265

Prof. Dr. Abdul WahabAbdMuhaimin, Lc.,MA.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49029...3 Buku I KHI memuat Hukum Perkawinan, buku II memuat Hukum Kewarisan dan Buku III

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

iii

iv

Prof. Dr. Abdul WahabAbdMuhaimin, Lc.,MA.

REAKTUALISASI HUKUM ISLAM

DALAM KONTEKS HUKUM NASIONAL

v

REAKTUALISASI HUKUM ISLAM DALAM KONTEKS HUKUM NASIONAL Penulis : Prof. Dr. Abdul WahabAbdMuhaimin, Lc.,MA. Layout :Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA. DesainCover : Cetakan : Ukr.16 x 24 cm --- x + 258 Halaman. ISBN : DiterbitkanOleh: GaungPersada (GP) Press Jakarta KompleksKejaksaanAgung RI Blok E1/3 Cipayung – Ciputat Jakarta 15411 Telp/Faks: 021-7423296, Hp. 081510020395 Email: [email protected] ANGGOTA IKAPI © HakCiptaDilindungiUndang-Undang (All Right Reserved)

vi

PEDOMAN TRANSLITERASI

I. KONSONAN

ا

ب

ت

ث

ج

ح

خ

د

ذ

ر

=

=

=

=

=

=

=

=

=

=

a

b

t

th

j

h

kh

d

dh

r

ز

س

ش

ص

ض

ط

ظ

ع

غ

ف

=

=

=

=

=

=

=

=

=

=

z

s

sh

s

d

t

z

gh

f

ق

ك

ل

م

ن

و

هـ

ء

ي

ة

=

=

=

=

=

=

=

=

=

=

q

k

l

m

n

w

h

y

t-h

vii

II. VOKAL PENDEK III. VOKAL PANJANG

= a ا = â

= i ي = î

= u و = û

IV. DIFTONG V. PEMBAURAN

al = ال aw = ـو

al-syams = الشمس ay = ـى

-wa al = وال

VI. PENGECUALIAN

Huruf Hamzah (ء) di awal kata ditulis dengan huruf vokal tanpa

didahului tanda (‘), seperti أمهات ditulis Ummahat, bukan ‘Ummahat.

ـ ـ ـ

viii

KATA PENGANTAR PROF. DR. H. AZYUMARDI AZRA, MA Guru Besar (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta & Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat

Bila ditilik dari sejarahnya, Reaktualisasi Hukum Islam dalam konteks Hukum Nasional di Indonesia bukanlah hal baru, mengingat sudah banyak muatan nilai-nilai hukum Islam yang sudah diadopsi dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Terlepas apakah peraturan perundangan tersebut diberlakukan khusus untuk umat Islam atau tidak, tapi yang jelas secara umum, proses penyusunannya sudah melalui proses legislasi yang sah, dengan melibatkan seluruh unsur dan elemen terkait yang ada di lembaga Legislatif.

Mengingat umat Islam di Indonesia adalah mayoritas, Reaktualisasi Hukum Islam dalam konteks Hukum Nasional Indonesia merupakan sebuah conditio sine quanon. Alasannya, karena secara sosiologi hukum (law culture) nilai-nilai hukum Islam sudah menjadi panutan yang tidak hanya sebatas keyakinan, tetapi sudah dipraktekkan secara luas oleh masyarakat Muslim Indonesia. Namun, mengingat sistem hukum di Indonesia menganut paradigma Eropa Kontinental, mau tidak mau hukum Islam harus terwujud dalam bentuk hukum positif. Di sinilah letak Reaktualisasi Hukum Islam dalam konteks Hukum Nasional.

Oleh karena itu, kontribusi hukum Islam dalam proses positifisasi hukum, baik secara khusus maupun melekat pada peraturan perundang-undangan lain, merupakan keniscayaan. Hal ini mengingat, jika melihat teori positivistik, pengambilan nilai-nilai sosial keagamaan yang sudah berjalan danberkelindan di masyarakat harus diapresiasi menjadi hukum positif. Inilah yang disebut dengan positivistik sosiologis sebagai imbangan dari positivistik yuridis dalam proses penyusunan hukum positif di Indonesia.

Salah satu hukum positif yang banyak mengadopsi nilai-nilai Hukum Islam di Indonesia adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Meskipun dari sisi penamaannya tidak secara eksplisit sebagai undang-undang perkawinan Islam, namun bila dilihat dan dianalisis isinya, tidak berlebihan jika UU tersebut lebih banyak memuat tentang norma-norma perkawinan dalam Islam. Sehingga tidak heran kalau pada saat UU ini disusun sampai sebelum disahkan, menimbulkan banyak polemik di masyarakat, terutama resistensi dari kalangan non-Muslim.

ix

Selainitu, tersusunnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku I Tentang Perkawinan, merupakan bukti nyata adanya positivisasi hukum Islam (pelembagaan hukum islam di Indonesia)

Bagaimana keberlakuan kedua peraturan perundangan tersebut

dalam praktek keseharian umat Islam di Indonesia? Jawaban atas pertanyaan

inilah yang dikupas Prof. Dr. H. Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Lc, MA dalam

bukunya "Reaktualisasi Hukum Islam Dalam Konteks Hukum Nasional."

Saya menyambut gembira penerbitan buku ini dan saya yakinkarya ini

merupakan kontribusi penting bagi perkembangan hukum Islam di Indonesia.

Buku ini tak ragu lagi merupakan bacaan wajib bagi para dosen dan

mahasiswa Fakultas Syari'ah dan Fakultas Hukum; dan juga bagi mereka yang

ingin memahami.

Jakarta, Juni 2017

Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, MA

x

DAFTAR ISI

PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................... VI

KATA PENGANTAR ....................................................................... VIII

DAFTAR ISI .................................................................................... X

BAGIAN PERTAMA : PENDAHULUAN .......................................... 1

BAGIAN KEDUA : PERJUANGAN HUKUM ISLAM DI ………………….

INDONESIA……………………………………............... 7

A. Perkembangan Hukum Islam di Indonesia sebelum Kemerdekaan ........................................................................ 8 1. Hukum Islam sebelum Penjajahan Belanda ...................... 8 2. Hukum Islam pada Zaman Penjajahan Belanda ................ 15 3. Hukum Islam pada Zaman Pendudukan Jepang ............... 22

B. Perkembangan Hukum Islam di Indonesia setelah Kemerdekaan RI ..................................................................... 24 1. Hukum Islam Sebelum Menjadi Hukum Nasional ............. 24 2. Hukum Islam Setelah Menjadi Hukum Nasional ............... 30

BAGIAN KETIGA : UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) TENTANG PERKAWINAN ……………………....…… 35

A. Pengertian Hukum Perkawinan . ............................................. 36 B. Hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan ...... ..................................................................... 42 C. Hukum Islam dalam KHI Tentang Perkawinan. ........................ 125 D. Pro dan Kontra Terhadap UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI

Tentang Perkawinan............................................ .................... 158

xi

BAGIAN KEEMPAT:MEMBUMIKAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA ....................................................... 175

A. Pembentukan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawina .............. 176 B. Pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KH ................................... 191

BAGIAN KELIMA :DAMPAK POSITIF PENERAPAN UU NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KHI ............................................................. 205

A. Keunggulan UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI Tentang Perkawinan .............................................................................. 205 B. Dampak UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI Tentang Perkawinan NTCR ........................................................................ 216

BAGIAN KEENAM ............................................................................ 241

PENUTUP .............................................................................. 241

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 245

BIOGRAFI .............................................................................. 254

1

Bagian Pertama

PENDAHULUAN

Hukum Islam yang terdiri atas shariah dan fikih adalah sebagai peraturan yang mengikat bagi semua orang yang beragama Islam tanpa pengecualian. Namun sebagai warga Negara, setiap orang juga terikat oleh peraturan-peraturan negara yang mengikat semua warganya, dan mempunyai kebudayaan serta penduduknya yang plural, dari suku dan bahasa, terutama Agama. Oleh karena itu setiap peraturan yang dibuat oleh Pemerintah, atau atas dasar keinginan Rakyat, harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku atau harus mendapat respon positif dari Pemerintah.

Sedangkan pengertian hukum Islam dalam konteks kenegaraan adalah segala peraturan yang berdasarkan Al-Qur‘an dan Sunnah Rasulullah SAW. tentang perbuatan manusia mukallaf yang diyakini dan diakui berlaku serta mengikat bagi seluruh umat Islam dengan mendapat pengakuan dan persetujuan dari Negara, di mana ia diterapkan dan sudah dipositifkan menjadi hukum Negara, atau telah menjadi hukum Nasional, seperti hukum Fikih Islam dalam bidang perkawinan telah dimasukkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan1 dan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)2

1 Undang-Undang Perkawinan disahkan oleh DPR pada tanggal 2 Januari 1974 –

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor I, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 3040 – setelah sebelumnya pada bulan Juli 1973 Pemerintah mengajukan RUU kepada DPR hasil pemilu 1971. Dalam proses pembahasannya, keterlibatan umat Islam yang berada di dalam maupun di luar DPR sangat tinggi, mengingat ada beberapa Pasal yang bertentangan dengan hukum perkawinan Islam. Namun akhirnya, permasalahan kontroversial yang bertentangan dengan hukum Islam dapat dihilangkan berkat tuntutan yang gigih dari umat Islam. Tuntutan ini wajar mengingat masyarakat Islam di Indonesia tidak hanya menjadi mayoritas tetapi sangat religius, karena itu tuntutan terhadap pemberlakuan hukum Islam bidang perkawinan sangat realistis dan proporsional sebagai konsekuensi dari penduduk mayoritas. Rifyal Ka'bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Yarsi, 1999), 6, 7.

2 Kompilasi dalam Webster's disebut compile artinya "mengumpulkan bahan- bahan yang tersedia ke dalam bentuk yang teratur, seperti dalam bentuk sebuah buku, mengumpulkan berbagai macam data. Lewis Mulfored Adams dkk. (ed),

2

berdasarkan INPRES No. I Tahun 1991 untuk menjadi pedoman para Hakim Pengadilan Agama di Indonesia dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang diajukan.3

Hukum Fikih Islam telah menjadi Hukum Nasional, karena telah dimasukan ke dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI berdasarkan INPRES No. l Tahun 1991.

Hukum Fikih Islam bisa diterima di Indonesia menjadi Hukum Nasional, karena secara yuridis formal dan secara normatif, telah menjadi hukum yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. Hukum fikih Islam di samping sebagai entitas agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, bahkan di beberapa daerah dari segi amaliahnya telah dilaksanakan dan dianggap sakral. Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam sangat erat dan telah lama berlangsung di Indonesia.4

Webster'syari'ah Word University Dictionary, (Washington DC: Publisher Company Inc, 1965), 213. Kata kompilasi, nampaknya lebih dekat dengan kata compilation dalam bahasa Inggris yang artinya: "himpunan, kompilasi, himpunan Undang-Undang". Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia 2005), 132, atau berarti juga: karangan yang tersusun dari kutipan-kutipan buku lain". Kaitannya dengan kodifikasi. Kompilasi tidak mesti berupa produk hukum yang mempunyai kepastian dan kesatuan hukum sebagaimana halnya sebuah kodifikasi. Karena itu, dalam konteks hukum, kompilasi merupakan sebuah buku hukum atau buku kumpulan yang memuat uraian atau bahan-bahan hukum tertentu, pendapat hukum, atau juga aturan hukum. Dalam pengertian ini, kompilasi berbeda dengan kodifikasi, namun secara substansial keduanya sama-sama sebagai produk hukum. Kompilasi dalam pengertian Kompilasi Hukum Islam adalah merupakan rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh para ulama Fikih yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan. Himpunan tersebut inilah yang dinamakan kompilasi, Lihat H. Abd Rahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Presindo,1992), 12 dan 14.

3 Buku I KHI memuat Hukum Perkawinan, buku II memuat Hukum Kewarisan dan Buku III

memuat Hukum Perwakafan dan Pendaftaran Benda Wakaf. 4 Di beberapa daerah di Indonesia, Hukum Islam sudah dipegang teguh dan dijadikan

landasan kehidupan masyarakatnya. Misalnya, di Minangkabau tercermin dalam pepatahnya :"Adat dan syara' sanda menyanda, syara' mengato adat memakai". Menurut Hamka pepatah ini menunjukkan bahwa Hukum Adat dengan Hukum Islam sangat erat hubungannya. Dalam masyarakat muslim Gorontalo dapat dilihat dalam ungkapannya: "Adat hula-hulaa to syaraa, syaraa hula-hulaa to adati". Artinya kurang lebih sama dengan ungkapan adat bersendi syara' dan syara' bersendi adat". Ungkapan ini menunjukkan eratnya hubungan Adat dengan Hukum Islam. Daud Ali mengutip ungkapan ini dari A. Gani Abdollah, 1087:89). Ungkapan yang dikutip Daud Ali dari A. Gani Abdollah tersebut adalah dari Sulawesi Selatan, tetapi menurut penelitian penulis adalah dari Gorontalo karena dari bahasa Gorontalo. Selanjutnya berkenaan dengan masalah ini, hubungan adat dan Hukum Islam juga erat di Jawa. Ini mungkin disebabkan karena prinsip rukun dan sinkritisme agama tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Jawa, terutama di daerah Pedesaan. Lihat: Daud Ali,

3

Berdasarkan ungkapan di atas, maka dapat ditolak ungkapan para penulis buku-buku hukum yang ditulis oleh para penulis Barat/ Belanda dan mereka yang sepaham dengan penulis-penulis Belanda itu yang mengatakan bahwa Hukum Adat dengan Hukum Islam di Indonesia, adalah dua unsur yang bertentangan. Sebenarnya ungkapan mereka ini dinyatakan dengan sadar sesuai dengan teori konflik yang mereka gunakan untuk memecah belah, "devide et empra" mengadu domba rakyat Indonesia guna mengukuhkan kekuasaan Belanda di Indonesia.5

Karena adanya kesesuaian Hukum Islam dengan Hukum Adat itulah, khususnya dalam bidang perkawinan, sehingga Hukum Fikih Islam dalam bidang perkawinan bisa diterima menjadi Hukum Nasional di Indonesia melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI Buku I tentang Perkawinan.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang perkawinan sangat dibutuhkan untuk menjadi pedoman bagi masyarakat yang memerlukannya, terutama bagi para Hakim Pengadilan Agama di Indonesia dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang diajukan, agar putusannya seragam dalam kasus yang sama. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan yang materinya diadopsi dari Hukum Islam dalam bidang perkawinan. Berdasarkan hal ini, maka penulis ingin mengkaji sejauh mana Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI Buku I tentang Perkawinan yang telah diadopsi menjadi Hukum Nasional, dengan Judul: "REAKTUALISASI HUKUM ISLAM DALAM KONTEKS HUKUM NASIONAL"

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penelitian ini difokuskan pada pengkajian materi UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan, yang telah menjadi Hukum Nasional berdasarkan INPRES No. 1 Tahun 1991, yang materinya bersumber dari shariah dan fikih yang telah disesuaikan dengan kondisi di Indonesia untuk menjadi pedoman para hakim Pengadilan Agama se Indonesia dalam penyelesaian kasus perkara yang berkenaan dengan perkawinan.

Demikian pula, berhubung karena materi UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan sangat banyak dan luas, maka kajian ini

Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Grafindo Persada, 2005), 223.

5 Menurut Van Vollenhoven, Hukum Adat harus dipertahankan sebagai Hukum

Barat. Sebab, kalau Hukum Adat didesak oleh Hukum Barat, Hukum Islam yang akan berlaku. Ini tidak boleh terjadi di Hindia Belanda (Bustanul Arifin dalam Mukhtar Na'im, 1968:171)-Lihat, Daud Ali, Hukum Islam..., 224.

4

dibatasi hanya pada pembahasan tentang sebab diterimanya Hukum Islam dalam bidang perkawinan sebagai Hukum Nasional di Indonesia dan kajian pasal-pasal yang berkaitan dengan shariah dan fikih tentang Perkawinan, agar diketahui sejauhmana Hukum Islam tersebut diadopsi dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku I tentang Perkawinan, keunggulan serta kelemahan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan serta dampak Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI tersebut terhadap NTCR yang menyebabkan meningkatnya gugatan cerai istri.

Contoh fikih yang di adopsi dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 34 ayat (1) dan Pasal 41 sub (b) dan (c), KHI tentang Perkawinan Pasal 80 ayat (2) dan (4) tentang kewajiban suami memberi nafkah terhadap isteri dan anak, bahwa suami berkewajiban memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, menanggung nafkah, kiswah dan tempat tinggal bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak serta biaya pendidikan anak. Imam Shafi'i mewajibkan kepada suami untuk memberikan nafkah kepada isteri dan anaknya sesuai dengan kemampuannya, berdasarkan firman Allah dalam Surah al-Nisa' ayat 3 yang terdapat pada kata “أال تعولوا” yang berarti agar kamu tidak mempunyai anak (keluarga) yang banyak. Demikianlah penafsiran Imam Syafi'i dalam kitabnya "Aḥkam Al-Quran" yang merupakan kumpulan dari pendapat-pendapatnya. Maksudnya “أال تعولوا”menurut Imam Shafi'i ialah agar kalian (para suami) jangan sampai mempunyai anak (keluarga) yang banyak yang menjadi tanggungan kalian, lebih dari tanggungan kalian jika kalian hanya menikah dengan seorang isteri walaupun kalian diperbolehkan menikah dengan lebih dari satu isteri (berpoligami).6

Contoh lainnya, Pasal-Pasal digunakan oleh para Hakim di Pengadilan Agama untuk memutuskan perkara gugat cerai antara lain sebagai contoh adalah putusan Pengadilan Agama (PA) Selong Kabupaten Lombok Timur No: 414/Pdt.6/2000/PA.Sel. tentang isteri (penggugat) menuntut cerai dari suaminya (tergugat), karena tidak menunaikan kewajiban nafkahnya dan nafkah kedua anak mereka. Setelah melalui beberapa kali sidang, majelis Hakim mengabulkan gugatan isteri (penggugat) dan menceraikan penggugat (isteri) dengan

6 Al-Shafi'i, al-Umm, (Bairut-Libnan: Dar al-Fikr, 1400 H/ 1980 M), Cet I,

Jilid V, 94.

5

tergugat (suami). Putusan ini berdasarkan Pasal 80 ayat (2) dan (4) KHI.7

Pasal yang dijadikan dasar oleh Hakim PA tersebut identik dengan fikih Shafi'i tentang kewajiban suami memberikan nafkah kepada isteri sebagaimana telah disebutkan di atas.

Kajian ini menggunakan metode usul fikih dengan dua pendekatan yang saling berkaitan yaitu kaidah Kebahasaan dan Kaidah makna (Maqasid Shariah). Disamping itu juga digunakan metode ilmu hukum. ilmu hukum merupakan metodologi atau cara mempelajari hukum dengan pendekatan metode penafsiran hukum (interpretasi hukum), yaitu untuk menentukan arti atau makna suatu teks atau bunyi suatu pasal berdasarkan pada kaitannya8.

Ada beberapa metode penafsiran hukum, yaitu:

a. Interpretasi tata bahasa, yaitu cara penafsiran berdasarkan bunyi ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada arti perkataan dalam hubungan satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai oleh undang-undang.

b. Interpretasi sistematis, yaitu cara penafsiran dengan melihat susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya, baik dalam undang-undang tersebut, maupun dengan undang-undang yang lain.

c. Interpretasi ṣaḥīḥ, yaitu cara penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata tersebut sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk undang-undang itu sendiri.

d. Interpretasi historis meliputi: 1). Sejarah hukumnya, yaitu cara penafsiran dengan menyelidiki

sejarah terjadinya hukum tersebut. 2). Sejarah undang-undang, yaitu penafsiran dengan menyelidiki

pembentukan undang-undang pada waktu membuat undang-undang.

e. Interpretasi ekstensif, yaitu cara penafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkan.

7 Data gugat cerai tersebut di atas adalah diperoleh dari bapak Prof. DR. Bustanul

Arifin (Dosen M.K. Hukum Islam di Indonesia pada SPS/ Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah), 2005.

8 Hasanuddin AF., et.el., Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Percetakan Pustaka al-Husna

Baru dan UIN Jakarta Press, 2004), cet 1,165.

6

f. Interpretasi nasional, yaitu cara penafsiran dengan memilih sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku.

g. Interpretasi teologis (sosiologis), yaitu cara penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undang-undang.

h. Interpretasi restriktif, yaitu cara penafsiran dengan membatasi arti kata dalam peraturan itu sendiri.

i. Interpretasi analogi, yaitu cara penafsiran pada peraturan hukum dengan asas hukum, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.

j. Interpretasi A Contrario, yaitu sesuatu cara menafsirkan undang-undang dengan mendasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang di hadapi dengan soal yang diatur dalam pasal undang-undang tersebut.9

Metode ilmu hukum dan penafsirannya yang telah disebutkan di atas, digunakan untuk menentukan hukum oleh Pemerintah dan Hakim, khususnya bagi penulis untuk mengkaji dan meneliti UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan.

9 Hasanuddin AF. Et.el., Pengantar Ilmu Hukum, 166-167.

7

Bagian Kedua

PERJUANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Sebelum pemerintahan Belanda, Hukum Islam telah dianut dan dilaksanakan oleh para pemeluknya di Nusantara ini, telah hidup di masyarakat dan menjadi norma serta sumber perilaku.

Kemudian pada zaman penjajahan Belanda, Hukum Islam tetap di akui pada awalnya untuk diberlakukan kepada bumi putera yang bersengketa. Namun pemerintah penjajah Belanda ini dengan memanfaatkan jasa Snouck Hurgronye, berusaha menerapkan berbagai teori untuk merintangi kemajuan Islam di tanah air. Salah satu teori yang populer adalah theory reseptie yang berarti: "Hukum Islam berlaku apabila diterima, atau dikehendaki oleh hukum adat".

Kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda yang memberlakukan theory Receptie Snouck Hurgronye mendapat reaksi yang keras dari kalangan umat Islam, yang berakumulasi pada perlawanan umat Islam untuk mengusir penjajah dari tanah air Indonesia.

Di masa pendudukan Jepang, tidak ada perubahan berarti mengenai Pengadilan Agama di tanah air sampai Jepang kalah.

Setelah Indonesia merdeka, pengaruh politik Pemerintah Penjajah masih berbekas. Ini dapat dilihat dalam penetapan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara, umat Islam harus merelakan penghapusan tujuh kata yang terdapat dalam rumusan Pancasila yang terdapat dalam Piagam Jakarta, karena adanya desakan dari kalangan pihak Kristen. Tujuh kata tersebut dikeluarkan dari Pembukaan UUD 1945, kemudian diganti dengan kata "Yang Maha Esa".

Umat Islam Indonesia telah menerima Pancasila sebagai falsafah bangsa dan ideologi Negara, karena sila-sila Pancasila tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Walaupun konstitusi Negara RI itu Islami, tetapi pelaksanaan Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan di Indonesia setelah Indonesia merdeka dalam periode 1945-1974, melalui Badan Peradilan Agama tetap tidak berubah seperti sediakala. Baru tahun 1974 dengan disahkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, teori resepsi kolonial itu menemui ajalnya, karena dengan terbentuknya UU No. 1 tahun 1974 setiap perkawinan harus dilaksanakan menurut hukum agama. Untuk orang Islam, perkawinan baru dianggap sah kalau dilakukan menurut perkawinan Islam.

8

A. Perkembangan Hukum Islam di Indonesia sebelum Kemerdekaan RI 1. Hukum Islam Sebelum Penjajahan Belanda

Sebelum Islam masuk ke Indonesia, ada beragam tradisi dan budaya adat dalam kehidupan masyarakat. Adat itu sendiri beraneka ragam sesuai dengan etnis aslinya dan latar belakang budaya aslinya, keanekaragaman kelompok etnik dan batasan budaya penduduk Indonesia. Perkawinan di dalam hukum adat, pada beberapa tingkatan, akan berbeda-beda dalam hal jenis kelompok, keluarga, komunitas dan personalnya. Sebagaimana Ter Haar menyebutkan, perkawinan juga berarti kelompok kekerabatan yang terorganisasi yang membentuk komunitas otonom tetap menjaganya, suku, rumpun atau keluarga besar. Di dalam komunitas, perkawinan juga berarti keluarga, individu memperluas barisannya di masa depan, dan ini membuatnya sebagai sebuah masalah keluarga. Oleh karena itu, perkawinan dan hukum perkawinan memiliki posisi yang sangat penting di dalam hukum adat.1

Masa permulaan Islam masuk ke Indonesia membawa suatu perubahan yang besar dan transformasi adat pribumi. Sebagaimana Nasution dan Khatib berpendapat, adat dari komunitas yang terislamisasi memiliki lebih banyak, atau sedikit elemen pengajaran Islam yang disatukan, terutama aturan perkawinan dan bidang-bidang lain hukum keluarga. Karena proses penggabungan hukum adat ini dengan ajaran Islam, hal ini tidak heran bahwa kemudian kekuasaan British dan Belanda pertama kalinya menganggap bahwa hukum adat pada dasarnya sama seperti ajaran Islam. Orang yang bertanggung jawab dalam pendapat ini adalah Christian van den Berg, seorang penasehat Belanda, yang menyebut opini ini sebagai theory reception incomplexu. Kemudian, Snouch Hurgronye menyebutkan, bahwa theory receptie yang diusulkan bahwa hukum adat tidak sama dengan hukum Islam dengan beberapa deviasi di dalamnya, tapi ini didasarkan pada cara hidup orang Indonesia pribumi dan budaya. Dengan kata lain, adat tidak hanya hukum Islam yang disatukan dengan budaya lokal, tapi juga mengandung elemen tambahan lainnya yang sangat bervariasi sebagai satu gerakan dari lokalitas orang Indonesia pada yang lainnya. Dengan kata lain, Hazairin mengarahkan para sarjana hukum Indonesia, bahwa hukum adat sama seperti hal yang lainnya, karena penyesuaian ajaran Islam. Walaupun ada penyesuaian ajaran Islam, namun

1Lihat: Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage Law of 1974 An

Institutionalization of the Shari'a for Social Changes, in Shari'a and Politic in Modern Indonesia, (Singapore: ISEAS, 2003), 78.

9

nampaknya hukum adat tetap menjaga karakter yang berbeda yang membedakan dari ajaran Islam.2

Hukum Islam telah lama masuk dan berkembang di Indonesia jauh sebelum kemerdekaan RI, karena hukum Islam masuk di Indonesia sebenarnya bersamaan dengan masuknya Islam di Nusantara, yang dalam hal ini terdapat perdebatan panjang antara para ahli sejarah dalam menentukan tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya dan waktu kedatangannya.3 Salah satu pendapat menyebutkan, bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui anak Benua India sekitar abad ke XII Mdan berkembang pertama kali di kawasan pantai Nusantara. Sedangkan pendapat lain mengatakan, bahwa Islam sudah berkembang di Nusantara sekitar abad ke VII dan ke VIII M, yang datang melalui Malabar, dan ada kemungkinan, bahwa Islam dibawa langsung dari Semenanjung Arabia. Tetapi dalam seminar tentang masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggarakan pada tahun 1969 dan 1978 disimpulkan, bahwa Islam datang langsung dari Arabia pada abad pertama Hijriyah, atau abad ke VII M.4

Walaupun para ahli sejarah berbeda pendapat mengenai kapan Islam datang ke Indonesia, namun dapat dikatakan, bahwa setelah Islam datang ke Indonesia, Hukum Islam telah diikuti dan dilaksanakan oleh para pemeluknya di Nusantara ini, telah hidup di masyarakat dan menjadi norma dan sumber perilaku.5

Hal ini dapat dilihat pada studi para pujangga yang hidup pada masa itu mengenai hukum Islam dan peranannya dalam menyelesaikan perkara-perkara yang muncul dalam masyarakat. Hasil studi dan karya ahli hukum Islam Indonesia, dapat dilihat misalnya Mir’ātut Tullab oleh Abdul Rauf

2 Lihat: Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage Law Of 1974 ..., 78, 79.

3 Lihat: Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara

AbadXVII dan XVIII, (Bandung : Penerbit Mizan, 1994), 2. 4 Lihat T. W. Arnold, The Preaching of Islam; A History of Propagethom of the

Muslim Faith, (London; Constable, 1913), 364, 365 - lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah..., 24-36 - dan lihat pula A. Hasjmi (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: al-Ma’ārif, 1989), 7. 5Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang ditaati oleh mayoritas rakyat Indonesia adalah

hukum yang telah hidup dalam masyarakat dan merupakan norma yang menjadi sumber perilaku dan juga nilai moral yang menjiwai kehidupan masyarakat. Dengan demikian, hukum Islam merupakan bagian yang tidakterpisahkan dari hukum Nasional Indonesia - lihat Ismail Sunny, Hukum Islam Dalam Hukum Nasional, (Jakarta: Universitas Muhammadiyah Jakarta, 1989), 5, 6

10

Singkel, Sirāṭal Mustaqīm oleh Nuruddin al-Raniri, Sabīlal Muhtadīn oleh Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari dan lain-lain.6

Menurut Jajat Burhanuddin, sebelum kedatangan orang-orang Belanda pada tahun 1605 M, di Indonesia sudah berdiri sejumlah Kerajaan Islam. Kerajaan-kerajaan itu lahir seiring dengan proses Islamisasi yang dilakukan oleh para ulama yang merangkap sebagai saudagar di wilayah-wilayah pesisir yang lambat laun wilayah-wilayah tersebut menjadi Kerajaan-Kerajaan Islam.7 Kerajaan-kerajaan Islam tersebut berdiri di atas kerajaan sebelumnya yang sudah ada, kemudian rajanya masuk Islam.8 Sebagai wilayah pemerintahan Islam, yang diberlakukan pada Kerajaan-kerajaan Islam awal itu, adalah Hukum Islam, khususnya Hukum Islam yang berdasarkan pada Mazhab Shafi'i.9

Kerajaan Islam tertua di Nusantara adalah kerajaan Samudra Pasai

(Abad ke XIII M). Islamisasi ke Samudra Pasai dilaksanakan oleh salah

seorang Ulama dari Timur Tengah yang bernama Syaikh Ismail yang telah

mengislamkan Merah Raja Samudra Pasai, yang setelah masuk Islam,

berganti nama menjadi Malik al-Soleh. Sejak saat itulah, Samudra Pasai

6 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum

Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 209. 7 Jajat Burhanuddin, Transformasi Otoritas Keagamaan: Pengalaman Islam

Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2003), 2, 3 - Lihat juga Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1994), cet II, 196.

8 Kerajaan-Kerajaan Islam berdiri di atas kerajaan-kerajaan yang sudah ada

sebelumnya, kemudian rajanya masuk Islam diistilahkan oleh Jajat Burhanuddin dengan sebutan, Konversi raja ke Agama Islam - Lihat Jajat Burhanuddin, Transformasi Otoritas Keagamaan... 3

9 Mazhab Shafi'i adalah mazhab yang dibina oleh Imam Shafi'i (150-204 H) / 767-

819 M) salah seorang dari Imam empat Imam Mujtahid besar yang dilahirkan di Ghazah dan wafat di Mesir. Mazhab Syafi'i berkembang ke seluruh pelosok negara-negara Islam dibawa oleh murid-muridnya dan pengikut-pengikutnya dari satu negeri ke negeri lain, termasuk ke Indonesia. Mazhab Shafi'i sangat mengakar dan berkembang di Indonesia disebabkan beberapa faktor, antara lain: a. Setelah ada hubungan Indonesia dengan Makkah dan di antara kaum muslimin

Indonesia yang menunaikan ibadah haji, ada yang bermukim di sana dengan maksud belajar ilmu agama. Guru-guru mereka adalah ulama-ulama yang bermazhab Shafi'i dan setelah kembali ke Indonesia mereka menyebarkannya.

b. Hijrahnya kaum muslimin dari Ḥaḍra Maut ke Indonesia adalah merupakan sebab yang penting pula bagi tersiarnya Mazhab Shafi'i di Indonesia, karena ulama dari Ḥaḍra Maut adalah bermazhab Shafi'i.

11

berkembang tidak hanya menjadi pusat kekuatan politik Islam, tetapi

sekaligus sebagai basis proses Islamisasi masyarakat Indonesia.10

Ketika Ibnu Batutah,11 singgah di Samudra Pasai (Aceh dekat Lho'Seumawe sekarang) pada tahun 1345 M, ia mengagumi perkembangan Islam di negeri itu. la mengagumi kemampuanSultan al-Malik al-Soleh (menurut Jajat Burhanuddin), atau al-Malik al-Ẓahir (menurut Mohammad Daud Ali), berdiskusi dengan dia tentang berbagai masalah Islam dan ilmu fikih. Menurut pengembara Arab Muslim Maroko itu, selain sebagai seorang raja, al-Malik al- Ẓahir yang menjadi Sultan Pasai ketika itu adalah juga seorang fakih yang mahir tentang hukum Islam. Yang dianut di kerajaan Pasai pada waktu itu adalah hukum Islam mazhab Shafi'i. Menurut Hamka dari Pasailah disebarkan paham Shafi'i ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Indonesia, bahkan setelah kerajaan islam Malaka

c. Pemerintah Kerajaan Islam di Indonesia mengesahkan dan menetapkan Mazhab

Shafi'i menjadi haluan hukum di Indonesia. Keadaan ini diakui pula oleh pemerintah Hindia Belanda, terbukti pada masa-masa akhir dari kekuasaan Belanda di Indonesia, Kantor-Kantor Kepenghuluan dan Pengadilan Agama, hanya mempunyai kitab-kitab Fikih Shafi'iyah, seperti kitab al-Tuḥfah, al-Majmu', al-‘Umm dan lain-lain.

d. Para pegawai jawatan dahulu hanya terdiri dari ulama-ulama mazhab Shafi’i, karena belum ada yang lainnya - lihat: Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997), 136.

10 Lihat Jajat Burhanuddin, Transformasi Otoritas Keagamaan, 3

11 Ibnu Batutah (703-779 H/1304-1377 M), nama lengkapnya Muhammad bin

Abdullah bin Ibrahim at-Tanji, bergelar Shamsuddin bin Batutah. la dibesarkan dalam keluarga yang taat memelihara tradisi Islam, la seorang ahli fikih yang sebagian besar (waktunya) menduduki jabatan Kadi (Hakim), yang berjasa memberikan data geografis dan topografis penting serta menyumbangkan ilmu pengetahuan yang berharga mengenai budaya setiap daerah dunia Islam yang dikunjunginya. la menyusun dan menulis buku pengalaman perjalanannya dengan judul "Tuḥfah al-Naẓar fl Gharāib al-Anṣār wa 'Ajāib al-Asfār (Persembahan seorang pengamat tentang kata-kata asing dan perjalanan yang mengagumkan). Karya ini telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, seperti Perancis, Jerman dan Inggris. Buku ini ditulisnya setelah mengembara tidak kurang dari 20 tahun, la terkenal sebagai petualang dan penjelajah muslim yang memanfaatkan waktunya untuk melakukan perjalanan dan kunjungan hampir seluruh wilayah Islam di zamannya, termasuk diantaranya adalah mampir di Kerajaan Samudra Pasai di Pulau Sumatera.

Dalam buku pengalaman perjalanannya, Pulau Sumatera disebutnya dengan "Pulau Jawa yang menghijau" (pada zaman pertengahan seluruh kepulauan Indonesia dan Pilipina disebut Jawa). Ketika sampai di pelabuhan kerajaan Samudra Pasai, Ibnu Batutah disambut oleh Amir (Panglima) Daulasah, Kadi Sharif Amir Sayyid Asy-Shairazy, Tajuddin al-Aṣbahani dan beberapa ahli fikih atas perintah Sultan Mahmud Malik Ẓahir (1326-1345 M) yang memerintah pada saat itu. Menurutnya, Sultan adalah seorang penganut mazhab Shafi'i - Lihat: Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Intermasa, 1996), cet I, Jilid I, 202-204

12

(1400-1500 M) para ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudra Pasai untuk meminta kata putus mengenai berbagai masalah hukum yang mereka jumpai dalam masyarakat.12

Kerajaan Islam Samudra Pasai mempunyai kontribusi penting bagi hukum Islam di Indonesia. Raja sebagai penguasa tunggal pada saat itu melakukan intervensi terhadap implementasi hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Dalam implementasi-nya, kerajaan Samudra Pasai melaksanakan hukum Islam dalam praktek yang sederhana, yaitu melalui lembaga Ifta dan tahkim dengan berpedoman pada mazhab Shafi'i sebagai mazhab resmi kerajaan.13

Setelah kerajaan Samudra Pasai runtuh pada tahun 1524 M, di wilayah yang sama, berdirilah kerajaan Islam baru, yaitu kerajaan Aceh Darussalam (abad ke XVI) yang ditaklukkan Belanda pada abad ke XIX.14

Kerajaan Aceh Darussalam sama dengan kerajaan Samudra Pasai, menerapkan shariat Islam sebagai hukum negara,15 tetapi institusi penerapan shariat Islam di Aceh Darussalam nampaknya lebih maju dibanding dengan yang telah diterapkan oleh kerajaan Samudra Pasai, karena penerapan hukum Islam pada Kerajaan Aceh Darussalam didukung oleh intervensi politik raja saat itu yang sangat membantu dalam upaya penegakan hukum Islam16 dan ulama menjadi bagian dari elit kekuasaan, karena para ulama senantiasa mendampingi raja untuk memberi nasihat spiritual keagamaan dan sekaligus melegitimasi praktek-praktek politik penguasa di tengah rakyatnya yang sudah memeluk agama Islam. Ulama menempati jabatan kadi, atau penghulu, bahkan sebagai shaikh al-Islam di kerajaan Aceh.17

Setelah berdiri kerajaan Pasai yang selanjutnya digantikan oleh kerajaan Aceh Darussalam, berdiri pula sejumlah kerajaan Islam yang lainnya di Nusantara, seperti kerajaan Demak, Mataram, Cirebon, Banten, Goa, Bone, Ternate, Sumbawa, Kalimantan Selatan, Kutai, Pontianak, Surakarta, Palembang dan sebagainya. Kerajaan-kerajaan Islam di

12

Lihat Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), cet. II, 190.

13 Rifyal Ka'bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Yarsi Jakarta,

1999), cet. 1,69. 14

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 208 - Lihat pula Basiq Jalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), 32.

15 Basiq Jalil, Peradilan Agama di Indonesia, 32.

16 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 208.

17 Lihat Jajat Burhanuddin, Transformasi Otoritas Keagamaan, 58 - Lihat Juga

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 167-177.

13

Nusantara semuanya memberikan legalitas kepada hukum Islam sebagai hukum negara.

Pada saat itu kerajaan-kerajaan Islam sebagaimana telah disebutkan di atas yang memberlakukan hukum Islam fikih Shafi'i, jika terdapat hukum adat, maka hukum adat yang masih dilestarikan adalah hukum adat yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Asimilasi hukum Islam dengan hukum adat, ternyata berjalan secara damai dan akomodatif, sehingga antara satu dengan yang lainnya saling menguatkan.18

Hal ini dapat dilihat dari sejumlah semboyan, atau petitih adat yang menempatkan dalam masyarakat, seperti terlihat pada petitih adat Minangkabau; Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah" (Adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah). Dari petitih adat tersebut, tersirat bahwa masyarakat Minangkabau menempatkan Al-Qur‘ansebagai dasar bagi pengaturan tingkah laku sosial dan sebagai sumber hukum yang menjadi pedoman dalam berbagai segi kehidupan sosial. Dalam petitih lain disebutkan pula "Adat dan syarak sanda menyanda, syarakmangato adat mamakai" (Adat dan syarak saling menopang, syarak mengatakan adat memakai). Ini berarti adat dan hukum Islam saling menguatkan. Adat yang demikianlah yang disebut "Adat sebenar Adat". Kasus-kasus seperti itu juga dijumpai pada adat-adat masyarakat Riau,Jambi, Palembang, Bengkulu, Lampung dan daerah-daerah lain di Nusantara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam.19

Ungkapan yang semakna terlihat pula pada pepatah adat masyarakat Aceh "Hukum ngon adat hantou, lagee zat ngon sifeut" (Hukum Islam dan adat tidak dapat dipisahkan, seperti hubungan zat dan sifat pada suatu benda).20

Demikian itu menunjukkan, bahwa hukum Islam dipandang telah menyatu dengan adat setempat, sehingga sulit untuk dibedakan mana yang betul-betul adat dan mana yang betul-betul agama, karena keduanya telah menyatu.

18

Adat, atau "urf menurut ajaran Islam dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum Islam jika tidak bertentangan dengan Al-Qur‘an dan al-Sunnah, atau tidak bertentangan denganmaqāṣid al-Shari'ah (tujuan shariah), sebagaimana disebutkan dalamqaidah fiqhiyah:العادة محكمة “adat kebiasaan dapat ditetapkansebagai hukum”. Lihat Jalaluddin al-Suyūṭī, Al-Ashbāh wa al-Naẓāir, (Beirut-Libnan: Dar al-Fikr, 1415 H /1995 M), 64.

19Lihat Depag RI, Kenang-Kenangan Seabad Peradilan Agama di Indonesia,

(Jakarta: CV. Ade Cahya, 1985), 5. 20

Lihat Muhammad Daud Ali,Asas-Asas Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), 89.

14

Abdul Ghani Abdullah mengatakan, bahwa ungkapan yang memiliki makna yang sama terdapat pula dalam pepatah adat Sulawesi Selatan "Adat hula hula to syarak, syarak hula hula to adat", (Adat bersendi syarak dan syarak bersendi adat).21 Tetapi menurut penelitian/ wawancara penulis dengan seorang hakim Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Sulawesi Utara yang berasal dari Gorontalo, bahwa pepatah adat tersebut, bukan pepatah adat Sulawesi Selatan, melainkan pepatah adat daerah Gorontalo, karena kata hula-hula dalam pepatah tersebut adalah bahasa Gorontalo, bukan bahasa Makasar, atau bahasa Bugis. Dalam bahasa Gorontalo, hula-hula artinya bersendikan.22

Busthanul Arifin mengatakan, agama Islam yang masuk ke Indonesia pada abad-abad pertama hijriyah telah membawa sistem nilai-nilai baru berupa akidah dan shariat. Ketika itu kondisi masyarakat Indonesia telah tertata lengkap dengan sistem nilai yang berlaku berupa peraturan-peraturan adat masyarakat setempat.23

Sesuai dengan hakikat dakwah Islamiyah, nilai-nilai Islam itu diresapi dengan penuh kedamaian tanpa menghilangkan nilai-nilai Adat setempat yang telah sesuai, atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai akidah dan shariat Islam. Pertemuan kedua sistem nilai itu (adat dan Islam) berlaku dengan wajar, tanpa adanya konflik antara kedua sistem nilai tersebut. Karena itu, L.W.C. Van den Berg, seorang sarjana Belanda, berkesimpulan bahwa pada awal-awal masa penjajahan Belanda, bagi orang Indonesia yang beragama Islam berlaku motto "receptio in complexu" yang berarti orang-orang muslim Indonesia menerima dan memberlakukan shariat secara keseluruhan. Pada masa-masa itu (sampai 1 April 1937), Peradilan Agama mempunyai kompetensi yang luas, yakni seluruh hukum sipil bagi perkara-perkara yang diajukan, diputus menurut hukum Islam.24

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa sebelum zaman penjajahan Belanda, hukum Islam dan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat muslim di Indonesia telah menyatu sehingga tidak dapat lagi dibedakan. Kehidupan masyarakat muslim senantiasa berada dalam garis-garis hukum Islam, yang dalam kehidupan sehari-hari telah menjadi

21

Lihat Abdul Ghani Abdullah, Badan Hukum Syarak Kesultanan Bima, (Jakarta: Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah, 1987), 89.

22 Wawancara penulis dengan Drs. H. Sofyan Lahilote, SH, hakim Pengadilan

Tinggi Agama Sulawesi Utara, yang berasal dari Gorontalo dan sangat mengetahui serta lancar berbahasa Gorontalo, lewat telepon pada tanggal 31 Agustus 2008.

23 Busthanul Arifin, Perkembangan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah,

Hambatan dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 34 24

Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia..., 34,35.

15

adatkebiasaan mereka, seperti dalam masalah berkeluarga, perekonomian dan masalah-masalah muamalat serta dalam hubungan-hubungan sosial lainnya.

Hal ini dapat dilihat misalnya dalam perkawinan, di seluruh masyarakat Muslim, kalau melaksanakan pernikahan, selalu sekaligus dengan adat istiadat suatu daerah/suku di samping dilaksanakan berdasarkan aturan yang telah ditetapkan dalam Hukum Islam. Sebagai contoh, perkawinan masyarakat Gowa Sulawesi Selatan. Dalam pelaksanaan perkawinan, di antara tahapan-tahapannya adalah, meminang, kalau sudah diterima, langsung dibicarakan masalah waktu perkawinan, biaya perkawinanan dan mas kawin sebagai pemberian pihak laki-laki terhadap perempuan. Besarnya mahar tergantung tingkat sosial laki-laki yang akan memberikan dan perempuan yang akan menerimanya. Pada waktu peminangan membawa sirih kecil, atau sirih besar sesuai dengan adat yang berlaku di sana. Perkawinan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Hukum Islam, yaitu melalui akad Ijab Qabul, ada wali dan saksi sesuai dengan mazhab Shafi'i. Sebelum hari Akad Nikah, calon pengantin dimandikan dengan daun sirih dan dedaunan lainnya diiringi dengan jampi-jampi untuk mengusir roh jahat. Setelah dimandikan, pakaian mandi diserahkan kepada yang memandikannya sebagai ucapan terima kasih kepadanya atas jasanya mengusir roh jahat. Tetapi padawaktu lain dilakukan upacara barzanji dan khataman Al-Qur‘an. Pembacaan Al-Qur‘an dihadiri oleh sang calon pengantin, sebagai simbol bahwa calon pengantin itu telah resmi menyelesaikan bacaan Al-Qur‘an.25 Di sini nampak sekali bahwa Adat dan Hukum Islam tidak dapat lagi dipisahkan. Di daerah-daerah lain juga demikian, yang tentunya sesuai dengan adat setempat. 2. Hukum Islam Pada Penjajahan Belanda

Penjajah yang pertama kali dari Eropa di Nusantara adalah Portugis yang berlabuh di selat Malaka, kemudian melanjutkan pelayaran ke Maluku yang tinggal dan menyebarkan agama Kristen Katolik di sana pada tahun 1552.26 Kemudian datang penjajah Belanda tahun 1596 bergabung dengan Portugis, Inggris dan Spanyol untuk membawa keuntungan terutama dari komoditas rempah-rempah di mana komoditas tersebut sangat laku di pasaran Eropa. Ada tiga motivasi penjajahan bangsa Eropa ke Asia,

25 Lihat: Rahmah, Adat dan Upacara Perkawinan Suku Makassar, (Ujung Pandang:

Kanwil Depdikbud Propinsi Sulawesi Selatan, 1995), Cet. M, 29-44. 26

Hasbullah Bakri, Suatu Perbandingan Mengenai Penyiaran Kristen dan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 31.

16

yaitu:Gold(mencari emas/ kekayaan),Glory(mencari kemenangan/ menaklukkan/ penjajahan), danGospel(menyebarkan ajaran Kristen).27

Pemerintah penjajah kerajaan Belanda mengesahkan berdirinya perseroan yang mengatur perdagangan Belanda di Nusantara dengan mendirikan Kompeni Dagang Hindia Belanda, atau Verenigde Oost Indische Compagnie di singkat VOC.28 VOC didirikan pada bulan Maret 1602 M.

Ketika VOC menguasai wilayah Indonesia, Hukum Islam diakui untuk diberlakukan kepada bumiputera yang bersengketa. Peraturan-peraturan mengenai hukum Islam dikumpulkan oleh VOC, yang dikenal dengan compendium Friejer,yang memuat aturan-aturan hukumperkawinan dan hukum kewarisan Islam. Compendium Friejer diakui dan dilaksanakan dalam bentuk peraturan Resolutie der Indische Regeering, 25 Mei 1760 dan kemudian dicabut secara berangsur-angsur oleh Belanda hingga tahun 1913. Di samping itu VOC membuat pula kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah-daerah Cirebon, Semarang dan Makassar (untuk Bone dan Gowa) dan dalam bentuk Cirbonsch Rechtboek yang dibuat atas usul P.C. Hosstlaar untuk wilayah Cirebon, Compendium der Voornaamst Javaansche Wetten Maukeurig getrokken uit het Mohammedaanshee wetboek mogharraer, yang dibuat untuk wilayah Landraad Semarang, Compendium Indlandsche wetten bij de Hoven van Bone en Goa, yang disahkan untuk daerah Makassar.29

Penerapan hukum Islam dalam menghadapi sengketa-sengketa masyarakat dilakukan oleh lembaga Peradilan, yang pada waktu itu belum memiliki keseragaman nama, masing-masing daerah memiliki nama Pengadilan tersendiri, seperti di sementara daerah disebut Pengadilan Serambi, karena sidang dilakukan di serambi masjid. Di Kalimantan, Pengadilan Agama disebut Kerapatan Kadi. Di Sulawesi Selatan, Maluku dan Irian disebut Majelis Syarak, atau Hakim Syarak. Di Sumatera disebut Mahkamah Shariah/dan lain-lain.30

27 Lihat Yayan Sofyan, Transformasi Hukum Islam ke Dalam Sistem Hukum

Nasional, (Jakarta: Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta, 2007), 67. 28

VOC adalah kependekan dari Verenigde Oost Indische Compagnie, yaitu suatu perkumpulan dagang Belanda di Hindia Timur (Indonesia) yang didirikan tahun 1602 M. Tujuannya adalah untuk menguasai perdagangan di Indonesia dan menjajah wilayah-wilayah di Asia.

29 Lihat Arso Sasroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia,

(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 11,12. 30

Lihat Depag RI, Kenang-kenangan Seabad Peradilan Agama di Indonesia, 7 - IchtiantoSA, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam Eddi

17

Apa yang dilakukan VOC itu diperkuat oleh penelitian Lodewijk Williem Christian van den Berg (1845-1927), yang memperkuat pemikiran, bahwa yang berlaku di Indonesia itu adalah hukum Islam, ia menyebutkan bahwa bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam, sebab ia telah memeluk agama Islam, kendati dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. Teori demikian disebut oleh Van Den Berg dengan Receptie in Complexu.31

Posisi hukum Islam di zaman VOC berlangsung selama lebih kurang dua abad (sampai tahun 1800). Pelaksanaan hukum Islam dalam masa ini berjalan sebagaimana mestinya.

Pada masa pemerintahan penjajahan Belanda, timbul usaha untuk menghapuskan hukum Islam di Indonesia. Dengan berbagai upaya ditempuh oleh Pemerintah Belanda agar Pengaruh Islam hilang dari sebagian besar orang Indonesia.

Dengan memanfaatkan jasa Snouck Hurgronye (1857-1936) sebagai penasihat hukum, Belanda berusaha menerapkan berbagai teori untuk merintangi kemajuan Islam di tanah air. Salah satu teori yang populer adalah theory reseptie yang berarti: "Hukum Islam berlaku apabila diterima, atau dikehendaki oleh hukum adat".32

Teori ini merupakan bantahan terhadap teori yang berlaku sebelumnya, yaitu teori reseptie in complexu yang dikemukakan oleh LWC Van Den Berg. Teori kemudian dikembangkan oleh C.Van Vollenhoven dan Ter Haar Brn. Menurut teori ini yang berlaku di Indonesia bukanlah hukum Islam, tetapi hukum adat asli suku-suku di Indonesia, kendati hukum Islam telah banyak mempengaruhi hukum adat. Hukum Islam baru mempunyai kekuatan kalau dikehendaki dan diterima oleh hukum adat.33

Konsep Snouck Hurgronye itulah yang selalu dimanfaatkan oleh orang-orang yang berusaha merusak citra Islam di tanah air setelah masa penjajahan Belanda, sehingga Hazairin (1905-1975) menyebutkan dengan teori Iblis. Setelah Belanda menjajah Nusantara ini, perkembangan hukum Islam dikendalikan dan sesudah tahun 1927, tatkala teori resepsi mendapat

Rudiana Arief, et.al, (Peny). Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1991), 118.

31 Lihat Sayuti Thalib, Receptio a Contrario, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), 6.

32Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Remaja Rosda Karya,1991),

X. 33

Lihat Sayuti Thalib, Receptio a Contrario, 11

18

landasan peraturan perundang-undangan (IS 1925-1929), menurut Hazairin, perkembangan hukum Islam dihambat di tanah air.34

Berdasarkan teori Snouck Hurgronye itu, pemerintah Belanda membentuk undang-undang Hindia Belanda, yang disebut wet op de staatsinrichting van Nederlands-lndia, disingkat Indische Staatsregeling (IS) yang diundangkan dalam stbl 1929:212. Dalam IS stbl 1929:212 secara tegas dinyatakan bahwa hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia-Belanda. Selanjutnya dalam pasal 134 ayat 2 disebutkan pula "dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orangIslam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendakinya...". Di samping itu, pada pertengahan 1937 pemerintah Hindia-Belanda mengemukakan pula suatu keinginan memindahkan wewenang mengatur waris umat Islam dari Pengadilan Agama ke Pengadilan Negeri, dengan alasan hukum Waris Islam belum diterima sepenuhnya oleh Hukum Adat. Keinginan itu, kemudian dituangkan dalam stbl 1937:116.35

Di samping teori resepsinya, Snouck Hurgronye memberikan nasihat kepada pemerintah Belanda yang terkenal dengan sebutan Islam Policy. Inti dari nasihat tersebut adalah bidang ibadah diberikan kemerdekaan, dalam bidang kemasyarakatan memanfaatkan adat istiadat yang berlaku dan dalam bidang ke Tata Negaraan, semua kegiatan kepada fanatisme Islam dan Pan Islam di larang.36

Menurut Snouck Hurgronye: "Musuh Kolonialisme bukanlah Islam sebagai Agama, melainkan Islam sebagai Doktrin Politik.37Teori resepsi ini terasa sekali pengaruhnya sampai Indonesia merdeka. Hukum Islam yang hidup di dalam masyarakat Islam ditekan menjadi rakyat rendahan.

Hukum Barat diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan kedatangan orang-orang Belanda untuk berdagang di Nusantara ini. Mula-mula hanya diberlakukan bagi orang Belanda dan Eropa saja, tetapi kemudian melalui berbagai upaya peraturan perundang-undangan (pernyataan berlaku, penundukan dengan sukarela, pilihan hukum dan sebagainya), hukum Barat itu dinyatakan berlaku juga bagi mereka yang

34

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam..., 209, 210 — Lihat Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang Hukum, (Jakarta: Tintamas, 1974), 101.

35 Lihat Ismail Sunny, Hukum Islam Dalam Hukum Nasional, 5, 6 - Mahadi, Peranan

Pengadilan Agama di Indonesia, Dalam Pembinaan Administrasi Hukum dan Peradilan Agama, Sejarah Peradilan Agama, (Jakarta: Proyek Pembinaan Administrasi Hukum dan Peradilan Agama, 1982), 74, 75.

36 Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia, 124.

37 Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1986), 11.

19

disamakan dengan orang Eropa, orang Timur Asing (terutama Cina) dan orang Indonesia. Sebagai hukum golongan yang berkuasa pada waktu itu di Nusantara kita ini keadaan hukum Barat jauh lebih baik dan menguntungkan dari keadaan kedua sistem hukum di atas.38

Hukum adat dan hukum Islam adalah hukum bagi orang-orang Indonesia asli dan mereka yang disamakan dengan penduduk bumiputera. Keadaan itu diatur oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu,sejak tahun 1854 sampai dengan mereka meninggalkan Indonesia pada tahun 1942.39

Pemerintah Belanda, yang mulai mengambil control pada seluruh bagian kepulauan Indonesia dari tahun 1619 sampai ledakan perang dunia kedua, pada awalnya tidak banyak perhatian pada aturan hukum di antara pribumi. Kemudian mulailah diperkenalkan hukum Belanda; implementasinya disesuaikan dengan kondisi lokal dan disuplementasi oleh hukum khusus serta regulasi yang mudah diberlakukan pada pemerintahan Belanda(Dutch East Indies).Ketika British mengambil alih kontrolEastIndiesantara tahun 1811-1816, mereka juga mengimplementasikan suatu sistem hukum yang memberlakukan hukum Islam sebagai identik dengan hukum adat pribumi, terutama dengan mempekerjakan penghulu atau qadi ke pengadilan umum. Setelah Belanda kembali ke kepulauan Indonesia, dengan regulasinya 1819 berkenaan dengan sipil dan prosedur kriminal untuk penduduk pribumi, mereka tetap mempertahankan kondisi hukum. Jadi sampai dengan abad 19, Belanda yang berkuasa melihat, bahwa hukum adat tersebut adalah pada dasarnya hukum Islam. Namun, pada perkembangan berikutnya, Belanda mengetahui perbedaan antara Shariah dan Hukum Adat. Pada masa perjuangan antara Islam dan Adat di seluruh Indonesia, pemerintahan Belanda mengambil pihak adat dan cenderung untuk mempromosikan perkembangan hukum adat agar dapat mengekang perkembangan Islam. Oleh karena itu, mereka mulai merubah status quo hukum.40

Perubahan ini direfleksikan dalam kebijakan hukum administrasi Kolonial Belanda yang mulai membuat suatu bentuk yang jelas pada tahun 1848 dengan mulai membuat sebuah kodifikasi hukum di Indonesia. Pemerintahan Belanda juga memberlakukan sebuah Undang-Undang Sipil (Burgerlijk Wetboek) dan Undang-Undang Komersial (Wetboek van Koophandel) bagi orang-orang Eropa di Indonesia yang kemudian

38

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam..., 210. 39

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam..., 210. 40

Lihat: Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage Law of 1974 ..., 79.

20

dikembangkan sebagai sebuah kelompok hukum yang berbeda agar mudah diaplikasikan pada semua kelompok penduduk yang berbeda. Oleh karena itu sejauh ini ada empat jenis hukumperkawinan yang berlaku di Indonesia selama pemerintahan Kolonial Belanda, sebagai berikut:

1. Hukum perkawinan Islam mengatur perkawinan di antara semua masyarakat muslim Indonesia.

2. Undang-Undang Sipil mengatur perkawinan di antara orang yang diarahkan pada hukum barat, orang Eropa dan Chinese.

3. Peraturan Setempat tahun 1933 untuk perkawinan orang-orang Kristen Indonesia.

4. Hukum adat untuk perkawinan seseorang yang bukan Muslim maupun non Kristen (berbeda dari satu dengan yang lain).41

Dengan lahirnya Staatsblad 1937 No. 116 Pasal 2 a ayat (1) yang mulai berlaku tanggal 1 April 1937, maka kompetensi Peradilan Agama semakin sempit dan terbatas.42 Wewenang Peradilan Agama hanya berkenaan dengan Bidang Perkawinan. Kompetensi Peradilan Agama yang sudah sempit dan terbatas ini masih dibatasi lagi dalam hal-hal sebagai berikut:

1. Apabila perkawinan itu dilakukan menurut BW seperti suami istri dari golongan Eropa, atau Cina yang beragama Islam.

2. Apabila perkawinan itu dilakukan menurut Peraturan Perkawinan campuran Staatsblad 1898 No. 158 yaitu perkawinan orang-orang yang tunduk pada hukum yang berlainan, diatur menurut hukum suaminya.

3. Apabila perkawinan itu dilakukan menurut Staatsblad 1933 No. 74 (Ordonansi nikah Indonesia Kristen, Jawa, Minahasa dan Ambon), walaupun sesudah perkawinan mereka lalu keduanya atau salah satunya masuk Islam.43

41

Lihat: Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage Law of 1974,79. 42

Kompetensi Peradilan Agama hanya mencakup bidang-bidang perselisihan antara suami istri yang beragama Islam, perkara-perkara tentang nikah, talak, rujuk dan perceraian antara orang-orang yang beragama Islam yang memerlukan perantaraan hakim Agama (Islam), memberi putusan perceraian, menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang digantungkan (ta'līk ṭalāq) sudah ada, perkara mahar (mas kawin) sudah termasuk mut'ah) dan perkara tentang keperluan kehidupan suami- istri yang wajib diadakan oleh suami. - Lihat Depag RI, Peradilan Agama di Indonesia, Sejarah Perkembangan Lembaga dan Proses Pembentukan Undang-Undangnya, (Jakarta: Pembinaan badan Peradilan Agama Islam, 2001), 16.

43Depag RI, Peradilan Agama di Indonesia..., 17.

21

Dengan diberlakukannya Staatsblad 1933 No. 74 terhadap penduduk pribumi yang beragama Nasrani, jelas bahwa teori Receptie yang diberlakukan terhadap orang Islam, dilaksanakan tidak adil dan tidak konsisten, sebab tidak dapat diketahui dengan pasti apakah hukum agama Nasrani itu sudah diterima dengan ikhlas dan menjadi hukum adat. Berarti penggunaan theory Receptie oleh pemerintah Belanda dengan mengenyampingkan hukum Islam dan memakai hukum adat bertujuan untuk melemahkan kedudukan hukum Islam.44

Kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda yang memberlakukan theory Receptie Snouck mendapat reaksi yang keras dari kalangan umat Islam ketika Pengadilan Negeri di Bandung memutuskan untuk memberi seluruh bagian waris kepada seorang anak angkat dari ayah angkatnya dengan mengesampingkan kemenakan laki-laki dan perempuan dari si waris. Perhimpunan Penghulu dan pegawainya pada saat kongres yang diselenggarakan di Surakarta tanggal 16 Mei 1937, dengan keras menyatakan bahwa keputusan di Laandraad (Pengadilan Negeri) Bandung tersebut bertentangan dengan hukum Islam. Pada tahun berikutnya, di Surabaya Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI), dalam kapasitasnya sebagai payung dari organisasi Islam memprotes Staatsblad No. 116 tahun 1937 dengan mengatakan bahwa undang-undang tersebut adalah sebagai pemerkosaan terhadap hukum Islam.45

Strategi dan kebijakan pemerintah penjajah Belanda mendapat perlawanan yang keras dari bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Bagi umat Islam Indonesia memerangi penjajah Belanda merupakan jihad fi sabilillah, apalagi penjajah Belanda tersebut kebetulanberagama Nasrani. Keadaan ini nampaknya membawa pengaruh negatif dan memperkeruh hubungan antara pemeluk agama penduduk yang dijajah (Islam), dengan pemeluk agama penjajah (Nasrani), dibanding dengan

44

Usaha meredusir berlakunya hukum Islam melalui pembatasan wewenang Peradilan Agama yakni melalui Staatsblad 1937 No. 116 di pengaruhi oleh semakin kuatnya pendapat di kalangan politisi dan akademi Belanda yang menyatakan bahwa masalah perkawinan dan warisan adalah masalah negara. Prof. H. J. Nanta Misalnya menulis dalam surat kabar Nieuwe Rotterdamsche Nourant tanggal 27 Juni 1937 menyatakan bahwa agama Islam boleh dianggap sebagai negara dalam negara [in den staat), karena dalam pandangan Barat, pengaturan dimensi hubungan horizontal antara manusia seperti perkawinan dan warisan adalah sebagai masalah kewenangan negara, bukan kewenangan agama - lihat Departemen Agama RI, Peradilan Agama di Jakarta...., 17.

45Lihat Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, t.th),. 20

Z.A. Noeh, Sebuah Perspektif Sejarah Lembaga Islam di Indonesia, (Bandung: al-Ma’ārif, 1980),. 21. - Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998), 37.

22

hubungan antara pemeluk agama penduduk di jajah tersebut dengan agama lain diluar agama penjajah seperti agama Hindu dan Budha.46

Perlawanan yang keras dari umat Islam Indonesia, tentu saja Belanda sebagai penjajah berusaha untuk mempertahankan kepentingan dan kelanggengan eksistensi mereka di Indonesia. Bagi Belanda, Islam merupakan penghalang kepentingan mereka. Islam dipandang mereka sebagai ancaman dan penghalang dalam melaksanakan kepentingan mereka, oleh sebab itu harus dikekang dan diawasi dengan ketat. Akan tetapi umat Islam semakin ditekan, semakin besar pula reaksi yang diberikan oleh mereka terhadap penjajah Belanda. Strategi pemerintahan Hindia Belanda sebagaimana disarankan oleh Snouck Hurgronye ternyata tidak tepat, karena umat Islam semakin dipisahkan, semakin merapatkan barisan dan semakin ditekan, semakin besar pula reaksi dan perlawanan mereka terhadap pemerintah penjajah Belanda tersebut. Umat Islam dalam melaksanakan kegiatan politik sebagaimana yang diharapkan oleh Snouck itu, karena masalah politik merupakan bagian dari ajaran Islam. Reaksi-reaksi umat Islam terhadap perilaku pemerintah Hindia Belanda berakumulasi pada perlawanan umat Islam untuk mengusir penjajah dari tanah air Indonesia.

3. Hukum Islam Pada Zaman Pendudukan Jepang (1942 – 1945)

Di masa pendudukan Jepang, tidak ada perubahan berarti mengenai Pengadilan Agama di Tanah Air. Keadaan yang telah ada di masa pemerintahan Belanda tetap dilanjutkan sampai Jepang kalah dalam perang dunia kedua. Hanya dalam pemerintahan Jepang itu perlu dicatat ada beberapa upaya, atau usaha mengenai Pengadilan Agama dan wewenangnya. Para pemimpin nasionalis Islam Abikoesno Tjokro Soejoso menghendaki agar kedudukan Pengadilan Agama lebih dikukuhkan dan wewenangnya menyelesaikan sengketa warisan antara umat Islam dikembalikan seperti keadaan sebelum April 1937. Di samping itu, dipihak lain, pemimpin Nasionalis sekuler seperti Sartono dan Soepomomenghendaki agar Pengadilan Agama dihapuskan saja.47

46

Suparman Usman, Hukum Islam:Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), 107.

47 Pemimpin nasionalis sekuler Sartono dalam sebuah suratnya kepada

pemerintah Jepang mengatakan, bahwa cukuplah segala perkara diserahkan kepada Pengadilan biasa yang dapat meminta pertimbangan seorang ahli agama. Sedangkan pemimpin Nasionalis sekuler Soepomo yang menjadi penasehat soal-soal hukum pemerintah Jepang menentang pemulihan kembali wewenang Pengadilan Agama yang dikehendaki oleh pemimpin-pemimpin Islam. Hal ini dikemukakannya melalui sebuah

23

Namun, bagaimanapun rintangan yang diletakkan, usaha para pemimpin Islam untuk mengembalikan dan menampakkkan hukum Islam dalam kedudukannyasemula, terus dilakukan dalam berbagai kesempatan yang terbuka.48

Peradilan Agama tetap dipertahankan eksistensinya dan tidak mengalami perubahan kecuali mengganti nama menjadi Soo-rioo Hooim untuk Pengadilan Agama dan Kaikioo Kootoo Hooin untuk Mahkamah Islam Tinggi. Hal ini diatur berdasarkan aturan peralihan pasal 3 Bala Tentara Jepang (Osanu Seizu) tanggal 7 Maret 1942 No. I. Pada tanggal 29 April 1942 Pemerintahan Tentara Jepang Dai Nippon mengeluarkan undang-undang No. 14 tahun 1942 tentang Pengadilan Bala Tentara Jepang (Dai Nippon).49

Dalam Pasal I disebutkan, bahwa di Tanah Jawa dan Madura telah diadakan "Gunsie Hookin" atau Pengadilan Pemerintahan Bala Tentara. Dalam undang-undang ini tidak disebutkan tentang bentuk pengadilan termasuk Pengadilan Agama untuk wilayah Indonesia diluar Jawa dan Madura. Pasal 3 undang-undang ini menyebutkan bahwa untuk sementara waktu Gunsie Hookin terdiri dari:

1. Tiho Hooin (Pengadilan Negeri)

2. Keizai Hooin (Hakim Polisi)

3. Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten)

4. Gun Hooin (Pengadilan Kewedanaan)

5. Kiaikoyo Kootoo Hooin (Pengadilan Islam Tinggi)

6. Sooryo Hooin (Rapat Agama)50 Ketika Badan Penyelidik usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

dibentuk pada tahun 1945 dan bersidang dalam masa penjajahan Jepang, untuk merumuskan dasar Negara dan menentukan hukum dasar bagi Negara Indonesia merdeka di kemudian hari, para pemimpin Islam yang menjadi anggota badan tersebut terus berusaha mendudukkan hukum Islam dalam negara Indonesia itu kelak. Setelah bertukar pikiran dalam musyawarah, para pemimpin Indonesia, baik yang Islami, maupun yang sekuler, yang menjadi perancang dan perumus Undang-Undang Dasar RI, yang kemudian terkenal dengan UUD 1945 mencapai persetujuan yang dituangkan ke dalam suatu piagam yang kelak terkenal dengan nama Piagam Jakarta yang diterima oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan

nasihat yang disampaikannya kepada pemerintah Jepang - Lihat Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 203, 204.

48Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 204

49Departemen Agama RI, Peradilan Agama di Indonesia..., 18

50Departemen Agama RI, Peradilan Agama di Indonesia..., 18.

24

Kemerdekaan Indonesia sebagai Mukaddimah atau Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.51 Dinyatakan di sana antara lain, bahwa negara "Berdasarkan kepada ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan shariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Tujuh kata terakhir ini kemudian dihilangkan dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berasal dari Piagam Jakarta itu oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18-8-1945 dengan imbalan tambahan kata "Yang Maha Esa" pada perkataan Ketuhanan dalam Pembukaan itu sehingga menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa dan dijadikan garis hukum dalam batang tubuh UUD 1945 Pasal 29 ayat (l).52

Menurut catatan sejarah, tujuh kata yang dihilangkan itu, mulai Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, Soekarno yang ikut menandatangani Piagam Jakarta, selaku Presiden RI/ Panglima Tertinggi Angkatan perang, menyatakan keyakinannya bahwa Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. Menurut Profesor Notonagoro ilmuan terkemuka dari Universitas Gajah Mada, ini berarti, setelah tanggal 5 Juli 1959, kata-kata Ketuhanan Yang Maha Esa dalam UUD 1945 itu artinya adalah "(ber) kesesuaian dengan hakikat Tuhan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab". Kewajiban itu menurut Notonagoro adalah kewajiban negara untuk memberikan kesempatan kepada Umat Islam untuk beribadah melaksanakan hukum perkawinan, kewarisan, terutama yang telah lama menjadi wewenang pengadilan agama dalam berbagai bentuk dan nama, sejak agama Islam datang ke Nusantara kita ini dahulu.53

Dewan Pertimbangan Agung buatan Pemerintah Jepang dinyatakan tidak dapat diberlakukan dengan menyerahnya tentara Jepang kepada sekutu, kemudian Indonesia memproklamirkan dirinya sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh pada tanggal 17 Agustus 1945.

B. Perkembangan Hukum Islam di Indonesia setelah Kemerdekaan RI.

1. Hukum Islam Sebelum Menjadi Hukum Nasional Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17

Agustus 1945, upaya untuk melakukan pembaruan hukum warisan kolonial mulai dicanangkan walaupun dalam rangka menghindarkan kekosongan

51

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 204. 52

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 204, 205. 53

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Pengadilan Agama, 206, 207.

25

hukum, hukum warisan kolonial itu untuk sementara masih tetap diberlakukan (sesuai bunyi aturan Peralihan Pasal 2 dari UUD 1945; semua Badan Negara dan Peraturan yang ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini)". Namun, karena Peraturan Perundang-Undangan yang diberlakukan itu dibangun berdasarkan teori receptie itu maka menurut Hazairin hal ini merugikan Umat Islam.54

Berkenaan dengan hal itu Hazairin, pakar hukum adat dan hukum Islam, secara tegas menyatakan bahwa setelah Indonesia merdeka dan setelah UUD 1945 dijadikan undang-undang dasar negara, kendati aturan peralihan menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda yang berdasarkantheory receptie tidak berlaku lagi, karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945.Theory receptie harus exit (keluar, tidak diberlakukan), karena bertentangan dengan Al-Qur‘an dan Sunnah Rasul.55 Pandangan Hazairin yang demikian biasa disebuttheory Receptie Exit.

Setelah Indonesia merdeka pengaruh politik Pemerintah Penjajah masih berbekas. Ini dapat dilihat dalam penetapan UUD 1945 dan Pancasila sebagai Dasar dan Falsafah Negara. Umat Islam56 harus merelakan penghapusan tujuh kata yang terdapat dalam rumusan Pancasila yang terdapat dalam Piagam Jakarta.

Jika dilihat dari aspek perumusan dasar negara, hukum Islam di Indonesia, yang dilakukan oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yaitu para pemimpin Islam berusaha memulihkan dan mendudukan hukum Islam dalam negara Indonesia merdeka itu. Dalam tahapan awal, usaha para pemimpin Islam tersebut berhasil dengan lahirnya Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 yang telah disepakati oleh pendiri negara, bahwa negara berdasar kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan shariat Islam bagi pemeluknya. Namun karena adanya desakan dari kalangan pihak Kristen, tujuh kata tersebut dikeluarkan

54

Lihat Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang Hukum, 54, 55 55

Lihat Imam Saukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 81. - Lihat pula Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang Hukum, 101.

56 Umat Islam adalah salah satu kelompok masyarakat yang mendapat legalitas

pengayoman secara hukum ketatanegaraan Indonesia. Oleh karena itu, umat Islam tidak dapat dipisahkan dengan hukum Islam yang sesuai dengan keyakinannya.

26

dari Pembukaan UUD 1945, kemudian diganti dengan kata "Yang Maha Esa"57

Penggantian kata yang dimaksud, menurut Hazairin, mengandung norma dan garis hukum yang diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, bahwa negara Republik Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.58

Abd. Aziz Thaba mengatakan, bahwa beberapa cedekiawan muslim seperti Fakhmi Ali, Bakhtiar Effendi dan Ahmad Syafi'i Ma'arif menganggap bahwa diterimanya idiologi negara Pancasila dan dihapuskannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta merupakan kekalahan politik Islam.59

BPUPKI diketuai oleh DR. Radjiman Wedyoningrat60 seorang Kejawen yang pernah menjadi anggota Budi Utomo. Anggota BPUPKI terdiri dari berbagai golongan, namun secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yang saling berhadapan yaitu kelompok Islam dan kelompok nasionalis sekuler.61

Kedua kelompok tersebut terlihat dalam perdebatan yang sangat sengit ketika membahas ideology dan dasar negara yang akan didirikan. Golongan Islam menghendaki terbentuknya negara Islam, sedangkan kelompok Nasionalis sekuler menghendaki berdirinya Negara Sekuler. Untuk menghindari perbedaan pendapat yang tajam antara kedua kelompok ini, maka dibentuklah panitia sembilan yang terdiri dari lima golongan sekuler, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Achmad Subarjo, M. Yamin dan A.A. Maramis. Sedangkan dari kelompok Islam adalah H. Agus Salim, KH. Wahid Hasyim, Abikusno, M. Natsir, Muhamad Roum, Sukiman, Prawoto Mangkusasmito, Kasman Singadimedjo dan A. Kahar Muzakkir. Kelompok ini percaya benar atas kesatuan Islam dan negara, bahwa Islam itu adalah agama dan negara.62 Pandangan dasar bahwa Islam mencakup segala sesuatu, termasuk persoalan negara dan politik merupakan salah satu jaringan terpenting. Islam merupakan tatanan dan panduan nilai yang sempurna, karenanya memiliki sistem dari teori tentang politik, ekonomi, negara dan sebagainya. Pandangan ini bukan hanya pemikiran ilmuan Islam, karena Barat pun seperti H. R. Gibb seperti yang dikutip oleh Bahtiar

57

Zainuddin Ali, Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), cet. I, 85. 58

Lihat Zainuddin Ali, Hukum Islam, 85. 59

Abd. Aziz Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 156.

60 Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: Grafiti Pers,

1987), 30. 61

Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional..., 30. 62

Lihat Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam, (Jakarta: Ushul Press, 2005), 8.

27

Effendy mengatakan, bahwa Islam itu tidak hanya sistem teologi dan peribadatan. Tetapi Islam lebih dari itu dan merupakan sistem kebudayaan yang komplit dan sempurna.63

Sebenarnya sejak awal kemerdekaan Indonesia telah terlihat adanya keinginan bangsa Indonesia untuk memiliki hukum Nasional yang diwarnai dan dijiwai oleh Hukum Agama. Di samping itu, Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang ditaati oleh mayoritas rakyat Indonesia adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat dan merupakan norma yang menjadi sumber perilaku dan juga nilai moral yang menjiwai kehidupan masyarakat. Dengan demikian, Hukum Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Hukum Nasional Indonesia.64 Ismail Sunny menyebutnya dengan istilah "Hukum Islam ada dalam Hukum Nasional". Dalam pengertian bahwa Hukum Islam merupakan salah satu unsur dari unsur-unsur yang ada dalam Hukum Nasional.65

Umat Islam Indonesia telah menerima Pancasila sebagai falsafah bangsa dan ideology Negara, karena sila-sila Pancasila tersebut tidak bertentangan dan terdapat kesesuaian dengan ajaran Islam. Di Negara Indonesia yang berfalsafah Pancasila ini, umat Islam mempunyai kebebasan untuk melaksanakan ajaran agamanya. Melalui jalan Siyāsah hukum Islam)سياسة شرعية(dalam bidang tertentu telah terakomodasidalam peraturan perundang-undangan, dengan demikian menjadi bagian dari hukum positif di Indonesia yang berdasarkan Pancasila.66

Konstitusi negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, yaitu UUD 1945 dilihat dari naskah dan isinya adalah Islami. Demikian juga pelaksanaan UUD 1945 tersebut sudah banyak yang Islami, baik itu yang menyangkut institusi keagamaan, seperti dibentuknya Departemen Agama, Peradilan Agama, maupun perundang-undangannya.

Walaupun konstitusi negara Republik Indonesia itu Islami, tetapi pelaksanaan hukum perkawinan dan hukum kewarisan di Indonesia setelah Indonesia merdeka dalam periode 1945-1974, melalui badan Peradilan Agama di Indonesia tetap tidak berubah seperti sedia kala. Ini disebabkan karena teori resepsi, kiat eksekusi dan tidak adanya satu kitab hukum

63

Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam, 8. 64

Lihat Ismail Sunny, Hukum Islam Dalam Hukum Nasional, 5. 65

Lihat Ismail Sunny, Hukum Islam Dalam Hukum Nasional, 5-6. 66

Ahmad Sukardja, Hukum Islam dan Sistem Masyarakat di Indonesia, Makalah dalam Seminar Nasional Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Serang: Fakultas Shariah IAIN Sunan Gunung Djati Serang, 1977), 19.

28

mengenai perkawinan dan kewarisan pada peradilan agama yang menjadi pegangan para hakimnya.67

Teori resepsi yang mendapat sandaran konstitusional dalam indische staatsregeling (IS)pasal 132 ayat (2), setelah Indonesia merdeka, mulai digugat, karena tidak sesuai dengan UUD 1945 sebagai penjabaran Pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertamanya. Dengan ketuhanan yang Maha Esa sebagai dasar negara seperti dirumuskan pada Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, teori resepsi yang bertentangan dengan iman orang Islam itu, bertentangan pula dengan dua kalimat syahadat, karena mengajak orang-orang Islam tidak mematuhi firman Allah yang tercantum dalam Al-Qur‘an dan Sunnah Rasulullah.68

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, sebuah perubahan substansial dilakukan. Administrasi pengadilanIslam dan permasalahan-permasalahan mengenai perkawinan muslim yang sebelumnya telah diadminister oleh Menteri Kehakiman, pindah di bawah juridiksi Menteri Agama. Perubahan ini diumumkan pada tahun 1946. sedangkan Menteri Agama mempertahankan struktur dan komposisi pengadilan Islam, dalam waktu yang singkat setelah penetapannya. Menteri mengumumkan Undang-Undang No. 22 tahun 1946, untuk menyatukan administrasi perkawinan muslim dan perceraian di seluruh Indonesia di bawah kontrol Menteri Agama. Undang-Undang ini menyebutkan bahwa untuk selanjutnya semua perkawinan muslim, perceraian dan rekonsiliasi (nikah, ruju, talak, atau NTR) akan dilakukan di bawah supervisi formal tersendiri dari pegawai pencatat NTR yang diangkat oleh Menteri Agama atau delegasinya. Kursi para pegawai pencatat NTR akan ditentukan oleh kantor agama setempat (Jawatan Agama Daerah), yang kemudian menjadi Kantor Urusan Agama secara langsung diawasi oleh Menteri Agama.69

Pemberlakuan Undang-Undang No. 22 tahun 1946 diperdebatkan di KNIP, dimana para nasionalis dan sekularis saling berlawanan. Perlawanan mereka utamanya karena kekhawatiran terhadap Undang-Undang tersebut akan memperkuat posisi penghulu dan para fungsionaris Islam lainnya dari hukum Islam dengan negara baru. Namun Undang-Undang tersebut akhirnya diluluskan di parlemen setelah tekanan kuat dari para pemimpin muslim. Walaupun implementasi hukum ini belum dilaksanakan secara efektif berkaitan dengan revolusi Indonesia, namun di pandang sebagai

67

Lihat Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 207. 68

Lihat Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 207, 208. 69

Lihat: Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage Law of 1974 ..., 80.

29

sebuah kemenangan bagi muslim. Hukum ini membuat perbedaan antara muslim dan non muslim menjadi jelas. Perbedaan krusial di antara Undang-Undang No. 22 tahun 1946 dan Undang-Undang lainnya berkenaan dengan prosedur perkawinan, yang diberlakukan sebelumnya, adalah registrasi muslim tidak perlu validitas perkawinan mereka, perceraian dan rekonsiliasi. Hal ini cukup memadai bagi muslim untuk mendaftarkan diri di kantor setempat, Kantor Urusan Agama daripada di Kantor Catatan Sipil yang kemudian hanya melayani non-muslim dan di bawah jurisdiksi Menteri Kehakiman.70

Untuk implementasi Undang-Undang No. 22 1946, MenteriAgama

mengeluarkan instruksi No. 4 tahun 1946 Undang-Undang No. 32 tahun

1954, instruksi No. 1 tahun 1955, dan dekrit No. 15 tahun 1955. Regulasi ini

mengharuskan para pencatat NTR melayani perkawinan, perceraian dan

poligami. Selain prosedur perkawinan yang diatur, dua regulasi terakhir juga

mengandung provisi tentang taklik talak yang telah lama menjadi kebiasaan

di Indonesia. Taklik talak merupakan kondisi dalam kontrak perkawinan,

pelanggaran yang memungkinkan istri untuk mengajukan perceraian.

Rumusan dan kondisi taklik talak telah distandarisasi oleh Menteri Agama,

dan telah dicetak dalam halaman terakhir dari akta nikah resmi. Segera

setelah akad nikah, suami harus mendeklarasikan pada wali istri dan saksi,

bahwa ada empat alasan yang mana istrinya bisa mengajukan perceraian

terhadap suaminya. Jika suami meninggalkan istri selama enam bulan

berturut-turut, jika dia secara fisik menganiayanya, atau jika dia tidak

memberi nafkah dan dia tidak menghiraukannya selama enam bulan

berturut-turut, sedangkan istri itu tidak rela.71

Melalui pasal peralihan UUD 1945 dan kuatnya tertanam teori

resepsi yang diajarkan di Perguruan Tinggi Hukum Belanda dahulu, baik di

Leiden, maupun di Batavia, apa yang telah ada dan berlaku di zaman Hindia

Belanda dahulu, tetap saja berlangsung dalam negara Indonesia merdeka,

kendatipun UUD 1945, atau peraturan dasarnya sudah berganti dan

berbeda. Baru tahun 1974, dengan diundangkannya Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, teori resepsi itu menemui ajalnya

dihantam "kalimat, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu".72 Dengan demikian,

maka dengan terbentuknya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang

70

Lihat: Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage Law of1974 ..., 81. 71

Lihat: Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage Law of1974 ..., 81 72

Lihat: Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 208.

30

Perkawinan dengan perumusan Pasal 2 ayat (1) yang telah disebutkan di

atas, setiap perkawinan harus dilaksanakan menurut hukum agama. Untuk

orang Islam, perkawinan baru dianggap sah kalau dilakukan menurut

hukum perkawinan Islam, walaupun pelaksanaannya melalui putusan

Pengadilan Agama masih harus dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri

(Pengadilan Umum).

2. Hukum Islam setelah Menjadi Hukum Nasional

Setelah Indonesia merdeka, upaya pembaruan hukum banyak

diarahkan kepada perubahan hukum tertulis peninggalan kaum kolonial

untuk dijadikan Hukum Nasional73 dan Hukum Islam dijadikan sebagai salah

satu unsur hukum nasional yang berfungsi sebagai rujukan dalam

pembentukan hukum nasional tersebut. Setelah Indonesia merdeka, atas

usul Menteri Agama yang disetujui oleh Menteri Kehakiman, Pemerintah

menyerahkan Mahkamah Islam Tinggi dari Kementerian Kehakiman kepada

Kementerian Agama, melalui Penetapan Pemerintah No. 5-SD tanggal 25

Maret 1946 dan pada tanggal 21 November 1946 telah disahkan dan

diundangkan UU No. 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan

Rujuk. Undang-Undang ini hanya berlaku untuk Jawa dan Madura. Dengan

keluarnya UU No. 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan

Rujuk, maka segera diambil tindakan dengan jalan memisahkan urusan

pendaftaran Nikah, Talak dan Rujuk dari Pengadilan Agama. Penghulu

kepala yang tadinya merangkap Ketua Pengadilan Agama, tidak lagi

mencampuri urusan Pengadilan dan oleh sebab itu terbentuklah penghulu

Kabupaten, yang diserahi urusan kepenghuluan di samping Penghulu Hakim

yang dikhususkan menangani Pengadilan Agama saja dengan mendapat gaji

dan tingkat serta kedudukansebagai penghulu kepala. Seluruh biaya tata

usaha Pengadilan menjadi tanggungan Negara, sedangkan pegawai-pegawai

73

Hukum Nasional Indonesia adalah kumpulan norma-norma hukum yang hidup dalam masyarakat yang berasal dari unsur-unsur Hukum Islam, Hukum Adat dan Hukum Barat, (Ilmu Hukum Umum). Lihat Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 52 - Lihat: Amin Suma, Transformasi Shariah ke Dalam Hukum Nasional di Indonesia, Dalam Gagasan dan Pemikiran Tentang Pembaharuan Hukum Nasional, (Jakarta: Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2004), 246.

31

panitera dibayar dengan gaji tetap dan ongkos perkara harus disetorkan ke

kas Negara.74

Meskipun telah diundangkan UU No. 32 tahun 1954 tentang Penetapan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21 November 1946 No. 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk diseluruh daerah luar Jawa dan Madura, tetapi sesuai denganbunyi Undang-Undang ini, hanya mengatur tata cara pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, tidak memuat materi perkawinan secara keseluruhan. Sehubungan dengan ini, dilakukan berbagai upaya agar terbentuk UU yang memuat materi yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan perkawinan. Upaya ini telah menghasilkan Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang hukum perkawinan.75 Kemudian, pada tahun 1989 terbentuk pula Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989, yang populer dengan sebutan Undang-Undang Peradilan Agama (UU-PA), yang mensejajarkan kedudukan Pengadilan Agama dengan Pengadilan Umum dan menempatkan hukum Islam sebagai salah satu unsur dalam Hukum Nasional. UU Peradilan Agama ini telah disempurnakan lagi pada tahun 2006 dengan disahkannya UU Peradilan Agama yang disempurnakandan memperluas wewenangnya kepada mengadili dan menyelesaikan kasus-kasus serta perkara-perkara yang berkenaan dengan ekonomi syariah.76 Berdasarkan INPRES No. 1 tahun 1991 telah dilakukan pula Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyangkut hukum keluarga, yang terdiri atas hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Dalam usaha Kompilasi Hukum Islam tersebut, kecenderungan kepada salah satu mazhab (khususnya mazhab Shafi'i) mulai di kesampingkan, tetapi lebih ditekankan kepada kemaslahatan, dan bahkan telah dilakukan suatu

74

Lihat: Basiq Jalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), 63-65 – Depag RI, Himpunan Perundang-Undangan Perkawinan, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam Depag RI, 2009), 4, 6,14.

75 Dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menjadi

lebih jelas dan tidak dapat diragukan lagi, bahwa Hukum Islam bukan lagi berdasarkan teori resepsi, tetapi persandaraan legalitas Hukum Islam itu telah pindah dari hukum adat kepada hukum tertulis seperti dapat disalurkan dari Pasal 2 ayat 1 beserta penjelasannya (sesuai dengan UUD 1945) - Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), 13.

76 Hukum Nasional diambilkan dari hukum adat yang mempunyai nilai yang

universal hukum Islam yang sesuai dengan kondisi sosial Indonesia dan hukum Barat yang sudah dimodifikasi. Itulah yang dimaksud dengan "Hukum Nasional". Oleh karena itu, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan INPRES No. I tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) sudah merupakan bagian dari Hukum Nasional yang dicita-citakan sejak lama. - Lihat Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum..., 271,272.

32

reformasi hukum. Sebagai contoh, antara lain, dalam hukum kewarisan dinyatakan bahwa orang tua/anak angkat berhak ikut menerima harta peninggalan anak/orang tua angkatnya sebanyak 1/3 bagian sebagai wasiat wajibah yang berlaku pada Undang-Undang Waris.77 Dalam hukum perkawinan, perkawinan hanya boleh dilakukan oleh pria yang telah berusia 19 tahun dan wanita yang sudah berusia dewasa 16tahun,78 dan sebagainya.

Upaya demikian tentu bukan muncul begitu saja, tetapi telah

didahului oleh adanya kehendak masyarakat untuk mendapatkan landasan

hukum yang adil dalam masalah perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Di

sisi lain, sebelumya telah berkembang pula upaya reformulasi pemikiran

fikih yang dilakukan sebagian organisasi Islam yang tidak mengikat diri

dengan salah satu mazhab tertentu. Menurut Nasrun Rusli, bersama itu,

muncul pula tokoh-tokoh fikih yang mengkhususkan upayanya membenahi

fikih, seperti, antara lain, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (w. 1975), guru besar

hukum Islam IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang merintis tumbuhnya fikih

Indonesia, yakni corak hukum Islam yang dibangun dalam tradisi

('urf)79Indonesia, namun tetap berpijak pada sumber hukum yang asasi,

yakni Al-Qur‘an dan sunnah. Di sisi lain, Hazairin, guru besar hukum Islam

dan hukum adat80 Universitas Indonesia, juga telah merintis tumbuhnya

hukum kekeluargaan dan kewarisan nasional, yang berpijak pada dasar-

dasar Islam, namun tidak mengabaikan sistem kehidupan yang tumbuh dan

berlaku di Indonesia.81

Upaya-upaya pembaruan hukum Islam seperti demikian diharapkan

akan tumbuh dan berkembang hukum Islam yang kuat dan mampu

menjawab kebutuhan masyarakat. Hukum Islam yang demikian niscaya

akan dapat memberikan sumbangan yang besar bagi Hukum Nasional.82

77

Lihat: KHI Buku II tentang Hukum Kewarisan Pasal 209 ayat (1) dan (2) 78

Lihat: UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) dan Lihat: KHI Buku I tentang Perkawinan Pasal 15 ayat (1).

79'Urf menurut istilah dalam Uṣul Fikih adalah sesuatu yang tidak asing lagi

bagi satu masyarakat, karena telah menjadi adat kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka, baik berupa perkataan, maupun perbuatan - Lihat: Abd. Wahhāb Khallāf, Ilmu Shara’Uṣul Fiqh, (Kuwait: Dar al Qalam, 1392 H / 1972 M), cet X, 89.

80 Menurut istilah Syara', tidak ada perbedaan antara 'urf dan adat - Lihat:

Abd. Wahhab Khallaf, Usul Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1392 H/1972 M), cet X, 89. 81

Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Shaukani dan Relevansinya Dengan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Disertasi PPS IAIN Jakarta, 1998), 281.282.

82 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Shaukani..., 282.

33

Dengan disahkannya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan, hukum Islam memasuki fase baru, yaitu fase taqnin

(pengundangan). Ketentuan-ketentuan fikih Islam tentang perkawinan

ditransformasikan ke dalam Undang-Undang tersebut dengan modifikasi

disana-sini.83

Lalu pada tahun 1980-an, ketika akan membentuk Kompilasi Hukum

Islam tentang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, Munawir Sjadzali,

Menteri Agama ketika itu, memunculkan gagasan reaktualisasi ajaran Islam.

Gagasan tersebut sengaja dilontarkan dalam berbagai forum, guna

menggugah hati para ulama fikih di Indonesia (bahkan juga di luar

Indonesia) untuk mengkaji dan berpikir lagi tentang fikih. Salah satu contoh

yang ditampilkan Munawir adalah berkenaan dengan reaktualisasi dalam

hukum kewarisan, yakni kemungkinan dijadikannya hak anak laki-laki sama

dengan hak anak perempuan dalam menerima warisan ayahnya yang

meninggal. Kendati contoh yang dikemukakan Munawir tersebut tidak

diterima secara eksplisit dalam kompilasi, ternyata telah merangsang

cendekiawan dan ulama.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan suatu keberhasilan yang

besar bagi umat Islam Indonesia pada pemerintahan Orde Baru, karena

dengan lahirnya kompilasi tersebut, umat Islam Indonesia telah mempunyai

fikih yang seragam dalam masalah perkawinan, kewarisan dan perwakafan,

dan telah menjadi hukum positif yang harus dipatuhi oleh seluruh bangsa

Indonesia yang beragama Islam. Dengan lahirnya KHI ini diharapkan tidak

akan terjadi lagi kesimpang siuran keputusan pada lembaga-lembaga

Peradilan Agama, dimana sering terjadi adanya keputusan Pengadilan

Agama saling berbeda padahal kasusnya sama, yang menurut Abdul Gani

Abdullah sekurang-kurangnya ada tiga hal perlu dicatat dengan keluarnya

INPRES dan SK tersebut:

1. Perintah menyebarluaskan KHI tidak lain adalah kewajiban masyarakat

Islam untuk memfungsikan eksplanasi ajaran Islam sepanjang mengenai

normatif sebagai hukum yang harus hidup dalam masyarakat.

2. Rumusan Hukum Islam dalam KHI berupaya mengakhiri persepsi ganda

dari keberlakukan Hukum Islam yang ditunjuk oleh pasal 2 ayat (1) UU

No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 7 Tahun 1989

tentang segi-segi Hukum Formalnya.

83

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. III, 26.

34

3. Menunjuk secara tegas wilayah keberlakukan KHI dengan sebutan

Instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya, dalam

kedudukan sebagai pedoman penyelesaian masalah di tiga bidang

hukum dalam KHI.84

Walaupun KHI sudah menjadi Hukum Nasional85 di Indonesia tetapi

dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, instruksi Presiden tidak lagi

tercantum dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Hal ini

berdampak pada melemahnya kedudukan hukum materiil dalam KHI yang

masih dipergunakan oleh para Hakim Pengadilan Agama se-lndonesia dan

masyarakat yang memerlukannya. Atas dasar ini perlu KHI ditingkatkan

menjadi Undang-Undang. Berkenaan dengan ini, Pemerintah telah

mengajukan ke DPR RI RUU Hukum Materil Peradilan Agama (HMPA) Bidang

Perkawinan agar dapat disahkan menjadi Undang-Undang sebagai

pengganti kompilasi Hukum Islam Buku I tentang Perkawinan.

Pembahasan UU No. 1 tahun 1974 dan KHI Buku I tentang

Perkawinan akan dibahas dalam pembahasan tersendiri pada Bagian ketiga

dalam tulisan ini.

84

Lihat: Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,(Jakarta: Gema Insani Press, 1994), 62.

85Hukum Nasional adalah hukum yang berlaku bagi bangsa tertentu di suatu

negara nasional tertentu. Dalam kasus Indonesia, hukum Nasional mungkin juga berarti hukum yang dibangun oleh bangsa Indonesia setelah Indonesia merdeka dan berlaku bagi penduduk Indonesia, sebagai pengganti hukum kolonial dahulu -Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, 267.

35

Bagian Ketiga

UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG

PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)

Hukum Perkawinan Islam adalah perkawinan yang didasarkan

atas hukum-hukum yang ditetapkan oleh Islam yang terkait dengan

pernikahan (Fiqh Munākaḥāt). Materi Fiqh Munākaḥātsudah diadopsi ke

dalam UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan, walaupun

materi Fiqh Munākaḥātyang diadopsi itu, tidak secara mendetail

dimasukkan, karena hanya prinsip-prinsip dan pokok-pokoknya saja,

yang secara umum telah menggambarkan materi Fiqh Munākaḥāt.

Perbedaan materi UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan

dengan Fiqh Munākaḥātadalah sebagai berikut:

Pertama : UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan sepenuhnya

sudah mengikuti Fiqh Munākaḥāt, bahkan banyak mengutip

langsung dari Al-Qur‘an dan Hadis. Contohnya: Ketentuan

tentang larangan perkawinan dan ketentuan tentang masa

tunggu (masa Iddah) bagi istri yang bercerai dari suaminya.

Kedua : Ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan

sama sekali tidak terdapat dalam Fiqh Munākaḥāt, tetapi

karena bersifat administratif dan bukan substansial dapat

ditambahkan ke dalam Fiqh Munakahat. Contohnya,

pencatatan perkawinan dan pencegahan perkawinan.

Ketiga : Ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang

Perkawinan tidak terdapat dalam Fiqh Munākaḥāt, karena

pertimbangan kemaslahatan dapat dikategorikan sebagai

Hukum Islam, karena tujuan Hukum Islam adalah untuk

kemaslahatan. Contohnya, ketentuan batas minimal umur

pasangan yang akan menikah dan harta bersama dalam

perkawinan.

Keempat : Ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang

Perkawinan secara lahiriyah tidak sejalan dengan ketentuan

Fiqh Munākaḥāt, tetapi dengan menggunakan interpretasi

dan mempertimbangkan maslahat dapat dikategorikan sebagai

36

Fikih, karena Fikih adalah hasil ijtihad, yang antara lain

ditetapkan berdasarkan maslahat. Contohnya: keharusan

perceraian di pengadilan dan keharusan izin berpoligami oleh

pengadilan serta perceraian harus didasarkan kepada alasan-

alasan yang sudah ditentukan.

Dengan masuknya materi Fiqh Munākaḥāt, prinsip-prinsip dan

pokok-pokoknya yang secara umum dapat dikategorikan sebagai Fiqh

Munākaḥāt, ke dalam pasal UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang

Perkawinan, ini menunjukkan, bahwa Hukum1 Islam bidang Perkawinan

(Fiqh Munākaḥāt) telah diadopsi dalam sistem Hukum Nasional.

Hukum Islam bidang Perkawinan dapat diterima untuk menjadi

Hukum Nasional, karena sesuai dengan keyakinan umat Islam dan

budaya Indonesia, yang secara yuridis formal dan secara normatif telah

menjadi hukum yang hidup di masyarakat Indonesia. Hukum Islam,

khususnya Fikih Munākaḥāttelah menyatu dengan Hukum Adat yang

berlaku dalam masyarakat Muslim di Indonesia sejak sebelum zaman

penjajahan kolonial Belanda, sehingga tidak dapat lagi dibedakan.

Kehidupan masyarakat muslim senantiasa berada dalam garis-garis

Hukum Islam, yang dalam kehidupan sehari-hari telah menjadi adat

kebiasaan mereka, seperti dalam masalah perkawinan dan keluarga,

perekonomian dan masalah-masalah muamalat serta dalam hubungan

sosial lainnya. Kesemuanya itu menjadikan Hukum Islam bidang

Perkawinan dapat diterima menjadi Hukum Nasional.

A. Pengertian Hukum Perkawinan

Dalam bahasa Arab, perkawinan disebut dengan al-Nikāḥ(النكاح) yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.2 Sedangkan dalam istilah para Ulama Fikih mendefinisikannya dalam berbagai kitab Fikih, dimana redaksinya berbeda-beda, tetapi substansinya sama, yaitu: nikah adalah akad yang menghalalkan persetubuhan antara laki-laki dan

1 Secara khusus pengertian Hukum Islam, syariah dan fikih telah dijelaskan pada

Bagian Pertama dari tulisan ini. 2 Lihat: Ibnu Manẓūr, Lisān al-‘Arab, (t.t: Dar al-Ma’ārif, tth), Jilid V, 4537, dan lihat

pula: A. W. Al-Munawwir, Kamus al-Munawwir, Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), cet. XIV, Edisi kedua, 46. Juga lihat: Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-lslāmī wa Adillatuhu,(Damsyiq: Dar al-Fikr, 1989), Jilid VII, 29.

37

perempuan.3 Abu Zahrah menambahkan definisi nikah tersebut dengan kata-kata: saling tolong dan mengakibatkan adanya hak dan kewajiban antara keduanya.4

Para ulama dan pakar Indonesia telah memberikan pula definisi perkawinan antara lain:

1. Menurut Ibrahim Hosen, nikah adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan kepada pria hak memiliki penggunaan faraj (kemaluan) wanita dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan primer.5

2. Menurut Hazairin, perkawinan adalah hubungan seksual. Tidak ada nikah (perkawinan) bila tidak ada hubungan seksual.6

3. Menurut Sajuti Thalib, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, dan bahagia.7

Nampaknya definisi nikah/perkawinan yang dikemukakan Ibrahim Hosen dan Hazairin sama dengan definisi yang dikemukakan oleh para Ulama Fikih yang disebutkan dalam Kitab-Kitab Fikih. Tetapi definisi yang diberikan oleh Sajuti Thalib itu nampaknya identik dengan definisi perkawinan yang disebutkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan.

Definisi tersebut juga agaknya identik dengan definisi perkawinan yang dikemukakan oleh Tahir Mahmood yang mendefinisikan, bahwa perkawinan adalah sebagai sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan yang masing-masing menjadi suami dan istri dalam rangka memperoleh kebahagiaan kehidupan dan membangun keluarga dalam sinaran Ilahi. Teks ucapannya itu adalah sebagai berikut:

3Abd. Raḥmān al-Jazīry, Kitab al-Fiqh 'Ala al-Madhāhib al-Arba'ah, (t.t: Dar iḥyā' al-

Turātsal-'Araby, 1986), Juz IV, 3 - Muhammad Syata al-Malibāry al-Dimyāthy, l'ānah al-

Ṭālibin, (t.t: Dar Iḥyā’ al-Kutub al-'Arabiyah, t.th), 256. - Imam Taqiyuddīn,Kifāyah al-

Akhyār, (Bandung: al-Ma’ārif, t.th), Jilid II, 36. - Wahbah al-Zuḥaily, A- Fiqh al-

IslāmywaAdillatuhu, 29. 4Muhammad Abu Zahrah, al-Awḥāl al-Syakhṣiyyah, (al-Qāhirah: Dar al-Fikr al-

'Araby), 19. 5 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2003), cet I, 116. 6

Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia, (Jakarta: Tinta Mas, 1961),61. 7

Mohamad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang No. I Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 2.

38

"Marriage in a relationship of body and soul between a man and woman as husband and wife for the purpose of establishing a happy and lasting family founded on beliefin god Almighty".8

Di dalam perspektif Hukum Nasional, perkawinan didefinisikan sebagai berikut:

1. Perspektif Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".9

2. Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku I tentang Perkawinan Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat, atau mīthāqan ghalīẓan10untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.11

Dari definisi-definisi perkawinan yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan, bahwa definisi perkawinan menurut kitab-kitab fikih terkesan menempatkan perempuan sebagai objek kenikmatan bagi laki-laki, karena yang dilihat pada perempuan hanya dari aspek biologisnya. Kecuali Muhammad Abu Zahrah, menambahkan kata tolong menolong dan mengakibatkan adanya hak dan kewajiban di antara keduanya. Jadi di samping masalah biologis, ia juga menambahkan kata-kata tersebut tadi.

Sedangkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal

1, perkawinan tidak hanya dilihat sebagai hubungan jasmani belaka,

tetapi juga merupakan hubungan batin. Pergeseran ini mengesankan

bahwa perkawinan yang selama ini hanya sebatas ikatan jasmani

ternyata juga mengandung aspek yang lebih substansial dan berdimensi

jangka panjang. Ikatan yang didasarkan pada hubungan jasmani itu

berdampak pada masa yang pendek, sedangkan ikatan batin itu lebih

8Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhi: Academy of Law

and Religion, 1987), 209. 9Lihat UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1.

10Mīthāqan ghalīẓanberarti perjanjian yang kuat diambil dari firman Allah

dalam surah al-Nisā'4: 21, yaitu:

(12تأخذوو وقد أفضى بعضكم إلى بعض وأخذن مىكم ميثاقا غليظا )وكيف 11

Lihat KHI pasal 2 buku I tentang Perkawinan.

39

jauh. Dimensi masa dalam definisi ini dieksplisitkan dengan kata-kata

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.12

Kata-kata bahagia disebutkan dalam UU Perkawinan tersebut

sebagai tujuan perkawinan adalah dimaksudkan agar setiap manusia,

laki-laki dan perempuan dapat memperoleh kebahagiaan dalam

perkawinan tidak hanya dilihat dari sisi hukum formal, tetapi juga dilihat

dari sifat sosial sebuah perkawinan untuk membentuk keluarga.13

Untuk melengkapi kebahagiaan dalam perkawinan tersebut,

dalam definisi UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan itu terdapat

kata-kata kekal. Ini mengesankan, bahwa perkawinan hanya sekali

seumur hidup. Seakan-akan pintu perceraian telah tertutup, tetapi

penambahan kata-kata kekal ini sebenarnya dimaksudkan untuk

mempersulit perceraian, karena dalam Hadis Nabi Muhammad SAW

dikatakan: "perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah al-ṭalāq

(perceraian)".14, tetapi Hadis ini tidak menutup perceraian, tetap

membukanya kalau suami-istri tidak bisa lagi didamaikan,15 selama

perceraian itu didukung oleh alasan-alasan yang dibenarkan oleh Syariat

Islam.

Dari definisi perkawinan yang disebutkan dalam UU No. 1 Tahun

1974 dan KHI tentang Perkawinan, menunjukkan bahwa pada

perkawinan tersebut terdapat suatu kesepakatan, bahwa perkawinan di

pandang sebagai sebuah akad. Akad atau perikatan terjadi jika dua

orang yang apabila mempunyai kemauan atau kesanggupan yang

dipadukan dalam satu ketentuan dan dinyatakan dengan kata-kata, atau

sesuatu yang bisa dipahami demikian, maka dengan itu terjadilah

12

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), cet III, 45, 46.

13Lihat Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di

Indonesia, h. 46. 14

رواي أبو داود وابه ماج والحاكم عه ابه عمز الحالل عىد هللا الطالق" ض"أبغ

"Sesunggunya yang halal paling dibenci Allah adalah talak" (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan

al-Hakim dari Ibnu Umar): Lihat al-Suyūṭy,al-Jāmi' al-Ṣaghīr, (t.t: Dar al Kutub al-‘Ilmiah,

t.t), Cet IV, Jilid I, 4 15

Q.S. al-Nisā/ 4:35 dan Q.S. al-Baqarah / 2:229.

40

peristiwa hukum yang disebut dengan perikatan.16 Perikatan ini dalam

bahasa fikih disebut dengan akad. Dengan demikian, maka perkawinan

dapat disebut sebagai perikatan atau akad.

Penegasan perkawinan sebagai sebuah akad/ perikatan ini sangat penting karena menyangkut relasi hubungan suami dan istri yang setara sebagai dua subjek hukum yang berdiri dalam posisi yang sama, sering dalam masyarakat, baik yang menganut kekerabatan bilateral, matrilinear terlebih lagi partilinear, perkawinan tetap dipahami sebagai hubungan yang tidak seimbang. Perkawinan dipahami sebagai hubungan antara subjek dengan objek "atas" dan "bawah", penguasa dengan yang dikuasai sering kali suami ditempatkan pada posisi yang berkuasa dan istri sebagai pihak yang dikuasai.17

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa sebenarnya perkawinan sebagai sebuah perikatan adalah ingin menggugat relasi yang tidak seimbang ini. Perkawinan yang sejati harus didasari pemahaman akan posisi masing-masing pihak yang sejajar tanpa ada yang merasa lebih tinggi, lebih berkuasa, atau lebih berhak. Mereka harus menyadari bahwa yang mempersatukan seorang pria yang menjadi suami dan seorang wanita menjadi istri adalah akad, karena dengan akad itulah yang menjadikan suami boleh berhubungan badan dengan seorang wanita sebagai istri.18

Sehubungan dengan ini, Yahya Harahap mengatakan, bahwa kedudukan suami istri dalam sebuah keluarga adalah seimbang. Keduanya sederajat dan segala sesuatu yang muncul dalam perkawinan harus dirundingkan bersama, bahwa istri berhak mencapai kedudukan sosial di luar lingkungan rumah tangga dan suami tidak dapat melarang hal tersebut.19

Oleh sebab itu Busthanul Arifin mengatakan, bahwa kedudukan

suami dan istri dalam perkawinan sebagaimana termuat dalam pasal 30-

16

Ahmad Kuzari, Perkawinan sebagai Sebuah Perikatan, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), 1

17Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di

Indonesia, 48 18

Ahmad Kuzari, Perkawinan Sebagai Sebuah Perikatan, 1 19

Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975),10

41

34 UU Perkawinan adalah seimbang. Masing-masing mempunyai fungsi

dan tanggung jawab berbeda, tetapi dengan tujuan yang satu, yaitu

tercapainya kebahagiaan rumah tangga dan keluarga, atau terwujudnya

rumah tangga dan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.20

Tidak itu saja, hubungan kedudukan tersebut juga mengandung rasa

keadilan, sekaligus sangat potensial untuk dikembangkan dalam

menghadapi perubahan-perubahan cepat yang terjadi dalam

masyarakat.21

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa definisi perkawinan

(nikāḥ) yang disebutkan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

tidak menjadikan tujuan perkawinan itu hanya semata-mata dalam konteks

biologis saja, seperti definisi yang dikemukakan para ulama fikih, yang

memberi kesan seakan-akan perkawinan itu dipahami sebagai hubungan

antara subjek dengan objek, suami ditempatkan pada posisi yang berkuasa

dari istri sebagai pihak yang dikuasai, tetapi menjadikan perkawinan itu

sebagai perikatan yang menyeimbangkan kedudukan istri dengan suami.

Dalam perkawinan Islam suami-istri adalah mitra sejajar, karena masing-

masing mempunyai hak dan kewajiban, tidak ada yang lebih tinggi, atau

lebih rendah kedudukannya, tetapi saling tolong menolong dan saling

melengkapi. Suami sebagai kepala keluarga dan sebagai penanggung jawab

utama nafkah keluarga, karena istri sesuai dengan kodratnya, hamil,

melahirkan dan menyusui bayinya serta merawatnya.22 Dengan ini jelas

bahwa definisi perkawinan yang disebutkan dalam UU No. 1 Tahun 1974

dan KHI tentang Perkawinan sudah disesuaikan dengan budaya dan

perkembangan masyarakat Indonesia yang sesuai dengan ajaran Islam,

hanya saja dalam definisi yang dibuat oleh fuqaha', kurang sesuai dengan

maqāṣid al-sharīāh. Hal ini mungkin karena pengaruh budaya dan adat

kebiasaan pada tempat fuqaha berada.

20

Lihat Q.S. al-Rūm: 21 21

Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar, Sejarah, Hambatan dan Prospeksnya, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), 120

22Huzaimah T. Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Mawardi Prima,

2001), 144,145.

42

Dengan demikian, maka hukum perkawinan Islam23 adalah

perkawinan yang didasarkan atas hukum-hukum yang ditetapkan oleh

Islam.

B. Hukum Islam dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

1. Dasar Perkawinan Dalam pembahasan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ini

dibahas juga sekaligus pasal-pasal yang terkait dengannya dalam KHI

tentang Perkawinan.24

Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan ayat 1 Kompiliasi

Hukum Islam di Indonesia tentang Hukum Perkawinan ayat (2)

mengandung beberapa unsur hukum Islam, antara lain:

a. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami istri. Ini berarti tidak

dikenal adanya perkawinan sejenis, yang diharamkan dalam

Hukum Islam, baik sesama pria (homo seksual), maupun

sesama wanita (lesbian).25 Perkawinan sejenis juga tidak

dibenarkan dalam budaya Indonesia.

23

Hukum Perkawinan Islam biasa juga disebut dengan istilah fikih Perkawinan Islam [Fikih Munākaḥāt).

24Untuk menghindari pengulangan pembahasan, maka dalam pembahasan UU No. 1

tahun 1974 tentang Perkawinan, juga dibahas pasal-pasal yang terkait dan substansinya sama dengan pasal-pasal pada KHI tentang Perkawinan.

25Dalam ensiklopedi hukum Islam disebutkan bahwa homoseksual adalah keadaan

tertarik terhadap orang dari jenis kelamin yang sama. Hubungan seks/kelamin dengan pasangan sejenis (pria dengan pria atau wanita dengan wanita) disebut homoseks.

Pria yang melakukan homoseks (dalam bentuk liwāṭ/sodomi), yakni bersenggama dengan memasukan penis ke dalam anus pasangannya disebut pria homoseks. Lesbianisme adalah perihal cinta birahi antara sesama wanita. Wanita yang melakukan lesbianisme atau homoseks sesama wanita disebut lesbian atau wanita homoseks.

Dalam hukum Islam, homoseks sesama pria disebut liwāṭ, kata yang akar kata sama

dengan akar kata Lūṭ. Perbuatan homoseks sesama pria itu disebut liwāṭ, karena perbuatan

tersebut pernah dilakukan oleh kaum yang durhaka kepada seruan Nabi Lūṭ as. Kaum itu

berdomisili di negeri Sodom (di sebelah timur Laut Mati atau di Yordania sekarang) dan

karena itu di kalangan bangsa Barat yang beragama Kristen perbuatan demikian disebut

sodomi.

Dalam berbagai referensi semua mengatakan, bahwa homoseksual adalah

kebiasaan seorang laki-laki melampiaskan nafsu seksualnya pada sesamanya. Sedangkan

lesbian adalah kebiasaan seorang perempuan melampiaskan nafsu seksualnya pada

43

Para ulama fikih sepakat atas keharaman homoseks menurut

ketentuan shari'at. Homo seks merupakan perbuatan keji sebagaimana

jarimah zina. Keduanya termasuk dosa besar, dan merupakan perbuatan

yang merusak akhlak, tidak sesuai dengan fitrah manusia. Bertentangan

dengan syariat Islam, bertentangan dengan norma susila, dan ber-

tentangan dengan sunnatullah. Allah SWT menjadikan manusia terdiri

dari pria dan wanita adalah agar berpasang-pasangan sebagai suami

isteri untuk mendapatkan keturunan yang sah dan untuk memperoleh

ketenangan serta kasih sayang.26 Pasangan homoseks dalam bentuk

liwāṭ termasuk dalam tindak pidana berat (dosa besar), karena termasuk

perbuatan keji yang merusak kepribadian, moral dan agama serta

bertentangan dengan tujuan perkawinan.27

Dalam Al-Qur‘an diterangkan, bahwa kaum Nabi Lūṭmelakukan

hubungan seksual hanya kepada sesama laki-laki. Mereka melepaskan

shahwatnya hanya kepada sesama laki-laki dan tidak berminat kepada

perempuan sebagaimana ditawarkan oleh Nabi Lūṭ, tetapi mereka tetap

melakukan perbuatan homoseksual, akhirnya Allah memberikan

hukuman kepada mereka dan memutarbalikan negeri mereka, sehingga

penduduk Sodom, termasuk isteri Nabi Lūṭ tertanam bersamaan dengan

terbaliknya negeri itu. Yang tidak kena azab hanya Nabi Lūṭdan pengikut-

pengikutnya yang saleh dan menjauhkan diri dari perbuatan homoseks.

Ulama fikih sepakat mengharamkan homoseks selain berdasarkan

Al-Qur‘an dan Hadis, juga berdasarkan qaidah fiqhiyah yang

mengatakan, bahwa pada dasarnya hubungan seks adalah haram,

kecuali ada dalil yang membolehkannya.28

sesamanya. Lihat: Abd. Aziz Dah.lan, et.al: Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiar van

Hoeven, 1996), cet V, 563. Lihat pula: Al-Sayid al-Sābiq, Fiqh al-Sunnah, (al-Qahirah: Dar al-

Kitāb al-Islāmy - Dar al-Ḥadīth, t.th) jilid II, 362. 26

Lihat Q.S. al-Naḥl: 72 dan al-Rūm: 21. 27

Lihat Q.S. al-A'rāf: 80 dan 81, al Shu'arā: 165,166. 28

دل دلل على إباحته م حتاع التحراألصل ف األبض Artinya:"Hubungan seks pada dasarnya adalah haram, sehingga ada dalil (sebab-

sebab yang jelas dan yakin tanpa keraguan) yang menghalalkannya, yakni adanya akad nikah ". Lihat: Jalāluddīn Abd. Raḥmān al-Suyūṭy, al-Ashbāh wa al-Naẓā’ir, (Bairut-Libnan: Dar al-Fikr, 1995 M/1410 H), Jilid I, 45.

44

Begitu pula ulama fikih sepakat mengharamkan perbuatan

lesbian,29 berdasarkan Hadis NabiSAW yang diriwayatkan oleh Ahmad,

Muslim, Abu Daud dan al-Tirmidzy, bahwa haram priamelihat aurat laki-

laki yang lain, haram hukumnya wanita melihat auratwanita lain. Dan

haram bersentuhan antara pria dan antara wanita dengan pria dalam

sehelai selimut/ kain:30

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa seluruh ulama Islam

sepakat mengatakan, bahwa perbuatan homo dan lesbi haram

hukumnya, apakah itu berbentuk pasangan menikah atau tidak.31 Kalau

ada ungkapan atau pernyataan yang mengatakan bahwa homo dan lesbi

dibolehkan, itu bukan ajaran Al-Qur‘an dan Hadis dan bukan pula hasil

ijtihad ulama yang mumpuni dihidangnya. Itu hanya ungkapan dan

pernyataan dari kalangan liberal yang hanya berbekal sedikit

pengetahuan agama, yang belum mengkaji dengan baik ayat-ayat Al-

Qur‘an dan Hadis, sehingga mereka memberi fatwa yang menyesatkan,

yaitu mengabsahkan perilaku homoseksual (homo dan lesbi).

29

Al-Sayid Sābiq, Fiqh Al-Sunnah, 369. 30

إلى الر جل فى الثو ب جلغض الر ة إلى عورة المرأة والالرجل إلى عورة الر جل وال المر أ ال نظر

.فى الثو ب الوا حد ةحد وال تغض المرأة إلى المرأالوا Artinya: "Janganlah pria melihat aurat pria lain dan janganlah wanita melihat

aurat wanita lain dan janganlah bersentuhan pria dengan pria lain di bawah sehelai selimut/kain, dan janganlah pula wanita bersentuhan dengan wanita lain di bawah sehelai selimut/kain". Lihat: Al-Sayid Sābiq, Fiqh Al-Sunnah, 369 lihat buku hadis.

31Imam Nawawi al-Bantani (w. 1314 H/1897 M) mengelompokkan homoseksual

sesama pria ke dalam perbuatan zina berdasarkan firman Allah dalam surah al-Mu'minūn: 5-7 yang menerangkan, bahwa kebahagiaan seseorang tergantung pada pemeliharaan kemaluannya (kehormatan dirinya) dari berbagai macam penyalahgunaannya, agar tidak termasuk orang yang tercela dan melanggar ketentuan agama. Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama mengatakan, bahwa pelaku homoseks harus dibunuh berdasarkan hadis Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Al-Tūrmīdhy, Ibnu Majah, al-Hakim dan al-Baihaqy :

"من وجد تموه عمل عمل قوم لوط فاقتلوا الفاعل والمفعول به"

"Siapa saja yang menemukan orang yang melakukan homoseks maka bunuhlah pelakunya bersama pasangannya" (Lihat: Al-Asqalāny,Ibānah al-Aḥkām, (Bairut -Libnan: Dar al-Fikr, 1424 H/2004 M), 78.

Hukum bunuh ini tentuberdasarkan putusan Hakim setelah terpenuhi syarat-syarat dan pembuktiannya sedangkan pelaku lesbi, ulama sepakat mengatakan bahwa sanksinya adalah ta'zīr, yaitu hukuman pendidikan, yang jenis, berat dan ringannya diserahkan kepada kebijaksanaan Hakim.

45

Larangan homoseksual dan lesbian bukan hanya karena merusak

kemuliaan dan martabat kemanusiaan, tetapi resikonya lebih besar lagi,

yaitu dapat menimbulkan penyakit kanker kelamin'HI V/AIDS spilis,

kanker dan lain. Oleh sebab itu kalau ada usaha segelintir orang

berupaya untuk merubah diktum UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan yang menyebutkan ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita agar dibuang saja kata pria dengan wanita, agar tidak terganjal perkawinan sejenis, itu adalah suatu upaya yang bertentangan dengan ajaran agama Islam dan menyalahi Sunnatullah.

b. Rumusan tentang perkawinan yang disebutkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan tersebut dapat disimpulkan bahwa kedudukan wanita dan pria yang memasuki gerbang perkawinan itu adalah seimbang.32

Keluarga Islam terbentuk dalam keterpaduan antara ketentraman (sakīnah), penuh rasa cinta (mawaddah) dan kasih sayang (raḥmah).33ia terdiri dari istri yang patuh dan setia, suami yang jujur dan tulus, ayah yang penuh kasih dan ramah, ibu yang lemah lembut dan berperasaan halus, putra putri yang patuh dan taat serta kerabat yang saling membina silaturrahmi dan tolong menolong. Hal ini dapat tercapai bila masing-masing anggota keluarga tersebut mengetahui hak dan kewajibanya masing-masing.

c. Tujuan perkawinan yang membentuk keluarga sakinah, atau rumah tangga bahagia tanpa batas waktu. Ini merupakan penegasan, bahwa tidak adanya pernikahan untuk jangka tertentu, yang disebut sebagai nikah mut'ah.34

Jumhur Ulama mengharamkan nikah mut'ah. Jika terjadi akadnya, maka tidak sah akadnya itu.35

32

Lihat Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 119. 33

Lihat Q.S al-Rūm: 21. 34

Nikah mut'ah biasa juga disebut dengan nikah muaqqat (nikah sementara). Nikah mut'ah adalah seorang laki-laki menikahi seorang perempuan untuk masa satu hari, atau seminggu atau sebulan. Dinamai nikah mut'ah karena seorang laki-laki menikahi seorang perempuan hanya dengan tujuan bersenang-senang saja sesuai dengan waktu yang ditentukan dalam akad. Lihat: Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, h. 35, wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu,. 117.

35Lihat: Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, h. 35, wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmy

wa Adillatuh, 117.

46

Nikah mut'ah haram hukumnya berdasarkan Q.S. Al-Mu'minūn: 5, 6

dan 7, dan Hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Muslim,

Abu Daud, an-Nasa'i, Ibnu Majah, Ahmad dan Ibnu Ḥibbān dari Rabī' bin

Saburah dari ayahnya mengatakan bahwa sesungguhnya nikahmut'ah itu

pernah dibolehkan, kemudian Allah mengharamkannya sampai hari

kiamat.36

Berdasarkan Ayat 5, 6 dan 7 surah al-Mu'minūn dan Hadis Nabi SAW, bahwa dalam hukum fikih Islam diharamkan nikah mut'ah. Jika telah terjadi, maka nikah itu tidak sah dan berdosa orang yang melakukannya. Dalam adat istiadat Indonesia tidak terjadi nikah mut'ah, sehingga pengharaman nikah mut'ah dalam hukum fikih Islam itu dapat diterima oleh masyarakat Islam di Indonesia.

d. Pembentukan keluarga atau rumah tangga harus menaati shariat Islam.37

Dalam pembentukan keluarga agar menjadi keluarga sakinah, mawadah wa rahmah hendaklah mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam ajaran hukum Islam, karena sahnya perkawinan, tergantung pada ketentuan agama dan kepercayaan masing-masing, baik dalam masalah akad, rukun dan syaratnya, maupun yang berkenaan dengan syarat-syarat lainnya seperti larangan menikah dengan mahram dan lain-lain.38 Semua masalah, seperti rukun dan syarat nikah dan lain-lain38 yang telah disebutkan dalam Fikih, telah tercantum dalam UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan.

e. Perkawinan harus dilaksanakan di hadapan pejabat/ pegawai pencatat nikah (penghulu) sebagai pemenuhan kewajiban administratif perkawinan, untuk menjadi bukti otentik pernikahan39

انى كنت أذنت لكم فى اال ستمتا ع من النساء، وإن هللا قدحرم ذلك إلى وم القا مة 36

Artinya:"Bahwa sesungguhnya saya dahulu telah mengizinkan kepada kamu nikah mut'ah

dan bahwa sesungguhnya ia (Allah) telah mengharamkan nikah mut'ah itu sampai hari

kiamat...". Lihat: Muhammad bin Ismail al-Ṣan'āny, Subul al-Salām,(al-Qahirah: Dar al-

Ḥadīs, 2004 H/ 1425 H), Jilid III, 171. 37

Lihat: QS. Al-Nisā: 23, UU No. 1 tahun 1974 Pasal 2 Ayat (1) dan KHI tentang Perkawinan Pasal 4.

38Lihat: MUI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Depag RI, 2003),

163. 39

Lihat: UU No. 1 tahun 1974 Pasal 2 Ayat (2) dan KHI tentang Perkawinan Pasal 1-7.

47

Pernikahan secara diam-diam, yang biasa juga disebut dengan perkawinan di bawah tangan,40 atau tidak di hadapan pejabat/pegawaipencatat nikah dan tidak disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 orang saksi tidak mempunyai kekuatan hukum berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan.

Dalam ketentuan umum Hukum Islam, syarat sah pernikahan adalah adanya calon mempelai pria dan wanita, adanya dua orang saksi, wali, ijab kabul serta mahar (mas kawin).41

Perkawinan di bawah tangan/ tidak dicatat oleh yang berwenang seringkah menimbulkan muḍarat terhadap istri dan/ atau anak yang dilahirkan terkait dengan hak-hak mereka, seperti nafkah, hak waris dan lain-lain. Oleh sebab itu MUI dalam ijtima' ulama Komisi Fatwa II di Ponorogo memutuskan bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi yang berwenang, sebagai langkah preventif untuk menolak dampak negatif/ muḍarat yang akan terjadi, sebagai saddan li al-dharī'ah.42 Dasar hukum penetapan rukun dan syarat sahnya perkawinan

adalah Al-Qur‘an dan Al-Sunnah. Kedua sumber hukum Islam ini telah

mengatur unsur dan syarat perkawinan relatif lebih rinci dibandingkan

dengan hukum Islam di bidang lainnya. Namun demikian, tidak ada satu

Ayat Al-Qur‘an dan Hadis pun yang secara eksplisit mewajibkan

pencatatan perkawinan. Hal ini berbeda dengan ketentuan transaksi

hutang-piutang yang diatur secara tegas agar dilakukan pencatatan.43

Untuk itu, para ahli hukum Islam kontemporer mencari dalil hukum

untuk menguatkan gagasannya, bahwa perkawinan wajib dicatat. Di

antara mereka ada yang mencoba menganalogikan akad perkawinan

dengan transaksi utang-piutang, seperti yang diatur dalam Surah al-

40Nikah di bawah tangan adalah pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan

syarat yang ditetapkan dalam fikih (hukum Islam), tetapi tanpa pencatatan resmi diinstansi berwenang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, Lihat: MUI, Keputusan Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI, (Ponorogo: Panitia Ijtima', 2006), 39.

41Lihat: MUI, Keputusan Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI, II, 39, dan Lihat pula :

MUI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, 163,164.

42Saddan li al Dzarī'ah dalam istilah Usul Fikih adalah menutup jalan yang

membawa kepada kebinasaan atau kejahatan. Uhat Satria Effendi M. Zein, Usul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. I, 172. Lihat: MUI, Keputusan ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI II, 39.

43Lihat: Q.S. al-Baqarah: 282.

48

Baqarah: 282. Ada pula yang menjadikan Maṣlaḥah Mursalah sebagai

landasan pendapatnya. Teori ini mengajarkan, bahwa apa yang tidak

diperintahkan secara eksplisit oleh Al-Qur‘an dan Hadis dapat dibuat

aturan yang mengharuskan berdasarkan kemaslahatan dan

sekaligusmenghindari muḍarat. Berdasarkan cara berfikir ini, pencatatan

perkawinan dapat diwajibkan demi menjaga kemaslahatan suami isteri

dan anak-anaknya.44

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak. Menurut Ahmad Rafiq bahwa melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, dimana masing-masing suami-isteri mendapat salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percekcokan antara mereka atau salah satu pihak melalaikan kewajiban dan tanggung jawabnya maka yang lain dapat melakukan upaya hukum, guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing, karena dengan akta tersebut suami isteri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.45 Secara umum para ulama Indonesia menyetujui ketentuan pencatatan nikah pada lembaga yang berwenang yang disebutkan dalam UU No.l tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan, tidak ada reaksi terbuka atasnya, tetapi karena persyaratan pencatatan itu tidak pernah disinggung dalam kitab-kitab fikih, maka dalam pelaksanaannya, masyarakat Islam Indonesia masih memiliki sikap yang mendua. Misalnya, masih ada orang yang mempertanyakan apakah perkawinan yang tidak dicatatkan itu dari segi agama menjadi tidak sah? Kecenderungan jawabannya ialah bahwa semua rukun dan persyaratan perkawinan sebagaimana dikehendaki dalam kitab fikih sudah terpenuhi maka suatu perkawinan itu tetap sah. Sebagai akibatnya ialah banyak orang melakukan kawin di bawah tangan yang pada waktunya dapat mengacaukan proses-proses hukum yang akan terjadi berikutnya atau

44Fathurrahman Djamil, Konsekwensi Perkawinan di bawah Tangan Terhadap

Anak dan Harta Dalam Perspektif Hukum Islam, (Makalah yang disajikan pada diskusi ilmiah yang diselenggarakan oleh GTZ di hotel Meridien, Jakarta, 2007. 1, 2

45Ahmad Rafiq, Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995),

107.

49

mengacaukan hak-hak hukum para pihak atau anak yang dihasilkannya.46 Misalnya masalah warisan, nafkah istri dan anak-anak,jika suami tidak bertanggung jawab, atau pembuatan akte kelahiran anak yang memerlukan akte nikah. Hal ini boleh jadi karena sebagian masyarakat muslim masih ada yang memahami ketentuan perkawinan itu lebih menekankan perspektif fikih, sehingga praktek kawin di bawah tangan tanpa melibatkan petugas PPN menjadi subur. Keadaan ini semakin diperparah dengan adanya oknum yang memanfaatkan "peluang" ini untuk mencari keuntungan pribadi tanpa mempertimbangkan sisi dan nilai keadilan yang merupakan misi utama sebuah perkawinan.

Konsekwensi Perkawinan yang tidak dicatat oleh Pemerintah. Perkawinan yang tidak dicatat oleh pemerintah yaitu tidak melalui KUA yang disebut dengan nikah di bawah tangan, akan membawa dampak negatif, atau membawa akibat buruk terhadap anak, harta, perempuan, dengan salah satu pasangan dari suami-isteri bila terjadi perceraian, bahkan sejak terjadinya perkawinan. Pencatatan perkawinan oleh pemerintah di samping mempunyai kekuatan hukum, karena terdapat bukti bahwa telah terjadi perkawinan, juga merupakan publikasi perkawinan. Dengan diumumkannya pernikahan, maka tidak akan lahir prasangka buruk terhadap sepasang lelaki dan perempuan yang dilihat sedang berduaan atau bermesraan. Juga akan hilang hak-hak masing-masing jika seandainya terjadi perceraian, baik cerai mati, maupun cerai hidup dengan talak, khulu' atau fasakh,bila tidak ada kejujuran di antara pasangan yang bercerai. Dengan pencatatan perkawinan oleh yang berwenang dari pemerintah, hak anak yang dilahirkan akan menjadi jelas, karena dapat diketahui siapa orang tuanya. Menurut M. Quraish Shihab, bisa dibayangkan apa yang terjadi jika suami meninggal dunia tanpa ada bukti tentang pernikahannya dengan seorang perempuan. Ketika itu hak waris isteri yang sah dan anaknya akan hilang. Bisa juga jika terjadi perceraian hidup, sang suami mengingkari hak-hak isteri menyangkut nafkah atau harta bersama mereka. Demikian agama menetapkan perlunya saksi dalam

46M. Atho' Mudzhar dan Khaeruddin Nasution (Editor), Hukum Keluarga di Dunia

Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), 211.

50

terlaksananya pernikahan, atau paling sedikit adanya pengumuman tentang pernikahan tersebut.47 Dalam hukum Islam(fiqh)tidak menyebutkan secara rinci atau

tersurat bahwa pencatatan perkawinan merupakan salah satu syarat

sahnya perkawinan, tetapi hanya menyebutkan ketentuan umum bagi

syarat sah perkawinan, yaitu adanya calon mempelai laki-laki dan

perempuan, adanya dua orang saksi, wali, ijab-kabul dan mahar. Walau

demikian, bukan berarti hukum Islam menafikan adanya pencatatan

perkawinan, karena pencatatan tersebut mendatangkan maṣlahat bagi

masing-masing pasangan suami-isteri, harta bersama dan anak dari hasil

perkawinan. Tujuan dari Shariat Islam (مقاصدالشريعة)adalahmendatangkan

maṣlahat dan menghindarkan bahaya Karena perkawinan yang tidak

dicatat oleh pemerintah menimbulkan muḍarat, kepada isteri, anak dan

harta perkawinan/ harta bersama, maka pencatatan perkawinan oleh

pemerintah menurut hukum Islam dapat dipandang sebagai masalah

darurat. Ketentuan umum bagi sahnya suatu perkawinan yang telah

disebutkan di atas adalah hasil ijtihad, karena tidak disebutkan secara

rinci dalam Al-Qur‘an dan Hadis. Hukum yang ditetapkan berdasarkan

ijtihad dapat berubah sesuai dengan kondisi, selama perubahan hukum

itu untuk kemaslahatan dan tidak bertentangan dengan Al-Qur‘an dan

Hadis, ataumaqāṣid shariāh. berdasarkan qaidah fiqhiyyah.

األحكامبتغيراألحوالواألزمنةتغير

"Hukum dapat berubah disebabkan perubahan keadaan dan zaman ".

Atas dasar itulah sehingga MUI menyampaikan pernyataan dan ajakan kepada umat Islam Indonesia, agar dalam melaksanakan perkawinan, tetap berpedoman pada ketentuan-ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh Negara, yaitu mengacu pada Undang-undang Perkawinan No I. tahun 1974.48

47 M. Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 216.

48

MUI, Himpunan Fatwa MUI, (Jakarta: Depag RI, 2003), 163,164.

51

Dalam Kompilasi Hukum Islam yang berlaku di Indonesia, sangat jelas mengharuskan adanya pencatatan perkawinan demi terjaminnya ketertiban dan mencegah terjadinya persengketaan tanpa penyelesaian. Hal ini berlaku juga pada hampir di seluruh negara berpenduduk mayoritas muslim. Pada abad 20 salah satu fenomena yang muncul di dunia Islam adalah adanya usaha pembaharuan hukum keluarga (perkawinan,perceraian dan warisan) di Negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Turki misalnya melakukannya pada tahun 1956, Mesir 1920, Iran 1931, Syiria 1953, Tunisia 1956, Pakistan 1961 dan Indonesia 1974.49 Adapun cara yang dipergunakan untuk pembaharuan itu bermacam-macam. Ada yang bersifat kodifikasi, dan ada yang bersifat pengaturan administrasi. Jika Undang-undang tentang hukum keluarga di dunia Islam pada abad ke 20 itu kita cermati, sedikitnya ada 13 masalah yang mendapat perhatian, di antaranya adalah masalah pendaftaran dan pencatatan perkawinan.50 Adapun 13 (Tiga belas) masalah tersebut adalah: 1. Pembatasan umur perkawinan 2. Masalah peranan wali 3. Masalah pendaftaran dan pencatatan perkawinan 4. Masalah maskawin dan biaya kawin 5. Masalah poligami 6. Masalah nafkah 7. Masalah talak dan cerai 8. Masalah hak-hak wanita yang dicerai 9. Masalah masa hamil dan akibat hukumnya 10. Masalah pemeliharaan anak 11. Masalah hak waris anak 12. Masalah wasiat 13. Masalah keabsahan dan pengelolaan wakaf keluarga.51

49M. Atho' Muzdhar dan Khaeruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam

Modern, 1

50M. Atho' Muzdhar dan Khaeruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam

Modern, 208, 209

51M. Atho' Muzdhar dan Khaeruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam

Modern, 209.

52

Salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan yang dapat menghilangkan hak-haknya adalah nikah yang tidak dicatat, atau nikah di bawah tangan. Pencatatan nikah memperkuat kesaksian dan publikasi suatu pernikahan yang dianjurkan oleh syari'at Islam. Nabi Muhammad SAW bersabda:

52(رواهالترمذي) لدفوفا مساجدواضربواعلهافاله أعلنواالنكاحواجعلو

Artinya: "Umumkan perkawinan dan jadikanlah akad nikah itu di masjid, serta pukullah rebana" (HR. at-Tirmidzi dari Aishah ra)

Oleh karena itu pula, siapa yang diundang ke walīmah al-'urs (pesta pernikahan), maka ia sangat dianjurkan untuk menghadirinya. Jika dia tidak berpuasa, maka hendaklah dia makan dan bila berpuasa cukup menghadirinya saja. Ini bukan saja untuk menampakkan kegembiraan dengan terjalinnya hubungan pernikahan itu, tetapi juga untuk menjadi saksi, sehingga dapat menampik sekian banyak isu negatif yang boleh jadi muncul, atau penganiayaan yang dapat terjadi atas salah satu pasangan. Sering terjadi hubungan seks di luar pernikahan dengan dalih nikah sirri atau nikah di bawah tangan. Meskipun nikah di bawah tangan itu kelihatannya serupa dengan perkawinan yang dicatat, tetapi pada hakikatnya ia tidak sejalan dengan perkawinan yang sah menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh agama dan negara. Berhubungan dengan banyaknya muḍarat yang ditimbulkan oleh perkawinan di bawah tangan, maka perkawinan harus dicatat oleh pejabat yang berwenang yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini adalah KUA. Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa pencatatan nikah pada pejabat/ pegawai pencatat nikah, dapat difikihkan dan dapat digolongkan sebagai salah satu bentuk hukum fikih Islam kontemporer dan hukum fikih Indonesia, karena hal ini demi kemaslahatan bagi orang-orang yang melakukan akad dan anak-anaknya. Tujuan shariat Islam adalah untuk kemaslahatan manusia. Menurut Imam al-Ghazali, bahwa pada prinsipnya, maṣlaḥah adalah mengambil manfaat dan menolak

52Jalāludd'īn al-Suyūṭy, al-Jāmi' al-Ṣaghīr, (Bairut - Libnan; Dar al-Kutub al-

Īlmiyah,t.th.),Jilidll,.47,48.

53

kemuḍaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan shara’.53 Secara terminologi, terdapat beberapa definisi maslahah yang dikemukakan oleh ulama Uṣūl Fikih, tetapi semua definisi yang mereka kemukakan mengandung esensi yang sama.54

f. Undang-Undang Perkawinan menganut asas monogami, akan tetapi tetap terbuka peluang untuk melakukan poligami,55 selama hukum agamanya mengizinkannya.56

Hukum Islam pada dasarnya menganut prinsip monogami,57 karena bagi orang yang hendak menikah lebih dari satu, disyaratkan agar dapat berbuat adil dan mampu membiayai para istri dan anak-anaknya.58 Menurut Mahmud Shaltūt Mantan Shaikh al-Azhar di Mesir, hukum poligami adalah mubah, yakni dibolehkan selama tidak dikhawatirkan terjadinya penganiayaan terhadap para isteri. Jika terdapat kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya penganiayaan dan untuk melepaskan diri dari kemungkinan dosa yang dikhawatirkan itu, dianjurkan agar mencukupkan beristeri satu orang saja. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa kebolehan berpoligami adalah terkait dengan terjaminnya keadilan dan ketiadaan kekhawatiran "akan terjadinya penganiayaan59 yaitu penganiayaan terhadap para isteri dan anak-anaknya,60 karena beban nafkah bertambah, akibatnya suami berbuat zalim dan tidak adil kepada para istri dan anak-anaknya. Zamakhshary dalam kitabnya tafsir al-Kashshāf mengatakan, bahwa poligami menurut shari'at Islam adalah merupakan suatu

53Al-Ghazali, al-MustaṣfāFi ‘llm al-Uṣūl, (Bairut: Dar al-Kutub al-llmiyyah, 1983),

Jilidi, 286.

54Nasrun Haroen, UṣūlFiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), cet III, 114.

55

Poligami ialah mengawini beberapa lawan jenis di waktu yang bersamaan. Berpoligami, menjalankan (melakukan) poligami. Poligami, sama dengan poligini, yaitu mengawini beberapa wanita dalam waktu yang sama - Lihat: Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pusataka, 1988), cet. I, 693.

56Pembahasan tentang poligami dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

terdapat pada pasal 3, 4 dan 5.

57Monogami adalah system yang hanya memperbolehkan seorang laki-laki

mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu - Lihat: Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 591.

58Lihat Q.S. al-Nisā/4:3.

59

Mahmud Shaltūt, Islam: Aqidah wa Shari'ah, (Mesir: Dar al-Qalam, 1966), cet. III, 269.

60Lihat: Al-Shafi'i, Aḥkām Al-Qur'an, (Beirut-Libnan: Dar al-Kutub al-lslamiyyah,

1400 H / 1980 M), jilid I, 180

54

rukhṣhah (kelonggaran) ketika darurat. Sama halnya dengan rukhṣhah bagi musafir dan orang sakit yang dibolehkan buka puasa ramaḍan ketika dalam perjalanan. Darurat yang dimaksudkan adalah berkaitan dengan tabiat laki-laki dari segi kecendrungannya untuk bergaul lebih dari seorang isteri. Kecenderungan yang ada pada diri seorang laki-lakiitulah seandainya shariat Islam tidak memberikan kelonggaran berpoligami, niscaya akan membawa kepada perzinaan, oleh sebab itu poligami diperbolehkan dalam Islam.61 Dasar hukum poligami disebutkan dalam surah al-Nisā' ayat 362 Dalam ayat ini disebutkan, bahwa para wali yatim boleh mengawini perempuan yatim asuhannya dengan syarat harus adil,63 yaitu harus memberi mas kawin kepadanya sebagaimana ia mengawini wanita lain. Hal ini berdasarkan keterangan Aishah ketika ditanya oleh Urwah bin al-Zubair RA mengenai maksud ayat 3 surah al-Nisā itu.64 Sehubungan dengan maksud tersebut, Shaikh Muhammad Abduh mengatakan: Haram berpoligami, bagi seseorang yang merasa khawatir akan tidak berlaku adil.65 Jadi maksud ayat 3 surah al-Nisā' itu, boleh kamu mengawini perempuan yatim dalam asuhanmu dengan syarat adil. Bila tidak dapat demikian, hendaklah kamu memilih perempuan yang lain saja. Sebab perempuan selain perempuan yatim yang dalam asuhanmu banyak

61Muhammad al-Bahy, al-lslām wa Tijāh al-Mar'ah al-Mu'āshirah, (Mesir: Maktabah Wahbah, 1978), 42.

62 ساء مثنى وثلث ورباع فإن وإن تامى فانكحوا ما طاب لكم من الن خفتم خفتم أالا تقسطوا ف ال

مانكم ذ (3) لك أدنى أالا تعولوااأالا تعدلوا فواحدة أو ما ملكت أ

Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat, kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, (Saudi Arabia: Khādim al-

Ḥaramain al-Sharīfain, t.th), 115

63

Adil menurut istilah para fuqaha adalah meninggalkan dosa-dosa besar, tidak terus menerus melakukan dosa kecil dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang buruk seperti makan dan kencing di jalan. Ada pula yang mengatakan, bahwa adil adalah netral dan konsisten serta cenderung kepada yang hak/ kebenaran. Lihat: Al-Jurjānī, al-Ta'rīfāt, (Bairut-Libnan: Dar al-Kutub al-‘llmiyah, 1424 H/ 2003 M), cet. II, 150.

64Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1990), 16.

65Muhammad al-Bahy, al-Islām wa Tijāh al-Mar'ah al-Mu‘āṣirah,, 45

55

jumlahnya dan kamu boleh kawin sampai empat isteri dengan syarat mampu berbuat adil. Bila dengan kawin empat kamu tidak dapatberbuat adil, maka kawinlah seorang perempuan saja,66 yaitu kawin monogami. Nabi Muhammad SAW. selama menikah dengan Khadijah tidak berpoligami. Beliau monogami selama ± 27 tahun. Setelah meninggal Khadijah dan pada waktu itu setelah hijrah ke Madinah terjadi peperangan melawan orang-orang kafir yang memerangi kaum muslimin, banyak janda para Shuhada'. Beliau poligami dengan janda-janda pahlawan Islam yang gugur dalam peperangan demi menghibur mereka. Adapula di antara isteri beliau yang berjumlah 9 orang itu, adalah kawin karena politik atau dakwah seperti Juwairiyah puteri dari pimpinan orang kafir yang dalam peperangan ia ditawan oleh kaum muslimin, lalu ia masuk Islam, kemudian dibebaskan oleh Nabi dan dinikahinya. Setelah Nabi menikahinya, keluarga dan kaumnya semua masuk Islam. Jadi Nabi berpoligami hanya untuk menghibur janda para Shuhada' dan kawin karena politik dan dakwah. Hal ini dapat dipahami bahwa Nabi Muhammad SAW mempunyai 9 isteri, semuanya janda kecuali Aishah yang gadis.67 Allah SWT memperbolehkan poligami dengan syarat harus adil. Mengenai keadilan ini, bila dikaitkan dengan firman Allah dalam surah an-Nisa' ayat 129,68 yang mengatakan bahwa para suami tidak akan bisa berlaku adil terhadap para istrinya,Karena itu janganlah para suami terlalu cenderung kepada yang mereka cintai, sehingga mereka biarkan yang lain terkatung-katung", menunjukkan bahwa poligami dibolehkan sesuai dengan syarat yang telah dikemukakan di atas yaitu mampu berlaku adil. Dengan demikian, antara ayat 3 dan ayat 129 surah an-Nisa' tidak terdapat pertentangan. Keadilan yang dimaksud pada ayat 3 tersebut adalah keadilan lahiriyah yang dapat

66Huzaemah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer, (Bandung: Angkasa, 2005), cet. I, 150.

67Huzaemah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer, 150. 68

ا بي ومي ن تعدلا أ ا ك ٱمنساء تسخطيع حرصخه فل حىين ا ك ٱلىيل ول ا فإن ٱلىعنقث فخذرو ا وتخق إون حصنح كن ٱلل ١٢٩غفرا رحيىا

Artinya: "sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu, walaupun kamu ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”

56

dikerjakan oleh manusia, bukan adil dalam hal cinta dankasih sayang. Adil yang tidak dapat dilaksanakan oleh seseorang seperti tercantum dalam ayat 129 surah al-Nisā' itu adalah adil dalam cinta dan kasih sayang, atau adil hati dan jima.69 Ini memang logis, adil yang semacam ini jarang terjadi, sebab gairah untuk memberikan nafkah batin tidak selalu ada. Asalkan perbuatan itu tidak disengaja, maka itu tidak berdosa. Meskipun poligami dibolehkan dalam Islam, tetapi hanya dalam

keadaan terpaksa atau darurat. Muhammad Rashid Riḍā mencantumkan

beberapa hal yang boleh dijadikan alasan berpoligami, antara lain:

1) Isteri mandul 2) Isteri mempunyai penyakit dapat menghalangi suaminya

memberikan nafkah batin. 3) Bila suami mempunyai kemauan seks luar biasa, sehingga isterinya

haid beberapa hari saja mengkhawatirkan dirinya berbuat serong. 4) Bila suatu daerah yang jumlah perempuan lebih banyak dari pada

laki-laki sehingga apabila tidak poligami mengakibatkan banyak wanita yang berbuat serong.70

Islam membolehkan adanya poligami dengan syarat adil, bukan untuk menghidup suburkan tirani dan dominasi kaum laki-laki dan perbudakan atas perempuan, tetapi sebagai jalan keluar dari kesulitan yang dialami oleh keluarga.71 Sehubungan dengan ini Muṭahhari mengatakan, bahwa poligami bukan penghancuran perkawinan, tetapi merupakan sumber perlindungan bagi monogami, karena dengan diperbolehkannya poligami, maka berbagai bentuk penyelewengan laki-laki (suami) dengan affair-affair cinta terselubung yang akan mengancam perkawinan dapat diatasi.72

69Huzaemah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer, 152.

70Muhammad Abduh, Tafsir al-Manār, (al-Qahirah: t.p., tth), Jilid IV, 350

71Isnawati Rais, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: BALITBANG, 2006),125

72Surah Al-Nisā Ayat 19 yaitu:

يي اٱل يأ ي ا ن حرث

ل يل مكه أ ا تي ةفحشث ٱمنساء ءاو

ن يأ

أ ي إل ءاحيخى ةتعض وا ا ت ي لذ ول تعظن ا كر

ي ة و ث وعش تي ي ٱلىعروف و خى ا شي فإن كر ن حكر ا وجععل فعس أ ا كثيا ٱلل ١٩ في خي

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata, dan bergaullah dengan mereka secara patut.

57

Kalau suami tidak berlaku adil kepada istrinya, berarti ia tidak mu'āsharah bi al-Ma'rūf kepada istrinya, sebagaimana diperintahkan Allah dalam Al-Qur‘an surah al-Nisā' ayat 19. Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa kalau beristri lebih dari satu (berpoligami), menurut Hukum Islam, harus memenuhi berbagai persyaratan, baik formal,73maupun materiil,74 demi mewujudkan kemaslahatan rumah tangga dan kebahagian keluarga. Dengan demikian maka ketentuan untuk berpoligami yang disebutkan dalam UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan adalah diadopsi dari ketentuan Shariah dan Hukum Islam. 2. Syarat-syarat Perkawinan

Syarat-syarat perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat pada pasal 6 s/d pasal 12. Berkenaan dengan syarat-syarat perkawinan disebutkan juga dalam KHI Buku I tentang perkawinan, tetapi dalam KHI Buku I tentangPerkawinan tersebut digabungkan dengan rukun, dengan topik: "Rukun75 dan Syarat76 perkawinan" yaitu terdapat pada pasal 14 s/d pasal 29.

Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.

73Syarat formal adalah keharusan suami yang hendak berpoligami itu mengikuti prosedural yang ditentukan oleh UU No. I Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan. Karena mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan atau peraturan lainnya yang ditetapkan oleh penguasa/ pemerintah wajib hukumnya di samping mematuhi perintah Allah dan Rasulnya, sebagaimana diperintahkannya dalam Q.S. al-Nisā'/4: 59 dan ketentuan qaidah fiqhiyah yang mengatakan:

حكه احلاكه إلزام وجرفع اخللف"Keputusan/ketetapan pemerintah itu mengikat untuk dilaksanakan dan

menghilangkan perbedaan pendapat'.

74 Syarat meteriil adalah kondisi ekonomi dan kemampuan suami yang hendak

berpoligami itu secara fisik untuk melaksanakan kewajiban dan fungsi sebagai kepala keluarga. Kewajiban tersebut meliputi bidang yang cukup luas, mencakup penyediaan rumah tempat tinggal (Suknā), nafkah/ biaya hidup setiap hari, pakaian (kiswah), perabot rumah tangga dan termasuk pula biaya pengobatan para istri dan anak-anaknya. Di samping itu, suami juga mempunyai kemampuan untuk berlaku adil terhadap para istri dan anak-anaknya, yang pada umumnya sulit dipenuhi dalam arti yang sebenarnya, terutama adil dalam cinta dan kasih sayang.

75Rukun dalam istilah fikih adalah sesuatu menjadi sempurna dengan adanya rukun itu dan dia masuk dalam bagian sesuatu itu, seperti membaca fātiḥah dalam salat.

58

Diskursus tentang rukun merupakan masalah yang serius di kalangan para ahli fikih yang mengakibatkan timbulnya perbedaan pendapat dalam menentukan mana yang termasuk rukun dan mana yang tidak, bahkan dalam hal menentukan mana yang masuk rukun dan mana yang masuk syarat, sebagian ulama memasukkan rukun sebagai syarat dan adapula di antara mereka memasukkan syarat sebagain rukun. Hal ini dapat dilihat pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada BAB II, tidak memasukkan dalam BAB ini masalah rukun perkawinan, tetapi hanya menyebutkannya sebagai syarat-syarat perkawinan, berbeda dengan KHI Buku I tentang Perkawinan, menyebutkan rukun dan syarat perkawinan secara bersamaan, pada hal substansinya sama. Berkenaan dengan perbedaan pendapat di kalangan fuqaha dalam menentukan rukun dan syarat nikah dapat dilihat pada pendapat mereka tentang "ijab dan qabul" ketika akad nikah. Al-Sayid Sābiq menyimpulkan pendapat para fuqaha, bahwa rukun nikah terdiri -dari "ijab dan kabul".77 Abd. Rahman al-Jazīry mengatakan, bahwa termasuk rukun dalam akad nikah adalah "ijab dan kabul" tidak sah nikah tanpa "ijab dan kabul".78 Menurut ulama Hanafiyah, rukun nikah, hanya "ijab dan kabul". Menurut jumhur ulama rukun nikah ada empat, yaitu: Ṣighah (ijab dan kabul), istri dan calon suami serta wali.79 Menurut ulama shafi'iyah, syarat nikah/ perkawinan adalah ṣighah (ijab dan kabul), wali, calon suami istri dan saksi. Sedangkan rukunnya ada lima yaitu: calon suami istri, wali, dua orang saksi dan ṣighah (ijab kabul). Menurut ulama Malikiyah, rukun nikah ada lima, yakni wali, mahar, calon suami-istri dan ṣighah (ijab kabul).80 Dari pendapat para fuqaha’ yang telah disebutkan di atas, jelas kelihatan bahwa para fuqaha’ itu bukan hanya berbeda pendapat dalam

Tidak sah salat tanpa baca fātiḥah, karena membaca fātiḥah termasuk salah satu rukun salat - Lihat: Ali al-Jurjāny al-Ta'rīfāt, (Bairut-Libnan: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2003 H /1424 H), cet. II, 115.

76Syarat dalam istilah fikih adalah adanya sesuatu tergantung dengannya syarat itu, tetapi tidak termasuk dalam sesuatu itu, seperti berwudu' sebagai syarat sahnya salat, tetapi tidak masuk dalam bagian salat - Lihat: Al-Jurjāny, al-Ta'rīfāt, 129.

77Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, 29.

78Abd. Rahman al-Jazīry, Kitab al-Fiqh 'Ala al-Madhāhib at-Arba'ah, 12.

79Lihat: Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1409 H/1989 M), cet. III, Jilid VII, 36.

80Abd. Rahman al-Jazīry, Kitab al-Fiqh 'Ala al-Madhāhib al-Arba'ah, 12-13.

59

menggunakan kata rukun dan syarat, tetapi juga berbeda dalam perinciannya. Ulama shafi'iyah menjadikan dua orang saksi sebagai rukun nikah/ perkawinan, sedangkan ulama Malikiyah tidak menjadikan saksi sebagai rukun, karena menurut Malikiyyah sah nikah tanpa saksi jika saksi berhalangan hadir, yang penting akad nikah yang dilaksanakan itu diumumkan sebelum terjadi dukhūl (percampuran) antara suami-istri.81 Perbedaan pendapat fuqaha dalam memposisikan apa yang disebut rukun dan apa yang disebut syarat, juga kelihatan dalam UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan. Dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak disebutkan ṣighah ijab qabul dalam syarat perkawinan dan tidak pula dalam rukun perkawinan, karena dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut tidak menyebutkan rukun perkawinan, padahal menurut Wahbah al-Zuḥaily, fuqaha’ sepakat mengatakan, bahwa ṣighah ijab qabul adalah salah satu rukun nikah, karena dengan ṣighat itu terjalin ikatan antara satu dengan yang lainnya dari dua orang yang melakukan akad.82 Mengingat perkawinan pada dasarnya merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri berdasarkan akad nikah, maka perlu dipersyaratkan adanya persetujuankedua calon mempelai. Wahbah al-Zuḥaily mengatakan bahwa persetujuan kedua mempelai termasuk salah satu syarat nikah.83 Hal ini telah diadopsi oleh UU No. 1 tahun 1974 pada pasal 6 ayat (1), dan KHI tentang Perkawinan pada pasal 16 ayat (1). Selanjutnya berkenaan dengan pembatasan usia bagi yang hendak menikah, minimum 19 tahun bagi calon suami dan 16 tahun bagi

81Alasan Imam Malik dalam pendapatnya, bahwa sah nikah tanpa saksi bila saksi berhalangan, yang penting diumumkan sebelum dukhūl adalah hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Ahmad disahihkan oleh Al-Hakimdari ‘Amr bin Abdillah bin Zubair dari ayahnya:

”أعلنوا النكاح“ "Umumkan/ publikasikan akad nikah" (lihat: Al-Ṣan'āny, Subul al-Salām (al-Qahirah: Dar al-Hadis, 1425 H / 2004M), Jilid III, 159.

82Lihat Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-IslāmywaAdillatuhu, 36. 83Lihat Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu, 36.

60

calon istri, menurut UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan,84 hal ini guna kemaslahatan keluarga dan rumah tangga. Dalam hal syarat batas usia minimum tidak terpenuhi, maka untuk berlangsungnya perkawinan harus terlebih dahulu memperoleh dispensasi dari pengadilan. Pada dasarnya, hukum fikih Islam tidak memberikan batasan usia minimal pernikahan secara definitif. Usia kelayakan pernikahan adalah usia kecakapan berbuat dan menerima hak (ahliyah85 al-ada' wa al-wujūb), sebagai ketentuan Sinn al-rushd (usia dewasa).86 MUI telah memfatwakan berkenaan dengan perkawinan di bawah umur sebagai berikut: a. Pernikahan usia dini hukumnya sah sepanjang telah terpenuhinya

syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika mengakibatkan muḍarat. b. Kedewasaan usia merupakan salah satu indikator bagi tercapainya

tujuan pernikahan, yaitu kemaslahatan hidup berumah tangga dan bermasyarakat serta jaminan keamanan bagi kehamilan.

c. Guna merealisasikan kemaslahatan, ketentuan perkawinan dikembalikan pada standardisasi usia sebagaimana ditetapkan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai pedoman.87

Adapun dampak perkawinan dini, atau di bawah umur,88 hasil penelitian menunjukkan, bahwa perkawinan dari pasangan yang belum mencapai tingkat kedewasaan fisik dan mental merupakan salah satu faktor penyebab kegagalan perkawinan.89 Di samping itu perkawinan di

84Lihat UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 7 ayat (1), dan KHI tentang Perkawinan pasal 15 ayat (1).

85Ahliyah adalah ibarat tentang kelayakan seseorang untuk menerima hak, atau memikul kewajiban. Jadi Ahliyah al-Adā' adalah kelayakan/kecakapan berbuat. Sedangkan Ahliyah al-wujūbadalah kelayakan/ kecakapan menerima hak - Lihat: Ali al-Jurjāny, Al-Ta'rīfāt, 43

86Lihat: Q.S. al-Nisā'/4:6 87MUI, Hasil-hasil Ijtima' Ulama Komisi Fatwa se Indonesia III, (Padang Panjang: Tim Materi Ijtima' Ulama, 1430 H/ 2009 M), 16,17

88Perkawinan di bawah umur, ialah perkawinan yang terjadi pada pasangan yang belum mencapai tingkat kedewasaan fisik dan mental. Kematangan fisik pada umumnya terjadi pada umur 17 tahun. Kematangan emosional pada umur 21 tahun. Kematangan berfikir pada umur 16-18 tahun - Lihat: MUI dan UNICEF, Ajaran Islam dan Penanggulangan Perkawinan Usia Muda, (Jakarta: Dewan Pimpinan MUI, 1411 H/ 1991 M), 49. 89Lihat MUI dan UNICEF, Ajaran Islam dan Penanggulangan Perkawinan Usia Muda, 49.

61

bawah umur ini membawa pengaruh yang amat besar terhadap kesehatan ibu dan anak, seperti tingginya angka kematian ibu, bayi dan anak serta kecacatan mental. Perkawinan di bawah umur/ perkawinan dini banyak mengalami kegagalan dalam membina rumah tangga menuju keluarga bahagia dan sejahtera. Hal ini disebabkan suami dan istri yang masih berusia muda, segi emosi anaknya lebih menonjol dibandingkan dengan pemikiran dan pertimbangan akalnya yang sehat. Kondisi kejiwaan yang demikian itu mengakibatkan kekurang-mampuan dalam pengendalian diri, kesulitan dalam mewujudkan saling pengertian yang mengakibatkan terjadinya konflik antara suami istri yang mereka sendiri belum dapat mengatasinya, sehingga menimbulkan akibat yang lebih fatal, yaitu terjadinya perceraian.90 Jika perkawinan itu telah menghasilkan keturunan, maka akibatnya tidak hanya menimpa suami atau istri, tetapi juga menimpa anak-anak dan putusnya hubungan kekeluargaan dari dua keluarga besar yang sudah terjalin dengan perkawinan. Dengan adanya perceraian itu, anak-anak terombang-ambing oleh perilaku ayah dan ibunya yang tidak lagi rukun dalam merawat dan membina mereka dalam suatu keluarga yang damai dan sejahtera. Mereka kehilangan kasih sayang, kehilangan tempat mengadu dan berlindung. Sebaliknya perkawinan usia dewasa, dimana suami dan istri telah mempunyai kedewasaan jasmani dan rohani, kematangan fisik dan mental, pemikiran dan pertimbangan yang sehat lebih menonjol dari pada emosionalnya. Kondisi ini memungkinkan suami dan istri mempunyai kemampuan untuk memelihara dan membina rumah tangga melalui musyawarah dan saling pengertian. Itulah sebabnya, kedewasaan jasmani dan rohani mutlak diperlukan untuk memasuki gerbang perkawinan sebagai cikal bakal bagi terbentuknya keluarga sakīnah91 mawaddah92 wa raḥmah,93keluarga bahagia dan sejahtera,

90

Pada dasarnya agama Islam mencegah terjadinya perceraian walaupun

perceraian itu dibolehkan sebagai salah satu jalan penyelesaian dari kemelut rumah tangga yang tidak teratasi. Nabi Muhammad SAW menegaskan dalam sabdanya:

“ رواه أبو داود وابن ماجه والحاكم عن ابن عمر هللا الطلقابغض الحلل إلى ” "Halal yang paling dibenci Allah ialah talak (perceraian), (HR. Abu Daud, Ibnu

Majah dan al Hakim dari Ibnu Umar) - Lihat: Jalāluddīn al-Suyūṭi, al-Jāmi' al-Ṣaghir, 4.

91Kata al-Sakīnah berarti ketenangan - lihat: al-Majma' al-Lughah al-Arabiyah, al-

Mu'jam al-Wasiṭ, (Miṣr: Dar al Ma'arif, 1392 H/1972 M), jilid I, h. 440- Menurut M. Quraish

62

yang menjadi tujuan perkawinan. Oleh sebab itu ketentuan umur minimalnya, boleh menikah yang disebutkan dalam UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan tidak bertentangan dengan hukum fikih Islam dan ini sudah menjadi hukum fikih Indonesia, karena dalam fikih Islam tidak menetapkan batas usia minimal untuk menikah bagi pria dan wanita, tetapi dari sisi maslahat menurut Uṣul fikih, hal ini sesuai dengan maqāṣid al-sharī'ah". Mengenai larangan perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan dalam pasal 8 sebagai berikut: Perkawinan dilarang antara dua orang yang: a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun

ke atas (vertikal). b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara

seorang saudara dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya (horizontal).

c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/ bapak tiri.

d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan saudara susuan, dan bibi/ paman susuan.

e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.

Shihab, bahwa kata "sakinah" tidak digunakan kecuali untuk menggambarkan ketenangan

dan ketentraman setelah sebelumnya ada gejolak, apapun bentuk gejolak tersebut. Cinta

yang bergejolak didalam hati dan diliputi oleh ketidak pastian, yang mengantar kepada

kecemasan akan membuahkan sakinah atau ketenangan dan ketentraman hati bila

dilanjutkan dengan perkawinan-lihat: M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Quran, (Jakarta:

Lentera Hati, 2007), 80,81

92Kata Mawadah menurut M. Quraish Shihab, adalah cinta plus yang sejati, karena

di dalam hati yang mencintai bersemai mawaddah tidak bagimemutuskan hubungan, seperti yang terjadi pada yang bercinta. Ini disebabkan oleh karena hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan, sehingga pintu-pintunya pun telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir danbatin yang mungkin datang dari pasangannya-lihat: M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Quran, 88,89

93Raḥmah adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidak berdayaan, sehingga mendorong yang bersangkutan untuk memberlakukan pemberdayaan. Karena itu dalam keluarga, masing-masing suami istri akan sungguh-sungguh bahkan bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang mengganggu dan mengeruhkannya.-lihat: M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Quran, 91.

63

f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Larangan perkawinan ini disebutkan pula dalam KHI tentang perkawinan pasal 70. sub D dan pasal 7 sub B, dengan istilah batalnya perkawinan dalam Bab XI, sama dengan istilah dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berkenaan dengan larangan perkawinan tersebut dinyatakan dalam QS. al-Nisā': 23, 24.94 Perempuan yang dilarang untuk dinikahi menurut fikih Islam disebut maḥram.95

94

ات حروج خكه وخلخكه وب حكه وعم خناحكه وأ هخكه وب و

خ عنيكه أ

ات ٱل خج وب

هخكه ٱل و

ت وأ ٱل

حكه وي خنكه وأ رطع

ضعثأ هتكه ٱلر هج نسانكه ورب و

وأ ت ت ف حعركه وي نسانكه ٱل ي فإن مه ٱل خه ة

دخني فل دخنخه ة

ا انكه حك باح عنيكه وحلهل أ يي ج بي ٱل ا ن تىع

صلتكه وأ

خخي وي أ

إل وا قد سنف ٱل

إ كه كت ٱمنساء وي ٱلىحصنج ۞و ٢٣كن غفرا رحيىا ٱلل يم ب إل وا منكج أ ا وراء ٱلل حل مكه و

عنيكه وأ

صي غي وسفحي فىا مكه م ون ةأ ا ن حبخغ

مكه أ ي ف ۦة ٱسخىخعخهذ ي و ي اح جر

اح عنيكه أ ول ج فرجظث

طيخه ة فرجظث وي بعد ۦفيىا حر إن ٱم ٢٤كن عنيىا حكيىا ٱلل

Artinya: "Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang

perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Demikian (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

95Mahram ialah orang perempuan atau laki-laki masih termasuk sanak dekat

sehingga tidak boleh menikah di antaranya. Mahram juga berarti orang laki-laki yang dianggap dapat melindungi wanita yang akan melakukan ibadah haji, suami, anak laki-laki, dan sebagainya. Lihat: Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa

64

Tidak semua wanita boleh dikawini oleh seorang pria, tetapi syarat wanita yang boleh dikawini hendaklah dia bukan orang yang haram bagi pria yang akan mengawininya, baik haramnya untuk selamanya96 ataupun untuk sementara.97 Adapun wanita-wanita yang haram selamanya dinikahi disebabkan karena nasab, karena perkawinan dan karena susuan. Ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Nisā: 23 1) Perempuan yang haram untuk dinikahi karena nasab, yaitu:

a) Ibu98 kandung b) Anak perempuan99 c) Saudara perempuan100 d) Bibi dari pihak ayah101 e) Bibi dari pihak ibu102 f) Anak perempuan saudara laki-laki g) Anak perempuan saudara perempuan103

lndonesia,h. 543 - Lihat pula: Majma' al-Lughah al-'Arabiyyah, Al-Mu'jam al-

Wasīṭ,(Miṣr:Dar al-Ma'ārif, 1392 /1972 M), jilid 1,169. 96

Wanita yang haram selamanya dinikahi, yaitu perempuan yang tidak boleh

dikawini oleh pria sepanjang masa. Lihat: Wahbah al-Zuḥaily, Al-Fiqh al-lslāmy Wa Adillatuhu, 130. 97

Wanita yang haram sementara, yaitu wanita yang tidak boleh dikawini selama

waktu tertentu dan dalam keadaan tertentu. Bilamana keadaannya sudah berubah haram sementaranya hilang dan menjadi halal untuk dinikahi. Lihat Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, 61.

98Yang dimaksud dengan ibu yaitu perempuan yang melahirkan kamu. Termasuk dalam pengertian ibu yaitu ibu sendiri, ibunya ibu, neneknya ibu, ibunya bapak, neneknya bapak dan terus ke atas.

99Anak perempuan maksudnya semua anak perempuan yang kau lahirkan atau cucu perempuan dan terus ke bawah. Termasuk dalam pengertian anak perempuan yaitu anak perempuan anak kandungmu dan anak-anak perempuannya.

100Saudara perempuan maksudnya semua perempuan yang lahir dari ibu bapak kamu atau dari salah satunya. 101

Bibi dari pihak ayah maksudnya semua perempuan yang jadi saudara ayahmu

atau datukmu, baik yang lahir dari kakek dan nenekmu, maupun dari salah satunya. Adakalanya bibi dari pihak ibu yaitu saudara perempuan bapaknya ibu kamu.

102Bibi dari pihak ibu maksudnya semua perempuan yang menjadi saudara ibu

kamu dari nenek dan kakek kamu salah satunya. Terkadang ada juga saudara perempuan ayah yaitu saudara perempuan dari ibunya ayahmu.

103Anak perempuan saudara laki-laki yaitu anak perempuan saudaramu laki-laki

baik sekandung maupun tiri. Termasuk juga dalam pengertian ini anak perempuan saudara perempuan. Penjelasan catatan kaki No. 88 s/d 93 lihat: Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, 62,63.

65

2) Perempuan yang haram selamanya karena perkawinan: a) Ibu istri,104

Haram menikahinya ini tidak disyaratkan adanya persetubuhan atau tidak, tetapi semata-mata karena telah terjadi perkawinan,

b) Anak tiri105 Berdasarkan firman Allah dalam QS. al-Nisā’: 23.106

Anak tiri perempuanmu maksudnya anak istri kamu dari perkawinannya dengan laki-laki lain. Anak tiri ini dinamakan oleh Al-Qur‘an sebagai"Rabībah"karena laki-laki tadi mendidik dan memelihara sebagaimana ia mendidik dan memelihara anaknya sendiri.107 Sedangkan firman Allah dalam surah al-Nisā': 23 yang menyebutkan:

... ...ت ف حعركه ٱل

"yang dalam pemeliharaanmu", adalah menerangkan kebiasaan

yang berlaku dari anak tiri yaitu biasanya ia ikut ke rumah bapak tirinya,

dan bukan berarti ayat tersebut menunjukkan pembatasan bahwa anak

tiri yang tidak ikut diurus oleh bapak tirinya lalu boleh dikawini olehnya

sesudah bercerai dengan ibunya. Tetapi menurut Mazhab Ẓahiri ayat

tersebut sebagai pembatasan. Jadi anak tiri yang tidak ikut diurus oleh

ayah tirinya boleh dikawininya. Pendapat seperti ini diriwayatkan juga

dari beberapa orang sahabat,108 berdasarkan riwayat Anas bin Malik,

bahwa ia pernah bertanya kepada Ali bin Abi Ṭālib tentang makna firman

Allah surah al-Nisā': 23:

104Yang termasuk dengan ibu istri, neneknya daripihak ibu, atau daripihak ayah dan terus keatas. Inilah yang dimaksud dalam surah Al-Nisā': 23 “وأمها ت نسانكم” dari ibu-ibu istrimu (Q.S. al-Nisā': 23)

105Yang dimaksud dengan anak tiri yang haram dinikahi adalah perempuan yang ibunya sudah digauli. Termasuk dalam pengertian ini anak perempuan dari anak perempuan tirinya, cucu-cucu perempuannya dan terus ke bawah, karena mereka termasuk dalam pengertian anak perempuan dari istrinya.

106

هتكه ... نسانكه ورب ت ت ف حعركه وي نسانكه ٱل اح عنيكه ٱل ي فل ج خه ةا دخن ي فإن مه حك خه ة

...دخن Artinya:"Dan anak tiri perempuan kamu yang dalam pemeliharaanmu, dari istri yang telah kamu gauli, jika kau belum menggauli mereka, maka tidaklah salah bagimu kawin dengannya".

107Lihat: Majma' al Lughah al-'Ārabiyah, al-Mu'jam al-Wasīt, 321. Lihat pula: Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmy wa adilatuhu, 133.

108Lihat: Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-lslāmy wa Adillatuhu, 133.

66

هتكه ... ورب ...ت ف حعركه ٱل

"Dan anak-anak tirimu perempuan yang ada dalam pemeliharaanmu atau dalam asuhanmu".

Lalu katanya: apakah ia ada dalam asuhannya? Larangan tersebutberlaku jika anak tirimu perempuan ada dalam asuhanmu. Jumhur Ulama menolak pendapat ini, karena Hadis ini ḍaīf,

yangdiriwayatkan oleh Ibrahim bin 'Ubaid dari Anas bin Malik dari Ali bin

AbiṬālib.

Ibrahim ini tidak dikenal. Sedang kebanyakan ulama menolak dan memperselisihkannya.109

c) Istri anak kandung,110 sebagaimana firman Allah:

انكه ... بهل أ يي وحل صلتكه ٱل

...وي أ

...Dan istri-istri anak kandung kamu...(Q.S al-Nisā: 23) d) Ibu tiri.

Diharamkan anak mengawini ibu tirinya111 karena perkawinannya dengan ayahnya, sekalipun belum pernah digaulinya. Kawin dengan ibu tiri ini oleh Allah diterangkan keburukannya dalam semua segi. Allah menyebut perbuatan tersebut termasuk dengan perbuatan keji (فاحشة) mengisyaratkan pada keburukannya menurut akal, juga disebutkan Allah sebagai perbuatan yang keji (ومقتا), menunjukkan tingkat keburukannya menurut agama, Sedangkan firman Allah yang mengatakan bahwa menikahi ibu tiri adalah "jalan yang paling buruk"

(وساء سبل) menunjukkan tingkat keburukan-nya menurut adat.112 Diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad dari Muhammad bin Ka'ab, bahwa pada zaman jahiliyah jika seseorang meninggal dunia, lalu meninggalkan

109Lihat: Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, 64. 110Yang termasuk maḥram dari istri anak kandung adalah istri cucunya, dan seterusnya ke bawah.

111Q.S. al Nisā': 22

ا وا كح ءاةاؤكه وي ول ٱمنساء حكح ف إحشث ووقخا وساء سبيل ۥإل وا قد سن ٢٢كن ف

Artinya:"Don janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau, sungguh perbuatan ini sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). 112Lihat: Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, jilid II, 64, 65.

67

istrinya, maka anaknya yang laki-laki jika ia mau, ia lebih berhak untuk mengawininya, asalkan saja bukan ibu kandungnya, atau jika ia mau, perempuan tadi (istri ayahnya) dikawinkan dengan orang lain yang ia kehendaki.113 Tatkala Abu Qais bin Aslat meninggal, anaknya (Qa'ts) yang sudah beristeri menikahi mantan isteri bapaknya, dan tidak mau memberikan belanja kepadanya serta memberikan hak waris sedikit pun kepadanya. Lalu perempuan tadi datang kepada Nabi, menceriterakan kepada beliau kejadian tersebut. Maka beliau bersabda: Pulanglah, barangkali Allah akan menurunkan sesuatu wahyu-Nya mengenai urusanmu. Lalu turunlah ayat 22 surah al-Nisā':114 Muhammad Shahrur dalam menafsirkan ayat 22 dan 23 surah al-Nisā' tersebut, ia mengatakan, bahwa keharaman menikahi beberapa al-aqārib, dalam keadaan apapun dan dengan alasan apapun, perempuan-perempuan yang disebutkan dalam ayat 22 dan 23 al- Nisā'itu tidak boleh dinikahi. Ayat-ayat tersebut hanya menunjuk pada batas minimal perempuan-perempuan yang tidak boleh dinikahi. Artinya diluar itu bisa ditambahkan beberapa kelompok perempuan yang tidak boleh dinikahi, seperti anak perempuan, atau laki-laki dari bibi, atau paman karena alasan tertentu meski tidak disebutkan dalam ayat tersebut.115 Penafsiran Muhammad Sahrur tersebut berbeda dengan penafsiran para ulama, karena mereka membatasi perempuan yang tidak boleh dinikahi itu hanya pada yang disebutkan oleh Al-Qur‘an dan ditambah dengan yang disebutkan oleh Hadis, bahwa tidak boleh memadu antara seorang perempuan dengan bibinya dari sebelah ayah dan ibu.116 Penafsiran Muhammad Shahrur tersebut bertentangan dengan Al-Qur‘an dan Hadis.

113Al-Ṣābūny, Rawāi'al-Bayān, Tafsir Āyāt al-Aḥkām, (Damsyiq: Maktabah al-

Ghazaly, 1400 H/1980 M), jilid I, 449 114

ا وا كح ءاةاؤكه وي ول ٱمنساء حكح ف إحشث ووقخا وساء سبيل ۥإل وا قد سن ٢٢كن ف

Artinya:"Dan janganlah kamu kawin dengan ibu-ibu tiri kamu kecuali yang sudah terjadi di masa lalu karena ia merupakan perbuatan yang keji dan dibenci dan jalan yang paling buruk. Lihat: Al-Ṣābūny, Rawāi'al-Bayān, Tafsir Āyāt al-Aḥkām, jilid I, 449 dan- lihat: Al Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, 65.

115Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa Al-Qur‘an, Qirā'ahMu'āṣirah,(The Book and the Qur'an, Modern Reading), Damaskus :453.

116Berkenaan dengan hal tersebut, Rasulullah bersabda :

68

Ulama Hanafiyah berpendapat, seseorang yang berzina dengan perempuan atau menyentuhnya atau menciumnya, atau melihat kemaluannya dengan bernafsu, maka haramlah baginya kawin dengan ibu perempuan tersebut atau dengan anak-anaknya. Begitu juga bagi perempuan tersebut haram kawin dengan bapaknya laki-laki tadi atau anak-anaknya.117 Sebab menurut mereka haram kawin karena perzinaan dikiaskan dengan haram karena perkawinan, dan disamakan dengan hukum ini segala perbuatan-perbuatan yang ada hubungannya dengan bersetubuh (seperti: pegang atau cium) dan perbuatan-perbuatan yang mendorong untuk bersetubuh (seperti: melihat dan sebagainya). Meskipun seorang laki-laki berzina dengan ibu mertuanya atau dengan anak perempuan tirinya, maka haramlah baginya untuk kawin dengan mereka selama-lamanya. Tetapi Jumhur Ulama1 berpendapat, bahwa Zina tidak dapat menyebabkan haram sebagaimana dengan haramnya karena perkawinan.118

الجمع بن المرأة وعمتها, وال بن المرأة وخالتها" متفق عله عن أبى هررة."

"Tidak boleh dimadu antara seorang perempuan dengan bibinya dari sebelah ayah dan ibunya. (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah).

117 Lihat: Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmy Wa Adillatuhu, jilid VII, 133.

118Alasan-alasan mereka sebagai berikut: Firman Allah:

وأحل لكم ما وراء ذلكم...... Artinya: "Dan dihalalkan bagi kamu selain daripada itu". Ayat ini menerangkan tentang perempuan-perempuan yang dihalalkan setelah disebutkan perempuan-perempuan yang diharamkan dan di sini tidak disebutkan bahwa zina merupakan salah satu sebab haramnya mengawini perempuan. Riwayat dari Aishah dan Ibnu Umar:

صلى هللا عله وسلم سئل عن رجل زنى ان ا نما ال : ال حرم الحرام الحلل إوابنتها : فقابا مرأة فاراد ان تز وجها أ لنبشةما جه والبهقى, عن ابن عمر وعا ئ حرم ما كا ن بنكاح. رواه ابن

Artinya: "Bahwa Nabi pernah ditanya tentang laki-laki yang telah berzina dengan seorang perempuan, kemudian ia ingin mengawini perempuan tersebut atau anak perempuannya. Maka sabdanya: "Barang haram tidak mengharamkan yang halal, dan yang mengharamkan perkawinan itu hanyalah karena perkawinan." (HR. Ibnu Majah dan al-Baihaqi dari Ibnu Umar dan 'Aishah). Hukum-hukum perkawinan yang diceritakan oleh para sahabat itu adalah yang perlu-perlu, sedangkan zina telah meluas, dan tentu agama tidak boleh berdiam diri saja, tetapi nyatanya tidak ada ayat Al-Qur‘an atau Sunnah, atau atsar Sahabat yang memberikan penjelasan, padahal masa mereka masih dekat dengan zaman Jahiliyah dimana perbuatan zina meluas di kalangan mereka. Sekiranya ada salah seorang Sahabat yang faham bahwa masalah haram kawin karena perzinaan disebutkan di dalam shariat atau ada sebab dan hikmah hukum yang menunjukkan demikian, tentulah para Sahabat

69

3) Perempuan yang haram dinikahi selamanya karena susuan. Diharamkan kawin karena susuan sebagaimana haramnya karena nasab. Yang haram karena nasab: Ibu, anak perempuan, saudara perempuan.119 bibi dari ayah, bibi dari ibu, anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak perempuan dari saudara perempuan.120 Menurut ayat ini ibu-susu sama dengan ibu kandung. Diharamkan bagi laki-laki yang disusui, kawin dengan ibu-susunya dan dengan semua perempuan yang haram dikawininya dari pihak ibu-kandung. Yang haram dikawininya menurut ayat 23 surah al-Nisā:

a) Ibu-susu, karena ia telah menyusuinya maka dianggap sebagai ibu dari yang menyusu.

b) Ibu dari yang menyusui, sebab ia merupakan neneknya. c) Ibu dari bapak-susunya, karena ia merupakan neneknya juga. d) Saudara perempuan dari ibu-susunya, karena menjadi bibi

susunya. e) Saudara perempuan bapak-susunya, karena menjadi bibi susunya. f) Cucu perempuan ibu-susunya, karena mereka menjadi anak

perempuan saudara laki-laki dan perempuan sesusuan dengannya.

g) Saudara perempuan sesusuan baik yang sebapak atau seibu atau sekandung.

4) Perempuan yang haram di nikahi untuk sementara.

Adapun perempuan-perempuan yang haram (dilarang) dinikahi untuk sementara, yaitu:

akan menanyakan hal itu kepada Nabi saw., dan akan banyak pula keinginan untuk meriwayatkan hal-hal yang bisa mengganggu mereka ini. Secara hukum perempuan yang dizinai tidaklah dapat masuk dalam pengertian firāsh (tempat tidur), karena itu tidak dapat digolongkan pada haram karena perkawinan sebagaimana halnya kalau perempuan dicium tanpa maksud birahi. Lihat: Jalāluddin al-Suyūṭy, al-Jāmi'al-Ṣaghīr, jilid II, 204

119Diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bukhary, Muslim, Abu Daud, al-Nasa'i dan Ibnu Majah dari Aishah, Rasulullah bersabda:

((حرم من الرضاعة ما حر م من النسب)) Artinya: "Diharamkan kawin dari susuan sebagaimana diharamkan kawin dari senasab" - Lihat: Jalāluddinal-Suyūṭy, al-Jāmi'al-Ṣaghīr, jilid I, 205

120Lihat: Q.S. al-Nisā': 23.

70

a) Memadu dua orang perempuan bersaudara.121 Diharamkan memadu antara dua perempuan bersaudara kandung atau antara seorang perempuan dengan bibi dari ayahnya, atau seorang perempuan dengan bibi dari ibunya.122 b) Istri orang lain atau mantan istri orang lain yang sedang menjalani masa iddah.123 Diharamkan atas seorang laki-laki muslim mengawini istri orang lain, atau mantan istri orang lain yang sedang iddah, karena memelihara hak suaminya.124 c) Perempuan yang ditalak tiga kali Perempuan yang telah ditalak tiga kali tidak halal bagi suaminya pertama, sebelum ia dikawini oleh laki-laki lain125 dengan perkawinan yang sah, kemudian cerai dengan suami yang kedua itu karena sudah tidak dapat lagi didamaikan. d) Orang yang sedang ihram Orang yang sedang ihram, laki-laki atau perempuan haram (dilarang) kawin, baik dilakukannya sendiri, atau diwakilkan dan dikuasakan kepada orang lain. Kawinnya orang yang sedang ihram tidak sah126, berdasarkan Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Al-Tirmidhy dari Usman bin Affan mengatakan bahwa, orang yang iḥrām tidak boleh kawin dan mengawinkan.127

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak disebutkan larangan menikah atau menikahkan bagi orang yang sedang

121Q.S. al-Nisā: 23

122Al-Bukhary dan Muslim meriwayatkan dari Abi Hurairah berkenaan dengan masalah tersebut:

( وعمتها وبن المرأة وخالتهاأن النب صلى هللا عله و سلم نهى أن جمع بن المرأة ) Artinya: Sesungguhnya Nabi SAW melarang memadu seorang perempuan dengan bibi dari ayahnya, atau dengan bibi dari ibunya.

Lihat: Al-Ṣan'āny, Subul AI-Salām, jilid III, 124.

123Lihat: Q.S al-Baqarah: 228. Dalam UU Perkawinan Pasal 11 disebutkan, bagi

seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Masalah ini juga di sebutkan KHI Buku I Bidang Perkawinan pada pasal 151.

124Lihat: Q.S. al-Nisā': 24

125Q.S. al-Baqarah: 230

126Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, 81.

127Hadis tersebut adalah sebagai berikut: (النكح المحرم وال نكح)

"Orang yang ihram tidak boleh kawin dan mengawinkan" lihat: Al-Ṣan'āny, Subul

AI-Salām, jilid III, 168.

71

Ihram, laki-laki atau perempuan. Tetapi larangan untuk menikahi perempuan istri orang lain, atau mantan istri orang lain yang sedang menjalani masa 'iddah disebutkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada pasal 9 dan 11, sedangkan larangan bagi suami yang pertama untuk menikahi mantan istrinya yang telah ditalak tiga sebelum menikah dengan nikah yang sah dengan laki-laki lain disebutkan pada pasal 10. Larangan menikah dan menikahkan (menjadi wali) bagi orang yang sedang dalam iḥrāmhaji atau umrah, disebutkan dalam KHI tentang Perkawinan, pasal 54 ayat (1) dan (2). 3. Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan

Dalam fikih Islam tidak dikenal istilah pencegahan perkawinan. Pencegahan perkawinan yang disebutkan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 13 s/d pasal 21 merupakan fikih Indonesia, karena pasal-pasal tersebut adalah hasil ijtihad para Ulama Indonesia dengan pertimbangan maslahat. Ijtihad dan pertimbangan dari para ulama Indonesia ini sesuai dengan tujuan shariat Islam (مقاصدالشرعة), karena tujuan shariat Islam adalah untuk kemaslahatan, baik bagi perorangan, maupun bagi kelompok, atau masyarakat. Hal ini merupakan sebuah upaya efektif untuk menghindarkan terjadinyaperkawinan yang terlarang karena melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan oleh agama.128 Pencegahan perkawinan disebutkan juga dalam KHI buku I tentang perkawinan dari pasal 60 s/d pasal 69, tetapi dalam KHI tentang Perkawinan tersebut dikaitkan dengan perkawinan yang dilarang hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.129 Selanjutnya berkenaan dengan pembatalan perkawinan disebutkan dalam UU No. 1 tahun 1974 pada pasal 22 s/d pasal 28, dan KHI tentang perkawinan pasal 70 s/d pasal 76, hanya saja dalam UU No. 1 Tahun 1974 masalah pembatalan perkawinan tidak disebutkan secara rinci seperti dalam KHI tentang Perkawinan.

128Christian Kohler menyatakan, bahwa Undang-undang Perkawinan No. I Tahun 1974 memberikan peluang besar bagi mereka yang dapat menuntut pencegahan perkawinan, mencakup semua orang yang merasa berkepentingan. Lihat: J. Prins, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta Graha Indonesia, 1982), 51. 129Lihat KHI Buku I tentang perkawinan Pasal 60.

72

Di dalam hukum fikih Islam pembatalan perkawinan disebabkan karena, nikāḥ al-fāsid130dan nikāḥ al-bāṭil131, kedua istilah tersebut, meskipun berbeda tetapi hukumnya sama. Menurut Abd. Rahman al-Jazīry, nikah fāsid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat dari syarat-syaratnya. Sedangkan, nikah bāṭil adalah nikah yang tidak terpenuhi rukunnya. Hukum nikah fāsiddan nikah bāṭilhukumnya sama-sama tidak sah.132 Dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang perkawinan, nikah fāsiddan nikah bāṭildimasukkan dalam pasal-pasal tentang pembatalanperkawinan bukan pada pasal-pasal tentang pencegahan perkawinan, karena kata pencegahan perkawinan lebih tepat digunakan sebelum perkawinan berlangsung. Sedangkan kata pembatalan perkawinan menunjukkan bahwa perkawinan telah berlangsung, lalu ditemukan adanya pelanggaran ketentuan-ketentuan, baik syarat, atau rukun, maupun perundang-undangan. Walaupun pencegahan dan pembatalan itu berbeda maknanya, tetapi akibat hukumnya sama, yaitu tidak sah suatu perkawinan.133 Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 22 dikatakan, bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.134 Di antara syarat-syarat sahnya perkawinan adalah adanya wali dan saksi dalam akad nikah.135 Jika tidak ada wali dan saksi, maka nikah tidak sah. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.

130Kata "fāsid" menurut bahasa diambil dari akar kata "fasād" yang berarti rusak dan batal. Lihat: Majma' al-Lughah al-'Arabiyah, al-Mu'jam al-Wasīṭ, Jilid II, 688. Sedangkan makna fāsid menurut fuqaha (para ahli fikih) adalah sesuatu yang pada dasarnya disyariatkan, tetapi tidak terpenuhi pada sifatnya, "fāsid" adalah sinonim dari "batīl" menurut Imam Shafi'i, lihat: Ali al-Jurjāny, al-Ta'rīfāt, 168. 131Kata "bāṭil" menurut bahasa terambil dari akar kata "buṭlān" yang berarti hilang atau batal. Menurut istilah fuqaha adalah sesuatu yang tidak sah, sedangkan menurut istilah Ahli Uṣul Fikih, bāṭil adalah sesuatu yang tidak sesuai tuntutan shar'i pada yang disyariatkannya, misalnya tidak terpenuhi salah satu rukunnya di antara rukun-rukun atau salah satu syarat di antara syarat-syaratnya, maka shāri' menghukumkannya tidak sah. Lihat: Majma' al-Lughah al-'Arabiyah, al-Mu'jam al-Wasīṭ,Jilid I, 61 dan lihat pula :

Abd. Wahhāb Khallāf, Ilmu Uṣūl Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1392 H/ 1972 M, cet.X, 125).

132Abd. Raḥmān al-Jazīry, Kitab al-Fiqh 'Alā al-Madhāhib al-Arba'ah, 118. 133Lihat: Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, 52, 53 dan 61. 134Dalam KHI tentang Perkawinan Pasal 14, disebutkan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada: a. Calon suami; b. Calon istri; c. Wali nikah; d. Dua orang saksi; dan e. Ijab dan kabul.

73

Menurut Ibnu Rushd dalam Bidāyah al-Mujtahid, bahwa ulama berbeda pendapat tentang hukum nikah tanpa wali136, atau akad nikah yang ijabnya diucapkan sendiri oleh wanita yang akan menikah atau mewakilkannya kepada seorang wanita. Mereka terbagi kepada empat pendapat (mazhab). Pertama; Pendapat Jumhur Ulama, Shafi'i, Malik dalam riwayat Ashhab dan Ahmad bin Hanbal, bahwa tidak sah nikah tanpa wali didasarkan pada argumentasi dalam Q.S. al Nūr : 32, al-Baqarah : 221 dan 232.137 dan Hadis Nabi SAW.

135Lihat: KHI tentang perkawinan pasal 14, 25, sedangkan dalam UUP No. 1 / 1974 mengenai wali dan saksi tidak disebutkan dalam syarat-syarat perkawinan.

136Menurut bahasa kata wali berasal dari bahasa Arab yang kata dasarnya adalah, waliya-yaly, atau walāyah, yang berarti "Nuṣrah" (pertolongan), maḥabbah (cinta) dan "sulṭah" (kekuasaan dan kemampuan). Lihat: Ibnu Manẓūr, Lisān al-‘Arab,. 287,407 dan 408. Lihat pula: Muhammad bin Ya'qūb Fairūz Ābādy, al-Qāmus al-Muḥīt, (Bairut: Dar al Fikr, 1995), 1209. Sedangkan menurut istilah fikih, al-walāyah adalah kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang terhadap urusan orang lain tanpa tergantung pada izinnya. Lihat: Ahmad al-Ḥashry, al-Walāyah, wa al-Waṣāyah fl al-Fiqh al-Islāmy al-Ahwāl al-Syakhṣiyyah, (Bairut: Dar al-Jil, t.th.), h.l dan lihat pula : Wahbah al Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmy Wa Adillatuhu, 29. Dari pengertian di atas, baik pengertian menurut bahasa, maupun pengertian menurut istilah fikih, dapat disimpulkan, bahwa al-Walāyah (perwalian) adalah suatu bentuk perlindungan dengan penghargaan penuh atas dasar rasa tanggung jawab dan cinta kasih, untuk memberikan pertolongan^ atas tidak kekuasaan atau ketidak mampuan seseorang dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum atas hartanya atau hal yang berkaitan dengan dirinya. Dimaksudkan dengan "al-walāyah" (perwalian) dalam pembahasan ini adalah perwalian dalam pernikahan.

1371) Q.S al-Nūr: 32

يم اٱل كح

...وكه وأ

Artinya:"Nikahkanlah orang-orang yang tidak bersuami (tidak beristeri) daripadamu... ". 2) Q.S al-Baqarah: 221

ا ’ول ٱلىشكي حكح يؤوي ...حت Artinya:".. Janganlah Kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan perempuan yang beriman sehingga mereka beriman...". 3) Q.S al-Baqarah: 232

ي ٱمنساء طنقخه إوذا زوجن يكحي أ

ي أ ي فل تعظن جن

...فتنغي أ

Artinya:"(Wahai para suami) apabila kamu menceraikan isteri-isterimu kemudian selesai masa iddah mereka, maka janganlah kamu (wahai para wali) menghalangi mereka untuk menikah (lagi) dengan (mantan) suaminya...".

74

Ayat 32 al-Nūr ditujukan kepada wali. Mereka diminta untuk menikahkan orang-orang yang belum bersuami atau orang-orang yang belum beristeri. Ini menunjukan bahwa urusan pernikahan diserahkan kepada wali. Ayat 221 al-Baqarah juga ditujukan kepada wali, supaya mereka tidak menikahkan wanita-wanita Islam kepada orang-orang musyrik, karena seandainya wanita itu mempunyai hak secara langsung menikahkan dirinya tanpa wali, maka tidak ada artinya khiṭāb ayat yang ditujukan kepada wali dan yang seharusnya ditujukan kepada wanita, karena akad nikah adalah urusan wali, maka larangan tersebut ditujukan kepada wali, bukan kepada wanita, ini menunjukan bahwa urusan nikah terletak pada kekuasaan seorang wali dan kalau tidak demikian, tentulah larangan tersebut tidak ditujukan kepada wali. Atas dasar ini jelas bahwa, khiṭāb larangan menikahkan orang-orang musyrik tidak ditujukan kepada seluruh kaum Muslimin sebagai pensyariatan umum,karena bertentangan dengan syarat taklif dan perbuatan yang ditaklifkan tersebut hendaknya dapat dikerjakan. Tidak mungkin seseorang mencegah wanita yang bukan dalam kekuasaannya untuk menikah dengan orang musyrik. Oleh sebab itu tdak tepatlah pendapat Ibnu Rusyd yang disebutkan dalam naskah bukunya Bidāyah al-Mujtahid ketika mengomentari ayat 221 al-Baqarah diatas, ia mengatakan bahwa ayat tersebut lebih tepat jika ditujukan kepada Ulil Amri (Penguasa) kaum Muslimin atau kepada seluruh kaum muslimin dari pada terhadap wali.138 Ayat 232 al-Baqarah merupakan satu-satunya ayat yang menunjukkan kekuatan adanya wali. Kalau wali tidak diperlukan, tentulah larangan ayat itu tidak ada artinya dan tidak ada gunanya mencegah para wali menggunakan haknya dalam melakukan ‘aḍal. Kontekstual ayat ini berkenaan dengan Ma’qil bin Yasar yang telah menikahkan saudara perempuannya, kemudian diceraikan oleh suaminya dan ditinggalkannya sampai selesai masa iddahnya kemudian

138

Ibnu Rushd, Bidāyah al-Mujtahid Wa Nihāyah Al-Muqtaṣid, (al-Qahirah; Maṭba’ah al-Fajālah al-Jadīdah, 1974 M/1394 H), Jilid II, 12.

75

ia ingin menikahinya lagi. Ma’qil marah dan bersumpah tidak ingin

menikahkannya.138 Peristiwa ini disebutkan dalam Hadis Nabi saw.139

Jadi kalau sekiranya saudara perempuan Ma’qil berhak menikahkan dirinya, maka tidak akan turun ayat yang mencela perbuatan Ma’qil. Selanjutnya jika ayat tersebut tidak menunjukkan kekuasaan wali, maka tentu saja Rasulullah SAW. tidak menyuruh Ma’qil untuk membayar kafarat atas sumpahnya dan tidak memerintahkan Ma’qil supaya menikahkan saudaranya itu.140 Berkenaan dengan masalah wali ini, jumhur ulama juga berargumen dengan Hadis antara lain riwayat al-Bukhary dari Urwah bin Zubair,141 yang menunjukkan cara nikah yang terjadi pada zaman Jahiliyah dan diterima oleh Islam yaitu seorang laki-laki meminang perempuan kepada bapaknya atau walinya lalu walinya tersebut menikahkannya. Cara nikah yang terjadi zaman Jahiliyah dan diterima oleh Islam yaitu seorang laki-laki meminang perempuan kepada bapaknya, atau walinya yang lain itu menikahkannya.

138

Ibnu Kathīr, Tafsir Al-Qur’an Al’Aẓīm (al-Qahirah: Maktabah al-Taufīqiyah, t.t), Jilid

I, 282. 139

قال معقل بن سار زوجت أختا ل من رجل فطلقها حتى إذا انقضت عدتها جاء خطبها فقلت له

زوجتك وفرشتك وأكرمتك فطلقتها ثم جبت تخطبها ال وهللا التعود إلك أبدا وكان رجال البأس به وكانت المرأة ترد أن إله فأنزل هللا هذه األة فالتعضلوهن فقلت األن ماذا أفعل ا رسول هللا قال فزوجها ترجع

)رواه البخاري وأبو داود والترمذى( Artinya: “Berkata Ma’qil bin Yasar : aku mengawinkan saudara perempuanku

kepada seseorang laki-laki, beberapalama kemudian ditalaknya. Setelah habis masa iddahnya, laki-laki itu kembali melamarnya, lalu aku berkata kepadanya: saya telah kawinkan engkau dan telah memuliakan engkau kemudian engkau talak padanya, kemudian engkau datang meminangnya (lagi), tidak, demi Allah dia tidak akan kembali lagi kepadamu selama-lamanya. Laki-laki itu tidak menghiraukan dengan ucapannya itu dan perempuan mantan isterinya ingin kembali dengannya. Maka turunlah ayat ini, dan kemudian aku (Ma’qil) bertanya kembali kepada Rasulullah apa yang mesti aku perbuat ya Rasulullah? Kemudian Rasul menjawab kawinkanlah dia”. (HR. al-Bukhari, Abu Daud dan al-Tirmidzy).

140 Lihat : Al-Bukhari, Ṣaḥiḥ al-Bukhari, Hadis No. 4165, 4735, 4914, 4915.

141لة كانعلى أربعه أنحاء هه وسلم أخبرته أن النكاح فى الجاة زوج النب صل هللا علعن عروة بن الزبر أن عابش

ب الر جل الى الر جل فى ولته أوابنته فصدقها ثم نكحها.)رواه البخارى(خط فنكاح منها نكاح الناس الوم Artinya : “ Dari ‘Urwah bin Zubair: Telah berkata ‘Aishah: Bahwasannya nikah di zaman Jahiliyah ada empat macam, satu dari padanya, ialah nikah orang seperti sekarang, yaitu laki-laki datang kepada seseorang meminang perempuan yang berada dalam kekuasaannya atau anaknya, lalu ia tentukan mas kawinnya, kemudian ia menikahkannya”. (HR. al-Bukhari).

76

Jumhur ulama juga berargumen pada Hadis Abi Musa yang pada zahirnya menafikan akad nikah yang berlangsung tanpa wali,142 yaitu tidak ada suatu pernikahan dalam kenyataan di masyarakat yang dilakukan tanpa wali. Menurut Shafi’i yang dimaksud dengan “Tidak ada nikah kecuali oleh wali” ialah tidak sah suatu pernikahan kecuali oleh wali. Karena menurutnya bahwa suatu perkara yang ditiadakan oleh shara’ dengan perantaraan الnāfiyah itu harus dipanadang bahwa yang ditiadakannya adalah “sahnya”. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa sesuatu perkara yang ditiadakan oleh shara’ dengan perantaraan nāfiyah harus dipandang bahwa yang ditiadakannya adalahال“sempurnanya”. Jadi penafian menurut Shafi’i adalah penafian keabsahan pernikahan kecuali oleh wali. Tafsiran ini berbeda dengan yang dikemukakan oleh Abu Hanifah. Beliau mengatakan bahwa penafian tersebut adalah kesempurnaan. Artinya pernikahan tanpa wali tersebut tetap sah, meskipun tidak sempurna.143 Selain dari argumen Hadis yang telah disebutkan, Jumhur Ulama berargumen dengan Hadis yang mengatakan, bahwa perempuan yang menikah tanpa wali, nikahnya tidak sah.144

142هللا عله وسلم ال نكا ح اال بول )رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه عن أب مو سى قال : قال رسول هللا صل

وأحمد( Artinya : “Dari Abi Musa berkata : Telah bersabda Rasulullah SAW: tidak sah nikah, melainkan dengan wali”. (HR. Abu Dawud, al-Tirmidhi, dan Ahmad).

143 Muhammad Abd Rauf al-Munawy, faṭḥal-Qadīr Sharḥ al-Jāmi’ al-Ṣaghīr Min

Aḥādīthi Bashīr al-Nadhīr, (Bairut;Dar al-Kutub al-Islāmiyyah, 1994 M/1415 H), cet.1, Jilid VI,

566. 144

عن عابشة رض هللا عنها قالت : أن رسول هللا صلى هللا عله وسلم قال: أما امرأة

نكحت بغر إذن ولها فنكاحها باطل قال ثال ث مرات فإن اشتجروا فالسلطان ولى من ال ولى له .)رواه أبو داود والترمذي وابن ماجة(

Artinya: “Dari ‘Aishah r.a berakata: sesungguhnya Rasulullah SAW. Bersabda: Perempuan mana saja jika menikah dengan tidak seizin walinya, maka nikahnya batal (3x)..., jika mereka (para wali) berselisih, maka Hakim itu jadi wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali”. (HR. Abu Dawud, al-Tirmidhi, Ibnu Majah, dan Ahmad). Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Sunan, Hadis No. 1784; al-Tirmidh., Sunan, Hadis No. 1021; Ibnu Majah, Sunan., Hadis No. 1869; Ahmad, Musnad Hadis No.23074, Ulama Hanafiyah menilai cacat hadis ini karena menurut mereka: Hadis ini diriwayatkan oleh Sulaiman bin Musa dari al-Zuhri. Ketika, al-Zuhri ditanyakan tentang Sulaiman beliau menyatakan tidak mengenalnya. Orang yang meriwayatkan kritikan ini juga ialah Isma’il bin ‘Illiyah al-Qaḍi dari Ibn Juraij, perawi dari Sulaiman, bahwa dia pernah menanyakan al-Zuhri tentang hadis ini, tetapi beliau menyatakan bahwa dia tidak mengetahuinya. Namun keterangan ini dibantah dengan alasan bahwa tidak seharusnya karena kelupaan al-Zuhri tentang keadaan Sulaiman bin Musa itu menjadikan dia diragukan. Lebih-lebih al-Zuhri sudah memuji kebaikan Sulaiman. Dengan demikian Hadis ini adalah Ṣaḥiḥ. Lihat al-Suyūṭy, al-Jāmi

77

Pada hadis ‘Aishah yang menerangkan bahwa aqad yang berlangsung tanpa izin wali adalah batal hukumnya dan perempuan yang tidak mempunyai wali disebabkan karena berselisih dengan wali, atau karena wali ghaib atau memang karena tidak ada walinya, maka dalam keadaan tersebut yang menjadi wali adalah Sultan atau Wali Hakim. Perkataan “tanpa izin wali, maka nikahnya batal”, yang disebutkan dalam Hadis, tidak ada mafhūm mukhālafahnya yaitu aqad nikah dengan izin wali hukumnya sah. Karena dalam hadis itu telah diterangkan sebab terjadinya pernikahan tanpa izin wali, yaitu disebabkan adanya perselisihan antara wali dengan anak perempuannya. Hal mana dalam keadaan seperti itu, hakimlah (penguasa) yang menjadi walinya. Dengan demikian tidak ada mafhūm mukhālafahnya, balikan yang ada adalah mafhūm mukhālafahnyayaitu pernikahan tanpa izin wali disebabkan adanya perselisihan dengan walinya, maka pernikahan tersebut tidak sah hukumnya, apalagi dalam keadaan tidak ada perselisihan (walaupun dengan izin wali) aqad nikah tersebut tidak sah. Seandainya Hadis tersebut mengandung mafhūm mukhālafahnyadengan arti bahwa aqad nikah dengan izin wali sah hukumnya, maka jika demikian mafhūmperkataan “dengan izin wali” mempunyai kemungkinan pengertian bahwa aqad nikah tersebut dapat dilakukan oleh laki-laki lain, perempuan lain atau dirinya sendiri. Akad nikah yang dilakukan oleh perempuan lain atau oleh perempuan itu sendiri, jelaslah tidak mungkin, karena bertentangan dengan manṭūq Hadis Abu Hurairah yang akan dijelaskan nanti pada dalil bagian berikutnya. Jadi arti yang mungkin adalah aqad nikah yang dilakukan oleh laki-laki lain atau yang populer disebut juga “Wakil Wali”. Tegasnya Hadis tersebut tidak membenarkan ijab aqad nikah yang diucapkan oleh perempuan secara mutlak. Selanjutnya jumhur Ulama berargumen pada Hadis ibnu Majah145 dari Abi Hurairah yang mengatakan bahwa perempuan tidak mempunyai

al-Ṣaghīr, Jilid I, 457- Al-hakim, al-Mustadrak, (Bairut:Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,1190), Jilid II. 182- Al-Munāwy, Jilid III, 185.

145المرأة نفسها فإن عن أب هررة قال : قال رسول هللا صلى هللا عله وسلم ال تزوج المرأة المرأة وال تزوج

الزانة ه الت زوج نفسها. )رواه ابن ماجه( Artinya : “Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak boleh perempuan mengawinkan perempuan dan tidak boleh ia kawinkan dirinya, karena yang mengawinkan dirinya ialah perempuan yang berzina”. (HR. Ibnu Majah). Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Sunan, Hadis No. 1872. Menurut riwayat Al-Baihaqi bahwa perkataan “perempuan yang berzina adalah yang menikahkan

78

kekuatan untuk menikahkan dirinya dan menikahkan orang lain. Tidak ada wewenang baginya dalam pernikahan, baik ijab maupun qabul. Perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri dengan seizin walinya atau tidak. Dia tidak boleh mengawinkan orang lain sebagai wali atau sebagai wakilnya, dan juga tidak boleh menerima pernikahan sebagai wali atau sebagai wakil. Berdasarkan Hadis-Hadis yang telah disebutkan, dapat dipahami bahwa, seorang perempuan tidak boleh menyelenggarakan akad nikahnya sendiri dengan calon suaminya tanpa seizin walinya, yaitu ayahnya. Jika ayahnya tidak ada atau sudah meninggal, maka yang berhak menjadi Wali adalah Kakek, Saudara Laki-laki, Saudara Laki-laki Paman dan seterusnya dari pihak Ayah berurutan atau Hakim. Menurut iman Shafi’i jika tidak ada wali qarīb (dekat), berarti ke wali yang jauh. Jika tidak ada pula, beralih kepada wali Hakim.146

Syariat Islam datang untuk menyelamatkan perempuan dari segala kejahatan dan ketidak adilan. Ia datang untuk menjaga kehormatan wanita dan keluarganya. Oleh karena itu, ia mengharuskan adanya wali dalam pernikahan, adanya persetujuannya dalam pernikahan dan atas pengetahuannya. Karena seorang perempuan meskipun sudah baligh dan dewasa, seringkali ditipu dan diperdaya oleh laki-laki yang tidak sesuai dengannya atau kemungkinan salah menilai ternyata laki-laki tersebut kurang baik akhlaknya.

Kedua, Abu Hanifah, Zufar, Sha’by dan al-Zuhry berpendapat, jika wanita menikahkan dirinya sendiri dengan laki-laki yang sekufu’, dan dewasa serta cerdas, atau oleh wanita lain sebagai walinya, itu dibolehkan

dirinya sendiri”, adalah mauqūf, karena bukan termasuk sabda Rasul SAW. tetapi adalah ucapan Abu Hurairah dengan ucapannya sebagai berikut:

كنا نقول الت تزوج نفسها ه الزانة Artinya: “Kami mengatakan bahwa wanita yang menikahkan dirinya ialah wanita yang berzina”. Bagi golongan yang mendukung wajibnya wali, walau Hadis ini menjelaskan perempuan yang menikahkan dirinya sendiri adalah perempuan yang berzina. Ucapan ini baik termasuk dalam sabda Nabi SAW atau tidak, namun segi kekuatan hukumnya tidak ada perubahan, karena kalau termasuk sabda Nabi SAW sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Maka ucapan ini adalah naṣ dan bukan ucapan Abu Hurairah, maka sekurang-kurangnya ia adalah ijma’ sahabat, yang tidak dianggap sebagai Hadis marfū. Al-Albāny mengomentari Hadis ini “Ṣaḥiḥ duna jumlati al-Ẓanniyah”. Lihat lebih lengkap penjelasan Hadis ini, Al-Baihaqi, Sunan, Jilid 1, 110; al-Albāny, Ṣaḥīḥ Ibnu Majah, Jilid 2. 139.

146 Lihat: Ibnu Rushd, Bidāyah al-Mujtahid, Jilid II, 10,11

79

(sah nikahnya),147 dengan berargumentasi pada ayat-ayat al-Qur‘an dan Hadis. Adapun alasan Abu Hanifah dan yang sependapat dengannya dari Al-Qur‘an adalah148 Firman Allah dalam surah al-Baqarah 230, 232 dan 234. Dalam pandangan Abu Hanifah dan yang sependapat dengannya, bahwa semua ayat yang disebutkan mengarahkan khiṭābah (obyek pembicaraan) pernikahan kepada perempuan. Ini berarti mempunyai konsekuensi bahwa perempuan dapat melakukan akad nikah sendiri tanpa tergantung kepada izin dan persetujuan siapapun. Sebab jika tidak, penisbahan nikah kepada perempuan dalam ayat-ayat diatas tidak punya arti apa-apa. Pendapat ini dibantah oleh al-Ṣan’āny dengan argumentasi bahwa penyandaran kata nikah kepada mereka perempuan dalam beberapa ayat seperti dalam surat al-Baqarah: 230, “hingga ia kawin dengan yang lain”, maksudnya adalah pernikahan dengan diakad oleh walinya. Karena seandainya Rasulullah SAW. Memahami ayat itu bahwa perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri, maka sungguh beliau telah memerintahkan kepada perempuan setelah turun ayat tersebut untuk menikahkan dirinya sendiri dan pasti Rasulullah sudah menjelaskan kepada Ma’qil bahwa dia tidak mempunyai hak menjadi wali terhadap saudara perempuannya itu,

147 Lihat: Ibnu Rushd, Bidāyah al-Mujtahid, Jilid II, 7

148

1). Q.S. al-Baqarah: 230

ا فل تو ل فإن حهح زوجا غيه ۥطيل بػد خت ...

Artinya : ...”Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain..” Perkataan ح زوجا غرهحتى تنك terdapat kata kerja Tankiḥa yang artinya menikah, pelakunya adalah wanita (mantan isteri). Pekerjaan mana dalam isnad ḥaqīqī semestinya dikerjakan langsung oleh pelaku aslinya lihat: Al-sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, 277). 2) Q.S. al-baqarah: 232

إوذا ٱىنساء طيلخ زوج أ ن يهد

أ فل تػظي جي

أ ...فتيغ

Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan mantan suami-suaminya..., Perkataanterdapat kata kerja “Yankiḥa” yang artinya menikah, pelakunya adalah wanita-wanita (mantan isteri). 3) Q.S. al-Baqarah: 234

... فس ف أ ا فػي في اح غييك فل ج جي

أ ...فإذا ةيغ

Artinya: “...Kemudian apabila telah habis masa iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka denga baik..”

Perkataan فس ف أ ا فػي في ”Fa‘alna” yang artinya mengerjakan atau berbuat, pelaku-

nya adalah wanita-wanita (Lihat : Ibnu Rushd, Bidāyah al-Mujtahid, Jilid II, 7).

80

dan niscaya Rasulullah SAW. tidak membolehkan pembatalan sumpahnya serta kafaratnya.149

Seandainya tidak ada jalan lain bagi para wali untuk menjadi wali bagi perempuan itu, maka sungguh Allah SWT sudah menjelaskan dengan penjelasan yang sejelas-jelasnya. Bahkan mengulangi perintah kepada para wali dalam beberapa ayat lain, sehingga dapat dipahami bahwa tidak ada satu huruf pun yang memberikan pengertian bahwa perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri.150

Alasan Abu Hanifah dan yang sependapat dengannya antara lain adalah Hadis Ibnu Abbas151 yang mengatakan, bahwa janda lebih berhak terhadap dirinya dari walinya, dipahami oleh golongan Abu Hanifah sebagai justifikasi tekstual bahwa wanita boleh melangsungkan akad nikah sendiri sebab dia lebih berhak terhadap dirinya, dibandingkan walinya. Menurut Abu Hanifah, ini adalah penegasan eksplisist dari Hadis “wali tidak memiliki kekuasaan atas perempuan janda”,adalah nakirah yang jatuhnya sesudah nāfī, hal mana memfaedahkan umum. Hal umum ini termasuk yang berhubungan dengan memilih suami dan juga pelaksanaan akad, ini adalah hak perempuan janda. Adapun perempuan yang masih gadis, karena mereka belum terbiasa bergaul dengan laki-laki dan juga didukung oleh sifat malunya yang memuat ia berat untuk berterus terang untuk menyatakan persetujuannya apalagi secara langsung melaksanakan akad nikahnya, maka dipandang cukup menyatakan persetujuannya dengan diamnya. Namu hal ini tidaklah berarti mencabut haknya untuk melakukan akad secara langsung. Karena antara gadis dewasa sebenarnya sama dengan janda. Kesamaannya terletak pada sisi kedewasaannya. Jadi bukan pada status gadis atau jandanya. Kedewasaan seseorang memungkinkan dirinya untuk menyampaikan secara eksplisit tentang sesuatu yang ada dalam hati atau pikirannya. Ia juga dapat mengerjakan

149 Al-Ṣan’āny, Subul al-Salām, Jilid III, 120.

150

Al-Ṣan’āny, Subul al-Salām, Jilid III, 120. 151

عن ابن عباس أن النب صلى هللا عله وسلم قال: الثب أحق بنفسها من ولها والبكر تستأمر وإذنها سكوتها

)رواه مسلم وأبو داود والنسات وابن ماجه وأحمد( Artinya: “Dari Ibnu ‘Abbas berkata: “Nabi SAW bersabda: perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya dan anak gadis diminta persetujuannya tentang dirinya, dan tanda persetujuannya adalah dengan diamnya”. (H.R. Muslim, Abu Dawud, al-Nasa’i, Ibn Majah dan Ahmad). Lihat Muslim. Sahih Muslim, Hadis No. 2546; Abu Dawud, Sunan Abu Daud, Hadis No. 1795. 1796: al-Nasa’i Sunan al-Nasai, Hadis No. 3212: Ibnu majah, Sunan Ibnu Majah, Hadis No. 1860; Ahmad, Musnad, Hadis No. 1790, 2055.

81

sesuatu secara terbuka, tidak malu-malu. Oleh karena hal ini, maka gadis dewasa dapat disamakan dengan perempuan janda.152

Sedangkan Imam Nawawi mengomentari Hadis di atas maksudnya adalah bahwa perempuan lebih berhak atas dirinya dan walinya juga berhak atas dirinya. Namun haknya lebih besar dan menentukan dari pada walinya. Apabila walinya ingin menikahkan dia dengan seseorang pelamar yang menurutnya cocok, tetapi ternyata dia menolak, maka sang wali tidak boleh memaksanya nikah. Di lain pihak, bila dia menikah dengan seseorang yang dikehendakinya tapi walinya tidak setuju, makasi wali akan diminta untuk menyetujui pernikahannya. Jikatetap tidak setuju, maka Hakim akan mengizinkannya untuk menikah tanpa persetujuan walinya. 153 Dengan demikian maka haknya diutamakan.

Lebih jelas Hadis diatas berkenaan dengan masalah nikah. Dengan demikian perempuan janda lebih berhak menentukan calon pasangan hidupnya dari pada walinya., selanjutnya janda tersebut tidak boleh dinikahkan sebelum diajak bermusyawarah dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan sebelum diminta izinnya. Wali tetap mempunyai hak terhadap keluarganya yang janda tetapi hak jandaitu lebih dominan, atau janda itu lebih berhak menentukan perkawinannya.

Menurut Zahir Hadis ini bahwa musyawarah dan meminta persetujuannya dilakukan sebelum pernikahan dan juga dikaitkan dengan beberapa Hadis-Hadis tentang kasus kawin paksa yang dilakukan oleh seorang wali.154 Hal ini menunjukkan bahwa wali boleh menikahkan anak perempuannya, tetapi boleh tidaknya pernikahan tersebut tergantung kepada persetujuannya.

Selanjutnya Abu Hanifah beralasan dengan Hadis riwayat al-Nasa’i yang mengatakan, bahwa dalam perkawinan Ummu Salamah dengan Rasulullah tidak dihadiri oleh walinya dan wali tidak ada yang berhak

152 Mahmud Shaltūt dan Ali al-Sāyis, Perbandingan Mazhab dalam Fiqh, (Jakarta:

Bulan Bintang, 1973), 117.

153 Al-Nawawi, SharḥṢaḥiḥ Muslim, (Bairut: Dar Iḥyā al-Tuarāth al-‘Araby. 1392 H),

Cet. Ke III. 576.

154عن خنساء بنت خذام اآلنصارة أن أباها زوجها وه ثب فكرهت ذلك فأتت النب صلى هللا عله وسلم فرد

البخاري وأبو داود والنسا بى وأحمد(نكاحها. )رواه “Dari Khansa’ binti Khizam al-Ansariyyah melaporkan bahwa sesungguhnya ayahnya telah memaksa menikahkannya sedang dia seorang janda, padahal dia tidak mau, lalu datang kepada Rasulullah SAW. Dan langsung dinyatakan beliau bahwa pernikahan tersebut tidak sah”. (H.R. al-Bukhari, Abu Dawud, al-Nasa’i dan Ahmad).

82

membantah atas perkawinan yang sekufu tersebut, karena akad itu tidak tergantung kepada wali.155

Dalam riwayat ini, ada ungkapan, bahwa Ummu Salamah memerintahkan anaknya yang bernama Umar untuk mengawinkannya kepada Rasulullah SAW. Demikan juga riwayat yang menyatakan bahwa beliau sendiri yang memerintahkan Umar tersebut untuk menikahkan ibunya. Masing-masing riwayat tersebut diperselisihkan kesahihannya; karena tambahan ini dipandang tidak sah oleh ahli Hadis, karena Umar pada saat itu belum dewasa, yaitu berumur sekitar empat tahun. Pendapat tersebut dapat dijawab, bahwa riwayat tentang pernikahan Rasul dengan Ummu Salamah, mengandung iḥtimāl bahwa pernikahan tersebut tidak dilangsungkan oleh wali dan mengandung iḥtimāl pula bahwa Nabi sendiri menggunakan wilāyah ‘Āmmah-nya, karena ketika itu wali Ummu Salamah sedang dalam keadaan gaib (tidak di tempat). Menurut satu riwayat, pernikahan tersebut dilakukan oleh wali Umu Salamah, yaitu anak kandungnya bernama Umar. Menurut riwayat lain, Umar ketika itu belum dewasa, tetapi peristiwa itu dapat dianggap khuṣūṣiyyah bagi Rasul.

Selanjutnya Abu Hanifah berargumen dengan Hadis Ummu Habibah156 yang menjelaskan bahwa raja Habashah menikahkan Ummu Habibah dengan Rasulullah SAW, padahal ia bukan walinya. Namun bagi golongan yang mewajibkan wali bahwa Hadis-Hadis diatas dianggap sebagai khuṣūṣiyyahbagi Nabi SAW dan mengandung iḥtimālpula bahwa Nabi sendiri menggunakan hak wilāyah ‘āmmahnya.

155

عن أم سلمة, لما بعث رسول هللا صلى هللا عله وسلم خطبها قالت: لس أحد من أولان شاهدا فقال

رسول هللا صلى هللا عله وسلم لس أحد من أولابك شاهدا وال غاببا كره ذلك. )رواه النساب وأحمد( Artinya: Dari Ummu Salamah, Bahwasannya tatkala Rasulullah SAW. Mengutus orang meminang dia, ia berkata: “tidak ada seorangpun waliku yang menjadi saksi “, lalu dia berkata: “Tidak seorangpun wali baik yang hadir maupun yang tidak hadir, tidak suka kepada yang demikian”. (H.R. al-Nasa’i dan Ahmad). Al-Nasa’i, Sunan al-Nasai, Hadis No. 3202.

156 Hadis dari Ummu Habibah

فهلك عنها و كان فمن هاجر إلى أرض الحبشة فزوجها النجاش رسوهللا عن أم حبة أنها كانت عند عبد هللا بن جحش صلى هللا عله وسلم.)رواه أبو داود والنساب و أحمد(

Artinya: “Dari Ummu Habibah bahwa ia pernah jadi isteri ‘Ubaidillah bin Jahsy, kemudian ia meninggal, dia adalah salah seorang yang berhijrah ke Habasyah, lalu raja Habashah al-Najashi menikahkannya dengan Nabi SAW. (H.R. Abu Dawud, al-Nasa’i dan Ahmad). Abu Dawud, Sunan, Hadis No. 1786; al-Nasai, Sunan, Hadis No. 3298; Ahmad. Musnad, Hadis No. 26148.

83

Pemikiran lain yang menjadi pertimbangan adalah tujuan perkawinan. Tujuan perkawinan memiliki dua sisi: yaitu primer dan sekunder. Tujuan primer (utama) adalah hanya dimiliki oleh perempuan yang bersangkutan tanpa campur tangan pihak wali dari sebuah pernikahan, misalnya adalah hubungan seksual, pemberian nafkah, rumah tempat tinggal, dan hak-hak lainnya yang diperoleh perempuan sehubungan dengan akad nikah. Sedangkan tujuan sekunder adalah hubungan kekerabatan atau kekeluargaan. si wali ikut serta dalam hubungan tersebut, sehingga wajar jika ia mencampurinya. Tujuan primer adalah menjadi hak perempuan sendiri, sehingga ia yang memegang peranan dan pihak yang menentukan, sedangkan tujuan sekunder bisa melibatkan hubungan antara perempuan itu dengan keluarganya.157

Abu Hanifah juga mengajukan argumentasi rasional bahwa perempuan dewasa dianggap memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum yang berhubungan dengan transaksi-transaksi keuangan, seperti perdagangan dan sebagainya. Ini merupakan pandangan yang disepakati para ulama. Oleh sebab itu, adalah logis jika ia juga dapat melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan urusan pribadinya158 yaitu urusan akad nikahnya sendiri. sebab tidak ada alasan untuk membedakan antara akad nikah dengan akad jual beli atau urusan yang lain. Tetapi menurut al-Ṣan’āny qiyas semacam ini adalah qiyas yang baṭil, karena qiyas itu harus disertai oleh naṣ Al-Qur‘an ataupun Hadis.159

Jika dicermati penadapat tersebut, maka tidaklah sama antara akad nikah dengan akad jual beli. Sebab akad jual beli atau akad-akad yang lain, ada yang menjadi obyeknya yaitu berupa arang, harta atau dalam bentuk lainnya. Sedangkan akad nikah tidak ada obyek dalam transaksi tersebut. Namun yang ada berupa transaksi kerjasama, untuk sama-sama membangun mahligai rumah tangga, yang akhirnya melahirkan tanggung jawab dan pemenuhan antara hak dan kewajiban. Di samping itu pula dampak positif dan negatif dari akad jual beli atau kemaslahatan hanya akan berpengaruh kepada diri perempuan itu sendiri. Sedangkan akad nikah tidak demikian halnya. Pengaruh dari akad nikah tersebut tidak hanya kepada diri perempuan itu sendiri, tapi lebih luas kepada tatanan lainya, baik kehormatan dirinya, keluarganya dan masyarakat serta lebih luas akan berpengaruh kepada keturunan yang akan dilahirkannya.

157 Mahmud shaltut, dan Ali al-sayis, Perbandingan Mazhab Dalam Fiqh, 117.

158

Abd Rahman al-Jazīry. Al-Fiqh ‘Ala al-Madhāhib al-‘Arba’ah, jilid III, 50

159 Al-Ṣan’āny, Subul al-salām, Jilid III. 117

84

Ketiga,pendapat al-Ẓāhiry, bahwa akad nikah tanpa wali hukumnya sah bagi janda dan tidak sah bagi gadis, dengan argumentasi bahwa Rasulullah bersabda:

“Perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya dan anak gadis diminta persetujuannya tentang dirinya, dan tanda persetujuannya adalah dengan diamnya”. (H.R. Muslim, Abu Dawud, al-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad dari Ibnu Abbas.160

Hadis ini membedakan antara status janda dengan perawan. Janda dapat menikah tanpa wali karena lebih berhak dari walinya. Sedangkan bagi perawan tidak boleh langsung menikahkan dirinya sendiri, karena akad nikahnya harus dilangsungkan oleh walinya atas izinnya. Disebutkan, bahwa janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya, bukan berarti bahwa tidak ada hak wali terhadap perempuan janda dalam perwaliannya, sehingga gugur hak wali untuk menikahkannya, tetapi wali tidak boleh memaksanya nikah, karena dia sudah berpengalaman ketika nikah dengan suami sebelumnya, ia mengerti mana suami yang sesuai dan baik serta sejalan dengannya, sehingga ia dapat rukun dengan suami barunya.

Keempat, pendapat Imam malik dari riwayat Ibnu al-Qasim, bahwa kedudukan wali dalam pernikahan hanya Sunnat, bukan sebagai syarat sahnya nikah, tetapi hanya sebagai syarat kesempurnaan nikah, dengan argumentasi bahwa Imam Malik berpendapat, bahwa dapat saling mewarisi antara suami isteri yang menikah tanpa wali, boleh bagi wanita yang bukan bangsawan menunjuk seorang laki-laki yang bukan walinya untuk menikahkannya dan janda disunatkan mengajukan kepada walinya untuk menikahkannya. Jadi wali dalam pernikahan menurut pendapat ini,

160سكوتها عن ابن عباس أن النب صلى هللا عله وسلم قال : الثب أحق بنفسها من ولها والبكر تستأمر وإذ نها

)رواه مسلم وأبو داود والنساب وابن ماجه وأحمد(Muslim, Ṣaḥiḥ Muslim, Hadis No. 2546 – Abu Daud, Sunan Abu Dawud, Hadis No.

1795. 1796 – Al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, Hadis No. 3212 – Ibnu Majah, sunan Ibnu Majah, Hadis No. 1860 – Ahmad. Musnad, No. 1790, 2055.

85

hanya sebagai syarat sempurnanya nikah, bukan syarat sahnya nikah.161 Pendapat ini tidak mengemukakan dalil dari Al-Qur’an atau Hadis.

Adapun sebab perbedaan pendapat para ulama dalam masalah kedudukan hukum wali dalam pernikahan adalah : 1) Tidak terdapat ketegasan di dalam Al-Qur‘an tentang sah atau tidak

sahnya akad nikah tanpa wali. 2) Tidak terdapat satupun Hadis mutawatir yang mengandung dalālah

qaṭ’iyah tentang sah atau tidak sahnya akad nikah tanpa wali. Demikian juga, tidak terdapat Hadis ahad yang disepakati kesahihannya yang mengandung dalalah qaṭ’iyah tentang sah atau tidak sahnya akad nikah tanpa wali.

3) Mazhab Hanafi mengutamakan qiyas dari hadis ahad, sedangkan Mazhab Shafi’i mengutamakan Hadis ahad dari pada qiyas. Menurut Mazhab Hanafi, wanita dalam bidang muamalah sama haknya dengan laki-laki, yang oleh karenanya, mereka qiyaskan akad nikah kepada akad jual beli (transaksi). Sedangkan Imam Shafi’i berpegang pada Hadis ahad yang berhubungan dengan sebab nuzūl ayat 232 surah al-Baqarah, yaitu :

“...maka jangan kamu menghalangi mereka menikah (lagi) dengan calon (mantan) suaminya..”162

4) Mazhab Hanafi berpendirian bahwa suatu perkara yang ditiadakan oleh shara’ dengan perantaraan (ال) nāfiyah, harus dipandang bahwa ditiadakan itu adalah “sempurnanya”, sedangkan Mazhab Shafi’i bahwa suatu perkara yang ditiadakan oleh shara’ dengan الnāfiyahitu harus dipandang bahwa yang ditiadakannya adalah “sahnya”.

Jadi, Hadis yang mengatakan, “tidak ada nikah melainkan dengan wali” Mazhab Hanafi menafsirkan dengan “tidak sempurnanya nikah”, sedangkan mazhab Shafi’i menafsirkannya dengan “Tidak sahnya nikah”. Pendapat yang Rajih dan Relevan Setelah memaparkan pendapat-pendapat para ulama fikih disertai dalil-dalil masing-masing dari mereka dan menganalisanya, nampak bahwa pendapat jumhur ulama (Imam Shafi’i dan yang sependapat dengannya) yang mengatakan, bahwa nikah tanpa wali hukumnya tidak sah, itulah

161

Ibnu Rushd, Bidāyah al-Mujtahid, jilid III, 7

162 Q.S al-Baqarah: 232

...فال تعضلوهن أن نكحن أزواجهن... Artinya: ...maka jangan kamu halangi mereka menikah lagi dengan calon (mantan) suami mereka...

86

pendapat yang rājiḥ / yang kuat dan relevan, karena dalil-dalil dan argumentasi mereka lebih kuat dan lebih relevan, bahkan sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan No. I Tahun 1974, Komplikasi Hukum Islam tentang Perkawinan dan RUU HMPA bidang Perkawinan serta adat kebiasaan (‘urf) yang berlaku di Indonesia. Juga pendapat ini lebih iḥtiyāṭ (lebih hati-hati). Pendapat Jumhur ulama ini dipandang lebih relevan karena ditopang dengan pertimbangan rasio disamping pertimbangan berdasarkan naṣ-naṣ Al-Qur‘an dan Hadis. Pada umunya tujuan pernikahan adalah untuk membentuk masyarakat rumah tangga. Masyarakat rumah tangga tidak dapat dibina dengan sempurna jika tidak mempunyai tali ikatan yang kuat antara keluarga pihak suami dan keluarga pihak isteri. Wanita kurang cakap dalam memilih calon suaminya, karena wanita adalah manusia yang cepat merasa dan sering terpengaruh oleh perasaan (emosional), sedangkan cinta adalah buta. Keadaan demikian menimbulkan kekhawatiran akan terjadi salah pilih. Jika kurang teliti, bukan saja bisa terpilih laki-laki yang tidak bermoral, tetapi mungkin saja terjadi, bahwa laki-laki yang di pilihnya adalah orang yang mempunyai sejarah buruk terhadap keluarga wanita itu sendiri, agar tidak sampai terjadi hal yang demikian dan hal-hal lainnya yang tidak diinginkan, agama menghendaki adanya wali dalam pernikahan dan melarang wanita menikahkan dirinya sendiri. Selanjutnya berkenaan dengan saksi163 sebagai salah satu syarat

sahnya suatu perkawinan, ulama juga berbeda pendapat, apakah saksi

163 Saksi menurut bahasa adalah kata benda dalam bahasa Indonesia berarti: orang

yang melihat atau mengetahui. Lihat: W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), Cet. IX, 852, 853. Kalau dalam bahasa Arab kata saksi disebut: شاهد (shāhid), yaitu orang yang mengetahui, yang menerangkan apa yang diketahuinya. Jama’nya adalah “شهداء” dan “شهود”,

akar kata dari “الشهادة”, yang berarti kabar yang pasti. Lihat: Ibnu Manẓūr, Lisān Al-Ārab, 225.

Sedangkan menurut istilah dalam Fikih saksi menurut Muhammad Salām Madkūr,

Ibnu al-Hammām dan al-Maḥally adalah pemberitaan yang benar di depan pengadilan

dengan ucapan kesaksian untuk menetapkan suatu hak (kebenaran) atas orang lain. Lihat:

Muhammad Salām Madkūr, al-QaḍāFi al-Islām, (al-Qahirah: Dar al- Nahḍah al-‘Arabiyyah,

1964), 83 – Ibnu al-Hammām, Sharḥ Fatḥ al-Qadīr, (t.t: Muṣṭafā al-Bāby al-Ḥalaby, 1970), Jilid

VII, h. 415- Jalāluddīn al-Maḥally, Qalyūby Wa ‘Umairah, (Riyaḍ: Dar Iḥyā al-Kutub al-

‘Arabiyah, t.th.), Jilid IV, h. 318).

Dari pengertian saksi atau kesaksian diatas dapat disimpulkan, bahwa kehadiran saksi-saksi dalam suatu peristiwa sangatlah diperlukan, hal ini dimaksudkan untuk mengindari

87

tersebut merupakan syarat kelengkapan nikah, atau merupakan syarat sah

ketika dilaksanakan akad nikah. Perbedaan pendapat ini terbagi kepada

dua mazhab:

a. Menurut Jumhur ulama, termasuk Imam Abu Hanifah dan Imam Shafi’i, saksi merupakan syarat sah nikah. Karena itu, tidak sah nikah tanpa kehadiran saksi-saksi.164 Mereka berargumentasi dengan dalil Hadis165 dan Ratio. Dalam Hadis dikatakan, bahwa tidak sah nikah tanpa wali dan tanpa adanya dua orang saksi yang adil. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Baihaqi dari ‘Imrān bi al-Ḥuṣain dan Aishah. Sedangkan dalam riwayat al-Turmudzy dari Ibnu Abbas, bahwa perempuan tuna susila adalah menikahkan dirinya tanpa ada saksi.

Jelas, Hadis ini menghendaki adanya saksi-saksi ketika akad nikah. Menurut ratio bahwa akad nikah merupakan tali hubungan kekeluargaan yang seyogyanya menjadi perhatian sepenuhnya dari agama. Untuk menjaga kesucian akad tersebut wajarlah disyariatkan adanya saksi ketika berlangsungnya akad nikah tersebut.

Dengan demikian, terhindarlah kemungkinan adanya tuduhan-tuduhan berlaku serong terhadap orang yang sudah menjadi suami isteri, atau adanya keingkaran tentang terjadinya sesuatu akad nikah, yang akan merugikan terhadap diri anak yang dilahirkan dari akad nikah tersebut, atau menyulitkan dalam soal kewarisan.

munculnya fitnah dikemudian hari terhadap suatu pristiwa yang pernah terjadi dengan adanya saksi yang menyaksikan kebenaran peristiwa tersebut, maka keabsahannya dapat dipertanggungjawabkan di hadapan hukum.

164 Lihat: Ibnu Rushd, Bidāyah al-Mujtahid, Jilid II, 13.

165

1) Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Baihaqy dari īmrān bin al-Ḥuṣain

dan Aishah ال نكاح إال بول وشاهدي عدل

Artinya: “tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil” 2) Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dari Ibnu Abbas ra :

البغاا الالت نكحن أنفسهن بغر بنة )رواه الترمذى عن ابن عباس( Artinya: “perempuan-perempuan tuna susila ialah mereka yang menikahkan diri mereka tanpa keterangan (tanpa ada saksi). (HR. al-Tirmidzi dari Ibnu Abbas)

88

b. Menurut Imam Malik, saksi hanya sebagai syarat kelengkapan yang diperintahkan ketika hendak menggauli isteri (دخول), bukan syarat sah akad nikah.166 Oleh sebab itu kesaksian boleh dilaksanakan dengan cara pemberitahuan, asalkan dapat diketahui oleh orang lain sebelum suami menggauli isterinya. Imam Malik dalam pendapatnya ini berargumentasi denga dalil Hadis dan Ratio.

Dalam riwayat al-Tirmidhi dari Aishah dikatakan, bahwa Nabi memerintahkan agar disiarkan akad nikah dan diadakan di masjid serta ditabuhkan gendang.167

Hadis ini jelas menunjukkan bahwa pemberitahuan tentang berlangsungnya akad nikah boleh dengan jalan apa saja yang antara lain dengan memukul gendang. Menurut Ratio bahwa yang dituju oleh akad nikah adalah halalnya persetubuhan. Persetubuhan yang diharamkan adalah dengan jalan zina, yaitu dilakukan dengan cara rahasia karena takut diketahui orang. Persetubuhan yang dilakukan dengan jalan nikah adalah persetubuhan yang halal. Oleh karenanya, perlu diketahu oleh orang lain dengan jalan pemberitahuan minimal sebelum terjadinya persetubuhan sesudah berlangsungnya akad nikah. Dengan demikian,saksi dalam akad nikah hukumnya sunnah.168

Dari kedua pendapat yang telah dikemukan, menurut penulis, pendapat yang terkuat, atau relevan adalah pendapat Jumhur ulama yang memandang saksi dalam pernikahan sebagai syarat sahnya perkawinan, dengan pertimbangan sebagai berikut: 1) Fungsi akad nikah itu memberikan kedudukan suami terhadap

keluarga isteri sebagaimana memberikan kedudukan isteri terhadap keluarga suami dengan berlakunya hukum Ḥurmah al-Muṣāharah. Hal ini menunjukkan bahwa akad nikah itu perlulah diketahui oleh orang lain sebagai pembuktian.

2) Untuk memiliki suatu benda, antara lain dengan jalan warisan; dan diantara sebab untuk mendapatkan harta warisan ialah adanya akad

166 Lihat: Ibnu Rushd,Bidāyah al-Mujtahid, Jilid II, 13.

167

Jalāluddin al-Suyūty, al-Jāmi’ al-Ṣaghir, 48. أعلنوا النكاح واجعلوه فى المساجد واضربواعله بالدفوف.

Artinya: beritahukanlah (siarkanlah) akad nikah itu dan adakan di mesjid serta tabuhlah gendang

168 Lihat: Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan Masalah Penikahan, (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2003), Cet. I, Jilid I, 260, 261.

89

nikah walaupun belum terjadi persetubuhan. Ini menunjukkan bahwa akad nikah itu perlu diketahui oleh orang lain sebagai pembuktian.

3) Diantara sebab untuk mendapatkan hartawarisan ialah adanya hubungan kekerabatan. Untuk menilai sah atau tidaknya hubungan kekerabatan tersebut bergantung pada adanya akad nikah yang oleh karenanya perlu diketahui oleh orang lain sebagai pembuktian.

Menurut Ibrahim Hosen, saksi dalam akad nikah wajib hukumnya,

atas dasar sadd al-Dharī’ah(سد الذر يعة) demi menutup pintu mafsadah /

persengketaan. Dengan kata lain, nikah tanpa saksi sah hukumnya, tetapi

berdosa karena meninggalkannya.169 Dari uraian yang telah dikemukan

diatas, penulis berpendapat, bahwa dalam akad nikah diperlukan adanya

saksi, tidak melihat apakah saksi itu sebagai syarat sah nikah atau sebagai

syarat kelengkapannya, untuk kehati-hatian (احتياطا) karena masalah

pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan akibatnya sangat fatal jika

seandainya benar pendapat yang mengatakan tidak sah nikah tanpa saksi.

Kalau nikah itu tidak sah, maka seorang laki-laki dan seorang perempuan

yang telah menikah tidak halal mereka bergaul. Kalau mereka tetap

bergaul, maka mereka dianggap berzina. Kalau seandainya benar bahwa

Hadis-Hadis yang menghendaki adanya saksi dalam akad nikah itu ḍa’īf,

tetapi banyak Hadis-Hadis dapat saling menguatkan satu sama lain, yang

oleh karenanya, Hadis itu dapat dijadikan hujjah. Wallahu A’lam.

Ketentuan ini telah diadopsi oleh kompilasi Hukum Islam tentang Perkawinan pada pasal 14. Dengan demikian berarti hukum fikih Islam sudah menjadi Hukum Nasional. 3. Perjanjian Perkawinan : Dalam UU No. 1 Tahun 1974, perjanjian perkawinan disebutkan pada pasal 29, dan dalam KHI tentang perkawinan disebutkan pada pasal 45 s/d pasal 52. Istilah perjanjian perkawinan dalam hukum positif tersebut dalam hukum fikih Islam dikenal dengan istilah, ijab170 kabul171 yang disertai

169 Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan Masalah Pernikahan, 262, 263.

170

Ijab adalah ucapan tanda penyerahan dari pihak yang menyerahkan dalam suatu perjanjian (kontrak, jual beli), kata-kata yang diucapkan oleh wali mempelai perempuan pada waktu menikahkan mempelai perempuan, penawaran ketika membeli. Lihat: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 320.

90

dengan syarat “( تزنه بالشزطصيغة العقد المق ), 172 atau, syarat-syarat yang disyaratkan dalam perkawinan (الشزوط المشتزطة فى الزواج).173Apabila dalam ijab kabul diiringi dengan suatu syarat174 baik syarat itu masih termasuk dalam rangkaian perkawinan, atau mengandung manfaat yang akan diterima oleh isteri, atau mengandung syarat yang dilarang oleh agama, maka masing-masing syarat tersebut mempunyai ketentuan hukum sendiri. a. Syarat yang wajib dipenuhi yaitu, yang termasuk dalam rangkaian dan

tujuan perkawinan dan tidak mengandung hal-hal yang menyalahi hukum Allah dan Rasulnya. Syarat yang wajib dipenuhi itu misalnya menggauli isterinya dengan baik,175 memberi nafkah176 dan tempat tinggal yang layak177, tidak mengurangi hak-haknya dan memberikan bagian kepadanya sama dengan isteri-isterinya yang lain dan lain-lain.178

b. Syarat yang tidak wajib dipenuhi Di antara syarat yang tidak wajib dipenuhi tetapi akad nikahnya sah,

yaitu syarat yang menyalahi hukum perkawinan, seperti : tidak memberikan belanja, tidak mau bersetubuh atau kawin tanpa mahar atau memisahkan diri dari isterinya yang harus memberikan nafkah atau memberi sesuatu hadiah kepada suaminya atau dalam seminggu hanya tinggal bersama semalam atau hanya mau tinggal dengan isterinya disiang hari, tidak di malam harinya dan lain-lain.

Syarat-syarat ini semuanya batal dengan sendirinya, sebab menyalahi hukum-hukum perkawinan, dan mengandung hal-hal yang

171Qabūl berasal dari bahasa Arab. Dalam Bahasa Indonesia sudah baku, sehingga

istilah qabul ini sudah ditulis dengan kabul, yaitu ucapan tanda setuju (terima) dari pihak yang menerima dalam suatu perjanjian, atau kontrak. Dalam akad nikah, kabul adalah wali mempelai perempuan mengucapkan ijab dan mempelai laki-laki mengucapkan kabul. Kabul juga berarti meluluskan, atau memperkenankan permintaan. Lihat: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indoensia, 372.

172 Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, 43

173 Wahbah al- Ẓuḥaily, al-Fiqh al-Islamy Wa Adillatuh, 53.

174

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang perkawinan, istilah syarat yang disyaratkan dalam perkawinan disebut dengan istilah perjanjian perkawinan, tetapi substansinya sama walaupun istilahnya berbeda.

175 Lihat: Q.S. al-Nisā’ : 19, al-Baqarah: 233.

176

Lihat: Q.S. al-Nisā’ : 34

177Lihat : Q.S. al-Ṭalāq : 6

178

Lihat : Q.S. al-Nisā’ : 34

91

mengurangi hak-hak suami-isteri sebelum ijab kabul, karena itu tidak sah sebagaimana kalau seorang bermazhab shafi’i yang mengurangi hak-hak barang shuf’ahnya sebelum dijual.

Adapun akadnya sendiri tetap sah, karena syarat-syarat tadi berada diluar ijab kabul, yang menyebutkan tidak berguna dan tidak disebutnya pun tidaklah merugikan. Karena itu akadnya tidak batal, sebagaimana kalau disyaratkan mahar yang haram waktu ijab kabul. Sebab pernikahan seperti ini tetap sah, sekalipun tidak disebut apa yang nanti harus jadi maskawinnya. Jadi ijab kabul dengan adanya syarat yang batal itu tetap sah.179

c. Syarat-syarat yang hanya untuk istri manfaatnya. Di antara syarat-syarat yang guna dan faedahnya untuk

perempuannya saja, seperti: suaminya tidak boleh menyuruh dia keluar dari rumah atau kampung halamannya, tidak mau pergi bersamanya, atau tidak mau dimadu dan lain sebagainya.

Segolongan Ulama’ berpendapat nikahnya tetap sah dan syarat-syarat tersebut tidak berlaku, suaminya tidak harus memenuhinya. Sedangkan golongan Ulama lain berpendapat wajib dipenuhi apa yang sudah disyaratkan kepada isterinya, dan jika tidak dipenuhi maka isterinya berhak minta fasakh.180

179 Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, 44.

180

Pendapat pertama merupakan pendapat Abu Hanifah, Shafi’i dan sebagian besar ‘Ulama. Alasan mereka sebagai berikut: 1). Rasulullah pernah bersabda :

المسلمون على شروطهم, اال شرطا أحل حراما أوحرم حالال.) رواه أبو داود والحا كم عن أبى هررة(

Artinya: orang islam itu terikat dengan syarat mereka kecuali kalau syarat tadi menghalalkan yang haram, atau mengharamkan yang halal (HR. Abu Dawud dan Dari Abu Hurairah) Mereka mengatakan: syarat yang mengharamkan yang halal tersebut di atas tadi yaitu: bermadu, melarang keluar rumah dan pergi bersama yang kesemuanya ini dihalalkan oleh agama. 2). Sabda Rasulullah :

كل شرط لس فى كتاب هللا فهو باطل وإن كان مابة شرط. )رواه البزار والطبرانى عن ابن عباس( Artinya: tiap-tiap syarat yang tidak ada di dalam kitab Allah adalah batal, sekalipun

ada seratus syarat. (HR. al-Bazzār dan al-Ṭabarāny dari Ibnu Abbas).

Mereka mengatakan: syarat diatas tidak ada di dalam kitab Allah karena memang tidak ada ketentuannya dalam agama.

92

Ibnu Qudamah menguatkan pendapat ini dan melemahkan pendapat yang pertama. Katanya: adapun pendapat yang kami dengar dari para sahabat setahu kami tidak ada yang berlainan di zaman merekaitu, bahkan sudah menjadi ijma’. Rasulullah pun bersabda: “Setiap syarat yang tidak ada di dalam agama Allah adalah batal, sekalipun ada seratus syarat.” Maksud-nya, syarat yang tidak ada dalam hukum Allah dan agamanya. Padahal masalah ini (perjanjian dalam perkawinan) hukumnya boleh,orang yang menolakpendapat tersebut haruslah memberikan dalil-dalilnya.181

Syarat-syarat tersebut tidak mengandung kemaslahatan dalam perkawinan dan tidak pula termasuk dalam rangkaiannnya. Pendapat kedua adalah pendapat Umar bin Khaththab, Sa’ad bin Abi Waqqās, Mu’awiyah, ‘Amru bin ‘As, Umar bin Abdul Aziz, Jabir bin Zaid, Ṭāwus, Auza’iy, Ishaq dan ulama Hanabillah. Alasan mereka sebagai berikut: 1). Firman Allah:

ي اٱل يأ وف ي

ا أ ءا ...ٱىػلد ا ة

Wahai orang-orang yang beriman ! sempurnakanlah janjimu (al-Maidah:1) 2). Sabda Rasulullah saw :

المسلمون عل شروطهم )رواه ابو داود والحاكم عن أبى هررة(

Orang islam itu terikat oleh syarat-syarat (perjanjian) mereka. (HR. Abu Dawud dan al-Hakim dari Abu Hurairah). 3). Hadis al-Bukhari, Muslim dan lain lain yang diriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir, Rasulullah saw. Bersabda :

احق الشروط أن وفى به مااستحللتم به الفروج

Perjanjian yang paling patut ditunaikan yaitu yang menjadikan halalnya hubungan kelamin bagi kamu. 4). Diriwayatkan oleh Athram, pernah seorang laki-laki kawin dengan seorang perempuan dengan janji tetap tinggal dirumahnya, kemudian suaminya bermaksud mengajaknya pindah, lalu mereka (keluarganya) mengadukannya kepada ‘Umar bin khattab, maka ‘Umar memutuskan: perempuan itu berhak atas janji suaminya. (Disini hak suami atas isteri batal karena ada perjanjian). 5). Karena janji-janji yang diberikan oleh suami kepada perempuannya mengandung manfaat dan maksud, yang asalkan maksudnya tadi tidak menghalangi perkawinan maka sah hukumnya, sebagaimana kalau perempuan mensyaratkan agar suaminya mau membayar maharnya lebih tinggi. Lihat: Jalāluddin al-Suyūṭy, al-Jāmi’ al-Ṣagīr, Jilid II, 93 – Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-

Sunnah, 44,45 – Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islamy..., 53 s/d 60 – al-Ṣan’any, Subul al-Salām,

59 – Al-Shaukāny, Nail al-Autār, (t.t; Al-Maktabah al-Taufīqiyyah, t.th), Jilid VI, 142.

181

Lihat: Ibnu Qudāmah; al- Mughny, (Al- Riyāḍ: Maktabah al-Riyāḍ al- Hadithah, t.th.), Jilid VI, h. 548 – Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmy..., 57, 58.

93

Kalau mereka berkata bahwa perjanjian seperti diatas, berarti mengharamkan yang halal, maka kami jawab: bukan mengharamkan yang hahal, akan tetapi maksudnya untuk memberikan kepada perempuan hak meminta fasakh bilamana si suami tidak dapat memenuhi persyaratan yang diterimanya. Jika mereka berkata bahwa hal itu tidak ada maslahatnya, maka kami jawab: hal itu tidak benar, bahkan hal itumerupakan suatu kemaslahatan bagi perempuannya, karena apa yang bisa menjadi suatu maslahat bagi satu pihak yang mengadakan aqad berarti pula menjadi suatu maslahat di dalam akadnya.182 Ibnu Rushd berkata: sebab perbedaan pendapat mereka ini ialah karena mempertentangkan dalil yang umum dengan yang khusus. Adapun dalil yang umum yaitu Hadis ‘Aishah, yang Nabi pernah berkhutbah kepada orang banyak dimana beliau bersabda bahwa, setiap syarat yang tidak ada dalam syara’, adalah batal, sekalipun 100 syarat.183 Dalil yang khusus yaitu hadis ‘Uqbah bi ‘Amir yang Rasulullah pernah bersabda, bahwa syarat yang patut dipenuhi adalah yang menjadikan halalnya hubungan kelamin.184 Kedua hadis ini ṣaḥīḥ dan kedua-duanya diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, tetapi menurut para ahli Uṣul Fikih yang Masyhur terpakai ialah memenangkan dalil yang khusus dari yang umum, yaitu dalam hal ini memenuhi janji-janji yang diadakan dalam perkawinan.185

182 Lihat: Ibnu Qudāmah; Al-Mughny, jilid VI, h. 549.

183

كل شرط لس فى كتاب هللا فهو باطل وإن كان مابة شرط.

Artinya: “setiap syarat yang tidak ada di dalam agama Allah adalah batal, sekalipun ada seratus syarat”.

184

أحق الشروط أن وفى به ما استحللتم به الفروج. Artinya: “syarat (perjanjian) yang paling patut ditunaikan adalah yang menjadikan halalnya hubungan kelamin bagi kamu”.

185Ibnu Rushd, Bidāyah al-Mujtahid Wa Nihāyah Al-Muqtaṣid, 58

Ibnu Rushd (Cordova, 1126 – Marzakech, Maroko, 1198), adalah Abu Al-Walid

Muhammad bin Ahmad bin Muhammad, seorang dokter, ahli hukum, dan tokoh filosof yang

paling menonjol pada perkembangan filsafat islam (700-1200). Di Barat dia dikenal dengan

nama Averoes. Dia berasal dari lingkungan keluarga yang besar sekali perhatiannya terhadap

ilmu pengetahuan. Ayah dan Kakeknya pernah menjadi kepala pengadilan di Andalusia. Ia

pernah menduduki beberapa jabatan, antara lain sebagai qaḍy (hakim) di Sevilla dan sebagai

qāḍy al-quḍāt (hakim agung)di Cordoba. Sejak kecil ia telah mempelajari Al-Qur‘an, lalu

mempelajari ilmu-ilmu keislaman, seperti tafsir, Hadis, fikih dan sastra Arab. Kemudian ia

94

Pendapat Ibnu Taimiyah186 Bagi orang yang sehat akal, apabila mengadakan perjanjian, yang perjanjian itu mengandung kebaikan bagi tujuan yang hendak dicapainya, tidaklah ia akan mau mundur atau mengkhianatinya. Seperti batas waktu pinjam-meminjam barang, membayar harga barang-barang tertentu yang terjadi di beberapa tempat, menjelaskan keadaan barang-barang yang dijual belikan dan keterampilan tertentu yang diisyaratkan kepada salah seorang dari suami-isteri. Tergantung syarat-syarat tertentu itu berguna dari pada dibiarkan tanpa syarat, atau bahkan lebih berguna lagi dari pada kalau tidak diberi syarat sama sekali.187 d. Syarat-syarat yang dilarang agama

Ada syarat-syarat yang oleh agama di larang dan diharamkan untuk menepatinya, yaitu perempuan yang mensyaratkan kepada suaminya agar mentalak madunya.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah melarang seorang laki-laki meminang pinangan saudaranya atau membeli barang yang akan dibeli saudaranya dan perempuan yang meminta madunya di talak agar dia dapat mengambil sepenuhnya piring atau bejana bagian saudaranya, padahal rejekinya itu sudah ada dalam ketetapan Allah. (H.R. al-Bukhari dan Muslim).

Dalam lafaz lain riwayat al-Bukhari dan Muslim dikatakan, Nabi melarang perempuan mensyaratkan madunya ditalak.188 Larangan Hadis,

mendalami matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat dan ilmu kedokteran. Oleh karena

itu, ia terkenal ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan.

Lihat: Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet. III, Jilid II, 165.

186 Ibnu Taimiyah, Taqiyuddin Abu Abbas Ahmad (Harran, Turki 10 Rabiul awal

611/22 Januari 1263 – Damascus, 20 Zulkaidah 728/26 atau 27 September 1328). Seorang pemikir islam terkemuka dan tokoh pembaharu abad ke-8 H/ ke 14 M, berasal dari keluarga cendekiawan, lingkungan yang cinta ilmu. Ayahnya shihabuddin Abdul Hakim, adalah seorang yang ahli Hadis dan Islam terkenal di Damascus yang mengajar adalah seorang ulama ternama. Mereka semua adalah pemuka-pemuka dalam mazhab Hanbali dan kuat berpegang pada ajaran salaf (yang terdahulu).

187 Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, 46.

188

Teks Hadis tersebut adalah : بهى النى صلى هللا عله وسلم أن تشترط المرأة طالق أختها. وفى لفظ : ال تسال المرأة لتنكح "أو" لتكتفىء مافى صحفتها

أوإناتها, فإنما رزقهاعلى هللا"

95

tersebut menunjukkan batalnya perbuatan yang dilarang, oleh karena itu perempuan ini mensyaratkan kepada suaminya untuk menceraikan madunya, menggugurkan haknya memadu dan hak madunya, maka syaratnya tidak sah sebagaimana kalau ia mensyaratkan kepada suaminya agar membatalkan jual-belinya.

Ibnu Qayyim189 tentang masalah ini menjawab, ada yang berkata: perbedaan antara kedua hal diatas, karena minta agar madunya diceraikannya berarti merugikan perempuan lain, menyakitkan hatinya, merusak rumah tangganya, memberikan kesempatan kepada musuh-musuh untuk menghinanya, karena dia ditinggalkan untuk kawin dengan orang lain. Karena itulah agama membedakan hukum kedua hal tersebut dan mengkiaskan yang pertama kepada yang kedua dalam perkara ini hukumnya batal.190

Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa ijab kabul yang diiringi suatu perjanjian menurut hukum fikih islam, mempunyai syarat-syarat. Syarat-syarat itu ada yang wajib dipenuhi, ada yang tidak wajib dipenuhi, ada syarat-syarat yang hanya untuk isteri manfaatnya dan adanya syarat-syarat yang dilarang agama. Masing-masing syarat tersebut mempunyai ketentuan hukum.

Syarat yang dibuat untuk mengiringi ijab kabul dalam akad perkawinan ini, dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang perkawinan”.191 Perjanjian perkawinan yag disebutkan dalam hukum positif (hukum nasional) ini identik substansinya (materinya) dengan syarat-syarat yang disebutkan dalam hukum fikih Islam, yang mengikuti ijabkabul ketika akad nikah. Ini menunjukkan, bahwa hukum fikih Islam sudah menjadi hukum nasional. Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami dengan calon istri pada waktu atau sebelum perkawinan Lihat: Al-Shaukāny, Nailal-Auṭār, h. 142 – Wahbah al-Ẓuḥaily, al-Fiqh al-

Islāmy..., h. 59.

189

Ibnu Qayyim al-Jauziyah (Damascus, Suriah: 691 H/ 1292 M), Ahli Fikih kenamaan dalam Mazhab Hambali, Nama aslinya adalah Shamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Abu Bakar. Ayahnya, Abi Bakar, adalah seorang ulama besar dan kurator (qayyim) pada madrasah al-Jauziyah di Damascus. Dari jabatan ayahnya inilah sebutan Ibnu Qayyim al-Jauziyah diambil. Ia berpendirian bahwa pintu ijtihad tetap terbuka. Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h. 164.

190 Lihat: Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, 47.

191

Lihat: UU No. 1 Tahun 1974 pasal 29 dan KHI tentang perkawinan pasal 45.

96

dilangsungkan secara tertulis dan disahkan oleh pegawai pencatat nikah dan isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang diperjanjikan.192 Tetapi perlu diketahui bahwa perjanjian perkawinan ini, tidak boleh bertentangan dengan aturan-aturan yag telah ditetapkan oleh Syari’at atau Fikih Islam. 4. Hak dan Kewajiban Suami-Istri dalam Perkawinan Berkenaan dengan hak dan kewajiban suami- istri disebutkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 pada pasal 30 s/d pasal 34, dan dalam KHI tentang perkawinan pada pasal 77 dan pasal 78. Dalam hukum fikih Islam, jika akad nikah telah sah dan berlaku, maka ia akan menimbulkan akibat hukum dan dengan demikian akan menimbulkan pula hak dan kewajiban selaku suami istri. 193 Hak dan kewajiban ini ada tiga macam, yaitu:

a. Hak istri atas suami b. Hak suami atas istri c. Hak bersama

Jika suami-istri masing-masing melaksanakan kewajibannya dan memperhatikan tanggung jawabnya akan terwujudlah ketentraman dan ketenangan hati sehingga sempurnalah kebahagiaan suami istri tersebut.194

a. Hak bersama suami-istri: 1) Halal pergaulan suami-istri dan melakukan hubungan seksual.

Hak ini dihalalkan bagi suami – istri secara timbal balik. Tidak boleh dilakukan secara sepihak saja.

2) Haram melakukan perkawinan, baik suami, maupun istri dengan saudaranya masing-masing.195

3) Dengan adanya ikatan perkawinan, maka kedua belah pihak (suami istri) saling mewarisi apabila salah seorang diantara keduanya telah meninggal meskipun belum melakukan hubungan seksual.

4) Sahnya menasabkan anak kepada suami

192

Gatot Supramono, Segi-segi Hubungan Luar Nikah, (Jakarta: Djambatan, 1998), 39.

193 Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, jilid II, 134

194

Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, h. 134, dan lihat: Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, 327.

195 Sebab diharamkan perkawinan suami, atau istri kepada masing-masing, karena

saudara-saudara masing-masing itu telah menjadi mahram bagi masing-masing suami-istri – Lihat Q.S. al-Nisā / 4: 23.

97

5) Kedua pihak wajib mu‘asharah bi al-ma’rūf (bertingkah laku dengan baik) agar dapat melahirkan kemesraan dan kedamaian (QS. Al-Nisā’ (4) : 19).196

b. Hak istri terhadap suaminya (kewajiban suami terhadap istrinya) 1) Hak kebendaan, yaitu mahar197 dan nafkah198 2) Hak rohaniyah, misalnya berlaku adil jika suami berpoligami dan

tidak boleh membahayakan istri.199 c. Hak suami terhadap istrinya (kewajiban istri terhadap suami)

1) Istri hendaklah taat kepada suami dalam melaksanakan urusan rumah tangga selama suami menjalankan ketentuan-ketentuan Islam yang berhubungan dengan kehidupan suami-istri. (QS. Al-Nisā’ 4: 34).

2) Istri hendaklah mengurus dan menjaga rumah tangga, termasuk mengasuh anak bersama suami dan mengurus harta rumah tangga.200

Rumah tangga yang aman dan damai adalah gabungan di antara tegapnya laki-laki dan halusnya perempuan. Laki-laki sebagai penanggung jawab utama nafkah rumah tangga, dan perempuan mengurus rumah tangga. Namun Islam membolehkan perempuan membantu suaminya dalam mencari nafkah dengan izin, atau persetujuan suaminya, sepanjang tidak menganggu tugasnya sebagai istri dan ibu rumah tangga.

Penggabungan laki-laki dan perempuanlah yang mendatangkan keturunan. Dari kasih sayang ibu dan ayah, dibentuk jiwa anak-anak kelak akan tiba gilirannya, mereka juga akan mendirikan rumah tangga dan melanjutkan keturunan.201

Meskipun fungsi antara suami dan istri dalam rumah tangga berbeda, namun fungsi mereka masing-masing sama penting dan semuanya dibutuhkan, karena saling melengkapi dan saling menyempurnakan.

196 Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, 134 – Lihat: Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islāmy

wa Adillatuhu, 342.

197 Kewajiban suami memberikan mahar kepada istri; lihat Q.S. al-Nisā’ (4): 4.

198Kewajiban suami memberikan nafkah kepada istri; lihat Q.S. al-Baqarah (2): 233,

al-Ṭalāq (65): 6, al-Nisā’ (4): 34 dan lain-lain. Nafkah meliputi makanan, minuman, pakaian,

tempat tinggal, pengobatan dan lain-lain

199

Al-sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, 134, 135.

200 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah, kajian Hukum Islam Kontemporer,

(Bandung: Angkasa, 2005), 134, 135.

201 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah,..., 134, 138.

98

Di dalam perkawinan, suami berkedudukan sebagai pemimpin keluarga dan bertanggung jawab atas kesejahteraan. Rumah tangganya202Tanggung jawab suami sebagai kepala keluarga menurut hukum fikih Islam adalah menjaga, membela memberi nafkah bertindak sebagai wali dan sebagainya. Sedangkan istri bertugas memelihara rumah tangga, hamil, melahirkan dan mengasuh anak serta menjadi tempat berteduhnya suami, guna mendapatkan sakinah dan ketenangan ketika datang dari kerja yang dalam keadaan lelah.203 Jika suami istri telah melaksanakan fungsi masing-masing sesuai dengan kodratnya dan saling pengertian, saling menghormati dan saling tolong menolong dalam pelaksanaan tugas masing-masing, maka terbentuklah keluarga sakīnah204 mawaddah205 wa raḥmah206, keluarga bahagia dan sejahtera yang diriḍai Allah SWT.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa materi UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang perkawinan sama dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum fikih Islam. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut:

Menurut undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1, perkawinan adalah :

“Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal bedasarkan ketentuan Yang Maha Esa”.

Sedangkan dalam KHI tentang perkawinan, pasal 2 disebutkan, bahwa perkawinan adalah:

“Akad yang sangat kuat atau Mīthāqan Ghalīẓan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.

202 Q.S al-Nisā’ (4) : 34.

203

Lihat Q.S. al-Rūm : 21

204 Keluarga sakīnah adalah keluarga yang tenang dan tentram. Lihat: M.Quraish

Shihab (ed), Ensiklopedia Al-Qur’an, 864, 865.

205Mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Ia

adalah cinta yang sejati, berbeda dengan dengan cinta (محبة), karena cinta itu bisa pudar atau putus. Mawaddah bukan hanya sekedar cinta, tetapi mawaddah adalah cinta plus. Lihat M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), 88.

206 Raḥmah adalah kondisi psikologis yang muncul dalam hati akibat menyaksikan

ketidak berdaya sehingga yang bersangkutan terdorong untuk melakukan pemberdayaan. Karena itu dalam keidupan keluarga, masing-masing suami istri, akan sungguh-sungguh, bahkan bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang menganggu dan mengeruhkannya – Lihat: M. Quraish Shihab: Pengantin Al-Qur’an, 91.

99

Mengenai tujuan perkawinan dalam KHI Buku I tentang perkawinan pasal 3 dirumuskan sebagai berikut:

“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.

Hampir sama isinya dengan pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang perkawinan.

Dari rumusan-rumusan Hukum Nasional diatas dapat disimpulkan bahwa kedudukan wanita dan pria yang memasuki gerbang perkawinan itu adalah seimbang. Kedudukan itu tetap adanya setelah perkawinan seperti dirumuskan oleh pasal 79 KHI tentang perkawinan, yaitu: 1) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga 2) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak kedudukan suami

dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Sedangkan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

merumuskan kedudukan suami dan istri dalam hubungan perkawinan pada pasal 30 s/d pasal 34.

Menurut Busthanul Arifin rumusan diatas sangat jelas mengenai keseimbangan kedudukan suami-istri dengan masing-masing mempunyai fungsi dan tanggung jawab yang berbeda, tetapi dengan tujuan yang satu, yaitu tercapainya kebahagian rumah tangga atau keluarga (UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan), atau terwujudnya rumah tangga dan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (KHI Buku I tentang Perkawinan). Rumusan fungsi dan tanggung jawab suami sitri itu memang sangat unik dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan sebelumnya207

Rumusan di atas menurut Busthanul Arifin, juga menentukan dengan jelas bahwa hubungan dan kedudukan suami-istri dalam perkawinan, adalah suatu hubungan yang mengandung rasa keadilan. Sekaligus sangat potensial untuk dikembangkan menghadapi perubahan-perubahan cepat yang terjadi dalam masyarakat.208

Keseimbangan fungsi dan kedudukan suami istri itu adalah untuk satu tujuan, yaitu untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.209 Keseimbangan kedudukan suami istri itu, tidak terbatas dalam rumah tangga saja, akan tetapi juga dalam hubungan

207 Lihat: Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 120.

208

Lihat: Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 120.

209 Diadopsi UU No. 1 Tahun 1974 pasal 30 dan KHI tentang Perkawinan Pasal 79.

100

dengan masyarakat, dan secara khusus, masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum210

Berkenaan dengan rumusan-rumusan diatas, Sayuti Thalib mengatakan, bahwa setidaknya ada lima hal yang sangat penting:

Pertama, pergaulan hidup suami istri yang baik dan tenteram dengan rasa cinta mencintai serta santun menyantuni. Artinya, masing-masing pihak wajib mewujudkan pergaulan yang ma’ruf di dalam rumah tangga, ataupun keluarga (masyarakat).

Kedua, suami memiliki kewajiban dalam posisinya sebagai kepala keluarga dan istri juga memiliki kewajiban dalam posisinya sebagai ibu rumah tangga.

Ketiga, rumah kediaman disediakan suami dan suami istri wajib tinggal dalam satu kediaman tersebut. Pada dasarnya suami wajib menyediakan tempat tinggal yang tetap, namun dalam kasus-kasus tertentu rumah kediaman tersebut dapat diwujudkan secara bersama-sama.

Keempat, belanja kehidupan menjadi tanggung jawab suami sedangkan istri wajib membantu suami mencukupi biaya hidup tersebut.

Kelima, si istri bertanggung jawab mengurus rumah tangga dan membelanjakan biaya rumah tangga yang diusahakan suaminya dengan cara-cara yang benar, wajar dan dapat di pertanggung jawabkan.211

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan, bahwa apa yang menjadi kewajiban suami, menjadi hak istri, begitu pula sebaliknya. Dengan demikian jelas sekali, bahwa hukum fikih Islam dan hukum positif di Indonesia dalam masalah perkawinan, semuanya mensejajarkan kedudukan wanita sebagai istri dengan pria sebagai suami. Keduanya adalah mitra sejajar dalam rumah tangga. Kalau ada perbedaan antara mereka dalam hak dan kewajiban, itu bukan sebagai sesuatu yang bertentangan, tetapi sebagai sesuatu yang saling melengkapi dan saling menyempurnakan, karena kodrat masing-masing. Materi hukum positif di Indonesia dalam masalah perkawinan adalah diadopsi dari hukum fikih Islam. Ini menunjukkan bahwa hukum fikih islam tentang perkawinan, khususnya dalam masalah hak dan kewajiban suami istri, telah mejadi Hukum Nasional di Indonesia. 5. Harta Bersama dalam Perkawinan

210 Diadopsi UU No. 1 Tahun 1974 pasal 31 dan KHI tentang Perkawinan pasal 79.

211

Sayuti Thalib, Hukum kekeluargaan Indonesia, Berlaku bagi Umat Islam, (Jakarta: UI Press, 1982), 73-78.

101

Dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 mengenai harta bersama212 diatur dalam pasal 35 s/d pasal 37, dan dalam KHI tentang Perkawinan di atur dalam pasal 85 s/d pasal 97. Bersamaan dengan harta bersama / harta kekayaan dalam perkawinan diatur pula mengenai harta bawaan213 masing-masing dari suami istri, harta bawaan tidak termasuk harta bersama. Dalam pasal-pasal tersebut tidak ditentukan siapa yang mendapatkan harta bersama itu, apakah istri atau suami yang mendapatkannya. Dengan demikian, berarti semua harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan, adalah merupakan harta bersama. Islam tidak mengatur kepemilikan harta secara komunal, kecuali dalam bentuk serikat usaha dagang (shirkah). Masalah harta bersama suami-istri, belum dijumpai dalam kitab-kitab fikih klasik. Uraiannya masih terkait dengan konsep kewajiban mencari nafkah kepada suami dan istri menjadi ibu rumah tangga.214 Tampaknya para ulama fikih mengabaikan masalah harta bersama, atau harta kekayaan yang diperoleh dalam perkawinan, sehingga terkesan, bahwa peran istri dalam rumah tangga hanya mengurusi suami serta anak-anaknya tanpa ada peran dalam finansialnya.215 Padahal pekerjaan istri di rumah sebagai ibu rumah tangga mengatur dan mengerjakan barbagai urusannya, termasuk mengurus anak-anaknya, itu berimbang dengan pekerjaan suami bahkan mungkin lebih berat hanya saja pekerjaan suami itu mendapatkan uang, sedangkan pekerjaan istri di rumah tidak

212 Harta bersama adalah harta yang diperoleh secara bersama di dalam perkawinan

– Depdikbud, kamus Besar Bahasa Indonesia, 290.

213 Harta bawaan adalah harta benda yag dibawa ketika menikah harta bawaan ini,

terbagi dua, harta bawaan suami dan harta bawaan istri. Harta bawaan suami disebut, “binatoh” dan harta bawaan istri disebut “dapean”. Lihat Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 299

214 Lihat Q.S. al-Nisā’ : 34

215

Dalam Al-Qur‘an Ali ‘Imrān: 195, al-Nisā’ : 124, al-Naḥl: 97, dan ghāfir : 40, dapat dijadikan dasar kesetaraan jender, karena ayat-ayat tersebut mengisyaratkan konsep kesetaraan jender yang ideal dan memberikan ketegasan, bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karir profesional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi optimal – Lihat Amiur Nuruddin, dan Azhari Ahmad Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, 204.

102

mendatangkan uang. 216 Seharusnya dapat dianggap sebagai suatu kerjasama yang harmonis, yang saling melengkapi dan saling tolong menolong dalam membina rumah tangga. Demikian pula halnya jika suami istri itu sama-sama bekerja diluar rumah mereka bersama-sama memikul beban dalam rumah tangga dan selalu kerjasama. Sebenarnya harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan, dapat dikatakan sebagai harta shirkah (perkongsian), karena setelah selesai akad nikah, maka mulai pada saat itu urusan rumah tangga di pikul bersama, dengan pembagian tugas sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing sehingga harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan dapat dikatakan sebagai harta bersama.217 Oleh sebab itu wajarlah masalah harta bersama ini diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang perkawinan. Hal ini sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia, terutama dalam fungsi suami-istri. Oleh sebab itu masalah dan ketentuan harta bersama tersebut, adalah sebagai fikih Indonesia. Menurut Busthanul Arifin, bahwa UU no. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan menetapkan setengah dari harta bersama adalah milik istri, manakala terjadi cerai mati, atau cerai hidup. Dasar pemikirannya adalah, kurang tepat mengukur bagian istri dengan nilai saham istri dalam mengumpulkan harta bersama itu. Apalagi kalau saham istri itu dinilai dengan keharusan hasil usaha yang nyata seperti halnya suami. Pada hal fungsi dan kedudukan suami istri telah ditegaskan seimbang. Perkawinan dalam Islam disebut “mīthāqon ghalīẒan”, perjanjian hukum yang kokoh.218

Selanjutnya Busthanul Arifin mengatakan, bahwa kenyataan yang sulit dipungkiri adalah sekulum senyum istri yang menyambut sang suami pulang dari pekerjaan mencari nafkah telah merupakan modal yang tidak ternilai dalam menumbuhkan semangat kerja sang suami. Apakah itu

216 Ulama fikih klasik belummembahas masalah harta bersama dalam kitab-kitab

fikih, agaknya terkait oleh situasi dan kondisi masyarakat pada masa ulama fikih tersebut mencetuskan ijtihadnya – Lihat Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum islam di Indoensia, 122

217 Walaupun dalam kitab-kitab fikih klasik belum diatur tentang harta bersama,

namun karena kemaslahatannya terhadap keutuhan rumah tangga dapat dibuktikan, dan berdampak kepada kesamaan hak dan kewajiban suami istri, maka hukum positif di Indonesia tentang perkawinan mengesahkan keberadaan harta bersama dan menjadi salah satu wewenang pengadilan agama.

218 Lihat: Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 123.

103

belum, atau tidak merupakan saham sang sitri yang tidak dapat dinilai dengan uang dan harta219

Penulis sependapat dengan pandangan Busthanul Arifin yang mengatakan, bahwa setengah dari harta bersama adalah milik sang istri, manakala terjadi cerai mati, atau cerai hidup dengan alasan-alasan yang telah dikemukakannya, bahwa fungsi dan kedudukan suami-istri dalam rumah tangga itu seimbang. Hanya saja penulis tidak sependapat dengan Busthanul Arifin yang megatakan, aneh kalau pembagian harta bersama diukur dengan ukuran kongsi dalam perdagangan.220

Penulis berpendapat, bahwa kedudukan istri dalam perkawinan, selain seperti yang telah dikemukakan oleh Busthanul Arifin di atas dapat pula dikatakan bagaikan orang berkongsi saham pada harta bersama, karena begitu terjadi akad nikah, maka pada saat itu juga suami istri telah memikul bersama urusan rumah tangga sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing. 6. putusnya Perkawinan serta Akibatnya. Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 38, perkawinan dapat putus karena: a. Kematian b. Perceraian dan c. Keputusan pengadilan Putusnya perkawinan yang disebutkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut, juga disebutkan dalam KHI buku 1 tentang perkawinan pada pasal 113.221 Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan BAB VIII masalah putusnya perkawinan serta akibatnya disatukan pada pasal 38 s/d pasal 40, sedangkan dalam KHI buku I tentang Perkawinan dengan akibat putusnya perkawinan. Putusnya perkawinan disebutkan pada Bab XVI yaitu pada pasal 113 s/d pasal 148. “akibat putusnya hubungan perkawinan” disebutkan pada Bab XVII, yaitu padapasal 149 s/d pasal 162 Putusnya perkawinan serta akibatnya yang disebutkan dalam hukum Islam Indonesia (UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang perkawinan), sama dengan pembahasan hukum fikih Islam tentang putusnya perkawinan dan akibatnya. Berbeda hanya dalam urutan penyebutan putusnya perkawinan. Dalam hukum Islam, pembahasan

219 Lihat Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 123.

220

Lihat Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 123.

221 Putusnya perkawinan, baik dari segi Hukum Fikih Islam, maupun secara tehnis

pelaksanaannya, dalam UU No. 1 Tahun 1974 terdapat pada pasal 38 s/d pasal 40, dan dalam KHI tentang Perkawinan terdapat pada pasal 113 s/d pasal 148.

104

tentang talak dan yang terkait dengannya didahulukan dari pada pembahasan tentang kematian dan putusan pengadilan.222 Putusnya perkawinan karena perceraian dalam hukum fikih Islam dapat terjadi karena talak, khulu, fasakh dan putusan pengadilan.

a. Perceraian karena talak : Dalam fikih Islam pengertian talak223 didefenisikan oleh para ulama

fikih, antara lain sebagai berikut: 1) Menurut Taqiyuddīn, talak adalah melepaskan ikatan nikah.224 2) Menurut Abd. Rahman al-Jazīry, talak adalah melepaskan ikatan

dengan menggunakan kata-kata yang telah ditentukan.225 3) Menurut al-Sayid Sābiq, talak adalah melepaskan ikatan

perkawinan dan mengakhirinya.226 4) Sedangkan menurut al-Jurjāny, talak adalah menghilangkan

kepemilikan nikah.227 Dari pengertian talak yang telah dikemukakan diatas, dapat

disimpulkan, bahwa talak merupakan sebuah institusi yang digunakan untuk melepaskan sebuah ikatan perkawinan. Dengan demikian berarti ikatan perkawinan dapat diputus. Tata caranya telah diatur dalam hukum fikih Islam dan telah diadopsi dalam hukum positif di Indonesia, melalui UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang perkawinan.

Sebenarnya Islam menginginkan langgengnya kehidupan perkawinan. Akad nikah diadakan, adalah untuk selamanya dan seterusnya hingga diputuskan oleh kematian, agar suami istri bersama-sama dapat mewujudkan rumah tangga sebagai tempat berlindung, rumah tangga sakīnah, mawaddah wa raḥmah, menikmati kasih sayang dan dapat memelihara anak-anaknya, hidup dalam pertumbuhan yang baik dan berkualitas. Oleh sebab itu ikatan perkawinan disebut dengan ikatan yang

222 Lihat: Kitab-kitab fikih, seperti al-Nawawy, al-Majmū’, sharḥ al-Muhadhdhab,

Imam Taqiyuddīn, Kifāyah al-Akhyār, Ibnu Rushd, Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtaṣid, Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu, dan lain-lain 223

Talak berasal dari Bahasa Arab yaitu, “al-Ṭalāq” yang berarti melepaskan atau

meninggalkan. Juga berarti perempuan terlepas dari ikatan perkawinan dengan suaminya,

atau melepaskan ikatan. Lihat: Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah. Al-Mu’jam al-Wasīṭ, Jilid II, 563

– al-Jurjāny, al-Ta’rīfāt, 144

224

Taqīyuddin, Kifāyah al-Akhyār, (Bandung: Al-Ma’ārif, t.t), Jilid II, 84

225 Abd. Rahman al-Jazīry, al-Fiqh ‘alāal-Madhāhib al-Arba’ah, Jilid III, h. 278.

226

Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, jilid II, 206.

227 Al-Jurjāny, al-Ta’rīfāt, 144.

105

kokoh (ميثاقا غليظا).228Karena itu ikatan suami istri yang kuat dan kokoh itu, tidak sepatutnya dirusakkan, atau diputuskan. Memutuskan ikatan perkawinan dibenci oleh Islam, karena menghilangkan kemslahatan antara suami istri. Hal ini disebutkan dalam Hadis Nabi SAW, bahwa perbuatan halal yang sangat dibenci Allah adalah talak.229

Talak itu dibenci bila tidak ada suatu alasan yang benar untuk melakukannya. Menurut al-Sayid Sābiq hal ini disebabkan karena bercerai dianggap kufur terhadap nikmat Allah. Sedangkan kawin adalah suatu nikmat dan kufur terhadap nimat adalah haram. Jadi tidak halal bercerai (melakukan talak), kecuali karena darurat.230 Jika suami istri sudah tidak lagi saling mencintai, tidak lagi saling menyayangi, tidak lagi saling menghormati dan saling tidak mempercayai, sudah tidak saling setia, terus menerus cekcok dan tidak bisa lagi didamaikan, maka wajarlah mereka bercerai, karena keadaan mereka dalam rumah tangga tidak sesuai lagi dengan tujuan disyariatkannya perkawinan seperti yang telah disebutkan diatas. Jadi pada prinsipnya, Islam tidak memberi peluang untuk terjadinya perceraian, kecuali pada hal-hal yang darurat. Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 39 ayat (2) dikatakan, bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.231 Adapun hal-hal yang memugkinkan dapat memicu terjadinya perceraian, antara lain: a) Terjadinya nushūz232 dari pihak istri, atau dari pihak suami

(1) Nushūz dari pihak istri terhadap suami

228 Lihat Q.S. al-Nisā; (4) : 21

229

Hadis yang dimaksud dalam uraian diatas, adalah : “)رواه أبو داود وابن ماجه والحاكم عن ابن عمر( وجل الطالقأبغض الحالل إلى هللا عز ”

“perbuatan halal paling dibenci Allah ‘Azza wa Jalla adalah talak” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan al-Ḥakim dari Ibnu Umar). Lihat: Al-Suyūṭi, al-Jāmi’ al-Ṣaghir Jilid 1, 5.

230 Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, 207.

231

Sehubungan dengan masalah tersebut, lihat pula KHI Buku I tentang perkawinan Pasal 116.

232Nushūz adalah pembangkangan yang dilakukan oleh istri terhadap suaminya, atau

suami acuh dan tidak peduli kepada istrinya, tidak memberi nafkah lahir batin, melakukan kekerasan terhadap istri dan lain-lain Lihat: Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Tafsirnya, Jilid II, 273.

106

Nushūz istri bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah, penyelewengan dan hal-hal yang dapat menganggu keharmonisan rumah tangga. Al-Qur‘an memberi tuntunan kepada suami untuk mengatasi nushūz istri agar tidak terjadi percaraian, sebagaimana firman Allah dalam surah al-Nisā’ (4): 34233 memberikan opsi kepada suami, yaitu: (a) Suami memberi nasihat kepada istri dengan cara yang ma’ruf agar

ia segera sadar terhadap kekeliruan yang dilakukannya. (b) Pisah ranjang, sebagian Ulama mengartikan kata فاهجزوهن, dengan

makna “hendaklah bekot/ tidak bicara kepada istri selama tiga hari234. Cara ini dilakukan sebagai hukuman psikologis bagi istri dan dalam kesendiriannya, atau tidak ngomong dengannya selama tiga hari itu, ia dapat mengoreksi dirinya dari kesalahan-kesalahan yang dilakukannya.

(c) Kalau dengan dua cara yang telah disebutkan di atas tidak berhasil, maka langkah yang ketiga dilaksanakan oleh suami adalah memberi ukuman fisik dengan cara memukulnya, yaitu dengan pukulan yang tidak memberi bekas, atau tidak menyakitinya.235Nushūz istri tersebut telah dimasukkan dalam KHI tentang perkawinan pada pasal 80, 84.

233 Q.S. Al-Nisā’ (4): 34 menerangkan cara mengatasi nushūz istri yaitu:

من لع ٱلرجال و ٱىنساء كو ا فظ ة ف ٱلل ول أ فلا

ا أ بػض وب لع يحج بػظ ا خفظ ٱىص قتج حفظج ىيغيب ة

ت و ٱلل و ٱل فػظ ج تافن نشز ف ٱ ظاجع رو و ٱل ٱضب ك طػ سبيل إن فإن أ ي

ا غي فل تتغ ا ٱلل كن غييا ٣٤نتي

Artinya: kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nushuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

234 Menurut Wahbah al-Zuḥaily, jika terjadi nushūz istri, maka hendaklah suami pisah

ranjang dengan istrinya yang nusyūz itu, karena menurut riwayat al-Bukhary dan Muslim dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW pernah melakukannya kepada istri-istrinya selama sebulan. Bekot/ tidak bicara dengan istri yang nushūzmaksimal tiga hari, tidak boleh lewat dari tiga hari karena Rasulullah SAW mengharamkan bekot/ tidak bicara atau orang Islam lebih dari tiga hari. Lihat Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmy wa adillatuhu, 339.

235 Sebagian orang mengatakan bahwa perintah Allah dalam Q.S al-Nisā’ (4): 34 ini

merupakan tindakan kekerasan terhadap istri dan melanggar HAM. Anggapan tersebut tidak

107

(2) Nushūz suami terhadap istri. Kemungkinan nushūz ternyata ada juga datang dari suami.236 Selama

ini sering disalahpahami, bahwa nushūz hanya datang dari pihak istri saja. Padahal Al-Qur‘an, juga menyebutkan adanya nusyuz dari suami seperti yang terlihat dalam Al-Qur‘an surah al-Nisā’ ayat 128.237

Nushūznya suami dapat terjadi dalam bentuk kelalaian dari pihak suami untuk memenuhi kewajibannya pada istri, 238 baik nafkah lahir maupun nafkah batin. Berekenaan dengan tugas suami terhadap istri tersebut berangkat dari Hadis Nabi SAW, dinyatakan antara lain adaah: (a) Memberi sandang dan pangan kepada istri (b) Tidak memukul wajah jika terjadi nushūz istri (c) Tidak mengolok-olok dengan mengucapkan hal-hal yang dibenci /

tidak disukai istri (d) Tidak menjauhi istri, atau berpisah dengannya, kecuali di dalam

rumah.239

benar, karen pada dasarnya Islam melarang untuk memukul istri. Allah membolehkan memukul itu, karena darurat, dengan pukulan yang tidak keras dan tidak mencederai, atau tidak menyakiti, dengan tujuan untuk mendidik dan kemaslahatan serta kelanggengan rumah tangga istri tersebut. Jika pukulan itu menyakiti, atau mencederainya, maka Islam tidak memperbolehkannya, bahkan mengharamkannya. Memukul itu merupakan tahap terakhir dari proses mendidik dan memperbaiki akhlak istri. Lihat: Huzaemah Tahido Yanggo, Al-Qur‘an Kitab Suci Aktual Sepanjang Zaman, Dalam Jurnal Misykat, (Jakarta: Pasca Sarjana IIQ, 2008), Vol. 1, No. 2, 10.

236 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), 270,

Sayuti Talib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), 93.

237 Q.S. al-Nisā’ ayat 128

ة و إوٱمرأ ا ا صيد ن يصيدا ةي

ا أ ي

اح غي ا فل ج و إغراطا نشزا أ بػي يح خافج خضت ٱلص

خي وأ ح فسٱلش

إون ٱل

ا فإن ا وتخل تس ين خت ٱلل ا تػ اكن ة ١٢٨ ي

Artinya: “dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya [358], dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nushuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

238Nushūz suami terhadap istri disebutkan oleh Q.S. al-Nisā’ (4): 128, tetapi dalam

KHI tentang perkawinan dan UU No. 1 Tahun 1974 belum dimasukkan. Demikian pula nushuz istri terhadap suami belum dimasukkan dalam UU Perkawinan, tetapi telah dimasukkan dalam KHI Buku I tentang Perkawinan Pasal 84.

239 Adapun Hadis yang bekenaan dengan tugas dan kewajiban suami terhadap istri

adalah Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah dari Mu’awiyah,

108

Sebenaranya kewajiban suami terhadap istri sudah dijelaskan dalam Al-Qur‘an, misalnya dalam surah al-Nisā’: 34, al-Baqarah: 233 dan lain-lain, kemudian dipertegas lagi oleh Hadis Nabi SAW, bahwa suami harus memperlakukan istrinya dengan cara yang baik dan dilarang menyakitinya, baik lahir, maupun batin, fisik dan mental. Jika hal ini terjadi, dapat dikatakan sebagai satu bentuk nushūz suami kepada istri.

Jika suami melalaikan kewajibannya dan sudah diingatkan berulangkali oleh istrinya, tetapi tidak ada perubahan, maka Al-Qur‘an menganjurkan kepada istri untuk melakukan perdamaian dan agar lebih sabar dalam menghadapi suaminya serta merelakan hak-haknya di kurangi untuk sementara waktu, agar perceraian tidak terjadi.240

Inilah ayat yang menurut Sayuti Talib yang dijadikan dasar untuk merumuskan tata cara dan syarat-syarat bagi ta’lik talak sebagai bentuk perjanjian perkawinan. Maksudnya untuk mengantisipasi dan sekaligus sebagai cara untuk menyelesaikan masalah apabila suami melakukan nushūz.241

Sedangkan Abd Manan mengatakan bahwa ta’lik talak menurut Maḥmūd Shaltūt adalah jalan yang terbaik untuk melindungi kaum wanita dari pebuatan tidak baik dari suami. Sekiranya seorang suami telah mengadakan perjanjian ta’lik talak ketika akad nikah dilaksanakan dan bentuk perjanjian itu telah disepakati bersama, maka perjanjian ta’lik talak dianggap sah untuk semua bentuk ta’lik. Apabila suami melanggar perjanjian yang telah disepakati itu, maka istri dapat meminta cerai kepada Hakim yang ditunjuk oleh pihak yang berwenang.242 Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa ternyata nushūz tidak hanya dari pihakistri, tetapi dapat pula datang dari suami sebagaimana

bahwasannya nabi SAW ditanya oleh seorang laki-laki tentang apa hak perempuan (istri) dari suaminya? Rasulullah menjawab:

تطعمها إذا طعمت, وتكسوها إذا اكتست, والتضرب الوجه, والتقبح, وال تهجر إالفى البت.

“Engkau beri makan padanya (istri) jika engkau makan, engkau beri ia pakaian jika engkau memakai pakaian, jangan engkau mengolok-oloknya (mengucapkan hal-hal yang tidak disukai) dan jangan engkau menjauhinya/ berpisah tempat tidur dengannya, kecuali di dalam rumah” Lihat: Al-Shaukāny, Nail al-Auṭār, Jilid VI, 211.

240 Lihat: Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di

Indonesia, 211.

241 Lihat: Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di

Indonesia, 211, 212

242 Abd. Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,

(Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2001), 278.

109

disebutkan pada ayat 128 surat al-Nisā. Nushūz suami belum dimasukkan dalam UU No. 1 Tahun1974 dan KHI tentang Perkawinan.

b) Terjadinya Shiqāq (percekcokan/ persengketaan) Terjadinya shiqaq terus menerus antara suami-istri dalam suatu

rumah tangga, dapat memicu terjadiya perceraian, atau putusnya perkawinan. Hal ini disebabkan, misalnya kesulitan ekonomi, suami atau istri selingkuh, atau tidak melaksanakan kewajiban, sehingga suami-istri sering bertengkar.

Untuk mengatasi perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus antara suami-istri, Al-Qur‘an memberikan jalan keluar, yaitu pada surah al-Nisā’ (4): 35,243 agar hendaklah diutus seorang ḥakam (juru damai) dari keluarga suami dan seorang ḥakam (juru damai) dari keluarga istri. Kedua ḥakam itu dikirim oleh yang berwajib, atau oleh suami-istri, atau oleh keluarga suami-istri.244 Menurut al-Marāghy, perintah mengutus dua orang Ḥakamyang disebutkan dalam ayat 35 al-Nisā’ itu bersifat wajib.245

Dua orang hakam itu sebaiknya seorang dari keluarga suami dan seorang dari keluarga istri, dan boleh dari orang lain. Tugas Hakam itu ialah untuk mengetahui persoalan perselisihan yang terjadi dan sebab-sebabnya kemudian berusaha mendamaikan keduanya. Tugas serupa itu tepat dilaksanakan oleh orang yang bijaksana, meskipun bukan dari keluarga suami istri yang mungkin lebih mengetahui rahasia persengketaan itu dan lebih mudah bagi keduanya untuk menyelesaikannya. Hal ini dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya perceraian.246

Jika usaha kedua orang hakam dalam mencari iṣlāh antara kedua suami istri yang bersengketa pada tahap pertama tidak berhasil, maka

243Shiqāq berarti perselisihan suami istri yang diselesaikan oleh dua orang Ḥakam

(juru damai), seorang Ḥakam dari pihak suami dan seorang Ḥakam dari pihak istri – Lihat : al-Sayid Sābiq , Fiqh al-Sunnah, Jilid II, 264 Q.S. Al-Nisā’ : 35:

ا ف إون شلاق ةي خفخ ا ي ٱبػث أ ا فق ۦخه ا ي ا إن يريدا إصلد ي

أ ا وخه إن ٱلل ا ةي ا ٱلل ا ختي كن غيي

٣٥

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga lak-laki dan seorang Hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi maha mengenal”.

244 Depag RI, Al-Qur‘an dan Tafsirnya, 155

245Ahmad Muṣṭafā al-Marāghy, Tafsir al-Marāghy, (Bairut: Dar al-Fikr, 1365 H), Jilid II,

31.

246

Depag RI, Al-Qur‘an dan Tafsirnya, 155.

110

diusahakan lagi penunjukkan dua hakam yang sifatnya sebagai wakil dari suami istri yang bersengketa dalam batas-batas kekuasaan yang diberikan kepadanya. Kalaupun ini belum berhasil, maka untuk ketiga kalinya dicari lagi dua orang ḥakam yang akan mengambil keputusan, dan keputusan itu mengikat.247 Dengan demikian, berarti kedudukan Ḥakam sangat penting untuk menangani kasus-kasus sengketa/ cekcok antara suami istri agar tidak terjadi perceraian antara mereka.248

c) Salah satu pihak melakukan perbuatan zina atau selingkuh. Jika salah satu pihak dari suami-istri berbuat zina, atau berselingkuh,

maka hal ini dapat memicu pertengkaran, karena dapat menimbulkan saling tuduh menuduh atara keduanya. Cara menyelesaikannya adalah dengan cara membuktikan tuduhan yang di dakwakan dengan cara li’ān.249Li’ān sesungguhnya telah memasukigerbang putusnya perkawinan dan bahkan selama-lamanya. Karena akibat li’ān adalah terjadinya ṭalāq bāin kubrā.250

247 Depag RI, Al-Qur‘an dan Tafsirnya, 155

248

Masalah ḥakam (juru damai) yang ditunjuk dari masing-masing 1orang dari pihak suami dan istri, dimana kedua ḥakam inilah yang ditugaskan untuk mendamaikan suami-istri jika terjadi cekcok diantara keduanya., sebelum perkaranya diajukan ke Pengadilan Agama ini belum disebutkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan. Kalau suami-istri dapat berdamai melalui kedua hakam tersebut, maka suami-istri itu tidak perlu lagi ke Pengadilan Agama.

249Li’ān diambil dari akar kata la’nan yang berarti menjauhkan diri dari kebaikan.

Orang yang melakukan, li’an disebut “la’ana” yang berarti suami meli’an istrinya untuk membebaskan dirinya dari sanksi terhadap tuduhannya atas istrinya berzina. Lihat: Majma’al al-Lughah al-‘Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasīt, jilid II, 829. Sedangkan makna, li’ān menurut istilah adalah suami yang menuduh istrinya berzina tanpa dapat menghadirkan tempat orang saksi, lalu ia bersumpah tempat kali, yang menyatakan bahwa ia benar dalam tuduhannya. Kemudian pada kelima kalinya ia mengucapkan, bahwa ia akan dilaknat oleh Allah kalau tuduhannya itu dusta. Lalu istri yang menyanggah tuduhan tersebut bersumpah pula tempat kali, bahwa suaminya telah berdusta. Kemudian kelima kalinya ia mengucapkan bahwa ia akan dilaknat Allah kalau ternyata ucapan suamiya itu benar (Lihat Q.S Al-Nūr: 6-9). Lihat Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, 270

250Lihat Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, 270. Talak Bā’in ada dua macam:

Talak Bain Ṣughrā, yaitu talak yang kurang dari tiga kalitalak dan boleh suami kembali kepada istrinya dengan akad nikah dan mahar baru kalau masa ‘iddahnya sudah habis. Talak Bain Kubrā adalah talak tiga kali. Suami tidak boleh merujuk kepada istrinya lagi, kecuali setelah istrinya tersebut kawin dengan laki-laki lain dalam arti kawin yang sebenarnya dan pernah disetubuhi tanpa ada niat kawin taḥlīl, yaitu kawin rekayasa untuk menghalalkan suami pertama untuk kembali kepadanya. Lihat Al-Sayid Sābiq : Fiqh al-Sunnah, 237, 238.

111

Terjadinya li’ān adalah ketika suami menuduh istrinya berzina, tetapi ia tidak dapat mengajukan empat orang saksi yang dapat menguatkan kebenaran tuduhannya itu, atau suami tidak mengakui kehamilan istrinya sebagai hasil dari benihnya. Li’ān harus dilakukan di depan hakim (di pengadilan).

Berkenaan dengan li’ān tersebut, hukum dan tata caranya telah diadopsi dalam KHI Tentang Perkawinan pada Pasal 125, 126, 127 dan Pasal128. Tetapi dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masalah li’ān belum dimasukkan dalam UU tersebut.

b. Putusnya Perkawinan Karena khulū’251 Kehidpan suami-istri hanya bisa tegak, kalau berada dalam

ketenangan, kasih sayang, pergaulan yang baik, dan masing-masing pihak menjalankan kewajibannya dengan baik. Tetapi adakalanya terjadi suami memebenci istri, atau istri membenci suaminya. Kebencian itu kadang-kadang semakin besar, perpecahan semakin dahsyat, penyelesaiannya menjadi sulit, kesabaran menjadi hilang, sehingga hilang lenyaplah ketenangan, kecintaan, kasih sayang dan kemauan melaksanakan kewajiban yang menjadi sendi-sendi kehidupan keluarga,sehingga kehidupan suami-istri tidak dapat berdamai lagi, akhirnya rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan.

Pada saat-saat seperti ini, Islam memberikan jalan keluar yang terpaksa harus dilaksanakan. Jika kebencian terjadi dari pihak suami, maka ditangannya terletak talak252. Jika kebencian terjadi dari pihak istri, Islam membolehkannya menebus dirinya dengan jalan khulū’. 253 Yaitu

251Khulu’ menurut bahasa adalah seorang laki-laki menjatuhkan talak kepada istrinya

dengan pembayaran tebusan darinya. Lihat Majma’ al-Lughah al-Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasīṭ, Jilid I, 250. Sedangkan khulu’ menurut istilah dalam fikih adalah perempuan (istri) membayar tebusan agar ia ditalak oleh suaminya, lihat: Ibnu Rushd Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtaṣid, Jilid I, 50.

252 Dasar hukum talak adalah Q.S. al-Baqarah: 229.

لق ٱىط و تسيح بإخسػروف أ حان فإمساك ة …مر

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”. 253

Dasar hukum Khulu’ adalah Q.S. al-Baqarah: 229.

شي … ا ءاحيخ خذوا من حأ

أ ا خدود ول يو ىك ل يلي

ن خافا ل

أ ا إل ا خدود ٱلل ل يلي

ل فإن خفخ اح فل ٱلل ج

ا ا في ي حيم خدود ۦ ة ٱفخدت غي يخػد خدود فل ت ٱلل ا و ػخدو ٱلل ئم ول

ن فأ ي ٢٢٩ ٱىظ

“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, jika kamu (Wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum

112

mengembalikan mahar kepada suaminya, guna mengakhiri ikatan sebagai suami-istri.

Jumhur ulama, diantaranya adalah para Imam Mazhab empat, berpendapat jika suami menceraikan istrinya dengan cara khulū’, berarti istri telah berkuasa atas dirinya dan perkaranya sepenuhnya terserah dia dan tidak ada lagi hak suami terhadapnya, karena istri telah mengeluarkan hartanya untuk melepaskan dirinya dari ikatan suami istri. Kalau suami tetap dianggap berhak ruju’, maka tidak ada artinya tebusan istri terhadap suaminya itu, sekalipun kemudian mantan suaminya mengembalikan lagi barang tebusan(‘iwaḍ) dari istri sesudah terjadi khulū’ dan mantan istri itu menerimanya. Namun mantan suami hukumya tidak boleh ruju’ dalam masa iddahnya, karena dengan khulū’ tersebut telah terjadi ṭalāq bā’in.254

Diriwayatkan dari Ibnu Musayyab dan Zuhry, bahwa jika mantan suami, hendak merujuk kembali maka ia harus mengembalikan tebusan yang diambil dari istrinya dalam masa iddahnya dan hendaklah disaksikan oleh orang lain ruju’nya itu.255

Mantan suami boleh kembali mengawini istri yang mengkhulu’nya dalam masa ‘iddahnya, asalkan mantan istrinya itu setuju dan dilakukan dengan akad nikah yang baru.256

Khulū’ boleh dilakukan pada waktu istri dalam keadaan suci, atau dalam kedaan haid, tidak terikat dengan waktu, karena tidak ada penjelasan dari Al-Qur’an yang menetapkan waktunya secara khusus.257 Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, belum disebutkan masalah perceraian dengan cara khulū’ (cerai gugat), hanyadisebut dengan istilah gugatan pada Pasal 40, tetapi dalam KHI tentang Perkawinan telah disebutkan pada Pasal 119, dan 124, tata caranya disebutkan pada Pasal 148, dan akibatnya disebutkan pada Pasal 161.

c. Putusnya perkawinan karena Fasakh258 dan putusan pengadilan.

Allah maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan oleh istri untuk menebus dirinya”.

254 Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, 258.

255

Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, 258.

256 Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, 258.

257

Lihat: Q.S. al-Baqarah: 229

258 Menfasakh akad nikah, berarti membatalkannya dan melepaskan ikatan pertalian

antara suami-istri. Fasakh tidak temasuk dalam bilangan talak. Lihat: Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Jilid 7, 510.

113

Fasakh bisa terjadi karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada akad nikah, atau karena hal-hal lain datang kemudian yang membatalkan kelangsungan perkawinan.

Contoh fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi dalam akad perkawinan :

1) Setelah akad nikah ternyata istrinya adalah saudara sesusuan.259 Hal ini disebutkan pula dalam KHI Buku I tentang Perkawinan pada Pasal 70 sub (a), dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 8 sub (d).

2) Suami-istri masih kecil diakadkan oleh selain ayah atau datuknya, kemudian setelah dia dewasa maka ia berhak untuk meneruskan ikatan perkawinannya dahulu itu atau mengakhirinya.260ini disebut khiyar baligh. Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami-istri, maka hal ini disebut fasakh akad. Contoh fasakh karena hal-hal mendatang setelah akad.

3) Bila salah seorang dari suami-istri murtad dari Islam dan tidak mau kembali sama sekali. Maka akadnya fasakh (batal) disebabkan kemurtadan yang terjadi belakangan ini.

4) Jika suaminya yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi isteri tetap dalam kekafirannya, yaitu jadi musyrik, maka akadnya batal (fasakh). 261 Beda halnya kalau isteri orang ahli kitab, maka akadnya tetap shah seperti semula. Sebab akad perkawinan dengan istri ahli kitab dari semulanya dipandang sah. Ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum laki-laki Muslim menikahi wanita ahli kitab.262

Pisahnya suami istri akibat fasakh berbeda dengan talak, sebab talak ada talak raj’īdan bā’in. Talak raj’ī tidak mengakhiri ikatan

259 Menikah dengan saudara sesusuan hukumnya haram. Lihat: Q.S. al-Nisā’:23. Lihat

pula: Ibnu Hajar al-‘Asqalāny, Ibānah al-Aḥkām Sharḥ Bulūgh al-Marām, (Bairut: Libnan: Dar al-Fikr, 1424 H – 2004 M), Cet. 1, Jilid III, 447, Hadis Nabi mengatakan:

وحرم من الرضاعة ما حرم من النسب . متفق عله “Diharamkan (menikah) dengan yang sesusuan sebagaimana diharamkan (menikah) dengan yang senasab”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

260 Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, 268 – Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmy

wa Adillatuhu, 348.

261 Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, 349.

262

Jumhur Ulama mebolehkan penikahan laki-laki atau wanita yang beragama Islam tidak sah menikah dengan non muslim. Lihat KHI Buku I tentang Perkawinan pasal 61 RUU HMPA Bidang Perkawinan pasal 57.

114

suami istri dengan seketika. Sedangkan bā’in mengakhirinya seketika itu juga. Adapun fasakh, baik karena hal-hal yang terjadi belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, ia mengakhiri ikatan perkawinan seketika itu. Selain itu, pisahnya suami istri karena talak dapat mengurangi bilangan talak. Jika suami mentalak istrinya dengan talak raj’ī, lalu ruju’ lagi semasa ‘iddahnya, atau akad lagi sehabis ‘iddahnya, dengan akad baru, maka perbuatannya dihitung satu kali talak, dan ia masih ada kesempatan melakukan talak dua kali lagi.

Adapun pisahnya suami-istri karena fasakh, maka hal ini tidak berarti mengurangi bilangan talak, sekalipun terjadinya fasakh karena khiyār bāligh, kemudian kedua orang suami-istri tersebut kawin dengan akad baru lagi, maka suami tetap punya kesempatan tiga kali talak.263

Ahli fikih golongan Hanafi ingin membuat rumusan umum guna menbedakan pengertian pisahnya suami-istri sebab talak dan sebab fasakh. Kata mereka : “pisahnya suami-istri karena suami dan sama sekali tidak pengaruh istri disebut talak. Setiap perpisahan suami-istri karena istri, bukan karena suami, tetapi dengan pengaruh dari istri disebut khulu’.264

Jika kondisi penyebab fasakh jelas, maka tidak perlu kepada putusan pengadilan seperti bukti bahwa antara suami-istri masih saudara sesusuan, dalam kedaan seperti ini kedua suami-istri wajib memfasakh akad nihaknya dengan kemauannya sendiri.265

Jika kondisi penyebab fasakh masih samar-samar, maka perlu diajukan ke pengadilan dan bergantung kepada putusan tersebut. Seperti fasakh karena istri musyrik tidak mau masuk Islam, sedang suaminya telah masuk Islam. Sebab mungkin saja istri musyrik tersebut mau masuk islam (setelah berada di pengadilan) sehingga dengan demikian akad nikahnya tidak perlu difasakh.

Imam Malik, shafi’i dan Ahmad membolehkan perceraian dengan putusan pengadilan, 266 jika istri menuntutnya, karena tidak diberi

263 Lihat: Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, 269.

264

Lihat: Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, 125

265 Lihat: Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, 126

266

Yang dimaksud dengan pengadilan adalah Pengadilan Agama, Lihat: UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 63 Ayat 1 sub (a).

115

nafkah 267 oleh suaminya, sedangkan suaminya itu tidak mempunyai simpanan harta.268

Adapun alasan mereka adalah sebagai berkut: a) Suami berkewajiban memelihara istrinya dengan baik atau

menceraikannya dengan baik. (Q.S. al-Baqarah: 220 dan 231) b) Hadis Nabi SAW yang mengatakan, bahwa tidak boleh berbuat

muḍarat kepada orang lain, atau membahayakannya.269 Bahaya yang paling besar bagi seorang istri adalah tidak diberi

nafkah. Karena itu, alasan tidak diberi nafkah, maka pengadilan hendaklah menyelamatkannya dari bahaya ini.

c) Jika diakui bahwa pengadilan boleh menetapakan perceraian karena cacat suami, maka karena alasan nafkah dapat dikatakan lebih membahayakan dan menyakitkan istri dari pada cacat tersebut. Jadi alasan tidak diberi nafkah lebih utama untuk menetapkan perceraian tersebut.

Golongan Hanafi berpendapat bahwa tidak boleh pengadilan menetapkan perceraian karena alasan nafkah, baik karena tidak mau memberinya, atau karena dalam keadaan sulit ekonomi dan tidak mampu.270 Karena kewajiban memberikan nafkah hanya sesuai dengan kemampuan suami berdasarkan firman Allah dalam Surah al-Ṭalāq ayat: 7.271

267 Yang dimaksud dengan nafkah dalam masalah ini, adalah nafkah pokok (primer)

seperti: makan, pakaian, rumah tempat tinggal walaupun sangat sederhana sesuai dengan kemampuan suami dan lain-lain yang dibutuhkan oleh keluarga.

268 Lihat Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, 246

269

ال ضرر والضرار. رواه أحمد وابن ماجه عن ابن عباس

Artinya: “tidak boleh membahayakan dan membalas dengan bahaya”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas)

270 Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, 247

لنفق ذو سعة من سعته ومن قدر عله رزقه فلنفق مما أتاها هللا ال كلف هللا نفسا إال ما أتاهاسجعل هللا بعد عسر سرا

Artinya: “Hendaklah orangyang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya dan orang yang disempitkan rezkinya hedaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”.

271 Al-Ṭalāq ayat 7

سػخ لفق ۦ ذو سػث كدر غيي رزك ۥو ا ءاحى فييفق م ل يكيف ٱلل سيجػو ٱلل ا ا ءاحى نفسا إل بػد غس ٱللا ٧يس

116

Selain beralasan dengan ayat 7 al-Ṭalāq, golongan Hanafi beralasan

pula bahwa: para sahabat ada yang kaya ada yang miskin. Tidak pernah

diriwayatkan adanya seorang sahabat pun yang pernah diceraikan oleh

Nabi s.a.w. dari isterinya, karena kemelaratan dan kemiskinannya sehingga

tidak dapat memberi nafkah. Begitu pula Nabi s.a.w pernah dimintai oleh

para isterinya apa yang tidak mampu beliau berikan. Lalu beliau tinggalkan

isteri-isterinya selama sebulan sebagai hukuman kepada mereka.272

Jika isteri boleh dihukum, karena menuntut apa yang tidak kuasa suami memberinya, maka dipandang lebih besar kezalimannya menuntut perceraian di saat suami dalam kesulitan nafkah. Para Ulama berkata: jika suami yang mampu tidak memberi nafkah isterinya dipandang zalim, maka cara mengatasi kezaliman ini dengan menjual hartanya yang ada untuk dibayarkan kepada isterinya sebagai nafkah, atau suami dipenjara sampai mau membayar nafkah. Tidak boleh menjatuhkan talak dalam mengatasi kezaliman ini, selama cara lain masih bisa. Sekalipun tidak mau memberi nafkah itu suatu kezaliman, tetapi karena alasan ini pengadilan belum boleh menjatuhkan talak, sebab talak adalah perbuatan halal yang paling dibenci Allah273 walaupun talak itu haknya. Karena itu, bagaimana hendak dibenarkan pengadilan menjatuhkan talak padahal dia bukan pemegang haknya, dan bukan pula talak jalan satu-satunya untuk mengatasi kezaliman.274 Demikianlah jikasuami mampu memberi nafkah. Tetapi jika ia seorang miskin, maka tidaklah ia dikatakan berbuat zalim, kalau tidak memberikan nafkah kepada isterinya. Sebab Allah tidak memaksa seseorang lebih dari apa yang ia berikan kepadanya.275 Imam Malik berpendapat, istri berhak meminta kepada pengadilan agar menjatuhkan talak, jika ia beranggapan suaminya telah berbuat membahayakan dirinya sehingga tidak sanggup lagi untukmelangsungkan pergaulan suami istri, seperti: karena suka memukul atau menyakiti

272 Al-sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, 247

273

Hadis berkenaan dengan hal tersebut di atas adalah: أبغض الحالل إلى هللا الطالق )رواه أبو داود وابن ماجه والحا كم عن ابن عمر(

Lihat: Jalāluddīn al-Suyūṭy, al-Jāmi’ al-Ṣaghīr, 5.

274 Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, 247

275 Lihat: Q.S. al-Ṭalāq: 7.

117

dengan cara apapun yang tidak dapat ditanggung lagi, atau dengan memakinya atau memaksa dia mengucapkan atau berbuat mungkar.276 Jika tuduhan di depan pengadilan terbukti dengan keterangan isteri atau karena pengakuan suami, sedangkan hubungan suami istri tidak dapat lagi diteruskan karena perbuatan yang menyakitkan oleh suami dan pengadilan tidak mampu mendamaikan mereka, maka boleh dijatuhkan talak bāin277 kepada istrinya.278 Jika isteri tidak dapat mengajukan bukti, atau suami tidak mengakui tuduhan yang dihadapkan kepadanya, maka tuduhannya batal. Jika terjadi pengaduan berulang kali oleh isteri, dan ia minta untuk dijatuhkannya talak, tetapi pengadilan belum dapat memperoleh kebenaran tuduhannya, maka pengadilan dapat mengajukan dua orang penengah dengan syarat kedua-duanya adalah laki-laki yang adil dan cakap, punya pengetahuan tentang diri kedua suami istri tersebut dan mampu untuk mendamaikan mereka berdua.279 Selanjutnya berkenaan dengan kepergian suami (suami mafqūd) pengadilan dapat menjatuhkan talak karena kepergian suami itu meninggalkan istri. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Ahmad Imam Malik menganggap sebagai talak bāin. Sedang Imam Ahmad menganggap sebagai fasakh.280 Hal ini guna melepaskan istri dari pada kesusahan yang dideritanya. Karena itu istri berhak menuntut pemisahan, jika suami pergi meninggalkannya, sekalipun suami punya harta sebagai pembayar nafkahnya, dengan syarat:

1) Perginya suami dari istri tanpa ada alasan yang dapat diterima. 2) Perginya dengan maksud menyusahkan isteri 3) Perginya ke luar negeri dari negeri tempat tinggalnya 4) Lebih dari satu tahun, dan istri merasa dibuat susah.281

Jika kepergian suami dari istrinya dengan alasan yang dapat dietrima seperti untuk menuntut ilmu atau berdagang, atau sebagai pegawai bertugas di luar daerah atau tentara yang bertugas di tempat

276 Lihat: Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu, Jilid VII, 527, 528.

277

Ṭalak bāin yaitu talak yang ketiga kalinya, talak sebelum istri digauli dan talak dengan tebusan oleh isteri kepada suaminya.

278 Lihat: wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu, Jilid VII, 528.

279

Berkenaan dengan dua orang Ḥakam untuk mendamaikan suami-istri yang cekcok, Lihat: Q.S. al-Nisā’: 35.

280 Lihat: Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu, Jilid VII, 532, 533.

281

Al-Sayid Sābiq. Fiqh al-Sunnah, 250

118

yang jauh, maka dalam keadaan yang seperti ini istri tidak dibenarkan untuk meminta cerai (talak). Begitu pula halnya kalau perginya suami hanya dalam negeri tempat kediamannya sendiri, kecuali Ulama Malikiyyah tidak membedakan antara Mafqūd karena alasan menuntut ilmu dan lainnya.282

Istri juga berhak minta talak karena kesusahan yang dialaminya. sebab suami jauh daripadanya,bukan pergi meniggalkanya.283

Dalam tempo lewat setahun harus ternyata adanya kesusahan (bahaya) bagi isteri dan ia merasakan perasaan hampa (liar) sehingga khawatir dirinya akan terjerumus ke dalam perbuatan yang diharamkan Allah.

Penentuan jangka setahun ini adalah pendapat Malik. Tapi ada yang berpendapat tiga tahun.284

Ahmad berpendapat, bahwa jangka paling pendek istri dibolehkan menuntut pemisahan adalah setelah berlalu enam bulan. Karena selama enam bulan itu merupakan jarak waktu perempuan sanggup bersabar ditinggalkan pergi oleh suaminya, jawaban Hafsah atas pertanyaan Khalifah Umar.285

Termasuk dalam soal pemisahan ini menurut Malik dan Ahmad ialah pemisahan karena suami dipenjarakan. Sebab dengan ia dipenjarakan akan mengakibatkan istri susah, karena jauh dari suaminya. Bila suami diputuskan hukum penjara tiga tahun atau lebih putusannya sudah mendapat kekuatan hukum dan diberlakukan kepada suami, lalu berjalan setahun atau lebih suami menjalaninya sejak hari diputuskannya, maka isteri berhak menuntut talak kepada pengadilan, karena ia mengalami kesusahan akibat jauhnya ia dari suaminya. Jika hal kesusahan itu terbukti, maka pengadilan dapat menjatuhkan sekali talak, bā’in. Demikinalah pendapat Malik. 286 Tetapi menurut Ahmad dipandang Fasakh. 287 Ibnu Taimiyyah berkata: begitu pula dengan isteri tidak dapat berhubungan badan dengannya. Hal ini sama dengan suami yang hilang. Demikinlah pendapat Ijma’.288

282 Lihat: Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu, Jilid VII, 533.

283

Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu, Jilid VII, 532, 533.

284 Tahun yang dimaksud dalam ungkapan diatas adalah tahun Hijriyah.

285

Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, 250

286 Lihat: Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu, Jilid VII, h. 535 – dan

Ibnu Qudāmah , al-Mughny, Jilid VII, 488

287 Lihat: Ibnu Qudāmah, al-Mughny, Jilid VII, 488

288

Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, h. 251

119

Jika putus perkawinan karena perceraian, sedangkan suami isteri mempunyai anak dibawah umur, maka ayah dan ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak, yang dalam istilah hukum fikih Islam disebut Haḍānah (حضانة)289

Pengarang kitab al-Ikhtiyār, mengenai hal tersebut, mengatakan, “ketika anak masih kecil lemah untuk memperhatikan segala kemaslahatan dirinya, maka Allah menjadikan untuk tugas tersebut orang yang akan membimbing dan mengurusnya,sehingga nafkah, urusan harta kekayaan dan berbagai macam transaksi (akad) diserahkan kepada laki-laki (suami), sebab mereka lebih kuat dan lebih mampu dalam hal tersebut. Sedang urusan pendidikan, pengurusan, dan perawatan diserahkan kepada wanita (istri) sebab mereka lebih sayang dan lebih lembut serta lebih mampu untuk memberikan pendidikan dan pengasuhan ketimbang laki-laki. Sungguh Allah telah memberikan kepada mereka rasa cinta dan sayang, kemampuan, kesabaran dan ketabahan. Itulah karunia Allah SWT teradap makhluknya, tetapi sayang, kebanyakan manusia tidak mengetahui dan menyadarinya. Tetapi tugas-tugas yang nampak seperti itu tidak menjadi sasaran utama. Yang jelas, bahwa wilayah otoritas mengajari dan mendidik anak diserahkan kepada wali yang menguasai diri si anak selama anak tersebut masih dalam masa pengasuhan dan selama ia masih ada dalam tanggungan pengasuh serta pendidiknya.290 Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa masalah Hadanah adalah masalah menjaga, memelihara, mengasuh, memimpin, mendidik dan mengatur segala hal anak yang belum dapat menjaga, mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Pembicaraan berkenaan dengan masalah Ḥaḍanah ini terjadi apabila dua orang suami isteri bercerai sedangkan keduanya mempunyai anakyang belum mumayyiz (belum menguasai kemaslahatan dirinya), maka istrilah yang lebih berhak untuk mendidik dan merawat anak itu hingga ia mengerti akan kemaslahatan dirinya, berdasarkan Hadis Nabi yang mengatakan kepada seorang perempuan yang mengadukan persoalannya kepada beliau, bahwa suaminya hendak mengambil anaknya yang masih bayi (masih Kecil) darinya, lalu Rasulullah berkata kepadanya “ engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum

289 Lihat : Ibnu Manẓūr, Lisān Al-Arab, Jilid I, 911.

290

Ibnu Ābidīn, Ḥāsiyah Radd al-Muḥtār ‘alā al-Dur al-Mukhtār, Sharḥ Tanwīr al-abṣār, (Mesir: Muṣṭafā al-Bāby al-Ḥalaby, 1386 H / 1966 M), cet. II, Jilid III, h. 159.

120

menikah”291selama ibunya belum menikah sedangkan nafkah dan biayanya menjadi tanggung jawab suami.292

Orang yang berhak melaksanakan Ḥaḍanah: a) Hak mengasuh dan mendidik (ḥaḍanah) itu ditetapkan bagi kaum

wanita kemudian setelah itu baru kaum pria. Wanita yang pertama yang paling berhak untuk hal tersebut adalah sang ibu. Sebab ia lebih sayang dan lebih lembut / halus terhadap anak kecil ketimbang yang lainnya. Oleh karena ia memang spesialis untuk memenuhi kebutuhan dan kemaslahatan anak-anak.293

b) Jika anak tidak mempunyai ibu yang berhak untuk mengasuh dan mendidiknya di rumah, baik karena ia tidak berhak atau tidak mempunyai kriteria untuk mengasuh / mendidik, atau menikah dengan yang bukan maḥram, atau telah meninggal dunia, maka neneknya (ibu dari ibunya) lebih berhak dari pada siapapun, sampai ke

291

Hadist tersebut adalah: أن امرأة قالت ا رسول هللا إن ابن هذا كان بطن له و عاه وثد له سقاء, وحجرى له حواء, وأن أباه طلقن وأراد أن

نزعه منى. فقال رسول هللا صلى هللا عله و سلم : أنت أحق به مالم تنكح" )رواه أبو دواد عن عمرو بن العاص وصححه الحا كم

“Sesungguhnya seorang perempuan berkata: wahai Rasulullah sesungguhnya anak ini, perutku tempatnya, dan susuku merupakan air minum segar baginya dan pangkuanku menjadi rumah tempat bernaung baginya. Ayahnya telah menceraikanku dan hendak mengambil anak ini dariku, lalu Rasulullah berkata: “Engkau lebih berhak terhadap anak itu selama engkau belum menikah”. (HR Abu Daud dari Abu Abdullah bin “Amr bin ‘aṣ dan ditaṣḥīḥ oleh al-Ḥākim Abu Daud, Sunan Abu Daud, (t.t, al-sa’ādah, t.th.), Jilid II. 707, 708.

292Lihat Q.S. al-Ṭalāq: 6

293

Hal tersebut diperkuat dengan dalil-dali berikut ini : Pertama firman Allah SWT, والوالدات رضعن أوالدهن “Dan para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya”, (Q.S. al-Baqarah/ 233). Kedua, Hadis yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin Shu‘āib dari ayahnya, dari kakeknya Abdullah bin Amr bahwa seorang wanita berkata, “wahai Rasulullah, sesungguhnya anak ku ini, perutku adalah tempatnya, air susu (tetek) ku minumannya, dan pangkuanku menjadi tempat teduhnya. Sesungguhnya ayahnya telah mentalakku, seraya menginginkan untuk mengambil anak tersebut dariku “. Maka bersabda Rasulullah SAW kepadanya, “engkau lebih berhak dengannya selama engkau belum menikah”? Ketiga, apa yang diriwayatkan dari Umar bin Khathab ra. Bahwa ia pernah mentalak isterinya, yakni, Ummu ‘Aṣim. Umar ingin mengambil Aṣim puteranya itu darinya. Tetapi isterinya tidak mau memberikannya. Lalu mereka mendatangi Abu Bakar ra dan ia ketika itu adalah seorang khalifah. Abu Bakar ra berkata, “ usapannya, pangkuannya, dan anginnya, lebih baik baginya dari pada kamu, sampai anak itu menjadi dewasa. Setelah dewasa, ia akan memilih untuk dirinya. Hadis tersebut teksnya adalah : أنت أحق به مالم تنكح diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, disahkan oleh Imam Hakim. Lihat Sunan Abu Daud, Juz II, h.707-708, Subul al-Salām, Juz III, h. 227, dan kitab Naylal-‘Auṭār, Juz VI, 369.

121

atas (garis keturunannya). Sebab ia yang menyertai ibu (bagi anaknya) dalam hal melahirkan dan mendapatkan warisan.

Yang mengikuti pendapat tersebut adalah Imam Shafi’i dalam Qaul Jadīdnya, Imam Ahmad dalam suatu riwayat darinya, Imam Malik, dan Abu Hanifah.294 Imam Ahmad bin Hanbal dalam riwayat yang kedua, menetang pendapat tersebut. Ia mengatakan, bahwa sebenarnya ibu (nenek) dari ayah lebih berhak untuk mengasuh dan mendidik anak dari pada ibu (nenek) dari ibunya. Sebab bergantung kepada ‘asabah di samping mempunyai kesamaan dengan wanita lainnya dalam hal melahirkan, sehingga ia wajib didahulukan.295 Tetapi nampaknya pendapat yang paling ṣaḥīḥ adalah yang dikemukan oleh jumhur ulama, sebab nenek dari ibu itu lebih dekat kepada anak dan lebih sayang dari pada nenek dari ayah (ibunya sang ayah). c) Yang berhak mengurus ḥaḍānah mengasuh dan mendidik di rumah

setelah ibunya dan nenek dari ibunya, adalah ayahnya. Hal ini berdasarkan pertimbangan:

Memperhatikan anak dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang hanya dapat dilakukan oleh kedua orang tua. Tidak seorang pun dari kerabat yang dapat menandingi mereka dalam hal itu. Apalagi, peran sang ayah dan kewaliannya itu tidak akan terputus meski tetap berlakunya ḥaḍānah yang dilakukan ibu dan atau neneknya. Sang anak tetap dibawah kewalian atau bimbingan dan tanggungan, serta jaminan sang ayah. Ayahlah yang berhak dan wajib menafkahi anak.296 Ia pula yang akan memperhatikan segala perjalanan hidupnya. Jika salah satu dari keduanya ibu dan nenek tidak ada, maka sempurnalah bagi ayah kewaliannya.297 Ia pun wajib mengurus ḥiḍanāh anaknya dengan mencarikan dan memilihkan wanita yang mempunyai kelengkapan kualifikasi untuk mengasuh dan mendidik serta mengasihi anaknya dari kerabat dekat atau kerabat jauh jika tidak ada kerabat dekat. Oleh karena itu, ayah lebih berhak untuk mengasuh dan mendidik anaknya setelah ibunya dan neneknya tidak ada, atau tidak berfungsi. Ayah mesti memilih wanita yang akan melakukan apa

294 Lihat Kitab al-Majmū’, Juz XVII, 167; Sharḥ Fatḥ al-Qadīr, Juz III, 315; Ḥāshiyah al-

Dasūqī, Juz II, 527Ibnu Qudāmah; Al-Mughny wa al-Sharḥ al-Kabīr, Juz IX, 298.

295 Ibnu Qudāmah, Al-Mughny wa al-Sharḥ al-Kabīr, Juz IX: 309.

296Lihat: Q.S al-Ṭalāq : 6

297

Lihat: Abd. Raḥman al-Jazīry, al-Fiqh ‘alā al-Madhāhib al-Arba’ah, Jilid IV, 594

122

saja demi kemaslahatan anak-anaknya. Tentu saja ia pun selalu mengawasi mereka dan menjaganya. Sang ayah harus memilih wanita yang akan mengasuh dan mendidik anaknya itu adalah wanita yang mempunyai karakter dan sifat-sifat terpuji. Ia mesti seorang wanita yang memenuhi kualifikasi seorang ḥāḍinah, wanita yang tepat untuk mengasuh dan mendidik anak, sehingga iatidak membahayakan anak dan tidak menelantarkannya.298

Selanjutnya jika ibu, nenek dan ayah sudah tidak ada, atau ada tetapi tidak memenuhi syarat atau kualifikasi seorang ḥāḍinah (pengasuh), sedangkan orang yang berhak melakukan ḥiḍānah adalah orang yang dekat hubungannya dengan anak, seperti antara dua saudara perempuan yang sekandung, atau kedua saudara perempuan dari ibu, dari ayah, atau antara dua uwa (perempuan), atau antara dua bibi atau diantara saudara yang banyak, ataupun diantara para paman pun demikian.299 Sedangkan masing-masing mereka itu menuntut untuk melakukan ḥiḍānah. Bibi dari pihak ibu didahulukan dari bibi pihak ayah jika ia memenuhi syarat ḥaḍānah.

Dalam kondisi demikian, menurut Imam Abu Hanifah yang harus didahulukan “adalah orang yang paling saleh”.300 Sedang menurut Imam Malik dipilih orang paling memiliki kemampuan untuk merawat dan menjaga dan yang paling sayang kepada anak tersebut.301 Jika pada salah satu di antara keduanya ada yang hanya mempunyai Ṣiyānah(kemampuan memelihara) saja, maka lebih baik dan yang lebih kuat dalam penilaian adalah mendahulukan yang mempunyai shafaqah atau rasa sayang tetapi juga masih memilih benih-benih Ṣiyānah. Jika tidak demikian (karakteristiknya), maka hendaklah didahulukan yang mempunyai kemampuan memelihara/ melindungi, jika kita akan melakukan bahaya yang paling ringan.302

Jika tidak ada orang yang paling saleh / cocok dengan karakter seperti itu, maka langkah yang ditempuh menjadikan orang yang paling wara’ saleh dan teliti mengenal halal dan haram; yang paling berhak untuk melaksanakan ḥaḍānah. Sebab jika kualifikasi demikian itu dipenuhi, pasti

298 Lihat: Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Anak, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2004),

cet. I, 117, 118.

299 Lihat: Abd. Raḥman al-Jazīry, al-Fiqh ‘alā al-Madhāhib al-Arba’ah, jilid IV, 595

300

Lihat: Abd. Raḥman al-Jazīry, al-Fiqh ‘alā al-Madhāhib al-Arba’ah, jilid IV, 594

301 Lihat: Abd. Raḥman al-Jazīry, al-Fiqh ‘alā al-Madhāhib al-Arba’ah, jilid IV, 595

302

Lihat: Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Anak, 118,119.

123

ia akan dapat dipercaya utuk mengemban tugas yang dibebankan kepadanya. Tetapi, jika sifat demikian itu tidak terpenuhi, maka pilihlah orang yang paling tua. Sedang ulama mazhab Maliki, tidak menetapkan derajat kewara’an sebagai salah satu kualifikasi. Mungkin sebabnya adalah mereka justru mensyaratkan terhadap yang akan mengasuh dan mendidik anak itu mempunyai sifat amanah (dapat dipercaya) dalam mengamalkan agama. Sedang mereka punmenjadikan derajat berikutnya adalah orang yang paling tua umurnya.303

Adapun yang berhak menetukan siapa yang paling berhak melakukan ḥaḍānah pada orang-orang yang memiliki kualifikasi sama adalah Qāḍī(hakim).304

Putusnya perkawinan dan akibatnya, baik terjadi karena talak, khulū’, li’ān, fasakh dan putusan pengadilan menurut hukum fikih Islam yang telah disebutkan dan diuraikan diatas, telah diadopsi dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal 38 s/d pasal 41 dan pasal 50 s/d pasal 54 tentang perwalian, walaupun tidak semua, atau tidak mendetail disebutkan seperti dalam hukum fikih islam.305 Demikian pula masalah putus perkawinan dan akibatnya tersebut, juga telah diadopsi dalam KHI tentang perkawinan pada pasal 113 s/d pasal 128, pasal 156 dan pasal 98 tentang pemeliharaan anak.

Dengan masuknya hal-hal yang berkenaan dengan putusnya perkawinan dan akibatnya yang terdapat dalam Hukum Islam ke dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan, berarti hukum fikih Islam telah menjadi hukum nasional. Perbedaannya, kalau dalam HukumFikih Islam (Fikih Munakahat) disebutkan dengan mendetail. Sebaliknya dalam Hukum Nasional sudah dilengkapi dengan teknis pelaksanaannya dan tambahan-tambahan masalah yang sesuai dengan kondisi di Indonesia karena Maslahah.

Secara rinci persamaan dan perbedaan UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang penikahan dengan hukum Fikih Islam tentang penikahan adalah sebagai berikut:

303 Lihat: Abd. Raḥman al-Jazīry, al-Fiqh ‘alā al-Madhāhib al-Arba’ah, jilid IV, 595, 596

304

Lihat: Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih anak, 119.

305 Masalah suami mafqūd (tidak ada berita tentang keberadaannya), substansinya

belum dimasukkan secara rinci dalam KHI Buku I tentang Perkawinan, RUU HMPA Bidang Perkawinan. Misalnya suami yang mafqūd itu berapa lama ditunggu oleh istri, baru boleh ia menikah dengan orang lain, bagaimana penyelesaiannya jika ternyata setelah istrinya menikah, suami yang mafqūd datang, dan lain-lain sedangkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, belum disebutkan sama sekali.

124

(1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan telah mengikuti Fikih Munakahat, bahkan banyak mengutip langsung dari Al-Qur‘an dan Hadis. Contohnya, ketentuan tentang larangan perkawinan dan masa tunggu (‘Iddah) bagi istri yang bercerai dari suaminya.

(2) Ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentnag Perkawinan sama sekali tidak terdapat dalam fikih munakahat, tetapi karena bersifat administratif dan bukan substansial dapat ditambahkan ke dalam fikih. Contohnya, pencatatan perkawinan dan pencegahannya.

(3) Ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan tidak terdapat dalam fikih munakahat, karena pertimbangan kemaslahatan dapat diterima. Contohnya, batas menilai umur pasangan yang akan menikah dan harta bersama dalam perkawinan.

(4) Ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan secara lahiriyah tidak sejalan dengan ketentuan fikih munakahat, akan tetapi dengan menggunakan reintepretasi dan pertimbangan maslahat, dapat diterima dalam Hukum fikih. Contohnya, keharusan perceraian di pengadilan Agama dan keharusan izin poligami oleh pengadilan Agama serta perceraian harus di dasarkan kepada alasan-alasan yang sudah ditentukan.

C. Hukum Islam dan KHI tentang Perkawinan Dalam pembahasan Hukum Fikih Islam tentang Munakahat dalam KHI Buku I tentang Perkawinan ini, tidak lagi dibahas pasal-pasal yang sama substansinya dengan pasal-pasal yang disebutkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, karena ketika membahas Hukum Fikih Islam tentang perkawinan yang terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tersebut, telah dibahas juga pasal-pasal yang terdapat dalam KHI Buku I tentang perkawinan yang sama materi, atau substansinya untuk menghindari pengulangan pembahasan. Demikian pula dalam kajian ini tidak membahas pasal-pasal yang hanya bersifat teknis dalam pelaksanaan perkawinan. 1. Ketentuan Umum

Pasal I KHI tentang Perkawinan dalam ketentuan umum memuat istilah-istilah yang menjadi inti pembahasan dalam KHI tentang Perkawnan

125

tersebut. Istilah-istilah dalam KHI tentag perkawinan ini, adalah istilah-istilah yang terdapat dalam Hukum Fikih Islam yang merupakan defenisi-defenisi yang berkenaan dengan hukum perkawinan Islam.

Istilah-istilah tersebut adalah defenisi dari peminangan (khiṭbah),306

Wali Hakim,307 Akad Nikah,308 Mahar,309 Ta’līk Ṭalak,310 harta kekayaan

dalam Perkawinan,311Pemeliharaan anak (ḥaḍānah),312

perwalian,313khulū’314 dan mut’ah315

306 Peminangan (khiṭbah) adalah pernyataan keinginan seorang laki-laki kepada

seorang perempuan tertentu atau kepada walinya untuk menikahinya, lihat: Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu, Jilid VII, 10.

307 Wali Hakim adalah wali dari penguasa / yang berwenang untuk menikahkan

perempuan yang tidak mempunyai wali nasab atau yang mewakilinya. Lihat: Al-Ṣan’āny, subul al-salām, Jilid III, 161.

308 Akad Nikah adalah ijab yang diucapkan oleh wali perempuan atau wakilnya dan

kabul yang diucapkan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya yang disaksikan oleh dua orang saksi. Lihat: Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, jilid II, 29, 30 dan 49.

309 Mahar adalah pemberian suami kepada istri ketika menikah, sebagai pemberian

yang tidak disertai harapan menerima imbalan apapun dan tanpa ada tawar menawar, dimana pemberian tersebut menjadi milik istri untuk selama-lamanya dan tidak boleh diusik sedikitpun kecuali atas kerelaannya. Lihat: Q.S. al-Nisā’/ 4: 4.

310 Ta’līq Talak adalah perjanjian yang diucapkan oleh mempelai laki-laki setelah akad

nikah yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang, jika yang diucapkannya itu terjadi, maka terjadilah talak. Lihat: Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, 222, 223.

311 Harta kekayaan dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh selama

perkawinan, baik diperoleh sendiri-sendiri, maupun diperoleh bersama suami istri, yang dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan sebagai harta bersama., dimana bila terjadi perceraian karena kematian salah satu pihak, akan menjadi harta warisan setelah dibagi dua. Harta bawaan tidak termasuk dalam harta perkawinan.

312 Pemeliharaan anak (Ḥaḍānah) adalah usaha mendidik anak yang dilakukan oleh

orang yang mempunyai hak mengasuh, atau mendidik orang yang tidak dapat mengurus dirinya sendiri dengan apa yang bermaslahat baginya dan memeliharanya dari apa yang membahayakannya, meskipun orang tersebut telah dewasa. Lihat: Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Anak, 101.

313 Perwalian adalah suatu kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk

melakukan sesutu perbuatan hukum, baik terhadap manusia, maupun terhadap harta. Lihat: Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu, jilid VII, 746

314Khulū’ adalah istri memisahkan diri dari suaminya dengan pembayaran‘iwaḍ

(tebusan). Lihat: Al-Sayid Sābiq, fiqh al-Sunnah, Jilid II, 252.

315Mut’ah adalah pemberian mantan suami kepada mantan istri yang dicerai talak

berupa benda, atau uang dan lainnya. Lihat: Q.S. al-Baqarah/ 2 : 241. Catatan : istilah-istilah dalam hukum fikih Islam tersebut telah dicantumkan dalam KHI tentang perkawinan pada Bab I ketentuan Umum Pasal 1.

126

Istilah-istilah tersebut akan ditemukan dalam kajian terhadap pasal-pasal dalam KHI Bidang Perkawinan. 2. Peminangan Tujuan perkawinan sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Qur‘an dan Hadis, serta Undang-Undang dapat diwujudkan dengan baik dan sempurna jika perkawinan tersebut sejak proses pendahuluannya berjalan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan agama. Di antara proses yang akan dilalui itu adalah peminangan (khiṭbah).Peminangan ini bertujuan untuk mengenal karakter dan pribadi seorang perempuan, sebelum menjadi istri, 316 karena seorang sangat besar perannya dalamkeluarga. Istri merupakan tempat penenang bagi suaminya, sekutu hidupnya, pengatur rumah tangganya, sebagai ibu dari anak-anaknya, tempat tambatan hatinya dan lain-lain.

Dalam KHI tentang perkawinan, masalah peminangan diapresiasi secara detail, yaitu terdapat pada pasal 11 s/d pasal 13. Di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, masalah peminangan tidak dicantumkan, karena peminangan mungkin dianggap tidak dapat disebut sebagai peristiwa hukum 317 . Tetapi sebenarnya, kalau dikaji masalah syarat perkawinan yang terdapat pada pasal 6 dan 7 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan itu, secara implisit telah mengatur masalah peminangan tersebut, yaitu bahwa salah satu syarat perkawinan adalah adanya persetujuan kedua calon mempelai.

Menurut Yahya Harahap pasal 6 dan 7 tersebut mengisyaratkan untuk terjadinya persetujuan bersama mengharuskan adanya peminangan, atau lamaran yang artinya bisa kenal-kenalan atau saling mengenal.318

Kenal mengenal antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang tidak ada hubungan mahram, harus ditemani oleh mahram dari perempuan, karena menyendiri, atau berdua-duaan dengan tunangan, hukumnya haram menurut Hukum Islam, berdasarkan Hadis Rasulullah SAW, bahwa dilarang keras seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bukan mahramnya berdua-duaan tanpa mahramnya.319

316 Lihat: Al-Sayid Sābiq, fiqh al-Sunnah, jilid II, 20.

317

Lihat Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, 90.

318 Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading Co, 1975),

35.

319 Hadis tentang larangan bedua-duaan antara seorang laki-laki dengan seorang

perempuan yang bukan mahramnya adalah: وال خلون رجل بامرأة إال ومعها ذومحرم" متفق عله عن ابن عباس.

127

Para fuqaha sepakat mengatakan, bahwa tidak boleh lelaki peminang melihat calonnya berdua-duaan ditempat sepi dari pandangan umum karena duduk berdua-duaan antara lelaki dan perempuan yang bukan muhrimnya dilarang oleh agama Islam.

Menurut Yusuf Al-Qaraḍāwy: seorang laki-laki di zaman kita sekarang ini, boleh melihat perempuan yang hendak dipinangnya dengan pakaian yang boleh dilihat oleh ayah dan saudara-saudaranya serta mahram-mahramnya dan si laki-laki boleh pergi bersama wanita tersebut dengan syarat disertai oleh ayah atau salah seorang dari mahramnya dengan pakaian yang menurut ukuran shara’ ke tempat yang boleh dikunjungi untuk mengetahui kecerdikannya, perasaannya dan kepribadiannya.320

Jadi dengan saling berkenalan, maka terjadilah saling mengetahui dan mengenal sifat, bakat, identitas, keistimewaan dan kelebihan serta kekurangannya memahami keadaan yang sewajarnya, mengenal suara hatinya dan cita-cita masa depannya.321

Pada pelaksanaan peminangan ini boleh pula diwakilkan kepada seorang yang betl-betul tahu dan jujur, punya kepribadian yang moderat untuk mengetahui watak dan akhlak yang akan dipinang sehingga tidak memihak dan memuji-muji atau mencelanya berlebih-lebihan, sebab akhlak adalah sebagai landasan yang kuat setelah agama untuk menunjang perkawinan.

Adapun tempat-tempat yang boleh dilihat dari calon istri, menurut Jumhur Ulama dibatasi pada wajah dan dua telapak tangan. Wajah

“ Jangan sekali-kali seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang perempuan kecuali ada mahram bersamanya”.(HR. al-Bukhary dan Muslim dari Ibnu Abbas). Lihat: Al-Nawawy, Riyaḍu al-Ṣaliḥīn, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/ 1994 M, 197.

320 Yusuf Al-Qaraḍāwy, Al-Ḥalāl wa al-Ḥarām fi al-Islām, (Bairut: al-Maktabah al-

Islāmiyah li al-Ṭibā’ah wa al-Nashr, 1967), cet. IV, 147.

321 Dalam Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Nasai, Ibnu Majah dan al-

Tirmidzi dari al-Mughirah bin Shu’bah, disebutkan bahwa al-Mughirah meminang seorang perempuan, lalu Rasulullah SAW berkata kepadanya:

أنظرت إلها؟ قال : ال, قال: أنظر إلها فانه أحرى ان ودم بنكما.

“sudahkah kau lihat dia?” ia menjawab, “belum”, sabda Nabi, “lihatlah dia lebih dahulu agar nantinya kamu bisa hidup bersama lebih langgeng”, - Al-Ṣan’āny Subul al-Salām, Jilid III, 154.

128

melambangkan kecantikan atau sebaliknya dan tangan menunjukkan kesuburan badan.322 Dalam hal melihat ini, bukan saja berlaku bagi calon suami, tetapi juga berlaku bagi calon istri. Mengenai waktu melihat calon suami atau istri itu di lakukan sebelum meminang karena jika setelah meminang kemudian membatalkan, maka akan melukai hatinya, tetapi jika dilakukan sebelum meminang, maka ada masalah kalau dilanjutkan (tidak meminang).323 Sebenarnya melihat perempuan yang bukan mahram menurut hukum asalnya adalah haram, dibolehkan hanya karena ada sesuatu hajat atau dalam keadaan darurat, oleh sebab itu, melihat perempuan yang akan dipinang dibolehkan sekedar yang perlu saja yaitu pada wajah dan telapak tangan sebagaimana pendapat Jumhur ulama. 324 Tetapikalau diamati realitas masyarakat sekarang ini kaum wanita tidak lagi tinggal di rumah seperti wanita zaman dahulu. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mempengaruhi wanita melibatkan diri dengan aktivitas-aktivitas di luar rumah. Pergaulan antara laki-laki dan wanita di sekolah-sekolah, di universitas-universitas, di kantor-kantor, perusahaan-perusahaan dan lain-lain, sudah menjadi masalah yang biasa. Wanita mengenal laki-laki dan sebaliknya malah saling berbincang, bertukar pendapat di rapat-rapat, di konferensi-konferensi sebagai delegasi di peringkat nasional dan internasional, adalah suatu hal yang tidak dapat dielakkan lagi. Disamping itu, pakaian wanita kebanyakan tidak lagi melambangkan ajaran islam,

322 Al-Qalyūby wa ‘Umairah, Ḥāshiyatāni, (t.t: Dar al-Fikr, t.th), Jilid II, 208.

323

Al-Qalyūby wa ‘Umairah, Ḥāshiyatāni, 208.

324 Ibn Rushd, Bidayāh al-Mujtahid, Jilid II, 3

Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan batas dan tempat yang boleh dilihat oleh pelamar terhadap perempuan yang dilamar karena perbedaan pandangan mereka dalam menafsirkan ayat 31 surah al-Nur yaitu: وال بدن زنتهن إال ما ظهر منها, artinya: “ perempuan-perempuan tidak boleh menampakkan auratnya, kecuali yang biasa nampak” Apa yang dimaksud dengan yang biasa nampak, apakah yang dimaksud dengannya adalah wajah dan telapak tangan seperti batas aurat perempuan waktu salat, atau yang dimaksud dengannya adalah nampak yang tidak sengaja sehingga seluruh badan perempuan di luar salat jika yang berhadapan dengan yang bukan mahramnya, atau hanya wajahnya saja, karena telapak tangan dianggapnya sebagai bagian dari tubuh perempuan, atau mengkiaskan telapak kaki dengan wajah dibolehkan dibuka karena (للحاجه) padahal wajah itu biasa menjadikan laki-laki tergoda melihatnya, sehingga telapak kaki itu boleh dibuka, atau boleh dilihat oleh orang laki-laki yang bukan mahramnya – lihat: Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: al-Mawardi Prima, 2001), cet. I, 21.

129

malah sulit utuk menemuinya di zaman sekarang.325 Dalam mengahdapi masyarakat yang serba komplek ini, sebaiknya diambil jalan penyelesaian yang tidak terlalu ekstrim dan tidak terlalu mudah, yaitu boleh melihat perempuan yang di pinang jika di dampingi oleh orang tuanya, atau mahramnya yang lain, atau teman-teman wanita yang bisa dipercayai, asal saja dalam keadaan berpakaian yang menutup auratnya yang dianjurkan oleh agama. Dengan hal ini lelaki itu dapat mengetahui ukuran mentalitas, perasaan dan kepribadian wanita yang ingin dia pinang dan begitu juga sebaliknya, bagi wanita dapat mengenali lelaki yang bakal menjadi pasangan hidupnya. Sebaiknya cara inilah yang dilakukan sesuai dengan tuntutan keadaan masyarakat islam hari ini bagi para remaja Islam. Adapun perempuan yang boleh di pinang adalah yang memenuhi syarat sebagai berikut: a. Tidak dalam pinangan orang lain b. Pada waktu di pinang tidak ada penghalang shar’i yang melarang

dilangsungkannya pernikahan c. Perempuan itu tidak dalam masa ‘Iddah, karena talak raj’ī, atau talak

bain, atau sedang iddah karena kematian suaminya.326 a. Hukum Meminang Pinangan Orang Lain Meminag pinangan orang lain itu hukumnya haram, sebab berarti menyerang hak dan menyakiti hati peminang pertama, memecah belah hubungan kekeluargaan dan menganggu ketenteraman.

Dasar keharaman meminang pinangan orang lain adalah Hadis Nabi SAW. 327 Diriwayatkan Ibnu Umar dari al-Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah SAW melarang meminang pinangan orang lain sebelum peminang pertama meninggalkannya atau mengizinkannya.

325 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah, Kajian Hukum Islam Kontemporer,

(Bandung: Penerbit Angkasa, 2005), Cet, I, 120.

326 Lihat KHI tentang Perkawinan pasal 39 s/d pasal 44, dan UU No. 1 tahun 1974

tentang Perkawinan pasal 8 s/d 11.

327 Hadis yang dimaksud adalah:

عمر"الخظب أحد كم على خطبة أخه حتى ترك الخاطب قبله. أو أذن له" متفق عله عن ابن

“Janganlah seseorang dari kalian meminang pinangan saudaramu, sehingga peminang sebelumnya meninggalkannya atau mengizinkannya”. (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar). Lihat: al-Ṣan’āny, Subul al-Salām, Jilid III, 155. Adapun yang dimaksud dengan saudaramu adalah saudara sesama muslim, karena orang-orang yang beriman itu bersaudara (Q.S. al-Ḥujurāt / 49: 10).

130

Meminang pinangan orang lain yang diharamkan itu bilamana perempuan itu telah menerima pinangan pertama dan walinya dengan terang-terangan mengizinkannya, bila izin itu memang diperlukan. Tetapi kalau pinangan semula ditolak dengan terang – terangan atau sindiran, atau karena laki-laki yang kedua belum tahu ada orang lain sudah meminangnya atau pinangan pertama belum diterima, juga belum di tolak, atau laki-laki pertama mengizinkan laki-laki kedua untuk meminangnya, maka yang demikian itu diperbolehkan.328

Jika pinangan laki-laki pertama sudah diterima namun wanita tersebut menerima pinangan laki-laki kedua kemudian menikah dengannya, maka hukumnya berdosa tetapi penikahannya sah, sebab yang dilarang adalah meminangnya, sedang meminang itu bukan merupakan salah satu syarat sahnya nikah. Karena itu, pernikahannya tidak boleh difasakh walaupun meminangnya itu merupakan tindakan pelanggaran. Imam Abu Dawud berkata, “pernikahannya dengan peminang kedua harus dibatalkan, baik sesudah maupun sebelum persetubuhan.329

Ibnu Qasim berpendapat bahwa, yang dimaksud larangan tersebut adalah jika seorang yang baik (Saleh) meminang di atas pinangan orang saleh pula. Sedangkan apabila peminang pertama tidak baik, sedang peminang kedua adalah baik, maka peminangan semacam itu dibolehkan.

Adapun mengenai waktu pelaksanaan pernikahan, maka para Fuqaha berpendapat waktunya adalah ketika masing-masing pihak (peminang dan yang dipinang) sudah cenderung satu dengan lainnya, dan bukan pada waktu awal waktu peminangan330 pendapat ini didasarkan pada Hadis Fatimah binti Qais r.a.331 yang melaporkan halnya kepada Rasulullah SAW, bahwa ia telah dipinang oleh dua orang laki, yaitu Abu Jahm bin Hudhaifah dan Mu’awiyah bin Abi sufyan, tetapi Rasulullah

328 Lihat Ibnu Rushd, Bidāyah al-Mujtahid..., jilid II, 2.

329

Ibnu Rushd, Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtaṣid, Jilid II, 2.

330 Ibnu Rushd, Bidāyah al-Mujtahid...,Jilid II, 2

331

Hadis Fāṭimah binti Qais r.a: جاءت فاطمة الى النب صلى هللا عله و سلم فذكرت له أن اباجهم ابن حذفة ومعاوة بن أب سفان خطباها, فقال : أما

كن انكحى أسامة.ابوجهم فرجل الرفع عصاه عن النساء, واما معاوة فصعلوك ال مال له ول )رواه الجماعة إال البخارى(

Artinya: “Faṭimah datang kepada Nabi SAW kemudian ia menceritakan kepada beliau bahwa Abu Jahm bin Hudhaifah dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan telah meminangnya. Maka Nabi SAW bersabda: “Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah mengangkat tongkatnya dari orang-orang perempuan (suka memukul). Adapun mu‘āwiyah adalah orang miskin yang tidak berharta, tetapi nikahlah kamu dengan Usamah”. HR. Al-Jama’ah (sekelompok ahli Hadis, kecuali al-Bukhari). Lihat: al-Shaukāny, Nail al-Auṭār, Jilid VI, 108.

131

menyuruhnya, agar menikah dengan Usamah, karena Abu Jahm suka memukul, sedangkan Mu’awiyah adalah orang miskin. b. Hukum Meminang Perempuan yang dilarang oleh Shara’

Menikahinya Meminang perempuan yang dilarang oleh shara’ menikahinya haram hukumnya, karena perempuan tersebut dilarang menikahinya berdasarkan Al-Qur’an.332 c. Hukum Meminang Perempuan dalam Masa ‘Iddah

Meminang mantan istri orang lain yang sedang dalam masa ‘iddah, baik karena kematian suaminya, karena cerai raj’ī maupun ba’in, maka hukumnya haram.

Jika perempuan yang sedang ‘iddah karena talak raj’īmaka ia haram dipinang karena masih ada ikatan dengan mantan suaminya, dan suaminya itu masih berhak meruju‘nya kembali sewaktu-waktu ia suka. Jikaperempuan yang sedang ‘Iddah karena talak raj’ī, maka ia haram di pinang secara terang-terangan333 karena mantan suaminya masih tetap mempunyai hak terhadap dirinya, juga masih mempunyai hak untuk menikahinya dengan akad baru. Jika ada laki-laki lain meminangnya di masa ‘iddahnya, berarti ia melanggar hak mantan suaminya.

Perempuan yang sedang ‘Iddah karena kematian suaminya, maka ia boleh dipinang secara sindiran334 selama masa ‘iddah, karena hubungan suami istri di sini telah terputus sehingga hak suami tehadap istrinya hilang sama sekali. Sekalipun demikian, dilarang meminang dia secara terang-terangan, untuk menjaga agar perempuan itu tidak terganggu dan tercemar oleh para tetangganya serta menjaga perasaan anggota keluarga si mati dan para ahli warisnya.335

332 Q.S. al-Nisā’/ 4: 23.

333

Al-Qalyūby wa ‘Umairah, Ḥāshiyatāni, Jilid III, 213

334 Secara sindiran ialah seorang yang mengucapkan kata-kata tersuratnya berlainan

dengan yang tersiratnya. Misalnya seorang laki-laki berkata kepada perempuan yang sedang dalam masa Iddah kematian suaminya, saya ingin menikah, atau saya mengharapkan sekali agarAllah memudahkan jalan bagiku untuk memperoleh istri yang Ṣāliḥah. Kata-kata itu diucapkannya kepada perempuan yang sedang masa ‘iddah kematian itu. Termasuk dalam kategori meminang dengan sindiran adalah memberikan hadiah kepada perempuan yang sedang dalam masa ‘iddah kematian, atau memuji dirinya dengan menyebutkan jasa baiknya atau kata-kata sindiran yang lainnya yang mengarah kepada peminangan, lihat: Al-Qalyūby wa ‘Umairah, Ḥāshiyatāni, Jilid III, 213, 214.

335 Q.S. al-Baqarah / 2: 235

132

Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum meminang dengan terang-terangan kepada mantan istri orang lain ketika masa ‘Iddahnya adalah haram. Kalau meminang dengan sindiran kepada perempuan yang sedang ‘Iddah kematian itu dibolehkan. Akan tetapi kepada perempuan yang sedang ‘iddah karena talak raj’ī336 dan bāin337 hukumya haram.

Telah dijelaskan pada uraian sebelumnya, bahwa pinangan merupakan langkah pendahuluan sebelum akad nikah. Sering kali sesudah peminangan diikuti dengan pemberian macam-macam hadiah dan pemberian-pemberian lainnya, guna memperkokoh hubungan yag masih baru itu. Akan tetapi terkadang terjadi, salah satu pihak, baik dari pihak laki-laki, atau dari pihak perempuan, atau dari kedua pihak membatalkan rencana pernikahan.

Bila terjadi pembatalan pinangan, belum menimbulkan akibat hukum,338 tetapi secara moral hal ini tentu membawa akibat yang tidak baik. Walaupun belum mambawa akibat hukum, tetapi telah membawa akibat moral. Moral yang dimaksud tidak hanya berdasarkan agama, tetapi juga mneyangkut norma-norma susila dan tradisi (adat) yang berkembang. Oleh sebab itu peminangan tidak boleh dianggap remeh atau dipandang sepele, tetapi ia harus dilihat sebagai bagian ajaran Islam yang utuh tentang perkawinan.339

Sebenarnya pinangan itu semata-mata baru merupakan perjanjian hendak melakukan akad nikah, bukan berarti sudah terjadi akad nikah. Membatalkannya adalah menjadi hak dari masing-masing pihak yang telah mengikat perjanjian. Orang yang mengingkari janjinya, Islam tidak menjatuhkan hubungan materil terhadapnya sekalipun perbuatan ini dipandang amat tercela dan salah satu sifat kemunafikan, kecuali ada

336 Talak Raj’ī adalah talak satu, atau talak dua, akibatnya suami masih boleh ruju’ /

kembali kepada mantan istrinya, jika sudah selesai masa iddah, tetapi belum ruju’, maka jika kembali lagi kepada mantan istrinya itu, harus dengan akad baru.

337 Talak Bāin terbagi dua. BāinṢugrādan bāinKubrā. Bain Ṣugrāadalah talak akibat

khulu’, atau talak sebelum dukhūl (belum bergaul suami istri) hukumnya boleh kembali kepada mantan istri dengan nikah yang baru. Sedangkan talak bāinKubrā adalah talak yang sudah tiga kali dijatuhkan. Hukumnya haram bagi suami menikah lagi dengan mantan istrinya, kecuali mantan istrinya itu telah dinikahi oleh laki-laki lain dengan nikah yang sesungguhnya, kemudian cerai karena tidak ada kecocokan.

338 Belum menimbulkan akibat hukum maksudnya, bahwa peminangan yang terjadi

belum menimbulkan hak dan kewajiban, tetapi dapat membawa akibat moral. Lihat: KHI tentang Perkawinan pasal 13 ayat (1).

339 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, 93.

133

alasan-alasan yang benar yang menjadi sebab tidak dipatuhinya perjanjian itu.340

Adapun pemberian-pemberian dari peminang kepada yang dipinang, jika pinangan dibatalkan dari pihak yang dipinang, secara hukum pemberian-pemberian itu kalau dianggap hibah, 341 maka tidak boleh diminta kembali, karena merupakan suatu derma sukarela dan tidak bersifat sebagai penggantian dari sesuatu. Oleh sebab itu barang yang dihibahkan sudah menjadi milik yang dipinang dan ia boleh menggunakannya dan tidak boleh diminta kembali oleh peminang. Tetapi bila pemberian-pemberian itu hanya sebagai hadiah atau sebagai imbalan dari sesutau yang akan diterimanya dari penerima pemberian, tetapi kemudian tidak dipenuhi, maka pemberiannya boleh diminta kembali342. Jadi bila perkawinan dibatalkan oleh yang dipinang, maka pihak peminang berhak meminta kembali barang-barang yang telah diberikannya.343

Hal-hal yang berkenaan dengan peminangan dan hukum-hukum yang berkenaan dengannya, substansinya telah diadopsi dalam KHI tentang perkawinan pada pasal 11 s/d 13. Perbedaan hukum fikih Islam dan aturan-aturan yang ada dalam KHI tersebut agak lebih sederhana, walaupun demikian, dengan diaturnya masalah peminangan di dalam KHI tentang perkawinan, maka semangat yang dikandung oleh hukum fikih Islam dapat dikembalikan. Dengan masuknya hukum peminangan menurut fikih, ke dalam KHI tentang perkawinan, berarti masalah peminangan dalam hukum Islam telah menjadi Hukum Nasional.

3. Mahar

340

Al-sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, 26, 27 341

Berdasarkan Hadis Nabi SAW: عطة أوهب هبة فرجع فها إال الوالد فما عط ولده" رواه أصحاب السنن عن ابن عبا س"الحل لرجل أن عطى

“Tidak halal bagi seseorang yang telah memberikan sesuatu, atau menghibahkan sesuatu lalu meminta kembali barangnya, kecuali ayah terhadap anaknya”. (HR. Abu Daud, Al-Tirmidhi, al-Nasa’i dan Ibnu Abbas). Lihat: al-Ṣan’āny, subul al-Salām, Jilid III, 122.

342 Berdasarkan Hadis Nabi SAW:

من وهب هبة فهو أحق بها ما لم ثب منها" رواه الحاكم والبهقى عن ابن عمر

“Siapa memberikan hibah, maka dia masih tetap lebih berhak terhadap barangnya, selama belum mendapatkan imbalannya”. (HR. al-Hakim dan al-Baihaqy dai Ibnu Umar), lihat: Al-Suyūṭy, al-Jāmi’ al-Ṣaghīr,, Jilid II, 183.

343 Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, h. 27 dan al-Ṣan’āny, subul al-Salām, Jilid III,

112.

134

Masalah mahar344disebutkan dalam KHI tentang Perkawinan pada pasal 30 s/d pasal 38.

Dalam hukum fikih islam, kewajiban mahar atas laki-laki diberikan kepada calon istrinya berdasarkan Al-Qur’an 345 dan Hadis Rasul SAW.346

Dalam ayat 4 surah al-Nisa’ jelas sekali, bahwaIslam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan memberi hak kepadanya, diantaranya adalah hak untuk menerima mahar.

Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan kerelaan istri.

Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan dan tipu muslihat lalu ia memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan tetapi. Bila istri dalam memberikan maharnya karena malu, atau takut, maka tidak halal menerimanya.347

Mahar yang diberikan kepada calon istri, harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Harta / benda yang berharga Tidak sah mahar dengan yang tidak memiliki harga walaupun

sedikit, tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi, apabila mahar sedikit memiliki nilai, maka tetap sah.348

b. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat Tidak sah mahar dengan khamr, babi atau darah, karena semua itu

haram dan tidak berharga.349 c. Barangnya bukan barang ghaṣab

344Mahar menurut bahasa adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari

mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah, mas kawin. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,. 542. Sedangkan menurut istilah dalamfikih Islam, mahar adalah pemberian yang wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. Lihat: Maḥmūd Shaltūt, Al-Islām Aqīdah wa Sharī’ah, (al-Qahirah: Dar al-Qalam, 1966), 60

345 Q.S. al-Nisā’/ 4: 4

346

Hadis Rasul SAW yang berkenaan dengan kewajiban mahar adalah: التمس ولو خاتما من حدد" رواه أحمد والبخارى ومسلم وأبو داود عن سهل بن سعد

“Carilah mahar, meskipun hanya sebuah cincin dari besi” (HR. Ahmad, al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud dari Sahl bin Sa’ad. Lihat: Al-Suyūṭy, al-Jāmi’ al-Ṣaghīr, Jilid I, 62.

347 Q.S. al-Nisā’/ 4 : 20 dan 21.

348

Lihat: Al-Qalyūby wa ‘Umairah, Ḥāshiyatāni, Jilid II, 76.

349 Lihat: Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu, Jilid VII, 259, 260

135

Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya, 350 namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikan kelak.

Memberikan mahar dengan barang hasil ghaṣab, adalah tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.351

d. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas

keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya. Islam tidak menetapkan berapa banyak yang harus diberikan

kepada calon istri. Hal ini disebabkan adanya perbedaan antara sesama manusia. Ada orang yang kaya, ada pula yang miskin, ada yang lapang dan ada pula yang disempitkan rezekinya. Disamping itu, setiap masyarakat mempunyai adat dan kebiasaan yang berbeda. Oleh karena itu, masalah mahar diserahkan berdasarkan kemampuan masing-masing orang sesuai dengan adat dan tradisi yang berlaku di masyarakat. Bahkan, islam membolehkan memberi mahar dengan apa saja, asalkan bermanfaat, misalnya cincin besi, segantang kurma, atau mengajarkan Al-Qur‘an, dan sebagainya atas kesepakatan kedua belah pihak.352 Mengenai besarnya mahar, fuqaha sepakat bahwa mahar itu tidak ada batasnya, apakah sedikit atau banyak.353 Namun mereka berbeda pendapat tentang batasan paling sedikitnya. Imam Shafi’i, Ahmad, Ishak, Abu Thaur, dan Fuqaha Madinah dari kalangan tabi’in mengatakan bahwa mahar itu tidak ada batasan rendahnya. Segala sesuatu yang mempunyai harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan sebagai mahar.354 Sebagian Fuqaha lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas rendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas dan perak tersebut.355

350 Al-Jurjāny, al-Ta’rīfāt, 164

351

Lihat: Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu, Jilid VII, 265.

352 Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, 54

353

Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, 135

354 Ibnu Rushd, Bidāyah al-Mujtahid...,Jilid II, 14

355

Abd. Rahman al-Jazīry, al-Fiqh ‘alā al-Madhāhib al-Arba’ah, Jilid IV, h. 96.

136

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham. Riwayat lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang mengatakan empat puluh dirham.356 Perbedaan pendapat tersebut disebabkan dua hal, yaitu: Pertama, ketidak jelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah satu jenis pertukaran, karena yang dijadikan pegangan adalah kerelaan menerima ganti, baik sedikit maupun banyak, seperti halnya dalam jual beli dan kedudukannya sebagai suatu ibadah, yang sudah ada ketentuannya. Kedua, adanya pertentangan antara qiyās yang menghendaki adanya pembatasan mahar, dengan mafhūm Hadis yang tidak menghendaki adanya pembatasan. Qiyās yang menghendaki adanya pembatasan adalah seperti pernikahan itu ibadah, sedang ibadah itu sudah ada ketentuannya.357 Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kadar mahar tidak ada batasnya. Karena Nabi SAW telah memerintahkan dalam Hadisnya: “carilah mahar walau hanya sebentuk cincin besi”.358 Ucapan Nabi ini merupakan dalil, bahwa mahar itu tidak ada batasan rendahnya. Jika ada batasan terendahnya, tentu beliau akan menjelaskannya, karena tidak boleh melambatkan penjelasan pada saat dibutuhkan. Selanjutnya berkenaan dengan pemberian mahar, pelaksanaannya bisa dilakukan sesuai dengan kemampuan, atau disesuaikan dengan keadaan dan adat masyarakat, atau kebiasaan yang belaku. Mahar boleh diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar kontan sebagian dan hutang sebagian yang lainnya. Kalau mahar dihutang, disunahkan membayar sebagiannya.359

356 Ibnu Rushd, Bidāyah al-Mujtahid.., Jilid II, h. 14 –Abd Raḥmān al-Jazīry, al-Fiqh

‘alā al-Madzāhib al-Arba’ah, Jilid IV, 96

357 Ibnu Rushd, Bidāyah al-Mujtahid, jilid II, 14.

358

Teks Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-Bukhari, Muslim dan Abu Daud dari Sahl bi Sa’ad التمس ولو خاتما من حدد.

359 Dalam Hadis Nabi SAW disebutkan sebagai berikut:

اس أن النبى صلى هللا عله وسلم منع علا أن دخل بفاطمة حتى عطها شبا. فقال : ما عندى شا فقال فان عن ابن عب درعك الحطمة ؟ فأعطاه إاها" رواه أبو داود والنسائ والحاكم وصححه.

“Dari Ibnu Abbas ra., Bahwa Nabi SAW melarang Ali mengumpuli Faṭimah sampai ia memberikan sesuatu kepadanya. Lalu ia menjawab, saya tidak memiliki apa-apa. Maka Rasulullah berkata: “dimanakah baju besi huṭamiyahmu?” lalu ia memberikannya kepada Faṭimah” (HR. Abu Daud, al-Nasa’i, dan al-Ḥākim, dan disahkan olehnya). Lihat: al-Ṣan’āny, Nail al-Auṭār, Jilid 6, 173.

137

Menurut Abu Hanifah, suami tidak berhak mencampuri istrinya baik dalam keadaan suka maupun duka, walaupun maharnya diberikan secara berangsur, karena sebelumnya dia telah menyetujuinya. Dengan demikian hak suami tidak gugur. Akan tetapi kalau maharnya kontan semuanya atau sebagian, maka suami tidak boleh mencampurinya sebelum dibayarkan maharnya yang telah dijanjikan itu. Istri berhak menolak dicampurinya hingga suami melunasi dahulu pembayaran mahar yang telah disepakati.360 Dari beberapa pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa pembayaran mahar bisa diberikan langsung ketika terjadi akad nikah dan bisa diberikan dengan cara berutang.361 Akan tetapi, yang lebih baik, bahkan disunnahkan apabila akan diangsur. Sebaiknya diberikan langsung sebagian lebih dulu, sedangkan kekurangannya dilakukan secara beragsur-angsur. Dalam hal penundaan pembayaran mahar (dihutang), terdapat dua perbedaan dikalangan ahli fikih, segolongan ahli fikih berpendapat bahwa mahar itu tidak boleh diberikan dengan cara dihutang keseluruhan. Segolongan lainnya mengatakan bahwa mahar boleh ditunda pembayarannya, tetapi menganjurkan agar pembayaran sebagianmahar dimuka manakala akan menggauli istri. Ini adalah pendapat Imam Malik.362 Diantara Fuqaha yang membolehkan penundaan mahar (diangsur) ada yang membolehkan hanya untuk tenggang waktu terbatas yang telah ditetapkannya. Demikian pendapat Imam Malik. Ada juga yang membolehkannya karena kematian atau perceraian. Ini adalah pendapat Al-Auzā’ī.363 Perbedaan pendapat tersebut karena apakah pernikahan itu dapat disamakan dengan jual beli dalam hal penundaan, atau tidak dapat disamakan dengannya. Bagi fuqaha yang mengatakan dapat disamakan dengan jual beli, mereka berpendapat bahwa penundaan itu tidak boleh sampai terjadinya kematian atau perceraian. Sedang yang mengatakan tidak dapat disamakan dengan jual beli, mereka berpendapat bahwa penundaan

360 Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid III, 139, 140.

361

Al-Shairāzy, al-Muhadhadhab, (Semarang: Maktabah wa Maṭba’ah Taha Putra, t.th), Jilid II, 59.

362 Ibnu Rushd, Bidāyah al-Mujtahid, Jilid II, 16

363

Ibnu Rushd, Bidāyah al-Mujtahid, Jilid II, 16

138

membayar mahar itu tidak boleh dengan alasan bahwa pernikahan itu merupakan ibadah.364 Masalah jenis barang yang dapat digunakan untuk mahar, bisa berupa sesuatu yang dapat dimiliki atau diambil manfaatnya, juga dapat dijadikan pengganti atau ditukarkan. Adapun mengenai macam-macamnya, ulama fikih sepakat bahwa mahar itu bisa dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut:

a. Mahar Musammā Yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah. Ulama fikih sepakat bahwa dalam pelaksanaanya mahar musammā harus diberikan secara penuh apabila:

1) Telah bercampur (bersenggama)365 2) Apabila salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut

ijma’ Mahar musammā juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami

telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab-sebab tertentu, seperti: ternyata istrinya mahramnya sendiri atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama.366

Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengahnya.367

b. Mahar Mithil (sepadan) Yaitu mahar tidak disebut besar kadarnya, pada saat sebelum

ataupun ketika terjadi pernikahan. Bila terjadi demikian, mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin wanita (bibi, bude, anak perempuan bibi / bude), apabila tidak ada mahar mithil itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia.

Mahar mithiljuga terjadi apabila dalam keadaan berikut: 1) Bila tidak disebutkan kadar dan besarnya ketika berlangsung akad

nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur

2) Kalau mahar musammā belum dibayar, sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah.368

364

Ibnu Rushd, Bidāyah al-Mujtahid, Jilid II, 17 365

Lihat: Q.S. al-Nisā’ / 4: 20, 21 366

Al-sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, 141 367

Lihat: Q.S. al-Baqarah / 2: 237.

368 Lihat: Q.S. al-Baqarah / 2: 236

139

Kemudian ulama berbeda pendapat dalam hal ini jika istri menuntut penetuan mahar dan jika suami meninggal sebelum ia menentukan mahar.

a. Jika Istri Menuntut Penentuan Mahar Apabila istri menuntut penentuan mahar bagi dirinya, maka

golongan fuqaha berpendapat bahwa ia berhak memperoleh mahar mithil. Akan tetapi, jika suami menceriakan istrinya sesudah memberikan ketentuan mahar, maka segolongan fuqaha mengatakan bahwa istri memperoleh separoh mahar. Segolongan lainnya mengatakan bahwa istri tidak memperoleh suatu apapun, karena dasar penentuan mahar tidak terdapat pada waktu akad nikah dilaksanakan. Demikian pendapat Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya.

Imam Malik dan pengikutnya mengatakan bahwa suami boleh memilih salah satu dari tiga hal, yaitu: ia boleh menceraikan istrinya tanpa menentukan mahar, atau menentukan jumlah mahar sebagaimana yang dituntut oleh sitri, atau menetukan mahar mithil dan istri harus mau menerimanya.369

Perbedaan pendapat antara fuqaha yang mewajibkan mahar mithil atas suami tanpa memberikan pilihan, jika ia menceraikan istrinya sesudah menentukan mahar dengan pendapat fuqaha yang tidak mewajibkan demikian adalah perbedaan mereka dalam memahami mafhūm dari surat al-Baqarah: 236 yang mengatakan tidak ada dosa jika menjatuhkan talak pada istri sebelum digauli dan belum ditentukan maharnya dan hendaklah memberikan mut’ah (pesangon) sesuai dengan kemampuan suami kepada mantan istri.

Perbedaan tersebut apakah ayat itu diartikan dengan keumuman terhapusnya mahar, baik talak tersebut karena persengketaan antara suami istri tentang penentuan mahar, ataupun talak tersebut disebabkan bukan oleh persengketaan. Demikian pula, apakah dari peniadaan halangan (dosa) itu dapat dipahamkan hapusnya sama sekali, atau tidak dapat dipahamkan demikian.

Ayat tersebut memberikan kemungkinan bahwa yang lebih jelas adalah kemungkinan terhapusnya mahar sama sekali, berdasarkan firman Allah Q.S. al-Baqarah / 2: 236.

369 Ibnu Rushd, Bidāyah al-Mujtahid, Jili II, 20

140

Bagi fuqaha yang mewajibkan pemberian harta sebagai mut’ah370 dan setengah mahar bagi istri jika suami menceraikan istri sebelum menggaulinya pada selain nikah tafwīḍ,371 juga mewajibkan mahar mithil pada nikah tafwīḍ, maka sudah seharusnya fuqaha tersebut juga mewajibkan separoh mahar mithil mut’ah pada nikah tafwīḍ. Hal itu karena mafhūm ayat tersebut, tdak menyebut-nyebut masalah penghapusan mahar pada nikah tafwīḍ, melainkan hanya membicarakan kebolehan menceraikan sebelum menentukan mahar dan jika nikah tafwīḍ mewajibkan adanya mahar mithil. Jika mahar itu dituntut, maka seharusnya pula jika terjadi perceraian, mahar tersebut juga harus diberikan separoh sebagaimana mahar yang telah ditentukan juga harus separoh. Itulah sebanya Imam Malik berpendapat bahwa pada nikah tafwīḍ tidak diwajibkan mahar mithil, jika pada suami terdapat hak memilih. b. Jika Suami Meninggal sebelum Menentukan Mahar

Apabila suami meninggal dunia sebelum menetukan mahar, dan belum menggauli istrinya, Imam Malik dengan para pengikutnya serta al-Auza’i berpendapat bahwa, istri tidak memperoleh mahar tetapi memperoleh mut’ahdan warisan. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa, istri memperoleh mahar mithil dan warisan. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud. Kedua pendapat ini juga diriwayatkan dari Imam Syafi’i. Tetapi yang dijadikan pegangan di kalangan pengikutnya adalah pendapat Imam Malik372

Perbedaan itu disebabkan oleh adanya pertentangan antara Qiyas dan Hadis373 yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud yang mengatakan, bahwa

370Mut’ah adalah pemeberian suami yang menjatuhkan talak kepada istrinya sebagai

pesangon, karena belum ditentukan maharnya dan belum pernah disenggamai. Pesangon ini berbeda sesuai dengan kaya atau miskin mantan suami itu. Lihat: al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, 143.

371 Nikah tafwīḍ adalah nikah yang dilakukan tanpa menyebutkan mahar. Lihat: Ibnu

Rushd, Bidāyah al-Mujtahid..., jilid II, 19.

372 Ibnu Rushd, Bidāyah al-Mujtahid, Jilid II, 20.

373

H.R. Abu Daud, al-Nasa’i dan al-Tirmidhi: اقول فها برأ, فان كان صوابا فمن هللا وان كان خطأ فمن ان لها صداق امرأة من نسابها ال وكس وال شطط وعلها العدة ولها المراث, فقا م معقل بن سار االشجعى, فقال : اشهد لقضت فها بقضاء رسول هللا صلى هللا عله و سلم ف

.والترمذى وصححه فروع بنت واشق. رواه ابو داود والنسا ب Artinya: Mengenai masalah ini aku mengatakan dengan pendapatku. Jika benar, maka itu dari Allah. Dan jika salah itu dari aku sendiri. yaitu bahwa istri memperoleh mahar seperti mahar wanita dari golongannya (mahar mithil), tanpa pengurangan atau berlebihan, dan atasnya beriddah dan memperoleh warisan. Lalu berdirilah Ma’qil bin Yasar al-Ashja’i

141

istri memperoleh mahar mithil tanpa pengurangan atau berlebihan dan baginya wajib beriddah dan berhak mendapat warisan.

Segi pertentangan Qiyas dengan Hadis tersebut adalah bahwa mahar merupakan pengganti. Karena mahar tersebut belum diterima maka pengganti tersebut tidak diwajibkan karena disamakan dengan jual beli.

Mengenai hal ini, al-Muzanī mengatakan dari Imam Shafi’i, bahwa Hadis tersebut Ṣaḥīḥ, maka tidak ada alasan yang bisa dijadikan pegangan di hadapan Hadis.374

Selanjutnya jika mahar berupa benda dan belum sempat diterima oleh istri, maka suami wajib menggantinya, seperti yang terjadi pada jual beli. Dalam qaul qadīm375 Imam Shafi’i dikatakan, mahar yang bendanya rusak atau hilang harus diganti dengan benda yang serupa dengannya., seperti barang yang di ghaṣab376 kalau tidak ditemukan benda yang sama, atau yang sejenis dengan mahar yang rusak atau hilang itu, boleh diganti dengan harganya yang lebih banyak dari harga ketika akad, disamakan ketika harga rusak atau hilangnya mahar tersebut. Sedangkan dalam qaul jadīd377 Imam Shafi’i berkata, dikembalikan kepada mahar mithil, karena ia hanya sebagai pengganti barang yang sudah ditetapkan, tetapi rusak sebelum diterima.378

Materi hukum fikih Islam tentang mahar dan hukumnya, ternyata sudah diadopsi dalam KHI tentang Perkawinan, yang terdapat pada pasal 30 s/d pasal 38. Bahkan masalah “mut’ah” yang wwjib diberikan oleh mantan suami kepada mantan istri karena menjatuhkan talak sebelum

dan berkata: “aku bersaksi bahwa dalam masalah ini engkau benar-benar telah menghukumi dengan keputusan Rasulullah SAW terhadap Furu’ binti Washiq”. (HR Abu Dawud, dan al-Tirmidhi dan ia menganggapnyaṢaḥīḥ). Lihat Ibnu Rushd: Bidāyah al-Mujtahid....,Jilid II, 20.

374 Ibnu Rushd, Bidāyah al-Mujtahid...,Jilid II, 20.

375

Qaul Qadīm Imam Shafi’i adalah hasil ijtihadnya ketika ia masih berdomisili di Iraq. Qaul qadīm Imam Shafi’i dihimpun dalam kitabnya “al-Ḥujjah” lihat: Huazaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 2003), cet. III, 124-126.

376Ghaṣab adalah mengambil harta yang berharga tanpa izin pemiliknya. Lihat: Al-

Jurjāny, al-Ta’rīfāt, (Bairut: Libnan: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003 M/ 1424 H), cet. II, 164.

377Qaul jadīd Imam Shafi’i adalah hasil ijtihadnya ketika ia sudah berdomisili di Mesir.

Qaul jadid Imam Shafi’i dihimpun dalam kitabnya “al-Umm” Sebagian ijtihadnya di Iraq berubah setelah tinggal di Mesir. Hal ini disebabkan kondisi di Mesir dan setelah bertemu dengan para ulama Mesir, disana ia menemukan sebagian Hadis yang tidak di temukannya di Iraq. Lihat: Huzaemah Tahido yanggo, pengantar Perbandingan Mazhab, 124-126.

378 Lihat: Al-Shairāzy, al-Muhadhdhabfi Fiqh al-Imam Shafi’i, (Semarang: Maktabah

wa Maṭba’ah Thaha Putra, t.th), Jilid II, 57.

142

menetapkan mahar bagi istri ba’da al-dukhūl, juga telah diadopsi dalam KHI tentang Perkawinan itu, pasal 158 s/d pasal 160. Masalah mahar dan hukumnya tersebut, telah disebutkan dengan detail dalam KHI tentang Perkawinan. Dengan demikian, maka ketentuan mahar dalam hukum fikih Islam telah menjadi Hukum Nasional Indonesia. 4. Kawin Hamil379

Dalam UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak dicantumkan masalah “kawin hamil”, tetapi dalam KHI tentang Perkawinan dicantumkan pada pasal 53, tetapi dengan judul “Perkawinan Perempuan Hamil karena Zina”. Substansinya sama, hanya berbeda pada redaksi judul.

Dalam hukum fikih islam berkenaan dengan hukum menikahi wanita yang berzina, atau pezina, ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukumnya. Perbedaan pendapat ini disebabkan perbedaan titik pandang mereka terhadap pemahaman kalimat larangan menikahi wanita yang berzina, atau pezina yang disebutkan dalam Q.S. Al-Nūr / 24: 3, yang mengatakan bahwa: “pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik, dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki, atau dengan laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin”.380

Ibnu Rushd mengatakan, apakah larangan Allah dalam ayat 3 Al-Nūr itu yaitu kata الينكح tidak menikahi wanita pezina, menunjukkan celaan atau haram?

Jumhur ulama membolehkan untuk menikahinya381 dan memahami larangan dalam ayat itu menunjukkan celaan saja, 382 yang sebaiknya ditinggalkan. Sebagian Ulama mengatakan, bahwa larangan dalam ayat itu

379 Kawin hamil maksudnya, seorang perempuan menikah, tetapi telah hamil duluan

sebelum menikah, atau biasa disebut dengan hamil di luar nikah.

380Teks Q.S. al-Nūr/ 24: 3

ان و مشكث و ٱلزانيث ل يهح إل زانيث أ و مشك وخرم ذلم لع ٱلز

ا إل زان أ ي ل يهد ؤ ٣ ٱل

381

Ibnu Rushd, Bidāyah al-Mujtahid..,Jilid II, h. 30.

382 Alasan jumhur Ulama membolehkannya adalah Hadis yang diriwayatkan oleh Abu

Daud dan al-Nasa’i dari Ibnu Abbas, bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW mengenai istrinya yang berzina. Nabi SAW berkata kepadanya:

له أمسكها" طلقها, فقال له إنى أحبها, فقال

“Talaklah ia, laki-laki itu mengatakan: saya sangat mencintainya. Nabi SAW berkata (lagi) kepadanya: “maka tahanlah ia (tidak usah engkau menceraikannya”) – Lihat: al-Shaukany, Nail al-Auṭār, Jilid VI.h. 145.

143

menunjukkan haram, oleh sebab itu haram hukumnya menikahi wanita pezina.383

Menurut al-Sayid Sābiq boleh menikahi wanita pezina dengan catatan, bahwa mereka harus bertaubat terlebih dahulu, karena Allah akan menerima taubat hambanya dan memasukkannya ke dalam kalangan hamba-hambanya yang saleh.384 Sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Furqān/ 25: 68 s/d 71.

Yusuf al-Qaraḍāwī berpendapat tidak boleh mengawini wanita lacur. Ia mengemukakan peristiwa di masa Nabi SAW Murthad bin Murthad meminta izin kepada Nabi SAW untuk mengawini pelacur. Nabi SAW berpaling darinya, sehingga diturunkan ayat al-zānī lāyankiḥu..”(surah al-Nūr ayat 3). Nabi membaca ayat itu kepadanya seraya berkata “Kamu jangan menikahinya”.385

Al-Qaraḍāwī selanjutnya mengemukakan alasan bahwa Allah hanya membolehkan mengawini wanita yang baik-baik dari kalangan Islam dan Ahli Kitab. Dengan demikian yang halal dikawini oleh laki-laki ialah wanita yang baik-baik (muḥṣanāt), sebagaimana disebut dalam surat al-Nisā’ ayat 24. 386 Menurut al-Qaradawi, ayat al-zānī lā yankiḥu...(al-Nūr ayat 3) disebutkan setelah ayat yang menyatakan hukuman jilid. Menurutnya hukuman ini adalah hukuman badaniyah. Adapun hukuman adabiyah (moral) ialah pengharaman mengawini pezina.387

Pendapat al-Qaraḍāwī ini cukup tegas, namun ia masih memberikan jalan keluarnya , yaitu bila mereka telah bertaubat, boleh dinikahi, dan untuk mengetahui kesucian rahimnya, mereka harus melampaui haid sekurang-kurangnya satu kali.

Dengan demikian sebaiknya tidak menikahi wanita lacur selama ia tidak bertaubat. Alasan jumhur mengatakan boleh, yang berdasarkan pada Hadis bahwa ketika datang seorang laki-laki menyampaikan, bahwa istrinya berbuat serong, lalu Rasulullah mengatakan, ceraikan dia, tetapi laki-laki itu mengatakan, bahwa ia mencintainya, lalu Rasulullah mengatakan, jangan ceraikan dia.388 Kalau suami sangat mencintainya

383 Ibnu Rushd, Bidāyah al-Mujtahid...,Jilid II, 30

384

Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, 20.

385 Yūsuf al-Qaraḍāwī, al-Ḥalāl wa al-Ḥarām fi al-Islām, (Bairut: Maktabah al-Islām,

1978), 181.

386 Yūsuf al-Qaraḍāwī, al-Ḥalāl wa al-Ḥarām fi al-Islām, 181.

387

Yūsuf al-Qaraḍāwī, al-Ḥalāl wa al-Ḥarām fi al-Islām, 181.

388 Ibnu Rushd, Bidāyah al-Mujtahid..,Jilid II, h. 30.

144

mereka tak perlu bercerai. Karena ia tentu akan menjaga istrinya untuk tidak mengulangi perbuatannya.

Ditinjau dari sudut kesehatan, menikahi wanita lacur cukup berbahaya, karena dapat menularkan penyakit kelamin, HIV/AIDS. Oleh karena itu tepat sekali pendapat ulama yang mengatakan haram menikahi wanita lacur, kecuali mereka telah bertaubat, sembuh dan steril.

Untuk masa sekarang ini barang kali perlu ditambah satu syarat lagi, yaitu ke dokter, apakah wanita itu benar-benar telah bebas dari penyakit kelamin atau mengidap penyakit HIV/AIDS atau belum. Walaupun ia sudah lama tidak melacur, dan sudah bertaubat, belum tentu penyakitnya telah sembuh.

Islam menganjurkan nikah dan melarang mendekati perbuatan zina untuk menjaga kesejahteraan masyarakat, karena zina merupakan sumber kehancuran. 389 Menurut dokter ahli penyakit kulit dan kelamin, zina merupakan sumber penularan penyakit sifilis390 gonore391 dan sejenisnya, yang sangat membahayakan. Bila seseorang lelaki berzina dengan seorang WTS, kemudian berhubungan dengan istrinya, maka besar kemungkinan istri akan tertular penyakit sifilis atau gonore.392

Di negara-negara yang sudah maju, dimana agama tidak begitu berperan dalam kehidupan masyarakat. Penularan penyakit ini cukup tinggi. Menurut laporan dari WHO tahun 1982, sebagaimana dikutip Adhi Djuanda, ternyata penderita penyakit sifilis di Venezuela, Polandia Kuba cukup tinggi. Sedangkan negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Denmark, Republik Demokrasi Jerman dan Hongkong lebih rendah.393

Selanjutnya berkenaan dengan hukum nikah wanita hamil dari zina dengan pria yang menghamilinya, para ulama sependapat mengatakan,

389 Lihat: Q.S. al-Isra’: 32.

390

Sifilis ialah penyakit infeksi yang disebabkan oleh treponema pallidum, sangat kronis dan sejak pemula bersifat sistematik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir semua alat tubuh, dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai rasa laten, dan dapat ditularkan dari ibu ke janin. Liha: Adhi Djuanda, “sifilis”, dalam Mawarli Harahap, ed, Penyakit Menular Seksual, (Jakarta: PT. Gramedia, 1984), 12.

391 Gonore adalah penyakit kelamin, yang pada pria permulaannya keluar nanah dari

orifisium uretra eksterna dan pada wanita biasanya tanpa gejala, hanya kadang-kadang nanah keluar dari introitus vagina. Lihat: Utama Wijaya, “gonore”, Dalam Penyakit Menular Seksual”, 54, beliau adalah dokter ahli penyakit kulit dan kelamin pada rumah sakit Gatot Subroto, Jakarta. Lihat: Mawarli Harahap “sifilis”, Dalam penyakit Menular Seksual. 3.

392 Adhi Djuanda: “Sifilis, Dalam Penyakit Menular Seksual,1

393

Adhi Djuanda: “sifilis, Dalam Penyakit Menular Seksual,12. Adhi Djuanda adalah Dokter spesialis penyakit kulit dan kelamin, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta.

145

bahwa pria pezina, halal menikahi wanita pezina pasangannya itu.394 Dengan demikian, maka perkawinan antara pria dengan wanita yang dihamilinya adalah sah. Mereka boleh melakukan hubungan suami istri, tanpa menunggu kelahiran anak yang dikandung wanita, karena status mereka sama-sama sebagai pezina.395

Al-Shafi’i mengatakan bahwa bila seseorang berzina dengan seorang wanita, tidak diharamkan mereka menikah.396

Dalam surah al-Nisā’/4:24 berkenaan dengan wanita-wanita yang haram dinikahi (محزمات), tidak dimasukkan dalam kategori salah satu dari wanita yang haram dinikahi, wanita yang hamil di luar nikah. Pula berdasarkan Hadis Nabi SAW yang mengatakan, bahwa yang haram itu tidak mengharamkan yang halal.397

Ini bukanlah berarti bahwa seseorang yang menghamili wanita kemudian melaksanakan aqad nikah, masalahnya telah selesai. Sama sekali tidak. Karena mereka telah berdosa melanggar hukum Tuhan, maka mereka wajib bertaubat. Yaitu taubah nasūḥa, dengan istighfār, menyesali dan menjauhkan diri dari dosa, dan keduanya memulai hidup yang bersih, tanpa dosa.398 Sesungguhnya Allah Ta’alā akan menerima taubat hamba-Nya selama belum dalam sekarat.399

Selanjutnya berkenaan dengan nasab anak dari hasil perbuatan zina, pada dasarnya nasabnya dihubungkan dengan ibunya, sesuai dengan Hadis Nabi SAW, bahwa “Anak itu dinasabkan kepada ibunya, sedangkan laki-laki pezina tidak memiliki hubungan apa-apa”. (HR. sekelompok ulama Hadis, kecuali Abu Daud dari Abu Hurairah).400

394 Al-Shairāzy, al-Muhadhdhab, Jilid II, 43.

395

Lihat: Q.S. al-Nūr / 34 : 3.

396 Lihat: Firman Allah Q.S. al-Nisā’ /4:24

...وأحل لكم ما وراء ذلكم... “...dan dihalakan bagimu selain yang demikian..”

397 Rasulullah bersabda:

"الحرم الحالل الحرم" رواه ابن ماجه عن ابن عمرLihat: al-Syaukāny, Nailal-Auṭār, Jilid VI, 145.

398

Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, 85.

399 Rasulullah bersabda:

عمر. إن هللا تعالى قبل توبة العبد مالم غرغر. رواه أحمد والترمذى وابن ماجه عن ابن “Sesungguhnya Allah SWT menerima tobat hambanya selama belum sekarat maut, (HR. Ahmad, al-Tirmidhi dan Ibnu Majah dan Ibnu Umar) – al-Suyūṭy, al-Jāmi’ al-Ṣaghir, Jilid I, 77

400 الولد للفراش وللعاهر الحجر" )رواه الجماعة إال أبا داود وعن أبى هررة(

146

Perlu diketahui kata al-Ḥajar yang dimaksudkan dalam Hadis ini ialah al-khaibah, artinya sesuatu yang tak ada nilainya. Ada sekelompok ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan al-Ḥajaradalah rajam. Ibn Athir berkata bahwa hal ini benar, karena tidak semua pezina dihukum rajam.401

Menurut Wahbah al-Zuḥaily nasab anak ditentukan dengan penetapan batas waktu kelahiran anak dihitung sejak terjadinya akad nikah, karena kehamilan seseorang itu agaknya sulit diketahui oleh orang lain. Yang lebih mengetahui adalah si wanita yang hamil itu sendiri. menurutnya bila bayi itu lahir setelah enam bulan dihitung sejak akad nikah, maka bayi itu dinasabkan kepada ibunya. Kecuali bila suami mengatakan, bahwa anak yang dikandung istrinya itu adalah anaknya dan tidak mengatakan, bahwa anak itu dari hubungan zina istrinya. Pengakuan ini, menetapkan nasab kepada si suami berdasarkan akad nikah yang lalu, karena orang Islam dianjurkan untuk berbuat baik dan menutup aib.402

Sedangkan status hukum anak yang lahir sebagai hasil pembuahan suami istri yang sah diluar cara alami dan dilahirkan oleh istri tersebut belum disebutkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan sebagaimana disebutkan oleh para Ulama fikih.403

Adapun perkawinan orang yang tidak berzina dengan perempuan yang berzina, sekelompok ulama mengatakan, misalnya Hasan Baṣri, bahwa zina dapat menfasakh nikah. Sedangkan jumhur Ulama mengatakan boleh, atau sah hukum perkawinan pria bukan pezina dengan wanita pezina.404

Berkenaan dengan hukum menikahi wanita yang hamil diluar nikah oleh pria yang bukan menghamilinya Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukumnya.

a. Imam Abu Hanifah, ulama Shafi’iyah dan Muhammad (murid Abu Hanifah) mengatakan boleh bagi pria yang bukan berzina menikahi wanita hamildiluar nikah, sah nikahnya, tetapi tidak boleh

401 Lihat: Ibnu Athīr, Nihāyah fī Gharīb al-Ḥadīth wa al-Autār, (t.t: Dar al-Fikr, 1979),

Jilid III, 343.

402 Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII, 148.

403

Anak yang lahir dari hasil pembuatan suami istri yang sah dikenal dengan istilah bayi tabung. Bayi yang lahir dari perkawinan yang sah tidak melalui cara alami dibenarkan oleh Hukum Fikih Islam jika dilakukan ketika suami istri masih rukun, atau belum cerai, cerai hidup atau cerai mati. Lihat Maḥmūd Shaltūt, al-Fatāwā, (al-Qahirah: Dar al-Shurūq, 1400 H/ 1980 M), cet. X, 327, 328.

404 Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu, Jilid VII, 148, 149

147

menggaulinya sebelum lahir anak yang dikandung perempuan yang berzina itu, menurut Abu Hanifah, 405 dan boleh menggaulinya menurut ulama Shafi’iyah.406

1) Wanita yang hamil di luar nikah tidak termasuk kategori wanita-wanita “Muḥarramāt” yang haram dinikahi,407 oleh sebab itu sah nikahnya dan tidak perlu tajdid nikah bila wanita itu telah melahirkan.

2) Tidak ada pengharaman terhadap hasil / benih zina, karena anak hasil dari zina tidak dinasabkan dengannya berdasarkan Hadis yang diriwayatkan oleh Mayoritas Ulama Hadis, kecuali Abu Daud dari Abi Hurairah, bahwa anak itu dinasabkan kepada ibunya.408

Berdasarkan ini, maka menurut Abu Hanifah tidak ada larangan untuk membolehkannya. Yang dilarang hanya menggaulinya sebelum melahirkan hasil zina yang dikandungnya.409Demikian menurut ulama Hanafiyah sedangkan ulama Shafi’iyah boleh menggaulinya dalam keadaan hamil, 410 karena nikahnya sah. Kalau nikahnya sah, maka sah pula menggaulinya. Tidak ada masa bagi wanita yang hamil di luar nikah. Maka iddahnya hanya berlaku bagi wanita yang sudah menikah kemudian talak. Sedangkan Abu Yusuf dan Zufar dan murid Abu Hanifah mengatakan tidak boleh kawin dengan wanita hamil dari zina, karena kehamilannya itu menghalangi persetubuhan, oleh sebab itu akadnya juga dilarang.411

b. Ulama Malikiyah dan Hanabilah tidak boleh seorang pria yang tidak berzina menikahi wanita hamil dari zina sebelum habis iddahnya,

405 Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu, Jilid VII, 149.

406

Al-Shairāzy, al-Muhadhdhab, Jilid II, 43.

407 Lihat Q.S. al-Nisā’ 4:24.

408

Hadis (الو لد للفر اش) Lihat: al-Shaukāny, Nail al-Auṭār, Jilid Vi, 279.

409 Dasar larangan menggauli wanita hamil luar nikah yang telah dinikahi itu adalah

Hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidhy dari Ruwaifi yang diriwayatkan juga oleh Abu Daud, adalah

"من كان ومن باهلل والوم اآلخر, فال سقن ماوه زرع غره" “Siapa yang beriman kepada Allah, dan hari akhir, maka jangan sekali-kali ia menyirami tanaman orang lain”. (maksudnya mencampuri wanita hamil dari zina) lihat: al-Suyūṭy, al-Jāmi’ al-Ṣaghīr, Jilid II, 179.

410 Ulama Shafi’iyah beralasan dengan : Q.S al-Nisā’ / 4:24 dan Hadis

الحرم الحالل الحرام. رواه ابن ماجه عن ابن عمر “Yang haram tidak mengharamkan yang halal” (HR Ibnu Majah dari Ibnu Umar) – Lihat: al-Shaukāny, Nail al-Auṭār, Jilid VI, 145.

411 Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu, Jilid VII, 149,150.

148

yaitu melahirkan anaknya. Bahkan Ulama Hanabillah menambahkan lagi dengan syarat bertobat dari wanita hamil tersebut. Alasannya sama dengan alasan yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan Muhammad, yaitu Hadis tidak boleh menggauli wanita hamil dari zina, dan Hadis Ṣaḥīḥ yang mengatakan, tidak boleh menggauli wanita hamil, hingga melahirkan. 412 Ini adalah pendapat imam Malik.413 Sedangkan syarat kebolehan menikahi wanita hamil tersebut,

menurut ulama Hanabilah harus bertobat sebelum menikahinya adalah firman Allah dalam surah al-Nūr/ 24:3 bahwa diharamkan menikahi wanita yang berzina. Ulama yang selainnya tidak mensyaratkan tobat bagi wanita tersebut sebelum menikahinya.414

Subtansi atau ketentuan-ketentuan tentang kawin hamil dan kedudukan anak yang disebutkan dalam hukum fikih islam yang telah diuraikan diatas, sudah diadopsi dalam KHI tentang penikahan pada pasal 53. Kedudukan anak disebutkan dalam KHI pada pasal 99 s/d pasal 103. Dalam UU No. 1Tahun 1974 tentang perkawinan, berkenaan dengan status anak tercantum pada pasal 42 s/d pasal 44, tetapi berkenaan dengan kawin hamil tersebut belum dicantumkan.

Dengan demikian masalah nikah hamil dan akibat hukumnya sudah masuk dalam hukum Nasional, karena semua materi hukum yang tertera dalam Hukum Fikih Islam berkenaan dengan kawin hamil serta status anak telah tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan. 5. Waktu Tunggu (Masa ‘Iddah)415 dan Masa Berkabung

Jika putus perkawinan, baik akibat talak, khulū’, fasakh dan li’ān, maka wajib berlaku waktu tunggu (masa ‘iddah) bagi wanita yang putus perkawinannya itu.

412 Teks Hadis tersebut diatas adalah: “التوطأ حامل حتى تضع”

413

Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu, Jilid VII, 150.

414 Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu, Jilid VII,150.

415

‘Iddah menurut bahasa berarti kadar, atau jumlah yang dihitung. ‘Iddah wanita yang ditalak dan yang meninggal suaminya adalah suatu masa yang ditetapkan oleh sḥara’ yang dilakukan oleh wanita, tidak menikah setelah ditalak, atau suaminya meninggal – Lihat: Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasīṭ, Jilid II, h. 587. Sedangkan pengertian Iddah menurut istilah dalam fikih adalah nama dari waktu untuk menanti kesucian seorang istri yang ditinggal mati, atau diceraikan oleh suaminya, yang sebelum habis masa iddahnya itu, dilarang untuk menikah – lihat : Abd. Rahman al-Jazīry, al-Fiqh ‘Alā al-Madhāhib al-‘Arba’ah, Jilid IV, 513 s/d 518.

149

Masa tunggu (masa ‘iddah) disebutkan dalam KHI tentang Perkawinan pada pasal 153 s/d pasal 155. Sedangkan masa berkabung bagi wanita yang iddah cerai mati disebutkan pada pasal 170. Tetapi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak menyebutkan masa ‘iddah masa berkabung bagi wanita yang cerai mati.

Dalam hukum fikih Islam ‘iddah wajib hukumnya.416‘Iddah terbagi kepada beberapa macam:

a. ‘Iddah wanita yang ditalak ‘Iddah wanita yang ditalak terdiri dari: 1) Wanita yang telah dicampuri dan belum putus haid. ‘Iddahnya tiga

kali suci, atau tiga kali haid, yang dalam Al-Qur‘an disebut“ثالثةقزوء” . 417 dalam menetapkan makna qurū’, ulama berbeda pendapat, sebagian fuqaha berpendapat bahwa qurū’ itu artinya suci, yaitu diantara dua kali haid. Fuqaha lain berpendapat bahwa qurū’ itu ialah haid itu sendiri. Fuqaha yang berpendapat bahwa qurū’ adalah suci, dari kalangan fuqaha Anṣar, seperti Imam Malik, Imam Shafi’i dan mayoritas fuqaha Madinah, juga Abu Thaur, sedangkan dari kalangan sahabat antara lain: Ibnu Umar, Zaid bin Thabit dan Aishah ra.418

Adapun fuqaha yang berpendapat bahwa qurū’ adalah haid, terdiri dari Imam Abu Hanifah, Ath-Thaurī, al-Auzā’i, Ibnu Abi Laila. Dari kalangan sahabat antara lain: Ali ra, Umar bin Khaṭṭāb ra, Ibnu Mas’ud ra, dan Abu Musa al-Ash’ari ra.419

Alasan terkuat yang dijadikan pegangan oleh para fuqaha yang berpendapat, bahwa qurū’ itu berarti suci, adalah Hadis Ibnu Umar dari sekelompok Ulama Hadis, kecuali al-Bukhary bahwasannya ia menalak istrinya dalam keadaan haid, lalu Umar bin Khaṭṭāb menyampaikan hal itu kepada Rasulullah SAW, maka Rasulullah memberi tahu kepada Umar untuk memberitahu putranya yang bernama Abdullah agar menyuruhnya rujuk kepada istrinya sampai ia haid, kemudian suci, kemudianhaid lagi, kemudian menceraikannya jika ia mau, sebelum ia menyentuhnya. Demikan ‘iddah yang diperintahkan oleh Allah untuk menceraikan istrinya.420

416 Lihat: Q.S. al-Baqarah/ 2:228.

417

Lihat: Q.S. al-Baqarah/ 2:228.

418 Ibnu Rushd, Bidāyah al-Mujtahid..,Jilid 67.

419

Lihat Ibnu Rushd, Bidāyah al-Mujtahid...,Jilid II, 67

420 Teks Hadis yang di maksud adalah:

150

Kata-kata Nabi SAW, itulah ‘iddah yang diperintahkan oleh Allah untuk menceraikan istri, merupakan dalil yang jelas bahwa ‘iddah adalah suci, agar talak dapat bersambung dengan ‘iddah. Tetapi, kata-kata Nabi SAW, tersebut dapat pula diartikan bahwa masa ‘iddah adalah masa menghadapi ‘iddah, agar qurū’ tidak terbagi-bagi dengan adanya talak di masa haid.

Alasan fuqaha golongan kedua adalah ‘iddah itu diadakan untuk mengetahui kosongnya rahim (tidak hamil) wanita yang ditalak. Sedang kosongnya rahim hanya dapat diketahui dengan haid, bukan dengan masa suci. Oleh karena itu, ‘iddah wanita yang sudah monopouse adalah ukuran hari (yakni tiga bulan). Jadi, haid merupakan sebab adanya ‘iddah dengan qur’un. Oleh karena itu, qur’un harus diartikan haid.

Selanjutnya fuqaha yang mengatakan bahwa qur’un adalah masa suci mengemukakakn alasan bahwa yang menjadi pedoman bagi kosongnya rahim seorang wanita adalah masa perpindahan dari suci, kepada haid, oleh karena itu, tidak ada artinya untuk berpegang pada haid yang terakhir. Jika demikian halnya, maka bilangan tiga yang diisyaratkan harus lengkap adalah masa-masa suci di antara dua haid.421

Kedua gologan ini mempunyai alasan-alasan yang banyak. Akan tetapi dari segi akal alasan Ulama Hanafiyah jelas. Alasan jumhur ulama dari segi riwayat lebih kuat.

2) Wanita yang ditalak yang telah dicampuri dan tidak haid (yang belum baligh atau sudah monopouse)

Wanita yang tidak haid, baik yang sudah putus haid, atau belum haid, jika ditalak, maka masa ‘iddhanya tiga bulan.422

3) Wanita yang ditalak atau cerai mati belum digauli. Tidak ada masa ‘iddah bagi perempuan yang ditalak dan

belum digauli.423 Tetapi bagi perempuan yang belum pernah digauli, jika ditinggal mati oleh suaminya, maka ia harus beriddah seperti iddahnya orang yang sudah digauli, tiga kali suci, atau tiga kali haid424 karena ia berhak mendapat warisan dari suaminya.

ن شأء قبل أن مسها فتلك العده الت امر هللا ان مره فلراجعها حتى تحض ثم تطهر ثم تحض حتى تطهر ثم طلقها ا

تطلق لها النساء. رواه الجماعة إال البخارى

Lihat: al-Shaukany, Nail al-Auṭār, Jilid VI, 221. 421

Ibnu Rushd, Bidāyah al-Mujtahid.., Jilid II, 67, 68. 422

Q.S. Al- Ṭalāq / 65: 4

423 Q.S. Al-Aḥzāb/ 33: 49

424

Q.S. Al-Baqarah/ 2: 234

151

b . ‘Iddah Wanita yang ditalak dalam keadaan hamil Jika wanita yang diceraikan dalam keadaan hamil, maka masa

iddahnya batasannya sampai melahirkan.425 Perceraian wanita yang sedang hamil terdiri dari cerai hidup dan

cerai mati. Masa ‘iddah keduanya adalah sampai melahirkan, berdasarkan

Hadis Nabi SAW, yang diriwayatkan oleh al-Bukhary dari al-Miswar bin

Mahzamah, bahwa Subai’ah al-Aslamiyah melahirkan anaknya setelah

meninggal suaminya, beberapa malam, lalu ia datang kepada Nabi

Muhammad SAW meminta izin agar ia menikah, lalu Rasulullah

mengizinkannya, maka menikahlah ia.426 Pendapat ini juga didasarkan

pada ayat 4 al-Ṭalāq yang mengatakan bahwa ‘iddah wanita hamil adalah

sampai melahirkan, baik cerai hidup, maupun cerai mati. Ini adalah

pendapat jumhur Ulama dari kalangan sahabat dan Ulama lainnya. Tetapi

Mazhab al-Hadawiyah dan selain mereka diriwayatkan dari Ali, bahwa

masa’iddah wanita hamil cerai mati adalah mengambil masa yang

terpanjang (بأبعداآلجلين). 427 Jika wanita hamil itu kehamilannya ketika

meninggal suaminya sudah hamil tua, maka ‘iddah wanita tersebut,

mengambil waktu yang terpanjang, yaitu empat bulan 10 hari428. Jika

kehamilannya masih hamil muda maka ‘iddahnya sampai melahirkan.429

c. ‘Iddah wanita yang cerai mati Wanita yang cerai mati jika ia tidak hamil, maka ‘iddahnya

empat bulan sepuluh hari,430 seperti masa ‘iddah wanita yang ditalak dan tidak hamil, lalu suaminya meninggal.

d. ‘Iddah wanita berhaid, tetapi tidak haid Jika wanita yang ditalakseorang yang berhaid, kemudian ia

tidak haid seperti biasanya, dan tidak ketahuan apa sebabnya, maka

425 Q.S. al-Ṭalāq/ 65:4

426

Teks Hadis yang dimaksud dalam uraian di atas yaitu: عن المسور بن محزمة رضى هللا عنه ان سبعة االسلمة نفست بعد وفاة زوجها بلال فجاءت الى النب صلى هللا عله

ان تنكح فأذن لها فنكحت. رواه البخارى وسلم فاستاذنته

Lihat: al-Ṣan’āny: Subul al-Salām, Jilid III, 264.

427 Lihat: Al-Ṣan’āny: Subul al-Salām, Jilid III, 266.

428

Q.S. al-Baqarah / 2: 234

429 Q.S. al- Ṭalāq / 65: 4.

430

Q.S. al-Baqarah/ 2:234.

152

‘iddahnya setahun.431 Ia menahan diri selama sembilan bulan, agar dapat diketahui, kebersihan kandungannya.

e. ‘Iddah wanita istiḥāḍah432 Wanita istiḥāḍah seperti halnya perempuan haid. Kemudian

kalau ia puya kebiasaan tersendiri maka hendaklah ia memperhatikan kebiasaannya dalam soal haid dan bersihnya. Jika talak lewat tiga kali haid, maka habislah ‘iddahnya. Jika ia putus haid, maka’iddahnya habis dalam tiga bulan

f. ‘Iddah wanita dalam perkawinan yang tidak sah Seorang laki-laki yang menyetubuhi perempuan secara

shubhat (keliru tidak sengaja) maka perempuannya wajib menjalani ‘iddah. Karena persetubuhan secara shubhat sama hukumnya dengan persetubuhan dalam perkawinan yang sah soal nasabnya.

Dalam hal ini sama dengan persetubuhan dalam akad perkawinan yang sah tentang kewajiban ‘iddahnya. Juga wajib ‘iddah dalam perkawinan yang batal, bila memang telah terjadi persetubuhan.

Perempuan yang berzina tidak wajib ‘iddah. Sebab ‘iddah gunanya untuk menjaga keturunan. Sedang orang yang berzina tidak dibebani pertalian nasab. Demikianlah pendapat golongan Hanafi, Shafi’i dan Tsauri. Begitu pula pendapat Abu Bakar dan Umar. Tetapi Malik dan Ahmad berpendapat wajib ‘iddah.433

g. ‘Iddah wanita yang ditalak suami dalam keadaan sakit keras Talak orang yang sakit keras yaitu seorang yang sakit keras

menjatuhkan talak kepada istrinya dengan ṭalāq bā’in sedang istrinya tidak rela, lalu ia mati sewaktu masa ‘iddah istrinya.

Dalam keadaan seperti ini perbuatannya dianggap melarikan diri atau menghalangi warisan. Oleh sebab itu Imam Malik berkata: perempuan yang mendapat warisan walaupun ia (suaminya) mati setelah habis ‘iddah dan setelah kawin dengan laki-laki lain.434

Tetapi Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa dalam hal seperti ini hukumnya berbeda yaitu ‘iddahnya lebih lama

431 Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, 280, 281.

432

Istiḥāḍah adalah darah yang keluar dari wanita lebih dari hari yang maksimal hari haid. Misalnya menurut Imam Sahafi’i haid maksimal 15 hari. Lebih dari 15 hari, maka termasuk darah istiḥāḍah.

433 Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, 282.

434

Wahbah Al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu, Jilid VII, 647.

153

dari dua masa ‘iddah diatas, yaitu iddah talak dan ‘iddah kematian suami.435

Jika ‘iddah talak yang lebih lama, maka ‘iddah inilah yang dipakai. Jika ‘iddah kematian suami yang lebih lama maka ‘iddah inilah yang dipakai. Maksudnya jika selesainya ‘iddah tiga kali haid lebih lama dari pada 4 bulan 10 hari, maka ‘iddah inilah yang di pakai. Tetapi jika masa 4 bulan 10 hari ini lebih lama dari masa tiga kali haid, maka ‘iddah inilah yang dipakai.436

Hal ini dimaksudkan agar perempuannya tidak terhalang mendapatkan hak waris dari suaminya yang mengabaikan bagian waris istrinya dengan jalan talak. Tetapi menurut Abu Yusuf, dan Shafi’i dalam salah satu qaulnya yang lebih kuat, bahwa perempuan tersebut tidak mendapatkan warisan, seperti halnya dengan perempuan yang dijatuhi ṭalāq bā’indengan sah.437

Alasannya, karena ikatan suami istri telah habis dengan adanya talak sebelum kematian suami. Sehingga sebab memperoleh warisan telah hilang. Tentang dugaan adanya niat melepaskan diri dari memberikan warisan kepada istrinya itu tidak dapat dijadikan dasar hukum.

Sebab pada pokoknya hukum itu berdasarkan keadaan lahiriahnya, bukan kepada maksud-maksud yang masih tersembunyi.438

Para ulama sepakat bahwa kalau suami mentalak bain istrinya ketika sakit, kemudian istrinya mati maka suami itu tidak dapat warisan apa-apa.

Begitu pula perubahan ‘iddah dari ‘iddah haid kepada ‘iddah beberapa bulan bagi perempuan yang mengalami sekali haid atau dua kali haid lalu putus haidnya, maka di saat ini ia wajib ber’iddah tiga bulan.

Sebab ia tak mungkin menjalani ‘iddah haid dengan sempurna,karena telah putus haidnya. Tapi yang mungkin ialah ia mulai dengan ‘iddah beberapa bulan dengan sempurna. ‘Iddah beberapa bulan ini sebagai ganti dari’iddah haidnya itu.

h. ‘Iddah wanita yang hilang suaminya

435 Wahbah Al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu, Jilid VII, 646.

436

Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, 283.

437 Wahbah Al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu, Jilid VII, 647.

438

Al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, 283.

154

Jika seorang wanita hilang suaminya dan tidak diketahui dimana suaminya berada, apakah ia telah meninggal, atau masih hidup, maka wajib atasnya menunggu empat tahun lamanya. Sesudah itu jika suaminya belum juga ketahuan dimana keberadaannya, maka hendaklah wanita tersebut ber’iddah lagi empat bulan sepuluh hari.439

Ketentuan ‘iddah seperti ini berdasarkan Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Malik dan Shafi’i dari Umar bin Khattab, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Bagi wanita yang kehilangan suaminya dan ia tidak mengetahui dimana dia berada, sesungguhnya wanita itu wajib menunggu empat tahun, kemudian hendaklah ia beribadah empat bulan sepuluh hari, barulah ia boleh menikah”.440

Sebelum habis masa ‘iddah, haram hukumnya bagi wanita itu menikah.441 Seorang wanita yang telah dicerai oleh suamiya, dilarang melakukan perkawinan dengan lelaki lain selama masa yang ditentukan oleh shariat. Masa yang ditentukan oleh shariat ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada suami dan istri untuk berpikir, apakah perkawinan tersebut masih dapat dilanjutkan dengan cara rujū’ (kembali), jika perceraian itu terjadi pada talak raj’ī (talak satu dan dua), atau perceraian itu lebih baik bagi keduanya.442

Wanita dalam menjalani masa ‘iddah mempunyai hak dan kewajiban, yaitu:

1) Tidak boleh di pinang oleh laki-laki lain, baik secara terang-terangan, maupun melalui sindiran. Tetapi bagi wanita yang sedang dalam ‘iddah kematian suami, boleh dilakukan pinangan terhadapnya dengan cara sindiran.443

2) Dilarang keluar rumah. Jumhur ulama selain mazhab Shafi’i sepakat mengatakan, bahwa wanita yang sedang menjalani masa iddah

439 Al-Ṣan’āny, Subul al-Salām, Jilid III, 279.

440

Teks Hadis itu: : اما امرأة فقدت زوجها لم تدر ان هو فانها تنتظر اربع سنن ثم تعتد صلى هللا عله وسلمعن عمر رضى هللا عنه قال

اربعة اشهر وعشرا ثم تحل. رواه مالك والشافعى

Lihat: Al-Ṣan’āny, Subul al-Salām, Jilid III, 279.

441 Lihat: Q.S. Al-Baqarah/ 2: 235.

442

Sayuti Talib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Berlaku Bagi Umat Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), 122.

443 Q.S. al-Baqarah/ 2: 234

155

dilarang keluar rumah apabila tidak ada keperluan mendesak, seperti keperluan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dan juga kebutuhan anak-anaknya jika suaminya tidak meninggalkan harta. Dalam hal ini ia boleh keluar rumah untuk berkarir atau bekerja untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.444

3) Selama dalam masa ‘iddah, berhak untuk tinggal di rumah suaminya.445

4) Wajib ber’iḥdād446 tidak bersolek dan mempercantik diri selama ‘iddah empat bulan sepuluh hari.

5) Wanita yang masih berada dalam ‘iddah talak raj’īterlebih lagi yang sedang hamil, berhak mendapatkan nafkah lahir dari suaminya. Bagi wanita yang ditinggal mati suaminya tentu tidak lagi mendapatkanapa-apa kecuali harta waris namun berhak untuk tetap tinggal di rumah suaminya sampai berakhirnya masa’iddah.

6) Wanita yang berada dalam ‘iddah talak raj’ī berhak mendapatkan harta waris dari suaminya yang meninggal, sedangkan wanita yang ditalak tiga, tidak berhak mendapatkannya.447

Adapun hikmah adanya ‘iddah adalah sebagai berikut: 1) Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan, sehingga

tidak tercampur antara keturunan seorang dengan orang lain. 2) Memberi kesempatan kepada suami istri yang berpisah untuk

kembali kepada kehidupan semula, jika mereka menganggap hal tersebut baik.

3) Menjunjung tinggi masalah perkawinan yaitu untuk menghimpun orang-orang arif mengkaji masalahnya, dan memberikan tempo berpikir panjang. Jika tidak diberi kesempatan demikian, maka tidak ubahnya seperti anak-anak kecil bermain, sebentar disusun, sebentar lagi dirusaknya.

444 Lihat: Q.S. al-Baqarah/ 2: 240, al-Ṭalāq / 65:1.

445

Lihat: al-Ṭalāq / 65:1.

446Iḥdād berasal dari kata aḥadda dan terkadang bisa juga disebut al-ḥidād yang

diambil dari kataḥadda. Secara etimologi bermakna al-man’u (larangan). Dalam istilah iḥdādbermakna meninggalkan harum-haruman, perhiasan, celak mata, dan minyak wangi. Ada juga yang mendefenisikannya dengan menahan diri dari mempercantik diri atau bersolek. Lihat, Wahbah al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu, Jilid VII, 659. Lihat juga masalah yang cukup menarik menyangkut iḥdād wanita karir dalam, Hafiz Anṣāry “iḥdād Wanita Karir” dalam, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Huzaimah Tahido Yanggo dan Hafiz Anṣāry (ed), (Jakarta: Firdaus, 2002), 11-34.

447 Lihat: al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, 286.

156

4) Kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua suami istri bersama-sama hidup lama dalam ikatan akadnya. Jika terjadi sesuatu yang mengharuskan putusnya ikatan tersebut

maka untuk mewujudkan tetap terjaganya kelanggengan harus diberi tempo beberapa saat memikirkannya dan memperhatikan apa kerugiannya.

Dapat disimpulkan, bahwa hikmah ‘iddah adalah sebagai berikut: 1) ‘Iddah adalah masa berpikir untuk kembali lagi atau berpisah 2) Waktu ‘iddah baik bagi pihak ketiga untuk usaha merujuk kembali 3) Masa penyelesaian segala masalah bila masih ada masalah dan

akan tetap berpisah 4) Masa peralihan untuk menentukan hidup baru 5) Sebagai waktu berkabung bila suami meninggal 6) Masa untuk menentukan kosong tidaknya rahim istri dari suami.448 7) Sebagai hukum ta’abbudy.

Bila terjadi perceraian, bagi laki-laki tidak wajib ber’iddah. Tidak ada naṣ dari Al-Qur’an, atau dari Hadis yang mewajibkannya. Tetapi sekalipun tidak ada naṣ memberikan ketentuan adanya masa ‘iddah bagi laki-laki secara moral tidak berarti bahwa mereka dengan bebas memutuskan untuk menikah lagi ketika istri meninggal, tanpa ada pertimbangan etis dan kearifan atas kematian istrinya. 449 Bila istrinya meninggal dunia, kemudian segera melaksanakan pernikahan, hal ini sesungguhya bertentangan dengan etika budaya masyarakat yang selama ini khususnya Indonesia, dipegang sebagai salah satu alat kontrol dan kritik sosial.

Sebenarnya masyarakat kita telah memiliki hukum adat dan ketentuan sosial yaitu kesepakatan nilai dan kepantasan, yang juga tidak kalah pentingnya bagi makhluk yang berbudaya. Karena demikian adanya, prinsip moralitas kultur yang dapat menjadi piranti penyokong hubungan harmonis antara pihak keluarga istri yang meninggal dengan suami yang ditinggalkan, hendaknya dijadikan pertimbangan berharga dalam memutuskan langkah selanjutnya. Apalgi, dalam konteks hubungan sosial masyarakat, pada tingkat mutlak Allah SWT, telah memberikan pijakan bagi hambaNya, agar berprilaku toleran, arif dan bijak yang dapat menjadi penopang terciptanya kedamaian dan kesantunan.

448 Lihat: al-Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, 277.

449

Lihat: Huzaemah Tahido Yanggo, Kontroversi Revisi Komplikasi Hukum Islam, (Jakarta: Adelina, 2005), 32.

157

Ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum yang berkenaan dengan masa ‘iddah perempuan, cerai mati atau cerai hidup dan kewajiban berkabung bagi wanita yang cerai mati telah diadopsi dalam KHI tentang Perkawinan, pada Pasal 153 s/d Pasal 155. Sedangkan kewajiban barkabung bagi wanita terdapat pada pasal 170. Meskipun ketentuan masalah ‘iddah menurut hukum fikih Islam telah memuat dalam KHI bidang perkawinan, tetapi setelah diteliti ternyata ketentuan-ketentuan tentang ‘iddah dalam hukum fikih Islam belum semuanya tercantum dalam KHI tersebut. Namun demikian, sudah dapat dijadikan pedoman oleh para Hakim Pengadilan Agama dalam menetapkan kasus-kasus berkenaan dengan ‘iddah daniḥdād.

Dengan demikian, berarti ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah ‘iddah yang disebutkan dalam hukum fikih Islam berkenaan dengan fikih munakahat tersebut, telah menjadi Hukum Nasional. Materi, atau ketentuan-ketentuan KHI tentang perkawinan sama dengan yang telah berlaku di kalangan masyarakat Islam di Indonesia. Dengan adanya kesesuaian hukum-hukum dalam perkawinan yang berlaku di masyarakat Islam Indonesia, maka tidak ada masalah dalam menerapkan Hukum Nasional tentang perkawinan kepada orang-orang Islam yang berperkara di Pengadilan Agama. Perbedaan fikih munakahat dengan KHI tentang Perkawinan, dalam KHI meskipun telah dilengkapi dengan prosedur dan teknisdalam pelaksanaan dan penyelesaian perkara, tetapi belum terinci sedangkan fikih munakahat pembahasannya lebih rinci.

Demikianlah pembahasan Hukum Fikih Islam yang berkenaan dengan fikih munakahat yang terdapat dalam KHI tentang Perkawinan. Pembahasannya tidak mengikuti sistematika dan urutan pasal-pasal yang terdapat dalam KHI tersebut, karena ketika membahas suatu masalah dalam suatu pasal, jika terkait masalahnya dengan pasal lain, sudah sekaligus dibahas materinya, untuk menghindari pengulangan bahasan.450

D. Pro dan Kontra Terhadap UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat dikategorikan sebagai Undang-Undang yang Islami, karena kandungan UU Perkawinan

450 Sebagai contoh, ketika membahas waktu tunggu (masa ‘iddah) dibahas juga

masalah mut’ah.

158

tersebut sesuai dengan Hukum Perkawinan Islam. Sebagian besar substansi UU Perkawinan itu bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis Nabi saw serta pendapat para Ulama Fikih. Sebagian kecil substansinya merupakan hasil ijtihad para ulama dan cendikiawan muslim Indonesia. Menurut Azyumardi Azra, Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 merupakan bagian dari kodifikasi hukum perkawinan Islam. Semua pasal-pasalnya sejalan dengan shariah. Oleh karena itu penyebaran dan implementasi dari UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, merupakan sebuah pelembagaan shariah di Indonesia.451 Umat Islam berupaya untuk menjadikan hukum Islam menjadi hukum yang diakui negara. Sejak Indonesia belum merdeka sampai sekarang, umat Islam menginginkan agar Hukum Islam menjadi hukum yang berlaku di Indonesia. Namun, setelah UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan lahir dan berlaku untuk seluruh warga Indonesia, sebagian umat Islam tidak konsisten dengan apa yang diinginkan. Di satu sisi memperjuangkan UU Perkawinan agar sesuai dengan hukum Islam, tetapi di sisi lain, masih mengingkari UU Perkawinan ini sebagai bagian internal dari hukum Perkawinan Islam. Sebagian umat Islam masih berpegang pada doktrin fikih, dari mengikuti UU perkawinan, seperti dalam masalah pencatatan perkawinan, poligami, perceraian, sehingga masih banyak masyarakat yang melakukan nikah dibawah tangan tanpa adanya pencatatan dari yang berwenang, poligami liar dan menceraikan istri secara liar, tidak melalui pengadilan agama. Semua itu dianggap sebagai tindakan yang wajar, karena fikih membolehkan, walaupun hal itu bertentangan dengan UU perkawinan. Sedangkan sebagian masyarakat lainnya, bahkan ada juga dari kalangan umat Islam, menganggap bahwa UU Perkawinan tersebut diskriminasi antara laki-laki dan perempuan (bias gender) serta melanggar HAM dan lain-lain. Atas dasar semua itu, maka muncullah usaha sebagian masyarakat untuk mengamandemen UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut. Dalam usaha untuk mengamandemen UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, diberbagai media terdapat pendapat pro dan kontra. Pendapat yang pro amandemen UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, giat melaksanakan berbagai seminar, lokakarya dan lain-lain bahkan

451 Lihat: Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage Law of 1974 An

Institutionalization of the Shari’a for Social Changes, in Shari’a and politic in Modern Indonesia, (Singapore: ISEAS, 2003), 85.

159

menulis dan mempublikasikan untuk mendapatkan masukan-masukan yang dapat menunjang dan memperkuat pandangan mereka untuk mengamandemen UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut. Pendapat yang pro dan kontra serta mengusulkan amandemen UU Perkawinan, antara lain: 1. Menteri Pemberdayaan Perempuan dalam kata sambutannya yang

berjudul: “Undang-Undang Perkawinan dalam Perspektif Gender”, mengatakan dalam sambutannya, bahwa meskipun pasal 27 UUD 1945 menjamin kesamaan hak dan kewajiban bagi seluruh warga negara di hadapan hukum, baik laki-laki maupun perempuan, namun masih banyak dijumpai materi hukum yang diskriminatif terhadap perempuan dan tidak berkeadilan jender. Materi hukum itu antara lain : UU Ketenagakerjaan, UU Kesehatan, UU Kewarganegaraan, UU Pajak dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

UU perkawinan ini oleh banyak pihak dilihat sebagai instrumen hukum yang turut mengukuhkan pembagian dan pembakuan peran perempuan yang berdasarkan jenis kelamin dan stereotype perempuan sebagai ibu rumah tangga yang wajib mengatur urusan rumah tangga, sementara laki-laki sebagaikepala keluarga yang wajib melindungi istri dan memberikan keperluan hidup rumah tangga. Meskipun Undang-Undang ini secara substantif menetapkan hak dan kewajiban yang sama kepada perempuan dan laki-laki untuk melakukan tindakan hukum, pengelolaan rumah tangga, kegiatan masyarakat, pengelolaan harta bersama dan pemeliharaan anak, namun disisi yang lain hanya ibu (istri) dan keluarganya yang memiliki hubungan perdata dengan anak di luar nikah.452

Perjuangan untuk meletakkan dasar-dasar hukum perlindungan terhadap perempuan adalah merupakan komitmen bersama komponen bangsa. Perjuangan itu tidak akan lepas dari konteks dan tuntutan sejarah perjuangan perempuan, terutama perlindungan perempuan dalam perkawinan. Kita sadari bahwa setiap babakan sejarah mempunyai dinamika dan tuntutan kebutuhan yang berbeda. Semua itu telah direspon secara positif oleh gerakan dan organisasi perempuan dari masa ke masa.

UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah bukti dari perjuangan dan kegigihan kaum perempuan pada era pasca pemilu 1971,

452 Sambutan Menteri Agama Pemberdayaan Perempuan Khafifah Indar Parawansa,

disampaikan dalam Workshop Studi Kebijakan Dalam Rangka Penyajian dan Perbaikan UU Perkawinan yang bias jender, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Wanita IAIN Jakarta, 27 September 2000 di Jakarta, h. 4.

160

banyak anggota masyarakat termasuk organisasi perempuan yang mendesak DPR untuk memperjuangkan RUU perkawinan. Simposium Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) pada tanggal 29 Januari 1972 mendesak agar cepat diputuskannya UU Perkawinan karena makin dirasakan mendesaknya keperluan itu, di samping perkembangan di masyarakat yang sangat cepat dan dalam praktek kehidupan norma-norma perkawinan selalu mengikuti perkembangan tersebut. Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) pada tanggal 22 Februari 1972 telah mendesak kepada pemerintah agar segera mengajukan RUU Perkawinan untuk disahkan. Desakan itu tidak lain karena banyaknya kasus kawin paksa dan perkawinan di bawah umur yang sangat merugikan perempuan.453

Dengan terus menjaga semangat untuk melindungi kepentingan perempuan dan merespon dinamika dan berbagai persoalan yang dihadapi oleh perempuan sekarang ini menuntut untuk melihat kembali UU perkawinan dan Peraturan Pemerintah (PP) yang terkait dengannya. Perlunya merevisi dan melihat kembali ini didasarkan pada masih kuatnya sistem petriarkhi yang mengharuskan negara untuk menghapuskan diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan, termasuk menghapuskan perilaku, tradisi dan nilai-nilai budaya dan praktek-praktek yang mendiskriminasikan perempuan telah menjadi kewajiban negara sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 2,3,4 dan 5 konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984.

Atas dasar berbagai pertimbangan, permasalahan dan tuntutan yang ada saat ini maka UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia harus segera di revisi, agar proses domestikasi peran perempuan tidak akan berlanjut. Salah satu pasal yang menjadi sumber persoalan adalah rumus pasal 2 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing Ketentuan ini justru dijadikan dasar dilakukannya perkawinan di bawah tangan yang berakibat sangat tidak terlindungi kaum perempuan baik istri pertama maupun istri kedua dan anak-anak yang dilahirkannya. Pasal ini juga menimbulkan persoalan bagi para penganut kepercayaan.454

453

Lihat : Menteri Pemberdayaan Perempuan, UU Perkawinan Dalam Perspektif Jender, 4,5.

454Lihat : Menteri Pemberdayaan Perempuan, UU Perkawinan Dalam Perspektif

Jender, 5,6.

161

Revisi tidak hanya melihat pasal demi pasal, tetapi harus pula memperhatikan paradigma dan definisi perkawinan. Anggapan bahwa pernikahan merupakan ‘aqdul milki berimplikasi pada penguasaan laki-laki atas istrinya sebagai hak miliknya mengukuhkan sikap patriakhi dan dominasi suami atas istrinya, akhirnya dapat menafikan eksistensi perempuan sebagai dirinya yang independen untuk menentukanperannya di ranah domestik, publik dan sosialnya. Anggapan ini pula kiranya yang kemudian mendomestikasikan peran perempuan sebagai ibu rumah tangga dan suami sebagai kepala keluarga.

Paradigma di atas harusnya dilihat kembali bahwa ikatan perkawinan adalah sebuah ‘aqdul ibadah sebuah akad yang hanya memberikan kewenangan secara sah bagi laki-laki untuk halal menggauli istrinya, bukan memilikinya. Ini berimplikasi pada posisi perempuan setara dengan laki-laki sebagai suaminya, ia masih mempunyai dirinya dan dapat menentukan kepentingannya dengan bargaining position yang setara antara suami dan istri. 455

Perubahan paradigma dan cara pandang yang berkesetaraan dan berkeadilan jender mau tidak mau mengharuskan kita untuk melihat kembali/ dan merevisi UU Perkawinan. Tentunya ini akan berimplikasi pada Peraturan Pemerintah (PP) yang mengikutinya, baik itu PP nomor 10 tahun 1983 maupun PP nomor 45 tahun 1990 yang masih sangat diskriminatif terhadap perempuan. Pada pasal 4 ayat (2) PP-Nomor 45 dengan sangat jelas mendiskriminasikan perempuan yakni dengan memberikan sanksi administratif berupa pemecatan bagi perempuan Pegawai Negeri yang menjadi istri kedua, ketiga dan keempat. Sebaliknya sebagai laki-laki Pegawai Negeri selain diberikan izin poligami jika syaratnya terpenuhi juga tidak terkena sanksi pemecatan.

Sebagai langkah legal reform, maka perlindungan kepentingan perempuan inilah yang menjadi tujuan utama dilakukannya revisi terhadap berbagai Undang-Undang dan peraturan diskriminatif, termasuk di dalamnya UU Nomor 1 tahun 1974, agar sistem hukum yang berlaku dapat mengakomodasi kepentingan dan perlindungan terhadap perempuan, sehingga cita-cita kesetaraan dan keadilan yang dilindungi Undang-Undang dapat tercapai di negara Indonesia tercinta ini. 456

455

Lihat : Menteri Pemberdayaan Perempuan, UU Perkawinan Dalam Perspektif Jender, 5,6.

456Lihat : Menteri Pemberdayaan Perempuan, UU Perkawinan Dalam Perspektif

Jender, 6,7.

162

2. KOWANI sebagai federasi dari 77 organisasi Wanita di tingkat Nasional mengajukan usulan penyempurnaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dengan alasan, antara lain, bahwa UU Perkawinan sangat diskriminatif terhadap wanita dan kurang adanya kesetaraan jender, padahal perkawinan adalah merupakan kebutuhan hidup manusia dalam melangsungkan kehidupannya, sanksi hukum sangat lemah (tidak tegas), kurang sesuai dengan Hak Asasi Manusia dan Perkawinan berasaskan monogami dengan pengecualian yang amat ketat, oleh sebab itu perlu penyempurnaan/ amandemen beberapa pasal UU perkawinan terhadap rumusan dan PP dari UU perkawinan di samping perlu adanya pemahaman dan konsensus yang sama.457

3.Ahmad Sukardja, sebagai pemakalah pada acara diskusi panel yang dilaksanakan oleh PUSKUM-HAM IAIN Jakarta tentang upaya penyempurnaan UU Perkawinan tersebut, menerima sebagian saran KOWANI dan menolak sebagian yang lainnya, sebagai berikut :458

a. Naskah/ rancangan untuk penyempurnaan UU perkawinan yang disampaikan KOWANI merupakan bahan berharga bagi peninjauan dan pembahasan kembali isi dan redaksi UU Perkawinan.

b. KOWANI tampak menempatkan diri dan menerima UU Perkawinan yang religius. Hal ini terkesan pada penerimaan KOWANI atas pasal 1 UU Perkawinan dan Pasal 2 Ayat 1 dengan modifikasi penggabungan dua ayat menjadi satu. Kata “wajib” tidak perlu ditulis, atau dipindahkan tempatnya dan rumusannya menjadi: “Perkawinan wajib dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan dicatat menurut peraturan perundang-undang yang berlaku”.

c. Untuk memelihara konsistensi sikap menerima secara keseluruhan UU Perkawinan yang religius, rumusan pada pasal-pasalnya perlu seperti itu juga.

d. Terhadap rumusan pasal 3 (2) Rancangan KOWANI (selanjutnya ditulis R. KOWANI) diajukan rumusan sebagai berikut:

457KOWANI, Upaya Penyempurnaan UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan,

Makalah disampaikan pada Diskusi Panel, “Meninjau UU Perkawinan Dalam Perspketif HAM dan Syariat Islam, yang diselenggarakan oleh PUSKUM-HAM IAIN Jakarta, Tanggal 16 November 2000 di Jakarta.

458Lihat: Ahmad Sukardja, Tanggapan Atas Rancangan Perubahan UU Perkawinan

yang diajukan KOWANI Bidang Hukum dan HAM (Makalah), tanggal 16 November 2000 di IAIN Jakarta.

163

“Pengadilan hanya dapat mengeluarkan penetapan kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila diperbolehkan oleh agamanya dan melalui musyawarah keluarga, yang bersangkutan mendapat persetujuan dari istri dan anaknya yang telah dewasa”. Dasarnya :

1) “Musyawarah keluarga” bisa memperketat kemungkinan terjadinya poligami, tetapi tidak menutup

2) Rumusan tersebut memperbaiki R.KOWANI yang secara harfiah bertentangan dengan Al-Qur’an (kalimat R.KOWANI”..dan hanya maksimum hanya beristri kedua” bertentangan dengan Al-Qur’an yang membolehkan (Q.S. Al-Nisā’/ 4:3)

e. Pasal 4 (2) huruf c R.KOWANI diubah menjadi: “c. Mendapat persetujuan istri dan anak yang sudah dewasa dalam musyawarah keluarga yang dituangkan secara tertulis.”

f. Pasal 31 (3) R.KOWANI terlalu memberatkan istri dan tidak sesuai dengan prinsip agama. Diusulkan, rumusan pasal 31 (3) tetap tidak diubah

g. Pasal 43 (I) UU Perkawinan tidak diubah h. Rumusan-rumusan lain dalam R.KOWANI yang cukup banyak agaknya

dapat dipertimbangkan untuk diterima. i. Rumusan KOWANI tentang sanksi:

1) Sanksi/ ancaman hukuman dapat memperkuat pelaksanaan isi aturan UU Perkawinan

2) Hukuman yang terkait dengan kebendaan (seperti nafkah, biaya pendidikan) sebaiknya bukan pidana kurungan, tetapi denda yang signifikan.459

4. Yohannes Sardadi Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta mengatakan, bahwa harus diakui bahwa UU Perkawinan sebagai UU Nasional yang mengatur perkawinan mempunyai beberapa kelebihan:

Undang-Undang ini berhasil mensyaratkan sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-msaing. UU perkawinan menjamin kebebasan seseorang untuk memberikan persetujuan ketika akan menikah. Walaupun sempat mendapat beragam pendapat, UU perkawinan berhasil menetapkan monogami sebagai salah satu asas perkawinan. Bahkan kelebihan lain masih dapat diperpanjang.

459

Lihat: Ahmad Sukardja, Tanggapan Atas Rancangan Perubahan UU Perkawinan yang diajukan KOWANI…

164

Terlepas dari beberapa kelebihan diatas, UU Perkawinan masih mengandung beberapa hal yang dalam pelaksanaannya sering menimbulkan masalah, yang memerlukan penyelesaian. Beberapa permasalahan yang dimaksud, antara lain:

a. Masalah Pencatatan Perkawinan Hukum dibuat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan.

Untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum, maka perkawinan perlu bahkan harus dicatatkan. Pencatatan perkawinan menjadi penting bukan hanya demi tertib administrasi pemerintah (negara) akan tetapi juga sebagai alat/ cara untuk menjaminkepastian hukum. Pencatatan perkawinan bukan hanya akan bermanfaat bagi pemerintah (negara) akan tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat. Munculnya perkawinan di bawah tangan akanmenyulitkan bukan hanya bagi pemerintah (negara) akan tetapi juga menyulitkan masyarakat. Demi menjaga ketertiban dan kepastian hukum, maka pencatatan perkawinan menjadi hal yang perlu diwajibkan.

Berkenaan dengan pencatatan perkawinan ini, yang harus dilakukan adalah menciptakan mekanisme pencatatan yang tidak terbelit-belit (birokratis, murah dan cepat).460 b. Masalah Poligami dan Perceraian

Orang mengikatkan diri dalam suatu perkawinan dengan harapan masing-masing pihak mempunyai komitmen dengan pasangannya. Pasal 5 ayat (1) UU Perkawinan mensyaratkan bahwa laki-laki yang akan mempunyai istri lebih dari satu harus mempu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anak mereka. Ada jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak mereka.

Bagaimana Hakim Pengadilan dapat mengukur sekaligus menilai soal jaminan keadilan, merupakan pekerjaan yang tidak mudah.

Akibat adanya poligami jelas akan membawa kesengsaraan dan perlakuan tidakadil bagi isteri dan anak-anak. Disamping itu poligami dikhawatirkan akan membawa dampak kepada perilaku sosial khususnya kaum laki-laki untuk mengumpulkan harta kekayaan sebanyak-banyaknya agar dapat beristri lebih dari satu. Semangat untuk berpoligami dikhawatirkan akan membawa budaya korupsi dan jalan pintas lainnya demi mendapatkan istri lebih dari satu orang.

460 Lihat: Yohanes Sradadi, Tinjauan UU Perkawinan Dari Perspektif HAM, Makalah

yang disampaikan pada Diskusi Panel, “Meninjau UU Perkawinan Perspektif HAM dan Shariat Islam” oleh IAIN Syarif Hidayatullah, 2000, 10-12.

165

Jalan keluar yang dapat dilakukan dari masalah poligami ini adalah memperketat atau mempersulit terjadinya poligami. Misalnya:

1) Suami hanya dapat beristri maksimal dua orang461 2) Untuk dapat melakukan poligami harus ada perjanjian tertulis dari

isteri pertama dan anak-anaknya. 3) Istri dan anak dimungkinkan menggugat di pengadilan apabila si

Bapak tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga dan tidak mampu bersikap adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

4) Alasan poligami karena istri tidak daapt melahirkan keturunan harus dipandang sebagai alasan yang tidak manusiawi. Perceraian merupakan kepedihan yang tidak diharapkan terjadi

oleh suami istri. UU perkawinan telah mengatur bahwa perceraian hanya diperkenankan apabila syarat-syarat yang telah ditentukan terpenuhi dan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan. Hal ini telah secara jelas diatur dalam Pasal 39 UU Perkawinan. Karena perceraian cenderung menimbulkan masalah, maka dalam rangka memperketat dan mempersulit terjadinya perceraian, seyogyanya alasan-alasan sebagaimana tercantum dalam pasal-pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 dimasukkan dalam rumusan pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan.462

c. Masalah Perkawinan Beda Agama

Perkawinan beda agama harus diakui merupakan persoalan yang sensitif, sehingga dapat mengundang perdebatan yang berlarut-larut. Meskipundemikian, karena kita sebagai bangsa telah sepakat menetapkan Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya, maka masalah perkawinan beda agamapun hendaknya juga mendapat jaminan dan perlindungan secara hukum.

UU perkawinan merupakan UU mengatur Perkawinan secara nasional hingga UU tersebut harus menjamin dan melindungi semua

461 Usulan bahwa suami hanya dapat beristri dua orang, bertentangan dengan Q.S.

al-Nisa’/ 4:3.

462 Lihat: Lihat: Yohanes Sardadi, Tinjauan UU perkawinan Dari Perspektif

HAM...,12-14.

166

lapisan masyarakat tanpa membedakan ras, suku, golongan termasuk di dalamnya agama berkaitan dengan masalah perkawinan.463

Sebagai bangsa yang pluralistis maka kemungkinan adanya perkawinan beda agama tidak mungkin dicegah (bahkan ada kemungkinan secara kuantitas bertambah). Tidak terakomodasinya perkawinan beda agama dalam UU Perkawinan akan menyebabkan anggota masyarakat yang akan menikah beda agama cenderung akan melakukan perkawinan di bawah tangan atau melangsungkan perkawinan di luar negeri. Masalah seperti ini hendaknya segera mendapat jalan keluar.464

Perbedaan pendapat mengenai perkawinan beda agama dapat beraneka ragam. Namun, demikian, soal agama merupakan pemberian Tuhan yang Maha Esa. Dengan demikian yang bisa dan harus dilakukan negara adalah menjamin dan melindungi semua agama. Dalam kerangka berpikir demikian, maka upaya pemecahan masalah perkawinan beda agama merupakan usaha yang perlu dihargai.

Jalan keluar yang dapat dilakukan barang kali tidak harus merubah rumusan pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, melainkan perlu dirumuskan dalam peraturan pelaksanaan UU Perkawinan.465 5 . Menurut Azyumardi Azra, ketika UU No. 1 tahun 1974 diumumkan pada

tanggal 2 Januari 1974 dan diimplementasikan pada tanggal 1 Oktober 1974, banyak ahli hukum Indonesia skeptis tentang pengaruhnya pada peningkatan perubahan sosial di Indonesia.

Mereka menganggap Undang-Undang Perkawinan yang baru kurang jelas yang mana mereka memandang sebagai halangan yang krusial dalam implementasinya untuk berhasil. Bahkan beberapa dari mereka memprediksikan bahwa UU Perkawinan tersebut akan gagal dalam merubah praktek perkawinan di antara penduduk. Keskeptismean terutama berhubungan dengan kontroversi sebelumnya pada pengumuman UU tersebut. Ketika rancangan undang-undangan tersebut direvisi diluluskan oleh parlemen, hal ini sebaliknya orang-orang kristen marasa khawatir tentang hal ini. Sebagaimana Katz dan Katz jelaskan, terutama menganggu mereka apa yang mereka lihatadalah suatu

463 Lihat: Lihat: Yohanes Sardadi, Tinjauan UU Perkawinan Dari Perspektif

HAM..,15,16.

464 Usulan Yohanes agar dibolehkan perkawinan beda agama dalam UU Perkawinan,

akan menimbulkan protes dari kalangan Umat Islam, karena bertentangan dengan ajaran Al-Qur‘an dan Sunnah serta kesepakatan para ulama.

465 Lihat: Yohanes Sardadi, Tinjauan UU perkawinan Dari perspektif HAM..,16.

167

kecenderungan dalam UU Perkawinan yang baru tersebut bagi negara tidak hanya untuk membeolehkan tapi memerlukan aplikasi hukumagama, setidaknya dalam perkawinan. Hal ini yang mereka rasakan adalah antitesis pada kebebasan agama yang benar, malahan mereka akan menyukai UU tersebut untuk memberikan kemungkinan suatu perkawinan sesuai dengan hukum sekuler. Skeptisme dan prediksi suram diatas, jauh dari perkembangan nyata setelah UU yang baru tersebut ditegakkan selama beberapa waktu. Katz dan Katz yang mengunjungi kembali Indonesia hampir dua tahun setelah implementasi UU baru tersebut, menyimpulkan bahwa hal ini berhasil secara dramatis mempengaruhi masyarakat Indonesia. Keberhasilan hukum baru tersebut tentunya merupakan pencapaian kebanyakan goal yang dinyatakan dalam pengumuman dan implementasi hukum tersebut. Goal ini termasuk penciptaan keluarga yang stabil, pengawasan pertumbuhan populasi, kontrol perceraian, dan poligami, persamaan hak dan status wanita, dan terakhir bukan terakhir, kesatuan dari bangsa melalui penyatuan hukum tersebut.466 Selanjutnya Azyumardi Azra mengatakan, bahwa Islam di Indonesia memiliki karakteristiknya sendiri yang relatif berbeda dari warga muslim di Timur Tengah, keragaman budaya kelompok etnis yang ada dan sistem sosial di kepulauan ini. Islam pada tingkatan tertentu harus lembut dan menyesuaikan pada situasi setempat. Selama beberapa abad, keyakinan pribumi dan praktek ada bercampur ke dalam ajaran Islam. Sejarah Islam di Indonesia, merupakan sebuah sejarah perjuangan yang terus menerus untuk Islamisasi masyarakat Indonesia, yang memberikan tekanan dan perselisihan antara muslim dan penduduk Indonesia. Perselisihan selama kepatuhan dari rancangan undang-undang perkawinan yang dijelaskan di atas seharusnya di pahami dalam kerangka seperti itu. Meskipun penduduk muslim terbesar, Indonesia tidak negara Islam karena Islam secara formal tidak dideklarasikan sebagai agama negara. Namun, dalam hukum legislasinya dalam pengimplementasi kebijakannya, pemerintah harus sesuai ajaran Islam dan pendapat muslim ke dalam pertimbangan yang krusial; sebaliknya pemerintah akan menghadapi lawan yang kuat dari mayoritas dari penduduknya, yang akan membawa legislasinya dan kebijakannya gagal seluruhnya. Sejarah keberhasilan undang-undang perkawinan yang baru cukup terkait dengan fakta-fakta

466 Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage low of 1974.., 88.

168

bahwa rancangan tersebut telah diamandemen hampir secara lengkap agar sejalan dengan doktrin syariah. Setelah desakan dari semua pihak yang berkepentingan terutama ulama dan para pemimpin muslim lainnya bahwa tidak ada perubahan substansif terjadi dalam UU perkawinan muslim, penduduk muslim secara umum tidak ragu-ragu untuk mengikuti ketetapan UU Perkawinan yang baru tersebut. Oleh karena itu, UU yang baru (UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), pada akhirnya menerima dukungan kuat dari semua level masyarakat, yang sebaliknya membawa perubahan sosial di negara ini.467 6. M. Tahir Azhary, mengatakan bahwa:

Negara Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka memerlukan hukum perkawinan nasional yang sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Setelah mengalami proses yang panjang, lahirlah UU No. 1 Tahun 1974. Salah satu benang hijau yang dijumpai dalam undnag-undang itu adalah runtuhnya teori receptie yang menafikan existensi hukum Islam di Indonesia dan sejak saat itu paham sekularisme dalam bidang perkawinan telah ditinggalkan khususnya ketentuan Pasal 24 BW.

Struktur dan substansi UU perkawinan didasarkan pada landasan dasar filsafat negara yaitu Pancasila dan Ketuhanan Yang Maha Esa (sila pertama) sebagai titik puncaknya. Oleh karena itu UU No. 1 tahun 1974 telah meletakkan suatu ketentuan yang sangat fundamental dengan pengakuan terhadap existensi hukum agama khususnya dalam bidang perkawinan. Ketentuan tersebut dirumuskan dalam pasal 2 (1) UU Perkawinan 1974: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu” . Artinya validitas (sahnya) suatu perkawinan didasarkan kepada hukumagama para mempelai yaitu bagi yang beragama Islam harus melakukan perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum perkawinan Islam. Bagi mereka yang beragama lain menurut ketentuan agama mereka masing-masing.468 Dalam makalahnya pada seminar UU Perkawinan Tahir Azhary memberikan penjelasan pasal-pasal UU perkawinan tersebut, antara lain:

467 Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage low of 1974.., 90.

468

Tahir Azhary, UU No. 1/ 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya, Suatu Analisis Dalam Perspektif Hukum Islam, Makalah yang disampaikan pada acara seminar tentang usul amandemen UU Perkawinan yang dilaksanakan oleh MUI, 2000 di Jakarta, 1.

169

Tentang poligami, bahwa dalam penelitian yang dilakukan oleh Eduard Von Hartmann seperti dikutip oleh Robert dinyatakan bahwa laki-laki mempunyai naluri cenderung kepada poligami dan sebaliknya wanita mempunyai naluri cenderung kepada monogami. Dengan demikian menurut akal sehat, seorang laki-laki yang melakukan poligami dapat diterima, sebaliknya seorang wanita yang melakukan poliandri tidak mungkin diterima. Masalah pelaksanaan poligami telah diatur dengan baik dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 pada pasal 3,4 dan pasal 5. Tentang Poligami ini diatur lebih lanjut dalam PP No. 9 tahun 1975 pada Bab VIII (pasal 40 s/d 44). Pendapat J. Prins yang menyatakan bahwa UU No. 1 tahun 1974 telah melahirkan pembatasan terhadap poligami dan pelaksanaan talak, dengan tegas ditolak oleh Taher Azhary karena UU No. 1 tahun 1974 tersebut sangat bermanfaat untuk mengatur dan menertibkan masalah cerai dan poligami di Indonesia.469 Selanjutnya Taher Azhary mengatakan bahwa dalam hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia pelaku perkawinan itu adalah seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Penulis selalu menegaskan dalam setiap kesempatan perkuliahan bahwa yang dimaksud dengan adanya kedua mempelai dalam rukun perkawinan itu adalah seorang laki-laki asli dan seorang perempuan asli, artinya hukum Islam menolak rekayasa atau operasi kelamin. Hukum penggantian kelamin dinyatakan haram oleh Lajnah Bahsul Masa’il N.U. berdasarkan Al-Qur’an surah al-Nisa’: 119.470

Dengan demikian hukum Islam melarang perkawinan antara sesama laki-laki atau sesama perempuan.471 Dalam kesimpulan makalahnya Taher Azhary mengatakan, bahwa undang-undang perkawinan di Indonesia adalah merupakan satu peraturan perundangan yang sah dan diterima oleh bangsa Indonesia melalui Dewan Perwakilan Rakyat. Prof. Hazairin menyatakan dalam perspektif hukum Islam, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tersebut adalah ijtihad Bangsa Indonesia melalui wakil-wakilnya di DPR. Dalam praktek selama lebih dari seperempat abad. Undang-undang perkawinan tersebut telah berperan sangat penting dalam kehidupan sosial di

469

Lihat: Taher Azhary, UU No. 1/1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaanya..,4,5.

470 Lihat: Rifiyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Yasri, 199),

184, 185. 471

Taher Azhary, UU No. 1/1974 Tentang Perkawinan.., 6.

170

Indonesia artinya kebutuhan hukum dalam masyarakat Indonesia telah dipenuhi dengan kehadiran Undang-Undang tersebut. Berdasarkan kesimpulan itu, maka Undang-Undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 beserta perangkat peraturan pelaksanaannya wajib dipertahankan karena:

1) Kecuali sudah merupakan hukum positif Undang-undang Perkawinan itu juga adalah hukum yang hidup di masyarakat (living law)

2) Undang-undang Perkawinan tersebut sangat sesuai dengan hukum agama dan dasar negara Pancasila serta UUD 1945

3) Undang-Undang Perkawinan tersebut mengandung asas keadilan, proteksi terhadap kaum wanita dan sesuai dengan kebutuhan hukum Bangsa Indonesia.472

4) Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam menanggapi surat Menteri Agama Pemberdayaan Perempuan RI No. B.23/Men.PP/III/2003 tertanggal 27 Maret 2003 perihal usulan penyempurnaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana surat-suratnya sebelumnya yang disampaikan kepada Menteri Negara Pemberdayaan perempuan, juga kepada Presiden Republik Indonesia, menyatakan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tetap tidak menerima (menolak) usulan perubahan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dengan pertimbangan sebagai berikut: a. Menurut MUI, seandainya UU tersebut direvisi, akan

menimbulkan mudharat yang lebih besar, karena akan membuka peluang bukan hanya perubahan yang diusulkan saja yang akan diubah, tetapi dikhawatirkan akan mengubah pasal-pasal lain yang sudah menjadi konsensus Nasional.

b. Sesuai dengan hasil MUNAS MUI tahun 2000 diperkuat lagi pada RAKERNAS MUI tahun 2001, ditetapkan bahwa Majelis Ulama Indonesia tetap tidak dapat menerima (menolak) segala upaya yang dilakukan untuk mnegubah UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

c. Kasus-kasus pernikahan yang sering terjadi seperti perkawinan sirri, ataupun perkawinan dibawah tangan menurut MUI adalah kesalahan oknum petugas, bukan karena undang-undangnya.

472 Taher Azhary, UU No.1/1974 Tentang Perkawinan..,7.

171

Untuk itu diperlukan upaya penyandaran masyarakat dan penegakan hukum bagi aparat pelaksanaannya.473

Itulah beberapa pendapat yang pro dan kontra terhadap amandemen UU Perkawinan. Penulis sependapat dengan pandangan yang mengatakan, bahwa UU Perkawinan tersebut tetap dipertahankan dan tidak perlu diamandemen, karena sesuai dengan Hukum Perkawinan Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW serta pendapat para ulama. Hanya sebagian kecil substansinya merupakan hasil ijtihad para ulama Indonesia dan cendikiawan muslim Indonesia. Oleh sebab itu penulis juga sependapat dengan Azyumardi Azra yang mengatakan bahwa UU No.1 tahun 1974 merupakan bagian dari kodifikasi Hukum Perkawinan Islam, karena semua pasal-pasalnya sejalan dengan shariah. Oleh sebab itu penyebaran dan implementasi dari UU perkawinan merupakan sebuah pelembagaan shariah di Indonesia sebagaimana telah disebutkan pada awal pembahasan ini. Pendapat Azyumardi Azra ini identik dengan pendapat Taher Azhary, bahwa UU perkawinan tersebut sangat sesuai dengan hukum agama dan dasar negara Pancasila serta UUD 1945, oleh sebab itu wajib dipertahankan. Bahkan Majelis Ulama Indonesia mengatakan bahwa amandemen/ revisi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, muḍarat yang lebih besar, karena akan membuka peluang, bukan hanya perubahan yang diusulkan saja yang akan diubah, tetapi dikhawatirkan akan mengubah pasal-pasal lain yang sudah menjadi konsensus Nasional. Oleh sebab itu UU perkawinan tersebut tetap dipertahankan dan menolak usulan-usulan amandemen/ revisi terhadapnya.

Berdasarkan alasan-alasan yang telah dikemukakan, maka penulis berpendapat, bahwa tidak perlu mengamandemenkan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut, tetapi sebagai jalan keluar untuk mangakomodir pendapat-pendapat yang mengusulkan amandemen/ revisi itu, adalah dengan meningkatkan komplikasi Hukum Islam (KHI) tentang perkawinan menjadi RUU Hukum Materiil Peradilan Agama (HMPA) tentang Perkawinan, karena materi KHI itu adalah merupakan penyebaran dan penyempurnaan UU perkawinan. Pengaturan dalam Undang-undang Perkawinan tersebut masih bersifat umum, karena berlaku untuk semua warga negara, sedangkan penyelesaian sengketa perkawinan yang terjadi antara orang-orang beragama Islam memerlukan aturan yang lebih khusus.

Untuk melengkapi kekurangan yang terdapat dalam hukum meteriil di bidang perkawinan, Badan Peradilan Agama berpedoman kepada ketentuan

473 Surat penolakan MUI terhadap Usulan Menteri Pemberdayaan Perempuan RI

tentang Penyempurnaan UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, No. B. 120/MUI/V/2003 tertanggal 5 Rabiul Awal 1424 H/7 Mei 2003 M.

172

yang tercantum dalam KHI bidang Perkawinan yang ditetapkan berdasarkan INPRES No. 1 Tahun 1991. Pemberlakuan suatu kompilasi yang hanya berdasarkan suatu instruksi Presiden dipandang sebagai kebijakan sementara untuk mengisi kekosongan hukum (rechtsvacuum) sambil menunggu berlakunya suatu hukum materiil berdasarkan undang-undang, karena tidak memiliki kekuatan hukum tetap yang masuk dalam jenis peraturan perundang-undangan. Keabsahan INPRES masih terbatas pada diktum instruksinya, yakni terbatas hanya pada orang atau isntansi yang diberikan instruksi tersebut, dalam hal ini Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI. Dengan demikian keberadaannya tidak dapat dijadikan sebagai hukum positif tertulis yang mengikat dan memaksa seluruh warga negara, sebagaimana halnya UU Perkawinan dan Peraturan perundang-undangan lainnya.474

Dengan berlakunya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Instruksi Presiden tidak lagi tercantum dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Hal ini berdampak pada melemahnya kedudukan hukum materiil dalam KHI meskipun masih dipergunakan Hakim pada badan Peradilan Agama dan msyarakat yang memerlukannya.475 Keadaan demikian perlu ditindak lanjuti dengan kebijakan perundang-undangan agar hukum materiil di bidang perkawinan yang tercantum dalam KHI ditetapkan dengan UU. Kebijakan perundang-undangan seperti itu telah dilakukan terhadap hukum materiil di bidang waqaf yang terdapat dalam KHI menjadi UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf dan Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya.476

474 Salah satu konsederan menimbang (huruf b) INPRES tersebut disebutkan bahwa,

KHI tersebut dalam huruf (a) oleh instansi Pemerintah dan Masyarakat yang memerlukan dapat digunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah dibidang tersebut. Adanya diktum ini menegaskan bahwa, posisi KHI hanya sebagai pedoman, bukan sebagai ketetapan/kitab hukum yang “dapat” digunakan, bukan yang “harus” digunakan. Karena itu, ia bersifat tawaran alternatif dan bukan bersifat memaksa.

475 Tim Penyusun Naskah Akademik RUU HPA, Naskah Akademik HMPA, (Jakarta :

Depag RI, 2007), 10

476 Menurut Wahyu Widiana mantan Direktur Pembinaan Peradilan Agama Depag RI,

dan sekarang sebagai salah seorang Hakim Agung dan salah seorang tokoh yang sangat peduli terhadap pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia terus mengusahakan agar KHI ini dapat menjadi undang-undang, sehingga statusnya menjadi kuat sebagai pegangan dalam melaksanakan Hukum Islam di Indonesia. Namun situasipolitik pada saat itu belum memungkinkan. Hasil usaha maksimal adalah diterbitkan instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, tanggal 10 juni 1991, dengan mana Presiden Mengintruksikan Menterri Agama untuk menyebarluaskan KHI tersebut agar dipergunakan oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. Menteri Agama dengan keputusan No. 154 Tahun 1991, tanggal 22 juli, menetapkan tentang pelaksanaan INPRES No. 1/1991 dan menunjuk Dirjen Pembinaan kelembagaan Agama Islam dan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji – kini BIPH –

173

Jika hukum materiil dibidang perkawinan ini diatur dengan undang-undang, maka kedudukan Badan Pengadilan Agama makin lengkap, karena pelaksanaan wewenangnya dalam memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara di bidang perkawinan tidak lagi berdasarkan instruksi Presiden melainkan dengan Undang-Undang. Oleh sebab itu perlu segera disahkan RUU Hukum Materil Peradilan Agama (HMPA) tentag Perkawinan untuk menjadi UU Bidang Perkawinan. RUU HMPA yang diajukan untuk menjadi Undang-Undang adalah untuk melengkapi ketentuan yang telah ada dalam Undang-Undang Perkawinan dan mengisi berbagai kekosongan hukum (rechtsvacuum). Jadi kehadiran RUU HMPA di bidang perkawinan bersifat komplementer terhadap Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya. Jika akan disidangkan, diharapkan DPR RI mengundang berbagai pihak yang dipandang perlu untuk memberi masukan-masukan dan usul-usul untuk kelengkapan RUU HMPA tentang perkawinan tersebut. Masukan-masukan dan usul-usul itu tentu dapat diterima selama tidak bertentangan dengan ajaran Hukum Islam.

untuk mengkoordinasikan pelaksanaan keputusan Menteri ini dalam bidang tugasnya masing-masing. Lihat Wahyu Widiana, Aktualisasi KHI di Peradilan Agama dan Upaya Menjadikannya Sebagai Undang-Undang (Makalah), Jakarta, 2

174

175

Bagian Keempat

MEMBUMIKAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA Setelah Indonesia merdeka, upaya pembaharuan hukum banyak

diarahkan kepada perubahan hukum tertulis peninggalan kolonial untuk dijadikan Hukum Nasional. Hukum Islam dijadikan sebagai salah satu unsur hukum nasional tersebut. Upaya ini telah menghasilkan terbentuknya UU No. 1 tahun 1974 tentang Hukum Perkawinan. Dengan diundangkannya UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara Republik Indonesia, maka hukum perkawinan Islam sudah menjadi bagian dari hukum nasional, karena pada tanggal 2 Januari 1974 sudah masuk dalam lembaran Negara. Setelah UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan, maka hukum Fikih Islam telah mamasuki fase baru yang disebut fase Taqnin (fase pengundangan).

Walaupun UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan telah disahkan, tetapi pelaksanaannya melalui putusan Pengadilan Agama masih harus dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri. Tetapi dengan terbentuknya UU No. 7 tahun 1989 Pengadilan Agama sudah disejajarkan dengan Pengadilan Negeri, sehingga putusan Pengadilan Agama tersebut tidak lagi dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri. Kemudian, walaupun telah diundangkan UU No. 7 tahun 1987 yang mensejajarkan Pengadilan Agama dengan Pengadilan Negeri, ternyata dalam implementasi hukum Islam di Indonesia masih bermasalah, karena tidak adanya keseragaman para hakim Peradilan Agama dalam menetapkan hukum terhadap persoalan-persoalan hukum perkawinan yang mereka hadapi sering terjadi perbedaan putusan antara satu Peradilan Agama dengan Peradilan Agama yang lainnya, yang dapat mengurangi wibawa Peradilan Agama. Hal ini disebabkan tidak tersedianya kitab materi Hukum Islam yang sama. Dari realitas ini, keinginan untuk menyusun “Kitab Hukum Islam” dalam bentuk kompilasi dirasakan semakin mendesak. Penyusunan kompilasi ini bukan saja didasarkan pada kebutuhan adanya keseragaman referensi keputusan hukum di Peradilan Agama Indonesia, tetapi juga disandarkan pada keharusan terpenuhinya perangkat-perangkat sebuah Peradilan, yaitu kitab Materi HukumIslam yang digunakan di Lembaga Peradilan tersebut. Itulah yang mendorong pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan berdasarkan

176

Perundangan-Undagan, seperti UU No. 22 tahun 1946, UU No. 32 tahun 1954, UU No. 1 tahun 1974, PP No. 9 tahun 1975 dan PP No. 28 tahun 1977.

Dengan terbentuknya KHI, Fikih Islam, khususnya Fikih Munakahat yang selama ini tidak dipandang sebagai hukum positif walaupun orang-orang islam telah melaksanakannya sejak masuknya Islam ke Indonesia, telah ditransformasikan menjadi hukum positif, atau sebagai hukum Nasional yang berlaku dan mengikat bagi seluruh umat Islam di Indonesia, melalui Instruksi Presiden (INPRES) No. 1 Tahun 1991 yang ditujukan kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskannya.

A. Pembentukan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

1. Latar Belakang dan Proses Pembentukan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Lahirnya Undang-Undang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara Republik Indonesia tanggal 2 Januari 19741 sebagian besar telah memenuhi tuntutan masyarakat Indonesia. Tuntutan ini sudah dikumandangkan sejak kongres perempuan Indonesia pertama tahun 1928 yang kemudian susul-menyusul dikedepankan dalam kesempatan-kesempatan lainnya berupa harapan perbaikan kedudukan wanita dalam perkawinan. Perbaikan yang didambakan itu terutama diperuntukkan bagi golongan “Indonesia asli” yang beragama Islam yang hak dan kewajibannya dalam perkawinan tidak diatur dalam hukum yang tertulis.2 Hukum perkawinan orang Indonesia asli yang beragama Islam yang tercantum dalam kitab-kitab fikih Islam, menurut sistem Islam yang tercantum dalam kitab-kitab fikih Islam, menurut sistem hukum di tanah air kita tidak dapat digolongkan ke dalam kategori “hukum tertulis”, karena tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan.3

1 Yang dimaksud dengan Undang-Undang Perkawinan dalam pembahasan ini,

ialah segala sesuatu dalam bentuk aturan yang dapat dijadikan petunjuk oleh umat Islam dalam masalah perkawinan dan dijadikan pedoman oleh Hakim di Lembaga Peradilan Agama dalam memeriksa, menyelesaikan dan memutuskan perkara-perkara yang berkenaan dengan perkawinan.

2Hukum tertulis lazim disebut sebagai hukum perundang-undangan. Hukum telah

menjadi tanda dari hukum modern yang harus mengatur serta melayani kehidupan modern – Hasanuddin AF (et.al), Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2004), 7.

3Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta : raja Grafindo

Persada, 2002), cet. II, 21.

177

Menurut Mohammad Daud Ali, masalah-masalah yang menjadi pusat perhatian pergerakan wanita pada waktu itu adalah soal-soal: 1. Perkawinan paksa, 2. Poligami dan 3. Talak yang sewenang-wenang.4

Diantara isu yang perlu ditampung oleh pemerintah dalam merumuskan draft undang-undang perkawinan adalah pembinaan hukum nasional dengan melakukan kodifikasi dan unifikasi hukum nasional, masalah kependudukan, hak asasi manusia, pengayoman terhadap martabat wanita dan pembinaan kesejahteraan keluarga, sebagaimana disebutkan dalam risalah sidang pleno DPR tanggal 30 Agustus 1973.5

Isu yang paling menarik dalam pembinaan keluarga adalah menahan jumlah perceraian. TB. Hamzah dari Fraksi ABRI memaparkan data perkawinan pada 1970 yang berasal dari Departemen Agama (Kantor Urusan Agama dan Pengadilan Agama), dari 859.061 perkawinan, yang melakukan perceraian sebanyak 298.290 dan hanya 11.294 yang melakukan rujuk. Dari data itu dapat dipastikan, bahwa dari sekian banyak rakyat Indonesia yang melangsungkan perkawinan, lebih dari 30%, berakhir dengan perceraian dan hanya 3% yang rujuk. Hamzah memeberikan contoh sebagaimana dikutip oleh Yayan Sopyan, 4 wilayah saja:6

Contoh, kasus pernikahan, perceraian, dan rujuk pada 4 (empat) provinsi di Indonesia tahun 1970

No. DAERAH NIKAH CERAI RUJUK

1. Aceh 6,190 1,462 114

2. Kalimantan 7,856 2.224 123

3. Jawa Barat 223.457 81.428 2.893

4. Jawa Timur 265.859 107.533 4.084

Data yang disebutkan di atas belum ditambah dengan data yang berasal dari masyarakat yang melakukan perkawinan dan perceraian lain, yang tidak tercatat. Kalau ditambahkan datanya dengan data dari Departemen Agama tentu lebih banyak lagi jumlah orang-orang yang melakukan perkawinan dan perceraian.

4Mohammad Daud ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 21.

5Risalah sidang Pleno DPR taggal 17 September 1973, Pandangan Umum Fraksi

ABRI.

6Lihat: Yayan Sopyan: Transformasi Hukum Islam ke Dalam Sistem Hukum

Nasional, (Disertasi SPS Jakarta, 2007), 178.

178

Selanjutnya berkenaan dengan isu hak-hak perempuan, yang paling gigih memperjuangkannya adalah KOWANI. Pada tanggal 19 dan 24 februari 1973 pimpinan DPR mengadakan hearing dengan tokoh-tokoh KOWANI. Dalam pertemuan tersebut tercapai konsensus pada beberapa hal, yaitu:

a. Adanya kata sepakat dari calon suami istri untuk mencegah kawin paksa

b. Ditetapkannya batas umur minimum untuk kawin, dengan meningkatkan kepentingan Nasional Keluarga Berencana, diusulkan 21 tahun untuk pria dengan alasan, bahwa pada umur itu pria sudah dapat berdiri sendiri dan dapat mencari nafkah, sementara untuk wanita ditetapkan usia 18 tahun.

c. Perkawinan berdasarkan monogami dengan pengecualian yang sangat ketat.

d. Persamaan hak dalam mengajukan perceraian antara suami-istri e. Pembagian harta benda bersama secara adil pada perceraian.7

Pembangunan hukum tersebut menjadi tugas Departemen

Kehakiman, karena itu Departemen Kehakiman membentuk sebuah tim untuk merumuskan draft RUU perkawinan, kemudian diajukan ke DPR untuk dibahas.

Sebenarnya usaha untuk perbaikan sistem perkawinan oleh pemerintah oleh pemerintah Indonesia sudah dimulai sejak setelah Indonesia merdeka, dengan dikeluarkannya undang-undang pada tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan Rujuk (NTR). Setelah itu disusul dengan beberapa peraturan Menteri Agama mengenai wali hakim dan tata cara pemeriksaan perkara fasid nikah, talak dan rujuk di Pengadilan Agama namun demikian, dengan langkah-langkah itu perbaikan yang dituntut belumlah terpenuhi, karena undang-undang dan peraturan itu hanyalah mengenai saat-saat perkawinan belaka, tidak mengenai hukum materilnya, yakni undang-undang yang mengatur perkawinan itu sendiri.8

Pada tahun 1950 Pemerintah Republik Indonesia telah berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap kefasihan hukum dalam masalah perkawinan. Dengan jalan, membentuk panitia penyelidikan

7Maria Ulfa Subadio, Perjuangan Untuk Mencapai UU Perkawinan, (Jakarta:

Yayasan Idayu, 1981), 17.

8Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Pengadilan Agama, 21

179

peraturan hukum perkawinan, talak dan rujuk yang ditugaskan meninjau kembali segala peraturan mengenai perkawinan dan menyusun rencana UU perkawinan yang dikehendaki zaman. Kepanitian itu dibentuk berdasarkan surat penetapan Menteri Agama No. B/4299 tanggal 1 Oktober 1950 yang diketuai oleh Mr. Teuku Moh. Hasan, tetapi panitia ini tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya, karena banyak hambatan dan tantangan di dalam melaksanakan tugas 9 . Kemudian panitia membuat rancangan undang-undang perkawinan (RUUP) sebagai suatu peraturan umum yang berlaku untuk seluruh warga negara dengan tidak membedakan golongan, agama dan suku bangsa, di samping membuat peraturan-peraturan khusus untuk masing-masing golongan. Panitia berusaha kearah kodifikasi dan unifikasi dalam hukum perkawinan, namun usaha ini tidak dapat berjalan dengan lancar, karena di dalam kepanitian terhadap berbagai aliran10. Pada tanggal 1 Desember 1951 Panitia menyampaikan RUU Perkawinan, sebagai peraturan umum tentang perkawinan yang mengatur beberapa hal penting, antara lain, bahwa perkawinan didasarkan atas kemauan kedua belah pihak dan adanya pembatasan umur, yaitu bagi pria umur minimal, 18 tahun dan bagi perempuan umur minimal 15 tahun, sedangkan dalam berpoligami dibolehkan menurut ajaran agama dengan syarat harus dapat berlaku adil, yang dinyatakan dihadapan pegawai pencatatan nikah dan harus mampu membiayai kebutuhan hidup lebih dari satu rumah tangga dan istri, atau istri-istri tidak berkeberatan, di samping pengaturan harta benda dan syarat-syarat perceraian.11

Selanjutnya menurut Maria Ulfa Subadio, bahwa dalam rapat panitia bulan Mei 1953 diputuskan sebagai berikut: 1) Menyusun RUU pokok yang pendek saja dan berlaku untuk umum

dengan tidak menyinggung agama. 2) Menyusun RUU organik yang mengatur perkawinan-perkawinan

menurut agama masing-masing, yaitu bagi golongan Islam, Katolik dan Protestan.

9Abd. Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2006), 3

10Yayan Sopyan, Transformasi Hukum Islam ke Dalam Sistem Hukum Nasional,

(Disertasi pada SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2077), 171

11Lihat Maria Ulafa Subandio, Perjuangan Untuk Mencapai UU Perkawinan, 15

180

3) Menyusun RUU untuk golongan yang tidak termasuk salah satu golongan agama tersebut.12

Dalam bulan april 1954, panitia menyampaikan RUU tentang perkawinan umat Islam kepada Menteri Agama. Namun respon yang diberikan Departemen Agama sangat lambat, karena baru pada tahun 1957 Menteri Agama mangajukan RUU tentang Perkawinan Umat Islam kepada kabinet, tetapi masih menunggu amandemen-amandemen baru, sehingga pada permulaan tahun 1958 belum terdengar apa-apa dari pemerintah.13

Nyonya soemarni (anggota DPR) dan pergerakan perempuan mengajukan usul inisiatif RUU kepada DPR yang merupakan peraturan umum untuk seluruh warga negara dengan tidak membedakan golongan dan suku bangsa. Ada beberapa prinsip yag diajukan oleh Ny. Soemarni dan kawan-kawan, antara lain adalah: 1) Setiap warga Negara berhak kawin menurut agamanya masing-

masing 2) Yang menjadi dasar perkawinan adalah monogami 3) Setiap perkawinan harus berdasarkan persetujuan kedua pengantin. 4) Batas usia minimal melangsungkan perkawinan adalah 18 tahunbagi

laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan.14 RUU usulan Soemarni ini, terdiri dari 4 Bab dan 32 pasal,

dilengkapi dengan penjelasannya. Adapun yang melatarbelakangi Soemarni membuat RUU inisiatif itu adalah peristiwa yang menimpa dirinya yang menjadi sorotan banyak pihak dimana ia sebagai seorang muslimah menikah dengan Madeloe seorang Perwira Polisi yang beragama Kristen. Perkawinan itu ditentang oleh masyarakat.15

Menurut Maria Ulfa Subadio, setelah ada usulan inisiatif dari Soemarni itu, barulah pemerintah mengajukan RUU perkawinan Islam kepada DPR. Dalam RUU itu, poligami diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu yaitu persetujuan lebih dahulu dari istri, atau istri-istri, harus berlaku adil dan dapat menghidupi lebih dari satu keluarga.16 RUU ini juga mendapat perhatian yang cukup besar di kalangan anggota DPR dan masyarakat. Namun disesalkan, bahwa banyak juga anggota DPR

12Lihat Maria Ulfa Subandio, Perjuangan Untuk Mencapai UU Perkawinan, 16

13

Lihat Maria Ulfa Subandio, Perjuangan Untuk Mencapai UU Perkawinan, 16

14Lihat: Yayan Sopyan, Transformasi Hukum Islam...,172, 173

15

Lihat: Yayan Sopyan, Transformasi Hukum Islam..., 173

16Lihat Maria Ulfa Subadio, Perjuangan untuk Mencapai UU Perkawinannya, 17.

181

yang sungguh-sungguh membela poligami tanpa syarat, karena poligami bukan saja dilaksanakan oleh orag awam, tetapi juga para pemimpin bangsa melakukannya, dimana pada tahun 1955 Soekarno melakukan poligami dengan Ny. Hartini, yang menuai protes yang keras khususnya dari kalangan perempuan. Tidak kurang dari 11 organisasi wanita yang memprotes dan memberikan pernyataan keras atas perkawinan Soekarno dengan Ny. Hartini ini.17

17Maria Ulfa Subadio, Perjuangan Untuk Mencapai UU Perkawinannya, h. 17.

Dalam situs: www.indolaw.com disebutkan, bahwa adapun surta pernyataan organisasi-organisasi wanita terhadap perkawinan Presiden Soekarno dengan Ny. Hartini, adalah sebagai berikut: Pernjataan organisasi-organisasi wanita terhadap perkawinan Presiden dengan Nj. Hartini: oleh karena masjarakat Indonesia telah dihadapkan kepada sesuatu kenjataan, jaitu perkawinan Ir. Soekarno – Presiden Republik Indonesia – dengan Nj. Hartini jang didjalankan semasa djabatannja tanpe pemberitahuan lebih dahulu kepada pemerintah dan masjarakat, sedangkan pada saat ini belum ada sesuatu peraturan resmi mengenai perkawinan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia,

Berpendapat: I. Perkawinan Ir. Soekarno-Presiden Republik Indoensia – Dengan Nj. Hartini

adalah urusan Sdr. Ir. Soekarno pribadi jang harus ditanggungnja dengan segala konsekwensinja.

Menghendaki: II. a). Segala kunjungan dan perdjalanan resmi P.J.M Presiden Republik

Indonesia tidak disertai oleh Ny. Hartini. b). Segala kundjungn dan perdjalanan Sdr. Ir. Soekarno dengan Nj. Hartini adalah kundjungan dan perdjalanan tidak resmi (Incognito) dan tidak dianggap diperlakukan sebagai kundjungan dan perdjalanan P.J.M. Presiden Republik Indonesia c). Nj. Hartini tidak diperkenankan melaksanakan tugas-tugas kemasjarakatan (social function) jang menjadi kewajiban Ibu Negara. d). Segala penghormatan resmi tidak diberikan pada Nj. Hartini. e). Belanja rumah-tangga Nj. Hartini tidak dibebankan pada Negara. f). Istana-istana dan tempat-tempat kediaman resmi tidak didiami oleh Nj. Hartini

Menjatakan:

III. dalam keadaan bagaimanapun djuga, ornaisasi-organisasi Wanita Indonesia tidak dapat menerima Nj. Hartini sebagai Ibu Negara, karena tidak memenuhi sjarat-sjarat jang dikehendaki masjarakat dari seorang Ibu Negara.

Menjimpulkan: IV. berdasarkan pernjataan-pernjataan tersebut diatas organisasi-organisasi

Wanita Indonesia menuntut supaja soal-soal mengenai pekawinan SDr. Ir. Soekarno-Presiden R.I dengan Nj. Hartini diatur dalam peraturan chusus dalam waktu jang se-singkat-singkatnja.

182

RUU perkawinan tersebut telah diajukan oleh pemerintah ke DPR dan telah dibahas dalam sidang DPR antara tahun 1958-1959, tetapi pemerintah tidak berhasil menjadikannya sebagai Undang-Undang. Antara tahun 1967-1970, DPR-GR telah juga membahas Rencana Undang-Undang Perkawinan, tetapi nasib RUU ini pun sama saja dengan nasib RUU sebelumya. Setelah pemilihan Umum tahun 1971, Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI)memperjuangkan kembali UU Perkawinan untuk diberlakukan kepada seluruh warga Negara Indonesia. Kemudian Badan Musyawarah Organisas-Organisasi Wanita Islam Indonesia pada tanggal 22 Februari 1972, juga mendesak pemerintah agar mengajukan kembali RUU tentang perkawinan yang dulu dikembalikan DPR kepada pemerintah, agar dibahas kembali oleh DPR RI. Demikian pula Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) membicarakan kembali tentang Perkawinan Umat Islam Indonesia dalam acara sarasehan yang dilaksanakan pada tanggal 11 Februari 1973 di Jakarta dan mengharapkan agar pemerintah segera mengajukan kembali RUU tentang perkawinan kepada DPR RI untuk dibahas kembali dan dilaksanakan sebagai UU yang diberlakukan untuk seluruh warga negara Indonesia. 18 Pada bulan juli 1973, Pemerintah Republik Indonesia kembali mengajukan sebuah RUU yang terkenal dengan Rencana Undang-Undang Perkawinan kepada DPR RI dan setelah mendapat banyak sekali tanggapan pro dan kontra mengenai beberapa bagian penting materi RUUP tersebut, baik di dalam DPR, maupun di dalam masyarakat, akhirnya dicapailah suatu konsensus yang membawa

Djakarta, 21 Oktober 1955. 1. Wanita Katolik 2. Istri Sedar 3. Bhajangkari 4. Persit 5. P.W.K.J 6. Sehati 7. Ikatan Perawat Wanita Indonesia 8. Perwari 9. P.J.K.T 10. J.K.A.L 11. Pertiwi

18Abd. Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, 4

183

pengaruh pada sidang-sidang selanjutnya, sehingga tercapai juga kata mufakat diantara para anggota Dewan Perwakilan Rakyat.19

Setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah mengundangkan Undnag-Undang Perkawinan pada tanggal 2 Januari 1974 dalam Lembaran Negara yang kebetulan nomor dan tahunnya sama dengan nomor dan tahun Undang-Undang Perkawinan tersebut, yakni Nomor 1 Tahun 1974. Pada tanggal 1 April 1975, setelah 1 tahun 3 bulan Undnag-Undang Perkawinan itu diundangkan, lahir Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang memuat Peraturan, Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan tersebut. Dengan demikian, mulai tanggal 1 Oktober 1975 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan itu telah dapat berjalan secara efektif.20

Walaupun Undang-Undang Perkawinan ini adalah hasil kompromi antara Fraksi-Fraksi di DPR, akan tetapi tentu tidak sepenuhnya memuaskan semua golongan, pasti ada kekurangan-kekurangannya.

Namun dengan adanya Undang-Undang Perkawinan tersebut, tuntutan pokok yang telah lama diperjuangkan, terutama oleh Pergerakan Wanita Indonesia, sebagian besar telah terpenuhi, karena Undang-undang Perkawinan tersebut mempunyai ciri khas, yaitu berkenaan dengan asasnya, tujuannya dan sifatnya yang mengangkat harkat dan derajat serta kedudukan kaum wanita Indonesia.21 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan itu telah mensejajarkan wanita dengan pria dalam perkawinan sebagaimana dalam ketentuan hukum Islam, bahwa wanita adalah mitra pria dan pria adalah mitra wanita, wanita dalam perkawinan adalah mitra sejajar dengan pria. Wanita dan pria mempunyai derajat yang sama sebagai manusia ciptaan Allah, yang membedakan keduanya hanyalah kualitas ketakwaannya kepada Allah.22

Menurut Muhammad Daud Ali, kejadian wanita dan pria relatif berlainan dan fungsi masing-masing dalam keluarga dan masyarakat berbeda, maka hak dan kewajiban wanita dibandingkan dengan pria dalam beberapa hal tertentu sama, dalam beberapa hal yang lain berbeda. Perbedaan hak dan kewajiban yang merupakan konsekuensi perbedaan kodrat dan fungsi antara pria dan wanita itu tidak boleh

19Mohammad daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 22

20

Mohammad daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 22, 23

21Lihat: Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 117, 118

22

Lihat: Q.S. Al-Ḥujurāt/43: 13.

184

dijadikan dasar untuk mengadakan diskriminasi antara pria dengan wanita.23

Annie Besant berkata bahwa dalam hal penghargaan yang diberikan kepada wanita, Hukum Islam jauh melebihi Hukum-Hukum Barat. Ketentuan Al-Qur‘an tentang wanita jauh lebih adil dan liberal dari Hukum Barat.24

2. Tantangan dan Respon dalam Pembentukan dan Penerapan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Ketika pemerintah megajukan RUU Perkawinan tanggal 16 Agustus 1973 timbul pro dan kontra di kalangan masyarakat Indoensia terhadap RUU perkawinan tersebut, mereka terbagi kepada tiga kelompok. a. Kelompok Perempuan: Sejak tahun 1928 karena perempuan telah mulai berusaha dn

mengupayakan agar ada Undang-Undang Perkawinan yang berpihak pada kepentingan-kepentingan perempuan seperti masalah kesetaraan gender, hak-hak reproduksi perempuan, keadilan terhadap perempuan dalam perkawinan, kawin liar dan pencegahan terhadap kawin paksa. Mereka beranggapan bahwa fikih yang diaplikasikan selama ini di masyarakat Islam bersifat diskriminasi dan merugikan kaum perempuan. Tokoh-tokoh perempuan dari kelomok perempuan antara lain Maria Ulfa Subadio, SH, Nani Suwodo dan dr. Tetty Noor dan Nellay Adam Malik.25

b. Kelompok Pemerintah: Kelompok ini didukung oleh mayoritas anggota DPR, yang terdiri

dari Golkar yang tokohnya antara lain adalah Prof. Sunandar, Sukowati dan dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang tokohnya adalah Drs. Gregorins Soegiarto serta Fraksi dari ABRI. Kelompok ini memperjuangkan agar terciptanya univikasi dan kodifikasi hukum, yang diharapkan dengannya akan lahir Undang-Undang yang bisa dijadikan pedoman dan rujukan bagi seluruh warga Indonesia.26

Idiologi yang dibawa oleh kelompok pemerintah ini adalah ideology sekuler, karena pembuat draft RUU perkawinan tersebut adalah

23Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 36

24

Annie Besant, the life and teachings of Muhammad, (Madras: t.p., 1932)

25Lihat Amak FZ, Proses Pembentukan UU Perkawinan, (bandung: Bulan Bintang,

t.th.), 14

26Lihat Amak FZ, Proses Pembentukan UU Perkawinan, 84

185

Departemen kehakiman yang mayoritas dari mereka itu adalah sarjana hukum yang berpendidikan Belanda.

c. Kelompok Umat Islam: Kelompok ini didominasi para Ulama. Mereka beranggapan

bahwa RUU perkawinan yang diajukan pemerintah itu sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam, bahkan ada yang beranggapan, bahwa Undang-Undang tersebut mengkristenkan Indonesia, 27 karena materinya mengandung ideology yang bertentangan dengan hukum Islam, yakni ideology yang dianut negara-negara Barat yang materialistis dan individualis, yang dikahawatirkan akan mengikis budaya bangsa dan dapat menghancurkan tatanan budaya yang sudah mapan.

Kamal Hasan mengatakan, bahwa semua ulama, baik dari kalangan tradisional, maupun modernis, dari Aceh sampai Jawa Timur menolak RUU tersebut.28

Menurut Kamal Hasan, setidaknya ada 11 pasal yag dipandang bertentangan dengan ajaran Islam (fikih munakahat), yaitu pasal 1, ayat 1, pasal 3 ayat 2, psal 7 ayat 1, pasal 8 ayat c, pasal 10 ayat 2, pasal 11 ayat 2, pasal 12, pasal 13 ayat 1 dan 2, pasal 37, pasal 46 ayat c dan d, pasal 62 ayat 2 dan ayat 9.29

Di lembagalegislatif, FPP adalah fraksi yang keras menentang RUU tersebut, karena bertentangan dengan fikih Islam.30

Anggota DPR dari kubu Islam hanya berjumlah 94 orang, yaitu dari Fraksi Persatuan. 31 Sedangkan anggota DPR dari Fraksi Golkar

27Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,

(Jakarta: Kencana, 2006), cet. III, 23.

28Kamal Hasan, Modernisasi Indonesia; Respons Cendekiawan Muslim, (Jakarta:

Lingkaran Studi Indonesia, 1987), 190.

29Kamal Hasan, Modernisasi Indonesia;....., 192, 197

30

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, 23. – Lihat pula Syamsuddin Haris, PPP dan Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 1991),10

31Fraksi Persatuan adalah merupakan koalisi kekuatan Islam yang terdiri dari NU

58 orang, PARMUSI 24 orang, PSII 10 orang dan dari PERTI 2 orang. Kemudian partai-partai ini melakukan fusi dengan mengikat diri menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tanggal 5 Januari 1973. Latar belakang fusi ini adalah karena hasil pemilu tahun 1971 bagi pemerintah merupakan salah satu legitimasi ke arah fusi partai, sebab segera partai dominan yakni golkar yang memperoleh 62,8% suara, telah dibentuk. Bagi partai-partai Islam, pemilu tahun 1971 merupakan, pengalaman pahit mengingat untuk pertama kalinya isu “politik” dihadapkan dengan isu “non politik”, yakni “pembangunan” melalui slogan:

186

berjumlah 261 orang, ABRI 75 orang dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) 30 orang, 32 sebagai kubu yang mendukung ide pemerintah untuk menciptakan univikasi dan kodifikasi hukum sebagai pedoman dan rujukan bagi seluruh warga Indonesia.

Walaupun anggota DPR hanya berjumlah 94 orang, yakni hanya dari Fraksi Persatuan, tetapi mereka didukung oleh semua lapisan masyarakat Islam mereka menyuarakan aksi protes, terutama dari kalangan ulama, mahasiswa dan pelajar.

Adapun ulama yang menentang keras antara lain adalah Hamka, Yusuf Hasyim dan Bisri Sjamsuri, protes itu melalui media massa, mimbar-mimbar dan aksi turun ke jalan, hingga mencapai antiklimaksnya, yakni dengan terjadinya peristiwa Sya’ban 1973 yang cukup memanaskan atmosfir perpolitikan Indonesia pada waktu itu dengan didudukinya gedung DPR/MPR oleh masa umat Islam beberapa jam. Padahal waktu itu sedang digelar sidang DPR. Masa merangsek ke dalam gedung, bukan saja duduk di balkon yang disediakan untuk pengunjung, tetapi membludak hingga ke ruang sidang, bahkan massa menduduki tempat duduk para anggota legislatif. Masa sudah tidak dapat dikendalikan dan mengacaukan persidangan. Akhirnya para anggota legislatif meninggalkan sidang. Di dalam gedung DPR massa melakukan orasi-orasi, bahkan salah seorang tokoh mahasiswa yang memobilisasi massa dan melakukan demo serta orasi adalah Zulkarnaen Djabbar. Zulkarnaen menurut hasil wawancara pribadi Yayan Sopyan dengan Kafrawi Ridwan, bukan saja berdemo tapi naik ke atas meja sidang dan mengibar-ngibarkan bendera.33

Melihat umat Islam menentang dan menolak keras, ABRI tidak ingin ada kekacauan di kalangan masyarakat, maka konsep RUU Perkawinan yang digodok di DPR itu, atas perintah Presiden, disesuaikan

“politik no, pembangunan yes” yang dilontarkan golkar. Kenyataan itulah yang menjadikan problematik PPP dalam pemilu-pemilu berikutnya. Politisi Islam kehilangan slogan, kecuali bersifat sentimen keagamaan. Oleh karena itu, fusi menjadi momentum tersendiri bagi partai-partai Islam untuk merapatkan barisan. Namun identitas keislaman perlu diteruskan, kendati kata, “Islam” tidak lagi menjadi jati diri partai. Aktivitas negara dengan pembangunannya menempatkan PPP pada posisi marginal dalam konteks politik orde baru. Namun demikian, sikap kritis partai terhadap kebijakan pemerintah, khususnya yang bersinggungan langsung dengan identitas Islam. Lihat Syamsuddin Haris, PPP dan Orde Baru, 10.

32Lihat Syamsuddin Haris, PPP dan Orde Baru, 10.

33

Lihat: Yayan Sopyan, Transformasi Hukum Islam...,198, 199.

187

dengan tuntutan umat Islam. Melalui lobying-lobying antara tokoh-tokoh Islam dengan pemerintah, akhirnya RUU tersebut diterima oleh kalangan Islam dengan mencoret pasal-pasal yang bertentangan dengan ajaran Islam. 34 Di sini nampak jelas bagaimana upaya PPP untuk mempertahankan eksistensi hukum Islam. 35 Agar pembahasannya berjalan lancar, maka dicapai suatu kesepakatan antara Fraksi PPP dan Fraksi ABRI yang isinya:

1) Hukum agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi, atau diubah.

2) Sebagai konsekuensi dari pada poin 1, maka alat-alat pelaksanaannya tidak akan dikurangi atau diubah. Tegasnya UU No. 22 Tahun 1946 dan UU No. 14 Tahun 1970 dijamin kelangsungannya.

3) Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan dengan undang-undang ini, dihilangkan (didrop).

4) Pasal 2 ayat (1) dari Rancangan Undang-Undang ini disetujui untuk dirumuskan sebagai berikut: a) Ayat (1): Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. b) Ayat (2): Tiap-Tiap perkawinan wajib dicatat menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku. 5) Mengenai perceraian dan poligami diusahakan perlu ketentuan-

ketentuan guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan.36 Dalam kesepakatan tersebut nampak jelas, betapa kuatnya posisi FPP sebagai wakil Umat Islam dalam memperjuangkan agar UU Perkawinan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Adapun pasal-pasal yang dicoret tersebut adalah Pasal 11 mengenai sistem parental dan

34Amiur Nuruddin dan Azhari Ahmad Tarigan, Hukum Perdata Islam Indonesia, 24

35

Fraksi PPP mengutus 6 orang juru bicara, yaitu Ischak Moro, H. Asmah Syahroni, H.A. Balya Umar, H. Moh. Saleh, H. Amir Iskandar, Teuku M. Soleh dan K.H. Kodratullah sebagai juru bicara fraksi untuk menyampaikan Pandangan dan tanggapan terhadap RUU perkawinan di DPR pada tanggal 18 September 1973, yang dihadiri oleh 370 orang anggota legislatif dari keseluruhan anggota yang berjumlah 460 orang. Lihat Marwan Saridjo, Jabatan untuk umat. Kesaksian Kolega dan para Sahabat, 70 tahun Kafrawi Ridwan, (Jakarta: Media Citra, 2002), XV.

36Arso Sastroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta:

Bulan Bintang, 1978), 24 – Lihat juga Rachmadi Usman, Perkembangan Hukum Perdata, dalam Dimensi Sejarah dan Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Grafiti, 2003), 196.

188

perkawinan antar agama. Pasal 13 mengenai pertunangan. Pasal 14 mengenai tata cara gugatan perkawinan dan pasal 62 mengenai pengangkatan anak.37

Setelah melalui protes dan lobying-lobying dan kerja keras dari PPP dan dukungan dari masyarakat Islam, akhirnya pasal-pasal yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam itu dihapuskan.

Kemudian setelah melakukan rapat yang berulang-ulang, akhirnya pada tanggal 22 Desember 1973 melalui fraksi-fraksi DPR, RUU Perkawinan tersebut disetujui untuk disahkan. Pada tanggal 2 Januari 1974 RUU tentang perkawinan disahkan DPR menjadi UU No. 1 Tahun 1974 tentang undang-undang perkawinan yang selanjutnya berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975.38

Secara umum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut memiliki beberapa prinsip. Prinsip-prinsip ini merupaka azas bagi terjaminnya cita-cita luhur dari perkawinan. Dari Undang-Undang ini diharapkan agar supaya pelaksanaan perkawinan dapat lebih sempurna dari masa yang sebelumnya.39

Adapun prinsip-prinsip dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut antara lain: 1) Asas sukarela, karena perkawinan tersebut harus didasarkan atas

cinta yang tulus dan suci dari kedua belah pihak suami-istri, harus didasarkan atas persetujuan dan kerelaan kedua belah pihak (mempelai), tanpa ada paksaan 40 atau ada orang yang menghalanginya, kecuali perkawinan dengan mahram, atau perkawinan sejenis dan beda agama.

2) Asas partisipasi keluarga, karena kepribadian bangsa Indonesia masih menganut sistem keluarga besar. Perkawinan bukan semata-mata mengawinkan dua orang mempelai yang berlainan jenis, tetapi juga mengawinkan dua orang mempelai yang berlainan jenis, tetapi juga mengawinkan keluarga besar. Dengan prinsip ini diharapkan dapat memperluas dan memperkuat jalinan silaturrahmi antara

37Abdullah Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema

Insani Press, 1996), 261.

38Rachmadi Usman, Perkembangan Hukum Perdata, dalam Dimensi Sejarah dan

Politik Hukum di Indonesia, 198.

39Lihat: Yayan Sopyan, Transformasi Hukum Islam..,216, 217

40

Al sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Al-Qahirah: Dar al-Kitab al-Islāmī – Dar al-Ḥadīth, t.th), Jilid II, 115.

189

kedua keluarga besar. Oleh sebab itu perkawinan kedua mempelai harus dilaksanakan oleh Wali41 perempuan dan persetujuan serta restu dari kedua keluarga besar, demi keutuhan dan rukunnya keluarga, yang dengan adanya perhatian dari kedua keluarga tersebut, pasangan pengantin baru dapat dibimbing untuk membina keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah yang diridhai Allah.

3) Asas mempersulit perceraian. Perceraian adalah sesuatu yang tidak disenangi42 oleh siapapun,

ia hanya sebagai pintu darurat (emergency) seperti pintu darurat dalam pesawat. Walaupun pintu darurat disiapkan, tetapi tidak boleh dibuka kecuali dalam keadaan darurat.

Perceraian tanpa kendali akan merugikan kedua belah pihak, terutama anak-anak, yang dapat menjadikan akan bertambahnya problem anak nakal.43

4) Asas poligami dibatasi dengan ketat Asas perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan tersebut adalah monogamy. Seorang suami hanya diperkenankan untuk memiliki seorang istri,kecuali istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, atau istri cacat badan atau mengidap penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau tidak dapat melahirkan keturunan.44 Selain itu, juga disyarat bila suami hendak poligami hendaklah mendapat persetujuan dari istri-istri dan mempunyai kemampuan untuk membiayai istri atau istri-istri dan anak-anaknya serta mampu berbuat adil kepada mereka.45

Kalau perkawinan poligami itu tidak mengikuti syarat yang telah ditetapkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tersebut, maka perkawinan poligami itu dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum. Perkawinannya dianggap tidak ada, bahkan pelakunya harus dikenakan sanksi.

41Rasulullah SAW bersabda berkenaan dengan masalah wali tersebut:

ةئشسى,عمران, وعان أبى موعرواه الطبرانى والبهق “ عدل ال نكاح إال بولى وشاهدي ” “tidak sah nikah tanpa wali dan dua orang saksi yang adil” (HR. Al- Ṭabarāny, dan al-Baihaqy dari Abi Musa, ‘Imrān dan Aishah) – Lihat: al-Suyūṭy, al-Jāmi’ al-Ṣaghīr, (Bairut – Libnan : Dar al-Kutub al-Islāmiyah, t.th), cet. IV, Jilid II, 204.

42 أبغص الحالل عند هللا الطالق. رواه أبو داود وابن ماجة والحاكم عن ابن عمر

“sesuatu yang halal yang paling dibenci Allah adalah talak” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar) – al-Suyūṭy, al-Jāmi’ al-Ṣaghīr, Jilid 1, 5.

43Arso Sastroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, 36.

44

Lihat: UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 4.

45Lihat: UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 5.

190

5) Asas kematangan jasmani dan rohani bagi mempelai Calon suami istri harus telah matang jasmani dan rohaninya untuk

melangsung perkawinan, agar dapat memenuhi tujuan perkawinan yang luhur, yaitu bahagia, sejahtera dan mendapat ketentraman yang baik, berkualitas dan sehat.46 Kedewasaan yang matang diharapkan dapat menyelesaikan problematika rumah tangga dengan nalar yang baik dan berpikir dewasa. Dari sudut ketentraman, kematangan bagi para mempelai yang akan menikah, terutama bagi mempelaiperempuan, sangatlah penting, karena hal ini berkenaan dengan kematangan alat reproduksi dan kematangan jiwa dalam mengasuh anaknya dan mendidiknya bersama suami. Oleh sebab itu dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan itu ditetapkan usia dibolehkan untuk menikah adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.47

Namun dalam keadaan darurat, perkawinan di bawah umur dimungkinkan setelah memperoleh dispensasi dari Peradilan Agama atas permintaan orang tua.48 6) Asas Perlindungan terhadap perempuan dan anak

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan perempuan memperoleh kedudukan dan perhatian yang baik dan strategis, karena hampir semua hal-hal yang diperjuangkan oleh organisasi-organisasi perempuan dan kaum perempuan pada umumnya telah diakomodir.

Kalau sebelum ada undang-undang perkawinan ini, nasib perempuan dan anak sering diabaikan oleh suami atau ayahnya, laki-laki menggunakan hak cerai dengan semena-mena, akibatnya perempuan dan anaklah yang paling banyak menderita. Akibat perceraian seperti itu, disamping merupakan suatu pukulan batin dan moril bagi perempuan, juga memberatkan beban hidupnya, ia harus mencari nafkah untuk dirinya dan anak-anaknya, karena bekas suaminya meninggalkannya begitu saja.49

Dalam kasus poligami, 50 perempuan dan anak paling banyak menderita dan ditelantarkan oleh suami yang berpoligami, baik sebagai

46Arso Sastroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, 36.

47

Lihat: UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 7.

48Lihat: UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 6.

49

Arso Sastroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, 39.

50Dalam Hukum Islam, poligami paling banyak, mengawini empat orang istri

dengan syarat, bahwa suami yang berpoligami itu, mampu berbuat adil dan mampu menafkahi istri-istrinya dan anak-anaknya. Kalau tidak demikian, maka ia cukup memiliki satu orang istri saja. – lihat: Q.S. al-Nisa’/4 :3.

191

istri pertama, maupun sebagai istri kedua atau yang lainnya, walaupun tidak semua laki-laki yang berpoligami berprilaku tidak bertanggung jawab terhadap istri dan anaknya, tetapi pada umumnya tidak bertanggung jawab dan tidak berlaku adil terhadap istri dan anak-anaknya.51

Dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ini, dampak-dampak negatif seperti yang telah disebutkan, dapat diatasi, atau dihilang, atau minimal dapat dikurangi.

Setelah UU No. 1Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan, maka fikih Islam memasuki fase baru dengan apa yang disebut sebagai fase “Taqnin” (fase pengundangan). Ketentuan-ketentuan fikih Islam tentang perkawinan banyak sekali ditransformasikan ke dalam Undang-Undang tersebut. Dengan masuknya ketentuan Fikih Islam dalam Undang-Undang Perkawinan, maka fikih Islam bidang Perkawinan telah menjadi Hukum Nasional, karena sudah dicatat dalam lembaran negara, dalam arti fikih Islam telah menjadi Hukum Nasional.

B. Pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

1. Latar Belakang dan Proses Pembentukan KHI Walaupun umat Islam Indonesia telah berhasil melalui Menteri

Agama dan para ulama dalam menggolkan RUU PA menjadi Undang-Undang Peradilan Agama No.7 Tahun 1989, bukan berarti bahwa semua persoalan yang berkaitan dengan implementasi hukum Islam di Indonesia menjadi selesai, karena ternyata persoalan krusial yang dihadapi adalah tidak adanya keseragaman para hakim Peradilan Agama dengan Peradilan Agama yang lainnya dalam masalah yang sama, 52 yang

51Para ulama fikih hanya membatasi adil itu kepada hal yang bersifat Zahir, seperti

adil dalam memberi nafkah, adil dalam giliran tidur, adil dalam giliran berpergian dan lain-lain yang bersifat zahir. Mereka menafsirkan ayat 129 Sural al-Nisā’ yang mengatakan, bahwa manusia tidak akan bisa berlaku adil terhadap para istrinya, itu yang dimaksud adalah adil hati, cinta dan kasih sayang yang sifatnya batiniyah, dengan berdalih pada hadis Nabi yang mengatakan :

“ ملكاللهم هذا قسمى فما أملك فال تلمنى فما ال أ ” “Ya Allah, inilah bentuk penggiliranku yang dapat aku lakukakan. Maka janganlah engkau menyalahkanku dalam hal yang aku tidak mampu melakukannya”.

52Karena belum ada KHI, selain tidak seragamnya keputusan hukum untuk

masalah yang sama, juga bahkan dijadikan alat politik untuk memukul orang lain yang dianggap tidak sepaham, padahal fikih itu semestinya membawa rahmat, bukan menjadi penyebab perpecahan, - Lihat: Hasan Basry, perlunya Kompilasi hukum Islam, Mimbar Ulama, No. 104, Tahun X April 1986, 60.

192

dapat mengurangi wibawa Peradilan Agama. Hal ini disebabkan tidak tersedianya kitab Materi Hukum Islam yang sama. Meskipun telah ditetapkan 13 kitab fikih yang kesemuanya dalam mazhab Syafi’i yang dijadikan rujukan dalam memutuskan perkara, akan tetapi tetap menimbulkan persoalan, yaitu tidak adanya keseragaman putusan hukum, karena dalam kitab-kitab fikih tersebut juga terdapat perbedaan pendapat (ikhtilaf), walaupun dalam satu mazhab (mazhab Syafi’i).53 Setelah diundangkan PP No. 45/1957 tentang pembentukan PA/Mahkamah Shari’ah di luar Jawa dan Madura, Kepala biro PA dan Departemen Agama segera mengeluarkan surat edaran No. B/1/735 tanggal 15 Februari 1958 yang menganjurkan penggunaan 13 (tiga belas) macam kitab fikih sebagai pedoman.54 Ketiga belas kitab fikih tersebut adalah: al-Bajūrī, Fatḥ al-Mu’in berikut Sharahnya, Sharqawi ‘ala al-Taḥrīr, al-Maḥallī, Fatḥ al-Wahhāb, Tuḥfah, Targhīb al-Mushtāq, Qawānin Shar’iyyah lisayyid Usman bin Yahya, Qawānin lisayyid Sodaqah Dakhlan, Shamsuri fil Farāiḍ, Bughyat al-Mustarshidin, al-Fiqh ‘ala al-Madhāhib al-‘arba’ah dan Mughny al-Muḥtāj.55

Menurut Sudirman Tebba penggunaan kitab-kitab fikih tersebut dalam memutuskan perkara di Pengadilan Agama itu dianggap terlalu banyak kelemahan, antara lain karena buku rujukan pengadilan agama itu dianggap terlalu banyak, disamping judul bukunya saja ada 13 buah, juga antara judul buku itu ada yang terdiri dari beberapa jilid, akibatnya penggunaannya terasa tidak praktis.56

Dengan banyaknya kitab fikih yang dianjurkan oleh Departemen Agama maupun PA, masih sangat mungkin sekali terjadi perbedaan putusan dalam wilayah PA, dikarenakan para hakim bebas menafsirkan ataupun memilih hukum apa yang akan dijatuhkan disebabkan banyaknya rujukan.57

53Lihat Dirjen Bimbaga Islam, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di

Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama R.I., 1991/1992), 139.

54Dalam Muttaqien, et.al, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam Dalam

Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 1999), cet II, 53.

55Sudirman Tebba (ed), Perkembangan Kontemporer Hukum Islam di Asia

Tenggara, (Bandung: Mizan, 1993), cet. I, 21

56Depag RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pembinaan

Badan Peradilan Agama, 2000), 128.

57Masrain Basran, Kompilasi Hukum Islam Mimbar Ulama, No. 105, Tahun X, Mei

1986, 8,9.

193

Menurut Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, berangkat dari realitas ini, keinginan untuk menyusun “kitab hukum Islam” dalam bentuk kompilasi dirasakan semakin mendesak. Penyusunan kompilasi ini bukan saja didasarkan pada kebutuhan adanya keseragaman referensi keputusan hukum PA di Indonesia, tetapi juga disandarkan pada keharusan terpenuhinya perangkat-perangkat sebuah Peradilan, yaitu kitab materi hukum Islam yang digunakan di lembaga Peradilan tersebut.58

Sehubungan dengan masalah tersebut, Munawir Sjadzali mengatakan, bahwa ada keanehan Indonesia berkenaan dengan implementasi hukum Islam. Peradilan Agama telah berusia sangat lama, namun hakimnya tidak memiliki buku standard yang dapat dijadikan rujukan yang sama seperti halnya KUHP. Ini berakibat jika para hakim Agama menghadapi kasus yang harus diadili, maka rujukannya adalah berbagai kitab fikih tanpa suatu standarisasi atau keseragaman. Akibat lanjutannya secara praktis, kasus yang sama dapat lahir keputusan yang berbeda jika ditangani hakim yang berbeda.59

Berkenaan dengan masalah ini maka tampillah Busthanul Arifin dengan gagasan perlunya membuat kompilasi Hukum Islam. Gagasan-gagasannya didasari pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut ini.

a. Untuk dapat berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada, antara lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat.

b. Persepsi yang tidak seragam tentang Fikih akan dan sudah menyebabkan hal-hal: 1) Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut

hukum Islam itu (man anzala Allahu) 2) Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan shariat itu

(tanfiziyah) dan 3) Akibat kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan

jalan-jalan dan alat-alat yang tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perundangan lainnya.60

58Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, 29

59

Lihat Munawir Sjadzali, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1999), 2

60Masrain Basrain, Kompilasi Hukum Islam Mimbar Ulama, No. 105, Tahun X, Mei

1986, h. 7. – Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, 133.

194

Di dalam sejarah Islam, pernah ada tiga negara, hukum Islam diberlakukan:

1) Sebagai perundang-undangan yang terkenal dalam fatwa Alamfiri. 2) Di kerajaan Turki Utsmani yang terkenal dengan nama Majallah al

Aḥkam al ‘Ādliyyah. 3) Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasi di Subang.61

Gagasan Busthanul Arifin disepakati dan dibentuklah Tim Pelaksana Proyek dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) tanggal 25 Maret 1985 No. 07/KMA/1985 dan No. 25 tahun 1985 yang ditanda tangani di Yogyakarta oleh ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama.62 Proyek yang didasarkan SKB ini kemudian dinamakan proyek “Pengembangan Hukum Islam melalui Yurisprudensi” atau proyek “Kompilasi Hukum Islam”. Tujuan proyek ini adalah mengkompilasikan aturan hukum Islam yang mencakup wilayah muamalah dan yurisdiksi.

Peradilan Agama ke dalam tiga kitab: (a) Kitab Perkawinan, (b). Kitab Waris (c) Kitab Wakaf, Sadaqah, Hibah dan Baitul Mal.63

Dengan lahirnya SKB 64 tersebut usaha selanjutnya adalah membentuk panitia dari proyek tersebut yang personil diambil dari para

61Amrullah Ahmad dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem HukumNasional;

Mengenang 65 Tahun Prof. DR. H. Busthanul Arifin, SH, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 11-12

62Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, 135

63

Sudirman Tebba (ed), Perkembangan Kontemporer Hukum Islam di Asia Tenggara, 63

64Dasar Hukum dan alasan-alasan lain yang menjadi landasan Surat Keputusan

Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama adalah bahwa Peradilan Agama adalah salah satu dari lingkungan Peradilan yang merupakan kekuasaan kehakiman yang berpuncak pada Mahkamah Agung RI, menurut ketentuan UUD 1945 Pasal 24 dan UU No. 14/1970 sebagai UU organiknya. Repelita IV Bab Hukum, telah menggariskan kaharusan penyempurnaan Badan-Badan Peradilan, termasuk Peradilan Agama. KHI ini adalah dalam rangka penyempurnaan Badan-Badan Peradilan Agama tersebut, khususnya di bidang Hukum terapan (hukum Materiil). Hukum Terapan bagi Peradilan Agama ditentukan oleh UU No. 1/1974, Staadtsblad 1882, PP. 45/1957 dan sebagainya, adalah Hukum Islam. Selama ini Hukum Islam itu hanya dapat diketahui dari kitab-kitab fikih, yang umum dipakai umat Islam di Indonesia. Pernah ditetapkan oleh Departemen Agama 13 kitab fikih yang dianjurkan dipakai sebagai pedoman bagi hakim-hakim Peradilan Agama dalam menangani perkara-perkara yang diajukan ke persidangan. (lihat: Depag RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 128) Dalam rangka penyempurnaan Peradilan Agama menjadi aparat kekuasaan kehakiman dan untuk lebih meningkatkan kepastian dan keadilan hukum dalam putusan-

195

pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama. Pada waktu itu terpilihlah Busthanul Arifin sebagai ketua dari proyek tersebut.65 Setelah Busthanul Arifin membentuk kepanitiaan, maka beliau langsung memulai pelaksanaan proyek KHI itu dengan perencanaan dan pertimbangan yang matang.

Suatu kompilasi menurut Busthanul Arifin tidak mungkin berlaku hanya dibuat dan diberikan dari atas (Pemerintah, Mahkamah Agung) saja, tanpa keikut sertaan para ulama. Para ulama masih tetap memegang peranan menentukan dalam hal-hal keagamaan, karenanya dalam hal hukum Islam para ulama fiqh tetaplah memegang peranan yang menentukan, dan dalam perencanaan dan pelaksanaan KHI faktor ulama, umara, dan zuama haruslah benar-benar tergabung.66

Selain itu menurutnya masih ada beberapa faktor lain yang harus dipertimbangkan secara matang dan perencanaan dan pelaksanaan KHI. Faktor-faktor itu antara lain adalah: faktor sejarah hukum Islam, faktor psikologi umat Islam dan faktor kitab-kitab fikih dari mazhab-mazhab yang memang merupakan amal dan jasa para ulama mujtahid dahulu, terakhir dipertimbangkan pula faktor putusan-putusan PA di Indonesia sejak masa paling awal, karena memang faktor ini tidak boleh diabaikan sama sekali. Peradilan Agama telah ada sejak lebih dari seratus tahun yang lalu dan selama masa itu telah memberikan putusan-putusan hukum yang merupakan hukum yang hidup dan dihayati oleh kaum muslimin di Indonesia.67

Setelah mempertimbangkan faktor-faktor di atas, maka penyusunan kompilasi Hukum Islam ditempuh melalui empat jalur pengumpulan data. Keempat jalur pengumpulan data. 68 dalam penyusunan KHI tersebut adalah sebagai berikut: putusan Peradilan Agama, maka di rasa kebutuhan untuk mneyusun KHI yang ditulis dalam Bahasa Hukum Indonesia, maka lahirlah keputusan bersama dari Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama yang menunjukkan panitia untuk itu dan di beri jangka waktu bertugas selama 2 tahun – Lihat Busthanul Arifin, Laporan Tentang Pelaksanaan KHI, (Makalah), 1,2.

65Komposisi Personalia dalam Proyek tersebut untuk lengkapnya, lihat: Depag RI,

Kompilasi Hukum Islam, 135 s/d 138.

66Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Gema Insani

Press, 1996), Cet. I, 58.

67Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 58

68

Empat jalur tersebut, yaitu: a. pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan penelaahan/ pengkajian kitab-kitab. b. wawancara dilakukan dengan para ulama. c.lokakarya. Hasil-hasil penelaahan dan pengkajian kitab-kitab dan wawancara diseminarkan lewat lokakaryanya. d. studi perbandingan untuk memperoleh system/

196

1) Jalur Kitab-Kitab Fikih

Jalur ini dimulai dengan menelaah atau mengkaji kitab-kitab fikih

yang berpengaruh di Indonesia dan dunia Islam, yang selama itu juga

telah menjadi kitab-kitab rujukan bagi para hakim PA di Indonesia. Di

samping itu disusun pula daftar-daftar pertanyaan mengenai 160

masalah di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan

sadaqah, yang nantinya akan diteliti dan dicatat jawaban serta

penyelesaiannya oleh setiap kitab yang telah terdaftar itu. Hal ini tentu

bukanlah pekerjaan ringan seperti hal membalikkan telapak tangan.

Maka dari itu, Pemerintah dan Mahkamah Agung membuat kontrak

kerja dengan ketujuh Institut Agama Islam Negeri (IAIN), khususnya

dengan fakultas Shari’ah IAIN yang bersangkutan. Ketujuh IAIN tersebut

diberi tugas untuk membahas kitab fikih yang berjumlah 18 buah dalam

waktu 3 bulan, dimulai dari tanggal 7 Maret sampai dengan 21 Juni 1985

sesuai dengan kontrak yang telah disepakati.69

kaidah-kaidah hukum/ seminar satu sama lain dengan jalan memperbandingkan dari Negara-negara Islam lainnya – Depag RI, KHI, 139.

69Perincian ketujuh IAIN yang ditunjuk untuk membahas kitab-kitab fikih tersebut

adalah: a) IAIN al Raniri Banda Aceh:

(1) Al-Bājūrī (2) Fat al-Mu’in (3) Sharqāwī ‘ala al-Taḥrīr (4) Mughni al-Muḥtāj (5) Al- Sharqāwī

b) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1) I’ānah al-Thālibīn (2) Targhīb al-Mushtāq (3) Bulghat al-Sālik (4) Tuḥfah (5) Shamsuri fi al-Farāiḍ (6) Al-Mudawwanah

c) IAIN Antasari Banjarmasin (1) Qalyubi/Maḥallī (2) Fat al-Wahhāb berikut Sharahnya (3) Bidāyah al-Mujṭāhid (4) Al-‘Umm (5) Bughyat al-Mustarshidīn

197

2) Jalur Wawancara Dengan Ulama70

Jalur kedua ini, dilaksanakan dengan mengumpulkan ulama-

ulama yang mempunyai keahlian di bidang fikih islam. Agar seluruh

ulama Indonesia ikut serta dalam proses wawancara diadakan di sepuluh

daerah di Indonesia, yakni Banda Aceh, Medan, Palembang, Padang,

Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Ujung Pandang, Mataram, dan

Banjarmasin. Kegiatan wawancara ini berakhir dalam bulan Oktober dan

Nopember 1985.71

(6) Aqīdah wa Sharī’ah

d) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1) Al-Muḥallī (2) Al-Wajīz (3) Fatḥ al-Qadīr (4) Al-Fiqh ‘al Madhāhib al-Arba’ah (5) Fiqh ‘alā Sunnah

e) IAIN Sunan Ampel Surabaya (1) Kashf al-Qinā (2) Majmū’ atau Fatāwī ibn Taymiyah (3) Qawānīn Shar’iyyah Lisayyid Utsman bin Yahya (4) Al-Mughnī (5) Al-Hidāyah Sharḥ Bidāyah Taimiyyah Mubtadī

f) IAIN Alauddin Ujung Pandang (1) Qawānīn Shar’iyyah Lisayyid Sudaqah Dakhlan (2) Mawāhib al-Jalīl (3) Sharḥ Ibn Abidin (4) Al-Muwaṭṭa’ (5) Ḥāshiyah Syamsuddīn Muhammad Irfan Dasūqī

g) IAIN Imam Bonjol Padang (1) Badai ‘al-Ṣanāi’ (2) Tabyīn al-Ḥaqāiq (3) Al-Fatāwī al-Hindiyyah (4) Fatḥ al-Qadīr (5) Nihāyah – Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 59.

70

Pelaksanaan wawancara dilakukan antara lain dengan tokoh-tokoh ulama yang dipilih, yang benar-benar diperkirakan berpengalaman cukup dan berwibawa dan diperhitungkan kelengkapan gegorafis dari jangkauan wibawanya. Wawancara dilaksanakan berdasarkan pokok-pokok penelitian yang disiapkan Tim Inti – lihat Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, 140

71Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 38

198

Untuk pelaksanaan wawancara dengan para ulama ini72 panitia

pusat telah sepakat untuk memakai dua cara; pertama, dengan

mempertemukan para ulama tersebut untuk diwawancarai secara

bersamaan. Kedua, mewawancarai mereka dengan cara terpisah jika

cara pertama tidak mungkin dilaksanakan. Pokok masalah yang diajukan

dalam wawancara tersebut sudah disusun sistematis dalam sebuah buku

yang berbentuk questioner yang berisi 102 masalah di bidang hukum

keluarga.73

3 )Jalur Yurisprudensi PA

Pelaksanaan jalur ini, dilaksanakan oleh Direktorat Pembinaan

Badan PA terhadap Putusan dan Fatwa Pengadilan Agama yang telah

dihimpun dalam 16 buku. 74 Ke-16 buku tersebut terhimpun dalam

himpunan dibawah ini:

a. Himpunan Putusan PA/PTA 4 buku, yaitu 1976/1977, 1977/1978,

1978/1999 dan 1980/1981.

b. Himpunan Fatwa 3 buku yaitu, terbitan tahun 1978/1979,

1979/1980 dan 1980.1981

c. Yurisprudensi PA 5 buku yaitu, terbitan tahun 1977/1978, 1978.1979,

1981/1982, 1982.1983 dan 1983/1984

d. Law Report 4 buku, yaitu terbitan tahun 1977/1978, 1978/1979,

1981.1982 dan 1982/1983.75

Jalur Yurisprudensi ini dianggap perlu karena putusan yang

ditetapkan oleh PA beberapa waktu sebelumnya, masih sangat mungkin

untuk diterapkan pada masa setelahnya. Maka dengan dipakainya jalur

yurisprudensi ini, KHI tidak hanya merujuk pada kitab-kitab fikih

72Wawancara dengan ulama di mulai bulan September 1985 di Bandung, dengan

mengumpulkan para ulama se-Jawa Barat dan DKI yang pembukaannya dilakukan oleh Menko Kesra, H. Alamsyah Ratuprawiranegara sebagai Menteri Agama R.I. dan dihadiri pula oleh Bapak Wakil Ketua Mahkamah Agung yang mewakili Bapak Ketua Mahkamah Agung. Selama 4 hari para ulama membahas dan memberikan kesimpulan pandangan hakim fikih mengenai masalah-masalah yang dikemukakan Panitia. Cara bekerja ulama di Bandung ini dijadikan teladan bagi 9 daerah lainnya – Lihat Busthanul Arifin, Laporan Tentang Pelaksanaan KHI (Makalah), 3, 4.

73Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 61

74

Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, 142.

75Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 44.

199

melainkan juga bisa merujuk kepada putus-putusan hakim terdahulu,

pada waktu itu, penafsiran mereka dalam menjatuhkan suatu putusan

dianggap sesuai dengan keadaan dan masalah-masalah yang dihadapi

masyarakat. Hakim perlu memperhatikan kesadaran hukum (Kadarkum)

masyarakat berdasarkan UU No. 14/1970 pasal 20 ayat (1).76

4) Jalur Studi Perbandingan

Jalur ini ditempuh untuk mendapatkan dari negara-negara islam

yang menerapkan hukum Islam, seperti Maroko, Turki dan Mesir

mengenai sistem peradilan dan masuknya hukum Islam ke dalam tata

Hukum Nasional di negara-negara tersebut. Juga informasi mengenai

sumber hukum dan hukum materil yang menjadi pegangan di bidang

hukum keluarga (al-aḥwāl al-shakḥsiyyah) yang menyangkut

kepentingan kaum muslimin.77

Namun demikian menurut Busthanul Arifin, titik berat studi ini

justru diletakkan ada negara-negara tetangga, karena pasti akan lebih

bermanfaat dikarenakan negara-negara itu banyak persamaannya

dengan kita dalam sejarah masuk dan berkembangnya Islam serta dalam

perkembangan dan pelaksanaan hukum Islam.78

Penyusunan KHI, selain digarap melalui empat jalur diatas juga

mendapat dukungan dan masukan dari beberapa organisasi Islam.

Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, misalnya pada tanggal 8-9 April 1986

bertempat di kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta telah

menyelenggarakan “Seminar KHI” yang juga dihadiri oleh Menteri Agama

76UU No. 14/1970 pasal 20, ayat (1) tersebut berbunyi: “Hakimsebagai penegak

hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”. Di samping landasan yuridis berdasarkan UU ini, dalam fikih dan kaidah Fiqhiyah dikatakan, bahwa hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu, tepat dan keadaan”. Keadaan masyarakat itu selalu berubah dan ilmu fikih itu sendiri selalu berkembang, karena menggunakan metode-metode yang sangat memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Diantara metode-metode itu ialah Maṣlaḥah Mursalah, Istiḥsān, Istishab dan ‘urf. – Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, 134

77Dadan Muttaqien, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata

Hukum di Indonesia, 62

78Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 60

200

dan Ketua MUI KH. Hasan Basry. Dalam seminar ini dibahas barbagai

persoalan hukum, seperti perkawinan wanita hamil karena zina, masalah

li’an, syiqaq, rujuk, taklik, talak, pembagian warisan, harta bersama

(gono-gini) dalam perkawinan dan penjualan harta wakaf.79

Kemudian setelah mengolah hasil dari pengkajian kitab-kitab fikih,

penelitian yurisprudensi, wawancara dengan para ulama dan

studibanding, maka dirumuskanlah KHI tersebut ke dalam naskah

rancangan KHI yang terbagi dalam 3 buku, buku Itentang Hukum

Perkawinan, Buku II tentang Hukum Waris dan Buku III tentang Hukum

Wakaf.80

Seluruh kegiatan dari pelaksanaan proyek penyusunan naskah KHI

yang terdiri dari 3 buku tersebut yang dimulai pada tanggal 25 Maret

1985 sampai selesainya, memerlukan waktu selama 2 (dua) tahun 9

(sembilan) bulan. Yang untuk selanjutnya pada tanggal 29 Desember

naskah tersebut oleh pimpinan proyek diserahkan kepada Ketua

Mahkamah Agung dan Menteri Agama.81

Naskah rancangan KHI yang telah diserahkan kepada ketua MA

dan Menteri Agama tersebut kemudian dilokakaryakan 82 untuk

memperoleh komentar dan perbaikan dari para ulama dan cendikiawan

muslim yang diundang sebagai wakil-wakil yang representative dari

daerah penelitian/ pengkajian dan wawancara.

Lokakarya yang berlangsung selama lima hari (2-6 Februari 1988)

tersebut bertempat di Hotel Kartika Chandra dengan diikuti oleh 124

orang peserta. Dalam membahas permasalahan yang dilokakaryakan itu

maka panitia membaginya dalam tiga komisi, yaitu83

a) Komisi I Bidang Hukum Perkawinan diketuai oleh Yahya Harahap

sekretaris Mahmuddin Kosasih Nara Sumber Halim Muchammad

dengan anggota sebanyak 42 orang.

79Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 45

80

Depag RI, Kompilasi Hukum Islam...,150

81Depag RI, Kompilasi Hukum Islam..,146.

82

Depag RI, Kompilasi Hukum Islam..,146.

83Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 47

201

b) Komisi II Bidang Hukum Kewarisan diketuai oleh A. Wasit Aulawi

dengan sekretaris Zainal Abidin Abu Bakar Nara sumber A. Azhar

Basyir dengan anggota sebanyak 42 orang.

c) Komisi III Bidang Hukum Perwakafan diketuai oleh Masrani Basrar.

Sekretaris A. Gani Abdullah. Nara Sumber Rahmat Jatnika,

beranggotakan 29 orang.84

Hasil lokakarya sebagai naskah akhir KHI ini, kemudian diserahkan

kepada Presiden RI, tanpa menunggu waktu yang lama maka pada

tanggal 10 juni 1991 keluarlah Instruksi Presiden No. 1/1991 yang

ditujukan kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI.85 Tanggal

22 Juli 1991 Menteri Agama menetapkannya melalui keputusan Menteri

Agama No. 54 tahun1991 tentang pelaksanaan Inpres No. 1/1991

tanggal 10 Juni 1991. 86 Dengan lahirnya Inpres No. 1/1991 serta

Keputusan Menteri Agama No. 154 tahun 1991 tersebut, akhirnya

bangsa Indonesia mempunyai Kompilasi Hukum Islam sendiri dalam

membantu para hakim di wilayah PA untuk menyelesaikan perkara yang

mereka hadapi, dengan harapan agar putusan yang diberikan seragam

pada masalah yang sama. 87 Upaya mengkompilasi Hukum Islam ini

merupakan salah satu usaha yang sangat positif dalam pembinaan

hukum Islam di Indonesia sebagai salah satu sumber pembentukan

Hukum Nasional.

2 . Landasan Hukum dan Kedudukan Kompilasi Hukum Islam

Kompilasi Hukum Islam (KHI) disusun atas prakarsa penguasa

negara, yaitu Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI88 melalui Surat

Keputusan bersama No. 07/KMI/1985 tanggal 25 Maret 1985 yang

84Depag RI, Kompilasi Hukum Islam..,147, 148

85

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 50

86Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 50

87

Depag RI, Kompilasi Hukum Islam..,152.

88Pada saat itu Mahkamah Agung diketuai oleh Ali Said dan Menteri Agama adalah

Munawir Sjadzali.

202

ditanda tangani oleh Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama89

sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya.

Menurut yahya Harahap, tema utama penyusunan KHI adalah

mempositifkan “hukum Islam di Indonesia90 yang dijadikan pedoman

oleh para hakim Pengadilan Agama dalam melaksanakan tugasnya,

sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum91, sebab untuk

dapat berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain hukum

yang jelas dan dapat dilaksanakan, baik oleh aparat penegak hukum,

maupun oleh masyarakat. Dengan lahirnya KHI, semua hakim

dilingkungan Peradilan Agama diarahkan ke dalam persepsi penegakkan

hukum yang sama dan tidak dibenarkan menjatuhkan putusan-putusan

yang berdisparitas.92

Menurut Abdul Gani Abdullah, penyusunan hukum perkawinan

dan hukum perwakafan dalam KHI didasarkan kepada beberapa

perundang-undangan, seperti UU No. 22 Tahun 1946, UU No. 32 Tahun

1954, UU No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975 dan PP No. 28 Tahun

1977.93

Di samping merujuk kepada perundang-undangan yang telah

disebutkan, penyusunan KHI juga merujuk kepada pendapat para ulama,

baik pendapat para ulama dalam berbagai kitab fikih, maupun pendapat

para ulama yang tidak secara langsung dituangkan dalam kitab-kitab fikih

yang sesuai dengan ‘uruf, atau adat istiadat masyarakat Indonesia.94

89Direjen Bimbaga Islam, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 142

90

Yahya Harahap, Informasi Kompilasi Hukum Islam: mempositifkan Abstraksi Hukum Islam, Dalam Mimbar Hukum, No. 5 Tahun III, 1992, 25

91Dirjen Binbaga Islam, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 139.

92

Yahya Harahap, Informasi Kompilasi Hukum Islam...,28.

93Lihat Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata

Hukum di Indonesia, (Jakarta: Gema Insani, Press, 1994), cet. I, 63.

94Kompilasi Hukum Islam adalah Fikih Indonesia karena ia disusun dengan

memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Indonesia. Prof. T. M. Hasby Ash Siddiqy pernah mencetuskan, bahwa fikih Indonesia sebelumnya mempunyai tipe fikih lokal semacam Fikih Hijazy, Fikih Hindy dan Fikih lain-lainnya yang sangat memperhatikan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat setempat yang bukan berupa mazhab baru, tapi ia mempersatukan berbagai fikih dalam menjawab satu persoalan fikih. Ia mengarah kepada unifikasi mazhab dalam hukum Islam. Di dalam system hukum Indonesia ini

203

Dengan demikian, KHI menjadi penjelas dan pengurai bagi

perundang-undangan yang telah ada dan menjadikan penadapat para

ulama yang terdapat dalam berbagai kitab fikih, sebagai hukum positif,

atau sebagai hukum Nasional di Indonesia untuk menjadi pedoman para

hakim Pengadilan Agama dalam menetapkan hukum dari berbagai

persoalan yang muncul berekenaan dengan masalah perkawinan,

warisan dan wakaf. Dengan adanya KHI ini di Indonesia, tidak ada lagi

ditemukan pluralisme keputusan Pengadilan Agama, karena kitab yang

dijadikan rujukan para hakim di Pengadilan Agama adalah sama.95

Setelah adanya KHI, fikih Islam yang selama ini tidak dipandang sebagai

hukum positif, telah ditransformasikan menjadi hukum positif, atau

sebagai hukum Nasional yang berlaku dan mengikat bagi seluruh umat

Islam di Indonesia.96 Dengan demikian, diharapkan bahwa KHI akan lebih

mudah diterima oleh masyarakat Islam Indonesia, karena materi fikih

Islam dalam KHI digali dari tradisi bangsa Indonesia, sehingga tidak akan

muncul hambatan psikologis di kalangan umat Islam yang hendak

melaksanakan hukum Islam.

Meskipun KHI telah dijadikan pedoman oleh para hakim

Pengadilan Agama di Indonesia dalam memerikasa dan memutus

sengketa antara umat Islam di bidang perkawinan (Buku I), kewarisan

(Buku II) dan wakaf (Buku III), akan tetapi secara yuridis kekuatan

berlakunya masih lemah, karena adanya berdasarkan INPRES belum

termasuk ke dalam perundang-undangan yang ditetapkan MPRS No.

XX/MPRS1966, TAP MPR No. III/MPR/2000. Ketetapan MPR, baik No.

XX/MPRS/1960 jo. TAP MPR No. V/MPR / 1973 Jo TAP MPR No.

III/MPR/2000, merupakan dasar hukum atas tata aturan perundang-

undangan yang mempunyai kekuatan hukum positif secara tertulis.

Keberadaannya dapat memaksa dan mengikat pada setiap warga negara.

Sedangkan INPRES adalah instrumen hukum yang absah dilakukan

merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hakum Nasional Indonesia – Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, 134

95Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, 35.

96

Fikih Islam menjadi Hukum Nasional berdasarkan instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991.

204

presiden dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan memaksa

pada pihak yang diperintah.97

Berhubung KHI baru berbentuk INPRES98 dan materinya perlu

disempurnakan, maka sejak era reformasi telah ada upaya untuk

meningkatkan KHI menjadi RUU Hukum Materiil Peradilan Agama, agar

statusnya lebih kuat dan dapat masuk dalam Lembaran Negara.

97Jaenal Arifin, Reformasi Hukum di Indonesia dan Inplikasinya Terhadap Peradilan

Agama, (Desertasi SPS UIN Jakarta, 1428 H/2007 M), 390, 391.

98INPRES adalah instrumen hukum yang absah dilakukan Presiden dan mempunyai

kekuatan hukum yang mengikat dan memaksa pada pihak yang diperintah, sebagaimana dikatakan oleh H.A.S. Natabaya, bahwa instruksi bukanlah jenis Peraturan Perundang-undangan, karena hanya mengikat secara intern suatu organisasi, kalau toh mengikat hanya terbatas pada orang atau instansi yang diberi instruksi. Dengan demikian, maka instruksi Menteri dan instruksi Presiden tidak termasuk dalam jenis peraturan perundang-undangan. Lihat: H.T.S. Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), 117.

205

Bagian Kelima

DAMPAK POSITIF PENERAPAN UU NO. 1 TAHUN

1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI

HUKUM ISLAM (KHI)

Hukum Syariah dan Fikih Islam tentang perkawinan telah diadopsi

dalam UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan, walaupun

secara rinci belum semuanya tercover. Ketentuan Hukum Syariah dan

Fikih Islam tentang perkawinan sudah diberlakukan secara Nasional di

Indonesia, karena sudah dijadikan pedoman oleh para Hakim Pengadilan

Agama se Indonesia dalam menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi

dalam perkawinan melalui UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang

Perkawinan tersebut. UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI Buku I tentang

Perkawinan masih mempunyai kelemahan-kelemahan, walaupun banyak

keunggulan-keunggulannya. Maka untuk melengkapi kekurangan UU

Perkawinan dan KHI tersebut, perlu adanya UU yang melengkapinya,

seperti RUU HMPA bidang perkawinan, yang sekarang ini sudah dikirim

oleh pemerintah ke DPR, untuk disidangkan dan ditetapkan menjadi

Undang-Undang.

A. Keunggulan dan Kelemahan UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang

Perkawinan

1. Keunggulan

Adapun keunggulannya antara lain:

a. Dengan masuknya hukum Syariah dan Hukum Fikih Islam tentang

perkawinan dalam hukum positif, berarti Hukum Syariah dan

Hukum Fikih Islam tentang Perkawinan telah menjadi Hukum

Nasional. Dengan demikian, maka Hukum Islam tentang

Perkawinan telah mengikat kepada yang berperkara di Pengadilan

Agama di seluruh Indonesia. Khusus UU No. 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan sudah mengikat, karena tercantum dalam Lembaran

Negara dan dapat dikategorikan sebagai Undang-Undang yang

Islami, karena seluruh kandungannya sesuai, atau tidak

206

bertentangan dengan hukum perwakilan Islam. Sebagian

substansinya bersumber dari Al-Qur’an, Hadis dan pendapat para

ulama fikih. Sedangkan sebagian yang lainnya merupakan hasil

ijtihad para Ulama dan Cendikiawan Muslim Indonesia, yang

disesuaikan dengan budaya dan adat istiadat di Indonesia demi

kemaslahatan, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip

syariah (maqasid shari’ah)

b. UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 merupakan bagian dari

kodifikasi hukum Perkawinan Islam, semua pasal-pasalnya sejalan

dengan syariah. Oleh karena itu penyebaran dan implementasi

dari UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 merupakan sebuah

Pelembagaan Syariah di Indonesia.1

c. UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang perkawinan melindungi dan

menyetarakan kedudukan suami dan istri dalam rumah tangga,

yang berbeda hanya dalam masalah yang bersifat fungsional,

karena kodrat masing-masing jenis kelamin. Suami sebagai

seorang laki-laki dan istri sebagai seorang wanita. Masing-masing

suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.

Dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, sesuai dengan

prinsip perkawinan, sangat jelas disebutkan, bahwa kedudukan

suami istri adalah sama dan seimbang, baik dalam kehidupan

rumah tangga, maupun dalam pergaulan hidup bermasyarakat.2

Sehubungan dengan isi UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

yang berkenaan dengan hak dan kewajiban suami sitri, Sayuti Thalib

mengatakan, bahwa ada lima hal yang sangat penting:

1) Pergaulan hidup suami istri yang baik dan tenteram dengan rasa

cinta mencintai dan santun menyantuni, artinya masing-masing

pihak wajib mewujudkan pergaulan yang mar’ruf ke dalam rumah

tangga ataupun keluar (masyarakat).

1 Lihat: Azyumardi Azra,The Indonesian Marriage Law of 1974 An

Institutionalization of The Shari’a for Social Changes, in Shari’a and Politic in Modern Indonesia, (Singapore: ISEAS, 2003), 85.

2 Lihat: UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 30 s/d pasal 34.

207

2) Suami memiliki kewajiban dalam posisinya sebagai kepala

keluarga dan istri juga memiliki kewajiban dalam posisinya

sebagai ibu rumah tangga.

3) Rumah kediaman disediakan suami dan suami istri wajib tinggal

dalam satu kediaman tersebut. Pada dasarnya suami wajib

menyediakan tempat tinggal yang tetap, namun dalam kasus-

kasus tertentu, rumah kediaman tersebut dapat diwujudkan

secara bersama-sama.

4) Biaya kehidupan menjadi tanggung jawab suami, sedangkan istri

wajib membantu suami mencukupi biaya hidup tersebut.

5) Si istri bertanggung jawab mengurus rumah tangga dan

membelanjakan biaya rumah tangga yang diusahakan suaminya

dengan cara-cara yang benar, wajar dan dapat dipertanggung

jawabkan.3

Menurut Martiman, hak dan kewajiban suami istri yang

dikandung oleh pasal-pasal 30 s/d 34 UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan adalah:

1) Cinta mencintai satu dengan lainnya.

2) Hormat menghormati dan menghargai satu sama lainnya

3) Setia satu sama lainnya

4) Saling memberi dan saling menerima bantuan lahir dan batin satu

sama lainnya

5) Sebagai suami berkewajiban mencari nafkah bagi anak-anak dan

istrinya serta wajib melindungi istri dan memberikan segala

keperluan hidup rumah tangga, lahir batin, sesuai dengan

kemampuannya.

6) Sebagai istri berkewajiban mengatur rumah tangga sebaik-

baiknya.4

3 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Berlaku Bagi Umat Islam, (Jakarta:

UI Press, 1982), 73, 78)

4 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia

Legal Center Publishing, 2002), 34.

208

Sehubungan dengan masalah ini Busthanul Arifin mengatakan

bahwa kedudukan suami dan istri dalam perkawinan sebagaimana yang

termuat dalam pasal 30-34 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

adalah seimbang. Masing-masing mempunyai fungsi dan tanggung jawab

yang berbeda, tetapi dengan tujuan yang satu, yaitu tercapainya

kebahagiaan rumah tangga dan keluarga yang sakinah, mawaddah dan

rahmah. Tidak itu saja, hubungan kedudukan tersebut juga mengandung

rasa keadilan, sekaligus sangat potensial untuk dikembangkan dalam

menghadapi perubahan-perubahan cepat yang terjadi dalam

masyarakat.5

Pernyataan Busthanul Arifin di atas, identik dengan pernyataan

Yahya Harahap, bahwa kedudukan suami istri dalam sebuah keluarga

adalah seimbang. Keduanya sederajat dan segala sesuatu yang muncul

adalah perkawinan harus dirundingkan bersama. Bahkan Yahya Harahap

mengatakan, bahwa istri berhak mencapai kedudukan sosial di luar

lingkungan rumah tangga dan suami tidak dapat melarang hak tersebut.6

Dari uraian dan pendapat para Cendikiawan Muslim Indonesia

yang berkenaan dengan pasal-pasal 30 s/d 34 Undang-Undang No. 1

tahun 1974 tentang Perkawinanyang telah disebutkan di atas, jelas sekali

apa yang menjadi kewajiban suami, menjadi hak istri. Begitu pula

sebaliknya pada sisi lain ada ditemukan banyak persamaan-persamaan.

Oleh sebab itu antara suami istri dalam suatu rumah tangga menurut UU

perkawinan tersebut, adalah mitra sejajar. Hal ini sesuai dengan ajaran

Syariah, atau Hukum Fikih Islam dan sesuai pula dengan keyakinan umat

Islam dan tradisi yang berlaku di Indonesia. Dalam Syariah Islam tidak

ada perbedaan kedudukan laki-laki dan wanita. Yang membedakan

kedudukannya di sisi Allah adalah kualitas ketakwaannya.7 Begitu pula

kedudukan suami dan istri dalam rumah tangga, kedudukan mereka

sama. Kalau ada perbedaan di antara suami istri dalam rumah tangga, itu

5 Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia..,120.

6 Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975), 10.

7 Lihat: Q.S. al-Hujurāt/49 : 13.

209

hanya akibat perbedaan fungsional masing-masing8 sebagai suami atau

sebagai istri, sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing.

Dalam KHI tentang perkawinan, masalah hak dan kewajiban

suami istri disebutkan dengan sangat rinci, berbeda dengan UU No. 1

tahun 1974 tentang perkawinan belum terlalu rinci. Kalau diperhatikan

dengan cermat, nampaknya KHI tentang Perkawinan tersebut

merupakan penjabaran dan penegasan dari ketentuan-ketentuan hukum

yang ada dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pembahasan yang berkenaan dengan hak dan kewajiban suami

istri dalam KHI tentang perkawinan terdapat pada pasal 77 s/d pasal 83.

Pasal 77-78 mengatur hak-hak yang umum bagi suami istri, pasal 79

menyangkut kedudukan suami istri, pasal 80 berkenaan dengan

kewajiban suami, pasal 81 tempat kediaman, pasal 82 kewajiban suami

terhadap istriyang lebih dari seorang (suami beroligami) dan pasal 83

berkenaan dengan kewajiban istri.9

Dalam pasal-pasal KHI tersebut sangat jelas mengatur kedudukan

suami istri serta kewajiban antara suami istri. Dalam beberapa hal KHI

tentang Perwakilan mengadopsi pasal-pasal UU No. 1 tahun 1974

tentang Perkawinan seperti pasal yang berkenaan dengan kedudukan

suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga, posisi

yang seimbang, kewajiban saling mencintai, saling membantu dan saling

menghormati. Di samping itu KHI ini merinci hal-hal yang dijelaskan

secara umum dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, misalnya

bentuk kebutuhan yang harus dipenuhi suami, seperti nafkah, kiswah

(pakaian) dan kediaman atau sandang, pangan, dan papan, biaya

perawatan, pengobatan istri dan anak serta pendidikan anak.

Suami sebagai kepala keluarga sebagaimana telah disebutkan di

atas, adalah berdasarkan firman Allah yang mengatakan: kaum laki-laki

itu adalah qawwām (pemimpin) bagi perempuan, oleh karena Allah telah

8 Lihat: Q.S. al-Nisā/ 4: 34.

9 Untuk jelasnya masalah tersebut di atas, Lihat: KHI Buku I tentang perkawinan

dari pasal 77 s/d pasal 83.

210

melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian lain dan karena

mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka..”.10

Para Ulama tafsir berbeda pendapat dalam menafsirkan kata

qawwām dalam firman Allah surah al-Nisā’/ 4: 34. Al Ṭabary menafsirkan

dengan penanggung jawab, karena suami bertanggung jawab dalam

mendidik dan membimbing istri agar menunaikan kewajibannya kepada

Allah dan kepada suami.11 Sedangkan Muhammad Asad seorang mufassir

kontemporer mengatakan, bahwa kata qawwām berarti to take full care

of, yang berarti menjaga sepenuhnya, baik dalam bentuk fisik, maupun

moral.12 Ada pula ulama yang menafsirkan kata qawwām dengan makna

pelindung, seperti Abdullah Yusuf Ali.13

Rashīd Riḍā menyebutkan, bahwa laki-laki memiliki kelebihan

yang fiṭri dan kasbi. Sejak diciptakan, laki-laki telah diberikan Allah

quwwah (kekuatan) dan qudrah (kemampuan), sedangkan kelebihan

kasbi, adalah karena laki-laki mampu berusaha, mencari nafkah dan

leluasa bergerak tanpa dihalangi hal-hal yang bersifat reproduksi

(menstruasi, hamil, dan melahirkan).14

Dari uraian singkat tentang beberapa penafsiran ulama tentang

makna qawwām dapat disimpulkan, bahwa makna qawwām adalah

sebagai penanggung jawab, pelindung dan penjaga kaum perempuan.

Dari penafsiran-penafsiran inilah menjadi dasar dalam UU No. 1 Tahun

1974 dan KHI tentang Perkawinan bahwa suami sebagai kepala keluarga.

d. UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan

memeprtegastafsir ayat tentang syarat kebolehan beristri lebih

dari satu15 yang disebutkan dalam firman Allah Q.S. al-Nisā’/ 4: 3,

10 Lihat: Q.S. al-Nisā’/ 4: 34.

11

Al Tabary, Jami’al al-Bayan, (Bairut: Dar al-Fikr, 1988), Jilid IV, 57.

12 Muhammad Asad, The Message of The Qur’an (Giblartar: Dar al Andalus, 1980),

109.

13 Lihat: Abdullah Yusuf Ali, Al-Qur’an Terjemah dan Tafsirnya, Terj. Ali Audah,

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), 190.

14 Muhammad Rashīd Riḍā, Tafsir al-Manār, (Miṣr: al-Haiah al-Miṣriyah al-‘Āmmah

li al-Kitāb, 1973), Jilid III, 57.

15 Lihat UU No. 1 tahun 1974 pasal 3 s/d pasal 5, dan KHI tentang Perkawinan

pasal 55 s/d pasal 59.

211

bahwa dibolehkan untuk berpoligami jika dapat berlaku adil, jika

tidak mampu biaya / nafkah untuk para istri dan anak-anaknya.

Dalam lanjutan ayat 3 surah al-Nisā’ itu dikatakan: “...Kemudian

jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil, maka

(kawinilah) seorang saja”. Jadi syarat dibolehkan berpoligami itu

adalah dapat berlaku adil, jika tidak bisa berlaku adil, cukup satu

istri saja.

Poligami dalam Islam bukanlah untuk menghidup

suburkan tirani dan dominasi kaum laki-laki dan perbudakan atas

perempuan, tetapi sebagai jalan keluar dari kesulitan yang dialami

keluarga, bukan hanya untuk kepentingan dan kemaslahatan

suami, tetapi juga untuk istri dan seluruh keluarga.16 Menutup

pintu poligami bagi laki-laki yang bisa memenuhi syarat untuk itu,

yaitu adil zahir17 seperti nafkah, pakaian, tempat tinggal dan

biaya-biaya lainnya, dapat membuka pintu selingkuh dan

pezinaan, jika laki-laki itu tidak kuat iman, oleh karena itu Islam

mengakomodir poligami, karena dalam keadaan tertentu poligami

dibutuhkan sebagai solusi, tetapi Islam tidak membenarkan

adanya poliandri, karena mengaburkan garis keturunan.

Substansi UU No. 1 tahun 1974dan KHI tentang

Perkawinan berkenaan dengan syarat-syarat dibolehkannya

poligami sama, tetapi KHI menyebutkan syarat-syarat boleh

poligami lebih mendetail, bahkan telah menegaskan pula, bahwa

poligami dari satu orang pada waktu yang bersamaan, dibatasi

hingga empat orang istri,18 dengan syarat mampu biaya dan dapat

berlaku adil terhadap istri, sesuai dengan ketetapan firman Allah

Q.S. Al-Nisa’ /4:3.

16 Abd Hakim Abu Shuqqah, taḥrīr al-Mar’ah Fī ‘Aṣri al-Risālah, (Kuwait: Dar al-

Qalam, t.th), 291.

17 Adil batin agak susah dilaksanakan, walaupun oleh Nabi, yaitu adil hati, cinta

dan kasih sayang. Oleh sebab itu Jumhur Ulama menafsirkan kata adil sebagai syarat dibolehkannya poligami dengan adil zahir.

18 Untuk jelasnya lihat: KHI tentang Perkawinan pasal 55.

212

Syarat-syarat boleh berpoligami dipertegas dan dirinci oleh

UU No. 1 tahun 1974, terutama KHI tentang Perkawinan

tujuannya untuk melindungi perempuan-perempuan (Para istri)

dan anak-anak yang banyak terlantar akibat poligami.

e. UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang perkawinan menjelaskan

kedudukan hukum harta kekayaan dalam perkawinan.19 Masalah

ini diadopsi dalam UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang

perkawinan, karena arah dan kecenderungan pada kehidupan

suami dan istri, kepada masalah peruntukan dan manajemen

harta kekayaan dalam perkawinan. Dalam masyarakat Indonesia

bentuk dan tata rumah tangga dapat bersifat patrilineal,

matrilineal atau bilateral dengan segala konsekuensinya. Begitu

pula, terdapat perbedaan dalam cara pengelolaan penghasilan

selama perkawinan. Ketentuan tentang harta kekayaan dalam

perkawinan ini, yang disebut juga sebagai harta bersama, dapat

melindungi dan menyelamatkan kondisi istri, karena pada

umumnya istri tidak bekerja yang mendatangkan uang atau tidak

mempunyai penghasilan tetap jika perkawinannya mengalami

perceraian. Pembagian harta bersama ini dilaksanakan setelah

putusnya perkawinan.

Pada dasarnya shariah, atau Hukum Fikih Islam tidak

mengenal percampuran harta antara suami dan istri. Ini berarti,

harta bawaan sebelum perkawinan berlangsung, tetap menjadi

milik masing-masing. Ketentuan ini penting sebagai pedoman

untuk menyelesaikan persoalan yang timbul dalam rumah tangga,

terutama kalau suami berpoligami. Suami yang melangsungkan

perkawinan kedua, ketiga, atau keempat, tidak berarti membawa,

atau memberikan begitu saja kekayaan yang dimilikinya untuk

rumah tangganya yang baru. Harta penacaharian bersama dengan

istri yang lama tidak boleh dicampur dengan pencaharian

bersama dengan istri (istri-istrinya yang baru) secara sewenang-

19 Lihat: UU No. 1 tahun 1974 pasal 35 s/d pasal 37, dan KHI tentang Perkawinan

pasal 85 s/d pasal 97.

213

wenang, melainkan harus diperhitungkan sedemikian rupa agar

tidak menimbulkan kekisruhan.20 Itulah sebabnya, bahwa seorang

suami tidak boleh berpoligami, kecuali setelah memenuhi

berbagai persyaratan.

Pemilikan harta bawaan tetap diakui, kecuali suami dan

istri (rumah tanggan non poligami) saling merelakan, bahwa harta

bawaan itu menjadi harta bersama.

f. Dalam KHI tentang perkawinan telah dibuatkan pasal berkenaan

dangan perempuan hamil karena zina, karena masalah ini banyak

terjadi pada masyarakat di Indonesia, sering muncul sebagai

problem dalam masyarakat, memerlukan ketetapan hukum

menikahi perempuan hamil di luar nikah itu.

Dengan mempertimbangkan sebagai muḍarat dan

mafsadat terhadap masalah ini serta berdasarkan fatwa hukum

yang telah disepakati oleh ulama, maka dalam KHI tentang

Perkawinan telah dipertegas hukum pernikahan perempuan hamil

di luar nikah itu, bahwa seorang perempuan hamil akibat

hubungan seksual di luar perkawinan dapat dikawinkan dengan

laki-laki yang menghamilinya, tanpa menunggu kelahiran anaknya

dan tidak diperlukan perkawinan ulang (tajdīd al-nikaḥ) setelah

anak yang dikandungnya lahir.21

g. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

merupakan hukum perkawinan Islam yang diadopsi dan

ditransformasikan ke dalam Hukum Nasional. Dengan demikian ia

mempunyai daya ikat yang kokoh bagi warga Negara Indonesia

yang beragama Islam, karena ia mempunyai dua daya ikat, yaitu

sebagai warga negara yang mempunyai kewajiban untuk

melaksanakan hukum negaranya dan sebagai Muslim yang wajib

mengikuti ketentuan Hukum Islam, karena sudah tercantum

20 Lihat: Naskah Akademik Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan,

2007, 71,72.

21 Lihat: Pasal 53 KHI Buku I tentang Perkawinan.

214

dalam Lembaran Negara, sehingga telah mempunyai kekuatan

hukum yang mengikat.

h. Dengan adanya UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan,

para istri sudah banyak mengetahui hak-haknya sebagai istri dan

mereka sudah banyak mengetahui bahwa para istri boleh

mengajukan cerai gugat ke Pengadilan Agama, jika suaminya tidak

bertanggung jawab dan tidak memenuhi hak-hak istrinya, atau

melakukan kekerasan terhadap istri (KDRT) dan lain-lain.22

i. Dengan teradopsinya Hukum Fikih Islam (Hukum Islam) tentang

perkawinan ke dalam Hukum Nasional akan menjadi multi player

effect, bagi Negara diuntungkan, karena perundang-undangannya

jadi berwibawa, ditaati dan dipatuhi oleh Warga Negaranya dan

bagi Islam juga mendapat keuntungan, antara lain:

1) Islam telah dapat memberikan kontribusi kepada negara

dalam bidang pembangunan hukum.

2) Dengan teradopsinya Hukum Islam (Shariah dan Fikih Islam)

bidang perkawinan ke dalam Hukum Nasional, menunjukkan

keunggulan ajaran Islam, bahwa ajaran Islam itu selalu aktual

disetiap waktu dan tempat ( زمان ومكان لاإل سالم صالح لك )

3) Shariat dan Fikih Islam (Hukum Islam) tentang perkawinan

dapat diterapkan kepada umat Islam melalui kekuasaan

negara.

2. Kelemahan

Adapun kelemahan UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang

Perkawinan antara lain:

a. Materi KHI tentang perkawinan banyak duplikasi dengan apa yang

telah diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,

walaupun ditemukan banyak hal-hal baru yang belum disebutkan

dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut.

b. Dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perwakilan tidak ada pasal

tentang ketentuan umum yang memuat berbagai istilah yang

22 Lihat: Pasal 116 KHI Buku I tentang Perkawinan.

215

digunakan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan itu dan

belum semua masalah yang terkait dengan perkawinan dicantumkan,

seperti masalah wali dalam perkawinan, peminangan dan mahar,

pada hal kedua masalah ini adalah sesuatu yang penting

dicantumkan dalam buku-buku fikih dan hukum adat.

c. KHI tentang Perkawinan tidak memiliki kekuatan mengikat secara

hukum (legally binding force), walaupun terbukti efektif menjadi

rujukan para Hakim Pengadilan Agama seluruh Indonesia, karena

tidak dicantumkan dalam lembaran negara sebagai media publikasi

yang menjadi syarat bagi sebuah peraturan agar memiliki kekuatan

hukum mengikat, apalagi dengan berlakunya UU No. 10 tahun 2004

tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, instruksi

Presiden tidak lagi tercantum dalam jenis dan hierarki Peraturan

Perundang-Undangan.23

d. Penggunaan kata perkawinan dan pernikahan tidak konsisten

disebutkan dalam KHI tentang Perkawinan, walaupun dua kata

tersebut sama artinya.24

e. Dalam UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan belum

disebutkan sanksi pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan

perkawinan, kecuali ada sebagian kecil dalam PP No. 9 tahun 1975

tentang pelaksanaan UU Perkawinan, tetapi masih terlalu ringan dan

tidak sesuai lagi dengan kondisi ekonomi sekarang.

f. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

belum dicantumkan secara tegas masalah gugat cerai istri.

g. Pada pasal 116, sub k KHI tentang Perkawinan disebutkan, bahwa di

antara alasan-alasan putusnya perkawinan adalah, peralihan Agama

atau Murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam

rumah tangga. Seharusnya tidak perlu lagi dicantumkan kata-kata

“yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah

tangga”, karena dengan menyebutkan kata-kata yang meyebabkan

23

Lihat: Naskah Akademik RUU HMPA bidang perkawinan 17. 24

Lihat: Abdurrahaman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademik Pressindo, 1992), 66, 67.

216

terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tagga” berarti sungguhpun

kalau murtad asal rukun dalam rumah tangga maka perkawinan

tidak batal.25

Demikianlah antara lain keunggulan dan kelemahan masing-

masing dari UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan. Jika KHI

tentang perkawinan akan ditingkatkan menjadi RUU HMPA bidang

Perkawinan dan telah disahkan menjadi undang-undang setelah

diperbaiki kelemahan-kelemahan, akan melengkapi substansi dari UU No.

1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

B. Dampak UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan

Terhadap NTCR

UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan setelah

diimplementasikan dan disosialisasikan, ternyata banyak mempengaruhi

NTCR, khusunya cerai gugat, karena para istri telah banyak mengetahui

hak-haknya dari UU Perkawinan dan KHI tersebut. Jika hak-haknya tidak

dipenuhi oleh suaminya, atau suaminya tidak memperlakukannya

dengan baik (tidak mu’āsharah bi al-ma’rūf), mereka mengajukan gugat

cerai ke Pengadilan Agama tempat domisilinya. Tiap tahun meningkat

cerai gugat, dibanding dengan cerai talak. Berikut ini, penulis tampilkan

data perceraian untuk sepuluh tahun dari tahun 2000 s/d 2009 yang

diambil dari Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan

Agama Mahkamah Agung berdasarkan data yang dilaporkan oleh

Pengadilan Tinggi Agama se Indonesia, sebagai berikut:

25

Dengan mencantumkan kata-kata “yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga setelah kata “murtad” itu bertentangan dengan pasal 75 (a) KHI tersebut.

217

PERKARA DITERIMA MAHKAMAH AGUNG:

TABEL III

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG

DITERIMA PENGADILAN AGAMA YURISDIKSI PENGADILAN TINGGI

AGAMA SELURUH INDONESIA TAHUN 2000

No. PTA CERAI TALAK

CERAI GUGAT

PERKARA LAIN JUMLAH KET

1 Banda Aceh 388 636 266 1,290

2 Medan 885 1,640 171 2,696

3 Padang 955 1,462 227 2,644

4 Pekan Baru 911 1,946 234 3,091

5 Jambi 294 713 65 1,072

6 Palembang 942 1,978 205 3,125

7 Bengkulu 295 653 43 991

8 Bandar Lampung 433 1,039 45 1,517

9 Jakarta 1,396 2,801 228 4,425

10 Bandung 19,579 12,579 2,357 34,515

11 Semarang 16,696 24,786 1,250 42,732

12 Yogyakarta 906 1,409 196 2,511

13 Surabaya 22,270 26,539 1,530 50,339

14 Banjarmasin 640 1,779 191 2,610

15 Palangkaraya 218 540 19 777

16 Pontianak 327 775 56 1,158

17 Samarinda 580 1,432 170 2,182

18 Ujung pandang 1,290 3,312 331 4,933

19 Palu 315 669 46 1,03

20 Kendari 248 523 44 851

21 Manado 295 534 56 885

22 Mataram 768 2,144 351 3,263

23 Kupang 57 76 26 159

24 Ambon 223 247 53 523

25 Jayapura 174 339 16 529

Jumlah

71,121 90,551 8,176 169,848

161,672

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.

Tahun 2000

218

TABEL III

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG

DITERIMA PENGADILAN AGAMA YURISDIKSI PENGADILAN TINGGI

AGAMA SELURUH INDONESIA TAHUN 2001

No. PTA CERAI TALAK

CERAI GUGAT

PERKARA LAIN JUMLAH KET

1 Banda Aceh 248 486 262 996

2 Medan 822 1,669 190 2,681

3 Padang 938 1,454 214 2,606

4 Pekan Baru 997 1,833 337 3,167

5 Jambi 323 832 70 1,225

6 Palembang 844 1,985 186 3,015

7 Bengkulu 277 554 39 870

8 Bandar Lampung 409 988 42 1,439

9 Jakarta 1,484 2,960 255 4,699

10 Bandung 18, 732 13,223 2,431 34,386

11 Semarang 16,762 25,978 1,138 43,878

12 Yogyakarta 919 1,466 238 2,623

13 Surabaya 21,920 27,588 1,404 50,912

14 Banjarmasin 583 1,749 195 2,527

15 Palangkaraya 155 416 20 591

16 Pontianak 357 802 85 1,244

17 Samarinda 603 1,422 184 2,209

18 Ujung pandang 1,307 3,424 337 5,068

19 Palu 323 652 51 1,026

20 Kendari 260 516 44 820

21 Manado 289 549 46 884

22 Mataram 764 2,023 515 3,302

23 Kupang 58 81 25 164

24 Ambon 300 253 85 638

25 Jayapura 93 263 9 365

Jumlah

69,767 93,166 8,402 171,335

162,933

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.

Tahun 2001

219

TABEL III

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG

DITERIMA MAHKAMAH SYAR’IYAH/ PENGADILAN AGAMA YURISDIKSI

MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI/ PENGADILAN TNGGI AGAMA SELURUH

INDONESIA TAHUN 2002

No. PTA CERAI TALAK

CERAI GUGAT

PERKARA LAIN JUMLAH KET

1 Banda Aceh 349 639 536 1524

2 Medan 832 1792 184 2.808

3 Padang 722 1.415 409 2.546

4 Pekan Baru 911 2.116 211 3.238

5 Jambi 310 834 50 1.194

6 Palembang 792 1.921 159 2.872

7 Bengkulu 225 522 41 788

8 Bandar Lampung 411 1.018 59 1.488

9 Jakarta 1.401 2901 250 4.552

10 Bandung 16.509 13.646 1.929 32.084

11 Semarang 14.926 25.104 1085 41.115

12 Yogyakarta 937 1.496 223 2.656

13 Surabaya 20799 28.2 1346 50.345

14 Banjarmasin 536 1.766 178 2.48

15 Palangkaraya 141 473 19 633

16 Pontianak 348 836 65 1.249

17 Samarinda 628 1.487 214 2.329

18 Ujung pandang 1302 3.508 334 5.144

19 Palu 318 655 45 1.018

20 Kendari 241 515 65 821

21 Manado 286 563 48 897

22 Mataram 670 2.192 303 3.165

23 Kupang 63 73 30 166

24 Ambon 315 359 36 710

25 Jayapura 193 444 29 666

Jumlah

64.165 94.475 7.848 166.488

158.640

Sumber: LaporanTahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.

Tahun 2001

220

TABEL III

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG

DITERIMA MAHKAMAH SYAR’IYAH/ PENGADILAN AGAMA YURISDIKSI

MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI/ PENGADILAN TINGGI AGAMA

SELURUH INDONESIA TAHUN 2003

No. PTA CERAI TALAK

CERAI GUGAT

PERKARA LAIN JUMLAH KET

1 Banda Aceh 368 791 459 1618

2 Medan 887 1863 195 2.945

3 Padang 887 1.419 271 2.577

4 Pekan Baru 961 2.128 207 3.296

5 Jambi 293 908 60 1.261

6 Palembang 814 1.859 170 2.843

7 Bengkulu 284 513 32 829

8 Bandar Lampung 360 988 58 1.406

9 Jakarta 1.417 3006 197 4.620

10 Bandung 14.501 13.718 1.558 29.777

11 Semarang 13.616 22.773 966 37.355

12 Yogyakarta 857 1.478 215 2.550

13 Surabaya 18089 25.243 1595 44.927

14 Banjarmasin 505 1.699 199 2403,000

15 Palangkaraya 171 427 26 624

16 Pontianak 318 827 130 1.275

17 Samarinda 673 1.656 259 2.588

18 Ujung pandang 1260 3.200 284 4.744

19 Palu 275 625 46 946

20 Kendari 249 456 49 754

21 Manado 274 502 46 822

22 Mataram 679 1.944 245 2.868

23 Kupang 41 94 14 149

24 Ambon 247 364 39 650

25 Jayapura 199 487 11 697

Jumlah

58.225 88.968 7.331 154.524

147.193

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.

Tahun 2003

221

TABEL III

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG

DITERIMA MAHKAMAH SYAR’IYAH/ PENGADILAN AGAMA YURISDIKSI

MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI/ PENGADILAN TINGGI AGAMA

SELURUH INDONESIA TAHUN 2004

No. PTA CERAI TALAK

CERAI GUGAT

PERKARA LAIN JUMLAH KET

1 N.A.D 528 1.050 589 2167

2 Medan 946 2080 219 3.245

3 Padang 969 1.619 295 2.883

4 Pekan Baru 1.007 2.482 234 3.723

5 Jambi 293 949 82 1.324

6 Palembang 891 2.128 164 3.183

7 Bengkulu 298 581 33 912

8 Bandar Lampung 389 1.041 53 1.483

9 Jakarta 1.604 3256 263 5.123

10 Bandung 14.712 14.886 1.920 31.518

11 Semarang 13.656 24.482 935 39.073

12 Yogyakarta 899 1.644 212 2.755

13 Surabaya 18599 27.703 1397 47.699

14 Banjarmasin 538 1.883 228 2649

15 Palangkaraya 177 503 25 705

16 Pontianak 343 932 142 1.417

17 Samarinda 813 1.893 402 3.108

18 Ujung pandang 1197 3.397 249 4.843

19 Palu 350 710 34 1.094

20 Kendari 243 520 35 798

21 Manado 241 648 38 927

22 Mataram 735 2.169 250 3.154

23 Kupang 55 81 15 151

24 Ambon 245 356 40 641

25 Jayapura 202 479 10 691

Jumlah

59.930 97.472 7.864 165.266

157.402

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.

Tahun 2004

222

TABEL III

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG

DITERIMA MAHKAMAH SYAR’IYAH/ PENGADILAN AGAMA YURISDIKSI

MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI/ PENGADILAN TINGGI AGAMA

SELURUH INDONESIA TAHUN 2005

No. PTA CERAI TALAK

CERAI GUGAT

PERKARA LAIN JUMLAH KET

1 N.A.D 424 1.124 1.452 3000

2 Medan 991 2322 244 3.557

3 Padang 1.079 1.726 318 3.123

4 Pekan Baru 1.080 2.730 233 4.043

5 Jambi 343 996 76 1.415

6 Palembang 998 2.294 132 3.424

7 Bengkulu 314 601 45 960

8 Bandar Lampung 463 1.147 86 1.696

9 Jakarta 1.681 3403 406 5.490

10 Bandung 14.216 16.146 1.651 32.013

11 Semarang 14.429 25.403 1091 40.923

12 Yogyakarta 1.000 1.704 191 2.901

13 Surabaya 19898 29.759 1671 51.328

14 Banjarmasin 631 1.898 255 2784

15 Palangkaraya 180 568 35 783

16 Pontianak 379 1.047 119 1.545

17 Samarinda 810 2.060 485 3.355

18 Ujung pandang 1317 3.430 332 5.079

19 Palu 376 781 43 1.200

20 Kendari 217 495 41 753

21 Manado 309 638 52 999

22 Mataram 730 2.142 286 3.158

23 Kupang 72 132 21 225

24 Ambon 249 342 30 621

25 Jayapura 251 495 12 758

Jumlah

62.437 103.383 9.313 175.133

165.820

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.

Tahun 2005

223

TABEL III

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG

DITERIMA MAHKAMAH SYAR’IYAH/ PENGADILAN AGAMA YURISDIKSI

MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI/ PENGADILAN TINGGI AGAMA

SELURUH INDONESIA TAHUN 2006

No. PTA

CERAI TALAK

CERAI GUGAT

PERKARA LAIN

JUMLAH KET

1 N.A.D 601 1,382 1,530 3,513

2 Medan 1,161 2,33 358 3,849

3 Padang 1,114 1,783 418 3,315

4 Pekan Baru 1,147 2,593 316 4,056

5 Jambi 367 904 85 1,356

6 Palembang 936 1,879 150 2,965

7 Bengkulu 310 604 56 970

8 Bandar Lampung 513 1,233 161 1,907

9 Jakarta 1,83 3,542 434 5,806

10 Bandung 12,899 14,838 2,361 30,098

11 Semarang 14,566 25,863 1,131 41,56

12 Yogyakarta 929 1,669 211 2,809

13 Surabaya 19,52 29,739 3,28 52,539

14 Banjarmasin 668 1,832 247 2,747

15 Palangkaraya 169 547 40 756

16 Pontianak 372 1,068 122 1,562

17 Samarinda 834 2,048 856 3,738

18 Ujung Pandang 1,432 3,760 830 6,022

19 Palu 370 741 37 1,148

20 Kendari 256 578 51 885

21 Manado 167 396 59 622

22 Mataram 701 2,051 422 3,174

23 Kupang 81 115 20 216

24 Ambon 106 203 42 351

25 Jayapura 266 572 12 850

26 Banten 698 1,458 183 2,339

27 Bangka Belitung 260 650 23 933

28 Gorontalo 157 367 39 563

29 Maluku Utara 172 220 36 428

Jumlah 62,602 104,965 13,51 181,077

167,567

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah Agung

RI. Tahun 2006

224

TABEL III

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG

DITERIMA YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI/ PENGADILAN

TINGGI AGAMA SELURUH INDONESIA TAHUN 2007

No. PTA

CERAI TALAK CERAI

GUGAT PERKARA

LAIN JUMLAH KET

1 Aceh 830 1,589 2,182 4,601

2 Medan 1,266 2,555 573 4,394

3 Padang 1,209 1,976 738 3,923

4 Pekan Baru 1,384 3,076 322 4,782

5 Jambi 476 1,165 177 1,818

6 Palembang 982 2,143 169 3,294

7 Bengkulu 395 696 72 1,163

8 Bandar Lampung 594 1,412 183 2,189

9 Jakarta 2,115 3,482 621 6,218

10 Bandung 12,569 16,034 3,375 31,978

11 Semarang 21,063 37,839 1,943 60,845

12 Yogyakarta 1,097 1,929 261 3,287

13 Surabaya 20,961 31,791 3,942 58,694

14 Banjarmasin 761 2,299 558 3,618

15 Palangkaraya 233 628 34 895

16 Pontianak 486 1,341 230 2,057

17 Samarinda 985 2,272 1,465 4,722

18 Ujung Pandang 1,540 4,050 2,163 7,753

19 Palu 482 859 100 1,441

20 Kendari 319 644 106 1,069

21 Manado 190 389 40 619

22 Mataram 844 2,137 503 3,484

23 Kupang 74 98 35 207

24 Ambon 91 133 27 251

25 Jayapura 280 571 25 876

26 Banten 865 1,657 238 2,76

27 Bangka Belitung 293 672 25 990

28 Gorontalo 184 412 95 691

29 Maluku Utara 191 230 44 465

Jumlah

72,759 124,079 20,246 217,084

196,838

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah

Agung RI. Tahun 2007.

225

TABEL III

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG

DITERIMA YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR’IYAH/ PENGADILAN AGAMA

SYAR’IYAH ACEH/PENGADILAN TINGGI AGAMA

SELURUH INDONESIA TAHUN 2008

No. PTA

CERAI TALAK

CERAI GUGAT

PERKARA LAIN

JUMLAH KET

1 Aceh 855 1,863 1,566 4,284

2 Medan 1,598 3,453 610 5,661

3 Padang 1,416 2,650 1,341 5,407

4 Pekan Baru 1,812 4,100 595 6,507

5 Jambi 547 1,535 201 2,283

6 Palembang 1,269 2,628 287 4,184

7 Bengkulu 435 842 76 1,354

8 Bandar Lampung 728 1,746 179 2,653

9 Jakarta 2,242 4,648 776 7,666

10 Bandung 14,159 21,521 4,564 40,244

11 Semarang 16,943 33,38 1,842 52,165

12 Yogyakarta 1,170 2,361 348 3,879

13 Surabaya 24,893 39,523 4,638 69,054

14 Banjarmasin 907 2,965 706 4,578

15 Palangkaraya 310 877 118 1,305

16 Pontianak 636 1,61 259 2,505

17 Samarinda 1,3 3,05 1,555 5,905

18 Ujung Pandang 1,931 5,279 1,939 9,149

19 Palu 535 1,124 131 1,790

20 Kendari 390 727 113 1,230

21 Manado 209 429 44 682

22 Mataram 1,097 2,573 728 4,398

23 Kupang 81 143 82 306

24 Ambon 103 168 65 336

25 Jayapura 303 658 28 989

26 Banten 1,103 2,252 523 3,878

27 Bangka Belitung 381 935 55 1,371

28 Gorontalo 193 443 81 717

29 Maluku Utara 226 264 53 543

Jumlah

77,773 143,747 23,503 245,023

221,52

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah

Agung RI. Tahun 2008

226

TABEL III

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN DATA

PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG

DITERIMA YURISDIKSI MAHKAMAH PROPINSI/ PENGADILAN TINGGI

AGAMA SELURUH INDONESIA TAHUN 2009

No. PTA

CERAI TALAK

CERAI GUGAT

PERKARA LAIN

JUMLAH KET

1 Aceh 851 2,117 1,517 4,485

2 Medan 1,779 4,107 596 6,482

3 Padang 1,496 2,879 1,15 5,525

4 Pekan Baru 2,117 4,953 877 7,947

5 Jambi 647 1,719 171 2,537

6 Palembang 1,292 3,062 246 4,6

7 Bengkulu 398 1,077 48 1,523

8 Bandar Lampung 415 942 88 1,445

9 Jakarta 843 2,203 148 3,194

10 Bandung 2,721 5,422 715 8,858

11 Semarang 1,371 3,14 890 5,401

12 Yogyakarta 15,033 27,874 4,607 47,514

13 Surabaya 19,423 38,531 2,366 60,32

14 Banjarmasin 1,368 2,750 487 4,605

15 Palangkaraya 27,548 46,220 5,337 79,105

16 Pontianak 699 1,955 298 2,952

17 Samarinda 356 1,087 136 1,579

18 Ujung Pandang 1,113 3,529 822 5,464

19 Palu 1,397 3,515 1,368 6,280

20 Kendari 209 549 43 801,000

21 Manado 184 543 88 815

22 Mataram 558 1,198 111 1,867

23 Kupang 435 902 110 1,447

24 Ambon 2,175 6,430 1,776 10,381

25 Jayapura 1,323 3,320 2,411 7,054

26 Banten 79 138 50 267

27 Bangka Belitung 132 254 134 520

28 Gorontalo 227 277 58 562

29 Maluku Utara 403 784 32 1,219

Jumlah

86,592 171,477 23,503 284,749

258,069

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah

Agung RI. Tahun 2009

227

Dari data-data yang telah disebutkan diatas, nampak jelas bahwa

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan

mempunyai pengaruh terhadap NTCR, khususnya terhadap perceraian

cerai gugat dari istri. Hal ini dapat dilihat pada adat dari tahun 2000

sampai dengan 2009 tentang perceraian dari seluruh daerah di Indonesia

yang dilaporkan oleh Pengadilan Tinggi Agama ke Departemen Agama RI

dan ke mahkamah Agung setiap tahun dengan perbandingan cerai talak

dan cerai gugat (khulu’) dan lainnya sebagai berikut:

DATA YANG DITERIMA MAHKAMAH AGUNG

DARI TAHUN 2000 S/D 2009

NO TAHUN CERAI TALAK

CERAI GUGAT

(KHULU')

PERKARA LAIN

JUMLAH

1 2000 71,121 90,551 8,176 169,848

2 2001 69,767 93,166 8,402 171,335

3 2002 64,165 94,475 7,848 166,488

4 2003 58,225 88,968 7,331 154,524

5 2004 59,930 97,472 7,864 165,266

6 2005 62,437 103,383 9,313 175,133

7 2006 62,602 104,965 13,510 181,077

8 2007 72,759 124,079 20,246 217,084

9 2008 77,773 143,747 23,503 245,023

10 2009 86,592 171,477 26,68 284,749

JUMLAH 685,371 11112,583 132,873 1930,527 Sumber : 1. Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen RI.

Tahun 2000-2005

2. Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama,

Mahkamah Agung RI. Tahun 2006-2009.

Dari tabel diatas nampak, bahwa dari 1930.527 kasus perceraian

yang terjadi seluruh tanah air yang diterima oleh Direktorat Peradilan

Agama Departemen Agama RI dan Direktorat Jenderal Badan Peradilan

Agama Mahkamah Agung RI dari Pengadilan Tinggi se Indonesia dari

228

tahun 2000 s/d 2009, perceraian karena cerai gugat dari istri (khulu’)

paling tinggi, yaitu 1112.583, sedangkan cerai talak hanya 685.371 yang

paling rendah adalah perceraian karena perkara lain, seperti karena

fasakh, suami mafqūdmurtad dan lain-lain hanya 132.873.

Perceraian karena cerai gugat (Khulu’) dari istri semakin

meningkat dari tahun ke tahun sejak tahun 2000 s/d 2009, adalah

merupakan dampak dari adanya UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang

Perkawinan. Dalam UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tersebut telah

dicantumkan apa saja hak dan kewajiban istri terhadap suami. Istri telah

melaksanakan kewajibannya, sementara suami tidak melaksanakan

kewajibannya terhadap istri. Dalam UU perkawinan dan KHI tersebut

telah dicantumkan pula prosedur dan tata cara pengajuan cerai ke

Pengadilan Agama, ini membuat para istri yang merasa dizalimi oleh

suami, baik karena tidak diberi nafkah, kekerasan dalam rumah tangga

(KDRT) dan lain-lain, dengan mudah mengajukan gugat cerai ke

Pengadilan, yang selama ini banyak perempuan yang tidak

mengetahuinya,karena menurutnya, hanya suamilah yang boleh

melakukan gugatan perceraian melalui talak.

Dari perkara-perkara / data-data perceraian yang telah

disebutkan di atas, dari tahun 2000 s/d 2009, baru sebagian diputuskan

oleh pengadilan, dengan rincian sebagai berikut:

229

PERKARA DIPUTUS

TABEL III.A

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG

DIPUTUS PENGADILAN AGAMA YURISDIKSI PENGADILAN TINGGI

AGAMA SELURUH INDONESIA TAHUN 2000

No. PTA CERAI TALAK

CERAI GUGAT

PERKARA LAIN JUMLAH KET

1 Banda Aceh 343 570 289 1,202

2 Medan 651 1,375 424 2,450

3 Padang 762 1,247 399 2,408

4 Pekan Baru 761 1,639 362 2,762

5 Jambi 287 627 92 1,006

6 Palembang 768 1,711 361 2,858

7 Bengkulu 247 570 118 935

8 Bandar Lampung 376 888 157 1,421

9 Jakarta 1,198 2,444 384 4,026

10 Bandung 18,494 11,375 3,217 33,086

11 Semarang 14,865 22,465 3,051 40,381

12 Yogyakarta 847 1,312 190 2,349

13 Surabaya 19,963 24,797 2,944 47,704

14 Banjarmasin 467 1,586 267 2,320

15 Palangkaraya 194 514 23 731

16 Pontianak 288 666 85 1,039

17 Samarinda 461 1,228 307 1,996

18 Ujung pandang 1,036 2,947 619 4,602

19 Palu 281 576 96 953

20 Kendari 204 435 140 779

21 Manado 217 483 133 833

22 Mataram 614 1,796 460 2,870

23 Kupang 41 79 29 149

24 Ambon 218 247 50 515

25 Jayapura 144 287 46 477

Jumlah

63,745 81,864 14,243 159,852

145,609

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.

Tahun 2000

230

TABEL III. A

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG

DIPUTUS PENGADILAN AGAMA YURISDIKSI PENGADILAN TINGGI

AGAMA SELURUH INDONESIA TAHUN 2001

No. PTA CERAI TALAK

CERAI GUGAT

PERKARA LAIN JUMLAH KET

1 Banda Aceh 240 375 233 848

2 Medan 684 1,372 447 2,503

3 Padang 712 1,302 519 2,533

4 Pekan Baru 761 1,723 371 2,855

5 Jambi 248 698 119 1,065

6 Palembang 724 1,716 310 2,750

7 Bengkulu 208 459 108 775

8 Bandar Lampung 341 827 116 1,284

9 Jakarta 1,259 2,592 477 4,328

10 Bandung 17,077 11,620 3,335 32,032

11 Semarang 14,588 23,118 2,978 40,684

12 Yogyakarta 864 1,345 235 2,444

13 Surabaya 19,724 25.365,000 2,676 47,765

14 Banjarmasin 486 1,554 319 2,359

15 Palangkaraya 158 358 48 564

16 Pontianak 234 718 138 1,090

17 Samarinda 453 1,162 356 1,971

18 Ujung pandang 1,089 3,083 701 4,873

19 Palu 288 595 73 956

20 Kendari 218 456 128 802

21 Manado 237 467 109 813

22 Mataram 623 1,910 452 2,985

23 Kupang 47 60 32 139

24 Ambon 263 251 63 577

25 Jayapura 67 193 44 304

Jumlah

61,593 83,319 14,387 159,299

144,912

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.

Tahun 2001

231

TABEL III.A

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG

DIPUTUS MAHKAMAH SYAR’IYAH/ PENGADILAN AGAMA YURISDIKSI

MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI/ PENGADILAN TINGGI AGAMA

SELURUH INDONESIA TAHUN 2002

No. PTA CERAI TALAK

CERAI GUGAT

PERKARA LAIN JUMLAH KET

1 Banda Aceh 339 576 474 1,389

2 Medan 703 1,499 419 2,621

3 Padang 707 1,309 335 2,351

4 Pekan Baru 761 1,730 -347 2,838

5 Jambi 240 669 100 1,009

6 Palembang 711 1,683 262 2,656

7 Bengkulu 207 463 92 762

8 Bandar Lampung 324 893 194 1,411

9 Jakarta 1,163 2,588 446 4,197

10 Bandung 15,476 12,586 2,758 30,820

11 Semarang 13,336 23,090 2,740 39,166

12 Yogyakarta 785 1,423 268 2,476

13 Surabaya 19,170 26,203 2,641 48,014

14 Banjarmasin 469 1,520 278 2,267

15 Palangkaraya 117 407 33 557

16 Pontianak 292 671 136 1,099

17 Samarinda 476 1,190 408 2,074

18 Ujung pandang 1,107 3,158 566 4,813

19 Palu 272 579 114 965

20 Kendari 200 446 125 771

21 Manado 231 490 122 843

22 Mataram 594 1,815 462 2,871

23 Kupang 39 58 34 131

24 Ambon 285 315 28 628

25 Jayapura 149 376 59 584

Jumlah

58,153 85,737 13,441 157,331

143,89

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.

Tahun 2002

232

TABEL III.A

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG

DIPUTUS MAHKAMAH SYAR’IYAH/ PENGADILAN AGAMA YURISDIKSI

MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI/ PENGADILAN TINGGI AGAMA

SELURUH INDONESIA TAHUN 2003

No. PTA CERAI TALAK

CERAI GUGAT

PERKARA LAIN JUMLAH KET

1 Banda Aceh 291 617 533 1,441

2 Medan 788 1,587 364 2,739

3 Padang 770 1,260 372 2,402

4 Pekan Baru 785 1,908 294 2,987

5 Jambi 228 763 104 1,095

6 Palembang 700 1,667 272 2,639

7 Bengkulu 243 441 66 750

8 Bandar Lampung 307 865 148 1,320

9 Jakarta 1,203 2,532 395 4,130

10 Bandung 13,675 12,430 2,314 28,419

11 Semarang 12,073 20,837 2,322 35,232

12 Yogyakarta 748 1,326 247 2,321

13 Surabaya 16,524 23,867 2,582 42,973

14 Banjarmasin 400 1,564 300 2,264

15 Palangkaraya 126 397 55 578

16 Pontianak 263 729 207 1,199

17 Samarinda 529 1,420 410 2,359

18 Ujung pandang 1,063 2,942 563 4,568

19 Palu 236 540 87 863

20 Kendari 163 434 113 710

21 Manado 236 434 76 746

22 Mataram 578 1,651 341 2,570

23 Kupang 41 64 14 119

24 Ambon 216 287 37 540

25 Jayapura 174 384 71 629

Jumlah

52,360 80,946 12,287 145,593

133,31

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.

Tahun 2003

233

TABEL III.A

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG

DIPUTUS MAHKAMAH SYAR’IYAH/ PENGADILAN AGAMA YURISDIKSI

MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI/ PENGADILAN TINGGI AGAMA

SELURUH INDONESIA TAHUN 2004

No. PTA CERAI TALAK

CERAI GUGAT

PERKARA LAIN JUMLAH KET

1 Banda Aceh 442 910 580 1,932

2 Medan 767 1,780 490 3,037

3 Padang 810 1,395 427 2,632

4 Pekan Baru 863 2,141 336 3,340

5 Jambi 226 772 188 1,186

6 Palembang 726 1,831 306 2,862

7 Bengkulu 226 515 87 828

8 Bandar Lampung 299 916 141 1,356

9 Jakarta 1,357 2,810 492 4,659

10 Bandung 13,848 13,623 2,511 29,982

11 Semarang 12,033 22,087 2,337 36,457

12 Yogyakarta 773 1,479 257 2,509

13 Surabaya 16,902 25,871 2,481 45,254

14 Banjarmasin 444 1,650 292 2,386

15 Palangkaraya 124 434 55 613

16 Pontianak 283 771 202 1,261

17 Samarinda 633 1,502 560 2,695

18 Ujung pandang 1,018 3,119 563 4,700

19 Palu 321 635 100 1,056

20 Kendari 189 417 88 694

21 Manado 220 536 85 841

22 Mataram 589 1,745 382 2,716

23 Kupang 33 77 18 128

24 Ambon 205 316 64 585

25 Jayapura 173 399 49 621

Jumlah

53,509 87,731 13,091 154,331

141,24

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen AgamaRI.

Tahun 2004

234

TABEL III.A

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG

DIPUTUS MAHKAMAH SYAR’IYAH/ PENGADILAN AGAMA YURISDIKSI

MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI/ PENGADILAN TINGGI AGAMA

SELURUH INDONESIA TAHUN 2005

No. PTA CERAI TALAK

CERAI GUGAT

PERKARA LAIN JUMLAH KET

1 N.A.D 363 905 1,459 2,727

2 Medan 811 1,967 466 3,244

3 Padang 902 1,572 425 2,899

4 Pekan Baru 941 2,347 363 3,651

5 Jambi 296 893 95 1,284

6 Palembang 860 2,067 268 3,195

7 Bengkulu 261 518 102 881

8 Bandar Lampung 388 990 168 1,546

9 Jakarta 1,462 3,105 626 5,193

10 Bandung 13,415 15,139 2,346 30,900

11 Semarang 12,694 23,653 2,735 39,082

12 Yogyakarta 879 1,629 225 2,733

13 Surabaya 17,728 27,805 2,841 48,374

14 Banjarmasin 522 1,736 370 2,628

15 Palangkaraya 153 483 81 717

16 Pontianak 282 829 255 1,366

17 Samarinda 674 1,715 634 3,023

18 Ujung pandang 1,093 3,081 549 4,723

19 Palu 304 725 80 1,109

20 Kendari 178 442 105 725

21 Manado 282 558 111 951

22 Mataram 598 1,869 397 2,864

23 Kupang 57 108 24 189

24 Ambon 210 307 59 576

25 Jayapura 183 416 63 662

Jumlah

55,536 94,859 14,847 165,242

150,395

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.

Tahun 2005

235

TABEL III.A

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG

DIPUTUS MAHKAMAH SYAR’IYAH/ PENGADILAN AGAMA YURISDIKSI

MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI/ PENGADILAN TINGGI AGAMA

SELURUH INDONESIA TAHUN 2006

No. PTA

CERAI TALAK

CERAI GUGAT

PERKARA LAIN

JUMLAH KET

1 N.A.D 534 1,224 1,731 3,489

2 Medan 963 1,981 540 3,484

3 Padang 991 1,544 523 3,058

4 Pekan Baru 938 2,224 370 3,532

5 Jambi 356 870 179 1,405

6 Palembang 783 1,567 225 2,575

7 Bengkulu 246 523 120 889

8 Bandar Lampung 428 1,091 232 1,751

9 Jakarta 1,564 3,049 617 5,23

10 Bandung 11,873 13,577 2,900 28,350

11 Semarang 12,499 23,496 2,633 38,628

12 Yogyakarta 849,000 1,528 234 2,611

13 Surabaya 17,351 27,37 4,512 49,233

14 Banjarmasin 551 1,746 338 2,635

15 Palangkaraya 145 489 71 705

16 Pontianak 218 805 353 1,376

17 Samarinda 682 1,803 929 3,414

18 Ujung Pandang 1,173 3,385 1,093 5,651

19 Palu 297 682 83 1,062

20 Kendari 194 457 123 774,000

21 Manado 123 338 60 521

22 Mataram 560 1,685 514 2,759

23 Kupang 74 78 25 177

24 Ambon 94 174 69 337

25 Jayapura 180 458 79 717

26 Banten 523 1,175 213 1,911

27 Bangka Belitung 194 521 54 769

28 Gorontalo 113 215 50 408

29 Maluku Utara 119 190 47 356

Jumlah

54,645 94,246 18,917 167,807

148,890

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah

Agung RI. Tahun 2006.

236

TABEL III.A

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG

DIPUTUS YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI/ PENGADILAN

TINGGI AGAMA SELURUH INDONESIA TAHUN 2007

No. PTA

CERAI TALAK

CERAI GUGAT

PERKARA LAIN

JUMLAH KET

1 Banda Aceh 685 1,368 2,269 4,322

2 Medan 1,096 2,213 1,061 4,37

3 Padang 1,07 1,769 1,058 3,897

4 Pekan Baru 1,141 2,584 916 4,641

5 Jambi 361 927 348 1,636

6 Palembang 846 1,942 557 3,345

7 Bengkulu 281 592 220 1,093

8 Bandar Lampung 514 1,184 390 2,088

9 Jakarta 1,673 3,013 1,277 5,963

10 Bandung 11,900 14,604 5,306 31,810

11 Semarang 18,390 34,629 7,284 60,303

12 Yogyakarta 994 1,784 418 3,196

13 Surabaya 18,474 29,259 7,539 55,272

14 Banjarmasin 594 1,983 846 3,423

15 Palangkaraya 190 527 141 858

16 Pontianak 426 1,099 460 1,985

17 Samarinda 887 1,883 1,779 4,549

18 Ujung Pandang 1,377 3,613 2,676 7,666

19 Palu 397 753 240 1,390

20 Kendari 231 523 259 1,013

21 Manado 188 381 110 679

22 Mataram 699 1,782 931 3,412

23 Kupang 65 72 71 208

24 Ambon 84 123 74 281

25 Jayapura 247 492 167 906

26 Banten 770 1,378 292 2,44

27 Bangka Belitung 232 560 79 871

28 Gorontalo 163 363 169 695

29 Maluku Utara 154 184 115 453

Jumlah

64,129 111,584 37,052 212,765

175,713

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah

Agung RI. Tahun 2007.

237

TABEL III.A

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG

DIPUTUS MAHKAMAH SYAR’IYAH ACEH/ PENGADILAN TINGGI AGAMA

SELURUH INDONESIA TAHUN 2008

No. PTA

CERAI TALAK

CERAI GUGAT

PERKARA LAIN

JUMLAH KET

1 Banda Aceh 765 1,598 2,043 4,406

2 Medan 1,32 2,867 1,320 5,507

3 Padang 1,186 2,278 1,850 5,314

4 Pekan Baru 1,43 3,405 1,384 6,219

5 Jambi 468 1,34 419 2,227

6 Palembang 1,013 2,142 830 3,985

7 Bengkulu 381 735 273 1,389

8 Bandar Lampung 631 1,575 382 2,588

9 Jakarta 1,84 3,776 1,783 7,399

10 Bandung 12,810 19,195 7,034 39,039

11 Semarang 14,398 29,161 6,061 49,62

12 Yogyakarta 1,106 2,103 613 3,822

13 Surabaya 21,839 35,726 9,128 66,693

14 Banjarmasin 781 2,597 1,031 4,409

15 Palangkaraya 273 763 249 1,285

16 Pontianak 487 1,36 607 2,454

17 Samarinda 988 2,467 2,357 5,812

18 Ujung Pandang 1,576 4,694 2,695 8,965

19 Palu 463 999 295 1,757

20 Kendari 324 610 292 1,226

21 Manado 167 375 134 676

22 Mataram 880 2,110 1,261 4,251

23 Kupang 62 115 124 301

24 Ambon 81 138 100 319

25 Jayapura 219 495 223 937

26 Banten 974 2,017 877 3,868

27 Bangka Belitung 339 823 240 1,402

28 Gorontalo 148 384 172 704

29 Maluku Utara 175 217 165 557

Jumlah

67,124 126,065 43,942 237,131

193,189

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah

Agung RI. Tahun 2008

238

TABEL III.A

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG

DIPUTUS YURISDIKSI MAHKAMAH PROPINSI/ PENGADILAN TINGGI

AGAMA SELURUH INDONESIA TAHUN 2009

No. PTA CERAI

TALAK CERAI

GUGAT PERKARA

LAIN JUMLAH KET

1 Banda Aceh 711 1,754 1,558 4,023

2 Medan 1,428 3,417 952,000 5,797

3 Padang 1,290 2,517 1,211 5,018

4 Pekan Baru 1,723 4,111 1,194 7,028

5 Jambi 529 1,507 235 2,271

6 Palembang 1,023 2,583 488 4,094

7 Bengkulu 326 867 137 1,330

8 Bandar Lampung 337 783 137 1,257

9 Jakarta 722 1,903 270 2,895

10 Bandung 2,143 4,557 1,153 7,853

11 Semarang 1,115 2,558 1,06 4,733

12 Yogyakarta 13,642 24,538 5,46 43,640

13 Surabaya 16,481 33,745 4,339 54,565

14 Banjarmasin 1,191 2,392 515 4,098

15 Palangkaraya 24,053 41,281 6,897 72,231

16 Pontianak 547 1,624 403 2,574

17 Samarinda 277 933 194 1,404

18 Ujung Pandang 946 3,220 888 5,054

19 Palu 1,071 2,962 1,592 5,625

20 Kendari 173 436 86 695

21 Manado 127 437 129 693

22 Mataram 429 1,035 156 1,620

23 Kupang 349 709 193 1,251

24 Ambon 1,771 5,521 2,191 9,483

25 Jayapura 1,096 2,670 2,565 6,331

26 Banten 54 134 52 240

27 Bangka Belitung 100 198 153 451

28 Gorontalo 190 224 90 504

29 Maluku Utara 287 624 129 1,040

Jumlah

74,131 149,24 34,427 257,798

223,371

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah

Agung RI. Tahun 2009.

239

Dari perkara-perkara/ data-data gugatan perceraian seluruh

Indonesia yang telah diputus dari tahun 2000 s/d 2009 yang diterima

oleh Mahkamah Agung, ternyata ada juga gugatan perceraian yang

diputus oleh Pengadilan Negeri, bahkan ditemukan juga datanya sejak

1999, dengan perbandingan sebagai berikut:

DATA PERKARA CERAI DIPUTUS

TAHUN 200 - 2009

Sumber: 1. Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI Tahun

2000-2005

2. Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah

Agung RI. Tahun 2006-2009

Adapun data gugatan perceraian yang diputuskan oleh

Pengadilan Negeri yang disebutkan di atas adalah gugatan perceraian

yang dilakukan/ diajukan oleh warga Indonesia non muslim.

TAHUN PERKARA CERAI

DIPUTUS PA PERKARA CERAI

DIPUTUS PN

1999 - 3,431

2000 145,609 3,539

2001 144,912 3,877

2002 143,890 3,842

2003 133,306 3,361

2004 141,24 2,514

2005 150,395 2,674

2006 148,89 2,606

2007 175,088 3,645

2008 193,189 4,404

2009 223,371 5,285

240

241

Bagian Keenam

PENUTUP

Dari hasil penelitian yang telah diungkapkan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut :

Hukum Fikih Islam tentang Perkawinan (Fiqh Munākaḥāt) dapat diterima menjadi Hukum Nasional, karena sesuai dengan keyakinan umat Islam dan budaya Indonesia yang secara yuridis formal dan secara normatif telah menjadi hukum yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. Hukum Islam dan Hukum Adat yang berlaku dalam masyarakat muslim di Indonesia telah menyatu, sehingga tidak dapat lagi dibedakan. Kehidupan masyarakat muslim senantiasa berada dalam garis-garis Hukum Islam, seperti dalam masalah perkawinan dan berkeluarga, perekonomian dan muamalat serta dalam hubungan sosial lainnya.

Adapun Hukum Perkawinan Islam (Fiqh Munākaḥāt) yang telah diadopsi dalam Hukum Nasional adalah sebagai berikut:

Hukum Perkawinan Islam dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan meliputi sekitar dasar dan hukum Perkawinan, hukum poligami dan syarat-syaratnya, syarat-syarat perkawinan, perkawinan yang dilarang (yang disebabkan karena berhubungan darah, atau susuan, atau karena perkawinan), masa 'iddah (masa tunggu) bagi wanita yang dicerai, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami-istri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan dan akibatnya yang meliputi masalah talak, fasakh, khulu, dan li’an, kedudukan anak dari hasil perkawinan yang sah dan dari luar perkawinan, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak serta Perwalian.

Sedangkan Hukum Perkawinan Islam dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku I Tentang Perkawinan, meliputi sekitar dasar-dasar Perkawinan dan hukumnya, peminangan, rukun dan syarat perkawinan, mahar, larangan kawin, perjanjian perkawinan, kawin hamil, beristri lebih dari satu orang (poligami), batalnya perkawinan, hak dan kewajiban suami-istri, harta kekayaan dalam perkawinan, pemeliharaan anak, perwalian, akibat terputusnya perkawinan, rujuk dan masa berkabung.

242

Semua materi UU No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang perkawinan adalah materi dan prinsip-prinsip Fikih Munakahat (Hukum perkawinan Islam), walaupun belum semua materi Fikih Munakahat dan prinsip-prinsipnya masuk di dalamnya. Maka dengan ini jelas bahwa Hukum perkawinan Islam (Fikih Islam tentang Munakahat) telah diadopsi dalam Sistem Hukum Nasional.

UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan mempunyai keunggulan dan kelemahan.

Keunggulan Dengan diadopsinya Hukum Perkawinan Islam dalam UU No. 1

tahun 1974 tentang Perkawinan, berarti Hukum Perkawinan Islam (Fikih Munakahat) sudah menjadi Hukum Nasional. Dengan demikian UU Perkawinan ini telah mengikat karena telah tercantum dalam Lembaran Negara.

UU No. 1 tahun 1974 dan KHI Buku I tentang Perkawinan melindungi dan mensejajarkan kedudukan suami dan istri dalam rumah tangga, yang berbeda hanya dalam masalah yang bersifat fungsional, karena kodrat dan perbedaan jenis kelamin masing-masing. Dimana perbedaan fungsional itu, bukan sesuatu yang bertentangan, tetapi untuk saling melengkapi dan bantu-membantu dalam suatu rumah tangga atau suatu keluarga.

UU No. 1 tahun 1974 dan KHI Buku I tentang perkawinan merinci dan mempertegas syarat-syarat dibolehkannya Poligami (Q.S An-Nisa: 3), demi menjaga ketenangan dan kesejahteraan rumah tangga, yang sering terjadi akibat poligami tersebut menelantarkan istri dan anak-anak.

UU No.I tahun 1974 dan KHI Buku I tentang Perkawinan mempertegas kedudukan hukum harta kekayaan dalam perkawinan (harta bersama), dan untuk melindungi hak perempuan. Dalam KHI Buku I tentang perkawinan telah dimasukkan hukum dan cara penyelesaian kasus perempuan hamil di luar nikah, yang mana masalah ini sering terjadi pada masyarakat Indonesia, yang memerlukan penyelesaian masalahnya.

Salah satu produk perundang-undangan yang diadopsi dari hukum Islam dalam Hukum Nasional adalah UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dengan terintegrasinya Hukum Perkawinan Islam ke dalam HukumNasional, akan menjadi multi player effect. Bagi negara diuntungkan, karena perundang-undangannya jadi berwibawa, ditaati

243

dan dipatuhi oleh warga negara dan bagi Islam, juga mendapat keuntungan, antara lain:

Islam telah dapat memberikan kontribusi kepada Negara dalam

bidang pembangunan hukum, khususnya Hukum Perkawinan. Dengan

masuknya Hukum Islam (Shari'ah dan Hukum Fikih Islam) kedalam Hukum

Nasional menunjukkan keunggulan ajaran Islam, bahwa ajaran Islam itu

selalu aktual di setiap waktu dan tempat ( انمكاإلسالم صالح لكل زمان و ).

Shari'ah atau Hukum Fikih Islam tentang perkawinan dapat diterapkan

kepada umat Islam melalui kekuasaan negara.

Kelemahan

Tidak ada pasal ketentuan umum yang memuat berbagai

pengertian istilah yang digunakan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan untuk memudahkan bagi orang mempedomaninya.

Di samping itu, belum semua masalah yang terkait dengan perkawinan

tercantum di dalamnya.

Materi KHI Buku I tentang perkawinan banyak duplikasi dengan

materi yang telah diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan, walaupun ditemukan banyak hal-hal baru yang belum

disebutkan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Di samping

itu, KHI tidak memiliki kekuatan hukum (legally binding force), karena

hanya berdasarkan INPRES NO. 1 tahun 1991 sehingga belum

dicantumkan dalam lembaran Negara.

Juga dengan berlakunya UU No. 10 Tahun 2004 tentang

pembentukan peraturan perundang-undangan, Instruksi Presiden tidak

lagi tercantum dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.

Hal ini berdampak pada melemahnya kedudukan hukum materiil dalam

KHI yang ternyata masih dipergunakan oleh para Hakim Pada Badan

Peradilan Agama di Indonesia dan masyarakat yang memerlukannya.

Dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI tentang

perkawinan belum dicantumkan sanksi pidana atas pelanggaran

terhadap ketentuan perkawinan, kecuali yang ada sebagian kecil saja.

Pengaturan ketentuan-ketentuan di bidang perkawinan yang

terdapat dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9

Tahun 1975, masih bersifat umum, sehingga dipandang kurang memadai

sebagai hukum materiil bagi Peradilan Agama.

244

Dengan adanya UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang

perkawinan mempunyai dampak dengan meningkatnya gugat cerai istri

(khulu'), karena para istri pada umumnya sudah mengetahui hak-haknya

dalam perkawinan, sehingga jika tidak dipenuhi oleh suami, sedangkan

istri itu tidak sabar, apalagi dengan terjadinya KDRT, maka ia mengajukan

gugat cerai ke Pengadilan.

Sehubungan dengan kesimpulan hasil penelitian tersebut, peneliti menyarankan, yaitu: Berhubung karena UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan belum lengkap dan KHI baru berstatus INPRES No. I Tahun 1991, yang telah menjadi pedoman para Hakim di Pengadilan Agama se Indonesia dalam memeriksa dan memutuskan perkara yang berkaitan dengan perkawinan, maka hendaklah pemerintah segera mengesahkan RUU Hukum Materiil Peradilan Agama (HMPA) bidang Perkawinan yang telah dikirim ke DPR RI agar menjadi undang-undang untuk melengkapi undang-undang No. 1/1974 tentang Perkawinan. Juga menghimbau kepada DPR, bahwa sebelum menetapkan RUU HMPA bidang Perkawinan menjadi undang-undang, terlebih dahulu mengundang ORMAS-ORMAS Islam dan berbagai pihak yang dipandang perlu, agar memberi masukan-masukan untuk kelengkapan RUU HMPA Bidang Perkawinan itu dan hendaklah menyesuaikannya dengan ‘urf adat kebiasaan yang telah berlaku di masyarakat Indonesia selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadis serta tujuan shariat Islam (مقاصد الشريعة).

245

DAFTAR PUSTAKA

A. Al-Qur’an Al Karim

B. Buku

Ābady, Muhammad bin Ya'qūb Fairūz.al-Qāmūs al-Muḥīt, Bairut: Dar al-Fikr, 1995

Abduh, Muhammad, Tafsīr al-Manār, al-Qāhirah: t.p., t.th

Abdullah, Abdul Ghani.Badan Hukum Syarak Kesultanan Bima.Jakarta:Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah, 1987.

........... .Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata HukumIndonesia.Jakarta: Gema Insani Press, 1994.

Ābidīn, Ibnu, Ḥāshiyah Radd al Muḥtār 'alā al Durr al-Mukhtār, SharḥTanwīr al Abṣār, Mesir: Muṣṭafa al-Bāby al-Ḥalaby, 1386 H/1966 M

Abu Shuqqah, Abd. Hakim, Taḥrīr al Mar'ah Fī Aṣri al-Risālah, Kuwait:Dar al-Qalam, t.th.

Abu Zahrah, Muhammad.Al-Aḥwāl al-Shakḥsiyyahal-Qāhirah: Dar al-Fikr al-'Araby

Adams, Lewis Mulfored, dkk. (ed).Webster Shari'ah Word UniversityDixtionary. Washington DC: Publisher Company Inc, 1965.

AF, Hasanuddin, et.el.Pengantar Ilmu Hukum.Jakarta: PercetakanPustaka Al-Husna Baru dan UIN Jakarta Press, 2004

Ahmad, Amruilah dkk.Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem HukumNasional; Mengenang 65 Tahun Prof. DR. H. Busthanul Arifin,SH.Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Ali, Abdullah Yusuf.Al-Qur’an Terjemah dan Tafsirnya, Terj. Ali Audah.Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.

Ali, Muhammad Daud.Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan TataHukum Islam di Indonesia.Jakarta: Grafindo Persada, 2005.

........... .Hukum Islam dan Peradilan Agama.Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

246

........... . Asas-Asas Hukum Islam.Jakarta: Rajawali Press, 1990.

Arifin, Busthanul.Perkembangan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya.Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

........... .Laporan Tentang Pelaksanaan KHI.Makalah, 1987.

Aripin, Jaenal.Reformasi Hukum di Indonesia dan Inplikasinya Terhadap Peradilan Agama.Desertasi SPS UIN Jakarta, 1428 H/ 2007M.

Arnold, T.W. The Preaching of Islam;A History of Propagethom of theMuslim Faith. London; Constable, 1913.

‘Arabiyyah. Al-Majma' al-Lughah, al-Mu'jam al-Wasīṭ.Mesir: Dar al-Ma'ārif, 1392 H/ 1972 M

Asad, Muhammad.The Message of The Qur'an.Giblartar: Dar al-Andalus, 1980.Ash'ath, Al, Sulaiman, SunanAbi Daud. t.t., t.p., t.th.

Athīr, Ibnu, Nihāyah fiGharīb al-Hadīthwa al-Athār.t.t.: Dār al-Fikr, 1979.

'Audah, Abd. Qādir, al-Tashrī' al-Jinā'iy al-Islāmi.Al-Qāhirah: Maktabah Dar al-Turath, t.th.

Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII.Bandung: Penerbit Mizan, 1994.

........... . The Indonesian Marriage Law of 1974AnInstitutionalizationof The Shari'a for Social Changes, in Shari'a and Politic in ModernIndonesia.Singapore: ISEAS, 2003.

Bahy, Al, Muhammad.al-lslamwa Ḥijab al-Mar'ah al-Mu'āṣirah.Mesir: MaktabahWahbah, 1978.

Bakri, Hasbullah. Suatu Perbandingan Mengenai Penyiaran Kristen dan Islam.Jakarta: Bulan Bintang, t.th.

Basran, Masrain.Kompilasi Hukum Islam Mimbar Ulama. No. 105, Tahun X, Mei 1986.

Basry,Hasan. Perlunya Kompilasi Hukum Islam, Mimbar Utama. No. 104, Tahun X April 1986.

Besant, Annie.the Life and Teachings of Muhammad.Madras: t.p., 1932.

Bisri, CikHasan.Model Penelitian Fikih. Jakarta Prenada Media, 2003.

Bukhary, Al, Muhammad Ismail. Sahih al-Bukhary.Al-Qāhirah: Ṭab'ah al-Sha'bywa al-Fajālah, 1376)

Burhanuddin, Jajat.Transformasi Otoritas Keagamaan: Pengalaman Islam Indonesia.Jakarta: Gramedia, 2003.

247

Depdikbud.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988.

Dewan Redaksi.Ensiklopedi Islam.Jakarta: PT. Intermasa, 1996.

Dimyaty, Al, Muhammad Shata al Malibary.l'anah al Talibin.t.t.: Dar Ihya' al Kutub al 'Arabiyah, t.th.

Djalil, Basiq.Peradilan Agama di Indonesia.Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2006.

Djamil, Fathurrahman.Konsekwensi Perkawinan di bawah Tangan Terhadap Anak dan harta Dalam Perspektif Hukum Islam.Makalah yang di sajikan pada diskusi ilmiah yang di selenggarakan oleh GTZ di hotel Meridien, Jakarta, 2007.

Djuanda, Adhi, "Sifilis", dalam Mawarli Harahap, ed.Penyakit Menular Seksual.Jakarta: PT. Gramedia, 1984. Effendy, Bahtiar.Jalan Tengah Poliltik Islam, Jakarta: Ushul Press, 2005.

FZ, Amak.Proses Pembentukan UU Perkawinan.Bandung: Bulan Bintang, t.th.

Ghazali, Al, Muhammad.Al-Mustasfā Fi llm al-Uṣūl.Bairut: Dar al-Kutub al-‘llmiyyah, 1983.

Hajar, Ibnu.Al-Asqalāny, Ibanah al-Aḥkām.Bairut-Libnan: Dar al-Fikr, 1424 H/ 2004 M.

Ḥākim, Al. Al-Mustadrak.Bairut, Dar Al-Kutub, Al-llmiyah, 1990.

Hammam, Sharḥ Fatḥ al-Qadīr, (t.t.: Muṣṭafā al-Bāby al-Ḥalaby, 1970)

Harahap, Yahya.Informasi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam, Dalam Mimbar Hukum, No. 5 Tahun III, 1992.

........... . Hukum Perkawinan Nasional.Medan: Zahir Trading, 1975.

Haris, Syamsuddin. PPP dan Orde Baru.Jakarta: Gramedia Widiasarana, 1991.

Haroen, Nasrun.Usul Fikih.Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.

Hasan, Kamal.Modernisasi Indonesia Respon Cendekiawan Muslim.Jakarta: Suara Harian Studi Indonesia, 1987.

Hashry, Al, Ahmad.Al-Walāyah wa al-Wasāyah Fi al-Fiqh al-Islāmy: al-Aḥwāl al-Shakhṣiyyah.Bairut: Dar al Jil, t.th.

Hazairin.Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia.Jakarta: Tinta Mas, 1961.

248

Hosen, Ibrahim.Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan.Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.

Indonesia, Majlis Ulama.Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia.Jakarta: Depag RI, 2003.

........... . Keputusan Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI II.Ponorogo: Panitia Ijtima', 2006.

........... . Hasil-hasil Ijtima' Ulama Komisi Fatwa se Indonesia III.Padang Panjang: Tim Materi Ijtima' Ulama, 1430 H/ 2009 M.

........... . Ajaran Islam dan Penanggulangan Perkawinan Usia Muda.Jakarta: MUI, 1411 H/1991 M.

Jazīry Al, Abd. Rahman.Kitāb al-Fiqh 'Alā al-Madhāhib al-Arba'ah.t.t: Dār Iḥyā' al-Turāth al-'Araby, 1986.

Jurjāny, Al.al-Ta'rīfāt.Bairut-Libnan: Dar al-Kutub al ‘Ilmiyah, 1424 H/ 2003 M.

Ka'bah, Rifyal.Hukum Islam di Indonesia.Jakarta: Universitas Yarsi, 1999.

Kashīr, Ibnu.Tafsīr Al-Qur’an al-Aẓīm.al-Qāhirah: Maktabah al-Taufiqīyah,t.t.

Khallāf, Abd. Wahhāb.Ilmu Usul al-Fiqh.Kuwait: Dar al-Qalam, t.th.

........... . Kuzari, Ahmad.Perkawinan sebagai Sebuah Perikatan.Jakarta: Rajawali Press, 1995.

Lukito, Ratno.Pergumulan Antara Hukum Alam dan Adat di Indonesia.Jakarta: INIS, 1998.

Madkūr, Muhammad Salām, al-Qadā Fi al-Islām.Al-Qāhirah: Dar al Nahdah al-'Arabiyyah, 1964).

Maḥally, Al, Jalāluddīn.Qalyūby Wa 'Umairah.Riyad: Dār Iḥyā’ al-Kutub al-'Arabiyah, t.th).

Mahmood, Tahir.Personal Law in Islamic Countries.New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987.

Majah Ibnu, Muhammad Yazid.Sunan Ibnu Majah.Al-Qāhirah: Maṭba'ah 'Īsā al-Bāby al-Ḥalaby, t.th.

Manan, Abd.Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia.Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.

........... . Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama.Jakarta: Yayasan al Hikmah, 2001.

Manzūr, Ibnu.Lisan al- Arab.t.t., Dar al-Ma'ārif, t.th.

249

Marāghy, Al Ahmad Mustafa.Tafsir al-Marāghy.Bairut: Dār al-Fikr, 1365 H.

Mudzdhar, M. Atho' dan Nasution, Khaeruddin.Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern.Jakarta: Ciputat Press, 2003.

Munawwir, Al A.W.Kamus al-Munawwir, Arab-lndonesia.Yogyakarta:Pustaka Progressif, 1997.

Munawy, Al, Muhammad Abd Rauf.Fatḥ al-Qadīr Sharḥ al-Jāmi' al-Ṣaghīr Min Aḥādīth Li Bashīr an-Nadhir.Bairut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1994 M/1415 H.

Muttaqien, Dadan, et. Al.Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia.Yogyakarta: UH Press, 1999.

Nasa'i, Al, Ahmad Shua'ib.Sunan al-Nasa'i.Al-Qāhirah Ṭab'ah Muṣṭafā al-Bāby al-Ḥalaby, 1384).

Natabaya, H.T.S.Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006.

Nawawy, Al-Sḥarḥ Ṣaḥiḥ Muslim. Bairut: Dar Iḥyā al-Turāth al-'Araby, 1392 H.

........... . Riyāḍu al-Ṣāliḥīn.Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/ 1994 M.

Noer, Deliar.Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965.Jakarta: Grafiti Pers.

Nuruddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal.Hukum Perdata Islam diIndonesia.Jakarta: Kencana, 2006.

Peorwadarminta, W.J.S.Kamus Umum Bahasa Indonesia.Jakarta: BalaiPustaka, 1987.

Praja, Juhaya S.Hukum Islam di Indonesia.Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991.

Prins, J.Hukum Perkawinan di Indonesia.Jakarta: Graha Indonesia, 1982.

Prodjohamidjojo, Martiman.Hukum Perkawinan Indonesia.Jakarta:Indonesia Legal Center Publishing, 2002.

Qaraḍāwy, Al, Yusuf.Al-Ḥalāl wa al-Ḥarām fi al-Islām.Bairut: al-Maktabah al-Islāmiyah al-Ṭibā'ah wa al-Nashr, 1967.

Qaṭṭān, Al, Manna' Khalil.al-Tashri' wa al-Fiqh Fi al-lslām.t.t.;Maktabah Wahbah, 1976.

250

Qudāmah, Ibnu.Al-Mughny.Al-Riyāḍ: Maktabah al-Riyāḍ al-Ḥadīthah, t.th.

Qushairy, Al, Muslim al Hajjaj.Ṣaḥiḥ Muslim.Al-Qāhirah: Maktabah al-Jumhuriyah, t.th.

Rafiq, Ahmad.Hukum Islam di Indonesia.Jakarta: Rajawali Press, t.th.

Z.A.Noeh.Sebuah Perspektif Sejarah Lembaga Islam diIndonesia.Bandung: al-Ma'ārif, 1980.

Rahman, Abd.Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.Jakarta, Akademika Persindo, 1992.

Ramulyo, Mohamad, IdrisHukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang A/o. / Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum IslamJakarta: Bumi Aksara, 1996.

Rais, Isnawati.Hukum Perkawinan dalam Islam.Jakarta: Balitbang, 2006.

Ramulyo, Mohamad, Idris.Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang A/o. / Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

RI, Depag.Peradilan Agama di Indonesia, Sejarah Perkembangan Lembaga dan Proses Pembentukan Undang-Undangnya.Jakarta: Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 2001.

........... . Hukum dan Perddilan Agama, Sejarah Peradilan Agama. Jakarta: Proyek Pembinaan Administrasi Hukum dan Peradilan Agama, 1982.

........... . Kenang-Kenangan Seabad Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: CV. Ade Cahya, 1985.

........... . Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Dirjen Bimbingan Islam Depag R.I., 1991/1992.

........... . Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.Jakarta: DirektoratPembinaan Badan Peradilan Agama, 2000.

........... . Al-Qur'an dan Terjemahnya.Saudi Arabia: Khadim al-Haramain al-Syarīfain, t.th.

Rida, Muhammad Rashid.Tafsīr al-Manār.Miṣr: al-Haiah al-Miṣriyah al-‘Āmmah Li al-Kitab, 1973.

Rusli, Nasrun.Konsep Ijtihad al-Syaukānī dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum di Indonesia.Jakarta, Disertasi PPS IAIN Jakarta, 1998.

251

Rushd, Ibnu.Bidāyah al-Mujtahid Wa Nihāyah Al-Muqtasid.al-Qāhirah: Matba'ah al-Fajālah al-Jadīdah, 1974 M /1394 H.

SA, Ichtianto.Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam diIndonesia, dalam Eddi Rudiana Arief, et.al, (Peny). Hukum Islamdi Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan. Bandung:PT.Remaja Rosda Karya, 1991.

Sabiq, Sayid. Al-Fiqh al-Sunnah.Al-Qāhirah: Dar al-Kitab al-Islamy-Dar al Hadith, t.th.

Saridjo, Marwan.Jabatan untuk umat. Kesaksian Kolega dan Para Sahabat, 70 tahun Kafrawi Ridwan.Jakarta: Media Citra, 2002.

Sasroatmodjo, Arso dan Aulawi, A. Wasit.Hukum, Perkawinan di Indonesia.Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Shafi’i, Al, Muhammad Idris.al-Umm.Bairut-Libnan: Dar al-Fikr, 1400H/ 1980 M.

........... . Aḥkām Al-Qur’an.Bairut-Libnan: Dar al-Kutub al-Islāmiyyah, 1400 H/1980 M.

Shahrūr, Muhammad.Al-Kitāb wa Al-Qur’an: Qirā'ah Mu'āṣirah, (The Book and the Qur'an Reading). Damaskus: Dar al-Ahāly, 1990, cet. II.

Shairāzy, Al.Al-Muhadhdhab.Semarang: Maktabah wa Maṭba'ah Taha Putra, t.th.

Shaltūt, Mahmud dan Sayis, Al, Ali.Perbandingan Mazhab dalam Fiqh. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Shaltūt, Mahmud.Al-Islām ‘Aqīdah wa Sharī'ah.al-Qāhirah: Dar al-Qalam, 1966.

Shaukāni, Imam.Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.

Shaukāny, Al, Muhammad Ali.Nail al-Auṭār.Maktabah al-Taufiqiyyah, t.th.

Shihab, M. Quraish.Pengantin Al-Qur’an.Jakarta: Lentera Hati, 2007.

Sjadzali, Munawir.Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam. Yogyakarta: Uli Press, 1999.

Sofyan, Yayan.Transformasi Hukum Islam ke Dalam Sistem Hukum Nasional.Jakarta: Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta, 2007.

Subhan, Zaitunah, (editor).Membendung Liberalisme.Jakarta: Republika, 2006.

252

Sudarsono.Hukum Perkawinan Nasional.Jakarta: Rineka Cipta, 2005.

Sukardja, Ahmad.Hukum Islam dan Sistem Masyarakat di Indonesia, Makalah dalam Seminar Nasional Hukum Islam dan Pranata Sosial. Serang: Fakultas Syariah IAIN Sunan Gunung Djati Serang, 1977.

Suma, Amin.Transformasi Syari'ah ke Dalam Hukum Nasional di Indonesia, Dalam Gagasan dan Pemikiran Tentang Pembaharuan Hukum Nasional.Jakarta: Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2004.

Suminto, Aqib.Politik Islam Hindia Belanda.Jakarta: LP3ES, 1986.

Sunny, Ismail.Hukum Islam Dalam hukum Nasional.Jakarta: Universitas Muhammadiyah Jakarta, 1989.

Supramono, Gatot.Segi-segi Hubungan Luar Nikah.Jakarta: Djambatan, 1998.

Suyūṭy, Al, Jalaluddin.Al-Ashbāh wa al-Naẓāir.Bairut-Libnan: Dar al-Fikr, 1995 M/ 1415H.

........... . al-Jāmi ‘al-Ṣaghīr.Bairut-Libnan: Dar al-Kutub al-Islamiyah, t.th.

Sabuny, Al, Muhammad Ali.Rawāi’ al-Bayān Tafsir Āyāt al-Aḥkām.Damshiq: Maktabah al-Ghazaly, 1400 H/ 1980 M.

Ṣan'āny, Al, Muhammad bin Ismail.Subul al-Salām.al-Qāhirah: Dar al-Ḥadīth, 2004 M/ 1425 H.

Taqiyuddīn, Imam.Kifāyah al-Akhyar.Bandung: al-Ma'ārif, t.th.

Tebba, Sudirman (ed).Perkembangan Kontemporer Hukum Islam di Asia Tenggara.Bandung: Mizan, 1993.

Tabary, Al, Muhammad Jarir.Jāmi' al-Bayān.Bairut: Dar al-Fikr, 1988.

Thaba, Abd. Aziz.Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru.Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

Thalib, Sayuti. Receptio a Contrario. Jakarta: Bina Aksara, 1985.

Usman, Rachmadi.Perkembangan "Hukum Perdata dalam DimensiSejarah dan Politik Hukum di Indonesia.Jakarta: Grafiti, 2003.

Usman, Suparman.Hukum Islam: Asas-Asas dan Pengantar Studi HukumIslam Dalam Tata Hukum Indonesia.Jakarta: Gaya MediaPratama, 2001.

Yanggo, Huzaimah Tahido.Pengantar Perbandingan Mazhab.Jakarta: Logos, 1997.

253

........... . Fikih Perempuan Kontemporer.Jakarta: Mawardi Prima, 2001.

........... . Al-Qur’an Kitab suci Aktual Sepanjang Zaman, Dalam Jurnal Misykat.Jakarta: Pasca Sarjana IIQ, 2008.

........... . MasailFiqhiyah, Kajian Hukum Islam Kontemporer. Bandung: Penerbit Angkasa, 2005

........... . Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam.Jakarta: Adelina, 2005.

Widiana, Wahyu.Aktualisasi KHI di Peradilan Agama dan Upayamenjadikannya sebagai Undang-Undang (Makalah).Jakarta.

Yatim, Badri.Sejarah Peradaban Islam.Jakarta: Rajawali Press, 1994.

Zarqā, Al, Muṣṭafā' Ahmad.al-Fiqh al-lslāmy Fi Thaubihi al-Jadīd.Bairut:Dar al-Fikr, 1968.

Zuḥaily, Al, Wahbah. al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu.Damsyiq: Dar al-Fikr, 1989.

Zuhdi, Masyfuk.MasailFiqhiyah. Jakarta: Haji Mas Agung, 1990.

C. Undang-Undang dan Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Depag RI, Himpunan peraturan Perundang-undangan Perkawinan, 2008.

........... , Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinandan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975

........... , Kompilasi Hukum Islam (KH$, tahun 2004

........... , Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,1990

254

Prof. DR. H. Abdul WahabAbd.Muhaimin, Lc., MA.Lahir di AmpanaPoso 17 Agustus 1950,

guru BesarFakultasSyariahdanHukumUniversitas

Islam Negeri (UIN) SyarifHidayatullah Jakarta Mendapatkantandakehormatan

“SatyaLancanaKaryaSatya 20 Tahun” dariPresiden RI., SebagaiPegawaiNegeriSipil (PNS) 25 November 2009, anggotadewanpakarHimpunanIlmuandanSarj

anaSyariah Indonesia (HISSI) sejak 2013 s/d sekarang, anggotaKomisi Fatwa MUI pusatsejaktahun 2005s.dsekarang, AggotaSenatUniversitas Islam Negeri (UIN) SyarifHidayatullahsejak 2005 s.dsekarang.PendidikanFormalnya, SRN 6

tahun (1962)dan Madrasah Ibtidaiyah 6 tahunAlkahiraat (1962), SMEP (1964), di Ampana, KabupatenTojoUna-Una. Madrasah MualliminAlkhairaat 6 tahunPalu 1968, MTsAINExtranei (1973), dan MAAIN Extranei (1974) di Palu, Sulawesi Tengah. SarjanaMuda (BA) Universitas Islam (UNIS) AlkhairaatPalu (1973), S1 (Lc) FakultasSyariahdanQanunUniversitas Al-Azhar Cairo, Mesir (1982), Megister (MA) PascaSarjanaInstitutIlmu AL-Qur’an (IIQ) Jakarta (2002) dan Doctor (S3), SekolahPascaSarjana (SPS) UIN SyarifHidayatullah Jakarta (2010).Pengalamanmengajar, guru Madrasah Ibtidaiyah 6 tahun, guru PGA 6 tahun, dan Guru MualliminAlkhairaat 6 tahun, yang ketiganyadi PesantrenAlkhairaatpusatPalu Sulawesi Tengah. SelainitujugasebagaidosentidaktetapFakultasSyariah IAIN SyarifHidayatullah Jakarta (1987), dosentidaktetapUniversitasIbnuKhaldun Bogor (1987) danhinggasekaranginisebagaidosentetap (Guru Besar) UIN SyarifHidayatullah

Jakarta dalambidangIlmuFikihdanUṣhulFikih, telahmelahirkanberbagaikaryailmiahberupabuku-buku, makalah-makalah seminar dantulisan-tulisandalamjurnalilmiah, antaralain,kajian Islam Aktual, KitabKuningdanMetodePengkajiannya, Peranan Zakat dalamMengentaskanKemiskinan, PengangkatanAnakdalamHukum Islam,

TinjauanHukum Islam TentangAsuransi, ṬaharahdanSalatpadaZaman Modern, Transplantasi Organ TubuhdalamPerspektifHukum Islam, KedudukanWalidalamPerkawinan, dan lain-lain.

255

GAUNG PERSADA PRESS