29
Presentasi Kasus Bedah Plastik LAKI-LAKI 38 TAHUN DENGAN CLOSED FRAKTURE NASOETHMOIDAL, FRAKTURE ZIGOMATICUM, DAN FRAKTURE MAXILLA DEKSTRA ET SINISTRA Periode : 11 – 17 Maret 2013 Oleh : Nafika Ikhwanudin G99121031 Verawati Sundari G99121048 Eva Veronika G9911112066 Dwi Wirastomo G9911112058 Pembimbing : dr. Amru Sungkar, Sp.B., Sp.BP.

PRESKES MAXILLOFACIAL

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PRESKES MAXILLOFACIAL

Presentasi Kasus Bedah Plastik

LAKI-LAKI 38 TAHUN DENGAN CLOSED FRAKTURE NASOETHMOIDAL,

FRAKTURE ZIGOMATICUM, DAN FRAKTURE MAXILLA

DEKSTRA ET SINISTRA

Periode : 11 – 17 Maret 2013

Oleh :

Nafika Ikhwanudin G99121031Verawati Sundari G99121048Eva Veronika G9911112066Dwi Wirastomo G9911112058

Pembimbing :

dr. Amru Sungkar, Sp.B., Sp.BP.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI

SURAKARTA

2013

Page 2: PRESKES MAXILLOFACIAL

STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS

A. Identitas pasien

Nama : Tn. S

Umur : 38 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Craken Krebet, Masaran, Sragen

Pekerjaan : Petani

Tanggal Masuk : 07 Maret 2013

Tanggal Periksa : 11 Maret 2013

No RM : 01182767

Status Pembayaran : Jamkesmas

B. Keluhan Utama

Nyeri kepala setelah kecelakaan lalu lintas

C. Riwayat Penyakit Sekarang

Satu jam sebelum masuk rumah sakit pasien mengendarai sepeda

motor dengan menggunakan helm standard bertabrakan dengan sepeda

motor lain, mekanisme kejadian tidak diketahui, pasien pingsan, setelah

sadar pasien mengeluhkan nyeri di kepala dan luka dikening, nyeri

dirasakan terus menerus dan semakin memberat, muntah (-), kejang (-).

Oleh penolong, langsung dibawa ke RSUD Dr. Moewardi.

D. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat DM : disangkal

Riwayat asma : disangkal

1

Page 3: PRESKES MAXILLOFACIAL

Riwayat alergi obat : disangkal

E. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat DM : disangkal

Riwayat asma : disangkal

Riwayat alergi obat : disangkal

F. Anamnesis Sistemik

Keluhan utama : Nyeri kepala setelah kecelakaan lalu lintas

Kulit : kuning (-), kering (-), pucat (-)

Kepala : sakit kepala (+), pusing (-)

Mata : pandangan kabur (+),kuning (-),pandangan dobel (-)

Hidung : tersumbat (-), pilek (-), keluar darah (+)

Telinga : pendengaran berkurang (-), berdenging (-) keluar

cairan (-),

Mulut : gusi sakit (-), mulut kering (-), nyeri rahang atas (+),

nyeri membuka mulut (+)

Tenggorokan : sakit menelan (-), suara serak (-), gatal (-)

Respirasi : sesak nafas (-), batuk (-), nyeri dada (-/-)

Kardiovaskuler : berdebar-debar (-), denyut jantung meningkat (-), ulu

hati terasa panas (-)

Gastrointestinal : mual (-), muntah (-), nafsu makan berkurang (-), BAB

sulit (-)

Muskuloskeletal : lemas (-), kaku sendi (-), nyeri sendi (-)

Genitourinaria : nyeri BAK (-), BAK darah (-), sering BAK (-)

Ekstremitas

Atas : luka (-/-), ujung jari terasa dingin (-/-), bengkak (-/-)

lemah (-/-), nyeri (-/-) pada lengan bawah kanan

Bawah : luka (-/-), ujung jari terasa dingin (-/-), bengkak (-),

lemah (-/-), nyeri (-/-)

2

Page 4: PRESKES MAXILLOFACIAL

II. PEMERIKSAAN FISIK

A. Primary Survey

1. Airway

Look : pengembangan dada (+)

Listen :terdengar suara napas, tidak terdengar suara napas

tambahan

Feel : terasa adanya hembusan napas

Diagnosis : airway clear

2. Breathing

Look : gerak nafas spontan, thorakoabdominal, tanda-tanda

sesak:

frekuensi napas 18 kali/menit, takipneu (-), napas

cuping hidung (-), napas paradoksal (-),

ketertinggalan gerak (-), retraksi (-), menggunakan

masker oksigen (-)

Listen : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)

Feel : krepitasi (-), perkusi (sonor/sonor)

Diagnosis : breathing adekuat

3. Circulation

Look : sianosis (-), jugular venous distended (-), konjunctiva

pucat (-)

Listen : bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)

Feel : perabaan akral hangat, nadi 76 kali/menit, tekanan

darah 120/70 mmHg

Diagnosis : Circulation secure

4. Disability

GCS : E4V5M6

Pupil : isokor (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+)

5. Exposure

Suhu tubuh : 36,50C per aksiller

Jejas (+) lihat status lokalis

3

Page 5: PRESKES MAXILLOFACIAL

B. Secondary Survey

Keadaan umum : tampak sakit sedang, compos mentis, gizi kesan cukup

Kepala : mesocephal, jejas (+) lihat status lokalis

Mata : konjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil

isokor (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+), visus normal,

gerakan bola mata normal, hematom palpebra (+/+),

diplopia (-/-)

Telinga : bloody otorhea (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), nyeri

tekan tragus (-/-), jejas (-)

Hidung : bentuk simetris, sekret (-/-), darah (+/+)

Mulut : maloklusi (+) cross bite, sianosis (-), gigi tanggal (-),

gigi goyang (-) maksilla goyang (+), vulnus apertum

(+) regio oris inferior ukuran 2 x 1x 0,5 cm

Leher : trakea di tengah, pembesaran tiroid (-), nyeri tekan (-),

JVP tidak meningkat

Thoraks : bentuk normochest, jejas (-), ketertinggalan gerak (-),

retraksi (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-), pernapasan

paradoksal (-)

Jantung

Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat

Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)

Pulmo

Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri

Palpasi : fremitus raba kanan = kiri

Perkusi : sonor / sonor

Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)

Abdomen

Inspeksi : distended (-)

4

Page 6: PRESKES MAXILLOFACIAL

Auskultasi : bising usus (+) normal

Perkusi : timpani, undulasi (-), pekak alih (-)

Palpasi : supel, nyeri tekan (-)

Ekstremitas

Akral dingin Oedem

C. Status Lokalis

Regio Supraorbita Sinistra

Inspeksi : Vulnus appertum (+) ukuran 5x 2x 2 cm

Mulai dari supraorbita sinistra exend ke supra nasal, dasar

tulang , tepi ireguler

Palpasi : Krepitasi (-)

Regio Midfacial

Inspeksi : pendataran molar iminens (+/+), oedem (+), hipoestesi

infraorbita (+/+)

Palpasi : Krepitasi (-/-)

III. ASSESSMENT I

Commotio cerebri GCS E4V5M6

Vulnus appertum regio supraorbita sinistra

Suspek fraktur zigomaticus dextra et sinistra

IV. PLAN I

O2 3lpm

IVFD NaCl 200cc/ 24jam

Injeksi Ceftriaxon 1g/12 jam

Injeksi Metamizol 1 g/ 8 jam

Injeksi Rantidin 1g / 12 jam

5

Page 7: PRESKES MAXILLOFACIAL

Injeksi Piracetam 3 g/ 8jam

Cek laboratorium lengkap

CT Scan kepala

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Laboratorium (07 Maret 2013)

Hb : 14,8 g/dL

AE : 5,3 106/uL

Hct : 44 %

AL : 18,4. 103/uL

AT : 295. 103/uL

Golongan darah : A

PT : 14,1“

APTT : 23,7“

HBsAg : non reaktf

Ureum : 63 mg/dL

Kreatinin : 1,0 mg/dL

Na : 137 mmol/L

K : 3,8 mmol/L

Cl : 107 mmol/L

6

Page 8: PRESKES MAXILLOFACIAL

2. CT Scan Kepala

7

Page 9: PRESKES MAXILLOFACIAL

VI. ASSESSMENT II

Closed Frakture Nasoethmoidal

Frakture Zigomaticum

Frakture Maxilla dekstra et sinistra

8

Page 10: PRESKES MAXILLOFACIAL

VII. PLAN II

Rawat Bangsal

Pro ORIF

Repair Vulnus

9

Page 11: PRESKES MAXILLOFACIAL

TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI

Fraktur zygomatic complex merupakan fraktur yang paling sering pada

trauma maksilofasial. Zygomatic complex bertanggung jawab untuk kontur

wajah bagian tengah dan untuk perlindungan dari isi orbital. Fraktur zygomatic

complex muncul biasanya pada dewasa muda. Fraktur zigoma merupakan

merupakan fraktur fasial yang paling sering terjadi. Tingginya insiden dari

fraktur zigoma berhubungan dengan lokasi zigoma yang lebih menonjol.

Predileksi terutama pada laki-laki, dengan perbandingan 4:1 dengan perempuan

(Sallam, 2010). Penyebab dari fraktur zigoma yang paling sering adalah

dikarenakan kecelakaan kendaraan bermotor. Zigoma mempunyai peran yang

penting dalam membentuk struktur wajah, dan disrupsi dari posisi zigoma dapat

mengganggu fungsi okular dan mandibular; oleh karena itu trauma pada zigoma

harus didiagnosa secara tepat dan ditangani secara adekuat (Rehman, 2010).

2. ANATOMI DAN KLASIFIKASI

Gambar 1. Tulang-tulang maksilofasial

Fraktur zigomatikomaksilari disebabkan karena trauma langsung di pipi

yang terjadi pada artikulasio antara os.zigomaticum dan os.maksilaris bagian

10

Page 12: PRESKES MAXILLOFACIAL

frontal dan arkus zigomatikus (Obuekwe, 2005). Fraktur Maxilla dari fraktur

simpel dentoalveolar hingga fraktur comminutif midface, tergantung pada

kekuatan benturan secara langsung. Pada fraktur maksilari komplit, dinding

penopang vertikal terpecah. Fraktur maksila dapat juga terjadi langsung pada

sagital, biasanya dimulai pada perbatasan hingga kaninus (Rajendra, 2009).

Klasifikasi Le Fort (Stewart, 2008):

a. Le Fort I (fraktura maksilari transversa).

Fraktur melalui maksila setinggi rima piriformis, termasuk seluruh

prosesus alveolaris, palatum dan prosesus pterigoideus.

Letak: sepertiga bawah.

Ditandai dengan floating fragmen pada maksila bagian bawah, oedem

muka, maloklusi.

Gambar 2. Le Fort I Fracture

b. Le Fort II (fraktura piramidal).

Sepertiga tengah dan segmen maksila yang terisolasi berbentuk piramid,

Gerakan dapat diperiksa pada medial lantai orbital dengan

menggerakkan gigi atas kebelakang dan kedepan.

Dapat menyebabkan midfasial terpisah dan mobile, ekimosis/ hematom

periorbita, kerusakan nervus infraorbita, diplopia dan perdarahan

subkonjungtiva, oedem muka, pendataran nasal, telecanthus, epistaksis

atau CSF rhinorrhea, unstable maxilla dan hidung

11

Page 13: PRESKES MAXILLOFACIAL

Gambar 2. Le Fort II Fracture

c. Le Fort III (disjunksi kraniofasial).

merupakan separasi yang lengkap tulang fasial dari basis tengkorak

dimana letaknya sepertiga atas dari facial,

bisa menyebabkan midfasial terlepas dari bagian atas.

memerlukan pengikatan pada sutura zigomatikofrontal

Muka datar seperti piring (Dish face deformity), epistaksis, CSF

rhinorrhea , Unstable maxilla, os nasal dan os zygoma, obstruksi jalan

napas berat, maloklusi, battle sign (perdarahan retroauriculair), Raccoon

eyes, CSF otorrhea, hemotympani

Gambar 3. Le Fort III Fracture

3. PEMERIKSAAN FISIK

Pada pemeriksaan fisik pada fraktur multipel wajah dilakukan

pemeriksaan jalan nafas, pernafasan serta sirkulasi darah. Keterbatasan gerakan

12

Page 14: PRESKES MAXILLOFACIAL

rahang dan pendataran pipi, epistaksis unilateral merupakan akibat dari fraktur

maxilla atau dasar orbita. Status lokalis regio yang trauma seperti defek rima

infraorbita, sutura frontozigoma dan penyokong zigoma dapat merupakan tanda

defisiensi malar. Pemeriksaan mata sangat penting dengan menilai adanya

diplopia, kerusakan periorbita atau ekimosis subkonjungtiva. Pada palpasi

didapatkan adanya nyeri di daerah zigoma, parestesia terjadi bila saraf

infraorbita, zigomatikofasial atau zigomatikotemporal terkena trauma serta

krepitasi pada emfisema subkutis (Ahmed, 2010).

Fraktur pada zygoma dapat melibatkan foramen infraorbita dan menekan

nervus infraorbita yang bermanifestasi klinis sebagai parestesia pada daerah

infraorbita. Perubahan posisi frontal dengan pemisahan sutura

zygomaticofrontalis menyebabkan penurunan atau pengenduran canthus lateral

dari kelopak mata dan bola mata. Trauma pada pipi yang menekan os zygoma

ke dalam dapat menekan dan menyebabkan fraktur dinding lateral dan dasar

orbita. Fraktur ini dapat mengakibatkan diplopia yang disebabkan edema dan

hemoragi pada otot ekstraokuler atau disebabkan terjepitnya otot ekstraokuler

atau saraf mata diantara fragmen-fragmen tulang (Kreishat, 2011).

Ketika zygoma mengalami penekanan dan terdepresi ke dalam, os

temporal dapat menekan prosesus koronoideus mandibula dan tendo muskulus

temporalis sehingga pasien mengalami kesulitan dalam membuka dan menutup

mulut (David and Coen, 2008).

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Radiographi plan dan CT scan (axial section, coronal sction dan 3d

reconstruksi regio maxillofacial) sangat efektif untuk membantu diagnosis.

Rekonstruksi 3D dapat membantu menggambarkan bentuk ulang sehingga

dapat membantu dalam keakuratan rencana preoperatif. Computed tomography

(CT) adalah teknologi yang dapat memperlihatkan visualisasi dari jaringan

keras dan lunak pada wajah. Dilaporkan bahwa CT dapat mencapai nilai yang

lebih akurat dalam diagnosis fraktur tulangmidfasial. Teknik alternatif lain

adalah pemeriksaan ultrasonografi. Ultrasonografi mudah dan cepat untuk 13

Page 15: PRESKES MAXILLOFACIAL

dilakukan, selain itu bersifat noninvasif. CT telah direkomendasikan untuk

evaluasi preoperatif pada trauma zygomaticus sebagai metode diagnostik

standar, terutama dalam kasus-kasus rumit dengan cedera intrakranial cedera

atau ketika ada kebutuhan untuk evaluasi saraf optik, karena kedua hal tersebut

tidak dapat secara memadai dilihat oleh ultrasonografi. Sementara

ultrasonografi telah terbukti menjadi alat yang berharga dalam mendeteksi

fraktur tanpa komplikasi di zygomaticofrontal, arcus zygomaticus dan margio

infraorbital, tapi hasil untuk dasar orbita dan dinding medial orbitatetap tidak

memuaskan. Selain itu, USG lebih dapat diandalkan dalam menilai keadaan

pascaoperasi, sehingga dapat menurunkan biaya dan paparan radiasi (Ceallaigh,

2007; Sallam, 2010).

Foto polos dari anteroposterior (AP)

Foto AP: walaupun garis patah kadang tidak jelas, dengan

membandingkan sisi kontralateral, bisa ditemui diskontinuitas tulang secara

radiologis (David dan Coen, 2008)

Waters

Proyeksi Water biasanya menampilkan opaque sinus maxillary,

dengan keterkaitan fraktur lateral dinding sinus maksilaris yang terlibat

14

Page 16: PRESKES MAXILLOFACIAL

CT Scan

CT Scan bisa melihat garis patah yang tidak nampak dalam foto radiologi

biasa. CT Scan 3-dimensi akan menggambarkan bentuk tulang muka

keseluruhan dan lubang tulang yang patah atau melesak dapat dikenali

dengan lebih jelas, selain itu dapat pula mengevaluasi jaringan lunak,

dikerjakan atas indikasi khusus. Meskipun demikian, gambar 3D mungkin

membantu dalam visualisasi besar kominuta, zygomatico, dan kompleks

fraktur yang melibatkan beberapa rangkaian,khususnya sehubungan dengan

midface. Gambar 3D memberikan informasi hanya mengenai arsitektur.

Untuk jeratan lemak dan otot, encephaloceles, hematoma, dan cedera terkait

harus dinilai radiografi melalui CT Scan 2D (Candance, 2010).

Pada kebanyakan pasien dengan dampak wajah yang signifikan, CT scan

harus dilakukan. CT scan harus dilakukan dengan potongan aksial tidak

lebih besar dari 3 mm terpisah, dari atas tempurung kepala melalui bagian

bawah mandibula.. Secara umum, CT scan dapat diterima untuk diagnosis

pada semua fraktur wajah, selain mandibula. Meskipun CT scan pada

dasarnya 100% sensitif dan spesifik untuk fraktur, namun tidak memberikan

informasi rinci tentang struktur gigi. Hal ini paling penting di daerah sudut

mandibula dengan mengenai kondisi geraham ketiga. Informasi mengenai

kerusakan akar gigi dan posisi relatif terhadap patah tulang sangat penting

dalam perencanaan dan pengobatan patah tulang sudut (Saigal et al., 2005)

15

Page 17: PRESKES MAXILLOFACIAL

5. RENCANA PENCEGAHAN

a. Penanganan awal

Stabilkan Pasien

Primary survey: Airway, breathing, circulation, dan selanjutnya tetap

diawasi. Fraktur mandibula bilateral dan maxilla harus distabilkan agar

tidak mengganggu jalan napas. Apabila ada perdarahan lakukan

penjahitan.

Bila ada hematoma septum nasi atau hematoma auricula, harus

dilakukan drainase dan dilanjutkan dengan balut tekan/ tamponade

hidung.

Secondary survey: pemeriksaan leher, neurologis, scalp, orbita,

telinga, hidung, wajah bagian tengah (midfacial), mandibula, rongga

mulut, dan oklusi. Adanya cedera kepala (brain injury) dapat menunda

timing operasi Open Reduction Internal Fixation (ORIF) pada fraktur

tulang muka.

Bila ada luka, ditutup dengan kasa lembab sambil menunggu terapi

definituf.

Identifikasi cedera

Memperoleh gambaran imaging yang diperlukan (CT scan 3-dimensi)

16

Page 18: PRESKES MAXILLOFACIAL

Konsultasi dengan bagian yang bersangkutan, misalnya bedah saraf,

bedah tulang, jantung, rehabilitasi medik, dan anestesi untuk persiapan

operasi).

Konsultasikan penyakit menular atau infeksi

Stabilkan dasar jaringan keras untuk mendukung jaringan lunak dan

mencegah kontraktur bekas luka sebelum rekonstruksi utama.

Lakukan review menyeluruh dan imaging serta tentukan perawaan

yang akan dilakukan.

b. Penanganan lanjut

Ganti komponen jaringan lunak yang hilang

Lakukan rekonstruksi utama dan manajemen fraktur

Memasukkan agresif fisik / pengobatan dgn memberi pekerjaan

tertentu

Lakukan rekonstruksi sekunder (misalnya, implan, vestibuloplasty)

Lakukan rekonstruksi tersier (misalnya, masalah kosmetik, bekas luka

revisi)

(Powers et al., 2005; Khan et al, 2010, Parashar, 2007)

6. PROGNOSIS

Jika terapi dan operasi perbaikan untuk memulihkan bentuk dilakukan

dalam waktu 1 minggu setelah cedera/ trauma maka prognosis dapat baik. Jika

penderita mempunyai penyakit kronik atau osteoporosis maka

penyembuhannya bisa jadi masalah.

Trauma kendaraan sepeda motor atau luka tembak sebagai contoh dapat

menyebabkan trauma berat pada wajah sehingga menbutuhkan bedah multipel

dan membutuhkan perawatan yang lama. Laserasi jaringan lunak karena bekas

luka biasanya dapat diatasi dengan lebih maksimal oleh ahli bedah plastik.

Salah satu metode pencegahan trauma antara pengguna kendaraan

bermotor di sebagian besar negara di dunia adalah wajib sabuk pengaman.

Penggunaan sistem kerja air bag maupun perlengkapan keselamatan dengan

helm (pengaman kepala) yang melindungi sampai rahang bawah juga dapat 17

Page 19: PRESKES MAXILLOFACIAL

menurunkan resiko kejadian luka rahang atas pada pengguna kendaraan

bermotor. Selain itu, lebih dari separuh pasien yang menderita trauma wajah,

akibat kecelakaan lalu lintas adalah setelah penggunaan alkohol dan obat-

obatan yang menyebabkan kantuk. Edukasi untuk tidak menyetir kendaraan

dalam keadaan mengantuk dan mabuk perlu dilakukan sebagai usaha

pencegahan trauma maxillofacial (Malara et al., 2006)

18

Page 20: PRESKES MAXILLOFACIAL

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, S.S, Bey, A., Hashmi, G.S, et al. 2010. Neurosensory Deficit in Cases of

Zygomatic Complex Fractures. Current Neurobiology Volume 1, pp. 51-54

Candace. Pau, Barrera. Jose, et al. 2010. Three-Dimensional Analysis of Zygomatic-

Maxillary Complex Fracture Patterns. Craniomaxillofacial trauma &

reconstruction

Ceallaigh. P, Ekanaykaee. K, et al. 2006. Diagnosis and management of common

maxillofacial injuries in the emergency department. Part 3: orbitozygomatic

complex and zygomatic arch fractures. Emerg Med J. pp 120 -122

David B. Kamadjaja, Coen Pramono D. 2008. Management of Zygomatic-Maxillary

Fracture (The principles of diagnosis and surgical treatment with a case

illustration). Dent J (Majalah Kedokteran Gigi) Vol 41 No. 2 April-June. pp:

77-83

Khan, M., Qiamuddin, et al. 2010. Maxillofacial and Associated Fractures of the

Skeleton. Pakistan Oral & Dental Journal, Volume 30, Nomor 2, pp. 313-316

Khreisat, Majed Hani. 2011. Diplopia in Zygomatic-Complex Fracture. Pakistan Oral

& Dental Journal Volume 31, Nomor 1, pp. 27-32

Malara, P., Malara, B., Drugacz, J. Characteristics of Maxillofacial Injuries Resulting

from Road Trafic Accident- a 5 Year Review of The Case Records from

Department of Maxillofacial Surgery in Katowice, Poland. 2006.Head and Face

Medicine, pp. 1-6

Obuekwe., et al. 2005. Etiology and Pattern of Zygomatic Complex Fractures: a

Retrospective Study. Journal of the national medical association vol 97

19

Page 21: PRESKES MAXILLOFACIAL

Powers, David B.; Will ,Michael; Bourgeois, Sidney L ; Hatt , Holly D. 2005.

Maxillofacial Trauma Treatment Protocol. Oral Maxillofacial Surg Clin N Am

Vol.17, Pp 341 – 355

Rajendra, P.B., Mathew, T.P., Agrawal, A, et al. 2008. Characteristics of associated

craniofacial trauma in patients with head injuries: An experience with 100

cases. J. Emerg Trauma Shock, pp: 89-94

Rehman, A., Ansari, S.R., Shah, S.M, et al. 2010. Pattern of Zygomatic Bone

Fractures and Treatment Modalities: A Study. Pakistan Oral & Dental Journal,

Volume 30, Nomor 1, pp. 36-40

Saigal, K., Ronald S. Winokur., et al. 2005. Use of Three-Dimensional Computerized

Tomography Reconstruction in Complex Facial Trauma. Facial Plastic Surgery,

Volume 21, Nomor 3, pp. 214-219

Sallam, Maha, Ghada Khalifa, et al. 2010. Ultrasonography vs Computed

Tomography in Imaging of Zygomatic Complex Fractures. Journal of American

Science, pp. 524-533

Stewart, C., Fiechti, J.F., Wolf, S.J. 2008. Maxillofacial Trauma: Challenges in ED

Diagnosis and Management. Emergency Medicine Practice, pp. 1-20

20