24
POTRET KECIL PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DI INDONESIA Oleh: Agung Budilaksono - Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai A. Gambaran Umum Paradigma baru manajemen pemerintahan daerah di Negara Indonesia saat ini banyak diilhami oleh pemikiran-pemikiran Osborne dan Gaebler (1992) 1 yang dituangkan dalam bukunya berjudul Reinventing Government. Dari pemikirannya tersebut telah banyak membuka mata dan pikiran banyak pihak untuk memulai membenahi sistem-sistem birokrasi pemerintahan di dunia. Osborne dan Gaebler (1992) 2 menguraikan karateristik pemerintahan wirausaha tersebut melalui sepuluh prinsipnya, yang intinya mengurangi peran pemerintah dengan cara memberdayakan masyarakat, serta menjadikan sektor pemerintah menjadi lebih efisien. Apabila dilihat secara seksama, birokrasi pada sektor pemerintahan daerah memiliki aspek penyelenggaraan tugas yang sangat luas dan kompleks serta memiliki skala aktivitas dan jumlah personil penyelenggara yang sangat besar. Sebagai gambaran adalah bahwa jumlah pemerintahan daerah di Indonesia sampai dengan tahun 2009 telah berkembang menjadi sebanyak 510 pemerintahan daerah. Jumlah ini diperkirakan akan terus berkembang di masa mendatang, apabila tidak terkendali secara baik. Namun meningkatnya perkembangan pemerintahan daerah di Indonesia masih belum diiringi dengan perkembangan kinerja yang memadai. Fakta yang ditunjukkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), melalui pemeriksaan kinerja atas pengelolaan administrasi pemekaran daerah di Indonesia, menunjukkan bahwa sejak tahun 1999-2008, di Indonesia telah terbentuk 203 daerah otonom baru (DOB), dengan rincian tujuh propinsi dan 196 kabupaten/kota, namun 1 Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector yang dipublikasikan pada tahun 1992 2 Idem 1

Potret Kecil pengelolaan keuangan daerah di Indonesia oleh Agung BL

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Berkisar tentang cara pengelolaan keuangan pada daerah-daerah yang ada di Indonesia, disusun oleh Agung BL

Citation preview

Page 1: Potret Kecil pengelolaan keuangan daerah di Indonesia oleh Agung BL

POTRET KECIL PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

DI INDONESIA

Oleh: Agung Budilaksono - Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai

A. Gambaran Umum

Paradigma baru manajemen pemerintahan daerah di Negara Indonesia saat ini banyak diilhami

oleh pemikiran-pemikiran Osborne dan Gaebler (1992)1 yang dituangkan dalam bukunya berjudul

Reinventing Government. Dari pemikirannya tersebut telah banyak membuka mata dan pikiran banyak

pihak untuk memulai membenahi sistem-sistem birokrasi pemerintahan di dunia.

Osborne dan Gaebler (1992)2 menguraikan karateristik pemerintahan wirausaha tersebut melalui

sepuluh prinsipnya, yang intinya mengurangi peran pemerintah dengan cara memberdayakan

masyarakat, serta menjadikan sektor pemerintah menjadi lebih efisien.

Apabila dilihat secara seksama, birokrasi pada sektor pemerintahan daerah memiliki aspek

penyelenggaraan tugas yang sangat luas dan kompleks serta memiliki skala aktivitas dan jumlah

personil penyelenggara yang sangat besar. Sebagai gambaran adalah bahwa jumlah pemerintahan

daerah di Indonesia sampai dengan tahun 2009 telah berkembang menjadi sebanyak 510 pemerintahan

daerah. Jumlah ini diperkirakan akan terus berkembang di masa mendatang, apabila tidak terkendali

secara baik.

Namun meningkatnya perkembangan pemerintahan daerah di Indonesia masih belum diiringi

dengan perkembangan kinerja yang memadai. Fakta yang ditunjukkan oleh Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK), melalui pemeriksaan kinerja atas pengelolaan administrasi pemekaran daerah di

Indonesia, menunjukkan bahwa sejak tahun 1999-2008, di Indonesia telah terbentuk 203 daerah otonom

baru (DOB), dengan rincian tujuh propinsi dan 196 kabupaten/kota, namun pemekaran daerah atau

pembentukan DOB sejak tahun 1999 hingga 2008 tersebut masih belum didukung oleh suatu grand

design yang baik, yang mengatur arah kebijakan dan strategi pemekaran daerah serta prediksi

mengenai jumlah daerah otonom yang ideal di Indonesia. Selama ini pemerintah dan DPR masih belum

memiliki pedoman yang jelas dalam menyikapi aspirasi masyarakat mengenai pembentukan DOB.

Semakin meningkatnya jumlah pemerintah daerah di Indonesia tentunya akan membutuhkan

dukungan pembiayaan pemerintah pusat yang semakin besar, apabila arah pergerakan pemda-pemda

tersebut belum mampu menghasilkan pendapatan asli daerah, Pendapatan Retribusi Daerah, Hasil

Kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah, yang memadai untuk

memenuhi kebutuhan belanja daerah yang justru semakin terus meningkat dari waktu ke waktu.

1 Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector yang dipublikasikan pada tahun 19922 Idem

1

Page 2: Potret Kecil pengelolaan keuangan daerah di Indonesia oleh Agung BL

Gambar.1Jumlah Kabupaten/Kota dan Propinsi, 1999-2007

Sumber: Bappenas

Sementara pemenuhan kebutuhan minimal akan belanja daerah yang ada sendiri masih belum

memberikan hasil kinerja seperti yang diharapkan, disamping masih banyaknya terjadi kebocoran-

kebocoran anggaran.

Oleh karena itu, perolehan PAD, retribusi, maupun pendapatan-pendapatan lainnya serta dana

perimbangan yang dapat bervariasi antar daerah-daerah di Indonesia tersebut, diperlukan manajemen

pemanfaatan dana yang mampu digunakan semaksimal mungkin bagi kemakmuran masyarakat yang

sebesar-besarnya melalui program-program dan kegiatan-kegiatan yang diluncurkan pemerintah daerah

tersebut.

Total Pendapatan Asli Daerah (PAD) seluruh pemda di Indonesia pada tahun 2009 sekitar Rp.

62 triliun, dimana 3 peringkat peroleh PAD tertinggi diduduki oleh pemda Propinsi DKI Jakarta, setelah

itu diiukti Propinsi Jawa Barat dan terakhir Propinsi Sumatera Utara.

Jumlah pendapatan-pendapatan pemerintah daerah tersebut digunakan untuk memenuhi

kebutuhan belanja-belanja pemerintah daerah di Indonesia. Dimana kebutuhan-kebutuhan belanja

tersebut digunakan semaksimal mungkin untuk membiaya program dan kegiatan yang berkaitan dengan

pelayanan kepada masyarakat.

Belanja-belanja tersebut harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku

dalam penyusunan suatu laporan keuangan yang mengacu kepada Standar Akuntansi Pemerintah dan

Sistem Akuntansi Pemerintah yang berlaku. Dalam hal ini telah dikeluarkan aturan pemerintah terkait

dengan Standar Akuntansi Pemerintah yaitu PP No.24 Tahun 2005 dan aturan terkait dengan Sistem

Akuntansi Pemerintah, yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri No.13 Tahun 2006, Peraturan Menteri

Dalam Negeri No.59 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah No.58 Tahun 2005.

Pertanggungjawaban pemerintah daerah (pemda) atas pengelolaan anggaran di 41

kabupaten/kota dianggap masih kurang transparan bila dibandingkan dengan tahapan perencanaan,

pembahasan, dan pelaksanaan. Skor rata-rata transparansi pengelolaan anggaran untuk tahapan

pertanggungjawaban adalah 65,83.

3 Menurut Farhan, Yuna, Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), pada Bataviase.co.id , edisi 3 Feb 2010

2

Page 3: Potret Kecil pengelolaan keuangan daerah di Indonesia oleh Agung BL

Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Forum Indonesia untuk Transparansi (Fitra) atas 41

kabupaten/kota di Indonesia, menunjukkan bahwa skor rata-rata daerah untuk tahapan perencanaan

anggaran adalah sebesar 73,6, pembahasan 73,5, dan pelaksanaan 78,1. Indikator skor tersebut

menunjukkan bahwa pemda cenderung untuk menutupi informasi yang terkait dengan laporan

pertanggungjawaban kepada masyarakat. Ruang gerak masyarakat untuk terlibat dalam evaluasi

pelaksanaan pembangunan menjadi lebih sempit dengan tidak dibukanya akses dan ketersediaan

dokumen anggaran. Dengan demikian pemda menghadapi tantangan yang cukup serius dalam hal

transparansi dokumen pada tahap pertanggungjawaban.4

Sementara berkaitan dengan ketaatan penyampaian laporan kinerja pemerintah daerah,

Kementerian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara (PAN) dan Reformasi Birokrasi telah melaporkan

bahwa ketaatan pemerintah daerah dalam menyampaikan laporan kinerja hingga tahun 2009 baru

mencapai 60-70% dari sekitar 483 kab/kota yang ada di seluruh tanah air5.

Padahal jelas sekali bahwa ketaatan pemerintah daerah dalam menyampaikan laporan kinerja

pemerintah daerah merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban atas alokasi sumber daya

anggaran yang mayoritas berasal dari masyarakat yang diberikan kepada pemerintah daerah. Hal ini

sejalan dengan apa yang dikatakan Nick Devas, et.al, (1989) mengenai tujuan pengelolaan dan

pelaporan keuangan daerah, yaitu untuk:

1) Akuntabilitas (Accountability)

Pemda harus mempertanggungjawabkan tugas keuangan kepada lembaga atau orang yang

berkepentingan dan sah. Lembaga atau orang yang dimaksud antara lain, adalah Pemerintah Pusat,

DPRD, Kepala Daerah, masyarakat dan kelompok kepentingan lainnya (LSM);

2) Memenuhi kewajiban Keuangan

Keuangan daerah harus ditata sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua ikatan keuangan,

baik jangka pendek maupun jangka panjang;

3) Kejujuran

Urusan keuangan harus diserahkanpada pegawai professional dan jujur, sehingga mengurangi

kesempatan untuk berbuat curang.

4) Hasil guna (effectiveness) dan gaya guna (efficiency) kegiatan daerah.

Tata cara pengurusan keuangan daerah harus sedemikian rupa memungkinkan setiap program

direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan dengan biaya serendah-rendahnya dengan

hasil yang maksimal.

5) Pengendalian

Manajer Keuangan Daerah, DPRD dan aparat fungsional pemeriksaan harus melakukan

pengendalian agar semua tujuan dapat tercapai. Harus selalu memantau melalui akses informasi

Sedangkan fungsi manajemen sendiri terbagi atas tiga tahapan utama yaitu : adanya proses

perencanaan, adanya tahapan pelaksanaan, dan adanya tahapan pengendalian/ pengawasan. Oleh

4 Idem5 Kabarbisnis.com, edisi 3 esember 2010, Kemen PAN: 70% pemda taat laporkan kinerja

3

Page 4: Potret Kecil pengelolaan keuangan daerah di Indonesia oleh Agung BL

karena itu fungsi manajemen keuangan daerah terdiri dari unsur-unsur pelaksanaan tugas yang terdiri

dari tugas :

1)      Pengalokasian potensi sumber-sumber ekonomi daerah;

2)      Proses Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah;

3)      Tolok ukur kinerja dan Standarisasi;

4)      Pelaksanaan Anggaran yang sesuai dengan Prinsip-prinsip Akuntansi;

5)      Laporan Pertanggung Jawaban Keuangan Kepala Daerah; dan

6)      Pengendalian dan Pengawasan Keuangan Daerah.

Poin 1 dan 2 merupakan indicator keberhasilan dari fungsi perencanaan anggaran daerah dimana

melekat pengertian adanya partisipasi publik; Poin 3 dan 4 merupakan indikator keberhasilan dari fungsi

pelaksanaan/pengelolaan anggaran pemerintah daerah dan Poin 5 dan 6 merupakan indicator

keberhasilan pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi pengendalian dan pengawasan anggaran

pemerintah daerah. Keseluruhan indicator keberhasilan tersebut akan bermuara pada suatu indicator

keberhasilan terciptanya sistem informasi keuangan daerah yang transparan dan akuntabel.

B. Sistem Anggaran

Schick (1966) mengatakan bahwa berdasarkan pengalaman, penganggaran memiliki

kecenderungan untuk menekankan pada financial control, peningkatan kemampuan manajerial atau

perencanaan. Rubin (1996), yang menulis 30 tahun kemudian setelah Schick, mengusulkan bahwa ada

dua penekanan tambahan yang perlu ditambahkan untuk mencerminkan tren yang dominan di era 1970-

an, 1980-an, dan 1990-an, yaitu prioritas dan akuntabilitas.

Pada dekade terakhir abad kesembilan belas, penganggaran diartikan sebagai “sebuah penilaian

terhadap penerimaan dan belanja atau sebuah neraca publik, dan sebagai sebuah hukum legislatif yang

membangun dan mengotorisasi suatu jenis dan jumlah dari belanja dan perpajakan” (Schiesl, 1977: 89).

Pemikiran sebuah anggaran sebagai mekanisme kendali, telah berkembang sejak tahun 1830-

an, namun baru mendapatkan momentumnya setelah perang sipil di Amerika yang kemudian diikuti

dengan adanya pertumbuhan kota-kota dan perluasan layanan pemerintah. Di akhir tahun 1890-an

terdapat tiga bentuk dasar dari penganggaran pemerintah. Beberapa kota mula-mula mulai

mempraktekan secara sederhana dengan menggunakan pendekatan retribusi pajak, yang secara umum

merupakan pendekatan yang kurang disukai oleh para reformer, karena kurangnya pengendalian dalam

bentuk ketidakperhatian kepada pembelanjaan penganggaran, ditambah lagi dengan dominasi belanja

oleh dewan kota. (Schiesl, 1977: 89)

Selanjutnya berkembang kepada pendekatan lainnya, yaitu pendekatan retribusi pajak yang

ditambahkan dengan detail pembelanjaan. Pendekatan ini kurang merinci mengenai estimasi

pendapatan. Pendekatan terakhir yang digunakan adalah pendekatan penggunaan retribusi pajak tetapi

didahului dengan estimasi penerimaan dan pengeluaran yang rinci, yang ternyata merupakan praktek

yang disukai oleh para reformer kelas menengah dan bisnis. (Schiesl, 1977: 89).

4

Page 5: Potret Kecil pengelolaan keuangan daerah di Indonesia oleh Agung BL

Banyak literatur teori menyebutkan bahwa APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan,

pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Dimana fungsi-fungsi tersebut bersatu padu dalam

rangka mendukung program pemerintah untuk menyejahterakan kehidupan masyarakat serta

memberikan pelayanan yang baik bagi aktivitas kehidupan masyarakat.

(1) Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan

pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.

(2) Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen

dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.

(3) Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai

apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan yang telah

ditetapkan.

(4) Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan

lapangan kerja/ mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan

efisiensi dan efektivitas perekonomian.

(5) Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran daerah harus memperhatikan rasa

keadilan dan kepatutan.

(6) Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah daerah menjadi alat untuk

memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.

Tolok ukur kinerja (Performance Measurement) anggaran merupakan bagian dari proses analisis

anggaran untuk mengukur keberhasilan suatu kegiatan masukan dan keluaran (Input, and Output

Process Analysis) atas standarisasi pelayanan umum yang dikembangkan oleh Pemda. Instrumen

analysis ini terdiri dari Standar Analisa Belanja (SAB), tolok ukur kinerja kegiatan, dan Standar Biaya.

SAB adalah suatu pendekatan dasar pengukuran kinerja keuangan yang merupakan analisa dari setiap

masukan dari segala aspek barang, uang, sistim operasional dan prosedur (SOP) dengan

memperhatikan keluaran, yaitu masyarakat yang akan digarap dalam bentuk (Segmentasi Market

maupun Segmentasi Aktifitas) atas pelayanan standar yang ingin dicapai oleh satuan unit kerja,

program, maupun proyek dalam bentuk kegiatan tertentu.

Tolok ukur kinerja adalah suatu pendekatan dasar pengukuran kinerja yang bertumpu pada kinerja non

keuangan. Analisa ini digunakan untuk melihat sejauh mana keluaran yang akan dicapai melalui proses

pengukuran segmentasi market maupun segmentasi aktifitas.

Standar Biaya adalah suatu metode untuk mengukur kinerja keuangan agar selalu up to date dan

relevan dan mengikuti pertimbangan harga pasar yang berlaku pada masing-masing wilayah.

Pemantauan standar biaya ini dilaksanakan secara terus menerus, atas dasar satuan harga belanja

yang dapat berubah fleksibel dengan memperhatikan batas pagu anggaran yang telah direncanakan. Di

bawah pagu anggaran dari Standar Biaya yang ditetapkan merupakan alokasi dana cadangan. Di atas

pagu anggaran merupakn beban anggaran yang dapat mengurangi kualitas atau mengurangi dana

cadangan.

5

Page 6: Potret Kecil pengelolaan keuangan daerah di Indonesia oleh Agung BL

B.1. Azas Umum Penyusunan Anggaran

Dalam penyusunan anggaran pemerintah perlu dipahami mengenai ketentuan-ketentuan azas umum

yang menyertai suatu aktivitas penyusunan APBD, yaitu:

(1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai dari dan atas

beban APBD.

(2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di daerah didanai

dari dan atas beban APBN.

(3) Penyelenggaraan urusan pemerintahan propinsi yang penugasannya dilimpahkan kepada

kabupaten/kota dan/atau desa, didanai dari dan atas beban APBD propinsi.

(4) Penyelenggaraan urusan pemerintahan kabupaten/kota yang penugasannya dilimpahkan kepada

desa, didanai dari dan atas beban APBD kabupaten/kota.

(5) Seluruh penerimaan dan pengeluaran pemerintahan daerah baik dalam bentuk uang, barang

dan/atau jasa pada tahun anggaran yang berkenaan harus dianggarkan dalam APBD.

(6) Penganggaran penerimaan dan pengeluaran APBD harus memiliki dasar hukum penganggaran.

(7) Anggaran belanja daerah diprioritaskan untuk melaksanakan kewajiban pemerintahan daerah

sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

B.2. Rencana Kerja Pemda

Untuk menyusun APBD, pemerintah daerah perlu menyusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah

(RKPD) yang merupakan penjabaran dari RPJMD dengan menggunakan bahan dari Renja SKPD untuk

jangka waktu 1 (satu) tahun yang mengacu kepada Rencana Kerja Pemerintah.

RKPD disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran,

pelaksanaan, dan pengawasan.

RKPD memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan dan kewajiban

daerah, rencana kerja yang terukur dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh

pemerintah, pemerintah daerah maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.

Dalam menunaikan kewajiban daerah perlu mempertimbangkan prestasi capaian standar

pelayanan minimal yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

B.3. Kebijakan Umum APBD

Sebagai langkah awal dalam penyusunan anggaran pemerintah, maka Kepala Daerah menyusun

sebuah rancangan Kebijakan Umum APBD (KUA) berdasarkan pada RKPD dan pedoman penyusunan

APBD yang telah ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setiap tahun.

Pedoman penyusunan APBD memuat antara lain: (1) pokok-pokok kebijakan yang memuat

sinkronisasi kebijakan pemerintah dengan pemerintah daerah; (2) prinsip dan kebijakan penyusunan

APBD tahun anggaran berkenaan; (3) teknis penyusunan APBD; dan (4) hal-hal khusus lainnya.

Rancangan KUA akan memuat hal-hal mengenai target pencapaian kinerja yang terukur dari

program-program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah untuk setiap urusan pemerintahan

6

Page 7: Potret Kecil pengelolaan keuangan daerah di Indonesia oleh Agung BL

daerah yang disertai dengan proyeksi pendapatan daerah, alokasi belanja daerah, sumber dan

penggunaan pembiayaan yang disertai dengan asumsi yang mendasarinya.

Penyusunan program-program yang selaras dengan prioritas pembangunan yang ditetapkan

oleh pemerintah, sedangkan asumsi-asumsi yang mendasarinya mempertimbangkan perkembangan

ekonomi makro dan perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal yang ditetapkan oleh pemerintah.

Dalam menyusun rancangan KUA, kepala daerah dapat dibantu oleh TAPD yang dipimpin oleh

sekretaris daerah. Rancangan KUA yang telah disusun disampaikan oleh sekretaris daerah kepada

kepala daerah.

B.4. Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS)

Apabila KUA telah tersusun dan disepakati antara Pemda dan DPRD, maka langkah selanjutnya

adalah membuat rancangan PPAS. Rancangan PPAS ini disusun dengan tahapan sebagai berikut: (1)

menentukan skala prioritas untuk urusan wajib dan urusan pilihan; (2) menentukan urutan program

untuk masing-masing urusan; dan (3) menyusun plafon anggaran sementara untuk masing-masing

program.

Rancangan PPAS yang telah disusun, diajukan oleh Kepala daerah kepada DPRD untuk

dibahas. Pembahasan dilakukan oleh Tim Asistensi Pemerintah Daerah (TAPD) bersama panitia

anggaran DPRD.

KUA serta PPA yang telah disepakati dituangkan ke dalam nota kesepakatan yang

ditandatangani bersama antara kepala daerah dengan pimpinan DPRD.

B.5. Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA)

Penyusunan RKA-SKPD didasarkan pada prestasi kerja, indikator kinerja, capaian atau target kinerja,

analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan minimal. Dengan penjelasan

sebagai berikut:

(1) Indikator kinerja merupakan ukuran keberhasilan yang akan dicapai dari program dan kegiatan yang

direncanakan.

(2) Capaian kinerja merupakan ukuran prestasi kerja yang akan dicapai yang berwujud kualitas,

kuantitas, efisiensi dan efektifitas pelaksanaan dari setiap program dan kegiatan.

(3) Analisis standar belanja merupakan penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya yang digunakan

untuk melaksanakan suatu kegiatan.

(4) Standar satuan harga merupakan harga satuan setiap unit barang/jasa yang berlaku disuatu daerah

yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.

(5) Standar pelayanan minimal merupakan tolok ukur kinerja dalam menentukan capaian jenis dan mutu

pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah.

RKA-SKPD memuat rencana pendapatan, rencana belanja untuk masing-masing program dan

kegiatan, serta rencana pembiayaan untuk tahun yang direncanakan dirinci sampai dengan rincian

objek pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta prakiraan maju untuk tahun berikutnya.

7

Page 8: Potret Kecil pengelolaan keuangan daerah di Indonesia oleh Agung BL

RKA-SKPD juga memuat informasi tentang urusan pemerintahan daerah, organisasi, standar

biaya, prestasi kerja yang akan dicapai dari program dan kegiatan. RKA-SKPD yang telah disusun oleh

SKPD disampaikan kepada PPKD untuk dibahas lebih lanjut oleh TAPD.

Pembahasan yang dilakukan oleh TAPD berkaitan dengan kesesuaian antara RKA-SKPD

dengan KUA, PPA, prakiraan maju yang telah disetujui tahun anggaran sebelumnya, dan dokumen

perencanaan lainnya, serta capaian kinerja, indikator kinerja, kelompok sasaran kegiatan, standar

analisis belanja, standar satuan harga, standar pelayanan minimal, serta sinkronisasi program dan

kegiatan antar SKPD. Apabila hasil pembahasan RKA-SKPD terdapat ketidaksesuaian, maka kepala

SKPD dapat melakukan penyempurnaan.

RKA-SKPD yang telah disempurnakan oleh kepala SKPD disampaikan kepada Pejabat

Penatausahaan Keuangan Daerah (PPKD) sebagai bahan penyusunan rancangan peraturan daerah

tentang APBD dan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD.

Rancangan peraturan daerah tentang APBD yang telah disusun oleh PPKD disampaikan kepada

kepala daerah, dan sebelum disampaikan kepada DPRD disosialisasikan kepada masyarakat.

C. Beberapa hal penting terkait Penyusunan Anggaran Pemda

Beberapa kendala yang secara umum dialami pemerintah daerah dalam pembuatan rancangan

anggaran pemerintah daerah yang baik juga dapat dikemukakan di bawah ini, seperti (USAID, 2007):

1. Belum dilembagakannya penganggaran partisipatif.

Peraturan dan perundangan baru tidak selalu menyediakan instrumen yang efektif untuk melibatkan

partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran. Pada kenyataannya, masih

dijumpai misalnya keterbatasan transparansi dan akuntabilitas di lingkungan pemerintah daerah;

terbatasnya keterlibatan organisasi masyarakat sipil dan DPRD dalam proses perencanaan dan

penganggaran; masih kurangnya analisis dampak kebijakan anggaran atas pengurangan kemiskinan

dan kepentingan kaum perempuan; serta keterlibatan organisasi masyarakat sipil yang terbatas

hanya pada pemantauan dan evaluasi anggaran. Kelompok masyarakat umumnya memiliki

pemahaman yang sangat terbatas atas proses perencanaan dan penganggaran daerah yang cukup

kompleks.

2. Komitmen pimpinan daerah yang tidak merata.

Perencanaan partisipatif sukar untuk mencapai keberhasilan tanpa komitmen yang kuat dari

pimpinan daerah. Tingkat kemauan dan komitmen menerapkan perencanaan dan penganggaran

partisipatif sangat bervariasi antar daerah. Lemahnya komitmen antara lain disebabkan oleh

pemahaman yang terbatas atas peranan dan manfaat jangka panjang partisipasi masyarakat untuk

menghasilkan pembangunan daerah berkelanjutan; sukar membedakan antara partisipasi

masyarakat dan partisipasi politik. Tindak korupsi dan pengaruh partai politik dalam proses

penganggaran juga merupakan hambatan yang signifikan.

8

Page 9: Potret Kecil pengelolaan keuangan daerah di Indonesia oleh Agung BL

3. Keterbatasan pengawasan legislatif dalam penyusunan anggaran. Ketidakterpaduan masa reses

DPRD dengan Musrenbang dan proses perencanaan dan penganggaran serta keterbatasan dalam

penyediaan informasi dan analisis untuk pembahasan anggaran sedikit banyak menyebabkan

keterbatasan dalam pengawasan penyusunan anggaran.

4. Keterbatasan Musrenbang untuk mempengaruhi alokasi anggaran.

Faktor yang antara lain membatasi efektifitas Musrenbang untuk mempengaruhi proses alokasi

anggaran adalah kurang memadainya kualitas dan transparansi informasi yang disiapkan

pemerintah daerah bagi peserta Musrenbang; kurangnya keterwakilan stakeholders dalam proses

penganggaran, dimana proses ini lebih didominasi oleh eksekutif dan DPRD dengan pengaruh partai

politik yang kuat dalam kebijakan anggaran; terbatasnya pemahaman organisasi masyarakat sipil

tentang proses penganggaran dan hak-haknya untuk menyuarakan perspektifnya atas

pembangunan daerah.

5. Keterbatasan kapasitas organisasi masyarakat sipil untuk memahami proses perencanaan dan

mendorong perubahan.

Terdapat keterbatasan pengetahuan organisasi masyarakat sipil dalam memahami proses

penganggaran yang cukup panjang dan kompleks serta hak-hak ekonomi untuk menyuarakan

perspektif dan kepentingannya dalam pembangunan daerah. Kepentingan kaum perempuan dan

kelompok masyarakat miskin seringkali kurang terwakili dalam pengambilan keputusan alokasi

anggaran. Juga terdapat kekurangpercayaan dari masyarakat bahwa proses Musrenbang akan

mampu membawa perbaikan dalam kesejahteraan hidup mereka; masyarakat seringkali melihat

Musrenbang hanya merupakan seremonial dengan dominasi pengambilan keputusan lebih banyak

dilakukan oleh elit daerah. Organisasi masyarakat sipil kerap kurang memahami cara melakukan

advokasi, penelitian, dan analisis informasi untuk berpartisipasi secara efektif dalam proses

perencanaan dan penganggaran. Selain itu, kendala dalam menjalin hubungan yang lebih erat

dengan eksekutif dan legislatif menyebabkan keterbatasan organisasi masyarakat sipil dalam

mempengaruhi proses alokasi anggaran.

6. Kompleksitas isu pembangunan daerah.

Permasalahan yang dihadapi daerah sangat kompleks seperti perbaikan kualitas dan akses

pelayanan pendidikan dan kesehatan, pengurangan kemiskinan dan malnutrisi; kesejahteraan anak;

keamanan; penguatan peranan kaum perempuan dalam pembangunan daerah; peningkatan

keamanan, keteraturan; konflik daerah, sosial dan etnik; revitalisasi sektor pertanian; pengembangan

ekonomi lokal; dan degradasi kualitas lingkungan hidup. Semua itu memerlukan tidak saja

pengambilan keputusan yang demokratis melainkan juga pemahaman teknis dan analisis

permasalahan; penerapan praktek-praktek yang telah terbukti baik dan efektif; serta keseimbangan

prioritas antardaerah, antara propinsi dan kabupaten/kota untuk menghasilkan solusi yang efektif

dan tuntas.

9

Page 10: Potret Kecil pengelolaan keuangan daerah di Indonesia oleh Agung BL

Dari seluruh penjelasan di atas, jelaslah bahwa reevaluasi efektifitas mekanisme Musrenbang dan

partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah amat sangat diperlukan.

D. Manajemen Kinerja Pemerintah Daerah

Pengelolaan anggaran yang baik diperlukan untuk mendukung pengelolaan sumber daya yang

baik, mencapai kinerja yang diharapkan oleh masyarakat dan untuk menciptakan akuntabilitas terhadap

masyarakat.

Agar dapat menilai kinerja satuan unit kerja maka diperlukan indikator-indikator penilaian kinerja,

yang menurut Mardiasmo (2002) terbagi menjadi dua macam, yaitu:

a. Informasi finansial.

Penilaian laporan kinerja finansial diukur berdasarkan pada anggaran yang telah dibuat. Penilaian

diukur dengan menganalisi antara kinerja aktual dengan yang dianggarkan (selisih antara

pendapatan dengan pengeluaran).

b. Informasi non-finansial.

Pengukuran kinerja yang diukur bukan dari aspek finansialnya saja akan tetapi juga aspek non-

finansial, seperti:

Kepuasan pelanggan.

Efesiensi proses internal.

Efektifitas pengeluaran

Perlu diingat pula bahwa untuk mewujudkan kinerja pemerintahan yang baik seyogyanya

pengeluaran anggaran belanja tidak langsung perlu ditekan semaksimal mungkin sehingga alokasi

anggaran belanja publik dapat memperoleh alokasi yang lebih besar. Literatur penelitian yang ada

menunjukkan bahwa kebanyakan pemerintah daerah belum sepenuhnya melakukan upaya efisiensi

dalam pengelolaan keuangan daerah terutama yang terkait belanja tidak langsung (Brata, 2009).

Masalah yang dirasakan saat ini sangat penting untuk mendapatkan fokus perhatian pemerintah

adalah masalah ketepatan sasaran program dan kegiatan. Bermacam evaluasi penerapan manajemen

kinerja di Indonesia menunjukkan hasil yang belum memuaskan. Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja

Instansi Pemerintah (LAKIP) oleh BPKP tahun 2006 terhadap 153 pemerintah daerah di Indonesia

menunjukkan; 3 Pemda memiliki nilai sangat baik (1,9%), 15 Pemda Baik (9,49%), 61 Pemda

memperoleh nilai cukup (38.61%), selebihnya 79 Pemda memperoleh nilai kurang (50 %). Kelemahan-

kelemahan tersebut diperkirakan berasal dari semua komponen fungsi pemyelenggaraan pemerintahan,

sejak di perencanaan kinerja, pengukuran kinerja, pelaporan kinerja, evaluasi kinerja, dan pencapaian

kinerja itu sendiri.

Apabila dilihat secara lebih mendalam, beberapa masalah penyebab penerapan manajemen

kinerja di lingkungan pemerintahan daerah yang kurang berjalan secara optimal di lapangan, antara lain:

(a) masalah legal yuridis yang ada yang sering tumpang tindih, disorientasi dan bersifat partial dalam

pelaksanaan manajemen kinerja di Indonesia; (b) manajemen kinerja dan pengukuran kinerja belum dan

10

Page 11: Potret Kecil pengelolaan keuangan daerah di Indonesia oleh Agung BL

tidak disatukan dalam fungsi manajemen pemerintah daerah, seperti halnya dalam perencanaan,

penganggaran, pelaksanaan, pelaporan, evaluasi dan monitoring dan audit; (c) tidak terdapatnya

manajemen kompensasi yang mengedepankan mekanisme reward dan punishment yang merefleksikan

pelakasanaan manajemen kinerja di tingkat manajemen publik; (d) lemahnya kapasitas teknis

sumberdaya manusia aparatur dalam proses transisi paradigma sumber daya manusia yang dimulai dari

paradigma lama yang berorientasi pada input ke paradigma baru yang berorientasi pada kesuksesan

kerja melalui pengukuran hasil “outcome oriented”; dan (e) peran publik masih sangat lemah untuk

“memaksa” pemerintah daerah mampu berlaku akuntabel dan transparan dalam pengelolaan

anggarannya. (USAID, www.lgsp.or.id)

D.1. Indikator Kemiskinan

Indikator kesejahtaraan berupa PDRB per kapita harus dikontraskan dengan indikator angka

kemiskinan. Angka kemiskinan memberi gambaran mengenai intensitas penduduk dengan tingkat

pendapatan terendah di perekonomian. Peningkatan kesejahteraan di semua daerah juga diikuti oleh

penurunan jumlah penduduk miskin. Secara nasional, angka kemiskinan tahun 2001 adalah 19,14%

atau sekitar 38,7 juta jiwa, sementara di akhir tahun 2005 angka kemiskinan menjadi 15,97 % atau

sekitar 35,1 juta jiwa (BPS 2005).

Gambar.2 Gambar.3 PDRB Per Kapita (Rupiah) Tingkat Kemiskinan

Sumber: Bappenas

Penurunan kemiskinan semenjak tahun 2001 sampai dengan periode 2005 tersebut ternyata berlanjut

sampai dengan 2011. Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung, jumlah penduduk miskin di Indonesia

pada Maret 2011 sebanyak 30,02 juta orang. Jumlah ini mengalami penurunan 1 juta orang atau 3,2%

dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret tahun 2010 yang mencapai 31,02 juta orang.

Penduduk miskin menurut BPS adalah masyarakat yang pengeluran per bulannya sebesar atau kurang

dari Rp 200.000 per kapita.

Menurut Kepala BPS Rusman, sejak tahun 2007 sampai 2011 jumlah penduduk miskin kembali

mengalami penurunan. Kalau dilihat dari daerahnya, jumlah penduduk miskin di pedesaan turun lebih

besar daripada di daerah perkotaan menurut Kepala BPS.

11

Page 12: Potret Kecil pengelolaan keuangan daerah di Indonesia oleh Agung BL

D.2. Indikator Perekonomian Daerah

Berbagai indikator yang telah diuraikan di atas kemudian digunakan untuk menghitung indeks

kinerja ekonomi daerah. Indeks ini menunjukkan bahwa kinerja perekonomian daerah induk masih selalu

lebih baik dari pada daerah DOB. Walaupun pada tahun 2004 perbedaan di antara keduanya sempat

mengecil, pada tahun 2005 perbedaan indeks kinerja ekonomi membesar kembali. Hal ini menunjukkan

belum adanya perkembangan yang berarti di DOB6.

Pada saat yang bersamaan, daerah kontrol memperlihatkan kinerja ekonomi yang selalu lebih

baik dibandingkan DOB. Indeks daerah kontrol selalu berada di atas indeks kinerja ekonomi DOB. Hasil

ini juga menunjukkan bahwa pemekaran daerah belum sepenuhnya menghasilkan DOB yang memiliki

kinerja yang setara dengan daerah induk ataupun daerah kontrol. Pemekaran masih menghasilkan

daerah yang masih harus berjuang keras memperbaiki kesejahteraan masyarakatnya.

E. Penyajian Laporan Keuangan Pemerintah Daerah

Dengan telah diterbitkannya Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2005 tentang Standar

Akuntansi Pemerintah, maka pertanggungjawaban anggaran dalam bentuk Laporan Keuangan

Pemerintah Daerah harus mengacu kepada Standar Akuntansi Pemerintah.

Laporan Realisasi Anggaran (LRA) merupakan salah satu komponen laporan keuangan

pemerintah (statuory) yang menyajikan informasi tentang realisasi dan anggaran (pendapatan, belanja,

transfer, surplus/ defisit dan pembiayaan) entitas pelaporan secara tersanding untuk suatu periode

tertentu.

Penyandingan antara anggaran dan realisasi menunjukkan tingkat capaian target-target yang

telah disepakati antara legislatif dan eksekutif sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Informasi

tersebut berguna bagi para pengguna laporan dalam mengevaluasi keputusan mengenai alokasi

sumber-sumber daya ekonomi, akuntabilitas dan ketaatan entitas pelaporan terhadap anggaran. Dalam

pelaporannya, anggaran disandingkan dengan realisasinya, sehingga dalam penyusunan APBN/D

seharusnya digunakan struktur, definisi, dan basis yang sama dengan yang digunakan dalam

pelaporannya.

Laporan Kinerja Keuangan merupakan laporan hasil operasi pemerintah yang terdiri dari pos-pos:

a) Pendapatan dari kegiatan operasional;

b) Beban berdasarkan klasifikasi fungsional dan klasifikasi ekonomi;

c) Surplus atau defisit.

Pada Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan disebutkan bahwa laporan ini adalah

laporan realisasi pendapatan dan belanja yang disusun berdasarkan basis akrual. Dalam laporan

tersebut disajikan informasi tentang pendapatan operasional, belanja, dan pengungkapan surplus atau

defisit. Pada PSAP Nomor 01 tentang Penyajian Laporan Keuangan disebutkan bahwa analisis dalam

6 Bappenas bekerjasama dengan UNDP, 2008, Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007

12

Page 13: Potret Kecil pengelolaan keuangan daerah di Indonesia oleh Agung BL

laporan ini dapat digolongkan menurut klasifikasi ekonomi (misalnya beban penyusutan, beban gaji dan

tunjangan pegawai, dan sebagainya) atau klasifikasi fungsi (berdasarkan program).

Ada tiga kebijakan yang diharapkan dari Laporan Kinerja Keuangan:

o Outcome 1: mengetahui keadaan Makroekonomi Nasional;

o Outcome 2: Efektifnya belanja Negara dan kebijakan perpajakn yang tepat

o Outcome 3: Penyerapan Pasar yang berfungsi baik.

Kinerja keuangan entitas pelaporan dalam Laporan Realisasi Anggaran mengikhtisarkan

indikator dan pencapaian kinerja kegiatan operasional yang berdimensi keuangan dalam suatu periode

pelaporan.

Pembahasan mengenai kinerja keuangan harus dihubungkan dengan tujuan dan sasaran dari

rencana strategis pemerintah dan indicator sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Ikhtisar pembahasan kinerja keuangan dalam Catatan atas Laporan Keuangan harus:

a. menguraikan strategi dan sumber daya yang digunakan untuk mencapai tujuan.

b. Memberikan gambaran yang jelas atas realisasi dan rencana kinerja keuangan dalam satu entitas

pelaporan; dan

c. Menguraikan prosedur yang telah disusun dan dijalankan oleh manajemen untuk dapat memberikan

keyakinan yang beralasan bahwa informasi kinerja keuangan yang dilaporkan adalah relevan dan

andal.

Pembahasan mengenai kinerja keuangan harus:

a. meliputi baik hasil yang positif maupun negative;

b. menyajikan data historis yang relevan;

c. membandingkan hasil yang dicapai dengan tujuan dan rencana yang telah ditetapkan;

d. menyajikan informasi penjelasan lainnya yang diyakini oleh manajemen akan dibutuhkan oleh

pembaca laporan keuangan untuk dapat memahami indicator, hasil, dan perbedaan yang ada

dengan tujuan atau rencana.

Laporan Arus Kas merupakan laporan keuangan yang memberikan informasi historis mengenai

perubahan kas dan setara kas suatu entitas pelaporan dengan mengklasifikasikan arus kas berdasarkan

aktivitas operasi, investasi aset nonkeuangan, pembiayaan, dan nonanggaran selama satu periode

akuntansi.

Laporan Arus Kas merupakan salah satu komponen laporan keuangan pemerintah. Laporan ini

menggambarkan arus masuk dan arus keluar kas selama satu periode, kemudian dihubungkan dengan

saldo kas awal dan akhir periode. Arus kas diklasifikasikan berdasarkan aktivitas-aktivitas. Laporan Arus

Kas berhubungan dengan Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca.

Laporan Arus Kas mempunyai kekhususan. Laporan tersebut menggambarkan saldo awal kas,

perubahan selama periode tertentu, dan saldo akhir. Dalam Laporan Arus Kas disajikan seluruh arus

masuk dan keluar kas serta saldo baik yang berasal dari transaski yang berhubungan dengan anggaran

maupun yang tidak. Laporan ini juga hanya disajikan oleh unit yang mempunyai fungsi perbendaharaan

13

Page 14: Potret Kecil pengelolaan keuangan daerah di Indonesia oleh Agung BL

Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang tersusun berdasarkan Standar Akuntansi

pemerintah tersebut dapat dianalisis untuk mengetahui seberapa besar komitmen pemerintah dalam

upaya untuk memberikan maksimalisasi pelayanan kepada masyarakat.

Tujuan penyajian laporan keuangan pemerintah daerah yang baik (Hanafi dan Halim, 2003)

adalah sebagai berikut:

1. Memberikan informasi keuangan untuk menentukan dan memprediksi aliran kas, saldo neraca dan

kebutuhan sumber daya finansial jangka pendek suatu unit pemerintahan;

2. Memberikan informasi keuangan untuk menentukan dan mempredikasikan kondisi ekonomi suatu

unit pemerintahan dan perubahan-perubahaan yang terjadi di dalamnya;

3. Memberikan informasi keuangan untuk memonitor kerja, kesesuaiannya dengan peraturan

perundang-undangan, kontrak yang telah disepakati dan ketentuan lain yang disyaratkan;

4. Memberikan informasi untuk perencanaan dan penganggaran, serta untuk memprediksikan

pengaruh pemilikan dan pembelanjaan sumber daya ekonomi terhadap pencapaian tujuan

operasional;

5. Memberikan informasi untuk mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasional antara lain:

a. untuk menentukan biaya program, fungsi dan aktivitas sehingga memudahkan analisis dan

melakukan perbandingan dengan kriteria yang telah ditetapkan, membandingkan dengan kinerja

periode-periode sebelumnya dan kinerja unit pemerintahan lain;

b. untuk mengevaluasi tingkat ekonomi dan efisiensi operasi program aktivitas dan fungsi tertentu di

unit pemerintah;

c. untuk mengevaluasi hasil suatu program, aktivitas dan fungsi serta efektifitas terhadap

pencapaian tujuan target; dan

d. untuk mengevaluasi tingkat pemerataan (equity).

Namun demikian dalam pelaksanaan di lapangan masih dirasakan tidak seperti yang diharapkan.

Hal ini dapat dilihat dari Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Semester II 2008 yang

menyimpulkan bahwa perkembangan opini Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) 2004 sampai

dengan 2007 menunjukkan kualitas yang semakin memburuk. Persentase LKPD yang informasi

keuangannya tidak dapat diandalkan oleh para pengguna laporan keuangan, semakin banyak dan

sebaliknya persentase LKPD yang informasi keuangannya dapat diandalkan semakin sedikit. (Harian

Pikiran Rakyat, Selasa 19 Mei 2009)

Dalam Pemeriksaan Semester II tahun 2008, BPK juga menemukan 3.051 kasus senilai Rp 9,93

triliun dari hasil pemeriksaan atas 191 LKPD terkait dengan ketidakpatuhan terhadap peraturan

perundangan yang berlaku. Dari jumlah tersebut, sebanyak 556 kasus senilai Rp 310,86 miliar

merupakan kategori kerugian daerah. Pemeriksaan atas LKPD pada semester II 2008 merupakan

pemeriksaan atas LKPD pada 2007 yang terlambat diserahkan oleh 191 pemerintah daerah kepada

BPK. (Harian Pikiran Rakyat, Selasa 19 Mei 2009)

14

Page 15: Potret Kecil pengelolaan keuangan daerah di Indonesia oleh Agung BL

BPK juga menemukan semakin buruknya kualitas Laporan Keuangan Daerah, dari 191 LKPD

yang diperiksa, sebanyak 72 LKPD memperoleh opini disclaimer, delapan opini tidak wajar, 110 LKPD

wajar dengan pengecualian, dan satu LKPD mendapat opini wajar tanpa pengecualian. (Harian Pikiran

Rakyat, Selasa 19 Mei 2009).

Apa penyebab lambatnya kemajuan pemda dalam mewujudkan laporan keuangan yang

akuntabel tersebut dilihat dari aspek ketersediaan sumber daya manusia, konsistensi kebijakan

pemerintah pusat, dan paradigma kepala daerah terhadap laporan keuangan Pemda? Apabila melihat

ke belakang pada reformasi pengelolaan keuangan daerah yang berjalan sejak 1999, telah

menyebabkan berubahnya praktik akuntansi keuangan daerah yang sebelumnya berbasis single entry

menjadi praktik akuntansi yang berbasis double entry yang lebih rumit. Hal ini dilakukan agar dapat

menghasilkan neraca dan laporan arus kas di samping laporan realisasi anggaran yang konsisten antara

pencatatan barang dan uang.

Praktik akuntansi double entry berbasis akrual, walaupun relatif lebih rumit, dipandang memiliki

kelebihan memiliki kandungan informasi yang lebih baik kepada publik karena tidak saja

menginformasikan jumlah dana masyarakat yang dibelanjakan, melainkan juga menginformasikan nilai

aset yang dibeli maupun yang dikuasai pemda. Dengan demikian, potensi maupun kinerja keuangan

pemda akan tergambar secara lebih baik, jika menggunakan praktik akuntansi double entry berbasis

akrual tersebut.

Permasalahannya, untuk menerapkan akuntansi double entry berbasis akrual diperlukan sumber

daya manusia (SDM) yang memahami ilmu akuntansi secara baik. Aparatur pemda yang menangani

masalah keuangan tidak cukup hanya menguasai penatausahaan anggaran, melainkan juga harus

memahami karakteristik transaksi yang terjadi dan pengaruhnya pada rekening-rekening dalam laporan

keuangan pemda. Kegagalan SDM pemda dalam memahami dan menerapkan ilmu akuntansi akan

berdampak pada kekeliruan laporan keuangan yang dibuat dan ketidaksesuaian laporan dengan standar

yang ditetapkan pemerintah.

Banyaknya SDM keuangan pemda yang berlatar belakang nonakuntansi merupakan satu

kendala utama saat ini. Akibatnya, berbagai pelatihan yang diadakan pemda maupun pemerintah pusat

tidak memberikan hasil maksimal. Dengan demikian, upaya melakukan rekrutmen pegawai berlatar

belakang akuntansi dengan spesifikasi teknis akuntansi yang baik merupakan suatu pilihan yang tepat

untuk dikembangkan.

Oleh karena itu kiranya tidak terlalu berlebihan apabila pemda-pemda seluruh Indonesia dapat

bekerjasama dengan perguruan-perguruan tinggi Negeri maupun swasta setempat maupun di daerah

terdekatnya, untuk segera dapat mengatasi kelangkaan tenaga-tenaga SDM pengelola keuangan

daerah yang berlatarbelakang ilmu akuntansi agar akuntansi pengelolaan keuangan daerah dapat

dilaksanakan secara benar dan terpadu di seluruh komponen perangkat daerah.

15

Page 16: Potret Kecil pengelolaan keuangan daerah di Indonesia oleh Agung BL

Dengan demikian kualitas pelaporan dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah dapat lebih

ditingkatkan. Namun yang lebih penting lagi pemanfaatan keuangan daerah bagi kemakmuran dan

kesejahteraan masyarakat setempat dapat lebih ditingkatkan secara lebih baik.

Kesimpulan

Pengelolaan keuangan daerah di Indonesia secara kualitas masih perlu ditingkatkan lagi. Hal ini

dimaksudkan agar opini pelaporan keuangan yang dihasilkannya memperoleh hasil yang lebih baik.

Kondisi realitas yang ada akan dapat terlihat sejalan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK di

waktu-waktu mendatang terhadap pemda-pemda di seluruh Indonesia.

Keberhasilan pengelolaan keuangan daerah yang dapat memberikan dampak pada turunnya

pengurangan tingkat kemiskinan ke depan akan sangat membantu program pemerintah pusat dalam

rangka mengurangi tingkat kemiskinan secara nasional.

Opini pelaporan keuangan pemda yang semakin baik diharapkan menjadi indikasi semakin

baiknya pula pengelolaan keuangan daerah yang dilakukan oleh pemda-pemda. Dengan demikian,

harapan dapat ditingkatkannya pelayanan dan kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan.

Namun demikian perubahan basis pencatatan akuntansi pemerintah seperti yang diamanatkan

dalam UU Keuangan Negara perlu disikapi secara jeli dan responsif, sehingga dampak-dampak yang

tidak diharapkan yang mengakibatkan menurunnya kuantitas maupun kualitas pelayanan serta

kesejahteraan masyarakat dapat diantisipasi secara baik.

16

Page 17: Potret Kecil pengelolaan keuangan daerah di Indonesia oleh Agung BL

DAFTAR PUSTAKA

Australia Department of Finance and Administration, 2000 The Outcomes & Outputs Framework

Guidance Document. Canberra: Department of Finance and Administration.

Bratha, Deni (2009), Hanya 51% APBD untuk Rakyat, Belanja untuk Keperluan "Abdi Masyarakat" Lebih

Besar, Majalah Komunitas.

Hanafi, Mamduh M dan Abdul Halim, 2003, Analisis Laporan Keuangan, Edisi Revisi, Penerbit UPP

AMP YKPN: Yogyakarta.

Harian Pikiran Rakyat (Selasa 19 Mei 2009), Opini Keuangan Pemda Buruk, Hanya Satu Daerah

Memperoleh “Wajar Tanpa Pengecualian”

Mardiasmo, 2002. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Andi Press

Nick Devas, et. Al., ”Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia”, UI Press, Jakarta 1989.

USAID, www.lgsp.or.id, Tantangan dalam Penyelenggaraan Evaluasi Kinerja Berbasis Hasil (Outcome-

Bbased) untuk Pemerintah Daerah di Indonesia

Rubin, I. (1996, Summer), "Budgeting for Accountability: Municipal Budgeting for the 1990s," Public

Budgeting and Finance, 16: 112-132.

Schick. A. (1966, December), "The Road to PPB: The Stages of Budget Reform," Public Administration

Review, 26: 243-258.

Schiesl, M. J. (1977), The Politics of Efficiency: Municipal Administration and Reform in America 1800-

1920, Berkeley, CA: University of California Press.

17