Upload
tenri-ashari
View
30
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
preskas anak
Citation preview
Presentasi Kasus
Seorang Bayi Perempuan Usia 7 Bulan dengan
Pneumonia, Tersangka Sindroma Tertetu,
Penyakit Jantung Bawaan dan Gizi Baik
Oleh :
Ardiningsih G99131002
Rafika Iezza S G99131067
Pembimbing I Pembimbing II
dr. Ismiranti Andarini, Sp.A dr. Reza Abdussalam
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2015
BAB I
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. R
Umur : 7 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Nama Ayah : Tn. U
Pekerjaan Ayah :buruh
Agama : Islam
Alamat : Jebres, Surakarta
BB : 6 Kg
PB : 59 cm
Tanggal masuk : 1 Januari 2015
Tanggal Pemeriksaan : 1 Januari 2015
No. CM : 01284966
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Pasien dibawa oleh keluarga dengan keluhan sesak napas (merupakan
rujukan dari RSUD Surakarta dengan keterangan pneumonia).
2. RiwayatPenyakitSekarang
Lebih kurang 2 minggu sebelum masuk rumah sakit (smrs) pasien batuk
pilek. Batuk tidak berdahak, pasien sering batuk. Batuk dan pilek tidak
berkurang dengan istirahat dan bertambah berat saat malam hari. Pasien
sudah berobat di Klinik Solo Peduli dan diberi obat sirup dan puyer.
Keluhan berkurang setelah minum obat tetapi tidak sembuh. Demam
tidak ada, biru tidak ada, buang air kecil (BAK) dan buang air besar
(BAB) dalam batas normal.
Lebih kurang 1 minggu smrs pasien mengeluh sesak napas. Sesak
dirasakan terus menerus. Saat di rumah sesak tidak berkurang dengan
istirahat dan tidak pula bertambah berat. Sesak berkurang setelah
dilakukan nebu di Klinik Solo Peduli. Setelah dilakukan nebu, keluhan
sesak berkurang. Namun beberapa waktu kemudian, pasien sesak
kembali. Pasien rutin melakukan nebu di klinik tersebut selama 1
minggu. Pasien telah dirawat selama 1 hari di RSUD Surakarta karena
keluhan sesak napas.
Satu hari sebelum pasien dirujuk ke rumah sakit DRMoewardi keluhan
pasien bertambah berat. Untuk pasien dirujuk ke RSDM.Saat di instalasi
unit gawat darurat pasien sesak napas. Sesak terus menerus dan tidak
berkurang dengan tiduran sehingga pasien rewel. Biru tidak ada, pasien
demam. Mual dan muntah tidak ada, nyeri sendi tidak ada, nyeri perut
tidak ada, sulit menelan tidak ada, pasien makan dan minum dalam
batas normal, nyeri saat BAK tidak ada, BAB dan BAK dalam batas
normal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sesak napas sebelumnya : (-)
Riwayat batuk pilek : (-)
Riwayat alergi obat/makanan : (-)
Riwayat asma : (-)
Riwayat tersedak : (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat sesak napas : (-)
Riwayat alergi obat/makanan : (-)
Riwayat asma : (-)
5. Riwayat Lingkungan Sekitar
Pasien tinggal dengan kedua orang tuanya. Dengan rumah yang tidak
terlalu luas. Dihuni oleh 5 anggota keluarga. Rumah pasien cukup bersih
dan nyaman. Lingkungan di sekitar rumah pasien pun cukup bersih.
Tidak ada tetangga yang mempunyai penyakit yang sama dengan pasien.
6. Riwayat Kehamilan
Ibu pasien mengaku tidak merasakan keluhan apapun saat hamil. Ante
natal care dilakukan secara rutin setiap bulan di bidan. Ibu pasien
mengaku mendapatkan suplemen tambah darah dari bidan. Ibu pasien
tidak mengonsumsi jamu atau obat selain yang diberikan oleh bidan.
Riwayat trauma saat hamil (-), riwayat pijat perut saat hamil (-).
7. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir ditolong oleh bidan di Klinik Solo Peduli saat usia
kehamilan 34 minggu, spontan, pervaginam dengan berat lahir 2000 kg,
menangis (+), sianosis (-).
8. Riwayat Postnatal
Ibu pasien rutin membawa pasien ke puskesmas setiap bulan untuk
timbang badan dan melakukan imunisasi sesuai jadwal.
9. Status Imunisasi
Vaksin BCG saat usia : 2 bulan
Vaksin DPT saat usia : 2 bulan, 4 bulan
Vaksin polio saat usia : 0 bulan, 2 bulan, 4 bulan
Vaksin hepatitis B saat usia : 0 bulan , 1 bulan
Kesan :Imunisasi tidak lengkap menurut Depkes dan IDAI 2014
10. Riwayat Perkembangan
- Mulai senyum : 2 bulan
- Mulai miring : 4 bulan
- Mulai tengkurap : 4 bulan
- Mulai duduk dibantu : 6 bulan
Saat ini pasien berusia 7 bulan
Kesan : pertumbuhan tidak sesuai usia
11. Riwayat Nutrisi
Usia 0 – 4 bulan : diberi susu formula 60 cc x 8 perhari
Usia 4 – 6 bulan : pasien diberi bubur sereal
Usia 6 bulan sampai dengan saat ini pasien diberi makan nasi tim dan
susu formula
Kesan : kualitas dan kuantitas asupan gizi cukup
12. Pohon Keluarga
I
II
III An. R (7 bulan)
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. KeadaanUmum
Sikap / keadaan umum : tampak sakit sedang, terlihat sesak
Derajat kesadaran : kompos mentis
Derajat gizi : cukup
2. Tanda vital
BB : 6 kg
TB : 59 cm
SiO2 : 90%
Nadi : 186 x/menit, kuat
Pernafasan : 56 x/menit
Suhu : 38, 2º C
3. Perhitungan Status Gizi
a) Secara klinis
Nafsu makan : baik
Kepala : rambut jagung (-), susah dicabut (+)
Mata : edema palpebra(-/-),CA(-/-),cekung (-/-)
Mulut : Mukosa basah (+) & pecah-pecah (-)
Ekstremitas : edema - - akral dingin - -
- - - -
Status gizi secara klinis : cukup
b) Secara Antropometris
BB : 6 kg ,Umur : 7 bulan , PB : 59 cm
BB :6 x 100% = 79 % -3 SD <Z score < -2SD (underweight)
U 7.6
TB :59 x 100% = 88 % Z score < -3SD (severe stunted)
U 67
BB : 6 x 100% = 104 % 0SD < Z score < +1SD (gizi baik)
TB 5.75
Status gizi secara antropometri : gizi baik, under weight, severe
stunted
4. Kepala
Mikrosfal, lingkar kepala (LK): 38.5 cm (LK < -2SD) (Nellhaus) ,
wajah dismorfik (+), UUB menutup
5. Mata
Bulu mata rontok (-), konjunctiva pucat (-/-), palpebra edema (+/+),
sekung (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor(+ 3 mm/ + 3mm), air mata
(+/+), epicantal fold (-/-)
6. Hidung
Low nasal bridge (+), napas cuping hidung (+), sekret (-/-), darah (-/-)
7. Mulut
Bibir sianosis (-), mukosa basah (+), lidah kotor dan hiperemis (-)
8. Telinga
Low set ear (+/+), serumen (-/-)
9. Tenggorok
Uvula di tengah, tonsil T1-T1hiperemis (-), faring hiperemis (-),
pseudomembran (-)
10. Leher
Bentuk : normocolli
Trakea : di tengah
Kelenjartiroid : tidak membesar
Tekananvenosa : tidak meningkat
11. Limphonodi
Retroaurikuler : tidak membesar
Submandibuler : tidak membesar
12. Toraks
Bentuk : normochest, retraksi (+) epigastrium, subkostal (minimal)
Pulmo : Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba sde
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar: vesikuler, RBK (-/-), RBH
(+/+), wheezing -/-)
Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan sde
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas nomal, regular,
bising (-)
13. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, hepar teraba 1 cm di bawah arkus kosta dan lien
tidak teraba, asites (-), pekak alih (-), undulasi (-), turgor kulit kembali
cepat
14. Urogenital : dalam batas normal
15. Anorektal :dalambatas normal
16. Ekstremitas
Akral dingin - - edema - -
- - - -
ADP kuat
CRT < 2 detik
17. Skor Hipotiroid Kongenital
Hernia umbilikalis : 0
Tidak ada kromosom Y: 1
Pucat/hipotermia : 0
Edematous/wajah khas : 2
Makroglosia: 0
Hipotonia: 0
Kuning (ikterik > 3 hari): 0
Kulit kering, kasar: 0
Fontanella terbuka: 0
Defekasi aktif: 0
UK > 40 minggu: 0
BBL > 3500 gram: 0
Total: 3
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Darah Tanggal 1 Januari 2015
Hb 12.3
Hct 37
AE 4.91
AL 24.71
Neutrofil Batang: 1
Segmen:
23
Limfosit 60
Monosit 16
Eosinofil 0
Basofil 0
MCV 77
MCH 25.1
MCHC 32.5
AT 307
E. RESUME
Seorang bayi perempuan usia 7 bulan, dibawa keluarganya ke RSDM dengan
rujukan dari RSUD Ngipang Surakarta dengan keluhan sesak napas yang
bertambah buruk meskipun dirawat 1 hari di RSUD Ngipang Surakarta. Dua
minggu pasien batuk pilek, tidak demam.
Dari hasil pemeriksan fisik didapatkan pasien Nampak sesak dan sakit
sedang, suhu, BB : 6 kg, TB : 59 cm, SiO2 : 90%,
nadi : 186 x/menit, kuat, pernafasan : 56 x/menit, suhu : 38,2º C.
Lingkar kepala : 38,5 cm. Ditemukan adanya wajah dismorfik, low nasal
brigde dan low set ear. Pemeriksaan toraks ditemukan ronki basah halus di
kedua lapang paru. Dari hasil pemeriksaan darah rutin didapatkan
leukositosis (24.710 IU).
F. DAFTAR MASALAH
1. Demam
2. Sesak napas
3. Batuk pilek
4. Riwayat beyi berat lahir rendah (BBLR), imunisasi tidak lengkap
berdasarkan Depkes dan IDAI 2011
5. RBH (+/+)
6. Kepala : mikrosefal, LK 38,5 cm (LK <-2 SD) (Nellhaus),
kraniosinostosis
7. Wajah dismorfik, low nasal bridge dan low set ear
8. Laboratorium Leukositosis (24.710 UI)
G. DIAGNOSIS BANDING
1. Penumonia DD Bronkiolitis
2. Tersangka sindrom Tertentu
H. DIAGNOSIS KERJA
1. Pneumonia
2. TSK sindrom tertentu
3. Gizi baik
I. PENATALAKSANAAN
1. ASI/ASB 8 x 80-120 ml
2. IVFD D ¼ NS 6 tpm makro
3. Paracetamol (10 mg/kgBB/x) ~ 3 x 60 mg (3 ml)
4. Inj. Ampisillin (100 mg/kgBB/hari) ~ 175 mg/6 jam IV
5. Inj. Chloramphenicol (150 mg/kgBB/hari) ~ 175 mg/6 jam IV
6. Nebu NaCl 0.9% 5 ml/8 jam
J. MONITORING
1. Keadaan umum dan tanda vital tiap 4 jam
2. Balance cairan per 8 jam
K. PLAN
1. EKG
2. Foto toraks
3. AGD (evaluasi)
4. TSH/FT4 menunggu unfeksi teratasi
5. Konsul sub divisikardiologi
6. Konsul subdivisi endokrinologi menunggu TSH/FT4
7. Konsul sub divisineurologi
L. EDUKASI
1. Mengenai penyakit pasien, bahwa penyakit pasien merupakan penyakit
serius dan membutuhkan penangan ahli dan waktu yang lama
2. Mengenai kesembuhan pasien dan kemungkinan adanya komplikasi
M. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia
Ad sanam : dubia
Ad fungsionam : dubia ad malam
N. FOLLOW UP
1. Follow Up Pemeriksaan Laboratorium
ANALISA GAS DARAH
Tanggal 2 Januari 2015 6 Januari 2015
PH 7.315 7.071 7.350 – 7.450
BE -2.7 -7.4 mmol/L -2 s.d +3
PCO2 48.0 86.1 mmHg 27.0 – 41.0
PO2 23.2 24.1 mmHg 83.0 – 108.0
Hematokrit 32 39 % 37 – 50
HCO3 22.0 17.8 mmol/L 21.0 – 28.0
Total CO2 21.6 24.2 mmol/L 19.0 – 24.0
PembacaanHasilAGD :
AGD tanggal 6 Januari 2015
Kesan: Gagal napas tipe campuran (mixed asidosis respiratorik +
metabolik)
P/F ratio: 24.1 : 30.12 ~ ARDS
0.8
LaboratoriumDarahRutin
Tanggal 7 Jan 15 Jan Satuan Rujukan
Hb 10.3 12.4 g/dL 12 – 16
Hct 36 39 % 37 – 47
AE 4.29 4.76 .106/uL 4,2 – 5,4
AL 18.5 17.1 .103/uL 5,2 – 12,4
Neutrofil 70 27.50
Limfosit 21.20 53.60 % 19 – 48
Monosit 4.20 7.90 % 3,4 – 9
Eosinofil 0 1.40 % 0 – 7
Basofil 0.10 0.30 % 0 – 1,5
MCV 83.5 81.1 fL 80 – 94
MCH 24.0 26.1 Pg 27 – 31
MCHC 28.7 32.2 % 33 – 37
AT 211 319 .103/uL 150 – 450
Gol.Darah
HBsAg Non Reaktif
2. Pemeriksaan TSH dan FT4 (12 Januari 2015)
TSH: 2.91 uIU/ml (N: 0.7 – 6.40 uIU/ml)
FT4: 16.64 pmol/L (N: 10.30 – 25.80 pmol/L)
Kesimpulan : dalam batas normal, tidak mendukung gambaran hipotiroid
3. Pemeriksaan Foto Toraks
Dari hasil pemeriksaan foto toraks tampak gambaran lapang paru
menyokong diagnosis pneumonia.
4. Pemeriksaan EKG : hasil pemeriksaan EKG adalah sinus ritme heart
rate 190 x / menit, normo aksis.
5. Pemeriksaan Ekokardiografi
Finding: situs – solitus AV – VA concordance
Muara vena sistemik, vena pulmonalis normal
Tidak dijumpai VSD dan PDA
Ruang jantung RA dan RV dilatasi
Dijumpai ASD II dengan diameter 0.8 – 0.9 cm L to R shunt
EF 68%, LA/Ao 1.17
Arkus aorta dikiri Koar (-)
Conclusion: ASD secundum L to R shunt
Suggestion : kateterisasi jantung
6. Follow up status pasien
Follow up 3 Januari 2015 4 Januari 2015 5 Januari 2015 5 Januari 2015 (23.00) 6 Januari 2015
S Demam (-), kejang (-), makan (+),
minum (+), BAB (+), BAK (+),
batuk (-), pilek (-)
Demam (+), kejang (-), makan (+),
minum (+), BAB (+), BAK (+),
batuk (-), pilek (-)
Demam (-), kejang (-), makan (+),
minum (+), BAB (+), BAK (+),
batuk (-), pilek (-)
Sesak (+), tampak sesak setelah
makan bubur, tersedak (-),
demam (-), pilek (-)
Demam (-), kejang (-), makan (+),
minum (+), BAB (+), BAK (+),
batuk (-), pilek (-)
O KU: tampak sakit, sedang rewel,
GCS E4V5M6, gizi kesan baik
KU: tampak sakit sedang, rewel,
GCS E4V5M6, gizi kesan baik
KU: tampak sakit sedang, rewel,
GCS E4V5M6, gizi kesan baik
KU: tampak sakit berat, GCS
E4V5M6, gizi kesan baik
KU: tampak sakit sedang, rewel,
GCS E4V5M6, gizi kesan baik
Tanda Vital SiO2: 94%, RR 36x/menit, t
36.8oC, HR 134x/menit
SiO2: 99%, RR 37x/menit, t
38.6oC, HR 136x/menit
SiO2: 99%, RR 37x/menit, t
38.6oC, HR 136x/menit
SiO2: 80%, RR 65x/menit, t
37oC, HR 120x/menit, HR
136x/menit
SiO2: 99%, RR 37x/menit, t
38.6oC, HR 136x/menit
Kepala Mikrocephal, LK 38.5 cm (LK < -
2SD), UUB menutup
Mikrocephal, LK 38.5 cm (LK < -
2SD), UUB menutup
Mikrocephal, LK 38.5 cm (LK < -
2SD), UUB menutup
Mikrocephal, LK 38.5 cm (LK <
-2SD), UUB menutup
Mikrocephal, LK 38.5 cm (LK < -
2SD), UUB menutup
Telinga Sekret (-/-) Sekret (-/-) Sekret (-/-) Sekret (-/-) Sekret (-/-)
Mata CA (-/-), SI (-/-), epicantal fold (-
/-)
CA (-/-), SI (-/-), epicantal fold (-
/-)
CA (-/-), SI (-/-), epicantal fold (-
/-)
CA (-/-), SI (-/-), epicantal fold
(-/-)
CA (-/-), SI (-/-), epicantal fold (-
/-)
Hidung Nafas cuping hidung (-), sekret (-/-) Nafas cuping hidung (-), sekret (-/-
)
Nafas cuping hidung (-), sekret (-/-
)
Nafas cuping hidung (+), sekret (-
/-)
Nafas cuping hidung (-), sekret (-/-
)
Mulut Mukosa basah (+) Mukosa basah (+) Mukosa basah (+) Mukosa basah (+) Mukosa basah (+)
Tenggorok Tonsil T1-T1 hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
Tonsil T1-T1 hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
Tonsil T1-T1 hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
Tonsil T1-T1 hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
Tonsil T1-T1 hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
Thorax Retraksi (-) Retraksi (-) Retraksi (-) Retraksi (+) epigastrial, subcostal Retraksi (-)
Cor I: ictus cordis tak tampak
P: ictus cordis tidak kuat angkat
P: batas jantung sde
A: BJ I-II intensitas normal,
reguler, bising (-)
I: ictus cordis tak tampak
P: ictus cordis tidak kuat angkat
P: batas jantung sde
A: BJ I-II intensitas normal,
reguler, bising (-)
I: ictus cordis tak tampak
P: ictus cordis tidak kuat angkat
P: batas jantung sde
A: BJ I-II intensitas normal,
reguler, bising (-)
I: ictus cordis tak tampak
P: ictus cordis tidak kuat angkat
P: batas jantung sde
A: BJ I-II intensitas normal,
reguler, bising (-)
I: ictus cordis tak tampak
P: ictus cordis tidak kuat angkat
P: batas jantung sde
A: BJ I-II intensitas normal,
reguler, bising (-)
Pulmo I: pengembangan dada kanan = kiri
P: fremitus raba kanan = kiri
P: sonor/sonor
A: suara dasar: vesikuler. RBK
(+/+) minimal, wheezing (+/+)
minimal
I: pengembangan dada kanan =
kiri
P: fremitus raba kanan = kiri
P: sonor/sonor
A: suara dasar: vesikuler, RBK
(+/-) minimal, wheezing (+/-)
minimal
I: pengembangan dada kanan =
kiri
P: fremitus raba kanan = kiri
P: sonor/sonor
A: suara dasar: vesikuler, RBK (-/-
), wheezing (-/-)
I: pengembangan dada kanan =
kiri
P: fremitus raba kanan = kiri
P: sonor/sonor
A: suara dasar: vesikuler, RBK
(+/+), RBH (+/+), wheezing (+/+)
I: pengembangan dada kanan =
kiri
P: fremitus raba kanan = kiri
P: sonor/sonor
A: suara dasar: vesikuler, RBK
(+/+), RBH (+/+), wheezing (+/+)
Abdomen I: dinding dada // dinding perut
A: bising usus (+) normal
P: timpani
P: supel, nyeri tekan (-), hepar dan
lien tidak teraba
I: dinding dada // dinding perut
A: bising usus (+) normal
P: timpani
P: supel, nyeri tekan (-), hepar dan
lien tidak teraba
I: dinding dada // dinding perut
A: bising usus (+) normal
P: timpani
P: supel, nyeri tekan (-), hepar dan
lien tidak teraba
I: dinding dada // dinding perut
A: bising usus (+) normal
P: timpani
P: supel, nyeri tekan (-), hepar
dan lien tidak teraba
I: dinding dada // dinding perut
A: bising usus (+) normal
P: timpani
P: supel, nyeri tekan (-), hepar dan
lien tidak teraba
Genital Dalam batas normal Dalam batas normal Dalam batas normal Dalam batas normal Dalam batas normal
Ekstremitas Akral dingin (-), sianosis (-), CRT Akral dingin (-), sianosis (-), CRT Akral dingin (-), sianosis (-),CRT Akral dingin (-), sianosis (-),CRT Akral dingin (-), sianosis (-),CRT
< 2”, ADP kuat < 2”, ADP kuat
R. fisiologis: dalam batas normal
R. patologis: (-)
Meningeal sign (-)
< 2”, ADP kuat
R. fisiologis: dalam batas normal
R. patologis: (-)
Meningeal sign (-)
< 2”, ADP kuat
R. fisiologis: dalam batas normal
R. patologis: (-)
Meningeal sign (-)
< 2”, ADP kuat
R. fisiologis: dalam batas normal
R. patologis: (-)
Meningeal sign (-)
Asessment
- Pneumonia
- Cranioisositosis
- Tsk sindroma tertentu
- Gizi baik
- Pneumonia
- Cranioisositosis
- Tsk sindroma tertentu
- Gizi baik
- Assesment sub neurologi:
mikrocephal ec dd TORCH
- Pneumonia
- Cranioisositosis
- Tsk sindroma tertentu
- Gizi baik
- Pneumonia dengan gagal napas
(klinis)
- Tsk aspirasi
- Pneumonia
- Cranioisositosis
- Tsk sindroma tertentu
- Gizi baik
Terapi - Diet ASI/ASB 8 x 80-120 ml
- IVFD D ¼ NS 6 tmp makro
- Paracetamol (10mg/kgBB/x) ~ 3
x 70 mg (3ml)
- Inj. Ampicillin (100
mg/kgBB/hari) ~ 175 mg/6 jam
IV
- Chloramphenicol (100
mg/kgBB/hari) ~ 175 mg/6 jam
IV
- Nebu NaCl 0.9% 5 cc/8 jam
- Diet ASI/ASB 8 x 80-120 ml
- IVFD D ¼ NS 6 tmp makro
- Paracetamol (10mg/kgBB/x) ~ 3
x 70 mg (3ml)
- Inj. Ampicillin (100
mg/kgBB/hari) ~ 175 mg/6 jam
IV
- Chloramphenicol (100
mg/kgBB/hari) ~ 175 mg/6 jam
IV
- Diet ASI/ASB 8 x 80-120 ml
- IVFD D ¼ NS 6 tmp makro
- Paracetamol (10mg/kgBB/x) ~
3 x 70 mg (3ml)
- Inj. Ampicillin (100
mg/kgBB/hari) ~ 175 mg/6 jam
IV
- Chloramphenicol (100
mg/kgBB/hari) ~ 175 mg/6 jam
IV
- Nebu – suction evaluasi
post nebu (23.20) suction
slim (+) kental, HR
120x/menit, RR 65x/menit, t
37oC, SiO2 80-95%, RBH
(+/+), RBK (+/+), wheezing
(+/+) headbox 6 lpm, pasang
NGT, dekompresi, puasa
evaluasi AGD 1 jam post
pemasangan headbox hasil
AGD: asidosis respiratorik
headbox 8 lpm. Advis
dr.Ismiranti Sp.A
maksimalkan perawatan di
bangsal, edukasi keluarga
- Inform consent pasang OGT
a.i. ancaman gagal napas
- O2 headbox 8 lpm
- Diet ASI/ASB 8 x 80-120 ml
- IVFD D ¼ NS 6 tmp makro
- Paracetamol (10mg/kgBB/x) ~
3 x 70 mg (3ml)
- Inj. Ampicillin (100
mg/kgBB/hari) ~ 175 mg/6 jam
IV
- Chloramphenicol (100
mg/kgBB/hari) ~ 175 mg/6 jam
IV
Plan TSH/FT4 menunggu infeksi teratasi TSH/FT4 menunggu infeksi
teratasi
Plan sub neurologi: MSCT kepala
tanpa kontras tunggu acc
keluarga, jika ada kalsifikasi
pelacakan ke arah TORCH
TSH/FT4 menunggu infeksi
teratasi
TSH/FT4 menunggu infeksi
teratasi
TSH/FT4 menunggu infeksi
teratasi
Rencana pindah PICU
konfirmasi PICU acc keluarga
CT Scan kepala tunggu KU baik
Monitoring KU/VS/SiO2/4 jam, BCD/8 jam KU/VS/8 jam, SiO2/4 jam, BCD/8
jam
KU/VS/8 jam, SiO2/4 jam, BCD/8
jam
KU/VS/SiO2/jam, BCD/8 jam KU/VS/8 jam, SiO2/4 jam, BCD/8
jam
Follow up 7 Januari 2015 8 Januari 2015 9 Januari 2015 10 Januari 2015 11 Januari 2015
S Demam (+), kejang (-), makan (+),
minum (+), BAB (+), BAK (+),
batuk (-), pilek (-), sesak (+)
Demam (-), kejang (-), makan (+),
minum (+), BAB (+), BAK (+),
batuk (-), pilek (-), sesak (+)
Demam (-), kejang (-), makan (+),
minum (+), BAB (+), BAK (+),
batuk (+) dahak encer, pilek (-),
sesak (+)↓↓
Demam (-), kejang (-), makan
(+), minum (+), BAB (+), BAK
(+), batuk (-), pilek (-), sesak (-)
Demam (-), kejang (-), makan (+),
minum (+), BAB (+), BAK (+),
batuk (-), pilek (-), sesak (-)
O KU: tampak sesak napas, letargi,
GCS E4V5M6, gizi kesan baik
KU: tampak sesak napas, letargi,
GCS E4V5M6, gizi kesan baik
KU: tampak sesak napas, letargi,
GCS E4V5M6, gizi kesan baik
KU: tampak sakit sedang, GCS
E4V5M6, gizi kesan baik
KU: tampak sakit sedang, GCS
E4V5M6, gizi kesan baik
Tanda Vital SiO2: 99%, RR 44x/menit, t
37.9oC, HR 136x/menit
SiO2: 99%, RR 40x/menit, t
36.7oC, HR 130x/menit
SiO2: 99%, RR 39x/menit, t
37.3oC, HR 128x/menit
SiO2: 98%, RR 38x/menit, t
37.2oC, HR 122x/menit
SiO2: 99%, RR 39x/menit, t 37oC,
HR 119x/menit
Kepala Mikrocephal, LK 38.5 cm (LK < -
2SD), UUB menutup
Mikrocephal, LK 38.5 cm (LK < -
2SD), UUB menutup
Mikrocephal, LK 38.5 cm (LK < -
2SD), UUB menutup
Mikrocephal, LK 38.5 cm (LK <
-2SD), UUB menutup
Mikrocephal, LK 38.5 cm (LK < -
2SD), UUB menutup
Telinga Sekret (-/-) Sekret (-/-) Sekret (-/-) Sekret (-/-) Sekret (-/-)
Mata CA (-/-), SI (-/-), epicantal fold (-
/-)
CA (-/-), SI (-/-), epicantal fold (-
/-)
CA (-/-), SI (-/-), epicantal fold (-
/-)
CA (-/-), SI (-/-), epicantal fold
(-/-)
CA (-/-), SI (-/-), epicantal fold (-
/-)
Hidung Nafas cuping hidung (-), sekret (-/-) Nafas cuping hidung (-), sekret (-/-
)
Nafas cuping hidung (-), sekret (-/-
)
Nafas cuping hidung (-), sekret (-
/-)
Nafas cuping hidung (-), sekret (-/-
)
Mulut Mukosa basah (+) Mukosa basah (+) Mukosa basah (+) Mukosa basah (+) Mukosa basah (+)
Tenggorok Tonsil T1-T1 hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
Tonsil T1-T1 hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
Tonsil T1-T1 hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
Tonsil T1-T1 hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
Tonsil T1-T1 hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
Thorax Retraksi (+) epigastrial, subcostal Retraksi (+)subcostal Retraksi (+)subcostal Retraksi (-) Retraksi (-)
Cor I: ictus cordis tak tampak
P: ictus cordis tidak kuat angkat
P: batas jantung sde
A: BJ I-II intensitas normal,
reguler, bising (-)
I: ictus cordis tak tampak
P: ictus cordis tidak kuat angkat
P: batas jantung sde
A: BJ I-II intensitas normal,
reguler, bising (-)
I: ictus cordis tak tampak
P: ictus cordis tidak kuat angkat
P: batas jantung sde
A: BJ I-II intensitas normal,
reguler, bising (+) kontinyu grade
III-IV, punctum maximum di SIC
III-IV LPSS
I: ictus cordis tak tampak
P: ictus cordis tidak kuat angkat
P: batas jantung sde
A: BJ I-II intensitas normal,
reguler, bising (+) grade III-IV,
PM di SIC III-IV LPSS
I: ictus cordis tak tampak
P: ictus cordis tidak kuat angkat
P: batas jantung sde
A: BJ I-II intensitas normal,
reguler, bising (+) grade III-IV,
PM di SIC III-IV LPSS
Pulmo I: pengembangan dada kanan = kiri
P: fremitus raba kanan = kiri
P: sonor/sonor
A: suara dasar: vesikuler. RBK
(+/+), RBH (+/+), wheezing (+/+)
I: pengembangan dada kanan =
kiri
P: fremitus raba kanan = kiri
P: sonor/sonor
A: suara dasar: vesikuler. RBK
(+/+), RBH (+/+), wheezing (+/+)
I: pengembangan dada kanan =
kiri
P: fremitus raba kanan = kiri
P: sonor/sonor
A: suara dasar: vesikuler. RBK
(+/+), RBH (-/-), wheezing (-/-)
I: pengembangan dada kanan =
kiri
P: fremitus raba kanan = kiri
P: sonor/sonor
A: suara dasar: vesikuler. RBK
(+/+), RBH (-/-), wheezing (-/-)
I: pengembangan dada kanan =
kiri
P: fremitus raba kanan = kiri
P: sonor/sonor
A: suara dasar: vesikuler. RBK
(+/+), RBH (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen I: dinding dada // dinding perut
A: bising usus (+) normal
P: timpani
P: supel, nyeri tekan (-), hepar dan
I: dinding dada // dinding perut
A: bising usus (+) normal
P: timpani
P: supel, nyeri tekan (-), hepar dan
I: dinding dada // dinding perut
A: bising usus (+) normal
P: timpani
P: supel, nyeri tekan (-), hepar dan
I: dinding dada // dinding perut
A: bising usus (+) normal
P: timpani
P: supel, nyeri tekan (-), hepar
I: dinding dada // dinding perut
A: bising usus (+) normal
P: timpani
P: supel, nyeri tekan (-), hepar dan
lien tidak teraba lien tidak teraba lien tidak teraba dan lien tidak teraba lien tidak teraba
Genital Dalam batas normal Dalam batas normal Dalam batas normal Dalam batas normal Dalam batas normal
Ekstremitas Akral dingin (-), sianosis (-), CRT
< 2”, ADP kuat
R. fisiologis: dalam batas normal
R. patologis: (-)
Meningeal sign (-)
Akral dingin (-), sianosis (-), CRT
< 2”, ADP kuat
R. fisiologis: dalam batas normal
R. patologis: (-)
Meningeal sign (-)
Akral dingin (-), sianosis (-), CRT
< 2”, ADP kuat
R. fisiologis: dalam batas normal
R. patologis: (-)
Meningeal sign (-)
Akral dingin (-), sianosis (-), CRT
< 2”, ADP kuat
R. fisiologis: dalam batas normal
R. patologis: (-)
Meningeal sign (-)
Akral dingin (-), sianosis (-), CRT
< 2”, ADP kuat
R. fisiologis: dalam batas normal
R. patologis: (-)
Meningeal sign (-)
Asessment
- Pneumonia
- Cranioisositosis ec dd TORCH
- Tsk sindroma tertentu
- Gizi baik
- Sepsis (klinis)
- Pneumonia
- Cranioisositosis ec dd TORCH
- Tsk sindroma tertentu
- Gizi baik
- Sepsis (klinis)
- Pneumonia
- Cranioisositosis ec dd TORCH
- Tsk sindroma tertentu
- Gizi baik
- Sepsis (klinis)
- Pneumonia
- Cranioisositosis ec dd
TORCH
- Tsk sindroma tertentu
- Gizi baik
- DE: tsk PJB asianotik, DA: tsk
VSD dd PDA, DF: NYHA I
- Pneumonia
- Cranioisositosis ec dd TORCH
- Tsk sindroma tertentu
- Gizi baik
- DE: tsk PJB asianotik, DA:
ASD secundum L to R shunt,
DF: NYHA I
Terapi - Puasa sementara konsul sub
gizi metabolik
- O2 headbox 6 lpm
- IVFD D ¼ NS 430 cc + D40%
70 cc 6 tpm
- Paracetamol (10mg/kgBB/x) ~ 3
x 70 mg (3ml)
- Inj. Ceftriaxone (50
mg/kgBB/12 jam) ~ 350 mg/12
jam
- Metronidazole loading (15
mg/kgBB/8 jam) ~ 100 mg
7.5mg/kgBB/8 jam ~ 50 mg/8
jam
- Nebu NaCl 0.9% 5 cc/8 jam
- Puasa sementara
- O2 headbox 5 lpm
- IVFD D ¼ NS 430 cc + D40%
70 cc 6 tpm
- Paracetamol (10mg/kgBB/x) ~
3 x 70 mg (3ml)
- Inj. Ceftriaxone (50
mg/kgBB/12 jam) ~ 350 mg/12
jam
- Inj. Metronidazole
(7.5mg/kgBB/8 jam) 50
mg/8 jam
- Nebu NaCl 0.9% 5 cc/8 jam
- Puasa sementara
- O2 headbox 4 lpm
- IVFD D ¼ NS 430 cc + D40%
70 cc 6 tpm
- Paracetamol (10mg/kgBB/x) ~
3 x 70 mg (3ml)
- Inj. Ceftriaxone (50
mg/kgBB/12 jam) ~ 350 mg/12
jam
- Inj. Metronidazole
(7.5mg/kgBB/8 jam) 50
mg/8 jam
- Nebu NaCl 0.9% 5 cc/8 jam
- ASI/ASB 8 x 80 cc
- O2 nasal 2 lpm
- IVFD D ¼ NS 430 cc + D40%
70 cc 6 tpm
- Paracetamol (10mg/kgBB/x) ~
3 x 70 mg (3ml)
- Inj. Ceftriaxone (50
mg/kgBB/12 jam) ~ 350
mg/12 jam
- Inj. Metronidazole
(7.5mg/kgBB/8 jam) 50
mg/8 jam
- Nebu NaCl 0.9% 5 cc/8 jam
- ASI/ASB 8 x 80 cc
- O2 nasal 2 lpm
- IVFD D ¼ NS 430 cc + D40%
70 cc 6 tpm
- Paracetamol (10mg/kgBB/x) ~
3 x 70 mg (3ml)
- Inj. Ceftriaxone (50
mg/kgBB/12 jam) ~ 350 mg/12
jam
- Inj. Metronidazole
(7.5mg/kgBB/8 jam) 50
mg/8 jam
- Nebu NaCl 0.9% 5 cc/8 jam
Plan TSH/FT4 menunggu infeksi teratasi
CT Scan kepala tunggu KU baik
TSH/FT4 menunggu infeksi
teratasi
CT Scan kepala tunggu KU baik
TSH/FT4 menunggu infeksi
teratasi
CT Scan kepala tunggu KU baik
Konsul sub kardiologi
TSH/FT4 menunggu infeksi
teratasi
CT Scan kepala hari ini
Echocardiograph tunggu
jadwal
Konsul RM fisioterapi
TSH/FT4 menunggu infeksi
teratasi
Echocardiograph evaluasi 6 bulan
lagi
Monitoring KU/VS/SiO2/2 jam, BCD/8 jam KU/VS/SiO2/2 jam, BCD/8 jam KU/VS/SiO2/2 jam, BCD/8 jam KU/VS/SiO2/2 jam, BCD/8 jam KU/VS/SiO2/2 jam, BCD/8 jam
Follow up 12 Januari 2015 13 Januari 2015 14 Januari 2015 15 Januari 2015 16 Januari 2015
S Demam (-), kejang (-), makan (+),
minum (+), BAB (+), BAK (+),
batuk (-), pilek (-), sesak (-)
Demam (-), kejang (-), makan (+),
minum (+), BAB (+), BAK (+),
batuk (-), pilek (-), sesak (-)
Demam (-), kejang (-), makan (+),
minum (+), BAB (+), BAK (+),
batuk (-), pilek (-), sesak (-)
Demam (-), kejang (-), makan (+),
minum (+), BAB (+), BAK (+),
batuk (-), pilek (-), sesak (-)
Demam (-), kejang (-), makan (+),
minum (+), BAB (+), BAK (+),
batuk (-), pilek (-), sesak (-)
O KU: tampak sakit sedang, GCS
E4V5M6, gizi kesan baik
KU: tampak sakit sedang, GCS
E4V5M6, gizi kesan baik
KU: tampak sakit sedang, GCS
E4V5M6, gizi kesan baik
KU: tampak sakit sedang, GCS
E4V5M6, gizi kesan baik
KU: tampak sakit sedang, GCS
E4V5M6, gizi kesan baik
Tanda Vital SiO2: 99%, RR 40x/menit, t
36.8oC, HR 121x/menit
SiO2: 99%, RR 38x/menit, t
37.1oC, HR 120x/menit
SiO2: 99%, RR 37x/menit, t
36.7oC, HR 118x/menit
SiO2: 99%, RR 36x/menit, t
36.5oC, HR 116x/menit
SiO2: 99%, RR 35x/menit, t
36.8oC, HR 118x/menit
Kepala Mikrocephal, LK 38.5 cm (LK < -
2SD), UUB menutup
Mikrocephal, LK 38.5 cm (LK < -
2SD), UUB menutup
Mikrocephal, LK 38.5 cm (LK < -
2SD), UUB menutup
Mikrocephal, LK 38.5 cm (LK < -
2SD), UUB menutup
Mikrocephal, LK 38.5 cm (LK < -
2SD), UUB menutup
Telinga Sekret (-/-) Sekret (-/-) Sekret (-/-) Sekret (-/-) Sekret (-/-)
Mata CA (-/-), SI (-/-), epicantal fold (-
/-)
CA (-/-), SI (-/-), epicantal fold (-
/-)
CA (-/-), SI (-/-), epicantal fold (-
/-)
CA (-/-), SI (-/-), epicantal fold (-
/-)
CA (-/-), SI (-/-), epicantal fold (-
/-)
Hidung Nafas cuping hidung (-), sekret (-/-) Nafas cuping hidung (-), sekret (-/-) Nafas cuping hidung (-), sekret (-/-) Nafas cuping hidung (-), sekret (-/-) Nafas cuping hidung (-), sekret (-/-)
Mulut Mukosa basah (+) Mukosa basah (+) Mukosa basah (+) Mukosa basah (+) Mukosa basah (+)
Tenggorok Tonsil T1-T1 hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
Tonsil T1-T1 hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
Tonsil T1-T1 hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
Tonsil T1-T1 hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
Tonsil T1-T1 hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
Thorax Retraksi (-) Retraksi (-) Retraksi (-) Retraksi (-) Retraksi (-)
Cor I: ictus cordis tak tampak
P: ictus cordis tidak kuat angkat
P: batas jantung sde
A: BJ I-II intensitas normal,
reguler, bising (+) grade III-IV, PM
di SIC III-IV LPSS
I: ictus cordis tak tampak
P: ictus cordis tidak kuat angkat
P: batas jantung sde
A: BJ I-II intensitas normal,
reguler, bising (+) grade III-IV, PM
di SIC III-IV LPSS
I: ictus cordis tak tampak
P: ictus cordis tidak kuat angkat
P: batas jantung sde
A: BJ I-II intensitas normal,
reguler, bising (+) grade III-IV, PM
di SIC III-IV LPSS
I: ictus cordis tak tampak
P: ictus cordis tidak kuat angkat
P: batas jantung sde
A: BJ I-II intensitas normal,
reguler, bising (+) grade III-IV, PM
di SIC III-IV LPSS
I: ictus cordis tak tampak
P: ictus cordis tidak kuat angkat
P: batas jantung sde
A: BJ I-II intensitas normal,
reguler, bising (+) grade III-IV, PM
di SIC III-IV LPSS
Pulmo I: pengembangan dada kanan = kiri
P: fremitus raba kanan = kiri
P: sonor/sonor
A: suara dasar: vesikuler. RBK
(+/+), RBH (-/-), wheezing (-/-)
I: pengembangan dada kanan = kiri
P: fremitus raba kanan = kiri
P: sonor/sonor
A: suara dasar: vesikuler. RBK
(+/+), RBH (-/-), wheezing (-/-)
I: pengembangan dada kanan = kiri
P: fremitus raba kanan = kiri
P: sonor/sonor
A: suara dasar: vesikuler. RBK
(+/+), RBH (-/-), wheezing (-/-)
I: pengembangan dada kanan = kiri
P: fremitus raba kanan = kiri
P: sonor/sonor
A: suara dasar: vesikuler. RBK
(+/+), RBH (-/-), wheezing (-/-)
I: pengembangan dada kanan = kiri
P: fremitus raba kanan = kiri
P: sonor/sonor
A: suara dasar: vesikuler. RBK
(+/+), RBH (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen I: dinding dada // dinding perut
A: bising usus (+) normal
P: timpani
P: supel, nyeri tekan (-), hepar dan
lien tidak teraba
I: dinding dada // dinding perut
A: bising usus (+) normal
P: timpani
P: supel, nyeri tekan (-), hepar dan
lien tidak teraba
I: dinding dada // dinding perut
A: bising usus (+) normal
P: timpani
P: supel, nyeri tekan (-), hepar dan
lien tidak teraba
I: dinding dada // dinding perut
A: bising usus (+) normal
P: timpani
P: supel, nyeri tekan (-), hepar dan
lien tidak teraba
I: dinding dada // dinding perut
A: bising usus (+) normal
P: timpani
P: supel, nyeri tekan (-), hepar dan
lien tidak teraba
Genital Dalam batas normal Dalam batas normal Dalam batas normal Dalam batas normal Dalam batas normal
Ekstremitas Akral dingin (-), sianosis (-), CRT Akral dingin (-), sianosis (-), CRT Akral dingin (-), sianosis (-), CRT Akral dingin (-), sianosis (-), CRT Akral dingin (-), sianosis (-), CRT
< 2”, ADP kuat
R. fisiologis: dalam batas normal
R. patologis: (-)
Meningeal sign (-)
< 2”, ADP kuat
R. fisiologis: dalam batas normal
R. patologis: (-)
Meningeal sign (-)
< 2”, ADP kuat
R. fisiologis: dalam batas normal
R. patologis: (-)
Meningeal sign (-)
< 2”, ADP kuat
R. fisiologis: dalam batas normal
R. patologis: (-)
Meningeal sign (-)
< 2”, ADP kuat
R. fisiologis: dalam batas normal
R. patologis: (-)
Meningeal sign (-)
Asessment
- Pneumonia
- Cranioisositosis ec dd TORCH
- Tsk sindroma tertentu
- Gizi baik
- DE: tsk PJB asianotik, DA:
ASD secundum L to R shunt,
DF: NYHA I
- Anemia normositik hipokromik
e.c infeksi dd penyakit kronis
- Pneumonia
- Cranioisositosis ec dd TORCH
- Tsk sindroma tertentu
- Gizi baik
- DE: tsk PJB asianotik, DA:
ASD secundum L to R shunt,
DF: NYHA I
- Anemia normositik hipokromik
e.c infeksi dd penyakit kronis
- Higroma subdural
- Pneumonia
- Cranioisositosis ec dd TORCH
- Tsk sindroma tertentu
- Gizi baik
- DE: tsk PJB asianotik, DA:
ASD secundum L to R shunt,
DF: NYHA I
- Anemia normositik hipokromik
e.c infeksi dd penyakit kronis
- Higroma subdural
- Sp.RM: hipersekresi bronkus
- Pneumonia
- Cranioisositosis ec dd TORCH
- Tsk sindroma tertentu
- Gizi baik
- DE: tsk PJB asianotik, DA:
ASD secundum L to R shunt,
DF: NYHA I
- Anemia normositik hipokromik
e.c infeksi dd penyakit kronis
- Higroma subdural
- Sp.RM: hipersekresi bronkus
- Pneumonia
- Cranioisositosis ec dd TORCH
- Tsk sindroma tertentu
- Gizi baik
- DE: tsk PJB asianotik, DA:
ASD secundum L to R shunt,
DF: NYHA I
- Anemia normositik hipokromik
e.c infeksi dd penyakit kronis
- Higroma subdural
- Sp.RM: hipersekresi bronkus
Terapi - ASI/ASB 8 x 80 cc
- O2 nasal 2 lpm
- IVFD D ¼ NS 430 cc + D40%
70 cc 6 tpm
- Paracetamol (10mg/kgBB/x) ~ 3
x 70 mg (3ml)
- Inj. Ceftriaxone (50
mg/kgBB/12 jam) ~ 350 mg/12
jam
- Inj. Metronidazole
(7.5mg/kgBB/8 jam) 50
mg/8 jam
- Nebu NaCl 0.9% 5 cc/8 jam
- ASI/ASB 8 x 80 cc
- O2 nasal 2 lpm
- IVFD D ¼ NS 430 cc + D40%
70 cc 6 tpm
- Paracetamol (10mg/kgBB/x) ~ 3
x 70 mg (3ml)
- Inj. Ceftriaxone (50
mg/kgBB/12 jam) ~ 350 mg/12
jam
- Inj. Metronidazole
(7.5mg/kgBB/8 jam) 50
mg/8 jam
- Nebu NaCl 0.9% 5 cc/8 jam
- ASI/ASB 8 x 80 cc
- O2 nasal 2 lpm
- IVFD D ¼ NS 430 cc + D40%
70 cc 6 tpm
- Paracetamol (10mg/kgBB/x) ~ 3
x 70 mg (3ml)
- Inj. Ceftriaxone (50
mg/kgBB/12 jam) ~ 350 mg/12
jam
- Inj. Metronidazole
(7.5mg/kgBB/8 jam) 50
mg/8 jam
- Nebu NaCl 0.9% 5 cc/8 jam
- Fisioterapi: Gentle chest therapy
- ASI/ASB 8 x 80 cc
- O2 nasal 2 lpm
- IVFD D ¼ NS 430 cc + D40%
70 cc 6 tpm
- Paracetamol (10mg/kgBB/x) ~ 3
x 70 mg (3ml)
- Inj. Ceftriaxone (50
mg/kgBB/12 jam) ~ 350 mg/12
jam
- Inj. Metronidazole
(7.5mg/kgBB/8 jam) 50
mg/8 jam
- Nebu NaCl 0.9% 5 cc/8 jam
- Furosemid 2 x 2 mg
- Digoxin 2 x 0.25 mg
- Aldactone 2 x 3.125 mg
- Fisioterapi: Gentle chest therapy
- ASI/ASB 8 x 80 cc
- Paracetamol (10mg/kgBB/x) ~ 3
x 70 mg (3ml)
- Cefixime 2 x 35 mg
- Furosemid 2 x 2 mg
- Digoxin 2 x 0.25 mg
- Aldactone 2 x 3.125 mg
- Fisioterapi: Gentle chest therapy
Plan Cek TSH/FT4 hari ini tidak
mendukung gambaran hipotiroid
Echocardiograph evaluasi 6 bulan
lagi
Alih leader sub kardiologi
Echocardiograph evaluasi 6 bulan
lagi
Echocardiograph evaluasi 6 bulan
lagi
Echocardiograph evaluasi 6 bulan
lagi
Echocardiograph evaluasi 6 bulan
lagi
BLPL kontrol poli kardiologi
hari rabu, 21 Januari 2015
Monitoring KU/VS/SiO2/2 jam, BCD/8 jam KU/VS/SiO2/2 jam, BCD/8 jam KU/VS/SiO2/4 jam, BCD/8 jam KU/VS/SiO2/4 jam, BCD/8 jam -
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penumonia
1. Definisi
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan
paru-paru (alveoli) biasanya disebabkan oleh masuknya kuman bakteri,
yang ditandai oleh gejala klinis batuk, demam tinggi dan disertai
adanya napas cepat ataupun tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam. Dalam pelaksanaan Pemberantasan Penyakit ISPA (P2ISPA)
semua bentuk pneumonia baik pneumonia maupun bronchopneumonia
disebut pneumonia.
Pneumonia merupakan penyakit batuk pilek disertai napas
sesak atau napas cepat. Napas sesak ditandai dengan dinding dada
bawah tertarik ke dalam, sedangkan napas cepat diketahui dengan
menghitung tarikan napas dalam satu menit. Untuk balita umur 2 tahun
sampai 5 tahun tarikan napasnya 40 kali atau lebih dalam satu menit,
balita umur 2 bulan sampai 2 tahun tarikan napasnya 50 kali atau lebih
per menit, dan umur kurang dari 2 bulan tarikan napasnya 60 kali atau
lebih per menit.
2. Etiologi
Pneumonia yang ada di kalangan masyarakat umumnya
disebabkan oleh bakteri, virus, mikoplasma (bentuk peralihan antara
bakteri dan virus) dan protozoa.
a) Bakteri
Pneumonia yang dipicu bakteri bisa menyerang siapa saja, dari
bayi sampai usia lanjut. Sebenarnya bakteri penyebab pneumonia
yang paling umum adalah Streptococcus pneumoniae sudah ada di
kerongkongan manusia sehat. Begitu pertahanan tubuh menurun
oleh sakit, usia tua atau malnutrisi, bakteri segera memperbanyak
diri dan menyebabkan kerusakan. Balita yang terinfeksi
pneumonia akan panas tinggi, berkeringat, napas terengah-engah
dan denyut jantungnya meningkat cepat.
Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang
Lahir – 20 hari Bakteri Bakteri
E. colli Bakteri anaerob
Streptoccus group B Streptoccous group D
Listeria monocytogenes Haemophilllus influenzae
Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
Virus
Virus sitomegalo
Virus Herpes simpleks
3 minggu – 3 bulan Bakteri Bakteri
Chlamydia trachomatis Bordetella pertusis
Streptococcus pneumoniae Haemophilus influenzae tipe
B
Virus Moraxella catharalis
Virus Adeno Staphylococcus aureus
Virus Influenza Ureaplasma urealyticum
Virus Parainfluenza 1,2,3 Virus
Respiratory Syncytial Virus Virus sitomegalo
4 bulan – 5 tahun Bakteri Bakteri
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae
tipe B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
Streptococcus pneumoniae Neisseria meningitidis
Virus Staphylococcus aureus
Virus Adeno Virus
Virus Influenza Virus Varisela-Zoster
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial virus
5 tahun – remaja Bakteri Bakteri
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae
Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
Virus
Virus Adeno
Virus Epstein-Barr
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial Virus
Virus Varisela-Zoster
b) Virus
Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh
virus. Virus yang tersering menyebabkan pneumonia adalah
Respiratory Syncial Virus (RSV). Meskipun virus-virus ini
kebanyakan menyerang saluran pernapasan bagian atas, pada
balita gangguan ini bisa memicu pneumonia. Tetapi pada
umumnya sebagian besar pneumonia jenis ini tidak berat dan
sembuh dalam waktu singkat. Namun bila infeksi terjadi
bersamaan dengan virus influenza, gangguan bisa berat dan
kadang menyebabkan kematian.
c) Mikoplasma
Mikoplasma adalah agen terkecil di alam bebas yang
menyebabkan penyakit pada manusia. Mikoplasma tidak bisa
diklasifikasikan sebagai virus maupun bakteri, meski memiliki
karakteristik keduanya. Pneumonia yang dihasilkan biasanya
berderajat ringan dan tersebar luas. Mikoplasma menyerang
segala jenis usia, tetapi paling sering pada anak pria remaja dan
usia muda. Angka kematian sangat rendah, bahkan juga pada yang
tidak diobati.
d) Protozoa
Pneumonia yang disebabkan oleh protozoa sering disebut
pneumonia pneumosistis. Termasuk golongan ini adalah
Pneumocystitis Carinii Pneumonia (PCP). Pneumonia
pneumosistis sering ditemukan pada bayi yang prematur.
Perjalanan penyakitnya dapat lambat dalam beberapa minggu
sampai beberapa bulan, tetapi juga dapat cepat dalam hitungan
hari. Diagnosis pasti ditegakkan jika ditemukan P. Carinii pada
jaringan paru atau spesimen yang berasal dari paru.
3. Klasifikasi
a) Berdasarkan umur
a. Kelompok usia < 2 bulan
(a) Pneumonia Berat
Pneumonia yang disebabkan oleh protozoa sering disebut
pneumonia pneumosistis. Termasuk golongan ini adalah
Pneumocystitis Carinii Pneumonia (PCP). Pneumonia
pneumosistis sering ditemukan pada bayi yang prematur.
Perjalanan penyakitnya dapat lambat dalam beberapa
minggu sampai beberapa bulan, tetapi juga dapat cepat
dalam hitungan hari. Diagnosis pasti ditegakkan jika
ditemukan P. Carinii pada jaringan paru atau spesimen
yang berasal dari paru.
(b) Bukan Pneumonia
Jika anak bernapas dengan frekuensi kurang dari 60 kali
per menit dan tidak terdapat tanda pneumonia seperti di
atas.
b. Kelompok usia 2 bulan sampai < 5 tahun
(a) Pneumonia sangat berat
Batuk atau kesulitan bernapas yang disertai dengan
sianosis sentral, tidak dapat minum, adanya penarikan
dinding dada, anak kejang dan sulit dibangunkan.
(b) Pneumonia berat
Batuk atau kesulitan bernapas dan penarikan dinding
dada, tetapi tidak disertai sianosis sentral dan dapat
minum.
(c) Pneumonia
Batuk atau kesulitan bernapas dan pernapasan cepat tanpa
penarikan dinding dada.
(d) Bukan pneumonia
Batuk atau kesulitan bernapas tanpa pernapasan cepat
atau penarikan dinding dada.
(e) Pneumonia persisten
Balita dengan diagnosis pneumonia tetap sakit walaupun
telah diobati selama 10-14 hari dengan dosis antibiotik
yang kuat dan antibiotik yang sesuai, biasanya terdapat
penarikan dinding dada, frekuensi pernapasan yang
tinggi, dan demam ringan.
b) Berdasarkan klinis dan epidemiologis
1) Pneumonia Komuniti (community-acquired pneumonia)
2) Pneumonia Nosokomial (hospital-acquired pneumonia/
Nosocomial pneumonia).
3) Pneumonia Aspirasi.
4) Pneumonia pada penderita immunocompromised.
c) Berdasarkan agen penyebab
1) Pneumonia Bakterial / tipikal. Klebsiella pada penderita
alkoholik, staphyllococcus pada penderita pasca infeksi
influenza.
2) Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan
Chlamydia
3) Pneumonia virus
4) Pneumonia jamur, sering merupakan infeksi sekunder.
Predileksi terutama pada penderita daya tahan tubuh lemah
4. Patofisiologi
Pneumonia bakterial menyerang baik ventilasi maupun difusi.
Suatu reaksi inflamasi yang dilakukan oleh pneumokokus terjadi pada
alveoli dan menghasilkan eksudat, yang mengganggu gerakan dan
difusi oksigen serta karbon dioksida. Sel-sel darah putih, kebanyakan
neutrofil, juga bermigrasi ke dalam alveoli dan memenuhi ruang yang
biasanya mengandung udara. Area paru tidak mendapat ventilasi yang
cukup karena sekresi, edema mukosa, dan bronkospasme,
menyebabkan oklusi parsial bronki atau alveoli dengan mengakibatkan
penurunan tahanan oksigen alveolar. Darah vena yang memasuki paru-
paru lewat melalui area yang kurang terventilasi dan keluar ke sisi kiri
jantung tanpa mengalami oksigenasi. Pada pokoknya, darah terpirau
dari sisi kanan ke sisi kiri jantung. Percampuran darah yang
teroksigenasi dan tidak teroksigenasi ini akhirnya mengakibatkan
hipoksemia arterial.
Sindrom Pneumonia Atipikal. Pneumonia yang berkaitan
dengan mikoplasma, fungus, klamidia, demam-Q, penyakit
Legionnaires’. Pneumocystis carinii, dan virus termasuk ke dalam
sindrom pneumonia atipikal.
Pneumonia mikoplasma adalah penyebab pneumonia atipikal
primer yang paling umum. Mikoplasma adalah organisme kecil yang
dikelilingi oleh membran berlapis tiga tanpa dinding sel. Organisme ini
tumbuh pada media kultur khusus tetapi berbeda dari virus. Pneumonia
mikoplasma paling sering terjadi pada anak-anak yang sudah besar dan
dewasa muda.
Pneumonia kemungkinan ditularkan oleh droplet pernapasan
yang terinfeksi, melalui kontak dari individu ke individu. Pasien dapat
diperiksa terhadap antibodi mikoplasma.
Inflamasi infiltrat lebih kepada interstisial ketimbang alveolar.
Pneumonia ini menyebar ke seluruh saluran pernapasan, termasuk
bronkiolus. Secara umum, pneumonia ini mempunyai ciri-ciri
bronkopneumonia. Sakit telinga dan miringitis bulous merupakan hal
yang umum terjadi. Pneumonia atipikal dapat menimbulkan masalah-
masalah yang sama baik dalam ventilasi maupun difusi seperti yang
diuraikan dalam pneumonia bakterial.
5. Faktor Risiko
Banyak faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya
pneumonia pada balita, diantaranya :
a) Faktor Intrinsik
Salah satu faktor yang berpengaruh pada timbulnya pneumonia
dan berat ringannya penyakit adalah daya tahan tubuh balita. Daya
tahan tubuh tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa hal
diantaranya :
(1) Status gizi
Keadaan gizi adalah faktor yang sangat penting bagi timbulya
pneumonia. Tingkat pertumbuhan fisik dan kemampuan
imunologik seseorang sangat dipengaruhi adanya persediaan
gizi dalam tubuh dan kekurangan zat gizi akan meningkatkan
kerentanan dan beratnya infeksi suatu penyakit seperti
pneumonia.
(2) Status imunisasi
Kekebalan dapat dibawa secara bawaan, keadaan ini dapat
dijumpai pada balita umur 5-9 bulan, dengan adanya
kekebalan ini balita terhindar dari penyakit. Dikarenakan
kekebalan bawaan hanya bersifat sementara, maka diperlukan
imunisasi untuk tetap mempertahankan kekebalan yang ada
pada balita. Salah satu strategi pencegahan untuk mengurangi
kesakitan dan kematian akibat pneumonia adalah dengan
pemberian imunisasi. Melalui imunisasi diharapkan dapat
menurunkan angka kesakitan dan kematian penyakit yang
dapapat dicegah dengan imunisasi.
(3) Pemberian ASI (Air Susu Ibu)
Asi yang diberikan pada bayi hingga usia 4 bulan selain
sebagai bahan makanan bayi juga berfungsi sebagai
pelindung dari penyakit dan infeksi, karena dapat mencegah
pneumonia oleh bakteri dan virus. Riwayat pemberian ASI
yang buruk menjadi salah satu faktor risiko yang dapat
meningkatkan kejadian pneumonia pada balita.
(4) Umur Anak
Umur merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan
kejadian pneumonia. Risiko untuk terkena pneumonia lebih
besar pada anak umur dibawah 2 tahun dibandingkan yang
lebih tua, hal ini dikarenakan status kerentanan anak di
bawah 2 tahun belum sempurna dan lumen saluran napas
yang masih sempit.
b) Faktor Ekstrinsik
Lingkungan khususnya perumahan sangat berpengaruh pada
peningkatan resiko terjadinya pneumonia. Perumahan yang padat
dan sempit, kotor dan tidak mempunyai sarana air bersih
menyebabkan balita sering berhubungan dengan berbagai kuman
penyakit menular dan terinfeksi oleh berbagai kuman yang berasal
dari tempat yang kotor tersebut, yang berpengaruh diantaranya :
(1) Ventilasi
Ventilasi berguna untuk penyediaan udara ke dalam dan
pengeluaran udara kotor dari ruangan yang tertutup.
Termasuk ventilasi adalah jendela dan penghawaan dengan
persyaratan minimal 10% dari luas lantai. Kurangnya
ventilasi akan menyebabkan naiknya kelembaban udara.
Kelembaban yang tinggi merupakan media untuk
berkembangnya bakteri terutama bakteri patogen
(2) Polusi Udara
Pencemaran udara yang terjadi di dalam rumah umumnya
disebabkan oleh polusi di dalam dapur. Asap dari bahan
bakar kayu merupakan faktor risiko terhadap kejadian
pneumonia pada balita. Polusi udara di dalam rumah juga
dapat disebabkan oleh karena asap rokok, kompor gas, alat
pemanas ruangan dan juga akibat pembakaran yang tidak
sempurna dari kendaraan bermotor.
6. Manifestasi Klinis
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar
antara ringan hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya
sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin
terdapat komplikasi sehingga memerlukan perawatan di RS.
Gejala infeksi umum seperti demam, sakit kepala, gelisah,
malaise, penurunan napsu makan, dan keluhan gastrointestinal seperti
mual, muntah, atau diare. Gejala gangguan respiratori seperti batuk,
sesak napas, retraksi dada,takipnea, napas cuping hidung, air hunger,
merintih, sianosis
a) Pneumonia pada neonatus dan bayi kecil
(1) Sering terjadi akibat transmisi vertikal ibu-anak yang
berhubungan dengan proses persalinan
(2) Infeksi terjadi akibat kontaminasi dengan sumber infeksi
dari ibu, misalnya melalui aspirasi mekonium, cairan
amnion, atau dari serviks ibu.
(3) Serangan apnea
(4) Sianosis
(5) Merintih
(6) Napas cuping hidung
(7) Takipnea
(8) Letargi, muntah
(9) Tidak mau minum
(10) Takikardi atau bradikardi
(11) Retraksi subkosta
(12) Demam
(13) Sepsis pada pneumonia neontus dan bayi kecil sering
ditemukan sebelum 48 jam pertama
(14) Angka mortalitas sangat tinggi di negara maju, yaitu
dilaporkan 20-50%
(15) Angka kematian di Indonesia dan di negara berkembang
lainnya diduga lebih tinggi
b) Pneumonia pada balita dan anak yang lebih besar
(1) Takipnea
(2) Retraksi subkosta (chest indrawing)
(3) Napas cuping hidung
(4) Ronki
(5) Sianosis
(6) Ronki hanya ditemukan bila ada infiltrat alveolar
(7) Retraksi dan takipnea merupakan tanda klinis pneumonia
yang bermakna
(8) Kadang-kadang timbul nyeri abdomen bila terdapat
pneumonia lobus kanan bawah yang menimbulkan infiltrasi
diafragma
(9) Nyeri abdomen dapat menyebar ke kuadran kanan bawah
dan menyerupai apendisitis.
7. Diagnosa
Pedoman Diagnosis dan Tata Laksana Untuk Pelayanan Kesehatan
Primer
a) Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun
(1) Pneumonia berat
(a) Bila ada sesak napas
(b) Harus dirawat dan diberikan antibiotik
(2) Pneumonia
(a) Bila tidak ada sesak napas
(b) Ada napas cepat
(c) Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral.
(d) Bukan pneumonia
(e) Bila tidak ada napas cepat dan sesak napas.
(f) Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya
diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas.
b) Bayi berusia dibawah 2 bulan
(1) Pneumonia
(a) Bila ada napas cepat atau sesak napas
(b) Harus dirawat dan diberikan antibiotik
(2) Bukan pneumonia
(a) Tidak ada napas cepat atau sesak napas
(b) Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan
simptomatis
8. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan Radiologis
Pola radiologis dapat berupa pneumonia alveolar dengan gambaran
air bronchogram (airspace disease) misalnya oleh Streptococcus
pneumoniae; bronkopneumonia (segmental disease) oleh antara
lain staphylococcus, virus atau mikoplasma; dan pneumonia
interstisial (interstitial disease) oleh virus dan mikoplasma.
Distribusi infiltrat pada segmen apikal lobus bawah atau inferior
lobus atas sugestif untuk kuman aspirasi. Tetapi pada pasien yang
tidak sadar, lokasi ini bisa dimana saja. Infiltrat di lobus atas sering
ditimbulkan Klebsiella, tuberkulosis atau amiloidosis. Pada lobus
bawah dapat terjadi infiltrat akibat Staphylococcus atau
bakteriemia.
b) Pemeriksaan Laboratorium
Leukositosis umumnya menandai adanya infeksi bakteri; leukosit
normal/rendah dapat disebabkan oleh infeksi virus/mikoplasma
atau pada infeksi yang berat sehingga tidak terjadi respons leukosit,
orang tua atau lemah. Leukopenia menunjukkan depresi imunitas,
misalnya neutropenia pada infeksi kuman Gram negatif atau S.
aureus pada pasien dengan keganasan dan gangguan kekebalan.
Faal hati mungkin terganggu.
c) Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/transtrakeal,
aspirasi jarum transtorakal, torakosentesis, bronkoskopi, atau
biopsi. Untuk tujuan terapi empiris dilakukan pemeriksaan apus
Gram, Burri Gin, Quellung test dan Z. Nielsen.
d) Pemeriksaan Khusus
Titer antibodi terhadap virus, legionela, dan mikoplasma. Nilai
diagnostik bila titer tinggi atau ada kenaikan titer 4 kali. Analisis
gas darah dilakukan untuk menilai tingkat hipoksia dan kebutuhan
oksigen.
9. Tatalaksana
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu diraawat inap.
Indikasi perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit,
misalnya toksis, distres pernapasan, tidak mau makan/minum, atau ada
penyakit dasar yang lain, komplikasi, dan terutama
mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan
kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap.
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal
dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan
suportif meliputi pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi
terhadap gangguan keseimbangan asam-basa, elektrolit, dan gula
darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik.
Suplementasi vitamin A tidak terbukti efektif. Penyakit penyerta harus
ditanggulangi dengan adekuat, komplikasi yang mungkin terjadi harus
dipantau dan diatasi.
a) Pneumonia rawat jalan
Pada pneumonia rawat jalan diberikan antibiotik lini pertama
secara oral misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Dosis
amoksisilin yang diberikan adalah 25 mg/KgBB. Dosis
kotrimoksazol adalah 4 mg/kgBB TMP – 20 mg/kgBB
sulfametoksazol). Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid
baru, dapat digunakan sebagai terapi alternatif beta-laktam untuk
pengobatan inisial pneumonia, dengan pertimbangan adanya
aktivitas ganda terhadap S. Pneumoniae dan bakteri atipik.
b) Pneumonia rawat inap
Pilihan antibiotika lini pertama dapat menggunakan beta-laktam
atau kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap
obat diatas, dapat diberikan antibiotik lain seperti gentamisin,
amikasin, atau sefalosporin. Terapi antibiotik diteruskan selama 7-
10 hari pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi .
Pada neonatus dan bayi kecil, terapi awal antibiotik intravena harus
dimulai sesegera mungkin untuk mencegah terjadinya sepsis atau
meningitis. Antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik
spektrum luas seperti kombinasi beta-laktam/klavunalat dengan
aminoglikosid, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila keadaan
sudah stabil, antibiotik dapat diganti dengan antibiotik oral selama
10 hari.
Pada balita dan anak yang lebih besar, antibiotik yang
direkomendasikan adalah antibiotik beta-laktam dengan/ aatau
tanpa klavulanat. Pada kasus yang lebih berat diberikan beta-
laktam/klavulanat dikombinasikan dengan makrolid baru intravena,
sefalosporin generasi ketiga. Bila pasien sudah tidak demam atau
keadaan sudah stabil, antibiotik diganti dengan antibiotik oral dan
berobat jalan.
10. Pencegahan
Untuk mencegah pneumonia perlu partisipasi aktif dari
masyarakat atau keluarga terutama ibu rumah tangga, karena
pneumonia sangat dipengaruhi oleh kebersihan di dalam dan di luar
rumah. Pencegahan pneumonia bertujuan untuk menghindari
terjadinya penyakit pneumonia pada balita. Berikut adalah upaya untuk
mencegah terjadinya penyakit pneumonia :
1) Perawatan Selama Masa Kehamilan
Untuk mencegah risiko bayi dengan berta badan lahir rendah, perlu
gizi ibu selama kehamilan dengan mengkonsumsi zat-zat bergizi
yang cukup bagi kesehatan ibu dan pertumbuhan janin dalam
kandungan serta pencegahan terhadap hal-hal yang memungkinkan
terkenanya infeksi selama kehamilan.
2) Perbaikan Gizi Balita
Untuk mencegah risiko pneumonia pada balita yang disebabkan
karena malnutrisi, sebaiknya dilakukan dengan pemberian ASI
pada bayi neonatal sampai umur 2 tahun. Karena ASI terjamin
kebersihannya, tidak terkontaminasi serta mengandung faktor-
faktor antibodi sehingga dapat memberikan perlindungan dan
ketahanan terhadap infeksi virus dan bakteri. Oleh karena itu,
balita yang mendapat ASI secara ekslusif lebih tahan infeksi
dibanding balita yang tidak mendapatkannya.
3) Memberikan Imunisasi Lengkap pada Anak
Untuk mencegah pneumonia dapat dilakukan dengan pemberian
imunisasi yang memadai, yaitu imunisasi anak campak pada anak
umur 9 bulan, imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak
3 kali yaitu pada umur 2 bulan, 3 bulan dan 4 bulan.
4) Memeriksa Anak Sedini Mungkin Apabila Batuk
Balita yang menderita batuk harus segera diberi pengobatan yang
sesuai untuk mencegah terjadinya penyakit batuk pilek biasa
menjadi batuk yang disertai dengan napas cepat/sesak napas.
5) Mengurangi Polusi didalam dan diluar Rumah
Untuk mencegah pneumonia disarankan agar kadar debu dan asap
diturunkan dengan cara mengganti bahan bakar kayu dan tidak
membawa balita ke dapur serta membuat lubang ventilasi yang
cukup. Selain itu asap rokok, lingkungan tidak bersih, cuaca panas,
cuaca dingin, perubahan cuaca dan dan masuk angin sebagai faktor
yang memberi kecenderungan untuk terkena penyakit pneumonia.
6) Menjauhkan balita dari penderita batuk.
Balita sangat rentan terserang penyakit terutama penyakit pada
saluran pernapasan, karena itu jauhkanlah balita dari orang yang
terserang penyakit batuk. Udara napas seperti batuk dan bersin-
bersin dapat menularkan pneumonia pada orang lain. Karena
bentuk penyakit ini menyebar dengan droplet, infeksi akan
menyebar dengan mudah. Perbaikan rumah akan menyebabkan
berkurangnya penyakit saluran napas yang berat. Semua anak yang
sehat sesekali akan menderita salesma (radang selaput lendir pada
hidung), tetapi sebagian besar mereka menjadi pneumonia karena
malnutrisi.
B. Penilaian Status Gizi Cara Antropometri pada Anak
1. Penilain Status Gizi Cara Antropometri Lingkar Lengan Atas (LLA)
Berdasarkan Umur
a. Alat yang digunakan
Insertion tape suatu pita pengukur yang terbuat dari fiberglass
atau jenis kertas tertentu berlapis plastik
b. Tempat pengukuran LLA
Pengukuran dilakukan di bagian tengah antara acromion dan
olecranon.
c. Syarat-syarat pengukuran LLA
1) Lengan yang diukur adalah lengan yang tidak aktif
2) Lengan dalam keadaan bergantung bebas, tidak tertutup
kain/pakaian
3) Lengan baju dan otot lengan dalam keadaan tidak tegang atau
kencang
4) Alat pengukur dalam keadaan baik dalam arti tidak kusut atau
sudah dilipat-lipat sehingga permukaannya sudah tidak rata
d. Cara pengukuran LLA
1) Tetapkan posisi acromion dan olecranon
2) Letakkan pengukur antara acromion dan olecranon
3) Tentukan titik tengah lengan
4) Lingkarkan pita LLA pada tengah lengan sampai cukup
terukur lingkar lengan
5) Pita jangan terlalu kuat ditarik atau terlalu longgar
6) Cara pembacaan skala yang benar
e. Rumus penentuan status gizi berdasarkan daftar LLA untuk umur :
% SG = LLA diukur x 80%
LLA standar
LLA standar = LLA baku (80%) pada daftar LLA untuk umur
f. Interpretasi :
1) Status gizi baik : > 85%
2) Status gizi kurang : 70,1 – 85%
3) Status gizi buruk : ≤ 70%
2. Penilain Status Gizi Cara Antropometri Lingkar Lengan Atas (LLA)
Dengan Menggunakan Pita Shakir
a. Alat yang digunakan
Pita Shakir suatu pita pengukur yang terbuat dari fiberglass atau
jenis kertas tertentu berlapis plastik dengan 4 warna.
b. Tempat pengukuran LLA
Pengukuran dilakukan di bagian tengah antara acromion dan
olecranon.
c. Syarat-syarat pengukuran LLA
1) Lengan yang diukur adalah lengan yang tidak aktif
2) Lengan dalam keadaan bergantung bebas, tidak tertutup
kain/pakaian
3) Lengan baju dan otot lengan dalam keadaan tidak tegang atau
kencang
4) Alat pengukur dalam keadaan baik dalam arti tidak kusut atau
sudah dilipat-lipat sehingga permukaannya sudah tidak rata
d. Cara pengukuran LLA
1) Tetapkan posisi acromion dan olecranon
2) Letakkan pengukur antara acromion dan olecranon
3) Tentukan titik tengah lengan
4) Lingkarkan pita LLA pada tengah lengan sampai cukup terukur
lingkar lengan
5) Pita jangan terlalu kuat ditarik atau terlalu longgar
6) Cara pembacaan skala yang benar berdasarkan warna pita
e. Interpretasi :
1) Merah : 7,5 - 12,5 cm : status gizi buruk
2) Kuning: 12,6 – 13,5 cm : status gizi kurang
3) Hijau : 13,5 – 17,5 cm : status gizi baik
4) Putih : > 17,5 cm : status gizi overweight
3. Penilain Status Gizi Dengan Menggunakan Grow Chart
a. Syarat-syarat yang diukur berdasarkan Grow Chart
1) Usia
2) BB sekarang
3) TB sekarang
Grow Chart
b. Cara perhitungan
1) Tentukan BB sesuai umur melalui Grow Chart
Cara :
(a) Tentukan titik temu antara usia dan BBsekarang
(b) Naikkan titik temu ke persentil 50
(c) Lihat berapa BBpersentil
(d) Hasilnya : BBU =
2) Tentukan TB sesuai umur melalui Grow chart
(a) Tentukan titik temu antara usia dan TBsekarang
(b) Naikkan titik temu ke persentil 50
(c) Lihat berapa TBpersentil
(d) Hasilnya : BBU =
3) Tentukan BBTB
(a) Tarik titik temu antara
(b) Hasilnya : BBU =
c. Hasil
Interpretasi ( Classification Waterlow )
Status Gizi :
Baik Kurang Buruk
BB/U 80-100% 80-<80 % < 80 %
TB/U 95-100% 85-95% < 85 %
BB/TB 90-100% 70-<90% < 70 %
Jadi berdasarkan data rekaman medik yang ada maka metode yang
digunakan untuk menentukan status gizi pada bayi usia 0-6 bulan
adalah Grow Chart dan bisa menggunakan Berat Badan untuk
Umur, Tinggi Badan untuk Umur, dan Berat Badan untuk Tinggi
Badan. Dari ketiga jenis Grow Chart yang paling akurat adalah
berdasarkan Berat Badan untuk Tinggi Badan.
C. Kraniosinostosis
Variasi biologis memungkinkan karakter kraniofasial yang unik dan
banyak ditemukan ketidaksimetrisan dalam setiap individu. Wajah
manusia memiliki pola kraniofasial yang lebih banyak dibandingkan
dengan spesies lain.
Tulang-tulang tengkorak pada bayi saling berhubungan yang disebut
dengan sutura. Sutura-sutura ini ada yang membujur dan ada pula yang
melintang. Titik
silang celah-celah itulah yang membentuk ubun-ubun depan (besar) dan
ubun-ubun belakang (kecil). Ubun-ubun dan sutura-sutura ini normalnya
menutup antara usia 6-20 bulan. Jika di bawah usia 6 bulan sutura tulang
tengkoraknya sudah menutup, bisa dikatakan menutup terlalu cepat. Istilah
medis untuk penutupan sutura ini disebut craniosynostosis.
Craniosynostosis sering menimbulkan kelainan bentuk tengkorak (skull)
Istilah kraniosinostosis pertama diperkenalkan Virchow dan
digunakan untuk penutupan dini satu atau lebih sutura kranial.
Pertumbuhan perpendikuler tulang terhadap sutura yang terkena terganggu
(teori Virchow). Keadaan ini biasanya tampak saat lahir dan mungkin
bersamaan dengan anomali lain.
Kraniosinostosis dapat dibagi dalam jenis primer dan sekunder.
Kraniosinostosis primer akibat dari abnormalitas intrinsik sutura kranial
dan dapat diklasifikasikan menurut sutura yang terkena. Delapan jenis
memiliki bentuk yang khas:
1. Brakhisefali : kepala terkompres dan datar akibat penutupan dini
sutura koronal bilateral (sinostosis koronal).
2. Skafosefali : kepala memanjang dan sempit akibat penutupan dini
sutura sagital (sinostosis sagital).
3. Plagiosefali : kepala tak seimbang atau serong akibat penutupan dini
sutura koronal unilateral.
4. Trigonosefali : Kening segitiga atau sempit akibat penutupan dini
sutura frontal atau metopik.
5. Oksisefali, akrosefali, turrisefali : kapala runcing atau menjulang
akibat penutupan dini semua sutura.
Kraniosinostosis paling sering adalah sinostosis sagital, diikuti
sinostosis koronal. Ada perbedaan kelamin; rasio laki/wanita adalah 4:1
pada sinostosis sagital dan 2:3 pada sinostosis koronal.
D. Atrial Septal Defect (ASD)
ASD adalah penyakit jantung bawaan berupa lubang (defek) pada
septum interatrial (sekat antar serambi) yang terjadi karena kegagalan
fusi septum interatrial semasa janin (Gambar 4).1
Gambar 4. Skematik Sirkulasi Jantung pada ASD 2
Berdasarkan lokasi defek, ASD diklasifikasikan dalam 3 tipe
(Gambar 5), yaitu : (1) ASD sekundum, bila lubang terletak pada daerah
fosa ovalis, (2) ASD primum, bila lubang terletak di daerah ostium
primum, yang mana ini termasuk salah satu bentuk Atrio-Ventricular
Septal Defect (AVSD), dan (3) Sinus Venosus Defect (SVD) bila
lubang terletak di daerah sinus venosus dekat muara vena (pembuluh
darah balik) kava superior atau inferior.1,3
Gambar 5. Berbagai tipe ASD 2
Defek ostium sekundum merupakan tipe ASD tersering, sekitar
50-70% dari total keseluruhan ASD. Defek ini terjadi di daerah fossa
ovalis, yang menyebabkan pirai LTRS dari atrium kiri ke atrium
kanan. Pada 10% kasus, terjadi kelainan aliran arah balik dari paru ke
atrium kiri. Defek ostium primum terjadi sekitar 30% kasus ASD, dan
merupakan bagian dari kelainan ECD (Endocardial Cushion Defects)
totalis. Defek sinus venosus terjadi pada 10% kasus ASD, dan paling
sering berlokasi di tempat masuk vena cava superior ke atrium kanan dan
sangat jarang terjadi di tempat masuk vena kava inferior.3,4,5
Sebagian besar penderita ASD tidak menampakkan gejala
(asimptomatik) pada masa kecilnya, kecuali pada ASD besar yang dapat
menyebabkan kondisi gagal jantung di tahun pertama kehidupan pada
sekitar 5% penderita. Kejadian gagal jantung meningkat pada dekade
ke-4 dan ke-5, dengan disertai adanya gangguan aktivitas listrik jantung
(aritmia). Gejala yang muncul pada masa bayi dan anak-anak adalah
adanya infeksi saluran nafas bagian bawah berulang, yang ditandai
dengan keluhan batuk dan panas hilang timbul (tanpa pilek). Selain
itu gejala gagal jantung (pada ASD besar) dapat berupa sesak napas,
kesulitan menyusu, gagal tumbuh kembang pada bayi atau cepat capai
saat aktivitas fisik pada anak yang lebih besar. Selanjutnya dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti elektro-
kardiografi (EKG), rontgent dada dan echo-cardiografi, diagnosis ASD
dapat ditegakkan.1,2
Pada pemeriksaan radiologis, dapat ditemukan kardiomegli dengan
pembesaran atrium kanan dan ventrikel kanan. Peningkatan aliran darah
ke paru juga dapat terlihat. Untuk melihat defek secara dua dimensi
dapat digunakan teknik ekokardiografi.1,2
Penutupan defek secara spontan terjadi pada 40% kasus dalam 4 tahun
pertama kehidupan, terutama tipe sekundum. Ukuran defek dapat
mengecil pada sebagian pasien. Namun, beberapa laporan terkini
menunjukkan penutupan defek ASD secara spontan terjadi hingga 87%
kasus. Pada pasien dengan ASD < 3 mm yang ditegakkan pada usia 3
bulan, akan menutup spontan 100% kasus pada usia 1,5 tahun.
Penutupan spontan terjadi 80% kasus pada pasien dengan defek antara
3-8 mm sebelum usia 1,5 tahun. ASD dengan defek > 8 mm jarang
menutap secara spontan.3
Sebagian besar anak dengan ASD umumnya asimptomatik dan jarang
berkembang menjadi CHF selama masa bayi. Pada defek besar yang tak
ditangani, CHF dan hipertensi pulmonal dapat terjadi pada usia dewasa,
yaitu pada dekade ke-3 dan ke-4. Dengan atau tanpa pembedahan,
aritmia atrial dapat terjadi setelah pasien dewasa. Endokarditis infektif
tidak terjadi pada pasien dengan ASD terisolasi.3
BAB III
ANALISIS KASUS
Pada hasil aloanamnesis ditemukan keluhan pasien berupa demam, sesak
napas dan riwayat batuk pilek kurang lebih 2 minggu. Setelah dilakukan
pemeriksaan fisik ditemukan adanya demam 38,2 ºC, takipneu denga RR 56 x
permenit, dan adanya retraksi episgastrium dan sub kosta. Ketiga hal tersebut
sesuai dengan kriteria penumonia berat berdasarkan WHO. Selain itu ditunjang
dengan pemeriksaan fisik lain seperti ditemukannya ronki basah halus, penurunan
saturasi oksigen yakni 90 %. Hasil pemeriksaan penunjang seperti foto toraks
menunjukan leukositosis yaitu 24.710 IU dan foto toraks yaitu gambaran
pneumoni.
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru
(alveoli) biasanya disebabkan oleh masuknya kuman bakteri, yang ditandai oleh
gejala klinis batuk, demam tinggi dan disertai adanya napas cepat ataupun tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam. Kriteria diagnosis pneumonia pada anak
kelompok usia 2 bulan sampai < 5 tahun adalah batuk atau kesulitan bernapas dan
penarikan dinding dada, tetapi tidak disertai sianosis sentral dan dapat minum,
yang masuk dalam klasifikasi pneumonia berat.
Pasien perlu dirawat inap sebab memiliki indikasi rawat inap untuk bayi
yaitu saturasi oksigen perifer < 92,5 % , frekuensi napas >50 x permenit, dan
keluarga pasien tidak mampu merawat pasien. Indikasi rawat inap yang lain
adalah tidak mau minum distress pernapasan, apnea, grunting. Setelah dirawat di
rumah sakit, pasien ditatalaksana dengan diberi ASB, Paracetamol (10
mg/kgBB/x) ~ 3 x 60 mg (3 ml), inj. Ampisillin (100 mg/kgBB/hari) ~ 175 mg/6
jam IV, inj. Chloramphenicol (150 mg/kgBB/hari) ~ 175 mg/6 jam IV, nebu NaCl
0.9% 5 ml/8 jam. Tatalaksana diatas sesuai dengan Pedoman Pelayanan Medis
2010 untuk pneumoni pada anak. Parasetamol diberikan untuk mengatasi demam
pada nak. Parasetamol bekerja pada pusat pengaturan suhu tubuh. Dosis pada
anak sebesar 10 – 15 mg/kg BB/ kali dapat diulang setiap 4 jam jika suhu tubuh
masih di atas 37, 5 °C maksimal pemberian perhari adalah 4 gram. Pemberian
antibiotik dilakukan selama 10 hari sesuai dengan dengan Pedoman Pelayan
Medis 2010. Antibiotik ampisilin merupakan spektrum luas lini pertama, glongan
penisilin diharapkan dapat mematikan kuman dan tidak menimbulkan resistensi
terhadap antibiotic golongan yang lebih tinggi. Ampisislin juga sering digunakan
sebagai antibiotik berbagai penyakit infeksi saluran napas atas. Selain itu
ampisilin juga memiliki sifat tidak mudah terjadi resistensi obat antibiotic. Hal ini
aman bagi kesehatan masa depan pasien. Sedangkan Kloramfenikol digunakan
dengan dosis pada bayi di atas 2 minggu sebesar 25-50 mg / kg BB/ hari dibagi
menjadi 2 – 3 dosis perhari. Kloramfenikol merupakan antibiotic menghambat
peptidil transferase pada fase pemanjangan dan dengan demikian mengganggu
sintesis protein. resistensi dapat timbul dengan agak lambat (tipe banyak tingkat).
Nebulizer dengan menggunakan Natrium Klorida 0,9 % bertujuan untuk
mengurangi sesak pasien dengan cara mengencerkan dahak sehingga dahak lebih
mudah untuk dikeluarkan.
Pasien masih dapat makan dan minum dengan baik, sehingga susu
formula sebagai penggati dapat digunakan kasrena pada oasien ini, ibu pasien
mengeluh air susunya tidak keluar. Namun ibu pasien tetap diminta untuk
mencoba memberikan ASI-nya meskipun ASI tidak keluar. Sebab hisapan bayi
dapat merangsang keluarnya ASI.
Masalah lain yang ditemukan adalah kraniosinostosis. Hal ini didapatkan
dari alloanamnesis pada ibu pasien yang mengatakan bahwa ubun-ubun besar
(UUB) pasien menutup pada usia 5 bulan. UUB normal menutup pada usia 6-20
bulan. Apabila UUB menutup sebelum usia 6 bulan disebut kraniosinostosis.
Kraniosinostosis adalah kelainan primer pertumbuhan kranial dan biasanya
menunjukkan gejala deformitas tengkorak, peninggian TIK, tanda okuler,
retardasi mental, gangguan motorik, dan sindaktili yang menyertai.7
Selain itu, pada pasien juga didapatkan ada penyakit jantung bawaan
yang didapatkan pada pemerikaan fisik, yaitu terdengarnya bunyi bising jantung
sistolik kontinyu grade III-IV dengan punctum maximum di SIC III-IV linea
parasternalis sinistra. Oleh SSD kardiologi, dilakukan pemeriksaan
ekokardiografi. Hasil pemeriksaan ekokardiografi didapatkan adanya atrial septal
defect (ASD) sekundum R to L shunt 0.8-0.9 cm disertai dilatasi RA dan RV.
ASD adalah penyakit jantung bawaan berupa lubang (defek) pada septum
interatrial (sekat antar serambi) yang terjadi karena kegagalan fusi septum
interatrial semasa janin. ASD ringan tidak akan menimbulkan gejala pada anak.
Namun, bila ukuran defek cukup besar, ASD dapat menimbulkan gejala penyakit
jantung seperti sesak napas, mudah lelah, dan terganggunya tumbuh kembang
anak. Pada pasien, terdapat ASD sekundum. ASD sekundum terjadi bila lubang
terletak pada daerah fossa ovalis. Defek ostium sekundum merupakan tipe ASD
tersering, sekitar 50-70% dari total keseluruhan ASD. Defek ini terjadi di
daerah fossa ovalis, yang menyebabkan aliran darah dari atrium kiri masuk ke
atrium kanan. Aliran ini jika terjadi terus-menerus akan menyebabkan atrium
kanan menerima aliran darah dari vena cava superior dan atrium kiri sehingga
ruang jantung kanan semakin membesar. Pembesaran juga akan terjadi pada
ventrikel kanan karena menerima lebih banyak volume darah dari atrium kanan.
Sehingga pada akhirnya akan terjadi pembesaran atrium dan ventrikel kanan.
ASD dengan defek > 8 mm jarang menutup secara spontan sehingga disarankan
untuk melakukan kateterisasi jantung.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pada pasien ini telah didiagnosis dengan pneumoni, tersangka
sindroma tertentu, gizi baik,
2. Pada pasien ini kemudian juga ditemukan adanya ASD
3. Pada pasien ini ditemukan adanya kraniosinostosis
4. Pada pasien ini telah dilakukan penangan dengan tepat sesuai dengan
Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010
B. Saran
1. Setelah pasien diperbolehkan pulang sebaiknya dilakukan follow up
kembali untuk mengevaluasi hasil pengonatan dan mengontrolkan
temuan penyakit jantung bawaannya
2. Pasien perlu mendapatkan pengelolaan yang baik mengenai tumbuh
kembang pasien
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim, 2000. Protap Ilmu Kesehatan Anak, FK UNS. Surakarta
2. Behrem RE, kliegman RM, 1992. Nelson Texbook of
Pediatrics.WBsauders.Philadelpia.
3. Carr MR, King BR. Atrial Septal Defect, General Concepts. Emergency
Medicine Textbook. Editor: Seib PM, Windle ML, Chin AJ,
Herzberg G, Neish SR. 2008 (Available at www.eMedicine.com)
4. Hendarwanto, 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam I, Penerbit FK UI.
Jakarta
5. Hill M. UNSW Embryology: Cardiovascular Development
Abnormalities.2008 (Available at www.UNSW.com)
6. Park MK, George R, Troxler Mph. Specific Congenital Heart Defects in
Pediatric Cardiology for Practiitoners 4th edition. Mosby Inc, Missouri,
2002
7. Raj D. S., Amy K. 2010. Pediatric Craniosynostosis. Emedicine
Medscape.
8. Rampengan, T.H., 1997 Demam berdarah Degue. Penyakti Infeksi
Troppik Pada Anak. EGC. Jakarta
9. Rustam, S., 2004. Diagnosis danPenatalaksanaanDemamBerdarah
Dengue (DBD),BagianAnak FK UNS/RSUD Dr.Moewardi.Surakarta
10. Sri Rejeki, 2004. Demam Berdarah Dengue. Naskah Lengkap. Pelatihan
Bagi Pelatihan Dokter Spesiallis anak dan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam tatalaksana Kasus DBD. Penerbit FK UI. Jakarta.
11. Warnes CA, Fuster V, Driscoll DJ, McGoon DC: Atrial septal
defect. In: Mayo Clinic Practice of Cardiology, 3rd edition, E. R.
Giuliani, B. J. Gersh, M.D. McGoon, D. L. Hayes, H. V. Schaff (eds.),
Mosby, St. Louis, 1996.
12. Widyantoro B. Penyakit Jantung Bawaan: Haruskah selalu berakhir di
ujung pisau bedah?.inovasi online 2006:6;18. (Available at
www.inovasionline.org, diakses tanggal 28 November 2008