Upload
cephyz
View
131
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
Pondasi Filsafat dalam PendidikanOleh: Cecep Lukmanul Hakim, S.Pd.
Filsafat dan Pendidikan layaknya dua sisi dalam satu
keping uang logam yang tidak dapat dipisahkan, dalam definisi
tertentu filsafat diartikan sebagai teori pendidikan dalam segala
tingkat. Van Cleve Morris menyatakan:
“Secara ringkas kita mengatakan bahwa pendidikan adalah studi filosofis, karena ia pada dasarnya, bukan alat sosial semata untuk mengalihkan cara hidup secara menyeluruh kepada setiap generasi, akan tetapi ia juga menjadi agen (lembaga) yang melayani hati nurani masyarakat dalam perjuangan mencapai hari depan yang lebih baik.”1
Jadi dilihat dari tugas dan fungsinya, pendidikan harus
dapat menyerap, mengolah dan menganalisis serta menjabarkan
aspirasi dan idealitas masyarakat. Pendidikan harus mampu
mengalihkan dan menanamkan aspirasi dan idealitas
masyarakat itu ke dalam jiwa generasi penerusnya. Untuk itu
pendidikan harus menggali dan memahaminya melalui
pemikiran filosofis secara menyeluruh terutama problema-
problemanya.
Dalam filsafat pendidikan topik-topik yang dibahas
biasanya berkisar pada hakikat pendidikan, hakikat ilmu
pengetahuan dan kurikulum, hakikat mengajar dan mendidik,
hakikat moral dan agama atau hakikat masyarakat dalam
kacamata pendidikan, sedangkan dalam pondasi filsafat,
pembicaraan tertuju kepada sifat atau karakter filsafat. Namun
keduanya memiliki titik singgung atau beberapa kesamaan
dalam menopang atau memberi kontribusi terhadap kegiatan
pendidikan. Topangan tersebut adalah sebagai berikut:
1 Van Cleve Morris, 1963, The Philosophy of Education: in Becoming an Educator, Boston, Houghton Mifflin Company, 57.
Pertama, berfungsi sebagai infrastruktur bagi perilaku
guru saat melaksanakan tugas pendidikan. guru yang
memahami filsafat akan memperlakukan unsur-unsur yang
terlibat kegiatan pendidikan (khususnya murid, waktu, bahan
ajar dan proses pendidikan (khususnya murid, waktu, bahan ajar
dan proses pendidikan) dengan perilaku yang lebih
manusiawi/secara universal, bertujuan dan jelas argumennya,
karena didukung oleh suasana batin (sebagai infrastruktur
perilaku) yang memiliki karakter filsafat, seperti analitik,
sistematik, rasionaal, dan universal.
Kedua, mendisiplinkan perilaku pendidik dan terdidik.
Disiplin dalam pengertian memiliki kesadaran berperilaku yang
konsisten dengan nilai antara lain dihasilkan oleh kemampuan
berfikir radikal dan sistematis mengenai hakikat mengajar dan
mendidik. Filsafat pendidikan akan menuntun guru
mendisiplinkannya berdasarkan kesadaran makna hakiki
pendidikan dan pengajaran tersebut.
Ketiga, kritis terhadap lingkungan pendidikan.
Berdasarkan pemahamannya terhadap hakikat pendidikan,
hakikat ilmu, dan hakikat anak didik, guru akan selalu berpihak
kepada kepentingan anak didik dan karena itu segala hal yang
mengakibatkan kerugian bagi anak didik, akan dikritisi secara
proporsional sesuai dengan tingkat pemahaman yang
dimilikinya. Pada umumnya guru yang memahami utuh filsafat,
selain kritis juga arif dalam bertindak. Kritis tanpa kearifan
biasanya terjadi pada guru yang masih dalam proses
internalisasi nilai-nilai falsafati. Sedangkan kearifan tanpa
dibarengi pemikiran kritis pada dasarnya tidak akan terjadi,
sebab kearifan merupakan derajat kepribadian yang
dipersyarati penguasaan menyeluruh terhadap suatu bidang
ilmu yang menjadi “rumah” berfikir kritis.2
Keempat, selektif atas alternatif yang tersedia. Guru
menjiwai filsafat akan terdorong untuk selalu membaca dan
membaca berbagai informasi yang berkaitan dengan konsep,
teori, dan praksis pendidikan dari berbagai sudut pandang, baik
ideologi, politik, ekonomi, dan sebagainya. Hal itu banyak dan
terus bertambah setiap hari. Namun dengan jiwa filsafatnya, ia
tidak akan menelan begitu saja berbagai temuan di negeri
orang. Ia akan merujuk pada pemikiran filsafatnya, tidak akan
terburu-buru menerima tawaran keuntungan yang disodorkan
pengalaman pendidikan di negeri orang. Berbagai konsep dan
cara mendidik di Jepang, Amerika, dan Eropa umpamanya akan
dibaca dan kemudian disaring oleh saringan filsafat pendidikan
Islam yang dipahaminya.
Kelima, kritis terhadap istilah-istilah. Sebagai implikasi
praktis dari butir keempat, maka guru yang memahami filsafat
pendidikan akan sangat kritis terhadap penggunaan istilah-
istilah pendidikan yang dipakai ilmuwan lain. Hal ini sebagai
konsekuensi berpikir radikal yang menegaskan adanya implikasi
dan inovasi yang perlu dijalankan adalah bagaimana
menyeimbangkan daya kritis tersebut dengan performa yang
tetap ramah, arif, dan toleran terhadap perbedaan pemikiran
dan pendapat pihak lain, sehingga sosok kritis tersebut tidak
menjelma jadi manusia yang sok tahu dan merasa paling benar
sendiri, atau menjadi polisi kebenaran dalam dunia pendapat
yang bersilang dan beragam. Dalam upaya mencari kebenaran,
2 Kearifan merupakan salah satu sisi dari sifat sabar. Tidak mungkin orang bertindak arif tanpa memiliki sifat kesabaran. Tapi kesabaran hanya akan ada pada orang yang menguasai bidang ilmunya. Bagaimana anda tidak menguasai masalahnya? Demikian “pertanyaan menguji” yang dilontarkan Nabi Khidir pada Nabi Musa saat yang terakhir mengajukan permohonan untuk menjadi muridnya (Q.S. 18:68)
performa demikian pada gilirannya justru akan merugikan diri
sendiri.3
Mudah-mudahan dengan semakin meningkatnya
pemahaman pendidik tentang pentingnya filsafat sebagai salah
satu pondasi pendidikan, akan berdampak positif terhadap
kualitas pendidikan di Indonesia ini. Amien.
Identitas Penulis:
Nama Lengkap : Cecep Lukmanul Hakim, S.Pd.3 Sanusi Uwes, 2003, Visi dan Pondasi Pendidikan: Dalam Perspektif Islam,
Jakarta, Logos, h., 109-111.
Tempat Tanggal Lahir : Bandung, 14 Pebruari 1987
Alamat : Jl. Joyodikromo No. 223 RT. 07 RW. 07
Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi
Selatan Kota Cimahi
No. Telp. : 08562006813
Pendidikan : Mahasiswa Pascasarjana Konsentrasi
Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Gunung
Djati Bandung