Upload
addiviakarina
View
59
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Berkisar tentang cara pengelolaan keuangan pada daerah-daerah yang ada di Indonesia, disusun oleh Agung BL
Citation preview
POTRET KECIL PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
DI INDONESIA
Oleh: Agung Budilaksono - Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai
A. Gambaran Umum
Paradigma baru manajemen pemerintahan daerah di Negara Indonesia saat ini banyak diilhami
oleh pemikiran-pemikiran Osborne dan Gaebler (1992)1 yang dituangkan dalam bukunya berjudul
Reinventing Government. Dari pemikirannya tersebut telah banyak membuka mata dan pikiran banyak
pihak untuk memulai membenahi sistem-sistem birokrasi pemerintahan di dunia.
Osborne dan Gaebler (1992)2 menguraikan karateristik pemerintahan wirausaha tersebut melalui
sepuluh prinsipnya, yang intinya mengurangi peran pemerintah dengan cara memberdayakan
masyarakat, serta menjadikan sektor pemerintah menjadi lebih efisien.
Apabila dilihat secara seksama, birokrasi pada sektor pemerintahan daerah memiliki aspek
penyelenggaraan tugas yang sangat luas dan kompleks serta memiliki skala aktivitas dan jumlah
personil penyelenggara yang sangat besar. Sebagai gambaran adalah bahwa jumlah pemerintahan
daerah di Indonesia sampai dengan tahun 2009 telah berkembang menjadi sebanyak 510 pemerintahan
daerah. Jumlah ini diperkirakan akan terus berkembang di masa mendatang, apabila tidak terkendali
secara baik.
Namun meningkatnya perkembangan pemerintahan daerah di Indonesia masih belum diiringi
dengan perkembangan kinerja yang memadai. Fakta yang ditunjukkan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), melalui pemeriksaan kinerja atas pengelolaan administrasi pemekaran daerah di
Indonesia, menunjukkan bahwa sejak tahun 1999-2008, di Indonesia telah terbentuk 203 daerah otonom
baru (DOB), dengan rincian tujuh propinsi dan 196 kabupaten/kota, namun pemekaran daerah atau
pembentukan DOB sejak tahun 1999 hingga 2008 tersebut masih belum didukung oleh suatu grand
design yang baik, yang mengatur arah kebijakan dan strategi pemekaran daerah serta prediksi
mengenai jumlah daerah otonom yang ideal di Indonesia. Selama ini pemerintah dan DPR masih belum
memiliki pedoman yang jelas dalam menyikapi aspirasi masyarakat mengenai pembentukan DOB.
Semakin meningkatnya jumlah pemerintah daerah di Indonesia tentunya akan membutuhkan
dukungan pembiayaan pemerintah pusat yang semakin besar, apabila arah pergerakan pemda-pemda
tersebut belum mampu menghasilkan pendapatan asli daerah, Pendapatan Retribusi Daerah, Hasil
Kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah, yang memadai untuk
memenuhi kebutuhan belanja daerah yang justru semakin terus meningkat dari waktu ke waktu.
1 Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector yang dipublikasikan pada tahun 19922 Idem
1
Gambar.1Jumlah Kabupaten/Kota dan Propinsi, 1999-2007
Sumber: Bappenas
Sementara pemenuhan kebutuhan minimal akan belanja daerah yang ada sendiri masih belum
memberikan hasil kinerja seperti yang diharapkan, disamping masih banyaknya terjadi kebocoran-
kebocoran anggaran.
Oleh karena itu, perolehan PAD, retribusi, maupun pendapatan-pendapatan lainnya serta dana
perimbangan yang dapat bervariasi antar daerah-daerah di Indonesia tersebut, diperlukan manajemen
pemanfaatan dana yang mampu digunakan semaksimal mungkin bagi kemakmuran masyarakat yang
sebesar-besarnya melalui program-program dan kegiatan-kegiatan yang diluncurkan pemerintah daerah
tersebut.
Total Pendapatan Asli Daerah (PAD) seluruh pemda di Indonesia pada tahun 2009 sekitar Rp.
62 triliun, dimana 3 peringkat peroleh PAD tertinggi diduduki oleh pemda Propinsi DKI Jakarta, setelah
itu diiukti Propinsi Jawa Barat dan terakhir Propinsi Sumatera Utara.
Jumlah pendapatan-pendapatan pemerintah daerah tersebut digunakan untuk memenuhi
kebutuhan belanja-belanja pemerintah daerah di Indonesia. Dimana kebutuhan-kebutuhan belanja
tersebut digunakan semaksimal mungkin untuk membiaya program dan kegiatan yang berkaitan dengan
pelayanan kepada masyarakat.
Belanja-belanja tersebut harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dalam penyusunan suatu laporan keuangan yang mengacu kepada Standar Akuntansi Pemerintah dan
Sistem Akuntansi Pemerintah yang berlaku. Dalam hal ini telah dikeluarkan aturan pemerintah terkait
dengan Standar Akuntansi Pemerintah yaitu PP No.24 Tahun 2005 dan aturan terkait dengan Sistem
Akuntansi Pemerintah, yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri No.13 Tahun 2006, Peraturan Menteri
Dalam Negeri No.59 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah No.58 Tahun 2005.
Pertanggungjawaban pemerintah daerah (pemda) atas pengelolaan anggaran di 41
kabupaten/kota dianggap masih kurang transparan bila dibandingkan dengan tahapan perencanaan,
pembahasan, dan pelaksanaan. Skor rata-rata transparansi pengelolaan anggaran untuk tahapan
pertanggungjawaban adalah 65,83.
3 Menurut Farhan, Yuna, Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), pada Bataviase.co.id , edisi 3 Feb 2010
2
Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Forum Indonesia untuk Transparansi (Fitra) atas 41
kabupaten/kota di Indonesia, menunjukkan bahwa skor rata-rata daerah untuk tahapan perencanaan
anggaran adalah sebesar 73,6, pembahasan 73,5, dan pelaksanaan 78,1. Indikator skor tersebut
menunjukkan bahwa pemda cenderung untuk menutupi informasi yang terkait dengan laporan
pertanggungjawaban kepada masyarakat. Ruang gerak masyarakat untuk terlibat dalam evaluasi
pelaksanaan pembangunan menjadi lebih sempit dengan tidak dibukanya akses dan ketersediaan
dokumen anggaran. Dengan demikian pemda menghadapi tantangan yang cukup serius dalam hal
transparansi dokumen pada tahap pertanggungjawaban.4
Sementara berkaitan dengan ketaatan penyampaian laporan kinerja pemerintah daerah,
Kementerian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara (PAN) dan Reformasi Birokrasi telah melaporkan
bahwa ketaatan pemerintah daerah dalam menyampaikan laporan kinerja hingga tahun 2009 baru
mencapai 60-70% dari sekitar 483 kab/kota yang ada di seluruh tanah air5.
Padahal jelas sekali bahwa ketaatan pemerintah daerah dalam menyampaikan laporan kinerja
pemerintah daerah merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban atas alokasi sumber daya
anggaran yang mayoritas berasal dari masyarakat yang diberikan kepada pemerintah daerah. Hal ini
sejalan dengan apa yang dikatakan Nick Devas, et.al, (1989) mengenai tujuan pengelolaan dan
pelaporan keuangan daerah, yaitu untuk:
1) Akuntabilitas (Accountability)
Pemda harus mempertanggungjawabkan tugas keuangan kepada lembaga atau orang yang
berkepentingan dan sah. Lembaga atau orang yang dimaksud antara lain, adalah Pemerintah Pusat,
DPRD, Kepala Daerah, masyarakat dan kelompok kepentingan lainnya (LSM);
2) Memenuhi kewajiban Keuangan
Keuangan daerah harus ditata sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua ikatan keuangan,
baik jangka pendek maupun jangka panjang;
3) Kejujuran
Urusan keuangan harus diserahkanpada pegawai professional dan jujur, sehingga mengurangi
kesempatan untuk berbuat curang.
4) Hasil guna (effectiveness) dan gaya guna (efficiency) kegiatan daerah.
Tata cara pengurusan keuangan daerah harus sedemikian rupa memungkinkan setiap program
direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan dengan biaya serendah-rendahnya dengan
hasil yang maksimal.
5) Pengendalian
Manajer Keuangan Daerah, DPRD dan aparat fungsional pemeriksaan harus melakukan
pengendalian agar semua tujuan dapat tercapai. Harus selalu memantau melalui akses informasi
Sedangkan fungsi manajemen sendiri terbagi atas tiga tahapan utama yaitu : adanya proses
perencanaan, adanya tahapan pelaksanaan, dan adanya tahapan pengendalian/ pengawasan. Oleh
4 Idem5 Kabarbisnis.com, edisi 3 esember 2010, Kemen PAN: 70% pemda taat laporkan kinerja
3
karena itu fungsi manajemen keuangan daerah terdiri dari unsur-unsur pelaksanaan tugas yang terdiri
dari tugas :
1) Pengalokasian potensi sumber-sumber ekonomi daerah;
2) Proses Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah;
3) Tolok ukur kinerja dan Standarisasi;
4) Pelaksanaan Anggaran yang sesuai dengan Prinsip-prinsip Akuntansi;
5) Laporan Pertanggung Jawaban Keuangan Kepala Daerah; dan
6) Pengendalian dan Pengawasan Keuangan Daerah.
Poin 1 dan 2 merupakan indicator keberhasilan dari fungsi perencanaan anggaran daerah dimana
melekat pengertian adanya partisipasi publik; Poin 3 dan 4 merupakan indikator keberhasilan dari fungsi
pelaksanaan/pengelolaan anggaran pemerintah daerah dan Poin 5 dan 6 merupakan indicator
keberhasilan pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi pengendalian dan pengawasan anggaran
pemerintah daerah. Keseluruhan indicator keberhasilan tersebut akan bermuara pada suatu indicator
keberhasilan terciptanya sistem informasi keuangan daerah yang transparan dan akuntabel.
B. Sistem Anggaran
Schick (1966) mengatakan bahwa berdasarkan pengalaman, penganggaran memiliki
kecenderungan untuk menekankan pada financial control, peningkatan kemampuan manajerial atau
perencanaan. Rubin (1996), yang menulis 30 tahun kemudian setelah Schick, mengusulkan bahwa ada
dua penekanan tambahan yang perlu ditambahkan untuk mencerminkan tren yang dominan di era 1970-
an, 1980-an, dan 1990-an, yaitu prioritas dan akuntabilitas.
Pada dekade terakhir abad kesembilan belas, penganggaran diartikan sebagai “sebuah penilaian
terhadap penerimaan dan belanja atau sebuah neraca publik, dan sebagai sebuah hukum legislatif yang
membangun dan mengotorisasi suatu jenis dan jumlah dari belanja dan perpajakan” (Schiesl, 1977: 89).
Pemikiran sebuah anggaran sebagai mekanisme kendali, telah berkembang sejak tahun 1830-
an, namun baru mendapatkan momentumnya setelah perang sipil di Amerika yang kemudian diikuti
dengan adanya pertumbuhan kota-kota dan perluasan layanan pemerintah. Di akhir tahun 1890-an
terdapat tiga bentuk dasar dari penganggaran pemerintah. Beberapa kota mula-mula mulai
mempraktekan secara sederhana dengan menggunakan pendekatan retribusi pajak, yang secara umum
merupakan pendekatan yang kurang disukai oleh para reformer, karena kurangnya pengendalian dalam
bentuk ketidakperhatian kepada pembelanjaan penganggaran, ditambah lagi dengan dominasi belanja
oleh dewan kota. (Schiesl, 1977: 89)
Selanjutnya berkembang kepada pendekatan lainnya, yaitu pendekatan retribusi pajak yang
ditambahkan dengan detail pembelanjaan. Pendekatan ini kurang merinci mengenai estimasi
pendapatan. Pendekatan terakhir yang digunakan adalah pendekatan penggunaan retribusi pajak tetapi
didahului dengan estimasi penerimaan dan pengeluaran yang rinci, yang ternyata merupakan praktek
yang disukai oleh para reformer kelas menengah dan bisnis. (Schiesl, 1977: 89).
4
Banyak literatur teori menyebutkan bahwa APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan,
pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Dimana fungsi-fungsi tersebut bersatu padu dalam
rangka mendukung program pemerintah untuk menyejahterakan kehidupan masyarakat serta
memberikan pelayanan yang baik bagi aktivitas kehidupan masyarakat.
(1) Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan
pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
(2) Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen
dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
(3) Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai
apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan.
(4) Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan
lapangan kerja/ mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan
efisiensi dan efektivitas perekonomian.
(5) Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran daerah harus memperhatikan rasa
keadilan dan kepatutan.
(6) Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah daerah menjadi alat untuk
memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.
Tolok ukur kinerja (Performance Measurement) anggaran merupakan bagian dari proses analisis
anggaran untuk mengukur keberhasilan suatu kegiatan masukan dan keluaran (Input, and Output
Process Analysis) atas standarisasi pelayanan umum yang dikembangkan oleh Pemda. Instrumen
analysis ini terdiri dari Standar Analisa Belanja (SAB), tolok ukur kinerja kegiatan, dan Standar Biaya.
SAB adalah suatu pendekatan dasar pengukuran kinerja keuangan yang merupakan analisa dari setiap
masukan dari segala aspek barang, uang, sistim operasional dan prosedur (SOP) dengan
memperhatikan keluaran, yaitu masyarakat yang akan digarap dalam bentuk (Segmentasi Market
maupun Segmentasi Aktifitas) atas pelayanan standar yang ingin dicapai oleh satuan unit kerja,
program, maupun proyek dalam bentuk kegiatan tertentu.
Tolok ukur kinerja adalah suatu pendekatan dasar pengukuran kinerja yang bertumpu pada kinerja non
keuangan. Analisa ini digunakan untuk melihat sejauh mana keluaran yang akan dicapai melalui proses
pengukuran segmentasi market maupun segmentasi aktifitas.
Standar Biaya adalah suatu metode untuk mengukur kinerja keuangan agar selalu up to date dan
relevan dan mengikuti pertimbangan harga pasar yang berlaku pada masing-masing wilayah.
Pemantauan standar biaya ini dilaksanakan secara terus menerus, atas dasar satuan harga belanja
yang dapat berubah fleksibel dengan memperhatikan batas pagu anggaran yang telah direncanakan. Di
bawah pagu anggaran dari Standar Biaya yang ditetapkan merupakan alokasi dana cadangan. Di atas
pagu anggaran merupakn beban anggaran yang dapat mengurangi kualitas atau mengurangi dana
cadangan.
5
B.1. Azas Umum Penyusunan Anggaran
Dalam penyusunan anggaran pemerintah perlu dipahami mengenai ketentuan-ketentuan azas umum
yang menyertai suatu aktivitas penyusunan APBD, yaitu:
(1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai dari dan atas
beban APBD.
(2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di daerah didanai
dari dan atas beban APBN.
(3) Penyelenggaraan urusan pemerintahan propinsi yang penugasannya dilimpahkan kepada
kabupaten/kota dan/atau desa, didanai dari dan atas beban APBD propinsi.
(4) Penyelenggaraan urusan pemerintahan kabupaten/kota yang penugasannya dilimpahkan kepada
desa, didanai dari dan atas beban APBD kabupaten/kota.
(5) Seluruh penerimaan dan pengeluaran pemerintahan daerah baik dalam bentuk uang, barang
dan/atau jasa pada tahun anggaran yang berkenaan harus dianggarkan dalam APBD.
(6) Penganggaran penerimaan dan pengeluaran APBD harus memiliki dasar hukum penganggaran.
(7) Anggaran belanja daerah diprioritaskan untuk melaksanakan kewajiban pemerintahan daerah
sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
B.2. Rencana Kerja Pemda
Untuk menyusun APBD, pemerintah daerah perlu menyusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah
(RKPD) yang merupakan penjabaran dari RPJMD dengan menggunakan bahan dari Renja SKPD untuk
jangka waktu 1 (satu) tahun yang mengacu kepada Rencana Kerja Pemerintah.
RKPD disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, dan pengawasan.
RKPD memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan dan kewajiban
daerah, rencana kerja yang terukur dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh
pemerintah, pemerintah daerah maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
Dalam menunaikan kewajiban daerah perlu mempertimbangkan prestasi capaian standar
pelayanan minimal yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
B.3. Kebijakan Umum APBD
Sebagai langkah awal dalam penyusunan anggaran pemerintah, maka Kepala Daerah menyusun
sebuah rancangan Kebijakan Umum APBD (KUA) berdasarkan pada RKPD dan pedoman penyusunan
APBD yang telah ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setiap tahun.
Pedoman penyusunan APBD memuat antara lain: (1) pokok-pokok kebijakan yang memuat
sinkronisasi kebijakan pemerintah dengan pemerintah daerah; (2) prinsip dan kebijakan penyusunan
APBD tahun anggaran berkenaan; (3) teknis penyusunan APBD; dan (4) hal-hal khusus lainnya.
Rancangan KUA akan memuat hal-hal mengenai target pencapaian kinerja yang terukur dari
program-program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah untuk setiap urusan pemerintahan
6
daerah yang disertai dengan proyeksi pendapatan daerah, alokasi belanja daerah, sumber dan
penggunaan pembiayaan yang disertai dengan asumsi yang mendasarinya.
Penyusunan program-program yang selaras dengan prioritas pembangunan yang ditetapkan
oleh pemerintah, sedangkan asumsi-asumsi yang mendasarinya mempertimbangkan perkembangan
ekonomi makro dan perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal yang ditetapkan oleh pemerintah.
Dalam menyusun rancangan KUA, kepala daerah dapat dibantu oleh TAPD yang dipimpin oleh
sekretaris daerah. Rancangan KUA yang telah disusun disampaikan oleh sekretaris daerah kepada
kepala daerah.
B.4. Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS)
Apabila KUA telah tersusun dan disepakati antara Pemda dan DPRD, maka langkah selanjutnya
adalah membuat rancangan PPAS. Rancangan PPAS ini disusun dengan tahapan sebagai berikut: (1)
menentukan skala prioritas untuk urusan wajib dan urusan pilihan; (2) menentukan urutan program
untuk masing-masing urusan; dan (3) menyusun plafon anggaran sementara untuk masing-masing
program.
Rancangan PPAS yang telah disusun, diajukan oleh Kepala daerah kepada DPRD untuk
dibahas. Pembahasan dilakukan oleh Tim Asistensi Pemerintah Daerah (TAPD) bersama panitia
anggaran DPRD.
KUA serta PPA yang telah disepakati dituangkan ke dalam nota kesepakatan yang
ditandatangani bersama antara kepala daerah dengan pimpinan DPRD.
B.5. Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA)
Penyusunan RKA-SKPD didasarkan pada prestasi kerja, indikator kinerja, capaian atau target kinerja,
analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan minimal. Dengan penjelasan
sebagai berikut:
(1) Indikator kinerja merupakan ukuran keberhasilan yang akan dicapai dari program dan kegiatan yang
direncanakan.
(2) Capaian kinerja merupakan ukuran prestasi kerja yang akan dicapai yang berwujud kualitas,
kuantitas, efisiensi dan efektifitas pelaksanaan dari setiap program dan kegiatan.
(3) Analisis standar belanja merupakan penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya yang digunakan
untuk melaksanakan suatu kegiatan.
(4) Standar satuan harga merupakan harga satuan setiap unit barang/jasa yang berlaku disuatu daerah
yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.
(5) Standar pelayanan minimal merupakan tolok ukur kinerja dalam menentukan capaian jenis dan mutu
pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah.
RKA-SKPD memuat rencana pendapatan, rencana belanja untuk masing-masing program dan
kegiatan, serta rencana pembiayaan untuk tahun yang direncanakan dirinci sampai dengan rincian
objek pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta prakiraan maju untuk tahun berikutnya.
7
RKA-SKPD juga memuat informasi tentang urusan pemerintahan daerah, organisasi, standar
biaya, prestasi kerja yang akan dicapai dari program dan kegiatan. RKA-SKPD yang telah disusun oleh
SKPD disampaikan kepada PPKD untuk dibahas lebih lanjut oleh TAPD.
Pembahasan yang dilakukan oleh TAPD berkaitan dengan kesesuaian antara RKA-SKPD
dengan KUA, PPA, prakiraan maju yang telah disetujui tahun anggaran sebelumnya, dan dokumen
perencanaan lainnya, serta capaian kinerja, indikator kinerja, kelompok sasaran kegiatan, standar
analisis belanja, standar satuan harga, standar pelayanan minimal, serta sinkronisasi program dan
kegiatan antar SKPD. Apabila hasil pembahasan RKA-SKPD terdapat ketidaksesuaian, maka kepala
SKPD dapat melakukan penyempurnaan.
RKA-SKPD yang telah disempurnakan oleh kepala SKPD disampaikan kepada Pejabat
Penatausahaan Keuangan Daerah (PPKD) sebagai bahan penyusunan rancangan peraturan daerah
tentang APBD dan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD.
Rancangan peraturan daerah tentang APBD yang telah disusun oleh PPKD disampaikan kepada
kepala daerah, dan sebelum disampaikan kepada DPRD disosialisasikan kepada masyarakat.
C. Beberapa hal penting terkait Penyusunan Anggaran Pemda
Beberapa kendala yang secara umum dialami pemerintah daerah dalam pembuatan rancangan
anggaran pemerintah daerah yang baik juga dapat dikemukakan di bawah ini, seperti (USAID, 2007):
1. Belum dilembagakannya penganggaran partisipatif.
Peraturan dan perundangan baru tidak selalu menyediakan instrumen yang efektif untuk melibatkan
partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran. Pada kenyataannya, masih
dijumpai misalnya keterbatasan transparansi dan akuntabilitas di lingkungan pemerintah daerah;
terbatasnya keterlibatan organisasi masyarakat sipil dan DPRD dalam proses perencanaan dan
penganggaran; masih kurangnya analisis dampak kebijakan anggaran atas pengurangan kemiskinan
dan kepentingan kaum perempuan; serta keterlibatan organisasi masyarakat sipil yang terbatas
hanya pada pemantauan dan evaluasi anggaran. Kelompok masyarakat umumnya memiliki
pemahaman yang sangat terbatas atas proses perencanaan dan penganggaran daerah yang cukup
kompleks.
2. Komitmen pimpinan daerah yang tidak merata.
Perencanaan partisipatif sukar untuk mencapai keberhasilan tanpa komitmen yang kuat dari
pimpinan daerah. Tingkat kemauan dan komitmen menerapkan perencanaan dan penganggaran
partisipatif sangat bervariasi antar daerah. Lemahnya komitmen antara lain disebabkan oleh
pemahaman yang terbatas atas peranan dan manfaat jangka panjang partisipasi masyarakat untuk
menghasilkan pembangunan daerah berkelanjutan; sukar membedakan antara partisipasi
masyarakat dan partisipasi politik. Tindak korupsi dan pengaruh partai politik dalam proses
penganggaran juga merupakan hambatan yang signifikan.
8
3. Keterbatasan pengawasan legislatif dalam penyusunan anggaran. Ketidakterpaduan masa reses
DPRD dengan Musrenbang dan proses perencanaan dan penganggaran serta keterbatasan dalam
penyediaan informasi dan analisis untuk pembahasan anggaran sedikit banyak menyebabkan
keterbatasan dalam pengawasan penyusunan anggaran.
4. Keterbatasan Musrenbang untuk mempengaruhi alokasi anggaran.
Faktor yang antara lain membatasi efektifitas Musrenbang untuk mempengaruhi proses alokasi
anggaran adalah kurang memadainya kualitas dan transparansi informasi yang disiapkan
pemerintah daerah bagi peserta Musrenbang; kurangnya keterwakilan stakeholders dalam proses
penganggaran, dimana proses ini lebih didominasi oleh eksekutif dan DPRD dengan pengaruh partai
politik yang kuat dalam kebijakan anggaran; terbatasnya pemahaman organisasi masyarakat sipil
tentang proses penganggaran dan hak-haknya untuk menyuarakan perspektifnya atas
pembangunan daerah.
5. Keterbatasan kapasitas organisasi masyarakat sipil untuk memahami proses perencanaan dan
mendorong perubahan.
Terdapat keterbatasan pengetahuan organisasi masyarakat sipil dalam memahami proses
penganggaran yang cukup panjang dan kompleks serta hak-hak ekonomi untuk menyuarakan
perspektif dan kepentingannya dalam pembangunan daerah. Kepentingan kaum perempuan dan
kelompok masyarakat miskin seringkali kurang terwakili dalam pengambilan keputusan alokasi
anggaran. Juga terdapat kekurangpercayaan dari masyarakat bahwa proses Musrenbang akan
mampu membawa perbaikan dalam kesejahteraan hidup mereka; masyarakat seringkali melihat
Musrenbang hanya merupakan seremonial dengan dominasi pengambilan keputusan lebih banyak
dilakukan oleh elit daerah. Organisasi masyarakat sipil kerap kurang memahami cara melakukan
advokasi, penelitian, dan analisis informasi untuk berpartisipasi secara efektif dalam proses
perencanaan dan penganggaran. Selain itu, kendala dalam menjalin hubungan yang lebih erat
dengan eksekutif dan legislatif menyebabkan keterbatasan organisasi masyarakat sipil dalam
mempengaruhi proses alokasi anggaran.
6. Kompleksitas isu pembangunan daerah.
Permasalahan yang dihadapi daerah sangat kompleks seperti perbaikan kualitas dan akses
pelayanan pendidikan dan kesehatan, pengurangan kemiskinan dan malnutrisi; kesejahteraan anak;
keamanan; penguatan peranan kaum perempuan dalam pembangunan daerah; peningkatan
keamanan, keteraturan; konflik daerah, sosial dan etnik; revitalisasi sektor pertanian; pengembangan
ekonomi lokal; dan degradasi kualitas lingkungan hidup. Semua itu memerlukan tidak saja
pengambilan keputusan yang demokratis melainkan juga pemahaman teknis dan analisis
permasalahan; penerapan praktek-praktek yang telah terbukti baik dan efektif; serta keseimbangan
prioritas antardaerah, antara propinsi dan kabupaten/kota untuk menghasilkan solusi yang efektif
dan tuntas.
9
Dari seluruh penjelasan di atas, jelaslah bahwa reevaluasi efektifitas mekanisme Musrenbang dan
partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah amat sangat diperlukan.
D. Manajemen Kinerja Pemerintah Daerah
Pengelolaan anggaran yang baik diperlukan untuk mendukung pengelolaan sumber daya yang
baik, mencapai kinerja yang diharapkan oleh masyarakat dan untuk menciptakan akuntabilitas terhadap
masyarakat.
Agar dapat menilai kinerja satuan unit kerja maka diperlukan indikator-indikator penilaian kinerja,
yang menurut Mardiasmo (2002) terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Informasi finansial.
Penilaian laporan kinerja finansial diukur berdasarkan pada anggaran yang telah dibuat. Penilaian
diukur dengan menganalisi antara kinerja aktual dengan yang dianggarkan (selisih antara
pendapatan dengan pengeluaran).
b. Informasi non-finansial.
Pengukuran kinerja yang diukur bukan dari aspek finansialnya saja akan tetapi juga aspek non-
finansial, seperti:
Kepuasan pelanggan.
Efesiensi proses internal.
Efektifitas pengeluaran
Perlu diingat pula bahwa untuk mewujudkan kinerja pemerintahan yang baik seyogyanya
pengeluaran anggaran belanja tidak langsung perlu ditekan semaksimal mungkin sehingga alokasi
anggaran belanja publik dapat memperoleh alokasi yang lebih besar. Literatur penelitian yang ada
menunjukkan bahwa kebanyakan pemerintah daerah belum sepenuhnya melakukan upaya efisiensi
dalam pengelolaan keuangan daerah terutama yang terkait belanja tidak langsung (Brata, 2009).
Masalah yang dirasakan saat ini sangat penting untuk mendapatkan fokus perhatian pemerintah
adalah masalah ketepatan sasaran program dan kegiatan. Bermacam evaluasi penerapan manajemen
kinerja di Indonesia menunjukkan hasil yang belum memuaskan. Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah (LAKIP) oleh BPKP tahun 2006 terhadap 153 pemerintah daerah di Indonesia
menunjukkan; 3 Pemda memiliki nilai sangat baik (1,9%), 15 Pemda Baik (9,49%), 61 Pemda
memperoleh nilai cukup (38.61%), selebihnya 79 Pemda memperoleh nilai kurang (50 %). Kelemahan-
kelemahan tersebut diperkirakan berasal dari semua komponen fungsi pemyelenggaraan pemerintahan,
sejak di perencanaan kinerja, pengukuran kinerja, pelaporan kinerja, evaluasi kinerja, dan pencapaian
kinerja itu sendiri.
Apabila dilihat secara lebih mendalam, beberapa masalah penyebab penerapan manajemen
kinerja di lingkungan pemerintahan daerah yang kurang berjalan secara optimal di lapangan, antara lain:
(a) masalah legal yuridis yang ada yang sering tumpang tindih, disorientasi dan bersifat partial dalam
pelaksanaan manajemen kinerja di Indonesia; (b) manajemen kinerja dan pengukuran kinerja belum dan
10
tidak disatukan dalam fungsi manajemen pemerintah daerah, seperti halnya dalam perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, pelaporan, evaluasi dan monitoring dan audit; (c) tidak terdapatnya
manajemen kompensasi yang mengedepankan mekanisme reward dan punishment yang merefleksikan
pelakasanaan manajemen kinerja di tingkat manajemen publik; (d) lemahnya kapasitas teknis
sumberdaya manusia aparatur dalam proses transisi paradigma sumber daya manusia yang dimulai dari
paradigma lama yang berorientasi pada input ke paradigma baru yang berorientasi pada kesuksesan
kerja melalui pengukuran hasil “outcome oriented”; dan (e) peran publik masih sangat lemah untuk
“memaksa” pemerintah daerah mampu berlaku akuntabel dan transparan dalam pengelolaan
anggarannya. (USAID, www.lgsp.or.id)
D.1. Indikator Kemiskinan
Indikator kesejahtaraan berupa PDRB per kapita harus dikontraskan dengan indikator angka
kemiskinan. Angka kemiskinan memberi gambaran mengenai intensitas penduduk dengan tingkat
pendapatan terendah di perekonomian. Peningkatan kesejahteraan di semua daerah juga diikuti oleh
penurunan jumlah penduduk miskin. Secara nasional, angka kemiskinan tahun 2001 adalah 19,14%
atau sekitar 38,7 juta jiwa, sementara di akhir tahun 2005 angka kemiskinan menjadi 15,97 % atau
sekitar 35,1 juta jiwa (BPS 2005).
Gambar.2 Gambar.3 PDRB Per Kapita (Rupiah) Tingkat Kemiskinan
Sumber: Bappenas
Penurunan kemiskinan semenjak tahun 2001 sampai dengan periode 2005 tersebut ternyata berlanjut
sampai dengan 2011. Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung, jumlah penduduk miskin di Indonesia
pada Maret 2011 sebanyak 30,02 juta orang. Jumlah ini mengalami penurunan 1 juta orang atau 3,2%
dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret tahun 2010 yang mencapai 31,02 juta orang.
Penduduk miskin menurut BPS adalah masyarakat yang pengeluran per bulannya sebesar atau kurang
dari Rp 200.000 per kapita.
Menurut Kepala BPS Rusman, sejak tahun 2007 sampai 2011 jumlah penduduk miskin kembali
mengalami penurunan. Kalau dilihat dari daerahnya, jumlah penduduk miskin di pedesaan turun lebih
besar daripada di daerah perkotaan menurut Kepala BPS.
11
D.2. Indikator Perekonomian Daerah
Berbagai indikator yang telah diuraikan di atas kemudian digunakan untuk menghitung indeks
kinerja ekonomi daerah. Indeks ini menunjukkan bahwa kinerja perekonomian daerah induk masih selalu
lebih baik dari pada daerah DOB. Walaupun pada tahun 2004 perbedaan di antara keduanya sempat
mengecil, pada tahun 2005 perbedaan indeks kinerja ekonomi membesar kembali. Hal ini menunjukkan
belum adanya perkembangan yang berarti di DOB6.
Pada saat yang bersamaan, daerah kontrol memperlihatkan kinerja ekonomi yang selalu lebih
baik dibandingkan DOB. Indeks daerah kontrol selalu berada di atas indeks kinerja ekonomi DOB. Hasil
ini juga menunjukkan bahwa pemekaran daerah belum sepenuhnya menghasilkan DOB yang memiliki
kinerja yang setara dengan daerah induk ataupun daerah kontrol. Pemekaran masih menghasilkan
daerah yang masih harus berjuang keras memperbaiki kesejahteraan masyarakatnya.
E. Penyajian Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Dengan telah diterbitkannya Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2005 tentang Standar
Akuntansi Pemerintah, maka pertanggungjawaban anggaran dalam bentuk Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah harus mengacu kepada Standar Akuntansi Pemerintah.
Laporan Realisasi Anggaran (LRA) merupakan salah satu komponen laporan keuangan
pemerintah (statuory) yang menyajikan informasi tentang realisasi dan anggaran (pendapatan, belanja,
transfer, surplus/ defisit dan pembiayaan) entitas pelaporan secara tersanding untuk suatu periode
tertentu.
Penyandingan antara anggaran dan realisasi menunjukkan tingkat capaian target-target yang
telah disepakati antara legislatif dan eksekutif sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Informasi
tersebut berguna bagi para pengguna laporan dalam mengevaluasi keputusan mengenai alokasi
sumber-sumber daya ekonomi, akuntabilitas dan ketaatan entitas pelaporan terhadap anggaran. Dalam
pelaporannya, anggaran disandingkan dengan realisasinya, sehingga dalam penyusunan APBN/D
seharusnya digunakan struktur, definisi, dan basis yang sama dengan yang digunakan dalam
pelaporannya.
Laporan Kinerja Keuangan merupakan laporan hasil operasi pemerintah yang terdiri dari pos-pos:
a) Pendapatan dari kegiatan operasional;
b) Beban berdasarkan klasifikasi fungsional dan klasifikasi ekonomi;
c) Surplus atau defisit.
Pada Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan disebutkan bahwa laporan ini adalah
laporan realisasi pendapatan dan belanja yang disusun berdasarkan basis akrual. Dalam laporan
tersebut disajikan informasi tentang pendapatan operasional, belanja, dan pengungkapan surplus atau
defisit. Pada PSAP Nomor 01 tentang Penyajian Laporan Keuangan disebutkan bahwa analisis dalam
6 Bappenas bekerjasama dengan UNDP, 2008, Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007
12
laporan ini dapat digolongkan menurut klasifikasi ekonomi (misalnya beban penyusutan, beban gaji dan
tunjangan pegawai, dan sebagainya) atau klasifikasi fungsi (berdasarkan program).
Ada tiga kebijakan yang diharapkan dari Laporan Kinerja Keuangan:
o Outcome 1: mengetahui keadaan Makroekonomi Nasional;
o Outcome 2: Efektifnya belanja Negara dan kebijakan perpajakn yang tepat
o Outcome 3: Penyerapan Pasar yang berfungsi baik.
Kinerja keuangan entitas pelaporan dalam Laporan Realisasi Anggaran mengikhtisarkan
indikator dan pencapaian kinerja kegiatan operasional yang berdimensi keuangan dalam suatu periode
pelaporan.
Pembahasan mengenai kinerja keuangan harus dihubungkan dengan tujuan dan sasaran dari
rencana strategis pemerintah dan indicator sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Ikhtisar pembahasan kinerja keuangan dalam Catatan atas Laporan Keuangan harus:
a. menguraikan strategi dan sumber daya yang digunakan untuk mencapai tujuan.
b. Memberikan gambaran yang jelas atas realisasi dan rencana kinerja keuangan dalam satu entitas
pelaporan; dan
c. Menguraikan prosedur yang telah disusun dan dijalankan oleh manajemen untuk dapat memberikan
keyakinan yang beralasan bahwa informasi kinerja keuangan yang dilaporkan adalah relevan dan
andal.
Pembahasan mengenai kinerja keuangan harus:
a. meliputi baik hasil yang positif maupun negative;
b. menyajikan data historis yang relevan;
c. membandingkan hasil yang dicapai dengan tujuan dan rencana yang telah ditetapkan;
d. menyajikan informasi penjelasan lainnya yang diyakini oleh manajemen akan dibutuhkan oleh
pembaca laporan keuangan untuk dapat memahami indicator, hasil, dan perbedaan yang ada
dengan tujuan atau rencana.
Laporan Arus Kas merupakan laporan keuangan yang memberikan informasi historis mengenai
perubahan kas dan setara kas suatu entitas pelaporan dengan mengklasifikasikan arus kas berdasarkan
aktivitas operasi, investasi aset nonkeuangan, pembiayaan, dan nonanggaran selama satu periode
akuntansi.
Laporan Arus Kas merupakan salah satu komponen laporan keuangan pemerintah. Laporan ini
menggambarkan arus masuk dan arus keluar kas selama satu periode, kemudian dihubungkan dengan
saldo kas awal dan akhir periode. Arus kas diklasifikasikan berdasarkan aktivitas-aktivitas. Laporan Arus
Kas berhubungan dengan Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca.
Laporan Arus Kas mempunyai kekhususan. Laporan tersebut menggambarkan saldo awal kas,
perubahan selama periode tertentu, dan saldo akhir. Dalam Laporan Arus Kas disajikan seluruh arus
masuk dan keluar kas serta saldo baik yang berasal dari transaski yang berhubungan dengan anggaran
maupun yang tidak. Laporan ini juga hanya disajikan oleh unit yang mempunyai fungsi perbendaharaan
13
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang tersusun berdasarkan Standar Akuntansi
pemerintah tersebut dapat dianalisis untuk mengetahui seberapa besar komitmen pemerintah dalam
upaya untuk memberikan maksimalisasi pelayanan kepada masyarakat.
Tujuan penyajian laporan keuangan pemerintah daerah yang baik (Hanafi dan Halim, 2003)
adalah sebagai berikut:
1. Memberikan informasi keuangan untuk menentukan dan memprediksi aliran kas, saldo neraca dan
kebutuhan sumber daya finansial jangka pendek suatu unit pemerintahan;
2. Memberikan informasi keuangan untuk menentukan dan mempredikasikan kondisi ekonomi suatu
unit pemerintahan dan perubahan-perubahaan yang terjadi di dalamnya;
3. Memberikan informasi keuangan untuk memonitor kerja, kesesuaiannya dengan peraturan
perundang-undangan, kontrak yang telah disepakati dan ketentuan lain yang disyaratkan;
4. Memberikan informasi untuk perencanaan dan penganggaran, serta untuk memprediksikan
pengaruh pemilikan dan pembelanjaan sumber daya ekonomi terhadap pencapaian tujuan
operasional;
5. Memberikan informasi untuk mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasional antara lain:
a. untuk menentukan biaya program, fungsi dan aktivitas sehingga memudahkan analisis dan
melakukan perbandingan dengan kriteria yang telah ditetapkan, membandingkan dengan kinerja
periode-periode sebelumnya dan kinerja unit pemerintahan lain;
b. untuk mengevaluasi tingkat ekonomi dan efisiensi operasi program aktivitas dan fungsi tertentu di
unit pemerintah;
c. untuk mengevaluasi hasil suatu program, aktivitas dan fungsi serta efektifitas terhadap
pencapaian tujuan target; dan
d. untuk mengevaluasi tingkat pemerataan (equity).
Namun demikian dalam pelaksanaan di lapangan masih dirasakan tidak seperti yang diharapkan.
Hal ini dapat dilihat dari Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Semester II 2008 yang
menyimpulkan bahwa perkembangan opini Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) 2004 sampai
dengan 2007 menunjukkan kualitas yang semakin memburuk. Persentase LKPD yang informasi
keuangannya tidak dapat diandalkan oleh para pengguna laporan keuangan, semakin banyak dan
sebaliknya persentase LKPD yang informasi keuangannya dapat diandalkan semakin sedikit. (Harian
Pikiran Rakyat, Selasa 19 Mei 2009)
Dalam Pemeriksaan Semester II tahun 2008, BPK juga menemukan 3.051 kasus senilai Rp 9,93
triliun dari hasil pemeriksaan atas 191 LKPD terkait dengan ketidakpatuhan terhadap peraturan
perundangan yang berlaku. Dari jumlah tersebut, sebanyak 556 kasus senilai Rp 310,86 miliar
merupakan kategori kerugian daerah. Pemeriksaan atas LKPD pada semester II 2008 merupakan
pemeriksaan atas LKPD pada 2007 yang terlambat diserahkan oleh 191 pemerintah daerah kepada
BPK. (Harian Pikiran Rakyat, Selasa 19 Mei 2009)
14
BPK juga menemukan semakin buruknya kualitas Laporan Keuangan Daerah, dari 191 LKPD
yang diperiksa, sebanyak 72 LKPD memperoleh opini disclaimer, delapan opini tidak wajar, 110 LKPD
wajar dengan pengecualian, dan satu LKPD mendapat opini wajar tanpa pengecualian. (Harian Pikiran
Rakyat, Selasa 19 Mei 2009).
Apa penyebab lambatnya kemajuan pemda dalam mewujudkan laporan keuangan yang
akuntabel tersebut dilihat dari aspek ketersediaan sumber daya manusia, konsistensi kebijakan
pemerintah pusat, dan paradigma kepala daerah terhadap laporan keuangan Pemda? Apabila melihat
ke belakang pada reformasi pengelolaan keuangan daerah yang berjalan sejak 1999, telah
menyebabkan berubahnya praktik akuntansi keuangan daerah yang sebelumnya berbasis single entry
menjadi praktik akuntansi yang berbasis double entry yang lebih rumit. Hal ini dilakukan agar dapat
menghasilkan neraca dan laporan arus kas di samping laporan realisasi anggaran yang konsisten antara
pencatatan barang dan uang.
Praktik akuntansi double entry berbasis akrual, walaupun relatif lebih rumit, dipandang memiliki
kelebihan memiliki kandungan informasi yang lebih baik kepada publik karena tidak saja
menginformasikan jumlah dana masyarakat yang dibelanjakan, melainkan juga menginformasikan nilai
aset yang dibeli maupun yang dikuasai pemda. Dengan demikian, potensi maupun kinerja keuangan
pemda akan tergambar secara lebih baik, jika menggunakan praktik akuntansi double entry berbasis
akrual tersebut.
Permasalahannya, untuk menerapkan akuntansi double entry berbasis akrual diperlukan sumber
daya manusia (SDM) yang memahami ilmu akuntansi secara baik. Aparatur pemda yang menangani
masalah keuangan tidak cukup hanya menguasai penatausahaan anggaran, melainkan juga harus
memahami karakteristik transaksi yang terjadi dan pengaruhnya pada rekening-rekening dalam laporan
keuangan pemda. Kegagalan SDM pemda dalam memahami dan menerapkan ilmu akuntansi akan
berdampak pada kekeliruan laporan keuangan yang dibuat dan ketidaksesuaian laporan dengan standar
yang ditetapkan pemerintah.
Banyaknya SDM keuangan pemda yang berlatar belakang nonakuntansi merupakan satu
kendala utama saat ini. Akibatnya, berbagai pelatihan yang diadakan pemda maupun pemerintah pusat
tidak memberikan hasil maksimal. Dengan demikian, upaya melakukan rekrutmen pegawai berlatar
belakang akuntansi dengan spesifikasi teknis akuntansi yang baik merupakan suatu pilihan yang tepat
untuk dikembangkan.
Oleh karena itu kiranya tidak terlalu berlebihan apabila pemda-pemda seluruh Indonesia dapat
bekerjasama dengan perguruan-perguruan tinggi Negeri maupun swasta setempat maupun di daerah
terdekatnya, untuk segera dapat mengatasi kelangkaan tenaga-tenaga SDM pengelola keuangan
daerah yang berlatarbelakang ilmu akuntansi agar akuntansi pengelolaan keuangan daerah dapat
dilaksanakan secara benar dan terpadu di seluruh komponen perangkat daerah.
15
Dengan demikian kualitas pelaporan dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah dapat lebih
ditingkatkan. Namun yang lebih penting lagi pemanfaatan keuangan daerah bagi kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat setempat dapat lebih ditingkatkan secara lebih baik.
Kesimpulan
Pengelolaan keuangan daerah di Indonesia secara kualitas masih perlu ditingkatkan lagi. Hal ini
dimaksudkan agar opini pelaporan keuangan yang dihasilkannya memperoleh hasil yang lebih baik.
Kondisi realitas yang ada akan dapat terlihat sejalan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK di
waktu-waktu mendatang terhadap pemda-pemda di seluruh Indonesia.
Keberhasilan pengelolaan keuangan daerah yang dapat memberikan dampak pada turunnya
pengurangan tingkat kemiskinan ke depan akan sangat membantu program pemerintah pusat dalam
rangka mengurangi tingkat kemiskinan secara nasional.
Opini pelaporan keuangan pemda yang semakin baik diharapkan menjadi indikasi semakin
baiknya pula pengelolaan keuangan daerah yang dilakukan oleh pemda-pemda. Dengan demikian,
harapan dapat ditingkatkannya pelayanan dan kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan.
Namun demikian perubahan basis pencatatan akuntansi pemerintah seperti yang diamanatkan
dalam UU Keuangan Negara perlu disikapi secara jeli dan responsif, sehingga dampak-dampak yang
tidak diharapkan yang mengakibatkan menurunnya kuantitas maupun kualitas pelayanan serta
kesejahteraan masyarakat dapat diantisipasi secara baik.
16
DAFTAR PUSTAKA
Australia Department of Finance and Administration, 2000 The Outcomes & Outputs Framework
Guidance Document. Canberra: Department of Finance and Administration.
Bratha, Deni (2009), Hanya 51% APBD untuk Rakyat, Belanja untuk Keperluan "Abdi Masyarakat" Lebih
Besar, Majalah Komunitas.
Hanafi, Mamduh M dan Abdul Halim, 2003, Analisis Laporan Keuangan, Edisi Revisi, Penerbit UPP
AMP YKPN: Yogyakarta.
Harian Pikiran Rakyat (Selasa 19 Mei 2009), Opini Keuangan Pemda Buruk, Hanya Satu Daerah
Memperoleh “Wajar Tanpa Pengecualian”
Mardiasmo, 2002. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Andi Press
Nick Devas, et. Al., ”Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia”, UI Press, Jakarta 1989.
USAID, www.lgsp.or.id, Tantangan dalam Penyelenggaraan Evaluasi Kinerja Berbasis Hasil (Outcome-
Bbased) untuk Pemerintah Daerah di Indonesia
Rubin, I. (1996, Summer), "Budgeting for Accountability: Municipal Budgeting for the 1990s," Public
Budgeting and Finance, 16: 112-132.
Schick. A. (1966, December), "The Road to PPB: The Stages of Budget Reform," Public Administration
Review, 26: 243-258.
Schiesl, M. J. (1977), The Politics of Efficiency: Municipal Administration and Reform in America 1800-
1920, Berkeley, CA: University of California Press.
17