42
1 POLISI LINGKUNGAN SEBAGAI INSTRUMEN HUKUM PROGRESIF DALAM MENANGANI PERMASALAHAN KEBERSIHAN, KEINDAHAN, DAN KENYAMANAN (K3) LINGKUNGAN DI INDONESIA 1 Oleh Nama : Najmu Laila Sopian NPM : 0806342806 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2011 1 Versi pertama dari makalah ini berjudul, “Pelembagaan Polisi Lingkungan sebagai Alternatif Model Pengawas Kebersihan, Keindahan, dan Kenyamanan (K3) Lingkungan di Indonesia” pernah diikutsertakan dalam Pemilihan Mahasiswa Berprestasi Utama Tingkat Universitas Indonesia dan mendapatkan penghargaan sebagai makalah terbaik dalam kompetisi tersebut. Revisi terhadap makalah ini dilakukan dengan menambahkan beberapa perubahan substansial terkait dengan teori hukum progressif, kerangka teoritis serta perbaikan terhadap strategi penerapan polisi lingkungan. Revisi makalah ini diikutsertakan dalam Lomba Karya Tulis Tingkat Nasional di Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) dan mendapatkan Juara Kedua dalam kompetisi tersebut.

Polisi Lingkungan sebagai Instrumen Hukum Progresif dalam Menangani Permasalahan Kebersihan, Keindahan, dan Kenyamanan (K3) Lingkungan di Indonesia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Di tengah berbagai permasalahan lingkungan hid yang tengah kita hadapi, kiranya penting bagi kita untuk bercermin kepada kearifan lokal yang ada pada masyarakat adat. Jauh sebelum perangkat hukum nasional dengan segala kompleksitasnya terbentuk, masyarakat adat telah memiliki perangkat adat yang berfungsi sebagai pengawas dan penjaga lingkungan hidup. Lembaga tersebut yang akan Penulis introdusir sebagai salah satu alternatif model untuk menangani permasalahan lingkungan hidup, melalui sebuah lembaga bernama Polisi Lingkungan.Secara singkat dapat dikemukakan bahwa Polisi Lingkungan merupakan satuan unit kepolisian yang berada di langsung di bawah Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang khusus bertugas untuk mengawasi lingkungan hidup, dalam hal ini sampah dan tindak pidana ringan lingkungan hidup lainnya yang ada di masyarakat. Keanggotaan Polisi Lingkungan berasal dari anggota polisi biasa yang telah diberikan pelatihan lingkungan hidup. Lembaga Polisi Lingkungan ini dibentuk sebagai salah satu upaya untuk menumbuhkan kepatuhan dan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup

Citation preview

  • 1

    POLISI LINGKUNGAN SEBAGAI INSTRUMEN HUKUM PROGRESIF DALAM MENANGANI PERMASALAHAN

    KEBERSIHAN, KEINDAHAN, DAN KENYAMANAN (K3) LINGKUNGAN DI INDONESIA1

    Oleh

    Nama : Najmu Laila Sopian

    NPM : 0806342806

    FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA

    DEPOK 2011

    1 Versi pertama dari makalah ini berjudul, Pelembagaan Polisi Lingkungan sebagai Alternatif Model Pengawas Kebersihan, Keindahan, dan Kenyamanan (K3) Lingkungan di Indonesia pernah diikutsertakan dalam Pemilihan Mahasiswa Berprestasi Utama Tingkat Universitas Indonesia dan mendapatkan penghargaan sebagai makalah terbaik dalam kompetisi tersebut. Revisi terhadap makalah ini dilakukan dengan menambahkan beberapa perubahan substansial terkait dengan teori hukum progressif, kerangka teoritis serta perbaikan terhadap strategi penerapan polisi lingkungan. Revisi makalah ini diikutsertakan dalam Lomba Karya Tulis Tingkat Nasional di Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) dan mendapatkan Juara Kedua dalam kompetisi tersebut.

  • 2

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Bat batang nuhu met, fitroa fitnangan, vuut er is wa ar,

    medar ersai roan, kawai u kadir rir wai dok tub (Menjaga tanah dan meti, laut dan darat, ikan-ikan yang mematuk akar-akar, kusu-kusu

    yang memakan dedaun tempat tinggal ulat dan cacing) Syair Tua Negeri Kei, Maluku Tenggara

    Syair tua tersebut mengandung pesan jelas bahwa lingkungan hidup baik

    laut maupun darat, dengan segenap kandungan isinya, termasuk ulat dan cacing

    harus dipelihara dan dijaga. Dewasa ini berbagai permasalahan lingkungan hidup

    memang telah menjadi isu penting. Hal ini tidak saja disebabkan oleh lahirnya

    sebuah kesadaran bersama akan lingkungan hidup yang lebih baik, tetapi juga

    karena pada hakikatnya manusia memang tidak pernah bisa dipisahkan dari

    lingkungan hidupnya.

    Dalam konteks nasional, isu lingkungan hidup, terutama masalah sampah

    menjadi penting, terutama dengan memburuknya kerusakan lingkungan hidup di

    Indonesia.2 Permasalahan mengenai sampah memang telah menjadi problema

    tersendiri terutama di kota-kota besar di Indonesia.3 Volume sampah di kota-kota

    besar di Indonesia terus bertambah seiring meningkatnya jumlah penduduk

    perkotaan yang relatif masih tinggi. Jumlah sampah di Jakarta mencapai rata-rata

    0,65 kg, Surabaya 0,52 kg, dan Bandung 0,50 kg/orang/hari. Dengan jumlah

    penduduk Jakarta yang berjumlah sekitar delapan juta jiwa, diperkirakan sampah

    yang dihasilkan mencapai 6.250 ton atau sekitar 25.650 meter kubik setiap

    harinya. 4

    2 Maria Hartiningsih dan Agnes Aristiarini, Bentang Persoalan Lingkungan, Kompas

    (02 Juli 2009). 3 Walhi, Selamatkan Bumi - Pulihkan Indonesia, http://www.walhi.or.id/id/ruang-

    media/siaran-pers/714-selamatkan-bumi-pulihkan-indonesia, diunduh 22 April 2011. 4 Her Suganda, Penanganan Sampah di Daerah Hulu, Kompas (02 Desember 2004).

  • 3

    Sampah dengan volume yang demikian besar tentunya harus ditangani

    dengan efektif.5 Namun tidak cukup sampai disitu, harus ada sebuah instrumen

    hukum yang dapat mendorong terjadinya perubahan sikap dan paradigma

    masyarakat terhadap lingkungan hidup. Permasalahan lingkungan hidup kerap kali

    terjadi karena rendahnya kesadaran masyarakat, misalnya untuk membuang

    sampah pada tempatnya, untuk tidak menebang pohon sembarang, untuk tidak

    merusak bantalan sungai, dan sebagainya.

    Meminjam perspektif Schumacher dalam A Guide for the Perplexed,

    masalah kerusakan lingkungan hidup ini sangat terkait dengan krisis kemanusiaan,

    dengan moralitas sosial serta krisis orientasi kita terhadap Tuhan.6 Artinya,

    kerusakan lingkungan hidup sangat terkait dengan perilaku desktruktif manusia

    itu sendiri terhadap lingkungan hidupnya.7 Oleh karena itu, diperlukan sebuah

    mekanisme pengawasan dan penindakan yang tepat dan berkesinambungan

    terhadap masyarakat mengingat pola-pola penyuluhan dan operasi bersifat

    insidentil yang selama ini dilakukan tidak efektif dalam mengubah perilaku

    masyarakat.

    Sebetulnya kita dapat berkaca kepada kearifan masyarakat lokal yang ada

    di setiap masyarakat adat untuk mencari satu bentuk pengawasan dan pelestarian

    lingkungan hidup.8 Nilai-nilai yang telah ada di dalam masyarakat adat tersebut

    5 Selama ini cara paling banyak dilakukan oleh pemerintah kota dalam pembuangan

    sampah adalah dengan penimbunan sampah di daerah tertentu yang dijadikan lokasi TPA. Namun sistem pembuangan sampah itu kerap kali tidak direncanakan dengan baik, penimbunannya dilakukan sembarangan dan tidak profesional. Akibatnya, sebuah lokasi yang dijadikan landfill hanya dijadikan open dumping atau ditumpuk saja. Bahkan karena lemahnya kontrol atas TPA, tidak jarang TPA dijadikan tempat pembuangan limbah B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya) yang termasuk kategori infectious.

    6 Maksun, Agama dan Kearifan Ekologis Koran Tempo (15 Februari 2007) http://korantempo.com/korantempo/2007/02/15/Opini/krn,20070215,64.id.html, diunduh 21 April 2011.

    7 Dalam suatu kesempatan Fauzi Bowo mengatakan bahwa penyabab banjir Jakarta adalah perilaku masyarakat yang tidak disiplin. Warga yang tinggal di bantaran sungai masih suka membuang sampah sembarangan. Akibatnya terjadi penyempitan di beberapa badan sungai. Sumber: Arset Kusnandi dan Suhanda, Buang Sampah Sembarangan Penyumbang Banjir, http://berita.liputan6.com/ibukota/201002/263964/Buang.Sampah.Sembarangan.Penyumbang.Banjir, diunduh 21 April 2011. Hal senada juga diungkapkan oleh Marwan Ja'far, lihat: Marwan Ja'far, Jakarta dan Ancaman Banjir Koran Tempo (21 Januari 2010).

    8 Emil Salim (a), Belajarlah dari Kearifan Lokal Kompas (07 Februari 2004), http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0402/07/humaniora/844706.htm, diunduh 22 April 2011.

  • 4

    dapat menjadi bahan bagi pembangunan hukum di Indonesia.9 Salah satu model

    yang dapat kita pelajari dari kearifan lokal yang ada pada masyarakat adat adalah

    lembaga pengawas dan pelestarian lingkungan hidup, seperti Kewang di Maluku,

    Jogoboyo di Jawa, dan Pecalang di Bali. Model lembaga pengawas tersebut dapat

    dimodifikasikan dan disesuaikan ke dalam konteks nasional, yaitu melalui bentuk

    Polisi Lingkungan (environmental police) yang bertugas di bidang pelestarian dan

    penjagaan kebersihan lingkungan hidup.10

    Berdasarkan pemaparan tersebut, melalui tulisan ini Penulis akan mencoba

    untuk mengkaji mengenai kemungkinan dan strategi penerapan model Polisi

    Lingkungan tersebut menurut hukum adat ke dalam lingkup laku nasional.

    Kehadiran Polisi Lingkungan ini sangat mendesak dan dibutuhkan mengingat

    kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup di Indonesia yang sudah sangat

    parah. Polisi Lingkungan ini yang kemudian akan menjadi ujung tombak

    pengawasan dan penindakan terhadap pelaku pencemaran lingkungan hidup.

    Dengan memberikan pengawasan dan penindakan yang ketat, diharapkan dapat

    merubah perilaku masyarakat terhadap lingkungan hidup.

    B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana kearifan lokal masyarakat adat khususnya dalam hal pengawasan

    dan pelestarian lingkungan hidup?

    2. Bagaimana kemungkinan penerapan model Polisi Lingkungan menurut hukum

    adat yang ada di Indonesia ke dalam lingkup laku nasional?

    3. Bagaimana strategi penerapan dan pembentukan lembaga Polisi Lingkungan

    di Indonesia?

    9 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional,

    Majalah Hukum Nasional (No. 2 Tahun 2007), hlm. 62. 10 Kerangka berfikir tersebut dipergunakan berdasarkan teori penyesuaian dari Sudargo

    Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid II Bagian 5 Buku Ke-6, cet-2, (Bandung: PT Alumni, 1988), hlm. 58-61.

  • 5

    C. Konstruksi Gagasan/Ide Pokok Di tengah berbagai permasalahan lingkungan hidup yang tengah kita

    hadapi, kiranya penting bagi kita untuk bercermin kepada kearifan lokal yang ada

    pada masyarakat adat. Jauh sebelum perangkat hukum nasional dengan segala

    kompleksitasnya terbentuk, masyarakat adat telah memiliki perangkat adat yang

    berfungsi sebagai pengawas dan penjaga lingkungan hidup. Lembaga tersebut

    yang akan Penulis introdusir sebagai salah satu alternatif model untuk menangani

    permasalahan lingkungan hidup, melalui sebuah lembaga bernama Polisi

    Lingkungan.

    Secara singkat dapat dikemukakan bahwa Polisi Lingkungan merupakan

    satuan unit kepolisian yang berada di langsung di bawah Kepala Kepolisian

    Republik Indonesia yang khusus bertugas untuk mengawasi lingkungan hidup,

    dalam hal ini sampah dan tindak pidana ringan lingkungan hidup lainnya yang ada

    di masyarakat. Keanggotaan Polisi Lingkungan berasal dari anggota polisi biasa

    yang telah diberikan pelatihan lingkungan hidup. Lembaga Polisi Lingkungan ini

    dibentuk sebagai salah satu upaya untuk menumbuhkan kepatuhan dan kesadaran

    masyarakat terhadap lingkungan hidup. Adapun mengenai mekanisme dan sistem

    kerja Polisi Lingkungan ini akan Penulis kemukakan lebih lanjut di dalam

    pembahasan berikutnya.

    D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

    1. Tujuan Umum Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji kemungkinan penerapan kearifan

    lokal masyarakat adat yang ada di Indonesia, khususnya mengenai lembaga Polisi

    Lingkungan secara nasional sebagai solusi untuk menegakkan hukum lingkungan.

    2. Tujuan Khusus Penelitian Berdasarkan tujuan umum tersebut, dapat dirumuskan tiga tujuan khusus

    dari penelitian ini, yaitu:

    a. Menggambarkan kearifan lokal yang ada di dalam masyarakat adat,

    khususnya dalam hal pengawasan dan pelestarian lingkungan hidup.

  • 6

    b. Merumuskan suatu tinjauan komprehensif mengenai kemungkinan

    penerapan model Polisi Lingkungan menurut hukum adat yang ada di

    Indonesia ke dalam lingkup laku nasional.

    c. Menggagas langkah-langkah strategis dalam penerapan model Polisi

    Lingkungan di Indonesia.

    3. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

    a. Memberikan rekomendasi khususnya kepada Pemerintah dan lembaga

    legislatif dalam merumuskan konsep dan membentuk Polisi Lingkungan

    untuk mengawasi dan menegakkan hukum lingkungan di Indonesia.

    b. Memberikan sebuah pandangan dan kajian yang utuh mengenai kebutuhan

    akan adanya lembaga Polisi Lingkungan dan kemungkinan penerapan

    lembaga tersebut di Indonesia.

  • 7

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    "Any failure to mitigate hazards is shown up in their impacts." Prof. David Alexander

    A. Kompleksitas Permasalahan Sampah di Indonesia Persoalan sampah merupakan sebuah fenomena nasional yang sudah lama

    menjadi masalah terutama di kota-kota besar di Indonesia. Masalah itu muncul

    karena makin terbatasnya lahan kosong yang dapat dijadikan tempat pembuangan

    sampah akhir, sementara produksi sampah tiap hari terus berlangsung. Volume

    sampah di kota-kota besar di Indonesia terus bertambah seiring meningkatnya

    jumlah penduduk perkotaan yang relatif masih tinggi.11 Hal tersebut kemudian

    diperparah dengan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup

    dan kebiasaan membuang sampah sembarangan.

    Sampah yang membusuk dan bertebaran di mana-mana tentu bukanlah

    sebuah pemandangan yang indah. Selain baunya yang menusuk hidung, sampah-

    sampah juga menjadi sumber penyakit bagi masyarakat sekitar. Tumpukan

    sampah dari berbagai jenis material mengakibatkan pendangkalan dan

    penyempitan sungai. Selain itu, sampah juga identik dengan persoalan banjir.

    Berton-ton sampah menyebabkan sungai dan saluran air tak mampu mengatasi

    derasnya air di musim hujan sehingga begitu banyak wilayah yang terendam

    banjir.12 Sampah yang dibiarkan terbuka bukan hanya mengakibatkan pencemaran

    udara akibat bau. Sampah yang menggunung akan menghasilkan lindi, yakni

    limbah cair, baik yang berasal dari proses pembusukan sampah maupun karena

    pengaruh luar. Lindi yang berasal dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) akan

    mengalir masuk tanah lalu menjadi aliran air tanah dan mencemari sumur-sumur

    penduduk yang tinggal di daerah sekitar TPA.13

    Setidaknya ada tiga permasalahan utama yang terkait dengan sampah,

    yaitu produksi sampah, perilaku manusia, dan tempat penampungan serta

    11 Her Suganda, Loc.Cit. 12 Rhenald Kasali, Manajemen Pengolahan Sampah Koran Sindo, (13 Agustus 2009). 13 Ibid.

  • 8

    pengolahan sampah.14 Dalam hal ini permasalahan rendahnya kesadaran manusia

    terhadap lingkungan hidup menjadi faktor penting memburuknya permasalahan

    sampah.15 Kita masih menyaksikan banyaknya masyarakat yang membuang

    sampah sembarang, baik yang disebabkan karena memang tidak tersedianya

    fasilitas tempat sampah atau karena memang telah menjadi kebiasaan buruk.

    Perilaku buruk dalam membuang sampah ini, mengakibatkan kegiatan

    pengumpulan sampah menjadi makin mahal dan menyita waktu lebih banyak.16

    Oleh karena itu, upaya mengatasi sampah ini harus dilakukan secara menyeluruh,

    yang tidak hanya melibatkan masalah pengolahan sampah tetapi juga perilaku

    manusia terhadap sampah dan lingkungan hidup secara umum.17

    B. Hukum Progresif dan Masyarakat Hukum progresif merupakan sebuah gagasan yang mengalir, yang tidak

    mau terjebak dalam status quo, sehingga menjadi mandeg. Hukum progresif

    menempatkan manusia sebagai faktor penting dalam kajian dan penegakkan

    hukum.18 Konsep ini bermuara kepada asas besar bahwa hukum adalah untuk

    manusia, karena kehidupan manusia penuh dengan dinamika dan berubah dari

    waktu ke waktu.19 Hal tersebut dilukiskan oleh Satjipto Rahardjo dengan kalimat

    sebagai berikut:

    Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan di sini bisa diverifikasi ke dalam faktor-

    14 Suara Pembaruan Daily, Banjir dan Sampah di Jakarta,

    http://osdir.com/ml/culture.region.indonesia.ppi-india/2005-01/msg00570.html, (22 April 2011). 15 Ketua Umum InSWA Sri Bebassari, bahkan mengatakan bahwa dari 100 persen

    manusia di dunia menghasilkan sampah, tapi hanya 1 persen yang peduli tentang pengelolaan sampah. Harian Pelita, Sampah Plastik Memerlukan Perhatian Khusus, http://www.harianpelita.com/read/3669/15/laporan-khusus/sampah-plastik-memerlukan-perhatian-khusus/, diunduh 22 April 2011.

    16 Yonky Karman, Banjir dan Problem Ekomoral Kompas, (9 Februari 2007). 17 Hamid Awaludin, Solusi JK: Logis, Spontan, Tegas, dan Jenaka, (Jakarta: PT.

    Gramedia, 2009), hlm. 75. 18 Satjipto Rahardjo (a), Penegakkan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta:

    Genta Publishing, 2009), hlm. 1-2. 19 Satjipto Rahardjo (b), Hukum dalam Jagat Ketertiban, (Jakarta: UKI Pers, 2006), hlm.

    151.

  • 9

    faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah hakihat hukum yang selalu dalam proses menjadi (law as a process, law ini the making). Hukum tidak ada untuk hukum itu sendiri, tetapi untuk manusia.20

    Konsep mengenai hukum progresif ini lahir bukan tanpa sebab. Aliran

    tersebut muncul sebagai akibat dari ketidakpuasan pada aliran positivisme hukum

    yang selama ini dianut oleh para penegak hukum, para sarjana dan akademisi

    hukum di Indonesia.21

    Menurut Satjipto Raharjo, hukum yang progresif adalah hukum yang

    mampu mengikuti serta menjawab perkembangan dan perubahan zaman.22 Hukum

    progresif bukanlah konsep yang berdiri sendiri karena eksplanasi persoalan

    hukum tidak bisa dilepaskan dari kebersingguannya dengan konsep hukum lain

    seperti teori hukum responsif (responsive law) dari Nonet & Selznick yang

    menghendaki agar hukum diposisikan sebagai fasilitator yang merespon

    kebutuhan dan aspirasi warga masyarakat. Dengan kata lain, hukum harus

    menawarkan lebih dari sekedar prosedural justice, berorientasi pada keadilan,

    memperhatikan kepentingan publik, dan lebih dari pada itu harus mengedepankan

    substansial justice.23

    Hukum dalam pespektif hukum progresif bukanlah semata-mata rule of

    logic, tetapi social structure and behavior. Hukum tanpa memperhatikan rasa

    keadilan masyarakat sama halnya mengingkari kepastian hukum itu sendiri.

    Bahwa penegakkan hukum sangat terkait dengan masyarakat sehingga tidak a

    sosial. Oleh sebab itu, ketika terjadi permasalahan di dalam hukum, maka

    hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa

    untuk dimaksukkan ke dalam skema hukum.24

    20 Satjipto Rahardjo (c), Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan, Jurnal Hukum

    Progresif (Vol. 1/No. 1/April 2005) hlm. 21 Dey Ravena, Konsepsi dan Wacana Hukum Progressif, Jurnal Suloh (Vol. VII. No. 1

    April 2009), hlm. 17. 22 Satjipto Rahardjo (d), Hukum dan Birokrasi, Makalah pada diskusi Panel Hukum dan

    Pembangunan dalam Rangka Catur Windu Fakultas Hukum UNDIP, 20 Desember 1998, hlm. 5. 23 Dey Revane, Loc.Cit., hlm. 20. 24 Satjipto Rahardjo (c), Loc.Cit., hlm. 5

  • 10

    C. Masyarakat Hukum Adat dan Kearifan Lokal 1. Masyarakat Adat Hukum Adat dan Kearifan Lokal

    Sebelum membahas mengenai masyarakat adat dan kearifan lokal, kiranya

    penting untuk terlebih dahulu membahas mengenai apa yang dinamakan dengan

    hukum adat. Pada dasarnya hukum adat berasal dari seperangkat gagasan komunal

    dalam masyarakat yang berkaitan satu sama lain yang membentuk pandangan

    koheren tentang dunia.25 Kaidah-kaidah hukum adat diakui dan dikuatkan

    (erkenning en bekrachtinging) karena mencerminkan perasaan hukum yang hidup

    dan berasal dari kebiasaan masyarakat adat.26 Selanjutnya, Ter Haar mengatakan

    bahwa hukum adat akan tetap ada sepanjang eksistensinya diakui oleh masyarakat

    yang dinyatakan melalui adanya keputusan atau penetapan adat.27 Dengan

    demikian, hukum adat merupakan kebiasaan tradisional penjelmaan dari perasaan

    yang nyata masyarakat.28

    Surojo Wignjodipuro mengatakan bahwa adat merupakan cermin

    kepribadian dan jiwa suatu bangsa dari abad ke abad. Setiap bangsa memiliki adat

    kebiasaannya masing-masing yang membedakan bangsa tersebut dengan bangsa

    yang lainnya. Disinilah adat kebiasaan memiliki peranan sebagai identitas suatu

    bangsa.29 Salah satu bentuk hukum adat yang ada di dalam masyarakat tercermin

    di dalam kearifan lokal yang mereka miliki.

    Sebagaimana dikutip oleh Poespowardojo (1986:30), Quaritch Wales

    merumuskan kearifan lokal (local genius) sebagai, the sum of the cultural

    characteristics which the vast majority of a people have in common as a result of

    25 Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-

    Modernisme, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), hlm 282. 26 Partnership for Governanve Reform in Indonesia, Pengadilan Adat di Papua,

    (Jayapura: Kemitraan, 2005), hlm.10. 27 Di dalam teorinya yang bernama teori berslisngenleer (teori keputusan), Ter Haar

    berpendapat bahwa pembentukan hukum adat dapat terlihat dalam keputusan atau penetapan petugas hukum seperti Kepala Adat, hakim, rapat adat, perangkat desa, dan lain sebagainya yang dinyatakan di dalam atau di luar persengketaan. Soerjono Soekanto (a), Hukum Adat Indonesia, cet-6, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 75.

    28 Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, cet-16, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2003), hlm. 3

    29 Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, cet-6, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1983), hlm. 13.

  • 11

    their experiences in early life30. Artinya, kearifan lokal merupakan kecerdasan

    yang dimiliki oleh suatu masyarakat yang dihasilkan berdasarkan pengalaman

    yang dialami sendiri sehingga menjadi milik bersama. Kearifan lokal adalah suatu

    daya upaya yang dilakukan oleh penduduk asli suatu daerah dalam

    memberlakukan lingkungan hidup [sic] dan sosial sehingga memberikan manfaat

    sebesar-besarnya bagi masyarakat tersebut tanpa merusak kelestarian dan

    keseimbangan lingkungan hidup.31

    2. Kearifan Lokal dan Pelestarian Lingkungan Sebenarnya, hampir semua -kalau tidak bisa dikatakan seluruh-

    masyarakat adat memiliki kearifan lokal yang bersumber dari kebudayaan masing-

    masing. Kearifan lokal tersebut dapat berupa nilai, norma, etika, kepercayaan,

    adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus.32 Karena bentuknya yang

    bermacam-macam dan hidup dalam aneka budaya masyarakat, maka fungsi

    kearifan lokal menjadi bermacam-macam pula. Salah satu fungsi kearifan lokal

    adalah terkait dengan pelestarian lingkungan hidup.

    Kearifan lokal ini menjadi penting dipergunakan dalam mengatasi

    permasalahan lingkungan hidup karena sejatinya alam merupakan hasil konstruksi

    sosial.33 Sejarah, pengalaman, dan budaya akan membentuk cara pandang

    masyarakat terhadap alam, yang mungkin berbeda dengan pandangan para ahli.

    Masyarakat memiliki cara sendiri bagaimana beradaptasi dan mengelola sumber

    daya alam yang bisa jadi lebih efektif. Namun, seiring dengan maraknya

    globalisasi, sering kali kearifan lokal ini terkikis atau bahkan diabaikan.34

    30 F.X. Rahyono, Kearifan Lokal Dalam Kata, (Jakarta: Wedatama Widya Sastra. 2009),

    hlm.7. 31 Said Ruhpina, Menuju Demokrasi Pemerintahan. (Mataram: Universitas Mataram

    Press. 2005), hlm.x. 32 Nyoman Sirtha, Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali, http://www.balipos.co.id,

    diunduh 20 April 2011. 33 Arif Satria, Keadilan Ekologis Kompas, (23 April 2010). 34 Adrian Bedner, Pengantar: Akses terhadap Keadilan dan Penanganan Masalah

    Lingkungan, dalam Ward Berenschot, et.all (ed), Akses Terhadap Keadilan, (Jakarta: HuMa, 2011), hlm. 163-164.

  • 12

    Terkait dengan hal tersebut kiranya relevan untuk mengemukakan teori

    Flitner mengenai keadilan ekologis. Flitner mengatakan bahwa terdapat dua

    macam keadilan ekologis. Pertama, keadilan distributif yang menekankan

    pentingnya akses masyarakat pada manfaat atas pemanfaatan sumber daya.

    Kedua, keadilan pengakuan yang menekankan pada pentingnya pengakuan

    terhadap eksistensi keragaman cara masyarakat mengelola alam.35 Selanjutnya,

    Flitner mengatakan bahwa ketidakadilan ekologis terjadi karena ada monopoli

    cara pandang terhadap alam, yaitu cara pandang positivistik berbasis ilmu

    pengetahuan (sains) dianggap paling obyektif, benar dan universal, meski kadang

    kurang efektif. Ini berimplikasi pada menguatnya pendekatan teknokratik dalam

    mengelola alam. Padahal, di luar sains ada sistem pengetahuan lain di masyarakat

    yang juga akurat melihat fenomena alam, yaitu melalui apa yang disebut dengan

    kearifan lokal.

    Dalam konteks ini kita dapat melihat kearifan lokal yang ada di setiap

    masyarakat seharusnya dipergunakan sebagai ujung tombak pelestarian dan

    perawatan lingkungan hidup. Kearifan lokal telah terbukti ampuh untuk

    melestarikan dan menjaga lingkungan hidup mengingat kearifan lokal adalah

    manifestasi dari pengalaman manusia sejak lampau untuk hidup bersama dengan

    alam. Pengalaman tersebut telah membuat masyarakat adat yang ada di Indonesia

    memiliki kearifan yang luar biasa untuk hidup dari sumber daya hayati dan

    sekaligus memelihara keutuhannya.36

    D. Hak atas Lingkungan yang Bersih dan Sehat Keterkaitan yang erat antara Hak Asasi Manusia (HAM), kelestarian

    lingkungan hidup, pembangunan, dan perdamaian setidaknya sudah lebih dari tiga

    dasawarsa ini diakui oleh negara-negara di dunia.37 Pembangunan yang seutuhnya

    35 Ibid. 36 Emil Salim (a), Op.Cit. 37 Economic and Social Council, Commission on Human Rights, Sub-Commission on

    Prevention of Discriminaton and Protection of Minorities, Forty-sixth session E/CN.4/Sub.2/1994/9, 6 Juli 1994. Sejak tahun 1989, sub-komisi tersebut telah mengkaji keterkaitan antara lingkungan dengan Hak Asasi Manusia, laporan akhir kajian tersebut dirilis pada tahun 1994. Lihat juga: P. Birnie, A. Boyle, International Law and The Environment, second editon, (Oxford, 2002), hlm.259-260.

  • 13

    hanya akan tercapai dalam suasana yang damai dan dalam kondisi lingkungan

    hidup yang terjaga sehingga pada gilirannya akan menciptakan kondisi yang

    kondusif bagi penghormatan, perlindungan, penegakkan, dan pemenuhan HAM.38

    Sejarah menunjukkan, inovasi dalam sains dan teknologi lebih diarahkan

    kepada kesejahteraan manusia tanpa memperhatikan keberlanjutan lingkungan

    hidup.39 Akibatnya, terjadi kerusakan lingkungan hidup secara masif dan global,

    seperti pencemaran di darat, laut dan udara, kenaikan suhu di permukaan bumi,

    kenaikan muka air laut, dinamika laut maupun tudung es, keasaman air laut, dan

    perubahan iklim yang ekstrim. Semuanya mengakibatkan permasalahan yang

    serius karena berujung kepada penurunan jumlah sumber daya alam yang terbatas

    secara luar biasa dan mengkhawatirkan. 40

    Pengalaman tersebut menjadi pelajaran bagi komunitas internasional untuk

    mengedepankan keberlanjutan lingkungan hidup atau membangun hak asasi

    lingkungan sebagai dasar HAM. Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang

    Lingkungan dan Manusia di Stockholm pada 1972 yang mencetuskan Deklarasi

    Stockholm, merupakan pijakan awal dari kesadaran komunitas internasional akan

    pentingnya keberlanjutan lingkungan hidup sebagai bagian mendasar bagi

    pemenuhan HAM.41 Kualitas lingkungan hidup yang baik tidak bisa dijaga tanpa

    penghormatan atas HAM, dan HAM tidak bisa diperoleh tanpa lingkungan hidup

    yang baik dan aman. 42

    Draf deklarasi "Prinsip-prinsip HAM dan Lingkungan Hidup", merupakan

    instrumen internasional pertama yang secara komprehensif mengaitkan HAM dan

    38 D. Shelton, Human Rights, Environmental Rights, and The Rights to Environment, dalam Stanford Journal of International Law, 1991 1992, p. 115-116 dan 110. Lihat juga: R.S Pathak, The Human Rights System as a Conceptual Framework for Environmental Law dalam E.B. Weiss (ed), Environmnetal Change and International Law: New Challenges and Dimension, (Tokyo, 1992), hlm.205.

    39 Djoko Santoso, Hak Asasi Lingkungan sebagai Landasan Pembangunan, Koran Sindo (20 Agustus 2009).

    40 Eliza Ruozzi, The Obligation Not to Pollute: From Colloray of State Sovereignty to The Right to a Decent Environment, Indoneian Journal of International Law (Volume 8 Number 1 October 2010), hlm.79-81.

    41 Natasha Christina Davis Wilson, The Curious Case of Earths Survival v. The Worlds Development, Indoneian Journal of International Law (Volume 8 Number 2 January 2011), hlm.322.

    42 Ibid.

  • 14

    lingkungan hidup.43 Keterkaitan tersebut termanifestasikan dalam hak asasi

    lingkungan hidup untuk mewujudkan lingkungan yang lestari, sehat, dan aman

    bagi semua orang tanpa kecuali. Disebutkan juga hak-hak prosedural, yaitu hak

    untuk berpartisipasi dan hak atas pembangunan, sebagai prasyarat utama

    terpenuhinya hak asasi lingkungan hidup.44

    Hak atas lingkungan hidup menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari

    HAM karena penghormatan, perlindungan, penegakan, dan pemenuhan HAM

    sangat bergantung pada lingkungan hidup yang sehat dan layak huni.45 Dalam

    sebuah ekosistem yang rusak, tidak mungkin atau hampir mustahil menikmati

    serta memperoleh hak untuk hidup, kesehatan, keamanan, kecukupan pangan, dan

    budaya. Dalam perspektif ini, perlindungan atas lingkungan hidup harus ditinjau

    dalam kerangka pembangunan berkelanjutan46 karena terdapat hubungan yang

    erat antara lingkungan hidup dan Hak Asasi Manusia.47

    E. Lembaga-Lembaga yang Menjalankan Fungsi Pengawasan dan Penegakkan Hukum Lingkungan yang Telah Ada di Indonesia

    Berikut ini akan disampaikan mengenai beberapa lembaga yang telah

    dibentuk untuk menjalankan fungsi pengawasan dan penegakkan hukum

    lingkungan di Indonesia.

    1. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Satuan Polisi Pamong Praja, atau yang biasa disingkat Satpol PP, adalah

    perangkat Pemerintah Daerah dalam memelihara ketentraman dan ketertiban

    43 Mimin Dwi Hartono, Hak Asasi Lingkungan Hidup Koran Tempo (05 Juni 2006). 44 Hal tersebut juga tercantum di dalam salah satu butir Jakarta Declaration on MDGs in

    Asia and the Pacific: The Way Forward 2015, bahwa dimensi lingkungan hidup menjadi arus utama dalam strategi penghapusan kemiskinan.

    45 MR. Anderson, dalam Natasha Christina Davis Wilson, Loc.Cit. 46 Dalam laporan Brundtland Commission konsep pembangunan berkelanjutan

    dirumuskan sebagai, development that meets the needs of the present without compromising the ability to future generations to meet their own needs. World Commission on Environment and Development (Brundtland Commission), Our Common Future, (New York: Oxford University Press, 1987).

    47 John S. Dryzek, The Politic of The Earth: Environmental Discourses, (New York: Oxford Universitiy Press, 1997), hlm. 125.

  • 15

    umum serta menegakkan Peraturan Daerah. Organisasi dan tata kerja Satuan

    Polisi Pamong Praja ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tugas utama Satpol PP

    dalam pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 adalah menegakkan

    peraturan daerah dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman

    masyarakat serta perlindungan masyarakat.48

    Satpol PP dapat berkedudukan di Daerah Provinsi dan Daerah

    Kabupaten/Kota. Di Daerah Provinsi, Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh

    Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui

    Sekretaris Daerah. Di Daerah Kabupaten/Kota, Satuan Polisi Pamong Praja

    dipimpin oleh Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada

    Bupati/Walikota melalui Sekretaris Daerah.

    2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) adalah Pejabat Pegawai Negeri

    Sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku

    Penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana

    dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.49

    PPNS ini memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan khusus dalam hal

    tindak pidana lingkungan.50

    Perlu disampaikan disini bahwa terdapat perbedaan yang jelas antara

    PPNS ini dengan Polisi Lingkungan yang hendak Penulis bentuk. Perbedaan

    mendasarnya adalah bahwa PPNS adalah pegawai negeri tertentu yang diberikan

    kewenangan untuk menyidik, bukan polisi sedangkan Polisi Lingkungan adalah

    polisi yang bertugas khusus untuk mengawasi permasalahan lingkungan.

    Perbedaan selanjutnya juga terletak di dalam ruang lingkup kerja PPNS dan Polisi

    Lingkungan. PPNS memiliki wewenang untuk menangani permasalahan tindak

    48 Indonesia (a), Peraturan Pemerintah tentang Satuan Polisi Pamong Praja, PP Nomor 6

    Tahun 2010, LN No. 9 Tahun 2010, TLN No. 5094, pasal 4. 49 Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Negara

    Republik Indonesia tentang Koordinasi, Pengawasan, dan Pembinaan Penyidikan Bagi Pegawai Negeri Sipil, Perkap. No. 20 Tahun 2010, pasal 1 ayat (3).

    50 Wewenang penyidikan oleh Pegawai Negeri Sipil ini juga diatur di dalam pasal 6 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia.

  • 16

    pidana lingkungan yang sifatnya berat seperti illegal loging, pencemaran limbah,

    dan kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan baik oleh perorangan maupun

    koorporasi. Adapun Polisi Lingkungan memiliki fungsi khusus untuk menjaga dan

    melestarikan lingkungan dalam hal sampah dan tindak pidana lingkungan hidup

    ringan lainnya yang terkait dengan Kebersihan, Keindahan, dan Kenyamanan.

    3. Kepolisian Khusus Kepolisian khusus ialah instansi dan/atau badan Pemerintah yang oleh atau

    atas kuasa undang-undang (peraturan perundang-undangan) diberi wewenang

    untuk melaksanakan fungsi kepolisian di bidang teknisnya masing-masing.

    Kepolisian ini membantu mengemban fungsi Kepolisiaan Republik Indonesia.

    Adapun maksud dari kata membantu disini adalah bantuan yang bersifat

    fungsional, bukan bantuan yang bersifat struktural hierarkis.51 Wewenang bersifat

    khusus dan terbatas dalam "lingkungan kuasa soal-soal" (zaken gebied) yang

    ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya.

    Saat ini kepolisian khusus yang telah ada yaitu Balai Pengawasan Obat dan

    Makanan (Ditjen POM Depkes), Polisi Khusus Kehutanan, Polisi Khusus di

    Imigrasi dan lain-lain.52 Patut disayangkan bahwa sampai saat ini belum ada polisi

    khusus mengenai lingkungan.

    4. Polisi kebersihan di Kota Bekasi Dinas Kebersihan Kota Bekasi merencanakan membentuk polisi khusus

    yang bertugas melakukan pengawasan kepada warga yang membandel membakar

    dan membuang sampah sembarangan serta melanggar Keindahan, Kebersihan dan

    Kenyamanan (K3). Polisi khusus tersebut terdiri dari dua tim yang masing-masing

    beranggotakan 7 orang. Kedua tim tersebut akan disebar secara acak memantau

    kebersihan di 12 kecamatan di wilayah Kota Bekasi. Jika ditemukan pelanggaran,

    maka polisi khusus ini melaporkannya ke Dinas Kebersihan guna diambil

    tindakan. Polisi khusus juga memiliki tanggung jawab untuk menyosialisasikan

    51 Indonesia (b), Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU

    No. 2 Tahun 2002, LN. No. 2 Tahun 2002, TLN No. 4168, pasal 3. 52 Ibid., penjelasan pasal 3 (ayat 1) huruf a.

  • 17

    pentingnya menjaga K3 bagi seluruh warga, misalnya, memberikan imbauan

    kepada pedagang kaki lima untuk menyediakan bak sampah dan sebagainya.53

    Warga yang tertangkap tangan melanggar ketentuan mengenai sampah

    diancam dengan sanksi berupa denda sebesar Rp. 50 juta sesuai Peraturan Daerah

    Nomor 7 tahun 2005 tentang pengelolaan sampah. Namun, biasanya bila sudah

    masuk peradilan, kategori pelanggarannya berubah menjadi tindak pidana ringan

    dengan denda Rp. 50.000 atau kurungan selama tiga bulan. Sanksi tersebut

    bertujuan untuk memberikan efek jera bagi warga agar tidak membuang sampah

    sembarangan.54

    5. Polisi Kebersihan di Parepare Saat ini Pemerintah Daerah Kota Parepare sedang dalam proses untuk

    membentuk polisi khusus untuk menangani persoalan kebersihan. Keberadaan

    polisi khusus kebersihan tersebut sangat diperlukan mengingat banyak ditemukan

    fakta di lapangan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat terkait

    masalah kebersihan dan penghijauan. Misalnya, adanya kebiasaan warga yang

    membuang atau menumpuk sampahnya sembarangan dan memangkas pohon

    penghijauan yang telah ditanam oleh pemerintah.55

    F. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan

    hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau akan diteliti.56 Di dalam

    penelitian ini, dirumuskan serangkaian definisi operasional sebagai berikut.

    53 Wartakota, Bekasi punya Polisi Sampah,

    http://www.indonesiaindonesia.com/f/82919-bekasi-punya-polisi-sampah/, diunduh 22 April 2011. 54 Bataviase, Kota Bekasi Bentuk Polisi Khusus Sampah,

    http://bataviase.co.id/node/251232, diunduh 22 April 2011. 55 Ibrahim Halim, Parepare Wacanakan Bentuk Polisi Kebersihan,

    http://www.pareparekota.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=895:parepare-wacanakan-bentuk-polisi-kebersihan&catid=108:clean-and-green-city&Itemid=299, diunduh 22 April 2011.

    56 Soerjono Soekanto (b), Pengantar Penelitian Hukum, cet.3, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986), hlm.132.

  • 18

    1. Kepolisian Khusus adalah instansi dan/atau badan Pemerintah yang oleh atau

    atas kuasa undang-undang (peraturan perundang-undangan) diberi wewenang

    untuk melaksanakan fungsi kepolisian di bidang teknisnya masing-masing.57

    2. Satuan Polisi Pamong Praja adalah perangkat Pemerintah Daerah yang

    memiliki tugas menegakkan peraturan daerah, menyelenggarakan ketertiban

    umum dan ketentraman masyarakat serta perlindungan masyarakat.58

    3. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu

    yang berdasarkan peraturan perundang undangan ditunjuk selaku Penyidik dan

    mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam

    lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. 59

    4. Daerah Non Permukiman Kota

    Daerah non permukiman kota adalah ruang publik yang ada di daerah

    perkotaan di luar permukiman penduduk seperti jalan raya, area perkantoran,

    dan fasilitas umum.60

    5. Daerah Permukiman Kota adalah ruang publik yang ada di daerah perkotaan,

    tempat dimana penduduk bermukim.61

    6. Daerah Desa Adat, yaitu desa yang terdiri atas masyarakat adat dan tunduk

    kepada hukum adat.

    7. Daerah Desa Non Adat, adalah desa yang tidak tunduk kepada hukum adat.

    8. Polisi Lingkungan

    Polisi Lingkungan merupakan satuan unit kepolisian yang berada di langsung

    di bawah Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang khusus bertugas untuk

    mengawasi lingkungan, dalam hal ini sampah dan tindak pidana ringan

    lingkungan lainnya yang ada di masyarakat.

    57 Indonesia (b), Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal

    3. 58 Indonesia (a), Peraturan Pemerintah tentang Satuan Polisi Pamong Praja, Pasal 4. 59 Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Negara

    Republik Indonesia tentang Koordinasi, Pengawasan, dan Pembinaan Penyidikan Bagi Pegawai Negeri Sipil, Perkap. No. 20 Tahun 2010, Pasal 1 ayat (3).

    60 Rumusan tersebut Penulis berikan untuk menjadi acuan definisional terkait dengan pembagian wilayah kerja Polisi Lingkungan yang akan dibahas di dalam makalah ini.

    61 Kamus Besar Bahasa Indonesia, jilid 2. (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hlm. 2140.

  • 19

    BAB III

    METODE PENELITIAN

    Metode penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah

    penelitian yuridis normatif yang bertumpu kepada studi kepustakaan. Tipe

    penelitian yang digunakan menurut sifatnya adalah penelitian deskriptif karena

    memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-

    gejala lainnya dengan maksud terutama untuk mempertegas hipotesa, memperkuat

    teori lama, atau untuk menyusun teori baru.62 Menurut bentuknya, penelitian ini

    adalah penelitian prespkriptif sedangkan menurut tujuannya adalah penelitian

    untuk menemukan solusi atas permasalahan.

    Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan

    hukum primer, sekunder, dan tersier.63 Bahan hukum primer yang Penulis

    pergunakan adalah berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan

    permasalahan yang tengah dibahas. Adapun bahan hukum sekunder yang

    dipergunakan adalah berbagai literatur seperti buku, artikel, media massa,

    makalah serta jurnal ilmiah yang terkait dengan masalah yang tengah dibahas.

    Bahan hukum tersier yaitu bahan yang Penulis peroleh dari ensiklopedia, kamus,

    dan berbagai bahan yang dapat memberikan petunjuk dan penjelasan mengenai

    bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

    Metode analisis data yang dipergunakan di dalam penelitian ini adalah

    dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan

    karena penelitian ini mencoba untuk membangun atau menghasilkan sebuah teori

    dari bawah (induktif). Peneliti mengumpulkan data/informasi, kemudian

    mengklasifikasi data berdasarkan kategori-kategori dalam upaya menemukan pola

    atas realitas/gejala yang terjadi.64 Selanjutnya, penelitian yang dihasilkan di dalam

    penelitian ini berbentuk deskriptif analisis.

    62 Soerjono Soekanto (b), Op.Cit., hlm. 10. 63 Ibid., hlm. 32. 64 John W. Creswell, Research Design: Qualitative and Quantitative Approach, (Sage

    Publication. Inc.: 1994), hlm. 5.

  • 20

    BAB IV

    ANALISIS SINTESIS

    A. Polisi Lingkungan Dalam Masyarakat Hukum Adat Sejatinya, banyak kearifan lingkungan yang dapat kita pelajari dari

    masyarakat adat yang ada di Indonesia, terutama terkait dengan pengembangan

    upaya pengelolaan lingkungan hidup secara berkelanjutan. Kita dapat menemukan

    bahwa sebetulnya masyarakat-masyarakat adat yang ada di Indonesia memiliki

    berbagai instrumen dan kearifan lokal untuk melestarikan lingkungannya.

    Lingkungan menjadi penting bagi masyarakat hukum adat karena mereka

    memandang bahwa keberlanjutan lingkungan akan sangat mempengaruhi

    keberlanjutan kehidupan mereka. Masyarakat adat memandang bahwa alam

    merupakan bagian dari diri mereka yang terkait langsung dengan Maha Pencipta.

    Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari karakteristik masyarakat hukum adat yang

    bersifat konkrit, magis, religious, dan komunalistik.65

    Tulisan ini akan berfokus kepada dua hal. Pertama, mengenai bagaimana

    masyarakat adat memelihara dan menjaga lingkungan melalui serangkaian hukum

    adat mereka. Kedua, mekanisme penegakkan dan pengawasan hukum adat

    tersebut, terutama yang berkaitan dengan pelestarian dan pemeliharaan

    lingkungan. Sebagai gambaran, berikut akan dipaparkan beberapa lembaga

    pengawas dalam hukum adat yang salah satu kewenangannya adalah menjalankan

    fungsi pelestarian dan pemeliharaan lingkungan, yang dapat dijadikan model bagi

    pembentukan Polisi Lingkungan.

    1. Kewang di Maluku Sejak masa lampau, masyarakat adat Maluku telah memiliki kesadaran dan

    kearifan untuk menjaga lingkungan, yaitu melalui lembaga yang dinamakan

    kewang. Kewang merupakan lembaga adat yang bertugas untuk menjaga dan

    memelihara perbatasan negeri, hutan-hutan dan kebun-kebun dan sumber daya

    alam lainnya agar sumber daya alam tersebut dapat terawat dan memberikan hasil

    65 Surojo Wignjodipuro, Op.Cit, hlm.51.

  • 21

    maksimal yang dapat dinikmati oleh masyarakat.66 Kewang dipilih dari masing-

    masing soa (sejenis klan dalam masyarakat adat Maluku) yang di dalam negeri.

    Salah satu tugas kewang adalah memastikan bahwa sasi ini dipatuhi oleh

    seluruh masyarakat dan mengadili para pelaku yang melanggar sasi. Adapun yang

    dimaksud dengan sasi adalah suatu lembaga adat berupa larangan untuk

    mengambil atau merusak sumber daya alam tertentu dalam jangka waktu tertentu

    pula demi menjaga kelestarian dan keberlangsungan siklus hidup sumber daya

    alam tersebut. Jangka waktu larangan tersebut disebut masa tutup sasi. Sasi ini

    diberlakukan bagi semua warga negeri (sebutan desa pada masyarakat adat

    Maluku), termasuk berlaku bagi sumber daya alam milik pribadi.67

    Selain untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup, pemberlakuan sasi

    juga didasarkan pada motif ekonomi, misalnya, sasi daun atap sagu. Begitu

    pentingnya tanaman sagu bagi perekonomian keluarga, maka daunnya harus

    dilindungi dengan sasi karena mengambil daun sagu sembarangan berarti merusak

    pohon sagu. Demikian juga dengan sasi ikan, dengan tidak mengambil ikan dalam

    jangka waktu tertentu, diharapkan siklus ikan menjadi terpelihara karena ada jeda

    waktu yang memungkinkan ikan dapat tumbuh dan berkembang biak sehingga

    ketika sasi dibuka (larangan dihentikan) hasilnya menjadi lebih banyak.

    Kewang dan sasi merupakan dua lembaga adat yang tidak dapat

    dipisahkan satu dengan lainnya. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa selama

    masa tutup sasi, semua sumber daya alam yang dikenai sasi tidak boleh diambil.

    Apabila ada yang tertangkap tangan mengambil apa-apa yang disasi, maka

    kewang akan menangkap pelaku dan menghukumnya. Hukuman yang dijatuhkan

    kepada pelaku adalah denda sejumlah uang tertentu dan diarak keliling negeri.

    Apabila tidak mampu membayar denda, maka pelaku dapat juga dijatuhi hukuman

    lain misalnya, melakukan pekerjaan yang sifatnya sosial di tempat umum,

    membersihkan tempat ibadah, balai desa atau dihukum cambuk dengan rotan.68

    66 Ziwar Effendi, Hukum Adat Ambon Lease, cet.1. (Jakarta: PT. Pradnya Paramita,

    1987) hlm.43. 67 Doms. C. Uneputty, Hukum Adat Negeri Oma dan Perkembangannya, (Maluku: tanpa

    penerbit, tanpa tahun), hlm.112-114. 68 Ibid.

  • 22

    Di dalam praktiknya, lembaga Sasi dan Kewang memiliki peranan yang

    penting dalam memelihara kelestarian lingkungan pada masyarakat adat Maluku.

    Bagi masyarakat adat Maluku, sumber daya alam baik yang ada di darat maupun

    di laut merupakan sumber kehidupan utama mereka sehingga mereka mempunyai

    kewajiban untuk memelihara dan menjaga sumberdaya alam tersebut. Pada

    negeri-negeri tertentu seperti negeri-negeri di Pulau Haruku, Sasi ini masih

    diberlakukan secara ketat dengan sanksi yang ketat pula. 69

    2. Jogo Boyo di Jawa Jogoboyo adalah salah satu lembaga pengawas di dalam masyarakat adat

    Jawa. Kata jogoboyo itu sendiri berasal dari bahasa Jawa, yaitu kata jogo dan

    boyo. Jogo artinya menjaga dan boyo adalah bahaya, jadi jogoboyo adalah

    menjaga dari berbagai macam marabahaya. Pada awalnya, jabatan ini mempunyai

    beberapa fungsi. Pertama, sebagai penjaga bahaya seperti; bahaya santet, bahaya

    pelet, bahaya daerah, maupun bahaya resmi negara. Kedua, sebagai penjaga buaya

    (crocodillus). Fungsi jogoboyo hampir mirip dengan kewang yang ada di Maluku,

    yaitu sebagai lembaga pengawas dan penegak hukum adat. Namun jogoboyo

    memiliki fungsi yang lebih luas karena tidak sebatas hanya pengawas dalam hal

    lingkungan, tetapi juga terkait dengan masalah penegakkan hukum adat dan

    keamanan.70

    3. Pecalang di Bali Kearifan lokal masyarakat adat di Bali memiliki beberapa fungsi dan

    makna, diantaranya berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam,

    yang diawasi oleh lembaga adat bernama pecalang.71 Pecalang adalah satuan

    petugas keamanan tradisional di Bali yang bertugas untuk membantu dan

    mengamankan berbagai acara ritual umat Hindhu di Bali. Secara bahasa pecalang

    berasal dari kata celang atau waspada. Dengan demikian, mereka yang

    69 Hal tersebut terungkap berdasarkan penelitian lapangan berjudul Peran Hukum Adat

    dalam Penyelesaian Sengketa pada Masyarakat Adat Maluku yang telah Penulis dan tim lakukan di daerah Maluku tengah selama bulan Februari 2011.

    70 Ziwar Effendi, Op.Cit.,hlm.14-15. 71 Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2 113.

  • 23

    kemudian menyandang atau didaulat sebagai pecalang diharapkan mampu

    bersikap waspada terhadap segala tantangan baik itu yang datang dari masyarakat

    dan lingkungannya maupun dari diri sendiri. Pecalang adalah perangkat

    keamanan yang hadir dalam tiap banjar. Kedudukan sebagai pecalang diwarisi

    turun temurun dalam suatu keluarga dalam budaya Bali.

    Hampir setiap banjar (desa) di Bali pasti mempunyai minimal 30

    pecalang. Fungsinya pertama, untuk membantu jalanya upacara dan ritual Hindhu

    yang diselenggarakan di banjar. Kedua, untuk membantu menegakkan aturan-

    aturan yang dibuat atau disepakati warga dalam awig-awig banjar, termasuk juga

    swing-awig atau aturan terkait dengan pemeliharaan lingkungan hidup. Bahkan

    kini ada yang namanya pecalang laut, para pecalang yang khusus bertugas untuk

    mengamankan daerah pantai di Bali. Dengan kata lain, tugas pecalang adalah

    mengamankan dan menertibkan desa adat baik dalam keseharian maupun dalam

    hubungannya dengan penyelenggaraan upacara adat atau keagamaan.72

    B. Kemungkinan Penerapan Model Polisi Lingkungan di Indonesia 1. Mengapa Harus Polisi Lingkungan?

    a. Polisi Lingkungan Sebagai Cermin Nilai yang Telah Ada di Dalam Masyarakat Adat

    Sebagaimana telah dijelaskan di muka, telah kita ketahui bahwa

    masyarakat adat memiliki lembaga adat yang berfungsi untuk mengawasi

    lingkungan. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsep Polisi Lingkungan ini telah

    dikenal dan menjadi nilai dalam masyarakat adat di Indonesia setidak-tidaknya

    masyarakat adat Maluku, Jawa, dan Bali. Jika dibenturkan dengan pendapat Fred

    W. Riggs, lembaga-lembaga yang ada di dalam masyarakat hukum adat berikut

    dengan nilai-nilai yang ada di dalamnya dapat dijadikan sebagai landasan untuk

    membangun hukum yang penjabarannya dapat disesuaikan dengan tahap-tahap

    72 Pandebaik, Pecalang Perangkat Keamanan Panutan Desa Adat Bali,

    http://www.pandebaik.com/2011/03/02/pecalang-perangkat-keamanan-panutan-desa-adat-bali/, diunduh 22 April 2011.

  • 24

    perkembangan sosial ekonomi masyarakat yang bersangkutan.73 Hal tersebut

    senada dengan pendapat Soerjono Soekanto bahwa hukum adat merupakan unsur

    yang esensial dalam pembangunan hukum nasional.74

    Oleh karena itu, model yang ada di dalam masyarakat adat tersebut dapat

    menjadi sumber bagi pembentukan lembaga serupa dalam skala nasional. Hal

    tersebut diperkuat dengan sebuah logika sederhana bahwa masyarakat hukum adat

    sebagai kesatuan masyarakat hukum terkecil saja mempunyai lembaga adat yang

    menjalankan fungsi sebagai Polisi Lingkungan, maka seharusnya negara sebagai

    entitas tertinggi dalam suatu wilayah dengan persoalan lingkungan yang kompleks

    juga memiliki lembaga tersebut.

    Dalam konteks nasional, fungsi pemeliharaan keamanan dalam negeri

    berada di tangan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Jika dilihat dari segi

    institusi Kepolisiannya sendiri, sejatinya, Undang-Undang No. 2 Tahun 2002

    tentang Kepolisian telah menggariskan salah satu tugas polisi untuk melindungi

    lingkungan hidup. Hal tersebut tercermin di dalam rumusan pasal 14 ayat (1) butir

    i, yang berbunyi sebagai berikut:75

    Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas: i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan

    lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

    Namun di dalam tataran implementasinya, fungsi tersebut belum

    dijalankan oleh Kepolisian RI. Oleh karena itu, Polisi Lingkungan dapat diterima

    sebagai sebuah institusi penegak hukum yang bertugas khusus untuk mengawasi

    dan menegakkan permasalahan lingkungan hidup terutama masalah sampah

    sampah dan tindak pidana lingkungan hidup ringan lainnya.

    73 Penulis menyimpulkan hal tersebut dari teori Pristmatik yang dikemukakan oleh Fred.

    W. Riggs. Fred. W. Riggs, Administration in Developing Countries, The Teory of Prismatic Society, (Boston: Houghton Miffin, 1964), hlm. 176.

    74 Surojo Wignjodipuro, Op.Cit., hlm. 66. 75 Indonesia (b), Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU

    No. 2 Tahun 2002, LN. No. 2 Tahun 2002, TLN No. 4168.

  • 25

    b. Polisi Lingkungan sebagai Alat Perubahan Sosial Menurut Roscoe Pound, di dalam masyarakat yang sedang membangun,

    selain sebagai sistem pengendalian sosial, hukum juga berfungsi sebagai alat

    rekayasa perubahan sosial atau as a tool of social engineering, yaitu sebagai

    sarana yang ditujukan untuk mengubah perilaku warga-warga masyarakat sesuai

    dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.76 Di Indonesia, fungsi

    hukum dalam pembangunan adalah sebagai sarana pembaharuan pola pikir

    masyarakat dan sarana untuk mengkondisikan terjadinya perubahan perilaku

    warga masyarakat ke tujuan yang dikehendaki sesuai rumusan tujuan

    pembangunan.77

    Campur tangan negara dalam melakukan pengawasan dan penindakan

    terhadap pencemaran lingkungan hidup merupakan sebuah konsekuensi logis dari

    semakin luasnya peranan negara dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya

    masyarakat. Hal tersebut menurut Soerjono Soekanto, merupakan salah satu

    karakter Negara kesejahteraan.78 Hal tersebut sesuai dengan fungsi Neara modern

    yang dirumuskan oleh W. Friedmann yaitu, as a protector, as disposes of social

    services, as industrial manager, as economic controller, and as arbitrator.79

    Dalam konteks Indonesia sebagai negara berkembang yang tengah

    mengalami transisi demokrasi,80 kesadaran hukum masyarakat terhadap

    lingkungan hidup masih rendah. Hal tersebut terbukti dengan masih maraknya

    perilaku membuang sampah sembarangan dan pencemaran lingkungan hidup

    lainnya yang dilakukan oleh masyarakat. Oleh karena itu, untuk melakukan

    perubahan sosial, dalam hal ini perilaku masyarakat terhadap lingkungan hidup

    76 Roscoe Pound, New Path of the Law, (Nebraska: The University of Nebraska Press, 1950), hlm. 47.

    77 Mochtar Kusumaatmadja, Hubungan antara Hukum dan Masyarakat. Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pelaksanaan Pembaharuan Hukum, (Jakarta: BPHN dan LIPI, 1976), hlm. 9.

    78 Soerjono Soekanto (c), Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangkan Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 1974), hlm.54-55.

    79 W. Friedmann, Law in Changing Society, (London: Stevens & Sons, 1959), hlm. 495. 80 Berdasarkan pembagian Samuel P. Huntington mengenai periode demokratitasi suatu

    negara, Indonesia termasuk ke dalam negara yang masih berada dalam masa transisi demokrasi. Samuel P. Huntington, The Third Wave of Democratization in The Late Tweentieth Century, (Norman: University of Oklahoma Press, 1991), hlm. 58.

  • 26

    tentunya diperlukan sebuah rencana yang terarah dan proses yang panjang. Di

    dalam sebuah proses yang panjang tersebut tentu saja ada langkah awal yang

    harus diambil. Pelembagaan Polisi Lingkungan dalam hal ini menjadi sebuah

    mekanisme dan batu loncatan untuk membentuk kepatuhan dan kesadaran

    masyarakat yang lebih tinggi terhadap lingkungan hidup.

    c. Polisi Lingkungan sebagai Instrumen yang Efektif untuk Menciptakan Kepatuhan Masyarakat

    Robert Bierstedt mengatakan bahwa salah satu dasar kepatuhan seseorang

    terhadap hukum adalah kebiasaan (habitual).81 Seseorang mematuhi kaidah-

    kaidah yang berlaku karena sejak kecil mengalami proses sosialisasi sehingga

    kepatuhan akan kaidah tersebut telah menjadi sebuah kebiasaan. Memang pada

    mulanya adalah sukar untuk mematuhi kaidah-kaidah tadi yang seolah-olah

    mengekang kebebasan. Akan tetapi, apabila kaidah-kaidah tersebut setiap hari

    ditemui, maka lama-lama kelamaan hal tersebut akan menjadi sebuah kebiasaan,

    terutama ketika manusia sudah memulai mengulangi perbuatan-perbuatannya

    dalam bentuk dan cara yang sama.82

    Jika teori tersebut diterapkan ke dalam konteks permasalahan yang tengah

    dibahas, Polisi Lingkungan merupakan instrumen pemaksa sekaligus sarana

    implementasi rekayasa sosial83 dalam membentuk kebiasaan masyarakat dalam

    menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Polisi Lingkungan sebagai

    implementasi rekayasa sosial yang terkait dengan lingkungan hidup. Perlu dicatat

    bahwa terdapat bermacam-macam tingkat kepatuhan manusia terhadap suatu

    kaidah. Dalam satu masyarakat yang masih memiliki kebudayaan dan struktur

    sosial yang sederhana saja, dapat dijumpai orang-orang yang tidak mematuhi

    81 Menurut Robert Bierstedt terdapat 4 macam hal yang menjadi dasar kepatuhan

    seseorang terhadap suatu kaidah, yaitu: (1) Indoctrination, (2) Habituation, (3) Utility, dan (4) Group Indentification. Robert Bierstedt, The Social Order, (Tokyo: McGraw Hill Kogakusha, Ltd. 1970), hlm. 227.

    82 Goffman menyebut proses tersebut sebagai institusionalisasi, yaitu proses pelembagaan dimana manusia hidup menuntut konformitas dari para anggotanya untuk mematuhi aturan-aturan perilaku yang dibutuhkan bagi efisiensi organisasi. Erving Goffman et all, The Goffman Reader, (Oxford: Blackwell, 1997), hlm. 265.

    83 Andi Widjajanto, Transnasionalisasi Masyarakat Sipil, cet.1, (Depok: FISIP UI Press), hlm.198.

  • 27

    kaidah-kaidah. Apalagi pada masyarakat kompleks yang memiliki bermacam-

    macam kaidah.84 Disinilah hukum bekerja untuk membentuk kepatuhan awal

    masyarakat terhadap suatu kaidah melalui sanksi yang tegas dan terukur. Polisi

    Lingkungan berfungsi untuk memastikan hukum tersebut berjalan di tengah-

    tengah masyarakat.

    Kepatuhan masyarakat dapat dibentuk melalui paksaan dari kelompok

    orang yang memang memiliki wewenang untuk berbuat demikian. Hal tersebut

    bertolak pada asumsi bahwa penguasa memiliki monopoli terhadap sarana-sarana

    paksaan secara fisik, sebagai dasar bagi tujuan hukum untuk mencapai

    ketertiban.85 Polisi dalam hal ini merupakan alat negara yang memiliki peran dan

    legitimasi secara hukum sebagai kekuatan pemaksa dan penegak suatu kaidah

    hukum.

    2. Urgensi Pembentukan Polisi Lingkungan Permasalahan lingkungan di Indonesia telah sampai pada tahap yang

    mengkhawatirkan sehingga diperlukan sebuah solusi jitu untuk mengatasi

    permasalahan tersebut. Penulis menyadari bahwa usaha ini tentu saja tidak dapat

    berdiri sendiri karena untuk menyelamatkan dan melestarikan dibutuhkan sebuah

    usaha yang masif dan menyeluruh dari berbagai sektor kehidupan baik dalam

    skala nasional maupun internasional.86 Dari sekian lembaga yang telah dibentuk untuk melakukan pengawasan

    dan penegakkan hukum lingkungan, terdapat beberapa kekurangan mendasar yang

    membuat penegakkan hukum lingkungan, terutama masalah sampah menjadi

    kurang efektif. Hal tersebut membuat keberadaan Polisi Lingkungan yang

    berfokus kepada masalah sampah dan tindak pidana lingkungan hidup yang ringan

    menjadi sangat dibutuhkan.

    84 Pip Jones, Op.Cit., hlm. 24-26. 85 Teori yang demikian dikemukakan oleh Max Weber, yaitu melalui apa yang dinamakan

    dengan teori paksaan (dwangtheorie). Soerjono Soekanto (b), Op.Cit, hlm. 330. 86 Dalam skala internasional tentunya usaha pelestrarian lingkungan hidup tidak dapat

    dilepaskan dari berbagai usaha diplomatik negara-negara di dunia melalui berbagai konferensi dan instrument hukum lingkungan hidup internasional untuk membentuk suatu sistem dan rezim hukum yang memastikan komitmen dan usaha negara-negara di dunia untuk melestarikan lingkungan hidup. Sumber: Emil Salim (b),Merawat Bumi dengan Diplomasi, Jurnal Diplomasi (Volume 1 No. 3 Desember Tahun 2009), hlm.3-7.

  • 28

    Ada tiga kelemahan mendasar yang dapat Penulis kemukakan, yaitu

    sebagai berikut. Pertama, telah ada lembaga PPNS yang berfungsi untuk

    menindak para pelaku tindak pidana lingkungan hidup yang bersifat berat seperti

    illegal logging, pencemaran lingkungan hidup melalui pembuangan limbah tanpa

    upaya daur ulang oleh pihak industri, dan lain sebagainya. Namun belum ada

    lembaga yang tugasnya fokus pada upaya penegakkan dan pengawasan

    masyarakat terkait dengan masalah pengolahan dan pembuangan sampah dan

    penanganan tindak pidana terkait dengan perusakan lingkungan hidup dalam

    ruang lingkup yang ringan. Padahal, sebagaimana telah dikemukakan bahwa

    masalah sampah telah menjadi masalah yang sangat pelik karena penanganannya

    tidak dapat diselesaikan terkait dengan produksi sampah dan pengolahan sampah

    saja. Permasalahan sampah menyangkut masalah yang lebih jauh dan luas, tentang

    proses perubahan perspektif dan perilaku masyarakat terhadap lingkungan hidup

    yang bertujuan untuk mencegah masyarakat membuang sampah sembarangan.

    Kedua, kalaupun ada beberapa daerah yang sudah selangkah lebih maju

    yaitu sudah memiliki perangkat daerah yang bertugas untuk mengawasi

    permasalahan sampah dan K3 (kebersihan, keindahan, dan kenyaman), seperti

    Kota Bekasi dan Parepare, hal tersebut murni karena insiatif daerah tersebut.

    Secara nasional, belum ada satu lembaga yang khusus menangani permasalahan

    tersebut. Padahal permasalahan lingkungan hidup, terutama sampah tidak dapat

    diatasi dengan pendekatan yang parsial. Harus ada sebuah usaha yang masif dan

    sistematis yang digalakkan secara nasional untuk menangani permasalahan

    tersebut.

    Ketiga, tidak adanya keterpaduan antara hukum dan nilai yang telah ada

    dalam masyarakat sehingga menyebabkan pengawasan dan penegakkan hukum

    lingkungan menjadi tidak effektif. Padahal di dalam pembangunan hukum harus

    ada perpaduan antara hukum dan masyarakat, yaitu hukum sebagai alat perubahan

    masyarakat dan hukum sebagai cermin keadaan masyarakat.87 Hal tersebut sejalan

    87 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional

    (Jakarta: Lembaga Pembinaan Hukum dan Kriminologi, 1976), hlm.12.

  • 29

    dengan pemikiran hukum progresif bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan

    manusia untuk hukum.88

    Ketiga kelemahan mendasar itulah yang menyebabkan terdapat urgensi

    yang nyata untuk membentuk sebuah instrumen yang berlaku secara nasional

    yang berfungsi untuk mengawasi permasalahan Kebersihan, Keindahan, dan

    Kenyamanan Lingkungan di Indonesia. Instrumen tersebut dapat diwujudkan

    melalui Polisi Lingkungan. Adapun terkait perbedaan dengan antara Polisi

    Lingkungan dengan lembaga-lembaga yang telah ada, tabel berikut ini akan

    menggambarkan perbedaan tersebut secara lebih jelas. Tabel 1

    Perbandingan Polisi Lingkungan dengan Satpol PP, PPNS, Polisi Khusus, dan Petugas Kebersihan

    Perbedaan Polisi Lingkungan Satpol PP PPNS Polisi Khusus Petugas Kebersihan Kedudukan Terintegrasi dalam

    lembaga kepolisian, berada di bawah Kepala Kepolisian RI

    Berada di bawah Pemerintah Daerah dengan koordinasi di bawah Kementerian Dalam Negeri

    Berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup

    Berada di bawah Kementerian Teknis yang terkait

    Berada di bawah Pemerintah Daerah

    Fungsi Mengawasi permasalahan K3 (kebersihan, keindahan, dan kenyamanan) terutama masalah sampah dan tindak pidana lingkungan hidup yang ringan

    Menegakkan Peraturan Daerah, menjaga keamanan dan ketertiban

    Melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan berat, seperti illegal logging, pencemaran limbah, dll.

    Tergantung unit yang dibentuk, seperti: polisi khusus kehutanan, polisi khusus Balai Pengawas Obat dan Makanan, Polisi khusus di Imigrasi, dll

    Membersihkan lingkungan daerah

    Lingkup Kerja

    Nasional Daerah provinsi/kabupaten

    Nasional Nasional Daerah provinsi/kabupaten

    C. Strategi Penerapan Model Polisi Lingkungan 1. Model Polisi Lingkungan yang Ideal

    Penulis berusaha menggabungkan konsep kearifan lingkungan yang ada di

    dalam masyarakat adat ke dalam konteks nasional dengan cara memadukan unsur-

    unsur yang ada di dalam masyarakat adat tersebut dan meletakkannya dalam

    88 Satjipto Rahardjo (b), Op.Cit.

  • 30

    hubungan yang seimbang.89 Konstruksinya dibangun atas dasar pemikiran bahwa

    mengingat kondisi di Indonesia yang berbeda-beda, maka dibutuhkan penanganan

    yang berbeda-beda pula.

    Oleh karena itu, Penulis membagi penerapan Polisi Lingkungan menjadi

    dua, yaitu untuk daerah kota dan untuk daerah desa. Untuk daerah kota, penerapan

    Polisi Lingkungan ini juga dibagi lagi menjadi daerah permukiman dan daerah

    non permukiman. Demikian pula dengan daerah desa, Penulis membagi lagi ke

    dalam daerah desa adat dan desa non adat. Di masing-masing daerah kerja

    tersebut, Polisi Lingkungan yang dibentuk akan berbeda-beda, dimulai dari norma

    hukum yang ditegakkan sampai dengan jenis sanksi yang akan diberikan bagi

    pelanggarnya. Adapun dasar pembagian daerah-daerah tersebut didasarkan kepada

    pembagian yang ada di masing-masing daerah.

    1) Daerah Permukiman Kota

    Untuk daerah permukiman kota, mekanisme pengawasan dan penegakkan

    hukum lingkungan akan dilakukan oleh Polisi Lingkungan dengan melibatkan

    masyarakat yang ada di daerah tersebut.90 Untuk itu, akan dibentuk pengamanan

    lingkungan secara swakarsa di setiap kelurahan yang di daerah permukiman

    tersebut. Pengamanan lingkungan swakarsa yang dimaksud disini adalah suatu

    bentuk pengamanan yang diadakan atas kemauan, kesadaran, dan kepentingan

    masyarakat sendiri yang kemudian memperoleh pengukuhan dari Kepolisian

    Negara Republik Indonesia. Bentuk-bentuk pengamanan swakarsa memiliki

    kewenangan kepolisian terbatas dalam "lingkungan kuasa tempat" (teritoir

    gebied/ruimte gebied) meliputi lingkungan permukiman tersebut. Jadi

    89 Keseimbangan tersebut terletak pada tiga hal, yaitu: 1. Keseimbangan antara konsep

    individualism dan kolektivisme, 2. Keseimbangan antara Rechtstaat dan Rule of Law, dan 3. Keseimbangan antara hukum sebagai alat untuk memajukan hukum dan hukum sebagai cermin nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat adat. Lihat: Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional, Majalah Hukum Nasional (No. 2 Tahun 2007), hlm. 62.

    90 Pelibatan masyarakat ini tidak dapat dilepaskan dari sebuah konsepsi bahwa masyarakat sipil memiliki peran yang strategis dalam suatu arena dan sistem interaksi di antara berbagai institusi negara, salah satunya adalah yang terkait dengan permasalahan lingkungan hidup. Riza Primahendra, Pemberdayaan Masyarakat Sipil: Sebuah Pengantar, CIVIC (vol. 1 No. 1, April 2003), hlm. 7

  • 31

    kewenangan Polisi Lingkungan untuk mengawasi dan menjaga kebersihan,

    keindahan, dan kenyamanan lingkungan diserahkan kepada masyarakat di daerah

    tersebut melalui lembaga pengamanan swakarsa.

    2) Daerah Non-Permukiman Kota

    Adalah daerah yang meliputi ruang publik seperti fasilitas umum, jalan

    raya, perkantoran, dan lain sebagainya. Di daerah tersebut Polisi Lingkungan

    bertugas sebagai pengawas dan pemberi sanksi di tempat bagi siapapun yang

    tertangkap tangan melanggar ini sanksi yang diberlakukan dengan ketat yaitu

    berupa denda dan kerja sosial.

    3) Daerah Desa Adat

    Dalam masyarakat adat, perlu dilihat terlebih dahulu apakah di dalam

    masyarakat adat tersebut telah terdapat kearifan lingkungan dan mekanisme

    pengawasan dan pelestarian terhadap lingkungan hidup. Jika telah ada, maka

    hukum adat daerah setempatlah yang berlaku untuk masalah lingkungan hidup.

    Fungsi Polisi Lingkungan di daerah tersebut hanya bertugas sebagai pengawas

    dan menjalankan fungsi koordinasi antara masyarakat adat dengan kepolisian.

    Namun jika di daerah tersebut tidak ada sistem pengawasan dan pelestarian

    lingkungan hidup, maka Polisi Lingkungan akan berfungsi sebagai pendorong

    masyarakat adat untuk secara bermusyawarah membentuk hukum dan mekanisme

    pengawasan terhadap lingkungan hidup sesuai dengan keadaan dan kearifan lokal

    masyarakat tersebut. 4) Daerah Desa Non-Adat

    Seperti daerah permukiman kota, Polisi Lingkungan akan menjalankan

    fungsi koordinasi dengan perangkat desa dan masyarakat setempat. Adapun

    kewenangan Polisi Lingkungan untuk mengawasi dan menjaga kebersihan,

    keindahan, dan kenyamanan lingkungan hidup diserahkan kepada masyarakat di

    daerah tersebut.

  • 32

    2. Sistem Kerja Polisi Lingkungan a. Kelembagaan Kepolisian Lingkungan adalah unit tersendiri yang bertanggung jawab

    langsung kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Sistem rekruitmen

    seperti polisi biasa, hanya diberikan pelatihan mengenai lingkungan dan

    penindakan terhadap pelaku pencemaran lingkungan hidup. Polisi khusus ini

    adalah polisi profesional, bukan sipil (masyarakat) yang diberikan wewenang

    untuk menjalankan fungsi kepolisian. Hal tersebut didasari oleh faktor efisiensi

    dan manfaat penerapan yang lebih banyak. Pembentukan Polisi Lingkungan yang

    berasal dari masyarakat tentunya akan memakan proses dan waktu yang lama,

    sementara itu kerusakan dan pencemaran lingkungan akan terus berlangsung.

    Oleh karena itu dibutuhkan sebuah langkah konkrit yang cepat Mengenai masalah

    penggajian, kepangkatan, dan masalah administratif kepegawaian lainnya, Polisi

    Lingkungan ini tunduk kepada Undang-Undang Kepolisian.

    b. Fungsi dan Tugas Polisi Lingkungan yang dibentuk memiliki fungsi untuk mengawasi

    lingkungan, terutama sampah dan tindak pidana lingkungan hidup ringan lainnya

    yang dilakukan oleh masyarakat. Adapun yang dimaksud dengan pidana

    lingkungan hidup yang ringan adalah seperti membuang menebang pohon (dalam

    skala kecil), mengotori lingkungan, merusak bantalan sungai, dan berbagai

    kejahatan ringan yang terkait dengan lingkungan hidup. Fungsi tersebut diberikan

    atas dasar pertimbangan bahwa lembaga ini terutama difungsikan sebagai

    pembentuk ketaataan hukum masyarakat untuk menjaga dan melestarikan

    lingkungan.

    Untuk menangani tindak pidana lingkungan hidup yang berat, termasuk

    yang dilakukan oleh korporasi, diserahkan kepada PPNS (penyidik pegawai

    negeri sipil yang berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup) yang saat ini

    memang memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap perkara-

    perkara lingkungan hidup. Namun tidak menutup kemungkinan jika di kemudian

    hari lembaga ini telah mapan dan ketaatan masyarakat telah terbentuk, dapat

  • 33

    diberikan kewenangan tambahan untuk melakukan pengawasan, penyelidikan, dan

    penyidikan terhadap tindak pidana lingkungan hidup berat.

    c. Sanksi Pada hakikatnya, sanksi merupakan reaksi terhadap pelanggaran kaidah-

    kaidah kelompok yang mencakup suatu sistem imbalan (reward) dan hukuman

    (punishment).91 Dalam hal ini pelanggar akan diberikan sanksi di tempat yang

    tegas, yaitu berupa uang denda, kerja sosial, bahkan untuk satu tindakan dengan

    tingkat tertentu dapat dikenakan sanksi pidana yang dirumuskan melalui sebuah

    Undang-Undang. Namun selain memuat sanksi tersebut, Undang-Undang juga

    membuka kemungkinan bagi daerah-daerah tertentu yang memiliki sistem adat,

    penerapan sanksi dapat disesuaikan dengan pengaturan adat yang ada di daerah

    tersebut. Pengaturan tersebut berpijak pada sebuah konstruksi logis bahwa

    mengingat keberagaman dan perbedaan kondisi yang ada di setiap daerah di

    Indonesia, maka diperlukan pendekatan yang berbeda-beda pula untuk masing-

    masing daerah tersebut. Hal ini dimaksudkan agar berbagai pengaturan dan

    lembaga ini dapat berlaku secara efektif dan diterima oleh masyarakat luas.

    3. Apa yang Dibutuhkan Untuk Membentuk Polisi Lingkungan? Meminjam konstruksi berfikir Lawrence Friedman yang menyatakan

    bahwa sistem hukum terbentuk dari struktur hukum, substansi hukum dan budaya

    hukum,92 maka Penulis mencoba untuk mengidentifikasikan perangkat yang

    dibutuhkan untuk membentuk Polisi Lingkungan berdasarkan ketiga instrumen

    tersebut.93

    91 J.A.A van Doorn dan C.J. Lammers dalam Soerjono Soekanto (a), Op.Cit., hlm. 331. 92 Tiga unsur subsistem hukum ini diambil dari Lawrence W. Friedman, American Law.

    An Introduction, (New York: W.W. Norton and Company, 1984), juga dalam Lawrence W. Friedman, A History of American Law, (New York: Simon and Schuster, 1973).

    93 Adapun terkait dengan proses teknis manajerial dan yuridis yang perlu dilakukan dalam pembentukan Polisi Lingkungan serta hal-hal apa saja yang perlu disiapkan selanjutnya dapat dibaca Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Akhir Abad 21, (Bandung: Alumni, tanpa tahun).

  • 34

    a. Struktur Hukum Untuk konteks struktur hukum, dibutuhkan pembentukan unit khusus

    Polisi Lingkungan. Selain itu, dapat diatur juga mengenai persiapan anggaran,

    mekanisme rekruitmen, dan pembekalan perspektif dan keterampilan pengawasan

    lingkungan bagi Polisi Lingkungan melalui serangkaian pelatihan khusus.

    b. Substansi hukum Ada dua hal yang perlu dilakukan dalam konteks substansi. Pertama, perlu

    ada peraturan khusus dalam level nasional terkait dengan fungsi, kewenangan, dan

    tugas Kepolisian Lingkungan. Peraturan itu pun harus dilengkapi dengan

    mekanisme sanksi yang jelas. Kedua, terkait dengan masalah personal, yaitu

    Polisi Lingkungan itu sendiri, dibutuhkan adanya amandemen Undang-Undang

    Kepolisian.

    c. Budaya Hukum Dalam konteks budaya hukum, penting bagi Pemerintah dibantu

    masyarakat sipil (misalnya bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat

    yang berkecimpung di bidang lingkungan hidup)94 untuk mempersiapkan

    masyarakat menerima Polisi Lingkungan sekaligus juga untuk menumbuhkan

    kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan. Caranya dapat melalui

    publikasi maupun sosialisasi dengan menggunakan pendekatan yang bersifat

    persuasif. Keseluruhan interaksi antara lembaga-lembaga penegak hukum, dalam

    hal ini Polisi Lingkungan dan perilaku masyarakat akan membentuk dan

    memberikan corak pada budaya hukum.95

    94 Contohnya WALHI, ICEL, dan organisasi lingkungan hidup lainnya. Dewasa ini

    kehadiran masyarakat sipil yang terdiri dari berbagai organisasi dan lembaga swadaya masyarakat telah berperan cukup untuk kuat untuk mengimbangi negara tanpa menghalangi negara untuk menjalankan perannya sebagai peace keeper dan arbitrator. Martin Griffith dan Terry OCallaghan, International Relations: The Key Concept, (London dan New York: Routledge, 2002), hlm. 122-123.

    95 Sunaryati Hartono, Membangun Kembali Kepercayaan Masyarakat terhadap Hukum dan Lembaga-Lembaga Penegak Hukum, Majalah Hukum Nasional (No. 2 Tahun 2007), hlm. 2.

  • 35

    4. Hambatan dan Tantangan Pembentukan Polisi Lingkungan Penulis menyadari bahwa tentunya ada beberapa hambatan dan tantangan

    dalam pembentukan Polisi Lingkungan yang akan dijabarkan sebagai berikut.

    Pertama, terkait dengan kemungkinan penyimpangan yang terjadi mengingat

    adanya kewenangan Polisi Lingkungan untuk menjatuhkan sanksi denda kepada

    masyarakat. Kewenangan tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan moral

    hazard, seperti pungutan liar atau tidak jelasnya pertanggungjawaban uang denda

    yang dibebankan kepada masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut, mekanisme

    yang akan dibentuk adalah dengan pengawasan yang efektif tidak hanya dari

    internal Kepolisian yaitu melalui Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), tetapi

    juga melibatkan peran serta masyarakat melalui Lembaga Swadaya Masyarakat

    yang telah ada untuk mengawasi perilaku Polisi Lingkungan.

    Kedua, mekanisme penjatuhan sanksi. Setiap pelanggar akan langsung

    dikenakan sanksi berupa denda dan akan diberikan tanda terima. Tanda terima

    tersebut wajib diberikan oleh Polisi Lingkungan kepada si pelanggar dan

    sebaliknya si pelanggar tersebut pun wajib untuk meminta bukti terima tersebut

    dari polisi yang bersangkutan. Tanda terima inilah yang akan menjadi bukti

    sekaligus sebagai sarana mekanisme kontrol. Tanda terima tersebut akan

    dimonitoring setiap hari oleh Komisi Kepolisian Nasional sehingga akan terlihat

    dengan jelas berapa jumlah pelanggar dan berapa pula jumlah denda yang

    dijatuhkan. Untuk memastikan pola demikian ini dapat berjalan, tentunya harus

    pula dilakukan berbagai sosialisasi dan edukasi publik kepada masyarakat untuk

    meminta bukti tersebut kepada Polisi Lingkungan.

    Ketiga, terkait dengan masalah pendanaan. Masalah pendanaan seharusnya

    tidak menjadi kendala mengingat Polisi Lingkungan adalah polisi yang sudah ada

    yang sudah mendapatkan pelatihan lingkungan dan ditempatkan di unit yang baru

    (unit Polisi Lingkungan). Bahwa memang akan ada satu tambahan dana yang

    harus dikeluarkan Pemerintah untuk membiayai operasional Polisi Lingkungan

    ini, namun tentu akan sebanding dengan hasil yang akan dicapai yaitu terciptanya

    lingkungan yang bersih, indah, dan nyaman seiring dengan meningkatnya

    kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup.

  • 36

    BAB V

    PENUTUP

    A. Simpulan Berdasarkan uraian yang telah Penulis kemukakan, maka dapat ditarik

    simpulan sebagai berikut:

    1. Banyak kearifan lingkungan yang dapat kita pelajari dari masyarakat adat

    yang ada di Indonesia, terutama terkait dengan pengawasan dan pelestarian

    lingkungan hidup. Contoh lembaga pengawas yang ada di dalam masyarakat

    adat yang dapat dijadikan sebagai model Polisi Lingkungan adalah Kewang di

    Maluku, Jogoboyo di Jawa, dan Pecalang di Bali.

    2. Permasalahan mengenai Kebersihan, Keindahan, dan Kenyamanan lingkungan

    hidup terutama masalah sampah telah menjadi masalah yang sangat pelik

    karena penanganannya tidak dapat diselesaikan terkait dengan produksi

    sampah dan penampungan sampah saja tetapi juga perilaku masyarakat. Hal

    tersebut dapat diatasi dengan pembentukan Polisi Lingkungan.

    3. Ada tiga faktor pendorong pembentukan model Polisi Lingkungan di

    Indonesia. Pertama, Polisi Lingkungan telah dikenal di dalam masyarakat

    adat. Kedua, Polisi Lingkungan sebagai alat perubahan sosial untuk mencapai

    kepatuhan dan kesadaran masyarakat yang lebih tinggi terhadap lingkungan.

    Ketiga, Polisi Lingkungan sebagai instrumen yang efektif untuk menciptakan

    kepatuhan masyarakat.

    B. Rekomendasi Untuk mengatasi permasalahan Kebersihan, Keindahan, dan Kenyamanan

    (K3) lingkungan hidup dan sampah Pemerintah harus melembagakan Polisi

    Lingkungan melalui tiga upaya yaitu melalui struktur hukum, substasi hukum, dan

    budaya hukum. Pertama, struktur hukum yaitu pembentukan unit khusus Polisi

    Lingkungan, persiapan anggaran, sistem rekruitment, dan pemberian pelatihan dan

    keterampilan lingkungan bagi Polisi Lingkungan. Kedua, substansi hukum yaitu

    pembentukan undang-undang yang mengatur mengenai Kepolisian Lingkungan

    dan amandemen terhadap Undang-Undang Kepolisian. Ketiga, budaya hukum

  • 37

    yaitu menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan hidup.

    Caranya dapat melalui publikasi maupun sosialisasi dengan menggunakan

    pendekatan yang bersifat persuasif.

  • 38

    DAFTAR PUSTAKA Buku Awaludin, Hamid. Solusi JK: Logis, Spontan, Tegas, dan Jenaka. Jakarta: PT.

    Gramedia, 2009. Berenschot, Ward. et.all (ed). Akses Terhadap Keadilan. Jakarta: HuMa, 2011. Bierstedt, Robert. The Social Order. Tokyo: McGraw Hill Kogakusha Ltd., 1970. Birnie, P. dan A. Boyle. International Law and The Environment. Second Editon.

    New York: Oxford University Press, 2002. Creswell, John W. Research Design: Qualitative and Quantitative Approach.

    Sage Publication. Inc,, 1994. Dryzek, John S. The Politic of the Earth: Environmental Discourses. New York:

    Oxford Universitiy Press, 1997. Effendi, Ziwar. Hukum Adat Ambon Lease. cet.1. Jakarta: PT. Pradnya

    Paramita, 1987. Friedmann, W. Law in Changing Society. London: Stevens & Sons, 1959. Friedman, Lawrence W. American Law: An Introduction. New York: W.W.

    Norton and Company, 1984. ____________________. A History of American Law. New York: Simon and

    Schuster, 1973. Griffith, Martin dan Terry OCallaghan. International Relations: The Key

    Concept. London dan New York: Routledge, 2002. Goffman, Erving et all. The Goffman Reader. Oxford: Blackwell, 1997. Hartono, Sunaryati. Penelitian Hukum di Akhir Abad 21. Bandung: Alumni, tanpa

    tahun. Gautama, Sudargo. Hukum Perdata Internasional Indonesia. Jilid II Bagian 5

    Buku Ke-6, cet-2. Bandung: PT Alumni, 1988. Huntington, Samuel P. The Third Wave of Democratization in the Late Twentieth

    Century. Norman: University of Oklahoma Press, 1991. Jones, Pip. Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme Hingga

    Post-Modernisme. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009.

  • 39

    Kusumaatmadja, Mochtar. Hubungan antara Hukum dan Masyarakat. Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pelaksanaan Pembaharuan Hukum. Jakarta: BPHN dan LIPI, 1976.

    ____________________. Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional.

    Jakarta: Lembaga Pembinaan Hukum dan Kriminologi, 1976. Partnership for Governance Reform in Indonesia. Pengadilan Adat di Papua.

    Jayapura: Kemitraan, 2005 Pound, Roscoe. New Path of the Law. Nebraska: The University of Nebraska

    Press, 1950. Rahardjo, Satjipto. Penegakkan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta:

    Genta Publishing, 2009. ________________. Hukum dalam Jagat Ketertiban. Jakarta: UKI Pers, 2006. Rahyono, F.X. Kearifan Lokal Dalam Kata. Jakarta: Wedatama Widya Sastra,

    2009. Riggs, Fred. W. Administration in Developing Countries, The Teory of Prismatic

    Society. Boston: Houghton Miffin, 1964. Ruhpina, Said. Menuju Demokrasi Pemerintahan. Mataram: Universitas Mataram

    Press, 2005. Soekanto, Soerjono. Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangkan

    Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 1974 Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia. cet-6. Jakarta: PT Raja Grafindo

    Persada, 2003. __________________. Pengantar Penelitian Hukum. cet.3. Jakarta: Penerbit

    Universitas Indonesia (UI-Press), 1986. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat. cet-16. Jakarta: Pradnya Paramita,

    2003. Uneputty, Doms. C. Hukum Adat Negeri Oma dan Perkembangannya. Maluku:

    tanpa penerbit, tanpa tahun. Weiss, E.B. (ed). Environmnetal Change and International Law: New Challenges

    and Dimension. Tokyo, 1992. Widjajanto, Andi. Transnasionalisasi Masyarakat Sipil. cet.1. Depok: FISIP UI

    Press, 2007.

  • 40

    Wignjodipuro, Surojo. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. cet-6. Jakarta: PT.

    Gunung Agung, 1983. World Commission on Environment and Development (Brundtland Commission),

    Our Common Future. New York: Oxford University Press, 1987. Jurnal Economic and Social Council, Commission on Human Rights, Sub-Commission

    on Prevention of Discriminaton and Protection of Minorities, Forty-sixth session E/CN.4/Sub.2/1994/9, 6 Juli 1994.

    Hartono, Sunaryati. Membangun Kembali Kepercayaan Masyarakat terhadap

    Hukum dan Lembaga-Lembaga Penegak Hukum. Majalah Hukum Nasional (Nomor 2 Tahun 2007). Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI.

    MD, Moh. Mahfud. Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum

    Nasional. Majalah Hukum Nasional (Nomor 2 Tahun 2007). Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI.

    Primahendra, Riza. Pemberdayaan Masyarakat Sipil: Sebuah Pengantar. CIVIC

    (Vol. 1, No. 1, April 2003). Rahardjo, Satjipto. Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan. Jurnal

    Hukum Progresif (Vol. 1/No. 1/April 2005). Ravena, Dey. Konsepsi dan Wacana Hukum Progressif. Jurnal Suloh (Vol. VII.

    No. 1 April 2009). Ruozzi, Eliza. The Obligation Not to Pollute: From Colloray of State

    Sovereignty to The Right to a Decent Environment. Indoneian Journal of International Law (Volume 8 Number 1 October 2010).

    Salim, Emil. Merawat Bumi dengan Diplomasi. Jurnal Diplomasi (Volume 1

    No. 3 Desember Tahun 2009). Shelton, D. Human Rights, Environmental Rights, and The Rights to

    Environment. Stanford Journal of International Law. Wilson, Natasha Christina Davis. The Curious Case of Earths Survival v. The

    Worlds Development. Indonesian Journal of International Law (Volume 8 Number 2 January 2011).

  • 41

    Artikel, Media Massa, dan Sumber Lainnya Bataviase. Kota Bekasi Bentuk Polisi Khusus Sampah,

    http://bataviase.co.id/node/251232. Diunduh 22 April 2011. Halim, Ibrahim. Parepare Wacanakan Bentuk Polisi Kebersihan,

    http://www.pareparekota.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=895:parepare-wacanakan-bentuk-polisi-kebersihan&catid=108:clean-and-green-city&Itemid=299. Diunduh 22 April 2011.

    Harian Pelita. Sampah Plastik Memerlukan Perhatian Khusus,

    http://www.harianpelita.com/read/3669/15/laporan-khusus/sampah-plastik-memerlukan-perhatian-khusus/. Diunduh 22 April 2011.

    Hartiningsih, Maria dan Agnes Aristiarini. Bentang Persoalan Lingkungan

    Kompas (02 Juli 2009). Hartono, Mimin Dwi. Hak Asasi Lingkungan Hidup, Koran Tempo (05 Juni

    2006). Ja'far, Marwan.Jakarta dan Ancaman Banjir Koran Tempo (21 Januari 2010). Karman, Yonky. Banjir dan Problem Ekomoral Kompas (9 Februari 2007). Kasali, Rhenald. Manajemen Pengolahan Sampah Koran Sindo (13 Agustus

    2009). Kusnandi, Arset dan Suhanda. Buang Sampah Sembarangan Penyumbang

    Banjir. http://berita.liputan6.com/ibukota/201002/263964/Buang.Sampah.Sembarangan.Penyumbang.Banjir. Diunduh 21 April 2011.

    Maksun, Agama dan Kearifan Ekologis Koran Tempo (15 Februari 2007),

    http://korantempo.com/korantempo/2007/02/15/Opini/krn,20070215,64.id.html. Diunduh 21 April 2011.

    Pandebaik. Pecalang Perangkat Keamanan Panutan Desa Adat Bali,

    http://www.pandebaik.com/2011/03/02/pecalang-perangkat-keamanan-panutan-desa-adat-bali/. Diunduh 22 April 2011.

    Rahardjo, Satjipto. Hukum dan Birokrasi, Makalah pada diskusi Panel Hukum

    dan Pembangunan dalam Rangka Catur Windu Fakultas Hukum UNDIP, 20 Desember 1998, hlm. 5.

  • 42

    Salim, Emil. Belajarlah dari Kearifan Lokal Kompas (07 Februari 2004), http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0402/07/humaniora/844706.htm. Diunduh 22 April 2011.

    Santoso, Djoko Hak Asasi Lingkungan sebagai Landasan Pembangunan Koran

    Sindo (20 Agustus 2009). Satria, Arif. Kead