16
Bambang H. Suta Purwana, Potensi Ekowisata Berbasis Budaya Masyarakat di Desa Sanaru, Kabupaten Lombok Utara 91 POTENSI EKOWISATA BERBASIS BUDAYA MASYARAKAT DI DESA SANARU, KABUPATEN LOMBOK UTARA (SOCIAL CULTURAL BASED TOURISM POTENCY IN SENARU VILLAGE, NORTH LOMBOK REGENCY) Bambang H. Suta Purwana Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta Jalan Brigjen Katamso No.139, Keparakan, Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia E-mail: [email protected] Naskah diterima: 23 April 2018; direvisi: 27 September 2018; disetujui: 30 November 2018 Abstract Rinjani Mountain has been determined by government of West Nusa Tenggara as the Rinjani geopark and tourism destination using ecotourism of community based tourism. Through ecotourism of caommunity based tourism, the tourism, activities will involve participation of community and can provide economic benefits to the community. This article aims to answer the questions of what kinds of tourism potency to develop in supporting ecotourism development in Senaru village? What kind of policy of ecotourism has been implemented in tourism involving traditional society in Senaru village? The aim of this article is to know development of tourism potential and involvement of indigenous people in Senaru Village. The method that used in the study was literature study, observation, and interview to government official, tourism organizer, and prominent figures among society in Bayan subdistrict. The result shows that the managing of tourism in Rinjanu Mountain did not involve people surrounding in Senaru village. Thousands of tourists from abroad and domestic came and stayed in hotels, villas, and home stays in Senary village, but socially and economically it did not benefit to traditional society in Senaru village. Keywords: ecotourism, natural preservation, local culture preservation. Abstrak Gunung Rinjani oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat ditetapkan sebagai Geopark Rinjani sekaligus destinasi wisata dengan konsep ekowisata berbasis masyarakat (community based tourism). Dengan konsep ini kegiatan kepariwisataan akan melibatkan peran serta masyarakat dan dapat memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat. Artikel ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan, apa saja potensi wisata yang dapat dikembangkan untuk menunjang pengembangan ekowisata di Desa Senaru? Apakah kebijakan ekowisata sudah diimplementasikan dalam pengelolaan pariwisata yang melibatkan masyarakat adat Desa Senaru? Tujuannya adalah mengetahui pengembangan potensi wisata dan pelibatan masyarakat adat di Desa Senaru. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah studi literatur, pengamatan, dan wawancara terhadap aparat pemerintah, pelaku wisata, dan sejumlah tokoh masyarakat di Kecamatan Bayan. Temuan dari studi ini adalah pengelolaan pariwisata di Gunung Rinjani tidak melibatkan masyarakat adat di Desa Senaru. Ribuan wisatawan manca negara dan wisatawan Nusantara datang silih berganti menginap di hotel, villa dan penginapan di Desa Senaru namun secara sosial dan ekonomi tidak memberikan manfaat bagi masyarakat adat Desa Senaru. Kata Kunci: ekowisata, kelestarian alam, kelestarian budaya lokal

POTENSI EKOWISATA BERBASIS BUDAYA MASYARAKAT DI …

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: POTENSI EKOWISATA BERBASIS BUDAYA MASYARAKAT DI …

Bambang H. Suta Purwana, Potensi Ekowisata Berbasis Budaya Masyarakat di Desa Sanaru, Kabupaten Lombok Utara

91

POTENSI EKOWISATA BERBASIS BUDAYA MASYARAKAT DI DESA SANARU, KABUPATEN LOMBOK UTARA

(SOCIAL CULTURAL BASED TOURISM POTENCY IN SENARU VILLAGE, NORTH LOMBOK REGENCY)

Bambang H. Suta PurwanaBalai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta

Jalan Brigjen Katamso No.139, Keparakan, Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia

E-mail: [email protected]

Naskah diterima: 23 April 2018; direvisi: 27 September 2018; disetujui: 30 November 2018

Abstract Rinjani Mountain has been determined by government of West Nusa Tenggara as the Rinjani

geopark and tourism destination using ecotourism of community based tourism. Through ecotourism of caommunity based tourism, the tourism, activities will involve participation of community and can provide economic benefits to the community. This article aims to answer the questions of what kinds of tourism potency to develop in supporting ecotourism development in Senaru village? What kind of policy of ecotourism has been implemented in tourism involving traditional society in Senaru village? The aim of this article is to know development of tourism potential and involvement of indigenous people in Senaru Village. The method that used in the study was literature study, observation, and interview to government official, tourism organizer, and prominent figures among society in Bayan subdistrict. The result shows that the managing of tourism in Rinjanu Mountain did not involve people surrounding in Senaru village. Thousands of tourists from abroad and domestic came and stayed in hotels, villas, and home stays in Senary village, but socially and economically it did not benefit to traditional society in Senaru village.

Keywords: ecotourism, natural preservation, local culture preservation.

Abstrak Gunung Rinjani oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat ditetapkan sebagai Geopark

Rinjani sekaligus destinasi wisata dengan konsep ekowisata berbasis masyarakat (community based tourism). Dengan konsep ini kegiatan kepariwisataan akan melibatkan peran serta masyarakat dan dapat memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat. Artikel ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan, apa saja potensi wisata yang dapat dikembangkan untuk menunjang pengembangan ekowisata di Desa Senaru? Apakah kebijakan ekowisata sudah diimplementasikan dalam pengelolaan pariwisata yang melibatkan masyarakat adat Desa Senaru? Tujuannya adalah mengetahui pengembangan potensi wisata dan pelibatan masyarakat adat di Desa Senaru. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah studi literatur, pengamatan, dan wawancara terhadap aparat pemerintah, pelaku wisata, dan sejumlah tokoh masyarakat di Kecamatan Bayan. Temuan dari studi ini adalah pengelolaan pariwisata di Gunung Rinjani tidak melibatkan masyarakat adat di Desa Senaru. Ribuan wisatawan manca negara dan wisatawan Nusantara datang silih berganti menginap di hotel, villa dan penginapan di Desa Senaru namun secara sosial dan ekonomi tidak memberikan manfaat bagi masyarakat adat Desa Senaru.

Kata Kunci: ekowisata, kelestarian alam, kelestarian budaya lokal

Page 2: POTENSI EKOWISATA BERBASIS BUDAYA MASYARAKAT DI …

92

Jurnal Kebudayaan, Volume 13, Nomor 2, Desember 2018

A. PENDAHULUANPada tahun 1987 kunjungan wisatawan

mancanegara ke Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) khususnya Lombok, melonjak tajam hingga mencapai angka 25.714 orang. Hal inilah yang menyebabkan pengamat pariwisata tercengang dan perhatian mulai tertuju ke Lombok. Kecepatan perkembangan pariwisata Lombok dikatakan tujuh tahun lebih cepat dari estimasi WTO (World Trade Organization) untuk bidang pariwisata. Dalam waktu tidak lama NTB menjadi salah satu destinasi pariwisata paling diminati. Sebagai destinasi pariwisata yang baru, kunjungan pariwisata sudah mencapai angka puluhan ribu. Angka kunjungan itu bisa dikatakan luar biasa untuk kawasan yang baru dikenal. Sejak saat itu terjadi peningkatan angka kunjungan yang signifikan, membuat NTB mulai diperhitungkan dalam peta pariwisata nasional (Taufan, 2009: 26).

Namun kurang lebih 10 tahun kemudian, mulai terjadi keruntuhan industri pariwisata di Lombok. Pertengahan 1997 badai besar krisis ekonomi menghantam pariwisata NTB. Keterpurukan pariwisata NTB merupakan dampak dari situasi global maupun peristiwa-peristiwa lokal yang menorehkan citra negatif bagi daerah ini. Krisis keuangan dunia, krisis politik dalam negeri, serangan WTC, Bom Bali I dan II, dan isu terorisme. Pada saat pemerintah daerah NTB berupaya membangun kembali sektor pariwisata, Lombok diguncang kerusuhan massa antarkelompok agama pada tanggal 17 Januari 2000. Peristiwa kerusuhan massa ini pukulan berat bagi pariwisata sehingga dapat dikatakan bahwa pariwisata di NTB berada di ‘titik nol’ (Taufan, 2009: 40-41).

Momentum kebangkitan kembali pariwisata di NTB dan Lombok pada khususnya terjadi pada tahun 2007 ketika NTB ditetapkan sebagai salah satu dari lima provinsi yang menjadi destinasi pariwisata unggulan di Indonesia, di samping Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Sumatera Barat. Komitmen pemerintah Provinsi NTB untuk menempatkan pariwisata menjadi sektor unggulan pembangunan daerah

ini berdasarkan pertimbangan bahwa kegiatan kebudayaan dan pariwisata merupakan suatu usaha jasa pelayanan yang tidak berimplikasi luas terhadap sumber daya alam. Kegiatan kebudayaan yang dipadukan dengan pariwisata disertai dengan konsep pengelolaan yang baik akan berpotensi memberi nilai tambah terhadap bagi sumber daya manusia dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pada tanggal 6 Juli 2009 saat Presiden Republik Indonesia meresmikan program Visit Lombok Sumbawa (VLS) 2012, presiden mengatakan: “Sektor pariwisata dapat diandalkan sebagai salah satu pilar pembangunan jangka panjang, karena selain mampu menggerakkan sektor perekonomian juga memiliki dampak multiganda (multiplier effect)”. Target Visit Lombok Sumbawa 2012 adalah kunjungan ‘satu juta wisatawan’, membutuhkan upaya sungguh-sungguh dalam mengelola potensi dan daya tarik wisata agar daerah ini menjadi daerah tujuan wisata utama pada tingkat nasional maupun internasional. Sektor pariwisata diyakini memiliki daya ungkit yang tinggi bagi percepatan pembangunan di NTB, hal ini terkait dengan multiplier effect dari pengembangan pariwisata karena kegiatan pariwisata selalu melibatkan peran serta stakeholders seperti pengusaha yang bergerak di bidang transportasi, hotel, restoran, toko cindera mata dan pelaku usaha wisata lainnya seperti pedagang asongan, pemandu wisata dan membuka peluang lapangan kerja yang luas.

Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat menghendaki pembangunan sektor pariwisata yang tidak mengancam kelangsungan ekosistem dan justru kegiatan pariwisata yang akan melestarikan seluruh kekayaan alam di NTB (Taufan, 2009: 57). Itikat baik Gubernur NTB untuk mengembangkan sektor pariwisata sekaligus mempertahankan ekosistem dan kelestarian kekayaan sumber daya alam ini pantas untuk didukung karena hal ini berkaitan dengan keberlanjutan pembangunan dan kelestarian lingkungan alam.

Pada sisi lain yang harus diperhitungkan dari upaya pengembangan sektor pariwisata adalah dampak meningkatnya aktivitas terhadap

Page 3: POTENSI EKOWISATA BERBASIS BUDAYA MASYARAKAT DI …

Bambang H. Suta Purwana, Potensi Ekowisata Berbasis Budaya Masyarakat di Desa Sanaru, Kabupaten Lombok Utara

93

kebudayaan masyarakat setempat. Proses interaksi sosial yang semakin intensif antara warga masyarakat setempat dengan wisatawan nasional dan internasional dapat mendorong proses perubahan sosial menuju touristic society (Pitana, 2005: 161).

Untuk meminimalisir dampak kerusakan ekosistem atau lingkungan alam dan dampak negatif sosio-kultural dari kepariwisataan perlu dirumuskan pola pengembangan pariwisata alternatif. Salah satu model pengembangan pariwisata yang dapat memenuhi kriteria tersebut adalah ekowisata (Gego, 2010: xii). The International Ecoturism Society tahun 2002 mendefinisikan ekowisata sebagai suatu bentuk perjalanan wisata yang bertanggung jawab ke kawasan alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi (Arida, dkk. 2014: 114).

Tulisan ini bermaksud menjawab pertanyaan, apa saja potensi wisata yang dapat dikembangkan untuk menunjang pengembangan ekowisata di Desa Senaru? Apakah kebijakan ekowisata sudah diimplementasikan? Tujuannya adalah mengetahui pengembangan potensi wisata dan pelibatan masyarakat adat di Desa Senaru.

B. KAJIAN LITERATUREkowisata (ecotourism) adalah suatu bentuk

pariwisata yang bertanggung jawab terhadap kelestarian area yang masih alami (natural area), memberi manfaat secara ekonomi, dan mempertahankan keutuhan budaya masyarakat setempat. Dalam banyak kesempatan ekowisata sering dipahami sebagai pariwisata berwawasan lingkungan. Jenis wisata ini merupakan salah satu bentuk pariwisata alternatif yang mengedepankan tanggung jawab dan penghormatan terhadap lingkungan. World Tourism Organization (WTO) sebagai badan dunia yang mengurusi pariwisata telah mendorong implementasi konsep ini sebagai bagian tidak terpisahkan dari konsep sustainable tourism (Gego 2010: 11).

Ekowisata terkait dengan konsep pariwisata berbasis masyarakat atau community-based tourism. Pariwisata berbasis budaya masyarakat muncul didorong oleh kesadaran

bahwa pembangunan tidak akan berhasil dan berkelanjutan tanpa keterlibatan dan peran serta masyarakat setempat berdasarkan konsepsi budaya mereka (Fandeli, 2004). Ekowisata bisa dianggap sebagai alternatif dari pengembangan pariwisata konvensional untuk menunjang kelestarian lingkungan (Damanik dan Weber, 2006).

Langkah awal menuju kebijakan ekowisata di Lombok ini adalah penetapan Geopark Rinjani sebagai salah satu fokus pengembangan kepariwisataan di Pulau Lombok. Pengembangan kepariwisataan ini juga melibatkan peran serta masyarakat khususnya para tokoh adat dan agama dalam menyusun peraturan atau kesepakatan sosial dalam mengatur ketertiban umum dan peran serta masyarakat dalam aktivitas kepariwisataan seperti penyusunan awig-awig sehingga pariwisata dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat (Taufan, 2009: 89-96). Menurut Mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, I Gede Ardika (2008: i), mengkritisi pembangunan pariwisata dengan mempertanyakan siapa yang diuntungkan dalam pengembangan industri pariwisata, “Apakah Bali untuk pariwisata atau pariwisata untuk Bali?”. Kurnianingsih (2008: 2) menegaskan bahwa melalui ekowisata, masyarakat lokal akan bertindak sebagai tuan rumah sekaligus “investor” pariwisata, berbeda dengan konsep industri pariwisata yang selama ini berlaku, pariwisata berpotensi melahirkan ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi, jika pengembangan kepariwisataan semata-mata bersandar pada investasi dari luar tanpa melibatkan masyarakat lokal.

Adapun Gunung Rinjani sebagai obyek wisata utama ekowisata, pada awalnya oleh pemerintah Belanda ditetapkan sebagai kawasan suaka margasatwa berdasarkan Staatsblad Nomor 77 tertanggal 17 Maret 1941. Kemudian status ini dirubah menjadi kawasan Taman Nasional melalui keputusan Menteri Kehutanan Nomor 448/Menhut-VI/90 tertanggal 6 Maret 1990 dan kemudian ditetapkan menjadi Taman Nasional melalui SK Nomor 280/Kpts-VI/1997 tertanggal 23 maret 1997. Berdasarkan Perda Nomor 11

Page 4: POTENSI EKOWISATA BERBASIS BUDAYA MASYARAKAT DI …

94

Jurnal Kebudayaan, Volume 13, Nomor 2, Desember 2018

Tahun 1993 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Dati I Nusa Tenggara Barat, kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani diperuntukan sebagai kawasan lindung dengan fungsi utama sebagai penyangga kelestarian lingkungan hidup, kawasan suaka alam dan cagar alam serta kawasan rawan bencana.

Gunung Rinjani yang memiliki ketinggian 3.726 m dari permukaan laut merupakan icon ekowisata di Pulau Lombok. Sebagai bagian dari ring of fire di Indonesia, Gunung Rinjani merupakan gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia. Gunung Rinjani memiliki landscape yang luar biasa menarik, landscape ini muncul dari proses selama jutaan tahun terbentuknya struktur bebatuan, endapan dari batu dan abu vulkanik erupsi gunung, dan lembah-lembah curam yang terbentuk karena proses erosi. Di sini terdapat Taman Nasional Gunung Rinjani yang oleh para ahli biologi dianggap sebagai kawasan peralihan biogeografis garis Wallace di mana flora dan fauna Asia Tenggara bertemu dengan flora dan fauna wilayah Australasia. Taman Nasional ini memiliki beragam tanaman dan binatang, sebagian bersifat endemik, namun tidak mudah untuk ditemukan karena mereka dalam kawasan hutan hujan tropis.

Sepanjang jalur trekking ke puncak Gunung Rinjani pada pagi hari sering terlihat monyet hitam atau lutung di pohon eboni, selain itu juga banyak ditemukan kera berbulu abu-abu muda. Apabila beruntung, wisatawan trekking juga bisa berjumpa dengan rusa dan kadang juga bisa bertemu dengan kijang. Salah satu jenis rusa di Taman Nasional Gunung Rinjani memiliki karakteristik yang unik, berbeda dengan rusa dari pulau lain di Indonesia. Rusa ini disebut senggah basong (muntiacus muntjak) yang berarti menjangan atau rusa berwajah anjing karena bentuk muka menjangan ini menyerupai anjing dan memiliki ciri khas tanduknya melengkung ke arah belakang, berbau seperti anjing, serta konon memiliki puting susu berjumlah lima pasang. Di Taman Nasional Gunung Rinjani ini juga ada rusa atau menjangan atau cervus timorencis. Binatang lain yang sering dijumpai para wisatawan adalah

kucing hutan atau bodok alas musang atau ujat dan landak.

C. METODEPenelitian ini bersifat kualitatif. Metode yang

digunakan dalam kajian ini adalah studi literatur, pengamatan, dan wawancara mendalam. Dalam studi literatur, sebelum ke lapangan, dilakukan data pustaka terlebih dahulu. Dalam studi literatur ini dilakukan pencarian dan penelaahan tulisan-tulisan dan artikel-artikel yang relevan dengan permasalahan penelitian. Pengamatan dilakukan di lokasi penelitian untuk mengetahui hal-hal penting berkaitan dengan tujuan penelitian, seperti: kondisi geografis, kehidupan sosial budaya masyarakat, interaksi masyarakat dengan pelaku wisata, dan lain-lain (Bachtiar, 1997: 108-119). Wawancara dilakukan terhadap sejumlah aparat di instansi pemerintah (khususnya Dinas Perhubungan, Pariwisata, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Lombok Utara), para pelaku wisata, maupun tokoh masyarakat di Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara (Neuman, 1997: 7). Semua data dianalisis dengan teknik deskriptif kualitatif. Dalam hal ini data dari pengamatan, wawancara mendalam, dan studi literatur digunakan untuk menganalisis dengan beberapa konsep yang relevan dengan permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini (Creswell, 1994: 18).

D. HASIL DAN PEMBAHASAND.1. Kondisi Geografis Kecamatan Bayan

Kabupaten Lombok Utara merupakan kabupaten paling muda di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang berdiri pada tahun 2009. Luas Kabupaten Lombok Utara adalah 809,53 km2, yang terbagi atas lima kecamatan, yakni: Tanjung, Pemenang, Gangga, Kayangan, dan Bayan. Secara administratif di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur dengan Kabupaten Lombok Timur, sebelah selatan dengan Kabupaten Lombok Barat, dan sebelah barat dengan Selat Lombok. Adapun jumlah penduduk Kabupaten Lombok Utara menurut Sensus 2015 mencapai 227.091 jiwa. (Kabupaten Lombok Utara Dalam

Page 5: POTENSI EKOWISATA BERBASIS BUDAYA MASYARAKAT DI …

Bambang H. Suta Purwana, Potensi Ekowisata Berbasis Budaya Masyarakat di Desa Sanaru, Kabupaten Lombok Utara

95

Angka 2015: 6)Kecamatan Bayan memiliki luas 329,10 km2

atau 40,65 persen dari seluruh wilayah Kabupaten Lombok Utara. Dari seluruh luas Kecamatan Bayan, sebesar 20.225 ha dimanfaatkan oleh penduduk untuk lahan pertanian non-sawah dan 3.316 ha untuk usaha pertanian sawah, sedangkan 9.369 ha lainnya untuk berbagai kepentingan termasuk fasilitas publik berupa jalan, gedung pemerintah, tempat ibadah, dan lain-lain.

D.2. Masyarakat Adat Sasak Islam Wetu TeluKecamatan Bayan dikenal sebagai wilayah

tempat tinggal komunitas penganut Islam Wetu Telu. Mereka ini disebut demikian untuk membedakan dengan penganut agama Islam lainnya karena mereka tidak melakukan ritual sembayang lima kali dalam sehari. Penganut Islam Wetu Telu dianggap hanya mengenal tiga (telu) waktu sembahyang, yaitu sembahyang terawih pada bulan Ramadan, sembahyang pada waktu Lebaran Tinggi atau lebaran Idul Fitri, dan Lebaran Pendek atau Idul Adha. Bagi orang awam penganut Islam Wetu Telu, kewajiban sembahyang lima kali sehari, sembahyang Jumat, puasa di bulan Ramadan, dan pergi haji ke Mekah hanya wajib bagi kyai yang dianggap sebagai penanggung jawab terhadap umat dan perantara dengan Allah. Penganut Islam Wetu Telu juga memiliki pemimpin adat yang disebut pemangku atau mangku yang memiliki tugas sebagai perantara dengan dunia roh dan makhluk halus yang menjaga tempat-tempat keramat.

Warga masyarakat “asli” Senaru dapat ditandai dari bentuk rumah mereka. Mereka masih mempertahankan rumah-rumah tradisional yang dibangun dengan struktur dan dinding rumah dari kayu, serta menggunakan atap yang terbuat dari tumpukan daun ilalang. Penduduk “asli” Senaru ini sering diasosiasikan dengan komunitas penganut Islam Wetu Telu. Paham keagamaan ini muncul semenjak masa Kerajaan Bayan beberapa abad yang lalu. Penganut paham Islam Wetu Telu banyak terdapat di wilayah Kecamatan Bayan khususnya di Desa Senaru dan wilayah sekitarnya. Rumah adat, masjid kuno dan makam leluhur

tokoh pemuka paham keagamaan Islam Wetu Telu terdapat di lingkungan dan sekitar Desa Senaru. Proses penyebaran agama Islam di wilayah adat Bayan tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Kerajaan Bayan pada masa lalu. Menurut Tito Adonis (1989: 11-12) agama Islam yang masuk ke Lombok khususnya pada masyarakat Bayan diperkenalkan oleh ulama dari Jazirah Arab yang bernama Syaikh Nurur Rasyid yang menikah dengan Denda Bulan yang selanjutnya akan menurunkan cikal bakal raja Selaparang.

Bayan sebagai satu kesatuan komunitas dan wilayah adat sudah ada semenjak abad ke-16, sebelum itu Bayan berada dalam lingkup kekuasaan kerajaan Hindu. Pada abad ke-16 muncul Kerajaan Bayan Agung. Anak keturunan penguasa Kerajaan Bayan Agung sampai saat ini masih menggunakan gelar kebangsawanan mereka, yakni Raden untuk laki-laki dan Denda (dibaca Dende) untuk perempuan. Gelar Raden dan Denda ini muncul setelah komunitas orang Islam di Bayan dapat membangun Kerajaan Bayan Agung, sebelumnya para bangsawan disebut datu. Kerajaan sebelum Islam di Kabupaten Lombok Utara yang juga melingkupi wilayah Bayan pada masa lalu disebut Gumi Suwung diperintah oleh seorang raja yang bergelar datu. Pada masa lalu, datu ini selalu membangun istana kerajaannya di daerah yang tinggi atau di lereng Gunung Rinjani. Konon dahulu datu Bayan di-Islam-kan menjadi raden.

Dalam sensus 2015, penduduk di Kecamatan Bayan berdasarkan agama yang dipeluknya, yakni: Islam 43.266 orang, Katolik 3 orang, Hindu 1.163 orang, Budha 311 orang, dan Protestan tidak ada (Kabupaten Lombok Utara Dalam Angka 2015: 126). Dengan demikian secara statistik Islam memang menjadi agama yang dipeluk oleh mayoritas masyarakat Bayan. Penganut agama Hindu di Bayan adalah warga masyarakat keturunan orang Bali yang masih mempertahankan agama dan tradisi warisan leluhur mereka. Tidak sedikit warga keturunan Bali yang beralih menganut agama Islam dan mereka ini cenderung mengubah identitas kulturalnya dengan cara mengganti nama mereka. Apabila

Page 6: POTENSI EKOWISATA BERBASIS BUDAYA MASYARAKAT DI …

96

Jurnal Kebudayaan, Volume 13, Nomor 2, Desember 2018

mereka dari kalangan wangsa bangsawan yang bergelar I Gusti maka akan mengganti namanya dengan gelar kebangsawan Sasak seperti Raden atau Lalu. Komunitas pemeluk agama Budha adalah orang Sasak asli yang mempertahankan agama dan kepercayaan leluhur mereka. Konsepsi identitas Sasak yang beragama Budha ini dalam pandangan warga umum juga dipermasalahkan karena mereka ini dianggap keturunan dari nenek moyang orang Jawa pada Kerajaan Majapahit yang datang ke Lombok dengan membawa agama Budha.

D.3. Gunung Rinjani dalam Alam Pikiran Kosmologis Orang BayanGunung Rinjani dalam alam pikiran

kosmologis masyarakat asli Lombok, khususnya bagi pemeluk Islam Wetu Telu dan masyarakat Hindu keturunan orang Bali, dianggap sebagai pusat dari sistem mandala. Gunung Rinjani dianggap sebagai pusat, puncak dari bumi Lombok, dan dianggap suci karena di puncak gunung ini tempat bersemayam para dewa dan roh nenek moyang mereka. Secara harafiah, mandala dalam bahasa Sansekerta berarti “lingkaran” yang mempunyai satu pusat yang dihubungkan dengan empat arah mata angin. Struktur lingkaran tersebut ditopang oleh dasar pondasi yang berbentuk bujur sangkar. Pusat lingkaran adalah tempat suci. Mandala juga bermakna ruang kosmis, ruang yang penuh dengan keteraturan dan ketertiban. Mandala juga merupakan pusat dari keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan (Rochayati, 2016: 131-132).

Gunung Rinjani dalam tradisi Hindu maupun budaya Sasak pra-Islam dipahami sebagai titik konsentrik mandala Pulau Lombok. Gunung Rinjani sebagai pusat kehidupan di Pulau Lombok dalam pemahaman kosmologi orang Sasak memiliki kaitan rasional dengan pemahaman ekologis karena semua hulu sungai di Lombok memiliki mata air di lereng Gunung Rinjani. Penghormatan terhadap “titik konsentrik” sistem ekologis di Pulau Lombok masih dapat ditemukan dalam pemahaman masyarakat Islam Wetu Telu yang dikenal teguh memelihara budaya dan

tradisi Sasak pra-Islam, yang masih menghormati keradaan hutan adat yang disebut hutan Mandala di lereng Gunung Rinjani.

Raden Gedarip, seorang pemangku adat Islam Wetu Telu di Bayan, memandang Gunung Rinjani merupakan sumber kekayaan alam berupa hutan dan sumber mata air yang sangat penting bagi kelangsungan hidup seluruh masyarakat di Pulau Lombok. Berbagai sungai yang mengalir di Pulau Lombok memiliki sumber mata air dari lereng Gunung Rinjani. Gunung ini milik bersama masyarakat suku Sasak di Pulau Lombok. Masyarakat adat Bayan yang hidup dan bermukim di lereng Gunung Rinjani merasa memiliki kewajiban untuk memelihara kelestarian ekosistem di Gunung Rinjani. Masyarakat adat Bayan memelihara dan menyelamatkan hutan dan sumber mata air melalui berbagai upacara adat untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk tetap memberikan keberkahan bagi kehidupan seluruh makhluk yang berada di Gunung Rinjani agar hutan adat tetap terjaga dan lestari, sehingga seluruh sumber mata air yang ada juga tetap lestari dan bermanfaat bagi seluruh penduduk Pulau Lombok. Ada berbagai ritual adat untuk melestarikan sumber mata air di lereng Gunung Rinjani khususnya yang berada di wilayah administrasi Kecamatan Bayan yang menjadi wilayah territorial masyarakat adat Bayan, yaitu selamatan mata air yang disebut Selamat Olor atau Selamat Aiq.

Hutan di Senaru yang terletak di lereng Gunung Rinjani dan relatif tidak jauh dari permukiman masyarakat adat Senaru. Hutan dan Gunung Rinjani sangat disakralkan oleh warga masyarakat. Dalam sistem kepercayaan asli warga masyarakat, siapa pun yang akan mendaki Gunung Rinjani harus menjalankan upacara Ntok Lekoq Buaq. Dalam sistem pengetahuan masyarakat lokal Senaru, hutan dapat dibedakan menjadi dua kategori yakni pawang dan gawah. Pawang dipahami sebagai hutan perawan yang masih dipenuhi oleh pohon-pohon besar serta terdapat sumber mata air dan dianggap keramat. Di wilayah hutan pawang ini orang dilarang menebang pohon, namun diperbolehkan

Page 7: POTENSI EKOWISATA BERBASIS BUDAYA MASYARAKAT DI …

Bambang H. Suta Purwana, Potensi Ekowisata Berbasis Budaya Masyarakat di Desa Sanaru, Kabupaten Lombok Utara

97

berburu binatang liar dan mencari rotan. Adapun hutan gawah adalah merupakan hutan dengan pepohonan yang jarang dan merupakan tempat penduduk lokal berladang atas izin pemangku adat (Sulistiyono dan Gatot, 1998).

Dalam struktur sosial masyarakat adat Bayan, ada jabatan adat yang disebut pemangku aiq dan memiliki tugas khusus untuk memelihara hutan, sumber mata air, sistem pertanian dan memimpin upacara-upacara adat yang berhubungan dengan aktivitas pemeliharaan hutan adat dan sumber mata air. Pemangku aiq juga dianggap sebagai pemimpin adat yang bertugas sebagai perantara dunia manusia dengan dunia arwah atau makhluk halus yang menguasai hutan dan sumber mata air. Selain itu ada juga jabatan pemangku gunung yang bertindak sebagai perantara dunia manusia dengan dunia makhluk halus yang menjaga Gunung Rinjani. Dalam struktur adat Bayan juga ada jabatan pemangku gubuq yang bertindak sebagai perantara dunia manusia dengan dunia makhluk halus yang memiliki pengaruh terhadap tempat tinggal dan permukiman manusia.

Hutan adat tidak boleh dirambah atau ditebang secara semena-mena, lebih-lebih kalau ada mata air di lokasi tersebut. Hal ini diatur dalam awiq-awiq atau peraturan adat, warga masyarakat boleh untuk menebang pohon melalui gundem atau musyawarah adat misalnya memutuskan menebang kayu untuk membangun masjid. Hutan adat Mendala lebih dari 10 ha dan hutan adat Bangket Bayan lebih 20 ha, mata air dimanfaatkan untuk pertanian dan PDAM. Hutan Mendala sekitar 1 km dari rumah Raden Gedarip.

D.4. Potensi Ekowisata di Desa SenaruLuas Desa Senaru sekitar 44 km2, terdiri

dari 11 dusun, yakni: Bon Gontor, Oma Segoar, Dasan Baro, Sembulan Batu, Telaga Lenggundi, Kebaloan, Lokoq Klungkung, Tumpangsari, Pawang Kreok, Lendang Cempaka, dan Senaru. Nama Senaru memiliki makna sinar dan rahayu yang secara bebas bisa diartikan cahaya yang membawa keselamatan bagi seluruh warga masyarakatnya. Desa ini berada di lereng Gunung Rinjani dengan ketinggian 560 meter

dari permukaan laut dan berbatasan langsung di sebelah selatan dengan Taman Nasional Gunung Rinjani. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Ancak, sebelah timur dengan Desa Bayan dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Sukadana. Jarak Desa Senaru dengan Kota Mataram sekitar 85 km dapat ditempuh sekitar 2 jam perjalanan dengan kendaraan pribadi. Selain itu akses kendaraan umum juga sudah mencapai Desa Senaru, yakni rute Bayan-Ancak-Sedang Gile-Senaru.

Pemandangan alam di Desa Senaru sebenarnya cukup indah karena posisinya di lereng Gunung Rinjani. Udara di desa ini sepanjang hari relatif sejuk dan pada malam hari cenderung dingin, terutama pada puncak musim kemarau sekitar bulan Juli dan Agustus. Di desa ini masih terdapat kompleks perkampungan adat orang Sasak, khususnya di Dusun Senaru, dusun yang berada pada posisi paling atas berbatasan dengan Rinjani Trek Centre. Di Dusun Senaru ini seluruh bangunan rumah penduduknya terbuat dari kayu untuk struktur bangunan dan dindingnya serta menggunakan atap dari daun ilalang. Penduduk Dusun Senaru memang mempertahankan bentuk bangunan rumah tradisionalnya karena ada kepercayaan yang melekat kuat dalam alam pikiran mereka bahwa siapapun yang melanggar ketentuan adat ini akan terkena musibah.

Masyarakat adat di Dusun Senaru ini masih mempertahankan berbagai macam upacara adat, antara lain upacara Bubur Putih pada bulam Muharram, Bubur Merah pada bulan Sya’ban, Idul Fitri pada bulan Syawal, Idhul Adha pada bulan Zulhijjah. Masjid agung Bayan yang tidak jauh dari Desa Senaru menjadi tempat merayakan Maulid Nabi Muhammad dengan membawa makanan untuk dimakan bersama sambil mendengar ceramah agama dari seorang Kyai (Sulistiyono dan Gatot, 1998).

Pada tanggal 10 Muharram dan 8 Sapar, orang asli Bayan melangsungkan Selametan Bubur Petaq dan Selametan Bubur Abang untuk memperingati munculnya umat manusia dan beranak-pinaknya mereka melalui ikatan perkawinan. Bubur petaq (bubur putih) dan bubur abang (bubur

Page 8: POTENSI EKOWISATA BERBASIS BUDAYA MASYARAKAT DI …

98

Jurnal Kebudayaan, Volume 13, Nomor 2, Desember 2018

merah) merupakan hidangan ritual utama yang dikonsumsi dalam peringatan ini. Bubur putih melambangkan air mani, merepresentasikan laki-laki, sedangkan bubur merah melambangkan darah haid, merepresentasikan perempuan. Orang Bayan percaya bahwa menciptakan Adam sebagai manusia pertama, dan Hawa selaku manusia kedua, oleh karena itu penciptaan Adam diperingati terlebih dahulu. Itulah sebabnya Selametan Bubur Merah untuk Hawa diadakan belakangan. Dalam peringatan-peringatan tersebut, orang Bayan menyajikan nampan berisi bubur bagi arwah leluhur dan kerabat yang belum lama meninggal, yang menghuni rumah (epen bale) dan lingkungan sekitar (epen gubug). Aktivitas ini mereka sebut nenok’ang atau tok’ang papuk baluk, epen bale, epen gubug. Orang Bayan percaya bahwa makanan yang disajikan merupakan sarana untuk meminta dari para arwah (Budiwanti, 2000: 175-176).

Permukiman adat di Dusun Senaru ini sering menarik perhatian para wisatawan yang akan naik mendaki atau turun dari Gunung Rinjani karena berada tepat di sebelah bawah pintu gerbang masuk Taman Nasional Gunung Rinjani dan Kantor Rinjani Trek Centre. Para wisatawan asing biasanya tertarik mengamati pola tempat tinggal yang tradisional, semua bangunan rumah dari kayu dan beratap ilalang, demikian juga lumbung-lumbung padi dibangun di antara rumah-rumah penduduk, juga kadang sapi atau domba yang berada di samping rumah penduduk memberikan kesan eksotis bagi wisatawan yang baru pertama kali datang ke daerah ini. Tidak banyak manfaat yang dapat diperoleh warga Dusun Senaru atas kedatangan para wisatawan di pemukiman mereka kecuali sedikit uang receh yang kadang kala disumbangkan oleh para wisatawan ketika berkuncung di berugaq depan rumah tuaq lokaq ketua adat setempat di dalam kotak sumbangan yang sudah disediakan. Seluruh sumbangan yang terkumpul itu biasanya setiap bulan dibuka oleh warga Dusun Senaru untuk mendukung pelaksanaan berbagai upacara adat. Permukiman Dusun Senaru ini mirip “etalase” untuk memamerkan pola kehidupan tradisional yang menarik untuk dilihat para wisatawan,

namun relatif tidak memberikan manfaat yang berarti bagi warga Dusun Senaru sendiri. Rumah, berugaq¸ lumbung padi dan kadang sapi penduduk sering menjadi obyek foto para wisatawan, namun posisi warga masyarakat dalam berinteraksi dengan para wisatawan hanyalah seperti obyek, yakni enak bagi yang melihat tetapi tidak enak bagi yang dilihat.

Tidak jauh dari Dusun Senaru terdapat Sinjang Gila, sebuah air terjun yang banyak dikunjungi para wisatawan. Namun keberadaan air terjun ini juga tidak memberikan kemanfaatan bagi warga setempat karena retribusi wisatawan yang datang ke Sinjang Gila ini juga masuk ke dalam kas Pemda.

Desa Senaru menjadi salah satu destinasi pariwisata di Kabupaten Lombok Utara berkaitan dengan posisi geografis wilayah desa ini yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Rinjani dan sebagai pintu gerbang segala bentuk ekowisata yang berhubungan dengan keberadaan Gunung Rinjani sebagai icon ekowisata di Pulau Lombok. Wisatawan trekking yang akan naik ke puncak Gunung Rinjani maupun yang turun dari puncak bisa melalui pintu gerbang yang ada di Dusun Senaru, selain yang ada di Sembalun. Berbagai fasilitas pendukung ekowisata tersedia di tempat ini, antara lain terdapat hotel dan tempat penginapan sebanyak 18 buah, restoran, kafe, dan rumah makan ada 14 buah, dan 18 trek organizer yang mempromosi wisata trekking Gunung Rinjani. Selain itu juga terdapat 9 art shop. Berdasarkan data kunjungan wisatawan berdasarkan tamu menginap di Kabupaten Lombok Utara Tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Dinas Perhubungan, Pariwisata, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Lombok Utara, khususnya untuk tamu wisatawan mancanegara yang menginap selama satu tahun terdapat 1.254 wisman sedang wisnu yang menginap hanya 7 orang. Namun tidak diperoleh data yang lebih detai untuk wisatawan yang menginap di Desa Senaru.

Potensi keunikan budaya di Desa Senaru cukup banyak yang dapat dikembangkan untuk mendukung keberhasilan aktivitas ekowisata

Page 9: POTENSI EKOWISATA BERBASIS BUDAYA MASYARAKAT DI …

Bambang H. Suta Purwana, Potensi Ekowisata Berbasis Budaya Masyarakat di Desa Sanaru, Kabupaten Lombok Utara

99

di lereng Gunung Rinjani ini, antara lain tradisi pembacaan lontar di Dusun Senaru dan Dusun Bon Gontor. Selain itu juga ada kelompok kesenian Gong Gebiar yang ada di Dusun Kebaloan Bawah. Kelompok seni musik ini sering melakukan aktivitasnya ketika berlangsung upacara dalam agama Hindu. Selain itu terdapat berbagai ragam upacara adat yang masih dilestarikan oleh warga Desa Senaru, antara lain upacara Buang Au atau Medaq Api. Upacara ini dilaksanakan setelah kelahiran seorang bayi dan ada prosesi pemberian nama kepada bayi yang baru lair tersebut. Upacara Buang Au ini masih dilaksanakan di semua dusun yang ada di Desa Senaru. Upacara Ngurisang dilaksanakan oleh warga masyarakat di semua dusun Desa Senaru. Upacara Ngurisang dilakukan sekitar 2 minggu atau 1 bulan setelah kelahiran seoang bayi, dalam upacara ini juga disertai dengan aktivitas berdzikir atau membaca asma Allah dan memuji-Nya secara berkelompok. Upacara Ngitanang atau upacara sunat bagi anak laki-laki yang berumur 1 tahun atau lebih. Upacara seperti ini dilakukan oleh keluarga-keluarga yang menganut agama Islam di seluruh dusun di Desa Senaru.

Saat bayi dilahirkan, dukun beranak (balian) setelah menolong persalinan membakar arang dan menempatkannya di bawah ranjang di mana bayi dibaringkan. Ini dimaksudkan untuk menjaga bayi merasa hangat dan dapat tidur nyenyak. Kurang-lebih satu minggu kemudian, orang tua bayi mengadakan upacara Buang Au yang secara harafiah berarti membuang Abu. Dalam upacara ini balian membuang seluruh abu yang dihasilkan arang, sedangkan orang tua bayi mengumumkan nama bayi yang baru dilahirkan. Orang Bayan percaya bahwa seorang bayi membawa dosa orangtuanya di masa lalu. Oleh karena itu dalam upacara Buang Au bayi disucikan dengan menyelenggarakan bedak keramas dan doa kyai. Bedak keramas adalah campuran santan kelapa, darah ayam dan sembek yang ditaruh di tempurung kelapa. Ramuan ini dioleskan di kening bayi dan orangtuanya. Bedak keramas adalah upacara pembersihan (Budiwanti, 2000: 184).

Ngurisang adalah upacara pemotongan

rambut yang dilakukan setelah buang au. Upacara ini dilaksanakan untuk seorang anak yang sudah mencapai usia 1 hingga 7 tahun. Ngurisang disusul dengan molang malik atau upacara pemotongan umbaq kombong. Umbaq kombong adalah secarik kain tenun dari benang bayan (benang diwarnai organik). Orang Bayan percaya bahwa ngurisang mempunyai signifikansi relijius. Mereka beranggapan bahwa ngurisang dan molang malik merupakan simbolisasi pengislaman. Setelah kedua upacara ini anak yang menjalani disebut Selam (Muslim) sebagai lawan Boda yang berarti belum diislamkan. Uapcara ini juga ditandai dengan acara makan bersama, di mana seorang penyilak menyatakan tujuan upacara sekaligus meminta kyai untuk mendoakan upacara (epen gawe) dan seluruh anggota komunitas. Selain makan bersama, ngurisang juga disertai dengan pembacaan lontar, tarian tradisional (joged) Sasak dan musik tradisional (gamelan). Akhir upacara ditandai dengan menyembek yang dilakukan seorang kyai di kening semua orang. Upacara ini juga menjadi sarana untuk memperoleh berkah dari arwah para papuk baluk, epen gubug dan epen bale (Budiwanti, 2000: 186-187).

Di kalangan penganut Wetu Telu, anak laki-laki dikhitankan saat berusia 3 hingga 10 tahun dalam upacara yang disebut Ngitanang. Seperti buang au dan ngurisang, mereka juga memandang khitan sebagai simbol pengislaman. Seorang anak masih tetap boda sampai ia dikhitan. Kedudukan lokaq penyunat, tukang khitan seperti jabatan adat lainnya bersifat turun-temurun. Anak-anak yang akan dikhitan didandani dengan pakaian adat yang terbaik, kemudian berjalan menuju sungai. Anak-anak itu disuruh merendam tubuhnya terlebih dahulu (nyengkerem) karena hal diyakini bisa mengurangi rasa sakit. Tukang sunat itu mencelupkan peralatannya, pisau dan beberapa bilah bambu pendek dalam tempurung kelapa berisi air kelapa. Ia menjepit penis si bocah dengan dua bilah bambu, menarik penis itu kemudian memotong kulitnya. Tukang sunat kemudian membungkus kulit yang terluka itu dengan ramuan-ramuan daun-daunan (lantas) untuk menghentikan pendarahan. Kemudian pembantunya mengusapkan air keramat

Page 10: POTENSI EKOWISATA BERBASIS BUDAYA MASYARAKAT DI …

100

Jurnal Kebudayaan, Volume 13, Nomor 2, Desember 2018

(aik mel-mel) di kening si bocah. Upacara berakhir dengan makan bersama dan pengolesan sembek di kening setiap orang. Sembek menjadi alat untuk mendapatkan berkah, keselamatan dan kesehatan anak-anak dan yang lainnya dari papuk baluk, epen bale dan epen gubug (Budiwanti, 2000: 190-191).

Ketiga bentuk upacara adat di atas disebut bagian dari upacara Gawe Urip, selain orang Bayan di Senaru juga mengenal upacara Gawe Pati atau ritual kematian dan pasca kematian. Upacara yang dilaksanakan oleh warga masyarakat Desa Senaru yang beragama Islam adalah serangkai upacara yang berkaitan dengan prosesi kematian seseorang warga pasca penguburan jenazahnya. Upacara Nelung dilakukan setelah 3 hari kematian seorang anggota keluarga. Upacara Mituq adalah upacara yang dilakukan setelah 7 hari kematian seseorang, dilakukan oleh keluarga yang sedang berduka. Upacara Nyiwaq adalah prosesi upacara peringatan 9 hari kematian seseorang yang dilaksanakan oleh keluarga atau kerabat yang berdukacita. Sedangkan dua upacara lain yang berkaitan kematian seseoarang adalah upacara nyatus yang dilaksanakan setelah 100 hari kematian dan upacara Nyiu yang dilakukan setelah 1000 hari kematian seseoarang. Semua upacara peringatan kematian tersebut biasanya dilaksanakan dengan cara pembcaaan dzikir, Surah Yasin dan doa yang dikirimkan kepada arwah orang yang meninggal. Tujuan dari diadakannya ritual pasca kematian pada seribu hari kematian seseorang (nyiu) adalah untuk menggabungkan arwah si mati dengan dunia leluhur. Melalui doa kyai yang memimpin upacara ini, arwah si mati dipertemukan dengan para leluhur (Budiwanti, 2000: 191-192).

D.5. Implementasi Ekowisata di Desa SenaruPemerintah Kabupaten Lombok Utara sangat

menyadari pentingnya pengembangan sektor pariwisata berdasarkan argumentasi rasional bahwa sekitar 70% dari PAD kabupaten ini diperoleh dari kontribusi sektor pariwisata. Salah sumber PAD yang besar adalah pajak dari hotel-hotel berbintang yang berada di wilayah pantai Kabupaten Lombok Utara. Pemerintah daerah menyadari belum

sepenuhnya bisa membangun infrastruktur yang bisa mendukung secara maksimal keberhasilan sektor pariwisata ini. Atas pertimbangan seperti inilah nomenklatur dalam penyusunan struktur pemerintahan di Kabupaten Lombok Utara ini “Pariwisata” digabungkan dengan “Perhubungan dan Informatika” sehingga terbentuk Dinas Perhubungan, Pariwisata, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Lombok Utara.

Salah satu keprihatinan dari pejabat di Dinas Perhubungan, Pariwisata, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Lombok Utara adalah membangun koneksitas destinasi pariwisata wilayah pantai dan kepulaun kecil dengan wilayah pedalaman, terutama Gunung Rinjani dan kawasan di sekitarnya. Pembangunan infrastruktur jalan darat yang bagus menjadi prioritas dari dinas untuk dengan tujuan membangun aksebilitas jaringan perekonomian antarwilayah dan antardestinasi pariwisata serta antarwilayah. Pemerintah daerah juga menyadari bahwa potensi alam seperti keindahan alam yang ada di Kabupaten Lombok Utara dapat dibanggakan, namun “kultur pariwisata” belum terbentuk pada warga masyarakat di daerah tujuan wisata. Aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat belum terintegrasi dengan aktivitas kepariwisataan di masing-masing daerah tujuan wisata. Salah satu contohnya kekayaan tradisi masyarakat belum bisa dikemas menjadi atraksi budaya yang dapat dinikmati para wisatawan.

Dari semua distinasi di Kabupaten Lombok Utara, hanya satu tempat yang dipromosikan dan menjadi icon ekowisata yakni Gunung Rinjani yang menawarkan keindahan alam, kekayaan beragam jenis flora dan fauna serta budaya tradisional masyarakatnya. Pemerintah Kabupaten Lombok Utara yang diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 30 Desember 2008 berdasarkan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2008 tanggal 21 Juli 2008, seolah menemukan “durian jatuh” karena ekowisata di Gunung Rinjani sudah lama menjadi destinasi yang banyak dikunjungi oleh wisatawan mancanegara dan nusantara. Tidak sedikit kontribusi pendapatan dari ekowisata ini untuk PAD Kabupaten Lombok

Page 11: POTENSI EKOWISATA BERBASIS BUDAYA MASYARAKAT DI …

Bambang H. Suta Purwana, Potensi Ekowisata Berbasis Budaya Masyarakat di Desa Sanaru, Kabupaten Lombok Utara

101

Utara dan multiplier effect yang cukup signifikan bagi pertumbuhan perekonomian masyarakat setempat. Tanpa terlalu banyak campur tangan dari pemerintah, aktivitas ekowisata di Gunung Rinjani melalui pintu gerbang Senaru sudah berjalan dengan baik.

Trekking atau pendakian Gunung Rinjani menjadi andalan paket ekowisata yang biasanya ditawarkan oleh trek organizer dan travel agent yang membuat promosi di media internet. Ada puluhan ribu laman di internet yang mempromosikan secara langsung maupun tidak langsung kegiatan ekowisata di Gunung Rinjani. Wisatawan mancanegara dapat secara langsung booking kepada masing-masing trek organiner ataupun travel agent yang menawarkan paket trekking ke Gunung Rinjani melalui jalur pendakian Senaru maupun Sembalun. High session dalam kegiatan trekking ini setiap tahun berlangsung antara bulan Juli sampai dengan bulan September, hal ini bertepatan dengan kondisi cuaca yang bagus untuk kegiatan pendakian. Pada saat high session ini setiap hari bisa terjadi sekitar 150 orang wisatawan mancanegara yang naik ke Gunung Rinjani. Kebanyakan turis mancanegara ini berasal dari Eropa.

Tabel 1.Jumlah Usaha Sarana Pariwisata di Kecamatan

BayanNo. Jenis Usaha Buah Tenaga

Kerja1 Akomodasi / Hotel /

Penginapan18 73

2 Restoran / Café / Rumah Makan

14 46

3 Bar - -4 Kolam Renang - -5 Diving - -6 SPA, Salon dan

Fashion- -

7 Play Station dan Olah Raga Ketangkasan

- -

8 Art Shop 2 99 Travel Agent / Biro

Perjalanan Wisata1 18

10 Money Changer - -11 Live Musik - -

Jumlah 35 146

Pendakian ke Gunung Rinjani memang harus memperhatikan kondisi cuaca karena Gunung Rinjani merupakan gunung tinggi yang dapat menarik badai kuat, petir, dan angin kencang. Bila cuaca panas, matahari menyengat pada siang hari dan suhu pada malam harinya sangat dingin. Para wisatawan melalui para trek organizer dan guide diimbau oleh Rinjani Trek Centre untuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan selama trekking dengan baik, harus ada persediaan pakaian hangat dan tahan cuaca. Wisatawan juga diimbau memperhatikan alas kakinya karena sebagian jalan yang dilewati merupakan jalan setapak yang terjal dan licin apabila diguyur hujan. Para trek organizer maupun guide diimbau berhati-hati memperhitungkan cuaca buruk dan beresiko akibat basah dan dingin karena dapat menyebabkan hypothermia atau sakit karena kedinginan bagi wisatawan.

Tabel 2Data Wisatawan Pendakian ke Taman Nasional

Gunung Rinjani Melalui Jalur Senaru Tahun 2010

No. Bulan Wisatawan Jumlah (Orang)Manca-

negaraNusan-

tara1 Januari 0 0 02 Pebruari 0 0 03 Maret 262 24 2864 April 262 24 2865 Mei 371 36 4076 Juni 284 29 3137 Juli 838 92 9308 Agustus 911 66 9779 September 321 45 36610 Oktober 290 18 30811 Nopember 187 58 24512 Desember 110 14 124

Jumlah 3.836 406 4.242Sumber: Dinas Perhubungan, Pariwisata, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Lombok Utara

Di Senaru terdapat 18 trek organizer, melalui upaya mereka ini sebagian besar aktivitas trekking ke puncak Gunung Rinjani diorganisir. Melalui jasa yang ditawarkan oleh trek organizer dan travel agent dalam waktu satu

Page 12: POTENSI EKOWISATA BERBASIS BUDAYA MASYARAKAT DI …

102

Jurnal Kebudayaan, Volume 13, Nomor 2, Desember 2018

tahun bisa ribuan wisatawan Nusantara maupun mancanegara dapat melakukan aktivitas trekking di Gunung Rinjani dan hotel maupun penginapan serta restoran di Senaru ramai dikunjungi oleh para wisatawan tersebut. Dari data yang dikeluarkan oleh Dinas Perhubungan, Pariwisata, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Lombok Utara, selama tahun 2010 terdapat 406 orang wisatawan Nusantara dan 3.836 orang wisatawan mancanegara atau 4.242 wisatawan yang melakukan pendakian Gunung Rinjani melalui pintu gerbang Senaru. Namun menurut seorang petugas di Rinjani Trek Centre pada tahun 2009 pernah mencapai angka lebih dari 7.000 orang wisatawan asing dan wisatawan Nusantara yang melakukan pendakian di Gunung Rinjani.

Wisatawan Nusantara sebenarnya jauh lebih banyak dari data yang ada di Dinas Perhubungan, Pariwisata, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Lombok Utara karena bagi masyarakat Lombok, khususnya suku Sasak dan suku Bali, Gunung Rinjani dianggap sebagai tempat yang suci yang merupakan tempat bersemayam atau istana para Dewa. Kawah Danau Segara Anak merupakan tujuan ziarah bagi beribu-ribu umat manusia setiap tahunnya. Di tempat tersebut, sesajen-sesajen diletakan di atas air dan biasanya para peziarah berendam di kolam air panas yang dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Raden Mayanto, seorang petugas di Rinjani Trek Centre mengatakan bahwa pada saat ada upacara Pekelem, biasanya bulan Nopember, ribuan orang penganut agama Hindu dari Lombok dan Bali naik ke puncak Gunung Rinjani untuk melakukan ritual di sana. Para peziarah ini memang tidak dicatat sebagai wisatawan karena mereka memperoleh izin khusus dari Taman Nasional Gunung Rinjani.

Kontribusi kedatangan wisatawan man ca-negara dan wisatawan nusantara bagi pereko-nomian daerah sebenarnya cukup besar karena beberapa jasa trekking yang ditawarkan oleh trek organizer maupun travel agent sebenarnya relatif besar, yakni sekitar 2 juta rupiah untuk paket trekking 3 hari 2 malam untuk setiap wisatawan dan 1,5 juta rupiah untuk paket trekking 1

malam 2 hari termasuk biaya pembayaran jasa guide, porter, bahan makanan, sewa tenda dan penginapan di Senaru. Seorang wisatawan trekking biasanya didampingi seorang porter yang membawakan barang bawaan wisatawan, termasuk tenda, peralatan masak, dan bahan makan, serta air minum yang dibutuhkan selama dalam kegiatan pendakian tersebut. Standar biaya pembayaran porter 1 hari 1 malam sebesar Rp 180.000,00 menurut keterangan pejabat Dinas Perhubungan, Pariwisata, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Lombok Utara. Namun dalam praktiknya seorang porter biasanya dibayar Rp 125.000,00 per hari, apabila seorang porter bekerja 2 hari 1 malam maka ia akan dibayar sebesar Rp 250.000,00. Jumlah tenaga porter yang terdaftar di Rinjani Trek Centre sebanyak 180 orang, namun jumlah ini bisa bertambah banyak terutama dalam saat high session dan terkadang travel agent atau trek organizer mencari tambahan porter lain. Banyak warga Desa Senaru bersedia menjadi porter terutama pada waktu luang mereka bercocok tanam di ladang. Pada saat high session biasa seorang porter selama satu bulan bisa mendampingi trekking wisatawan sebanyak 5 kali, apabila setiap kali trekking ia bekerja 3 hari maka selama sebulan ia bekerja selama 15 hari, berarti pendapat mereka minimal memperoleh Rp 2.250.000,00. Ini suatu jumlah tambahan penghasilan yang relatif besar bagi kebanyakan warga Senaru yang bermatapencaharian sebagai petani. Seringkali seorang wisatawan yang terkesan dengan jasa pelayan seorang porter memberikan uang “tip” berupa uang dollar.

Sedangkan penghasilan seorang guide rata-rata setiap hari mendapat Rp 450.000,00 per hari, namun seorang guide dapat memandu 1 sampai 10 wisatawan dan ia juga harus memiliki kualifikasi tertentu seperti lancar berbahasa Inggris dan mengerti dengan baik berbagai cerita rakyat tentang Gunung Rinjani, mengenal secara rinci kekayaan berbagai jenis flora dan fauna yang ada di Gunung Rinjani. Seringkali trek organizer juga mencari seorang guide khusus yakni yang memiliki kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Jerman atau Perancis karena rombongan wisatawan dari

Page 13: POTENSI EKOWISATA BERBASIS BUDAYA MASYARAKAT DI …

Bambang H. Suta Purwana, Potensi Ekowisata Berbasis Budaya Masyarakat di Desa Sanaru, Kabupaten Lombok Utara

103

suatu negara sering memesan untuk didampingi guide dengan kemampuan bahasa tertentu. Di Rinjani Trek Centre terdaftar 20 orang trekking guide, kepada guide ini pihak Rinjani Trek Centre menitipkan misi penyelamatan lingkungan hidup dengan cara meminta mereka mengarahkan para porter untuk membawa kompor gas mini sehingga tidak melakukan penebangan kayu guna memasak air dan makanan untuk para wisatawan trekking.

Restribusi yang masuk ke pemerintah cukup besar, berdasarkan penuturan seorang petugas Rinjani Trek Centre tahun 2009 dari tiket trekking ini memberikan masukan untuk PAD sebesar 115 juta rupiah. Dari tiket untuk wisatawan trekking dapat dilihat bahwa setiap wisatawan trekking menyumbang Rp 20.000,00 kepada Taman Nasional Gunung Rinjani dan Rp 130.000,00 masuk ke Rinjani Trek Centre. Dalam tiket Rinjani Trek Centre tersebut tertera bahwa harga tiket tersebut untuk Village Development Levy, Clean-Up Patrol, Search & Rescue, Guide & Porter Training, Conservation, dan Community Development Programme. Perincian dari pemanfaatan uang dari tiket Rinjani Trek Centre tersebut sebagai berikut: Pemerintah Desa Senaru Rp 10.000,00; Koperasi Rp 10.000,00; Pemerintah Kabupaten Lombok Utara Rp 26.000,00; Rinjani Management Board Rp 40.000,00; dan Desa Adat Rp 4.000,00. Kemudian sisa uang Rp 30.000,00 digunakan untuk clean-up patrol, guide & porter training, search & rescue, conservation dan community development programme.

Dari data Dinas Perhubungan, Pariwisata, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Lombok Utara bahwa dalam tahun 2010 terdapat 4.242 orang wisatawan trekking melalui pintu gerbang Senaru berarti sumbangan untuk PAD Kabupaten Lombok Utara sebesar 4242 dikalikan Rp 26.000,00 yakni sebesar Rp 110.292.000,00. Perkiraan uang yang beredar di Kabupaten Lombok Utara dari kedatangan 4.242 orang wisatawan trekking tersebut adalah rata-rata paket termurah untuk waktu satu malam dua hari, Rp 1.500.000,00 dikalikan 4.242 wisatawan maka dapat diperkirakan ada uang sebesar Rp 6.363.000.000,00. Uang sejumlah ini bisa

memiliki multiple effect yang relatif besar untuk menggerakkan perekonomian di Kabupaten Lombok Utara, minimal mendukung aktivitas kepariwisataan di Desa Senaru, seperti 18 hotel atau penginapan yang menyerap tenaga kerja 73 orang dan restoran atau rumah makan sebanyak 14 buah yang menyerap tenaga kerja sebanyak 46 orang. Selain itu kedatangan para wisatawan trekking ini secara langsung juga memengaruhi kesejahteraan sekitar 180 orang porter dan 20 orang guide.

E. PENUTUPE.1. Kesimpulan

Pada saat ini antara Senaru dan Gunung Rinjani juga disatukan dalam konsepsi ekowisata yang berusaha mempromosikan Gunung Rinjani sebagai icon ekowisata di Pulau Lombok. Masyarakat Senaru dipromosikan sebagai masyarakat adat (indigenous peoples) yang masih memegang teguh adat istiadat leluhur dan memiliki kearifan tradisional dalam menjaga kelestarian alam lingkungannya.

Para wisatawan dalam negeri dan asing berdatangan silih berganti di hotel, villa atau tempat penginapan di Senaru namun mereka hanya melihat panorama yang indah di lereng Gunung Rinjani dan sebagian besar kemudian melakukan kegiatan pendakian ke arah puncak Gunung Rinjani. Sebagian kecil dari para wisatawan itu ada yang datang ke Dusun Senaru untuk melihat pola pemukiman penduduk yang tradisional, jarak antar rumah relatif berdekatan dan tidak ada pagar yang membatasi, bahkan kadang sapi maupun lumbung padi pun seakan menyatu dengan rumah-rumah penduduk. Komunitas adat di Dusun Senaru itu ibarat “museum kebudayaan Sasak” yang didatangi hanya untuk dilihat dan diambil gambarnya saja. Komunitas adat itu seperti obyek yang kapan saja bisa didatangi untuk memanjakan penglihatan para wisatawan.

Keadaan seperti ini jauh berbeda dengan kebijakan ekowisata yang bertujuan memberdayakan penduduk lokal untuk bertindak sebagai subyek dalam aktivitas kepariwisataan berbasiskan kelestarian alam dan budaya lokal.

Page 14: POTENSI EKOWISATA BERBASIS BUDAYA MASYARAKAT DI …

104

Jurnal Kebudayaan, Volume 13, Nomor 2, Desember 2018

Di Senaru terdapat 18 trek organizer namun semua trek organizer tersebut berasal dari luar wilayah Kecamatan Bayan, selain itu 11 fasilitas sarana pariwisata di wilayah Senaru seperti hotel atau penginapan, restoran dan cafe, bar, kolam renang, diving, salon spa, art shop, travel agent, dan money changer juga bukan milik orang Senaru. Partisipasi penduduk lokal hanya sebatas sebagai porter dan guide saja. Selebihnya, mereka membuka warung kecil berjualan rokok, minuman dan makanan kecil. Secara umumwarga masyarakat lokal hanya menjadi penonton dari aktivitas ekowisata di Desa Senaru.

E.2. Saran Upaya peningkatan peran serta warga

masyarakat lokal dalam usaha ekowisata Gunung Rinjani dapat ditempuh oleh pemerintah atau lembaga yang dibentuk untuk menangani ecotourism ini misalnya Rinjani Management Board untuk memfasilitasikomunitas adat dapat berperan dalam usaha ekowisata berbasiskan kemampuan yang ada dalam masing-masing keluarga maupun komunitas tersebut secara kolektif. Misalnya warga komunitas yang memiliki rumah tradisional dapat membuka home stay bagi wisatawan yang ingin memperoleh pengalaman tinggal dan tidur di rumah tradisional Sasak, hal utama dari pengelolaan home stay adalah menjaga kebersihan kamar atau rumah dan fasilitas kamar mandi dan toilet. Paket bercocok tanam padi dan palawija bersama warga masyarakat lokal dapat ditawarkan kepada para wisatawan dalam kemasan agrowisata tradisional ala orang Sasak.

Potensi keunikan budaya orang Sasak khususnya orang Bayan di Desa Senaru yang memiliki beragam ritual adat warisan leluhur dapat dikemas menjadi atraksi budaya yang menarik tanpa merusak nilai sakral dari upacara tersebut. Berbagai upacara tradisional seperti upacara buang au¸ngurisang, dan ngitanang. Dalam beberapa upacara adat tersebut kadang juga disertai dengan penyelenggaraan tarian tradisional atau joged dan diiringi alunan musik tradisional Sasak yang disebut gamelan. Orang Bayan di Senaru masih memiliki berbagai upacara tradisional lainnya

yang terkait dengan gawe urip maupun gawe pati dan ritual keagamaan yang berhubungan dengan tradisi keagamaan Islam Wetu Telu yang unik. Semua ritual tradisional orang Bayan ini dapat dikemas menjadi atraksi budaya yang menarik bagi wisatawan yang datang ke Senaru. Salah satu prinsip yang seharusnya diutamakan dalam pengembangan dan pengemasan ritual tradisional untuk wisatawan tersebut adalah menghindari komersialisasi ritual adat. Ritual adat itu dilangsungkan karena memang diperlukan secara budaya oleh masyarakat Bayan untuk mempertahankan kelestaraian budayanya, mereka melakukan semua aktivitas ritual adat itu bukan semata-mata untuk dijual kepada wisatawan yang datang ke Desa Senaru.

DAFTAR PUSTAKA

Adonis, Tito. 1989. Suku Terasing Sasak di Bayan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Ardika, I Gede. 2008. “Kata Pengantar”, dalam Ambarwati Kurnianingsih, Ekowisata Kerakyatan Memiliki Kembali Bali. Badung: Matamera Book Wisnu Press.

Arida, Nyoman Sukma; dkk. 2014. “Dinamika Ekowisata Tri Ning Tri di Bali: Problematika dan Strategi Pengembangan Tiga Tipe Ekowisata Bali”, Jurnal Kawistara Volume 4 No.2, 17 Agustus. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM, halaman 111-224.

Bachtiar, Harsja W. 1997. “Pengamatan sebagai Suatu Metode Penelitian”, Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Redaksi: Koentjaraningrat, edisi ketiga, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Budiwanti, Erni. 2000. Islam Sasak: Wetu Telu versus Wetu Lima. Yogyakarta: LKiS.

Creswell, John W. 1994. Research Design, Quantitative and Qualitative Approaches.

Page 15: POTENSI EKOWISATA BERBASIS BUDAYA MASYARAKAT DI …

Bambang H. Suta Purwana, Potensi Ekowisata Berbasis Budaya Masyarakat di Desa Sanaru, Kabupaten Lombok Utara

105

New York: Sage Publication Inc.

Damanik, J. dan Weber F.W. 2006. Perencanaan Ekowisata: Dari Teori ke Aplikasi. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Fandeli, C., 1992. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan: Prinsip Dasar dan Pemapanannya Dalam Pembangunan. Yogyakarta: Penerbit Liberty.

Gego, Eleonora Dus. 2010. “Kajian Potensi Ekowisata Berbasis Masyarakat di Cagar Alam Mutis Timau, kabupaten Timor Tengah Selatan”. Tesis. Yogyakarta: Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada.

Kabupaten Lombok Utara Dalam Angka 2010. 2011. Tanjung: Badan Pusat Statistik

Kurnianingsih, Ambarwati. 2008. Ekowisata Kerakyatan Memiliki Kembali Bali. Badung: Matamera Book Wisnu Press.

Neuman, W. Lawrence. 1997. Social Research Method: Qualitative and Quantitative Approaches. Boston: Allyn and Bacon.

Pitana, I Gde dan Putu G. Gayatri. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Rochayati, Rully.. 2016. “Konsep Mandala Dalam Tari Srimpi Kadang Premati”, Jurnal Sitakara. Universitas PGRI Palembang, halaman 131-145.

Sulistiyono dan Gatot S. 1998. “Dampak Industri Pariwisata Terhadap Hak-hak Masyarakat Adat/ Asli Senaru”, Makalah dalam Seminar Dampak Pariwisata Terhadap Hak-hak Masyarakat Asli (Indigenouse People), diselenggarakan oleh Yayasan Koslata, tanggal 19 Desember di Hotel Lombok Raya Mataram.

Taufan, Naniek I, . 2009. Langkah Pariwisata NTB Menerobos Pasar Dunia. Mataram: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB.

Page 16: POTENSI EKOWISATA BERBASIS BUDAYA MASYARAKAT DI …

106

Jurnal Kebudayaan, Volume 13, Nomor 2, Desember 2018