meningkatkan permintaan ekspor Indonesia.

E. RekomendasiPenelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh volatilitas nilai tukar berbeda antar karakteristik industrinya. Meskipun dalam jenis lapangan usaha yang sama, diduga bisa jadi pengaruh volatilitas nilai tukar berbeda tergantung karakteristik perusahaan, yang belum dilihat dalam penelitian ini, sehingga dari segi akademik, diharapkan penelitian ini dapat diperbaiki dengan menggunakan data yang lebih rinci, misalnya data disagregat sampai pada level perusahaan.

Page 138: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

127 PENGARUH VOLATILITAS NILAI TUKAR TERHADAP EKSPOR INDONESIA

Page 139: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang
Page 140: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

11Nama : Juwita Puteri Nuraisyah

Instansi : Kementerian Perindustrian

Program Studi : Program Pasca Sarjana Ilmu Ekonomi

Negara Studi : Indonesia - Jepang

Universitas : Universitas Indonesia

Indonesia–The Trans-Pacific Partnership Trade Potential: An Application of The

Gravity Model

Page 141: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

130 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Page 142: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

131 INDONESIA–THE TRANS-PACIFIC PARTNERSHIP TRADE POTENTIAL: AN APPLICATION OF THE

GRAVITY MODEL

ABSTRACT

Indonesia’s intention to join the Trans-Pacific Partnership (TPP), as declared in October 2015 by Indonesian President Joko Widodo, has triggered a heated debate on whether Indonesia should join the TPP or not. This study investigates Indonesia’s trade potential with the TPP economies. Covering 23 years unbalanced panel data over the period of 1992–2014, this paper utilizes a gravity model by applying two estimators, namely random effects (RE) model and Prais-Winsten with panel-corrected standard errors (PCSE). From the estimated equation, the trade potential is calculated using the ratio of predicted and actual trade (P/A) and the speed of convergence (SC) method. Indonesia’s trade potential is divided into agricultural and industrial goods, and comparison is made between Indonesia’s trade with each of the TPP, ASEAN, and ASEAN+6 in turn.

According to the ratio (P/A), the highest potential trading partner is with Mexico, while based on the SC method, Indonesia has convergence in trade with Peru in both product groups. Therefore, Mexico and Peru are the most important partners for Indonesia to explore to realize its full potential of trading. Nevertheless, in the context of speed of convergence, Indonesia has the shortest time to reach its potential trade with Peru, while the longest time to reach convergence is shown to be Vietnam in the agricultural sector. Additionally, based on the ratio (P/A), Indonesia has fully exploited its potential trade with Canada, Malaysia, Singapore, and the U.S. Meanwhile, the SC method shows that Indonesia has divergence in trade with Canada, Chile, Japan, and Singapore. Looking at the similarities of the results, it is safe to conclude that Indonesia has particularly overtraded with Canada and Singapore. Comparing the results between Indonesia and three free trade agreement (FTA) groups, particularly to the TPP members who are also parties in two other FTA groups, it is clear that the trade potential between Indonesia – Singapore has no room for growth.

Although Indonesia has been a net exporter to the TPP, in general, Indonesia still has untapped trade potential with the TPP countries. This finding is important for policy-makers because exploiting this trade potential is expected to contribute to trade diversification for Indonesia. Nonetheless, since the TPP covers a wider range of issues compared to those covered by existing FTAs, not only trade in goods, services and investments, there are still many considerations for Indonesia to join the TPP, such as the settlement of trade disputes, labor, and environment.

Page 143: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

132 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. BackgroundThis paper investigates Indonesia’s trade opportunities with the Trans-Pacific Partnership (TPP) economies. Indonesia’s intention to join the TPP, as declared in October 2015 by Indonesian President Joko Widodo, has triggered a heated debate on whether Indonesia should join the TPP or not. Therefore, this study addresses “What is the trade potential for Indonesia with the TPP economies?” as a research question.

Trade potential is defined as the ratio between predicted value and actual value of trade (between two regions or countries, based on their economic, geographic, and cultural characteristics, if they both are market economies). There is room for growth if the ratio exceeds 1 (Montanari, 2005). There is a wealth of empirical studies regarding trade potential, such as Trung and Thu (2016), Gul & Yasin (2011), Kaur and Nanda (2011), Batra (2006), Montanari (2005), and Jakab et al. (2001).

As Kim (2016) mentioned Indonesia is one of the significant absent members from the TPP along with China and Korea. The Asian Development Bank (ADB) Institute study by Cheong in 2013 demonstrated that non-member economies, such as Indonesia, can encounter economic losses compared to other more competitive countries who are already TPP members. For example, Malaysia and Vietnam which are well known as large manufacturers in textile markets will have more advantages in term of market access and tariff reductions. However, as stated in The Jakarta Post – Academia Opinion by Sahu, P.K. (2016), using the World Integrated Trade Solutions (WITS)1 simulation model, the estimations reveal that Indonesia will still have a goods trade surplus of $1.6 billion with the TPP members if the TPP comes effective without Indonesia. Nevertheless, the goods trade surplus would become a trade deficit with the TPP nations of $19 million if Indonesia joins the TPP.

Current literature on the TPP is mainly analytical. For example, Kim (2016) analyzed the concept of the Chinese integration effort within the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) region concentrating on the comparative study of the TPP and Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP2); Messerlin (2013) aimed to evaluate the impact of the TPP pact on the European Union (EU) economy; while Williams (2013) gave a comparative economic analysis of the TPP nations and their economic relations with the United States (U.S.). Moreover, there are few studies specific to Indonesia. One study by Syadullah (2016) provided analysis about the benefits and drawbacks of Indonesia joining the TPP agreement.

Page 144: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

133 INDONESIA–THE TRANS-PACIFIC PARTNERSHIP TRADE POTENTIAL: AN APPLICATION OF THE

GRAVITY MODEL

In addition, several previous studies have used numerical methods to capture potential TPP effects. Some studies focus on specific countries using a computable general equilibrium (CGE) model. For instance, Itakura and Lee (2016) utilized the dynamic Global Trade Analysis Project (GTAP) model to investigate how the TPP and its expansions might influence economic welfare in the participant and non-participant countries and sectoral output adjustments specifically in Japan; and Li and Whalley (2014) used a general equilibrium simulation methods to explore the TPP effects on member and non-member economies, highlighting the effects on China. While other studies give a broader scope regarding TPP with other group countries. For example, Cheong (2013) analyzed the development and crucial issues regarding the TPP negotiations and calculated the impacts for East Asian economic integration using dynamic CGE model; and Petri, Plummer, & Zhai (2012) examined the advantages and strategic incentives over 2010 – 2025 using the CGE model to see the effects on the TPP and Asian Pacific countries. There is also research that uses other methods, such as Yeboah et al. (2015) who investigated the potential impact of the TPP on U.S. agricultural trade using panel vector autoregression (VAR) and impulse response function (IRF) models; and Karacaovali and Talagi (2017) who studied the effect of existing intra-TPP and extra-TPP free trade agreements (FTAs) on the trade of the twelve TPP members from 1980 to 2015 using a gravity model.

Many researchers have attempted to quantify the potential TPP effects. However, there is only one study that tries to analyze the trade potential related to the TPP. The study was presented by Devadason (2014), using an augmented panel gravity model. The empirical results demonstrated that China’s trade potential with the TPP countries appear to occur for expansions in agricultural exports, with the exception for Japan.

Additionally, the latest statement regarding Indonesia’s view towards the TPP, in his interview with Nikkei Asian Review, Indonesian Vice President Jusuf Kalla said that due to the U.S. withdrawal from the trade pact, Indonesia has lost interest joining the TPP. Nonetheless, Indonesia remains supportive of the RCEP (Tani, 2017). Hence, since it is believed that the TPP market will remain open to trade with the remaining TPP members, in this study, Indonesia’s trade potential with the TPP economies will be examined and will be compared with other existing economic FTAs in East Asia in which Indonesia is a participant, namely ASEAN and ASEAN+6.

Page 145: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

134 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

B. Research Problem and MethodologyConsidering the fact that most of the TPP countries are already members of other FTAs in which Indonesia is also a party, as stated before, this paper addresses the following research questions, “What is the trade potential for Indonesia with the TPP economies?”.

Therefore, the purpose of this study is to analyze whether Indonesia has fully acknowledged its potential in trading with the TPP nations. For the objective of this paper, the determinants explaining Indonesia’s trade relation are estimated using a gravity model. Then, from the estimated equation, the ratio of predicted and actual trade (P/A) and the speed of convergence (SC) method are utilized to calculate trade potential of Indonesia with the TPP members and compares it with trade potentials of Indonesia – ASEAN and Indonesia – ASEAN+6.

The data employed in this paper covers 23 years over the period of 1992–2014 (annual). The reason for choosing 1992 as the starting year is that the FTA within ASEAN named ASEAN Free Trade Area (AFTA) was in force in January 1992. Initially the dataset in this study included Indonesia’s trade with 12 countries of the TPP (Malaysia, Singapore, Brunei Darussalam, Vietnam, Japan, Australia, New Zealand, Peru, Chile, Canada, Mexico and the U.S.); Indonesia’s trade with 9 countries of the ASEAN (Brunei Darussalam, Cambodia, Laos, Malaysia, Myanmar, the Philippines, Singapore, Thailand, and Vietnam); and Indonesia’s trade with 15 countries of the ASEAN+6 (Australia, Brunei Darussalam, Cambodia, China, India, Japan, Korea, Laos, Malaysia, Myanmar, New Zealand, the Philippines, Singapore, Thailand, and Vietnam). However, Myanmar was excluded due to lack of required data. Therefore, the analysis is based on the sample for Indonesia’s trade with 12 TPP members, 8 nations of the ASEAN and 14 countries of the ASEAN+6.

C. Data Analysis and Results

1. Determinants of Trade Flow

This paper applies an augmented gravity model to identify the potential factors that affect the bilateral trade flows of Indonesia – TPP, Indonesia – ASEAN, and Indonesia – ASEAN+6. Based on data properties and econometric test results, RE model and Prais-Winsten regressions with panels corrected standard errors (PCSE) were chosen. The results obtained from estimating are presented in Table 5.5 and Table 5.6, respectively. In regression results using RE model, heteroscedasticity and serial correlation problems have been fixed, but the cross-sectional dependence problem still exists. Meanwhile, in regression results using Prais-Winsten with

Page 146: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

135 INDONESIA–THE TRANS-PACIFIC PARTNERSHIP TRADE POTENTIAL: AN APPLICATION OF THE

GRAVITY MODEL

PCSE, all the problems have been settled. In addition, both estimators apply time effects to capture the influence of aggregate (time‐series) trends. To draw the conclusion, this study compared the results from both estimators.

The results presented show that both regression results give a high R-squared value, ranging from 0.898 to 0.978, meaning that the dependent variables can explain approximately 90% – 98% variations of trade values between Indonesia and partner countries. In addition, it is indicating that the model fits the dataset significantly well.

The results of and by Prais-Winsten with PCSE are a more consistent in sign and comparatively more significant estimates than by the RE model. The results of positive coefficient suggest that FDI and trade are generally complements in these countries during the sample period (Wang et al., 2010). On the contrary, as pointed out by Devadason (2014), a negative coefficient suggests that FDI and trade are substitutes. Therefore, Prais-Winsten with PCSE stipulates a positive relationship between FDI and trade for all FTA groups, which indicates that FDI and trade are complements. Similarly, RE model also demonstrates a positive relationship, except for Indonesia-TPP, where FDI and trade can be implied as substitutes.

As suggested by previous empirical studies, as a proxy of the distance in relative endowment of factor intensity (capital–labor ratio) explains the trade structure between trading partners. A positive coefficient is associated with inter-industry trade (IT) based on comparative advantage, while a negative coefficient indicates intra-industry trade (IIT) where the economies have similar size and factor proportion (Wang et al., 2010). In the sense of factor endowments, Wang et al. (2010) expected a negative sign for their study regarding trade in Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) countries, which is based on similarities or intra-industry trade (IIT). However, Devadason (2014) posited that trade behaviour between China and the TPP is based on differences or inter-industry trade (IT). In this study, according to RE model, the coefficient of is negative and statistically insignificant for Indonesia – TPP and Indonesia – ASEAN+6 suggesting IIT trade structure. Nonetheless, for Indonesia – ASEAN, the result is positive at a 5% significance level, suggesting IT trade structure. Meanwhile, Prais-Winsten with PCSE displays positive and significant for all groups, indicating IT trade structure exists between Indonesia and three FTA groups. It shows that Indonesia tends to trade more with countries that have different size and factor proportion. This confirms the result of Devadason (2014) study, which implies that in developing countries, such as China and Indonesia, the trade structure is based on inter-industry trade (IT).

Page 147: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

136 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

The coefficient of dummy variables for common border is mostly found to be inconsistent from the expected sign, both estimators show negative coefficients, which are insignificant using RE model for all FTA groups, but significant at the 1% level using Prais-Winsten with PCSE for Indonesia – ASEAN and Indonesia – ASEAN+6. Nonetheless, there is an exception by using Prais-Winsten with PCSE for Indonesia – TPP, which is in line with the expected sign. Likewise, the coefficient of dummy variables for common language is significantly negative for Indonesia – TPP, while the other two groups are consistent with the expected sign despite an insignificant result for Indonesia – ASEAN+6. The inconsistent result does not necessarily mean that sharing a border or language discourages trade. In contrast, coefficient of dummy variables for landlocked countries is found to be consistent with the expected sign for all FTA groups, which is negatively significant at the 1% level, except for Indonesia – TPP where the dummy is omitted since there is no TPP members that are classified as landlocked countries.

All in all, from the estimation results between RE model and Prais-Winsten with PCSE, in the context of expected sign and consistency with the theoretical considerations, Prais-Winsten with PCSE shows a slightly better result compared to RE model. Additionally, Prais-Winsten with PCSE appears to be the more convincing one in terms of significance. As for time effects, looking at the sign of estimated magnitudes, there is no difference in the results between with and without year effects. Furthermore, considering the fact that RE model has not dealt with the cross-sectional dependence issue, the preferred model is Prais-Winsten with PCSEs without year effects. Hence, in what follows, the trade potential’ analysis will be derived from Prais-Winsten with PCSEs results without year effects.

2. The Trade Potential

Based on the Prais-Winsten with PCSE estimations of the gravity model, Indonesia’s trade potential with TPP, ASEAN, and ASEAN+6 are derived. The trade potential is estimated by keeping all the explanatory variables. Moreover, the analysis is categorized into two product groups, agricultural (HS01 – HS24) and industrial (HS25 – HS97) sectors, and estimated separately for each FTA group.

Firstly, using the ratio of trade potential (P/A), the results are shown in Table 5.7 to Table 5.9. For Indonesia – TPP, the highest potential trading partner is Mexico, followed by Brunei Darussalam. Additionally, the trade potential for Indonesia also appears with Australia specifically in industrial goods, while with Vietnam and Japan in agricultural goods. Although Chile and Peru overall results are below one, the trade potential arises in agricultural and industrial goods, respectively. Meanwhile, the ratio (P/A) for Canada, Malaysia, Singapore, and the U.S. is about 1 or lower, considering the data that these countries are included in Indonesia’s

Page 148: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

137 INDONESIA–THE TRANS-PACIFIC PARTNERSHIP TRADE POTENTIAL: AN APPLICATION OF THE

GRAVITY MODEL

top ten trading partners. Ratio (P/A) < 1 means that a dramatic increase in trade in the next years should not be expected, because those countries already exploit their predicted trade as defined by the model. As explained by Montanari (2005), predicted trade does not represent a precise estimate of a future value of trade flows, but rather a point of reference. Therefore, a lower-than-1 ratio does not imply that trade should actually decrease, but it can be concluded that the trade value is above norm.

In comparison with the previous study by Devadason (2014), the results from this research are found to be relatively different in term of the number of potential trading partners. In her study, China has trade potential with 11 countries out of 12 countries of the TPP members. Meanwhile, this study found smaller number for Indonesia’s trade potential with the TPP, which is 9 countries out of 12 countries. In addition, the results show that there is no dominant sector between agricultural or industrial goods in term of Indonesia’s potential.

Comparing the results between Indonesia – TPP and Indonesia – ASEAN or Indonesia– ASEAN+6, the results of trade potential of Indonesia with the three FTA groups show some similarities for several partner countries, particularly to the TPP members who are also participants in ASEAN and ASEAN+6. The most obvious result is that trade potential between Indonesia – Singapore and Indonesia – Malaysia in all FTA groups are below one, which indicates that the trading relations between Indonesia and these countries have reached their full potential. This is supported by the fact that Malaysia and Singapore are in the top ten exports and imports partners. Conversely, trade potential with Brunei Darussalam in all FTA groups are still under trading. Meanwhile, Indonesia’s trade potential with Vietnam only exists in the TPP framework, specifically in agricultural goods.

Overall, looking at the number of countries that have trade potential with Indonesia in Indonesia – TPP, which is 9 countries out of 12 countries, is a bit bigger compared to the other two FTA groups, suggesting that Indonesia has not exploited all the potential in trading with the TPP countries. Moreover, the results of trade potential of Indonesia and each country in three FTA groups are consistent, except for Japan, New Zealand, and Vietnam where the results are shown differently between Indonesia-TPP and Indonesia-ASEAN+6. Trade potential for Japan, New Zealand, and Vietnam exist in Indonesia –TPP.

Next, this paper also applies method of using the speed of convergence (SC) to estimate levels of trade as some kind of equilibrium level as suggested by Jakab et al. (2001) to counter Egger’s (2002) criticism that the difference between trade potential and actual trade value is an indicator of the model misspecification. The convergence results of actual trade toward potential trade are available in Appendix B. Accordingly, this study finds significant convergence generally for all

Page 149: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

138 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

FTA groups using Prais-Winsten with PCSE estimation methodology. Hence, it can be inferred that bilateral trade flows between Indonesia and three FTA groups are converging towards equilibrium, suggesting that the estimated potential trade results using the SC method are reliable and stable.

The results of SC calculation are displayed in Table 5.10 to Table 5.12. In general, using the SC method, the trade potential for Indonesia – TPP demonstrates a different result, which is only 8 countries out of 12 countries, a bit smaller compared to Indonesia – ASEAN+6 where it shows trade potential for 9 countries out of 12 countries. However, it still implies that Indonesia has not reached the full potential trading with the TPP members.

Furthermore, in particular, Indonesia’s trade with TPP countries shows that Indonesia has convergence in trade with Peru in both product groups. Convergence also arises with Australia, Mexico, New Zealand, the U.S., and Vietnam in agricultural goods, while with Brunei Darussalam and Malaysia in industrial goods. Additionally, Indonesia has divergence in trade with Canada, Chile, Japan, and Singapore.

Nevertheless, in the context of speed of convergence of Indonesia’s trade with the TPP countries, Indonesia has the shortest time to reach its potential trade with Peru, shown by the biggest negative value in term of its absolute value, which are -52.171, -60.435, and -52.405, for total trade, agricultural, and industrial goods, respectively. Meanwhile, the longest time to reach convergence is shown to be Indonesia’s trade with Vietnam in agricultural goods, shown by the smallest negative value in term of its absolute value, which is -11.565.

In comparison for the TPP members who are also participants in ASEAN and ASEAN+6, Indonesia has only divergence trade with Singapore, meaning that Indonesia has overtraded with Singapore. Moreover, the results of trade potential of Indonesia and each country in three FTA groups are consistent, except for Vietnam, where it displays convergence in Indonesia – TPP and Indonesia – ASEAN, but divergence in Indonesia – ASEAN+6.

D. ConclusionsThis study was carried out to investigate Indonesia’s trade opportunities with the Trans-Pacific Partnership (TPP) economies. In order to answer the research question, “What is the trade potential for Indonesia with the TPP economies?”, this paper utilized an extended gravity model to analyze the determinants explaining Indonesia’s trade relations. The panel data employed in this paper covers 23 years over the period of 1992–2014. This study applied two estimators, namely RE model and Prais-Winsten with panel-corrected standard errors (PCSE). Then,

Page 150: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

139 INDONESIA–THE TRANS-PACIFIC PARTNERSHIP TRADE POTENTIAL: AN APPLICATION OF THE

GRAVITY MODEL

from the estimated equation, the trade potential was calculated using the ratio of predicted and actual trade (P/A) and the speed of convergence (SC) method. Considering the fact that majority of the TPP countries are already members of other free trade agreements (FTAs) in which Indonesia is also a party, Indonesia – TPP’s trade potential was compared with trade potential of Indonesia – ASEAN and Indonesia – ASEAN+6. The trade potential is divided into two product groups, agricultural (HS01 – HS24) and industrial (HS25 – HS97) goods, and estimated separately for each FTA group.

In summary, the gravity model is not only useful for investigating the determinants of trade but it is also able to quantify the trade opportunity. Based on the empirical findings of the gravity model between RE model and Prais-Winsten with PCSE, this paper has identified that total economic size ( ) and distance ( ) remain to be important main factors in explaining trade flows. Additionally, GDP similarity ( ), total inward FDI stock ( ), inward FDI similarity ( ), differences factor endowments ( ), landlocked country ( ), and language ( ) are also important causes of trade relations. On the other hand, border ( ) seems not to be a major determinant in the trade flows, as the results were shown mostly in negative magnitudes. However, considering econometric issues, the expected sign results and consistency with the theoretical considerations, in what follows, the trade potential’ analysis was derived from Prais-Winsten with PCSEs results without year effects. Therefore, the answer to the research question is as follows.

The Indonesia – TPP trade potential using the ratio (P/A) and the speed convergence (SC) method has demonstrated a slightly different result, where 9 and 8 countries out of 12 countries that have trade potential with Indonesia, respectively. Nevertheless, it still implies that Indonesia has not reached the full potential trading with the TPP members. According to ratio (P/A), the highest potential trading partner is Mexico, whereas based on the SC method, Indonesia has convergence in trade with Peru in both product groups. Therefore, Mexico and Peru are the most important partners which Indonesia should explore to realize its full potential of trading. Nevertheless, in the context of speed of convergence, Indonesia has the shortest time to reach its potential trade with Peru, while the longest time to reach convergence is shown to be Vietnam in agricultural sectors.

Additionally, the ratio (P/A) for Canada, Malaysia, Singapore, and the U.S. is about 1 or lower. Meanwhile, the SC method shows that Indonesia has divergence in trade with Canada, Chile, Japan, and Singapore. Ratio (P/A) < 1 or divergence means that a dramatic increase in trade in the next years should not be expected, because those countries already exploit their predicted trade as defined by the model. Hence, by looking at the similarities of results, it is safe to conclude that Indonesia has particularly overtraded with Canada and Singapore.

Page 151: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

140 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Comparing the results between Indonesia – TPP and Indonesia – ASEAN or Indonesia ASEAN+6, the results of trade potential of Indonesia and three FTA groups show some similarities for several partner countries, particularly to the TPP members who are also participants in ASEAN and ASEAN+6. The most obvious result is that trade potential between Indonesia – Singapore has no room for growth.

E. RecommendationsAlthough Indonesia has been a net exporter to the TPP, in general, Indonesia still has untapped trade potential with the TPP countries. This finding is important for policy-makers because exploiting this trade potential is expected to contribute to trade diversification for Indonesia. Nonetheless, since the TPP covers a wider range of issues compared to those covered by existing free trade agreements, not only trade in goods, services and investments, there are still many considerations for Indonesia to join the TPP, such as the settlement of trade disputes, labor, and environment.

Page 152: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

141 INDONESIA–THE TRANS-PACIFIC PARTNERSHIP TRADE POTENTIAL: AN APPLICATION OF THE

GRAVITY MODEL

Page 153: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang
Page 154: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

12Nama : Windi Puspa Dewi

Instansi : Pemerintah Kota Pangkalpinang

Program Studi : Master Ilmu Lingkungan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Model Estimasi Volume Kantong

Lahar untuk Mitigasi Bencana Sedimen di Kali Gendol Merapi

Page 155: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

144 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Erupsi Merapi pada akhir tahun 2010 dengan skala VEI 4 menghasilkan sedimen yang melimpah berupa Pyroclastic Density Current (PDC) maupun tephra. Selain menjadi potensi bencana lahar, sedimen merapi juga dapat dimanfaatkan sebagai pengembangan sumberdaya alam yaitu bahan galian tambang. Bencana sedimen di sungai-sungai yang berhulu Merapi dikendalikan dengan bangunan sabodam. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengestimasi endapan material erupsi yang tererosi, untuk mempelajari distribusi spasial serta proses yang terjadi terhadap perubahan volume endapan sedimen pasca erupsi 2010 hingga saat ini. Estimasi terhadap volume kapasitas bangunan sabodam juga dilakukan untuk mengetahui kemampuan bangun sabo dalam mengendalikan sedimen.

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi 3 (tiga) tahapan utama, 1) mengekstraksi data point clouds Light Detection and Ranging (LiDAR) liputan tahun 2012 dan data Unmanned Aerial Vehicle (UAV) liputan tahun 2019 menjadi Digital Elevation Model (DEM), 2) menganalisis Different of DEM (DoD) pada kedua data DEM untuk melihat distribusi spasial perubahan volume sedimen beserta prosesnya, dan yang ke 3) estimasi terhadap kapasitas tampung kantong lahar saat ini dengan mengindentifikasi lokasi-lokasi yang potensial sebagai kantong lahar.

Seluas 69,85 ha alur Kali Gendol dari Kaliadem hingga sabodam GE-D Kepuharjo sepanjang 5 km, jumlah sedimen yang tererosi mencapai 16.749.980 m3 dengan penurunan permukaan hingga 64 meter. 91,2% areal yang tererosi sebagian besar karena aktivitas penambangan, hanya di bagian bukit utara areal penelitian, tebing sungai dan sabodam yang tererosi secara alami. Hasil analisis menunjukkan sabodam saat ini masih mampu menahan produksi sedimen di puncak dengan asumsi pertumbuhan kubah lava 416.000 m3 hingga 17 November 2010 dan tanpa adanya proses erupsi.

• Kata Kunci: estimasi volume, perbedaan DEM, sabodam

Page 156: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

145 MODEL ESTIMASI VOLUME KANTONG LAHAR UNTUK MITIGASI BENCANA SEDIMEN

DI KALI GENDOL MERAPI

ABSTRACT

The Merapi eruption in 2010 with a scale of VEI 4 produced abundant sediment in the form of Pyroclastic Density Current (PDC) and tephra. In addition to being a potential lahar disaster, Merapi sediments can also be used as natural resource development, namely mining minerals. Sediment disasters in rivers that have Merapi origin are controlled by sabodam buildings. The purpose of this research is to estimate the eruption material deposition caused by erosion and to study the spatial distribution and the process that occurs in changes within the volume of sediment deposits after the eruption of 2010 until now. The estimated volume of sabodam building capacity is also carried out to determine the ability of the buildings in sediment control.

The methodology used in this study is divided into 3 stages, 1) extracting point clouds of LiDAR (Light Detection and Ranging) of 2012 and UAV (Unmanned Aerial Vehicle) of 2019 to DEM (Digital Elevation Model) data, 2) analyzing the DoD (Different of DEM) in both of the DEM data to see changes of spatial distribution in sediment volume and process, moreover 3) Estimation of the current capacity of lahar storage by identifying potential locations of lava pockets.

The river flow of Kali Gendol from Kaliadem to Sabodam GE-D Kepuharjo has an area of 69.85 ha and a length of 5 km. The eroded sediment of 16,749,980 m3 has been accommodated in the area with surface subsidence of up to 64 meters. About 91.2% of the eroded area is mostly caused by mining activities and only in the northern part of the hill of the research area, the river bank and sabodam are naturally eroded. The analysis shows that the sabodam is still capable of holding sediment production at the peak, assuming the growth of the 416,000 m3 lava dome until November 17, 2010, without the eruption process.

• Keywords: DEM of Difference (DoD), sabodam, volume estimation

Page 157: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

146 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. Latar BelakangGunung Merapi merupakan salah satu gunung api paling aktif dan berbahaya di dunia (Voight et al., 2000), yang dikenal dengan frekuensi letusan kecil hingga sedang, aliran piroklastik runtuhan kubah lava serta tingkat populasi penduduk yang tinggi di sekitar sisi-sisi lereng gunung berapi (Surono et al., 2012). Letusan Gunung Merapi tahun 2010 merupakan perubahan perilaku letusan merapi pada satu abad terakhir (Surono et al., 2012), letusan dengan VEI 4 memiliki magnitude dan intensitas yang lebih besar dari letusan yang sering terjadi pada abad ke-20. Sekitar 0,03 hingga 0,06 km3 material piroklastik dari Pyroclastic Density Current (PDC) dan tephra dikeluarkan selama letusan (Komorowski et al., 2013). Letusan ini memberikan dampak yang besar terhadap masyarakat di sekitar lereng Merapi. Data dari BNPB menunjukkan total 367 orang meninggal, 277 luka-luka dan 410.388 orang mengungsi.

Terdapat dua jenis bahaya yang dapat ditimbulkan oleh aktivitas Gunung Merapi, yaitu bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer letusan ini adalah PDC yang disebabkan oleh runtuhnya kubah lava aktif di puncak (Voight & Davis, 2000), seperti awan panas, jatuhan piroklastik, abu vulkanik dan aliran lava. Sementara lahar merupakan bahaya sekunder dari aktivitas gunungapi (Lavigne et al., 2000). Secara umum lahar di Gunung Merapi adalah peristiwa singkat terkait dengan curah hujan tinggi yang biasanya berlangsung satu hingga dua jam. Definisi lahar sesuai konsensus yang disepakati pada konferensi internasional ahli sedimen vulkaniklastik sebagai campuran puing-puing batu dan air yang mengalir dengan cepat dari gunung berapi (Smith & Fritz, 1989). Lahar yang dihasilkan dari erupsi Gunung Merapi terjadi hampir di seluruh alur sungai yang berada di bawah kawah, dengan jarak runout bisa mencapai lebih dari 15 km (de Bélizal et al., 2013). Selain sebagai ancaman, lahar juga menjadi berkah bagi warga untuk dijadikan bahan tambang pasir dan batu (Ikhsan et al., 2013).

Potensi material pasir dan batu yang dihasilkan pada erupsi Gunung Merapi tahun 2010 adalah ± 40 x 106 m3 yang mengisi alur Kali Gendol sejauh 15 km (Bignami et al., 2013). Kondisi ini menjadi salah satu daya tarik masyarakat sekitar untuk melakukan aktifitas penambangan di areal Kali Gendol. Penambangan pasir di kawasan Merapi mampu membuka lapangan kerja dan meningkatkan ekonomi masyarakat. Selain keuntungan ekonomi, aktivitas penambangan pasir membantu mengeluarkan sedimen pada kantong-kantong hulu sabodam yang penuh sehingga dapat menurunkan risiko bencana aliran sedimen di masa mendatang.

Bangunan pengendali sedimen atau yang lebih dikenal sebagai sabo merupakan salah satu upaya dalam penanggulangan banjir lahar. Istilah sabo berasal daru bahasa Jepang yang terdiri dari kata “sa” yang berarti material sedimen (batu,

Page 158: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

147 MODEL ESTIMASI VOLUME KANTONG LAHAR UNTUK MITIGASI BENCANA SEDIMEN

DI KALI GENDOL MERAPI

kerikil, dan pasir) dan “bo” yang berarti pengendalian (Cahyono, 2000). Terdapat beberapa sabo yang telah dibangun di kawasan Gunung Merapi antara lain cek dam, dam konsolidasi, kantong lahar, dan tanggul. Tata letak sabo ini dibangun secara seri dengan jarak tertentu yang disyaratkan agar sabodam stabil dan aman dari gerusan lokal. Pembangunan sabo dilakukan pada daerah produksi sedimen, daerah transport sedimen hingga daerah pengendapan sedimen sesuai dengan fungsinya.

Fungsi dari sabodam antara lain untuk menyimpan aliran sedimen. Sabodam akan menyimpan sementara sedimen berlebih di kantong hulu sabo dan kemudian dikeluarkan dengan aman (Kemenpu & JICA, 2010). Kapasitas sabodam untuk mengendalikan sedimen ditentukan oleh kapasitas penyimpanan sedimen antara kemiringan stabil dan kemiringan sementara dari sedimen yang terakumulasi. Sedimen yang tertampung sementara ini dapat dikeruk dan dimanfaatkan sebagai material bangunan (Suparman et al., 2008).

Perubahan ketebalan dan volume sedimen Merapi baik itu karena erosi ataupun aktivitas penambangan di hulu Kali Gendol pasca erupsi Merapi 2010 hingga saat ini dapat diestimasi dengan memanfaatkan data penginderaan jauh. Data penginderaan jauh multitemporal diekstraksi menjadi Digital Elevation Model (DEM) yang menggambarkan kondisi pasca erupsi 2010 (t1) dan kondisi saat ini (t2). Data multitemporal dianalisis untuk memperoleh nilai perbedaan DEM dalam estimasi perhitungan volume. Dinamika sedimen antara material yang masuk ke alur-alur Kali Gendol melalui proses alamiah dengan keluaran sedimen melalui proses antropogenik aktivitas penambangan perlu dianalisis untuk menjaga fungsi dari sabodam. Identifikasi lokasi kantong lahar pada sabodam dibutuhkan untuk mengestimasi volume sedimen yang dapat tertampung pada hulu sabodam saat ini. Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu upaya mitigasi dalam penyiapan kantong-kantong sedimen di alur Kali Gendol untuk menghadapi bahaya aliran sedimen di Gunung Merapi.

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisEstimasi perhitungan volume material yang dihasilkan dari erupsi gunung api dengan menggunakan data penginderaan jauh sudah banyak dilakukan. Bignami et al. (2013) telah memanfaatkan Digital Surface Model (DSM) sebelum erupsi dengan data DSM setelah erupsi di alur Kali Gendol dengan data satelit COSMO-SkyMed untuk menghitung ketebalan dan volume endapan PDC. Penelitian Yulianto et al. (2016) menggunakan data DEM ASTER tahun 2009 dan SPOT 6 stereo image tahun 2015 untuk mengestimasi volume endapan piroklastik dan analisis perubahan morfologi yang dihasilkan dari erupsi Gunung Sinabung. Penelitian dinamika perubahan volume material setelah erupsi serta proses-proses yang terjadi masih terbatas.

Page 159: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

148 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisa seberapa besar perubahan volume endapan pada sebagian alur Kali Gendol pasca erupsi 2010 hingga 2019, distribusi spasialnya serta proses dalam perubahan volume. Keseimbangan sedimen antara material yang masuk ke alur Kali Gendol melalui proses fluvial dengan keluaran sedimen melalui aktivitas pertambangan perlu diperhitungkan untuk menjaga fungsi kantong sedimen dari sabodam. Kajian keseimbangan sedimen dalam rangka pengelolaan sedimen di Kali Gendol pernah dilakukan oleh Iswardoyo (2012) dengan menghitung volume sedimen terangkut yang masuk ke dalam kantong sedimen hulu sabodam berdasarkan hujan rencana dan memodelkan skema normalisasi sungai dengan 5 skenario dan hujan rencana dengan kala ulang. Kantong sedimen yang dimaksud adalah bagian dari sabo dam yaitu bangunan yang umum keberadaannya di areal gunungapi, berfungsi untuk menampung sedimen hasil erupsi gunungapi yang dibawa oleh lahar (Kemenpu & JICA, 2010). Apabila isi kantong sedimen ini telah penuh perlu dikosongkan, materialnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan untuk berbagai keperluan. Pengerukan material kantong sedimen ini diperlukan untuk mengembalikan fungsi dari sabodam di Gunung Merapi.

Gunung Merapi dengan periode ulang letusan antara 1—9 tahun (Voight et al., 2000) selain memiliki ancaman letusan dan awan panas juga memiliki ancaman bahaya banjir lahar. Bencana banjir lahar ini memerlukan upaya pengendalian akan dampak yang ditimbulkan untuk mengurangi risiko. Salah satu upaya tersebut adalah menyiapkan kantong-kantong sedimen untuk mencegah bencana lahar agar tidak meluap ke arah luar sungai. Perhitungan estimasi volume sedimen pada kantong lahar diperlukan sebagai upaya mitigasi bahaya aliran sedimen di alur Kali Gendol.

Secara umum penelitian ini akan terbagi menjadi dua tahapan, yaitu menentukan perubahan volume pada rentang waktu 2012—2019 dan menentukan kapasitas sabodam saat ini. Interpretasi areal penelitian dengan menggunakan data OrthoLiDAR liputan tahun 2012 dan Orthofoto UAV liputan tahun 2019. Intepretasi dilakukan untuk menentukan bagian sungai yang akan dihitung perubahan volumenya. Selanjutnya dengan DEM dari kedua data di atas proses DEMs of Difference dilakukan sehingga menghasilkan perhitungan perubahan ketebalan sedimen pada areal tersebut. Distribusi spasial dipetakan dan dieksplorasi proses-proses yang terjadi pada perubahan tersebut. Validasi lapangan diperlukan untuk menguji hasil perhitungan serta melihat kondisi sebenarnya dilapangan.

Tahapan selanjutnya adalah menentukan estimasi kapasitas sabodam saat ini serta menganalisis volume input dan output sedimen dalam kantong lahar sabodam dengan tujuan menjaga keseimbangan sedimen kantong lahar. Terkait analisis keseimbangan sedimen yang lebih rinci, maka pada daerah penelitian dibuat

Page 160: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

149 MODEL ESTIMASI VOLUME KANTONG LAHAR UNTUK MITIGASI BENCANA SEDIMEN

DI KALI GENDOL MERAPI

segmen sungai sebagai unit analisis. Pembagian segmen sungai ini berdasarkan keberadaan sabodam. Mulai dari bagian hulu jarak antara sabodam ke sabodam selanjutnya dibuat menjadi segmen 1 dan seterusnya.

Area studi penelitian adalah di hulu Kali Gendol, secara administratif berada di Desa Kepuharjo dan Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Estimasi Perubahan Volume Sedimen Kali Gendol

a. Perubahan Ketebalan Dan Volume Sedimen

Estimasi perubahan ketebalan sedimen dilakukan dengan melihat perbedaan DEM multitemporal. Masing-masing DEM memiliki nilai ketidakpastian yang merupakan RMSE dari DEM tersebut. Perubahan ketebalan sedimen menunjukkan adanya penurunan dan kenaikan permukaan dengan variasi antara -63,73 meter hingga 33,42 meter. Nilai rata-rata penurunan permukaan diseluruh areal adalah -26,31 m dan rata-rata kenaikan permukaan adalah 7,63 m. Ketidakmampuan DEM dalam membentuk terrain pada areal yang bervegetasi menyebabkan pada areal tersebut teridentifikasi mengalami kenaikan permukaan.

Segmen yang mengalami erosi paling besar adalah segmen sabodam GE-D5 Kaliadem yaitu 11.594.058,02 m3, kemudian segmen sabodam GE-D3 dengan luas 2.149.093,37 m3, segmen GE-D4 seluas 1.805.810,21 m3, segmen GE-D2 seluas 1.037.941,40 m3 dan yang terakhir segmen GE-D Kepuharjo seluas 163.077,66 m3.

Validasi untuk estimasi perubahan volume dilakukan dengan pengamatan lapangan. Pengamatan dilakukan pada lokasi pemungutan retribusi yang dikelola oleh dusun di tiga lokasi Yaitu Pos Kopeng, Pos Glagaharjo, dan Pos Kepuh. Ketiga pos ini dipilih karena merupakan akses keluar truk pengangkut pasir. Hasil pengamatan menunjukkan rata-rata harian truk pengambil pasir di Pos Kopeng 400 truk, Pos Glagaharjo 150 truk, dan Pos Kepuh 300 truk. Volume sedimen yang terangkut dalam satu tahun mencapai ± 2,4 juta m3 dengan satu truk mengangkut 8 m3 pasir. Berarti dalam kurun waktu 7 tahun (2012—2019) volume sedimen yang terangkut ± 16,8 juta m3. Rata-rata truk pengangkut pasir saat ini masih sedikit dibandingkan aktivitas penambangan sebelum tahun 2016, sehingga nilai estimasi volume terangkut bisa lebih besar dari 16,8 juta m3. Hal ini dapat terjadi karena penambang pasir tidak

Page 161: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

150 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

hanya mengeruk pasir yang berada di alur sungai, tetapi juga pasir yang di sisi-sisi sungai dan permukiman warga yang terdampak erupsi.

b. Proses yang Berpengaruh Terhadap Perubahan Sedimen

Gunung Merapi (2965 m) adalah gunung api dengan tipe stratovolcano, kerucut memiliki bentuk melingkar di atas 1.000 m dpl dan berdiameter 13 km. Pada ketinggian 500 m dpl kerucut berbentuk elips dan poros utama dari barat ke timur berjarak 29 km (Thouret & Lavigne, 2005).

Areal penelitian berdasarkan satuan morfologi merupakan daerah lereng gunung api yang merupakan fasies proksimal. Areal ini memiliki kemiringan lereng berkisar 20o hingga 30o. Sayatan sungai yang dalam hingga lebih 80 m dengan jarak yang dekat antara satu dengan yang lain. Hilir dari zona proksimal, endapan lava tidak terlihat dan tekuk lereng teramati pada ketinggian ± 1000 m dpl (Selles et al., 2015). Kondisi gunung api Merapi yang masih aktif membuat daerah ini memiliki banyak potensi sumber daya alam meliputi sumber daya lahan, sumber daya air, sumber daya hayati, dan sumber daya mineral. Endapan piroklastik dan lava di lembah-lembah menghasilkan kualitas dan kuantitas sumber daya mineral yang tinggi, yaitu material bahan galian golongan C khususnya pasir dan batu.

Hasil pengamatan di lapangan dinamika perubahan morfologi di lokasi penelitian ini dapat dibedakan berdasarkan dua proses utama yaitu proses alamiah dan proses antropogenik. Proses alamiah terjadi karena pengaruh gravitasi baik itu aliran lava maupun lava yang terlontar dari kawah. Hujan yang terjadi di puncak dan di sekitar areal penelitian juga membawa material endapan piroklastik mengalir ke wilayah yang lebih rendah. Bukit di sisi utara areal penelitian merupakan areal yang paling tampak penurunan permukaan karena proses alamiah yang dipengaruhi oleh gravitasi dan hujan. Perbedaan DEM menunjukkan pada areal ini penurunan permukaan bagian puncak bukit mencapai 5 meter berangsur semakin tinggi penurunannya hingga 10 meter pada bagian tebing.

Lokasi penambangan pasir di Kali Gendol juga dipengaruhi oleh kualitas pasirnya. Segmen GE-D5 Kaliadem hingga saat ini sesuai dengan kondisi lapangan merupakan wilayah tujuan para penambang pasir. Penelitian ini tidak melakukan analisis terhadap kualitas pasir Merapi. Namun berdasarkan hasil wawancara dengan penambang dan masyarakat lokal areal yang banyak dituju oleh penambang memiliki kualitas pasir yang bagus. Hal tersebut berpengaruh terhadap volume erosi sedimen di segmen ini menjadi sangat besar. Besarnya volume yang tererosi berbanding lurus dengan luasan pada masing-masing segmen sabodam. Semakin besar volume erosi semakin besar

Page 162: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

151 MODEL ESTIMASI VOLUME KANTONG LAHAR UNTUK MITIGASI BENCANA SEDIMEN

DI KALI GENDOL MERAPI

pula luasannya begitu pula sebaliknya. Erosi karena aktivitas penambangan semakin ke hilir semakin kecil volume dan luasannya.

Dinamika areal penelitian dalam kurun waktu 7 (tujuh) tahun ini tidak hanya proses erosi, baik itu alamiah maupun antropogenik. Deposisi sedimen juga terjadi namun tidak dapat tergambarkan dengan baik melalui proses perbedaan DEM. Selisih waktu akuisisi data DEM yang sangat jauh menjadi penyebab proses deposisi tidak terekam dengan baik. Sementara untuk memperoleh data DEM terutama LiDAR dalam rentang waktu yang pendek juga menjadi kendala tersendiri. Mahalnya akuisisi data dengan menggunakan LiDAR membuat data ini tidak tersedia setiap saat. Hanya pada kejadian bencana luar biasa pemotretan menggunakan LiDAR dilakukan.

Erupsi-erupsi kecil ini menghasilkan endapan piroklastik terutama aliran lava yang intensitasnya meningkat sejak November 2018. Proses gravitasi dan adanya hujan membawa endapan dari kerucut gunung api ke lereng gunung api. Endapan piroklastik yang mengalir karena hujan disebut dengan istilah lahar. Proses ini menjadi input sedimen pada areal penelitian yang berada di zona lereng gunung api.

Adanya erupsi dan kejadian lahar antara tahun 2010—2019 membawa serta endapan piroklastik ke bagian lereng gunung api hingga ke kaki gunung api. Proses ini menjadi bagian dari input sedimen pada areal penelitian, namun berapa banyak volume endapan tidak dapat diketahui dengan data DEM yang digunakan dalam penelitian ini. Setelah erupsi tahun 2010, erupsi baru terjadi kembali di tahun 2014 dan 2018 dengan volume yang dikeluarkan <1,2 juta m3. Rata-rata pengambilan sedimen dalam 1 tahun adalah 2,4 juta m3, dengan demikian terjadi defisit endapan yang cukup besar.

2. Estimasi Kapasitas Kantong Lahar saat ini

Kantong lahar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bagian hulu dari bangunan sabodam yang berfungsi untuk menampung sedimen hasil erupsi gunungapi yang dibawa oleh lahar. Kantong lahar ini terbentuk karena proses normalisasi alur sungai. Kantong lahar diidentifikasi dengan analisis perbedaan DEM. Areal dengan penurunan permukaan lebih besar 31 m diidentifikasi sebagai kantong lahar. Nilai 31 m merupakan nilai perubahan permukaan pada bangunan utama sabodam pada segmen ini, nilai ini diasumsikan sebagai nilai permukaan awal sebelum erupsi. Nilai 31 m masuk ke dalam kelas 2 pada perubahan ketebalan sedimen (-26 s/d -45 m) dengan aktivitas penambangan yang masih ada hingga saat ini.

Page 163: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

152 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Kondisi erupsi merapi saat ini memiliki VEI skala 1—2 dicirikan dengan adanya aliran lava akibat runtuhnya kubah lava. Awan panas dapat terbentuk secara vertikal maupun meluncur bersama aliran lava dengan jarak luncur kurang dari 2 km. Pada fase ini jarak aman aktivitas manusia maksimal 3 km dari puncak (Voight et al., 2000). Lava yang mengalir tersebut menjadi potensi material bahan galian. Melihat kondisi volume erupsi dan hasil identifikasi kantong lahar, potensi material baru akan mengendap sampai di kantong lahar 1 dan 2. Kondisi di lapangan material baru ini langsung dimanfaatkan oleh penambang, sehingga endapan sudah habis tergali sebelum masuk ke kantong lahar berikutnya.

Kantong lahar 6 merupakan kantong lahar yang berada tepat di hulu sabodam GE-D5. Desain kapasitas sabo ini mampu menampung sedimen sebesar 445.600 m3 yang terdiri dari kapasitas tetap sebanyak 253.800 m3, kapasitas kontrol sebanyak 126.800 m3 dan kapasitas tertahan sebanyak 65.000 m3. Rahmat (2007) menyebutkan bahwa volume penambangan maksimal yang diijinkan demi terpeliharanya bangunan pengendali sedimen adalah 80% dari kapasitas bangunan sabo rencana. Asumsi ini digunakan mengacu kepada Masterplan Merapi. Berdasarkan hal tersebut volume penambangan yang diizinkan di sabodam GE-D5 adalah 356.480 m3. Estimasi saat ini kantong lahar 6 memiliki kapasitas 294.368 m3, sehingga sebanyak 62.112 m3 mineral pasir dan batu masih dapat dimanfaatkan.

Potensi kapasitas kantong lahar seluruhnya di segmen ini adalah 1.859.397 m3. Potensi tersebut masih mampu menahan sedimen yang berada di hulu dengan asumsi volume kubah lava yang terbentuk hingga 17 November 2019 adalah 416.000 m3 (BPPTKG, 2019) dan tanpa adanya proses erupsi. Perlu dikaji lebih lanjut mengenai volume sedimen terangkut yang masuk ke hulu Kali Gendol terkait volume erosi lereng, longsoran lereng, erosi tebing sungai dan erosi dasar sungai yang menjadi volume tambahan potensi sedimen.

Selain berfungsi sebagai pengendapan sedimen, kantong-kantong ini juga dapat difungsikan sebagai daerah pengisian ulang air tanah secara alami. Pengisian ulang air tanah adalah proses hidrologi di mana air bergerak ke bawah dari air permukaan ke air tanah. Mengisi ulang adalah metode utama bagaimana air memasuki akuifer. Hal ini penting untuk keberlangsungan potensi sumber daya air tanah yang memberikan manfaat terhadap masyarakat di zona kaki gunung api hingga dataran kaki gunung api.

D. KesimpulanModel estimasi volume kantong lahar efektif sebagai salah satu upaya mitigasi bencana sedimen. Langkah antisipatif dapat dilakukan terhadap kemungkinan bencana sedimen dimasa datang dengan mengetahui daya tampung volume

Page 164: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

153 MODEL ESTIMASI VOLUME KANTONG LAHAR UNTUK MITIGASI BENCANA SEDIMEN

DI KALI GENDOL MERAPI

sedimen dalam kantong lahar. Hal ini didasari oleh hasil penelitian sebagai berikut:

1. Pemanfaatan LiDAR dan UAV dapat memberikan estimasi yang baik untuk perubahan ketebalan dan volume sedimen serta memetakan distribusi spasial perubahan tersebut. Perubahan penurunan sedimen pascaerupsi 2010 hingga saat ini mencapai -64 m dengan perubahan volume sebesar 16,7 juta m3. Pola distribusi spasial pada daerah penelitian menunjukkan bahwa semakin ke hilir jumlah sedimen yang mengalami perubahan ketebalan semakin menurun.

2. Secara keseluruhan perubahan ketebalan sedimen yang terjadi di Kali Gendol karena aktivitas penambangan pasir Merapi. Proses alamiah yang dipengaruhi gravitasi dan air hujan terjadi pada areal bukit bagian utara, tebing sungai, dan bangunan utama sabodam.

3. Potensi sumber daya mineral berupa endapan sedimen hasil erupsi terakhir mampu mengisi kantong lahar pada wilayah Kaliadem hingga Jambu. Endapan ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan galian pasir dan batu.

4. Kapasitas kantong lahar pada sabodam saat ini masih mampu menahan produksi sedimen di puncak dengan asumsi pertumbuhan kubah lava 416.000 m3 hingga 17 November 2019 dan tanpa proses erupsi.

E. RekomendasiSaran yang dapat dikembangkan lebih lanjut dari penelitian ini adalah:

1. Pemilihan wahana UAV Fixed Wing dan pengambilan jalur terbang dengan metode double grid disarankan untuk penelitian selanjutnya agar ketelitian vertikal menjadi lebih detil.

2. Ketidakmampuan DEM dalam menghilangkan ketinggian vegetasi di tebing sungai perlu dikaji lebih lanjut untuk penelitian serupa agar hasil lebih akurat.

3. Estimasi terhadap kapasitas tampung bangunan sabodam masih perlu dikembangkan lebih lanjut terkait volume sedimen terangkut yang masuk ke hulu Kali Gendol (volume erosi lereng, longsoran lereng, erosi tebing sungai, dan erosi dasar sungai) yang menjadi volume tambahan potensi sedimen.

4. Penelitian lebih lanjut yang dapat dikembangkan adalah keberadaan kantong lahar sebagai daerah pengisian ulang air tanah secara alami. Hal ini penting untuk keberlangsungan potensi air tanah bagi masyarakan di dataran sekitar Merapi.

5. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini mungkin menarik bagi perencana daerah terutama dalam pemanfaatan sumber daya mineral, sumber daya air dan pengelola sabodam. Metode ini dapat digunakan sebagai bahan monev terhadap kegiatan tambang berkelanjutan yang bersinergi dengan lingkungan serta meningkatkan monitoring terhadap bangunan sabodam agar berfungsi maksimal dan efektif.

Page 165: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang
Page 166: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

13Nama : Teti Deliany Putri

Instansi : Kementerian Kehutanan dan

Lingkungan Hidup

Program Studi : Master Ilmu Lingkungan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Diponegoro

Analisis Kerentanan Sosial, Peran Pemerintah

Daerah dan Partisipasi Masyarakat dalam

Pengembangan Kampung Hijau di Kampung

Gemblakan Atas Kota Yogyakarta

Page 167: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

156 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Perubahan iklim telah muncul sebagai salah satu masalah utama di awal abad ke-21. Kampung Gemblakan Atas adalah salah satu kampung yang telah melaksanakan program Kampung Hijau dari pemerintah Kota Yogyakarta dalam upaya menuju ketahanan iklim. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji tingkat kerentanan sosial masyarakat dalam menghadapi dampak perubahan iklim di Kampung Gemblakan Atas, menganalisis peran Pemerintah daerah dalam pengembangan Kampung Hijau, menganalisis tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan Kampung Hijau serta mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhinya. Tipe penelitian yang dilakukan adalah penelitian kuantitatif dan kualitatif dengan menggunakan metode GIS untuk mengetahui tingkat kerentanan sosial, analisis peran pemerintah meliputi pengumpulan data, reduksi data display data dan penarikan kesimpulan/verifikasi serta tingkat partisipasi masyarakat diketahui dengan teknik pengumpulan data melalui pengukuran sampling, kuesioner, wawancara, dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa indeks kerentanan sosial yang didapat dari overlay indikator kepadatan penduduk, rasio ketergantungan, rasio jenis kelamin dan rasio difabel menunjukkan bahwa kerentanan sosial di Kampung Gemblakan Atas berada pada level yang tinggi.

Pemerintah daerah Kota Yogyakarta berperan sebagai fasilitator untuk mengimplementasikan kebijakan dengan menetapkan kegiatan-kegiatan dan dukungan pendanaan yang mendukung kegiatan Kampung Hijau. Tingkat partisipasi masyarakat dilihat dari keikutsertaan masyarakat dalam setiap tahap mulai dari perencanan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pemeliharaan, serta monitoring dan evaluasi adalah tinggi. Berdasarkan hasil uji chi square diketahui faktor yang memengaruhinya adalah pemahaman masyarakat, peran pemimpin lokal dan budaya masyarakat.

• Kata Kunci: kerentanan sosial, peran pemerintah daerah, partisipasi masyarakat, Kampung Hijau Gemblakan Atas

Page 168: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

157 ANALISIS KERENTANAN SOSIAL, PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN PARTISIPASI MASYARAKAT

DALAM PENGEMBANGAN KAMPUNG HIJAU DI KAMPUNG GEMBLAKAN ATAS KOTA YOGYAKARTA

ABSTRACT

Climate change has emerged as one of the main problems at the beginning of the 21st century. Gemblakan Atas is one of the villages that has implemented the Green Village program of the Yogyakarta City government in an effort to lead to climate resilience. The purpose of this study is to examine the level of social vulnerability of the community in dealing with the impacts of climate change in Gemblakan Atas Village, analyze the role of local government in the development of Green Village, analyze the level of community participation in the implementation of Green Village and find out what factors influence it. This type of research is quantitative and qualitative research using the GIS method to determine the level of social vulnerability, analysis of the role of government includes data collection, data display data reduction and drawing conclusions/verification and the level of public participation known by data collection techniques through sampling measurements, questionnaires, interview and observation. The results showed that the social vulnerability index obtained from overlay indicators of population density, dependency ratios, sex ratios and diffable ratios showed that social vulnerability in the Gemblakan Atas Village was at a high level. The local government of Yogyakarta City acts as a facilitator to implement policies by establishing activities and funding support that supports the Green Village activities. The level of community participation can be seen from the participation of the community in each stage starting from planning, implementation, utilization and maintenance, as well as monitoring and evaluation. Based on the results of the chi square test known factors that influence it are community understanding, the role of local leaders and community culture.

• Keywords: social vulnerability, the role of local government, community participation, Gemblakan Atas Green Village

Page 169: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

158 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. Latar BelakangPemerintah Indonesia melalui Kesepakatan Paris berkomitmen tinggi untuk memprioritaskan isu perubahan iklim dalam perencanaan pembangunan nasional dan daerah. Dengan ditetapkannya UU No. 16 Tahun 2016 Pemerintah Indonesia menyusun dokumen komitmen pemerintah melalui National Determined Contribution (NDC) yang dikirimkan ke UNFCCC. Secara teknis dukungan tersebut dilakukan dengan menerbitkan UU No. 46 Tahun 2016 tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). KLHS merupakan rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam perencanaan pembangunan. Selanjutnya Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri (PERMEN) No. P.33/2016 tentang penyusunan aksi adaptasi perubahan iklim untuk mencapai strategi penanggulangan isu perubahan iklim dan mendukung pelaksanaan KLHS.

Dengan tipologi daerah Indonesia yang beragam misalnya daerah pedesaan, perkotaan, pegunungan, dataran rendah dan pesisir, maka pelaksanaan kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim disesuaikan dengan karakteristik di masing-masing daerah. Berbagai inisiatif pemerintah tersebut memerlukan dukungan berbagai pihak agar dapat terlaksana dengan baik yang dituangkan pada Rencana Aksi Daerah (RAD) dalam penurunan emisi Gas rumah Kaca yang ditetapkan dengan peraturan Gubernur. Adaptasi dapat bersifat otonom dan insentif bergantung pada pembuat kebijakan (IPCC, 2001). Sejalan dengan Otonomi Daerah, dalam hal ini pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah di bidang pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan mengandung maksud untuk meningkatkan peran masyarakat lokal dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Mina, 2016). Pelibatan para pemangku kepentingan yang efektif serta pengelolaan pengetahuan adaptasi dan mitigasi perubahan di tingkat tapak merupakan salah satu aspek penting untuk mencapai target pengendalian perubahan iklim di tingkat nasional maupun global (Kementerian PPN/Bappenas, 2011).

Kota Yogyakarta merupakan Ibu Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, terletak di bagian tengah tepatnya di antara Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman menjadikan posisinya sangat strategis. Fungsi wilayah Kota Yogyakarta tidak hanya sebagai pusat pelayanan politik dan administrasi, tetapi juga sebagai pusat kegiatan ekonomi, jasa pelayanan, dan sosial budaya. Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Yogyakarta mencatat bahwa rata-rata laju pertumbuhan penduduk Kota Yogyakarta pada 2012–2016 yaitu 1,46 persen di mana cenderung meningkat setiap tahunnya. Pertumbuhan penduduk yang cukup pesat ini berdampak pada meningkatnya tekanan terhadap kualitas dan kuantitas sumber daya alam

Page 170: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

159 ANALISIS KERENTANAN SOSIAL, PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN PARTISIPASI MASYARAKAT

DALAM PENGEMBANGAN KAMPUNG HIJAU DI KAMPUNG GEMBLAKAN ATAS KOTA YOGYAKARTA

dan lingkungan hidup. Berdasarkan Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan lingkungan Hidup (IKPLHD) Kota Yogyakarta Tahun 2018 isu prioritas terkait lingkungan yang perlu diperhatikan secara serius oleh pemerintah Kota Yogyakarta salah satunya mengenai penanganan perubahan iklim.

Adaptasi terhadap perubahan iklim di daerah perkotaan seperti Kota Yogyakarta menghadirkan tantangan yang kompleks dan merupakan tindakan yang relatif baru untuk kota-kota di Indonesia. Tidak ada standar baku untuk perencanaan dan adaptasi pada skala kota (Anguelovski & Carmin, 2011) sehingga kota Yogyakarta perlu mengadopsi berbagai pendekatan untuk perencanaan dan implementasi tindakan adaptasi. Pendekatan untuk adaptasi perkotaan harus bertingkat dan multidimensi (Archera et al., 2014). Adaptasi harus dikombinasikan dengan mekanisme lain untuk mendukung kemampuan masyarakat lokal peran pemerintah daerah dalam melaksanakan adaptasi (Dodman dan Mitlin, 2011).

Sejak tahun 2007 pemerintah Kota Yogyakarta telah menerapkan pelaksanaan Program Kampung Hijau. Program Kampung Hijau merupakan program pemerintah daerah Kota Yogyakarta yang diadaptasi dari Program Nasional Kampung Iklim (ProKlim) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai perubahan iklim dan dampak yang ditimbulkannya sehingga seluruh pihak terdorong untuk melaksanakan aksi nyata yang dapat memperkuat ketahanan masyarakat menghadapi perubahan iklim serta memberikan kontribusi terhadap upaya pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).

Kampung Gemblakan Atas adalah salah satu kampung yang telah melaksanakan program Kampung Hijau dari pemerintah Kota Yogyakarta dan mendapatkan penghargaan juara 3 lomba Kampung Hijau tingkat Kota Yogyakarta tahun 2018. Letak Kampung Gemblakan Atas yang berada dekat dengan pusat perekonomian Kota Yogyakarta (Kawasan Malioboro) menyebabkan kawasan ini menjadi incaran para pendatang (urbanis) untuk bermukim, sehingga lingkungan perumaham semakin padat. Kepadatan bangunan bisa dikategorikan sangat tinggi dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sulit ditemukan. Sebelum melaksanakan kegiatan Kampung Hijau, Kampung Gemblakan Atas mengalami berbagai permasalahan lingkungan seperti banjir akibat luapan air Sungai Code, longsor di areal pemukiman, lingkungan gersang minim pepohonan, dan permasalahan sampah yang belum mampu dikelola. Namun melalui Program Kampung Hijau, keterlibatan masyarakat mulai dari perencanaan sampai evaluasi mampu mewujudkan efektivitas program pemerintah dalam usaha untuk mengurangi permasalahan lingkungan.

Page 171: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

160 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Kriteria Kampung Hijau mencakup penilaian terhadap pelaksanaan kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, serta terbentuknya kelompok masyarakat dan dukungan keberlanjutan yang terwujud dari partisipasi masyarakat. Pelaksanaan Kampung Hijau perlu diawali dengan perencanaan sampai dengan evaluasi yang baik. Atas dasar pemikiran tersebut, penulis tertarik untuk meneliti mengenai “Analisis Kerentanan Sosial, Peran Pemerintah Daerah dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Kampung Hijau di Kampung Gemblakan Atas Kota Yogyakarta”.

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisMeskipun dampak perubahan iklim bersifat global dalam hal asal dan ruang lingkup, namun respon adaptif penting dilakukan pada skala lokal (Ruth dan Coelho, 2007). Di wilayah dengan kerentanan sosial tinggi cenderung memiliki lebih sedikit sumber daya untuk bersiap, mengatasi, dan pulih dari bahaya iklim. Studi yang dilakukan oleh Roberts dan Donoghue (2013) menyebutkan sulitnya menjaga keseimbangan yang adil antara perencanaan pembangunan jangka panjang sementara secara bersamaan memperhatikan kebutuhan lingkungan lokal yang paling mendesak. Akibatnya, pemerintah daerah perlu mengandalkan proses partisipatif untuk mengatasi masalah keadilan dan kesetaraan dalam upaya pencegahan dampak perubahan iklim (Bulkeley et al., 2013).

Sejarah panjang Kota Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan dan pusat kegiatan menjadikan kepadatan penduduk menjadi isu yang penting (Sunariya, 2018). Sebagian besar kecamatan di Kota Yogyakarta memiliki kepadatan penduduk di atas 10.000 jiwa/km2. Berdasarkan data Disdukcapil Kota Yogyakarta Tahun 2017, kepadatan penduduk di Kota Yogyakarta pada tahun 2017 adalah 12.347 jiwa/km2. Selanjutnya Kota Yogyakarta sebagai kota multi predikat yang memiliki daya tarik tersendiri bagi daerah sekitarnya. Sebagai kota wisata telah memacu percepatan pembangunan fasilitas wisata seperti hotel, mall, dan tempat-tempat rekreasi. Sebagai kota pelajar diperlukan berbagai fasilitas pendukung di antaranya perluasan gedung dan juga bangunan rumah tinggal (asrama dan rumah kost) untuk para pelajar dan mahasiswa dari luar kota. Namun selain memberikan dampak positif berupa peningkatan pertumbuhan ekonomi, perkembangan Kota Yogyakarta juga memberikan dampak negatif, yaitu berupa pencemaran air, pencemaran udara, kerusakan lahan, dan sampah/limbah.

Berdasarkan data BMKG, Kota Yogyakarta memiliki curah hujan yang tinggi yaitu sekitar 2.000 mm/thn. Dengan adanya dampak perubahan iklim berupa peningkatan curah hujan dapat menjadi ancaman pada saat musim penghujan tiba. Pertumbuhan lahan terbangun telah menurunkan kemampuan tanah untuk

Page 172: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

161 ANALISIS KERENTANAN SOSIAL, PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN PARTISIPASI MASYARAKAT

DALAM PENGEMBANGAN KAMPUNG HIJAU DI KAMPUNG GEMBLAKAN ATAS KOTA YOGYAKARTA

menyerap air, sehingga badan sungai tidak mampu menampung seluruh air yang masuk. Hal ini menyebabkan air meluap dan menyebabkan bencana banjir disekitar bantaran sungai. Selain itu Kutanegara (2014) menyoroti fungsi sungai di Kota Yogyakarta telah berubah menjadi drainase raksasa atau seperti tempat pembuangan sampah dan limbah masyarakat sebagai penyebab terjadinya berbagai masalah lingkungan. Hal ini dapat diperparah dengan adanya material gunung Merapi yang terbawa arus dan menyebabkan pendangkalan sungai (Mujiatun, 2017).

Aktivitas manusia yang cenderung mengedepankan kebutuhan ekonomi dan sosial dan mengesampingkan ekologi dapat meningkatkan potensi bencana akibat pengaruh dampak perubahan iklim. Bencana iklim ini membutuhkan perhatian karena dapat menyebabkan kerusakan dan bila tidak ditanggulangi akan menyebabkan kerugian yang lebih besar (Archera et al., 2014). Astuty dan Hizbaron (2017) menyebutkan bahwa kearifan lokal yang berada ditengah-tengah masyarakat mampu untuk mengelola alam semesta dan menjaga keseimbangan ekologis terhadap berbagai gangguan bencana yang ditimbulkan dari aktivitas manusia ataupun bencana yang terjadi secara alami.

Dalam penelitian ini, pokok masalah yang dijadikan fokus penelitian meliputi aspek tempat (place) yaitu Kampung Gemblakan Atas yang terletak di Kelurahan Suryatmajan Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta merupakan salah satu kampung yang berada di bantaran Sungai Code yang menjadikan kerentanan cukup tinggi akan terjadinya genangan, terutama jika sungai meluap. Hujan dengan intensitas yang tinggi dalam waktu cukup lama dapat mengakibatkan permukiman di bantaran sungai dilanda banjir, selain itu topografi yang landai mengakibatkan longsor terjadi diareal pemukiman warga Kampung Gemblakan Atas. Lokasi kampung yang berdekatan dengan pusat perekonomian dan wisata Malioboro mengakibatkan kepadatan penduduk juga tinggi, sehingga apabila terjadi bencana banyak warga yang akan terkena dampak. Khusus penggunaan lahan di Kampung Gemblakan Atas sampai saat ini didominasi oleh lahan permukiman yang menunjang sektor jasa seperti kegiatan perdagangan dan pariwisata, sebaliknya untuk lahan pertanian tidak ada. Aspek aktivitas (activity) meliputi upaya dan kebijakan melalui Program Kampung Hijau yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah Kota Yogyakarta dalam menanggulangi dampak negatif dari aktivitas pembangunan yang dilakukan oleh manusia yang berkontribusi dalam menyumbang emisi GRK. Aspek pelaku (actor) yaitu partisipasi masyarakat yang melaksanakan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Bagi warga Kampung Gemblakan Atas kearifan lokal untuk turut menjaga lingkungan telah tumbuh dan berkembang menjadi budaya yang perlu dilestarikan.

Page 173: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

162 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Dari uraian permasalahan di atas, diajukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana tingkat kerentanan sosial masyarakat dalam menghadapi dampak perubahan iklim di Kampung Gemblakan Atas?

2. Bagaimana peran Pemerintah daerah dalam pengembangan Program Kampung Hijau di Kampung Gemblakan Atas?

3. Bagaimana partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan Kampung Hijau dan faktor apa saja yang memengaruhinya?

Menurut jenis pendekatan, penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dan kualitatif. Hadi (2017) menyatakan penelitian kuantitatif, yaitu penelitian yang bertolak dari teori, yang kemudian mengalir ke tahap konseptualisasi sampai ke tahap pengukuran empiris. Pelaksanaan penelitian untuk analisis tingkat kerentanan sosial, peran pemerintah daerah, dan tingkat partisipasi dalam pengembangan Program Kampung Hijau di Kampung Gemblakan Atas Kelurahan Suryatmajan Kecamatan Danurejan.

Kerentanan sosial merepresentasikan kondisi tingkat kerapuhan sosial dalam menghadapi bencana. Kondisi sosial yang rentan dapat menimbulkan dampak kerugian yang besar apabila terjadi bencana. Pada penelitian ini indikator kerentanan sosial yang digunakan antara lain kepadatan penduduk, rasio ketergantungan usia nonproduktif terhadap usia produktif, rasio jenis kelamin dan rasio masyarakat difabel sesuai pedoman dari (BNPB, 2012), serta penelitian yang dilakukan oleh (Habibi dan Buchori, 2013; Yunarto dan Sari, 2016).

Tingkat kerentanan sosial di Kampung Gemblakan Atas Kelurahan Suryatmajan Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta diketahui dengan cara membandingkan kerentanan pada skala kecamatan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan metode skoring dan pembobotan. Data-data yang dimaksud dapat diperoleh dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kota Yogyakarta yang merupakan himpunan data kecamatan se-Kota Yogyakarta. Semua data yang telah diperoleh digunakan sebagai masukan untuk menentukan indikator kota.

Page 174: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

163 ANALISIS KERENTANAN SOSIAL, PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN PARTISIPASI MASYARAKAT

DALAM PENGEMBANGAN KAMPUNG HIJAU DI KAMPUNG GEMBLAKAN ATAS KOTA YOGYAKARTA

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Analisis Hubungan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Pengembangan Kampung Hijau.

Aktor-faktor yang diduga memengaruhi keaktifan masyarakat berpartisipasi dalam pengembangan Kampung Hijau dibedakan menjadi dua, yaitu faktor internal (terdiri dari usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, tingkat penghasilan penduduk, lamanya tinggal) dan faktor eksternal (terdiri dari pemahaman masyarakat terhadap Kampung Hijau, penilaian masyarakat terhadap kerentanan sosial masyarakat menghadapi perubahan iklim, peran pemimpin lokal, peran pemerintah daerah, budaya masyarakat).

Dari hasil uji chi square dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara faktor-faktor internal tersebut terhadap tingkat partisipasi masyarakat. Hal ini bertolak belakang dari penelitian Suroso, Hakim dan Noor (2014) yang mengungkapkan bahwa faktor internal mempengaruhi partisipasi masyarakat pada perencanaan pembangunan. Selanjutnya uji chi square pada faktor eksternal kerentanan sosial dan peran pemerintah hasil uji chi square menunjukkan nilai signifikansi > 0,05 dan disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara faktor ini dalam mempengaruhi partisipasi masyarakat. Tidak adanya hubungan antara faktor kerentanan sosial dengan tingkat partisipasi kemungkinan disebabkan warga telah terbiasa menghadapi lingkungan dengan kondisi padat, selain itu kejadian bencana tidak terus menerus mengancam kehidupan warga, dan mereka hanya perlu waspada dalam mengantisipasi bila ancaman itu datang.

Sementara itu, faktor peran pemerintah dinilai tidak berhubungan dengan tingkat partisipasi dikarenakan tidak semua warga memiliki kesempatan untuk ikut pelatihan sehingga pengaruhnya kurang dirasakan. Dalam konteks pelaksanaan Kampung Hijau, masyarakat perlu ditingkatkan kemampuannya dalam mengakses sumber daya, pendanaan, serta teknologi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Akses sumber daya yang dimaksud meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya sosial. Akses sumber daya pendanaan dapat berasal dari pemerintah, swasta, swadaya atau sumber keuangan lain yang tidak mengikat. Teknologi mencakup pengetahuan dan dukungan sarana prasarana.

Berdasarkan Uji chi square maka pada faktor eksternal pemahaman masyarakat, peran pemimpin lokal dan budaya masyarakat menunjukkan nilai signifikansi <0,05 sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan antara faktor-faktor ini terhadap tingkat partisipasi.

Page 175: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

164 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Nilai rerata secara keseluruhan mengenai pemahaman masyarakat terhadap Kampung Hijau adalah 3,74. Hal ini berarti rata-rata seluruh masyarakat memiliki pemahaman yang tinggi dalam memahami manfaat dan jenis-jenis kegiatan yang dilakukan untuk mendukung pelaksanaan Kampung Hijau.

Unsur pemahaman masyarakat mengenai Kampung Hijau merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam pengembangan Kampung Hijau. Dengan adanya pengetahuan dari pemahaman yang baik maka tindakan adaptasi dan mitigasi yang dilakukan akan lebih tepat dan dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Tingginya pemahaman masyarakat mengenai Kampung Hijau tidak terlepas dari peran pemimpin lokal. Walaupun sebagian masyarakat tidak mengikuti sosialisasi maupun pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah, namun pada saat pertemuan-pertemuan rutin maupun dalam sosialisasi antar warga kampung tak jarang mereka saling bertukar informasi.

Pemimpin lokal di Kampung Gemblakan Atas telah terbukti mempunyai pengaruh terhadap pengembangan Kampung Hijau di mana ia mampu menyampaikan informasi secara baik dan utuh kepada masyarakat dengan penyampaian bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh masyarakat serta mampu mendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan adaptasi dan mitigasi.

Faktor ketiga yang memengaruhi tingkat partisipasi masyarakat adalah budaya masyarakat. Kehidupan masyarakat Kampung Gemblakan Atas dipengaruhi oleh dinamika masyarakat Yogyakarta dan kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono beserta segenap kebijaksanaan yang dipilih dan dikembangkan dalam kehidupan kepemerintahan. Gerakan Segoro Amarto (Semangat Gotong Royong Agawe Majune Ngayogyakarta) adalah gagasan mulia dari Sri Sultan Hamengkubuwono X dan telah diimplementasikan pertama kali oleh Kota Yogyakarta. Segoro Amarto di bangun di Kota Yogyakarta untuk menggerakkan daya sosial masyarakat dengan lebih komprehensif. Gerakan ini lebih pada perubahan nilai yang tercermin pada sikap, perilaku, gaya hidup, dan wujud kebersamaan dalam kehidupam untuk menjadi lebih baik dan mencakup semua aspek fisik dan non fisik.

Sebagai gerakan kultur untuk menumbuhkan nilai-nilai gotong royong, kepedulian dan kemandirian diantara warga maka “Paradigma pembangunan di balik, bukan ‘Aku menerima apa?’ tapi aku memberi apa?”. Dalam Segoro Amarto pemerintah dan masyarakat bersama-sama membangun jiwa kedisiplinan, kemandirian, kepedulian sosial, dan gotong royong menjadi pedoman hidup yang meresap disanubari segenap lapisan masyarakat “Kita peduli, kita bekerjasama, kita kita berdaya”. Pelaksanaan Program Kampung Hijau di Kampung Gemblakan Atas dikategorikan berhasil karena semua komponen masyarakat dapat bersatu

Page 176: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

165 ANALISIS KERENTANAN SOSIAL, PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN PARTISIPASI MASYARAKAT

DALAM PENGEMBANGAN KAMPUNG HIJAU DI KAMPUNG GEMBLAKAN ATAS KOTA YOGYAKARTA

menjadi bagian dari program kegiatan, bukan karena peran satu orang saja. Masyarakat Kampung Gemblakan Atas mampu membangun nilai saling kepedulian “Sadaya nyawiji rila gumreget ambangun diri lan nagari” yang artinya bersama bersatu ikhlas untuk membangun diri dan negara.

Kearifan lokal yang mengakar di dalam budaya masyarakat pada umumnya tidak memerlukan banyak sosialisasi untuk mengimplementasikannya karena langsung dilaksanakan oleh masyarakat berdasarkan kebutuhan mereka dan hal ini merupakan bentuk mitigasi yang paling berperan terutama dalam mengatasi bencana (Hiryanto et al., 2012). Salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat Kampung Gembalakan Atas adalah melaksanakan Merti Code, yang merupakan gerakan bersih lingkungan Sungai Code. Dapat dikatakan bahwa seluruh warga masyarakat bantaran Sungai Code termasuk di Kampung Gemblakan Atas akan penuh kesadaran bergabung dalam kegiatan rutin ini, sehingga hal ini dapat dikategorikan sebagai local genius. Masyarakat Jawa percaya bahwa semua hal perlu dibersihkan secara berkala. Tidak hanya manusia yang perlu mandi, benda-benda serta alam lingkungan pun perlu dibersihkan. Kepercayaan masyarakat Jawa akan alam dan kosmosnya merupakan suatu hal yang masih terasa sangat kental, dimana merti diperuntukkan sebagai tradisi untuk puji syukur.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa warga Gemblakan Atas mampu menjalankan budaya yang diwariskan turun temurun dari nenek moyangnya yang disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan zaman saat ini. Sebagai bangsa yang besar tentunya hal ini menjadi modal besar yaitu adanya kapasitas masyarakat berupa kearifan lokal dalam mengatasi bencana karena apabila terjadi bencana tentunya juga diikuti dengan penurunan kapasitas masyarakat dan aset. Melestarikan kearifan lokal ini artinya masyarakat Kampung Gemblakan Atas akan mewariskan kemampuan ini kepada anak cucunya sehingga kesiapsiagaan warga akan terus terjaga.

Masyarakat Jawa secara turun temurun memiliki pengetahuan lokal terhadap pertanda alam. Kemampuan ini diindikasikan dari cara membangun pemukiman dengan jarak yang cukup dari pinggir sungai sehingga dapat terhindar dari bahaya banjir yang sewaktu-waktu dapat menghampiri, mereka juga percaya bahwa setiap awan hitam pekat datang dari arah utara maka anak-anak kecil tidak boleh berada di sekitar sungai. Terlepas dari pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat, sampai saat ini banyak sekali pemukiman yang dibangun di pinggir sungai. Hal ini bukan karena masyarakat Kampung Gemblakan Atas mulai longgar dalam memahami kepercayaan yang telah dianut, tetapi lebih disebabkan desakan situasi hidup di wilayah urban. Tingginya populasi penduduk menyebabkan pembangunan pemukiman dan telah meningkatkan kerentanan terhadap bencana di tengah masyarakat.

Page 177: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

166 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Pemetaan kerentanan sosial merupakan salah satu bagian dari membangun sistem peringatan dini (early warning system). Pada konteks bencana akibat perubahan iklim, paradigma kehidupan berkelanjutan sudah seharusnya dilakukan pada wilayah yang rentan bencana karena terkait ancaman hilangnya aset-aset penting penghidupan masyarakat. Beberapa risiko tersebut antara lain kemanusian, sosial, fisik, finansial, dan sebagainya. Dengan kata lain, membangun sebuah sistem yang terpadu melalui peran pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat diharapkan dapat menghindari masyarakat dari kerugian yang lebih besar akibat bencana.

Dengan intesitas bencana yang cukup sering terjadi di Kota Yogyakarta, pemerintah daerah telah berusaha membekali warganya melalui peningkatan kapasitas adaptasi, penyediaan perangkat mitigasi seperti sistem komunikasi radio dan ketersedian area publik untuk evakuasi jika sewaktu-waktu terjadi bencana. Akumulasi pengetahuan lokal dan kondisi sosial ekonomi masyarakat urban saat ini telah mengantarkan masyarakat untuk mengambil jalan tengah dalam konteks penanggulangan bencana. Kemampuan untuk membaca tanda, menerapkan gotong-royong dan dukungan pemerintah daerah sebagai mitra tampaknya sangat membantu masyarakat terutama dalam mengahadapi bencana. Lebih jauh dari itu, masyarakat Kampung Gemblakan Atas telah memiliki kesadaran bahwa pelaksanaan adaptasi dan mitigasi di tingkat tapak yang menggabungkan pengetahuan lokal dan kemajuan teknologi merupakan bagian dari upaya pengendalian dampak perubahan iklim.

D. KesimpulanBerdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Indeks kerentanan sosial didapat dari tumpang susunnya indikator kepadatan penduduk, rasio ketergantungan, rasio jenis kelamin dan rasio difabel disimpulkan bahwa kerentanan sosial di Kampung Gemblakan Atas berada pada level yang tinggi.

2. Peran Pemerintah Kota Yogyakarta dalam pengembangan Kampung Hijau di Kampung Gemblakan Atas yakni sebagai fasilitator untuk mengimplementasikan kebijakan dengan menetapkan kegiatan-kegiatan dan dukungan pendanaan yang mendukung pelaksanaan pengendalian perubahan iklim di tingkat tapak. Tahapan pengembangan Kampung Hijau mencakup persiapan, perencanaan, pelaksanaan, serta pengembangan dan penguatan aksi.

Page 178: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

167 ANALISIS KERENTANAN SOSIAL, PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN PARTISIPASI MASYARAKAT

DALAM PENGEMBANGAN KAMPUNG HIJAU DI KAMPUNG GEMBLAKAN ATAS KOTA YOGYAKARTA

3. Partisipasi masyarakat Kampung Gemblakan Atas secara umum dalam pengembangan Kampung Hijau dapat dilihat dari keikutsertaan masyarakat dalam setiap tahap mulai dari perencanan, pelasanaan, pemanfaatan dan pemeliharaan, serta monitoring dan evaluasi adalah tinggi. Berdasarkan hasil uji chi square diketahui faktor yang memengaruhinya adalah pemahaman masyarakat, peran pemimpin lokal, dan budaya masyarakat.

E. Rekomendasi1. Strategi penanggulangan bencana harus segera dilakukan pada kecamatan

yang memiliki indeks kerentanan sosial tinggi. Peran pemerintah dalam pemeliharaan lingkungan juga perlu dibarengi dengan pengendalian kepadatan penduduk melalui perencanaan pengaturan tata ruang yang partisipatif, pembangunan infrastruktur dalam rangka migasi bencana, serta dengan meningkatkan kemampuan adaptasi masyarakat.

2. Pemerintah Kota Yogyakarta perlu memformalkan pengembangan Kampung Hijau, misalnya dalam bentuk peraturan daerah sehingga memperkuat legitimasi proses, memfasilitasi implementasi kegiatan dan mengefektifkan komunikasi dan koordinasi antar lembaga terkait dengan mengarusutamakan prioritas pengurangan risiko bencana melalui aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim ke dalam rencana pembangunan yang berkelanjutan.

3. Pemerintah daerah perlu meningkatkan perencanaan yang inovatif dalam melaksanakan kegiatan Kampung Hijau. Selanjutnya juga diperlukan insentif, program internal, gagasan dan pengetahuan yang dihasilkan melalui jaringan lokal dan proyek percontohan, dan kemampuan untuk meminta dukungan dari berbagai pemangku kepentingan yang ada baik Nasional maupun Internasional.

4. Untuk mensukseskan pencapaian pengendalian perubahan iklim secara nasional diperlukan strategi pengembangan Program Kampung Iklim yang tepat. Penelitian lebih lanjut diperlukan guna mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi tingkat partisipasi karena setiap daerah memiliki tipologi dan kekhasannya masing-masing.

Page 179: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang
Page 180: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

14Nama : Yandri Candra

Instansi : Dinas Pertanian Pemerintah

Kabupaten Tulang Bawang

Program Studi : Master Ilmu Lingkungan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Padjajaran Bandung

Kajian Proses Produksi Rumah Potong Hewan

Ruminansia (RPH-R) Ramah Lingkungan

Berbasis Good Housekeeping (Studi

Kasus RPH Z-Beef Kota Bandar Lampung

Page 181: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

170 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Kebutuhan masyarakat global dalam mengonsumsi daging sebagai salah satu sumber protein setiap tahunnya mengalami peningkatan sejalan dengan peningkatan populasi penduduk. Peningkatan produksi daging sapi di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik rata rata 15.000 ton/tahun dan diikuti dengan impor sapi hidup sebanyak ±400.000 ekor/tahun telah ikut mendorong pertumbuhan Rumah Potong Hewan (RPH). Sisa proses produksi pada RPH diketahui menghasilkan jumlah limbah organik yang cukup besar berupa darah, sisa lemak, isi rumen, urine, dan manure. Pengelolaan RPH dan limbah yang tidak efektif menyebabkan berbagai pencemaran lingkungan sehingga untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan RPH yang memenuhi standar kelayakan dan proses produksi yang ramah lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah 1) melakukan evaluasi kelayakan teknis, ekonomi dan lingkungan pada RPH ZBeef Kota Bandar Lampung; 2) mengidentifikasi alternatifalternatif yang dapat diimplementasikan pada proses produksi RPH berbasis Good Housekeeping. Metode yang digunakan adalah gabungan antara metode kuantitatif dan kualitatif melalui observasi menggunakan cheklist serta wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) rumah Potong Hewan ZBeef Kota Bandar Lampung merup akan RPH yang belum layak ditinjau dari aspek teknis dengan skor 185; aspek sumber daya manusia dengan skor 135; aspek perizinan dengan skor 135. Skor minimal untuk kelayakan ketiga aspek tersebut adalah ≥201; 2) ditinjau dari aspek ekonomi, RPH ZBeef memenuhi kelayakan dengan nilai NPV sebe sar Rp 5.380.296.394, ,Net B/C Rasio bernilai 1,95 dan Payback Periode selama 2,8 tahun; 3) berdasarkan analisa air limbah, RPH ZBeef memenuhi kelayakan lingkungan dengan nilai BOD = 14 mg/L, COD = 30 mg/L, TSS = 12 mg/L, minyak dan lemak = <1 mg/L, NH3N = 3 mg/L dan pH = 7; 4) alternatif tindakan berbasis Good Housekeeping yang direkomendasikan adalah perbaikan prosedur penampungan darah saat penyembelihan, perlakuan puasa pada ternak (hanya diberi air minum), melakukan metode dry cleaning sebelum pencucian, dan penggunaan nozel pada selang pembersihan.

• Kata Kunci: Rumah Potong Hewan, good housekeeping, standarisasi, ramah Lingkungan, bandar lampung

Page 182: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

171 KAJIAN PROSES PRODUKSI RUMAH POTONG HEWAN RUMINANSIA (RPH-R) RAMAH LINGKUNGAN

BERBASIS GOOD HOUSEKEEPING (STUDI KASUS RPH Z-BEEF KOTA BANDAR LAMPUNG)

ABSTRACT

The needs of the global community in consuming meat as a source of protein, every year has increased in line with the increase in population. The increase in beef production in Indonesia according to the Central Statistics Agency averages 15,000 tons/year and is followed by imports of live cattle as much as ± 400,000 tons/year which have contributed to the growth of slaughterhouses (RPH). The rest of the production process in RPH is known to produce a large enough amount of organic waste in the form of blood, fat residue, rumen contents, urine and manure. Ineffective management of abattoirs and waste causes various environmental pollution so that to overcome this needs RPH that meet feasibility standards and production processes that are environmentally friendly. The objectives of this study were 1) to evaluate the technical, economic and environmental feasibility of Z-Beef RPH in Bandar Lampung City; 2) identify alternatives that can be implemented in the production process of Good Housekeeping based. The method used is a combination of quantitative and qualitative methods through observation using checklist and interview. The results showed that 1) Z-Beef Slaughterhouse in Bandar Lampung City is a slaughterhouse that is not feasible in terms of technical aspects with a score of 185; aspects of human resources with a score of 135; licensing aspects with a score of 135. The minimum score for the feasibility of these three aspects is ≥201; 2) in terms of the economic aspect, Z-Beef slaughterhouses fulfills the feasibility with an NPV value of Rp 5,380,296,394,- Net B/C Ratio is worth 1.95 and Payback Period is 2.8 years; 3) based on wastewater analysis, Z-Beef slaughterhouses meets environmental feasibility with a value of BOD = 14 mg / L, COD = 30 mg / L, TSS = 12 mg /L, oil and fat = <1 mg / L, NH3-N = 3 mg/L and pH = 7; 4) recommended Good Housekeeping-based alternative actions are improvement of blood collection procedures during slaughter, fasting treatment for livestock (only given drinking water), dry cleaning method before washing, and the use of nozzles in the cleaning hose.

• Keywords: slaughterhouses, good housekeeping, standardization, environmentally friendly, bandar lampung

Page 183: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

172 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. Latar BelakangPeningkatan produksi daging sapi di Indonesia rata-rata 15.000 ton/tahun dan diikuti impor sapi hidup sebanyak ±400.000 ekor/tahun (BPS, 2017) telah mendorong pertumbuhan industri pemotongan hewan nasional. Namun, sayangnya di berbagai sentra peternakan, pengelolaan Rumah Potong Hewan (RPH) masih belum memenuhi standar kelayakan sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Di Kota Mataram, limbah cair hasil proses produksi RPH telah mencemari sungai di sekitarnya. Kadar BOD, COD, TSS, minyak dan lemak serta ammonia pada air limbah RPH berada di atas baku mutu. Selain itu bakteri E. Coli dan Salmonella typhi juga ditemukan pada air limbah yang berasal dari kotoran hewan yang ikut mengalir (Aini dkk., 2017). Limbah kotoran RPH di Kota Pekanbaru belum diolah atau hanya dibiarkan begitu saja sehingga menyebabkan pencemaran pada air, tanah, dan udara (bau), serta memicu konflik sosial (Kusuma, 2017).

Menurut Anwar (2017), sebuah RPH harus memenuhi standar kelayakan agar mampu menjamin kualitas daging yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh, dan Halal) dan meminimalkan dampak pencemaran lingkungan dari limbah yang dihasilkan. Sementara itu pemerintah telah membuat regulasi mengenai kelayakan RPH di Indonesia melalui Permentan No. 13 Tahun 2010 tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging (meat cutting plant).

Berdasarkan hasil evaluasi dan pemantauan Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pascapanen Kementerian Pertanian, sebagian besar kondisi RPH di Indonesia saat ini cukup memprihatinkan dan tidak memenuhi persyaratan teknis sehingga perlu dilakukan penataan RPH melalui upaya relokasi, renovasi ataupun rehabilitasi (Seputra, 2015). Tawaf et al. (2013) menemukan bahwa dari 20 buah RPH di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara yang diamati kondisi fisiknya, ternyata hanya 20% yang termasuk kategori layak secara teknis, sementara sisanya masih di bawah standar kelayakan teknis. Berbagai permasalahan dalam skala global tersebut menunjukkan bahwa upaya pengelolaan lingkungan pada industri pemotongan hewan (RPH) perlu perbaikan agar memenuhi standar kelayakan. Sejauh ini, pendekatan hanya dilakukan secara end of pipe treatment dinilai tidak memadai karena jumlah limbah yang dihasilkan tidak sebanding dengan daya dukung lingkungan sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan. Kupusovic et al. (2007) menunjukkan bahwa penggunaan sumber daya yang efisien dan mengurangi timbulnya limbah mulai dari sumbernya pada RPH secara signifikan dapat mengurangi jumlah air limbah dan beban pencemaran dibandingkan pengolahan di akhir pipa (end of pipe treatment).

Page 184: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

173 KAJIAN PROSES PRODUKSI RUMAH POTONG HEWAN RUMINANSIA (RPH-R) RAMAH LINGKUNGAN

BERBASIS GOOD HOUSEKEEPING (STUDI KASUS RPH Z-BEEF KOTA BANDAR LAMPUNG)

Untuk itu diperlukan strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dengan meminimalisasi limbah mulai dari sumbernya, yaitu strategi produksi bersih. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2003), produksi bersih adalah strategi pengelolaan yang bersifat preventif, terpadu, dan diterapkan secara terus menerus pada setiap kegiatan mulai dari hulu ke hilir yang terkait dengan proses produksi, produk dan jasa untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya alam, mencegah terjadinya pencemaran lingkungan dan mengurangi terbentuknya limbah pada sumbernya sehingga meminimalisir resiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia serta kerusakan lingkungan. Strategi produksi bersih menjadi paradigma terkini dalam upaya pengelolaan lingkungan di sektor industri (Purwanto, 2009).

Upaya-upaya yang dapat dilakukan pada penerapan pro duksi bersih, mulai dari yang sederhana sampai dengan yang kompleks, yaitu Good Housekeeping, optimasi proses, substitusi bahan baku, teknologi baru, dan desain produk baru (Indrasti dan Fauzi, 2009). Menurut Supriyatno (2000), Good Housekeeping adalah salah satu dari beberapa upaya pengelolaan lingkungan yang menguntungkan karena dapat mengurangi produksi limbah secara berarti. Aplikasi Good Housekeeping merupakan suatu perubahan proses produksi yang sederhana yang seringkali tidak memerlukan investasi namun secara berarti dapat mengurangi produksi limbah. UNEP DTIE dan DEPA (2000) menambahkan bahwa upaya tersebut memerlukan biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan upaya lainnya misalnya perubahan teknologi. Berdasarkan pada keunggulan tersebut, pilihan strategi Good Housekeeping diasumsikan relevan untuk diimplementasikan pada industri RPH yang sebagian besar memiliki modal yang terbatas dan teknologi sederhana. Upaya tersebut bertujuan untuk merumuskan skenario proses produksi RPH yang ramah lingkungan, yaitu proses produksi yang mengutamakan efisiensi sumber daya terutama air dan mengurangi dampak pencemaran baik dari limbah cair (darah) maupun limbah padat.

Provinsi Lampung merupakan salah satu sentra peternakan di Indonesia sehingga keberadaan industri RPH menjadi vital dalam mata rantai agribisnis peternakan. Sebagian besar RPH berada di Kota Bandar Lampung (Ibu kota Provinsi) dan tidak jauh dari lokasi pemukiman. Teknologi pengolahan limbah pun masih belum memadai sehingga menyebabkan permasalahan lingkungan yang hampir serupa dengan daerah-daerah yang telah disebutkan sebelumnya. Berdasarkan latar belakang tersebut, evaluasi kelayakan RPH di Kota Bandar Lampung dan kajian implementasi Good Housekeeping dalam mengupayakan proses produksi RPH ramah lingkungan menjadi penting dan menarik untuk dikaji sebagai objek penelitian.

Page 185: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

174 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisBerdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah yang akan dibahas adalah:

1. Apakah RPH di Kota Bandar Lampung memenuhi kelayakan teknis, ekonomi, dan lingkungan?

2. Apa alternatif-alternatif tindakan Good Housekeeping yang dapat diterapkan pada proses produksi RPH?

Lokasi penelitian yang dipilih adalah RPH ZBeef yang berlokasi di Kelurahan Susunan Baru Kecamatan Tanjung Karang Barat. RPH ZBeef adalah salah satu dari total enam RPH di Kota Bandar Lampung. Penentuan RPH secara purposive sampling berdasarkan kriteria 1) RPH terdaftar dan direkomendasikan oleh Dinas Pertanian Kota Bandar Lampung untuk diteliti, 2) melakukan pemotongan secara kontinyu, 3) jumlah pemotongan terbanyak di Kota Bandar Lampung. Penelitian dilaksanakan selama dua bulan mulai dari bulan September 2018—Oktober 2018.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain penelitian campuran/mix method yang dilakukan secara konkruen, artinya adalah pencarian data dan analisis data kualitatif dan kuantitatif dilakukan bersamaan (Creswell, 2010). Metode kuantitatif digunakan untuk menghitung penggunaan air, limbah, dan produk pada proses produksi. Tujuan metode ini untuk dapat mengestimasi jumlah air yang digunakan, jumlah limbah, dan persentase karkas.

Sementara itu, metode kualitatif digunakan untuk menggali informasi lebih dalam mengenai proses produksi pada RPH, penggunaan bahan baku, dan tata kelola RPH secara keseluruhan dengan menggunakan metode observasi dan wawancara semi terstruktur kepada pimpinan dan karyawan RPH sebagai informan kunci. Pimpinan dan karyawan RPH dipilih sebagai informan kunci karena dianggap mengetahui dengan sangat baik setiap tahapan atau proses produksi RPH. Metode wawancara semi terstruktur juga dilakukan kepada beberapa staf Dinas Pertanian dan Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandar Lampung yang berwenang membina dan mengawasi kegiatan RPH.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Rekomendasi Tindakan Berbasis GHK

GHK merupakan salah satu upaya produksi bersih yang mencakup tindakan prosedural, administratif, maupun institusional yang dapat digunakan perusahaan untuk mengurangi terbentuknya limbah dan emisi. Pada industri RPH, jenis limbah yang dihasilkan berupa limbah padat dan limbah cair dengan jumlah yang besar.

Page 186: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

175 KAJIAN PROSES PRODUKSI RUMAH POTONG HEWAN RUMINANSIA (RPH-R) RAMAH LINGKUNGAN

BERBASIS GOOD HOUSEKEEPING (STUDI KASUS RPH Z-BEEF KOTA BANDAR LAMPUNG)

Jumlah limbah yang cukup besar tersebut perlu pengelolaan yang efektif dimulai dari hulunya agar beban yang ditimbulkan terhadap lingkungan dapat ditekan seminimal mungkin, salah satunya melalui GHK (UNEP DTIE, 2000).

Setelah dilakukan evaluasi terhadap proses pemotongan pada RPH Z Beef, dihasilkan beberapa tindakan koreksi atau alternatif tindakan yang dapat diimplementasikan berdasarkan aspek Good Housekeeping. Alternatif tindakan GHK meliputi penanganan ternak, penggunaan air, penanganan limbah cair dan padat serta aspek K3. Berbagai alternatif tindakan tersebut perlu dievaluasi kembali berdasarkan aspek teknis, ekonomi, dan lingkungan sehingga menjadi alternatif tindakan yang layak untuk dilaksanakan. Tindakan yang layak dilaksanakan atau rekomendasi merupakan bagian tahapan akhir dalam implementasi GHK (Indrasti dan Fauzi, 2009). Secara umum tindakan perbaikan berdasarkan aspek Good Housekeeping terbagi menjadi tiga kategori. Pertama adalah alternatif yang dapat segera dilaksanakan (skala prioritas), dalam hal ini tidak membutuhkan biaya atau berbiaya rendah. Kedua adalah alternatif yang membutuhkan analisis lanjutan, yaitu alternatif yang pada pelaksanaannya membutuhkan investasi dan kajian yang lebih mendalam. Ketiga adalah alternatif yang tidak dapat dilaksanakan, hal ini dapat dikarenakan alternatif tersebut membutuhkan biaya yang tinggi atau tidak dapat dilaksanakan saat ini (BAPEDAL, 2001).

Dalam menentukan skala prioritas dilakukan pembobotan dengan menggunakan metode perbandingan eksponensial. Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) merupakan salah satu metode untuk menentukan urutan prioritas alternatif keputusan secara analisis dengan kriteria jamak. Kriteria tersebut berdasarkan 4 (empat) aspek, yaitu aspek teknis, ekonomi, lingkungan, dan aspek kepentingan. Penentuan tingkat kepentingan dilakukan melalui kesepakatan curah pendapat dengan manajemen (Marimin dan Maghfiroh, 2011). Indrasti dan Fauzi (2009) menambahkan bahwa hal yang paling penting dalam menentukan dipilih atau tidaknya suatu alternatif keputusan dalam implementasi GHK adalah minat dan prioritas perusahaan. Berdasarkan wawancara dengan manajemen RPH, aspek kepentingan yang menjadi proritas adalah alternatif yang berbiaya rendah.

Sesuai dengan hasil pembobotan, maka prioritas kegiatan GHK yang diusulkan adalah dengan memiliki bobot tertinggi, yaitu:

a. Perbaikan prosedur penampungan darah saat penyembelihan

Berdasarkan perhitungan MPE, alternatif ini memiliki bobot tertinggi dengan skor 27. Darah diketahui sebagai salah satu sumber pencemar terbesar pada proses pemotongan hewan. Penanganan darah yang efektif dengan

Page 187: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

176 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

menampung secara optimal selama tujuh menit secara signifikan mengurangi beban pengolahan limbah cair secara keseluruhan. Implementasi alternatif ini dengan perubahan prosedur.

b. Ternak dipuasakan dan hanya diberi air minum

Berdasarkan perhitungan MPE, alternatif ini memiliki bobot tertinggi berikutnya dengan skor 27. Sesuai SOP, hanya ternak yang lebih dari 12 jam saja yang wajib diberi pakan. Pada RPH ZBeef, ternak hanya beristirahat sekitar 4 jam sehingga sebaiknya hanya diberi air minum. Ternak yang dipuasakan akan lebih tenang saat pemotongan sehingga kualitas daging akan lebih baik (Agustina, 2017). Selain itu, ternak yang tidak diberi pakan akan mengurangi isi rumen saat pemotongan. Implementasi alternatif ini dengan perubahan prosedur.

c. Menerapkan metode dry cleaning pada proses pembersihan

Berdasarkan perhitungan MPE, alternatif ini memiliki bobot tertinggi berikutnya dengan skor 22. Air digunakan dalam jumlah besar saat pembersihan. Metode dry cleaning atau pembersihan secara kering dengan menggunakan sapu dan karet pendorong sebelum pencucian secara efektif mengurangi pemakaian air yang berlebih saat pemotongan. Implementasi alternatif ini dengan investasi pembelian karet pendorong dan sapu serta perubahan prosedur pembersihan.

d. Penggunaan water sprayer/nozel pada selang pembersihan

Berdasarkan perhitungan MPE, alternatif ini memiliki skor 22. Penggunaan nozel pada selang bisa menjadi solusi untuk efektivitas dan efisiensi penggunaan air karena semprotan bertekanan jauh lebih efektif untuk membersihkan permukaan dan menggunakan lebih sedikit air. Implementasi alternatif ini dengan investasi pembelian water sprayer dan perubahan prosedur pembersihan.

Rekomendasi alternatif tindakan GHK merupakan hasil analisis dan kesepakatan dengan manajemen puncak untuk melengkapi atau memperbaiki prosedur yang selama ini dilakukan perusahaan. Dalam perkembangannya, alternatif tersebut bukanlah suatu konsep yang baku, tidak menutup kemungkinan untuk mengalami perubahan seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Produksi bersih termasuk GHK didalamnya merupakan suatu konsep yang dinamis dan fleksibel untuk selalu mencari alternatif yang lebih efisien (Indrasti dan Fauzi, 2009).

Page 188: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

177 KAJIAN PROSES PRODUKSI RUMAH POTONG HEWAN RUMINANSIA (RPH-R) RAMAH LINGKUNGAN

BERBASIS GOOD HOUSEKEEPING (STUDI KASUS RPH Z-BEEF KOTA BANDAR LAMPUNG)

2. Faktor penentu keberhasilan implementasi GHK

Menurut Moertinah (2008); Indrasti dan Fauzi (2009), beberapa faktor yang menjadi kunci keberhasilan implementasi GHK adalah sebagai berikut.

a. Komitmen manajemen puncak

Penerapan GHK di perusahaan akan berhasil apabila sudah ada komitmen manajemen puncak. Komitmen ini hendaknya dituangkan dalam kebijakan lingkungan perusahaan dan perbaikan Standar Operasional Prosedur (SOP) sesuai rekomendasi alternatif tindakan GHK yang telah disepakati. Selanjutnya kebijakan tersebut dikomunikasikan kepada seluruh karyawan, sehingga mereka dalam bekerja berdasarkan pola GHK. Dengan adanya penelitian ini data yang diperoleh dapat dipertimbangkan sebagai masukan dalam memperoleh komitmen manajemen puncak terhadap penerapan GHK di perusahaan.

b. Kemampuan sumber daya manusia

Dalam penerapan GHK tentunya juga dibutuhkan personilpersonil yang kompeten dalam pelaksanaannya. Organisasi atau perusahaan dapat mengidentifikasi pengetahuan, pemahaman, ketrampilan atau kemampuan yang membuat personil kompeten dalam implementasi GHK. Setelah dilakukan identifikasi sebaiknya dipastikan bahwa personil mempunyai kemampuan yang dipersyaratkan. Kalau dibutuhkan dapat dilakukan pendidikan tambahan, pelatihan, pengembangan ketrampilan tentang mengenai implementasi GHK.

D. KesimpulanBerdasarkan hasil dan pembahasan pada Bab IV maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Rumah Potong Hewan ZBeef Kota Bandar Lampung merup akan RPH yang belum layak ditinjau berdasarkan Permentan No. 13 Tahun 2010 tentang persyaratan RPH, yaitu:

a. Nilai Kesesuaian (NK) persyaratan teknis dengan skor 185 atau masih dibawah nilai kesesuaian minimal untuk kelayakan teknis suatu RPH dengan skor ≥201.

b. Nilai kesesuaian (NK) persyaratan Sumber Daya Manusia (SDM) berjumlah 135 sehingga termasuk kategori kurang sesuai (KS). Nilai Kesesuaian minimal untuk kelayakan SDM adalah ≥201.

Page 189: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

178 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

c. Nilai kesesuaian (NK) persyaratan Perizinan berjumlah 135 sehingga termasuk kategori kurang sesuai (KS) atau masih dibawah Nilai Kesesuaian minimal untuk kelayakan SDM dengan skor ≥201.

d. Ketidaksesuaian tersebut disebabkan ada beberapa sarana RPH yang belum tersedia, belum memiliki Dokter Hewan dan Juru Pemeriksa Daging, dan belum memiliki dokumen perizinan dari Walikota serta Nomor Kontrol Veteriner (NKV).

2. Ditinjau dari aspek ekonomi, RPH ZBeef memenuhi kelayakan dengan nilai NPV sebesar Rp5.380.296.394,00 Net B/C Rasio bernilai 1,95 dan Payback Periode selama 2,8 tahun.

3. Berdasarkan analisis air limbah, RPH ZBeef memenuhi kelayakan lingkungan dengan nilai BOD, yaitu 14 mg/L, COD 30 mg/L, TSS 12 mg/L, minyak, dan lemak <1 mg/L, NH3N 3 mg/L, dan pH 7. Perusahaan seharusnya tidak melakukan proses pengenceran pada penanganan air limbah dan lebih berfokus pada mereduksi sumber limbah dengan mengaplikasikan Good Housekeeping secara optimal.

4. Alternatif tindakan berbasis Good Housekeeping yang direkomendasikan adalah 1) perbaikan prosedur penampungan darah saat penyembelihan; 2) perlakuan puasa pakan pada ternak; 3) penerapan metode dry cleaning saat pembersihan; 4) penggunaan nozel pada selang pembersihan.

E. Rekomendasi1. Perusahaan sebaiknya merekrut dokter hewan dan Keurmaster (Juru

Pemeriksa Daging) untuk melakukan pengawasan kesehatan masyarakat veteriner di RPH.

2. Pemerintah Kota Bandar Lampung harus mengimplementasikan regulasi dan kebijakan pengelolaan RPH secara konsisten dan ketat baik terhadap bangunan, peralatan, proses produksi, kualitas air limbah, maupun personil yang terlibat.

3. Perlu dilakukan penelitian mengenai potensi cemaran mikrobial pathogen yang dibawa oleh ternak.

Page 190: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

179 KAJIAN PROSES PRODUKSI RUMAH POTONG HEWAN RUMINANSIA (RPH-R) RAMAH LINGKUNGAN

BERBASIS GOOD HOUSEKEEPING (STUDI KASUS RPH Z-BEEF KOTA BANDAR LAMPUNG)

Page 191: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang
Page 192: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

15Nama : Doni Wahyudi

Instansi : Direktorat Konservasi

Keanekaragaman Hayati

Kementerian LHK

Program Studi : Master Sistem dan Teknik

transportasi

Negara Studi : Indonesia-Jepang

Universitas : Institut Teknologi Bandung

Analisis Estimasi Emisi Karbon Dioksida (CO

2) dari Kendaraan

Bermotor pada Ruas Jalan Utama Kota

Payakumbuh

Page 193: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

182 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Karbon dioksida (CO2) merupakan salah satu senyawa emisi tertinggi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil dari kendaraan bermotor dan dianggap sebagai kontributor utama penyebab efek rumah kaca (Gas Rumah Kaca). Hampir 70% pencemaran udara di perkotaan disebabkan oleh aktivitas dari kendaraan bermotor. Efek gas rumah kaca membuat bumi semakin hangat yang memengaruhi iklim dunia dengan dampak terjadinya beberapa bencana, seperti banjir, longsor, dan kenaikan permukaan air laut. Selain itu dampak lainnya bagi manusia seperti terganggunya kesehatan, dampak ekonomi, dan dampak sosial.

Kota Payakumbuh merupakan kota terbesar ketiga di Provinsi Sumatra Barat juga mengalami permasalahan yang sama dengan kota-kota lain di Indonesia. Seiring semakin tumbuh dan berkembangnya perkotaan, kemacetan dan padatnya lalu lintas kendaraan bermotor akan menyebabkan efek negatif, seperti meningkatnya polusi emisi dari Karbon dioksida (CO2). Untuk itu dianggap perlu untuk mengetahui estimasi jumlah produksi dan proyeksi kenaikannya dalam beberapa tahun ke depan dari emisi CO2 yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor di jaringan jalan, terutama jalan-jalan utama yang menghubungkan pusat-pusat kegiatan yang ada di Kota Payakumbuh. Hal ini penting diketahui agar para pihak-pihak yang terkait dapat merencanakan dan membuat kebijakan, terutama dalam bidang transportasi yang tetap mendukung tumbuhnya kota tersebut dengan meminimalkan dampak terhadap lingkungan, ekonomi, dan sosial dengan konsep sustainable transportation yang bertujuan untuk untuk menurunkan polusi udara.

Dengan mengetahui jumlah volume kendaraan setiap ruas jalan dan laju kenaikannya setiap tahun, besaran produksi emisi CO2 dapat dihitung secara kuantitatif dengan menggunakan faktor emisi per jenis kendaraan terhadap jarak tempuh kendaraan. Hasil analisis jumlah produksi CO2 dihitung dalam satuan ppm/hari dan digambarkan secara spasial dengan software ArcGIS di peta jaringan jalan Kota Payakumbuh dalam rentang waktu per lima tahun dari tahun 2019 sampai tahun 2039.

Total produksi emisi CO2 tahun 2019 untuk beberapa ruas jalan utama dan ruas jalan alternatif dalam lingkup penelitian sebesar 22,002.72 x106 ppm/hari, meningkat menjadi 58,714.27 x106 ppm/hari pada tahun 2039 dengan laju pertumbuhan sebesar 5,03% setiap tahunnya. Jalan Soekarno-Hatta adalah ruas jalan terbesar yang menghasilkan emisi CO2 dan sepeda motor adalah jenis kendaraan terbesar yang menghasilkan emisi CO2.

• Kata Kunci: transportasi berkelanjutan, emisi karbon dioksida (CO2)

Page 194: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

183 ANALISIS ESTIMASI EMISI KARBON DIOKSIDA (CO2) DARI KENDARAAN BERMOTOR PADA

RUAS JALAN UTAMA KOTA PAYAKUMBUH

ABSTRACT

Carbon dioxide (CO2) is one of the highest emission compounds produced from burning fossil fuels from combustion engine motor vehicles and is considered a major contributor to the greenhouse effect. Nearly 70% of urban air pollution is caused by motor vehicle activity. The greenhouse effect makes the earth warmer which affects the world’s climate with the impact of several disasters such as floods, landslides and sea level rise. Besides other impacts on humans such as disruption of health, economic impacts and social impacts.

Payakumbuh City is the third largest city in West Sumatra Province also experiencing the same problems with other cities in Indonesia. As cities grow and develop, traffic and congestion of motorized vehicle traffic will cause negative effects, such as increased emissions of carbon dioxide (CO2). For this reason it is deemed necessary to know the estimated amount of production and the projected increase in the next few years from the CO2 emissions generated by motor vehicles in the road network, especially the main roads in the City of Payakumbuh. It is important to know that related institution, for planning and make policies, especially in the field of transportation that continues to support the growth of the city by minimizing the impact on the environment, economy and social with the concept of sustainable transportation, that aims to reduce air pollution.

By knowing the quantity of vehicle volumes per road section and the rate of increasing, the amount of CO2 emission production can be calculated quantitatively using the emission factor per type of vehicle and vehicle mileage. The results of the analysis of the amount of CO2 production are calculated in units of ppm/day and described spatially with the ArcGIS software on the map of Payakumbuh City in the span of five years from 2019 to 2039.

Total production of CO2 emission in 2019 for several main roads and alternative roads within the scope of the study was 22,002.72 x106 ppm / day, grow to 58,714.27 x106 ppm/day in 2039 with a growth rate of 5.03% per year. Soekarno-Hatta Road is the largest road section that produces CO2 emissions and motorbikes are the largest types of vehicles that produce CO2 emissions.

• Keywords: sustainable transportation, carbon dioxide (CO2) emissions

Page 195: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

184 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. Latar BelakangKarbon dioksida (CO2) merupakan salah satu senyawa emisi kendaraan tertinggi dari kendaraan bermotor dan telah menjadi perhatian utama sebagai kontributor terbesar dalam fenomena efek rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim secara drastis. Secara singkat, efek rumah kaca dapat dijelaskan dengan hasil pembakaran bahan bakar fosil yang menghasilkan CO2 ke atmosfer dan membuat bumi menjadi lebih hangat yang memmengaruhi iklim dunia dengan dampak terjadinya beberapa bencana, seperti banjir, longsor, dan kenaikan permukaan air laut yang telah menenggelamkan sebagian daerah di kota-kota pesisir, terutama negara Indonesia yang sebagian besar kotanya berada di daerah pesisir. Selain CO2, emisi gas buang lainnya, seperti HC, CO, Nox, dan PM merupakan polutan-polutan yang berbahaya yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor. Tingkat pencemaran gas buang itu secara pasti akan terus naik dengan bertambahnya kendaraan bermotor yang memadati jalan-jalan, yang hampir seluruhnya menggunakan bahan bakar fosil.

Hasil Evaluasi Kualitas Udara Perkotaan (EKUP) yang dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), 70% pencemaran udara perkotaan disebabkan oleh asap kendaraan bermotor. Kota Payakumbuh merupakan kota terbesar ke tiga di Provinsi Sumatra Barat memiliki permasalahan yang hampir sama dengan kota-kota lain di Indonesia, Salah satunya adalah semakin padatnya lalu lintas oleh pergerakan kendaraan bermotor, yang secara tidak langsung juga meningkatnya polusi udara di Kota Payakumbuh. Menurut kantor Samsat Kota Payakumbuh, banyaknya jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar di Samsat Kota Payakumbuh sampai tahun 2018 berjumlah 36 ribu lebih yang di domininasi oleh kendaraan roda dua, belum termasuk kendaraan berpelat nomor luar daerah yang ada di Payakumbuh. Peningkatan volume kendaraan mempunyai dampak positif dan dampak negatif baik terhadap ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Salah satu dampak negatif terhadap lingkungan adalah meningkatnya polusi udara khususnya perkotaan seperti kenaikan emisi. Emisi kendaraan merupakan gas buang yang dikeluarkan oleh suatu kendaraan hasil dari kegiatan pembakaran bahan bakar fosil yang digunakan untuk menggerakkan kendaraan, di antaranya gas karbon dioksida (CO2) yang menyebabkan efek gas rumah kaca (GRK).

Karbon dioksida (CO2) merupakan salah satu senyawa emisi kendaraan tertinggi dari kendaraan bermotor dan telah menjadi perhatian utama sebagai kontributor terbesar dalam fenomena efek rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim secara drastis. Secara singkat, efek rumah kaca dapat dijelaskan dengan hasil pembakaran bahan bakar fosil yang menghasilkan CO2 ke atmosfer dan membuat bumi menjadi lebih hangat yang memmengaruhi iklim dunia dengan dampak terjadinya beberapa bencana, seperti banjir, longsor, dan kenaikan permukaan air

Page 196: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

185 ANALISIS ESTIMASI EMISI KARBON DIOKSIDA (CO2) DARI KENDARAAN BERMOTOR PADA

RUAS JALAN UTAMA KOTA PAYAKUMBUH

laut yang telah menenggelamkan sebagian daerah di kota–kota pesisir, terutama negara Indonesia yang sebagian besar kotanya berada di daerah pesisir. Selain CO2, emisi gas buang lainnya seperti HC, CO, NOx dan PM merupakan polutan–polutan yang berbahaya yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor. Tingkat pencemaran gas buang itu secara pasti akan terus naik dengan bertambahnya kendaraan bermotor yang memadati jalan–jalan, yang hampir seluruhnya menggunakan bahan bakar fosil.

Secara geografi terletak pada posisi 00O 17’ LS dan 100 035’ sampai dengan 100045’ BT. Posisinya berada di tengah-tengah Kabupaten Limapuluh Kota, sehingga seluruh bagian luar Kota Payakumbuh berbatasan dengan Kabupaten Limapuluh Kota. Letak Kota Payakumbuh sangat strategis bila dilihat dari segi lalu lintas angkutan darat antara Provinsi Sumatra Barat dengan Provinsi Riau. Kota Payakumbuh merupakan pintu gerbang masuk dari arah Pekanbaru menuju kabupaten dan kota lain yang ada di Provinsi Sumatra Barat. Jarak kota Payakumbuh ke Kota Pekanbaru adalah 188 km dan dapat ditempuh selama ± 4,5 jam perjalanan dengan angkutan pribadi, sedangkan jarak ke Kota Padang sejauh 124 km, dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi selama ±3 jam. Luas wilayah Kota Payakumbuh ± 80,43 Km2 dengan jumlah penduduk 133.703 jiwa yang tersebar di 48 kelurahan dengan 5 kecamatan.

Pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang terus tumbuh, telah mendorong pesatnya laju pembangunan di segala bidang terutama dalam bidang sosial ekonomi, seperti berkembangnya pembangunan infrastruktur dan pembangunan fisik perkotaan, tumbuhnya kawasan-kawasan permukiman baru, kawasan perkantoran/pemerintahan dan kawasan perdagangan dan jasa. Dengan kondisi yang seperti ini menjadikan aktivitas masyarakat sehari–hari semakin meningkat, sehingga menuntut tersedianya sarana dan prasarana transportasi yang memadai dan mampu menjadi penunjang dan pendukung kegiatan secara optimal, seperti pembangunan jalan dan sarana transportasi lainnya.

Panjang jalan yang telah terbangun sampai tahun 2018 di Kota Payakumbuh ± 286 Km, yang terdiri dari jalan nasional 15,45 Km, jalan provinsi 16,22 Km dan jalan kota ± 255 Km (BPS, 2019). Jalan nasional menghubungkan Provinsi Sumatra Barat dengan Provinsi Riau yang membentang dari arah Kota Bukittinggi–Tanjung pati, Kabupaten Limapuluh Kota melalui jalur lingkar utara dan lingkar selatan. Sementara jalan provinsi dari arah selatan ke utara yang menghubungkan Kabupaten Tanah Datar dengan Kota Payakumbuh dan Kabupaten Limapuluh Kota. Untuk jalan kota terbagi dalam 439 ruas jalan yang menghubungkan seluruh titik simpul pergerakan yang ada di Kota Payakumbuh. Pembangunan infrastruktur jalan yang dilakukan setiap tahunnya berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor roda dua dan roda empat oleh masyarakat dalam melaksanakan aktivitas sehari–harinya.

Page 197: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

186 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Perlu diteliti lebih dalam besaran polusi dari kendaraan bermotor yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia yang tersebar secara spasial dalam jaringan jalan khususnya Kota Payakumbuh, terutama jalan-jalan utama dengan volume kendaraan yang besar yang dilalui oleh kendaraan bermotor. Merujuk kepada literatur dan standar teknis yang ada, tingkat emisi sepanjang jalan–jalan utama dapat di perkirakan dan di proyeksikan untuk beberapa tahun kedepan untuk mengetahui tingkat emisi yang akan timbul terhadap lingkungan terutama daerah sepanjang sepadan jalan yang dilalui kendaraan bermotor. Hal ini penting di ketahui agar para parapihak yang terkait dapat merencanakan dan membuat kebijakan terutama dalam bidang trasnportasi, yang tetap mendukung petumbuhan aktivitas perkotaan dengan meminimalkan dampak terhadap lingkungan atau dengan konsep sustainable trasportation yang bertujuan untuk menurunkan polusi udara. Konsep sustainable transportation atau transportasi berkelanjutan merupakan penyediaan transportasi dan pergerakan dengan menggunakan bahan bakar terbarukan selagi meminimalisir dampak emisi yang berpengaruh pada wilayah sekitar serta lingkungan global. Hal ini dilakukan agar kebutuhan mobilitas generasi saat ini dapat terpenuhi tanpa mengorbankan kesempatan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka (Black, 2010).

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisBila dikaitkan dengan pengertian pembangunan berkelanjutan, konsep transportasi berkelanjutan pada dasarnya merupakan pengembangan perkotaan secara berkelanjutan dengan tidak merugikan generasi yang akan datang. Organization Of Economic Transportation dan National Round Table On The Environment And The Economy (OECD, 1996 dan NRTEE, 1996) mendefinisikan transportasi berkelanjutan dalam tiga aspek, yaitu:

1. Lingkungan, transportasi yang tidak membahayakan kesehatan publik dan ekosistem serta menyediakan sarana mobilitas dengan memanfaatkan sumber daya yang dapat diperbarui atau dengan kata lain transportasi yang tidak menimbulkan polusi air, udara, dan tanah serta menghindari penggunaan sumber daya yang berlebihan;

2. Ekonomi, transportasi yang dapat menjamin pemenuhan biaya transportasi melalui pembebanan ongkos yang layak bagi masyarakat pengguna sarana transportasi dan dapat mewujudkan keadilan dalam sistem transportasi; dan

3. Sosial, transportasi yang dapat meminimalisasi tingkat kebisingan, kecelakaan, waktu tempuh kerugian akibat kemacetan, dan dapat meningkatkan keadilan sosial dan tingkat kesehatan dalam komunitas (transportasi yang dapat mendukung terwujudnya lingkungan sosial yang sehat, komunitas yang layak untuk didiami dan kaya akan modal sosial).

Page 198: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

187 ANALISIS ESTIMASI EMISI KARBON DIOKSIDA (CO2) DARI KENDARAAN BERMOTOR PADA

RUAS JALAN UTAMA KOTA PAYAKUMBUH

Kenaikan polusi udara gas karbon dioksida (CO2) di atmosfer telah menyebabkan perubahan iklim yang drastis. Kejadian bencana alam seperti angin topan, badai, dan banjir yang meningkat merupakan pengaruh dari perubahan iklim yang terjadi di dunia. Kontribusi pencemaran udara yang berasal dari sektor transportasi mencapai 60%, selebihnya sektor industri 25%, rumah tangga 10%, dan sampah 5% (Saepudin dan Admono, 2005). Selain itu, ruang terbuka hijau (RTH), seperti taman kota dan jalur hijau yang ada di sepanjang koridor jalan–jalan utama yang padat kendaraan sebagai penyerap emisi karbon dioksida juga tidak memadai, bahkan cenderung semakin berkurang akibat dari pelebaran jalan untuk meningkatkan kapasitasnya.

Dampak eksternalitas polusi dari gas buang kendaraan bermotor terutama daerah sekitar sepanjang jalan yang dilewati kendaraan tidak hanya berdampak langsung kepada penggunanya, melainkan juga kepada warga yang tinggal di kota tersebut merasakan eksternalitas negatifnya. Efek tidak langsung tersebut akan berdampak terhadap biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun masyarakat yang akan datang seperti biaya kesehatan, sosial dan lingkungan. Dengan diketahuinya perkiraan jumlah emisi yang dihasilkan kendaraan bermotor dalam jangka waktu tertentu, diharapkan kebijakan–kebijakan yang diambil dapat meminimalisir dan mengendalikan eksternalitas negatif dari aktivitas transportasi yang terus tumbuh setiap tahunnya.

Untuk analisis dan metode penelitiannya bersifat kuantitatif. Analisis dari data yang dikumpulkan berupa variabel–variabel yang dapat dijabarkan pada indikator–indikator agar dapat dihitung secara kuantitatif dengan tujuan untuk menjelaskan dan menggambarkan suatu kondisi dalam bentuk data statistik yang berarti (Somantri, 2005). Pendekatan penelitian ini menjelaskan tentang tahapan yang dilakukan untuk mencapai tujuan dan sasaran penelitian.

1. Pengumpulan data diawali dari kajian teoritis dengan mengumpulkan dan mempelajari literatur-literatur yang berkaitan dengan konsep sistem transportasi secara umum, sistem transportasi yang berkelanjutan (sustainable transportation), definisi polusi udara dalam konteks transportasi, definisi karbon dioksida dan penjelasan terkait inventarisasi emisi CO2 kendaraan bermotor baik dari buku-buku maupun dari jurnal penelitian sebelumnya serta sumber-sumber lain yang berkaitan dengan penelitian ini.

2. Survey primer dilakukan untuk pengambilan data mengenai kondisi eksisting jaringan jalan tahun 2019, yaitu data volume kendaraan bermotor di ruas jalan lingkup penelitian dengan cara menghitung jumlah kendaraan yang lewat di titik pengamatan pada waktu jam sibuk atau traffic counting.

Page 199: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

188 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

C. Pembahasan Hasil AnalisisBerdasarkan penelitian yang telah dilakukan melalui data primer dan data sekunder mengenai estimasi emisi karbon dioksida (CO2) kendaraan bermotor di Kota Payakumbuh, khususnya untuk ruas-ruas jalan utama, terdapat beberapa temuan yang diperoleh.

1. Data jumlah kendaraan yang diterbitkan oleh BPS adalah data banyaknya kendaraan yang terdaftar di Kantor Samsat Kota Payakumbuh yang membayar pajak tahunan dan kendaraan baru yang sudah terdaftar pada tahun tersebut. Jumlah kendaraan tersebut tidak terlalu akurat untuk menggambarkan jumlah volume kendaraan secara keseluruhan di Kota Payakumbuh karena adanya kendaraan yang menunggak pajak dan kendaraan yang terdaftar di daerah lain. Namun angka laju kenaikannya setiap tahun dapat menjadi acuan untuk perhitungan laju pertumbuhan volume kendaraan.

2. Survei kinerja jaringan jalan yang ada di Kota Payakumbuh terakhir dilaksanakan pada tahun 2013 sebagai data primer dari dokumen perencanaan Rencana Induk lalu lintas dan Angkutan Jalan Kota Payakumbuh yang dilaksanakan oleh Dinas Perhubungan Kota Payakumbuh.

3. Update data terkait kinerja jaringan jalan yang rutin dilakukan setiap tahun adalah data dasar infrastruktur jalan seperti panjang jalan, lebar jalan, dan kondisi jalan di bawah kewenangan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Payakumbuh bidang Bina Marga.

4. Dalam rencana pengembangan jaringan transportasi darat dan sistem angkutan umum di dokumen RTRW Kota Payakumbuh tahun 2010—2030, isu lingkungan dan transportasi keberlanjutan belum menjadi hal utama dalam pertimbangan penyusunan program dan kegiatan sistem transportasi pada tahun 2010—2030.

D. KesimpulanDari hasil analisis yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa jumlah emisi gas CO2 yang diproduksi dari kendaraan bermotor di Kota Payakumbuh dapat digambarkan secara spasial dalam jaringan jalan yang ada dan proyeksi kenaikan emisi CO2 tersebut dalam rentang waktu 20 tahun dari tahun 2019—2039. Kesimpulan yang dapat diambil oleh penulis setelah pengolahan data dan analisis penelitian adalah sebagai berikut.

1. Berdasarkan hasil penelitian, estimasi jumlah produksi emisi CO2 pada tahun 2019 sebesar 22,002.72 x106 ppm/hari dengan rata–rata setiap ruas jalan sebesar 2,444.75 x106 ppm/hari. Jumlah emisi ini akan meningkat menjadi 58,714.27 x106 ppm/hari dengan rata–rata 6,523.81 x106 ppm/hari untuk setiap

Page 200: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

189 ANALISIS ESTIMASI EMISI KARBON DIOKSIDA (CO2) DARI KENDARAAN BERMOTOR PADA

RUAS JALAN UTAMA KOTA PAYAKUMBUH

ruas jalan untuk pada tahun 2039. Jl. Soekarno Hatta merupakan ruas jalan dengan produksi emisi CO2 tertinggi, disebabkan karena memiliki volume kendaraan terbanyak dibandingkan dengan ruas jalan lain dan perlintasan utama yang menghubungkan pergerakan kendaraan dari Provinsi Sumatra Barat menuju Riau maupun sebaliknya.

2. Berdasarkan hasil penelitian dengan proyeksi pertumbuhan volume kendaraan hasil analisis, tingkat layanan (level of service) sebagian ruas jalan pada tahun 2024 sudah sama atau lebih dari kapasitas jalan yang tersedia seperti Jl. Ahmad Yani. Sementara pada tahun 2039, tingkat layanan sebagian besar ruas jalan sudah mendekati atau melebihi dari kapasitas jalan yang tersedia.

3. Dari rincian beban emisi pada setiap jenis kendaraan bermotor, sepeda motor adalah penyumbang terbesar produksi emisi dari karbon dioksida (CO2) dan pengguna sepeda motor adalah orang yang paling terdampak langsung oleh tingginya emisi CO2 di jalan yang dapat mengganggu kesehatan.

E. RekomendasiBerdasarkan dari hasil analisis yang telah dilakukan, maka dirumuskan rekomendasi dalam kebijakan dan perencanaan dari pengembangan sistem transportasi jalan darat di Kota Payakumbuh. Berikut adalah rekomendasi yang diusulkan.

1. Dalam perencanaan rehabilitasi jalan eksisting dan pembangunan jalan baru, perlu direncanakan juga penyediaan jalur hijau di sepanjang jalan tersebut sebagai penyerap emisi dari karbon dioksida (CO2). Hal ini tentu akan mengurangi jumlah emisi CO2 yang dibuang ke atmosfer.

2. Untuk mengurangi dan mengendalikan meningkatnya pertumbuhan volume kendaraan, perlu direncanakan dari awal untuk membuat sistem angkutan umum dengan konsep sustainable transportation. Artinya, pengurangan emisi tidak saja berkurangnya kendaraan pribadi karena penggunaan kendaraan umum, tapi teknologi yang diterapkan untk sarana transportasi umum juga ramah terhadap lingkungan. Sistem transportasi umum tersebut harus nyaman dan murah supaya masyarakat dapat beralih dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum.

3. Membuat kebijakan dan peraturan daerah yang dapat mengatur dari meningkatnya volume pergerakan lalu lintas di jaringan jalan yang ada di Kota Payakumbuh untuk menghindari timbulnya kemacetan yang berdampak terhadap sosial, ekonomi, dan lingkungan. Seperti peraturan tentang penerapan sistem satu arah, peraturan tentang pembatasan kendaraan pribadi di beberapa ruas jalan dan lain sebagainya.

Page 201: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

190 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

4. Apabila ditinjau dari struktur ruang dan pola penggunaan lahan, sistem jaringan transportasi yang menghubungkan kawasan pusat–pusat kegiatan sudah terbangun baik oleh bangunan komersial maupun permukiman. Kecenderungan pola pergerakan akan terpusat dalam sistem jaringan jalan yang menghubungkan kawasan PPK dan SPPK. Perlu kiranya untuk mengembangkan kawasan pertumbuhan baru agar pergerakan kendaraan dapat tersebar di jaringan jalan lain yang kinerjanya masih baik.

5. Skala prioritas penanganan permasalahan yang timbul di antaranya penyediaan sistem angkutan umum dengan konsep sustainable transportation untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, secara tidak langsung akan mengurangi beban emisi CO2 yang diproduksi dari kendaraan bermotor dengan berkurangnya penggunaan kendaraan pribadi. Dari hasil proyeksi estimasi emisi CO2, dapat direncanakan untuk penanganannya dengan memprioritaskan beberapa ruas jalan dalam beberapa tahun ke depan dengan membandingkan kinerja setiap ruas jalan.

Page 202: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

191 ANALISIS ESTIMASI EMISI KARBON DIOKSIDA (CO2) DARI KENDARAAN BERMOTOR PADA

RUAS JALAN UTAMA KOTA PAYAKUMBUH

Page 203: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang
Page 204: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

16Nama : Ani Meidiani

Instansi : Pemerintah Kabupaten Bantul

Program Studi : Magister Sistem dan Teknik

Transportasi

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Penanganan Permasalahan

Transportasi Perkotaan

di Perbatasan Kota

Yogyakarta - Kabupaten

Sleman - Kabupaten Bantul:

Sekretariat Bersama

Kartamantul

Page 205: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

194 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRAK

Permasalahan transportasi yang memiliki eksternalitas lintas daerah tidak mungkin ditangani oleh daerah sendiri, diperlukan koordinasi antardaerah. Koordinasi Pemerintah Kota Yogyakarta, Pemerintah Kabupaten Sleman, dan Pemerintah Kabupaten Bantul dilakukan melalui Sekretariat Bersama Kartamantul. Penelitian ini bertujuan menganalisis peran Sekretariat Bersama Kartamantul dalam penanganan permasalahan transportasi perkotaan di perbatasan Kota Yogyakarta-Kabupaten Sleman-Kabupaten Bantul serta meninjau peran Forum LLAJ DIY untuk dapat dikolaborasikan dengan peran Sekretariat Bersama Kartamantul; menganalisis permasalahan transportasi perkotaan di perbatasan Kota Yogyakarta-Kabupaten Sleman-Kabupaten Bantul (kawasan Jalan Godean mulai Jatikencana-Demak Ijo) serta upaya penanganan yang dilakukan melalui Sekretariat Bersama Kartamantul; dan memberikan usulan/rekomendasi bagi Sekretariat Bersama Kartamantul.

Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Pengumpulan data melalui wawancara mendalam semiterstruktur, studi dokumen, dan observasi. Digunakan purposive sampling (5 informan kunci) dan snowball sampling. Analisis data menggunakan interactive model dan perumusan rekomendasi menggunakan pendekatan kualitatif Matrik SWOT.

Hasil penelitian menunjukkan Sekretariat Bersama Kartamantul dan Forum LLAJ DIY memiliki peran koordinatif dan dapat menjadi mitra kerja dengan saling melakukan komunikasi dan kolaborasi penanganan permasalahan transportasi di kawasan Jatikencana-Demak Ijo, meliputi kemacetan lalu lintas pada saat jam puncak dan kondisi angkutan perkotaan Yogyakarta (Trans Jogja Jalur 8) yang belum memadai. Upaya penanganan kemacetan lalu lintas dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu manajemen dan rekayasa lalu lintas (uji coba pengendalian pergerakan lalu lintas) serta peningkatan kapasitas prasarana (pembangunan jalan tembus Jalan Manunggal-Jalan Kyai Mojo, pelebaran dan perbaikan jalan alternatif menghubungkan Jalan Tambak-Jalan Jambon dan Jalan HOS Cokroaminoto-STPN-Ring road Barat, serta sinkronisasi status jalan di perbatasan); upaya penanganan kondisi Trans Jogja belum dilakukan secara mendalam, sebatas diskusi/sharing di antara stakeholders untuk memperoleh masukan bagi Trans Jogja secara umum. Penelitian ini juga memberikan beberapa usulan/rekomendasi bagi Sekretariat Bersama Kartamantul.

• Kata Kunci: Kartamantul, perbatasan, penanganan, transportasi perkotaan

Page 206: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

195 PENANGANAN PERMASALAHAN TRANSPORTASI PERKOTAAN DI PERBATASAN KOTA YOGYAKARTA

KABUPATEN SLEMAN – KABUPATEN BANTUL: SEKRETARIAT BERSAMA KARTAMANTUL

ABSTRACT

Transportation problems which have cross-regional externalities are impossible to handle by the region itself, it is important to have coordination between regions. Coordination between local governments of Yogyakarta Municipality, Sleman Regency, and Bantul Regency has been executed through the Joint Secretariat of Kartamantul. This research was aimed to analyze the role of the Joint Secretariat of Kartamantul in handling urban transportation problems in the border area of Yogyakarta-Sleman-Bantul and to review the role of Forum LLAJ DIY in order to promote a collaboration with the Joint Secretariat of Kartamantul; to analyze urban transportation problems in the border area of Yogyakarta-Sleman-Bantul (Jalan Godean area, from Jatikencana to Demak Ijo) and how the problems were handled through the Joint Secretariat of Kartamantul; and to give recommendations for the Joint Secretariat of Kartamantul.

The method used in this research was descriptive qualitative. Data collection was conducted through semi structured in-depth interviews, study documents, and observations. The sampling techniques were purposive sampling with 5 key informants and snowball sampling. Data were analyzed by using interactive model and recommendation was done through qualitative approach of SWOT Matrix.

The results show that the Joint Secretariat of Kartamantul and Forum LLAJ DIY have coordinative roles and those parties are possible to be partners by establishing communication and handling collaboration; urban transportation problems in the area of Jatikencana-Demak Ijo are traffic congestion at peak hours and inadequate urban public transport condition (Trans Jogja Route 8); congestion problem is handled through two approaches, traffic management, and engineering (controlling the traffic movement by simulations) and improving infrastructure capacity (building new link from Jalan Manunggal to Jalan Kyai Mojo, widening and maintaining alternative roads connecting Jalan Tambak-Jalan Jambon and Jalan HOS Cokroaminoto-STPN-West Ring road, and synchronizing road status in the border area); and for Trans Jogja, the handling is limited only on discussions among stakeholders to obtain inputs for Trans Jogja in general. This research also give some recommendations for the Joint Secretariat of Kartamantul.

• Keywords. Kartamantul, border area, handling, urban transportation

Page 207: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

196 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. Latar BelakangPermasalahan transportasi yang memiliki eksternalitas lintas daerah tidak mungkin dilakukan dan ditangani oleh daerah sendiri, diperlukan koordinasi dan kolaborasi antardaerah karena urusan tersebut akan lebih efisien dan optimal jika dikelola bersama sebagai satu sistem tanpa melihat batas wilayah administratif. Sebagai upaya untuk mewujudkan kolaborasi dan koordinasi antarwilayah, organisasi transportasi yang bersifat regional telah banyak dibentuk di berbagai area metropolitan (kawasan perkotaan besar) di Amerika dan Eropa, seperti CMT (Corridor Management Team yang merupakan kolaborasi antara Texas-The City of San Antonio-Bexar County), The East Valley Task Force (beranggotakan lima wilayah administratif di negara bagian Arizona), TRANSCOM (kolaborasi wilayah metropolitan New York-New Jersey-Connecticut), CapWIN (kolaborasi antara Maryland-Virginia-Washington), MVRD (Metro Vancouver Regional District yang merupakan lembaga perkotaan antar yurisdiksi di British Columbia, Canada), dan TEB (Trinational Eurodistrict Basel yaitu kolaborasi tiga wilayah perbatasan di Perancis-Jerman-Swiss yang tergabung dalam satu area metropolitan, merupakan sebuah asosiasi nirlaba yang dilaksanakan oleh suatu sekretariat teknis terdiri dari empat orang staf full-time yang bertanggung jawab untuk melakukan koordinasi antara stakeholders).

Terdapat praktik kolaborasi dan koordinasi antarwilayah berbeda administratif pada level aglomerasi perkotaan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kolaborasi dan koordinasi antara pemerintah daerah yang wilayahnya saling berbatasan, yaitu Pemerintah Kota Yogyakarta, Pemerintah Kabupaten Sleman, dan Pemerintah Kabupaten Bantul dalam konteks Kawasan Perkotaan Yogyakarta telah dilakukan sejak tahun 2001 melalui suatu sekretariat bersama yang beranggotakan tiga kabupaten/kota tersebut yang lazim disebut sebagai Sekretariat Bersama (Sekber) Kartamantul. Sekretariat bersama ini tidak mengkhususkan pada bidang transportasi, bekerja pada level lintas wilayah, yaitu di kawasan aglomerasi perkotaan Yogyakarta, dan berfokus pada 6 sektor terkait pelayanan infrastruktur perkotaan (persampahan, air limbah, transportasi, jalan, drainase, dan air bersih). Sekretariat Bersama Kartamantul dibentuk melalui Keputusan Bersama Bupati Bantul, Bupati Sleman, dan Walikota Yogyakarta Nomor 04/Perj/Bt/2001, Nomor 38/Kep.KDH/2001, dan Nomor 03 Tahun 2001 tentang Pembentukan Sekretariat Bersama Pengelolaan Prasarana dan Sarana Perkotaan antara Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, dan Kota Yogyakarta. Dalam sektor transportasi, Sekretariat Bersama Kartamantul bertujuan untuk mensinkronisasikan program dan kegiatan pengelolaan prasarana dan sarana transportasi di Kawasan Perkotaan Yogyakarta. Dukungan legalitas untuk kolaborasi dan koordinasi sektor transportasi dituangkan dalam Perjanjian Kerja Sama antara Pemerintah Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, dan Kota Yogyakarta Nomor 10/Perj/Bt/2001, Nomor 08/

Page 208: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

197 PENANGANAN PERMASALAHAN TRANSPORTASI PERKOTAAN DI PERBATASAN KOTA YOGYAKARTA

KABUPATEN SLEMAN – KABUPATEN BANTUL: SEKRETARIAT BERSAMA KARTAMANTUL

PK.KDH/2001, dan Nomor 05/PK/2001 tentang Pengelolaan Prasarana dan Sarana Sistem Transportasi.

Di samping itu, Sekretariat Bersama Kartamantul juga melakukan kolaborasi dan koordinasi pada sektor jalan untuk mewujudkan kondisi prasarana dan sarana jalan yang baik di wilayah perbatasan Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, dan Kota Yogyakarta. Hal ini diwujudkan melalui Perjanjian Kerja Sama antara Pemerintah Kabupaten Bantul, Pemerintah Kabupaten Sleman, dan Pemerintah Kota Yogyakarta Nomor 18/PK/Bt2014, Nomor 62.1/PK.KDH/A/2014, dan Nomor 51/Perj.YK/2014 tentang Pengelolaan Prasarana dan Sarana Jalan di Wilayah Perbatasan. Sektor jalan tentunya tidak dapat dipisahkan dengan sektor transportasi karena jalan merupakan bagian dari sistem transportasi. Sekretariat Bersama Kartamantul diakui sebagai salah satu contoh wadah koordinasi antardaerah yang berhasil di Indonesia sehingga berhasil meraih penghargaan pada IMP Award Tahun 2003 dari Departemen Dalam Negeri-World Bank. Selain itu, Sekretariat Bersama Kartamantul juga menjadi salah satu best-practice kerja sama pengelolaan prasarana perkotaan dan wilayah aglomerasi perkotaan di Indonesia.

Pasal 10 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2010 menyebutkan bahwa Kawasan Perkotaan Yogyakarta (Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta), meliputi Kota Yogyakarta, Kecamatan Depok, sebagian Kecamatan Ngaglik, sebagian Kecamatan Mlati, sebagian Kecamatan Godean, sebagian Kecamatan Gamping, sebagian Kecamatan Ngemplak, sebagian Kecamatan Kasihan, sebagian Kecamatan Sewon, dan sebagian Kecamatan Banguntapan. Dengan demikian, permasalahan transportasi yang timbul di kawasan perbatasan ketiga daerah administratif ini digolongkan sebagai permasalahan transportasi perkotaan. Dikarenakan permasalahan transportasi perkotaan terjadi di wilayah perbatasan Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul, maka pembahasannya dilakukan melalui Sekretariat Bersama Kartamantul.

Berdasarkan deskripsi di atas latar belakang permasalahannya adalah sebagai berikut.

1. wilayah perbatasan merupakan grey area (daerah abu-abu) yang kurang memperoleh perhatian pemerintah daerah karena sulitnya melakukan koordinasi antarwilayah serta pembagian peran dan kewenangan stakeholders yang tidak jelas di wilayah ini;

2. isu transportasi bersifat lintas wilayah sehingga memerlukan pendekatan yang bersifat koordinatif dengan melibatkan banyak stakeholders;

3. isu transportasi perkotaan di Kawasan Perkotaan Yogyakarta telah meluas melampaui batas wilayah administratif dengan melibatkan tiga pemerintah daerah yang berbatasan;

Page 209: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

198 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

4. praktek kolaborasi dan koordinasi di bidang transportasi yang bersifat regional/kewilayahan di Amerika dan Eropa dilakukan melalui pembentukan organisasi di area metropolitan atau dapat dilakukan pada level wilayah aglomerasi perkotaan;

5. kolaborasi dan koordinasi sektor transportasi perkotaan di perbatasan Kota Yogyakarta-Kabupaten Sleman-Kabupaten Bantul secara khas/khusus dilakukan melalui Sekretariat Bersama Kartamantul, dan forum ini telah diakui sebagai salah satu contoh wadah koordinasi antardaerah yang berhasil di Indonesia (meraih penghargaan pada IMP Award Tahun 2003 dari Departemen Dalam Negeri-World Bank);

6. penanganan permasalahan transportasi perkotaan di perbatasan Kota Yogyakarta-Kabupaten Sleman-Kabupaten Bantul dibahas melalui koordinasi pemerintah daerah dan stakeholders terkait di Sekretariat Bersama Kartamantul;

7. kegiatan sektor transportasi dan sektor yang terkait, yaitu sektor jalan di Sekretariat Bersama Kartamantul dapat menjadi best practice/percontohan daerah lain yang memiliki kesamaan kondisi dan permasalahan dalam kawasan perkotaan dan aglomerasinya; dan

8. keterlibatan dalam kegiatan Tim Teknis Sekretariat Bersama Kartamantul;

Penelitian ini dilakukan untuk mengungkapkan fakta-fakta tentang penanganan permasalahan transportasi perkotaan yang terjadi di perbatasan Kota Yogyakarta-Kabupaten Sleman-Kabupaten Bantul yang dilakukan oleh stakeholders melalui Sekretariat Bersama Kartamantul.

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisBerdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana peran Sekretariat Bersama Kartamantul dalam penanganan permasalahan transportasi perkotaan di perbatasan Kota Yogyakarta-Kabupaten Sleman-Kabupaten Bantul?

2. Apa permasalahan transportasi perkotaan di perbatasan Kota Yogyakarta-Kabupaten Sleman-Kabupaten Bantul serta bagaimana upaya penanganan yang dilakukan oleh stakeholders melalui Sekretariat Bersama Kartamantul?

3. Bagaimana usulan atau rekomendasi bagi Sekretariat Bersama Kartamantul untuk mendukung upaya penanganan permasalahan transportasi perkotaan di perbatasan Kota Yogyakarta-Kabupaten Sleman-Kabupaten Bantul?

Page 210: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

199 PENANGANAN PERMASALAHAN TRANSPORTASI PERKOTAAN DI PERBATASAN KOTA YOGYAKARTA

KABUPATEN SLEMAN – KABUPATEN BANTUL: SEKRETARIAT BERSAMA KARTAMANTUL

4. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Pengumpulan data melalui wawancara mendalam semiterstruktur, studi dokumen, dan observasi. Digunakan purposive sampling (5 informan kunci) dan snowball sampling. Analisis data menggunakan interactive model dan perumusan rekomendasi menggunakan pendekatan kualitatif Matrik SWOT.

C. Pembahasan Hasil AnalisisMelalui koordinasi di Sekretariat Bersama Kartamantul, dilakukan penanganan permasalahan transportasi perkotaan di perbatasan Kota Yogyakarta-Kabupaten Sleman-Kabupaten Bantul pada kawasan Jalan Godean (Jatikencana-Demak Ijo), yaitu:

1. uji coba pengendalian pergerakan lalu lintas di kawasan Jatikencana-Demak Ijo dan evaluasi;

2. upaya pembangunan jalan tembus dari Jalan Manunggal (selatan SMAN 2 Yogyakarta) menuju Jalan Kyai Mojo (timur Super Photo);

3. upaya pelebaran dan perbaikan jalan alternatif di utara Jatikencana-Demak Ijo (menghubungkan Jalan Tambak-Jalan Jambon) dan selatan Jatikencana-Demak Ijo (menghubungkan Jalan HOS Cokroaminoto-Jalan Soragan utara rel KA-STPN-Ring road Barat);

4. upaya sinkronisasi status serta dimensi jalan di perbatasan (perjanjian kerja sama pengelolaan sarpras jalan di wilayah perbatasan, sinkronisasi ruas Jalan Tambak-Batas Kota dengan Jalan Bener dan ruas Jalan Blambangan dengan Jalan Tambak); dan

5. koordinasi dalam bentuk diskusi/sharing di antara stakeholders untuk memperoleh masukan bagi pengembangan Trans Jogja secara umum.

Berdasarkan pada beberapa referensi yang diacu, yaitu:

1. Tamin (1999) dan Tamin (2000), bahwa peningkatan kapasitas prasarana untuk memperbaiki daerah sumber kemacetan di daerah perkotaan terutama di daerah perbatasan dengan daerah administrasi lain, dapat dilakukan dengan pembenahan sistem hierarkhi jalan untuk menghindari penyempitan dan pembangunan jalan terobosan baru untuk melengkapi sistem jaringan jalan yang telah ada;

2. Dinas Perhubungan DIY (2014), bahwa salah satu rekomendasi penanganan untuk kawasan Jalan Godean (Jatikencana-Demak Ijo) adalah pelebaran dan perbaikan kualitas perkerasan jalan alternatif; dan

3. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 96 Tahun 2015, bahwa manajemen dan rekayasa lalu lintas dilakukan dengan optimasi penggunaan jaringan jalan dan gerakan lalu lintas melalui optimasi kapasitas jalan/persimpangan

Page 211: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

200 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

dan pengendalian pergerakan lalu lintas yang harus disimulasikan sebelum ditetapkan menjadi skema penanganan lalu lintas terpilih.

Maka melalui koordinasi di Sekretariat Bersama Kartamantul, upaya penanganan permasalahan transportasi pada kawasan Jalan Godean (Jatikencana-Demak Ijo), yaitu kemacetan lalu lintas, diindikasikan dilakukan melalui dua pendekatan yaitu manajemen dan rekayasa lalu lintas serta peningkatan kapasitas prasarana. Terkait upaya penanganan kondisi angkutan perkotaan Yogyakarta (Trans Jogja Jalur 8) yang belum memadai, baru sebatas dilakukan diskusi/sharing di antara stakeholders untuk memperoleh masukan bagi pengembangan Trans Jogja secara umum. Adapun kendala yang ditemukan dalam penanganan permasalahan di Kawasan Jalan Godean (Jatikencana-Demak Ijo) adalah sebagai berikut.

No. Temuan Kendala Pembahasan

1 Keterbatasan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan rekomendasi studi Road Map Transportasi Perkotaan DIY tahun 2012 dan DED Kawasan Jatikencana-Demak Ijo tahun 2014 (pelebaran Jalan Godean menjadi 14 m dan pelebaran simpang) karena konsekuensinya adalah pembebasan lahan yang dinilai mahal.

a. Perlu dicari solusi lain yang feasible dan didukung oleh masyarakat, dapat dilakukan melalui upaya pembangunan jalan tembus dan perbaikan infrastruktur jalan alternatif di wilayah perbatasan.

b. Pendekatan kepada masyarakat dengan melibatkan tokoh masyarakat setempat terkait pembebasan lahan. Peran dan konstribusi masyarakat sangan membantu dalam penanganan permasalahan transportasi.

2 Manajemen dan rekayasa lalu lintas melalui pengendalian pergerakan lalu lintas yang telah disimulasikan di kawasan Jatikencana-Demak Ijo pada tahun 2013 belum dapat mengatasi permasalahan kemacetan lalu lintas pada saat jam puncak.

a. Tidak ada penjagaan, pengguna jalan tidak disiplin/tidak tertib, protes dari masyarakat, kondisi kembali seperti semula. Perlu keberadaan petugas untuk mengatur lalu lintas saat jam puncak.

b. Perlu diangkat kembali dalam Forum LLAJ DIY untuk dilakukan kajian lebih lanjut sehingga skenario-skenario yang ada dapat direalisasikan lebih cepat karena Forum LLAJ DIY bisa melakukan uji coba/simulasi.

3 Tidak semua penggal jalan alternatif memiliki dimensi yang seragam, masih terdapat penyempitan di beberapa segmen, dan rata-rata hanya memiliki lebar maksimal 4 meter.

a. Jalan alternatif yang sulit dilebarkan tetap pada standar jalan lingkungan. Pemanfaat terbatas sepeda motor atau kendaraan roda dua.

b. Jalan alternatif bisa dikhususkan untuk jenis kendaraan sepeda motor karena sepeda motor juga memberikan konstribusi terhadap terjadinya kemacetan lalu lintas. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, bahwa porsi jenis kendaraan bermotor di DIY tahun 2015 didominasi oleh sepeda motor sebesar 87% (BPS Provinsi DIY, 2016, diolah)

Page 212: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

201 PENANGANAN PERMASALAHAN TRANSPORTASI PERKOTAAN DI PERBATASAN KOTA YOGYAKARTA

KABUPATEN SLEMAN – KABUPATEN BANTUL: SEKRETARIAT BERSAMA KARTAMANTUL

No. Temuan Kendala Pembahasan

dan Munawar dalam UGM (2013) juga menyebutkan bahwa kondisi transportasi perkotaan Yogyakarta didominasi oleh kendaraan pribadi sebesar 81% dengan porsi paling banyak yaitu 74% ditempati oleh sepeda motor.

c. Perlu penyeragaman status jalan alternatif yang memungkinkan untuk dilebarkan. Dapat ditingkatkan menjadi jalan desa, jalan poros desa, atau jalan kabupaten/kota supaya pemeliharaannya dapat teranggarkan secara rutin. Apalagi jika jalan tersebut berada di wilayah perbatasan yang digunakan tidak hanya oleh warga setempat tetapi untuk transportasi lintas wilayah administratif.

d. Pelebaran jalan yang mengalami penyempitan bisa dilakukan melalui pendekatan kepada masyarakat dengan melibatkan tokoh masyarakat setempat, seperti yang dilakukan di Kelurahan Bener.

4 Kendala yang bersifat birokrasi menyebabkan perkembangan penanganan berjalan lambat dalam hal proses penyiapan lahan untuk pembangunan jalan tembus dari Jalan Manunggal menuju Jalan Kyai Mojo.

a. Terkait pagar SMA N 2 Yogyakarta masih dalam proses mediasi. Terdapat perubahan kewenangan pendidikan menengah atas dari Pemerintah Kota Yogyakarta menjadi kewenangan Pemda DIY, sehingga memerlukan pendekatan kembali dan koordinasi dengan pihak Dinas Dikpora DIY.

b. Terkait pagar Perumahan Gedung Agung masih dalam proses karena perubahan nomenklatur kelembagaan di lingkup Pemkot Yogyakarta, pada awalnya ditangani oleh Dinas Bangunan Gedung dan Aset Daerah (DBGAD) Kota Yogyakarta, namun selanjutnya instansi ini dilebur menjadi satu dengan Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Yogyakarta, sehingga harus memetakan kewenangan/tugas pokok dan fungsi yang baru dan perlu proses koordinasi kembali.

c. Sekretariat Bersama Kartamantul sudah melakukan beberapa kali koordinasi dan mediasi, namun belum diperoleh kesepakatan dan solusi.

d. Perlu dibahas oleh internal Pemda DIY dan Pemkot Yogyakarta.

e. Perlu segera dilakukan koordinasi dan mediasi kembali supaya segera diperoleh solusi sehingga upaya penanganan segera terealisasi dan masyarakat merasakan manfaatnya.

Page 213: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

202 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

D. KesimpulanBerdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut.

1. Permasalahan transportasi perkotaan yang terjadi di wilayah perbatasan Kota Yogyakarta-Kabupaten Sleman-Kabupaten Bantul dapat dibahas dan ditangani melalui dua forum, yaitu Sekretariat Bersama Kartamantul dan Forum LLAJ DIY. Kedua forum ini memiliki peran koordinatif dalam penanganan permasalahan transportasi perkotaan di wilayah perbatasan dalam kawasan aglomerasi Perkotaan Yogyakarta yang didukung oleh struktur manajemen yang rapi dan melibatkan banyak stakeholders yang terkait. Peran koordinatif ini diperlukan karena permasalahan transportasi di wilayah perbatasan seperti kemacetan lalu lintas, polusi udara, dan layanan angkutan umum yang belum memadai tidak dapat ditangani secara efektif jika dilakukan oleh satu wilayah/institusi secara individual, harus dengan pendekatan koordinatif yang bersifat lintas wilayah lintas instansi (multi-agencies), dan melibatkan banyak pihak (multi-stakeholders).

2. Sekretariat Bersama Kartamantul dan Forum LLAJ DIY dapat menjadi mitra kerja, yaitu dengan saling melakukan komunikasi dan kolaborasi penanganan. Sekretariat Bersama Kartamantul sesuai dengan fungsinya melakukan pembahasan bersama stakeholders dan melakukan penyiapan di wilayah perbatasan. Selanjutnya disampaikan kepada Forum LLAJ DIY supaya cepat ditindaklanjuti melalui simulasi atau uji coba manajemen dan rekayasa lalu lintas, serta penegakan hukum di lokasi yang bermasalah melalui pihak kepolisian yang menjadi anggotanya. Evaluasi dilakukan secara bersama-sama untuk mengetahui dampak atau manfaat penanganan sehingga dapat ditentukan langkah selanjutnya.

3. Permasalahan transportasi perkotaan di perbatasan Kota Yogyakarta-Kabupaten Sleman-Kabupaten Bantul pada kawasan Jalan Godean (Jatikencana-Demak Ijo) meliputi:

a. Kemacetan lalu lintas pada saat jam puncak yang dipengaruhi oleh kinerja ruas jalan dan simpang yang tidak layak, tata guna lahan di kawasan mendorong pertumbuhan kegiatan perekonomian/komersial, pendidikan dan pemukiman, tren pertumbuhan kendaraan bermotor di DIY yang meningkat setiap tahun tanpa diimbangi dengan penambahan kapasitas jalan, banyak akses jalan masuk dengan hierarkhi jalan yang berbeda, lalu lintas bersifat mixed traffic.

b. Kondisi angkutan perkotaan Yogyakarta (Trans Jogja), khususnya Trans Jogja Jalur 8 yang melintasi Jatikencana-Demak Ijo, belum memadai.

Page 214: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

203 PENANGANAN PERMASALAHAN TRANSPORTASI PERKOTAAN DI PERBATASAN KOTA YOGYAKARTA

KABUPATEN SLEMAN – KABUPATEN BANTUL: SEKRETARIAT BERSAMA KARTAMANTUL

Ditunjukkan dari nilai load factor yang rendah, headway yang besar, dan aksesibilitas yang belum memadai.

4. Diindikasikan bahwa, melalui koordinasi di Sekretariat Bersama Kartamantul, upaya penanganan permasalahan transportasi perkotaan di perbatasan Kota Yogyakarta-Kabupaten Sleman-Kabupaten Bantul pada kawasan Jalan Godean (Jatikencana-Demak Ijo) yaitu kemacetan lalu lintas saat jam puncak, dilakukan dengan dua pendekatan yaitu:

a. Manajemen dan rekayasa lalu lintas melalui uji coba pengendalian pergerakan lalu lintas di kawasan Jatikencana-Demak Ijo yang bertujuan untuk memperlancar pergerakan arus kendaraan di kawasan pada saat jam puncak.

b. Peningkatan kapasitas prasarana melalui upaya pembangunan jalan tembus dari Jalan Manunggal selatan SMAN 2 Yogyakarta menuju Jalan Kyai Mojo Timur Simpang Tiga Jatikencana/Timur Super Photo untuk untuk mengurangi kepadatan lalu lintas di Simpang Tiga Bener pada saat jam puncak. Upaya pelebaran dan perbaikan jalan alternatif di utara yang menghubungkan Jalan Tambak-Jalan Jambon dan di selatan yang menghubungkan Jalan HOS Cokroaminoto-Soragan Utara rel KA-STPN-Ring road Barat yang dapat dimanfaatkan sebagai jalur alternatif pengalihan arus untuk mengurangi kepadatan lalu lintas di Jalan Godean pada saat jam puncak, serta upaya sinkronisasi status dan dimensi jalan di perbatasan untuk menghindari penyempitan dan memperlancar pergerakan arus lalu lintas di kawasan. Terkait penanganan kondisi angkutan perkotaan Yogyakarta (Trans Jogja Jalur 8) yang belum memadai, baru sebatas dilakukan diskusi/sharing diantara stakeholders untuk memperoleh masukan bagi pengembangan Trans Jogja secara umum.

5. Upaya penanganan yang dilakukan melalui Sekretariat Bersama Kartamantul memang belum selesai atau masih dalam proses. Meskipun demikian, Sekretariat Bersama Kartamantul telah mengupayakan alternatif penanganan bagi pemerintah daerah dan yang paling penting adalah didukung oleh masyarakat. Peran dan kontribusi masyarakat sangat membantu dalam penanganan permasalahan transportasi di wilayah perbatasan. Model penanganan yang dilakukan oleh Sekretariat Bersama Kartamantul dapat memberikan pertimbangan baru dalam penanganan permasalahan transportasi perkotaan di perbatasan kawasan aglomerasi dan dapat diimplementasikan di lokasi lain dengan karakteristik permasalahan yang sama.

Page 215: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

204 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

6. Usulan/rekomendasi bagi Sekretariat Bersama Kartamantul untuk mendukung upaya penanganan permasalahan transportasi perkotaan di perbatasan Kota Yogyakarta-Kabupaten Sleman-Kabupaten Bantul, meliputi:

a. Rutin

1) Kerja sama dan komunikasi dengan Forum LLAJ DIY dan masyarakat di wilayah.

2) Mengundang perwakilan Forum LLAJ DIY dalam rapat-rapat koordinasi.

3) Penetapan target penanganan yang jelas dan terukur. Terkait penanganan di kawasan Jalan Godean (Jatikencana-Demak

Ijo) selama kurun waktu tahun 2013—2017, diusulkan 20 target penanganan untuk dicapai melalui upaya penanganan yang telah dilakukan selama kurun waktu tahun 2013—2017. Realisasi perkembangan penanganan (tahun 2013—2017) menunjukkan bahwa sebanyak 7 usulan target penanganan tercapai 100%, 2 usulan target penanganan tercapai lebih dari 50% (50,88% dan 96,41%), 2 usulan target penanganan tercapai kurang dari 50% (33% dan 35,45%), dan 9 usulan target penanganan belum tercapai/belum ada realisasi.

4) Koordinasi dan komunikasi dengan tim kebijakan untuk mengakselerasi penanganan.

5) Laporan kepada OPD tentang perkembangan penanganan dan kesepakatan rolesharing.

b. Jangka pendek

1) Penyusunan database jalan alternatif usulan masyarakat.2) Koordinasi penyusunan kajian kelayakan jalan tembus dan jalan

alternatif.

c. Jangka menengah

1) Revisi perjanjian kerja sama sektor transportasi yang mengacu pada RIT DIY.

2) Koordinasi penyusunan Perda RDTR kecamatan dalam KPY.3) TDM menjadi pendekatan dalam pembahasan penanganan

permasalahan.4) Pembahasan dan kajian tentang pengembangan angkutan publik.5) Pembahasan kajian prioritas bagi angkutan publik.

d. Jangka panjang

1) Koordinasi penyusunan masterplan transportasi dan rekayasa lalu lintas dalam lingkup yang lebih luas (mencakup kawasan perbatasan).

2) Pelatihan transportasi perkotaan bagi manager kantor dan staf Sekretariat Bersama Kartamantul.

Page 216: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

205 PENANGANAN PERMASALAHAN TRANSPORTASI PERKOTAAN DI PERBATASAN KOTA YOGYAKARTA

KABUPATEN SLEMAN – KABUPATEN BANTUL: SEKRETARIAT BERSAMA KARTAMANTUL

3) Sinkronisasi kebijakan tata ruang di perbatasan menjadi salah satu program kerja/kegiatan.

7. Salah satu kendala yang dihadapi adalah tidak semua penggal jalan alternatif memiliki dimensi yang seragam, masih terdapat penyempitan, dan rata-rata memiliki lebar maksimal 4 meter. Jalan alternatif ini bisa dimanfaatkan untuk jenis kendaraan sepeda motor karena kondisi transportasi Perkotaan Yogyakarta didominasi oleh kendaraan pribadi dengan porsi paling banyak, yaitu sepeda motor sehingga sepeda motor juga memberikan kontribusi terhadap terjadinya kemacetan lalu lintas.

8. Temuan menarik dari penelitian ini adalah adanya peran serta yang aktif dan kontribusi dari masyarakat yang diapresiasi oleh Sekretariat Bersama Kartamantul melalui pendekatan dan koordinasi langsung dengan masyarakat di kawasan. Kontribusi masyarakat Kelurahan Bener Kecamatan Tegalrejo cukup besar dalam pembebasan lahan secara sukarela (tanpa uang pengganti) untuk pelebaran Jalan Bener dan Jalan Manunggal serta pembangunan jalan tembus dari Jalan Manunggal (selatan SMAN 2 Yogyakarta) menuju Jalan Kyai Mojo (timur Super Photo), diperkirakan bahwa total efisiensi anggaran pemerintah daerah untuk pembebasan lahan dalam rangka pelebaran jalan di kawasan dan pembangunan jalan tembus sebesar Rp26.369.000.000,00 (Dua puluh enam miliar tiga ratus enam puluh sembilan juta rupiah). Peran dan kontribusi masyarakat ini tentunya sangat membantu pemerintah daerah dalam menekan biaya pembangunan infrastruktur jalan yang memerlukan proses pembebasan lahan.

E. Rekomendasi1. Sekretariat Bersama Kartamantul perlu memperkuat/mengintensifkan

koordinasi dan pembahasan tentang pengembangan angkutan publik di Kawasan Perkotaan Yogyakarta.

2. Perlu dilakukan studi lebih lanjut mengenai kelayakan jalan tembus dan jalan alternatif supaya sesuai dengan standar teknis jalan dan keselamatan.

3. Perlu dilakukan manajemen dan rekayasa lalu lintas melalui simulasi/uji coba dalam lingkup kawasan setelah jalan tembus dan jalan alternatif terealisasi.

4. Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut terkait sistem lalu lintas di kawasan dengan adanya jalan tembus dan jalan alternatif, misalnya dengan melakukan pemodelan transportasi menggunakan software, serta penelitian lain terkait pengaruh/dampak, efektivitas, atau kemanfaatan jalan tembus dan jalan alternatif terhadap pengurangan kemacetan lalu lintas di kawasan Jalan Godean (Jatikencana-Demak Ijo).

Page 217: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang
Page 218: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

17Nama : Yustinus Ari Wijaya

Instansi : Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah

Kabupaten Indragiri Hulu

Program Studi : Doctoral Program in Policy Science

Negara Studi : Jepang

Universitas : Ritsumeikan University

A Study of Village Decentralization Policy and Its Implications for Regional Development

at The Sub-District Level in Rural Riau,

Indonesia

Page 219: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

208 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRACT

Indonesia’s village decentralization, an affirmative policy for rural development, has entered its fourth year of implementation. Existing studies regarding the implementation of the policy have focused on policy evaluation, financial transfers, and the changing nature of village governance. These studies have conducted little, if any, examination of how the policy affects regional development equity in the spatial context. The main goal of this study is to provide a discussion of the implications of Indonesia’s decentralization policy for equitable regional development at the sub-district level. This study takes the sub-district as an observation unit because it is the smallest cluster unit in Indonesia’s spatial hierarchy, which consists of groups of villages with urban and rural functions within the context of spatial structure. Indragiri Hulu Regency in Riau Province was chosen as the case study area because this district is a representation of developing rural districts in Indonesia.

Chapter 2 examines the implications of the village decentralization policy for the regional development framework in Indonesia. The aim is to figure out the paradigm shift in Indonesia’s regional development framework due to the implementation of the policy. Regulations and literature reviews show that, Indonesia’s village decentralization introduced a new framework for regional development in Indonesia and potentially encouraged regional development equity within the district area. However, this study found that it was inappropriate to determine the target location of the village decentralization policy solely based on village-level locality’s administrative status. Therefore, this study proposes that the determination of target locations for the implementation the policy uses rural-urban classification based on geographical functions established by the central bureau of statistics.

Chapter 3 classifies the sub-districts based on their rurality and centrality. The aim of this classification is to identify spatial disparities at the sub-district level and to simplify reality as a rough dichotomy between sub-districts that are not separate but, rather, closely intertwined. Quantitative spatial structure analysis is conducted to classify sub-districts. The rurality and centrality of sub-districts determine their role in the region’s spatial structure. Based on their rurality and centrality, sub-districts are classified into “small-town” and “periphery.”

Chapter 4 discusses the implications of village decentralization policy at the sub- district level by comparing groups of sub-district classification results in Chapter 3. The policy implications among sub-district groups are analyzed using quantitative and qualitative approaches. The findings suggest that the policy has increased community involvement in decision-making and supervision of development at

Page 220: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

209 A STUDY OF VILLAGE DECENTRALIZATION POLICY AND ITS IMPLICATIONS FOR REGIONAL

DEVELOPMENT AT THE SUB-DISTRICT LEVEL IN RURAL RIAU, INDONESIA

the sub-district level. The level of community involvement in the “periphery” sub-districts is higher than those in the “small-town” sub-districts. The policy has also promoted equal opportunities in village-scale development at the sub-district level and has a significant impact on increasing the budget for village-scale infrastructure and public facilities development in the “periphery” sub-districts. Meanwhile, there is no significant difference in the average annual budget per village in the “small- town” sub-district before and after village decentralization. Concerning the implication of village decentralization policy on district government policy, there is no significant difference in the variation in district spending in the two sub- district groups before and after the implementation of village decentralization.

This study offers the policy science community a new discussion of the terms of “small-town” and “periphery” in regard to the spatial structures of rural areas, which differ from the traditional relationship between urban and rural in existing studies. This study also contributes to the empirical evidence that Indonesia’s village decentralization policy has had a significant impact on village-scale development at the sub-district level. However, the policy needs to be supported by district government development policies to reduce development disparities at the sub-district level.

Page 221: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

210 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. BackgroundVillage decentralization mandates that the central government allocate village funds (dana desa in bahasa), amounting to 10% of total central government transfers to district governments. The Ministry of Finance data from 2017 show that over 84% of total village funds (2015—2016) has been used for village-scale infrastructure and public service development throughout the country. Under village decentralization, village-level localities in Indonesia are experiencing rapid development for the first time. Village-scale infrastructure and public service facilities, such as roads, bridges, clean-water facilities, nonformal educational facilities, village market amenities, and supporting health facilities are the outputs of the implementation of village decentralization.

At the national level, the government has claimed that the implementation of village decentralization has had a positive impact on the distribution of income in rural areas. According to the Ministry of Finance (2018), this result was indicated by the decline in the Gini ratio2 in rural areas from 0.34 in 2014 to 0.32 in 2017. The fall in the Gini ratio was followed by a decline in the poverty level in rural areas from 14.09% in 2015 to 13.93% in 2017 (ibid). However, the disparity between regions in regard to the outcomes of development remains an issue for The Gini ratio is a statistical calculation used to measure population income distribution in a country, particularly in terms of equality. Indonesia, which is the largest archipelagic country in the world, with more than 17,000 islands. Based on data from Statistics of Indonesia (2017), the disparity in the development outcomes was reflected in the widely diverse Human Development Index (HDI) at the provincial and district levels in 2016.

Many studies have examined the implications of village decentralization from various perspectives. Antlov, Wetterberg, and Dharmawan (2016) suggested that the village decentralization policy has the potential to increase government responsiveness through a combination of robust financial management systems and structured national instruments and by empowering the community to encourage village governments to work according to community interests. However, substantial risks and obstacles remain, including the capacity of the village government. As a consequence of the implementation of the village decentralization policy, village governments will be able to manage their finances independently despite the remaining challenges, such as the lack of administrative capacity, the lack of experience in financial management, low accountability, and weak supervision (Anshari, 2017; Husin, 2016; Husna & Abdullah, 2016). Although village decentralization will not have a significant impact on community welfare immediately, the level of community participation and satisfaction with the deliberative democracy process, provision of public services, and infrastructure

Page 222: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

211 A STUDY OF VILLAGE DECENTRALIZATION POLICY AND ITS IMPLICATIONS FOR REGIONAL

DEVELOPMENT AT THE SUB-DISTRICT LEVEL IN RURAL RIAU, INDONESIA

development has increased since its implementation (Hartoyo, Haryanto, & Fahmi, 2018; Irawan, 2017).

The decentralization of the financial and rural development authority from central and local to village government is a critical factor in increasing the satisfaction and participation of rural communities, even though the issue of inequity in regard to the distribution of funds remains. Lewis (2015) highlighted issues related to how funds are allocated under the village decentralization policy, which, to a large extent, emphasize the equitability of the allocation to each village, despite the significant heterogeneity among villages. This approach neglects revenue from other sources that have traditionally been accessed by villages, meaning that village revenues remain unequally distributed. Villages with comparatively high levels of poverty generally receive less money than needed. Meanwhile, villages with enhanced access to other funding sources, particularly from oil and gas revenues (such as villages in East Kalimantan and Riau), generally receive more money than needed.

The aforementioned studies tend to focus on issues related to the changing nature of village governance and its impacts from the perspective of state administration and public policy. Little, if any, emphasis tends to be placed on the issue of how decentralization policies regarding rural development affect regional development equity from a spatial analysis perspective. Moreover, existing studies examine the impact of Indonesia’s village decentralization at the national, provincial, or district level, while the impact at the sub-district level has received no attention.

According to Douglass (1998), in most countries, the sub-district scale is the most appropriate unit of development because it is sufficiently small to allow rural households frequent access to urban functions, yet large enough to expand the scope of economic growth and diversification to overcome the limitations of using villages as a development unit. This study uses the sub-district as the unit of observation because, in the Indonesian spatial hierarchy, the sub-district is the smallest cluster unit consisting of a group of villages in which there are “urban” and “rural” functions in the context of spatial structure. However, the role of the sub- district in regional development planning received less attention in the Indonesian legal system. Sub-districts are torn between being a territorial unit representing a number of villages and being a regional apparatus working units, representing the district government (Antlov and Eko, 2012).

Lynch (2004) suggested that urban–rural interactions are a critical area that must be considered in regional planning. However, the existing literature regarding urban–rural interaction focuses primarily on spatial issues between large cities and rural areas at the macro and mezzo levels, with little, if any, discussion of

Page 223: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

212 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

planning systems at the micro level. Thus, a comparison of the impact of the village decentralization policy between sub-district groups is expected to contribute to the literature on micro-planning systems in rural areas. This case study is based in Indragiri Hulu Regency, which is representative of developing rural districts in Indonesia. The main goal of this study is to discuss the implications of Indonesia’s village decentralization policy for equitable regional development at the sub-district level.

B. Research Problem and MethodologySpatial inequality has become an important issue in developing countries. Many governments in developing countries are facing significant economic and political challenges due to increasing spatial inequality in terms of income, health, education, and poverty. Several studies have discussed spatial inequality in various forms in several countries in Asia, Europe, Africa, and Latin America (Kanbur & Venables, 2005; Kanbur, Venables & Wan, 2005). However, empirical evidence regarding spatial inequality in developing countries remains comparatively scarce. According to Kim (2008) country-specific studies dominate the literature on spatial inequality because it is rather challenging to summarize spatial inequality studies given the many different country dimensions. Nevertheless, a review of various countries can facilitate comparisons. Thus, studies on spatial inequality in developing countries are still needed, as they provide material for comparative analysis with cases in developed countries. In response to these issues, this dissertation aims to provide knowledge of regional planning systems related to the government’s policy to address spatial inequality in Indonesia. The study has three objectives:

1. to examine the implications of the village decentralization policy within the framework of regional development in Indonesia;

2. to identify spatial disparities at the sub-district level and classify sub- districts within the spatial structure of a rural area;

3. to investigate the implications of the village decentralization policy at the sub-district level.

Based on the above research objectives, there are three research questions:

1. To what extent does Indonesia’s village decentralization policy have implications for the regional development framework?

2. How should sub-districts be classified within the spatial structure of a rural area?

3. What are the implications of the village decentralization policy for regional development at the sub-district level?

Page 224: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

213 A STUDY OF VILLAGE DECENTRALIZATION POLICY AND ITS IMPLICATIONS FOR REGIONAL

DEVELOPMENT AT THE SUB-DISTRICT LEVEL IN RURAL RIAU, INDONESIA

This study will apply a qualitative approach, using both literature and regulatory reviews, to investigate the implications of the village decentralization policy for Indonesia’s regional development framework. At first, the author will study documents related to Indonesia’s decentralization policy and literature on the paradigms and theories of regional development. Any additional reading material that emphasizes both the theory and practice of government policies to address regional development inequalities is also essential at this stage. The results of the literature and regulation reviews will be used to draw a conceptual framework that illustrates the implications of the village decentralization policy for regional development in Indonesia.

Qualitative and quantitative approaches will be applied in Chapter 3 to examine the extent to which spatial inequality has occurred at the sub-district level. Spatial inequality at the sub-district level will be measured quantitatively using spatial structure analysis and will be confirmed qualitatively by questionnaire survey and direct observation. The results of the analysis in Chapter 3 are the classification and characteristics of sub-districts based on the spatial structure of the district. The sub-district classification will be used in Chapter 4 to compare the impact of village decentralization on regional development equity at the sub-district level. The analysis in Chapter 4 will also use quantitative and qualitative approaches; a mixed-method approach relying on the quantitative analysis of the customized survey data and qualitative analysis at the village and sub-district levels will be used.

The data collection process was divided into three stages. The first stage of data collection was carried out from July to September 2017. This process began with the collection of documents and statistical data related to population, development budget, and the public service facilities and infrastructure built in Indragiri Hulu Regency from 2012 to 2017. The secondary data collection was carried out simultaneously with the spatial data collection through field observation and mapping. Spatial data collection was carried out in all sub-districts in Indragiri Hulu Regency.

The objective of this chapter is to investigate the implication of the village decentralization policy at the sub-district level. The research question is, what are the implications of the village decentralization policy for regional development at the sub-district level? The hypotheses are as follows:

1. There is a discrepancy in the level of community participation in decision- making and supervision of development between “periphery” sub-districts and those in “small-town” sub-districts;

Page 225: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

214 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

2. A significant increase in the village-scale development budget has only occurred in “periphery” sub-districts, there was no significant difference in “small-town” sub-districts;

3. There is a significant difference in district spending for the provision of public facilities beyond the village-scale authority in the two sub-district groups.

C. Data Analysis and ResultsThis chapter shows that there is a discrepancy in the level of community participation in decision-making and development supervision between “periphery” sub-districts and those in “small-town” sub-districts, confirming Hypothesis 1. The finding suggests that the village decentralization policy has increased community involvement in rural development at the sub-district level. The level of community involvement in the “periphery” sub-districts was higher than those in the “small- town” sub-districts. Substantial increase in village budgets from the central government has contributed significantly to increasing community awareness of the importance of active involvement in decision-making and supervision of development. However, the analysis indicates that the implementation of the village decentralization only has a significant impact on increasing the budget for village- scale development in the “periphery” sub-districts. Meanwhile, there was no significant difference in the average annual budget per village in the “small-town” sub-district, thereby confirming Hypothesis 2. Hypothesis 3 is rejected. There has been a decrease in the average district spending for the provision of public facilities beyond the village-scale authority in both sub-district groups since the implementation of village decentralization. However, there is no significant difference in the variation of district spending in the two sub-district groups before and after the implementation of village decentralization policy.

D. ConclusionsThe main objective of this study was to investigate the impact of village decentralization, a government policy aimed at addressing regional development inequality in Indonesia, at the micro (sub-district) level. The focus of the study was the extent to which village decentralization policies affect spatial equity in the provision of infrastructure and public service facilities within a rural region.

In many previous studies, discussions of Indonesia’s village decentralization have focused primarily on financial transfer systems, community satisfaction and participation, and the changing nature of village governance. Few, if any, studies have examined how the policy impacts spatial equity from the perspective of regional planning. Moreover, empirical evidence regarding regional disparities in

Page 226: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

215 A STUDY OF VILLAGE DECENTRALIZATION POLICY AND ITS IMPLICATIONS FOR REGIONAL

DEVELOPMENT AT THE SUB-DISTRICT LEVEL IN RURAL RIAU, INDONESIA

developing countries is relatively scarce in the regional planning literature. The first chapter introduced the art of study, the study objectives and questions, and, most importantly, the significance of the study.

Chapter 2 discussed the implications of Indonesia’s village decentralization for the regional development framework at the sub-district level. The hypothesis is village decentralization introduced a new framework to encourage equitable regional development within the district area. The review of the literature and regulations has shown that, Indonesia’s village decentralization introduced a new framework and potentially encouraged regional development equity within the district area. The new framework has, to some extent, reversed the national development paradigm in which rural areas were the last to benefit from development. As a result, rural areas are now at the forefront of regional development policy in Indonesia. The implementation of village decentralization policy has encouraged rural development equity through the devolution of authority and the budget for village-scale infrastructure and public service facilities to the rural village. This finding confirmed the hypothesis. However, this study found that it was inappropriate to determine the target location of the village decentralization policy solely based on village-level locality’s administrative status. This study proposed that the determination of target locations for the implementation of village decentralization policy uses rural-urban classification based on geographical functions established by the central bureau of statistics. The classification based on geographical functions could illustrate the actual condition of a village-scale locality because it considers technical criteria such as population density, agricultural livelihoods, urban facilities, formal education facilities, and public health facilities.

Chapter 3 identified sub-district classifications based on the spatial disparity that occurs at the sub-district level. The aim of the classification was to explain the structure of a rural area, which differs from the notions of “urban” and “rural” in existing studies. Furthermore, the classification was also used to formulate indicators of analysis in this study. The hypotheses were as follows:

1. Sub-districts can be classified based on their rurality and centrality within the spatial structure of a rural area;

2. There is a discrepancy between sub-district groups in regard to the agglomeration of the population and public service facilities.

In developed countries, researchers and international organizations have developed different types of village typologies and indicators to better understand village dynamics and develop policies that are relevant to rural areas. The method of measuring rurality in this study is different from that used in existing studies in developed countries, which, to a large extent, use demographic characteristics as

Page 227: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

216 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

an indicator of rurality. This study used the variables of public facilities availability, population, and network connectivity as indicators to determine the rurality and centrality of sub-districts. The rurality and centrality of sub-districts determine their role in the spatial structure of the region. Based on their rurality and centrality, sub- districts can be classified into “small-town” and “periphery.” There are discrepancies in the spatial characters of sub-district groups. The agglomeration of the population and public service facilities in sub-district capitals and neighboring villages was more pronounced in “small-town” than in “periphery” sub-districts. Therefore, the hypotheses were confirmed.

Chapter 4 investigated the implication of the village decentralization policy at the sub-district level. In this chapter, the hypotheses were as follows:

1. There is a discrepancy in the level of community participation in decision- making and supervision of development between “periphery” sub-districts and those in “small-town” sub-districts;

2. A significant increase in the village-scale development budget has only occurred in “periphery” sub-districts, there was no significant difference in “small-town” sub-districts;

3. There is a significant difference in district spending for the provision of public facilities beyond the village-scale authority in the two sub-district groups.

The first part of Chapter 4 discussed the impact of village decentralization on the rural development planning process. Under village decentralization, rural communities are given more extensive opportunities to be involved in the process of planning, implementing, and monitoring village-level development. The implementation of village decentralization has increased community involvement in rural development at the sub-district level. The finding showed that there is a discrepancy in the level of community participation in decision-making and development supervision between “periphery” sub-districts and those in “small- town” sub-districts This finding confirmed the hypothesis 1. The level of community involvement in the “periphery” sub-districts was higher than those in the “small-town” sub-districts. Substantial increases in village budgets from the central government have contributed significantly to an increase in community awareness of the importance of being actively involved in decision-making and supervision of development. The impact of village decentralization on the budget for village-scale development in “small-town” and “periphery” sub-districts was discussed in the second part of the chapter. There is an increase in the average annual budget for village-scale development in the two sub-district groups after village decentralization. However, the implementation of the village decentralization only has a significant impact on increasing the budget for village- scale infrastructure and public facilities development in the “periphery”

Page 228: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

217 A STUDY OF VILLAGE DECENTRALIZATION POLICY AND ITS IMPLICATIONS FOR REGIONAL

DEVELOPMENT AT THE SUB-DISTRICT LEVEL IN RURAL RIAU, INDONESIA

sub- districts. Meanwhile, there is no significant difference in the average annual budget per village in the “small-town” sub-district before and after village decentralization. Therefore, the hypothesis 2 was confirmed. Finally, Chapter 4 discussed the implications of village decentralization on district spending for the provision of public facilities beyond the village-scale authority in the two sub-district groups. There has been a decrease in the average district spending for the provision of public facilities beyond the village-scale authority in both sub-district groups since the implementation of village decentralization. However, there is no significant difference in the variation in district spending in the two sub-district groups before and after the implementation of village decentralization; thereby, hypothesis 3 was rejected. In other words, the village decentralization policy has not yet had implications for district budget policy regarding the provision of public facilities at the sub-district level.

To conclude, the implementation of village decentralization has had a positive impact on reducing the disparity in village-scale development between the two sub-district groups. However, equitable regional development cannot be achieved solely through the implementation of the village decentralization policy. Village decentralization needs to be supported by district government development policies to reduce development disparities at the sub-district level. This study recommends that district expenditure policy for the provision of public facilities beyond the village-scale authority needs to consider equitable development between sub-district groups. “Periphery” sub-districts that still lack public service facilities need to get priority in district development policy to reduce the gap with the “small-town” sub-districts.

E. RecommendationsDrawing from the Indragiri Hulu Regency case, this study proposes several policies for the implementation of village decentralization in Indonesia. Within the scope of this study, the following policies are proposed to improve regional planning strategies and thereby reduce spatial disparity at the micro level:

1. This study found that it was inappropriate to determine the target location of the village decentralization policy solely based on village- level locality’s administrative status. The government ignored the technical criteria set by the central bureau of statistics for the classification of urban and rural functions of a village-scale locality. This study proposes that the determination of target locations for the implementation of village decentralization policy uses rural-urban classification based on geographical functions established by the central bureau of statistics.

Page 229: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

218 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

2. Although village decentralization has had an impact on reducing the disparity in village-scale physical development between “periphery” sub-districts and “small-town” sub-districts, the role of the district government remains vital in the strategy of equitable regional development in its administrative areas. District-level decision-makers need to consider spatial structure equity in their regional development planning. This study has shown that physical development and population pattern tend to be concentrated in some “small-town” sub- districts, which are local activity centers at the district level. District governments need to pay attention to the development in “periphery” sub-districts and its activity centers to reduce spatial disparities between sub-districts.

3. The findings of this study show that the village decentralization policy has reduced the gap in the development of village-scale infrastructure and public service facilities across rural villages (desa). However, villages focus solely on physical development within their respective administrative areas, ignoring opportunities to collaborate with surrounding villages. In terms of development planning, coordination and collaboration between villages as a regional network cluster is the next step that the government must consider in regard to regional planning at the sub-district level.

Page 230: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

219 A STUDY OF VILLAGE DECENTRALIZATION POLICY AND ITS IMPLICATIONS FOR REGIONAL

DEVELOPMENT AT THE SUB-DISTRICT LEVEL IN RURAL RIAU, INDONESIA

Page 231: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang
Page 232: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

18Nama : Ayu Citra Feftiria

Instansi : Inspektorat Kabupaten Batang

Program Studi : Master of International Development

Studies

Negara Studi : Jepang

Universitas : Takushoku University

Focused Approach on Planning and Budgeting in Public Management

for Development in The Republic of Indonesia.Case Study The Health

Sector of Kabupaten Batang, Central Java Province, in Its

Regional Development

Page 233: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

222 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRACT

Social and economic development is a national goal of a developing country. The development is promoted by the whole society consisting of all the sectors comprising public and private entities with shared roles and responsibilities. However, it must be rationally managed overall by each government to provide institutional as well as physical infrastructures for total development.

In addition to the development activities to improve or upgrade the present state, the governments’ tasks include routine activities to maintain the status quo and recovery activities to restore the negative state back to the normal conditions. For the governments to satisfactorily carry out their mandated duties, each must be performed under different management principles in accordance with their own operational nature.

Among the governments’ tasks noted above, development is inferior to the other two in terms of necessity and urgency, and the routine and the recovery are not planning-oriented because of their recurrent and irregular natures respectively. On the other hand, development can be planned, or rather it will not be efficiently and effectively conducted without proper planning within the framework of the public management for development. In addition, the governments’ activities tend to call for huge investments especially for physical infrastructure development, which should also be under planned management for efficient use of the restricted funds available.

There is another different viewpoint to classify governments’ activities; namely, service activities which are supposed to be rendered to external beneficiaries by government institutions for which they have been organized, and internal administration activities to institutionally and managerially support the former’s execution. Another aspect must be identified for considering the cost of the activities, which are capital expenditures for investments to acquire assets and consumptive expenditures for service consumption. The matter of serious concern is that development is often conceptually confused with service activities and capital expenditures or investments.

Public management for development is conducted following a cyclical management process comprising planning, budgeting, implementation management, performance evaluation and its feedback phases. In the cyclical management process above, the key requirement for the planning and budgeting phases prior to the implementation, which is the focus of this thesis, is consistency. Multi-dimensional consistency and logical consistency as follows are of critical importance for global public management for development to be effectively conducted.

Page 234: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

223

FOCUSED APPROACH ON PLANNING AND BUDGETING IN PUBLIC MANAGEMENT FOR DEVELOPMENT IN THE REPUBLIC OF INDONESIA. CASE STUDY THE HEALTH SECTOR OF

KABUPATEN BATANG, CENTRAL JAVA PROVINCE, IN ITS REGIONAL DEVELOPMENT

The multi-dimensional consistency requires direct linkages among the national and regional medium-term development plan as well as sectoral development plans. Meanwhile, the logical consistency represents a vertical flow of logic throughout the process of achieving the targeted objectives set forth in the plan with clearly set strategies, policy directions, programs and activities which are consistently linked. The logical consistency also demands development activities to be specified for accomplishing the targeted objectives and to be concrete in terms of contents and quantity for the rational costing for budgeting purpose. It must be noted here that this argument of the dual consistency is solely made within the context of managing development.

The current public management for development in Indonesia is formulated by fulfilling the requirement of dual consistency starting with the National Medium-Term Development Plan (RPJMN), based on the Long-Term National Development Plan (RPJPN), crystallizing actions in the Work Plan (RKP) under the strategies manifested in the Strategic Plans (RENSTRA) <Logical Consistency>. The said central structure is also commonly applied to the regional level connected to the centrally targeted development goals <Multi-dimensional Consistency>.

The current Indonesian system for public management for development is formulated through the Public Financial Management (PFM) Reform triggered by the Asian Financial Crisis of 1997 and consequent political power transition in the Indonesian Government that followed in 1998. The PFM Reform is supported by three budgeting pillars; namely, the Unified Budgeting (UB) to integrate development and routine budgets, Performance-Based Budgeting (PBB) to convert the budgeting perspective into outcome-orientation and Medium-Term Expenditure Framework (MTEF) to extend the term retiring single-year perspective.

However, an analysis of actual practice when reviewing the case of the Regional Government of Kabupaten (Regency) Batang, Central Java Province, revealed that the principle underlying the reformed Indonesian PFM Reform is not properly reflected in field implementation. The most serious problem is that actions officially specified which are meant to be implemented to tackle the identified strategic sectoral issues are not prepared but seem like merely a list of regular sectoral activities mostly carried out routinely. It directly indicates that the logical consistency under discussion is disconnected at the stage between the strategy and activities.

The actual causes to have brought this critical problem cannot be accurately sought without a thorough research on prevailing field practices, however they are supposed to be a lack of effective initiative and guidance of the central government. It is also rational to assume that the PFM Reform has backfired on

Page 235: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

224 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

governments’ development management, in addition to that, documentation-oriented and superficial IT application for administration is adversely affecting it.

The field fact tells that the prevailing problems are not recognized by the implementers due to the lack of precise understanding of the management concept that the government intends. Therefore, review and reconfirmation of theoretical requirement and principle of the development management system are primarily needed, and its comprehensive enlightenment must follow. Based on that, thorough research should be comprehensively conducted regarding the field state of affairs, and corrective actions are to be effectively taken for accurate field practices.

Page 236: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

225

FOCUSED APPROACH ON PLANNING AND BUDGETING IN PUBLIC MANAGEMENT FOR DEVELOPMENT IN THE REPUBLIC OF INDONESIA. CASE STUDY THE HEALTH SECTOR OF

KABUPATEN BATANG, CENTRAL JAVA PROVINCE, IN ITS REGIONAL DEVELOPMENT

Page 237: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

226 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. BackgroundFor the development of a country, the central role is supposed to be filled by the government sector which seeks economic and social returns for the public purpose including guiding and controlling profit-oriented private sectors inherently pursuing positive financial returns. Large investment needs, especially for infrastructure development, with restrictive resource constraints charge the government sector with undertaking the initiative in development works. Development needs to be conducted under appropriate public management with solid planning. Public management for development of the government is a total process consisting of planning, budgeting, implementation management, performance evaluation, and its feedback.

Since its independence in 1945, the Indonesia government has been making impressive efforts to develop the country, and it is still in the middle of the process. The effort for improving public management for development includes the Public Financial Management (PFM) Reform conducted in the beginning of the new political regime after President Soeharto.

B. Research Problem and MethodologyThe issues that will be discussed in this study include:

1. What and how is the public/government management structured and operated to properly promote both national and regional developments?

2. Are the prevailing Indonesian public management systems and operations suitably considering the theoretical requirements to promote developments?

3. If not, how could it be rectified?

Thoroughly study the theoretical requirements and conditions for normative public management for development, and analyze the present Indonesian systems and practices reviewing prevailing regulations, documents regarding development at the central as well as regional levels. The study is conducted as a case study selecting one sector of Kabupaten (Regency) Batang, Central Java Province.

Page 238: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

227

FOCUSED APPROACH ON PLANNING AND BUDGETING IN PUBLIC MANAGEMENT FOR DEVELOPMENT IN THE REPUBLIC OF INDONESIA. CASE STUDY THE HEALTH SECTOR OF

KABUPATEN BATANG, CENTRAL JAVA PROVINCE, IN ITS REGIONAL DEVELOPMENT

C. Data Analysis and Results

1. Analytical Examination of Public Management for Development in Practice, Case Study: The Health Sector of Kabupaten Batang

a. Multi-dimensional consistency-consistency between National (RPJMN) and Regional (RPJMD) Medium-term Development Plans and Strategic Plan (RENSTRA-SKPD) <1>

Health development is an integral part of national development that aims to increase awareness, willingness and the ability to have a healthy life for everyone with the highest degree of public health. Health development is an effort that involves all the potentials of the Indonesian people, both the public, private and government, organized by the central government and regional governments.

The Indonesia’s National Development Vision (NDV) aims to realize an independent, sovereign, and having a personality based on Gotong Royong (Mutual Cooperation: Indonesian national spirit) while holding up to the realization of the quality of life of the Indonesian people to be high, advanced and prosperous as one of the seven Development Missions. It also constitutes one of the Nawa Cita: Nine Development Agendas advocated by President Joko Widodo (2014-2019) as a base line of the national development plan.

To synergize health development in regions with the national health development program, the implementation of health development at the Kabupaten Batang level is harmonized with the implementation of health development at the provincial and national levels. Therefore, the implementation of health development in Kabupaten Batang refers to the National Health System, Central Java Provincial Health System, Strategic Plan of the Ministry of Health 2014-2019 (RENSTRA-K/L), Strategic Plan of Central Java Provincial Health Agency 2013-2019 (RENSTRA-SKPD) and refers to Law No. 25 of 2004 concerning SPPN, Law No. 17 of 2007 concerning the National Long-Term Development Plan (RPJPN), and Law No. 36 of 2009 on Health, particularly.

RENSTRA-K/L of the Ministry of Health emphasizes the recognition of the importance of the health sector referring to both NDV and Nawa Cita. The health sector is thus a priority consistently both in the National and Regional development programs.

Page 239: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

228 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

b. Logical Consistency at the Regional Level - Strategic Plan (RENSTRA-SKPD) of the Health Agency < 2 >

The government has a clear concept of a logical structure of development to specify relevant terminology with respective definitions as follows:

Objective <Tujuan>: a condition that achieves or produces and outcome within a period of five years.

Target <Sasaran>: formulation of conditions that describe the achievement of the objectives, in the form of the results of local development / local apparatus obtained from the achievement of outcomes of the local apparatus program.

Strategy <Strategi>: steps consisting of programs as a development priority of the local governments/apparatus to achieve the target.

Policy Direction <Arah Kebijakan>: formulation of a framework for resolving development problems and anticipating strategic issues of the regions / local apparatus which are implemented in stages as a strategy description.

Program <Program>: elaboration of SKPD policies in the form of efforts that contain one or more activities using resources provided to achieve measurable results in accordance with the SKPD mission.

Activity <Kegiatan>: part of a program carried out by one or more work units in SKPD as part of achieving measurable goals in a program and consist of a set of actions to mobilize good resources in the form of personnel (human resources), capital goods including equipment and technology, funds, or a combination of several or all types of these resources as inputs to produce outputs in the form of goods / services.

Output <Keluaran>: goods or services produced by activities to support the achievement of programs, policy goals and objectives.

Outcomes <Hasil>: all things that reflect the functioning of the output of activities in a program.

Among the logically prepared official development plans and strategies globally shown in Figure 5.2 above, RENSTRA-SKPD is a core document comprehensively covering almost all the key sectoral logical elements above as shown below. Therefore, the state of sectoral logical consistency can be evaluated throughout by examining RENSTRA-SKPD. The steps of preparation and main chapters of RENSTRA-SKPD are as follows (Steps of RENSTRA-SKPD preparation).

Page 240: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

229

FOCUSED APPROACH ON PLANNING AND BUDGETING IN PUBLIC MANAGEMENT FOR DEVELOPMENT IN THE REPUBLIC OF INDONESIA. CASE STUDY THE HEALTH SECTOR OF

KABUPATEN BATANG, CENTRAL JAVA PROVINCE, IN ITS REGIONAL DEVELOPMENT

To summarize the essence of the case of the health sector of Kabupaten Batang, the development effort is hereafter concisely abbreviated. Reviewing and analyzing the prevailing problems, strategic issues are specified. By tackling each of these, Strategies and Policy Directions are identified. Under the condition that the strategies and policy directions having been identified, selective Programs and Activities are determined to be implemented.

It is apparent at a glance that the contents are a longlist of almost all the items relating to health issues without linkage to the Seven Strategic Issues specified in the previous chapter. Reviewing each definition cited in this section, “Strategy” is the step consisting of programs as a development priority of the local governments/apparatus to achieve targets, while the “Policy Direction” is the formulation of a framework for resolving development problems and anticipating strategic issues of the regions / local apparatus which are implemented in stages as a strategy description.

However, the formulation of strategies and policy directions outlined in RENSTRA-SKPD of Health Agency 2017-2022 are still too general and abstract. The strategy of RENSTRA-SKPD has not yet explained the steps that contain programs as a priority to achieve the target, while the policy direction has not yet formulated a framework for resolving strategic issues. Both strategy and policy directions do not explain directly the relevance of these strategies and policy directions along with the indicators, so that they cannot show what efforts are to be overcome on the strategic issues side of the equation. For example, one of the strategies is: Improve environmental health, through:

- Improving coordination across programs and sectors in the development of a healthy environment.

- Improving drinking water / clean water management, family latrines, waste water and waste disposal with a community-based approach.

The strategy cannot describe the real and logical steps which are priorities in the effort to address a strategic issue and achieve certain goals and objectives. In addition, the strategy cannot show the relevance of the strategy with goals and objectives to be achieved, so the intent of the strategy cannot be known.

The following Chapter VI, RENSTRA-SKPD present Plans of Programs and Activities in line with the Strategies and Policy Directions specified in Chapter 3. As is pointed out in this Chapter regarding the Strategies and Policy Directions, the Programs and Activities just put forward above are an inorganic list or inventory of all the possible health sector routine duties without proposing any specific device to cope with the issues targeted.

Page 241: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

230 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

In addition to the above fundamental weakness, the following practical faults are prevailing within RENJA-SKPD for the Health Agency of Kabupaten Batang as follows:

a. There are several names given to the sub-activities that are the same and activities are not clearly shown / details about the type of activities need to be carried out.

b. The location of the activity is given as Batang Regency or the Health Agency and not mention whatsoever about specifically where exactly the activities are carried out (for example in which Puskesmas, sub-districts / villages).

c. The performance achievement indicators have not explained in concrete and detailed terms the outcomes and outputs to be achieved.

d. Like the performance achievement indicators, the achievement target also has not been explained clearly and in the form of quantitative figures as what to be achieved. There are still many activities with a target achievement in the form of 1 package, 1 year, 12 months, 100%, so that it cannot be known with certainty and the actual target to be achieved.

e. The target group is not clearly included nor in detail, so the group for an activity is uncertain.

D. ConclusionsReviewing the present development management scheme of Indonesia from the viewpoint of multi-dimensional and logical consistency, which are the key requirement components of the public management for development, it has been confirmed that the concept and structure of the current scheme are established and moving in the right direction. But are they operating as originally administratively designed? The answer to that question, is a clear “no”.

The field implementation of the scheme is not conforming to the central guidance especially on the conceptual logical consistency at the sectoral level in the region of kabupaten Batang. No specific tailor-made development activities or programs to tackle the strategic issues identified are uncovered. Almost all the programs and activities listed in RENSTRA and RENJA are too general and abstract, seeming to be melted into routine sectoral works.

Indonesia’s activities for accomplishing public management for development is thus incomplete. One reasons it can be argued is the absence of a strong initiative in practice and weak monitoring by the central government: BAPPENAS and

Page 242: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

231

FOCUSED APPROACH ON PLANNING AND BUDGETING IN PUBLIC MANAGEMENT FOR DEVELOPMENT IN THE REPUBLIC OF INDONESIA. CASE STUDY THE HEALTH SECTOR OF

KABUPATEN BATANG, CENTRAL JAVA PROVINCE, IN ITS REGIONAL DEVELOPMENT

Ministry of Finance. More seriously, these defects are not properly noticed within the public sector at all, and consequently no remedial actions seem to have been orchestrated aimed at resolving, positively, this defect in organization maturity.

The PFM Reform seems to have backfired on the public management for development side. Some of the reasons this is the state includes imperfect execution by Performance-Based Budgeting (PBB) being biased towards the linking of budgeting with managers’ responsibility, with their performed outcomes lacking thorough activity-based costing. There may also have been an adverse impact of Unified Budgeting (UB), although not the intent, to melt development activities into the routine public services. Documentation-oriented promotion might be making light of the understanding of the underlying concept, may have affected the practice too. IT technology using e-planning applications, which require coding of each activity in advance for administrative facilitation may be also unintendedly encouraging the prevailing shortcomings.

E. RecommendationsNecessary actions for the Government of Indonesia, especially for the central government (Ministry of National Development Planning (BAPPENAS) and Ministry of Finance (MoF)) are recommended to be taken to rectify these states of affairs. However, it must be reminded that the causes of prevailing issues discussed in previous chapters lie deep under complicated operational and managerial circumstances in a wide range involving central and regional governments. Therefore, they cannot be simply diagnosed and removed by superficial operational reviews and remedies without conducting professional researches to find the source of the problem.

As a conclusion, the thesis proposes that the central controlling ministries, BAPPENAS and MoF should conduct thorough research on the elements that have been producing these misapplications occurring in the field (kabupaten level), and then launch a concrete improvement actions initiative/program based on its analyzed result.

Page 243: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang
Page 244: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

19Nama : Dadang Jainal Mutaqin

Instansi : Dit. Kehutanan & Konservasi Sumber

Daya Air Bappenas

Program Studi : Doctor of Philosophy in International

Development

Negara Studi : Jepang

Universitas : Nagoya University

Agricultural Production Cost

Insurance in West Java, Indonesia: A

Case of Garut District

Page 245: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

234 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. BackgroundAs a country, Indonesia has been vulnerable to climate change. Some studies report that there is an increase in the variability of temperature and rainfall in all Indonesian regions (Aldrian Djamil, 2006; Boer et al., 2009; Boer et al., 2007).3 According to Boer & Suharnoto (2014), climate change in Indonesia is associated with the occurrence of El-Nino Southern Oscillation (ENSO). ENSO causes changes in the dry season and the wet season. During the warm period of ENSO (El-Nino), there is a significant increase in the dry season length that causes the delay of the wet season (Supari et al., 2018). As a result, the planted farmlands decrease.4 The farmers compensate for the delay in the onset of the wet season by growing more crops during the dry season. This condition leads to an increase in production failure (Boer & Suharnoto, 2014). The Asian Development Bank (ADB) (2015) predicts that agricultural production in Indonesia will reduce by 9-25 percent in the future due to climate change.

Besides the shift of the growing season, there is an increase in natural hazards, particularly floods and droughts. Recent data from the National Disaster Management Authority (BNPB) (2017) show that the number of floods and droughts doubled in 2015 compared to that in 2005. A flood or drought causes the loss of soil fertility. As a result, the productivity of farmland will be reduced. Another threat is the growing incident of pests and diseases. The Ministry of Agriculture (MoA) (2017a) reports that there is an increase in the number of attacks of pests and diseases during the period 2014-2016, particularly stem borers areas in Java Island. For example, during the period 1992-2002, the average number of the extreme dry months increased by four months in the coastal areas and by two months in the mountainous areas. Boer et al. (2007) report that there was a decrease in water level in eight essential dams in Java Island in the period 1994-2006, due to the decline of rainfall. The reservoirs are essential for irrigating farmlands and generating electricity on the island.

According to Naylor et al. (2007), a one month delay of the growing season in the wet season will reduce the January-April rice production by 11.0 percent in East Java and Bali Island, and by 6.5 percent in West Java and Central Java.

The increase in risks due to natural hazards has caused a reduction in farmers’ income from farming. As a result, farmers have to choose other activities that are more attractive to fulfill their daily needs and have lower uncertainties. The Central Bureau of Statistics (CBS) (2013b) reveals that the number of farmers had decreased significantly by around 16.32 percent during the period 2003-2013. Moreover, as the attractiveness of agriculture decreased, many farmlands were converted to other economic uses. According to CBS (2013b), the area of farmland

Page 246: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

235

AGRICULTURAL PRODUCTION COST INSURANCE IN WEST JAVA, INDONESIA: A CASE OF GARUT DISTRICT

owned by smallholder farmers reduced from 19.02 million ha to around 14.23 million ha (33.7 percent) in 2003-2013.

Government intervention to reduce risks in farming is needed to maintain the contribution of the agriculture sector to the national economy. Agriculture remains an essential sector in Indonesia. This sector contributes to around 13.36 percent of GDP and provides jobs for about 31.7 million people (34 percent) (CBS, 2017a). Moreover, the agriculture sector is also essential in achieving national food security (Bappenas, 2015). Since the economic crisis in 1998, the government has had difficulties in achieving food sufficiency. The government has a target to achieve food sufficiency, particularly rice in 2019. This target is stated in the Middle Term National Development Planning of 2015-2019.

The Indonesian government has implemented agriculture insurance for smallholder farmers for rice since 2015. This policy is the implementation of the Law No.19/2013 concerning the protection and farmer empowerment. Among various types of agricultural insurance, the government selected agricultural production cost insurance known as Asuransi Usahatani Padi (AUTP). In this type of insurance, the value of indemnity is equal to the value of the production cost of rice (MoA, 2017b). The objective of agricultural insurance in Indonesia is to keep the insured farmers to continue farming by providing the cost of production through insurance if there are disasters, and the damage reaches the guaranteed yield. The government has a target to cover 1 million ha of rice fields every year by the insurance from the total area of 14 million ha of rice field managed by smallholder farmers. In 2017, the agricultural production cost insurance was already implemented in 27 provinces. The government subsidizes the premium of the insurance at 80 percent (MoA, 2017b). The proportion of subsidy is one of the highest agricultural insurance subsidies compared to other countries.

B. Research Problem and MethodologyThere are five objectives of the study as follows:

1. To review the current scheme and institutional arrangements of agricultural production cost insurance in Indonesia and its differences from other agricultural insurance schemes implemented in other countries. The review will provide policy recommendations to enhance the scheme and institutional arrangements of the insurance by identifying its strengths and weaknesses.

2. To investigate the influence of farmers’ motivation for farming, risk behavior, and risk perception on a risk coping strategy adopted by farmers. Cropping pattern diversification will be used as an approach to examining the influence of these factors (motivation for farming, risk behavior, and risk perception)

Page 247: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

236 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

and their association. The analysis will provide a recommendation concerning what type of farmers (based on their motivation for farming, risk behavior, and risk perception) should be the target of the agricultural insurance program.

3. To identify farmers’ risk coping strategies and their determinants. The analysis will provide information concerning risk coping strategies adopted by farmers and factors which determine the decision to adopt a certain type of risk coping strategy, both ex-ante and ex-post strategies. It is predicted that the current risk coping strategies adopted by farmers will influence farmers’ participation in agricultural production cost insurance.

4. To estimate farmers’ WTP for agricultural production cost insurance. The analysis will provide information about the mean value of farmers’ WTP that reflects the consumer value of the insurance. This information is essential to determine an appropriate premium level for smallholder farmers. Moreover, the analysis will provide a recommendation to increase farmers’ affordability to purchase the insurance.

5. To investigate farmers’ satisfaction with the agricultural production cost insurance and its determinants. The study is essential to identify the aspect (value, services, and outcomes) of the insurance that farmers deem satisfy/dissatisfy. The information can be used to improve the quality of the insurance regarding value, services, and outcomes.

As it is mentioned in Chapter 1, there might be various reasons why farmers’ participation in agricultural production cost insurance remains low: failure in designing the scheme (premium, guaranteed yield, and indemnity) and institutional arrangements, personal characteristics of farmers (socio-psychological factors and farming practices), unaffordable insurance premium (economic factors), and farmers being unsatisfied with the insurance scheme and services (economic-psychological factors). Most of the existing literature investigate the farmers’ low participation in agricultural insurance by examining one of the reasons (insurance design, personal characteristics, farmers’ affordability, and farmers’ satisfaction) such as Goodwin (1994), Sherrick et al. (2004), and Yazdanpanah et al. (2013). This study will investigate all those possible reasons that may trigger the farmers’ low participation in agricultural production cost insurance.

As explained in the framework, the scheme and institutional arrangements of the agricultural production cost insurance in Indonesia will be compared with those in other countries (comparison study) to identify its strengths and weaknesses. Two analyses will be conducted to investigate whether farmers’ characteristics influence their participation in agricultural production cost insurance. The first is the analysis of rice farmers’ risk management by cropping pattern diversification. Cropping pattern diversification, one of the common risk management adopted by farmers, is selected to analyze the influence of farmers’ motivation for

Page 248: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

237

AGRICULTURAL PRODUCTION COST INSURANCE IN WEST JAVA, INDONESIA: A CASE OF GARUT DISTRICT

farming, risk perception, risk behavior, and their association on risk management. The second is the analysis of the determinants of farmers’ decisions on risk coping strategies. The affordability of farmers for the insurance premium of the agricultural production cost insurance will be investigated by analyzing farmers’ willingness to pay (WTP). The analysis can provide the value of farmers’ mean WTP (consumers’ value) for the insurance. The analysis of farmers’ satisfaction with agricultural production cost insurance will be conducted by investigating farmers’ satisfaction with the insurance, including value, services, and outcomes.

C. ConclusionsIt is driven by various reasons that farmers’ participation rate in agricultural production cost insurance is low. These include the design of insurance (scheme and institutional arrangements), farmers’ characteristics, farmers’ economic affordability, and quality of insurance (value, services, and outcomes).

Comparing with agricultural insurance implementation in India and the Philippines, weaknesses of the agricultural production cost insurance scheme in Indonesia are found in coverage, basic data estimation, indemnity, guaranteed yield, and premium. Agricultural production cost insurance covers only the production cost. Even though it has the potential to avoid moral hazards, limiting coverage to the production cost reduces the attractiveness of the insurance, which leads to farmers’ low participation. It is also triggered by low guaranteed yield and indemnity. Inaccurate determination of premium, indemnity, and guaranteed yield was induced by the use of nation-wide data as a basis of estimation.

The central government (MoA) dominates activities in agricultural production cost insurance implementation. Although the decision-making process can be accelerated, not all activities can be properly executed by the central government. For example, research and development should be more properly conducted by the implementing agencies at the district level. Therefore, by utilizing data in each district, the implementing agencies can precisely determine premium, indemnity, and guaranteed yield. Currently, the central government provides 100 percent of the premium subsidy. Not only will this burden the central government, but also it will lead to a lack of awareness about the insurance program for the local governments (particularly district). As a result, they make little effort to encourage farmers to participate in the insurance. The restriction of private companies from providing agricultural insurance for smallholder farmers reduces the competitiveness of the insurance market and decreases the insurance quality.

The first effort adopted by farmers to reduce the adverse impacts of risks is to modify farming practices (on-farm strategies) by cropping pattern diversification.

Page 249: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

238 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

The decision on cropping pattern diversification is influenced by three factors: motivation for farming, risk behavior, and risk perception. On the whole, farmers who adopt cropping pattern diversification are motivated by economic objectives. They have risk-averse behavior and have risk perception on the impact and probability of production and price. This confirms that cropping pattern diversification is a strategy to minimize the adverse impacts of risks (risk management). Around one-third of farmers had risk-neutral behavior and low-risk perception (impact and probability). Because of these characteristics, they might not adopt any risk coping strategies (including cropping pattern diversification) unless they are aware of the risks that they face. Improving awareness about the negative impacts of risks to income from farming might encourage them to adopt risk coping strategies, both on-farm and off-farm risk coping.

Farmers combine their risk coping strategies between on-farm and off-farm to increase their resilience to risks, rather than concentrating on one type of ex-ante strategy. Failure in on-farm risk coping strategies will be compensated by off-farm risk coping strategies. When ex-ante risk coping strategies (on-farm and off-farm) fail to cope with risks, they rely on ex-post coping strategies to minimize loss. In general, farmers will avoid reducing consumption and expenditure (low-stress) as ex-post risk coping strategy. To maintain the level of consumption and expenditure, they prefer to adopt middle-stress ex-post coping strategies (borrow from formal and informal resources, migrate to find jobs, get help from relatives, and utilize savings). In addition, socio-psychological characteristics (perceived coping appraisal) are essential factors in determining farmers’ decisions relating to risk coping strategies.

Economic affordability determines farmers’ decisions on the number of ex-ante coping strategies adopted. The economic affordability, which derives from income, farmland size, and access to financial institutions, enables farmers to invest in various types of ex-ante risk coping strategies. Thus, it will increase farmers’ resilience to risks.

The Indonesian government has determined the insurance scheme (premium, indemnity, and guaranteed yield) based on the average production cost and percentage of damage of rice production during the period 2003-2012 in all regions (a nation-wide basis). This approach leads to market failure, especially adverse selection, because indemnity, guaranteed yield, and premium cannot be estimated properly, and cannot reflect the level of individual risk. Especially, due to the cost approach, the premium cannot reflect social exchange value (market value). CVM shows that farmers’ WTP (consumer value) is lower by 16 percent than the current premium (the producer value).

Page 250: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

239

AGRICULTURAL PRODUCTION COST INSURANCE IN WEST JAVA, INDONESIA: A CASE OF GARUT DISTRICT

The majority of farmers were unsatisfied with the insurance. Rather than personal characteristics, the insurance’s value, services, and outcomes are the largest contribution to being satisfied with agricultural production cost insurance. Farmers who had already participated in the insurance but were unsatisfied with agricultural production cost insurance might not participate in the insurance in the next cropping season. This will influence the decision of farmers who have not yet participated in the insurance.

By integrating all analyses, farmers’ low participation in agricultural insurance could be explained: 1) outcomes do not meet farmers’ expectations, though the design of the insurance scheme (insurance value) is well formulated, and the insurance service is good; 2) the insurance service is not good, although outcomes meet farmers’ expectations and the insurance scheme is well designed; 3) the insurance is not well designed, although the insurance service is good; and 4) due to personal characteristics, farmers cannot participate in the insurance, even though the insurance is well designed and the insurance service is good. Thus, this study suggests four main policy implications to increase farmers’ participation in agricultural production cost insurance as follows:

1. Revising the insurance design

a. Insurance scheme

- Insurance scheme (premium, indemnity, guaranteed yield) should reflect risks faced by farmers in a specific region (for example, district). It can be achieved if insurance scheme determination for a district uses the data of historical production of the district. Instead of nation-wide data, region-wide data (district) could provide more accurate data to determine the insurance scheme for a district. Therefore, premium, indemnity, and guaranteed yield could be differentiated by the district. Farmers in a district with lower risks will have a lower premium and guaranteed yield. They will also have different indemnity because they have different production costs.

b. Institutional arrangements

- Determination of premium, guaranteed yield, and indemnity should be conducted by implementing agencies at the region level (such as agriculture district office and the insurance provider at the district level) because they have more capacity to collect data at the region level and have more knowledge about its risks.

Page 251: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

240 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

- The premium subsidy should be divided between the central and local government so that it is not burdening the central government, and the local government will have more awareness of the agricultural insurance program.

- Allowing private insurance providers to enter the agricultural insurance market might improve its competitiveness, and consequently improve services and delivery.

2. Improving farmers’ capacity to adopt risk coping strategies

- Improving access to financial institutions may improve farmers’ capacity to cope with risks by adopting several risk coping strategies, including agricultural insurance. It provides opportunities for farmers to increase incomes by investing money in on-farm income such as cropping pattern diversification and non-farm income generating activities. When farmers’ incomes rise, farmers can increase their adaptive capacity by adopting more than one ex-ante risk coping strategy.

- Improvement of access to information might remove farmers’ doubts about insurance as an ex-ante risk coping strategy. This can be conducted by increasing extension services to provide information directly to farmers (farmer groups) and providing insurance information on social media (websites), followed by dissemination of information to farmers.

- Educating farmers about agricultural production cost insurance is essential to farmers’ awareness and understanding of the insurance.

3. Focusing on farmers with certain characteristics

- Farmers who implement cropping pattern diversification have high-risk perception and risk-averse characteristics. It implies that farmers who are more likely to purchase insurance are farmers who have already practiced cropping pattern diversification. Thus, farmers who implement single cropping pattern (with lower risk perception and risk-neutral characteristics) should be as a target for the agricultural production cost insurance program.

- Farmers’ WTP for the agricultural production cost insurance indicates that the government should pay more attention to farmers with small farmland and low contact with extension services as the target for improving farmers’ participation in the insurance.

Page 252: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

241

AGRICULTURAL PRODUCTION COST INSURANCE IN WEST JAVA, INDONESIA: A CASE OF GARUT DISTRICT

4. Sustaining the participation of farmers who have already purchased the insurance

- Improving the insurance value by revising the determination of indemnity, guaranteed yield, and premium might enhance farmers’ satisfaction with purchasing insurance. When premium, indemnity, and guaranteed yield reflect the risks and historical production of farmers, it will improve the insurance value, and consequently, farmers’ satisfaction with agricultural production cost insurance. This strategy is parallel with improving the insurance design (policy implication point 1).

- Farmers’ feelings of security can be improved by educating farmers who have already purchased the insurance about the benefits of the insurance. It might broaden farmers’ knowledge about insurance and strengthen their belief that the insurance can reduce the negative impacts of risks.

Page 253: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang
Page 254: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

20Nama : Bagus Pambudi

Instansi : Badan Pemberdayaan Masyarakat dan

Desa Pemkab Batang

Program Studi : Doctor of Philosophy in International

Development

Negara Studi : Jepang

Universitas : Takushoku University

A Study on The Implementation of Community Driven

Development Program in Three Villages of

Indonesia

Page 255: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

244 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

ABSTRACT

Over the past decades, academics and practitioners have progressively promoted increasing the community-based approach following well documented disillusionments of top-down approaches that have dominated development agenda in the recent past. The World Bank proposes the expansion of community-driven development (CDD) programs that increase a community’s control over the development process. The KDP/PNPM Rural, the largest CDD program in the world, has a reputation for being one of the most successful, which is why this study may particularly benefit from comparing its program design to its application in Indonesia.

This study has attempted to analyze community-driven development approach as formulated by the Bank both in conceptual and practical domains by examining its application in Indonesia. The study has been conducted in two ways, desk review and field study. By conducting a desk review of the existing research and policy documents of CDD, the author is able to identify the extent to which KDP/PNPM Rural has adopted key ideas of CDD approach into its program design. By conducting a field research in the three villages of Central Java, the author has identified discrepancies between the program guideline of KDP/PNPM Rural and the actual implementation of the program. Analysis on factors that have generated the discrepancies is also provided.

From desk review, this study is able to identify elements of KDP/PNPM Rural that have adopted key features of CDD approach in its program design. As historical background to the KDP/PNPM Rural, there were two previous community-based development programs, namely IDT and P3DT implemented in early 1990s. In Indonesia, the KDP/PNPM Rural are viewed as continuation, with modification, of these two programs. One of the most critical changes of the KDP/PNPM Rural, in comparison to the IDT and P3DT, is the need for villagers to form new community-based organizations that serve as project implementers. The other significant change is KDP/PNPM Rural has regulated the establishment of a new mechanism in the decision-making processes segregated from the existing planning process.

Related to the conception of CDD within the context of development in Indonesia, this study argues that “CDD type” programs in Indonesia are generally conceived as community empowerment (pemberdayaan masyarkat) programs with strong emphasis on economic achievements. The implication is that Indonesian CDD programs including KDP/PNPM Rural have a reduced awareness to the importance of the political component of the program. Consequently, the design of CDD program has undervalued the function of community’s control over the decision-making process and resource in the program, which is arguably the conceptually core of CDD.

Page 256: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

245

A STUDY ON THE IMPLEMENTATION OF COMMUNITY DRIVEN DEVELOPMENT PROGRAM IN THREE VILLAGES OF INDONESIA

From field research, the author found several discrepancies between KDP/PNPM Rural guidelines and its implementation in the field. In the planning stage, there are two major findings; first, project proposals presented during hamlet meetings (idea generating deliberation) of KDP/PNPM Rural are derived from prior regular meetings held at the neighborhood level, RW and the RT. This is different with the program guideline that stipulates project proposals should result from discussion among participants during hamlet meetings. Second, although all deliberations are “open to all villagers”, in reality these meetings are attended only by representatives and invited attendees. Thus, the program has limited access for the villagers as a whole especially for woman and the poor to actively participate in decision-making.

As for the implementation stage, the finding of this study shows that the timing of construction activities during the rainy season (August to December) creates a heavy challenge for the TPK (project implementers) to accomplish projects as scheduled. Next, complexities of administration of fund disbursement as well as instability of regulations resulted in the tardiness of fund transfer from the central government to project implementers in the field. Another finding is due to the unavailability of funds from the program, the monitoring team is unable to perform well in conducting their role.

Regarding the maintenance stage, the study found that there is no regular maintenance for infrastructure projects built by the program in all three villages. The main verifiable reason is that funds for the maintenance activity have not be itemized in the budget. The lack of incentive is also another reason why the maintenance team has a weak performance at this stage.

The limited access of the program for commoners is more or less depicted from the respondents’ answers to the distributed questionnaires. The responses generally conclude that first, the depth of information possessed by the respondents very much is depended on the degree of their involvement in the program. Second, regarding the types of involvement, most respondents stated that they were involved merely as program beneficiaries either as infrastructure project workers or micro-credit borrowers. Third, this study found that most respondents considered that infrastructure projects were more important than micro-credit activities. A bit surprising, a sizable percentage of the respondents (mostly the poor) stated that they only heard the name of the KDP/PNPM Rural without any further involvement in spite of the fact that this program has been implemented in all three villagers for more than ten years.

Findings from all three villages also indicate that the two major factors that affect program governance are: elite capture and lack of facilitation. In the contexts and forms of elite capture in the KDP/PNPM Rural program, this study finds that elite

Page 257: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

246 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

capture persists in both decision-making and the implementation stage of the program. During the planning phase elite capture is likely to appear at the village level as two different forms. The first is when the elite, particularly village head, directly or indirectly selects members as project implementers. The second is when the village head uses his power, on behalf of villagers, to influence the meeting attendees to choose a certain project that is considered as the best solution, whether it is or not for the entire village.

As to the context of infrastructure construction, the form of elite capture varies. It generally operates with the central actor as the village head. First is how the project actors intentionally take benefits by altering material specifications to a lower grade than what should be used, pocketing the gap between the budget line sum and the lower grade material. The second is the project actors deceive the quantity or volume of the construction in-suit. Third, the elites may tend to manipulate investigators by claiming a project as KDP/PNPM Rural project although in reality the project is financed by other programs. In the context of micro-credit activities, woman elites choose whom can borrow for a project based on their own preferences with less regard to program requirements. In the worst case, misallocation or even misuse of revolving funds by manipulating the data of recipients are often the case.

Related to the role of facilitators in the program, this study confirmed two main problems, as identified in previous studies subdistrict. First, facilitators were loaded with administrative works and focused more on project procedures than promoting and enabling community groups, particularly marginalized groups. Second, there were many facilitators who lacked experience, some being fresh university graduates. In addition to those problems, based on interviews with some former facilitators, the author became aware that occasionally payment of facilitators’ salaries is late that at times results the loss of motivation.

Within the conceptual domain, to improve the design of CDD program in Indonesia, this study recommends the Government of Indonesia (GoI) to be more aware not only to economic achievements of the program, but also the political parameters. An initial attempt can be taken through provision of a clear translation and definition of the term CDD in Bahasa Indonesia that indicates a development initiative with a distinctive emphasis on political domain, the control over decisions and resources.

In a more practical way and specific to KDP/PNPM Rural, this study has recommendations for improvement of the program. First, the program should improve the capacity of village project actors especially KPMD (village facilitators), monitoring team, and maintenance team. This improvement has to include better skill through more advanced training and the provision of significant incentives.

Page 258: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

247

A STUDY ON THE IMPLEMENTATION OF COMMUNITY DRIVEN DEVELOPMENT PROGRAM IN THREE VILLAGES OF INDONESIA

Second, the program regulations especially related to fund disbursement should be simplified and fixed to avoid the lateness of block grant transfer. Third, the program should consider relaxing the regulation for poor woman to access micro-credit as many of them still face difficulties to meet the requirements to become a borrower.

Related to elite capture, the GoI and the Bank ought to take into consideration the existence of a power network of village elites that is of fundamental importance and the starting point for considering the role of village elites in the program. This study concludes that the domination of village head can be minimized by strengthening the commoners (non-elites). The villagers have to be empowered through suitable training programs and processes aimed at making them aware of their rights and to provide enough confident to actively participate both during the decision-making and implementation stages of a project. As the capacity of commoners developed, benefits are likely to be largely taken by non-elites and reflect their demands. Technically, this effort should include upgrading the capacity of monitoring team in the program. Next, the program should also consider strengthening the role of the village council (BPD) to supervise the village head as well as to create a balance of political power in the village. In addition, to reduce the risk of resource misappropriation, the engagement of external players, such as local inspectorates, relevant district and subdistrict officials, NGOs is crucial to conduct regular audits.

To improve facilitation in the program, this study recommends that the administrative procedures of the program be simplified. In this way it will create more time for the facilitators to focus on issues relevant to the program principles, such as participation of the poor and female villagers. In addition, the program ought to provide the facilitators with a better awareness of village politics which may affect the implementation of the program. Lastly, an improved incentive package for the facilitators has to be provided by the program with aims at strengthening their role in the program.

Above all, to improve the design of CDD program, the author argues that a new modified program design is vital. The basic consideration behind the proposed design change is to maximize the effective participation of non-elites in the planning stage covering a series of collective decision-making process in conformance with the CDD approach.

Page 259: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

248 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

A. BackgroundThe Bank, as the strongest proponent of community-driven development, has adopted this approach as an integral part of its policy and practice since early 1990s. On the basis of its perceived advantages, the Bank is currently supporting 190 active CDD programs valued at USD 19.2 billion in 78 countries around the world. Over the past ten years, the Bank has lent on average US$ 2.6 billion annually towards CDD programs, representing 5 to 10% of overall Bank lending each year. Nor is this wave showing any sign of cresting (Wong and Guggenheim, 2018).

For Indonesia, starting from 2015 the Government of Indonesia (GoI) has acted to scale up donor assisted CDD programs to cover their entire national territories. They currently finance the programs from their national budgets to embed annual community transfers to 73,000 villages in its recurrent budget through a village law that transfers up to US$ 7.3 billion per year. This attempt reflects the expansion and continuation of CDD programs supported by the Bank that had been implemented in the country from 1997 to 2014, under the Kecamatan Development Program (KDP) and the National Program for Community Empowerment in Rural Areas (PNPM Rural).

Straining the chronological order, the KDP was born during the period of the 1997 Asian Financial Crisis. The meltdown of Indonesia economy during this period reversed years of economic progress and plunged millions of rural poor once again below the poverty line, not to mention the collapse of the New Order2 regime. Prior to the crisis, however, Indonesia had marked significant progress in increasing the standard of living of its citizens. The number of people earning less than US$ 1 a day had fallen from more than 50% in 1970 to less than 20% by 1997. The crisis opened up a fundamental period for the country to search for a new way of thinking specially to address issues related to poverty.

Together with the Bank, the GoI at the end of 1997 introduced the KDP, which employs community-driven development approach in its program design, into a national context in response to relieve the problem faced by rural poor. The initiative was basically intended to improve access to economic and social infrastructures and services among the poor, while avoiding the weaknesses associated with the top-down investment planning that was typical of state agencies under the New Order era (McCarthy et al., 2016). Later, this program came to be considered as effective in achieving its goals, thus it experienced a major scale-up in 2007 when the GoI embarked on a multiyear effort to expand this CDD program into the largest program of its kind in the world under the new name of the PNPM Rural.

Page 260: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

249

A STUDY ON THE IMPLEMENTATION OF COMMUNITY DRIVEN DEVELOPMENT PROGRAM IN THREE VILLAGES OF INDONESIA

The Bank’s investment in the KDP/PNPM Rural3 has been enormous, a total of US$ 3.5 billion in soft loans. The Bank financed the KDP with a budget of US$609 million for three phases (1998 to 2006) and agreed in 2003 to add $374 million for the third phase (2003 to 2009). The amount of funds increased significantly in 2008 after the Bank approved an additional US$ 1.3 billion in loans with US$ 1.2 billion additional in 2011, further committing to the program until 2014. The loans, in total, is approximately US$ 3.6 billion and have been continually matched by the GoI (see Table 1.1), thus nearly doubling the scope of the PNPM Rural from 33,300 villages (2,600 subdistricts) to 57,266 villages (5,300 subdistricts) across rural Indonesia.

The KDP/PNPM Rural has a reputation for being one of the most successful CDD programs which is why this research may particularly benefit from its analysis. After the program had been implemented for fifteen years, the author then believes that it is now a valued opportunity to conduct a qualitative study to learn the latest conditions as well as the changes brought about by the implementation of the KDP/PNPM Rural, if any. To deeply explore the changes that took place, this study will compare steps and procedures of the program design and the actual implementation in the field from the planning to the implementation stage of the program. Therefore, it can be determined what if any discrepancies exist, how far along have the discrepancies proceeded, and what factors were generated by those discrepancies, if any.

B. Research Problem and MethodologyThis study is designed to address a set of research questions identified in relation to the objectives of this study are:

1. To what extent does KDP/PNPM Rural incorporate key ideas of the CDD into its program design?

2. What are the discrepancies between the design and actual implementation of PNPM Rural at the subdistrict, village, and sub-village levels?

3. What are the factors that have generated possible discrepancies between the design and actual implementation of KDP/PNPM Rural?

Qualitative and mixed-methods approaches are employed in different sections of this study. In the first section to recognize the similarities and differences between the original design of CDD program and the adopted designs in the KDP and PNPM Rural, this study will apply the qualitative approach using both literature reviews and interviews. At first, the author will study the documents related to CDD programs in Indonesia particularly those supported by Bank loans. Any additional reading materials which emphasize both theory and practice of

Page 261: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

250 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

community-driven development are also valuable at this stage. The results of literature review will be affirmed through extensive interviews with senior level administrators from the Ministry of National Development Planning, the Ministry of Home Affairs, the Ministry of Village and the Bank office located in Jakarta who participated in preparing the program designs.

The following section aims to evaluate the processes, outputs, and outcomes of the CDD programs. In this way, this research intends to utilize the mixed-method approach that relies on quantitative analysis of customized survey data and a qualitative analysis at the village level. Fieldwork has been conducted in three villages in three different subdistricts of the Batang District. Study areas were selected in consultation with district officials who are responsible for KDP/PNPM Rural implementation with regards to availability of secondary data and informants at the village level. Prior to the fieldwork, conducted from January to March 2018, pre-fieldwork had taken place in February 2017. The pre-fieldwork is intended to provide the author identification of and initial communication with prospective informants so that the fieldwork can be completed in timely manner.

Survey data has been collected by distributing a questionnaire with a list of related questions, the majorly are ‘yes or no’, and multiple-choice type of answers to 90 randomly selected villagers. Qualitative evidence was carried out by in-depth interviews with informants and interviewees, participant observation, and secondary data collection. This study also examined the power ties between elites and non-elites at the village level and adds an in-depth analysis on issues of elite capture, not at least to mention the patron-client relationship. Cross interviews were conducted with informants at the subdistrict and district level to verify the answers or findings from the field.

C. Data Analysis and ResultsThe unique contributions provided in this chapter are derived from the comparison of findings of this study with earlier studies within the issue of CDD. These contributions are not necessarily to only indicate the dissimilarity results of the findings but also to signify further analysis provided by this study to add what has been syphered out by other existing studies. This is illustrated in-full as below.

In terms of program design, this study offers several different approaches compared with the work of Ke Fang (2006). If his study provides analysis of the use of the term “community” in KDP/PNPM Rural, this study attempts to trace the chronological process of the original design of CDD adopted by KDP/PNPM Rural. This study also offers further analysis of the decision-making processes at the sub-village level, adding analysis of those process at the subdistrict and village level provided by Ke Fang and other researchers.

Page 262: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

251

A STUDY ON THE IMPLEMENTATION OF COMMUNITY DRIVEN DEVELOPMENT PROGRAM IN THREE VILLAGES OF INDONESIA

In general, with regards to the conclusion of program implementation, the author’s study holds a different perspective then SMERU’s (2013) general conclusion -- ‘PNPM-Rural has been implemented properly’. Based on the author’s fieldwork, in terms of procedure and schedule of program implementation in the village, this study tends to conform that programs have generally been implemented properly. But it should be noted that the dynamics in the village to reach those procedures and schedules are important factors to be analyzed. For example, as discussed in Chapter 8, the domination of the village elites both in decision-making and the implementation stages is persistent. Thus, to say the program has been implemented properly is a strong statement as the program is ineffective to address elite capture, which conceptually is one of the main defects of the CDD approach. Next, the author identified the types of participation of the villagers in the program, as discussed in Chapter 7. A significant number of respondents stated that they did not become involve in the program and had only heard of KDP/PNPM Rural and had no real knowledge of what exactly the program does. Thus, the author’s study does not conclude that participation in the program worked well, which is different from SMERU’s conclusion.

Related to elite capture, the author’s research has a mixed response when compare with the findings of Dasgupta and Beard (2007). The field study undertaken for this research found that elite control in the decision-making process can lead to resource misappropriation either in infrastructure or micro-credit projects which is different with the views of Dasgupta and Beard that stated that ‘where the project was controlled by elites, benefits continued to be delivered to the poor’. In addition, this study also found limited evidence of democratic self-governance, as stressed by those researchers, while CDD could address elite capture in the village meeting to some extent, the village head is still the central actor dominating the meeting is conclusively concluded by this study.

D. ConclusionsIn response to the well documented limitations of top-down approaches that have dominated development agenda over the early years, practitioners and academics increasingly promote more community-based approaches (Dasgupta and Beard, 2007). The World Bank (the Bank) proposes the community-driven development (CDD) programs that increase a community’s control over the development process. KDP/PNPM Rural, the largest CDD program in the world, has a reputation for being one of the most successful, which is why this study may particularly benefit from comparing its program design to its application in Indonesia.

Page 263: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

252 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

This study has attempted to analyze the community-driven development approach as formulated by the Bank both in conceptual and practical domains by examining its application in Indonesia. The study has been conducted in two ways: desk review and field study. By conducting a desk review on existing research and policy documents of CDD, the author is able to identify the extent to which KDP/PNPM Rural has adopted key ideas of the CDD approach into its program design. By conducting field research in three villages of Central Java, the author has identified discrepancies between program guideline of KDP/PNPM Rural and actual implementation of the program. Analysis on factors that have generated the discrepancies is also uncovered.

As laid out in Chapter 4, this study is able to identify elements of KDP/PNPM Rural that have adopted key features of the CDD approach in its program design. As historical background to KDP/PNPM Rural, there were two previous community-based development programs, namely the Presidential Instruction for Under-developed Villages (IDT) and the Village Infrastructure Program (P3DT) both implemented in early 1990s. In Indonesia, KDP/PNPM Rural is viewed as a continuation, with modification, of these two programs. One of the most critical modifications of KDP/PNPM Rural, in comparison to the IDT and P3DT, is the need for villagers to form new community-based organizations which serve as project implementers. The other significant change is KDP/PNPM Rural has regulated the establishment of a new mechanism of in decision-making processes segregated from the existing planning process.

Chapter 5 provides discussion related to the conception of CDD within the context of development in Indonesia. This study argues that “CDD type” programs in Indonesia are generally conceived as community empowerment (pemberdayaan masyarkat) programs with strong emphasis on economic achievements. The implication is Indonesian CDD programs including KDP/PNPM Rural have less awareness to the importance of the political aspect. Consequently, the design of CDD programs has undervalued the function of community’s control over decision-making process and resource in the program, which is conceptually the core of CDD itself.

From field research, the author found several discrepancies between KDP/PNPM Rural guidelines and its implementation on the field (Chapter 6). In the planning stage, there are two major findings; first, project proposals presented during hamlet meeting (idea generating deliberation) of KDP/PNPM Rural are derived from prior regular meetings held at the neighborhood level, RW and the RT. This is different with program guideline that stipulates project proposals should resulted from discussions among participants during hamlet meetings. Second, although all deliberations are “open to all villagers”, in reality these meetings are attended

Page 264: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

253

A STUDY ON THE IMPLEMENTATION OF COMMUNITY DRIVEN DEVELOPMENT PROGRAM IN THREE VILLAGES OF INDONESIA

only by representatives and invited attendees. Thus, the program has limited access for the villagers especially woman and the poor to actively participate in the decision-making process.

During the implementation stage, the finding shows that the timing of construction activities during the rainy season (August to December) creates a heavy challenge for TPK (project implementers) to accomplish projects as scheduled. Next, complexities of administration of fund disbursement as well as instability of regulations resulted in the tardiness of fund transfer from the central government to project implementers in the field. Another finding is due to the unavailability of funds from the program, the monitoring team is unable to perform well in carrying out their responsibilities.

During the maintenance stage, the study found that regular maintenance for infrastructure projects built by the program in all three villages does not exist. The main reason for this situation is that for maintenance activity no funds have been set aside. The lack of incentive is also the reason why maintenance team has a weak performance in this stage.

The limited access of the program for commoners is more or less depicted from respondents’ answers of distributed questionnaires, elaborated in Chapter 7. The responses generally conclude that: first, the depth of information possessed by the respondents very much depended on the degree of their involvement in the program. Second, regarding the types of involvement, most respondents stated that they were involved merely as program beneficiaries either as infrastructure project workers or micro-credit borrowers. Third, this study found that most respondents considered that infrastructure projects were more important than micro-credit activities. A bit surprising, a sizable percentage of the respondents (mostly the poor) stated that they only heard the name of KDP/PNPM Rural without any further involvement in spite of the fact that this program had been implemented in all three villagers for more than ten years.

Findings form all three villages also indicate that the two major factors affect program governance’ elite capture and lack of facilitation. In the contexts and forms of elite capture in the KDP/PNPM Rural program, provided in Chapter 8, this study finds that elite capture persists in both the decision-making and implementation stages of the program. During the planning phase elite capture is likely to appear at the village level with two different forms. The first form is when the elite, particularly village head, directly or indirectly selects project implementers. The second form is when the village head used his power, on behalf of villagers, to influence meeting attendees to choose a certain project that is considered as the best solution that some way or another is the best for the village head.

Page 265: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

254 DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

During the implementation stage, in the context of infrastructure construction, the form of elite capture varies. It generally operates with the central actor as the village head. At times the project actors intentionally take benefits from material specifications which are downgraded from what should be completed. Another is when the project actors deceive the quantity or volume of construction works. Yet another, the elites attempt to manipulate investigators by claiming a project as a KDP/PNPM Rural project although in reality the project is financed by another program. In the context of micro-credit activities, woman elites choose borrower groups based on their own preferences with less regard to program requirements. In the worst case, misallocation or even misuse of the revolving fund by manipulating the data of recipient often occur.

Related to the role of the facilitators in the program, provided in Chapter 9, this study confirmed two main problems, as also identified in previous studies, namely that the subdistrict facilitator’s activities are inadequate at the village and sub-village level. First, facilitators are overwhelmed with administrative tasks and are thereby focused into more project procedures than promoting and enabling community groups, particularly marginalized groups to be actively engaged. Second, there were many facilitators who lacked suitable experience, some being fresh university graduates. In addition to those problems, based on interviews with former facilitators, the author became aware that occasionally payment of facilitators salaries is late and thus diminishes motivation.

The unique contributions of this study are derived from the comparison of findings of this study with earlier studies within the issue of CDD, as presented in Chapter 10. This study offers an attempt to trace the chronological process of the original design of CDD adopted by KDP/PNPM Rural. Next, further analysis of the decision-making processes at the sub-village level is provided by the author to add analysis of those processes at the subdistrict and village level provided by other researchers. In addition, this study maintains that the program has not been implemented properly since the elite capture, one of main defects of the CDD approach, continues both in decision-making and during the implementation stage.

E. RecommendationsFinally, this study identifies several vital research opportunities to help identify the CDD portfolio based on a number of limitations faced by this study. These opportunities are:

1. To examine the development history of individual villages to better understand the evolution of the CDD programs in the field. More work will be needed to

Page 266: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

255

A STUDY ON THE IMPLEMENTATION OF COMMUNITY DRIVEN DEVELOPMENT PROGRAM IN THREE VILLAGES OF INDONESIA

examine the path dependence in program design and implementation in the specific context of each village;

2. To compare rural development programs using CDD approaches with those with non‐ CDD approaches. None of the impact evaluations in previous studies (including this study) compare “head on” CDD approaches with alternative modes of government service delivery. More evidence along these lines would greatly identify policy decision‐ making;

3. To compare KDP/PNPM Rural with the CDD program of other countries. This comparison would help inform policy makers of possible alternative choices in the formulation and implementation of programs;

4. To unpack the black box of resource misuses by village heads and/or project implementers is crucial. Very little is known or documented about how this type of elite capture is realized. Additional qualitative work in this area would be valuable in improving the accountability of decision‐ making and implementation of the program;

5. Further examination is needed to have a deeper understanding of the motivation of ‘benevolent elites’ who serve the benefits of their communities;

6. Sustainability is an important consideration in the maintenance stage of the program. Longer‐ term evaluations are needed to trace program impacts over time in view of the lack of maintenance activities in the villages under study;

7. Lastly, review regulations related to the CDD programs is important. This study found that heavy load of administrative work results in ineffectiveness on the part of project implementers and facilitators on the ground. Answers need to be sought to the question of how to identify areas for simplified regulations.

Page 267: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Direktori... · 2020. 9. 28. · iv Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang